ARSITEKTUR REGIONALISME DI BALI · 2017. 6. 4. · ABSTRAK Pekerjaan perancangan arsitektur dapaat...

31
ARSITEKTUR REGIONALISME DI BALI \ Ni Made Mitha Mahastuti NIP.1985070620140922001 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS UDAYANA TAHUN 2016

Transcript of ARSITEKTUR REGIONALISME DI BALI · 2017. 6. 4. · ABSTRAK Pekerjaan perancangan arsitektur dapaat...

  • ARSITEKTUR REGIONALISME DI BALI

    \

    Ni Made Mitha Mahastuti

    NIP.1985070620140922001

    PROGRAM STUDI ARSITEKTUR

    FAKULTAS TEKNIK

    UNIVERSITAS UDAYANA

    TAHUN 2016

  • i

    KATA PENGANTAR

    Ungkapan puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa

    (Tuhan Yang Maha Esa) karena berkatNYAlah, karya tulis singkat ini dapat diselesaikan.

    Judul yang ditampilkan adalah Arsitektur Regionalisme di Bali ini disusun

    sebagai salah satu tugas dan kewajiban dosen, yang sudah seharusnya selalu mencari

    materi tentang arsitektur pada umumnya, dan mata kuliah yang diampu pada khususnya.

    Sebagai pengasuh mata kuliah Pengantar Arsitektur, topik yang diangkat ini menunjang

    perkuliahan khususnya dalam hal pemahaman arsitektur secara garis besar.

    Untuk mengerjakan tulisan ini, banyak materi-materi, baik berupa bahan-bahan

    bacaan maupun diskusi, wawancara dan lainnya. Tak kalah juga pentingnya adalah

    dorongan semangat, bimbingan, masukan-masukan pemikiran, yang datangnya dari para

    kolega dan semuanya itu memberi kontribusi positif bagi penulis.

    Terima kasih penulis sampaikan untuk semua pihak yang telah berperan seperti

    tersebut di atas, terutama Ibu Prof. Dr. Ir. Anak Agung Ayu Oka Saraswati, MT (Ketua

    Jurusan Arsitektur FT UNUD) yang selalu mendorong untuk meningkatkan kompetensi

    melalui pembuatan tulisan seperti ini. Selain dari pada itu penulis juga menyampaikan

    terima kasih kepada pihak-pihak lainnya yang telah membantu memperkaya materi.

    Sebagai akhir kata penulis berharap, semoga tulisan sederhana ini ada manfaatnya

    yaitu memperkaya materi perkuliahan khususnya, dan pengetahuan arsitektur pada

    umumnya.

    Denpasar, Juli, 2016

    Penulis

    Ni Made Mitha Mahastuti

    NIP.1985070620140922001

  • ABSTRAK

    Pekerjaan perancangan arsitektur dapaat dilakukan dengan beberapa tahapan. Di

    dalam pentahapan tersebut akan terdapat suatu pilihan untuk mengarah kepada tampilam

    disain. Salah satu dari padaanya adalah apa yang disebut dengan arsitektur regionalsime.

    Sebagaimana terbersit dari istilah regionalism, dapat dibayangkan bahwa tampilan

    arsitektur nantinya akan menunjukkan cirri suatu kaawasan tertentu (region), yang

    cakupan wilayahnya meliputi kawasan tertentu. Kawasan ini memiliki beberapa

    kesamaan karakteristik, atau setidaktidaknya memiliki kemiripan.

    Pulau Bali atau daerah Bali misalnya. Dengan karakteristik yang kuat di bidang

    arsitektur khusussnya, dan kekayaan budaya pada umumnya, dalam hal ini Bali

    merupakan sebuah region dengan beberapa cirri yang khas. Demikian pula arsitekturnya,

    yang merupaka warisan dari leluhur dengan pedoman-pedoman yang tertuang di dalam

    lontar astha kosala- kosali, merupakan bukti bahwa Bali memang memiliki arsitektur

    yang khas.

    Hanya saja, ketika peradaban manusia semakin berkembang, dan tuntutan ruang

    untuk menampung aktifitas yang semakin beragam, menyebabkan arsitektur Bali tidak

    sepenuhnya bisa diimplementasikan .Kehidupan modern yang terus berkembang (di satu

    pihak), mau tidak mau harus dihadapi dengan penyesuaian-penyesuaian. Sementara di

    sisi lainnya, nuansa Bali melalui arsitektur perlu tetap ditampilkan karena merupakan

    asset budaya yang tidak hanya sebagai warisan begitu saja, tetapi sudah menjadi daya

    tarik tersendiri. Hal ini diperkuat dengan landasan hokum berupa peraturan daerah

    (perda) dalam hal ini Perda no 5 tahun 2005, tentang Arsitektur di Bali.

    Para arsitek yang merancang di wilayah Bali, berhadapan dengan tuntutan wadah

    kegiatan dan teknologi modern , yang sebelumnya tidak terkandung di dalam lontar astha

    kosala-kosali, berhadapan dengan tantangan untuk tidak melanggar Perda yang ada. Di

    sisi lain, kreatifitas yang merupakan kekuatan para aarsitek , tentu tidak dapat dibendung

    dengan batasan yang kaku. Oleh karena itu, merancang dengan tema (atau pendekatan)

    arsitektur regionalism, dapat menjadi pilihan tanpa mematikan kreatifitas.

    Kata kunci : Arsitektur Bali – kreatifitas – regionalism.

  • DAFTAR ISI

    LEMBAR JUDUL ..........................................................................................................i

    KATA PENGANTAR .....................................................................................................i

    DAFTAR ISI ....................................................................................................................iii

    1. PENDAHULUAN ....................................................................................................1

    II. TINJAUAN TEORI ..................................................................................................4

    2.1. Pengertian Arsitektur Regionalisme ..................................................................4

    2.2. Sejarah Arsitektur Regionalisme .......................................................................6

    2.3. Ciri-ciri Regionalisme .........................................................................................7

    2.4. Jenis Regionalisme .............................................................................................8

    2.5. Pola Arsitektur Regionalisme .............................................................................13

    2.6. Aplikasi Regionalisme Dalam Arsitektur ...........................................................14

    III. ARSITEKTUR REGIONALISME DI BALI ............................................................16

    IV. PENUTUP .................................................................................................................25

    DAFTAR PUSTAKA

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Pulau Bali dengan segenap isinya memiliki kekayaan budaya yang sudah sangat

    terkenal di dunia. Salah satu kekayaan yang menjadi daya tarik adalah arsitektur.

    Masyarakat awam beranggapan bahwa arsitektur hanya berupa bangunan atau gedung-

    gedung saja. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya salah, karena yang menjadi daya tarik

    paling mudah untuk dirasakan oleh masyarakat adalah sosok fisik dari obyek yang

    diamati. Padahal sesungguhnya arsitektur (baik yang universal maupun yang Bali) selain

    tampilan fisiknya, juga memiliki satu kesatuan yang utuh dengan non fisik berupa

    pedoman, konsep, filosofi. dan sebagainya.

    Arsitektur Bali yang merupakan warisan mahakarya para leluhur, memiliki

    pedoman-pedoman yang pada jamannya tertuang dalam beberapa lontar. Di antaranya

    adalah lontar astha kosala, astha kosali, astha bumi, dan sebagainya. Di dalam lontar

    tersebut tidak hanya termuat pedoman untuk mengerjakan fisik bangunan, tetapi juga

    menyangkut baik buruknya waktu memulai pekerjaan, upacara – upacara untuk setiap

    tahapan pekerjaan dari awal sampai selesai, mulai menempati bangunan dan

    sebagainya.Termasuk juga di dalamnya penataan tata letak, baik sesama/antar bangunan

    satu dengan lainnya, tetapi juga dengan tetangga dan lingkungan sekitar.

    Di beberapa tempat (desa di Bali), masih bisa dijumpai bangunan-bangunan yang

    relatif bertahan dengan keasliannya. Misalnya Desa Penglipuran (Bangli), Tenganan

    (Karangasem), Desa Julah (Buleleng) dan sebagainya. Selain daripada itu di pusat-pusat

    kerajaan jaman dahulu, atau di puri-puri masih banyak terdapat bangunan yang

    merupakan perwujudan arsitektur Bali. Hanya saja karena jaman sudah berubah dan

    kebudayaan semakin berkembang beberapa bangunan sudah mulai berubah.

    Kekayaan yang diwarisi tersebut, yang merupakan salah satu daya tarik di dunia

    pariwisata saat belakangan ini, patut dilestarikan. Ini penting, karena aset yang sangat

    khas ini, menjadi potensi yang hanya ada di Bali. Jadi dengan mudah bisa dibedakan

    dengan daerah atau tempat lain, sehingga penampilan beda ini akan selalu membuat

    orang ingin melihatnya langsung di tempat asalnya. Selain daripada itu, secara

    keseluruhan perwujudan arsutektur Bali dalam cakupan yang lebih luas, mampu

  • 2

    memberikan atmosfir yang khas dan disukai. Minat masyarakat sebagai gambaran betapa

    bagian dari arsitektur Bali sangat diminati, dapat dilihat dari berkembangnya usaha di

    bidang ekspor berupa bangunan-bangunan Bali.

    Sejalan dengan perkembangan jaman, peradaban manusia juga berkembang dalam

    berbagai aspek kehidupan, dan menuntut ruang-ruang yang semakin beragam untuk

    menampung aktifitas yang semakin banyak jenisnya. Sementara arus perkembangan

    global tersebut tidak mungkin dibendung, di sisi lain lontar-lontar yang menjadi pedoman

    pelaksanaan arsitektur Bali tidak menjangkau sejauh itu. Dalam arti, secara eksplisit tidak

    ada ketentuan khusus untuk berbagai bangunan yang muncul di jaman modern ini. Tetapi

    secara implisit, terdapat pedoman-pedoman yang secara umum dapat dipertimbangkan.

    Misalnya keberadaan dengan lingkungan sekitar, tentang tata nilai ruang dan sebagainya.

    Sementara itu keunikan arsitektur yang juga merupakan daya tarik wisata ini,

    perlu dilestarikan dalam arti tidak harus ditampilkan persis seutuhnya seperti aslinya.

    Namun mengingat fungsi-fungsi yang diwadahi semakin beraneka macam, maka

    pelestarian dapat dilakukan dengan mengadopsi beberapa elemen bangunan Bali.

    Memelihara dan mengembangkan arsitektur Bali ini telah direspon oleh

    Pemerintah Daerah Bali, dengan menerbitkan peraturan daerah (PERDA) nomor 5 tahun

    2005 tentang arsitektur yang dibangun di Bali. Peraturan ini sebetulnya bukan hal baru,

    karena sesungguhnya peraturan tahun 2005 ini adalah semacam penyesuaian terhadap

    Perda no 2, 3 dan 4 tahun 1974 yang mengatur hal yang sama. Jadi kepedulian

    masyarakat terhadap keberadaan arsitektur Bali sudah mendapat tanggapan positif dari

    pemerintah sejak 40 tahun yang lalu.

    Persoalan sekarang adalah fakta di lapangan. Masih banyak dapat dijumpai

    bangunan-bangunan yang sangat jauh dari nuansa Bali. Dengan kata lain hal ini adalah

    pelanggaran terhadap perda. Adapun alasannya, solusi harus dicarikan agar tujuan Perda

    untuk menciptakan lingkungan yang bernuansa Bali tidak sia-sia. Di lain pihak, para

    perancang (arsitek) dihadapkan pada kondisi, dimana mereka memiliki idealisme yang

    tinggi untuk mencipatakan desain yang selalu baru, sementara itu di Bali ada peraturan

    Daerah yang membatasi.

    Pada situasi seperti inilah para arsitek mesti menggali atau memunculkan

    gagasan-gagasan kreatif dengan melihat kekayaan lokal yang ada. Salah satu cara yang

  • 3

    dapat dilakukan untuk tidak menyimpang dari peraturan Daerah yang ada, misalnya

    dengan cara merancang di jalur arsitektur regionalisme, karena arsitektur regionalisme

    adalah arsitektur universal (modern sekalipun) dengan memanfaatkan kearifan lokal yang

    ada. Dalam hal ini adalah arsitektur Bali.

  • 4

    BAB II

    TINJAUAN TEORI

    2.1 Pengertian Arsitektur Regionalisme

    Regional menurut kamus Bahasa Indonesia adalah bersifat daerah atau

    kedaerahan sedangkan pada awalnya regionalisme telah dihubungkan pada „pandangan

    identitas‟ (Frampton, dan Buchanan). Pengertian ini timbul karena keterpaksaan

    menerima tekanan modernisme yang menciptakan „universlim‟ (Buchanan): melalikan

    „kualitas kehidupan‟ (Spence) atau jiwa ruang (Yang); dan mengambil „kesinambungan‟

    (Abel).

    Arsitektur tradisional tidak menyatu dalam desain modern. Karena arsitektur

    tradisional mungkin memiliki karakteristik sendiri untuk setiap wilayah; menciptakan

    kualitas kehidupan terbaik dalam sebuah masyarakat tradisional dan menjadi sangat

    responsif atas kondisi georgrafis dan iklim dalam suatu tempat tertentu; dan

    menunjukkan sebuah kesinambungan dalam hasil karya arsitektural dari masa lalu ke

    masa kini. Tapi bukanlah suatu cara yang sederhana untuk membutuhkan pengertian yang

    luas dan terbuka atas budaya internasional (Chardirji).

    Siswanto (1997) mengatakan, Arsitektur yang berwawasan identitas memilih

    kesamaan visi dengan gerakan arsitektur terutama didunia ketiga yang sering dilabel.

    „regionalisme‟dalam pandangan ini gerakan arsitektur tradisional, baik yang high sytle;

    maupun merakyat dipercaya mampu mempresentasikan sosok arsitektur yang sudah

    terbukti ideal, sebuah harmoni yang lengkap dan built-form,culture,place and climate.

    Oleh karena itu misi gerakan ini adalah untuk mengembalikan kontinuitas rangkaian

    arsitektur masa kini dengan kekhasan arsitektur masa lampau pada suatu wilayah tertentu

    yang dominan (regional kultur).

    Siswanto (1997) mengatakan seni, ornamentasi, simbolisme unsur yang esensial

    dalam membangun identitas dan makna budaya arsitektur universitas sumatera utara

    menjadi „laku‟ kembali sehingga sistem produksi arsitektur pun semakin terbuka

    peluangnya bagi tukang, pengrajin, produsen, bahan bangunan, yang bersifat lebih

    komunal. Dengan demikian „strategi kebudayaan‟ semacam ini mendorong sektor

    ekonomi kerakyatan menjadi semakin produktif, juga meninggalkan nilai apresiatif dan

  • 5

    kebanggaan pada kebudayaan lokal. Regionalisme bertujuan untuk mengungkap

    kemungkinan-kemungkinan mereka berakar. Regionalisme tergantung pada kesadaran

    politis bersama antara masyarakat dan kaum profesional. Persyaratan-persyaratan

    lahirnya ekspresi ini, selain kemakmuran yang memadai juga diperlukan keinginan yang

    tegar untuk melahirkan „identitas‟.

    Beberapa pemikiran para ahli tentang definisi Regionalisme dalam Arsitektur antara

    lain:

    a. Peter Buchanan (1983)

    Mendefinisikan regionalisme adalah kesadaran diri yang terus menerus, atau

    pencapaian kembali, dari identitas atau simbolik. Berdasarkan atas situasi khusus dan

    mistik budaya lokal, regionalisme merupakan gaya bahasa menuju kekuatan nasional dan

    umum arsitektur modern, seperti budaya lokal itu sendiri, regionalisme lebih sedikit

    diperhatikan dengan hasil secara abstrak dan nasional, lebih kepada penampakan fisik

    yang lebih dalam nuansa pengalaman hidup.

    b. Amos Rapoport

    Menyatakan bahwa regionalisme meliputi berbagai kekhasan tingkat daerah dan

    dia dinyatakan bahwa secara tidak langsung identitas diakui dalam hal kualitas dan

    keunikan membuatnya berbeda dari daerah lain. Hal ini memungkinkan mengapa

    arsitektur regional sering didentifikasikan dengan Vernakuler, yang berarti sebuah

    kombinasi antara arsitektur lokal dan internasional (asli).

    c. Tan Hock Beng (1994)

    Menyatakan bahwa regionalisme didefinisikan sebagai suatu kesadaran untuk

    membuka kekhasan tradisi dalam merespon terhadap empat dan iklim, kemudian

    melahirkan identitas formal dan simbolik.

    Berdasarkan hal diatas arsitektur regional oleh para arsitek diatas dapat

    disimpulkan sebuah definisi yang lebih lengkap yang mana didefinisi ini dapat diterima

    untuk segala jaman, yaitu definisi menurut Tan Hock Beng.

  • 6

    Berdasarkan definisi Tan Hock Beng dapat diklasifikasikan dalam 6 strategi

    regionalisme yaitu:

    1. Memperlihatkan identitas tradisi secara khusus berdasarkan tempat/daerah iklim.

    2. Memperlihatkan identitas secara formal dan simbolik ke dalam bentuk baru yang

    lebih kreatif.

    3. Mengenalnya sebagai tradisi yang sesuai untuk segala zaman.

    4. Menemukan kebenaran yang seimbang antara identitas daerah dan internasional.

    5. Memutuskan prinsip mana yang masih layak/patut untuk saat ini (aktual).

    6. Menggunakan tuntunan-tuntunan teknologi modern dari hal ini yang tradisionl

    digunakan sebagai elemen-elemen untuk langganan modern.

    Dari beberapa pengertian tersebut diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa

    regionalisme dalam arsitektur merupakan suatu gerakan dalam arsitektur yang

    mengajurkan penampilan bangunan yang merupakan hasil senyawa dari

    internasionalisme dengan pola cultur dan teknologi modern dengan akar, tata nilai dan

    nuansa tradisi yang masih dianut oleh masyarakat setempat.

    2.2 Sejarah Arsitektur Regionalisme

    Bermula dari munculnya arsitektur modern yang berusaha meningkatkan ciri-ciri

    dan identitas arsitektur sebelumnya. Pada berikutnya mulai timbul usaha untuk

    menggabungkan arsitektur lama dan yang baru akibat adanya krisis identitas pada

    arsitektur. Aliran-aliran tersebut antara lain adalah tradisionalisme, regionalisme, dan

    post-modernisme.

    Regionalisme diperkirakan berkembang sekitar tahun 1960 (Jencks, 1977).

    Sebagai salah satu perkembangan arsitektur modern yang mempunyai perhatian besar

    pada ciri kedaerahan, terutama tumbuh di negara berkembang. Adapun ciri kedaerahan

    yang dimaksud berkaitan erat dengan budaya setempat, iklim dan teknologi pada saatnya

    (Ozka, 1985). Selanjutnya Suha Ozkan membagi regionalisme menjadi dua yaitu

    “concrete regionalism” dan “abstract regionalism”

    “Concrete Regionalism” meliputi semua pendekatan kepada ekspresi

    daerah/regional dengan mencontoh kehebatannya, bagian-bagiannya atau seluruh

    bangunan di daerah tersebut. Apabila bangunan-bangunan tadi sarat dengan nilai spiritual

  • 7

    maupun perlambang yang sesuai, bangunan tersebut akan lebih dapat diterima di dalam

    bentuknya yang baru dengan memperlihatkan kenyamanan pada bangunan baru,

    ditunjang oleh kualitas bangunan lama.

    “Abstract Regionalism”, hal yang utama adalah menggabung unsur-unsur

    kualitas abstrak bangunan, misalnya massa, padat dan rongga, proporsi, rasa meruang,

    penggunaan pencahayaan dan prinsip-prinsip struktur dalam bentuk yang diolah kembali.

    Menurut Willaim Curtis, regionalisme diharapkan dapat menghasilkan bangunan yang

    bersifat abadi, melebur melebur dan menyatukan antara yang lain dan yang baru, antara

    regional dan universal.

    Secara prinsip, tradisionalisme timbul sebagai reaksi terhadap tidak adanya

    kesinambungan antara yang lama dan yang baru. Regionalisme merupakan peleburan

    atau penyatuan antara yang lama dan yang baru, sedangkan post modern berusaha

    menghadirkan yang lama dengan bentuk universal (Jencks, 1977).

    Menurut William Curtis, regionalisme diharapkan dapat menghasilkan bangunan

    yang bersifat abadi, melebur dan menyatukan antara yang lain dan yang baru, antara

    regional dan universal. Kenzo Tange, menjelaskan bahwa regionalisme selalu melihat

    kebelakang tetapi tidak sekedar menggunakan karakteristik regional untuk mendekor

    tampak bangunan. Arsitektur tradisional mempunyai lingkup regional sedangkan

    arsitektur modern mempunyai lingkup universal. Dengan demikian, maka yang menjadi

    ciri utama regionalisme adalah menyatunya Arsitektur Tradisional dengan Arsitektur

    Modern.

    2.3 Ciri-Ciri Regionalisme

    Adapun ciri-ciri dari pada arsitektur regionalisme adalah sebagai berikut :

    1. Mengguanakan bahan bangunan local dengan teknologi modern.

    2. Tanggap dalam mengatasi pada kondisi iklim setempat.

    3. Mengacu pada tradisi, warisan sejarah serta makna ruang dan tempat.

    4. Mencari makna dan substansi cultural, bukan gaya/style sebagai produk akhir.

    Kemunculannya juga bukan merupakan ledakan dari pada sikap emosional sebagai

    respon dari ketidak berhasilan dari arsitektur modern dalam memenuhi keinginan masing-

  • 8

    masing individu didunia, akan tetapi lebih pada proses pencerahan dan evaluasi terhadap

    kesalahan-kesalahan pada massa arsitektur modern.

    2.4 Jenis Regionalisme

    Menurut Suha Ozkan, regionalisme di bagi menjadi dua bagian yaitu :

    1. Concrete Regionalisme

    Meliputi semua pendekatan kepada ekspresi daerah/regional dengan mencontoh

    kehebatannya, bagian-bagiannya, atau seluruh bangunan daerah tersebut. Apabila

    bangunan-bangunan tadi memiliki nilai spiritual maupun sebagai simbol yang sesuai,

    maka bangunan tersebut akan lebih dapat diterima dalam bentuknya yang baru dengan

    memperlihatkan nilai-nilai yang melekat pada bentuk aslinya. Hal lain yang penting

    adalah mempertahankan kenyamanan pada bangunan baru, ditunjang oleh kualitas

    bangunan yang lama.

    a. Ekletik

    Ekletik merupakan bagian dari concrete regionalisme yang mengambil dan

    meniru bentuk nyata suatu bagian arsitektur budaya lokal dan

    mengaplikasikannya pada bangunan.

    Contoh :

    Penggunaan atap Masjid Raya Sumatra Barat yang mengambil bentuk atap

    Rumah Adat Minang, pengaplikasian ini termasuk ke dalam Ekletik

    Regionalisme karena secara nyata mengambil bentuk arsitektur budaya lokal.

    ARSITEKTUR REGIONALISME

    CONCRETE

    REGIONALISME

    ABSTRAC

    REGIONALISME

    EKLETIK

    REINTERPRETIF

    IKLIM

    POLA CULTURAL

    ICONOGRAFIS

  • 9

    b. Representatif

    Representatif merupakan bagian dari concrete regionalisme yang dimana

    langgam-langgam arsitektur diletakkan begitu tanpa memperhatikan fungsi

    dan filosofi sehingga mengubah makna yang sebenarnya.

    Contoh : Penempatan patung Dewa Ganesha yang diletakkan di depan pintu

    masuk yang seakan menandakan bahwa Dewa Ganesha adalah dewa penjaga

    pintu masuk. Sedangkan dalam filsafat agama hindu, Dewa Ganesha

    merupakan dewa penolak bala dan pemberi keselamatan. Berlatar belakang

  • 10

    mitologi tersebut, masyarakat awam banyak yang beranggapan bahwa Dewa

    Ganesha adalah dewa penjaga sehingga dalam implementasi dalam

    bangunannya diletakkan di depan pintu masuk.

    2. Abstract Regionalisme

    Dalam penerapannya hal yang utama adalah menggabungkan unsur-unsur dan

    kualitas abstrak bangunan, misalnya massa, solid, dan void, sense of space, pencahayaan,

  • 11

    dan prinsip-prinsi struktur dalam bentuk yang diolah kembali. Menggabungkan unsur-

    unsur kualitas abstrak bangunan misalnya massa, padat dan rongga, proporsi, rasa

    meruang, penggunaan pencahayaan dan prinsip-prinsip struktur dalam bentuk yang

    diolah kembali.

    a. Responsif dari iklim, didasarkan pada pendekatan klimatologi (iklim) muncul

    bangunan/elemen yang spesifik untuk mengoptimalkan bangunan yang

    responsif terhadap iklim. Contoh : Ken Yang Tower di Singapura.

  • 12

    b. Pola-pola budaya/perilaku, sebagai penentu tata ruang, hirarki, sifat ruang

    yang dipakai untuk membangun kawasan agar sesuai dengan keadaan sosial

    budaya masyarakat tersebut. Contoh : Penerapan Konsep Sanga Mandala

    Pada Rumah Bali Modern.

    c. Iconografis (simbol-simbol), memunculkan bangunan-bangunan modern yang

    baru tapi menimbulkan representasi (simbol masyarakat) makna-makna yang

    sesuai/khas. Contoh : Penggunaan Simbol-Simbol Pada Toilet Yang

    Menandakan Gender. Gender wanita disimbolkan dengan topeng ratu

    sedangkan gender pria disimbulkan dengan topeng raja.

  • 13

    2.5 Pola Arsitektur Regionalisme

    Ada dua pola dalam Arsitektur Regionalisme, yakni :

    1. Pola Derivativ

    Desainer yang bekerja dengan pola derivativ, sebenarnya meniru atau memelihara

    bentuk arsitektur tradisi atau vernakular, untuk fungsi bangunan baru atau

    modern, dalam hal ini kita melihat tiga kecenderungan, yakni :

    a. Tipologis, dimana arsitek berusaha untuk mengelompokan bangunan

    vernakular, kemudian memilih dan membangun salah satu tipe dianggap

    baik untuk kepentingan baru.

    b. Interpritif atau interpretasi, dimana arsitek berusaha untuk menafsirkan

    bangunan vernakular kemudian membangunnya untuk kepentingan baru.

    c. Konservasi, dimana perancang berusaha untuk mempertahankan bangunan

    lama yang masih ada, kemudian menyesuaikannya dengan kepentingan

    baru.

    2. Pola Transformatif

    Gagasan arsitektur regional yang bersifat transformatif, tidak lagi sekedar

    meniru bangunan lama. Tetapi berusaha mencari bentuk-bentuk baru, dengan titik

    tolak ekspresi bangunan lama baik yang visual maupun abstrak.

    Gagasan arsitektur yang bersifat visual dapat dilihat dari usaha

    pengambilan elemen-elemen bangunan lama yang dianggap baik, menonjol atau

    ekspresif untuk diungkapkan kepada bangunan baru. Pemilihan elemen yang

    dianggap baik ini disebut ekletik. Kemudian pastiche atau mencampu-baurkan

    beberapa elemen bangunan baik moden maupun tradisional, beberapa diantara

    desain bangunan seperti ini juga dapat menimbulkan kesan ketidakserasian.

    Sedangkan reinterpratif adalah menafsirkan kembali bangunan lokal itu dalam

    versi baru.

    Pencarian dan penafsiran bentuk-bentuk arsitektur tradisi ini pernah di

    kritik oleh arsitek Jepang Kenzo Tange, yang hanya akan melahirkan monster-

    monster arsitektur lokal. Namun tidak dapat disangkal bahwa, pola transpormasi

  • 14

    adalah salah satu cara untuk menciptakan arsitektur modern yang dapat

    merangsang kreativitas arsitek untuk menciptakan karya arsitektur baru dan

    modern, tetapi masih memperlihatkan karakter arsitektur lokal dari massa silam.

    Secara umum, pola transpormasi dapat diartikan perubahan bentuk lama ke

    bentuk baru.

    2.6 Aplikasi Regionalisme dalam Arsitektur

    Arsitek masa lalu dan arsitek masa kini secara visual luluh menjadi satu kesatuan.

    Menurut Wondoamiseno, kemungkinan-kemungkinan pengkaitan tersebut adalah :

    a. Tempelan elemen pada arsitektur masa lalu

    b. Elemen fisik arsitektur masa lalu menyatu dalam arsitektur masa kini

    c. Elemen fisik arsitektur masa lalu terlihat jelas dalam arsitektur masa kini

    d. Wujud arsitektur masa lalu mendominasi arsitektur masa kini

    e. Ekspresi wujud arsitektur masa lalu menyatu dalam arsitektur masa kini

    Untuk mengatakan bahwa arsitektur masa lalu menyatu dalam arsitektur masa

    kini, maka arsitektur masa lalu dan arsitektur masa kini secara visual harus merupakan

    kesatuan (unity). Kesatuan yang dimaksud adalah kesatuan dalam komposisi arsitektur.

    Apabila yang dimaksud menyatu bukan menyatu secara visual, misalnya kualitas abstrak

    bangunan berhubungan dengan perilaku manusia, maka secara penilaian dapat dengan

    menggunakan observasi langsung maupun tidak langsung.

    Untuk mendapatkan kesatuan dalam komposisi arsitektur ada tiga syarat utama,

    yaitu adanya :

    a. Dominasi

    Dominasi yaitu ada satu yang menguasai keseluruhan komposisi. Komposisi

    dapat dicapai dengan menggunakan warna, material maupun objek-objek

    pembentuk komposisi itu sendiri.

    b. Pengulangan

    Pengulangan di dalam komposisi dapat dilakukan dengan mengulang bentuk,

    warna, tekstur maupun proporsi. Didalam pengulangan dapat dilakukan

    dengan berbagai irama atau repetisi agar tidak terjadi kesenadaan(monotone).

  • 15

    c. Kesinambungan dalam komposisi

    Kesinambungan atau kemenerusan adalah adanya garis penghubung maya

    (garis imajiner) yang menghubungkan perletakan objek-objek pembentuk

    komposisi.

  • 16

    BAB III

    ARSITEKTUR REGIONALISME DI BALI

    Berdasarkan materi yang telah disampaikan tadi, dapat dilihat bahwa arsitektur

    regionalisme mengajak para arsitek untuk menonjolkan arsitektur nusantara agar nantinya

    arsitektur nusantara lebih berkembang. Selain itu juga bisa dapat menonjolkan ciri khas

    bangunan di setiap wilayah sesuai dengan bangunan ciri khas daerah setempat dengan

    dikombinasikan dengan arsitektur modern. Selain itu juga agar nantinya bangunan

    tersebut bisa menjadi identitas di masing-masing wilayah.

    Pada dasarnya, arsitektur regionalisme adalah arsitektur (yang mewadahi

    aktifitas) modern dengan mendapat sentuhan daerah setempat. Memang tidak dapat

    dipungkiri bahwa aktifitas dan pola kehidupan masyarakat tidak akan mandeg pada

    sebuah tradisi. Pengaruh perkembangan dan kemajuan jaman pastilah akan menuntut

    adanya wadah-wadah baru yang tidak/belum ada di kehidupan masyarakat tradisional.

    Tidak begitu sulit mewadahi aktifitas kehidupan dengan modernitas yang terus

    berkembang dengan mengembangkan desain arsitektur modern. Ini disebabkan desain

    arsitektur yang menampilkan struktur sebagai andalan estetika, banyak dijumpai pada

    bangunan-bangunan berskala besar. Misalnya sarana olahraga (stadion), taman rekreasi

    yang luas dan besar, bangunan perindustrian (pabrik) dan sebagainya.

    Bagaimana halnya jika aktifitas dan fungsi modern tersebut harus dirancng dan

    dibangun di suatu tempat yang memiliki peraturan bangunan khusus, seperti di Bali?

    Seperti diketahui Pemerintah Provinsi Bali telah memiliki Peraturan Daerah (Perda)

    nomor 5 tahun 2005, yaitu tentang arsitektur bangunan gedung. Peraturan ini juga

    merupakan penyempurnaan dari perda yang sudah ada di Bali sejak tahun 1974 dengan

    Peraturan Daerah Nomor 2,3 dan 4 tahun 1974. Isinya juga pada dasarnya mengatur agar

    bangunan-bangunan (arsitektur) di Bali tetap tampil dengan nuansa Bali.

    Peaturan yang bagus tersebut belakangan ini ternyata banyak tidak diikuti oleh

    para perancang dan pemilik bangunan. Barangkali ada semacam rasa untuk tampil beda

    dan lebih modern dibandingkan dengan bangunan-bangunan yang lahir sebelumnya.

    Sebut saja bangunan yang diberi nama arsitektur minimalis. Bangunan ini sesuai dengan

  • 17

    sebutannya (minimalis) menonjolkan tampilannya dengan permainan bidang dan warna

    saja. Kekayaan arsitektur lokal tidak mendapat tempat di sini.

    Lalu, apa yang bisa dilakukan? Di sinilah arsitektur regionalisme dapat menjadi

    alternatif. Jika arsitek beranggapan bahwa Perda menjadi hambatan untuk berkreasi,

    bukanlah hal yang tepat. Arsitek sesuai dengan kode etik profesi, mestinya turut dan taat

    pada peraturan yang ada, di mana pun rancangannya akan dibangun. Kreatifitas bukanlah

    berarti dapat berbuat apa saja. Arsitek yang baik dan benar adalah arsitek yang mampu

    menuangkan kreasinya tanpa melanggar peraturan.

    Berbicara tentang membangun di Bali yang memiliki peraturan daerah, para

    perancang dapat memanfaatkan kekayaan budaya lokal yang ada. Pakem-pakem yang ada

    seperti kepala, badan, dan kaki tidaklah sulit untuk diterapkan. Beberapa jenis kontruksi

    yang ada di Bali sebetulnya dapat menjadi inspirasi untuk menciptakan sistem struktur

    yang estetis. Apalagi sistem struktur pada arsitektur Bali, tampil tanpa ditutupi atau

    dengan kata lain di ekspos. Keberadaanya mudah dilihat sehingga mudah dipersepsi

    mulai dari struktur tiang, struktur rangka atap dan sebagainya. Ditambah lagi dengan

    adanya beberapa sistem struktur yang unik yng sering dijumpai pada bangunan-bangunan

    publik (wantilan), bangunan peribadatan (kompleks pura), dan sebagainya.

  • 18

    Kemudian inspirasi juga bisa muncul dari kekayaan ragam hias yang ada di Bali.

    Ragam hias ini tidak hanya bisa dilihat pada bangunan tetapi juga banyak di jumpai pada

    peralatan upacara, busana penari, peralatan rumah tangga dan sebagainya. Sebagaimana

    diketahui ragam hias di Bali ada tiga golongan yaitu : pepatran, kekarangan, dan

    keketusan. Motif-motif yang muncul dari ketiga aspek tersebut berupa alam hewan, alam

    tumbuh-tumbuhan, dan petikan-petikan dari unsur alam lainnya merupakan pilihan yang

    sangat kaya. Motif-motif tersebut bisa ditempatkan pada bagian kepala, badan dan kaki

    bangunan sesuai dengan kebutuhan. Para arsitek tentu dapat mengembangkan

    kreativitasnya berdasarkan motif-motif tersebut tanpa harus meniru persis seperti aslinya.

    Contoh salah satu patra :

  • 19

    Contoh beberpa kekarangan :

  • 20

    Contoh beberapa keketusan :

  • 21

    Selain daripada itu masyarakat awam dapat merasakan lokalitas Bali yang kuat

    dengan penggunaan material bangunan yang berasal dari daerah setempat (Bali). Bagi

    orang awam, penggunaan material lokal tersebut jika diolah dengan memadukan elemen

    ornamen tersebut di atas adalah merupakan pencerminan arsitektur Bali. Disini pun para

    arsitek dapat mengembangkan kreativitasnya untuk menampilkan karakter lokal yang

    kuat tanpa harus menggunakan bahan-bahan asli lokal. Dengan kata lain bahan-bahan

    produk industri masal dapat juga menjadi pilihan.

    Salah satu Hotel di Kuta (Padma Resort) mencerminkan nuansa Bali meskipun material

    bangunannya bukan eks lokal.

  • 22

    Bangunan dengan fungsi modern bisa memunculkan nuansa Bali dengan sentuhan

    arsitektur Regionalisme.

    Penggunaan material pabrikasi ini juga bisa menjadi solusi untuk mengatasi

    semakin terbatasnya ketersediaan material lokal. Ditambah lagi dengan isu-isu

    lingkungan yang menyatakan keprihatinan terhadap eksploitasi alam apalagi jika

    dilakukan secara ilegal. Misalnya penggalian batu paras di berbagai tempat, batu karang,

    batu kali di daerah aliran sungai dan sebagainya. Jadi terhadap keadaan ini material hasil

    olahan pabrik dapat menjadi pilihan. Apalagi pada umumnya material dari pabrik

    ukurannya sudah presisi, tekstur dan warnanya beraneka ragam dan sering kali

    pengerjaannya bisa lebih cepat.

  • 23

    Contoh di Bandara Ngurah Rai bahan yang digunakan adalah bahan pabrikasi tapi setelah

    diolah, tampilanya bisa mengekspresikan suasana Bali.

  • 24

    Dengan diskusi yang tersebut diatas dapatlah dikatakan bahwa peraturan daerah

    bukanlah sesuatu yang menjadi hambatan bagi arsitek untuk berkreasi. Sepanjang arsitek

    sadar akan kode etiknya dan mempunyai komitmen yang kuat maka berkreasi bisa

    dilakukan tanpa harus terbelenggu oleh peraturan.

  • 25

    BAB IV

    PENUTUP

    4.1 Kesimpulan

    Dari uraian yang telah tersaji pada bab-bab sebelumnya dapatlah dikatakan bahwa

    Bali memiliki kekayaan arsitektur yang patut untuk dilestarikan. Untuk ini pemerintah

    daerah sudah memiliki peraturan yang bertujuan untuk tetap terpeliharanya arsitektur Bali

    meskipun penampilannya tidak harus sesuai persis dengan aslinya. Hal ini untuk

    mengantisipasi kemungkinan bahwa perkembangan jaman menuntut adanya ruang-ruang

    baru yang sebelumnya tidak ada pada arsitektur Bali terdahulu.

    Hanya saja kondisi di lapangan terlihat masih banyak bangunan-bangunan yang

    tampilannya tidak mentaati peraturan tersebut. Padahal jika diperhatikan dengan seksama

    keberadaannya masih memiliki peluang untuk dapat diberikan sentuhan-sentuhan yang

    bernuansa Bali. Misalnya pada kolom, dinding, dan atapnya. Hal-hal yang bisa

    dipergunakan misalnya mengambil dari sistem struktur bangunan Bali dan juga ragam

    hias yang sangat kaya di Bali.

    Arsitektur regionalisme sebagai mana sudah terlihat pada bab 2 merupakan

    saluran yang dapat mengakomodir tuntutan berkreasi tanpa harus terbelenggu oleh

    peraturan daerah. Arsitektur regionalisme dapat menampilkan desain yang bernuansa

    lokal tanpa harus merasa tidak mengikuti gaya modern. Lokalitas melalui arsitektur

    regionalisme antara lain dapat ditempuh melalui pemilihan sistem struktur, ragam hias

    dan material bahan bangunan setempat.

    4.2 Saran

    Mestinya para arsitek (para perancang) tetap mentaati kode etik dan berkomitmen

    untuk ikut melestarikan kekayaan warisan budaya Bali dibidang arsitektur melalui karya-

    karya kreatif yang terus dapat dikembangkan tanpa kehilangan lokalitasnya. Para arsitek

    mestinya juga menyampaikan kepada para pemilik bangunan bahwa pemilik bangunan

    tidak boleh memaksakan kehendaknya untuk meminta desain yang tidak taat pada

    peraturan daerah. Untunglah dalam hal ini jika pemilik bangunan adalah instansi

  • 26

    pemerintah, disini dapat diterapkan dengan lebih mudah peraturan yang ada tersebut,

    seperti bangunan kantor, sekolah, bangunan publik dan sebagainya.

    Upaya-upaya untuk menciptakan desain arsitektur yang mentaati peraturan, dapat

    dilakukan melalui berbagai saluran (stakeholder). Di Bali yang dikenal memiliki sistem

    banjar, dapat memanfaatkan acara-acara dibanjar (terutama pada saat rapa/paruman),

    dengan melakukan sosialisasi. Baik oleh aparat banjar, maupun oleh instansi pemerintah

    dengan meminjam tempat dan waktu dibanjar.

    Demikian pula stakeholder lain, dapat melakukan hal serupa. Misalnya organisasi

    profesi seperti ikatan arsitek Indonesia (IAI), Ikatan Nasional Consultan Indonesia

    (INKINDO), Gabungan Pelaksana Kontruksi Nasional Indonesia (GAPENSI), ikatan ahli

    planologi (IAP) Indonesia, dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut bahkan paling

    berdiri paling depan dalam menegakkan peraturan. Dan pemahaman tentang arsitektur

    regionalisme, sebagai salah satu pilihan, mestinya tidak sulit bagi mereka untuk

    mengimplementasikan.

  • 27

    DAFTAR PUSTAKA

    Acwin Dwijendra, Ngakan Ketut, 2009 :ARSITEKTUR & KEBUDAYAAN BALI KUNO;

    CV. Bali Media Adhikasa dan Udayana University

    Press; Denpasar.

    Budihardjo, Eko 1995 :ARCHITECTURAL CONSERVATION IN BALI;

    Gadjah Mada; University; Press; Yogyakarta.

    Gelebet, I Nyoman, Ir, 1981/1982 :ARSITEKTUR TRADISIONAL DAERAH BALI;

    Departemen Pendidikan dan Kebudayaan – Proyek

    Inverentasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.

    H.K. Ishar, 1992 :PEDOMAN UMUM MERANCANG

    BANGUNAN; PT. Gramedia Pustaka Utama;

    Jakarta.

    Mangunwijaya, Y.B.Dipl.Ing, 1980 :DASAR-DASAR PENGHANTAR FISIKA

    BANGUNAN; PT. Gramedia Jakarta; 1980

    Soetiadji, Setyo, Ir., 1986 : ANATOMI ESTETIKA; Penerbit Djambatan;

    Jakarta.

    Zahd, Markus, 2013 :PENDEKATAN DALAM PERANCANGAN

    ARSITEKTUR; Penerbit Kanisius dan

    Soegijapranata University Press.