Anti Inflamasi

30
ANTI INFLAMASI TUJUAN - Mengenal cara untuk mengevaluasi secara eksperimental efek anti inflamasi suatu obat - Memahami mekanisme kerja obat anti inflamasi LANDASAN TEORI Obat analgesik antipiretik serta obat anti inflamasi nonsteorid merupakan sustu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia. Walaupun demikian obat-obat ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek samping. Prototip obat golongan ini adalah aspirin, karena itu obat golongan ini sering disebut juga sebagai obat mirip aspirin (aspirin like drugs). Kemampuan penelitian dalam dasawarsa terakhir ini memberi penjelasan mengapa kelompok heterogen tersebut memiliki kesempatan efek terapi dan efek samping. Ternyata sebagian besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan atas penghambatan 6 biosintesisprostaglandin (PG). Akan diuraikan dahulu mekanisme dan sifat dasar

description

laporan

Transcript of Anti Inflamasi

ANTI INFLAMASI

TUJUAN

- Mengenal cara untuk mengevaluasi secara eksperimental efek anti

inflamasi suatu obat

- Memahami mekanisme kerja obat anti inflamasi

LANDASAN TEORI

Obat analgesik antipiretik serta obat anti inflamasi nonsteorid merupakan

sustu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara

kimia. Walaupun demikian obat-obat ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam

efek terapi maupun efek samping. Prototip obat golongan ini adalah aspirin, karena

itu obat golongan ini sering disebut juga sebagai obat mirip aspirin (aspirin like

drugs).

Kemampuan penelitian dalam dasawarsa terakhir ini memberi penjelasan

mengapa kelompok heterogen tersebut memiliki kesempatan efek terapi dan efek

samping. Ternyata sebagian besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan atas

penghambatan 6 biosintesisprostaglandin (PG). Akan diuraikan dahulu mekanisme

dan sifat dasar obat mirip aspirin sebelum membahas masing-masing sub golongan.

Mekanisme Kerja

Mekanisme kerja dari obat anti inflamasi ini telah disebutkan di atas bahwa

efek terapi maupun efek samping obat-pbat ini sebagian besar tergantung dari

penghambatan biosintesis PG. Mekanisme kerja yang berhubungan dengan sistem

biosintesis PG ini mulai dilaporkan pada tahun 1971 oleh Vane dan kawan-kawan

yang memperlihatkan secara in vitro bahwa dosis rendah aspirin dan indometasin

menghambat produksi enzimatik PG. Penelitian lanjutan telah membuktikan bahwa

PG akan dilepaskan bilamana sel mengalami keruskan.

Walaupun in vitro obat AINS diketahui menghambat berbagai reaksi

biokomiawi, hubungan dengan efek analgesik, antipiretik dan anti inflamasinya

belum jelas. Selain itu obat AINS secara umum tidak menghambat berbagai reaksi

biokimiawi, hubungan dengan efek analgesik, anti piretik dan anti inflamasinya

belum jelas. Selain itu obat AINS secara umum tidak menghambat biosintesis

leukotrien, yang diketahui ikut berperan dalam inflamasi.

Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi

asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase

dengan cara yang berbeda. Khusus parasetamol, hambatan biosintesis PG hanya

terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksid seperti di hipotalamus. Lokasi

inflamasi biasanya mengandung banyak peroksid yang dihasilkan oleh leukosit. Ini

menjelaskan mengapa efek anti inflamasi parasetamol praktis tidak ada. Aspiin

sendiri menghambat dengan mengasetilasi gugus akatif serin dari enzim ini. Dan

trombosit sangat rentan terhadap penghambatan ini karena sel ini tidak mampu

mengadakan regenerasi enzimnya. Sehingga dosis tunggal aspirin 40 mg sehari telah

cukup untuk menghambat siklo oksigenase trombosit manusia selama masa hidup

trombosit yaitu 8-11 hari.

Inflamasi sampai sekarang fenomena inflamasi pada tingkat bioseluler masih

belum dapat dijelaskan secara rinci. Walaupun demikian banyak hal yang telah

diketahui dan disepakati. Fenomena inflamasi ini meliputi kerusakan likrovaskuler,

meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Gejala

proses inflamasi yang sudah dikenal adalah kalor, rubor, tumor, dolor dan functio

laesa. Selama berlangsungnya fenomena inflamasi banyak mediatpr kimiawi yang

dilepaskan secara local antara lain histamin, 5-hidroksitriptamin (5HT), factor

kemotaktik, bradikinin, leukotrien dan PG. Peneitian terakhir menunjukkan autakoid

lipid PAF juga merupakan mediator inflamasi. Dengan migrasi sel fahosit ke daerah

ini, terjadi lisis membran lisozim dan lepasnya enzim pemecah. Obat mirip aspiri

dapat dikatakan tidak berefek terhadap mediator-mediator kimiawi tersebut kecuali

PG.

Secara in vitro terbukti bahwa prostaglandin E2 (PGE2) dan prostasiklin

(PGI2) dalam jumlah nanogram, menimbulkan eritem, vasodilatasi dan peningkatan

aliran darah local. Histamin dan bradikinin dapat meningkatkan permeabilitas

vascular, tetapi efek vasodilatasinya tidak besar. Dengan penambahan sedikit PG,

efek eksudasi histamin plasma dan bradikinin menjadi lebih jelas. Migrasi leukosit ke

jaringan radang merupakan aspek penting dalam proses inflamasi. PG sendiri tidak

bersifat kemotaktik, tetapi produk lain dari asam arakidonat yakni leukotrien B4

merupakan zat kemotaktik yang sangat poten.

Rasa nyeri PG hanya berperan pada nyeri yang berkaitan dengan kerudakan

jaringan atau inflamasi. Penelitin telah membuktikan bahwa PG menyebabkan

sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi. Jadi PG

meni,bulkan keadaan hiperalgesia kemudian mediator kimiawi seperti bradikinin dan

histamin merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang nyata.

Obat mirip aspirin tidak mempengaruhi hiperalgesia atau nyeri yang

ditimbulkan oleh efek langsung PG. Ini menunjukkan bahwa sintesis PG yang

dihambat oleh golongan obat ini dan bukannya blokade langsung.

Demam, suhu badan diatur oleh keseimbangan antara produksi dan hilangnya

panas. Alat pengatur suhu tubuh berada di hipotalamus. Pada keadaan emam

keseimbangan ini terganggu tetapi dapat dikembalikan ke normal oleh obat mirip

aspirin. Ada bukti bahwa peningkatan suhu tubuh pada keadaan patologik diawali

penglepasan suatu zat pirogen endogen atau sitokin seperti interleukin-1 (IL-1) yang

memacu penglepasan PG yang berlebihan di daerah preoptik hipotalamus. Selain itu

PGE2 terbukti menimbulkan demam setelah diinfuskan ke ventrikel serebral atau

disuntikkan ke daerah hipotalamus. Obat mirip aspirin menekan efek zat pirogen

endogen dengan menghambat sintesis PG. Tetapi demam yang timbul akibat

pemberian PG tidak dipengaruhi, demiian pula peningkatan suhu oleh sebab lain

seperti latihan fisik.

Efek Farmakodinamik

Semua obat mirip aspirin bersifat antipiretik, anlagesik dan antiinflamasi. Ada

perbedaaan aktivitas di antara obat-obat tersebut misalnya parasetamol

(asetaminofen) bersifat antipiretik dan analgesik tetapi sifat anti inflamasinya lemah

sekali.

Efek analgesik, sebagai analgesik obat mirip aspirin hanya efektif terhadap

nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang misalnya sakit kepala, mialgia,

artralgia dan nyeri lain yang berasal dari integumen, juga efektif terhadap nyeri yang

berkaitan dengan inflamasi. Efek analgesiknya jauh lebih lemah daripada efek

analgesik opiat. Tetapi berbeda dengan opiat, obat mirip aspirin tidak menimbulkan

ketagihan dan tidak menimbulkan efek samping sentral yang merugikan. Obat mirip

aspirin hanya mengubah persepsi modalitas sensorik nyeri, tidak mempengaruhi

sensorik lain. Nyeri akibat terpotongnya saraf aferen, tidak teratasi dengan obat mirip

aspirin. Sebaliknya nyeri kronis pasca bedah dapat diatasi oleh obat mirip aspirin.

Efek antipiretik, sebagai antipiretik obat mirip aspirin akan menurunkan suhu

badan hanya pada keadaan demam. Walaupun demikian kebanyakan obat ini

memperlihatkan efek antipiretik in vitro, tidak semuanya berguna sebagai antipiretik

ksrena bersifat toksik bila digunakan secara rutin atau terlalu lama. Fenilbutazon dan

antireumatik lainnya tidak dibenarkan digunakan sebagai antipiretik

Efek anti inflamasi kebanyakan obat mirip aspirin terutama yang baru lebih

dimanfaatkan sebagai anti inflamasi pada pengobatan kelainan muskuloskeletal,

seperti arthritis rheumatoid, osteoartritis dan spondilitis ankilosa. Tetapi harus diingat

bahwa obat mirip aspirin hanya meringankan gejala nyeri dan inflamasi yang

berkaitan dengan penyakitnya secara simtomatik, tidak menghentikan, memperbaiki

atau mencegah kerusakan jaringan pada kelainan muskulosketal ini.

Efek samping yang paling sering terjadi adalah induksi tukak lambung atau

tukak peptic yang kadang-kadang disertai anemia sekunder akibat perdarahan saluran

cerna. Beratnya efek samping ini berbeda pada masing-masing obat, dua mekanisme

terjadinya iritasi lambung adalah iritasi yang bersifat local yang menimbulkan difusi

kembali asam lambung ke mukosa dan menyebabkan kerusakan jaringan atau

perdarahan lambung yang bersifat sistemik melalui hambatan biosintesis PGE2 dan

PGI2. kedua PG ini banyak ditemukan di mukosa lambung dengan fungsi

menghambat sekresi asam lambung dan merangsang sekresi mucus usus halus yang

bersifat sitoprotektif. Mekanisme kedua ini terjadi pada pemberian parenteral.

Inflamasi diidetifikasikan sebagai suatu reaksi lokal organisme terhadap suatu iritasi

atau keadaan non fisiologik.

Secara skematis dibedakan 4 fase gejala-gejala inflamasi :

1. Eritem : vasodilatasi pembuluh darah menyebabkan tertahannya darah oleh

perubahan permeabilitas pembuluh sehingga plasma dapat keluar dari dinding

pembuluh.

2. Ekstravasasi : keluarnya plasma melalui dinding pembuluh darah dan

menyebabkan udem.

3. Suppurasi dan nekrosis : pembentukan nanah dan kematian jaringan yang

disebabkan oleh penimbunan lekosit-lekosit di daerah inflasi.

4. Degenerasi jaringan : tidak terdapat pembentukan sel-sel baru untuk

pembentukan pembuluh darah dan makin bertambahnya serat-serat kolagen

yang tidak berfungsi.

Masing-masing tahap diatas dipengaruhi oleh faktor-faktor humoral seperti

histamin, serotonin, bradikinin dan prostaglandin. Kebanyakan dari gejala tersebut di

atas telah dijadikan sebagai dasar berbagai metode percobaan untuk mengevaluasi

obat-obat antiinflamasi. Gejala eritem dapat diuji pada marmot yang disinari

ultraviolet: pembentukan udem dapat dilakukan pada kaki tikus dengan penyuntikan

seperti karegen, kaolin, serotonin, dekstran dll.

Inflamasi

Inflamasi, dalam bahasa Indonesia sehari-hari, yaitu radang. Kita sering

mendengar misalnya, radang usus, radang otak, radang paru-paru, peradangan,

bengkak memar dan seterusnya. Penggunaan istilah ini telah dikenal secara tradisi

sejak jaman Yunani dan Tiongkok kuno, ribuan tahun yang lalu. Dari penemuan-

penemuan terakhir, para pakar berpendapat bahwa, sebetulnya inflamasi (atau

radang) bukanlah berupa penyakit itu sendiri. Inflamasi diperlukan oleh tubuh

kita, karena proses reaksi biokimia inflamasi di dalam tubuh ditujukan melawan

invasi bakteri dari luar, zat-zat yang negatif bagi sel-sel, jaringan sel, serta organ-

organ, ataupun bila terjadi luka. Dalam hubungan ini, jenis sel seperti leukocyte,

neutrophil, berperan memusnahkan invasor. Dapat kita gambarkan fungsinya

seperti pasukan keamanan dari sesuatu bahaya yang menyerang keseimbangan

tubuh. Terutama neutrophil, berperan sebagai patrol keamanan tubuh kita, begitu

menemukan sesuatu yang asing ditubuh, serta merta akan memusnahkannya.

Dalam proses inflamasi, chemical mediator (juga disebut lipd mediator karena

berasal dari asam lemak AA, DHA dan EPA) berupa leukotriene dan

prostaglandins, turunan dari AA, memegang peranan penting. Pada waktu yang

bersamaan, proses pemusnahan awal terhadap invasor, neutrophil mengeluarkan

chemical mediator yang mana memberikan sinyal berikutnya merekrut lebih

banyak lagi sel neutrophil dan leukocyte untuk turut beraksi memusnahkan

invasor. Proses pemusnahan ini disebut phagocytosis (kemampuan memakan,

menelan). Dalam proses ini neutrophil mengeluarkan agent, enzyme (reactive

oxygen species, hydrolytic enzymes, dan lain-lain), yang secara umum juga tidak

baik bagi tubuh dan dapat merusak sel, jaringan sel. Pertahanan tubuh telah

menyiapkan mekanisme sedemikian rupa, pada tahap tertentu, aksi selanjutnya

dari neutrophil harus dicegah. Pencegahan tersebut terjadi di mana biosintesa

chemical mediator yang pro-inflamasi, leukotrine, distop, dan beralih ke

biosintesa chemical mediator anti-inflamasi jenis lipoxins.

Peralihan atau switch biosintesa dari mediator pro-inflamasi ke anti-inflamasi

Munculnya prostaglandins dari sel neutrophil juga mengisyaratkan secara

terprogram, nasib biosintesa mediator ini (semacam feedback) sendiri akan

berakhir, dengan meregulasi (down regulation) enzyme 15-LO yang terdapat di

dalam sel neutrophil, kemudian biosintesa beralih ke mediator yang lain, yang

anti-inflamasi. Namun hal lain yang sangat menentukan peralihan ini adalah

kemampuan enzyme 5-LO (5-Lipoxigenase. Penemuan enzyme ini dan satu lagi,

COX, Cyclooxygenase, yang membawa Samuelsson B. dan Bergstrom S.

mendapatkan penghargaan Nobel tahun 1982) mengkonversi secara reaksi

enzymatic dari AA menjadi leukotriene (LTB4), lalu beralih pada tahap

berikutnya ke lipoxins. Dalam hubungan ini exzyme 5-LO juga substrate

dependent (tergantung dari kondisi mikro setempat), di mana enzyme tersebut,

satu dari sekian step proses biosintesa, dapat menggunakan dan mengkonversi

DHA, EPA menjadi grup senyawa resolvins.

Pada tingkat sel, munculnya neutrophil dan terbentuknya nanah (pustule, lihat

gambar bawah) mengisyaratkan peralihan dari mediator pro- ke anti-inflamasi, dan

pembatasan atau pencegahan pengrekrutan neutrophil berikutnya dari pembulu darah

ke lokasi kejadian. Mediator anti-inflamasi, lipoxins, resolvins, dan protectins

memobilisasi sel macrophage (monocyte) yang dapat memakan sel neutrophil, serta

membersihkan Histologi leukosit.

Leukosit adalah sel darah Yang mengendung inti, disebut juga sel darah putih.

Didalam darah manusia, normal didapati jumlah leukosit rata-rata 5000-900

sel/mm3, bila jumlahnya lebih dari 12000, keadaan ini disebut leukositosis,

bilakurang dari 5000 disebut leukopenia. Dilihat dalam mikroskop cahaya maka sel

darah putih mempunyai granula spesifik (granulosit), yang dalam keadaan hidup

berupa tetesan setengah cair, dalam sitoplasmanya dan mempunyai bentuk inti yang

bervariasi, Yang tidak mempunyai granula, sitoplasmanya homogen dengan inti

bentuk bulat atau bentuk ginjal. Terdapat dua jenis leukosit agranuler : linfosit sel

kecil, sitoplasma sedikit; monosit sel agak besar mengandung sitoplasma lebih

banyak. Granula. Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humora

organisme terhadap zat-zat asingan. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid dan

melalui proses diapedesis lekosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos

antara sel-sel endotel dan menembus kedalam jaringan penyambung Jumlah leukosit

per mikroliter darah, pada orang dewasa normal adalah 4000-11000, waktu lahir

15000-25000, dan menjelang hari ke empat turun sampai 12000, pada usia 4 tahun

sesuai jumlah normal. Variasi kuantitatif dalam sel-sel darah putih tergantung pada

usia. waktu lahir, 4 tahun dan pada usia 14 -15 tahun persentase khas dewasa tercapai.

Bila memeriksa variasi Fisiologi dan Patologi sel-sel darah tidak hanya persentase

tetapi juga jumlah absolut masing-masing jenis per unit volume darah harus diambil.

ALAT DAN BAHAN

Alat

- Timbangan hewan

- Alat suntik ip

- Stopwatch

- Spidol permanent

- Plestimometer

Bahan

- Asetosal

- Natrium diklofenak

- Kontrol Na CMC

Cara Kerja

1. Timbang tikus

2. Berikan tanda batas pada kaki belakang kiri untuk setiap tikus dengan spidol,

agar pemasukan kaki ke dalam air raksa setiap kali selalu sama.

3. Pada tahap pendahuluan volume kaki tikus diukur dan dinyatakan sebagai

volume dasar. Pada setiap kali pengukuran volume, tinggi cairan NaCl pada

alat diperiksa dan dicatat sebelum dan sesudah pengukuran, usahakan jangan

sampai ada air raksa yang tertumpah.

4. Tikus diberi obat secara i.p. 25 menit kemdian 0,5 ml larutan karagenan

diberikan pada telapak kaki kiri tikus secara subkutan.

5. Volume kaki yang diberi karagenan diukur setiap 30 menit sampai menit ke

60. Catat perbedaan volume kaki untuk setiap jam pengukuran.

6. Hasil pengamatan dicantumkan dalam table untuk setiap kelompok.

7. Selanjutnya untuk setiap kelompok dihitung persentase rata-rata

8. Gambarkan grafik persentase inhibisi radang terhadap waktu.

HASIL

Kel Obat

Bb

(g)

Vol

awal Pengukuran

Volume

udem

%inhibisi

30’ 60’ 30’ 60’ 30’ 60’

1 Asetosal 100

mg/kgbb143 5,05 7,61 7,48 2,56 2,43 80,28 -23,35

2 Asetosal 150

mg/kgbb172 4,77 7 7,12 2,23 2,35 -57,04 -19,28

3 Kontrol nacmc

1% bb154 4,38 5,80 6,35 1,42 1,97

4 Na.diklorofenak

100 mg/kgbb155 3,80 5,06 5,51 1,26 1,71 11,27 13,2

5 Na. Diklorofenak

150 mg/kgbb163 3,76 7 6,23 3,24 2,47 -128 -25,38

GRAFIK

30' 60'2.35%

2.40%

2.45%

2.50%

2.55%

2.60%

Asetosal 100 mg/kgbb

Asetosal 100 mg/kgbb

30' 60'0.00%

0.50%

1.00%

1.50%

2.00%

2.50%

control Nacmc 1% bb

control Nacmc 1% bb

30' 60'2.16%

2.18%

2.20%

2.22%

2.24%

2.26%

2.28%

2.30%

2.32%

2.34%

2.36%

asetosal 150 mg/kgbb

asetosal 150 mg/kgbb

30' 60'0.00%

0.20%

0.40%

0.60%

0.80%

1.00%

1.20%

1.40%

1.60%

1.80%

na. Diklorofenak 100 mg/kgbb

na. Diklorofenak

30' 60'0.00%

0.50%

1.00%

1.50%

2.00%

2.50%

3.00%

3.50%

Na. Diklorofenak 150 mg/kgbb

Na. Diklorofenak 150 mg/kgbb

PEMBAHASAN

Percobaan ini menggunakan alat yang bernama Plethysmometer air raksa

untuk mengindikasikan terjadinya inflamasi pada kaki bawah sebelah kiri tikus,

dengan pengukuran persentase besarnya radang pembengkakan. Caranya, tikus yang

belum diberi obat diberi tanda yang melingkari pergelangan kakinya sampai batas

bulu, lalu kaki tersebut dicelupkan dalam air raksa sampai batas lingkaran tadi dan

diamati tinggi air raksa sebagai konversi volume kaki tikus yang tercelup dalam air

raksa tersebut. Kaki kiri tikus dipakai karena kaki tikus tidak terdapat bulu, sehingga

efek inflamasinya secara fisik dapat diamati lebih jelas karena bulu pada tikus dapat

menghambat pengamatan volume inflamasi yang terbentuk. Untuk memudahkan

pengamatan, karagenan diinjeksikan secara subkutan pada kaki tikus tersebut agar

efeknya lebih cepat. Selain itu, kaki kiri bawah digunakan agar memudahkan pada

saat pencelupan dalam air raksa dan memperhitungkan bahwa kaki bawah ukurannya

lebih besar daripada kaki atas.

Perlakuan yang diberikan pada tikus, sebagai kontrol, adalah pemberian

larutan Na CMC secara intraperitoneal, lalu 25 menit kemudian disuntikkan

karagenan secara subkutan, lalu diamati pembengkakan yang terjadi setiap 30 menit

selama 60 menit. Na CMC berfungsi sebagai injeksi untuk kontrol, yakni digunakan

untuk memperoleh efek yang sama, atau dengan kata lain, sebagai blangko.

Karagenan berfungsi sebagai inflamator, dan disuntikkan secara subkutan pada

telapak kaki kiri bawah tikus untuk memperoleh efek lokal yang cepat. Pengamatan

setiap 30 menit selama 60 menit dilakukan dengan tujuan mengukur besarnya

inflamasi yang terjadi pada kaki tikus akibat injeksi karagenan. Dari hasil

pengamatan secara umum diperoleh bahwa pada t ke 1 ( setelah 30 menit

penyuntikan) tinggi air raksa menurun agak tajam dibandingkan pada t ke 0.

Selanjutnya, pada tiap jam berikutnya tinggi air raksa mengalami peningkatan secara

bertahap, lalu turun pada t ke 60 menit.

Selain itu, dari data di atas dapat dilihat bahwa pada t ke 0 tinggi air raksa

lebih besar dibandingkan dengan t selanjutnya. Seharusnya tidak demikian, hal ini

disebabkan karena pada saat pencelupan kaki tikus ke dalam air raksa, volume air

raksa ada yang hilang dikarenakan kaki tikus bergerak-gerak. Volume tersebut tidak

dihitung sehingga menyebabkan kekeliruan dalam pembacaan tinggi air raksa.

Peningkatan tinggi air raksa terjadi mulai dari t ke 1 secara bertahap, hal ini

menunjukkan pembentukan inflamasi pada kaki tikus, walaupun sangat kecil hingga

nyaris tidak terlihat. Lalu penurunan tinggi air raksa pada t ke 60 menit menunjukkan

bahwa efek injeksi karagenan sudah mulai berkurang sehingga inflamasi yang

terbentuk mulai mereda (dalam hal ini ukuran telapak kaki mengecil) dan kemudian

lama kelamaan akan menghilang. Tikus kontrol ini berguna untuk membandingkan

antara volume inflamasi pada kaki kiri bawah tikus yang tidak diberi obat

antiinflamasi dengan volume inflamasi pada kaki kiri bawah tikus yang diberi obat

antiinflamasi. Inflamasi yang terbentuk diamati, dan ternyata terbukti bahwa

volumenya lebih besar daripada volume inflamasi pada tikus uji. Dalam hal ini,

karagenan yang dinjeksi secara subkutan berhasil menimbulkan efek inflamasi

sebagaimana fungsinya yakni untuk membentuk udem. Pembentukan udem oleh

karagenan tidak menyebabkan kerusakan jaringan meskipun udem dapat bertahan

selama 6 jam dan berangsur-angsur akan berkurang dan setelah 24 jam menghitung

tanpa meninggalkan bekas.

Kemudian perhitungan persentase peradangan (kenaikan volume kaki)

dilakukan dengan membandingkannya terhadap volume dasar sebelum menyuntikkan

karagenan dengan rumus:

% radangobat=Vt−VoVo

x100%

Perhitungan persentase peradangan dilakukan untuk tiap 30 menitnya agar

kita dapat mengetahui seberapa besar proses peradangan pada kaki tikus telah terjadi

tiap 30 menit. Selanjutnya untuk setiap kelompok dihitung persentase rata-rata dan

bandingkan persentase yang diperoleh kelompok yang diberi obat terhadap kelompok

kontrol pada jam yang sama dan perhitungan persentase inhibisi peradangan

dilakukan dengan rumus:

%∈hibisi=%radang kontrol−%radangobat%radang obat

x100 %

Perhitungan persentase inhibisi peradangan dilakukan agar kita dapat

mengetahui seberapa besar penghambatan obat uji (fenilbutazon) terhadap

peradangan pada kaki tikus. Lalu grafik persentase inhibisi peradangan terhadap

waktu dibuat.

Sebagian besar efek terapi dan efek samping obat analgesik-antipiretik dan

antiinflamasi (AINS) berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG).

Dosis rendah aspirin dapat menghambat produksi enzimatis prostaglandin.

Prostaglandin akan dilepaskan bilamana sel mengalami kerusakan. Walaupun in vitro

obat AINS diketahui menghambat berbagai reaksi biokimiawi, hubungan dengan efek

analgesik, antipiretik dan anti inflamasinya belum jelas. Selain itu obat AINS secara

umum tidak menghambat biosintesis leukotrien, yang diketahui ikut berperan dalam

inflamasi. Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi

asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase

dengan cara yang berbeda.

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan didapatkan hasil, pada tikus

yang diberikan obat antiinflamasi mengalami peradangan pada kelompok 2 sebesar

–22,89% pada menit ke-30, -4% pada menit ke-60, pada kelompok 4 10,88% pada

menit ke 30, 12% pada menit ke 60, pada kelompok 5 -45,18% pada menit ke 30, -

26% pada menit ke 60, pada kelompok 6 13,85% pada menit ke 30, 2% pada menit ke

60 . Seharusnya terjadi peningkatan besar peradangan yang disebabkan oleh tidak

adanya obat antiinflamasi di dalam tubuh tikus sehingga proses peradangan tidak

terhambat, tetapi hasil perhitungan data pengamatan yang diperoleh menunjukkan

bahwa pada menit ke-60 terjadi penurunan besar peradangan. Penurunan besar

peradangan ini kemungkinan disebabkan oleh cara pemberian intrakutan karagenan

pada telapak kaki tikus yang masih salah sehingga karagenan yang bertindak sebagai

penginduksi inflamasi tidak bekerja dengan baik dan cepat pada telapak kaki tikus.

Kemungkinan lain juga bisa disebabkan oleh pengukuran volume kaki tikus yang

tidak tepat karena memang tikus tidak mau mendiamkan kakinya ketika akan

dicelupkan ke dalam air raksa sehingga mungkin saja pencelupan kaki tikus ke dalam

air raksa tidak sesuai tanda batas. Kemungkinan lainnya juga bisa disebabkan karena

pembacaan tinggi air raksa yang tidak tepat oleh praktikan. Dan juga seharusnya tidak

ada nilai negatif pada hasil perhitungan persentase perradangan karena ini

menandakan bahwa volume awal (Vo) yang dipakai bukanlah volume yang

sebenarnya yang kemungkinan disebabkan oleh tidak tepatnya pengukuran tinggi air

raksa volume kaki tikus.

KESIMPULAN

- Efek yang ditimbulkan akibat pemberian karagenan pada hewan percobaan

adalah terjadinya udem, yang terlihat dari bertambahnya volume kaki tikus

setelah diukur dengan alat pletismometer.

- Mekanisme karagenan dalam menimbulkan inflamasi adalah dengan

merangsang lisisnya sel mast dan melepaskan mediator-mediator radang yang

dapat mengakibatkan vasodilatasi sehingga menimbulkan eksudasi dinding

kapiler dan migrasi fagosit ke daerah radang sehingga terjadi pembengkakan

pada daerah tersebut.

- Efek antiinflamasi dari pemberian NA Diklofenak adalah mengurangi udem

pada kaki tikus akibat pemberian karagenan.

- Inflamasi terjadi karena reaksi antara antigen dengan antibodi yang dapat

merangsang pelepasan mediator radang sehingga terjadi vasodilatasi

pembuluh kapiler dan migrasi fagosit ke daerah radang, yang mengakibatkan

hiperemia dan udem pada daerah terjadinya inflamasi.

- Azas dasar percobaan aktivitas antiinflamasi dapat dipahami dan diperoleh

petunjuk-petunjuk yang praktis bahwa untuk menguji efek antiinflamasi suatu

obat, hewan percobaan harus diberi obat antiinflamasi terlebih dahulu baru

dibuat inflamasi sehingga persentase inhibisi peradangan dapat diamati.

- Beberapa kemungkinan dan batasan yang merupakan sifat teknik percobaan

dapat ditunjukkan bahwa pembentukan udem oleh karagenan tidak

menyebabkan kerusakan jaringan meskipun udem dapat bertahan selama

beberapa jam dan berangsur-angsur akan berkurang tanpa meninggalkan

bekas.

DAFTAR PUSTAKA

Astawa, P.; Bakta, M.; Budha, K. (2008). Makrofag Pengekspresi IL-1β serta

Respons Inflamasi Sistemik pada Fiksasi Interna Dini Fraktur Femur

Tertutup Lebih Rendah Dibandingkan dengan yang Tertunda.

Effendi, Z., dr. (2007). Peranan Leukosit sebagai Antiinflamasi Alergik dalam Tubuh.

Munaf ST; Syamsul. (1994). Catatan Kuliah Farmakologi Bagian II. Staf Pengajar

Laboratorium Farmakologi-FK UNSRI. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

EGC. Hal 214.

Mycek,M.J. (1995). Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi 2. Jakarta: Widya

Medika. Hal 404.

Neal, M.J. (2006). Farmakologi Medis At Glance. Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit PT

Erlangga. Hal 70-71.

Wilmana, P.F. (1995). Analgesik-Antipiretik Analgesik Anti-Inflamasi Nonsteroid

Dan Obat Pirai, dalam Farmakologi dan Terapi. Editor Sulistia G.

Ganiswara. Edisi IV. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UI.

Hal 207-209.

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI

ANTI INFLAMASI

OLEH:

HALINDA ALIZAR (1201037)

KELOMPOK IV GANJIL

TANGGAL PRAKTIKUM : 24 DESEMBER 2013

DOSEN: Dra. Syilfia Hasti M.Farm,Apt

Asisten:

1. Deri islami

2. Kurnia andini

Program studi S1 farmasi

Sekolah tinggi ilmu farmasi riau

2013