Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

99
ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA Oleh: Suleman Batubara, SH., MH Sebelum menjelaskan tentang pengertian arbitrase, ada baiknya dijelaskan pengertian tentang arbiter terlebih dahulu. Arbiter dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 Tentang Susunan Kekuasaan dan Jalannya Pengadilan Mahkamah Agung di Indonesia pasal 15, arbiter diistilahkan dengan wasit.[1] Arbiter dalam Arbitration Act 1950 negara Inggris, selain menggunakan istilah arbitrator juga dipakai istilah umpire yang pengertiannya sama dengan scheidsman dalam bahasa Belanda. Istilah dalam pengertian ini lebih ditujukan kepada majelis arbitrase atau arbiter tunggal.[2] Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum, arbiter di definisikan sebagai berikut ; Seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase.[3] Dalam Black Law Dictionary arbiter diartikan sebagai berikut ;

Transcript of Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Page 1: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

Oleh: Suleman Batubara, SH., MH

Sebelum menjelaskan tentang pengertian arbitrase, ada baiknya dijelaskan pengertian tentang arbiter

terlebih dahulu. Arbiter dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 Tentang Susunan Kekuasaan dan Jalannya

Pengadilan Mahkamah Agung di Indonesia pasal 15, arbiter diistilahkan dengan wasit.[1] Arbiter dalam Arbitration

Act 1950 negara Inggris, selain menggunakan istilah arbitrator juga dipakai istilah umpire yang pengertiannya sama

dengan scheidsman dalam bahasa Belanda. Istilah dalam pengertian ini lebih ditujukan kepada majelis arbitrase atau

arbiter tunggal.[2]

            Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa Umum, arbiter di definisikan sebagai berikut ;

Seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh

Pengadilan Negeri atau lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa

tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase.[3]

Dalam Black Law Dictionary  arbiter diartikan sebagai berikut ;

A person chosen decide a controversy; an arbitrator, referee. Aperson bound to decide

according to the rules of law and equality, as distinguished from and arbitrator, so that it be

according to the judgment of a sound man. See arbitrator.

            Dari beberapa pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa arbiter atau wasit

atau umpire adalah seorang pihak ketiga yang netral yang dapat dipilih oleh para pihak yang

bersengketa berdasarkan kesepakatannya atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri maupun

suatu lembaga arbitrase yang bertugas untuk membantu mereka dalam penyelesaian

sengketanya. Pada prinsipnya tugas dari pada seorang arbiter adalah memeriksa, mengadili dan

Page 2: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

memutus sengketa yang diserahkan kepadanya baik secara konsiliasi atau perdamaian maupun

melalui suatu keputusannya.

A.           Pengertian arbitrase

Dalam bab pertama secara singkat telah dibicarakan tentang pengertian arbitrase ini,

namun dalam pragraf ini akan dicoba untuk membahas lebih khusus dan spesifik. Seperti telah

dijelaskan pada pragrap pertama, bahwa arbitrase adalah sebagai salah pranata penyelesaian

sengketa (disputes) perdata (pivate) diluar pengadilan (non-litigation) dengan dibantu oleh

seorang atau beberapa orang pihak ketiga (arbiter) yang bersifat netral yang diberi kewenangan

untuk membantu para pihak menyelesaikan sengketa yang sedang mereka hadapi.[4]

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini didasarkan pada perjanjian atau klausula arbitrase

(arbitration clause), yang dibuat secara tertulis oleh para pihak baik sebelum maupun setalah

timbulnya sengketa.

Arbitrase apabila dilihat dari suku katanya berasal dari bahasa latin yaitu arbitrare, yang

mempunyai arti kebijaksanaan. Oleh karena itu R. Subekti dalam bukunya yang berjudul

Arbitrase Perdagangan mengatakan bahwa arbitrase adalah suatu bentuk penyelesaian sengketa

yang proses dibantu oleh seorang pihak ketiga dengan menggunakan kebijaksanaannya.[5]

Sedangkan dalam  islam arbitrase sering disebut dengan istilah al-tahkim yang merupakan bagian

dari al-qadla (pengadilan).[6]

Pengertian tersebut di atas, apabila dihubungkan dengan arbitrase itu sendiri dapat

menimbulkan kesalahpahaman pengertian tentang arbitrase itu sendiri. Hal ini dikarenakan

pengertian yang demikian akan menimbulkan kesan seolah-olah seorang arbiter atau suatu

majelis arbitrase dalam memeriksa dan memutus suatu sengketa tidak akan mengindahkan

norma-norma hukum lagi dan hanya menyandarkan pada kebijaksanaannya saja. Pengertian ini

adalah keliru sebab seorang arbiter atau majelis arbitrase dalam memeriksa, mengadili dan

memutus suatu sengketa terikat dengan norma-norma hukum perundang-undangan yang ada,

dengan kata lain arbiter dalam memutus suatu sengketa tidak hanya didasarkan pada kebebasan

arbiter semata. Oleh sebab itu kemudian R. Subekti memberikan pengertian tentang arbitrase

sebagai berikut ;

Page 3: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim

berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau mentaati keputusan yang

diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.[7]

Sedangkan menurut Frank Alkoury dan Eduar Elkoury memberikan definisi tentang

arbitrase adalah sebagai berikut ;

Suatu proses yang mudah dan simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin

agar perkaranya diputus oleh juru sita yang netral sesuai dengan pilihan mereka, dimana putusan

mereka didasarkan pada dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk

menerima putusan tersebut secara final dan mengikat.[8]

Dari beberapa pengertian tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa arbitrase

adalah ;

1.            Merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non-litigation).

2.            Penyelesaian sengketa melalui arbitrase didasarkan pada kesepakatan para pihak yang dibuat

secara tertulis baik sebelum maupun setelah timbulnya sengketa.

3.            Dalam proses penyelesaiannya, para pihak dibantu oleh seorang pihak ketiga yang netral yang

disebut dengan istilah arbiter.

4.            Arbiter atau wasit dapat dipilh langsung oleh para pihak dapat juga ditunjuk oleh pengadilan

negeri atau suatu lembaga arbitrase.

5.            Keputusan yang diberikan oleh arbiter atau wasitnya bersifat final dan binding.

B.           Jenis-Jenis Arbitrase

Mengacu pada Konvensi-Konvensi Internasional seperti ; Convention of the Settlement of

Invesment Disputes Between State and National Other States atau Convention on the

Recognation and Enforcement of Foreign Arbitral Award maupun berdasarkan ketentuan-

Page 4: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

ketentuan yang terdapat dala UNCITRAL Arbitration Rules, maka jenis-jenis arbitrase dapat

diklasifikasikan sebagai berikut ;

        Arbitrase ad hoc (volunter)

Arbitrase ad hoc adalah suatu badan arbitrase yang dapat dibentuk baik setelah maupun

sebelum timbulnya sengketa dan akan berakhir pada saat selesainya sengketa tersebut.

Pembentukan arbitrase ad hoc ini didasarkan pada kesepakatan para pihak yang bersengketa.

            Dalam arbitrase ad hoc ini formalitas-formalitas dan prosedur pelaksanaan arbitrase,

diserahkan atau ditentukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa. Formalitas dan prosedur

yang diberikan untuk ditentukan oleh para pihak sebelum dilaksanakannya proses arbitrase

tersebut seperti ; penentuan tempat dimana arbitrase dilangsungkan, jumlah arbiter, peraturan

beracaranya, cara pemilihan arbiter dan bagaimana pelaksanaan dari putusan arbitrase itu sendiri

nantinya. Gunawan Wijaya memberikan definisi tentang arbitrase ad hoc ini adalah sebagai

berikut ;

Suatu arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan sengketa

tertentu, arbitrase ini bersifat insidental dan jangka waktunya tertentu yaitu sampai sengketa

tersebut diputuskan.[9]

Sumargono memberikan definisi tentang arbitrase adalah sebagai berikut;

Arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu, atau

dengan kata lain arbitrase ad hoc bersifat insidentil.[10]

Dari kedua pengertian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa arbitrase ad hoc ini adalah

suatu badan arbitrase yang dapat dibentuk baik setelah maupun sebelum timbulnya sengketa.

Dalam jenis arbitrase ini para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri bagaimana

cara pemilihan arbiter dilakukan, kerangka kerja, prosedur arbitrase dan aparatur administratif

dari arbitrase.[11] Oleh karena itu Suyud Sumargono mengatakan bahwa ciri pokok dari

arbitrase ad hoc ini adalah penunjukan arbiternya secara perorangan.

        Arbitrase Institusional (institusional arbitration)

Page 5: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Dalam pasal 1 ayat 2 Konvensi New York 1958 arbitrase institusional ini disebut dengan

istilah permanent arbitral body.[12] Hal ini dikarenakan bentuk dan sifat dari arbitrase ini

sendiri, yaitu suatu arbitrase yang dibentuk oleh suatu organisasi tertentu dan bersifat tetap atau

permanent. Menurut Gunawan Wiajaya arbitrase institusional adalah lembaga atau badan

arbitrase yang bersifat tetap. Lembaga ini sengaja didirikan oleh suatu organisasi tertentu dan

bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang timbul dari suatu perjanjian.[13]

Sifatnya yang permanent dan menetap dari badan arbitrase institusional ini merupakan

suatu ciri pembeda yang utama dari arbitrase ad hoc. Badan arbitrase institusional selain bersifat

permanent atau tetap pendiriannya juga tidak didasarkan pada ada tidaknya sengketa, dengan

perkataan lain bahwa badan arbitrase institusional ini sudah berdiri sebelum timbulnya sengketa.

Hal ini adalah merupakan suatu pembeda antara badan arbitrase institusional dan arbitrase yang

bersifat ad hoc, karena arbitrase yang bersifat ad hoc ini biasanya didirikan setelah timbulnya

sengketa.

Dari sifatnya yang sementara serta ketidaktetapan dari arbitrase yang bersifat ad hoc ini,

maka dalam tataran prakteknya sering  mengalami hambatan seperti; kesulitan dalam melakukan

negosiasi, menetapkan aturan-aturan prosedural dan penetapan cara pemilihan arbiter yang

disetujui oleh kedua belah pihak. Kelemahan-kelemahan tersebut di atas secara tidak mutlak

merupakan kelebihan dari badan arbitrase institusional.

Untuk mengatasi beberapa kesulitan tersebut di atas, maka para pihak yang bersengketa

sering memilih badan arbitrase yang bersifat institusional dalam rangka penyelesaian sengketa

yang mereka hadapi. Dengan kata lain pada tataran praktek arbitrase yang bersifat institusional

ini lebih diminati karena dirasakan mempunyai keunggulan dibanding arbitrase yang bersifat ad

hoc.

Badan arbitrase institusional ini apabila dilihat dari sudut ruang lingkupnya, maka dapat

diklasifikasikan kedalam tiga kelompok yaitu;

Arbitrase Institusional Nasional (national arbitration)

Menurut Ridwan Widiastoro, arbitrase nasional yaitu penyelesaian suatu sengketa

melalui badan arbitrase yang dilakukan di dalam satu atau negara dimana unsur-unsur yang

terdapat didalamnya memiliki nasionalitas yang sama.[14] Pengertian nasionalitas yang sama

menurut beliau dalam hal ini adalah seperti; adanya persamaan kewarganegaraan diantara para

Page 6: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

pihak, domisili yang sama, sistem dan budaya hukum yang sama. Sedangkan menurut Gunawan

Wijaya arbitrase nasional adalah arbitrase yang ruang lingkup keberadaan dan yurisdiksinya

hanya meliputi kawasan negara yang bersangkutan.[15] Dari uraian di atas tentang arbitrase

nasional, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu arbitrase dapat dikatakan bersifat nasional

apabila ;

1.      Unsur-unsur yang terdapat di dalam perjanjian arbitrasenya hanya bersifat nasional.

2.      Arbitrase tersebut hanya berskala nasional bila dilihat dari kawasan atau teritorialnya.

Beberapa contoh arbitrase institusional nasional antara lain ;

a.       Badan Arbitrase Nasional Indonesia, merupakan badan arbitrase nasional negara Indonesia yang

didirikan oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN).

b.      The Netherlands Arbitration Institute, yaitu pusat arbitrase nasional negara Belanda.

c.       The Japanese Commercial Arbitration Association, sebagai pusat arbitrase nasional Jepang

dalam lingkungan KADIN Jepang.

B.           Arbitrase Institusional Internasional (international arbitration)

Arbitrase Internasional ini menurut Riwan Widiastoro adalah kebalikan dari arbitrase

nasional yaitu penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase yang dapat dilakukan di luar

maupun di dalam suatu negara salah satu pihak yang bersengketa dimana unsur-unsur yang

terdapat didalamnya memiliki nasionalitas yang berbeda satu sama lain (foreign element).[16]

Menurut Sudargo Gautama yang dimaksud dengan unsur asing (foreign element) dalam suatu

perjanjian arbitrase adalah sebagai berikut ;

Pertama, para pihak yang membuat klausula atau perjanjian arbitrase pada saat membuat

perjanjian itu mempunyai tempata usaha (place of business) mereka di negara-negara yang

berbeda. Kedua, jika tempat arbitrase yang ditentukan dalam perjanjian arbitrase ini letaknya di

luar negara tempat para pihak mempunyai usaha mereka. Ketiga, jika suatu tempat dimana

bagian terpenting kewajiban atau hubungan dagang para pihak harus dilaksanakan atau tempat

dimana obyek sengketa paling erat hubungannya (most closely connected) letaknya diluar negara

tempat usah para pihak. Keempat, apabila para pihak secara tegas telah menyetujui bahwa

obyek perjanjian arbitrase mereka ini berhubungan dengan lebih dari satu negara.[17]

Page 7: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Dari uraian tersebut terlihat jelas perbedaan antara arbitrase nasional dengan arbitrase

internasional. Perbedaan kedua jenis arbitrase ini terletak pada unsur-unsur yang terdapat di

dalam perjanjian arbitrase itu sendiri. Seperti telah diuraikan di atas, bahwa suatu arbitrase

dikatakan bersifat nasional apabila unsur-unsur yang terdapat di dalam perjanjian arbitrase

tersebut hanya mengandung unsur-unsur yang bersifat nasional, sedangkan arbitrase

internasional adalah suatu arbitrase yang di dalam perjanjian arbitrasenya terdapat unsur-unsur

asing.

Adapun contoh-contoh daro lembaga arbitrase ini antara lain ;

1.            Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce (ICC). Merupakan pusat

arbitrase internasional yang didirikan di Paris pada tahun 1919.

2.            The International Center For Settlement of Investment Disputes (ICSID). Arbitrase ini adalah

badan arbitrase yang bersifat internasional yang mengatur tentang sengketa investasi yang

berskala internasional.

3.            United Nation Commission on International Trade Law (UNCITRAL).

Arbitrase Institusional Regional (regional arbitration).

Arbitrase institusional regional adalah suatu lembaga arbitrase yang lingkup keberadaan

dan yurisdiksinya berwawasan regional seperti ; Regional Center for Arbitration yang didirikan

oleh Asia-Afrika Legal  Consultative Committee (AAALC).

B. Dasar Hukum Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Arbitrase

Seperti telah dijelaskan pada bab pertama, bahwa adanya arbitrase selain didasarkan pada

ada tidaknya kesepakatan (perjanjian) diantara para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka

melalui lembaga arbitrase juga didasarkan pada sah tidaknya klausula arbitrase itu sendiri. [18]

Dalam pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan bahwa syarat sahnya suatu perjanjian harus

memenuhi empat syarat yaitu;[19]

1.      Adanya kesepakatan diantara para pihak.

2.      Para pihak harus cakap melakukan perbuatan hukum.

Page 8: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

3.      Kesepakatan tersebut mengenai hal tertentu.

4.      Obyek dari kesepakatan tersebut harus mengenai sebab yang halal

Syarat sahnya perjanjian tersebut oleh R. Subekti dikelompokkan kedalam dua kelompok

yaitu syarat yang bersifat subyektif dan syarat yang bersifat obyektif.[20]

Syarat obyektif mengenai hal tertentu di atas, apabila ditinjau dari Undang-Undang No.

30 Tahun 1999 sebagaimana terdapat dalam pasal 5 menyebutkan bahwa ;[21]

(1)   Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan

mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya

oleh pihak yang bersengketa.

(2)   Sengkata yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut

peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.

Pengertian perdagangan yang dimaksud dalam pasal tersebut di atas, dapat dilihat dari

penjelasan pasal 66 huruf b menyebutkan bahwa sengketa-sengketa yang dapat diarbitrasekan

(obyek) arbitrase adalah sengketa dalam ruang lingkup hukum dagang yaitu sebagai berikut;[22]

Yang dimaksud dengan “ruang lingkup hukum perdagangan” adalah kegiatan-kegiatan antara

lain dibidang :

-          perniagaan;

-          perbankan;

-          keuangan;

-          penanaman modal;

-          industri;

-          hak kekayaan intelektual.

Dari penjelasan pasal 66 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tersebut di atas, dapat

dikatakan bahwa obyek sengketa arbitrase hanyalah sengketa dalam ruang lingkup hukum

perdagangan yaitu; di bidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal dan industri.

Ketentuan ini secara logis analogis dapat dikatakan bahwa suatu klausula arbitrase yang obyek

Page 9: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

sengketa (hal tertentu) di luar ruang lingkup atau di luar bidang-bidang tersebut di atas adalah

batal demi hukum.

Pada pragraf terdahulu syarat sahnya perjanjian ini oleh R. Subekti dikelompokan

kedalam dua kelompok yaitu syarat subyektif dan obyektif. Hal ini dikarenakan adanya

perbedaan akibat hukum yang ditimbulkan apabila salah satu dari kedua kelompok syarat sahnya

perjanjian tersebut tidak terpenuhi dalam suatu perjanjian. Menurut beliau suatu perjanjian yang

tidak memenuhi syarat subyektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila

suatu perjanjian tidak terpenuhi syarat obyektif, maka perjanjian tersebut adalah batal demi

hukum.[23]

Pengertian antara dapat dibatalkan dengan batal demi hukum adalah berbeda satu sama

lain. Suatu perjanjian yang dapat dibatalkan mempunyai pengertian bahwa terhadap perjanjian

tersebut dapat dimintakan pembatalan kepada pengadilan oleh salah satu pihak yang merasa

haknya dirugikan dengan keadaan tersebut, dengan kata lain perjanjian tersebut adalah sah

apabila tidak dipermasalahkan oleh pihak yang dirugikan. Suatu perjanjian batal demi hukum

mempunyai pengertian bahwa, perjanjian tersebut sejak semula adalah tidak sah meskipun tidak

ada upaya pembatalan dari salah satu pihak. Oleh karena itu perjanjian yang batal demi hukum

ini sejak semula adalah tidak ada. Jadi secara analogi hak-hak dan kewajiban yang melekat di

dalam perjanjian tersebut dengan sendirinya batal demi hukum atau hapus secara otomatis.[24]

Syarat perjanjian tersebut di atas, apabila dihubungkan dengan klausula arbitrase maka

klausula arbitrase tersebut harus merupakan kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam

bentuk tertulis, harus dibuat oleh para pihak yang cakap melakukan perbuatan hukum, obyek

kesepakatan tersebut harus jelas serta harus mengenai sebab yang halal. Jadi suatu klausula

arbitrase harus memenuhi keempat syarat tersebut di atas agar klausula arbitrase tersebut sah

secara hukum dan dapat mengikat para pihak yang membuatnya. Klausula arbitrase yang dibuat

para pihak yang disebut di atas merupakan dasar hukum bagi semua pihak untuk menyelesaikan

sengketa yang mungkin timbul dikemudian hari. [25]

Klausula arbitrase apabila ditinjau dari Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 sebagaimana

terdapat dalam pasal 7 yang berbunyi “para pihak dapat menyetujui sengketa yang terjadi

diantara mereka diselesaikan melalui arbitrase”. Kata menyetujui dalam pasal tersebut

membuktikan bahwa suatu sengketa hanya dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase apabila

telah sama-sama disetujui para pihak, dengan kata lain tanpa adanya persetujuan dari para pihak

Page 10: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

untuk menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase maka sengketa tersebut tidaklah dapat

diselesaikan melalui lembaga arbitrase. Hal ini sejalan dengan syarat sahnya perjanjian yang

disebutkan di atas.

Kata persetujuan dalam pasal tersebut di atas apabila dikaitkan dengan pasal 9 Undang-

Undang No. 30 Tahun 1999 maka persetujuan tersebut harus dalam bentuk tertulis. Untuk lebih

jelasnya di bawah ini dituliskan bunyi dari pasal tersebut yaitu;[26]

(1)         Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi,

persetujuan mengenai hal tersebu harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang

ditandatangani para pihak.

(2)         Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tersebut sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam akta notaris.

(3)         Perjanjian tersebut sebagaimana dimaksud dala ayat (1) harus memuat;

a.       Masalah yang dipersengketakan;

b.      Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;

c.       Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase;

d.      Tempat arbiter atau majelis arbitrase mengambil keputusan;

e.       Nama lengkap sekretaris;

f.        Jangka waktu penyelesaian sengketa;

g.       Pernyataan kesediaan arbiter;

h.       Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang

diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase;

(4)         Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat batal demi hukum.

Apa yang disebutkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tersebut di atas

sebelumnya juga telah mendapat pengaturan dalam pasal 615 Reglement Verorodering (Rv) yang

menyebutkan bahwa pihak-pihak dapat mengikatkan dirinya satu sama lain untuk menyelesaikan

persengketaannya yang mungkin timbul kepada seorang atau beberapa orang arbiter.[27] Jadi

Page 11: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

jauh sebelum Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 ini ada penyelesaian sengketa melalui

lembaga arbitrase telah dikenal di Indonesia.

Klausula arbitrase apabila dikaitkan dengan asas kebebasan berkontrak sebagaimana

terdapat dalam pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa suatu perikatan yang dibuat

secara sah merupakan undang-undang bagi mereka yang membuatnya.[28] Prinsip ini menurut

Kartini Mulyadi dan Gunawan Wijaya merupakan asas kebebasan berkontrak (pacta

sunservanda).[29] Ketentuan ini apabila dikaitan dengan pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat-

syarat sahnya suatu perjanjian maka suatu klausula yang telah dibuat secara sah (memenuhi

syarat sahnya suatu perjanjian) maka klausula arbitrase tersebut merupakan suatu undang-undang

bagi mereka yang membuatnya.

 Klausula arbitrase ini dalam prakteknya dikenal dua macam yaitu pactum de

compromittendo dan akta kompromis. Dari segi yuridis kedua klausula arbitrase ini adalah sama,

unsur pembeda diantara kedua klausula arbitrase ini adalah waktu (timing) pembuatan dari pada

klausula arbitrase itu sendiri. Klausula arbitrase dalam bentuk pactum de compromittendo ini

dibuat sebelum timbulnya sengketa, sedangkan akta kompromis dibuat setelah timbulnya

sengketa. Jadi perbedaan diantara kedua klausula arbitrase ini hanyalah terletak pada saat

pembuatannya.

Hal lain yang juga menjadi pembeda dari pactum de compromittendo dengan akta

kompromis adalah pencantuman (penulisan) dari kedua klausula arbitrase itu sendiri. Pactum de

compromittendo biasanya dibuat bersamaan (menyatu) dengan perjanjian pokok, sedangkan akta

kompromis dibuat secara tersendiri (terpisah) dari perjanjian pokoknya.

Adanya perbedaan letak pencatuman dari klausula arbitrase ini dalam praktek sering

menjadi kendala, artinya akta kompromis yang dibuat terpisah dengan perjanjian pokok

menimbulkan ketidakpastian walau secara hukum kebsahan dari klausula arbitrase tersebut

adalah sah. Hal inilah yang menjadikan dewasa ini untuk memilih pactum de compromittendo

sebagai bentuk kesepakatan (perjanjian) diantara mereka untuk menyelesaikan sengketanya

melalui lembaga arbitrase. Dengan kata lain pactum de compromittendo yang dibuat menyatu

dengan perjanjian pokok dirasakan lebih menjamin kepastian hukum atas keberadaan klausula

arbitrase.

Page 12: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

A. Pactum de Compromittendo

Seperti telah diuraikan pada alinea-alinea terdahulu, bahwa pactum de compromittendo

adalah suatu klausula arbitrase yang dibuat sebelum timbulnya sengketa.[30] Jadi sejak awal

klausula arbitrase ini telah dibuat oleh para pihak sebagai bentuk kesepakatan mereka untuk

menyelesaikan sengketa tersebut melalui lembaga arbitrase dan bukan melalui lembaga

pengadilan.

Pactum de compromittendo ini dibuat secara bersamaan dengan perjanjian pokok. Cara

pembuatan pactum de compromittendo ini dapat dibuat dengan dua cara yaitu; dibuat menyatu

atau terpisah (tersendiri) dengan perjanjian pokok.

Alasan terpenting memilih klausula arbitrase dalam bentuk pactum de compromittendo

ini adalah untuk menjamin kepastian hukum tentang keberadaan klausula arbitrase itu sendiri.

Dengan kata lain klausula arbitrase dalam bentuk ini dirasakan dapat menghindari perbedaan

penafsiran tentang kedudukan klausula arbitrase tersebut.

B. Akta Kompromis

Secara umum di atas telah dibahas tentang akta kompromis ini, namun untuk lebih detail

di sini dicoba untuk menguraikan tentang akta kompromis ini secara lebih spesifik. Akta

kompromis adalah klausula arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang

bersengketa setelah timbulnya sengketa.[31] Jadi apabila pactum de compromittendo dibuat

sebelum timbulnya sengkta, akta kompromis sebaliknya yaitu dibuat setelah adanya sengketa.

Letak perbedaan yang esensil diantara kedua klausula tersebut di atas adalah terletak pada

saat pembuatannya. Pactum de compromittendo dibuat pada saat belum ada sengketa sedangkan

akta kompromis setelah ada sengketa. Jadi dari uraian tersebut di atas, baik pactum de

compromittendo maupun akta kompromis adalah sama klausula arbitrase (perjanjian), dengan

kata lain kedua klausula arbitrase tersebut adalah sama dasar hukum dan falsafah bagi semua

pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui lembaga arbitrase.[32]

C.           Macam-Macam Klausula Abitrase

1. Klausula arbitrase umum (general)

         Klausula arbitrase apabila dilihat dari sudut isinya, dapat diklasifikasikan ke dalam dua

klasifikasi yaitu; klausula arbitrase yang bersifat umum (general) dan khusus. Suatu klausula

Page 13: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

arbitrase dikatakan bersifat umum apabila di dalam klausula arbitrase tersebut secara jelas dan

nyata dikatakan bahwa semua (all) sengketa yang timbul dalam pelaksanaan suatu perjanjian

akan diselesaikan melalui lembaga arbitrase. Jadi adanya kata semua (all) dalam klausula

arbitrase memberikan pengertian bahwa klausula arbitrase tersebut bersifat umum (general).

         Jadi klausula arbitrase dikatakan bersifat umum apabila obyek sengketa yang akan

diarbitrasekan adalah bersifat umum atau keseluruhan, tentunya sengketa-sengketa yang dapat

diarbitrasekan. Untuk lebih jelasnya di bawah ini dituliskan contoh dari pada klausula arbitrase

yang bersifat umum.

A. Klausula Arbitrase Korea

“all disputes, controversies, or differences which may arise between the parties, out of or in

relation to or in connection with this contract, or for the brech thereof, shall be finally settled by

arbitration in Seoul, Korea the Korean Commercial Arbitration and under the laws of Korea.

The award rendered by the arbitrator(s) shall be final and binding upon both parties concerned”

B. Klausula Arbitrase BANI

“semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan

Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI,

yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam

tingkat pertama dan terakhir”

            Dari kedua contoh klausula arbitrase tersebut di atas, dapat terlihat jelas kata-kata all dan

semua. Seperti yang telah disebutkan terdahulu bahwa adanya kata-kata tersebut dengan

sendirinya memberikan pengertian bahwa obyek sengketa arbitrase adalah semua (all) sengketa

(disputes/controverce) yang tentunya termasuk dalam ruang lingkup arbitrase. Jadi klausula

arbitrase yang bersifat umum atau general ini adalah suatu klausula arbitrase yang di dalamnya

dicantumkan secara jelas dan nyata bahwa yang menjadi obyek sengketa arbitrase adalah semua

jenis sengketa yang dapat diarbitrasekan.

Page 14: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

2. Klausula arbitrase yang bersifat khusus

            Klausula arbitrase yang bersifat khusus ini adalah klausula arbitrase yang didalamnya

ditentukan secara spesifik atau jelas tentang apa-apa yang menjadi obyek sengketa arbitrase,

dengan kata lain tidak semua sengketa yang akan timbulnya nantinya dari suatu perjanjian akan

dilaksanakan melalui lembaga arbitrase. Ciri dari klausula arbitrase yang bersifat khusus ini

adalah terdapatnya kata sebagian (any) dalam klausula arbitrase itu sendiri, seperti contoh

berikut ini;

    Klausula arbitrase UNCITRAL

“any disputes, controversy or claim arising out of or relation to this contract, or the breach,

termination in validity thereof, shall be settled by arbitration in accordance with the UNCITRAL

Arbitration Rules as set present in force. The appointing authority shall be the ICC acting in

accordance with the rules adopted by the ICC for this purpose”

Dari klausula arbitrase UNCITRAL tersebut di atas, terlihat jelas bahwa dalam klausula

arbitrase tersebut tercantum kata any yang memiliki arti bahwa aobyek sengketa yang dapat

diarbitrasekan terkait dengan suatu perjanjian hanyalah sengketa-sengketa yang telah ditentukan

sebelumnya oleh para pihak. Dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa klausula arbitrase yang

bersifat khusus adalah suatu klausula arbitrase yang obyek sengketanya terbatas, yaitu sesuai

dengan kesepakatan para pihak.

2.3. Prinsip Umum Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Arbitrase

Seperti telah dikatakan di atas, bahwa diminatinya lembaga arbitrase sebagai alternatif

penyelesaian sengketa di bidang perdagangan (privat), hal ini tidak terlepas dari adanya beberapa

keunggulanan yang dimiliki oleh lembaga arbitrase seperti; prinsip cepat dan hemat biaya,

kebebasan menentukan prosedur beracaranya, pengambilan keputusan didasarkan pada keadilan,

kejujuran dan kepatutan. Hal lain yang juga menjadikan arbitrase berkembang adalah sifat

putusannya yang final dan mengikat serta proses pemeriksaannya yang tertutup untuk umum

(disclousure).

Page 15: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Prinsip cepat dan hemat biaya

Pada umumnya seluruh pemeriksaan perkara (sengketa) baik melalui jalur litigasi

maupun non-litigasi mempunyai prinsip cepat, singkat dan hemat. Prinsip ini juga ditegaskan

dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970 sebagaimana terdapat dalam

pasal 4 ayat (2) yang juga menghendaki agar pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia

berpedoman pada asas; cepat, tepat, sederhana, dan biaya ringan serta tidak bertele-tele dan

berbelit-belit.[33]

            Prinsip yang dianut oleh Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut di atas, apabila

dihubungkan dengan prinsip pemeriksaan yang dianut oleh lembaga arbitrase adalah sejalan. Hal

ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 48 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 yang

menyebutkan; “(1) Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180

hari (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk”.[34]

            Ada beberapa faktor yang mendukung terciptanya proses peradilan cepat dan hemat

dalam arbitrase ini antara lain;

1.      Karena diberikannya kebebasan kepada para pihak untuk menentukan sendiri proses

beracaranya, yang tentunya mereka akan memilih prosedur yang singkat dan cepat sehingga jelas

akan mendukung kearah penyelesaian sengketa yang cepat dan efisien serta hemat biaya.

2.      Pada umumnya pihak-pihak dalam arbitrase adalah subyek hukum yang memiliki itikad baik

(good faith) untuk sama-sama menyelesaikan sengketa. Sehingga penyelesaian sengketanya

menjadi lebih cepat karena adanya dukungan dari semua pihak.

3.      Berperkara melalui lembaga arbitrase berarti berperkara di luar pengadilan. Keadaan ini secara

langsung akan membawa kearah penyelesaian sengketa yang cepat, singkat dan tepat hal ini

dikarenakan terpotongnya jalur birokrasi yang begitu panjang dan bertele-tele sebagaimana

biasanya terjadi pada lembaga pengadilan.

4.      Keistimewaan yang dimiliki oleh putusan arbitrase itu sendiri yaitu final dan binding.

Keistimewaan putusan arbitrase ini meniadakan upaya hukum dalam arbitrase itu sendiri dengan

kata lain terhadap putusan arbitrase tersebut tertutup upaya hokum baik banding maupun kasasi.

Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa prinsip pemeriksaan yang cepat dan hemat

biaya adalah prinsip dasar yang harus dimiliki oleh lembaga arbitrase agar penyelesaian sengketa

melalui lembaga ini efektif dan efisien. Keadaan ini diharapkan dapat memberikan nilai lebih

bagi para pihak.

Page 16: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Prinsip pengambilan keputusan berdasarkan keadilan dan kepatutan

Di atas, telah dikatakan bahwa prinsip pengambilan keputusan dalam arbitrase adalah

didasarkan pada kepatutan dan keadilan.[35] Hal inilah yang juga membedakan arbitrase dengan

lembaga pengadilan yang dalam memeriksa, mengadili dan memberikan putusannya lebih

didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku (what is the law). Keadaan yang demikian ini

membawa kosekuensi pada diri pribadi para pihak, artinya pemberian putusan yang didasarkan

pada hukum semata akan menghasilkan pihak yang kalah dan menang (win-lose). Sedangkan

pemutusan sengketa yang didasarkan pada prinsip keadilan dan kepatutan serta dengan melihat

pada kepentingan-kepentingan para pihak yang bersengketa akan menghasilkan putusan yang

bersifat win-win solution.

Prinsip pengambilan keputusan berdasarkan kepatutan dan keadilan ini dipertegas

kembali dalam  Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 sebagaimana terdapat dalam pasal 56 yaitu;

[36]

(1)   Arbiter atau majelis arbitrase mengambil putusan berdasarkan ketentuan hukum, atau berdasar

keadilan dan kepatutan.

(2)   Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa

yang mungkin atau telah timbul antara para pihak.

Dengan melihat bunyi dari pasal tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa pengambilan

keputusan dalam arbitrase berdasarkan kepatutan dan keadilan ini adalah merupakan suatu

keharusan yang mesti diperhatikan oleh para arbiter maupun para pihak dalam proses

penyelesaian sengketa yang mereka hadapi. Prinsip yang dianut oleh arbitrase ini selain

memberikan nilai tambah bagi lembaga arbitrase ini sendiri juga memberikan keuntungan yang

sangat esensil bagi para pihak, dimana putusan yang bersifat win-win solution merupakan

putusan yang sama-sama diinginkan para pihak oleh karena ini secara logis akan berdampak

pada kelanggengan hubungan mereka.

Prinsip sidang tertutup untuk umum (disclousure)

Page 17: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Dikalangan pebisnis nama baik adalah merupakan sebuah indikator yang dapat

menghantarkan mereka kedalam dua kemungkinan yaitu; sukses atau hancur (gulung tikar).

Mereka akan sukses bilamana di mata masyarakat mereka mempunyai image baik, begitu juga

sebaliknya mereka akan bangkrut bilamana mereka mempunyai image yang buruy di mata

mesyarakat.

Untuk mengatasi kemungkinan terjadinya keadaan tersebut di atas, maka salah satu kiat

yang dilakukan para pebisnis ini adalah menyelesaikan sengketanya dengan para koleganya

melalui jalur non litigasi seperti; negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Dipilhnya cara-

caranya tersebut di atas, selain bertujuan untuk menjaga nama baik para pihak juga diharapkan

sengketa tersebut dapat selesai dengan segera serta mendapatkan putusan adil dan fair.

Prinsip pemeriksaan tertutup untuk umum ini diatur dalam pasal 27 Undang-Undang No.

30 Tahun 1999 yang berbunyi “semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase

dilakukan secara tertutup”.[37] Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa para arbiter atau

arbiter maupun para pihak dalam memeriksa sengketa harus senantiasa dapat menjaga segala

informasi yang merupakan rahasia bagi para pihak. Oleh karena itu kepada pihak yang dengan

sengaja mengimformasikan (mempublikasikan) suatu berita yang bersifat rahasia sudah

semestinya diberikan hukuman yang setimpal.

Ketentuan sebagaimana terdapat dalam pasal 27 ini apabila ditinjau lebih jauh selain

merupakan suatu keharusan (imperative) juga akan memberikan keuntungan bagi semua pihak

dalam arbitrase itu sendiri. Seperti telah kita ketahui bersama bahwa salah satu alasan memilih

lembaga arbitrase adalah proses pemeriksaannya yang bersipat disclousure ini. Oleh karena itu

ketentuan ini merupakan wujud dari keinginan para pihak.

2.4. Kelemahan dan keunggulan lembaga arbitrase

A. Kelebihan dan keuntungan lembaga arbitrase

Tumbuh kembangnya lembaga arbitrase dewasa ini tidak terlepas dari kelebihan yang

dimiliki oleh lembaga arbitrase itu sendiri bila dibandingkan dengan lembaga pengadilan.

Adapun kelebihan-kelebihan tersebut seperti; adanya kewenangan yang diberikan kepada arbiter

untuk memutus sengketa berdasarkan keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono), artinya arbiter

dalam memeriksa dan memutus sengketa tidak hanya berpatokan pada aspek hukum semata

melainkan juga harus memperhatikan kehendak dan keinginan dari masing-masing pihak.[38]

Page 18: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Konsekuensi dari prinsip putusan yang didasarkan pada keadilan dan kepatutan adalah

terakomodirnya kepentingan para pihak dalam putusan yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis

arbitrase.

Pengambilan keputusan dalam arbitrase selain didasarkan pada keadilan dan kepatutan

juga harus didasarkan pada situasi dan kondisi pihak-pihak yang bersengketa (kompromistis).

Prinsip ini akan berakibat langsung pada putusan yang win-win solution .[39] Hal lain yang

merupakan suatu kelebihan berperkara melalui lembaga arbitrase ini adalah diberikannya

kebebasan bagi para pihak untuk menentukan sendiri ketentuan hukum acara mereka, ketentuan

ini ditegaskan dalam pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 yang menyatakan;

[40]

(1) Para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan tertulis, bebas untuk menentukan acara

arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan

ketentuan dalam Undang-undang ini.

            Dari bunyi pasal tersebut di atas, jelas terlihat bahwa prosedur beracara dalam arbitrase

bebas untuk ditentukan oleh para pihak dengan ketentuan tidak boleh bertentangan dengan

undang-undang arbitrase ini sendiri. Kebebasan yang diberikan kepada para pihak ini untuk

menentukan sendiri hukum acaranya memberikan keuntungan kepada mereka karena mereka

dapat memilih hukum acara yang singkat dan sederhana sehingga lebih efisien. Keadaan ini

berbeda bila berperkara melalui lembaga pengadilan yang kesemuanya telah ditentukan sendiri

dalam undang-undang yang pada kenyataannya sangat birokratis dan menjadikan penyelesaian

sengketa tersebut berbelit-belit dan bertele-tele sehingga tidak efektif.[41] Keuntungan lain dari

prinsip kebebasan ini adalah didapatkannya putusan yang adil dan fair (obyektif) karena putusan

tersebut diberikan oleh arbiter yang sama-sama dipilih (dipercaya) para pihak. Keadaan ini tidak

didapatkan bilamana berperkara di pengadilan yang hakim-hakimnya telah ditentukan sendiri

oleh kepala instansi yang bersangkutan, sehingga ada kemungkinan terjadinya sifat berat sebelah

mengingat hal ini sering terjadi dalam dunia peradilan di Indonesia.[42]

            Alasan lain yang menjadikan berperkara melalui lembaga arbitrase lebih menguntungkan

para pihak adalah sifat putusannya yang final dan mengikat.[43] Pengertian final adalah putusan

arbitrase tersebut merupakan putusan akhir, dengan kata lain terhadapnya tertutup upaya hukum.

Page 19: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Mengikat artinya para pihak dalam putusan arbitrase tersebut harus tunduk serta wajib

melaksanakan putusan tersebut dengan suka rela. Keadaan ini amat membantu para pihak yang

bersengketa khususnya dalam hal eksekusi.

            Erman Rajagukuguk mengatakan bahwa kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh lembaga

arbitrase antara lain; [44]

1.       Karena pengusaha asing menganggap sistem hukum dan pengadilan setempat asing bagi mereka.

2.       Pengusaha-pengusaha negara maju beranggapan hakim-hakim dari negara berkembang tidak

menguasai sengketa-sengketa dagang yang melibatkan hubungan-hubungan niaga dan keuangan

internasional yang rumit.

3.       Pengusaha negara maju beranggapan penyelesaian sengketa melalui pengadilan akan memakan

waktu yang lama dan ongkos yang besar, karena proses pengadilan yang panjang dari tingkat

pertama sampai dengan tingkat Mahkamah Agung.

4.       Adanya anggapan bahwa pengadilan di Indonesia akan bersikaf subyektif kepada mereka karena

hakim yang memeriksa dan memutus sengketa bukan dari negara mereka.

5.       Penyelesaian sengketa di pengadilan akan mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, dan

hasilnya akan merenggangkan hubungan dagang diantara mereka.

6.      Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase dianggap dapat melahirkan putusan yang

kompromistis, yang dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa.[45]

Adi Sulistiyono, dalam sebuah makalahnya juga menyebutkan bahwa kelebihan-

kelebihan dari lembaga arbitrase antara lain;[46]

1.      Mengurangi kemacetan dan penumpukan perkara (court congestion) di pengadilan. Banyaknya

kasus yang diajukan ke pengadilan menyebabkan proses berperkara seringkali berkepanjangan

dan memakan biaya yang tinggi serta sering memberikan hasil yang kurang memuaskan.

2.Meningkatkan keterlibatan masyarakat (desentralisasi hukum) atau memberdayakan pihak-pihak

yang bersengketa dalam proses penyelesaian sengketa.

3.Memperlancar jalur keadilan (acces to justice) di masyarakat.

4.Memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan

yang dapat diterima oleh semua pihak, sehingga para pihak tidak menempuh upaya banding dan

kasasi.

5.Penyelesaian perkara lebih cepat dan biaya murah.

6.Bersifat tertutup rahasia (confidential).

Page 20: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

7.Lebih tinggi tingkat kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan, sehingga hubungan pihak-

pihak bersengketa di masa depan masih terjalin dengan baik.

8.Mengurangi merebaknya ”permainan kotor” dalam pengadilan.

B.Beberapa Kelemahan Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Arbitrase

Dalam uraian pada alinea terdahulu terlihat jelas bahwa berperkara melalui lembaga

arbitrase mempunyai banyak kelebihan yang dengan sendirinya membawa para pihak pada posisi

yang menguntungkan. Fenomena ini tidaklah selamanya benar, sebab dalam beberapa kasus

yang pernah terjadi membuktikan bahwa berperkara melalui lembaga arbitrase justru rumit dan

berbelit-belit sehingga menghabiskan waktu yang panjang juga biaya yang relatif mahal.

Berkaca pada kasus yang pernah terjadi, dapat dilihat bahwa faktor-faktor yang

menyebabkan tidak efektifnya penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase ini antara lain;

1.      Salah satu penyebab utama terjadinya sengketa dalam suatu transaksi bisnis (business

transaction) adalah adanya perbedaan kepentingan (interest) diantara para pihak, fenomena ini

sering membawa proses negosiasi mengalami dead lock. Keadaan ini apabila dihubungkan

dengan prinsip dasar dari arbitrase yaitu kesepakatan adalah sejalan, dengan kata lain dalam

arbitrase untuk mempertemukan keinginan para pihak dalam bentuk kesepakatan juga

merupakan persoalan tersendiri dalam arbitrase. Oleh karena itu beberapa sarjana mengatakan

bahwa efektif tidaknya berperkara melalui arbitrase sangat tergantung pada besar tidaknya

kemauan para pihak untuk duduk bersama menyelesaikan sengketa mereka. Jadi salah satu

kendala dalam arbitrase ini adalah susahnya mempertemukan kehendak para pihak.

2.      Prinsip pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam arbitrase yang berorientasi pada

kepentingan para pihak secara tidak langsung mengurangi otoritas arbiter atau majelis arbitrase

dalam memutuskan sengketanya, dengan kata lain dengan diberikannya kebebasan yang begitu

besar bagi para pihak dengan sendirinya mengurangi kewenangan arbiter atau majelis arbitrase.

Hal ini dapat membawa kearah penyelesaian sengketa yang bertele-tele sehingga menjadikan

proses arbitrase tidak efisien.

3.      Dengan diratifikasinya Konvensi New York 1958 Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan

Arbitrase Asing di Indonesia, maka negara Indonesia secara yuridis terikat atas konvensi

tersebut. Oleh karena itu sudah semestinya suatu putusan arbitrase asing yang dimintakan

Page 21: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

pengakuan dan pelaksanaannya di Indonesia seharusnya dapat diakui serta dilaksanakan di

Indonesia yang tentunya setelah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam perundang-

undangan secara limitatif. Fenomena tersebut kadang tidak sejalan dengan realitas yang ada, hal

ini dapat dilihat dari beberapa kasus yang permohonan pengakuan dan pelaksanaannya telah

dibatalkan atau ditolak baik oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat maupun oleh Mahakamah

Agung Republik Indonesia. Keadaan ini merupakan persoalan yang penting dalam arbitrase,

dengan perkataan lain suatu arbitrase dapat efektif apabila ada kemauan yang baik dari aparat

penegak hukum (pemerintah) untuk menegakkan hukum (law enforcement).[47]

4.      Keterkaiatan lembaga peradilan dalam proses arbitrase menjadikan penyelesaiannya panjang dan

lama. Hal ini memang tidak dapat dipungkiri sebab sekalipun kebebasan untuk menentukan

sendiri prosedur beracara dalam arbitrase merupakan mutlak kewenangan para pihak namun

pada kenyataannya tidaklah demikian. Hal ini dapat dilihat dari keharusan arbiter atau majelis

arbitrase maupun kuasanya untuk mendaftarkan putusannya pada pengadilan yang berwenang

untuk itu, ini dilakukan untuk mendapatkan penetapan apakah putusan arbitrase tersebut dapat

atau tidak dilaksanakan di Indonesia. Keadaan ini jelas merugikan para pihak apalagi dalam

beberapa kasus yang ada pada kenyataannya sering terombang-ambing dikarenakan tidak

diberikannya kepastian atas permohonan putusan arbitrase tersebut.

Tidak adanya otoritas yang diberikan kepada lembaga arbitrase untuk mengeksekusi putusannya sendiri juga merupakan polemik dalam dunia arbitrase, sebab sekalipun proses penyelesaian sengketanya berjalan lancar kalau pelaksanaan putusannya sendiri tidak dapat dieksekusi adalah sia-sia. 

[1]Indonesia, Undang-Undang Tentang Susunan Kekuasaan dan Jalannya Pengadilan Mahkamah Agung di Indonesia, UU No. 1 Tahun 1950. ps. 15.

[2]Pengertian arbiter dalam buku subekti dan tineke latondong [3]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, ps. 1 bt. 7. [4]R. Subekti. Op. Cit. [5]Ibid.[6]Said Aqil Husein Al Munawar, Arbitrase Islam di Indonesia, Jakarta : Badan Arbitrase

Muamalat Indonesia Bekerjasama Dengan Bank Muamalat, 1994), hal. 14. [7]Ibid. [8]Salim H. S., Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak,. Cet. Ke-3. (Jakarta

: Grafika, 2003), hal. 142. [9]Gunawan Wijaya, Op. Cit. hal. 52-53. [10]Suyud Sumargono, Op. Cit. hal. 123. [11]Gary Good Paster, Felix O. Soebagjo, Fatmah Jatim. Op. Cit. hal. 27.

Page 22: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

[12]Ibid. [13]Gunawan Wijaya, Op. Cit. hal 52. [14]Ridwan Widiastoro, Op. Cit. hal. 164. [15]Gunawan Wijaya, Op. Cit. [16]Ibid. [17]Sudargo Gautama, Op. Cit. hal. 4. [18]Syarat sahnya suatu perjanjian harus memenuhi empat  syarat yaitu; sepakat mereka

yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. KUHPerdata, ps. 1320.

[19]Ibid. [20]Syarat subyektif menyangkut para pihak dalam perjanjian tersebut sedangkat syarat

subyektif menyangkut obyek dari perjanjian itu sendiri. R. Subekti, Hukum Perjanjian. Cet. Ke-18, (Jakarta : pt intermasa, 2001), hal. 17.

[21]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 5. [22]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. penjelasan. ps. 66.  [23]Ibid. [24]Ibid.[25]Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang

tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbulnya sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase yang dibuat tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbulnya sengketa. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum/ADR, ps. 1. bt. 3. sedangkan menurut Priyatna Abdurrasyid klausula arbitrase (arbitration clause) merupakan sumber falsafah, sumber hukum dan sumber yurisdiksi bagi semua pihak yang terkait di dalam suatu sengketa yang diselesaikan melalui arbitrase ADR, Priyatna Abdurrasyid,”Pengusaha Indonesia Perlu Meningkatkan Minatnya Terhadap Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Diputes Resolution/ADR/Arbitration) Suatu Tinjauan,” Jurnal Hukum Bisnis. Vol. 21. (2002) 10. 

[26]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 9. [27]Sut Girsang, Arbitrase, (Jakarta : Litbang Diklat Mahkamah Agung Republik

Indonesia, 1992), hal. 3. [28]KUHPerdata, ps. 1338. [29]Kartini Mulyadi dan Gunawan Wijaya, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Cet.

Ke-1 (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 60.  [30]Pactum de Compromittendo adalah sebuah klausula yang dicantumkan dalam

perjanjian pokok, yang berisi bahwa penyelesaian sengketa yang mungkin timbul dari pada pelaksanaan perjanjian itu akan diselesaikan dengan peradilan wasit. C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 1987), hal. 141.

[31]Akta kompromis adalah perjanjian yang dibuat secara khusus bila telah timbul sengketa dalam melaksanakan perjanjian pokok. Ibid.

[32]Ibid [33]Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Ps. 4 ayat (2). [34]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 4 ayat (1). [35]Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo dan Fatmah Jatim, Op. Cit. hal. 19-21. [36]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 5 ayat (1) dan (2).

Page 23: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

[37]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 27. [38]Akhmad Ichsan, Kompendium Tentang Arbitrase Perdagangan Internasional (Luar

Negari), Cet. Ke-1. (Jakarta : Pradnya Paramita, 1992), hal. 78. [39]Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternative Penyelesaian Sengketa Bisnis. Cet. Ke-

1. (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000). Hal. 12.[40]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 31. [41]M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian

Sengketa, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997). Hal. 151. [42]H. M. Tahir Azhari, Penyelesaian Sengketa Melalui Forum Arbitrase, Prospek

Pelaksanaan Putusan Arbitrase di Indonesia, Cet. Ke-1. (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 163.

[43]H. M. Tahir Azhari, Op. Cit. hal. 113-114.  [44]Erman Rajagukguk, Op.Cit. hal. 1-2. [45]Erman Rajagukguk, Op.Cit. hal. 1-2. [46]Adi Sulistiyono, “Budaya Musyawarah Untuk Penyelesaian Sengketa Win-Win

Solution Dalam Perspektif Hukum,” Jurnal Hukum Bisnis vol. 25. (2006) : 73. [47]M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Cet. Ke-2. (

Jakarta : Sinar Grafika, 2001), hal. 53.

Page 24: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

MEDIASI DAN ARBITRASE DALAM TEORI DAN PRAKTEK HUKUM INTERNASIONAL

MEDIASI DAN ARBITRASE DALAM TEORI DAN PRAKTEK HUKUM INTERNASIONAL

(Studi Kasus di Federasi Bosnia-Hercegovina)

I.                         Pendahuluan

A.     Latar Belakang

Dalam masyarakat internasional terjadi hubungan timbal balik antar negara-negara di dunia, baik itu hubungan politik, perdagangan, sosial dan kebudayaan. Terjalinnya hubungan ini untuk saling mengisi kepentingan dan kebutuhan yang ada dari masing-masing negara. Dalam interaksi masyarakat internasional ini sering terjadi ketidak sesuaian pendapat atau timbul permasalahan yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, dengan intensitas konflik yang bervariasi. Tahapan dari hubungan negara-negara ini dapat berupa hubungan yang baik (friendly relationship), hubungan yang menegang (strained relation), hubungan yang tidak ramah (unfriendly relation) dan yang terakhir hubungan yang bermusuhan (hostile).

Faktor penyebab konflik antar negara ini dapat bersumber dari berbagai hal, diantaranya mengenai perbatasan negara, sumber daya alam, kerusakan lingkungan, perdagangan, sosial, ekonomi dan lain-lain. Dalam sengketa perbatasan sering timbul masalah jika tidak terjadi kesepakatan bilateral mengenai tapal batas negara, jika kedua negara berbatasan langsung. Di mana tapal batas mempengaruhi kewenangan kedaulatan negara serta menyangkut kekayaan alam yang dapat menjadi sumber

Page 25: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

pendapatan negara, sehingga biasanya peneyelesaian persoalan perbatasan sukar di dapat titik temu. Selain itu terdapat juga konflik dalam hubungan politik, terkait kebijakan-kebijakan yang di ambil oleh masing-masing negara yang bisa saja dianggap merugikan negara lain.

Upaya-upaya penyelesaian sengketa ini telah menjadi perhatian yang cukup penting di dunia internasional sejak awal abad ke-20. upaya-upaya ini ditujukan untuk menciptakan hubungan antar negara yang lebih baik berdasarkan prinsip perdamaian dan keamanan internasional.1[1] Peran yang dimainkan hukum internasional dalam penyelesaian sengketa internasional adalah memberikan cara bagaimana para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya menurut hukum internasional. Dalam perkembangan awalnya hukum internasional mengenal dua jenis penyelesaian, yaitu penyelesaian sengketa secara damai dan dengan cara kekerasan.

Pada umumnya teknik penyelesaian sengketa secara damai terbagi menjadi dua kategori yaitu penyelesaian secara politik (political approach) dan penyelesaian melalui putusan peradilan (adjudication).2[2] Penyelesaian secara politik terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu melalui jalan negosiasi (negotiation), pencarian fakta (fact finding), melalui jasa-jasa baik (good offices), mediasi (mediation) dan konsiliasi (conciliation). Penyelesaian melalui putusan peradilan melibatkan pihak ketiga yang memberikan putusannya tanpa ada unsur kepentingan terhadap kasus tersebut. penyelesaian jenis ini dapat dilakukan melalui proses arbitrase (arbitraton) atau melalui putusan organ pengadilan. Sedangkan cara kekerasan dilakukan melalui peperangan dengan kekuatan militer. Cara perang untuk menyelesaikan sengketa sebenarnya telah diakui dan dipraktekkan sejak lama. Bahkan perang telah dijadikan sebagai alat instrumen dan kebijakan luar negeri, terutama bagi negara-negara maju saat ini.

Penyelesaian secara damai ini ada yang hanya melibatkan pihak-pihak yang bersengketa ataupun melibatkan pihak ketiga sebagai penengahnya. Salah satu penyelesaian sengketa di atas yang melibatkan pihak ketiga adalah mediasi, dimana pihak ketiga yang menjadi penengah di sebut sebagai mediator, yang dapat berasal dari negara yang netral, organisasi internasional atau individu. Mediator ini ikut serta secara aktif dalam proses negosiasi negara yang bersengketa. Biasanya dengan kapasitasnya sebagai pihak yang netral mediator berusaha mendamaikan para pihak dengan memberikan saran penyelesaian sengketa.

1

2

Page 26: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Dalam makalah ini akan dibahas mengenai mediasi dan arbitrase yang di tinjau secara umum dari segi teori dan prakteknya. Dengan melihat penerapannya dalam studi kasus di Bosnia –Hercegovina. Untuk memahami mediasi dan arbitrase internasional dari segi politik dan fungsi strategisnya.. Serta untuk mempelajari metode dan proses dari mediasi dan arbitrase internasional.

Dalam tugas akhir perkuliahan ini metode penulisan yang dipergunakan adalah menggunakan metode deskriptif analisis dimana sumber tulisan didapat dari bahan literatur primer dan sekunder, dan juga menganalisis praktek yang diterapkan dalam kasus sengketa di negara Bosnia-Hercegovina yang menerapkan mediasi dan Arbitrase dalam meyelesaikan konflik mereka.

B.     Rumusan Masalah

Dalam makalah ini yang menjadi objek dari penulisan adalah:

1. bagaimana teori mengenai mediasi dan arbitrase dalam konflik internasional?

2. bagaimana hubungan teori dan praktek mediasi dan arbitrase dalam kasus Bosnia-Hercegovina?

Page 27: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

II.                     Mediasi dan Arbitrase dalam sengketa Internasional

A.     Teori mediasi

Mediasi dalam sengketa internasional lebih dikenal sebagai proses penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga dalam usahanya untuk mendekatkan pihak-pihak yang bersengketa agar mereka langsung dapat berunding. Pihak ketiga ini ikut berperan aktif dalam perundingan, mediator dapat mengusulkan saran penyelesaian sengketa dan menjadi pemimpin dari perundingan, namun para pihak tidak terikat untuk menerima usulan dari mediator.3[3]

Mediasi menurut J.G. Merrills adalah merupakan negosiasi tambahan dengan mediator atau perantara sebagai pihak yang aktif, mempunyai wewenang, dan memang diharapkan untuk mengajukan proposalnya sendiri dan menafsirkan, juga menyerahkan, masing-masing proposal satu pihak pada pihak lain. Profosal ini bersifat tidak formal dan berdasarkan informasi yang diberikan pihak-pihak, bukannya berdasarkan penyelidikan sendiri.4[4]

Bentuk mediasi melibatkan keikutsertaan pihak ketiga (mediator) yang netral dan independen dalam suatu sengketa. Tujuannya adalah untuk menciptakan adanya suatu kontak atau hubungan langsung di antara para pihak. Mediator bisa negara, individu, organisasi internasional, dan lain-lain. Mediator dapat bertindak baik atas inisiatifnya sendiri, menawarkan jasanya sebagai mediator, atau menerima tawaran untuk menjalankan fungsinya atas permintaan sari salah satu atau kedua belah pihak yang bersengketa. Dalam hal ini, agar mediator dapat berfungsi, diperlukan kesepakatan atau konsensus dari para pihak sebagai prasyarat utama.5[5]

Menurut Malcolm N. Shaw:

“The employment of the procedures of good offices and mediation involves the use of a third party, whether an individual or individuals, a state or group of states or an international organisation, to encourage the contending parties to come to a settlement. Unlike the techniques of arbitration and

3

4

5

Page 28: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

adjudication, the procces aims at persuading the parties to a dispute to reach satisfactory terms for its termination by themselves. Provisions for settling the dispute are not prescribed.”

Dalam penyelesaian sengketa internasional mediasi cukup sering dilakukan oleh negara-negara jika jalan negosiasi sudah menemui jalan buntu, adapun kelebihan dan kekurangan mediasi adalah:

1.       Kelebihan Mediasi

a. Merupakan campur tangan pihak ketiga untuk memecahkan kebuntuan negosiasi dalam penyelesaian sengketa.

b. Dalam mediasi pihak ketiga ikut serta dalam perundingan sebagai penengah dan punya peran aktif dalam penyelesaian sengketa.

c. Mengusahakan tercapainya penyelesaian, mengajukan saran, yang dapat memuaskan kedua pihak. Dapat menjadi media penghubung bagi pihak yang sudah putus hubungan diplomatiknya sehingga dapat melakukan perundingan kembali.

d. Berfungsi melonggarkan ketegangan yang ada selama sengketa dan mengembangkan ruang lingkup negosiasi.

e. Merupakan saluran informasi yang efektif.

f. Saran dari negosiator tidak mengikat sehingga para pihak masih bebbas untuk menentukan keputusannya sendiri.

g. Bentuk proposal dari mediasi masih tidak formal dan berdasarkan informasi yang diberikan masing-masing pihak.

Page 29: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

h. Mediasi dapat dimintakan oleh para pihak ataupun ditawarkan secara spontan oleh pihak luar.

i. Para pihak masih memegang kontrol dalam perundingan.

j. Mediasi merupakan suatu kompromi dari suatu jenis sengketa.

2.       Kekurangan Mediasi

a. tidak semua sengketa internasional dapat cocok diterapkan mediasi, karena semua tergantung dengan itikad mediatornya.

b. dari pihak mediatornya sendiri, mediasi ini merupakan tugas yang melelahkan dan sering tidak memberikan penghargaan yang cukup, serta memerlukan kesabaran ekstra untuk menghadapi para pihak yang bersengketa.

c. mediasi tidak dapat dipaksakan jika para pihak atau salah satu pihak tidak mau melakukannya.

d. dengan melakukan mediasi maka telah mengakui masalah tersebut adalah masalah sengketa internasional sehingga jika ada perselisihan mengenai pertanggungjawaban internasional, pihak yang bersengketa tidak akan mau dilakukan mediasi.

e. jika salah satu pihak merasa yakin untuk memenangkan persengketaan maka tidak akan mau untuk dilakukan mediasi, sebab dalam mediasi selalu dicari jalan win-win solution.

f. pihak mediator tidak akan diterima jika diangap punya pemahaman sedikit tentang posisi para pihak, tidak simpatis, terpengaruh pada pihak lain atau dianggap memiliki kepentingan pribadi dalam sengketa.

g. para pihak harus bersiap untuk mengorbankan tujuan asal yang ingin dicapai untuk mencapai kompromi bersama.

Page 30: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

3.       pemilihan mediator

dalam pemilihan mediator di kenal tiga cara yang dapat dibedakan menjadi:

1. mediator yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak

2. mediator yang ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh para pihak.

3. mediator yang disarankan atau ditawarkan oleh pihak ketiga bisa berupa negara, organisasi internasional ataupun NGO.

4.       Tugas Utama Mediator

dalam mediasi, kekuasaan tertinggi ada di tangan para pihak masing-masing yang bersengketa. Mediator sebagai pihak ketiga yang dianggap netral hanya membantu atau memfasilitasi jalannya proses mediasi saja. Proses mediasi menghasilkan suatu kesepakatan antara para pihak.(mutually acceptable solution). Pada dasarnya kesepakatan negara yang bersengketa ini lebih kuat sifatnya dibandingkan putusan peradilan, karena merupakan hasil dari Kesepakatan para pihak. Artinya kesepakatan itu adalah hasil kompromi atau jalan yang telah mereka pilih untuk disepakati demi kepentingan-kepentingan mereka. Kekuatan putusan mediasi ini tergantung dari itikad baik para pihak untuk mematuhi putusan mediasi itu. Sedangkan dalam putusan pengadilan itu karena ada pihak lain yang memutuskan, yaitu hakim. Dengan kata lain putusan pengadilan itu bukan hasil kesepakatan para pihak.

Berjalannya proses mediasi tidak terlepas dari peran seorang mediator. Mediator memegang peranan krusial dalam menjaga kelancaran proses mediasi. Terdapat banyak teori mengenai tugas seorang mediator. Namun secara umum terdapat 7 tugas seorang mediator.

a. mediator harus menjalin hubungan dengan para pihak yang bersengketa agar para pihak tidak menjadi takut untuk mengemukakan pendapatnya.

Page 31: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

b. mediator juga harus memilih strategi untuk membimbing proses mediasi dan mengumpulkan serta menganalisa proses mediasi dan latar belakang sengketa. Hal ini penting untuk dilakukan agar mediator dalam mengarahkan mengetahui jalur penyelesaian sengketa ini.

c. selanjutnya mediator menyusun rencana-rencana mediasi serta membangun kepercayaan dan kerjasama. Bentuk mediasi dapat berupa sidang-sidang mediasi.

d. mediator harus mampu untuk merumuskan masalah dan menyusun agenda, karena kadang-kadang yang kelihatan dari luar itu sebenarnya yang besar-besarnya saja. Sebenarnya kalau dalam persengketaan itu ada kepentingan lain yang dalam teori Alternatif Dispute Resolution (ADR) disebut interest base/ apa yang benar-benar para pihak mau. Interest base itu kadang-kadang tidak terungkap di luar proses ADR.  

e. mediator harus mengungkapkan kepentingan tersembunyi dari para pihak. terkadang ada para pihak yang beritikad tidak baik, dan hal itu tidak boleh.

f. mediator harus dapat membangkitkan pilihan penyelesaian sengketa, pintar dan jeli dalam memandang suatu masalah.

g. mediator dapat menganalisa pilihan-pilihan tersebut untuk diberikan kepada para pihak dan akhirnya sampai pada proses tawar menawar akhir dan tercapai proses penyelesaian secara formal berupa kesepakatan antar para pihak.

5.       Proses Mediasi

Proses penyelesaian melalui mediasi diawali dengan mediator mengadakan pertemuan dengan para pihak secara terpisah-pisah/ kaukus sebelum pertemuan lengkap diselenggarakan untuk mengetahui informasi apa saja yang boleh dan tidak boleh diungkap dalam pertemuan lengkap. Artinya pada tahap ini sudah ada peringatan dari mediator. Misalnya seperti larangan menyerang pihak lawan dengan bahasa yang memang tidak enak didengar. Kemudian mediator dapat mempengaruhi apa yang

Page 32: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

disampaikan oleh satu pihak kepada pihak lawannya dengan cara memodifikasi pesan dalam bahasa yang dapat diterima dan dipahami oleh kedua belah pihak.

Terkadang kita berbicara sesuatu tapi belum tentu lawan bicara kita menangkap apa yang kita maksudkan. Mediator bisa membatasi atau menginterupsi salah satu pihak kalau misalnya yang dibicarakan itu menyangkut hal yang sensitif bagi pihak lain. Sebelum melakukan proses mediasi, para pihak sudah harus memasukkan data tentang persengketaan. Data ini sebenarnya cukup melalui pengumpulan data, dan hasilnya dianalisis untuk kemudian disusun rencana atau strategi mediasi.

Mediator juga dapat melakukan pencarian data-data ke lapangan agar dia lebih sensitif. Namun lagi-lagi, mediator disini bukan sebagai pihak yang memutus, melainkan lebih kepada pihak yang mengkondisikan agar pertemuan dapat melahirkan kesepakatan-kesepakatan berdasarkan kepentingan para pihak. Dalam teori mediasi, analisa konflik dari bahan-bahan yang sudah dikumpulkan tadi dapat dilakukan dengan memahami apa yang disebut circle of conflict/ lingkaran konflik.

Dalam lingkaran konflik itu ada 5 kategori masalah yang dapat dijadikan dasar dalam melakukan analisa konflik. Misalnya masalah hubungan antara para pihak, seperti “ada apa sebenarnya diantara para pihak?, kenapa keduanya tetap bersikeras dengan posisinya, pernah bersengketa sebelumnya atau bagaimana? dan sebagainya. Kemudian masalah ketidaksepakatan tentang data. Misalnya ketika dikonfrontir jawabnya selalu mengelak. Kemudian juga masalah kepentingan yang bertentangan. Misalnya bisa jadi pihak yang satu maunya kanan, yang lainnya lagi maunya ke kiri. Kemudian masalah hambatan struktural dan masalah perbedaan tata nilai yang kesemuanya sebenarnya sudah bisa dijadikan sebagai acuan bai mediator.

6.       Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Mediasi

Beberapa hal yang dapat mempengaruhi mediasi adalah:

1. karakter sistem internasional,

karakter ini mempengaruhi prospek dari negara, dan strategi yang mereka gunakan untuk memecahkan konflik. Prinsip yang berlawanan dalam sistem internasional, pola kesejajaran dan distribusi kemampuan kekuatan semua menghasilkan pendekatan yang berbeda-beda bagi setiap konflik. Lingkungan

Page 33: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

internasional bipolar seperti yang dulu pernah terjadi antara dua kekuatan negara adikuasa AS dan Uni Sovyet , terlihat lebih menimbulkan kestabilan pada dunia internasional dari pada sistem multipolar.

2. sifat alami suatu konflik

karakteristik asli dari konflik di lihat dari isu yang di fokuskan, menentukan seberapa penting penyelesaian dan pengelolaan konflik tersebut. beberapa isu seperti kepercayaan atau agama, nilai-nilai fundamental dan integritas teritorial merupakan isu penting, dan cenderung membangkitkan masyarakat internasional untuk membantu menyelesaikan konflik itu. Karena biasanya isu diatas sulit untuk diselesaikan hanya melalui jalur diplomatik serta dapat berlangsung lama yan akhirnya membuahkanjalan kekerasan untuk menyelesaiakan konflik jika tidak juga teratasi. Aspek lain yang mempengaruhi jalannya penyelesaian mediasi adalah jumlah isu dalam konflik itu, kekakuan masing-masing pihak terhadap pendirian masing-masing, apakah isu itu terkait dengan kepentingan yang berwujud berupa konflik sumber kekayaan alam (tangible interests) atau konflik yang tidak berwujud seperti persengketaan mengenai nilai-nilai yang dianut (intangible interest). Kedua hal ini dapat mempengaruhi baik durasi maupun metode penyelesaian konfliknya.

3. karakteristik-karakteristik internal negara yang dilibatkan

hal ketiga yang mempengaruhi penyelesaian konflik adalah karakter internal dari para pihak yang terlibat. Yaitu seberapa banyak struktur pejabat negara yang berpengaruh yang cenderung memiliki kebijakan untuk menyerang dengan kekerasan atau lebih memilih bentuk lain dari penyelesaian konflik. Sistem dasar dari suatu negara mempengaruhi ketentuan-ketentuan yang akan mereka buat. Seperti sebuah argumen yang menyatakan bahwa negara demokrasi lebih cenderunng menggunakan metode damai dalam menyelesaikan sengketa dari pada negara non demokrasi, hal ini karena norma intern, ekspresi liberal atau adanya kendala pemilihan.

7.       Mediasi dari segi politik

Berbeda dengan mediasi dalam sengketa perdagangan, mediasi di dalam sengketa internasional mempunyai aspek yang lebih konflik yang berpengaruh pada isu sengketa. Salah satunya adalah aspek politik dari negara-negara yang bersengketa. Dimana faktor-faktor yang mempengaruhi penyelesaian sengketa terdiri dari:

Page 34: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

A. faktor kontekstual (Contextual Factors)

1. struktur sengketa (dispute structure)

a. isu-isu; yaitu permasalah yang timbul merupakan masalah krusial ataukah hanya masalah yang tidak begitu mendasar.

b. Intensitas; adalah seberapa kekuatan dari persengketaan itu mempengaruhi negara yang bersengkata khususnya dan masyarakat internasional umumnya.

2. para pihak (parties)

a. bentuk pemerintahan (polity); bentuk pemerintahan dari negara-negara mempengaruhi karakteristik penerimaan mereka dalam kesepakatan mediasi, seperti negara demokrasi, otoriter, komunis, sosialis, dan lain-lain.

b. kekuatan (power); kekuatan para pihak juga menentukan cepat atau tidaknya, contohnya jika sengketa terjadi antara dua negara yang sama-sama berkekuatan seimbang maka masing-masing pihak cenderung untuk mempertahankan posisinya, berlainan jika salah satu pihak lebih lemah dari negara lainnya maka dimungkinkan negara lemah itu untuk mengalah lebih banyak dari negara yang kuat.

B. Perilaku (Behavioural)

1. sejarah hubungan para pihak; sejarah ini mempengaruhi kompleksitas penyelesaian sengketa. Jika kedua negara yang bersengketa sudah mempunyai sejarah permusuhan sejak lama, maka hal itu akan berpengaruh terhadap konflik yang baru muncul meskipun persoalannya samasekali tidak berkaitan dengan permasalahan yang telah lalu.

Page 35: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

2. kronisitas sengketa; jika suatu sengketa telah dibiarkan berlarut-larut sekian lama maka untuk menyelesaikannya juga semakin susah.

B. Teori Arbitrase

Di dalam hukum nasional negara, proses litigasi melalui peradilan internasional merupakan suatu hal yang sedapat mungkin untuk dihindarkan. Kemungkinan memburuknya hubungan antar negara, ketidakyakinan terhadap hasil yang akan diputuskan oleh pengadilan, serta untuk menghindari sesuatu yang memalukan jika sampai kalah di pengadilan juga biaya yang besar merupakan beberapa sebab keengganan negara-negara untuk menempuh jalur pengadilan. Maka untuk mengatasi hal tersebut di bentuk lembaga arbitrase sebagai alternatif lain dari pengadilan internasional dalam menyelesaikan sengketa antar negara.

Penyelesaian sengketa arbitrase sebenarnya termasuk ke dalam lingkup penyelesaian melalui jalur adjudikasi. Yaitu proses peyelesaian sengketa melalui prosedur peradilan yang bersifat formal serta menghasilkan suatu keputusan yang mengikat bagi kedua belah pihak namun berbeda dibandingkan peradilan internasional. Kata arbitrase berasal dari kata “arbitrase” (latin), “arbitrage” (Belanda), “arbitration” (Inggris), “schiedspruch” (Jerman), dan “arbitrage” (Perancis), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh arbiter atau wasit.6[6]

Ada beberapa batasan dan definisi tentang arbitrase. Secara luas arbitrase dapat diartikan sebagai “suatu alternatif penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga (badan arbitrase) yang ditunjuk dan disepakati para pihak (negara) secara sukarela untuk memutuskan sengketa yang bukan bersifat perdata dan putusannya bersifat final dan mengikat.7[7]

Menurut Black's Law Dictionary "Arbitration an arrangement for taking an abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation."8[8]

6

7

8

Page 36: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Definisi arbitrase yang diadopsi dari Treaty of Lausanne case dan kemudian diikuti oleh Komisi Hukum Internasional dalam kasus maritim delimitation and Territorial Question (Bahrain v Qatar) adalah “a procedure for the settlement of dispute between states by binding award on the basis of law and as a result of an undertaking voluntarily accepted.9[9]

Sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase dipandang sebagai cara yang efektif dan adil. Sumbangan badan ini terhadap perkembangan hukum internasional secara umum cukup signifikan. Sengketa Kepulauan Palmas (Miangas) antara Amerika Serikat dan Belanda yang duputus oleh arbitrator tunggal Max Huber merupakan salah satu bukti peranan badan ini terhadap hukum internasional.10[10]

Penyelesaian melalui arbitrase dapat ditempuh melalui beberapa cara, yaitu penyelesaian oleh seorang arbitrator secara terlembaga (institutionalized) atau kepada suatu badan arbitrase ad hoc (sementara). Badan arbitrase terlembaga adalah badan arbitrase yang sudah berdiri sebelumnya dan memiliki hukum acara sendiri. Contoh badan arbitrase yang terkenal adalah the Permanent Court of Arbitration (PCA) di Den Haag. Sedangkan badan arbitrase ad hoc adalah badan yang di buat oleh para pihak untuk sementara waktu. Badan arbitrase sementara ini berakhir tugasnya setelah putusan atas suatu sengketa tertentu dikeluarkan.

Beberapa lembaga Arbitrase Internasional lain diantaranya adalah:

c. ICSID yaitu arbitrase yang menyelesaikan sengketa penanaman modal asing.

d. Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce (ICC). ICC merupakan suatu lembaga Arbitrase Internasional yang tertua dalam bidang perdagangan internasional. Badan ini didirikan di Paris pada tahun 1919.

e. Asia-Africa Legal Consultative Commitee (AALCC) didirikan pada tanggal 15 Desember 1956, berkantor pusat di New Delhi, India. Organisasi ini dibentuk oleh ahli-ahli dari dunia ketiga yang bertujuan untuk melepaskan diri dari dominasi ICC. Organisasi ini pada tahun 1978 melebarkan sayab dengan mendirikan kantor di kawasan Asia, dengan memilih tempat kedudukan di Kuala Lumpur. Pada pertemuan yang ke-40 yang diadakan di New Delhi, AALCC diganti menjadi Asian-African Legal

9

10

Page 37: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Consultative Organization (untuk selanjutnya akan disebut ALLCO). Secara tegas ALLCO menyatakan tunduk dalam ketentuan yang dibuat oleh United Nations Commision On International Trade Law (UNCITRAL) yaitu UNCITRAL Arbitration Rules (UAR). Tujuan dibentuknya UAR adalah untuk mengglobalisasikan serta menginternasionalisasikan nilai-nilai dan tata cara Arbitrase dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam hubungan perdagangan. Perjanjian arbitrase menurut UNCITRAL ini harus dilakukan dalam bentuk tertulis (agreed in writing), yang menyatakan bahwa para pihak menundukkan diri kepada ketentuan arbitrase yang diatur dalam UAR.

Selain lembaga-lembaga Arbitrase yang bersifat Internasional tersebut, masih banyak lembaga-lembaga Arbitrase yang bersifat nasional yang dimiliki oleh beberapa negara, misalnya:

a. Nederlands Arbitrage Institute merupakan pusat Arbitrase nasional di Belanda.

b. The Japan Commercial Association merupakan pusat Arbitrase nasional di Jepang.

c. The American Commercial Association merupakan pusat Arbitrase nasional di Amerika Serikat. Didirikan oleh Kamar Dagang Amerika pada tahun 1926.

d. The London Court of International Commercial Arbitration yang didirikan pada tahun 1892.

e. Australian Centre for International Commerce Arbitration (ACICA) merupakan lembaga arbitrase di Australia.

f. Thai Arbitration Board.

g. Hongkong International Arbitration Centre, didirikan pada tahun 1985.

h. Singapore International Arbitration Centre (SIAC), yang didirikan pada tahun 1991.

Page 38: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

i. China International Economic and Trade Arbitration Commission (CIETAC).

j. Korean Commercial Arbitration Board (KCAB).

k. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) merupakan Arbitrase Nasional di Indonesia yang didirikan oleh kamar dagang dan industri Indonesia pada tanggal 3 Desember 1977.

Ada dua perbedaan utama antara badan arbitrase internasional publik dengan pengadilan internasional.

a. arbitrase memberikan para pihak kebebasan untuk memilih atau menentukan badan arbitrasenya.sebaliknya pada pengadilan,komposisi pengadilan berada diluar pengawasan dan kontrol para pihak.

b. Arbitrase memberikan kebebasan kepada para pihak untuk memilih hukum yang akan diterapkan oleh badan arbitrase. Kebebasan seperti ini tidak ada dalam pengadilan internasional pada umumnya. Contohnya pada Mahkamah Internasional terikat untuk menerapkan prinsip-prinsip hukum internasional yang ada, meskipun dalam mengeluarkan putusannya dibolehkan menerapkan prinsip ex aequo et bono.

1.       Kelebihan Arbitrase

Kelebihan dalam penggunaan arbitrase antara lain adalah:

a. para pihak memiliki kebebasan dalam memilih hakimnya (arbitrator) baik secara langsung maupun tidak langsung (melalui bantuan pihak ketiga seperti pengadilan internasional). Hal ini penting karena apabila suatu negara menyerahkan sengketanya kepada pihak ketiga (dalam hal ini arbitrase) maka negara tersebut harus mempercayakan sengketanya diputus oleh pihak ketiga tersebut, yang menurut negara itu bisa diandalkan, dipercaya, dan memiliki kredibilitas.

Page 39: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

c. para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan hukum acara atau persyaratan bagaimanan suatu putusan akan didasarkan misalnya dalam menentukan hukum acara dan hukum yang akan diterapkan pada pokok sengketa.

d. sifat dari putusan arbitrase pada prinsipnya adalah final dan mengikat

e. apabila para pihak menginginkan maka arbitrase itu dapat dilaksanakan secara rahasia. Contoh persidangan yang dilakukan secara rahasia adalah persidangan atau dengar pendapat secara lisan yang tertutup dalam kasus Rainbow Warriors Arbitration juga dalam kasus Anglo-French Continental Shelf.11

[11]

f. prosedur arbitrase dapat lebih cepat dari pengadilan internasional.

g. para pihak sendiri yang menentukan tujuan atau tugas badan arbitrase.

2.       Kelemahan Arbitrase

Selain kelebihan-kelebihan seperti yang disebutkan di atas arbitrase juga mempunyai beberapa kelemahan, yaitu:

a. arbitrase hanya dapat dilakukan jika kedua belah pihak sepakat untuk itu, sedangkan dalam masyarakat internasional umumnya negara enggan untuk memberikan komitmennya untuk menyerahkana sengketa kepada badan-badan pengadilan interansional termasuk badan arbitrase internasional.

h. keputusan yang diambil tergantung pada arbiter.

11

Page 40: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

i. proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tisak mejamin putusannya akan mengikat. Hukum internasional tidak menjamin bahwa pihak yang kalah atau tidak puasdengan putusan yang dikeluarkan akan melaksanakan putusan tersebut.

j. tidak ada preseden yang dapat dijadikan sumber hukum arbitrase.

k. dalam penunjukkan badan arbitrase ad hoc, sedikit banyak akan menimbulkan kesulitan dalam prosesnya, karena para pihak harus betul-betul memahami sifat-sifat arbitrase dan merumuskan sendiri hukum acaranya. Badan arbitrase akan berfungsi apabila para pihak sepakat untuk menyerahkan sengketa pada lembaga itu.

3.       Sumber Hukum Arbitrase

Dalam penggunaan arbitrase sumber hukum internasional yang dapat dijadikan landasan hukumnya adalah:

a. The Hague Convention for the Pacific Settlement of International Dispute (tahun 1899 dan 1907)

l. Pasal 13 Covenant of the League of Nations. Pasal 13 ayat (1) Covenant antara lain mewajibkan negara-negara anggotanya untuk menyerahkan sengketa mereka kepada badan arbitrase (atau pengadilan internasional) apabila sengketa itu tidak dapat diselesaikan secara diplomatik. Ketentuan ini diperkuat dengan dibentuknya suatu protokol di Jenewa tahun 1924. tetapi protokol itu tidak berlaku karena negara yang meratifikasinya sedikit.

m. The General Act for the Settlement of International Dispute pada tanggal 26 September 1928. dibuatnya The General Act ini dipengaruhi oleh kegagalan Protokol 1924. Suatu Komisi khusus, yaitu The convention on Arbitration and Security dibentuk untuk merumuskan The General Act. Perjanjian ini berlaku pada tanggal 16 Agustus 1929 dan diratifikasi oleh 23 negara termasuk Perancis, Inggris dan Italia.

n. Pasal 33 Piagam PBB yang memuat beberapa alternatif penyelesaian sengketa, antara lain arbitrase, yang dapat dimanfaatkan oleh negara-negara anggota PBB.

Page 41: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

o. The UN Model on Arbitration Procedure, yang disahkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB 1962 (XIII) tahun 1958. Model Law ini sebenarnya adalah hasil karya ILC (International Law Commission) yang menaruh perhatian besar terhadap arbitrase. Pada tahun 1955, ILC kembali mengkaji ulang seluruh rancangan perjanjian dan mengubah nama perjanjian tersebut menjadi sekedar Model Hukum (Model of Law).12[12]

4.       Pemilihan Arbitrator

Dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase, hal yang paling vital adalah penentuan pemilihan arbitratornya. Karena dalam putusan arbitrase berlaku mengikat para pihak, serta tidak ada sarana banding sehingga kewenangan arbitrator ini sangat besar dalam penentuan kasus. Meskipun telah di sepakati bahwa peran arbitrator harus independent dan tidak memihak, namun perlu suatu kejelian untuk memilih arbitrator agar nantinya tidak menghasilkan suatu putusan yang merugikan para pihak.

Pada proses arbitrase para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan dan mengangkat arbitrator yang berwenang memeriksa dan memutus perkara. Para pihak, sebelum mengadakan pemilihan arbitrator dengan sendirinya akan mempertimbangkan berbagai konsekwensi yang timbul dalam perkara tersebut. Salah satunya adalah imparsialitas dari arbiter yang merupakan salah satu jaminan terhadap kepercayaan, karena keahlian dan integritas yang dimiliki arbiter harus merujuk pada kualitas yang patut dibanggakan, sehingga arbiter dituntut harus mampu meyakinkan pihak-pihak yang berperkara sebagai figur yang bebas dan tidak memihak. Tanpa ada kepercayaan dari pihak-pihak bersengketa kepada arbiter atau para arbiter, forum arbitrase tidak akan dapat berfungsi dengan baik sebab arbitrase bukan berlandaskan yuridis formal tetapi berdasarkan kebenaran dan kepatutan (ex aequo et bono).

Definisi dari arbitrator sendiri adalah:

“A private, neutral person chosen to arbitrate a disagreement, as opposed to a court of law. An arbitrator could be used to settle any non-criminal dispute, and many business contracts make provisions for an arbitrator in the event of a disagreement. Generally, resolving a disagreement through an arbitrator is substantially less expensive than resolving it through a court of law.”13[13]

12

13

Page 42: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Pendapat lain mengenai definisi arbitrator, yaitu;

“An Arbitrator is a disinterested person selected by agreement of contesting parties (or by the court) to hear and settle some disputed question between them. The test for apparent or unconscious bias in an arbitrator is whether there was any real danger that he was biased.”14[14]

Pada awal perkembangannya para pihak kerap mempercayakan orang-orang berpengaruh seperti kepala negara atau pimpinan spiritual (agama) sebagai arbitratornya. Dalam perkembangannya, individu perorangan dengan kualifikasi tertentu seperti ahli hukum, politikus atau hakim, telah pula dipilih sebagai arbitrator.

Pada umumnya dalam Arbitrase di pakai tiga arbitrator panel, tapi tidak menutup kemungkinan untuk menunjuk satu arbitrator jika jumlah yang disengketakan hanya sedikit. Penunjukan panel tiga arbitrator biasanya melibatkan masing-masing pihak dengan menunjuk satu arbitrator, kemudian kedua arbitrator terpilih itu akan memilih arbitrator ketiga sebagai chairman. Penunjukkan arbitrator ini harus di setujui oleh kedua belah pihak yang bersengketa.

Dalam The Jay Treaty tahun 1794 mensyaratkan tiga orang anggota arbitratornya. The General Act 1928 mensyaratkan lima orang. The Hague Convention 1899 dan The Hague Convention 1907 juga mensyaratkan lima orang. Biasanya badan arbitrase permanen memiliki daftar nama-nama orang yang telah memenuhi kualifikasi sebagai arbitrator. Dari daftar ini para pihak dapat memilih mereka sesuai dengan pilihannya.

Dalam penentuan jumlah arbitrator, the United Nations Model juga menentukan bahwa para pihak yangmenetapkan jumlah dan syarat-syarat arbitrator. Apabila para pihak gagal menentukan arbitrator ini dalam jangka waktu tiga bulan maka the United Nations Model akan memercayakan penentuan arbitrator kepada presiden Mahkamah Internasional.

5.       Hukum Acara

14

Page 43: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Hukum acara yang akan berlaku dalam persidangan arbitrase sepenuhnya bergantung pada kesepakatan para pihak yan dituangkan dalam perjanjian. Konvensi Den Haag, the General act 1928 dan the United Nations Model memuat aturan-aturan hukum acara yang dapat diikuti oleh para pihak.

Berdasarkan pengamatan Camara, pada umumnya unsur-unsur hukum acara dilakukan sebagai berikut.

a. Acara persidangan dilakukan melalui dua tahap: tertulis dan lisan.....

b. Dokumen-dokumen diserahkan sebelum persidangan secara tertulis dan tertutup.

c. Peradilan arbitrase diberi wewenang untuk memanggil saksi-saksi dan meminta bantuan para ahli.

d. Peradilan artbitrase memutus setiap tuntutan yang berkaitan dengan pokok perkara.

e. Peradilan arbitrase dapat memberikan tindakan perlindungan sementara.

f. Apabila salah satu pihak tidak hadir dalam persidangan, peradilan arbitrase dapat memutus perkara untuk kepentingan pihak lainnya apabila tuntutan memiliki landasan hukum yang kuat.

g. Persidangan bersifat rahasia.15[15]

6.       Arbitrase dari Segi Politik

Penyelesaian sengketa antara dua negara tentu akan sulit untuk dicari jalan tengahnya jika permasalahan yang dihadapi cukup krusial bagi kedua negara. Disini diperlukan penengah dari pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa karena dengan adanya pihak ketiga maka akan memberikan tekanan pada para pihak untuk mendorong para pihak menerima penyelesaian sengketanya.

15

Page 44: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Arbitrase lebih fleksibel dibandingkan proses peradilan di Mahkamah Internasional, dimana para pihak dapat menentukan arbitratornya, tempat perwasitan itu dilaksanakan, prosedur yang akan diterapkan, kekuatan dari putusannya melalui perumusan terms of reference (juga disebut sebagai hasil kompromi para pihak) serta kerahasiaan persidangan yang terjamin. Faktor-faktor ini membuat arbitrase lebih menguntungkan dari segi politis bagi negara ynag bersengketa.

III.                   Kasus Bosnia-Hercegovina

A.     Kasus Posisi

Setelah melalui peperangan yang panjang, pada tanggal 14 Desember 1995 di rancang suatu kerangka kerja umum untuk perdamaian di Bosnia-Hercegovina (the Dayton Agreement), yang telah mengakhiri perang di Bosnia-Hecegovina. Dalam implementasinya perjanjian tersebut tidak begitu berhasil karena hanya sukses di dalam aspek militernya saja. The implementation force (IFOR) yaitu pasukan yang mengawasi jalannya perdamaian, yang sebelumnya di bawah struktur UN kemudian alihkan di bawah kewenangan NATO, yang merupakan elemen penting dalam mengakhiri pertempuran dan mencegah kembalinya peperangan. Implementasi sipil dari The Dayton Agreement, terkendala beberapa kesulitan, khususnya yang berhubungan dengan isu kebebasaan pergerakan dan hak-hak para pengungsi untuk kembali ke rumah mereka, sebagaimana yang di jamin oleh Annex VII dari perjanjian. Sebagai tambahan, pengusiran secara paksa keluarga-keluarga di Bosnia dan pembakaran rumah-rumah terus berlangsung walaupun satuan tugas militer polisi Internasional (the international police task force – IPTF) hadir disana beserta organisasi-organisasi lainnya. 16[16]

Ketika perhatian internasional tertuju pada sengketa Serbia – Bosnia dan adanya tuntutan terhadap kejahatan perang di sana, pergulatan penting pun terjadi di Croat-Bosniac Federation of Bosnia-Hercegovina (negara Federasi). Dunia internasional menyoroti Federasi ini dan fungsinya sebagai kunci dari keseluruhan proses perdamaian. Transisi pembagian kekuasaan secara damai di Federasi tidaklah mudah, namun dengan bantuan dan support masyarakat internasional, dilakukan dorongan untuk mengadakan mediasi dan arbitrase dalam menyelesaikan ketidakcocokan dalam menetapkan fungsi dan demokratisasi institusi.

16

Page 45: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Masyarakat Bosnia-Hercegovina terbagi dalam tiga kelompok, yaitu: Bosnia serbia, Bosnia Kroasia, dan Bosniacs yaitu istilah yang ditujukan pada muslim Bosnia dan semua masyarakat yang bukan termasuk orang serbia maupun kroasia. Di bawah perjanjian “Dayton”, Federasi Bosnia-Hercegovina dan republik Srpska adalah dua entitas yang berbeda didalam negara Bosnia-Hercegovina, dengan perbandingan Federasi 51 % dan Republik Srpska 49 %.

Federasi itu terbentuk pada waktu peperangan 1994 dengan The Washington Agreement antara pemerintahan Bosnia-Hercegovina dan Kroasia. Perjanjian ini berisi konstitusi yang berdasarkan pada tiga level struktur yaitu pemerintahan, daerah dan otoritas Federal. Mayoritas otoritas berada di dalam sepuluh daerah (cantons). Kesulitan terbesar adalah dalam usaha untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan Kroasia dan Bosniacs. Konstitusi Federal membagi kedua kelompok masyarakat anggota pemilih ini secara seimbang, dan pada akhirnya, semua legislasi harus disetujui oleh mayoritas anggota Dewan Federasi Kroasia dan Bosniacs. Kedua kelompok itu, telah berulang kali menggunakan persyaratan (suara pemilihan yang harus mayoritas) itu untuk menunda legislasi yang dirasa oleh masing-masing kelompok merugikan pihaknya. Persyaratan ini sebenarnya direncanakan untuk melindungi hak-hak kedua kelompok Bosnians dan Kroasian, namun telah disalahgunakan untuk meningkatkan kepentingan nasionalist masing-masing kelompok.

Dewan Federasi itu akhirnya kehilangan fungsinya. Institusi kunci tidak berfungsi sebagaimana mestinya, dan masyarakat Kroasia tidak benar-benar bergabung secara penuh dengan Republik Kroasia dari Herceg-Bosna. Meskipun mendapat kritikan dari masyarakat internasional, masyarakat Bosnia Kroasia telah menentang semua usaha untuk larut dengan Herceg-Bosna. Institusinya dan administrasinya terus eksis berlanjut, dan membuat halangan besar terhadap penegakan fungsi Institusi Federasi.

B.     Sistem Mediasi dan Arbitrase

Tidak lama setelah Federasi didirikan, pemerintahan Bosnia-Hercegovina dan Kroasia mengakui pentingnya untuk menyelesaikan mekanisme sengketa untuk memutuskan perkara kedua belah pihak yang tidak dapat diputuskan sendiri. Tahun 1995, Presiden Bosnia Izedbegovic dan Presiden Kroasia Tudjman, bersama dengan pemerintah Jerman dan US, menyetujui dua langkah mekanisme penyelesaian sengketa. Para pihak menunjuk Christian Schwarz-Schilling, anggota dari parlemen Jerman, sebagai mediator untuk Federasi, dan pengacara Washington Roberts Owen sebagai Arbitrator Federasi.

Tugas dari Mediator Federasi adalah untuk menegosiasikan dengan para pihak untuk menyelesaikan semua sengketa, memperhatikan secara khusus pandangan-pandangan para pihak terhadap isu-isu

Page 46: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

khusus, dan untuk mengevaluasi kemungkinan untuk berkompromi. Jika para pihak berhasil berkompromi, perjanjian itu secepatnya didokumentasi dan ditandatangani oleh wakil-wakil yang berwenang.

Jika para pihak tidak dapat berkompromi, atau salah satu pihak tidak mematuhi perjanjian yang telah ditandatangani, maka para pihak dapat mengajukan arbitrase yang mengikat. Kontras dengan mediasi, proses arbitrase dalam menyelesaikan sengketa melalui mekanisme hukum secara keseluruhan, dengan tidak ada celah untuk tawar menawar. Para pihak menghadirkan kasus dan argumentasi legal mereka, biasanya dalam bentuk tertulis, dan arbitrator kemudian akan membuat keputusan yang tidak bisa di banding berdasarkan latar belakang hukum arbitrase.

Di masa lalu, keputusan arbitrase sering di tentang oleh pihak yang kalah, dengan menanyakan pada mediator untuk menginterpretasi keputusan itu atau untuk menegosiasi ulang permasalahan. Mediator, harus menolak tindakan tersebut, karena mengutamakan sifat mengikat arbitrase. Arbitrase sendiri, diliputi resiko yang banyak karena para pihak tidak dapat mempengaruhi hasilnya. Pihak yang kalah di arbitrase, dalam pandangan di masa lalu, sering menyesali penolakannya dahulu terhadap pengadopsian kompromi yang di tawarkan oleh mediator. Mediasi pertama dilakukan pada Juni 1995, dan sejak itu hanya 15 daerah yang menerapkan final arbitrase yang mengikat.

1.       Issu Mediasi

Isu utama dari mediasi berkenaan dengan verifikasi mandat untuk Dewan Pemerintah, pemilihan pemimpin Dewan, penunjukan delegasi untuk legislative daerah (canton), pengembalian para pengungsi, kebebasan bergerak (freedom of movement), dan diikuti oleh rencana pemilihan umum bulan September 1996 serta pendirian institusi di Federal khususnya di level canton.

Verifikasi mandat merupakan problem yang sangat rumit. Pada awalnya anggota Dewan pemerintah telah dipilih di tahun 1990 dari partai yang terdaftar. pada waktu itu, Dewan pemerintah terbentuk sebelum perang berlangsung.Walaupun Dewan pemerintah dibentuk sebelum pendirian Federasi, kedua partner Federasi menerima Dewan ini sebagai Dewan pemerintah sementara yang sah sampai pemilihan pemerintah yang akan dibentuk terpilih menggantikan mereka. Pemilihan pemerintah, dijadwalkan bulan September 1996 namun belum lama berselang ditunda oleh organisasi keamanan dan kerjasama di Eropa sampai 1997.

Page 47: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Selama masa perang banyak anggota dewan yang mati, hilang atau lari, dan harus digantikan kedudukannya. Dalam Mostar agreement bulan May 1995, Kroasia dan Bosniacs menyetujui, dalam kasus ini, orang yang berada di daftar selanjutnya dari partai yang terdaftar itu yang akan menggantikan jabatan di Dewan. Sebelum perang, prosedur ini dapat dilaksanakan tanpa masalah. Namun di dalam kenyataannya sekarang, meskipun, jika delegasi itu tidak lagi berasal dari anggota partai tapi dari latar belakang etnis atau delegasi itu adalah orang Kroasia atau Bosniac perlu diputuskan lagi apakah dia dapat diterima sebagai pengganti. Jika delegasi itu tidak dapat diterima sebagai pengganti, maka partai tersebut secara khas akan berdebat atau memberi alasan seperti telah dikeluarkan dari partai, mengundurkan diri, atau tinggal diluar negeri dan tidak lagi dapat dipekerjakan. Hal ini menghambat jalannya Dewan Federasi karena jumlah anggota Dewan tidak lengkap.

Mediator dan arbitrator, dalam putusan final di bulan Juni 1996, mengatur bahwa semua anggota yang telah menduduki kursi Dewan sebagai hasil dari pemilihan tahun 1990 akan dipertahankan dalam kedudukan mereka meskipun mereka mengundurkan diri ataupun dikeluarkan dari partainya. Ini adalah prosedur standar dalam demokrasi dibawah prinsip kebebasan mandat (freedom of mandate), yang menyatakan bahwa setiap anggota dari Dewan Legislatif adalah independent dari partainya atau keanggotaan partainya sejak saat dia masuk menjadi dewan dimana dia telah secara bebas dipilih. Secara berlawanan, jika saat penggantian itu dia tidak lagi sebagai anggota partainya, sebelum dia mengganti anggota dewan yang mengundurkan diri, maka dia kehilangan haknya untuk menggantikan anggota yang mengundurkan diri itu.

Penerimaan dari aturan ini telah menimbulkan suatu hal yang banyak mencurigakan. Para partai menerima peraturan jika hal itu fair dan yang menguntungkan mereka, dan menentang secara keras jika tidak menguntungkan. Sebagai akibatnya, anggota dewan di beberapa daerah berusaha untuk menentang tidak mau untuk melakukannya dalam jangka lama, dan Dewan, karena itu, tidak dapat untuk bersidang dan bekerja menyelesaikan masalah-masalah yang banyak pasca perang.

Kesulitan kedua dalam mediasi berkaitan dengan pemilihan jabatan Walikota (eksekutif daerah) oleh Dewan pemerintah. Dalam sengketa ini, Partai Nasional Kroasia (HDZ) telah menerima satu kursi lebih dari partai nasional Bosniac (SDA), namun dalam forum kedua partai tidak mempunyai mayoritas suara absolut. Kroasia mengklaim mereka mempunyai hak untuk memutuskan Walikota berdasarkan atas interpretasi mereka terhadap The Mostar Agreement yang menyatakan bahwa partai terkuat dapat “menamai” walikota tersebut. Saat yang sama pihak Bosnia mengartikannya sebagai “mencalonkan” atau “penentuan,” dan hal ini menjadi tidak jelas apakah Kroasia itu mempunyai hak untuk menunjuk walikota baru atau hanya memberi nama calon Walikota itu. Dengan beralasan pada aturan dasar demokrasi, maka mediator dan arbitrator memutuskan bahwa “naming the mayor” menamai walikota berarti “mencalonkan” kandidatnya, dengaan demikian membolehkan Dewan itu untuk memilih kandidat lain untuk pemilihan.

Page 48: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Isu krusial lainnya dalam mediasi, bahwa sejumlah delegasi pemerintah juga dikirim sebagai Dewan cantonal, jika bagian teritori itu tidak terletak didalam Federasi tapi didalam Republik Srpska. Sebagai akibat dari pertempuran selama perang dan penarikan garis perbatasan di Dayton, beberapa bagian pemerintahan terbagi menjadi bagian dari Federasi dan Republik Srpska juga. Dalam Mostar Agreement, anggota Federasi telah menyetujui bahwa jumlah delegasi untuk masing-masing daerah bagian akan berkurang sesuai dengan persentase dari teritori yang terletak diluar Federasi. Daerah bagian yang letak seluruhnya berada didalam Federasi akan mendapatkan 5 delegasi, jika hanya 80 % dari teritori yang berada dalam Federasi maka akan dapat 4 delegasi, dan seterusnya. Mediator dan arbitrator menetapkan agreement ini tidak konstitusional karena daerah bagian tidak harus diperlakukan dengan perwakilan yang terbatas jika teritorinya berkurang sebagai akibat perang atau dayton agreement. Resolusinya adalah seluruh daerah bagian harus mendapatkan lima perwakilan tanpa berdasarkan ukuran teritori mereka di dalam Federasi.

2.       Enforcement

Di beberapa daerah bagian, perjanjian mediasi dan aturan arbitrase tidak dapat diterapkan karena para pihak tidak punya kemauan untuk melakukannya. Di kasus yang lain, kompromi negosiasi yang baik telah dirusak oleh fungsionaris di level atas. Untuk menyelesaikan hambatan ini, mediator mengajukan “Federation Implementation Council” untuk menghilangkan individu-individu yang menghalangi kemajuan. Konsul ini terdiri dari tiga anggota dari masyarakat internasional bersama satu orang pihak Kroasia dan satu orang pihak Bosnia, yang mempunyai hak untuk menginvestigasi kasus yang terkait dengan pejabat publik yang tidak mematuhi kewajibannya dibawah hukum domestik atau perjanjian internasional seperti Dayton Agreement, atau yang menghalangi kemajuan di constituent mereka.

Jika konsul tersebut mendapatkan pejabat yang melakukan pelanggaran, maka konsul mempunyai kekuatan untuk mengeluarkannya dari jabatan. Dalam kasus pejabat yang dipilih melalui pemilihan umum, konsul akan membuat rekomendasi kuat kepada legislative yang tepat untuk memberhentikan pejabat itu. Reaksi awal terhadap proposal mediator ini mendapat dukungan, dan kemudian proposal itu dikirim ke Dewan Federal di Sarajevo. Dalam pelaksanaannya meskipun hal itu telah diagendakan pada Juni 2006, parlemen belum mengeluarkan hukumnya.

Keberhasilan strategi untuk menghadapi rintangan tidak harus diperlukan ilmu pengetahuan secara mendalam mengenai hukum, namun lebih menjurus kepada pengetahuan umum. Selama masa mediasi untuk memanggil Dewan pemerintah untuk persidangan di sentral Bosnia, Kroasia memprotes bahwa hanya bendera Bosna yang berkibar di dalam ruang sidang. Ketika Kroasia menghadirkan bendera

Page 49: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Herceg-Bosna, pihak Bosnia menentang. Karena bendera Herceg-Bosna sangat mirip dengan bendera Kroasia, yang menyebabkan pihak Bosnia tidak menerima, maka interpreter mediator menggunakan alat jahitnya untuk memotong bagian bendera yang mengidentifikasikan bendera Herceg-Bosna, dan dengan beberapa jahitan mengubahnya menjadi bendera yang tidak mirip dengan bendera Kroasia. Di bawah perhatian media internasional, maka bendera yang diajukan kepada publik diterima oleh semua pihak.

IV.                 Penutup

Untuk menyelesaikan sengketa antar Negara secara damai terdapat beberapa metode penyelesaian yang mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Penggunaan metode penyelesaian yang melibatkan pihak ketiga dalam hal ini mediasi dan arbitrase dapat dilakukan oleh pihak yang bersengketa baik secara sendiri atau pun dilaksanakan secara berjenjang seperti dalam kasus Bosnia- hercegovina. Dari segi teori, mediasi berada di bawah arbitrase dari tingkat keformalan beracara dan prosedurnya. Sehingga biasanya negara yang ingin menggunakan salah satu metode ini akan lebih mendahulukan mediasi dulu untuk menyelesaikan sengketanya. Jika telah ditemui jalan buntu atau para pihak tidak mau melaksanakan keputusan mediasi itu maka dapat di tempuh jenjang yang lebih tinggi yaitu arbitrase.

Kedua metode penyelesaian sengketa ini dapat berhasil hanya jika ada itikad baik dari para pihak untuk mematuhi hasil putusan yang diambil. Jika ada pihak yang tidak mau menjalankan putusannya maka kedua usaha itu tidak akan berhasil di implementasikan karena tidak adanya upaya pemaksaan (enforcement) atau sanksi terhadap pelanggaran dari putusan tersebut.

Perbedaan antara mediasi dan arbitrase adalah dalam mediasi keputusan diserahkan pada para pihak untuk menetapkannya, jadi ada kesepakatan bersama dalam penyelesaian sengketanya. Sedangkan dalam arbitrase keputusan di ambil oleh arbitrator dan para pihak tidak dapat turut campur dalam penentuan putusan ini. Di dalam mediasi pertemuan lebih bersifat informal, sedangkan dalam arbitrase sudah ada prosedur beracaranya meskipun tidak seformal dalam pengadilan internasional.

Kaitan dalam kasus Bosnia-Hercegovina diatas, para pihak telah menjalankan proses mediasi dan arbitrase sesuai dengan teori yang ada di dalam Hukum Internasional. Meskipun ada beberapa putusan yang tidak dapat dilaksanakan karena adanya beberapa faktor penghalang, seperti para pihak tidak punya kemauan untuk melaksanakan putusan serta adanya pejabat-pejabat tinggi yang bertindak menentang hasil putusan. Pemerintah Bosnia-Hercegovina juga secara jeli telah mengantisipasi

Page 50: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

kemungkinan persengketaan yang macet sehingga telah menetapkan dua instrumen penyelesaian sengketa ini ditempuh dengan jenjang bertingkat.

Pada umumnya proses mediasi dan arbitrase yang dilaksanakan pada Negara Bosnia-Hercegovina dapat dikatakan berhasil menyelesaikan sengketa, meskipun kesemua itu kembali lagi bergantung pada itikad baik para pihak. Kesuksesan atas proses mediasi dan arbitrase harus didukung oleh semua unsur para pihak yang bersengketa juga kepada niat baik dari masyarakat internasional untuk membantu proses rekonstruksi dan pemulihan keadaan pasca perang di negara itu.

Page 51: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

DAFTAR PUSTAKA

D. J. Harriss, Cases and Materials on International Law, Sixth Edition, Sweet & Maxwell, London, 2004.

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, 2004.

J. G. Merrills, Penyelesaian Sengketa Internasional, Tarsito, Bandung, 1986.

Malcolm N. Shaw, International Law, Fourth Edition, Cambridge University Press, 1997.

Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional, UI-Press, Jakarta, 2006.

Black's Law Dictionary, St. Paul Minn, West Publishing Co, 1979.

http://www.investorwords.com/250/arbitrator.html di akses tanggal 15 Mei 2007

http://www.clickdocs.co.uk/glossary/arbitrator.htm diakses tanggal 15 Mei 2007

Peter H. Backes, Mediation in the Federation of Bosnia- Hercegovina, dalam

http://www.wcl.american.edu/hrbrief/v4i1/bosnia41.htm di akses tanggal 22 Maret 2007.

Page 52: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

PENGANTAR HUKUM ARBITRASE DI INDONESIAPosted by tommirrosandy ⋅ 14 Maret 2011 ⋅ Tinggalkan Sebuah Komentar

Filed Under ad hoc, ADR., Arbitrase, hak kekayaan intelektual, HIR, HKI, institusional, Penyelesaian Sengketa, RBg, Rv

Oleh : Tommi Ricky Rosandy, SH

A. PengertianIstilah arbitrase berasal darikata arbitrare (Latin), arbitrage (Belanda/Perancis), arbitration (Inggris) dan shiedspruch (Jerman), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau perdamaian melalui arbiter atau wasit. Dalam literatur, dijumpai beberapa batasan arbitrase yang dikemukakan oleh para ahli hukum, di antaranya adalah : 11. Frank Elkoury dan Edna Elkoury dalam bukunya “How Arbitration Works” disebutkan bahwa arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka di mana keputusan mereka berdasar kan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat.2. Gary Goodpaster, mengemukakan sebagai berikut :“Arbitration is the private adjudication of disputes parties, anticipating possible disputes or experiencing an actual dispute, agree to submit their dispute to a decision maker they in some fashion select”. 3. Subekti, menyebutkan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seseorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.4. Priyatna Abdurrasid mengemukakan bahwa arbitrase adalah suatu proses pemerikaan suatu sengketa yang dilakukan secara yudisial seperti dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak.5. M.N. Purwosutjipto menyatakan bahwa Perwasitan adalah suatu peradilan perdamaian di mana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak, yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak.6. Dalam Black Law Dictionary dijelaskan sebagai berikut :“Arbitration is the reference of a dispute to an impartial (third) person chosenby the parties to the dispute who agree in advance to abide by arbitrator’s award issue after hearing at which both parties have and opportunity to be head. An arrangement for taking and abiding by the judgement of selected persons in some dispute matter, istead of carrying it to establishtribunal of justice, an is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and taxation of ordinary litigation”. 7. Dalam Pasal 1 angka 1 UU No.30 Tahun 1999 disebutkan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.8. Arbitrase menurut Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) adalah a

Page 53: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

procedure for the settlement of disputes between states by binding award on the basis of law and as a result of an undertaking voluntarily accepted. 2

Dari pengertian Arbitrase berdasarkan Undang-Undang dapat diketahui bahwa perjanjian dalam Arbitrase harus tertulis, bukan hanya sekedar perjanjian secara lisan.Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur arbitrase adalah sebagai berikut : 31. Cara penyelesaian sengketa secara privat atau di luar pengadilan;2. Atas dasar perjanjian tertulis dari para pihak;3. Untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi atau yang sudah terjadi;4. Dengan melibatkan pihak ketiga (arbiter atau wasit) yang berwenang mengambil keputusan; dan5. Sifat putusannya adalah final dan mengikat.Sesungguhnya jika kita buka lagi lembaran sejarah hukum di Indonesia, akan kita temui bahwa pranata arbitrase ini sesungguhnya telah dikenal sejak tahun 1894, yaitu sejak Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (Reglement op de Burgerlijke Rechtvordering atau disingkat dengan Rv). Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa melalui pranata arbitrase ini diatur dalam pasal 615 sampai dengan 651 R.v. tersebut. Dalam pasal-pasal tersebut dapat kita temui apa, bagaimana, ruang lingkup dan kewenangan serta fungsi arbitrase dalam menyelesaikan sengketa yang diajukan ke hadapannya.Dasar hukum berlakunya arbitrase pada zaman kolonial Belanda ini adalah pasal 377 HIR atau pasal 705 RBg (Rechtsreglement Buitengewesten) yang berbunyi :“Jika orang Indonesia dan orang Timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”. Jadi pasal ini jelas memberi kemungkinan bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikannya di luar pengadilan. Namun demikian HIR maupun RGb tidak membuat aturan tentang arbitrase. Untuk mengisi kekosongan tersebut, pasal 377 HIR terdapat dalam Reglement Hukum Acara Perdata (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering disingkat Rv,S.1847-52 jo 1849-63).Menumpuknya perkara di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung tampaknya harus menghidupkan kembali pranata Arbitrase ini.4

B. Obyek Sengketa dalam Arbitrase

Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa melalui “adjudikatif privat”, yang putusannya bersifat final dan mengikat. Arbitrase sekarang diatur diatur UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam ketentuan Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Adapun objek pemeriksaan Arbitrase adalah memeriksa sengketa keperdataan, tetapi tidak semua sengketa keperdataan dapat diselesaikan melalui arbitrase, hanya bidang tertentu yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 30 tahun 1999 yaitu :“sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”.

Page 54: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Penjelasannya tidak memberikan apa yang termasuk dalam bidang perdagangan. Jika dihubungkan dengan penjelasan Pasal 66, termasuk dalam ruang lingkup perdagangan adalah kegiatan-kegiatan antara lain bidang :1. Perniagaan2. Perbankan3. Keuangan4. Penanaman Modal5. Industri dan;6. Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)Selanjutnya Pasal 5 ayat (2) menyebutkan bahwa :“Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian”.Dengan menggunakan penafsiran argumentum a contrario, maka kompetensi arbitrase adalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dapat diadakan perdamaian.5

C. Kelebihan ArbitraseDi bawah ini keutungan menggunakan Arbitrase yang dikemukakan oleh para ahli sekaligus dari tinjauan undang-undang :6Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo, dan Fatmah Jatim, dalam “Tinjauan terhadap Arbitrase Dagang Secara Umum dan Arbitrase Dagang di Indonesia” dalam buku Arbitrase di Indonesia” , menyebutkan ada beberapa alasan memilih arbitrase, yaitu :a. Kebebasan, kepercayaan, dan keamanan;b. Keahlian (Expertise);c. Cepat dan hemat biaya;d. Bersifat rahasia;e. Bersifat non-preseden;f. Kepekaan arbiter;g. Pelaksanaan keputusan;h. Kecenderungan yang Moden.Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama dalam bukunya Arbitrase Dagang Internasional juga menyebutkan beberapa alasan yang menyebutkan beberapa alasan yang menjadin arbitrase demikian populer dalam transaksi dagang internasional, antara lain :• Dihindarkannya publisitas;• Tidak banyak formalitas;• Bantuan pengadilan hanya taraf eksekusi;• Baik untuk pedagang-pedagang bonafide;• Ada jaminan dari perkumpulan-perkumpulan pengusaha;• Lebih murah dan lebih cepat.Mengutip penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, pada umumnya dikatakan bahwa pranata Arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan pranata peradilan, yaitu antara lain :a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;b. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif;c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan

Page 55: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

adil;d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dane. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.

Dari keterangan di atas dapat dimengerti bila para pihak memilih arbitrase dalam penyelesaian sengketa, misalnya bagi perusahaan yang berusaha menjaga nama baiknya akan lebih menguntungkan apabila kerahasiaannya terjamin karena tak jarang nama baik dianggap sebagai salah satu sarana mencapai tujuan perusahaan dan demi berlangsungnya sebuah perusahaan tersebut, begitu juga dengan pihak yang tergolong orang pribadi. Dalam arbitrase juga bisa mempercepat dicapainya solusi atas sebuah sengketa karen prosedural dan administratif juga lebih mudah. Dalam hal pihak arbiter bisa memilih arbiter yang keahliannya sesuai dengan sengketa yang sedang terjadi, misalnya dalam hal cyber law maka arbiter yang dipilih bisa dari arbiter yang ahli dalam bidang cyber law sehingga diharapkan putusan akan lebih diterima oleh para pihak. Begitu juga dengan pilihan hukum yang dipakai bisa menggunakan hukum yang paling sesuai dengan persoalan yang sedang dihadapi dan lengkap pengaturannya sesuai kesepakatan para pihak. Arbitrase diharapkan mampu memenuhi rasa keadilan para pihak dan mewujudkan kemudahan-kemudahan dalam penyelesaian sengketa tentunya yang masuk kepada kompetensi sengketa yang diperbolehkan diselesaikan dengan Arbitrase dan penyelesaian sengketa alternatif.D. Kekurangan Arbitrase dan ADR dalam Penyelesaian Sengketa Meskipun ADR memiliki beberapa keunggulan, tetapi ADR sebenarnya merupakan mekanisme yang rentan terutama untuk untuk kondisi Indonesia, karena ADR juga mempunyai kelemahan-kelemahan, di antaranya :7a. ADR belum dikenal secara luas, baik oleh masyarakat awam, maupun masyarakat bisnis, bahkan oleh masyarakat akademis sendiri. Sebagai contoh masyarakat masih banyak yang belum mengetahui keberadaan dan kiprah dari lembaga-lembaga seperti BANI, BAMUI dan P3BI.b. Masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, sehingga enggan memasukkan perkaranya kepada lembaga-lembaga ADR. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya perkara yang diajukan dan diselesaikan melalui lembaga-lembaga ADR yang ada.c. Lembaga ADR tidak mempunyai kewenangan melakukan eksekusi putusannya. Meskipun keputusannya bersifat mengikat, tetapi untuk melaksanakannya harus melalui “fiat eksekusi” pengadilan. Jadi wibawa lembaga pengadilan kalah dengan wibawa pengadilan.d. Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil penyelesaian yang dicapai dalam ADR, sehingga mereka seringkali mengingkari dengan berbagai cara, baik dengan cara mengulur waktu, perlawanan, gugatan pembatalan, dan sebagainya.e. Kurangnya kesediaan para pihak yang bersengketa untuk melepaskan sebagian hak-haknya. Budaya litigasi yang sudah tertanam, membuat para pihak berpikir win-lose solution, dan bukan win-win solution sebagaimana yang dikehendaki oleh ADR.f. Kurangnya para pihak memegang etika bisnis. Sebagai suatu mekanisme extra judicial, ADR hanya dapat bertumpu di atas etika bisnis, seperti kejujuran dan kewajaran.

E. Jenis-Jenis ArbitraseDengan mengacu konvensi-konvensi seperti : Convention of the settlement of Investment

Page 56: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Disputes Between States and National of Other State atau Convention on the Recognition And Enforcement of Foreign Arbitral Awards (Konvensi New York 1958) maupun berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UNCITRAL Arbitration Rules maka kita dapat mengemukakan beberapa jenis arbitrase yaitu :81. Arbitrase ad hoc;Arbitrase ad hoc (arbitrase volunter) adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu. Arbitrase ini bersifat insidental dan jangka waktunya tertentu sampai sengketa itu diputuskan.2. Arbitrase institusional;Arbitrase institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase yang sifatnya permanen. Karena sering disebut “permanent arbitral body” . Arbitrase ini disediakan oleh organisasi tertentu dan sengaja didirikan untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian. Faktor kesengajaan dan sifat permanen ini merupakan ciri pembeda dengan arbitrase ad hoc. Selain itu arbitrase institusional ini sudah ada sebelum sengketa timbul yang berbeda dengan arbitrase ad hoc. Selain itu arbitrase institusional ini berdiri untuk selamanya dan tidak bubar meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai.

F. Keputusan ArbitrasePutusan arbirase umumnya mengikat para pihak. Penaatan terhadapnya dipandang tinggi. Biasanya putusannya bersifat final dan mengikat.9 Itu karena arbitrase dilaksanakan antara para pihak sendiri atas kesadaran akan penyelesaian sengketa.Putusan arbitrase merupakan suatu putusan yang diberikan oleh arbitrase ad-hoc maupun lembaga arbitrase atas suatu perbedaan pendapat, perselisihan paham maupun persengketaan mengenai suatu pokok persoalan yang lahir dari suatu perjanjian dasar (yang memuat klausula arbitrase) yang diajukan pada arbitrase ad-hoc, maupun lembaga arbitrase untuk diputuskan olehnya. Berdasarkan pada “tempat di mana arbitrase tersebut diputuskan, secara umum putusan arbitrase dapat kita bedakan ke dalam : 101. Putusan arbitrase nasional,yang merupakan putusan arbitrase yang diambil atau dijatuhkan di negara Republik Indonesia;2. Arbitrase Internasional atau arbitrase asing,Yang merupakan putusan arbitrase yang dijatuhkan di negara di luar negara Republik Indonesia.

Untuk menentukan apakah putusan arbitrase itu merupakan putusan arbitrase nasional atau internasional, didasarkan pada prinsip kewilayahan (territory) dan hukum yang dipergunakan dalam penyelesaian sengketa arbitrase tersebut. Kalau mempergunakan hukum asing sebagai dasar penyelesaian sengketanya, walaupun putusan dijatuhkan di dalam wilayah hukum Republik Indonesia, putusan arbitrase tersebut tetap merupakan putusan arbitrase internasional. Sebaliknya walaupun para pihak yang bersengketa itu bukan berkewarganegaraan Indonesia, tetapi mempergunakan hukum Indonesia sebagai dasar penyelesaian sengketa arbitrasenya, maka putusan arbitrase yang demikian merupakan putusan arbitrase nasional bukan putusan arbitrase internasional. 11

G. Badan Arbitrase Nasional Indonesia ( BANI )Badan Arbitrase Nasional Indonesia ( BANI ) adalah sebuah badan yang mempunyai hubungan erat dengan KAMAR DAGANG dan INDUSTRI (KADIN) INDONESIA. Tujuannya memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa perdata yang timbul

Page 57: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

mengenai soal-soal perdagangan, industri dan keuangan, baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat Internasional. Dalam melakukan tugasnya tersebut BANI adalah bebas (otonom) dan tidak boleh dicampuri oleh sesuatu kekuasaan lain. 12Indonesia mulai memiliki pusat arbitrase nasional sejak tahun 1977. Indonesia juga memiliki sebuah lembaga arbitrase yang dipusatkan pada transaksi rencana perbankan dan keuangan Islam. Lembaga ini dikenal sebagai BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) yang didirikan pada tanggal 21 Oktober 1998 oleh Yayasan BAMUI, sebagai sebuah mekanisme alternatif yang menyangkut perselisihan komersial di Indonesia. 13Penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitarase BANI jika sidang pertama pemohon tidak hadir, tanpa adanya alasan yang sah, maka permohonan arbitrase akan dinyatakan gugur. Hal ini sesuai dengan ketentuan HIR mengenai perkara perdata. Namun jika termohon yang tidak datang pada sidang pertama maka akan dipanggil sekali lagi untuk menghadap di muka sidang pada waktu kemudian yang ditetapkan selambat-lambatnya empat belas hari lagi sejak dikeluarkannya perintah tersebut. Jika termohon tidak datang juga, maka pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya si termohon dan tuntutan si pemohon akan dikabulkan, kecuali tuntutan itu oleh BANI dianggap tidak berdasarkan hukum atau keadilan. Jadi ketentuan ini sesuai dengan verstek dalam HIR.14 Ini berarti BANI termasuk ke dalam arbitrase institusional yang bersifat nasional karena arbitrase ini disediakan oleh organisasi tertentu dan sengaja didirikan untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian. Faktor kesengajaan dan sifat permanen ini merupakan ciri pembeda dengan arbitrase ad hoc. Selain itu arbitrase oleh BANI ini sudah ada sebelum sengketa timbul yang berbeda dengan arbitrase ad hoc. Selain itu arbitrase oleh BANI ini berdiri untuk selamanya dan tidak bubar meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai dan ruang lingkup keberadaan dan yurisdiksinya hanya meliputi kawasan negara yang bersangkutan.Sedangkan alat bukti yang sah menurut BANI dapat dilihat pada pasal 14 peraturan prosedur BANI yaitu :• Alat bukti keterangan para pihak dalam bentuk pengakuan,• Alat bukti keterangan saksi,• Alat bukti keterangan ahli.Pasal 14 BANI ini tidak menyebutkan alat bukti surat atau dokumen. Namun secara implisit pasal 14 ayat 1 menyatakan bahwa “serta mengajukan bukti-bukti yang oleh mereka dianggap perlu”, ini berarti sesuai dengan praktek dan perundang-undangan di Indonesia adalah bukti surat, persangka (vermoeden) dan alat bukti sumpah. 15Diharapkan dalam alternatif penyelesaian sengketa dapat mendorong mewujudkan semakin tingginya keadilan yang tercapai dalam bidang hukum khususnya hukum yang berkompetensi ditangani dengan pengadilan ataupun penyelesaian sengketa alternatif.

________________________________________________________________1Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, 2008, Gama Media,Yogyakarta,hal. 109-111.2Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, 2006, Sinar Grafika Jakarta. Hal. 39 Lihat juga (1953) Y.B.I.L., Vol. 2, hlm. 14.3Bambang Sutiyoso, Op.Cit, hal. 111.4Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, 2003, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 11-14.5Bambang Sutiyoso, Op.Cit, hal.114-116.

Page 58: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

6Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit, hal. 4-6.7Bambang Sutiyoso, Op.Cit, hal. 41-42.8Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit, hal. 55-56.9Huala Adolf, Op.Cit. , Hal. 52.10Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit, hal. 98-99.11Bambang Sutiyoso, Op.Cit, hal. 159-16012Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit, hal. 104.13Maqdir Ismail, Pengantar Praktek Arbitrase di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Australia, 2007, Universitas Al-Azhar Indonesia, Jakarta, hal. 40-41.14Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit, hal. 108.5Ibid, hal. 148

DAFTAR PUSTAKA

Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, 2008, Gama Media,YogyakartaGunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase , 2003, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional , 2006, Sinar Grafika, Jakarta.Maqdir Ismail, Pengantar Praktek Arbitrase di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Australia, 2007, Universitas Al-Azhar Indonesia, Jakarta.

Page 59: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangHubungan- hubungan internasional yang diadakan oleh subjek hukum internasional selalu ada kemungkinan munculnya sengketa di kemudian hari. Sengketa bisa saja muncul terkait perbatasan, perdagangan, dan lain- lain.Di dalam menyelesaikan sengketa ada beberapa cara yang bisa dipilih,yaitu melalui negosiasi, mediasi, pengadilan, dan arbitrase. Sebagai salah satu alternative penyelesaian sengketa, arbitrase dpandang sebagai cara yang efektif dan adil. Badan arbitrase akan berfungsi apabila para pihak sepakat untuk menyerahkan sengketa kepadanya baik sebelum sengketa muncul maupun setelah sengketa muncul.Arbitrase internasional telah banyak dipakai oleh para pelaku bisnis yang notabene sering terkait dengan kasus- kasus ekonomi, utamanya perdagangan dengan nominal angka yang dipersengketakan cukup mencengangkan bagi orang pada umumnya.Oleh karenanya, besar peranan arbitrase internasional dalam aksinya menyelesaikan setiap persengketaan dalam permasalahan bisnis terkait ranah internasional. Menyoal tentang apa itu arbitrase internasional, bagaimana sejarah dan dasar pembentukannya, seperti apa seperti apa saja bentuk lembaganya, bagaimana jalan proses putusan yang di hasilkan, serta penolakan maupun pembatalan terhadap putusannya, dan contoh kasus terkait dengannya. Guna menjawaba pertanyaan tersebut, maka penulis membuat makalah yang berjudul “Arbitrase Internasional”

B. Rumusan MasalahDalam pembuatan makalah ini, penulis merumuskan masalah pada:1. Apa pengertian arbitrase internasional ?2. Bagaimana sejarah dan dasar pembentukan arbitrase internasional ?3. Apa saja bentuk lembaga- lembaga arbitrase internasional ?4. Bagaimana proses jalannya putusan arbitrase internasional ?5. Bagaimana pembatalan dan penolakan putusan di dalam arbitrase internasional ?6. Seperti apa contoh kasus pelaksanaan arbitrase internasional ?

BAB IIPEMBAHASAN

A. Pengertian Arbitrase InternasionalArbitrase menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Black’s Law Dictionary memberikan pengertian “Arbitration. an arrangement for taking an abiding by the judgment of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation”.Arbitrase internasional dapat pula diberikan pengertian, yaitu arbitrase yang ruang lingkup keberadaan dan yurisdiksinya bersifat internasional.

Page 60: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Suatu arbitrase dianggap internasional apabila para pihak pada saat dibuatnya perjanjian yang bersangkutan mempunyai tempat usaha mereka (place of business) di negara-negara berbeda. Misalnya salah satu pihak memiliki tempat usaha di Amerika, dan pihak lain memiliki tempat usaha di Indonesia. Jika terjadi perselisihan di antara mereka, dan mereka memilih cara penyelesaian melalui arbitrase, maka arbitrase ini tergolong arbitrase internasional.

B. Sejarah dan Dasar Pembentukan Arbitrase InternasionalPerkembangan sejarah arbitrase, sesungguhnya badan arbitrase telah lama dipraktekkan. Menurut M. Domke, bangsa- bangsa telah menggunakan cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase sejak zaman Yunani kuno. Praktek ini berlangsung pula pada zaman keemasan Romawi dan Yahudi (biblical times) serta terus berkembang terutama di negara- negara dagang di Eropa, seperti Inggris dan Belanda.Arbitrase internasional, sejarah terbentuknya, bagi masing- masing negara memiliki perbedaan yang terlihat dalam bentuk masing- masing jenis lembaga arbitrase internasional itu sendiri.

C. Lembaga-lembaga Arbitrase InternasionalMeningkatnya kebutuhan dunia perdagangan internasional akan lembaga-lembaga arbitrase internasional dalam menyelesaikan sengketa perdagangan mengakibatkan kebutuhan akan eksistensi lembaga-lembaga juga meningkat. Lembaga-lembaga arbitrase internasional tersebut merupakan lembaga-lembaga arbitrase yang bersifat resmi dan didirikan oleh badan internasional yang sudah mapan maupun lembaga-lembaga yang bersifat regional.Beberapa bentuk lembaga arbitrase internasional antara lain:1. International Chamber of Commerce (ICC)ICC berkedudukan di Paris yang didirikan atas prakarsa Asosiasi Dagang Internasional. ICC meletakkan dasar penyelesaian sengketa perdagangan bukan hanya dalam konteks ICC (Court of Arbitration), akan tetapi juga dalam konteks konsiliasi yang memiliki rules of conciliation tersendiri. Meskipun ICC bermarkas di Paris, sidang ICC dapat berlangsung dimana saja dalam menerapkan hukum bagi para pihak telah sepakat untuk menggunakan ICC.Badan arbitrase memiliki hukum acara arbitrase tersendiri (rules of arbitration). Badan arbitrase ICC merupakan salah satu lembaga arbitrase yang terkenal dimana setiap tahunnya terdapat hampir 400 kasus/sengketa perdagangan yang diserahkan ke ICC. Oleh karena itu sebagai sebuah badan administratif yang bersifat formal, ICC tidak melaksanakan arbitrase secara tersendiri, akan tetapi mendaftarkan penyelenggaraan arbitrase ke seluruh dunia.Kasus yang diserahkan melalui ICC akan diadili oleh arbiter dengan mendasarkan pada persoalan (kasus) yang menjadi kewenangan ICC. Dalam hal para pihak yang bersengketa tidak sepakat terhadap beberapa isu (masalah) yang berkembangan dalam penanganan kasus tersebut seperti penetapan tempat, dan lain sebagainya maka ICC memiliki kewenangan untuk menetapkannya.Konteks keputusan (award) yang dihasilkan, award tersebut harus mendapat persetujuan dari ICC (international court of arbitration) yang memiliki kewenangan untuk membuat modifikasi. Menyangkut pembiayaan akan ditentukan oleh kedua belah pihak secara bersama-sama dan merata, dimana sekretariat badan arbitrase akan mensyaratkan pembayaran administrasi dan biaya arbiter. Perhitungan biaya (cost) didasarkan pada jumlah biaya yang telah ditentukan oleh ICC dan jumlah biaya yang disengketakan. Sekretariat mensyaratkan pula biaya deposit sebelum badan arbitrase memulai

Page 61: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

pekerjaannya. Oleh karena itu, dari segi pembiayaan, cost yang dikeluarkan sangatlah besar.2. London Court of International Arbitration (LCIA)London Court of International Arbitration (LCIA) merupakan lembaga arbitrase yang digagas dan didirikan oleh the Court of Common Council of the City of London pada tahun 1891. LCIA merupakan lembaga arbitrase tertua di dunia yang terdiri dari Chamber of Commerce, perusahaan-perusahaan yang terletak di Kota London dan lembaga-lembaga arbitrator. Pada umumnya, LCIA juga menangani sengketa-sengketa perdagangan pada umumnya sebagaimana yang dilakukan oleh ICC, hanya saja jumlah kasus yang ditangani oleh LCIA relatif lebih kecil. Meskipun demikian, baik LCIA maupu ICC memiliki tanggungjawab yang sama terhadap prosedur lembaga/organisasi dan pengangkatan arbitrator.Arbiter arbitrase LCIA memiliki kewenangan untuk memerintahkan penjagaan, penyimpanan, penjualan, dan bahkan membuang barang-barang (property) yang berada di bawah kendali para pihak bersengketa. Selanjutnya, para pihak yang bersengketa bebas untuk menggunakan kompetensi pengadilan terhadap tindakan conservatory preaward. Di samping itu, LCIA juga dapat memerintahkan para pihak untuk menyediankan keamanan terhadap seluruh atau sebagian dari apa yang dipersengketakan dalam arbitrase. Dalam konteks pengangkatan arbitrator, LCIA dapat mengangkat seorang arbitrator yang tidak independent dan atau sebaliknya.3. United Nations Commission on International Trade law (UNCITRAL)United Nations Commission on International Trade law (UNCITRAL) adalah merupakan suatu komisi yang didirikan pada bulan Desember 1966 dengan tujuan untuk mengharmonisasikan dan mengunifikasi suatu hukum yang fokus ke perdagangan internasional.Hanya negara yang dipersyaratkan menjadi anggota UNCITRAL, akan tetapi dalam mengimplementasikan pekerjaannya, UNCITRAL bekerjasama dengan organisasi atau lembaga yang relevant seperti ICCA untuk beberapa isu arbitrase. Beberapa instrumen prinsip yang diadopsi oleh UNCITRAL adalah: The UNCITRAL Arbitraion Rules, 1976. The UNCITRAL Conciliation Rules, 1980. Guidelines for Administering Arbitration, 1982. The Model Law on International Commercial Arbitration, 1985. Guidelines on Pre-Hearing Conferences.Model hukum (the Model Law) arbitrase perdagangan internasional merupakan sebuah model untuk negara-negara yang mengadopsi ke dalam hukum nasionalnya di bidang arbitrase perdagangan internasional. Tujuan utama UNCITRAL adalah untuk mempersiapkan suatu model hukum yang ideal dalam menghadapi divergensi yang ada dalam penggunaan aturan-aturan arbitrase dan hukum nasional. Akan tetapi (the Model Law) tidak menangani setiap persoalan yang berhubungan dengan arbitrase perdagangan internasional. Sebagai dampaknya, negara-negara sering memasukkan pasal-pasal tambahan (additional provisions) ke dalam hukum nasional masing-masing negara yang menadopsi (the Model Law). The Model Law dapat dimodifikasi oleh negara-negara anggota, seperti beberapa negara telah memodifikasi (the Model Law) sehingga dapat diterapkan ke dalam hukum nasional tanpa diskriminasi (equally). Sebelum eksisnya the Model Law, hanya ada dua instrument utama yang menangani arbitrase perdagangan internasional dalam sistem di Perserikatan bangsa-bangsa. Kedua instrumen tersebut adalah:a. The United Nations Convention on the Recognition and Enforcement on Foreign Arbitral Awards, 1958 (the New York Convention);b. The UNCITRAL Arbitration Rules, 1976.

Page 62: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

The New York Convention menyiapkan pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase luar negeri dan perjanjian arbitrase. Konvensi ini adalah salah satu Konvensi yang tersukses dalam hubungan internasional yang telah ditandatangani oleh 120 negara per 16 Desember 1998. Akan tetapi, Konvensi ini dalam prakteknya terpisah dengan ketentuan domestik masing-masing negara anggota Konvensi yang berakibat pada interpretasi yang berbeda. Disamping itu, Konvensi ini juga tidak menangani prosedur arbitrase.The UNCITRAL Arbitration Rules, 1976. justru sebaliknya. Prosedur arbitrase menjadi menjadi salah satu “subject matters” meskipun dalam batasan tertentu. Hal pertama yang dilakukan adalah mengunifikasi penerapan hukum nasional dalam arbitrase. Jadi, is didesain sebagai arbitrase ad hoc.Sebuah draf Model Law mulai diprakarsai dengan meluaskan lingkup dari instrument pada tahun 1982. tujuan dari Model Law adalah untuk mempromosikan penyatuan prosedur arbitrase dan mengalamatkannya pada kebutuhan mendasar dari arbitrase perdagangan internasional. Akhirnya, 21 Juni 1985 UNCITRAL diadopsi dan MajelisUmum PBB juga mengadopsinya pada Tanggal 11 Desember 1985.Prinsip dasar dari the Model Law adalah pengakuan terhadap kebebasan para pihak untuk menlaksanakan arbitrase dengan batasan/larangan yang minimal. Sehingga pada kenyataannya, banyak pasal-pasal dalam the Model law yang diderogasi oleh para pihak. The Model Law juga mengakui peranan yang dimainkan oleh lembaga-lembaga arbitrase dalam arbitrase perdagangan internasional. Pasal 2 huruf d disebutkan bahwa:“where a provisions of this law, except article 28 [concerning the rules applicable to the substance of the dispute], leaves the parties free to determine a certain issues such freedom includes the right of the parties to authorize a third party, including an institution, to make that determination”.Sehingga dapat dikatakan bahwa aturan-aturan arbitrase dapat digunakan baik arbitrase yang bersifat ad hoc maupun permanent.Adapun lingkup utama dari Uncitral Model Law adalah:• Bentuk dan definisi perjanjian arbitrase;• Pengangkatan Arbitrase tribunal;• Hukum yang dapat diterapkan dalam arbitrase;• Pengakuan dan pelaksaan putusan arbitrase.Dalam konteks lingkup aplikasi, the Model law merujuk pada Pasal 1 dengan beberapa pengecualiaan pada Pasal 8, 9, 35, dan 36. adapun perjanjain arbitrasenya dapat dilihat pada Pasal 7 the Model law. Demikian pula jumlah arbitrase dapat ditunjuk satu atau tiga orang (Pasal 10), termasuk didalamnya prosedur pengangkatan (Pasal 11) ayat 1 dan 3). Adapun menyangkut proceeding, para pihak diberi kebebasan untuk menentukan prosedur yang tepat (Pasal 19), termasuk didalamnya substansi hukum apa yang tepat untuk digunakan (Pasal 28 ayat 1 dan 2).Dalam konteks pelaksanaan dan penerapan putusan, the Model Law menentukan bahwa putusan dapat saja ditolak jika:• Invalid;• Salah satu pihak tidak memberikan pemberitahuan tentang pengangkatan arbitrator dan atau proses arbitrase;• Putusan arbitrase melebihi lingkup perjanjian yang dilakukan;• Komposisi dari tribunal arbitase yang tidak sesuai dengan perjanjian para pihak;

Page 63: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

• Pengadilan menemukan bahwa persoalan yang diajukan ke arbitrase adalah bukan persoalan yang dapat atau harus diselesaikan melalui lembaga arbitrase;• Putusan arbitrase bertentangan dengan kebijakan publik dari negara (Pasal 34 dan 36)4. Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States and National of Other states (ISCID Convention)ISCID dibuat berdasar pada Washington Convention on the settlement of Investment Disputes between States and National of Other States, 1965 (ISCID Convention. ISCID hanya tersedi pada kasus-kasus dimana salah satu pihak yang bersengketa adalah negara atau agency (lembaga) dari suatu negara. Lebih dari 80 negara telah meratifikasi ISCID termasuk didalmnya Indonesia. Seluruh negara-negara anggota telah sepakat bahwa tidak ada kemungkinan untuk menerapkan putusan ISCID sebelum adanya penetapan pengadilan dimana tempat arbitrase ditentukan.Negara-negara penandatangan sepakat untuk mengikat diri (consent to be bound) untuk menerapkan dan melaksanakan putusan ISCID sebagaimana putusan final dari pengadilan nasional negara-negara anggota.ISCID mengawasi dan menyediakan fasilitas untuk arbitrase tetapi tidak melaksanakan arbitrase. Dalam hal ini, ISCID memiliki kewenangan untuk hanya menyediakan fasilitas terhadap sengketa yang ada sepanjang pihak yang bersengketa adalah negara atau agency (lembaga) dari suatu negara. Para pihak bersepakat untuk menentukan arbitrator dan tempat pelaksanaan arbitrase termasuk didalamnya persoalan prosedur. Secara statistik, jumlah kasus yang masuk ke ICSID sangat sedikit dalam hitungan puluhan tahun.Beberapa lembaga Arbitrase di Kawasan Aisa-Pasifik adalah:1. Singapore International Arbitration Centre (SIAC) dan the Singapore Institute of Arbitration;2. Hong Kong International Arbitration Centre (HKIAC);3. China International Economic and Trade Arbitration Commission (CIETAC);4. Korean Commercial Arbitration Board;5. Japan Commercial Arbitration Association;6. Thai Arbitration Centre;7. Kuala Lumpur Regional Centre for Arbitration;8. Indonesian National Arbitration Association (BANI)

D. Pelaksanaan Putusan Arbitrase InternasionalSalah satu fokus utama dalam Konvensi New York 1958, yakni Convetion on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards yang ditandatangani 10 Juni 1958 di kota New York. Ketika Konvensi ini lahir, para pakar arbitrase waktu itu mengakui bahwa Konvensi ini merupakan satu langkah perbaikan dalam hal pengakuan dan pelaksanaan suatu keputusan arbitrase yang dibuat di luar negeri, khususnya di antara negara anggota Konvensi.Konvensi New York mulai berlaku pada 2 Juni 1959. Konvensi ini hanya mensyaratkan tiga ratifikasi agar berlaku. Selanjutnya Konvensi akan berlaku tiga bulan sejak jumlah ratifikasi ketiga terpenuhi.Pada waktu meratifikasi atau mengikatkan diri (aksesi) terhadap konvensi, negara-negara dapat mengajukan persyaratan (reservasi) terhadap isi ketentuan Konvensi New York (pasal 1). Terdapat dua persyaratan yang diperkenankan, yang pertama adalah persyaratan resiprositas (reciprocity-reservation). Yang kedua adalah persyaratan komersial (commercial-reservation).

Page 64: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Konsekuensi dari diajukannya persyaratan pertama, yaitu bahwa negara yang bersangkutan baru akan menerapkan ketentuan Konvensi apabila keputusan arbitrase tersebut dibuat di negara yang juga adalah anggota Konvensi New York. Apabila keputusan tersebut ternyata dibuat di negara yang bukan anggota, maka negara tersebut tidak akan menerapkan ketentuan Konvensi.Persyaratan komersial berarti bahwa suatu negara yang telah meratifikasi Konvensi New York hanya akan menerapkan ketentuan Konvensi terhadap sengketa-sengketa “komersial” menurut hukum nasionalnya.Konvensi ini mengandung 16 pasal yang dari pasal-pasal tersebut dapat ditarik 5 prinsip berikut, antara lain:Prinsip pertama, yakni Konvensi ini menerapkan prinsip pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase luar negeri dan menempatkan keputusan tersebut pada kedudukan yang sama dengan keputusan peradilan nasional.Prinsip kedua, yakni Konvensi ini mengakui prinsip keputusan arbitrase yang mengikat tanpa perlu ditarik dalam keputusannya.Prinsip ketiga, yaitu Konvensi ini menghindari proses pelaksanaan ganda (double enforcement process).Prinsip keempat, Konvensi New York mensyaratkan penyederhanaan dokumentasi yang diberikan oleh pihak yang mencari pengakuan dan pelaksanaan Konvensi.Prinsip kelima, Konvensi New York lebih lengkap, lebih komprehensif daripada hukum nasional pada umumnya. Berbeda dengan hukum nasional pada umumnya yang hanya mengatur tentang pelaksanaan (enforcement) suatu keputusan pengadilan (termasuk arbitrase), Konvensi New York juga mengatur tentang pengakuan (recognition) terhadap suatu keputusan arbitrase.Ketentuan utama Konvensi terdapat dalam pasal I, III dan V, yaitu:Pasal I, bahwa Konvensi berlaku terhadap putusan-putusan arbitrase yang dibuat dalam wilayah suatu negara selain daripada negara di mana pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase itu diminta dan berlaku terhadap putusan-putusan arbitrase yang bukan domestic di suatu negara di mana pengakuan dan pelaksanaannya diminta.Pasal III, mewajibkan setiap negara peserta untuk mengakui keputusan arbitrase yang dibuat di luar negeri mempunyai kekuatan hukum dan melaksanakannya sesuai dengan hukum (acara) nasional di mana keputusan tersebut akan dilaksanakan. Seperti telah dikemukakan diatas, ketentuan pasal ini hanya pokoknya saja tentang pelaksanaan keputusan arbitrase, tidak detail. Konvensi hanya menyebutkan saja tentang daya mengikat suatu keputusan dan tentang bagaimana pelaksanaan atau eksekusinya. Konvensi tidak mengaturnya siapa pihak yang berwenang untuk mengeksekusi keputusan tersebut; Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung.Pasal V, mencantumkan alasan- alasan penolakan terhadap keputusan arbitrase intenasional.Indonesia baru meratifikasi 2 konvensi internasional yang berhubungan dengan pelaksanaan putusan arbitrase asing yaitu :1. Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of Other States. atau ICSID Convention, berdasarkan Undangundang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal tanggal 29 Juni 1968.2. Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards atau New York Convention 1958 disahkan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 34 Tahun 1981.

Page 65: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Sekalipun pada tahun 1981 kita sudah meratifikasi konvensi New York 1958, akan tetapi putusan arbitrase asing belum dapat dilaksanakan secara efektif , karena menurut Mahkamah Agung belum ada aturan pelaksanaannya. Baru pada tahun 1990, dengan terbitnya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 1990 putusan arbitrase asing dapat dilaksanakan di Indonesia, dan kemudian dikuatkan lagi dengan lahimya Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.Lembaga yang memberikan otoritas tunggal untuk menangani masalah pengakuan (recognition) dan pelaksanaan (enforcement) putusan arbitrase asing di Indonesia ialah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.Tentang bagaimanakah putusan arbitrase asing tersebut dilaksanakan, maka dalam hal ini meliputi tiga tahap :a. tahap penyerahan dan pendaftaran putusanb. tahap pemberian eksekuaturc. tahap eksekusi putusanPutusan arbitrase asing baru dapat dilaksanakan/ dieksekusi setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan (deponir/deposit) oleh arbiter atau kuasanya kepada Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan harus dilengkapi data-data :a. lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase asingb. terjemahan resminya dalam bahasa Indonesiac. lembar asli atau salinan otentik perjanjiand. terjemahan resminya dalam bahasa Indonesiae. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia yang bersangkutan.Putusan arbitrase asing tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, atau dari Mahkamah Agung dalam hal salah satu pihaknya menyangkut Negara Republik Indonesia.Ketua Pengadilan Negeri, sebelum memberikan perintah pelaksanaan (eksekuatur) terhadap putusan arbitrase yang bersangkutan, diwajibkan terlebih dahulu untuk memeriksa secara substantif, apakah putusan arbitrase asing tersebut:- melebihi kewenangan arbiter,- bertentangan dengan ketertiban umum,- telah memenuhi syarat, bertentangan dengan kesusilaan, dalam ruang lingkup perdagangan, sengketa yang tidak boleh didamaikan,- tentang hak dalam kekuasaan para pihak.Undang - undang Arbitrase menyatakan bahwa tatacara untuk melaksanakan suatu putusan arbitrase asing tersebut berpedoman kepada Hukum Acara Perdata yang berlaku.Menurut hukum acara perdata Indonesia, suatu putusan pengadilan dan berlaku juga terhadap putusan arbitrase asing, dijalankan dengan tatacara sebagai berikut : Peringatan/tegoran (aanmaning) Sita Eksekusi (Executorial Beslag), Penjualan/Lelang, Pengosongan.Pasal 66 UU no. 30 tahun 1999. Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di

Page 66: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional;b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan;c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum;d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dane. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

E. Pembatalan dan Penolakan Putusan Arbitrase InternasionalPenolakan terhadap putusan arbitrase internasional, tercantum di dalam konvensi New York 1958, pada Pasal V memuat tentang alasan-alasan yang dapat diajukan oleh para pihak untuk menolak pengakuan dan pelaksanaan suatu keputusan arbitrase asing. Prinsipnya yaitu bahwa pihak yang mengajukan penolakan keputusan arbitrase harus mengajukan dan membuktikan alasan-alasan penolakan tersebut. Terdapat 7 alasan penolakan pelaksanaan suatu keputusan arbitrase internasional, yang antara lain:1. Bahwa para pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut ternyata menurut hukum nasionalnya tidak mampu atau menurut hukum yang mengatur perjanjian tersebut atau menurut hukum negara di mana keputusan tersebut dibuat apabila tidak ada petunjuk hukum mana yang berlaku.2. Pihak terhdap mana keputusan diminta tidak diberikan pemberitahuan yang sepatutnya tentang penunjukan arbitrator atau persidangan arbitrase atau tidak dapat mengajukan kasusnya.3. Keputusan yang dikeluarkan tidak menyangkut hal-hal yang diserahkan untuk diputuskan oleh arbitrase, atau keputusan tersebut mengandung hal-hal yang berada di luar dari hal-hal yang seharusnya diputuskan, atau4. Komposisi wewenang arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan persetujuan para pihak, atau, tidak sesuai dengan hukum nasional tempat arbitrase berlangsung, atau5. Keputusan tersebut belum mengikat terhadap para pihak atau dikesampingkan atau ditangguhkan oleh pejabat yang berwenang di negara di mana keputusan dibuat.Pasal 22 ayat 1 Undang-undang no. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa terhadap arbiter dapat diajukan tuntutan ingkar apabila terdapat cukup alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil putusan.Terhadap putusan arbitrase Internasional, Pengadilan hukum di Indonesia dapat melakukan pengingkaran pengakuan (denial of awards) akan substansi yang telah diputus oleh lembaga arbitrase internasional, dan juga terhadap eksekusi (denial of awards) terhadap objek arbitrase yang ada di wilayah jurisdiksi hukum Indonesia.Pada pasal 65 Undang-undang no. 30 tahun 1999 di bawah sub judul arbitrase internasional berbunyi :

Page 67: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dari pengertian pasal tersebut bukan saja pengadilan berwenang untuk menolak mengeksekusi suatu putusan arbitrase, bahkan memiliki kewenangan untuk menolak pengakuan terhadap materi yang telah diputuskan oleh lembaga arbitrase internasional.Pengakuan atas daya ikat putusan arbitrase, diletakkan di bawan sub judul arbitrase nasional, pada pasal 60 yang berbunyi : Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.Di sisi lain dalam pasal 456 RV atau Hukum Acara Perdata menyebutkan bahwa pengadilan Indonesia tidak akan mengakui dan melaksanakan putusan pengadilan yang dibuat di negara lain. Dengan kata lain, apabila hendak mengeksekusi suatu putusan arbitrase Internasional, pihak yang bersangkutan harus mengajukan gugatan baru di Indonesia.

F. Contoh Kasus Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase InternasionalPenyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional dapat dilihat melalui contoh kasus Pertamina – Karaha Bodas melalui arbitrase internasional.Sengketa antara Pertamina melawan Karaha Bodas corporation (KBC) bermula dengan ditandatanganinya perjanjian Joint Operation Contract (JOC) pada tanggal 28 November 1994. Pada tanggal yang sama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) di satu pihak dan Pertamina serta KBC pada pihak lain menandatangani perjanjian Energy Supply Contract (ESC). Perjanjian kersasama ini bertujuan untuk memasok kebutuhan listrik PLN dengan memanfaatkan tenaga panas bumi yang ada di Karaha Bodas, Garut, Jawa Barat. Dalam perjalanannya ternyata proyek kelistrikan ini ditangguhkan oleh Pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 39 tahun 1997 tertanggal 20 September 1997. Dampak penangguhan adalah kerjasama Pertamina dengan KBC tidak dapat dilanjutkan.KBC pada tanggal 30 April 1998 memasukkan gugatan ganti rugi ke Arbitrase Jenewa sesuai dengan tempat penyelesaian sengketa yang dipilih oleh para pihak dalam JOC. Pada tanggal 18 Desember 2000 Arbitrase Jenewa membuat putusan agar Pertamina dan PLN membayar ganti rugi kepada KBC, kurang lebih sebesar US$ 261,000,000.Atas putusan arbitrase Jenewa, Pertamina tidak bersedia secara sukarela melaksanakannya. Sebagai upaya hukum, Pertamina telah meminta pengadilan di Swiss untuk membatalkan putusan arbitrase. Hanya saja upaya ini tidak dilanjutkan (dismiss) karena tidak dibayarnya uang deposit sebagaimana dipersyaratkan oleh Swiss Federal Supreme Court.Sementara itu, KBC telah melakukan upaya hukum berupa permohonan untuk pelaksanaan Putusan Arbitrase Jenewa di pengadilan beberapa negara di mana asset dan barang Pertamina berada, kecuali di Indonesia. Pada tanggal 21 Pebruari 2001, KBC mengajukan permohonan pada US District Court for the Southern District of Texas untuk melaksanakan Putusan Arbitrase Jenewa. Selanjutnya KBC mengajukan permohonan yang sama pada pengadilan Singapura dan Hong Kong. Dalam menyikapi upaya hukum KBC, Pertamina melakukan upaya hukum berupa penolakan pelaksanaan di pengadilan-pengadilan yang diminta oleh KBC untuk melakukan eksekusi.Pertamina melanjutkan upaya hukum pembatalan putusan arbitrase Jenewa di pengadilan Indonesia. Pada tanggal 14 Maret 2002 Pertamina secara resmi mengajukan gugatan pembatalan Putusan Arbitrase Jenewa kepada PN Jakarta Pusat. Gugatan pembatalan tersebut didasarkan pada ketentuan pasal 70 UU no. 30 tahun 1999 tentang syarat-syarat pembatalan putusan Arbitrase Internasional yang berbunyi :

Page 68: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.Dalam putusannya nomor 86/PN/Jkt.Pst/2002 tanggal 9 September 2002 , pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhirnya mengabulkan gugatan Pertamina dengan membatalkan putusan arbitrase internasional, UNCITRAL, di Jenewa, Swiss. Adapun beberapa alasannya antara lain pengangkatan arbiter tidak dilakukan seperti yang telah diperjanjikan dan tidak diangkat arbiter yang telah dikehendaki oleh para pihak berdasarkan perjanjian, sementara Pertamina tidak diberikan proper notice mengenai arbitrase ini dan tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Majelis arbitrase telah salah menafsirkan force majeure, sehingga mestinya Pertamina tidak dapat dimintakan pertanggungjawab atas sesuatu yang di luar kemampuannya. Di samping itu, Majelis Arbitrase dianggap telah melampaui wewenangnya karena tidak menggunakan hukum Indonesia, padahal hukum Indonesia adalah yang harus dipakai menurut kesepakatan para pihak, Majelis arbitrase hanya menggunakan hati nuraninya sendiri berdasarkan pertimbangan ex aequeo et bono.Di dalam kasus ini hal ketertiban umum tidak disinggung-singgung, padahal adalah sangat nyata, bahwa alasan tidak dapatnya Pertamina memenuhi kewajiban kontraknya adalah karena larangan dari Pemerintah Negara Indonesia yang berdaulat melalui Keppres nomor 39 tahun 1997 tanggal 20 September 1997 tentang Penangguhan/pengkajian kembali proyek Pemerintah, badan usaha milik negara, dan swasta yang berkaitan dengan pemerintah/badan usaha milik negara pada amar menimbangnya jelas-jelas dinyatakan bahwa Keputusan Pemerintah tersebut terkait dengan upaya mengamankan kesinambungan perekonomian dan jalannya pembangunan nasional, serta berdasarkan landasan konstitusional yang dimiliki oleh Presiden.Kasus Karaha Bodas Company adalah kasus hukum perdata Internasional di bidang hukum kontrak Internasional yang menarik. Sayangnya putusan Pengadilan di Indonesia mengenai pembatalan kasus tersebut tidak komprehensif dari sisi legal. Menurut Hikmahanto Juwana, dalam kasus tersebut Putusan Arbitrase Internasional tidak dapat dibatalkan oleh pengadilan nasional. Kalaupun pengadilan nasional melakukan pembatalan, pengadilan di negara lain yang sedang dimintakan untuk melaksanakan putusan arbitrase dapat saja tidak terikat, bahkan mengabaikannya.Menurut pendapat kami, karena akar masalahnya adalah dari Keppres atau Pengaturan Pemerintah yang menyebabkan Pertamina tidak dapat memenuhi kewajiban kontraktualnya, maka apabila ada konsekuensi hukum dan klaim atau kerugian yang ditimbulkannya, seyogianya hal tersebut harus diambil alih oleh Pemerintah. Mengikuti ketentuan Pemerintah tidak boleh mendatangkan kerugian bagi diri sendiri.

BAB IIIPENUTUP3.1 Kesimpulano Arbitrase internasional dapat pula diberikan pengertian, yaitu arbitrase yang ruang lingkup keberadaan dan yurisdiksinya bersifat internasional.o Beberapa bentuk lembaga arbitrase internasional antara lain:

Page 69: Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

o Arbitrase internasional, sejarah terbentuknya, bagi masing- masing negara memiliki perbedaan yang terlihat dalam bentuk masing- masing jenis lembaga arbitrase internasional itu sendiri.o Beberapa bnentuk lembaga arbitrase internasional, antara lain:1. International Chamber of Commerce (ICC)2. London Court of International Arbitration (LCIA)3. United Nations Commission on International Trade law (UNCITRAL)4. Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States and National of Other states (ISCID Convention)o Lembaga yang memberikan otoritas tunggal untuk menangani masalah pengakuan (recognition) dan pelaksanaan (enforcement) putusan arbitrase asing di Indonesia ialah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.o Penolakan terhadap putusan arbitrase internasional, tercantum di dalam konvensi New York 1958, pada Pasal V memuat tentang alasan-alasan yang dapat diajukan oleh para pihak untuk menolak pengakuan dan pelaksanaan suatu keputusan arbitrase asing.o Penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional dapat dilihat melalui salah satunya contoh kasus Pertamina – Karaha Bodas melalui arbitrase internasional