Anshorullah, 2008

243
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008 1 DISTRIBUSI DIATOMAE PLANKTONIK PADA MUSIM YANG BERBEDA DI PERAIRAN WADUK WADASLINTANG WONOSOBO Aang Anshorullah * , Endang Widyastuti dan Asrul Sahri Siregar ABSTRAK Diatomae planktonik berperan penting di perairan waduk sebagai pakan alami yang disukai oleh ikan dan organisme perairan lainnya. Distribusi diatomae planktonik dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan waduk. Musim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi lingkungan perairan waduk. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kelimpahan dan distribusi diatomae planktonik di perairan Waduk Wadaslintang Wonosobo. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dengan pengambilan sampel dilakukan sebanyak tiga kali dengan interval waktu satu minggu masing-masing untuk musim penghujan dan kemarau di lima stasiun. Kelimpahan dan distribusi diatomae planktonik antar stasiun pengambilan sampel dianalisis menggunakan analisis cluster dengan program Bio-Diversity Profesional Version 2 dan analisis distribusi Poisson. Hasil menunjukkan bahwa diatomae planktonik yang ditemukan sebanyak 28 spesies yang terdiri dari dua ordo yaitu ordo pennales (26 spesies) dan ordo centrales (2 spesies). Kelimpahan individu diatomae planktonik didapatkan lebih banyak pada musim penghujan (696 ind/l) dari pada musim kemarau (420 ind/l). Diatomae planktonik yang ditemukan melimpah adalah Nitzschia vermicularis, Pinnularia nobilis, Synechocystis aquatilis, Synedra acus dan Nitzschia actinotroides. Analisis cluster menunjukkan bahwa antara musim penghujan dan kemarau memiliki kesamaan dengan nilai koefisien kesamaan 53%. Pola distribusi diatomae planktonik secara umum adalah mengelompok baik pada musim penghujan (65%) maupun kemarau (59%). Perbedaan musim memperlihatkan kondisi yang berbeda terhadap kelimpahan dan distribusi organisme perairan, khususnya diatomae planktonik. Kata Kunci : kelimpahan, distribusi, analisis cluster, diatomae planktonik, Waduk Wadaslintang ABSTRACT Planktonic diatomae has necessary role in reservoir as natural food in the good graced with fish and other aquatic organism. Distribution of planktonic diatomae influenced with water condition of reservoir. Season was environmental factor that influenced aquatic condition of reservoir. Research entitled “Distribution of Planktonic Diatomae in Wadaslintang Reservoir Wonosobo” aimed to determine abundance and distribution of planktonic diatomae in Wadaslintang reservoir, Wonosobo. The Research was carried out by using a survey method with random sampling. Sample collection was conducted with three replication in a week period each for winter and summer. Sample collection was conducted at five stasions, inlet, near floating net cage of farmer, near floating net cage of Aquafarm firm, middle and outlet. Abundance and distribution of planktonic diatomae inter station was analysed with cluster analysis applying for Biodiversity Profesional version 2 (Mc Aleece, 1997) and Poisson distribution. The Result showed that species of planktonic diatomae were 28 species in each 26 species including in order pennales and 2 species order centrales. Abundance of planktonic diatomae was 696 ind/l (in winter) and 420 ind/l (in summer). The great abundance of planktonic diatomae are Nitzschia vermicularis, Pinnularia nobilis, Synechocystis aquatilis, Synedra acus and Nitzschia actinotroides. Cluster analysis identified that community of planktonic diatomae in winter and summer were same with similarity coefficient was 53%. Distribution pattern of planktonic diatomae in winter and summer were generally aggregated 65% in winter and 59% in summer. Season dissimilarity showed different condition for abundance and distribution of aquatic organism specially for planktonic diatomae. Keywords : abundance, distribution, cluster analysis, Planktonic diatomae, Wadaslintang Reservoir * Fakultas Biologi UNSOED E-mail : [email protected]

description

wssv

Transcript of Anshorullah, 2008

Page 1: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

1

DISTRIBUSI DIATOMAE PLANKTONIK PADA MUSIM YANG BERBEDA

DI PERAIRAN WADUK WADASLINTANG WONOSOBO

Aang Anshorullah *, Endang Widyastuti dan Asrul Sahri Siregar

ABSTRAK Diatomae planktonik berperan penting di perairan waduk sebagai pakan alami yang disukai

oleh ikan dan organisme perairan lainnya. Distribusi diatomae planktonik dipengaruhi oleh kondisi

lingkungan perairan waduk. Musim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi lingkungan

perairan waduk. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kelimpahan dan distribusi diatomae

planktonik di perairan Waduk Wadaslintang Wonosobo. Metode penelitian yang digunakan adalah

metode survei dengan pengambilan sampel dilakukan sebanyak tiga kali dengan interval waktu satu

minggu masing-masing untuk musim penghujan dan kemarau di lima stasiun. Kelimpahan dan distribusi

diatomae planktonik antar stasiun pengambilan sampel dianalisis menggunakan analisis cluster dengan

program Bio-Diversity Profesional Version 2 dan analisis distribusi Poisson. Hasil menunjukkan bahwa

diatomae planktonik yang ditemukan sebanyak 28 spesies yang terdiri dari dua ordo yaitu ordo pennales

(26 spesies) dan ordo centrales (2 spesies). Kelimpahan individu diatomae planktonik didapatkan lebih

banyak pada musim penghujan (696 ind/l) dari pada musim kemarau (420 ind/l). Diatomae planktonik

yang ditemukan melimpah adalah Nitzschia vermicularis, Pinnularia nobilis, Synechocystis aquatilis,

Synedra acus dan Nitzschia actinotroides. Analisis cluster menunjukkan bahwa antara musim penghujan

dan kemarau memiliki kesamaan dengan nilai koefisien kesamaan 53%. Pola distribusi diatomae

planktonik secara umum adalah mengelompok baik pada musim penghujan (65%) maupun kemarau

(59%). Perbedaan musim memperlihatkan kondisi yang berbeda terhadap kelimpahan dan distribusi

organisme perairan, khususnya diatomae planktonik.

Kata Kunci : kelimpahan, distribusi, analisis cluster, diatomae planktonik, Waduk Wadaslintang

ABSTRACT Planktonic diatomae has necessary role in reservoir as natural food in the good graced with fish

and other aquatic organism. Distribution of planktonic diatomae influenced with water condition of

reservoir. Season was environmental factor that influenced aquatic condition of reservoir. Research

entitled “Distribution of Planktonic Diatomae in Wadaslintang Reservoir Wonosobo” aimed to determine

abundance and distribution of planktonic diatomae in Wadaslintang reservoir, Wonosobo. The Research

was carried out by using a survey method with random sampling. Sample collection was conducted with

three replication in a week period each for winter and summer. Sample collection was conducted at five

stasions, inlet, near floating net cage of farmer, near floating net cage of Aquafarm firm, middle and

outlet. Abundance and distribution of planktonic diatomae inter station was analysed with cluster

analysis applying for Biodiversity Profesional version 2 (Mc Aleece, 1997) and Poisson distribution. The

Result showed that species of planktonic diatomae were 28 species in each 26 species including in order

pennales and 2 species order centrales. Abundance of planktonic diatomae was 696 ind/l (in winter) and

420 ind/l (in summer). The great abundance of planktonic diatomae are Nitzschia vermicularis,

Pinnularia nobilis, Synechocystis aquatilis, Synedra acus and Nitzschia actinotroides. Cluster analysis

identified that community of planktonic diatomae in winter and summer were same with similarity

coefficient was 53%. Distribution pattern of planktonic diatomae in winter and summer were generally

aggregated 65% in winter and 59% in summer. Season dissimilarity showed different condition for

abundance and distribution of aquatic organism specially for planktonic diatomae.

Keywords : abundance, distribution, cluster analysis, Planktonic diatomae, Wadaslintang Reservoir

* Fakultas Biologi UNSOED E-mail : [email protected]

Page 2: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

2

PENDAHULUAN

Tujuan pembangunan Waduk Wadaslintang adalah sebagai pembangkit tenaga

listrik, irigasi, perikanan dan objek wisata. Kegiatan perikanan meliputi perikanan

tangkap dan budidaya. Budidaya yang dikembangkan di Waduk Wadaslintang pada saat

ini adalah adanya budidaya ikan dalam keramba jaring apung (KJA) yang sebagian

besar dikelola oleh PT. Aquafarm dan sebagian lagi oleh petani setempat. Jenis ikan

yang dikembangkan sebagai komoditas budidaya adalah nila merah (Oreochromis

niloticus) (Dinas Perikanan Propinsi Jawa Tengah, 1994).

Daerah aliran sungai (DAS) Waduk Wadaslintang mempunyai topografi dan

bentuk wilayah berupa daerah datar dan perbukitan, sebagian besar wilayah berupa

dataran dengan lereng curam dan bergelombang, sebagian lain berupa area persawahan.

Tata guna lahan di sekitar DAS Waduk Wadaslintang dapat berpengaruh terhadap

kondisi fisika dan kimia waduk. Penggunaan lahan di DAS Waduk Wadaslintang

sebagian besar untuk lahan tegalan (7.529 ha), sebagian lagi berupa area hutan (5.307

ha), pekarangan (2.730 ha) dan persawahan (2.636 ha) (BRLKT, 2001). Dengan

demikian DAS Waduk Wadaslintang dimungkinkan membawa limbah baik berupa

bahan organik maupun anorganik dari DAS nya yang akan menjadi sumber nutrien bagi

perairan waduk. Selain mendapatkan nutrien dari luar, waduk juga mendapat tambahan

nutrien dari dalam waduk sendiri yaitu berupa sisa-sisa pakan ikan dari usaha budidaya

KJA. Penambahan bahan organik dan anorganik tersebut akan semakin memperkaya

nutrien di perairan waduk. Hal ini menyebabkan kondisi perairan waduk dari waktu ke

waktu mengalami perubahan sehingga akan berpengaruh terhadap kehidupan dan

distribusi organisme di dalamnya.

Diatomae memiliki fungsi ekologis penting dalam mendukung ekosistem

perairan waduk. Salah satunya sebagai pakan alami terbaik yang disukai ikan, udang,

moluska, bivalvia dan organisme perairan waduk lainnya. Diatomae memiliki pori-pori

dan bentuknya terdiri dari tutup dan wadah yang mudah membuka, di samping

dindingnya yang sangat kuat sehingga memudahkan ikan untuk mencerna isi sel

diatomae dengan bantuan enzim pencernaan (Payne, 1985). Selain itu keberadaan

diatomae yang sebagian besar tersebar di permukaan perairan akan memudahkan ikan

dalam mendapatkan pakan alaminya. Odum (1993), menyatakan bahwa diatomae

Page 3: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

3

merupakan fitoplankton yang banyak ditemukan pada perairan danau bagian permukaan

(bersifat planktonik). Diatomae memiliki kemampuan untuk merespon adanya

perubahan kondisi fisika, kimia dan biologi suatu perairan secara langsung (Munda,

2005). Perubahan kondisi perairan tersebut akan mempengaruhi distribusi dan

kelimpahan diatomae. Musim merupakan salah satu faktor lingkungan yang dapat

mempengaruhi distribusi diatomae pada suatu perairan (Wu dan Chou, 1998). Musim di

daerah tropis berkaitan erat dengan curah hujan yang turun sepanjang tahun dan terbagi

menjadi dua yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Musim penghujan dimulai

jika intensitas curah hujan lebih dari 150 mm per bulan (BMG, 2007). Perbedaan

volume air masuk antara musim penghujan dan musim kemarau dengan demikian akan

berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas nutrien di dalam waduk. Wulandari (2006)

menyatakan bahwa curah hujan akan mempengaruhi volume air, transport sedimen dan

nutrien yang masuk ke waduk.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui besarnya kelimpahan diatomae

planktonik musim penghujan dan kemarau di perairan Waduk Wadaslintan dan untuk

mengetahui distribusi diatomae planktonik musim penghujan dan kemarau di perairan

Waduk Wadaslintang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

dalam upaya menentukan kualitas ekosistem perairan kaitannya dengan pemanfaatan

perairan bagi perikanan di perairan Waduk Wadaslintang.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan terhadap diatomae yang didapatkan di perairan Waduk

Wadaslintang Wonosobo. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

survei dengan menggunakan teknik pengambilan sampel secara acak terpilih.

Pengambilan sampel dilakukan pada lima stasiun dengan tiga kali ulangan masing-

masing pada musim penghujan dan kemarau. Dalam penelitian ini dilakukan

pengukuran terhadap beberapa parameter fisika kimia perairan yang meliputi

kedalaman, penetrasi cahaya, padatan tersuspensi {total suspended solid (TSS)}, suhu,

derajat keasaman (pH), alkalinitas, oksigen (O2) terlarut, karbondioksida (CO2) bebas,

BOD5, nitrat, ortofosfat dan silika. Pengambilan sampel diatomae dilakukan dengan

menggunakan plankton-net no 25 dan diawetkan dengan formalin 4 % dan lugol

Page 4: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

4

(APHA, 1992). Diatomae yang ditemukan diidentifikasi dengan menggunakan buku

identifikasi Sachlan (1982), Davis (1955), Shirota (1966) dan Thompson (1959).

Penghitungan kelimpahan diatomae menggunakan metode Lackey Drop Microtransec

Counting (APHA,1965).

Data kelimpahan diatomae dianalisis dengan menggunakan metode cluster.

Analisis cluster yang digunakan merupakan paket program Bio-Diversity Profesional

Version 2 (Mc Aleece, 1997), pengelompokkannnya berdasarkan rumus koefisien

kesamaan Bray-Curtis dengan rumus sebagai berikut :

QS = 2WA � B

X 100 PV = Ĉ �F

Keterangan : QS = Koefisien kesamaan A = Jumlah PVdari spesies yang terdapat pada komunitas A. B = Jumlah PVdari spesies yang terdapat pada komunitas B. W = Jumlah PV terkecil antara di komunitas a dan b PV = prominance value Ĉ = Jumlah rataan individu satu spesies dari seluruh sampel di setiap komunitas F = Frekuensi terdapatnya setiap spesies dari seluruh sampel di setiap komunitas

Analisis distribusi Diatomae menggunakan analisis distribusi Poisson (Shoutwood,

1978), yaitu :

S2 = ∑ X

2− [�∑ X 2 /N�]N − 1

Keterangan : S2 = Variansi X = Jumlah individu N = Jumlah total individu

Jika S2 = µ maka populasi tersebar acak, S2 < µ maka populasi tersebar merata, S2 > µ maka populasi tersebar berkelompok.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kelimpahan merupakan suatu indikasi dari penyebaran individu suatu spesies

karena pengaruh faktor lingkungan (Mc Naughton and Wolf, 1990). Kelimpahan

diatomae planktonik yang didapatkan selama penelitian di perairan Waduk

Wadaslintang adalah 696 ind/l (musim penghujan) dan 420 ind/l (musim kemarau).

Kelimpahan diatomae planktonik ini dipengaruhi oleh faktor fisika dan kimia perairan

seperti cahaya, temperatur, nitrat, ortofosfat, alkalinitas dan silika. Kondisi perairan

Page 5: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

5

Wadaslintang secara umum masih berada pada kisaran yang mendukung bagi kehidupan

diatomae planktonik. Hasil pengukuran sifat fisika dan kimia air antara lain suhu air

berkisar antara 26-29 0C. Hal ini sesuai dengan pendapat Werner (1977) yang

menyatakan bahwa suhu optimum untuk pertumbuhan diatomae berkisar antara 20-

300C. Kandungan nitrat perairan Waduk Wadaslintang berkisar antara 0,26-0,34 mg/l,

Kementerian lingkungan hidup (2002) menyatakan bahwa berdasarkan PP No. 82 tahun

2001 kadar nitrat maksimun untuk usaha pembudidayaan ikan air tawar adalah 20 mg/l.

Alkalinitas berkisar antara 45-142 mg/l, hal ini sesuai dengan pendapat Wardoyo (1978)

yang menyatakan bahwa kadar alkalinitas yang baik untuk perairan untuk budidaya

perikanan berkisar antara 50-200 mg/l. Silika berkisar antara 17,20 - 28,28 mg/l. APHA

(1992) menyatakan bahwa silika di perairan alami berkisar antara 1-30 mg/l.

Tabel 1. Kelimpahan Individu dan Kelimpahan Relatif (KR) Diatomae Planktonik Yang Didapatkan di

Perairan Waduk Wadaslintang Berdasarkan Musim dan Stasiun Pengambilan Sampel

Kelimpahan diatomae planktonik musim penghujan (696 ind/l) lebih tinggi

dibandingkan pada musim kemarau (420 ind/l). Melimpahnya diatomae planktonik pada

No Spesies Kelimpahan diatomae planktonik (Ind/liter)

Musim Penghujan Rata-rata

KR (%)

Musim Kemarau Rata-rata

KR (%) 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5

1 Botrydiopsis arhiza 29 6 1,43 2 Cocconeis pediculus 15 39 19 15 2,16 3 Cymbella naviciliformes 49 29 29 21 5,00

4 Diatoma vulgare 10 2 0,29 5 Epithemia argus 48 10 2,38 6 Fragillaria capucina 10 10 4 0,95 7 F. construen 29 39 14 3,33 8 Melosira malayensis 19 29 10 2,38 9 Navicula gastrum 10 10 39 10 14 2,01 10 Neidium affine 58 39 19 23 5,47

11 Nitzschia actinotroides 29 39 17 17 2,44 68 10 16 3,81 12 N. curvula 243 49 7,04 13 N. filiformis 39 10 10 2,38 14 N. phillipinerum 10 2 0,29 58 68 29 29 37 8,81

15 N. purgena 10 2 0,29 16 N. seriata 10 39 19 14 2,01 17 N. vermicularis 398 78 976 5 388 369 53,02 136 126 175 87 87 122 29,05

18 Pinnularia contorta 49 39 18 4,28 19 P. nobilis 29 68 194 126 165 116 16,67 10 19 10 8 1,91 20 Rhizosolenia styliformis 19 19 8 1,91 21 Surirella elegans 10 10 29 19 14 3,33 22 S. robusta 29 19 10 1,44 23 S. tenera 10 2 0,29 24 Synechocystis aquatilis 5 10 29 29 15 2,16 58 184 48 39 29 72 17,14

25 Synedra acus 15 73 78 87 51 7,33 26 S. coningtonii 10 2 0,47 27 S. tabulata 49 10 12 1,72 10 68 49 25 5,95

28 S. ulna 29 6 0,86 ∑ individu 837 249 1348 335 698 696 100 418 611 446 329 282 420 100

∑ spesies 10 6 6 9 6 10 10 8 9 10

Page 6: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

6

musim penghujan disebabkan oleh tingginya kandungan ortofosfat yaitu 0,015 mg/l

dibandingkan musim kemarau (0,010 mg/l), nilai tersebut sangat baik untuk mendukung

kehidupan diatomae planktonik. Ortofosfat adalah nutrien penting yang banyak

dibutuhkan untuk kehidupan diatomae planktonik. Effendi (1993) menyatakan bahwa

kadar ortofosfat pada perairan alami menurut UNESCO/WHO/UNEP 1992, berkisar

antara 0,005-0,02 mg/l. Selain itu kelimpahan diatomae planktonik menyebabkan

kandungan silika pada musim penghujan lebih rendah (17,20 mg/l) dibandingkan

musim kemarau (28,28 mg/l). Kandungan silika yang rendah pada musim penghujan

dikarenakan adanya pengenceran dari besarnya debit air yang masuk ke waduk dan

banyaknya pemanfaatan silika oleh diatomae planktonik untuk membentuk frustule

(dinding sel). Cetin (2004) menyatakan bahwa konsentrasi silika di perairan menurun

seiring pertumbuhan diatom, konsentrasi terendah silika terjadi ketika pertumbuhan

diatom maksimal. Dengan demikian kandungan silika di perairan waduk wadaslintang

berbanding terbalik dengan kelimpahan diatomae planktonik.

Diatomae planktonik yang ditemukan melimpah pada musim penghujan adalah

Nitzschia vermicularis yaitu 369 ind/l, diikuti Pinnularia nobilis 116 ind/l, Synedra

acus 51 ind/l dan Nitzschia curvula 49 ind/l. Pinnularia banyak ditemukan pada perairan

danau dengan daerah tangkapan air (catchment area) yang melalui area perhutanan

(Bigler, 2002). Daerah tangkapan Waduk Wadaslintang memiliki rona lingkungan

berupa area hutan yang cukup luas (5.307 ha) sehingga dimungkinkan untuk

ditemukannya Pinnularia. Sedangkan spesies yang ditemukan melimpah pada musim

kemarau yaitu Nitzschia vermicularis 122 ind/l, Synechocystis aquatilis 72 ind/l,

Nitzschia phillipinerum 37 ind/l, Synedra tabulata 25 ind/l, Neidium affine 23 ind/l dan

Cymbella naviciliformis 19 ind/l. Bigler (2002) menyatakan bahwa Cymbella dan

Fragillaria merupakan spesies yang menjadi karakteristik musim kemarau.

Nitzschia merupakan genera yang ditemukan dengan jumlah individu dan

jumlah spesies tertinggi pada seluruh stasiun baik musim penghujan dan kemarau. Hal

ini dikarenakan Nitzschia merupakan genera yang memiliki toleransi yang luas terhadap

perubahan kondisi lingkungan perairan terutama bahan organik yaitu nitrat dan fosfat.

Hynes (1960) menyatakan bahwa Nitzschia sangat resisten pada perairan yang kaya

akan bahan organik. Nitrat merupakan bahan organik yang banyak dibutuhkan diatomae

Page 7: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

7

planktonik untuk sintesis protein. Kandungan nitrat di perairan Waduk Wadaslintang

mencapai kisaran 0,26 – 0,34 mg/l, kadar nitrat tersebut termasuk tinggi untuk perairan

waduk. Hal ini sejalan dengan pendapat Effendi (2003) yang menyatakan bahwa kadar

nitrat lebih dari 0,2 mg/l dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi perairan yang

selanjutnya memicu terjadinya blooming alga.

Berdasarkan Tabel 1 spesies yang hanya ditemukan pada musim penghujan

adalah sebanyak 10 jenis yaitu Cocconeis pediculus, Diatoma vulgare, Navicula

gastrum, Nitzschia curvula, N. purgena, N. seriata, Surirella robusta, S. tenera,

Synedra acus dan S. ulna. Sedangkan spesies yang hanya ditemukan pada musim

kemarau adalah sebanyak 12 jenis yaitu Botrydiopsis arhiza, Cymbella naviciliformes,

Epithemia argus, Fragillaria capucina, F. construen, Melosira malayensis, Neidium

affine, Nitzschia filiformis, Pinnularia contorta, , Rhizosolenia styliformis, Surirella

elegans dan Synedra coningtonii. Wetzel (1983) menyatakan bahwa fitoplankton

(termasuk diatomae) mempunyai kisaran toleransi yang luas pada perairan darat alami,

namun jenis tertentu sering didapatkan sangat khas mengikuti perubahan kondisi

kesuburan perairan tersebut.

Kelimpahan diatomae planktonik dikelompokkan menggunakan analisis cluster

untuk mengetahui tingkat kesamaan kelimpahan diatomae planktonik antar stasiun

pengambilan sampel pada musim penghujan dan kemarau di perairan Waduk

Wadaslintang seperti ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Dendogram Hasil Analisis Cluster Terhadap Kelimpahan Diatomae Planktonik Berdasarkan Stasiun Pengambilan Sampel Pada Musim Penghujan dan Kemarau.

Dendogram pada gambar 1 menunjukkan bahwa secara umum terbentuk dua

kelompok yaitu kelompok musim kemarau dan kelompok musim penghujan.

Page 8: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

8

Kelompok musim kemarau terdiri dari kelompok stasiun dengan koefisien kesamaan

yang berkisar antara 68,85% - 75,4% dan kelompok musim penghujan yang terdiri dari

kelompok stasiun dengan koefisien kesamaan yang berkisar antara 64,4% - 86,4%.

Koefisien kesamaan antara musim penghujan dan kemarau adalah 53 % (Lampiran 1).

Secara umum kelompok stasiun pada musim penghujan memiliki koefisien kesamaan

yang lebih tinggi dibandingkan kelompok stasiun musim kemarau. Kelompok stasiun

yang memiliki kesamaan tertinggi adalah stasiun I (inlet penghujan) dan stasiun II (KJA

petani penghujan) dengan koefisien kesamaan 86,4 % dan kelompok stasiun I (inlet

kemarau) dan stasiun II (KJA petani kemarau) dengan koefisien kesamaan 75,4 %.

Kesamaan yang tinggi pada kelompok stasiun inlet dan KJA petani pada musim

penghujan dan kemarau disebabkan oleh letak yang berdekatan antara kedua kelompok

stasiun tersebut sehingga kondisi fisika dan kimia air kedua kelompok stasiun tersebut

mendekati sama. Selain itu faktor lain yang menyebabkan kesamaan yang tinggi pada

kedua kelompok stasiun tersebut adalah adanya kesamaan kondisi fisika perairan

terutama penetrasi cahaya (kecerahan). Penetrasi cahaya pada kelompok stasiun inlet

dan KJA petani (penghujan) tersebut mencapai kisaran 172 - 184 m, nilai ini tertinggi

dibandingkan kelompok stasiun lainnya. Simon (1998) menyatakan bahwa kecerahan

merupakan faktor fisika paling penting yang mempengaruhi distribusi diatom di

perairan.

Distribusi plankton merupakan suatu kemerataan penyebaran komposisi individu

plankton dalam suatu komunitas di perairan (Odum, 1993). Diatomae planktonik yang

diperoleh dari 5 stasiun penelitian masing-masing pada musim kemarau dan penghujan

adalah sebanyak 28 spesies. Pola distribusi diatomae planktonik berdasarkan analisis

distribusi Poisson disajikan pada Tabel 2.

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa secara umum pola distribusi

diatomae planktonik yang didapatkan pada musim kemarau dan penghujan adalah

mengelompok. Pada musim penghujan pola distribusi mengelompok didapatkan

sebanyak 11 spesies (65 %) dan pola distribusi teratur sebanyak 6 spesies (35 %).

Sedangkan pada musim kemarau pola distribusi mengelompok didapatkan sebanyak

10 spesies (59 %) dan pola distribusi teratur sebanyak 7 spesies (41 %). Distribusi

mengelompok diatomae planktonik dapat terjadi jika ada persaingan makanan, cahaya

Page 9: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

9

dan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi kehidupannya. Selain itu distribusi

mengelompok dapat terjadi karena adanya predasi dan juga sifat dari spesies itu sendiri

(Ronihartanto dan Juwana, 1998). Diatomae merupakan pakan alami yang banyak

disukai ikan sehingga penyebarannya dipengaruhi oleh keberadaan pemangsa terutama

ikan. Hal ini ditegaskan oleh Werner (1977) yang menyatakan bahwa diatomae

merupakan pakan alami terbaik yang disukai ikan, udang, moluska, bivalvia dan

organisme perairan lainnya.

Tabel 2. Hasil Analisis Distribusi Poisson Untuk Menggambarkan Pola Distribusi Diatomae Planktonik Berdasarkan Musim.

No Species Penghujan Kemarau

S2 µ PD S2 µ PD

1 Botrydiopsis arhiza - 1,65 4,46 T 2 Cocconeis pediculus 5,95 3,20 K - 3 Cymbella naviciliformes - 8,09 10,66 T 4 Diatoma vulgare 1,21 1,23 T - 5 Epithemia argus 7,89 1,97 K 6 Fragillaria capucina - 14,58 3,48 K 7 Fragillaria construen - 1,70 1,84 T 8 Melosira malayensis - 5,49 2,40 K 9 Navicula gastrum 3,88 3,31 K - 10 Neidium affine - 7,30 4,46 K 11 Nitzschia actinotroides 16,68 4,69 K 10,81 2,72 K 12 N. curvula 44,28 3,69 K - 13 N. filiformis - 6,01 2,32 K 14 N. phillipinerum 1,21 1,23 T 7,99 2,76 K 15 N. purgena 1,21 1,23 T - 16 N. seriata 6,01 2,32 K - 17 N. vermicularis 24,14 23,98 K 2,71 10,98 T 18 Pinnularia contorta - 10,60 3,08 K 19 P. nobilis 12,14 12,35 T 3,10 1,95 K 20 Rhizosolenia styliformis - 1,46 2,79 T 21 Surirella elegans 3,14 3,39 T - 22 S. robusta 5,49 2,40 K - 23 S. tenera 1,21 1,23 T - 24 Synechocystis aquatilis 4,16 3,42 K 11,39 7,82 K 25 Synedra acus 1350,68 21,87 K - 26 S. coningtonii - 1,21 1,23 T 27 S. tabulata 7,61 2,47 K 1,21 1,23 T 28 S. ulna 4,46 1,65 K -

Keterangan : S2 = Variansi µ = mean PD = Pola distribusi

K = Mengelompok T = Teratur

Nitzschia merupakan genera yang secara umum didapatkan dengan distribusi

mengelompok baik pada musim penghujan maupun kemarau. Hal ini sejalan dengan

Page 10: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

10

pendapat Munda (2005) yang menyatakan bahwa Nitzschia merupakan kelompok

diatom yang terdistribusi mengelompok di perairan. Synedra memiliki pola distribusi

mengelompok pada kedua musim. Hal ini dikarenakan tingginya konsentrasi silika di

perairan Waduk Wadaslintang baik pada musim penghujan dan kemarau yaitu berkisar

antara 17,2 – 28,3 mg/l. Mohan (2005) menyatakan bahwa tingginya konsentrasi silika

pada permukaan perairan menyebabkan pertumbuhan melimpah pada genera Synedra,

Fragillaria dan Tabellaria.

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan hasil dan pembahasan adalah

sebagai berikut :

1. Diatomae planktonik yang didapatkan di perairan Waduk Wadaslintang memiliki

kelimpahan rata-rata 696 ind/l (penghujan) dan 420 ind/l (kemarau). Kelimpahan

rata-rata musim penghujan lebih tinggi dibandingkan musim kemarau. Analisis

cluster menunjukkan bahwa kelompok stasiun musim penghujan memiliki kisaran

koefisien kesamaan lebih tinggi (64,4% - 86,4%) dibandingkan kelompok musim

kemarau (68,85% - 75,4%). Koefisien kesamaan antara musim penghujan dan

kemarau adalah 53%.

2. Pola distribusi diatomae planktonik yang didapatkan pada musim penghujan dan

kemarau secara umum adalah mengelompok. Pola distribusi mengelompok pada

musim penghujan didapatkan lebih banyak (65%) dibandingkan dengan musim

kemarau (59%).

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini merupakan bagian dari Penelitian Fundamental tahun 2007 dengan

judul “Model Perancangan Pemanfaatan Perairan Waduk Wadaslintang bagi Budidaya

Perikanan Berbasis Daya Dukung Lingkungan” oleh karena itu penulis mengucapkan

terima kasih kepada Dirjen DIKTI yang telah memberikan dana penelitian.

Page 11: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

11

DAFTAR PUSTAKA

Alaerts, G dan S.S. Santika. 1984. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional, Surabaya.

American Public Health Association (APHA). 1965. Standard Methods for the Examination of Water and Waste Water. Americana Public Health Association, American Water Works Association and Water Pollution Control Federation, New York.

American Public Health Association (APHA). 1992. Standard Methods for the Examination of Water and Waste Water. 18th edition. Americana Public Health Association, American Water Works Association and Water Pollution Control Federation, New York.

Badan Meteorologi dan Geofisika. 2007. Awal musim penghujan dan Kemarau. Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 1990. Petunjuk Teknis Pengelolaan Perairan Bagi Pengembangan Perikanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, BPPP. Jakarta.

Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. 2001. Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Sub DAS Mawar/ Medono DAS Serayu. BRLKT Opak Progo Serayu. Yogyakarta.

Bigler, C. and R.I. Hall. 2002. Diatoms as Indicators Of Climatic And Limnologycal Change in Swedish Lapland: A 100 lake Calibrations Set and Its Validition For Paleoecological Reconstruction. Journal Of Paleolimnology, 27: 97-115.

Cetin, A.K. 2004. Seasonal Distribution of Phytoplankton in Orduzu Dam Lake: Malatya. Turk J Bot, 28: 279-285.

Davis, C.C. 1955. The Marine and Fresh Water Plankton. Michigan State University Press, New York.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius, Yogyakarta.

Fabricius, M.D., N. Maidana dan S. Sabater. 2003. Distributions Pattern of Benthic diatoms in a Pampean River Exposed to Seasonal Floods, The Cuarto River. Biodiversity and Conservation, 12: 25-32.

Hynes, H.B.N. 1960. The Biology of Polluted Waters. Liverpool University Press, Liverpool.

Kementrian Lingkungan Hidup. 2002. Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pengendalian Dampak Lingkungan Era Otonomi Daerah, Kementrian Lingkungan Hidup.

Mc Aleece, N. 1997. Biodiversity Profesional Version 2. The Natural History Museum and Scottish Association For Marine Science.

Mc Naughton, S.J. and L.L. Wolf. 1990. Ekologi Umum Edisi Kedua. (Penerjemah S.P. Saputro dan B. Srigandono. 1990). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Page 12: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

12

Mohan, R., S. Shanvas, M. Thamban dan M. Shudakar. 2004. Spatial distribution of Diatoms in Surface Sediments from The Indian Sector of Southern Ocean. National Centre For Antartic and Ocean Research, 91 (11): 1495-1502.

Munda, I.M. 2005. Seasonal Fouling by Diatoms on Artificial Substrata at Different Depths Near Piran (Gulf of Trieste, Northern Adriatic). Center for Scientific

research of The Slovene Academy of Science and Art, 46 (2): 137-157.

Odum, E.P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. diterjemahkan oleh Tjahyono Samingan. UGM Press. Jogyakarta.

Payne, A.I. 1985. The Ecology of Tropical Lakes and Rivers. John Wiley and Sons, New York.

Ronihartanto, K. dan S. Juwana. 1998. Plankton Larva Hewan Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI, Jakarta.

Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Correspondence Course Centre. Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta.

Shoutwood, T.R.E. 1978. Ecologycal Methods. 2nd Edition. Chapman and Hall, London.

Shirota, A. 1966. The Plankton of South Vietnam. Technical Cooperation Agency, Tokyo.

Thompson, R.H. 1959. Algae. In Edmonson, W.T. (Ed) 1959. Freshwater Biology 2nd Edition. John Willey and Sons Inc, New York.

Wardoyo, S.T.H. 1978. Kriteria Kualitas Air Untuk Keperluan Pertanian dan Perikanan. Seminar Pengendalian Pencemaran Air, Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum, Bandung.

Werner, D. 1977. The Biology of Diatoms. Blackwell Scientific Publication Oxpord, London.

Wetzel, R.G. 1983. Limnology. Saunders College Publishing Winston, New York.

Wu, J.T and J.W. Chou. 1998. Dinoflagellate Associations in Fetsui Reservoir. Taiwan. Botanical Bulletin of Academica Sinica, 39: 137-145.

Wulandari, D.T. 2006. Pengelolaan Sumber Daya Alam Danau. Disertasi. Program Pascasarjana Biologi Universitas Indonesia, Jakarta.

Page 13: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

13

LAMPIRAN

Lampiran 1. Pengelompokan Kelimpahan Diatomae Planktonik Antar Musim dan Antar

Stasiun Dengan Menggunakan Analisis Cluster Antar musim

Step Clusters Distance Similarity Joined 1 Joined 2

1 1 46,6146431 53,3853569 1 2

Similarity Matrix

Penghujan Kemarau

Penghujan * 53,3854

Kemarau * *

Antar stasiun

Step Clusters Distance Similarity Joined 1 Joined 2

1 9 13,587059 86,41294098 1 3 2 8 23,1408482 76,85915184 1 5 3 7 23,2959328 76,70406723 1 7 4 6 24,5499783 75,45002174 2 4 5 5 30,2304878 69,76951218 6 8 6 4 31,1470718 68,85292816 2 10 7 3 35,6018677 64,39813232 1 9 8 2 35,9091606 64,09083939 1 6 9 1 37,2195053 62,78049469 1 2

Similarity Matrix

Inlet hujan

Inlet kemarau

KJA petani (H)

KJA petani

(K) Aquafarm

(H) Aquafarm

(K) Tengah hujan

Tengah (K)

Outlet hujan

Outlet kemarau

Inlet hujan * 49,2601 86,4129 55,9379 76,8592 54,7671 70,7416 40,8826 62,1798 51,6181 Inlet kemarau * * 55,0199 75,45 46,4531 61,1575 52,3434 62,7805 50,9683 68,8529 KJA petani hujan * * * 55,2943 75,7153 64,0908 73,9353 48,289 57,7824 50,853 KJA petani (K) * * * * 43,0829 60,5281 52,0674 52,3568 54,1622 68,3538 KJA Aquafarm (H) * * * * * 51,3916 76,7041 39,3128 58,1461 49,1498 KJA Aquafarm (K) * * * * * * 58,1983 69,7695 48,1537 57,1773 Tengah hujan * * * * * * * 42,891 64,3981 55,4256 Tengah kemarau * * * * * * * * 35,2508 58,757 Outlet hujan * * * * * * * * * 51,2206 Outlet kemarau * * * * * * * * * *

Page 14: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

14

ANALISIS KUALITAS PERAIRAN TAMBAK ALIH LAHAN

SEBAGAI HABITAT KEPITING BAKAU

BERDASARKAN INDEKS

KEANEKARAGAMAN PLANKTON DAN BENTHOS

G.Nugroho Susanto*

ABSTRAK

Kawasan garis pantai Lampung yang terdiri dari hutan mangrove dan lahan pertanian telah

banyak yang beralih fungsi menjadi tambak-tambak perikanan. Perubahan fungsi secara ekologis ini

berdampak pada menurunnya produktivitas perairan dan menyebabkan terjadinya degradasi habitat

pada kawasan tersebut. Perubahan kualitas dan kuantitas perairan dapat dilihat dari perubahan faktor

fisika (suhu, kecerahan), faktor kimia (salinitas, pH, DO, kandungan phosphat dan nitrogen), dan faktor

biologi (kandungan plankton dan benthos). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi kualitas

perairan tambak alih lahan sebagai kawasan habitat kepiting bakau berdasarkan pengukuran indeks

keanekaragaman plankton dan benthos, serta pengaruh kualitas air secara fisik dan kimia terhadap

keberadaan plankton dan benthos tersebut. Hasil penelitian pada analisis plankton menunjukkan indeks

kemelimpahan sebesar 27000-33000 individu/liter, indeks dominansi rendah 0,10-0,18 dan indeks

keanekaragaman tergolong sedang 2,22-2,58. Sedangkan pada analisis makrozoobenthos, indeks

kemelimpahan sebesar 560-1168 ind/m2 dan indeks keanekaragaman 1,48 pada lokasi tambak, 2,14 pada

lokasi aliran pasang surut dan 2,22 pada lokasi mangrove. Berdasarkan pengukuran indeks

keanekaragaman tersebut, secara keseluruhan perairan di kawasan sekitar tambak alih lahan masih

cukup baik dengan tingkat pencemaran yang tergolong masih ringan.

ABSTRACT

A large portion of the coastal area of Lampung which is consist of mangrove forest and

agricultural area has been converted into fishery ponds. This ecological conversion has caused some

decrease in the marine productivity, led to degradation of habitat in the region. The changes in quality

and quantity could be seen from the changes in physical factors, such as temperature and light

penetrability; chemical factors such as salinity, pH, DO, phosphate and nitrogen contents, as well as

biological factors such as composition of plankton and benthos. This research is aimed to study the

quality of water in conversion ponds as habitat for mangrove crabs. The quality is expressed in terms of

diversity index of plankton and benthos and the influence of water quality on the population of plankton

and benthos. The results obtained revealed that for plankton, the abundance index is in the dense of

27000-33000 individual/liter, dominance index of 0.1-0.18 and diversity index of 2.22-2.58 which is

known as moderate diversity. For macrozoobenthos, the abundance index is in the range of 560-1168

individu/m2, diversity index of 1.48 in the pond site, 2.48 in the tidal site and 2.22 in the mangrove site.

The overall results indicate that in general the quality of the conversion ponds could be considered as

satisfactory with low pollution level.

* Jurusan Biologi FMIPA UNILA E-mail : [email protected]

Page 15: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

15

PENDAHULUAN

Wilayah pesisir Lampung merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya alam

yang merupakan tumpuan dalam pengembangan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan

masyarakat di masa mendatang (Pemerintah Daerah Provinsi Lampung, 2000). Sumber

daya alam wilayah pesisir dan lautan memiliki potensi untuk pengembangan perikanan

budidaya laut atau marikultur. Salah satu sumber daya alam di kawasan pesisir berupa

hutan bakau atau mangrove yang mempunyai potensi besar jika dikelola dengan baik.

Hilangnya ekosistem mangrove karena diubah menjadi tambak akan menyebabkan

hilangnya sumber energi bagi rantai makanan pada ekosistem pantai, yang akan

berdampak pada menurunnya produktivitas primer dan sekunder pada perairan pantai

tersebut, sehingga dapat merugikan bagi pemanfaat ekosistem mangrove tersebut.

Kerusakan habitat pesisir ini selain karena proses alami (erosi pantai), juga

disebabkan penebangan tanaman mangrove, alih fungsi lahan pantai dan pencemaran

lingkungan (limbah domestik dan industri). Akibatnya terjadi penurunan luas areal

hutan pantai, kualitas air, hasil tangkapan (kepiting, udang, kerang), penurunan

pendapatan pengguna hutan mangrove dan meluasnya erosi pantai (Aksornkoae, 1993 ;

FAO, 1994 ; Pemerintah Daerah Provinsi Lampung, 2000).

Propinsi Lampung merupakan daerah yang memiliki perairan yang langsung

berbatasan dengan laut lepas di sebelah Barat, Timur, Selatan dan Utara. Menurut

Susanto dan Murwani (2006) sumber daya alam di kawasan pantai di Lampung

merupakan potensi yang sangat besar jika dikelola dengan baik dan benar, serta

bermanfaat sebagai areal budidaya terutama untuk pertambakan, namun banyak

pemanfaatannya yang tak terkendali. Banyak kawasan yang beralih fungsi dari hutan

mangrove atau lahan pertanian menjadi lahan tambak. Peralihan fungsi lahan ini akan

berdampak pada menurunnya produktivitas perairan secara kualitas dan kuantitas,

sehingga menurunkan daya dukung lingkungan. Banyak tambak yang mengalami

degradasi secara ekologis dan menjadi tidak produktif, sehingga dibiarkan terbengkelai

begitu saja. Kondisi ini akan menurunkan hasil usaha perikanan dan kualitas perairan

secara ekologis. Penurunan kualitas air akan menurunkan daya guna, produktivitas,

kekayaan sumber daya alam, serta keseimbangan ekologis yang ada di sekitarnya.

Perubahan tersebut dapat dilihat dari berubahnya kualitas fisik, kimia dan biologi

Page 16: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

16

perairan yang meliputi kandungan oksigen, pH, kemelimpahan, keanekaragaman,

dominansi organisme air dan sebagainya (Connell dan Miller, 1995).

Indikator biologi dapat digunakan untuk mengukur kualitas air karena perubahan

yang terjadi dalam suatu lingkungan akan menyebabkan komunitas yang ada di

dalamnya juga berubah (Sastrawijaya, 2000). Organisme perairan penting yang

berperan sebagai indikator biologi adalah plankton dan benthos. Keanekaragaman

plankton dan benthos dapat digunakan untuk mengetahui terjadinya perubahan kualitas

air pada suatu perairan yang diakibatkan oleh perubahan nilai kuantitatif plankton dan

benthos yang ada di dalamnya. Perubahan ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang

berasal dari alam maupun aktivitas manusia. Keanekaragaman plankton dan benthos

pada suatu perairan dapat ditunjukkan dengan banyaknya jenis organisme tersebut yang

terdapat dalam perairan. Keberadaaan plankton dan benthos dalam perairan sangat

menentukan kelangsungan hidup organisme lain yang ada dalam perairan, karena kedua

jenis organisme ini memegang peranan penting dalam ekosistem perairan (Anonim,

1997). Plankton adalah jasad renik yang melayang dan selalu mengikuti gerakan air.

Plankton merupakan organisme perairan yang dapat digunakan untuk mengetahui

kondisi ekologis perairan dan berperan sebagai pakan alami hewan laut yang tingkatan

tropiknya lebih tinggi seperti ikan dan biota lain (Effendi, 2000).

Sedangkan organisme yang berperan dalam mengubah bahan organik menjadi

bahan anorganik yang menjamin kesuburan perairan adalah bakteri, fungi, dan detritivor

besar seperti protozoa dan avertebrata yang dikenal sebagai makrozoobenthos

(Romimohtarto dan Juwana, 2001). Makrozoobenthos sangat peka terhadap perubahan

kualitas air, sehingga akan berpengaruh terhadap komposisi dan kemelimpahannya

(Odum, 1994). Dari uraian tersebut diatas maka perlu dilakukan penelitian yang

bertujuan untuk menganalisis kualitas perairan pada kawasan garis pantai Lampung,

khususnya sekitar tambak alih lahan yang merupakan habitat penting bagi kepiting

bakau, berdasarkan kandungan dan keanekaragaman plankton serta benthos yang ada di

dalamnya.

Page 17: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

17

BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan September - November 2007 di perairan

kawasan tambak alih lahan di kecamatan Padang Cermin dan kecamatan Sragi,

kabupaten Lampung Selatan. Pengukuran parameter fisika (suhu dan kecerahan) dan

parameter kimia (pH, DO dan salinitas) dilakukan secara langsung di lokasi

pengambilan sampel, sedangkan pengamatan dan analisis plankton dan benthos

dilakukan di laboratorium Zoologi. Analisis sampel senyawa amonia (NH3) dan

phosphat (PO4) dilakukan di laboratorium Instrumentasi FMIPA Universitas Lampung.

Penentuan tempat dan lokasi penelitian dilakukan setelah survei lapangan pada

kawasan pesisir dimana ditemukan lokasi tambak alih lahan. Pengambilan sampel

dengan menggunakan metode sampling pada tiga titik sampling secara acak dengan tiga

kali ulangan pada setiap stasiun pengamatan. Pengambilan sampel dilakukan di tiga titik

pengamatan dengan pertimbangan terwakilinya zona lingkungan kawasan perairan

pesisir, khususnya di sekitar tambak alih lahan yaitu stasiun I (Tambak), stasiun II

(Mangrove) dan stasiun III (Aliran Pasang-Surut).

B. Pelaksanaan Penelitian

- Pengambilan sampel plankton

Pengambilan sampel plankton dilakukan dengan metode pemekatan dengan

menggunakan metode tuang/ saring. Sampel air diambil dengan ember volume ± 10 liter

kemudian disaring dengan planktonet no. 25. Setelah sampel dipadatkan, dimasukkan

ke dalam botol dan diberi larutan formalin 4 % sebanyak 4-5 tetes serta diberi label.

Sampel plankton diidentifikasi dan dihitung jumlah jenis spesiesnya dengan buku acuan

dari Davis (1955).

- Pengambilan sampel benthos

Pengambilan sampel makrozoobenthos dengan menggunakan metode sampling dengan

pembuatan plot ukuran 50x50 cm pada tiap stasiun secara acak. Sampel diambil dengan

menggunakan pengeruk. Sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik dan dilakukan

penyortiran dengan menggunakan saringan bertingkat. Sampel makrozoobenthos yang

diperoleh dimasukkan ke dalam botol dan diberi larutan formalin 4 % serta diberi label.

Page 18: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

18

Sampel makrozoobenthos didentifikasi dengan buku acuan dari Edmonson (1959) dan

Pennak (1978).

- Analisis Data

Hasil pengamatan dari plankton dan benthos, kemudian dilakukan analisis untuk

dihitung indeks keanekaragaman Shannon-Wiener, indeks kemelimpahan, indeks

dominansi (Welch, 1984; Odum, 1994). Untuk mengetahui hubungan antara parameter

fisika dan kimia terhadap keberadaan plankton dan benthos dilakukan analisis korelasi

Pearson menggunakan SPSS Base 14.0 for Windows.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Plankton Pada Perairan di Sekitar Tambak Alih Lahan

Pada hasil penelitian ini ditemukan 14 famili dengan 23 jenis plankton pada

seluruh stasiun pengamatan di perairan sekitar kawasan tambak alih fungsi lahan di

desa Bandar Agung, kecamatan Sragi, kabupaten Lampung Selatan. Pada stasiun I

(tambak) ditemukan 12 famili dengan 21 jenis plankton, stasiun II (mangrove)

ditemukan 14 famili dengan 23 jenis plankton dan pada stasiun III (aliran pasang-surut)

ditemukan 10 famili dengan 19 jenis plankton seperti tercantum pada Tabel 1.

Hasil pengamatan menunjukkan pada setiap stasiun pengamatan ditemukan jenis

dan perbandingan jumlah plankton yang relatif sama. Hal ini diduga karena di sekitar

kawasan tambak alih lahan merupakan daerah pasang-surut yaitu tempat pertemuan

antara air tawar dan air laut yang membawa zat hara, sehingga jenis plankton yang

ditemukan relatif sama. Dari hasil pengukuran indeks kemelimpahan, indeks dominansi

dan indeks keanekaragaman plankton pada tiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 2.

Indeks kemelimpahan tertinggi ditemukan pada stasiun II (mangrove) sebesar 33000

individu/Liter, disebabkan oleh tingginya unsur hara yang terdapat pada kawasan

mangrove tersebut. Nybakken (1992) menyatakan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi kemelimpahan dan keanekaragaman plankton dalam perairan adalah

angin, arus, kandungan unsur hara, predator, cahaya, suhu, kecerahan, pH, oksigen

terlarut, kedalaman, migrasi harian dari plankton itu sendiri.

Page 19: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

19

B. Benthos Pada Perairan di Sekitar Tambak Alih Lahan

Hasil pengamatan makrozoobenthos di kawasan perairan tambak alih lahan di

desa Sidodadi, kecamatan Padang Cermin, kabupaten Lampung Selatan diperoleh 3

kelompok yaitu filum Mollusca yang terdiri dari 2 kelas : Gastropoda (12 spesies) dan

Pelecypoda (9 spesies), filum Arthropoda dengan 1 kelas Crustacea (1 spesies), dan

filum Annelida dengan 1 kelas Polychaeta (1 spesies) seperti tercantum pada Tabel 3.

Kemelimpahan makrozoobenthos tertinggi dijumpai pada kawasan tambak

termasuk kategori sangat melimpah (Stoyarow dikutip dalam Murwaningsih, 1999),

meskipun jumlah spesies lebih sedikit dibandingkan dengan kawasan mangrove dan

aliran pasang-surut. Spesies yang paling tinggi kemelimpahannya dari kelas

Gastropoda yaitu Pleurocera accuta dan Teribia granifera (Tabel 3). Kemelimpahan

terjadi karena pada kawasan tambak memiliki tekstur lempung dengan substrat lumpur,

ciri dari estuari dan rawa asin yang merupakan habitat yang baik bagi kelompok

Gastropoda (Ardi, 2002).

Sedangkan indeks keanekaragaman (H’) makrozoobenthos tertinggi pada

kawasan mangrove (2,22), dibandingkan dengan kawasan tambak (1,48) dan daerah

aliran pasang-surut (2,14). Tingginya keanekaragaman spesies ini karena pada daerah

mangrove merupakan daerah penghasil detritus yang berasal dari daun dan dahan

pohon sebagai makanan makrozoobenthos (Romimohtarto dan Juwana, 2001). Indeks

keanekaragaman yang tinggi menunjukkan banyaknya organisme yang hidup pada

perairan tersebut (Kembarawati, 2003)

C. Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Air Sekitar Tambak Alih Lahan

Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia air dapat diketahui keadaan

perairan di sekitar tambak alih lahan seperti terlihat pada Tabel 4. Perubahan suhu

berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi perairan (Effendi, 2003). Suhu

pada tiga stasiun pengamatan berkisar 29,5-30,5º C masih tergolong normal dalam

badan air dan kehidupan akuatik. Nilai pH pada stasiun pengamatan normal berkisar

6,98-7,45. Menurut Ardi (2002) nilai pH menunjukkan derajad keasaman atau kebasaan

suatu perairan. Toleransi organisme air terhadap pH bervariasi (Pescod, 1973) dan

perairan yang memiliki pH < 7 akan mengalami penurunan nilai keanekaragaman

Page 20: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

20

makrozoobenthos (Effendi, 2003). Hasil pengukuran oksigen terlarut (DO) relatif

sedang berkisar 3,33-4,74. Menurut Hutagalung dan Rozak (1997) oksigen terlarut

merupakan zat yang diperlukan organisme aerob, karena dalam kadar yang rendah akan

mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitasnya. Bagi hewan benthik yang hidup di

dasar perairan, DO 1 ppm masih dapat ditolerir (Yusuf, 1994). Setiap spesies biota

akuatik mempunyai kisaran toleransi yang berbeda terhadap oksigen terlarut di perairan

(Odum, 1994). Spesies yang mempunyai kisaran toleransi yang luas terhadap kadar DO

penyebarannya luas, sedangkan yang toleransinya sempit hanya ditemukan pada tempat

tertentu (Ardi, 2002). Kisaran salinitas masih alami berkisar 20-31 ppt. Salinitas < 30

ppt akan mempengaruhi penyebaran makrozoobenthos, karena makrozoobenthos hanya

dapat mentolerir perubahan salinitas yang relatif kecil dan perlahan (Hutabarat dan

Evans, 1999).

D. Hasil Analisis Korelasi Pearson

Hubungan parameter fisika dan kimia terhadap keberadaan plankton di sekitar

tambak dianalisis menggunakan korelasi Pearson seperti terlihat pada Tabel 5. Tidak

semua parameter fisika dan kimia yang diukur memberikan korelasi secara signifikan

terhadap kemelimpahan, dominansi dan keanekaragaman plankton yang terdapat pada

perairan sekitar tambak alih lahan. Kemelimpahan plankton berkorelasi positif dengan

kecerahan, salinitas, DO dan kandungan phospat. Korelasi positif antara DO dan

kemelimpahan berkaitan dengan aktifitas fotosintesis fitoplankton yang menghasilkan

oksigen dan tingkat kecerahan. Menurut Setiyawati (2004) oksigen terlarut berasal dari

difusi udara dan hasil fotosintesis organisme berklorofil yang hidup di perairan.

Kecerahan dapat berkaitan dengan penembusan cahaya ke dalam perairan yang akan

mempengaruhi kehidupan plankton.

Hasil korelasi positif diperoleh dari hubungan dominansi dengan suhu dan

ammonia, yang berarti semakin tinggi suhu dan amonia di perairan akan meningkatkan

dominansi plankton, sedangkan untuk phospat dan dominansi menunjukkan korelasi

yang lemah atau tidak ada hubungan yang berarti. Sedangkan keanekaragaman plankton

berkorelasi secara negatif dengan suhu perairan. Hal ini tentunya berkaitan dengan

intensitas cahaya matahari. Menurut Nybakken (1992) suhu yang tinggi akan

Page 21: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

21

menyebabkan respon negatif terhadap plankton, karena perubahan suhu akan

mempengaruhi proses biologi dan ekologi. Selain itu kecerahan dan pH juga berkorelasi

positif dengan keanekaragaman plankton (Tabel 5).

Sedangkan distribusi organisme dasar seperti makrozoobenthos dipengaruhi oleh

beberapa faktor yaitu sifat fisika, sifat kimia dan biologi perairan (Odum, 1994).

Menurut Hawkes (1978) ada beberapa faktor fisika dan kimia yang mempengaruhi

komposisi dan distribusi makrozoobenthos di suatu perairan, antara lain suhu, pH,

oksigen terlarut, salinitas, bahan-bahan organik dan tipe substrat. Perubahan komposisi

makrozoobenthos pada suatu perairan akan mempengaruhi kemelimpahan dan

keanekaragamannya baik secara segera maupun perlahan-lahan (Asriyanto, 1988).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian pada beberapa perairan pantai Lampung, khususnya

di perairan sekitar tambak alih lahan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

- Indeks kemelimpahan, indeks dominansi dan indeks keanekaragaman plankton

masih termasuk kategori sedang.

- Indeks kemelimpahan dan indeks keanekaragaman makrozoobenthos dalam

kategori masih cukup tinggi.

- Perairan secara umum di kawasan sekitar tambak alih lahan masih cukup baik

dengan tingkat pencemaran tergolong ringan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada DP2M Dikti, Depdiknas atas

dukungan dana untuk peneliti melalui program Hibah Bersaing XIV Tahun 2006-2007.

DAFTAR PUSTAKA

Aksornkoae, S. 1993. Ecology and Management of Mangrove. The International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), Bangkok, Thailand.

Anonim, 1997. Kisaran kemelimpahan Plankton Predominan Perairan Kawasan Timur Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi. Jakarta

Ardi. 2002. Pemanfaatan Makrobenthos Sebagai Indikator Kualitas Perairan Pesisir. http/ www.yahoo.com/rudyct.tripoid.com/sem 2012/ Ardi.htm.

Page 22: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

22

Asriyanto. 1988. Hubungan dan Pengaruh Kondisi Oseanograf Terhadap Struktur Komunitas Hewan Makrobentos Diantara Pulau Panjang dan LPWP UNDIP Jepara. Lembaga Penelitian UNDIP. Semarang. 45 hal.

Connell, D. W. dan Miller, G. J. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Davis, C. C. 1955. The Marine and Freshwater Plankton. Michigan State University Press. Chicago. 560 hal.

Edmondson, W. T. 1959. Fresh Water Biology. John Wiley & Son. Inc. United States of America.

Effendi, H. 2000. Telaah Kualitas Air. Jurnal Manajemen Sumber Daya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius, Yogyakarta. 258 hal.

FAO. 1994. Mangrove Forest Management Guidelines. FAO Forestry Paper. Rome.

Hawkes, H. A. 1978. Invertebrates as Indicator of River Water Quality dalam A. James dan L. Evison (ed). Biological Indicator of Water Quality. John Willey 7 Sons. Toronto.

Hutabarat, S dan S. M. Evans. 1999. Pengantar Oseanografi. UI Press, Jakarta.

Hutagalung, H. P. dan A. Rozak. 1997. Penentuan Kadar Fosfat, Nitrat dan Kandungan Oksigen Terlarut. Dalam : H.P. Hutagalung, D. Setiapermana, dan S.H. Riyono (ed). Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota. Puslitbang Oseanologi, LIPI, Jakarta. 182 hal.

Kembarawati. 2003. Kondisi Awal Kualitas Perairan di Saluran Primer Induk (SPI) Eks-PLG 1 Juta Hektar dan Wilayah Dusun Muara Puning, Kalimantan Tengah. CCFPI Project Wetlands International, Indonesia Programme, 15 hal.

Murwaningsih, D. 1999. Studi Keanekaragaman Jenis Makrozoobenthos Sebagai Indikator Kualitas Perairan Sungai Way Awi di Kotamadya Bandar Lampung. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Odum, E. P. 1994. Dasar-dasar Ekologi. Edisi ketiga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 697 hal.

Pemerintah Daerah Propinsi Lampung. 2000. Rencana Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir. Kejasama PKSPL-IPB/ CRC. Univ. Rhode Island.

Pennak, W. R. 1978. Freshwater Invertebrates of The United States Ed. 2nd. John Wiley & Son. Inc. United States of America.

Pescod, M. B.1973. Investigation of Ratio Effluent and Stream of Tropical Countries. Bangkok. AIT.

Romimohtarto, K dan S. Juwana. 2001. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Penerbit Djambatan. Jakarta.

Page 23: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

23

Sastrawijaya, A. T. 2000. Pencemaran Lingkungan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. 274 hal.

Setiyawati. 2004. Keanekaragaman dan Kemelimpahan Plankton Berdasarkan Pada Penambahan Kedalaman Kolom Air Laut di Perairan Kepulauan Krakatau. Skripsi. Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Susanto, G. N. dan Murwani, S. 2006. Analisis Secara Ekologis Tambak Alih Pada Kawasan Potensial Untuk Habitat Kepiting Bakau Scylla sp. Prosiding Seminar Nasional Limnologi 2006, Jakarta. Hal 284-292.

Welch, P. S. 1984. Lymnologycal Methods. Mc Graw – Hill Book Company, INC.

Yusuf, M. 1994. Dampak Pencemaran Pantai Terhadap Struktur Komunitas Makrozoobenthos dan Kualitas Perairan Laguna, Pulau Tirang Cawang, Semarang. Tesis. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. 166 hal.

Page 24: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

24

Tabel 1. Jenis Plankton yang Terdapat Pada Perairan di Sekitar Tambak Alih Lahan No Famili No Jenis Stasiun I

(Tambak)

Stasiun II

(Mangrove)

Stasiun III

(Pasang-Surut)

1. Nitzschiaceace 1 Nitzschia sp + + + 2. Coscinodiscaceae 2 Coscinodiscus sp + + + 3. Tabellariaceae 3 Gramatophora sp + + + 4. Thalasiosiraceae 4 Thalasiosira sp + + + 5. Ptychocylidae 5 Favella sp + - - 6. Naviculaceae 6 Pleurosigma sp + + + 7 Gyrosigma sp + + +

8 Navicula sp + + + 9 Amphora sp + + -

7. Ceratiaceae 10 Ceratium sp + + + 8. Rhizosoleniaceae 11 Rhizosolenia sp + + + 9. Codonellidae 12 Tintinnopsis sp + + + 10. Surirellaceae 13 Surirella sp - + + 11. Fragilariaceae 14 Thalassiothrix sp + + + 15 Synedra sp + + + 16 Fragilaria sp + + + 17 Amphileura sp + + - 12. Testaceae 18 Diflugia sp - + - 13. Skeletonemaceae 19 Skeletonema sp + + + 20 Dithylium sp + + + 21 Stephanopyxis sp + + + 14. Biddulphiaceae 22 Triceratium sp + + + 23 Biddulphia sp - + + Keterangan : Tanda (+/-) menunjukkan ada tidaknya plankton pada tiap stasiun

Tabel 2. Indeks kemelimpahan, dominansi dan keanekaragaman plankton pada tiap

stasiun pengamatan di sekitar tambak alih lahan Stasiun Pengamatan Indeks

Kemelimpahan

Indeks

Dominansi

Indeks

Keanekaragaman Stasiun I (Tambak) 27666 ind/ Liter 0,11 2,41 Stasiun II (Mangrove) 33000 ind/ Liter 0,10 2,58 Stasiun III (Pasang-Surut) 29444 ind/ Liter 0,18 2,22

Page 25: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

25

Tabel 3. Jenis dan kemelimpahan makrobenthos pada perairan di sekitar tambak alih lahan

No Filum Kelas Famili Spesies Kemelimpahan makrozoobenthos/m

2

Stasiun I

Tambak

Stasiun II

Mangrove

Stasiun III

Pasang-Surut 1. Mollusca Gastropoda Pleuroceridae Pleurocera acuta 352 48 56 Gormobasis virgincs 0 8 16 Goniobasis livescens 0 32 0 Eurycaelon Anthonyi 80 24 0 Hidrobiidae Somatugyrus subglobosus 0 72 8 Flumicola culumbiana 0 8 8 Bulimidae Pomatiopsis lapidaria 8 16 0 Littoridina monroensis 0 0 16 Lepyriidae Lepyrium showalteri 16 0 16 Thiaridae Teribia granifera 560 352 216 Lymnaeidae Stagnicola polutris 8 88 40 Valvatidae Valvata tricarinata 8 8 8 Pelecypoda Unionidae Hemistena lata 0 16 48 Alasmidonta undulata 24 32 0 Ptychobrancus 0 8 0 Simpsoniconcha ambigua 0 0 8 Pleurobema mytiloides 0 0 24 Sphaeriidae Eupera singleyi 24 40 56 Pisidium dubium 16 16 16 Corbiculidae Corbicula manilensi 0 32 16 Mytilidae Mytilus viridis 0 8 0 2 Arthropoda Crustacea Penaidae Gonoplax 56 16 24 3 Annelida Polychaeta Glisera 16 8 0 Total 1168 848 560

Tabel 4. Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan di sekitar tambak alih lahan

No Parameter Fisika-kimia

Stasiun Pengamatan Batas Toleransi Habitat Ekologis Kepiting Bakau

Tambak Mangrove Pasang-Surut

1 Suhu (ºC) 30,5 29,5 30 26,5 – 29,5 2 pH 6,98 7,04 7,45 6,5 - 8,5 3 DO (ppm) 4,74 3,9 3,33 > 4,0 4 Salinitas (ppt) 20 29,5 31 15 - 32 5 Kecerahan (cm) 13,67 15,93 8,67 44 - 75 6 Amonia (mg/L) 2,385 2,107 2,392 - 7 Phosphat (mg/L) 0,139 0,314 0,256 -

Page 26: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

26

Tabel 5. Hasil analisis korelasi Pearson antara parameter fisika dan kimia dengan keberadaan plankton di kawasan tambak alih lahan. Korelasi kuat ≥ 0,5 dan korelasi lemah ≤ 0,5 (*) korelasi signifikan pada taraf 5 %.

Parameter Fisika-Kimia Kemelimpahan (N)

Dominansi (C)

Keanekaragaman (H’)

Suhu Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N

-0,763 0,224

3

0.865 0,168

3

-0,989(*) 0,048

3 Kecerahan Pearson Correlation

Sig. (1-tailed) N

0.511 0,329

3

-0.981 0.062

3

0,983 0,058

3 Salinitas Pearson Correlation

Sig. (1-tailed) N

0,570 0,307

3

-0,965 0,084

3

0,994(*) 0,036

3 pH Pearson Correlation

Sig. (1-tailed) N

0,409 0,366

3

-0,997(*)

0,025 3

0,956 0,094

3 DO Pearson Correlation

Sig. (1-tailed) N

0,514 0,343

3

-0,988(*) 0,048

3

0,975 0,071

3 NH3 (amonia)

Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N

-0,945 0,106

3

0,626 0,285

3

-0,869 0,165

3 PO4 (phosphat)

Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N

0,913 0,133

3

0,077 0,475

3

0,295 0,405

3

Page 27: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

27

PENYEBARAN ZOOPLANKTON DI BEBERAPA SITU JAWA BARAT

Fachmijany Sulawesty*, Reliana L.T. dan Sulastri

ABSTRAK

Studi mengenai penyebaran zooplankton di perairan Indonesia sangat jarang dilakukan, padahal

distribusi dan keanekaragaman zooplankton merupakan salah satu indikator kualitas biologi suatu

perairan Studi mengenai distribusi dan keanekaragaman zooplankton pada beberapa situ di Jawa Barat

ini diharapkan akan memberikan gambaran penyebaran zooplankton diberbagai perairan situ dengan

kondisi lingkungan berbeda. Metoda yang digunakan adalah metoda survey terhadap beberapa situ di

Jawa Barat yaitu Situ Patenggang, Situ Lembang, Situ Cileunca dan Situ Pangalengan di daerah

Bandung, Situ Cangkuang di Garut, Situ Gede di Tasikmalaya dan Situ Lengkong Panjalu di Ciamis.

Sampel zooplankton diambil menggunakan plankton net NXX 10 ukuran mata jaring 132 µ secara vertikal dengan

penarikan 2 meter. Parameter kualitas air yang diamati adalah oksigen terlarut, pH, suhu, konduktivitas

dan kekeruhan diukur insitu menggunakan water quality checker Horiba U10 ; kecerahan menggunakan

keeping Secchi dan kandungan klorofil-a. Copepoda dan cladocera merupakan kelompok yang selalu

ada disetiap situ yang diamati, rotifera juga ditemukan di hampir semua situ kecuali di Situ Patengang,

protozoa ditemukan di Situ Cangkuang dan Cileunca, sedangkan Arachnida hanya di temukan di Situ

Cangkuang. Hasil ini menunjukkan bahwa sebaran copepoda, cladocera dan rotifera cukup luas untuk

situ-situ di daerah Jawa Barat kearah timur. Berdasarkan matrik korelasi Pearson sebaran copepoda

dan cladocera dipengaruhi oleh kandungan klorofil-a di perairan tersebut.

Kata kunci : zooplankton, situ, penyebaran, jawa barat

ABSTRACT

Study about zooplankton distribution in Indonesia is very rare, although zooplankton

distribution and diversity is one of biological indicators on waters. Study on zooplankton distribution

and diversity at several situ in West Java expected give a picture about zooplankton distribution in

several situ with different condition. The method was survey methods at Situ Patenggang, Situ Lembang,

Situ Cileunca and Situ Pangalengan at Bandung ; Situ Cangkuang at Garut ; Situ Gede at Tasikmalaya

; and Situ Panjalu at Ciamis. Zooplankton samples were taken with plankton net NXX 10 (132 µ mesh size)

in a vertical way with 2 m haul. Water quality parameter that observation are dissolved oxygen, pH, temperature,

conductivity, and turbidity with water quality checker Horiba U10, brightness with secchi dish and

chlorophyll-a. Copepod and cladocera found at all of situ that we were study, rotifera was almost found at all situ

except at Situ Patenggang, protozoa found at Situ Cangkuang and Situ Cileunca, and arachnida only found at Situ

Cangkuang. The result indicate that the distribution of copepoda, cladocera and rotifera very wide for situ at

West Java. Base on Pearson correlation matrix, distribution of copepod and cladocera depend on

chlorophyll-a contain in waters.

Keywords : zooplankton, situ, distribution, West Java

* Pusat Penelitian Limnologi-LIPI E-mail : [email protected]

Page 28: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

28

PENDAHULUAN

Studi mengenai penyebaran zooplankton di perairan Indonesia masih jarang

dilakukan, padahal distribusi dan keanekaragaman zooplankton merupakan salah satu

indikator kualitas biologi suatu perairan. Beberapa faktor yang mempengaruhi pola

kelimpahan zooplankton di daerah tropis antara lain ketersediaan makanan, tekanan

predasi dan kondisi hidrologi perairan tersebut, Aka et al (2000) menyebutkan bahwa

kekeruhan, pH dan suhu juga mempengaruhi komunitas zooplankton. Yantrinata et al

(2003) juga menunjukkan adanya jenis zooplankton tertentu yang dapat hidup pada

kondisi lingkungan tertentu juga, seperti Ilyocruptus sordidus ditemukan pada pH yang

rendah, Diurella dixonnutalli pada perairan dengan kecerahan dan klorofil-a rendah,

Eudactylota eudactylota pada perairan dengan kandungan oksigen terlarut rendah,

Colurella uncinata pada suhu dibawah 30°C dan Lecane signifera pada suhu dan

kandungan klorofil-a tinggi.

Situ merupakan ekosistem perairan tawar tergenang yang memiliki ukuran yang

relatif kecil. Kendati demikian situ mempunyai peran dalam sistem penyerapan air,

sebagai pengendali banjir, sarana rekreasi, budidaya perikanan, pengairan dan lain-lain.

Sebagai ekosistem perairan yang terbuka, situ akan menerima berbagai masukan atau

buangan dari lingkungan sekitarnya baik secara berkala maupun secara terus-menerus,

hal ini secara langsung akan mempengaruhi kualitas air perairan situ, baik kualitas

fisika, kimia maupun pengaruhnya terhadap biota perairan. Material yang masukan

kedalam situ akan mempengaruhi distribusi dan keanekaragaman jenis zooplankton

pada suatu perairan.

Situ Cileunca, Situ Patenggang, Situ Lengkong, Situ Gede, Situ Cangkuang, dan

Situ Panjalu, merupakan situ-situ yang terdapat di daerah Jawa Barat. Perbedaan status

limnologis situ-situ ini akan menyebabkan perbedaan komunitas biota yang ada di

dalamnya termasuk zooplankton. Untuk mengetahui penyebaran zooplankton di situ-

situ ini, maka dilakukan pengamatan yang bertujuan untuk mengetahui variabilitas

zooplankton hubungannya dengan beberapa faktor-faktor ekologi di perairan danau

kecil di Jawa Barat.

Page 29: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

29

BAHAN DAN METODE

Pengamatan dilakukan di enam situ yang terletak di Provinsi Jawa Barat yaitu di

daerah Bandung, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis (Gambar 1), pada 13 Mei sampai 30

Juni 2005 yang merupakan awal musim kemarau. Kondisi umum situ-situ yang

diamati dapat dilihat pada Tabel 1, ketinggian bervariasi antara 400 – 1000 m dpl, areal

situ tidak begitu luas sekitar 5,8 – 213,3 ha dengan kedalaman maksimum antara 3 - 13

m, dan penutupan tumbuhan air berkisar 0 – 60 %. Pemanfaatan Daerah Aliran Sungai

(DAS) Situ Lembang sebagian besar (sekitar 84 %) berupa hutan, Situ Cileunca dan

Situ Patengang sebagian besar DAS nya dimanfaatkan sebagai daerah perkebunan, Situ

Cangkuang sebagian besar DAS nya untuk ladang, sawah dan perkebunan ; Situ Gede

untuk sawah irigasi dan Situ Panjalu sebagian besar DAS nya untuk pemukiman,

perkebunan dan irigasi.

Sampel zooplankton diambil menggunakan Plankton net NXX 10 ukuran mata

jaring 132 µ secara vertikal dengan penarikan 2 meter. Pengambilan sampel pada

masing-masing situ dilakukan pada 3 stasiun pengamatan kecuali Situ Lembang empat

stasiun dan Situ Cangkuang satu stasiun. Kelimpahan zooplankton dihitung

berdasarkan APHA (1995), identifikasi berdasarkan Alberti et al (2005), Carling et al

(2004) dan Whipple & Ward (1963). Faktor ekologi yang diamati adalah oksigen

terlarut, pH, suhu, konduktivitas dan kekeruhan diukur insitu menggunakan water

quality checker Horiba U10 ; kecerahan menggunakan keeping Secchi dan kandungan

klorofil-a berdasarkan APHA (1995). Analisis data matriks korelasi Pearson

menggunakan program MS-Excell TM .

HASIL DAN PEMBAHASAN

Situ Patengang, Lembang dan Cileunca yang terletak di dataran tinggi

mempunyai suhu rata-rata berkisar antara 21,29 – 23,31°C, sedangkan Situ Cangkuang,

Gede dan Panjalu yang ketinggiannya lebih rendah mempunyai suhu rata-rata berkisar

26,16 – 28,92°C (Tabel 2). Oksigen terlarut dan pH tidak terlalu berbeda antara situ-

situ ini, Situ Cangkuang mempunyai nilai oksigen terlarut terendah (6,552 mg/L) dan

Situ Cileunca mempunyai nilai pH terendah, tetapi kisaran oksigen terlarut dan pH

masih menunjukan nilai yang normal untuk suatu perairan. Situ Lembang mempunyai

Page 30: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

30

nilai kekeruhan terendah dan nilai kecerahan tertinggi dibanding situ-situ lainnya.

Klorofil-a paling rendah ditemukan di Situ Cangkuang dan tertinggi di Situ Gede.

Komposisi jenis dan sebaran zooplankton di situ-yang diamati disajikan pada

Tabel 3 dan Gambar 2. Ada 51 jenis zooplankton yang ditemukan di situ-situ yang

diamati, copepoda 19 jenis, cladocera 16 jenis, rotifera 11 jenis, protozoa 4 jenis dan

arachnida 1 jenis, tetapi jumlah jenis pada masing-masing situ berkisar antara 6 sampai

28 jenis. Situ Cileunca merupakan situ yang jumlah jenis zooplanktonnya tertinggi,

sedangkan Situ Gede jumlah jenisnya terendah. Copepoda dan cladocera merupakan

kelompok yang selalu ada disetiap situ yang diamati, rotifera juga ditemukan di hampir

semua situ kecuali di Situ Patengang, protozoa ditemukan di Situ Cangkuang dan

Cileunca, sedangkan arachnida hanya di temukan di Situ Cangkuang. Hasil ini

menunjukkan bahwa sebaran copepoda, cladocera dan rotifera cukup luas untuk situ-

situ di daerah Jawa Barat kearah timur. Jumlah jenis copepoda selalu lebih tinggi dari

kelompok yang lain, walaupun di Situ Cangkuang kelimpahan cladocera lebih tinggi

dibanding copepoda.

Zooplankton yang ditemukan di Situ Patengang dari kelompok copepoda (7

jenis) dan cladocera (1). Kelimpahan setiap jenis copepoda hampir sama tidak ada

yang dominan, yang paling tinggi adalah Microcyclops varican (copepoda) 23,8 %.

Kelimpahan Diaphanosoma birgei (cladocera) sangat sedikit dibanding copepoda. Situ

Lembang kelimpahan copepoda lebih tinggi dibanding cladocera dan rotifera, tetapi

kelimpahan jenis copepoda tidak ada yang dominan. Kelimpahan Halicyclops spp

(copepoda) 20,8 % dari zooplankton yang ada, Ectocyclops sp (copepoda) 20,6 % dan

naupli copepoda 17 %. Situ Cileunca kelimpahan copepoda dan cladocera hampir

sama, tidak ada jenis yang dominan. Tetapi jumlah jenis zooplankton yang ditemui

tinggi dibanding situ-situ yang lain, ada sekitar 28 jenis zooplankton yang ditemukan.

Situ Cangkuang ditemukan copepoda, cladocera, rotifera dan protozoa, jenis yang

paling tinggi kelimpahannya adalah Diaphanosoma brachyur (cladocera), yaitu 42,1 %

dari zooplankton yang ada. Nauplius copepoda merupakan zooplankton yang paling

tinggi ditemukan di Situ Gede, yaitu 26 %, disusul oleh Nothalca squamala (rotifera) 24

% dan Cyclops sp (copepoda) 21,5 %. Total kelimpahan zooplankton tertinggi adalah

di Situ Panjalu dibanding situ-situ lainnya, dengan jenis yang paling tinggi

Page 31: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

31

kelimpahannya Nothalca squamala (rotifera) 19 % dan Eucyclops spp (copepoda) 14 %.

Jika dilihat dari hasil yang didapatkan tidak ada satu jenis zooplankton yang

mendominasi situ-situ ini. Diaphanosoma birgei ditemukan di lima situ, Microcyclops

varican di empat situ, sedangkan yang lainnya ditemukan di satu, dua dan tiga situ.

Beberapa faktor yang mempengaruhi kelimpahan dan komposisi jenis zooplankton di

suatu perairan adalah kebiasaan makan, ketersediaan makanan dan tekanan predasi.

Rotifera yang memiliki ukuran lebih kecil sebagian besar memakan partikel seston yang

memiliki ukuran diameter 12 µm sampai 50 µm, contohnya Brachionus calyciflorus

memakan berbagai tipe makanan dari bakteri, yeast dan alga. Cladocera memakan

partikel lebih besar seperti protozoa, rotifera, krustasea kecil dan alga misalnya untuk

jenis-jenis Polyphemus, Leptodora dan Daphnia. Beberapa jenis copepoda adalah

karnifora seperti Macrocyclop, Eucyclop, Mesocyclop dan Acantocyclop yang jenis

makanannya mikrokrustasean, larva diptera dan oligochaeta. Beberapa jenis copepoda

merupakan herbovorus yang memakan uniseluler dan filamentous diatom (Wetzel,

2001).

Jumlah jenis atau kekayaan taksa zooplankton dan kelimpahan yang rendah

dijumpai di Situ Patenggang, Situ Lembang dan Situ Gede dan didominasi oleh

copepoda (Tabel 3). Dilihat dari kandungan klorofil-a nya yang relatif lebih rendah

dibanding situ lainnya, perairan ini memang didominasi oleh kelompok Cyanophyta

berdasarkan pengamatan Sulastri, dkk (2005), yang menyebutkan bahwa komposisi

fitoplankton di ketiga situ ini didominasi oleh kelompok alga biru hijau atau

Cyanophyta, yang umumnya tidak dimanfaatkan zooplankton kerena ukurannya yang

lebih besar (Seller & Markland, 1987). Selain itu dilihat dari jenis copepoda yang ada di

ketiga situ ini lebih banyak jenis karnifora seperti Ectocyclops spp, Macrocyclops

albidus dan Microcyclops varican (Situ Patenggang) ; Cyclops spp (Situ Gede) ;

Cyclops spp, Cyclops scutiffer, Diacyclops spp, Ectocyclops spp, Halycyclops spp

dan Microcyclops varican (Situ Lembang) yang tidak memanfaatkan fitoplankton

sebagai sumber makanannya.

Jumlah jenis zooplankton yang paling tinggi dijumpai di Situ Cileunca, hampir

semua kelompok zooplankton ditemukan disini, yaitu copepoda, cladocera, rotifera dan

protozoa dengan kelimpahan yang hampir sama artinya tidak ada jenis yang

Page 32: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

32

mendominasi. Kelimpahan tertinggi dijumpai di Situ Panjalu. Dilihat dari kandungan

klorofil-a, Situ Panjalu mempunyai kandungan yang paling tinggi diikuti oleh Situ

Cileunca.

Pada pengamatan ini ada delapan variabel yang dipergunakan untuk

menentukan karakteristik habitat zooplankton, yaitu tujuh variabel abiotik (kedalaman,

suhu, oksigen terlarut, pH, konduktifitas, kekeruhan dan kedalaman Secchi), dan

klorofil-a yang menggambarkan sumber makanan zooplankton, menurut Wetzel

(2001), sumber pakan utama zooplankton, terutama untuk kelompok copepoda dan

cladocera, adalah fitoplankton seperti Scenedesmus, Pandorina, Chlamidomonas,

Chlorella, Pediastrum, Nitzschia, dan lain-lain, sedangkan jenis-jenis dari kelompok

rotifera umumnya merupakan pemakan partikulat atau bersifat shredders. Sehingga

kandungan klorofil-a dapat diasumsikan sebagai sumber pakan bagi zooplankton.

Berdasarkan nilai matriks korelasi Pearson (r) antara lokasi, divisi (copepoda,

cladocera, rotifera, protozoa dan arachnida), kedalaman, suhu, oksigen terlarut, pH,

konduktifitas, kedalaman Secchi, dan klorofil-a menunjukkan adanya korelasi yang

signifikan (P < 0,05) antara copepoda dengan kandungan klorofil-a dan rotifera ; antara

cladocera dengan arachnida dan protozoa ; arachnida dengan protozoa dan kecerahan ;

dan protozoa dengan kecerahan (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan

copepoda di perairan situ-situ ini dipengaruhi oleh keberadaan klorofil-a. Nilai korelasi

ini juga memperlihatkan bahwa keberadaan cladocera terkait dengan keberadaan

arachnida dan protozoa serta arachnida dengan protozoa. Ini berarti bahwa ketersediaan

sumber makanan dan kompetisi antara masing-masing kelompok mempengaruhi

keberadaan zooplankton di perairan situ di daerah Jawa Barat. Selain itu kecerahan

berpengaruh negatif terhadap keberadaan arachnida dan protozoa, artinya jika nilai

kecerahan semakin tinggi maka keberadaan arachnida dan protozoa cenderung semakin

menurun.

KESIMPULAN

Ada 51 jenis zooplankton yang ditemukan di situ-situ yang diamati, copepoda 19

jenis, cladocera 16 jenis, rotifera 11 jenis, protozoa 4 jenis dan arachnida 1 jenis ;

Page 33: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

33

jumlah jenis pada masing-masing situ berkisar antara 6 sampai 28 jenis, tetapi tidak ada

jenis yang mendominasi.

Sebaran copepoda, cladocera dan rotifera cukup luas untuk situ-situ di daerah

Jawa Barat. Berdasarkan nilai matriks korelasi Pearson, sumber makanan dan

kompetisi antara masing-masing kelompok mempengaruhi keberadaan zooplankton di

perairan situ di daerah Jawa Barat, sedangkan kecerahan berpengaruh negatif terhadap

keberadaan arachnida dan protozoa.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada tim peneliti Karakteristik Limnologis

Situ-Situ di Jawa dalam pengambilan sampel, sehingga tulisan ini dapat dibuat.

DAFTAR PUSTAKA

Aka, Maryse., Marc Pagano, Lucien Saint-Jean, Robert Arfi, Marc Bouvy, Philippe Checchi, Daniel Corbin & Serge Thomas. 2000. Zooplankton variability in 49 shallow tropical reservoirs of Ivory Coast (West Africa). Internat. Ret.

Hydrobiol. 85 : 491 – 504.

Aliberti, A. Maria., Darren J. Bauer, Shane R. Bradt, Brady Carlson, Sonya C. Carlson, W. Travis Godkin, Sara Greene, Dr. James F. Haney, Amy Kaplan, Shawn Melillo, Juliette L. Smith (Nowak), Brian Ortman, Judith E. Quist, Shayle Reed, Tiffany Rowin, Dr. Richard S. Stemberger., 2005., An Image-Based Key To The Zooplankton Of The Northeast (USA). Version 2.0 http//:www.cbf.unh.edu/CBFkey/html

APHA. 1995. Standard Methods for the examination of water and waste water. 2nd ed. American Public Health Association. Washinton DC.

Carling, Karen J., Ater, Ian M., Pellam, R Megan, Mihuc, Timothy B., 2004., A Guide to the Zooplankton of Lake Champlain., Scientia Disipulorum., Vol:1., 2004

George, D.G., Winfield, I.J., 2000., Factors Influencing the spatial distribution of zooplankton and fish in Loch Ness, UK., Freshwater Biology 43 (2000), pp 557-570

Lin, Qiu-Qi., Duan, Shun-shan., Hu Ren, Han Bo-Ping., 2003., Zooplankton Distribution in Tropical Reservoirs, Sout China., International Reservoirs Hydrobiology 88:6, 2003 pp 602-613.

Seller and Markland, 1987, Dacaying Lake. The Origin and Control of Cultural Eutrophication. John Wiley & Son, New York, Toronto. 254 p

Page 34: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

34

Sulastri, S. Sunanisari., E. Harsono., T. Tarigan., F. Sulawesty., T. Suryono., Y. Sudarso., R.L. Toruan., H. Shohihah., S. Nomosatryo., I. Ridwansyah dan Laelasari. 2005. Pengembangan Kriteria Limnologis Perairan Darat Di Indonesia. Sub Kegiatan Pengembangan Kriteria Limnologis Untuk Perairan Danau Dangkal. Laporan Teknis DIPA. Pusat Penelitian Limnologi-LIPI. Cibinong. Hal. : 1 – 36.

Wetzel., R.G., 2001., Limnology. Lake and River Ecosystems. 3rd ed. Academic Press. New York. 1006 pp.

Whipple, G.C., Ward, H.B., 1963., Freshwater Biology, Book 1- 2., 2nd edition, W.T Edmonson (ed.) , USA

Yantrinata., S. Gumiri., K. Bungas and T. Iwakuma. 2003. Zooplankton communities in various freshwater bodies surround Palangka Raya City, Central Kalimantan-Indonesia. In : Osaki, Mitsuru et al (eds.) : Proceedings of the International

Symposium on Land Management and Biodiversity in Southeast Asia. 423 – 426.

Page 35: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

35

Gambar 1. Peta lokasi situ-situ yang diamati

0

5000

10000

15000

20000

25000

30000

35000

S. P

aten

gang

S. L

emba

ng

S. C

ileunc

a

S. C

ang

kuang

S. G

ede

S. L

engk

ong

Pan

jalu

Lokasi

Indiv

idu/l

Copepoda

Cladocera

Rotifera

Protozoa

Gambar 2. Sebaran Zooplankton di situ-situ yang diamati

Tabel 1. Kondisi umum situ-situ yang diamati

Nama Situ Posisi Geografis Lokasi Elevasi

(m dpl)

Luas

(ha)

Kedalaman

Maksimum (m)

Tutupan

Tumbuhan Air (%)

Patenggang 07°9’45,0” LS

107°21’31,0” BT Bandung 1000 52,0 4,0 < 10

Lembang 06°44’27,4” LS

107º34’38,9” BT Bandung 1500 5,8 6,0

Cileunca 07º11’34,3” LS

107º32’57,0” BT Bandung 1000 213,3 13,0

Cangkuang 07°05’45,0” LS

107°55’15,0” BT Garut 400 8,3 2,0 60

Gede 07°20’08,0” LS

108°11’24,0” BT Tasikmalaya 400 55,8 5,0 Relatif bersih

Panjalu 07°01’58,0” LS

108°16’59,0” BT Ciamis 700 55,6 3,0 < 15

Tabel 2. Kondisi umum kualitas air situ-situ yang diamati

Nama Situ Kedalaman (m)

Suhu (°C)

Oksigen terlarut (mg/L)

pH Kekeruhan (NTU)

Konduktifitas (µS/cm)

Kecerahan (m)

Klorofil a (mg/m3)

Patengang 4 21,96 8,532 7,213 22,2 0,046 1,17 15,89 Lembang 6 21,29 7,625 7,309 5,4 0,018 1,40 8,84 Cileunca 13 23,31 8,684 6,143 31,3 0,059 0,76 29,40 Cangkuang 2 28,92 6,552 7.873 23,4 0,364 0,18 13,72 Gede 5 26,90 9,700 8,728 18,7 0,353 0,77 9,46 Panjalu 3 26,16 7,586 7,604 18,2 0,033 0,70 43,95

Page 36: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

36

Tabel 3. Komposisi jenis dan sebaran zooplankton di situ-situ yang diamati

Jenis Zooplankton 1 2 3 4 5 6

Copepoda Cyclops spp

Cyclops scutiffer

Cyclops thomasi Diacyclops spp

Diaptomus sp

Diaptomus reighardi

Ectocyclops spp

Ectocyclpos phaleratus

Eucyclops spp

Halycyclops spp

Leptodiaptomus spp

Macrocyclops albidus Mesocyclops sp

Mesocyclops edax

Microcyclops rubellus Microcyclops varican Skistodiaptomus reighardi

Tropocyclops spp

Tropocyclops exfensus

Nauplius copepoda

Copepodid

+

+

+

+

+ +

+ +

+

+

+

+

+

+

+ +

+ +

+ + +

+ + +

+

+ + +

+

+

+

+ +

+ +

+ +

+ + +

+

+ +

Cladocera

Alona sp

Asplancha sp

Bosmina sp

Ceriodaphnia sp

Daphnia spp

Daphnia ambiqua

Daphnia magna

Daphnia mendoeta Daphnia pulex

Daphnia retrocurva

Diaphanosoma birgei Diaphanosoma brahcyurum

Moina sp

Sida sp Nauplius cladocera

Telur cladocera

+

+

+

+

+

+

+ + + +

+ + +

+

+ +

+ +

+

+ + +

+ +

+ + +

Arachnida Hydracarina sp

+

Rotifera

Anuraeopsis sp

Asplachna sp

Brachionus sp

Brachionus falcatus

Ceratium sp

Chonochiloides sp

Euchlanis triquetra

Filinia longiseta

Keratella sp

Keratella valga

Notholca sp

Notholca scuamala

Polyartha sp

+

+

+ +

+

+

+

+ + +

+

+

+

+

+

+

Protozoa Ceratium sp

Stentor sp

Trichodina sp Vorticella sp

+

+

+

Jumlah Jenis 7 11 28 17 6 21 Catatan : 1. S. Patengang ; 2. S. Lembang ; 3. S. Cileunca ; 4. S. Cangkuang ;5. S. Gede ; 6. S. Panjalu

Page 37: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

37

Tabel 4. Koefisien korelasi (r) antara lokasi, divisi (copepoda, cladocera, rotifera,protozoa dan arachnida), kedalaman, suhu, oksigen terlarut, pH, konduktifitas dan kecerahan klorofil-a (n = 6).

Catatan : Tabel 4 hanya memperlihatkan nilai yang berbeda nyata (P<0,05), r tabel = 0,754

Lok Copepoda Cladocera Arachnida Rotifera Protozoa Ked pH Kond Turb DO Temp Kec Klor-a

Lokasi

Copepoda 1

Cladocera 0.710835 1

Arachnida 0.093849 0.755474 1

Rotifera 0.82093 0.390571 -0.1019 1

Protozoa 0.196831 0.785198 0.8581 -

0.25131 1

Kedalaman -0.02812 -0.21358 -0.4355 -

0.40041 0.06973

pH -0.12365 -0.02898 0.22737 0.32496 -0.18423

Kond -0.1128 0.345374 0.64642 -

0.05901 0.48844

Turb 0.305994 0.420511 0.2028 -

0.10968 0.53959

DO -0.3268 -0.68858 -0.6998 -

0.16312 -0.53972

Temp 0.463777 0.728281 0.67407 0.45172 0.5266

Kecerahan -0.54247 -0.88201 -0.7541 -

0.29982 -0.77085

Klorofil-a 0.90265 0.439375 -0.2302 0.72588 -0.05084

Page 38: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

38

ANTISIPASI DEGRADASI HABITAT IKAN PELANGI SULAWESI

Marosatherina ladigesi MELALUI APLIKASI HABITAT EX-SITU

Djamhuriyah S.Said

*, Lukman, N. Mayasari, Supranoto,

Syahroma H.Nasution, dan Triyanto

ABSTRAK Ikan pelangi Sulawesi (Marosatherina ladigesi) atau juga dikenal dengan Celebes Rainbow

merupakan salah satu jenis ikan hias komoditas ekspor, dan kebutuhan terhadap ikan tersebut terus

meningkat dan kebutuhan tersebut selalu dipenuhi dari hasil tangkapan. Penangkapan yang berlebihan

dan degradasi habitat dapat mengakibatkan kepunahannya sehingga ikan tersebut telah tercatat dalam

IUCN (2003, 2007) dalam katagori terancam punah. Salah satu solusi untuk mengantisipasi masalah

tersebut yaitu melalui pengembangan dengan aplikasi habitat buatan (ex-situ).

Tulisan ini memuat hasil rangkaian penelitian yang dilakukan terhadap ikan M. ladigesi yang

endemis di perairan Maros-Sulawesi Selatan pada periode bulan April 2005—Aguatus 2007. Penelitian

meliputi pengkajian karakteristik ekologis dan biologis habitat ikan pada 10 sungai di Kab. Maros,

Gowa, Bone, Sopeng, dan Pangkep (fokus pada 5 sungai); pengembangan (adaptasi), serta optimasi

produksi pada habitat ex-situ di laboratorium Puslit Limnologi-LIPI, Cibinong,. Faktor fisikokimia

habitat dan biologis ikan relatif bervariasi.Terdapat kecenderungan penurunan populasi, bahkan di

beberapa tempat tidak ditemukan lagi. Pada habitat ex-situ ikan mampu beradaptasi untuk tumbuh

(somatis dan reproduktif) dengan peningkatan sintasan rata-rata mencapai10--60% bahkan mencapai

85—100% pada perlakuan jenis pakan. Reproduksi massal dengan rasio kelamin jantan : betina = 1:2

dan ukuran panjang induk 35—45 cm memberikan nilai terbaik. Suhu tinggi baik untuk memperpendek

periode inkubasi, namun menghasilkan derajat penetasan rendah. Pakan Infusoria baik untuk ketahanan

hidup larva, pH dan kesadahan tertentu memberikan efek penampilan tertentu. Pengembangan pada

habitat ex-situ telah memberikan hasil, namun masih memerlukan perlakuan khusus untuk peningkatan

kualitas. Hasil akhir kegiatan ini adalah terlaksananya domestikasi dan pengembangan ikan M. ladigesi

pada habitat ex-situ sehingga keberadaannya tetap terjaga dan kontinuitas produksi dapat tercapai.

Kata kunci: antisipasi, degradasi habitat, habitat ex-situ, Marosatherina ladigesi, Sulawesi.

ABSTRACT Sulawesi rainbow fish (Marosatherina ladigesi) or also recognized with Celebes Rainbow is one

of ornamental fish as exporting commodity. Requirement to the fish is increasing and the requirement

always fulfilled from fishing. Over fishing and habitat degradation can result the destruction so that the

fish have been registered in IUCN (2003,2007) in category vurnarable species. One of solution for

anticipating the problem that is through development with the application of artificial habitat (ex-situ).

This article contain some research result which done to fish M. ladigesi which endemis in

inlandwater of Maros-South Sulawesi at April 2005-Agust 2007. Research cover study of biological and

ecological characteristic of fish habitat at 10 rivers in Maros, Gowa, Bone, Sopeng, and Pangkep ( focus

at 5 rivers), development, and optimization of fish production on habitat ex-situ in laboratory Research

Center for Limnology-LIPI. The physics-chemist habitat factor and biological of fish relatively has

variation. Decreasing of fish population has been done, even in some places are not found again. At the

ex-situ habitat, fish can adapt to grow(somatic and reproduction) with survive improvement of average of

10-60% even reach 85-100% at treatment of feed type. Mass reproduction with sex ratio male : female =

1:2 with mains broods of 35-45mm give best value. High temperature good to cutting short incubation

period, but yield degree of low hatch. Feed of Infusoria good to resilience of larva life, pH and hardnes

is certain give effect of appearance. Development at habitat ex-situ have given result, but still require

special treatment for increasing of quality. The final result has showed the domestication and

development of M. ladigesi at habitat ex-situ is success so that the existence remain to awake and

continuity of fish production can be reached.

Keywords: anticipation, habitat degradation, habitat ex-situ, Marosatherina ladigesi, Sulawesi

* Pusat Penelitian Limnologi LIPI, E-mail : [email protected]

Page 39: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

39

PENDAHULUAN

Ikan Pelangi Sulawesi (Marosatherina ladigesi) atau dikenal dengan Celebes

Rainbow merupakan spesies tunggal pada famili Telmatherinidae, ordo Atheriniformes.

Selain sebagai spesies tunggal juga merupakan satu-satunya jenis pada famili tersebut

yang hidup di perairan mengalir (sungai) di wilayah Maros Sulawesi Selatan Pada

sistematika sebelumnya ikan tersebut dikenal dengan nama Telmatherina ladigesi yang

merupakan bagian dari 10 spesies Telmatherina spp yang tersebar di danau-danau

daerah Sulawesi (Kottelat et. al. 1993).

Ikan tersebut memiliki warna dasar badannya kuning zaitun, dengan bagian

bawah berwarna kuning. Pada sisi tubuh terdapat garis linea lateralis yang berwarna

hijau biru pelangi. Garis tersebut menyusur dari belakang tutup insang hingga batang

ekor. Jari jari luar sirip punggung kedua berwarna hitam dan bagian dalam berwarna

kuning. Sirip tersebut mengalami pemanjangan untuk hewan jantannya. Hewan jantan

berpenampilan lebih menarik daripada hewan betina. Karena beberapa keunggulan dan

keindahan yang dimilikinya maka selain menjadi bahan perdagangan juga menjadi

salah satu faktor digunakannya gambar ikan ini dalam logo organisasi Perhimpunan

Ikan Hias Indonesia (PIHI).

Untuk memenuhi kebutuhan perdagangan terhadap ikan tersebut, menyebabkan

penangkapan yang sangat intensif (Andriani, 2000). Akibat dari penangkapan yang

berlebihan dan perubahan kondisi habitat maka M. ladigesi merupakan salah satu

spesies yang telah terdaftar dalam IUCN (2003, 2007) bersama-sama dengan Rainbow

Irian Melanotaenia boesemani dan Glossolepis incisus yang termasuk dalam katagori

terancam punah. Menurut salah seorang eksportir ikan tersebut di daerah Maros, bahwa

pada tahun 2000an sungai Jenelata-Gowa, Sopeng, Sanrego merupakan tempat-tempat

penangkapan ikan tersebut karena populasinya yang banyak. Akan tetapi pada

pendataan yang dilakukan tahun 2005 di daerah tersebut sangat sulit mendapatkan ikan

tersebut (Said et. al. 2006). Untuk mengantisipasi hal tersebut maka dilakukan

penelitian dan pengembangan ikan M. ladigesi melalui apalikasi habitat ex-situ guna

menjaga kelestraiannya dan memenuhi kebutuhan pasar. Parameter utama penelitian

meliputi ketahanan hidup, pertumbuhan, reproduksi yang dikaitkan dengan kondisi

lingkungan baik biologis, kimiawi, maupun fisik.

Page 40: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

40

Tujuan penelitian untuk mengupayakan pengembangan ikan M.ladigesi pada

habitat ex-situ guna mengantisipasi proses kepunahan akibat penangkapan dan

degradasi habitat alaminya dengan mengungkapkan kondisi alami dan mengupayakan

pengembangan ikan hias M. ladigesi melalui aplikasi/rekayasa habitat sehingga

keberadaannya tetap terjaga, populasi alami tetap lestari, dan kontinuitas produksi tetap

berlangsung.

Kondisi Habitat Alami Ikan M. ladigesi

Ikan M. ladigesi merupakan penghuni sungai/ekosistem perairan mengalir

(lentik), namun populasi ikan ini lebih banyak ditemukan pada bagian lubuk dari sungai

(pool), dengan pola aliran air yang relatif lambat. Wilayah parung sungai (riffle), yang

merupakan habitat yang mengalir deras, lebih merupakan tempat mencari pakan

(feeding ground). Hal ini ditandai dari tipe pakannya berupa serangga air, yang

umumnya penghuni tipe habitat batuan yang berada di bagian parung sungai.

Karakteristik sungai-sungai yang menjadi habitat ikan M. ladigesi mencirikan

wilayah perairan mengalir yang beragam, ditinjau dari kondisi fisik, karakteristik

kualitas air, dan biologisnya. Secara keseluruhan terlihat bahwa S.Padae di Kab

PangKep merupakan habitat terbaik untuk ikan tersebut, sedangkan S.Rakikang dan S.

Jenelata memperlihatkan kondisi habitat yang telah mengalami kerusakan.

Kondisi Fisik Perairan

Kecepatan arus pada wilayah sungai bervariasi, dengan kecepatan tertinggi 1,59

m.dt-1 di S (Sungai) Padae dan terendah di S. Patunuang yaitu 0,120 m.dt-1. Kecepatan

arus tersebut, selain dipengaruhi oleh dimensi sungai, namun terutama dipengaruhi debit

aliran yang berfluktuasi sejalan dengan musim. Sungai Padae memiliki debit aliran yang

tinggi, sedangkan S. Patunuang dan Rakikang dengan debit aliran yang rendah, dengan

debit aliran yang flukutuatif.

Suhu perairan menunjukkan peningkatan sejalan dengan menurunnya debit

aliran sungai debit aliran yang rendah menunjukkan pergantian air yang lambat, yang

memungkinkan suhu dapat meningkat dengan pesat. Sungai-sungai yang cenderung

memiliki suhu tinggi adalah S. Rakikang-Gowa (28,8 – 32,7oC) dan terendah di

Page 41: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

41

Bantimurung-Maros(25,3 – 27,0oC). Tinggi rendahnya suhu ini, juga dipengaruhi oleh

keadaan lingkungan sekitar sungai. Sungai Rakikang tampak terbuka dan terdedahkan

langsung ke sinar matahari, sedangkan S. Bantimurung cenderung terkelilingi gunung,

di pinggiran sungai banyak pepohonan sehingga teduh. Akan tetapi yang menjadi poin

utamanya dari hasil pendataan ini adalah terlihat bahwa ikan M. ladigesi memiliki

kisaran suhu air yang relatif lebar untuk kehidupannya. Bila dibandingkan dengan

kerabatnya ikan pelangi Irian memiliki kisaran suhu 24,5—31oC untuk dapat bertahan

hidup pada kondisi di luar habitat alaminya. Akan tetapi dapat pula dikatakan bahwa

suhu tinggi (S Rakikang dan Jenelata) tetap tidak terlalu disenangi terbukti dengan

rendahnya populasi ikan M.ladigesi pada tempat tersebut.

Kondisi Kimia Perairan

Kondisi perairan sungai-sungai habitat M.ladigesi dicirikan oleh ketersediaan

oksigen terlarut (DO) yang cukup tinggi (>3,0 mg.l-1) dan sangat layak untuk kehidupan

ikan (Alabaster & Lloyd, 1982). Nilai pH cenderung basa (pH 7,48 – 8,55) tampaknya

terkait dengan aliran sungai-sungai tersebut yang berada di daerah karst, yang banyak

melarutkan komponen kalsium.

Tingkat konduktivitas perairan menunjukkan tiga kelompok sungai, yaitu rendah

pada S.Rakikang dan Jenelata (0,056 mS/cm – 0,121 mS/cm), sedang (S Abalu dan

Padae (0,117 mS/cm – 0,244 mS/cm) dan tinggi yaitu S. Bantimurung dan S.Patunuang

(0,219 mS/cm -0,386 mS/cm). Namun demikian masih berada di bawah baku mutu air

mengalir (<2,250 mS/cm) (Macbub & Moelyo, 2000).

Tingkat kesadahan sungai-sungai hampir menyerupai pola konduktivitasnya.

Tingkat kesadahan S. Rakikang dan Jenelata (30,8 – 58,9 mg.l-1 CaCO3eq.)

menunjukkan perairan lunak (soft water). Menurut Sawyer & McCarty (1967) dalam

Boyd (1982) perairan lunak memiliki kesadahan <75 mg.l-1 CaCO3eq. Sungai Padae

dan Abalu tampak mencirikan kesadahan sedang (moderately hard) (71,5 – 116,1 mg.l-1

CaCO3eq.), S. Bantimurung dan Patunuang menunjukkan perairan sadah (hard water)

(120,1 – 181,2 mg.l-1 CaCO3eq.). Salah satu yang diduga sebagai penyebab tingginya

kesadahan S. Bantimurung dan S. Patunuang karena kedua sungai tersebut berada pada

Page 42: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

42

lingkungan gunung kapur atau tanah kars, sehingga perairannya banyak mengandung

kapur, berbeda dengan S. Rakikang dan Jenelata (Said et al., 2006).

Kondisi Biologis Perairan

Pada habitat ikan M.ladigesi, ditemukan ikan-ikan seperti Oryzias sp.,

Nomorhamphus sp., dan ikan-ikan lain seperti gabus dan mujaer dalam proporsi yang

kecil. Ikan-ikan M. ladigesi cukup mendominasi di S. Bantimurung dan S. Padae,

sebaliknya di S. Jenelata menunjukkan proporsi yang sangat rendah bahkan di Sanrego

tidak ditemukan lagi. Hal ini menunjukkan bahwa S. Bantimurung dan S. Padae,

merupakan habitat utama dan habitat yang sesuai untuk ikan M. ladigesi sedangkan

Jenelata merupakan habitat yang telah mengalami kerusakan secara fisik (Said et.al,

2006).

Karakteristik biota bentik di sungai-sungai yang diamati didominasi oleh kelas

serangga air (insekta) dan ditemukan sembilan jenis (genus) insekta, yang terdiri dari

ordo Ephemeroptera (dominan), Trichoptera, Diptera, Coleoptera dan Odonata. Tingkat

kelimpahan antara 127 – 306 ind.m-2, tertinggi di S. Abalu dan terendah di S. Rakikang.

Kelompok insekta merupakan organisme utama dari perairan mengalir, dan penunjang

rantai makanan di dalam ekosistem tersebut. Menurut Andriani (2000), pakan utama

(79 –97%) ikan T. ladigesi di wilayah Bantimurung adalah kelompok insekta. Kelas

insekta air juga dapat digunakan sebagai indikator biologis, bahwa perairan tersebut

masih dalam golongan baik/tidak tercemar.

Aspek biologis ikan M.ladigesi

Karakteristik biologis ikan-ikan M. ladigesi dari berbagai sungai, memiliki nilai

faktor kondisi (Kn) yang bervariasi. Nilai Kn ini dapat mencerminkan kebugaran/

kemontokan ikan, yang dipengaruhi oleh ketersediaan pakan, umur,jenis kelamin, dan

kematangan gonad. Nilai Kn antara 2 -4, menunjukkan ikan berbentuk agak pipih

nilai Kn antara 1 – 3 menunjukkan kurang pipih (Effendie, 1997). Nilai Kn ikan M.

ladigesi pada pengukuran bulan Juni 2005 sedikit bervariasi, namun berada pada kisaran

angka 1 (satu). Hal ini berarti bahwa ikan M. ladigesi memiliki bentuk yang kurang

Page 43: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

43

pipih bahkan cenderung tidak pipih. Dapat disimpulkan bahwa semakin kecil nilai Kn,

semakin tidak pipih (cembung) ikan tersebut.

Berdasarkan pengamatan Andriani (2000) kondisi perairan menentukan ciri

morfometrik dari ikan M. ladigesi, dikemukakan bahwa ikan-ikan dari Bantimurung dan

Patunuang menunjukkan kondisi morfologi lebih cembung dibandingkan daripada ikan

dari Makatoang.

Kebiasaan Makanan (Food Habit)

Kebiasaan makan dianalisis dengn mengambil sampel isi lambung ikan.

Menurut Said et al (2008) bahwa dari hasil analisis isi lambung ikan M.ladigesi

diperoleh 3 kelompok jenis makanan yaitu Bacillariophyceae, Zooplankton, serangga

air (aquatic insecta). Komposisi makanan berdasarkan penghitungan “indeks of

preponderance” (IP) menunjukkan bahwa pakan utama ikan M. ladigesi adalah

serangga air yang didominasi dari ordo Diptera dengan nilai IP rata-rata 21,62% ,ordo

Odonata (IP = 14,55%), ordo Ephemeroptera (IP = 5,67%), dan ordo Neuroptera (IP =

0,76%). Pengelompokkan tersebut didasari dari pernyataan Nikolsky (1963) yang

membedakan makanan ikan atas tiga kelompok yaitu makanan utama (IP > 40%),

pelengkap ( IP = 4 – 40%), dan tambahan (IP < 4%). Sedangkan Daphnia dari

kelompok Zooplankton di lokasi Jenelata memiliki nilai IP 42,73% yang berarti

Daphnia juga merupakan makanan utama ikan tersebut. Bila dilihat dari bentuk

morfologi lambung ikan yang pendek dan pejal menunjukkan bahwa ikan tersebut

merupakan jenis karnivora. Hal serupa juga dikemukakan oleh Andriani (2000) yang

mengamati ikan T.ladigesi pada 3 habitat yang berbeda.

Aspek Reproduksi

Aspek reproduksi pada pembahasan ini difokuskan pada rasio seks dan tigkat

kematangan gonad ikan M.ladigesi jantan dan betina. Rasio seks (jantan:betina) ikan

M.ladigesi dari beberapa habitat bervariasi (1:1; 1:2; 2:3; 2:5).Terlihat di sini bahwa

jumlah individu jantan cenderung lebih rendah dibandingkan individu betina. Secara

alami ikan-ikan yang bersifat cenderung bergerombol cenderung memiliki jumlah

individu jantan lebih rendah daripada individu betina seperti halnya kerabatnya dari

Page 44: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

44

jenis ikan pelangi Irian. Akan tetapi belum dapat dipastikan rasio seks alami optimal

ikan M.ladigesi. Hal tersebut disebabkan saat penangkapan yang dilakukan pada siang

hari, kemungkinan individu jantan selalu lebih lincah untuk menyelamatkan diri

sehingga sulit tertangkap, atau waktu edar ikan yang berbeda. Hal tersebut juga dapat

merupakan penyebab rendahnya rasio ikan jantan di perairan sampai angka 2:5 bahkan

pada suatu waktu mencapai rasio1:13. Pada pendataan di laboratorium terlihat bahwa

jumlah individu jantan pada setiap populasi selalu lebih rendah daripada jumlah

individu betina, namun sampai saat ini belum diketahui pasti nilai rasio tersebut.

Sedangkan aspek reproduksi berikutnya yaitu tingkat kematangan gonad.

Menurut Nasution et.al. (2007) didapatkan ikan M. ladigesi dari berbagai habitat

memiliki rasio seks dan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) yang bervariasi antara

periode maupun habitat. Seperti contoh pada bulan Juni di S Patunuang terdapat ikan

dengan TKG IV dalam porsentase yang tinggi dibandingkan dengan ikan dari habitat

lain. Hal tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan faktor eksternal seperti arus dan

suhu habitat. Kematangan gonad ikan selain dipengaruhi oleh faktor internal ikan itu

sendiri, juga dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal/lingkungan seperti arus, tinggi

rendahnya permukaan air, maupun suhu. Selain itu faktor makanan juga diduga

berperan dalam proses pematangan gonad Lagler et al (1977). Makanan yang

mengandung banyak protein lebih cenderung mempercepat pematangan gonad daripada

makanan yang banyak mengandung lemak.

Aspek Variasi Penampilan

Pendataan yang dilakukan pada beberapa sungai di Sulawesi Selatan

menunjukkan terdapatnya variasi morfologi dan warna ikan M.ladigesi, seperti yang

dilaporkan oleh Said et al (2008). Variasi yang sangat mencolok terlihat pada populasi

ikan dari daerah Pangkep (S. Padae) yaitu memiliki warna yang cenderung gelap, garis

tengah badan berwarna hitam, dan yang sangat berbeda bahwa ujung sirip pektoral

berwarna hitam dengan bentuk badan relatif panjang dan montok. Sedikit berbeda

dengan ikan yang dari S. Bantimurung dan S. Patunuang dimana berwarna cenderung

cerah dengan garis tengah (linea lateral) berwarna ungu kebiru-biruan, sedangkan ikan

dari S Tompobulu garis tengahnya cenderung berwarna biru (turkeys) dan memantulkan

Page 45: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

45

warna hijau terang dan bentuk badan cenderung pipih. Sebahagian populasi memiliki

warna sirip ekor bagian dalam kuning dan bagian luar berwarna hitam, namun

sebahagian menunjukkan semua sirip ekor berwarna kuning seperti halnya populasi

yang hidup di S. Tompobulu. Sedangkan sirip punggung kedua bagian luar semua

berwarna hitam dengan bagian dalam berwarna kuning. Hal tersebut tampak jelas pada

populasi ikan jantan. Variasi warna ini diduga karena variasi kondisi lingkungan

habitatnya masing-masing seperti perbedaan dasar sungai, kesadahan dan lain-lain.

Wilayah S.Padae memiliki banyak wilayah yang memiliki kedalaman air yang tinggi

atau dapat disebut lubuk, dan juga wilayah dengan arus yang besar, air jernih, dasar

berbatu dan cadas. Kondisinya terlindung dari berbagai aktivitas masyarakat umum

seperti penangkapan ikan dengan menggunakan racun, mandi cuci kakus (MCK) atau

lainnya. Hal tersebut terjadi karena aturan setempat yang menetapkan bahwa air

S.Padae merupakan sumber air minum sehingga harus dijaga kebersihannya. Terjaganya

kondisi lingkungan sehingga berada pada kondisi yang alami tersebut mungkin juga

dapat menyebabkan penampilan ikan yang berbeda pula. Berbeda halnya dengan S.

Abalu, dimana aktivotas manyarakat sangat tinggi seperti mandi cuci dan kakus serta

aktivitas penangkapan ikan konsumsi yang menggunakana beberapa cara antara lain

menggunakan racun.

2. Pengembangan pada Habitat Ex-situ

Uji Sintasan

Pada fase adaptasi sampel ikan didatangkan dalam 3 periode. Sampel ikan I

dan II mengalami kematian yang cukup tinggi, sehingga pada periode 2 minggu pertama

ikan yang mampu bertahan hanya 10%, sedangkan pada tahap 3 (sampel ke III) ikan

yang mampu bertahan hidup meningkat menjadi 30% pada kurun waktu yang sama.

Selanjutnya pada tahap akhir sintasan yang dicapai menjadi 60% dalam 3 bulan

pemeliharaan. Hal ini menunjukkan bahwa ikan tersebut perlahan-lahan telah mampu

untuk beradaptasi dengan lingkungan terkontrol (Said et.al., 2007).

Page 46: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

46

Manipulasi biologis untuk reproduksi (rasio kelamin dan ukuran yang berbeda)

Dari uji reproduksi pada masa adaptasi dapat menghasilkan larva ikan berumur

hanya sampai 15 hari dengan periode inkubasi telur selama 18—20 hari. Dari beberapa

percobaan diperoleh bahwa ikan cenderung melakukan perkawinan secara massal

dibandingkan secara individual. Ukuran ikan jantan yang digunakan antara 4.6 – 4.9 cm

dengan berat 1.002—1.092 g dan ukuran ikan betina antara 3.6—4.2 cm dengan berat

0.536—1.043 g. Perkawinan secara individual cenderung menyebabkan kematian pada

induk betina terutama pada rasio seks jantan:betina = 1:1.

Pada tahap selanjutnya Said & Mayasari (2007) melaporkan bahwa perkawinan

secara massal yang menggunakan rasio seks jantan:betina = 1:2 memberikan hasil yang

lebih baik untuk viabilitas daripada rasio seks 1:3 dan 2:3, walaupun secara statistik

tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 1). Pada pengamatan ini pula nilai LIP

relatif lebih pendek dibandingkan pada fase adaptasi .

Tabel 1 .Jumlah Telur total (JTT), (LIP), Jumlah Larva (JL), (HR %), dan (SR7%) (Said & Mayasari, 2007)

Parameter Rasio Seks 1:2 1:3 2:3

JTT (butir) 130,1 ± 32,38b 105,8 ± 60,75b 31,22 ± 17,14a LIP (hari) 9,80 ± 0,42a 9,30 ± 0,82a 9,67 ± 0,50a JL (ekor) 89,6 ± 32,43b 78,7 ± 52,99b 24,33 ± 15,98a HR (%) 67,95 ± 11,22a 79,23 ± 24,37a 75,34 ± 17,18a SR7 (%) 92,59 ± 9,07a 87,21 ± 18,32a 97,75 ± 3,62a

Selain manipulasi yang menggunakan rasio seks, Said et al (2008) juga

melaporkan bahwa ukuran panjang induk ikan yang optimal digunakan pada habitat ex-

situ yaitu antara 35-45 mm. Ukuran tersebut memberikan nilai lebih baik daripada

ukuran lainnya yaitu dengan rata-rata jumlah telur yang dihasilkan sebesar 56,33 (22–

159 butir). Rata-rata LIP: 9,92 (9 –10 hari). Rata-rata nilai derajat pembuahannya (FR)

adalah 58,30 (34,78-82%) dan sintasan 7 hari pertama (SR7) sebesar 86,45 (20 –100%).

Manipulasi lingkungan

Manipulasi lingkungan yang dilakukan meliputi lingkungan pakan, fisik (suhu), dan

kimiawi (pH dan kesadahan) air pemeliharaan.

Page 47: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

47

a. Manipulasi lingkungan pakan

Pada fase kehidupan ikan yang baru diadaptasikan pada habitat ex-situ memerlukan

jenis pakan yang sesuai untuk dapat bertahan hidup. Hal tersebut dimulai pada fase

larva kemudian fase pembesaran, fase reproduksi. Said et al. (2007) melaporkan bahwa

kelangsungan hidup (SR) larva umur 15, 21, 28, dan 40 hari dari tiga perlakuan jenis

pakan diperoleh bahwa pakan air hijau yang mengandung infusoria merupakan jenis

pakan terbaik untuk kehidupan larva ikan M.ladigesi dibandingkan pakan pelet halus

dan kuning telur (Tabel 2).

Tabel 2. Analisa Data Kelangsungan Hidup Larva Ikan M.ladigesi (Said et al.,2007)

Parameter Perlakuan Pakan Infusoria Kuning Telur Pelet Halus

SR15 (%) 74.67 ± 22.03b 41.33 ± 4.62a 18.67 ± 6.11a

SR21 (%) 73.33 ± 23.09b 38.67 ± 6.11a 18.67 ± 6.11a

SR28 (%) 70.67 ± 18.48b 36.00 ± 8.00a 18.67 ± 6.11a

SR40 (%) 69.33 ± 16.17b 36.00 ± 8.00a 18.67 ± 6.11a

Sedangkan pada fase pertumbuhan ikan, Triyanto & Said (2007) melaporkan

bahwa pertumbuhan terbaik diperoleh pada perlakuan pemberian pakan dengan cacing

sutera, yaitu panjang mencapai 1,19 cm dengan pertumbuhan harian (0,02 cm/hari).

Kemudian diikuti oleh perlakuan pakan Chironomus 1,01 cm (0,017 cm/hari), pellet

0,78 cm (0,013 cm/hari) dan Daphnia 0,75 cm (0,012 cm/hari). Sedangkan

pertumbuhan berat ikan yang tertinggi didapatkan pada perlakuan pakan Chironomus

yaitu 0,47g (0,008 g /hari) dengan sintasan tertinggi (100%), pakan jenis Cacing sutera

0,44 gram (0,007 g /hari), pakan jenis pellet 0,27 g (0,005 g /hari) dan terakhir jenis

Daphnia 0,22 gram (0,004 g /hari). Sedangkan pada fase reproduksi pakan

Chironomus merupakan jenis pakan terbaik karena mengandung protein lebih tinggi dan

lemak lebih rendah dibandingkan pakan Tubificidae (cacing sutera).

b. Manipulasi Lingkungan Fisik (Suhu)

Tujuan penggunaan suhu dalam penetasan ikan M.ladigesi yaitu mencari suhu

optimal untuk penetasan terbaik, mengingat kisaran suhu habitat ikan tersebut relatif

luas. Di samping itu juga untuk mengetahui kemampuan toleransi ikan tersebut terhadap

suhu perairan.

Page 48: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

48

Terlihat di sini bahwa suhu tinggi dapat memperpendek masa inkubasi telur,

akan tetapi nilai derajat penetasan yang diperoleh sangat rendah (Tabel 3). Dengan

demikian suhu tinggi (30oC) tidak direkomendasikan untuk penetasan ikan M.ladigesi.

Masing-masing spesies memiliki kisaran suhu tersendiri. Suhu tinggi dapat

menyebabkan kerusakan atau kematian embryo ikan M.ladigesi yang masih berada

dalam telur sehingga tidak mampu untuk menjadi larva.

Tabel 3. Derajat Pembuahan (FR), Derajat Penetasan (HR), dan (SR7)

Parameter Perlakuan

Suhu Normal suhu 28oC Suhu 30oC

LIP (hari) 9.88 ± 0.35b 7.88 ± 0.35a 7.71 ± 0.49a

FR (%) 79.08 ± 8.50b 59.74 ± 23.35b 35.02 ± 20.59a

HR(%) 68.94 ± 10.85b 54.55 ± 24.85b 22.32 ± 21.91a

SR7 (%) 91.66 ± 10.03b 92.81 ± 15.10b 37.14 ± 34.98a

c. Manipulasi Kimiawi (kesadahan dan pH) Air Pemeliharaan

Penelitian manipulasi kimiawi dilakukan dengan mengambil parameter kesadahan

dan pH air pemeliharaan. Menurut Lesmana (2002) bahwa kadar kesadahan memberikan

pengaruh tertentu pada penampilan ikan hias, dan tiap spesies mempunyai kisaran

kesadahan tersendiri. Pada penelitian manipulasi kesadahan digunakan 3 kisaran

kesadahan dalam mencari kesadahan terbaik dan toleransi ikan tersebut pada kesadahan.

Kisaran kesadahan I merupakan kesadahan air sumber (50 - 100), kisaran kesadahan II

(>100 – 150) dan kisaran kesadahan III (>150 – 250) mg CaCO3/L

Dari hasil penelitian Triyanto et al. (2008) bahwa kisaran kesadahan II (100 –

150 mg CaCO3/L) baik untuk pertumbuhan yaitu mencapai 2,1 cm (0,019 cm/hari).

Sedangkan sintasan (SR) ikan M.ladigesi tertinggi (100%) diperoleh pada kisaran

kesadahan III (50 – 250 mg CaCO3/L), dan pada kesadahan I diperoleh SR sebesar 98%

dan kisaran kesadahan II diperoleh SR sebesar 95%. Secara umum nampaknya

pengaruh penampilan warna tidak terlalu jauh berbeda pada masing-masing perlakuan,

akan tetapi kisaran kesadahan III menunjukkan tubuh ikan yang relatif lebih bersih,

lebih kemilau, dan secara umum lebih cerah. Tiga kisaran kesadahan yang diambil

dapat diasumsikan kesadahan yang baik untuk kehidupan ikan, namun untuk

menghasilkan penampilan warna yang baik disarankan menggunakan kisaran kesadahan

III (>150 – 250 mg CaCO3/L).

Page 49: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

49

Sedangkan pendataan penampilan ikan M.ladigesi pada pH perairan, dilakukan

pendataan dimana ikan dipelihara pada 4 kisaran nilai nilai pH yang bervariasi. Kisaran

I: 4,5—5,5; Kisaran II: 5,6—6,5; kisaran III: 6,6—7,5; dan kisaran IV: 7,6—8,5.

Perlakuan dengan 2 ulangan. Diamati laju sintasan, dan variasi warna yang muncul

dalam periode 2 minggu selama 60 hari. Pembuatan air pemeliharaan dengan pH

tertentu didapatkan dari penggunaan daun ketapang pada konsentrasi tertentu.

Penelitian ini mencari pH optimal dan toleransi ikan M.ladigesi terhadap pH air

pemeliharaan. Hasil penelitian menunjukan secara keseluruhan perbedaan penampilan

(warna) ikan M.ladigesi pada beberapa bagian tubuh paling bagus pada perlakuan

kisaran pH – III, (6,6 - 7,5). Pada kisaran pH-III warna kuning pada sirip ekor dan sirip

punggung kedua lebih menyala dibandingkan dengan perlakuan lain. Kisaran pH dalam

air tidak berpengaruh langsung terhadap penampilan/warna ikan, akan tetapi pada pH

tertentu kandungan kalsium dalam tubuh ikan berperan optimal sehingga dapat

memberikan efek penampilan yang relatif lebih baik. Nilai pH yang optimal untuk

hidup ikan M.ladigesi akan mendukung proses metabolisme yang terjadi dalam tubuh

sehingga penyerapan nutrisi dari bahan makanan yang dimakan akan berjalan sempurna.

Sintasan ikan M.ladigesi selama penelitian terlihat berbeda antara perlakuan.

Sintasan cenderung menurun seiring menurunnya nilai pH air pemeliharaan, sehingga

pada kisaran pH air 4,5—5,5 sintasan akhir menjadi 60%; sintasan pada kisaran pH

5,6—6,5 mencapai 80%; sintasan pada pH 6,6—7,5 dan kisaran 7,6—8,2 sintasan

masih baik yaitu masing-masing 100% . Tampaknya untuk pemeliharaan ikan

M.ladigesi nilai pH air harus dipertahankan sekitar 7 karena sesuai dengan daerah

asalnya di daerah karst dengan pH relatif tinggi atau 7 ke atas. Dengan demikian

perairan dengan pH rendah dapat menurunkan populasi ikan tersebut.

KESIMPULAN

1. Kondisi habitat alami ikan M.ladigesi bervariasi, dan populasi alaminya di

beberapa sungai yang diamati telah mengalami penurunan

2. Ikan M. ladigesi dapat dikembangkan pada habitat ex-situ dengan proses

adaptasi yang relatif lama. Populasi alami dapat terjaga dan kebutuhan terhadap

ikan tersebut dapat dicapai.

Page 50: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

50

3. Rasio seks, jenis pakan, kondisi lingkungan perairan sangat berperan dalam

menentukan penampilan/ketahanan hidup ikan M.ladigesi.

SARAN

1. 1.Diharapkan dengan menggabungkan beberapa faktor lingkungan (pH,

kesadahan, jenis pakan dll) dalam suatu sistem budidaya (tidak secara terpisah-

pisah) dapat memberikan efek penampilan yang lebih baik.

2. Untuk terlaksananya pengembangan dan terkonservasinya ikan M.ladigesi,

maka diharapkan peran serta dari semua pihak yang berkompeten.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih pada Proyek Penelitian Kompetitif LIPI 2005—2007 yang telah

membiayai penelitian ini, dan kepada semua pihak yang telah membantu dan terima

kasih setinggi-tingginya khusus untuk Sdr. Syahroni.

DAFTAR PUSTAKA

Alabaster, J. S., & R. Lloyd, 1981, Water Quality Criteria for Freshwater Fish, FAO, Butterworth, London, 361 p

Andriani, I., 2000, Bioekologi, Morfologi, Karyotipe, dan Reproduksi Ikan Hias Rainbow Sulawesi (Telmatherina ladigesi) di Sungai Maros, Sulawesi Selatan, Tesis, Program Pascasarjana, IPB.

Boyd, C. E., 1982, Water Quality Management for Pond Fish Culture, Elsevier Sci. Publ. comp., New York, 317 p

Effendie, M.I. 1997. Metode Biologi Perikanan Penerbit Yayasan Pustaka Nusatama

Yogyakarta.

Effendie, M. I., 1979, Metoda Biologi Perikanan, Cetakan Pertama, Yayasan Dewi Sri, 112 hal

Kottelat, M., A.J.Whitten, S.N. Kartikasari, & S. Wirjoatmodjo. 1993. Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi. Pariplus Edition (HK) Ltd. Bekerjasama dengan Proyek EMDI. Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Jakarta 293 hal.

Lagler, K.F., J.E. Bardach, R.H. Miller, and D.R.M. Passino. 1977. Ichthyology, John Wiley and Sons, Inc. Toronto, Canada. 556 p.

Page 51: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

51

Lesmana, D.S. 2002. Kualitas Air untuk Ikan Hias Air Tawar. PT Penebar Swadaya

88 hal.

Machbub, B., & M. Moelyo, 2000, Kualitas Air Sungai Alamiah sebagai Standar Kualitas Sumber Air, Bulletin Pusair, 34:31 – 38

Nasution, S.H., D.S. Said, Triyanto, Lukman. 2007. Tingkat Kematangan Gonad

ikan Telmatherina ladigesi dari beberapa habitat. Prosiding Seminar ikan IV 2006 Masyarakat Ikhtiologi Indonesia Jatiluhur Agustus 2006

Said, D.S., O. Charman, dan Abinawanto. 2000. Intergenus Hybridization of Irian’s Rainbowfish, Melanotaeniidae Family. The Proceeding of The JSPS-DGHE International Symposium on Fisheries Science in Tropical Area, 10:280-28

Said, D.S., Lukman, Triyanto, Sulaeman, dan S.H. Nasution. Kondisi Populasi, Kondisi Ekologis, dan Strategi Pengembangan Ikan Pelangi Sulawesi Telmatherina

ladigesi. Prosiding Konferensi Nasional Akuakultur 2005. Makassar November 2005. Masyarakat Akuakultur Indonesia hal: 361—367.

Said, D.S., Triyanto, S.H. Nasution, H. Fauzi, dan Supranoto. 2007. Perkembangan Daya Adaptasi dan Uji Reproduksi Ikan Pelangi Sulawesi (Telmatherina

ladigesi) pada Habitat Eks-situ. Makalah disampiakan pada Seminar Ikan Hias Nusantara Jakarta, 9 Desember 2006

Said, D.S..& N. Mayasari . 2007. Reproduksi dan Pertumbuhan ikan Telmatherina ladigesi pada Rasio Kelamin Berbeda. Jurnal Aquacutura Indonesiana vol 8(1): 41--47

Said, D.S., Triyanto, & S.H. Nasution. 2007. Pengembangan Ikan Beseng-beseng Telmatherina ladigesi melalui Habitat Buatan. Prosiding Seminar Perikanan dan Kelautan Faperta Univ Gajah Mada Yogyakarta 28 Juli 2007 hal BI-2:1—9.

Said, D.S., N. Mayasari & Triyanto.2007. Pengaruh Jenis Pakan untuk Ketahanan Hidup ikan pelangi Sulawesi Telmatherina ladigesi . Prosiding Konferensi Science dan Kelautan Perikanan Indonesia, Institut Pertanian Bogor Juli 2007

Said, D.S, Triyanto & N. Mayasari. 2008. Ikan Pelangi Sulawesi Marosatherina

ladigesi pada Habitat Alami dan Habitat Buatan. Makalah Seminar Perikanan dan Kelautan Faperta Univ Gajah Mada Yogyakarta 26 Juli 2008.

Triyanto, N. Mayasari, & D.S.Said.2008. Penampilan Ikan Pelangi Sulawesi Marosatherina ladigesi pada Kesadahan Berbeda. Makalah Seminar Nasional Ikan V Masyarakat Ikhtiologi Indonesia Botani Square Bogor 4 Juni 2008.

Wargasasmita, S. 2004. Ancaman Invasi Ikan Asing terhadap Keanekaragaman IkanAsli. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Ikan ke III. Darmaga - Bogor, 7 September 2004.

Page 52: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

52

BIOEKOLOGI DAN ASPEK PENANGKAPAN SIDAT (Anguilla spp.)

DI PERAIRAN POSO, SULAWESI TENGAH

Triyanto*, Lukman dan Ivana Yuniarti

ABSTRAK

Sidat (Anguilla spp) merupakan ikan katadromous yang memiliki karakteristik unik yaitu

melakukan ruaya untuk keperluan reproduksinya ke laut dalam. Larva sidat akan kembali ke perairan

tawar melalui muara-muara sungai untuk selanjutnya tumbuh dan berkembang sampai ukuran dewasa

pada habitat perairan tawar seperti sungai, dan danau. Perairan Poso meliputi Danau Poso dan sungai-

sungai yang ada disekitarnya merupakan daerah penghasil sidat yang potensial di Sulawesi Tengah.

Penelitian bio-ekologi sidat dan aspek penangkapan telah dilakukan pada Mei – Agustus 2007. Tujuan

penelitian adalah untuk mendeskripsikan sifat biologis sidat, karakter ekologi perairan sebagai

habitatnya, dan aspek penangkapan ikan tersebut. Sampel sidat diperoleh dari lima lokasi penangkapan

meliputi wilayah Danau Poso dan Sungai Poso. Sifat biologis sidat dideskripsikan dengan melakukan

kajian morfologis dan morfometrik, serta penentuan kebiasaan makanan. Kajian karakter ekologis sidat

dilakukan dengan melakukan pengukuran kualitas perairan di Danau Poso dan Sungai Poso. Aspek

penangkapan di bahas berdasarkan hasil survei pada beberapa lokasi penangkapan.

Kata Kunci: Bio-ekologi, Sidat (Anguilla spp.), Poso

ABSTRACT Eels ( Anguilla spp) are catadromous fish having unique characteristic that is doing migration

for reproduction to the sea. The juvenile will return to freshwater ecosystem through estuary hence forth

grow and develop until adult at freshwater habitats such as rivers, and lake. Inland water of Poso,

included the Poso Lake and the Poso River are producers’ area of eels in Central Sulawesi. Research of

bio-ecology and fishing aspect has been done at May - August 2007. The aim of research was to describe

the biological character of eel, ecology character as the habitat, and the fishing. The eels were obtained

out of five location cover Lake Poso and River Poso. Biological character of eels was descripting by

doing study of morphology, morphometric, and determination of food habit. Study of ecological

character done by doing measurement of water quality of Lake Poso and River Poso. The fishing aspect

was analyzed based on survey some on the numbers of fishing locations and catch data in some middle

man and data in duty fishery of local district

Keywords: Eel: Anguilla spp, Bio-ecology Poso

PENDAHULUAN

Sidat di perairan Poso merupakan komoditas perikanan yang memiliki nilai

ekonomis tinggi dan menjadi primadona hasil tangkapan. Sidat merupakan jenis ikan

katadromous yang memiliki karakteristik unik dengan melakukan ruaya (migrasi) untuk

keperluan reproduksinya ke laut dalam. Larva sidat akan kembali ke perairan tawar * Pusat Penelitian Limnologi-LIPI. Komplek LIPI Cibinong, 16911 Telp. 021-8757071, Fax. 021-8757076 e-mail: [email protected]

Page 53: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

53

melalui muara-muara sungai untuk selanjutnya tumbuh dan berkembang sampai ukuran

dewasa pada habitat perairan tawar seperti sungai, dan danau.

Berdasarkan klasifikasinya sidat termasuk dalam famili Anguillidae dan Genus

Anguilla. Secara morfologi bentuk badannya memanjang, ramping dengan sebuah sirip

punggung yang panjang dan menyatu dengan sirip anal dan sirip ekor. Kulitnya licin

berlendir dengan garis liniea lateralis yang jelas terlihat. Keragaman jenis ikan tersebut

dapat dibedakan dari bentuk pola warna tubuh, ukuran kepala, jarak sirip punggung dan

sirip anal serta ukuran dari ikan tersebut yang berbeda-beda. Beberapa kriteria

identifikasi morfologis telah diuraikan dengan beberapa pendekatan yaitu dari ukuran

sirip punggung, sirip anal, pola gigi atas dan bawah. (Weber & Beaufort, 1922 dan

Kottelat et al, 1993). Menurut Sugeha, 2001 dalam Sugeha 2006, ada lima jenis ikan

sidat yang tertangkap di Muara Sungai Poso yaitu Anguilla marmorata, A. celebensis,

A. bicolor pacifica, A. interiores dan A. borneensis.

Produksi sidat dari perairan Poso pada tahun 2006 mencapai 9,1 ton, merupakan

51% dari hasil produksi total perikanan wilayah tersebut. Bila dibandingkan dengan

produksi pada tahun sebelumnya telah terjadi penurunan produksi yang signifikan

karena pada Tahun 1998 produksi sidat mencapai 30,5 ton (Lukman, et al. 2007).

Diperlukan upaya pengelolaan mencakup pengelolaan biota (ikan sidat) dan

pengelolaan habitat untuk dapat mempertahankan kelestarian sumberdaya yang ada.

Informasi tentang sifat biologi dan ekologi sidat sangat diperlukan dalam upaya

pengelolaan sumberdaya yang tersedia.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari aspek bioekologi sidat serta aspek

penangkapannya di Perairan Poso; Danau Poso dan Sungai Poso. Hasil penelitian ini

diharapkan dapat memberikan informasi dalam upaya pengelolaan untuk menjaga

keberlangsungan produksi perikanan sidat dan menjamin ketersediaan sumberdaya.

BAHAN DAN METODE

Pengambilan sampel dilakukan pada Bulan Mei-Agustus 2007. Sampel ikan

sidat didapat dari hasil tangkapan nelayan dengan alat tangkap perangkap (waya

masapi), pancing dan tombak. Lokasi pengambilan sampel dilakukan di 5 wilayah yang

mencakup perairan Danau Poso dan Sungai Poso (Gambar 1).

Page 54: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

54

Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel sidat di Periaran Poso (Danau dan Sungai Poso) pada Bulan Mei

– Agustus 2007

Aspek Biologi Sidat

Morfologi dan Morfometrik Sidat

Identifikasi spesies menggunakan analisis morfologi berdasarkan Kottelat

(1993). Untuk analisis morfologi dilakukan pengukuran beberapa parameter morfometri

(Gambar 2), yang meliputi :

1. PT : Panjang total 2. PS : Panjang baku/standar 3. Psp : Panjang sirip punggung 4. Psa : Panjang sirip anal 5. JSp-a : Jarak antara sirip punggung dan anal 6. Pkpl : Panjang kepala s/d batok 7. Pkpl-1 : Panjang kepala s/d pangkal sirip dada 8. Psd : Panjang sirip dada

Lokasi pengambilan sample sidat

Muara

Page 55: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

55

9. Lpsd : Lebar pangkal sirip dada 10. Tsp : Tinggi sirip punggung 11. Tb : Tinggi badan 12. Te : Tinggi batang ekor 13. Dm : Diameter mata

Gambar 2. Pengukuran karakter Morphometrik pada bagian-bagian tubuh ikan sidat

Karakter morfometrik dianalisis dengan PCA (Principal Componen Analysis)

dengan menggunakan software MVSP 3,1 (KCS, 1999). Analisis karaketeristik

morfometrik telah banyak dilakukan untuk membedakan ciri/karakter suatu jenis ikan,

seperti pada ikan botia dari perairan umum Jambi (Haryani, 1995), ikan kaca dari

perairan waduk Cirata (Sarnita, 1994) dan ikan payangka dari perairan Danau Limboto

(Satria, 2000). Untuk membedakan karakter morfometrik terhadap sampel sidat yang

berasal dari masing-masing lokasi penangkapan dilakukan uji sidik ragam

(ANOVA:Analysis of variance, Steel and Torrie, 1995).

Kajian Kebiasaan Makan (Food Habit)

Kajian kebiasaan makan dilakukan pada sampel sidat yang diperoleh, dengan

melakukan analisis lambung berdasarkan Effendie, 1979.

PS

PT

Psa Pkpl

Psp

JSp-a

Pkpl-1

Psd

Te Lpsd

Dm

Tb

Tsp

Page 56: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

56

Aspek Ekologi Sidat

Aspek ekologi sidat dipelajari dengan melakukan pengukuran beberapa

parameter kualitas air untuk mendapatkan informasi mengenai karakteristik habitat

sidat. Pengukuran dilakukan di daerah-daerah penangkapan sidat mencakup Danau

Poso dan Sungai Poso. Parameter kualitas air yang diukur meliputi suhu, pH,

kekeruhan, konduktivitas, dan oksigen terlarut, kesadahan, COD, TN dan TP.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Aspek Biologi Sidat

Karakter Morfologi dan Morfometrik

Berdasarkan analisis morfologi contoh sidat yang diperoleh adalah satu spesies,

yaitu Anguilla marmorata dengan ciri-ciri utama sebagai berikut i) Warna tubuh

terutama pada bagian dorsal kuning kehitaman dan terdapat corak seperti kembang

berwarna coklat gelap, sedangkan bagian ventral (perut) agak putih dan bersih tanpa

adanya corak, ii) Susunan gigi rahang atas dan bawah terpisah oleh satu lekukan

memanjang tanpa gigi (Gambar 3; Model b); dan iii) Jarak antara garis vertikal imajiner

yang melalui awal sirip punggung dan dubur (JSp-a) 14 – 21% dari panjang total (PT).

Karakteristik utama sidat (Anguilla marmorata) dari berbagai lokasi di Perairan Poso

dapat di lihat pada Tabel 1, sedangkan hasil pengukuran morfometrik selengkapnya

disajikan pada Lampiran 1.

Gambar 3. Pola gigi rahang atas (kiri) dan rahang bawah (kanan) pada

a) Anguilla celebensis dan b) A. marmorata

Page 57: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

57

Tabel 1. Karakteristik utama (kisaran dan rata-rata) sidat (Anguilla marmorata) dari berbagai lokasi di Perairan Poso

No. Karakteristik Lokasi

Pendolo Solokaia Tentena Pandiri Muara

1. Panjang total (cm) 52 – 105

(83,4) 51 – 102

(66,4) 75 – 119 (100,6)

46 – 74 (60)

46 – 77 (66,8)

2. Berat total (kg) 0,3 – 2,8

(0,5) 0.2 - 2.6

(0,7) 1,6 - 5,0

(2,4) 0.2 – 1.1

(0,65) 0.2 – 1.3

(0,7) 3. Rasio JSp-a/PT 0,15 – 0,20 0.14 - 0.19 0,16 - 0,21 0.12 – 0.13 0.15 – 0.18

Hasil analisis PCA menunjukan bahwa karakter morfometrik yang terbentuk

mengelompok terpusat pada sumbu utama, sedangkan variasi pengukuran yang

menunjukan asal contoh ikan sidat dari lima lokasi juga menunjukan hal yang serupa

yaitu terpusat di sumbu utama. Kesamaan karakter morfometrik yang ditunjukan pada

sumbu utama juga diperjelas dengan nilai akar ciri pada masing karakter yang rendah.

Dari hasil PCA tersebut dapat diketahui bahwa ikan sidat yang dianalisis dari

lima lokasi pengambilan menunjukan kesamaan. Tidak ada karakter morfometrik yang

membedakan dari contoh ikan sidat yang dianalisis. Karakter morfometrik baku yang

mencirikan kesamaan jenis ditunjukan pada karakter jarak antara awal sirip punggung

dan anal (JSp-a), panjang kepala (Pkpl), tinggi badan (Tb), Panjang sirip punggung

(Psp) dan dan panjang sirip anal (Psa) (Lampiran 2). Karakter utama yang mencirikan

kesamaan jenis yang kuat akan terpusat pada sumbu utama (Gambar 4).

Hasil uji sidik ragam (ANOVA) yang dilakukan pada contoh ikan sidat

berdasarkan karakter morfometriknya pada masing-masing lokasi penangkapan (5

lokasi) diperoleh nilai P>0,05 (Lampiran 3) Hal ini menunjukkan bahwa sample sidat

yang dinalisis berdasarkan karakter morfometrik tidak menunjukan adanya perbedaan

yang signifikan, atau menunjukan kesamaan jenis.

Page 58: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

58

PCA case scores

Axis

2

Axis 1

Po1Po2Po3

T1 T2T3T4

T5T6

T7T8

T9T10

T11T12T13S1

S2S3S4S5S8

M1 M2M3M4

Pi1

Pi2

-0.7

-1.3

-2.0

0.7

1.3

2.0

2.7

3.4

-0.7-1.3-2.0 0.7 1.3 2.0 2.7 3.4

PT

PS

PspPsa

JSp-a

Pkpl

Pkpl-1

Psd

Lpsd

Tsp

Tb

Te

Dm

Vector scaling: 4,83 Gambar 4. Hasil analisis PCA antara variabel morophometrik ikan sidat pada sumbu utama (Axis 1 dan

Axis 2) dan sebaran lokasi pengambilan contoh

Anguilla marmorata ditemukan mulai dari Pendolo, Solokaia, Tentena, Pandiri,

hingga Muara Sungai Poso. Berdasarkan hasil penelitian Sugeha (2006) dan Lukman et

al. (2007) Anguilla marmorata merupakan jenis ikan sidat yang banyak tertangkap dari

perairan Poso dan mendominasi hasil tangkapan ikan sidat yang berasal dari Danau

Poso. Anguilla marmorata tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia, yaitu meliputi

Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua (Sugeha, 2005; Aoyama, 2007).

Distribusi Anguilla marmorata di dunia juga cukup luas yaitu mulai dari Afrika Timur

sampai ke Indonesia, French-Polynesia di Lautan Pasific Selatan dan Jepang bagian

Selatan, dan juga terdapat di Samudra Hindia dan Pacific (Sverdrup et al., 1942; Brown

et al., 1989; Morey et al., 1999 dalam Ishikawa et al. 2004).

Kebiasaan Makan

Sebagian besar contoh sidat menunjukkan lambungnya tidak berisi (kosong).

Tidak terdapatnya isi lambung dari contoh sidat-sidat itu terutama dipengaruhi metode

penangkapannya yang menyesuaikan dengan kondisi sidat pada saat itu.

Page 59: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

59

Sidat-sidat yang tertangkap dengan waya masapi (perangkap) di outlet danau,

dipastikan lambungnya akan sangat kecil untuk terisi karena sedang bermigrasi ke laut.

Terdapat waktu yang cukup panjang antara saat sidat makan dan sidat tertangkap di

pagar tersebut, sehingga isi lambung sudah habis tercerna. Demikian juga sidat-sidat

yang tertangkap pancing dan bubu, sangat kecil kemungkinan lambung sidat terisi

pakan karena sidat yang tertangkap adalah sidat yang sedang mencari makan.

Dari sidat-sidat yang lambungnya terisi, pakan alami yang teramati yaitu: i)

kepiting (2 contoh); ii) udang (satu contoh); dan iii) ikan (satu contoh) dan sisanya

adalah remahan daging yang tidak teridentifikasi. Berdasarkan penelitian Samuel

(2007) sidat Anguilla marmorata yang tertangkap di Sungai Ketahun-Bengkulu

makanannya terdiri dari ikan, udang, moluska, dan serangga.

Aspek Ekologi Sidat

Kondisi Kualitas Perairan Danau Poso dan Sungai Poso

Danau Poso memiliki luas 368,9 km2 (36.890 ha), panjang garis pantai

mencapai 127 km dengan kedalaman maksimum mencapai 384,6 m. (Lukman dan

Ridwansyah, 2007). Kondisi fisika kimia air Danau Poso pada pengukuran Mei 2007

menunjukkan kisaran suhu yang berkisar antara 27,9–28,8oC, pH cenderung basa (8,34-

8,60), konduktivitas 0,113 mS.cm-1, kadar oksigen terlarut cukup tersedia (5,91 – 7,80

mg.l-1), dan bersifat air lunak (kesadahan total <75 mg.l-1CaCO3 eq.). Berdasarkan data

COD menunjukkan kondisi yang masih alami, sedangkan berdasarkan kadar total

phosphat (0,013 – 0,055 mg.l-1) dan kadar nitrogen total (TN) (0,137-0,680 mg.l-1).

sudah menunjukkan kondisi perairan sedikit eutrofik (Tabel 2).

Tabel 2. Kondisi Kualitas Air Danau Poso dan Sungai Poso

No Parameter Danau Poso Sungai Poso Pendolo Solokaia Tentena Pandiri Muara

1. Suhu (oC) 28,5 28,8 27,9 28,2 28,0 2. pH 8,48 8,40 8,60 8,29 8,27 3. Konduktivitas (mS.cm-1 ) 0,111 0,111 0,113 0,111 0,139 4. Kecerahan (m) 10 10 10 - - 5. Oksigen (mg.l-1) 6,17 5,98 7,80 5,36 5,30 6. Kesadahan total (mg.l-1) 61,10 58,05 61,10 56,52 97,76 7. COD (mg.l-1) 4,40 4,40 8,80 8,80 11,00 8. Total Nitrogen (mg.l-1) 0,2088 0,6801 0,2904 0,4092 0,6220 9. Total Fosfat (mg.l-1) 0,0130 0,0460 0,0425 0,0249 0,0589

Page 60: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

60

Sungai Poso merupakan outlet dari Danau Poso dan merupakan alur utama

ruaya sidat baik ruaya menghilir untuk sidat dewasa, maupu ruaya menghulu untuk sidat

muda. Alur Sungai Poso memiliki pola yang landai hingga curam (Gambar 5).

Gambar 5. Skema elevasi Sungai Poso yang menjadi alur ruaya sidat (Sumber: Chr. Kritijanto, 1999)

Dari mulai Tentena hingga sebelum Sulewana, kurang lebih sepanjang 10 km

memiliki pola yang landai, dan di wilayah Sulewana sekitar 70 meter merupakan alur

curam yang membentuk jeram, selanjutnya antara Sulewana hingga Pandiri dengan alur

terjal, dan terakhir dari Pandiri hingga muara sudah mulai melandai kembali.

Kondisi kualitas air pada Sungai Poso (Pandiri dan Muara) dicirikan oleh suhu

yang berkisar antara 28,0 – 28,2oC, tingkat pH cenderung alkalin (8,27 - 8,29),

konduktivitas antara 0,139 – 0,159 mS.cm-1, kadar oksigen terlarut cukup tinggi (5,30 –

6,28 mg.l-1), dan bersifat lunak-sadah (56,52 – 97,76 mg.l-1). Berdasarkan data COD

menunjukkan kondisi yang masih alami, sedangkan berdasarkan kadar total phosphat

dan kadar nitrogen total sudah menunjukkan kondisi perairan sedikit eutrofik.

Aspek Penangkapan Sidat

Penangkapan sidat di perairan Poso, tersebar di beberapa lokasi yaitu di Sungai

Poso wilayah outlet danau yang masuk dalam wilayah Kecamatan Pamona Utara dan di

Page 61: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

61

perairan danau dan anak sungai di Pendolo, di Kecamatan Pamona Selatan. Alat

tangkap yang digunakan cukup beragam, yaitu pancing, tombak, bubu dari rotan atau

bambu, dan pagar (waya masapi). Terdapat tiga desa di alur Sungai Poso yang

memiliki kelompok penangkap sidat dengan alat perangkap (Waya Masapi), yaitu di

Kelurahan Sangele mencapai 11 unit, Kelurahan Tendeadongi 7 unit, dan di Saojo 5

unit (KCD Perikanan, Kec. Pamona Utara, 2007. Tidak dipublikasikan).

Hasil pemantauan tangkapan sidat dari nelayan yang menggunakan alat tangkap

pagar (perangkap/waya masapi) di wilayah Tentena, menunjukkan penurunan hasil

tangkapan dari Mei ke September (Gambar 6). Hal ini sejalan dengan perubahan tinggi

muka air danau akibat intensitas curah hujan yang terjadi. Pada bulan Mei curah hujan

masih tinggi sedangkan ke arah September curah hujan makin menurun. Berdasarkan

data hasil tangkapan bulanan sidat dari periode Tahun 2004-2006, hasil tangkapan sidat

tertinggi terjadi antara bulan April – Mei, dan produksi terendah terjadi pada bulan

September – November (KCD Perikanan, Kec. Pamona, 2006; tidak dipublikasikan)

0

5

10

15

20

25

30

Mei Juni Juli Agustus September

Bulan

Be

rat/

Ju

mla

h

Kg

Ekor

Gambar 6. Data pemantauan produksi sidat dari nelayan penangkap dengan alat tangkap pagar

(perangkap) di Tentena, Bulan Mei – Septermber 2007.

Sidat yang tertangkap dengan waya masapi, pada umumnya adalah sidat-sidat

yang akan beruaya untuk melangsungkan proses reproduksinya ke laut dalam.

Aktivitas ruaya dari perairan tawar ke perairan laut (downstream migration)

berdasarkan hasil penelitian Sugeha (2006) mencapai puncaknya pada sekitar Bulan

Page 62: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

62

April, hal tersebut terkait dengan tinggi muka air danau yang meningkat akibat curah

hujan yang tinggi pada bulan tersebut.

Ukuran sidat yang tertangkap di Tentena pada periode Mei - September tahun

2007, berkisar antara 0,2 – 5,6 kg atau dengan panjang total antara 40 cm – 130 cm.

Sidat yang berukuran >70 cm menunjukkan proporsi yang tinggi (>80%) (Tabel 3).

Hasil penelitian Haryani, (1998) menyebutkan sidat yang berukuran di atas 70 cm

memiliki gonad yang sudah berkembang menunjukkan awal vitelogenik, sedangkan

yang berukuran di bawah 70 cm gonadnya belum memasuki tahap perkembangan.

Dari data tersebut nampaknya pengaturan penangkapan sidat yang akan beruaya

ke laut dalam harus dikelola dengan bijak, agar keberlangsungan reproduski sidat tetap

terjamin dan proses rekrutmen sidat-sidat muda untuk mengisi periaran Poso dan

sekitarnya dapat terus berlangsung. Pemahaman umum, mengemuka bahwa larva sidat

yang memasuki sungai adalah mengikuti instingnya kembali ke tempat indukannya

berasal, dengan demikian tingkat rekruitmen larva akan ditentukan oleh jumlah indukan

yang menghilir menuju ke laut untuk melakukan pemijahan (Lukman, et al. 2007)

Tabel 3. Data Sidat Hasil Sampling Tangkapan dengan Waya Masapi di Kecamatan Pamona Utara, pada

Bulan Mei - September 2007

Bulan Kisaran Berat

(kg) Panjang Total

(cm) Berat Total

(Kg) Jumlah (Ekor)

Ukuran >70 cm

Berat Rataan (kg)

Mei 0,2 - 4,8 50 - 130 24.9 11 9 2.26 Juni 0,3 - 5,6 56 - 127 17.8 7 6 2.54 Juli 0,5 - 2,8 51 - 108 10.4 6 5 1.73 Agustus 0,6 - 3,0 56 - 122 10.2 5 4 2.04 September 1,0 - 3,0 73 - 103 7.5 4 4 1.88

KESIMPULAN

Sidat hasil tangkapan di perairan Poso (Danau Poso dan Sungai Poso) selama

penelitian berlangsung didominasi oleh jenis Anguilla marmorata. Berdasarkan karakter

morfologinya Anguilla marmorata dicirikan oleh warna tubuh kuning kehitaman

dengan terdapat corak seperti kembang berwarna coklat kehitaman. Ukuran sidat yang

tertangkap selama penelitian berukuran panjang total 46 – 119 cm dengan berat total

Page 63: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

63

0,2 – 5 kg. Rasio antara jarak sirip punggung dan sirip anal/persatuan panjang total

tubuhya berkisar antara 0,12 – 0,2 Berdasarkan makanan alaminya sidat termasuk ikan

karnivor, jenis pakan alami sidat yang telah teridentifikasi adalah kepiting, udang dan

ikan. Kondisi kualitas perairan Danau Poso dan Sungai Poso yang menjadi lokasi

penangkapan sidat masih mendukung untuk kehidupan sidat. Yang perlu mendapat

perhatian dari hasil penelitian ini adalah perlunya pengelolaan penangkapan sidat yang

bijak yang dapat mengatur penggunaan waya masapi yang pemasangannya menghadang

jalur ruaya sidat untuk bereproduksi, untuk menjamin keberlangsungan reproduski sidat

sehingga proses rekrutmen sidat-sidat muda untuk mengisi perairan Poso dan sekitarnya

dapat terus berlanjut.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terimakasih kami sampaikan kepada Program Kompetitif LIPI Sub Program

Sensus Biota Laut Tahun 2007 yang telah mendanai penelitian ini. Ucapan terimakasih

juga kami sampaikan kepada Bapak Kris, Staf Dinas Perikanan di Tentena dan para

Nelayan Danau Poso yang telah membantu selama penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Aoyama, J. S.Wouthuyzen, M.J. Miller, Y. Minegishi, M. Kuroki, S.R. Suharti, T.Kawakami, K.O. Sumardiharga and K.Tsukamoto. 2007. Distribution of leptocephali of the freshwater eels, genus Anguilla, in the waters off West Sumatra in the Indian Ocean. Environ. Biol. Fish. 80:445–452

Chr. Kristijanto, 1999, Upaya Penanggulangan Kerusakan Sungai Poso, Buletin Pusair, No. 32 Tahun IX, hal, 1 – 13

Effendie, M.I. 1979. Metode Biologi Perikanan Penerbit Yayasan Dewi Sri. Bogor.

Haryani, G.S. 1995. Karakter Morphometrik dan Kajian Gonad Ikan Botia (Botia macrocanthus Bleeker) jantan dan betina. Prosiding Hasil Penelitian Puslitbang Limnologi-LIPI 1994/1995. Puslitbang Limnologi-LIPI, 178 halaman

Haryani, G. S., 1998, Kajian Aspek Reproduksi Ikan Sidat (Anguilla marmorata) pada Masa Ruaya di Danau Poso, Sulawesi Tengah, Limnotek, Vol. 5 (1): 51 – 60

Page 64: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

64

Ishikawa, S., K. Tsukamoto, and M. Nishida. 2004. Genetic evidence for multiple geographic populations of the giant mottled eel Anguilla marmorata in the Pacific and Indian Oceans. Ichthyol Res 51: 343–353

Kottelat, Maurice, Anthony J.W, Sri N.K dan Soetikno W. 1992. Freshwater fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Periplus Editions 293 p.

KCS, 1999. Multi Variate Statistical Package User’s Manual MVSP 3,1. Kovach Computing Services.

Lukman, G.S. Haryani, Triyanto, Tri Suryono, I. Yuniarti dan H. Fauzi. 2007. Karakteristik sejarah kehidupan ikan sidat (Anguilla sp.) di DAS Poso, Sulawesi Tengah. Laporan Akhir. Program Kompetitif Sub Program Sensus Biota Laut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Lukman & I. Ridwansyah. 2007. Physics and Chemical Condition of Lake Poso, Indonesia. (in processes).

Lukman, Triyanto dan I. Yuniarti. 2007. Potensi Perairan Danau Poso, Sulawesi Tengah Untuk Perikanan Sidat Di Indonesia. Prosiding Simposium Perikanan, Departemen MSP Fakultas Perikanan IPB, Bogor

Sarnita, H. 1994. Aspek Biologi dan Analisis Karakteristik Bentuk Ikan Kaca (Chandapunctulata) di Perairan Waduk Cirata. Bull.Perik.Darat Vol.12 No. 2

Hal: 12-22

Steel, R.G.D and J.H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. Penerbit PT. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama 748 halaman

Satria, H. 2000. Karakterisasi Morphometrik Ikan Payangka (Ophiocara porocephala) di Perairan Danau Limboto – Sulawesi Utara. Prosiding Semiloka Nasional ”Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk Universitas Padjajaran Bandung, 7 Nopember 2000 hal: I;140-152

Sugeha, H. Y. 2005, Biodiversitas, distribusi dan kelimpahan ikan sidat (Anguilla spp) di Perairan Indonesia, serta asosiasinya dengan faktor-faktor lingkungan. Laporan Akhir, Program Kompetitif Sub Program Sensus Biota Laut. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Sugeha, H. Y., J. Aoyama dan K. Tsukamoto. 2006. Downstream migration of trophical Angullid silver eels in the Poso Lake, Central Sulawesi Island, Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Limnologi 2006, Pengelolaan Sumberdaya Perairan Darat secara Terpadu di Indonesia. Jakarta 5 September 2006. Pusat Penelitian Limnologi-LIPI

Samuel. 2007. Eko-biologi dan Aspek Penangkapan Ikan Sidat (Anguilla spp.) di Sungai Ketahun, Propinsi Bengkulu. Prosiding Seminar Nasional Tahunan IV Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Tahun 2007. Fakultas Perikanan dan Kelautan UGM.

Weber, M and K.L.F. de Beuafort. 1922. The Fisheries of Indo-Australia Archipelago. Vol II E.J. Brill. Leiden. 404p

Page 65: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

65

LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil pengukuran karakter morfometrik ikan sidat di beberapa lokasi penangkapan di perairan

Poso

No Sampel Karakter Morfometrik (cm)

Sidat PT PS Psp Psa JSp-a Pkpl Pkpl-1 Psd Lpsd Tsp Tb Te Dm

1 Po1 101 98 73 56 15,7 8 14,5 4,2 2,5 1,8 7,8 1 0,9

2 Po2 69,1 68 50,5 38,2 12 4,2 10 2,8 1,8 1,6 5 0,4 0,8

3 Po3 52,3 51,4 37,8 29,9 8 3,7 7,8 1,9 0,9 1 3,4 0,3 0,5

4 T1 100 98 72 53,5 16,5 6,5 15,5 4,5 2,5 1,9 8,5 0,5 1,1

5 T2 119,5 118 85 62,5 20 10 17,5 6 3 2,4 10,2 0,8 1,2

6 T3 116,2 114 82,5 61,5 20 8,7 17 6 3 2 10 0,7 1

7 T4 88,2 87,1 63,6 47 15 5 12,5 4,2 2 1,4 7,1 0,6 1

8 T5 112,2 110,3 81 61,5 19,5 9 16,8 5,5 2,4 2 8,8 0,5 1,3

9 T6 107,3 106 78,6 58,1 19 7 16 5,6 2,3 2 8,5 0,5 1,1

10 T7 72,5 71 52 39,5 12,5 4,8 10,7 3,2 1,7 2 6 0,5 0,7

11 T8 67 65,8 49,2 37,5 10,5 4,7 10 3 0,5 1,5 5,2 0,6 0,7

12 T9 100 97 71 51 21 8 15 5,5 2,2 1,8 8,5 1 1,2

13 T10 106 104 74 56 17 8 18 5 2,5 9,5 1 1

14 T11 88 86,5 63 46 18 6 12 4 2,3 1,8 5 1 1,1

15 T12 93,5 92 63 48 17 7 14 4,5 2,3 1,8 9 1 1

16 T13 98 97 69 52 18 7 13 5 2,5 2 5,5 1 1

17 S1 63,3 62 45,8 34,5 10 5 10 2,8 1,7 1,7 4,5 0,5 0,7

18 S2 61 60 44,5 33,5 10,6 5 9,5 2,4 1,3 1,3 4,9 0,4 0,8

19 S3 62,2 61,4 45,2 34,6 10 5 9,3 2,3 1,3 1,4 4,4 0,5 0,8

20 S4 64,8 63,7 45,8 35,1 10,3 5 9,5 2,8 1,4 1,2 4,8 0,5 0,7

21 S5 50,7 49,6 37,5 28,1 9 3 7,5 2,1 1 1,1 3,1 0,4 0,6

22 S8 48,7 47,6 34,9 27,5 7 3,5 7 2,3 1 0,9 3,4 0,4 0,6

23 M1 63,5 62,5 45,7 34 10 4,5 9 3,3 1,5 1,1 5,4 0,4 1

24 M2 77 75,7 56,3 42,3 12 5,5 11,5 3 1,6 1,5 6 0,5 1

25 M3 68,3 66,8 48,6 37,2 10 3,5 9,5 3,1 1,3 1,2 5,2 0,4 0,9

26 M4 72 71 51 39 12 5 9 3,2 1,7 1,5 4,4 0,7 0,7

27 Pi1 74 - 53 39,5 9 5 6 14 - - 2,9 - 1,2

28 Pi2 46 - 34 26 6 5 6 8 - - 2 - 0,7

Keterangan

Po : Pendolo T : Tentena S : Solokaya M : Muara Pi : Pandiri - : Tidak ada data

Page 66: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

66

Lampiran 2. Akar ciri, kontribusi variabel terhadap sumbu utama dan Matrik similarity antar karakter morphometrik

A. Akar ciri

Eigenvalues

Axis 1 Axis 2

Eigenvalues 9,715 1,899

Percentage 74,73 14,61

Cum. Percentage 74,73 89,34

PCA variable loadings

Variabels Axis 1 Axis 2

PT 0,314 0,125

PS 0,296 -0,26

Psp 0,313 0,129

Psa 0,312 0,119

JSp-a 0,313 0,019

Pkpl 0,292 0,161

Pkpl-1 0,312 -0,04

Psd 0,056 0,695

Lpsd 0,239 -0,2

Tsp 0,27 -0,33

Tb 0,302 -0,03

Te 0,235 -0,29

Dm 0,239 0,379

B. Matrik Similarity antara masing-masing karakter morphometrik ikan sidat

PT PS Psp Psa JSp-a Pkpl Pkpl-1 Psd Lpsd Tsp Tb Te Dm PT 1

PS 0,848 1

Psp 0,998 0,846 1

Psa 0,996 0,85 0,998 1

JSp-a 0,953 0,885 0,949 0,938 1

Pkpl 0,918 0,739 0,913 0,915 0,871 1

Pkpl-1 0,947 0,925 0,945 0,947 0,927 0,888 1

Psd 0,344 -0,2 0,342 0,329 0,208 0,382 0,107 1

Lpsd 0,677 0,784 0,68 0,673 0,748 0,589 0,653 -0,129 1

Tsp 0,75 0,935 0,744 0,75 0,795 0,661 0,862 -0,276 0,659 1

Tb 0,917 0,893 0,909 0,91 0,882 0,85 0,966 0,112 0,65 0,809 1

Te 0,645 0,776 0,618 0,62 0,741 0,606 0,688 -0,183 0,558 0,777 0,638 1

Dm 0,799 0,515 0,802 0,781 0,757 0,726 0,67 0,577 0,464 0,375 0,663 0,341 1

PCA case scores Cases Axis 1 Axis 2

Po1 0,564 -0,1 Po2 -0,26 -0,15 Po3 -0,76 -0,21 T1 0,515 0,043 T2 1,086 0,109 T3 0,906 0,08 T4 0,164 0,009 T5 0,849 0,227 T6 0,662 0,128 T7 -0,14 -0,21 T8 -0,34 -0,14 T9 0,676 0,084 T10 0,663 0,007 T11 0,302 -0,08 T12 0,47 -0,08 T13 0,477 -0,06 S1 -0,34 -0,21 S2 -0,41 -0,12 S3 -0,39 -0,15 S4 -0,39 -0,14 S5 -0,75 -0,21 S8 -0,8 -0,18 M1 -0,37 0,008 M2 -0,05 -0,04 M3 -0,37 -0,05 M4 -0,23 -0,19 Pi1 -0,66 1,086 Pi2 -1,08 0,51

Page 67: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

67

Lampiran 3. Hasil uji sidik ragam (ANOVA) antara sample ikan sidat pada masing-masing lokasi penangkapan di Perairan Poso

Sumber Keragaman SS df MS F P-value*

Pendolo 1361,551 2 680,776 0,799 0,50

Eror 30658,78 36 851,633

Tentena 3577,046 12 298,087 0,215 0,998

Eror 215263,6 143 1388,797

Solokaya 276,4564 5 55,291 0,111 0,990

Eror 35872,68 72 498,232

Muara 114,3085 3 38,103 0,053 0,984

Eror 34309,36 48 714,778

Pandiri 104,1606 1 104,161 0,430 0,521

Eror 3874,084 16 242,130

Antar Lokasi 14398,64 27 533,283 0,539 0,973

Eror 323782,5 327 990,161

Keterangan

*Nilai P>0,05 : Tidak ada perbedaan jenis dari sampel sidat yang dianalisis berdasarkan karakter morfometriknya.

Page 68: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

68

KAJIAN STRATEGI REPRODUKTIF IKAN

SENGGARINGAN Mystus nigriceps DI SUNGAI KLAWING KAB.

PURBALINGGA PADA MUSIM BERBEDA

Siti Rukayah

1, Setijanto

1 dan Isdy Sulistyo

2

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengetahui strategi reproduktif ikan Senggaringgan dihabitat alaminya

melalui pendekatan pengamatan : rasio kelamin, fekunditas , ukuran telur, indeks anatomi (IGS dan

IHS), Gametogenesis.

Sampel diambil 4-6 kali selama 3 bulan tiap musim. Sampel musim penghujan pada bulan

Agustus-Oktober, sampel musim kemarau pada bulan mei-Juli. Data: ukuran morfologis, jumlah dan

ukuran telur, indeks anatomi, histologi gonad.

Pada musim penghujan diperoleh rasio kelamin 0,9, fekunditas10005-39.621butir dengan

dismeter 200-275,4 µm, IGS betina 9,33-14,72 %, IHS 0,48-1,98 %. Pengamatan gametogenesis

menunjukan kondisi gonad jantan pada semua tingkatan spermatogenesisi dapat diamati dalam testis,

pada gonad betina mencapai vitelogenesis eksogen awal. Sedangkan pada musim kemarau diperoleh

rasio kelamin 0,6.; fekunditas 9675-23220 butir dengan diameter 107-228,2 µm, IGS 1,79-11,13 %, IHS

1,1-2,31 %, pengamatan gametogensis menjunjukan kondisis gonad jantan didominasi spermatozoa,

gonad betina pada fase Oogonium-Vitelogenesis Eksogen.

Diperoleh kesimpulan rasio kelamin, fekunditas IGS meningkat memasuki musim penghujan,

IHS jenderung menurun memasuki musim penghujan. Perkembangan Ovarium dan testis nyata terlihat

saat musim penghujan, tetapi estimasi waktu peminjahan dan frekuensinnya belum dapat diketagui.

Kata kunci : ikan senggaringan, strategi reproduktif, Sungai Klawing musim

ABSTRACT This study were purposed to find out reproductive strategy of senggaringan fish in natural

habitat through approach monitoring of male and female ratio, fecundities, egg size, index of anatomy

(IGS and HIS), gametogenesis.

Sampling was conducted out 4-6 times since 2 months in every season. Sampling of rainy season

on September-October, sampling of dry season on May-June. Supporting data of morphology size, total

and size of egg, anatomy index, histological gonad.

On rainy season get the result of male and female ratio 0,9, fecundities 10005-39.625 grain with

diameter 200-275,4 µm, female IGS 9,33-14,72%, HIS 0,48-1,98%. Monitoring of gametogenesis showed

condition of male gonad in the all level spermatogenesis can monitoring the testis, in the female gonad

achieve vitelogenesis of beginning exogenous. And then on the dry season get the result male and female

ratio 0,6; fecundities 9675-23220 grain with diameter 107-228,2 µm, IGS 1,79-11,13, IHS 1,1-2,31%,

monitoring of gametogenesis showed condition of male gonads were dominant spermatozoa, female

gonads in the Oogonium fase-Exsogen Vitelogenesis.

Key words: senggaringan fish, reproductive strategy, Klawing River, season.

1 Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, e-mail: [email protected] 2 Fakultas Sain dan Teknik Universitas Jenderal Soedirman

Page 69: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

69

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan senggaringan Mystus nigriceps merupakan ikan liar bernilai ekonomis

penting, namun di perairan umum wilayah Banyumas, penyebaran ikan ini sangat

terbatas. Hasil kajian Setijanto et al., (1999) menunjukkan bahwa sedikitnya tiga

species berhasil dijumpai yaitu M. Gullio, M. Microcanthus dan M. nigriceps. Species

pertama dapat dijumpai disungai Serayu dan Mengaji. Species kedua didapatkan selain

di sungai Serayu juga di sungai Logawa. Sementara, Sulistyo dan Setijanto (2002)

mendapatkan species ketiga (M. nigriceps) di Sungai Klawing dan Serayu. Karena

alasan inilah peneliti menentukan Sungai Klawing dan Serayu sebagai lokasi penelitian.

Menurut Saanin (1982) kedudukan taksonomik ikan senggaringan termasuk Kelas

Actinopterygii, Ordo Siluriformes dan Familia Bagridae.

Usaha penangkapan yang dilakukan terus menerus dapat menyebabkan

penurunan populasi. Menurut Duncan dan Lockwood (2001) ±10.000 species ikan air

tawar telah didiskripsi dan sebagian besar berada dalam tekanan. Lebih dari 20% nya

dalam kondisi terancam punah, termasuk di dalamnya ikan-ikan Siluriformes.

Salah satu upaya perlindungan suatu species dari kepunahan adalah melalui

budidaya atau penangkaran. Budidaya ikan liar akan berhasil bila didasari atas

pengetahuan tentang biologi species dimaksud, khususnya aspek strategi reproduktif.

Strategi reproduktif dapat dijabarkan ke dalam modalitas peneluran (Sulistyo,

1990), investasi gizi dan enerji (Xie et al., 1998; Basuki et al., 2002), gametogenesis

jantan dan betina (Rinchard dan Kestemont, 1996; Sulistyo et al., 1998; Sulistyo, et al.,

2000), frekuensi peneluran (Hunter dan Macewicz, 1985), rasio kelamin dan habitat

(Baroiller dan D’Cotta, 2001) dan ukuran serta kualitas telur (Gisbert et al., 2000).

Medium eksternal sangat berperan penting dalam menentukan tingkat kelangsungan

hidup embrio ikan, beberapa saat sebelum menetas (Gunasekara dan De Silva 2000).

Sehingga bagi perkembangbiakan ikan pengamatan kondisi habitat alami sangat penting

dilakukan.

Informasi ilmiah tentang ikan senggaringan sebagai sumberdaya lokal masih

sangat jarang dilaporkan. Sebagaimana diketahui bahwa di perairan umum wilayah

Banyumas masih banyak sumberdaya lokal yang perlu dikaji dan dikembangkan.

Page 70: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

70

Sehingga penelitian ini diharapkan memberikan informasi yang dapat dijadikan dasar

dalam upaya budidaya ikan senggaringan yang secara tidak langsung dapat

berkontribusi pada pelestarian stok ikan ini di sungai.

Perumusan Masalah

Bagaimanakah perkembangan gonad jantan dan betina ikan senggaringan,

berapa nilai indeks anatomis (IGS dan IHS), berapakah nilai fekunditas dan ukuran telur

ikan senggaringan, berapakah nilai rasio kelamin dan bagaimana keadaan habitat.

Tujuan Penelitian

Penelitan ini bertujuan untuk mengetahui strategi reproduktif ikan senggaringan

di habitat alaminya melalui pendekatan pengamatan: perkembangan gonad jantan dan

betina, fekunditas serta ukuran telur, nilai IGS dan IHS, rasio kelamin, keadaan habitat

ikan senggaringan dewasa.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Sungai Klawing Kab. Purbalingga dan Sungai Serayu

Kab. Banyumas. Pengambilan sampel dilakukan 9 kali selama 3 bulan (Agustus-

Oktober 2003). Waktu pengambilan sampel pagi, siang, sore, malam hari.

Penentuan stasiun

Pengamatan dan pengambilan sampel difokuskan pada 6 stasiun ( 4 di Sungai

Klawing dan 2 di Sungai Serayu) hal ini untuk memudahkan dalam mendapatkan

sampel berdasarkan pengamatan terdahulu oleh Sulistyo dan Setijanto (2002).

Pengambilan Sampel

Jumlah sampel yang diambil 20 % dari hasil tangkapan (jantan dan betina).

Tetapi bila hasil tidak mencapai 10 ekor maka seluruhnya diambil sebagai sampel.

Page 71: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

71

Perlakuan Sampel

Setiap individu ikan sampel diukur (± 0,1 cm) dan ditimbang ( ± 0,01g) in

situ. Selanjutnya, gonad, hati, dimasukkan dalam botol sampel. Botol-botol disimpan

dalam ice box dengan diberi es curah untuk dibawa ke laboratorium PSPK Unsoed. Di

laboratorium, organ-organ dalam botol sampel ditimbang (± 0,001 g).

Khusus untuk gonad (jantan dan betina), sebelum dikeringkan, diambil sebagian

untuk disimpan dalam larutan Bouin Hollande dan kemudian dibuat preparat histologi.

Pembuatan preparat histologi dilakukan di laboratorium BPPV Wates Yogjakarta.

Gonad betina juga sebagian disimpan dalam larutan Gilson menurut cara yang dipakai

oleh Love dan Johnson (1998) untuk menghitung fekunditas dan mengukur diameter

telur.

Pengumpulan data

Untuk mengenali strategi reproduktif ikan senggaringan di sungai diperlukan

data sebagai berikut:

1. Pengamatan gametogenesis

Pengamatan gametogenesis betina dilakukan dengan menganalisis preparat

histologi gonad betina untuk mengetahui perkembangannya dengan berpedoman pada

klasifikasi yang disusun oleh Rinchard dan Kestemont (1996). Pengamatan

gametogenesis jantan dilakukan dengan menganalisis preparat histologi gonad jantan

untuk mengetahui perkembangannya dengan merujuk pada klasifikasi yang disusun

oleh Sulistyo et al., (2000).

Ukuran telur diperoleh dengan mengukur diameter telur menggunakan

micrometer occuler (± 0,01 mm) terhadap minimal 100 butir telur dari satu individu.

2. Fekunditas atau jumlah telur

Fekunditas atau jumlah telur mutlak dihitung dengan menggunakan rumus

(Cerda et al., 1994).

Ws

SWgoxTF

∑= TF = Fekunditas mutlak

Wgo= berat gonad ∑S= jumlah telur sebagian Ws= berat telur sebagian

Page 72: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

72

1W

TFRF = RF= fekunditas relatif

W1= berat individu ikan sampel

3. Indeks anatomis jantan dan betina, yang terdiri atas:

• indeks gonadosomatik (IGS= berat gonad/Wx100%) dan

• indeks hepatosomatik (IHS=berat hati/Wx100%).

4. Analisis proksimat pada organ-organ: gonad, hati,

5. Ukuran morfologis: panjang (L) dan berat tubuh (W) untuk individu jantan

dan betina

6. Pengamatan habitat ikan senggaringan dewasa

Analisis data

Analisis data dilakukan secara deskriptif

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran Ikan dan Rasio Kelamin

Ikan senggaringan betina yang tertangkap memiliki berat kisaran antara 58,57

sampai 100,01 g (panjang total antara 19,75 – 23,50 cm). Pada ikan jantan, berat rata-

rata individu berkisar antara 54,23 - 43,70 g (panjang total 18,00 - 19,73 cm), yang

lebih kecil dibandingkan ikan betina. Ukuran berat, tampaknya, sebanding dengan

ukuran panjang. Rasio kelamin pada penghujan 0,9, pada musim kemarau 0,6.

Indeks Morfo-anatomis

Perkembangan ovarium ikan senggaringan, diamati dengan IGS (

Gambar 1), terutama mulai terlihat menjelang musim hujan (sampel mulai

tanggal 3 September 2006; IGS 9,33 ± 1,67%). Meskipun terlihat relatif stabil sampai

tanggal 28 September 2006 (IGS 10,86 ± 2,44%), IGS mencapai 14,72 ± 3,17% pada

tanggal 20 Oktober 2006. Faktor hujan dapat dikatakan memegang peran penting dalam

memicu perkembangan ovarium. Seperti yang dilaporkan Sulistyo dan Setijanto (2002),

ditambah dengan keterangan nelayan di sungai Klawing, bahwa ikan ini memijah pada

saat musim penghujan. Paiva dan Nepomuceno (1998) juga melaporkan puncak musim

Page 73: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

73

pemijahan selama musim hujan pada ikan oscar Astronotus ocellatus yang hidup di

sungai Amazone.

Aktifitas hati yang dicerminkan dalam nilai fluktuatif dari IHS (

Gambar 1), terlihat harus mengikuti perkembangan ovarium. Hal ini terutama

tampak nyata pada ikan betina yang tertangkap tanggal 28-29 September dan 1 Oktober

2006.

Pada musim kemarau nilai IGS dan IHS lebih kecil dengan nilai yang

didapatkan pada musim penghujan, namun tren nilai IGS dan IHS sama yaitu IGS lebih

tinggi dibanding IHS.

0,00

6,00

12,00

18,00

30 Agust 09 Sep 19 Sep 29 Sep 09 Okt 19 Okt

Tanggal Pengambilan Sampel

Indeks G

onadosomatik (%)

0,00

0,60

1,20

1,80

2,40

3,00

Indeks H

epatosomatik (%)

IGS (%) IHS (%)

Gambar 1. Indeks gonado- dan hepatosomatik rata-rata (± sd) individu ikan senggaringan betina

tertangkap dari sungai Klawing pada musim penghujan .

Gambar 2. Indeks gonado- dan hepatosomatik rata-rata (± sd) individu ikan senggaringan jantan

tertangkap dari sungai Klawing pada musim penghujan

0,00

0,40

0,80

1,20

02 Sep 12 Sep 22 Sep 02 Okt 12 Okt 22 Okt

Tanggal Pengambilan Sampel

Indeks G

onadosomatik (%)

0,00

0,90

1,80

2,70Indeks H

epato

somatik (%)

IGS (%) IHS (%)

Page 74: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

74

Gambar 3. Nilai rata-rata IGS ikan senggaringan jantan dan betina (Mystus nigriceps C.V) yang

tertangkap di Sungai Klawing musim kemarau

Gambar 4. Nilai rata-rata IHS ikan senggaringan jantan dan betina (Mystus nigriceps C.V) yang tertangkap di Sungai Klawing musim kemarau.

Berfluktuasinya nilai IHS, bersamaan dengan perkembangan gonad,

menunjukkan fungsi hati dalam aktifitas reproduktif ikan-ikan Teleostei. Peran hati

dalam sintesis bahan-bahan yang akan dideposisikan dalam gonad telah banyak dibahas

pada beberapa spesies ikan, misalnya pada Perca fluviatilis betina (Sulistyo et al, 1998),

P. fluviatilis jantan (Sulistyo et al, 2000), dan walleye Stizostediuon vitreum (Henderson

et al, 1996).

0123456789

20 Mei 3 Juni 16 Juni 30 Juni

IHS (%)

Tanggal Sampling

Rata-rata IHS Jantan dan Betina

IHS Jantan IHS betina

Page 75: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

75

Fekunditas

Fekunditas mutlak ikan senggaringan pada musim penghujan ini berkisar antara

10005,00 – 39.621 butir (Tabel 1). Hasil ini tidak jauh berbeda dengan yang dilaporkan

oleh Sulistyo dan Setijanto (2002).

Ukuran telur (Ø) menunjukkan bahwa pada musim penghujani ukuran telur

meningkat anatara 200 – 275,4 µm (Tabel 1). Tetapi, saat memasuki musim kemarau,

ukuran telur menurun yaitu 107 – 228,2 µm. Proporsi ukuran 200 µm semakin

bertambah pada bulan Oktober 2006, dan ukuran > 200 µm semakin banyak juga

dijumpai dalam ovarium. Sebaliknya, pada tanggal tersebut, ukuran 50-100 µm

proporsinya berkurang. Hal ini sejalan dengan tingkat perkembangan ovarium (IGS)

dan perubahan oosit secara histologis. Semakin besar ukuran telur, semakin lanjut

tingkat perkembangan oosit. Diameter oosit pada ikan sungai lain, misalnya P.

fluviatilis, dapat mencapai 750-800 µm jika telah mencapai tingkat perkembangan

sangat lanjut (Migaud et al, 2002). Pada ikan laut, Sardinella mderensis, dapat mencapai

650 µm (Sulistyo, 1990).

Tabel 1. Fekunditas dan diameter telur (µm) ikan senggaringan (Mystus nigriceps C.V) yang tertangkap di Sungai Klawing musim hujan

Tanggal sampling Jumlah ikan Fekunditas Diameter telur (µm) 2 September 2006 7 14.578-16.652 243,6-274,2 9 September 2006 4 36.480-37.220 200,0-258,9 22 September 2006 6 12.151-21.370 210,4-272,5 2 Oktober 2006 6 10.005-34.410 207,9-223,1 12 oktober 2006 9 12.151-21.370 210,4-275,4 22 oktober 2006 8 19.671-39.621 204,8-263,1

Tabel 2. Fekunditas dan diameter telur (µm) ikan senggaringan (Mystus nigriceps C.V) yang tertangkap di Sungai Klawing musim kemarau

Tanggal sampling Jumlah ikan Fekunditas Diameter telur (µm) 20 Mei 2006 3 9.978-22.654 143,6-218,2 3 Juni 2006 2 16.480-23.220 107,0-213,9 16 Juni 2006 4 9.675-21.370 180,4-228,2 31 Juni 2006 3 19.875-22.410 197,8-226,2

Page 76: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

76

s p c 2

sp z

s p c 1

s p g

s p d

O o gV G

V E nd1

Gambaran Histologis (Gametogenesis)

Secara umum gambaran histologis ovarium ikan senggaringan menunjukkan

keberadaan berbagai tingkatan perkembangan oosit. Hal ini sesuai dengan penjelasan

Hunter et al (1985) bahwa pada ikan-ikan yang memiliki tipe peneluran heterokronus

(multiple, batch spawners) di dalam ovariumnya dapat dijumpai berbagai tingkatan

perkembangan oosit tanpa ada dominansi.

Gambar 5. Potongan histologis ovarium ikan senggaringan Mystus nigriceps, tertangkap tanggal 22 September 2006 musim penghujan. Oog: oogonium; VEnd1: fase vitellogenesis endogen awal; VG: vesikel germinal (fase vitellogenesis eksogen awal).

Gambar 6. Potongan histologis testis ikan senggaringan Mystus nigriceps, tertangkap tanggal 22 September 2006. spg: spermatogonium; spc1: spermatosit primer; spc2: spermatosit sekunder; spd: spermatid; spz: spermatozo

Page 77: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

77

Gambar 7. Histologis gonad ikan senggaringan jantan (Mystus nigriceps C.V) yang tertangkap tanggal 16 Juni 2006 musim kemarau (40x100). Keterangan : Spz : Spermatozoa, Spd : Spermatid, Spc : Spermatocyst, Spg : Spermatogonia

Gambar 8. Histologis gonad ikan senggaringan betina (Mystus nigriceps C.V) yang tertangkap tanggal 16

Juni 2006 musim kemarau (40x100). Keterangan : Oog : Oogonium, Vend1 : Vitelogenesis endogen awal, Vend2 : Vitelogenesis endogen akhir, Vex : Vitelogenesis eksogen

Dari Gambar 5 dapat dijelaskan bahwa fase oogonium, vitellogenesis endogen

awal dan vitellogenesis eksogen akhir berada dalam ovarium ikan senggaring tertangkap

tanggal 22 September 2006. Pada tanggal tersebut, proporsi diameter 50-100 µm

mencapai 60%, dengan tingkat perkembangan sampai pada fase vitellogenesis eksogen

awal. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa untuk dapat mencapai fase

vitellogenesis akhir dan pematangan final (yang ditandai dengan migrasi vesikel

germinal ke arah peripheri) masih dimungkinkan terjadi penambahan ukuran diameter

oosit.

Pada ikan jantan, Gambar 6, testis telah berisi sel-sel spermatozoid yang cukup

berlimpah, pada individu yang tertangkap tanggal 22 September 2006. Meskipun sel-sel

Vex

Oog

Vend1

Vend2

Spz Spg Spc

Sp

Page 78: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

78

spermatogonium, spermatosit (primer dan sekunder), dan spermatid juga ada di dalam

testis, hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya ikan yang tertangkap tidak berada pada

kematangan seksual pertama kali. Scott dan Sumpter (1989) menjelaskan bahwa

keberadaan berbagai tingkatan perkembangan sel spermatogenesis merupakan indikasi

adanya sel-sel spermatozoid yang telah terbentuk sejak lama, tidak pada kematangan

seksual pertama.

KESIMPULAN

Ukuran ikan betina lebih besar dibandingkan ikan jantan selama masa penelitian.

Rasio kelamin, fekunditas, ukuran telur, IGS serta IHS pada musim penghujan lebih

tinggai dibanding musim kemarau. Perkembangan ovarium dan testis secara nyata

terlihat saat musim hujan. Gonadogenesis, yang juga berupa gametogenesis,

mengakibatkan perubahan nilai indeks hepatosomatik. Oogenesis yang dapat diamati

hanya mencapai vitellogenesis eksogen awal. Proporsi ukuran oosit berubah sesuai

dengan tingkat perkembangan oosit. Semua tingkatan spermatogenesis dapat diamati

dalam testis. Kualitas air sungai selama penelitian masih layak untuk kehidupan ikan

senggaringan.

Dari pengamatan histologi, estimasi waktu pemijahan dan frekuensinya belum

memungkinkan untuk dilakukan. Hal yang dapat dijadikan indikator adalah bahwa IGS

masih dapat meningkat lagi dan tidak dijumpainya oosit pada tahap kematangan akhir.

SARAN

Perubahan nilai indeks Gonadosomatik dan hepatosomatik perlu dikaji lebih

lanjut dalam konteks analisis rinci dari kandungan bahan-bahan pada organ gonag dan

hati. Untuk dapat memprediksi waktu pemijahan secara lebih teliti perlu dilakukan

sampling di fase akhir oogenesis.

DAFTAR PUSTAKA

Baroiller, J. F. dan H. D’Cotta. 2001. Environment and sex determination in farmed fish. Comparative Biochemistry and Physiology Part C. 130: 399-409.

Page 79: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

79

Basuki, F., W. M. Nalley, R. Handarini, S. N. Tambing dan A. Parakkasi. 2002. Produktivitas ikan guppy (Poecilia reticulata Peters) pada berbagai level protein pakan. Aquaculture Indonesia. 2(2): 77-83.

Duncan, J. R. dan J. L. Lockwood. 2001. Extinction in a field of bullets: a search for causes in the decline of the world’s freshwater fishes. Biological Conservation. 102: 97-105.

Gisbert, E., P. Williot dan F. Castelló-Orvay. 2000. Influence of egg size on growth and survival of early stages of Siberian sturgeon (Acipenser baeri) under small scale hatchery conditions. Aquaculture. 183: 83–94.

Gunasekera, R. M. dan S. S. De Silva. 2000. The amino acid profiles of estuary perch, Macquaria colonorum, during early development at different salinities. Aquatic

Living Resources. 13: 153−162. Henderson A., Wong J. L., Nepszy S. J. 1996. Reproduction of walleye in Lake Erie:

allocation of energy. Can. J. Fish. Aquat. Sci. 53:127-133. Hunter J. R., Lo N. C. H., Leong R. J. H. 1985. Batch fecundity in multiple spawning

fishes. In: Lasker R. (ed.). An egg production method for estimating spawning biomass of pelagis fish: Application to the nothern anchovy, Engraulis mordax. NOAA Technical Report NMFS. 36: 79-94.

Migaud H., Fontaine P., Sulistyo I., Kestemont P., Gardeur J-N. 2002. Induction of out-of-season spawning in Eurasian perch Perca fluviatilis: effects of rates of cooling and chilling durations on female gametogenesis and spawning. Aquaculture. 205: 253-267.

Rinchard, J. Dan P. Kestemont. 1996. Comparative study of reproductive biology in single- and multiple-spawner cyprinid fish: I. Morphologicaland histological features. Journal of Fish Biology. 49: 883-894.

Setijanto, E. Aryani, dan E. Proklamasiwati. 1999. Distribusi altitudinal ikan sungai: suatu informasi dasar penggunaannya sebagai bioindikator kualitas air dan usaha budidaya. Laporan Penelitian. Fakultas Biologi, Unsoed.

Sulistyo I. 1990. Ovogenèse et modalité de ponte chez la sardinelle Sardinella

maderensis et le carangue medaille Chloroscombrus chrysurus des Côtes de Guinée. Mémoire du DEA. Université de Bretagne Occidentale, Brest, France.

Sulistyo I., Fontaine P., Rinchard J., Gardeur J-N., Migaud H., Capdeville B., Kestemont P. 2000. Reproductive cycle and plasma levels of steroids in male Eurasian perch Perca fluviatilis. Aquat. Living Resour. 13 (2): 99-106.

Sulistyo, I. dan Setijanto. 2002. Bioekologi ikan senggaringan (Mystus nigriceps): Acuan dasar domestikasi dan budidaya. Laporan Hasil Penelitian. Fakultas Biologi, Unsoed.

Sulistyo, I., P. Fontaine, J. Rinchard, J-N. Gardeur, H. Migaud, B. Capdeville dan P. Kestemont. 1998. Reproductive cycle and plasma levels of sexe steroids in male Eurasian perch Perca fluviatilis. Aquatic Living Resources. 13(2): 99-106.

Xie, X., T. Long., Y. Zhang dan Z. Cao. 1998. Rproductive investment in the Silurus

meridionalis. Journal ofFish Biology. 53: 259-271.

Page 80: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

80

PENGARUH CURAH HUJAN DAN TINGGI MUKA AIR

TERHADAP KELIMPAHAN DAN WAKTU PEMIJAHAN

IKAN RAINBOW SELEBENSIS (Telmatherina celebensis) DAN

BONTI-BONTI (Paratherina striata) DI DANAU TOWUTI

Syahroma Husni Nasution*

ABSTRAK Ikan Rainbow selebensis (Telmatherina celebensis) dan Bonti-bonti (Paratherina striata) termasuk

ikan endemik dan statusnya tergolong rawan punah (vulnerable species). Populasi ikan ini dikhawatirkan

mengalami penurunan. Salah satu faktor penyebab penurunan populasi ikan adalah perubahan kualitas

lingkungan akibat perubahan iklim global. Keberadaan ikan ini perlu dipertahankan di perairan

tersebut agar dapat berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh curah hujan dan

tinggi muka air terhadap kelimpahan dan waktu pemijahan ikan Rainbow selebensis dan Bonti-bonti.

Penelitian dilakukan di perairan Danau Towuti dari bulan Maret 2002 hingga April 2003 untuk ikan

Rainbow selebensis, sedangkan untuk ikan Bonti-bonti dari bulan Mei 2006 hingga April 2007. Metode

penelitian yang digunakan adalah deskriptif (sampling). Data curah hujan dan tinggi muka air diperoleh

dari PT.INCO. Contoh ikan ditangkap menggunakan experimental gillnet dengan empat ukuran mata

jaring. Hasil tangkapan dipisahkan menurut ukuran dan jenis kelamin. Dihitung jumlah dan ukuran ikan

per penarikan alat tangkap untuk mengetahui kelimpahan ikan. Dilihat tingkat kematangan gonad dan

indeks kematangan gonad ikan. Kelimpahan ikan Rainbow selebensis dan Bonti-bonti tertinggi dijumpai

pada bulan November. Parameter lingkungan yang memiliki keeratan hubungan dengan kelimpahan

yaitu curah hujan, tinggi muka air dan kelarutan oksigen. Nilai IKG ikan Rainbow selebensis jantan

berkisar 0,46-0,81% dan betina adalah 1,87-2,65 % dan puncak pemijahan ikan ini terjadi pada bulan

November. Nilai IKG tertinggi pada ikan Bonti-bonti jantan dan betina terjadi pada bulan Mei dan

November masing-masing sebesar 2,09±1,36% dan 1,85±1,06%; 3,39±1,47% dan 3,47±1,37%. Puncak

pemijahan ikan Rainbow selebensis dan Bonti-bonti terjadi pada saat tinggi muka air mulai meningkat

setelah mencapai titik terendah. Peningkatan tinggi muka air akibat curah hujan di bulan November

diduga memicu pemijahan ikan Rainbow selebensis dan Bonti-bonti.

Kata kunci: Curah hujan, tinggi muka air, kelimpahan, waktu pemijahan, ikan endemik, Danau Towuti

ABSTRACT Rainbow selebensis (Telmatherina celebensis) and Bonti-bonti (Paratherina striata) are endemic

fishes and the status are vulnerable species. Its population tend to decrease. One factor cause of

decreasing of fish population is environmental quality change impact from global climate change.

Continuation of this fish require to be sustain. This research was aimed to reveal the influence of rainfall

and water level to abundance and spawning season of Rainbow selebensis and Bonti-bonti. This research

was conducted in Lake Towuti from March 2002 to April 2003 for Rainbow selebensis, while for Bonti-

Bonti from May 2006 to April 2007. Research method is descriptive (sampling). Rainfall and water level

data obtained from INCO corporation. Samples were collected using experimental gillnet with four mesh

sizes. The samples from each observation station were selected according to sex and size. Counted

amount of fish and fish size per hauling to know fish abundance. Gonada maturity stages and gonada

somatic index of fish were determined temporally. The highest abundance of Rainbow selebensis and

Bonti-bonti occurred in November. Environmental parameters which have relationship with fish

abundance were rainfall, water level and disolved oxygen. GSI value of male Rainbow selebensis were

0.46-0.81% and female were 1.87-2.65% and peak spawning season of fish occurred in November. The

highest GSI of male Bonti-Bonti occurred in May and November were 2.09±1.36% and 1.85±1.06%; and

female were 3.39±1.47% and 3.47±1.37%. The peak spawning season of Rainbow selebensis and Bonti-

bonti occurred while water level started to increase after reached the lowest level. Increasing of water

level due to rainfall in November and it estimated trigger Rainbow selebensis and Bonti-bonti to spawn.

Key words : Rainfall, water level, abundance, spawning season, endemic fish, Lake Towuti.

* Pusat Penelitian Limnologi LIPI E-mail: [email protected]

Page 81: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

81

PENDAHULUAN

Ikan Rainbow selebensis (Telmatherina celebensis) dan Bonti-bonti

(Paratherina striata) termasuk jenis ikan endemik dan statusnya tergolong rawan

punah (vulnerable species) (IUCN, 2003 dan Froese and Pauly, 2004).

Permasalahan yang dihadapi ikan endemik seperti Rainbow selebensis dan

Bonti-bonti yaitu dikhawatirkan populasinya di alam akan mengalami penurunan. Salah

satu faktor penyebab penurunan populasi ikan adalah perubahan kualitas lingkungan

akibat perubahan iklim global. Keberadaan ikan ini perlu dipertahankan di perairan

tersebut agar dapat lestari. Beberapa informasi mengenai ikan Bonti-bonti terbatas mengenai sistematika

(Weber and De Beauford, 1922; dan Kottelat et al., 1993) dan distribusinya

(Wirjoatmodjo et al., 2003). Penelitian yang telah dilakukan pada ikan Rainbow

selebensis di Danau Towuti antara lain mengenai distribusi, morfologi, pertumbuhan,

reproduksi dan kualitas perairan danau tersebut (Nasution dan Sulistiono, 2003;

Nasution, 2004; Nasution et al., 2004; Indiarto dan Nasution, 2004; Nasution, 2005;

Nasution et al., 2007a dan b; dan Nasution, 2007). Furkon (2003) juga telah meneliti

kebiasaan makanan ikan Rainbow selebensis.

Pengkajian pengaruh curah hujan dan tinggi muka air terhadap kelimpahan dan

waktu pemijahan ikan Rainbow selebensis dan Bonti-bonti perlu dilakukan. Hal ini

untuk mendapatkan informasi dasar sebagai pendukung usaha konservasi ikan tersebut

agar tetap berkelanjutan di perairan Danau Towuti.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di perairan Danau Towuti Sulawesi Selatan. Danau Towuti

mempunyai luas 560 km2, kedalaman maksimum 203 m, ketinggian dari permukaan

laut 293 m, dan transparansi sedalam 22 m (Fernando dalam Haffner et al., 2001).

Penelitian dilakukan dari bulan Maret 2002 hingga April 2003 untuk ikan Rainbow

selebensis dan dari bulan Mei 2006 hingga April 2007 untuk ikan Bonti-bonti. Waktu

penelitian mewakili musim kemarau, hujan dan peralihan.

Page 82: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

82

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Pengambilan

sampel dilakukan di lima stasiun yaitu: Stasiun I : Tanjung Bakara, terletak di daerah

yang terdapat pengaruh aktivitas penggergajian kayu dan kegiatan penduduk yang

tinggi dalam bidang perikanan, kedalaman air 1,5 - 10 m. Substrat terdiri dari batu,

pasir dan lumpur. Koordinat : S 02o 40’47,1”; E 121o 25’04,0”. Stasiun II : Inlet D.

Towuti yang berasal dari Sungai Tominanga, kedalaman air 1 - 20 m. Substrat terdiri

dari batu, kerikil dan pasir serta jauh dari tempat tinggal penduduk. Koordinat : S 02o

39’43,4”; E 121o 32’46,0”. Stasiun III : Pulau Loeha, terletak di tengah danau dan tidak

dihuni oleh penduduk, kedalaman air >10 m. Substrat terdiri dari batu, kerikil dan

pasir. Koordinat : S 02o 44’33,9”; E 121o 34’44,6”. Stasiun IV : Outlet D. Towuti

(Sungai Hola-hola) yang mengalir ke Sungai Larona, kedalaman air 3-10 m. Substrat

terdiri dari batu dan lumpur, terdapat tanaman air serta jauh dari tempat tinggal

penduduk. Koordinat : S 02o 47’35,1”; E 121o 24’21,1”. Stasiun V: Beau, terletak di

daerah dengan pengaruh aktivitas penduduk yang tinggi dalam bidang perikanan ,

kedalaman air 1,5 - 5 m. Substrat terdiri dari lumpur berpasir dan banyak terdapat

tanaman air. Koordinat : S 02o 51’23,2”; E 121o 32’46,6” (Gambar 1).

Gambar 1. Peta lokasi penelitian di Danau Towuti Peta landsat 21 Mei 2004 (Hehanussa, 2006) dengan

modifikasi

S. Tominanga

S. Larona

Keterangan: I-V = stasiun pengamatan

Page 83: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

83

Contoh ikan ditangkap menggunakan experimental gillnet dengan empat ukuran

mata jaring, yaitu: ⅝, ¾, 1, dan 1¼ inci dengan panjang masing-masing 50 m dan

tinggi 2 m sehingga total panjang jaring satu unit adalah 200 m. Jaring dilengkapi

pelampung pada bagian atas dan pemberat pada bagian bawah. Contoh ikan hasil

tangkapan (Gambar 2) dari masing-masing stasiun pengamatan dipisahkan menurut

ukuran dan jenis kelamin.

Contoh ikan diawetkan dengan formalin 4% selanjutnya direndam dalam

alkohol 70%. Sampel ikan diukur panjang dan bobotnya masing-masing menggunakan

jangka sorong dengan ketelitian 1 mm dan timbangan dengan ketelitian 0,01 gram.

Parameter kualitas air yang diukur meliputi suhu, oksigen terlarut (DO), konduktivitas,

dan pH diukur menggunakan water quality checker (WQC) Horiba. Parameter

alkalinitas dianalisis menggunakan titrasi asam basa (APHA-AWWA-WEF 1998). Data

curah hujan dan tinggi muka air berupa data sekunder yang diperoleh dari PT.INCO.

Alat pengukur tinggi muka air dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 2. Ikan Rainbow selebensis (A) dan ikan Bonti-bonti (B) Foto: Nasution

Gambar 3. Alat pengukur tinggi muka air di Danau Towuti .Foto: Nasution

A B

Page 84: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

84

Diameter telur diketahui dengan cara mengambil sebanyak ng 100 butir telur

dengan jumlah individu ikan sekurang-kurangnya 30 ekor dari total hasil tangkapan tiap

periode pengambilan sampel. Diameter telur diamati menggunakan mikroskop yang

dilengkapi dengan mikrometer okuler. Fekunditas dihitung sebagai jumlah telur yang

terdapat dalam ovari pada ikan yang telah mencapai matang gonad. Telur diambil dari

ikan betina dengan mengangkat seluruh gonadnya. Telur diawetkan dalam larutan

gilson, kemudian dihitung jumlahnya dengan metode gravimetrik (Effendie 1979).

Kelimpahan ikan, dianalisis secara non parametrik menggunakan Mann-

Whitney Test pada paket software Minitab 13 dan Steel and Torrie (1981). Nilai IKG

ikan antar stasiun/habitat dan antar waktu/musim, dianalisis secara non parametrik

menggunakan Mann-Whitney Test (Steel & Torrie 1981). Parameter kualitas air yang

berpengaruh terhadap kelimpahan ikan, dianalisis menggunakan analisis multivariat

(Principle Component Analysis/PCA) pada paket software SPSS 11.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kelimpahan Ikan

Pada Gambar 4 tampak terdapat dua puncak kelimpahan Rainbow selebensis dan

Bonti-bonti. Puncak-puncak tersebut disebabkan kedua jenis ikan bersifat multiple

spawner (Nasution, 2005 dan Nasution et al. 2007a). Telur ikan tidak matang serentak

sehingga tidak semua telur dikeluarkan saat pemijahan (total spawner). Namun

demikian kelimpahan ikan tertinggi terjadi pada bulan Nopember baik pada Rainbow

selebensis maupun Bonti-bonti. Kelimpahan ikan tertinggi terjadi pada saat curah hujan

meningkat dan tinggi muka air juga mulai meningkat pada bulan Nopember. Curah

hujan meningkat tampak lebih jelas apabila diperhatikan pada pola grafik (Gambar 4).

Curah hujan terendah di Danau Towuti terjadi pada bulan September yang

mengakibatkan tinggi permukaan danau terus berkurang. Penurunan ketinggian air

mengakibatkan areal habitat ikan berkurang akibat penyusutan ketinggian air,

sedangkan pada bulan Nopember curah hujan mulai meningkat dan mencapai

puncaknya pada bulan April. Habitat ikan yang semula mengalami kekeringan mulai

terendam kembali dan populasi ikan Rainbow selebensis dan Bonti-bonti meningkat di

Page 85: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

85

bulan Nopember. Keberhasilan ikan untuk bertahan pada bulan selanjutnya sangat

ditentukan oleh kemampuan rekrut (R) yang dipengaruhi oleh pertumbuhan populasi

(G), dikurangi kematian alami (M) dan kematian karena penangkapan (F). Kemampuan

rekrut yang tinggi terjadi pada saat musim pemijahan, sedangkan diluar musim

pemijahan kemampuan rekrut berkurang.

Gambar 4. Grafik hubungan antara kelimpahan (N), tinggi muka air dan curah hujan pada ikan Rainbow selebensis (A) dan Bonti-bonti (B)

Faktor utama yang mempengaruhi perbedaan kelimpahan ikan antar waktu

adalah adanya perubahan curah hujan akibat perubahan musim. Perubahan curah hujan

akan mempengaruhi tinggi muka air dan kualitas air danau yang pada akhirnya

mempengaruhi ikan secara langsung (pertumbuhan dan reproduksi) maupun tidak

langsung (ketersediaan makanan dan predasi) (Welcomme, 2001).

Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Kelimpahan Ikan

Pengaruh beberapa faktor lingkungan terhadap kelimpahan ikan yang dianalisis

secara multivariat dapat dilihat pada Gambar 5. Jumlah kumulatif varian yang

dijelaskan oleh dua komponen (1 dan 2) adalah sebesar 100%. Komponen 1

menjelaskan varian sebesar 98% dan komponen 2 sebesar 2%. Berdasarkan kumulatif

varian tersebut, analisis PCA cukup diwakilkan oleh dua komponen.

Pada Gambar 5 tampak faktor yang berpengaruh terhadap komponen 1 adalah

kelimpahan ikan (1,00), oksigen terlarut/DO (0,76), dan tinggi muka air (-0,61). Faktor

A B

Page 86: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

86

yang berpengaruh terhadap komponen 2 adalah alkalinitas (0,97), curah hujan (0,67),

dan konduktivitas (0,60). Namun demikian kumulatif varian yang dijelaskan oleh

komponen 1 sangat tinggi (98%) dibandingkan dengan komponen 2 (2%), maka faktor

dominan yang berpengaruh adalah kelimpahan ikan, DO, dan tinggi muka air. Pada

Gambar 5, faktor lingkungan yang berkorelasi erat dengan kelimpahan ikan adalah DO

dan tinggi muka air.

Gambar 5. Pengaruh beberapa faktor lingkungan terhadap kelimpahan ikan yang dianalisis secara multivariat

Jika diperhatikan komponen pertama, maka faktor yang berkolerasi erat adalah

kelimpahan ikan, oksigen terlarut dan tinggi muka air. Sedangkan faktor lainnya (suhu,

pH, alkalinitas, konduktivitas dan curah hujan) memiliki korelasi yang rendah terhadap

komponen pertama. Hal ini menyatakan bahwa antara kelimpahan ikan dengan oksigen

terlarut dan tinggi muka air terdapat hubungan yang erat. Dengan demikian dapat

dikatakan pula bahwa kelimpahan ikan lebih dipengaruhi oleh oksigen terlarut dan

tinggi muka air dibandingkan dengan faktor yang lain. Faktor curah hujan memiliki

keeratan yang rendah terhadap komponen pertama. Hal ini disebabkan oleh nilai rata-

rata curah hujan harian yang sangat fluktuatif. Namun demikian tinggi muka air danau

kelimpahan ikan

alkalinitas

tinggi muka air

Curah hujan

Page 87: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

87

sangat dipengaruhi oleh curah hujan (Gambar 4). Oleh karena itu tinggi muka air harus

dianggap sebagai satu kesatuan dengan (fungsi dari) curah hujan.

Indeks Kematangan Gonad (IKG)

Nilai IKG bergantung dari ukuran ikan dan tingkat perkembangan gonad. Nilai

IKG ikan Rainbow selebensis jantan dan betina berfluktuasi sepanjang masa

pengamatan yaitu 0,46–0,81% dan 1,87-2,65% (Gambar 6). Fluktuasi nilai IKG

menunjukkan adanya aktifitas reproduksi ikan, paling sedikit terdapat tiga puncak IKG

ikan jantan dan empat puncak kurva IKG betina. Dari keempat puncak kurva IKG

betina yang merupakan puncak perkembangan gonadnya, hanya dua puncak yang sesuai

dengan puncak kurva ikan jantan yaitu terjadi pada bulan Nopember dan Februari.

Sedangkan dua puncak kurva yang lain berlawanan dimana IKG ikan jantan berada

tidak dalam puncak (menurun). Berdasarkan pola kurva IKG tersebut, besar

kemungkinan puncak pemijahan terjadi pada bulan Nopember dan Februari (terjadi saat

musim hujan).

Gambar 6. Nilai IKG ikan Rainbow selebensis di Danau Towuti, M2: Maret, M2: Mei, J2: Juli, S2:September, O2: Oktober, N2: Nopember, D2: Desember 2002, F3: Februari, dan A3: April 2003

Adanya beberapa puncak kurva IKG menunjukkan bahwa ikan Rainbow

selebensis tergolong ikan yang melakukan pemijahan lebih dari sekali dalam setahun.

Menurut Bagenal (1978) bahwa ikan betina yang mempunyai nilai IKG lebih kecil dari

20%, dapat melakukan pemijahan beberapa kali disetiap tahunnya. Dalam penelitian ini

nilai IKG Rainbow selebensis sekitar 3%. Jenis ikan ini memiliki keragaman ukuran

telur yang tinggi. Keragaman telur ini dimungkinkan karena ada sebagian telur ikan

IKG

(%

)

Waktu pengamatan Waktu pengamatan

Page 88: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

88

yang telah dilepaskan dan telur sisa merupakan telur yang belum matang. Berdasarkan

tipe ovarium menurut Nagahama (1983), ikan Rainbow selebensis ini termasuk tipe

asinkroni/metakrom, dimana ovarium memiliki oosit pada semua tingkat

perkembangannya.

Nilai IKG ikan Bonti-bonti tertinggi secara temporal yaitu dua kali setahun.

Pada ikan jantan IKG tertinggi terjadi pada bulan Mei dan November (2,09±1,36% dan

1,85±1,06%), sedangkan pada ikan betina IKG tertinggi terjadi pada bulan Mei, Juni,

dan November (3,39±1,47; 3,66±0,57%; dan 3,47±1,37%) (Gambar 7).

ikan

Gambar 7. Nilai IKG Ikan Bonti-bonti Jantan dan Betina

Nilai IKG ikan Bonti-bonti jantan memiliki nilai tertinggi di bulan Mei dan

November. Uji Mann-Whitney menunjukan bahwa nilai IKG tersebut berbeda nyata

(α=0,0007). Rendahnya nilai IKG ikan jantan di bulan November dibandingkan bulan

Mei disebabkan ukuran ikan didominasi oleh ikan kecil (76% berukuran 3,80-9,00 cm

dan 24% berukuran 9,01-19,78 cm; N=240 ekor). Demikian juga nilai IKG ikan Bonti-

bonti betina memiliki nilai tertinggi di bulan Mei, Juni, dan November. Berdasarkan uji

Mann-Whitney antara bulan Mei dan Juni menunjukkan bahwa nilai IKG tersebut tidak

berbeda nyata (α=0,6170), sedangkan antara bulan Juni dan November menunjukkan

perbedaan yang nyata (α=0,0547).

Berdasarkan nilai IKG tiap bulan diduga bulan Mei dan November merupakan

musim pemijahan ikan Bonti-bonti di Danau Towuti. Adanya beberapa nilai IKG

tertinggi (bulan Mei dan November pada ikan jantan dan betina), menunjukkan bahwa

ikan Bonti-bonti jantan dan betina tergolong ikan yang melakukan pemijahan lebih dari

N=593

N=522

Waktu pengamatan Waktu pengamatan

IKG

(%

)

Page 89: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

89

sekali dalam setahun. Bagenal (1978) menyatakan bahwa jenis ikan seperti ini

biasanya memiliki variasi jumlah telur (fekunditas) yang tinggi. Dalam penelitian ini

nilai IKG ikan Bonti-bonti adalah 0,01-6,77% dengan fekunditas berkisar antara 818

hingga 6.051 butir (rata-rata 3.154 ±1.318 butir).

Fluktuasi ukuran diameter telur rata-rata ikan Bonti-bonti berdasarkan dapat

dilihat pada Gambar 8. Ukuran diameter telur rata-rata tertinggi terjadi pada bulan

November, sedangkan terrendah terjadi pada bulan Juli. Peningkatan ukuran diameter

telur dari bulan Agustus hingga November mengindikasikan adanya peningkatan

pertumbuhan reproduktif dan mencapai puncaknya pada bulan November. Hal ini juga

dapat dilihat dari nilai IKG pada Gambar 7, nilai IKG cenderung meningkat dari bulan

Agustus hingga mencapai puncaknya pada bulan November. Peningkatan nilai IKG

disebabkan oleh adanya peningkatan ukuran diameter telur.

Gambar 8. Ukuran Rata-Rata Diameter Telur Ikan Bonti-Bonti Matang Gonad

KESIMPULAN

• Kelimpahan ikan tertinggi terjadi pada bulan Nopember baik pada Rainbow

selebensis maupun Bonti-bonti. Kelimpahan ikan tertinggi terjadi pada saat curah

hujan meningkat dan tinggi muka air juga mulai meningkat pada bulan Nopember.

• Parameter lingkungan yang memiliki keeratan hubungan dengan kelimpahan yaitu

curah hujan, tinggi muka air dan kelarutan oksigen. • Puncak pemijahan ikan Rainbow selebensis terjadi pada bulan Nopember dan ikan

Bonti-bonti pada bulan Mei dan Nopember.

N= 522

Page 90: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

90

DAFTAR PUSTAKA

APHA-AWWA-WEF 1998. Standard Method For the Examination of the Water and Waste Water. 17th Edition. APA-AWWA-WPCF: 1100 pp.

Bagenal, T.B. 1978. Aspecs of fish fecundity. Ecology of freshwater fish production. Blackwell Scientific Publications. Oxford. p 77-101.

Effendie, M.I. 1979. Metoda Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Cetakan I. Bogor. 112 hal.

Haffner, G.D., P.E. Hehanussa, and D.I. Hartoto. 2001. The Biology and Physical Processes of Large Lakes of Indonesia: Lakes Matano and Towuti. In M. Munawar and R.E. Hecky (eds.). The Great Lakes of The World (GLOW): Food-web, health, and integrity. Netherlands. p. 183-192.

Hehanussa, P. 2006. Land-inland water interactions of the Malili Lakes, their characteristics and antropogenic effects. Proceedings International Symposium. The Ecology and Limnology of the Malili Lakes on March 20-22, 2006 in Bogor-Indonesia. Supported by: PT. INCO Tbk. and Research Center for Limnology, Indonesian Institute of Sciences (LIPI). p 1-4.

IUCN. 2003. 2003 IUCN Redlist of threatened species. www.redlist.org. Download on July 6, 2004.

Froese, R. and D. Pauly. 2004. Fish base. World Wide Web electronic publication. www.fishbase.org. Download on July 6, 2004.

Furkon, A. 2003. Kebiasaan makanan ikan bonti (Telmatherina celebensis) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Indiarto, Y. dan S.H. Nasution. 2004. Makrofita air Ottelia mesenterium dalam kaitannya dengan kelimpahan ikan Rainbow Selebensis (Telmatherina celebensis) di Danau Towuti. LIMNOTEK Perairan Darat Tropis di Indonesia. XI(2):45-49.

Kottelat, M., A.J. Whitten, S.N. Kartikasari, dan S.Wirjoatmodjo. 1993. Ikan air tawar Indonesia bagian Barat dan Sulawesi. Periplus Edition (HK) Ltd. Bekerjasama dengan Proyek EMDI, Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Jakarta. 293 p.

Nagahama, Y. 1983. The Functional Morphology of Teleost Gonads. In W.S. Hoar, D.J. Randal, and E.M. Donaldson (eds.). Fish physiology, IX A: 223-276. Academic Press, New York.

Nasution, S.H. dan Sulistiono. 2003. Kematangan Gonad Ikan Endemik Rainbow Selebensis (Telmatherina celebensis Boulenger). Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan

Perikanan Indonesia (JIPPI), Jilid 10 (2):71-77

Nasution, SH. 2004. Conservation of endemic fish Telmatherina celebensis in Lake Towuti, South Celebes. Proceedings of The International Workshop on Human Dimension of Tropical Peatland Under Global Environmental Changes. Bogor-Indonesia, December 8-9, 2004. 35-42.

Page 91: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

91

Nasution, S.H., Sulistiono, D.S. Sjafei, G.S. Haryani. 2004. Variasi Morfologi Ikan Endemik Rainbow Selebensis (Telmatherina celebensis Boulenger) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Jurnal Akuakultur Indonesia, 3(2):13-18.

Nasution, S.H. 2005. Karakteristik reproduksi ikan endemik rainbow selebensis (Telmatherina celebensis Boulenger) di Danau Towuti. Jurnal Penelitian

Perikanan Indonesia. Edisi Sumber Daya dan Penangkapan, 11(2):29-37.

Nasution, S.H. 2007. Growth and Condition Factor of Rainbow Selebensis (Telmatherina celebensis Boulenger) in Lake Towuti, South Celebes. Indonesian

Fisheries Research Journal, 13(2):117-123.

Nasution, S.H., Sulistiono, D. Soedharma, I. Muschsin, dan S. Wirjoatmodjo. 2007a. Kajian Aspek Reproduksi Ikan Endemik Bonti-bonti (Paratherina striata)di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Jurnal Biologi Indonesia, IV(4):225-238.

Nasution, S.H., Sulistiono, D.S. Sjafei, dan G.S. Haryani. 2007b. Distribusi spasial dan temporal ikan endemik Rainbow Selebensis (Telmatherina celebensis Boulenger) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Edisi

Sumber Daya dan Penangkapan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. 13(2):95-104.

Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1981. Principles and Procedure of Statistic. Second Edition. Mic Graw Hill Book Company, Inc New York. 748 p.

Weber, M. and De Beaufort. 1922. The Fishes of the Indo Australian Archipelago. Vol.IV. EJ. Brill, Leiden. 235 p.

Welcomme, R.L. 2001. Inland Fisheries, Ecology, and Management. Fishing News Books, A Division of Blackwell Science Ltd, London. 358 p.

Wirjoatmodjo, S., Sulistiono, M.F. Rahardjo, I.S. Suwelo dan R.K. Hadiyati. 2003. Ecological distribution of endemic fish species in Lakes Poso and Malili Complex, Sulawesi Island. Funded by Asean Regional Centre for Biodiversity Conservation and the European Comission. 30 p.

Page 92: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

92

EVALUASI KESESUAIAN HABITAT GRASS CARP (Ctenopharyngodon idella)

UNTUK PENGENDALIAN ECENG GONDOK (Eichornia crassipes)

DI DANAU LIMBOTO

Andri Warsa* , Krismono

** dan Lismining Pujiyani Astuti**

ABSTRAK Danau Limboto terletak di Propinsi Gorontalo dengan luas 2500 ha pada ketinggian 25 m

diatas permukaan laut. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian habitat ikan grasscarp

(Ctenopharyngodon idella) untuk pengendalian eceng gondok (Eichornia crassipes) di Danau Limboto

ditinjau dari aspek kualitas air dan ketersediaan pakan alami. Penelitian dilakukan pada bulan Februari,

April dan Juli 2007 dengan menggunakan metode survey berstrata. Berdasarkan beberapa parameter

kualitas perairan dan ketersediaan pakan alami pakan alami di Danau Limboto grascarp dapat di

introduksi, namum introduksi ikan ini juga harus mempertimbangkan mengenai interaksinya dengan (1)

beberapa jenis ikan predator yaitu Glossogobius giuris, Ophiocara porocephala, Channa striata yang

mungkin menjadi pemangsa dan (2) ikan herbivora yaitu Barbonymus goneonotus, Trichogaster

pectoralis yang mungkin dapat berkompetisi dalam pakan.

Kata Kunci : Habitat, Introduksi, Grascarp dan Danau Limboto

ABSTRACT Lake Limboto located at Gorontalo Provincy with area about 2500 ha and elevation about 25 m

above sea level. Aim of writing this paper know habitat suitability of grass carp (Ctenopharyngodon

idella) for water hyacinth (Eichornia crassipes) controlling at Lake Limboto based on water quality and

availability of natural feeding. Research was done on February, April and July 2007 by survey stratified

methode. Based on some parameter of water quality and availability of natural feeding of grass carp at

Lake Limboto could be introduced but must consider interaction between grasscarp and (1) predator fish

as Glossogobius giuris, Ophiocara porocephala, Channa striata can be prey and (2) herbivore fish as

Barbonymus goneonotus, Trichogaster pectoralis can be happen competition of feeding.

Key words: habitat, introduction, grasscarp, Lake Limboto

PENDAHULUAN

Danau Limboto yang secara administratif terletak di propinsi gorontalo dengan

luas 2500 ha dan terletak pada ketinggian 25 m diatas permukaan laut. Danau ini

merupakan muara dari sungai Rintenga, Alopohu, Marisa, Meluopo, Biyonga, bulola,

Talubongo dan sungai sungai kecil di sisi selatan seperti Olimayonga, Ilopopala, Huntu,

Hulakiki, Langgilo dengan outlet sungai Topodu (Legowo, 2007). Saat ini telah

mengalami penurunan kualitas perairan yang mengkhawatirkan antara lain

pendangkalan, penyusutan luas dan populasi tumbuhan air yang tinggi.

* Staf Peneliti pada Loka Riset Pemacuan stok ikan Jatiluhur ** Peneliti pada Loka Riset Pemacuan stok ikan Jatiluhur e-mail: [email protected]

Page 93: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

93

Gambar 1. Ikan Grasscarp

Grasscarp mempunyai warna abu – abu gelap pada badan bagian atas dengan

badan berwarna putih cerah dan sedikit warna keemasan pada tubuh bagian samping.

Sirip berwarna coklat- abu –abu. Grascarp adalah kelompok terbesar dari family

Cyprinidae dan masuk dalam genus Ctenopharygodon. Spesies ikan ini terdapat

didaerah sub tropis hingga temperat dan merupakan dan merupakan spesies asli di

badan air danau dan sungai besar di Rusia dan China. Grascarp diintroduksi secara

besar – besaran di Amerika Utara, Tengah dan Selatan, kepulauan pasifik selatan, Eropa

Skandinavia dan Afrika. Introduksi grass carp ini bertujuan untuk mengendalikan

tumbuhan air pengganggu secara biologi pada suatu badan air misalnya danau (Bonar et

al, 2002). Ikan ini dapat mencapai berat 30 – 50 kg dengan panjang 1 m (Shiremen and

Smith, 1983). Sama seperti spesies ikan lainnya, pertumbuhan ikan ini dipengaruhi oleh

beberapa faktor antara lain umur, ukuran dan faktor – faktor abiotik seperti kepadatan,

nutrisi, temperatur dan konsentrasi oksigen terlarut.

Introduksi ikan ini kesuatu badan air akan berpengaruh pada makrofita akuatik,

kualitas air dan biota air lainya termasuk plankton, makroinvertebrata, benthos.

Besarnya pengaruh introduksi tersebut tergantung dari kepadatan stok, kelimpahan

tanaman air dan komunitas ikan yang tedapat dibadan air tersebut (Cudmore and

Mandrak, 2004). Dampak yang ditimbulkan oleh penurunan populasi tumbuhan air

adalah meningkatnya total alkalinitas, total fosfor dan klorofil a dan penurunan

kecerahan (Canfiield et al, 1983). Tujuan intoduksi utama adalah pengendalian

kelimpahan dan keragaman tumbuhan air namum kendala yang dihadapi adalah

mempertahankan ikan ini dalam jumlah yang efektif untuk pengedalian tumbuhan air

yang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kematian dan migrasi grascarp serta

peruaban iklim dan kondisi limnologi (Cassani et al, 2008).

Page 94: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

94

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui kesesuain habitat untuk ikan grass

carp di Danau Limboto untuk pengendalian populasi eceng gondok (Eichornia

crassipes) ditinjau dari aspek kualitas air dan ketersediaan pakan alami.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Danau Limboto pada bulan Februari, April dan Juli

2007. Pengambilan sampel air dilakukan dengan menggunakan ” kemmerer water

sampler” dengan volume 5 l. Pengambilan sampel dilakukan di beberapa titik yaitu

darah inlet, aoutlet, daerah bebas dan daerah budidaya pada kedalaman 0,5; 1; 2 m dan

dasar perairan dengan metode berstrata (Nielsen and Johnson, 1985). Sampel air

dianalisa di Laboratorium Loka Riset Pemacuan Stok Ikan Jatiluhur berdasarkan

APHA, 2005. Beberapa Parameter kualitas air dan metode/alat yang digunakan untuk

analisa disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Beberapa Parameter Kualitas Air dan Metode Analisa / alat

Parameter Satuan Metode / Alat Suhu air oC Termometer Oksigen Terlarut Mg/l Oksigenmeter YSI 55 pH Unit pH indikator Alkalinitas Mg/l Titrasi HCl Nitrit Mg/l Spektrofotometerα – Naftilamin Nitrat Mg/l Spektrofotometer, Brucine Sulfat Orthofosfat mg/l Spektrofotometer, Amonium Molibdat

Sampel plankton diperoleh dengan menyaring sampel air menggunakan

plankton net dengan mesh size 25 µm dan diberi pengawet lugol. Plankton dianalisa

menggunakan microskop dengan metode lucky drop microtransect counting chamber

dan di identifikasi berdasarkan Needham & Needham (1963),

N = V

xvc

vx

A

anx

1

Keterangan : N = jumlah total fitoplankton (sel/l) n = jumlah rataan individu per lapang pandang a = luas gelas penutup (mm

2)

v = volume air terkonsentrasi (ml) A = luas satu lapang pandang (mm

2)

vc = volume air di bawah gelas penutup (ml) V = volume air yang disaring (l)

Page 95: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

95

Pengambilan sampel benthos menggunakan Eikman Dredge dengan luasan 30 x

30 cm. Sample yang didapat kemudian disaring menggunakan saringan benthos dan di

identifikasi berdasarkan Pennak (1953) dan Edmonson (1959 )

HASIL DAN PEMBAHASAN

Untuk introduksi suatu spesies ikan pada statu badan air perlu dipertimbangkan

beberapa hal antara lain kesesuaian habitat yang dapat ditinjau dari kualitas perairan,

ketersediaan pakan alami dan kompetisi dengan ikan yang sudah ada di badan air

tersebut pertumbuhan ikan koan dapat mencapai lebih 29 g/hari pada kondisi habitat

yang sesuai naum pertumbuahnnya akan terhenti pada kondisimlingkungan yang buruk

atau pada habiat yang tidak terdapat pakan alaminya. Oleh karena itu untuk introduksi

grascarp di Danau Limboto perlu mempertimbangkan aspek - aspek tersebut.

Kualitas Air

Kualitas suatu habitat dapat ditentukan dari berbagai indikator salah satunya

adalah kualitas air (Welcome, 2001). Beberapa parameter kunci kualitas air untuk

kehidupan ikan antara lain konsentrasi oksigen terlarut, karbondioksida bebas, pH,

Alkalinitas dan sulfida (Effendi, 2001). Beberapa parameter kualitas air di Danau

Limboto di sajikan pada tabel 2.

Tabel 2. kisaran beberapa parameter kualitas air

Parameter Satuan Kisaran (rataan) Suhu air oC 26,8 – 32,9 (30) Oksigen Terlarut Mg/l 2,18 – 9,84 (5,05) pH Unit 7 – 8 (7,5) Alkalinitas Mg/l 71,14 – 252 (129) Nitrit Mg/l 0,001 – 0,2 (0,05) Nitrat Mg/l 0,034 – 2,926 (0,768) Orthofosfat mg/l 0,071 – 0,457 (0,2)

Suhu air di Danau Limboto berkisar 26,8 – 32,9 oC dengan rata – rata 30 oC.

Kemampuan makan ikan grascarp akan optimal pada suhu minimal 20oC. Suhu air

yang mencapai lebih dari 38 oC akan menyebabkan kematian pada ikan grascarp

dewasa (Fedorenko and Fraser, 1978) dan untuk anakan ikan berkisar pada suhu 33 -

41 oC sedangkan untuk fingerling ikan grass carp berkisar 35 – 36 oC (Chilton and

Page 96: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

96

Muoneke, 1992) dan ikan ini mempunyai kemampuan toleransi terhadap perubahan

suhu yang cepat yaitu 4 – 22 oC dalam waktu 2 – 3 jam (Shiremen and Smith, 1983).

Tinggi muka air dan temperatur air mempunyai peran yang penting dalam merangsang

pemijahan. Dibeberapa lokasi misalnya di China temperatur air yang dibutuhkan untuk

merangsang pemijahan berkisar 20 – 30 oC (Chilton and Muoneke, 1992) dan

temperatur untuk pemijahan adalah diatas 27 oC (Crossmen et al, 1987). Telur ikan

grascarp mampu bertahan pada suhu dibawah 18 oC dan membutuhkan suhu 21 – 26 oC untuk inkubasi (Fedorenko and Fraser, 1978). Peningkatan suhu akan mempercepat

metabolisme dan kelarutan gas diperairan misalnya oksigen sehingga dikhawirkan tidak

mampu untuk memnuhi kebutuhan organisme akuatik untuk respirasi dan metabolisme

(Efendi, 2003).

Konsentrasi oksigen terlarut di Danau Limboto berkisar 2,18 – 9,84 mg/l

dengan rata – rata adalah 5,05 mg/l. Konsentrasi oksigen terlarut yang rendah pada

umunya terdapat didasar perairan. Ikan grasscarp akan megalami stress pada konsentrasi

oksigen terlarut di bawah 3 mg/l. Konsentrasi oksigen terlarut antara 0,2 – 0,3 mg/l

adalah konsentrasi letal bagi ikan ini sedangkan fingerling dapat beradaptasi pada

konsentrasi oksigen terlarut pada kisaran 2,8 mg/l (Shiremen and Smith, 1983).

Fingerling grascarp mempunyai kemampuan adaptasi adaptasi yang lebih baik pada

konsentrasi oksigen rendah dibandingkan dengan ikan dewasa (Chilton and Muoneke,

1992). Kemampuan makan ikan ini akan menurun hingga 40 % pada konsentrasi

oksigen terlarut < 4 mg/l.

Fingerling ikan grascarp mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan dengan

kisaran pH 5 – 9 unit (Shiremen and Smith, 1983). Danau Limboto memiliki pH

berkisar 7 – 8 unit sehingga mendukung kehidupan grascarp dan biota air lainya. pH

netral dibadan air ini kemungkinan dikarenakan Danau Limboto memiliki nilai

alcalinitas yang cukup tinggi sehingga mampu menetralkan zat – zat yang bersifat asam

atau basa yang masuk kedalam perairan sehingga pH tidak berubah drastis. Pada

umumnya ikan dan biota air lainnya lebih menyukai perairan dengan pH dengan

kisaran 7 – 8,5. Pada pH 6,0 – 6.5 akan menyebabkan penurunan keragaman benthos

dan plankton meskipun total biomassa dan produktivitas tidak mengalami perubahan

(Efendi, 2003). pH suatu badan air akan mempengaruhi toksisitas ammona (Wright and

Page 97: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

97

anderson, 2001) karena pada pH tinggi (alkalis) akan banyak ditemukan senyawa

ammonia tak terionisasi (Efendi, 2003).

Total alkalinitas di Danau Limboto berkisar 71,4 – 252 mg/l dengan rata – rata

129 mg/l. Tinnginya daya mengikat asam atau total alklinitas di danau ini kemungkinan

karena catchment area disekitar danau merupakan perbukitan kapur. Ikan grascarp

pada ukuran fingerling mampu bertahan pada total alkalinitas 620 mg/l. Nilai

alkalinitas yang tinggi tidak berkaitan langsung dengan kesuburan atau produktivitas

perairan namun dengan meningkatnya nilai alkalinitas meningkatkan kebaeradaan

fosfor dan elemen esensial lainnya (Effendi, 2003).

Nitrit di Danau Limboto kemungkinan berasal dari limbah domestik dan

dekomposisi bahan organik. Konsentrasi nitrit di Danau Limboto berkisar 0,001 – 0,2

mg/l dengan rata – rata 0,05 mg/l namum secara umum konsentrasi nitrit di Danau

Limboto masih memenuhi baku mutu untuk kehidupan biota air. Pada konsentrasi lebih

dari 0,05 mg/l akan nitrit akan bersifat toksik bagi biota yang sensitif (Moore, 1991

dalam Effendi, 2003). Konsentrasi nitrat di Danau Limboto berkisar 0,034 – 2,926 mg/l

dengan rata – rata adalah 0,768 mg/l dan masih memenuhi baku mutu untuk kehidupan

ikan ((PP No 82 Tahun 2001 dalam KLH, 2004). Nitrat merupakan sumber nutrien yang

dapat digunakan oleh fitoplankton namum dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan

terjadinya blooming (Effendi, 2003). Orthofosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat

dimanfaatkan oleh tumbuham air secara langsung. Konsentrasi orthofosfat di Danau

Limboto berkisar 0,071 – 0,457 mg/l dengan rata – rata 0,2 mg/l. Konsentrasi nutrien

nitrat dan orthofosfat di Danau Limboto dapat mendukung pertumbuhan fitoplankton.

Konsentrasi nitrat dan orthofosfat yang dibutuhkan untuk pertumbuhan fitoplankton

tampa menyebabkan blooming masing masing adalah 0,9 – 3,5 mg/l dan 0,09 – 1,8

mg/l (Mackentum 1969 dalam Yuliana dan Thamrim (2006). Dengan demikian

diharapkan pakan alami untuk fingerling ikan grasscarp akan cukup tersedia.

Keberhasilan introduksi Grass carp untuk mengendalikan pertumbuhan tanaman

air dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jumlah ikan yang ditebar, struktur

komunitas ikan yang ada dan ketersediaan pakan alami (Tu, 2003). Kemampuan makan

grasscarp akan sangat tergatung pada umur dan ukuran ikan, temperatur, konsentrasi

oksigen terlarut dan jenis tumbuhan air yang terdapat di badan air tersebut (Rottman,

Page 98: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

98

1977). Empat hari setealah memijah grascarp memakan rotifera dan protozoa dan 11 –

15 hari setelah memijah larva ikan ini akan memakan cladocera. Pada waktu 2 minggu

dengan ukuran 12 – 17 cm larva ikan ini akan memakan daphnia dan larva serangga

(Opuzynski and Shiremen, 1995). Pada umur 3 minggu sudah mampu untuk makan alga

berfilamen dan makrofita. Pada usia 1 – 1,5 bulan juvenil ikan ini akan hanya memakan

makrofita. Ikan dewasa akan memakan tumbuhan air submerged dengan daun yang

lunak namum jika keberadaan tumbuhan air hanya dalam jumlah yang sedikit maka ikan

ini mampu memakan benthos dan zooplankton. Berdasarkan kebiasaan pakan ikan

grascarp tersebut, ketersedaiaan pakan alami ikan pada fase larva dan fingerling cukup

banyak di Danau Limboto. Kelimpahan protozoa dan rotifera masing – masing berkisar

2515 – 6707 ind/liter dengan rata – rata 4019 ind/liter dan 1006 – 8495 ind/liter dengan

rata – rata 3085 ind/liter. Ketersedaiaan pakan alami untuk ikan grasscarp dengan

panjang 10 – 15 mm yaitu Daphnia berkisar 1207 – 5030 ind/liter.

Untuk ikan yang telah dewasa pakan adalah macrophyta salah satunya adalah

eceng gondok (Eichornia Crassipes) yang merupakan pakan kesukaan dalam tingkat

medium (Van Dyke et al, 1984) . Tumbuhan air yang banyak terdapat di Danau

Limboto adalah eceng gondok yang menutupi hampir 40 % dari luasan danau

(Krismono, et al, 2007).

Gambar 2. Tumbuhan Eceng Gondok (Eichornia Crassipes)

Jika ketersedaiaan pakan alami berupa macrophyta sedikit, ikan ini juga mampu

untuk memakan benthos dan zooplankton. Benthos yang terdapat di Danau Limboto

didominasi oleh klass gastropoda dari genera tarebia, margaritifera, pteucera, lymnea

dan pomacea dengan kelimpahan berkisar 11 – 723 individu/m2 dengan rata – rata 3026

individu/m2.

Page 99: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

99

Faktor lain yang harus menjadi pertimbangan untuk introduksi grass carp di

Danau Limboto adalah predasi dan kompetisi dengan ikan lain yang ada di telah ada di

danau tersebut. Salah satu faktor penyebab kematian ikan grascarp dialam adalah

predasi oleh beberapa jenis ikan antara lain adalah snakehead. Di Danau Limboto

terdapat beberapa jenis ikan predator yaitu manggabai (Gossogobius giuris), payangga

(Ophiocara porocephala) dan gabus (Channa striata) dengan persentase hasil tangakan

masing – masing adalah 24; 21 dan 3 % yang termasuk dalam kelompok snakehead

yang dikhawatirkan akan menjadi pemangsa ikan grascarp pada ukuran kecil. Untuk

mencegah predasi oleh ikan – ikan tersebut maka ukuran panjang yang dapat di

introduksi adalah 30 cm (Cassani et al, 2008). Di Danau Limboto juga terdapat

beberapa juga terdapat jenis ikan herbivora yaitu tawes (Barbonymus goneonotus) dan

saribu (Trichogaster pectoraalis) dengan persentase hasil tangkapan masing – masing

adalah 4 dan 20 % dengan adanya ikan herbivora ini dikhawatirkan akan terjadinya

kompetisi pakan. Kompetisi antara ikan introduksi dengan spesies ikan yang ada pada

badan air tersebut dikhawatirkan akan menjadi suatu masalah yang cukup sulit.

Persaingan tersebut tidak hanya terjadi untuk pakan alami tetapi juga spawning,

nursery, feeding dan refuge ground (Welcome, 2001). Hal ini kemungkinan akan

berdampak terhadap beberapa jenis ikan asli danau (Taylor et al, 1984 dalam Ccudmore

and Mandarak, 2004). Introduksi ikan ini dapat menyebabkan penurunan ketersediaan

pakan alami bagi invertebrata dan ikan lainnya. Hal ini mengakibatkan terjadinya

perubahan yang signifikan komposisi makrofita, fitoplankton dan struktur komunitas

invertebrta serta mengubah struktur trofik dari suatu badan air (Tu, 2003).

Teknik yang digunakan untuk pengendalian eceng gondok di danau ini harus

tepat agar graas carp yang di gunakan untuk tujuan tersebut tidak menimbulkan

masalah di kemudian hari. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan

membuat pen yang berisi tumbuhan eceng gondok dan kemudian di masukan grass

carp. Dengan demikian diharapkan ikan tidak terlepas keluar ke lingkungan perairan.

Page 100: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

100

Gambar 3. Pen percontohan yang berisi eceng gondok dan grass carp

KESIMPULAN

Berdasarkan beberapa parameter kualitas perairan seperti oksigen terlarut, pH,

alkalinitas, nitrat dan nitrit serta ketersediaan pakan alami pakan alami di Danau

Limboto yaitu plankton, tumbuhan air dan benthos ikan grascarp bisa diintroduksikan

di danau tersebut. Namum juga harus dipertimbangkan interaksi dan persaingan dengan

ikan lainnya yaitu manggabai (glossogobius giuris), payangga (Ophiocara porocephala)

dan gabus (Channa striata) yang bersifat predator dan tawes (Barbonymus goneonotus)

dan saribu (Trichogaster pectoraalis) yang bersifat herbivora.

DAFTAR PUSTAKA

Bonar, S.A, B. Bolding and M Divens. 2002. Effect of Triploid grasscarp on aquatic plants, water quality, and public satisfaction In Washington State North :American Journal of Fisheries Management. American Fisheries society. United States of America. Cassani J,. S Hardin,. V Mudrak., P Zajicek and C.H Bronson. 2008. Arisk Analysis Pertaining to the Use of Triploid Grass Cdarp

For The Bilogical Control of aquatic Plants. Di Akses pada tanggal 25 Juni 2006 dari http//: lkewatch.fas.ufl.edu/

Canfield D.E., Langeland K.A, Maceina M.J Halle W.T and Shireman J.V. 1983. Trophic state Classification of lake With aquatic macrophyte. Canadian Journal

of fisheries and aquatic science.

Chilton III,E.W and M.I Muoneke. 1992. Biology an Management of Grasscarp

(Ctenopharyngodon idella, Cyprinidae) for Vegetation Control a North America Perpective.

Crossman,E.J., S.J. Nepzy and P. Klause, 1987. The First Record Of Grasscarp,

Ctenopharyngodon Idella in Canadian Waters. Can Field-Net.

Page 101: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

101

Cudmore, B and N.E Mandrak, 2004, Biologycal synopsis of Grasscarp

(Ctenopharingodon idella). Canadian Manuscript report of fisheries and aquatic science. Canada

Edmonson, W.T. 1959. Freshwater Biology, 2 nd

Ed. John Wiley & Sonc. Inc. New York.

Effendi.H. 2003, Telaah Kualitas air Bagi Pengelolaan Sumbr Daya dan Lingkungan

Perairan. Kanisius. Yogyakarta.

Effendie, M.I. 2002. Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor.

Fedorenko AY and F.J Fraser, 1978, . Rivew of Grasscarp Biology. Interagancy

Committee on Transplants and Introduction of Fish ang Aquatic Invertebrata in

British columbia. British Columbia. Departement of Fish and Enviromental Fisheries and Marine Service. Technical Report.

Krismono, Astri Suryandari, Amula Nurfiarini, Nanang widarmanto, Mujiyano, Lismining Pujiyani Astuti dan Yayuk Sugianti. 2007. Rehabilitasi dan konservasi sumberdaya perikanan Danau Limboto. Laporan Akhir. Loka riset Pemacuan Stok ikan. Tidak dipublikasikan

Legowo WD,S. 2008. Pendugaan Erosi dan Sedimentasi menggunakan model Geo

WEPP (studi kasus DAS Limboto, propinsi Gorontalo). Diakses dari www.ftsl.itb.ac.id/kk/teknik_sumber_daya_air).

Opuzky, K. and J.V Shiremen, 1995. Herbivorous Fish: culture and Use for Weed

Management in coorporation With James F Weaven. Director of The United States Fish and Wildlife Services National. Fisheries Research Center. CRC Press. Boca Raton, Florida.

Pennak, R.W. 1953. Fresh Water Invertebrata of The United States. The Ronald Press Company. New York.

Nielsen, L.A. And D.L. Johnson.1985. Fisheries Techniques. American Fisheries Society, Bethesda, Maryland.

Needham. J.G and P.R. Needham .1963. A Guide to the Study of Freshwater Biology.

Fifth Edition. Revised and Enlarged. Holden Day. Inc. San Fransisco.

Rottman. R. 1977. Management of Weedy Lake and pond with Grascarp. Fisheries.

Shirenmen,J.V And C.R Smith, 1983 . Synopsis of Bilogycal data on grasscarp

Ctennopharyngodon idella (Cuvier and Valenciennes, 1844) Food and

Aquaculture.

Tu, M. 2003. Invasive spesies Notice : Triploid Grass Carp/White Amur (Ctenopharyngodon idella). The Nature conservancy’s Wildland

Van dyke J.M., A.J Leslie jr and L.E Nall, 1984, The Effect of The Grass carp on aquatic macrophyte of four Florida lakes. Journal of aquatic Plant Management.

Wright P and Anderson P. 2001. Nitrogen excretion. Academic Press. United States of America.

Page 102: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

102

Yuliana dan Tamrin. 2006. Struktur komunitas dan kemelimpahan fitoplankton dalam kaitannya dengan parameter fisiska-kimia perairan di danau Laguna Ternate, Maluku utara. Dalam Prosiding seminar nasional limnologi 2006 : Pengelolaan

sumberdaya Perairan Darat secara Terpadu di Indonesia. Pusat penelitiab Limnologi, Jakarta.

Page 103: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

103

BIOLOGICAL ASPECTS OF THE ENDEMIC EELS, Anguilla borneensis,

FROM LAKE SEMAJANG, MAHAKAM WATERSHED

(EAST KALIMANTAN, INDONESIA)

Hagi Yulia Sugeha* and Sasanti R. Suharti

Abstract

In order to study biological aspects of the endemic eels from Indonesian Waters, 30 specimens of

anguillid eels were collected by gill nets from Lake Semajang, Mahakam Watershed, East Kalimantan

(Indonesia) from January to February 2007. The specimens were successfully identified as the endemic

species of Anguilla borneensis from Kalimantan Inland Waters, based on morphology and genetic

analyses. The endemic species was about 320~780g (Mean ± SD; 519.17±122.26) in BW and 55~74cm

(64.20±5.60) in TL, and belong to the long-finned eels with 11.11~15.87 (12.97±1.13) in ADL/%TL.

Based on PCR-RFLP analyses, genetic character of the species could be detected by the appearance of

double fragment DNA performed by restriction enzymes Alu I (400bp and 500bp), BbrP I (300bp and

500bp), and EcoT14 I (700bp and 600bp) and single fragment DNA performed by restriction enzymes

Hha I (500bp), Mva I (700bp) and Bsp1286 I (250bp). Species adjustment was done using DNA

mitochondria sequence of the 16S ribosomal RNA gene with specific primer set of the tropical anguillid

eels species. Gonado Somatic Index and Eye Index of A. borneensis were about 1.8~10.3 (Mean ±SD;

3.6±2.1) and 3.8~15.9 (8.7±3.1), respectively. It is suggesting that the species were in yellow and silver

eel stages when collected. However based on gonad morphology, most specimens (80%) was belong to

female immature eels while remain specimen was separated into 10% female mature eels and 10%

intersex eels. Positive linear relationship was detected between TL and BW of A. borneensis suggesting

the species still in growth phase when collected. The study had proven that Lake Semajang as upper side

of Mahakam Watershed was inhabited by the endemic eels A. borneensis. Management and conservation

are require in order to keep sustain A. borneensis in the nature since the species also promoted as one

ancestor of genus Anguilla in the world.

Keywords: Anguilla borneensis, Lake Semajang, Mahakam Watershed, biologicalaspect, endemic eel

INTRODUCTION

About 18 species and subspecies of anguillid eels has been reported to distribute

around the world (Ege, 1939; Jespersen, 1942; Aoyama and Tsukamoto, 1997;

Tsukamoto and Aoyama, 1998; Aoyama et al, 2001) and 9 species among them was

reported to inhabit in the Indonesian Waters (Aoyama et al, 2003, 2007; Watanabe et al,

2004 and 2005; Minegishi et al, 2005; Sugeha et al, 2008). Nine species and subspecies

of tropical eels were including Anguilla borneensis, A. marmorata, A. celebesensis, A.

interioris, A. bicolor bicolor, A. bicolor pacifica, A. nebulosa nebulosa, A. obscura, and

A. megastoma. The tropical area of Indonesian Waters reported as the center for

* Institution: Research Center for Oceanography, Indonesian Institute of Sciences Jl. Pasir Putih 1, Ancol Timur, Jakarta-INDONESIA E-mai : [email protected] or [email protected]

Page 104: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

104

biodiversity of the anguillid eels in the world (Sugeha et al, 2008) and were inhabit by

the endemic and the ancestor eels of A. borneensis (Aoyama et al, 2001).

The endemic eels, A. borneensis Popta, were firstly reported as A. latirostris

(Popta 1906 cited in Ege, 1939). In 1916, the species were reported as A. celebesensis

by Weber & Beaufort (see Ege1939). But in 1924, Popta revised his work and renamed

A. latirostris as A. borneensis. No information about sampling location of the two adult

specimens of A. borneensis identified by Popta in 1906 but her specimens were keep in

the Leyden Museum and were used by Ege for his historical taxonomic study on the

anguillid eels around the world (see Ege, 1939). Together with Popta’s two co-types,

Ege (1939) reported the taxonomy of A. borneensis based on his observation on the one

adult specimen and large number of elvers of A. borneensis collected from Muara

Muntai, Sungai Belajan, and Kuala Tenggarong of Mahakam River, Central Borneo

(now Kalimantan) from 1926 to 1930.

According to Ege (1939) A. borneensis Popta was an anguillid eel species

without variegated marking and with long dorsal fin. The author reported that the body

coloration of the species was similar with A. anguilla (European eel), A. rostrata

(American eel), and A. japonica (Japanese eel) with a skin type shows on the body a

marked contrast between an upper dark part and a lower lighter part. Complete body

proportion of A. borneensis was not reported by Popta since their adult eel specimen

was very limited. However, recent study on the re-examination of taxonomy of genus

Anguilla conducted by Watanabe et al (2004) reported the similarity of morphological

characters of A. borneensis from their studied with from Ege’s study. The authors also

suggest that the senior synonym A. malgumora after Kaup (1856), Bauchot et al (1993),

and Smith (1999) for the name of A. borneensis was in doubt so they were used the

traditional name A. borneensis in the published paper.

Except for the taxonomic studies conducted by Ege (1939) and Watanabe et al

(2004 and 2005), there was no other biological study applied for the tropical eel of A.

borneensis. In contrast, impact of environmental degradation, infrastructure

development, human daily activities, and climate change was gradually affecting

environmental condition of the Kalimantan Inland Waters as natural growth habitat of

the endemic and the ancestor eel. Based on this problem we conducted both field and

Page 105: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

105

laboratory study on the anguillid eels from Kalimantan inland waters. The objective of

this study was to carry out basic biological information on the endemic eels of A.

borneensis from Lake Semajang, Mahakam Watershed, East Kalimantan (Indonesia).

MATERIAL AND METHOD

Eel specimens was collected in the Lake Semajang, (00.24157 0S; 116.65623 0E), upper part of Mahakam Watershed, East Kalimantan, Indonesia (Figure 1).

Sampling was done in January and February 2007 using gill nets and traps. Eels that

trapped in the fishing gears were kept alive in the fish container and directly landed

using small boat in order to avoid specimen failed. After landed, specimens were

anaesthetized with phenoxy-ethanol for external morphological observation and

dissecting organs.

Body weighing was done to the nearest 1gr. Body length measurements were

done including total length (TL), pre-dorsal length (PDL), pre-anal length (PAL), body

depth (BD), head length (HL), head width (HW), head depth (HD), inter-orbital width

(IOW), and pectoral fin length (Pf-L) to the nearest 1cm. Other body part measurements

such as horizontal and vertical eye diameter were measured to the nearest 0.1mm. The

morphological characters of ADL/%TL (Sugeha et al, 2001; Watanabe et al, 2004) and

the dentition structure (Watanabe et al, 2004) were used as first confirmation for species

identification.

Thereafter, specimens were dissected to pick up a piece of liver tissue for

crossing check with genetic species identification using PCR-RFLP analyses (Sugeha et

al, 2006 and 2008) and DNA mitochondria sequence analyses of 16S ribosomal RNA

gene (Aoyama et al, 2001, 2003 and 2007;Watanabe et al, 2005). Gonad morphology

and development were observed and described based on Satoh et al (1962). After

observation, gonad were removed and weighed for adjustment the GSI of the specimen.

The Gonad Somatic Index (GSI) was calculated as: Gonad Somatic Index = (gonad

weight/body weight)*100. The eye index (EI) was also calculated as: Eye Index =

{((A+B)/4)2 *π/L}*100 (Pankhurst, 1982), where A is the horizontal eye diameter, B is

the vertical eye diameter and L is the total length.

Page 106: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

106

RESULT AND DISCUSSION

A total of 30 specimens of freshwater eels were collected by gill nets from Lake

Semajang, Mahakam Watershed, East Kalimantan (Indonesia) from January to February

2007, in order to study biological aspects of anguillid eels from the waters. The

specimens were successfully identified as the endemic species of Anguilla borneensis

from Kalimantan, based on morphology and genetic analyses.

The endemic species was about 320~780g (Mean ± SD; 519.17±122.26) in BW,

55~74cm (64.20±5.60) in TL, and about 17.12~34.55 (29.85±2.93) (Table 1). The

species belong to long-finned eels with 11.11~15.87 (12.97±1.13) in ADL/%TL (Figure

2). All the specimen of A. borneensis was non-spotted of skin type, blackish brown in

dorsa-lateral and yellowish to silvering in ventral side coloration, with narrow maxillary

of teeth-structure.

Based on PCR-RFLP analyses, genetic character of the species could be detected

by the appearance of double fragment DNA performed by restriction enzymes Alu I

(400bp and 500bp), BbrP I (300bp and 500bp), and EcoT14 I (700bp and 600bp) and

single fragment DNA performed by restriction enzymes Hha I (500bp), Mva I (700bp),

and Bsp1286 I (250bp). Species adjustment was done using DNA mitochondria

sequence of the 16S ribosomal RNA gene with specific primer set of the tropical

anguillid eels species.

Gonado Somatic Index (GSI) and Eye Index (IE) of A. borneensis were about

1.8~10.3 (Mean ±SD; 3.6±2.1) and 3.8~15.9 (8.7±3.1), respectively (Figure 3). It is

suggesting that the species were in yellow and silver eel stages when collected.

However based on gonad morphology, most specimens (80%) was belong to female

immature eels while remain specimen was separated into 10% female mature eels and

10% intersex eels.

Positive linear relationship was detected between TL and BW (Figure 4).

Here in the present study, we report the existence of A. borneensis in

Kalimantan Island based on morphology and genetic study. Aoyama et al (2001) was

the first to report the occurrence of A. borneensis in the Kalimantan inland waters based

on molecular genetics analysis and the authors proposed the species as the ancestor of

genus Anguilla in the world. Further, Watanabe et al (2004 and 2005) was conducted

Page 107: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

107

taxonomic study on the genus Anguilla around the world based on morphology and

genetic analysis and the authors also reported the occurrence of A. borneensis in the

Kalimantan inland waters. After studies by Kaup (1856), Ege (1939), Aoyama et al

(2001), Watanabe et al (2004 and 2005), and the present study, it was no doubt that the

species was an endemic species or just grow up in the waters of Kalimantan Island.

Taxonomy study on the species by Popta (cited in Ege, 1939) and Ege (1939)

was using limited number of adult specimen so difficult to carry out other important

biological information such as reproductive characters. This study is the first to report

basic biological information on the reproductive character of the endemic species, A.

borneensis. Relatively highest in GSI and eye index of A. borneensis suggesting that the

specimens collected in the present study were in young and adult eel stages. Mostly

specimens were in the growth stage or belong to immature eels but some specimen just

entering maturation or reproductive stage as mature eels which soon would be initiative

to migrate downstream for reach their spawning area.

Jespersen (1942) is the first who proposed the spawning ground A. borneensis

based on his collecting specimens of eel larvae (leptocephalus) of the endemic species

in around Sulu and Sulawesi Seas. Recent study on the distribution and dispersal of

tropical anguillid eel leptocephali in the Indonesian Waters (Aoyama et al, 2003;

Sugeha et al, 2006) reported the occurrence of A. borneensis leptocephalus in the Sulu

Sea, Sulawesi Sea, Maluku Sea, and Makassar Strait. Based on collection of relatively

small A. borneensis (8.5mm in TL) in the Celebes Sea, then the species were proposed

to spawn on that sea. However, the occurrence of larvae of the species in the other areas

suggested that the species may have multiple spawning areas including around

Makassar Strait and Sulu Sea near their growth habitat in the Kalimantan inland waters.

Interestingly, Sugeha et al (2001) reported the occurrence of glass eel A. borneensis in

the Poso River Estuary. Therefore, it is possible to find A. borneensis in the Maluku Sea

(Aoyama et al, 2003), and the sea would be one proposed area for spawning ground of

the species. In fact, it is important to review the endemic status of A. borneensis using

more advance genetic study of cryptic species. Future intensive research cruise on those

areas as well as continues study on the tropical eels from Poso River system were also

important to do in order to proof the hypothesis.

Page 108: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

108

Study on the early life history of A. borneensis leptocephali based on otolith

microstructure and microchemistry analyses (Kuroki et al, 2006) suggested that the

species has to spawn at a variety of times throughout the year, and have to reach their

maximum size of leptocephali around 50mm in TL and about 80days old. At that time

the leptocephali start to metamorphosis to be glass eels while migrate inshore to reach

their recruitment area in the estuary. The author also proposed that the species has a

small-scale local migration from spawning area to growth area, so A. borneensis may

spawn near their growth habitat. Unfortunately, no study has ever been done for the

glass eel recruitment of A. borneensis that would be help answer the question about

recruitment season and duration of oceanic migration of the remarkable species from

spawning area to recruitment area. Some difficulties related to the widest and deepest of

Mahakam River and recruitment area of Delta Mahakam that completely covered by a

great mangrove forest has rising up a big problem for collecting specimens of glass eels

and elvers. In addition, environmental degradation, development of infrastructure,

water transportation, and forest fired become the next indirect problems that may cause

the endemic species to be an endangered species in the future.

In conclusion, the study had proven that Lake Semajang, as the upper side of

Mahakam Watershed, inhabited by the endemic eels of A. borneensis. Management and

conservation are required in order to keep sustain A. borneensis in the nature since the

species also promoted as one ancestor of genus Anguilla in the world.

ACKNOWLEDGEMENT

We wish to send our grateful to the local fisherman and local people of

Kotabangun Villege, Lake Semajang, Mahakam Watershed for useful help during the

field research and to the Fisheries Government of East Kalimantan Provincy for

valuable support. This study was funded by a research grant from Program Competitive-

LIPI, Sub Program Census of Marine Life from 2004 to 2007 of fiscal years.

Page 109: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

109

REFERENCES

Aoyama J and Tsukamoto K. 1997. Evolution of the freshwater eels. Naturwissenschaften, 84:17-21

Aoyama J, Nishida M, Tsukamoto K. 2001. Molecular phylogeny and evolution of the freshwater eel, genus Anguilla. Molecular Phylogenetics and Evolution, 20:450-459

Aoyama J, Wouthuyzen S, Miller MJ, Inagaki T, Tsukamoto K. 2003. Short-distance spawning migration of tropical freshwater eels. Bio Bull, 204:104-108

Aoyama J, S Wouthuyzen, MJ Miller, Y Minegishi, M Kuroki, SR Suharti, T Kawakami, OK Sumadhiharga, K Tsukamoto. 2007. Distribution of leptocephali of the freshwater eels, genus Anguilla, in the waters off Sumatera in the Indian Ocean. Environ Bio of Fish, 80:445-452

Bauchot ML, M Desoutter, and PHJ Castle. 1993. Catalogue of type specimens of fishes in the Museum national d’Histoire naturelle, Paris. Anguilliformes and Saccopharyngiformes. Cybium 17:91-151

Ege V. 1939. A revision of the genus Anguilla Shaw. A systematic, phylogenetic and geographical study. Dana Report, 16:1-256

Jespersen P. 1942. Indo-Pasific leptocephali of the genus Anguilla. Dana Rep 22:1-128

Kaup JJ. 1856. Catalogue of apodal fish in the collection of the British Museum, London. British Museum, London. 163 p., 19 pls

Kuroki M, Aoyama J, Miller MJ, Arai T, Wouthuyzen S, Tsukamoto K. 2006. Contrasting pattern of growth and migration of tropical anguillid leptocephali in the western Pacific and Indonesian Seas. Mar Ecol Prog Ser, 309:233-246

Minegishi Y, J Aoyama, JG Inoue, M Miya, M Nishida, K Tsukamoto. 2005. Molecular phylogeny and evolution of the freshwater eel genus Anguilla based on the whole mitochondrial genome sequence. Molecular Phylogenetic and Evolution, 34:134-146

Pankhurst NW. 1982. Relation of visual changes to the onset of sexual maturation in the European eel Anguilla anguilla (L.). J Fish Biol, 21:127-140

Smith DG. 1999. Anguillidae. Freshwater eels. Pages 1630-1636 in KE Carpenter and VH Niem eds. FAO species identification guide for fisheries purposes. The living marine resources of the western central Pacific, 3.

Sugeha HY, Watanabe S, Arai T, Aoyama J, Limbong D, Tsukamoto K. 2001. Inshore migration of tropical glass eels (Anguilla spp) to the Poso River, Central Sulawesi Island, Indonesia. In: K. Aida, K Tsukamoto, K Yamauchi (eds). Proceedings of the International Symphosium on Advances in Eel Biology. The University of Tokyo. Pp. 122-125

Sugeha HY, Arai T, Miller MJ, Limbong D, Tsukamoto K. 2001. Inshore migration of the tropical eels Anguilla spp recruiting to the Poigar River estuary on north Sulawesi Island. Mar Ecol Prog Ser, 182:283-293

Page 110: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

110

Sugeha HY. 2003. Life history of the tropical eel Anguilla marmorata (Quoy & Gaimard) in the Indonesian Waters. Doctoral dissertation, The University of Tokyo, Japan

Sugeha HY, S. Wouthuyzen, O.K. Sumadhiharga, and Katsumi Tsukamoto. 2006. Distribution and dispersal of anguillid leptocephali in the Indonesian Throughflow and Tomini Bay revealed by morphology and genetic analysis. Proceeding on the Annual Scientific III - ISOI, UNDIP Semarang, 19-20 September 2006.

Sugeha HY, Sasanti RS, Wouthuyzen S, Sumadhiharga OK. 2008. Biodiversity, Distribution, and Abundance of the Tropical Angullid Eels in the Indonesian Waters. Marine Research in Indonesia, 33(2):129-138

Satoh H, Nakamura N, and Hibiya T. 1962. Studies on the sexual maturation of the eel. Part I. On the sex differentiation and the maturing process of the gonads. Bull. Japan Soc Scient Fish, 28:579-584

Tsukamoto K, Aoyama J. 1998. Evolution of the freshwater eels of the genus Anguilla: a probable scenario. Environmental Biology of Fishes, 52:139-148

Watanabe S, J Aoyama and K Tsukamoto. 2004. Reexamination of Ege’s (1939) Use of Taxonomic Characters of the Genus Anguilla. Bull Mar Sci, 74:337-351

Watanabe S, J Aoyama, M Nishida and K Tsukamoto. 2005. A molecular genetics evaluation of the taxonomy of eels of the genus Anguilla (Pisces:Anguilliformes). Bull Mar Sci, 76(3):675-690

Page 111: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

111

Figure 1. Map of sampling location in the Lake Semajang, Mahakam Watershed, East Kalimantan,

Indonesia Black circle indicating sampling site of the endemic eel, Anguilla borneensis.

0

2

4

6

8

10

8 9 10 11 12 13 14 15 16

Nu

mb

er o

f sp

ecim

en

ADL/%TL

A. borneensis

N = 20

Figure 2. Distribution of ano-dorsal length in percentage of total length (ADL/%TL) of Anguilla

borneensis collected in the Lake Semajang, Mahakam Watershed (East Kalimantan, Indonesia)

Page 112: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

112

y = 15.14x - 453.2R² = 0.481

0

100

200

300

400

500

600

700

800

900

1000

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Bod

y W

eig

ht

(gr)

Total Length (cm)

Figure 3. Relationship between total length (TL) and body weight (BW) of Anguilla borneensis collected

in the Lake Semajang, Mahakam Watershed (East Kalimantan, Indonesia)

0

1

2

3

4

5

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Nu

mb

er o

f sp

ecim

en

Eye Index

A. borneensis

N = 20

(B)

0

2

4

6

8

10

12

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Nu

mb

er o

f sp

ecim

ens

Gonado Somatic Index

(A)A. borneensis

N = 20

Figure 4. Distribution of (A) Gonad Somatic Index and (B) Eye Index of Anguilla borneensis collected

in the Lake Semajang, Mahakam Watershed (East Kalimantan, Indonesia)

Page 113: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

113

Table 1. Morphological characters of Anguilla borneensis collected in the Lake Semajang, Mahakam Watershed (EastKalimantan, Indonesia).

Character BW TL PDL PAL ADL BH LG HL HW HD IOW

(gr) (cm) (cm) (cm) (cm) (cm) (mm) (cm) (cm) (cm) (mm)

N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20

Mean 514.75 64.80 19.05 27.38 8.33 4.94 28.65 8.20 4.06 4.04 18.77

Max 780.00 74.00 23.00 33.00 10.50 6.00 34.60 9.50 5.00 5.00 22.70

Min 320.00 55.00 12.50 22.00 4.50 4.00 22.70 6.50 3.00 3.00 15.40

SD 123.79 5.94 2.39 2.73 1.26 0.43 2.98 0.86 0.52 0.46 2.07

BW : body weight, TL : total length, PDL : pre-dorsal length, PAL : pre-anal length, ADL : ano-dorsal length, BH : body depth, LG : length of gape, HL : head length, HW : head width, HD : head depth, IOW : inter-orbital width

Page 114: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

114

FISH DIVERSITY OF UPPER PART OF SERAYU RIVER

AS A BASE OF CONSERVATION

W. Lestari* and Sugiharto

ABSTRACT

Conservation of riverine fish should be based on fish biology particularly ecology of fish.

However, information on this subject was not available since most research was conducted on

distribution and morphology or aquaculture. Therefore, this research was carried out to fulfill this need.

Survey was conducted in 30 sites in upper part of Seraru River. Fish was collected by applying seine net

combined by electro fishing during long dry season in 2007. Ninet families, constructed by 17 species of

1796 individuals were recorded. There were Cobitidae, Bagridae, Channidae, Gobiidae, Clariidae,

Chichidae, Sisoridae and Cyprinidae. Seven species of Cyprinidae such as Osteochilus hasseltii, O

kahajanensis, O microcephalus, Puntius javanicus, P orphoides, Rasbora agryrotaenia and R lateralis

were dominant. Meanwhile, Osteochilus microcephalus with 178 individual was the commonest species

and Glyptothorax platypogon with 899 individuals belong to Sisoridae occurred in all sites. Puntius

javanicus with two individuals was the rare species. Population of an endemic fish of Java seems to be

endangered and needed an urgent conservation.

Key words: diversity, riverine fish, conservation, Serayu River

INTRODUCTION

Among the diverse human impacts on rivers, there are three main threats. The

first is degradation of drainage basins, especially due to deforestation. This impact

causes increase in suspended sediment loads and flooding. Excessive flooding siltation

changes river habitats causing species decline. Observation in the Gombak River

Malaysia demonstrated the reduction of fish species due to land development. In 1969,

twenty seven species were recorded, data from 1985 indicated that seven fish species

have completely vanished and five years later four more species disappeared (Zakaria

Ismail, 1994). The second threat is river regulation and control. Flow regulation

changes the magnitude and extent of floodplain inundation and land water interactions.

Fish breeding migrations may be disrupted because dams block migration routes and

change flow regimes. The third threat is river pollution. Untreated waste is a particular

problem in densely populated areas and pollution by industrial effluents is a serious

problem in tropical rivers (Dudgeon, 1992). Most pollution comes from domestic,

* Faculty Biology, University of Jenderal Soedirman. Jl. dr. Suparno No 63. Kampus,Karangwangkal. Purwokerto 53122. e-mail: [email protected]

Page 115: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

115

agricultural or industrial wastes and can be totally toxic, killing all the fish species

present or selective, destroying a few sensitive species (Maitland, 1995; Kottelat and

Whitten, 1996). For example, thousand tones of the freshwater fish in the floating nets

in the Saguling, Cirata and Jatiluhur reservoirs (West Java) were killed by poisonous

waste every year (Lehmusluoto, 1993)

Based on these fenomena, the research was carried out to determine the fish

diversity of Serayu River especially in upper part.

MATERIALS AND METHODS

Materials

Fishes and water samples were collected from upper part of Serayu River. The

sampling was performed twice during dry season in March - October 2007.

Sampling Methods

The fish sampling was performed in 30 sites of upper part of Serayu River

(Figure 2). Concerning that the efficiency of electric fishing is highest in such a

condition as follows depth < 1 metre with low current, solitary and non migratory fishes

with size > 30 cm (Casselman et al 1990), meanwhile the condition of the 30 sampling

sites was varied, the combined seine net and electric fishing was applied mostly in this

research it means that this combined method was the primary collection method

(Gorman and Karr, 1978, American Public Health Association, 1989) (Figure 1.).

Figure 1. Sampling scheme for fishes. The samples were taken from 2 metres from bank river.

Page 116: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

116

Fishes were sampled by a combined seine net and electric fishing as determined

by the environmental condition at each sampling site. In each sampling site, two types

of microhabitat (riffle, pool and riffle) were differentiated. Riffle habitat is characterised

by flow, shallow and stony substrate. Pool habitat by standing water or very slow

current, deeper and muddy substrate (Angermeier and Karr, 1983). When distinct

microhabitat types riffle and pool were present in sampling site, the pool habitats were

sampled by applying 1.5 x 15 metres seine net with 0.75 cm, 1.5 cm and 3 cm mesh.

The seine net was drawn through and emptied, and then fish were accounted. Riffle

habitat was sampled by thoroughly disturbing the substrates down to 10 cm by kicking

and using electric fishing while moving. Non stationary debris (branches, logs, etc) and

rock that protrude into the water column were removed from the channel in order to

facilitate seining net (Angermeier and Karr, 1983).

Figure 2. Catchment Areas of Serayu

Data Analysis.

The fish composition of the Serayu River was evaluated by counting all fish

captured from 30 sampling sites with 2 replications. Based the species abundance, all

Page 117: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

117

species of fish was classified into abundance or rare and the results presented in

histograph.

RESULTS AND DISCUSSION

The results of physico-chemical parameters observation was presented in

Appendix 1. It seems that physic of Serayu River was varied. For instance, width and

depth were gradually increased fro upper part to down part such as in site 5 (808 m asl)

with 15 m in width and 40 cm in depth. These become 50 m and 200 cm in site 15 (588

m asl). Clearly, that Serayu River resembled the pattern river continuum (Payne, 1986).

The chemical parameters showed that Serayu River received organic materials

from surrounding areas (App 1). The average BOD value (0.2 mg/l) was recorded in site

30 and the highest COD (19.2 mg/l) was in site 17, it was due to mostly of catchment

areas of Serayu River was agricultural areas and housing. Both are the main source of

organic pollution (Mason, 1991). However, the pH and DO was well supported the

aquatic living particularly fish. It was 7.0 -7.5 and DO more than 6.0 mg/l (Lowe-Mc

Connell, 1975; Leveque, 1997; Martin-Smith, 1998).

Table 1. Fish Abundance of Upper part of Serayu River (n: 60)

Family Species Total (individuals)

Bagriidae Mystus nigriceps 21 Channidae Channa gachua 1 Channa striata 1 Clarridae Clarias batrachus 1 Chichilidae Oreochromis mossambicus 0 Oreochromis niloticus 4 Cobiidae Glossobius bioceliatus 7 Cobitidae Nemachilus fasciatus 139 Cyprinidae Osteochilus hasselti 55 Osteochilus mircocephalus 164 Osteochilus kahajanensis 2 Puntius javanicus 2 Puntius orphoides 15 Rasbora agryrotaenia 7 Rasbora lateristriata 6 Mastacembelidae Macrograthus aculeatus 2

Sisoridae Glyptothorax platypogon 1357 1784

Page 118: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

118

Fish collection in Table 4 demonstrated that Cyprinidae was dominant in this

part of river. The species richness was 17 species composed by 1784 individuals. Those

belong to nine families. Serayu River was poorer than other rivers such as Logawa

River that inhabited by 33 species (Lestari, 2004, 2005). Like other tropical rivers,

Cyprinidae was the commonest fish, since this family was well adapted in many varied

river conditions. Lowe-McConnell (1975) also reported that Cyprinidae commonly

dominated the rivers in the whole of Southeast Asia. In Western Borneo, about one-

third of all freshwater fishes belong to the family Cyprinidae (Robert, 1989) and in the

Baram River in Sarawak. More over, 44 species of Cyprinidae were recorded in Java

rivers (Kottelat et al., 1993).

Like many other rivers, habitat complexity increases as width and depth increase

may lead to increase in density, and diversity of in downstream part (Schlosser, 1990).

Previous study of fish in rivers revealed variations in fish species composition along

longitudinal gradients within individual rivers, portraying adaptation to habitat

condition associated with upstream versus downstream variation in depth, current and

substrate type (Gorman and Karr, 1978).

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29

Sites

Nu

mb

er

os S

pecie

s

Figure 3. Fish Richness in each site of upper part of Serayu River

Page 119: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

119

The abundance of fish also portrayed that fish community was mainly

dominated by Cyprinidae, particularly Osteochilus mircocephalus with 164 individuals.

However, only two individuals of Macrograthus aculeatus was captured. The most

abundance site was recorded in site 27 inhabited by 204 individuals, and the poorest

were sites 11 and 13 that only occupied by two individuals. Dominancy of Osteochilus

mircocephalus in this river could be responsible for decreased of riverine fish such as

Macrograthus aculeatus, Channa gachua and Clarias batrachus and an endemic java

fish such as Puntius javanicus.

Concerning the importance of upper part as spawning ground of fish, like case of

the upper stream part of Putah Creek California (Angermeier and Karr, 1983). This part

provided better condition and it was apparently more favourable condition for spawning

and rearing of native species. Moreover, the impact of clearance of forest and

establishment of plantation changes of water quality of rivers through chemical

applications to crops and directly addition of nutrient to the rivers. Clearance forest and

established plantation in upper part of Kali Bedadung in East Java, were claimed as

major cause of high total suspended solids (10 mg/l), total dissolved solids (90.0 mg/l),

conductivity (90µS/cm) of this river (Dudgeon, 2000). Therefore, maintaining the

natural condition of upper part of river areas becomes necessary.

0

50

100

150

200

250

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29

Sites

To

tal

Nu

mb

er

of

Ind

ivid

uals

Figure 4. Fish abundance in each site of upper part of Serayu River

Page 120: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

120

CONCLUSION

Upper part of Serayu River occupied 1796 individuals composed by 7 species

belong to nine families: Cobitidae, Bagridae, Channidae, Gobiidae, Clariidae,

Chichidae, Sisoridae and Cyprinidae. Maintaining the natural condition of this part

becomes necessary.

ACKNOWLEDGEMENT

This research is part of fundamental research which is financially supported by

DP2M, DIKTI 2007.

REFERENCES

American Public Health Association. (1989). Standard Methods for the Examination of

Waste and Waste Water. American Public Health Association. New York

Angermeier, P.L and Karr, J.R. (1983) Fish communities along environmental gradients in a system of tropical streams. Environmental Biology of Fish 9:117 - 135.

Casselman, J.M., Penczak, T., Carl, L., Mann, R.H.K., Holcik, J and Woitowich, W.A. (1990). An Evaluation of Fish Sampling Methodologies for Large River Systems. Polskie Arch Hydrobiologii 37(4): 512-551.

Colwell, R.K. (2000). Statistical Estimation of Species Richness and Shared Species

From Samples. EstimateS. University of Connecticut. USA. http://viceroy-eeb.uconn.edu/Esti diakses pada 25 Juli 2002.

Dudgeon, D. (1992) Endangered ecosystems: a review of the conservation status of tropical asian rivers. Hydrobiologia 248: 167 - 191.

Dudgeon, D. (1999). The Future Now: Prospects For The Conservation of Riverine Biodiversity in Asia. Aquatic Conservation: Marine and Freshwater

Ecosystems 9: 497-501 Dudgeon, D. (2000). Riverine Biodiversity in Asia: a Challenge for Conservation

Biology. Hydrobiologia 418: 1- 13

Gorman, O.T and Karr, J.R. (1978) Habitat structure and stream fish communities. Ecology 59(3): 507 - 515.

Krebs, C.J. (1998). Ecology: the Experimental Analysis of Distribution and Abundance.

Harper and Row. New York. Kottelat; M., Whitten, A.J., Kartikasari, S.N and Wirjoatmodjo,S. (1993). Freshwater

Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Periplus. Jakarta Kottelat, M and Whitten .T. (1996). Freshwater Biodiversity in Asia: with Special

Reference to Fish. World Bank Technical Paper No: 343. Washingto DC

Page 121: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

121

Lagler, K.F., Bardach, J,E., Miller. R.R. and D.R. May Passino. (1977). Ichthyology.

John Wiley and Sons. New York.

Lehmusluoto, P. (1993) Limnology of Indonesia Lakes and Reservoirs: With Reference

to the Saguling, Cirata and Jatiluhur Reservoirs in the Citarum River Basin. Final Project Seminar on Water Quality Management and Optimisation of the System of the Citarum River Basin, Bandung 9 - 14 Augusts 1993.

Lestari,W and M.Mühlenberg. (2004) Freshwater fish of the Logawa River Central

Java, Indonesia: Adapted or Threatened In: E.Kalko dan M Tschapka (Eds). Proceeding of the 17th Biodiversity and Dynamics in Tropical Ecosystem. ISSN 0944-4122 p: 181

Lestari,W.(2005). Fish Communities of Tropical River: a Case Study of the Mengaji River, Central Java, Indonesia. Sains Akuatik 7(2): 60-66

Lestari,W. (2005b). Kranji Stream: Fish Community and Organic Pollution. In: E.Yuwono dan P. Sukardi (Eds). Prosiding Seminar Nasional Biologi dan Aquakultur Berkelanjutan. ISBN 929-9995-0-2 p: 89-94.

Leveque, C. (1997). Biodiversity Dynamic and Conservation. The Freshwater Fish of

Tropical Africa. Cambridge University Press. Cambridge Lowe-Mc Connell, R.H. (1975). Fish Communities in Tropical Freshwaters: Their

Distribution, Ecology and Evolution. Longman, London Martin-Smith, K.M. (1998). Relationships Between Fishes And Habitat In Rainforest

Stream In Sabah, Malaysia. Journal of Fish Biology 52: 458 – 482 Mason, C.F. (1991). Biology of Freshwater Pollution. Second Edition.Longman Group

United Kingdom Ltd, Harlow, England Payne, A.I. (1986). The Ecology of Tropical Lakes and Rivers. John Wiley and Sons,

Chichester

Roberts, T.R. (1989) The freshwater fishes of Western Borneo (Kalimantan Barat, Indonesia). Mem. California.Acadamic. Science 14: 1 - 210.

Schlosser, I.J. (1990) Environmental variation, life istory attributes and community structure in stream fishes: implication for environmental management and assessment. Environment Management 14: 621 - 628.

Zakaria Ismail, M. (1994) Zoogeography and biodiversity of the freshwater fishes of Southeast Asia. Hydrobiologia 285: 41 - 48.

Page 122: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

122

Appendix 1. Physico-chemical parameters of 30 sites in upper part of Serayu River

Site Width

(m)

Depth

(cm)

Current

(m/sec)

Intencity

(m)

Air

Tempe-

rature (oC)

Water

Tempe-

rature (oC)

pH DO

(mg/l)

BOD

(mg/l)

COD

(mg/l)

1 10 _ 20 50 1.0 50 21-22 21-22 7,00 8,8-9,8 2,2-2,6 3,77- 4,68

2 20 _ 25 55 1.3 55 21 -23 22-23 7,40 8,6-9,8 1,8-5,0 4,1-4,93

3 20 _ 30 55 0.8 55 23 -27 23-24 7,30 8,8-11,8 1,54-2,60

3,44-4,97

4 20 _ 35 35 0.7 35 23 -25 25-26 7,00 9,2-10,0 0,97-3,2 2,0-6,44

5 15 _ 20 50 1.1 50 22- 24 23-24 7,30 10,0 0,97-2,6 4,35-4,68

6 40 _ 50 35_50 0.7 50 22 -24 23-25 7,50 7,8-10,4 2,6-3,26 2,61-6,14

7 15 _ 20 40_55 1.1 55 21- 26 23-25 7,40 8,2-9,0 1,54-7,6 2,3-4,97

8 15 _ 25 55 2.0 55 21-22 23-25 7,40 7,8-9,0 1,2-1,83 4,97-24,35

9 20 _ 25 50 _90 1.2 75 21 -24 23-24 7,50 8,2-9,0 1,83-4,6 2,93-6,38

10 15 _ 30 40_80 1.0 55 21-22 23-25 7,50 6,8-10,4 1,0-2,11 3,51- 6,67

11 30 70 0.7 45 22-23 23 7,00 8,8-10,0 1,0-2,0 6.67-7,90

12 30 40_65 1.0 65 21-26 23-24 7,00 8,6-10,8 1,2-1,4 7,9-10,99

13 25 55_60 1.2 45 21-28 23 7- 7.5 8,4-10,6 2,4-8,4 8,62-12,37

14 30 30 1.1 30 24-30 26 6.8 -7 8,2-10,2 2,0-4,2 1,37-8,62

15 50 > 200 0.6 50 27-28 23-26 6.8 -7 10,4-10,6

1,8-6,0 2,75-9,34

16 25 50_60 0.8 60 26-27 24-26 7,00 8,2-9,4 0,6-5,4 4,12-14,36

17 25 45_80 0.5 50 24 24-25 7,00 8,0-10,4 1,8-2,6 9,34- 19,23

18 20_25 50_60 0.8 60 24-27 25 7,00 6,2-9,4 1,4-2,4 14,36- 16,49

19 30 60 0.9 60 22–24 25 7,00 7,4-10,0 2,0-2,6 7,90-14,08

20 20 40_80 1.1 65 23 25-26 7,00 8,8-10,0 1,2-3,6 8,59-10,41

21 30 6.90 1.4 1.4 24-27 24-27 7,00 8,8-10,4 2,2-3,6 4,82-5,84

22 25 54.90 0.2 0.2 26-32 25 7-7,5 7,8-9,8 0,4-1,4 3,91-5,16

23 50 87.90 0.1 0.1 26-32 26 7,00 10,0 10,4

0,5-1,8 3,91-5,59

24 30 64.50 0.2 0.2 26-31 24-28 7,00 10,0-10,2

0,9-1,8 4,51-6,03

25 25 73.73 0.1 0.1 26–31 24-28 7,00 10,0- 10,4

0,2- 0,4 3,61-7,74

26 30 72.30 0.1 0.1 25-29 25-27 7,00 10,0- 10,2

2-3,2 5,16-6,32

27 25_30 13.58 0.7 0.7 27–31 25-28 7- 7,5 8,2-10,2 0,2-0,4 4,21-5,16

28 50 9.01 1.1 1.1 27 26 6,8 - 7,00 9,4-10,6 0,7-2,0 6,45 - 6,92

29 40 9.55 1.0 1.0 27-31 26 - 29 7,00 10,0-10,2

1,4-3,2 3,87-6,92

30 50 5.07 1.9 1.9 25 – 27 26 -30 7,00 10,0- 10,2

0,9-1,4 3,87-6,32

Page 123: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

123

PROSPEK KANAL PERIFITON SEBAGAI BASIS PENGELOLAAN

PERAIRAN DARAT: Potensi Perifiton Sebagai Bioindikator, Bioproduk, dan Biotik

Uptake di Perairan

Nofdianto*

ABSTRAK

Salah satu dampak krisis global yang melanda planet bumi dewasa ini adalah terjadinya

degradasi ekologis pada sektor perairan darat. Terutama di negara-negara berkembang seperti halnya

Indonesia pengelolaan sumberdaya perairan umumnya masih bersifat darurat dan tidak memperhatikan

aspek perlindungan dan pelestarian. Didukung oleh faktor geografis, pengembangan model pengelolaan

perairan darat berbasiskan “Kanal Perifiton” memiliki prospek terutama sebagai bio-indikator, bio-

produk, dan biotik- Uptake. Beberapa studi secara terpisah telah dilakukan terhadap tiga prospektif

tersebut, antara lain studi pemodelan produksi net yang mengukur laju fotosintesis-respirasi dan

dikembangkan sebagai bio-indikator di perairan lotik di Laboratorium SEVAB Universitas Paul Sabatier

Toulouse Perancis. Net produksi bervariasi secara nyata berdasarkan waktu dan tempat terutama

dengan ketersediaan cahaya, arus, nutrien, dan tingkat polusi. Produksi massal dan laju biotik-uptake

dilakukan pada sebuah prototipe ”Kanal Perifiton” di Puslit Limnilogi-LIPI, Cibinong, menunjukan hasil

yang sangat prospektif. Kanal mampu memproduksi hingga 986 kg berat kering perifiton jenis

Stigeoclonium sp per hektar substrat atau rata-rata produksi mencapai 808.2 kg per hektar per minggu.

Fungsi bio-sorption atau bio-uptake oleh perifiton yang diukur pada kanal mampu menurunkan

konsentrasi N,P hingga 94 persen terutama pada fase pertumbuhan eksponensial.

Kata Kunci : Kanal Perifiton, Perairan Darat, Bio-indikator, Bio-uptake, Bio-produc

ABSTRACT

One impact of the global crisis on the world is a degradation of the water ecology. In particular in

developing countries such as Indonesia, the water resource management is still conducted temporally and

without concerned to environmental protection. As a tropical country, Indonesia has a potential in

development of water resources management based pheriphyton communities, such as bio-indicators,

bio-products, and biotic-up take. The studies were done in some regions shown that net production of

periphyton community fluctuated in place and time. Mass culture and bio-uptake of periphyton were

conducted by using a “Canal Periphyton” model in Limnology–LIPI laboratory, Cibinong. The canal can

produce dry weigh of biomass up to 986 kg or the average production about 808.2 kg per hectare per

week. The study of bio-sorption or bio up take of periphyton was also conducted by using “Canal

Periphyton” model, and the result has shown that substrate periphyton able to reduce nitrogen and

phosphorus concentration up to 94 % in the water.

Key words: Canal Periphyton, Bio-indicators, Bio-product, Bio-Up take, Net production

PENDAHULUAN

Pemanfaatan, perlindungan, dan pelestarian merupakan kunci kesinambungan

ekosistem dalam pengelolaan sumberdaya alam termasuk perairan. Salah satu dampak

krisis global yang melanda planet bumi dewasa ini adalah terjadinya degradasi ekologis

* Pusat Penelitian Limnologi-LIPI, Cibinong

Email : [email protected]

Page 124: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

124

pada sektor perairan darat. Terutama di negara-negara berkembang seperti halnya

Indonesia pengelolaan sumberdaya perairan umumnya masih bersifat darurat dan tidak

memperhatikan ketiga aspek tersebut di atas. Sementara air merupakan sumberdaya

yang sangat esensial bagi kehidupan umat manusia. Ketersediaan sumberdaya air di

bumi tidak merata, dinamis dari waktu ke waktu, dan berbeda dari satu tempat ke

tempat lainnya. Disisi lain pertumbuhan populasi manusia semakin tinggi dengan

tuntutan urbanisasi dan industrialisasi yang semakin meluas berimplikasi pada

meningkatnya kebutuhan akan sumberdaya air. Ketimpangan antara tingkat kebutuhan

dan ketersediaan sumberdaya air akan mengakibatkan terjadinya krisis air.

Melihat nilai strategis dari sumberdaya air, maka sistem atau model pengelolaan

sumberdaya air menjadi sangat penting artinya. Termasuk berbagai kebijakan yang

berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya air perlu dilakukan untuk menanggulangi

krisis air yang berkelanjutan. Beberapa statement dan kesepakatan telah dibuat

sehubungan dengan krisis air antara lain Unesco Tahun 2003 dalam bukunya Water for

people-water for life, mengungkapkan bahwa terkait dengan permasalahan pengelolaan

sumberdaya air disinyalir sekitar 25.000 orang meninggal dunia per hari akibat

malnutrisi dan 6000 orang lainnya, yang kebanyakan anak-anak dibawah umur 5 tahun,

meninggal akibat penyakit berkaitan dengan air (water-related diseases). Pada

pertemuan puncak di Rio de Janeiro pada Tahun 1992, disepakati tentang agenda 21

yang didalamnya juga memuat tentang kebijakan sumberdaya air. Pada salah satu

Babnya menyatakan bahwa tujuan umum dari pengembangan kebijakan sumberdaya air

adalah untuk membuat kepastian terhadap ketersediaan supply secara mencukupi dari

sumberdaya air dengan kualitas yang baik dan pengelolaannya untuk seluruh populasi di

muka bumi. Melakukan pengelolaan secara hidrologis, biologis dan kemia dari fungsi-

fungsi ekosistem, adaptasi aktivitas-aktivitas manusia dalam keterbatasan kapasitas

alam dan melawan vektor penyakit berkaitan dengan air (UN, 1992). Dalam United

Nation Millenium Declaration (2000), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menghimbau

kepada negara-negara anggotanya untuk menghentikan eksploitasi sumberdaya air yang

mengakibatkan ketidaktersediaan sumberdaya air yang berkelanjutan, melakukan

pengembangan strategi pengelolaan sumberdaya air di tingkat regional, nasional

maupun lokal menuju akses berkeadilan dan distribusi berkecukupan.

Page 125: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

125

Bertitik tolak pada permasalahan di atas tulisan ini mencoba mempresentasikan

beberapa hasil penelitian tentang pengembangan model pengelolaan sumberdaya air

berbasiskan “Kanal Perifiton” baik sebagai bioindikator, bioproduk, dan biosorption

atau biouptake.

Kanal Perifiton merupakan istilah baru yang digunakan untuk menjelaskan

sebuah komunitas perifiton atau perifiton yang telah dikondisikan secara artifisial pada

sebuah substrat di bawah permukaan air yang bergerak atau mengalir. Di alam

ketersediaan perifiton terdiri dari kumpulan mikroorganisme yang terdiri dari

mikroalgae, bakteri, jamur, mikrofauna, detritus biotik maupun abiotik. Keberadaan

perifiton ini sering menempel pada benda keras sebagai substratnya berada beberapa

sentimeter di bawah permukaan air. Komunitas ini akan berkembang dengan baik

apabila didukung oleh faktor lingkungan yang memadai seperti tersedianya nutrient

yang cukup, arus air, dan cahaya.

Peran perifiton ini diperairan lotik atau perairan mengalir belum banyak

dipelajari secara intensif hingga saat ini, sementara kehadiran komunitas ini di suatu

badan air tersebut merupakan faktor yang sangat penting. Dalam hal ini perifiton

merupakan rantai trofik dasar sebagai produktivitas primer, dan juga sangat berperan

dalam proses resirkulasi kimia dan biokimia di perairan seperti pada proses fotosintesis

dalam mengikat karbon inorganik, mengasimilasi nutrien terlarut di perairan,

mineralisasi komponen organik dan lain-lain. Menurut beberapa literatur seperti Lange-

Bertalot (1979); Van Dam (1982); Schoeman & Haworth (1986); Round (1991); Cox

(1991); Prygiel & Coste (1993) perifiton sudah lama digunakan sebagai bioindikator

untuk menetukan kualitas air, baik sebagai indikator pada perairan yang kaya akan

elemen nutritif, maupun karena tingkat sensitifitasnya terhadap ion-ion metalik atau

senyawa-senyawa toksik di perairan. Bahkan perifiton juga berfungsi sebagai host dan

sumber nutrisi bagi beberapa jenis mikro konsumer seperti meiofauna dan invertebrata

herbivor di perairan.

Beberapa hasil studi melaporkan bahwa mikroalga benthik atau perifiton

ternyata sangat potensial mereduksi nutrien terutama N dan P dari perairan (Wilde &

Benemann, 1993; Wilde et al.1991; Weissman et al. 1998). Komunitas perifiton mampu

mereduksi dan mengasimilasi senyawa N dan P di perairan, seperti dilaporkan Walter &

Page 126: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

126

Dodds (2003) bahwa perifiton mempengaruhi removal P dalam badan air mengalir atau

tenang dan memiliki kemampuan mereduksi P melalui uptake dan deposisi, penyaringan

P partikulat dari badan air dan menurunkan aliran yang mempengaruhi penurunan

transport advective P partikulat dan terlarut dari sedimen. Lebih jauh fotosintesis

perifiton secara lokal mampu meningkatkan pH dan dapat meningkatkan overflow

kalsium fosfat, deposisi secara simultan karbonat fosfat komplek dan memperpanjang

siklus P. Disamping itu perifiton yang berfotosintesis secara aktif dapat menyebabkan

konsentrasi oksigen di permukaan sedimen mencapai titik jenuh yang mendorong

deposisi metal fosfat. Contoh lain Kristina & Alison (2002) dengan kemampuan

mengontrol ketersediaan derifat nutrien di sedimen perifiton mampu mengendalikan dan

menekan pertumbuhan gulma laut makro alga di pantai barat Swedia. Sementara

beberapa hasil studi lainnya juga melaporkan bahwa komunitas perifiton bahkan mampu

menurunkan konsentrasi logam berat diperairan melalui filament dan proses-proses

fisiologis yang dihasilkannya.

Dengan potensi yang dimiliki oleh komunitas perifiton tersebut serta faktor alam

yang juga mendukung penulis ingin mencoba membahas lebih jauh kemampuan dan

sumberdaya perifiton ini dalam kaitannya dengan pengelolaan perairan khususnya

perairan darat. Kali ini studi yang berhubungan dengan prospek “Kanal Perifiton”

sebagai bioindikator, bioproduk, dan biouptake menjadi bahasan utama dalam tulisan

ini.

METODOLOGI

Beberapa studi telah dilakukan secara terpisah terhadap tiga prospektif perifiton.

Studi pemodelan produksi net yang mengukur laju fotosintesis-respirasi telah

dikembangkan sebagai bioindikator di perairan lotik di Laboratorium SEVAB

Universitas Paul Sabatier Toulouse Perancis. Teknologi produksi massal dan

penghitungan laju biotik uptake dilakukan pada sebuah prototipe ”Kanal Perifiton” di

Puslit Limnilogi-LIPI, Cibinong.

Pemodelan produksi net dari komunitas perifiton pada site Pinsaguel dan

Gagnac sungai Garonne di Toulouse Perancis dilakukan dengan menggunakan “Model

Page 127: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

127

P3B” yang dikembangkan oleh (Nofdianto dan Dauta, 2004). Model ini merupakan

penggabungan antara data base lapangan dengan pengukuran secara infitro di

laboratorium. Penentuan laju fotosintesis dan respirasi digunakan parameter KI, Pmax,

dan respirasi yang diukur secara laboratori yang diekspresikan pada persamaan berikut:

P = Pmax * I *(1+ Ki)-1

P = produksi fotosintetik (fosintesis) yang bisa diekspresikan sebagai nilai produksi

primer kotor (GPP) atau nilai produksi primer bersih (NPP). Pmax = produksi

maksimal pada saat intensitas cahaya dititik jenuh, I = intensitas cahaya saat

pengukuran, Ki = nilai konstanta pada titik paroh jenuh cahaya.

Persamaan ini dihubungkan dengan nilai fotosintesis sesaat pada masing-masing

fluktuasi intensitas cahaya harian selama 12 jam (Nofdianto, 2005).

Teknologi produksi massal dan penghitungan laju biotik uptake dilakukan pada

sebuah prototipe ”Kanal Perifiton”.

Gambar 1. Sketsa “Kanal Perifiton” dilihat dari sisi depan dan atas.

Kanal perifiton ini dibuat dengan konstruksi beton dengan ukuran panjang total

7 meter, lebar total 2,5 meter dan tinggi/kedalaman 0,5 meter. Kanal menyerupai doubel

U yang menghubungkan dua buah bak reservoir dengan volume total sekitar 1000 liter.

MPB Photo-bioreactorMPB Photo-bioreactor

Page 128: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

128

Untuk menciptakan arus, kanal dilengkapi dengan dua buah submersible pump yang

berkapsitas sekitar 3000 liter per jam, pompa ini bekerja masing-masing selama 12 jam

per hari yang dikontrol dengan menggunakan timer. Kanal perifiton juga dilengkapi

dengan pengontrol batas permukaan air automatik menggunakan water level ball dan

tangki air fibre 500 liter. Instrumen ini berfungsi sebagai pengontrol volume air media

dalam kanal terhadap proses evaporasi sekitar 10 hingga 15 liter per hari. Untuk

mengurangi pengaruh radiasi UV dan masuknya air hujan kanal ditutup dengan atap

flaxy exel warna putif susu pada ketinggian sekitar 80 centimeter dari permukaan kanal.

Akumulasi perifiton dilakukan dengan pengambilan biang berasal dari perairan

mengalir dilokasi percobaan, dikoleksi sesuai metoda standar dan dengan menggunakan

sebuah kontainer yang dilengkapi pengontrol suhu perifiton segera dibawa ke

laboratorium, untuk selanjutnya diinkubasikan pada fotobioreaktor dengan

menggunakan media air tanah yang diperkaya dengan 0.115 NH4Cl mg.l-1

, 0.022 mg

KH2PO4 mg.l-1

, 0.018 mg O3Na2Si, 5H2O mg.l-1

) dan trace element dengan pH akhir

diset sekitar 7.

Mengukur laju biotik uptake perifiton dilakukan dengan penambahan

konsentrasi nutrien pada media tumbuh. Pengukuran konsentrasi nutrien dilakukan

setelah 4 jam untuk menetapkan konsentrasi awal. Selanjutnya pengambilan sampel dan

pengukuran konsentrasi nutrien (TN, NO3, TP, PO4) dilakukan setiap 24 jam selama 7

hari dan dilakukan selama 5 minggu. Biomassa perifiton ditentukan setiap minggu

dengan mengukur berat kering dalam bentuk DW, AFDW, dan Klorofil a sesuai dengan

cara kerja metoda standar untuk perifiton.

HASIL DAN DISKUSI

Fluktuasi gross primary production (GPP) dan net primary production (NPP)

diukur pada sesi melintang atau cross section stasiun Gagnac dan Pinsaguel yang

dimodelkan selama periode siang hari dimusim panas dengan menggunakan “P3B

model” (Gambar 2.). Berdasarkan sebaran grafik yang diperoleh terlihat bahwa nilai

NPP positif hanya terdapat pada sebagian cross section saja terutama pada saat

intensitas cahaya tinggi. Pada stasiun Gagnac untuk sektor 2 hingga 7 dengan

Page 129: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

129

kedalaman 0.9 sampai 1.2 meter, oksigen balansnya selalu negatif, sebagai

konsekuensinya untuk sektor ini nilai NPP per harinya tidak pernah mencapai angka

positif.

Gambar 2. Pemodelan fluktuasi GPP dan NPP pada cross-section stasiun Gagnac dan Pinsaguel dari

pukul 5 pagi hingga pukul 12 siang

Berdasarkan hasil proyeksi model P3B, sangat memungkinkan metoda ini

digunakan sebagai pembanding diferensiasi yang ditimbulkan oleh faktor intensitas

cahaya atau kecerahan, musim, dan ketinggian. Secara umum kecerahan rendah akan

meningkatkan defisit keseimbangan oksigen harian pada setiap sektor perairan sungai.

Hasil kuantifikasi proses ini juga berkaitan erat dengan sebaran dan akumulasi

komunitas perifiton, ketersediaan nutrien, pencemaran dan mikroinvertebrata grazer

serta kondisi morfologis perairan itu sendiri.

-900

-600

-300

0

300

600

900

1200

1500

1 3 5 7 9 11 13

Sectors

P ( m

g O

2.m

-2.h

-1 )

05.00

06.00

07.00

08.00

12.00

05.00

06.00

07.00

08.00

12.00

Gagnac Pinsaguel

GP

NP

-600

-300

0

300

600

900

1200

1500

1 3 5 7 9 11 13

Sectors

P (mg O

2.m

-2.h

-1)

-900

-600

-300

0

300

600

900

1200

1500

1 3 5 7 9 11 13

Sectors

P ( m

g O

2.m

-2.h

-1 )

05.00

06.00

07.00

08.00

12.00

05.00

06.00

07.00

08.00

12.00

05.00

06.00

07.00

08.00

12.00

05.00

06.00

07.00

08.00

12.00

Gagnac Pinsaguel

GP

NP

GP

NP

-600

-300

0

300

600

900

1200

1500

1 3 5 7 9 11 13

Sectors

P (mg O

2.m

-2.h

-1)

Stigeoclonium sp - Mei 2008

y = -9.0397Ln(x) + 21.352

R2 = 0.7517

0

5

10

15

20

25

30

0 2 4 6 8 10 12 14

Time (day)

TN (mg/L)

Page 130: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

130

Gambar3. Grafik penurunan konsentrasi N P yang dukur sebagai biouptake perifiton pada fotobioreaktor

kanal.

Biotik uptake yang diekspresikan dengan penurunan konsentrasi nutrien (N,P) di

media oleh “Kanal Perifiton” seperti terlihat pada Gambar 3. Penurunan konsentrasi N

dan P berturut-turut berkisar 93.66 dan 94.40 % dari konsentrasi awal yang dimonitor

selama lebih kurang dua minggu. Penurunan konsentrasi nutrien lebih efektif terutama

pada fase tumbuh eksponensial atau berkisar antara satu hingga 3 minggu.

Hal lain yang juga menjadi perhatian dari biouptake perifiton ini adalah laju

uptake harianya cenderung menurun selama pengamatan (Gambar 4.). Hal ini berarti

bahwa kemampuan uptake komunitas perifiton ada kaitannya dengan tingkat akumulasi

biomassa atau dengan ketersediaan nutrien di media. Dugaan ini di perkuat dengan

membandingkan hasil laju uptake pada fase stasioner dan fase tua , dimana laju uptake

sudah sangat rendah dan penurunan konsentrasi menjadi sangat fluktuatif (Data tidak

ditampilkan). Persoalan lain yang mungkin timbul bila biosorption ini untuk

diaplikasikan dilapangan adalah penimbunan biomasa perifiton pada reaktor.

Penimbunan ini bisa berakibat buruk terhadap kualitas air yang ditreatmen karena akan

melepas eksudat berasal dari proses dekomposisi biomassa. Untuk itu pemanfaatan

biouptake “Kanal Perifiton” akan lebih efektif pada fase tumbuh awal (1 hingga 3

minggu) dan memblok fase tumbuh selanjutnya dengan cara pemanenan.

y = -0.9782Ln(x) + 2.5318

R2 = 0.8651

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

0 2 4 6 8 10 12 14

Time (day)

TP (mg/L)

Page 131: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

131

Gambar 4. Laju bio-uptake perifiton diamati selama 2 minggu pada fotobioreaktor kanal.

Gambar 5. Grafik konversi bio produk perifiton yang diekspresikan dalam berat kering dan berat kering

tanpa abu.

Pemanfaatan potensi bioproduk sebagai biomassa dari perifiton yang cenderung

monokultur pada pertengahan hingga akhir masa akumulasi), yang mana setelah

dikonversikan kanal mampu memproduksi hingga 986 kg berat kering perifiton jenis

Stigeoclonium sp per hektar substrat atau rata-rata produksi mencapai 808.2 kg per

hektar per minggu (Gambar 5.). Bioproduk ini sangat potensial untuk dikembangkan

sebagai bahan baku obat, kosmetik, pakan, pupuk organik, dan biofuel. Dalam

pemanfaatan biomasa juga terbuka kemungkinan pengembangan teknologi perikanan

budidaya perikanan dengan perifiton sebagai pakan utamanya, sehingga biaya produksi

bisa ditekan lebih jauh.

Ucapan Terimakasih

Banyak pihak yang mendukung terlaksananya kegiatan ini, terutama Prof. Dr. Alain

DAUTA dari Universitas Paul Sabatier Toulouse III Perancis, dukungan dana dari

kegiatan Kompetitif LIPI, dan seluruh teman-teman yang terlibat pada kegiatan

kompetitif “Fitoteknologi Mikrofitobentik” Puslit Limnologi, Cibinong.

y = -1.6647Ln(x) + 4.9985

R2 = 0.933

0

1

2

3

4

5

6

0 2 4 6 8 10 12 14 16

Daily uptake Uptake rate (mgTN /L/day)

0

200

400

600

800

1000

1200

2-Jul-

08

8-Jul-

08

15-Jul-

08

22-Jul-

08

29-Jul-

08

3-Aug-

08

Sampling

Biomas ( Kg/Ha )

DW total

AFDW Total

Page 132: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

132

DAFTAR PUSTAKA

Cox, E.J.(1991). What is the basis for using diatoms as monitors of river quality. ln

Whitton B.A., Rott E. & Friedrich G. (eds.), Use of algae for monitoring rivers,

Düsseldorf, E. Rott, Innsbruck; 33-40.

Kristina S.& Alison M. (2002). Role of microphytobenthos and denitrification for

nutrient turnover in embayments with floating macroalga mats: a spring

situation. Aquatic Microbia Ecology, 30: 91-101.

Lange-Bertalot, H. (1979). Pollution tolerance of diatoms as a criterion for water quality

estimation. Nova. Hedw. Bieh. 64:285-304.

Prygiel, J. and M. Coste, (1993). Utilisation des indices diatomiques pour la mesure de

la qualité des eaux du bassin Artois-Picardie: bilan et perspectives. Annls

Limnol. 29 (3-4) : 255-267.

Round, F.E. (1991). Diatoms in river water-monitoring studies. J. Appt. Phyrot. 3 : 129-

145.

Schœman, F .R. and Haworth, E. Y. (1986). Diatoms as indicators of pollution. Report

on a workshop. ln M. Ricard (00.), Proc. of the 8th. Internat. Diatom Symp.

Paris Aug. 84, O. Kœltz Publ., Kœnigstein. : 757-759.

UN Mellinium Declaration, 2002. World Urbanization Prospects, The 1999 Revision.

New York.

UN, 1992. Agenda 21. Programme of Action for Sustainable Development. Official

Outcome of the United Nations Conference on Environment and Development

(UNCED).3-14 Juni 1992. Rio de Janeiro.

Unesco, 2003. Water for People-Water for Life. The United Nations World Water

Development Report. Unesco Publishing/Berghahn Books.

Van Dam, H. (1982). On the use of measures of structure and diversity in applied

diatom ecology. Nova Hedwigia 73: 97-115.

Walter K& Dodds (2003). The role of periphyton in phosphorus retention in shallow

freshwater aquatic systems. J. Phycol.39: 840-849.

Weissman, J.C., Radway, J.C., Wilde, E.W., and Benemann, J.R. (1998). Biosources

Tech., 65: 87-95.

Wilde, E.W., and J.R. Benemann, J.R. (1993). Biotechnology Advances. 11:781-812.

Wilde, E.W., J.R. Benemann, J.R. Weissman, J.C., and Tillett, D.M. (1991). U.S. Patent

No.5,011,604

Page 133: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

133

STUDI EKOLOGI MAKROFITA AKUATIK UNTUK BIOMONITORING

STATUS TROFIK EKOSISTEM WADUK

Dwi Nugroho Wibowo∗∗∗∗ dan Agatha Sih Piranti

∗∗∗∗

ABSTRAK Penelitian tentang studi ekologi makrofita akuatik untuk biomonitoring status trofik ekosistem

waduk telah dilakukan di waduk Penjalin, Paguyangan, Kabupaten Brebes. Variabel penelitian diambil

dari sembilan stasiun pengamatan terpilih yang mewakili zona inlet, tengah, dan outlet waduk. Tujuan

penelitian ini adalah untuk mempelajari keragaman makrofita akuatik di waduk Penjalin pada zona inlet,

tengah, dan outlet waduk, baik pada musim kemarau maupun musim hujan sebagai upaya mendapatkan

biota indikator status trofik ekosistem waduk. Analisis struktur komunitas makrofita akuatik dilakukan

dengan mendeskripsikan data keragaman jenis makrofita. Kesamaan karakteristika makrofita akuatik

antar zona waduk ditelaah berdasar dendogram kesamaan rata-rata. Variasi karakteristika variabel

kualitas air dan makrofita akuatik antar stasiun dikaji dengan analisis multivariat yang didasarkan pada

analisis komponen utama, sedangkan distribusi spasial makrofita akuatik dianalisis menggunakan

analisis faktorial korespondensi. Berdasarkan variasi karakteristik variabel kualitas air, waduk Penjalin

termasuk kedalam waduk eutrof. Keragaman makrofita akuatik di waduk Penjalin pada musim hujan

menunjukkan keragaman yang rendah (4 jenis), yaitu Hydrilla verticillata, Ipomoea aquatica, Ludwigia

adscendens, dan Eichhornia crassipes. Informasi tentang distribusi spasial berdasarkan pada keragaman

makrofita akuatik dan informasi variasi temporal berdasarkan pada biomasa makrofita akuatik, baik

pada musim kemarau maupun musim hujan tidak diperoleh. Hal ini disebabkan karena adanya serangan

hama Pomacea canaliculata.

Kata kunci : makrofita akuatik, biomonitoring, status trofik

ABSTRACT

An ecological study on aquatic macrophytes for biomonitoring trophic status of water reservoir

ecosystem was conducted in Penjalin Water Reservoir, Paguyangan, Brebes Regency. Variables of study

were taken from nine selected observation stations representing inlet, middle, and outlet zones both in wet

season and dry season. The study was aimed to investigate the diversity of aquatic macrophytes in

Penjalin Water Reservoir at the three zones in both season in order to obtain bioindicator for trophic

status of water reservoir ecosystem. The analysis on community structure of aquatic macrophytes was

carried out by describing data on the diversity of aquatic macrophytes species. The similarity of aquatic

macrophyte characteristics among zones was analyzed on the basis of average similarity dendogram. The

variation of water quality and aquatic macrophyte characteristics among stations was analyzed using

multivariate analysis based on the analysis of main component, while spatial distribution of aquatic

macrophytes was analyzed using correspondence factorial analysis. Based on the variation of

characteristics of water quality, Penjalin Water Reservoir belongs to oligotrophic status. Low diversity of

aquatic macrophytes in Penjalin Water Reservoir in wet season (4 species) was observed, i.e. Hydrilla

verticillata, Ipomoea aquatica, Ludwigia adscendens, and Eichhornia crassipes. Information about spatial

distribution based on the diversity of aquatic macrophytes species and temporal variation based on

aquatic macrophyte biomass either in dry or wet season were not obtained. This was due to the existance

of Pomacea canaliculata pest.

Keywords: aquatic macrophyte, biomonitoring, trophic status

∗ Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

Email : [email protected]

Page 134: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

134

PENDAHULUAN

Eutrofikasi adalah proses pengayaan unsur hara, terutama nitrogen (N) dan

fosfor (P), yang saat ini merupakan fenomena pada perairan danau, waduk, dan sungai

dengan kecepatan aliran air (debit, m3/det) rendah (Abel,1989). Fenomena itu ditandai

dengan pertumbuhan makrofita akuatik. Secara alamiah ekosistem perairan akan

mengalami suksesi tingkat trofik dari oligotrof (miskin hara) menuju eutrof (kaya hara).

Aktivitas manusia dalam bidang pertanian yang saat ini banyak menggunakan pupuk

untuk meningkatkan produksinya, bahan organik dan deterjen yang berasal dari limbah

cair domestik, serta limbah cair industri mempercepat eutrofikasi.

Proses pengayaan unsur hara pada ekosistem perairan akan menimbulkan

perubahan-perubahan parameter fisika-kimia dan biologi. Perubahan parameter fisika

antara lain meningkatnya kekeruhan air dan pendangkalan. Perubahan parameter kimia

ditandai dengan meningkatnya kadar unsur hara, terutama N dan P, dari status oligotrof

menjadi eutrof. Perubahan parameter biologi ditunjukkan dengan meningkatnya

diversitas (keanekaragaman) makrofita akuatik yang pada status oligotrof besar dengan

biomassa kecil menjadi kecil dengan biomassa besar pada status eutrof atau terjadi

dominansi jenis (Harper,1992). Pada status eutrof selalu muncul jenis makrofita akuatik

yang dominan dan karateristik.

Waduk Penjalin yang terletak di desa Winduaji, Kecamatan Paguyangan,

Kabupaten Brebes merupakan waduk buatan, melipati areal seluas 125 ha, dengan

kedalaman normal 17 m, volume air 9,5 juta m3 dengan panjang tanggul 850 m. Waduk

itu terletak pada ketinggian 152 m di atas permuakaan air laut (dpl) pada 107o15’ LS

dan 109o01’ BT yang menempati daerah topografi cekungan yang pada awalnya

merupakan badan air alami. Sumber airnya berasal dari sungai Penjalin dan terutama

berasal dari air hujan. Fungsi utama waduk Penjalin adalah untuk menambah debit air

sungai Pemali pada musim kemarau, agar lahan-lahan pertanian di daerah Brebes dapat

dialiri dengan baik. Selain itu, waduk itu dimanfaatkan untuk sarana transportasi,

kegiatan perikanan, dan pariwisata. Dengan demikian, waduk Penjalin merupakan

waduk serbaguna sebagaimana tujuan pembuatan waduk pada umumnya.

Pemantauan kesuburan perairan waduk dapat dilakukan dengan mengetahui sifat

fisika-kimia dan biologi. Salah satu sifat fisika-kimia yang berperan dalam tingkat

Anindyajati M A
Highlight
Page 135: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

135

kesuburan suatu perairan adalah kandungan unsur hara N dan P. Salah satu faktor

biologi yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kesuburan suatu perairan adalah

diversitas (keanekaragaman) makrofita akuatiknya. Adanya stratifikasi unsur hara di

waduk berpengaruh pada tingkat kesuburan (status trofik) waduk. Keberadaan makrofita

akuatik berhubungan erat dengan kandungan hara. Dengan demikian, struktur

komunitas makrofita akuatik berkorelasi dengan tingkat kesuburan suatu perairan.

Komposisi makrofita akuatik adalah urutan jenis gulma air yang hidup dan

berkembang sejalan dengan ketersediaan hara perairan. Dalam kondisi geologi yang

sama, proses eutrofikasi ditentukan oleh ketersediaan hara nitrat (NO3-) dan fosfat

(PO43-

). Kenyataan itu dapat menjelaskan bahwa diversitas makrofita akuatik ditentukan

oleh distribusi dan stratifikasi ketersediaan hara nitrogen (N) dan fosfor (P). Hara

tersebut akan terdistribusi secara vertikal (dari permukaan sampai dasar) dan secara

horisontal dari hulu ke hilir badan air yang menyebabkan terjadinya sebaran makrofita

akuatik. Makrofita akuatik dengan pola-pola komunitasnya umumnya mencerminkan

status trofik air waduk (Jeffries dan Mills, 1990; Kovács, 1992). Pengaruh eutrofikasi

terhadap ekosistem perairan adalah penurunan diversitas jenis dan terjadinya perubahan

jenis, peningkatan biomassa makrofita akuatik, peningkatan kekeruhan, peningkatan

laju sedimentasi, dan perpendekan umur fungsi waduk (Mason, 1991). Informasi

tentang makrofita akuatik berkaitan dengan eutrofikasi yang terjadi pada waduk-waduk

di Indonesia masih sangat sedikit.

Dari uraian tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk:

(1) Mengetahui keragaman makrofita akuatik pada Waduk Penjalin pada bagian hulu,

tengah, dan hilir rawa, baik pada musim kemarau maupun musim hujan.

(2) Mengetahui pola zonasi makrofita akuatik Waduk Penjalin.

METODOLOGI PENELITIAN

Pengambilan sampel makrofita akuatik dilaksanakan di daerah eufotik waduk

Penjalin, Paguyangan. Kabupten Brebes. Identifikasi jenis, pengukuran biomassa

makrofita akuatik, dan pengukuran parameter kimia air (Tabel 1) dilakukan di

Page 136: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

136

Laboratorium Lingkungan dan Laboratorium Ekologi Fakultas Biologi UNSOED.

Pengukuran pH, suhu air, Daya Hantar Listrik (DHL), kandungan O2, dan transparansi

dilakukan secara in situ di Waduk Penjalin.

Sampel air dan makrofita akuatik diambil masing-masing dari tiga stasiun

pengamatan sampel untuk setiap zona horisontal waduk, yaitu hulu, tengah, dan hilir

(Tabel 2), pada musim kemarau dan musim hujan. Data dianalisis berdasarkan

rancangan petak terbagi pola bifaktorial dengan musim (kemarau dan hujan) sebagai

faktor petak utama, zona-zona horisontal rawa (inlet, tengah, dan outlet) sebagai faktor

anak petak (Steel dan Torrie, 1985). Pengambilan data dilakukan sekali sebulan dalam

tiga bulan berurutan.

Tabel 1. Variabel kualitas air yang diukur, metode analisis, dan peralatan yang digunakan (APHA, 1985).

No. Parameter Kualitas Air (satuan) Metode Analisis Peralatan

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

Fisika

TSS (mgL-1)

DHL (µmhos cm-1)

Transparansi (cm)

Suhu air (oC)

Kimia

O2 terlarut (mgL-1)

pH

NO2—N (mgL-1)

NO3—N (mgL-1)

NH3—N (mgL-1)

PO43—P (mgL-1)

N-total (mgL-1)

P-total (mgL-1)

COD (mgL-1)

BOD (mgL-1)

Biologi

Makrofita akuatik

Gravimetri

Potensiometri

Organolepti

Pemuaian

Potensiometri

Potensiometri

Spektrofotometri

Spektrofotometri

Spektrofotometri

Spektrofotometri

Spektrofotometri

Spektrofotometri

Titrimetri

Titrimetri

Kuadrat

Timbangan analitik

Konduktivitimeter

Keping Secchi

Termometer

DO meter

pH meter

Spektrofotometer

Spektrofotometer

Spektrofotometer

Spektrofotometer

Spektrofotometer

Spektrofotometer

Buret

Buret

Counter

Page 137: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

137

Tabel 2. Lokasi pengambilan sampel makrofita akuatik dan sampel air.

No. Zone Stasiun Lokasi

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Inlet

Tengah

Outlet

I

II

III

IV

V

VI

VII

VIII

IX

Daerah muara sungai Penjalin

Daerah muara sungai Soka

Daerah muara sungai Garung

Daerah Kedung Wungu

Daerah Blandong Cekung

Daerah Dermaga

Daerah Blandong Ujung

Daerah Menara

Daerah Limpasan

Variasi variabel kualitas air dalam kaitannya dengan kelimpahan makrofita

akuatik dikaji dengan pendekatan analisis multivariat yang didasarkan pada analisis

komponen utama (Principal Component Analysis, PCA) menurut Legendre dan

Legendre (1983) dan Bengen (2000). Sebaran makrofita akuatik berdasarkan variasi

variabel habitat dianalisis dengan menggunakan teknik statistika multivariat yang

didasarkan pada analisis faktorial korespondensi (Factorial Correspondence Analysis,

CA) menurut Legendre dan Legendre (1983) dan Bengen (2000). Perhitungan analisis

komponen utama dan analisis faktorial korespondensi tersebut dilakukan dengan

menggunakan paket statistik Xlstat versi 7.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Kandungan Unsur Fosfor dan Nitrogen Waduk Penjalin

Bahan organik di daerah eufotik waduk Penjalin mengalami mineralisasi

berturut-turut dari yang paling mudah terurai yaitu karbohidrat dan protein, sedangkan

lemak lebih stabil. Protein akan mengalami amonifikasi menjadi NH3 yang oleh

mikroorganisme dinitrifikasi menjadi nitrit dan nitrat. Karbohidrat mengalami hidrolisis

menjadi glukosa yang selanjutnya didegredasi menjadi CO2 dan H2O. Dalam badan air

terdapat N-organik dan P-organik yang dapat dinyatakan dalam N-total dan P-total.

Page 138: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

138

Kandungan N-total dan P-total air waduk Penjalin disajikan pada Tabel 3 dan Lampiran

1.

Tidak terdapat perbedaan kandungan N-total antara musim kemarau dan musim

hujan (Lampiran 1). Kandungan N-total air waduk Penjalin pada musim kemarau dan

musim hujan di ketiga zone waduk juga tidak berbeda (Tabel 3). Pada musim kemarau,

kandungan N-total berkisar antara 0,6621 mgL-1

sampai 1,1197 mgL-1

, sedangkan pada

musim hujan berkisar antara 0,9133 mgL-1

sampai 0,9967 mgL-1

.

Kandungan P-total air waduk Penjalin pada musim hujan dan musim kemarau di

ketiga zone waduk tak berbeda (Tabel 3). Pada musim hujan, kandungan P-total

berkisar antara 0,0653 mgL-1

sampai 0,4918 mgL-1

, sedangkan pada musim kemarau

berkisar antara 0,0299 mgL-1

sampai 0,0380 mgL-1

.

Berdasarkan kandungan N total dan P totalnya, waduk Penjalin tergolong pada

perairan dengan status oligotrof (Likens, 1975 dan Jorgensen, 1980). Sumber utama N

dan P air waduk Penjalin berasal dari tanah yang mengalami erosi, pupuk dan zat kimia

pertanian yang tercuci, sampah organik, limbah rumah tangga, dan sisa pakan kegiatan

karamba jaring apung. Menurut Tohir (1985), perairan yang banyak kandungan N dan P

akan mengalami eutrofikasi. Artinya, perairan mengalami penyuburan yang berlebihan

sehingga pertumbuhan makrofita akuatik dan plankton terpacu. Soerjani dan Widyanto

(1977) menyatakan, hasil buangan yang masuk ke dalam suatu perairan dapat memacu

pertumbuhan masal (blooming) makrofita akuatik.

Anindyajati M A
Highlight
Page 139: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

139

Tabel 3. Kandungan N-total dan P-total waduk Penjalin selama penelitian (musim hujan dan musim

kemarau).

Berdasarkan sidik ragam, data N-total dan P-total tak beragam (Lampiran 1).

Keterangan : Masing-masing angka yang ditandai dengan huruf yang sama (huruf kecil arah vertikal dan

huruf besar arah horizontal) tidak berbeda menurut uji BNT α = 0,05.

MK : Musim Kemarau, MH : Musim Hujan.

2. Sebaran Spasial Temporal Makrofita Akuatik Waduk Penjalin

Keragaman jenis dapat diartikan sebagai kekayaan jenis yang terdapat dalam

suatu area di dalam komunitas ekologi (Krebs, 1972). Kekayaan jenis bergantung pada

kestabilan ekosistem yang mendukung komunitas tersebut. Pada ekosistem waduk dan

waduk yang sedang mengalami proses eutrofikasi, kekayaan jenis cenderung meningkat

sampai status mesotrof, kemudian menurun pada status eutrof. Pada status eutrof, kadar

hara N dan P waduk tinggi sehingga tumbuhan yang tumbuh adalah jenis tumbuhan

yang membutuhkan habitat dengan kondisi tersebut.

Tujuan pengukuran kekayaan jenis suatu komunitas adalah untuk menyatakan

karakteristik lain dari komunitas seperti produktivitas, stabilitas, atau kondisi

lingkungan yang mengontrol. Yang dilakukan pada penelitian ini adalah mencari

hubungan antara tingkat eutrofikasi (status trofik) waduk Penjalin dengan keragaman

jenis makrofita akuatik. Pengukuran keragaman jenis suatu komunitas harus

memperhatikan area, waktu, dan jenis tumbuhan. Secara sederhana keragaman jenis

Zone

Waduk

N-total (mgL-1) P-total (mgL-1)

MH MK MH MK

Inlet 0,9967a

A

0,9446a

A

0,4918a

A

0,0343a

A

Tengah 0,9400a

A

0,6621a

A

0,0653a

A

0,0380a

A

Outlet 0,9133a

A

1,1197a

A

0,1064a

A

0,0299a

A

Page 140: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

140

dapat diukur dengan menghitung jumlah jenis, biomasa, dan kelimpahan relatif (Krebs,

1972; Poole, 1974; dan Pielo, 1975). Untuk tumbuhan yang berkembang biak secara

vegetatif dan ukuran individunya sangat bervariasi, lebih cocok dihitung jumlah

individu atau ditimbang bobot kering (biomasa).

Makrofita akuatik adalah paku air, spermatofita, ganggang, dan berbagai jenis

tumbuhan monokotil yang tumbuh dalam air. Proses eutrofikasi yang mempunyai faktor

pembatas hara N dan P menyebabkan perbandingan kedua hara tersebut atau rasio N/P

menentukan komposisi jenis makrofita dalam badan air. Makrofita akuatik merupakan

elemen kunci di ekosistem perairan yang dapat digunakan sebagai alat pengklasifikasian

ekosistem perairan karena distribusi dan komposisi jenisnya mencerminkan karakter

daerah tangkapan air (Anderson, 2001; Jensen, 1979; Robach et al., 1996). Hasil

penelitian Wibowo (2004a, 2004b, dan 2006) menunjukkan adanya perbedaan jenis

makrofita akuatik pada musim kemarau dan musim hujan pada Waduk PB Soedirman

Banjarnegara dan pada Rawa Pening yang merupakan waduk eutrof.

Keragaman jenis makrofita akuatik waduk Penjalin selama masa penelitian

tersaji pada Tabel 4. Pada tabel tersebut terlihat bahwa makrofita akuatik hanya

dijumpai pada musim hujan. Hal ini terjadi, karena adanya serangan hama keong emas

(Pomacea canaliculata) yang memakan makrofita akuatik yang ada di waduk Penjalin.

Data jenis makrofita akuatik waduk Penjalin hanya ditemukan di pengambilan

data bulan pertama musim hujan. Pada bulan-bulan berikutnya, tidak lagi dijumpai

makrofita akuatik, karena telah habis dimakan P. Canaliculata. Dengan demikian.

kondisi struktur komunitas makrofita akuatik yang diketemukan tidak dapat

mengambarkan hubungan antara jenis makrofita akuatik dengan status trofik ekosistem

waduk Penjalin.

Suatu komunitas dengan jumlah jenis dan kerapatan populasi yang sama dapat

dikatakan lebih beraneka dari pada komunitas lain yang mempunyai jumlah jenis yang

sama, tetapi dengan kerapatan populasi yang berbeda, yaitu beberapa jenis merupakan

jenis-jenis yang umum dijumpai (kelimpahan merata), sedangkan beberapa jenis lain

merupakan jenis yang jarang dijumpai (kelimpahannya kecil).

Waduk Penjalin mempunyai keragaman jenis (richness) yang rendah

(Kuswanto, 1999).

Page 141: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

141

Tabel 4. Keragaman jenis makrofita akuatik waduk Penjalin selama penelitian (musim kemarau dan

musim hujan)

No. Nama jenis Musim hujan Musim kemarau

1.

2.

3.

4.

Hydrilla verticillata

Ipomoea aquatica

Ludwigia adscendens

Eichhornia crassipes

+

+

+

+

-

-

-

-

Keterangan : + : ada

- : tidak ada

KESIMPULAN

a. Kesimpulan

(1) Waduk Penjalin mempunyai diversitas makrofita akuatik yang rendah (4 jenis),

yaitu Hydrilla verticillata, Ipomoea aquatica, Ludwigia adscendens, dan

Eichhornia crassipes.

(2) Penyebaran keragaman makrofita akuatik waduk Penjalin pada musim kemarau

dan musim hujan tidak dapat digambarkan, karena adanya serangan hama Pomacea

canaliculata.

(3) Variasi temporal biomasa makrofita akuatik waduk Penjalin antar zone waduk dan

pola penyebarannya pada musim kemarau dan hujan tidak dapat digambarkan,

karena adanya serangan hama Pomacea canaliculata.

b. Saran

(1) Diperlukan pengulangan penelitian ini pada waduk mesotrof lain untuk melengkapi

data-data penelitian yang telah penulis lakukan pada waduk eutrof.

Page 142: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

142

DAFTAR PUSTAKA

Abel, P.D. 1989. Water Pollution Biology. Ellis Horwood, Ltd., Chichester, England.

Anderson, B. 2001. Macrophyte Development and Habitat Characteristics in Sweden’s

Large Lake. Ambio (30) 8 : 503 – 513.

APHA. 1985. Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater. 16 th

edition. American Public Health Association. New York.

Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat

Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB, Bogor

Harper, D. 1992. Eutrophication of Freshwaters. Principles, problems and restoration.

Chapman and Hall, London.

Jensen, S. 1979. Classification of Lake in Southern Sweden on the Basis of their

Macrophyte Composition by means of Multivariate Methods. Vegetatio 39 : 129 –

146.

Jeffries, M., and D. Mills. 1990. Freshwater Ecology. Principles and Applications. John

Wiley and Sons, New York.

Jorgensen, S.E. 1980. Lake Management, Water Development, Supply and

Management, Developments in Hydrobiology. Vol. 14. Pergamon Press, Oxford,

New York.

Kovács, M. 1992. Biological Indicators in Environmental Protection. Ellis Horwood,

New York.

Krebs, C.J. 1989. Ecology. The Experimental Analysis of Distribution and Abundance.

Harper and Raw Publ., New York.

Legendre, P., and L. Legendre. 1983. Numerical Ecology.2nd

English Ed. Elsevier

Science, Amsterdam.

Likens, G.E. 1975. Primary Production of Inland Aquatic System. In : H. Leith, and

R.H. Whittaker (ed.). Primary Productivity of the Biosphere. Springer-Verlag,

Berlin.

Mason, C.F. 1991. Biology of Freshwater. Pollution. 2 nd

ed. Longman Scietific and

Technical, London.

Pielo, Y. 1975. Micro Algal Separatory from High Rate Ponds. University of California,

Berkeley, CA.

Poole, R.W. 1974. An Introduction to Mathematical Ecology. McGraw-Hill Book Co.,

New York.

Robach, F., G. Thiébaut, M. Trémolières, and S. Muller. 1996. A Reference System for

Continental Running Waters : Plant Communities as Bioindi-cators in Increasing

Eutrophication in Alkaline and Acidic Waters in Northeast France.

Hydrobiologia 340 : 67 - 76.

Page 143: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

143

Soerjani, M., dan L.S. Widyanto. 1977. Pertumbuhan Masal Gulma Air dan

Pengaruhnya terhadap Kualitas Air. BIOTROP, Bogor.

Steel, RGD dan Torrrie. 1985. Principles and Procedures of Statistic. McGraw-Hill.

Inc. Auckland, Bogota, Guatamela.

Wibowo, D.N. 2004a. Potensi Gulma Air untuk Monitoring Kualitas Air Waduk. J.

Agrista 8 (2) : 187 – 197.

Wibowo, D.N. 2004b. Tingkat Eutrofikasi Waduk PB Soedirman Banjarnegara

Berdasarkan Kandungan Fosfor dan Nitrogen. Biosfera 21 (3) : 126 – 131.

Wibowo, D.N. 2006. Studi Ekologi Makrofita Akuatik untuk Biomonitoring Status

Trofik Ekosistem Waduk. Laporan Hasil Penelitian (Tidak dipublikasikan).

Fakultas Biologi. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.

LAMPIRAN

Lampiran 1. Kebermaknaan nilai F hitung sidik ragam data N total dan P total selama penelitian.

Sumber

keragaman

Derajat

bebas

Kebermaknaan berdasarkan perbandingan

F hitung dengan F tabel 0,05

N total P total

Ulangan

Musim (M)

Zona waduk (Z)

M x Z

Galat

Total

2

1

2

2

10

17

ns

ns

ns

ns

ns

ns

Keterangan : * = bermakna

ns = tidak bermakna

Page 144: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

144

RESPON KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA TERHADAP

KONTAMINASI LOGAM BERAT DI SEDIMEN DARI WADUK SAGULING

Yoyok Sudarso* , Gunawan P. Yoga, Tri Suryono

ABSTRAK

Waduk Saguling merupakan salah satu waduk sistem cascade yang berlokasi di Provinsi Jawa

Barat. Waduk tersebut terletak di bagian pertama dari sistem cascade yang inletnya berasal dari Sungai

Citarum yang telah mengalami pencemaran. Oleh sebab itu waduk tersebut berpotensi mengalami

kontaminasi oleh logam berat lebih tinggi dibandingkan dengan dua waduk yang ada di bawahnya

(Cirata dan Jati Luhur). Salah satu komponen biota akutaik yang diduga mengalami dampak negatif dari

kontaminasi logam di sedimen adalah komunitas bentik makroavertebrata. Tujuan dari penelitian ini

adalah untuk menkaji pengaruh kontaminasi logam di sedimen terhadap komunitas bentik

makroavertebrata di sedimen. Pengambilan sampel sedimen dan biota telah dilaksanakan pada bulan

Juni, Juli, dan Agustus 2006. Logam yang dikaji dalam penelitian hanya 4 jenis yaitu Cu, Hg, Pb, dan

Cd. Konsentrasi logam tersebut dibandingkan dengan beberapa guideline effect range low (ERL), effect

range median (ERM), probable effect level (PEL), severe effect level (SEL), dan treshold effect level

(TEL), secara umum menunjukkan kontaminasi logam Hg, Pb, dan Cu yang paling berpotensi

menimbulkan gangguan pada ekosistem perairan, sedangkan logam Cd masih di bawah ambang batas

dari sebagian besar guideline tersebut di atas. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan

kontaminasi logam Pb, Cu, dan Hg di sedimen pada Waduk Saguling akan diikuti dengan penurunan

beberapa atribut biologi (indek) yaitu: biological monitoring working party (BMWP), diversitas,

kekayaan taksa, dan gabungan. Namun indek tersebut di atas relatif kurang sensitif dalam mendeteksi

besarnya kontaminasi logam Cd, C-organik, maupun ph di sedimen.

Kata kunci: logam berat, sedimen, bentik makroavertebrata, Waduk Saguling.

ABSTRACT

Saguling reservoir is one of reservoirs in the reservoir cascade system which is located in

Citarum river, west java province. The reservoir is the first part from that system and located in upper

part of the system. The reservoir inlet comes from Citarum River which is heavily polluted and causes the

reservoir potentially heavily contaminated by heavy metal especially if it compared to two other

reservoirs located below it (Cirata and Jatiluihur). Benthic macroinvertebrates community is one of

aquatic ecosystem components which directly exposed to heavy metals pollution in aquatic ecosystem.

The aim or this research is to evaluate effect of heavy metal contamination to benthic macroinvertebrates

community lives at reservoir’s sediment. Biota and sediment samples were taken and on June, July, and

August 2006. Heavy metals of interest of this study were Cu, Hg, Pb, and Cd. Concentration of those

heavy metals in sediments were compared to several guidelines such as ERL, ERM, PEL, SEL, and TEL.

In general Hg, Pb, and Cu showed adverse effect to benthic macroinvertebrates community, while Cd was

still below most of guideline’s threshold. Result of this study showed that the elevation of Pb, Cu, and Hg

concentration in sediment’s reservoir was followed by decline of several biological attributes such as:

biological monitoring working party (BMWP), diversity, taxa richness, and combination. However those

indices were not sensitive to detect Cd contamination, C-organic concentration, and ph in sediment.

Keywords: Heavy metals, sediment, benthic macroinvertebrates, Saguling Reservoir.

* Puslit limnologi-LIPI, Jl. Jakarta-bogor km 46, Cibinong, E-mail: [email protected]

Page 145: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

145

PENDAHULUAN

Keberadaan bahan polutan pada ekosistem akutik cenderung berikatan dengan

bahan partikulat dan akan diendapkan di dasar sedimen. Oleh sebab itu di dasar sedimen

seringkali mengakumulasi bahan polutan misalnya logam berat, polycyclic aromatic

hydrocarbons /PAH, polychlorinated biphenyl/PCB, pestisida, dan nutrien dalam

konsentrasi yang relatif tinggi dibandingkan dengan yang ada di kolom air. Kontaminasi

polutan tersebut di sedimen berpotensi menimbulkan stress bagi ekosistem air tawar

dengan mode perusakan pada spesies yang toleran (misalnya: kecacatan) dan

menghilangkan spesies makroavertebrata yang tergolong sensitif (Beasley and Kneale

2004).

Komunitas bentik makroavertebrata sering digunakan sebagai indikator biologi

dalam mendeteksi keseluruhan pengaruh yang terjadi pada sumber daya air (Zisckhe

and Ericksen 2003; Poulton et al. 2003). Hewan tersebut biasanya dilibatkan dalam

program restorasi tipe badan air (sungai, danau dan sebagainya) karena fungsi hewan

tersebut dalam rantai makanan yang penting sebagai penyusun produktivitas sekunder.

Adanya pencemaran umumnya dapat menyebabkan perubahan pada struktur komunitas

yang dapat diketahui dengan perubahan pada komposisi dan kelimpahan taxanya. Mize

and Deacon (2002) menyebutkan komposisi dan struktur komunitas dari bentik

makroavertebrata mampu mencerminkan kondisi kualitas perairan dari bulanan hingga

tahunan secara terus menerus. Pengaruh polusi pada struktur komunitas bentik

makroavertebrata umumnya dapat dibagi menjadi tiga ketegori yaitu: menurunkan

keanekaragaman, meningkatkan dominansi oleh grup atau spesies tunggal yang bersifat

oppurtunistic, dan menurunkan ukuran individu (Azrina et al. 2006). Sedangkan

perubahan pada status fungsionalnya dapat ditunjukkan dengan perubahan pada

produktivitas sekunder, laju dekomposisi dan sebagainya. Beberapa alasan lain tentang

keuntungan penggunaan hewan tersebut sebagai indikator biologi perairan adalah:

mobilitas yang rendah, diversitas yang tinggi, peran pentingnya dalam rantai makanan,

siklus hidup yang relatif panjang, dan sensitivitas yang bervariasi terhadap polutan

(Reynoldson and Metcalfe-Smith 1992).

Page 146: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

146

Waduk Saguling merupakan salah satu waduk sistem cascade yang berlokasi di

Provinsi Jawa Barat. Waduk tersebut terletak di bagian pertama dari sistem cascade

yang inletnya mendapat masukan dari Sungai Citarum yang telah mengalami

pencemaran. Oleh sebab itu waduk tersebut berpotensi mengalami pencemaran yang

lebih tinggi dibandingkan dengan dua waduk yang ada di bawahnya (Waduk Cirata dan

Jati Luhur). Waduk Saguling saat ini telah mengalami beberapa masalah yang cukup

serius antara lain: peningkatan beban sedimen yang tinggi (> 4 juta m3/thn), masuknya

sampah dan gulma air ke dalam waduk (250.000 m3/thn), percepatan korositas turbin,

dan penurunan kualitas air oleh kontaminasi bahan polutan organik, logam berat,

pestisida, dan mikropolutan lainnya (Anonim 2004). Namun demikian peningkatan

konsentrasi logam di Waduk Saguling juga ditengarai dari aktivitas gunung berapi

Tangkuban Perahu dan Patuha yang dapat memuat senyawa sulfat ke DAS Citarum

sebesar 6000-12.000 ppm, chlorida 5300-12.600 ppm, dan logam seperti As, Ba, Mg,

Al, Cu, Pb, Zn, Hg, Se, dan Cd (Sriwana 1999). Adanya fenomena kematian ikan secara

masal yang mencapai ribuan ton di Waduk Saguling, sementara ini disebabkan oleh

kombinasi penurunan oksigen terlarut, tingginya konsentrasi amonia, dan bahan kimia

toksik lainnya seperti pestisida, logam berat dan sebagainya yang dilepaskan dari

sedimen ke kolom air (Brahmana and Firdaus 1997; Hart et al. 2002 ).

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dampak kontaminasi logam berat di

sedimen terhadap komunitas bentik makroavertebrata yang ada di Waduk Saguling.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juni hingga Agustus 2006. Ada 12

titik stasiun pengamatan yang berada di dalam Waduk Saguling dan 1 titik di bagian

hulu Sungai Citarum (Gunung Wayang) yang berfungsi sebagai konsentrasi latar

belakangnya (background concentration). Keterangan nama dan peta lokasi sampling

yang telah ditetapkan meliputi (Gambar 1): Stasiun 1 Hulu Sungai Citarum di Gunung

Wayang (GW), Stasiun 2 Sungai Citarum di Nanjung (Nj), Stasiun 3 Sungai Citarum

di Trash Boom Batujajar (Bj), Stasiun 4 Cihaur Kampung Cipendeuy (Chr), Stasiun 5

Cangkorah (Ckr), Stasiun 6 Cimerang (Cmr), Stasiun 7 Muara Cihaur/ Kampung

Page 147: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

147

Maroko (Mrk), Stasiun 8 Muara Cipatik (Cpk), Stasiun 9 Muara Ciminyak (Cmy),

Stasiun 10 Muara Cijere (Cjr), Stasiun 11 Muara Cijambu (Cjb), Stasiun 12 Dekat

intake structure (Itk), dan Stasiun 13 Rajamandala (Rjm).

Jenis logam berat yang akan dikaji dalam penelitian ini hanya empat jenis yaitu

plumbum (Pb), tembaga (Cu), merkuri (Hg), dan kadmium (Cd) yang sudah diketahui

berpotensi toksik bagi sebagian besar biota akuatik dan telah direkomendasikan oleh

agensi lingkungan seperti US-EPA (Anonim 1986). Parameter pendukung yang diukur

pada sedimen meliputi: konsentrasi C organik, fraksi ukuran butir, dan pH sedimen.

Parameter kualitas air yang diukur di air adalah oksigen terlarut dengan menggunakan

alat water quality checker U-10 (merk Horiba).

Penelitian ini dilakukan pada musim kemarau, karena menggambarkan kondisi

gangguan ekologi (diwakili oleh organisme bentik makroavertebrata) dalam kondisi

stres maksimum, dengan debit air yang minimal, dan kadar bahan polutan yang relatif

tinggi (Davis and Tsomides 1997). Disamping itu, komunitas bentik makroavertebrata

diharapkan mampu mencerminkan pengaruh utama peningkatan dari kontaminasi logam

tanpa adanya pengaruh faktor lainnya misalnya: peningkatan debit air/ banjir yang telah

diketahui dapat berpengaruh pada komposisi dan kelimpahan bentik makroavertebrata

(Matthaei et al. 2000).

Gambar 1. Peta lokasi sampling pengambilan sedimen dan organisme bentik makroavertebrata.

Page 148: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

148

Sampling organisme bentik makroavertebrata/ bentos dilakukan pada bulan Juni,

Juli, dan Agustus 2006 dengan menggunakan alat Ekman grab sampler. Pengambilan

bentik makroavertebrata dilakukan pada kedalaman ± 5 meter yang ditetapkan dengan

menggunakan alat Fish finder 250 merk Garmin pada semua stasiun pengamatan.

Diharapkan adanya kesamaan kedalaman ini diantara stasiun pengamatan akan memiliki

kemiripan komunitas bentik yang akan dikaji pada penelitian ini. Pada masing-masing

stasiun pengamatan dilakukan pengambilan sebanyak 9 kali grab (luas area yang

disampling ± 2025 cm2). Pengawetan bentik makroavertebrata dengan menggunakan

larutan formalin 10% yang dimasukkan dalam keller plastik. Sedimen dibilas dengan

menggunakan air kran di atas saringan yang berpori 0,5 mm. Sortir bentik

makroavertebrata dilakukan di bawah mikroskop stereo dengan pembesaran hingga 10

hingga 45 kali. Hewan yang telah tersortir dimasukkan dalam botol flakon yang sudah

berisi larutan alkohol 75%. Khusus identifikasi hewan cacing Oligochaeta dan larva

Diptera Chironomidae dilakukan mounting dengan menggunakan larutan CMCP-10

(Polysciences Inc.).

Sampel sedimen yang akan dianalisis konsentrasi logamnya berasal dari lapisan

atas/ permukaan (±2-5 cm) dengan menggunakan alat Ekman grab sampler.

Pengambilan cuplikan sedimen pada masing-masing stasiun dilakukan pengulangan

sebanyak 3 kali. Cuplikan sedimen tersebut kemudian dimasukkan dalam botol kaca

Scott yang bervolume 250 ml. Botol tersebut kemudian dimasukkan dalam coolbox

yang sebelumnya sudah diberi es batu pada bagian luarnya sebagai pengawetnya.

Analisis logam Pb, Cu, Cd dikerjakan dengan menggunakan metode dekstruksi

HCL-HNO3 dengan perbandingan (3:1) dan larutan H2O2 30% yang dipanaskan di atas

hotplate. Larutan ekstrak dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan AAS flame

spectrofotometer merk Hitachi Z6100. Penjelasan dari metode ini dapat dilihat dalam

Smoley (1992). Untuk logam merkuri (Hg), sedimen didekstruksi dengan menggunakan

campuran larutan asam H2SO4-HNO3 yang dioksidasi dengan menggunakan larutan

KMnO4 45% dan Kalium persulfat 5%. Reduksi MnO4 dengan menggunakan larutan

hidroksilamide klorit 10%. Reduksi Hg dilakukan dengan menggunakan larutan

SnCl2.2H2O dan larutan ekstrak yang tertinggal dianalisis dengan menggunakan alat

mercury analyzer (cold vapor AAS) merk Hiranuma 310. Penjelasan lebih lanjut

Page 149: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

149

metode analisis logam merkuri ini dapat dilihat pada Smoley (1992). Metode

pengukuran konsentrasi C organik pada sedimen dilakukan menurut Graham (1948) dan

Bray and Kurtz (1945). Adapun pengukuran parameter lainnya seperti: fraksi ukuran

butir dengan menggunakan saringan bertingkat, dan pH sedimen secara rinci dijelaskan

dalam Blackmore et al. (1981).

Analisis data

Status kontaminasi dari empat logam yang terakumulasi di sedimen (Hg, Cd, Cu,

dan Pb) digabung kedalam satu indek polusi (W) dari Widianarko et al. (2000). Rumus

dari indek polusi (W) dapat dilihat di bawah ini:

Dengan Ci = konsentrasi logam i di sedimen, Coi = konsentrasi logam di stasiun

yang berfungsi sebagai latar belakang (background consentration), dan n = jumlah dari

logam. Lokasi dikategorikan belum terpolusi jika W ≤ 0, terpolusi ringan jika 0 ≤W< 1,

terpolusi sedang 1<W≤ 2, dan terpolusi berat jika W> 2.

Prediksi besarnya gangguan pada komunitas bentik makroavertebrata di masing-

masing stasiun pengamatan, mengadopsi dari kriteria MacDonald et al. (2004). Tipe

kualitas sedimen digolongkan menjadi tiga bagian yaitu tipe A, B, dan C. Tipe A

diharapkan kondisi yang mewakili tingkat gangguan yang rendah yang umumnya

terdapat pada bagian reference site (background concentration). Tipe B menunjukkan

tingkat gangguan sedang, dan tipe C menunjukkan tingkat gangguan yang tinggi. Uraian

penjelasan secara rinci dari kriteria tersebut di atas dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria kualitas sedimen yang didasarkan pada besarnya gangguan pada komponen triad uji

bioassai dan komunitas bentik makroavertebrata.

Tipe kualitas

sedimen

Besarnya gangguan

pada efek biologi

Komunitas bentik (%

sampel yang

terpengaruh)

Tipe A Rendah < 10

Tipe B Sedang 10-50

Tipe C Tinggi > 50

Page 150: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

150

HASIL DAN PEMBAHASAN

Status kontaminasi dan polusi logam di sedimen

Hasil kompilasi analisis logam rata-rata Cu, Cd, Hg, dan Pb di sedimen dari

mulai bulan Juni, Juli, Agustus 2006 telah disajikan Gambar 2 dan 3. Dari gambar

tersebut menunjukkan kontaminasi logam mulai Stasiun Nanjung hingga outlet Waduk

Saguling (Stasiun Rajamandala) yang secara umum relatif tinggi. Konsentrasi logam

setelah Stasiun Gunung Wayang berkisar 3 hingga 8 kali lipat untuk beberapa jenis

parameter logam berat yang diamati. Tingginya kontaminasi logam yang terakumulasi

di sedimen tidak terlepas dari beban polusi yang diterima pada masing-masing stasiun

pengamatan. Sumber kontaminasi logam berat yang masuk ke Sungai Citarum dan

Waduk Saguling mungkin sangat beragam dan komplek. Gerhardt et al. (2004) dan Paul

and Meyer (2001) menyebutkan adanya peningkatan aktivitas antropogenik di

ekosistem air tawar akan meningkatkan konsentrasi logam beberapa kali lipat di atas

konsentrasi latar belakangnya. Mwamburi (2003) menambahkan sumber logam di

sedimen di ekosistem akuatik umumnya berasal dari buangan limbah industri dan

perkotaan, emisi atmosfer, dan pelindihan bahan kimia dari lahan pertanian.

Hasil penilaian status polusi logam berat total (Pb, Cu, Hg, dan Cd) dengan

menggunakan indek polusi (W) dari Widianarko et al. (2000) menunjukkan Stasiun

Gunung Wayang yang berfungsi sebagai konsentrasi latar belakang dikategorikan

belum mengalami polusi. Stasiun Nanjung hingga Maroko dikategorikan telah terpolusi

berat, Stasiun Cipatik, intake structure, dan Rajamandala tergolong terpolusi sedang,

dan Stasiun Ciminyak hingga Cijambu menunjukkan status terpolusi ringan. Tingkat

status polusi pada masing-masing stasiun pengamatan secara lebih rinci dapat dilihat

dalam Tabel 2. Penilaian status polusi logam di sedimen dengan menggunakan indek

polusi (Widianarko 2000) pada penelitian ini bermanfaat dalam memprediksi besarnya

bobot bukti dari kontaminasi kimia (salah satu komponen triad) pada masing-masing

stasiun pengamatan. Salah satu keuntungan penggunaan indek polusi tersebut di atas,

yaitu dalam membandingkan antara konsentrasi logam pada daerah uji (test site) dengan

konsentrasi latar belakangnya (reference site) mungkin memiliki kemiripan kondisi

geokimianya maupun sejarah asal penyusun partikel sedimen itu sendiri. Sehingga hasil

yang diperoleh lebih akurat dan mendekati kondisi riil di lapangan. Norris and Norris

Page 151: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

151

(1995) menyebutkan dalam penyusunan indek polusi yang didasarkan pada

perbandingan daerah uji (test site) dengan konsentrasi latar belakang yang berfungsi

sebagai reference site biasanya memiliki hasil yang lebih baik guna diterapkan pada

skala lokal, regional, bahkan nasional yang kadangkala memiliki perbedaan karakter

kondisi geomorfologinya.

Lima guideline lain dari sediment effect concentration (SECs) meliputi: ERL,

ERM, TEL, PEL, dan SEL menunjukkan stasiun-stasiun yang telah melebihi TEL (Cu:

35,7 mg/kg berat kering) yaitu Stasiun Nanjung hingga Rajamandala. Stasiun Muara

Cihaur dan Cipatik telah melebihi nilai guideline ERL-Cu yaitu 70 mg/kg berat kering,

dan khusus Stasiun Nanjung telah melebihi nilai SEL-Cu yaitu 86 mg/kg berat kering.

Untuk logam Pb hanya di Stasiun Nanjung saja yang telah melebihi kedua nilai

guideline di atas (TEL-Pb: 35 mg/kg berat kering dan ERL-Pb: 35 mg/kg berat kering).

Adapun konsentrasi logam Hg di Stasiun Gunung Wayang, intake structure,

Rajamandala, Muara Cipatik, Muara Cijere, dan Muara Cijambu masih berada di bawah

kelima guideline tersebut di atas, sedangkan Stasiun Nanjung hingga Muara Cihaur

sebagian besar telah melebihi guideline ERL-Hg, TEL-Hg, dan PEL-Hg. Kontaminasi

logam Cd di sedimen dibandingkan dengan lima guideline tersebut di atas, semuanya

masih di bawah nilai dari lima guideline tersebut. Dari lima guideline tersebut di atas

menunjukkan kontaminasi logam Cd di Waduk Saguling diprediksi sangat kecil

menimbulkan gangguan ekologi maupun toksisitasnya pada biota akuatik.

Tabel 2. Status polusi dari logam berat yang terakumulasi di sedimen dengan menggunakan indek polusi

(Widianarko et al.2000).

Stasiun Stasiun Pengamatan W Status Polusi

1 Gunung Wayang 0 Belum terpolusi

2 Nanjung 4,1 Terpolusi berat

3 Trashboom Batujajar 3, 1 Terpolusi berat

4 Cihaur 2,9 Terpolusi berat

5 Cangkorah 3,0 Terpolusi berat

6 Cimerang 2,2 Terpolusi berat

7 Maroko 3,1 Terpolusi berat

Page 152: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

152

8 Cipatik 1,1 Terpolusi sedang

9 Ciminyak -0,5 Terpolusi ringan

10 Cijere 0,5 Terpolusi ringan

11 Cijambu 0,5 Terpolusi ringan

12 Intake structure 1,1 Terpolusi sedang

13 Rajamandala 1,2 Terpolusi sedang

Gambar 2. Konsentrasi rata-rata logam Pb dan Cu pada sedimen (mg/kg berat kering) di masing-masing

stasiun pengamatan.

Gambar 3. Konsentrasi rata-rata logam berat Cd dan Hg (mg/kg berat kering) di sedimen di setiap stasiun

pengamatan

Page 153: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

153

Dari Gambar 2, 3, dan Tabel 2 menunjukkan adanya perbedaan kontaminasi

logam dan status polusi di masing-masing stasiun pengamatan kemungkinan disebabkan

oleh perbedaan beban pencemar yang masuk pada masing-masing stasiun pengamatan

tersebut. Status polusi logam di sedimen umumnya dihasilkan dari perbedaan jenis dan

besarnya logam berat yang digunakan dan dilepaskan ke lingkungan akibat dari

peningkatan aktivitas antropogenik di sekitar site tersebut (Förtstner 1983a). Power and

Chapman (1992) menyebutkan kemampuan yang tinggi dari sedimen untuk merespon

dan merekam kejadian polusi yang terjadi di dalam ekosistem akuatik dari masa lampau

hingga sekarang. Sebagai contoh daerah-daerah yang mendapat masukan utama dari

lindih aktivitas gunung berapi, limbah industri dan perkotaan (misalnya Stasiun

Nanjung dan Trashboom), dan kawasan industri (Stasiun Cihaur, dan Cangkorah) akan

memiliki kontaminasi logam di sedimennya lebih tinggi dibandingkan dengan daerah

lainnya yang beban polusinya masih didominasi oleh pertanian dan limbah domestik

yang berasal dari perkampungan (misalnya Stasiun Cipatik, Cijere, dan Cijambu).

Peningkatan logam di Stasiun Cihaur, Cangkorah, dan Cimerang diduga dari buangan

industri yang berada di pinggir waduk yang membuang limbahnya secara langsung ke

dalam Waduk Saguling (Misdi1

2006, komunikasi pribadi). Kontaminasi logam di

Stasiun Ciminyak dan stasiun lainnya dalam Waduk Saguling mungkin berasal dari

penumpukan sisa pakan buatan dari budidaya jaring apung, beban polusi dari anak-anak

sungai yang masuk ke stasiun tersebut, maupun berasal dari air Waduk Saguling sendiri

yang sudah mengalami kontaminasi logam di kolom airnya dari Sungai Citarum

(Mulyanto 2003).

Hubungan Kontaminasi Logam di Sedimen dengan Komunitas Bentik

Makroavertebrata.

Interaksi kontaminasi logam berat dan bahan polutan lainnya di lapangan

mungkin bersifat sangat komplek dalam memberikan pengaruh pada perubahan struktur

komunitas bentik makroavertebrata. Namun demikian dampak keberadaan logam berat

1 PT. Indonesia Power, UBP Saguling, Bandung

Page 154: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

154

di sedimen terhadap komunitas bentik makroavertebrata telah banyak dikaji, karena

efek negatif dari logam tersebut akan berpengaruh secara langsung pada seluruh

tingkatan organisasi biologi dari level seluler (proses biokimia dan fisiologi) hingga

penurunan keanekaragaman hayati (Luoma and Carter 1991). Luoma and Carter (1991)

menyebutkan pengaruh negatif dari pemaparan logam ke organisme bentik

makroavertebrata mungkin berupa gangguan pada laju feeding, respirasi, proses

reproduksi, embriogenesis, perkembangan larva, abnormalitas morfologi, histopatologi,

perilaku, pengaturan ion (osmotik), dan fungsi organ tubuh lainnya yang semuanya itu

akan berpengaruh pada tingkat kelangsungan hidup organisme bentik yang

bersangkutan. Konsekuensi dari terganggunya struktur komunitas oleh bahan toksikan

biasanya berupa hilangnya beberapa spesies yang tergolong sensitif dan perubahan

dalam kelimpahan organisme yang bersangkutan pada komunitasnya, sehingga

integritas biologi dari peraiaran tersebut biasanya akan mengalami penurunan (Ford

1989). Data komposisi dan kelimpahan rata-rata dari organisme bentik

makroavertebrata pada setiap stasiun pengamatan secara rinci dapat dilihat dalam

Lampiran 1.

Respon atribut biologi (bentik makroavertebrata) dalam mencerminkan tingkat

gangguan ekologi yang terjadi di setiap stasiun pengamatan telah disajikan dalam Tabel

3. Dari tabel tersebut menunjukkan trend nilai indek diversitas Shannon-Wiener yang

menurun drastis setelah Stasiun Gunung Wayang dari 3,4 hingga mencapai nilai 0,1 ,

0,9, dan 0 berturut-turut pada Stasiun Nanjung, Cihaur, dan Cangkorah. Rendahnya

indek diversitas di Stasiun Nanjung disebabkan oleh adanya dominasi yang kuat dari

kelimpahan satu hewan tertentu saja misalnya cacing Oligochaeta Limnodrilus sp.

(24.030 indv/m2). Di Stasiun Cihaur dan Cangkorah rendahnnya indek diversitas

disebabkan oleh rendahnya jumlah komposisi taksa dan kelimpahan organisme bentik

makroavertebrata yang menyusun komunitas stasiun tersebut (44 indv/m2 di

Cangkorah). Di Stasiun Cangkorah hanya tersusun oleh larva Chironomid Kiefferulus

sp. yang relatif rendah jumlah kelimpahannya. Setelah Stasiun Cangkorah nilai indek

sedikit demi sedikit meningkat di Stasiun Cimerang hingga Rajamandala dengan

kisaran 2,1 hingga 3,3.

Page 155: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

155

Tabel 3. Respon beberapa metrik biologi di setiap stasiun pengamatan

Stasiun Indek

Diversitas

Kekayaan

taxa BMWP

Indek biotik

gabungan

Gunung Wayang 3,4 15 24 27

Nanjung 0,1 1 0 3

Batujajar 0,5 2 0 5

Cihaur 0,9 1 2 7

Cangkorah 0 1 2 5

Cimerang 2,6 7 18 13

Maroko 2,4 6 14 13

Cipatik 2,7 8 2 13

Ciminyak 3,3 12 13 19

Cijere 3,0 8 8 17

Cijambu 2,9 9 12 19

Intake 2,1 6 7 11

Rajamandala 2,4 9 5 13

Indeks diversitas Shannon-Wiener merupakan indeks yang paling umum

digunakan dalam menggambarkan stabilitas komunitas dan besarnya degradasi pada

ekosistem akuatik (Reynoldson and Metcalfe-smith 1992, Berkman et al. 1988). Indeks

tersebut menggabungkan tiga komponen utama dari struktur komunitas yaitu

kelimpahan, jumlah taksa, dan evenness (kemerataan distribusi organisme diantara

spesies). Rendahnya indeks tersebut biasanya mencirikan adanya stress dari komunitas

yang cenderung menjadi tidak stabil. Indeks tersebut mencapai maksimum jika jumlah

individu pada masing-masing individu spesies terdistribusi secara merata (Norris 1999).

Zisckhe and Ericksen (2003) menyebutkan nilai indek diversitas antara 3 hingga 4

umumnya mencerminkan kondisi sungai yang belum terpolusi, sedangkan nilai indek di

bawah 1 umumnya mencerminkan kondisi sungai yang terpolusi berat. Faktor lain yang

mempengaruhi besarnya indek diversitas selain stress oleh polusi antara lain kecepatan

arus, heterogenitas substrat, kedalaman usaha sampling, metode sampling yang

dipergunakan, ukuran sampel, durasi sampling, tingkat resolusi taksonomi yang

digunakan, dan waktu koleksi sampel (Norris 1999, Washington 1984). Salah satu

Page 156: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

156

kekurangan penggunaan indek diversitas dalam mencerminkan status polusi di perairan

yaitu dalam penghitungan indek tersebut tidak memasukkan unsur nilai toleransi dari

masing-masing hewan bentik makroaveretebrata terhadap pencemaran seperti indek

BMWP maupun indek biotik lainnya. Adanya pencemaran ringan dari peningkatan

nutrien diduga dapat menyebabkan peningkatan nilai indek diversitasnya (Washington

1984). Oleh sebab itu dalam mencerminkan gangguan yang terjadi dalam ekosistem

perairan, penggunaan indek diversitas Shannon-Wiener perlu dilakukan kombinasi

dengan indek biotik lainnya agar hasil yang diperoleh lebih akurat dan terintegrasi.

Atribut biologi kekayaan taksa menunjukkan trend yang hampir mirip dengan

atribut biologi indek diversitas. Di Stasiun Gunung Wayang masih memiliki indek

kekayaan taksa yang tertinggi (14). Setelah Stasiun Gunung Wayang, indek kekayaan

taksanya mengalami penurunan hingga Stasiun Cangkorah (1). Setelah Stasiun

Cangkorah trend dari indek kekayaan taksa cenderung meningkat kembali dengan

kisaran nilai yang cukup bervariasi dari 6 hingga 12 (dari Stasiun Cimerang hingga

Rajamandala).

Bode et al. (1996) telah menggunakan atribut biologi atau metrik kekayaan taksa

dalam menentukan tingkat gangguan pada ekosistem sungai khususnya di daerah New

York Amerika Serikat. Berdasarkan kriteria yang dibuat oleh Bode et al. (1996), Stasiun

Gunung Wayang dikategorikan telah mengalami gangguan sedang, sedangkan stasiun

lainnya dikategorikan telah mengalami gangguan berat. Rendahnya kekayaan taksa ini

disebabkan oleh banyak faktor yang mempengaruhinya antara lain perbedaan ekosistem

(misalnya perairan mengalir dan menggenang), heterogenitas susbstrat, ketersediaan

pakan, dan adanya polusi. Karena penelitian ini dilakukan di dalam Waduk Saguling

dan hulu Sungai Citarum yang substrat dasarnya lebih didominasi oleh pasir dan

campuran clay dan silt, maka hanya bentik makroavertebrata yang bertipe detritivor

(pemakan detritus) saja yang biasanya mendominasi perairan tersebut dan akan

berpengaruh pada rendahnya jumlah taksa yang ditemukan. Disamping itu dengan

semakin bertambahnya beban polusi logam yang ada di sedimen, pada umumnya diikuti

dengan berkurangnya jumlah kekayaan taksa dan kelimpahan beberapa taksa yang

tergolong sensitif misalnya larva Ephemeroptera (Baetis sp.), Hemiptera (Abedus

Page 157: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

157

identatus), Aeshnidae (Coryphaeschna sp) dan sebagainya yang sering ditemukan di

Gunung Wayang.

Atribut biologi indek BMWP menunjukkan trend yang agak berbeda dari indek

sebelumnya. Grafik batang indek BMWP memperlihatkan bahwa Stasiun Gunung

Wayang masih memiliki nilai indek BMWP tertinggi yaitu 20. Setelah Stasiun Gunung

wayang nilai indek menurun drastis pada Stasiun Nanjung dan Stasiun Batujajar yang

mencapai nilai 0. Nilai indek secara bertahap meningkat dari Stasiun Cihaur hingga

Stasiun Maroko yang mencapai nilai 14. Setelah Stasiun Maroko nilai indek cenderung

turun kembali hingga mencapai nilai 3. Peningkatan cukup signifikan mulai tampak

pada Stasiun Ciminyak hingga Stasiun Cijambu dengan nilai indek dari 8 hingga 12.

Setelah Stasiun Cijambu nilai indek mulai turun kembali dari mulai stasiun intake

structure (7) hingga Stasiun Rajamandala (5).

Dari Tabel 3 menunjukkan adanya peningkatan kontaminasi logam terutama

pada Stasiun Nanjung hingga Cangkorah diikuti dengan menurunnya indek BMWP.

Berdasarkan kriteria indek BMWP, maka stasiun Gunung Wayang termasuk dalam

kategori terpolusi ringan (16-50) dan semua stasiun pengamatan lainnya dalam kategori

terpolusi berat (0-15). Beberapa hal yang dapat mempengaruhi sensitifitas dan besarnya

nilai indek BMWP selain dari adanya polusi yaitu perbedaan tipe perairan dan

keterbatasnya nilai toleransi dari masing-masing oranisme bentik makroavertebrata

yang ditemukan. Penyusunan indek BMWP pada awalnya dikembangkan untuk

mendeteksi adanya pencemaran organik pada sungai (Martin 2004). Adanya perbedaan

karakteristik fisik, kimia, maupun biologi dari tipe perairan pada umumnya akan

menyebabkan perbedaan preference dari organisme bentik yang hidup di perairan

tersebut. Beberapa famili dari organisme bentik makroavertebrata yang hidup di

perairan mengalir tidak dijumpai pada perairan tergenang misalnya Nemouridae,

Perlodidae dan sebagainya. Penggunaan indek BMWP untuk perairan tergenang (kolam,

waduk, atau danau) mungkin memerlukan modifikasi atau kalibrasi nilai toleransinya

dari masing-masing famili organisme bentik makroavertebrata yang ditemukan.

Disamping itu, nilai toleransi dari beberapa famili organisme bentik makroavertebrata

yang ditemukan pada penelitian ini, tidak memiliki nilai skornya pada indek BMWP

misalnya Coenagrionidae, Oxygastridae, Lymnaeidae dan sebagainya. Hal ini akan

Page 158: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

158

berpengaruh pada rendahnya nilai indek dan salah satu kelemahan dari indek BMWP,

karena setiap taksa yang ditemukan mungkin mencirikan kondisi kualitas air tententu.

Ketiga indek tersebut di atas selanjutnya dibuat menjadi indek biotik gabungan

yang didasarkan pada pendekatan multimetrik. Hasil penggabungan indek tersebut di

atas dapat dilihat pada Tabel 3 menunjukkan adanya peningkatan dan penurunan nilai

indek gabungan yang hampir mirip dengan 2 indek sebelumnya (indek diversitas dan

kekayaan taksa). Pada indek gabungan, Stasiun Gunung Wayang masih memiliki

rangking tertinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya yaitu 27. Setelah Stasiun

Gunung Wayang trend dari grafik menunjukkan adanya penurunan pada Stasiun

Nanjung yang mempunyai nilai indek 3. Nilai indek setelah Stasiun Nanjung mulai

menunjukkan adanya sedikit peningkatan dari Stasiun Batujajar (5) hingga Stasiun

Cihaur (7). Di Stasiun Cangkorah nilai indek biotik gabungan mulai menurun kembali

(5). Peningkatan yang signifikan terjadi dari Stasiun Cimerang hingga Stasiun

Rajamandala dengan kisaran nilai indek yang bervariatif dari 11 hingga 17. Adanya

peningkatan indek gabungan tersebut mungkin erat kaitannya dengan penurunan

kontaminasi dari logam seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Keran and Karr (1994) dan Reynoldson et al. (1997) menyebutkan setiap

komponen atribut biologi (metrik) yang digunakan mengandung makna tersendiri dalam

merespon perubahan komunitas dari adanya perubahan habitat, interaksi biologi,

maupun oleh polusi. Dari ketiga indek (metrik) tersebut, setelah mengalami pembobotan

atau normalisasi, maka memungkinkan adanya penggabungan indek ke dalam satu

indek biotik tunggal, seperti yang dilakukan dalam penyusunan biokriteria dengan

menggunakan konsep multimetrik. Penggunaan konsep multimetrik (indek gabungan) di

Waduk Saguling ini sangat bermanfaat terutama dalam penggabungan informasi yang

ada dari setiap metrik guna mendeteksi gangguan ekologi yang terjadi di dalam Waduk

Saguling.

Hasil penilaian tingkat gangguan komunitas bentik makroavertebrata dengan

menggunakan indek biotik gabungan yang mengadopsi dari kriteria MacDonald et al.

(2004), memperlihatkan bahwa secara keseluhanan komunitas bentik makroavertebrata

yang hidup di Waduk Saguling telah mengalami gangguan dari kategori sedang (30-37)

hingga berat (51-88). Kategori sedang dijumpai pada Stasiun Ciminyak hingga

Page 159: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

159

Cijambu, sedangkan kategori berat terdapat pada Stasiun Nanjung hingga Cipatik,

intake, dan Rajamandala (Tabel 4). Beratnya gangguan komunitas bentik

makroavertebrata yang ada di Stasiun Nanjung hingga Cipatik diduga dipengaruhi oleh

tingginya kontaminasi logam di sedimennya (Tabel 2). Adapun di stasiun intake dan

Rajamandala beratnya gangguan pada komunitas bentik makroavertebrata selain

disebabkan oleh kontaminasi logam berat itu sendiri, juga disebabkan oleh adanya

faktor lainnya yang turut mengatur dan memberikan pengaruh pada komunitas tersebut

misalnya amoniak, nitrit, PCB dan sebagainya.

Tabel 4. Penilaian gangguan komunitas bentik makroavertebrata di Waduk Saguling yang didasarkan

pada atribut biologi gabungan.

Stasiun Gangguan Efek Biologi

(% Komunitas Bentik

Makroavertebrata yang

Terpengaruh)

Gunung Wayang Rendah 0

Nanjung Tinggi 88

Batujajar Tinggi 81

Cihaur Tinggi 74

Cangkorah Tinggi 81

Cimerang Tinggi 51

Maroko Tinggi 51

Cipatik Tinggi 51

Ciminyak Sedang 30

Cijere Sedang 37

Cijambu Sedang 30

Intake Tinggi 59

Rajamandala Tinggi 51

Ke empat atribut biologi di atas, di uji dengan korelasi Spearman dengan

konsentrasi logam berat dan variabel pendukungnya (DO, C-organik dan pH sedimen)

pada masing-masing stasiun pengamatan. Data hasil pengukuran parameter DO, C-

Organik, dan pH sedimen secara rinci dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil uji korelasi

Page 160: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

160

antara variabel di atas secara rinci telah disajikan dalam Tabel 6. Dari tabel tersebut

menunjukkan tingkat sensitifitas dari masing-masing indek biologi dalam merespon

besarnya kontaminasi logam dan beberapa variabel pendukung lainnya (C-organik, ph

sedimen, DO). Indek diversitas Shannon-Wiener, kekayaan taksa, dan indek biotik

gabungan/ multimetrik masih menunjukkan sensitifitas yang relatif tinggi (signifikan

pada p = 0,05) dalam mendeteksi peningkatan kontaminasi logam Cu, Pb, Hg, dan

persentase ukuran butir sedimen. Indek BMWP hanya sensitif terhadap kontaminasi

logam Pb, Hg, dan persentase ukuran butir sedimen. Selain hal tersebut empat atribut

biologi di atas ternyata kurang sensitif dalam mendeteksi pengkayaan logam Cd di

sedimen.

Tabel 5: Hasil analisis karbon organik dan fraksi butiran dari sedimen di setiap stasiun pengamatan.

No Lokasi

DO

Dasar

(mg/l)

Karbon

Organik

[%]

pH

Fraksi Butiran Sedimen Dalam Satuan %

Clay &

Silt

Pasir

Sangat

Halus Halus Sedang Kasar

Sangat

Kasar

<63µm 63 –

125µm

125 –

250µm

250 –

500µm

500µm

– 1mm

1 –

2mm

1 Gunung Wayang 6,45 0.820 7.278 4.63 37.16 40.00 11.31 6.91 -

2 Nanjung 2,31 4.547 6.594 38.50 28.24 20.65 12.20 0.41 -

3 Batujajar 2,49 1.087 6.598 19.37 22.04 34.01 22.85 1.73 -

4 Cihaur 0,24 1.833 8.52 19.07 22.12 35.03 21.89 1.89 -

5 Cangkorah 0,71 2.147 9.116 19.07 22.12 35.03 2189 1.89 -

6 Cimerang 0,6 1.187 8.304 18.58 24.30 31.03 24.02 2.08 -

7 Maroko 0,36 2.61 7.78 6.58 32.83 35.86 23.11 1.63 -

8 Cipatik 0,70 3.19 7.48 16.94 30.56 29.26 22.10 1.14 -

9 Ciminyak 0,26 2.2 7.62 4.47 27.07 43.54 23.91 1.01 -

10 Cijere 0,44 2.40 8.268 23.37 34.23 32.17 9.96 0.28 -

11 Cijambu 1 1.487 7.776 4.08 31.19 39.16 24.17 1.40 -

12 Intake 0,59 1.47 7.74 16.58 28.14 25.01 26.57 3.71 -

13 Rajamandala 3,27 0.983 7.43 24.79 69.94 4.03 1.08 0.16 -

Hasil dari penelitian ini mengindikasikan adanya fenomena penurunan beberapa

atribut biologi seperti indek diversitas, kekayaan taksa, Indek BMWP, dan indek biotik

Page 161: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

161

gabungan (Tabel 3 dan 4) akan diikuti dengan peningkatan kontaminasi logam berat di

sedimen dan penurunan konsentrasi oksigen terlarutnya (Gambar 2, 3, dan Tabel 2).

Adanya penurunan nilai dari beberapa atribut biologi di atas sangat dipengaruhi oleh

perubahan komposisi taksa dan tingkat keseimbangan kelimpahan dari populasi bentik

makroavertebrata yang ada. Adanya stress atau polusi pada umumnya menyebabkan

penyederhanaan dari rantai makanan pada ekosistem akuatik yang biasanya diikuti

dengan penurunan jumlah taksa dari komunitas bentik makroavertebrata. Cairns and

Dickson (1971) menyebutkan introduksi polutan biasanya akan menurunkan jumlah

spesies yang tergolong sensitif hingga organisme yang relatif toleran saja yang mampu

tetap bertahan hidup. Adanya pergeseran komposisi taksa dan nilai kelimpahan dapat

berpengaruh secara langsung pada pergeseran nilai beberapa atribut biologi di atas

seperti: indek diversitas dan kekayaan taksanya. Indek BMWP relatif hanya dipengaruhi

oleh perubahan komposisisi taksa dan nilai toleransi dari setiap hewan yang merespon

adanya kontaminasi polutan di perairan pada setiap stasiun pengamatan.

Tabel 6. Hasil uji korelasi Spearman antara konsentrasi logam berat dan variabel pendukung lainnya

dengan beberapa atribut biologi dari struktur komunitas bentik.

Variabel Indek Diversitas Indek BMWP Kekayaan Taksa Indek Gabungan

Cd -0,1654

p = 0,589

-0,2812

p = 0,352

-0,1761

p = 0,565

-0,2935

p = 0,330

Pb -0,778

p = 0,002*

-0,6011

p = 0,030*

-0,7363

p = 0,004*

-0,7468

p = 0,003*

Cu -0,565

p = 0,044*

-0,3841

p = 0,195

-0,6426

p = 0,018*

0,6694

p = 0,009*

Hg -0,8577

p = 0,001*

-0,577

p = 0,000*

-0,8023

p = 0,001*

-0,7708

p = 0,002*

DO 0,3595

p = 0,228

0,6

p = 0,030*

0,2502

p = 0,410

0,2584

p = 0,394

% Clay -0,6287

p = 0,021*

-0,7469

p = 0,003*

-0,6307

p = 0,021*

-0,7044

p = 0,007*

% Pasir 0,63

p = 0,000*

0,7471

p = 0,000*

0,6308

p = 0,000*

0,7046

p = 0,000*

C-Org -0,32

p = 0,28

-0,39

p = 0,184

-0,38

p = 0,2

-0,41

p = 0,17

pH sed 0,003

p = 0,991

0,082

p = 0,782

-0,12

p = 0,729

0,002

p = 0,999

Simbol * menunjukkan nilai korelasi yang signifikan pada selang kepercayaan 95%.

Page 162: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

162

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada tahun 2006 ini, ada beberapa hal

yang dapat disimpulkan antara lain:

1. Konsentrasi logam berat di sedimen dibandingkan dengan beberapa

guideline dari: kementrian lingkungan Ontario, SEPA, ERL, ERM, PEL,

SEL, dan TEL, secara umum menunjukkan kontaminasi logam Hg, Pb, dan

Cu yang paling berpotensi menimbulkan gangguan pada ekosistem perairan,

sedangkan logam Cd masih di bawah ambang batas dari sebagian besar

guideline tersebut di atas.

2. Adanya peningkatan logam Pb, Cu, dan Hg di sedimen pada Waduk

Saguling akan diikuti dengan penurunan beberapa atribut biologi (indek)

yaitu BMWP, diversitas, kekayaan taksa, dan gabungan. Namun indek

tersebut di atas relatif kurang sensitif dalam mendeteksi besarnya

kontaminasi logam Cd, C-organik, maupun ph sedimen.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim 2004. Booklet Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkitan Saguling.

Anonim 1986. Quality Criteria for Water 1986, United States Environmental Protection

Agency. EPA 440/5-86-001. Washington.

Azrina M.Z., C.K. Yap, A. Rahim Ismail, A. Ismail, S.G. Tan, 2006, Anthropogenic

Impacts on The Distribution and Biodiversity of Benthic Macroinvertebrates

and Water Quality of The Langat River, Peninsular Malaysia, Ecotoxicology

and Environmental Safety 64: 337–347.

Beasley G. dan P.E. Kneale, 2004, Assessment of Heavymetal and PAH Contamination

of Urban Streambed Sediments on Macroinvertebrates, Water, Air, and Soil

Pollution: Focus 4: 563–578.

Berkman HE., Rabeni CF., and Boyle TP. 1988. Biomonitors of Stream Quality in

Agricultural Areas: Fish Versus Invertebrates. Environmental Management

10(3): 413-419.

Blackmore LC., Searle PL., and Daly BK. 1981. Methods for Chemicals Analysis of

Soils. N.Z. Soil Bureau Sci. Rep. 10 A. Soil Bureau. Sower Hutt. New

Zealand.

Page 163: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

163

Bode RW., Novak MA., and Abele LE. 1996. Quality Assurance Workplan for

Biological Stream Monitoring in New York State. NYS Department of

Environmental Conservation. Albany. New York.

Brahmana SS., and Firdaus A. 1997. Eutrophication in Three Reservoirs at Citarum

River, Its Relation to Beneficial Uses. Proceeding Workshop on Ecosystem

Approach to Lake and Reservoir Management. hlm 199-211.

Bray RH., and Kurtz L.T. 1945. Determination of Total Organic and Available Form of

Phosphorus in Soil. Soil Sci. 59: 39-45.

Davies SP., and Tsomides L. 1997. Methods for Biological Sampling and Analysis of

Maine’s Inland Water. Maine Department of Environmental Protection.

Augusta-Maine.

Ford J. 1989. The Effects of Chemical Stress on Aquatic Species Composition and

Community Structure in Ecotoxicology: Problems and Aproaches. Harwell

LM., Kelly J., and Kimball K., editors. New York. Springer–Verlag. hlm 9-

32.

Fὅrtstner U. 1983a. Metal pollution assessment from Sediment Analysis. in Metal

Pollution In Aquatic Environment. Springer Verlag. Berlin Heidelberg.

Germany. hlm 110-196.

Gerhardt A., De Bisthoven LJ., and Soares AMVM. 2004. Macroinvertebrtae Response

to Acid Maine Drainage: Community Structure and On-line behavioral

taoxicity bioassay. Environmental Pollution 130: 263-274

Graham E.R. 1948. Determination of Soil Organic Matter by Means a Photoelectric

Colorimeter. Soil Sci. 65 : 181-187

Hart BT., Dok WV., and Djuangsih N. 2002. Nutrient Budget for Saguling Reservoir,

West Java, Indonesia. Water Research 36: 2152-2160.

Keran B.L. and Karr J.R. 1994. A Benthic Index of Biotic Integrity (B-IBI) For River of

The Tennesse Valley. Ecol. Appl. 4: 768-785.

Luoma SN., and Carter JL. 1991. Effect of Trace Metal on Aquatic Benthos. in M.C.

Newman and A.W. McIntosh (eds): Metal Ecotoxicology: Concepts and

Applications. Lewis Publishers. Chelsea. Michigan. 261-300.

Mac Donald, D.D., Carr R.S., Calder F.D., Long E.R., and Ingersoll C.G. 1996.

Development and Evaluation of Sediment Quality Guidelines for Florida

Coastal Water. Ecotoxicology 5 : 253-278.

MacDonald, D. M., R. S. Carr, D. Eckenrod, H. Greening, S. Grabe, C. G. Ingersoll, S.

Janicki, T. Janicki, R. A. Lindskong, E. R. Long, R. Pribble, G. Sloane, and

D. E. Smorong. 2004. Development, Evaluation, and Application of

Sediment Quality Target for Assessing and Managing Contaminated

Sediments in Tampa bay, Florida. Arch. Environ. Contam. Toxicol. 46:147-

161.

Page 164: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

164

Martin R. 2004. Origin of The Biological Monitoring Working Party System, www.

cies.staffs.ac.uk./rscrbmwp.htm.3k.

Matthaei, C. D., C. J. Arbukle, and C. R. Townsend. 2000. Stable Surface Stones as

Refugia for Invertebrates During Disturbance in a New Zealand Stream. J.

N. Am. Benthol Soc.19(1): 82-93.

Mize S.V. and R. Deacon, 2002, Relations of Benthic Macroinvertebrates to

Concentrations of Trace Elements in Water, Streambed Sediments, and

Transplanted Bryophytes and Stream Habitat Conditions in Nonmining and

Mining Areas of the Upper Colorado River Basin, Colorado, 1995–98, U.S.

Geological Survey, Water-Resources Investigations Report 02–4139,

Denver, Colorado.

Mulyanto S. 2003. Rekapitulasi Penelitian Kualitas Air Waduk PLTA Saguling Tahun

1994-2003. PT. Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkitan Saguling. 32

hal.

Mwamburi, J. 2003. Variations in Trace Elements in Bottom Sediments of Major Rivers

in Lake Victoria’s Basin, Kenya. Lakes & Reservoirs: Research and

Management 8: 5–13.

Norris, R.H. and K.R. Norris. 1995. The Need for Biological Assessment of Water

quality: Australian Perspective. Australian Journal of Ecology 20: 1-6.

Norris, R. H. 1999. Environmental Indicators: Recent Development in Measurement

and Application for Assessing Freshwater. in: A. Holt, K. Dickinson, and

G.W. Kearsley (eds): Environmental Indicators. Proceeding of The

Environmental Indicator Symposium. University of Otago. Dunedin. New

Zealand. 1-43.

Paul, M.J. and J.L. Meyer. 2001. Stream in the Urban Landscape, Annu. Rev. Ecol.

Syst. 32:333–365

Poulton B. C., Mark L. Wildhaber, Collette S. Harbonneau, James F. Fairchild, Brad G.

Mueller, and Christopher J. Schmitt, 2003, A Longitudinal Assessment of

The Aquatic Macro-invertebrate Community in The Channelized Lower

Missouri River, Environmental Monitoring and Assessment 85: 23–53

Power, E. A., and P. M. Chapman. 1992. Assessing Sediment Quality. In: A. Burton

(Eds): Sediment Toxicity Assessment. Lewis Publishers. 1-16.

Reynoldson T.B., and Metcalfe-Smith, 1992, An Overview Of The Assessment Of

Aquatic Ecosystem Health Using Benthic Invertebrates, Journal Of Aquatic

Ecosystem Health 1: 295-308pp.

Reynoldson, T.B., R.H. Norris, V.H. Resh, K.E. Day, and D.M. Rosenberg. 1997. The

Reference Condition: A Comparison Of Multimetric And Multivariate

Approaches To Assess Water Quality Impairment Using Benthic

Macroinvertebrates. J. N. Am. Benthol. Soc. 16(4): 833-852.

Smoley, C. K. 1992. Methods for The Determination of Metals in Environmental

Samples. Method 200.2. US- EPA. Cincinnati. Ohio. 281 hal.

Page 165: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

165

Sriwana, T. 1999. Polusi Vulkanogenik: Akumulasi Unsur Kimia dan Penyebarannya di

Sekitar Kawah Putih, G. Patuha Bandung. Makalah Seminar di Puslit

Limnologi-LIPI. Cibinong. 5 hal.

Timmermans, K.R., W. Peeters, and M. Tonkes. 1992. Cadmium, Zinc, Lead, and

Copper in Chironomus riparius (meigen) Larvae (Diptera, Chironomidae):

Uptake and Effects. Hydrobiologia 241: 119-134

Widianarko, B., R. A. Verweij, A. M. Van Gestel, and N. M.Van Straalen. 2000. Spatial

Distribution of Trace Metal in Sediments from Urban Streams of Semarang,

Central Java, Indonesia. Ecotoxicology and Environmental Safety 46: 95-

100.

Washington, H. G. 1984. Diversity, Biotic, and Similarity Indices: a Review with

Special Relevance to Aquatic Ecosystem. Water Res. 18(6): 653-694.

Zisckhe J.A. dan G. Ericksen, 2003, Analysis of Benthic Macroinvertebrate

Communities in The Minnesota River Watershed, Diane Waller, United

states fish and Wildlife Service, La Crosse, Wisconsin.

Page 166: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

166

Lampiran 1

Data rata-rata kelimpahan organisme bentik makroavertebrata di setiap stasiun pengamatan.

Ordo Famili Taxa

Rata-rata kelimpahan jumlah individu/m2

St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 St 8 St 9 St 10 St 11 St 12 St 13

Ephemeroptera Baetidae Baetis sp. 415 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Hemiptera Belostomatidae Abedus identatus 281 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Hemiptera Nepidae Ranatra dispar 15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Hemiptera Corixidae Micronecta sp. 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 30 0

Odonata Aeshnidae Coryphaeschna sp. 30 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Odonata Coenagrionidae Amphiagrion sp. 89 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Odonata Libellulidae Libellula sp 0 0 0 0 0 0 0 0 15 15 0 0 0

Odonata Oxygastridae Hesperocordulia sp. 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 30 0

Hirudinea Glossiphoniidae Glossiphonia sp. 119 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1126

Molusca Viviparidae Belamya javanica 0 0 0 0 0 296 563 0 667 163 163 0 0

Molusca Viviparidae Pila scutata 0 0 0 0 0 163 148 0 15 0 59 59 0

Molusca Lymnaeidae Lymnaea stagnalis 1126 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Molusca Planorbidae Amerianna sp. 0 0 0 0 0 0 0 15 0 0 0 0 0

Molusca Thiaridae Melanoides (melanoides) sp. 0 0 0 0 0 74 0 74 341 252 252 30 237

Molusca Thiaridae Brotia sp. 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 59

Crustacea Atyidae Atyaephyra desmaresti 3393 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Diptera Chironomidae Procladius sp. 222 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Diptera Chironomidae Tanytarsus sp. 0 0 0 0 0 207 0 0 44 0 0 0 44

Page 167: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

167

Diptera Chironomidae Kiefferulus sp. 0 0 0 637 44 267 356 578 607 119 652 415 178

Diptera Chironomidae Polypedilum sp. 296 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Diptera Ceratopogonidae Culicoides sp. 0 0 0 0 0 0 15 0 0 0 0 0 0

Diptera Chaoboridae Chaoborus sp. 0 0 0 0 0 0 30 59 30 222 0 0 0

Oligochaeta Naididae Haemonais waldvogelli 104 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Oligochaeta Naididae Stephensonia sp. 74 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Oligochaeta Naididae Branchiodrilus semperi 163 0 0 15 0 148 578 459 548 415 370 1156 44

Oligochaeta Naididae Pristina menoni 59 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Oligochaeta Naididae Chaetogaster lymnaei 30 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Oligochaeta Naididae Dero digitata 0 0 400 326 0 711 593 548 222 415 711 1170 59

Oligochaeta Naididae Dero obtusa 0 0 0 0 0 0 0 44 696 148 296 15 0

Oligochaeta Naididae Dero (Aulophorus) gravelyi 0 0 15 30 0 0 0 44 3022 519 859 15 15

Oligochaeta Naididae Naididae 0 0 0 0 0 104 0 74 1289 0 0 104 74

Oligochaeta Naididae Pristina sp. 0 0 0 0 0 0 0 0 74 0 0 0 0

Oligochaeta Tubificidae Branchiura sowerbyi 2844 0 0 0 0 15 0 0 607 0 15 15 10015

Oligochaeta Tubificidae Limnodrilus sp. 0 24030 133 0 0 44 341 30 1170 400 104 1096 14104

Oligochaeta Tubificidae Aulodrilus piqueti 0 0 0 0 0 0 15 15 963 0 0 163 133

Tricladida Dugesidae Cura sp. 15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Tricladida Dugesidae Dugesia sp. 0 0 0 0 0 0 0 0 59 0 0 0 0

Lepidoptera Pyralidae Nymphulinae 15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Crustacea Cirolamidae Austroargathona sp. 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 74 0

Jumlah Total 9289 24030 548 1007 44 2030 2637 1941 10370 2667 3481 4370 26089

Page 168: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

168

PENGGUNAAN DIATOM EPILITHIK

SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS AIR SUNGAI

REMBANGAN JEMBER YANG MELEWATI PERKEBUNAN KOPI

Retno Wimbaningrum*) dan Siswoyo

**)

ABSTRAK

Diatom epilithik merupakan kelompok mikroalga eukariotik yang hidupnya melekat di bebatuan. Di

banyak negara, keberadaan komunitas diatom epilithik ini telah dimanfaatkan sebagai bioindikator untuk

menilai kualitas air sungai. Namun demikian, di Indonesia baru sedikit ahli yang memanfaatkan diatom

sebagai bioindikator untuk menilai kualitas air sungai. Analisis komposisi dan kelimpahan diatom epilithik

telah dilakukan di Sungai Rembangan, Jember yang melewati perkebuan kopi pada bulan Agustus 2008 pada

tiga stasiun. Koleksi sampel diatom epilithik dilakukan dengan cara menyikat batu yang terendam air sungai

dengan kuas..Identifikasi taksonomi diatom epilitik dilakukan di bawah mikroskop sampai ditemukan

minimum 200 frustula (Winter and Duthie, 2000). Sampel air sungai diambil untuk dianalisis kadar fosfat,

nitrat, amoniak, TSS, konduktivitas, alkalinitas, dan temperatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

ditemukan 25 jenis diatom epilithik. Komposisi jenisnya pada ketiga stasiun tidak terlampau berbeda nyata.

Jenis yang paling melimpah pada ketiga stasiun adalah Fragillaria crotonensis. Kadar fosfat, nitrat,

amoniak, TSS dan alkalinitas air sungai adalah rendah, dengan demikian kualitas air sungai Rembangan

yang melewati perkebunan kopi dapat dikategorikn tidak tercemar. Kesimpulan dari penelitian ini adalah

diatom epilithik jenis Fragillaria crotonensis dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator penilaian kualitas air

yang melewati perkebunan kopi yang tidak tercemar.

Kata kunci: diatom, epilithik, bioindikator, kualias air.

ABSTRACT

Epilithic diatom are a group of eucaryotic microalgae that life on surface of rock. In some countries,

the presented of epilithic diatom communities in the river have been used as bioindicator to asses river

water quality. In Indonesia only view researcher that used diatom as bioindicator to asses water river

quality. The analyzed of composition and relative density of epilithic diatom communities was conducted in

August 2008 in Rembangan river flowing through a coffee cultivated field at Jember at three sites. Epilithic

diatom samples were collected by brushing the upper surfaces of the rock. Taxonomic identification of

epilithic diatom were done by using compound microcope until found 200 minimum of frustules diatom

(Winter and Dutie, 2000). Water river samples were collected to analyzed of concentration of phophat,

nitrat, ammonium, TSS, alkalinity, and temperature. These research have been found 25 species of epilithic

diatom. The difference of composition of species epilithic diatom at three sites are not significant.Fragillaria

crotonensis is the most abundance species at three sites. The concentration of phosphate, nitrat, ammonium,

TSS, conductivity, and temperature are low that the quality of river water in Rembangan river flowing

through a coffee cultivated field at Jember is not polluted. The result of these research is Fragillaria

crotonensis can be used as bioindicator of water river quality in the rivers are not polluted.

Key words: diatom, epilithic, bioindicator, water quality

*)

Jurusan Biologi **)

Jurusan Kimia FMIPA Universitas Jember

Email:[email protected]

Page 169: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

169

PENDAHULUAN

Sungai merupakan salah satu ekosistem penting sebagai penyedia kebutuhan air

bagi hampir semua makhluk hidup. Namun fenomena yang terjadi saat ini, kelestarian

sebagian besar ekosistem lotik tersebut terancam. Buangan limbah industri dan rumah

tangga, aliran pestisida dan sisa pupuk pertanian, dan sedimentasi merupakan penyebab

utama menurunnya kualitas lingkungan perairan sungai.

Sungai Rembangan merupakan salah satu sungai penting yang terdapat di

Kabupaten Jember, Jawa Timur. Sungai ini dimanfaatkan masyarakat untuk berbagai

keperluan hidup. Sebagian dari badan sungai Rembangan berbatasan langsung dengan

perkebunan kopi yang dikelola oleh PTPN XII. Sisa pupuk dan insektisida yang digunakan

untuk memupuk dan membasmi hama tanaman kopi akan mengalir ke sungai dan akan

mempengaruhi kualitas air sungai tersebut.

Umumnya penilaian kualitas air sungai yang selama ini dilakukan adalah

berdasarkan karakteristik kimia, fisika, dan keberadaan bakteri (Vis et al., 1998). Namun

karena besarnya dana yang dibutuhkan untuk melakukan analisis kimia, fisika dan uji

bakteri maka biasanya penilaian kualitas air sungai baru dilakukan jika sungai telah

mengalami pencemaran yang parah. Hal ini kemungkinan yang menjadi salah satu

penyebab bahwa belum pernah dilakukan penilaian kualitas air sungai Rembangan yang

melewati perkebunan kopi.

Sebenarnya, selain berdasarkan parameter kimia, fisika dan uji bakteri, ada cara lain

yang lebih murah dan mudah untuk melakukan penilaian kualitas air sungai. Cara tersebut

adalah dengan memanfaatkan kelompok organisme penghuni sungai. Hellawel (1986)

mengatakan bahwa alga dan makroinvertebrata bentik adalah dua kelompok organisme

yang dapat digunakan untuk menilai kualitas air sungai. Umumnya alga yang disarankan

sebagai indikator kualitas air sungai adalah alga perifiton dan khususnya alga perifiton

diatom (Winter and Duthie, 2000).

Chessman, et al. (1999) mengatakan bahwa penggunaan diatom sebagai

bioindikator meningkat karena komunitas organisme ini memberikan respon yang kuat dan

Page 170: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

170

cepat terhadap perubahan lingkungan perairan. Round (1991) mengatakan bahwa di sungai,

diatom ditemukan di seluruh habitat sungai mulai dari hilir sampai ke hulu. Juttner et al.

(1996) menyatakan bahwa karena dinding sel diatom mengandung silica maka organisme

ini mudah dikoleksi dan disimpan., dan juga dapat menyediakan data yang bersifat

permanen yang merekam perubahan yang terjadi dalam jangka pendek dan jangka panjang.

Rushforth and Brock (1991) menyatakan bahwa secara taksonomis, diatom mudah dikenal

karena mudah diidentifikasi dan responnya terhadap satu jenis polutan bersifat konsisten

walaupun peristiwa pencemarannya terjadi pada wilayah geografis yang berbeda. Selain itu,

tersedia protocol untuk sampling diatom. Analisis komunitas diatom dapat digunakan untuk

menilai efek polutan organik dan peningkatan senyawa anorganik (Winter and Duthie,

2000).

Saat ini keberadaan komunitas diatom epilithik di banyak negara telah

dimanfaatkan sebagai bioindikator kualitas air. Namun demikian, di Indonesia baru

sedikit ahli yang melakukan penelitian tentang kemampuan diatom sebagai bioindikator

kualitas air. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan kualitas air sungai yang

melewati perkebunan kopi dengan menggunakan diatom epilithik sebagai bioindikator.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di sungai Rembangan yang melewati perkebunan kopi pada

bulan Agustus 2008. Pengambilan dan pengukuran data dilakukan pada tiga stasiun yang

terletak di sepanjang badan sungai yang melewati perkebunan kopi. Pengukuran kualitas

fisik air yang dilakukan di lapang meliputi temperatur, kecepatan arus, dan konduktivitas.

Sampel air diambil untuk dianalisis kadar total suspended solid (TSS), nitrat, fosfat,

ammoniak, alkalinitas, dan pH di laboratoium. Sampel diatom epilithik diambil dengan

menggunakan metode plot. Pada permukaan batu yang terbenam di air seluas 5 x 5 cm2

dikoleksi diatom eplitik dengan cara menyikatnya dengan kuas halus, kemudian

menyiramnya dengan akuades sebanyak 50 ml dan menyimpannya dalam tabung

penyimpan. Di laboratorium dilakukan identifikasi dan penghitungan jumlah indvidu setiap

Page 171: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

171

jenis diatom epilithik. Identifikasi dilakukan di bawah mikroskop sampai ditemukan

minimum 200 frustula (Winter and Duthie, 2000).

Data kualitas air sungai Rembangan dianalisis dengan Analisis Varians (ANAVA)

untuk mengetahui beda nyata konsentrasi masing-masing parameter kualitas air tersebut di

antara tiga stasiun pengambilan data. Jika ada beda nyata maka analisis akan dilanjutkan

dengan analisis regresi antara kelimpahan relatif diatom (sebagai faktor dependen) dengan

data kualitas air sebagai faktor independen.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Suhu (°C), kecepatan arus (m/dt), dan konduktivitas (µS/cm) air sungai Rembangan

pada ketiga stasiun selama periode sampling adalah sebagai berikut, Stasiun 1 (24,8- 25,3;

0,2 – 0,33; 103,3- 105,1), Stasiun 2 (23,7; 0,16 – 0,2; 101,2-10,2,0), dan Stasiun 3 (25,2-

25,9; 0,2-0,33; 111,3-113,4). Kadar nitrat, amoniak, fosfat, TSS, pH tertera dalam Tabel 1

di bawah ini.

Tabel 1. Konsetrasi nitrat, amoniak, fosfat, TSS, dan pH air sungai Rembangan

Parameter Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Nitrat (mg/L) 0,5570 0,5125 0,5310

Amoniak (mg/L) 0,0747 0,1247 0,1231

Fosfat (mgP/L) 0,0061 0,0165 0,0193

TSS (mg/L) 0,0173 0,0153 0,0177

Alkalinitas(mg CaCO3/L) 50,52 50,52 50,52

pH 7 7,03 7,26

Hasil analisis varians terhadap enam parameter kualitas air (nitrat, amoniak, fosfat,

TSS, alkalinitas, dan pH) menunjukkan tidak berbeda nyata di antara ketiga stasiun

penelitian. Konsentrasi pH, fosfat dan nitrat sungai Rembangan yang melewati kebun kopi

adalah di bawah ambang batas baku mutu kualitas air. Baku mutu untuk konsentrasi pH,

Page 172: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

172

nitrat, dan fosfat berturut-turut adalah 6,5-8,5; <50mg/L; <0,2 mg/L. Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa kualitas air sungai Rembangan yang melewati perkebunan kopi

tidak tercemar. Hal ini didukung pula oleh konsentrasi amoniak dan TSS yang cukup

rendah. Kondisi tidak tercemar ini didukung oleh posisi perkebunan kopi yang berada pada

lereng gunung dan jauh dari pemukiman penduduk. Selain itu, berdasarkan informasi yang

berhasil dihimpun, pemupukan tanaman kopi sebagian besar menggunakan pupuk organik

yang bahan bakunya berasal dari limbah kulit buah kopi yang bijinya telah diolah menjadi

kopi bubuk.

Aktifitas identifikasi sampel diatom epilithik berhasil mengidentifikasi 25 jenis.

Jenis diatom epilithik terbanyak adalah dari tipe Pennales. Komposisi jenis diatom dan

kelimpahan relatifnya dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Komposisi jenis diatom dan kelimpahan relatif setiap jenis

No Taksa Diatom Kelimpahan relatif (%)

1 Diatoma vulgare 4,554

2 Fragillaria crotonensis 46,110

3 Fragillaria capucina 3,985

4 Fragillaria construens 0,949

5 Navicula cryptocephala 12,334

6 Rhoicosphenia abbreiviata 2,467

7 Stauroneis anceps 1,898

8 Achnanthes minutissima 10,436

9 Surirella ovata 0,949

10 Nitzschia palea 0,569

Page 173: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

173

11 Nitzschia sigmoides 0,569

12 Meridion circulare 0,569

13 Cymbella helvetica 3,416

14 Achnantes sp. 0,190

15 Ceratoneis arcus 0,569

16 Gomphonema geminatum 0,190

17 Surirella angusta 3,605

18 Synedra ulna 0,949

19 Navicula pupula 0,759

20 Cymbella prostrata 0,759

21 Melosira granulata 0,569

22 Amphora sp. 0,190

23 Cyclotella kutzingiana 0,569

24 Surirella robusta splendida 0,190

25 Cocconeis pediculus 2,657

Di antara 25 jenis diatom epilithik, jenis yang paling melimpah adalah Fragillaria

crotonensis yaitu dengan nilai kelimpahan relatifnya sebesar 46,11%. Kualitas air sungai

Rembangan ternyata merupakan habitat yang mampu ditoleransi dengan baik oleh jenis ini.

Page 174: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

174

Di antara komunitas diatom epilithik, jenis ini memiliki ukuran tubuh paling besar (sangat

panjang). Jenis ini sering ditemukan berkoloni walaupun kadang-kadang juga pernah

ditemukan sendiri (soliter). Berdasarkan nilai kelimpahan relatifnya, maka dapat diambil

kesimpulan bahwa jenis diatom epilithik Fragillaria crotonensis dapat dimanfaatkan

sebagai bioindikator perairan sungai yang tidak tercemar oleh limbah buangan aktivitas

perkebunan kopi.

Di antara 25 jenis diatom epilitik yang hadir di sungai Rembangan, terdapat satu

jenis yaitu Achnantes minutissima. Jenis ini oleh Nakanishi, Dkk. (2004) telah diusulkan

sebagai bioindikator untuk kualitas air yang tercemar logam berat. Di sungai Rembangan

Achnantes minutissima ditemukan hadir dengan nilai kelimpahan 10,436%. Dengan

demikian jenis ini merupakan jenis yang kisaran toleransinya lebar sehingga mampu

tumbuh di lingkungan tercemar logam berat maupun di lingkungan yang tidak tercemar

logam berat.

KESIMPULAN

Kualitas air Sungai Rembangan yang melewati perkebunan kopi adalah tidak

tercemar. Jenis diatom epilithik yang paling melimpah hidup di sungai ini adalah

Fragillaria crotonensis. Berdasarkan nilai kelimpahannya maka jenis Fragillaria

crotonensis dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator kualitas air sungai yang melewati

perkebunan yang tidak mengalami pencemaran.

DAFTAR PUSTAKA

Chessman, B., Grown, I., Curry, J. and Plunkett-Cole, N. 1999. Predicting diatom

communities at the genus level for rapid biological assessment of river. Fresw.

Biol, 41.

Hellawell, J.M. 1986. Biological indicator of freswater pollution and environment

management. London: Elsevier.

Page 175: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

175

Juttner, I.H. and S.J. Ormeod. 1996. Diatoms as indicators of river quality in the Nepalese

Middle Hills with consideration of effects of habitat spesific sampling.

Freshwater Biology, 36.

Rosenberg D.M. and V.H Resh. 1993. Freshwater biomonitoring and benthic

macroinvertebrate. New YorK; Chapman & Hall.

Rushfort, S.R. and Brock, J.T. 1991. Attached diatom communities from the lower truckee

river, summer, and fall. Hydrobiologia, 224.

Vis, C., C. Hudon, A. Cattaneo, B. Pinel-Alloul. 1998. Periphyton as `an indicator of

water quality in the St Lawrence River (Quebec, Canada). In: Environmental

Pollution, 101.

Winter, J.G. and H. C. Duthie. 2000. Stream biomonitoring at an agricultural test site using

benthic algae. In: Can. Journal Botani, 78: 01319-1325 (2000)

Page 176: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

176

POLA AKUMULASI Fe, K DAN Mg OLEH KULTUR Scenedesmus dimorphus

PADA VARIASI PENAMBAHAN KONSENTRASI LARUTAN CAMPURAN

LOGAM

Awalina Satya *, Tjandra Chrismadha dan Mey R.Widoretno

ABSTRAK

Perubahan iklim akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan alga yang menduduki tingkat

primer pada rantai makanan untuk bertahan hidup. Tujuan eksperimen di laboratorium ini adalah

mengamati trend pola bioakumulasi Fe,K dan Mg oleh kultur Scenedesmus dimorphus yang dibiakkan dalam

Provasoli for Haematococcus Medium (PHM) dengan variasi penambahan volume larutan campuran logam

berturut turut 1 mL, 5 mL, 10 mL dan 20 mL. Kultur alga ini dicuplik pada periode pemaparan hari ke 10, 20,

dan 30 untuk penentuan biomassa, kepadatan sel, dan kandungan ketiga jenis logam tersebut baik pada

larutan media tumbuh alga maupun pada matriks alganya. Pada tahap determinasi kandungan logam,

setelah melewati proses sentrifugasi untuk pemisahan matriks sample, digesti dengan larutan aqua regia

dilakukan terlebih dulu sebelum pengukuran dengan Zeeman background corrected-Graphite Furnace

Atomic Absorption Spectrophotometer (GFAAS). Penentuan biomassa dilakukan secara gravimetric setelah

penyaringan dengan GF/C, sementara kepadatan sel dilakukan dengan cara pengukuran absorbans pada

λ400 nano meter. Nilai r 2 eksponensial tertinggi (0,9971 ; 0,9972 dan 0,9965) berturut-turut teramati pada

bioakumulasi Mg dengan penambahan larutan campuran logam (LCL) sebanyak 20 mL ; K dan Fe dengan

volume penambahan LCL 10 mL. Sebaliknya Bioakumulasi K dalam matriks sel alga cenderung

memperlihatkan pola eksponensial yang paling jelas (kisaran r 2= 0,9169-0,9987) pada kesemua variasi

penambahan LCL. Berbeda dengan Mg, hasil analisis pictorial menunjukkan persamaan pola pada K dan

Fe yaitu berkurangnya bioakumulasi dan bertambahnya biomassa seiring dengan bertambahnya waktu pada

semua variasi penambahan LCL.

Kata kunci:pola akumulasi, Scenedesmus dimorphus, Fe, K,Mg

ABSTRACT

The climate change affects on the survival of algal life as primary producers in food web. The aim of

this laboratory experiment was to observe bioaccumulation of Fe, K and Mg trend pattern by cultured

Scenedesmus dimorphus which was grown in Provasoli for Haematococcus Medium (PHM) followed by

addition of respectively 1 mL, 5 mL, 10 mL and 20 mL of the Mixed Trace Metals Solution (MTS). This algae

culture was sampled in exposure period in 10, 20, and 30 days to determine its biomass, cell density, and

those of three metals contents not only in media but also in its algae matrix. Due to metals quantification,

after sample matrix separation by centrifugation process, wet digestion with aqua regia was done before

measurements Zeeman background corrected-Graphite Furnace Atomic Absorption Spectrophotometer

(GFAAS). Biomass was measured by gravimetrically after filtration with GF/C, while cell density was

determined by absorbance reading on λ400 nano meter. The highest observed value of the exponential r 2

(0,9971 ; 0,9972 and 0,9965) respectively on Mg bioaccumulation with 20 mL ; K and Fe with 10 mL MTS

added. The most clearest exponential pattern was observed in K bioaccumulation in algae matrix (r 2=

* Pusat Penelitian Limnologi LIPI

Email : [email protected]

Page 177: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

177

0,9169-0,9987) in all of MTS added variation. Different from Mg case, pictorial analysis result show that

both of K and Fe has similar bioaccumulation exponential pattern which bioaccumulation decreasing and

ascending of biomass coincidently with observations period in all of MTS added variations.

Key words: accumulation pattern, Scenedesmus dimorphus, Fe, K,Mg

PENDAHULUAN

Perubahan iklim ini berkaitan dengan perubahan keseimbangan siklus biogeokimia,

maka dampaknya terhadap perairan darat tentu sudah dapat diperkirakan juga akan

berpengaruh terhadap kehidupan mulai pada tingkat primary producers sampai pada top

consumers pada rantai makanan. Menurut Yu and Wang (2004), alga atau phytoplankton

menduduki level terendah (primary producers) merupakan komponen ekosistem yang

sensitive terhadap perubahan keseimbangan siklus biogeokimia perairan.

Karena kemudahannya untuk tumbuh, Scenedesmus sp banyak digunakan dalam

eksperimen bioakumulasi di laboratorium (Buffle and De Vitre, 1994). Menurut Csuros and

Csuros (2002), baik kalium (K) maupun magnesium (Mg) masing masing dikenal sebagai

salah satu makro nutrient esensial untuk tumbuhan termasuk phytoplankton. K berperan

dalam proses aktivasi enzim, fotosintesis, respirasi dan pemeliharaan sel. Sedangkan Mg

berperan dalam struktur molekul chlorophyll, aktivasi enzim, terkait dengan sintesis

Adenosine Tri Phosphate (ATP), dan dalam pengembangan sel (sintesis Ribonucleic Acid,

RNA dan Deoxyribonucleic acid, DNA). Sementara Besi (Fe) berperan besar dalam sintesis

chlorophyll, proses reduksi oksidasi dalam fotosintesis, dan respirasi (terkait dengan

cytochromes, Fe-S protein, ferredoxin) juga dalam proses reduksi Nitrogen-Nitrat dan

pembelahan sel (sebagai phytopherritin).

Buffle and De Vitre (1994) menyebutkan bahwa salah satu cara untuk mengetahui

interaksi logam terhadap mikroorganisme adalah melalui pengamatan terhadap response

mikroorganisme tersebut terhadap keberadaan kandungan logam dalam media hidupnya.

Cara termudah dalam hal tersebut adalah melalui pengamatan terhadap pertumbuhan alga

(kepadatan sel dan biomassa). Informasi lainnya lagi adalah bahwa K dan Mg menurut

Wuyep et al. (2007) jauh lebih mudah terbioakumulasikan dalam biomassa Polyporus

Anindyajati M A
Highlight
Anindyajati M A
Highlight
Anindyajati M A
Highlight
Page 178: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

178

squamosus dibandingkan Fe, Ni Cu dan Pb yang berasal dari effluent limbah penyulingan

minyak.

Dari uraian tersebut maka pengamatan terhadap pola bioakumulasi ketiga jenis

logam ini dalam Scenedesmus dimorphus perlu untuk dilakukan sebagai studi awal dalam

mempelajari siklus biogeokimia perairan darat. Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah

untuk mengungkapkan trend pola bioakumulasi Fe,K dan Mg oleh kultur Scenedesmus

dimorphus yang dibiakkan dalam Provasoli for Haematococcus Medium (PHM) dengan

variasi penambahan volume larutan campuran logam. PHM dipilih untuk digunakan karena

media ini paling sering digunakan dalam laboratorium kami di Puslit Limnologi-LIPI.

BAHAN DAN METODE

Sebanyak 10 mL inokulum Scenedesmus dimorphus dibiakkan dari stok yang

tumbuh dengan baik pada umur sekitar 10 hari dimasukkan dalam media PHM yang telah

diatur pHnya sekitar 6-7. PHM ini mengandung 1000 mgKNO3/L; 200 mg K2HPO4/L; 200

mgMgSO4.7H2O/L; 50 mgNa2SiO3.9H2O/L; 189 mgNa2EDTA/L; 244 mgFeCl3.6H2O/L.

Sementara itu Larutan Campuran Logam (LCL) mengandung 61 mg H3BO3/L; 41 mg

MnCl2.4H2O; 41 mg ZnCl2/L; 38 mg Na2MoO4.4H2O/L; 6 mg CuSO4.5H2O/L; dan 5,1 mg

CoCl2.6H2O/L. Volume kultur sebanyak 400 mL dalam wadah erlenmeyer 500mL

berbahan pyrex glass dan merupakan batch culture system yang dialiri 10 mL gas CO2

setiap hari. Pengadukan dilakukan tanpa aerasi untuk mengurangi evaporasi. Penyinaran

dilakukan dengan menggunakan beberapa Tubular Lamp (TL) dengan flux sebesar 1500

Lux pada permukaan gelas wadah kultur. Perlakuan terdiri atas variasi penambahan volume

LCL (1 mL, 5 mL, 10 mL, dan 20 mL) secara duplo. Pencuplikan sample media berikut

alga dilakukan pada umur kultur 10 hari, 20 hari dan 30 hari.

Pengukuran biomassa dilakukan secara gravimetri setelah sebelumnya 5-10 mL

cairan kultur disaring dengan kertas saring GF/C (APHA, 1992). Sementara itu Kepadatan

sel diukur secara spektrofotometri uv-vis dengan pembacaan absorbans pada λ 400

nanometer (APHA, 1992). Determinasi Mg,K dan Fe diawali dengan pemisahan antara

Page 179: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

179

matriks sample alga dari cairan medianya dengan cara sentrifugasi 2000-3000 round per

minute (rpm), proses ini dianggap selesai bila telah diperoleh cairan media yang benar-

benar jernih. Matriks alga kemudian dicuci dengan larutan HNO3 1 % agar terbebas dari

logam yang menempel dipermukaan sel alga. Sample cairan media dan matriks alga (yang

telah dikeringkan pada incubator bersuhu 100 °C selama satu jam dan didinginkan dalam

dessicator sampai pada suhu ruang lalu ditimbang dengan sartorious balance ) kemudian

melalui tahap wet digestions dengan penambahan masing-masing sebanyak 0,5 mL HCl

pekat dan 0,1 mL HNO3 pekat sebelum di autoclave 30 menit pada 121°C dan 15 Psi

gauge. Kedua jenis sample tersebut di digest dalam reaction vessel bertutup teflon coated

yang tahan terhadap proses pengautoclavan tersebut (modifikasi dari ASTM D1971-02

(2002). Digestat yang diperoleh kemudian diukur kandungan Mg, K dan Fe nya dengan

menggunakan Zeeman background corrected-Graphite Furnace Atomic Absorption

Spectrophotometer (GFAAS) sesuai dengan Operation Manual Hitachi High Technologies

Corp ( 2006).

Analisis data yang diperoleh dilakukan secara pictorial dengan MS-Excell TM

untuk

mengetahui pola kecenderungan hubungan yang terjadi selama observasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada eksperimen ini, maksud penambahan LCL adalah untuk mempercepat

penambahan kepadatan sel dan biomassa alga (Gambar 4-6). Variasi penambahan volume

LCL ini akan memungkinkan dipilihnya kuantitas penambahan yang yang tepat untuk

eksperimen lanjutan yang menggunakan kultur Scenedesmus dimorphus di masa

mendatang. Berdasarkan beberapa literatur kami berasumsi bahwa seiring dengan

bertambahnya waktu pengamatan, maka baik K, Mg maupun Fe dalam larutan media PHM

akan terus menurun seiring dengan peningkatan biomassa dan kepadatan sel. Sedangkan

untuk bioakumulasi ketiga logam tersebut pada awalnya akan cenderung meningkat seiring

dengan bertambahnya biomassa, tetapi cenderung sebaliknya bila biomassa telah mencapai

Page 180: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

180

pada kuantitas maksimumnya. Pendekatan untuk membuktikan asumsi tersebut dapat

ditelusur mulai Gambar 1 sampai 6.

Hasil analisis trendline pada hubungan antara Mg di media selama periode

pengamatan menunjukkan bahwa secara eksponensial kandungan Mg dalam media

cenderung turun seiring waktu hal ini kemungkinan disebabkan oleh konsumsi Mg untuk

mendukung metabolisme alga semasa masa pertumbuhannya (Gambar 1a sampai 1d).

Tetapi trend reability paling jelas terlihat pada Gambar 1b dimana penambahan volume

LCL sebesar 5 mL (r2 = 0,999). Penambahan LCL volume 20 mL juga jauh lebih baik (r

2 =

0,886) dibandingkan dengan penambahan volume LCL 1 dan 10 mL. Tetapi untuk

hubungan Mg dalam sel alga terhadap biomassa alga (Gambar 1e sampai 1h) volume

penambahan LCL 20 mL adalah yang terbaik (Gambar 1h). Penambahan volume LCL 5

mL maupun 10 mL menunjukkan trend reability yang hampir sama (Gambar 1f dan 1g).

Pada Gambar 2a sampai 2d terlihat adanya penurunan eksponensial K dalam media

seiring waktu hanya jelas terlihat pada penambahan LCL 5 mL (Gambar 2b) sementara

penambahan 10 mL LCL justru menunjukkan peningkatan K dalam media secara

eksponensial (Gambar 2c) demikian juga dengan 20 mL LCL (Gambar 2d), mungkin hal ini

disebabkan oleh dominannya konsentrasi K dalam media PHM. Tampaknya volume

penambahan LCL 5 mL merupakan perlakuan yang tepat dinadingkan variasi volume yang

lainnya. Sementara itu Gambar 2e sampai 2h menunjukkan bahwa hubungan bioakumulasi

K dalam sel cenderung menurun seiring dengan menurunnya biomassa. Trend reability

hubungan kedua faktor tersebut paling jelas terlihat (r2 = 0,999 dan r

2 = 0,997) pada

penambahan LCL 1 mL maupun 10 mL (Gambar 2e dan 2g) sementara Gambar 2f dan 2h

menunjukkan nilai r2 terpaut hanya sedikit dengan kedua gambar yang disebut sebelumnya.

Sama halnya yang teramati pada Mg, baik Fe dalam media versus waktu

pengamatan (Gambar 3a sampai 3d) dan bioakumulasi Fe dalam sel versus biomassa

(Gambar 3e sampai 3h) juga secara eksponensial menurun. Namun hanya pada

penambahan LCL 10 mL saja yang menunjukkan bahwa penurunan Fe dalam media seiring

waktu paling jelas terlihat (Gambar 3c). Gambar 3a, 3b dan 3d hanya menunjukkan

Page 181: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

181

kecenderungan pada level sedang. Sebaliknya Gambar 3e sampai 3h membuktikan bahwa

jelas terlihat secara eksponensial kecenderungan pola menurunnya bioakumulasi Fe dalam

sel seiring dengan menurunnya biomassa. Pola paling jelas terlihat pada penambahan LCL

1 mL (Gambar 3e) dan 10 mL (Gambar 3g).

Gambar 1 sampai Gambar 3 (kecuali untuk K pada penambahan LCL 10 mL dan 20

mL yang cenderung secara eksponensial meningkat pada akhir pengamtan) hanya jelas

menunjukkan bahwa ketiga logam tersebut cenderung menurun seiring dengan

bertambahnya waktu pengamatan pada semua variasi penambahan volume LCL. Tetapi

untuk menunjukkan bagaimana trend pola penurunan konsentrasi ketiga logam tersebut

baik dalam media maupun dalam sel alga , kenaikan kepadatan sel, kenaikan biomassa

seiring bertambahnya waktu periode pengamatan Gambar 4 sampai Gambar 6 adalah yang

paling jelas dalam mendeskripsikannya karena pada gambar-gambar ini konsentrasi ketiga

logam pada 0 hari pengamatan juga ikut ditampilkan.

Gambar 4a sampai 4h menunjukkan bahwa pada semua variasi penambahan LCL,

baik kepadatan sel maupun biomassa cenderung untuk meningkat sedangkan Mg dalam

media cenderung menurun seiring bertambahnya waktu pengamatan. Tetapi hanya pada

penambahan LCL 20 mL terlihat jelas penurunan bioakumulasi Mg dalam sel (Gambar 4h).

Pola kecenderungan pengurangan K dalam medium dan peningkatan kepadatan sel

seiring waktu (Gambar 5a sampai 5d ) menunjukkan seolah-olah waktu pengamatan 30 hari

tidaklah cukup bila dibandingkan dengan Mg maupun Fe. Tetapi hal tersebut tidak tampak

pada biomassa dan bioakumulasi K seiring waktu (Gambar 5e sampai 5h). Pada keempat

gambar terakhir ini terbukti bahwa seiring bertambahnya waktu pengamatan, biomassa

terus bertambah sampai berakhirnya observasi sementara bioakumulasi K pada sel

cenderung tinggi pada awal periode dan akhirnya menurun pada akhir periode.

Gambar 6a sampai 6d menunjukkan bahwa Kepadatan sel cenderung terus

meningkat sampai pada akhir masa observasi, sedangkan Fe di media memiliki

kecenderungan berbeda yaitu secara tajam menurun seiring bertambahnya waktu

pengamatan. Hal ini jauh berbeda dengan Mg yang langsung menurun drastis begitu

Page 182: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

182

memasuki hari ke 10 pada semua variasi penambahan volume LCL. Pada Fe hanya pada

penambahan 1 mL LCL yang berpola sama dengan Mg yaitu langsung menurun pada hari

ke 10 (Gambar 6a dan 6c). Waktu yang diperlukan untuk menurunkan Fe di media secara

tajam menjadi 20 hari justru terjadi pada penambahan LCL 5 mL dan 20 mL (Gambar 6b

dan 6d).

Uraian tersebut diatas mengindikasikan bahwa perbedaan karakteristik setiap

logam baik dalam berinteraksi dengan sesama logam penyusun media maupun dengan

kebutuhan akan jenis logam tersebut untuk proses metabolisme alga berpengaruh terhadap

pola bioakumulasi Mg, K dan Fe dalam penelitian ini.

KESIMPULAN

Hasil yang kami peroleh menunjukkan bahwa setiap logam membutuhkan volume

penambahan LCL yang berbeda beda agar jelas untuk diamati trend pengurangan

kandungan logam dalam medianya seiring pertambahan waktu pengamatan sekaligus

pengurangan bioakumulasi versus pertambahan biomassanya (Mg pada penambahan LCL 5

mL dan 20 mL, Kalium hanya pada penambahan LCL 5 mL dan Besi hanya pada

penambahan LCL 10 mL ). Fakta ini dapat menjadi dasar untuk eksperimen labortorium

lanjutan yang relevan dengan penyerapan Mg, K dan Fe secara lebih detail di masa

mendatang.

DAFTAR PUSTAKA

Environmental Protection Agency. 1992. Standard Methods for the Examination of Water

and Wastewater, 18 th ed., Government Printing Office, Washington, D.C

(APHA-AWWA-WPCF).

ASTM D1971-02 .2002. Standard Practises for Digestion of Water samples for

determination of metals by flame atomic absorption, Graphite furnace atomic

absorption, plasma emission spectroscopy or plasma mass spectrometry. Annual

book of ASTM Standards, Vol 11.01

Buffle, J. and R.R. De Vitre.1994. Uptake of trace metals by aquatic organisms dalam

Chemical and Biological regulation of aquatic system. Lewis Publisher. CRC

Press. Boca Raton Florida.

Page 183: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

183

Csuros, M. and Csuros , C. 2002 Metals and Plants dalam Environmental Sampling and

Analysis for metals. Hal 324., Lewis Publishers. 372 pp

Hitachi High Technologies Corp . 2006. Model z-2000 series polarized Zeeman atomic

absorption spectrophotometer, Operation Manual:Graphite Furnace Atomizer.5

th ed. Japan.

Wuyep , P.A, Chuma A.G, Awodi, S and Nok, A.J .2007. Biosorption of Cr, Mn, Fe, Ni,

Cu, and Pb metals from petroleum refinery effluent by calcium alginate

immobilized mycelia of Polyporus squamosus. Scientific Research and Essay

Vol.2 (7), pp.217-221.

Yu, R.Q and Wang, WX .2004. Biological uptake of Cd, Se(IV) and Zn by

Chlamydomonas reinhardtii in response to different phosphate and nitrate

additions. Aquatic microbial ecology.Vol.35:163-173.

Page 184: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

184

1a. penambahan 1 mL

0.482

0.483

0.481

y = 0.4825e-0.0005x

R2 = 0.0782

0.480

0.481

0.481

0.482

0.482

0.483

0.483

0.484

10 20 30

pengamtan hari ke

ugMg/L

1e. penambahan 1 mL

4.88

2.00

3.66y = 4.385e-0.1433x

R2 = 0.0988

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

112.5 177.5 292.5

Biomassa (mg/L)

ugMg/g dry weight

1b.penambahan 5 mL

0.48

0.46

0.44

y = 0.4984e-0.0381x

R2 = 0.9999

0.42

0.43

0.44

0.45

0.46

0.47

0.48

0.49

10 20 30

pengamatan hari ke

ugMg/L

1f. penambahan 5 mL

11.06

4.03

3.02

y = 18.793e-0.6499x

R2 = 0.907

0.00

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

12.00

162.5 227.5 265

biomassa(mg/L)

ugMg/g dry w

eight

1c. penambahan 10 mL

0.49

0.47

0.49y = 0.4869e-0.0021x

R2 = 0.0065

0.46

0.46

0.47

0.47

0.48

0.48

0.49

0.49

0.50

0.50

10 20 30

pengamtan hari ke

ugMg/L

1 g. penambahan 10 mL

5.86

4.173.76

y = 7.0356e-0.222x

R2 = 0.9151

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

152.5 237.5 292.5

biomassa (mg/L)

ugMg/g dry w

eight

1d. penambahan 20 mL

0.50

0.48

0.47

y = 0.5168e-0.0325x

R2 = 0.8862

0.45

0.46

0.47

0.48

0.49

0.50

0.51

10 20 30

pengamatan hari ke

ugMg/L

1h. penambahan 20 mL

19.91

5.45

1.86

y = 62.747e-1.1846x

R2 = 0.9971

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

147.5 215 300

biomassa (mg/L)

ugMg/g dry w

eight

Gambar 1. Hasil analisis trend line konsentrasi Mg dalam media terhadap periode pengamatan) dalam 4

variasi penambahan LCL (1a-1d).Sementara 1e-1f menggambarkan trendline antara Mg dalam sel

alga terhadap biomassa alga pada 4 variasi penambahan volume LCL.

Page 185: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

185

2a. penambahan 1 mL

1,190.074

1,263.475

1,136.613

y = 1251.8e-0.023x

R2 = 0.1876

1,060.000

1,080.000

1,100.000

1,120.000

1,140.000

1,160.000

1,180.0001,200.000

1,220.000

1,240.000

1,260.000

1,280.000

10 20 30

pengamatan hari ke

ugK/L

2e. penambahan 1 mL

47.77

21.38

8.58

y = 114.78e-0.8585x

R2 = 0.9987

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

112.5 177.5 292.5

Biomassa (mg/L)

ugK/g dry weight

2b. penambahan 5 mL

1187.88

1157.10

1136.61

y = 1212.7e-0.0221x

R2 = 0.9881

1100.00

1110.00

1120.00

1130.00

1140.00

1150.00

1160.00

1170.00

1180.00

1190.00

1200.00

10 20 30

pengamatan hari ke

ugK/L

2f. penambahan 5 mL

30.55

11.20

6.78

y = 59.66e-0.7528x

R2 = 0.9642

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

162.5 227.5 265

biomassa (mg/L)

ugK/g dry weight

2c.penambahan 10 mL

1091.04

1,181.20

1,225.35

y = 1036.9e0.058x

R2 = 0.9568

1000.00

1050.00

1100.00

1150.00

1200.00

1250.00

10 20 30

pengamtan hari ke

ugK/L

2g. penambahan 10 mL

36.12

20.58

10.47

y = 68.352e-0.619x

R2 = 0.9972

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

40.00

152.5 237.5 292.5

biomassa (mg/L)

ugK/g dry weight

2d.penambahan 20 mL

1128.83

1236.851223.38

y = 1103e0.0402x

R2 = 0.6495

1060.00

1080.00

1100.00

1120.00

1140.00

1160.00

1180.00

1200.00

1220.00

1240.00

1260.00

10 20 30

pengamatan hari ke

ugK/L

2h. penambahan 20 mL

46.88

12.187.97

y = 97.441e-0.8857x

R2 = 0.9169

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

40.00

45.00

50.00

147.5 215 300

biomassa (mg/L)

ugK/g dry w

eight

Gambar 2. Hasil analisis trend line konsentrasi K dalam media terhadap periode pengamatan) dalam 4 variasi

penambahan LCL (2a-2d).Sementara 2e-2f menggambarkan trendline antara K dalam sel alga

terhadap biomassa alga pada 4 variasi penambahan volume LCL.

Page 186: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

186

3a.penambahan 1 mL

376.68

455.07

100.00

y = 971.23e-0.6631x

R2 = 0.645

0.00

100.00

200.00

300.00

400.00

500.00

600.00

10 20 30

pengamatan hari ke

ugFe/L

3e.penambahan 1mL

60.86

26.88

10.54

y = 149.15e-0.8766x

R2 = 0.9985

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

112.5 177.5 292.5

Biomassa (mg/L)

ugFe/g dry w

eight

3b.penambahan 5 mL

1767.98 1707.38

190.25

y = 7724.4e-1.1146x

R2 = 0.7617

0.00

500.00

1000.00

1500.00

2000.00

2500.00

3000.00

10 20 30

pengamatan hari ke

ugFe/L

3f.penambahan 5 mL

45.57

15.38

10.81

y = 82.781e-0.7192x

R2 = 0.9202

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

40.00

45.00

50.00

162.5 227.5 265

biomassa (mg/L)

ugFe/g dry weight

3c.penambahan 10 mL

1152.04

729.78

264.03

y = 2641.9e-0.7366x

R2 = 0.954

0.00

200.00

400.00

600.00

800.00

1000.00

1200.00

1400.00

10 20 30

pengamatan hari ke

ugFe/L

3g. penambahan 10 mL

52.62

29.19

14.16

y = 103.76e-0.6565x

R2 = 0.9965

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

152.5 237.5 292.5

biomassa (mg/L)

ugFe/g dry w

eight

3d. penambahan 20 mL

665.22

784.45

50.59

y = 3915.1e-1.2882x

R2 = 0.7022

0.00

200.00

400.00

600.00

800.00

1,000.00

1,200.00

10 20 30

pengamatan hari ke

ugFe/L

3h.penambahan 20 mL

64.97

15.219.91

y = 140.27e-0.9403x

R2 = 0.9101

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

147.5 215 300

biomassa (mg/L)

ugFe/g dry w

eight

Gambar 3. Hasil analisis trend line konsentrasi Fe dalam media terhadap periode pengamatan) dalam 4 variasi

penambahan LCL (3a-3d).Sementara 3e-3f menggambarkan trendline antara Fe dalam sel alga

terhadap biomassa alga pada 4 variasi penambahan volume LCL.

Page 187: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

187

4a.Penambahan 1 mL

0.000

1.000

2.000

3.000

4.000

5.000

6.000

0 5 10 15 20 25 30

pengamatan hari ke

kuantita

s

kepadatan sel pada λ400 nm media,µgMg/L

4e.Penambahan 1 mL

0

1

2

3

4

5

6

10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

pengamtan hari ke

kuantita

s

Biomassa( mg) alga,µg/g dry weight

4b.penambahan 5 mL

0.000

1.000

2.000

3.000

4.000

5.000

6.000

0 5 10 15 20 25 30

Pengamatan hari ke

kuantitas

kepadatan sel pada λ400 nm media,µgMg/L

4f.Penambahan 5 mL

0

2

4

6

8

10

12

10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

pengamtan hari ke

kuantitas

Biomassa( mg) alga,µgMg/g dry weight

4c.Penambahan 10 mL

0.000

1.000

2.000

3.000

4.000

5.000

6.000

0 5 10 15 20 25 30 35

pengamatan hari ke

kuantitas

kepadatan sel pada λ400 nm media,µgMg/L

4g.Penambahan 10 mL

0

1

2

34

5

6

7

10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

pengamatan hari ke

kuantitas

Biomassa( mg) alga,µgMg/g dry weight

4d. penambahan 20 mL

0.000

1.000

2.000

3.000

4.000

5.000

0 5 10 15 20 25 30 35

Pengamatan hari ke

kuantita

s

kepadatan sel pada λ400 nm media,µgMg/L

4h. penambahan 20 mL

0

5

10

15

20

25

10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

penambahan hari ke

kuantita

s

Biomassa( mg) alga,µgMg/g dry w eight

Gambar 4. Kecenderungan pengurangan kandungan Mg dalam media dan peningkatan kepadatan sel terhadap

lamanya waktu pengamatan (4a-4d). Serta kecenderungan penurunan kandungan Mg dalam sel dan

peningkatan biomassa terhadap lamanya waktu pengamatan (4e-4h).Kesemuanya dalam 4 variasi

penambahan volume LCL.

Page 188: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

188

5a.Penambahan 1 mL

0.000

0.200

0.400

0.6000.800

1.000

1.200

1.400

0 5 10 15 20 25 30 35

pengamatan hari ke

kuantita

s

kepadatan sel pada λ400 nm media,µgK/L x 1000

5e. penambahan 1 mL

0

1

2

3

4

5

6

10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

pengamatan hari ke

kuantita

s

Biomassa( mg) alga,µgK/g dry weight x 10

5b. penambahan 5 mL

0.000

0.200

0.400

0.6000.800

1.000

1.200

1.400

0 5 10 15 20 25 30 35

pengamatan hari ke

kuantita

s

kepadatan sel pada λ400 nm media,µgK/L x 1000

5f.penambahan 5 mL

0

0.5

1

1.52

2.5

3

3.5

10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

pengamtan hari ke

kuantita

s

Biomassa( mg) alga,µgK/g dry weight x 10

5c.penambahan 10 mL

0.000

0.200

0.400

0.6000.800

1.000

1.200

1.400

0 5 10 15 20 25 30 35

pengamatan hari ke

kuantita

s

kepadatan sel pada λ400 nm media,µgK/L x 1000

5g.penambahan 10 mL

0

10

20

30

40

10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

pengamtan hari ke

kuantita

s

Biomassa( mg)x10 alga,µgK/g dry weight

5d.Penambahan 20 mL

0.000

0.200

0.400

0.6000.800

1.000

1.200

1.400

0 5 10 15 20 25 30 35

pengamatan hari ke

kuantitas

kepadatan sel pada λ400 nm media,µgK/L x 1000

5h. Penambahan 20 mL

0

10

20

30

40

50

10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

pengamatan hari ke

kuantitas

Biomassa( mg)x10 alga,µgK/g dry weight

Gambar 5. Kecenderungan pengurangan kandungan K dalam media dan peningkatan kepadatan sel terhadap

lamanya waktu pengamatan (5a-5d). Serta kecenderungan penurunan kandungan K dalam sel dan

peningkatan biomassa terhadap lamanya waktu pengamatan (5e-5h).Kesemuanya dalam 4 variasi

penambahan volume LCL.

Page 189: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

189

6a. penambahan 1 mL

0.000

0.200

0.400

0.600

0.800

1.000

1.200

0 5 10 15 20 25 30 35

pengamatan hari ke

kuantita

s

kepadatan sel pada λ400 nm media,µgFe/L x 1000

6e. penambahan 1 mL

0

10

20

3040

50

60

70

10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

pengamatan hari ke

kuantitas

Biomassa( mg)x10 alga,µgFe/g dry weight

6b.penambahan 5 mL

0.000

0.500

1.000

1.500

2.000

0 5 10 15 20 25 30 35

pengamatan hari ke

kuantita

s

kepadatan sel pada λ400 nm media,µgFe/L x 1000

6f.penambahan 5 mL

0

10

20

30

40

50

10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

pengamatan hari ke

kuantita

s

Biomassa( mg) x 10 alga,µgFe/g dry weight

6c.penambahan 10 mL

0.000

0.500

1.000

1.500

2.000

2.500

3.000

0 5 10 15 20 25 30 35

pengamatan hari ke

kuantita

s

kepadatan sel pada λ400 nm media,µgFe/L x 1000

6g. penambahan 10 mL

0

10

20

3040

50

60

70

10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

pengamatan hari ke

kuantita

s

Biomassa( mg)x10 alga,µgFe/g dry weight

6d. penambahan 20 mL

0.000

0.200

0.400

0.600

0.800

1.000

0 5 10 15 20 25 30 35

pengamtan hari ke

kuantita

s

kepadatan sel pada λ400 nm media,µgFe/L x 1000

6h.penambahan 20 mL

0

10

20

3040

50

60

70

10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

pengamtan hari ke

kuantita

s

Biomassa( mg)x10 alga,µgFe/g dry weight

Gambar 6. Kecenderungan pengurangan kandungan Fe dalam media dan peningkatan kepadatan sel terhadap

lamanya waktu pengamatan (6a-6d). Serta kecenderungan penurunan kandungan Fe dalam sel dan

peningkatan biomassa terhadap lamanya waktu pengamatan (6e-6h).Kesemuanya dalam 4 variasi

penambahan volume LCL.

Page 190: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

190

RASIO COLI FEKAL DAN STREPTOCOCCI FEKAL SEBAGAI PENUNJUK

SUMBER PENCEMARAN FEKAL PADA MUSIM HUJAN

DI SUNGAI BANJARAN KABUPATEN BANYUMAS

Sri Lestari*

ABSTRAK Bakteri coli fekal dan streptococci fekal selalu terdapat di dalam tinja manusia dan hewan berdarah

panas. Keberadaan bakteri coli fekal dan streptococci fekal di perairan mengindikasikan adanya pencemaran

fekal. Bakteri coli fekal dan streptococci fekal merupakan bakteri indikator adanya mikroorganisme patogen

yang mempengaruhi tingkat kesehatan masyarakat sekitar. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui

sebaran bakteri coli fekal dan streptococci fekal yang dapat menunjukkan sumber pencemaran fekal di

Sungai Banjaran Kabupaten Banyumas.

Penelitian dilakukan di sepanjang Sungai Banjaran pada musim hujan (Oktober - Desember 2005).

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Teknik pengambilan sampel air dilakukan secara

Stratified Random Sampling di 6 stasiun pengamatan. Parameter utama yang diukur adalah jumlah coli fekal

dan streptococci fekal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa total populasi coli fekal berkisar antara 40 -

160/100 ml. Rasio colifekal dan streptococci fekal berkisar antara 2,0 – 4,0 yang menunjukkan sumber

pencemaran fekal didominasi oleh limbah manusia.

Kata kunci : Coli fekal, Streptococci fekal, Pencemaran fekal

ABSTRACT

Faecal coli and faecal streptococci bacteria are always occur in human feses and warm-blooded

animals. Existence of faecal coli and faecal streptococci bacteria in water indicate there was occurred faecal

material of pollution. Faecal coli and faecal streptococci bacteria as an indicator bacteria was occurred

pathogen microorganisms which influential the community health of degree. Aims of research was know the

spread of faecal coli and faecal streptococci that showed faecal pollution source of Banjaran River in

Banyumas Regency.

Research was conducted in all along the Banjaran River on wet season (October – December 2005).

Method used in this research was that a survey with Stratified Random Sampling in 6 observation stasion.

The main parameter that measured were the number of population faecal coli and faecal streptococci. The

result show that the totally of population faecal coli and faecal streptococci ranges 40 – 160/100 ml.

Faecal coli and faecal streptococci ratio ranges 2,0 – 4,0 that show faecal pollution source in Banjaran River

was domination of human feses.

Keywords: Faecal coli, Faecal streptococci, Faecal pollution

* Fakultas Biologi UNSOED

Email : [email protected]

Page 191: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

191

PENDAHULUAN

Pencemaran organik di sungai umumnya disebabkan oleh bahan buangan organik yaitu

limbah yang dapat membusuk atau terdegradasi oleh mikroorganisme. Materi fekal adalah salah

satu limbah organik yang memicu terjadinya pencemaran organik di sungai. Pencemaran organik

berupa fekal disebabkan oleh masuknya kotoran manusia dan kotoran hewan berdarah panas ke

dalam sungai. Penduduk di sekitar sungai tersebut banyak membuang tinjanya ke sungai.

Menurut Suparman dan Suparmin (2001), tinja adalah bahan buangan yang dikeluarkan dari

tubuh manusia melalui anus sebagai sisa dari proses pencernaan makanan di sepanjang sistem

saluran pencernaan (tractus digestifus).

Adanya materi fekal menyebabkan pencemaran fekal yang erat hubungannya dengan

kandungan mikroorganisme di dalam air yaitu semua mikroorganisme yang bersifat patogen dan

berbahaya jika air tersebut digunakan oleh manusia. Mikroorganisme patogen tersebut dapat

menimbulkan penyakit yang dapat mengakibatkan kematian. Keberadaan bakteri coli fekal dan

streptococci fekal di perairan sungai mengindikasikan terjadinya pencemaran materi fekal di

sungai tersebut. Akibat pencemaran sungai yang paling fatal terhadap masyarakat sekitarnya

adalah timbulnya penyakit gastroenteritis. Menurut Rheinheimer (1992) adanya bakteri coli fekal

dan streptococci fekal di perairan dalam jumlah tertentu mengindikasikan kemungkinan hadirnya

bakteri patogen yang disebarkan lewat tinja, seperti Shigella dysentrie dan Salmonella. Bakteri

Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi serta beberapa spesies dari genus tersebut mampu

menyebarkan thypus dan parathypus serta penyakit gastroenteritis.

Ada banyak cara yang dapat digunakan untuk mengetahui kualitas air di sungai, salah

satunya dengan bioindikator. Pemantauan kualitas air dengan menggunakan bioindikator

merupakan bagian dari pemantauan biologis karena keberadaan indikator yang cenderung

menetap dapat mencerminkan kondisi lingkungan dari waktu ke waktu. Bioindikator yang paling

tepat untuk memantau adanya pencemaran fekal adalah bakteri coli fekal dan streptococci fekal

karena dapat menunjukkan tingkat dan sumber pencemaran fekal yang terjadi di sungai.

Bakteri coli fekal dan streptococci fekal merupakan bakteri yang selalu terdapat di

dalam tinja, baik tinja manusia maupun hewan berdarah panas lainnya. Kelompok bakteri

Page 192: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

192

tersebut dikenal mampu memfermentasi laktosa dan tidak bersifat patogen. Adanya bakteri coli

fekal mengindikasikan bahwa terdapat peluang bagi berbagai macam mikroorganisme patogenik

yang secara berkala terdapat dalam saluran pencernaan untuk masuk ke dalam perairan tersebut.

Menurut Hawker dan Linton (1979) mikroorganisme patogen sulit dideteksi karena

keberadaannya bersifat sporadis dan hanya sesaat setelah pencemaran tejadi. Coli fekal dan

streptococci fekal dapat bertahan hidup lebih lama sehingga tepat dijadikan sebagai bioindikator.

Menurut Rheinheimer (1992) tingginya keberadaan streptococci fekal mengindikasikan bahwa

perairan tersebut tercemar materi fekal. Gerba (1999) menyatakan bahwa streptococci fekal

mempunyai keunggulan sebagai indikator dibanding coli fekal karena beberapa sifatnya yaitu (1)

tidak mengalami perkembangbiakan di air, (2) lebih tahan terhadap tekanan lingkungan dan

klorinasi dan (3) mampu bertahan hidup lebih lama di lingkungan.

Menurut Pelczar dan Chan (1988) ciri penting coli fekal dapat dijadikan sebagai

bioindikator adalah (1) terdapat dalam air tercemar dan tidak ada dalam air yang tidak tercemar,

(2) terdapat dalam air jika ada patogen, (3) jumlah bioindikator berkorelasi dengan kadar

pencemaran, (4) mempunyai kemampuan bertahan hidup yang lebih besar daripada patogen, (5)

mempunyai sifat yang seragam dan mantap, (6) tidak berbahaya bagi manusia dan hewan, (7)

terdapat dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan patogen sehingga mudah dideteksi dan

(8) mudah dideteksi dengan teknik-teknik laboratorium yang sederhana.

Coliform merupakan mikroorganisme yang hidup di air dan dapat digunakan sebagai

indikator adanya pencemaran terutama pencemaran fekal dan kondisi sanitasi yang tidak baik

terhadap air, makanan, susu dan produk-produk susu lainnya. Bakteri coliform dibedakan

menjadi dua kelompok yaitu coliform fekal misalnya, E. coli dan coliform non-fekal misalnya,

Enterobacter aerogenes (Fardiaz, 1993). E. coli merupakan bakteri yang berasal dari kotoran

hewan maupun manusia, sedang E. aerogenes biasanya ditemukan pada hewan atau tanaman

yang sudah mati. Suriawiria (1993), menambahkan bahwa coliform dibagi menjadi tiga

kelompok penting yaitu Escherichia yang terdiri dari E. coli, E. freundii dan E. intermadia;

Aerobacter terdiri dari A. arogenes dan A. cloaceae; dan Citrobacter yang terdiri atas C. freudii.

Page 193: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

193

Semua anggota coliform mempunyai karateristik yang sama antara lain bersifat

aerob, gram negatif, tidak berspora, memfermentasi glukosa dengan membentuk asam dan

gas. Bakteri coli fekal umumnya hidup lebih tahan lama dibanding bakteri penyebab

penyakit sehingga jika suatu badan air bebas dari bakteri coli fekal maka badan air tersebut

secara bakteriologis aman dikonsumsi (Tortora, et al., 1998). Menurut Sutiknowati (2003),

bakteri coli fekal merupakan bakteri gastrointestinum yang dapat menyebabkan penyakit

perut apabila menginfeksi makhluk hidup (manusia).

Penggunaan streptococci fekal sebagai indikator pencemaran materi fekal

didasarkan pada habitat dominannya yang terdapat dalam intestinum manusia dan hewan,

sehingga memungkinkan dapat keluar bersama tinja. Streptococci fekal merupakan salah

satu mikroorganisme indikator dari kelompok bakteri kokus Gram positif Lancefield Group

D yang meliputi genera Enterococcus dan Streptococcus (Devriese, et al, 1991). E. faecalis

dan E. faecium merupakan streptococci spesifik yang dijumpai pada manusia, sedangkan S.

bovis dan S. equines dominan dijumpai pada manusia.

Besarnya rasio coli fekal dan streptococci fekal mampu mengindikasikan sumber

pencemaran dalam air (Gerba, 1999). Meskipun validitas rasio coli fekal dan streptococci

fekal masih dipertanyakan, namun akhirnya ditegaskan bahwa rasio ini dapat dipercaya

hanya selama 24 jam pencemaran fekal terjadi.

BAHAN DAN METODE

Obyek penelitian adalah Sungai Banjaran yang berada di wilayah administratif

Kabupaten Banyumas. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode survei. Teknik

pengambilan sampel air dilakukan secara Stratified Random Sampling di 6 stasiun

pengamatan yaitu desa Ketenger, Karangnangka, Beji, Bobosan, Kedungwuluh dan

Sidabowa. Pengambilan sampel diulang 2 kali dengan interval waktu 1 minggu.

Parameter utama yang diamati adalah total coli fekal yang dihitung menggunakan

metode MPN seri 3-3-3 (Prescott, et al., 1999) dan total streptococci fekal menggunakan

media Chromocult Enterococci Broth. Perhitungan rasio coli fekal dan streptococci fekal

Page 194: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

194

sebagai indikator sumber pencemaran berdasarkan Gerba (1999) yang berdasar tabel

berikut:

Tabel 1. Rasio coli fekal/streptococci fekal (FC/FS) dan hubungannya dengan sumber pencemaran

Rasio FC/FS Sumber pencemaran

>4,0

2,0-4,0

0,7-2,0

<0,7

Petunjuk kuat bahwa sumber pencemaran berasal dari

manusia

Petunjuk pencemaran campuran yang didominasi limbah

manusia

Petunjuk bahwa pencemaran campuran didominasi limbah

dari hewan piaraan

Petunjuk kuat bahwa pencemaran berasal dari hewan

Sumber : Gerba (1999)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis secara mikrobiologis terhadap total populasi bakteri coli fekal dan

streptococci fekal di Sungai Banjaran menunjukkan bahwa semua stasiun pengamatan

terdapat cemaran materi fekal. Hal tersebut ditunjukkan oleh tingginya populasi coli fekal

dan streptococci fekal dari sampel air per 100 ml. Hasil selengkapnya disajikan dalam

Gambar 1. berikut:

Page 195: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

195

Gambar 1. Diagram batang rata-rata populasi coli fekal dan streptococci fekal pada setiap stasiun

pengamatan

Total populasi coli fekal dan streptococci fekal terendah pada stasiun Ketenger yaitu

74/100ml dan 40/100 ml, kemudian meningkat pada stasiun Karangnangka yaitu 86/100 ml

dan 40/100 ml. Populasi coli fekal dan streptoccoci fekal tertinggi diperoleh di Stasiun Beji

yaitu 160/100 ml dan 90/100 ml, kemudian berturut-turut turun pada stasiun Bobosan

sampai stasiun Kedungwuluh dengan total coli fekal adalah 134/100 ml dan 102/100 ml

sedangkan total streptococci fekal adalah 60/100 ml dan 48/100 ml. Populasi coli fekal dan

streptococci fekal meningkat lagi di stasiun Sidabowa sebesar 120/100 ml dan 55/100 ml.

Menurut Imamuddin et al., (1999) tingginya populasi coli fekal dan streptococci fekal pada

suatu stasiun dapat diartikan bahwa pada saat pengamatan, cemaran materi fekal di stasiun

tersebut tinggi.

Secara garis besar populasi coli fekal dan streptococci fekal meningkat mulai dari

daerah hulu dan mencapai puncaknya pada stasiun Beji kemudian menurun sampai ke

daerah hilir. Daerah hulu masih alami dan bersih karena jumlah penduduk relatif sedikit

sehingga cemaran organik yang masuk sedikit. Semakin ke hilir cemaran tersebut terus

meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk yang membuang feses ke

sungai. Peningkatan populasi coli fekal dan streptococci fekal terjadi di stasiun Beji. Di

stasiun Bobosan Sungai Banjaran menjadi muara Sungai Kranji sehingga populasi coli

fekal dan streptococci fekal menurun. Penurunan populasi coli fekal dan streptococci fekal

Page 196: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

196

disebabkan oleh debit air sungai bertambah akibat adanya masukan dari Sungai Kranji

sehingga terjadi pengenceran, akibatnya populasi coli fekal dan streptococci fekal menurun

meskipun jumlah penduduk sekitar lokasi pengamatan semakin banyak daripada di daerah

hilir. Penurunan populasi coli fekal dan streptococci fekal berturut-turut sampai di stasiun

Kedungwuluh kemudian meningkat lagi di stasiun Sidabowa karena dengan debit air yang

tetap namun jumlah penduduk semakin ke hilir semakin bertambah banyak sehingga

populasi coli fekal dan streptococci fekal meningkat lagi.

Bakteri coli fekal dan streptococci fekal merupakan bakteri gastrointestinum yang

dapat menyebabkan penyakit gastroenteritis apabila menginfeksi manusia. Menurut

Mehlman (1984), tingginya jumlah koloni bakteri coli fekal dan streptococci fekal sangat

erat hubungannya dengan sanitasi lingkungan dan adanya pengaruh aktivitas daratan

terhadap kualitas perairan. Tingginya angka coli fekal dan streptococci fekal menunjukkan

telah terjadi kontaminasi tinja di Sungai Banjaran.

Cemaran materi fekal dapat berasal dari feses manusia, feses hewan berdarah panas

atau kombinasi keduanya. Menurut Gerba (1999) sumber cemaran materi fekal suatu

perairan dapat diketahui melalui besarnya rasio coli fekal dan streptococci fekal. Nilai rasio

coli fekal dan stretococci fekal Sungai Banjaran setiap stasiun pengamatan disajikan dalam

Tabel 2. berikut :

Tabel 2. Nilai rasio coli fekal dan streptococci fekal setiap stasiun pengamatan

No. Stasiun Rasio

FC/FS Sumber Pencemaran

1. Ketenger 1,85 Didominasi limbah dari hewan peliharaan

2. Karangnangka 2,15 Didominasi limbah manusia

3. Beji 1,778 Didominasi limbah dari hewan peliharaan

4. Bobosan 2,233 Didominasi limbah manusia

5. Kedungwuluh 2,125 Didominasi limbah manusia

6. Sidabowa 2,181 Didominasi limbah manusia

Page 197: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

197

Berdasarkan Tabel 2. diketahui bahwa nilai rasio coli fekal dan streptococci fekal

pada stasiun Ketenger dan Beji berkisar antara 0,7-2,0 yang mengindikasikan sumber

pencemaran berasal dari hewan peliharaan sedangkan stasiun Karangnangka, Bobosan,

Kedungwuluh dan Sidabowa berkisar antara 2,0-4,0 yang mengindikasikan sumber

pencemaran berasal dari limbah manusia. Keadaan ini menggambarkan bahwa cemaran

materi fekal yang terdapat di Sungai Banjaran sebagian besar berasal dari manusia. Stasiun-

stasiun pengamatan tersebut tidak jauh dari pemukiman penduduk sehingga memungkinkan

untuk membuang limbah ke Sungai Banjaran. Meskipun pada bagian hilir sungai sudah

melalui daerah perkotaan namun kebanyakan penduduk yang memiliki WC tidak memiliki

septic tank sehingga buangan akhir yang dianggap tepat adalah Sungai Banjaran.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan :

1. Total coli fekal dan streptoocci fekal terendah pada stasiun Ketenger yaitu 74/100ml

dan 40/100ml dan teringgi di Stasiun Beji yaitu 160/100 ml dan 90/100ml.

2. Rasio coli fekal dan streptococci fekal menunjukkan bahwa sumber pencemaran fekal

di Sungai Banjaran berasal dari limbah manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Devriese, L.A., M.D. Collins and R. Wirth. 1991. The Genus Enterococci. In; Balows, A.,

H.G. Truper, M. Dworkin, W. Harder and K. Scheifer. (Editors) The Prokaryotes

Volume II; A Handbook on the Biology of Bacteria: Ecophysiology, Isolation,

Identification and Applications. Springer Verlag, New York. Pp 1466-1481.

Fardiaz, S. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Gerba, C.P. 1999. Indicator Microorganism. In; Maier, R. M., I. L. Pepper and C. P. Gerba.

(Editors) Enviromental Microbiology. Academic Press A Horcourt Science and

Technology Company, San Diego. Pp 491-541.

Hawker, L.E., and Linton A. H. 1979. Micro-organisms Function, Form and Environment

2ed

. Edward Arnold Publisher Ltd., London.

Page 198: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

198

Imamuddin, H., R. D. Rahayu, D. Supriyati dan G. Kartina. 1999. Pola Penyebaran

Bakteri Koliform di Aliran Sungai Brantas, Jawa Timur. Jurnal Mikrobiologi

Tropika Vol.2 No.1: 32-37.

Mehlman, I. J. 1984. Coliforms, Fecal Coliforms, Escherichia coli and Enteropathogenic E.

coli. Compendium of Method for tha Microbiological Examnination of Foods, 2nd

edition, APHA, Washington D. C. :265-285.

Pelczar, M. J. dan E. C. S. Chan. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi II. UI-Press, Jakarta.

Prescot, L. M., J. P. Harley and D. A. Klein. 1999. Microbiology 4ed

. McGraw Hill

Companies Inc., Boston.

Rheinheimer, G. 1992. Aquatic Microbiology 4ed

. John Wiley and Sons Ltd., Chichester.

Suparman dan Suparmin. 2001. Pembuangan Tinja dan Limbah Cair: Suatu Pengantar.

Penerbit Buku Kedokteran EGG, Jakarta.

Suriawiria, U. 1993. Mikrobiologi Air dan Dasar-dasar Pengolahan Buangan Secara

Biologis. Penerbit Alumni, Bandung.

Sutiknowati, L. I. 2003. Pengamatan Kepadatan Bakteri Pencemar untuk Kelayakan

Budidaya Di Perairan Tangerang. Majalah Ilmiah UNSOED No. 3 : 9-22.

Tortora, G., B.R. Funke and C.L. Case. 1998. Microbiology An Introduction Six Edition.

Benjamin/Cumming Publishing Company, California.

Page 199: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

199

PENGARUH PEMBERIAN KONSORSIUM BAKTERI

TERHADAP KONDISI KUALITAS AIR TAMBAK DAN PERTUMBUHAN

UDANG WINDU (Penaeus monodon Fab.)

Muhammad Badjoeri*, Tri Widiyanto, Sekar Laras Hati, Widi Riyanto

dan Nina Hermayani

ABSTRAK

Pemanfaatan mikroorganisme (bakteri) untuk mengatasi kendala menurunnya kondisi kualitas air

tambak dikenal dengan sebutan pendekatan bioremediasi. Meningkatnya kandungan senyawa organik sisa

pakan dan senyawa metabolit toksik (amonia, nitrit dan hidrogen sulfida) merupakan salah satu

permasalahan yang sering muncul dalam budidaya udang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

pengaruh pemberian konsorsium bakteri nitrifikasi dan bakteri denitrifikasi terhadap kondisi kualitas air

tambak dan pertumbuhan udang. Konsorsium bakteri yang digunakan terdiri dari bakteri nitrifikasi

(Pseudomonas sp.), bakteri denitrifikasi (Alcaligenes sp.) dengan ratio 1:1, dan bakteri fotosintetik

anoksigenik untuk menginokulasi pakan. Penelitian dilakukan pada 2 tambak tambak uji berukuran 2000 m2,

padat penebaran 30 ekor/m2, sebagai kontrol adalah tambak tanpa diberikan bakteri. Dosis pemberian

bakteri nitrifikasi dan bakteri denitrifikasi yaitu sebanyak 150 L/Ha (tergantung kondisi tambak) pada tahap

persiapan, bulan ke 1 dan ke 2 sebanyak 50 L/Ha tiap 10 hari, bulan ke 3 dan ke 4 sebanyak 100 L/Ha tiap 5

hari. Pemberian bakteri (inokulasi) dilakukan secara langsung dengan menebarkan kultur bakteri ke dalam

perairan tambak. Penelitian dilakukan selama 120 hari pada tahun 2005. Pemberian konsorsium bakteri

setiap 10 hari secara kontinyu. Lokasi tambak di Desa Ciparage Jaya, Karawang - Jawa Barat. Analisis

bakteri dan kualitas air dilakukan di Lab. Mikrobiologi Puslit Limnologi-LIPI Cibinong. Hasil analisa

kualitas air menunjukan pemberian konsorsium bakteri nitirifikasi dan denitrifikasi berpengaruh positif

terhadap perbaikan kondisi kualitas air tambak dan pertumbuhan udang. Konsentrasi amonia dan nitrit di

tambak uji kondisinya berada dibawah ambang batas konsentrasi toksik yang membahayakan udang yang

dibudidayakan, juga terhadap pertumbuhan udang serta hasil produksi tambak udang.

Kata kunci: Bioremediasi, konsorsium bakteri, tambak udang, kualitas air, senyawa toksik,, pertumbuhan

udang

ABSTRACT Increasing of concentration of organic material in fishery system such as prawn pond (tambak) as

the impact of artificial feed (pelet) is difficult to be avoided at the risk of decreasing water quality.

Bioremediation using bacteria activity is one of effort to overcome decreasing of water quality. A research of

using nitrifying bacteria as bioremediation agent to water quality was done in tiger prawn pond in Karawang

- West Java. The objective of this research is to elucidate the influence of nitrifying bacteria to water quality

of the pond. Two test pond of each of 2000 m2 consisted of test pond treated by bioremediation and control

pond without bioremediation. Density of prawn seed is 30 individuals per m2. The research is done for 120

days and sampling of water was done periodically every 10 days during 4 month. The pond treated with

bioremediation was inoculated by bacteria consisted of nitrifying bacteria and denitrifying bacteria with the

ratio of 1:1. The abundance of bacteria inoculated is 109 cfu/mL. The dose of bacteria are as follows; at

* Pusat Penelitian Limnologi LIPI

Email : [email protected]

Page 200: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

200

preparation stage is 150 L/ha, at month of one to two is 50 L/ha every 10 days, month of 3 to 4 is 100

L/ha every 5 days. The results of water quality analysis indicated that nitrifying bacteria as bioremediation

agent capable to restore water quality condition of the pond and concentration of amonia and nitrite stays

below toxic concentration for prawn aquaculture, and growth of prawn and productivity of prawn pond.

Keywords: Bioremediation, bacteria consortium, water quality, prawn-pond, toxic compound, growth of

prawn

PENDAHULUAN

Budidaya udang windu (Penaeus monodon Fab.) merupakan usaha yang potensial

dan bernilai ekonomi tinggi. Indonesia merupakan negara yang mempunyai peluang besar

untuk mengembangkan usaha ini. Pada tahun 1993 Indonesia adalah negara penghasil

udang windu terbesar ke tiga di dunia setelah Thailand dan Equador (ANONYMOUS

1996), namun sejak tahun 1995 produksi udang di Indonesia sampai saat ini terus

mengalami penurunan produksi yang sangat berarti, yang disebabkan oleh pencemaran

lingkungan, akumulasi bahan organik dan penurunan kualitas air.

Pencemaran lingkungan perairan oleh bahan organik yang umumnya berasal dari

limbah industri dan domestik, yang dalam beberapa tahun terakhir ini terus meningkat

(GUNALAN 1993). Pencemaran pada perairan budidaya selain berasal dari limbah industri

dan domestik juga berasal dari sisa pakan buatan (pelet) dan feces hewan yang

dibudidayakan.

Kandungan protein pelet (pakan udang buatan) cukup tinggi, yaitu sekitar 40 %,

sehingga pembusukan (perombakan) pelet akan menghasilkan senyawa nitrogen anorganik

berupa N-NH3 / N-NH4+ (amonia/amonium) yang merupakan salah satu senyawa toksik

bagi udang (BOYD 1990).

Menurut GARNO (2004) sekitar 90% protein yang terdapat pada tambak berasal

dari pelet, hanya 22% yang dikonversi menjadi biomassa udang dan 7% dimanfaatkan oleh

aktivitas mikroorganisme, sedangkan 14% terakumulasi dalam sedimen dan 57%

tersuspensi pada air tambak. Diestimasi terjadi akumulasi senyawa nitrogen organik di

tambak udang jumlahnya sebesar 600 kg/ha/tahun pada tambak yang berproduksi 10

ton/ha/th dengan konversi pakan 1,6. Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa semakin

Anindyajati M A
Highlight
Page 201: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

201

banyak penggunaan pelet akan semakin besar terjadinya akumulasi bahan organik yang

dapat memacu terjadinya proses terbentuknya senyawa metabolit toksik di dalam perairan

tambak, sedangkan pemberian pelet akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan

udang.

Tinggginya akumulasi bahan organik di tambak udang dapat menimbulkan

beberapa dampak yang merugikan yaitu, 1). memacu pertumbuhan mikroorganisme

heterotrofik dan bakteri patogen, 2). eutrofikasi, 3). terbentuknya senyawa toksik (amonia

dan nitrit), dan 4). menurunnya konsentrasi oksigen terlarut (WIDIYANTO, 2006).

Secara alamiah sistem perairan (tambak udang) mampu melakukan proses self

purification, namun apabila kandungan senyawa organik sudah melampaui batas

kemampuan self purification, maka akumulasi bahan organik dan pembentukan senyawa-

senyawa toksik di perairan tidak dapat dikendalikan, sehingga menyebabkan menurunnya

kondisi kualitas air bahkan kematian udang yang dibudidayakan (BADJOERI et al. 2006).

Senyawa amonia atau amonium dan nitrit dalam batas-batas konsentrasi tertentu dapat

menimbulkan dampak negatif (Tabel 1).

Tabel 1. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh senyawa metabolit toksik amonia dan nitrit terhadap hewan

akuatik

No

Dampak negatif yang di timbulkan

Senyawa metabolit toksik

Amonia / Amonium Nitrit

1 Memicu terjadinya blooming fitoplankton Menghambat pengikatan oksigen oleh darah di

dalam tubuh (methemoglobinemia)

2 Terjadinya fluktuasi oksigen terlarut di air antara

siang dan malam hari

Terbentuknya senyawa met- hemoglobin

(met-Hb) yang dapat menyebabkan penyakit

“brown blood diseases”

3 Berpengaruh terhadap fisiologis udang, pH

darah dan menghambat kerja enzimatik

Menyebabkan LC 50 ikan air tawar pada

konsentrasi antara 0,66 – 200 mg/L dalam

waktu 96 jam, dan terhadap udang air tawar

pada konsentrasi antara 8,5 – 15,4 mg/L

Page 202: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

202

4 Pada konsentrasi 5,7 mg/L dapat menyebabkan

LC 50 udang windu dalam waktu 24 jam, dan

pada konsentrasi 1,26 mg/L dalam waktu 96 jam

Menyebabkan LC 50 post larva udang windu

(Penaeus monodon) pada konsentrasi 204

mg/L dalam waktu 24 jam dan pada

konsentrasi 45 mg/L dalam waktu 96 jam

5 Pada konsentrasi berkisar antara 0,7 – 2,4 mg/L

dinyatakan sebagai konsentrasi toksik terhadap

ikan air tawar

Menghambat pertumbuhan udang galah

(Macrobrachium rosenbergii) pada

konsentrasi antara 1,8 – 6,2 mg/L.

Sumber : BOYD 1990, CHIN & CHEN (1987), CHEN & CHIN (1988), BOYD & FAST (1992)

Senyawa amonia dan nitrit bersifat toksik bila konsentrasinya sudah melebihi

ambang batas, namun demikian mekanisme toksisitasnya bagi udang masih belum banyak

diketahui dengan jelas. Konsentrasi amonia yang aman untuk budidaya udang ≤ 0,012

mg/L dan konsentrasi maksimum senyawa nitrit di perairan budidaya ≤ 4,4 mg/L.

(SCHWEDLER et. al., 1985).

Beberapa upaya pengelolaan perairan tambak udang yang umumnya banyak

dilakukan para petani tambak, antara lain teknik sedimentasi dengan menggunakan kolam

tandon air untuk menyimpan air sebelum air dimasukkan kedalam tambak; pemakaian

kincir air untuk meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut dan penggunaan bahan kimia

(antara lain saponin dan antibiotik) untuk mengantisipasi hama dan penyakit. Namun

upaya-upaya tersebut belum memberikan hasil yang optimal dalam meningkatkan hasil

produksi udang.

Salah satu upaya alternatif yang terus dikaji dan dikembangkan ialah teknik

bioremediasi, merupakan pendekatan biologis dalam pengelolaan kualitas air tambak

dengan memanfaatkan aktivitas bakteri dalam merombak bahan organik dalam sistem

perairan budidaya. Beberapa jenis atau kelompok bakteri diketahui mampu melakukan

proses perombakan senyawa-senyawa metabolit toksik, dan dapat dikembangkan sebagai

bakteri agen bioremediasi untuk pengendalian kualitas air. Jenis atau kelompok bakteri

tersebut antara lain bakteri nitrifikasi, bakteri sulfur (pereduksi sulfit), dan bakteri

pengoksidasi amonia. Kelompok atau jenis bakteri tersebut perlu dikondisikan agar lebih

Anindyajati M A
Highlight
Anindyajati M A
Highlight
Anindyajati M A
Highlight
Page 203: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

203

aktif dalam membantu proses perombakan, sehingga dapat mengeliminasi senyawa-

senyawa toksik tersebut dari dalam sistem perairan tambak.

Beberapa produk bakteri agen bioremediasi hasil penelitian telah dikomersilkan dan

diaplikasikan di tambak pada saat ini, antara lain EM4, StarBIO, Aquazyme dan Super PS.

Beberapa penelitian bakteri agen bioremediasi, antara lain dilakukan oleh MUSTAFA et al.

(2001) dengan menggunakan bakteri Bacillus sp. dan Pseudomonas sp. yang diinokulasi

secara bersamaan, sehingga mampu menurunkan kandungan bahan organik sedimen

tambak udang sebesar 60% setelah inkubasi selama 56 hari. DEVARAJA et al. (2002)

menggunakankan campuran bakteri Bacillus sp. dan Saccharomyces sp., serta campuran

dari Bacillus sp., Nitrosomonas sp. dan Nitrosobacter sp. pada sistem budidaya udang.

Pada penelitian ini digunakan bakteri nitrifikasi dan bakteri denitrifikasi sebagai

agen bioremediasi senyawa metabolit toksik amonia dan nitrit di tambak udang. Bakteri

yang akan digunakan adalah hasil isolasi dan seleksi dari beberapa perairan tambak di

Indonesia. Penggunaan bakteri nitirifikasi dan denitrifikasi untuk menjaga keseimbangan

senyawa nitrogen anorganik (amonia, nitrit dan nitrat) di sistem tambak. Pendekatan

bioremediasi ini diharapkan dapat menyeimbangkan kelebihan residu senyawa nitrogen

yang berasal dari pakan, dilepaskan berupa gas N2 / N2O ke atmosfir. Peran bakteri

nitrifikasi adalah mengoksidasi amonia menjadi nitrit atau nitrat, sedangkan bakteri

denitrifikasi akan mereduksi nitrat atau nitrit menjadi dinitrogen oksida (N2O) atau gas

nitrogen (N2).

Pemberian bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi sebagai agen bioremediasi ke dalam

tambak udang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan bakteri yang berperan dalam

proses remineralisasi unsur hara nitrogen dan membantu proses purifikasi alamiah (self

purification) dalam siklus nitrogen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan

bakteri agen bioremediasi menjaga keseimbangan kondisi kualitas air dan pengaruhnya

terhadap kualitas air di tambak udang windu, serta pertumbuhan udang yang

dibudidayakan.

Anindyajati M A
Highlight
Anindyajati M A
Highlight
Page 204: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

204

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan pada tambak udang windu di daerah Karawang, Jawa Barat

pada bulan Juni s/d September 2005. Tambak yang digunakan berupa 2 kolam uji yang

luasnya masing-masing sekitar 2000 m2. Kolam pertama sebagai tambak uji dengan

perlakukan pemberian konsorsium bakteri bioremediasi dan kolam kedua sebagai tambak

kontrol (tanpa perlakuan bioremediasi). Padat tebar 30 ekor per m2. Lama penelitian satu

siklus pemeliharaan udang windu sekitar 120 hari, pengamatan dilakukan secara berkala

setiap 10 hari. Setiap tambak dilengkapi dengan 2 unit kincir air dan 1 unit aerojet.

Perlakuan bioremediasi dengan menebarkan bakteri ke dalam tambak udang dengan

ratio penebaran bakteri nitrifikasi : bakteri denitrifikasi = 1 : 1. Dosis pemberian bakteri,

pada tahap persiapan tambak sebanyak 150 L/ha (tergantung kondisi tambak), bulan ke 1

dan ke 2 sebanyak 50 L/ha tiap 10 hari, bulan ke 3 dan ke 4 sebanyak 100 L/Ha tiap 5 hari,

dengan kepadatan populasi 109 upk/mL.

Isolat bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi yang digunakan hasil isolasi dari perairan

tambak udang daerah Tanggerang dan Serang, Jawa Barat dan tambak daerah Moramo-

Kendari, Sulawesi Tengara. Hasil uji genetika (PCR dan 16S rRNA), isolat bakteri dengan

kode ASLT yang mempunyai kemampuan aktivitas nitrifikasi mirip (99%) dengan

Pseudomonas stutzeri. Isolat bakteri dengan kode KDTS yang mempunyai kemampuan

aktivitas denitrifikasi mirip (99%) dengan Alcaligenes sp (WIDIYANTO 2006).

Media pertumbuhan bakteri untuk bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi adalah media

cair Sea Water Complete (bakto pepton 5g, ekstrak ragi 1g, gliserol 3g, akuades 250 mL

dan air laut 750 mL) dan diinkubasi pada kondisi aerofilik, pH 7,2 dan suhu ruang.

Inkubasi baktri denitrifikasi pada pH dan suhu yang sama dengan kondisi mikroaerofilik

(LUEKING et al., 1978). Inkubasi bakteri selama 5 – 7 hari. Isolat siap ditebar ke dalam

tambak udang pada hari ke 8 – 10 karena masa pertumbuhan eksponensial.

Parameter fisika-kimia kualitas air tambak yang diamati meliputi: pH, suhu, oksigen

terlarut (DO), salinitas, kecerahan, amonia, nitrit, nitrat dan nitrogen total selama satu

siklus pemeliharaan (sekitar 120 hari), (Tabel 2). Analisa dilakukan di Laboratorium

Page 205: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

205

Mikrobiologi Puslit Limnologi LIPI Cibinong. Pengukuran pertumbuhan udang dilakukan

langsung dilapangan setiap 10 hari sekali sejak udang berumur 30 hari dengan

menggunakan jala tebar, dan panen dilakukan setelah udang berumur 4 bulan (120 hari).

Tabel 2. Parameter fisika - kimia air dan metode yang digunakan

No Parameter fisika-

kimia air

Satuan Metode yang digunakan

1 pH - Menggunakan alat WQC, Horiba type U 10

2 Suhu oC Menggunakan alat WQC, Horiba type U 10

3 Oksigen terlarut (DO) mg/L Menggunakan alat WQC, Horiba type U 10

5 Kecerahan cm Menggunakan alat Secchi disc

6 Amonia (N- NH3) mg/L Motode fenat dan spektrofotometri

7 Nitrit (N-NO2) mg/L Metode sulfanilamid dan spektrofotometri

8 Nitrat (N-NO3) mg/L Metode brucine dan spektrofotometri

9 Total Nitrogen (TN) mg/L Metode dekstruksi peroksodisulfat dilanjutkan

dengan brucine dan spektrofotometri

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis kualitas air tambak menunjukkan pemberian bakteri bioremediasi

berpengaruh terhadap kondisi kualitas air tambak, terutama terhadap konsentrasi senyawa

amonia, nitrit, nitrat, dan nitrogen total. Secara keseluruhan konsentrasi senyawa-senyawa

tersebut di tambak yang diberi perlakuan bakteri bioremediasi (tambak uji) tampak lebih

rendah.

Kondisi kualitas air pada awal pemeliharaan sampai pemeliharaan selama 50 hari

konsentrasi amonianya masih rendah baik pada tambak uji (0,0406 – 0,1566 mg/L) maupun

pada tambak kontrol (0,00641 – 0,1317 mg/L). Kondisi ini menunjukkan, bahwa

konsentrasi senyawa nitrogen organik di tambak udang belum terlalu tinggi, hal ini

kelihatan dari konsentrasi nitrogen totalnya yang berkisar antara 0,2102 – 2,2577 mg/L di

tambak uji, sedangkan di tambak kontrol 0,3173 – 2,4311 mg/L (Gambar 1).

Page 206: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

206

Gambar 1. Konsentrasi amonia dan total nitrogen di tambak udang windu, 2005

Selain itu juga terlihat sampai hari ke 50, konsentrasi amonia dan nitrit di tambak

udang rendah. Kondisi ini menunjukan proses purifikasi alami di tambak udang dapat

berlangsung dan diduga bakteri bioremediasi yang ditambahkan dapat beradaptasi dalam

menjaga keseimbangan populasi mikroorganisme di tambak udang.

Pada pengamatan hari ke 10 konsentrasi amonia di tambak uji 0,1417 mg/L dan

terjadi peningkatan pada hari ke 20 menjadi 0,1566 mg/L, akan tetapi selanjutnya

konsentrasi amonia terus mengalami penurunan pada hari ke 30 (0,877 mg/L), hari ke 40

(0,0406 mg/L) sampai hari ke 50 (0,0434 mg/L). Begitu pula halnya terjadi di tambak

kontrol, dimana pada hari ke 10 konsentrasi amonia 0,1097 mg/L dan mengalami

peningkatan pada hari ke 20 menjadi 0,1317 mg/L, dan terus menurun menjadi 0,0413

mg/L (hari ke 30), 0,00641 mg/L (hari ke 40) dan 0,0826 mg/L (hari ke 50).

Konsentrasi senyawa metabolit toksik di tambak udang, umumnya menunjukkan

peningkatan pada hari ke 15 setelah udang ditebar, yaitu amonia (NH3) di sedimen

mencapai 8,5 mg/L, nitrat (NO3) 0,93 mg/L, nitrit (NO2) 0,69 mg/L. Sedangkan konsentrasi

nitrogen total terlarut pada hari ke 3 mencapai 0,42 mg/L (BUFORD et.al., 2002).

Setelah 50 – 60 hari pemeliharaan, terjadi peningkatan konsentrasi amonia di

tambak kontrol dari 0,0826 mg/L menjadi 2,6388 mg/L, sedangkan di tambak uji juga

terjadi peningkatan konsentrasi amonia namun relatif lebih kecil peningkatannya, yaitu dari

0,0434 mg/L menjadi 0,1367 mg/L. Hal ini menyerupai hasil penelitian yang dilakukan

Page 207: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

207

oleh SABAR & WIDIYANTO (1998), yang menunjukkan adanya peningkatan senyawa

organik pada sistem tambak semi-intensif terjadi mulai hari ke 60. Pada awal operasional

tambak, konsentrasi senyawa karbon organik pada sistem sedimen umumnya sebesar 41,0

mg/L dan pada tambak udang umur 60 hari meningkat menjadi 140 mg/L dan selain

senyawa karbon organik juga unsur nitrogen, fosfat dan sulfur banyak terkandung di dalam

senyawa organik yang berasal dari pakan udang.

Memasuki masa pemeliharaan 70 – 80 hari konsentrasi amonia baik pada tambak uji

maupun kontrol relatif berfluktuasi, namun cendrung terjadi peningkatan konsentrasi

amonia, dimana pada tambak uji pada hari ke 80 konsentrasinya mencapai 0,301 mg/L dan

di tambak kontrol 1,2101 mg/L., namun pada hari ke 80 - 100 terjadi lagi penurunan

konsentrasi amonia, dan pada hari ke 120 terlihat konsentrasi amonia terlihat cendrung

terus meningkat, pada tambak uji 0,7563 mg/L, sedangkan pada tambak kontrol 0,7019

mg/L.

Peningkatan konsentrasi amonia ini sebagai akibat proses dekomposisi

(amonifikasi) bahan-bahan organik yang berasal dari sisa pakan, feces udang, plankton

yang mati oleh bakteri heterotrof, dan apabila proses selanjutnya yaitu nitrifikasi tidak

berlangsung baik maka akan terjadi akumulasi amonia di perairan tambak udang.

Konsentrasi nitrit di tambak udang baik di tambak uji maupun di tambak kontrol

cenderung terus mengalami peningkatan, terutama masa pemeliharaan 10 – 60 hari, bahkan

sampai 70 hari di tambak kontrol. Pada tambak uji konsentrasi nitrit meningkat dari 0,0082

mg/L (hari ke 10) menjadi 0,1272 mg/L (hari ke 60) atau meningkat sebanyak 0,116 mg/L

selama 50 hari, sedangkan ditambak kontrol konsentrasi nitrit meningkat dari 0,0112 mg/L

(hari ke 10) menjadi 0,1652 mg/L (hari ke 70) atau meningkat sebanyak 0,154 mg/L selama

60 hari. Konsentrasi nitrit dan nitrat di tambak udang selama pemeliharaan diperlihatkan

pada gambar 2.

Page 208: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

208

Gambar 2. Konsentrasi nitrit dan nitrat (mg/L) di tambak udang windu, 2005

Hal ini terjadi karena adanya aktivitas bakteri nitrifikasi, yang pada kondisi aerobik,

bakteri nitritasi (bakteri pembentuk nitrit) akan mengoksidasi amonia menjadi nitrit, dan

pada kondisi oksigen yang memadai proses ini akan berlanjut menjadi proses nitratasi, nitrit

akan dioksidasi menjadi nitrat oleh bakteri nitratasi (bakteri pembentuk nitrat). Pada masa

pemeliharaan udang 70 – 120 hari konsentrasi nitrat relatif tinggi, (di tambak kontrol

berkisar 0,3206 – 0,9955 mg/L dan di tambak uji berkisar 0,2218 – 0,7573 mg/L) karena

hasil perombakan nitrit menjadi nitrat pada proses nitrifikasi.

Konsentrasi nitrit di tambak udang uji setelah umur 80 – 100 hari berfluktuasi,

namun cenderung terus mengalami penurunan, hal ini diduga karena aktivitas bakteri

nitratasi yang mereduksi nitrit menjadi nitrat. Hasil analisis nitrit di tambak udang uji juga

memperlihatkan konsentrasi nitrit yang lebih rendah dibanding tambak kontrol, hal ini

menunjukan adanya pengaruh pemberian bakteri nitrifikasi untuk bioremediasi perairan

tambak udang.

Hasil pengukuran parameter pH dan oksigen terlarut di tambak udang diperlihatkan

pada Gambar 3. Nilai pH air pada tambak uji maupun tambak kontrol tidak menunjukan

konsentrasi yang jauh berbeda, yaitu berkisar antara 8,09 - 8,49 pada tambak uji dan 8,00 –

8,85 pada tambak kontrol. Menurut AHMAD (1991) dan RHEINHEIMER (1985) bakteri

di perairan dapat tumbuh optimal pada pH kisaran antara 6,5 – 8,5 dan fluktuasi pH di

perairan merupakan proses alami karena aktivitas mikroorganisme (bakteri dan fungi).

Anindyajati M A
Highlight
Page 209: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

209

Kondisi pH air tambak antara 7 - 9 merupakan kondisi yang mendukung untuk

pemeliharaan ikan atau udang (BOYD 1990).

Nilai pH >7 menunjukkan air tambak teroksidasi dengan baik (RHEINHEIMER

1985), kondisi ini mendukung bakteri nitrifikasi untuk mengoksidasi amonia menjadi nitrit

dan nitrat

Gambar 3. Nilai pH dan konsentrasi oksigen terlarut (mg/L) di tambak udang windu, 2005

Oksigen terlarut (DO) di dalam air merupakan parameter yang sangat penting,

karena apabila konsentrasinya rendah (<50 % konsentrasi jenuh) menyebabkan tekanan

parsial oksigen di dalam air menjadi tidak cukup tinggi untuk proses penetrasi oksigen ke

dalam lamella insang udang sehingga menyebabkan udang mati lemas. Apabila terlalu

lewat jenuh (>150 %), penetrasi oksigen ke dalam insang menjadi terlalu cepat,

menyebabkan penyakit “gas bubble deasease” (AHMAD, 1991).

Konsentrasi oksigen terlarut di tambak uji maupun tambak kontrol relatif tinggi

yaitu antara 8,55 – 18,49 mg/L di tambak uji dan 7,95 – 18,60 mg/L di tambak kontrol

(Gambar 3). Hal ini dikarenakan proses fotosintesis oleh fitoplankton di tambak (BOYD

dan CHIANG dalam AHMAD 1991). Tingginya konsentrasi oksigen terlarut di tambak

udang diduga juga karena penetrasi oksigen oleh kincir air (2 unit) dan aerojet (1 unit) yang

dipasang di tambak. Menurut AHMAD (1991) konsentrasi oksigen terlarut pada waktu

fajar (jam 04.00) dapat terjadi defisit konsentrasi oksigen hingga mencapai 1, 54 mg/L,

Anindyajati M A
Highlight
Anindyajati M A
Highlight
Anindyajati M A
Highlight
Anindyajati M A
Highlight
Page 210: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

210

karena itu pemasangan alat pemasok oksigen (aerator) di tambak udang sangat diperlukan

untuk menghindari kematian udang akibat kekurangan oksigen.

Konsentrasi rata-rata oksigen terlarut di tambak uji (10,93 mg/L) dan di tambak

kontrol (12,33 mg/L) layak untuk mendukung kehidupan ikan atau udang yang

dibudidayakan dan aktivitas mikroorganisme (bakteri) untuk melakukan proses

biogeokimia di perairan. Konsentrasi oksigen terlarut pada tambak uji, sejak memasuki

masa pemeliharaan 30 hari sampai 120 hari lebih rendah konsentrasinya dibanding tambak

kontrol, hal ini menunjukan adanya proses respirasi dan perombakan bahan organik yang

terjadi pada tambak uji lebih aktif dibanding di tambak kontrol.

Konsentrasi oksigen terlarut di tambak akan terjadi fluktuasi antara pagi, siang, sore

dan malam hari. Konsentrasi oksigen terlarut di tambak pada sore hari (jam 15.00 – 18.00)

dapat mencapai 15 – 16 mg/L di musim kemarau dan mencapai 8 mg/L di musim

penghujan. Pada pagi hari (jam 04.00 - 06.00) di musim kemarau konsentrasi oksigen

terlarut mencapai 4 – 4,5 mg/L dan di musim hujan < 4 mg/L (BOYD 1990).

Proses perombakan senyawa amonia sangat tergantung dengan keberadaan

konsentrasi oksigen terlarut di tambak. Menurut WICKINS (1985) udang windu berbobot

1,6 g menghasilkan 0,96 mg N-NH3+/hari sedangkan udang yang berbobot 30 g

menghasilkan 0,3 mg N-NH3+/hari, dan apabila pakan yang diberikan 3 % dari berat

biomassa udang, maka dalam satu hari akan diproduksi amonia sekitar 0,49 mg/L N-NH3+

per hari, yang merupakan penjumLahan amonia yang diproduksi udang dan sisa pakan.

Untuk mengoksidasi amonia 0,49 mg/L per hari diperlukan oksigen sebanyak 1,9 mg/L

(AHMAD 1991).

Pada malam hari diperlukan oksigen terlarut sebanyak 7,54 mg/L. Jika konsentrasi

oksigen terlarut pada sore hari (jam 17.00) sebanyak 9 mg/L maka konsentrasi oksigen

terlarut pada pagi hari (jam 05.00) adalah 9 mg/L – 7,54 mg/L = 1,46 mg/L (AHMAD

1991). Sedangkan konsentrasi oksigen terlarut terendah untuk budidaya udang adalah 3

mg/L (POERNOMO 1988, CHOLIK 1988, BOYD 1990 dan AHMAD 1991). Oleh karena

Anindyajati M A
Highlight
Anindyajati M A
Highlight
Anindyajati M A
Highlight
Anindyajati M A
Highlight
Anindyajati M A
Highlight
Page 211: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

211

itu untuk mengatasi kondisi ini diperlukan alat bantu pemasok oksigen ke dalam tambak,

yaitu kincir air dan aerojet.

Menurut AHMAD (1991) kincir air dan aerojet mempunyai efisiensi aerasi masing-

masing sebesar 2,10 kg O2/kw.jam dan 0,97 kg O2/kw.jam. Sedangkan menurut BOYD &

AHMAD (1987) untuk menaikan konsentrasi oksigen terlarut dari 1, 46 mg/L menjadi 3

mg/L diperlukan sekitar 7 kw.jam atau diperlukan sekitar 4 buah aerator (kincir)/ha untuk

meningkatkan oksigen terlarut sampai konsentrasi yang aman bagi kehidupan udang pada

malam hari (jam 24.00 – 01.00). Pada penelitian ini, tambak udang dilengkapi dengan 2

unit kincir air dan 1 unit aerojet (pompa penyemprot) disetiap tambak untuk mememenuhi

kebutuhan oksigen di air tambak.

Suhu air selalu berkaitan dengan pH air, konsentrasi oksigen terlarut, salinitas dan

kelarutan amonia di perairan (BOYD 1990). Suhu air di tambak uji berkisar antara 30,5 –

31,7 oC dan kontrol 30,2 – 31,5

oC (Gambar 4). Pada kisaran suhu tersebut udang masih

dapat hidup normal, bahkan pada suhu sekitar 35 oC udang masih dapat hidup normal

seperti pengamatan yang dilakukan oleh AHMAD (1991) di tambak percobaan Maranak-

Sulawesi selatan. Suhu optimal untuk pertumbuhan udang adalah berkisar antara 28 – 30 oC

(BOYD 1990).

Suhu rata-rata di tambak uji 31,17 oC dan di tambak kontrol 31,08

oC, kondisi suhu

ini mendukung aktivitas bakteri dalam melakukan proses perombakan bahan organik.

Menurut RHEINHEIMER (1985) suhu optimal amonifikasi dan nitrifikasi berkisar antara

30 – 35 oC.

Anindyajati M A
Highlight
Anindyajati M A
Highlight
Anindyajati M A
Highlight
Anindyajati M A
Highlight
Anindyajati M A
Highlight
Anindyajati M A
Highlight
Anindyajati M A
Highlight
Page 212: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

212

Gambar 4. Profil suhu (oC) dan salinitas (

o/oo) di tambak udang windu, 2005

Salinitas (kadar garam) di tambak uji berkisar antara 31,0 – 33,62 o/oo dan tambak

kontrol berkisar 29,4 – 33,4 o/oo (Gambar 4). Salinitas di tambak udang, di tambak uji

maupun tambak kontrol relatif cukup tinggi, karena salinitas optimal air tambak untuk

pertumbuhan udang windu 20 o/oo . Menurut AHMAD (1991) udang windu walaupun

termasuk hewan euryhaline dan masih dapat hidup normal pada salinitas 35 o/oo, sebaiknya

dibudidayakan pada salinitas normal untuk perkembangannya yaitu 12 – 20 o/oo, dan

salinitas tertinggi untuk pertumbuhan mikroorganisme halophilic (bakteri dan fungi), yaitu

25 – 40 o/oo, dan tumbuh optimal pada salintas 5 – 20

o/oo (RHEINHEIMER 1995).

Tingginya kadar garam di tambak udang uji maupun kontrol dikarenakan musim

kemarau sehingga salinitas di tambak terus meningkat karena proses penguapan air, selain

Page 213: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

213

itu di lokasi penelitian relatif sulit untuk mendapatkan air tawar. Pada masa pemeliharaan

70 – 90 hari, salinitas air tambak menurun akibat pengenceran yang disebabkan oleh hujan

yang turun. Namun demikian kondisi salinitas air tambak diduga masih mendukung

aktivitas bakteri dalam melakukan proses perombakan bahan organik.

Pertumbuhan udang windu selama penelitian memperlihatkan tingkat kelangsungan

hidup udang pada tambak uji mencapai 72,8 % sedangkan pada tambak kontrol 45,7 %.

Panen udang dilakukan pada saat udang berumur 120 hari, dengan bobot rata-rata udang di

tambak uji berkisar 22,5 – 25,0 gram/ekor sedangkan pada tambak kontrol berkisar 20,5 –

22,5 gram/ekor. Panjang rata-rata udang di tambak uji 14,6 cm sedang di tambak kontrol

12,5 cm. JumLah total produksi udang pada tambak uji mencapai 1300 kg/2000 m2 dan

pada tambak kontrol mencapai 745 kg/2000 m2. Hal ini menunjukan kondisi kualitas air

tambak uji lebih baik dibanding tambak kontrol, sehingga menyebabkan lingkungan hidup

udang di tambak uji menjadi lebih sehat. Profil pertumbuhan udang windu selama 120 hari

diperlihatkan pada gambar 5.

Gambar 5. Profil pertumbuhan udang windu selama 120 hari di tambak udang

Anindyajati M A
Highlight
Page 214: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

214

KESIMPULAN

Pemberian konsorsium bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi sebagai agen

bioremediasi ke dalam perairan tambak udang dengan dosis 50 L/ha (udang umur 30 –60

hari) dan 100 L/ha (60 – 120 hari) dengan kepadatan populasi 109 upk/mL setiap 10 hari

berpengaruh positif terhadap perbaikan kualitas air tambak dan pertumbuhan udang windu.

DAFTAR PUSTAKA

ANONYMOUS, 1996. Aqua Farm News. Vol. XIV: No. 4 dan 5.

AHMAD, T. 1991. Pengelolaan Peubah Mutu Air Yang Penting dalam Tambak Udang

Intensif. Indonesia Fisheries Information System. Infis Manual Seri no. 25.

Direktorat Jenderal Perikanan dan International Development Research Centre. 40

hal.

BADJOERI. M., G. S. HARYANI, T. WIDIYANTO, W. RIYANTO, I. RUSMANA, N.

H. SADI, dan V. INDARWATI. 2006. Pemanfaatan Bakteri Nitrifikasi dan

Denitrifikasi untuk Bioremediasi Senyawa Metabolit Toksik di Tambak Udang.

Laporan Tahunan. Program Penelitian dan Pengembangan Iptek - Riset Kompetitif

LIPI. Dipa Biro Perencanaan dan Keuangan LIPI dan Puslit Biologi LIPI. Bogor. 46

hal.

BOYD, C. E. 1990. Water quality in ponds for Aqua Culture. Alabama agricultural

experiment station. Auburn University. 482 pp.

BOYD, C.E. and A.W. FAST. 1992. Pond monitoring and management In. FAST, A.W.

and LESTER, L.J. (Eds). Marine Shrimp Culture : Principles and Practices, 497 -

514.

BOYD, C. E. and T. AHMAD. 1987. Evaluation of Aerators for Channel Catfish Farming.

Ala. Agr. Exp. Sta., Auburn Univ., Ala., Bull. 584. 52 pp.

BUFORD, M. A., N.P. PRESTON, P.M. GILBERT and W.C. DENNISON. 2002. Tracing

the fate of 15

N-enriched feed in an intensive shrimp system. Aquaculture. 206 : 199

– 216.

CHIN, T. S. and J. C. CHEN. 1987. Acute Toxicity of Amonia to Larvae of the Tiger

Prawn, Penaeus monodon. Acuaculture, 66: 247-253.

CHEN, J. C. and CHIN, T.S. 1988. Joint Action of Ammonis snf znitrite on Tiger Prawn

Penaeus monodon Postlarvae. J. Worls Aquacul. Soc., 19:127-131.

Page 215: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

215

CHOLIK, F.1988. Dasar-dasar Bertambak Udang Intensif. Seminar Budidaya Udang

Intensif. Patra Utama, Jakarta, 12-19.

DEVARAJA, T.N., F.M. YUSOFF and M. SHARIFF. 2002. Changes in bacterial

population and shrimp production in pond treated with commercial microbial

products. Aquaculture. 206 : 245 – 256.

GUNALAN, D. E. A. 1993. Penerapan Bioremediasi untuk Melenyapkan Polutan Organik

dari Lingkungan. Makalah Diskusi Panel. Kongres Nasional Perhimpunan

Mikrobiologi Indonesia, Surabaya 2-4 Desember 1993. Univ. Erlangga. 13 hal.

GARNO. S. Y. 2004. Biomanipulasi. Paradigma Baru dalam Pengendalian Limbah

Organik pada Budidaya Perikanan di Waduk dan Tambak. Orasi Ilmiah Ahli

Peneliti Utama. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta. 58 hal.

LUEKING. D. R., R.T. FRALEY and S. KAPLAN. 1978. Intracytoplsmic Membrane

Synthesis in Syncronous Cell Populations of Rhodopseudomonas sphaeroides. J.

Biol. Chem. 253:451-457.

MUSTAFA. A., NURHIDAYAH, NURJANA, R. SABANG dan SUTRISYANI. 2001.

Pemanfaatan bakteri pengurai bahan organik asal tanah gambut pada tanah dari

tambak intensif. J. Penel. Perikanan Indonesia 1: 31 – 40.

POERNOMO, A. 1988. Pembuatan Tambak Udang di Indonesia, Departemen Pertanian,

Balit. Perikanan Budidaya Pantai, Maros. 40 hal.

RHEINHEIMER, G. 1985. Aquatic Microbiology. 3rd (eds). John Wiley & Sons Ltd.

Chichester. 257 pp.

SABAR, F dan T. WIDIYANTO. 1998. Profil Senyawa Karbon Organik pada Sistem

Perairan Tambak Udang Windu. Hasil-Hasil Penelitian Puslitbang Limnologi LIPI.

Cibinong. Bogor, 429 – 432.

SCHWEDLER, T. E., C. S. TUCKER, and M. H. BELEAU. 1985. Non-infectious diseases.

In. TUCKER (Ed.). Channel Catfish Culture. Development in Aquaculture and

Fisheries Science. Vol. 15. Elsevier, New York. 249 pp.

WICKINS, J. F. 1985. Amonia Production and Oxidation During The Culture of Marine

Prawn and Lobsters in Laboratory Recirculation System. Awc. Eng., 4: 155-174.

WIDIYANTO, 2006. Seleksi Bakteri Nitrifikasi dan Denitrifikasi untuk Bioremediasi di

tambak Udang. Ringkasan disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian

Bogor. 39 hal.

Page 216: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

216

KETERKAITAN KUALITAS AIR DENGAN DINAMIKA POPULASI

Microcystis spp. DI WADUK SUTAMI, MALANG JAWA TIMUR

Catur Retnaningdyah*

ABSTRAK

Terdapat dua permasalahan yang dihadapi di perairan waduk Sutami Malang Jawa Timur yaitu

dominansi mikroalga Cyanobacteria dari genus Microcystis yang berpotensi untuk menimbulkan blooming

pada waktu tertentu dan juga permasalahan kualitas fisik-kimia perairan yang telah menunjukkan adanya

eutrofikasi dan pencemaran bahan organik tinggi. Pada kondisi blooming, Microcystis sp. dapat

menghasilkan racun yang disebut microcystin yang bersifat toksik terhadap organisme yang lain. Penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui dinamika populasi Microcystis spp. dan keterkaitan antara kualitas air

dengan dinamika populasi tersebut di waduk Sutami Malang. Penelitian dilakukan mulai tahun 2004

(Oktober-Desember), 2005 (Januari-Desember) dan 2006 (Januari-Maret) dengan mengambil sampel air dan

plankton pada daerah hulu, tengah dan hilir waduk setiap dua minggu sekali. Kualitas air yang diukur

adalah BOD, COD, nilai KMnO4, TSS, TDS, Nitrat, Nitrit, Total Kjeldahl Nitrogen, Sulfat, Kalium, total

Fosfat, Sulfida (H2S), Cyanida, Suhu, Konduktivitas, kecerahan, Oksigen Terlarut (DO), dan pH. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa fluktuasi kelimpahan populasi Microcystis spp. di waduk Sutami sangat besar

(0-639.028 koloni/L). Kelimpahan bulan Nopember sampai Desember adalah lebih rendah dan mulai bulan

Januari kelimpahan meningkat sampai bulan Maret. Kelimpahan antara daerah hulu, tengah dan hilir tidak

berbeda nyata. Perairan waduk Sutami selama waktu pantau periode tahun 2004-2006 termasuk dalam

kategori eutrofik dengan sumber pencemar utama adalah bahan organik. Pada waktu pantau tertentu

didapatkan beberapa parameter kualitas air seperti DO, pH, BOD, COD, nitrat, nitrit, fosfat total dan H2S

yang telah melebihi standar baku mutu Kelas II berdasarkan PP No. 82 Th 2001 tentang Pengelolaan

Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Berdasarkan Analisis Jalur (Path Analyses) dapat

disimpulkan bahwa peningkatan populasi Microcystis spp. di waduk Sutami secara positif dipengaruhi oleh

tingginya TSS, BOD, total Kjeldahl N, total Fosfat, dan kelimpahan fitoplankton yang lain. Sedangkan

tingginya nilai TDS, COD dan rasio N:P dapat menurunkan populasi Microcystis spp.

Kata Kunci: Dinamika Populasi, Microcystis spp., Waduk Sutami

ABSTRACT

There are two problem facing in Sutami reservoir Malang: (1) the dominance of Microcystis spp

having potency to bloom and (2) the water quality had showed eutrophication and organic pollution. The

blooming of Microcystis can caused severe of other organism because of high toxicicity of microcystin. The

objective of this research is to know the population dynamics of Microcystis spp. in Sutami reservoir and that

interrelationship with the water quality. The exploration of Microcystis and water sampling was done every

two weeks on October-December 2004, January-December 2005 and January-March 2006. The water quality

parameters were measured: BOD, COD, KMnO4, TSS, TDS, nitrate, nitrite, Total Kjeldahl Nitrogen,

sulphate, kalium, total phosphate, sulfida (H2S), cyanida, temperature, conductivity, dissolved oxygent (DO),

and pH. The research result showed that fluctuation of Microcystis abundance in Stami reservoir is very high

with rangeof population 0-639,028 colony/Litre.Generally, the abundance in November-December is lower

and the abundance in January-March is higher. There are not significance difference the abundance between

* FMIPA UNIBRAW

Email : [email protected]

Page 217: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

217

upper, middle and down area. The value of DO, pH, BOD, COD, nitrate, nitrite, total phosphate and H2S

have exceed the standard. Based on path analyses concluded that the population dynamics of Microcystis spp

is affected by the high of TSS, BOD, total Kjeldahl N, total phosphate, abundance of other phytoplankton and

the lower of TDS, COD and N:P ratio.

Key words: Population dynamics, Microcystis spp., Sutami reservoir

PENDAHULUAN

Salah satu permasalahan yang terjadi pada beberapa perairan menggenang di

Indonesia adalah peledakan (blooming) populasi dari jenis-jenis mikroalga terutama

Cyanobacteria. Salah satu perairan tawar yang juga mengalami permasalahan di atas adalah

waduk Sutami (Karangkates) di Malang Jawa Timur. Hasil penelitian yang dilakukan oleh

Retnaningdyah, dkk (2002), menunjukkan bahwa di waduk Sutami pada daerah bendungan

telah terjadi blooming fitoplankton dari jenis Microcystis spp. Berdasarkan hasil monitoring

selama tahun 2004 sampai bulan Maret 2006 ditemukan bahwa Microcystis spp. bersama-

sama dengan Synedra sp dan Ceratium sp. selalu ada dalam kelimpahan yang tinggi di

waduk Sutami meskipun tidak sampai mengakibatkan terjadinya blooming (Samino dan

Retnaningdyah, 2004; Retnaningdyah dan Samino, 2005 dan 2006).

Terjadinya dominansi ini menunjukkan bahwa ekosistem perairan waduk Sutami

sudah tidak stabil lagi oleh karena tingkat pencemaran air waduk sudah berpengaruh

terhadap struktur komunitas mikroalga. Seperti telah dinyatakan oleh Abel (1989) bahwa

suatu perairan yang didominansi oleh Microcystis spp. menunjukkan bahwa perairan

tersebut sudah tercemari oleh nitrat organik. Hal ini sesuai dengan hasil pemantauan

terhadap kualitas air di waduk Sutami yang dilakukan oleh Retnaningdyah dkk. (2002),

Samino dan Retnaningdyah (2004), serta Retnaningdyah dan Samino (2005 dan 2006) yang

menunjukkan bahwa baik pada tahun 2002, tahun 2004 (Oktober-Desember), 2005

(Januari-Desember) maupun tahun 2006 (Januari-Maret) perairan waduk Sutami termasuk

dalam kategori eutrofik dengan kadar nitrogen dan fosfat yang tinggi. Kadar nitrat berkisar

antara 0,325-11,07 mg/L, kadar nitrit berkisar antara 0,04-0,81 mg/L, sedangkan kadar

fosfat total di waduk Sutami berkisar antara 0,01-1,91 mg/L. Parameter kualitas air tersebut

Page 218: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

218

telah melebihi standar baku mutu Kelas II untuk keperluan prasarana/sarana rekreasi air,

pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman dan atau

peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut

berdasarkan PP No. 82 Th 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian

Pencemaran Air yaitu sebesar 10 mg/L untuk nitrat, 0,06 mg/L untuk nitrit dan 0,2 mg/L

untuk fosfat total.

Perairan waduk Sutami selama penelitian tahun 2002-2006 juga menunjukkan telah

tercemar oleh bahan organik dengan nilai BOD dan COD yang tinggi. Kadar BOD berkisar

antara 3,9 - 46,2 mg/L dan kadar COD berkisar 10,2 -114,1 mg/L. Pencemaran bahan

organik ini juga dapat ditunjukkan dari hasil penghitungan Indeks Pencemaran Implisit

Prati’s di mana pada tahun 2002, 2004 dan 2005 termasuk dalam kategori dapat diterima

(Acceptable) sampai tercemar tingkat berat (Heavily polluted) dengan nilai indeks berkisar

antara 1,71-8,24 (untuk tahun 2002), 1,36-2,80 (untuk tahun 2004) dan 1,92-8.37 (untuk

tahun 2005). tingkat pencemaran perairan waduk Sutami pada waktu pantau bulan Januari

sampai Maret 2006 termasuk dalam kategori tercemar ringan (Slightly polluted) dengan

nilai indeks berkisar antara 2,59-3,52.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua permasalahan

yang dihadapi di perairan waduk Sutami yaitu dominansi mikroalga Cyanobacteria dari

genus Microcystis yang berpotensi untuk menimbulkan blooming pada waktu tertentu dan

juga permasalahan kualitas fisik-kimia perairan yang telah menunjukkan adanya eutrofikasi

dan pencemaran bahan organik tinggi.

Microcystis spp. adalah sejenis blue-green algae (Cyanobacteria) yang biasa

tumbuh di permukaan air. Pada kondisi yang normal Microcystis sp. ini tidak berbahaya

bagi organisme lain atau manusia. Organisme ini dapat membentuk koloni seperti pollen

yang terapung di permukaan air dengan warna hijau kekuning-kuningan. Pada kondisi

tertentu seperti musim panas dengan nutrien (terutama nitrat) yang tinggi jenis ini bisa

tumbuh secara cepat yang biasa disebut “algae blooms”. Pada kerapatan yang sangat tinggi

maka angin dapat meniup koloni ini menuju ke tepi perairan dan membentuk lapisan yang

Page 219: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

219

sangat rapat. Pada kondisi blooming ini Microcystis sp. dapat menghasilkan racun yang

disebut microcystin yang dapat menyebabkan kematian pada organisme perairan serta

ternak dan burung yang minum air tersebut. Efek toksik racun ini pada manusia adalah

dapat mengakibatkan kerusakan liver secara kronik yang selanjutnya dapat memicu tumor

liver. Hal ini terjadi jika waktu pendedahannya sangat lama (Taylor, 1997; Solomon, 1998;

Oregon Public Health Services, 2002; Romanowska et al, 2002). Hasil penelitian Samino

dan Retnaningdyah (2006) menunjukkan bahwa kelimpahan Microcystis spp. dari waduk

Sutami yang diperlukan untuk mematikan 50% dari ikan Nila selama 24 sampai 72 jam

adalah nyata lebih tinggi (104.320-119.193 koloni/ml) dibandingkan dengan ikan Tawes,

Wader dan Mujair dengan nilai LC50 selama 24 sampai 96 jam yang berkisar antara

33.629-63.167 koloni/ml. Sedangkan nilai LC50 selama 96 jam untuk ikan Nila adalah

55.509 koloni/ml.

Uraian di atas menunjukkan bahwa Cyanobacteria Microcystis merupakan jenis

yang membahayakan bagi organisme yang lain, maka diperlukan usaha untuk

pengendalian jenis ini di perairan. Akan tetapi, penelitian tentang faktor-faktor lingkungan

yang menyebabkan terjadinya blooming di perairan daerah tropik belum diteliti.

Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keterkaitan

antara kualitas air (fisiko-kimiawi-biologi) dengan dinamika populasi Microcystis spp.di

perairan waduk Sutami. Dalam bidang perkembangan ilmu, hasil penelitian ini dapat

digunakan untuk melengkapi dasar teori penyebab blooming Microcystis spp. yang terjadi

di perairan tawar khususnya di daerah tropik. Sedangkan dalam bidang terapan, hasil

penelitian ini untuk selanjutnya diharapkan dapat dipakai sebagai landasan penelitian

berikutnya dan juga tindakan dalam rangka pengendalian blooming Microcystis spp. di

perairan.

Page 220: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

220

BAHAN DAN METODE

Pengambilan sampel plankton dilakukan di waduk Sutami. Analisis fisika kimia air

dilakukan di Laboratorium Perum Jasa Tirta I Malang. Identifikasi dan penghitungan

plankton (termasuk Microcystis spp.) dilakukan di Laboratorium Ekologi dan Diversitas

Hewan Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Brawijaya Malang. Pengambilan

sampel dilakukan pada tahun 2004 (Oktober-Desember), 2005 (Januari-Desember) maupun

tahun 2006 (Januari-Maret). Pengambilan sampel tersebut dilakukan tiap dua minggu sekali

sehingga jumlah total sampel adalah 109.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif eksploratif dengan variabel terikat

berupa kelimpahan Microcystis spp. dan kelimpahan jenis fitoplankton yang lain serta

zooplankton sedangkan variabel bebas berupa kualitas fisika kimia perairan. Pada perairan

waduk Sutami tersebut ditetapkan tiga stasiun pengambilan sampel. Stasiun satu adalah

daerah inlet yang dibatasi oleh desa Ternyang, stasiun dua adalah daerah inlet yang

dibatasi oleh desa Jati Gui, sedangkan stasiun tiga adalah daerah outlet (bendungan). Pada

masing-masing stasiun tersebut dilakukan pengulangan pengambilan sampel pada tiga

tempat yang berdekatan (dua tepi dan tengah). Pengambilan sampel tersebut dilakukan

secara acak, dengan asumsi bahwa pada satu stasiun kondisi faktor fisiko-kimia dan biologi

ekosistem perairan lentik tersebut relatif homogen. Pada masing-masing lokasi yang telah

ditetapkan tersebut dilakukan pengambilan sampel air dan plankton berdasarkan pedoman

Standard Methods for The Examination of Water and Waste Water (Clesceri et al.,

1989). Secara lebih jelas, diagram alir penelitian tahap ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Page 221: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

221

Gambar 1. Skema Diagram Alir Penelitian

Pada masing-masing stasiun pengamatan yang telah ditetapkan dilakukan

pengambilan sampel air sebanyak tiga liter dengan menggunakan alat pencuplik air (water

sampler) vertikal yang berkapasitas satu liter. Sampel air tersebut merupakan akumulasi

dari air yang diambil pada kedalaman + 0-25 cm, 25-50 cm, 50-75 cm dan 75-100 cm di

bawah permukaan air (masing-masing kedalaman di ambil 1 liter). Pengambilan sampel

plankton dilakukan dengan menyaring air tersebut dengan menggunakan jaring plankton

yang mempunyai ukuran 406 pori-pori per inci dan diameter 12 cm. Sampel plankton yang

tersaring selanjutnya dimasukkan dalam botol flakon dan diawetkan dengan formalin 4%.

Untuk menjaga agar klorofil fitoplankton tidak mudah rusak maka pada setiap sampel

diberi larutan CuSO4 jenuh (Welch, 1948).

PENGAMBILAN SAMPEL TIAP DUA MINGGU SEKALI

AIR PLANKTON

Uji Fisik Uji Kimia

Penyaringan & Fiksasi

Identifikasi & Penghitungan

WADUK SUTAMI DITENTUKAN 3 STASIUN

Analisis Data (Path analysis)

Page 222: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

222

Plankton yang telah diperoleh selanjutnya diidentifikasi dan dihitung jumlah

masing-masing jenis yang didapatkan per liter dengan menggunakan Sedgewick Rafter

Counting Chamber dan bantuan mikroskop. Perhitungan masing-masing jenis plankton per

liter dilakukan menurut rumus berdasarkan Effendi (1979). Identifikasi fitoplankton

dilakukan dengan menggunakan buku Edmondson (1959), Prescot (1978) dan Bold &

Wynne (1985). Sedangkan identifikasi zooplankton dilakukan dengan menggunakan buku

Davis (1955) dan Hutabarat dan Evans (1986). Faktor fisika kimia air yang diukur dan

metoda pengukurannya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Faktor Lingkungan yang Diukur dalam Penelitian dan Metode Pengukurannya

No. Parameter Satuan Metode

I. Analisis lapangan

1. Temperatur o C Pemuaian

2. pH - Potensiometer

3. Konduktivitas mS/cm Konduktometri

4. Oksigen terlarut mg/L Titrimetri

5. Kecerahan cm Sechi disc

II. Analisis laboratorium

1. BOD mg/L Potensiometri

2. COD mg/L Spektropotometri

3. KMnO4 mg/L Oks. suasana asam

4. TSS mg/L Gravimetri

5. TDS mg/L Gravimetri

6. Nitrat (NO3-) mg/L Kromatografi ion

7. Sulphate (SO42-) mg/L Kromatografi ion

8. Kalium (K+) mg/L Kromatografi ion

9. Nitrit (NO2-) mg/L Asam Sulfanilat

10. Total Kjeldahl Nitrogen mg/L Makro Kjeldahl

11. Phospat total mg/L Asam Askorbat

12. Sulfida (H2S) mg/L Methilen Biru

13. Sianida (CN) mg/L Kalorimetri

Page 223: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

223

Data hasil pengukuran parameter fisiko-kimiawi, kelimpahan Microcystis,

fitoplankton dan zooplankton pada tiap-tiap waktu pengamatan selanjutnya dibuat grafik.

Perbedaan kelimpahan populasi Microcystis antar stasiun diketahui dari uji Anova yang

dilanjutkan dengan uji Tukey HSD dengan SPSS release 13.0 for windows. Sedangkan

untuk mengetahui keterkaitan antara kualitas air (fisiko-kimiawi-biologi) dengan dinamika

populasi Microcystis spp.di perairan waduk Sutami, maka dilakukan analisis jalur (Path

Analysis) dengan program Lisrel 8.50 for windows.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil perhitungan terhadap kelimpahan Microcystis spp, fitoplankton lain dan

zooplankton di waduk Sutami periode pemantauan 2004-2006 menunjukkan fluktuasi yang

sangat tinggi yaitu 0-639.028 koloni/L (Microcystis spp.), 756-10.368.056 Individu/L

(fitoplankton lain) dan 138-31.625 Individu/L (zooplankton lain). Rata-rata kelimpahan

tersebut tiap waktu pantau dapat dilihat pada Gambar 2.

10,0

100,0

1000,0

10000,0

100000,0

1000000,0

10000000,0

27 O

kt 04

10 Nop

04

1 Des

04

15 Des

04

20 Jan

uari 05

24 Peb

ruari 05

17 M

aret 05

6 April 05

4 Mei 05

1 Ju

ni 05

6 Juli 0

5

3 Agustus 05

7 Sept 05

12 O

ktober 05

16 Nop

embe

r 05

7 Des

ember 05

11 Ja

n 06

8 Peb

06

08 M

aret 06

Kelimpahan

Microcystis (Koloni/L) Fitoplankton lain (Ind/L) Zooplankton lain (Ind/L)

Gambar 2. Rata-rata kelimpahan populasi Microcystis spp., fitoplankton lain dan zooplankton di Waduk

Sutami Periode Oktober 2004 sampai Maret 2006

Page 224: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

224

Berdasarkan Gambar 2 tersebut dapat disimpulkan bahwa secara umum kelimpahan

populasi Microcystis pada bulan Nopember sampai Desember adalah lebih rendah (85-

11.838 koloni/L) dan mulai bulan Januari kelimpahan meningkat sampai bulan Maret (407-

232.146 koloni/L). Sedangkan kelimpahan bulan April sampai Oktober berada di antaranya

(342-34.539 koloni/L). Berdasarkan uji Anova yang dilanjutkan dengan Tukey HSD, dapat

diketahui bahwa kelimpahan Microcystis spp. di waduk Sutami antara daerah hulu, tengah

dan hilir adalah sama.

Tabel 2. Rata-rata Kualitas Air Waduk Sutami Periode Pemantauan 2004-2006

Parameter rata-rata Nilai

Minimum

Nilai

Maksimum

NBM Kelas II PP

No. 82 th 2001

BOD (mg/L) 8,17 2,70 58,60 3,00

COD (mg/L) 26,48 8,10 261,60 25,00

Nilai KMnO4 (mg/L) 14,51 4,70 104,30 -

TSS (mg/L) 21,74 2,30 142,70 -

TDS (mg/L) 230,36 103,60 349,20 -

NO3- (mg/L) 4,21 0,01 12,10 10,00

SO42-

(mg/L) 13,98 7,46 20,88 -

K+ (mg/L) 3,23 0,64 6,46 -

NO2- (mg/L) 0,21 0,00 1,13 0,06

Total Kjeldahl N (mg/L) 0,61 0,01 3,17 -

PO4 Total 0,26 0,00 3,44 0,20

H2S (mg/L) 0,03 0,00 0,25 0,002

CN (mg/L) 0,00 0,00 0,02 0,020

Suhu Udara (oC) 30,28 25,20 36,40 -

Suhu Air (oC) 29,15 21,60 32,70 Deviasi 3

Konduktivitas (mS/cm) 0,30 0,19 0,76 -

Kecerahan (cm) 69,17 18,00 148,00 -

DO (mg/L) 8,17 2,20 13,60 > 4

pH 8,52 6,60 10,00 6 - 9

Page 225: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

225

Dinamika populasi Microcystis spp. sangat dipengaruhi oleh kualitas air sebagai habitatnya.

Kualitas air di waduk Sutami, secara umum dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 3.

Parameter kualitas air yang telah melebihi standar baku mutu Kelas II untuk keperluan

prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi

pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan

kegunaan tersebut berdasarkan PP No. 82 Th 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan

Pengendalian Pencemaran Air adalah DO, pH, BOD, COD, nitrat, nitrit, fosfat total dan

H2S. Hal ini menunjukkan bahwa di perairan waduk Sutami selama waktu pantau periode

tahun 2004-2006 termasuk dalam kategori eutrofik dengan sumber pencemar utama adalah

bahan organik dan nutrien terutama N dan P.

Menurut Dokulil & Teubner (2000) dan Raps et al. (1983) penyebab terjadinya

blooming oleh Cyanobacteria adalah (1) suhu yang tinggi yang merupakan suhu optimal

bagi pertumbuhannya; (2) rendahnya energi cahaya yang diperlukan oleh Cyanobacteria

untuk dapat tumbuh cepat; (3) rendahnya CO2 dan pH yang tinggi; (4) rendahnya rasio total

N/total P; (5) Tingginya kadar nitrogen anorganik seperti nitrat; (6) rendahnya tingkat

kematian oleh karena kecilnya grazing oleh zooplankton; dan (7) mampu memproduksi

racun yang dapat berpengaruh terhadap biota yang lainnya.

Page 226: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

226

0,0

5,0

10,0

15,0

1 5 9 13 17 21 25 29 33 37

Waktu Pantau

Nitrat (m

g/L)

NBM=10

0,00

0,20

0,40

0,60

0,80

1,00

1 5 9 13 17 21 25 29 33 37

Waktu Pantau

Nitrit (m

g/L)

NBM=0,06

0,00

0,20

0,40

0,60

0,80

1,00

1,20

1,40

1,60

1,80

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37

Waktu Pantau

Total Kj. Nitrogen (mg/L)

0,0

0,5

1,0

1,5

2,0

2,5

1 5 9 13 17 21 25 29 33 37

Waktu Pantau

PO4 Total (m

g/l) NBM=0,02

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37

Waktu Pantau

Nilai KMnO4 (mg/L)

0,0

5,0

10,0

15,0

20,0

25,0

30,0

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37

Waktu Pantau

BOD (mg/L)

NBM=3

0,0

25,0

50,0

75,0

100,0

125,0

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37

Waktu Pantau

COD (mg/L)

NBM=25

0,00

50,00

100,00

150,00

200,00

250,00

300,00

350,00

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37

Waktu Pantau

TDS (mg/L)

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37

Waktu Pantau

TSS (m

g/L

)

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37

Waktu Pantau

K+ (mg/L)

0,00

5,00

10,00

15,00

20,00

25,00

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37

Waktu Pantau

Sulfat (m

g/L)

0,000

0,050

0,100

0,150

0,200

0,250

1 6 11 16 21 26 31 36

Waktu Pantau

H2S (mg/l)

NBM=0,002

0,000

0,002

0,004

0,006

0,008

0,010

0,012

0,014

0,016

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37

Waktu Pantau

CN (mg/L)

NBM=0,02

0,00

0,10

0,20

0,30

0,40

0,50

0,60

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37

Waktu Pantau

Konduktivitas

(mS/cm)

0,0

2,0

4,0

6,0

8,0

10,0

12,0

14,0

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37

Waktu Pantau

DO (mg/L)

NBM>4

24,0

26,0

28,0

30,0

32,0

34,0

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37

Waktu Pantau

Suhu A

ir (

oC)

0,00

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

12,00

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37

Waktu Pantau

pH

NBM=6-9

0,00

20,00

40,00

60,00

80,00

100,00

120,00

140,00

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37

Waktu Pantau

Kecerahan (cm)

Gambar 3. Rata-rata Kualitas air Waduk Sutami Selama Periode Waktu Pantau Tahun 2004,2005 dan 2006

(keterangan: NBM = Nilai Baku Mutu Kelas II PP No. 82 Th 2001)

Page 227: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

227

Gambar 4. Koefisien Korelasi Hasil Analisis Jalur yang Menunjukkan Keterkaitan Antara Kualitas Air

dengan Dinamika Populasi Microcystis spp. di waduk Sutami

Keterkaitan antara kualitas air dengan dinamika populasi Microcystis spp di waduk

Sutami dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi sebagai hasil analisis jalur (Path Analyses)

seperti yang terlihat pada Gambar 4. Nilai koefisien jalur tersebut setelah diuji

signifikansinya dengan dilakukan transformasi ke nilai t menunjukkan bahwa koefisien

jalur tersebut adalah signifikan dengan nilai t > 1,96.

Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa kelimpahan populasi

Microcystis spp di waduk Sutami secara tidak langsung dipengaruhi oleh BOD, total N dan

P, serta rasio N:P. Parameter kualitas air yang mempengaruhi secara langsung dinamika

populasi Microcystis spp. adalah COD, TDS dan kelimpahan fitoplankton lain. Sedangkan

TSS mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung. COD, TDS dan rasio N:P

mempengaruhi secara negatif, yang mana dapat diartikan bahwa peningkatan COD, TDS

Page 228: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

228

dan rasio N:P dapat menurunkan kelimpahan Microcystis spp., sedangkan parameter yang

lain bersifat sebaliknya yaitu semakin tinggi TSS, BOD, total P dan N serta kelimpahan

fitoplankton lain dapat mendorong peningkatan kelimpahan Microcystis spp. di waduk

Sutami.

Hasil di atas sesuai dengan Closs et al (2006) dan Ernst et al. (2005) yang

menyatakan bahwa kecukupan ketersediaan nutrien tumbuh bagi mikroalga yang sebagian

besar berasal dari bahan pencemar terutama bahan organik dan unsur hara lain yang masuk

ke perairan dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan kelimpahan mikroalga. Menurut

Abel (1989) dan Ramirez & Bicudo (2005), suatu perairan yang didominansi oleh

Microcystis spp. menunjukkan bahwa perairan tersebut sudah tercemari oleh nitrat organik.

Sedangkan Zmijewska et al. (2000), menyatakan bahwa Microcystis spp. merupakan jenis

yang dapat digunakan sebagai bioindikator untuk perairan yang telah mengalami

eutrofikasi.

Rasio N:P merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi kelimpahan relatif

dari mikroalga. Setiap jenis Cyanobacteria mempunyai kebutuhan N dan P dengan rasio

yang tertentu. Hasil penelitian Fujimoto & Sudo (1997) tentang kemampuan bersaing dari

Microcystis aeruginosa dan Phormidium tenue yang diisolasi dari salah satu danau di

Jepang terhadap P dan N di dalam kultur kontinyu secara tunggal (murni) dan campuran

dengan P dan N terbatas pada berbagai rasio suply N:P dan suhu menunjukkan bahwa M.

aeruginosa merupakan kompetitor unggul pada kondisi rasio N:P rendah (11, 22, dan 44

mol) dan suhu tinggi (30oC), sedangkan P. tenue unggul pada kondisi N:P tinggi (89 mol)

dan suhu rendah (20oC).

Tingginya unsur fosfor dan nitrogen di perairan dapat mengakibatkan terjadinya

proses peningkatan kesuburan yang disebut sebagai eutrofikasi. Banyak aktivitas manusia

di sekitar perairan yang dapat meningkatkan kesuburan perairan seperti limbah kotoran

(sewage effluents), limpasan air dari lahan pertanian dan sebagainya. Air limbah dan

limpasan tadi mengandung beban muatan yang berupa garam-garam mineral terlarut, bahan

organik terlarut, tubuh biota mati dan detritus serta endapan mineral. Beban muatan

Anindyajati M A
Highlight
Page 229: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

229

tersebut merupakan bahan atau senyawa yang mengandung nutrien bagi biota nabati

(fitoplankton dan tumbuhan) di perairan. Dengan demikian sampai pada batas tertentu,

limbah dan limpasan dari suatu kegiatan manusia dapat meningkatkan produktivitas hayati

perairan. Apabila penambahan nutrien tadi berlebihan, perairan menjadi lewat subur

(eutrophic). Hal ini dapat berakibat “blooming” atau peledakan populasi biota tertentu,

terutama biota nabati. Tingginya unsur fosfor di dalam perairan, menurut Goldman &

Horne (1983) dapat mengakibatkan terjadinya dominansi jenis-jenis mikroalga tertentu.

Misalnya jenis diatom akan mendominansi perairan yang berkadar fosfat rendah (0-0,02

mg/L), pada kadar 0,02-0,05 mg/L banyak tumbuh chlorophyceae dan pada kadar yang

lebih tinggi dari 0,1 mg/L banyak terdapat cyanophyceae/cyanobacteria.

Menurut Abel (1989), limbah organik yang masuk ke perairan dapat berpengaruh

terhadap terhadap sifat fisik dan kimia perairan khususnya terhadap padatan tersuspensi

(suspended solid), BOD, Oksigen, NH4, NO3, dan PO4. Dalam keadaan normal nilai

oksigen terlarut (DO) lebih tinggi dari nilai BOD. Tetapi setelah terjadi pencemaran bahan

organik nilai BOD langsung meningkat sedangkan nilai DO menurun. Menurunnya

kandungan oksigen terlarut tersebut oleh karena terjadinya proses penguraian bahan

organik oleh bakteri aerob menjadi bahan anorganik yang mana dalam proses penguraian

tersebut bakteri memerlukan oksigen untuk pernafasannya. Sedangkan meningkatnya nilai

BOD oleh karena adanya bahan organik tersebut. Dengan kurun waktu tertentu, begitu

bahan pencemar organik mulai terurai, maka nilai BOD mulai menurun dan nilai DO mulai

meningkat lagi seperti semula. Kandungan ammonium (NH4+) dan PO4

3- adalah meningkat

dengan masuknya bahan organik ke perairan. Peningkatan kandungan kedua senyawa

diatas oleh karena dalam proses penguraian bahan organik secara aerobik, unsur N yang

terdapat pada bahan organik diuraikan menjadi NH4+ sedangkan unsur P diuraikan menjadi

PO43-

. Dan semakin ke arah hilir terlihat bahwa kandungan NH4+ mulai menurun sedangkan

NO3- meningkat. Hal ini karena NH4

+ yang ada tersebut apabila cukup tersedia oksigen

maka akan diuraikan lebih lanjut menjadi NO3- melalui peristiwa nitrifikasi yang dilakukan

oleh bakteri Nitrosomonas dan bakteri Nitrobacter. Dan selanjutnya kandungan ke tiga

Anindyajati M A
Highlight
Page 230: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

230

senyawa tersebut menurun terus oleh karena dimanfaatkan oleh organisme perairan seperti

algae untuk pertumbuhannya.

KESIMPULAN

1. Fluktuasi kelimpahan populasi Microcystis spp. di waduk Sutami sangat besar.

kelimpahan populasi Microcystis pada bulan Nopember sampai Desember adalah lebih

rendah dan mulai bulan Januari kelimpahan meningkat sampai bulan Maret. Sedangkan

kelimpahan bulan April sampai Oktober berada di antaranya. Kelimpahan Microcystis

spp. di waduk Sutami antara daerah hulu, tengah dan hilir Kelimpahan bulan Nopember

adalah sama.

2. Perairan waduk Sutami selama waktu pantau periode tahun 2004-2006 termasuk dalam

kategori eutrofik dan sumber pencemar utama adalah bahan organik. Pada waktu

pantau tertentu didapatkan beberapa parameter kualitas air seperti DO, pH, BOD, COD,

nitrat, nitrit, fosfat total dan H2S yang telah melebihi standar baku mutu Kelas II

berdasarkan PP No. 82 Th 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian

Pencemaran Air.

3. Berdasarkan Analisis Jalur (Path Analyses) dapat disimpulkan peningkatan COD, TDS

dan rasio N:P dapat menurunkan kelimpahan Microcystis spp., sedangkan peningkatan

nilai TSS, BOD, total P dan N serta kelimpahan fitoplankton lain dapat mendorong

peningkatan kelimpahan Microcystis spp. di waduk Sutami.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini dibiayai atas kerjasama Fakultas MIPA Universitas Brawijaya dengan

Perum Jasa Tirta I (PJT I) Malang, oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih

kepada Dekan Fakultas MIPA UB dan Direktur PJT I Malang. Penulis juga mengucapkan

terima kasih kepada Bapak Drs. Setijono Samino, MS yang telah banyak membantu selama

penelitian dan juga kepada mahasiswa serta laboran yang terlibat dalam penelitian ini.

Page 231: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

231

DAFTAR PUSTAKA

Abel, P.D. 1989. Water Pollution Biology. Ellis Horwood Limited Publishers,

Chichester.

Bold, C.H and Wynne, M.J. 1985. Introduction to the Algae: Structure and

Reproduction. 2nd

Ed. Prentice Hall Inc Engelwood Clif. New Jersey

Clesceri, L.S., Arnold E.G., R.R. Trussel, & Mory A.H.F. 1989. Standard Methods for

the Examination of Water and Waste Water. Seventeenth Ed., Washington.

Closs, G., B. Downes, A. Boulton. 2006. A Scientific Introduction Freshwater

Ecology. Blackwell Publishing. Malden USA

Davis, C.C. 1955. The Marine and Fresh Water Plankton. Michigan State University

Press. Chicago.

Dokulil, M.T. & K. Teubner. 2000. Cyanobacterial Dominance in Lakes.

Hydrobiologia. 438: 1-12

Edmondson, W.T. 1959. Fresh Water Biology. Second Edition. John Wiley and Sons

Inc., New York.

Effendi, M.I. 1979. Metoda Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri, Bogor.

Ernst, A., M. Deicher, P.M.J. Herman, Ute I.A. Wollenzien. 2005. Nitrate and

Phosphate Affect Cultivability of Cyanobacteria from Environments with Low

Nutrient Levels. Applied and Environmental Microbiology 71(6):3379-3383

Fujimoto, N., R. Sudo. 1997. Nutrient-limited growth of Microcystis aeruginosa and

Phormidium tenue and competition under various N:P supply ratios and

temperatures. Limnol. Oceanogr., 42(2): 250-256

Goldman, C.R. & A.J. Horne. 1983. Limnology. Mc. Graw Hill International Book

Co., New York.

Hutabarat, S. & S.M. Evans. 1986. Kunci Identifikasi Zooplankton. Universitas

Indonesia Press. Jakarta.

Oregon Public Health Services. 2002. Fact Sheet: hazards from Microcystis aeruginosa

in Fresh Water. http://www.ohd.hr.state.or.us /esc/docs/mafact.htm. Diakses 26

April 2002

Prescott, G.W. 1978. How to Know the Fresh Water Algae. 3rd

Ed. Wm.C. Brown

Company Publisher, Iowa

Ramirez, J.J. dan C.E.M. Bicudo. 2005. Diurnal and Spatial (Vertical) Dynamics of

Nutrients (N, P, Si) in Four Sampling Days (Summer, Fall, Winter and Spring)

in A Tropical Shallow Reservoir and Their Relationships with The

Phytoplankton Ccommunity. Braz. J. Biol. 65(1): 141-157

Page 232: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

232

Retnaningdyah, C. , Prayitno, Y. Rosyitawati, M.Y.C Dewi, A.N. Hartini, 2002.

Potensi Mikroalga sebagai Bioindikator Tingkat Pencemaran Bahan Organik di

Perairan Waduk. National Seminar on Research and Studies Research Grant

conducted by Ministry of National Education, Directorate General of Higher

Education, TPSDP, Jakarta December 27-28.

Retnaningdyah,C. Dan S. Samino. 2005. Monitoring Dinamika Komunitas

Fitoplankton dan Zooplankton di Waduk Sutami Malang Periode 2005. Laporan

Penelitian Kerjasama Perum Jasa Tirta I dengan Jurusan Biologi Fakultas

MIPA Universitas Brawijaya Sertifikat No. ID03/0127

Retnaningdyah,C. Dan S. Samino. 2006. Monitoring Dinamika Komunitas

Fitoplankton dan Zooplankton di Waduk Sutami Malang Periode Bulan

Januari-Maret 2006. Laporan Penelitian Kerjasama Perum Jasa Tirta I dengan

Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Brawijaya Sertifikat No.

ID03/0127

Romanowska-Duda, Z., J. Mankiewicz, M. Tarczyńska, Z. Walter, M. Zalewski. 2002.

The Effect of Toxic Cyanobacteria (Blue Green Algae) on Water Plants and

Animal Cells. Polish Journal of Environmental Studies. 11(5): 561-566

Samino, S. dan C. Retnaningdyah, 2004. Monitoring Dinamika Komunitas

Fitoplankton dan Zooplankton di Waduk Sutami Malang Periode Bulan

Oktober sampai Desember 2004. Laporan Penelitian Kerjasama Perum Jasa

Tirta I dengan Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Brawijaya Sertifikat

No. ID03/0127

Samino, S. dan C. Retnaningdyah, 2006. Evaluasi Sifat Toksik Microcystis spp.

Terhadap Beberapa Ikan dari Waduk Sutami untuk Pengembangan Early

Warning System dalam Blooming Mikroalga. Laporan Penelitian Kerjasama

Perum Jasa Tirta I dengan Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas

Brawijaya Sertifikat No. ID03/0127

Solomon, D. 1998. Microcystis in Southwest Michigan Lakes. http://www.kbs.

msu.edu/Extension/microcystis/INDEX.HTM. Diakses 26 Juli 2004

Taylor, R. 1997. That Blooming Microcystis: Where’d it come from ? Where’d it go.

http://www.sg.ohio-state.edu/publications/nuisances/algae/tl0897microcystis.

html. Diakses 25 April 2002

Welch, P.S. 1948. Limnological Methods. Mc Graw Hill International Book Co., New

York.

Zmijewska, M.I., E. Niemkiewicz, L. Bielecka. 2000. Abundance and Species

Composition of Plankton in the Gulf of Gdańsk-Wschód (Gdańsk-East) Sewage

Treatment Plant. Oceanologia, 42 (3): 335-357.

Page 233: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

233

KUALITAS AIR PASCA PENGERUKAN ALUR TRANSPORTASI

BATU KAPUR DI KALI DONAN CILACAP

Moh. Husein Sastranegara* & Sri Lestari*

ABSTRAK

Kali Donan berpotensi sebagai alur pelayaran internasional karena keberadaan industri.

Meskipun industri turut menyumbang permasalahan perubahan iklim; pengoperasian jaring apong

ditengarai juga sebagai penyebab pendangkalan kali dan mengganggu alur transportasi batu kapur. Tujuan

penelitian adalah untuk mengetahui kualitas air ditinjau dari aspek fisik, kimiawi dan biologik pada daerah

utara, tengah dan selatan pengerukan; serta tekstur sedimen, benthos dan plankton sebagai penunjang.

Survai dilakukan di semua daerah dari bulan Januari sampai Maret 2008. Pengambilan contoh air dilakukan

sesuai dengan persyaratan paket parameter pada kelas II dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 82 Tahun 2001 dan cara kerja SNI. Data dianalisis secara deskriptif dan ditunjang oleh indeks

similaritas Sorensen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar TDS, NH3, Mn dan Fe tetap melebihi baku

mutu yang dipersyaratkan; meskipun kadarnya berkurang. Sebaliknya, peningkatan kadar H2S berada di

tengah, sedangkan kadar Pb, tekstur sedimen berupa silty clay, serta dominansi benthos Rhinoclavis asper

dan plankton Lyngbya spirulinoides berada di daerah tengah dan selatan (indeks similaritas penelitian ini

95,14%; penelitian sebelumnya 99,15%). Kesimpulan menunjukkan bahwa pengerukan tidak merubah kadar

TDS yang tetap tinggi karena TDS yang terbawa oleh pasang surut dihambat oleh jaring apong. Selain itu,

kadar Pb, sedimen silty clay, serta dominasi benthos Rhinoclavis asper dan plankton Lyngbya spirulinoides

mempunyai kecenderuangan yang sama pada kelompok daerah tengah dan selatan pengerukan.

Kata kunci: kualitas air, pengerukan, Kali Donan

ABSTRACT

Donan River has the potential of international ship’s channel due to the availability of

industry. Even, the industry has a contributed additional problem on a climate change; the apong net

operation was predicted also causing river shallowness and disturb the limestone transportation channel. The

aim of research was to know water quality based on physic, chemical, and biological aspects at the north,

central, and south area of dredging; and sediment texture, benthos dan plankton as proponent. Survey was

done at all areas of dredging from January to March 2008. Water samples were taken according to the class

II of Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Number 82 in the year of 2001 and the procedure of SNI.

Data was analised as descriptive and supported by Sorensen similarity index. The result showed that the

concentration of TDS, NH3, Mn and Fe was above levels considered as water quality standard at all areas;

even the concentration decreases. On the other hand, increasing the concentration of H2S was only at the

central area, whereas the concentration of Pb, silty clay sediment texture, and domination of benthic of

Rhinoclavis asper and plankton of Lyngbya spirulinoides were at the central and south areas (similarity index

of this research was 95.14%; the research before was 99.15%). The conclution showed that the dredging did

not change the high concentration of TDS because it which was taken along tide was hampered by apong net.

In addition, the concentration of Pb, silty clay sediment texture, and dominated by benthic of Rhinoclavis

asper and plankton of Lyngbya spirulinoides have the same tendencies at the central and south areas.

Keywords: water quality, dredging, Donan River

___________________________________

* Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman; e-mail: [email protected]

Page 234: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

234

PENDAHULUAN

Kali Donan berpotensi sebagai alur pelayaran internasional karena keberadaan PT

Holcim Indonesia Tbk, Kawasan Industri Cilacap, PT UP IV Pertamina, dan Pelabuhan

Intan (White et al., 1989). Meskipun industri turut menyumbang permasalahan perubahan

iklim dari kualitas udara seperti debu partikel dan TSP, SOx, COx, NOx, Ox, HC, serta Pb

(Gubernur Jawa Tengah, 2001); pengoperasian jaring apong ditengarai juga sebagai

penyebab pendangkalan kali dan mengganggu alur transportasi batu kapur, sehingga tim

penertiban alur pelayaran dan pembinaan kepada masyarakat nelayan di Kabupaten Cilacap

dibentuk (Bupati Cilacap, 2002). Tindak lanjut program yang berkaitan langsung dengan

nelayan jaring apong dilakukan dengan program advokasi (PT Semen Cibinong Tbk.,

2005a) pada 435 nelayan (Rosyadi, 2006).

Kegiatan transportasi batu kapur di Kali Donan dilakukan oleh PT Holcim

Indonesia Tbk. yang merupakan unit usaha dalam memproduksi semen dan beton untuk

keperluan pembangunan infrastuktur dengan lokasi unit pengolahan di Kabupaten Cilacap.

Untuk memperlancar pengangkutan bahan baku maupun produk melalui transportasi

angkutan air, PT Holcim Indonesia Tbk. telah melakukan kegiatan Maintenance Dredging

Alur Transportasi Batu Kapur di Perairan Kali Donan Cilacap dalam rangka penyusunan

dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan

Hidup (UKL dan UPL). Kegiatan Maintenance Dredging Alur Transportasi Batu Kapur di

Perairan Kali Donan Cilacap dilakukan antara bulan September 2006 dan Mei 2007 pada

Alur Kali Donan dari segmen Buoy 30 sampai 34. Pada segmen sepanjang 1,3 km tersebut,

volume sedimen perairan yang dikeruk mencapai ± 350.000 m3. Material sedimen hasil

kerukan ditempatkan di lahan yang terletak di tepian kali pada segmen yang sama pada

lahan Kawasan Industri milik Kawasan Industri Cilacap (KIC) dan lahan Kawasan Industri

milik PT Holcim Indonesia Tbk. Kegiatan penempatan hasil keruk (dumping) memerlukan

lahan seluas 11,2 ha yang digunakan untuk mengurug lahan Kawasan Industri milik KIC

seluas 8,3 ha dan Lahan Kawasan Industri milik PT Holcim Indonesia Tbk. seluas 2,9 ha

(PT Holcim Indonesia Tbk., 2007).

Page 235: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

235

Kadar Total Dissolved Solid (TDS) selalu melampaui baku mutu yang

dipersyaratkan baik pada saat (pra-operasi, operasi, dan post-operasi) maupun pasca

pengerukan. Oleh karena itu, penelitian dengan judul ”Kualitas Air Pasca Pengerukan Alur

Transportasi batu kapur di Kali Donan Cilacap” perlu dilakukan dengan tujuan untuk

mengetahui kualitas air ditinjau dari aspek fisik, kimiawi dan biologik pada daerah utara,

tengah dan selatan pengerukan. Tekstur sedimen, benthos dan plankton juga diteliti untuk

menunjang data kualitas air.

BAHAN DAN METODE

Bahan penelitian berupa contoh air (fisik, kimiawi, dan mikrobiologik), substrat,

benthos, dan plankton. Cara kerjanya mengacu pada SNI untuk pengujian kualitas air dan

limbah (BSN, 2004) yang merujuk pada Standard methods for the examination of water

and waste water (APHA, AWWA, and WEF, 1998).

Metode penelitian dilakukan secara survai di daerah utara (stasiun 1 berada dekat

Bouy 34 sebagai kontrol dengan jarak 1 km dari batas terluar daerah pengerukan), tengah

(stasiun 2 berada antara Bouy 30 dan 34 yaitu tengah lokasi pengerukan) dan selatan

(stasiun 3 berada dekat Bouy 30 sebagai arah surut dengan jarak 1 km dari batas terluar

daerah pengerukan, Gambar 1) pada tanggal 24 Januari 2008, 22 Februari 2008, dan 23

Maret 2008 ketika bulan purnama penuh pada saat air pasang terendah (Hopper, 2004)

sebagai berikut:

1. Ulangan pertama dengan ketinggian 0,6 m dpl pada pukul 14:51 W.I.B.

2. Ulangan kedua dengan ketinggian 0,5 m dpl pada pukul 15:10 W.I.B.

3. Ulangan ketiga dengan ketinggian 0,4 m dpl pada pukul 15:13 W.I.B.

Pengambilan contoh air dilakukan sesuai dengan persyaratan paket parameter kualitas air

kelas II pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 (Presiden

Republik Indonesia, 2001).

Page 236: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

236

Data dianalisis secara deskriptif yaitu dibandingkan dengan dokumen UKL dan

UPL (PT Holcim Indonesia Tbk., 2007), serta baku mutu (Presiden Republik Indonesia,

2001) dan ditunjang oleh indeks similaritas Sorensen beserta dendogramnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menginformasikan bahwa kadar TDS, NH3, Mn dan Fe tetap

melebihi baku mutu yang dipersyaratkan baik pada daerah utara, tengah maupun selatan

(Tabel 1); meskipun kadarnya berkurang (perbandingan data pada Tabel 1 dan PT Holcim

Indonesia Tbk., 2007). TDS dalam air yang pasang surut berpotensi terhambat oleh jaring

apong dan mengendap ke dasar kali.

Kadar NH3 yang tinggi di Kali Donan relatif masih tergolong lebih rendah di

kawasan Segara Anakan. NH3 merupakan salah satu nitrogen anorganik terlarut yang perlu

mendapat perhatian bersama dengan nitrogen anorganik terlarut lain seperti NO3 dan NO2

(Yuwono et al., 2007). Pada tahun 2002, NO2 di daerah yang sama pernah melampaui

ambang batas yang diperbolehkan (Sastranegara, 2004), sehingga proses pembusukan

pohon bakau ditengarai sebagai salah satu penyebab kadar NO2 yang tinggi karena kawasan

Segara Anakan merupakan perairan payau berhutan bakau.

Peningkatan kadar H2S di perairan berada di tengah saja (Tabel 1) dan ini

mengindikasikan PT Holcim Indonesia Tbk. berpeluang membuang limbah SOx. Odum

(1971) menyatakan bahwa H2S di perairan dapat berasal dari H2S di tanah dan sedimen,

serta H2S di atmosfir. Holcim Group Support Ltd. (2004) melaporkan bahwa H2S di

atmosfir dihasilkan olehnya dan instalasi pembuangan SO2 basah hanya mampu memotong

emisi gas SO2 mencapai 70%. Pada saat ini, hasil sampingan dimanfaatkan untuk

pembuatan gipsum. Pemilik sebelumnya, PT Semen Cibinong Tbk. (2005b) telah

melaksanakan kegiatan pemantauan terhadap parameter ini dalam dokumen Analisis

Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Peningkatan kadar Pb berada di daerah tengah dan selatan (Tabel 1) dengan tekstur

sedimen berupa silty clay. Hal ini ditunjang oleh data indeks similaritas tertinggi pada

Page 237: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

237

kelompok ini (95,14%; Tabel 2), serta juga penelitian sebelumnya (99,15%; PT Holcim

Indonesia Tbk., 2007).

Menurut NOAA (2003), Pb merupakan salah satu logam berat yang perlu mendapat

perhatian bersama dengan logam berat lain seperti Hg, Cd, Zn dan Cu. Pada tahun 2002, Cd

di daerah yang sama pernah melampaui ambang batas yang diperbolehkan (Sastranegara,

2004) dan akumulasinya terdeteksi pada kerang totok Polymesoda erosa (Nurlaeli, 2007)

dan ikan (Hartoyo dan Mahdiana, 2007). Everaarts et al. (1989) juga mendapatkan

akumulasi Cd pada komunitas benthos secara umum. Menurut UNEP (2003), Cd dapat

berasal dari industri dan aktivitas pemupukan. Industri dan aktivitas pemupukan terjadi juga

di Kali Donan.

Pengelompokan indeks similaritas pada pasca pengerukan (Tabel 2) memiliki

kemiripan lebih dari 50% yang ditunjukkan oleh semua kelompok dengan urutan tertinggi

pada kelompok antara stasiun bagian tengah daerah pengerukan dan stasiun bagian selatan

daerah pengerukan; diikuti oleh kelompok antara stasiun bagian utara daerah pengerukan

dan stasiun bagian tengah daerah pengerukan; serta antara stasiun bagian utara daerah

pengerukan dan stasiun bagian selatan daerah pengerukan sebagaimana tampilan

dendogram (Gambar 2).

Pengelompokan indeks similaritas pada saat pengerukan (PT Holcim Indonesia

Tbk., 2007) memiliki kemiripan lebih dari 50% yang ditunjukkan oleh kelompok dengan

urutan tertinggi pada kelompok antara stasiun bagian tengah daerah pengerukan pada saat

post-operasi dan stasiun bagian selatan daerah pengerukan pada saat post-operasi; serta

diikuti oleh kelompok lain sampai yang terendah seperti kelompok antara stasiun bagian

tengah daerah pengerukan pada saat operasi dan stasiun bagian selatan daerah pengerukan

pada saat post-operasi sebagaimana tampilan dendogram (Gambar 3).

Dendogram pada gambar 2 dan 3 menunjukan bahwa stasiun bagian utara daerah

pengerukan (U) cenderung berbeda dari stasiun bagian tengah daerah pengerukan (P) dan

stasiun bagian selatan daerah pengerukan (S) baik pada pasca pengerukan maupun saat

pengerukan, kecuali pada daerah pengerukan pada saat operasi. Pada daerah pengerukan

Anindyajati M A
Highlight
Page 238: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

238

pada saat operasi, stasiun bagian pengerukan berbeda dari stasiun pada bagian utara dan

selatannya karena proses pengerukan, terutama menghasilkan TDS yang sangat tinggi

(Tabel 1 dan PT Holcim Indonesia Tbk., 2007). Stasiun bagian utara daerah pengerukan

cenderung berbeda dari ke dua stasiun lainnya karena TDS yang tinggi di stasiun bagian

tengah pengerukan terbawa ke stasiun bagian selatan pada saat air pasang terendah (Tabel

1). Secara umum, aktivitas manusia yang mengganggu dasar suatu perairan dapat

mengganggu komunitas benthos (Hatcher et al., 1989; Sastranegara, 2004; Gunarto, 2004;

Nordhaus, 2007).

Distribusi dan kelimpahan benthos berkaitan dengan karakteristik sedimen (Frusher

et al., 1994), sehingga spesies dominan akan mencirikan kondisi yang ada (Dittmann,

2002). Oleh karena itu, dominasi benthos Rhinoclavis asper di Kali Donan diduga karena

kesesuaian sedimen silty clay yang ada. Penelitian sebelumnya di daerah yang sama pada

Kali Donan menunjukkan sedimen yang sama (Djohan, 1982). Oleh karena itu, pengerukan

tidak merubah tekstur sedimen. Penelitian lain menunjukkan bahwa sedimen tepi dan dasar

kali adalah sama (Sastranegara, 2004), sehingga ombak pasang surut mempercepat

pendangkalan.

Plankton Lyngbya spirulinoides dijumpai dominan. Sastranegara dan Andriyani

(2006) juga mendapatkannya, meskipun bukan spesies dominan. Oleh karena itu,

perubahan komposisi dan kelimpahan plankton berjalan seiring dengan waktu. Spesies lain

yang didapatkan di Kali Donan dan berhubungan secara negatif dengan NH3 menurut

model asimtotik adalah Chaetoceros densum, Thallasiothrix nitzchioides, dan Nitzschia

vermicularis (Sastranegara et al., 1996).

Kadar Pb, sedimen silty clay, serta dominasi benthos Rhinoclavis asper dan

plankton Lyngbya spirulinoides mempunyai kecenderungan yang sama pada kelompok

antara daerah tengah dan selatan. Hal ini ditunjang oleh data indeks similaritas tertinggi

pada kelompok ini (95,14%), serta juga penelitian sebelumnya (99,15%).

Page 239: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

239

KESIMPULAN

Kesimpulan menunjukkan bahwa pengerukan tidak merubah TDS yang tetap tinggi

di Kali Donan karena TDS yang terbawa oleh pasang surut berpotensi terhambat oleh

keberadaan jaring apong. Selain itu, kadar Pb, sedimen silty clay, serta dominasi benthos

Rhinoclavis asper dan plankton Lyngbya spirulinoides mempunyai kecenderungan yang

sama pada kelompok antara daerah tengah dan selatan pengerukan.

DAFTAR PUSTAKA

APHA, AWWA, and WEF, 1998. Standard methods for the examination of water and

wastewater. American Public Health Association, American Water Works

Association, and Water Environment Federation, Washington.

BSN, 2004. SNI 06-6989.1-2004: Pengujian kualitas air sumber dan limbah cair. Badan

Standar Nasional, Jakarta.

Bupati Cilacap, 2002. Keputusan Bupati Cilacap Nomor 615/136/17/Tahun 2002 tentang

pembentukan tim penertiban alur pelayaran dan pembinaan kepada masyarakat

nelayan di Kabupaten Cilacap. Pemerintah Kabupaten Cilacap, Cilacap.

Everaarts, J.M., Boon, J.P., Kastoro, W., Fischer, C.V., Razak, H., Sumanta, I., 1989.

Copper, zinc and cadmium in benthic organisms from the Java Sea and estuarine

and coastal areas around East Java. Netherlands Journal of Sea Research 23, 415-

426.

Dittmann, S., 2002. Benthic fauna in tropical tidal flats – a comparative perspective.

Wetlands Ecology and Management 10, 189-195.

Djohan, T.S., 1982. Species diversity of mangrove forest floor fauna in Segara Anakan and

the Donan River. In: E.C.F. Bird, A. Soegiarto, K.A. Soegiarto (eds), workshop on

coastal resources management in the Cilacap region. The Indonesian Institute of

Sciences and the United Nations University, Jakarta.

Frusher, S.T., Giddins, R.L., Smith III, T.J., 1994. Distribution and abundance of grapsid

crabs (Grapsidae) in a mangrove estuary: effects of sediment characteristics, salinity

tolerances, and osmoregulatory ability. Estuaries 17(3), 647-654.

Gubernur Jawa Tengah, 2001. Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 8 Tahun

2001 tentang baku mutu udara ambien di Provinsi Jawa Tengah. Pemerintah

Provinsi Jawa Tengah, Semarang.

Gunarto, 2004. Konservasi mangrove sebagai pendukung sumber hayati perikanan pantai.

Jurnal Litbang Pertanian 23(1), 15-21.

Page 240: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

240

Hartoyo, Mahdiana, A., 2007. Analisis resiko kontaminasi cadmium pada ikan terhadap

masyarakat pesisir Sungai Donan Kabupaten Cilacap. Jurnal Sains Akuatik 10(2),

96-104.

Hatcher, B.G., Johannes, R.E., Robertson, A.I., 1989. Review of research relevant to the

conservation of shallow tropical marine ecosystems. Oceanogr. Mar. Biol. Annu.

Rev. 27, 337-414.

Holcim Group Support Ltd., 2004. Holcim as a group to the top of the industry: Holcim

news report – technical meeting 2004. Holcim Group Support Ltd., Holderbank.

Hopper, M., 2004. WXTide32 version 4.0. Free Software Foundation Inc., Cambridge.

NOAA, 2003. Mangrove ecology. National Oceanic and Admospheric Administration.

http://response.restoration.noaa.gov/oilaids/mangroves/pdfs/chapter1.pdf

Nordhaus, I., 2007. The benthic community in the Segara Anakan lagoon, Java, Indonesia.

In: E. Yuwono, T. Jennerjahn, M.H. Sastranegara, and P. Sukardi (eds), synopsis of

ecological and socio-economic aspects of tropical coastal ecosystem with special

reference to Segara Anakan. Research Institute, Jenderal Soedirman University,

Purwokerto.

Nurlaeli, A., 2007. Kandungan logam berat cadmium (Cd) pada kerang totok (Polymesoda

erosa) di Segara Anakan Cilacap. Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman,

Purwokerto.

Odum, P.E., 1971. Fundamentals of ecology. Third edition. W.B. Saunders Co.,

Philadelphia.

Presiden Republik Indonesia, 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82

Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

Sekretariat Negara, Jakarta.

PT Semen Cibinong Tbk., 2005a. Program advokasi dan pendampingan masyarakat

nelayan jaring apong di Kelurahan Kutawaru dan Karangtalun, Kabupaten Cilacap.

PT Semen Cibinong Tbk., Cilacap.

________________________, 2005b. Pemantauan lingkungan biotis dan kualitas air. PT

Semen Cibinong Tbk., Cilacap.

________________________, 2007. Maintenance dredging alur transportasi batu kapur di

perairan Kali Donan Cilacap. PT Holcim Indonesia Tbk., Cilacap.

Rosyadi, S., 2006. Tata kelola sumberdaya perairan Kali Donan Cilacap. Laporan

Penelitian Tripartit. Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Sastranegara, M.H., 2004. The impact of forest use on the intertidal crab community in

managed mangroves of Cilacap, Central Java, Indonesia. Cuvillier, Göttingen.

Page 241: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

241

Sastranegara, M.H., Andriyani, N., 2006. Keragaman dan kelimpahan plankton di Segara

Anakan Cilacap. Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Sastranegara, M.H., Eidman, M., Suratmo, G., Widjaja, F., 1996. Hubungan antara

ketersediaan unsur hara dengan keragaman dan kelimpahan fitoplankton di Segara

Anakan Cilacap. Majalah Ilmiah UNSOED 4(12), 10-21.

UNEP, 2003. Inventory of chemical information sources. United Nations Environment

Program.

http://dbserver.irptc.unep.cl:8887/metadb/owa/mt.BrowseInventory?iinvid=5123

White, A.T., Martosubroto, P., Sadorra, M.S.M., 1989. The coastal environmental profile of

Segara Anakan - Cilacap, South Java, Indonesia. ICLARM Techn. Rep. 25, Manila,

Philippines, 82 pp.

Yuwono, E., Jennerjahn, T.C., Nordhaus, I., Ardli, E.R.., Sastranegara, M.H., Pribadi, R.,

2007. Ecological status of Segara Anakan, Java, Indonesia, a mangrove-fringed

lagoon affected by human activities. Asian Journal of Water, Environment &

Pollution 4, 61-70.

Sumber: PT Holcim Indonesia Tbk. (2007)

Gambar 1. Lokasi penelitian

Page 242: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

242

U

P

S

85 90 95 100

Persentase (%)

Keterangan:

U = Stasiun 1 pada bagian utara daerah pengerukan (Bouy 34)

P = Stasiun 2 pada bagian tengah daerah pengerukan (Bouy antara 30 da 34)

S = Stasiun 3 pada bagian selatan daerah pengerukan (Bouy 30)

Gambar 2. Dendogram Kali Donan pasca pengerukan

UCPCSCPBUBSBUAPASA

20 40 60 80 100

Persentase (%)

Keterangan:

U = Stasiun 1 pada bagian utara daerah pengerukan (Bouy 34)

P = Stasiun 2 pada bagian tengah daerah pengerukan (Bouy antara 30 da 34)

S = Stasiun 3 pada bagian selatan daerah pengerukan (Bouy 30)

A = Pra-operasi

B = Operasi

C = Post-operasi

Gambar 3. Dendogram Kali Donan saat pengerukan

Page 243: Anshorullah, 2008

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008

243

Tabel 1. Kualitas air Kali Donan pasca pengerukan

No Parameter Unit Hasil

Standar* Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

I. FISIK

1. Suhu °C 29 29 29 Deviasi 3

2. TDS mg/l 13.942 19.574 23.248 1.000

3. TSS mg/l 14 16 12 50

II. KIMIAWI ANORGANIK

4. pH 7,02 7,14 7,24 6 – 9

5. BOD5 mg/l 8,39 3,52 2,30 3

6. COD mg/l 54,59 22,74 19,71 25

7. DO mg/l 4,24 4,08 4,42 > 4

8. PO4 mg/l 0,081 0,033 0,024 0,2

9. NO3 mg/l 0,169 0,121 0,133 10

10. NH3 mg/l 0,236 0,216 0,111 nd

11. Mn mg/l 0,053 < 0,010 < 0,010 nd

12. Fe mg/l 0.106 < 0,010 < 0,221 nd

13. As mg/l - - - 1

14. Cd mg/l < 0,005 < 0,005 0,006 0,01

15. Cr mg/l 0,010 0,004 0,004 0,05

16. Cu mg/l 0,008 0,050 0,023 0,02

17. Pb mg/l < 0,030 2,535 8,466 0,03

18. Hg mg/l < 0,001 < 0,001 < 0,001 0,002

19. Zn mg/l < 0,010 0,010 0,022 0,05

20. CN mg/l < 0,002 < 0,002 < 0,002 0,02

21. NO2 mg/l < 0,001 < 0,001 < 0,009 0,06

22. Chlorin bebas mg/l < 0,002 < 0,002 < 0,002 0,03

23. H2S mg/l < 0,002 0,055 0,002 0,002

III. KIMIAWI ORGANIK

24. Minyak dan lemak µg/l < 50 < 50 < 50 1.000

25. Deterjen sebagai MBAS µg/l - - - 200

26. Fenol µg/l < 1 < 1 6 1

IV. MIKROBIOLOGIK

27. Fecal coliform Jml/100 ml 23 43 23 1.000

28. Total coliform Jml/100 ml 0 0 0 5.000

Tabel 2. Indeks similaritas Kali Donan pasca pengerukan

U P S

U 0 0 0

P 91,42 0 0

S 86,98 95,14 0

Keterangan:

U = Stasiun 1 pada bagian utara daerah pengerukan (Bouy 34)

P = Stasiun 2 pada bagian tengah daerah pengerukan (Bouy antara 30 dan 34)

S = Stasiun 3 pada bagian selatan daerah pengerukan (Bouy 30)