Antropologi (Bicara) Cinta

20
1 03 BULETIN ANTROPOS Hé-MAn UI Februari 2015 Cerita Cinta Lagi, Lagi-lagi Cerita Cinta etnomini: Si Bilik & Si Air Dingin CERITA PERJALANAN: Flipped Resensi Film: Resensi Buku: Eleanor & park

description

 

Transcript of Antropologi (Bicara) Cinta

Page 1: Antropologi (Bicara) Cinta

1

03BULETIN ANTROPOS Hé-MAn UIFebruari 2015

Cerita Cinta Lagi, Lagi-lagi Cerita Cinta

etnomini:Si Bilik &Si Air Dingin

CERITA PERJALANAN:

Flipped

ResensiFilm:

ResensiBuku:

Eleanor & park

Page 2: Antropologi (Bicara) Cinta

2

DARA“Bagaimana tanggapan kalian

tentang perayaan hari Valentine ?”

“............. gak harus dirayakan bersama pasangan. Karena namanya hari kasih sayang, jadi bisa juga dirayakan bersama orang-orang lain yang disayangi, seperti sahabat, adik atau kakak, dan orangtua. Sebenarnya, menunjukkan rasa sayang itu bisa dilakukan setiap hari, tapi apa salahnya menunjukkannya dengan lebih pada tanggal 14 Februari” - Dhea

“Perayaan hari Valentine sebenernya nggak terlalu penting buat dirayain karena kasih sayang harusnya ditunjukkin tiap hari. Tapi asik aja ngerayainnya, buat lucu-lucuan. Siapa tau dapet coklat “ - Pede

“Hari kasih sayang? Beli bunga dan coklat? Pfft, lebih baik rayakan kasih sayang dan cinta tiap hari tanpa harus objektifikasi dan komodifikasi cinta itu sendiri. Mari bercinta! “ - Febi

“Hari Valentine atau yang biasa disebut hari kasih sayang cenderung diterima sebagai “hari pemberian hadiah kepada orang yang kita sayang”. Padahal, tanda sayang tidak hanya dapat diungkapkan melalui pemberian hadiah, tetapi bisa juga melalui berbagai tindakan positif yang kita berikan atau persembahkan kepada orang yang kita sayang tersebut se-hingga dirinya dapat merasakan kebahagiaan atas kasih sayang yang kita berikan, seperti memberikan perhatian yang lebih, saling menghormati, dan sebagainya. Dengan begitu, kita akan dapat mencapai kondisi di mana hari kasih sayang sebatas hanya tanggap 14 februari, tetapi setiap hari adalah hari kasih sayang!” - Widi

“Perayaan Valentine tgl 14 Februari saat ini secara sadar atau gak, sudah jadi bagian dari kebudayaan masyarakat Indonesia meskipun asal mulanya gak dari Indonesia. Yang paling penting sih sebenernya selalu menyayangi sesama setiap saat supaya lebih berarti hidupnya.” - Nana

“Valentine itu hari raya materialisasi kasih sayang, suatu hari ketika orang akan mengukur pribadi orang lain dari ‘bentuk’ kasih sayang yang diperoleh.” - Marvin

“Perayaan Valentine identik sama memberi bunga dan coklat kepada orang terkasih terutama di kalangan remaja. Tapi, buat apa menunggu setahun sekali untuk ungkapin rasa cinta kalo setiap hari bisa dijadikan hari kasih sayang tanpa harus ditentukan waktunya? “-Dian

“Menurut gue, hari Valentine itu seharusnya dirayakan setiap hari. Kenapa? Karena setiap hari adalah hari kasih sayang! Hahaha” - Fai

“Mungkin Valentine merupakan sebuah ungkapan kasih sayang terhadap orang terkasih yang ditunjukkan dengan pemberian coklat dan bunga. Ungkapan kasih sayang tidak cukup dengan hanya pemberian coklat dan bunga namun perhatian dan pengertian merupakan bentuk nyata dari sebuah kasih sayang.” - Saras

Page 3: Antropologi (Bicara) Cinta

3

Editorial

Haloo kerabat-kerabat Antropologi dan seluruh warga FISIP! Februari telah tiba! Semangat kuliah lagi yuk! Untuk mengawali semester ini, Antropos akan menyajikan

sesuatu yang ringan-ringan untuk dibaca. Yap, karena sebentar lagi tanggal 14 Februari –yang sering disebut sebagai hari kasih sayang

(Valentine’s Day)— akan tiba, maka sepertinya akan menarik jika melihat hal-hal terkait kasih sayang atau cinta dari segi yang berbeda. Membahas ‘Cinta’ dari segi Antropologi? Memangnya bisa? Jelas bisa! Simak keseruan bahasannya pada rubrik Etnomini ya! Selain menyajikan bahasan dari segi antropologi, kami julga memberi-

kan rekomendasi film dan buku yang cocok dinikmati di hari kasih sayang. Berkasihsayanglah setiap hari.

Selamat membaca!

Editor: Dhea Erissa | Reporter: Dian Anisa, Febi Rizki, Maria Vina, Nadira Puspa, Raden Fairuz, Saras Fauzia, Widiningsih. | Layout: Fikriana |[email protected]

EDISI

KALI INI

DI

DARA ..... 2Editorial ..... 3Resensi Buku: Eleanor & park ..... 4Dokumentasi ..... 5Tokoh ..... 6Opini ..... 8Etnomini: Cerita Cinta Lagi ..... 10Resensi Film: Flipped ..... 14Cerita Perjalanan: Giska Adilah ..... 15Events: MAC 2014 ..... 17Saran & Kritik ..... 18

Page 4: Antropologi (Bicara) Cinta

4

Resensi Buku

Tidak seperti cerita romantis tipikal anak SMA biasanya yang tokoh utamanya cantik, ganteng dan sempurna, Eleanor adalah seorang gadis baru, memiliki rambut merah dan baju yang aneh. Sedangkan Park adalah seorang laki-laki yang pendiam, memiliki kekuatan untuk menghindari perhatian kepada dirinya: sampai ia bertemu dengan Eleanor di bus. Mereka berdua duduk bersama, merasa awkward, tidak saling bicara, sampai mereka menemukan kesamaan: ketertarikan mereka pada komik dan musik.

Buku ini menceritakan bahwa:

first love almost never lasts but brave and desperate enough to try.

Judul: Eleanor & ParkPenulis: Rainbow Rowwell

Tahun: 2012

Page 5: Antropologi (Bicara) Cinta

5

Dokumentasi

Cinta sejati menguar tanpa mengenal waktu.Ia terus tumbuh dan lekat dengan keabadian,

sama halnya dengan cinta sejati tidak dapat dibuktikan hanya dalam satu hari selama setahun.

Spread the love everyday!

[Maria Vina]

Abadi

Page 6: Antropologi (Bicara) Cinta

6

Tokoh

CINTNTROPOLOGI ?A dan

Cinta dan Antropologi? Ya! Kali ini rubrik tokoh akan membahas cinta dari segi kultural. Bersama Rizki Adistria Ananda (Adis), salah satu kerabat Antropologi UI, yuk disimak bahasannya!

Apakah cara mengekspresikan cinta dapat dikatakan sebagai suatu hal yang bersifat kultural?Like any other human expression, the ways we express love is cultural. Sebagian orang lebih terbuka dalam menyatakan cinta—ciuman di tempat rame, misanya—sementara orang lain merasa bahwa itu hal yang nggak pantas, bahkan melanggar norma-norma tertentu. Jadi, ya, menurut gue cara manusia mengekspresikan cinta, termasuk apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, bisa dibilang bersifat kultural.

Bagaimana pendapat Adis pada pandangan yang melihat bahwa Valentine merupakan momentum materialisasi dan komodifi-kasi cinta (atau cara mengekspresikan cinta)?

Perasaan yang dipahami manusia sebagai cinta itu kan proses hormonal dan merupakan sesuatu yang abstrak sehingga perlu diekspresikan untuk menjadikannya ‘ada’. Pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan romantis di-harapkan bisa mewujudkan itu dalam bentuk yang riil. Selain afeksi, salah satu cara lainnya adalah pemberian materi. Ekspresi perasaan cinta yang dilaku-kan lewat cara-cara yang materialistis pun jelas bukan hal baru.

Page 7: Antropologi (Bicara) Cinta

7

Tokoh

NTROPOLOGI ?Orang ngasih bunga ke pasangannya, tukar cincin pada pernikahan atau mas kawin, bayarin makan di restoran, dan contoh bentuk transaksi lainnya adalah usaha-usaha afirmasi dan realisasi sesuatu yang nggak nampak, supaya orang lain bisa tahu bahwa, “Gue beneran cinta lho,” simpelnya kira-kira gitu. Intinya bagi gue: bukan hal yang buruk dan bukan sesuatu hanya terjadi pada hari Valentine. Kebetulan aja satu hari ini punya nama dan back story yang berbeda dari hari-hari yang lain. Momentous, yes. Over the top, no.

“the ways we express love is cultural.”

Dapatkah cinta (termasuk aspek-aspek terkait dengannya) menjadi kajian dalam Antropologi? (Seperti intimitas dapat menjadi kajian oleh Giddens)

Sehubungan dengan yang gue bilang sebelumnya: bisa. Bukan cintanya itu sendiri, tapi lebih kepada persepsi manusianya. Sudut pandang manusia terhadap pernikahan, kasih sayang, dan hasrat untuk mencinta terus berubah dari waktu ke waktu, serta berbeda antara kelompok masyarakat satu dengan yang lainnya. Menurut gue cara-cara manusia sehubungan dengan kehidupan percintaannya sangat kreatif dan maka itiu selalu menarik untuk dibahas, apalagi melalui kacamata antropologi.

(FEBI)

Page 8: Antropologi (Bicara) Cinta

8

Opini

Pada edisi Valentine’s Day kali ini, tim redaksi Antropos berkesempatan untuk memberikan sejumlah pertanyaan kepada dua orang mahasiswi Antropologi UI, yaitu Lesli Aninditasari (L) dan Raden Hezty Ramadhana Retta a.k.a Roro (R) seputar pendapat mereka mengenai perayaan Valentine’s Day. Untuk lebih lanjutnya, yuk mari disimak!

Antropos (A): Menurut Kamu, apa sih Hari Kasih Sayang (Valentine’s Day) itu?

(L): Valentine itu hari dinner sama pacar. Menjadi wajib demi eksis-tensi.(R): Hari valentine itu kan dikenal sebagai hari kasih sayang, umum-nya.. Kalau arti sebenarnya gak begitu tau sih, gak begitu ngikutin valentine soalnya hehe jadi gak kepo

(A) Penting atau gak sih merayakan hari tersebut? dan apa alasannya?

(L): Penting! Kan valentine cuma setahun sekali. Harus dirayakan dong(R): Ga penting-penting banget sih… Kalau buat gue ya kasih say-ang gak terpatok hari sama hari itulah. Cuma yang pentingnya itu soalnya banyak acara aja menjelang dan pas hari itu, Ya seru-seruan aja sih seneng sama acara-acara di hari itu.

Page 9: Antropologi (Bicara) Cinta

9

Opini

(A): Perayaan Hari Kasih Sayang (Valentine’s Day) awalnya bukan berasal dari masyarakat Indonesia. Namun saat ini

sudah banyak kalangan muda Indonesia, khususnya di perkotaan, melakukan tradisi ini bersama orang-orang ter-dekat mereka. Melihat hal ini, dari kacamata antropologi,

bagaimana menurutmu?

Kalau menurut gue, itu sih balik lagi ke masing-masing orang. Ya kan kita ga bisa membatasi orang harusnya begini harusnya begitu karena kebudayaannya ga sama atau apalah. Mereka yang menjalani ga salah juga sih selama ga ganggu kebudayaan kita, misalnya ngerayain hari valentinenya dengan festival kissing di jalan atau apalah. Tergantung sih liat dari kacamata mana, antropolog kan harus toleran. Misalnya kaya kalo dari islam, apalagi yang garis keras kalo gak salah emang agak dilarang, tetapi di luar itu kayanya oke-oke aja. Apalagi masyarakat Indonesia yang tipe-tipenya seneng hura-hura, ada peringatan valentine yang banyak acaranya gitu ya mereka seneng-seneng ajalah.

(DHEA)

Page 10: Antropologi (Bicara) Cinta

10

Etnomini

Cerita Cinta Lagi, Lagi-lagi Cerita Cinta

Siapa yang bosan membahas tentang cinta? Saya ingin tahu berapa banyak orang yang muak membicarakan problematika hati dan rasa. Mungkin ada, dan tidak sedikit yang sudah jengah membicarakan tentang cinta termasuk juga membaca cerita cinta. Tapi, saya masih yakin benar kalau cinta tetap jadi salah satu formula paling ampuh untuk membangkitkan gairah bercerita. Jadi mari sekali lagi, membicarakan tentang cinta. Mari sekali lagi mengikuti arus global yang isinya jadi cinta yang berbunga-bunga menjelang Valentine’s Day. Ya, tidak ada salahnya sesekali terhanyut pada kisah-kisah roman yang mengagungkan cinta. Kan, katanya cinta tidak pernah salah, ya kan?

Cerita CintaAda yang bilang kalau sebuah cerita akan tidak terlalu menarik untuk disimak jika tidak menyisipkan kisah cinta. Meski sekelebat, meski sekelumit, meski separagraf, bumbu-bumbu percintaan sebaiknya disisipkan agar lebih terasa manis. Cinta kadang juga dibubuhkan untuk meringankan muatan sebenarnya yang berat. Misalnya saja, apa yang sebenarnya disampaikan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia? Apakah hanya percintaan Minke dan Annelies? Tentu saja tidak! Pram membicarakan begitu banyak hal, tentang kolonialisme, tentang struktur sosial pada masa kolonial, tentang paradigma masyarakat di masa kolonial dan masih banyak lagi yang akan terasa jadi pe-renungan yang berat jika saja tidak dihadirkan dalam balutan roman serta alur cerita yang mengalir nikmat.

Memandang ke belakang, jauh sebelum Pram muncul dengan Tetralogi Bumi Manusianya, penggunaan kisah percintaan untuk menyampaikan ragam pesan moril atau isu lainnya jamak kita jumpai dalam cerita rakyat. Sebagaimana hakikat fungsi foklor seperti yang dimaktubkan James Danandjaja, cerita rakyat yang jadi bagian dari folklor memiliki kegunaan sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam. Maka tidak heran bila cerita rakyat yang biasa kamu baca, yang sekilas mungkin berkisah tentang lika-liku kisah cinta dua insan turut disesaki pesan-pesan tersirat di dalamnya.

Page 11: Antropologi (Bicara) Cinta

11

Etnomini

Ambil perumpamaan cerita rakyat masyarakat Bali tentang Jayaprana dan Layon Sari. Cerita ini bertutur tentang seorang pemuda bernama Jayaprana, ia adalah putra angkat dari seorang raja yang pernah memerintah Raja Buleleng. Alkisah, Jayaprana menikah dengan seorang gadis cantik jelita yang jadi pilihannya, gadis itu bernama Layon Sari. Pernikahan keduanya memang mendapat restu dari sang Raja Buleleng, akan tetapi sialnya sang Raja malahan tergila-gila pula dengan kecantikan Layon Sari dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan Layon Sari sebagai istrinya, termasuk mem-bunuh Jayaprana. Rencana diatur, siasat disusun, Jayaprana diberikan tugas fiktif untuk berkunjung ke Celuk Terima. Meski firasat sudah melekat erat dalam pikirannya, Jayaprana membiarkan diri untuk digiring menuju kematian, semua atas nama kepatuhan pada sang Raja Buleleng, ayah angkat-nya. Setelah kematian Jayaprana, Raja Buleleng pada akhirnya tidak berhasil pula memperistri Layon Sari karena Layon Sari memutuskan untuk bunuh diri menyusul suaminya yang lebih dulu mati.

Cerita Jayaprana dan Layon Sari yang awalnya tersebar dalam bentuk balada (ballad) atau syair yang diukir di atas daun lontar kering ini sesungguhnya memperlihatkan banyak sisi menarik selain kisah cinta itu sendiri. Jika kamu dapat menemukan versi lebih lengkap dan rinci mengenai cerita ini, gambaran kehidupan sosial budaya masyarakat Bali dapat terlihat disamping pesan lainnya yang ingin disampaikan tentang tentang kepatuhan, pengorbanan, kesetiaan, dan moralitas. Intinya sama, cerita cinta tidak hanya hadir sebagai cerita cinta semata tapi sebagai alat untuk menyampaikan hal-hal lainnya. Hal yang sebagian masih berkaitan seputar cinta dan sebagian lainnya mungkin bertolak belakang atau bahkan tak ada kaitannya.

Ada yang bilang kalau sebuah cerita akan tidak terlalu menarik untuk

disimak jika tidak menyisipkan kisah cinta

Page 12: Antropologi (Bicara) Cinta

12

Etnomini

Dari Antropologi Dengan Penuh CintaJika yang jadi pertanyaan besar selanjutnya adalah dimana letak sisi antropologinya dari semua cerita-cerita cinta yang ada? Jawabannya tentu saja ada! Seperti yang telah saya uraikan sebelumnya, cerita-cerita cinta yang sarat akan muatan isu-isu lain yang bukan romansa kerap menyinggung permasalah-an sosial budaya tempat yang jadi latar belakang cerita. Entah tentang bagaimana struktur sosial dalam masyarakat, sistem kepercayaan setempat, adat istiadat, dinamika kebudayaan yang ada, dan masalah-masalah sosial lainnya yang mengarah pada isu-isu antropologis. Tidak hanya itu saja, dalam hal persebaran dan pola-pola yang ada pada cerita cinta, terutama cerita cinta pada cerita rakyat, juga bisa lihat dari kacamata antropologi.

Mencoba untuk sedikit iseng mengaitkan pendekatan antropologi dengan cerita rakyat bermuatan cinta di Indonesia, rasanya pendekatan strukturalisme milik Lévi-Straussmerupakan salah satu yang bisa diambil sebagai pisau analisis kecil-kecilan. Secara sederhana strukturalisme merupakan pendekatan yang menekankan kepada analisis struktural suatu kebudayaan. Berhubung cerita rakyat adalah bagian dari folklor dan folklor tidak lain merupakan sebagian dari kebudayaan kolektif, maka kita dapat melihat adanya struktur kebudayaan dalam cerita rakyat. Saya coba ambil contoh sederhana yakni cerita Legenda Gunung Tangkuban Perahu yang memiliki struktur atau pola cerita yang sama dengan cerita Oedipus dari Yunani. Keduanya sama-sama bercerita tentang anak laki-laki yang jatuh cinta pada Ibunya sendiri. Cerita cinta, bukan? Meski cinta yang terlarang. Ada pesan-pesan yang ingin disampaikan, bukan? Tentang moralitas, tentang kehidupan sosial yang jadi latar belakang dan lain sebagainya.

Pendekatan strukturalisme selanjutnya bisa kita jumpai pada cerita- cerita lainnya. Coba perhatikan struktur atau pola-pola cerita cinta yang kamu ketahui, pasti kamu akan banyak menemukan kesamaan. Cinta yang ditentang orangtua karena status sosial yang berbeda, cinta yang tidak bisa bersatu dan berakhir tragis, cinta yang sempurna, cinta yang berbeda alam dan cinta-cinta lainnya. Benang merahnya mungkin sama saja antara cerita cinta yang ini dan yang itu, hanya masalah pengemasannya saja yang berbeda.

Page 13: Antropologi (Bicara) Cinta

13

Etnomini

Menutup tulisan ini, yang digagas sebagai etnomini, (padahal saya pun masih tidak yakin apakah ini sudah cukup mewakili etnomini seperti yang dibayangkan), saya ingin bertanya lagi, apakah kamu sudah bosan dengan cerita cinta? Kalau kamu sudah bosan, mungkin kamu bisa coba cara menarik lain untuk menikmati cerita cinta yang ada. Caranya adalah dengan menggunakan kacamata antropologi untuk me-lihat keseluruhan cerita cinta yang ada. Siapa tahu ternyata “muatan-muatan” lain didalamnya ternyata justru lebih menarik untuk disimak dan direnungkan dalam-dalam. Juga mencoba iseng mengait-kaitkan pendekatan antropologi dengan cerita cinta yang kamu baca, siapa tahu kamu menemukan pendekatan yang sebenarnya bisa dijadikan pisau analisis terkait dengan cerita cinta tersebut. Siapa tahu?

(Nina, Divisi Kelimuan)

Page 14: Antropologi (Bicara) Cinta

14

Resensi Film

Film coming-of-age yang mengambil latar tahun 1960-an ini bercerita tentang seorang anak perempuan bernama Julianna Baker (Madeline Carroll) yang memendam perasaan terhadap Bryce Loski (Callan McAuliffe) sejak pertama kali ia melihat laki-laki itu pindah bersama keluarganya ke depan rumahnya. Julianna selalu berusaha untuk mendekati Bryce, namun Bryce selalu mencari cara untuk dapat menghindari Julianna—dengan cara berpacaran dengan “musuh” Julianna atau dengan “menyakiti” perasaan perempuan itu dengan sengaja. Seiring dengan berjalannya waktu dan berbagai hal yang terjadi, Julianna pun mulai mempertanyakan perasaannya sebenarnya terhadap Bryce; apakah ia benar-benar jatuh cinta pada laki-laki itu? Bersamaan dengan hal tersebut, Bryce pun mulai merasakan perasaan yang berbeda terhadap Julianna; bahwa Julianna tidaklah seburuk yang selama ini ia pikirkan.

Tema film ini memang sederhana; cint apertama (first love) dan/atau cinta monyet (puppy love). Namun, film ini dikemas dengan tata gambar dan tata music serta akting yang apik sehingga dapat membuat penonton terbawa dalam cerita film ini.

Flipped dapat menjadi salah satu pilihan film untuk ditonton saa thari Valen-tine tiba. Selain alur cerita dan dialognya yang berkaitan dengan kehidupan sehari-har ikita, film ini juga menyajikan latar tempat dan waktu yang vintage sehingga dapat menuntun kita untuk bernostalgia pada masa kita pertama kali mengalami cinta pertama dan/atau cinta monyet seperti itu.

Judul : FlippedGenre :Romance, comedy, dramaProduser : Rob Reiner & Alan GreismanSutradara : Rob ReinerPemain :Callan McAuliffe, Madeline Carroll, Rebecca de Mornay, Anthony Edwards, John Mahoney, Penelope Ann Miller, Aidan QuinnProduksi : Castle Rock EntertainmentTahunRilis : 2010

Page 15: Antropologi (Bicara) Cinta

15

Cerita Perjalanan

Pada rubrik Cerita Perjalanan kali ini, akan disajikan sebuah cerita menarik dari Giska (Antropologi 2010) mengenai pengalaman menariknya saat melakukan kegiatan turun lapangan di salah satu desa di Kalimantan Tengah. Yuk disimak keseruannya! -redaksi

Si Bilik dan Si Air Dingin

Turun lapangan adalah kitab utama untuk para akademisi sosial. Seorang antropolog dituntut untuk melihat fenomena sosial dengan cara terlibat langsung (observasi partisipatory) dalam kurun waktu yang cukup lama. Saya jadi teringat banyak pengalaman lucu ketika mengambil data skripsi di Desa Mantangai Hulu, Kalimantan Tengah.

Pada kali pertama datang ke rumah narasumber, saya merasa ingin buang air kecil. Lalu saya menjelajahi rumahnya dari pintu depan sampai pintu belakang, tetapi gagal menemukan kamar mandi. Ternyata masyarakat mantangai buang air kecil di sungai. Cukup ditutupi dengan kayu-kayu seadanya berbentuk balok, lalu mengambil posisi jongkok dan hajatpun tersalurkan lewat bolongan yang langsung jatuh ke sungai. Saya sempat panik karena ternyata tidak ada air bersih untuk membilas. Uniknya, masyarakat sana terbiasa membilas den-gan air sungai yang diambil persis di lubang hajat. Hal menegangkan lainnya adalah saat berjongkok seringkali ada perahu mesin lewat. Gulungan air yang kencang sering membuat bilik bergoyang keras. Belum lagi mata saya berputar ke kanan ke kiri ke depan ke belakang, karena takut ada yang mengintip. Mak-lum jarak antar kayunya cukup lebar. Setelah berdiri hendak keluar bilik, saya ter-perangah. Persis dua meter saya berdiri, ada seorang ibu sedang mandi dan asik menggosok gigi dengan bilasan air sungai. Saya geleng-geleng kepala. Berarti secara tidak langsung, ibu itu sudah mengecap air “pribadi” saya yah.

Page 16: Antropologi (Bicara) Cinta

16

Cerita Perjalanan

Kejadian lucu lainnya adalah saat saya sedang haus karena matahari saat itu terik sekali. Sebagai penggemar minuman dingin, air es putih adalah obat mujarab untuk pelapas dahaga siang itu. Sebelumnya saya dan teman peneliti terbiasa disuguhkan air putih biasa (tidak dingin). Saya pun berinisiatif mencari air es di kulkas. Betapa bahagianya saya melihat botol kaca berisi air es dan tanpa berpikir panjang langsung menegaknya. Teman saya meledek bahwa mungkin air itu berasal dari sungai. Dengan enteng saya membalasnya dengan jawaban seratus persen tidak mungkin air ini dari sungai, karena warnanya jernih selayaknya air minum, sementara air sungai berwarna coklat, butek, kotor, dan keruh. Bagaimana tidak kotor, saya sering mendapati setumpuk sampah mengambang indah di tengah sungai. Mungkin karena masih penasaran, teman saya iseng bertanya kepada ibu pemilik rumah tentang darimana asal air botol kaca di kulkas. Seketika tubuh saya lemas mendengar jawaban ibu pemilik. Air itu berasal dari sungai dan alasan bisa bersih karena ia mencampurinya dengan bubuk penjernih seperti bubuk kaporit. Perut saya bergejolak dan merasakan tubuh panas dingin karena melihat tangan yang kini sudah menggenggam gelas keenam.

(Giska Adilah Sharfina Saputra)

Page 17: Antropologi (Bicara) Cinta

17

Event

Malam

Antropologi

Ceria

MAC2014

Malam antropologi ceria merupakan malam apresiasi yang ditujukan untuk anak-anakjurusan antropologi yang telah berkontribusi dalam membawa nama departemen antropologi di berbagai bidang. Kegiatan ini dilakukan hari Jumat tanggal 19 Desember 2014 yang lalu, acara berlangsung di selasar Gedung B Fisip UI. Acara dimulai sekitar pukul 20.00, dan ditemani oleh guyuran hujan acara berlangsung dengan santai yang ditemani oleh suguhan gorengan dan kopi.

Acara penghargaan yang pertama diberikan kepada divisi keilmuan Hé-Man. Penghargaan ini diberikan kepada seluruh kontingen Limas, Kompres Maba, OIM, Pimnas, dan EET. Adapula penghargaan yang diberikan kepada Ditha (Antropologi’11) sebagai Mapres, serta Popi (Antropologi’14) yang berhasil meraih juara dalam UI Quranic Olympiad. Sebelum melanjutkan pembacaan kategori siapa saja yang mendapatkan penghargaan, acara diselingi oleh hiburan yang ditampilkan oleh masing-masing angkatan. Hiburan yang disuguh-kan oleh tiap angkatan berupa sumbangan beberapa lagu yang dibawakan oleh perwakilan dari setiap angkatan.

Setelah dihibur oleh beberapa buah lagu, acara penghargaan dilanjutkan dengan pemberian sertifikat kepada seluruh kontingen Olimfis, kontingen Olim selain itu adapula penghargaan untuk atlet-atlet terfavorit untuk masing-mas-ing angkatan. Penghargaan juga diberikan kepada kontingen UI Art war, serta yang terakhir adalah penghargaan untuk PO inisiasi yaitu Roro (Antropologi’11) serta PO Antropologi Festival Raras (Antropologi’11) . Setelah seluruh penghargaan dibacakan, tiba giliran para kerabat tua untuk menunjukan kebolehan dengan menampilan beberapa buah lagu lengkap dengan alat musik yang sudah tersedia. (SARAS)

Page 18: Antropologi (Bicara) Cinta

18

Kritik & Saran

“Untuk HéMan, semoga pada kepengurusan yang baru, hal-hal baik yang ada pada kepengurusan sebelumnya bias dipertahankan atau dikembangkan lagi dan yang kurang baik bisa diperbaiki”

Dominikus Pandit – Antrop ‘14

Semoga Antropos diperbanyak mengenai artikel-artikel

yang menarik untuk dibahas”

Kurniawan Eka - Antrop ’14

“Departemen seharusnya punya gedung sendiri, seperti krim dan kom agar memiliki tempat tersendiri untuk mengadakan

kegiatan-kegiatan departemen,misalnya gedung kom yang memiliki aula sendiri. Antrop juga perlu kan aula sendiri untuk

membuat seminar-seminar atau rapat. Selain itu, ruangan-ruangan kita terlalu terbatas, seperti Puska yang ukurannya kecil.

Kasian anak antropkan pada rajin belajar, kalau tidak muat tempatnya, harus belajar dimana lagi?”

Belinda Islan* – Antrop ’12

Punya saran atau kritik buat ANTROPOS? atau mungkin ingin ditujukan ke He-MAn? Silahkan sampaikan saran dan kritik

kalian melalui e-mail:[email protected]

Page 19: Antropologi (Bicara) Cinta

19

Terimakasih atas partisipasi dan kontribusi bersama

Hé-MAn UI 2014Maju terus Hé-MAn selanjutnya!

Page 20: Antropologi (Bicara) Cinta

20

“Know that love is yours, you will not go bankrupt by sharing it.”

-E’yen A. Gardner, Love Letters-