Anwar Ji mp e Ra c h m a n Oa s e L it e r a s i dari Timur · cuaca pantai Kota Makassar serta ......

1
KO M PA S , S E N I N, 22 OKTOBE R 2018 16 Sosok S Anwar ”Jimpe” Rachman Oase Literasi dari Timur Di tengah lekatnya kesan Makassar sebagai sarang unjuk rasa berakhir rusuh, Anwar ”Jimpe” Rachman (43) mencoba menawarkan alternatif. Ia berobsesi mematahkan ”cap miring” itu melalui kegiatan literasi. Didirikannya ruang baca, penerbitan, lalu mengajak kaum awam meneliti dan menarasikan kota ini melalui buku dan blog. Abdullah Fikri Ashri & Nasrullah Nara Separuh dari ribuan koleksi bukunya merupakan hasil riset dan kurasi sejarah Bugis-Makassar dan Mandar yang bercorak maritim. Tak heran jika para peneliti seputar sosial-bu- daya lokal Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat menjadikan Jimpe dan koleksinya sebagai mitra dan rujukan. Rak-rak buku berjejer ketika Ko m p a s menapak teras rumah Jimpe, Senin pekan lalu, di Jalan Abdullah Daeng Sirua, Makassar. Koleksinya beragam, mulai dari komik Naruto hingga novel karya penulis lokal hing- ga penulis asing terkenal. Rumah sederhana berlantai satu itu bersisian dengan kantor kelurah- an. Di sekitarnya tumbuh masif bangunan rumah toko, rumah-rumah indekos, mal, dan kampus perguruan tinggi. Di impitan itulah Jimpe mem- bangun aktivitas literasi. Ruang baca ini laksana oase di tengah gerahnya cuaca pantai Kota Makassar serta hiruk-pikuk dan deru klakson ke n d a r a an. Siang itu, dua anak muda sedang membaca buku di teras. Di depannya, dapur kecil kafe baru saja dibuka. Kopi dan buku menjadi teman yang cocok untuk mengobrol. Dia mem- buka pintu lebar-lebar bagi siapa saja yang ingin membaca di rumahnya yang disulap menjadi perpustakaan. Bagi Jimpe, perpustakaan itu se- harusnya riuh. Perpustakaan adalah tempat berkumpul, diskusi, adu gagasan, pameran, bahkan me- rancang pergerakan. ”Kampung Buku ini adalah etalase untuk menggali inspirasi dan meng- gerakkan literasi dalam arti lebih l u a s, ” ujar sarjana Hubungan Inter- nasional FISIP Universitas Hasanud- din, Makassar, ini. Kampung Buku berawal ketika Jimpe dan istrinya, Fitriani A Dalay (37), memilih pindah dari rumah mertua ke rumah peninggalan ke- luarganya di Jalan Daeng Sirua, tahun 2008. Rumah itu kemudian menjelma Kampung Buku dengan perpustaka- an, penerbitan, hingga kini kafe kecil. Kampung Buku menjadi alternatif nongkrong di tengah gedung per- belanjaan, mal, dan hotel yang tum- buh pesat di Makassar. Rumah Jimpe seperti menjadi ruang publik. Energi positif Bagi Jimpe, ada banyak cara untuk membangkitkan dan menyalurkan energi positif anak-anak muda agar tak terjerumus pada tawuran, vandal- isme, dan narkoba. Jimpe mengajak mereka meneliti masalah sosial dan budaya. Hasil amatan dan riset ditulis melalui blog serta buku dan sebagian berupa film dokumenter. Dibarengi aktivitas penerjemahan, kurasi, dan publikasi, lahirlah seabrek literatur tentang manusia dan aspek sosial-budaya Bugis, Makassar, dan Mandar, tiga suku yang mendiami jazirah selatan dan barat Pulau S u l aw e s i . Kiprah Jimpe di dunia literasi ber- awal pada 2005 ketika dirinya ber- gabung dengan kawan-kawannya me- ngelola penerbit Ininnawa (dalam ba- hasa lokal berarti ’harapan, cita-cita, dan niat baik’). Berbekal pengalaman jurnalistik dan dunia tulis-menulis, Jimpe fokus pada kajian-kajian ke- budayaan lokal. Dia berperan sebagai penulis, editor, dan juga kurator. ”Kami ingin kajian-kajian tentang Sulawesi membumi di kawasan ini,” ujar Jimpe. Dia menyadari pentingya transliterasi atau alih bahasa ter- hadap buku-buku tentang wilayah ini yang sebagian besar ditulis peneliti luar negeri. Dalam amatan Jimpe, hingga awal tahun 2000-an, narasi tentang Sulawesi lebih banyak terbit berdasarkan perspektif dari luar S u l aw e s i . ”Kami ingin mengimbangi narasi tunggal itu,” kata Jimpe sepenuh tekad. Buku The Voyage to Marege’: Pencari Teripang dari Makassar di Australia (2017) misalnya. Buku karya C Campbell Macknight ini terbit per- tama kali dalam bahasa Inggris pada 1976 dengan judul asli The Voyage to M a re g e ’: Macassan Trepangers in Northern Australia. Setelah lebih dari 40 tahun menjadi rujukan bagi peneliti asing dan lokal, buku itu kembali diterbitkan ulang oleh Ininnawa disertai suntingan dengan bahasa kekinian. Suara warga Jimpe dan komunitasnya ingin me- nawarkan jati diri baru Kota Ma- kassar: kota literasi. Baginya, literasi juga berarti bagaimana mengundang orang lain mengalami sesuatu yang baru dan memperluas wawasan. Kaum awam dimintanya terjun ke lapangan, lalu menuliskan amatannya tentang kotanya, Makassar. Pada 2005, Jimpe dan kawan-kawan me- nerbitkan buku Makassar Nol Kilo- meter. Buku ini mengupas kota itu dari berbagai perspektif: kuliner, ruang publik, hingga bahasa. Belakangan, pada 2012, Makassar Nol Kilometer menjadi situs bagi warga mencurahkan pikirannya tentang Makassar dan Sulawesi Selatan. Perhatian Jimpe terhadap literasi dimulai sejak duduk di bangku SMP di Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulsel. Saat itu, ia gemar membaca, mengarang, dan menulis puisi. Bakat- nya turun dari sang ayah, Abdul Rach- man Tang, veteran pejuang dan kepala desa yang turut menulis dalam buku Selayang Pandang Sidrap. Ketika masih mahasiswa, pada 1999, Jimpe bersama sejumlah kawan mendirikan Tanah Indie, lembaga nirlaba yang fokus pada kajian, dis- kusi, pameran, hingga penerbitan. Tahun itu, Jimpe punya pemikiran ny e l e n e h , bekerja dari rumah karena tidak suka kerja kantoran. Dia sempat menjadi jurnalis selama 2,5 tahun. Jimpe tak kenal lelah menyebar- luaskan ”virus” literasi di Makassar. Dalam penelitian bersama te- man-teman di Tanah Indie bekerja sama dengan British Council pada 2015, Jimpe menemukan fakta baru. Kota Makassar sejatinya punya akar literasi. Tradisi penulisan aksara lon- tara Bugis-Makassar, misalnya, sudah ada sejak abad ke-17. ”Ini identitas Makassar. Kami sudah tawarkan kepada pemerintah setempat. Namun, yang dipilih Makassar sebagai kota kuliner. Padahal, setiap kota punya kuliner k h a s, ” u c a p ny a . Anwar ”Jimpe” Rachman Lahir: Balikpapan, 5 November 1975 Istri: Fitriani A Dalay (37) Anak: Jasmine Isobel HB (9) Aktivitas: - Direktur Penerbitan Ininnawa - Pendiri Tanah Indie - Pendiri Kampung Buku - Kurator Jakarta Biennale (2015) FOTO-FOTO: KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Transcript of Anwar Ji mp e Ra c h m a n Oa s e L it e r a s i dari Timur · cuaca pantai Kota Makassar serta ......

K O M P A S , S E N I N , 2 2 O K T O B E R 2 0 1 8

16 So s ok

S

Anwar ”Ji mp e” Ra c h m a n

Oa s eL it e r a s i

dari TimurDi tengah lekatnya kesan Makassar sebagai

sarang unjuk rasa berakhir rusuh, Anwar”Ji mp e” Rachman (43) mencoba menawarkan

alternatif. Ia berobsesi mematahkan ”capmiring ” itu melalui kegiatan literasi.

Didirikannya ruang baca, penerbitan, lalumengajak kaum awam meneliti dan

menarasikan kota ini melalui buku dan blog.

Abdullah Fikri Ashri & Nasrullah Nara

Separuh dari ribuan koleksi bukunyamerupakan hasil riset dan kurasisejarah Bugis-Makassar dan Mandaryang bercorak maritim. Tak heranjika para peneliti seputar sosial-bu-daya lokal Sulawesi Selatan danSulawesi Barat menjadikan Jimpedan koleksinya sebagai mitra danrujukan.

Rak-rak buku berjejer ketikaKo m p a s menapak teras rumah Jimpe,Senin pekan lalu, di Jalan AbdullahDaeng Sirua, Makassar. Koleksinyaberagam, mulai dari komik Narutohingga novel karya penulis lokal hing-ga penulis asing terkenal.

Rumah sederhana berlantai satuitu bersisian dengan kantor kelurah-an. Di sekitarnya tumbuh masifbangunan rumah toko, rumah-rumahindekos, mal, dan kampus perguruantinggi. Di impitan itulah Jimpe mem-bangun aktivitas literasi. Ruang bacaini laksana oase di tengah gerahnyacuaca pantai Kota Makassar sertahiruk-pikuk dan deru klaksonke n d a r a an.

Siang itu, dua anak muda sedangmembaca buku di teras. Di depannya,dapur kecil kafe baru saja dibuka.Kopi dan buku menjadi teman yangcocok untuk mengobrol. Dia mem-buka pintu lebar-lebar bagi siapa sajayang ingin membaca di rumahnyayang disulap menjadi perpustakaan.Bagi Jimpe, perpustakaan itu se-harusnya riuh. Perpustakaan adalahtempat berkumpul, diskusi, adugagasan, pameran, bahkan me-rancang perg erakan.

”Kampung Buku ini adalah etalaseuntuk menggali inspirasi dan meng-gerakkan literasi dalam arti lebihl u a s, ” ujar sarjana Hubungan Inter-nasional FISIP Universitas Hasanud-din, Makassar, ini.

Kampung Buku berawal ketikaJimpe dan istrinya, Fitriani A Dalay(37), memilih pindah dari rumahmertua ke rumah peninggalan ke-luarganya di Jalan Daeng Sirua, tahun2008. Rumah itu kemudian menjelmaKampung Buku dengan perpustaka-an, penerbitan, hingga kini kafe kecil.

Kampung Buku menjadi alternatifnongkrong di tengah gedung per-belanjaan, mal, dan hotel yang tum-buh pesat di Makassar. Rumah Jimpeseperti menjadi ruang publik.

Energi positifBagi Jimpe, ada banyak cara untuk

membangkitkan dan menyalurkanenergi positif anak-anak muda agartak terjerumus pada tawuran, vandal-isme, dan narkoba. Jimpe mengajakmereka meneliti masalah sosial danbudaya. Hasil amatan dan riset ditulismelalui blog serta buku dan sebagianberupa film dokumenter.

Dibarengi aktivitas penerjemahan,kurasi, dan publikasi, lahirlah seabrek

literatur tentang manusia dan aspeksosial-budaya Bugis, Makassar, danMandar, tiga suku yang mendiamijazirah selatan dan barat PulauS u l aw e s i .

Kiprah Jimpe di dunia literasi ber-awal pada 2005 ketika dirinya ber-gabung dengan kawan-kawannya me-ngelola penerbit Ininnawa (dalam ba-hasa lokal berarti ’harapan, cita-cita,dan niat baik’). Berbekal pengalamanjurnalistik dan dunia tulis-menulis,Jimpe fokus pada kajian-kajian ke-budayaan lokal. Dia berperan sebagaipenulis, editor, dan juga kurator.

”Kami ingin kajian-kajian tentangSulawesi membumi di kawasan ini,”ujar Jimpe. Dia menyadari pentingya

transliterasi atau alih bahasa ter-hadap buku-buku tentang wilayah iniyang sebagian besar ditulis penelitiluar negeri. Dalam amatan Jimpe,hingga awal tahun 2000-an, narasitentang Sulawesi lebih banyak terbitberdasarkan perspektif dari luarS u l aw e s i .

”Kami ingin mengimbangi narasitunggal itu,” kata Jimpe sepenuhtekad. Buku The Voyage to Marege’:Pencari Teripang dari Makassar diAustralia (2017) misalnya. Buku karyaC Campbell Macknight ini terbit per-tama kali dalam bahasa Inggris pada1976 dengan judul asli The Voyage toM a re g e ’: Macassan Trepangers inNorthern Australia.

Setelah lebih dari 40 tahun menjadirujukan bagi peneliti asing dan lokal,buku itu kembali diterbitkan ulangoleh Ininnawa disertai suntingandengan bahasa kekinian.

Suara wargaJimpe dan komunitasnya ingin me-

nawarkan jati diri baru Kota Ma-kassar: kota literasi. Baginya, literasijuga berarti bagaimana mengundangorang lain mengalami sesuatu yangbaru dan memperluas wawasan.Kaum awam dimintanya terjun ke

lapangan, lalu menuliskan amatannyatentang kotanya, Makassar. Pada2005, Jimpe dan kawan-kawan me-nerbitkan buku Makassar Nol Kilo-meter. Buku ini mengupas kota itudari berbagai perspektif: kuliner,ruang publik, hingga bahasa.Belakangan, pada 2012, Makassar NolKilometer menjadi situs bagi wargamencurahkan pikirannya tentangMakassar dan Sulawesi Selatan.

Perhatian Jimpe terhadap literasidimulai sejak duduk di bangku SMPdi Kabupaten Sidenreng Rappang,Sulsel. Saat itu, ia gemar membaca,mengarang, dan menulis puisi. Bakat-nya turun dari sang ayah, Abdul Rach-man Tang, veteran pejuang dankepala desa yang turut menulis dalambuku Selayang Pandang Sidrap.

Ketika masih mahasiswa, pada1999, Jimpe bersama sejumlah kawanmendirikan Tanah Indie, lembaganirlaba yang fokus pada kajian, dis-kusi, pameran, hingga penerbitan.Tahun itu, Jimpe punya pemikiranny e l e n e h , bekerja dari rumah karenatidak suka kerja kantoran. Dia sempatmenjadi jurnalis selama 2,5 tahun.

Jimpe tak kenal lelah menyebar-luaskan ”virus” literasi di Makassar.Dalam penelitian bersama te-man-teman di Tanah Indie bekerjasama dengan British Council pada2015, Jimpe menemukan fakta baru.Kota Makassar sejatinya punya akarliterasi. Tradisi penulisan aksara lon-tara Bugis-Makassar, misalnya, sudahada sejak abad ke-17.

”Ini identitas Makassar. Kamisudah tawarkan kepada pemerintahsetempat. Namun, yang dipilihMakassar sebagai kota kuliner.Padahal, setiap kota punya kulinerk h a s, ” u c a p ny a .

Anwar ”Ji mp e”Ra c h m a nLahir: Balikpapan, 5 November 1975Istri: Fitriani A Dalay (37)Anak: Jasmine Isobel HB (9)Aktivitas:

- Direktur Penerbitan Ininnawa- Pendiri Tanah Indie- Pendiri Kampung Buku- Kurator Jakarta Biennale (2015)

FOTO -FOTO: KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI