arsitektur tradisional Nias

27
Ince Nunung Zuhriah Anne Rufaida Rafiqa Moh Syarif Nunu 2010 Pulau nias dalam bahasa Niasnya sering disebut Tanó Niha yang artinya tanah manusia sedangkan orang Niasnya sering disebut Ono Niha yang artinya anak manusia. Salah satu ciri khas dari pulau Nias yang masih bias kita lihat hingga sampai saat ini adalah Rumah Adat Nias yang sering disebut dalam bahasanya ……. TUGAS PERKEMBANGA N 1

Transcript of arsitektur tradisional Nias

Ince Nunung Zuhriah

Anne Rufaida

Rafiqa

Moh Syarif Nunu2010

Pulau nias dalam bahasa Niasnya sering disebut Tanó Niha yang artinya tanah manusia sedangkan orang Niasnya sering disebut Ono Niha yang artinya anak manusia. Salah satu ciri khas dari pulau Nias yang masih bias kita lihat hingga sampai saat ini adalah Rumah Adat Nias yang sering disebut dalam bahasanya …….

TUGAS PERKEMBANGAN 1

PENDAHULUAN

Pulau nias dalam bahasa Niasnya sering disebut Tanó Niha yang

artinya tanah manusia sedangkan orang Niasnya sering disebut Ono Niha

yang artinya anak manusia. Salah satu ciri khas dari pulau Nias yang masih

bias kita lihat hingga sampai saat ini adalah Rumah Adat Nias yang sering

disebut dalam bahasanya sebagai Omo Hada. Ada dua jenis rumah adat Nias

yaitu berbentuk oval yang terdapat di Nias bagian Utara dan berbentuk

persegi empat yang terdapat di Nias bagian Selatan.

Bila membicarakan mengenai arsitektur tradisional di pulau Nias maka

tidak bisa terlepas dari apa yang dinamakan rumah tradisional Nias. Rumah

tradisional Nias dapat dibedakan atas 3 (tiga) tipe rumah adat sesuai dengan

penelitian yang diadakan Oleh Alain M. Viaro Arlette Ziegler yang didasarkan

pada bentuk atap dan denah lantai bangunan. Ketiga tipe tersebut adalah :

1. Tipe Nias Utara

Bentuk atap bulat ; bentuk denah oval

2. Tipe Nias Tengah

Bentuk atap bulat ; bentuk denah segi empat

3. Tipe Nias Selatan

Bentuk atap segi empat ; bentuk denah persegi

Dalam masyarakat Nias sebelum masuknya agama menganut

kepercayaan akan adanya 3 (tiga) dunia, yakni :

Dunia atas atau dunia leluhur;

Dunia manusia dan

Dunia bawah.

Kosmologi masyarakat Nias ini merupakan gambaran pandangan dari

masyarakat tentang asal-usul nenek moyang suku Nias yang berasal dari

Teteholi Ana’a (langit) yang diturunkan ke bumi di puncak gunung sekarang

di kenal dengan nama Boro Nadu, yang berada di Kecamatan Gmo

Kabupaten Nias Selatan.

Pengaruh Kosmologi ini terlihat jelas dalam bentuk arsitektur

tradisional Nias, baik itu dalam bentuk rumah adatnya maupun dalam pola

perkampungan. Dalam bentuk rumah adat, masyarakat Nias menepatkan

bagian atas dari pada bangunannya sebagai tempat yang paling dihormati

(disucikan). Dalam pola perkampungan, semakin tinggi letak kampung

berada, semakin dekat dengan dunia atas, yang berarti semakin aman dan

sejahtera kampung tersebut.

Gambar 1 : Kosmologi masyarakat Nias

Dunia atas, dunia manusia dan dunia bawah digambarkan oleh

masyarakat Nias dalam bentuk perkampungannya. Gambaran Teteholi Ana’a

(langit) diperlihatkan dengan gerbang atau jalan menuju ke kampung.

A. POLA PERKAMPUNGAN

Masyarakat Nias yang memiliki kebiasaan berperang, mendirikan

bangunannya sedemikian rupa, sehingga hunian bagi mereka adalah

sebagai shelter sekaligus benteng yang melindungi mereka dari cuaca,

binatang buas dan sekaligus musuh. Kekerabatan yang erat, menciptakan

hunian yang rapat antara rumah yang satu dengan lainnya, sehingga

membentuk suatu pola linier yang memanjang, gerbang tidak begitu jelas

dan halaman terdiri dari tanah yang diperkeras. Perkampungan  yang

membentuk  pola tertutup ini masih ditambah lagi dengan proteksi di luar

kampung berupa pagar yang tinggi mengelilingi kampung tersebut.

Bangunan  yang diangkat kedudukannya dari tanah, juga menunjukkan

kosmologi masyarakat Nias terhadap pencipta-Nya.

Arsitektur Tradisional Nias (Dawson & Gillow, 1994)

Gambar 2 : Pola perkampungan Nias Utara

Pada pola perkampungan tersebut selalu berorientasi ke arah utara-

selatan, sedangkan gerbangnya berada pada arah timur-barat. Hal ini

menunjukkan bahwa masyarakat Nias telah mengetahui cara penempatan

bangunan yang baik dengan berpedoman pada cuaca atau iklim. Dalam

pengertian mereka bahwa arah terbitnya matahari disebut “raya” dan arah

terbenamnya ”you”.

B. Tatanan Ruang, Bentuk dan

Filosofi(Makna/Simbol)

1. Tatanan Ruang

Rumah-rumah di Nias dibedakan oleh denah lantai dasar yang khas

dengan bentuk lonjong. Atapnya terdiri dari struktur yang lebih ringan

dengan ruangan bawah atap yang tanpa halangan, yang memungkinkan

lantai tingkat di atas sebagai lantai tempat tinggal utama. Rumah Nias Utara

bukan saja menampilkan kesan monumental, tetapi juga berperan sebagai

wadah bertinggal yang leluasa dan nyaman. Denah dengan pola open lay

out memudahkan penghuni mengatur tata ruang sesuai selera.

Pola paling umum adalah membagi ruang menjadi empat bagian,

cukup dengan meletakkan dinding penyekat bersilangan tegak lurus satu

sama lain di tengah ruangan. Sistem denah terbuka juga membuat rumah

vernakular ini sangat adaptif dengan kebutuhan masyarakat masa kini sebab

pemilik rumah dapat leluasa menggunakan berbagai perabot modern di

dalamnya.

Kenyamanan ruang cukup terjaga karena elemen rumah dirancang

secara cerdik menggunakan prinsip arsitektur tropis. Di tempat-tempat yang

diinginkan, bilah dinding papan bisa diganti jerajak untuk menciptakan

bukaan. Di ruang duduk lantai di sepanjang dinding umumnya sengaja

ditinggikan dan sebuah bangku diletakkan menempel sepanjang dinding.

Dari bangku ini penghuni memandang bebas ke arah luar. Dinding miring

memungkinkan privasi karena seluruh kegiatan di balik rumah tidak tampak

dari luar walaupun jerajak dibiarkan terbuka sepanjang hari. Bukaan dengan

posisi miring mampu mengatasi tempias air hujan. Ukurannya cukup lebar

sehingga udara dan cahaya alam bebas menerobos masuk ke dalam rumah.

Di ruang duduk dan dapur, salah satu bagian atap dapat berfungsi sebagai

sky light, cukup dengan cara mendorongnya ke arah luar lalu menopangnya

dengan tongkat dari dalam.

2. Bentuk dan Filosofi (makna/Simbol)

Di masa lalu, masyarakat Nias dibagi ke dalam beberapa tingkat

kemasyarakatan:

a. Pertama, Si Ulu, yaitu raja, kepala adat, termasuk juga kaum

bangsawan.

b. Kedua, Sato, yaitu masyarakat biasa.

c. Ketiga, Sawuyu, yaitu budak.

Tingkat yang paling tinggi kedudukannya dalam tatanan sosial

masyarakat Nias adalah raja. Istilah Si Ulu atau “Penguasa” hanya digunakan

oleh raja. Meski kerajaan telah tiada dan sistem kasta telah dihapuskan,

pengaruh masa lalu masih terasa kuat hingga hari ini.

Batu Megalit, Gowo Nias Tengah

 

Meja Batu, Nias

 

  Julukan yang tersemat pada Si Ulu adalah “anak dari surga” atau

“titisan dewa bumi”. Permintaan terakhir sang raja sebelum ajal menjemput

haruslah dituruti walau emas-emas atau barang beharga lainnya harus

dikubur bersamanya. Perlindungan bagi Si Ulu dipercayakan kepada para

ksatria terbaik di “Tanah Manusia” yang setiap saat selalu dipersenjatai

dengan pedang yang dilengkapi gigi buaya dan taring babi. Menurut

kepercayaan masyarakat Nias, di atas langit terdapat sembilan tingkatan

surga. Pada tingkatan yang paling atas bersemayam Lowalangi, Dewa Surga.

Sembilan tingkatan di bawah bumi dikuasai oleh Latura, Dewa Kematian.

Lowalangi, Dewa Surga, dirayakan dengan mengorbankan hewan

yang ditujukan baginya. Persembahan lainnya seperti telur, hasil bumi, tuak,

dan air juga sekarang ditujukan bagi roh para leluhur dan alam. Pada saat

upacara pemakaman, perhatian khusus diberikan pada kepala suku. Jasad

ditempatkan pada sebuah altar dan dicuci dengan daun-daunan wewangian,

sehingga diharapkan arwah yang kembali ke rumah dapat dikenali dari

wewangian tersebut.

Nyanyian penguburan dan tari-tarian berlangsung selama empat hari

di mana tidak boleh ada kegiatan lain-lain selain upacara tersebut. Pada hari

ketiga, jasad mulai dikuburkan dan untuk mencegah arwah yang kembali,

maka sebuah patung kayu “Adu” dibuatkan di dekat makam untuk

memungkinkan arwah tinggal di dalamnya.

Di masing-masing desa terdapat batu persemayaman (darodaro) yang

dibuat untuk menyemayamkan arwah yang telah terpisah dari jasadnya.

Tugu ini dipahat dan dihiasi dengan relief dan rupa seperti manusia.

Batu persemayaman (darodaro), di depan rumah

Rumah kepala suku disebut “omo sebual”. Bangunannya berbeda

dengan rumah masyarakat pada umumnya. Hal ini dapat dilihat dari

arsitektur rumah dengan banyaknya “piagam” penghargaan perang dan

patung di sekitarnya. Desa-desa dibangun dalam dua barisan rumah-rumah

(kiri dan kanan) dan sebuah ruang kosong di tengah pemukiman sebagai

jalan utama “ewali” dengan lantai batu. Tugu batu prasejarah terletak di

depan pelataran sebagai tempat berkumpul masyarakat kelas menengah-

keatas. Disebut dinding batu “oli batu”, karena tugu-tugu tersebut

menunjukkan kelas pemilik rumah sebagai tanda penghargaan jasa masa

lalu serta peringatan abadi bagi orang yang mengadakan pesta

penghargaan. Batu tersebut merupakan contoh tingkatan sosial di

masyarakat desa dalam pendirian menhir “fa’ulu” oleh ketua adat.Hak

mendirikan tugu ditentukan oleh majelis desa yang anggotanya

mempertimbangkan pada dasar-dasar berikut:

1. Mokho, yaitu kekayaan;2. Molakhomi, yaitu kepemimpinan;3. Fa’asia, yaitu ketuaan atau umur;

4. Onekhe, yaitu kecerdasan atau kemahiran.

     Batu ini terdiri atas bentuk seperti menhir, bangku panjang, dan bangku

bundar. Rumah pertemuan umum disebut “bale” terletak di dekat rumah

kepala suku yang terletak di seberang lapangan “gorahua newali”. Nias

Tengah merupakan tempat lahirnya budaya Nias. Di luar desa banyak

tersebar patung-patung leluhur atau juga falus yang disebut “edu” yang

dilengkapi dengan ukiran yang berbentuk organ seksual dengan maksud

untuk kesuburan.

Lombo Batu, Nias

Di masa lalu, “lombo batu”, yaitu upacara melompati susunan batu

yang tinggi, merupakan sebuah upacara persiapan untuk melakukan

penyerangan ke benteng musuh.

C. Bahan Bangunan

dan Teknik Konstruksi

Bahan bangunan dan Teknik

Kosnstruksi Rumah Adat Nias yaitu :

1. Bentuk dasar elips atau oval;

2. Lebar rumah 10 meter, panjang 15

meter, tinggi 9-13 meter;

3. Pintu masuk dari sebelah bawah.

Sisi depan dan belakang agak

lurus;

4. Jarak antara tiang-tiang rumah tidak selalu sama;

5. Jarak antara dua barisan tiang di depan lebih lebar ; orang bisa

berjalan di tengah;

6. Jarak antara tiang-tiang di belakang lebih rapat; beban rumah di lebih

besar;

7. 8 lembar papan Siloto (seloto) melintang di atas 62 tiang dari muka ke

belakang;

8. 1 Siloto di ujung kiri dan 1 di ujung kanan @ 6 tiang : 2 x 6 = 12 tiang;

9. 2 Siloto berikut sebelah kiri dan kanan @ 8 tiang : 4 x 8 = 32 tiang ;

10. 2 Siloto di pertengahan rumah @ 9 tiang : 2 x 9 = 18 tiang;

11. Jumlah tiang (diluar tiang-tiang penunjang) 12 + 32 + 18 = 62

tiang

Oleh Alain M. Viaro Arlette Ziegler “Traditional Architecture of Nias

Island”Idem

Gambar 3 :

Gambar 4 : Denah Perletakan

Kolom Rumah Tradisional Nias

Utara

Arsitektur rumah di “Tanah Manusia” terkenal dengan fondasinya yang

terdiri atas pengaturan rumit tiang tegak agak miring. Bangunan ini

dirancang untuk tahan akan guncangan gempa bumi. Hal ini dapat dilihat

dari bangunan yang memiliki tingkat kelenturan karena tiangnya tidak

dipancangkan ke tanah tetapi bersandar di atas fondasi batu.

    Arsitektur Rumah, Desa Bawomantaluo, Nias

Rumah-rumah di Nias dibuat dari bahan kayu yang diberi corak seperti

kapal perang. Atap yang curam dengan bukaan atap yang dapat dibuka,

berfungsi memasukkan sinar matahari ke ruang dalam serta memberikan

sirkulasi udara yang baik. Atap ini memiliki kekhasan tersendiri karena tidak

ditemukan di bagian Nusantara lainnya. Atap rumah dibangun tinggi dari

bahan serat palem, yang kemudian seiring masuknya pengaruh modernitas

mulai ditinggalkan dan beralih ke atap seng.

Rumah-rumah vernakular di Nias, walaupun tidak bereaksi ketika

digoyang-goyang sebagaimana dahulu rumah di Aceh, secara bijak

dirancang dengan prinsip tahan gempa. Di bagian kaki bangunan kolom-

kolom terbagi menjadi dua jenis, yaitu kolom struktur utama yang berdiri

dalam posisi tegak dan kolom penguat yang terletak dalam posisi silang-

menyilang membentuk huruf X miring.

Balok kayu ataupun batu besar sengaja diletakkan di sela- sela kolom

penguat sebagai pemberat untuk menahan bangunan dari terpaan angin.

Sedangkan ujung atas kolom tegak dihubungkan dengan balok penyangga

melalui sambungan sistem pasak yang kemudian ditumpangi balok-balok

lantai di atasnya.

Kolom-kolom diagonal, tanpa titik awal maupun akhir, jalin-menjalin

untuk menopang bangunan berdenah oval dengan kantilever mengelilingi

seluruh sisi lantai denah. Bagaikan sabuk, rangkaian balok dipasang

membujur sekeliling tubuh bangunan. Di atas sabuk bangunan, sirip-sirip

tiang dinding berjarak 80 sentimeter dipasang berjajar dengan posisi miring

ke arah luar. Di antara sirip-sirip dipasang dinding pengisi dari lembaran

papan.

Penggunaan kolong memang bukan satu-satunya di Nias. Di beberapa

wilayah Nusantara, kolong di samping mengemban fungsi struktur juga

menciptakan ruang yang cukup efektif untuk menyiasati masalah

kelembapan yang ditimbulkan iklim tropis.

Kolong juga dapat menghindari kontak langsung penghuni dengan

tanah yang cenderung becek saat hujan. Berbeda dari daerah lain, di Nias

kolong tidak menjadi ruang positif yang berfungsi sebagai tempat menenun,

menyimpan barang, atau memelihara ternak, melainkan benar-benar

mengemban fungsi struktural.

Kolom-kolom ini berukuran cukup besar sehingga kekokohannya bukan

saja mampu mempertinggi angka keamanan bangunan terhadap gempa,

tetapi secara psikologis juga memberi perasaan aman bagi penghuninya

sebab di atas kolom berdiri dengan megah bangunan berskala besar dengan

atap menjulang. Roxana Waterson, pakar antropologi arsitektur tradisional

dari National University of Singapore, menyatakan, di seluruh kawasan Asia

Tenggara rumah Nias Utara adalah karya arsitektur vernakular paling

ekspresif dalam menampilkan kesan monumentalitasnya.

Di bagian tengah bangunan, kolom-kolom dari kolong yang menjulang

ke atas menembus lantai hingga bubungan atap bertugas mendukung

struktur atap. Sedangkan di bagian pinggir bangunan, kolom berhenti di atas

ruang hunian dan membentuk jurai atap. Sebagaimana dinding, atap

bangunan juga mengikuti bentuk lantai yang oval. Daun sagu yang dianyam

pada sebilah bambu menghasilkan lembaran yang dirangkai sebagai

penutup atap.

Material yang digunakan dalam rumah adat Nias :

No

.

Material Keterangan Catatan

1

Batu

Gehom

o(bg)

Batu dengan permukaan rata

yang digunakan untuk

menyanggah tiang Ehomo

(memisahkan tiang Ehomo dari

permukaan tanah)

Batu cadas

sungai yang

pahat berbentuk

kotak

2 Batu Ndriwa

(bd)

Batu dengan permukaan rata

yang digunakan untuk

menyanggah tiang Ndriwa

(memisahkan tiang Ndriwa dari

Batu cadas

sungai yang

pahat berbentuk

kotak

permukaan tanah)

3 Ehomo(e) Tiang kayu bulat (pillar)

penyanggah struktur bangunan

tradisional Nias yang diletakkan

secara vertikal

Berbentuk balok

bilat dan

menggunakan

material kayu

Berua atau

Manawa Dano

4 Ehomo

Mbumbu

Tiang kayu bulat (pillar)

penyanggah atap

5 Fafa Papan kayu Menggunakan

material kayu

Berua atau

Manawa Dano

6 Fafa Daro-

daro

Papan untuk tempat duduk Menggunakan

material kayu

Berua atau

Manawa Dano

7 Fafa

Gahembato

Papan untuk lantai Menggunakan

material kayu

Berua atau

Manawa Dano

8 Folano Balok kayu yang menjadi bagian

dari struktur kerangka atap

bangunan tradisional Nias

selatan

9 Gaso Balok kayu yang menjadi bagian

dari struktur kerangka atap

bangunan tradisional Nias

selatan

10 Gaso Matua

(Fanimba)

Balok kayu yang menjadi bagian

dari struktur kerangka atap

bangunan tradisional Nias

selatan

11 Jepitan

Bumbu

Kayu yang disusun berbentuk “X”

yang berfungsi untuk menjepit

atap rumbia yang berada di

puncak atap

12 Kapita Balok horizontal penyanggah

atap

13 Lago-lago Papan kayu tebal yang diletakkan

membujur pada bagian kiri dan

kanan bangunan dan berfungsi

menjepit seluruh struktur bagian

bawah atap pada sebuah

bangunan tradisional Nias

Selatan

Menggunakan

material kayu

Berua atau

Manawa Dano

14 Lali’owo (I) Balok membujur yang

menyanggah papan lantai

struktur bangunan tradisional

Berbentuk balok

bulat dan

menggunakan

material kayu

Berua atau

Manawa Dano

15 Ndriwa

(Diwa) (d)

Tiang kayu bulat (pillar)

penyanggah struktur bangunan

tradisional Nias yang diletakkan

secara diagonal

Berbentuk balok

bulat dan

menggunakan

material kayu

Berua atau

Manawa Dano

16 Oto Mbao Berfungsi seperti kaki gajah

dalam konstruksi beton. Untuk

menambah kekuatan pada

Ehomo atau sebagai anti gempa

17 Sago Atap daun rumbia

18 Sicholi

(Sikholi)

Papan kayu tebal yang diletakkan

membujur dan berfungsi

menjepit seluruh struktur lantai

(Ahe Mbato) pada sebuah

bangunan tradisional. Diletakkan

di bagian kiri dan kanan

bangunan. Ujung-ujung Sikholi

akan dibentuk melengkung ke

atas dan diberi ragam hias ukiran

Menggunakan

material kayu

Berua atau

Manawa Dano

19 Siloto (s) Balok melintang yang

menyanggah papan lantai

struktur bangunan tradisional

Menggunakan

material kayu

Berua atau

Manawa Dano

20 Sirau Penyangga

21 Tangga Tangga kayu

22 Toga (Balo-

balo)

Balok melintang yang menutup

ujung Laliowo dan menyanggah

posisi Laso

Menggunakan

material kayu

Berua atau

Manawa Dano

23 Tohu-tohu

D. Upacara Adat

Dahulu, di ruangan tawalo digantungkan tulang-tulang rahang babi yang berasal dari babi-babi yang dipotong pada waktu pesta adat dalam pembuatan rumah tersebut. Menurut cerita, di ruangan ini dahulu digantungkan tengkorak kepala manusia yang dipancumg untuk tumbal pendirian rumah. Tapi setelah Belanda datang, kebiasaan tersebut disingkirkan. Untuk melengkapi ciri khas adat istiadat Nias adalah adanya batu loncat yang disebut zawo-zawo.Bangunan batu ini dibuat sedemikian rupa untuk upacara lompat batu bagi laki-laki yang telah dewasa dalam mencoba ketangkasannya.

KESIMPULAN

Rumah tradisional Nias, terbukti mampu bertahan dari deraan banyak

gempa, memiliki perkuatan silang pada keseluruhan bangunan.

Memiliki banyak jumlah kolom pendukung dibawah rumah dan pada

dinding, dan banyak perkuatan silang dalam berbagai arah pada

bagian bawah bangunan untuk menahan pergerakan atau gaya

lateral. Sistem cross bracing (perkuatan silang) untuk dinding dan

kolom dibawah rumah pada bangunan kayu.

Sistem cross bracing memberikan kekuatan melawan gaya lateral

sehingga bangunan tidak roboh ke samping namun tetap kokoh

bergerak sebagai satu kesatuan. Sistem ini digunakan pada bangunan

tradisional Nias dan perlu diterapkan pada bangunan modern.

DAFTAR PUSTAKA

http://rumahtradisionalniasutara.blogspot.com/

http://www.wacananusantara.org/content/view/category/99/id/522?

mycustomsessionname=aaa73b8a3296454e3ada837e2e0e3fc0

http://www.docstoc.com/docs/36627816/KETERANGAN-MATERIAL-UNTUK-STRUKTUR-

RUMAH-ADAT-NIAS