Apendisitis Bab 1
-
Upload
eva-harunouzumaki-simbolon -
Category
Documents
-
view
165 -
download
4
Transcript of Apendisitis Bab 1
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm
(kisaran 3-15) dan berpangkal di sekum. Apendisitis adalah peradangan pada
apendiks vermiformis. Apendisitis terbagi atas dua yaitu akut dan kronis. Penelitian
epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Pada apendisitis akut,
peradangan disebabkan oleh penutupan lubang apendiks, peningkatan tekanan
intraluminal, terjadinya edema, iskemik, bakteri, dan dapat menimbulkan gangrene
dan perforasi yang dapat terjadi dalam 24-36 jam sesudah serangan. Obstruksi ini
dapat disebabkan oleh fekalit, bahan makanan, tumor, parasit, atau variasi anatomi.1,2
Apendisitis merupakan salah satu kasus bedah darurat. Di Amerika Serikat,
sebanyak 250.000 kasus dilaporkan setiap tahunnya. Di Afrika dan Asia, kasus
apendisitis lebih rendah dikarenakan pola makan dan hidup yang lebih baik yaitu
lebih tinggi serat. Rata-rata usia tertinggi yang mengalami apendisitis adalah 6-10
tahun. Kejadian perforasi dialami pada anak-anak yaitu 50-85%. Angka kematian
pada orang tua berkisar 2-6 dan hampir 19,4% pada ibu hamil serta 20% pada anak
dibawah 2 tahun dan merupakan infeksi yang paling sering ditemukan. Perbandingan
antara laki-laki dan perempuan adalah 1,4:1. 1,3
Pada apendisitis akut, gejala berupa nyeri di daerah umbilicus yang kemudian
pindah ke area perut kanan bawah (titik Mc. Burney) yang lebih tajam. Sedangkan
pada apendisitis kronis, nyeri daerah kanan bawah perut terjadi lebih dari 2 minggu.
Selain gejala nyeri perut tersebut, gejala lainnya dapat berupa mual, muntah,
anoreksia, dan malaise.1
Penegakkan diagnosis apendisitis ini tidak mudah, terutama yang atipikal
walaupun banyak pasien datang dengan keluhan yang tipikal berdasarkan anamnesis
dan temuan pemeriksaan. Apendiktomi adalah tata laksana pilihan dan meningkat
penggunaannya sebagai prosedur laparoskopi. 1,4
2
1.2. Tujuan
Agar dapat mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan apendisitis
sehingga dapat dilakukan penerapan ilmu teori dengan praktik yang akan dihadapi
dan dijalani sebagai dokter umum.
1.3. Manfaat
1. Sebagai bahan informasi bagi penulis dan pembaca sehingga dapat
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman dibidang ilmu bedah sebagai
seorang dokter umum khususnya mengenai apendisitis.
2. Sebagai bahan informasi bagi penulis lain yang akan membuat tulisan yang
berhubungan dengan apendisitis.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi, histologi, dan fisiologi apendiks
Anatomi apendiks
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm
(kisaran 3-15), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan
melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut,
lebar pada pangkalnya dan melebar pada bagian ujung, apendiks terletak
intraperitoneal. Kedudukan ini memungkinkan apendiks bergerak dan ruang
geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus
selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang
kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens.5
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal
dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar
umbilikus.6
Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri
tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi,
apendiks akan mengalami gangrene.6
Gambar 2.1. Anatomi apendiks
4
Histologi apendiks
Secara histologi, apendiks mempunyai basis struktur yang sama seperti usus
besar. Glandula mukosnya terpisahkan dari vascular submucosa oleh mucosa
muskularis. Bagan luar dari submukosa adalah dinding otot yang uta,a. Apendiks
terbungkus oleh tunika serosa yang terdiri atas vaskularisasi pembuluh darah besar
dan bergabung ,emjadi satu di mesoapendiks. Jika apendiks terletak retroperitoneal,
maka apendiks tidak terbungkus oleh tunika serosa. Mukosa apendiks terdiri atas sel-
sel dari gastrointestinal endokrin sistem. Sekresi dari mukosa ini adalah serotonin
dan terkenal dengan nama sel argentaffin. Tumor ganas paling sering muncul pada
apendiks dan tumbuh dari sel ini.5
Gambar 2.2. Apendiks (pandangan menyeluruh, potongan melintang).
Fisiologi apendiks
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Pada keadaan normal lendir
ini dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis. Pada
keadaan normal tekanan dalam lumen apendiks antara 15-25 cmH2O dan meningkat
menjadi 30-50 cmH2O pada waktu kontraksi. Pada keadaan normal tekanan pada
lumen sekum antara 3-4 cmH2O, sehingga terjadi perbedaan tekanan berakibat cairan
di dalam lumen apendiks terdorong masuk ke sekum.5
5
Imunoglobulin sekreator yang dihasilkan oleh GALT (gut associated
lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah
IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun
demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena
jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di
saluran cerna dan di seluruh tubuh.6
2.2. Apendisitis
2.2.1. Definisi Apendisitis
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis atau peradangan
infeksi pada usus buntu (apendiks) yang terletak di perut kuadran kanan bawah.
Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan
bawah rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat.5,6,8,9
2.2.2. Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis terbagi atas 2 yakni:5
a. Apendisitis akut, dibagi atas:
- Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul
striktur lokal
- Apendisitis purulenta difus, yaitu sudah bertumpuk nanah
b. Apendisitis kronik, dibagi atas:
- Apendisitis kronik fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul striktur
lokal
- Apendisitis kronik obliteritivia, yaitu apendiks miring, biasanya ditemukan
pada usia tua.
2.2.3. Epidemiologi
Apendisitis merupakan kedaruratan bedah paling sering di negara-negara
Barat. Jarang terjadi pada usia di bawah 2 tahun, nampak pada dekade kedua dan
ketiga, tetapi dapat terjadi pada semua usia. Sekitar 80.000 anak pernah menderita
6
apendisitis di Amerika Serikat setiap tahun, angkanya 4 per 1.000 anak di bawah usia
14 tahun. Kejadian apendisitis meningkat dengan bertambahnya umur. Insidensi
apendisitis tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah umur 30 tahun
insidensi apendisitis mengalami penurunan jumlah. Insidensi pada laki-laki dan
perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidensi laki-laki
lebih sering.5,7,8
2.2.4. Etiologi
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai
faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan
sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor
apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang
diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit
seperti E. histolytica2
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi
akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional
apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini
akan mempermudah timbulnya apendisitis akut.6,7
Bakteri penyebab apendisitis merupakan bakteri yang normal ada pada usus.
Bakteri yang paling sering ditemukan yaitu Bacteroides fragilis, bakteri anaerob,
gram negatif dan Escherichia coli, bakteri gram negatif, facultative anaerob.
Sedangkan bakteri lainnya, yaitu: Peptostreptococcus, Pseudomonas, Klebsiela, dan
Klostridium, Lactobacillus, dan B.splanchnicus. Obstruksi lumen merupakan faktor
predominan penyebab apendisitis akut. Fecolith merupakan penyebab obstruksi
paling sering. Penyebab lainnya adalah hipertropi jaringan limfoid, sisa barium, serat
tumbuhan, biji-bijian, cacing terutama askaris.6.8
2.2.5. Patofisiologi
Perubahan patologi pada apendisitis melalui tiga fase. Pada mulanya, dengan
obstruksi lumen, kongesti vena yang buruk menjadi iskemia mukosa, nekrosis, dan
7
ulserasi. Invasi bakteri dengan infiltrat radang menembus semua lapisan dinding
apendiks menandai fase kedua. Organisme dapat dibiakkan dari permukaan serosa
sebelum perforasi secara mikroskopis. Akhirnya, nekrosis dinding menyebabkan
perforasi dan kontaminasi peritoneum. Perforasi ini biasanya terjadi pada ujung
apendiks, distal dari obstruksi fekalit.6,8
Kelanjutan dari perforasi, kontaminasi mikrobiologis tinja mungkin terbatas
pada pelvis atau fossa iliaka kanan dengan omentum dan lengkung usus halus yang
berdekatan atau mungkin menyebar ke seluruh rongga peritoneum. Proses radang
yang disertai dengan perforasi bisa berlanjut dengan obstruksi usus dan ileus
paralitik.6,8
Dalam patogenesis apendisitis akut, terjadi melalui tiga fase.9
1. obstruksi lumen menyebabkan sekresi mukus dan cairan yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraluminal
2. ketika tekanan intraluminal meningkat, terjadi dalam mukosa venula dan
limfatik meningkat, aliran darah dan limfe terhambat karena tekanan
meningkat pada dinding apendical
3. ketika tekanan kapiler meningkat, terjadi iskemia mukosa inflamasi dan
ulserasi kemudian bakteri tumbuh pesat di dalam lumen dan bakteri
menyerang mukosa dan submukosa sehingga terjadi inflamasi transmural,
edema, vascular stasis, dan nekrosis dari muscular. Perforasi mungkin dapat
terjadi.
Pada perjalanan penyakitnya, penyakit apendisitis akut dapat berubah
menjadi:9
1. phlegmon 2-3 hari perforasi, 3-5 hari peritonitis difusa sepsis.
Phlegmon ialah proses penahanan dalam jaringan ikat longgar. Pada orang
dewasa, terjadi karena keterlambatan dalam menegakkan diagnosa,
sedangkan pada anak kecil disebabkan apendiks kecil dan kurang
komunikatif.
2. mikroperforasi massa/infiltrat periapendiks
mikroperforasi adalah suatu peradangan oleh omentum dan jaringan
sekitarnya. Tubuh melokalisir perforasi oleh karena daya tahan tubuh
8
meningkat (dengan pemberian antibiotik). Jika peradangan tidak sempurna,
dapat terjadi penyebaran pus dari ruangan omentum.
2.2.6. Gambaran Klinis
Gambaran klinis tergantung pada fase patologis apendisitis pada
pemeriksaan. Tiga gejala klasik terdiri dari nyeri, muntah, dan panas. Pada masa
awal obstruksi apendiks, nyerinya adalah periumbilikalis, disertai maupun tidak
disertai rangsang peritoneum lokal. Emesis biasanya menyertai mulainya nyeri dan
jarang terjadi. Tidak ada nafsu makan lebih lazim. Demam tidak terlalu tinggi jika
belum terjadi perforasi dengan peritonitis. Urutan gejala-nyeri mendahului emesis
dan demam-hal ini penting dalam membedakan apendisitis dari enteritis infeksiosa,
yang biasanya mulai dengan muntah yang disertai dengan kejang perut dan
hiperperistaltik.6,8
Ketika sudah melibatkan serosa dan selubung peritoneum, dalam beberapa
jam nyeri berpindah ke daerah peritoneum yang teriritasi, ke kanan bawah ke titik
Mc. Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga
merupakan nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi
terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan
itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi.6,8
Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, karena letaknya terlindung oleh
sekum, tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak tanda rangsangan
peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat
berjalan karena kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.2 Apendiks yang
terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan gejala dan tanda
rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltis meningkat, pengosongan
rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel
ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing karena rangsangan
dindingnya.6,8
Pada perforasi, nyeri menjadi menyeluruh kecuali kontaminasi terlokalisasi
dengan baik yang menyebabkan terpisahnya abses dengan kuadran kanan bawah.
Palpasi massa abdomen atau rektum menunjukkan pembentukan abses. Perburukan
9
sejak mulainya gejala sampai perforasi biasanya terjadi setelah 36-48 jam. Jika
diagnosis terlambat setelah 36-48 jam, angka perforasi menjadi 65%.8
2.2.7. Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri
abdomen. Hal ini terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi
pada seluruh saluran cerna, sehingga nyeri visceral dirasakan diseluruh perut.
Muntah atau rangsangan visceral akibat aktifasi dari nervus vagus. Obstipasi karena
penderita takut untuk mengejan. Panas akibat infeksi akut jika timbul komplikasi.
Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,3-38,5 derajat C, tetapi
jika suhu lebih tinggi, diduga terjadi perforasi.1
Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi, penderita berjalan membungkuk,
sambil memegangi perutnya yang sakit., kembung bila terjadi perforasi, dan
penonjolan perut bagian kanan bawah terlihat pada appendikuler abses. Pada
palpasi , abdomen biasanya tampak datar dan sedikit kembung. Palpasi dinding
abdomen dengan sedikit tekanan dan hati-hati, dimulai dari tempat yang jauh dari
lokasi nyeri. Umumnya nyeri dirasakan di daerah kuadran kanan bawah abdomen.1
Maka pada pemeriksaan fisik akan dijumpai :1
1. Nyeri tekan (+) Mc.Burney Sign. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan
kuadran kanan bawah. Ini adalah ciri khas dari apendisitis.
2. Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri
lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat tekanan
dilepaskan secara tiba-tiba setelah sebelumnya dilakukan penekanan perlahan
dan mendalam pada titik mc.burney.
3. Defens Muskuler (+) karena rangsangan musculus rectus abdominis. Defens
muskuler adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan
adanya rangsangan peritoneum parietale.
4. Rovsing sign (+), rovsing sign adalah nyeri abdomen pada kuadran kanan
bawah apabila dilakukan penekanan pada abdomen kiri bawah, hal ini di
10
akibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal
pada sisi yang berlawanan.
5. Psoas sign (+), psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas
oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.
6. Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul
dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar secara
pasif. Hal ini menunjukkan peradangan apendiks terletak pada hipogastrium.
Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok. Pada auskultasi akan terdapat
peristaltik normal. Auskultasi tidak banyak membantu dapat penegakan diagnosis
apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi
peristaltik usus. Pada pemeriksaan colok dubur ( Rectal Toucher) akan terdapat nyeri
pada jam 9-12.1
Selain itu untuk mendiagnosis apendisitis dapat digunakan skor Alvarado,
yaitu : suatu sistem skoring yang digunakan untuk mendiagnosis apendisitis akut.
Skor ini mempunyai 6 komponen klinik dan 2 komponen laboratorium dengan total
skor poin 10. Skor Alvarado dikenal juga dengan skor MANTREL yang merupakan
singkatan huruf depan dari komponen pemeriksaannya, berupa Migration to the right
iliac fossa, Anorexia, Nausea/Vomiting, Tenderness in the right iliac fossa, Rebound
Pain, Elevated temperature (Fever), Leukocytosis, and Shift of leukocytes to the
left.10
Tabel. Skor Alvarado
SKOR
Migrasi nyeri dari abdomen sentral ke fossa iliaca
kanan
1
Anoreksia 1
Mual atau Muntah 1
Nyeri di fossa iliaca kanan 2
Nyeri lepas 1
Peningkatan temperature ( > 37,5 C) 1
Peningkatan jumlah leukosit ≥ 10 x 109/L 2
11
Neutrofilia dari ≥ 75 % 1
TOTAL 10
Pasien dengan skor awal ≤ 4 , sangat tidak mungkin menderita appendisitis
dan tidak memerlukan perawatan di rumah sakit kecuali gejalanya memburuk.10
Pemeriksaan Penunjang
Jika gejala klinis dan nilai laboratorium sudah khas untuk apendisitis, maka
tidak diperlukan konfirmasi radiologis. 11,12
Dari pemeriksaan laboratoium, biasanya dijumpai leukosit berkisar 10.000-
18.000/mm3. Walaupun 20 % penderita apendisitis akut mempunyai jumlah leukosit
yang normal. Jumlah leukosit > 18.000 menunjukan apendisitis perforasi. Adanya
pergeseran ke kiri pada hitung jenis, mempunyai nilai yang lebih signifikan dari pada
hitung jumlah leukosit.11,12
Pada pemeriksaan urine , sedimen dapat normal atau terdapat leukosit dan
eritrosit lebih dari normal bila apendiks meradang menempel pada ureter dan
vesika.11,12
Dari pemeriksaan radiologi, Dari Ultrasonografi (USG), adanya gambaran
pada apendisitis non perforasi yaitu: diameter apendiks > 6 mm, dinding hipoechoic
dengan tebal > 2 mm, fecolith atau cairan terlokalisir. Gambaran pada apendisitis
perforasi yaitu target sign dan struktur tubular dengan adanya lapisan dinding yang
hilang (inhomogen), cairan bebas perivesical atau pericaecal. Pada pemeriksaan CT-
Scan ditemukan bagian menyilang dengan fekalith dan perluasan dari apendiks yang
mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Pemeriksaan foto polos
abdomen di lakukan apabila dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik di ragukan.
Tanda-tanda peritonitis kuadran kanan bawah. Gambar perselubungan mungkin
terlihat ileal atau caecal ileus ( adanya gambaran garis permukaan air- udara di
sekum atau ileum).12
2.2.8. Diagnosa Banding 13,14
12
1. Gastroenteritis, ditandai dengan terjadinya mual, muntah dan diare
mendahului rasa nyeri di abdomen. Nyeri abdomen yang lebih ringan,
hiperperistaltik sering ditemukan, demam, leukositosis kurang menonjol
dibandingkan appendisitis.
2. Limfadenitis mesentrika, biasanya di dahului oleh enteris atau gastroenteritis.
Ditandai dengan nyeri perut kanan disertai dengan perasaan mual dan nyeri
tekan perut.
3. Demam dengue, dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan diperoleh
hasil yang positif untuk rumple leed , trombositopenia, dan hematokrit yang
meningkat.
4. Infeksi Panggul, salpingitis akut kanan sulit sulit dibedakan dengan
appendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi dari appendisitis dan nyeri perut
bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai
keputihan dan infeksi urin.
5. Gangguan alat reproduksi perempuan, folikel ovarium yang pecah dapat
memberikan rasa nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus
menstruasi. Tidak adanya tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu
24 jam.
6. Kehamilan ektopik, hamper selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan
yang tidak jelas seperti rupture tuba dan abortus. Kehamilan diluar rahim
disertai perdarahan dan nyeri mendadak di difus pelvik dan biasa terjadi syok
hipovolemik.
7. Divertikulosis Meckel, gambaran klinisnya hamper sama dengan appendisitis
akut dan sering dihubungkan dengan komplikasi yang mirip pada appendisitis
akut sehingga diperlukan pengobatan serta tindakan bedah yang sama.
8. Ulkus peptikum perforasi , gejalanya sangat mirip dengan appendisitis, jika
isi gastroduodenum mengendap turun ke daerah usus bagian kanan sekum.
9. Batu ureter, jika diperkirakan mengendap dekat appendiks dan menyerupai
appendisitis retrocaecal. Nyeri menjalar ke labia, skrotum, penis, hematuria,
dan terjadi demam atau leukositosis.
2.2.9. Penatalaksanaan
13
Penatalaksaan yang dapat dilakukan pada penderita apendisitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operasi. Penanggulangan konservatif terutama
diberikan pada penderita yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa
pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada
penderita apendisitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan
elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik.11,15
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukannya apendisitis , maka tindakan
yang dilakukan adalah pembedahan operasi membuang apendiks (apendektomi).
Penundaan apendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses
dan perforasi. Pada abses apendisitis yang dilakukan drainase (mengeluarkan
nanah).11,16
Persiapan pra-bedah meliputi :
- Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi
- Pemasangan kateter untuk kontrol produksi urin
- Rehidrasi
- Antibiotika dengan spektrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara intravena
- Obat-obat penurunan panas , phenergan sebagai anti menggigil, largaktil
untuk membuka pembuluh-pembuluh darah perifer diberikan setelah rehidrasi
tercapai.
Pembedahan dilakukan apabila rehidrasi dan usaha penurunan panas telah
tercapai. Suhu tubuh tidak melebihi 38 derajat C, produksi urin cukup, nadi dibawah
120 x/menit.3
Operasi
1. Apendektomi
2. Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforata bebas, maka abdomen
di cuci dengan garam fisiologis dan antibiotika
3. Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV, massa mungkin mengecil, atau
abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka waktu beberapa hari.
Apendiktomi dilakukan bila abses dilakukan operasi elektif sesudah 6 minggu
sampai 3 bulan.
Pasca Operasi
14
1. Observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan di
dalam, syok, hipotermia atau gangguan pernafasan.
2. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan
lambung dapat di cegah.
3. Baringkan pasien dalam posisi semi flowler
4. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama
pasien di puasakan.
5. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforate, puasa dilanjutkan
sampai fungsi usus kembali normal.
6. Berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30
ml/jam. Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya
diberikan makanan lunak.
7. Satu hari pasca operasi pasien di anjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur
selama 2x30 menit.
8. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar.
9. Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.
Appendektomi harus dilakukan dalam 24 jam setelah diagnosis ditegakkan.
Jika apendiks telah perforata , terutama dengan peritonitis menyeluruh, resusitasi
cairan yang cukup dan antibiotik spektrum luas mungkin diperlukan beberapa jam
sebelum apendiktomi. Antibiotik harus mencakup organisme yang sering ditemukan
(Bacteroides, Escheria Coli, Klebsiella, danm Pseudomonas Species). Regimen yang
sering digunakan adalah ampisilin (100 mg/kg/24 jam), gentamisin (5 mg/kg/24 jam)
dan klindamisin (40 mg/kg/24 jam) atau metronidazole (Flagyl) ( 30 mg/kg/ 24 jam).
Apendiktomi dilakukan dengan atau tanpa drainase cairan peritoneum, antibiotik
diteruskan sampai 7-10 hari.13,20
2.2.10. Pencegahan
1. Diet tinggi Serat
Berbagai penelitian telah melaporkan hubungan antara konsumsi serat dan
insiden timbulnya berbagai macam penyakit. Hasil penelitian membuktikan
bahwa diet tinggi serat mempunyai efek proteksi untuk kejadian penyakit
15
saluran cerna.9 Serat dalam makanan mempunyai kemampuan mengikat air,
selulosa dan pektin yang membantu mempercepat sisa-sisa makanan untuk
diekskresikan keluar sehingga tidak terjadi konstipasi yang mengakibatkan
penekanan pada dinding kolon.19
2. Defekasi yang teratur
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi pengeluaran feses.
Makanan yang mengandung serat penting untuk memperbesar volume feses
dan makanan yang teratur mempengaruhi defekasi.19 Frekuensi defekasi yang
jarang akan mempengaruhi konsistensi feses yang lebih padat sehingga
terjadi konstipasi. Konstipasi menaikkan tekanan intracaecal sehingga terjadi
sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal
di kolon dan dapat masuk ke saluran apendiks. Hal ini dapat menjadi media
pertumbuhan kumam/bakteri berkembang biak sebagai infeksi yang
menimbulkan peradangan pada appendiks.13
2.2.11. Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penangganan apendisitis. komplikasi
utama dari appendisitis adalah perforasi appendiks yang dapat berkembang menjadi
appendiks peritonitis atau abses. Insiden perforasi adalah 10-32 %. Komplikasi 93 %
terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75 % pada orang tua.Insiden lebih
tinggi terjadi pada anak kecil dan lansia .Anak-anak memiliki dinding appendiks
yang masih tipis, omentum lebih pendek, dan belum sempurna memudahkan
terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh darah.14
Adapun jenis komplikasinya diantaranya:
1. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak
di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Masa ini mula-mula flegmon dan
berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi apabila
appendisitis gangren atau mikroperfusi ditutupi oleh omentum.18
2. Perforasi
16
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga abdomen. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama
sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat
diketahui praoperatif pada 70 % kasus dengan gambaran klinis yang timbul
lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38 derajat C, tampak toksis,
nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama polymorphonuclear
(PMN). Perforasi baik berupa perforasi bebas maupun mikroperfusi dapat
menyebabkan peritonitis.18
3. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya
yang dapat terjadi dalam bentuk akut dan kronik. Bila infeksi tersebar luas
pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum.
Aktifitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang,
dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan
sirkulasi, dan oliguria. Gejala peritonitis berupa nyeri perut yang semakin
hebat, muntah, demam, dan leukositosis.17
2.2.12. Prognosis
Prognosis baik bila dilakukan diagnosis dini sebelum ruptur, dan diberi
antibiotik yang adekuat serta appendiktomi yang dilakukan sebelum perforasi
prognosisnya baik. Kematian dapat terjadi pada beberapa kasus. mortalitas
berhubungan dengan sepsis,emboli paru, ataupun aspirasi.. Setelah operasi masih
dapat terjadi infeksi pada 30 % kasus apendiks perforasi atau apendiks gangrenosa.13
BAB 3
17
LAPORAN KASUS
3.1. Identitas Pasien
Nama Pasien : GET
Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Desa Tengah Pancur Batu
Status : Belum Menikah
Pekerjaan : Pelajar
Tanggal Masuk : 3 November 2013 pukul 09.55
3.2. Anamnesis
Keluhan Utama: Nyeri seluruh perut
Telaah : Hal ini dialami os sejak hari Kamis 31 Oktober 2013. Awalnya
pasien hanya merasakan mual dan nyeri pada ulu hati, kemudian
nyerinya tersebut berpindah ke perut kanan bawa dan lebih terasa
ketika pasien berubah posisi, bergerak, dan setelah beraktivitas.
Untuk mengurangi sakitnya os meminum Antangin JRG dan
parasetamol yang dibelinya di apotik dekat rumah. Namun pada
hari Sabtu pagi os merasa nyerinya bertambah berat dirasakan di
seluruh perut disertai dengan mual dan muntah (+), frekuensi >2x,
isi cairan dan sisa makanan dan nafsu makan menurun. Demam (-).
Oleh ibunya os lalu dibawa berobat ke dr di puskesmas dan diberi
obat As. Mefenamat 3x1, Amoxicillin 3x1, Metoclopramide 3x1
dan antasida tablet 3x1. Namun keluhan tidak kunjung membaik
sehingga pada Minggu pagi os dibawa berobat ke IGD RSUP H.
Adam Malik Medan.
RPT : Riwayat nyeri perut sebelumnya (-), Riwayat trauma (-).
18
RPO : As. Mefenamat 3x1, Amoxicillin 3x1, Metoclopramide 3x1 dan antasida
tablet 3x1
Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : compos mentis
Tanda vital :
Tekanan darah : 120/80mmHg
Nadi : 84x/menit
Respirasi : 28x/menit
Suhu : 37,8° C
Kepala : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterus (-/-),
pupil bulat isokor ø 3mm, refleks cahaya (+/+)
Leher : tidak ada kelainan
Thoraks :
Inspeksi : simetris kiri dan kanan, tidak ada retraksi
Auskultasi : ronkhi (-/-), wheezing (-/-), bising jantung (-)
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor kanan = kiri
Abdomen:
Inspeksi : Distensi (+), darm contour (-), darm steifung (-)
Auskultasi : Bising usus (+) menurun
Palpasi : nyeri tekan dan lepas pada seluruh lapang abdomen.
Perkusi : Nyeri ketok diseluruh perut, pekak hepar sulitd inilai
Genital: laki-laki, dbn
Ekstremitas : oedema (-/-), akral dingin (-/-), luka (-/-),
Pemeriksaan RT : mukosa licin, spinchter ani melemah, nyeri arah jam 9-11
Diagnosis
19
Peritonitis d/t susp Appendisitis Perforasi
Pengobatan
- NPO
- IVFD RL 30 gtt/i
- Inj Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam
- Inj Ranitidin 50 mg/12 jam
- Inj Ketorolac 30 mg/8j
- Pro laparotomi eksplorasi
3.3. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Hb : 15.00 g%
Ht : 40.80 %
WBC : 19.94.103/mm3
PLT : 244.000/mm3
KGD ad random : 104.00 mg/dL
Elektrolit : Na 135/K 4/Cl 110 mEq/L
Waktu protrombin : 16. 8 (13) detik
INR : 1.15
APTT : 25.6 (33) detik
Waktu trombin : 16.0 (15.0) detik
Ureum : 19.00 mg/dL
Kreatinin : 0,76 mg/dL
2. Urinalisis
Urine lenkap:
Warna : Kuning jernih
Glukosa : Negatif
Bilirubin : Negatif
Keton : Negatif
20
Berat Jenis : 1.015
PH : 7
Protein : -
Urobilinogen : -
Nitrit : -
Darah : -
Sedimen Urine
Eritrosit : 0-1 /LPB
Leukosit : 0-3 /LPB
Epitel : 0-1 /LPB
Casts : negatif
Kristal : negatif
3.4. Laporan Operasi
Laporan Operasi tanggal 3 November 2013 puku; 16.30-18.00
Jenis operasi : Laparotomy+Appendictomy
Tindakan :
1. Posisi supine, dalam epidural anestesi toilet medan operasi, tutup duk steril
berlubang
2. Insisi transversal supraumbilical ± 15 cm perdalam lapis demi lapis sampai
peritoneum
3. Peritoneum dibuka keluar pus ± 70 cc , kultur dan suction
4. Tampak omentum menonjol ke fossa iliaka kanan, identifikasi caecum, tampak
appendix ganggrenous, ukuran 1x8 cm, tampak perforasi di shaft appendix
5. Dilakukan apendektomi secara antegrad, pungtum apendiks diikat dengan double
ligasi
6. Cuci cavum abdomen dengan Na Cl 0,9% hingga bersih, jahit peritoneum
7. Jahit luka operasi lapis demi lapis
8. Operasi selesai
Instruksi pasca-bedah:
21
- IVFD RL 20 gtt/m
- Inj Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam
- Inj Ranitidin 50 mg/ 12 jam
- Inj Metronidazol 500 mg/ 8 jam
- Dier MB jika peristaltik +
Diagnosis pasca-bedah: Peritonitis Generalisata e/c appendicitis perforasi
3.5. Follow Up
4 November 2013
S : nyeri perut (-), demam (-)
O : T = 110/70mmHg N = 80x/m R = 32x/m S = 35,8o C
Abdomen: simetris, luka operasi tertutup verband; peristaltik (+) N ; soepel
A : Post laparatomy appendectomy d/t appendisitis perforasi
P :
Diet M1
IVFD RL 20 gtt/i
Inj Ceftriaxon 1 gr/ 12 j
Inj Ketorolac 30 mg/ 8 jam
Inj Ranitidin 50 mg/ 12 jam
Inj Metronidazole 500 mg/hari
5 November 2013
S : nyri perut (-), demam (-)
O : T = 120/70mmHg N = 84x/m R = 28x/m S = 36,8o C
Abdomen: simetris, luka operasi tertutup verband; peristaltik (+) N ; soepel
A : Post laparatomy appendectomy d/t appendisitis perforasi
P :
Aff NGT
Diet MII
22
IVFD RL 20 gtt/i
Inj Ceftriaxon 1 gr/ 12 j
Inj Ketorolac 30 mg/ 8 jam
Inj Ranitidin 50 mg/ 12 jam
Inj Metronidazole 500 mg/hari
6 November 2013
S : nyri perut (-), demam (-)
O : T = 120/70mmHg N = 86x/m R = 24x/m S = 36,5o C
Abdomen: simetris, luka operasi tertutup verband; peristaltik (+) N ; soepel
A : Post laparatomy appendectomy d/t appendisitis perforasi
P :
Diet MB
IVFD RL 20 gtt/i
Inj Ceftriaxon 1 gr/ 12 j
Inj Ketorolac 30 mg/ 8 jam
Inj Ranitidin 50 mg/ 12 jam
Inj Metronidazole 500 mg/hari
DAFTAR PUSTAKA
23
1. Hasya MN., 2012. Reliabilitas Pemeriksaan Appendicogram dalam
Penegakan Diagnosis Apendisitis di RSUD Dr. Pirngadi Medan Periode
2008-2011. Medan: Fakultas Kedokteran USU. Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31374/4/Chapter%20II.pdf
[Diakses tanggal 4 November 2013].
2. Rab T., 2008. Agenda Gawat Darurat (Critical Care). Bandung: PT Alumni;
788.
3. Craig S., 2013. Appendicitis. USA: Emedicine Medscape. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/773895-overview#a0101[Diakses
tanggal 4 November 2013].
4. Humes DJ and Simpson J., 2007. Appendicitis. UK: BMJ ;333:530–4.
5. Putrikasari, Luh AP. 2011. Perbedaan Jumlah Leukosit Pada Pasien
Apendisitis Akut Dan Apendisitis Kronik di Rumah Sakit Pusat Angkatan
Darat Gatot Soebroto Jakarta Periode 2010. Jakarta: FK UPN.
6. R. Sjamsuhidayat, Wim De Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
7. Grace, Pierce A., Borley, Neil R. At a Glance Ilmu Bedah. Ed.3. Jakarta: PT.
Erlangga.
8. Behrman, dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Volume 3. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
9. Aryanti, Adhita D. 2009. Appendicitis Acute. Cimahi: FK Universitas
Jenderal Achmad Yani.
10. Burkit H,G., Quick, C.R.G., and Reed, J.R. 2007. Appendicitis In: Essential
Surgery Problem, Diagnosis and Management. Fouth Edition. London :
Elsevier, 389-398.
11. Reksopradjo, Soelarto. 2007 Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah FK UI . Binarupa
Aksara: Jakarta.
12. Soeparman. 1998. Ilmu penyakit bedah Jilid III. Balai Penerbit FK UI :
Jakarta.
24
13. Schwartz, I, S., 2000. Principles of Surgery 7 th. Penerbit Buku Kedokteran
EGC : Jakarta.
14. Syamsuhidayat, R., dan Jong, WB. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi
Revisi. Penerbit buku kedokteran EGC : Jakarta.
15. Dudley,H,, 1992. Ilmu Bedah Gawat Darurat Edisi I Gadjah Mada.
University Press: Yogyakarta.
16. Oswan, E. 2000. Bedah dan Perawatan FK UI. Penerbit FK UI: Jakarta.
17. Schrock, T. 1995. Ilmu Bedah Edisi 7. Penerbit Buku Kedokteran EGC :
Jakarta.
18. Naulibasa, Katerin. 2011. Gambaran Penderita Apendisitis Perforata Umur 0-
14 tahun di RSUP H.Adam Malik Tahun 2006-2009. KTI FK USU.
19. Potter, P., Perry, A., 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan , Konsep
dan Praktik. Edisi 4. Volume 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
20. Hartman, G.,E., 2000. Apendisitis Akut. In : Nelson , W.E., Behrman, R.E.,
Kliegman, R.M., and Arvin, A.M., ed. Ilmu Kesehatan Anak Nelson
Vol.2.Edisi 15. Buku Kedokteran EGC : Jakarta.