Apendisitis Bab 1

36
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15) dan berpangkal di sekum. Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Apendisitis terbagi atas dua yaitu akut dan kronis. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Pada apendisitis akut, peradangan disebabkan oleh penutupan lubang apendiks, peningkatan tekanan intraluminal, terjadinya edema, iskemik, bakteri, dan dapat menimbulkan gangrene dan perforasi yang dapat terjadi dalam 24-36 jam sesudah serangan. Obstruksi ini dapat disebabkan oleh fekalit, bahan makanan, tumor, parasit, atau variasi anatomi. 1,2 Apendisitis merupakan salah satu kasus bedah darurat. Di Amerika Serikat, sebanyak 250.000 kasus dilaporkan setiap tahunnya. Di Afrika dan Asia, kasus apendisitis lebih rendah dikarenakan pola makan dan hidup yang lebih baik yaitu lebih tinggi serat. Rata-rata usia tertinggi yang mengalami apendisitis adalah 6-10 tahun. Kejadian perforasi dialami pada anak-anak yaitu 50-85%. Angka kematian pada orang tua berkisar 2-6 dan hampir

Transcript of Apendisitis Bab 1

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm

(kisaran 3-15) dan berpangkal di sekum. Apendisitis adalah peradangan pada

apendiks vermiformis. Apendisitis terbagi atas dua yaitu akut dan kronis. Penelitian

epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan

pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Pada apendisitis akut,

peradangan disebabkan oleh penutupan lubang apendiks, peningkatan tekanan

intraluminal, terjadinya edema, iskemik, bakteri, dan dapat menimbulkan gangrene

dan perforasi yang dapat terjadi dalam 24-36 jam sesudah serangan. Obstruksi ini

dapat disebabkan oleh fekalit, bahan makanan, tumor, parasit, atau variasi anatomi.1,2

Apendisitis merupakan salah satu kasus bedah darurat. Di Amerika Serikat,

sebanyak 250.000 kasus dilaporkan setiap tahunnya. Di Afrika dan Asia, kasus

apendisitis lebih rendah dikarenakan pola makan dan hidup yang lebih baik yaitu

lebih tinggi serat. Rata-rata usia tertinggi yang mengalami apendisitis adalah 6-10

tahun. Kejadian perforasi dialami pada anak-anak yaitu 50-85%. Angka kematian

pada orang tua berkisar 2-6 dan hampir 19,4% pada ibu hamil serta 20% pada anak

dibawah 2 tahun dan merupakan infeksi yang paling sering ditemukan. Perbandingan

antara laki-laki dan perempuan adalah 1,4:1. 1,3

Pada apendisitis akut, gejala berupa nyeri di daerah umbilicus yang kemudian

pindah ke area perut kanan bawah (titik Mc. Burney) yang lebih tajam. Sedangkan

pada apendisitis kronis, nyeri daerah kanan bawah perut terjadi lebih dari 2 minggu.

Selain gejala nyeri perut tersebut, gejala lainnya dapat berupa mual, muntah,

anoreksia, dan malaise.1

Penegakkan diagnosis apendisitis ini tidak mudah, terutama yang atipikal

walaupun banyak pasien datang dengan keluhan yang tipikal berdasarkan anamnesis

dan temuan pemeriksaan. Apendiktomi adalah tata laksana pilihan dan meningkat

penggunaannya sebagai prosedur laparoskopi. 1,4

2

1.2. Tujuan

Agar dapat mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan apendisitis

sehingga dapat dilakukan penerapan ilmu teori dengan praktik yang akan dihadapi

dan dijalani sebagai dokter umum.

1.3. Manfaat

1. Sebagai bahan informasi bagi penulis dan pembaca sehingga dapat

meningkatkan pengetahuan dan pemahaman dibidang ilmu bedah sebagai

seorang dokter umum khususnya mengenai apendisitis.

2. Sebagai bahan informasi bagi penulis lain yang akan membuat tulisan yang

berhubungan dengan apendisitis.

3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi, histologi, dan fisiologi apendiks

Anatomi apendiks

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm

(kisaran 3-15), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan

melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut,

lebar pada pangkalnya dan melebar pada bagian ujung, apendiks terletak

intraperitoneal. Kedudukan ini memungkinkan apendiks bergerak dan ruang

geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus

selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang

kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens.5

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti

a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal

dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar

umbilikus.6

Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri

tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi,

apendiks akan mengalami gangrene.6

Gambar 2.1. Anatomi apendiks

4

Histologi apendiks

Secara histologi, apendiks mempunyai basis struktur yang sama seperti usus

besar. Glandula mukosnya terpisahkan dari vascular submucosa oleh mucosa

muskularis. Bagan luar dari submukosa adalah dinding otot yang uta,a. Apendiks

terbungkus oleh tunika serosa yang terdiri atas vaskularisasi pembuluh darah besar

dan bergabung ,emjadi satu di mesoapendiks. Jika apendiks terletak retroperitoneal,

maka apendiks tidak terbungkus oleh tunika serosa. Mukosa apendiks terdiri atas sel-

sel dari gastrointestinal endokrin sistem. Sekresi dari mukosa ini adalah serotonin

dan terkenal dengan nama sel argentaffin. Tumor ganas paling sering muncul pada

apendiks dan tumbuh dari sel ini.5

Gambar 2.2. Apendiks (pandangan menyeluruh, potongan melintang).

Fisiologi apendiks

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Pada keadaan normal lendir

ini dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran

lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis. Pada

keadaan normal tekanan dalam lumen apendiks antara 15-25 cmH2O dan meningkat

menjadi 30-50 cmH2O pada waktu kontraksi. Pada keadaan normal tekanan pada

lumen sekum antara 3-4 cmH2O, sehingga terjadi perbedaan tekanan berakibat cairan

di dalam lumen apendiks terdorong masuk ke sekum.5

5

Imunoglobulin sekreator yang dihasilkan oleh GALT (gut associated

lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah

IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun

demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena

jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di

saluran cerna dan di seluruh tubuh.6

2.2. Apendisitis

2.2.1. Definisi Apendisitis

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis atau peradangan

infeksi pada usus buntu (apendiks) yang terletak di perut kuadran kanan bawah.

Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan

bawah rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat.5,6,8,9

2.2.2. Klasifikasi

Klasifikasi apendisitis terbagi atas 2 yakni:5

a. Apendisitis akut, dibagi atas:

- Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul

striktur lokal

- Apendisitis purulenta difus, yaitu sudah bertumpuk nanah

b. Apendisitis kronik, dibagi atas:

- Apendisitis kronik fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul striktur

lokal

- Apendisitis kronik obliteritivia, yaitu apendiks miring, biasanya ditemukan

pada usia tua.

2.2.3. Epidemiologi

Apendisitis merupakan kedaruratan bedah paling sering di negara-negara

Barat. Jarang terjadi pada usia di bawah 2 tahun, nampak pada dekade kedua dan

ketiga, tetapi dapat terjadi pada semua usia. Sekitar 80.000 anak pernah menderita

6

apendisitis di Amerika Serikat setiap tahun, angkanya 4 per 1.000 anak di bawah usia

14 tahun. Kejadian apendisitis meningkat dengan bertambahnya umur. Insidensi

apendisitis tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah umur 30 tahun

insidensi apendisitis mengalami penurunan jumlah. Insidensi pada laki-laki dan

perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidensi laki-laki

lebih sering.5,7,8

2.2.4. Etiologi

Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai

faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan

sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor

apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang

diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit

seperti E. histolytica2

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan

rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi

akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional

apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini

akan mempermudah timbulnya apendisitis akut.6,7

Bakteri penyebab apendisitis merupakan bakteri yang normal ada pada usus.

Bakteri yang paling sering ditemukan yaitu Bacteroides fragilis, bakteri anaerob,

gram negatif dan Escherichia coli, bakteri gram negatif, facultative anaerob.

Sedangkan bakteri lainnya, yaitu: Peptostreptococcus, Pseudomonas, Klebsiela, dan

Klostridium, Lactobacillus, dan B.splanchnicus. Obstruksi lumen merupakan faktor

predominan penyebab apendisitis akut. Fecolith merupakan penyebab obstruksi

paling sering. Penyebab lainnya adalah hipertropi jaringan limfoid, sisa barium, serat

tumbuhan, biji-bijian, cacing terutama askaris.6.8

2.2.5. Patofisiologi

Perubahan patologi pada apendisitis melalui tiga fase. Pada mulanya, dengan

obstruksi lumen, kongesti vena yang buruk menjadi iskemia mukosa, nekrosis, dan

7

ulserasi. Invasi bakteri dengan infiltrat radang menembus semua lapisan dinding

apendiks menandai fase kedua. Organisme dapat dibiakkan dari permukaan serosa

sebelum perforasi secara mikroskopis. Akhirnya, nekrosis dinding menyebabkan

perforasi dan kontaminasi peritoneum. Perforasi ini biasanya terjadi pada ujung

apendiks, distal dari obstruksi fekalit.6,8

Kelanjutan dari perforasi, kontaminasi mikrobiologis tinja mungkin terbatas

pada pelvis atau fossa iliaka kanan dengan omentum dan lengkung usus halus yang

berdekatan atau mungkin menyebar ke seluruh rongga peritoneum. Proses radang

yang disertai dengan perforasi bisa berlanjut dengan obstruksi usus dan ileus

paralitik.6,8

Dalam patogenesis apendisitis akut, terjadi melalui tiga fase.9

1. obstruksi lumen menyebabkan sekresi mukus dan cairan yang menyebabkan

peningkatan tekanan intraluminal

2. ketika tekanan intraluminal meningkat, terjadi dalam mukosa venula dan

limfatik meningkat, aliran darah dan limfe terhambat karena tekanan

meningkat pada dinding apendical

3. ketika tekanan kapiler meningkat, terjadi iskemia mukosa inflamasi dan

ulserasi kemudian bakteri tumbuh pesat di dalam lumen dan bakteri

menyerang mukosa dan submukosa sehingga terjadi inflamasi transmural,

edema, vascular stasis, dan nekrosis dari muscular. Perforasi mungkin dapat

terjadi.

Pada perjalanan penyakitnya, penyakit apendisitis akut dapat berubah

menjadi:9

1. phlegmon 2-3 hari perforasi, 3-5 hari peritonitis difusa sepsis.

Phlegmon ialah proses penahanan dalam jaringan ikat longgar. Pada orang

dewasa, terjadi karena keterlambatan dalam menegakkan diagnosa,

sedangkan pada anak kecil disebabkan apendiks kecil dan kurang

komunikatif.

2. mikroperforasi massa/infiltrat periapendiks

mikroperforasi adalah suatu peradangan oleh omentum dan jaringan

sekitarnya. Tubuh melokalisir perforasi oleh karena daya tahan tubuh

8

meningkat (dengan pemberian antibiotik). Jika peradangan tidak sempurna,

dapat terjadi penyebaran pus dari ruangan omentum.

2.2.6. Gambaran Klinis

Gambaran klinis tergantung pada fase patologis apendisitis pada

pemeriksaan. Tiga gejala klasik terdiri dari nyeri, muntah, dan panas. Pada masa

awal obstruksi apendiks, nyerinya adalah periumbilikalis, disertai maupun tidak

disertai rangsang peritoneum lokal. Emesis biasanya menyertai mulainya nyeri dan

jarang terjadi. Tidak ada nafsu makan lebih lazim. Demam tidak terlalu tinggi jika

belum terjadi perforasi dengan peritonitis. Urutan gejala-nyeri mendahului emesis

dan demam-hal ini penting dalam membedakan apendisitis dari enteritis infeksiosa,

yang biasanya mulai dengan muntah yang disertai dengan kejang perut dan

hiperperistaltik.6,8

Ketika sudah melibatkan serosa dan selubung peritoneum, dalam beberapa

jam nyeri berpindah ke daerah peritoneum yang teriritasi, ke kanan bawah ke titik

Mc. Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga

merupakan nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi

terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan

itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi.6,8

Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, karena letaknya terlindung oleh

sekum, tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak tanda rangsangan

peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat

berjalan karena kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.2 Apendiks yang

terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan gejala dan tanda

rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltis meningkat, pengosongan

rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel

ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing karena rangsangan

dindingnya.6,8

Pada perforasi, nyeri menjadi menyeluruh kecuali kontaminasi terlokalisasi

dengan baik yang menyebabkan terpisahnya abses dengan kuadran kanan bawah.

Palpasi massa abdomen atau rektum menunjukkan pembentukan abses. Perburukan

9

sejak mulainya gejala sampai perforasi biasanya terjadi setelah 36-48 jam. Jika

diagnosis terlambat setelah 36-48 jam, angka perforasi menjadi 65%.8

2.2.7. Diagnosa

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri

abdomen. Hal ini terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi

pada seluruh saluran cerna, sehingga nyeri visceral dirasakan diseluruh perut.

Muntah atau rangsangan visceral akibat aktifasi dari nervus vagus. Obstipasi karena

penderita takut untuk mengejan. Panas akibat infeksi akut jika timbul komplikasi.

Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,3-38,5 derajat C, tetapi

jika suhu lebih tinggi, diduga terjadi perforasi.1

Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi, penderita berjalan membungkuk,

sambil memegangi perutnya yang sakit., kembung bila terjadi perforasi, dan

penonjolan perut bagian kanan bawah terlihat pada appendikuler abses. Pada

palpasi , abdomen biasanya tampak datar dan sedikit kembung. Palpasi dinding

abdomen dengan sedikit tekanan dan hati-hati, dimulai dari tempat yang jauh dari

lokasi nyeri. Umumnya nyeri dirasakan di daerah kuadran kanan bawah abdomen.1

Maka pada pemeriksaan fisik akan dijumpai :1

1. Nyeri tekan (+) Mc.Burney Sign. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan

kuadran kanan bawah. Ini adalah ciri khas dari apendisitis.

2. Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri

lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat tekanan

dilepaskan secara tiba-tiba setelah sebelumnya dilakukan penekanan perlahan

dan mendalam pada titik mc.burney.

3. Defens Muskuler (+) karena rangsangan musculus rectus abdominis. Defens

muskuler adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan

adanya rangsangan peritoneum parietale.

4. Rovsing sign (+), rovsing sign adalah nyeri abdomen pada kuadran kanan

bawah apabila dilakukan penekanan pada abdomen kiri bawah, hal ini di

10

akibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal

pada sisi yang berlawanan.

5. Psoas sign (+), psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas

oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.

6. Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul

dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar secara

pasif. Hal ini menunjukkan peradangan apendiks terletak pada hipogastrium.

Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok. Pada auskultasi akan terdapat

peristaltik normal. Auskultasi tidak banyak membantu dapat penegakan diagnosis

apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi

peristaltik usus. Pada pemeriksaan colok dubur ( Rectal Toucher) akan terdapat nyeri

pada jam 9-12.1

Selain itu untuk mendiagnosis apendisitis dapat digunakan skor Alvarado,

yaitu : suatu sistem skoring yang digunakan untuk mendiagnosis apendisitis akut.

Skor ini mempunyai 6 komponen klinik dan 2 komponen laboratorium dengan total

skor poin 10. Skor Alvarado dikenal juga dengan skor MANTREL yang merupakan

singkatan huruf depan dari komponen pemeriksaannya, berupa Migration to the right

iliac fossa, Anorexia, Nausea/Vomiting, Tenderness in the right iliac fossa, Rebound

Pain, Elevated temperature (Fever), Leukocytosis, and Shift of leukocytes to the

left.10

Tabel. Skor Alvarado

SKOR

Migrasi nyeri dari abdomen sentral ke fossa iliaca

kanan

1

Anoreksia 1

Mual atau Muntah 1

Nyeri di fossa iliaca kanan 2

Nyeri lepas 1

Peningkatan temperature ( > 37,5 C) 1

Peningkatan jumlah leukosit ≥ 10 x 109/L 2

11

Neutrofilia dari ≥ 75 % 1

TOTAL 10

Pasien dengan skor awal ≤ 4 , sangat tidak mungkin menderita appendisitis

dan tidak memerlukan perawatan di rumah sakit kecuali gejalanya memburuk.10

Pemeriksaan Penunjang

Jika gejala klinis dan nilai laboratorium sudah khas untuk apendisitis, maka

tidak diperlukan konfirmasi radiologis. 11,12

Dari pemeriksaan laboratoium, biasanya dijumpai leukosit berkisar 10.000-

18.000/mm3. Walaupun 20 % penderita apendisitis akut mempunyai jumlah leukosit

yang normal. Jumlah leukosit > 18.000 menunjukan apendisitis perforasi. Adanya

pergeseran ke kiri pada hitung jenis, mempunyai nilai yang lebih signifikan dari pada

hitung jumlah leukosit.11,12

Pada pemeriksaan urine , sedimen dapat normal atau terdapat leukosit dan

eritrosit lebih dari normal bila apendiks meradang menempel pada ureter dan

vesika.11,12

Dari pemeriksaan radiologi, Dari Ultrasonografi (USG), adanya gambaran

pada apendisitis non perforasi yaitu: diameter apendiks > 6 mm, dinding hipoechoic

dengan tebal > 2 mm, fecolith atau cairan terlokalisir. Gambaran pada apendisitis

perforasi yaitu target sign dan struktur tubular dengan adanya lapisan dinding yang

hilang (inhomogen), cairan bebas perivesical atau pericaecal. Pada pemeriksaan CT-

Scan ditemukan bagian menyilang dengan fekalith dan perluasan dari apendiks yang

mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Pemeriksaan foto polos

abdomen di lakukan apabila dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik di ragukan.

Tanda-tanda peritonitis kuadran kanan bawah. Gambar perselubungan mungkin

terlihat ileal atau caecal ileus ( adanya gambaran garis permukaan air- udara di

sekum atau ileum).12

2.2.8. Diagnosa Banding 13,14

12

1. Gastroenteritis, ditandai dengan terjadinya mual, muntah dan diare

mendahului rasa nyeri di abdomen. Nyeri abdomen yang lebih ringan,

hiperperistaltik sering ditemukan, demam, leukositosis kurang menonjol

dibandingkan appendisitis.

2. Limfadenitis mesentrika, biasanya di dahului oleh enteris atau gastroenteritis.

Ditandai dengan nyeri perut kanan disertai dengan perasaan mual dan nyeri

tekan perut.

3. Demam dengue, dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan diperoleh

hasil yang positif untuk rumple leed , trombositopenia, dan hematokrit yang

meningkat.

4. Infeksi Panggul, salpingitis akut kanan sulit sulit dibedakan dengan

appendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi dari appendisitis dan nyeri perut

bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai

keputihan dan infeksi urin.

5. Gangguan alat reproduksi perempuan, folikel ovarium yang pecah dapat

memberikan rasa nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus

menstruasi. Tidak adanya tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu

24 jam.

6. Kehamilan ektopik, hamper selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan

yang tidak jelas seperti rupture tuba dan abortus. Kehamilan diluar rahim

disertai perdarahan dan nyeri mendadak di difus pelvik dan biasa terjadi syok

hipovolemik.

7. Divertikulosis Meckel, gambaran klinisnya hamper sama dengan appendisitis

akut dan sering dihubungkan dengan komplikasi yang mirip pada appendisitis

akut sehingga diperlukan pengobatan serta tindakan bedah yang sama.

8. Ulkus peptikum perforasi , gejalanya sangat mirip dengan appendisitis, jika

isi gastroduodenum mengendap turun ke daerah usus bagian kanan sekum.

9. Batu ureter, jika diperkirakan mengendap dekat appendiks dan menyerupai

appendisitis retrocaecal. Nyeri menjalar ke labia, skrotum, penis, hematuria,

dan terjadi demam atau leukositosis.

2.2.9. Penatalaksanaan

13

Penatalaksaan yang dapat dilakukan pada penderita apendisitis meliputi

penanggulangan konservatif dan operasi. Penanggulangan konservatif terutama

diberikan pada penderita yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa

pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada

penderita apendisitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan

elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik.11,15

Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukannya apendisitis , maka tindakan

yang dilakukan adalah pembedahan operasi membuang apendiks (apendektomi).

Penundaan apendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses

dan perforasi. Pada abses apendisitis yang dilakukan drainase (mengeluarkan

nanah).11,16

Persiapan pra-bedah meliputi :

- Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi

- Pemasangan kateter untuk kontrol produksi urin

- Rehidrasi

- Antibiotika dengan spektrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara intravena

- Obat-obat penurunan panas , phenergan sebagai anti menggigil, largaktil

untuk membuka pembuluh-pembuluh darah perifer diberikan setelah rehidrasi

tercapai.

Pembedahan dilakukan apabila rehidrasi dan usaha penurunan panas telah

tercapai. Suhu tubuh tidak melebihi 38 derajat C, produksi urin cukup, nadi dibawah

120 x/menit.3

Operasi

1. Apendektomi

2. Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforata bebas, maka abdomen

di cuci dengan garam fisiologis dan antibiotika

3. Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV, massa mungkin mengecil, atau

abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka waktu beberapa hari.

Apendiktomi dilakukan bila abses dilakukan operasi elektif sesudah 6 minggu

sampai 3 bulan.

Pasca Operasi

14

1. Observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan di

dalam, syok, hipotermia atau gangguan pernafasan.

2. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan

lambung dapat di cegah.

3. Baringkan pasien dalam posisi semi flowler

4. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama

pasien di puasakan.

5. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforate, puasa dilanjutkan

sampai fungsi usus kembali normal.

6. Berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30

ml/jam. Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya

diberikan makanan lunak.

7. Satu hari pasca operasi pasien di anjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur

selama 2x30 menit.

8. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar.

9. Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.

Appendektomi harus dilakukan dalam 24 jam setelah diagnosis ditegakkan.

Jika apendiks telah perforata , terutama dengan peritonitis menyeluruh, resusitasi

cairan yang cukup dan antibiotik spektrum luas mungkin diperlukan beberapa jam

sebelum apendiktomi. Antibiotik harus mencakup organisme yang sering ditemukan

(Bacteroides, Escheria Coli, Klebsiella, danm Pseudomonas Species). Regimen yang

sering digunakan adalah ampisilin (100 mg/kg/24 jam), gentamisin (5 mg/kg/24 jam)

dan klindamisin (40 mg/kg/24 jam) atau metronidazole (Flagyl) ( 30 mg/kg/ 24 jam).

Apendiktomi dilakukan dengan atau tanpa drainase cairan peritoneum, antibiotik

diteruskan sampai 7-10 hari.13,20

2.2.10. Pencegahan

1. Diet tinggi Serat

Berbagai penelitian telah melaporkan hubungan antara konsumsi serat dan

insiden timbulnya berbagai macam penyakit. Hasil penelitian membuktikan

bahwa diet tinggi serat mempunyai efek proteksi untuk kejadian penyakit

15

saluran cerna.9 Serat dalam makanan mempunyai kemampuan mengikat air,

selulosa dan pektin yang membantu mempercepat sisa-sisa makanan untuk

diekskresikan keluar sehingga tidak terjadi konstipasi yang mengakibatkan

penekanan pada dinding kolon.19

2. Defekasi yang teratur

Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi pengeluaran feses.

Makanan yang mengandung serat penting untuk memperbesar volume feses

dan makanan yang teratur mempengaruhi defekasi.19 Frekuensi defekasi yang

jarang akan mempengaruhi konsistensi feses yang lebih padat sehingga

terjadi konstipasi. Konstipasi menaikkan tekanan intracaecal sehingga terjadi

sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal

di kolon dan dapat masuk ke saluran apendiks. Hal ini dapat menjadi media

pertumbuhan kumam/bakteri berkembang biak sebagai infeksi yang

menimbulkan peradangan pada appendiks.13

2.2.11. Komplikasi

Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penangganan apendisitis. komplikasi

utama dari appendisitis adalah perforasi appendiks yang dapat berkembang menjadi

appendiks peritonitis atau abses. Insiden perforasi adalah 10-32 %. Komplikasi 93 %

terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75 % pada orang tua.Insiden lebih

tinggi terjadi pada anak kecil dan lansia .Anak-anak memiliki dinding appendiks

yang masih tipis, omentum lebih pendek, dan belum sempurna memudahkan

terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh darah.14

Adapun jenis komplikasinya diantaranya:

1. Abses

Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak

di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Masa ini mula-mula flegmon dan

berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi apabila

appendisitis gangren atau mikroperfusi ditutupi oleh omentum.18

2. Perforasi

16

Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri

menyebar ke rongga abdomen. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama

sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat

diketahui praoperatif pada 70 % kasus dengan gambaran klinis yang timbul

lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38 derajat C, tampak toksis,

nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama polymorphonuclear

(PMN). Perforasi baik berupa perforasi bebas maupun mikroperfusi dapat

menyebabkan peritonitis.18

3. Peritonitis

Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya

yang dapat terjadi dalam bentuk akut dan kronik. Bila infeksi tersebar luas

pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum.

Aktifitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang,

dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan

sirkulasi, dan oliguria. Gejala peritonitis berupa nyeri perut yang semakin

hebat, muntah, demam, dan leukositosis.17

2.2.12. Prognosis

Prognosis baik bila dilakukan diagnosis dini sebelum ruptur, dan diberi

antibiotik yang adekuat serta appendiktomi yang dilakukan sebelum perforasi

prognosisnya baik. Kematian dapat terjadi pada beberapa kasus. mortalitas

berhubungan dengan sepsis,emboli paru, ataupun aspirasi.. Setelah operasi masih

dapat terjadi infeksi pada 30 % kasus apendiks perforasi atau apendiks gangrenosa.13

BAB 3

17

LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien

Nama Pasien : GET

Umur : 18 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Desa Tengah Pancur Batu

Status : Belum Menikah

Pekerjaan : Pelajar

Tanggal Masuk : 3 November 2013 pukul 09.55

3.2. Anamnesis

Keluhan Utama: Nyeri seluruh perut

Telaah : Hal ini dialami os sejak hari Kamis 31 Oktober 2013. Awalnya

pasien hanya merasakan mual dan nyeri pada ulu hati, kemudian

nyerinya tersebut berpindah ke perut kanan bawa dan lebih terasa

ketika pasien berubah posisi, bergerak, dan setelah beraktivitas.

Untuk mengurangi sakitnya os meminum Antangin JRG dan

parasetamol yang dibelinya di apotik dekat rumah. Namun pada

hari Sabtu pagi os merasa nyerinya bertambah berat dirasakan di

seluruh perut disertai dengan mual dan muntah (+), frekuensi >2x,

isi cairan dan sisa makanan dan nafsu makan menurun. Demam (-).

Oleh ibunya os lalu dibawa berobat ke dr di puskesmas dan diberi

obat As. Mefenamat 3x1, Amoxicillin 3x1, Metoclopramide 3x1

dan antasida tablet 3x1. Namun keluhan tidak kunjung membaik

sehingga pada Minggu pagi os dibawa berobat ke IGD RSUP H.

Adam Malik Medan.

RPT : Riwayat nyeri perut sebelumnya (-), Riwayat trauma (-).

18

RPO : As. Mefenamat 3x1, Amoxicillin 3x1, Metoclopramide 3x1 dan antasida

tablet 3x1

Pemeriksaan Fisik

Kesadaran : compos mentis

Tanda vital :

Tekanan darah : 120/80mmHg

Nadi : 84x/menit

Respirasi : 28x/menit

Suhu : 37,8° C

Kepala : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterus (-/-),

pupil bulat isokor ø 3mm, refleks cahaya (+/+)

Leher : tidak ada kelainan

Thoraks :

Inspeksi : simetris kiri dan kanan, tidak ada retraksi

Auskultasi : ronkhi (-/-), wheezing (-/-), bising jantung (-)

Palpasi : stem fremitus kanan = kiri

Perkusi : sonor kanan = kiri

Abdomen:

Inspeksi : Distensi (+), darm contour (-), darm steifung (-)

Auskultasi : Bising usus (+) menurun

Palpasi : nyeri tekan dan lepas pada seluruh lapang abdomen.

Perkusi : Nyeri ketok diseluruh perut, pekak hepar sulitd inilai

Genital: laki-laki, dbn

Ekstremitas : oedema (-/-), akral dingin (-/-), luka (-/-),

Pemeriksaan RT : mukosa licin, spinchter ani melemah, nyeri arah jam 9-11

Diagnosis

19

Peritonitis d/t susp Appendisitis Perforasi

Pengobatan

- NPO

- IVFD RL 30 gtt/i

- Inj Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam

- Inj Ranitidin 50 mg/12 jam

- Inj Ketorolac 30 mg/8j

- Pro laparotomi eksplorasi

3.3. Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium

Hb : 15.00 g%

Ht : 40.80 %

WBC : 19.94.103/mm3

PLT : 244.000/mm3

KGD ad random : 104.00 mg/dL

Elektrolit : Na 135/K 4/Cl 110 mEq/L

Waktu protrombin : 16. 8 (13) detik

INR : 1.15

APTT : 25.6 (33) detik

Waktu trombin : 16.0 (15.0) detik

Ureum : 19.00 mg/dL

Kreatinin : 0,76 mg/dL

2. Urinalisis

Urine lenkap:

Warna : Kuning jernih

Glukosa : Negatif

Bilirubin : Negatif

Keton : Negatif

20

Berat Jenis : 1.015

PH : 7

Protein : -

Urobilinogen : -

Nitrit : -

Darah : -

Sedimen Urine

Eritrosit : 0-1 /LPB

Leukosit : 0-3 /LPB

Epitel : 0-1 /LPB

Casts : negatif

Kristal : negatif

3.4. Laporan Operasi

Laporan Operasi tanggal 3 November 2013 puku; 16.30-18.00

Jenis operasi : Laparotomy+Appendictomy

Tindakan :

1. Posisi supine, dalam epidural anestesi toilet medan operasi, tutup duk steril

berlubang

2. Insisi transversal supraumbilical ± 15 cm perdalam lapis demi lapis sampai

peritoneum

3. Peritoneum dibuka keluar pus ± 70 cc , kultur dan suction

4. Tampak omentum menonjol ke fossa iliaka kanan, identifikasi caecum, tampak

appendix ganggrenous, ukuran 1x8 cm, tampak perforasi di shaft appendix

5. Dilakukan apendektomi secara antegrad, pungtum apendiks diikat dengan double

ligasi

6. Cuci cavum abdomen dengan Na Cl 0,9% hingga bersih, jahit peritoneum

7. Jahit luka operasi lapis demi lapis

8. Operasi selesai

Instruksi pasca-bedah:

21

- IVFD RL 20 gtt/m

- Inj Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam

- Inj Ranitidin 50 mg/ 12 jam

- Inj Metronidazol 500 mg/ 8 jam

- Dier MB jika peristaltik +

Diagnosis pasca-bedah: Peritonitis Generalisata e/c appendicitis perforasi

3.5. Follow Up

4 November 2013

S : nyeri perut (-), demam (-)

O : T = 110/70mmHg N = 80x/m R = 32x/m S = 35,8o C

Abdomen: simetris, luka operasi tertutup verband; peristaltik (+) N ; soepel

A : Post laparatomy appendectomy d/t appendisitis perforasi

P :

Diet M1

IVFD RL 20 gtt/i

Inj Ceftriaxon 1 gr/ 12 j

Inj Ketorolac 30 mg/ 8 jam

Inj Ranitidin 50 mg/ 12 jam

Inj Metronidazole 500 mg/hari

5 November 2013

S : nyri perut (-), demam (-)

O : T = 120/70mmHg N = 84x/m R = 28x/m S = 36,8o C

Abdomen: simetris, luka operasi tertutup verband; peristaltik (+) N ; soepel

A : Post laparatomy appendectomy d/t appendisitis perforasi

P :

Aff NGT

Diet MII

22

IVFD RL 20 gtt/i

Inj Ceftriaxon 1 gr/ 12 j

Inj Ketorolac 30 mg/ 8 jam

Inj Ranitidin 50 mg/ 12 jam

Inj Metronidazole 500 mg/hari

6 November 2013

S : nyri perut (-), demam (-)

O : T = 120/70mmHg N = 86x/m R = 24x/m S = 36,5o C

Abdomen: simetris, luka operasi tertutup verband; peristaltik (+) N ; soepel

A : Post laparatomy appendectomy d/t appendisitis perforasi

P :

Diet MB

IVFD RL 20 gtt/i

Inj Ceftriaxon 1 gr/ 12 j

Inj Ketorolac 30 mg/ 8 jam

Inj Ranitidin 50 mg/ 12 jam

Inj Metronidazole 500 mg/hari

DAFTAR PUSTAKA

23

1. Hasya MN., 2012. Reliabilitas Pemeriksaan Appendicogram dalam

Penegakan Diagnosis Apendisitis di RSUD Dr. Pirngadi Medan Periode

2008-2011. Medan: Fakultas Kedokteran USU. Available from:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31374/4/Chapter%20II.pdf

[Diakses tanggal 4 November 2013].

2. Rab T., 2008. Agenda Gawat Darurat (Critical Care). Bandung: PT Alumni;

788.

3. Craig S., 2013. Appendicitis. USA: Emedicine Medscape. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/773895-overview#a0101[Diakses

tanggal 4 November 2013].

4. Humes DJ and Simpson J., 2007. Appendicitis. UK: BMJ ;333:530–4.

5. Putrikasari, Luh AP. 2011. Perbedaan Jumlah Leukosit Pada Pasien

Apendisitis Akut Dan Apendisitis Kronik di Rumah Sakit Pusat Angkatan

Darat Gatot Soebroto Jakarta Periode 2010. Jakarta: FK UPN.

6. R. Sjamsuhidayat, Wim De Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

7. Grace, Pierce A., Borley, Neil R. At a Glance Ilmu Bedah. Ed.3. Jakarta: PT.

Erlangga.

8. Behrman, dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Volume 3. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

9. Aryanti, Adhita D. 2009. Appendicitis Acute. Cimahi: FK Universitas

Jenderal Achmad Yani.

10. Burkit H,G., Quick, C.R.G., and Reed, J.R. 2007. Appendicitis In: Essential

Surgery Problem, Diagnosis and Management. Fouth Edition. London :

Elsevier, 389-398.

11. Reksopradjo, Soelarto. 2007 Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah FK UI . Binarupa

Aksara: Jakarta.

12. Soeparman. 1998. Ilmu penyakit bedah Jilid III. Balai Penerbit FK UI :

Jakarta.

24

13. Schwartz, I, S., 2000. Principles of Surgery 7 th. Penerbit Buku Kedokteran

EGC : Jakarta.

14. Syamsuhidayat, R., dan Jong, WB. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi

Revisi. Penerbit buku kedokteran EGC : Jakarta.

15. Dudley,H,, 1992. Ilmu Bedah Gawat Darurat Edisi I Gadjah Mada.

University Press: Yogyakarta.

16. Oswan, E. 2000. Bedah dan Perawatan FK UI. Penerbit FK UI: Jakarta.

17. Schrock, T. 1995. Ilmu Bedah Edisi 7. Penerbit Buku Kedokteran EGC :

Jakarta.

18. Naulibasa, Katerin. 2011. Gambaran Penderita Apendisitis Perforata Umur 0-

14 tahun di RSUP H.Adam Malik Tahun 2006-2009. KTI FK USU.

19. Potter, P., Perry, A., 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan , Konsep

dan Praktik. Edisi 4. Volume 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.

20. Hartman, G.,E., 2000. Apendisitis Akut. In : Nelson , W.E., Behrman, R.E.,

Kliegman, R.M., and Arvin, A.M., ed. Ilmu Kesehatan Anak Nelson

Vol.2.Edisi 15. Buku Kedokteran EGC : Jakarta.