Apresiasi Drama

74
APRESIASI DRAMA A. PENGERTIAN Drama berasal dari bahasa Yunani draomai, yang berarti ‘berbuat’ , ‘bertindak’, atau ‘beraksi’. Drama merupakan tiruan kehidupan yang manusia yang diproyeksikan di atas pentas. Drama disebut juga sandiwara. Kata ini berasal dari bahasa Jawa, yaitu ‘sandi’ yang berarti ‘tersembunyi’ dan ‘warah’ yang berarti ‘ajaran’. Dengan demikian, sandiwara berarti ajaran yang tersembunyi dalam tingkah laku dan percakapan. Drama dalam arti luas adalah suatu bentuk kesenian yang mempertunjukkan sifat atau budi pekerti manusia dengan gerak dan percakapan di atas pentas atau panggung. Drama merupakan bentuk seni yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan menyampaikan pertikaian dan emosi melalui lakuan dan dialog. Dengan melihat drama, penonton seolah-olah melihat kehidupan dan kejadian dalam masyarakat. Hal ini karena drama merupakan potret kehidupan manusia. Drama mencakup 2 bidang seni, yaitu seni sastra (untuk naskah drama) dan seni peran/pentas (pementasan). Sebuah naskah drama akan menjadi lengkap/ utuh ketika dipentaskan. B. UNSUR-UNSUR DRAMA Drama memiliki unsur-unsur sebagai berikut. tokoh dan penokohan Tokoh memiliki posisi yang sangat penting karena bertugas mengaktualisasikan cerita/ naskah drama di atas pentas. Dalam cerita

description

drama

Transcript of Apresiasi Drama

Page 1: Apresiasi Drama

APRESIASI DRAMA

A. PENGERTIAN

Drama berasal dari bahasa Yunani draomai, yang berarti ‘berbuat’ , ‘bertindak’, atau ‘beraksi’. Drama merupakan tiruan kehidupan yang manusia yang diproyeksikan di atas pentas. Drama disebut juga sandiwara. Kata ini berasal dari bahasa Jawa, yaitu ‘sandi’ yang berarti ‘tersembunyi’ dan ‘warah’ yang berarti ‘ajaran’. Dengan demikian, sandiwara berarti ajaran yang tersembunyi dalam tingkah laku dan percakapan.

Drama dalam arti luas adalah suatu bentuk kesenian yang mempertunjukkan sifat atau budi pekerti manusia dengan gerak dan percakapan di atas pentas atau panggung. Drama merupakan bentuk seni yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan menyampaikan pertikaian dan emosi melalui lakuan dan dialog. Dengan melihat drama, penonton seolah-olah melihat kehidupan dan kejadian dalam masyarakat. Hal ini karena drama merupakan potret kehidupan manusia.

Drama mencakup 2 bidang seni, yaitu seni sastra (untuk naskah drama) dan seni peran/pentas (pementasan). Sebuah naskah drama akan menjadi lengkap/ utuh ketika dipentaskan.

B. UNSUR-UNSUR DRAMA

Drama memiliki unsur-unsur sebagai berikut.

tokoh dan penokohan

Tokoh memiliki posisi yang sangat penting karena bertugas mengaktualisasikan cerita/ naskah drama di atas pentas. Dalam cerita drama tokoh merupakan unsur yang paling aktif yang menjadi penggerak cerita.oleh karena itu seorang tokoh haruslah memiliki karakter, agar dapat berfungsi sebagai penggerak cerita yang baik.

Di samping itu dalam naskah akan ditentukan dimensi-dimensi sang tokoh. Biasanya ada 3 dimensi yang ditentukan yaitu:

Dimensi fisiologi (ciri-ciri badani) antara lain usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, cirri-ciri muka,dll.

Page 2: Apresiasi Drama

Dimensi sosiologi (latar belakang) kemasyarakatan misalnya status sosial, pendidikan, pekerjaan, peranan dalam masyarakat, kehidupan pribadi, pandangan hidup, agama, hobby, dan sebagainya.

Dimensi psikologis (latar belakang kejiwaan) misalnya temperamen, mentalitas, sifat, sikap dan kelakuan, tingkat kecerdasan, keahlian dalam bidang tertentu, kecakapan, dan lain sebagainya.

Apabila kita mengabaikan salah satu saja dari ketiga dimensi diatas, maka tokoh yang akan kita perankan akan menjadi tokoh yang kaku, timpang, bahkan cenderung menjadi tokoh yang mati.

Berdasarkan perannya, tokoh terbagai atas tokoh utama dan tokoh pembantu. Tokoh utama adalah tokoh yang menjadi sentral cerita dalam pementasan drama sedangkan tokoh pembantu adalah tokoh yang dilibatkan atau dimunculkan untuk mendukung jalan cerita dan memiliki kaitan dengan tokoh utama.

Dari perkembangan sifat/perwatakannya, tokoh dan perannya dalam pementasan drama terdiri 4 jenis, yaitu tokoh berkembang, tokoh pembantu, tokoh statis dan tokoh serba bisa. Tokoh berkembang adalah tokoh yang mengalami perkembangan selama pertunjukan. Misalnya, tokoh yang awalnya seorang yang baik, namun pada akhirnya menjadi seorang yang jahat. Tokoh pembantu adalah tokoh yang diperbantukan untuk menjelaskan tokoh lain. Tokoh pembantu merupakan minor character yang berfungsi sebagai pembantu saja atau tokoh yang memerankan suatu bagian penting dalam drama, namun fungsi utamanya tetap sebagai tokoh pembantu. Tokoh statis adalah tokoh yang tidak mengalami perubahan karakter dari awal hingga akhir dalam dalam suatu drama. Misalnya, seorang tokoh yang berkarakter jahat dari awal drama akan tetap bersifat jahat di akhir drama. Tokoh serba bisa adalah tokoh yang dapat berperan sebagai tokoh lain (all round). Misalnya, tokoh yang berperan sebagai seorang raja, namun ia juga berperan sebagai seorang pengemis untuk mengetahui kehidupan rakyatnya.

2. alur (plot)

Alur adalah jalinan cerita. Secara garis besar, plot drama dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu:

Pemaparan (eksposisi)

Bagian pertama dari suatu pementasan drama adalah pemaparan atau eksposisi. Pada bagian ini diceritakan mengenai tempat, waktu dan segala situasi dari para pelakunya. Kepada penonton disajikan sketsa cerita sehingga penonton dapat meraba dari mana cerita ini dimulai. Jadi eksposisi berfungsi sebagai pengantar cerita. Pada umumnya bagian ini disajikan dalam bentuk sinopsis.

Page 3: Apresiasi Drama

Komplikasi awal atau konflik awal

Kalau pada bagian pertama tadi situasi cerita masih dalam keadaan seimbang maka pada bagian ini mulai timbul suatu perselisihan atau komplikasi. Konflik merupakan kekuatan penggerak drama.

Klimaks dan krisis

Klimaks dibangun melewati krisis demi krisis. Krisis adalah puncak plot dalam adegan. Konflik adalah satu komplikasi yang bergerak dalam suatu klimaks.

Peleraian

Pada tahap ini mulai muncul peristiwa yang dapat memecahkan persoalan yang dihadapi.

Penyelesaian (denouement)

Drama terdiri dari sekian adegan yang di dalamnya terdapat krisis-krisis yang memunculkan beberapa klimaks. Satu klimaks terbesar di bagian akhir selanjutnya diikuti adegan penyelesaian.

Alur cerita akan hidup jika terdapat konflik. Konflik merupakan unsur yang memungkinkan para tokoh saling berinteraksi. Konflik tidak selalu berupa pertengkaran, kericuhan, atau permusuhan di antara para tokoh. Ketegangan batin antartokoh, perbedaan pandangan, dan sikap antartokoh sudah merupakan konflik. Konflik dapat membuat penonton tertarik untuk terus mengikuti atau menyaksikan pementasan drama.

Bentuk konflik terdiri dari dua, yaitu konflik eksternal dan konflik internal. Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan lingkungan alamnya (konflik fisik) atau dengan lingkungan manusia (konflik sosial). Konflik fisik disebabkan oleh perbenturan antara tokoh dengan lingkungan alam. Misalnya,seorang tokoh mengalami permasalahan ketika banjir melanda desanya. Konflik sosial disebabkan oleh hubungan atau masalah social antarmanusia. Misalnya, konflik terjadi antara buruh dan pengusaha di suatu pabrik yang mengakibatkan demonstarasi buruh. Konflik Internal adalah konflik yang terjadi dalam diri atau jiwa tokoh. Konflik ini merupakan perbenturan atau permasalahan yang dialami seorang tokoh dengan dirinya sendiri, misalnya masalah cita-cita, keinginan yang terpendam, keputusan, kesepian, dan keyakinan.

Kedua jenis konflik diatas dapat diwujudkan dengan bermacam peristiwa yang terjadi dalam suatu pementasan drama. Konflik-konflik tersebut ada yang merupakan konflik utama dan konflik-konflik

Page 4: Apresiasi Drama

pendukung. Konflik Utama (bias konflik eksternal, konflik internal, atau kedua-duannya) merupakan sentral alur dari drama yang dipentaskan, sedangkan konflik-konflik pendukung berfungsi utnuk mempertegas keberadaan konflik utama.

3. dialog

Dialog berisikan kata-kata. Dalam drama para tokoh harus berbicara dan apa yang diutarakan mesti sesuai dengan perannya, dengan tingkat kecerdasannya, pendidikannya, dsb. Dialog berfungsi untuk mengemukakan persoalan, menjelaskan perihal tokoh, menggerakkan plot maju, dan membukakan fakta.

Jalan cerita drama diwujudkan melalui dialog (dan gerak) yang dilakukan pemain. Dialog-dialog yang dilakukan harus mendukung karakter tokoh yang diperankan dan dapat menunjukkan alur lakon drama. Melalui dialog-dialog antarpemain inilah penonton dapat mengikuti cerita drama yang disaksikan. Bahkan bukan hanya itu, melalui dialog itu penonton dapat menangkap hal-hal yang tersirat di balik dialog para pemain. Oleh karena itu, dialog harus benar-benar dijiwai oleh pemain sehingga sanggup menggambarkan suasana. Dialog juga harus berkembang mengikuti suasana konflik dalam tahap-tahap alur lakon drama.

Dalam percakapan atau dialog haruslah memenuhi dua tuntutan

dialog harus menunjang gerak laku tokohnya. Dialog haruslah dipergunakan untuk mencerminkan apa yang telah terjadi sebelum cerita itu, apa yang sedang terjadi di luar panggung selama cerita itu berlangsung; dan harus pula dapat mengungkapkan pikiran-pikiran serta perasaan-perasaan para tokoh yang turut berperan di atas pentas.

Dialog yang diucapkan di atas pentas lebih tajam dan tertib daripada ujaran sehari-hari. Tidak ada kata yang harus terbuang begitu saja; para tokoh harus berbicara jelas dan tepat sasaran. Dialog itu disampaikan secara wajar dan alamiah.

latar

latar atau setting adalah penempatan ruang dan waktu, serta suasana cerita. Penataan latar akan menghidupkan suasana. Penataan latar akan menghidupkan suasana, menguatkan karakter tokoh, serta menjadikan pementasan drama semakin menarik. Oleh karena itu, ketetapan pemilihan latar akan ikut menentukan kualitas pementasan drama secara keseluruhan.

5. tema

Page 5: Apresiasi Drama

Tema drama adalah gagasan atau ide pokok yang melandasi suatu lakon drama. Tema drama merujuk pada sesuatu yang menjadi pokok persoalan yang ingin diungkapkan oleh penulis naskah. Tema itu bersifat umum dan terkait dengan aspek-aspek kehidupan di sekitar kita.

Tema Utama adalah tema secara keseluruhan yang menjadi landasan dari lakon drama, sedangkan tema tambahan merupakan tema-tema lain yang terdapat dalam drama yang mendukung tema utama.

Bagaimana menemukan tema dalam drama? Tema drama tidak disampaikan secara implisit. Setelah menyaksikan seluruh adegan dan dialog antarpelaku dalam pementasan drama, kamu akan dapat menemukan tema drama itu. Kamu harus menyimpulkannya dari keseluruhan adegan dan dialog yang ditampilkan. Maksudnya tema yang ditemukan tidak berdasarkan pada bagian-bagian tertentu cerita.

Walaupun tema dalam drama itu cendrung ”abstrak”, kita dapat menunjukkan tema dengan menunjukkan bukti atau alasan yang terdapat dalam cerita. Bukti-bukti itu dapat ditemukan dalam narasi pengarang, dialog antarpelaku, atau adegan atau rangkaian adegan yang saling terkait, yang semuannya didukung oleh unsur-unsur drama yang lain, seperti latar, alur, dan pusat pengisahan.

6. pesan/amanat

Setiap karya sastra selalu disisipi pesan atau amanat oleh penulisnya. Dengan demikian pula dengan drama. Hanya saja, amanat dalam karya sastra tidak ditulis secara eksplisit, tetapi secara implisit. Penonton menafsirkan pesan moral yang terkandung dalam naskah yang dibaca atau drama yang ditontonnya.

7. interpretasi kehidupan

Maksudnya adalah pementasan drama itu seolah-olah terjadi dengan sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari meskipun hanya merupakan tiruan kehidupan. Drama adalah bagian dari suatu kehidupan yang digambarkan dalam bentuk pentas

Pementasan drama memilki unsur-unsur sebagai berikut.

Page 6: Apresiasi Drama

1. cerita

Cerita dalam drama seringkali mengusung masalah/persoalan kehidupan. Cerita dalam drama disusun dalam bentuk dialog, yang disebut naskah drama atau skenario.

2. pelaku

Pelaku drama (pemain drama, aktor, atau aktris) adalah pembawa cerita. Merekalah yang membawakan/menyampaikan cerita kepada penonton. Dalam menyampaikan cerita kepada penonton, pelaku memliki dua alat, yaitu dialog (ucapan) dan gerak (perbuatan)

3. sutradara

Sutradara bertugas menerjemahkan dan mewujudkan isi cerita kepada penonton melalui ucapan dan perbuatan (akting) para pelaku di panggung.

4. panggung

Panggung merupakan tempat pementasan atau tempat para pelaku mengekspresikan watak tokoh sesuai dengan isi cerita.

5. penonton

Penonton merupakan penikmat drama. Penonton berfungsi untuk mendukung kelangsungan hidup drama.

C. MENULIS NASKAH DRAMA

Page 7: Apresiasi Drama

Drama adalah ragam sastra dalam bentuk dialog yang dimaksudkan untuk dipertunjukkan di atas pentas. Salah satu komponen yang diperlukan untuk mementaskan sebuah drama adalah naskah drama. Naskah drama berisi cerita yang disusun dalam bentuk dialog. Naskah drama biasanya mengandung beberapa unsur pokok, seperti pelaku (tokoh), dialog (percakapan), dan keterangan (latar, kostum, aksesoris), serta keterangan lakuan (akting).

Perhatikan contoh kutipan naskah drama berikut!

DAG DIG DUG

(Putu Wijaya)

BABAK I

Sebuah ruang besar yang kosong. Meskipun di tengah-tengah ada sebuah meja marmar kecil tinggi diapit dua kursi antik berkaki tinggi, berlengan membundar, berpantat lebar. Di sini sepasang suami istri pensiunan yang hidup dari uang indekosan menerima kabar seseorang telah meninggal di sana. Dalam surat dijelaskan akan datang utusan yang akan menjelaskan hal tersebut lebih lanjut. Pada hari yang dijanjikan keduanya menunggu.

Masih pagi.

Suami : Siapa?

Istri : Lupa lagi?

Suami : Tadi malam hapal. Siapa?

Istri : Ingat-ingat dulu!

Suami : Lupa, bagaimana ingat?

Page 8: Apresiasi Drama

Istri : Coba, coba! Nanti diberi tahu lupa lagi. Jangan biasakan otak manja.

Suami : Cha….Chai….Chairul….Ka, Ka…ah sedikit lagi (berusaha mengingat-ingat)

Istri : (tak sabar) Kairul Umam!

Suami : Ah? Kairul Umam? Ka? Bukan Cha? Kok lain?

Istri : Kairul Umam! Kairul Umam! Kairul Umam! Ingat baik-baik!

Suami : Semalam laim.

Istri : Kok ngotot!

Suami : Semalam enak diucapkan, Cha, Cha….begitu. Sekarang kok, Ka, Ka…..siapa?

Istri : KAIRUL UMAM!

Suami : Kok Kairul, Cha!

Istri : Chairul Umam!

Suami : Semalam rasanya. Jangan-jangan keliru. Coba lihat suratnya lagi.

Istri : Kok ngotot. Ni lihat. (Menyerahkan surat)

Page 9: Apresiasi Drama

Suami : (memasang kaca mata, – membaca sambil lalu) ….dengan ini kami kabarkan…ya, jangan terkejut….diluar dugaan, barangkali….kami harap….dengan ini kami kabarkan….ya, jangan terkejut…..diluar dugaan lho….dengan ini kami kabarkan….

Istri : (mengambil kaca dan mendekatkan mukanya) Ini apa!

Suami : O, ya! Chairul, Chairul….ini U atau N.

Istri : U!

Suami : Ini?

Istri : M!

Suami : Ini?

Istri : A. Ini M!

Suami : Seperti tulisan dokter.

Istri : Sekarang siapa yang betul?

Suami : Jadi betul Chairul Umam, bukan KHA – irul Umam!

Penjelasan:

Paragraf awal menunjukkan keterangan latar (setting), petunjuk panggung, aksesoris, kostum, dan sebagainya. Kadang-kadang ditulis dengan huruf kapital.

Page 10: Apresiasi Drama

Tulisan (kata atau kalimat) yang dicetak miring dan terdapat dalam tanda kurung merupakan keterangan lakuan (akting) untuk diperagakan pelaku.

Ada beberapa unsur yang harus diperhatikan dalam menyusun naskah drama:

1. Babak

Babak merupakan bagian naskah yang merangkum semua peristiwa yang terjadi dalam satu kesatuan waktu – tempat – peristiwa. Setiap babak terbagi atas adegan-adegan. Babak disusun berdasarkan pertimbangan pementasan, terutama menyangkut latar/setting karena sebuah bagian dalam cerita drama dapat terjadi pada waktu dan tempat yang berlainan dengan bagian lainnya. Melalui pengalihan babak, penonton akan diberitahu bahwa bagian cerita yang disaksikannya berada dalam waktu dan tempat yang berbeda dengan bagian terdahulu. Babak ditandai dengan dekorasi tertentu.

2. Adegan

Adegan merupakan bagian dari babak yang ditandai dengan pergantian formasi/posisi pemain di atas pentas. Batasnya ditentukan oleh datang dan perginya seorang atau lebih tokoh di atas pentas.

3. Dialog

Dialog yaitu percakapan antara tokoh satu dengan tokoh lainnya yang menjadi pusat tumpuan berbagai unsur struktur drama.

4. Petunjuk lakuan

Petunjuk lakuan berisi penjelasan kepada pembaca dan awak pementasan (sutradara, pemeran, penata seni, dsb.) mengenai keadaan, suasana, peristiwa, atau perbuatan tokoh, an unsur-unsur cerita lainnya.

5. Prolog

Page 11: Apresiasi Drama

Prolog adalah bagian naskah drama yang ditempatkan pada bagian awal drama. Prolog berfungsi sebagai pengantar yang mengungkap keterangan tentang cerita yang akan disajikan.

6. Epilog

Epilog adalah bagian akhir naskah drama yang berisi kesimpulan pengarang mengenai cerita, nasihat, pesan moral (etika). Epilog bukanlah unsur yang harus ada dalam naskah drama.

7. Tema

Tema merupakan ’sesuatu’ yang disampaikan. ’Sesuatu’ yang ingin disampaikan pengarang itu terurai dalam seluruh unsur drama. Tema menjiwai seluruh bagian drama: babak, adegan, dialog, tokoh, bahasa. ’Sesuatu’ itu pula yang ingin disampaikan pengarang kepada penikmat/penonton drama.

8. Penokohan

Sifat dan kedudukan tokoh dalam drama bermacam-macam. Setiap tokoh menghadirkan karakter masing-masing. Watak tokoh bukan saja merupakan pendorong terjadinya peristiwa. Oleh karena itu, setiap tokoh mengemban tujuan yang penting dalam pengembangan alur cerita.

9. Alur

Alur adalah rangkaian peristiwa yang dihubungkan dengan hukum sebab akibat. Artinya, peristiwa-peristiwa pertama menyebabkan peristiwa kedua, peristiwa kedua meyebabkan peristiwa ketiga, dan seterusnya. Fungsi utama alur adalah mengungkap gagasan, membimbing, dan mengarahkan perhatian.

10. Bahasa

Unsur yang tidak kalah pentingnya dalam penulisan naskah drama adalah bahasa. Bahasa selalu menggerakkan tokoh dan mencipta suasana. Melalui bahasa yang diucapkan tokoh-tokohnya, kita

Page 12: Apresiasi Drama

dapat memahami waktu, tempat, keadaan, masalah. Melalui bahasa pula kita mengenal latar belakang setiap tokoh yang dideskripsikannya.

11. Solilokui (monolog/senandika)

Solilokui adalah ungkapan pikiran seorang tokoh yang diungkapkan dalam bentuk percakapan pada diri sendiri.

12. Aside

Aside adalah bagian dari naskah drama yang diucapkan seorang pemain kepada penonton dengan anggapan tokoh lain tidak mendengarnya.

Untuk menyusun sebuah naskan drama dapat digali dari pengalaman-pengalaman. Pengalaman tersebut dikisahkan kembali dengan mengingat pokok-pokok peristiwa yang terjadi, masalah yang dihadapi para tokoh, serta watak dan peran setiap tokoh dalam peristiwa tersebut. Urutan peristiwa yang tersusun digunakan sebagai kerangka penulisan naskah drama yang dijabarkan melalui dialog yang diucapkan para tokoh.

Dalam menulis naskah drama harus bersumber pada kehidupan dan watak manusia. Secara garis besar, untuk menulis naskah drama dapat mengikuti langkah-langkah berikut.

Menyusun cerita

Menjabarkan cerita itu menjadi rentetan peristiwa/garis lakon/alur, yang tersusun menjadi eksposisi, komplikasi, klimaks, antiklimaks, dan resolusi.

Rentetan peristiwa itu harus menonjol ke arah sebuah konflik sampai mencapai klimaks. Menulis drama tanpa mengandung konflik akan menjadi hambar dan monoton.

Menentukan jenis-jenis karakter serta penerapannya lewat gerak dan dialog. Konflik sebagai jiwa sebuah drama, berkembang karena pertentangan karakter protagonis melawan antagonis.

Menyusun naskah dalam bentuk dialog yang efektif. Dalam penyusunannya dapat didekati dari tiga hal, yaitu:

segi teknis, yaitu setiap dialog di sampingnya diberi catatan yang jelas (keluar, masuk, musik, dan juga perlu diberi angka untuk mempermudah koreksi)

Page 13: Apresiasi Drama

segi estetis, yaitu dialognya harus indah, komunikatif, memikat, dan memperhatikan kontinuitas

segi literer, yaitu dialognya dapat menggunakan bahasa konotasi

D. MEMERANKAN DRAMA

Memerankan drama berarti mengaktualisasikan segala hal yagn terdapat di dalam naskah drama ke dalam lakon drama di atas pentas. Aktivitas yang menonjol dalam memerankan drama ialah dialog antartokoh, monolog, ekspresi mimik, gerak anggota badan, dan perpindahanletak pemain.

Pada saat melakukan dialog ataupun monolog, aspek-aspek suprasegmental (Lafal, intonasi, nada atau tekanan dan mimik) mempunyai peranan sangat penting. Lafal yang jelas, intonasi yang tepat, dan nada atau tekanan yang mendukung penyampaian isi/pesan

1. Membaca dan Memahami Teks Drama

Sebelum memerankan drama, kegiatan awal yang perlu kita lakukan ialah membaca dan memahami teks drama.Teks drama adalah karangan atau tulisan yang berisi nama-nama tokoh, dialog yang diucapkan, latar panggung yang dibutuhkan, dan pelengkap lainnya (Kontum, lighting, dan musik pengiring). Dalam teks dram, yang diutamakan ialah tingkah laku (acting) dan dialog (percakapan antartokoh) sehingga penonton memahami isi cerita yang dipentaskan secara keseluruhan. Oleh karena itu, kegiatan membaca teks drama dilakukan sampai dikuasainya naskah drama yang akan diperankan.

Dalam teks drama yang perlu kamu pahami ialah pesan-pesan dan nilai-nilai yang dibawakan oleh pemain. Dalam membawakan pesan dan nilai-nilai itu, pemain akan terlibat dalam konflik atau pertentangan. Jadi, yang perlu kamu baca dan pahami ialah rangkaian peristiwa yang membangun cerita dan konflik-konflik yang menyertainya.

2. Menghayati Watak Tokoh yang akan Diperankan

Sebelum memerankan sebuah drama, kita perlu menghayati watak tokoh. Apa yang perlu kita lakukan untuk menghayati tokoh? Watak tokoh dapat diidentifikasi melaui (1) narasi pengarang, (2) dialog-dialog dalam teks drama, (3) komentar atau ucapan tokoh lain terhadap tokoh tertentu, dan (4) latar yang mengungkapkan watak tokoh.

Page 14: Apresiasi Drama

Melalui menghayati yang sungguh-sungguh, kamu dapat memerankan tokoh tertentu dengan baik. Watak seorang tokoh dapat diekspresikan melalui cara sang tokoh memikirkan dan merasakan, bertutur kata, dan bertingkah laku, seperti dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Artinya, watak seorang tokoh bisa dihayati mulai dari cara sang tokoh memikirkan dan merasakan sesuatu, cara tokoh bertutur kata dengan tokoh lainnya, dan cara tokoh bertingkah laku.

Hal yang paling penting dalam memerankan drama adalah dialog. Oleh karena itu, seorang pemain harus mampu:

1. Mengucapkan dialog dengan lafal yang jelas.

Seorang pemain dikatakan mampu bertutur dengan jelas apabila setiap suku kata yang diucapkannya dapat terdengar jelas oleh penonton sampai deretan paling belakang. Selain jelas, pemain harus mampu mengucapkan dialog secara wajar. Perasaan dari masing-masing pemain pun harus bisa ditangkap oleh penonton.

2. Membaca dialog dengan memperhatikan kecukupan volume suara.

Seorang pemain harus bisa menghasilkan suara yang cukup keras. Ketika membaca dialog, suara pemain harus bisa memenuhi ruangan yang dipakai untuk pementasan. Suara pemain tidak hanya bisa didengar ketika panggung dalam keadaan sepi, juga ketika ada penonton yang berisik.

3. Membaca dialog dengan tekanan yang tepat.

Kalimat mengandung pikiran dan perasaan. Kedua hal ini dapat ditangkap oleh orang lain bila pembicara (pemain) menggunakan tekanan secara benar. Tekanan dapat menunjukkan bagian-bagian kalimat yang ingin ditonjolkan.

Ada 3 macam tekanan yang biasa digunakan dalam melisankan naskan drama:

tekanan dinamik

yaitu tekanan yang diberikan terhadap kata atau kelompok kata tertentu dalam kalimat, sehingga kata atau kelompok kata tersebut terdengar lebih menonjol dari kata-kata yang lain. Misalnya,

Page 15: Apresiasi Drama

”Engkau boleh pergi. Tapi, tanggalkan bajumu sebagai jaminan!” (kata yang dicetak miring menunjukkan penekanan dalam ucapan).

tekanan tempo

yaitu tekanan pada kata atau kelompok kata tertentu dengan jalan memperlambat pengucapannya. Kata yang mendapat tekanan tempo diucapkan seperti mengeja suku katanya. Misalnya, ”Engkau boleh pergi. Tapi, tang-gal-kan ba-ju-mu sebagai jaminan!” Pengucapan kelompok kata dengan cara memperlambat seperti itu merupakan salah satu cara menarik perhatian untuk menonjolkan bagian yang dimaksud.

c. tekanan nada

yaitu nada lagu yang diucapkan secara berbeda-beda untuk menunjukkan perbedaan keseriusan orang yang mengucapkannya. Misalnya, ”Engkau boleh pergi. Tapi, tanggalkan bajumu sebagai jaminan!” bisa diucapkan dengan tekanan nada yang menunjukkan ”keseriusan” atau ”ancaman” jika diucapkan secara tegas mantap. Akan tetapi, kalimat tersebut bisa juga diucapkan dengan nada bergurau jika pengucapannya disertai dengan senyum dengan nada yang ramah.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menyampaikan dialog drama adalah:

penggunaan bahasa, baik secara pelafalan maupun intonasi, harus relevan. Logat yang diucapkan hendaknya disesuaikan dengan asal suku atau daerah, usia, atau status sosial tokoh yang diperankan.

Ekspresi tubuh dan mimik muka harus disesuaikan dengan dialog. Bila dialog menyatakan kemarahan, maka ekspresi tubuh dan mimik pun harus menunjukkan rasa marah.

Untuk lebih menghidupkan suasana dan menjadikan dialog lebih wajar dan alamiah, para pemain dapat melakukan improvisasi di luar naskah.

Memahami Teknik Bermain Drama

Teknik bermain (akting) merupakan unsur penting dalam seni peran. Berikut ini hal-hal yang sangat mendasar berkaitan dengan teknik bermain drama.

1. Teknik Muncul

Page 16: Apresiasi Drama

Teknik muncul adalah cara seorang pemain tampil pertama kali ke pentas yaitu saat masuk ke panggung telah ada tokoh lain, atau ia masuk bersama tokoh lain. Tentu, setelah muncul, pemain harus menyesuaikan diri dengan suasana perasaan adegan yang sudah tercipta di atas pentas. Kehadiran seorang tokoh harus mendukung perkembangan alur, suasana, dan perwatakan yang sudah tercipta atau dibangun.

2. Teknik Memberi Isi

Kalimat ”Engkau harus pergi!” mempunyai banyak nuansa. Ucapan tulus mengungkap keikhlasan atau simpati, sedangkan ucapan kejengkelan atau kemarahan tentu bernada lain. Nuansa tercipta melalui tekanan ucapan yang telah dijelaskan di muka (tekanan dinamik, tekanan nada, dan tekanan tempo).

3. Teknik Pengembangan

Teknik pengembangan berkait dengan daya kreativitas pemeran, sutradara, dan bagian estetis. Dengan pengembangan, sebuah naskah akan menjadi tontonan memikat. Bagi pemain, pengembangan dapat ditempuh dengan beberapa cara, diantaranya:

Pengucapan

Pengembangan pengucapan dapat ditempuh dengan menaikkan – menurunkan volume dan nada. Dengan demikian setiap kata, frase, atau kalimat dalam dialog diucapkan dengan penuh kesadaran. Artinya, setiap pemain sadar kapan harus mengucap dengan keras-cepat-tinggi atau lembut-lambat-rendah.

Gesture

Pengembangan gesture dapat dicapai dengan lima cara. Setiap cara, tentu saja, tidak dapat dipisah-pisahkan sebab saling melengkapi dan menyempurnakan.

(1) Menaikkan posisi tubuh

Page 17: Apresiasi Drama

Menaikkan posisi tubuh berarti ada gerakan baik dari menunduk-menengadah, tangan terkulai menjadi teracung, berbaring-duduk-berdiri, atau berdiri di lantai-kursi-meja.

(2) Berpaling

Berpaling mempunyai arti yang spesifik dalam pengembangan dialog: tubuh atau kepala. Perhatikan dialog berikut ini dan tentukan pada bagian mana kita harus berpaling.

”Aku iri denganmu. Kadang-kadang aku berpikir untuk keluar saja, lalu buka bengkel juga. Tidak ada hierarki. Tidak ada rapat-rapat panjang.”

(3) Berpindah tempat

Berpindah tempat dapat terjadi dari kiri-kanan, depan-belakang, bawah-atas. Tentu, harus ada alasan yang kuat mengapa harus berpindah

(4) Gerakan

Gerakan anggota tubuh: melambai, ,mengembangkan jari-jari, mengepal, menghentakkan kaki, atau gerakan lain seturut dengan luapan emosi. Ada tiga kategori melakukan gerakan: a) gerakan dilakukan bersamaan dengan pengucapan kata, b) gerakan dilakukan sebelum kata diucapkan, c) gerakan dilakukan sesudah kata diucapkan.

(5) Mimik

Perubahan wajah atau mimik mencerminkan perkembangan emosi. Tanpa penghayatan dan penjiwaan tidak mungkinlah timbul dorongan dari dalam atau perasaan-perasaan. Justru perasaan inilah yang mendasari raut wajah.

4. Menciptakan Peran

Page 18: Apresiasi Drama

Tentu saja untuk menciptakan peran, pemain harus sadar bahwa ia sedang ”memerankan sebagai……..” Artinya, seluruh sifat, watak, emosi, pemikiran yang dihadirkan adalah sifat, watak, emosi, dan pemikiran ”tokoh yang diperankan”. Dengan demikian, seorang pemain harus berkemampuan menciptakan peran dalam sebuah pertunjukan.

Hal-hal berikut dapat membantu untuk menciptakan peran:

kumpulkan tindakan-tindakan pokok yang harus dilakukan oleh pemeran dalam pementasan

kumpulkan sifat-sifat tokoh, termasuk sifat yang paling menonjol

carilah ucapan atau dialog tokoh yang memperkuat karakternya

ciptakan gerakan mimik atau gesture yang mampu mengekspresikan watak tokoh

ciptakan intonasi yang sesuai dengan karakter tokoh

rancanglah garis permainan tokoh untuk mlihat perubahan dan perkembangan karakter tokoh

ciptakan blocking dan internalisasi dalam diri sehingga yang berperilaku adalah tokoh yang diperankan.

Page 19: Apresiasi Drama

Pendahuluan

Karya sastra pada umumnya menceritakan kenyataan hidup dalam bentuk artistik sehingga kehadirannya mempunyai arti tersendiri bagi si pembaca atau si penikmatnya. Bahasa ekspresif yang paling kompleks yang diolah dengan penuh estetika merupakan alat untuk menghadirkan kenyataan hidup tersebut ke dalam karya sastra.

Menurut Hardjana (1981:25), "Sebuah karya sastra ... merupakan suatu kebulatan yang utuh, khas, dan berdiri sendiri. Merupakan satu dunia keindahan dalam ujud bahasa yang dari dirinya telah dipenuhi dengan kehidupan dan realitas". Dengan demikian karya sastra mengajak manusia merasakan kebenaran dan kenyataan kehidupan dengas segala eksistensinya. Dalam proses memahaminya dituntut suatu proses daya tanggap dan kejiwaan.

Pada sisi lain, Semi (1984: 2) berpendapat, "Sastra itu adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya". Menyikapi pendapat-pendapat pakar sastra tersebut, patut kiranya bila masalah kehidupan yang telah tertuang dalam karya sastra itu selalu kita telaah dan kita jadikan kajian yang seharusnya tidak membosankan.

Drama sebagai karya sastra tidak terlepas dari pembicaraan di atas. Dalam drama, masalah kehidupan dan kemanusiaan yang dikemukakan biasanya tidaklah terlepas dari aspek-aspek sosial masyarakat dalam hubungan manusia dengan manusia lainnya. Drama juga menyajikan aspek-aspek perilaku manusia terhadap jenisnya dalam kaitannya dengan nilai-nilai kemanusiaan. Misalnya masalah perasaan sayang, cinta, benci, dendam, ketulusan, kesetiaan, kesucian, dan lain-lain.

Menurut Semi (1984:145), "drama hanya menyangkut masalah manusia dan kemanusiaan semata. Hal itu disebabkan drama dilakonkan oleh manusia. Drama tidak dapat mempertunjukkan tentang peristiwa kehidupan singa dihutan belantara, tentang malaikat di sorga, atau kehidupan dibawah permukaan laut".

Karena drama hanya menyangkut masalah manusia dan kemanusiaan semata, maka drama pun merupakan alat komunikasi sosial dalam masyarakat. Melalui drama, manusia dapat menemukan masalah-masalah yang terjadi dilingkungannya kemudian menjadikannya sebagai bahan pertimbangan, perbandingan, atau pengetahuan untuk berbuat sesuatu secara lebih baik. Hal ini merupakan salah satu fungsi dan peranan drama, di samping ada juga masyarakat tertentu yang menganggap drama sebagai milik sekelompok masyarakat tertentu yang memahami arti suatu karya sastra. Sebenarnya tidaklah demikian. Karya sastra dalam bentuk apapun hendaknya dirasakan

Page 20: Apresiasi Drama

sebagai milik masyarakat. Ia memerlukan interpretasi dan apresiasi sehingga nilai-nilai kehidupan yang ada didalamnya dapat dipahami dan dipedomani.

Konsep Dasar tentang Drama

Berbicara masalah drama, kita akan dihadapkan kepada dua pemikiran. Pada satu segi kita teringat kepada jenis pertunjukan yang mengasyikkan atau menjemukan. Pada segi lain kita berpikir tentang sebuah naskah yang dikarang atau ditulis dalam bentuk dialog-dialog (merupakan karya sastra).

Kerangka pemikiran kita yang seperti ini dapat dijelaskan dalam suatu konsep pikiran yang jelas dan utuh sehingga kita dapat memahami mana yang dikatakan drama sebagai pemikiran yang pertama dan mana yang pemikiran kedua. Maksudnya di sini adalah, kita sanggup membedakan antara kedua pemikiran di atas dan dapat melihat hubungan antara keduanya.

Menurut Tarigan (1984:73), ada dua pengertian drama, yaitu: (1) drama sebagai text play atau reportair, dan (2) drama sebagai theatre atau performance. Hubungan keduanya sangat erat. Dengan kata lain: setiap lakon atau pertunjukan harus mempunyai naskah yang akan dipentaskan. Sebaliknya tidaklah otomatis setiap naskah merupakan teater, sebab ada saja kemungkinan naskah yang seperti itu hanyalah berfungsi sebagai bahan bacaan saja, bukan untuk pertunjukan. Jadi, ada naskah yang dapat dipentaskan dan ada yang tidak, misalnya drama "Awal dan Mira" karya Utuy Tatang Sontani. Drama ini sulit untuk dipentaskan tetapi enak untuk dibaca (lihat Rosidi, 1982:114).

Memahami penjelasan diatas, dapat diambil suatu perbedaan nyata dari keduanya. Perbedaan itu adalah:

Drama sebagai text-play atau naskah adalah hasil sastra 'milik pribadi', yaitu milik penulis drama tersebut, sedangkan drama sebagai teater adalah seni kolektif.

Text-play masih memerlukan pembaca soliter (pembaca yang mempunyai perasaan bersatu), sedangkan teater memerlukan penonton kolektif dan penonton ini sangat penting.

Text-play masih memerlukan penggarapan yang baik dan teliti baru dapat dipanggungkan sebagai teater dan ia menjadi seni kolektif.

Text-play adalah bacaan, sedangkan teater adalah pertunjukan atau tontonan.

Page 21: Apresiasi Drama

Berdasarkan hal di atas, antara keduanya harus dibedakan secara tegas, walaupun pada umumnya penulisan naskah drama itu bertujuan untuk dipentaskan atau dilakonkan. Teori-teori dari beberapa orang ahlipun memperlihatkan bahwa pembahasan aspek-aspek drama dalam dua pengertian drama di atas berbeda.

Aspek yang dibahas atau materi utama pada text-play adalah: a) premis (tema), b) watak, dan c) plot, sedangkan pada pementasan adalah: a) naskah, b) pelaku, c) pentas, d) perlengkapan pentas, e) tata busana (pakaian), f) tata rias, g) cahaya, h) dekorasi, dan i) musik (bandingkan dengan Syam, 1984:17).

Rumusan tentang perbedaan kedua pemikiran di atas dapat juga dibandingkan dengan pendapat Martoko (1984:158) yaitu dalam pembatasannya tentang pengertian pementasan. Ia menyatakan "pementasan itu merupakan sebuah sintesa dan mengimbau pada beberapa indera sekaligus".

Drama sebagai Karya Sastra

Berawal dari pemikiran bahwa sastra adalah usaha untuk memperlihatkan makna kehidupan, bukan sebuah imitasi (peniruan) tetapi sebuah ciptaan dan kreasi, karena itu sastra dapat mengantarkan kita kepada pengenalan diri dan kehidupan secara mendalam sehingga akhirnya kita menemukan norma-norma dan pemikiran yang terjadi dalam masyarakat.

Beberapa orang ahli sastra telah membicarakan masalah di atas dalam usaha memberikan batasan-batasan hal-hal mana yang termasuk ke dalam bentuk ciptasastra. Esten (1978:11) membedakan empat bentuk ciptasastra yaitu: puisi, cerita rekaan (fiksi), essei dan kritik, dan drama.

Drama sebagai satu di antara bentuk ciptasastra mempunyai beberapa kesamaan dengan bentuk-bentuk yang lain itu. Namun, pada satu segi tetap ada perbedaan yang nyata. Brahim (1965:55) mengatakan "Sebagai hasil seni sastra, maka drama pun mempunyai sifat-sifat yang bersamaan dengan cabang-cabang kesusastran yang lain; puisi dan prosa".

Menurut beliau ada empat unsur yang membangun penciptaan naskah drama dengan bantuan penggunaan dialog. Ada pun unsur-unsur tersebut adalah : unsur budi, (intellectual element), unsur perasaan (emotional element), unsur imajinasi (element of imagination), dan unsur gaya (the technical element or the element of composition and style). Penggunaan dialog dalam drama berfungsi untuk membedakannya dari bentuk ciptasastra lainnya, walaupun ada ciptasastra yang mengandung dialog. Dalam hal ini, drama adalah merupakan dialog yang mengandung cerita, sedangkan untuk cerpen atau novel adalah cerita yang mengandung dialog.

Page 22: Apresiasi Drama

Sebagai karya sastra, Rene Wellek dan Austin Warren dalam Hamidy (1984:9) mengelompokkan dan menggolongkan drama ke dalam karya sastra imajinatif di samping fiksi dan puisi. Drama dipandang sebagai suatu jenis tersendiri terutama atas penglihatan kepada aspek penyajian dialog. Hal ini lebih memperjelas uraian di atas, bahwa drama memang tidak selalu dapat disamakan dengan prosa dan � puisi.

Dari uraian di atas makin jelas bahwa telah berbagai usaha dan sudut pandang dari beberapa orang ahli untuk menetapkan drama sebagai suatu bentuk karya sastra yang khusus. Kekhusussannya ini menyebabkan ia perlu diapresiasi. Dalam hal ini Udin (1982:38) berpendapat: "Sebuah naskah drama adalah sebuah karya sastra, maka naskah itu dapat dilihat (ditinjau) dari segi isi dan struktur. Yang dimaksud dengan isi ialah masalah yang diceritakan dan struktur yaitu cara penceritaan".

Hal yang dimaksudkan dalam kutipan di atas adalah benar adanya naskah itu dapat ditinjau secara terpisah, sedangkan yang dimaksud dengan masalah yang diceritakan itu adalah premis (tema). Cara penceritaan dalam pengertian di atas disebut pemanfaatan perwatakan, alur, dan bahasa. Pemanfaatan bahasa sebagai alat utama untuk menuangkan masalah dalam sebuah naskah drama terlihat dalam wawankata (dialog) cerita. Brahim (1968:91) tentang hal ini berpendapat, "...di dalam drama wawankata menduduki tempat yang terutama, dan di dalam kata-kata yang dipergunakan inilah terletak keindahan drama sebagai hasil kesusastraan".

Memahami konsep-konsep pikiran di atas, makin jelas bagaimana perbedaan antara drama tulis (naskah) atau text-play dengan drama sebagai teater. Namun demikian, supaya kedudukan apresiasi sastra drama lebih jelas di antara apresiasi drama, ada baiknya kalau dibalik kembali sekelumit sejarah perkembangan naskah drama.

Perkembangan Naskah Drama

Adanya naskah dalam perkembangan drama Indonesia dimulai pasa tahun 1901 dan berkembang sampai sekarang. Ini menjadi ciri penanda drama Indonesia modern (memakai naskah dialog). Perkembangan ini tentu dilandasi oleh beberapa later belakang.

Kalau kita lihat pemikiran Rendra (1983:33), ia berpendapat bahwa adanya naskah drama itu diawali oleh karena seni drama modern di Indonesia timbul dari golongan elite yang tidak puas dengan komposisi seni drama rakyat dan seni drama tradisional (dialog dalam drama hanya diimprovisasikan

Page 23: Apresiasi Drama

dan dijadikan sampiran dalam cerita). Karena hal itu, naskah sadiwara mulai sangat dibutuhkan karena dialog yang dalam dan otentik dianggap sebagai mutu yang dipentingkan.

Perkembangan ini tentu mengalami perubahan sesuai dengan perubahan zaman. Mungkin saja suatu saat bersifat maju, mundur atau terombang-ambing antara "kevakuman" dan "pergeseran bentuk". Masalah ini sempat menjadi ketimpangan para dramawan Indonesia (baca dalam Radjib, 1982). Drama Indonesia dalam perjalanannya untuk mencari wujud yang diinginkan, baik dari sisi penulis naskah, pemain, atau penonton yang mengalami keterombang-ambingan menimbulkan kesangsian.

Rendra (1983:31-35) membicarakan masalah pengkajian kembalinya drama modern kita kepada pentingnya naskah. Kepentingan ini dilihatnya dari sisi penyutradaraan, dekorasi, dan kostum dalam proses mengangkat naskah itu ke pentas menjadi suatu pementasan atau teater.

Melihat berbagai macam perkembangan drama itu, jelaslah betapa pentingnya naskah drama. Hal ini telah mengakar dan disepakati bersama sampai sekarang. Munir (1983:24), sebagai generasi yang masih dianggap muda pernah juga membahas perkembangan bentuk drama di Indonesia. Tulisannya itu membicarakan salah satu bentuk drama di Indonesia adalah teater modern, yaitu teater yang dalam bentuk penyajiannya didasarkan kepada naskah yang tertulis suatu karya seni dan terikat oleh hukum dan pengertian dramaturgi modern.

Perkembangan drama itu akhirnya sampai kepada pengaruh sastra drama mutakhir yang lebih jelas terlihat pada dramawan Putu Wijaya. Pengaruh ini membawa suatu aliran yaitu naskah bukanlah dimaksudkan untuk dibaca, tetapi untuk dimainkan atau dipentaskan. Sebelum tahap itu, ia bukan apa-apa.

Kalau demikian halnya dan kita setuju, wajarlah terjadi bahwa sastra drama Indonesia tertinggal jauh dari kemampuan bermain para dramawannya. Dikatakan demikian karena perkembangan sastra drama mutakhir ini merupakan hasil tiruan dari budaya barat. Sementara bila kita lihat, menurut Lonesco Beckett dalam Sutardjo (1983:66), Sastra Drama Barat anti plot, anti watak, memang ada, namun mereka mengandung makna yang jelas dan mendalam sebagai sebuah karya dan bukan harus disempurnakan diatas pentas kemudian. Naskah adalah sudah merupakan bentuk yang satu sedangkan pementasan adalah bentuk yang lain yakni sebagai suatu seni yang sudah kompleks.

Titik tolak yang berdasarkan kepada tradisi ini sebenarnya benar, namun jangan terjadi pengabaian terhadap bentuk sastra dramanya. Teater atau pementasan bermula dari sastra. Lebih dari hanya sebagai karya sastra, drama memang lebih.

Page 24: Apresiasi Drama

Apabila kita meninjau relevansi antara tema naskah dengan kenyataan hidup yang dihadapi oleh sutradara dalam mementaskan naskah, terlihat bahwa terwujudnya pementasan nilai naskah itu secara utuh dari sudut karya sastra. Hal-hal yang semacam ini akan melahirkan suatu penilaian baik buruk terhadap sebuah naskah drama. Naskah yang tidak memiliki isi yang relevan dengan pengalaman penonton akan sukar melibatkan perhatian, pikiran, dan perasaan penonton. Oleh sebab itu, peristiwa teater tidak akan tercipta disaat pagelaran atau pementasannya.

Saini K.M mengatakan, "... cara sama pentingnya dengan tujuan, bahwa tujuan yang baik harus dicapai dengan cara yang baik. Inilah salah satu di antara nilai yang menyebabkan naskah ini akan senantiasa relevan selama kita memasalkan baik-buruk sebagai nilai". Dengan demikian, naskah-naskah itu biasanya mengajak kita untuk bertanya : dari mana kita datang, mengapa dan untuk apa kita ada di dunia, dan ke mana kita akan pergi. Karena pertanyaan-pertanyaan yang tidak langsung timbul oleh naskah itu abadi, maka abadi pulalah pesona naskah itu bagi kita.

Mengapresiasi Drama sebagai Karya Sastra

Seperti halnya puisi dan prosa, drama sebagai karya sastra perlu diapresiasikan lewat pembacaan terhadap naskahnya. Pengertian apresiasi dalam drama sama dengan apresiasi sastra lainnya, yaitu merupakan penaksiran kualitas karya sastra serta pemberian nilai yang wajar kepadanya berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang jelas, sadar, serta kritis.

Kalau demikian halnya, layaklah drama sebagai karya sastra merupakan hal yang utama untuk didekati, dipahami, ditelaah, dan diapresiasi. Dari pengapresiasian naskah yang dilakukan akan diperoleh pengalaman. Pengalaman inilah yang akhirnya kita hubungkan dengan keadaan sebenarnya di luar drama. Akhirnya ditemukanlah suatu perubahan nilai-nilai dalam diri. Pementasan tidak lagi diterima sebagai penentu nilai sebuah drama. Yang menentukan adalah proses apresiasi sendiri sebagai pembaca. Dalam hal ini menurut Damono (1983:150) adalah:

Kita bisa saja mendapatkan pengalaman dengan hanya membaca drama; ... Dan kita juga berhak berbicara tentang drama sebagai karya sastra. Itulah alasan mengapa drama diedarkan dalam bentuk buku, mengapa Martin Esslin menulis tentang drama absurd, Francis Fergusson menulis "The Human Image in Dramatic Literature." Helen Cardner membicarakan "Murder in the Cathederal." T.S. Elliot dalam "The Art of T.S. Elliot," dan seterusnya.

Page 25: Apresiasi Drama

Sampainya seseorang dalam mengapresiasikan naskah drama memerlukan suatu proses. Proses ini membutuhkan seperangkat perlengkapan. Ini dibutuhkan bukan saja untuk memahami maksud dan pesan pengarang, tetapi juga untuk memahami bagaimana pengarang secara estetik menyampaikan maksud dan pesannya itu.

Berbagai teori digunakan untuk mengapresiasikan karya sastra drama itu. Kita kenal struktur dramatik Aristoteles. Titik pangkalnya adalah rumusan tentang karya sastra drama yang baik biasanya memiliki alur cerita yang berbentuk piramida, diawali dengan unsur eksposisi, dilanjutkan dengan komplikasi, memuncak pada klimaks, menurut kembali pada resolusi, dan berakhir pada konklusi.

Teori lain adalah yang bertitik-tolak dari tokoh utama cerita atau ada juga yang menggunakan teori strukturalistik yang dikembangkan oleh Etienne Sourlau. Teori ini mendekati karya sastra drama dari sisi fungsi-fungsi yang terdapat di dalamnya. Namun demikian, karena drama adalah bagian dari seni sastra dan seni peran maka proses apresiasinya bertolak dari intuitif. Dalam hal ini Saini K.M. (1965:55) berpendapat:

Pada dasarnya semua karya seni adalah pengetahuan intuitif. Makna karya seni hanya dapat dipahami melalui pikiran, perasaan, dan khayalan sekaligus, dengan kata lain, dengan intuisi. Namun di dalam upaya memahami makna karya seni, kegiatan pikiran (intelek, rasio), perasaan (emosi), daya khayal (imajinasi) tidak senantiasa seimbang. Kadang-kadang pikiran menonjol perannya, kadang-kadang perasaan, kadang-kadang khayal. Di dalam menghadapi karya sastra drama dari gaya realisme, misalnya, intelek kita lebih banyak bekerja dibanding dengan khayal; di dalam jenis melodrama, perasaan cenderung lebih dipancing untuk giat oleh sastrawannya.

Menyikapi pendapat di atas, sebagai seni peran atau teater, sastra drama telah melalui proses intuitif dari sutradara. Sastra drama itu telah diolah dalam bentuk penafsiran, pemotongan cerita yang kurang menunjang, atau penambahan dialog yang mungkin relevan dan tidak menyimpang dari ide cerita. Hal inilah yang membedakannya dengan apresiasi sastra drama sebagai bentuk tersendiri yang bukan untuk tujuan pementasan atau teater. Sebagai karya sastra drama betul-betul dihadapi dalam keutuhan dan keseluruhan simbol-simbol bahasa yang ada dalam naskah. Ia tidak bisa dihilangkan atau ditambah.

Pendekatan dalam Mengapresiasi Sastra Drama

Page 26: Apresiasi Drama

Berdasarkan teori-teori yang dijelaskan sebelumnya untuk mengapresiasi sastra drama, ada beberapa pendapat yang dapat dilakukan untuk mengapresiasi sastra drama. Menurut Hamidy (1984:15) pendekatan tersebut dapat dilakukan dalam segi:

Pendekatan dari segi fungsi. Hal ini biasanya dihubungkan dengan peranan yang dapat dimainkan oleh drama dalam masyarakat.

Pendekatan derajat peristiwa. Pembahasan ini berhubungan dengan alur, yaitu dalam bentuk bagaimana derajat peristiwa seperti eksposisi, komplikasi, krisis, sampai kepada penyelesaian.

Pendekatan terhadap tema. Dalam hal ini kita dihadapkan kepada perbandingan tiap-tiap kesatuan peristiwa sehingga sampai kepada suatu logika (kesimpulan) bagaimana citra atau ide yang hendak disampaikan.

Pendekatan terhadap drama yang berkaitan dengan segi aliran karya sastra, misalnya realisme, naturalisme, dan ekspresionisme.

Pendekatan dari sudut gaya. Pembahasan ini menyangkut bagaimana perkembangan sistematika bangun drama itu dengan kaitannya terhadap pantulan gaya yang hendak diperlihatkan kepada pembaca.

Lima pendekatan di atas sebenarnya merupakan satu alternatif saja dari cara lain atau pendekatan lain yang mungkin dapat dilakukan dalam mengapresiasi sastra drama. Persoalan penting yang seharusnya dipahami adalah bagaimana agar kedudukan drama sebagai apresiasi sastra seimbang dengan pembicaraan atau apresiasi sastra lainnya. Harapan ini muncul agar drama sebagai karya sastra tidak terlepas dari bahasa sastra Indonesia.

Tingkat-tingkat Apresiasi Sastra Drama

Tingkat apresiasi dalam pengertian ini dilihat dari daya tanggap, pemahaman, pengkhayalan, dan ketrampilan. Dengan demikian menyangkut pula pengertian tingkat kesiapan dalam menanggapi, memahami, menghayati, dan keterampilan dalam tingkat apresiasi sastra. Menurut Mio (1991:19) tingkat-tingkat apresiasi sastra drama, khususnya pembacaan drama dan prosa dapat dibagi atas empat, yaitu:

Pembaca yang telah dapat merasakan karya sastra itu sesuatu yang hidup, dengan pelaku-pelakunya yang mengagumkan. Mereka telah dapat terbawa dalam cerita atau drama yang sedang dibacanya, yang sering diiringi oleh ketawa, menangis, membenci seorang pelaku, dan sebagainya.

Pembaca yang telah dapat melihat dalamnya perasaan atau jika mereka telah dapat mengungkapkan rahasia kepribadian para pelaku satu drama berarti selangkah lebih maju dari pembaca di atas, Pada

Page 27: Apresiasi Drama

tingkat ini pembaca drama tidak saja menikmati kejadian-kejadian dalam drama secara badaniah, tetapi lebih banyak pada apa yang terjadi dalam pikiran pelaku.

Pembaca drama yang telah dapat membandingkan satu drama dengan yang lain dan dapat memberikan pendapatnya mengenai satu karya, juga telah dapat membaca karya yang lebih sukar dengan kenikmatan.

Pembaca yang telah dapat melihat keindahan susunan dialog, setting simbolis, pemakaian kata-kata yang berirana yang disajikan oleh sastrawan, telah mampu memberi respons pada daya sastra yang merangsang mereka berpikir dan memberi respons pada seni yang disajikan sastrawan.

Penutup

Kegiatan menggauli cipta sastra seperti yang dikenal dalam apresiasi sastra adalah kegiatan yang membutuhkan pelibatan hati secara serius terhadap objek yang dinikmati, yakni dalam bentuk bahasa tulis. Seorang penikmat sastra haruslah betul-betul dapat menghadirkan pikirannya ke dalam cipta sastra yang sedang diapresiasinya. Pekerjaan apresiasi ini bukanlah pekerjaan main-main.

Usaha untuk menumbuhkan keseriusan dan pemahaman dalam mengapresiasi sebuah karya sastra adalah dengan jalan menikmati, memberikan sikap positif, dan menganggapnya sebagai suatu kerja yang menyenangkan. Paling kurang ada rasa ingin mengetahui terhadap apa yang terselubung di dalam keunikan karya sastra itu.

Setelah sikap dan keinginan itu dipupuk terus, lahirlah semacam penilaian buruk atau baik dan akhirnya dapat diterima sebagai suatu yang punya arti atau tidak terhadap perkembangan jiwa kita sebagai pembaca. Usaha untuk memberikan penilaian buruk atau baik inilah yang merupakan usaha dalam suatu proses apresiasi sastra.

Drama sebagai salah satu jenis dari sastra yang patut atau wajar diapresiasikan dan dikembangkan. Dikatakan demikian sesuai dengan kedudukan drama itu dalam karya kepribadian seseorang. Melalui drama yang dibaca, selain orang itu dapat mempelajari dan menikmati isinya, ia juga dapat memahami masalah apa yang disampaikan dalam cerita. Dari proses ini mereka atau pembaca akan diantarkan kepada pertimbangan dan pemikiran terhadap kebenaran dan kemungkinan hal yang terjadi dalam cerita dengan kenyataan yang ada di luar cerita. Apabila telah sampai ke tingkat ini akhirnya dapat memcapai tingkat apresiasi yang baik.

Individu yang terlibat dalam kerja apresiasi sastra drama itu merupakan manusia yang berbeda-beda tingkat inteligensi, minat, bakat, dan sikapnya dalam menanggapi sesuatu hal. Untuk itu, mereka juga mempunyai perbedaan dalam kegiatan mengapresiasi sastra drama. Dalam hal ini ada dua penyebabnya, yaitu faktor dari dalam diri dan luar diri. Faktor dari dalam diri, contoh: minat, bakat, dan sikap, sedangkan faktor dari luar diri di antaranya adalah faktor sosial.

Page 28: Apresiasi Drama

Jelas kiranya bahwa mengapresiasi drama dapat dilakukan dalam dua cara. Pertama, dari sisi drama sebagai karya sastra, yakni naskahnya. Kedua dari sisi teater atau pementasannya. Pementasan dalam pengertian di sisi adalah memberikan penafsiran kedua kepada naskah drama.

Apabila seseorang telah mampu membedakan apa yang semestinya dilakukan ketika ia ingin mengapresiasi drama sebagai karya sastra atau drama sebagai suatu pementasan berarti ia telah sanggup menentukan keberadaan drama dalam kehidupannya. Berarti, ia juga telah dapat menerima sastra itu sebagai suatu yang memukau, penuh imajinasi, dan perlu dipahami sebagai bagian dari proses kehidupan.

Daftar Pustaka

Brahim. 1968. Drama dalam Pendidikan. Jakarta: Gunung Agung.

Damono, Sapardi Djoko. 1983. Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan. Jakarta: Gramedia.

Esten, Mursal. 1978. Kesusasteraan: Pengajaran Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa.

Hamidy, U.U. 1984. Pengantar Kajian Drama. Pekanbaru: Bumi Pustaka.

Hardjana, Andre. 1981. Kritik Sastra : Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Martoko, Dick. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.

M. Saini K. 1985. Dramawan dan Karyanya. Bandung: Angkasa.

Munir, Emha Syamsul. 1983. "Mengenal Teater". Dalam Majalah Sahabat Pena, No. 143. Jakarta.

Page 29: Apresiasi Drama

Nio, Bo Kim Hoa. 1981. Pengajaran Apresiasi Drama. Jakarta: Penataran Lokakarya Tahap II. P3G. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Rendra. W.S. 1983. Mempertimbangkan Tradisi. Jakarta: Gramedia.

Rosidi, Ajip. 1982. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta.

Semi, M. Ater. 1984. Materi Sastra. Padang: Sridarma.

Sutardjo, U.M. 1987. Bagi Masa Depan Teater Indonesia. Bandung: Gramedia.

Syam, Syahlinar. 1984. Bina Drama. Bandung: Jurusan Sendra Tasik FPBS IKIP Padang.

Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Udin, Syahlinar. 1982. Rencana dan Pelaksanaan Pengajaran Seni Drama. Padang: Jurusan Sendratasik FPBS IKIP Padang.

Page 30: Apresiasi Drama

Pengertian Sastra

Banyak sekali para ahli yang mendefinisikan pengertian mengenai sastra, Mursal Ensten mendefinisikan “Sastra atau Kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan).” (1978:9).

Di sisi lain semi mengungkapkan “Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.” (1988:8). Panuti Sudjiman mendefinisikan “Sastra sebagai karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinilan, keartistikan, keindahan dalam bagian isi, dan ungkapannya.” (1986:68).

Plato dan Aristoteles mempunyai definisi tersendiri mengenai sastra, menurut Plato “Sastra adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis). Sebuah karya sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan model kenyataan. Oleh karena itu, nilai sastra semakin rendah dan jauh dari dunia ide.” Sastra sebagai kegiatan lainnya melalui agama, ilmu pengetahuan dan filsafat.” diungkapkan oleh Aristoteles.

Menurut Engleton sendiri (1988:4), sastra yang disebutnya adalah “Karya tulisan yang halus” (belle letters) adalah karya yang mencatatkan bentuk bahasa harian dalam berbagai cara dengan bahasa yang dipadatkan, didalamkan, dibelitkan, dipanjang tipiskan dan diterbitkan, dijadikan ganjil”

Dari beberapa definisi di atas, maka dapat didefinisikansastra merupakan suatu bentuk karya seni baik berupa lisan maupun tulisan yang berisi nilai-nilai dan unsur tertentu lainnya yang bersifat imaginatif.

B. Sejarah Singkat Sastra Indonesia

1. Awal Periode Sastra

Bentuk-bentuk karya sastra yang kita lihat dan kita kenal dimulai dari periode Pujangga Baru yang banyak dipengaruhi oleh sastra Eropa. Pengaruh itu sangat terasa terutama pada karya-karya Chairil Anwar yang dianggap kontroversial pada waktu itu.

Kenyataan tersebut makin diperkuat akan pendek jarak waktu antara angkatan satu dengan angkatan berikutnya. Misalnya ada Angkatan 1966 setelah Angkatan 1945. Sangat pendek, hanya berjarak 11 tahun. Perkembangan sepesat ini hanya terjadi apabila sastrawan-sastrawan Indonesia terpengaruh oleh perkembangan sastra dunia.

Dengan demikian, pengertian sastra Indonesia adalah bentuk pengungkapan gagasan, pikiran, dan pengucapan sastra orang Indonesia, menggunakan bahasa Indonesia, baik sastra itu dipengaruhi oleh sastra asing atau tidak.

2. Perkembangan Sastra Indonesia

Page 31: Apresiasi Drama

Sejarah perkembangan sastra Indonesia dimulai pada abad ke-20 yang diawali oleh kehadiran karya-karya dari pengarang Balai Pustaka. Adapun karya-karya yang lahir sebelum periode tersebut digolongkan ke dalam sastra Melayu. Perkembangan sastra Indonesia secara garis besar terbagi dalam angkatan-angkatan berikut.

a. Angkatan Balai Pustaka (tahun 1920-an)

Pada tahun 1908, kolonial Belanda mendirikan Komisi Bacaan Rakyat (Commissie de Volkslectur) yang bertugas menyediakan bahan-bahan bacaan bagi rakyat Indonesia. Pada tahun 1917, nama komisi tersebut berubah menjadi /Balai Pustaka/. Dengan berdirinya penerbitan tersebut telah mendorong para penulis Indonesia untuk berkarya.

Nama-nama pengarang dan karyanya pada periode awal ini adalah sebagai berikut.

· Merari Siregar dengan karya Azab dan Sengsara

· Marah Rusli dengan karya Siti Nurbaya

· Abdul Musi dengan karya Salah Asuhan

· Sutan Takdir Alisyahbana Tak Putus Dirundung Malang, dan lain-lain

Tema ceritapada periode ini berkisar pada peristiwa sosial, kehidupanadat-istiadat, kehidupan beragama, dan peristiwa kehidupan masyarakat.Karya waktu itu cenderung berbentuk roman.

b. Angkatan Pujangga Baru (1933-1942)

Angkatan ini dipelopori oleh empat serangkai. Yaitu Sutan TakdirAlisyahbana, Armijn Pane, Sanusi Pane, dan Amir Hamzah.Karya sastra yang muncul sebagian besar berbentuk sajak, cerpen, novel, roman, dan drama. Karya padaangkatan ini antara lain sebagai berikut.

· Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana

· Belenggu karya Armijn Pane

· Katak Hendak Jadi Lembu karya Nur Sura Iskandar, dan lain-lain

c. Angkatan 45

Ciri khas karyasastra angkatan 45 lebih bebas, namun ditekankan pada isinya. Kalimat-kalimatnya pendek dan tidak menggunakan bahasa yang klise.Isinya pun bersifat realisme.

Pengarang-pengarang yang terkenal pada masa ini antara lain Idrus,Chairil Anwar, Rosihan Anwar, Usmar Ismail, dan lain-lain. Karya yang muncul antara lain Atheis, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, danlain-lain.

Page 32: Apresiasi Drama

d. Angkatan 66

Angkatan 66 diperkenalkan oleh HB Jassin dalam bukunya yang berjudulAngkatan 66. Angkatan ini muncul berbarengan dengan adanya kekacauanpolitikakibat adanya pemberontakan G-30S/PKI.

Karya-karya yang diterbitkan antara lain sebagai berikut.

· Pagar Kawat Berduri karya Toha Mochtar

· Tirani karya Taufik Ismail

· Hati yang Damai karya N.H. Dini

· Malam Jahanam karya Motinggo Boesje, dan lain-lain.

e. Karya Sastra Kontemporer

Karya sastra kontemporer berawal padatahun 1970-an. Pada waktu itu situasi politik sudah mereda. Situasisosial dan ekonomi mulai menunjukkan perbaikan sehingga berpengaruhbesar terhadap perkembangan sektor-sektor kebudayaan.

Kebebasan berekspresi mulai tumbuh dan berkembang sehingga melahirkan berbagai gerakanpembaruan dalam bidang sastra. Gerakan pembaruan dalam bidang sastra ini terutama ditandai oleh munculnya puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri yang mengutamakan bunyi daripada kekuatan maknakata. Sampai saat ini, sastra Indonesia semakin berkembang denganlahirnya pengarang-pengarang muda dan karyanya.

C. Jenis-Jenis Karya Sastra di Indonesia

Karya sastra di Indonesia berdasarkan bentuknya dibagi menjadi dua macam yaitu prosa dan puisi. Lalu prosa dan puisi ini dibagi lagi menjadi dua kategori yaitu prosa dan puisi lama dan modern.

Ciri-ciri sastra lama:

1. Bersifat statis

2. Tema ceritanya istana sentris

3. Nama pengarang tidak disebutkan atau disebut juga anonim

4. Menggunakan bahasa melayu kuno yang penuh dengan pepatah serta ungkapan yang panjang-panjang dan klise

5. Banyak yang berisi hal-hal yang fantastis (Diana Leroy, 2003:45) Contoh sastra lama: fabel, sage, syair, gurindam, dll.

Dalam sastra modern karya sastra tersebut telah dipengaruhi oleh karya sastra asing sehingga sudah tidak asli lagi. Dan dalam karya sastra modern pengarang sudah dikenal oleh masyarakat luas,

Page 33: Apresiasi Drama

bahasanya sudah tidak klise dan bersifat dinamis, temanya pun bersifat rasional dan bersifat modern/tidak kedaerahan. Contoh sastra modern: novel, biografi, cerpen, drama, dll.

D. Drama dan Apresiasi Drama

1. Hakikat Drama

Pengertian tentang drama yang dikenal selama ini menyebutkan bahwa drama adalah cerita atau tiruan perilaku manusia yang dipentaskan (Efendi, 2002:1). Kata drama berasal dari kata Yunani draomi yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, bereaksi, dan sebagainya (Harymawan, 1988:1 via Efendi, 2002:1). Jadi kata drama berarti perbuatan atau tindakan.

Sebagai suatu genre sastra drama mempunyai kekhususan dibanding dengan genre puisi ataupun genre fiksi. Kekhususan drama disebabkan tujuan drama ditulis pengarangnya tidak hanya berhenti sampai pada tahap pembeberan peristiwa untuk dinikmati secara artistik imajinatif oleh para pembacanya, namun mesti diteruskan untuk kemungkinan dapat dipertonto nkan dalam suatu penampilan gerak dan perilaku konkret yang dapat disaksikan. Kekhususan drama inilah yang kemudian menyebabkan pengertian drama sebagai suatu genre sastra lebih berfokus sebagai suatu karya yang lebih berorientasi kepada seni pertunjukan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Efendi (2002:1).

Menurut Wiyatmi (2006: 43 - 44) drama itu berbeda dengan prosa cerita dan puisi karena drama dimaksudkan untuk dipentaskan. Pementasan itu memberikan kepada drama sebuah penafsiran kedua. Sang sutradara dan para pemain menafsirkan teks, sedangkan para penonton menafsirkan versi yang telah ditafsirkan oleh para pemain. Pembaca yang membaca teks drama tanpa menyaksikan pementasannya mau tidak mau harus membayangkan jalur peristiwa di atas panggung.

Sebagai sebuah karya yang mempunyai dua dimensi, dimensi sastra sebagai teks dan dimensi seni pertunjukkan, maka pementasan drama harus dianggap sebagai penafsiran dari penafsiran yang telah ada yang dapat ditarik dari suatu karya drama. Dengan kata lain penafsiran itu memberikan kepada drama sebuah penafsiran kedua (Luxemburg, 1984:158 via Efendi 2002:1). Maksud dari pernyataan ini adalah, pementasan baru dimungkinkan terjadi jika teks drama telah dan ditafsirkan oleh sutradara dan para pemain untuk kepentingan suatu seni peran yang didukung oleh perangkat panggung seperti dekor, kostum, tata panggung, tata rias, tata cahaya, dan tata musik. Jadi pada hakikatnya drama terbagai menjadi dua yaitu drama sebagai teks dan drama sebagai seni pertunjukkan.

Teks drama merupakan salah satu genre sastra yang disejajarkan dengan puisi dan prosa, sedangkan pementasan drama adalah salah satu jenis kesenian mandiriyang merupakan integrasi antara berbagai jenis kesenian seperti musik, tata lampu,seni lukis (dekorasi dan panggung), seni kostum, seni rias, seni tari, dan lain sebagainya. Jika kita membicarkan pementasan drama, maka kita dapat mengarahkan ingatan pada wayang, ludruk, ketoprak, lenong, dan film.

Dalam kaitannya dengan pendidikan watak, drama juga dapat membantu mengembangkan nilai-nilai yang ada dalam diri peserta didik, memperkenalkan rentang kehidupan manusia dari kebahagiaan,

Page 34: Apresiasi Drama

keberhasilan, kepuasan, kegembiraan, cinta, ketakutan, keputusasaan, acuh tak acuh,benci, kehancuran dan kematian.

Drama juga dapat memberikan sumbangan pada pengembangan kepribadian yang kompleks, misalnya ketegaran hati, imajinasi, dan kreativitas (Endraswara 2005:192).

2. Hakikat Apresiasi Drama

a. Pengertian Apresiasi Drama

Yang dimaksud dengan apresiasi drama ialah kegiatan membaca, menonton, menghayati, memahami, atau menghargai karya drama (Efendi, 2002: 3). Dengan mengapresiasi drama diharapakan kita akan bisa menghayati karakter tokoh – tokoh drama.

Dengan menghayati tokoh dan perkembangan permasalahan dalam drama, pembaca dapat memahami dengan baik keputusan-keputusan yang diambil oleh tokoh drama, perkembangan karakter tokoh, dan motivasi yang mendorong sang tokoh untuk bertindak sesuatu. Dengan pemahaman seperti inilah, sang apresiator dapat memberikan penghargaan secara tepat atas karya drama yang dibacanya.

b. Persiapan Apresiator Drama

Kegiatan mengapresiasi drama akan berlangsung optimal kalau apresiator mempunyai bekal yang memadai untuk melakukannya. Semakin lengkap dan maksimal bekalnya, akan semakin baik kegiatan apresiasi yang dilakukannya. Bekal yang dimaksud adalah: (1) bekal pengetahuan, (2) bekal pengalaman, dan (3) bekal kesiapan diri.

Menurut Efendi (2002: 7), mengatakan bahwa seorang apresiator yang memiliki bekal pengetahuan yang luas dan mendalam akan mampu mengapresiasi sebuah karya drama secara mendalam. Sebaliknya, seorang apresiator yang memiliki bekal pengetahuan yang sempit dan terbatas tentu hanya akan mampu mengapresiasi sebuah karya drama secara dangkal pula. Bekal pengetahuan tersebut meliputi: (1) pengetahuan tentang drama, (2) pengetahuan tentang manusia, (3) pengatahuan tentang kehidupan, dan (4) pengetahuan tentang bahasa.

Seorang apresiator drama idealnya, memiliki pengetahuan yang memadai tentang drama, misalnya pengertian drama, unsur-unsur pembentuk drama, jenis-Jenis drama, sejarah perkembangan drama, dan pementasan drama (teater). Pengetahuan tentang pengertian drama akan memberikan wawasan kepada apresiator bahwa drama berbeda dengan fiksi (cerita). Dengan demikian, ia pun akan memperlakukan karya drama berbeda dengan karya fiksi.

Seorang apresiator juga dituntut untuk memiliki bekal kesiapan diri yang baik pula. Kesiapan diri sang apresiator itu meliputi kesiapan fisik dan kejiwaan. Kesiapan fisik meliputi kesehatan dan kebugaran sang apresiator. Sebab dalam keadaan sakit atau lelah seorang apresiator tidak akan mampu mengerahkan seluruh kemampuannya dengan baik. Dengan demikian sang apresiator tidak akan mampu menghadapi karya yang dibacanya secara optimal.

Page 35: Apresiasi Drama

Tidak hanya kesiapan fisik dan jiwa, tetapi bekal kesiapan akal pikiran sangat penting, karena hanya dengan kesipan akal pikiran yang prima itulah sang apresiator mampu memikirkan segala yang ditemukannya dalam drama secara kritis dan objektif. Hal itulah yang akan membawa sang apresiator pada tingkat pemahaman drama yang mendalam dan utuh.

E. Pendekatan Apresiasi Drama

Terdapat empat pendekatan yang bisa digunakan dalam mengapresiasi drama, yaitu: (1) pendekatan objektif, (2) pendekatan mimesis, (3) pendekatan genetis, dan (4) pendekatan pragmatis (Efendi, 2002:10-11).

Pendekatan objektif ialah pendekatan yang memandang karya drama sebagai karya yang sudah utuh dan mandiri. Artinya karya drama dapat dibaca dan dipahami tanpa harus mengaitkan dengan semesta (kehidupan di sekitar kita) sebagai sumber penciptaanya, dan masyarakat pembaca sebagai penikmatnya. Menurut pendekatan ini karya drama dapat dipahami hanya dengan membaca naskah itu sendiri.

Pendekatan mimesis ialah pendekatan yang memandang karya drama sebagai hasil cipta manusia yang ditulis berdasarkan bahan-bahan yang diangkat dari semesta (pengalaman hidup penulis atau hasil penghayatan penulis atas kehidupan di sekitarnya). Untuk itu, sebuah karya drama mustahil dipahami tanpa mengaitkannya dengan semesta sebagai sumber penciptaannya. Dengan kata lain, untuk dapat memahami drama secara mendalam diperlukan kegiatan mendialogkan secara terus-menerus antara penghayatan dan pemahaman terhadap apa yang ditulis penulis dalam drama yang dibaca dengan pengetahuan dan pengalaman hidup sang apresiator (Efendi, 2002: 11).

Pendekatan genetis adalah pendekatan yang memandang karya drama sebagai hasil cipta seorang penulis drama. Untuk itu pemahaman atas karya tersebut tidak mungkin dilakukan tanpa mengaitkannya dengan si penulisnya itu sendiri. Dengan demikian, untuk bisa memahami dengan baik dan mendalam sebuah naskah drama, sang apresiator perlu membekali diri dengan pengetahuan tentang penulis drama tersebut.

Pendekatan pragmatis ialah pendekatan yang memandang karya drama sebagai sesuatu yang baru bermakna kalau sudah berhadapan dengan masyarakat pembaca atau penonton. Karya drama baru punya nilai kalau dapat diterima oleh masyarakat pembacanya. Agar dapat diterima dengan baik oleh masyarakat pembaca, sebuah karya drama harus mempunyai makna bagi masyarakat pembacanya, mempunyai manfaat tertentu bagi pembacanya. Manfaat karya drama tersebut bagi masyarakat pembacanya antara lain, menghibur, dapat memberikan tambahan pengetahuan atau pengalaman tertentu kepada pembaca, atau dapat menjadi media berkaca diri bagi pembacanya.

F. Kegiatan dalam Mengapresiasi Drama

Kegiatan apresiasi drama secara umum dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yakni kegiatan (1) apresiasi secara reseptif, dan (2) apresiasi drama secara produktif (Efendi, 2002:13). Dalam apresiasi drama secara reseptif fokus kegiatan adalah pada pemahaman dan penghayatan karya drama.

Page 36: Apresiasi Drama

Sementara dalam kegiatan apresiasi drama secara produktif fokus utamanya adalah pada pemahaman dan pemberian tanggapan terhadap karya drama, misalnya dalam bentuk pemberian tanggapan secara tertulis.

Apresiasi drama secara produktif lebih lanjut juga dapat dihubungkan dengan kegiatan pementasan drama sebagai kegiatan yang bukan semata-mata bersifat produktif tetapi juga rekreatif. Disebut juga bersifat rekreatif karena dalam pementasan tersebut seseorang bukan sekedar berperan sebagai penikmat tetapi juga berperan dalam mengkreasikan ulang karya drama dari karya naskah menjadi karya pentas. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Efendi (2002: 13).

Menurut Efendi (2002: 13-14) mengatakan bahwa ditinjau dari aktivitas batiniahnya, terdapat tiga tahapan pokok dalam mengapresiasi drama, yaitu (1) keterlibatan jiwa sang apreisator, (2) pemahaman dan penghargaan terhadap cara-cara penulisan yang digunakan oleh sang penulis, dan (3) pendialogan antara hasil pemahamannya terhadap drama yang dibaca dengan hasil pengamatan, penghayatan, dan pemahamannya terhadap kehidupan sekitarnya. Keterlibatan jiwa sang apresiator ini penting agar sang apresiator dapat merasakan dengan baik ucapan tokoh, pemikiran tokoh, tindakan, dan sikap tokoh dalam menghadapi perubahan karakter tokoh, dan nasib yang dialami oleh seorang tokoh.

Pengahayatan yang mendalam terhadap segala yang terjadi dan terdapat dalam karya drama sebaiknya tidak membuat sang apresiator larut. Larut jiwa sang apresiator akan membuat sang apresiator tidak bisa bersikap kritis terhadap apa yang dibacanya. Larutnya kejiwaan hanya akan membuat sang apresiator menangis, tertawa, sedih, atau jengkel, tetapi tidak mampu memberikan penilaian terhadap drama yang dibacanya secara kritis dan objektif. Sementara itu, untuk mendapatkan pemahaman yang utuh dan mendalam terhadap sebuah karya drama sikap objektif dan kritis sangat diperlukan.

Sikap objektif dan kritis hanya bisa dilakukan oleh sang apresiator kalau sang apresiator tetap bisa menjaga kesadarannya selama membaca drama tersebut. Sebab, dengan kesadaran yang penuh sang apresiator dapat selalu menggunakan pengtahuan, pengalaman, dan pikirannya untuk menilai dan mengkritisi segala hal yang ditemukan dalam drama yang dibacanya (Efendi, 2002: 14).

Page 37: Apresiasi Drama

APRESIASI DRAMA

Hakikat Drama

Secara Etimologi (asal usul bentuk kata). Kata drama berasal dari akar kata drau (bahasa Yunani) yang berarti “gerak” atau “perbuatan”. Tontonan drama memang menojolkan percakapan (dialog) dan gerak-gerik para pemain (action) dipanggung.

Drama merupakan karangan yang berbentuk skenario lengkap, semuanya diuraikan secara rinci oleh penulis naskah, seperti unsur-unsur yang dalam karya sastra, yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsiknya. Sebelum drama dipertunjukan di atas pentas, teks drama harus dianalisis sehingga gambaran kasar tentang suasan drama dalam naskah tersebut dapat dibayangkan.

Secara umum dapat dikatakan bahwa, pengajaran apersiasi drama selalu bermula dengan pengajaran membaca naskah. Seperti halnya membaca puisi dan karya fiksi (novel, cerpen), membaca naskah drama merupakan suatu suatu perbuatan kreatif, dalam artian bahwa, perbuatan itu meminta kerja sama imajinatif yang sepenuh-penuhnya untuk untuk menjalin hubungan antara pembaca dengan penulis naskah. Drama meminta kepada pembaca suatu koordinasi pikiran dan perasaan. Pada saat orang membaca drama, ia dapat membayangkan dirinya menjadi aktor, produser, sutradara, perancang pentas, bahkan peñata lampu. Kata-kata yang tercetak dapat mensugesti pembaca untuk meciptakan gerak dan perbuatan, pelaku-pelaku yang berbicara, serta gambaran setting tertentu. Efek visual dari setting pentas harus tercipta dalam imajinasi pembaca, begitu juga mengenai atmosfir mood dan nada peristiwa kehidupannya. Koordinasi pikiran dan perasaan pembaca haruslah kuat karena naskah drama tidak memiliki device yang mengklasifikasi arti seperti yang terdapat dalam novel atau cerpen.

Drama merupakan cermin/pantulan diri dan hidup kita sendiri. Drama sangat penting diajarkan karena dalam pembelajaran drama akan menemukan lebih banyak tentang apa yang dimaksud dengan “menjadi manusia yang mampu berdiri sendiri” (manusia mandiri) sebagai individu karena manusia dalam semua leruwetan dan konflik-konflik hidupnya dapat menyusun pokok masalah utama kehidupannya dari seni drama itu. Drama tidak hanya merupakan pencerminan atau pantulan lingkungan hidup, tetapi juga menolong kita untuk mengatasi masalahnya, untuk mengembangkannya dengan baik-baik,dengan imajinasi dan pengertian mengenai hidup itu sendiri.

Drama dapat dipandang sebagai sarana memanusiakan manusia, terdorong dengan tiba-tiba kearah imajinasi, untuk mengerti, untuk menyadari dan dengan penuh kepastian mengetahui kearah jati diri. Maka tujan tulisan ini adalah akan pengetahuan baru kepada pembaca mengenai dunia drama.

Menurut masanya drama dibedakan al:

Drama baru/Modern

Drama modern adalah drama yang memiliki tujuan untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat pada umumnya yang bertemakan kehidupan sehari-hari.

Page 38: Apresiasi Drama

Drama lama/Klasik

Drama klasik ialah drama khayalan yang umumnya menceritakan tentang kesaktian, kehidupan kerajaan atau istana, kehidupan dewa-dewi, dll.

Unsur-unsur yang Membantu dalam Pementasan Drama

Babak yaitu bagian dari sebuah lakon drama. Batas antara babak satu dan babak lain ditandai dengan turunnya layar, atau lampu penerang panggung dimatikan sejenak.

Adegan yaitu bagian dari lakon drama juga. Sebuah adegan hanya menggambarkan satu suasana yang merupakan bagian dari rangkaian suasana-suasana dalam babak.

Prolog yaitu kata pengantar atau pendahuluan sebuah lakon.

Dialog yaitu percakapan diantara pelaku/pemain dalam sebuah pementasan.

Monolog yaitu percakapan seorang pemain dengan dirinya sendiri.

Epilog yaitu kata penutup yang mengakhirisebuah lakon yang biasanya merupakan ikhtisar dari cerita dalam drama tersebut.

Mimik yaitu ekspresi air muka para pemain.

Pantomim yaitu ekspresi gerak-gerik anggota tubuh untuk menggambarkan emosi yang sesuai dengan jalan ceritanya.

Menurut Isinya Drama dibedakan al:

Drama Tragedi yakni, drama yang menggambarkan kesedihan. (pelaku utama, selalu dirundung masalah).

Drama Komedi yakni, drama yang menimbulkan kelucuan.

Drama Tragedi-Komedi yakni, paduan tragedy dan komedi. Drama yang menggambarkan kelucuan, juga menggambarkan perasaan sedih dan duka.

Lelucon yakni, drama yang lucu yang menimbulkan tawa penonton. Tujuan utamanya adalah menghibur dengan isi yang singkat.

Drama Melodrama yakni, drama yang dialognya diucapkan dengan iringan melodi/musik.

Drama Sendratari yakni, gabungan antara seni drama dan seni tari.

Unsur-unsur Drama

Karakter, ini merupakan sumber konflik dan percakapan antar tokoh.

Page 39: Apresiasi Drama

Dialog merupakan salan satu unsur vital dalam sebuah pementasan drama.

Lattar merupakan bagian dari cerita yang menjelaskan waktu dan kejadian ketika tokoh mengalami peristiwa.

Amanat, berupa pesan yang disisipkan pemain melalui konflik dalam suatu cerita.

Bahasa merupakan unsur yang paling penting dalam drama.

Unsur-unsur Pementasan Drama

Naskah drama yang merupakan bahan pokok pementasan.

Sutradara yang bertugas mengkordinasi lalulintas pertunjukan drama.

Pemain yang menafsirkan perwatakan tokoh melalui perannya.

Panggung yang memungkinkan pemain dapat dilihat oleh penonton.

Cahaya/tata lampu, diperlukan untuk memperjelas penglihatan.

Tata bunyi yang memegang peranan penting dalam membedakan suasana dalam pementasan drama.

Pakaian/kostum, ini digunakan untuk membantu pemain dalam menggambarkan kepribadian wataknya.

Tata rias yang dapat menentukan status sosial pemeran.

Penonton, dalam setiap pementasan selalu membutuhkan penonton.

Materi Pengajaran Drama

Berdasarkan rumusan tujuan tersebut, materi pelajaran apresiasi drama menurut (Ahmadi, Muksin:1990) dapat berkisar pada hal-hal tersebut:

Cara membaca dan menafsirkan naskah drama serta mencari segi-segi yang menyenangkan melalui analisis unsur-unsur dan strukturnya.

Identifikasi karya-karya dramatik yang siginifikan sebagai khasanah renungan nilai-nilai.

Pengembangan landasan berpikir dan cita rasa dalam seni drama, termasuk film dan televisi.

Pembentukan minat bermain drama atau membantu masyarakat atau perkumpulan drama dan teater ditanah air.

Page 40: Apresiasi Drama

Pembentukan pengertian dan pengakuan mahasiswa tentang pentingnyha drama dan teater sebagi suatu sumber pengetahuan dan kesadaran tentang masalah orang-orang atau masyarakat.

Strategi Penyampaian Pengajaran Drama

Pengajaran mengapresiasi drama sebenarnya mempunyai dua target yaitu, produksi pementasan dan responsi yang diperoleh dalam menonton pementasan. Materi pengajaran drama secara lebih terperinci dapat dapat dilaksanakan dalam tahap-tahap berikut:

Studi Naskah (menafsirkan gagasan dan emosi pengarang)

Membaca diam (silent reading) dilakukan secara klasikal atau individual terjadwal atau terstruktur atau tak terjadwal, kegiatan ini dimaksudkan untuk menangkap atau mencari gagasan atau emosi pengarang dengan perincian penentuan:

Pokok persoalan

Sikap menulis terhadap pokok persoalan

Sikap penulis kepada pembaca

Kehendak/cerita penulis

Nilai-nilai

Membaca mengidentifiksi makna, bentuk, unsur-unsur yang dilakukan dalam diskusi kelompok untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dipadukan oleh guru maupun dosen.

Mengidentifikasi latar/setting dan atmosfir cerita

Difungsikan menunjang gerak dramatic.

Suasana sayu, cerah, gembira, tertekan, khusuk, dll.

Identifikasi dialog

Penanda watak

Penanda tema

Penanda fore shadowing

Identifikasi Jenis Konflik dan Jenis Lakon

Identifiksi Nilai-nilai

Page 41: Apresiasi Drama

Latihan Kearah Teater

Dalam latihan kearah teater, ada beberapa hal yang harus dilakukan al:

Membaca nyaring

Pengucapan dialog dengan lagu, irama, tekanan dan kesenyapan sesuai dengan fungsi dialog.

Pengucapan dialog dengan ragam penggunaan tertentu (idiolek, dialek) dll.

Menciptakan setting pentas dengan lagu, irama, tekanan dan kesenyapan sesuia dengan fungsi tiap baris dialog.

Latihan berdialog dengan disertai ekpresi suara, mimik dan gerak pendukung.

Latihan gerak dan oratori.

Dalam garis besarnya terdapat beberapa penerapan yang harus diterapkan siswa setelah mempelajari drama al:

Penjelahan, siswa membaca atau menonton untuk memperoleh pemahaman tentang naskah drama yang diapresiasi lewat pembacaan atau pementasan.

Interpretasi, siswa melakukan penafsiran dengan menganalisis unsur-unsur yang membangun naskah drama yang diapresiasi.

Rekreasi, dalam langkah ini siswa diminta untuk mengkreasikan kembali hal-hal yang dipahaminya.

Pementasan atau Pertunjukan

Latihan kearah teater berakhir dengan pementasan yang mempertontonkan kemauan gerak serta lingkungan tiap sosok tokoh atau insan lakon.

Daftar Rujukan

Ahmadi, Muksin. 1990. Strategi Belajar Mengajar Keterampilan Berbahasa & Apresiasi Sastra. Malang: YA3 Malang.

Tofani, Abi & G.S. Nugroho. 2008. Sari Kata Bahasa Indonesia Lengkap. Surabaya: Kartika.

Page 42: Apresiasi Drama

PEMBELAJARAN APRESlASI DRAMA

Setiap saat manusia adalah pelaku atau tokoh yang memerankan sikap dan perilaku tertentu. Keterampilan berperan dan memerankan tokoh tertentu dalarn kehidupan, akan sangat menentukan keberhasilan seseorang di tengah-tengah masyarakat. Siswa adalah individu yang nantinya akan mengambil bagian dalam memainkan perannya di ,masyarakat. Oleh karena itu,. siswa perlu mendapatkan pengalaman dalatn bermain peran dan memerankan tokoh-tokoh tertentu. Kesempatan bermain peran dan memahami peran yang dimainkan dalam drama misalnya, akan dapat adalah cermin konflik-konflik membentuk jati dici siswa. Mengingat, pada hakikatnya drama kehidupan. Sumber utama dalam drama adalah permasalahan dan kehidupan manusia.

A. Nilai-nilai Pendidikan dalam Drama

Manusia adalah makhluk yang sanggup mengenal dan berbuat susila. Manusia mempunyai sifat dapat salah, tetapi dapat diperbaiki atau mendekati baik. Oleh karena itu manusia merupakan makhluk yang dapat dididik (animal educadice) dan yang harus mendapat pendidikan (animal educandum) (Brahim, 1968:129). Sebagai makhluk susila, rnanusia sanggup mengenal kaidah-kaidah susila dan mengambil keputusan susila serta bertindak melaksanakan keputusan itu.

Hal yang perlu diperhatikan bahwa kesanggupan untuk berbuat susila dan mengambil keputusan susila tidak serta merta secara langsung dimiliki oleh manusia. Untuk dapat melakukan perbuatan di atas sejak dini seorang anak harus sudah dikenalkan dengan norma-norma susila. Salah satu cara pengenalan tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan.

Pemahaman nilai-nilai serta unsur-unsur budi pekerti dapat dilakukan melalui pendidikan agama. Di samping melalui pendidikan agama, perlu diperhatikan juga pendidikan kesenian dalam upaya penanaman nilai-nilai dan norma tersebut. Kegiatan kesenian merupakan salah satu upaya mempersiapkan siswa agar tidak merasa canggung terlibat dalam kehidupan bermasyarakat.

Page 43: Apresiasi Drama

Sehubungan dengan pentingnya pendidikan dalarr penanaman nilai-nilai dan pembentukan tingkah laku, (1993: 49) n-.engemukakan suatu fenomena yang pendidikan di jenjang T'aman Kanak-Kanak.

TK bukanlah sekolah kesenian, bukanlah pula suatu akademi yang diharapkan menghasilkan seniman kreatif, namun tampaknya kegiatan yang sangat menonjol sehari-hari di sekolah adalah wsaha g;~tw mendorong murid-muridnya agar mau, berani, dan mampu menyatakan diri dalam berbagai bentuk kesenian. Di sini siswa didorong untuk mengekspresikan diri (Sapardi, 1993:49-50).

Termasuk dalam kalimat tersebut-salah satunya adalah pengajaran sastra, khususnya drama. MeIalui pendidikan; pengenalan dan pemahaman terhadap drama, akari dapat memparkaya siswa sebagai pribadi dalam keberadaannya di antara sesamanya, antara siswa satu dengan siswa yang lain. Mengingat, bahwa kesenian dalam proses Sapardi Joko Damono menarik yaitu tentang proses sumber penulisan drama adalah segala permasaiahan dan konflik yang dialami manusia_ Oleh karena itu dapat dikatakan bal3wa apa yang ada dalam drama merupakan cermin dari kehidupan nyata. Dengan memahami dan merrgapresiasi permasalahn yang disampaikan dalam drama, siswa dilatih untuk memecahkan masalah, yang mungkin akan ditemui dalam kehidupan di masyarakat nanti.

Ditinjau dari segi perkembangan jiwa, siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) berada pada tahap yang disebut tahap realistik (Rahmanto, 1988:30). Dari segi usia., anak SMP berada pada usia antara 12 - 15 tahun. Pada masa ini anak-anak sudah benar-benar terlepas dari dunia fantasi dan sangat berminat pada realitas atau apa yang benar-benar terjadi. Mereka berusaha mengetahui dan siap mengikuti dengan teliti fakta-fakta untuk memahami masalal? masalah daiam kehidupan nyata.

Sesuai dengan perkembangan jiwa dan perkembangan kemampuan bersosialisasi dengan masyarakat, maka penyelenggaraan pengajaran drama di sekolah mempunyai arti bagi pemupukan sikap hidup bergotong royong dan belajar tanggung jawab. Siswa perlu dilatih untuk hidup secara bersama dan bertanggung jawab terhadap kewajiban yang diserahkan kepadanya. Dilatih untuk hidup mandiri, belajar bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan.

Selanjutnya, menurut Ki Hajar Dewantara (dalam Brahirn, 1968:155), sandiwara (drama)

merupakan alat pandidikan yang baik. Dalam sandiwara itu terdapat dasar-dasar pendidikan yang bersifat kesenian (aesthetisch), kebajikan (ethisch) dan religius (uniuk mengajarkan agama), sosial (untuk mengajarkan laku bermasayarakat). (Brahim, 1968:155).

Page 44: Apresiasi Drama

Secara terperinci Brahim (1968:161) mengemukakan nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam pengajaran drama, yaitu:

melibatkan para pelajar pada persoalan hidup,

memberi kesempatan "biidung",

para pelajar dapat memperdekatkan nilai-nilai kehidupan yang perlu bagi dirinya ndiri,

dapat menghargai golongan lain,

rnempunyai peranan dalam pernbentukan pribadi sendiri,

merupakan latihan memperguoakan bahasa dengan teratur dan baik,

melatih anak berpikir cepat,

melatih pelajar-pelajar yang lain sebagai penonton,

murid-rnurid dapat mengerti secara intelektual dan merasakan persoalan social psycholgis itu,

menimbulkan diskusi yang hidup, dan

mendidik berani mengemukakan pendapat.

menghargai pendirian orang lain,

angkan Kreativitas Siswa

Manusia sering disebut juga "homo sapiens", yaitu makhluk yang suka berpikir, mempertirqbangkan, menilai dan mengevaluasi. Di samping itu manusia juga dikenal sebagai "homo tudens", yaitu makhluk yang suka berimajinasi, bermain dan berkreasi (Darma, 1990). Dari sifat-sifat itulah dimungkinkan

Dengan kreativitas, pemikiran manusia selalu menjadi dinamis sesuai dengan perkembangan zaman. Manusia selalu mencari kemungkinan-kemungkinan untuk meningkatkan diri, Manusia kreatif adalah manusia yang selalu mempertanyakan sesuatu, menyangsikan sesuatu, karena merasa yakin bahwa dibalik apa yang diketahui ada sesuatu yang tidak diketahui. Naluri keingintahuan itulah yang mendorong manusia mengembangkan potensi kreativitas diri. Semua itu juga terjadi pada diri siswa.

Page 45: Apresiasi Drama

Oleh karena itu, potensi kreativitas yang dimiliki oleh siswa perlu mendapatkan perhatian dan disalurkan dengan baik.

Menurut Munandar (1993:20), proses kreatif merupakan suatu fenomena intrapsikis, dan bagian dari suatu sistem terbuka. Dalam arti bahwa, kreativitas bukanlah semata-mata p~mbawaan sejak lahir yang melekat pada iiiri seseorang. Kreativitas dapat ditumbuhkan melalui penciptaan suasana, masukan dari dunia luar dan sangat dibantu dan dimudahkan oleh iklim atau lingkungan yang tepat.

Proses kreatif adalah suatu proses yang mulai kelihatan sejak kecil, sejak kesdaran pertama. Faktor lingkungan pun merupakan hal yang sangat penting bagi pertumbuhan kreativitas seorang anak. Masa kecil adalah pesemaian bagi intuisi kreatif (Gerson Poyk dalam Eneste, 1984:71).

Pendidikan sebagai institusi formal merupakan lingkungan yang kandusif dalam menumbuhkembangkan potensi kreatif siswa. Agar dapat tercipta kondisi yang detnikian, pelaksanaan proses belajar mengajar sedapat mungkin dipusatkan psda aktivitas belajar siswa. Siswa secara langsung mengalami keterlibatan intelektual dan emosional dalam proses belajar mengajar.

Salah satu kompcnen dalam pendidikan formal tersebut adalah pengajaran sastra (temasuk drama). Pengajaran drama yang diberikan seuara problematis dan menekankan pada aktivitas bersastra, akan dapat mengembangkan kreativitas siswa. Bersastra artinya melakukan proses kreatif menikmati dan dapat juga mencipta sastra secara aktif. Dengan demikian akan terjadi keterlibatan mental spiritual siswa terhadap karya sastra. Di sinilah guru memegang peranan penting dalam posisinya sebagai pengajar untuk menciptakan suasana yang kondusif agar dapat memberi kesempatan siswa mengembangkan diri.

Drama sebagai karya sastra, merupakan pengungkapan dunia batin pengarang yang merefleksikan kebebasan pribadi dalam berkreasi. Penghayatan terhadap kebebasan pribadi akan mendcrong pembaca (siswa) untuk bersikap kreatif. Drama juga menampilkan tokoh dengan segala problema, watak, kejadian dan konflik. Semua itu diatasi dengan cara kreatif oleh pengarang. Seseorang yang terlibat dalam drama akan menghayati penemuan-penemuan baru, kemungkinan-kemungkinan baru sehingga berpengaruh terhadap jiwa kreativitasnya.

Page 46: Apresiasi Drama

Melalui kegiatan ekspresi yang berupa pementasan drama, suasana yang kondusif benar-benar tercipta untuk menumbuhkan kreativitas siswa. Pada saat melakukan kegiatan pementasan itulah siswa yang satu dengan siswa yang lainnya saling berinteraksi dengan berdiskusi, berdislog dan bekerja sama untuk persiapan pementasan.

Pertumbuhan dan perkembangan potensi kreatif siswa akan tampak pada proses persiapan pementasan drama. Siswa yang melibatkan diri secara langsung dalam drama akan merasakan pengaruh nilia-nilai drarna terhadap hidup mereka. Siswa yang mendapat kesempatan memerankan tokoh tertentu, akan memperoleh rasa puas yang sesungguhnya apabila permainannya berhasil dan sekaligus memiliki pengalaman menghayati peran yang mungkin akan dialami di masyarakat nanti. Sementara itu, siswa-siswa yang terlibat dalam persiapan perancang kostum, seting dekorasi, tata panggung, tata lampu, musik dan sebagainya akan dapat mengernbangkan selera dan pengetahuannya. Mereka diberi kesempatan untuk berkreasi sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Misalnya, siswa yang bertugas mempersiapkan kostum, dituntut untuk mengembangkan daya kreatifnya agar menghasilkan tata kostum yang baik dan menarik disesuaikan dengan tuntutan pentas.

Idealnya agar siswa dapat mempunyai kesempatan lebih luas, sebaiknya pengajaran drama tidak hanya melalui kegiatan intrakurikuler dan kokurikuler, tetapi ditunjang dengan kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan ekstrakurikuler akan memperkaya dan memperluas wawasan, pengetahuan, peningkatan nilai dan sikap siswa dalam menerapkan pengatahuan dan kemampuan yang telah dipelajari. Apabila proses pengajaran drama dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan efektif, akan memberi kesempatan siswa untuk terlibat dalam proses berapresiasi dan berekspresi drama. Hal yang perlu ditekankan adalah bagaimana agar sekolah tetap dapat menjadi tempat pesemaian potensi-potensi kreatif siswa lainnya saling berinteraksi dengan berdiskusi, berdislog dan bekerja sama untuk persiapan pementasan.

Pertumbuhan dan perkembangan potensi kreatif siswa akan tampak pada proses persiapan pementasan drama. Siswa yang melibatkan diri secara langsung dalam drama akan merasakan pengaruh nilia-nilai drarna terhadap hidup mereka. Siswa yang mendapat kesempatan memerankan tokoh tertentu, akan memperoleh rasa puas yang sesungguhnya apabila permainannya berhasil dan sekaligus memiliki pengalaman menghayati peran yang mungkin akan dialami di masyarakat nanti. Sementara itu, siswa-siswa yang terlibat dalam persiapan perancang kostum, seting dekorasi, tata panggung, tata lampu, musik dan sebagainya akan dapat mengernbangkan selera dan pengetahuannya. Mereka diberi kesempatan untuk berkreasi sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Misalnya, siswa yang bertugas mempersiapkan kostum, dituntut untuk mengembangkan daya kreatifnya agar menghasilkan tata kostum yang baik dan menarik disesuaikan dengan tuntutan pentas.

C. Prosedur Pembelajaran Apresiasi Drama

Page 47: Apresiasi Drama

Apakah beda antara drama dan novel? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Sapardi (1983:150) menyebut satu hal, yaitu drama dimaksudkan untuk dibawa ke pentas sedangkan novel untuk dibaca. Istilah drama secara umum mengandung pengertian semua bentuk pertunjukan yang bnersifat peniruan atau menirukan sesuatu (imitation of life action). Di dalam kesusastraan, secara khusus drama merupakan bentuk cerita yang digubah dan disusun untuk dimainkan atau dilakonkan. Seluruh cerita atau lakon drama disusun dalam bentuk dialog atau percakapan antar pelaku.

Dari uraian di atas tampak bahwa drama mempunyai dua dimensi, yaitu

1)

sebagai

seni sastra, dan sebagai seni pentas

2)

sebagai

seni sastra drama adalah bacaan sedangkan

sebagai

seni pentas drama adalah suatu pertunjukkan atau tontonan.

Dengan memperhatikan kedudukan drama yang demikian itu, memberi penjelasan bahwa drama bukan merupakan seni yang berdiri sendiri (individual). Dalam suatu pementasan drama, tidak dapat dilaksanakan secara individual tetapi senantiasa bersama dengan orang lain. Suasana itulah yang menyebabkan drama juga disebut sebagai seni kolektif (collective art). Selain sebagai seni kolektif,

Page 48: Apresiasi Drama

drama juga merupakan seni campuran (synthetic art). Disebut demikian oleh karena untuk kepentingan pementasan dalam drama memerlukan keterlibatan unsur-unsur seni lain seperti tari (gerak), Seni musik (suara), seni lukis (dekorasi/panggung), seni sastra (kata). Unsur-unsur tersebut terangkum menjadi satu di dalam memberi ciri drama.

Unsur utama yaqg terdapat daiam drama adalah lakuan. Hal itu bertolak dari wawasan klasik yang dinyatakan oleh Aristoteles yakni drama adalah tiruan dari kehidupan (imitcrllon of life ent action) (Ichsan; 1990:214). Sebagai suatu realita, drama adalah cerita mengenai koriflik dalam kehidupan manusia. Memahami drama pada akhirnya tidak berbeda jauh dengan upaya memahami manusia, yuang melalui prosws atau tahapan-tahapan. Selanjutnya secara rinci disajikan tahap-tahap pembelajaran apresiasi drama. Tahapan tersebut, yaitu:

pelacakan pendahuluan,

penentuan sikap praktis,

introduksi,

penyajian,

diskusi,

dan pengukuhan (Rahmanto, 1988:43).

Pada tahap pendahuluan guru melakukan kegiatan pemahaman sederhana terhadap naskah drarna yang dijadikan bahan pengajaran. Pada tahap ini guru berupaya memahami tema, hal yang menarik, nilai-nilai yang ada, dan sebagainya. Guru dengan sejumlah bekal yang dimiliki berusalra "mengenali" dulu naskah drarna yang akan dibahas bersama siswa.

Pada tahap penentuan sikap praktis, guru menentukan langkah-langkah praktis yang akan ditempuh dalam proses pembelajaran. Mencatat hal-hal penting yang perlu mendapat perhatian misalnya menyangkut tokoh-tokoh yang terlibat dalam drama, peralatan yang dibutuhkan, cara atau metode apa yang akan digunakan untuk mengajarkan drama tersebut dan sebagainya. Kernudian juga rnelakukan pengenalan dengan mencari sejumlah informasi pendukung berkaitan dengan keberadaan naskah. Siapa pengarangnya, siapa penerbitnya, jumlah halaman, kadar atau kandungan isinya.

Tahap introduksi atau pengantar merupakan tahapan pembuka sebelum masuk pada penyajian. Pada tahap introduksi ini guru dapat mengajak siswa untuk mengingat pengalaman-pengalaman yang berkesan masing-masing siswa. Agar dapat teraran, pengalaman-pengalaman siswa tersebut sedapat mungkin dihubungkan dengan tema atau pokok permasalahan yang ada dalam drama yang akan dijadikan bahan pengajaran. Setelah melakukan introduksi atau pengantar, guru dapat

Page 49: Apresiasi Drama

langsung masuk pada tahapan penyajian materi. Berdasarkan strategi yang telah dipilih, proses pembelajaran dapat langsung dilaksanakan. Pada tahap penyajian perlu dipertimbangkan waktu yang tersedia, berapa pertemuan yang diperlukan untuk membahas drama tersebut.

Tahap selanjutnya adalah tahap diskusi. Pada tahap ini guru bersama-sama siswa mendiskusikan permasalahan yang muncul selama proses belajar mengajar. Siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menyampaikan pendapatnya. Guru dapat memberikan sejumlah pertanyaan yang dapat dijadikan sebagai bahan diskusi dengan siswa. Pada prinsipnya, tahap diskusi sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai upaya pengukuhan terhadap perolehan belajar siswa. Hal-hal pokok yang mendapatkan perhatian, dibahas dan diulas kembali oteh guru. Kegiatan pengukuhan perlu dilakukan untuk menguatkan perolehan pengejahuan dalam diri siswa.

Contoh Pengajaran Drama

Sebagai bahan latihan,berikut ini disajikan contoh pengajaran drama sesuai dengan tahapan-tahapn di atas. Drama yang dijadikan bahan pengajaran berjudul "Desir Cemara di Tingkap", karya Ustaji PW. Naskah drama itu dimuat pada Antologi Naskah Drama, yang diterbitkan oleh Balai Bahasa Yogyakarta.

1) Pelacakan Pendahuluan

Drama ini bercerita tentang kehidupan sekelompok orang yang tergabung dalam rombongan sirkus atau akrobatik. Sebagai rombongan sirkus maka mereka harus selalu siap untuk memberi hiburan kepada para penonton. Itulah masalah menarik yang ingin ditampilkan oleh drama ini. Setiap saat mereka selalu tampil gembira dan bahagia di hadapan penonton, namun sebenarnya dibalik panggun6, dibalik k.egernbiraan tersebut banyak masalah yang harus dihadapi.

Hidup ini adalah sandiwara, Kita harus pandai memainkan peran kita masingmasing. Menurut para penonton, setelah layar panggung dibuka, saat itulah sandiwara dimulai. Anggapan itu salah. Bagi kelompok sirkus itu, setelah layar diturunkan dan penonton bubar, dan para pemain sirkus sibuk dengan urusan hidup masing-masing, barulah sandiwara yang sebenarnya dimulai.

Page 50: Apresiasi Drama

Drama ini bercerita tentang persekongkolan antara Si Bos dengan Si Tua untuk mencelakai Si Buruk dan adiknya, Natalia. Si Bos ingin menguasai harta warisan milik Si Buruk dan Natalia. Pada malam itu Si Buruk dipilih untuk bermain akrobatik. tali dan Si Bos sudah merencanakan untuk rnembuat jebakan-jebakan agar Si Buruk terbunuh. Namun niat jahat itu tidak berhasil karena dibongkar oleh Si Manis.

Pelaku dalam drama ini berjumlah 10 orang. Peran-peran yang ada adalah

Si Tua,

Si Buruk,

Si Manis,

Si Centil,

Si Pincang,

Si Beo,

bak Yu,

Carfa,

Pedro,

Natalia.

Ditambah satu tokoh yaitu Si Bos, tetapi tokoh Si Bos hanya disebut-sebut dalam cerita dan tidak pernah dimunculkan ditengah tokoh-tokoh yang lain.

Penentuan Sikap Praktis

Page 51: Apresiasi Drama

Naskah drama yang herjudul "Desir Cemara di tingkap" adalah naskah yang masuk nominasi sepuluh besar pada lomba penulisan naskah yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Yogyakarta. Dengan mempertimbangkan proses penjurian dan kriteria penilaian, dapat dijadikan salah satu ukuran bahwa naskah drama ini dapat digunakan sebagai bahan pengajaran.

Setelah guru mengenal dengan sungguh-sungguh naskah drama ini, selanjutnya guru menandai hal-hal yang dianggap menarik dari drama tersebut. Melakukan identiftkasi terhadap tokoh-tokoh yang ada, seperti bagaimana watak dan sifat Si Tua, orang tua yang scring menasehati tetapi terlibat dalam persengkokolan. Si Beo yang mempunyai.sifat egois, selalu ingin menunjukan kekuatannya. Si Centil adalah orang suka mencampuri urusan orang lain, mau tahu urusan orang lain. Guru, juga perlu rnenandai kata-kata atau dialog yang mengandung nilai dan menjadi kekuatan drama. Dialog-dialog yang mengandung pokok pikiran, perlu dipikirkan bagaimana cara pengucapannya, lagu kalimatnya, pelafalannya dan sebaginya.

Pada tahap penentuan sikap praktis ini, guru sudah mulai memikirkan cara yang efektif agar siswa dapat mengikuti pembelajaran drama dengan baik. Salah satu yang dapat dilakukan adalah menugaskan siswa untuk membaca naskah drama itu di rumah, bisa seminggu sebelum pelajaran dimulai. Dengan demikian siswa sudah pernah tahu dan mengenal wujud naskah yang dijadikan bahan pengajaran.

3. Introduksi

Tahap introduksi atau pengantar merupakan tahapan pembuka sebelum masuk pada penyajian. Pada tahap introduksi ini guru dapat mengajak siswa untuk mengingat pengalman-pengalaman yang berkesan yang pernah dialami. Guru dapat mulai dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, Siapakah yang pernah rnelihat pertunjukkan sirkus? Apakah anak-anak pernah tahu kehidupan para pemain sirkus itu.

4. Penyajian

Setiap siswa sudah memhaca dan mempelajari naskah drama di rumah. Pada saat di kelas, guru sebaiknya menunjuk beberapa siswa untuk rnenjadi peraga dan membaca di depan. Naskah yang dibaca di depan kelas, dipilih pada bagian yang menarik baik dari dialognya maupun dari isinya. tentunya siswa yang dipilih yang dapat membaca dengan baik. Setelah dirasa cukup, dilanjutkan dengan pembacaan secara bersama-sama seluruh siswa. Pada saat pembacaan ini, sambil dibayangkan kira-kira bagaimana kata, dialog atau kalimat itu harus dibaca. Bagaimana suasana pembacaan yang tepat dengan isi dialog tersebut. Apabila terjadi kesalahan dalam membaca,

Page 52: Apresiasi Drama

sebaiknya guru jangan langsung mengberikan pembacaan untuk membenahi kesalahan. Sernentara waktu kesalahan itu dibiarkan saja, dan siswa disuruh terus membaca dengan disertai beberapa contoh dari guru.

Kemudian guru memilih bagian atau penggalan dialog tertentu dalam drarna untuk dicoba dimainkan atau diperagakan di kelas. Penyajian selanjutnya, guru menyuruh beberapa siswa untuk tampil di kelas. Siswa-siswa tersebut disuruh me!akukan adegan-adegan yang ada dalam drama. Karena siswa belum menghafal naskah, masih mungkin pada latihan bermain peran ini siswa masih membaca naskah. Akan tetapi pembacaannya sudah disertai dengan penjiwaan terhadap tokoh yang diperankan. Tentu saja peran guru sebagai pembirnbing dan pengatur laku (sutradara) masih dibutuhkan.

5. Diskusi

Setelah diadakan proses pembacaan dan peragaan singkat, kemudian siswa diajak untuk membicarakan unsur-unsur drama seperti tema, alur, tokoh, latar, pesan dan sebaginya. Tentu saja proses pembicaraan terhadap unsur-unsur tersebut tetap dilandasi pengetahuan tentang drama yang dimiliki oleh guru. Siswa langsung belajar tentang unsur-unsur drama dengan melakukan identifikasi terhadap naskah drama tersebut.

Pada tahap diskusi ini guru menyiapkan sejumlah pertanyaan untuk mempermudah membangkitkan partisipasi siswa. Berikut ini beberapa pertanyaan yang dapat dijadikan bahan diskusi.

Megapa tiba-tiba Si Pincang marah-marah?

Siapakah yang dipilih Si Bos untuk bermain akrobatik tali pada malam itu?

Apakah pekerjaan mereka sehari-hari?

Apakah rnaksud Si Beo dengan mengatakan bahwa hidup ini penuh dengan permaianan?

Si Beo juga berkata bahwa hidup ini sandiwara. Apa maksudnya?

Mengapa kita tidak boleh membenci dan mendendam?

Siapakah yang bersekongkol untuk mencelakai Si Buruk?

Mengapa Carla ingin pulang kampung?

Bagaimanakah watak Si Centil?

Bagiamanakah akhir cerita drama ini?

Page 53: Apresiasi Drama

Mungkinkah peristiwa yang dialami tokoh-tokoh dalam drarna itu terjadi dalam kenyataan hidup sehari-hari?

Jika Anda mengalami masalah seperti yang dialami oleh tokoh Si Buruk, apa yang akan Anda lakukan?

6. Pengukuhan

Dalarn proses belajar mengajar, upaya pengukuhan dilakukan agar sesuatu yang

telah diperoleh siswa dapat menjadi "miliknya". Dengan pengukuhan itu sejumlah informasi dan pengetahuan dapat benar-benar dipahami oleh siswa. Pada akhirnya siswa dapat dinyatakan telah menguasai materi yang diajarkan.

Pada tahap pengukuhan dalarn proses pembelajaran drama ini, yang dapat dilakuka.n oleh guru antara lain dengan memberi penegasan kembali terhadap nilai-nilai, yang ada dalam drama tersebut. Siswa diajak untuk merenungi dan meneliti masalah tersebut dikaitkan dengan kehidupan mereka masing-masing. Apakah yang harus dilakukan dan sikap yang bagaimana yang harus diambil bila menghadapi masalah seperti yang ditampilkan dalam drama. Idealnya, siswa dapat mengidentifikasikan dirinya, dihubungkan dengan tokoh-tokoh yang ada dalam drama. Hal yang berhubungan dengan pengetahuan atau teori drama, juga perlu mendapat perhatian dalam tahap pengukuhan ini. Guru perlu memberi penekanan dengan ,memberi penjelasan ulang secara singkat mengenai unsur-unsur drama yang sudah dipelajari bersama.

D. Proses Pementasan Drama

1. Pengantar

Pada akhirnya puncak dari belajar drama adalah upaya pementasan. Hal itu sesuai dengan hakikat drama yang merupakan seni pentas. Dalam arti bahwa proses belajar mengajar tidak hanya berhenti pada pembelajaran yang bersifat reseptif atau pemaharnan tetapi juga diupayakan ke arsh produktif-kreatif. Untuk kepentingan pembelajaran drama, pementasan yang dilakukan tentu alam pengertian pemeritasan sederhana. Dalam persiapan pementasan tidak arus seluruh kelengka;aan

Page 54: Apresiasi Drama

panggung disediakan. Sebagai latihan tahap awal guru dapat rnengambil bagian atau babak dalam drama yang mungkin untuk dipentaskan. agar setiap siswa dalam kelas dapat memperoleh kesempatan berproses, guru dapat rnembentuk kelompok-kelompok kecil. Jumlah kelompok dapat disesuaikan dengan pemain yang dibutuhkan. Yang penting, adalah guru harus bertindak sebagai sutradara yang baik. ersama-sama siswa mempersiapkan pementasan sederhana. Sebaiknya tidak perlu terlalu khawatir dengan keberadaan fasilitas. Pasalnya, tidak ada gedung atau aula yang baik, maka guru dapat mencari alternatif tempat lain yang sekiranya memadai untuk melakukan latihan.

b. Pemilihan Naskah

Naskah yang akan dijadikan bahan pementasan hendaknya yang dapat dan mungkin untuk dimainkan (Actable). Naskah yang dipilih juga sedapat mungkin disesuaikan dengan kebutuhan pendidikan serta sesuai dengan alam jiwa siswa (Brahim, 1968:158). Lebih lanjut Brahim rnenjelaskan bahwa naskah yang dapat dimainkan terutama ditinjau dari segi praktisnya. Tidak membutuhkan dekorasi yang sukar dan tidak berubah-ubah setingnya, serta tidak membutuhkan perlengkapan yang tidak mungkin dibawa ke panggung. Hal yang lebih penting naskah tersebut sesuai dengan kesanggupan pemain dan sutradara (dalam hal ini guru). Dari segi bahasa, pilihan katanya, bentuk-bentuk dialog yang ada berupa kata-kata yang hidup, lancar, dan cair.

Barangkali permasalahan klasik yang sering ditemui adalah permasalahan nanaskah. Sulit mendapatkan naskah yang baik. Kalau naskah tidak ada, ya harus cari. Idealnya seharusnya Anda sebagai guru sekaligus menjadi pemburu naskah. pabila. memungkinkan, dalam upaya mendapatkan naskah dapat melibatkan swa. Dengan melibatkan siswa dalam pencarian naskah, memberi kesempatan swa untuk melakukan apresiasi sederhana.

Pada prinsipnya untuk mengatasi kekurangan naskah, guru harus dapat rtindak kreatif. Bahkan juga sangat mungkin guru membuat naskah sendiri.

Dalam Erembuatan nanaskah itu pun dapat dilakukan bersama-sama siswa. Yang penting, sebagai guru jangan cepat merasa putus asa. Tidak ada kata menyerah untuk melakukan pembelajaran apresiasi drama.

c. Penentuan Pemain

Sesuai dengan tujuan pementasan yaitu dalam rangka proses pembelajaran drama, maka pertimbangan utama dalam penetuan pemain adalah supaya seluruh siswa dapat terlibat dan

Page 55: Apresiasi Drama

menikmati pementasan. Oleh karena itu, dalam menentukap pemain atau pemeran yang cocok dengan tokoh yang akan dimainkan, guru dapat menggunakan kriteria sederhana yaitu keadaan fisik dan kejiwaan. Pertimbangan fisik dan kejiwaan siswa, disesuaikan dengan karakter tokoh yang akan dibawakan. Tentu saja sebelum menentukan siapa pemeran tokoh tertentu, guru harus sudah memiliki interpretasi terhadap watak, sifat, dan karakter tokoh-tokoh yang ada dalam naskah drama. Dalam tahapan pembelajaran, pengenalan siapa sebenarnya tokoh-tol:oh dalam naskah dilakukan pada saat pelacakan pendahuluan. Sebagai contoh, untuk berperan sebagai tentara, dipilih siswa yang metniliki postur tubuh tinggi dan badan tegap serta suara yang keras. Untuk tokoh seorang guru, dipilih siswa yang punya sifat pendiam, sabar dan sebagainya.

Di samping masa!at pemain, hal yang perlu diperhatikan adalah masalah kerabat kerja. Drama merupakan pekerjaan kolektif, karena drama merupakan sebuah seni pentas. Oleh karena itu, selayaknya dalam proses pementasan ini juga dikembangkan organisasi pelaksana pementasan yang mencerminkan kepaduan seni tersebut (Ardiana, 1993:231}. Sekaligus juga memberi kesempatan kepada siswa untuk ber!atih bekerja sama dan bertanggung jawab terhadap tugas tnasingmasing.

d. Latihan-Latihan Dasar Drama

Sebelum masuk pada latihan ini untuk penggarapan naskah pementasan, sebaiknya siswa juga dikenalkan dengan dasar-dasar bermain drama secara praktis. Latihan dasar-dasar bermain drama biasanya meliputi

latihan gerak,

latihan suara/bunyi, dan

latihan akting.

Seorang pemain agar dapat membawakan perannya dengan baik harus dapat menguasai urat-urat tubuhnya sehingga dapat digerakkan untuk menghasilkan gerakan-gerakan yang baik (Brahim, 1968:160). Untuk itu perlu diadakan latihan-latihan gerak agar dapat menghasilkan kelenturan gerakan tubuh serta kekuatan otot tubuh. Banyak cara yang dapat dilakukan utnuk latihan dasar ini. Misalnya, latihan rnenari dengan musik, olah raga (silat), karate, senam dan sebagainya. Dengan latihan itu diharapkan siswa memiliki gerakan-gerakan tubuh yang reflek berdasarkan tuntutan naskah, dan tidak merasakan canggung untuk melakukan sesuatu.

Sehubungan dengan latihan dasar suara atau bunyi bertujuan agar siswa dapat merasakan perasaan yang terkandung dalam suatu 4capan dan mengucapkannya sesuai dengan perasaan. Dalarn percakapan rnemperlihatkan pembelajaranasi dan intonasi yang jelas dan irama yang hidup.

Page 56: Apresiasi Drama

Konsonan dan vokal hendaklah jelas artikulasinya. Latihan-latihan bunyi dapat dilakukan dalam alam terbuka, seperti di pantai, di daerah pegunungan dan sebagainya. Berikut ini disajikan latihan suara yang dikemukakan oleh Adjib Hamzah (1985:216-128). latihan suara terkait erat dengun organ tenggorokan. Ikutilah urutan latihan berikut ini vokal dan konsonan tertentu.

Menguaplah dengan bebas; terasa tenggorokan terbuka dan tidak tegang

Tariklah nafas dalam-dalam, rahang tetap rileks, dan berpikirlah bahwa tenggorokan Anda terbuka lebar. Kemudian hembuskan nafas perlahan.

Katatan: Aku dapat berkata seolah-olah aku akan menguap. Dengarlah aku berkata seolah-olah aku akan menguap.

Ucapkanlah lo-la-le-la-lo dengan lambat laun bertenaga untuk tiap pengulangan. Bunyi huruf hidup harus jelas. Rahang rileks. Kemudian nyanyikanlah. Tinghatkan volume suara dengan bernafas dalam-dalam, namun tenggorokar. jangan tegang.

Ucapkanlah vokal a, i, u, e, o berulang-ulang terus. Setiap pengulangan volume suara dan kecepatan ditambah. Ulangi terus dengan tetap menambah volume dan kecepatan suara sampai puncak volume dan kecepatan suara Anda. Pada saat latihan di alam terbuka seperti di pantai, ucapkanlah dengan suara yang sekeras-kerasnya seakan-akan Anda ingin mengalahkan suara deburan ombak.

Selanjutnya latihan akting digunakan untuk kepentingan rnembawakan dan menghidupkan dialog teks. Untuk rnembawakan dan menghidupkan dialog perlu diolah gerak dan ekspresi wajah para pemain. Latihan ini sebaiknya dilaksanakan setelah siswa yang memegang peran sudah hafal dengan naskah drama. Dalarn latihan akting, siswa dikenalkan dengan berbagai contoh ekspresi gerak wajah yang rnenggambarkan sikap, watak, perilaku dari tokoh yang diperankan.

e. Pementasan dan Evalauasi

Hari pementasan biasanya sangat menegangkan. Semua berharap-harap cemas. Berhasilkah, atau gagalkah? Sebelum diadakan pementasan perlu diadakan pengecekan secara keseluruhan. Bila perlu dilakukan kegiatan pementasan pendahuluan atau pementasan gladi resik sebelum pementasan yang sesungguhnya. Setelah pementasan usai pertu dilakukan evaluasi sampai di manakah hasil pementasan itu. Bahkan bila perlu guru dapat menghadirkan ahli dari luar atau meminta masukan dari guru-guru lain tentang pementasan tersebut. Masukan dan kritikan rnerupakan hal yang penting untuk proses belajar selanjutnya.

Yang perlu diingat bahwa target pementasan yang dilakukan tetap dalam rangka pembelajaran drama. Pelaksanaan kegiatan berekspresi drama di sekolah bukan untuk mencetak aktor atau produser melainkan dalam rangka membantu anak didik berkembang menjadi manusia yang matang

Page 57: Apresiasi Drama

seutuhnya (Ardiana, 1993:232). Oleh karena itu, bagaimanapun hasilnya, bukan merupakan tujuan utama. Tujuan utama adalah agar siswa dapat melakukan kegiatan apresiasi secara langsung dalam rangka mencari pengalaman baru.