ANTROPOSENTRISME DALAM PEMIKIRAN TEOLOGI HASSAN...

63
i ANTROPOSENTRISME DALAM PEMIKIRAN TEOLOGI HASSAN HANAFI SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag) Oleh : Ita Permata Sari NIM 53050160007 PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)SALATIGA 2020

Transcript of ANTROPOSENTRISME DALAM PEMIKIRAN TEOLOGI HASSAN...

  • i

    ANTROPOSENTRISME DALAM PEMIKIRAN TEOLOGI HASSAN

    HANAFI

    SKRIPSI

    Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

    Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag)

    Oleh :

    Ita Permata Sari

    NIM 53050160007

    PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

    FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA

    INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)SALATIGA

    2020

  • ii

  • iii

  • iv

  • v

    MOTTO DAN PERSEMBAHAN

    “Kesadaran tidak pernah pasif. Menyadari sesuatu berarti mengubah

    sesuatu”

    -Hassan Hasafi-

    PERSEMBAHAN

    Untuk orang tuaku,

    Suamiku tercinta, para dosenku, saudara-saudaraku, dan

    Sahabat-sahabat seperjuanganku.

  • vi

    UCAPAN TERIMA KASIH

    1. Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

    2. Bapak dan Ibu tercinta yang selalu sabar, suami tercinta yang selalu

    memberi dukungan dan menemani setiap waktu. Mas, Adek dan

    Keponakanku, beserta keluarga besar, terima kasih banyak atas

    dukungan dan do’a, bantuan moril serta materiil kepada ananda

    dalam menyelesaikan skripsi.

    3. Bapak Benny Ridwan, M.Hum Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

    Adab dan Humaniora Institut Agama Islam Negeri Salatiga.

    4. Bapak Dr. Benny Ridwan M.Hum selaku pembimbing skripsi.

    Terimakasih telah memberikan waktu, tenaga dan pikiran untuk

    membimbing skripsi saya dapat terselesaikan.

    5. Bapak Yedi Efriadi, M.Ag selaku Kaprodi Aqidah dan Filsafat Islam

    Institut Agama Islam Negeri Salatiga, segenap Dosen Program Studi

    Aqidah Filsafat Islam dan karyawan Fakultas Ushuluddin Adab dan

    Humaniora Institut Agama Islam Negeri Salatiga.

    6. Seluruh pihak yang telah berjasa dalam penyusunan skripsi ini yang

    tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu. Semoga Allah SWT

    selalu melimpahkan Rahmat-Nya pada kalian,Amiin.

  • vii

    ABSTRAK

    Teologi merupakan pondasi sebuah agama, sedangkan pemikiran

    teologi dari seorang teolog akan memberikan efek yang signifikan kepada

    penganutnya dalam kehidupan konkret. Karena menjadi dasar agama,

    teologi akan menjadi dasar dalam berperilaku dan penyemangat hidup

    seseorang. Maka dibutuhkan suatu konsep teologi yang tidak hanya

    teosentris, namun juga antroposentris.

    Penelitian ini fokus mengkaji tentang antroposentrisme yang

    terdapat dalam pemikiran teologi Hassan Hanafi. Penelitian ini adalah

    penelitian pustaka (library research) dengan menggunakan metode

    penelitian deskriptif dan menganalisisnya secara interpretatif. Di sini penulis

    mencoba “menegaskan” bahwa pemikiran Hassan Hanafi bermuara pada

    satu titik yaitu antroposentrisme. Dengan keyakinan tersebut, maka kita akan

    mengetahui bagaimana antroposentrisme dalam pemikiran teologi Hassan

    Hanafi, dan bagaimana kita bersikap dengan bertolak pada pemikiran

    antroposentrisme Hassan Hanafi.

    Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa antroposentrisme Hassan

    Hanafi merupakan pemusatan pemikiran pada manusia yang mengalami

    dehumanisasi dalam sejarah. Sementara itu, tantangan yang bersifat internal

    adalah keterbelakangan, kemiskinan dan kebodohan. Antroposentrisme

    Hassan Hanafi juga mengajak umat Islam agar memiliki kepekaan terhadap

    realitas dan isu-isu kontemporer.

    Kata Kunci: teologi, antroposentrisme, Hassan Hanafi.

  • viii

    Abstract

    Theology is the foundation of a religion, while the theological

    thinking of a theologian will have a significant effect on its adherents in

    concrete life. Because it is the basis of religion, theology will be the basis

    for behavior and encouragement for one's life. Then we need a theological

    concept that is not only theocentrism, but also anthropocentrism

    .This study focuses on examining anthropocentrism found in Hassan

    Hanafi’s theological thinking. This research is a library research using

    descriptive research methods and analyzing them interpretatively. Here the

    author tries to "emphasize" that Hassan Hanafi's thoughts end at one point,

    namely anthropocentrism. With this belief, we will find out how

    anthropocentrism in Hassan Hanafi's theological thinking, and how we

    behave by departing from Hassan Hanafi's anthropocentric thinking

    The results of this study conclude that the anthropocentrism of

    Hassan Hanafi is a concentration of thought in humans who have

    experienced dehumanization in history. Meanwhile, internal challenges are

    backwardness, poverty and ignorance. Hassan Hanafi’s anthropocentrism

    thinking also invites Muslims to have sensitivity to reality and contemporary

    issues.

    Keyword: Hassan Hanafi, Theology, Anthropocentrism

  • ix

    PEDOMAN TRANSLITERASI

    Pedoman transliterasi huruf (pengalihan huruf) dari huruf Arab ke

    huruf Latin yang digunakan adalah hasil Keputusan Bersama Menteri

    Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 158 Tahun

    1987 atau Nomor 0543 b/u 1987, tanggal 22 Januari 1988, dengan

    melakukan sedikit modifikasi untuk membedakan adanya kemiripan dalam

    penulisan.

    A. Penulisan huruf :

    No Huruf Arab Nama Huruf Latin

    Alif Tidak dilambangkan ا 1

    Ba’ B ب 2

    Ta T ت 3

    Sa s ث 4

    Jim J ج 5

    Ha h ح 6

    Kha Kh خ 7

    Dal D د 8

    Zal z ذ 9

    Ra R ر 10

    Za Z ز 11

    Sin S س 12

    Syin Sy ش 13

    Sad s ص 14

    Dad d ض 15

    Ta’ t ط 16

    Za z ظ 17

  • x

    (ain ‘ (koma terbalik di atas‘ ع 18

    Gain G غ 19

    Fa’ F ف 20

    Qaf Q ق 21

    Kaf K ك 22

    Lam L ل 23

    Mim M م 24

    Nun N ن 25

    Wawu W و 26

    Ha’ H ه 27

    (Hamzah ‘ (apostrof ء 28

    Ya’ Y ي 29

    B. Vokal:

    َ Fathah Ditulis ‘a’

    َ Kasrah Ditulis ‘i’

    َ Dlammah Ditulis ‘u’

    C. Vokal panjang :

    +ا َ Fathah + alif Ditulis a جا هاية Jahiliyyah

    +ى َ Fathah + alif layin Ditulis a تنس Tansa

    +ي َ Kasrah + ya’ mati Ditulis i حكيم Hakim

    +و َ Dlammah + wawu mati

    Ditulis u ض فرو Furud

  • xi

    D. Vokal rangkap :

    َ + ي Fathah + ya’ mati Ditulis ai بينكم Bainakum

    َ + و Fathah + wawu mati

    Ditulis au قو ل Qaul

    E. Huruf rangkap karena tasydid ( َ ) ditulis rangkap :

    Iddah‘ ئدة Ditulis dd د

    Minna منا Ditulis nn ن

    F. Ta’ marbuthah :

    1. Bila dimatikan ditulis dengan h :

    Hikmah حكمة

    Jizyah جز ية

    (ketentuan ini tidak berlaku untuk kata-kata bahasa Arab yang sudah

    diserap kedalam bahasa Indonesia)

    2. Bila ta’ marbuthah hidup atau berharakat maka ditulis t :

    Zakat al-fitr زكاة اافطر

    Hayat al-insan جياة االنسان

    G. Vokal pendek berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan

    Apostrof (‘) :

    A’antum أانتم

    U’iddat أءدد

    La’in syakartun لئن شكر تم

    H. Kata sandang alif+lam

    Al-qamariah ااقر أن al-Qur’an

    Al-syamsiyah ااسماء al-Sama’

  • xii

    I. Penulisan kata-kata dalan rangkaian kalimat :

    Ditulis menurut bunyi atau pengucapannya

    zawi al-furud ذوي اافروض

    Ahl al-sunnah أهل ااسنة

  • xiii

    DAFTAR ISI

    Halaman Judul ...................................................................................... i

    Pernyataan Keaslian ............................................................................. ii

    Persetujuan Pembimbing ...................................................................... iii

    Pengesahan Kelulusan .......................................................................... iv

    Motto dan Persembahan ...................................................................... v

    Ucapan Terima Kasih ........................................................................... vi

    Abstrak ................................................................................................. vii

    Pedoman Transliterasi. ......................................................................... xi

    Daftar Isi ............................................................................................... xii

    BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 1

    A. Latar Belakang ......................................................................... 1

    B. Rumusan Masalah .................................................................... 4

    C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 4

    D. Manfaat Penelitian ................................................................... 4

    E. Kajian Pustaka ......................................................................... 4

    F. Metodologi Penelitian .............................................................. 6

    G. Sistematika Pembahasan……………………………………. . 6

    BAB II BIOGRAFI HASSAN HANAFI………………………… . 8

    A. Riwayat Hidup dan Perjalanan Intelektual…………………... 8

    B. Latar Belakang Pendidikan-Politik .......................................... 12

    C. Tokoh Yang Mempengaruhi .................................................... 15

    D. Karya-karya Hassan Hanaf ...................................................... 20

    E. Konsep Teologi Pembebasan Hassan Hanafi .......................... 22

    BAB III TEOLOGI PEMBEBASAN .............................................. 25

    A. Sejarah Teologi Pembebasan di Barat ..................................... 25

    B. Teologi Pembebebasan dalam Islam ........................................ 27

    BAB IV ANTROPOSENTRISME DALAM PEMIKIRAN TEOLOGI

    …………………………………………………………… .................. 30

    A. Dari Teosentrisme menuju Antroposentrisme ......................... 30

    B. Islam Kiri… ............................................................................. 39

    BAB V PENUTUP .......................................................................... 44

  • xiv

    A. Kesimpulan .............................................................................. 44

    B. Saran ........................................................................................ 44

    DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 45

    DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................... 49

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Polemik di zaman modern telah memaksa para pemikir muslim

    untuk melahirkan gagasan-gagasan pembaharuan yang diharapkan bisa

    menjadi solusi untuk menjawab persoalan kekinian. Kita ketahui

    bahwasannya realitas yang terjadi di negara mayoritas muslim memang

    memprihatinkan. Ketergantungan terhadap Barat dari segala aspek, seperti

    ekonomi, sumber kekayaan alam yang tereksploitasi, merajanya westernisasi

    dan masih banyak lagi realitas yang tak menggembirakan.

    Tradisi Barat telah hadir di dalam kehidupan umat muslim dan

    merupakan salah satu pengetahuan baginya. Barat mendominasi kehidupan

    umat muslim di setiap lininya, inilah wajah kemunduran umat muslim.

    Hingga kini belum ada gerakan kritik terhadap Barat kecuali dalam batas-

    batas yang sempit.1 Dalam krisis seperti inilah dibutuhkan upaya keluar dari

    dominasi Barat menuju kreativitas yang mencerminkan kemajuan dari setiap

    umat yang terjajah.

    Apabila sekte-sekte dalam dunia ilmu kalam masa lalu saling

    bertentangan lantaran konflik politis, sehingga mereka menciptakan

    legitimasi teologis pandangan-pandangannya. maka keadaan kaum muslimin

    pada saat ini mengharapkan kelahiran pemikiran baru sehingga keyakinan

    islamiah tampil dalam beberapa aspek kehidupan, yang berupa

    ketertinggalan. Sehingga Islam perlu direlevansikan dan di tranformasikan

    ke dalam bentuk progresivitas atau kemajuan umat muslim.2

    Fungsi wahyu adalah untuk membebaskan kesadaran manusia dari

    penindasan alam dan kepentingan sosio-politik. Kekuasaan transenden lebih

    1Hassan Hanafi, Oksidentalisme, sikap kita terhadap tradisi Barat, terj. M. Najib Bukhori

    (Jakarta : Paramadina,2000). Hlm.8. 2 Hassan Hanafi, Oksidentalisme, Sikap kita terhadap tradisi Barat, M. Najib Buchori

    (Jakarta: Paramadina, 2000). Hlm. 8.

  • 2

    hebat dari pada kekuasaan alam atau kekuasaan orang yang kejam.3 Alur

    pemikiran yang seperti inilah yang patut menjadi landasan pembebasan

    kaum tertindas. Manusia harus menjadi perhatian utama atau objek teologi

    apalagi ketika posisinya dimarjinalkan. Maka sudah saatnya ada pergeseran

    peradaban teosentrisme ke antroposentrisme. Nabi Muhammad sendiri

    adalah membela yang lemah dan membendung yang kuat demi tercapainya

    keadilan sosial. .

    Umat Islam yang pernah sekian abad lamanya berjaya dalam segala

    bidang kehidupan terkejut ketika supremasinya tiba-tiba saja tergusur oleh

    Barat. Pada tahun 1789 M Napoleon Bonaparte mengadakan ekspedisi ke

    Mesir. Hanya dalam kurun waktu kurang dari sebulan negeri itu jatuh di

    bawah kekuasaannya. Persenjataan modern yang dibawa Napoleon tidak

    bisa diimbangi oleh persenjataan tradisional kaum Mamalik, yang pada

    waktu itu berkuasa di sana. Peristiwa semacam ini menggambarkan

    bagaimana kelemahan umat Islam dan keunggulan Barat. Barat yang

    rasional telah melahirkan peradaban yang sangat maju dan terus berlanjut

    hingga kini. Barat menjadi mercusuar peradaban dunia dengan keunggulan

    ilmu pengetahuan dan teknologinya dengan menempatkan rasio sebagai

    pusat kesadaran manusia, berbeda dari peradaban Islam yang lebih condong

    ke mitologi.4

    Kondisi keterbelakangan umat muslim memang nyata, kalau dulu

    yang menjadi polemik adalah perpecahan internal karena masalah politik

    sampai pada soal teologi, maka saat ini permasalahan umat muslim ialah

    keterbelakangan, kemiskinan, cengkraman kapitalisme dan masih banyak

    lagi. Ketika yang menjadi permasalahan adalah perpecahan intenal maka

    kita bisa membuktikan bagaimana aspek teologi bermain di dalamnya.

    Menurut Hassan Hanafi teologi dapat berperan sebagai suatu ideologi

    pembebasan bagi yang tertindas atau sebagai suatu pembenaran penjajahan

    3 Hassan Hanafi, Liberalism, Revolusi, Hermeneutik, terj. Jajat Hidayatul Firdaus

    (Yogyakarta : Cv. Arruzz Book Gallhery, 2003),hlm.88. 4 Fadilah Nurhayati, Skripsi : “Teologi pembebasan Dalam Pandangan Hassan Hanafi”.

    (Surakarta:2018 ). Hlm.3.

  • 3

    oleh para penindas. Teologi memberikan fungsi legitimatif bagi setiap

    perjuangan kepentingan dari masing-masing lapisan masyarakat yang

    berbeda.5

    Dalam konteks ini, teologi merupakan hasil proyeksi kebutuhan dan

    tujuan masyarakat ke dalam teks-teks kitab suci. Karena itu, Hassan Hanafi

    menyimpulkan bahwa tidak ada kebenaran obyektif atau arti yang berdiri

    sendiri untuk setiap ayat kitab suci,terlepas dari keinginan manusiawi atau

    barangkali hanya merupakan cita-cita dan nilai atau pernyataan egoisme

    murni6.

    Sesuai perkembangan zaman, dunia Islam membutuhkan teologi

    Islam yang bersifat tajriby (empirik), sebagai teologi yang lebih “membumi”

    dari pada “melangit” seperti selama ini. Dialektika-teologis terus berlanjut

    sepanjang sejarah peradaban manusia, sesuai dengan kontek zaman yang

    melingkupinya. Bagaimanapun teologi tidak berarti hanya berbicara

    mengenai iman an-sich. Jika iman bersifat “pure matter” atau substantive,

    maka teologi lebih bersifat metodologik.7

    Pemikiran Hassan Hanafi senantiasa mempresentasikan hubungan

    dialektis antara subjek diri (al-Ana, Self) dan yang lain (al-Akhar, Other)

    dalam proses sejarah. Demikian itu adalah dalam rangka melakukan

    reinterpretasi terhadap tradisi yang relevan dengan tuntutan kontemporer.

    Bagi Hassan Hanafi, sebuah risalah pemikiran bukanlah sebuah risalah

    pemikiran apabila tidak berkaitan dengan realitas untuk melakukan

    perubahan yang signifikan.8

    Tentu sangat relevan mengangkat dimensi antropologis dalam

    pemikiran Hassan Hanafi. Penulis memandang bahwa apa yang melatar

    belakangi Hanafi ialah kondisi umat yang kehilangan peran dalam sejarah.

    5Nurul chotimah dan Maulana Masudi,” Studi Tentang Pemikiran Hassan Hanafi”. Al-

    Hikmah : Jurnal Studi Agama-Agama/Vol. 1, No.2, 2015. Hlm. 2. 6Hendri Nadrian,” Pemikiran Kalam Hassan Hanafi : Rekonstruksi Epistemologi Keilmuan

    Kalam dan Tantangan Modernitas”. Jurnal Intizar, Vol. 21, No. 2,2015. Hlm.253. 7 M. Gufron,” Transformasi Paradigma Teologi Teosentris Menuju Antroposentris”, Journal

    of Islamic Studies and Humanities, Vol. 3, No.1, Juni 2018. Hlm. 143. 8 Hassan Hanafi,” Studi Filsafat 1:Pembacaan Atas Tradisi Islam

    Kontemporer”,(Yogyakarta:LKis 2015) hlm. Xxii.

  • 4

    B. Rumusan Masalah

    Dengan berdasarkan latar belakang ini, penulis menetapkan poin

    yang akan menjadi inti pembahasan skripsi ini, yaitu :

    1. Bagaimana antroposentrime dalam pemikiran teologi Hassan Hanafi.

    2. Bagaimana sikap kita terhadap realitas dengan bertolak dari

    pemikiran antroposentrisme Hassan Hanafi.

    C. Tujuan Penelitian

    Tujuan penelitian yang ingin dibahas penulis adalah :

    1. Mengetahui antroposentrisme dalam pemikiran Hassan

    Hanafi.Kegunaan penelitian ini adalah memberikan pemahaman

    tentang bagaimana antropesentrisme dalam pemikiran teologi

    Hassan hanafi.

    2. Mengetahui bagaimana sikap kita dalam menghadapi tuntutan zaman

    dengan bertolak dari pemikiran antroposentrisme Hassan Hanafi.

    D. Manfaat penelitian

    1. Manfaat penelitian ini adalah memberikan pemahaman tentang

    bagaimana antropesentrisme dalam pemikiran teologi Hassan

    Hanafi.

    2. Manfaat praktis sebagai sumbangan karya ilmiah pada dunia

    akademik, khususnya pemikiran Islam kontemporer.

    E. Kajian Pustaka

    Hassan Hanafi adalah seorang pemikir muslim yang banyak

    menyerap tradisi pemikiran Barat sekaligus mengkritisinya. Begitu juga

    dengan tradisi klasik yang ada pada umat Islam. Ada banyak pihak yang

    mengkaji dalam bentuk buku, artikel, maupun skripsi.

    Ada 2 macam data yang peneliti jadikan sebagai rujukan dalam

    skripsi ini, di antaranya data primer dan data sekunder. Rujukan primer

    adalah karya-karya tulis dari Hassan Hanafi sedangkan rujukan sekunder

  • 5

    adalah karya orang lain yang membahas Hassan Hanafi, baik yang

    berbentuk buku, skripsi maupuna artikel.

    Referensi primer yang menjadi rujukan dalam penelitian ini ialah :

    1. Hassan Hanafi, Studi Filsafat I (Pembaca Atas Tradisi Islam

    Kontemporer), (Yogyakarta : LKiS 2015).

    2. Hassan Hanafi, Islamologi 3: Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme,

    penerjemah Miftah Faqih (Yogyakarta : LKiS 2007).

    3. Hassan Hanafi, Oksidentalisme : Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat,

    penerjemah M.Najib Buchori (Jakarta : Paramadina 2000)

    Referensi sekunder yang menjadi rujukan dalam penelitian ini ialah :

    1. Buku Kazuo Shimogaki yang berjudul Kiri Islam, Antara Modernisme

    dan Postmodernisme yang diterbitkan oleh LKis. Di dalam buku

    tersebut menjelaskan keterkaitan antara Kiri Islam dengan

    postmodernisme sebagai anti-tesis terhadap krisis yang yang

    disebabkan oleh modernitas.

    2. Buku Asghar Ali Engineer yang berjudul Islam dan Teologi

    Pembebasan, yang diterbitkan oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta. Buku

    tersebut mengupas teologi pembebasan dalam Islam dan relevansinya

    di dalam kehidupan sekarang.

    3. Adapun karya yang membahas pemikiran Hassan Hanafi dalam

    bentuk skripsi dan jurnal yaitu:

    a. Teologi Pembebasan Dalam Pandangan Hassan Hanafi yang

    ditulis oleh Fadilah Nur Hayati. Penelitian tersebut mengarah

    pada penjelasan rekontruksi teologi tradisonal menuju teologi

    pembebasan.

    b. Antroposentrisme Dalam Pemikiran Hassan Hanafi yang

    ditulis oleh Nur Idam Laksono. Skripsi tersebut meneliti

    mengenai corak antroposentris didalam gagasan-gagasan

    Hassan Hanafi.

    c. Jurnal yang berjudul Konsep Teologi Hassan Hanafi yang

    ditulis oleh Syarifuddin. Jurnal tersebut menjelaskan bahwa

    rekonstruksi menurut Hassan Hanafi, tidak harus membawa

  • 6

    implikasi hilangnya tradisi-tradisi lama, namun untuk

    mengkonfrontasikan ancaman-ancaman baru yang dating ke

    dunia dengan menggunakan konsep yang terpelihara dalam

    sejarah,.

    F. Metodologi Penelitian

    Seorang peneliti dalam rangka pelaksanaan pengumpulan data, harus

    menentukan sumber-sumber data serta lokasi dimana sumber data tersebut

    dapat ditemukan dan diteliti. Atas dasar Metode Pengolahan Data.

    Setelah data primer dan sekunder terkumpul, peneliti akan

    melakukan pengolahan data dengan cara menyaring dan memilah untuk

    mendapatkan data yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan kajian dalam

    penelitian ini. Langkah-langkah metode penelitian tersebut ialah :

    1. Deskriptif, yaitu menguraikan, mengkaji, dan menjelaskan

    pemikiran seorang tokoh.9

    2. Analisis data yaitu suatu proses mengatur urutan data,

    mengorganisirnya ke dalam suatu pola yang mengarahkan pada

    kajian yang komprehensif berdasarkan tema yang penulis angkat.

    3. Interpretatif, dengan metode ini peneliti akan menguraikan apa yang

    dimaksud dengan antroposentrisme dalam pemikiran Hassan Hanafi.

    Untuk memahami antroposentrisme tersebut melakukan pendekatan

    secara filosofis, yaitu memahami intisari, atau esensi dari tema

    antroposentrime dalam pemikiran Hassan Hanafi.

    G. Sistematika Pembahasan

    Agar pembahasan dalam penelitian ini dapat dilakukan secara

    sistematis, maka penulis melakukan pemetaan dalam bentuk urutan

    pembahasan. Dari satu bab menuju ke bab yang lain. Sistematikanya sebagai

    berikut :

    Bab pertama, dalam bab ini menjelaskan tentang pendahuluan, latar

    belakang, masalah, hal-hal apa saja yang menjadi alasan pemilihan tema

    9 Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Yogyapkarta: Paradigma, 2005),

    hal.59.

  • 7

    tersebut, metode yang digunakkan serta kegunaan penelitian. Bab pertama

    memberikan landasan agar bab berikutnya pembahasan lebih terfocus.

    Bab kedua, menjelaskan latar belakang Hassan Hanafi yang akhirnya

    menjadi seorang pemikir atau Biografi Hassan Hanafi.

    Bab ketiga, adalah pengantar menuju bab berikutnya. Dalam bab ini

    peneliti akan mencoba menjelaskan pemikiran tokoh lain yang coraknya

    sama dengan Hassan Hanafi.

    Bab keempat, adalah inti dari penelitian yang penulis lakukan.

    Dalam bab keempat pembahasan akan mengupas bagaimana konsepsi

    Hassan Hanafi tentang “pembelaannya” terhadap kaum lemah yang

    kemudian tersirat dalam pemikirannya, demikian juga sikapnya terhadap

    hegemoni peradaban suatu bangsa yang hendak menjadikan dirinya sebagai

    sentral.

    Bab kelima, berarti penutup yang meliputi kesimpulan dan saran

    penulis mengenai kajian tentang Hassan Hanafi sekaligus pandangan penulis

    terhadap Hassan Hanafi.

  • 8

    BAB II

    BIOGRAFI HASSAN HANAFI

    A. Riwayat Hidup dan Perjalanan Intelektual

    Hassan Hanafi merupakan intelektual Islam kontemporer yang

    punyan pengaruh besar dalam diskursus teologi Islam. Sejarah telah

    mencatat kontribusinya terhadap pemikiran Islam kontemporer dalam

    merespon dinamika kehidupan mutakhir. Hassan Hanafi lahir pada tanggal

    13 februari tahun 1935 di Kairo, Mesir tepatnya di dekat Benteng

    Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar, di mana kota ini merupakan

    tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin

    belajar, terutama di Universitas Al-Azhar. Ia lahir dari leluhur Berber dan

    Badui Mesir. Ia adalah seorang filosof dan teolog Mesir yang meraih sarjana

    muda dalam bidang filsafat di Universitas Kairo pada tahun 1956.10

    Sudah menjadi hukum yang general bahwa setiap orang merupakan

    anak zaman. Kondisi lingkungan merupakan pengaruh yang dominan dalam

    pembentukan pemikan seseorang. Alasan untuk memilih gaya hidup, cara

    berpikir, atau kecenderungan tertentu dapat diketahui dengan menelusuri

    kondisi yang mengelilingi saseorang.

    Pendidikan Hanafi diawali di pendidikan dasar di Madrasah

    Sulayman Ghawish, tamat tahun 1948. Kemudian melanjutkan studinya di

    Madrasah Sanawiyah “ Khalil Alga”, Kairo yang diselesaikannya selama

    empat tahun, pada tahun 1952. Sejak masih remaja kesadaran pertama yang

    tumbuh dalam diri Hanafi adalah “kesadaran nasional” (national

    consciousness), pertumbuhan kesadaran ini terkait dengan kenyataan situasi

    Mesir yang dalam perang ke II menjadi sasaran serangan jerman. Semangat

    nasionalisme yang membara mendorong Hanafi untuk terjun sukarela

    membantu perjuangan Mesir dalam perang melawan Israel. Tetapi dengan

    segera ia menyadari adanya perpecahan yang tidak bisa diselesaikan di

    10 Hamzah, Teologi Sosial: Telaah Pemikiran Hassan Hanafi, (Yogyakarta: Graha Ilmu,

    2013), hlm.11.

  • 9

    antara bangsa Arab sendiri dalam menghadapi Israel dan sangat merugikan

    Mesir khususnya.11

    Menyimpan rasa frustasi yang sangat pahit terhadap realitas

    nasionalisme Arab sekuler yang gagal menyatukan bangsa Arab, hanafi

    secara alamiah bergeser kepada Islam. Melanjutkan pelajaran ke Universitas

    Kairo, ia kemudian aktif mengikuti diskusi-diskusi kelompok Ikhwanul al-

    Muslimin yang sedang menemukan momentumnya, bukan hanya karena IM

    berdiri paling depan melawan Israel, tetapi juga karena ia percaya bahwa

    organisasi ini mampu menghadapi sosialisme-komunisme yang juga

    semakin kuat dalam lingkaran kekuasaan Mesir. Hanafi juga aktif mengikuti

    demonstrasi-demonstrasi IM dan politik mahasiswa di kampus Universitas

    Kairo. 12

    Menjelang akhir 1950 an merupakan masa bangkitnya “kesadaraan

    keagamaan (religious consciousness) dalam diri Hanafi. Pemikirannya

    bertolak dari motif-motif Islam. Pada masa inilah ia mengenal secara lebih

    mendalam pemikiran dan wacana Islam yang berkembang di lingkungan

    gerakan Islam (harakah). Sejak itu Hanafi berkonsentrasi mendalami

    pemikiran agama, revolusi, dan perubahan sosial.13

    Setelah tamat dari Universitas Kairo Mesir, ia melanjutkan

    pendidikannya di Universitas Sorbonne Perancis. Ia mengambil spesialisasi

    Filsafat Barat Modern dan Pra Modern. Di Perancis inilah Hanafi

    mematangkan filsafatnya. Di Perancis ini, Hanafi merasakan sangat berarti

    bagi perkembangan pemikirannya, dan di Perancis inilah ia berlatih berfikir

    secara metodelogis, baik melalui kuliah-kuliah ataupun bacaan karya-karya

    orientalis. Disamping itu Hanafi juga tertarik untuk mendalami pemikiran

    Moh Hefni, “Rekonstruksi Maqashid al-Syariah (Sebuah Gagasan Hassan Hanafi tentang

    Revitalisasi Turats), Jurnal al-Hikam. Vol. 6 No. 2 Desember 2011, hlm. 168. 12 Hassan Hanafi, Dari Akidah ke Revolusi : Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, Terj. Miftah

    Faqih (Jakarta: Paramadina, 2003), hlm.13. 13 A H. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam : Pemikiran Hassan Hanafi Tentang

    Reaktualisasi Tradisi Islam Keilmuan Islam, (ITTAQA Press, 1998), hlm.15.

  • 10

    filsafat Idealisme Jerman, terutama filsafat dialektika yang lazim dalam

    pemikiran Hegel dan Marx.14

    Pada masa inilah Hanafi mulai merumuskan kembali “proyek

    besar”-nya untuk menciptakan metodelogi dan teologi baru Islam dengan

    pendekatan-pendekatan baru pula. Dalam kerangka itu Hanafi mengajukan

    rencana disertasi di Universitas Sorbone dengan judul “The General Islamic

    Method”. Judul ini menggambarkan keinginannya untuk merumuskan Islam

    sebagai metode yang umum dan komprehensif dalam kehidupan personal

    dan sosial.15

    Orang yang berjasa dalam filosofis Hanafi adalah Jean Guitton,

    seorang Guru Besar Ilmu Filsafat dan pentolan modernis Katolik Roma.

    Dialah yang memandu Hanafi dalam pembacaan dan studi tentang filsafat

    Barat. Dia juga yang memberikan panduan kepada Hanafi dalam hal-hal

    praktis, seperti bagaimana memberikan kuliah umum dan metode-metode

    penelitian. Metode dan perspektif umum Guitton kondusif bagi

    pengembangan pemahaman Hanafi tentang pendekatan-pendekatan untuk

    rekonsiliasi posisi-posisi yang berbeda. Hanafi banyak belajar mengenai

    urgensi starting point dalam filsafat. Filsafat membutuhkan titik permulaan

    yang diperdalam oleh seorang filsuf kemudian setelah itu digeneralisasikan

    sedemikian rupa hingga sampai pada mertafisika murni. Dialah yang sangat

    berpengaruh bagi kesadaran Hanafi tentang kehidupan, transformasi dari

    idealisme ke realism, dan transformasi dari pikiran ke eksistensi.16

    Karakteristik lain pemikiran Hanafi pada dasawarsa 1960-an banyak

    di pengaruhi oleh faham-faham dominan yang berkembang di Mesir, yaitu

    nasionalistik-sosiolistik-populistik yang juga dirumuskan sebagai ideologi

    Pan Arabik. Baru pada akhir dasawarsa itu Hanafi mulai berbicara tentang

    keharusan Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif

    14 Hassan Hanafi, Islamologi 3: Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme, Terj. Miftah

    Faqih(Yogyakarta: LKis 2004), hlm. X. 15 A H. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam : Pemikiran Hassan Hanafi Tentang

    Reaktualisasi Tradisi Islam Keilmuan Islam, (ITTAQA Press, 1998), hlm.14. 16 Hassan Hanafi, Islamologi 3 : Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme, (Yogykarta: LKiS,

    2011) hlm.xviii.

  • 11

    dan berdimensi pembebasan (at-taharrur, liberation). Ia mensyaratkan

    fungsi pembebasan jika diharapkan Islam dapat membawa masyarakat pada

    kebebasan dan keadilan, khususnya keadilan, khususnya keadilan sosial

    sebagai ukuran utamanya. Struktur yang populistik adalah manifestasi

    kehidupannya dan kebulatan kerangka pemikiran sebagai resep utamanya.17

    Pada tahun 1966, ia berhasil menyelesaikan program Master

    Doktornya di Universitas Sorbone, ia memperoleh gelar doctor dengan

    desertasinya yang berjudul Essai Sur La Methode d’Exegese (Essai tentang

    Metode Penafsiran).18 Karir Hanafi dimulai dengan diangkatnya menjadi

    Rektor (1980) pada jurusan Filsafat Universitas Kairo. Kemudian mulai

    tahun 1988, ia diserahi jabatan sebagai Ketua Jurusan Filsafat pada

    Universitas yang sama.

    Suasana Mesir sendiri baik secara politik maupun intelektual kurang

    kondusif baginya. Sehingga Hanafi mengembara ke negara lain dan aktif

    memberi kuliah, seperti di Prancis (1969), Belgia (1970), Temple

    Universitas Philadelphia Amerika Serikat (1971-1975), Universitas Kuwait

    (1979), Universitas Fez Maroko (1982-1984) dan menjadi guru besar tamu

    di Universitas Tokyo (1984-1985), di Persatuan Emirat Arab (1985),

    kemudian diangkat menjadi Penasehat Program pada Universitas PBB di

    Jepang (1985-1987) dan sekembalinya dari Jepang pada 1988 ia diserahi

    jabatan Ketua Jurusan Filsafat di Universitas Kairo.19

    Aktivitas dunia akademik ditunjang dengan aktivitas di organisasi

    masyarakat. Hanafi aktif sebagai sekretaris umum Persatuan Masyarakat

    Filsafat Mesir. Ia menjadi anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika, anggota

    gerakan Solidaritas Asia-Afrika serta menjadi Wakil Presiden Persatuan

    Masyarakat Filsafat Arab.20 Pemikiran-pemikiran Hassan Hanafi tersebar di

    17 A.H Ridwan,” Reformasi Intelektual Islam: Pemikiran Hassan Hanafi Tentang

    Reaktualisasi Tradisi Keilmuan Islam”, (Yogyakarta: ITTAQA Press, 1998), hlm. 15. 18 Hassan Hanafi, Islamologi 3 : Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme, (Yogykarta: LKiS,

    2011) hlm.xviii. 19 Suharti,”Gagasan Kiri Islam Hassan Hanafi, Ulumuna,Vol. IX Edisi 16 Nomor 2 Juli-

    Desember 2005.hlm.357. 20 Ibid,”hlm.358.

  • 12

    dunia Arab sampai ke Eropa. Pada tahun 1981 ia memprakarsai dan

    sekaligus sebagai pimpinan redaksi penerbitan jurnal ilmiah dengan Al-

    Yasar al-Islami. Pemikirannya yang terkenal dengan Al-Yasar al-Islami

    sempat mendapat reaksi dari penguasa Mesir Anwar Sadat yang

    memasukannya ke penjara.21

    Hanafi banyak menyerap pengetahuan Barat dan

    mengkonsentrasikan diri pada kajian pemikir Barat pra modern dan modern.

    Karena itu meskipun ia menolak dan mengkritik Barat, seperti disebut

    Kazuo Shimogaki, ide-ide liberalisme Barat, demokrasi, rasionalisme dan

    pencerahan telah mempengaruhinya, sehingga Shimogaki

    mengkategorikannya juga sebagai seorang modernis liberal.22

    B. Latar Belakang Sosio-Politik

    Untuk mengenal lebih jauh pemikiran Hanafi maka ada baiknya

    meninjau dahulu latar belakang sosio politik pemikiran Hanafi. Hal ini

    penting mengingat adanya pola interaksi intelektual antara pemikiran

    dengan lingkungan. Untuk memahami pemikiran Hanafi dan kaitannya

    dengan Negara Mesir, maka akan selalu terdapat proses komunikasi dan

    ekspresi dengan lingkungannya, dan hubunganya timbal balik antara

    pemikiran ke Islaman disatu pihak dengan kondisi lain pihak.23

    Pemikiran bersumber dari pengetahuan yang dibentuk secara

    sosiologis. Karena itu pengetahuan, tidak dapat dipisahkan dari akar

    sosialnya, tradisi dan keberadaan pemikir tersebut.dengan itu pula,

    pemikiran Hanafi tidak bisa dipahami tanpa meletak-kannya dalam suatu

    posisi sejarah atau tradisi panjang yang melingkarinya. Dengan demikian

    ada dua hal yang melatar belakangi pemikiran Hanafi yaitu :

    21Yusdani,” Gerakan Pemikiran Kiri Islam: Studi Atas Pemikiran Hassan Hanafi, Jurnal Al

    Mawarid Edisi VII 2002. Hlm.81 22 Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Antara Modernisme dan Posmodernisme, terj. M. Imam

    Aziz dan M. Jadul Maulana (Yogyakarta: LKis, 2007), hlm. 3. 23 Ahmad Ridwan, “Reformasi Intelektual Islam: Pemikiran Hassan Hanafi tentang

    Reaktualisasi Tradisi Keilmuan Islam, ITTAQA Press, (Yogyakarta: 1998), hlm.9.

  • 13

    1. Kondisi Sosial Politik Mesir

    Mesir yang terletak pada persimpangan jalan antara Afrika dan Asia

    memiliki posisi yang strategis, disamping tanah yang subur membangkitkan

    minat para penakluk dan negara-negara besar pada masa lampau. Arti

    strategis Mesir bertambah lagi dengan digalinya terusan Suez pada tahun

    1869. Meskipun milik swasta, terutama maskapai Perancis, secara strategis

    berada dibawah kontrol Inggris yang menyadari kepentingan terusan ini ini

    bagi kepentingan imperiumnya.

    Pada penggalan akhir abad XIX situasi politik, sosial dan intelektual

    di Mesir sedang mengalami perubahan, sebab pada masa itu dengan

    berakhirnya Perang Dunia I, Mesir mengalami kebangkitan nasionalisme

    yang ditunjang oleh berbagai faktor, yaitu :

    a. Kehadiran pasukan Inggris, Australia dan Selandia Baru yang

    melukai rasa kebangsaan Mesir.

    b. Pembiayaan bagi tentara berpenghasilan tetap.

    c. Digunakannya orang Mesir menjadi tenaga kerja Inggris yang

    mengurangi persediaan buruh di Mesir.

    d. Naskah Empat Belas pasal Wilson serta deklarasi Inggris-

    Perancis yang menjanjikan kemerdekaan bagi negara-negara Arab

    yang merangsang hasrat yang besar guna meraih kemerdekaan

    penuh dari pengawasan asing.24

    Perang Dunia II mengakibatkan kekacauan dalam struktur sosial

    dan ekonomi Mesir juga serupa dengan pada masa Perang Dunia I, dan

    pengaruhnya pada psikologi politik Mesir juga sebanding. Hal ini juga

    merangsang suatu gelombang nasionalisme anti asing yang condong

    berbentuk kekerasan. Di sayap kiri terdapat partai komunis yang

    bertambahnya prestisenya sebagai hasil dari pengaruh Soviet di seluruh

    dunia. Kemenangan Soviet selama perang dan dikukuhkannya perwakilan

    Soviet di Kairo (1942) merangsang minat terhadap komunisme di antara

    mahasiswa dan para intelektual muda.

    24 Ibid”, hlm.10

  • 14

    Sementara itu di sayap kanan terdapat kelompok persaudaraan

    Islam (Al-Ikhwan al-Muslimin), didirikan oleh Syekh Hassan al-Banna

    (1929) di Ismailia, yang pro Islam dan Anti Barat. Kelompok ini memiliki

    sejumlah besar pengikut pada akhir perang dunia II, bahkan pengaruhnya

    menembus ke luar wilayah Mesir. Sikap pemerintahan Mesir dalam

    usahanya mempertahankan ketertiban terlihat pada tindakan pembersihan

    terhadap kaum komunis, yang terjadi pada bulan Juli 1946. Disusul pada

    bulan Februari 1949 pembunuhan terhadap Hassan al-Banna setelah

    pemerintah Mesir melarang kelompok persaudaraan pada bulan Desember

    1948.25

    Dinamika politik di Mesir terlihat kental ketika kerusuhan Kairo

    pada 19 Januari 1952 Ismailiya meletus sebagai awal revolusi yang dimotori

    oleh partai sosialis DR. Ahmad Hussain. Kemudian pada tanggal 23 Juli

    terjadi revolusi Juli yang dilakukan oleh suatu komando revolusioner yang

    terdiri atas sebelah perwira muda dikenal dengan Free Officer. Kelompok

    ini sebagai kekuatan dinamis baru diketuai oleh Muhammad Najib, yang

    memanfaatkan kesempatan untuk melakukan kudeta terhadap Raja Faruq, di

    saat situasi tidak dapat dikendalikan.26

    Pada saat dilakukan pengambil alihan kekuasaan tertinggi negara itu,

    ia mengajak kelompok Ikhwan al-Muslimin yang mempunyai pendukung

    dari kalangan masyarakat bawah, karenanya ia dikenal dengan revolusi

    1952. Setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 1953 Mesir resmi menjadi

    Republik. Sebagai Presiden pertama adalah Muhammad Najib dan Perdana

    Menterinya Gamal Abdul Nasr. Hal ini sekaligus mengakhiri riwayat

    monarki yang dibangung Muhammad Ali. Kerjasama yang dilakukan

    Muhammad Najib dan IM tidak berlangsung lama. Sebab pemerintahan

    Mesir menganggap IM kelompok yang sangat berbahaya karena memiliki

    25 Ibid,” hlm.10-11. 26 Moh. Hefni, “Rekonstruksi Maqashid Al-Syari’ah: Sebuah Gagasan Hassan Hanafi

    tentang Revitalisasi Turats”, dalam al-ihkam Vol.6 No. 2 (Desember 2011), hlm. 171.

  • 15

    organisasi yang efektif, ideologi yang berpengaruh dan tradisi perlawanan

    terhadap tradisi lama.27

    Kondisi politik Mesir sejak awal abad XIX mengalami dinamika

    politik dan selalu didominasi oleh pertentangan antara golongan Islam

    tradisional. Pertentangan ini berlangsung lama karena para pendukung saling

    menggunakkan paradigma yang berbeda.

    Situasi politik yang demikian sangat berpengaruh dalam

    pembentukan kepribadian Hanafi, di mana ia lahir dan dibesarkan. Hal ini

    terlihat pada keterlibatannya dalam berbagai pergolakan politik semasa

    kecilnya.28 Diantaranya, pemberontakan melawan Inggris di Terusan Suez

    pada tahun 1951, revolusi Mesir 1952 dan lain sebagainya. Kuatnya

    perhatian Hanafi dalam memperjuangkan kepentingan umat secara luas, juga

    keterlibatannya dalam gerakan-gerakan politik. Hal ini menunjukkan betapa

    besarnya pengaruh situasi kondisi politik Mesir pada pembentukan

    kepribadian Hanafi.

    C. Tokoh Yang Mempengaruhi

    Perjalanan intelektual seorang pemikir tak lahir secara tiba-tiba, ada

    proses panjang yang melatar belakanginya. Begitupun yang terjadi dengan

    Hassan Hanafi, ketertarikannya pada dunia Islam dan Filsafat membuat

    dirinya banyak membaca karya-karya ulama filsuf sebelumnya. Dalam

    proses itulah, terjadi transfer pengetahuan yang kemudian memiliki

    pengaruh terhadap pembacanya. Dalam tulisan ini, sedikitnya penulis

    menguraikan pengaruh Edmund Husserl, Karl Marx, Sayyid Qutb, dan

    Muhammad Iqbal.

    27 Ibid,”hlm. 72. 28 Ibid, “hlm 71.

  • 16

    1. Pengaruh Edmund Husserl

    Edmund Husserl merupakan tokoh fenomenologi dalam filsafat.

    Lahir pada tanggal 8 April 1859 di Prossnitz dan meninggal pada 1938 di

    Freiburg, Breisgau. Ia adalah filsuf Jerman keturunan Yahudi.29

    Karya Hanafi berupa desertasi 900 halaman dengan judul, “Essai

    Sur La Methode d’Exegese”(Essai tentang Metode Penafsiran) . Lahir dari

    buah pikirannya karena ia mendalami filsafat Edmund Husserl yang banyak

    memberinya inspirasi. Karya tersebut merupakan upaya Hanafi dalam

    mengahapkan ilmu Ushul Fiqh terhadap filsafat Fenomenologi Husserl.30

    Filsafat fenomenologi Husserl diletakkan sebagai dasar oleh Hanafi

    dalam memahami dan memetakan realitas sosial, politik ekonomi, realitas

    khazanah keislaman, dan realitas tantangan Barat, dengan menekankan pada

    revolusi teologi. Hanafi hendak menganalisis kontek sejarah Islam Mesir

    dengan kacamata Fenomenologi Husserl, sebagai sebuah pijakan yang

    kebenarannya relatif memuaskan dibanding dengan metode lain. Meskipun

    kita tak menafikan, setiap metode ilmiah memiliki kekurangan dan

    kelebihannya masing-masing.

    Maka kita dapat membaca bagaimana arah pemikiran Hassan

    Hanafi. Dalam berbagai gagasan yang dilontarkan, realitas menjadi pijakan

    dalam pemikiran Hanafi, termasuk juga dalam memutuskan hukum Islam.

    2. Pengaruh Karl Marx

    Karl Marx lahir di Trier, Jerman pada tahun 1818, dari kalangan

    keluarga ruhaniawan Yahudi. Ayahnya Heinrich Marx, adalah seorang

    pengacara ternama dan termasuk golongan menengah di kota itu. Sementara

    ibunya adalah putri seorang pendeta Belanda yang juga berbangsa Yahudi.

    Tahun 1935, saat itu ia berusia 17 tahun Marx menamatkan sekolah

    menengah di Traves. Kemudian, atas kemauan sang ayah yang tidak bisa ia

    29 Ali Maksum, Pengantar Filsafat : Dari Klasik HIngga Postmodernisme, (Yogyakarta :

    Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 189. 30 Hassan Hanafi,” Studi Filsafat 1: Pembacaan Atas Tradisi Isam Kontemporer,terj. Miftah

    Faqih (Yogyakarta;LKis 2015), hlm.xx.

  • 17

    tolak, ia masuk fakultas hukum Universitas Bonn selama satu tahun.

    Kemudian ia mempelajari filsafat dan sejarah di Universitas Berlin.31

    Periode yang dilalui tersebut dalam sejarah kefilsafatan laazim

    dikenal dengan sebutan periode Marx Muda. Saat belajar di Berlin ia sangat

    tertarik dengan filsafat Hegel. Sehingga dalam perkembangannya, banyak

    gagasan Hegel yang diterjemahkan secara kongkrit dalam pemikiran Karl

    Marx. Ia sempat tinggal di Jerman, Paris, dan akhirnya meninggal di London

    tahun 1883. Namun pemikirannya sampai saat ini masih hidup, mengisi

    ruang-ruang diskusi menembus batas ruang dimana Karl Marx hidup.32

    Tak terkecuali Hanafi yang dikenal sebagai pemikir kiri, bahkan ia

    pernah menulis tentang kiri Islam. Sebuah gagasan konstruktif menuju

    kebebasan berfikir dan kesejahteraan umat. Maka jika kita mencermati

    gerakan pemikiran Hanafi, ada pengaruh Karl Marx sebagai pemikir kiri,

    Hanafi menghendaki revolusi, bangunan Teologi Islam yang dihadirkan oleh

    Hassan Hanafi mencerminakan kesamaan kelas.

    Hassan Hanafi menghendaki lahirnya kehidupan yang berkeadilan,

    sebagai spirit ajaran Islam yang menempatkan manusia pada posisi yang

    sama. Karenanya Hanafi menentang penjajahan dan eksploitasi kekayaan

    yang banyak diminati oleh pengusaha ataupun pemerintah yang dengan

    seenaknya menggunakan uang negara tanpa berfikir tentang nasib rakyat.

    Pandangan seperti itu tentu sejalan dengan pemikiran Karl Marx yang

    mengandaikan tatanan dunia berkeadilan tanpa perbedaan kelas. Tetapi

    pemikiran kesetaraan Hanafi sendiri sebenarnya tidak terlalu sulit seperti

    Karl Marx, sebab sandaran pandangan Hanafi adalah Islam.33

    3. Pengaruh Sayyid Qutb

    Sayyid Qutb lahir di Qaha Provinsi Asyud Mesir pada tahun 1906, ia

    pernah belajar di Darul al-‘Ulum dan berhasil meraih sarjana sastra dan

    diploma bidang pendidikan. Pada tahun 1930 an sampai dengan tahun 1940

    31 Ali Maksum, “Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme”,

    (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011) hlm.153. 32 Ibid, hlm. 153 33 Hassan Hanafi, Al-Yasar al-Islami: Paradigma Islam Tranformatif, Jurnal Islamical No.1

    (Juli-September 1993),9, Suhermanto,”Kiri Islam”,hlm.180.

  • 18

    an, ia terlibat secara intens dalam debat sastra. Ia sempat menjadi inspektur

    pada kementrian pendidikan.

    Namun melihat krisis politik Mesir yang menyebabkan terjadinya

    kudeta politik oleh militer pada Juli tahun 1952 membuat ia bergabung

    dengan Ihwanul Muslimin. Seiring dengan posisi Ihwanul Muslimin yang

    menentang pemerintah, organisasi ini sempat menjadi organisasi terlarang

    pada tahun 1954, tokohnya banyak yang masuk penjara termasuk Sayyid

    Qutb. Pada sisi lain, Sayyid Qutb termasuk penulis yang produktif, banyak

    karya lahir darinya.34

    Sebagai seorang yang aktif di Ihwanul Muslimin, Hanafi sangat

    terkesima dengan pemikiran Sayyid Qutb. Ia mengakui, Sayyid Qutb punya

    pengaruh yang kuat dalam dirinya. Hanafi sangat terpesona terhadap gaya,

    kelugasan, dan kesederhanaan bahasanya. Terutama pemikiran Sayyid Qutb

    yang masih terngiang dalam diri Hanafi yakni tentang “al-Islam Harakah

    Ibdaiyyal Shamilah fi al-Fann wa al-Hayat” (Islam: Gerakan Kreatif yang

    Komprehensif dalam Seni dan Hidup). Ia merasa sampai sekarang masih

    menemukan dirinya dalam tulisan tersebut.

    Pada pembentukan Komite Pemuda Islam dan upaya-upayanya

    mewujudkan ekonomi Islam yang bersih dari riba, serta rintisannya tentang

    kiri Islam, Islam progresiv dan Islam revolusi, andai Sayyid Qutb masih

    hidup Hanafi menyatakan bahwa dirinya pasti akan menjadi murid

    terbaiknya. Melalui pengaruh dari Sayyid Qutb dapat dilihat gerakkan

    pemikiran Hanafi yang begitu mencintai kelahiran Islam yang progresif.

    Sebuah agama yang mestinya melahirkan pencerahan dalam hidup. Artinya

    meski selama ini Sayyid Qutb dikenal sebagai pemikir yang radikal, dalam

    bayangan Hanafi itu terjadi karena tekanan dari pemerintah.35

    Hanafi mengandaikan itu tidak mungkin terjadi bila saja pemerintah

    tidak melakukan tindakan represif juga. Maka yang mengalir dalam

    pemikiran Hanafi tentu bukan pemikiran radikalismenya. Melainkan gaya

    34 Edi Susanto,”Radikalisme Islam: Telaah atas Pemikiran Sayyid Qutb”, Jurnal Studi

    Keislaman, Vol. 4 No. 1 (April 2005), hlm. 600. 35 Ibid”, hlm. 601.

  • 19

    pemikiran Sayyid Qutb yang mempunyai impian besar tentang kejayaan

    Islam melalui pemikiran progresifnya.36

    4. Pengaruh Muhammad Iqbal

    Muhammad Iqbal dikenal sebagai pemikir Islam yang sangat

    progresif. Ia lahir pada tanggal 9 November 1877 di Sailkot, Punjab,

    Pakistan.37 Iqbal merupakan keturunan muslim yang sejak tiga abad sebelum

    kelahirannya sangat taat beragama. Iqbal dikenal sebagai pemikir yang

    progresif, ia menempatkan ajaran agama sebagai spirit hidup. Iqbal

    mengkritik Barat yang dianggap sebagai bangsa yang kehilangan semangat

    spiritual dan transenden. Mereka banyak terjebak dalam kehidupan

    kapitalisme dan liberalisme.

    Hassan Hanafi sebagai pemikir Islam kiri, juga mendapat

    pencerahan dari percikan pemikiran Muhammad Iqbal. Dalam catatan

    autobiografinya, Hanafi juga sempat menuturkan bagaimana perkenalannya

    dengan pemikiran Muhammad Iqbal. Pada saat kuliah di Universitas Kairo,

    Hanafi terus mengalami pergolakan pemikiran filsafat Islam. Awalnya ia

    tidak suka dengan filsafat Islam dan ilmu kalam, karena baginya dianggap

    terlalu teoritis dan tidak menyentuh persoalan umat.

    Perjumpaan Hassan Hanafi dengan pemikiran Muhammad Iqbal

    pada saat berada ditingkat tiga Universitas Kairo Mesir, membuat Hanafi

    tertarik mendalami pemikirannya. Karena Iqbal bagi Hanafi dianggap

    mampu mendialogkan antara masa lalu dan masa sekarang. Pemikiran Iqbal

    tentang kehidupan, penciptaan, kreasi, kekuatan, jihad, identitas diri,

    ketersesatan, dan umat menjadi sensasi luar biasa. Kemampuan Iqbal

    mendialogkan ajaran agama dengan realitas umat terkini, tentu bisa dilihat

    dari pemikiran Hanafi. Obsesi besar Hanafi melalui Teologi

    Antroposentrisnya, menandai betapa Iqbal dalam hal ini mempunyai

    pengaruh yang begitu besar.38

    36 Ibid., hlm. 603 37 Hendri K,”Pemikiran Muhammad Iqbal dan Pengaruh Terhadap Pembaharuan Islam,’

    Al-Adalah Vol. XII, No.3 Juni 2015, hlm. 613. 38 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Kencana,

    2010). hlm.23-24.

  • 20

    D. Karya-karya Hassan Hanafi

    Sebagai intelektual dunia Hanafi sudah banyak menulis, baik berupa buku

    maupun artikel diantaranya :

    1. Les Methodes d’Exegeses, Esset Sur La Science des Fondements de

    La Comprehension Ilm Ushul Fiqh (Metode Penafsiran pada

    Dasar-dasar Pemahaman Ilmu Ushul Fiqih). Tesisnya yang

    diselesaikannya pada tahun 1965.

    2. I’Exegeses de la Phenomenologie. L’etat actual de la Methode

    Phenomenologie et son Application au Phenomene Religieus

    (Keadaan Saat Ini dari Metode Fenomenologis dan Pada

    Penerapannya pada Fenomena Agama). Disertasi yang diselesaikan

    tahun 1996.

    3. Qadaya Mu’asirah fi Fikrina al-Mu’asir (Tawaran Metode

    Penafsiran Tematik), buku yang menggambarkan bagaimana

    menganalisis realitas dan berusaha merevitaslisasi Khazanah klasik

    Islam pada tahun 1967.

    4. Qadaya Mu’asirah Il Fikri al-Gharbi 1977. Dalam buku ini Hanafi

    memperkenalkan beberapa pemikir Barat seperti Spinoza, Voltaire,

    Edmund Husserl, dan Herbet Marcuze.

    5. Al-Din wa al-Saurah fi Misri 1952-1981. Buku yang terdiri dari 8

    jilid ini membicarakan tentang agama, budaya bangsa dan

    pembebasan, juga membicarakan tentang gerakan keagamaan

    kontemporer.

    6. Al-Turats wa al-Tajdid (Tradisi dan Pembaharuan) 1980. Buku

    ini mendiskusikan sikap yang dibutuhkan umat Islam terhadap

    Khazanah Barat untuk menjaga supaya tidak terealisasi.

    7. Dirasah Islamiyah (Studi Tentang Islam) 1981. Yang memuat

    tentang studi keislaman klasik. Dengan menggunakan pendekatan

    fenomenologi dan hermeneutika, buku ini menjelaskan objek studi

  • 21

    melalui perspektif kesejarahannya secara kritis dan melihat

    sebagaimana adanya.39

    8. Al-Yasar al-Islami (Kiri Islam) 1981. Jurnal yang terkenal dengan

    sebutan “Kiri Islam”. Jurnal ini walau hanya terbit satu kali namun

    memuat beberapa tulisan Hanafi, Ali Syari’ati dan Muhammad

    Audah yang menjelaskan apa “Kiri Islam” dan bagaimana

    tanggung jawab seorang pemikir Islam terhadap imperialism.

    9. Min al-aqidah Ila al-Saurah 1988. Buku sebagai langkah

    pembaharuan pemikiran sebanyak 5 jilid.

    10. Muqoddimah fi ilm al-istighrab (Oksidentalisme) 1992. Hanafi

    merintis lahirnya studi-studi peradaban Barat dalam perspektif

    ketimuran oksidentalisme sebagai lawan orientalisme.

    11. Reliogion, Ideology and Development (Agama, Ideologi dan

    Pemerintah) 1993. Karya ini memperlihatkan kecenderungan akhir

    pemikiran Hanafi yang hendak mengideologikan agama, dan

    meletakkan posisi agama dan fungsinya dalam pembangunan di

    Negara dunia ketiga40.

    12. Dialog Agama dan Revolusi, Kairo: Anglo-Egyptian, 1977.

    13. Hal Tajuz al-Shalah fi al-Dar al-Maghsubah, Kairo: Madbuly,

    1989.

    14. Hegel wa Hayatuna al-Mu’ashirah.

    15. Islam and Judaism, a Model from Andalusia (Islam dan Yahudi

    Sebuah Model dari Andalusia), Paris: Unesco, 1985.

    16. Islam, Religion, Ideology, and Development, Kairo: Anglo

    Egyptian Bookshop, 1990.

    17. Qadlaya al-Mu’ashirah, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1976.

    18. Sartre, Ta’alay, Ana Mawjad, Kairo: Dar al-Tsaqafah al-Jahidah.

    39 Hamzah, Teologi Sosial : Telaah Pemikiran Hassan Hanafi. (Yogyakarta: Graha

    Ilmu)hlm.15. 40 Ibid, hlm. 16

  • 22

    19. Spinoza, Risalah fi al-Lahut wa al-Syasah, Kairo: al-Hay’ah al-

    ‘Ammah li al-Kitab al-Qahirah, (Lembaga Perbukuan Umum

    Kairo), 1973: Beirut: Dar al-Tahlia’ah, 1979.

    E. Konsep Teologi Pembebasan Hassan Hanafi

    Teologi bukan hanya membicarakan tentang ke-Esa-an Tuhan,

    namun juga membahas kondisi sosisal umat Islam. Karena Islam adalah

    ajaran universal. Maka teologi juga harus bersifat universal, dalam artian

    pembahasannya tidak hanya tentang Tuhan, namun juga terakait persoalan

    duniawi dan mental. Dengan demikian, apa yang harus ditelaah kembali

    adalah bagaimana teologi bisa berfungsi di dalam pemikiran muslim

    kontemporer, lembaga-lembaga sosial politik Islam, dan di dalam

    peradaban.41

    Konstruksi metodologi Hassan Hanafi terbangun oleh kenyataan

    historis dan konteks zaman yang berpengaruh besar secara langsung. Hanafi

    sebagai seorang pemikir Arab nampak sangat dipengaruhi oleh tradisi

    pemikiran filsafat marxis, filsafat fenomenologi, filsafat hermeneutic, dan

    elektik.

    Hanafi mencoba menerapkan metodologinya dalam kerangka

    membangun kembali tradisi keilmuan Islam. Rekonstruksi tradisi yang

    berlaku sepanjang sejarah dan merupakan bagian dari realitas itu,

    merupakan suatu yang mungkin bagi perubahan sosial.42

    Menurut Hassan Hanafi, terdapat 2 jenis masyarakat dalam dunia

    modern yaitu menganggap “tradisi” tetap sebagai sumber inspirasi yang kuat

    dan yang kedua adalah ‘masyarakat modern” dimana tradisi tidak lagi

    menjadi sumber nilai atau kekuasaan. Teologi merupakan refleksi dari

    wahyu yang memanfaatkan kosakata zamannya dan didorong oleh

    kebutuhan dan tujuan masyarakat. Namun, apakah kebutuhan dan tujuan itu

    41 Riza Zahriyal Falah dan Irzum Farihah,” Pemikiran Teologi Hassan Hanafi”, Jurnal

    Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015. hlm. 211. 42 A H. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam: Pemikiran Hassan Hanafi Tentang

    Reaktualisasi Tradisi Keilmuan Islam, (Yogyakarta: ITTAQA Press, 1998), hlm. 25.

  • 23

    merupakan keinginan obyektif atau semata-mata manusiawi, atau barangkali

    hanya merupakan cita-cita dan nilai atau pernyataan egoisme murni. Hassan

    Hanafi menegaskan, tidak ada arti yang betul-betul berdiri sendiri untuk

    setiap ayat kitab suci. Sejarah teologi, menurut Hassan Hanafi adalah sejarah

    proyeksi keinginan manusia dalam kitab suci itu. Setiap ahli teologi atau

    penafsir melihat bahwa kitab suci itu sesuatu yang ingin mereka lihat. Ini

    menunjukkan bagaimana manusia menggantungkan kebutuhan dan

    tujuannya pada naskah-naskah itu.43

    Teologi bisa berperan sebagai suatu ideologi pembebasan bagi yang

    tertindas atau sebagai suatu pembenaran penjajahan oleh para penindas.

    Teologi memberikan fungsi legitimatif bagi setiap perjuangan kepentingan

    dari masing-masing lapisan masyarakat yang berbeda. Karena itu Hassan

    Hanafi menyimpulkan, bahwa tidak ada kebenaran objektif atau arti yang

    berdiri sendiri terlepas dari keinginan manusiawi. Kebenaran teologi adalah

    kebenaran korelasional, atau yang biasa Hassan Hanafi sebut sebagai

    persesuaian antara arti naskah asli yang berdiri sendiri dengan kenyataan

    obyektif yang selalu berupa nilai-nilai manusiawi yang universal, sehingga

    suatu penafsiran bisa bersifat obyektif, bisa membaca kebenaran obyektif

    yang sama pada setiap ruang dan waktu. Hassan Hanafi menegaskan,

    rekonstruksi teologi tidak harus membawa implikasi terhadap hilangnya

    tradisi-tradisi lama. Rekonstruksi teologi untuk mengkonfrontasikan

    ancaman-ancaman baru yang dating ke dunia menggunakkan konsep yang

    terpelihara murni dalam sejarah.44

    Menurut Hassan Hanafi, rekonstruksi teologi sekurang-kurangnya

    dilatar belakangi oleh tiga hal, sebagai berikut: Pertama, kebutuhan akan

    adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah-tengah pertarungan global

    antara berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru ini bukan semata

    pada sisi teoritisnya, melainkan terletak pada kepentingan praktis untuk

    secara nyata mewujudkan ideology sebagai gerakan dalam sejarah, salah

    43 Syarifuddin,”Konsep Teologi Hassan Hanafi”,Jurnal Subtantia, Vol.14, No.2, Oktober

    2012. Hlm. 204. 44 Ibid,”hlm.205.

  • 24

    satu kepentingan praksis ideologi Islam (dalam teologi) adalah memecahkan

    kemiskinan dan keterbelakangan di negara-negara muslim. Dan ketiga,

    kepentingan teologi yang bersifat praksis, yaitu secara nyata diwujudkan

    dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia Islam.45

    Dikarenakan menganggap teologi Islam tidak “ilmiah” dan tidak

    “membumi” maka Hassan Hanafi mengajukan suatu konsep baru yang

    tujuannya adalah dalam rangka menjadikan teologi tidak sekedar sebagai

    dogma keagamaan, melainkan harus menjelma sebagai ilmu tentang

    perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi secara aktual sebagai

    landasan etik dan motivasi tindakan manusia. Karena itu, gagasan-gagasan

    Hassan Hanafi yang berkaitan dengan teologi, berusaha untuk

    mentransformulasikan teologi tradisional yang bersifat teosentris menuju

    antroposentris, dari Tuhan kepada manusia (bumi), dari tekstual kepada

    kontekstual, dan dari teori kepada tindakan,serta dari takdir menuju

    kehendak bebas. Pemikiran ini minimal didasarkan atas dua alasan, yaitu:

    pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah

    pertarunga global antara berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru

    bukan hanya bersifat teoritik, akan tetapi sekaligus juga praktis yang bisa

    mewujudkan sebuah gerakan dalam sejarah.46

    Menurut Hassan Hanafi teologi pembebasan mengambil beberapa

    hal positif dari teologi-teologi sebelumnya. Adapun kelebihan dari teologi

    ini adalah memprioritaskan hal-hal yang praksis dari pada yang teoritis,

    mengambil tempat di tengah kaum yang tertindas, sebagai alat perjuangan

    dalam wilayah sosial dan politik, dan melakukan pembebasan melalui

    teologi sekaligus berlaku bagi manusia.47

    45 Ibid”, hlm.205. 46 Ibid,”hlm.205-206. 47 Hassan Hanafi, Bongkar Tafsir: LIberalisasi, Revolusi, Hermeneutik, terj. Jajat Hidayatul

    Firdaus (Yogyakarta: CV Arruz Book Gallery, 2003), hlm. 123.

  • 25

    BAB III

    TEOLOGI PEMBEBASAN

    Bab ini akan menjelaskan tentang sejarah perkembangan teologi

    pembebasan untuk . memahami pembahasan selanjutnya. Dimulai dari awal

    kemunculan teologi pembebasan di Barat hingga perkembangannya di dunia

    Islam untuk memahami pemikiran teologi pembebasan Hassan Hanafi.

    A. Sejarah Teologi Pembebasan di Barat

    Teologi pembebasan adalah refleksi iman yang kritis atas kehidupan

    manusia. Karena itu pemahaman mengenai iman harus selaras dengan

    konteks dan titik tolak orang yang bersangkutan. Teologi pembebasan

    menurut Leonardo Boff, adalah pantulan pemikiran, sekaligus cerminan dari

    keadaan nyata, suatu praxis yang sudah ada sebelumnya atau pengungkapan

    suatu gerakan sosial yang amat luas.48 Istilah pembebasan di dalam

    pemikiran teologi pada mulanya dimunculkan oleh Gustavo Guiterrez

    dilatarbelakangi oleh kondisi Amerika Latin yang pada waktu itu keadaan

    politik dan kemasyarakatan dikuasi oleh Kolonialisme Barat yang ditaktoral

    dan menguasai Gereja baik Katolik maupun Protestan. Sementara rakyatnya

    diperbudak dan dikuasai oleh orang kaya dan golongan atas sebagai tuan

    tanah. 49

    Pemikiran pembebasan ini merupakan kelanjutan dari pemikiran

    sebelumnya yang berdimensi pembebasan atas ketidakadilan misalnya

    Dussel mengistilahkan dengan Teologi Kenabian yang berdimensi

    memperjuangkan hak hidup komunitas tertentu dari apa yang disebut dengan

    Teologi Kristiani Baru (1930-1962 ) yang memusatkan perhatian pada

    perjuangan persamaan dalam kehidupan berpolitik dan kehidupan

    bermasyarakat.50

    48 Micahael Lowy, Teologi Pembebasan: KIri Marxisme & Mlarxisme kritis, (Yogyakarta:

    Insist Press, 2013). Hlm.19. 49 Mateus Mali,”Guiterrez Teologi Pembebasan: Orientasi Baru,” Vol. 25 No.01. (April

    2016).hlm.24 50 Francis Wahono, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praktis dan Isinya

    (Yogyakarta:Lkis,2000), hlm.24

  • 26

    Pemikiran pembebasan pada awalnya memusatkan diri pada

    kepribadian sosial dan cara berteologi yang konservatif kepada teologi

    rasionalistis spekulatif melalui berbagai gerakan sosial. Gerakan mulai

    muncul di Amerika Latin dan Afrika secara bertahap. Klimaks dari gerakan

    pembebasan yang muncul di Amerika Latin dan Afrika kemudian menyebar

    ke Asia dan negara-negara lainnya sehingga teologi ini dikenal sebagai

    Teologi Dunia Ketiga (Third World Teologian).

    Perkembangannya dari Teologi LIberacism Gustavo Guiterrez

    sampai menyebar sebagai sebuah gerakan dunia ketiga, diperkirakan

    sebelum Konsili vatikan II (1962), yang tahapan-tahapannya dapat dibagi

    dalam tiga tahapan perkembangan, yaitu :51

    Pertama, berlangsung dari tahun 1962 sampai dengan konferensi

    para Uskup Amerika Latin di Medellein tahun 1968. Tahap ini teologi

    pembebasan masih berciri gerakan sosial, pertumbuhan ekonomi dan

    pembangunan (development).

    Kedua, berlangsung dari tahun 1968 sampai tahun 1972. Pada tahap

    ini teologi pembebasan telah membaku di Afrika dan lahir dalam aspek

    kehidupan. Pembakuan ini dilaksanakan melalui berbagai pertemuan dan

    symposium internasional. Dan klimaksnya ketika terbitnya buku A Theology

    of Liberation (Gustavo Guiterrez).

    Ketiga, fase berkembangnya pemikiran kebebasan ke Afrika dan

    dunia ketiga. Pada fase ini selalu terbentuknya Gereja-gereja dunia ketiga

    dan memisahkan diri dari Gereja Barat, teologi pembebasan sebagai sebuah

    Action Oriented juga memberi pengaruh besar pada teologi agama lainnya.

    Dan pada fase itu, di Amerika Latin sendiri berdampak pada keamanan yang

    menjadi tidak kondusif akibat dari berkembangnya pemikiran pemikiran

    pembebasan ini. Karena dengan lahirnya Teologi Pembebasan ini telah

    berdampak pada situasi politik keagamaan dan kehidupan sosial

    kemasyarakatan yang selama ini dikendalikan oleh Kolonialisme dan

    Teologi Dogmatika yang berlandaskan pada Gereja Ortodoks Barat.52

    51 Ibid, hlm.27. 52 Ibid. hlm.30.

  • 27

    B. Teologi Pembebasan Dalam Islam

    Teologi bukanlah ilmu yang suci, akan tetapi adalah murni hasil

    refleksi manusia terhadap realitas lewat satu kerangka pandangan. Tidak ada

    teologi yang bersifat eternal yang selalu cocok dalam setiap ruang dan

    waktu. Teologi oleh karena itu, jelas dikontruksi secara sosial.

    Teologi klasik, muncul lebih karena faktor politik dari pada murni

    persoalan teologis.53 Istilah teologi diambil dari khazanah dan tradisi

    skolastik Kristen. Secara etimologi, teologi berasal dari kata Theos yang

    artinya “Tuhan”dan Logos yang artinya “Ilmu”. Jadi teologi berarti “ilmu

    tentang Tuhan” atau ilmu yang membicarakan tentang zat Tuhan dari segala

    segi dan hubungan-Nya dengan alam.

    Dalam peradaban Islam perbedaan teologi sudah mencuat ke

    permukaan sejak dimulainya pergolakan politik pasca arbitrase namun

    teologi Islam, Ilmu Kalam dikenal sebagai ilmu ke-Islaman berdiri sendiri

    baru pada masa pemerintahan Khalifah al-Makmun (813-833) yaitu sejak

    ulama Mu’tazilah mempelajari filsafat dan memadukannya denhgan sistem

    ilmu kalam.

    Secara politis memang pergolakan politik dan kemelut pertempuran

    antara kelompok Ali Ibn Abi Thalib dengan kelompok Mu’awiyah sudah

    diakhiri dengan bingkai arbitrase, namun pada kenyataannya pertentangan

    tersebut bahkan makin tajam. Ketegangan politik yang semakin meningkat

    tersebut semakin menambah bencinya golongan Khawarij yang sejak semula

    tidak setuju dengan adanya arbitrase.54

    Dengan masuknya ilmu filsafat dalam dunia Islam tentu saja

    problematika teologi yang tengah menjadi perdebatan segera disambut oleh

    para ulama yang menekuni bidang filsafat. Mereka mencoba menggulirkan

    paradigm teologi yang bercorak filosofis. Hal ini wajar karena memang

    paradigm yang dikedepankan ulama sebelumnya lebih bercorak dogmatis.55

    53 Agus Nuryatno, Islam, Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Gender: Studi atas

    Pemikiran Asghar Ali Engineer, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 26. 54 Hamzah, Teologi Sosial: Telaah Pemikiran Hassan Hanafi, (Yogyakarta: Graha Ilmu)

    hlm. 21. 55 Ibid,hlm. 23.

  • 28

    Munculnya teologi selalu mencerminkan ekspresi spirit suatu masa.

    Menurut Hassan Hanafi teologi selalu mencerminkan dua spirit. Pertama,

    spirit ingin melestarikan status quo. Kedua, teologi yang mempunyai spirit

    dinamis dan diproyeksikan untuk mengubah status quo.

    Menurut Ashgar Ali Engineer, teologi tidak hanya bersifat

    transendental, akan tetapi juga bersifat kontekstual. Teologi yang hanya

    concern terhadap persoalan-persoalan transendental atau metafisis akan

    tercerabut dari masalah-masalah dunia. Dengan kata lain, ia akan kehilangan

    relevansinya terhadap masalah-masalah aktual.

    Teologi pembebasan, menurut Asghar Ali Engineer lebih dari

    sekedar teologi rasionalnya kaum modernis. Teologi rasional

    dikampanyekan oleh para ilmuan seperti Jamaluddin al-Afghani (1987),

    Muhammad Abduh (1905), dan Ahmad Khan (1898), terlalu banyak

    menekankan pada banyak aspek akal dan mengumandangkan kebebasan

    dalam berfikir dalam menafsirkan teks Kitab Suci.56

    Asghar Ali Engineer menerangkan bahwa teologi pembebasan Islam

    tidaklah membatasi dirimya bergulat dalam wilayah yang murni spekulatif,

    tetapi meluaskan wilayah cakupannya pada masalah praksis. Yang dimaksud

    praksis disini mengacu kepada teori dan praktek, iman dan amal. Lewat

    praksis teologi pembebasan dapat menjadi instrument yang paling kuat

    untuk mengemansipasi masyarakat bawah dari genggaman penguasa mereka

    yang eksploitatif dan memberikan inspirasi bagi mereka untuk bertindak

    dengan suatu revolusi yang dahsyat untuk melawan tirani, ekploitasi dan

    persekusi.57

    Tujuan utama teologi pembebasan ialah bagaimana dapat lebih

    bermakna bagi kelompok marginal dan lemah. Asghar Ali Engineer

    menegaskan bahwa agama bisa menjadi candu atau kekuatan revolusioner.

    Semua tergantung bagaimana agama ditafsirkan dan digunakkan. Agama

    menjadi candu manakala ia beralienasi dengan kekuatan status quo. Dalam

    56 Agus Nuryatno, Islam, Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Gender: Studi atas

    Pemikiran Asghar Ali Engineer, hlm. 27. 57 Ibid,”hlm 28.

  • 29

    konteks ini agama hanya akan menjadi terminology Marx, “ keluh kesah

    manusia tertindas”. Dalam pengertian, agama tidak lagi bermakna bagi

    kaum tertindas karena ia berperan sebagai pelanggeng kondisi yang tidak

    manusiawi dari pada pengubah kondisi tersebut. Agama harus menjadi

    sumber motivasi bagi kaum tertindas untuk merubah keadaan mereka, dan

    menjadi kekuatan spiritual untuk mengkomunikasikan dirinya secara berarti

    dengan dan memahami aspek-aspek spiritual yang lebih tinggi dari realitas

    ini.58

    Munculnya teologi pembebasan tidak dapat dipisahkan dengan

    eksisnya ketidakadilan, eksploitasi dan penindasan. Kondisi ketidakadilan

    tidaklah datang dari langit, akan tetapi lebih dikonstruksi oleh manusia lewat

    kekuatan-kekuatan opresif. Karena mayoritas masyarakat manusia yang

    tertindas hidup di dunia ketiga, maka tidak megherankan jika model teologi

    seperti ini mendapatkan lebih banyak apresiasinya di negara ketiga. Kalau

    agama adalah sebuah proses, dan penurunannyapun tidak tiba-tiba, maka

    berbicara wahyu berarti berbicara tentang kemanusiaan, pun demikian

    halnya dengan pembahasan mengenai teologi pembebasan.

    Teologi Pembebasan tidak menghendaki status quo yang melindungi

    orang kaya berhadapan dengan golongan miskin. Dengan demikian teologi

    ini bersifat anti kemapanan. Teologi pembebasan memainkan peranannya

    dalam membela kaum tertindas dan membekali mereka dengan senjata

    ideologis.59 Teologi pembebasan mengambil beberapa hal positif dari

    teologi-teologi sebelumnya. Adapun kelebihan dari teologi ini adalah

    memprioritaskan hal-hal yang praksis dari pada yang teoritis, mengambil

    tempat di tengah kaum yang tertindas, sebagai alat perjuangan dalam

    wilayah sosial dan politik, dan melakukan pembebasan melalui teologi

    sekaligus berlaku bagi manusia.60

    58 Asghar Ali Engineer,”Islam dan Teologi Pembebasan”, terj. Agung Prihantoro

    (Yogyakarta: Pustaka belajar, 2015), hlm 32. 59 Asghar Ali Engineer,”Islam dan Teologi Pembebasan”, terj. Agung Prihantoro

    (Yogyakarta: Pustaka belajar, 1999), hlm.2. 60 Hassan Hanafi, Bongkar Tafsir: LIberalisasi, Revolusi, Hermeneutik, terj. Jajat Hidayatul

    Firdaus (Yogyakarta: CV Arruz Book Gallery, 2003), hlm. 123.

  • 30

    BAB IV

    ANTROPOSENTRISME DALAM PEMIKIRAN TEOLOGI

    PEMBEBASAN HASSAN HANAFI

    A. Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme

    Ada yang perlu dibenahi dalam pemikiran kita terkait dengan

    masalah sikap percaya atau beriman kita kepada Allah. Dalam pandangan

    keagamaan kita, terdapat kesan yang amat kuat bahwa bertauhid hanyalah

    berarti beriman atau percaya kepada Allah. Kita merasa sudah menganggap

    cukup bertauhid itu hanya semata-mata percaya kepada Allah, dan berhenti

    pada pengertian itu saja. Sebenarnya kalau kita mengelaborasi lebih jauh dan

    teliti terhadap Al-Qur’an, ternyata hal itu tidaklah sepenuhnya demikian.

    Misalnya, orang-orang musyrik di Makkah yang memusuhi Rasulullah

    dahulu itu adalah zaman kaum yang benar-benar percaya pada Allah.

    Difirmankan dalam Q.S Az-Zumar (38):

    اْْل ْرض ل ي ق ول نَّ َّللاَّ ۚ ات و او ل ق السَّم ْن خ ل ئ ْن س أ ْلت ه ْم م أ ْيت مْ و ْن د ون ق ْل أ ف ر ا ت ْدع ون م م

    ك ات ْمس ةٍّ ه ْل ه نَّ م ْحم اد ن ي ب ر ه أ ْو أ ر ر ف ات ض اد ن ي َّللاَّ ب ض ر ٍّ ه ْل ه نَّ ك اش ر َّللاَّ إ ْن أ

    ت ه ۚ ْحم ْسب ي َّللاَّ ۖ ر ل ون ق ْل ح ك ت و كَّل اْلم ع ل ْيه ي ت و

    Artinya: “Dan sungguh jika kau (Muhammad) tanyakan kepada mereka,

    siapakah yang menciptakan seluruh langit dan bumi? Pastilah mereka

    akan menjawab, Allah! Katakan: Apakah telah kamu renungkan sesuatu

    (berhala) selain Allah itu? Dan jika Dia menghendaki rahmat untukku,

    apakah mereka (berhala-berhala) itu mampu, menahan rahmat-Nya?

    Katakan (Muhammad): Cukuplah bagiku Allah (saja), Kepada-Nyalah

    bertawakkal mereka yang (mau) bertawakkal.”

    Dalam Q.S Al-Ankabut ayat 63:

    اًء ف أ ْحي ا ب ه اء م ن السَّم ل م ْن ن زَّ ل ئ ْن س أ ْلت ه ْم م ا ل ي ق ول نَّ َّللاَّ ۚ و ْوت ه ْن ب ْعد م ق ل اْْل ْرض م

    ۚ َّ ْمد ّلِل ه ْم ال ي ْعق ل ون اْلح ب ْل أ ْكث ر

    Artinya: “Dan sungguh jika kau (Muhammad) tanyakan kepada mereka,

    “Siapa yang menurunkan air (hujan) dari langit, sehingga depan air itu

  • 31

    dihidupkan bumi (tanah) sesudah kematiannya? Pastilah mereka akan

    menjawab, “Allah”! Katakan: Alhamdulilah! Tetapi kebanyakan dari

    mereka itu tidak berakal!

    Orang Arab sebelum Islam sudah percaya kepada Allah. Mereka

    juga percaya bahwa Allah yang menciptakan alam raya (seluruh langit dan

    bumi), serta yang menurunkan hujan. Meski begitu, mereka tidak dapat

    dinamakan kaum beriman dan karenya, juga idak dapat disebut kaum tauhid.

    Sebaliknya mereka disebut yang mempersekutukan Tuhan. Padahal mereka

    pun mengakui dan sadar betul bahwa sekutu atau “pemeran serta” dalam

    keilahian Tuhan itu juga ciptaan Tuhan belaka, bukan Tuhan itu sendiri,

    melainkan sesama makhluk seperti manusia. Hal ini digambarkan dalam Q.S

    al-Zukhruf ayat 87:

    ل ق ه مْ ْن خ ل ئ ْن س أ ْلت ه ْم م ي ْؤف ك ون ف أ نَّى ل ي ق ول نَّ َّللاَّ ۖ و

    Artinya: “Dan jika kau (Muhammad) tanyakan kepada mereka (orang-

    orang kafir), siapa yang menciptakan mereka (sesame manusia yang mereka

    sembah selain dari Allah itu?, Mereka (orang-orang kafir) itu pasti akan

    menjawab,”Allah”! Maka bagaiman mereka terpalingkan (dari

    kebenaran)”

    Firman-firman tentang penuturan orang kafir itu dengan jelas

    membawa kita kepada kesimpulan bahwa tauhid tidaklah cukup dan tidak

    hanya berarti percaya kepada Allah saja, tetapi mencakup pula pengertian

    yang benar tentang siapa Allah yang kita percayai itu dan bagaimana kita

    bersikap kepada-Nya serta kepada obyek-obyek selain Dia.61

    Dalam pengertian ini, maka sebenarya keimanan kita masih dalam

    pengertian percaya kepada Tuhan dan belum terimplementasikan dalam

    kehidupan nyata. Sehingga keimanan kita masih dapat menimbulkan

    dampak sampingannya, yaitu pembelengguan pribadi dan pemerosotan

    harkat dan kemanusiaan. Terhadap diri kita sendiri kita seolah-olah terbatasi,

    dan terhadap sesame manusia kita tidak mau peduli. Mestinya tidak seperti

    itu, justru dengan keimanan kita kepada Allah, mengikuti pepatah Arab,

    arrajulu ibnu bi’atihi, mestinya kita harus lahir menjadi pelopor yang

    61 M. Gufron,” Transformasi Paradigma Teologi Teosentris Menuju Antroposentris”,

    Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 3, No.1, Juni 2018. Hlm. 153

  • 32

    tanggap terhadap lingkungan kita. Realitas yang ada di depan mata kita

    seperti terjadinya penjajahan, perampasan hak, penindasan, pembodohan,

    dan kemiskinan.62

    Untuk menghindari kesalah fahaman itu, mesti untuk dilakukan

    revitalisasi dan reaktualisasi tauhid atau ilmu kalam kita yang masih bersifat

    teosentris dan utopis. Mentranformasikan paradigm teologi Islam, dari

    teosentris menuju antroposentris. Bagi Hassan Hanafi, rekonstruksi teologi

    tidak harus membawa seseorang atau masyarakat untuk menghilangkan

    tradisi-tradisi lama. Rekonstruksi teologi pada dasarnya dimaksudkan untuk

    menghadapkan ajaran Islam pada ancaman-ancaman baru yang ada pada era

    kontemporer. Dalam rangka memenuhi tuntutan tersebut, maka tradisi klasik

    digali sedemikian rupa untuk kemudian dituangkan dalam kehidupan saat

    ini. Teologi harus mampu menjawab persoalan yang kontekstual tidak hanya

    berkutat pada persoalan yang sudah usang. Dengan demikian teologi mampu

    menjawab tantangan zaman dan merespon kepentingan masyarakat.63

    Rekonstruksi teologi dari teosentrisme ke antroposentrisme memiliki

    tujuan agar mendapat keberhasilan duniawi dan tidak mengalami stagnansi.

    Dalam hal ini adalah dengan memenuhi kebutuhan akan kemerdekaan,

    kemajuan, kesamaan kelas sosial, penyatuan kembali identitas dan

    mobilisasi massa. Teologi seperti ini menjadikan manusia sebagai sentral,

    dimana manusia dengan berbagai polemiknya menjadi tolak ukur dalam

    perumusan teologi tersebut. Karena secara obyektif, begitulah hukum yang

    mestinya dijalani manusia. Inilah keseimbangan dalam menggapai

    kemuliaan di dunia sekaligus di akhirat.64

    Salah satu alasan mengapa harus ada pergeseran paradigma

    antoposentris adalah tidak adanya diskursus mengenai sejarah dalam

    keilmuan Islam Klasik. Al-Farabi misalnya, dalam kitabnya Ihsa al-ulum

    telah mengklasifikasi ilmu menjadi lima, yaitu: ilmu bahasa, ilmu logika,

    62 Ibid,” hlm.154. 63 Aisyah,” Hassan Hanafi dan Gagasan Pembaharuannya,” Jurnal Sulesana Volume 6 No

    2 tahun 2011, hlm. 65. 64 Hassan Hanafi,’Islamologi 3: Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme”, terj. Miftah Faqih

    (Yogyakarta: LKis, 2004), hlm. Vii.

  • 33

    ilmu matematika, ilmu sosial, dan ilmu fiqh. Sedangkan ilmu sejarah lahir

    bersamaan dengan ilmu tauhid, ushul fiqh, dan sosial. Sehingga tidak ada

    independensi yang dimiliki ilmu sejarah.65

    Sementara itu, Ibnu Sina dalam kita Aqsam al Hikmah al-Aqliyah,

    juga tidak memberikan posisi yang independen pada ilmu sejarah. Pada diri

    Al-farabi, Hanafi menunjukkan bahwa ketiadaan diskursus tentang sejarah

    terletak pada konstruksinya mengenai masyarakat ideal. Sementara pada

    Ibnu Sina, Hanafi menunjukkan ketiadaan diskursus tentang sejarah pada

    deskripsi Ibnu Sina mengenai “apa yang terjadi” dalam etika, politik, dan

    ekonomi.66

    Hanafi mengkritik cara pandang yang cenderung menempatkan

    agama pada wilayah Tuhan semata. Dalam pandangan tersebut coraknya

    masih bersifat teosentris. Paradigma berfikir dan penghayatan seperti itu

    meniscayakan bahwa segala sesuatu yang dilakukan adalah hanya untuk

    Tuhan semata dan sekaligus mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan.

    Pengabdian kepada Tuhan yang ritualistic lebih diutamakan dan

    dikumandangkan. Padahal, Tuhan tidak berkepentingan atas ibadah

    manusia, karena manusia lah yang sebenarnya membutuhkan ibadah

    tersebut.67

    Yang paling membahayakan dari tipologi pemahaman tersebut

    adalah kecenderungan pada romantisme agama”, dalam keadaan seperti ini

    manusia lupa bahwa agama tidak hanya persoalan akhirat semata. Apabila

    hal itu terjadi, maka kemungkinan besar akan melenyapkan potensi manusia

    sebagai wakil Tuhan di muka bmi ini. Sadar akan kenyataan ini, Hassan

    Hanfi menawarkan teologi antroposentris, sebuah konstruksi teologi yang

    memiliki kepekaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.68

    65 Hassan Hanafi, Islamologi 3, Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme, terj. Miftah Faqih

    (Yogyakarta: LKis, 2004), hlm. 132. 66 Ibid”, hlm 132. 67 Chumaidi Syarif Romas, Wacana Teologi Islam Kontemporer (Yogyakarta: PT. Tiara

    Wacana, 2000),hlm. 138. 68 Ibid”, hlm,139.

  • 34

    Mengingat polemik kehidupan selalu menuntut adanya gerakan

    pemikiran baru demi perubahan, maka rumusan teologi seharusnya menjadi

    instrument yang akan mengantarkan pada perubasahan tersebut. Menggeser

    peradaban teosentris menuju antroposentris menjadi suatu keharusan dalam

    menjawab tuntutan zaman. Dalam tradisi teosentrisme, setiap doktrin selalu

    bermuara pada Tuhan meskipun ada tendensi kepentingan kekuasaan di

    dalamnya. Dengan kata lain, teosentrismepun sebenarnya adalah bagian dari

    upaya yang dilakukan pendahulu untuk menjawab tuntutan mereka.69

    Titik tolak Hassan Hanafi adalah realitas dunia Islam saat ini.

    Menurutnya merupakan keharusan untuk mengakhiri semua hal yang

    menghambat perkembangan dalam dalam dunia islam saat ini. Tradisi

    sebenarnya hanya mempunyai nilai manakala ia menjadi teori aksi bagi

    masyarakat sekaligus merekonstruksi hubungan manusia dengan Tuhan.70

    Revolusi kemanusiaan lebih didahulukan dari pada membangun

    aspek yang lain. Ini merupakan syarat bagi terwujudnya kehidupan yang

    lebih manusiawi. Teologi antroposentris yang dicanangkan oleh Hassan

    Hanafi sebenarnya dimaksudkan untuk melakukan interpretasi terhadap

    tradisi keilmuan Islam dan kemudian dijadikan sebagai ideology yang

    membela hak-hak kaum tertindas.

    Yang diinginkan Hanafi adalah pengalihan perhatian dalam bangunan

    epistemology. Di mana pada awalnya perhatian tersebut dipusatkan pada

    pembahasan mengenai Tuhan, pembahasan tentang langit, atau melayani

    penguasa. Dengan melakukan rekonstruksi maka diharapkan pusat perhatian

    keilmuan ditujukan untuk membangun manusia, membela rakyat,

    memperhatikan bumi, dan menuju revolusi.71

    Apa yang diupayakan Hassan Hanafi patut dijadikan pertimbangan

    bagi siapa saja, khususnya yang memiliki kepedulian terhadap nasib umat

    sekaligus stagnansi pemikiran dalam Islam dalam menyikapi

    69 Ibid”,hlm 140. 70 Riza Zahriyal dan Irzum farihah,’Pemikiran Teologi Hassan Hanafi”, Jurnal Fikrah, Vol.

    3.No. 1 ,Juni 2015, hlm. 206. 71 Hassan Hanafi, Dari Aqidah ke Revolusi, terj. Asep Usman Ismail (dkk) (Jakarta :

    Paramadina, 2003), hlm. 14.

  • 35

    keterbelakangan. Salah satu alasan mengapa para ahli kalam klasik membela

    eksistensi Tuhan adalah karena pada saat itu persoalan Ketuhanan

    merupakan sesuatu yang sering mendapatkan serangan. Dengan demikian,

    unsur “serangan” merupakan alasan mengapa para ahli kalam klasik

    melakukan pembelaan terhadap masalah Ketuhanan. Jika memang demikian,

    maka tepat apabila melakukan pembelaan terhadap eksistensi kemanusiaan

    dengan teologi sebagai dasar acuan, mengingat masalah kemanusiaan

    mengalami krisis di era kontemporer.72

    Agar pembahasan mengenai teosentrisme ini tidak ahistoris, maka

    perlu dijelaskan bagaimana corak pemikiran kalam klasik yang masih

    teosentris yang hendak diarahkan menuju keberpihakan kepada umat oleh

    Hassan Hanafi.sekaligus untuk menunjukkan bahwa munculnya teologi

    klasik tersebut juga sebagai respon atas permasalahan yang dihadapi pada

    masanya. Hasaan Hanafi sendiri mengakui bahwa dirinya lebih dekat

    dengan Mu’tazilah yang terkenal dengan rasionalitasnya.

    Pada abad IV SM. Alexander Yang Agung melakukan perluasan

    kekuasaan dengan membawa kaum militer dan juga kaum sipil untuk

    ditempatkan di wilayah yang akan ditaklukan. Di samping itu ia juga

    menanamkan budaya Yunani di daerah-daerah yang dimasukinya. Dengan

    demikian maka filsafatpun menjadi tersebar. Muncullah pusat-pusat

    peradaban Yunani seperti Iskandariah di Mesir, Antakia di Suria, Selopsia

    serta Jundisyapur di Iran.73

    Ketika daerah-daerah tersebut jatuh dibawah kekuasaan Islam

    muncul kebencian dari sebagian penduduk terhadap Islam. Meskipun

    demikian tidak ada paksaan bagi masyarakat untuk memeluk Islam.

    Golongan yang tidak senang dengan Islam kemudian melakukan

    penyerangan terhadap doktrin-doktrin Islam melalui argument filosofis.

    Serangan tersebut memancing sebagian umat Islam untuk menangkisnya

    72 Aisyah,” Hassan Hanafi dan Gagasan Pembaharuannya,” Jurnal Sulesana Volume 6 No

    2 tahun 2011, hlm. 64. 73 Chumaidi Syarif Romas, Wacana Teologi Islam Kontemporer (Yogyakarta: Tiara Wacana,

    2000), hlm. 21.

  • 36

    dengan argumen filosofis pula. Untuk itulah mereka mempelajari filsafat

    dan sekaligus justifikasi dengan menggunakkan Al-Qur’an dan sunnah nabi

    yang menempatkan akal di posisi yang tinggi.

    Kelompok tersebut kita kenal dengan sebagai Mu’tazilah, yang

    menjadi pelopor “rasionalisme” dalam Islam. Berkaitan dengan posisi akal,

    kaum Mu’tazilah percaya bahwa:

    1. Akal adalah kekuatan manusia, akal yang kuat sebagai indikasi bahwa

    manusia itu kuat, yaitu manusia dewasa. Manusia dewasa ini tentu

    berbeda dengan anak kecil. Karena manusia dewasa mempunyai

    kemampuan berfikir secara mendalam. Mu’tazilah menganut paham

    Qodariah, yang menekankan bahwa manusia mempunyai kebebasan

    baik dalam berfikir maupun berbuat.

    2. Pemikiran mereka yang menekankan pda konsep Tuhan Yang Maha

    Adil. Konsep Keadilan Tuhan inilah yang kemudian membawa pada

    keyakinan adanya hukum alam yang disebut sunatullah. Dengan

    sunatullah itu maka alam berjalan menurut peraturan tertentu. Dan

    peraturan itu perlu dicari untuk kemaslahatan manusia.

    3. Menempatkan akal pada kedudukan yang tertinggi. Mereka tidak mau

    tunduk secara harafiah dari teks wahyu yang tidak sejalan dengan

    rasionalitas. Dengan kata lain mereka menekankan pentingnya makna.

    Mereka dikenal banyak memakai ta’wil dalam memahami wahyu.

    Teologi Mu’tazilah inilah yang telah membawa perkembangan

    peradaban Islam pada abad VII dan XIII M. Dengan keyakinanakan akan

    tingginya kedudukan akal kaum Mu’tazilah menjadi inspirator bagi

    kemajuan baik dalam filsafat maupun sains.74

    Filosof besar pertama al-Kindi, (796-873) dengan tegas mengatakan

    bahwa antara filsafat dan agama tidak ada pertentangan. Al-Kindi

    mengartikan filsafat sebagai pembahasan mengenai yang benar. Begitu juga

    dengan agama yang menjelaskan mengenai yang benar. Maka dari itu tidak

    ada pertentangan antara keduanya. Dalam pandangan al-Kindi filsafat yang

    74 Chumaidi Syarif Romas, Wacana Teologi Islam Kontemporer (Yogyakarta: Tiara Wacana,

    2000), hlm. 22-23.

  • 37

    termulia adalah filsafat ketuhanan atau teologi. Mempelajarinya bukan

    hanya diperbolehkan tetapi diwajibkan.75

    Al-Kindi mempunyai konsep yang ia sebut sebagai “al-Haqq al-

    Awwal”. Konsep ini bermaksud memurnikan ke-Esa-an Tuhan dari arti yang

    banyak. Kebenaran yaitu sesuainya konsep dalam akal dengan benda

    bersangkutan yang berada diluar akal. Adapun benda-benda diluar akal

    merupakan sesuatu yang bersifat particular. Bagi filsafat, yang terpenting

    bukanlah sesuatu di luar hakikat aklan tetapi hakikat itu sendiri.76

    Usaha pemurnian tauhid juga dilakukan oleh al-Farabi yang terkenal

    dengan filsafat emanasinya. Emanasi berati pancaran.pemikiran al-Farabi

    tersebut menjelaskan tentang dirinya dan pemikiran Tuhan tersebut

    merupakan daya atau energi. Dari pemi