antraknosa pepaya

17
STUDI PATOGEN ANTRAKNOSA PADA PEPAYA Abstrak Identifikasi spesies Colletotrichum sangat dibutuhkan untuk penerapan metode pengendalian yang efektif dan pembentukan varietas resisten. Metode tradisional untuk mendeteksi spesies Colletotrichum penyebab antraknosa pada pepaya dapat dilakukan dengan cara mengkarakterisasi morfologi, ada tidaknya seta dan warna koloni. Berdasarkan bentuk konidia, adanya seta dan warna dari koloni, isolat dari pepaya termasuk Colletotrichum gloeosporiedes. Isolat TJR1 menunjukkan pertumbuhan optimum pada suhu 28 o C (suhu kamar) sehingga isolat ini dapat digunakan sebagai isolat untuk penapisan genotipe pepaya terhadap penyakit antraknosa yang dilakukan dilaboratorium pada suhu kamar (28 o C). Kecepatan pertumbuhan optimum Colletotrichum gloeosporiedes isolat dari pepaya (TJR1,TJR2, TJR3,TJR4, GG1 dan GG2) dan isolat dari cabai (BGR11) pada suhu 24 o C, sedangkan Colletotrichum capsici (GGc) isolat dari cabai menunjukkan kecepatan pertumbuhan optimum pada suhu 32 o C. Seluruh isolat dari pepaya dan cabai yang berhasil di koleksi menunjukkan potensi infeksi pada buah cabai dan pepaya. Metode inokulasi yaitu tempel dilukai dan semprot tidak dilukai, menunjukkan masa inkubasi, diameter dan kejadian penyakit yang tidak berbeda nyata, sehingga kedua metode ini dapat digunakan dalam metode inokulasi dalam kegiatan penapisan genotipe pepaya terhadap penyakit antraknosa. Kata kunci : Colletotrichum, isolat , konidia Abstract Identification of Colletotrichum species that responsible to the as well as disease epidemic is essential for development and implementation an effective control methods and for breeding for resistance to specific species. In traditional methods, morphological character such as shape conidia, precence, absence and morphology of setae have been used to identify Colletotrichum spesies. To develop an effective resistance screeing technique, experiments were conducted to understand the growth character, such as relationship beetwen temperature, infection potencial on different host, inoculation studies for the best method in identifying the resistant germplasm. Isolates from papaya produced mainly cylindrical conidia and colony colours ranging from pale salmon pink to dark grey. The optimum temperature for the development Colletotrichum gloeosporioides from papaya isolate (TJR1, TJR2, TJR3, TJR4, GG1, GG2) and pepper isolate (BGR11) were 24 o C and Colletotrichum capsici (GGc) from pepper isolate was 32 o C. All papaya isolate and pepper isolate produced lesions on pepper and papaya. Papaya fruit were inoculated by two inoculation methods, wounding and spray inoculations produced no different respons. Keyword : Colletotrichum, isolate, conidia

description

antraknosa pepaya

Transcript of antraknosa pepaya

  • STUDI PATOGEN ANTRAKNOSA PADA PEPAYA

    Abstrak

    Identifikasi spesies Colletotrichum sangat dibutuhkan untuk penerapan metode pengendalian yang efektif dan pembentukan varietas resisten. Metode tradisional untuk mendeteksi spesies Colletotrichum penyebab antraknosa pada pepaya dapat dilakukan dengan cara mengkarakterisasi morfologi, ada tidaknya seta dan warna koloni. Berdasarkan bentuk konidia, adanya seta dan warna dari koloni, isolat dari pepaya termasuk Colletotrichum gloeosporiedes. Isolat TJR1 menunjukkan pertumbuhan optimum pada suhu 28oC (suhu kamar) sehingga isolat ini dapat digunakan sebagai isolat untuk penapisan genotipe pepaya terhadap penyakit antraknosa yang dilakukan dilaboratorium pada suhu kamar (28oC). Kecepatan pertumbuhan optimum Colletotrichum gloeosporiedes isolat dari pepaya (TJR1,TJR2, TJR3,TJR4, GG1 dan GG2) dan isolat dari cabai (BGR11) pada suhu 24oC, sedangkan Colletotrichum capsici (GGc) isolat dari cabai menunjukkan kecepatan pertumbuhan optimum pada suhu 32oC. Seluruh isolat dari pepaya dan cabai yang berhasil di koleksi menunjukkan potensi infeksi pada buah cabai dan pepaya. Metode inokulasi yaitu tempel dilukai dan semprot tidak dilukai, menunjukkan masa inkubasi, diameter dan kejadian penyakit yang tidak berbeda nyata, sehingga kedua metode ini dapat digunakan dalam metode inokulasi dalam kegiatan penapisan genotipe pepaya terhadap penyakit antraknosa.

    Kata kunci : Colletotrichum, isolat , konidia

    Abstract

    Identification of Colletotrichum species that responsible to the as well as disease epidemic is essential for development and implementation an effective control methods and for breeding for resistance to specific species. In traditional methods, morphological character such as shape conidia, precence, absence and morphology of setae have been used to identify Colletotrichum spesies. To develop an effective resistance screeing technique, experiments were conducted to understand the growth character, such as relationship beetwen temperature, infection potencial on different host, inoculation studies for the best method in identifying the resistant germplasm. Isolates from papaya produced mainly cylindrical conidia and colony colours ranging from pale salmon pink to dark grey. The optimum temperature for the development Colletotrichum gloeosporioides from papaya isolate (TJR1, TJR2, TJR3, TJR4, GG1, GG2) and pepper isolate (BGR11) were 24oC and Colletotrichum capsici (GGc) from pepper isolate was 32oC. All papaya isolate and pepper isolate produced lesions on pepper and papaya. Papaya fruit were inoculated by two inoculation methods, wounding and spray inoculations produced no different respons.

    Keyword : Colletotrichum, isolate, conidia

  • 21

    Pendahuluan

    Latar Belakang Penyakit antraknosa merupakan salah satu penyakit pasca panen yang

    penting pada pepaya yang dapat menurunkan mutu buah. Patogen yang

    menyebabkan penyakit tersebut adalah Colletotrichum gloeosporiedes (Penz) Sacc. (Snowdown 1990; OECD 2005). Selanjutnya Sepiah et al. (1991) dan Sepiah (1992) melaporkan bahwa patogen yang penting penyebab antraknosa pada pepaya eksotika adalah C. capsici yang merupakan penyakit penting di Malaysia. Patogen penyebab antraknosa pada buah pepaya di Indonesia adalah C. gloeosporioides (Sulusi et al. 1991 dan Semangun 2000). Gejala serangannya dapat muncul pada saat pengiriman atau ketika dipasarkan. Gejala serangan pasca panen umumnya timbul ketika buah sedang dalam transportasi, pemasaran atau

    penyimpanan. Pada saat buah masih berada di pohon, patogen dalam kondisi laten dan akan berkembang setelah buah menjadi matang. Perlu melakukan identifikasi untuk konfirmasi patogen antraknosa pada pepaya. Identifikasi dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan melihat tanda penyakit, karakterisasi morfologi dan sifat biologi patogen. Spesies Colletotrichum dapat dikelompokkan menjadi dua grup berdasarkan bentuk konidianya yaitu straight dan curve (Skipp et al. 1995). Selanjutnya Sutton (1992) menyatakan bahwa identifikasi Colletotrichum sp dapat dilakukan berdasarkan morfologi dan kisaran inangnya. Respon terhadap suhu juga dapat digunakan untuk menunjukkan kesamaan antar isolat (Adaskaveg dan Hartin 1997). Freeman (2000) menyatakan bahwa identifikasi spesies Collethotrichum dapat dilakukan dengan melihat karakter morfologi, respon suhu terhadap pertumbuhan optimal , vegetatif compatibility, respon terhadap fungisida dan biologi molekuler. Setelah identifikasi patogen dilakukan, maka perlu diketahui kisaran

    inang antraknosa. Informasi kisaran inang dapat dilakukan dengan melakukan inokulasi silang antara isolat yang berasal dari pepaya diinokulasikan ke buah

    cabai dan sebaliknya. Isolat C. gloeosporioides dari mangga dan alpokat berhasil diinokulasikan ke strawberry, cabai, jambu biji, pepaya dan jeruk (Swart 1999). Hal ini menunjukkan bahwa C. gloeosporioides memiliki kisaran inang yang luas.

  • 22

    Identifikasi dan sifat biologi patogen antraknosa merupakan informasi yang sangat diperlukan dalam usaha pengendalian yang akan di lakukan. Pengendalian antraknosa pada pepaya yang dilakukan antra lain dengan penggunaan fungisida, perendaman dengan air panas, pelapisan lilin dan

    pengendalian biologi dengan agen hayati. Salah satu pengendalian yang aman dan murah adalah dengan menciptakan varietas resisten. Dalam pembentukan

    varietas resisten, salah satu tahapan yang harus dilakukan adalah kegiatan penapisan genotipe pepaya. Metode inokulasi yang tepat sangat diperlukan untuk penapisan genotipe pepaya yang tahan terhadap antraknosa.

    Penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab antraknosa pada

    pepaya melalui pengamatan morfologi koloni dan konidia. Isolat patogen yang dikoleksi dari lapang akan digunakan dalam uji patogenitas, uji kisaran inang, dan uji suhu optimum. Selanjutnya isolat-isolat tersebut akan digunakan dalam evaluasi metode inokulasi. Hasil identifikasi dan karakterisasi penyebab antraknosa pada pepaya memberikan dasar dalam upaya pengendalian penyakit pada pepaya.

    Bahan dan Metode

    Waktu dan Tempat

    Percobaan mencakup empat kegiatan yaitu identifikasi penyebab penyakit dan uji patogenisitas, uji pertumbuhan patogen pada beberapa suhu, dan evaluasi metode inokulasi. Kegiatan berlangsung dari bulan Mei 2004 sampai Juli 2005 di Laboratorium Cendawan Departemen Proteksi Tanaman IPB Bogor.

    Koleksi isolat Isolat penyebab antraknosa dikumpulkan dari dua lokasi kebun pepaya yaitu Kebun Percobaan Pusat Kajian Buah tropika (PKBT) Tajur-Bogor, dan Kebun Agrorekatama Gunung Geulis-Bogor. Pada masing-masing koleksi dipilih

    buah, daun, dan tangkai daun pepaya yang menunjukkan gejala khas antraknosa. Isolasi cendawan dilakukan di laboratorium dengan menggunakan metode

    penanaman jaringan pada media potato dextrose agar (PDA) dan inkubasi pada suhu 28oC (suhu kamar). Biakan murni setelah tujuh hari dipanen konidianya. Pemanenan dilakukan dengan menambahkan air steril sampai agar dalam cawan

  • 23

    terendam (+18 ml). Kemudian dengan menggunakan spatula konidia dipanen untuk pembuatan biakan spora tunggal. Biakan konidia tunggal yang diperoleh diperbanyak lagi pada media PDA dan diinkubasi pada ruang dengan penyinaran 12 jam gelap dan 12 jam terang dibawah sinar ultraviolet selama tujuh hari. Kode, asal inang dan lokasi dari isolat yang berhasil dikoleksi tertera pada Tabel 1.

    Identifikasi Penyebab Antraknosa pada Pepaya Identifikasi patogen dilakukan menggunakan pedoman Barnet dan Hunter

    (1972) dan Kulshrestha et al. (1976), yaitu melalui pengamatan morfologi konidia, seta dan aservulus. Pengamatan morfologi dilakukan terhadap biakan murni maupun tanda penyakit pada buah pepaya yang terserang.

    Tabel 1 Isolat Colletotrichum sp., inang asal isolat dan lokasi sumber isolat

    Kode No

    Isolat Asal Isolat Lokasi Asal Isolat

    1 TJR1 Buah pepaya IPB1 Kebun percobaan PKBT Tajur 2 TJR2 Daun pepaya IPB1 Kebun percoban PKBT Tajur 3 TJR3 Buah pepaya Taiwan Kebun percobaan PKBT Tajur 4 TJR4 Buah pepaya Boyolali Kebun percobaan PKBT Tajur 5 TJR5 Buah pepaya Blitar Kebun percobaan PKBT Tajur 6 TJR6 Buah pepaya Magelang Kebun percobaan PKBT Tajur 7 TJR7 Buah pepaya STR64 Kebun percobaan PKBT Tajur 8 TJR8 Buah pepaya IPB10 Kebun percobaan PKBT Tajur 9 TJR9 Daun pepaya Redking Kebun percobaan PKBT Tajur 10 TJR10 Tangkai daun pepaya SW

    yellow Kebun percobaan PKBT Tajur

    11 GG1 Buah pepaya Taiwan Kebun Agrorekatama Gunung Geulis

    12 GG2 Biji pepaya Kebun Agrorekatama Gunung Geulis

    13 BGR11 (Cg)

    Buah cabai Bogor (koleksi laboratorium Cendawan IPB)

    14 GGc (Cc)

    Buah cabai Gunung Geulis (koleksi Zulfadillah)

    Uji Patogenisitas Patogen Antraknosa pada Pepaya Biakan murni dari 12 isolat asal pepaya yang berhasil di koleksi di

    gunakan dalam uji patogenisitas menggunakan metode suntik pada buah pepaya

  • 24

    (Swart 1999). Buah pepaya yang digunakan pada uji patogenisitas adalah genotipe STR 64. Buah pepaya yang akan digunakan dalam pengujian terlebih dahulu diberi perlakuan sterilisasi. Permukaan buah direndam dalam NaOCl 2 % selama lima menit kemudian dibilas dengan air steril. Titik inokulasi pada

    permukaan buah pepaya dibuat sebanyak lima titik tiap buah. Kepadatan suspensi spora yang digunakan untuk inokulasi adalah 106 spora/ml, jumlah spora dihitung menggunakan haemocytometer. Selanjutnya buah yang telah diinokulasi diletakkan pada bak plastik dan ditutup dengan plastik transparan. Pada keempat sudut bak diletakkan kapas basah untuk menjaga kelembaban, selanjutnya bak plastik diingkubasi pada suhu kamar.

    Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua belas isolat sebagai perlakuan. Masing masing isolat diulang

    sebanyak tiga kali, sehingga terdapat 30 unit percobaan. Peubah yang diamati adalah :

    1. Muncul tidaknya gejala: pengamatan dilakukan setiap hari setelah inokulasi dengan melihat gejala khas antraknosa.

    2. Rata-rata masa inkubasi: yaitu rata-rata periode hari setelah diinokulasi sampai munculnya gejala.

    3. Rata-rata diameter gejala: diameter gejala diukur pada tujuh hari setelah inokulasi.

    Uji Patogenisitas Colletotrichum asal Pepaya pada Buah Cabai Isolat Colletotrichum yang digunakan dalam pengujian ini terdiri dari enam isolat Colletotrichum yang telah diidentifikasi sebelumnya (TJR1, TJR2, TJR3, TJR4, GG1, GG2). Biakan Colletotrichum asal pepaya digunakan untuk menginokulasi buah cabai yang diperoleh dari tanaman cabai varietas Hot Chilli asal Gunung Geulis Bogor. Sebagai pembanding digunakan isolat C. gloesporioides dan C. capsici asal cabai (BGR 11 dan GGc) untuk menginokulasi buah pepaya STR 64. Buah cabai dan pepaya yang akan digunakan dalam pengujian tersebut terlebih dahulu disterilisasi. Permukaan buah direndam dalam NaOCl 2 % selama lima menit kemudian dibilas dengan air steril dan diberi perlakuan dengan alkohol 70% untuk sterilisasi permukaan buah.

  • 25

    Inokulasi buah cabai dan pepaya dilakukan dengan metode penempelan biakan cemdawan. Dari masing-masing biakan cendawan dibuat potongan-potongan berukuran 0.4 cm. Potongan-potongan biakan tersebut ditempelkan pada permukaan buah cabai dan pepaya yang telah dilukai dengan jarum steril. Buah cabai dan pepaya yang telah diinokulasi diletakkan dalam bak plastik dan ditutup plastik transparan. Pada keempat sudut bak diletakkan kapas steril basah,

    untuk menjaga kelembaban. Selanjutnya bak plastik diinkubasi pada suhu kamar. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL)

    dengan delapan isolat Colletotrichum sebagai perlakuan. Masing masing isolat di ulang sebanyak tiga kali, sehingga terdapat 24 unit percobaan. Untuk inokulasi

    pada buah cabai, masing-masing perlakuan terdiri dari 10 buah cabai, sedangkan untuk buah pepaya masing-masing perlakuan terdiri dari tiga buah pepaya.

    Peubah yang diamati adalah : 1. Rata-rata masa inkubasi: yaitu rata-rata periode hari setelah diinokulasi sampai

    munculnya gejala 2. Rata-rata diameter gejala: diameter gejala diukur pada tujuh hari setelah

    inokulasi.

    3. Kejadian Penyakit (%); Peubah kejadian penyakit (KP) dihitung dengan rumus : KP = (n/N) x 100% Keterangan:

    N = jumlah titik inokulasi n = jumlah titik inokulasi yang menunjukkan gejala antraknosa

    Uji Pertumbuhan Colletotrichum pada Beberapa Suhu Isolat Colletotrichum yang digunakan dalam pengujian ini adalah isolat-

    isolat hasil identifikasi sebelumnya, yang terdiri atas enam isolat pepaya (TJR1, TJR2, TJR3, TJR4, GG1, GG2), satu isolat C. gloesporioides asal cabai (BGR 11) serta C. capsici asal cabai (GGc). Isolat yang akan digunakan tersebut sebelumnya ditumbuhkan pada media PDA selama dua minggu pada suhu kamar.

    Dari masing-masing biakan selanjutnya dibuat potongan-potongan kecil berukuran diameter 0.4 cm. Potongan biakan tersebut selanjutnya dipindahkan ke media PDA yang baru pada cawan petri yang berukuran diameter 9 cm. Dalam

  • 26

    satu cawan petri diletakkan satu potongan biakan cendawan, yaitu di bagian tengah cawan petri. Selanjutnya cawan petri yang berisikan biakan cendawan tersebut di letakkan pada berbagai suhu, yaitu 16 oC, 20 oC, 24 oC, 28 oC, 32 oC, dan 36oC

    Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan delapan isolat (TJR1, TJR2, TJR3, TJR4, GG3, GG7, BG11 dan GGc) sebagai perlakuan yang diulang sebanyak empat kali.

    Peubah yang diamati adalah : 1. Rata-rata kecepatan pertumbuhan cendawan. Pengamatan diameter

    pertumbuhan cendawan dilakukan sejak hari pertama inokulasi pada suhu tertentu selama tujuh hari berturut-turut. Rata rata kecepatan pertumbuhan cendawan per hari dihitung dengan rumus sebagai berikut:

    dm1+ + dmn KPC = -------------------------

    n KPC = kecepatan pertumbuhan cendawan n = jumlah hari

    2. Rata-rata diameter koloni: Pengamatan dilakukan pada hari ketujuh setelah inokulasi, dengan mengukur diameter koloni cendawan

    Evaluasi Keefektifan Metode Inokulasi

    Evaluasi dilakukan untuk menentukan metode inokulasi dengan tepat dalam kegiatan penapisan. Ketahanan genotipe pepaya terhadap antraknosa.

    Metode inokulasi yang dievaluasi terdiri dari : 1) Metode inokulasi penempelan biakan dan pelukaan jaringan (TP). Buah pepaya yang akan diinokulasi dilukai dengan menggunakan jarum suntik steril pada empat titik pada permukaan buah. Potongan biakan cendawan berukuran diameter 0.4 cm. Kemudian ditempelkan pada permukaan buah tersebut. 2) Metode inokulasi penempelan biakan tanpa pelukaan jaringan (TL). Buah pepaya yang akan diinokulasi tidak dilukai, penempelan potongan biakan cendawan. Inokulum berukuran diameter 0.4 cm dilakukan pada empat titik. 3) Metode inokulasi penyemprotan konidia tanpa pelukaan jaringan (SL). Buah pepaya yang akan diinokulasi tidak dilukai. Inokulum disiapkan dengan mengemulsikan biakan murni dalam air steril,

  • 27

    sehingga diperoleh konsentrasi 106 konidia/ml. Dengan menggunakan alat semprot tangan permukaan buah pepaya disemprot hingga seluruh permukaan basah (+ 10 ml/buah). Setelah diinokulasi, buah pepaya diletakkan didalam bak plastik, lalu di tutup dengan plastik transfaran.

    Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan delapan isolat Colletotrichum sebagai perlakuan. Masing masing isolat di ulang sebanyak tiga kali, sehingga terdapat 24 unit percobaan. Masing-masing unit percobaan terdiri atas lima buah pepaya.

    Peubah yang diamati adalah : 1. Rata-rata masa inkubasi: yaitu rata-rata periode hari setelah diinokulasi sampai

    munculnya gejala 2. Rata-rata diameter gejala: diameter gejala diukur pada tujuh hari setelah

    inokulasi.

    3. Kejadian Penyakit (%); Peubah kejadian penyakit (KP) dihitung dengan rumus : KP = (n/N) x 100% Keterangan:

    N = jumlah titik inokulasi n = jumlah titik inokulasi yang menunjukkan gejala antraknosa

    Analisis Data

    Seluruh percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan model linier aditif, analisis ragam dan harapan kuadrat tengah untuk tiap karakter yang diamati pada semua percobaan disusun mengikuti Steel dan Torrie

    (1980). Model linier aditif untuk percobaan I ini adalah sebagai berikut:

    ijjiij PuY +++= (1)

    Yij = nilai pengamatan pada perlakuan ke-j = nilai tengah umum

    Ui = Pengaruh ulangan ke-i

    Pj = Pengaruh perlakuan ke-j ij = Pengaruh acak pada genotipe ke-j ulangan ke-i

  • 28

    Berdasarkan model linier aditif di atas, pada Tabel 2 disajikan bentuk analisis ragam disertai harapan kuadrat tengahnya, dengan anggapan genotipe berpengaruh acak.

    Tabel 2 Analisis ragam model acak disertai harapan kuadrat tengah untuk percobaan tahap I

    Sumber keragaman db KT E(KT) Fhitung Ulangan Perlakuan Galat

    (r-1) (p-1) (r-1)(p-1)

    -

    S T

    -

    22GE r +

    2E

    -

    S/T -

    Db : derajat bebas p : jumlah perlakuan KT : kuadrat tengah r : jumlah ulangan E(KT) : harapan kuadrat tengah

    Terhadap semua data karakter yang diamati pada percobaan pada tahap I, baik yang menyebar normal maupun tidak, dilakukan analisis perbedaan nilai

    tengah antar perlakuan menggunakan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) (Steel dan Torrie 1980).

    Hasil dan Pembahasan Identifikasi Penyebab Antraknosa pada Pepaya

    Berdasarkan ciri morfologi konidia yang diamati secara mikroskopis diketahui bahwa penyebab antraknosa pada buah pepaya adalah cendawan C.

    gloeosporioides. Selain ditemukan seta pada aservulus cendawan, bentuk konidia hialin yang dominan adalah silindris dengan ujung membulat (Gambar 4). Bentuk konidia tersebut sangat berbeda dengan bentuk konidia C. dematium yang menyerupai bulan sabit, atau C. acutatum yang silindris dengan ujung meruncing. Walaupun bentuk konidia secara umum sangat homogen antar isolat, ternyata warna koloni sangat beragam (Tabel 3). Hal tersebut merupakan sifat C. gloeosporioides seperti yang dilaporkan oleh Semangun (2000); Bailey dan Jeger (1992).

    Cendawan C. gloeosporioedes menyebabkan dua tipe gejala yaitu antraknosa dan bercak coklat (brown spot) seperti yang dikemukakan oleh Alvarez dan Nishijima (1987), kedua tipe ini juga ditemukan pada buah pepaya yang terserang antraknosa di penyimpanan (Prabawati et al, 1991).

  • 29

    Uji Patogenisitas Penyebab Antraknosa Isolat cendawan yang diperoleh dari dua lokasi pertanaman pepaya tidak seluruhnya dapat menginfeksi buah pepaya melalui inokulasi buatan di laboratorium (Tabel 3). Enam isolat dari Tajur Bogor (TJR1, TJR2, TJR3, TJR4, GG1, GG2) dan isolat dari Gunung Geulis Bogor (GG1, GG2) menyebabkan gejala berupa bercak pada permukaan buah yang diinokulasi (Gambar 4A).

    Tabel 3 Uji patogenisitas beberapa isolat penyebab antraknosa pada buah pepaya

    Isolat Hasil

    uji Masa

    inkubasi (hari)

    Diameter bercak (cm)

    Bentuk konidia Warna koloni

    TJR1 + 5.33 cde 2.70 a silindris dan lurus

    merah muda

    TJR2 + 6.00 abc 1.77 bc silindris dan lurus

    merah muda

    TJR3 + 5.67 bcd 1.27 c silindris dan lurus

    jingga

    TJR4 + 4.33 f 2.67 ab silindris dan lurus

    abu-abu

    TJR5 + 6.33 ab 1.67 c silindris dan lurus

    abu-abu

    TJR6 + 6.67 a 1.1 c silindris dan lurus

    abu-abu

    TJR7 - - - silindris dan lurus

    abu-abu

    TJR8 - - - silindris dan lurus

    abu-abu

    TJR9 - - - silindris dan lurus

    jingga

    TJR10 - - - silindris dan lurus

    Jingga

    GG1 + 4.75 ef 2.43 ab silindris dan lurus

    merah muda

    GG2 + 5.00 def 2.23 ab silindris dan lurus

    merah muda

    Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT) Hasil uji : + = buah menampakkan gejala, - = buah tidak menunjukkan gejala sampai akhir pengamatan

    Rata-rata diameter bercak berkisar 1.1 cm sampai 2.70 cm dengan masa inkubasi berkisar 4.33 hari sampai 6.67 hari. Gejala tersebut sesuai dengan deskripsi yang dilaporkan pepaya oleh Joseli et al (2002) gejala awal yang terlihat pada permukaan buah yang terserang antraknosa maupun becak coklat,

  • 30

    keluarnya lateks pada titik kecil yang kemudian meluas menjadi bercak-bercak coklat. Cendawan C. gloeosporioides merupakan salah satu patogen penyebab antraknosa pada sebagian besar buah-buahan dan merupakan patogen utama penyebab antraknosa pada buah.

    Gambar 4 Gejala infeksi, bentuk konidia dan aservulus patogen antraknosa pada pepaya. Gejala antraknosa pada buah yang diinokulasi buatan (A), gejala antraknosa pada buah di lapang (B), gejala becak coklat (C), konidia dibawah mikroskop pembesaran 10x40 (E), konidia tunggal (F), Aservulus beserta konidia dan seta (G), H, I, J, berturut-turut konidia C. dematium, C. acutatum, C. gloeosporioides (sumber: Kulshrestha et al. 1976 dan Adaskaveg & Hartin 1997).

    Uji Patogenisitas Colletotrichum asal Pepaya pada Buah Cabai Isolat yang menginfeksi pepaya ternyata dapat juga menginfeksi buah cabai dan menunjukkan gejala antraknosa. Demikian pula isolat Colletotrichum

    C

    D Ec

    F

    A B

    H I J

    G

  • 31

    asal cabai (BGR11 dan GGc) dapat menginfeksi buah pepaya. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya. Mahfud (1986) C. gloeosporioides penyebab antraknosa pada cabai dapat menyebabkan antraknosa pada pepaya sedangkan cendawan antraknosa dari pepaya dapat

    menginfeksi cabai, mangga, pisang dan ubi kayu.

    Tabel 4 Masa inkubasi, diameter gejala dan persentase gejala antraknosa dari delapan isolat Colletotrichum pada buah cabai dan pepaya

    Masa inkubasi (hari)

    Diameter gejala (cm)

    Persentase sporulasi (%) Isolat

    Cabai Pepaya Cabai Pepaya Cabai Pepaya TJR1 6.06 a 5.56 ab 0.81 b 2.11 35.00 b 100 TJR2 6.02 a 5.89 ab 0.67 b 0.82 45.00 ab 100 TJR3 4.53 cd 5.11 ab 1.2 b 1.30 61.40 ab 100 TJR4 4.82 bc 4.11 b 1.12 b 1.01 60.00 ab 100 GG3 4.00 d 5.56 ab 2.82 a 0.82 85.00 a 100 GG7 4.45 cd 6.00 ab 1.29 b 0.72 65.00 ab 100 BGr11 5.52 ab 5.22 ab 0.59 b 1.07 35.00 b 100 GGc 5.75 a 6.22 a 0.76 b 1.16 35.00 b 100

    Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT) Keterangan: TJR1-TJR4 = isolat C. gloeosporioides dari pepaya di Kebun Percobaan PKBT Tajur;

    GG1&GG2 = isolat C. gloeosporioides pepaya di Kebun PT. Agrorekatama Gunung Geulis; BGR11 = isolat C. gloeosporioides dari buah cabai koleksi Laboratorium Cendawan Departemen Proteksi Tanaman IPB; GGc = isolat C. capsici dari buah cabai di Gunung Geulis (koleksi Zulfadillah).

    Uji patogenisitas delapan isolat Colletotrichum pada cabai menunjukkan bahwa isolat GG1 memiliki masa inkubasi tercepat (4 hari), diameter gejala terpanjang (2.82 cm) dan kejadian penyakit (85%) (Tabel 4). Sedangkan uji patogenisitas pada buah pepaya menunjukkan respon yang hampir sama untuk semua isolat. Swart (1999) menyatakan bahwa isolat yang memiliki masa inkubasi singkat dan serangan yang luas, lebih virulen dibandingkan dengan isolat yang masa inkubasinya lama dengan serangan yang kecil

    Uji Pertumbuhan Colletotrichum pada Beberapa Suhu

    Pada suhu 16oC, 20oC dan 24oC isolat C. gloeosporioides dari buah pepaya (TJR1, TJR2, TJR3, TJR4, GG1,GG2) menunjukkan pertumbuhan yang sama dan tidak berbeda dengan isolat dari buah cabai (BGR11) namun berbeda nyata dengan pertumbuhan isolat C. capsici (GGc) (Tabel 5). Pertumbuhan C. capsici cendrung lebih lambat dibandingkan isolat lainnya .

  • 32

    Pada suhu 28oC, 32 oC dan 36oC pertumbuhan koloni masing-masing isolat menunjjukkan perbedaan yang nyata. Selain isolat C. capsici, semua C. gloeosporioides asal pepaya (TJR1, TJR2, TJR3, TJR4, GG1, GG2) dan asal cabai (BGR11) menunjukkan pertumbuhan optimum pada suhu 28oC, dan pertumbuhan mulai menurun pada suhu 32oC dan 36oC . Isolat C. capsici mencapai pertumbuhan optimum pada suhu 32oC. Lebih lanjut dapat diamati bahwa C.capsici menunjukkan pertumbuahan lebih lambat dibandingkan pertumbuhan C. gloeosporioides asal pepaya dan cabai pada semua kondisi suhu. Hasil tersebut sejalan dengan laporan penelitian AVRDC (1988) menunjukkan bahwa pertumbuahan C. gloeosporioides asal cabai mencapai optimum pada suhu 28oC dan C. capsici tumbuh optimum pada suhu 28-32oC.

    Tabel 5 Rata-rata diameter koloni delapan isolat antraknosa pada beberapa suhu Diameter koloni Isolat

    Suhu (oC) 16 20 24 28 32 36 ..cm

    TJR1 5.85 a 5.66 a 5.60 a 6.05 a 4.48 d 3.55 bcd TJR2 5.30 a 5.43 a 5.28 a 5.45 cd 6.05 ab 3.85 bc TJR3 5.83 a 5.78 a 5.75 a 5.70 bc 4.50 d 4.33 ab TJR4 5.75 a 5.45 a 5.30 a 5.38 d 5.05 bcd 3.08 cde GG1 5.48 a 5.78 a 5.75 a 5.93 ab 6.13 a 2.43 e GG2 5.43 a 5.95 a 5.73 a 5.63 cd 6.33 a 4.98 a BGR11 5.63 a 5.68 a 5.53 a 5.58 cd 5.60 abc 3.40 bcde GGc 3.32 b 4.93 b 4.18 b 4.96 e 4.60 cd 2.80 de

    Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT) Keterangan: TJR1-TJR4 = isolat C. gloeosporioides dari pepaya di Kebun Percobaan PKBT Tajur;

    GG1&GG2 = isolat C. gloeosporioides pepaya di Kebun PT. Agrorekatama Gunung Geulis; BGR11 = isolat C. gloeosporioides dari buah cabai koleksi Laboratorium Cendawan Departemen Proteksi Tanaman IPB; GGc = isolat C. capsici dari buah cabai di Gunung Geulis (koleksi Zulfadillah)

    Isolat yang memiliki pertumbuhan optimal tertinggi pada suhu 28oC yaitu

    TJR1 dan GG1. Oleh karena itu Isolat TJR 1 dipilih untuk sumber isolat pada pengujian percobaan selanjutnya, mengingat pengujian dilakukan dilaboratorium pada suhu kamar yaitu antara 27-28oC. Perbedaan pertumbuhan C. gloeosporioides dan C. capsici juga tampak pada kecepatan pertumbuhan koloni yang diamati setiap hari selama delapan hari berturut-turut. Tujuh isolat C. gloeosporioides mencapai kecepatan pertumbuhan maksimal pada suhu 24oC, sementara satu isolat C. capsici mencapai pertumbuhan maksimum pada suhu 32oC (Gambar 5 dan Lampiran 1)

  • 33

    20 24 28 32

    Suhu (oC)

    Kece

    pata

    n pe

    rtu

    mbu

    han

    (cm/h

    ari)

    TJR1TJR2TJR3TJR4GG1GG2BGR11GGc

    Gambar 5 Suhu optimum pertumbuhan C. gleosporioides (TJR1, TJR2, TJR3, TJR4, GG1, GG2 dan BGr11) dan C. capsici (GGc).

    Evaluasi Kefektifan Metode Inokulasi Metode inokulasi dengan cara menempelkan biakan cendawan telah dilakukan untuk uji inokulasi antraknosa di laboratorium pada buah alpokat, mangga dan pepaya oleh Swart (1999). Sedangkan metode inokulasi dengan cara menyemprotkan konidia telah dilakukan oleh Dickman et al. (1983) dalam pengujian infeksi laten C. gloeosporioides pada buah pepaya di lapang dan oleh Sulusi et al. (1991) uji patogenisitas C. gloeosporioides pada buah pepaya di laboratorium. Peneliti-peneliti tersebut menyimpulkan bahwa metode-metode inokulasi tersebut dapat disarankan sebagai metode baku untuk inokulasi

    Colletotrichum pada buah. Tabel 6 Masa inkubasi, diameter gejala dan persentase gejala pada perlakuan tiga

    metode inokulasi C. gloeosporioides Perlakuan Masa inkubasi

    (hari) Diameter gejala (cm)

    Kejadian Penyakit (%)

    TP 5.30 1.56 86.67 a TL 5.57 1.62 48.07 b SL 5.33 1.25 80.57 a

    Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT) Keterangan : TP = Metode inokulasi penempelan biakan dan pelukaan jaringan, TL= Metode

    inokulasi penempelan biakan tanpa pelukaan jaringan, SL= Metode inokulasi penemprotan koloni tanpa pelukaan jaringan

  • 34

    Hasil percobaan yang penulis lakukan ternyata sesuai dengan hasil percobaan sebelumnya. Ketiga metode inokulasi yang dievaluasi tidak berbeda nyata untuk peubah masa inkubasi dan diameter bercak, tetapi berbeda nyata untuk peubah kejadian penyakit. Kejadian penyakit tertinggi diperoleh melalui metode inokulasi penempelan biakan dan pelukaan jaringan (TP) (86.67%) dan metode inokulasi penyemprotan konidia tanpa pelukaan jaringan (SL). Kedua metode inokulasi tersebut dapat disarankan untuk digunakan dalam kegiatan penapisan genotipe pepaya. Kelebihan metode inokulasi penempelan biakan dan pelukaan jaringan (TP) dalam mengamati diameter bercak, sementara kelebihan metode inokulasi penyemprotan konidia tanpa pelukaan jaringan (SL) akan dirasakan bila kegiatan penapisan genotipe melibatkan jumlah aksesi yang besar.

    Simpulan Berdasarkan pengamatan morfologi konidia, tubuh buah, dan koloni dapat disimpulkan bahwa penyebab antraknosa pada pepaya yang dikoleksi dari Tajur dan Gunung Geulis adalah C. gloeosporioides. Secara umum semua isolat C. gloeosporioides mengalami pertumbuhan optimum pada suhu 28 oC. Hal tersebut sangat berbeda bila di bandingkan dengan C. capsici yang mencapai pertumbuhan optimum pada suhu 32 oC. Lebih lanjut diketahui bahwa isolat C. gloeosporioides asal pepaya mampu menginfeksi buah cabai, demikian pula sebaliknya isolat C. gloeosporioides dan C. capsici asal cabai mampu menginfeksi buah pepaya.

    Metode inokulai yang dapat dianjurkan untuk kegiatan penapisan genotip pepaya tahan antraknosa adalah metode inokulasi penempelan biakan dan pelukaan jaringan (TP) dan metode inokulasi penyemprotan konidia tanpa pelukaan jaringan (SL).

    Ucapan Terima Kasih Ucapan terimakasih disampaikan kepada: (1) BPPS Dikti Depdiknas RI, (2) Pusat Kajian Buah Tropika (PKBT) melalui Tim Program Penelitian Riset Unggulan Strategis Nasional (RUSNAS); (3) Maneger PT. Agrorekatama Gunung Geulis Bogor; (4) Kepala Kebun Percobaan PKBT Tajur Bogor dan ; (5) Kepala Laboratorium Mikologi HPT IPB Bogor.

  • 35

    Daftar Pustaka

    Adaskaveg JE, hartin RJ. 1997. Characterization of Colletotrichum acutatum isolate causing anthracnose of almond and peach in California. Phytopathology 87(9): 979-987.

    Alvarez AM, Nishijima WT. 1987. Post harvest disease of papaya. Plant Disease 71:681-686.

    [AVRDC] 1998. Effect of fruit maturity on anthracnose development. Di dalam: AVRDC, editor. Progress report in tomato and pepper production in the tropics; Shanhua, Taiwan. Hlm 69-71.

    Bailey JA, Jeger MJ. 1992. Colletotrichum: biology, pathology and control. CAB Intl. Wallingford, UK.

    Barnet HL, Hunter BB. 1972. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Ed ke-4. New York.

    Dickman MB, & Alvarez AM. 1983. Laten infection of papaya caused by Colletotrichum gloeosporioides. Plant Diseases 67(7):748-750.

    Freeman S. 2000. Genetic diversity and host specifitcity of Collethotrichum species on various fruits. Di dalam Collethotrichum: Host specificity, pathology and host pathogen interaction. Am Phytopathol Soc Pr, St Paul, MN, USA.

    Joseli ST, Liberato JR, Zamolim L, Happines J, Coast H. 2002. Control and climatic conditions favorable to the antracnose of the mamoeiro (papaya). Fitopatol Bras 27(2): 1-12.

    Lim TK, Tang SC. 1984. Anthracnose and some local fruit trees. Seminar Nasional buah-buahan Malaysia. UPM. Malaysia.

    Mahfud MC. 1986. Uji tanaman inang penyakit antraknosa pada pepaya. Penel. Hort. 1(1):46-52.

    Prabawati S, Sjaifullah, Amiarsi D. 1991. Cendawan penyebab kerusakan buah pepaya selama penyimpanan dan pemasaran serta pengendaliannya. J Hort 1(3):47-53.

    Semangun H. 2000. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gajah Mada Univ Pr.

    Sepiah MA, Subki, Lam PF. 1991. Fungicides for postharvest control of colletotrichum sp. in Eksotika papaya. ASEAN Food J. 6:14-18.

  • 36

    Sepiah MA. 1992. Penyakit lepas tuai betik dan ciku (Postharvest diseases of papaya and sapota). Bengkel Penyelidikan Sistem Pengendalian Lepastuai Betik dan Ciku, Melaka, Malaysia. Hlm. 85-90.

    Sinaga MS. 2003. Dasar-dasar Ilmu Penyakit tumbuhan. Jakarta: Penebar Swadaya.

    Skipp RA, Beever RE, Sharrock KR, Rikkerink EHA, Templeton MD. 1995. Colletotrichum. Di dalam Kahmoto K, Singh U, Singh RP, editor. Pathogenesis and host-specificity in plant disease. Histopathological, biochemical, genetic and molecular bases. Oxford: Pergamon. Hlm 119-143.

    Snowdown AL. 1990. A colour atlas of postharvest diseases and disorders of fruit and vegetables. Vol.1. Wolfe Scientific.

    Steel RGD, Torrie JH. 1980. Principles and Procedure Statistic. A biomatrical approach. Ed ke 2. Book co. London.

    Sutton BC. 1992. The genus Glomerella and its anamorph Colletotrichum. Editor Colletotrichum: biology, pathology and control. CAB Intl. Wallingford, UK.

    Swart GM. 1999. Comparative study of Colletotrichum gloeosporioides from Avocado and Mango [Disertasi] Departement of Microbiology and Plant Pathology University of Pretoria