Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

download Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

of 83

Transcript of Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    1/83

     

    APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DENGAN CITRA

    SATELIT QUICKBIRD UNTUK PEMETAAN MANGROVE

    DI PULAU KARIMUNJAWA, KABUPATEN JEPARA,

    JAWA TENGAH

    Oleh :

    Suseno Wangsit Wijaya

    C06400040

    PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

    FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    2005

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    2/83

    PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

    Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :

    APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DENGAN CITRA

    SATELIT QUICKBIRD UNTUK PEMETAAN MANGROVE

    DI PULAU KARIMUNJAWA, KABUPATEN JEPARA,

    JAWA TENGAH

    adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk

    apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang

    berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan

    dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam DaftarPustaka dibagian akhir Skripsi ini.

    Bogor, November 2005

    SUSENO WANGSIT WIJAYA 

    C06400040

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    3/83

    RINGKASAN

    SUSENO WANGSIT WIJAYA. Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    Satelit QuickBird Untuk Pemetaan Mangrove di Pulau Karimunjawa,

    Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Dibimbing oleh VINCENTIUS PAULUSSIREGAR dan MUJIZAT KAWAROE.

    Penelitian ini bertujuan untuk identifikasi mangrove dengan satelit QuickBird

    di Taman Nasional Karimunjawa. Selain itu juga dilakukan pemetaan ekosistem

    mangrove dan kajian Indeks Nilai Penting (INP) dari ekosistem mangrove

    tersebut.

    Survei lapang dilaksanakan pada 3-12 Juli 2004 di Taman Nasional

    Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah. Parametar yang diukur meliputi nama spesies

    dan diameter batang. Pengolahan citra dilakukan di Laboratorium Geomatic and

     Natural Recources, SEAMEO-BIOTROP, Bogor.

    Citra Satelit QuickBird yang akan digunakan telah mengalami berbagai tahap

    pengolahan awal, yaitu : koreksi geometrik, koreksi radiometrik dan penajaman

    citra menggunakan komposit 423. Setelah itu dilakukan pembuatan training area 

    dan supervised classification dengan metode maximum likelihood . Ketelitian

    klasifikasi dapat diketahui dengan confusion matrix.

    Satelit ini mampu membedakan dua genus mangrove yaitu Avicennia dan

     Rhizophora. Genus lain yang terdapat di Karimunjawa tidak dapat dipisahkan

    karena luasannya kecil sehingga tidak dapat dibuat daerah latihnya. Untuk

    kerapatan mangrove ditentukan dengan indeks vegetasi.

    Citra hasil klasifikasi dari komposit 423 tersebut memiliki overall accuracy 

    sebesar 84,33% dengan koefisien kappa 0,812. Hal ini berarti jumlah total piksel

    yang terkelaskan dengan benar adalah 84,33% dan proses klasifikasi yang

    dilakukan memiliki ketepatan 81,20% yang dihasilkan dari klasifikasi acak.Indeks vegetasi yang digunakan adalah yang memiliki koefisien determinasi

    dan koefisien korelasi tertinggi. Dari indeks vegetasi yang dicobakan, koefisien

    determinasi terbesar untuk Rhizophora adalah RVI dengan (R2) = 54,02% dan

    korelasi (r) = 0,73. Untuk Avicennia koefisien determinasi terbesar (R2) = 54,02%

    dan korelasi (r) = 0,73 dengan TNDVI.

    Setelah itu dilakukan proses overlay antara citra penutupan lahan dengan citra

    kerapatan dari indeks vegetasi. Hasil ini memberikan informasi mengenai genus

    mangrove dan tingkat kerapatannya. Pada hasil overlay kelas Rhizophora dengan

    kerapatan sedang memiliki luasan terbesar, dan kelas Avicennia dengan kerapatan

    sangat rapat memiliki luasan terkecil.

    Kecilnya koefisien determinasi dan koefisien korelasi antara Indeks Nilai

    Penting (INP) dan nilai spektral satelit menandakan satelit belum mampumendeteksi hubungan antara nilai spektral dengan INP mangrove. Kesulitan ini

    disebabkan INP merupakan indeks ekologi, yang menyatakan peranan jenis

    mangrove dalam komunitasnya.

    Dari survei lapang hutan mangrove di P. Karimunjawa ditemukan delapan

    spesies mangrove, yaitu : Acanthus ilicifolius, Aegiceras corniculatum, Avicennia

    alba, Excoecaria agallocha, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata,

     Rhizophora stylosa, dan Sonneratia alba.

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    4/83

    APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DENGAN CITRA

    SATELIT QUICKBIRD UNTUK PEMETAAN MANGROVE

    DI PULAU KARIMUNJAWA, KABUPATEN JEPARA,

    JAWA TENGAH

    Skripsi

    Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan

    pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

    Institut Pertanian Bogor

    Oleh :

    Suseno Wangsit Wijaya

    C06400040

    PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

    FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    2005

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    5/83

     

    Judul : APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DENGAN CITRA

    SATELIT QUICKBIRD UNTUK PEMETAAN

    MANGROVE DI PULAU KARIMUNJAWA,

    KABUPATEN JEPARA, JAWA TENGAH

    Nama : Suseno Wangsit WijayaNRP : C06400040

    Disetujui,

    Pembimbing I Pembimbing II

    Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si.

    NIP. 131 471 372 NIP. 132 090 871

    Mengetahui,

    Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

    Dr. Ir. Kadarwan Soewardi

    NIP. 130 805 031

    Tanggal lulus : 9 September 2005

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    6/83

    KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan

    karunia-Nya, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Topik yang diajukan adalah

    Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra Satelit QuickBird Untuk Pemetaan

    Mangrove di Pulau Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

    Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir.

    Vincentius P. Siregar, DEA dan Ir. Mukjizat Kawaroe, M.Si. selaku komisi

    pembimbing, serta semua pihak yang telah membantu hingga selesainya skripsi

    ini.

    Penulis menyadari akan adanya kekurangan-kekurangan pada skripsi penelitian

    ini. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya

    membangun.

    Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca

    pada umumnya.

    Bogor, November 2005

    Suseno Wangsit Wijaya

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    7/83

     

    DAFTAR ISI

    Halaman

    DAFTAR TABEL ....................................................................................... ix

    DAFTAR GAMBAR  .................................................................................. x

    DAFTAR LAMPIRAN  .............................................................................. xi

    1. PENDAHULUAN ................................................................................... 1

    1.1. Latar Belakang................................................................................... 1

    1.2. Tujuan Penelitian .............................................................................. 2

    2. TINJAUAN PUSTAKA  ......................................................................... 32.1. Definisi dan Ruang Lingkup Mangrove ........................................... 3

    2.2. Penyebaran dan Luas Hutan Mangrove............................................. 3

    2.3. Fungsi Ekosistem Hutan Mangrove ................................................. 5

    2.4. Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Mangrove ................................. 6

    2.5. Penggunaan Indeks Vegetasi Untuk Kerapatan Mangrove .............. 8

    2.6. Karakteristik Satelit QuickBird ........................................................ 12

    2.7. Keadaan Umum Wilayah Penelitian ................................................ 14

    3. BAHAN DAN METODE  ....................................................................... 17

    3.1. Waktu dan Lokasi ............................................................................. 17

    3.2. Alat dan Bahan ................................................................................. 17

    3.3. Metode Penelitian ............................................................................. 173.3.1. Survei lapang ........................................................................... 18

    3.3.1.1. Penentuan lokasi .......................................................... 18

    3.3.1.2. Ukuran, jumlah dan bentuk petak contoh ................... 19

    3.3.1.3. Parameter yang diukur ................................................ 20

    3.3.2. Pengolahan data lapang............................................................ 20

    3.3.3. Pemrosesan data citra .............................................................. 22

    3.3.3.1. Pemulihan citra .......................................................... 22

    3.3.3.2. Penajaman citra .......................................................... 24

    3.3.3.3. Klasifikasi citra .......................................................... 24

    3.3.3.4. Ketelitian klasifikasi .................................................. 26

    3.3.3.5. Algoritma yang digunakan ......................................... 27

    3.3.3.6. Gabungan citra hasil klasifikasi dengan indeksvegetasi ....................................................................... 28

    4. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 30

    4.1. Koreksi Radiometrik dan Geometrik ................................................ 30

    4.2. Klasifikasi Citra Komposit ............................................................... 32

    4.3. Ketelitian Klasifikasi ........................................................................ 37

    4.4. Analisis Indeks Vegetasi .................................................................. 38

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    8/83

     

    4.5. Overlay Klasifikasi Citra Komposit dan Indeks Vegetasi ................ 40

    4.6. Hubungan INP dan Indeks Vegetasi ................................................. 43

    4.6. Kondisi Ekosistem Mangrove .......................................................... 44

    5. KESIMPULAN DAN SARAN  .............................................................. 47

    5.1. Kesimpulan ....................................................................................... 475.2. Saran ................................................................................................. 48

    DAFTAR PUSTAKA  ................................................................................. 49

    LAMPIRAN  ................................................................................................ 51

    RIWAYAT HIDUP  .................................................................................... 71

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    9/83

     

    DAFTAR TABEL

    Tabel Halaman

    1. Karakteristik Satelit QuickBird ................................................................ 13

    2. Bentuk Matriks Kesalahan (Confusion Matrix) ....................................... 26

    3. Nilai Digital Citra Sebelum dan Sesudah Koreksi Radiometrik .............. 31

    4. Luasan Penutupan Lahan Citra QuickBird Hasil Klasifikasi ................... 36

    5. Hubungan Antara Indeks Vegetasi dengan Kerapatan Rhizophora dan

     Avicennia  .................................................................................................. 39

    6. Luasan Genus dan Kerapatan Mangrove ................................................. 41

    7. Hubungan Antara Indeks Vegetasi dengan INP Rhizophora dan

     Avicennia  .................................................................................................. 43

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    10/83

     

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar Halaman

    1. Sifat Pantulan Komponen Vegetasi ......................................................... 6

    2. Satelit QuickBird ..................................................................................... 12

    3. Peta Lokasi Penelitian .............................................................................. 18

    4. Bentuk Petak Contoh ............................................................................... 19

    5. Diagram Alir Pengolahan Citra ............................................................... 29

    6. Perbandingan Histogram  Band  1 Sebelum dan Sesudah Koreksi

    Radiometrik ............................................................................................. 30

    7. Citra Hasil Koreksi Geometrik dan Radiomertik .................................... 31

    8. Penajaman Citra dengan RGB 423........................................................... 32

    9. Histogram Citra Komposit 423 ............................................................... 33

    10. Grafik Reflektansi Tiap Band Dari Beberapa Kenampakan

    Panjang Gelombang (ë) .........................................................................35

    11. Hasil Klasifikasi Tutupan Lahan Citra QuickBird Komposit 423 ........ 36

    12. Grafik Regresi Linear Antara Kerapatan Rhizophora dan RVI ............. 39

    13. Histogram Citra Dengan Indeks Vegetasinya ........................................ 40

    14. Peta Distribusi dan Kerapatan Mangrove di P. Karimunjawa................ 42

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    11/83

     

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran Halaman

    1. Data Hasil Survei Lapang .......................................................................... 51

    2. Perhitungan Statistik Nilai Rentang, Nilai Rata-Rata dan Standar

    Deviasi Nilai Digital................................................................................... 54

    3. Grafik Rata-Rata dan Standar Deviasi Digital Number Tiap Band .......... 55

    4. Contoh Perhitungan Uji Nilai Tengah (Uji T) .......................................... 56

    5. Nilai Thitung Citra Komposit 423 ................................................................ 57

    6. Confusion Matrix Klasifikasi Citra Komposit 423 ................................... 58

    7. Nilai Kerapatan Vegetasi Mangrove dan Nilai Indeks Vegetasinya ......... 59

    8. Nilai INP Mangrove dan Nilai Indeks Vegetasinya .................................. 60

    9. INP Mangrove Tingkat Pohon, Anakan, dan Semai Tiap Stasiun ............ 60

    10. Resample Karakteristik Spektral ............................................................. 64

    11. Foto Mangrove di Sekitar Lokasi Penelitian ........................................... 70

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    12/83

      1

    1. PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau

    dan memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, yaitu

    diperkirakan sepanjang 81.000 km (Dahuri, et al., 1996). Pada garis pantai

    sepanjang itu terkandung potensi sumberdaya alam wilayah pesisir yang

     jumlahnya cukup besar. Salah satu sumberdaya pesisir di Indonesia adalah

    ekosistem hutan mangrove.

    Hutan mangrove memiliki berbagai fungsi ekologi, ekonomi dan sosial.

    Secara ekologis hutan mangrove berfungsi sebagai feeding ground , spawning

    grounds, dan nursery ground . Secara ekonomi hutan mangrove dapat

    dimanfaatkan kayunya untuk bahan bangunan dan arang, dikembangkan untuk

    lahan pertambakan dan pertanian, serta daerah ekowisata (eco-tourism).

    Luas hutan mangrove di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 4,25 juta ha

    atau 3,98% dari seluruh hutan Indonesia (Nontji, 1987). Pada tahun 1993

    Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan (INTAG) memperkirakan

    bahwa luas hutan mangrove di Indonesia tinggal 3,73 juta ha.

    Taman Nasional Laut Karimunjawa merupakan kawasan konservasi yang

    memiliki ekosistem mangrove. Meskipun Karimunjawa merupakan taman

    nasional tetapi tetap terjadi kerusakan dan degdradasi hutan mangrove.

    Kerusakan hutan mangrove ini diakibatkan oleh pembukaan lahan tambak dan

    pemanfaatan kayu hutan mangrove oleh masyarakat setempat.

    Untuk mencegah dan menaggulangi kerusakan hutan mangrove diperlukan

    inventarisasi tentang distribusi, luas dan kerapatan magrove. Inventarisasi ini

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    13/83

      2

    berguna untuk pengelolaan dan penetapan kebijakan pada ekosistem mangrove

    dan daerah pesisir.

    Dalam melakukan pemantauan dan inventarisasi mangrove tidaklah mudah.

    Kesulitan pemetaan di lapangan merupakan kendala kelangkaan data mangrove.

    Sebagai alternatifnya dikembangkan teknik penginderaan jauh. Teknik ini

    memiliki jangkauan yang luas dan dapat memetakan daerah-daerah yang sulit

    dijangkau dengan perjalanan darat.

    Salah satu data penginderaan jauh yang dapat dimanfaatkan untuk memantau

    hutan mangrove adalah citra Satelit QuickBird. Citra ini memiliki lebar sapuan

    16,5 x 16,5 km2 dengan resolusi spasial 2,44 m untuk sensor multispectral.

    Pengamatan hutan mangrove dengan citra satelit meliputi distribusi, luasan, dan

    kerapatan.

    1.2. Tujuan Penelitian

    Penelitian ini bertujuan untuk :

    1. Identifikasi mangrove dengan satelit QuickBird

    2. Mengkaji peranan spesies mangrove dalam komunitas mangrove

    3. Pemetaaan ekosistem mangrove dengan menggunakan citra satelit QuickBird

    di Taman Nasional Karimunjawa

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    14/83

      3

    2. TINJAUAN PUSTAKA 

    2.1. Definisi dan Ruang Lingkup Mangrove

    Kata mangrove merupakan kombinasi antara Bahasa Portugis mangue dan

    Bahasa Inggris grove. Dalam Bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk

    menyatakan individu spesies tumbuhan, sedangkan dalam Bahasa Inggris kata

    mangrove menggambarkan komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah

     jangkauan pasang-surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang

    menyusun komunitas tersebut (Macnae, 1974).

    Menurut Nybakken (1982) hutan bakau atau mangal adalah sebutan umum

    yang digunakan untuk menggambarkan semua varietas komunitas pantai tropik

    yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak

    yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Sebutan bakau

    ditujukan untuk semua individu tumbuhan sedangkan mangal ditujukan bagi

    seluruh komunitas atau asosiasi yang didominasi oleh tumbuhan ini.

    Ciri khas yang dimiliki oleh spesies mangrove yaitu karakteristik morfologis

    yang terlihat pada sistem perakaran dan buahnya. Beberapa spesies mangrove

    memiliki sistem perakaran khusus yang disebut akar udara, cocok untuk kondisi

    tanah yang anaerobik dan spesies mangrove memproduksi buah yang biasanya

    disebarkan melalui air ( Japan International Coorporation Agency /JICA, 1998).

    2.2. Penyebaran dan Luas Hutan Mangrove

    Menurut Nybakken (1988), komunitas hutan mangrove tersebar di seluruh

    hutan tropis dan subtropis, mulai dari 250 Lintang Utara sampai 25

    0 Lintang

    Selatan. Mangrove mampu tumbuh hanya pada pantai yang terlindung dari

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    15/83

      4

    gerakan gelombang, bila pantai dalam keadaan sebaliknya, benih tidak mampu

    tumbuh dengan sempurna dan menjatuhkan akarnya.

    Tumbuhan ini dapat tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai

    berlumpur dan lingkungan yang anaerob. Mangrove juga dapat tumbuh pada

    substrat pasir, batu atau karang yang terlindung dari gelombang, karena itu

    mangrove banyak ditemukan pada pantai-pantai teluk, estuari, lagun dan pantai

    terbuka yang berhadapan dengan terumbu karang yang memecah gelombang

    datang.

    Luas hutan mangrove di seluruh wilayah Indonesia diperkirakan kurang lebih

    3,7 juta ha (Direktorat Bina Program, 1982 in Kusmana, 1995). Berdasarkan studi

    yang dilakukan oleh FAO/UNDP (1982) in JICA (1998), total areal mangrove di

    Indonesia adalah 4,25 juta ha. Menurut Nontji (1987) luas hutan mangrove di

    seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 4,25 juta ha atau 3,98% dari seluruh luas

    hutan Indonesia.

    Ekosistem mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang

    termasuk tertinggi di dunia, seluruhnya tercatat 89 jenis; 35 jenis berupa pohon,

    dan selebihnya berupa terna (5 jenis), perdu (9 jenis), epifit (29 jenis) dan parasit

    (2 jenis) (Nontji, 1987). Paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat salah satu

     jenis tumbuhan sejati penting atau dominan yang termasuk dalam empat famili

    Rhizophoraceae, Sonneratiaceae, Avicenniaceae, dan Meliaceae.

    Areal hutan mangrove yang luas antara lain terdapat di Pesisir Timur

    Sumatera, Pesisir Kalimantan dan Pesisir Selatan Irian Jaya. Hutan mangrove di

    Jawa banyak yang telah mengalami kerusakan atau telah hilang sama sekali

    karena aktivitas manusia.

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    16/83

      5

    Menurut Kusmana (1995) terjadinya proses pengurangan lahan mangrove di

    beberapa propinsi disebabkan oleh faktor-faktor berikut ini :

    1.  Konversi hutan mangrove menjadi bentuk lahan penggunaan lain seperti

    pemukiman, pertanian, industri, pertambangan dan lain-lain

    2.  Kegiatan eksploitasi hutan yang tidak terkendali oleh perusahaan-

    perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) serta penebangan liar dan

    bentuk perambahan hutan lainnya

    3.  Polusi di perairan estuaria, pantai dan lokasi-lokasi perairan lainnya

    tempat tumbuhnya mangrove

    4.  Terjadinya pembelokan aliran sungai maupun proses abrasi atau

    sedimentasi yang tidak terkendali

    2.3. Fungsi Ekosistem Hutan Mangrove

    Menurut Soegiarto (1982) manfaat hutan mangrove yang tidak langsung

    adalah :

    1. 

    Sebagai pelindung pantai

    2.  Sebagai pengendali banjir

    3.  Sebagai pengendali bahan pencemar, dan

    4.  Sebagai sumber energi atau bahan organik bagi lingkungan sekitarnya

    Manfaat hutan mangrove secara langsung adalah berupa kayu, bahan baku

    chips, pulp dan tanin. Mangrove juga memiliki peranan sebagai daerah asuhan

    (nursery grounds), daerah mencari makan ( feeding grounds) dan daerah

    pemijahan (spawning grounds) berbagai jenis ikan ,udang dan biota laut lainnya.

    Disamping itu mangrove juga dapat dijadikan tempat pariwisata.

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    17/83

      6

    2.4. Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Mangrove

    Penginderaan jauh didefinisikan sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh

    informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang

    diperoleh dengan menggunakan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek,

    daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand and Kiefer, 1990).

    Menurut Lo (1996), aplikasi baru dari penginderaan jauh multispektral telah

    menitikberatkan pada estimasi jumlah dan distribusi vegetasi. Estimasi

    didasarkan pada pantulan dari kanopi vegetasi. Intensitas pantulan tergantung

    pada panjang gelombang yang digunakan dan tiga komponen vegetasi, yaitu daun,

    substrat dan bayangan.

    Daun memantulkan lemah pada panjang gelombang biru dan merah, namun

    memantulkan kuat pada panjang gelombang inframerah dekat (Gambar 1). Daun

    memiliki karakteristik warna hijau, dimana klorofil mengabsorbsi spektrum

    radiasi merah dan biru serta memantulkan spektrum radiasi hijau.

    Sumber : Lo, 1996

    Gambar 1. Sifat Pantulan Komponen Vegetasi

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    18/83

      7

    Menurut Susilo (2000) penginderaan jauh untuk vegetasi mangrove didasarkan

    atas dua sifat penting yaitu bahwa mangrove mempunyai zat hijau daun (klorofil)

    dan mangrove tumbuh di pesisir. Dua hal ini akan menjadi pertimbangan penting

    di dalam mendeteksi mangrove melalui satelit. Sifat optik klorofil sangat khas

    yaitu bahwa klorofil menyerap spektrum sinar merah dan memantulkan dengan

    kuat spektrum inframerah.

    Klorofil fitoplankton yang berada di air laut dapat dibedakan dari klorofil

    mangrove karena sifat air yang sangat menyerap spektrum inframerah. Tanah,

    pasir dan batuan juga memantulkan infra merah tetapi bahan-bahan ini tidak

    menyerap spektrum sinar merah sehingga tanah dan mangrove secara optik juga

    dapat dibedakan.

    Beberapa aspek lingkungan mangrove yang dapat dipelajari dengan

    menggunakan penginderaan jauh adalah spesies mangrove dan identifikasi zonasi,

    perubahan tata guna lahan mangrove, keberadaan mangrove dan distribusinya,

    serta lingkungan fisik mangrove (Hartono, 1994).

    Chaudhury (1985) manjelaskan bahwa informasi lebih lanjut yang dapat

    diperoleh dari penginderaan jauh untuk studi ekosistem mangrove adalah :

    1.  Identifikasi dan kuantifikasi hutan mangrove

    2.  Identifikasi dan kenampakan zona (tipe-tipe vegetasi) di daerah mangrove

    3.  Identifikasi keberadaan dan profil dataran berlumpur

    4. 

    Monitoring proses-proses dinamis (akresi, erosi) di lingkungan mangrove

    5.  Monitoring sedimentasi laut lepas, ekspor bahan organik dan sistem aliran

    6.  Identifikasi tipe-tipe tanah

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    19/83

      8

    7.  Monitoring karakteristik air (contoh : salinitas, turbiditas) di dearah

    mangrove

    8.  Monitoring tata guna lahan mangrove (contoh : akuakultur, kehutanan)

    9.  Monitoring perubahan aktivitas penggunaan lahan di daerah mangrove

    Indeks vegetasi yang dapat diperoleh dari citra satelit dan digital airbone data

    untuk area mangrove menunjukkan hubungan yang dekat dengan Indeks Luas

    Daun ( Leaf Area Index atau LAI) dan persentase penutupan kanopi mangrove.

    LAI didefinisikan sebagai area daun pada satu sisi tunggal daun di tiap unit area

    tanah.

    LAI dapat digunakan untuk memprediksi pertumbuhan dan buah, dan

    memantau perubahan kanopi yang diakibatkan oleh polusi dan perubahan iklim.

    LAI dapat digunakan untuk mengetahui status dan produktivitas ekosistem

    mangrove. Sama halnya dengan LAI, penutupan kanopi juga digunakan untuk

    mengukur densitas pohon (Green et al., 2000).

    Menurut Lo (1996), pantulan spektral dari kanopi vegetasi bervariasi menurut

    panjang gelombang karena adanya sifat pantulan hemispheric dari individu daun.

    Daun terbentuk dari tiga lapisan bahan organik serat yang berstruktur, dimana

    ketiga lapisan tersebut mempunyai pigmen, kandungan air, dan ruang udara.

    Ketiga sifat tersebut mempengaruhi sifat pantulan, penyerapan, dan transmisi.

    2.5. Penggunaan Indeks Vegetasi Untuk Kerapatan Mangrove

    Carolita (1995) mengatakan indeks vegetasi adalah suatu formulasi pengolahan

    data inderaja secara digital yang dapat diarahkan secara khusus untuk mengkaji

    informasi tematik dari lahan bervegetasi. Indeks vegetasi ini adalah suatu metode

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    20/83

      9

    pendekatan yang bersifat matematis, dengan pendekatan tersebut hasil yang

    didapatkan mencerminkan keadaan vegetasi pada saat tertentu.

    Indeks vegetasi adalah persentase pemantulan radiasi matahari oleh permukaan

    daun yang berkorelasi dengan konsentrasi klorofil. Jadi banyaknya konsentrasi

    klorofil yang terkandung dalam suatu permukaan tanaman khususnya daun akan

    menunjukkan tingkat kehijauan tanaman tersebut.

    Pemantauan indeks vegetasi ini didasarkan pada karakteristik pantulan objek.

    Pada panjang gelombang inframerah dekat nilai pantulan dari objek (vegetasi)

    tinggi, sedangkan pada selang panjang gelombang merah nilai pantulannya

    rendah. Jika kedua kanal ini dikombinasikan akan dihasilkan data yang memiliki

    pantulan yang respon terhadap kehijauan vegetasi (Lillesand dan Kiefer, 1990).

    Fanani (1992) menyatakan bahwa dengan memahami perbedaan intensitas

    radiasi tenaga elektromagnetik yang dipantulkan dan dipancarkan maka akan

    dapat diidentifikasi jenis pohon atau tegakan hutan, umur, kesehatan, kerapatan

    dan tekanan kelembaban dari suatu kelompok hutan.

    Hasil penelitian Dirgahayu (1992) memperlihatkan adanya hubungan antara

    kerapatan tegakan dengan indeks vegetasi yang diperoleh dari data inderaja satelit

    (Landsat-TM dan SPOT). Penelitian tersebut diterapkan untuk menduga potensi

    hutan (volume tegakan dan biomassa hutan) pada hutan primer dan sekunder di

    Jawa Tengah dan Jawa Barat.

    Penelitian dari Japan International Coorperation Agency (JICA) bersama

    Departemen Pekerjaan Umum menunjukkan korelasi yang kuat antara kerapatan

    tegakan dan LAI serta produksi biomassa vegetasi di sekitar Jabotabek dengan

    nilai-nilai indeks kehijauan dari data Landsat-TM (Dirgahayu, 1992).

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    21/83

      10

    Estimasi LAI didasarkan pada pantulan dari kanopi vegetasi (Lo, 1996). LAI

    daun berhubungan negatif dengan pantulan merah, tapi berhubungan positif

    dengan pantulan inframerah. Rasio pantulan merah dengan inframerah dekat

    menunjukkan kenaikan LAI.

    Berdasarkan keadaan tersebut maka dapat dibentuk model-model algoritma

    yang dapat menghasilkan nilai untuk menduga kehijauan vegetasi. Nilai inilah

    yang disebut dengan indeks vegetasi. Adapun beberapa formula indeks vegetasi

    yang digunakan untuk memantau vegetasi, antara lain :

    1.  Indeks Mangrove (IM) = NIR / ( MIR)2 

    (Daniher dan Luck, 1991)

    2.   Difference Vegetation Index  (DVI) = NIR - RED 

    (Richardson dan Weigand, 1997 in Hariyadi, 1999)

    3.   Middle Infra Red Index (MIR) = ( MIR- RED) / ( MIR+ RED)

    (Roy dan Shirish, 1994 in Hariyadi, 1999)

    4.   Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) = ( NIR- RED) /

    (NIR+RED) (Rouse et al., 1974 in Hariyadi,1999)

    5. 

     Ratio Vegetation Index (RVI) = NIR / RED 

    (Rouse et al., 1974 in Hariyadi,1999)

    6.  Transformed Ratio Vegetation Index (TRVI) = ) / (  RED NIR  

    (Rouse et al., 1974 in Hariyadi,1999)

    7. 

    Transformed Normalized Vegetation Index (TNDVI) = )5.0(   + NDVI   

    (Deering, 1974 in Hariyadi 1999)

    Keterangan :

     RED  = nilai digital pada citra kanal merah (kanal 3)

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    22/83

      11

     NIR  = nilai digital pada citra kanal inframerah dekat (kanal 4)

     MIR  = nilai digital pada citra kanal inframerah menengah (kanal 5)

    Secara kualitatif, Food and Agriculture Organization / FAO (1982) in 

    Dirgahayu et al.(1992) telah mendefinisikan batasan mengenai kelas kerapatan

    hutan mangrove. Kerapatan tajuk dapat dikelaskan secara umum sebagai berikut :

    1.  Kerapatan tertutup (closed ) dengan kerapatan > 80%

    2.  Kerapatan rapat (dense) dengan kerapatan antara 40% - 80%

    3.  Kerapatan sedang (open) dengan kerapatan antara 10% - 40%

    4.  Kerapatan jarang (sparse) dengan kerapatan antara 2% - 10%

    Di kawasan hutan Indonesia, kelas kerapatan hutan mangrove yang digunakan

    oleh FAO tidak seluruhnya dapat diterapkan. Berdasarkan penelitian yang telah

    dilakukannya Dirgahayu et al.(1992) membagi kerapatan hutan menjadi selang-

    selang sebagai berikut :

    1.  Kerapatan 10% -20%; strata hutan jarang

    2.  Kerapatan 20% - 30%; strata hutan sedang 1

    3.  Kerapatan 30% - 40%; strata hutan sedang 2

    4. 

    Kerapatan 40% - 50%; strata hutan sedang 3

    5.  Kerapatan 50% - 60%; strata hutan rapat 1

    6.  Kerapatan 60% - 70%; strata hutan rapat 2

    7.  Kerapatan 70% - 80%; strata hutan rapat 3

    8. 

    Kerapatan 80% - 100%; strata hutan tertutup

    Identifikasi dan klasifikasi objek vegetasi menggunakan data satelit

    penginderaan jauh didasarkan pada interaksi kanopi vegetasi dengan spektrum

    radiasi elektromagnetik yang mengenainya (Harsanugraha et al., 1999).

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    23/83

      12

    Dewanti (1999) mengemukakan bahwa pada umumnya mangrove jenis

     Avicennia spp. dan Sonneratia spp. mempunyai nilai NDVI relatif rendah

    dibanding dengan Rhizophora spp. dan Bruguiera spp. Hal tersebut banyak

    dipengaruhi oleh bentuk, ukuran, kerapatan, warna daun dan asosiasi dengan

    tumbuhan bawah yang menutupi permukaan lahan.

    2.6. Karakteristik Satelit QuickBird

    Satelit QuickBird diluncurkan pada Bulan Oktober 2001. Satelit ini

    merupakan salah satu satelit tercanggih, terbaru dan terbaik karena resolusi

    spasialnya yang sangat tinggi, dan datanya sudah bisa didapatkan di pasaran

    secara komersial. Satelit ini mempunyai berat 2100 pounds dan panjang 3,04 m

    (Gambar 2).

    Sumber : Digital Globe, 2004

    Gambar 2. Satelit QuickBird

    Satelit QuickBird memiliki dua macam sensor yaitu sensor panchromatic 

    (hitam dan putih) dengan resolusi spasial 0,6 m (2- foot ) dan sensor multispectral 

    (berwarna) dengan resolusi spasial 2,44 m (8- foot ). Tingginya resolusi spasial

    pada citra ini memberikan keuntungan untuk berbagai aplikasi, terutama yang

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    24/83

      13

    membutuhkan ketelitian yang tinggi pada skala area yang kecil. Contohnya

    adalah pemetaan secara detail dan perencanaan tata kota.

    Satelit ini mempunyai orbit polar sunsynchronus, yaitu orbitnya akan melewati

    tempat-tempat yang terletak pada lintang yang sama dan dalam waktu lokal yang

    sama pula. Satelit QuickBird melewati tempat yang sama untuk satu putaran kira-

    kira 1-3 hari, ini merupakan kemajuan yang sangat hebat dibandingkan berbagai

    satelit yang diluncurkan tahun 1980-an dan 1990-an.

    Periode orbit dari satelit ini adalah 93,4 menit dengan sudut inklinasi 980 dan

    ketinggiannya 450 km di atas permukaan bumi. Minimum area yang terliput oleh

    citra satelit QuickBird adalah 8 x 8 km2. Karakteristik lebih lanjut dari Satelit

    QuickBird akan di berikan pada Tabel 1.

    Tabel 1. Karakteristik Satelit QuickBird

    Kanal ( Band ) Panjang Gelombang (µm)

    1 0,45 – 0,52 (biru)

    2 0,52 – 0,60 (hijau)

    3 0,63 – 0,69 (merah)

    4 0,76 – 0,89 (IR dekat)

    PAN 0,45 – 0,90 (PAN)

    Sumber : Digital Globe, 2004

    Menurut Lillesand dan Kiefer (1994), karakteristik tiap kanal (spektrum

    energi) adalah sebagai berikut :

    a. Kanal 1, spektrum biru

    Baik untuk pemetaan perairan pantai karena penetrasinya dalam kolom air

    cukup tinggi. Sangat kuat diabsorpsi oleh klorofil sehingga berguna untuk

    membedakan tanah dan vegetasi.

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    25/83

      14

    b. Kanal 2, spektrum hijau

    Digunakan untuk mengukur pantulan warna hijau dari puncuk vegetasi untuk

    mengetahui seberapa sehat vegetasi tersebut dan menguji daya tegak vegetasi.

    Juga untuk identifikasi kenampakan kultur.

    c. Kanal 3, spektrum merah

    Energi pada spektrum ini sangat kuat diserap oleh klorofil sehingga membantu

    perbedaan spesies tanaman. Diserap oleh banyak vegetasi.

    d. Kanal 4, spektrum inframerah dekat

    Energi pada saluran ini diserap seluruhnya oleh air, sehingga berguna untuk

    mengidentifikasi badan atau kolom air. Dipantulkan seluruhnya oleh vegetasi,

    sehingga berguna untuk menentukan tipe vegetasi, daya tegak, dan kandungan

    biomassanya. Menghasilkan kontras yang nyata antara darat dan air.

    2.7. Keadaan Umum Wilayah Penelitian

    Kepulauan Karimunjawa merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten

    Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Taman Nasional Laut ini terletak 45 mil laut

    di sebelah barat laut kota Jepara. Secara geografis Karimunjawa terletak antara

    5040’-5

    071’ LS dan 110

    04’-110

    041’ BT.

    Kepulauan Karimunjawa terdiri dari 27 pulau kecil dengan luas terkecil 0,5 ha

    (P.Batu dan P.Merica) dan terbesar 4.302,5 ha (P.Karimunjawa). Kepulauan ini

    membentang dari barat ke timur seluas 114.345 ha yang terdiri dari 107.225 ha

    perairan dan 7.210 ha daratan.

    Pulau Karimunjawa mempunyai topografi bergelombang dengan puncak

    tertinggi mencapai 506 m di atas permukaan laut. Substrat dasar tanah di

    P.Karimunjawa adalah kwarsa pasir putih, sedangkan substrat tanah di P.Kemujan

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    26/83

      15

    berupa pasir putih dan sedikit pecahan-pecahan karang yang termasuk substrat

    campuran (substrat berpasir dan campuran gravel).

    Temperatur udara di daerah ini antara 23° - 32° C, dengan musim hujan antara

    Bulan November sampai dengan Maret (Musim Barat). Pada musim ini angin

    cukup kencang dan terjadi gelombang yang besar. Umumnya pada musim hujan

    tersebut perhubungan kepulauan Karimunjawa dengan Pulau Jawa praktis

    terputus.

    Taman Nasional Laut Karimunjawa merupakan kawasan konservasi laut yang

    memiliki kandungan potensi keanekaragaman flora dan fauna dan ekosistem laut

    yang khas. Kandungan potensi tersebut serta letaknya yang berada pada lintasan

    wisata bahari antara Indonesia Bagian Barat dan Timur menjadikan wilayah ini

    sebagai obyek wisata bahari yang strategis (BTNKJ, 2004).

    Kawasan Taman Nasional Laut Karimunjawa dibagi ke dalam beberapa

    zonasi, agar berbagai kepentingan pemanfaatannya dapat berjalan selaras dan

    serasi.

    Pembagian zonasi adalah sebagai berikut :

    a)  Zona Inti : zona ini diperuntukkan bagi upaya pelestarian sumber genetik dan

    perlindungan proses ekologi, meliputi P. Geleang dan P. Burung.

    b)  Zona Perlindungan / Rimba : peruntukan zona rimba sama dengan zona inti

    tetapi dapat dilakukan kegiatan wisata terbatas, meliputi P. Krakal Besar,

    P. Krakal Kecil, P. Menyawakan, P. Cemara Besar, P. Cemara Kecil,

    P. Bengkoang dan sebagian P. Karimunjawa dan P. Kemujan.

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    27/83

      16

    c)  Zona Pemanfaatan : pada zona pemanfaatan dapat dilakukan kegiatan yang

    dapat menunjang pengembangan taman nasional antara lain kepariwisataan.

    Zona ini meliputi P. Menjangan Besar, P. Menjangan Kecil, P. Kumbang,

    P. Kembar, P. Karang Katang, P. Karang Besi dan sebagian P. Parang,

    P. Karimunjawa dan P. Kemujan.

    d) 

    Zona Penyangga : zona ini merupakan daerah pemanfaatan sumber daya alam

    secara tradisionil oleh masyarakat setempat dan merupakan tempat

    bermukimnya penduduk, meliputi P. Nyamuk, sebagian P. Karimunjawa dan

    P. Kemujan, P. Parang dan pulau-pulau lain di perairan sekitarnya.

    Hutan mangrove di Kepulauan Karimunjawa dapat dijumpai di Pulau

    Karimunjawa, Kemujan, Cemara Kecil, Cemara Besar, Krakal Kecil, Krakal

    Besar dan Sintok (BTNKJ, 2002). Pulau Karimunjawa dan Kemujan memiliki

    hutan mangrove yang paling baik dan paling lebar dibandingkan pulau lain.

    Data hasil penelitian hutan bakau tahun 1984 menunjukkan bakau yang

    dominan di P.Karimunjawa adalah bakau hitam ( Rhizophora mucronata) dan

    bakau putih ( Rhizophora conjugata). Jenis lain yang umum dijumpai di

    P.Karimunjawa adalah Avicenia sp dan Bruguiera sp.

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    28/83

      17

    3. BAHAN DAN METODE

    3.1. Waktu dan Lokasi

    Penelitian ini meliputi beberapa pulau di Taman Nasional Karimunjawa, yaitu

    P. Karimunjawa, P. Menjangan Besar dan P. Menjangan Kecil. Survei lapang

    dilaksanakan pada tanggal 3-12 Juli 2004 di Taman Nasional Laut Karimunjawa,

    Kabupaten / DATI II Jepara, Jawa Tengah. Analisis citra dilakukan di

    Laboratorium Geomatic and Natural Resources, SEAMEO-BIOTROP, Bogor.

    3.2. Alat dan Bahan

    Alat dan bahan yang diperlukan dalam penelitian lapang maupun analisis data

    adalah :

    1.  Kompas bidik

    2.  Meteran

    3. 

    Buku identifikasi mangrove Kitamura

    4. 

    GPS Garmin 12 XL

    5.  Peta rupabumi skala 1 : 25.000 dari BAKOSURTANAL

    6.  Print out  peta komposit citra QuickBird

    7.  Software  ER Mapper 5.5 dan Arc View 3.1

    8.  Citra Satelit QuickBird 3 Juli 2003

    3.3. Metode Penelitian

    Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan analisis data penginderaan jauh.

    Untuk mendukung analisis yang akan dilakukan maka dilaksanakan survei lapang

    (ground check ).

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    29/83

      18

    Gambar 3. Lokasi Penelitian

    3.3.1. Survei lapang

    Survei lapang perlu dilakukan sebagai salah satu input data dalam

    menginterpretasi citra satelit di suatu daerah. Kegiatan survei lapangan ini

    meliputi berbagai kegiatan, baik pengukuran posisi dengan GPS, maupun

    pengumpulan data lapangan seperti identifikasi jenis mangrove dan pengukuran

    diameter batang. Pengambilan contoh dilakukan secara acak (random sampling),

    dimana tiap contoh mewakili beberapa tingkat kerapatan mangrove.

    3.3.1.1. Penentuan lokasi

    Titik contoh ditentukan pada setiap lokasi pemetaan dengan prinsip

    penyebaran yang merata, keterwakilan dan dapat dijangkau. Tiap lokasi

    ditentukan beberapa titik contoh tergantung dari luas lokasi, keseragaman

    penutupan lahan, dan belum tuntasnya pengenalan penutup lahan dalam proses

    interpretasi. Pada penelitian ini terdapat 6 plot yang terdiri dari 24 stasiun.

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    30/83

      19

    3.3.1.2. Ukuran, jumlah dan bentuk petak contoh

    Ukuran, jumlah dan bentuk petak contoh tergantung pada strata pertumbuhan

    (pohon, semai, anakan), kerapatan dan keragaman jenis serta heterogenitas.

    Dalam penentuan ukuran petak pada prinsipnya adalah bahwa petak harus cukup

    besar agar mewakili komunitas, tetapi juga harus cukup kecil agar individu yang

    ada dapat dipisahkan.

    Metode yang digunakan untuk memperoleh data kerapatan mangrove adalah

    metode transek kuadrat (quadrate transect ). Metode ini digunakan untuk

    menghitung jumlah tegakan mangrove di dalam transek berukuran 10 m x 10 m,

    5 m x 5 m, dan 1 m x 1 m. Transek 1 m x 1 m dan 5 m x 5 m terletak di dalam

    transek 10 m x 10 m (Gambar 4).

    Sumber : English et al., 1994

    Gambar 4. Bentuk Petak Contoh

    Transek 10 m x 10 m digunakan untuk menghitung jumlah tegakan mangrove

    pada tingkat pohon yang memiliki diameter batang > 4 cm. Transek 5 m x 5 m

    digunakan untuk menghitung jumlah tegakan mangrove pada tingkat anakan

    dengan diameter batang < 4 cm dan tingginya > 1 m. Transek 1 m x 1 m

    5x5 m2 

    1x1 m2 

    10x10 m2 

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    31/83

      20

    digunakan untuk menghitung jumlah tegakan mangrove pada tingkat semai yang

    tingginya kurang dari 1 m.

    3.3.1.3. Parameter yang diukur

    Dalam analisis vegetasi ada beberapa parameter yang diamati di lapangan,

    yaitu :

    a. 

    Nama spesies

    b. 

    Diameter batang, dengan cara mengukur kelilingnya, untuk mengetahui luas

    bidang dasar untuk menduga volume pohon dan tegakan

    3.3.2. Pengolahan data lapang

    Data mengenai spesies, diameter batang, dan jumlah tegakan diolah lebih

    lanjut untuk mendapatkan kerapatan jenis, frekuensi jenis, luas area penutupan,

    dan indeks nilai penting.

    a. Kerapatan Jenis (Di) adalah jumlah tegakan jenis i dalam suatu unit area :

     A

    n

     D  i

    i  =  

    Di = kerapatan jenis i

    ni = jumlah total tegakan dari jenis i

    A = luas total petak pengambilan contoh (luas plot / transek)

    b. Kerapatan Relatif Jenis (RDi) adalah perbandingan antara jumlah tegakan

     jenis i (ni) dan jumlah total tegakan seluruh jenis (∑n ) :

    100 xn

    n RD

      i

    i    

      

     =

    ∑ 

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    32/83

      21

    c. Frekuensi Jenis (Fi) adalah peluang ditemukannya jenis i dalam petak contoh /

    plot yang diamati :

    ∑=  p p

      i

    i  

    Fi = frekuensi jenis i

    pi = jumlah petak contoh / plot di mana ditemukan jenis i,

    ∑ p  = jumlah total petak contoh atau plot yang diamati

    d. Frekuensi Relatif Jenis (RF) adalah perbandingan antara frekuensi jenis i (Fi)

    dan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis (

    ∑F ) :

    100 xF 

    F  RF    i

    i    

      

     =

    ∑ 

    e. Penutupan Jenis (Ci) adalah luas penutupan jenis i dalam suatu unit area :

     A

     BAC i

    ∑=  

    4

    2 DBH 

     BA  π 

    =  (dalam cm)

    ð = 3,14

    DBH (diameter pohon dari jenis i) =π 

    CBH  

    CBH = lingkaran pohon setinggi dada

    A = Luas total petak pengambilan contoh (luas plot atau transek)

    f. Penutupan Relatif Jenis (RCi) adalah perbandingan antara luas area penutupan

     jenis i (Ci) dan luas total area penutupan untuk seluruh jenis (∑C ) :

    100 xC 

    C  RC    ii  

      

      

     =

    ∑ 

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    33/83

      22

    Jumlah nilai kerapatan relatif jenis (RDi), frekuensi relatif jenis (RFi) dan

    penutupan relatif jenis (RCi) menunjukkan Indeks Nilai Penting (INP), yang

    dilambangkan dengan IVi :

    IVi = RDi + RFi + RCi

    Nilai penting suatu jenis berkisar antara 0 dan 300. Nilai penting ini

    memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis

    tumbuhan mangrove dalam komunitas mangrove.

    3.3.3. Pemrosesan data citra

    Citra QuickBird diproses dengan menggunakan software  ER Mapper  5.5 dan

     Arc View 3.1, sedangkan analisis visual dilakukan berdasarkan hasil identifikasi

    objek.

    Beberapa tahap yang akan dilakukan dalam pengolahan citra antara lain :

    pemulihan citra, penajaman citra dan klasifikasi citra. Dari tahapan inilah

    informasi mengenai kerapatan dan distribusi mangrove didapatkan (Gambar 5).

    3.3.3.1. Pemulihan citra

    Pemulihan citra dilakukan dengan tujuan untuk memulihkan data citra yang

    mengalami distorsi ke arah gambaran yang tidak sesuai dengan keadaan aslinya.

    Proses pemulihan citra ini terdiri dari koreksi geometrik dan koreksi radiometrik.

    Distorsi geometrik terjadi karena adanya pergeseran piksel dari letak yang

    sebenarnya. Distorsi tersebut disebabkan oleh kurang sempurnanya sistem kerja

    Scan Deflection System dan ketidakstabilan sensor atau satelit, dimana untuk

    mengatasinya dapat dilakukan dengan koreksi geometrik yang melalui dua tahap,

    yaitu : transformasi koordinat dan resampling.

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    34/83

      23

    Transformasi koordinat dilakukan dengan menggunakan Ground Control Point

    atau disebut juga GCP. GCP (titik kontrol tanah) adalah suatu kenampakan

    geofrafis yang unik dan stabil sifat geometrik dan radiometriknya serta lokasinya

    dapat diketahui dengan tepat, misalnya : persimpangan jalan, sudut dari suatu

    bangunan ataupun tambak dan sebagainya.

    GCP yang telah ditentukan ditempatkan pada citra dan pada peta topografi

    dengan tingkat akurasi satu pixel. Penempatan GCP yang benar akan

    menghasilkan matriks transformasi hubungan titik-titik pada citra dan sistem

    proyeksi yang terpilih.

    Pada tahap ini titik persamaan pada citra (u,v) ditransformasikan ke dalam

    koordinat peta (x,y) dengan menggunakan fungsi pemetaan (f dan g), seperti yang

    dijelaskan pada persamaan dibawah ini :

    u = f (x,y)

    v = g (u,v)

    Proses penerapan alih ragam geometrik terhadap data asli disebut resampling.

    Dalam melakukan resampling dapat dilakukan dengan tiga teknik, yaitu : nearest

    neighbour , bilenier  dan cubic convolution.

    Pengaruh atmosfer (penghamburan dan penyerapan), noise pada waktu

    transmisi data, perubahan cahaya, radiasi dan buramnya bagian optik pada sistem

    pencitraan dapat menyebabkan distorsi radiomertik. Koreksi radiometrik

    biasanya dilakukan pada kanal visible (ë = 0,4 – 0,7 µm), sedangkan kanal

    inframerah (ë = > 0,7) sebagian besar bebas dari pengaruhnya.

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    35/83

      24

    Koreksi radiometrik dilakukan dengan metode penyesuaian histogram

    (histogram adjusment ), yaitu dengan mengurangi nilai kanal terdistorsi ke arah

    kiri sehingga nilai minimumnya menjadi nol.

    Secara matematis, koreksi pengaruh atmosfer dengan penyesuaian histogram

    dapat dilihat pada persamaan di bawah ini :

    DNi,j,k(output:tekoreksi)= DNi,j,k(input:asli)– bias

    3.3.3.2. Penajaman citra

    Penajaman citra digunakan untuk memperjelas penampakan objek yang

    terdapat pada citra sehingga dapat diperoleh citra yang informatif. Tujuan dari

    penajaman citra adalah untuk mempertajam interpretabilitas visual citra, baik

    untuk memperoleh keindahan gambar atau untuk analisis citra.

    Penajaman ini dilakukan sebelum menampilkan citra dengan tujuan

    meningkatkan informasi yang dapat diinterpretasi secara digital. Prosesnya

    melibatkan penajaman kontras yang tampak pada wujud gambaran yang terekam

    pada citra, sehingga dapat memperbaiki kenampakan citra dan meningkatkan

    perbedaan yang ada di antara objek yang ada dalam citra.

    Ada beberapa teknik yang dapat digunakan dalam penajaman citra khususnya

    untuk kerapatan dan distribusi mangrove. Salah satu tekniknya dengan False

    Colour Composit  (FCC) yang merupakan penajaman dengan menggabungkan tiga

    warna primer, yaitu merah (red ), hijau (green) dan biru (blue).

    3.3.3.3. Klasifikasi citra

    Klasifikasi bertujuan untuk mengelompokan kenampakan yang homogen.

    Klasifikasi merupakan proses pengelompokan piksel-piksel ke dalam suatu kelas

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    36/83

      25

    atau kategori berdasarkan kesamaan nilai spektral tiap piksel. Nilai spektral

    merupakan gambaran sifat dasar interaksi antara objek dengan spektrum yang

    bekerja.

    Ada dua proses klasifikasi, yaitu : klasifikasi terbimbing (supervised

    classification) dan klasifikasi tak terbimbing (unsupervised classification). Pada

    penelitian ini digunakan supervised classification karena didukung dengan data

    lapangan.

    Klasifikasi terbimbing bertujuan mengelompokkan secara otomatis kategori

    semua nilai piksel dalam citra menjadi beberapa kelas didasarkan pada daerah

    contoh (training area). Daerah contoh pada citra didapatkan dari peta acuan, data

    sekunder dan data lapangan.

    Pengkelasan piksel pada supervised classification didasarkan pada kemiripan

    maksimum piksel dengan sekelompok piksel lainnya dalam citra. Pengkelasan ini

    dikenal dengan metode kemiripan maksimum (maximum likelihood ).

    Dengan metode maximum likelihood  piksel yang belum diketahui identitasnya

    dikelompokkan berdasar vektor dan matriks kovarian dari setiap pola spektral

    kelas. Nilai peluang piksel yang belum teridentifikasi akan dihitung oleh

    komputer dan dimasukkan ke dalam salah satu kelas yang peluangnya paling

    tinggi.

    Dari hasil klasifikasi dengan menggunakan supervised classification 

    selanjutnya dilakukan pengkelasan kembali atau pengkelasan ulang (reclass)

    dengan berdasarkan pada peta dan data pendukung. Pengkelasan ulang ini

    bertujuan untuk mendapatkan citra yang lebih informatif mengenai daerah

    penelitian.

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    37/83

      26

    3.3.3.4. Ketelitian klasifikasi

    Ketelitian klasifikasi dilakukan dengan perhitungan matriks kekeliruan

    (confusion matrix). Matriks ini berordo (m x m) dan variabel A, B, C adalah kelas

    yang didapatkan dari proses klasifikasi.

    Baris dan kolom matriks menunjukkan jumlah piksel hasil pengujian pada

    kelas-kelas tersebut. Jumlah seluruh piksel yang terdapat pada setiap baris dan

    kolom adalah jumlah total piksel yang diuji.

    Tabel 2. Bentuk Matriks Kesalahan (Confusion Matrix)

     ReferenceClassification

     Data  A B C

    Total

    Baris UA (%)

    A Xkk   X+k   Xkk  /Xk+ 

    B

    C Xkk  

    Total Kolom Xk+  N

    PA (%) Xkk  /X+k  

    %100×=+k 

    kk 

     X 

     X PA   %1001 ×=

    ∑ = N 

     X OA

    k  kk   

    %100×=+k 

    kk 

     X 

     X UA  

    Pada kasus yang ideal seluruh sel di luar diagonal utama bernilai nol, yang

    mengisyaratkan tidak ada penyimpangan dalam klasifikasi. Nilai dalam sel

    di bawah diagonal utama menunjukkan kekurangan jumlah piksel akibat masuk

    ke dalam kelas lain (comission error ). Nilai dalam sel di atas diagonal utama

    merupakan kelebihan jumlah piksel (omission error ).

    Produser’s accuracy (PA) adalah peluang (dalam %) suatu piksel akan

    diklasifikasikan dengan tepat, yang menunjukkan seberapa baik masing-masing

    kelas di lapangan telah diklasifikasikan. User’s accuracy (UA) adalah nilai

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    38/83

      27

    persentase peluang rata-rata piksel dari citra yang telah terklasifikasi secara aktual

    mewakili kelas di lapangan. Overall accuracy (OA) adalah nilai persentase dari

    piksel yang terkelaskan dengan sempurna.

    Selain itu dilakukan juga perhitungan koefisien kappa. Dalam koefisien kappa,

    off-diagonal tergabung sebagai total marginal kolam dan baris. Koefisien kappa

    akan mempunyai nilai lebih kecil dari overall accuracy. Koefisien kappa bernilai

    antara 0 – 1 (Edward, 2000).

    )(

    )(

    1

    2

    11

    ∑∑

    =   ++

    =   ++=

    ×−

    ×−=

    k  k k 

    k  k k 

    k  kk 

     X  X  N 

     X  X  X  N Kappa  

    Keterangan : r = jumlah baris dalam matriks

    Xkk   = jumlah pengamatan pada baris i dan kolom i

    Xk + dan X+k   = total marginal dari baris i dan kolom i

    N = jumlah total dari pengamatan

    3.3.3.5. Algoritma yang digunakan

    Untuk penentuan tingkat kerapatan kanopi mangrove dilakukan analisis indeks

    vegetasi. Analisis ini dilakukan dengan cara mengurangkan, menambah, dan

    membandingkan nilai digital setiap saluran yang spektralnya berbeda.

    Beberapa algoritma yang digunakan untuk mengetahui kerapatan mangrove,

    antara lain :

    a) 

     Difference Vegetation Index  (DVI) = NIR - RED

    (Richardson dan Weigand, 1997 in Hariyadi, 1999)

    b)   Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) = ( NIR- RED) /

    ( NIR+ RED) (Rouse et al., 1974 in Hariyadi,1999)

    c)   Ratio Vegetation Index (RVI) = NIR / RED 

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    39/83

      28

    (Rouse et al., 1974 in Hariyadi,1999)

    d) 

    Transformed Ratio Vegetation Index (TRVI) = ) / (  RED NIR  

    (Rouse et al., 1974 in Hariyadi,1999)

    e)  Transformed Normalized Vegetation Index (TNDVI) = )5.0(   + NDVI   

    (Deering, 1974 in Hariyadi 1999)

    Keterangan :

     RED  = nilai digital pada citra kanal merah (kanal 3)

     NIR  = nilai digital pada citra kanal inframerah dekat (kanal 4)

    Dari lima algoritma diatas akan dipilih satu algoritma terbaik, yaitu yang

    memiliki koefisien determinasi dan koefisien korelasi terbesar. Koefisien

    determinasi dan koefisien korelasi didapatkan dari hubungan data lapang dengan

    nilai pantulan spektral. Selanjutnya algoritma tersebut akan diproses untuk

    menentukan tingkat kerapatan mangrove.

    3.3.3.6. Gabungan citra hasil klasifikasi dengan indeks vegetasi

    Penutupan lahan berdasarkan hasil klasifikasi meliputi distribusi, genus, dan

    luasan mangrove, sedangkan kerapatan mangrove diperoleh dari klasifikasi indeks

    vegetasi.

    Proses selanjutnya adalah citra penutupan lahan hasil supervised classification 

    dengan metode maximum likelihood  ditumpang-tindihkan (overlay) dengan citra

    hasil analisis indeks vegetasi. Hasil overlay ini memberikan informasi mengenai

    genus mangrove dan tingkat kerapatannya.

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    40/83

      29

    Gambar 5. Diagram Alir Pengolahan Citra

    Citra Satelit

    Koreksi Geometrik dan Radiometrik

    Citra Komposit 423

    Training Area

    Pengujian Hasil

    Klasifikasi

    Data

    Lapang

    Ya

    TidakHasil

    Baik

    Citra Terklasifikasi

    Pemilihan Indeks

    Vegetasi

    TRVI = 5.0)(   + NDVI   

    Overlay

    Citra

    Akhir

    Intrepretasi

     Avicennia  Rhizophora

    RVI = NIR/RED

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    41/83

      30

    4. HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1. Koreksi Radiometrik dan Geometrik 

    Kesalahan geometrik adalah kesalahan distribusi spasial atau posisi lokasi dari

    nilai-nilai piksel yang diukur oleh sensor karena beberapa hal seperti : pergerakan

    satelit yang tidak stabil, rotasi bumi, dan perubahan posisi wahana terhadap objek.

    Untuk menanggulanginya maka pada citra perlu dilakukan koreksi geometrik.

    Pada dasarnya citra Satelit QuickBird sudah mengalami koreksi geometrik oleh

    stasiun penerima ( Digital GlobeTM 

    ). Untuk meningkatkan akurasi citra maka

    dilakukan koreksi geometrik dengan menggunakan GCP, koreksi ini dilakukan

    oleh BIOTROP.

    Koreksi radiometrik dilakukan terhadap kesalahan yang terjadi akibat

    pengaruh atmosfer. Koreksi radiometrik dilakukan dengan metode penyesuaian

    histogram (histogram adjusment ), yaitu dengan mengurangi nilai kanal terdistorsi

    ke arah kiri sehingga nilai minimumnya menjadi nol (Gambar 6). Nilai digital

    tiap kanal sebelum dan sesudah koreksi radiometrik disajikan dalam Tabel 3.

    Gambar 6. Perbandingan Histogram Band  1 Sebelum dan Sesudah Koreksi

    Radiometrik

     Band  1 sebelum Koreksi Radiometrik  Band  1 sesudah Koreksi Radiometrik

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    42/83

      31

    Tabel 3. Nilai Digital Citra Sebelum dan Sesudah Koreksi Radiometrik

    Kanal Panjang

    Gelombang (µm)

    Nilai Digital Awal Nilai Digital

    Terkoreksi

    1 0,45 – 0,52 46 – 252 0 – 206

    2 0,52 – 0,60 34 – 254 0 – 220

    3 0,63 – 0,69 16 – 253 0 – 237

    4 0,76 – 0,89 8 – 254 0 – 246

    Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa semakin besar panjang gelombang

    pada kanal QuickBird, maka distorsi atmosfer terhadap kanal tersebut akan

    semakin berkurang. Pada panjang gelombang yang lebih pendek terjadi

    hamburan yang lebih kuat.

    Citra yang akan diproses haruslah citra yang telah terkoreksi secara geometrik

    dan radiometrik (Gambar 7).

    Gambar 7. Citra Hasil Koreksi Geometrik dan Radiomertik

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    43/83

      32

    4.2. Klasifikasi Citra Komposit

    Sebelum proses klasifikasi dilakukan proses masking citra. Proses ini

    bertujuan untuk memudahkan proses klasifikasi dan meningkatkan akurasi

    klasifikasi. Pada penelitian ini dilakukan masking pada area awan dan laut untuk

    setiap kanal.

    Setelah itu dibuat terlebih dahulu citra komposit warna semu (False Colour

    Composit ) pada kanal-kanal tertentu untuk mengetahui dan memperjelas objek

    pada citra. Citra komposit yang digunakan pada penelitian ini merupakan

    komposit dari kanal 4 (red ), kanal 2 (green) dan kanal 3 (blue) (Gambar 8).

    Gambar 8. Penajaman Citra dengan RGB 423

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    44/83

      33

    Pada citra komposit di atas, vegetasi mangrove tampak berwarna merah gelap

    yang terletak di pesisir pantai sedangkan vegetasi non-mangrove berwarna merah

    cerah dan terletak di tengah daratan. Pada citra tersebut laut yang berwarna biru

    dan awan yang berwarna putih telah dihilangkan (masking), untuk memudahkan

    dalam proses klasifikasi.

    Untuk menentukan jumlah kelas yang akan diklasifikasikan pada citra

    digunakan beberapa acuan, antara lain : visualisasi citra komposit, data lapang dan

    histogram citra komposit 423 (Gambar 9). Banyaknya puncak yang terdapat pada

    histogram dapat dianalogikan sebagai jumlah kelas yang dapat diklasifikasikan.

    Berdasarkan hasil pengamatan histogram, dapat diinterpretasikan bahwa citra

    komposit dapat dibagi menjadi 6 kelas, yaitu : 1.Pemukiman 2.Vegetasi lain

    3.Bayangan Awan 4.Tambak 5. Avicennia  6. Rhizophora.

    Gambar 9. Histogram Citra Komposit 423

    Tiap kelas mempunyai selang nilai digital, yaitu : kelas pemukiman antara

    45 – 56, kelas bayangan awan antara 41 – 52, kelas vegetasi lain antara 99 – 157,

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    45/83

      34

    kelas tambak antara 17 – 38, kelas Avicennia antara 81 – 95 dan Rhizophora 

    antara 92 – 108.

    Dalam penentuan genus mangrove dilakukan dengan proses pembesaran

    ( zoom) pada daerah tersebut, kemudian dilihat histogramnya. Berdasarkan

    histogram maka mangrove di P. Karimunjawa dapat dibedakan menjadi 2 kelas,

    yaitu Avicennia dan Rhizophora. Genus mangrove lainnya yang terdapat di

    P. Karimunjawa belum dapat dikelaskan. Hal ini dikarenakan kecilnya luasan

    mangrove tersebut, sehingga sulit untuk dibuat daerah contohnya (training area).

    Proses klasifikasi citra diawali dengan pembuatan training area pada daerah

    yang homogen. Training area tersebut didapatkan dari survei lapang, pengamatan

    visual citra dan peta rupabumi. Dalam klasifikasi tiap kelas diwakili oleh training

    area pada citra.

    Training area yang telah dibuat tersebut kemudian dihitung statistiknya untuk

    mengetahui ciri spektralnya sehingga dapat diketahui rata-rata, rentang atau

    distribusi digital number  tiap kelas (Lampiran 2) dan tingkat keterpisahan spektral

    antar kelas (menggunakan uji nilai tengah / uji t). Secara visual keterpisahan

    spektral ditunjukkan oleh diagram kesesuaian spektral (Gambar 10).

    Distribusi atau sebaran pola tanggapan spekral daerah contoh dapat

    ditampilkan dalam bentuk grafik (Lampiran 3). Grafik ini merupakan pengecekan

    visual atas distribusi normal tanggapan spektral tersebut (Purwadhi, 2001). Grafik

    tersebut juga digunakan untuk memutuskan suatu band  untuk memisahkan kelas

    tertentu agar tidak terjadi tumpang-tindih.

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    46/83

      35

    0

    20

    40

    60

    80

    100

    120

    1 2 3 4

    Band

       D   i  g   i   t  a   l   N  u  m   b  e  r

      Avicennia

    Bayangan aw an

    Pemukiman

    Rhizophora

    Tambak

    Vegetasi lain

     Sumber : Diolah dari Lampiran 2

    Gambar 10. Grafik Reflektansi Tiap Band Dari Beberapa Kenampakan

    Panjang Gelombang (ë) 

    Sesuai Gambar 10 di atas, untuk memisahkan vegetasi non-mangrove dan

    mangrove digunakan kanal 4, karena kanal 4 memiliki respon spektral yang

    berbeda-beda tergantung banyaknya klorofil yang terdapat pada tanaman tersebut.

    Untuk memisahkan genus antara Avicennia dan Rhizophora juga digunakan kanal

    4 sebagai kanal tunggal maupun dengan kombinasi kanal 3 dan kanal 4.

    Untuk mengetahui keterpisahan spektral tiap kelas dapat juga digunakan uji

    nilai tengah (uji t). Uji t (Lampiran 5) dapat memperkuat kesimpulan dari

    distribusi kesesuaian spektral. Dengan uji ini dapat diketahui apakah suatu band  

    dapat memisahkan suatu kelas dengan nyata atau tidak pada selang kepercayaan

    tertentu.

    Training area yang telah dilihat karakteristik tiap kanalnya tersebut kemudian

    diproses dengan klasifikasi terselia / terbimbing (supervised classification)

    menggunakan metode kemiripan maksimun (maximum likelihood ). Setelah itu

    dilakukan perhitungan statistik oleh software, dalam hal ini ER Mapper  5.5 untuk

    mengetahui luasan kelas dan akurasinya.

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    47/83

      36

    Peta hasil klasifikasi citra komposit 423 ditunjukkan pada Gambar 11.

    Klasifikasi citra komposit 423 memberikan informasi distribusi dan luas tutupan

    lahan. Luas tiap kelas tutupan lahan ditunjukkan pada Tabel 4.

    Gambar 11. Hasil Klasifikasi Tutupan Lahan Citra QuickBird Komposit 423

    Tabel 4. Luasan Penutupan Lahan Citra QuickBird Hasil Klasifikasi

    Kelas Jumlah Piksel Luas (ha)

    Pemukiman 23.400 13,93

    Bayangan Awan 98.361 58,56

    Vegetasi Lain 2.461.412 1.465,43

    Tambak 51.223 30,49

     Avicennia 40.537 24,13

     Rhizophora 198.117 117,95

    Pada P. Menjangan Besar dan P. Menjangan Kecil tidak berpenghuni, jadi

    tidak terdapat pemukiman. Di pulau tersebut tutupan lahan didominasi oleh

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    48/83

      37

    vegetasi lain non-mangrove dan hanya terdapat beberapa tambak serta sedikit

    mangrove.

    Pada P. Karimunjawa pemukiman banyak terdapat di pesisir selatan atau barat

    daya, hal ini dikarenakan pusat aktivitas penduduk seperti pelabuhan, sekolah dan

    pasar terkonsentrasi di daerah tersebut. Tambak terdapat di beberapa sisi pesisir

    pulau, dan untuk tutupan lahan didominasi oleh vegetasi lain non-mangrove

    karena relief pulau yang berbukit.

    Untuk mangrove Rhizophora banyak terdapat di pesisir bagian barat dan utara,

    sedangkan Avicennia banyak terdapat di pesisir bagian utara. Pemukiman

    memiliki areal terkecil sebesar 13,93 ha, sedangkan vegetasi lain memiliki luasan

    terbesar senilai 1.465,43 ha.

    4.3. Ketelitian Klasifikasi

    Ketelitian hasil klasifikasi dilakukan untuk mengetahui kualitas citra hasil

    klasifikasi dengan cara membuat matriks kesalahan (confusion matrix).

    Confusion matrix untuk tiap kelas ditampilkan pada Lampiran 6. Dari matriks

    tersebut dapat diketahui beberapa parameter keakuratan, antara lain : overall

    accuracy, producer accuracy, user accuracy, dan koefisien kappa.

    Nilai produser accuracy berkisar antara 74% - 96%, dengan nilai terendah

    pada kelas Avicennia dan tertinggi pada kelas vegetasi lain. Nilai user accuracy 

    berkisar antara 73,85% - 92,50%, dengan nilai terendah pada kelas vegetasi lain

    dan tertinggi pada kelas Avicennia.

    Produser’s  accuracy (PA) adalah peluang (dalam %) suatu piksel akan

    diklasifikasikan dengan tepat, yang menunjukkan seberapa baik masing-masing

    kelas di lapangan telah diklasifikasikan. Nilai produser accuracy kelas

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    49/83

      38

     Rhizophora adalah 76%, artinya peluang suatu piksel Rhizophora yang

    terkelaskan dengan benar adalah 76%.

    User’s accuracy  (UA) adalah nilai persentase peluang rata-rata piksel dari citra

    yang telah terklasifikasi secara aktual mewakili kelas di lapangan. Nilai user

    accuracy kelas Rhizophora adalah 88,64%, artinya setiap suatu area diberi label

     Rhizophora maka hanya 88,64% yang terwakili di lapangan.

    Overall accuracy (OA) adalah nilai persentase dari piksel yang terkelaskan

    dengan sempurna, sedangkan koefisien kappa adalah ketepatan yang dihasilkan

    oleh klasifikasi acak. Nilai Overall accuracy citra komposit 423 adalah 84,33%

    dengan koefisien kappa 0,812. Dari nilai tersebut dapat diinterpretasikan bahwa

     jumlah total piksel yang terkelaskan dengan benar adalah 84,33% dan proses

    klasifikasi yang dilakukan memiliki ketepatan 81,20% dari klasifikasi acak.

    4.4. Analisis Indeks Vegetasi Untuk Kerapatan Mangrove

    Indeks vegetasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Difference

    Vegetation Index  (DVI), Normalized Difference Vegetation Index (NDVI),

     Ratio Vegetation Index (RVI), Transformed Ratio Vegetation Index (TRVI), dan

    Transformed Normalized Vegetation Index (TNDVI). Dari kelima indeks vegetasi

    tersebut akan dipilih salah satu indeks vegetasi yang memiliki koefisien

    determinasi dan koefisien korelasi terbaik.

    Nilai kerapatan mangrove dan nilai indeks vegetasinya dapat dilihat pada

    Lampiran 7. Dari lima indeks vegetasi yang digunakan menghasilkan koefisien

    determinasi (R2) dan koefisien korelasi (r) yang dibedakan antara Rhizophora dan

     Avicennia (Tabel 5).

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    50/83

      39

    Tabel 5. Hubungan Antara Indeks Vegetasi dengan Kerapatan  Rhizophora dan

     Avicennia 

     Rhizophora AvicenniaIndeks Vegetasi

    R2 (%) r R

    2 (%) r

    DVI 21,95 0,47 20,03 0,45

    NDVI 31,23 0,56 66,45 0,81

    RVI 54,02 0,73 56,90 0,75

    TRVI 48,27 0,69 59,47 0,77

    TNDVI 29,62 0,54 66,82 0,82

    Dari indeks vegetasi tersebut yang memiliki koefisien determinasi terbesar

    untuk Rhizophora adalah RVI dengan koefisien determinasi (R2) = 54,02% dan

    korelasi (r) = 0,73. Untuk  Avicennia koefisien determinasi terbesar (R2) = 54,02%

    dan korelasi (r) = 0,73 dengan TNDVI.

    Sebagai contoh nilai R2 RVI untuk  Rhizophora adalah 54,02%, ini

    menunjukkan bahwa hubungan antara kerapatan  Rhizophora dan RVI dapat

    dijelaskan sebesar 54,02%, nilai r sebesar 0,73 menunjukkan hubungan kerapatan

     Rhizophora dan RVI erat (Gambar 12).

    y = 0.0015x + 7.4196

    R2 = 0.5402

    0

    2

    4

    6

    8

    10

    12

    14

    16

    0 1000 2000 3000 4000 5000 6000

    Kerapatan (ind/ha)

          R      V      I

     

    Sumber : Diolah dari Lampiran 7

    Gambar 12. Grafik Regresi Linear Antara Kerapatan  Rhizophora dan RVI

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    51/83

      40

    Persamaan yang dihasilkan adalah :

    y = 0,0015x + 7,4196

    Keterangan : y = nilai indeks vegetasi

    x = kerapatan mangrove

    Dari persamaan di atas dapat dilihat bahwa nilai koefisien regresi bernilai

    positif. Ini berarti kerapatan Rhizophora dengan RVI berbanding lurus, yaitu

    semakin besar kerapatan Rhizophora maka semakin besar pula nilai RVI dan

    begitu pula sebaliknya.

    4.5. Overlay Klasifikasi Citra Komposit dan Indeks Vegetasi

    Untuk menentukan jumlah kelas yang pada citra digunakan beberapa acuan,

    antara lain : visualisasi citra, data lapang dan histogram (Gambar 13). Banyaknya

    puncak yang terdapat pada histogram dapat dianalogikan sebagai jumlah kelas

    yang dapat diklasifikasikan.

    Gambar 13. Histogram Citra Dengan Indeks Vegetasinya

    (a) TNDVI untuk Avicennia dan (b) RVI untuk Rhizophora 

    Tiap kelas mempunyai selang nilai digital tertentu, untuk kerapatan Avicennia 

    dengan algoritma TNDVI yaitu : kelas Avicennia sangat jarang < 1,1358,

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    52/83

      41

     Avicennia jarang 1,1359 – 1,1425, Avicennia sedang 1,1426 – 1,1529, Avicennia 

    rapat 1,1530 – 1,1634, dan Avicennia sangat rapat > 1,1634.

    Untuk selang nilai digital kerapatan Rhizophora dengan algoritma RVI yaitu :

    kelas Rhizophora sangat jarang < 6,02, Rhizophora jarang 6,03 – 7,91,

     Rhizophora sedang 7,92 – 10,14, Rhizophora rapat 10,15 – 13,19, dan Rhizophora 

    sangat rapat > 13,20.

    Klasifikasi citra komposit 423 menghasilkan kelas penutupan lahan dengan

    dua kelas mangrove, yaitu Avicennia dan Rhizophora. Citra algoritma TNDVI

    menghasilkan beberapa tingkat kerapatan Avicennia, dan citra algoritma RVI

    menghasilkan beberapa tingkat kerapatan Rhizophora.

    Overlay antara hasil klasifikasi citra komposit, kerapatan Avicennia dan

    kerapatan Rhizophora akan menghasilkan kelas mangrove berdasarkan

    kerapatannya (Gambar 14). Luas tiap kelas genus mangrove dan kerapatannya

    ditunjukkan pada Tabel 6.

    Tabel 6. Luasan Genus dan Kerapatan Mangrove

    Kelas Jumlah Piksel Luas (ha)

     Avicennia sangat jarang 5.497 0,55

     Avicennia jarang 6.188 0,62

     Avicennia sedang 14.399 1 ,44

     Avicennia rapat 9.786 0,98

     Avicennia sangat rapat 2.876 0,29

     Rhizophora sangat jarang 21.534 2,15

     Rhizophora jarang 47.396 4,74

     Rhizophora sedang 68.781 6,88

     Rhizophora rapat 49.626 4,96

     Rhizophora sangat rapat 8.686 0,87

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    53/83

      42

    Gambar 14. Peta Distribusi dan Kerapatan Mangrove di P. Karimunjawa

    Dari gambar dan tabel di atas dapat dilihat bahwa luasan terbesar ada pada

    kelas Rhizophora dengan kerapatan sedang, sedangkan luasan terkecil terdapat

    pada kelas Avicennia sangat rapat. Hal ini sangat dimungkinkan karena

     Rhizophora banyak terdapat di sepanjang pesisir pulau sedangkan Avicennia

    hanya banyak terdapat pada pesisir utara saja.

     Avicennia merupakan tumbuhan pionir bagi mangrove, sedangkan Rhizophora 

    tumbuh setelah mangrove mengalami suksesi. Di P. Karimunjawa ekosistem

    mangrovenya bukanlah suksesi primer, hal ini mengakibatkan Rhizophora 

    terdapat jauh lebih banyak dibandingkan Avicennia.

    PETA DISTIBUSI DAN KERAPATAN

    MANGROVE DI

    P. KARIMUNJAWA

    Dibuat oleh :

    Suseno Wangsit Wijaya / C06400040

    Di Lab. Geomatic and Natural Resources 

    BIOTROP

    Sumber :

    Citra Satelit QuickBird 3 Juli 2003

       S   5   0   5   1   ’   4   5   ” 

       S   5   0   5   1   ’   4   5   ” 

    E110025’45” E110

    026’00”

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    54/83

      43

    4.6. Hubungan INP dan Indeks Vegetasi

    Pada penelitian - penelitian sebelumnya, penginderaaan jauh yang

    memanfaatkan citra satelit hanya dapat melihat distribusi, luasan dan kerapatan

    mangrove. Hal ini mengakibatkan belum diketahuinya apakah penginderaan jauh

    dengan satelit mampu mendeteksi suatu INP jenis mangrove.

    Sama halnya dengan kerapatan, untuk melihat INP dari citra satelit digunakan

    indeks vegetasi. Nilai INP mangrove dan nilai indeks vegetasinya dapat dilihat

    pada Lampiran 8. Dari lima indeks vegetasi yang digunakan menghasilkan

    koefisien determinasi (R2) dan koefisien korelasi (r) yang dibedakan antara

     Rhizophora dan  Avicennia (Tabel 7). 

    Tabel 7. Hubungan Antara Indeks Vegetasi dengan INP  Rhizophora dan

     Avicennia 

     Rhizophora AvicenniaIndeks Vegetasi

    R2  r R

    2  r

    DVI 24,78 4,98 17,08 4,13

    NDVI 29,08 5,39 12,82 3,58

    RVI 30,11 5,49 7,17 2,68

    TRVI 30,80 5,55 8,47 2,91

    TNDVI 28,63 5,35 12,83 3,58

    Indeks nilai penting suatu jenis mangrove ditentukan oleh kerapatan jenis,

    frekuensi jenis dan penutupan jenis. Nilai ini biasanya dihitung berdasarkan data

    survei lapang, untuk menghitung INP dengan citra satelit cukup sulit. Kesulitan

    ini disebabkan INP merupakan indeks ekologi yang memberikan gambaran

    mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam

    komunitas mangrove.

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    55/83

      44

    Satelit belum mampu mendeteksi hubungan antara suatu spesies dengan

    lingkungannya. Ini tercermin dari kecilnya koefisien determinasi dan koefisien

    korelasi antara INP dan nilai spektral satelit. Untuk  Rhizophora koefisien

    determinasi terbesar R2 = 30,80 dengan r = 5,55, sedangkan untuk Avicennia 

    koefisien determinasi terbesar R2 = 17,08 dengan r = 4,13.

    4.7. Kondisi Ekosistem Mangrove

    Indeks Nilai Penting (INP) suatu jenis mangrove memberikan gambaran

    mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam

    komunitas mangrove. Indeks nilai penting ini berkisar antara 0 -300 untuk pohon

    serta anakan dan berkisar antara 0 – 200 untuk semai (Lampiran 9).

    Vegetasi mangrove yang ditemukan pada saat pengamatan dibedakan antara

    pohon, anakan dan semai. Jenis mangrove yang ditemukan mempunyai kerapatan

    dan luas penutupan jenis yang berbeda.

    Berdasarkan survei lapang hutan mangrove di P. Karimunjawa ditemukan

    delapan spesies mangrove, yaitu : Acanthus ilicifolius, Aegiceras corniculatum,

     Avicennia alba, Excoecaria agallocha, Rhizophora apiculata, Rhizophora

    mucronata, Rhizophora stylosa, dan Sonneratia alba.

    Pada tingkat pohon hanya jenis Acanthus ilicifolius yang tidak ditemukan.

    Jenis ini hanya ditemukan di Stasiun 21 pada tingkat anakan dengan nilai INP

    sebesar 145. Jenis tumbuhan ini merupakan tumbuhan berduri dan dapat menjadi

    dominan di hutan mangrove yang rusak.

     Aegiceras corniculatum ditemukan pada tingkat pohon di Stasiun 10 dan 11,

    serta pada tingkat anakan di Stasiun 10 dan 12. Jenis ini berperan penting pada

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    56/83

      45

    tingkat semai di Stasiun 12 dengan nilai INP sebesar 156. Jenis tumbuhan ini

    sering tumbuh serempak membentuk semak belukar.

    Jenis Avicennia alba ditemukan pada tingkat pohon dan anakan di Stasiun 21,

    22, 23, 24. Keempat staiun ini terletak di pesisir utara P. Karimunjawa yang

    letaknya relatif terlindung dari hempasan gelombang secara langsung. Jenis ini

    berperan penting di keempat stasiun tersebut.

     Excoecaria agallocha hanya terdapat pada tingkat pohon di Stasiun 2, 8, 11,

    12. Jenis ini memiliki INP terendah di Stasiun 12 dengan nilai INP 52, dan

    memiliki INP tertinggi senilai 98 di Stasiun 11. Jenis ini memiliki getah yang

    berwarna putih susu dan dapat merusak mata.

    Jenis mangrove yang paling sering ditemukan adalah Rhizophora apiculata.

    Spesies ini ditemukan baik pada tingkat pohon, anakan maupun semai.

     Rhizophora apiculata berperan penting di beberapa stasiun, dengan nilai INP

    terendah sebesar 61 dan nilai INP tertinggi sebesar 300 untuk tingkat pohon.

     Rhizophora mucronata ditemukan pada tingkat pohon di Stasiun 2, 4 , 13, 14,

    15, 16, 19, 20 dan pada tingkat anakan pada Stasiun 2, 4, 8, 14, 20. Jenis ini

    berperan penting pada tingkat pohon di Stasiun 13, 14, 15, 16 dengan nilai INP

    tertinginya sebesar 239. Pada tingkat anakan Rhizophora mucronata juga

    berperan penting di Stasiun 14 dengan INP sebesar 205.

    Jenis Rhizophora stylosa ditemukan pada tingkat pohon di Stasiun 6, 8, 10, 12,

    16, 17, 18, pada tingkat anakan di Stasiun 5, 6, 7, 8, 10, 14, 18 dan semai di

    Stasiun 6. Spesies ini berperan penting pada tingkat pohon dan semai di Stasiun 6

    dengan INP sebesar 192 dan 200. Untuk tingkat anakan Rhizophora stylosa 

    berperan penting di Stasiun 6, 8, 10.

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    57/83

      46

    Sonneratia alba hanya dijumpai pada tingkat pohon di Stasiun 5, 20 dan 21,

    dengan nilai INP berkisar antara 77 – 187. Jenis ini merupakan vegetasi yang

    berperan penting di Stasiun 5.

    Masyarakat setempat banyak yang mengambil kayu dari hutan mangrove

    sehingga terjadi kerusakan di beberapa tempat. Luasan hutan mangrove di

    P. Karimunjawa semakin berkurang karena banyak dikonversi menjadi lahan

    tambak dan pemukiman.

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    58/83

      47

    5. KESIMPULAN DAN SARAN

    5.1. Kesimpulan

    Salah satu kelebihan citra satelit QuickBird adalah resolusi spasialnya yang

    sangat tinggi, yaitu 2,44 m x 2,44 m. Dengan resolusi tersebut satelit ini mampu

    membedakan dua genus mangrove yaitu Avicennia dan Rhizophora. Genus lain

    yang terdapat di Karimunjawa tidak dapat dipisahkan karena luasannya kecil

    sehingga tidak dapat dibuat daerah latihnya.

    Nilai overall accuracy citra QuickBird komposit 423 adalah 84,33% dengan

    koefisien kappa 0,812.  Avicennia memiliki nilai produser accuracy 72% dan nilai

    user accuracy 92,50%, sedangkan Rhizophora memiliki nilai produser accuracy 

    76% dan nilai user accuracy 88,64%.

    Kerapatan dan respon spektral memiliki hubungan linear, ini dapat dijelaskan

    dengan indeks vegetasi. Dari indeks vegetasi tersebut yang memiliki koefisien

    determinasi terbesar untuk Rhizophora adalah RVI dengan koefisien determinasi

    (R2) = 54,02% dan korelasi (r) = 0,73. Untuk Avicennia koefisien determinasi

    terbesar (R2) = 54,02% dan korelasi (r) = 0,73 dengan TNDVI.

    Untuk kerapatan Rhizophora dengan algoritma RVI memiliki persamaan

    regresi linear y = 0,0015x + 7,4196, dengan y = nilai indeks vegetasi,

    x = kerapatan mangrove. Dari persamaan di atas dapat dilihat bahwa nilai

    koefisien regresi bernilai positif. Ini berarti kerapatan Rhizophora dengan RVI

    berbanding lurus, yaitu semakin besar kerapatan Rhizophora maka semakin besar

    pula nilai RVI dan begitu pula sebaliknya.

    Dari hasil klasifikasi penutupan lahan dan klasifikasi indeks vegetasi dilakukan

    proses overlay. Hasil overlay ini berinformasikan genus mangrove dan tingkat

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    59/83

      48

    kerapatannya. Pada hasil overlay kelas Rhizophora dengan kerapatan sedang

    memiliki luasan terbesar, dan kelas Avicennia dengan kerapatan sangat rapat

    memiliki luasan terkecil.

    Kecilnya koefisien determinasi dan koefisien korelasi antara Indeks Nilai

    Penting (INP) dan nilai spektral satelit menandakan satelit belum mampu

    mendeteksi hubungan antara nilai spektral dengan INP mangrove. Kesulitan ini

    disebabkan INP merupakan indeks ekologi, yang menyatakan peranan jenis

    mangrove dalam komunitasnya.

    Berdasarkan hasil survei lapang ditemukan delapan jenis mangrove, yaitu :

     Acanthus ilicifolius, Aegiceras corniculatum,  Avicennia alba, Excoecaria

    agallocha, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa,

    dan Sonneratia alba.

    Jenis yang paling banyak dijumpai adalah Rhizophora apiculata yang tersebar

    di pesisir bagian barat sampai utara pulau. Jenis Avicennia alba hanya dijumpai

    di pesisir utara pulau, hal ini dikarenakan wilayahnya yang relatif terlindung dari

    hempasan ombak secara langsung.

    5.2. Saran

    Dalam menentukan reflektansi dari tanaman mangrove lebih akurat jika

    menggunakan spektroradiometri. Untuk penelitian lebih lanjut perlu dipilih suatu

    lokasi yang memiliki genus mangrove lebih beragam.

    Selain itu perlu dilakukan pengukuran biomassa, penutupan tajuk dan Leaf

     Area Indeks (LAI). Hal ini berguna untuk membandingkan faktor apa yang paling

    erat hubungnnya dengan indeks vegetasi.

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    60/83

      49

    DAFTAR PUSTAKA 

    Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ). 2002. Inventarisasi dan

    Penyebaran Mangrove di Taman Nasional Karimunjawa. BTNKJ.

    Semarang.

    Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2004. Kawasan Taman Nasional Laut

    Karimunjawa.

    http://mofrinet.cbn.net.id/informasi/tamnas/karim_1.html

    Carolita, I., I Made P., Y. Erowati, dan Asikin A. 1995. Monitoring Keadaan

    Hutan dengan Menggunakan Data NOAA AVHRR di Daerah

    Kalimantan Barat dan Sebagian Kalimantan Timur. Warta LAPAN

    volume 43 Hal 32-42. Jakarta.

    Chaudhury, M. U. 1985. LANDSAT : Application to Mangrove Ecosystem

    Studies. UNDP/ESCAP Regional Remote Sensing Programme and

    SEAMEO-BIOTROP. Bogor. Hal 57-63.

    Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting, dan M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber

     Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya

    Paramita. Jakarta.

    Dewanti, R. 1999. Kondisi Hutan Mangrove di Kalimantan Timur, Sumatra, Jawa,

    Bali dan Maluku. Majalah LAPAN edisi Penginderaan Jauh No.01

    Vol. 01. LAPAN. Jakarta.

    Digital Globe. 2004. Standart Imagery.http://www.digitalglobe.com

    Dirgahayu, D., M. Kusumowidagdo, E. D. Djaiz, dan I Made P. 1992. Metode

    Penentuan Potensi Hutan dengan Menggunakan Data Satelit

    Penginderaan Jauh. (Prosiding Hasil-hasil Penelitian Proyek

    Pemanfaatan Satelit Lingkungan dan Cuaca). Pusfatja-LAPAN.

    Jakarta.Hal 16-25.

    English, S., C. Wilkinson dan V. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical

    Marine Resources. Australian Institut of Marine Science.

    Fanani, Z. 1992. Pengantar Interpretasi Data Penginderaan Jauh. FakultasKehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

    Green, E.P., P.J. Mumby, A.J. Edwards, dan C.D. Clark. 2000. Remote Sensing

    Handbook for Tropical Coastal Management. Coastal Management

    Sourcebook 3, UNESCO. Paris.

  • 8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra

    61/83

      50

    Hariyadi. 1999. Pembentukan Algoritma Penduga Kerapatan Vegetasi Mangrove

    Menggunakan Data Landsat Thematic Mapper (Studi Kasus di Kawasan

    Segara Anakan, Jawa Tengah). Skripsi (Tidak dipublikasikan). Fakultas

    Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor

    Harsanugraha, W. K. dan Farid T. 1999. Transformasi Resolusi Spasial CitraInderaja AVHRR dalam Proses Pengolahan Data Indeks Vegetasi.

    (Prosiding Hasil-hasil Penelitian Proyek Teledeteksi Sumber Alam

    TELSA – Pusat Teknologi Inderaja). Pusfatja-LAPAN. Jakarta. Hal 531-

    544.

    Hartono. 1994. Penggunaan Penginderaan Jauh Menggunakan Landsat Thematic

    Mapper (Studi Kasus da Areal HPH PT. Bina Lestari Indragiri Hulu,

    Riau). Skripsi (Tidak dipublikasikan). Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

    Japan International Coorporation Agency (JICA). 1998. Pengertian Dasar

    Mangrove (Bakau). Ministry of Suistainable Mangrove and Estate Crops

    and Japan International Coorporation Agency. Bali.

    Kusmana, C. 1995. Ekologi Hutan. Lab Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan IPB.

    Bogor.

    Lillesand, T. M. dan R.W. Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.

    Diterjemahkan oleh Dulbari et al. Gajah Mada University Press.

    Yogyakarta.