Anshorullah, 2008
-
Upload
anindyajati-mardika-apsari -
Category
Documents
-
view
613 -
download
18
description
Transcript of Anshorullah, 2008
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
1
DISTRIBUSI DIATOMAE PLANKTONIK PADA MUSIM YANG BERBEDA
DI PERAIRAN WADUK WADASLINTANG WONOSOBO
Aang Anshorullah *, Endang Widyastuti dan Asrul Sahri Siregar
ABSTRAK Diatomae planktonik berperan penting di perairan waduk sebagai pakan alami yang disukai
oleh ikan dan organisme perairan lainnya. Distribusi diatomae planktonik dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan perairan waduk. Musim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi lingkungan
perairan waduk. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kelimpahan dan distribusi diatomae
planktonik di perairan Waduk Wadaslintang Wonosobo. Metode penelitian yang digunakan adalah
metode survei dengan pengambilan sampel dilakukan sebanyak tiga kali dengan interval waktu satu
minggu masing-masing untuk musim penghujan dan kemarau di lima stasiun. Kelimpahan dan distribusi
diatomae planktonik antar stasiun pengambilan sampel dianalisis menggunakan analisis cluster dengan
program Bio-Diversity Profesional Version 2 dan analisis distribusi Poisson. Hasil menunjukkan bahwa
diatomae planktonik yang ditemukan sebanyak 28 spesies yang terdiri dari dua ordo yaitu ordo pennales
(26 spesies) dan ordo centrales (2 spesies). Kelimpahan individu diatomae planktonik didapatkan lebih
banyak pada musim penghujan (696 ind/l) dari pada musim kemarau (420 ind/l). Diatomae planktonik
yang ditemukan melimpah adalah Nitzschia vermicularis, Pinnularia nobilis, Synechocystis aquatilis,
Synedra acus dan Nitzschia actinotroides. Analisis cluster menunjukkan bahwa antara musim penghujan
dan kemarau memiliki kesamaan dengan nilai koefisien kesamaan 53%. Pola distribusi diatomae
planktonik secara umum adalah mengelompok baik pada musim penghujan (65%) maupun kemarau
(59%). Perbedaan musim memperlihatkan kondisi yang berbeda terhadap kelimpahan dan distribusi
organisme perairan, khususnya diatomae planktonik.
Kata Kunci : kelimpahan, distribusi, analisis cluster, diatomae planktonik, Waduk Wadaslintang
ABSTRACT Planktonic diatomae has necessary role in reservoir as natural food in the good graced with fish
and other aquatic organism. Distribution of planktonic diatomae influenced with water condition of
reservoir. Season was environmental factor that influenced aquatic condition of reservoir. Research
entitled “Distribution of Planktonic Diatomae in Wadaslintang Reservoir Wonosobo” aimed to determine
abundance and distribution of planktonic diatomae in Wadaslintang reservoir, Wonosobo. The Research
was carried out by using a survey method with random sampling. Sample collection was conducted with
three replication in a week period each for winter and summer. Sample collection was conducted at five
stasions, inlet, near floating net cage of farmer, near floating net cage of Aquafarm firm, middle and
outlet. Abundance and distribution of planktonic diatomae inter station was analysed with cluster
analysis applying for Biodiversity Profesional version 2 (Mc Aleece, 1997) and Poisson distribution. The
Result showed that species of planktonic diatomae were 28 species in each 26 species including in order
pennales and 2 species order centrales. Abundance of planktonic diatomae was 696 ind/l (in winter) and
420 ind/l (in summer). The great abundance of planktonic diatomae are Nitzschia vermicularis,
Pinnularia nobilis, Synechocystis aquatilis, Synedra acus and Nitzschia actinotroides. Cluster analysis
identified that community of planktonic diatomae in winter and summer were same with similarity
coefficient was 53%. Distribution pattern of planktonic diatomae in winter and summer were generally
aggregated 65% in winter and 59% in summer. Season dissimilarity showed different condition for
abundance and distribution of aquatic organism specially for planktonic diatomae.
Keywords : abundance, distribution, cluster analysis, Planktonic diatomae, Wadaslintang Reservoir
* Fakultas Biologi UNSOED E-mail : [email protected]
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
2
PENDAHULUAN
Tujuan pembangunan Waduk Wadaslintang adalah sebagai pembangkit tenaga
listrik, irigasi, perikanan dan objek wisata. Kegiatan perikanan meliputi perikanan
tangkap dan budidaya. Budidaya yang dikembangkan di Waduk Wadaslintang pada saat
ini adalah adanya budidaya ikan dalam keramba jaring apung (KJA) yang sebagian
besar dikelola oleh PT. Aquafarm dan sebagian lagi oleh petani setempat. Jenis ikan
yang dikembangkan sebagai komoditas budidaya adalah nila merah (Oreochromis
niloticus) (Dinas Perikanan Propinsi Jawa Tengah, 1994).
Daerah aliran sungai (DAS) Waduk Wadaslintang mempunyai topografi dan
bentuk wilayah berupa daerah datar dan perbukitan, sebagian besar wilayah berupa
dataran dengan lereng curam dan bergelombang, sebagian lain berupa area persawahan.
Tata guna lahan di sekitar DAS Waduk Wadaslintang dapat berpengaruh terhadap
kondisi fisika dan kimia waduk. Penggunaan lahan di DAS Waduk Wadaslintang
sebagian besar untuk lahan tegalan (7.529 ha), sebagian lagi berupa area hutan (5.307
ha), pekarangan (2.730 ha) dan persawahan (2.636 ha) (BRLKT, 2001). Dengan
demikian DAS Waduk Wadaslintang dimungkinkan membawa limbah baik berupa
bahan organik maupun anorganik dari DAS nya yang akan menjadi sumber nutrien bagi
perairan waduk. Selain mendapatkan nutrien dari luar, waduk juga mendapat tambahan
nutrien dari dalam waduk sendiri yaitu berupa sisa-sisa pakan ikan dari usaha budidaya
KJA. Penambahan bahan organik dan anorganik tersebut akan semakin memperkaya
nutrien di perairan waduk. Hal ini menyebabkan kondisi perairan waduk dari waktu ke
waktu mengalami perubahan sehingga akan berpengaruh terhadap kehidupan dan
distribusi organisme di dalamnya.
Diatomae memiliki fungsi ekologis penting dalam mendukung ekosistem
perairan waduk. Salah satunya sebagai pakan alami terbaik yang disukai ikan, udang,
moluska, bivalvia dan organisme perairan waduk lainnya. Diatomae memiliki pori-pori
dan bentuknya terdiri dari tutup dan wadah yang mudah membuka, di samping
dindingnya yang sangat kuat sehingga memudahkan ikan untuk mencerna isi sel
diatomae dengan bantuan enzim pencernaan (Payne, 1985). Selain itu keberadaan
diatomae yang sebagian besar tersebar di permukaan perairan akan memudahkan ikan
dalam mendapatkan pakan alaminya. Odum (1993), menyatakan bahwa diatomae
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
3
merupakan fitoplankton yang banyak ditemukan pada perairan danau bagian permukaan
(bersifat planktonik). Diatomae memiliki kemampuan untuk merespon adanya
perubahan kondisi fisika, kimia dan biologi suatu perairan secara langsung (Munda,
2005). Perubahan kondisi perairan tersebut akan mempengaruhi distribusi dan
kelimpahan diatomae. Musim merupakan salah satu faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi distribusi diatomae pada suatu perairan (Wu dan Chou, 1998). Musim di
daerah tropis berkaitan erat dengan curah hujan yang turun sepanjang tahun dan terbagi
menjadi dua yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Musim penghujan dimulai
jika intensitas curah hujan lebih dari 150 mm per bulan (BMG, 2007). Perbedaan
volume air masuk antara musim penghujan dan musim kemarau dengan demikian akan
berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas nutrien di dalam waduk. Wulandari (2006)
menyatakan bahwa curah hujan akan mempengaruhi volume air, transport sedimen dan
nutrien yang masuk ke waduk.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui besarnya kelimpahan diatomae
planktonik musim penghujan dan kemarau di perairan Waduk Wadaslintan dan untuk
mengetahui distribusi diatomae planktonik musim penghujan dan kemarau di perairan
Waduk Wadaslintang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
dalam upaya menentukan kualitas ekosistem perairan kaitannya dengan pemanfaatan
perairan bagi perikanan di perairan Waduk Wadaslintang.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan terhadap diatomae yang didapatkan di perairan Waduk
Wadaslintang Wonosobo. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
survei dengan menggunakan teknik pengambilan sampel secara acak terpilih.
Pengambilan sampel dilakukan pada lima stasiun dengan tiga kali ulangan masing-
masing pada musim penghujan dan kemarau. Dalam penelitian ini dilakukan
pengukuran terhadap beberapa parameter fisika kimia perairan yang meliputi
kedalaman, penetrasi cahaya, padatan tersuspensi {total suspended solid (TSS)}, suhu,
derajat keasaman (pH), alkalinitas, oksigen (O2) terlarut, karbondioksida (CO2) bebas,
BOD5, nitrat, ortofosfat dan silika. Pengambilan sampel diatomae dilakukan dengan
menggunakan plankton-net no 25 dan diawetkan dengan formalin 4 % dan lugol
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
4
(APHA, 1992). Diatomae yang ditemukan diidentifikasi dengan menggunakan buku
identifikasi Sachlan (1982), Davis (1955), Shirota (1966) dan Thompson (1959).
Penghitungan kelimpahan diatomae menggunakan metode Lackey Drop Microtransec
Counting (APHA,1965).
Data kelimpahan diatomae dianalisis dengan menggunakan metode cluster.
Analisis cluster yang digunakan merupakan paket program Bio-Diversity Profesional
Version 2 (Mc Aleece, 1997), pengelompokkannnya berdasarkan rumus koefisien
kesamaan Bray-Curtis dengan rumus sebagai berikut :
QS = 2WA � B
X 100 PV = Ĉ �F
Keterangan : QS = Koefisien kesamaan A = Jumlah PVdari spesies yang terdapat pada komunitas A. B = Jumlah PVdari spesies yang terdapat pada komunitas B. W = Jumlah PV terkecil antara di komunitas a dan b PV = prominance value Ĉ = Jumlah rataan individu satu spesies dari seluruh sampel di setiap komunitas F = Frekuensi terdapatnya setiap spesies dari seluruh sampel di setiap komunitas
Analisis distribusi Diatomae menggunakan analisis distribusi Poisson (Shoutwood,
1978), yaitu :
S2 = ∑ X
2− [�∑ X 2 /N�]N − 1
Keterangan : S2 = Variansi X = Jumlah individu N = Jumlah total individu
Jika S2 = µ maka populasi tersebar acak, S2 < µ maka populasi tersebar merata, S2 > µ maka populasi tersebar berkelompok.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kelimpahan merupakan suatu indikasi dari penyebaran individu suatu spesies
karena pengaruh faktor lingkungan (Mc Naughton and Wolf, 1990). Kelimpahan
diatomae planktonik yang didapatkan selama penelitian di perairan Waduk
Wadaslintang adalah 696 ind/l (musim penghujan) dan 420 ind/l (musim kemarau).
Kelimpahan diatomae planktonik ini dipengaruhi oleh faktor fisika dan kimia perairan
seperti cahaya, temperatur, nitrat, ortofosfat, alkalinitas dan silika. Kondisi perairan
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
5
Wadaslintang secara umum masih berada pada kisaran yang mendukung bagi kehidupan
diatomae planktonik. Hasil pengukuran sifat fisika dan kimia air antara lain suhu air
berkisar antara 26-29 0C. Hal ini sesuai dengan pendapat Werner (1977) yang
menyatakan bahwa suhu optimum untuk pertumbuhan diatomae berkisar antara 20-
300C. Kandungan nitrat perairan Waduk Wadaslintang berkisar antara 0,26-0,34 mg/l,
Kementerian lingkungan hidup (2002) menyatakan bahwa berdasarkan PP No. 82 tahun
2001 kadar nitrat maksimun untuk usaha pembudidayaan ikan air tawar adalah 20 mg/l.
Alkalinitas berkisar antara 45-142 mg/l, hal ini sesuai dengan pendapat Wardoyo (1978)
yang menyatakan bahwa kadar alkalinitas yang baik untuk perairan untuk budidaya
perikanan berkisar antara 50-200 mg/l. Silika berkisar antara 17,20 - 28,28 mg/l. APHA
(1992) menyatakan bahwa silika di perairan alami berkisar antara 1-30 mg/l.
Tabel 1. Kelimpahan Individu dan Kelimpahan Relatif (KR) Diatomae Planktonik Yang Didapatkan di
Perairan Waduk Wadaslintang Berdasarkan Musim dan Stasiun Pengambilan Sampel
Kelimpahan diatomae planktonik musim penghujan (696 ind/l) lebih tinggi
dibandingkan pada musim kemarau (420 ind/l). Melimpahnya diatomae planktonik pada
No Spesies Kelimpahan diatomae planktonik (Ind/liter)
Musim Penghujan Rata-rata
KR (%)
Musim Kemarau Rata-rata
KR (%) 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
1 Botrydiopsis arhiza 29 6 1,43 2 Cocconeis pediculus 15 39 19 15 2,16 3 Cymbella naviciliformes 49 29 29 21 5,00
4 Diatoma vulgare 10 2 0,29 5 Epithemia argus 48 10 2,38 6 Fragillaria capucina 10 10 4 0,95 7 F. construen 29 39 14 3,33 8 Melosira malayensis 19 29 10 2,38 9 Navicula gastrum 10 10 39 10 14 2,01 10 Neidium affine 58 39 19 23 5,47
11 Nitzschia actinotroides 29 39 17 17 2,44 68 10 16 3,81 12 N. curvula 243 49 7,04 13 N. filiformis 39 10 10 2,38 14 N. phillipinerum 10 2 0,29 58 68 29 29 37 8,81
15 N. purgena 10 2 0,29 16 N. seriata 10 39 19 14 2,01 17 N. vermicularis 398 78 976 5 388 369 53,02 136 126 175 87 87 122 29,05
18 Pinnularia contorta 49 39 18 4,28 19 P. nobilis 29 68 194 126 165 116 16,67 10 19 10 8 1,91 20 Rhizosolenia styliformis 19 19 8 1,91 21 Surirella elegans 10 10 29 19 14 3,33 22 S. robusta 29 19 10 1,44 23 S. tenera 10 2 0,29 24 Synechocystis aquatilis 5 10 29 29 15 2,16 58 184 48 39 29 72 17,14
25 Synedra acus 15 73 78 87 51 7,33 26 S. coningtonii 10 2 0,47 27 S. tabulata 49 10 12 1,72 10 68 49 25 5,95
28 S. ulna 29 6 0,86 ∑ individu 837 249 1348 335 698 696 100 418 611 446 329 282 420 100
∑ spesies 10 6 6 9 6 10 10 8 9 10
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
6
musim penghujan disebabkan oleh tingginya kandungan ortofosfat yaitu 0,015 mg/l
dibandingkan musim kemarau (0,010 mg/l), nilai tersebut sangat baik untuk mendukung
kehidupan diatomae planktonik. Ortofosfat adalah nutrien penting yang banyak
dibutuhkan untuk kehidupan diatomae planktonik. Effendi (1993) menyatakan bahwa
kadar ortofosfat pada perairan alami menurut UNESCO/WHO/UNEP 1992, berkisar
antara 0,005-0,02 mg/l. Selain itu kelimpahan diatomae planktonik menyebabkan
kandungan silika pada musim penghujan lebih rendah (17,20 mg/l) dibandingkan
musim kemarau (28,28 mg/l). Kandungan silika yang rendah pada musim penghujan
dikarenakan adanya pengenceran dari besarnya debit air yang masuk ke waduk dan
banyaknya pemanfaatan silika oleh diatomae planktonik untuk membentuk frustule
(dinding sel). Cetin (2004) menyatakan bahwa konsentrasi silika di perairan menurun
seiring pertumbuhan diatom, konsentrasi terendah silika terjadi ketika pertumbuhan
diatom maksimal. Dengan demikian kandungan silika di perairan waduk wadaslintang
berbanding terbalik dengan kelimpahan diatomae planktonik.
Diatomae planktonik yang ditemukan melimpah pada musim penghujan adalah
Nitzschia vermicularis yaitu 369 ind/l, diikuti Pinnularia nobilis 116 ind/l, Synedra
acus 51 ind/l dan Nitzschia curvula 49 ind/l. Pinnularia banyak ditemukan pada perairan
danau dengan daerah tangkapan air (catchment area) yang melalui area perhutanan
(Bigler, 2002). Daerah tangkapan Waduk Wadaslintang memiliki rona lingkungan
berupa area hutan yang cukup luas (5.307 ha) sehingga dimungkinkan untuk
ditemukannya Pinnularia. Sedangkan spesies yang ditemukan melimpah pada musim
kemarau yaitu Nitzschia vermicularis 122 ind/l, Synechocystis aquatilis 72 ind/l,
Nitzschia phillipinerum 37 ind/l, Synedra tabulata 25 ind/l, Neidium affine 23 ind/l dan
Cymbella naviciliformis 19 ind/l. Bigler (2002) menyatakan bahwa Cymbella dan
Fragillaria merupakan spesies yang menjadi karakteristik musim kemarau.
Nitzschia merupakan genera yang ditemukan dengan jumlah individu dan
jumlah spesies tertinggi pada seluruh stasiun baik musim penghujan dan kemarau. Hal
ini dikarenakan Nitzschia merupakan genera yang memiliki toleransi yang luas terhadap
perubahan kondisi lingkungan perairan terutama bahan organik yaitu nitrat dan fosfat.
Hynes (1960) menyatakan bahwa Nitzschia sangat resisten pada perairan yang kaya
akan bahan organik. Nitrat merupakan bahan organik yang banyak dibutuhkan diatomae
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
7
planktonik untuk sintesis protein. Kandungan nitrat di perairan Waduk Wadaslintang
mencapai kisaran 0,26 – 0,34 mg/l, kadar nitrat tersebut termasuk tinggi untuk perairan
waduk. Hal ini sejalan dengan pendapat Effendi (2003) yang menyatakan bahwa kadar
nitrat lebih dari 0,2 mg/l dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi perairan yang
selanjutnya memicu terjadinya blooming alga.
Berdasarkan Tabel 1 spesies yang hanya ditemukan pada musim penghujan
adalah sebanyak 10 jenis yaitu Cocconeis pediculus, Diatoma vulgare, Navicula
gastrum, Nitzschia curvula, N. purgena, N. seriata, Surirella robusta, S. tenera,
Synedra acus dan S. ulna. Sedangkan spesies yang hanya ditemukan pada musim
kemarau adalah sebanyak 12 jenis yaitu Botrydiopsis arhiza, Cymbella naviciliformes,
Epithemia argus, Fragillaria capucina, F. construen, Melosira malayensis, Neidium
affine, Nitzschia filiformis, Pinnularia contorta, , Rhizosolenia styliformis, Surirella
elegans dan Synedra coningtonii. Wetzel (1983) menyatakan bahwa fitoplankton
(termasuk diatomae) mempunyai kisaran toleransi yang luas pada perairan darat alami,
namun jenis tertentu sering didapatkan sangat khas mengikuti perubahan kondisi
kesuburan perairan tersebut.
Kelimpahan diatomae planktonik dikelompokkan menggunakan analisis cluster
untuk mengetahui tingkat kesamaan kelimpahan diatomae planktonik antar stasiun
pengambilan sampel pada musim penghujan dan kemarau di perairan Waduk
Wadaslintang seperti ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Dendogram Hasil Analisis Cluster Terhadap Kelimpahan Diatomae Planktonik Berdasarkan Stasiun Pengambilan Sampel Pada Musim Penghujan dan Kemarau.
Dendogram pada gambar 1 menunjukkan bahwa secara umum terbentuk dua
kelompok yaitu kelompok musim kemarau dan kelompok musim penghujan.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
8
Kelompok musim kemarau terdiri dari kelompok stasiun dengan koefisien kesamaan
yang berkisar antara 68,85% - 75,4% dan kelompok musim penghujan yang terdiri dari
kelompok stasiun dengan koefisien kesamaan yang berkisar antara 64,4% - 86,4%.
Koefisien kesamaan antara musim penghujan dan kemarau adalah 53 % (Lampiran 1).
Secara umum kelompok stasiun pada musim penghujan memiliki koefisien kesamaan
yang lebih tinggi dibandingkan kelompok stasiun musim kemarau. Kelompok stasiun
yang memiliki kesamaan tertinggi adalah stasiun I (inlet penghujan) dan stasiun II (KJA
petani penghujan) dengan koefisien kesamaan 86,4 % dan kelompok stasiun I (inlet
kemarau) dan stasiun II (KJA petani kemarau) dengan koefisien kesamaan 75,4 %.
Kesamaan yang tinggi pada kelompok stasiun inlet dan KJA petani pada musim
penghujan dan kemarau disebabkan oleh letak yang berdekatan antara kedua kelompok
stasiun tersebut sehingga kondisi fisika dan kimia air kedua kelompok stasiun tersebut
mendekati sama. Selain itu faktor lain yang menyebabkan kesamaan yang tinggi pada
kedua kelompok stasiun tersebut adalah adanya kesamaan kondisi fisika perairan
terutama penetrasi cahaya (kecerahan). Penetrasi cahaya pada kelompok stasiun inlet
dan KJA petani (penghujan) tersebut mencapai kisaran 172 - 184 m, nilai ini tertinggi
dibandingkan kelompok stasiun lainnya. Simon (1998) menyatakan bahwa kecerahan
merupakan faktor fisika paling penting yang mempengaruhi distribusi diatom di
perairan.
Distribusi plankton merupakan suatu kemerataan penyebaran komposisi individu
plankton dalam suatu komunitas di perairan (Odum, 1993). Diatomae planktonik yang
diperoleh dari 5 stasiun penelitian masing-masing pada musim kemarau dan penghujan
adalah sebanyak 28 spesies. Pola distribusi diatomae planktonik berdasarkan analisis
distribusi Poisson disajikan pada Tabel 2.
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa secara umum pola distribusi
diatomae planktonik yang didapatkan pada musim kemarau dan penghujan adalah
mengelompok. Pada musim penghujan pola distribusi mengelompok didapatkan
sebanyak 11 spesies (65 %) dan pola distribusi teratur sebanyak 6 spesies (35 %).
Sedangkan pada musim kemarau pola distribusi mengelompok didapatkan sebanyak
10 spesies (59 %) dan pola distribusi teratur sebanyak 7 spesies (41 %). Distribusi
mengelompok diatomae planktonik dapat terjadi jika ada persaingan makanan, cahaya
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
9
dan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi kehidupannya. Selain itu distribusi
mengelompok dapat terjadi karena adanya predasi dan juga sifat dari spesies itu sendiri
(Ronihartanto dan Juwana, 1998). Diatomae merupakan pakan alami yang banyak
disukai ikan sehingga penyebarannya dipengaruhi oleh keberadaan pemangsa terutama
ikan. Hal ini ditegaskan oleh Werner (1977) yang menyatakan bahwa diatomae
merupakan pakan alami terbaik yang disukai ikan, udang, moluska, bivalvia dan
organisme perairan lainnya.
Tabel 2. Hasil Analisis Distribusi Poisson Untuk Menggambarkan Pola Distribusi Diatomae Planktonik Berdasarkan Musim.
No Species Penghujan Kemarau
S2 µ PD S2 µ PD
1 Botrydiopsis arhiza - 1,65 4,46 T 2 Cocconeis pediculus 5,95 3,20 K - 3 Cymbella naviciliformes - 8,09 10,66 T 4 Diatoma vulgare 1,21 1,23 T - 5 Epithemia argus 7,89 1,97 K 6 Fragillaria capucina - 14,58 3,48 K 7 Fragillaria construen - 1,70 1,84 T 8 Melosira malayensis - 5,49 2,40 K 9 Navicula gastrum 3,88 3,31 K - 10 Neidium affine - 7,30 4,46 K 11 Nitzschia actinotroides 16,68 4,69 K 10,81 2,72 K 12 N. curvula 44,28 3,69 K - 13 N. filiformis - 6,01 2,32 K 14 N. phillipinerum 1,21 1,23 T 7,99 2,76 K 15 N. purgena 1,21 1,23 T - 16 N. seriata 6,01 2,32 K - 17 N. vermicularis 24,14 23,98 K 2,71 10,98 T 18 Pinnularia contorta - 10,60 3,08 K 19 P. nobilis 12,14 12,35 T 3,10 1,95 K 20 Rhizosolenia styliformis - 1,46 2,79 T 21 Surirella elegans 3,14 3,39 T - 22 S. robusta 5,49 2,40 K - 23 S. tenera 1,21 1,23 T - 24 Synechocystis aquatilis 4,16 3,42 K 11,39 7,82 K 25 Synedra acus 1350,68 21,87 K - 26 S. coningtonii - 1,21 1,23 T 27 S. tabulata 7,61 2,47 K 1,21 1,23 T 28 S. ulna 4,46 1,65 K -
Keterangan : S2 = Variansi µ = mean PD = Pola distribusi
K = Mengelompok T = Teratur
Nitzschia merupakan genera yang secara umum didapatkan dengan distribusi
mengelompok baik pada musim penghujan maupun kemarau. Hal ini sejalan dengan
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
10
pendapat Munda (2005) yang menyatakan bahwa Nitzschia merupakan kelompok
diatom yang terdistribusi mengelompok di perairan. Synedra memiliki pola distribusi
mengelompok pada kedua musim. Hal ini dikarenakan tingginya konsentrasi silika di
perairan Waduk Wadaslintang baik pada musim penghujan dan kemarau yaitu berkisar
antara 17,2 – 28,3 mg/l. Mohan (2005) menyatakan bahwa tingginya konsentrasi silika
pada permukaan perairan menyebabkan pertumbuhan melimpah pada genera Synedra,
Fragillaria dan Tabellaria.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan hasil dan pembahasan adalah
sebagai berikut :
1. Diatomae planktonik yang didapatkan di perairan Waduk Wadaslintang memiliki
kelimpahan rata-rata 696 ind/l (penghujan) dan 420 ind/l (kemarau). Kelimpahan
rata-rata musim penghujan lebih tinggi dibandingkan musim kemarau. Analisis
cluster menunjukkan bahwa kelompok stasiun musim penghujan memiliki kisaran
koefisien kesamaan lebih tinggi (64,4% - 86,4%) dibandingkan kelompok musim
kemarau (68,85% - 75,4%). Koefisien kesamaan antara musim penghujan dan
kemarau adalah 53%.
2. Pola distribusi diatomae planktonik yang didapatkan pada musim penghujan dan
kemarau secara umum adalah mengelompok. Pola distribusi mengelompok pada
musim penghujan didapatkan lebih banyak (65%) dibandingkan dengan musim
kemarau (59%).
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini merupakan bagian dari Penelitian Fundamental tahun 2007 dengan
judul “Model Perancangan Pemanfaatan Perairan Waduk Wadaslintang bagi Budidaya
Perikanan Berbasis Daya Dukung Lingkungan” oleh karena itu penulis mengucapkan
terima kasih kepada Dirjen DIKTI yang telah memberikan dana penelitian.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
11
DAFTAR PUSTAKA
Alaerts, G dan S.S. Santika. 1984. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional, Surabaya.
American Public Health Association (APHA). 1965. Standard Methods for the Examination of Water and Waste Water. Americana Public Health Association, American Water Works Association and Water Pollution Control Federation, New York.
American Public Health Association (APHA). 1992. Standard Methods for the Examination of Water and Waste Water. 18th edition. Americana Public Health Association, American Water Works Association and Water Pollution Control Federation, New York.
Badan Meteorologi dan Geofisika. 2007. Awal musim penghujan dan Kemarau. Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 1990. Petunjuk Teknis Pengelolaan Perairan Bagi Pengembangan Perikanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, BPPP. Jakarta.
Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. 2001. Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Sub DAS Mawar/ Medono DAS Serayu. BRLKT Opak Progo Serayu. Yogyakarta.
Bigler, C. and R.I. Hall. 2002. Diatoms as Indicators Of Climatic And Limnologycal Change in Swedish Lapland: A 100 lake Calibrations Set and Its Validition For Paleoecological Reconstruction. Journal Of Paleolimnology, 27: 97-115.
Cetin, A.K. 2004. Seasonal Distribution of Phytoplankton in Orduzu Dam Lake: Malatya. Turk J Bot, 28: 279-285.
Davis, C.C. 1955. The Marine and Fresh Water Plankton. Michigan State University Press, New York.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius, Yogyakarta.
Fabricius, M.D., N. Maidana dan S. Sabater. 2003. Distributions Pattern of Benthic diatoms in a Pampean River Exposed to Seasonal Floods, The Cuarto River. Biodiversity and Conservation, 12: 25-32.
Hynes, H.B.N. 1960. The Biology of Polluted Waters. Liverpool University Press, Liverpool.
Kementrian Lingkungan Hidup. 2002. Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pengendalian Dampak Lingkungan Era Otonomi Daerah, Kementrian Lingkungan Hidup.
Mc Aleece, N. 1997. Biodiversity Profesional Version 2. The Natural History Museum and Scottish Association For Marine Science.
Mc Naughton, S.J. and L.L. Wolf. 1990. Ekologi Umum Edisi Kedua. (Penerjemah S.P. Saputro dan B. Srigandono. 1990). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
12
Mohan, R., S. Shanvas, M. Thamban dan M. Shudakar. 2004. Spatial distribution of Diatoms in Surface Sediments from The Indian Sector of Southern Ocean. National Centre For Antartic and Ocean Research, 91 (11): 1495-1502.
Munda, I.M. 2005. Seasonal Fouling by Diatoms on Artificial Substrata at Different Depths Near Piran (Gulf of Trieste, Northern Adriatic). Center for Scientific
research of The Slovene Academy of Science and Art, 46 (2): 137-157.
Odum, E.P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. diterjemahkan oleh Tjahyono Samingan. UGM Press. Jogyakarta.
Payne, A.I. 1985. The Ecology of Tropical Lakes and Rivers. John Wiley and Sons, New York.
Ronihartanto, K. dan S. Juwana. 1998. Plankton Larva Hewan Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI, Jakarta.
Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Correspondence Course Centre. Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta.
Shoutwood, T.R.E. 1978. Ecologycal Methods. 2nd Edition. Chapman and Hall, London.
Shirota, A. 1966. The Plankton of South Vietnam. Technical Cooperation Agency, Tokyo.
Thompson, R.H. 1959. Algae. In Edmonson, W.T. (Ed) 1959. Freshwater Biology 2nd Edition. John Willey and Sons Inc, New York.
Wardoyo, S.T.H. 1978. Kriteria Kualitas Air Untuk Keperluan Pertanian dan Perikanan. Seminar Pengendalian Pencemaran Air, Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum, Bandung.
Werner, D. 1977. The Biology of Diatoms. Blackwell Scientific Publication Oxpord, London.
Wetzel, R.G. 1983. Limnology. Saunders College Publishing Winston, New York.
Wu, J.T and J.W. Chou. 1998. Dinoflagellate Associations in Fetsui Reservoir. Taiwan. Botanical Bulletin of Academica Sinica, 39: 137-145.
Wulandari, D.T. 2006. Pengelolaan Sumber Daya Alam Danau. Disertasi. Program Pascasarjana Biologi Universitas Indonesia, Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
13
LAMPIRAN
Lampiran 1. Pengelompokan Kelimpahan Diatomae Planktonik Antar Musim dan Antar
Stasiun Dengan Menggunakan Analisis Cluster Antar musim
Step Clusters Distance Similarity Joined 1 Joined 2
1 1 46,6146431 53,3853569 1 2
Similarity Matrix
Penghujan Kemarau
Penghujan * 53,3854
Kemarau * *
Antar stasiun
Step Clusters Distance Similarity Joined 1 Joined 2
1 9 13,587059 86,41294098 1 3 2 8 23,1408482 76,85915184 1 5 3 7 23,2959328 76,70406723 1 7 4 6 24,5499783 75,45002174 2 4 5 5 30,2304878 69,76951218 6 8 6 4 31,1470718 68,85292816 2 10 7 3 35,6018677 64,39813232 1 9 8 2 35,9091606 64,09083939 1 6 9 1 37,2195053 62,78049469 1 2
Similarity Matrix
Inlet hujan
Inlet kemarau
KJA petani (H)
KJA petani
(K) Aquafarm
(H) Aquafarm
(K) Tengah hujan
Tengah (K)
Outlet hujan
Outlet kemarau
Inlet hujan * 49,2601 86,4129 55,9379 76,8592 54,7671 70,7416 40,8826 62,1798 51,6181 Inlet kemarau * * 55,0199 75,45 46,4531 61,1575 52,3434 62,7805 50,9683 68,8529 KJA petani hujan * * * 55,2943 75,7153 64,0908 73,9353 48,289 57,7824 50,853 KJA petani (K) * * * * 43,0829 60,5281 52,0674 52,3568 54,1622 68,3538 KJA Aquafarm (H) * * * * * 51,3916 76,7041 39,3128 58,1461 49,1498 KJA Aquafarm (K) * * * * * * 58,1983 69,7695 48,1537 57,1773 Tengah hujan * * * * * * * 42,891 64,3981 55,4256 Tengah kemarau * * * * * * * * 35,2508 58,757 Outlet hujan * * * * * * * * * 51,2206 Outlet kemarau * * * * * * * * * *
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
14
ANALISIS KUALITAS PERAIRAN TAMBAK ALIH LAHAN
SEBAGAI HABITAT KEPITING BAKAU
BERDASARKAN INDEKS
KEANEKARAGAMAN PLANKTON DAN BENTHOS
G.Nugroho Susanto*
ABSTRAK
Kawasan garis pantai Lampung yang terdiri dari hutan mangrove dan lahan pertanian telah
banyak yang beralih fungsi menjadi tambak-tambak perikanan. Perubahan fungsi secara ekologis ini
berdampak pada menurunnya produktivitas perairan dan menyebabkan terjadinya degradasi habitat
pada kawasan tersebut. Perubahan kualitas dan kuantitas perairan dapat dilihat dari perubahan faktor
fisika (suhu, kecerahan), faktor kimia (salinitas, pH, DO, kandungan phosphat dan nitrogen), dan faktor
biologi (kandungan plankton dan benthos). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi kualitas
perairan tambak alih lahan sebagai kawasan habitat kepiting bakau berdasarkan pengukuran indeks
keanekaragaman plankton dan benthos, serta pengaruh kualitas air secara fisik dan kimia terhadap
keberadaan plankton dan benthos tersebut. Hasil penelitian pada analisis plankton menunjukkan indeks
kemelimpahan sebesar 27000-33000 individu/liter, indeks dominansi rendah 0,10-0,18 dan indeks
keanekaragaman tergolong sedang 2,22-2,58. Sedangkan pada analisis makrozoobenthos, indeks
kemelimpahan sebesar 560-1168 ind/m2 dan indeks keanekaragaman 1,48 pada lokasi tambak, 2,14 pada
lokasi aliran pasang surut dan 2,22 pada lokasi mangrove. Berdasarkan pengukuran indeks
keanekaragaman tersebut, secara keseluruhan perairan di kawasan sekitar tambak alih lahan masih
cukup baik dengan tingkat pencemaran yang tergolong masih ringan.
ABSTRACT
A large portion of the coastal area of Lampung which is consist of mangrove forest and
agricultural area has been converted into fishery ponds. This ecological conversion has caused some
decrease in the marine productivity, led to degradation of habitat in the region. The changes in quality
and quantity could be seen from the changes in physical factors, such as temperature and light
penetrability; chemical factors such as salinity, pH, DO, phosphate and nitrogen contents, as well as
biological factors such as composition of plankton and benthos. This research is aimed to study the
quality of water in conversion ponds as habitat for mangrove crabs. The quality is expressed in terms of
diversity index of plankton and benthos and the influence of water quality on the population of plankton
and benthos. The results obtained revealed that for plankton, the abundance index is in the dense of
27000-33000 individual/liter, dominance index of 0.1-0.18 and diversity index of 2.22-2.58 which is
known as moderate diversity. For macrozoobenthos, the abundance index is in the range of 560-1168
individu/m2, diversity index of 1.48 in the pond site, 2.48 in the tidal site and 2.22 in the mangrove site.
The overall results indicate that in general the quality of the conversion ponds could be considered as
satisfactory with low pollution level.
* Jurusan Biologi FMIPA UNILA E-mail : [email protected]
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
15
PENDAHULUAN
Wilayah pesisir Lampung merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya alam
yang merupakan tumpuan dalam pengembangan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan
masyarakat di masa mendatang (Pemerintah Daerah Provinsi Lampung, 2000). Sumber
daya alam wilayah pesisir dan lautan memiliki potensi untuk pengembangan perikanan
budidaya laut atau marikultur. Salah satu sumber daya alam di kawasan pesisir berupa
hutan bakau atau mangrove yang mempunyai potensi besar jika dikelola dengan baik.
Hilangnya ekosistem mangrove karena diubah menjadi tambak akan menyebabkan
hilangnya sumber energi bagi rantai makanan pada ekosistem pantai, yang akan
berdampak pada menurunnya produktivitas primer dan sekunder pada perairan pantai
tersebut, sehingga dapat merugikan bagi pemanfaat ekosistem mangrove tersebut.
Kerusakan habitat pesisir ini selain karena proses alami (erosi pantai), juga
disebabkan penebangan tanaman mangrove, alih fungsi lahan pantai dan pencemaran
lingkungan (limbah domestik dan industri). Akibatnya terjadi penurunan luas areal
hutan pantai, kualitas air, hasil tangkapan (kepiting, udang, kerang), penurunan
pendapatan pengguna hutan mangrove dan meluasnya erosi pantai (Aksornkoae, 1993 ;
FAO, 1994 ; Pemerintah Daerah Provinsi Lampung, 2000).
Propinsi Lampung merupakan daerah yang memiliki perairan yang langsung
berbatasan dengan laut lepas di sebelah Barat, Timur, Selatan dan Utara. Menurut
Susanto dan Murwani (2006) sumber daya alam di kawasan pantai di Lampung
merupakan potensi yang sangat besar jika dikelola dengan baik dan benar, serta
bermanfaat sebagai areal budidaya terutama untuk pertambakan, namun banyak
pemanfaatannya yang tak terkendali. Banyak kawasan yang beralih fungsi dari hutan
mangrove atau lahan pertanian menjadi lahan tambak. Peralihan fungsi lahan ini akan
berdampak pada menurunnya produktivitas perairan secara kualitas dan kuantitas,
sehingga menurunkan daya dukung lingkungan. Banyak tambak yang mengalami
degradasi secara ekologis dan menjadi tidak produktif, sehingga dibiarkan terbengkelai
begitu saja. Kondisi ini akan menurunkan hasil usaha perikanan dan kualitas perairan
secara ekologis. Penurunan kualitas air akan menurunkan daya guna, produktivitas,
kekayaan sumber daya alam, serta keseimbangan ekologis yang ada di sekitarnya.
Perubahan tersebut dapat dilihat dari berubahnya kualitas fisik, kimia dan biologi
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
16
perairan yang meliputi kandungan oksigen, pH, kemelimpahan, keanekaragaman,
dominansi organisme air dan sebagainya (Connell dan Miller, 1995).
Indikator biologi dapat digunakan untuk mengukur kualitas air karena perubahan
yang terjadi dalam suatu lingkungan akan menyebabkan komunitas yang ada di
dalamnya juga berubah (Sastrawijaya, 2000). Organisme perairan penting yang
berperan sebagai indikator biologi adalah plankton dan benthos. Keanekaragaman
plankton dan benthos dapat digunakan untuk mengetahui terjadinya perubahan kualitas
air pada suatu perairan yang diakibatkan oleh perubahan nilai kuantitatif plankton dan
benthos yang ada di dalamnya. Perubahan ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang
berasal dari alam maupun aktivitas manusia. Keanekaragaman plankton dan benthos
pada suatu perairan dapat ditunjukkan dengan banyaknya jenis organisme tersebut yang
terdapat dalam perairan. Keberadaaan plankton dan benthos dalam perairan sangat
menentukan kelangsungan hidup organisme lain yang ada dalam perairan, karena kedua
jenis organisme ini memegang peranan penting dalam ekosistem perairan (Anonim,
1997). Plankton adalah jasad renik yang melayang dan selalu mengikuti gerakan air.
Plankton merupakan organisme perairan yang dapat digunakan untuk mengetahui
kondisi ekologis perairan dan berperan sebagai pakan alami hewan laut yang tingkatan
tropiknya lebih tinggi seperti ikan dan biota lain (Effendi, 2000).
Sedangkan organisme yang berperan dalam mengubah bahan organik menjadi
bahan anorganik yang menjamin kesuburan perairan adalah bakteri, fungi, dan detritivor
besar seperti protozoa dan avertebrata yang dikenal sebagai makrozoobenthos
(Romimohtarto dan Juwana, 2001). Makrozoobenthos sangat peka terhadap perubahan
kualitas air, sehingga akan berpengaruh terhadap komposisi dan kemelimpahannya
(Odum, 1994). Dari uraian tersebut diatas maka perlu dilakukan penelitian yang
bertujuan untuk menganalisis kualitas perairan pada kawasan garis pantai Lampung,
khususnya sekitar tambak alih lahan yang merupakan habitat penting bagi kepiting
bakau, berdasarkan kandungan dan keanekaragaman plankton serta benthos yang ada di
dalamnya.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
17
BAHAN DAN METODE
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan September - November 2007 di perairan
kawasan tambak alih lahan di kecamatan Padang Cermin dan kecamatan Sragi,
kabupaten Lampung Selatan. Pengukuran parameter fisika (suhu dan kecerahan) dan
parameter kimia (pH, DO dan salinitas) dilakukan secara langsung di lokasi
pengambilan sampel, sedangkan pengamatan dan analisis plankton dan benthos
dilakukan di laboratorium Zoologi. Analisis sampel senyawa amonia (NH3) dan
phosphat (PO4) dilakukan di laboratorium Instrumentasi FMIPA Universitas Lampung.
Penentuan tempat dan lokasi penelitian dilakukan setelah survei lapangan pada
kawasan pesisir dimana ditemukan lokasi tambak alih lahan. Pengambilan sampel
dengan menggunakan metode sampling pada tiga titik sampling secara acak dengan tiga
kali ulangan pada setiap stasiun pengamatan. Pengambilan sampel dilakukan di tiga titik
pengamatan dengan pertimbangan terwakilinya zona lingkungan kawasan perairan
pesisir, khususnya di sekitar tambak alih lahan yaitu stasiun I (Tambak), stasiun II
(Mangrove) dan stasiun III (Aliran Pasang-Surut).
B. Pelaksanaan Penelitian
- Pengambilan sampel plankton
Pengambilan sampel plankton dilakukan dengan metode pemekatan dengan
menggunakan metode tuang/ saring. Sampel air diambil dengan ember volume ± 10 liter
kemudian disaring dengan planktonet no. 25. Setelah sampel dipadatkan, dimasukkan
ke dalam botol dan diberi larutan formalin 4 % sebanyak 4-5 tetes serta diberi label.
Sampel plankton diidentifikasi dan dihitung jumlah jenis spesiesnya dengan buku acuan
dari Davis (1955).
- Pengambilan sampel benthos
Pengambilan sampel makrozoobenthos dengan menggunakan metode sampling dengan
pembuatan plot ukuran 50x50 cm pada tiap stasiun secara acak. Sampel diambil dengan
menggunakan pengeruk. Sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik dan dilakukan
penyortiran dengan menggunakan saringan bertingkat. Sampel makrozoobenthos yang
diperoleh dimasukkan ke dalam botol dan diberi larutan formalin 4 % serta diberi label.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
18
Sampel makrozoobenthos didentifikasi dengan buku acuan dari Edmonson (1959) dan
Pennak (1978).
- Analisis Data
Hasil pengamatan dari plankton dan benthos, kemudian dilakukan analisis untuk
dihitung indeks keanekaragaman Shannon-Wiener, indeks kemelimpahan, indeks
dominansi (Welch, 1984; Odum, 1994). Untuk mengetahui hubungan antara parameter
fisika dan kimia terhadap keberadaan plankton dan benthos dilakukan analisis korelasi
Pearson menggunakan SPSS Base 14.0 for Windows.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Plankton Pada Perairan di Sekitar Tambak Alih Lahan
Pada hasil penelitian ini ditemukan 14 famili dengan 23 jenis plankton pada
seluruh stasiun pengamatan di perairan sekitar kawasan tambak alih fungsi lahan di
desa Bandar Agung, kecamatan Sragi, kabupaten Lampung Selatan. Pada stasiun I
(tambak) ditemukan 12 famili dengan 21 jenis plankton, stasiun II (mangrove)
ditemukan 14 famili dengan 23 jenis plankton dan pada stasiun III (aliran pasang-surut)
ditemukan 10 famili dengan 19 jenis plankton seperti tercantum pada Tabel 1.
Hasil pengamatan menunjukkan pada setiap stasiun pengamatan ditemukan jenis
dan perbandingan jumlah plankton yang relatif sama. Hal ini diduga karena di sekitar
kawasan tambak alih lahan merupakan daerah pasang-surut yaitu tempat pertemuan
antara air tawar dan air laut yang membawa zat hara, sehingga jenis plankton yang
ditemukan relatif sama. Dari hasil pengukuran indeks kemelimpahan, indeks dominansi
dan indeks keanekaragaman plankton pada tiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 2.
Indeks kemelimpahan tertinggi ditemukan pada stasiun II (mangrove) sebesar 33000
individu/Liter, disebabkan oleh tingginya unsur hara yang terdapat pada kawasan
mangrove tersebut. Nybakken (1992) menyatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kemelimpahan dan keanekaragaman plankton dalam perairan adalah
angin, arus, kandungan unsur hara, predator, cahaya, suhu, kecerahan, pH, oksigen
terlarut, kedalaman, migrasi harian dari plankton itu sendiri.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
19
B. Benthos Pada Perairan di Sekitar Tambak Alih Lahan
Hasil pengamatan makrozoobenthos di kawasan perairan tambak alih lahan di
desa Sidodadi, kecamatan Padang Cermin, kabupaten Lampung Selatan diperoleh 3
kelompok yaitu filum Mollusca yang terdiri dari 2 kelas : Gastropoda (12 spesies) dan
Pelecypoda (9 spesies), filum Arthropoda dengan 1 kelas Crustacea (1 spesies), dan
filum Annelida dengan 1 kelas Polychaeta (1 spesies) seperti tercantum pada Tabel 3.
Kemelimpahan makrozoobenthos tertinggi dijumpai pada kawasan tambak
termasuk kategori sangat melimpah (Stoyarow dikutip dalam Murwaningsih, 1999),
meskipun jumlah spesies lebih sedikit dibandingkan dengan kawasan mangrove dan
aliran pasang-surut. Spesies yang paling tinggi kemelimpahannya dari kelas
Gastropoda yaitu Pleurocera accuta dan Teribia granifera (Tabel 3). Kemelimpahan
terjadi karena pada kawasan tambak memiliki tekstur lempung dengan substrat lumpur,
ciri dari estuari dan rawa asin yang merupakan habitat yang baik bagi kelompok
Gastropoda (Ardi, 2002).
Sedangkan indeks keanekaragaman (H’) makrozoobenthos tertinggi pada
kawasan mangrove (2,22), dibandingkan dengan kawasan tambak (1,48) dan daerah
aliran pasang-surut (2,14). Tingginya keanekaragaman spesies ini karena pada daerah
mangrove merupakan daerah penghasil detritus yang berasal dari daun dan dahan
pohon sebagai makanan makrozoobenthos (Romimohtarto dan Juwana, 2001). Indeks
keanekaragaman yang tinggi menunjukkan banyaknya organisme yang hidup pada
perairan tersebut (Kembarawati, 2003)
C. Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Air Sekitar Tambak Alih Lahan
Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia air dapat diketahui keadaan
perairan di sekitar tambak alih lahan seperti terlihat pada Tabel 4. Perubahan suhu
berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi perairan (Effendi, 2003). Suhu
pada tiga stasiun pengamatan berkisar 29,5-30,5º C masih tergolong normal dalam
badan air dan kehidupan akuatik. Nilai pH pada stasiun pengamatan normal berkisar
6,98-7,45. Menurut Ardi (2002) nilai pH menunjukkan derajad keasaman atau kebasaan
suatu perairan. Toleransi organisme air terhadap pH bervariasi (Pescod, 1973) dan
perairan yang memiliki pH < 7 akan mengalami penurunan nilai keanekaragaman
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
20
makrozoobenthos (Effendi, 2003). Hasil pengukuran oksigen terlarut (DO) relatif
sedang berkisar 3,33-4,74. Menurut Hutagalung dan Rozak (1997) oksigen terlarut
merupakan zat yang diperlukan organisme aerob, karena dalam kadar yang rendah akan
mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitasnya. Bagi hewan benthik yang hidup di
dasar perairan, DO 1 ppm masih dapat ditolerir (Yusuf, 1994). Setiap spesies biota
akuatik mempunyai kisaran toleransi yang berbeda terhadap oksigen terlarut di perairan
(Odum, 1994). Spesies yang mempunyai kisaran toleransi yang luas terhadap kadar DO
penyebarannya luas, sedangkan yang toleransinya sempit hanya ditemukan pada tempat
tertentu (Ardi, 2002). Kisaran salinitas masih alami berkisar 20-31 ppt. Salinitas < 30
ppt akan mempengaruhi penyebaran makrozoobenthos, karena makrozoobenthos hanya
dapat mentolerir perubahan salinitas yang relatif kecil dan perlahan (Hutabarat dan
Evans, 1999).
D. Hasil Analisis Korelasi Pearson
Hubungan parameter fisika dan kimia terhadap keberadaan plankton di sekitar
tambak dianalisis menggunakan korelasi Pearson seperti terlihat pada Tabel 5. Tidak
semua parameter fisika dan kimia yang diukur memberikan korelasi secara signifikan
terhadap kemelimpahan, dominansi dan keanekaragaman plankton yang terdapat pada
perairan sekitar tambak alih lahan. Kemelimpahan plankton berkorelasi positif dengan
kecerahan, salinitas, DO dan kandungan phospat. Korelasi positif antara DO dan
kemelimpahan berkaitan dengan aktifitas fotosintesis fitoplankton yang menghasilkan
oksigen dan tingkat kecerahan. Menurut Setiyawati (2004) oksigen terlarut berasal dari
difusi udara dan hasil fotosintesis organisme berklorofil yang hidup di perairan.
Kecerahan dapat berkaitan dengan penembusan cahaya ke dalam perairan yang akan
mempengaruhi kehidupan plankton.
Hasil korelasi positif diperoleh dari hubungan dominansi dengan suhu dan
ammonia, yang berarti semakin tinggi suhu dan amonia di perairan akan meningkatkan
dominansi plankton, sedangkan untuk phospat dan dominansi menunjukkan korelasi
yang lemah atau tidak ada hubungan yang berarti. Sedangkan keanekaragaman plankton
berkorelasi secara negatif dengan suhu perairan. Hal ini tentunya berkaitan dengan
intensitas cahaya matahari. Menurut Nybakken (1992) suhu yang tinggi akan
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
21
menyebabkan respon negatif terhadap plankton, karena perubahan suhu akan
mempengaruhi proses biologi dan ekologi. Selain itu kecerahan dan pH juga berkorelasi
positif dengan keanekaragaman plankton (Tabel 5).
Sedangkan distribusi organisme dasar seperti makrozoobenthos dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu sifat fisika, sifat kimia dan biologi perairan (Odum, 1994).
Menurut Hawkes (1978) ada beberapa faktor fisika dan kimia yang mempengaruhi
komposisi dan distribusi makrozoobenthos di suatu perairan, antara lain suhu, pH,
oksigen terlarut, salinitas, bahan-bahan organik dan tipe substrat. Perubahan komposisi
makrozoobenthos pada suatu perairan akan mempengaruhi kemelimpahan dan
keanekaragamannya baik secara segera maupun perlahan-lahan (Asriyanto, 1988).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian pada beberapa perairan pantai Lampung, khususnya
di perairan sekitar tambak alih lahan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
- Indeks kemelimpahan, indeks dominansi dan indeks keanekaragaman plankton
masih termasuk kategori sedang.
- Indeks kemelimpahan dan indeks keanekaragaman makrozoobenthos dalam
kategori masih cukup tinggi.
- Perairan secara umum di kawasan sekitar tambak alih lahan masih cukup baik
dengan tingkat pencemaran tergolong ringan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada DP2M Dikti, Depdiknas atas
dukungan dana untuk peneliti melalui program Hibah Bersaing XIV Tahun 2006-2007.
DAFTAR PUSTAKA
Aksornkoae, S. 1993. Ecology and Management of Mangrove. The International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), Bangkok, Thailand.
Anonim, 1997. Kisaran kemelimpahan Plankton Predominan Perairan Kawasan Timur Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi. Jakarta
Ardi. 2002. Pemanfaatan Makrobenthos Sebagai Indikator Kualitas Perairan Pesisir. http/ www.yahoo.com/rudyct.tripoid.com/sem 2012/ Ardi.htm.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
22
Asriyanto. 1988. Hubungan dan Pengaruh Kondisi Oseanograf Terhadap Struktur Komunitas Hewan Makrobentos Diantara Pulau Panjang dan LPWP UNDIP Jepara. Lembaga Penelitian UNDIP. Semarang. 45 hal.
Connell, D. W. dan Miller, G. J. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Davis, C. C. 1955. The Marine and Freshwater Plankton. Michigan State University Press. Chicago. 560 hal.
Edmondson, W. T. 1959. Fresh Water Biology. John Wiley & Son. Inc. United States of America.
Effendi, H. 2000. Telaah Kualitas Air. Jurnal Manajemen Sumber Daya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius, Yogyakarta. 258 hal.
FAO. 1994. Mangrove Forest Management Guidelines. FAO Forestry Paper. Rome.
Hawkes, H. A. 1978. Invertebrates as Indicator of River Water Quality dalam A. James dan L. Evison (ed). Biological Indicator of Water Quality. John Willey 7 Sons. Toronto.
Hutabarat, S dan S. M. Evans. 1999. Pengantar Oseanografi. UI Press, Jakarta.
Hutagalung, H. P. dan A. Rozak. 1997. Penentuan Kadar Fosfat, Nitrat dan Kandungan Oksigen Terlarut. Dalam : H.P. Hutagalung, D. Setiapermana, dan S.H. Riyono (ed). Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota. Puslitbang Oseanologi, LIPI, Jakarta. 182 hal.
Kembarawati. 2003. Kondisi Awal Kualitas Perairan di Saluran Primer Induk (SPI) Eks-PLG 1 Juta Hektar dan Wilayah Dusun Muara Puning, Kalimantan Tengah. CCFPI Project Wetlands International, Indonesia Programme, 15 hal.
Murwaningsih, D. 1999. Studi Keanekaragaman Jenis Makrozoobenthos Sebagai Indikator Kualitas Perairan Sungai Way Awi di Kotamadya Bandar Lampung. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Odum, E. P. 1994. Dasar-dasar Ekologi. Edisi ketiga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 697 hal.
Pemerintah Daerah Propinsi Lampung. 2000. Rencana Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir. Kejasama PKSPL-IPB/ CRC. Univ. Rhode Island.
Pennak, W. R. 1978. Freshwater Invertebrates of The United States Ed. 2nd. John Wiley & Son. Inc. United States of America.
Pescod, M. B.1973. Investigation of Ratio Effluent and Stream of Tropical Countries. Bangkok. AIT.
Romimohtarto, K dan S. Juwana. 2001. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
23
Sastrawijaya, A. T. 2000. Pencemaran Lingkungan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. 274 hal.
Setiyawati. 2004. Keanekaragaman dan Kemelimpahan Plankton Berdasarkan Pada Penambahan Kedalaman Kolom Air Laut di Perairan Kepulauan Krakatau. Skripsi. Universitas Lampung, Bandar Lampung.
Susanto, G. N. dan Murwani, S. 2006. Analisis Secara Ekologis Tambak Alih Pada Kawasan Potensial Untuk Habitat Kepiting Bakau Scylla sp. Prosiding Seminar Nasional Limnologi 2006, Jakarta. Hal 284-292.
Welch, P. S. 1984. Lymnologycal Methods. Mc Graw – Hill Book Company, INC.
Yusuf, M. 1994. Dampak Pencemaran Pantai Terhadap Struktur Komunitas Makrozoobenthos dan Kualitas Perairan Laguna, Pulau Tirang Cawang, Semarang. Tesis. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. 166 hal.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
24
Tabel 1. Jenis Plankton yang Terdapat Pada Perairan di Sekitar Tambak Alih Lahan No Famili No Jenis Stasiun I
(Tambak)
Stasiun II
(Mangrove)
Stasiun III
(Pasang-Surut)
1. Nitzschiaceace 1 Nitzschia sp + + + 2. Coscinodiscaceae 2 Coscinodiscus sp + + + 3. Tabellariaceae 3 Gramatophora sp + + + 4. Thalasiosiraceae 4 Thalasiosira sp + + + 5. Ptychocylidae 5 Favella sp + - - 6. Naviculaceae 6 Pleurosigma sp + + + 7 Gyrosigma sp + + +
8 Navicula sp + + + 9 Amphora sp + + -
7. Ceratiaceae 10 Ceratium sp + + + 8. Rhizosoleniaceae 11 Rhizosolenia sp + + + 9. Codonellidae 12 Tintinnopsis sp + + + 10. Surirellaceae 13 Surirella sp - + + 11. Fragilariaceae 14 Thalassiothrix sp + + + 15 Synedra sp + + + 16 Fragilaria sp + + + 17 Amphileura sp + + - 12. Testaceae 18 Diflugia sp - + - 13. Skeletonemaceae 19 Skeletonema sp + + + 20 Dithylium sp + + + 21 Stephanopyxis sp + + + 14. Biddulphiaceae 22 Triceratium sp + + + 23 Biddulphia sp - + + Keterangan : Tanda (+/-) menunjukkan ada tidaknya plankton pada tiap stasiun
Tabel 2. Indeks kemelimpahan, dominansi dan keanekaragaman plankton pada tiap
stasiun pengamatan di sekitar tambak alih lahan Stasiun Pengamatan Indeks
Kemelimpahan
Indeks
Dominansi
Indeks
Keanekaragaman Stasiun I (Tambak) 27666 ind/ Liter 0,11 2,41 Stasiun II (Mangrove) 33000 ind/ Liter 0,10 2,58 Stasiun III (Pasang-Surut) 29444 ind/ Liter 0,18 2,22
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
25
Tabel 3. Jenis dan kemelimpahan makrobenthos pada perairan di sekitar tambak alih lahan
No Filum Kelas Famili Spesies Kemelimpahan makrozoobenthos/m
2
Stasiun I
Tambak
Stasiun II
Mangrove
Stasiun III
Pasang-Surut 1. Mollusca Gastropoda Pleuroceridae Pleurocera acuta 352 48 56 Gormobasis virgincs 0 8 16 Goniobasis livescens 0 32 0 Eurycaelon Anthonyi 80 24 0 Hidrobiidae Somatugyrus subglobosus 0 72 8 Flumicola culumbiana 0 8 8 Bulimidae Pomatiopsis lapidaria 8 16 0 Littoridina monroensis 0 0 16 Lepyriidae Lepyrium showalteri 16 0 16 Thiaridae Teribia granifera 560 352 216 Lymnaeidae Stagnicola polutris 8 88 40 Valvatidae Valvata tricarinata 8 8 8 Pelecypoda Unionidae Hemistena lata 0 16 48 Alasmidonta undulata 24 32 0 Ptychobrancus 0 8 0 Simpsoniconcha ambigua 0 0 8 Pleurobema mytiloides 0 0 24 Sphaeriidae Eupera singleyi 24 40 56 Pisidium dubium 16 16 16 Corbiculidae Corbicula manilensi 0 32 16 Mytilidae Mytilus viridis 0 8 0 2 Arthropoda Crustacea Penaidae Gonoplax 56 16 24 3 Annelida Polychaeta Glisera 16 8 0 Total 1168 848 560
Tabel 4. Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan di sekitar tambak alih lahan
No Parameter Fisika-kimia
Stasiun Pengamatan Batas Toleransi Habitat Ekologis Kepiting Bakau
Tambak Mangrove Pasang-Surut
1 Suhu (ºC) 30,5 29,5 30 26,5 – 29,5 2 pH 6,98 7,04 7,45 6,5 - 8,5 3 DO (ppm) 4,74 3,9 3,33 > 4,0 4 Salinitas (ppt) 20 29,5 31 15 - 32 5 Kecerahan (cm) 13,67 15,93 8,67 44 - 75 6 Amonia (mg/L) 2,385 2,107 2,392 - 7 Phosphat (mg/L) 0,139 0,314 0,256 -
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
26
Tabel 5. Hasil analisis korelasi Pearson antara parameter fisika dan kimia dengan keberadaan plankton di kawasan tambak alih lahan. Korelasi kuat ≥ 0,5 dan korelasi lemah ≤ 0,5 (*) korelasi signifikan pada taraf 5 %.
Parameter Fisika-Kimia Kemelimpahan (N)
Dominansi (C)
Keanekaragaman (H’)
Suhu Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N
-0,763 0,224
3
0.865 0,168
3
-0,989(*) 0,048
3 Kecerahan Pearson Correlation
Sig. (1-tailed) N
0.511 0,329
3
-0.981 0.062
3
0,983 0,058
3 Salinitas Pearson Correlation
Sig. (1-tailed) N
0,570 0,307
3
-0,965 0,084
3
0,994(*) 0,036
3 pH Pearson Correlation
Sig. (1-tailed) N
0,409 0,366
3
-0,997(*)
0,025 3
0,956 0,094
3 DO Pearson Correlation
Sig. (1-tailed) N
0,514 0,343
3
-0,988(*) 0,048
3
0,975 0,071
3 NH3 (amonia)
Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N
-0,945 0,106
3
0,626 0,285
3
-0,869 0,165
3 PO4 (phosphat)
Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N
0,913 0,133
3
0,077 0,475
3
0,295 0,405
3
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
27
PENYEBARAN ZOOPLANKTON DI BEBERAPA SITU JAWA BARAT
Fachmijany Sulawesty*, Reliana L.T. dan Sulastri
ABSTRAK
Studi mengenai penyebaran zooplankton di perairan Indonesia sangat jarang dilakukan, padahal
distribusi dan keanekaragaman zooplankton merupakan salah satu indikator kualitas biologi suatu
perairan Studi mengenai distribusi dan keanekaragaman zooplankton pada beberapa situ di Jawa Barat
ini diharapkan akan memberikan gambaran penyebaran zooplankton diberbagai perairan situ dengan
kondisi lingkungan berbeda. Metoda yang digunakan adalah metoda survey terhadap beberapa situ di
Jawa Barat yaitu Situ Patenggang, Situ Lembang, Situ Cileunca dan Situ Pangalengan di daerah
Bandung, Situ Cangkuang di Garut, Situ Gede di Tasikmalaya dan Situ Lengkong Panjalu di Ciamis.
Sampel zooplankton diambil menggunakan plankton net NXX 10 ukuran mata jaring 132 µ secara vertikal dengan
penarikan 2 meter. Parameter kualitas air yang diamati adalah oksigen terlarut, pH, suhu, konduktivitas
dan kekeruhan diukur insitu menggunakan water quality checker Horiba U10 ; kecerahan menggunakan
keeping Secchi dan kandungan klorofil-a. Copepoda dan cladocera merupakan kelompok yang selalu
ada disetiap situ yang diamati, rotifera juga ditemukan di hampir semua situ kecuali di Situ Patengang,
protozoa ditemukan di Situ Cangkuang dan Cileunca, sedangkan Arachnida hanya di temukan di Situ
Cangkuang. Hasil ini menunjukkan bahwa sebaran copepoda, cladocera dan rotifera cukup luas untuk
situ-situ di daerah Jawa Barat kearah timur. Berdasarkan matrik korelasi Pearson sebaran copepoda
dan cladocera dipengaruhi oleh kandungan klorofil-a di perairan tersebut.
Kata kunci : zooplankton, situ, penyebaran, jawa barat
ABSTRACT
Study about zooplankton distribution in Indonesia is very rare, although zooplankton
distribution and diversity is one of biological indicators on waters. Study on zooplankton distribution
and diversity at several situ in West Java expected give a picture about zooplankton distribution in
several situ with different condition. The method was survey methods at Situ Patenggang, Situ Lembang,
Situ Cileunca and Situ Pangalengan at Bandung ; Situ Cangkuang at Garut ; Situ Gede at Tasikmalaya
; and Situ Panjalu at Ciamis. Zooplankton samples were taken with plankton net NXX 10 (132 µ mesh size)
in a vertical way with 2 m haul. Water quality parameter that observation are dissolved oxygen, pH, temperature,
conductivity, and turbidity with water quality checker Horiba U10, brightness with secchi dish and
chlorophyll-a. Copepod and cladocera found at all of situ that we were study, rotifera was almost found at all situ
except at Situ Patenggang, protozoa found at Situ Cangkuang and Situ Cileunca, and arachnida only found at Situ
Cangkuang. The result indicate that the distribution of copepoda, cladocera and rotifera very wide for situ at
West Java. Base on Pearson correlation matrix, distribution of copepod and cladocera depend on
chlorophyll-a contain in waters.
Keywords : zooplankton, situ, distribution, West Java
* Pusat Penelitian Limnologi-LIPI E-mail : [email protected]
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
28
PENDAHULUAN
Studi mengenai penyebaran zooplankton di perairan Indonesia masih jarang
dilakukan, padahal distribusi dan keanekaragaman zooplankton merupakan salah satu
indikator kualitas biologi suatu perairan. Beberapa faktor yang mempengaruhi pola
kelimpahan zooplankton di daerah tropis antara lain ketersediaan makanan, tekanan
predasi dan kondisi hidrologi perairan tersebut, Aka et al (2000) menyebutkan bahwa
kekeruhan, pH dan suhu juga mempengaruhi komunitas zooplankton. Yantrinata et al
(2003) juga menunjukkan adanya jenis zooplankton tertentu yang dapat hidup pada
kondisi lingkungan tertentu juga, seperti Ilyocruptus sordidus ditemukan pada pH yang
rendah, Diurella dixonnutalli pada perairan dengan kecerahan dan klorofil-a rendah,
Eudactylota eudactylota pada perairan dengan kandungan oksigen terlarut rendah,
Colurella uncinata pada suhu dibawah 30°C dan Lecane signifera pada suhu dan
kandungan klorofil-a tinggi.
Situ merupakan ekosistem perairan tawar tergenang yang memiliki ukuran yang
relatif kecil. Kendati demikian situ mempunyai peran dalam sistem penyerapan air,
sebagai pengendali banjir, sarana rekreasi, budidaya perikanan, pengairan dan lain-lain.
Sebagai ekosistem perairan yang terbuka, situ akan menerima berbagai masukan atau
buangan dari lingkungan sekitarnya baik secara berkala maupun secara terus-menerus,
hal ini secara langsung akan mempengaruhi kualitas air perairan situ, baik kualitas
fisika, kimia maupun pengaruhnya terhadap biota perairan. Material yang masukan
kedalam situ akan mempengaruhi distribusi dan keanekaragaman jenis zooplankton
pada suatu perairan.
Situ Cileunca, Situ Patenggang, Situ Lengkong, Situ Gede, Situ Cangkuang, dan
Situ Panjalu, merupakan situ-situ yang terdapat di daerah Jawa Barat. Perbedaan status
limnologis situ-situ ini akan menyebabkan perbedaan komunitas biota yang ada di
dalamnya termasuk zooplankton. Untuk mengetahui penyebaran zooplankton di situ-
situ ini, maka dilakukan pengamatan yang bertujuan untuk mengetahui variabilitas
zooplankton hubungannya dengan beberapa faktor-faktor ekologi di perairan danau
kecil di Jawa Barat.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
29
BAHAN DAN METODE
Pengamatan dilakukan di enam situ yang terletak di Provinsi Jawa Barat yaitu di
daerah Bandung, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis (Gambar 1), pada 13 Mei sampai 30
Juni 2005 yang merupakan awal musim kemarau. Kondisi umum situ-situ yang
diamati dapat dilihat pada Tabel 1, ketinggian bervariasi antara 400 – 1000 m dpl, areal
situ tidak begitu luas sekitar 5,8 – 213,3 ha dengan kedalaman maksimum antara 3 - 13
m, dan penutupan tumbuhan air berkisar 0 – 60 %. Pemanfaatan Daerah Aliran Sungai
(DAS) Situ Lembang sebagian besar (sekitar 84 %) berupa hutan, Situ Cileunca dan
Situ Patengang sebagian besar DAS nya dimanfaatkan sebagai daerah perkebunan, Situ
Cangkuang sebagian besar DAS nya untuk ladang, sawah dan perkebunan ; Situ Gede
untuk sawah irigasi dan Situ Panjalu sebagian besar DAS nya untuk pemukiman,
perkebunan dan irigasi.
Sampel zooplankton diambil menggunakan Plankton net NXX 10 ukuran mata
jaring 132 µ secara vertikal dengan penarikan 2 meter. Pengambilan sampel pada
masing-masing situ dilakukan pada 3 stasiun pengamatan kecuali Situ Lembang empat
stasiun dan Situ Cangkuang satu stasiun. Kelimpahan zooplankton dihitung
berdasarkan APHA (1995), identifikasi berdasarkan Alberti et al (2005), Carling et al
(2004) dan Whipple & Ward (1963). Faktor ekologi yang diamati adalah oksigen
terlarut, pH, suhu, konduktivitas dan kekeruhan diukur insitu menggunakan water
quality checker Horiba U10 ; kecerahan menggunakan keeping Secchi dan kandungan
klorofil-a berdasarkan APHA (1995). Analisis data matriks korelasi Pearson
menggunakan program MS-Excell TM .
HASIL DAN PEMBAHASAN
Situ Patengang, Lembang dan Cileunca yang terletak di dataran tinggi
mempunyai suhu rata-rata berkisar antara 21,29 – 23,31°C, sedangkan Situ Cangkuang,
Gede dan Panjalu yang ketinggiannya lebih rendah mempunyai suhu rata-rata berkisar
26,16 – 28,92°C (Tabel 2). Oksigen terlarut dan pH tidak terlalu berbeda antara situ-
situ ini, Situ Cangkuang mempunyai nilai oksigen terlarut terendah (6,552 mg/L) dan
Situ Cileunca mempunyai nilai pH terendah, tetapi kisaran oksigen terlarut dan pH
masih menunjukan nilai yang normal untuk suatu perairan. Situ Lembang mempunyai
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
30
nilai kekeruhan terendah dan nilai kecerahan tertinggi dibanding situ-situ lainnya.
Klorofil-a paling rendah ditemukan di Situ Cangkuang dan tertinggi di Situ Gede.
Komposisi jenis dan sebaran zooplankton di situ-yang diamati disajikan pada
Tabel 3 dan Gambar 2. Ada 51 jenis zooplankton yang ditemukan di situ-situ yang
diamati, copepoda 19 jenis, cladocera 16 jenis, rotifera 11 jenis, protozoa 4 jenis dan
arachnida 1 jenis, tetapi jumlah jenis pada masing-masing situ berkisar antara 6 sampai
28 jenis. Situ Cileunca merupakan situ yang jumlah jenis zooplanktonnya tertinggi,
sedangkan Situ Gede jumlah jenisnya terendah. Copepoda dan cladocera merupakan
kelompok yang selalu ada disetiap situ yang diamati, rotifera juga ditemukan di hampir
semua situ kecuali di Situ Patengang, protozoa ditemukan di Situ Cangkuang dan
Cileunca, sedangkan arachnida hanya di temukan di Situ Cangkuang. Hasil ini
menunjukkan bahwa sebaran copepoda, cladocera dan rotifera cukup luas untuk situ-
situ di daerah Jawa Barat kearah timur. Jumlah jenis copepoda selalu lebih tinggi dari
kelompok yang lain, walaupun di Situ Cangkuang kelimpahan cladocera lebih tinggi
dibanding copepoda.
Zooplankton yang ditemukan di Situ Patengang dari kelompok copepoda (7
jenis) dan cladocera (1). Kelimpahan setiap jenis copepoda hampir sama tidak ada
yang dominan, yang paling tinggi adalah Microcyclops varican (copepoda) 23,8 %.
Kelimpahan Diaphanosoma birgei (cladocera) sangat sedikit dibanding copepoda. Situ
Lembang kelimpahan copepoda lebih tinggi dibanding cladocera dan rotifera, tetapi
kelimpahan jenis copepoda tidak ada yang dominan. Kelimpahan Halicyclops spp
(copepoda) 20,8 % dari zooplankton yang ada, Ectocyclops sp (copepoda) 20,6 % dan
naupli copepoda 17 %. Situ Cileunca kelimpahan copepoda dan cladocera hampir
sama, tidak ada jenis yang dominan. Tetapi jumlah jenis zooplankton yang ditemui
tinggi dibanding situ-situ yang lain, ada sekitar 28 jenis zooplankton yang ditemukan.
Situ Cangkuang ditemukan copepoda, cladocera, rotifera dan protozoa, jenis yang
paling tinggi kelimpahannya adalah Diaphanosoma brachyur (cladocera), yaitu 42,1 %
dari zooplankton yang ada. Nauplius copepoda merupakan zooplankton yang paling
tinggi ditemukan di Situ Gede, yaitu 26 %, disusul oleh Nothalca squamala (rotifera) 24
% dan Cyclops sp (copepoda) 21,5 %. Total kelimpahan zooplankton tertinggi adalah
di Situ Panjalu dibanding situ-situ lainnya, dengan jenis yang paling tinggi
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
31
kelimpahannya Nothalca squamala (rotifera) 19 % dan Eucyclops spp (copepoda) 14 %.
Jika dilihat dari hasil yang didapatkan tidak ada satu jenis zooplankton yang
mendominasi situ-situ ini. Diaphanosoma birgei ditemukan di lima situ, Microcyclops
varican di empat situ, sedangkan yang lainnya ditemukan di satu, dua dan tiga situ.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kelimpahan dan komposisi jenis zooplankton di
suatu perairan adalah kebiasaan makan, ketersediaan makanan dan tekanan predasi.
Rotifera yang memiliki ukuran lebih kecil sebagian besar memakan partikel seston yang
memiliki ukuran diameter 12 µm sampai 50 µm, contohnya Brachionus calyciflorus
memakan berbagai tipe makanan dari bakteri, yeast dan alga. Cladocera memakan
partikel lebih besar seperti protozoa, rotifera, krustasea kecil dan alga misalnya untuk
jenis-jenis Polyphemus, Leptodora dan Daphnia. Beberapa jenis copepoda adalah
karnifora seperti Macrocyclop, Eucyclop, Mesocyclop dan Acantocyclop yang jenis
makanannya mikrokrustasean, larva diptera dan oligochaeta. Beberapa jenis copepoda
merupakan herbovorus yang memakan uniseluler dan filamentous diatom (Wetzel,
2001).
Jumlah jenis atau kekayaan taksa zooplankton dan kelimpahan yang rendah
dijumpai di Situ Patenggang, Situ Lembang dan Situ Gede dan didominasi oleh
copepoda (Tabel 3). Dilihat dari kandungan klorofil-a nya yang relatif lebih rendah
dibanding situ lainnya, perairan ini memang didominasi oleh kelompok Cyanophyta
berdasarkan pengamatan Sulastri, dkk (2005), yang menyebutkan bahwa komposisi
fitoplankton di ketiga situ ini didominasi oleh kelompok alga biru hijau atau
Cyanophyta, yang umumnya tidak dimanfaatkan zooplankton kerena ukurannya yang
lebih besar (Seller & Markland, 1987). Selain itu dilihat dari jenis copepoda yang ada di
ketiga situ ini lebih banyak jenis karnifora seperti Ectocyclops spp, Macrocyclops
albidus dan Microcyclops varican (Situ Patenggang) ; Cyclops spp (Situ Gede) ;
Cyclops spp, Cyclops scutiffer, Diacyclops spp, Ectocyclops spp, Halycyclops spp
dan Microcyclops varican (Situ Lembang) yang tidak memanfaatkan fitoplankton
sebagai sumber makanannya.
Jumlah jenis zooplankton yang paling tinggi dijumpai di Situ Cileunca, hampir
semua kelompok zooplankton ditemukan disini, yaitu copepoda, cladocera, rotifera dan
protozoa dengan kelimpahan yang hampir sama artinya tidak ada jenis yang
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
32
mendominasi. Kelimpahan tertinggi dijumpai di Situ Panjalu. Dilihat dari kandungan
klorofil-a, Situ Panjalu mempunyai kandungan yang paling tinggi diikuti oleh Situ
Cileunca.
Pada pengamatan ini ada delapan variabel yang dipergunakan untuk
menentukan karakteristik habitat zooplankton, yaitu tujuh variabel abiotik (kedalaman,
suhu, oksigen terlarut, pH, konduktifitas, kekeruhan dan kedalaman Secchi), dan
klorofil-a yang menggambarkan sumber makanan zooplankton, menurut Wetzel
(2001), sumber pakan utama zooplankton, terutama untuk kelompok copepoda dan
cladocera, adalah fitoplankton seperti Scenedesmus, Pandorina, Chlamidomonas,
Chlorella, Pediastrum, Nitzschia, dan lain-lain, sedangkan jenis-jenis dari kelompok
rotifera umumnya merupakan pemakan partikulat atau bersifat shredders. Sehingga
kandungan klorofil-a dapat diasumsikan sebagai sumber pakan bagi zooplankton.
Berdasarkan nilai matriks korelasi Pearson (r) antara lokasi, divisi (copepoda,
cladocera, rotifera, protozoa dan arachnida), kedalaman, suhu, oksigen terlarut, pH,
konduktifitas, kedalaman Secchi, dan klorofil-a menunjukkan adanya korelasi yang
signifikan (P < 0,05) antara copepoda dengan kandungan klorofil-a dan rotifera ; antara
cladocera dengan arachnida dan protozoa ; arachnida dengan protozoa dan kecerahan ;
dan protozoa dengan kecerahan (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan
copepoda di perairan situ-situ ini dipengaruhi oleh keberadaan klorofil-a. Nilai korelasi
ini juga memperlihatkan bahwa keberadaan cladocera terkait dengan keberadaan
arachnida dan protozoa serta arachnida dengan protozoa. Ini berarti bahwa ketersediaan
sumber makanan dan kompetisi antara masing-masing kelompok mempengaruhi
keberadaan zooplankton di perairan situ di daerah Jawa Barat. Selain itu kecerahan
berpengaruh negatif terhadap keberadaan arachnida dan protozoa, artinya jika nilai
kecerahan semakin tinggi maka keberadaan arachnida dan protozoa cenderung semakin
menurun.
KESIMPULAN
Ada 51 jenis zooplankton yang ditemukan di situ-situ yang diamati, copepoda 19
jenis, cladocera 16 jenis, rotifera 11 jenis, protozoa 4 jenis dan arachnida 1 jenis ;
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
33
jumlah jenis pada masing-masing situ berkisar antara 6 sampai 28 jenis, tetapi tidak ada
jenis yang mendominasi.
Sebaran copepoda, cladocera dan rotifera cukup luas untuk situ-situ di daerah
Jawa Barat. Berdasarkan nilai matriks korelasi Pearson, sumber makanan dan
kompetisi antara masing-masing kelompok mempengaruhi keberadaan zooplankton di
perairan situ di daerah Jawa Barat, sedangkan kecerahan berpengaruh negatif terhadap
keberadaan arachnida dan protozoa.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada tim peneliti Karakteristik Limnologis
Situ-Situ di Jawa dalam pengambilan sampel, sehingga tulisan ini dapat dibuat.
DAFTAR PUSTAKA
Aka, Maryse., Marc Pagano, Lucien Saint-Jean, Robert Arfi, Marc Bouvy, Philippe Checchi, Daniel Corbin & Serge Thomas. 2000. Zooplankton variability in 49 shallow tropical reservoirs of Ivory Coast (West Africa). Internat. Ret.
Hydrobiol. 85 : 491 – 504.
Aliberti, A. Maria., Darren J. Bauer, Shane R. Bradt, Brady Carlson, Sonya C. Carlson, W. Travis Godkin, Sara Greene, Dr. James F. Haney, Amy Kaplan, Shawn Melillo, Juliette L. Smith (Nowak), Brian Ortman, Judith E. Quist, Shayle Reed, Tiffany Rowin, Dr. Richard S. Stemberger., 2005., An Image-Based Key To The Zooplankton Of The Northeast (USA). Version 2.0 http//:www.cbf.unh.edu/CBFkey/html
APHA. 1995. Standard Methods for the examination of water and waste water. 2nd ed. American Public Health Association. Washinton DC.
Carling, Karen J., Ater, Ian M., Pellam, R Megan, Mihuc, Timothy B., 2004., A Guide to the Zooplankton of Lake Champlain., Scientia Disipulorum., Vol:1., 2004
George, D.G., Winfield, I.J., 2000., Factors Influencing the spatial distribution of zooplankton and fish in Loch Ness, UK., Freshwater Biology 43 (2000), pp 557-570
Lin, Qiu-Qi., Duan, Shun-shan., Hu Ren, Han Bo-Ping., 2003., Zooplankton Distribution in Tropical Reservoirs, Sout China., International Reservoirs Hydrobiology 88:6, 2003 pp 602-613.
Seller and Markland, 1987, Dacaying Lake. The Origin and Control of Cultural Eutrophication. John Wiley & Son, New York, Toronto. 254 p
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
34
Sulastri, S. Sunanisari., E. Harsono., T. Tarigan., F. Sulawesty., T. Suryono., Y. Sudarso., R.L. Toruan., H. Shohihah., S. Nomosatryo., I. Ridwansyah dan Laelasari. 2005. Pengembangan Kriteria Limnologis Perairan Darat Di Indonesia. Sub Kegiatan Pengembangan Kriteria Limnologis Untuk Perairan Danau Dangkal. Laporan Teknis DIPA. Pusat Penelitian Limnologi-LIPI. Cibinong. Hal. : 1 – 36.
Wetzel., R.G., 2001., Limnology. Lake and River Ecosystems. 3rd ed. Academic Press. New York. 1006 pp.
Whipple, G.C., Ward, H.B., 1963., Freshwater Biology, Book 1- 2., 2nd edition, W.T Edmonson (ed.) , USA
Yantrinata., S. Gumiri., K. Bungas and T. Iwakuma. 2003. Zooplankton communities in various freshwater bodies surround Palangka Raya City, Central Kalimantan-Indonesia. In : Osaki, Mitsuru et al (eds.) : Proceedings of the International
Symposium on Land Management and Biodiversity in Southeast Asia. 423 – 426.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
35
Gambar 1. Peta lokasi situ-situ yang diamati
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
35000
S. P
aten
gang
S. L
emba
ng
S. C
ileunc
a
S. C
ang
kuang
S. G
ede
S. L
engk
ong
Pan
jalu
Lokasi
Indiv
idu/l
Copepoda
Cladocera
Rotifera
Protozoa
Gambar 2. Sebaran Zooplankton di situ-situ yang diamati
Tabel 1. Kondisi umum situ-situ yang diamati
Nama Situ Posisi Geografis Lokasi Elevasi
(m dpl)
Luas
(ha)
Kedalaman
Maksimum (m)
Tutupan
Tumbuhan Air (%)
Patenggang 07°9’45,0” LS
107°21’31,0” BT Bandung 1000 52,0 4,0 < 10
Lembang 06°44’27,4” LS
107º34’38,9” BT Bandung 1500 5,8 6,0
Cileunca 07º11’34,3” LS
107º32’57,0” BT Bandung 1000 213,3 13,0
Cangkuang 07°05’45,0” LS
107°55’15,0” BT Garut 400 8,3 2,0 60
Gede 07°20’08,0” LS
108°11’24,0” BT Tasikmalaya 400 55,8 5,0 Relatif bersih
Panjalu 07°01’58,0” LS
108°16’59,0” BT Ciamis 700 55,6 3,0 < 15
Tabel 2. Kondisi umum kualitas air situ-situ yang diamati
Nama Situ Kedalaman (m)
Suhu (°C)
Oksigen terlarut (mg/L)
pH Kekeruhan (NTU)
Konduktifitas (µS/cm)
Kecerahan (m)
Klorofil a (mg/m3)
Patengang 4 21,96 8,532 7,213 22,2 0,046 1,17 15,89 Lembang 6 21,29 7,625 7,309 5,4 0,018 1,40 8,84 Cileunca 13 23,31 8,684 6,143 31,3 0,059 0,76 29,40 Cangkuang 2 28,92 6,552 7.873 23,4 0,364 0,18 13,72 Gede 5 26,90 9,700 8,728 18,7 0,353 0,77 9,46 Panjalu 3 26,16 7,586 7,604 18,2 0,033 0,70 43,95
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
36
Tabel 3. Komposisi jenis dan sebaran zooplankton di situ-situ yang diamati
Jenis Zooplankton 1 2 3 4 5 6
Copepoda Cyclops spp
Cyclops scutiffer
Cyclops thomasi Diacyclops spp
Diaptomus sp
Diaptomus reighardi
Ectocyclops spp
Ectocyclpos phaleratus
Eucyclops spp
Halycyclops spp
Leptodiaptomus spp
Macrocyclops albidus Mesocyclops sp
Mesocyclops edax
Microcyclops rubellus Microcyclops varican Skistodiaptomus reighardi
Tropocyclops spp
Tropocyclops exfensus
Nauplius copepoda
Copepodid
+
+
+
+
+ +
+ +
+
+
+
+
+
+
+ +
+ +
+ + +
+ + +
+
+ + +
+
+
+
+ +
+ +
+ +
+ + +
+
+ +
Cladocera
Alona sp
Asplancha sp
Bosmina sp
Ceriodaphnia sp
Daphnia spp
Daphnia ambiqua
Daphnia magna
Daphnia mendoeta Daphnia pulex
Daphnia retrocurva
Diaphanosoma birgei Diaphanosoma brahcyurum
Moina sp
Sida sp Nauplius cladocera
Telur cladocera
+
+
+
+
+
+
+ + + +
+ + +
+
+ +
+ +
+
+ + +
+ +
+ + +
Arachnida Hydracarina sp
+
Rotifera
Anuraeopsis sp
Asplachna sp
Brachionus sp
Brachionus falcatus
Ceratium sp
Chonochiloides sp
Euchlanis triquetra
Filinia longiseta
Keratella sp
Keratella valga
Notholca sp
Notholca scuamala
Polyartha sp
+
+
+ +
+
+
+
+ + +
+
+
+
+
+
+
Protozoa Ceratium sp
Stentor sp
Trichodina sp Vorticella sp
+
+
+
Jumlah Jenis 7 11 28 17 6 21 Catatan : 1. S. Patengang ; 2. S. Lembang ; 3. S. Cileunca ; 4. S. Cangkuang ;5. S. Gede ; 6. S. Panjalu
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
37
Tabel 4. Koefisien korelasi (r) antara lokasi, divisi (copepoda, cladocera, rotifera,protozoa dan arachnida), kedalaman, suhu, oksigen terlarut, pH, konduktifitas dan kecerahan klorofil-a (n = 6).
Catatan : Tabel 4 hanya memperlihatkan nilai yang berbeda nyata (P<0,05), r tabel = 0,754
Lok Copepoda Cladocera Arachnida Rotifera Protozoa Ked pH Kond Turb DO Temp Kec Klor-a
Lokasi
Copepoda 1
Cladocera 0.710835 1
Arachnida 0.093849 0.755474 1
Rotifera 0.82093 0.390571 -0.1019 1
Protozoa 0.196831 0.785198 0.8581 -
0.25131 1
Kedalaman -0.02812 -0.21358 -0.4355 -
0.40041 0.06973
pH -0.12365 -0.02898 0.22737 0.32496 -0.18423
Kond -0.1128 0.345374 0.64642 -
0.05901 0.48844
Turb 0.305994 0.420511 0.2028 -
0.10968 0.53959
DO -0.3268 -0.68858 -0.6998 -
0.16312 -0.53972
Temp 0.463777 0.728281 0.67407 0.45172 0.5266
Kecerahan -0.54247 -0.88201 -0.7541 -
0.29982 -0.77085
Klorofil-a 0.90265 0.439375 -0.2302 0.72588 -0.05084
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
38
ANTISIPASI DEGRADASI HABITAT IKAN PELANGI SULAWESI
Marosatherina ladigesi MELALUI APLIKASI HABITAT EX-SITU
Djamhuriyah S.Said
*, Lukman, N. Mayasari, Supranoto,
Syahroma H.Nasution, dan Triyanto
ABSTRAK Ikan pelangi Sulawesi (Marosatherina ladigesi) atau juga dikenal dengan Celebes Rainbow
merupakan salah satu jenis ikan hias komoditas ekspor, dan kebutuhan terhadap ikan tersebut terus
meningkat dan kebutuhan tersebut selalu dipenuhi dari hasil tangkapan. Penangkapan yang berlebihan
dan degradasi habitat dapat mengakibatkan kepunahannya sehingga ikan tersebut telah tercatat dalam
IUCN (2003, 2007) dalam katagori terancam punah. Salah satu solusi untuk mengantisipasi masalah
tersebut yaitu melalui pengembangan dengan aplikasi habitat buatan (ex-situ).
Tulisan ini memuat hasil rangkaian penelitian yang dilakukan terhadap ikan M. ladigesi yang
endemis di perairan Maros-Sulawesi Selatan pada periode bulan April 2005—Aguatus 2007. Penelitian
meliputi pengkajian karakteristik ekologis dan biologis habitat ikan pada 10 sungai di Kab. Maros,
Gowa, Bone, Sopeng, dan Pangkep (fokus pada 5 sungai); pengembangan (adaptasi), serta optimasi
produksi pada habitat ex-situ di laboratorium Puslit Limnologi-LIPI, Cibinong,. Faktor fisikokimia
habitat dan biologis ikan relatif bervariasi.Terdapat kecenderungan penurunan populasi, bahkan di
beberapa tempat tidak ditemukan lagi. Pada habitat ex-situ ikan mampu beradaptasi untuk tumbuh
(somatis dan reproduktif) dengan peningkatan sintasan rata-rata mencapai10--60% bahkan mencapai
85—100% pada perlakuan jenis pakan. Reproduksi massal dengan rasio kelamin jantan : betina = 1:2
dan ukuran panjang induk 35—45 cm memberikan nilai terbaik. Suhu tinggi baik untuk memperpendek
periode inkubasi, namun menghasilkan derajat penetasan rendah. Pakan Infusoria baik untuk ketahanan
hidup larva, pH dan kesadahan tertentu memberikan efek penampilan tertentu. Pengembangan pada
habitat ex-situ telah memberikan hasil, namun masih memerlukan perlakuan khusus untuk peningkatan
kualitas. Hasil akhir kegiatan ini adalah terlaksananya domestikasi dan pengembangan ikan M. ladigesi
pada habitat ex-situ sehingga keberadaannya tetap terjaga dan kontinuitas produksi dapat tercapai.
Kata kunci: antisipasi, degradasi habitat, habitat ex-situ, Marosatherina ladigesi, Sulawesi.
ABSTRACT Sulawesi rainbow fish (Marosatherina ladigesi) or also recognized with Celebes Rainbow is one
of ornamental fish as exporting commodity. Requirement to the fish is increasing and the requirement
always fulfilled from fishing. Over fishing and habitat degradation can result the destruction so that the
fish have been registered in IUCN (2003,2007) in category vurnarable species. One of solution for
anticipating the problem that is through development with the application of artificial habitat (ex-situ).
This article contain some research result which done to fish M. ladigesi which endemis in
inlandwater of Maros-South Sulawesi at April 2005-Agust 2007. Research cover study of biological and
ecological characteristic of fish habitat at 10 rivers in Maros, Gowa, Bone, Sopeng, and Pangkep ( focus
at 5 rivers), development, and optimization of fish production on habitat ex-situ in laboratory Research
Center for Limnology-LIPI. The physics-chemist habitat factor and biological of fish relatively has
variation. Decreasing of fish population has been done, even in some places are not found again. At the
ex-situ habitat, fish can adapt to grow(somatic and reproduction) with survive improvement of average of
10-60% even reach 85-100% at treatment of feed type. Mass reproduction with sex ratio male : female =
1:2 with mains broods of 35-45mm give best value. High temperature good to cutting short incubation
period, but yield degree of low hatch. Feed of Infusoria good to resilience of larva life, pH and hardnes
is certain give effect of appearance. Development at habitat ex-situ have given result, but still require
special treatment for increasing of quality. The final result has showed the domestication and
development of M. ladigesi at habitat ex-situ is success so that the existence remain to awake and
continuity of fish production can be reached.
Keywords: anticipation, habitat degradation, habitat ex-situ, Marosatherina ladigesi, Sulawesi
* Pusat Penelitian Limnologi LIPI, E-mail : [email protected]
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
39
PENDAHULUAN
Ikan Pelangi Sulawesi (Marosatherina ladigesi) atau dikenal dengan Celebes
Rainbow merupakan spesies tunggal pada famili Telmatherinidae, ordo Atheriniformes.
Selain sebagai spesies tunggal juga merupakan satu-satunya jenis pada famili tersebut
yang hidup di perairan mengalir (sungai) di wilayah Maros Sulawesi Selatan Pada
sistematika sebelumnya ikan tersebut dikenal dengan nama Telmatherina ladigesi yang
merupakan bagian dari 10 spesies Telmatherina spp yang tersebar di danau-danau
daerah Sulawesi (Kottelat et. al. 1993).
Ikan tersebut memiliki warna dasar badannya kuning zaitun, dengan bagian
bawah berwarna kuning. Pada sisi tubuh terdapat garis linea lateralis yang berwarna
hijau biru pelangi. Garis tersebut menyusur dari belakang tutup insang hingga batang
ekor. Jari jari luar sirip punggung kedua berwarna hitam dan bagian dalam berwarna
kuning. Sirip tersebut mengalami pemanjangan untuk hewan jantannya. Hewan jantan
berpenampilan lebih menarik daripada hewan betina. Karena beberapa keunggulan dan
keindahan yang dimilikinya maka selain menjadi bahan perdagangan juga menjadi
salah satu faktor digunakannya gambar ikan ini dalam logo organisasi Perhimpunan
Ikan Hias Indonesia (PIHI).
Untuk memenuhi kebutuhan perdagangan terhadap ikan tersebut, menyebabkan
penangkapan yang sangat intensif (Andriani, 2000). Akibat dari penangkapan yang
berlebihan dan perubahan kondisi habitat maka M. ladigesi merupakan salah satu
spesies yang telah terdaftar dalam IUCN (2003, 2007) bersama-sama dengan Rainbow
Irian Melanotaenia boesemani dan Glossolepis incisus yang termasuk dalam katagori
terancam punah. Menurut salah seorang eksportir ikan tersebut di daerah Maros, bahwa
pada tahun 2000an sungai Jenelata-Gowa, Sopeng, Sanrego merupakan tempat-tempat
penangkapan ikan tersebut karena populasinya yang banyak. Akan tetapi pada
pendataan yang dilakukan tahun 2005 di daerah tersebut sangat sulit mendapatkan ikan
tersebut (Said et. al. 2006). Untuk mengantisipasi hal tersebut maka dilakukan
penelitian dan pengembangan ikan M. ladigesi melalui apalikasi habitat ex-situ guna
menjaga kelestraiannya dan memenuhi kebutuhan pasar. Parameter utama penelitian
meliputi ketahanan hidup, pertumbuhan, reproduksi yang dikaitkan dengan kondisi
lingkungan baik biologis, kimiawi, maupun fisik.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
40
Tujuan penelitian untuk mengupayakan pengembangan ikan M.ladigesi pada
habitat ex-situ guna mengantisipasi proses kepunahan akibat penangkapan dan
degradasi habitat alaminya dengan mengungkapkan kondisi alami dan mengupayakan
pengembangan ikan hias M. ladigesi melalui aplikasi/rekayasa habitat sehingga
keberadaannya tetap terjaga, populasi alami tetap lestari, dan kontinuitas produksi tetap
berlangsung.
Kondisi Habitat Alami Ikan M. ladigesi
Ikan M. ladigesi merupakan penghuni sungai/ekosistem perairan mengalir
(lentik), namun populasi ikan ini lebih banyak ditemukan pada bagian lubuk dari sungai
(pool), dengan pola aliran air yang relatif lambat. Wilayah parung sungai (riffle), yang
merupakan habitat yang mengalir deras, lebih merupakan tempat mencari pakan
(feeding ground). Hal ini ditandai dari tipe pakannya berupa serangga air, yang
umumnya penghuni tipe habitat batuan yang berada di bagian parung sungai.
Karakteristik sungai-sungai yang menjadi habitat ikan M. ladigesi mencirikan
wilayah perairan mengalir yang beragam, ditinjau dari kondisi fisik, karakteristik
kualitas air, dan biologisnya. Secara keseluruhan terlihat bahwa S.Padae di Kab
PangKep merupakan habitat terbaik untuk ikan tersebut, sedangkan S.Rakikang dan S.
Jenelata memperlihatkan kondisi habitat yang telah mengalami kerusakan.
Kondisi Fisik Perairan
Kecepatan arus pada wilayah sungai bervariasi, dengan kecepatan tertinggi 1,59
m.dt-1 di S (Sungai) Padae dan terendah di S. Patunuang yaitu 0,120 m.dt-1. Kecepatan
arus tersebut, selain dipengaruhi oleh dimensi sungai, namun terutama dipengaruhi debit
aliran yang berfluktuasi sejalan dengan musim. Sungai Padae memiliki debit aliran yang
tinggi, sedangkan S. Patunuang dan Rakikang dengan debit aliran yang rendah, dengan
debit aliran yang flukutuatif.
Suhu perairan menunjukkan peningkatan sejalan dengan menurunnya debit
aliran sungai debit aliran yang rendah menunjukkan pergantian air yang lambat, yang
memungkinkan suhu dapat meningkat dengan pesat. Sungai-sungai yang cenderung
memiliki suhu tinggi adalah S. Rakikang-Gowa (28,8 – 32,7oC) dan terendah di
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
41
Bantimurung-Maros(25,3 – 27,0oC). Tinggi rendahnya suhu ini, juga dipengaruhi oleh
keadaan lingkungan sekitar sungai. Sungai Rakikang tampak terbuka dan terdedahkan
langsung ke sinar matahari, sedangkan S. Bantimurung cenderung terkelilingi gunung,
di pinggiran sungai banyak pepohonan sehingga teduh. Akan tetapi yang menjadi poin
utamanya dari hasil pendataan ini adalah terlihat bahwa ikan M. ladigesi memiliki
kisaran suhu air yang relatif lebar untuk kehidupannya. Bila dibandingkan dengan
kerabatnya ikan pelangi Irian memiliki kisaran suhu 24,5—31oC untuk dapat bertahan
hidup pada kondisi di luar habitat alaminya. Akan tetapi dapat pula dikatakan bahwa
suhu tinggi (S Rakikang dan Jenelata) tetap tidak terlalu disenangi terbukti dengan
rendahnya populasi ikan M.ladigesi pada tempat tersebut.
Kondisi Kimia Perairan
Kondisi perairan sungai-sungai habitat M.ladigesi dicirikan oleh ketersediaan
oksigen terlarut (DO) yang cukup tinggi (>3,0 mg.l-1) dan sangat layak untuk kehidupan
ikan (Alabaster & Lloyd, 1982). Nilai pH cenderung basa (pH 7,48 – 8,55) tampaknya
terkait dengan aliran sungai-sungai tersebut yang berada di daerah karst, yang banyak
melarutkan komponen kalsium.
Tingkat konduktivitas perairan menunjukkan tiga kelompok sungai, yaitu rendah
pada S.Rakikang dan Jenelata (0,056 mS/cm – 0,121 mS/cm), sedang (S Abalu dan
Padae (0,117 mS/cm – 0,244 mS/cm) dan tinggi yaitu S. Bantimurung dan S.Patunuang
(0,219 mS/cm -0,386 mS/cm). Namun demikian masih berada di bawah baku mutu air
mengalir (<2,250 mS/cm) (Macbub & Moelyo, 2000).
Tingkat kesadahan sungai-sungai hampir menyerupai pola konduktivitasnya.
Tingkat kesadahan S. Rakikang dan Jenelata (30,8 – 58,9 mg.l-1 CaCO3eq.)
menunjukkan perairan lunak (soft water). Menurut Sawyer & McCarty (1967) dalam
Boyd (1982) perairan lunak memiliki kesadahan <75 mg.l-1 CaCO3eq. Sungai Padae
dan Abalu tampak mencirikan kesadahan sedang (moderately hard) (71,5 – 116,1 mg.l-1
CaCO3eq.), S. Bantimurung dan Patunuang menunjukkan perairan sadah (hard water)
(120,1 – 181,2 mg.l-1 CaCO3eq.). Salah satu yang diduga sebagai penyebab tingginya
kesadahan S. Bantimurung dan S. Patunuang karena kedua sungai tersebut berada pada
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
42
lingkungan gunung kapur atau tanah kars, sehingga perairannya banyak mengandung
kapur, berbeda dengan S. Rakikang dan Jenelata (Said et al., 2006).
Kondisi Biologis Perairan
Pada habitat ikan M.ladigesi, ditemukan ikan-ikan seperti Oryzias sp.,
Nomorhamphus sp., dan ikan-ikan lain seperti gabus dan mujaer dalam proporsi yang
kecil. Ikan-ikan M. ladigesi cukup mendominasi di S. Bantimurung dan S. Padae,
sebaliknya di S. Jenelata menunjukkan proporsi yang sangat rendah bahkan di Sanrego
tidak ditemukan lagi. Hal ini menunjukkan bahwa S. Bantimurung dan S. Padae,
merupakan habitat utama dan habitat yang sesuai untuk ikan M. ladigesi sedangkan
Jenelata merupakan habitat yang telah mengalami kerusakan secara fisik (Said et.al,
2006).
Karakteristik biota bentik di sungai-sungai yang diamati didominasi oleh kelas
serangga air (insekta) dan ditemukan sembilan jenis (genus) insekta, yang terdiri dari
ordo Ephemeroptera (dominan), Trichoptera, Diptera, Coleoptera dan Odonata. Tingkat
kelimpahan antara 127 – 306 ind.m-2, tertinggi di S. Abalu dan terendah di S. Rakikang.
Kelompok insekta merupakan organisme utama dari perairan mengalir, dan penunjang
rantai makanan di dalam ekosistem tersebut. Menurut Andriani (2000), pakan utama
(79 –97%) ikan T. ladigesi di wilayah Bantimurung adalah kelompok insekta. Kelas
insekta air juga dapat digunakan sebagai indikator biologis, bahwa perairan tersebut
masih dalam golongan baik/tidak tercemar.
Aspek biologis ikan M.ladigesi
Karakteristik biologis ikan-ikan M. ladigesi dari berbagai sungai, memiliki nilai
faktor kondisi (Kn) yang bervariasi. Nilai Kn ini dapat mencerminkan kebugaran/
kemontokan ikan, yang dipengaruhi oleh ketersediaan pakan, umur,jenis kelamin, dan
kematangan gonad. Nilai Kn antara 2 -4, menunjukkan ikan berbentuk agak pipih
nilai Kn antara 1 – 3 menunjukkan kurang pipih (Effendie, 1997). Nilai Kn ikan M.
ladigesi pada pengukuran bulan Juni 2005 sedikit bervariasi, namun berada pada kisaran
angka 1 (satu). Hal ini berarti bahwa ikan M. ladigesi memiliki bentuk yang kurang
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
43
pipih bahkan cenderung tidak pipih. Dapat disimpulkan bahwa semakin kecil nilai Kn,
semakin tidak pipih (cembung) ikan tersebut.
Berdasarkan pengamatan Andriani (2000) kondisi perairan menentukan ciri
morfometrik dari ikan M. ladigesi, dikemukakan bahwa ikan-ikan dari Bantimurung dan
Patunuang menunjukkan kondisi morfologi lebih cembung dibandingkan daripada ikan
dari Makatoang.
Kebiasaan Makanan (Food Habit)
Kebiasaan makan dianalisis dengn mengambil sampel isi lambung ikan.
Menurut Said et al (2008) bahwa dari hasil analisis isi lambung ikan M.ladigesi
diperoleh 3 kelompok jenis makanan yaitu Bacillariophyceae, Zooplankton, serangga
air (aquatic insecta). Komposisi makanan berdasarkan penghitungan “indeks of
preponderance” (IP) menunjukkan bahwa pakan utama ikan M. ladigesi adalah
serangga air yang didominasi dari ordo Diptera dengan nilai IP rata-rata 21,62% ,ordo
Odonata (IP = 14,55%), ordo Ephemeroptera (IP = 5,67%), dan ordo Neuroptera (IP =
0,76%). Pengelompokkan tersebut didasari dari pernyataan Nikolsky (1963) yang
membedakan makanan ikan atas tiga kelompok yaitu makanan utama (IP > 40%),
pelengkap ( IP = 4 – 40%), dan tambahan (IP < 4%). Sedangkan Daphnia dari
kelompok Zooplankton di lokasi Jenelata memiliki nilai IP 42,73% yang berarti
Daphnia juga merupakan makanan utama ikan tersebut. Bila dilihat dari bentuk
morfologi lambung ikan yang pendek dan pejal menunjukkan bahwa ikan tersebut
merupakan jenis karnivora. Hal serupa juga dikemukakan oleh Andriani (2000) yang
mengamati ikan T.ladigesi pada 3 habitat yang berbeda.
Aspek Reproduksi
Aspek reproduksi pada pembahasan ini difokuskan pada rasio seks dan tigkat
kematangan gonad ikan M.ladigesi jantan dan betina. Rasio seks (jantan:betina) ikan
M.ladigesi dari beberapa habitat bervariasi (1:1; 1:2; 2:3; 2:5).Terlihat di sini bahwa
jumlah individu jantan cenderung lebih rendah dibandingkan individu betina. Secara
alami ikan-ikan yang bersifat cenderung bergerombol cenderung memiliki jumlah
individu jantan lebih rendah daripada individu betina seperti halnya kerabatnya dari
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
44
jenis ikan pelangi Irian. Akan tetapi belum dapat dipastikan rasio seks alami optimal
ikan M.ladigesi. Hal tersebut disebabkan saat penangkapan yang dilakukan pada siang
hari, kemungkinan individu jantan selalu lebih lincah untuk menyelamatkan diri
sehingga sulit tertangkap, atau waktu edar ikan yang berbeda. Hal tersebut juga dapat
merupakan penyebab rendahnya rasio ikan jantan di perairan sampai angka 2:5 bahkan
pada suatu waktu mencapai rasio1:13. Pada pendataan di laboratorium terlihat bahwa
jumlah individu jantan pada setiap populasi selalu lebih rendah daripada jumlah
individu betina, namun sampai saat ini belum diketahui pasti nilai rasio tersebut.
Sedangkan aspek reproduksi berikutnya yaitu tingkat kematangan gonad.
Menurut Nasution et.al. (2007) didapatkan ikan M. ladigesi dari berbagai habitat
memiliki rasio seks dan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) yang bervariasi antara
periode maupun habitat. Seperti contoh pada bulan Juni di S Patunuang terdapat ikan
dengan TKG IV dalam porsentase yang tinggi dibandingkan dengan ikan dari habitat
lain. Hal tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan faktor eksternal seperti arus dan
suhu habitat. Kematangan gonad ikan selain dipengaruhi oleh faktor internal ikan itu
sendiri, juga dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal/lingkungan seperti arus, tinggi
rendahnya permukaan air, maupun suhu. Selain itu faktor makanan juga diduga
berperan dalam proses pematangan gonad Lagler et al (1977). Makanan yang
mengandung banyak protein lebih cenderung mempercepat pematangan gonad daripada
makanan yang banyak mengandung lemak.
Aspek Variasi Penampilan
Pendataan yang dilakukan pada beberapa sungai di Sulawesi Selatan
menunjukkan terdapatnya variasi morfologi dan warna ikan M.ladigesi, seperti yang
dilaporkan oleh Said et al (2008). Variasi yang sangat mencolok terlihat pada populasi
ikan dari daerah Pangkep (S. Padae) yaitu memiliki warna yang cenderung gelap, garis
tengah badan berwarna hitam, dan yang sangat berbeda bahwa ujung sirip pektoral
berwarna hitam dengan bentuk badan relatif panjang dan montok. Sedikit berbeda
dengan ikan yang dari S. Bantimurung dan S. Patunuang dimana berwarna cenderung
cerah dengan garis tengah (linea lateral) berwarna ungu kebiru-biruan, sedangkan ikan
dari S Tompobulu garis tengahnya cenderung berwarna biru (turkeys) dan memantulkan
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
45
warna hijau terang dan bentuk badan cenderung pipih. Sebahagian populasi memiliki
warna sirip ekor bagian dalam kuning dan bagian luar berwarna hitam, namun
sebahagian menunjukkan semua sirip ekor berwarna kuning seperti halnya populasi
yang hidup di S. Tompobulu. Sedangkan sirip punggung kedua bagian luar semua
berwarna hitam dengan bagian dalam berwarna kuning. Hal tersebut tampak jelas pada
populasi ikan jantan. Variasi warna ini diduga karena variasi kondisi lingkungan
habitatnya masing-masing seperti perbedaan dasar sungai, kesadahan dan lain-lain.
Wilayah S.Padae memiliki banyak wilayah yang memiliki kedalaman air yang tinggi
atau dapat disebut lubuk, dan juga wilayah dengan arus yang besar, air jernih, dasar
berbatu dan cadas. Kondisinya terlindung dari berbagai aktivitas masyarakat umum
seperti penangkapan ikan dengan menggunakan racun, mandi cuci kakus (MCK) atau
lainnya. Hal tersebut terjadi karena aturan setempat yang menetapkan bahwa air
S.Padae merupakan sumber air minum sehingga harus dijaga kebersihannya. Terjaganya
kondisi lingkungan sehingga berada pada kondisi yang alami tersebut mungkin juga
dapat menyebabkan penampilan ikan yang berbeda pula. Berbeda halnya dengan S.
Abalu, dimana aktivotas manyarakat sangat tinggi seperti mandi cuci dan kakus serta
aktivitas penangkapan ikan konsumsi yang menggunakana beberapa cara antara lain
menggunakan racun.
2. Pengembangan pada Habitat Ex-situ
Uji Sintasan
Pada fase adaptasi sampel ikan didatangkan dalam 3 periode. Sampel ikan I
dan II mengalami kematian yang cukup tinggi, sehingga pada periode 2 minggu pertama
ikan yang mampu bertahan hanya 10%, sedangkan pada tahap 3 (sampel ke III) ikan
yang mampu bertahan hidup meningkat menjadi 30% pada kurun waktu yang sama.
Selanjutnya pada tahap akhir sintasan yang dicapai menjadi 60% dalam 3 bulan
pemeliharaan. Hal ini menunjukkan bahwa ikan tersebut perlahan-lahan telah mampu
untuk beradaptasi dengan lingkungan terkontrol (Said et.al., 2007).
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
46
Manipulasi biologis untuk reproduksi (rasio kelamin dan ukuran yang berbeda)
Dari uji reproduksi pada masa adaptasi dapat menghasilkan larva ikan berumur
hanya sampai 15 hari dengan periode inkubasi telur selama 18—20 hari. Dari beberapa
percobaan diperoleh bahwa ikan cenderung melakukan perkawinan secara massal
dibandingkan secara individual. Ukuran ikan jantan yang digunakan antara 4.6 – 4.9 cm
dengan berat 1.002—1.092 g dan ukuran ikan betina antara 3.6—4.2 cm dengan berat
0.536—1.043 g. Perkawinan secara individual cenderung menyebabkan kematian pada
induk betina terutama pada rasio seks jantan:betina = 1:1.
Pada tahap selanjutnya Said & Mayasari (2007) melaporkan bahwa perkawinan
secara massal yang menggunakan rasio seks jantan:betina = 1:2 memberikan hasil yang
lebih baik untuk viabilitas daripada rasio seks 1:3 dan 2:3, walaupun secara statistik
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 1). Pada pengamatan ini pula nilai LIP
relatif lebih pendek dibandingkan pada fase adaptasi .
Tabel 1 .Jumlah Telur total (JTT), (LIP), Jumlah Larva (JL), (HR %), dan (SR7%) (Said & Mayasari, 2007)
Parameter Rasio Seks 1:2 1:3 2:3
JTT (butir) 130,1 ± 32,38b 105,8 ± 60,75b 31,22 ± 17,14a LIP (hari) 9,80 ± 0,42a 9,30 ± 0,82a 9,67 ± 0,50a JL (ekor) 89,6 ± 32,43b 78,7 ± 52,99b 24,33 ± 15,98a HR (%) 67,95 ± 11,22a 79,23 ± 24,37a 75,34 ± 17,18a SR7 (%) 92,59 ± 9,07a 87,21 ± 18,32a 97,75 ± 3,62a
Selain manipulasi yang menggunakan rasio seks, Said et al (2008) juga
melaporkan bahwa ukuran panjang induk ikan yang optimal digunakan pada habitat ex-
situ yaitu antara 35-45 mm. Ukuran tersebut memberikan nilai lebih baik daripada
ukuran lainnya yaitu dengan rata-rata jumlah telur yang dihasilkan sebesar 56,33 (22–
159 butir). Rata-rata LIP: 9,92 (9 –10 hari). Rata-rata nilai derajat pembuahannya (FR)
adalah 58,30 (34,78-82%) dan sintasan 7 hari pertama (SR7) sebesar 86,45 (20 –100%).
Manipulasi lingkungan
Manipulasi lingkungan yang dilakukan meliputi lingkungan pakan, fisik (suhu), dan
kimiawi (pH dan kesadahan) air pemeliharaan.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
47
a. Manipulasi lingkungan pakan
Pada fase kehidupan ikan yang baru diadaptasikan pada habitat ex-situ memerlukan
jenis pakan yang sesuai untuk dapat bertahan hidup. Hal tersebut dimulai pada fase
larva kemudian fase pembesaran, fase reproduksi. Said et al. (2007) melaporkan bahwa
kelangsungan hidup (SR) larva umur 15, 21, 28, dan 40 hari dari tiga perlakuan jenis
pakan diperoleh bahwa pakan air hijau yang mengandung infusoria merupakan jenis
pakan terbaik untuk kehidupan larva ikan M.ladigesi dibandingkan pakan pelet halus
dan kuning telur (Tabel 2).
Tabel 2. Analisa Data Kelangsungan Hidup Larva Ikan M.ladigesi (Said et al.,2007)
Parameter Perlakuan Pakan Infusoria Kuning Telur Pelet Halus
SR15 (%) 74.67 ± 22.03b 41.33 ± 4.62a 18.67 ± 6.11a
SR21 (%) 73.33 ± 23.09b 38.67 ± 6.11a 18.67 ± 6.11a
SR28 (%) 70.67 ± 18.48b 36.00 ± 8.00a 18.67 ± 6.11a
SR40 (%) 69.33 ± 16.17b 36.00 ± 8.00a 18.67 ± 6.11a
Sedangkan pada fase pertumbuhan ikan, Triyanto & Said (2007) melaporkan
bahwa pertumbuhan terbaik diperoleh pada perlakuan pemberian pakan dengan cacing
sutera, yaitu panjang mencapai 1,19 cm dengan pertumbuhan harian (0,02 cm/hari).
Kemudian diikuti oleh perlakuan pakan Chironomus 1,01 cm (0,017 cm/hari), pellet
0,78 cm (0,013 cm/hari) dan Daphnia 0,75 cm (0,012 cm/hari). Sedangkan
pertumbuhan berat ikan yang tertinggi didapatkan pada perlakuan pakan Chironomus
yaitu 0,47g (0,008 g /hari) dengan sintasan tertinggi (100%), pakan jenis Cacing sutera
0,44 gram (0,007 g /hari), pakan jenis pellet 0,27 g (0,005 g /hari) dan terakhir jenis
Daphnia 0,22 gram (0,004 g /hari). Sedangkan pada fase reproduksi pakan
Chironomus merupakan jenis pakan terbaik karena mengandung protein lebih tinggi dan
lemak lebih rendah dibandingkan pakan Tubificidae (cacing sutera).
b. Manipulasi Lingkungan Fisik (Suhu)
Tujuan penggunaan suhu dalam penetasan ikan M.ladigesi yaitu mencari suhu
optimal untuk penetasan terbaik, mengingat kisaran suhu habitat ikan tersebut relatif
luas. Di samping itu juga untuk mengetahui kemampuan toleransi ikan tersebut terhadap
suhu perairan.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
48
Terlihat di sini bahwa suhu tinggi dapat memperpendek masa inkubasi telur,
akan tetapi nilai derajat penetasan yang diperoleh sangat rendah (Tabel 3). Dengan
demikian suhu tinggi (30oC) tidak direkomendasikan untuk penetasan ikan M.ladigesi.
Masing-masing spesies memiliki kisaran suhu tersendiri. Suhu tinggi dapat
menyebabkan kerusakan atau kematian embryo ikan M.ladigesi yang masih berada
dalam telur sehingga tidak mampu untuk menjadi larva.
Tabel 3. Derajat Pembuahan (FR), Derajat Penetasan (HR), dan (SR7)
Parameter Perlakuan
Suhu Normal suhu 28oC Suhu 30oC
LIP (hari) 9.88 ± 0.35b 7.88 ± 0.35a 7.71 ± 0.49a
FR (%) 79.08 ± 8.50b 59.74 ± 23.35b 35.02 ± 20.59a
HR(%) 68.94 ± 10.85b 54.55 ± 24.85b 22.32 ± 21.91a
SR7 (%) 91.66 ± 10.03b 92.81 ± 15.10b 37.14 ± 34.98a
c. Manipulasi Kimiawi (kesadahan dan pH) Air Pemeliharaan
Penelitian manipulasi kimiawi dilakukan dengan mengambil parameter kesadahan
dan pH air pemeliharaan. Menurut Lesmana (2002) bahwa kadar kesadahan memberikan
pengaruh tertentu pada penampilan ikan hias, dan tiap spesies mempunyai kisaran
kesadahan tersendiri. Pada penelitian manipulasi kesadahan digunakan 3 kisaran
kesadahan dalam mencari kesadahan terbaik dan toleransi ikan tersebut pada kesadahan.
Kisaran kesadahan I merupakan kesadahan air sumber (50 - 100), kisaran kesadahan II
(>100 – 150) dan kisaran kesadahan III (>150 – 250) mg CaCO3/L
Dari hasil penelitian Triyanto et al. (2008) bahwa kisaran kesadahan II (100 –
150 mg CaCO3/L) baik untuk pertumbuhan yaitu mencapai 2,1 cm (0,019 cm/hari).
Sedangkan sintasan (SR) ikan M.ladigesi tertinggi (100%) diperoleh pada kisaran
kesadahan III (50 – 250 mg CaCO3/L), dan pada kesadahan I diperoleh SR sebesar 98%
dan kisaran kesadahan II diperoleh SR sebesar 95%. Secara umum nampaknya
pengaruh penampilan warna tidak terlalu jauh berbeda pada masing-masing perlakuan,
akan tetapi kisaran kesadahan III menunjukkan tubuh ikan yang relatif lebih bersih,
lebih kemilau, dan secara umum lebih cerah. Tiga kisaran kesadahan yang diambil
dapat diasumsikan kesadahan yang baik untuk kehidupan ikan, namun untuk
menghasilkan penampilan warna yang baik disarankan menggunakan kisaran kesadahan
III (>150 – 250 mg CaCO3/L).
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
49
Sedangkan pendataan penampilan ikan M.ladigesi pada pH perairan, dilakukan
pendataan dimana ikan dipelihara pada 4 kisaran nilai nilai pH yang bervariasi. Kisaran
I: 4,5—5,5; Kisaran II: 5,6—6,5; kisaran III: 6,6—7,5; dan kisaran IV: 7,6—8,5.
Perlakuan dengan 2 ulangan. Diamati laju sintasan, dan variasi warna yang muncul
dalam periode 2 minggu selama 60 hari. Pembuatan air pemeliharaan dengan pH
tertentu didapatkan dari penggunaan daun ketapang pada konsentrasi tertentu.
Penelitian ini mencari pH optimal dan toleransi ikan M.ladigesi terhadap pH air
pemeliharaan. Hasil penelitian menunjukan secara keseluruhan perbedaan penampilan
(warna) ikan M.ladigesi pada beberapa bagian tubuh paling bagus pada perlakuan
kisaran pH – III, (6,6 - 7,5). Pada kisaran pH-III warna kuning pada sirip ekor dan sirip
punggung kedua lebih menyala dibandingkan dengan perlakuan lain. Kisaran pH dalam
air tidak berpengaruh langsung terhadap penampilan/warna ikan, akan tetapi pada pH
tertentu kandungan kalsium dalam tubuh ikan berperan optimal sehingga dapat
memberikan efek penampilan yang relatif lebih baik. Nilai pH yang optimal untuk
hidup ikan M.ladigesi akan mendukung proses metabolisme yang terjadi dalam tubuh
sehingga penyerapan nutrisi dari bahan makanan yang dimakan akan berjalan sempurna.
Sintasan ikan M.ladigesi selama penelitian terlihat berbeda antara perlakuan.
Sintasan cenderung menurun seiring menurunnya nilai pH air pemeliharaan, sehingga
pada kisaran pH air 4,5—5,5 sintasan akhir menjadi 60%; sintasan pada kisaran pH
5,6—6,5 mencapai 80%; sintasan pada pH 6,6—7,5 dan kisaran 7,6—8,2 sintasan
masih baik yaitu masing-masing 100% . Tampaknya untuk pemeliharaan ikan
M.ladigesi nilai pH air harus dipertahankan sekitar 7 karena sesuai dengan daerah
asalnya di daerah karst dengan pH relatif tinggi atau 7 ke atas. Dengan demikian
perairan dengan pH rendah dapat menurunkan populasi ikan tersebut.
KESIMPULAN
1. Kondisi habitat alami ikan M.ladigesi bervariasi, dan populasi alaminya di
beberapa sungai yang diamati telah mengalami penurunan
2. Ikan M. ladigesi dapat dikembangkan pada habitat ex-situ dengan proses
adaptasi yang relatif lama. Populasi alami dapat terjaga dan kebutuhan terhadap
ikan tersebut dapat dicapai.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
50
3. Rasio seks, jenis pakan, kondisi lingkungan perairan sangat berperan dalam
menentukan penampilan/ketahanan hidup ikan M.ladigesi.
SARAN
1. 1.Diharapkan dengan menggabungkan beberapa faktor lingkungan (pH,
kesadahan, jenis pakan dll) dalam suatu sistem budidaya (tidak secara terpisah-
pisah) dapat memberikan efek penampilan yang lebih baik.
2. Untuk terlaksananya pengembangan dan terkonservasinya ikan M.ladigesi,
maka diharapkan peran serta dari semua pihak yang berkompeten.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih pada Proyek Penelitian Kompetitif LIPI 2005—2007 yang telah
membiayai penelitian ini, dan kepada semua pihak yang telah membantu dan terima
kasih setinggi-tingginya khusus untuk Sdr. Syahroni.
DAFTAR PUSTAKA
Alabaster, J. S., & R. Lloyd, 1981, Water Quality Criteria for Freshwater Fish, FAO, Butterworth, London, 361 p
Andriani, I., 2000, Bioekologi, Morfologi, Karyotipe, dan Reproduksi Ikan Hias Rainbow Sulawesi (Telmatherina ladigesi) di Sungai Maros, Sulawesi Selatan, Tesis, Program Pascasarjana, IPB.
Boyd, C. E., 1982, Water Quality Management for Pond Fish Culture, Elsevier Sci. Publ. comp., New York, 317 p
Effendie, M.I. 1997. Metode Biologi Perikanan Penerbit Yayasan Pustaka Nusatama
Yogyakarta.
Effendie, M. I., 1979, Metoda Biologi Perikanan, Cetakan Pertama, Yayasan Dewi Sri, 112 hal
Kottelat, M., A.J.Whitten, S.N. Kartikasari, & S. Wirjoatmodjo. 1993. Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi. Pariplus Edition (HK) Ltd. Bekerjasama dengan Proyek EMDI. Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Jakarta 293 hal.
Lagler, K.F., J.E. Bardach, R.H. Miller, and D.R.M. Passino. 1977. Ichthyology, John Wiley and Sons, Inc. Toronto, Canada. 556 p.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
51
Lesmana, D.S. 2002. Kualitas Air untuk Ikan Hias Air Tawar. PT Penebar Swadaya
88 hal.
Machbub, B., & M. Moelyo, 2000, Kualitas Air Sungai Alamiah sebagai Standar Kualitas Sumber Air, Bulletin Pusair, 34:31 – 38
Nasution, S.H., D.S. Said, Triyanto, Lukman. 2007. Tingkat Kematangan Gonad
ikan Telmatherina ladigesi dari beberapa habitat. Prosiding Seminar ikan IV 2006 Masyarakat Ikhtiologi Indonesia Jatiluhur Agustus 2006
Said, D.S., O. Charman, dan Abinawanto. 2000. Intergenus Hybridization of Irian’s Rainbowfish, Melanotaeniidae Family. The Proceeding of The JSPS-DGHE International Symposium on Fisheries Science in Tropical Area, 10:280-28
Said, D.S., Lukman, Triyanto, Sulaeman, dan S.H. Nasution. Kondisi Populasi, Kondisi Ekologis, dan Strategi Pengembangan Ikan Pelangi Sulawesi Telmatherina
ladigesi. Prosiding Konferensi Nasional Akuakultur 2005. Makassar November 2005. Masyarakat Akuakultur Indonesia hal: 361—367.
Said, D.S., Triyanto, S.H. Nasution, H. Fauzi, dan Supranoto. 2007. Perkembangan Daya Adaptasi dan Uji Reproduksi Ikan Pelangi Sulawesi (Telmatherina
ladigesi) pada Habitat Eks-situ. Makalah disampiakan pada Seminar Ikan Hias Nusantara Jakarta, 9 Desember 2006
Said, D.S..& N. Mayasari . 2007. Reproduksi dan Pertumbuhan ikan Telmatherina ladigesi pada Rasio Kelamin Berbeda. Jurnal Aquacutura Indonesiana vol 8(1): 41--47
Said, D.S., Triyanto, & S.H. Nasution. 2007. Pengembangan Ikan Beseng-beseng Telmatherina ladigesi melalui Habitat Buatan. Prosiding Seminar Perikanan dan Kelautan Faperta Univ Gajah Mada Yogyakarta 28 Juli 2007 hal BI-2:1—9.
Said, D.S., N. Mayasari & Triyanto.2007. Pengaruh Jenis Pakan untuk Ketahanan Hidup ikan pelangi Sulawesi Telmatherina ladigesi . Prosiding Konferensi Science dan Kelautan Perikanan Indonesia, Institut Pertanian Bogor Juli 2007
Said, D.S, Triyanto & N. Mayasari. 2008. Ikan Pelangi Sulawesi Marosatherina
ladigesi pada Habitat Alami dan Habitat Buatan. Makalah Seminar Perikanan dan Kelautan Faperta Univ Gajah Mada Yogyakarta 26 Juli 2008.
Triyanto, N. Mayasari, & D.S.Said.2008. Penampilan Ikan Pelangi Sulawesi Marosatherina ladigesi pada Kesadahan Berbeda. Makalah Seminar Nasional Ikan V Masyarakat Ikhtiologi Indonesia Botani Square Bogor 4 Juni 2008.
Wargasasmita, S. 2004. Ancaman Invasi Ikan Asing terhadap Keanekaragaman IkanAsli. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Ikan ke III. Darmaga - Bogor, 7 September 2004.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
52
BIOEKOLOGI DAN ASPEK PENANGKAPAN SIDAT (Anguilla spp.)
DI PERAIRAN POSO, SULAWESI TENGAH
Triyanto*, Lukman dan Ivana Yuniarti
ABSTRAK
Sidat (Anguilla spp) merupakan ikan katadromous yang memiliki karakteristik unik yaitu
melakukan ruaya untuk keperluan reproduksinya ke laut dalam. Larva sidat akan kembali ke perairan
tawar melalui muara-muara sungai untuk selanjutnya tumbuh dan berkembang sampai ukuran dewasa
pada habitat perairan tawar seperti sungai, dan danau. Perairan Poso meliputi Danau Poso dan sungai-
sungai yang ada disekitarnya merupakan daerah penghasil sidat yang potensial di Sulawesi Tengah.
Penelitian bio-ekologi sidat dan aspek penangkapan telah dilakukan pada Mei – Agustus 2007. Tujuan
penelitian adalah untuk mendeskripsikan sifat biologis sidat, karakter ekologi perairan sebagai
habitatnya, dan aspek penangkapan ikan tersebut. Sampel sidat diperoleh dari lima lokasi penangkapan
meliputi wilayah Danau Poso dan Sungai Poso. Sifat biologis sidat dideskripsikan dengan melakukan
kajian morfologis dan morfometrik, serta penentuan kebiasaan makanan. Kajian karakter ekologis sidat
dilakukan dengan melakukan pengukuran kualitas perairan di Danau Poso dan Sungai Poso. Aspek
penangkapan di bahas berdasarkan hasil survei pada beberapa lokasi penangkapan.
Kata Kunci: Bio-ekologi, Sidat (Anguilla spp.), Poso
ABSTRACT Eels ( Anguilla spp) are catadromous fish having unique characteristic that is doing migration
for reproduction to the sea. The juvenile will return to freshwater ecosystem through estuary hence forth
grow and develop until adult at freshwater habitats such as rivers, and lake. Inland water of Poso,
included the Poso Lake and the Poso River are producers’ area of eels in Central Sulawesi. Research of
bio-ecology and fishing aspect has been done at May - August 2007. The aim of research was to describe
the biological character of eel, ecology character as the habitat, and the fishing. The eels were obtained
out of five location cover Lake Poso and River Poso. Biological character of eels was descripting by
doing study of morphology, morphometric, and determination of food habit. Study of ecological
character done by doing measurement of water quality of Lake Poso and River Poso. The fishing aspect
was analyzed based on survey some on the numbers of fishing locations and catch data in some middle
man and data in duty fishery of local district
Keywords: Eel: Anguilla spp, Bio-ecology Poso
PENDAHULUAN
Sidat di perairan Poso merupakan komoditas perikanan yang memiliki nilai
ekonomis tinggi dan menjadi primadona hasil tangkapan. Sidat merupakan jenis ikan
katadromous yang memiliki karakteristik unik dengan melakukan ruaya (migrasi) untuk
keperluan reproduksinya ke laut dalam. Larva sidat akan kembali ke perairan tawar * Pusat Penelitian Limnologi-LIPI. Komplek LIPI Cibinong, 16911 Telp. 021-8757071, Fax. 021-8757076 e-mail: [email protected]
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
53
melalui muara-muara sungai untuk selanjutnya tumbuh dan berkembang sampai ukuran
dewasa pada habitat perairan tawar seperti sungai, dan danau.
Berdasarkan klasifikasinya sidat termasuk dalam famili Anguillidae dan Genus
Anguilla. Secara morfologi bentuk badannya memanjang, ramping dengan sebuah sirip
punggung yang panjang dan menyatu dengan sirip anal dan sirip ekor. Kulitnya licin
berlendir dengan garis liniea lateralis yang jelas terlihat. Keragaman jenis ikan tersebut
dapat dibedakan dari bentuk pola warna tubuh, ukuran kepala, jarak sirip punggung dan
sirip anal serta ukuran dari ikan tersebut yang berbeda-beda. Beberapa kriteria
identifikasi morfologis telah diuraikan dengan beberapa pendekatan yaitu dari ukuran
sirip punggung, sirip anal, pola gigi atas dan bawah. (Weber & Beaufort, 1922 dan
Kottelat et al, 1993). Menurut Sugeha, 2001 dalam Sugeha 2006, ada lima jenis ikan
sidat yang tertangkap di Muara Sungai Poso yaitu Anguilla marmorata, A. celebensis,
A. bicolor pacifica, A. interiores dan A. borneensis.
Produksi sidat dari perairan Poso pada tahun 2006 mencapai 9,1 ton, merupakan
51% dari hasil produksi total perikanan wilayah tersebut. Bila dibandingkan dengan
produksi pada tahun sebelumnya telah terjadi penurunan produksi yang signifikan
karena pada Tahun 1998 produksi sidat mencapai 30,5 ton (Lukman, et al. 2007).
Diperlukan upaya pengelolaan mencakup pengelolaan biota (ikan sidat) dan
pengelolaan habitat untuk dapat mempertahankan kelestarian sumberdaya yang ada.
Informasi tentang sifat biologi dan ekologi sidat sangat diperlukan dalam upaya
pengelolaan sumberdaya yang tersedia.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari aspek bioekologi sidat serta aspek
penangkapannya di Perairan Poso; Danau Poso dan Sungai Poso. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan informasi dalam upaya pengelolaan untuk menjaga
keberlangsungan produksi perikanan sidat dan menjamin ketersediaan sumberdaya.
BAHAN DAN METODE
Pengambilan sampel dilakukan pada Bulan Mei-Agustus 2007. Sampel ikan
sidat didapat dari hasil tangkapan nelayan dengan alat tangkap perangkap (waya
masapi), pancing dan tombak. Lokasi pengambilan sampel dilakukan di 5 wilayah yang
mencakup perairan Danau Poso dan Sungai Poso (Gambar 1).
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
54
Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel sidat di Periaran Poso (Danau dan Sungai Poso) pada Bulan Mei
– Agustus 2007
Aspek Biologi Sidat
Morfologi dan Morfometrik Sidat
Identifikasi spesies menggunakan analisis morfologi berdasarkan Kottelat
(1993). Untuk analisis morfologi dilakukan pengukuran beberapa parameter morfometri
(Gambar 2), yang meliputi :
1. PT : Panjang total 2. PS : Panjang baku/standar 3. Psp : Panjang sirip punggung 4. Psa : Panjang sirip anal 5. JSp-a : Jarak antara sirip punggung dan anal 6. Pkpl : Panjang kepala s/d batok 7. Pkpl-1 : Panjang kepala s/d pangkal sirip dada 8. Psd : Panjang sirip dada
Lokasi pengambilan sample sidat
Muara
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
55
9. Lpsd : Lebar pangkal sirip dada 10. Tsp : Tinggi sirip punggung 11. Tb : Tinggi badan 12. Te : Tinggi batang ekor 13. Dm : Diameter mata
Gambar 2. Pengukuran karakter Morphometrik pada bagian-bagian tubuh ikan sidat
Karakter morfometrik dianalisis dengan PCA (Principal Componen Analysis)
dengan menggunakan software MVSP 3,1 (KCS, 1999). Analisis karaketeristik
morfometrik telah banyak dilakukan untuk membedakan ciri/karakter suatu jenis ikan,
seperti pada ikan botia dari perairan umum Jambi (Haryani, 1995), ikan kaca dari
perairan waduk Cirata (Sarnita, 1994) dan ikan payangka dari perairan Danau Limboto
(Satria, 2000). Untuk membedakan karakter morfometrik terhadap sampel sidat yang
berasal dari masing-masing lokasi penangkapan dilakukan uji sidik ragam
(ANOVA:Analysis of variance, Steel and Torrie, 1995).
Kajian Kebiasaan Makan (Food Habit)
Kajian kebiasaan makan dilakukan pada sampel sidat yang diperoleh, dengan
melakukan analisis lambung berdasarkan Effendie, 1979.
PS
PT
Psa Pkpl
Psp
JSp-a
Pkpl-1
Psd
Te Lpsd
Dm
Tb
Tsp
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
56
Aspek Ekologi Sidat
Aspek ekologi sidat dipelajari dengan melakukan pengukuran beberapa
parameter kualitas air untuk mendapatkan informasi mengenai karakteristik habitat
sidat. Pengukuran dilakukan di daerah-daerah penangkapan sidat mencakup Danau
Poso dan Sungai Poso. Parameter kualitas air yang diukur meliputi suhu, pH,
kekeruhan, konduktivitas, dan oksigen terlarut, kesadahan, COD, TN dan TP.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Aspek Biologi Sidat
Karakter Morfologi dan Morfometrik
Berdasarkan analisis morfologi contoh sidat yang diperoleh adalah satu spesies,
yaitu Anguilla marmorata dengan ciri-ciri utama sebagai berikut i) Warna tubuh
terutama pada bagian dorsal kuning kehitaman dan terdapat corak seperti kembang
berwarna coklat gelap, sedangkan bagian ventral (perut) agak putih dan bersih tanpa
adanya corak, ii) Susunan gigi rahang atas dan bawah terpisah oleh satu lekukan
memanjang tanpa gigi (Gambar 3; Model b); dan iii) Jarak antara garis vertikal imajiner
yang melalui awal sirip punggung dan dubur (JSp-a) 14 – 21% dari panjang total (PT).
Karakteristik utama sidat (Anguilla marmorata) dari berbagai lokasi di Perairan Poso
dapat di lihat pada Tabel 1, sedangkan hasil pengukuran morfometrik selengkapnya
disajikan pada Lampiran 1.
Gambar 3. Pola gigi rahang atas (kiri) dan rahang bawah (kanan) pada
a) Anguilla celebensis dan b) A. marmorata
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
57
Tabel 1. Karakteristik utama (kisaran dan rata-rata) sidat (Anguilla marmorata) dari berbagai lokasi di Perairan Poso
No. Karakteristik Lokasi
Pendolo Solokaia Tentena Pandiri Muara
1. Panjang total (cm) 52 – 105
(83,4) 51 – 102
(66,4) 75 – 119 (100,6)
46 – 74 (60)
46 – 77 (66,8)
2. Berat total (kg) 0,3 – 2,8
(0,5) 0.2 - 2.6
(0,7) 1,6 - 5,0
(2,4) 0.2 – 1.1
(0,65) 0.2 – 1.3
(0,7) 3. Rasio JSp-a/PT 0,15 – 0,20 0.14 - 0.19 0,16 - 0,21 0.12 – 0.13 0.15 – 0.18
Hasil analisis PCA menunjukan bahwa karakter morfometrik yang terbentuk
mengelompok terpusat pada sumbu utama, sedangkan variasi pengukuran yang
menunjukan asal contoh ikan sidat dari lima lokasi juga menunjukan hal yang serupa
yaitu terpusat di sumbu utama. Kesamaan karakter morfometrik yang ditunjukan pada
sumbu utama juga diperjelas dengan nilai akar ciri pada masing karakter yang rendah.
Dari hasil PCA tersebut dapat diketahui bahwa ikan sidat yang dianalisis dari
lima lokasi pengambilan menunjukan kesamaan. Tidak ada karakter morfometrik yang
membedakan dari contoh ikan sidat yang dianalisis. Karakter morfometrik baku yang
mencirikan kesamaan jenis ditunjukan pada karakter jarak antara awal sirip punggung
dan anal (JSp-a), panjang kepala (Pkpl), tinggi badan (Tb), Panjang sirip punggung
(Psp) dan dan panjang sirip anal (Psa) (Lampiran 2). Karakter utama yang mencirikan
kesamaan jenis yang kuat akan terpusat pada sumbu utama (Gambar 4).
Hasil uji sidik ragam (ANOVA) yang dilakukan pada contoh ikan sidat
berdasarkan karakter morfometriknya pada masing-masing lokasi penangkapan (5
lokasi) diperoleh nilai P>0,05 (Lampiran 3) Hal ini menunjukkan bahwa sample sidat
yang dinalisis berdasarkan karakter morfometrik tidak menunjukan adanya perbedaan
yang signifikan, atau menunjukan kesamaan jenis.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
58
PCA case scores
Axis
2
Axis 1
Po1Po2Po3
T1 T2T3T4
T5T6
T7T8
T9T10
T11T12T13S1
S2S3S4S5S8
M1 M2M3M4
Pi1
Pi2
-0.7
-1.3
-2.0
0.7
1.3
2.0
2.7
3.4
-0.7-1.3-2.0 0.7 1.3 2.0 2.7 3.4
PT
PS
PspPsa
JSp-a
Pkpl
Pkpl-1
Psd
Lpsd
Tsp
Tb
Te
Dm
Vector scaling: 4,83 Gambar 4. Hasil analisis PCA antara variabel morophometrik ikan sidat pada sumbu utama (Axis 1 dan
Axis 2) dan sebaran lokasi pengambilan contoh
Anguilla marmorata ditemukan mulai dari Pendolo, Solokaia, Tentena, Pandiri,
hingga Muara Sungai Poso. Berdasarkan hasil penelitian Sugeha (2006) dan Lukman et
al. (2007) Anguilla marmorata merupakan jenis ikan sidat yang banyak tertangkap dari
perairan Poso dan mendominasi hasil tangkapan ikan sidat yang berasal dari Danau
Poso. Anguilla marmorata tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia, yaitu meliputi
Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua (Sugeha, 2005; Aoyama, 2007).
Distribusi Anguilla marmorata di dunia juga cukup luas yaitu mulai dari Afrika Timur
sampai ke Indonesia, French-Polynesia di Lautan Pasific Selatan dan Jepang bagian
Selatan, dan juga terdapat di Samudra Hindia dan Pacific (Sverdrup et al., 1942; Brown
et al., 1989; Morey et al., 1999 dalam Ishikawa et al. 2004).
Kebiasaan Makan
Sebagian besar contoh sidat menunjukkan lambungnya tidak berisi (kosong).
Tidak terdapatnya isi lambung dari contoh sidat-sidat itu terutama dipengaruhi metode
penangkapannya yang menyesuaikan dengan kondisi sidat pada saat itu.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
59
Sidat-sidat yang tertangkap dengan waya masapi (perangkap) di outlet danau,
dipastikan lambungnya akan sangat kecil untuk terisi karena sedang bermigrasi ke laut.
Terdapat waktu yang cukup panjang antara saat sidat makan dan sidat tertangkap di
pagar tersebut, sehingga isi lambung sudah habis tercerna. Demikian juga sidat-sidat
yang tertangkap pancing dan bubu, sangat kecil kemungkinan lambung sidat terisi
pakan karena sidat yang tertangkap adalah sidat yang sedang mencari makan.
Dari sidat-sidat yang lambungnya terisi, pakan alami yang teramati yaitu: i)
kepiting (2 contoh); ii) udang (satu contoh); dan iii) ikan (satu contoh) dan sisanya
adalah remahan daging yang tidak teridentifikasi. Berdasarkan penelitian Samuel
(2007) sidat Anguilla marmorata yang tertangkap di Sungai Ketahun-Bengkulu
makanannya terdiri dari ikan, udang, moluska, dan serangga.
Aspek Ekologi Sidat
Kondisi Kualitas Perairan Danau Poso dan Sungai Poso
Danau Poso memiliki luas 368,9 km2 (36.890 ha), panjang garis pantai
mencapai 127 km dengan kedalaman maksimum mencapai 384,6 m. (Lukman dan
Ridwansyah, 2007). Kondisi fisika kimia air Danau Poso pada pengukuran Mei 2007
menunjukkan kisaran suhu yang berkisar antara 27,9–28,8oC, pH cenderung basa (8,34-
8,60), konduktivitas 0,113 mS.cm-1, kadar oksigen terlarut cukup tersedia (5,91 – 7,80
mg.l-1), dan bersifat air lunak (kesadahan total <75 mg.l-1CaCO3 eq.). Berdasarkan data
COD menunjukkan kondisi yang masih alami, sedangkan berdasarkan kadar total
phosphat (0,013 – 0,055 mg.l-1) dan kadar nitrogen total (TN) (0,137-0,680 mg.l-1).
sudah menunjukkan kondisi perairan sedikit eutrofik (Tabel 2).
Tabel 2. Kondisi Kualitas Air Danau Poso dan Sungai Poso
No Parameter Danau Poso Sungai Poso Pendolo Solokaia Tentena Pandiri Muara
1. Suhu (oC) 28,5 28,8 27,9 28,2 28,0 2. pH 8,48 8,40 8,60 8,29 8,27 3. Konduktivitas (mS.cm-1 ) 0,111 0,111 0,113 0,111 0,139 4. Kecerahan (m) 10 10 10 - - 5. Oksigen (mg.l-1) 6,17 5,98 7,80 5,36 5,30 6. Kesadahan total (mg.l-1) 61,10 58,05 61,10 56,52 97,76 7. COD (mg.l-1) 4,40 4,40 8,80 8,80 11,00 8. Total Nitrogen (mg.l-1) 0,2088 0,6801 0,2904 0,4092 0,6220 9. Total Fosfat (mg.l-1) 0,0130 0,0460 0,0425 0,0249 0,0589
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
60
Sungai Poso merupakan outlet dari Danau Poso dan merupakan alur utama
ruaya sidat baik ruaya menghilir untuk sidat dewasa, maupu ruaya menghulu untuk sidat
muda. Alur Sungai Poso memiliki pola yang landai hingga curam (Gambar 5).
Gambar 5. Skema elevasi Sungai Poso yang menjadi alur ruaya sidat (Sumber: Chr. Kritijanto, 1999)
Dari mulai Tentena hingga sebelum Sulewana, kurang lebih sepanjang 10 km
memiliki pola yang landai, dan di wilayah Sulewana sekitar 70 meter merupakan alur
curam yang membentuk jeram, selanjutnya antara Sulewana hingga Pandiri dengan alur
terjal, dan terakhir dari Pandiri hingga muara sudah mulai melandai kembali.
Kondisi kualitas air pada Sungai Poso (Pandiri dan Muara) dicirikan oleh suhu
yang berkisar antara 28,0 – 28,2oC, tingkat pH cenderung alkalin (8,27 - 8,29),
konduktivitas antara 0,139 – 0,159 mS.cm-1, kadar oksigen terlarut cukup tinggi (5,30 –
6,28 mg.l-1), dan bersifat lunak-sadah (56,52 – 97,76 mg.l-1). Berdasarkan data COD
menunjukkan kondisi yang masih alami, sedangkan berdasarkan kadar total phosphat
dan kadar nitrogen total sudah menunjukkan kondisi perairan sedikit eutrofik.
Aspek Penangkapan Sidat
Penangkapan sidat di perairan Poso, tersebar di beberapa lokasi yaitu di Sungai
Poso wilayah outlet danau yang masuk dalam wilayah Kecamatan Pamona Utara dan di
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
61
perairan danau dan anak sungai di Pendolo, di Kecamatan Pamona Selatan. Alat
tangkap yang digunakan cukup beragam, yaitu pancing, tombak, bubu dari rotan atau
bambu, dan pagar (waya masapi). Terdapat tiga desa di alur Sungai Poso yang
memiliki kelompok penangkap sidat dengan alat perangkap (Waya Masapi), yaitu di
Kelurahan Sangele mencapai 11 unit, Kelurahan Tendeadongi 7 unit, dan di Saojo 5
unit (KCD Perikanan, Kec. Pamona Utara, 2007. Tidak dipublikasikan).
Hasil pemantauan tangkapan sidat dari nelayan yang menggunakan alat tangkap
pagar (perangkap/waya masapi) di wilayah Tentena, menunjukkan penurunan hasil
tangkapan dari Mei ke September (Gambar 6). Hal ini sejalan dengan perubahan tinggi
muka air danau akibat intensitas curah hujan yang terjadi. Pada bulan Mei curah hujan
masih tinggi sedangkan ke arah September curah hujan makin menurun. Berdasarkan
data hasil tangkapan bulanan sidat dari periode Tahun 2004-2006, hasil tangkapan sidat
tertinggi terjadi antara bulan April – Mei, dan produksi terendah terjadi pada bulan
September – November (KCD Perikanan, Kec. Pamona, 2006; tidak dipublikasikan)
0
5
10
15
20
25
30
Mei Juni Juli Agustus September
Bulan
Be
rat/
Ju
mla
h
Kg
Ekor
Gambar 6. Data pemantauan produksi sidat dari nelayan penangkap dengan alat tangkap pagar
(perangkap) di Tentena, Bulan Mei – Septermber 2007.
Sidat yang tertangkap dengan waya masapi, pada umumnya adalah sidat-sidat
yang akan beruaya untuk melangsungkan proses reproduksinya ke laut dalam.
Aktivitas ruaya dari perairan tawar ke perairan laut (downstream migration)
berdasarkan hasil penelitian Sugeha (2006) mencapai puncaknya pada sekitar Bulan
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
62
April, hal tersebut terkait dengan tinggi muka air danau yang meningkat akibat curah
hujan yang tinggi pada bulan tersebut.
Ukuran sidat yang tertangkap di Tentena pada periode Mei - September tahun
2007, berkisar antara 0,2 – 5,6 kg atau dengan panjang total antara 40 cm – 130 cm.
Sidat yang berukuran >70 cm menunjukkan proporsi yang tinggi (>80%) (Tabel 3).
Hasil penelitian Haryani, (1998) menyebutkan sidat yang berukuran di atas 70 cm
memiliki gonad yang sudah berkembang menunjukkan awal vitelogenik, sedangkan
yang berukuran di bawah 70 cm gonadnya belum memasuki tahap perkembangan.
Dari data tersebut nampaknya pengaturan penangkapan sidat yang akan beruaya
ke laut dalam harus dikelola dengan bijak, agar keberlangsungan reproduski sidat tetap
terjamin dan proses rekrutmen sidat-sidat muda untuk mengisi periaran Poso dan
sekitarnya dapat terus berlangsung. Pemahaman umum, mengemuka bahwa larva sidat
yang memasuki sungai adalah mengikuti instingnya kembali ke tempat indukannya
berasal, dengan demikian tingkat rekruitmen larva akan ditentukan oleh jumlah indukan
yang menghilir menuju ke laut untuk melakukan pemijahan (Lukman, et al. 2007)
Tabel 3. Data Sidat Hasil Sampling Tangkapan dengan Waya Masapi di Kecamatan Pamona Utara, pada
Bulan Mei - September 2007
Bulan Kisaran Berat
(kg) Panjang Total
(cm) Berat Total
(Kg) Jumlah (Ekor)
Ukuran >70 cm
Berat Rataan (kg)
Mei 0,2 - 4,8 50 - 130 24.9 11 9 2.26 Juni 0,3 - 5,6 56 - 127 17.8 7 6 2.54 Juli 0,5 - 2,8 51 - 108 10.4 6 5 1.73 Agustus 0,6 - 3,0 56 - 122 10.2 5 4 2.04 September 1,0 - 3,0 73 - 103 7.5 4 4 1.88
KESIMPULAN
Sidat hasil tangkapan di perairan Poso (Danau Poso dan Sungai Poso) selama
penelitian berlangsung didominasi oleh jenis Anguilla marmorata. Berdasarkan karakter
morfologinya Anguilla marmorata dicirikan oleh warna tubuh kuning kehitaman
dengan terdapat corak seperti kembang berwarna coklat kehitaman. Ukuran sidat yang
tertangkap selama penelitian berukuran panjang total 46 – 119 cm dengan berat total
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
63
0,2 – 5 kg. Rasio antara jarak sirip punggung dan sirip anal/persatuan panjang total
tubuhya berkisar antara 0,12 – 0,2 Berdasarkan makanan alaminya sidat termasuk ikan
karnivor, jenis pakan alami sidat yang telah teridentifikasi adalah kepiting, udang dan
ikan. Kondisi kualitas perairan Danau Poso dan Sungai Poso yang menjadi lokasi
penangkapan sidat masih mendukung untuk kehidupan sidat. Yang perlu mendapat
perhatian dari hasil penelitian ini adalah perlunya pengelolaan penangkapan sidat yang
bijak yang dapat mengatur penggunaan waya masapi yang pemasangannya menghadang
jalur ruaya sidat untuk bereproduksi, untuk menjamin keberlangsungan reproduski sidat
sehingga proses rekrutmen sidat-sidat muda untuk mengisi perairan Poso dan sekitarnya
dapat terus berlanjut.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terimakasih kami sampaikan kepada Program Kompetitif LIPI Sub Program
Sensus Biota Laut Tahun 2007 yang telah mendanai penelitian ini. Ucapan terimakasih
juga kami sampaikan kepada Bapak Kris, Staf Dinas Perikanan di Tentena dan para
Nelayan Danau Poso yang telah membantu selama penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Aoyama, J. S.Wouthuyzen, M.J. Miller, Y. Minegishi, M. Kuroki, S.R. Suharti, T.Kawakami, K.O. Sumardiharga and K.Tsukamoto. 2007. Distribution of leptocephali of the freshwater eels, genus Anguilla, in the waters off West Sumatra in the Indian Ocean. Environ. Biol. Fish. 80:445–452
Chr. Kristijanto, 1999, Upaya Penanggulangan Kerusakan Sungai Poso, Buletin Pusair, No. 32 Tahun IX, hal, 1 – 13
Effendie, M.I. 1979. Metode Biologi Perikanan Penerbit Yayasan Dewi Sri. Bogor.
Haryani, G.S. 1995. Karakter Morphometrik dan Kajian Gonad Ikan Botia (Botia macrocanthus Bleeker) jantan dan betina. Prosiding Hasil Penelitian Puslitbang Limnologi-LIPI 1994/1995. Puslitbang Limnologi-LIPI, 178 halaman
Haryani, G. S., 1998, Kajian Aspek Reproduksi Ikan Sidat (Anguilla marmorata) pada Masa Ruaya di Danau Poso, Sulawesi Tengah, Limnotek, Vol. 5 (1): 51 – 60
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
64
Ishikawa, S., K. Tsukamoto, and M. Nishida. 2004. Genetic evidence for multiple geographic populations of the giant mottled eel Anguilla marmorata in the Pacific and Indian Oceans. Ichthyol Res 51: 343–353
Kottelat, Maurice, Anthony J.W, Sri N.K dan Soetikno W. 1992. Freshwater fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Periplus Editions 293 p.
KCS, 1999. Multi Variate Statistical Package User’s Manual MVSP 3,1. Kovach Computing Services.
Lukman, G.S. Haryani, Triyanto, Tri Suryono, I. Yuniarti dan H. Fauzi. 2007. Karakteristik sejarah kehidupan ikan sidat (Anguilla sp.) di DAS Poso, Sulawesi Tengah. Laporan Akhir. Program Kompetitif Sub Program Sensus Biota Laut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Lukman & I. Ridwansyah. 2007. Physics and Chemical Condition of Lake Poso, Indonesia. (in processes).
Lukman, Triyanto dan I. Yuniarti. 2007. Potensi Perairan Danau Poso, Sulawesi Tengah Untuk Perikanan Sidat Di Indonesia. Prosiding Simposium Perikanan, Departemen MSP Fakultas Perikanan IPB, Bogor
Sarnita, H. 1994. Aspek Biologi dan Analisis Karakteristik Bentuk Ikan Kaca (Chandapunctulata) di Perairan Waduk Cirata. Bull.Perik.Darat Vol.12 No. 2
Hal: 12-22
Steel, R.G.D and J.H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. Penerbit PT. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama 748 halaman
Satria, H. 2000. Karakterisasi Morphometrik Ikan Payangka (Ophiocara porocephala) di Perairan Danau Limboto – Sulawesi Utara. Prosiding Semiloka Nasional ”Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk Universitas Padjajaran Bandung, 7 Nopember 2000 hal: I;140-152
Sugeha, H. Y. 2005, Biodiversitas, distribusi dan kelimpahan ikan sidat (Anguilla spp) di Perairan Indonesia, serta asosiasinya dengan faktor-faktor lingkungan. Laporan Akhir, Program Kompetitif Sub Program Sensus Biota Laut. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Sugeha, H. Y., J. Aoyama dan K. Tsukamoto. 2006. Downstream migration of trophical Angullid silver eels in the Poso Lake, Central Sulawesi Island, Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Limnologi 2006, Pengelolaan Sumberdaya Perairan Darat secara Terpadu di Indonesia. Jakarta 5 September 2006. Pusat Penelitian Limnologi-LIPI
Samuel. 2007. Eko-biologi dan Aspek Penangkapan Ikan Sidat (Anguilla spp.) di Sungai Ketahun, Propinsi Bengkulu. Prosiding Seminar Nasional Tahunan IV Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Tahun 2007. Fakultas Perikanan dan Kelautan UGM.
Weber, M and K.L.F. de Beuafort. 1922. The Fisheries of Indo-Australia Archipelago. Vol II E.J. Brill. Leiden. 404p
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
65
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil pengukuran karakter morfometrik ikan sidat di beberapa lokasi penangkapan di perairan
Poso
No Sampel Karakter Morfometrik (cm)
Sidat PT PS Psp Psa JSp-a Pkpl Pkpl-1 Psd Lpsd Tsp Tb Te Dm
1 Po1 101 98 73 56 15,7 8 14,5 4,2 2,5 1,8 7,8 1 0,9
2 Po2 69,1 68 50,5 38,2 12 4,2 10 2,8 1,8 1,6 5 0,4 0,8
3 Po3 52,3 51,4 37,8 29,9 8 3,7 7,8 1,9 0,9 1 3,4 0,3 0,5
4 T1 100 98 72 53,5 16,5 6,5 15,5 4,5 2,5 1,9 8,5 0,5 1,1
5 T2 119,5 118 85 62,5 20 10 17,5 6 3 2,4 10,2 0,8 1,2
6 T3 116,2 114 82,5 61,5 20 8,7 17 6 3 2 10 0,7 1
7 T4 88,2 87,1 63,6 47 15 5 12,5 4,2 2 1,4 7,1 0,6 1
8 T5 112,2 110,3 81 61,5 19,5 9 16,8 5,5 2,4 2 8,8 0,5 1,3
9 T6 107,3 106 78,6 58,1 19 7 16 5,6 2,3 2 8,5 0,5 1,1
10 T7 72,5 71 52 39,5 12,5 4,8 10,7 3,2 1,7 2 6 0,5 0,7
11 T8 67 65,8 49,2 37,5 10,5 4,7 10 3 0,5 1,5 5,2 0,6 0,7
12 T9 100 97 71 51 21 8 15 5,5 2,2 1,8 8,5 1 1,2
13 T10 106 104 74 56 17 8 18 5 2,5 9,5 1 1
14 T11 88 86,5 63 46 18 6 12 4 2,3 1,8 5 1 1,1
15 T12 93,5 92 63 48 17 7 14 4,5 2,3 1,8 9 1 1
16 T13 98 97 69 52 18 7 13 5 2,5 2 5,5 1 1
17 S1 63,3 62 45,8 34,5 10 5 10 2,8 1,7 1,7 4,5 0,5 0,7
18 S2 61 60 44,5 33,5 10,6 5 9,5 2,4 1,3 1,3 4,9 0,4 0,8
19 S3 62,2 61,4 45,2 34,6 10 5 9,3 2,3 1,3 1,4 4,4 0,5 0,8
20 S4 64,8 63,7 45,8 35,1 10,3 5 9,5 2,8 1,4 1,2 4,8 0,5 0,7
21 S5 50,7 49,6 37,5 28,1 9 3 7,5 2,1 1 1,1 3,1 0,4 0,6
22 S8 48,7 47,6 34,9 27,5 7 3,5 7 2,3 1 0,9 3,4 0,4 0,6
23 M1 63,5 62,5 45,7 34 10 4,5 9 3,3 1,5 1,1 5,4 0,4 1
24 M2 77 75,7 56,3 42,3 12 5,5 11,5 3 1,6 1,5 6 0,5 1
25 M3 68,3 66,8 48,6 37,2 10 3,5 9,5 3,1 1,3 1,2 5,2 0,4 0,9
26 M4 72 71 51 39 12 5 9 3,2 1,7 1,5 4,4 0,7 0,7
27 Pi1 74 - 53 39,5 9 5 6 14 - - 2,9 - 1,2
28 Pi2 46 - 34 26 6 5 6 8 - - 2 - 0,7
Keterangan
Po : Pendolo T : Tentena S : Solokaya M : Muara Pi : Pandiri - : Tidak ada data
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
66
Lampiran 2. Akar ciri, kontribusi variabel terhadap sumbu utama dan Matrik similarity antar karakter morphometrik
A. Akar ciri
Eigenvalues
Axis 1 Axis 2
Eigenvalues 9,715 1,899
Percentage 74,73 14,61
Cum. Percentage 74,73 89,34
PCA variable loadings
Variabels Axis 1 Axis 2
PT 0,314 0,125
PS 0,296 -0,26
Psp 0,313 0,129
Psa 0,312 0,119
JSp-a 0,313 0,019
Pkpl 0,292 0,161
Pkpl-1 0,312 -0,04
Psd 0,056 0,695
Lpsd 0,239 -0,2
Tsp 0,27 -0,33
Tb 0,302 -0,03
Te 0,235 -0,29
Dm 0,239 0,379
B. Matrik Similarity antara masing-masing karakter morphometrik ikan sidat
PT PS Psp Psa JSp-a Pkpl Pkpl-1 Psd Lpsd Tsp Tb Te Dm PT 1
PS 0,848 1
Psp 0,998 0,846 1
Psa 0,996 0,85 0,998 1
JSp-a 0,953 0,885 0,949 0,938 1
Pkpl 0,918 0,739 0,913 0,915 0,871 1
Pkpl-1 0,947 0,925 0,945 0,947 0,927 0,888 1
Psd 0,344 -0,2 0,342 0,329 0,208 0,382 0,107 1
Lpsd 0,677 0,784 0,68 0,673 0,748 0,589 0,653 -0,129 1
Tsp 0,75 0,935 0,744 0,75 0,795 0,661 0,862 -0,276 0,659 1
Tb 0,917 0,893 0,909 0,91 0,882 0,85 0,966 0,112 0,65 0,809 1
Te 0,645 0,776 0,618 0,62 0,741 0,606 0,688 -0,183 0,558 0,777 0,638 1
Dm 0,799 0,515 0,802 0,781 0,757 0,726 0,67 0,577 0,464 0,375 0,663 0,341 1
PCA case scores Cases Axis 1 Axis 2
Po1 0,564 -0,1 Po2 -0,26 -0,15 Po3 -0,76 -0,21 T1 0,515 0,043 T2 1,086 0,109 T3 0,906 0,08 T4 0,164 0,009 T5 0,849 0,227 T6 0,662 0,128 T7 -0,14 -0,21 T8 -0,34 -0,14 T9 0,676 0,084 T10 0,663 0,007 T11 0,302 -0,08 T12 0,47 -0,08 T13 0,477 -0,06 S1 -0,34 -0,21 S2 -0,41 -0,12 S3 -0,39 -0,15 S4 -0,39 -0,14 S5 -0,75 -0,21 S8 -0,8 -0,18 M1 -0,37 0,008 M2 -0,05 -0,04 M3 -0,37 -0,05 M4 -0,23 -0,19 Pi1 -0,66 1,086 Pi2 -1,08 0,51
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
67
Lampiran 3. Hasil uji sidik ragam (ANOVA) antara sample ikan sidat pada masing-masing lokasi penangkapan di Perairan Poso
Sumber Keragaman SS df MS F P-value*
Pendolo 1361,551 2 680,776 0,799 0,50
Eror 30658,78 36 851,633
Tentena 3577,046 12 298,087 0,215 0,998
Eror 215263,6 143 1388,797
Solokaya 276,4564 5 55,291 0,111 0,990
Eror 35872,68 72 498,232
Muara 114,3085 3 38,103 0,053 0,984
Eror 34309,36 48 714,778
Pandiri 104,1606 1 104,161 0,430 0,521
Eror 3874,084 16 242,130
Antar Lokasi 14398,64 27 533,283 0,539 0,973
Eror 323782,5 327 990,161
Keterangan
*Nilai P>0,05 : Tidak ada perbedaan jenis dari sampel sidat yang dianalisis berdasarkan karakter morfometriknya.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
68
KAJIAN STRATEGI REPRODUKTIF IKAN
SENGGARINGAN Mystus nigriceps DI SUNGAI KLAWING KAB.
PURBALINGGA PADA MUSIM BERBEDA
Siti Rukayah
1, Setijanto
1 dan Isdy Sulistyo
2
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengetahui strategi reproduktif ikan Senggaringgan dihabitat alaminya
melalui pendekatan pengamatan : rasio kelamin, fekunditas , ukuran telur, indeks anatomi (IGS dan
IHS), Gametogenesis.
Sampel diambil 4-6 kali selama 3 bulan tiap musim. Sampel musim penghujan pada bulan
Agustus-Oktober, sampel musim kemarau pada bulan mei-Juli. Data: ukuran morfologis, jumlah dan
ukuran telur, indeks anatomi, histologi gonad.
Pada musim penghujan diperoleh rasio kelamin 0,9, fekunditas10005-39.621butir dengan
dismeter 200-275,4 µm, IGS betina 9,33-14,72 %, IHS 0,48-1,98 %. Pengamatan gametogenesis
menunjukan kondisi gonad jantan pada semua tingkatan spermatogenesisi dapat diamati dalam testis,
pada gonad betina mencapai vitelogenesis eksogen awal. Sedangkan pada musim kemarau diperoleh
rasio kelamin 0,6.; fekunditas 9675-23220 butir dengan diameter 107-228,2 µm, IGS 1,79-11,13 %, IHS
1,1-2,31 %, pengamatan gametogensis menjunjukan kondisis gonad jantan didominasi spermatozoa,
gonad betina pada fase Oogonium-Vitelogenesis Eksogen.
Diperoleh kesimpulan rasio kelamin, fekunditas IGS meningkat memasuki musim penghujan,
IHS jenderung menurun memasuki musim penghujan. Perkembangan Ovarium dan testis nyata terlihat
saat musim penghujan, tetapi estimasi waktu peminjahan dan frekuensinnya belum dapat diketagui.
Kata kunci : ikan senggaringan, strategi reproduktif, Sungai Klawing musim
ABSTRACT This study were purposed to find out reproductive strategy of senggaringan fish in natural
habitat through approach monitoring of male and female ratio, fecundities, egg size, index of anatomy
(IGS and HIS), gametogenesis.
Sampling was conducted out 4-6 times since 2 months in every season. Sampling of rainy season
on September-October, sampling of dry season on May-June. Supporting data of morphology size, total
and size of egg, anatomy index, histological gonad.
On rainy season get the result of male and female ratio 0,9, fecundities 10005-39.625 grain with
diameter 200-275,4 µm, female IGS 9,33-14,72%, HIS 0,48-1,98%. Monitoring of gametogenesis showed
condition of male gonad in the all level spermatogenesis can monitoring the testis, in the female gonad
achieve vitelogenesis of beginning exogenous. And then on the dry season get the result male and female
ratio 0,6; fecundities 9675-23220 grain with diameter 107-228,2 µm, IGS 1,79-11,13, IHS 1,1-2,31%,
monitoring of gametogenesis showed condition of male gonads were dominant spermatozoa, female
gonads in the Oogonium fase-Exsogen Vitelogenesis.
Key words: senggaringan fish, reproductive strategy, Klawing River, season.
1 Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, e-mail: [email protected] 2 Fakultas Sain dan Teknik Universitas Jenderal Soedirman
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
69
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ikan senggaringan Mystus nigriceps merupakan ikan liar bernilai ekonomis
penting, namun di perairan umum wilayah Banyumas, penyebaran ikan ini sangat
terbatas. Hasil kajian Setijanto et al., (1999) menunjukkan bahwa sedikitnya tiga
species berhasil dijumpai yaitu M. Gullio, M. Microcanthus dan M. nigriceps. Species
pertama dapat dijumpai disungai Serayu dan Mengaji. Species kedua didapatkan selain
di sungai Serayu juga di sungai Logawa. Sementara, Sulistyo dan Setijanto (2002)
mendapatkan species ketiga (M. nigriceps) di Sungai Klawing dan Serayu. Karena
alasan inilah peneliti menentukan Sungai Klawing dan Serayu sebagai lokasi penelitian.
Menurut Saanin (1982) kedudukan taksonomik ikan senggaringan termasuk Kelas
Actinopterygii, Ordo Siluriformes dan Familia Bagridae.
Usaha penangkapan yang dilakukan terus menerus dapat menyebabkan
penurunan populasi. Menurut Duncan dan Lockwood (2001) ±10.000 species ikan air
tawar telah didiskripsi dan sebagian besar berada dalam tekanan. Lebih dari 20% nya
dalam kondisi terancam punah, termasuk di dalamnya ikan-ikan Siluriformes.
Salah satu upaya perlindungan suatu species dari kepunahan adalah melalui
budidaya atau penangkaran. Budidaya ikan liar akan berhasil bila didasari atas
pengetahuan tentang biologi species dimaksud, khususnya aspek strategi reproduktif.
Strategi reproduktif dapat dijabarkan ke dalam modalitas peneluran (Sulistyo,
1990), investasi gizi dan enerji (Xie et al., 1998; Basuki et al., 2002), gametogenesis
jantan dan betina (Rinchard dan Kestemont, 1996; Sulistyo et al., 1998; Sulistyo, et al.,
2000), frekuensi peneluran (Hunter dan Macewicz, 1985), rasio kelamin dan habitat
(Baroiller dan D’Cotta, 2001) dan ukuran serta kualitas telur (Gisbert et al., 2000).
Medium eksternal sangat berperan penting dalam menentukan tingkat kelangsungan
hidup embrio ikan, beberapa saat sebelum menetas (Gunasekara dan De Silva 2000).
Sehingga bagi perkembangbiakan ikan pengamatan kondisi habitat alami sangat penting
dilakukan.
Informasi ilmiah tentang ikan senggaringan sebagai sumberdaya lokal masih
sangat jarang dilaporkan. Sebagaimana diketahui bahwa di perairan umum wilayah
Banyumas masih banyak sumberdaya lokal yang perlu dikaji dan dikembangkan.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
70
Sehingga penelitian ini diharapkan memberikan informasi yang dapat dijadikan dasar
dalam upaya budidaya ikan senggaringan yang secara tidak langsung dapat
berkontribusi pada pelestarian stok ikan ini di sungai.
Perumusan Masalah
Bagaimanakah perkembangan gonad jantan dan betina ikan senggaringan,
berapa nilai indeks anatomis (IGS dan IHS), berapakah nilai fekunditas dan ukuran telur
ikan senggaringan, berapakah nilai rasio kelamin dan bagaimana keadaan habitat.
Tujuan Penelitian
Penelitan ini bertujuan untuk mengetahui strategi reproduktif ikan senggaringan
di habitat alaminya melalui pendekatan pengamatan: perkembangan gonad jantan dan
betina, fekunditas serta ukuran telur, nilai IGS dan IHS, rasio kelamin, keadaan habitat
ikan senggaringan dewasa.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Sungai Klawing Kab. Purbalingga dan Sungai Serayu
Kab. Banyumas. Pengambilan sampel dilakukan 9 kali selama 3 bulan (Agustus-
Oktober 2003). Waktu pengambilan sampel pagi, siang, sore, malam hari.
Penentuan stasiun
Pengamatan dan pengambilan sampel difokuskan pada 6 stasiun ( 4 di Sungai
Klawing dan 2 di Sungai Serayu) hal ini untuk memudahkan dalam mendapatkan
sampel berdasarkan pengamatan terdahulu oleh Sulistyo dan Setijanto (2002).
Pengambilan Sampel
Jumlah sampel yang diambil 20 % dari hasil tangkapan (jantan dan betina).
Tetapi bila hasil tidak mencapai 10 ekor maka seluruhnya diambil sebagai sampel.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
71
Perlakuan Sampel
Setiap individu ikan sampel diukur (± 0,1 cm) dan ditimbang ( ± 0,01g) in
situ. Selanjutnya, gonad, hati, dimasukkan dalam botol sampel. Botol-botol disimpan
dalam ice box dengan diberi es curah untuk dibawa ke laboratorium PSPK Unsoed. Di
laboratorium, organ-organ dalam botol sampel ditimbang (± 0,001 g).
Khusus untuk gonad (jantan dan betina), sebelum dikeringkan, diambil sebagian
untuk disimpan dalam larutan Bouin Hollande dan kemudian dibuat preparat histologi.
Pembuatan preparat histologi dilakukan di laboratorium BPPV Wates Yogjakarta.
Gonad betina juga sebagian disimpan dalam larutan Gilson menurut cara yang dipakai
oleh Love dan Johnson (1998) untuk menghitung fekunditas dan mengukur diameter
telur.
Pengumpulan data
Untuk mengenali strategi reproduktif ikan senggaringan di sungai diperlukan
data sebagai berikut:
1. Pengamatan gametogenesis
Pengamatan gametogenesis betina dilakukan dengan menganalisis preparat
histologi gonad betina untuk mengetahui perkembangannya dengan berpedoman pada
klasifikasi yang disusun oleh Rinchard dan Kestemont (1996). Pengamatan
gametogenesis jantan dilakukan dengan menganalisis preparat histologi gonad jantan
untuk mengetahui perkembangannya dengan merujuk pada klasifikasi yang disusun
oleh Sulistyo et al., (2000).
Ukuran telur diperoleh dengan mengukur diameter telur menggunakan
micrometer occuler (± 0,01 mm) terhadap minimal 100 butir telur dari satu individu.
2. Fekunditas atau jumlah telur
Fekunditas atau jumlah telur mutlak dihitung dengan menggunakan rumus
(Cerda et al., 1994).
Ws
SWgoxTF
∑= TF = Fekunditas mutlak
Wgo= berat gonad ∑S= jumlah telur sebagian Ws= berat telur sebagian
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
72
1W
TFRF = RF= fekunditas relatif
W1= berat individu ikan sampel
3. Indeks anatomis jantan dan betina, yang terdiri atas:
• indeks gonadosomatik (IGS= berat gonad/Wx100%) dan
• indeks hepatosomatik (IHS=berat hati/Wx100%).
4. Analisis proksimat pada organ-organ: gonad, hati,
5. Ukuran morfologis: panjang (L) dan berat tubuh (W) untuk individu jantan
dan betina
6. Pengamatan habitat ikan senggaringan dewasa
Analisis data
Analisis data dilakukan secara deskriptif
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ukuran Ikan dan Rasio Kelamin
Ikan senggaringan betina yang tertangkap memiliki berat kisaran antara 58,57
sampai 100,01 g (panjang total antara 19,75 – 23,50 cm). Pada ikan jantan, berat rata-
rata individu berkisar antara 54,23 - 43,70 g (panjang total 18,00 - 19,73 cm), yang
lebih kecil dibandingkan ikan betina. Ukuran berat, tampaknya, sebanding dengan
ukuran panjang. Rasio kelamin pada penghujan 0,9, pada musim kemarau 0,6.
Indeks Morfo-anatomis
Perkembangan ovarium ikan senggaringan, diamati dengan IGS (
Gambar 1), terutama mulai terlihat menjelang musim hujan (sampel mulai
tanggal 3 September 2006; IGS 9,33 ± 1,67%). Meskipun terlihat relatif stabil sampai
tanggal 28 September 2006 (IGS 10,86 ± 2,44%), IGS mencapai 14,72 ± 3,17% pada
tanggal 20 Oktober 2006. Faktor hujan dapat dikatakan memegang peran penting dalam
memicu perkembangan ovarium. Seperti yang dilaporkan Sulistyo dan Setijanto (2002),
ditambah dengan keterangan nelayan di sungai Klawing, bahwa ikan ini memijah pada
saat musim penghujan. Paiva dan Nepomuceno (1998) juga melaporkan puncak musim
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
73
pemijahan selama musim hujan pada ikan oscar Astronotus ocellatus yang hidup di
sungai Amazone.
Aktifitas hati yang dicerminkan dalam nilai fluktuatif dari IHS (
Gambar 1), terlihat harus mengikuti perkembangan ovarium. Hal ini terutama
tampak nyata pada ikan betina yang tertangkap tanggal 28-29 September dan 1 Oktober
2006.
Pada musim kemarau nilai IGS dan IHS lebih kecil dengan nilai yang
didapatkan pada musim penghujan, namun tren nilai IGS dan IHS sama yaitu IGS lebih
tinggi dibanding IHS.
0,00
6,00
12,00
18,00
30 Agust 09 Sep 19 Sep 29 Sep 09 Okt 19 Okt
Tanggal Pengambilan Sampel
Indeks G
onadosomatik (%)
0,00
0,60
1,20
1,80
2,40
3,00
Indeks H
epatosomatik (%)
IGS (%) IHS (%)
Gambar 1. Indeks gonado- dan hepatosomatik rata-rata (± sd) individu ikan senggaringan betina
tertangkap dari sungai Klawing pada musim penghujan .
Gambar 2. Indeks gonado- dan hepatosomatik rata-rata (± sd) individu ikan senggaringan jantan
tertangkap dari sungai Klawing pada musim penghujan
0,00
0,40
0,80
1,20
02 Sep 12 Sep 22 Sep 02 Okt 12 Okt 22 Okt
Tanggal Pengambilan Sampel
Indeks G
onadosomatik (%)
0,00
0,90
1,80
2,70Indeks H
epato
somatik (%)
IGS (%) IHS (%)
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
74
Gambar 3. Nilai rata-rata IGS ikan senggaringan jantan dan betina (Mystus nigriceps C.V) yang
tertangkap di Sungai Klawing musim kemarau
Gambar 4. Nilai rata-rata IHS ikan senggaringan jantan dan betina (Mystus nigriceps C.V) yang tertangkap di Sungai Klawing musim kemarau.
Berfluktuasinya nilai IHS, bersamaan dengan perkembangan gonad,
menunjukkan fungsi hati dalam aktifitas reproduktif ikan-ikan Teleostei. Peran hati
dalam sintesis bahan-bahan yang akan dideposisikan dalam gonad telah banyak dibahas
pada beberapa spesies ikan, misalnya pada Perca fluviatilis betina (Sulistyo et al, 1998),
P. fluviatilis jantan (Sulistyo et al, 2000), dan walleye Stizostediuon vitreum (Henderson
et al, 1996).
0123456789
20 Mei 3 Juni 16 Juni 30 Juni
IHS (%)
Tanggal Sampling
Rata-rata IHS Jantan dan Betina
IHS Jantan IHS betina
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
75
Fekunditas
Fekunditas mutlak ikan senggaringan pada musim penghujan ini berkisar antara
10005,00 – 39.621 butir (Tabel 1). Hasil ini tidak jauh berbeda dengan yang dilaporkan
oleh Sulistyo dan Setijanto (2002).
Ukuran telur (Ø) menunjukkan bahwa pada musim penghujani ukuran telur
meningkat anatara 200 – 275,4 µm (Tabel 1). Tetapi, saat memasuki musim kemarau,
ukuran telur menurun yaitu 107 – 228,2 µm. Proporsi ukuran 200 µm semakin
bertambah pada bulan Oktober 2006, dan ukuran > 200 µm semakin banyak juga
dijumpai dalam ovarium. Sebaliknya, pada tanggal tersebut, ukuran 50-100 µm
proporsinya berkurang. Hal ini sejalan dengan tingkat perkembangan ovarium (IGS)
dan perubahan oosit secara histologis. Semakin besar ukuran telur, semakin lanjut
tingkat perkembangan oosit. Diameter oosit pada ikan sungai lain, misalnya P.
fluviatilis, dapat mencapai 750-800 µm jika telah mencapai tingkat perkembangan
sangat lanjut (Migaud et al, 2002). Pada ikan laut, Sardinella mderensis, dapat mencapai
650 µm (Sulistyo, 1990).
Tabel 1. Fekunditas dan diameter telur (µm) ikan senggaringan (Mystus nigriceps C.V) yang tertangkap di Sungai Klawing musim hujan
Tanggal sampling Jumlah ikan Fekunditas Diameter telur (µm) 2 September 2006 7 14.578-16.652 243,6-274,2 9 September 2006 4 36.480-37.220 200,0-258,9 22 September 2006 6 12.151-21.370 210,4-272,5 2 Oktober 2006 6 10.005-34.410 207,9-223,1 12 oktober 2006 9 12.151-21.370 210,4-275,4 22 oktober 2006 8 19.671-39.621 204,8-263,1
Tabel 2. Fekunditas dan diameter telur (µm) ikan senggaringan (Mystus nigriceps C.V) yang tertangkap di Sungai Klawing musim kemarau
Tanggal sampling Jumlah ikan Fekunditas Diameter telur (µm) 20 Mei 2006 3 9.978-22.654 143,6-218,2 3 Juni 2006 2 16.480-23.220 107,0-213,9 16 Juni 2006 4 9.675-21.370 180,4-228,2 31 Juni 2006 3 19.875-22.410 197,8-226,2
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
76
s p c 2
sp z
s p c 1
s p g
s p d
O o gV G
V E nd1
Gambaran Histologis (Gametogenesis)
Secara umum gambaran histologis ovarium ikan senggaringan menunjukkan
keberadaan berbagai tingkatan perkembangan oosit. Hal ini sesuai dengan penjelasan
Hunter et al (1985) bahwa pada ikan-ikan yang memiliki tipe peneluran heterokronus
(multiple, batch spawners) di dalam ovariumnya dapat dijumpai berbagai tingkatan
perkembangan oosit tanpa ada dominansi.
Gambar 5. Potongan histologis ovarium ikan senggaringan Mystus nigriceps, tertangkap tanggal 22 September 2006 musim penghujan. Oog: oogonium; VEnd1: fase vitellogenesis endogen awal; VG: vesikel germinal (fase vitellogenesis eksogen awal).
Gambar 6. Potongan histologis testis ikan senggaringan Mystus nigriceps, tertangkap tanggal 22 September 2006. spg: spermatogonium; spc1: spermatosit primer; spc2: spermatosit sekunder; spd: spermatid; spz: spermatozo
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
77
Gambar 7. Histologis gonad ikan senggaringan jantan (Mystus nigriceps C.V) yang tertangkap tanggal 16 Juni 2006 musim kemarau (40x100). Keterangan : Spz : Spermatozoa, Spd : Spermatid, Spc : Spermatocyst, Spg : Spermatogonia
Gambar 8. Histologis gonad ikan senggaringan betina (Mystus nigriceps C.V) yang tertangkap tanggal 16
Juni 2006 musim kemarau (40x100). Keterangan : Oog : Oogonium, Vend1 : Vitelogenesis endogen awal, Vend2 : Vitelogenesis endogen akhir, Vex : Vitelogenesis eksogen
Dari Gambar 5 dapat dijelaskan bahwa fase oogonium, vitellogenesis endogen
awal dan vitellogenesis eksogen akhir berada dalam ovarium ikan senggaring tertangkap
tanggal 22 September 2006. Pada tanggal tersebut, proporsi diameter 50-100 µm
mencapai 60%, dengan tingkat perkembangan sampai pada fase vitellogenesis eksogen
awal. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa untuk dapat mencapai fase
vitellogenesis akhir dan pematangan final (yang ditandai dengan migrasi vesikel
germinal ke arah peripheri) masih dimungkinkan terjadi penambahan ukuran diameter
oosit.
Pada ikan jantan, Gambar 6, testis telah berisi sel-sel spermatozoid yang cukup
berlimpah, pada individu yang tertangkap tanggal 22 September 2006. Meskipun sel-sel
Vex
Oog
Vend1
Vend2
Spz Spg Spc
Sp
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
78
spermatogonium, spermatosit (primer dan sekunder), dan spermatid juga ada di dalam
testis, hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya ikan yang tertangkap tidak berada pada
kematangan seksual pertama kali. Scott dan Sumpter (1989) menjelaskan bahwa
keberadaan berbagai tingkatan perkembangan sel spermatogenesis merupakan indikasi
adanya sel-sel spermatozoid yang telah terbentuk sejak lama, tidak pada kematangan
seksual pertama.
KESIMPULAN
Ukuran ikan betina lebih besar dibandingkan ikan jantan selama masa penelitian.
Rasio kelamin, fekunditas, ukuran telur, IGS serta IHS pada musim penghujan lebih
tinggai dibanding musim kemarau. Perkembangan ovarium dan testis secara nyata
terlihat saat musim hujan. Gonadogenesis, yang juga berupa gametogenesis,
mengakibatkan perubahan nilai indeks hepatosomatik. Oogenesis yang dapat diamati
hanya mencapai vitellogenesis eksogen awal. Proporsi ukuran oosit berubah sesuai
dengan tingkat perkembangan oosit. Semua tingkatan spermatogenesis dapat diamati
dalam testis. Kualitas air sungai selama penelitian masih layak untuk kehidupan ikan
senggaringan.
Dari pengamatan histologi, estimasi waktu pemijahan dan frekuensinya belum
memungkinkan untuk dilakukan. Hal yang dapat dijadikan indikator adalah bahwa IGS
masih dapat meningkat lagi dan tidak dijumpainya oosit pada tahap kematangan akhir.
SARAN
Perubahan nilai indeks Gonadosomatik dan hepatosomatik perlu dikaji lebih
lanjut dalam konteks analisis rinci dari kandungan bahan-bahan pada organ gonag dan
hati. Untuk dapat memprediksi waktu pemijahan secara lebih teliti perlu dilakukan
sampling di fase akhir oogenesis.
DAFTAR PUSTAKA
Baroiller, J. F. dan H. D’Cotta. 2001. Environment and sex determination in farmed fish. Comparative Biochemistry and Physiology Part C. 130: 399-409.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
79
Basuki, F., W. M. Nalley, R. Handarini, S. N. Tambing dan A. Parakkasi. 2002. Produktivitas ikan guppy (Poecilia reticulata Peters) pada berbagai level protein pakan. Aquaculture Indonesia. 2(2): 77-83.
Duncan, J. R. dan J. L. Lockwood. 2001. Extinction in a field of bullets: a search for causes in the decline of the world’s freshwater fishes. Biological Conservation. 102: 97-105.
Gisbert, E., P. Williot dan F. Castelló-Orvay. 2000. Influence of egg size on growth and survival of early stages of Siberian sturgeon (Acipenser baeri) under small scale hatchery conditions. Aquaculture. 183: 83–94.
Gunasekera, R. M. dan S. S. De Silva. 2000. The amino acid profiles of estuary perch, Macquaria colonorum, during early development at different salinities. Aquatic
Living Resources. 13: 153−162. Henderson A., Wong J. L., Nepszy S. J. 1996. Reproduction of walleye in Lake Erie:
allocation of energy. Can. J. Fish. Aquat. Sci. 53:127-133. Hunter J. R., Lo N. C. H., Leong R. J. H. 1985. Batch fecundity in multiple spawning
fishes. In: Lasker R. (ed.). An egg production method for estimating spawning biomass of pelagis fish: Application to the nothern anchovy, Engraulis mordax. NOAA Technical Report NMFS. 36: 79-94.
Migaud H., Fontaine P., Sulistyo I., Kestemont P., Gardeur J-N. 2002. Induction of out-of-season spawning in Eurasian perch Perca fluviatilis: effects of rates of cooling and chilling durations on female gametogenesis and spawning. Aquaculture. 205: 253-267.
Rinchard, J. Dan P. Kestemont. 1996. Comparative study of reproductive biology in single- and multiple-spawner cyprinid fish: I. Morphologicaland histological features. Journal of Fish Biology. 49: 883-894.
Setijanto, E. Aryani, dan E. Proklamasiwati. 1999. Distribusi altitudinal ikan sungai: suatu informasi dasar penggunaannya sebagai bioindikator kualitas air dan usaha budidaya. Laporan Penelitian. Fakultas Biologi, Unsoed.
Sulistyo I. 1990. Ovogenèse et modalité de ponte chez la sardinelle Sardinella
maderensis et le carangue medaille Chloroscombrus chrysurus des Côtes de Guinée. Mémoire du DEA. Université de Bretagne Occidentale, Brest, France.
Sulistyo I., Fontaine P., Rinchard J., Gardeur J-N., Migaud H., Capdeville B., Kestemont P. 2000. Reproductive cycle and plasma levels of steroids in male Eurasian perch Perca fluviatilis. Aquat. Living Resour. 13 (2): 99-106.
Sulistyo, I. dan Setijanto. 2002. Bioekologi ikan senggaringan (Mystus nigriceps): Acuan dasar domestikasi dan budidaya. Laporan Hasil Penelitian. Fakultas Biologi, Unsoed.
Sulistyo, I., P. Fontaine, J. Rinchard, J-N. Gardeur, H. Migaud, B. Capdeville dan P. Kestemont. 1998. Reproductive cycle and plasma levels of sexe steroids in male Eurasian perch Perca fluviatilis. Aquatic Living Resources. 13(2): 99-106.
Xie, X., T. Long., Y. Zhang dan Z. Cao. 1998. Rproductive investment in the Silurus
meridionalis. Journal ofFish Biology. 53: 259-271.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
80
PENGARUH CURAH HUJAN DAN TINGGI MUKA AIR
TERHADAP KELIMPAHAN DAN WAKTU PEMIJAHAN
IKAN RAINBOW SELEBENSIS (Telmatherina celebensis) DAN
BONTI-BONTI (Paratherina striata) DI DANAU TOWUTI
Syahroma Husni Nasution*
ABSTRAK Ikan Rainbow selebensis (Telmatherina celebensis) dan Bonti-bonti (Paratherina striata) termasuk
ikan endemik dan statusnya tergolong rawan punah (vulnerable species). Populasi ikan ini dikhawatirkan
mengalami penurunan. Salah satu faktor penyebab penurunan populasi ikan adalah perubahan kualitas
lingkungan akibat perubahan iklim global. Keberadaan ikan ini perlu dipertahankan di perairan
tersebut agar dapat berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh curah hujan dan
tinggi muka air terhadap kelimpahan dan waktu pemijahan ikan Rainbow selebensis dan Bonti-bonti.
Penelitian dilakukan di perairan Danau Towuti dari bulan Maret 2002 hingga April 2003 untuk ikan
Rainbow selebensis, sedangkan untuk ikan Bonti-bonti dari bulan Mei 2006 hingga April 2007. Metode
penelitian yang digunakan adalah deskriptif (sampling). Data curah hujan dan tinggi muka air diperoleh
dari PT.INCO. Contoh ikan ditangkap menggunakan experimental gillnet dengan empat ukuran mata
jaring. Hasil tangkapan dipisahkan menurut ukuran dan jenis kelamin. Dihitung jumlah dan ukuran ikan
per penarikan alat tangkap untuk mengetahui kelimpahan ikan. Dilihat tingkat kematangan gonad dan
indeks kematangan gonad ikan. Kelimpahan ikan Rainbow selebensis dan Bonti-bonti tertinggi dijumpai
pada bulan November. Parameter lingkungan yang memiliki keeratan hubungan dengan kelimpahan
yaitu curah hujan, tinggi muka air dan kelarutan oksigen. Nilai IKG ikan Rainbow selebensis jantan
berkisar 0,46-0,81% dan betina adalah 1,87-2,65 % dan puncak pemijahan ikan ini terjadi pada bulan
November. Nilai IKG tertinggi pada ikan Bonti-bonti jantan dan betina terjadi pada bulan Mei dan
November masing-masing sebesar 2,09±1,36% dan 1,85±1,06%; 3,39±1,47% dan 3,47±1,37%. Puncak
pemijahan ikan Rainbow selebensis dan Bonti-bonti terjadi pada saat tinggi muka air mulai meningkat
setelah mencapai titik terendah. Peningkatan tinggi muka air akibat curah hujan di bulan November
diduga memicu pemijahan ikan Rainbow selebensis dan Bonti-bonti.
Kata kunci: Curah hujan, tinggi muka air, kelimpahan, waktu pemijahan, ikan endemik, Danau Towuti
ABSTRACT Rainbow selebensis (Telmatherina celebensis) and Bonti-bonti (Paratherina striata) are endemic
fishes and the status are vulnerable species. Its population tend to decrease. One factor cause of
decreasing of fish population is environmental quality change impact from global climate change.
Continuation of this fish require to be sustain. This research was aimed to reveal the influence of rainfall
and water level to abundance and spawning season of Rainbow selebensis and Bonti-bonti. This research
was conducted in Lake Towuti from March 2002 to April 2003 for Rainbow selebensis, while for Bonti-
Bonti from May 2006 to April 2007. Research method is descriptive (sampling). Rainfall and water level
data obtained from INCO corporation. Samples were collected using experimental gillnet with four mesh
sizes. The samples from each observation station were selected according to sex and size. Counted
amount of fish and fish size per hauling to know fish abundance. Gonada maturity stages and gonada
somatic index of fish were determined temporally. The highest abundance of Rainbow selebensis and
Bonti-bonti occurred in November. Environmental parameters which have relationship with fish
abundance were rainfall, water level and disolved oxygen. GSI value of male Rainbow selebensis were
0.46-0.81% and female were 1.87-2.65% and peak spawning season of fish occurred in November. The
highest GSI of male Bonti-Bonti occurred in May and November were 2.09±1.36% and 1.85±1.06%; and
female were 3.39±1.47% and 3.47±1.37%. The peak spawning season of Rainbow selebensis and Bonti-
bonti occurred while water level started to increase after reached the lowest level. Increasing of water
level due to rainfall in November and it estimated trigger Rainbow selebensis and Bonti-bonti to spawn.
Key words : Rainfall, water level, abundance, spawning season, endemic fish, Lake Towuti.
* Pusat Penelitian Limnologi LIPI E-mail: [email protected]
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
81
PENDAHULUAN
Ikan Rainbow selebensis (Telmatherina celebensis) dan Bonti-bonti
(Paratherina striata) termasuk jenis ikan endemik dan statusnya tergolong rawan
punah (vulnerable species) (IUCN, 2003 dan Froese and Pauly, 2004).
Permasalahan yang dihadapi ikan endemik seperti Rainbow selebensis dan
Bonti-bonti yaitu dikhawatirkan populasinya di alam akan mengalami penurunan. Salah
satu faktor penyebab penurunan populasi ikan adalah perubahan kualitas lingkungan
akibat perubahan iklim global. Keberadaan ikan ini perlu dipertahankan di perairan
tersebut agar dapat lestari. Beberapa informasi mengenai ikan Bonti-bonti terbatas mengenai sistematika
(Weber and De Beauford, 1922; dan Kottelat et al., 1993) dan distribusinya
(Wirjoatmodjo et al., 2003). Penelitian yang telah dilakukan pada ikan Rainbow
selebensis di Danau Towuti antara lain mengenai distribusi, morfologi, pertumbuhan,
reproduksi dan kualitas perairan danau tersebut (Nasution dan Sulistiono, 2003;
Nasution, 2004; Nasution et al., 2004; Indiarto dan Nasution, 2004; Nasution, 2005;
Nasution et al., 2007a dan b; dan Nasution, 2007). Furkon (2003) juga telah meneliti
kebiasaan makanan ikan Rainbow selebensis.
Pengkajian pengaruh curah hujan dan tinggi muka air terhadap kelimpahan dan
waktu pemijahan ikan Rainbow selebensis dan Bonti-bonti perlu dilakukan. Hal ini
untuk mendapatkan informasi dasar sebagai pendukung usaha konservasi ikan tersebut
agar tetap berkelanjutan di perairan Danau Towuti.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di perairan Danau Towuti Sulawesi Selatan. Danau Towuti
mempunyai luas 560 km2, kedalaman maksimum 203 m, ketinggian dari permukaan
laut 293 m, dan transparansi sedalam 22 m (Fernando dalam Haffner et al., 2001).
Penelitian dilakukan dari bulan Maret 2002 hingga April 2003 untuk ikan Rainbow
selebensis dan dari bulan Mei 2006 hingga April 2007 untuk ikan Bonti-bonti. Waktu
penelitian mewakili musim kemarau, hujan dan peralihan.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
82
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Pengambilan
sampel dilakukan di lima stasiun yaitu: Stasiun I : Tanjung Bakara, terletak di daerah
yang terdapat pengaruh aktivitas penggergajian kayu dan kegiatan penduduk yang
tinggi dalam bidang perikanan, kedalaman air 1,5 - 10 m. Substrat terdiri dari batu,
pasir dan lumpur. Koordinat : S 02o 40’47,1”; E 121o 25’04,0”. Stasiun II : Inlet D.
Towuti yang berasal dari Sungai Tominanga, kedalaman air 1 - 20 m. Substrat terdiri
dari batu, kerikil dan pasir serta jauh dari tempat tinggal penduduk. Koordinat : S 02o
39’43,4”; E 121o 32’46,0”. Stasiun III : Pulau Loeha, terletak di tengah danau dan tidak
dihuni oleh penduduk, kedalaman air >10 m. Substrat terdiri dari batu, kerikil dan
pasir. Koordinat : S 02o 44’33,9”; E 121o 34’44,6”. Stasiun IV : Outlet D. Towuti
(Sungai Hola-hola) yang mengalir ke Sungai Larona, kedalaman air 3-10 m. Substrat
terdiri dari batu dan lumpur, terdapat tanaman air serta jauh dari tempat tinggal
penduduk. Koordinat : S 02o 47’35,1”; E 121o 24’21,1”. Stasiun V: Beau, terletak di
daerah dengan pengaruh aktivitas penduduk yang tinggi dalam bidang perikanan ,
kedalaman air 1,5 - 5 m. Substrat terdiri dari lumpur berpasir dan banyak terdapat
tanaman air. Koordinat : S 02o 51’23,2”; E 121o 32’46,6” (Gambar 1).
Gambar 1. Peta lokasi penelitian di Danau Towuti Peta landsat 21 Mei 2004 (Hehanussa, 2006) dengan
modifikasi
S. Tominanga
S. Larona
Keterangan: I-V = stasiun pengamatan
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
83
Contoh ikan ditangkap menggunakan experimental gillnet dengan empat ukuran
mata jaring, yaitu: ⅝, ¾, 1, dan 1¼ inci dengan panjang masing-masing 50 m dan
tinggi 2 m sehingga total panjang jaring satu unit adalah 200 m. Jaring dilengkapi
pelampung pada bagian atas dan pemberat pada bagian bawah. Contoh ikan hasil
tangkapan (Gambar 2) dari masing-masing stasiun pengamatan dipisahkan menurut
ukuran dan jenis kelamin.
Contoh ikan diawetkan dengan formalin 4% selanjutnya direndam dalam
alkohol 70%. Sampel ikan diukur panjang dan bobotnya masing-masing menggunakan
jangka sorong dengan ketelitian 1 mm dan timbangan dengan ketelitian 0,01 gram.
Parameter kualitas air yang diukur meliputi suhu, oksigen terlarut (DO), konduktivitas,
dan pH diukur menggunakan water quality checker (WQC) Horiba. Parameter
alkalinitas dianalisis menggunakan titrasi asam basa (APHA-AWWA-WEF 1998). Data
curah hujan dan tinggi muka air berupa data sekunder yang diperoleh dari PT.INCO.
Alat pengukur tinggi muka air dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 2. Ikan Rainbow selebensis (A) dan ikan Bonti-bonti (B) Foto: Nasution
Gambar 3. Alat pengukur tinggi muka air di Danau Towuti .Foto: Nasution
A B
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
84
Diameter telur diketahui dengan cara mengambil sebanyak ng 100 butir telur
dengan jumlah individu ikan sekurang-kurangnya 30 ekor dari total hasil tangkapan tiap
periode pengambilan sampel. Diameter telur diamati menggunakan mikroskop yang
dilengkapi dengan mikrometer okuler. Fekunditas dihitung sebagai jumlah telur yang
terdapat dalam ovari pada ikan yang telah mencapai matang gonad. Telur diambil dari
ikan betina dengan mengangkat seluruh gonadnya. Telur diawetkan dalam larutan
gilson, kemudian dihitung jumlahnya dengan metode gravimetrik (Effendie 1979).
Kelimpahan ikan, dianalisis secara non parametrik menggunakan Mann-
Whitney Test pada paket software Minitab 13 dan Steel and Torrie (1981). Nilai IKG
ikan antar stasiun/habitat dan antar waktu/musim, dianalisis secara non parametrik
menggunakan Mann-Whitney Test (Steel & Torrie 1981). Parameter kualitas air yang
berpengaruh terhadap kelimpahan ikan, dianalisis menggunakan analisis multivariat
(Principle Component Analysis/PCA) pada paket software SPSS 11.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kelimpahan Ikan
Pada Gambar 4 tampak terdapat dua puncak kelimpahan Rainbow selebensis dan
Bonti-bonti. Puncak-puncak tersebut disebabkan kedua jenis ikan bersifat multiple
spawner (Nasution, 2005 dan Nasution et al. 2007a). Telur ikan tidak matang serentak
sehingga tidak semua telur dikeluarkan saat pemijahan (total spawner). Namun
demikian kelimpahan ikan tertinggi terjadi pada bulan Nopember baik pada Rainbow
selebensis maupun Bonti-bonti. Kelimpahan ikan tertinggi terjadi pada saat curah hujan
meningkat dan tinggi muka air juga mulai meningkat pada bulan Nopember. Curah
hujan meningkat tampak lebih jelas apabila diperhatikan pada pola grafik (Gambar 4).
Curah hujan terendah di Danau Towuti terjadi pada bulan September yang
mengakibatkan tinggi permukaan danau terus berkurang. Penurunan ketinggian air
mengakibatkan areal habitat ikan berkurang akibat penyusutan ketinggian air,
sedangkan pada bulan Nopember curah hujan mulai meningkat dan mencapai
puncaknya pada bulan April. Habitat ikan yang semula mengalami kekeringan mulai
terendam kembali dan populasi ikan Rainbow selebensis dan Bonti-bonti meningkat di
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
85
bulan Nopember. Keberhasilan ikan untuk bertahan pada bulan selanjutnya sangat
ditentukan oleh kemampuan rekrut (R) yang dipengaruhi oleh pertumbuhan populasi
(G), dikurangi kematian alami (M) dan kematian karena penangkapan (F). Kemampuan
rekrut yang tinggi terjadi pada saat musim pemijahan, sedangkan diluar musim
pemijahan kemampuan rekrut berkurang.
Gambar 4. Grafik hubungan antara kelimpahan (N), tinggi muka air dan curah hujan pada ikan Rainbow selebensis (A) dan Bonti-bonti (B)
Faktor utama yang mempengaruhi perbedaan kelimpahan ikan antar waktu
adalah adanya perubahan curah hujan akibat perubahan musim. Perubahan curah hujan
akan mempengaruhi tinggi muka air dan kualitas air danau yang pada akhirnya
mempengaruhi ikan secara langsung (pertumbuhan dan reproduksi) maupun tidak
langsung (ketersediaan makanan dan predasi) (Welcomme, 2001).
Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Kelimpahan Ikan
Pengaruh beberapa faktor lingkungan terhadap kelimpahan ikan yang dianalisis
secara multivariat dapat dilihat pada Gambar 5. Jumlah kumulatif varian yang
dijelaskan oleh dua komponen (1 dan 2) adalah sebesar 100%. Komponen 1
menjelaskan varian sebesar 98% dan komponen 2 sebesar 2%. Berdasarkan kumulatif
varian tersebut, analisis PCA cukup diwakilkan oleh dua komponen.
Pada Gambar 5 tampak faktor yang berpengaruh terhadap komponen 1 adalah
kelimpahan ikan (1,00), oksigen terlarut/DO (0,76), dan tinggi muka air (-0,61). Faktor
A B
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
86
yang berpengaruh terhadap komponen 2 adalah alkalinitas (0,97), curah hujan (0,67),
dan konduktivitas (0,60). Namun demikian kumulatif varian yang dijelaskan oleh
komponen 1 sangat tinggi (98%) dibandingkan dengan komponen 2 (2%), maka faktor
dominan yang berpengaruh adalah kelimpahan ikan, DO, dan tinggi muka air. Pada
Gambar 5, faktor lingkungan yang berkorelasi erat dengan kelimpahan ikan adalah DO
dan tinggi muka air.
Gambar 5. Pengaruh beberapa faktor lingkungan terhadap kelimpahan ikan yang dianalisis secara multivariat
Jika diperhatikan komponen pertama, maka faktor yang berkolerasi erat adalah
kelimpahan ikan, oksigen terlarut dan tinggi muka air. Sedangkan faktor lainnya (suhu,
pH, alkalinitas, konduktivitas dan curah hujan) memiliki korelasi yang rendah terhadap
komponen pertama. Hal ini menyatakan bahwa antara kelimpahan ikan dengan oksigen
terlarut dan tinggi muka air terdapat hubungan yang erat. Dengan demikian dapat
dikatakan pula bahwa kelimpahan ikan lebih dipengaruhi oleh oksigen terlarut dan
tinggi muka air dibandingkan dengan faktor yang lain. Faktor curah hujan memiliki
keeratan yang rendah terhadap komponen pertama. Hal ini disebabkan oleh nilai rata-
rata curah hujan harian yang sangat fluktuatif. Namun demikian tinggi muka air danau
kelimpahan ikan
alkalinitas
tinggi muka air
Curah hujan
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
87
sangat dipengaruhi oleh curah hujan (Gambar 4). Oleh karena itu tinggi muka air harus
dianggap sebagai satu kesatuan dengan (fungsi dari) curah hujan.
Indeks Kematangan Gonad (IKG)
Nilai IKG bergantung dari ukuran ikan dan tingkat perkembangan gonad. Nilai
IKG ikan Rainbow selebensis jantan dan betina berfluktuasi sepanjang masa
pengamatan yaitu 0,46–0,81% dan 1,87-2,65% (Gambar 6). Fluktuasi nilai IKG
menunjukkan adanya aktifitas reproduksi ikan, paling sedikit terdapat tiga puncak IKG
ikan jantan dan empat puncak kurva IKG betina. Dari keempat puncak kurva IKG
betina yang merupakan puncak perkembangan gonadnya, hanya dua puncak yang sesuai
dengan puncak kurva ikan jantan yaitu terjadi pada bulan Nopember dan Februari.
Sedangkan dua puncak kurva yang lain berlawanan dimana IKG ikan jantan berada
tidak dalam puncak (menurun). Berdasarkan pola kurva IKG tersebut, besar
kemungkinan puncak pemijahan terjadi pada bulan Nopember dan Februari (terjadi saat
musim hujan).
Gambar 6. Nilai IKG ikan Rainbow selebensis di Danau Towuti, M2: Maret, M2: Mei, J2: Juli, S2:September, O2: Oktober, N2: Nopember, D2: Desember 2002, F3: Februari, dan A3: April 2003
Adanya beberapa puncak kurva IKG menunjukkan bahwa ikan Rainbow
selebensis tergolong ikan yang melakukan pemijahan lebih dari sekali dalam setahun.
Menurut Bagenal (1978) bahwa ikan betina yang mempunyai nilai IKG lebih kecil dari
20%, dapat melakukan pemijahan beberapa kali disetiap tahunnya. Dalam penelitian ini
nilai IKG Rainbow selebensis sekitar 3%. Jenis ikan ini memiliki keragaman ukuran
telur yang tinggi. Keragaman telur ini dimungkinkan karena ada sebagian telur ikan
IKG
(%
)
Waktu pengamatan Waktu pengamatan
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
88
yang telah dilepaskan dan telur sisa merupakan telur yang belum matang. Berdasarkan
tipe ovarium menurut Nagahama (1983), ikan Rainbow selebensis ini termasuk tipe
asinkroni/metakrom, dimana ovarium memiliki oosit pada semua tingkat
perkembangannya.
Nilai IKG ikan Bonti-bonti tertinggi secara temporal yaitu dua kali setahun.
Pada ikan jantan IKG tertinggi terjadi pada bulan Mei dan November (2,09±1,36% dan
1,85±1,06%), sedangkan pada ikan betina IKG tertinggi terjadi pada bulan Mei, Juni,
dan November (3,39±1,47; 3,66±0,57%; dan 3,47±1,37%) (Gambar 7).
ikan
Gambar 7. Nilai IKG Ikan Bonti-bonti Jantan dan Betina
Nilai IKG ikan Bonti-bonti jantan memiliki nilai tertinggi di bulan Mei dan
November. Uji Mann-Whitney menunjukan bahwa nilai IKG tersebut berbeda nyata
(α=0,0007). Rendahnya nilai IKG ikan jantan di bulan November dibandingkan bulan
Mei disebabkan ukuran ikan didominasi oleh ikan kecil (76% berukuran 3,80-9,00 cm
dan 24% berukuran 9,01-19,78 cm; N=240 ekor). Demikian juga nilai IKG ikan Bonti-
bonti betina memiliki nilai tertinggi di bulan Mei, Juni, dan November. Berdasarkan uji
Mann-Whitney antara bulan Mei dan Juni menunjukkan bahwa nilai IKG tersebut tidak
berbeda nyata (α=0,6170), sedangkan antara bulan Juni dan November menunjukkan
perbedaan yang nyata (α=0,0547).
Berdasarkan nilai IKG tiap bulan diduga bulan Mei dan November merupakan
musim pemijahan ikan Bonti-bonti di Danau Towuti. Adanya beberapa nilai IKG
tertinggi (bulan Mei dan November pada ikan jantan dan betina), menunjukkan bahwa
ikan Bonti-bonti jantan dan betina tergolong ikan yang melakukan pemijahan lebih dari
N=593
N=522
Waktu pengamatan Waktu pengamatan
IKG
(%
)
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
89
sekali dalam setahun. Bagenal (1978) menyatakan bahwa jenis ikan seperti ini
biasanya memiliki variasi jumlah telur (fekunditas) yang tinggi. Dalam penelitian ini
nilai IKG ikan Bonti-bonti adalah 0,01-6,77% dengan fekunditas berkisar antara 818
hingga 6.051 butir (rata-rata 3.154 ±1.318 butir).
Fluktuasi ukuran diameter telur rata-rata ikan Bonti-bonti berdasarkan dapat
dilihat pada Gambar 8. Ukuran diameter telur rata-rata tertinggi terjadi pada bulan
November, sedangkan terrendah terjadi pada bulan Juli. Peningkatan ukuran diameter
telur dari bulan Agustus hingga November mengindikasikan adanya peningkatan
pertumbuhan reproduktif dan mencapai puncaknya pada bulan November. Hal ini juga
dapat dilihat dari nilai IKG pada Gambar 7, nilai IKG cenderung meningkat dari bulan
Agustus hingga mencapai puncaknya pada bulan November. Peningkatan nilai IKG
disebabkan oleh adanya peningkatan ukuran diameter telur.
Gambar 8. Ukuran Rata-Rata Diameter Telur Ikan Bonti-Bonti Matang Gonad
KESIMPULAN
• Kelimpahan ikan tertinggi terjadi pada bulan Nopember baik pada Rainbow
selebensis maupun Bonti-bonti. Kelimpahan ikan tertinggi terjadi pada saat curah
hujan meningkat dan tinggi muka air juga mulai meningkat pada bulan Nopember.
• Parameter lingkungan yang memiliki keeratan hubungan dengan kelimpahan yaitu
curah hujan, tinggi muka air dan kelarutan oksigen. • Puncak pemijahan ikan Rainbow selebensis terjadi pada bulan Nopember dan ikan
Bonti-bonti pada bulan Mei dan Nopember.
N= 522
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
90
DAFTAR PUSTAKA
APHA-AWWA-WEF 1998. Standard Method For the Examination of the Water and Waste Water. 17th Edition. APA-AWWA-WPCF: 1100 pp.
Bagenal, T.B. 1978. Aspecs of fish fecundity. Ecology of freshwater fish production. Blackwell Scientific Publications. Oxford. p 77-101.
Effendie, M.I. 1979. Metoda Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Cetakan I. Bogor. 112 hal.
Haffner, G.D., P.E. Hehanussa, and D.I. Hartoto. 2001. The Biology and Physical Processes of Large Lakes of Indonesia: Lakes Matano and Towuti. In M. Munawar and R.E. Hecky (eds.). The Great Lakes of The World (GLOW): Food-web, health, and integrity. Netherlands. p. 183-192.
Hehanussa, P. 2006. Land-inland water interactions of the Malili Lakes, their characteristics and antropogenic effects. Proceedings International Symposium. The Ecology and Limnology of the Malili Lakes on March 20-22, 2006 in Bogor-Indonesia. Supported by: PT. INCO Tbk. and Research Center for Limnology, Indonesian Institute of Sciences (LIPI). p 1-4.
IUCN. 2003. 2003 IUCN Redlist of threatened species. www.redlist.org. Download on July 6, 2004.
Froese, R. and D. Pauly. 2004. Fish base. World Wide Web electronic publication. www.fishbase.org. Download on July 6, 2004.
Furkon, A. 2003. Kebiasaan makanan ikan bonti (Telmatherina celebensis) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Indiarto, Y. dan S.H. Nasution. 2004. Makrofita air Ottelia mesenterium dalam kaitannya dengan kelimpahan ikan Rainbow Selebensis (Telmatherina celebensis) di Danau Towuti. LIMNOTEK Perairan Darat Tropis di Indonesia. XI(2):45-49.
Kottelat, M., A.J. Whitten, S.N. Kartikasari, dan S.Wirjoatmodjo. 1993. Ikan air tawar Indonesia bagian Barat dan Sulawesi. Periplus Edition (HK) Ltd. Bekerjasama dengan Proyek EMDI, Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Jakarta. 293 p.
Nagahama, Y. 1983. The Functional Morphology of Teleost Gonads. In W.S. Hoar, D.J. Randal, and E.M. Donaldson (eds.). Fish physiology, IX A: 223-276. Academic Press, New York.
Nasution, S.H. dan Sulistiono. 2003. Kematangan Gonad Ikan Endemik Rainbow Selebensis (Telmatherina celebensis Boulenger). Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan
Perikanan Indonesia (JIPPI), Jilid 10 (2):71-77
Nasution, SH. 2004. Conservation of endemic fish Telmatherina celebensis in Lake Towuti, South Celebes. Proceedings of The International Workshop on Human Dimension of Tropical Peatland Under Global Environmental Changes. Bogor-Indonesia, December 8-9, 2004. 35-42.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
91
Nasution, S.H., Sulistiono, D.S. Sjafei, G.S. Haryani. 2004. Variasi Morfologi Ikan Endemik Rainbow Selebensis (Telmatherina celebensis Boulenger) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Jurnal Akuakultur Indonesia, 3(2):13-18.
Nasution, S.H. 2005. Karakteristik reproduksi ikan endemik rainbow selebensis (Telmatherina celebensis Boulenger) di Danau Towuti. Jurnal Penelitian
Perikanan Indonesia. Edisi Sumber Daya dan Penangkapan, 11(2):29-37.
Nasution, S.H. 2007. Growth and Condition Factor of Rainbow Selebensis (Telmatherina celebensis Boulenger) in Lake Towuti, South Celebes. Indonesian
Fisheries Research Journal, 13(2):117-123.
Nasution, S.H., Sulistiono, D. Soedharma, I. Muschsin, dan S. Wirjoatmodjo. 2007a. Kajian Aspek Reproduksi Ikan Endemik Bonti-bonti (Paratherina striata)di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Jurnal Biologi Indonesia, IV(4):225-238.
Nasution, S.H., Sulistiono, D.S. Sjafei, dan G.S. Haryani. 2007b. Distribusi spasial dan temporal ikan endemik Rainbow Selebensis (Telmatherina celebensis Boulenger) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Edisi
Sumber Daya dan Penangkapan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. 13(2):95-104.
Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1981. Principles and Procedure of Statistic. Second Edition. Mic Graw Hill Book Company, Inc New York. 748 p.
Weber, M. and De Beaufort. 1922. The Fishes of the Indo Australian Archipelago. Vol.IV. EJ. Brill, Leiden. 235 p.
Welcomme, R.L. 2001. Inland Fisheries, Ecology, and Management. Fishing News Books, A Division of Blackwell Science Ltd, London. 358 p.
Wirjoatmodjo, S., Sulistiono, M.F. Rahardjo, I.S. Suwelo dan R.K. Hadiyati. 2003. Ecological distribution of endemic fish species in Lakes Poso and Malili Complex, Sulawesi Island. Funded by Asean Regional Centre for Biodiversity Conservation and the European Comission. 30 p.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
92
EVALUASI KESESUAIAN HABITAT GRASS CARP (Ctenopharyngodon idella)
UNTUK PENGENDALIAN ECENG GONDOK (Eichornia crassipes)
DI DANAU LIMBOTO
Andri Warsa* , Krismono
** dan Lismining Pujiyani Astuti**
ABSTRAK Danau Limboto terletak di Propinsi Gorontalo dengan luas 2500 ha pada ketinggian 25 m
diatas permukaan laut. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian habitat ikan grasscarp
(Ctenopharyngodon idella) untuk pengendalian eceng gondok (Eichornia crassipes) di Danau Limboto
ditinjau dari aspek kualitas air dan ketersediaan pakan alami. Penelitian dilakukan pada bulan Februari,
April dan Juli 2007 dengan menggunakan metode survey berstrata. Berdasarkan beberapa parameter
kualitas perairan dan ketersediaan pakan alami pakan alami di Danau Limboto grascarp dapat di
introduksi, namum introduksi ikan ini juga harus mempertimbangkan mengenai interaksinya dengan (1)
beberapa jenis ikan predator yaitu Glossogobius giuris, Ophiocara porocephala, Channa striata yang
mungkin menjadi pemangsa dan (2) ikan herbivora yaitu Barbonymus goneonotus, Trichogaster
pectoralis yang mungkin dapat berkompetisi dalam pakan.
Kata Kunci : Habitat, Introduksi, Grascarp dan Danau Limboto
ABSTRACT Lake Limboto located at Gorontalo Provincy with area about 2500 ha and elevation about 25 m
above sea level. Aim of writing this paper know habitat suitability of grass carp (Ctenopharyngodon
idella) for water hyacinth (Eichornia crassipes) controlling at Lake Limboto based on water quality and
availability of natural feeding. Research was done on February, April and July 2007 by survey stratified
methode. Based on some parameter of water quality and availability of natural feeding of grass carp at
Lake Limboto could be introduced but must consider interaction between grasscarp and (1) predator fish
as Glossogobius giuris, Ophiocara porocephala, Channa striata can be prey and (2) herbivore fish as
Barbonymus goneonotus, Trichogaster pectoralis can be happen competition of feeding.
Key words: habitat, introduction, grasscarp, Lake Limboto
PENDAHULUAN
Danau Limboto yang secara administratif terletak di propinsi gorontalo dengan
luas 2500 ha dan terletak pada ketinggian 25 m diatas permukaan laut. Danau ini
merupakan muara dari sungai Rintenga, Alopohu, Marisa, Meluopo, Biyonga, bulola,
Talubongo dan sungai sungai kecil di sisi selatan seperti Olimayonga, Ilopopala, Huntu,
Hulakiki, Langgilo dengan outlet sungai Topodu (Legowo, 2007). Saat ini telah
mengalami penurunan kualitas perairan yang mengkhawatirkan antara lain
pendangkalan, penyusutan luas dan populasi tumbuhan air yang tinggi.
* Staf Peneliti pada Loka Riset Pemacuan stok ikan Jatiluhur ** Peneliti pada Loka Riset Pemacuan stok ikan Jatiluhur e-mail: [email protected]
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
93
Gambar 1. Ikan Grasscarp
Grasscarp mempunyai warna abu – abu gelap pada badan bagian atas dengan
badan berwarna putih cerah dan sedikit warna keemasan pada tubuh bagian samping.
Sirip berwarna coklat- abu –abu. Grascarp adalah kelompok terbesar dari family
Cyprinidae dan masuk dalam genus Ctenopharygodon. Spesies ikan ini terdapat
didaerah sub tropis hingga temperat dan merupakan dan merupakan spesies asli di
badan air danau dan sungai besar di Rusia dan China. Grascarp diintroduksi secara
besar – besaran di Amerika Utara, Tengah dan Selatan, kepulauan pasifik selatan, Eropa
Skandinavia dan Afrika. Introduksi grass carp ini bertujuan untuk mengendalikan
tumbuhan air pengganggu secara biologi pada suatu badan air misalnya danau (Bonar et
al, 2002). Ikan ini dapat mencapai berat 30 – 50 kg dengan panjang 1 m (Shiremen and
Smith, 1983). Sama seperti spesies ikan lainnya, pertumbuhan ikan ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain umur, ukuran dan faktor – faktor abiotik seperti kepadatan,
nutrisi, temperatur dan konsentrasi oksigen terlarut.
Introduksi ikan ini kesuatu badan air akan berpengaruh pada makrofita akuatik,
kualitas air dan biota air lainya termasuk plankton, makroinvertebrata, benthos.
Besarnya pengaruh introduksi tersebut tergantung dari kepadatan stok, kelimpahan
tanaman air dan komunitas ikan yang tedapat dibadan air tersebut (Cudmore and
Mandrak, 2004). Dampak yang ditimbulkan oleh penurunan populasi tumbuhan air
adalah meningkatnya total alkalinitas, total fosfor dan klorofil a dan penurunan
kecerahan (Canfiield et al, 1983). Tujuan intoduksi utama adalah pengendalian
kelimpahan dan keragaman tumbuhan air namum kendala yang dihadapi adalah
mempertahankan ikan ini dalam jumlah yang efektif untuk pengedalian tumbuhan air
yang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kematian dan migrasi grascarp serta
peruaban iklim dan kondisi limnologi (Cassani et al, 2008).
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
94
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui kesesuain habitat untuk ikan grass
carp di Danau Limboto untuk pengendalian populasi eceng gondok (Eichornia
crassipes) ditinjau dari aspek kualitas air dan ketersediaan pakan alami.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Danau Limboto pada bulan Februari, April dan Juli
2007. Pengambilan sampel air dilakukan dengan menggunakan ” kemmerer water
sampler” dengan volume 5 l. Pengambilan sampel dilakukan di beberapa titik yaitu
darah inlet, aoutlet, daerah bebas dan daerah budidaya pada kedalaman 0,5; 1; 2 m dan
dasar perairan dengan metode berstrata (Nielsen and Johnson, 1985). Sampel air
dianalisa di Laboratorium Loka Riset Pemacuan Stok Ikan Jatiluhur berdasarkan
APHA, 2005. Beberapa Parameter kualitas air dan metode/alat yang digunakan untuk
analisa disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Beberapa Parameter Kualitas Air dan Metode Analisa / alat
Parameter Satuan Metode / Alat Suhu air oC Termometer Oksigen Terlarut Mg/l Oksigenmeter YSI 55 pH Unit pH indikator Alkalinitas Mg/l Titrasi HCl Nitrit Mg/l Spektrofotometerα – Naftilamin Nitrat Mg/l Spektrofotometer, Brucine Sulfat Orthofosfat mg/l Spektrofotometer, Amonium Molibdat
Sampel plankton diperoleh dengan menyaring sampel air menggunakan
plankton net dengan mesh size 25 µm dan diberi pengawet lugol. Plankton dianalisa
menggunakan microskop dengan metode lucky drop microtransect counting chamber
dan di identifikasi berdasarkan Needham & Needham (1963),
N = V
xvc
vx
A
anx
1
Keterangan : N = jumlah total fitoplankton (sel/l) n = jumlah rataan individu per lapang pandang a = luas gelas penutup (mm
2)
v = volume air terkonsentrasi (ml) A = luas satu lapang pandang (mm
2)
vc = volume air di bawah gelas penutup (ml) V = volume air yang disaring (l)
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
95
Pengambilan sampel benthos menggunakan Eikman Dredge dengan luasan 30 x
30 cm. Sample yang didapat kemudian disaring menggunakan saringan benthos dan di
identifikasi berdasarkan Pennak (1953) dan Edmonson (1959 )
HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk introduksi suatu spesies ikan pada statu badan air perlu dipertimbangkan
beberapa hal antara lain kesesuaian habitat yang dapat ditinjau dari kualitas perairan,
ketersediaan pakan alami dan kompetisi dengan ikan yang sudah ada di badan air
tersebut pertumbuhan ikan koan dapat mencapai lebih 29 g/hari pada kondisi habitat
yang sesuai naum pertumbuahnnya akan terhenti pada kondisimlingkungan yang buruk
atau pada habiat yang tidak terdapat pakan alaminya. Oleh karena itu untuk introduksi
grascarp di Danau Limboto perlu mempertimbangkan aspek - aspek tersebut.
Kualitas Air
Kualitas suatu habitat dapat ditentukan dari berbagai indikator salah satunya
adalah kualitas air (Welcome, 2001). Beberapa parameter kunci kualitas air untuk
kehidupan ikan antara lain konsentrasi oksigen terlarut, karbondioksida bebas, pH,
Alkalinitas dan sulfida (Effendi, 2001). Beberapa parameter kualitas air di Danau
Limboto di sajikan pada tabel 2.
Tabel 2. kisaran beberapa parameter kualitas air
Parameter Satuan Kisaran (rataan) Suhu air oC 26,8 – 32,9 (30) Oksigen Terlarut Mg/l 2,18 – 9,84 (5,05) pH Unit 7 – 8 (7,5) Alkalinitas Mg/l 71,14 – 252 (129) Nitrit Mg/l 0,001 – 0,2 (0,05) Nitrat Mg/l 0,034 – 2,926 (0,768) Orthofosfat mg/l 0,071 – 0,457 (0,2)
Suhu air di Danau Limboto berkisar 26,8 – 32,9 oC dengan rata – rata 30 oC.
Kemampuan makan ikan grascarp akan optimal pada suhu minimal 20oC. Suhu air
yang mencapai lebih dari 38 oC akan menyebabkan kematian pada ikan grascarp
dewasa (Fedorenko and Fraser, 1978) dan untuk anakan ikan berkisar pada suhu 33 -
41 oC sedangkan untuk fingerling ikan grass carp berkisar 35 – 36 oC (Chilton and
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
96
Muoneke, 1992) dan ikan ini mempunyai kemampuan toleransi terhadap perubahan
suhu yang cepat yaitu 4 – 22 oC dalam waktu 2 – 3 jam (Shiremen and Smith, 1983).
Tinggi muka air dan temperatur air mempunyai peran yang penting dalam merangsang
pemijahan. Dibeberapa lokasi misalnya di China temperatur air yang dibutuhkan untuk
merangsang pemijahan berkisar 20 – 30 oC (Chilton and Muoneke, 1992) dan
temperatur untuk pemijahan adalah diatas 27 oC (Crossmen et al, 1987). Telur ikan
grascarp mampu bertahan pada suhu dibawah 18 oC dan membutuhkan suhu 21 – 26 oC untuk inkubasi (Fedorenko and Fraser, 1978). Peningkatan suhu akan mempercepat
metabolisme dan kelarutan gas diperairan misalnya oksigen sehingga dikhawirkan tidak
mampu untuk memnuhi kebutuhan organisme akuatik untuk respirasi dan metabolisme
(Efendi, 2003).
Konsentrasi oksigen terlarut di Danau Limboto berkisar 2,18 – 9,84 mg/l
dengan rata – rata adalah 5,05 mg/l. Konsentrasi oksigen terlarut yang rendah pada
umunya terdapat didasar perairan. Ikan grasscarp akan megalami stress pada konsentrasi
oksigen terlarut di bawah 3 mg/l. Konsentrasi oksigen terlarut antara 0,2 – 0,3 mg/l
adalah konsentrasi letal bagi ikan ini sedangkan fingerling dapat beradaptasi pada
konsentrasi oksigen terlarut pada kisaran 2,8 mg/l (Shiremen and Smith, 1983).
Fingerling grascarp mempunyai kemampuan adaptasi adaptasi yang lebih baik pada
konsentrasi oksigen rendah dibandingkan dengan ikan dewasa (Chilton and Muoneke,
1992). Kemampuan makan ikan ini akan menurun hingga 40 % pada konsentrasi
oksigen terlarut < 4 mg/l.
Fingerling ikan grascarp mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan dengan
kisaran pH 5 – 9 unit (Shiremen and Smith, 1983). Danau Limboto memiliki pH
berkisar 7 – 8 unit sehingga mendukung kehidupan grascarp dan biota air lainya. pH
netral dibadan air ini kemungkinan dikarenakan Danau Limboto memiliki nilai
alcalinitas yang cukup tinggi sehingga mampu menetralkan zat – zat yang bersifat asam
atau basa yang masuk kedalam perairan sehingga pH tidak berubah drastis. Pada
umumnya ikan dan biota air lainnya lebih menyukai perairan dengan pH dengan
kisaran 7 – 8,5. Pada pH 6,0 – 6.5 akan menyebabkan penurunan keragaman benthos
dan plankton meskipun total biomassa dan produktivitas tidak mengalami perubahan
(Efendi, 2003). pH suatu badan air akan mempengaruhi toksisitas ammona (Wright and
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
97
anderson, 2001) karena pada pH tinggi (alkalis) akan banyak ditemukan senyawa
ammonia tak terionisasi (Efendi, 2003).
Total alkalinitas di Danau Limboto berkisar 71,4 – 252 mg/l dengan rata – rata
129 mg/l. Tinnginya daya mengikat asam atau total alklinitas di danau ini kemungkinan
karena catchment area disekitar danau merupakan perbukitan kapur. Ikan grascarp
pada ukuran fingerling mampu bertahan pada total alkalinitas 620 mg/l. Nilai
alkalinitas yang tinggi tidak berkaitan langsung dengan kesuburan atau produktivitas
perairan namun dengan meningkatnya nilai alkalinitas meningkatkan kebaeradaan
fosfor dan elemen esensial lainnya (Effendi, 2003).
Nitrit di Danau Limboto kemungkinan berasal dari limbah domestik dan
dekomposisi bahan organik. Konsentrasi nitrit di Danau Limboto berkisar 0,001 – 0,2
mg/l dengan rata – rata 0,05 mg/l namum secara umum konsentrasi nitrit di Danau
Limboto masih memenuhi baku mutu untuk kehidupan biota air. Pada konsentrasi lebih
dari 0,05 mg/l akan nitrit akan bersifat toksik bagi biota yang sensitif (Moore, 1991
dalam Effendi, 2003). Konsentrasi nitrat di Danau Limboto berkisar 0,034 – 2,926 mg/l
dengan rata – rata adalah 0,768 mg/l dan masih memenuhi baku mutu untuk kehidupan
ikan ((PP No 82 Tahun 2001 dalam KLH, 2004). Nitrat merupakan sumber nutrien yang
dapat digunakan oleh fitoplankton namum dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan
terjadinya blooming (Effendi, 2003). Orthofosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat
dimanfaatkan oleh tumbuham air secara langsung. Konsentrasi orthofosfat di Danau
Limboto berkisar 0,071 – 0,457 mg/l dengan rata – rata 0,2 mg/l. Konsentrasi nutrien
nitrat dan orthofosfat di Danau Limboto dapat mendukung pertumbuhan fitoplankton.
Konsentrasi nitrat dan orthofosfat yang dibutuhkan untuk pertumbuhan fitoplankton
tampa menyebabkan blooming masing masing adalah 0,9 – 3,5 mg/l dan 0,09 – 1,8
mg/l (Mackentum 1969 dalam Yuliana dan Thamrim (2006). Dengan demikian
diharapkan pakan alami untuk fingerling ikan grasscarp akan cukup tersedia.
Keberhasilan introduksi Grass carp untuk mengendalikan pertumbuhan tanaman
air dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jumlah ikan yang ditebar, struktur
komunitas ikan yang ada dan ketersediaan pakan alami (Tu, 2003). Kemampuan makan
grasscarp akan sangat tergatung pada umur dan ukuran ikan, temperatur, konsentrasi
oksigen terlarut dan jenis tumbuhan air yang terdapat di badan air tersebut (Rottman,
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
98
1977). Empat hari setealah memijah grascarp memakan rotifera dan protozoa dan 11 –
15 hari setelah memijah larva ikan ini akan memakan cladocera. Pada waktu 2 minggu
dengan ukuran 12 – 17 cm larva ikan ini akan memakan daphnia dan larva serangga
(Opuzynski and Shiremen, 1995). Pada umur 3 minggu sudah mampu untuk makan alga
berfilamen dan makrofita. Pada usia 1 – 1,5 bulan juvenil ikan ini akan hanya memakan
makrofita. Ikan dewasa akan memakan tumbuhan air submerged dengan daun yang
lunak namum jika keberadaan tumbuhan air hanya dalam jumlah yang sedikit maka ikan
ini mampu memakan benthos dan zooplankton. Berdasarkan kebiasaan pakan ikan
grascarp tersebut, ketersedaiaan pakan alami ikan pada fase larva dan fingerling cukup
banyak di Danau Limboto. Kelimpahan protozoa dan rotifera masing – masing berkisar
2515 – 6707 ind/liter dengan rata – rata 4019 ind/liter dan 1006 – 8495 ind/liter dengan
rata – rata 3085 ind/liter. Ketersedaiaan pakan alami untuk ikan grasscarp dengan
panjang 10 – 15 mm yaitu Daphnia berkisar 1207 – 5030 ind/liter.
Untuk ikan yang telah dewasa pakan adalah macrophyta salah satunya adalah
eceng gondok (Eichornia Crassipes) yang merupakan pakan kesukaan dalam tingkat
medium (Van Dyke et al, 1984) . Tumbuhan air yang banyak terdapat di Danau
Limboto adalah eceng gondok yang menutupi hampir 40 % dari luasan danau
(Krismono, et al, 2007).
Gambar 2. Tumbuhan Eceng Gondok (Eichornia Crassipes)
Jika ketersedaiaan pakan alami berupa macrophyta sedikit, ikan ini juga mampu
untuk memakan benthos dan zooplankton. Benthos yang terdapat di Danau Limboto
didominasi oleh klass gastropoda dari genera tarebia, margaritifera, pteucera, lymnea
dan pomacea dengan kelimpahan berkisar 11 – 723 individu/m2 dengan rata – rata 3026
individu/m2.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
99
Faktor lain yang harus menjadi pertimbangan untuk introduksi grass carp di
Danau Limboto adalah predasi dan kompetisi dengan ikan lain yang ada di telah ada di
danau tersebut. Salah satu faktor penyebab kematian ikan grascarp dialam adalah
predasi oleh beberapa jenis ikan antara lain adalah snakehead. Di Danau Limboto
terdapat beberapa jenis ikan predator yaitu manggabai (Gossogobius giuris), payangga
(Ophiocara porocephala) dan gabus (Channa striata) dengan persentase hasil tangakan
masing – masing adalah 24; 21 dan 3 % yang termasuk dalam kelompok snakehead
yang dikhawatirkan akan menjadi pemangsa ikan grascarp pada ukuran kecil. Untuk
mencegah predasi oleh ikan – ikan tersebut maka ukuran panjang yang dapat di
introduksi adalah 30 cm (Cassani et al, 2008). Di Danau Limboto juga terdapat
beberapa juga terdapat jenis ikan herbivora yaitu tawes (Barbonymus goneonotus) dan
saribu (Trichogaster pectoraalis) dengan persentase hasil tangkapan masing – masing
adalah 4 dan 20 % dengan adanya ikan herbivora ini dikhawatirkan akan terjadinya
kompetisi pakan. Kompetisi antara ikan introduksi dengan spesies ikan yang ada pada
badan air tersebut dikhawatirkan akan menjadi suatu masalah yang cukup sulit.
Persaingan tersebut tidak hanya terjadi untuk pakan alami tetapi juga spawning,
nursery, feeding dan refuge ground (Welcome, 2001). Hal ini kemungkinan akan
berdampak terhadap beberapa jenis ikan asli danau (Taylor et al, 1984 dalam Ccudmore
and Mandarak, 2004). Introduksi ikan ini dapat menyebabkan penurunan ketersediaan
pakan alami bagi invertebrata dan ikan lainnya. Hal ini mengakibatkan terjadinya
perubahan yang signifikan komposisi makrofita, fitoplankton dan struktur komunitas
invertebrta serta mengubah struktur trofik dari suatu badan air (Tu, 2003).
Teknik yang digunakan untuk pengendalian eceng gondok di danau ini harus
tepat agar graas carp yang di gunakan untuk tujuan tersebut tidak menimbulkan
masalah di kemudian hari. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan
membuat pen yang berisi tumbuhan eceng gondok dan kemudian di masukan grass
carp. Dengan demikian diharapkan ikan tidak terlepas keluar ke lingkungan perairan.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
100
Gambar 3. Pen percontohan yang berisi eceng gondok dan grass carp
KESIMPULAN
Berdasarkan beberapa parameter kualitas perairan seperti oksigen terlarut, pH,
alkalinitas, nitrat dan nitrit serta ketersediaan pakan alami pakan alami di Danau
Limboto yaitu plankton, tumbuhan air dan benthos ikan grascarp bisa diintroduksikan
di danau tersebut. Namum juga harus dipertimbangkan interaksi dan persaingan dengan
ikan lainnya yaitu manggabai (glossogobius giuris), payangga (Ophiocara porocephala)
dan gabus (Channa striata) yang bersifat predator dan tawes (Barbonymus goneonotus)
dan saribu (Trichogaster pectoraalis) yang bersifat herbivora.
DAFTAR PUSTAKA
Bonar, S.A, B. Bolding and M Divens. 2002. Effect of Triploid grasscarp on aquatic plants, water quality, and public satisfaction In Washington State North :American Journal of Fisheries Management. American Fisheries society. United States of America. Cassani J,. S Hardin,. V Mudrak., P Zajicek and C.H Bronson. 2008. Arisk Analysis Pertaining to the Use of Triploid Grass Cdarp
For The Bilogical Control of aquatic Plants. Di Akses pada tanggal 25 Juni 2006 dari http//: lkewatch.fas.ufl.edu/
Canfield D.E., Langeland K.A, Maceina M.J Halle W.T and Shireman J.V. 1983. Trophic state Classification of lake With aquatic macrophyte. Canadian Journal
of fisheries and aquatic science.
Chilton III,E.W and M.I Muoneke. 1992. Biology an Management of Grasscarp
(Ctenopharyngodon idella, Cyprinidae) for Vegetation Control a North America Perpective.
Crossman,E.J., S.J. Nepzy and P. Klause, 1987. The First Record Of Grasscarp,
Ctenopharyngodon Idella in Canadian Waters. Can Field-Net.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
101
Cudmore, B and N.E Mandrak, 2004, Biologycal synopsis of Grasscarp
(Ctenopharingodon idella). Canadian Manuscript report of fisheries and aquatic science. Canada
Edmonson, W.T. 1959. Freshwater Biology, 2 nd
Ed. John Wiley & Sonc. Inc. New York.
Effendi.H. 2003, Telaah Kualitas air Bagi Pengelolaan Sumbr Daya dan Lingkungan
Perairan. Kanisius. Yogyakarta.
Effendie, M.I. 2002. Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor.
Fedorenko AY and F.J Fraser, 1978, . Rivew of Grasscarp Biology. Interagancy
Committee on Transplants and Introduction of Fish ang Aquatic Invertebrata in
British columbia. British Columbia. Departement of Fish and Enviromental Fisheries and Marine Service. Technical Report.
Krismono, Astri Suryandari, Amula Nurfiarini, Nanang widarmanto, Mujiyano, Lismining Pujiyani Astuti dan Yayuk Sugianti. 2007. Rehabilitasi dan konservasi sumberdaya perikanan Danau Limboto. Laporan Akhir. Loka riset Pemacuan Stok ikan. Tidak dipublikasikan
Legowo WD,S. 2008. Pendugaan Erosi dan Sedimentasi menggunakan model Geo
WEPP (studi kasus DAS Limboto, propinsi Gorontalo). Diakses dari www.ftsl.itb.ac.id/kk/teknik_sumber_daya_air).
Opuzky, K. and J.V Shiremen, 1995. Herbivorous Fish: culture and Use for Weed
Management in coorporation With James F Weaven. Director of The United States Fish and Wildlife Services National. Fisheries Research Center. CRC Press. Boca Raton, Florida.
Pennak, R.W. 1953. Fresh Water Invertebrata of The United States. The Ronald Press Company. New York.
Nielsen, L.A. And D.L. Johnson.1985. Fisheries Techniques. American Fisheries Society, Bethesda, Maryland.
Needham. J.G and P.R. Needham .1963. A Guide to the Study of Freshwater Biology.
Fifth Edition. Revised and Enlarged. Holden Day. Inc. San Fransisco.
Rottman. R. 1977. Management of Weedy Lake and pond with Grascarp. Fisheries.
Shirenmen,J.V And C.R Smith, 1983 . Synopsis of Bilogycal data on grasscarp
Ctennopharyngodon idella (Cuvier and Valenciennes, 1844) Food and
Aquaculture.
Tu, M. 2003. Invasive spesies Notice : Triploid Grass Carp/White Amur (Ctenopharyngodon idella). The Nature conservancy’s Wildland
Van dyke J.M., A.J Leslie jr and L.E Nall, 1984, The Effect of The Grass carp on aquatic macrophyte of four Florida lakes. Journal of aquatic Plant Management.
Wright P and Anderson P. 2001. Nitrogen excretion. Academic Press. United States of America.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
102
Yuliana dan Tamrin. 2006. Struktur komunitas dan kemelimpahan fitoplankton dalam kaitannya dengan parameter fisiska-kimia perairan di danau Laguna Ternate, Maluku utara. Dalam Prosiding seminar nasional limnologi 2006 : Pengelolaan
sumberdaya Perairan Darat secara Terpadu di Indonesia. Pusat penelitiab Limnologi, Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
103
BIOLOGICAL ASPECTS OF THE ENDEMIC EELS, Anguilla borneensis,
FROM LAKE SEMAJANG, MAHAKAM WATERSHED
(EAST KALIMANTAN, INDONESIA)
Hagi Yulia Sugeha* and Sasanti R. Suharti
Abstract
In order to study biological aspects of the endemic eels from Indonesian Waters, 30 specimens of
anguillid eels were collected by gill nets from Lake Semajang, Mahakam Watershed, East Kalimantan
(Indonesia) from January to February 2007. The specimens were successfully identified as the endemic
species of Anguilla borneensis from Kalimantan Inland Waters, based on morphology and genetic
analyses. The endemic species was about 320~780g (Mean ± SD; 519.17±122.26) in BW and 55~74cm
(64.20±5.60) in TL, and belong to the long-finned eels with 11.11~15.87 (12.97±1.13) in ADL/%TL.
Based on PCR-RFLP analyses, genetic character of the species could be detected by the appearance of
double fragment DNA performed by restriction enzymes Alu I (400bp and 500bp), BbrP I (300bp and
500bp), and EcoT14 I (700bp and 600bp) and single fragment DNA performed by restriction enzymes
Hha I (500bp), Mva I (700bp) and Bsp1286 I (250bp). Species adjustment was done using DNA
mitochondria sequence of the 16S ribosomal RNA gene with specific primer set of the tropical anguillid
eels species. Gonado Somatic Index and Eye Index of A. borneensis were about 1.8~10.3 (Mean ±SD;
3.6±2.1) and 3.8~15.9 (8.7±3.1), respectively. It is suggesting that the species were in yellow and silver
eel stages when collected. However based on gonad morphology, most specimens (80%) was belong to
female immature eels while remain specimen was separated into 10% female mature eels and 10%
intersex eels. Positive linear relationship was detected between TL and BW of A. borneensis suggesting
the species still in growth phase when collected. The study had proven that Lake Semajang as upper side
of Mahakam Watershed was inhabited by the endemic eels A. borneensis. Management and conservation
are require in order to keep sustain A. borneensis in the nature since the species also promoted as one
ancestor of genus Anguilla in the world.
Keywords: Anguilla borneensis, Lake Semajang, Mahakam Watershed, biologicalaspect, endemic eel
INTRODUCTION
About 18 species and subspecies of anguillid eels has been reported to distribute
around the world (Ege, 1939; Jespersen, 1942; Aoyama and Tsukamoto, 1997;
Tsukamoto and Aoyama, 1998; Aoyama et al, 2001) and 9 species among them was
reported to inhabit in the Indonesian Waters (Aoyama et al, 2003, 2007; Watanabe et al,
2004 and 2005; Minegishi et al, 2005; Sugeha et al, 2008). Nine species and subspecies
of tropical eels were including Anguilla borneensis, A. marmorata, A. celebesensis, A.
interioris, A. bicolor bicolor, A. bicolor pacifica, A. nebulosa nebulosa, A. obscura, and
A. megastoma. The tropical area of Indonesian Waters reported as the center for
* Institution: Research Center for Oceanography, Indonesian Institute of Sciences Jl. Pasir Putih 1, Ancol Timur, Jakarta-INDONESIA E-mai : [email protected] or [email protected]
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
104
biodiversity of the anguillid eels in the world (Sugeha et al, 2008) and were inhabit by
the endemic and the ancestor eels of A. borneensis (Aoyama et al, 2001).
The endemic eels, A. borneensis Popta, were firstly reported as A. latirostris
(Popta 1906 cited in Ege, 1939). In 1916, the species were reported as A. celebesensis
by Weber & Beaufort (see Ege1939). But in 1924, Popta revised his work and renamed
A. latirostris as A. borneensis. No information about sampling location of the two adult
specimens of A. borneensis identified by Popta in 1906 but her specimens were keep in
the Leyden Museum and were used by Ege for his historical taxonomic study on the
anguillid eels around the world (see Ege, 1939). Together with Popta’s two co-types,
Ege (1939) reported the taxonomy of A. borneensis based on his observation on the one
adult specimen and large number of elvers of A. borneensis collected from Muara
Muntai, Sungai Belajan, and Kuala Tenggarong of Mahakam River, Central Borneo
(now Kalimantan) from 1926 to 1930.
According to Ege (1939) A. borneensis Popta was an anguillid eel species
without variegated marking and with long dorsal fin. The author reported that the body
coloration of the species was similar with A. anguilla (European eel), A. rostrata
(American eel), and A. japonica (Japanese eel) with a skin type shows on the body a
marked contrast between an upper dark part and a lower lighter part. Complete body
proportion of A. borneensis was not reported by Popta since their adult eel specimen
was very limited. However, recent study on the re-examination of taxonomy of genus
Anguilla conducted by Watanabe et al (2004) reported the similarity of morphological
characters of A. borneensis from their studied with from Ege’s study. The authors also
suggest that the senior synonym A. malgumora after Kaup (1856), Bauchot et al (1993),
and Smith (1999) for the name of A. borneensis was in doubt so they were used the
traditional name A. borneensis in the published paper.
Except for the taxonomic studies conducted by Ege (1939) and Watanabe et al
(2004 and 2005), there was no other biological study applied for the tropical eel of A.
borneensis. In contrast, impact of environmental degradation, infrastructure
development, human daily activities, and climate change was gradually affecting
environmental condition of the Kalimantan Inland Waters as natural growth habitat of
the endemic and the ancestor eel. Based on this problem we conducted both field and
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
105
laboratory study on the anguillid eels from Kalimantan inland waters. The objective of
this study was to carry out basic biological information on the endemic eels of A.
borneensis from Lake Semajang, Mahakam Watershed, East Kalimantan (Indonesia).
MATERIAL AND METHOD
Eel specimens was collected in the Lake Semajang, (00.24157 0S; 116.65623 0E), upper part of Mahakam Watershed, East Kalimantan, Indonesia (Figure 1).
Sampling was done in January and February 2007 using gill nets and traps. Eels that
trapped in the fishing gears were kept alive in the fish container and directly landed
using small boat in order to avoid specimen failed. After landed, specimens were
anaesthetized with phenoxy-ethanol for external morphological observation and
dissecting organs.
Body weighing was done to the nearest 1gr. Body length measurements were
done including total length (TL), pre-dorsal length (PDL), pre-anal length (PAL), body
depth (BD), head length (HL), head width (HW), head depth (HD), inter-orbital width
(IOW), and pectoral fin length (Pf-L) to the nearest 1cm. Other body part measurements
such as horizontal and vertical eye diameter were measured to the nearest 0.1mm. The
morphological characters of ADL/%TL (Sugeha et al, 2001; Watanabe et al, 2004) and
the dentition structure (Watanabe et al, 2004) were used as first confirmation for species
identification.
Thereafter, specimens were dissected to pick up a piece of liver tissue for
crossing check with genetic species identification using PCR-RFLP analyses (Sugeha et
al, 2006 and 2008) and DNA mitochondria sequence analyses of 16S ribosomal RNA
gene (Aoyama et al, 2001, 2003 and 2007;Watanabe et al, 2005). Gonad morphology
and development were observed and described based on Satoh et al (1962). After
observation, gonad were removed and weighed for adjustment the GSI of the specimen.
The Gonad Somatic Index (GSI) was calculated as: Gonad Somatic Index = (gonad
weight/body weight)*100. The eye index (EI) was also calculated as: Eye Index =
{((A+B)/4)2 *π/L}*100 (Pankhurst, 1982), where A is the horizontal eye diameter, B is
the vertical eye diameter and L is the total length.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
106
RESULT AND DISCUSSION
A total of 30 specimens of freshwater eels were collected by gill nets from Lake
Semajang, Mahakam Watershed, East Kalimantan (Indonesia) from January to February
2007, in order to study biological aspects of anguillid eels from the waters. The
specimens were successfully identified as the endemic species of Anguilla borneensis
from Kalimantan, based on morphology and genetic analyses.
The endemic species was about 320~780g (Mean ± SD; 519.17±122.26) in BW,
55~74cm (64.20±5.60) in TL, and about 17.12~34.55 (29.85±2.93) (Table 1). The
species belong to long-finned eels with 11.11~15.87 (12.97±1.13) in ADL/%TL (Figure
2). All the specimen of A. borneensis was non-spotted of skin type, blackish brown in
dorsa-lateral and yellowish to silvering in ventral side coloration, with narrow maxillary
of teeth-structure.
Based on PCR-RFLP analyses, genetic character of the species could be detected
by the appearance of double fragment DNA performed by restriction enzymes Alu I
(400bp and 500bp), BbrP I (300bp and 500bp), and EcoT14 I (700bp and 600bp) and
single fragment DNA performed by restriction enzymes Hha I (500bp), Mva I (700bp),
and Bsp1286 I (250bp). Species adjustment was done using DNA mitochondria
sequence of the 16S ribosomal RNA gene with specific primer set of the tropical
anguillid eels species.
Gonado Somatic Index (GSI) and Eye Index (IE) of A. borneensis were about
1.8~10.3 (Mean ±SD; 3.6±2.1) and 3.8~15.9 (8.7±3.1), respectively (Figure 3). It is
suggesting that the species were in yellow and silver eel stages when collected.
However based on gonad morphology, most specimens (80%) was belong to female
immature eels while remain specimen was separated into 10% female mature eels and
10% intersex eels.
Positive linear relationship was detected between TL and BW (Figure 4).
Here in the present study, we report the existence of A. borneensis in
Kalimantan Island based on morphology and genetic study. Aoyama et al (2001) was
the first to report the occurrence of A. borneensis in the Kalimantan inland waters based
on molecular genetics analysis and the authors proposed the species as the ancestor of
genus Anguilla in the world. Further, Watanabe et al (2004 and 2005) was conducted
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
107
taxonomic study on the genus Anguilla around the world based on morphology and
genetic analysis and the authors also reported the occurrence of A. borneensis in the
Kalimantan inland waters. After studies by Kaup (1856), Ege (1939), Aoyama et al
(2001), Watanabe et al (2004 and 2005), and the present study, it was no doubt that the
species was an endemic species or just grow up in the waters of Kalimantan Island.
Taxonomy study on the species by Popta (cited in Ege, 1939) and Ege (1939)
was using limited number of adult specimen so difficult to carry out other important
biological information such as reproductive characters. This study is the first to report
basic biological information on the reproductive character of the endemic species, A.
borneensis. Relatively highest in GSI and eye index of A. borneensis suggesting that the
specimens collected in the present study were in young and adult eel stages. Mostly
specimens were in the growth stage or belong to immature eels but some specimen just
entering maturation or reproductive stage as mature eels which soon would be initiative
to migrate downstream for reach their spawning area.
Jespersen (1942) is the first who proposed the spawning ground A. borneensis
based on his collecting specimens of eel larvae (leptocephalus) of the endemic species
in around Sulu and Sulawesi Seas. Recent study on the distribution and dispersal of
tropical anguillid eel leptocephali in the Indonesian Waters (Aoyama et al, 2003;
Sugeha et al, 2006) reported the occurrence of A. borneensis leptocephalus in the Sulu
Sea, Sulawesi Sea, Maluku Sea, and Makassar Strait. Based on collection of relatively
small A. borneensis (8.5mm in TL) in the Celebes Sea, then the species were proposed
to spawn on that sea. However, the occurrence of larvae of the species in the other areas
suggested that the species may have multiple spawning areas including around
Makassar Strait and Sulu Sea near their growth habitat in the Kalimantan inland waters.
Interestingly, Sugeha et al (2001) reported the occurrence of glass eel A. borneensis in
the Poso River Estuary. Therefore, it is possible to find A. borneensis in the Maluku Sea
(Aoyama et al, 2003), and the sea would be one proposed area for spawning ground of
the species. In fact, it is important to review the endemic status of A. borneensis using
more advance genetic study of cryptic species. Future intensive research cruise on those
areas as well as continues study on the tropical eels from Poso River system were also
important to do in order to proof the hypothesis.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
108
Study on the early life history of A. borneensis leptocephali based on otolith
microstructure and microchemistry analyses (Kuroki et al, 2006) suggested that the
species has to spawn at a variety of times throughout the year, and have to reach their
maximum size of leptocephali around 50mm in TL and about 80days old. At that time
the leptocephali start to metamorphosis to be glass eels while migrate inshore to reach
their recruitment area in the estuary. The author also proposed that the species has a
small-scale local migration from spawning area to growth area, so A. borneensis may
spawn near their growth habitat. Unfortunately, no study has ever been done for the
glass eel recruitment of A. borneensis that would be help answer the question about
recruitment season and duration of oceanic migration of the remarkable species from
spawning area to recruitment area. Some difficulties related to the widest and deepest of
Mahakam River and recruitment area of Delta Mahakam that completely covered by a
great mangrove forest has rising up a big problem for collecting specimens of glass eels
and elvers. In addition, environmental degradation, development of infrastructure,
water transportation, and forest fired become the next indirect problems that may cause
the endemic species to be an endangered species in the future.
In conclusion, the study had proven that Lake Semajang, as the upper side of
Mahakam Watershed, inhabited by the endemic eels of A. borneensis. Management and
conservation are required in order to keep sustain A. borneensis in the nature since the
species also promoted as one ancestor of genus Anguilla in the world.
ACKNOWLEDGEMENT
We wish to send our grateful to the local fisherman and local people of
Kotabangun Villege, Lake Semajang, Mahakam Watershed for useful help during the
field research and to the Fisheries Government of East Kalimantan Provincy for
valuable support. This study was funded by a research grant from Program Competitive-
LIPI, Sub Program Census of Marine Life from 2004 to 2007 of fiscal years.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
109
REFERENCES
Aoyama J and Tsukamoto K. 1997. Evolution of the freshwater eels. Naturwissenschaften, 84:17-21
Aoyama J, Nishida M, Tsukamoto K. 2001. Molecular phylogeny and evolution of the freshwater eel, genus Anguilla. Molecular Phylogenetics and Evolution, 20:450-459
Aoyama J, Wouthuyzen S, Miller MJ, Inagaki T, Tsukamoto K. 2003. Short-distance spawning migration of tropical freshwater eels. Bio Bull, 204:104-108
Aoyama J, S Wouthuyzen, MJ Miller, Y Minegishi, M Kuroki, SR Suharti, T Kawakami, OK Sumadhiharga, K Tsukamoto. 2007. Distribution of leptocephali of the freshwater eels, genus Anguilla, in the waters off Sumatera in the Indian Ocean. Environ Bio of Fish, 80:445-452
Bauchot ML, M Desoutter, and PHJ Castle. 1993. Catalogue of type specimens of fishes in the Museum national d’Histoire naturelle, Paris. Anguilliformes and Saccopharyngiformes. Cybium 17:91-151
Ege V. 1939. A revision of the genus Anguilla Shaw. A systematic, phylogenetic and geographical study. Dana Report, 16:1-256
Jespersen P. 1942. Indo-Pasific leptocephali of the genus Anguilla. Dana Rep 22:1-128
Kaup JJ. 1856. Catalogue of apodal fish in the collection of the British Museum, London. British Museum, London. 163 p., 19 pls
Kuroki M, Aoyama J, Miller MJ, Arai T, Wouthuyzen S, Tsukamoto K. 2006. Contrasting pattern of growth and migration of tropical anguillid leptocephali in the western Pacific and Indonesian Seas. Mar Ecol Prog Ser, 309:233-246
Minegishi Y, J Aoyama, JG Inoue, M Miya, M Nishida, K Tsukamoto. 2005. Molecular phylogeny and evolution of the freshwater eel genus Anguilla based on the whole mitochondrial genome sequence. Molecular Phylogenetic and Evolution, 34:134-146
Pankhurst NW. 1982. Relation of visual changes to the onset of sexual maturation in the European eel Anguilla anguilla (L.). J Fish Biol, 21:127-140
Smith DG. 1999. Anguillidae. Freshwater eels. Pages 1630-1636 in KE Carpenter and VH Niem eds. FAO species identification guide for fisheries purposes. The living marine resources of the western central Pacific, 3.
Sugeha HY, Watanabe S, Arai T, Aoyama J, Limbong D, Tsukamoto K. 2001. Inshore migration of tropical glass eels (Anguilla spp) to the Poso River, Central Sulawesi Island, Indonesia. In: K. Aida, K Tsukamoto, K Yamauchi (eds). Proceedings of the International Symphosium on Advances in Eel Biology. The University of Tokyo. Pp. 122-125
Sugeha HY, Arai T, Miller MJ, Limbong D, Tsukamoto K. 2001. Inshore migration of the tropical eels Anguilla spp recruiting to the Poigar River estuary on north Sulawesi Island. Mar Ecol Prog Ser, 182:283-293
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
110
Sugeha HY. 2003. Life history of the tropical eel Anguilla marmorata (Quoy & Gaimard) in the Indonesian Waters. Doctoral dissertation, The University of Tokyo, Japan
Sugeha HY, S. Wouthuyzen, O.K. Sumadhiharga, and Katsumi Tsukamoto. 2006. Distribution and dispersal of anguillid leptocephali in the Indonesian Throughflow and Tomini Bay revealed by morphology and genetic analysis. Proceeding on the Annual Scientific III - ISOI, UNDIP Semarang, 19-20 September 2006.
Sugeha HY, Sasanti RS, Wouthuyzen S, Sumadhiharga OK. 2008. Biodiversity, Distribution, and Abundance of the Tropical Angullid Eels in the Indonesian Waters. Marine Research in Indonesia, 33(2):129-138
Satoh H, Nakamura N, and Hibiya T. 1962. Studies on the sexual maturation of the eel. Part I. On the sex differentiation and the maturing process of the gonads. Bull. Japan Soc Scient Fish, 28:579-584
Tsukamoto K, Aoyama J. 1998. Evolution of the freshwater eels of the genus Anguilla: a probable scenario. Environmental Biology of Fishes, 52:139-148
Watanabe S, J Aoyama and K Tsukamoto. 2004. Reexamination of Ege’s (1939) Use of Taxonomic Characters of the Genus Anguilla. Bull Mar Sci, 74:337-351
Watanabe S, J Aoyama, M Nishida and K Tsukamoto. 2005. A molecular genetics evaluation of the taxonomy of eels of the genus Anguilla (Pisces:Anguilliformes). Bull Mar Sci, 76(3):675-690
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
111
Figure 1. Map of sampling location in the Lake Semajang, Mahakam Watershed, East Kalimantan,
Indonesia Black circle indicating sampling site of the endemic eel, Anguilla borneensis.
0
2
4
6
8
10
8 9 10 11 12 13 14 15 16
Nu
mb
er o
f sp
ecim
en
ADL/%TL
A. borneensis
N = 20
Figure 2. Distribution of ano-dorsal length in percentage of total length (ADL/%TL) of Anguilla
borneensis collected in the Lake Semajang, Mahakam Watershed (East Kalimantan, Indonesia)
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
112
y = 15.14x - 453.2R² = 0.481
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1000
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Bod
y W
eig
ht
(gr)
Total Length (cm)
Figure 3. Relationship between total length (TL) and body weight (BW) of Anguilla borneensis collected
in the Lake Semajang, Mahakam Watershed (East Kalimantan, Indonesia)
0
1
2
3
4
5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Nu
mb
er o
f sp
ecim
en
Eye Index
A. borneensis
N = 20
(B)
0
2
4
6
8
10
12
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nu
mb
er o
f sp
ecim
ens
Gonado Somatic Index
(A)A. borneensis
N = 20
Figure 4. Distribution of (A) Gonad Somatic Index and (B) Eye Index of Anguilla borneensis collected
in the Lake Semajang, Mahakam Watershed (East Kalimantan, Indonesia)
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
113
Table 1. Morphological characters of Anguilla borneensis collected in the Lake Semajang, Mahakam Watershed (EastKalimantan, Indonesia).
Character BW TL PDL PAL ADL BH LG HL HW HD IOW
(gr) (cm) (cm) (cm) (cm) (cm) (mm) (cm) (cm) (cm) (mm)
N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
Mean 514.75 64.80 19.05 27.38 8.33 4.94 28.65 8.20 4.06 4.04 18.77
Max 780.00 74.00 23.00 33.00 10.50 6.00 34.60 9.50 5.00 5.00 22.70
Min 320.00 55.00 12.50 22.00 4.50 4.00 22.70 6.50 3.00 3.00 15.40
SD 123.79 5.94 2.39 2.73 1.26 0.43 2.98 0.86 0.52 0.46 2.07
BW : body weight, TL : total length, PDL : pre-dorsal length, PAL : pre-anal length, ADL : ano-dorsal length, BH : body depth, LG : length of gape, HL : head length, HW : head width, HD : head depth, IOW : inter-orbital width
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
114
FISH DIVERSITY OF UPPER PART OF SERAYU RIVER
AS A BASE OF CONSERVATION
W. Lestari* and Sugiharto
ABSTRACT
Conservation of riverine fish should be based on fish biology particularly ecology of fish.
However, information on this subject was not available since most research was conducted on
distribution and morphology or aquaculture. Therefore, this research was carried out to fulfill this need.
Survey was conducted in 30 sites in upper part of Seraru River. Fish was collected by applying seine net
combined by electro fishing during long dry season in 2007. Ninet families, constructed by 17 species of
1796 individuals were recorded. There were Cobitidae, Bagridae, Channidae, Gobiidae, Clariidae,
Chichidae, Sisoridae and Cyprinidae. Seven species of Cyprinidae such as Osteochilus hasseltii, O
kahajanensis, O microcephalus, Puntius javanicus, P orphoides, Rasbora agryrotaenia and R lateralis
were dominant. Meanwhile, Osteochilus microcephalus with 178 individual was the commonest species
and Glyptothorax platypogon with 899 individuals belong to Sisoridae occurred in all sites. Puntius
javanicus with two individuals was the rare species. Population of an endemic fish of Java seems to be
endangered and needed an urgent conservation.
Key words: diversity, riverine fish, conservation, Serayu River
INTRODUCTION
Among the diverse human impacts on rivers, there are three main threats. The
first is degradation of drainage basins, especially due to deforestation. This impact
causes increase in suspended sediment loads and flooding. Excessive flooding siltation
changes river habitats causing species decline. Observation in the Gombak River
Malaysia demonstrated the reduction of fish species due to land development. In 1969,
twenty seven species were recorded, data from 1985 indicated that seven fish species
have completely vanished and five years later four more species disappeared (Zakaria
Ismail, 1994). The second threat is river regulation and control. Flow regulation
changes the magnitude and extent of floodplain inundation and land water interactions.
Fish breeding migrations may be disrupted because dams block migration routes and
change flow regimes. The third threat is river pollution. Untreated waste is a particular
problem in densely populated areas and pollution by industrial effluents is a serious
problem in tropical rivers (Dudgeon, 1992). Most pollution comes from domestic,
* Faculty Biology, University of Jenderal Soedirman. Jl. dr. Suparno No 63. Kampus,Karangwangkal. Purwokerto 53122. e-mail: [email protected]
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
115
agricultural or industrial wastes and can be totally toxic, killing all the fish species
present or selective, destroying a few sensitive species (Maitland, 1995; Kottelat and
Whitten, 1996). For example, thousand tones of the freshwater fish in the floating nets
in the Saguling, Cirata and Jatiluhur reservoirs (West Java) were killed by poisonous
waste every year (Lehmusluoto, 1993)
Based on these fenomena, the research was carried out to determine the fish
diversity of Serayu River especially in upper part.
MATERIALS AND METHODS
Materials
Fishes and water samples were collected from upper part of Serayu River. The
sampling was performed twice during dry season in March - October 2007.
Sampling Methods
The fish sampling was performed in 30 sites of upper part of Serayu River
(Figure 2). Concerning that the efficiency of electric fishing is highest in such a
condition as follows depth < 1 metre with low current, solitary and non migratory fishes
with size > 30 cm (Casselman et al 1990), meanwhile the condition of the 30 sampling
sites was varied, the combined seine net and electric fishing was applied mostly in this
research it means that this combined method was the primary collection method
(Gorman and Karr, 1978, American Public Health Association, 1989) (Figure 1.).
Figure 1. Sampling scheme for fishes. The samples were taken from 2 metres from bank river.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
116
Fishes were sampled by a combined seine net and electric fishing as determined
by the environmental condition at each sampling site. In each sampling site, two types
of microhabitat (riffle, pool and riffle) were differentiated. Riffle habitat is characterised
by flow, shallow and stony substrate. Pool habitat by standing water or very slow
current, deeper and muddy substrate (Angermeier and Karr, 1983). When distinct
microhabitat types riffle and pool were present in sampling site, the pool habitats were
sampled by applying 1.5 x 15 metres seine net with 0.75 cm, 1.5 cm and 3 cm mesh.
The seine net was drawn through and emptied, and then fish were accounted. Riffle
habitat was sampled by thoroughly disturbing the substrates down to 10 cm by kicking
and using electric fishing while moving. Non stationary debris (branches, logs, etc) and
rock that protrude into the water column were removed from the channel in order to
facilitate seining net (Angermeier and Karr, 1983).
Figure 2. Catchment Areas of Serayu
Data Analysis.
The fish composition of the Serayu River was evaluated by counting all fish
captured from 30 sampling sites with 2 replications. Based the species abundance, all
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
117
species of fish was classified into abundance or rare and the results presented in
histograph.
RESULTS AND DISCUSSION
The results of physico-chemical parameters observation was presented in
Appendix 1. It seems that physic of Serayu River was varied. For instance, width and
depth were gradually increased fro upper part to down part such as in site 5 (808 m asl)
with 15 m in width and 40 cm in depth. These become 50 m and 200 cm in site 15 (588
m asl). Clearly, that Serayu River resembled the pattern river continuum (Payne, 1986).
The chemical parameters showed that Serayu River received organic materials
from surrounding areas (App 1). The average BOD value (0.2 mg/l) was recorded in site
30 and the highest COD (19.2 mg/l) was in site 17, it was due to mostly of catchment
areas of Serayu River was agricultural areas and housing. Both are the main source of
organic pollution (Mason, 1991). However, the pH and DO was well supported the
aquatic living particularly fish. It was 7.0 -7.5 and DO more than 6.0 mg/l (Lowe-Mc
Connell, 1975; Leveque, 1997; Martin-Smith, 1998).
Table 1. Fish Abundance of Upper part of Serayu River (n: 60)
Family Species Total (individuals)
Bagriidae Mystus nigriceps 21 Channidae Channa gachua 1 Channa striata 1 Clarridae Clarias batrachus 1 Chichilidae Oreochromis mossambicus 0 Oreochromis niloticus 4 Cobiidae Glossobius bioceliatus 7 Cobitidae Nemachilus fasciatus 139 Cyprinidae Osteochilus hasselti 55 Osteochilus mircocephalus 164 Osteochilus kahajanensis 2 Puntius javanicus 2 Puntius orphoides 15 Rasbora agryrotaenia 7 Rasbora lateristriata 6 Mastacembelidae Macrograthus aculeatus 2
Sisoridae Glyptothorax platypogon 1357 1784
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
118
Fish collection in Table 4 demonstrated that Cyprinidae was dominant in this
part of river. The species richness was 17 species composed by 1784 individuals. Those
belong to nine families. Serayu River was poorer than other rivers such as Logawa
River that inhabited by 33 species (Lestari, 2004, 2005). Like other tropical rivers,
Cyprinidae was the commonest fish, since this family was well adapted in many varied
river conditions. Lowe-McConnell (1975) also reported that Cyprinidae commonly
dominated the rivers in the whole of Southeast Asia. In Western Borneo, about one-
third of all freshwater fishes belong to the family Cyprinidae (Robert, 1989) and in the
Baram River in Sarawak. More over, 44 species of Cyprinidae were recorded in Java
rivers (Kottelat et al., 1993).
Like many other rivers, habitat complexity increases as width and depth increase
may lead to increase in density, and diversity of in downstream part (Schlosser, 1990).
Previous study of fish in rivers revealed variations in fish species composition along
longitudinal gradients within individual rivers, portraying adaptation to habitat
condition associated with upstream versus downstream variation in depth, current and
substrate type (Gorman and Karr, 1978).
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29
Sites
Nu
mb
er
os S
pecie
s
Figure 3. Fish Richness in each site of upper part of Serayu River
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
119
The abundance of fish also portrayed that fish community was mainly
dominated by Cyprinidae, particularly Osteochilus mircocephalus with 164 individuals.
However, only two individuals of Macrograthus aculeatus was captured. The most
abundance site was recorded in site 27 inhabited by 204 individuals, and the poorest
were sites 11 and 13 that only occupied by two individuals. Dominancy of Osteochilus
mircocephalus in this river could be responsible for decreased of riverine fish such as
Macrograthus aculeatus, Channa gachua and Clarias batrachus and an endemic java
fish such as Puntius javanicus.
Concerning the importance of upper part as spawning ground of fish, like case of
the upper stream part of Putah Creek California (Angermeier and Karr, 1983). This part
provided better condition and it was apparently more favourable condition for spawning
and rearing of native species. Moreover, the impact of clearance of forest and
establishment of plantation changes of water quality of rivers through chemical
applications to crops and directly addition of nutrient to the rivers. Clearance forest and
established plantation in upper part of Kali Bedadung in East Java, were claimed as
major cause of high total suspended solids (10 mg/l), total dissolved solids (90.0 mg/l),
conductivity (90µS/cm) of this river (Dudgeon, 2000). Therefore, maintaining the
natural condition of upper part of river areas becomes necessary.
0
50
100
150
200
250
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29
Sites
To
tal
Nu
mb
er
of
Ind
ivid
uals
Figure 4. Fish abundance in each site of upper part of Serayu River
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
120
CONCLUSION
Upper part of Serayu River occupied 1796 individuals composed by 7 species
belong to nine families: Cobitidae, Bagridae, Channidae, Gobiidae, Clariidae,
Chichidae, Sisoridae and Cyprinidae. Maintaining the natural condition of this part
becomes necessary.
ACKNOWLEDGEMENT
This research is part of fundamental research which is financially supported by
DP2M, DIKTI 2007.
REFERENCES
American Public Health Association. (1989). Standard Methods for the Examination of
Waste and Waste Water. American Public Health Association. New York
Angermeier, P.L and Karr, J.R. (1983) Fish communities along environmental gradients in a system of tropical streams. Environmental Biology of Fish 9:117 - 135.
Casselman, J.M., Penczak, T., Carl, L., Mann, R.H.K., Holcik, J and Woitowich, W.A. (1990). An Evaluation of Fish Sampling Methodologies for Large River Systems. Polskie Arch Hydrobiologii 37(4): 512-551.
Colwell, R.K. (2000). Statistical Estimation of Species Richness and Shared Species
From Samples. EstimateS. University of Connecticut. USA. http://viceroy-eeb.uconn.edu/Esti diakses pada 25 Juli 2002.
Dudgeon, D. (1992) Endangered ecosystems: a review of the conservation status of tropical asian rivers. Hydrobiologia 248: 167 - 191.
Dudgeon, D. (1999). The Future Now: Prospects For The Conservation of Riverine Biodiversity in Asia. Aquatic Conservation: Marine and Freshwater
Ecosystems 9: 497-501 Dudgeon, D. (2000). Riverine Biodiversity in Asia: a Challenge for Conservation
Biology. Hydrobiologia 418: 1- 13
Gorman, O.T and Karr, J.R. (1978) Habitat structure and stream fish communities. Ecology 59(3): 507 - 515.
Krebs, C.J. (1998). Ecology: the Experimental Analysis of Distribution and Abundance.
Harper and Row. New York. Kottelat; M., Whitten, A.J., Kartikasari, S.N and Wirjoatmodjo,S. (1993). Freshwater
Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Periplus. Jakarta Kottelat, M and Whitten .T. (1996). Freshwater Biodiversity in Asia: with Special
Reference to Fish. World Bank Technical Paper No: 343. Washingto DC
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
121
Lagler, K.F., Bardach, J,E., Miller. R.R. and D.R. May Passino. (1977). Ichthyology.
John Wiley and Sons. New York.
Lehmusluoto, P. (1993) Limnology of Indonesia Lakes and Reservoirs: With Reference
to the Saguling, Cirata and Jatiluhur Reservoirs in the Citarum River Basin. Final Project Seminar on Water Quality Management and Optimisation of the System of the Citarum River Basin, Bandung 9 - 14 Augusts 1993.
Lestari,W and M.Mühlenberg. (2004) Freshwater fish of the Logawa River Central
Java, Indonesia: Adapted or Threatened In: E.Kalko dan M Tschapka (Eds). Proceeding of the 17th Biodiversity and Dynamics in Tropical Ecosystem. ISSN 0944-4122 p: 181
Lestari,W.(2005). Fish Communities of Tropical River: a Case Study of the Mengaji River, Central Java, Indonesia. Sains Akuatik 7(2): 60-66
Lestari,W. (2005b). Kranji Stream: Fish Community and Organic Pollution. In: E.Yuwono dan P. Sukardi (Eds). Prosiding Seminar Nasional Biologi dan Aquakultur Berkelanjutan. ISBN 929-9995-0-2 p: 89-94.
Leveque, C. (1997). Biodiversity Dynamic and Conservation. The Freshwater Fish of
Tropical Africa. Cambridge University Press. Cambridge Lowe-Mc Connell, R.H. (1975). Fish Communities in Tropical Freshwaters: Their
Distribution, Ecology and Evolution. Longman, London Martin-Smith, K.M. (1998). Relationships Between Fishes And Habitat In Rainforest
Stream In Sabah, Malaysia. Journal of Fish Biology 52: 458 – 482 Mason, C.F. (1991). Biology of Freshwater Pollution. Second Edition.Longman Group
United Kingdom Ltd, Harlow, England Payne, A.I. (1986). The Ecology of Tropical Lakes and Rivers. John Wiley and Sons,
Chichester
Roberts, T.R. (1989) The freshwater fishes of Western Borneo (Kalimantan Barat, Indonesia). Mem. California.Acadamic. Science 14: 1 - 210.
Schlosser, I.J. (1990) Environmental variation, life istory attributes and community structure in stream fishes: implication for environmental management and assessment. Environment Management 14: 621 - 628.
Zakaria Ismail, M. (1994) Zoogeography and biodiversity of the freshwater fishes of Southeast Asia. Hydrobiologia 285: 41 - 48.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
122
Appendix 1. Physico-chemical parameters of 30 sites in upper part of Serayu River
Site Width
(m)
Depth
(cm)
Current
(m/sec)
Intencity
(m)
Air
Tempe-
rature (oC)
Water
Tempe-
rature (oC)
pH DO
(mg/l)
BOD
(mg/l)
COD
(mg/l)
1 10 _ 20 50 1.0 50 21-22 21-22 7,00 8,8-9,8 2,2-2,6 3,77- 4,68
2 20 _ 25 55 1.3 55 21 -23 22-23 7,40 8,6-9,8 1,8-5,0 4,1-4,93
3 20 _ 30 55 0.8 55 23 -27 23-24 7,30 8,8-11,8 1,54-2,60
3,44-4,97
4 20 _ 35 35 0.7 35 23 -25 25-26 7,00 9,2-10,0 0,97-3,2 2,0-6,44
5 15 _ 20 50 1.1 50 22- 24 23-24 7,30 10,0 0,97-2,6 4,35-4,68
6 40 _ 50 35_50 0.7 50 22 -24 23-25 7,50 7,8-10,4 2,6-3,26 2,61-6,14
7 15 _ 20 40_55 1.1 55 21- 26 23-25 7,40 8,2-9,0 1,54-7,6 2,3-4,97
8 15 _ 25 55 2.0 55 21-22 23-25 7,40 7,8-9,0 1,2-1,83 4,97-24,35
9 20 _ 25 50 _90 1.2 75 21 -24 23-24 7,50 8,2-9,0 1,83-4,6 2,93-6,38
10 15 _ 30 40_80 1.0 55 21-22 23-25 7,50 6,8-10,4 1,0-2,11 3,51- 6,67
11 30 70 0.7 45 22-23 23 7,00 8,8-10,0 1,0-2,0 6.67-7,90
12 30 40_65 1.0 65 21-26 23-24 7,00 8,6-10,8 1,2-1,4 7,9-10,99
13 25 55_60 1.2 45 21-28 23 7- 7.5 8,4-10,6 2,4-8,4 8,62-12,37
14 30 30 1.1 30 24-30 26 6.8 -7 8,2-10,2 2,0-4,2 1,37-8,62
15 50 > 200 0.6 50 27-28 23-26 6.8 -7 10,4-10,6
1,8-6,0 2,75-9,34
16 25 50_60 0.8 60 26-27 24-26 7,00 8,2-9,4 0,6-5,4 4,12-14,36
17 25 45_80 0.5 50 24 24-25 7,00 8,0-10,4 1,8-2,6 9,34- 19,23
18 20_25 50_60 0.8 60 24-27 25 7,00 6,2-9,4 1,4-2,4 14,36- 16,49
19 30 60 0.9 60 22–24 25 7,00 7,4-10,0 2,0-2,6 7,90-14,08
20 20 40_80 1.1 65 23 25-26 7,00 8,8-10,0 1,2-3,6 8,59-10,41
21 30 6.90 1.4 1.4 24-27 24-27 7,00 8,8-10,4 2,2-3,6 4,82-5,84
22 25 54.90 0.2 0.2 26-32 25 7-7,5 7,8-9,8 0,4-1,4 3,91-5,16
23 50 87.90 0.1 0.1 26-32 26 7,00 10,0 10,4
0,5-1,8 3,91-5,59
24 30 64.50 0.2 0.2 26-31 24-28 7,00 10,0-10,2
0,9-1,8 4,51-6,03
25 25 73.73 0.1 0.1 26–31 24-28 7,00 10,0- 10,4
0,2- 0,4 3,61-7,74
26 30 72.30 0.1 0.1 25-29 25-27 7,00 10,0- 10,2
2-3,2 5,16-6,32
27 25_30 13.58 0.7 0.7 27–31 25-28 7- 7,5 8,2-10,2 0,2-0,4 4,21-5,16
28 50 9.01 1.1 1.1 27 26 6,8 - 7,00 9,4-10,6 0,7-2,0 6,45 - 6,92
29 40 9.55 1.0 1.0 27-31 26 - 29 7,00 10,0-10,2
1,4-3,2 3,87-6,92
30 50 5.07 1.9 1.9 25 – 27 26 -30 7,00 10,0- 10,2
0,9-1,4 3,87-6,32
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
123
PROSPEK KANAL PERIFITON SEBAGAI BASIS PENGELOLAAN
PERAIRAN DARAT: Potensi Perifiton Sebagai Bioindikator, Bioproduk, dan Biotik
Uptake di Perairan
Nofdianto*
ABSTRAK
Salah satu dampak krisis global yang melanda planet bumi dewasa ini adalah terjadinya
degradasi ekologis pada sektor perairan darat. Terutama di negara-negara berkembang seperti halnya
Indonesia pengelolaan sumberdaya perairan umumnya masih bersifat darurat dan tidak memperhatikan
aspek perlindungan dan pelestarian. Didukung oleh faktor geografis, pengembangan model pengelolaan
perairan darat berbasiskan “Kanal Perifiton” memiliki prospek terutama sebagai bio-indikator, bio-
produk, dan biotik- Uptake. Beberapa studi secara terpisah telah dilakukan terhadap tiga prospektif
tersebut, antara lain studi pemodelan produksi net yang mengukur laju fotosintesis-respirasi dan
dikembangkan sebagai bio-indikator di perairan lotik di Laboratorium SEVAB Universitas Paul Sabatier
Toulouse Perancis. Net produksi bervariasi secara nyata berdasarkan waktu dan tempat terutama
dengan ketersediaan cahaya, arus, nutrien, dan tingkat polusi. Produksi massal dan laju biotik-uptake
dilakukan pada sebuah prototipe ”Kanal Perifiton” di Puslit Limnilogi-LIPI, Cibinong, menunjukan hasil
yang sangat prospektif. Kanal mampu memproduksi hingga 986 kg berat kering perifiton jenis
Stigeoclonium sp per hektar substrat atau rata-rata produksi mencapai 808.2 kg per hektar per minggu.
Fungsi bio-sorption atau bio-uptake oleh perifiton yang diukur pada kanal mampu menurunkan
konsentrasi N,P hingga 94 persen terutama pada fase pertumbuhan eksponensial.
Kata Kunci : Kanal Perifiton, Perairan Darat, Bio-indikator, Bio-uptake, Bio-produc
ABSTRACT
One impact of the global crisis on the world is a degradation of the water ecology. In particular in
developing countries such as Indonesia, the water resource management is still conducted temporally and
without concerned to environmental protection. As a tropical country, Indonesia has a potential in
development of water resources management based pheriphyton communities, such as bio-indicators,
bio-products, and biotic-up take. The studies were done in some regions shown that net production of
periphyton community fluctuated in place and time. Mass culture and bio-uptake of periphyton were
conducted by using a “Canal Periphyton” model in Limnology–LIPI laboratory, Cibinong. The canal can
produce dry weigh of biomass up to 986 kg or the average production about 808.2 kg per hectare per
week. The study of bio-sorption or bio up take of periphyton was also conducted by using “Canal
Periphyton” model, and the result has shown that substrate periphyton able to reduce nitrogen and
phosphorus concentration up to 94 % in the water.
Key words: Canal Periphyton, Bio-indicators, Bio-product, Bio-Up take, Net production
PENDAHULUAN
Pemanfaatan, perlindungan, dan pelestarian merupakan kunci kesinambungan
ekosistem dalam pengelolaan sumberdaya alam termasuk perairan. Salah satu dampak
krisis global yang melanda planet bumi dewasa ini adalah terjadinya degradasi ekologis
* Pusat Penelitian Limnologi-LIPI, Cibinong
Email : [email protected]
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
124
pada sektor perairan darat. Terutama di negara-negara berkembang seperti halnya
Indonesia pengelolaan sumberdaya perairan umumnya masih bersifat darurat dan tidak
memperhatikan ketiga aspek tersebut di atas. Sementara air merupakan sumberdaya
yang sangat esensial bagi kehidupan umat manusia. Ketersediaan sumberdaya air di
bumi tidak merata, dinamis dari waktu ke waktu, dan berbeda dari satu tempat ke
tempat lainnya. Disisi lain pertumbuhan populasi manusia semakin tinggi dengan
tuntutan urbanisasi dan industrialisasi yang semakin meluas berimplikasi pada
meningkatnya kebutuhan akan sumberdaya air. Ketimpangan antara tingkat kebutuhan
dan ketersediaan sumberdaya air akan mengakibatkan terjadinya krisis air.
Melihat nilai strategis dari sumberdaya air, maka sistem atau model pengelolaan
sumberdaya air menjadi sangat penting artinya. Termasuk berbagai kebijakan yang
berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya air perlu dilakukan untuk menanggulangi
krisis air yang berkelanjutan. Beberapa statement dan kesepakatan telah dibuat
sehubungan dengan krisis air antara lain Unesco Tahun 2003 dalam bukunya Water for
people-water for life, mengungkapkan bahwa terkait dengan permasalahan pengelolaan
sumberdaya air disinyalir sekitar 25.000 orang meninggal dunia per hari akibat
malnutrisi dan 6000 orang lainnya, yang kebanyakan anak-anak dibawah umur 5 tahun,
meninggal akibat penyakit berkaitan dengan air (water-related diseases). Pada
pertemuan puncak di Rio de Janeiro pada Tahun 1992, disepakati tentang agenda 21
yang didalamnya juga memuat tentang kebijakan sumberdaya air. Pada salah satu
Babnya menyatakan bahwa tujuan umum dari pengembangan kebijakan sumberdaya air
adalah untuk membuat kepastian terhadap ketersediaan supply secara mencukupi dari
sumberdaya air dengan kualitas yang baik dan pengelolaannya untuk seluruh populasi di
muka bumi. Melakukan pengelolaan secara hidrologis, biologis dan kemia dari fungsi-
fungsi ekosistem, adaptasi aktivitas-aktivitas manusia dalam keterbatasan kapasitas
alam dan melawan vektor penyakit berkaitan dengan air (UN, 1992). Dalam United
Nation Millenium Declaration (2000), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menghimbau
kepada negara-negara anggotanya untuk menghentikan eksploitasi sumberdaya air yang
mengakibatkan ketidaktersediaan sumberdaya air yang berkelanjutan, melakukan
pengembangan strategi pengelolaan sumberdaya air di tingkat regional, nasional
maupun lokal menuju akses berkeadilan dan distribusi berkecukupan.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
125
Bertitik tolak pada permasalahan di atas tulisan ini mencoba mempresentasikan
beberapa hasil penelitian tentang pengembangan model pengelolaan sumberdaya air
berbasiskan “Kanal Perifiton” baik sebagai bioindikator, bioproduk, dan biosorption
atau biouptake.
Kanal Perifiton merupakan istilah baru yang digunakan untuk menjelaskan
sebuah komunitas perifiton atau perifiton yang telah dikondisikan secara artifisial pada
sebuah substrat di bawah permukaan air yang bergerak atau mengalir. Di alam
ketersediaan perifiton terdiri dari kumpulan mikroorganisme yang terdiri dari
mikroalgae, bakteri, jamur, mikrofauna, detritus biotik maupun abiotik. Keberadaan
perifiton ini sering menempel pada benda keras sebagai substratnya berada beberapa
sentimeter di bawah permukaan air. Komunitas ini akan berkembang dengan baik
apabila didukung oleh faktor lingkungan yang memadai seperti tersedianya nutrient
yang cukup, arus air, dan cahaya.
Peran perifiton ini diperairan lotik atau perairan mengalir belum banyak
dipelajari secara intensif hingga saat ini, sementara kehadiran komunitas ini di suatu
badan air tersebut merupakan faktor yang sangat penting. Dalam hal ini perifiton
merupakan rantai trofik dasar sebagai produktivitas primer, dan juga sangat berperan
dalam proses resirkulasi kimia dan biokimia di perairan seperti pada proses fotosintesis
dalam mengikat karbon inorganik, mengasimilasi nutrien terlarut di perairan,
mineralisasi komponen organik dan lain-lain. Menurut beberapa literatur seperti Lange-
Bertalot (1979); Van Dam (1982); Schoeman & Haworth (1986); Round (1991); Cox
(1991); Prygiel & Coste (1993) perifiton sudah lama digunakan sebagai bioindikator
untuk menetukan kualitas air, baik sebagai indikator pada perairan yang kaya akan
elemen nutritif, maupun karena tingkat sensitifitasnya terhadap ion-ion metalik atau
senyawa-senyawa toksik di perairan. Bahkan perifiton juga berfungsi sebagai host dan
sumber nutrisi bagi beberapa jenis mikro konsumer seperti meiofauna dan invertebrata
herbivor di perairan.
Beberapa hasil studi melaporkan bahwa mikroalga benthik atau perifiton
ternyata sangat potensial mereduksi nutrien terutama N dan P dari perairan (Wilde &
Benemann, 1993; Wilde et al.1991; Weissman et al. 1998). Komunitas perifiton mampu
mereduksi dan mengasimilasi senyawa N dan P di perairan, seperti dilaporkan Walter &
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
126
Dodds (2003) bahwa perifiton mempengaruhi removal P dalam badan air mengalir atau
tenang dan memiliki kemampuan mereduksi P melalui uptake dan deposisi, penyaringan
P partikulat dari badan air dan menurunkan aliran yang mempengaruhi penurunan
transport advective P partikulat dan terlarut dari sedimen. Lebih jauh fotosintesis
perifiton secara lokal mampu meningkatkan pH dan dapat meningkatkan overflow
kalsium fosfat, deposisi secara simultan karbonat fosfat komplek dan memperpanjang
siklus P. Disamping itu perifiton yang berfotosintesis secara aktif dapat menyebabkan
konsentrasi oksigen di permukaan sedimen mencapai titik jenuh yang mendorong
deposisi metal fosfat. Contoh lain Kristina & Alison (2002) dengan kemampuan
mengontrol ketersediaan derifat nutrien di sedimen perifiton mampu mengendalikan dan
menekan pertumbuhan gulma laut makro alga di pantai barat Swedia. Sementara
beberapa hasil studi lainnya juga melaporkan bahwa komunitas perifiton bahkan mampu
menurunkan konsentrasi logam berat diperairan melalui filament dan proses-proses
fisiologis yang dihasilkannya.
Dengan potensi yang dimiliki oleh komunitas perifiton tersebut serta faktor alam
yang juga mendukung penulis ingin mencoba membahas lebih jauh kemampuan dan
sumberdaya perifiton ini dalam kaitannya dengan pengelolaan perairan khususnya
perairan darat. Kali ini studi yang berhubungan dengan prospek “Kanal Perifiton”
sebagai bioindikator, bioproduk, dan biouptake menjadi bahasan utama dalam tulisan
ini.
METODOLOGI
Beberapa studi telah dilakukan secara terpisah terhadap tiga prospektif perifiton.
Studi pemodelan produksi net yang mengukur laju fotosintesis-respirasi telah
dikembangkan sebagai bioindikator di perairan lotik di Laboratorium SEVAB
Universitas Paul Sabatier Toulouse Perancis. Teknologi produksi massal dan
penghitungan laju biotik uptake dilakukan pada sebuah prototipe ”Kanal Perifiton” di
Puslit Limnilogi-LIPI, Cibinong.
Pemodelan produksi net dari komunitas perifiton pada site Pinsaguel dan
Gagnac sungai Garonne di Toulouse Perancis dilakukan dengan menggunakan “Model
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
127
P3B” yang dikembangkan oleh (Nofdianto dan Dauta, 2004). Model ini merupakan
penggabungan antara data base lapangan dengan pengukuran secara infitro di
laboratorium. Penentuan laju fotosintesis dan respirasi digunakan parameter KI, Pmax,
dan respirasi yang diukur secara laboratori yang diekspresikan pada persamaan berikut:
P = Pmax * I *(1+ Ki)-1
P = produksi fotosintetik (fosintesis) yang bisa diekspresikan sebagai nilai produksi
primer kotor (GPP) atau nilai produksi primer bersih (NPP). Pmax = produksi
maksimal pada saat intensitas cahaya dititik jenuh, I = intensitas cahaya saat
pengukuran, Ki = nilai konstanta pada titik paroh jenuh cahaya.
Persamaan ini dihubungkan dengan nilai fotosintesis sesaat pada masing-masing
fluktuasi intensitas cahaya harian selama 12 jam (Nofdianto, 2005).
Teknologi produksi massal dan penghitungan laju biotik uptake dilakukan pada
sebuah prototipe ”Kanal Perifiton”.
Gambar 1. Sketsa “Kanal Perifiton” dilihat dari sisi depan dan atas.
Kanal perifiton ini dibuat dengan konstruksi beton dengan ukuran panjang total
7 meter, lebar total 2,5 meter dan tinggi/kedalaman 0,5 meter. Kanal menyerupai doubel
U yang menghubungkan dua buah bak reservoir dengan volume total sekitar 1000 liter.
MPB Photo-bioreactorMPB Photo-bioreactor
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
128
Untuk menciptakan arus, kanal dilengkapi dengan dua buah submersible pump yang
berkapsitas sekitar 3000 liter per jam, pompa ini bekerja masing-masing selama 12 jam
per hari yang dikontrol dengan menggunakan timer. Kanal perifiton juga dilengkapi
dengan pengontrol batas permukaan air automatik menggunakan water level ball dan
tangki air fibre 500 liter. Instrumen ini berfungsi sebagai pengontrol volume air media
dalam kanal terhadap proses evaporasi sekitar 10 hingga 15 liter per hari. Untuk
mengurangi pengaruh radiasi UV dan masuknya air hujan kanal ditutup dengan atap
flaxy exel warna putif susu pada ketinggian sekitar 80 centimeter dari permukaan kanal.
Akumulasi perifiton dilakukan dengan pengambilan biang berasal dari perairan
mengalir dilokasi percobaan, dikoleksi sesuai metoda standar dan dengan menggunakan
sebuah kontainer yang dilengkapi pengontrol suhu perifiton segera dibawa ke
laboratorium, untuk selanjutnya diinkubasikan pada fotobioreaktor dengan
menggunakan media air tanah yang diperkaya dengan 0.115 NH4Cl mg.l-1
, 0.022 mg
KH2PO4 mg.l-1
, 0.018 mg O3Na2Si, 5H2O mg.l-1
) dan trace element dengan pH akhir
diset sekitar 7.
Mengukur laju biotik uptake perifiton dilakukan dengan penambahan
konsentrasi nutrien pada media tumbuh. Pengukuran konsentrasi nutrien dilakukan
setelah 4 jam untuk menetapkan konsentrasi awal. Selanjutnya pengambilan sampel dan
pengukuran konsentrasi nutrien (TN, NO3, TP, PO4) dilakukan setiap 24 jam selama 7
hari dan dilakukan selama 5 minggu. Biomassa perifiton ditentukan setiap minggu
dengan mengukur berat kering dalam bentuk DW, AFDW, dan Klorofil a sesuai dengan
cara kerja metoda standar untuk perifiton.
HASIL DAN DISKUSI
Fluktuasi gross primary production (GPP) dan net primary production (NPP)
diukur pada sesi melintang atau cross section stasiun Gagnac dan Pinsaguel yang
dimodelkan selama periode siang hari dimusim panas dengan menggunakan “P3B
model” (Gambar 2.). Berdasarkan sebaran grafik yang diperoleh terlihat bahwa nilai
NPP positif hanya terdapat pada sebagian cross section saja terutama pada saat
intensitas cahaya tinggi. Pada stasiun Gagnac untuk sektor 2 hingga 7 dengan
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
129
kedalaman 0.9 sampai 1.2 meter, oksigen balansnya selalu negatif, sebagai
konsekuensinya untuk sektor ini nilai NPP per harinya tidak pernah mencapai angka
positif.
Gambar 2. Pemodelan fluktuasi GPP dan NPP pada cross-section stasiun Gagnac dan Pinsaguel dari
pukul 5 pagi hingga pukul 12 siang
Berdasarkan hasil proyeksi model P3B, sangat memungkinkan metoda ini
digunakan sebagai pembanding diferensiasi yang ditimbulkan oleh faktor intensitas
cahaya atau kecerahan, musim, dan ketinggian. Secara umum kecerahan rendah akan
meningkatkan defisit keseimbangan oksigen harian pada setiap sektor perairan sungai.
Hasil kuantifikasi proses ini juga berkaitan erat dengan sebaran dan akumulasi
komunitas perifiton, ketersediaan nutrien, pencemaran dan mikroinvertebrata grazer
serta kondisi morfologis perairan itu sendiri.
-900
-600
-300
0
300
600
900
1200
1500
1 3 5 7 9 11 13
Sectors
P ( m
g O
2.m
-2.h
-1 )
05.00
06.00
07.00
08.00
12.00
05.00
06.00
07.00
08.00
12.00
Gagnac Pinsaguel
GP
NP
-600
-300
0
300
600
900
1200
1500
1 3 5 7 9 11 13
Sectors
P (mg O
2.m
-2.h
-1)
-900
-600
-300
0
300
600
900
1200
1500
1 3 5 7 9 11 13
Sectors
P ( m
g O
2.m
-2.h
-1 )
05.00
06.00
07.00
08.00
12.00
05.00
06.00
07.00
08.00
12.00
05.00
06.00
07.00
08.00
12.00
05.00
06.00
07.00
08.00
12.00
Gagnac Pinsaguel
GP
NP
GP
NP
-600
-300
0
300
600
900
1200
1500
1 3 5 7 9 11 13
Sectors
P (mg O
2.m
-2.h
-1)
Stigeoclonium sp - Mei 2008
y = -9.0397Ln(x) + 21.352
R2 = 0.7517
0
5
10
15
20
25
30
0 2 4 6 8 10 12 14
Time (day)
TN (mg/L)
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
130
Gambar3. Grafik penurunan konsentrasi N P yang dukur sebagai biouptake perifiton pada fotobioreaktor
kanal.
Biotik uptake yang diekspresikan dengan penurunan konsentrasi nutrien (N,P) di
media oleh “Kanal Perifiton” seperti terlihat pada Gambar 3. Penurunan konsentrasi N
dan P berturut-turut berkisar 93.66 dan 94.40 % dari konsentrasi awal yang dimonitor
selama lebih kurang dua minggu. Penurunan konsentrasi nutrien lebih efektif terutama
pada fase tumbuh eksponensial atau berkisar antara satu hingga 3 minggu.
Hal lain yang juga menjadi perhatian dari biouptake perifiton ini adalah laju
uptake harianya cenderung menurun selama pengamatan (Gambar 4.). Hal ini berarti
bahwa kemampuan uptake komunitas perifiton ada kaitannya dengan tingkat akumulasi
biomassa atau dengan ketersediaan nutrien di media. Dugaan ini di perkuat dengan
membandingkan hasil laju uptake pada fase stasioner dan fase tua , dimana laju uptake
sudah sangat rendah dan penurunan konsentrasi menjadi sangat fluktuatif (Data tidak
ditampilkan). Persoalan lain yang mungkin timbul bila biosorption ini untuk
diaplikasikan dilapangan adalah penimbunan biomasa perifiton pada reaktor.
Penimbunan ini bisa berakibat buruk terhadap kualitas air yang ditreatmen karena akan
melepas eksudat berasal dari proses dekomposisi biomassa. Untuk itu pemanfaatan
biouptake “Kanal Perifiton” akan lebih efektif pada fase tumbuh awal (1 hingga 3
minggu) dan memblok fase tumbuh selanjutnya dengan cara pemanenan.
y = -0.9782Ln(x) + 2.5318
R2 = 0.8651
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
0 2 4 6 8 10 12 14
Time (day)
TP (mg/L)
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
131
Gambar 4. Laju bio-uptake perifiton diamati selama 2 minggu pada fotobioreaktor kanal.
Gambar 5. Grafik konversi bio produk perifiton yang diekspresikan dalam berat kering dan berat kering
tanpa abu.
Pemanfaatan potensi bioproduk sebagai biomassa dari perifiton yang cenderung
monokultur pada pertengahan hingga akhir masa akumulasi), yang mana setelah
dikonversikan kanal mampu memproduksi hingga 986 kg berat kering perifiton jenis
Stigeoclonium sp per hektar substrat atau rata-rata produksi mencapai 808.2 kg per
hektar per minggu (Gambar 5.). Bioproduk ini sangat potensial untuk dikembangkan
sebagai bahan baku obat, kosmetik, pakan, pupuk organik, dan biofuel. Dalam
pemanfaatan biomasa juga terbuka kemungkinan pengembangan teknologi perikanan
budidaya perikanan dengan perifiton sebagai pakan utamanya, sehingga biaya produksi
bisa ditekan lebih jauh.
Ucapan Terimakasih
Banyak pihak yang mendukung terlaksananya kegiatan ini, terutama Prof. Dr. Alain
DAUTA dari Universitas Paul Sabatier Toulouse III Perancis, dukungan dana dari
kegiatan Kompetitif LIPI, dan seluruh teman-teman yang terlibat pada kegiatan
kompetitif “Fitoteknologi Mikrofitobentik” Puslit Limnologi, Cibinong.
y = -1.6647Ln(x) + 4.9985
R2 = 0.933
0
1
2
3
4
5
6
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Daily uptake Uptake rate (mgTN /L/day)
0
200
400
600
800
1000
1200
2-Jul-
08
8-Jul-
08
15-Jul-
08
22-Jul-
08
29-Jul-
08
3-Aug-
08
Sampling
Biomas ( Kg/Ha )
DW total
AFDW Total
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
132
DAFTAR PUSTAKA
Cox, E.J.(1991). What is the basis for using diatoms as monitors of river quality. ln
Whitton B.A., Rott E. & Friedrich G. (eds.), Use of algae for monitoring rivers,
Düsseldorf, E. Rott, Innsbruck; 33-40.
Kristina S.& Alison M. (2002). Role of microphytobenthos and denitrification for
nutrient turnover in embayments with floating macroalga mats: a spring
situation. Aquatic Microbia Ecology, 30: 91-101.
Lange-Bertalot, H. (1979). Pollution tolerance of diatoms as a criterion for water quality
estimation. Nova. Hedw. Bieh. 64:285-304.
Prygiel, J. and M. Coste, (1993). Utilisation des indices diatomiques pour la mesure de
la qualité des eaux du bassin Artois-Picardie: bilan et perspectives. Annls
Limnol. 29 (3-4) : 255-267.
Round, F.E. (1991). Diatoms in river water-monitoring studies. J. Appt. Phyrot. 3 : 129-
145.
Schœman, F .R. and Haworth, E. Y. (1986). Diatoms as indicators of pollution. Report
on a workshop. ln M. Ricard (00.), Proc. of the 8th. Internat. Diatom Symp.
Paris Aug. 84, O. Kœltz Publ., Kœnigstein. : 757-759.
UN Mellinium Declaration, 2002. World Urbanization Prospects, The 1999 Revision.
New York.
UN, 1992. Agenda 21. Programme of Action for Sustainable Development. Official
Outcome of the United Nations Conference on Environment and Development
(UNCED).3-14 Juni 1992. Rio de Janeiro.
Unesco, 2003. Water for People-Water for Life. The United Nations World Water
Development Report. Unesco Publishing/Berghahn Books.
Van Dam, H. (1982). On the use of measures of structure and diversity in applied
diatom ecology. Nova Hedwigia 73: 97-115.
Walter K& Dodds (2003). The role of periphyton in phosphorus retention in shallow
freshwater aquatic systems. J. Phycol.39: 840-849.
Weissman, J.C., Radway, J.C., Wilde, E.W., and Benemann, J.R. (1998). Biosources
Tech., 65: 87-95.
Wilde, E.W., and J.R. Benemann, J.R. (1993). Biotechnology Advances. 11:781-812.
Wilde, E.W., J.R. Benemann, J.R. Weissman, J.C., and Tillett, D.M. (1991). U.S. Patent
No.5,011,604
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
133
STUDI EKOLOGI MAKROFITA AKUATIK UNTUK BIOMONITORING
STATUS TROFIK EKOSISTEM WADUK
Dwi Nugroho Wibowo∗∗∗∗ dan Agatha Sih Piranti
∗∗∗∗
ABSTRAK Penelitian tentang studi ekologi makrofita akuatik untuk biomonitoring status trofik ekosistem
waduk telah dilakukan di waduk Penjalin, Paguyangan, Kabupaten Brebes. Variabel penelitian diambil
dari sembilan stasiun pengamatan terpilih yang mewakili zona inlet, tengah, dan outlet waduk. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mempelajari keragaman makrofita akuatik di waduk Penjalin pada zona inlet,
tengah, dan outlet waduk, baik pada musim kemarau maupun musim hujan sebagai upaya mendapatkan
biota indikator status trofik ekosistem waduk. Analisis struktur komunitas makrofita akuatik dilakukan
dengan mendeskripsikan data keragaman jenis makrofita. Kesamaan karakteristika makrofita akuatik
antar zona waduk ditelaah berdasar dendogram kesamaan rata-rata. Variasi karakteristika variabel
kualitas air dan makrofita akuatik antar stasiun dikaji dengan analisis multivariat yang didasarkan pada
analisis komponen utama, sedangkan distribusi spasial makrofita akuatik dianalisis menggunakan
analisis faktorial korespondensi. Berdasarkan variasi karakteristik variabel kualitas air, waduk Penjalin
termasuk kedalam waduk eutrof. Keragaman makrofita akuatik di waduk Penjalin pada musim hujan
menunjukkan keragaman yang rendah (4 jenis), yaitu Hydrilla verticillata, Ipomoea aquatica, Ludwigia
adscendens, dan Eichhornia crassipes. Informasi tentang distribusi spasial berdasarkan pada keragaman
makrofita akuatik dan informasi variasi temporal berdasarkan pada biomasa makrofita akuatik, baik
pada musim kemarau maupun musim hujan tidak diperoleh. Hal ini disebabkan karena adanya serangan
hama Pomacea canaliculata.
Kata kunci : makrofita akuatik, biomonitoring, status trofik
ABSTRACT
An ecological study on aquatic macrophytes for biomonitoring trophic status of water reservoir
ecosystem was conducted in Penjalin Water Reservoir, Paguyangan, Brebes Regency. Variables of study
were taken from nine selected observation stations representing inlet, middle, and outlet zones both in wet
season and dry season. The study was aimed to investigate the diversity of aquatic macrophytes in
Penjalin Water Reservoir at the three zones in both season in order to obtain bioindicator for trophic
status of water reservoir ecosystem. The analysis on community structure of aquatic macrophytes was
carried out by describing data on the diversity of aquatic macrophytes species. The similarity of aquatic
macrophyte characteristics among zones was analyzed on the basis of average similarity dendogram. The
variation of water quality and aquatic macrophyte characteristics among stations was analyzed using
multivariate analysis based on the analysis of main component, while spatial distribution of aquatic
macrophytes was analyzed using correspondence factorial analysis. Based on the variation of
characteristics of water quality, Penjalin Water Reservoir belongs to oligotrophic status. Low diversity of
aquatic macrophytes in Penjalin Water Reservoir in wet season (4 species) was observed, i.e. Hydrilla
verticillata, Ipomoea aquatica, Ludwigia adscendens, and Eichhornia crassipes. Information about spatial
distribution based on the diversity of aquatic macrophytes species and temporal variation based on
aquatic macrophyte biomass either in dry or wet season were not obtained. This was due to the existance
of Pomacea canaliculata pest.
Keywords: aquatic macrophyte, biomonitoring, trophic status
∗ Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
Email : [email protected]
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
134
PENDAHULUAN
Eutrofikasi adalah proses pengayaan unsur hara, terutama nitrogen (N) dan
fosfor (P), yang saat ini merupakan fenomena pada perairan danau, waduk, dan sungai
dengan kecepatan aliran air (debit, m3/det) rendah (Abel,1989). Fenomena itu ditandai
dengan pertumbuhan makrofita akuatik. Secara alamiah ekosistem perairan akan
mengalami suksesi tingkat trofik dari oligotrof (miskin hara) menuju eutrof (kaya hara).
Aktivitas manusia dalam bidang pertanian yang saat ini banyak menggunakan pupuk
untuk meningkatkan produksinya, bahan organik dan deterjen yang berasal dari limbah
cair domestik, serta limbah cair industri mempercepat eutrofikasi.
Proses pengayaan unsur hara pada ekosistem perairan akan menimbulkan
perubahan-perubahan parameter fisika-kimia dan biologi. Perubahan parameter fisika
antara lain meningkatnya kekeruhan air dan pendangkalan. Perubahan parameter kimia
ditandai dengan meningkatnya kadar unsur hara, terutama N dan P, dari status oligotrof
menjadi eutrof. Perubahan parameter biologi ditunjukkan dengan meningkatnya
diversitas (keanekaragaman) makrofita akuatik yang pada status oligotrof besar dengan
biomassa kecil menjadi kecil dengan biomassa besar pada status eutrof atau terjadi
dominansi jenis (Harper,1992). Pada status eutrof selalu muncul jenis makrofita akuatik
yang dominan dan karateristik.
Waduk Penjalin yang terletak di desa Winduaji, Kecamatan Paguyangan,
Kabupaten Brebes merupakan waduk buatan, melipati areal seluas 125 ha, dengan
kedalaman normal 17 m, volume air 9,5 juta m3 dengan panjang tanggul 850 m. Waduk
itu terletak pada ketinggian 152 m di atas permuakaan air laut (dpl) pada 107o15’ LS
dan 109o01’ BT yang menempati daerah topografi cekungan yang pada awalnya
merupakan badan air alami. Sumber airnya berasal dari sungai Penjalin dan terutama
berasal dari air hujan. Fungsi utama waduk Penjalin adalah untuk menambah debit air
sungai Pemali pada musim kemarau, agar lahan-lahan pertanian di daerah Brebes dapat
dialiri dengan baik. Selain itu, waduk itu dimanfaatkan untuk sarana transportasi,
kegiatan perikanan, dan pariwisata. Dengan demikian, waduk Penjalin merupakan
waduk serbaguna sebagaimana tujuan pembuatan waduk pada umumnya.
Pemantauan kesuburan perairan waduk dapat dilakukan dengan mengetahui sifat
fisika-kimia dan biologi. Salah satu sifat fisika-kimia yang berperan dalam tingkat
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
135
kesuburan suatu perairan adalah kandungan unsur hara N dan P. Salah satu faktor
biologi yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kesuburan suatu perairan adalah
diversitas (keanekaragaman) makrofita akuatiknya. Adanya stratifikasi unsur hara di
waduk berpengaruh pada tingkat kesuburan (status trofik) waduk. Keberadaan makrofita
akuatik berhubungan erat dengan kandungan hara. Dengan demikian, struktur
komunitas makrofita akuatik berkorelasi dengan tingkat kesuburan suatu perairan.
Komposisi makrofita akuatik adalah urutan jenis gulma air yang hidup dan
berkembang sejalan dengan ketersediaan hara perairan. Dalam kondisi geologi yang
sama, proses eutrofikasi ditentukan oleh ketersediaan hara nitrat (NO3-) dan fosfat
(PO43-
). Kenyataan itu dapat menjelaskan bahwa diversitas makrofita akuatik ditentukan
oleh distribusi dan stratifikasi ketersediaan hara nitrogen (N) dan fosfor (P). Hara
tersebut akan terdistribusi secara vertikal (dari permukaan sampai dasar) dan secara
horisontal dari hulu ke hilir badan air yang menyebabkan terjadinya sebaran makrofita
akuatik. Makrofita akuatik dengan pola-pola komunitasnya umumnya mencerminkan
status trofik air waduk (Jeffries dan Mills, 1990; Kovács, 1992). Pengaruh eutrofikasi
terhadap ekosistem perairan adalah penurunan diversitas jenis dan terjadinya perubahan
jenis, peningkatan biomassa makrofita akuatik, peningkatan kekeruhan, peningkatan
laju sedimentasi, dan perpendekan umur fungsi waduk (Mason, 1991). Informasi
tentang makrofita akuatik berkaitan dengan eutrofikasi yang terjadi pada waduk-waduk
di Indonesia masih sangat sedikit.
Dari uraian tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
(1) Mengetahui keragaman makrofita akuatik pada Waduk Penjalin pada bagian hulu,
tengah, dan hilir rawa, baik pada musim kemarau maupun musim hujan.
(2) Mengetahui pola zonasi makrofita akuatik Waduk Penjalin.
METODOLOGI PENELITIAN
Pengambilan sampel makrofita akuatik dilaksanakan di daerah eufotik waduk
Penjalin, Paguyangan. Kabupten Brebes. Identifikasi jenis, pengukuran biomassa
makrofita akuatik, dan pengukuran parameter kimia air (Tabel 1) dilakukan di
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
136
Laboratorium Lingkungan dan Laboratorium Ekologi Fakultas Biologi UNSOED.
Pengukuran pH, suhu air, Daya Hantar Listrik (DHL), kandungan O2, dan transparansi
dilakukan secara in situ di Waduk Penjalin.
Sampel air dan makrofita akuatik diambil masing-masing dari tiga stasiun
pengamatan sampel untuk setiap zona horisontal waduk, yaitu hulu, tengah, dan hilir
(Tabel 2), pada musim kemarau dan musim hujan. Data dianalisis berdasarkan
rancangan petak terbagi pola bifaktorial dengan musim (kemarau dan hujan) sebagai
faktor petak utama, zona-zona horisontal rawa (inlet, tengah, dan outlet) sebagai faktor
anak petak (Steel dan Torrie, 1985). Pengambilan data dilakukan sekali sebulan dalam
tiga bulan berurutan.
Tabel 1. Variabel kualitas air yang diukur, metode analisis, dan peralatan yang digunakan (APHA, 1985).
No. Parameter Kualitas Air (satuan) Metode Analisis Peralatan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Fisika
TSS (mgL-1)
DHL (µmhos cm-1)
Transparansi (cm)
Suhu air (oC)
Kimia
O2 terlarut (mgL-1)
pH
NO2—N (mgL-1)
NO3—N (mgL-1)
NH3—N (mgL-1)
PO43—P (mgL-1)
N-total (mgL-1)
P-total (mgL-1)
COD (mgL-1)
BOD (mgL-1)
Biologi
Makrofita akuatik
Gravimetri
Potensiometri
Organolepti
Pemuaian
Potensiometri
Potensiometri
Spektrofotometri
Spektrofotometri
Spektrofotometri
Spektrofotometri
Spektrofotometri
Spektrofotometri
Titrimetri
Titrimetri
Kuadrat
Timbangan analitik
Konduktivitimeter
Keping Secchi
Termometer
DO meter
pH meter
Spektrofotometer
Spektrofotometer
Spektrofotometer
Spektrofotometer
Spektrofotometer
Spektrofotometer
Buret
Buret
Counter
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
137
Tabel 2. Lokasi pengambilan sampel makrofita akuatik dan sampel air.
No. Zone Stasiun Lokasi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Inlet
Tengah
Outlet
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
Daerah muara sungai Penjalin
Daerah muara sungai Soka
Daerah muara sungai Garung
Daerah Kedung Wungu
Daerah Blandong Cekung
Daerah Dermaga
Daerah Blandong Ujung
Daerah Menara
Daerah Limpasan
Variasi variabel kualitas air dalam kaitannya dengan kelimpahan makrofita
akuatik dikaji dengan pendekatan analisis multivariat yang didasarkan pada analisis
komponen utama (Principal Component Analysis, PCA) menurut Legendre dan
Legendre (1983) dan Bengen (2000). Sebaran makrofita akuatik berdasarkan variasi
variabel habitat dianalisis dengan menggunakan teknik statistika multivariat yang
didasarkan pada analisis faktorial korespondensi (Factorial Correspondence Analysis,
CA) menurut Legendre dan Legendre (1983) dan Bengen (2000). Perhitungan analisis
komponen utama dan analisis faktorial korespondensi tersebut dilakukan dengan
menggunakan paket statistik Xlstat versi 7.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kandungan Unsur Fosfor dan Nitrogen Waduk Penjalin
Bahan organik di daerah eufotik waduk Penjalin mengalami mineralisasi
berturut-turut dari yang paling mudah terurai yaitu karbohidrat dan protein, sedangkan
lemak lebih stabil. Protein akan mengalami amonifikasi menjadi NH3 yang oleh
mikroorganisme dinitrifikasi menjadi nitrit dan nitrat. Karbohidrat mengalami hidrolisis
menjadi glukosa yang selanjutnya didegredasi menjadi CO2 dan H2O. Dalam badan air
terdapat N-organik dan P-organik yang dapat dinyatakan dalam N-total dan P-total.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
138
Kandungan N-total dan P-total air waduk Penjalin disajikan pada Tabel 3 dan Lampiran
1.
Tidak terdapat perbedaan kandungan N-total antara musim kemarau dan musim
hujan (Lampiran 1). Kandungan N-total air waduk Penjalin pada musim kemarau dan
musim hujan di ketiga zone waduk juga tidak berbeda (Tabel 3). Pada musim kemarau,
kandungan N-total berkisar antara 0,6621 mgL-1
sampai 1,1197 mgL-1
, sedangkan pada
musim hujan berkisar antara 0,9133 mgL-1
sampai 0,9967 mgL-1
.
Kandungan P-total air waduk Penjalin pada musim hujan dan musim kemarau di
ketiga zone waduk tak berbeda (Tabel 3). Pada musim hujan, kandungan P-total
berkisar antara 0,0653 mgL-1
sampai 0,4918 mgL-1
, sedangkan pada musim kemarau
berkisar antara 0,0299 mgL-1
sampai 0,0380 mgL-1
.
Berdasarkan kandungan N total dan P totalnya, waduk Penjalin tergolong pada
perairan dengan status oligotrof (Likens, 1975 dan Jorgensen, 1980). Sumber utama N
dan P air waduk Penjalin berasal dari tanah yang mengalami erosi, pupuk dan zat kimia
pertanian yang tercuci, sampah organik, limbah rumah tangga, dan sisa pakan kegiatan
karamba jaring apung. Menurut Tohir (1985), perairan yang banyak kandungan N dan P
akan mengalami eutrofikasi. Artinya, perairan mengalami penyuburan yang berlebihan
sehingga pertumbuhan makrofita akuatik dan plankton terpacu. Soerjani dan Widyanto
(1977) menyatakan, hasil buangan yang masuk ke dalam suatu perairan dapat memacu
pertumbuhan masal (blooming) makrofita akuatik.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
139
Tabel 3. Kandungan N-total dan P-total waduk Penjalin selama penelitian (musim hujan dan musim
kemarau).
Berdasarkan sidik ragam, data N-total dan P-total tak beragam (Lampiran 1).
Keterangan : Masing-masing angka yang ditandai dengan huruf yang sama (huruf kecil arah vertikal dan
huruf besar arah horizontal) tidak berbeda menurut uji BNT α = 0,05.
MK : Musim Kemarau, MH : Musim Hujan.
2. Sebaran Spasial Temporal Makrofita Akuatik Waduk Penjalin
Keragaman jenis dapat diartikan sebagai kekayaan jenis yang terdapat dalam
suatu area di dalam komunitas ekologi (Krebs, 1972). Kekayaan jenis bergantung pada
kestabilan ekosistem yang mendukung komunitas tersebut. Pada ekosistem waduk dan
waduk yang sedang mengalami proses eutrofikasi, kekayaan jenis cenderung meningkat
sampai status mesotrof, kemudian menurun pada status eutrof. Pada status eutrof, kadar
hara N dan P waduk tinggi sehingga tumbuhan yang tumbuh adalah jenis tumbuhan
yang membutuhkan habitat dengan kondisi tersebut.
Tujuan pengukuran kekayaan jenis suatu komunitas adalah untuk menyatakan
karakteristik lain dari komunitas seperti produktivitas, stabilitas, atau kondisi
lingkungan yang mengontrol. Yang dilakukan pada penelitian ini adalah mencari
hubungan antara tingkat eutrofikasi (status trofik) waduk Penjalin dengan keragaman
jenis makrofita akuatik. Pengukuran keragaman jenis suatu komunitas harus
memperhatikan area, waktu, dan jenis tumbuhan. Secara sederhana keragaman jenis
Zone
Waduk
N-total (mgL-1) P-total (mgL-1)
MH MK MH MK
Inlet 0,9967a
A
0,9446a
A
0,4918a
A
0,0343a
A
Tengah 0,9400a
A
0,6621a
A
0,0653a
A
0,0380a
A
Outlet 0,9133a
A
1,1197a
A
0,1064a
A
0,0299a
A
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
140
dapat diukur dengan menghitung jumlah jenis, biomasa, dan kelimpahan relatif (Krebs,
1972; Poole, 1974; dan Pielo, 1975). Untuk tumbuhan yang berkembang biak secara
vegetatif dan ukuran individunya sangat bervariasi, lebih cocok dihitung jumlah
individu atau ditimbang bobot kering (biomasa).
Makrofita akuatik adalah paku air, spermatofita, ganggang, dan berbagai jenis
tumbuhan monokotil yang tumbuh dalam air. Proses eutrofikasi yang mempunyai faktor
pembatas hara N dan P menyebabkan perbandingan kedua hara tersebut atau rasio N/P
menentukan komposisi jenis makrofita dalam badan air. Makrofita akuatik merupakan
elemen kunci di ekosistem perairan yang dapat digunakan sebagai alat pengklasifikasian
ekosistem perairan karena distribusi dan komposisi jenisnya mencerminkan karakter
daerah tangkapan air (Anderson, 2001; Jensen, 1979; Robach et al., 1996). Hasil
penelitian Wibowo (2004a, 2004b, dan 2006) menunjukkan adanya perbedaan jenis
makrofita akuatik pada musim kemarau dan musim hujan pada Waduk PB Soedirman
Banjarnegara dan pada Rawa Pening yang merupakan waduk eutrof.
Keragaman jenis makrofita akuatik waduk Penjalin selama masa penelitian
tersaji pada Tabel 4. Pada tabel tersebut terlihat bahwa makrofita akuatik hanya
dijumpai pada musim hujan. Hal ini terjadi, karena adanya serangan hama keong emas
(Pomacea canaliculata) yang memakan makrofita akuatik yang ada di waduk Penjalin.
Data jenis makrofita akuatik waduk Penjalin hanya ditemukan di pengambilan
data bulan pertama musim hujan. Pada bulan-bulan berikutnya, tidak lagi dijumpai
makrofita akuatik, karena telah habis dimakan P. Canaliculata. Dengan demikian.
kondisi struktur komunitas makrofita akuatik yang diketemukan tidak dapat
mengambarkan hubungan antara jenis makrofita akuatik dengan status trofik ekosistem
waduk Penjalin.
Suatu komunitas dengan jumlah jenis dan kerapatan populasi yang sama dapat
dikatakan lebih beraneka dari pada komunitas lain yang mempunyai jumlah jenis yang
sama, tetapi dengan kerapatan populasi yang berbeda, yaitu beberapa jenis merupakan
jenis-jenis yang umum dijumpai (kelimpahan merata), sedangkan beberapa jenis lain
merupakan jenis yang jarang dijumpai (kelimpahannya kecil).
Waduk Penjalin mempunyai keragaman jenis (richness) yang rendah
(Kuswanto, 1999).
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
141
Tabel 4. Keragaman jenis makrofita akuatik waduk Penjalin selama penelitian (musim kemarau dan
musim hujan)
No. Nama jenis Musim hujan Musim kemarau
1.
2.
3.
4.
Hydrilla verticillata
Ipomoea aquatica
Ludwigia adscendens
Eichhornia crassipes
+
+
+
+
-
-
-
-
Keterangan : + : ada
- : tidak ada
KESIMPULAN
a. Kesimpulan
(1) Waduk Penjalin mempunyai diversitas makrofita akuatik yang rendah (4 jenis),
yaitu Hydrilla verticillata, Ipomoea aquatica, Ludwigia adscendens, dan
Eichhornia crassipes.
(2) Penyebaran keragaman makrofita akuatik waduk Penjalin pada musim kemarau
dan musim hujan tidak dapat digambarkan, karena adanya serangan hama Pomacea
canaliculata.
(3) Variasi temporal biomasa makrofita akuatik waduk Penjalin antar zone waduk dan
pola penyebarannya pada musim kemarau dan hujan tidak dapat digambarkan,
karena adanya serangan hama Pomacea canaliculata.
b. Saran
(1) Diperlukan pengulangan penelitian ini pada waduk mesotrof lain untuk melengkapi
data-data penelitian yang telah penulis lakukan pada waduk eutrof.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
142
DAFTAR PUSTAKA
Abel, P.D. 1989. Water Pollution Biology. Ellis Horwood, Ltd., Chichester, England.
Anderson, B. 2001. Macrophyte Development and Habitat Characteristics in Sweden’s
Large Lake. Ambio (30) 8 : 503 – 513.
APHA. 1985. Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater. 16 th
edition. American Public Health Association. New York.
Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB, Bogor
Harper, D. 1992. Eutrophication of Freshwaters. Principles, problems and restoration.
Chapman and Hall, London.
Jensen, S. 1979. Classification of Lake in Southern Sweden on the Basis of their
Macrophyte Composition by means of Multivariate Methods. Vegetatio 39 : 129 –
146.
Jeffries, M., and D. Mills. 1990. Freshwater Ecology. Principles and Applications. John
Wiley and Sons, New York.
Jorgensen, S.E. 1980. Lake Management, Water Development, Supply and
Management, Developments in Hydrobiology. Vol. 14. Pergamon Press, Oxford,
New York.
Kovács, M. 1992. Biological Indicators in Environmental Protection. Ellis Horwood,
New York.
Krebs, C.J. 1989. Ecology. The Experimental Analysis of Distribution and Abundance.
Harper and Raw Publ., New York.
Legendre, P., and L. Legendre. 1983. Numerical Ecology.2nd
English Ed. Elsevier
Science, Amsterdam.
Likens, G.E. 1975. Primary Production of Inland Aquatic System. In : H. Leith, and
R.H. Whittaker (ed.). Primary Productivity of the Biosphere. Springer-Verlag,
Berlin.
Mason, C.F. 1991. Biology of Freshwater. Pollution. 2 nd
ed. Longman Scietific and
Technical, London.
Pielo, Y. 1975. Micro Algal Separatory from High Rate Ponds. University of California,
Berkeley, CA.
Poole, R.W. 1974. An Introduction to Mathematical Ecology. McGraw-Hill Book Co.,
New York.
Robach, F., G. Thiébaut, M. Trémolières, and S. Muller. 1996. A Reference System for
Continental Running Waters : Plant Communities as Bioindi-cators in Increasing
Eutrophication in Alkaline and Acidic Waters in Northeast France.
Hydrobiologia 340 : 67 - 76.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
143
Soerjani, M., dan L.S. Widyanto. 1977. Pertumbuhan Masal Gulma Air dan
Pengaruhnya terhadap Kualitas Air. BIOTROP, Bogor.
Steel, RGD dan Torrrie. 1985. Principles and Procedures of Statistic. McGraw-Hill.
Inc. Auckland, Bogota, Guatamela.
Wibowo, D.N. 2004a. Potensi Gulma Air untuk Monitoring Kualitas Air Waduk. J.
Agrista 8 (2) : 187 – 197.
Wibowo, D.N. 2004b. Tingkat Eutrofikasi Waduk PB Soedirman Banjarnegara
Berdasarkan Kandungan Fosfor dan Nitrogen. Biosfera 21 (3) : 126 – 131.
Wibowo, D.N. 2006. Studi Ekologi Makrofita Akuatik untuk Biomonitoring Status
Trofik Ekosistem Waduk. Laporan Hasil Penelitian (Tidak dipublikasikan).
Fakultas Biologi. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kebermaknaan nilai F hitung sidik ragam data N total dan P total selama penelitian.
Sumber
keragaman
Derajat
bebas
Kebermaknaan berdasarkan perbandingan
F hitung dengan F tabel 0,05
N total P total
Ulangan
Musim (M)
Zona waduk (Z)
M x Z
Galat
Total
2
1
2
2
10
17
ns
ns
ns
ns
ns
ns
Keterangan : * = bermakna
ns = tidak bermakna
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
144
RESPON KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA TERHADAP
KONTAMINASI LOGAM BERAT DI SEDIMEN DARI WADUK SAGULING
Yoyok Sudarso* , Gunawan P. Yoga, Tri Suryono
ABSTRAK
Waduk Saguling merupakan salah satu waduk sistem cascade yang berlokasi di Provinsi Jawa
Barat. Waduk tersebut terletak di bagian pertama dari sistem cascade yang inletnya berasal dari Sungai
Citarum yang telah mengalami pencemaran. Oleh sebab itu waduk tersebut berpotensi mengalami
kontaminasi oleh logam berat lebih tinggi dibandingkan dengan dua waduk yang ada di bawahnya
(Cirata dan Jati Luhur). Salah satu komponen biota akutaik yang diduga mengalami dampak negatif dari
kontaminasi logam di sedimen adalah komunitas bentik makroavertebrata. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk menkaji pengaruh kontaminasi logam di sedimen terhadap komunitas bentik
makroavertebrata di sedimen. Pengambilan sampel sedimen dan biota telah dilaksanakan pada bulan
Juni, Juli, dan Agustus 2006. Logam yang dikaji dalam penelitian hanya 4 jenis yaitu Cu, Hg, Pb, dan
Cd. Konsentrasi logam tersebut dibandingkan dengan beberapa guideline effect range low (ERL), effect
range median (ERM), probable effect level (PEL), severe effect level (SEL), dan treshold effect level
(TEL), secara umum menunjukkan kontaminasi logam Hg, Pb, dan Cu yang paling berpotensi
menimbulkan gangguan pada ekosistem perairan, sedangkan logam Cd masih di bawah ambang batas
dari sebagian besar guideline tersebut di atas. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan
kontaminasi logam Pb, Cu, dan Hg di sedimen pada Waduk Saguling akan diikuti dengan penurunan
beberapa atribut biologi (indek) yaitu: biological monitoring working party (BMWP), diversitas,
kekayaan taksa, dan gabungan. Namun indek tersebut di atas relatif kurang sensitif dalam mendeteksi
besarnya kontaminasi logam Cd, C-organik, maupun ph di sedimen.
Kata kunci: logam berat, sedimen, bentik makroavertebrata, Waduk Saguling.
ABSTRACT
Saguling reservoir is one of reservoirs in the reservoir cascade system which is located in
Citarum river, west java province. The reservoir is the first part from that system and located in upper
part of the system. The reservoir inlet comes from Citarum River which is heavily polluted and causes the
reservoir potentially heavily contaminated by heavy metal especially if it compared to two other
reservoirs located below it (Cirata and Jatiluihur). Benthic macroinvertebrates community is one of
aquatic ecosystem components which directly exposed to heavy metals pollution in aquatic ecosystem.
The aim or this research is to evaluate effect of heavy metal contamination to benthic macroinvertebrates
community lives at reservoir’s sediment. Biota and sediment samples were taken and on June, July, and
August 2006. Heavy metals of interest of this study were Cu, Hg, Pb, and Cd. Concentration of those
heavy metals in sediments were compared to several guidelines such as ERL, ERM, PEL, SEL, and TEL.
In general Hg, Pb, and Cu showed adverse effect to benthic macroinvertebrates community, while Cd was
still below most of guideline’s threshold. Result of this study showed that the elevation of Pb, Cu, and Hg
concentration in sediment’s reservoir was followed by decline of several biological attributes such as:
biological monitoring working party (BMWP), diversity, taxa richness, and combination. However those
indices were not sensitive to detect Cd contamination, C-organic concentration, and ph in sediment.
Keywords: Heavy metals, sediment, benthic macroinvertebrates, Saguling Reservoir.
* Puslit limnologi-LIPI, Jl. Jakarta-bogor km 46, Cibinong, E-mail: [email protected]
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
145
PENDAHULUAN
Keberadaan bahan polutan pada ekosistem akutik cenderung berikatan dengan
bahan partikulat dan akan diendapkan di dasar sedimen. Oleh sebab itu di dasar sedimen
seringkali mengakumulasi bahan polutan misalnya logam berat, polycyclic aromatic
hydrocarbons /PAH, polychlorinated biphenyl/PCB, pestisida, dan nutrien dalam
konsentrasi yang relatif tinggi dibandingkan dengan yang ada di kolom air. Kontaminasi
polutan tersebut di sedimen berpotensi menimbulkan stress bagi ekosistem air tawar
dengan mode perusakan pada spesies yang toleran (misalnya: kecacatan) dan
menghilangkan spesies makroavertebrata yang tergolong sensitif (Beasley and Kneale
2004).
Komunitas bentik makroavertebrata sering digunakan sebagai indikator biologi
dalam mendeteksi keseluruhan pengaruh yang terjadi pada sumber daya air (Zisckhe
and Ericksen 2003; Poulton et al. 2003). Hewan tersebut biasanya dilibatkan dalam
program restorasi tipe badan air (sungai, danau dan sebagainya) karena fungsi hewan
tersebut dalam rantai makanan yang penting sebagai penyusun produktivitas sekunder.
Adanya pencemaran umumnya dapat menyebabkan perubahan pada struktur komunitas
yang dapat diketahui dengan perubahan pada komposisi dan kelimpahan taxanya. Mize
and Deacon (2002) menyebutkan komposisi dan struktur komunitas dari bentik
makroavertebrata mampu mencerminkan kondisi kualitas perairan dari bulanan hingga
tahunan secara terus menerus. Pengaruh polusi pada struktur komunitas bentik
makroavertebrata umumnya dapat dibagi menjadi tiga ketegori yaitu: menurunkan
keanekaragaman, meningkatkan dominansi oleh grup atau spesies tunggal yang bersifat
oppurtunistic, dan menurunkan ukuran individu (Azrina et al. 2006). Sedangkan
perubahan pada status fungsionalnya dapat ditunjukkan dengan perubahan pada
produktivitas sekunder, laju dekomposisi dan sebagainya. Beberapa alasan lain tentang
keuntungan penggunaan hewan tersebut sebagai indikator biologi perairan adalah:
mobilitas yang rendah, diversitas yang tinggi, peran pentingnya dalam rantai makanan,
siklus hidup yang relatif panjang, dan sensitivitas yang bervariasi terhadap polutan
(Reynoldson and Metcalfe-Smith 1992).
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
146
Waduk Saguling merupakan salah satu waduk sistem cascade yang berlokasi di
Provinsi Jawa Barat. Waduk tersebut terletak di bagian pertama dari sistem cascade
yang inletnya mendapat masukan dari Sungai Citarum yang telah mengalami
pencemaran. Oleh sebab itu waduk tersebut berpotensi mengalami pencemaran yang
lebih tinggi dibandingkan dengan dua waduk yang ada di bawahnya (Waduk Cirata dan
Jati Luhur). Waduk Saguling saat ini telah mengalami beberapa masalah yang cukup
serius antara lain: peningkatan beban sedimen yang tinggi (> 4 juta m3/thn), masuknya
sampah dan gulma air ke dalam waduk (250.000 m3/thn), percepatan korositas turbin,
dan penurunan kualitas air oleh kontaminasi bahan polutan organik, logam berat,
pestisida, dan mikropolutan lainnya (Anonim 2004). Namun demikian peningkatan
konsentrasi logam di Waduk Saguling juga ditengarai dari aktivitas gunung berapi
Tangkuban Perahu dan Patuha yang dapat memuat senyawa sulfat ke DAS Citarum
sebesar 6000-12.000 ppm, chlorida 5300-12.600 ppm, dan logam seperti As, Ba, Mg,
Al, Cu, Pb, Zn, Hg, Se, dan Cd (Sriwana 1999). Adanya fenomena kematian ikan secara
masal yang mencapai ribuan ton di Waduk Saguling, sementara ini disebabkan oleh
kombinasi penurunan oksigen terlarut, tingginya konsentrasi amonia, dan bahan kimia
toksik lainnya seperti pestisida, logam berat dan sebagainya yang dilepaskan dari
sedimen ke kolom air (Brahmana and Firdaus 1997; Hart et al. 2002 ).
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dampak kontaminasi logam berat di
sedimen terhadap komunitas bentik makroavertebrata yang ada di Waduk Saguling.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juni hingga Agustus 2006. Ada 12
titik stasiun pengamatan yang berada di dalam Waduk Saguling dan 1 titik di bagian
hulu Sungai Citarum (Gunung Wayang) yang berfungsi sebagai konsentrasi latar
belakangnya (background concentration). Keterangan nama dan peta lokasi sampling
yang telah ditetapkan meliputi (Gambar 1): Stasiun 1 Hulu Sungai Citarum di Gunung
Wayang (GW), Stasiun 2 Sungai Citarum di Nanjung (Nj), Stasiun 3 Sungai Citarum
di Trash Boom Batujajar (Bj), Stasiun 4 Cihaur Kampung Cipendeuy (Chr), Stasiun 5
Cangkorah (Ckr), Stasiun 6 Cimerang (Cmr), Stasiun 7 Muara Cihaur/ Kampung
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
147
Maroko (Mrk), Stasiun 8 Muara Cipatik (Cpk), Stasiun 9 Muara Ciminyak (Cmy),
Stasiun 10 Muara Cijere (Cjr), Stasiun 11 Muara Cijambu (Cjb), Stasiun 12 Dekat
intake structure (Itk), dan Stasiun 13 Rajamandala (Rjm).
Jenis logam berat yang akan dikaji dalam penelitian ini hanya empat jenis yaitu
plumbum (Pb), tembaga (Cu), merkuri (Hg), dan kadmium (Cd) yang sudah diketahui
berpotensi toksik bagi sebagian besar biota akuatik dan telah direkomendasikan oleh
agensi lingkungan seperti US-EPA (Anonim 1986). Parameter pendukung yang diukur
pada sedimen meliputi: konsentrasi C organik, fraksi ukuran butir, dan pH sedimen.
Parameter kualitas air yang diukur di air adalah oksigen terlarut dengan menggunakan
alat water quality checker U-10 (merk Horiba).
Penelitian ini dilakukan pada musim kemarau, karena menggambarkan kondisi
gangguan ekologi (diwakili oleh organisme bentik makroavertebrata) dalam kondisi
stres maksimum, dengan debit air yang minimal, dan kadar bahan polutan yang relatif
tinggi (Davis and Tsomides 1997). Disamping itu, komunitas bentik makroavertebrata
diharapkan mampu mencerminkan pengaruh utama peningkatan dari kontaminasi logam
tanpa adanya pengaruh faktor lainnya misalnya: peningkatan debit air/ banjir yang telah
diketahui dapat berpengaruh pada komposisi dan kelimpahan bentik makroavertebrata
(Matthaei et al. 2000).
Gambar 1. Peta lokasi sampling pengambilan sedimen dan organisme bentik makroavertebrata.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
148
Sampling organisme bentik makroavertebrata/ bentos dilakukan pada bulan Juni,
Juli, dan Agustus 2006 dengan menggunakan alat Ekman grab sampler. Pengambilan
bentik makroavertebrata dilakukan pada kedalaman ± 5 meter yang ditetapkan dengan
menggunakan alat Fish finder 250 merk Garmin pada semua stasiun pengamatan.
Diharapkan adanya kesamaan kedalaman ini diantara stasiun pengamatan akan memiliki
kemiripan komunitas bentik yang akan dikaji pada penelitian ini. Pada masing-masing
stasiun pengamatan dilakukan pengambilan sebanyak 9 kali grab (luas area yang
disampling ± 2025 cm2). Pengawetan bentik makroavertebrata dengan menggunakan
larutan formalin 10% yang dimasukkan dalam keller plastik. Sedimen dibilas dengan
menggunakan air kran di atas saringan yang berpori 0,5 mm. Sortir bentik
makroavertebrata dilakukan di bawah mikroskop stereo dengan pembesaran hingga 10
hingga 45 kali. Hewan yang telah tersortir dimasukkan dalam botol flakon yang sudah
berisi larutan alkohol 75%. Khusus identifikasi hewan cacing Oligochaeta dan larva
Diptera Chironomidae dilakukan mounting dengan menggunakan larutan CMCP-10
(Polysciences Inc.).
Sampel sedimen yang akan dianalisis konsentrasi logamnya berasal dari lapisan
atas/ permukaan (±2-5 cm) dengan menggunakan alat Ekman grab sampler.
Pengambilan cuplikan sedimen pada masing-masing stasiun dilakukan pengulangan
sebanyak 3 kali. Cuplikan sedimen tersebut kemudian dimasukkan dalam botol kaca
Scott yang bervolume 250 ml. Botol tersebut kemudian dimasukkan dalam coolbox
yang sebelumnya sudah diberi es batu pada bagian luarnya sebagai pengawetnya.
Analisis logam Pb, Cu, Cd dikerjakan dengan menggunakan metode dekstruksi
HCL-HNO3 dengan perbandingan (3:1) dan larutan H2O2 30% yang dipanaskan di atas
hotplate. Larutan ekstrak dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan AAS flame
spectrofotometer merk Hitachi Z6100. Penjelasan dari metode ini dapat dilihat dalam
Smoley (1992). Untuk logam merkuri (Hg), sedimen didekstruksi dengan menggunakan
campuran larutan asam H2SO4-HNO3 yang dioksidasi dengan menggunakan larutan
KMnO4 45% dan Kalium persulfat 5%. Reduksi MnO4 dengan menggunakan larutan
hidroksilamide klorit 10%. Reduksi Hg dilakukan dengan menggunakan larutan
SnCl2.2H2O dan larutan ekstrak yang tertinggal dianalisis dengan menggunakan alat
mercury analyzer (cold vapor AAS) merk Hiranuma 310. Penjelasan lebih lanjut
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
149
metode analisis logam merkuri ini dapat dilihat pada Smoley (1992). Metode
pengukuran konsentrasi C organik pada sedimen dilakukan menurut Graham (1948) dan
Bray and Kurtz (1945). Adapun pengukuran parameter lainnya seperti: fraksi ukuran
butir dengan menggunakan saringan bertingkat, dan pH sedimen secara rinci dijelaskan
dalam Blackmore et al. (1981).
Analisis data
Status kontaminasi dari empat logam yang terakumulasi di sedimen (Hg, Cd, Cu,
dan Pb) digabung kedalam satu indek polusi (W) dari Widianarko et al. (2000). Rumus
dari indek polusi (W) dapat dilihat di bawah ini:
Dengan Ci = konsentrasi logam i di sedimen, Coi = konsentrasi logam di stasiun
yang berfungsi sebagai latar belakang (background consentration), dan n = jumlah dari
logam. Lokasi dikategorikan belum terpolusi jika W ≤ 0, terpolusi ringan jika 0 ≤W< 1,
terpolusi sedang 1<W≤ 2, dan terpolusi berat jika W> 2.
Prediksi besarnya gangguan pada komunitas bentik makroavertebrata di masing-
masing stasiun pengamatan, mengadopsi dari kriteria MacDonald et al. (2004). Tipe
kualitas sedimen digolongkan menjadi tiga bagian yaitu tipe A, B, dan C. Tipe A
diharapkan kondisi yang mewakili tingkat gangguan yang rendah yang umumnya
terdapat pada bagian reference site (background concentration). Tipe B menunjukkan
tingkat gangguan sedang, dan tipe C menunjukkan tingkat gangguan yang tinggi. Uraian
penjelasan secara rinci dari kriteria tersebut di atas dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria kualitas sedimen yang didasarkan pada besarnya gangguan pada komponen triad uji
bioassai dan komunitas bentik makroavertebrata.
Tipe kualitas
sedimen
Besarnya gangguan
pada efek biologi
Komunitas bentik (%
sampel yang
terpengaruh)
Tipe A Rendah < 10
Tipe B Sedang 10-50
Tipe C Tinggi > 50
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
150
HASIL DAN PEMBAHASAN
Status kontaminasi dan polusi logam di sedimen
Hasil kompilasi analisis logam rata-rata Cu, Cd, Hg, dan Pb di sedimen dari
mulai bulan Juni, Juli, Agustus 2006 telah disajikan Gambar 2 dan 3. Dari gambar
tersebut menunjukkan kontaminasi logam mulai Stasiun Nanjung hingga outlet Waduk
Saguling (Stasiun Rajamandala) yang secara umum relatif tinggi. Konsentrasi logam
setelah Stasiun Gunung Wayang berkisar 3 hingga 8 kali lipat untuk beberapa jenis
parameter logam berat yang diamati. Tingginya kontaminasi logam yang terakumulasi
di sedimen tidak terlepas dari beban polusi yang diterima pada masing-masing stasiun
pengamatan. Sumber kontaminasi logam berat yang masuk ke Sungai Citarum dan
Waduk Saguling mungkin sangat beragam dan komplek. Gerhardt et al. (2004) dan Paul
and Meyer (2001) menyebutkan adanya peningkatan aktivitas antropogenik di
ekosistem air tawar akan meningkatkan konsentrasi logam beberapa kali lipat di atas
konsentrasi latar belakangnya. Mwamburi (2003) menambahkan sumber logam di
sedimen di ekosistem akuatik umumnya berasal dari buangan limbah industri dan
perkotaan, emisi atmosfer, dan pelindihan bahan kimia dari lahan pertanian.
Hasil penilaian status polusi logam berat total (Pb, Cu, Hg, dan Cd) dengan
menggunakan indek polusi (W) dari Widianarko et al. (2000) menunjukkan Stasiun
Gunung Wayang yang berfungsi sebagai konsentrasi latar belakang dikategorikan
belum mengalami polusi. Stasiun Nanjung hingga Maroko dikategorikan telah terpolusi
berat, Stasiun Cipatik, intake structure, dan Rajamandala tergolong terpolusi sedang,
dan Stasiun Ciminyak hingga Cijambu menunjukkan status terpolusi ringan. Tingkat
status polusi pada masing-masing stasiun pengamatan secara lebih rinci dapat dilihat
dalam Tabel 2. Penilaian status polusi logam di sedimen dengan menggunakan indek
polusi (Widianarko 2000) pada penelitian ini bermanfaat dalam memprediksi besarnya
bobot bukti dari kontaminasi kimia (salah satu komponen triad) pada masing-masing
stasiun pengamatan. Salah satu keuntungan penggunaan indek polusi tersebut di atas,
yaitu dalam membandingkan antara konsentrasi logam pada daerah uji (test site) dengan
konsentrasi latar belakangnya (reference site) mungkin memiliki kemiripan kondisi
geokimianya maupun sejarah asal penyusun partikel sedimen itu sendiri. Sehingga hasil
yang diperoleh lebih akurat dan mendekati kondisi riil di lapangan. Norris and Norris
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
151
(1995) menyebutkan dalam penyusunan indek polusi yang didasarkan pada
perbandingan daerah uji (test site) dengan konsentrasi latar belakang yang berfungsi
sebagai reference site biasanya memiliki hasil yang lebih baik guna diterapkan pada
skala lokal, regional, bahkan nasional yang kadangkala memiliki perbedaan karakter
kondisi geomorfologinya.
Lima guideline lain dari sediment effect concentration (SECs) meliputi: ERL,
ERM, TEL, PEL, dan SEL menunjukkan stasiun-stasiun yang telah melebihi TEL (Cu:
35,7 mg/kg berat kering) yaitu Stasiun Nanjung hingga Rajamandala. Stasiun Muara
Cihaur dan Cipatik telah melebihi nilai guideline ERL-Cu yaitu 70 mg/kg berat kering,
dan khusus Stasiun Nanjung telah melebihi nilai SEL-Cu yaitu 86 mg/kg berat kering.
Untuk logam Pb hanya di Stasiun Nanjung saja yang telah melebihi kedua nilai
guideline di atas (TEL-Pb: 35 mg/kg berat kering dan ERL-Pb: 35 mg/kg berat kering).
Adapun konsentrasi logam Hg di Stasiun Gunung Wayang, intake structure,
Rajamandala, Muara Cipatik, Muara Cijere, dan Muara Cijambu masih berada di bawah
kelima guideline tersebut di atas, sedangkan Stasiun Nanjung hingga Muara Cihaur
sebagian besar telah melebihi guideline ERL-Hg, TEL-Hg, dan PEL-Hg. Kontaminasi
logam Cd di sedimen dibandingkan dengan lima guideline tersebut di atas, semuanya
masih di bawah nilai dari lima guideline tersebut. Dari lima guideline tersebut di atas
menunjukkan kontaminasi logam Cd di Waduk Saguling diprediksi sangat kecil
menimbulkan gangguan ekologi maupun toksisitasnya pada biota akuatik.
Tabel 2. Status polusi dari logam berat yang terakumulasi di sedimen dengan menggunakan indek polusi
(Widianarko et al.2000).
Stasiun Stasiun Pengamatan W Status Polusi
1 Gunung Wayang 0 Belum terpolusi
2 Nanjung 4,1 Terpolusi berat
3 Trashboom Batujajar 3, 1 Terpolusi berat
4 Cihaur 2,9 Terpolusi berat
5 Cangkorah 3,0 Terpolusi berat
6 Cimerang 2,2 Terpolusi berat
7 Maroko 3,1 Terpolusi berat
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
152
8 Cipatik 1,1 Terpolusi sedang
9 Ciminyak -0,5 Terpolusi ringan
10 Cijere 0,5 Terpolusi ringan
11 Cijambu 0,5 Terpolusi ringan
12 Intake structure 1,1 Terpolusi sedang
13 Rajamandala 1,2 Terpolusi sedang
Gambar 2. Konsentrasi rata-rata logam Pb dan Cu pada sedimen (mg/kg berat kering) di masing-masing
stasiun pengamatan.
Gambar 3. Konsentrasi rata-rata logam berat Cd dan Hg (mg/kg berat kering) di sedimen di setiap stasiun
pengamatan
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
153
Dari Gambar 2, 3, dan Tabel 2 menunjukkan adanya perbedaan kontaminasi
logam dan status polusi di masing-masing stasiun pengamatan kemungkinan disebabkan
oleh perbedaan beban pencemar yang masuk pada masing-masing stasiun pengamatan
tersebut. Status polusi logam di sedimen umumnya dihasilkan dari perbedaan jenis dan
besarnya logam berat yang digunakan dan dilepaskan ke lingkungan akibat dari
peningkatan aktivitas antropogenik di sekitar site tersebut (Förtstner 1983a). Power and
Chapman (1992) menyebutkan kemampuan yang tinggi dari sedimen untuk merespon
dan merekam kejadian polusi yang terjadi di dalam ekosistem akuatik dari masa lampau
hingga sekarang. Sebagai contoh daerah-daerah yang mendapat masukan utama dari
lindih aktivitas gunung berapi, limbah industri dan perkotaan (misalnya Stasiun
Nanjung dan Trashboom), dan kawasan industri (Stasiun Cihaur, dan Cangkorah) akan
memiliki kontaminasi logam di sedimennya lebih tinggi dibandingkan dengan daerah
lainnya yang beban polusinya masih didominasi oleh pertanian dan limbah domestik
yang berasal dari perkampungan (misalnya Stasiun Cipatik, Cijere, dan Cijambu).
Peningkatan logam di Stasiun Cihaur, Cangkorah, dan Cimerang diduga dari buangan
industri yang berada di pinggir waduk yang membuang limbahnya secara langsung ke
dalam Waduk Saguling (Misdi1
2006, komunikasi pribadi). Kontaminasi logam di
Stasiun Ciminyak dan stasiun lainnya dalam Waduk Saguling mungkin berasal dari
penumpukan sisa pakan buatan dari budidaya jaring apung, beban polusi dari anak-anak
sungai yang masuk ke stasiun tersebut, maupun berasal dari air Waduk Saguling sendiri
yang sudah mengalami kontaminasi logam di kolom airnya dari Sungai Citarum
(Mulyanto 2003).
Hubungan Kontaminasi Logam di Sedimen dengan Komunitas Bentik
Makroavertebrata.
Interaksi kontaminasi logam berat dan bahan polutan lainnya di lapangan
mungkin bersifat sangat komplek dalam memberikan pengaruh pada perubahan struktur
komunitas bentik makroavertebrata. Namun demikian dampak keberadaan logam berat
1 PT. Indonesia Power, UBP Saguling, Bandung
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
154
di sedimen terhadap komunitas bentik makroavertebrata telah banyak dikaji, karena
efek negatif dari logam tersebut akan berpengaruh secara langsung pada seluruh
tingkatan organisasi biologi dari level seluler (proses biokimia dan fisiologi) hingga
penurunan keanekaragaman hayati (Luoma and Carter 1991). Luoma and Carter (1991)
menyebutkan pengaruh negatif dari pemaparan logam ke organisme bentik
makroavertebrata mungkin berupa gangguan pada laju feeding, respirasi, proses
reproduksi, embriogenesis, perkembangan larva, abnormalitas morfologi, histopatologi,
perilaku, pengaturan ion (osmotik), dan fungsi organ tubuh lainnya yang semuanya itu
akan berpengaruh pada tingkat kelangsungan hidup organisme bentik yang
bersangkutan. Konsekuensi dari terganggunya struktur komunitas oleh bahan toksikan
biasanya berupa hilangnya beberapa spesies yang tergolong sensitif dan perubahan
dalam kelimpahan organisme yang bersangkutan pada komunitasnya, sehingga
integritas biologi dari peraiaran tersebut biasanya akan mengalami penurunan (Ford
1989). Data komposisi dan kelimpahan rata-rata dari organisme bentik
makroavertebrata pada setiap stasiun pengamatan secara rinci dapat dilihat dalam
Lampiran 1.
Respon atribut biologi (bentik makroavertebrata) dalam mencerminkan tingkat
gangguan ekologi yang terjadi di setiap stasiun pengamatan telah disajikan dalam Tabel
3. Dari tabel tersebut menunjukkan trend nilai indek diversitas Shannon-Wiener yang
menurun drastis setelah Stasiun Gunung Wayang dari 3,4 hingga mencapai nilai 0,1 ,
0,9, dan 0 berturut-turut pada Stasiun Nanjung, Cihaur, dan Cangkorah. Rendahnya
indek diversitas di Stasiun Nanjung disebabkan oleh adanya dominasi yang kuat dari
kelimpahan satu hewan tertentu saja misalnya cacing Oligochaeta Limnodrilus sp.
(24.030 indv/m2). Di Stasiun Cihaur dan Cangkorah rendahnnya indek diversitas
disebabkan oleh rendahnya jumlah komposisi taksa dan kelimpahan organisme bentik
makroavertebrata yang menyusun komunitas stasiun tersebut (44 indv/m2 di
Cangkorah). Di Stasiun Cangkorah hanya tersusun oleh larva Chironomid Kiefferulus
sp. yang relatif rendah jumlah kelimpahannya. Setelah Stasiun Cangkorah nilai indek
sedikit demi sedikit meningkat di Stasiun Cimerang hingga Rajamandala dengan
kisaran 2,1 hingga 3,3.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
155
Tabel 3. Respon beberapa metrik biologi di setiap stasiun pengamatan
Stasiun Indek
Diversitas
Kekayaan
taxa BMWP
Indek biotik
gabungan
Gunung Wayang 3,4 15 24 27
Nanjung 0,1 1 0 3
Batujajar 0,5 2 0 5
Cihaur 0,9 1 2 7
Cangkorah 0 1 2 5
Cimerang 2,6 7 18 13
Maroko 2,4 6 14 13
Cipatik 2,7 8 2 13
Ciminyak 3,3 12 13 19
Cijere 3,0 8 8 17
Cijambu 2,9 9 12 19
Intake 2,1 6 7 11
Rajamandala 2,4 9 5 13
Indeks diversitas Shannon-Wiener merupakan indeks yang paling umum
digunakan dalam menggambarkan stabilitas komunitas dan besarnya degradasi pada
ekosistem akuatik (Reynoldson and Metcalfe-smith 1992, Berkman et al. 1988). Indeks
tersebut menggabungkan tiga komponen utama dari struktur komunitas yaitu
kelimpahan, jumlah taksa, dan evenness (kemerataan distribusi organisme diantara
spesies). Rendahnya indeks tersebut biasanya mencirikan adanya stress dari komunitas
yang cenderung menjadi tidak stabil. Indeks tersebut mencapai maksimum jika jumlah
individu pada masing-masing individu spesies terdistribusi secara merata (Norris 1999).
Zisckhe and Ericksen (2003) menyebutkan nilai indek diversitas antara 3 hingga 4
umumnya mencerminkan kondisi sungai yang belum terpolusi, sedangkan nilai indek di
bawah 1 umumnya mencerminkan kondisi sungai yang terpolusi berat. Faktor lain yang
mempengaruhi besarnya indek diversitas selain stress oleh polusi antara lain kecepatan
arus, heterogenitas substrat, kedalaman usaha sampling, metode sampling yang
dipergunakan, ukuran sampel, durasi sampling, tingkat resolusi taksonomi yang
digunakan, dan waktu koleksi sampel (Norris 1999, Washington 1984). Salah satu
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
156
kekurangan penggunaan indek diversitas dalam mencerminkan status polusi di perairan
yaitu dalam penghitungan indek tersebut tidak memasukkan unsur nilai toleransi dari
masing-masing hewan bentik makroaveretebrata terhadap pencemaran seperti indek
BMWP maupun indek biotik lainnya. Adanya pencemaran ringan dari peningkatan
nutrien diduga dapat menyebabkan peningkatan nilai indek diversitasnya (Washington
1984). Oleh sebab itu dalam mencerminkan gangguan yang terjadi dalam ekosistem
perairan, penggunaan indek diversitas Shannon-Wiener perlu dilakukan kombinasi
dengan indek biotik lainnya agar hasil yang diperoleh lebih akurat dan terintegrasi.
Atribut biologi kekayaan taksa menunjukkan trend yang hampir mirip dengan
atribut biologi indek diversitas. Di Stasiun Gunung Wayang masih memiliki indek
kekayaan taksa yang tertinggi (14). Setelah Stasiun Gunung Wayang, indek kekayaan
taksanya mengalami penurunan hingga Stasiun Cangkorah (1). Setelah Stasiun
Cangkorah trend dari indek kekayaan taksa cenderung meningkat kembali dengan
kisaran nilai yang cukup bervariasi dari 6 hingga 12 (dari Stasiun Cimerang hingga
Rajamandala).
Bode et al. (1996) telah menggunakan atribut biologi atau metrik kekayaan taksa
dalam menentukan tingkat gangguan pada ekosistem sungai khususnya di daerah New
York Amerika Serikat. Berdasarkan kriteria yang dibuat oleh Bode et al. (1996), Stasiun
Gunung Wayang dikategorikan telah mengalami gangguan sedang, sedangkan stasiun
lainnya dikategorikan telah mengalami gangguan berat. Rendahnya kekayaan taksa ini
disebabkan oleh banyak faktor yang mempengaruhinya antara lain perbedaan ekosistem
(misalnya perairan mengalir dan menggenang), heterogenitas susbstrat, ketersediaan
pakan, dan adanya polusi. Karena penelitian ini dilakukan di dalam Waduk Saguling
dan hulu Sungai Citarum yang substrat dasarnya lebih didominasi oleh pasir dan
campuran clay dan silt, maka hanya bentik makroavertebrata yang bertipe detritivor
(pemakan detritus) saja yang biasanya mendominasi perairan tersebut dan akan
berpengaruh pada rendahnya jumlah taksa yang ditemukan. Disamping itu dengan
semakin bertambahnya beban polusi logam yang ada di sedimen, pada umumnya diikuti
dengan berkurangnya jumlah kekayaan taksa dan kelimpahan beberapa taksa yang
tergolong sensitif misalnya larva Ephemeroptera (Baetis sp.), Hemiptera (Abedus
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
157
identatus), Aeshnidae (Coryphaeschna sp) dan sebagainya yang sering ditemukan di
Gunung Wayang.
Atribut biologi indek BMWP menunjukkan trend yang agak berbeda dari indek
sebelumnya. Grafik batang indek BMWP memperlihatkan bahwa Stasiun Gunung
Wayang masih memiliki nilai indek BMWP tertinggi yaitu 20. Setelah Stasiun Gunung
wayang nilai indek menurun drastis pada Stasiun Nanjung dan Stasiun Batujajar yang
mencapai nilai 0. Nilai indek secara bertahap meningkat dari Stasiun Cihaur hingga
Stasiun Maroko yang mencapai nilai 14. Setelah Stasiun Maroko nilai indek cenderung
turun kembali hingga mencapai nilai 3. Peningkatan cukup signifikan mulai tampak
pada Stasiun Ciminyak hingga Stasiun Cijambu dengan nilai indek dari 8 hingga 12.
Setelah Stasiun Cijambu nilai indek mulai turun kembali dari mulai stasiun intake
structure (7) hingga Stasiun Rajamandala (5).
Dari Tabel 3 menunjukkan adanya peningkatan kontaminasi logam terutama
pada Stasiun Nanjung hingga Cangkorah diikuti dengan menurunnya indek BMWP.
Berdasarkan kriteria indek BMWP, maka stasiun Gunung Wayang termasuk dalam
kategori terpolusi ringan (16-50) dan semua stasiun pengamatan lainnya dalam kategori
terpolusi berat (0-15). Beberapa hal yang dapat mempengaruhi sensitifitas dan besarnya
nilai indek BMWP selain dari adanya polusi yaitu perbedaan tipe perairan dan
keterbatasnya nilai toleransi dari masing-masing oranisme bentik makroavertebrata
yang ditemukan. Penyusunan indek BMWP pada awalnya dikembangkan untuk
mendeteksi adanya pencemaran organik pada sungai (Martin 2004). Adanya perbedaan
karakteristik fisik, kimia, maupun biologi dari tipe perairan pada umumnya akan
menyebabkan perbedaan preference dari organisme bentik yang hidup di perairan
tersebut. Beberapa famili dari organisme bentik makroavertebrata yang hidup di
perairan mengalir tidak dijumpai pada perairan tergenang misalnya Nemouridae,
Perlodidae dan sebagainya. Penggunaan indek BMWP untuk perairan tergenang (kolam,
waduk, atau danau) mungkin memerlukan modifikasi atau kalibrasi nilai toleransinya
dari masing-masing famili organisme bentik makroavertebrata yang ditemukan.
Disamping itu, nilai toleransi dari beberapa famili organisme bentik makroavertebrata
yang ditemukan pada penelitian ini, tidak memiliki nilai skornya pada indek BMWP
misalnya Coenagrionidae, Oxygastridae, Lymnaeidae dan sebagainya. Hal ini akan
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
158
berpengaruh pada rendahnya nilai indek dan salah satu kelemahan dari indek BMWP,
karena setiap taksa yang ditemukan mungkin mencirikan kondisi kualitas air tententu.
Ketiga indek tersebut di atas selanjutnya dibuat menjadi indek biotik gabungan
yang didasarkan pada pendekatan multimetrik. Hasil penggabungan indek tersebut di
atas dapat dilihat pada Tabel 3 menunjukkan adanya peningkatan dan penurunan nilai
indek gabungan yang hampir mirip dengan 2 indek sebelumnya (indek diversitas dan
kekayaan taksa). Pada indek gabungan, Stasiun Gunung Wayang masih memiliki
rangking tertinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya yaitu 27. Setelah Stasiun
Gunung Wayang trend dari grafik menunjukkan adanya penurunan pada Stasiun
Nanjung yang mempunyai nilai indek 3. Nilai indek setelah Stasiun Nanjung mulai
menunjukkan adanya sedikit peningkatan dari Stasiun Batujajar (5) hingga Stasiun
Cihaur (7). Di Stasiun Cangkorah nilai indek biotik gabungan mulai menurun kembali
(5). Peningkatan yang signifikan terjadi dari Stasiun Cimerang hingga Stasiun
Rajamandala dengan kisaran nilai indek yang bervariatif dari 11 hingga 17. Adanya
peningkatan indek gabungan tersebut mungkin erat kaitannya dengan penurunan
kontaminasi dari logam seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Keran and Karr (1994) dan Reynoldson et al. (1997) menyebutkan setiap
komponen atribut biologi (metrik) yang digunakan mengandung makna tersendiri dalam
merespon perubahan komunitas dari adanya perubahan habitat, interaksi biologi,
maupun oleh polusi. Dari ketiga indek (metrik) tersebut, setelah mengalami pembobotan
atau normalisasi, maka memungkinkan adanya penggabungan indek ke dalam satu
indek biotik tunggal, seperti yang dilakukan dalam penyusunan biokriteria dengan
menggunakan konsep multimetrik. Penggunaan konsep multimetrik (indek gabungan) di
Waduk Saguling ini sangat bermanfaat terutama dalam penggabungan informasi yang
ada dari setiap metrik guna mendeteksi gangguan ekologi yang terjadi di dalam Waduk
Saguling.
Hasil penilaian tingkat gangguan komunitas bentik makroavertebrata dengan
menggunakan indek biotik gabungan yang mengadopsi dari kriteria MacDonald et al.
(2004), memperlihatkan bahwa secara keseluhanan komunitas bentik makroavertebrata
yang hidup di Waduk Saguling telah mengalami gangguan dari kategori sedang (30-37)
hingga berat (51-88). Kategori sedang dijumpai pada Stasiun Ciminyak hingga
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
159
Cijambu, sedangkan kategori berat terdapat pada Stasiun Nanjung hingga Cipatik,
intake, dan Rajamandala (Tabel 4). Beratnya gangguan komunitas bentik
makroavertebrata yang ada di Stasiun Nanjung hingga Cipatik diduga dipengaruhi oleh
tingginya kontaminasi logam di sedimennya (Tabel 2). Adapun di stasiun intake dan
Rajamandala beratnya gangguan pada komunitas bentik makroavertebrata selain
disebabkan oleh kontaminasi logam berat itu sendiri, juga disebabkan oleh adanya
faktor lainnya yang turut mengatur dan memberikan pengaruh pada komunitas tersebut
misalnya amoniak, nitrit, PCB dan sebagainya.
Tabel 4. Penilaian gangguan komunitas bentik makroavertebrata di Waduk Saguling yang didasarkan
pada atribut biologi gabungan.
Stasiun Gangguan Efek Biologi
(% Komunitas Bentik
Makroavertebrata yang
Terpengaruh)
Gunung Wayang Rendah 0
Nanjung Tinggi 88
Batujajar Tinggi 81
Cihaur Tinggi 74
Cangkorah Tinggi 81
Cimerang Tinggi 51
Maroko Tinggi 51
Cipatik Tinggi 51
Ciminyak Sedang 30
Cijere Sedang 37
Cijambu Sedang 30
Intake Tinggi 59
Rajamandala Tinggi 51
Ke empat atribut biologi di atas, di uji dengan korelasi Spearman dengan
konsentrasi logam berat dan variabel pendukungnya (DO, C-organik dan pH sedimen)
pada masing-masing stasiun pengamatan. Data hasil pengukuran parameter DO, C-
Organik, dan pH sedimen secara rinci dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil uji korelasi
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
160
antara variabel di atas secara rinci telah disajikan dalam Tabel 6. Dari tabel tersebut
menunjukkan tingkat sensitifitas dari masing-masing indek biologi dalam merespon
besarnya kontaminasi logam dan beberapa variabel pendukung lainnya (C-organik, ph
sedimen, DO). Indek diversitas Shannon-Wiener, kekayaan taksa, dan indek biotik
gabungan/ multimetrik masih menunjukkan sensitifitas yang relatif tinggi (signifikan
pada p = 0,05) dalam mendeteksi peningkatan kontaminasi logam Cu, Pb, Hg, dan
persentase ukuran butir sedimen. Indek BMWP hanya sensitif terhadap kontaminasi
logam Pb, Hg, dan persentase ukuran butir sedimen. Selain hal tersebut empat atribut
biologi di atas ternyata kurang sensitif dalam mendeteksi pengkayaan logam Cd di
sedimen.
Tabel 5: Hasil analisis karbon organik dan fraksi butiran dari sedimen di setiap stasiun pengamatan.
No Lokasi
DO
Dasar
(mg/l)
Karbon
Organik
[%]
pH
Fraksi Butiran Sedimen Dalam Satuan %
Clay &
Silt
Pasir
Sangat
Halus Halus Sedang Kasar
Sangat
Kasar
<63µm 63 –
125µm
125 –
250µm
250 –
500µm
500µm
– 1mm
1 –
2mm
1 Gunung Wayang 6,45 0.820 7.278 4.63 37.16 40.00 11.31 6.91 -
2 Nanjung 2,31 4.547 6.594 38.50 28.24 20.65 12.20 0.41 -
3 Batujajar 2,49 1.087 6.598 19.37 22.04 34.01 22.85 1.73 -
4 Cihaur 0,24 1.833 8.52 19.07 22.12 35.03 21.89 1.89 -
5 Cangkorah 0,71 2.147 9.116 19.07 22.12 35.03 2189 1.89 -
6 Cimerang 0,6 1.187 8.304 18.58 24.30 31.03 24.02 2.08 -
7 Maroko 0,36 2.61 7.78 6.58 32.83 35.86 23.11 1.63 -
8 Cipatik 0,70 3.19 7.48 16.94 30.56 29.26 22.10 1.14 -
9 Ciminyak 0,26 2.2 7.62 4.47 27.07 43.54 23.91 1.01 -
10 Cijere 0,44 2.40 8.268 23.37 34.23 32.17 9.96 0.28 -
11 Cijambu 1 1.487 7.776 4.08 31.19 39.16 24.17 1.40 -
12 Intake 0,59 1.47 7.74 16.58 28.14 25.01 26.57 3.71 -
13 Rajamandala 3,27 0.983 7.43 24.79 69.94 4.03 1.08 0.16 -
Hasil dari penelitian ini mengindikasikan adanya fenomena penurunan beberapa
atribut biologi seperti indek diversitas, kekayaan taksa, Indek BMWP, dan indek biotik
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
161
gabungan (Tabel 3 dan 4) akan diikuti dengan peningkatan kontaminasi logam berat di
sedimen dan penurunan konsentrasi oksigen terlarutnya (Gambar 2, 3, dan Tabel 2).
Adanya penurunan nilai dari beberapa atribut biologi di atas sangat dipengaruhi oleh
perubahan komposisi taksa dan tingkat keseimbangan kelimpahan dari populasi bentik
makroavertebrata yang ada. Adanya stress atau polusi pada umumnya menyebabkan
penyederhanaan dari rantai makanan pada ekosistem akuatik yang biasanya diikuti
dengan penurunan jumlah taksa dari komunitas bentik makroavertebrata. Cairns and
Dickson (1971) menyebutkan introduksi polutan biasanya akan menurunkan jumlah
spesies yang tergolong sensitif hingga organisme yang relatif toleran saja yang mampu
tetap bertahan hidup. Adanya pergeseran komposisi taksa dan nilai kelimpahan dapat
berpengaruh secara langsung pada pergeseran nilai beberapa atribut biologi di atas
seperti: indek diversitas dan kekayaan taksanya. Indek BMWP relatif hanya dipengaruhi
oleh perubahan komposisisi taksa dan nilai toleransi dari setiap hewan yang merespon
adanya kontaminasi polutan di perairan pada setiap stasiun pengamatan.
Tabel 6. Hasil uji korelasi Spearman antara konsentrasi logam berat dan variabel pendukung lainnya
dengan beberapa atribut biologi dari struktur komunitas bentik.
Variabel Indek Diversitas Indek BMWP Kekayaan Taksa Indek Gabungan
Cd -0,1654
p = 0,589
-0,2812
p = 0,352
-0,1761
p = 0,565
-0,2935
p = 0,330
Pb -0,778
p = 0,002*
-0,6011
p = 0,030*
-0,7363
p = 0,004*
-0,7468
p = 0,003*
Cu -0,565
p = 0,044*
-0,3841
p = 0,195
-0,6426
p = 0,018*
0,6694
p = 0,009*
Hg -0,8577
p = 0,001*
-0,577
p = 0,000*
-0,8023
p = 0,001*
-0,7708
p = 0,002*
DO 0,3595
p = 0,228
0,6
p = 0,030*
0,2502
p = 0,410
0,2584
p = 0,394
% Clay -0,6287
p = 0,021*
-0,7469
p = 0,003*
-0,6307
p = 0,021*
-0,7044
p = 0,007*
% Pasir 0,63
p = 0,000*
0,7471
p = 0,000*
0,6308
p = 0,000*
0,7046
p = 0,000*
C-Org -0,32
p = 0,28
-0,39
p = 0,184
-0,38
p = 0,2
-0,41
p = 0,17
pH sed 0,003
p = 0,991
0,082
p = 0,782
-0,12
p = 0,729
0,002
p = 0,999
Simbol * menunjukkan nilai korelasi yang signifikan pada selang kepercayaan 95%.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
162
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada tahun 2006 ini, ada beberapa hal
yang dapat disimpulkan antara lain:
1. Konsentrasi logam berat di sedimen dibandingkan dengan beberapa
guideline dari: kementrian lingkungan Ontario, SEPA, ERL, ERM, PEL,
SEL, dan TEL, secara umum menunjukkan kontaminasi logam Hg, Pb, dan
Cu yang paling berpotensi menimbulkan gangguan pada ekosistem perairan,
sedangkan logam Cd masih di bawah ambang batas dari sebagian besar
guideline tersebut di atas.
2. Adanya peningkatan logam Pb, Cu, dan Hg di sedimen pada Waduk
Saguling akan diikuti dengan penurunan beberapa atribut biologi (indek)
yaitu BMWP, diversitas, kekayaan taksa, dan gabungan. Namun indek
tersebut di atas relatif kurang sensitif dalam mendeteksi besarnya
kontaminasi logam Cd, C-organik, maupun ph sedimen.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim 2004. Booklet Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkitan Saguling.
Anonim 1986. Quality Criteria for Water 1986, United States Environmental Protection
Agency. EPA 440/5-86-001. Washington.
Azrina M.Z., C.K. Yap, A. Rahim Ismail, A. Ismail, S.G. Tan, 2006, Anthropogenic
Impacts on The Distribution and Biodiversity of Benthic Macroinvertebrates
and Water Quality of The Langat River, Peninsular Malaysia, Ecotoxicology
and Environmental Safety 64: 337–347.
Beasley G. dan P.E. Kneale, 2004, Assessment of Heavymetal and PAH Contamination
of Urban Streambed Sediments on Macroinvertebrates, Water, Air, and Soil
Pollution: Focus 4: 563–578.
Berkman HE., Rabeni CF., and Boyle TP. 1988. Biomonitors of Stream Quality in
Agricultural Areas: Fish Versus Invertebrates. Environmental Management
10(3): 413-419.
Blackmore LC., Searle PL., and Daly BK. 1981. Methods for Chemicals Analysis of
Soils. N.Z. Soil Bureau Sci. Rep. 10 A. Soil Bureau. Sower Hutt. New
Zealand.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
163
Bode RW., Novak MA., and Abele LE. 1996. Quality Assurance Workplan for
Biological Stream Monitoring in New York State. NYS Department of
Environmental Conservation. Albany. New York.
Brahmana SS., and Firdaus A. 1997. Eutrophication in Three Reservoirs at Citarum
River, Its Relation to Beneficial Uses. Proceeding Workshop on Ecosystem
Approach to Lake and Reservoir Management. hlm 199-211.
Bray RH., and Kurtz L.T. 1945. Determination of Total Organic and Available Form of
Phosphorus in Soil. Soil Sci. 59: 39-45.
Davies SP., and Tsomides L. 1997. Methods for Biological Sampling and Analysis of
Maine’s Inland Water. Maine Department of Environmental Protection.
Augusta-Maine.
Ford J. 1989. The Effects of Chemical Stress on Aquatic Species Composition and
Community Structure in Ecotoxicology: Problems and Aproaches. Harwell
LM., Kelly J., and Kimball K., editors. New York. Springer–Verlag. hlm 9-
32.
Fὅrtstner U. 1983a. Metal pollution assessment from Sediment Analysis. in Metal
Pollution In Aquatic Environment. Springer Verlag. Berlin Heidelberg.
Germany. hlm 110-196.
Gerhardt A., De Bisthoven LJ., and Soares AMVM. 2004. Macroinvertebrtae Response
to Acid Maine Drainage: Community Structure and On-line behavioral
taoxicity bioassay. Environmental Pollution 130: 263-274
Graham E.R. 1948. Determination of Soil Organic Matter by Means a Photoelectric
Colorimeter. Soil Sci. 65 : 181-187
Hart BT., Dok WV., and Djuangsih N. 2002. Nutrient Budget for Saguling Reservoir,
West Java, Indonesia. Water Research 36: 2152-2160.
Keran B.L. and Karr J.R. 1994. A Benthic Index of Biotic Integrity (B-IBI) For River of
The Tennesse Valley. Ecol. Appl. 4: 768-785.
Luoma SN., and Carter JL. 1991. Effect of Trace Metal on Aquatic Benthos. in M.C.
Newman and A.W. McIntosh (eds): Metal Ecotoxicology: Concepts and
Applications. Lewis Publishers. Chelsea. Michigan. 261-300.
Mac Donald, D.D., Carr R.S., Calder F.D., Long E.R., and Ingersoll C.G. 1996.
Development and Evaluation of Sediment Quality Guidelines for Florida
Coastal Water. Ecotoxicology 5 : 253-278.
MacDonald, D. M., R. S. Carr, D. Eckenrod, H. Greening, S. Grabe, C. G. Ingersoll, S.
Janicki, T. Janicki, R. A. Lindskong, E. R. Long, R. Pribble, G. Sloane, and
D. E. Smorong. 2004. Development, Evaluation, and Application of
Sediment Quality Target for Assessing and Managing Contaminated
Sediments in Tampa bay, Florida. Arch. Environ. Contam. Toxicol. 46:147-
161.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
164
Martin R. 2004. Origin of The Biological Monitoring Working Party System, www.
cies.staffs.ac.uk./rscrbmwp.htm.3k.
Matthaei, C. D., C. J. Arbukle, and C. R. Townsend. 2000. Stable Surface Stones as
Refugia for Invertebrates During Disturbance in a New Zealand Stream. J.
N. Am. Benthol Soc.19(1): 82-93.
Mize S.V. and R. Deacon, 2002, Relations of Benthic Macroinvertebrates to
Concentrations of Trace Elements in Water, Streambed Sediments, and
Transplanted Bryophytes and Stream Habitat Conditions in Nonmining and
Mining Areas of the Upper Colorado River Basin, Colorado, 1995–98, U.S.
Geological Survey, Water-Resources Investigations Report 02–4139,
Denver, Colorado.
Mulyanto S. 2003. Rekapitulasi Penelitian Kualitas Air Waduk PLTA Saguling Tahun
1994-2003. PT. Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkitan Saguling. 32
hal.
Mwamburi, J. 2003. Variations in Trace Elements in Bottom Sediments of Major Rivers
in Lake Victoria’s Basin, Kenya. Lakes & Reservoirs: Research and
Management 8: 5–13.
Norris, R.H. and K.R. Norris. 1995. The Need for Biological Assessment of Water
quality: Australian Perspective. Australian Journal of Ecology 20: 1-6.
Norris, R. H. 1999. Environmental Indicators: Recent Development in Measurement
and Application for Assessing Freshwater. in: A. Holt, K. Dickinson, and
G.W. Kearsley (eds): Environmental Indicators. Proceeding of The
Environmental Indicator Symposium. University of Otago. Dunedin. New
Zealand. 1-43.
Paul, M.J. and J.L. Meyer. 2001. Stream in the Urban Landscape, Annu. Rev. Ecol.
Syst. 32:333–365
Poulton B. C., Mark L. Wildhaber, Collette S. Harbonneau, James F. Fairchild, Brad G.
Mueller, and Christopher J. Schmitt, 2003, A Longitudinal Assessment of
The Aquatic Macro-invertebrate Community in The Channelized Lower
Missouri River, Environmental Monitoring and Assessment 85: 23–53
Power, E. A., and P. M. Chapman. 1992. Assessing Sediment Quality. In: A. Burton
(Eds): Sediment Toxicity Assessment. Lewis Publishers. 1-16.
Reynoldson T.B., and Metcalfe-Smith, 1992, An Overview Of The Assessment Of
Aquatic Ecosystem Health Using Benthic Invertebrates, Journal Of Aquatic
Ecosystem Health 1: 295-308pp.
Reynoldson, T.B., R.H. Norris, V.H. Resh, K.E. Day, and D.M. Rosenberg. 1997. The
Reference Condition: A Comparison Of Multimetric And Multivariate
Approaches To Assess Water Quality Impairment Using Benthic
Macroinvertebrates. J. N. Am. Benthol. Soc. 16(4): 833-852.
Smoley, C. K. 1992. Methods for The Determination of Metals in Environmental
Samples. Method 200.2. US- EPA. Cincinnati. Ohio. 281 hal.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
165
Sriwana, T. 1999. Polusi Vulkanogenik: Akumulasi Unsur Kimia dan Penyebarannya di
Sekitar Kawah Putih, G. Patuha Bandung. Makalah Seminar di Puslit
Limnologi-LIPI. Cibinong. 5 hal.
Timmermans, K.R., W. Peeters, and M. Tonkes. 1992. Cadmium, Zinc, Lead, and
Copper in Chironomus riparius (meigen) Larvae (Diptera, Chironomidae):
Uptake and Effects. Hydrobiologia 241: 119-134
Widianarko, B., R. A. Verweij, A. M. Van Gestel, and N. M.Van Straalen. 2000. Spatial
Distribution of Trace Metal in Sediments from Urban Streams of Semarang,
Central Java, Indonesia. Ecotoxicology and Environmental Safety 46: 95-
100.
Washington, H. G. 1984. Diversity, Biotic, and Similarity Indices: a Review with
Special Relevance to Aquatic Ecosystem. Water Res. 18(6): 653-694.
Zisckhe J.A. dan G. Ericksen, 2003, Analysis of Benthic Macroinvertebrate
Communities in The Minnesota River Watershed, Diane Waller, United
states fish and Wildlife Service, La Crosse, Wisconsin.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
166
Lampiran 1
Data rata-rata kelimpahan organisme bentik makroavertebrata di setiap stasiun pengamatan.
Ordo Famili Taxa
Rata-rata kelimpahan jumlah individu/m2
St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 St 8 St 9 St 10 St 11 St 12 St 13
Ephemeroptera Baetidae Baetis sp. 415 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Hemiptera Belostomatidae Abedus identatus 281 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Hemiptera Nepidae Ranatra dispar 15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Hemiptera Corixidae Micronecta sp. 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 30 0
Odonata Aeshnidae Coryphaeschna sp. 30 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Odonata Coenagrionidae Amphiagrion sp. 89 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Odonata Libellulidae Libellula sp 0 0 0 0 0 0 0 0 15 15 0 0 0
Odonata Oxygastridae Hesperocordulia sp. 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 30 0
Hirudinea Glossiphoniidae Glossiphonia sp. 119 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1126
Molusca Viviparidae Belamya javanica 0 0 0 0 0 296 563 0 667 163 163 0 0
Molusca Viviparidae Pila scutata 0 0 0 0 0 163 148 0 15 0 59 59 0
Molusca Lymnaeidae Lymnaea stagnalis 1126 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Molusca Planorbidae Amerianna sp. 0 0 0 0 0 0 0 15 0 0 0 0 0
Molusca Thiaridae Melanoides (melanoides) sp. 0 0 0 0 0 74 0 74 341 252 252 30 237
Molusca Thiaridae Brotia sp. 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 59
Crustacea Atyidae Atyaephyra desmaresti 3393 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Diptera Chironomidae Procladius sp. 222 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Diptera Chironomidae Tanytarsus sp. 0 0 0 0 0 207 0 0 44 0 0 0 44
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
167
Diptera Chironomidae Kiefferulus sp. 0 0 0 637 44 267 356 578 607 119 652 415 178
Diptera Chironomidae Polypedilum sp. 296 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Diptera Ceratopogonidae Culicoides sp. 0 0 0 0 0 0 15 0 0 0 0 0 0
Diptera Chaoboridae Chaoborus sp. 0 0 0 0 0 0 30 59 30 222 0 0 0
Oligochaeta Naididae Haemonais waldvogelli 104 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Oligochaeta Naididae Stephensonia sp. 74 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Oligochaeta Naididae Branchiodrilus semperi 163 0 0 15 0 148 578 459 548 415 370 1156 44
Oligochaeta Naididae Pristina menoni 59 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Oligochaeta Naididae Chaetogaster lymnaei 30 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Oligochaeta Naididae Dero digitata 0 0 400 326 0 711 593 548 222 415 711 1170 59
Oligochaeta Naididae Dero obtusa 0 0 0 0 0 0 0 44 696 148 296 15 0
Oligochaeta Naididae Dero (Aulophorus) gravelyi 0 0 15 30 0 0 0 44 3022 519 859 15 15
Oligochaeta Naididae Naididae 0 0 0 0 0 104 0 74 1289 0 0 104 74
Oligochaeta Naididae Pristina sp. 0 0 0 0 0 0 0 0 74 0 0 0 0
Oligochaeta Tubificidae Branchiura sowerbyi 2844 0 0 0 0 15 0 0 607 0 15 15 10015
Oligochaeta Tubificidae Limnodrilus sp. 0 24030 133 0 0 44 341 30 1170 400 104 1096 14104
Oligochaeta Tubificidae Aulodrilus piqueti 0 0 0 0 0 0 15 15 963 0 0 163 133
Tricladida Dugesidae Cura sp. 15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Tricladida Dugesidae Dugesia sp. 0 0 0 0 0 0 0 0 59 0 0 0 0
Lepidoptera Pyralidae Nymphulinae 15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Crustacea Cirolamidae Austroargathona sp. 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 74 0
Jumlah Total 9289 24030 548 1007 44 2030 2637 1941 10370 2667 3481 4370 26089
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
168
PENGGUNAAN DIATOM EPILITHIK
SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS AIR SUNGAI
REMBANGAN JEMBER YANG MELEWATI PERKEBUNAN KOPI
Retno Wimbaningrum*) dan Siswoyo
**)
ABSTRAK
Diatom epilithik merupakan kelompok mikroalga eukariotik yang hidupnya melekat di bebatuan. Di
banyak negara, keberadaan komunitas diatom epilithik ini telah dimanfaatkan sebagai bioindikator untuk
menilai kualitas air sungai. Namun demikian, di Indonesia baru sedikit ahli yang memanfaatkan diatom
sebagai bioindikator untuk menilai kualitas air sungai. Analisis komposisi dan kelimpahan diatom epilithik
telah dilakukan di Sungai Rembangan, Jember yang melewati perkebuan kopi pada bulan Agustus 2008 pada
tiga stasiun. Koleksi sampel diatom epilithik dilakukan dengan cara menyikat batu yang terendam air sungai
dengan kuas..Identifikasi taksonomi diatom epilitik dilakukan di bawah mikroskop sampai ditemukan
minimum 200 frustula (Winter and Duthie, 2000). Sampel air sungai diambil untuk dianalisis kadar fosfat,
nitrat, amoniak, TSS, konduktivitas, alkalinitas, dan temperatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ditemukan 25 jenis diatom epilithik. Komposisi jenisnya pada ketiga stasiun tidak terlampau berbeda nyata.
Jenis yang paling melimpah pada ketiga stasiun adalah Fragillaria crotonensis. Kadar fosfat, nitrat,
amoniak, TSS dan alkalinitas air sungai adalah rendah, dengan demikian kualitas air sungai Rembangan
yang melewati perkebunan kopi dapat dikategorikn tidak tercemar. Kesimpulan dari penelitian ini adalah
diatom epilithik jenis Fragillaria crotonensis dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator penilaian kualitas air
yang melewati perkebunan kopi yang tidak tercemar.
Kata kunci: diatom, epilithik, bioindikator, kualias air.
ABSTRACT
Epilithic diatom are a group of eucaryotic microalgae that life on surface of rock. In some countries,
the presented of epilithic diatom communities in the river have been used as bioindicator to asses river
water quality. In Indonesia only view researcher that used diatom as bioindicator to asses water river
quality. The analyzed of composition and relative density of epilithic diatom communities was conducted in
August 2008 in Rembangan river flowing through a coffee cultivated field at Jember at three sites. Epilithic
diatom samples were collected by brushing the upper surfaces of the rock. Taxonomic identification of
epilithic diatom were done by using compound microcope until found 200 minimum of frustules diatom
(Winter and Dutie, 2000). Water river samples were collected to analyzed of concentration of phophat,
nitrat, ammonium, TSS, alkalinity, and temperature. These research have been found 25 species of epilithic
diatom. The difference of composition of species epilithic diatom at three sites are not significant.Fragillaria
crotonensis is the most abundance species at three sites. The concentration of phosphate, nitrat, ammonium,
TSS, conductivity, and temperature are low that the quality of river water in Rembangan river flowing
through a coffee cultivated field at Jember is not polluted. The result of these research is Fragillaria
crotonensis can be used as bioindicator of water river quality in the rivers are not polluted.
Key words: diatom, epilithic, bioindicator, water quality
*)
Jurusan Biologi **)
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Jember
Email:[email protected]
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
169
PENDAHULUAN
Sungai merupakan salah satu ekosistem penting sebagai penyedia kebutuhan air
bagi hampir semua makhluk hidup. Namun fenomena yang terjadi saat ini, kelestarian
sebagian besar ekosistem lotik tersebut terancam. Buangan limbah industri dan rumah
tangga, aliran pestisida dan sisa pupuk pertanian, dan sedimentasi merupakan penyebab
utama menurunnya kualitas lingkungan perairan sungai.
Sungai Rembangan merupakan salah satu sungai penting yang terdapat di
Kabupaten Jember, Jawa Timur. Sungai ini dimanfaatkan masyarakat untuk berbagai
keperluan hidup. Sebagian dari badan sungai Rembangan berbatasan langsung dengan
perkebunan kopi yang dikelola oleh PTPN XII. Sisa pupuk dan insektisida yang digunakan
untuk memupuk dan membasmi hama tanaman kopi akan mengalir ke sungai dan akan
mempengaruhi kualitas air sungai tersebut.
Umumnya penilaian kualitas air sungai yang selama ini dilakukan adalah
berdasarkan karakteristik kimia, fisika, dan keberadaan bakteri (Vis et al., 1998). Namun
karena besarnya dana yang dibutuhkan untuk melakukan analisis kimia, fisika dan uji
bakteri maka biasanya penilaian kualitas air sungai baru dilakukan jika sungai telah
mengalami pencemaran yang parah. Hal ini kemungkinan yang menjadi salah satu
penyebab bahwa belum pernah dilakukan penilaian kualitas air sungai Rembangan yang
melewati perkebunan kopi.
Sebenarnya, selain berdasarkan parameter kimia, fisika dan uji bakteri, ada cara lain
yang lebih murah dan mudah untuk melakukan penilaian kualitas air sungai. Cara tersebut
adalah dengan memanfaatkan kelompok organisme penghuni sungai. Hellawel (1986)
mengatakan bahwa alga dan makroinvertebrata bentik adalah dua kelompok organisme
yang dapat digunakan untuk menilai kualitas air sungai. Umumnya alga yang disarankan
sebagai indikator kualitas air sungai adalah alga perifiton dan khususnya alga perifiton
diatom (Winter and Duthie, 2000).
Chessman, et al. (1999) mengatakan bahwa penggunaan diatom sebagai
bioindikator meningkat karena komunitas organisme ini memberikan respon yang kuat dan
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
170
cepat terhadap perubahan lingkungan perairan. Round (1991) mengatakan bahwa di sungai,
diatom ditemukan di seluruh habitat sungai mulai dari hilir sampai ke hulu. Juttner et al.
(1996) menyatakan bahwa karena dinding sel diatom mengandung silica maka organisme
ini mudah dikoleksi dan disimpan., dan juga dapat menyediakan data yang bersifat
permanen yang merekam perubahan yang terjadi dalam jangka pendek dan jangka panjang.
Rushforth and Brock (1991) menyatakan bahwa secara taksonomis, diatom mudah dikenal
karena mudah diidentifikasi dan responnya terhadap satu jenis polutan bersifat konsisten
walaupun peristiwa pencemarannya terjadi pada wilayah geografis yang berbeda. Selain itu,
tersedia protocol untuk sampling diatom. Analisis komunitas diatom dapat digunakan untuk
menilai efek polutan organik dan peningkatan senyawa anorganik (Winter and Duthie,
2000).
Saat ini keberadaan komunitas diatom epilithik di banyak negara telah
dimanfaatkan sebagai bioindikator kualitas air. Namun demikian, di Indonesia baru
sedikit ahli yang melakukan penelitian tentang kemampuan diatom sebagai bioindikator
kualitas air. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan kualitas air sungai yang
melewati perkebunan kopi dengan menggunakan diatom epilithik sebagai bioindikator.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di sungai Rembangan yang melewati perkebunan kopi pada
bulan Agustus 2008. Pengambilan dan pengukuran data dilakukan pada tiga stasiun yang
terletak di sepanjang badan sungai yang melewati perkebunan kopi. Pengukuran kualitas
fisik air yang dilakukan di lapang meliputi temperatur, kecepatan arus, dan konduktivitas.
Sampel air diambil untuk dianalisis kadar total suspended solid (TSS), nitrat, fosfat,
ammoniak, alkalinitas, dan pH di laboratoium. Sampel diatom epilithik diambil dengan
menggunakan metode plot. Pada permukaan batu yang terbenam di air seluas 5 x 5 cm2
dikoleksi diatom eplitik dengan cara menyikatnya dengan kuas halus, kemudian
menyiramnya dengan akuades sebanyak 50 ml dan menyimpannya dalam tabung
penyimpan. Di laboratorium dilakukan identifikasi dan penghitungan jumlah indvidu setiap
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
171
jenis diatom epilithik. Identifikasi dilakukan di bawah mikroskop sampai ditemukan
minimum 200 frustula (Winter and Duthie, 2000).
Data kualitas air sungai Rembangan dianalisis dengan Analisis Varians (ANAVA)
untuk mengetahui beda nyata konsentrasi masing-masing parameter kualitas air tersebut di
antara tiga stasiun pengambilan data. Jika ada beda nyata maka analisis akan dilanjutkan
dengan analisis regresi antara kelimpahan relatif diatom (sebagai faktor dependen) dengan
data kualitas air sebagai faktor independen.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Suhu (°C), kecepatan arus (m/dt), dan konduktivitas (µS/cm) air sungai Rembangan
pada ketiga stasiun selama periode sampling adalah sebagai berikut, Stasiun 1 (24,8- 25,3;
0,2 – 0,33; 103,3- 105,1), Stasiun 2 (23,7; 0,16 – 0,2; 101,2-10,2,0), dan Stasiun 3 (25,2-
25,9; 0,2-0,33; 111,3-113,4). Kadar nitrat, amoniak, fosfat, TSS, pH tertera dalam Tabel 1
di bawah ini.
Tabel 1. Konsetrasi nitrat, amoniak, fosfat, TSS, dan pH air sungai Rembangan
Parameter Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Nitrat (mg/L) 0,5570 0,5125 0,5310
Amoniak (mg/L) 0,0747 0,1247 0,1231
Fosfat (mgP/L) 0,0061 0,0165 0,0193
TSS (mg/L) 0,0173 0,0153 0,0177
Alkalinitas(mg CaCO3/L) 50,52 50,52 50,52
pH 7 7,03 7,26
Hasil analisis varians terhadap enam parameter kualitas air (nitrat, amoniak, fosfat,
TSS, alkalinitas, dan pH) menunjukkan tidak berbeda nyata di antara ketiga stasiun
penelitian. Konsentrasi pH, fosfat dan nitrat sungai Rembangan yang melewati kebun kopi
adalah di bawah ambang batas baku mutu kualitas air. Baku mutu untuk konsentrasi pH,
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
172
nitrat, dan fosfat berturut-turut adalah 6,5-8,5; <50mg/L; <0,2 mg/L. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa kualitas air sungai Rembangan yang melewati perkebunan kopi
tidak tercemar. Hal ini didukung pula oleh konsentrasi amoniak dan TSS yang cukup
rendah. Kondisi tidak tercemar ini didukung oleh posisi perkebunan kopi yang berada pada
lereng gunung dan jauh dari pemukiman penduduk. Selain itu, berdasarkan informasi yang
berhasil dihimpun, pemupukan tanaman kopi sebagian besar menggunakan pupuk organik
yang bahan bakunya berasal dari limbah kulit buah kopi yang bijinya telah diolah menjadi
kopi bubuk.
Aktifitas identifikasi sampel diatom epilithik berhasil mengidentifikasi 25 jenis.
Jenis diatom epilithik terbanyak adalah dari tipe Pennales. Komposisi jenis diatom dan
kelimpahan relatifnya dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Komposisi jenis diatom dan kelimpahan relatif setiap jenis
No Taksa Diatom Kelimpahan relatif (%)
1 Diatoma vulgare 4,554
2 Fragillaria crotonensis 46,110
3 Fragillaria capucina 3,985
4 Fragillaria construens 0,949
5 Navicula cryptocephala 12,334
6 Rhoicosphenia abbreiviata 2,467
7 Stauroneis anceps 1,898
8 Achnanthes minutissima 10,436
9 Surirella ovata 0,949
10 Nitzschia palea 0,569
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
173
11 Nitzschia sigmoides 0,569
12 Meridion circulare 0,569
13 Cymbella helvetica 3,416
14 Achnantes sp. 0,190
15 Ceratoneis arcus 0,569
16 Gomphonema geminatum 0,190
17 Surirella angusta 3,605
18 Synedra ulna 0,949
19 Navicula pupula 0,759
20 Cymbella prostrata 0,759
21 Melosira granulata 0,569
22 Amphora sp. 0,190
23 Cyclotella kutzingiana 0,569
24 Surirella robusta splendida 0,190
25 Cocconeis pediculus 2,657
Di antara 25 jenis diatom epilithik, jenis yang paling melimpah adalah Fragillaria
crotonensis yaitu dengan nilai kelimpahan relatifnya sebesar 46,11%. Kualitas air sungai
Rembangan ternyata merupakan habitat yang mampu ditoleransi dengan baik oleh jenis ini.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
174
Di antara komunitas diatom epilithik, jenis ini memiliki ukuran tubuh paling besar (sangat
panjang). Jenis ini sering ditemukan berkoloni walaupun kadang-kadang juga pernah
ditemukan sendiri (soliter). Berdasarkan nilai kelimpahan relatifnya, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa jenis diatom epilithik Fragillaria crotonensis dapat dimanfaatkan
sebagai bioindikator perairan sungai yang tidak tercemar oleh limbah buangan aktivitas
perkebunan kopi.
Di antara 25 jenis diatom epilitik yang hadir di sungai Rembangan, terdapat satu
jenis yaitu Achnantes minutissima. Jenis ini oleh Nakanishi, Dkk. (2004) telah diusulkan
sebagai bioindikator untuk kualitas air yang tercemar logam berat. Di sungai Rembangan
Achnantes minutissima ditemukan hadir dengan nilai kelimpahan 10,436%. Dengan
demikian jenis ini merupakan jenis yang kisaran toleransinya lebar sehingga mampu
tumbuh di lingkungan tercemar logam berat maupun di lingkungan yang tidak tercemar
logam berat.
KESIMPULAN
Kualitas air Sungai Rembangan yang melewati perkebunan kopi adalah tidak
tercemar. Jenis diatom epilithik yang paling melimpah hidup di sungai ini adalah
Fragillaria crotonensis. Berdasarkan nilai kelimpahannya maka jenis Fragillaria
crotonensis dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator kualitas air sungai yang melewati
perkebunan yang tidak mengalami pencemaran.
DAFTAR PUSTAKA
Chessman, B., Grown, I., Curry, J. and Plunkett-Cole, N. 1999. Predicting diatom
communities at the genus level for rapid biological assessment of river. Fresw.
Biol, 41.
Hellawell, J.M. 1986. Biological indicator of freswater pollution and environment
management. London: Elsevier.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
175
Juttner, I.H. and S.J. Ormeod. 1996. Diatoms as indicators of river quality in the Nepalese
Middle Hills with consideration of effects of habitat spesific sampling.
Freshwater Biology, 36.
Rosenberg D.M. and V.H Resh. 1993. Freshwater biomonitoring and benthic
macroinvertebrate. New YorK; Chapman & Hall.
Rushfort, S.R. and Brock, J.T. 1991. Attached diatom communities from the lower truckee
river, summer, and fall. Hydrobiologia, 224.
Vis, C., C. Hudon, A. Cattaneo, B. Pinel-Alloul. 1998. Periphyton as `an indicator of
water quality in the St Lawrence River (Quebec, Canada). In: Environmental
Pollution, 101.
Winter, J.G. and H. C. Duthie. 2000. Stream biomonitoring at an agricultural test site using
benthic algae. In: Can. Journal Botani, 78: 01319-1325 (2000)
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
176
POLA AKUMULASI Fe, K DAN Mg OLEH KULTUR Scenedesmus dimorphus
PADA VARIASI PENAMBAHAN KONSENTRASI LARUTAN CAMPURAN
LOGAM
Awalina Satya *, Tjandra Chrismadha dan Mey R.Widoretno
ABSTRAK
Perubahan iklim akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan alga yang menduduki tingkat
primer pada rantai makanan untuk bertahan hidup. Tujuan eksperimen di laboratorium ini adalah
mengamati trend pola bioakumulasi Fe,K dan Mg oleh kultur Scenedesmus dimorphus yang dibiakkan dalam
Provasoli for Haematococcus Medium (PHM) dengan variasi penambahan volume larutan campuran logam
berturut turut 1 mL, 5 mL, 10 mL dan 20 mL. Kultur alga ini dicuplik pada periode pemaparan hari ke 10, 20,
dan 30 untuk penentuan biomassa, kepadatan sel, dan kandungan ketiga jenis logam tersebut baik pada
larutan media tumbuh alga maupun pada matriks alganya. Pada tahap determinasi kandungan logam,
setelah melewati proses sentrifugasi untuk pemisahan matriks sample, digesti dengan larutan aqua regia
dilakukan terlebih dulu sebelum pengukuran dengan Zeeman background corrected-Graphite Furnace
Atomic Absorption Spectrophotometer (GFAAS). Penentuan biomassa dilakukan secara gravimetric setelah
penyaringan dengan GF/C, sementara kepadatan sel dilakukan dengan cara pengukuran absorbans pada
λ400 nano meter. Nilai r 2 eksponensial tertinggi (0,9971 ; 0,9972 dan 0,9965) berturut-turut teramati pada
bioakumulasi Mg dengan penambahan larutan campuran logam (LCL) sebanyak 20 mL ; K dan Fe dengan
volume penambahan LCL 10 mL. Sebaliknya Bioakumulasi K dalam matriks sel alga cenderung
memperlihatkan pola eksponensial yang paling jelas (kisaran r 2= 0,9169-0,9987) pada kesemua variasi
penambahan LCL. Berbeda dengan Mg, hasil analisis pictorial menunjukkan persamaan pola pada K dan
Fe yaitu berkurangnya bioakumulasi dan bertambahnya biomassa seiring dengan bertambahnya waktu pada
semua variasi penambahan LCL.
Kata kunci:pola akumulasi, Scenedesmus dimorphus, Fe, K,Mg
ABSTRACT
The climate change affects on the survival of algal life as primary producers in food web. The aim of
this laboratory experiment was to observe bioaccumulation of Fe, K and Mg trend pattern by cultured
Scenedesmus dimorphus which was grown in Provasoli for Haematococcus Medium (PHM) followed by
addition of respectively 1 mL, 5 mL, 10 mL and 20 mL of the Mixed Trace Metals Solution (MTS). This algae
culture was sampled in exposure period in 10, 20, and 30 days to determine its biomass, cell density, and
those of three metals contents not only in media but also in its algae matrix. Due to metals quantification,
after sample matrix separation by centrifugation process, wet digestion with aqua regia was done before
measurements Zeeman background corrected-Graphite Furnace Atomic Absorption Spectrophotometer
(GFAAS). Biomass was measured by gravimetrically after filtration with GF/C, while cell density was
determined by absorbance reading on λ400 nano meter. The highest observed value of the exponential r 2
(0,9971 ; 0,9972 and 0,9965) respectively on Mg bioaccumulation with 20 mL ; K and Fe with 10 mL MTS
added. The most clearest exponential pattern was observed in K bioaccumulation in algae matrix (r 2=
* Pusat Penelitian Limnologi LIPI
Email : [email protected]
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
177
0,9169-0,9987) in all of MTS added variation. Different from Mg case, pictorial analysis result show that
both of K and Fe has similar bioaccumulation exponential pattern which bioaccumulation decreasing and
ascending of biomass coincidently with observations period in all of MTS added variations.
Key words: accumulation pattern, Scenedesmus dimorphus, Fe, K,Mg
PENDAHULUAN
Perubahan iklim ini berkaitan dengan perubahan keseimbangan siklus biogeokimia,
maka dampaknya terhadap perairan darat tentu sudah dapat diperkirakan juga akan
berpengaruh terhadap kehidupan mulai pada tingkat primary producers sampai pada top
consumers pada rantai makanan. Menurut Yu and Wang (2004), alga atau phytoplankton
menduduki level terendah (primary producers) merupakan komponen ekosistem yang
sensitive terhadap perubahan keseimbangan siklus biogeokimia perairan.
Karena kemudahannya untuk tumbuh, Scenedesmus sp banyak digunakan dalam
eksperimen bioakumulasi di laboratorium (Buffle and De Vitre, 1994). Menurut Csuros and
Csuros (2002), baik kalium (K) maupun magnesium (Mg) masing masing dikenal sebagai
salah satu makro nutrient esensial untuk tumbuhan termasuk phytoplankton. K berperan
dalam proses aktivasi enzim, fotosintesis, respirasi dan pemeliharaan sel. Sedangkan Mg
berperan dalam struktur molekul chlorophyll, aktivasi enzim, terkait dengan sintesis
Adenosine Tri Phosphate (ATP), dan dalam pengembangan sel (sintesis Ribonucleic Acid,
RNA dan Deoxyribonucleic acid, DNA). Sementara Besi (Fe) berperan besar dalam sintesis
chlorophyll, proses reduksi oksidasi dalam fotosintesis, dan respirasi (terkait dengan
cytochromes, Fe-S protein, ferredoxin) juga dalam proses reduksi Nitrogen-Nitrat dan
pembelahan sel (sebagai phytopherritin).
Buffle and De Vitre (1994) menyebutkan bahwa salah satu cara untuk mengetahui
interaksi logam terhadap mikroorganisme adalah melalui pengamatan terhadap response
mikroorganisme tersebut terhadap keberadaan kandungan logam dalam media hidupnya.
Cara termudah dalam hal tersebut adalah melalui pengamatan terhadap pertumbuhan alga
(kepadatan sel dan biomassa). Informasi lainnya lagi adalah bahwa K dan Mg menurut
Wuyep et al. (2007) jauh lebih mudah terbioakumulasikan dalam biomassa Polyporus
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
178
squamosus dibandingkan Fe, Ni Cu dan Pb yang berasal dari effluent limbah penyulingan
minyak.
Dari uraian tersebut maka pengamatan terhadap pola bioakumulasi ketiga jenis
logam ini dalam Scenedesmus dimorphus perlu untuk dilakukan sebagai studi awal dalam
mempelajari siklus biogeokimia perairan darat. Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah
untuk mengungkapkan trend pola bioakumulasi Fe,K dan Mg oleh kultur Scenedesmus
dimorphus yang dibiakkan dalam Provasoli for Haematococcus Medium (PHM) dengan
variasi penambahan volume larutan campuran logam. PHM dipilih untuk digunakan karena
media ini paling sering digunakan dalam laboratorium kami di Puslit Limnologi-LIPI.
BAHAN DAN METODE
Sebanyak 10 mL inokulum Scenedesmus dimorphus dibiakkan dari stok yang
tumbuh dengan baik pada umur sekitar 10 hari dimasukkan dalam media PHM yang telah
diatur pHnya sekitar 6-7. PHM ini mengandung 1000 mgKNO3/L; 200 mg K2HPO4/L; 200
mgMgSO4.7H2O/L; 50 mgNa2SiO3.9H2O/L; 189 mgNa2EDTA/L; 244 mgFeCl3.6H2O/L.
Sementara itu Larutan Campuran Logam (LCL) mengandung 61 mg H3BO3/L; 41 mg
MnCl2.4H2O; 41 mg ZnCl2/L; 38 mg Na2MoO4.4H2O/L; 6 mg CuSO4.5H2O/L; dan 5,1 mg
CoCl2.6H2O/L. Volume kultur sebanyak 400 mL dalam wadah erlenmeyer 500mL
berbahan pyrex glass dan merupakan batch culture system yang dialiri 10 mL gas CO2
setiap hari. Pengadukan dilakukan tanpa aerasi untuk mengurangi evaporasi. Penyinaran
dilakukan dengan menggunakan beberapa Tubular Lamp (TL) dengan flux sebesar 1500
Lux pada permukaan gelas wadah kultur. Perlakuan terdiri atas variasi penambahan volume
LCL (1 mL, 5 mL, 10 mL, dan 20 mL) secara duplo. Pencuplikan sample media berikut
alga dilakukan pada umur kultur 10 hari, 20 hari dan 30 hari.
Pengukuran biomassa dilakukan secara gravimetri setelah sebelumnya 5-10 mL
cairan kultur disaring dengan kertas saring GF/C (APHA, 1992). Sementara itu Kepadatan
sel diukur secara spektrofotometri uv-vis dengan pembacaan absorbans pada λ 400
nanometer (APHA, 1992). Determinasi Mg,K dan Fe diawali dengan pemisahan antara
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
179
matriks sample alga dari cairan medianya dengan cara sentrifugasi 2000-3000 round per
minute (rpm), proses ini dianggap selesai bila telah diperoleh cairan media yang benar-
benar jernih. Matriks alga kemudian dicuci dengan larutan HNO3 1 % agar terbebas dari
logam yang menempel dipermukaan sel alga. Sample cairan media dan matriks alga (yang
telah dikeringkan pada incubator bersuhu 100 °C selama satu jam dan didinginkan dalam
dessicator sampai pada suhu ruang lalu ditimbang dengan sartorious balance ) kemudian
melalui tahap wet digestions dengan penambahan masing-masing sebanyak 0,5 mL HCl
pekat dan 0,1 mL HNO3 pekat sebelum di autoclave 30 menit pada 121°C dan 15 Psi
gauge. Kedua jenis sample tersebut di digest dalam reaction vessel bertutup teflon coated
yang tahan terhadap proses pengautoclavan tersebut (modifikasi dari ASTM D1971-02
(2002). Digestat yang diperoleh kemudian diukur kandungan Mg, K dan Fe nya dengan
menggunakan Zeeman background corrected-Graphite Furnace Atomic Absorption
Spectrophotometer (GFAAS) sesuai dengan Operation Manual Hitachi High Technologies
Corp ( 2006).
Analisis data yang diperoleh dilakukan secara pictorial dengan MS-Excell TM
untuk
mengetahui pola kecenderungan hubungan yang terjadi selama observasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada eksperimen ini, maksud penambahan LCL adalah untuk mempercepat
penambahan kepadatan sel dan biomassa alga (Gambar 4-6). Variasi penambahan volume
LCL ini akan memungkinkan dipilihnya kuantitas penambahan yang yang tepat untuk
eksperimen lanjutan yang menggunakan kultur Scenedesmus dimorphus di masa
mendatang. Berdasarkan beberapa literatur kami berasumsi bahwa seiring dengan
bertambahnya waktu pengamatan, maka baik K, Mg maupun Fe dalam larutan media PHM
akan terus menurun seiring dengan peningkatan biomassa dan kepadatan sel. Sedangkan
untuk bioakumulasi ketiga logam tersebut pada awalnya akan cenderung meningkat seiring
dengan bertambahnya biomassa, tetapi cenderung sebaliknya bila biomassa telah mencapai
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
180
pada kuantitas maksimumnya. Pendekatan untuk membuktikan asumsi tersebut dapat
ditelusur mulai Gambar 1 sampai 6.
Hasil analisis trendline pada hubungan antara Mg di media selama periode
pengamatan menunjukkan bahwa secara eksponensial kandungan Mg dalam media
cenderung turun seiring waktu hal ini kemungkinan disebabkan oleh konsumsi Mg untuk
mendukung metabolisme alga semasa masa pertumbuhannya (Gambar 1a sampai 1d).
Tetapi trend reability paling jelas terlihat pada Gambar 1b dimana penambahan volume
LCL sebesar 5 mL (r2 = 0,999). Penambahan LCL volume 20 mL juga jauh lebih baik (r
2 =
0,886) dibandingkan dengan penambahan volume LCL 1 dan 10 mL. Tetapi untuk
hubungan Mg dalam sel alga terhadap biomassa alga (Gambar 1e sampai 1h) volume
penambahan LCL 20 mL adalah yang terbaik (Gambar 1h). Penambahan volume LCL 5
mL maupun 10 mL menunjukkan trend reability yang hampir sama (Gambar 1f dan 1g).
Pada Gambar 2a sampai 2d terlihat adanya penurunan eksponensial K dalam media
seiring waktu hanya jelas terlihat pada penambahan LCL 5 mL (Gambar 2b) sementara
penambahan 10 mL LCL justru menunjukkan peningkatan K dalam media secara
eksponensial (Gambar 2c) demikian juga dengan 20 mL LCL (Gambar 2d), mungkin hal ini
disebabkan oleh dominannya konsentrasi K dalam media PHM. Tampaknya volume
penambahan LCL 5 mL merupakan perlakuan yang tepat dinadingkan variasi volume yang
lainnya. Sementara itu Gambar 2e sampai 2h menunjukkan bahwa hubungan bioakumulasi
K dalam sel cenderung menurun seiring dengan menurunnya biomassa. Trend reability
hubungan kedua faktor tersebut paling jelas terlihat (r2 = 0,999 dan r
2 = 0,997) pada
penambahan LCL 1 mL maupun 10 mL (Gambar 2e dan 2g) sementara Gambar 2f dan 2h
menunjukkan nilai r2 terpaut hanya sedikit dengan kedua gambar yang disebut sebelumnya.
Sama halnya yang teramati pada Mg, baik Fe dalam media versus waktu
pengamatan (Gambar 3a sampai 3d) dan bioakumulasi Fe dalam sel versus biomassa
(Gambar 3e sampai 3h) juga secara eksponensial menurun. Namun hanya pada
penambahan LCL 10 mL saja yang menunjukkan bahwa penurunan Fe dalam media seiring
waktu paling jelas terlihat (Gambar 3c). Gambar 3a, 3b dan 3d hanya menunjukkan
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
181
kecenderungan pada level sedang. Sebaliknya Gambar 3e sampai 3h membuktikan bahwa
jelas terlihat secara eksponensial kecenderungan pola menurunnya bioakumulasi Fe dalam
sel seiring dengan menurunnya biomassa. Pola paling jelas terlihat pada penambahan LCL
1 mL (Gambar 3e) dan 10 mL (Gambar 3g).
Gambar 1 sampai Gambar 3 (kecuali untuk K pada penambahan LCL 10 mL dan 20
mL yang cenderung secara eksponensial meningkat pada akhir pengamtan) hanya jelas
menunjukkan bahwa ketiga logam tersebut cenderung menurun seiring dengan
bertambahnya waktu pengamatan pada semua variasi penambahan volume LCL. Tetapi
untuk menunjukkan bagaimana trend pola penurunan konsentrasi ketiga logam tersebut
baik dalam media maupun dalam sel alga , kenaikan kepadatan sel, kenaikan biomassa
seiring bertambahnya waktu periode pengamatan Gambar 4 sampai Gambar 6 adalah yang
paling jelas dalam mendeskripsikannya karena pada gambar-gambar ini konsentrasi ketiga
logam pada 0 hari pengamatan juga ikut ditampilkan.
Gambar 4a sampai 4h menunjukkan bahwa pada semua variasi penambahan LCL,
baik kepadatan sel maupun biomassa cenderung untuk meningkat sedangkan Mg dalam
media cenderung menurun seiring bertambahnya waktu pengamatan. Tetapi hanya pada
penambahan LCL 20 mL terlihat jelas penurunan bioakumulasi Mg dalam sel (Gambar 4h).
Pola kecenderungan pengurangan K dalam medium dan peningkatan kepadatan sel
seiring waktu (Gambar 5a sampai 5d ) menunjukkan seolah-olah waktu pengamatan 30 hari
tidaklah cukup bila dibandingkan dengan Mg maupun Fe. Tetapi hal tersebut tidak tampak
pada biomassa dan bioakumulasi K seiring waktu (Gambar 5e sampai 5h). Pada keempat
gambar terakhir ini terbukti bahwa seiring bertambahnya waktu pengamatan, biomassa
terus bertambah sampai berakhirnya observasi sementara bioakumulasi K pada sel
cenderung tinggi pada awal periode dan akhirnya menurun pada akhir periode.
Gambar 6a sampai 6d menunjukkan bahwa Kepadatan sel cenderung terus
meningkat sampai pada akhir masa observasi, sedangkan Fe di media memiliki
kecenderungan berbeda yaitu secara tajam menurun seiring bertambahnya waktu
pengamatan. Hal ini jauh berbeda dengan Mg yang langsung menurun drastis begitu
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
182
memasuki hari ke 10 pada semua variasi penambahan volume LCL. Pada Fe hanya pada
penambahan 1 mL LCL yang berpola sama dengan Mg yaitu langsung menurun pada hari
ke 10 (Gambar 6a dan 6c). Waktu yang diperlukan untuk menurunkan Fe di media secara
tajam menjadi 20 hari justru terjadi pada penambahan LCL 5 mL dan 20 mL (Gambar 6b
dan 6d).
Uraian tersebut diatas mengindikasikan bahwa perbedaan karakteristik setiap
logam baik dalam berinteraksi dengan sesama logam penyusun media maupun dengan
kebutuhan akan jenis logam tersebut untuk proses metabolisme alga berpengaruh terhadap
pola bioakumulasi Mg, K dan Fe dalam penelitian ini.
KESIMPULAN
Hasil yang kami peroleh menunjukkan bahwa setiap logam membutuhkan volume
penambahan LCL yang berbeda beda agar jelas untuk diamati trend pengurangan
kandungan logam dalam medianya seiring pertambahan waktu pengamatan sekaligus
pengurangan bioakumulasi versus pertambahan biomassanya (Mg pada penambahan LCL 5
mL dan 20 mL, Kalium hanya pada penambahan LCL 5 mL dan Besi hanya pada
penambahan LCL 10 mL ). Fakta ini dapat menjadi dasar untuk eksperimen labortorium
lanjutan yang relevan dengan penyerapan Mg, K dan Fe secara lebih detail di masa
mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Environmental Protection Agency. 1992. Standard Methods for the Examination of Water
and Wastewater, 18 th ed., Government Printing Office, Washington, D.C
(APHA-AWWA-WPCF).
ASTM D1971-02 .2002. Standard Practises for Digestion of Water samples for
determination of metals by flame atomic absorption, Graphite furnace atomic
absorption, plasma emission spectroscopy or plasma mass spectrometry. Annual
book of ASTM Standards, Vol 11.01
Buffle, J. and R.R. De Vitre.1994. Uptake of trace metals by aquatic organisms dalam
Chemical and Biological regulation of aquatic system. Lewis Publisher. CRC
Press. Boca Raton Florida.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
183
Csuros, M. and Csuros , C. 2002 Metals and Plants dalam Environmental Sampling and
Analysis for metals. Hal 324., Lewis Publishers. 372 pp
Hitachi High Technologies Corp . 2006. Model z-2000 series polarized Zeeman atomic
absorption spectrophotometer, Operation Manual:Graphite Furnace Atomizer.5
th ed. Japan.
Wuyep , P.A, Chuma A.G, Awodi, S and Nok, A.J .2007. Biosorption of Cr, Mn, Fe, Ni,
Cu, and Pb metals from petroleum refinery effluent by calcium alginate
immobilized mycelia of Polyporus squamosus. Scientific Research and Essay
Vol.2 (7), pp.217-221.
Yu, R.Q and Wang, WX .2004. Biological uptake of Cd, Se(IV) and Zn by
Chlamydomonas reinhardtii in response to different phosphate and nitrate
additions. Aquatic microbial ecology.Vol.35:163-173.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
184
1a. penambahan 1 mL
0.482
0.483
0.481
y = 0.4825e-0.0005x
R2 = 0.0782
0.480
0.481
0.481
0.482
0.482
0.483
0.483
0.484
10 20 30
pengamtan hari ke
ugMg/L
1e. penambahan 1 mL
4.88
2.00
3.66y = 4.385e-0.1433x
R2 = 0.0988
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
112.5 177.5 292.5
Biomassa (mg/L)
ugMg/g dry weight
1b.penambahan 5 mL
0.48
0.46
0.44
y = 0.4984e-0.0381x
R2 = 0.9999
0.42
0.43
0.44
0.45
0.46
0.47
0.48
0.49
10 20 30
pengamatan hari ke
ugMg/L
1f. penambahan 5 mL
11.06
4.03
3.02
y = 18.793e-0.6499x
R2 = 0.907
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
162.5 227.5 265
biomassa(mg/L)
ugMg/g dry w
eight
1c. penambahan 10 mL
0.49
0.47
0.49y = 0.4869e-0.0021x
R2 = 0.0065
0.46
0.46
0.47
0.47
0.48
0.48
0.49
0.49
0.50
0.50
10 20 30
pengamtan hari ke
ugMg/L
1 g. penambahan 10 mL
5.86
4.173.76
y = 7.0356e-0.222x
R2 = 0.9151
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
152.5 237.5 292.5
biomassa (mg/L)
ugMg/g dry w
eight
1d. penambahan 20 mL
0.50
0.48
0.47
y = 0.5168e-0.0325x
R2 = 0.8862
0.45
0.46
0.47
0.48
0.49
0.50
0.51
10 20 30
pengamatan hari ke
ugMg/L
1h. penambahan 20 mL
19.91
5.45
1.86
y = 62.747e-1.1846x
R2 = 0.9971
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
147.5 215 300
biomassa (mg/L)
ugMg/g dry w
eight
Gambar 1. Hasil analisis trend line konsentrasi Mg dalam media terhadap periode pengamatan) dalam 4
variasi penambahan LCL (1a-1d).Sementara 1e-1f menggambarkan trendline antara Mg dalam sel
alga terhadap biomassa alga pada 4 variasi penambahan volume LCL.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
185
2a. penambahan 1 mL
1,190.074
1,263.475
1,136.613
y = 1251.8e-0.023x
R2 = 0.1876
1,060.000
1,080.000
1,100.000
1,120.000
1,140.000
1,160.000
1,180.0001,200.000
1,220.000
1,240.000
1,260.000
1,280.000
10 20 30
pengamatan hari ke
ugK/L
2e. penambahan 1 mL
47.77
21.38
8.58
y = 114.78e-0.8585x
R2 = 0.9987
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
112.5 177.5 292.5
Biomassa (mg/L)
ugK/g dry weight
2b. penambahan 5 mL
1187.88
1157.10
1136.61
y = 1212.7e-0.0221x
R2 = 0.9881
1100.00
1110.00
1120.00
1130.00
1140.00
1150.00
1160.00
1170.00
1180.00
1190.00
1200.00
10 20 30
pengamatan hari ke
ugK/L
2f. penambahan 5 mL
30.55
11.20
6.78
y = 59.66e-0.7528x
R2 = 0.9642
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
162.5 227.5 265
biomassa (mg/L)
ugK/g dry weight
2c.penambahan 10 mL
1091.04
1,181.20
1,225.35
y = 1036.9e0.058x
R2 = 0.9568
1000.00
1050.00
1100.00
1150.00
1200.00
1250.00
10 20 30
pengamtan hari ke
ugK/L
2g. penambahan 10 mL
36.12
20.58
10.47
y = 68.352e-0.619x
R2 = 0.9972
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
40.00
152.5 237.5 292.5
biomassa (mg/L)
ugK/g dry weight
2d.penambahan 20 mL
1128.83
1236.851223.38
y = 1103e0.0402x
R2 = 0.6495
1060.00
1080.00
1100.00
1120.00
1140.00
1160.00
1180.00
1200.00
1220.00
1240.00
1260.00
10 20 30
pengamatan hari ke
ugK/L
2h. penambahan 20 mL
46.88
12.187.97
y = 97.441e-0.8857x
R2 = 0.9169
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
40.00
45.00
50.00
147.5 215 300
biomassa (mg/L)
ugK/g dry w
eight
Gambar 2. Hasil analisis trend line konsentrasi K dalam media terhadap periode pengamatan) dalam 4 variasi
penambahan LCL (2a-2d).Sementara 2e-2f menggambarkan trendline antara K dalam sel alga
terhadap biomassa alga pada 4 variasi penambahan volume LCL.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
186
3a.penambahan 1 mL
376.68
455.07
100.00
y = 971.23e-0.6631x
R2 = 0.645
0.00
100.00
200.00
300.00
400.00
500.00
600.00
10 20 30
pengamatan hari ke
ugFe/L
3e.penambahan 1mL
60.86
26.88
10.54
y = 149.15e-0.8766x
R2 = 0.9985
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
112.5 177.5 292.5
Biomassa (mg/L)
ugFe/g dry w
eight
3b.penambahan 5 mL
1767.98 1707.38
190.25
y = 7724.4e-1.1146x
R2 = 0.7617
0.00
500.00
1000.00
1500.00
2000.00
2500.00
3000.00
10 20 30
pengamatan hari ke
ugFe/L
3f.penambahan 5 mL
45.57
15.38
10.81
y = 82.781e-0.7192x
R2 = 0.9202
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
40.00
45.00
50.00
162.5 227.5 265
biomassa (mg/L)
ugFe/g dry weight
3c.penambahan 10 mL
1152.04
729.78
264.03
y = 2641.9e-0.7366x
R2 = 0.954
0.00
200.00
400.00
600.00
800.00
1000.00
1200.00
1400.00
10 20 30
pengamatan hari ke
ugFe/L
3g. penambahan 10 mL
52.62
29.19
14.16
y = 103.76e-0.6565x
R2 = 0.9965
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
152.5 237.5 292.5
biomassa (mg/L)
ugFe/g dry w
eight
3d. penambahan 20 mL
665.22
784.45
50.59
y = 3915.1e-1.2882x
R2 = 0.7022
0.00
200.00
400.00
600.00
800.00
1,000.00
1,200.00
10 20 30
pengamatan hari ke
ugFe/L
3h.penambahan 20 mL
64.97
15.219.91
y = 140.27e-0.9403x
R2 = 0.9101
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
147.5 215 300
biomassa (mg/L)
ugFe/g dry w
eight
Gambar 3. Hasil analisis trend line konsentrasi Fe dalam media terhadap periode pengamatan) dalam 4 variasi
penambahan LCL (3a-3d).Sementara 3e-3f menggambarkan trendline antara Fe dalam sel alga
terhadap biomassa alga pada 4 variasi penambahan volume LCL.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
187
4a.Penambahan 1 mL
0.000
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
0 5 10 15 20 25 30
pengamatan hari ke
kuantita
s
kepadatan sel pada λ400 nm media,µgMg/L
4e.Penambahan 1 mL
0
1
2
3
4
5
6
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
pengamtan hari ke
kuantita
s
Biomassa( mg) alga,µg/g dry weight
4b.penambahan 5 mL
0.000
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
0 5 10 15 20 25 30
Pengamatan hari ke
kuantitas
kepadatan sel pada λ400 nm media,µgMg/L
4f.Penambahan 5 mL
0
2
4
6
8
10
12
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
pengamtan hari ke
kuantitas
Biomassa( mg) alga,µgMg/g dry weight
4c.Penambahan 10 mL
0.000
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
0 5 10 15 20 25 30 35
pengamatan hari ke
kuantitas
kepadatan sel pada λ400 nm media,µgMg/L
4g.Penambahan 10 mL
0
1
2
34
5
6
7
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
pengamatan hari ke
kuantitas
Biomassa( mg) alga,µgMg/g dry weight
4d. penambahan 20 mL
0.000
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
0 5 10 15 20 25 30 35
Pengamatan hari ke
kuantita
s
kepadatan sel pada λ400 nm media,µgMg/L
4h. penambahan 20 mL
0
5
10
15
20
25
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
penambahan hari ke
kuantita
s
Biomassa( mg) alga,µgMg/g dry w eight
Gambar 4. Kecenderungan pengurangan kandungan Mg dalam media dan peningkatan kepadatan sel terhadap
lamanya waktu pengamatan (4a-4d). Serta kecenderungan penurunan kandungan Mg dalam sel dan
peningkatan biomassa terhadap lamanya waktu pengamatan (4e-4h).Kesemuanya dalam 4 variasi
penambahan volume LCL.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
188
5a.Penambahan 1 mL
0.000
0.200
0.400
0.6000.800
1.000
1.200
1.400
0 5 10 15 20 25 30 35
pengamatan hari ke
kuantita
s
kepadatan sel pada λ400 nm media,µgK/L x 1000
5e. penambahan 1 mL
0
1
2
3
4
5
6
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
pengamatan hari ke
kuantita
s
Biomassa( mg) alga,µgK/g dry weight x 10
5b. penambahan 5 mL
0.000
0.200
0.400
0.6000.800
1.000
1.200
1.400
0 5 10 15 20 25 30 35
pengamatan hari ke
kuantita
s
kepadatan sel pada λ400 nm media,µgK/L x 1000
5f.penambahan 5 mL
0
0.5
1
1.52
2.5
3
3.5
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
pengamtan hari ke
kuantita
s
Biomassa( mg) alga,µgK/g dry weight x 10
5c.penambahan 10 mL
0.000
0.200
0.400
0.6000.800
1.000
1.200
1.400
0 5 10 15 20 25 30 35
pengamatan hari ke
kuantita
s
kepadatan sel pada λ400 nm media,µgK/L x 1000
5g.penambahan 10 mL
0
10
20
30
40
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
pengamtan hari ke
kuantita
s
Biomassa( mg)x10 alga,µgK/g dry weight
5d.Penambahan 20 mL
0.000
0.200
0.400
0.6000.800
1.000
1.200
1.400
0 5 10 15 20 25 30 35
pengamatan hari ke
kuantitas
kepadatan sel pada λ400 nm media,µgK/L x 1000
5h. Penambahan 20 mL
0
10
20
30
40
50
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
pengamatan hari ke
kuantitas
Biomassa( mg)x10 alga,µgK/g dry weight
Gambar 5. Kecenderungan pengurangan kandungan K dalam media dan peningkatan kepadatan sel terhadap
lamanya waktu pengamatan (5a-5d). Serta kecenderungan penurunan kandungan K dalam sel dan
peningkatan biomassa terhadap lamanya waktu pengamatan (5e-5h).Kesemuanya dalam 4 variasi
penambahan volume LCL.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
189
6a. penambahan 1 mL
0.000
0.200
0.400
0.600
0.800
1.000
1.200
0 5 10 15 20 25 30 35
pengamatan hari ke
kuantita
s
kepadatan sel pada λ400 nm media,µgFe/L x 1000
6e. penambahan 1 mL
0
10
20
3040
50
60
70
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
pengamatan hari ke
kuantitas
Biomassa( mg)x10 alga,µgFe/g dry weight
6b.penambahan 5 mL
0.000
0.500
1.000
1.500
2.000
0 5 10 15 20 25 30 35
pengamatan hari ke
kuantita
s
kepadatan sel pada λ400 nm media,µgFe/L x 1000
6f.penambahan 5 mL
0
10
20
30
40
50
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
pengamatan hari ke
kuantita
s
Biomassa( mg) x 10 alga,µgFe/g dry weight
6c.penambahan 10 mL
0.000
0.500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
0 5 10 15 20 25 30 35
pengamatan hari ke
kuantita
s
kepadatan sel pada λ400 nm media,µgFe/L x 1000
6g. penambahan 10 mL
0
10
20
3040
50
60
70
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
pengamatan hari ke
kuantita
s
Biomassa( mg)x10 alga,µgFe/g dry weight
6d. penambahan 20 mL
0.000
0.200
0.400
0.600
0.800
1.000
0 5 10 15 20 25 30 35
pengamtan hari ke
kuantita
s
kepadatan sel pada λ400 nm media,µgFe/L x 1000
6h.penambahan 20 mL
0
10
20
3040
50
60
70
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
pengamtan hari ke
kuantita
s
Biomassa( mg)x10 alga,µgFe/g dry weight
Gambar 6. Kecenderungan pengurangan kandungan Fe dalam media dan peningkatan kepadatan sel terhadap
lamanya waktu pengamatan (6a-6d). Serta kecenderungan penurunan kandungan Fe dalam sel dan
peningkatan biomassa terhadap lamanya waktu pengamatan (6e-6h).Kesemuanya dalam 4 variasi
penambahan volume LCL.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
190
RASIO COLI FEKAL DAN STREPTOCOCCI FEKAL SEBAGAI PENUNJUK
SUMBER PENCEMARAN FEKAL PADA MUSIM HUJAN
DI SUNGAI BANJARAN KABUPATEN BANYUMAS
Sri Lestari*
ABSTRAK Bakteri coli fekal dan streptococci fekal selalu terdapat di dalam tinja manusia dan hewan berdarah
panas. Keberadaan bakteri coli fekal dan streptococci fekal di perairan mengindikasikan adanya pencemaran
fekal. Bakteri coli fekal dan streptococci fekal merupakan bakteri indikator adanya mikroorganisme patogen
yang mempengaruhi tingkat kesehatan masyarakat sekitar. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui
sebaran bakteri coli fekal dan streptococci fekal yang dapat menunjukkan sumber pencemaran fekal di
Sungai Banjaran Kabupaten Banyumas.
Penelitian dilakukan di sepanjang Sungai Banjaran pada musim hujan (Oktober - Desember 2005).
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Teknik pengambilan sampel air dilakukan secara
Stratified Random Sampling di 6 stasiun pengamatan. Parameter utama yang diukur adalah jumlah coli fekal
dan streptococci fekal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa total populasi coli fekal berkisar antara 40 -
160/100 ml. Rasio colifekal dan streptococci fekal berkisar antara 2,0 – 4,0 yang menunjukkan sumber
pencemaran fekal didominasi oleh limbah manusia.
Kata kunci : Coli fekal, Streptococci fekal, Pencemaran fekal
ABSTRACT
Faecal coli and faecal streptococci bacteria are always occur in human feses and warm-blooded
animals. Existence of faecal coli and faecal streptococci bacteria in water indicate there was occurred faecal
material of pollution. Faecal coli and faecal streptococci bacteria as an indicator bacteria was occurred
pathogen microorganisms which influential the community health of degree. Aims of research was know the
spread of faecal coli and faecal streptococci that showed faecal pollution source of Banjaran River in
Banyumas Regency.
Research was conducted in all along the Banjaran River on wet season (October – December 2005).
Method used in this research was that a survey with Stratified Random Sampling in 6 observation stasion.
The main parameter that measured were the number of population faecal coli and faecal streptococci. The
result show that the totally of population faecal coli and faecal streptococci ranges 40 – 160/100 ml.
Faecal coli and faecal streptococci ratio ranges 2,0 – 4,0 that show faecal pollution source in Banjaran River
was domination of human feses.
Keywords: Faecal coli, Faecal streptococci, Faecal pollution
* Fakultas Biologi UNSOED
Email : [email protected]
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
191
PENDAHULUAN
Pencemaran organik di sungai umumnya disebabkan oleh bahan buangan organik yaitu
limbah yang dapat membusuk atau terdegradasi oleh mikroorganisme. Materi fekal adalah salah
satu limbah organik yang memicu terjadinya pencemaran organik di sungai. Pencemaran organik
berupa fekal disebabkan oleh masuknya kotoran manusia dan kotoran hewan berdarah panas ke
dalam sungai. Penduduk di sekitar sungai tersebut banyak membuang tinjanya ke sungai.
Menurut Suparman dan Suparmin (2001), tinja adalah bahan buangan yang dikeluarkan dari
tubuh manusia melalui anus sebagai sisa dari proses pencernaan makanan di sepanjang sistem
saluran pencernaan (tractus digestifus).
Adanya materi fekal menyebabkan pencemaran fekal yang erat hubungannya dengan
kandungan mikroorganisme di dalam air yaitu semua mikroorganisme yang bersifat patogen dan
berbahaya jika air tersebut digunakan oleh manusia. Mikroorganisme patogen tersebut dapat
menimbulkan penyakit yang dapat mengakibatkan kematian. Keberadaan bakteri coli fekal dan
streptococci fekal di perairan sungai mengindikasikan terjadinya pencemaran materi fekal di
sungai tersebut. Akibat pencemaran sungai yang paling fatal terhadap masyarakat sekitarnya
adalah timbulnya penyakit gastroenteritis. Menurut Rheinheimer (1992) adanya bakteri coli fekal
dan streptococci fekal di perairan dalam jumlah tertentu mengindikasikan kemungkinan hadirnya
bakteri patogen yang disebarkan lewat tinja, seperti Shigella dysentrie dan Salmonella. Bakteri
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi serta beberapa spesies dari genus tersebut mampu
menyebarkan thypus dan parathypus serta penyakit gastroenteritis.
Ada banyak cara yang dapat digunakan untuk mengetahui kualitas air di sungai, salah
satunya dengan bioindikator. Pemantauan kualitas air dengan menggunakan bioindikator
merupakan bagian dari pemantauan biologis karena keberadaan indikator yang cenderung
menetap dapat mencerminkan kondisi lingkungan dari waktu ke waktu. Bioindikator yang paling
tepat untuk memantau adanya pencemaran fekal adalah bakteri coli fekal dan streptococci fekal
karena dapat menunjukkan tingkat dan sumber pencemaran fekal yang terjadi di sungai.
Bakteri coli fekal dan streptococci fekal merupakan bakteri yang selalu terdapat di
dalam tinja, baik tinja manusia maupun hewan berdarah panas lainnya. Kelompok bakteri
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
192
tersebut dikenal mampu memfermentasi laktosa dan tidak bersifat patogen. Adanya bakteri coli
fekal mengindikasikan bahwa terdapat peluang bagi berbagai macam mikroorganisme patogenik
yang secara berkala terdapat dalam saluran pencernaan untuk masuk ke dalam perairan tersebut.
Menurut Hawker dan Linton (1979) mikroorganisme patogen sulit dideteksi karena
keberadaannya bersifat sporadis dan hanya sesaat setelah pencemaran tejadi. Coli fekal dan
streptococci fekal dapat bertahan hidup lebih lama sehingga tepat dijadikan sebagai bioindikator.
Menurut Rheinheimer (1992) tingginya keberadaan streptococci fekal mengindikasikan bahwa
perairan tersebut tercemar materi fekal. Gerba (1999) menyatakan bahwa streptococci fekal
mempunyai keunggulan sebagai indikator dibanding coli fekal karena beberapa sifatnya yaitu (1)
tidak mengalami perkembangbiakan di air, (2) lebih tahan terhadap tekanan lingkungan dan
klorinasi dan (3) mampu bertahan hidup lebih lama di lingkungan.
Menurut Pelczar dan Chan (1988) ciri penting coli fekal dapat dijadikan sebagai
bioindikator adalah (1) terdapat dalam air tercemar dan tidak ada dalam air yang tidak tercemar,
(2) terdapat dalam air jika ada patogen, (3) jumlah bioindikator berkorelasi dengan kadar
pencemaran, (4) mempunyai kemampuan bertahan hidup yang lebih besar daripada patogen, (5)
mempunyai sifat yang seragam dan mantap, (6) tidak berbahaya bagi manusia dan hewan, (7)
terdapat dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan patogen sehingga mudah dideteksi dan
(8) mudah dideteksi dengan teknik-teknik laboratorium yang sederhana.
Coliform merupakan mikroorganisme yang hidup di air dan dapat digunakan sebagai
indikator adanya pencemaran terutama pencemaran fekal dan kondisi sanitasi yang tidak baik
terhadap air, makanan, susu dan produk-produk susu lainnya. Bakteri coliform dibedakan
menjadi dua kelompok yaitu coliform fekal misalnya, E. coli dan coliform non-fekal misalnya,
Enterobacter aerogenes (Fardiaz, 1993). E. coli merupakan bakteri yang berasal dari kotoran
hewan maupun manusia, sedang E. aerogenes biasanya ditemukan pada hewan atau tanaman
yang sudah mati. Suriawiria (1993), menambahkan bahwa coliform dibagi menjadi tiga
kelompok penting yaitu Escherichia yang terdiri dari E. coli, E. freundii dan E. intermadia;
Aerobacter terdiri dari A. arogenes dan A. cloaceae; dan Citrobacter yang terdiri atas C. freudii.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
193
Semua anggota coliform mempunyai karateristik yang sama antara lain bersifat
aerob, gram negatif, tidak berspora, memfermentasi glukosa dengan membentuk asam dan
gas. Bakteri coli fekal umumnya hidup lebih tahan lama dibanding bakteri penyebab
penyakit sehingga jika suatu badan air bebas dari bakteri coli fekal maka badan air tersebut
secara bakteriologis aman dikonsumsi (Tortora, et al., 1998). Menurut Sutiknowati (2003),
bakteri coli fekal merupakan bakteri gastrointestinum yang dapat menyebabkan penyakit
perut apabila menginfeksi makhluk hidup (manusia).
Penggunaan streptococci fekal sebagai indikator pencemaran materi fekal
didasarkan pada habitat dominannya yang terdapat dalam intestinum manusia dan hewan,
sehingga memungkinkan dapat keluar bersama tinja. Streptococci fekal merupakan salah
satu mikroorganisme indikator dari kelompok bakteri kokus Gram positif Lancefield Group
D yang meliputi genera Enterococcus dan Streptococcus (Devriese, et al, 1991). E. faecalis
dan E. faecium merupakan streptococci spesifik yang dijumpai pada manusia, sedangkan S.
bovis dan S. equines dominan dijumpai pada manusia.
Besarnya rasio coli fekal dan streptococci fekal mampu mengindikasikan sumber
pencemaran dalam air (Gerba, 1999). Meskipun validitas rasio coli fekal dan streptococci
fekal masih dipertanyakan, namun akhirnya ditegaskan bahwa rasio ini dapat dipercaya
hanya selama 24 jam pencemaran fekal terjadi.
BAHAN DAN METODE
Obyek penelitian adalah Sungai Banjaran yang berada di wilayah administratif
Kabupaten Banyumas. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode survei. Teknik
pengambilan sampel air dilakukan secara Stratified Random Sampling di 6 stasiun
pengamatan yaitu desa Ketenger, Karangnangka, Beji, Bobosan, Kedungwuluh dan
Sidabowa. Pengambilan sampel diulang 2 kali dengan interval waktu 1 minggu.
Parameter utama yang diamati adalah total coli fekal yang dihitung menggunakan
metode MPN seri 3-3-3 (Prescott, et al., 1999) dan total streptococci fekal menggunakan
media Chromocult Enterococci Broth. Perhitungan rasio coli fekal dan streptococci fekal
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
194
sebagai indikator sumber pencemaran berdasarkan Gerba (1999) yang berdasar tabel
berikut:
Tabel 1. Rasio coli fekal/streptococci fekal (FC/FS) dan hubungannya dengan sumber pencemaran
Rasio FC/FS Sumber pencemaran
>4,0
2,0-4,0
0,7-2,0
<0,7
Petunjuk kuat bahwa sumber pencemaran berasal dari
manusia
Petunjuk pencemaran campuran yang didominasi limbah
manusia
Petunjuk bahwa pencemaran campuran didominasi limbah
dari hewan piaraan
Petunjuk kuat bahwa pencemaran berasal dari hewan
Sumber : Gerba (1999)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis secara mikrobiologis terhadap total populasi bakteri coli fekal dan
streptococci fekal di Sungai Banjaran menunjukkan bahwa semua stasiun pengamatan
terdapat cemaran materi fekal. Hal tersebut ditunjukkan oleh tingginya populasi coli fekal
dan streptococci fekal dari sampel air per 100 ml. Hasil selengkapnya disajikan dalam
Gambar 1. berikut:
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
195
Gambar 1. Diagram batang rata-rata populasi coli fekal dan streptococci fekal pada setiap stasiun
pengamatan
Total populasi coli fekal dan streptococci fekal terendah pada stasiun Ketenger yaitu
74/100ml dan 40/100 ml, kemudian meningkat pada stasiun Karangnangka yaitu 86/100 ml
dan 40/100 ml. Populasi coli fekal dan streptoccoci fekal tertinggi diperoleh di Stasiun Beji
yaitu 160/100 ml dan 90/100 ml, kemudian berturut-turut turun pada stasiun Bobosan
sampai stasiun Kedungwuluh dengan total coli fekal adalah 134/100 ml dan 102/100 ml
sedangkan total streptococci fekal adalah 60/100 ml dan 48/100 ml. Populasi coli fekal dan
streptococci fekal meningkat lagi di stasiun Sidabowa sebesar 120/100 ml dan 55/100 ml.
Menurut Imamuddin et al., (1999) tingginya populasi coli fekal dan streptococci fekal pada
suatu stasiun dapat diartikan bahwa pada saat pengamatan, cemaran materi fekal di stasiun
tersebut tinggi.
Secara garis besar populasi coli fekal dan streptococci fekal meningkat mulai dari
daerah hulu dan mencapai puncaknya pada stasiun Beji kemudian menurun sampai ke
daerah hilir. Daerah hulu masih alami dan bersih karena jumlah penduduk relatif sedikit
sehingga cemaran organik yang masuk sedikit. Semakin ke hilir cemaran tersebut terus
meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk yang membuang feses ke
sungai. Peningkatan populasi coli fekal dan streptococci fekal terjadi di stasiun Beji. Di
stasiun Bobosan Sungai Banjaran menjadi muara Sungai Kranji sehingga populasi coli
fekal dan streptococci fekal menurun. Penurunan populasi coli fekal dan streptococci fekal
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
196
disebabkan oleh debit air sungai bertambah akibat adanya masukan dari Sungai Kranji
sehingga terjadi pengenceran, akibatnya populasi coli fekal dan streptococci fekal menurun
meskipun jumlah penduduk sekitar lokasi pengamatan semakin banyak daripada di daerah
hilir. Penurunan populasi coli fekal dan streptococci fekal berturut-turut sampai di stasiun
Kedungwuluh kemudian meningkat lagi di stasiun Sidabowa karena dengan debit air yang
tetap namun jumlah penduduk semakin ke hilir semakin bertambah banyak sehingga
populasi coli fekal dan streptococci fekal meningkat lagi.
Bakteri coli fekal dan streptococci fekal merupakan bakteri gastrointestinum yang
dapat menyebabkan penyakit gastroenteritis apabila menginfeksi manusia. Menurut
Mehlman (1984), tingginya jumlah koloni bakteri coli fekal dan streptococci fekal sangat
erat hubungannya dengan sanitasi lingkungan dan adanya pengaruh aktivitas daratan
terhadap kualitas perairan. Tingginya angka coli fekal dan streptococci fekal menunjukkan
telah terjadi kontaminasi tinja di Sungai Banjaran.
Cemaran materi fekal dapat berasal dari feses manusia, feses hewan berdarah panas
atau kombinasi keduanya. Menurut Gerba (1999) sumber cemaran materi fekal suatu
perairan dapat diketahui melalui besarnya rasio coli fekal dan streptococci fekal. Nilai rasio
coli fekal dan stretococci fekal Sungai Banjaran setiap stasiun pengamatan disajikan dalam
Tabel 2. berikut :
Tabel 2. Nilai rasio coli fekal dan streptococci fekal setiap stasiun pengamatan
No. Stasiun Rasio
FC/FS Sumber Pencemaran
1. Ketenger 1,85 Didominasi limbah dari hewan peliharaan
2. Karangnangka 2,15 Didominasi limbah manusia
3. Beji 1,778 Didominasi limbah dari hewan peliharaan
4. Bobosan 2,233 Didominasi limbah manusia
5. Kedungwuluh 2,125 Didominasi limbah manusia
6. Sidabowa 2,181 Didominasi limbah manusia
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
197
Berdasarkan Tabel 2. diketahui bahwa nilai rasio coli fekal dan streptococci fekal
pada stasiun Ketenger dan Beji berkisar antara 0,7-2,0 yang mengindikasikan sumber
pencemaran berasal dari hewan peliharaan sedangkan stasiun Karangnangka, Bobosan,
Kedungwuluh dan Sidabowa berkisar antara 2,0-4,0 yang mengindikasikan sumber
pencemaran berasal dari limbah manusia. Keadaan ini menggambarkan bahwa cemaran
materi fekal yang terdapat di Sungai Banjaran sebagian besar berasal dari manusia. Stasiun-
stasiun pengamatan tersebut tidak jauh dari pemukiman penduduk sehingga memungkinkan
untuk membuang limbah ke Sungai Banjaran. Meskipun pada bagian hilir sungai sudah
melalui daerah perkotaan namun kebanyakan penduduk yang memiliki WC tidak memiliki
septic tank sehingga buangan akhir yang dianggap tepat adalah Sungai Banjaran.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan :
1. Total coli fekal dan streptoocci fekal terendah pada stasiun Ketenger yaitu 74/100ml
dan 40/100ml dan teringgi di Stasiun Beji yaitu 160/100 ml dan 90/100ml.
2. Rasio coli fekal dan streptococci fekal menunjukkan bahwa sumber pencemaran fekal
di Sungai Banjaran berasal dari limbah manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Devriese, L.A., M.D. Collins and R. Wirth. 1991. The Genus Enterococci. In; Balows, A.,
H.G. Truper, M. Dworkin, W. Harder and K. Scheifer. (Editors) The Prokaryotes
Volume II; A Handbook on the Biology of Bacteria: Ecophysiology, Isolation,
Identification and Applications. Springer Verlag, New York. Pp 1466-1481.
Fardiaz, S. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Gerba, C.P. 1999. Indicator Microorganism. In; Maier, R. M., I. L. Pepper and C. P. Gerba.
(Editors) Enviromental Microbiology. Academic Press A Horcourt Science and
Technology Company, San Diego. Pp 491-541.
Hawker, L.E., and Linton A. H. 1979. Micro-organisms Function, Form and Environment
2ed
. Edward Arnold Publisher Ltd., London.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
198
Imamuddin, H., R. D. Rahayu, D. Supriyati dan G. Kartina. 1999. Pola Penyebaran
Bakteri Koliform di Aliran Sungai Brantas, Jawa Timur. Jurnal Mikrobiologi
Tropika Vol.2 No.1: 32-37.
Mehlman, I. J. 1984. Coliforms, Fecal Coliforms, Escherichia coli and Enteropathogenic E.
coli. Compendium of Method for tha Microbiological Examnination of Foods, 2nd
edition, APHA, Washington D. C. :265-285.
Pelczar, M. J. dan E. C. S. Chan. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi II. UI-Press, Jakarta.
Prescot, L. M., J. P. Harley and D. A. Klein. 1999. Microbiology 4ed
. McGraw Hill
Companies Inc., Boston.
Rheinheimer, G. 1992. Aquatic Microbiology 4ed
. John Wiley and Sons Ltd., Chichester.
Suparman dan Suparmin. 2001. Pembuangan Tinja dan Limbah Cair: Suatu Pengantar.
Penerbit Buku Kedokteran EGG, Jakarta.
Suriawiria, U. 1993. Mikrobiologi Air dan Dasar-dasar Pengolahan Buangan Secara
Biologis. Penerbit Alumni, Bandung.
Sutiknowati, L. I. 2003. Pengamatan Kepadatan Bakteri Pencemar untuk Kelayakan
Budidaya Di Perairan Tangerang. Majalah Ilmiah UNSOED No. 3 : 9-22.
Tortora, G., B.R. Funke and C.L. Case. 1998. Microbiology An Introduction Six Edition.
Benjamin/Cumming Publishing Company, California.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
199
PENGARUH PEMBERIAN KONSORSIUM BAKTERI
TERHADAP KONDISI KUALITAS AIR TAMBAK DAN PERTUMBUHAN
UDANG WINDU (Penaeus monodon Fab.)
Muhammad Badjoeri*, Tri Widiyanto, Sekar Laras Hati, Widi Riyanto
dan Nina Hermayani
ABSTRAK
Pemanfaatan mikroorganisme (bakteri) untuk mengatasi kendala menurunnya kondisi kualitas air
tambak dikenal dengan sebutan pendekatan bioremediasi. Meningkatnya kandungan senyawa organik sisa
pakan dan senyawa metabolit toksik (amonia, nitrit dan hidrogen sulfida) merupakan salah satu
permasalahan yang sering muncul dalam budidaya udang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh pemberian konsorsium bakteri nitrifikasi dan bakteri denitrifikasi terhadap kondisi kualitas air
tambak dan pertumbuhan udang. Konsorsium bakteri yang digunakan terdiri dari bakteri nitrifikasi
(Pseudomonas sp.), bakteri denitrifikasi (Alcaligenes sp.) dengan ratio 1:1, dan bakteri fotosintetik
anoksigenik untuk menginokulasi pakan. Penelitian dilakukan pada 2 tambak tambak uji berukuran 2000 m2,
padat penebaran 30 ekor/m2, sebagai kontrol adalah tambak tanpa diberikan bakteri. Dosis pemberian
bakteri nitrifikasi dan bakteri denitrifikasi yaitu sebanyak 150 L/Ha (tergantung kondisi tambak) pada tahap
persiapan, bulan ke 1 dan ke 2 sebanyak 50 L/Ha tiap 10 hari, bulan ke 3 dan ke 4 sebanyak 100 L/Ha tiap 5
hari. Pemberian bakteri (inokulasi) dilakukan secara langsung dengan menebarkan kultur bakteri ke dalam
perairan tambak. Penelitian dilakukan selama 120 hari pada tahun 2005. Pemberian konsorsium bakteri
setiap 10 hari secara kontinyu. Lokasi tambak di Desa Ciparage Jaya, Karawang - Jawa Barat. Analisis
bakteri dan kualitas air dilakukan di Lab. Mikrobiologi Puslit Limnologi-LIPI Cibinong. Hasil analisa
kualitas air menunjukan pemberian konsorsium bakteri nitirifikasi dan denitrifikasi berpengaruh positif
terhadap perbaikan kondisi kualitas air tambak dan pertumbuhan udang. Konsentrasi amonia dan nitrit di
tambak uji kondisinya berada dibawah ambang batas konsentrasi toksik yang membahayakan udang yang
dibudidayakan, juga terhadap pertumbuhan udang serta hasil produksi tambak udang.
Kata kunci: Bioremediasi, konsorsium bakteri, tambak udang, kualitas air, senyawa toksik,, pertumbuhan
udang
ABSTRACT Increasing of concentration of organic material in fishery system such as prawn pond (tambak) as
the impact of artificial feed (pelet) is difficult to be avoided at the risk of decreasing water quality.
Bioremediation using bacteria activity is one of effort to overcome decreasing of water quality. A research of
using nitrifying bacteria as bioremediation agent to water quality was done in tiger prawn pond in Karawang
- West Java. The objective of this research is to elucidate the influence of nitrifying bacteria to water quality
of the pond. Two test pond of each of 2000 m2 consisted of test pond treated by bioremediation and control
pond without bioremediation. Density of prawn seed is 30 individuals per m2. The research is done for 120
days and sampling of water was done periodically every 10 days during 4 month. The pond treated with
bioremediation was inoculated by bacteria consisted of nitrifying bacteria and denitrifying bacteria with the
ratio of 1:1. The abundance of bacteria inoculated is 109 cfu/mL. The dose of bacteria are as follows; at
* Pusat Penelitian Limnologi LIPI
Email : [email protected]
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
200
preparation stage is 150 L/ha, at month of one to two is 50 L/ha every 10 days, month of 3 to 4 is 100
L/ha every 5 days. The results of water quality analysis indicated that nitrifying bacteria as bioremediation
agent capable to restore water quality condition of the pond and concentration of amonia and nitrite stays
below toxic concentration for prawn aquaculture, and growth of prawn and productivity of prawn pond.
Keywords: Bioremediation, bacteria consortium, water quality, prawn-pond, toxic compound, growth of
prawn
PENDAHULUAN
Budidaya udang windu (Penaeus monodon Fab.) merupakan usaha yang potensial
dan bernilai ekonomi tinggi. Indonesia merupakan negara yang mempunyai peluang besar
untuk mengembangkan usaha ini. Pada tahun 1993 Indonesia adalah negara penghasil
udang windu terbesar ke tiga di dunia setelah Thailand dan Equador (ANONYMOUS
1996), namun sejak tahun 1995 produksi udang di Indonesia sampai saat ini terus
mengalami penurunan produksi yang sangat berarti, yang disebabkan oleh pencemaran
lingkungan, akumulasi bahan organik dan penurunan kualitas air.
Pencemaran lingkungan perairan oleh bahan organik yang umumnya berasal dari
limbah industri dan domestik, yang dalam beberapa tahun terakhir ini terus meningkat
(GUNALAN 1993). Pencemaran pada perairan budidaya selain berasal dari limbah industri
dan domestik juga berasal dari sisa pakan buatan (pelet) dan feces hewan yang
dibudidayakan.
Kandungan protein pelet (pakan udang buatan) cukup tinggi, yaitu sekitar 40 %,
sehingga pembusukan (perombakan) pelet akan menghasilkan senyawa nitrogen anorganik
berupa N-NH3 / N-NH4+ (amonia/amonium) yang merupakan salah satu senyawa toksik
bagi udang (BOYD 1990).
Menurut GARNO (2004) sekitar 90% protein yang terdapat pada tambak berasal
dari pelet, hanya 22% yang dikonversi menjadi biomassa udang dan 7% dimanfaatkan oleh
aktivitas mikroorganisme, sedangkan 14% terakumulasi dalam sedimen dan 57%
tersuspensi pada air tambak. Diestimasi terjadi akumulasi senyawa nitrogen organik di
tambak udang jumlahnya sebesar 600 kg/ha/tahun pada tambak yang berproduksi 10
ton/ha/th dengan konversi pakan 1,6. Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa semakin
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
201
banyak penggunaan pelet akan semakin besar terjadinya akumulasi bahan organik yang
dapat memacu terjadinya proses terbentuknya senyawa metabolit toksik di dalam perairan
tambak, sedangkan pemberian pelet akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan
udang.
Tinggginya akumulasi bahan organik di tambak udang dapat menimbulkan
beberapa dampak yang merugikan yaitu, 1). memacu pertumbuhan mikroorganisme
heterotrofik dan bakteri patogen, 2). eutrofikasi, 3). terbentuknya senyawa toksik (amonia
dan nitrit), dan 4). menurunnya konsentrasi oksigen terlarut (WIDIYANTO, 2006).
Secara alamiah sistem perairan (tambak udang) mampu melakukan proses self
purification, namun apabila kandungan senyawa organik sudah melampaui batas
kemampuan self purification, maka akumulasi bahan organik dan pembentukan senyawa-
senyawa toksik di perairan tidak dapat dikendalikan, sehingga menyebabkan menurunnya
kondisi kualitas air bahkan kematian udang yang dibudidayakan (BADJOERI et al. 2006).
Senyawa amonia atau amonium dan nitrit dalam batas-batas konsentrasi tertentu dapat
menimbulkan dampak negatif (Tabel 1).
Tabel 1. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh senyawa metabolit toksik amonia dan nitrit terhadap hewan
akuatik
No
Dampak negatif yang di timbulkan
Senyawa metabolit toksik
Amonia / Amonium Nitrit
1 Memicu terjadinya blooming fitoplankton Menghambat pengikatan oksigen oleh darah di
dalam tubuh (methemoglobinemia)
2 Terjadinya fluktuasi oksigen terlarut di air antara
siang dan malam hari
Terbentuknya senyawa met- hemoglobin
(met-Hb) yang dapat menyebabkan penyakit
“brown blood diseases”
3 Berpengaruh terhadap fisiologis udang, pH
darah dan menghambat kerja enzimatik
Menyebabkan LC 50 ikan air tawar pada
konsentrasi antara 0,66 – 200 mg/L dalam
waktu 96 jam, dan terhadap udang air tawar
pada konsentrasi antara 8,5 – 15,4 mg/L
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
202
4 Pada konsentrasi 5,7 mg/L dapat menyebabkan
LC 50 udang windu dalam waktu 24 jam, dan
pada konsentrasi 1,26 mg/L dalam waktu 96 jam
Menyebabkan LC 50 post larva udang windu
(Penaeus monodon) pada konsentrasi 204
mg/L dalam waktu 24 jam dan pada
konsentrasi 45 mg/L dalam waktu 96 jam
5 Pada konsentrasi berkisar antara 0,7 – 2,4 mg/L
dinyatakan sebagai konsentrasi toksik terhadap
ikan air tawar
Menghambat pertumbuhan udang galah
(Macrobrachium rosenbergii) pada
konsentrasi antara 1,8 – 6,2 mg/L.
Sumber : BOYD 1990, CHIN & CHEN (1987), CHEN & CHIN (1988), BOYD & FAST (1992)
Senyawa amonia dan nitrit bersifat toksik bila konsentrasinya sudah melebihi
ambang batas, namun demikian mekanisme toksisitasnya bagi udang masih belum banyak
diketahui dengan jelas. Konsentrasi amonia yang aman untuk budidaya udang ≤ 0,012
mg/L dan konsentrasi maksimum senyawa nitrit di perairan budidaya ≤ 4,4 mg/L.
(SCHWEDLER et. al., 1985).
Beberapa upaya pengelolaan perairan tambak udang yang umumnya banyak
dilakukan para petani tambak, antara lain teknik sedimentasi dengan menggunakan kolam
tandon air untuk menyimpan air sebelum air dimasukkan kedalam tambak; pemakaian
kincir air untuk meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut dan penggunaan bahan kimia
(antara lain saponin dan antibiotik) untuk mengantisipasi hama dan penyakit. Namun
upaya-upaya tersebut belum memberikan hasil yang optimal dalam meningkatkan hasil
produksi udang.
Salah satu upaya alternatif yang terus dikaji dan dikembangkan ialah teknik
bioremediasi, merupakan pendekatan biologis dalam pengelolaan kualitas air tambak
dengan memanfaatkan aktivitas bakteri dalam merombak bahan organik dalam sistem
perairan budidaya. Beberapa jenis atau kelompok bakteri diketahui mampu melakukan
proses perombakan senyawa-senyawa metabolit toksik, dan dapat dikembangkan sebagai
bakteri agen bioremediasi untuk pengendalian kualitas air. Jenis atau kelompok bakteri
tersebut antara lain bakteri nitrifikasi, bakteri sulfur (pereduksi sulfit), dan bakteri
pengoksidasi amonia. Kelompok atau jenis bakteri tersebut perlu dikondisikan agar lebih
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
203
aktif dalam membantu proses perombakan, sehingga dapat mengeliminasi senyawa-
senyawa toksik tersebut dari dalam sistem perairan tambak.
Beberapa produk bakteri agen bioremediasi hasil penelitian telah dikomersilkan dan
diaplikasikan di tambak pada saat ini, antara lain EM4, StarBIO, Aquazyme dan Super PS.
Beberapa penelitian bakteri agen bioremediasi, antara lain dilakukan oleh MUSTAFA et al.
(2001) dengan menggunakan bakteri Bacillus sp. dan Pseudomonas sp. yang diinokulasi
secara bersamaan, sehingga mampu menurunkan kandungan bahan organik sedimen
tambak udang sebesar 60% setelah inkubasi selama 56 hari. DEVARAJA et al. (2002)
menggunakankan campuran bakteri Bacillus sp. dan Saccharomyces sp., serta campuran
dari Bacillus sp., Nitrosomonas sp. dan Nitrosobacter sp. pada sistem budidaya udang.
Pada penelitian ini digunakan bakteri nitrifikasi dan bakteri denitrifikasi sebagai
agen bioremediasi senyawa metabolit toksik amonia dan nitrit di tambak udang. Bakteri
yang akan digunakan adalah hasil isolasi dan seleksi dari beberapa perairan tambak di
Indonesia. Penggunaan bakteri nitirifikasi dan denitrifikasi untuk menjaga keseimbangan
senyawa nitrogen anorganik (amonia, nitrit dan nitrat) di sistem tambak. Pendekatan
bioremediasi ini diharapkan dapat menyeimbangkan kelebihan residu senyawa nitrogen
yang berasal dari pakan, dilepaskan berupa gas N2 / N2O ke atmosfir. Peran bakteri
nitrifikasi adalah mengoksidasi amonia menjadi nitrit atau nitrat, sedangkan bakteri
denitrifikasi akan mereduksi nitrat atau nitrit menjadi dinitrogen oksida (N2O) atau gas
nitrogen (N2).
Pemberian bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi sebagai agen bioremediasi ke dalam
tambak udang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan bakteri yang berperan dalam
proses remineralisasi unsur hara nitrogen dan membantu proses purifikasi alamiah (self
purification) dalam siklus nitrogen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan
bakteri agen bioremediasi menjaga keseimbangan kondisi kualitas air dan pengaruhnya
terhadap kualitas air di tambak udang windu, serta pertumbuhan udang yang
dibudidayakan.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
204
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan pada tambak udang windu di daerah Karawang, Jawa Barat
pada bulan Juni s/d September 2005. Tambak yang digunakan berupa 2 kolam uji yang
luasnya masing-masing sekitar 2000 m2. Kolam pertama sebagai tambak uji dengan
perlakukan pemberian konsorsium bakteri bioremediasi dan kolam kedua sebagai tambak
kontrol (tanpa perlakuan bioremediasi). Padat tebar 30 ekor per m2. Lama penelitian satu
siklus pemeliharaan udang windu sekitar 120 hari, pengamatan dilakukan secara berkala
setiap 10 hari. Setiap tambak dilengkapi dengan 2 unit kincir air dan 1 unit aerojet.
Perlakuan bioremediasi dengan menebarkan bakteri ke dalam tambak udang dengan
ratio penebaran bakteri nitrifikasi : bakteri denitrifikasi = 1 : 1. Dosis pemberian bakteri,
pada tahap persiapan tambak sebanyak 150 L/ha (tergantung kondisi tambak), bulan ke 1
dan ke 2 sebanyak 50 L/ha tiap 10 hari, bulan ke 3 dan ke 4 sebanyak 100 L/Ha tiap 5 hari,
dengan kepadatan populasi 109 upk/mL.
Isolat bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi yang digunakan hasil isolasi dari perairan
tambak udang daerah Tanggerang dan Serang, Jawa Barat dan tambak daerah Moramo-
Kendari, Sulawesi Tengara. Hasil uji genetika (PCR dan 16S rRNA), isolat bakteri dengan
kode ASLT yang mempunyai kemampuan aktivitas nitrifikasi mirip (99%) dengan
Pseudomonas stutzeri. Isolat bakteri dengan kode KDTS yang mempunyai kemampuan
aktivitas denitrifikasi mirip (99%) dengan Alcaligenes sp (WIDIYANTO 2006).
Media pertumbuhan bakteri untuk bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi adalah media
cair Sea Water Complete (bakto pepton 5g, ekstrak ragi 1g, gliserol 3g, akuades 250 mL
dan air laut 750 mL) dan diinkubasi pada kondisi aerofilik, pH 7,2 dan suhu ruang.
Inkubasi baktri denitrifikasi pada pH dan suhu yang sama dengan kondisi mikroaerofilik
(LUEKING et al., 1978). Inkubasi bakteri selama 5 – 7 hari. Isolat siap ditebar ke dalam
tambak udang pada hari ke 8 – 10 karena masa pertumbuhan eksponensial.
Parameter fisika-kimia kualitas air tambak yang diamati meliputi: pH, suhu, oksigen
terlarut (DO), salinitas, kecerahan, amonia, nitrit, nitrat dan nitrogen total selama satu
siklus pemeliharaan (sekitar 120 hari), (Tabel 2). Analisa dilakukan di Laboratorium
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
205
Mikrobiologi Puslit Limnologi LIPI Cibinong. Pengukuran pertumbuhan udang dilakukan
langsung dilapangan setiap 10 hari sekali sejak udang berumur 30 hari dengan
menggunakan jala tebar, dan panen dilakukan setelah udang berumur 4 bulan (120 hari).
Tabel 2. Parameter fisika - kimia air dan metode yang digunakan
No Parameter fisika-
kimia air
Satuan Metode yang digunakan
1 pH - Menggunakan alat WQC, Horiba type U 10
2 Suhu oC Menggunakan alat WQC, Horiba type U 10
3 Oksigen terlarut (DO) mg/L Menggunakan alat WQC, Horiba type U 10
5 Kecerahan cm Menggunakan alat Secchi disc
6 Amonia (N- NH3) mg/L Motode fenat dan spektrofotometri
7 Nitrit (N-NO2) mg/L Metode sulfanilamid dan spektrofotometri
8 Nitrat (N-NO3) mg/L Metode brucine dan spektrofotometri
9 Total Nitrogen (TN) mg/L Metode dekstruksi peroksodisulfat dilanjutkan
dengan brucine dan spektrofotometri
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis kualitas air tambak menunjukkan pemberian bakteri bioremediasi
berpengaruh terhadap kondisi kualitas air tambak, terutama terhadap konsentrasi senyawa
amonia, nitrit, nitrat, dan nitrogen total. Secara keseluruhan konsentrasi senyawa-senyawa
tersebut di tambak yang diberi perlakuan bakteri bioremediasi (tambak uji) tampak lebih
rendah.
Kondisi kualitas air pada awal pemeliharaan sampai pemeliharaan selama 50 hari
konsentrasi amonianya masih rendah baik pada tambak uji (0,0406 – 0,1566 mg/L) maupun
pada tambak kontrol (0,00641 – 0,1317 mg/L). Kondisi ini menunjukkan, bahwa
konsentrasi senyawa nitrogen organik di tambak udang belum terlalu tinggi, hal ini
kelihatan dari konsentrasi nitrogen totalnya yang berkisar antara 0,2102 – 2,2577 mg/L di
tambak uji, sedangkan di tambak kontrol 0,3173 – 2,4311 mg/L (Gambar 1).
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
206
Gambar 1. Konsentrasi amonia dan total nitrogen di tambak udang windu, 2005
Selain itu juga terlihat sampai hari ke 50, konsentrasi amonia dan nitrit di tambak
udang rendah. Kondisi ini menunjukan proses purifikasi alami di tambak udang dapat
berlangsung dan diduga bakteri bioremediasi yang ditambahkan dapat beradaptasi dalam
menjaga keseimbangan populasi mikroorganisme di tambak udang.
Pada pengamatan hari ke 10 konsentrasi amonia di tambak uji 0,1417 mg/L dan
terjadi peningkatan pada hari ke 20 menjadi 0,1566 mg/L, akan tetapi selanjutnya
konsentrasi amonia terus mengalami penurunan pada hari ke 30 (0,877 mg/L), hari ke 40
(0,0406 mg/L) sampai hari ke 50 (0,0434 mg/L). Begitu pula halnya terjadi di tambak
kontrol, dimana pada hari ke 10 konsentrasi amonia 0,1097 mg/L dan mengalami
peningkatan pada hari ke 20 menjadi 0,1317 mg/L, dan terus menurun menjadi 0,0413
mg/L (hari ke 30), 0,00641 mg/L (hari ke 40) dan 0,0826 mg/L (hari ke 50).
Konsentrasi senyawa metabolit toksik di tambak udang, umumnya menunjukkan
peningkatan pada hari ke 15 setelah udang ditebar, yaitu amonia (NH3) di sedimen
mencapai 8,5 mg/L, nitrat (NO3) 0,93 mg/L, nitrit (NO2) 0,69 mg/L. Sedangkan konsentrasi
nitrogen total terlarut pada hari ke 3 mencapai 0,42 mg/L (BUFORD et.al., 2002).
Setelah 50 – 60 hari pemeliharaan, terjadi peningkatan konsentrasi amonia di
tambak kontrol dari 0,0826 mg/L menjadi 2,6388 mg/L, sedangkan di tambak uji juga
terjadi peningkatan konsentrasi amonia namun relatif lebih kecil peningkatannya, yaitu dari
0,0434 mg/L menjadi 0,1367 mg/L. Hal ini menyerupai hasil penelitian yang dilakukan
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
207
oleh SABAR & WIDIYANTO (1998), yang menunjukkan adanya peningkatan senyawa
organik pada sistem tambak semi-intensif terjadi mulai hari ke 60. Pada awal operasional
tambak, konsentrasi senyawa karbon organik pada sistem sedimen umumnya sebesar 41,0
mg/L dan pada tambak udang umur 60 hari meningkat menjadi 140 mg/L dan selain
senyawa karbon organik juga unsur nitrogen, fosfat dan sulfur banyak terkandung di dalam
senyawa organik yang berasal dari pakan udang.
Memasuki masa pemeliharaan 70 – 80 hari konsentrasi amonia baik pada tambak uji
maupun kontrol relatif berfluktuasi, namun cendrung terjadi peningkatan konsentrasi
amonia, dimana pada tambak uji pada hari ke 80 konsentrasinya mencapai 0,301 mg/L dan
di tambak kontrol 1,2101 mg/L., namun pada hari ke 80 - 100 terjadi lagi penurunan
konsentrasi amonia, dan pada hari ke 120 terlihat konsentrasi amonia terlihat cendrung
terus meningkat, pada tambak uji 0,7563 mg/L, sedangkan pada tambak kontrol 0,7019
mg/L.
Peningkatan konsentrasi amonia ini sebagai akibat proses dekomposisi
(amonifikasi) bahan-bahan organik yang berasal dari sisa pakan, feces udang, plankton
yang mati oleh bakteri heterotrof, dan apabila proses selanjutnya yaitu nitrifikasi tidak
berlangsung baik maka akan terjadi akumulasi amonia di perairan tambak udang.
Konsentrasi nitrit di tambak udang baik di tambak uji maupun di tambak kontrol
cenderung terus mengalami peningkatan, terutama masa pemeliharaan 10 – 60 hari, bahkan
sampai 70 hari di tambak kontrol. Pada tambak uji konsentrasi nitrit meningkat dari 0,0082
mg/L (hari ke 10) menjadi 0,1272 mg/L (hari ke 60) atau meningkat sebanyak 0,116 mg/L
selama 50 hari, sedangkan ditambak kontrol konsentrasi nitrit meningkat dari 0,0112 mg/L
(hari ke 10) menjadi 0,1652 mg/L (hari ke 70) atau meningkat sebanyak 0,154 mg/L selama
60 hari. Konsentrasi nitrit dan nitrat di tambak udang selama pemeliharaan diperlihatkan
pada gambar 2.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
208
Gambar 2. Konsentrasi nitrit dan nitrat (mg/L) di tambak udang windu, 2005
Hal ini terjadi karena adanya aktivitas bakteri nitrifikasi, yang pada kondisi aerobik,
bakteri nitritasi (bakteri pembentuk nitrit) akan mengoksidasi amonia menjadi nitrit, dan
pada kondisi oksigen yang memadai proses ini akan berlanjut menjadi proses nitratasi, nitrit
akan dioksidasi menjadi nitrat oleh bakteri nitratasi (bakteri pembentuk nitrat). Pada masa
pemeliharaan udang 70 – 120 hari konsentrasi nitrat relatif tinggi, (di tambak kontrol
berkisar 0,3206 – 0,9955 mg/L dan di tambak uji berkisar 0,2218 – 0,7573 mg/L) karena
hasil perombakan nitrit menjadi nitrat pada proses nitrifikasi.
Konsentrasi nitrit di tambak udang uji setelah umur 80 – 100 hari berfluktuasi,
namun cenderung terus mengalami penurunan, hal ini diduga karena aktivitas bakteri
nitratasi yang mereduksi nitrit menjadi nitrat. Hasil analisis nitrit di tambak udang uji juga
memperlihatkan konsentrasi nitrit yang lebih rendah dibanding tambak kontrol, hal ini
menunjukan adanya pengaruh pemberian bakteri nitrifikasi untuk bioremediasi perairan
tambak udang.
Hasil pengukuran parameter pH dan oksigen terlarut di tambak udang diperlihatkan
pada Gambar 3. Nilai pH air pada tambak uji maupun tambak kontrol tidak menunjukan
konsentrasi yang jauh berbeda, yaitu berkisar antara 8,09 - 8,49 pada tambak uji dan 8,00 –
8,85 pada tambak kontrol. Menurut AHMAD (1991) dan RHEINHEIMER (1985) bakteri
di perairan dapat tumbuh optimal pada pH kisaran antara 6,5 – 8,5 dan fluktuasi pH di
perairan merupakan proses alami karena aktivitas mikroorganisme (bakteri dan fungi).
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
209
Kondisi pH air tambak antara 7 - 9 merupakan kondisi yang mendukung untuk
pemeliharaan ikan atau udang (BOYD 1990).
Nilai pH >7 menunjukkan air tambak teroksidasi dengan baik (RHEINHEIMER
1985), kondisi ini mendukung bakteri nitrifikasi untuk mengoksidasi amonia menjadi nitrit
dan nitrat
Gambar 3. Nilai pH dan konsentrasi oksigen terlarut (mg/L) di tambak udang windu, 2005
Oksigen terlarut (DO) di dalam air merupakan parameter yang sangat penting,
karena apabila konsentrasinya rendah (<50 % konsentrasi jenuh) menyebabkan tekanan
parsial oksigen di dalam air menjadi tidak cukup tinggi untuk proses penetrasi oksigen ke
dalam lamella insang udang sehingga menyebabkan udang mati lemas. Apabila terlalu
lewat jenuh (>150 %), penetrasi oksigen ke dalam insang menjadi terlalu cepat,
menyebabkan penyakit “gas bubble deasease” (AHMAD, 1991).
Konsentrasi oksigen terlarut di tambak uji maupun tambak kontrol relatif tinggi
yaitu antara 8,55 – 18,49 mg/L di tambak uji dan 7,95 – 18,60 mg/L di tambak kontrol
(Gambar 3). Hal ini dikarenakan proses fotosintesis oleh fitoplankton di tambak (BOYD
dan CHIANG dalam AHMAD 1991). Tingginya konsentrasi oksigen terlarut di tambak
udang diduga juga karena penetrasi oksigen oleh kincir air (2 unit) dan aerojet (1 unit) yang
dipasang di tambak. Menurut AHMAD (1991) konsentrasi oksigen terlarut pada waktu
fajar (jam 04.00) dapat terjadi defisit konsentrasi oksigen hingga mencapai 1, 54 mg/L,
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
210
karena itu pemasangan alat pemasok oksigen (aerator) di tambak udang sangat diperlukan
untuk menghindari kematian udang akibat kekurangan oksigen.
Konsentrasi rata-rata oksigen terlarut di tambak uji (10,93 mg/L) dan di tambak
kontrol (12,33 mg/L) layak untuk mendukung kehidupan ikan atau udang yang
dibudidayakan dan aktivitas mikroorganisme (bakteri) untuk melakukan proses
biogeokimia di perairan. Konsentrasi oksigen terlarut pada tambak uji, sejak memasuki
masa pemeliharaan 30 hari sampai 120 hari lebih rendah konsentrasinya dibanding tambak
kontrol, hal ini menunjukan adanya proses respirasi dan perombakan bahan organik yang
terjadi pada tambak uji lebih aktif dibanding di tambak kontrol.
Konsentrasi oksigen terlarut di tambak akan terjadi fluktuasi antara pagi, siang, sore
dan malam hari. Konsentrasi oksigen terlarut di tambak pada sore hari (jam 15.00 – 18.00)
dapat mencapai 15 – 16 mg/L di musim kemarau dan mencapai 8 mg/L di musim
penghujan. Pada pagi hari (jam 04.00 - 06.00) di musim kemarau konsentrasi oksigen
terlarut mencapai 4 – 4,5 mg/L dan di musim hujan < 4 mg/L (BOYD 1990).
Proses perombakan senyawa amonia sangat tergantung dengan keberadaan
konsentrasi oksigen terlarut di tambak. Menurut WICKINS (1985) udang windu berbobot
1,6 g menghasilkan 0,96 mg N-NH3+/hari sedangkan udang yang berbobot 30 g
menghasilkan 0,3 mg N-NH3+/hari, dan apabila pakan yang diberikan 3 % dari berat
biomassa udang, maka dalam satu hari akan diproduksi amonia sekitar 0,49 mg/L N-NH3+
per hari, yang merupakan penjumLahan amonia yang diproduksi udang dan sisa pakan.
Untuk mengoksidasi amonia 0,49 mg/L per hari diperlukan oksigen sebanyak 1,9 mg/L
(AHMAD 1991).
Pada malam hari diperlukan oksigen terlarut sebanyak 7,54 mg/L. Jika konsentrasi
oksigen terlarut pada sore hari (jam 17.00) sebanyak 9 mg/L maka konsentrasi oksigen
terlarut pada pagi hari (jam 05.00) adalah 9 mg/L – 7,54 mg/L = 1,46 mg/L (AHMAD
1991). Sedangkan konsentrasi oksigen terlarut terendah untuk budidaya udang adalah 3
mg/L (POERNOMO 1988, CHOLIK 1988, BOYD 1990 dan AHMAD 1991). Oleh karena
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
211
itu untuk mengatasi kondisi ini diperlukan alat bantu pemasok oksigen ke dalam tambak,
yaitu kincir air dan aerojet.
Menurut AHMAD (1991) kincir air dan aerojet mempunyai efisiensi aerasi masing-
masing sebesar 2,10 kg O2/kw.jam dan 0,97 kg O2/kw.jam. Sedangkan menurut BOYD &
AHMAD (1987) untuk menaikan konsentrasi oksigen terlarut dari 1, 46 mg/L menjadi 3
mg/L diperlukan sekitar 7 kw.jam atau diperlukan sekitar 4 buah aerator (kincir)/ha untuk
meningkatkan oksigen terlarut sampai konsentrasi yang aman bagi kehidupan udang pada
malam hari (jam 24.00 – 01.00). Pada penelitian ini, tambak udang dilengkapi dengan 2
unit kincir air dan 1 unit aerojet (pompa penyemprot) disetiap tambak untuk mememenuhi
kebutuhan oksigen di air tambak.
Suhu air selalu berkaitan dengan pH air, konsentrasi oksigen terlarut, salinitas dan
kelarutan amonia di perairan (BOYD 1990). Suhu air di tambak uji berkisar antara 30,5 –
31,7 oC dan kontrol 30,2 – 31,5
oC (Gambar 4). Pada kisaran suhu tersebut udang masih
dapat hidup normal, bahkan pada suhu sekitar 35 oC udang masih dapat hidup normal
seperti pengamatan yang dilakukan oleh AHMAD (1991) di tambak percobaan Maranak-
Sulawesi selatan. Suhu optimal untuk pertumbuhan udang adalah berkisar antara 28 – 30 oC
(BOYD 1990).
Suhu rata-rata di tambak uji 31,17 oC dan di tambak kontrol 31,08
oC, kondisi suhu
ini mendukung aktivitas bakteri dalam melakukan proses perombakan bahan organik.
Menurut RHEINHEIMER (1985) suhu optimal amonifikasi dan nitrifikasi berkisar antara
30 – 35 oC.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
212
Gambar 4. Profil suhu (oC) dan salinitas (
o/oo) di tambak udang windu, 2005
Salinitas (kadar garam) di tambak uji berkisar antara 31,0 – 33,62 o/oo dan tambak
kontrol berkisar 29,4 – 33,4 o/oo (Gambar 4). Salinitas di tambak udang, di tambak uji
maupun tambak kontrol relatif cukup tinggi, karena salinitas optimal air tambak untuk
pertumbuhan udang windu 20 o/oo . Menurut AHMAD (1991) udang windu walaupun
termasuk hewan euryhaline dan masih dapat hidup normal pada salinitas 35 o/oo, sebaiknya
dibudidayakan pada salinitas normal untuk perkembangannya yaitu 12 – 20 o/oo, dan
salinitas tertinggi untuk pertumbuhan mikroorganisme halophilic (bakteri dan fungi), yaitu
25 – 40 o/oo, dan tumbuh optimal pada salintas 5 – 20
o/oo (RHEINHEIMER 1995).
Tingginya kadar garam di tambak udang uji maupun kontrol dikarenakan musim
kemarau sehingga salinitas di tambak terus meningkat karena proses penguapan air, selain
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
213
itu di lokasi penelitian relatif sulit untuk mendapatkan air tawar. Pada masa pemeliharaan
70 – 90 hari, salinitas air tambak menurun akibat pengenceran yang disebabkan oleh hujan
yang turun. Namun demikian kondisi salinitas air tambak diduga masih mendukung
aktivitas bakteri dalam melakukan proses perombakan bahan organik.
Pertumbuhan udang windu selama penelitian memperlihatkan tingkat kelangsungan
hidup udang pada tambak uji mencapai 72,8 % sedangkan pada tambak kontrol 45,7 %.
Panen udang dilakukan pada saat udang berumur 120 hari, dengan bobot rata-rata udang di
tambak uji berkisar 22,5 – 25,0 gram/ekor sedangkan pada tambak kontrol berkisar 20,5 –
22,5 gram/ekor. Panjang rata-rata udang di tambak uji 14,6 cm sedang di tambak kontrol
12,5 cm. JumLah total produksi udang pada tambak uji mencapai 1300 kg/2000 m2 dan
pada tambak kontrol mencapai 745 kg/2000 m2. Hal ini menunjukan kondisi kualitas air
tambak uji lebih baik dibanding tambak kontrol, sehingga menyebabkan lingkungan hidup
udang di tambak uji menjadi lebih sehat. Profil pertumbuhan udang windu selama 120 hari
diperlihatkan pada gambar 5.
Gambar 5. Profil pertumbuhan udang windu selama 120 hari di tambak udang
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
214
KESIMPULAN
Pemberian konsorsium bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi sebagai agen
bioremediasi ke dalam perairan tambak udang dengan dosis 50 L/ha (udang umur 30 –60
hari) dan 100 L/ha (60 – 120 hari) dengan kepadatan populasi 109 upk/mL setiap 10 hari
berpengaruh positif terhadap perbaikan kualitas air tambak dan pertumbuhan udang windu.
DAFTAR PUSTAKA
ANONYMOUS, 1996. Aqua Farm News. Vol. XIV: No. 4 dan 5.
AHMAD, T. 1991. Pengelolaan Peubah Mutu Air Yang Penting dalam Tambak Udang
Intensif. Indonesia Fisheries Information System. Infis Manual Seri no. 25.
Direktorat Jenderal Perikanan dan International Development Research Centre. 40
hal.
BADJOERI. M., G. S. HARYANI, T. WIDIYANTO, W. RIYANTO, I. RUSMANA, N.
H. SADI, dan V. INDARWATI. 2006. Pemanfaatan Bakteri Nitrifikasi dan
Denitrifikasi untuk Bioremediasi Senyawa Metabolit Toksik di Tambak Udang.
Laporan Tahunan. Program Penelitian dan Pengembangan Iptek - Riset Kompetitif
LIPI. Dipa Biro Perencanaan dan Keuangan LIPI dan Puslit Biologi LIPI. Bogor. 46
hal.
BOYD, C. E. 1990. Water quality in ponds for Aqua Culture. Alabama agricultural
experiment station. Auburn University. 482 pp.
BOYD, C.E. and A.W. FAST. 1992. Pond monitoring and management In. FAST, A.W.
and LESTER, L.J. (Eds). Marine Shrimp Culture : Principles and Practices, 497 -
514.
BOYD, C. E. and T. AHMAD. 1987. Evaluation of Aerators for Channel Catfish Farming.
Ala. Agr. Exp. Sta., Auburn Univ., Ala., Bull. 584. 52 pp.
BUFORD, M. A., N.P. PRESTON, P.M. GILBERT and W.C. DENNISON. 2002. Tracing
the fate of 15
N-enriched feed in an intensive shrimp system. Aquaculture. 206 : 199
– 216.
CHIN, T. S. and J. C. CHEN. 1987. Acute Toxicity of Amonia to Larvae of the Tiger
Prawn, Penaeus monodon. Acuaculture, 66: 247-253.
CHEN, J. C. and CHIN, T.S. 1988. Joint Action of Ammonis snf znitrite on Tiger Prawn
Penaeus monodon Postlarvae. J. Worls Aquacul. Soc., 19:127-131.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
215
CHOLIK, F.1988. Dasar-dasar Bertambak Udang Intensif. Seminar Budidaya Udang
Intensif. Patra Utama, Jakarta, 12-19.
DEVARAJA, T.N., F.M. YUSOFF and M. SHARIFF. 2002. Changes in bacterial
population and shrimp production in pond treated with commercial microbial
products. Aquaculture. 206 : 245 – 256.
GUNALAN, D. E. A. 1993. Penerapan Bioremediasi untuk Melenyapkan Polutan Organik
dari Lingkungan. Makalah Diskusi Panel. Kongres Nasional Perhimpunan
Mikrobiologi Indonesia, Surabaya 2-4 Desember 1993. Univ. Erlangga. 13 hal.
GARNO. S. Y. 2004. Biomanipulasi. Paradigma Baru dalam Pengendalian Limbah
Organik pada Budidaya Perikanan di Waduk dan Tambak. Orasi Ilmiah Ahli
Peneliti Utama. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta. 58 hal.
LUEKING. D. R., R.T. FRALEY and S. KAPLAN. 1978. Intracytoplsmic Membrane
Synthesis in Syncronous Cell Populations of Rhodopseudomonas sphaeroides. J.
Biol. Chem. 253:451-457.
MUSTAFA. A., NURHIDAYAH, NURJANA, R. SABANG dan SUTRISYANI. 2001.
Pemanfaatan bakteri pengurai bahan organik asal tanah gambut pada tanah dari
tambak intensif. J. Penel. Perikanan Indonesia 1: 31 – 40.
POERNOMO, A. 1988. Pembuatan Tambak Udang di Indonesia, Departemen Pertanian,
Balit. Perikanan Budidaya Pantai, Maros. 40 hal.
RHEINHEIMER, G. 1985. Aquatic Microbiology. 3rd (eds). John Wiley & Sons Ltd.
Chichester. 257 pp.
SABAR, F dan T. WIDIYANTO. 1998. Profil Senyawa Karbon Organik pada Sistem
Perairan Tambak Udang Windu. Hasil-Hasil Penelitian Puslitbang Limnologi LIPI.
Cibinong. Bogor, 429 – 432.
SCHWEDLER, T. E., C. S. TUCKER, and M. H. BELEAU. 1985. Non-infectious diseases.
In. TUCKER (Ed.). Channel Catfish Culture. Development in Aquaculture and
Fisheries Science. Vol. 15. Elsevier, New York. 249 pp.
WICKINS, J. F. 1985. Amonia Production and Oxidation During The Culture of Marine
Prawn and Lobsters in Laboratory Recirculation System. Awc. Eng., 4: 155-174.
WIDIYANTO, 2006. Seleksi Bakteri Nitrifikasi dan Denitrifikasi untuk Bioremediasi di
tambak Udang. Ringkasan disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian
Bogor. 39 hal.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
216
KETERKAITAN KUALITAS AIR DENGAN DINAMIKA POPULASI
Microcystis spp. DI WADUK SUTAMI, MALANG JAWA TIMUR
Catur Retnaningdyah*
ABSTRAK
Terdapat dua permasalahan yang dihadapi di perairan waduk Sutami Malang Jawa Timur yaitu
dominansi mikroalga Cyanobacteria dari genus Microcystis yang berpotensi untuk menimbulkan blooming
pada waktu tertentu dan juga permasalahan kualitas fisik-kimia perairan yang telah menunjukkan adanya
eutrofikasi dan pencemaran bahan organik tinggi. Pada kondisi blooming, Microcystis sp. dapat
menghasilkan racun yang disebut microcystin yang bersifat toksik terhadap organisme yang lain. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui dinamika populasi Microcystis spp. dan keterkaitan antara kualitas air
dengan dinamika populasi tersebut di waduk Sutami Malang. Penelitian dilakukan mulai tahun 2004
(Oktober-Desember), 2005 (Januari-Desember) dan 2006 (Januari-Maret) dengan mengambil sampel air dan
plankton pada daerah hulu, tengah dan hilir waduk setiap dua minggu sekali. Kualitas air yang diukur
adalah BOD, COD, nilai KMnO4, TSS, TDS, Nitrat, Nitrit, Total Kjeldahl Nitrogen, Sulfat, Kalium, total
Fosfat, Sulfida (H2S), Cyanida, Suhu, Konduktivitas, kecerahan, Oksigen Terlarut (DO), dan pH. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa fluktuasi kelimpahan populasi Microcystis spp. di waduk Sutami sangat besar
(0-639.028 koloni/L). Kelimpahan bulan Nopember sampai Desember adalah lebih rendah dan mulai bulan
Januari kelimpahan meningkat sampai bulan Maret. Kelimpahan antara daerah hulu, tengah dan hilir tidak
berbeda nyata. Perairan waduk Sutami selama waktu pantau periode tahun 2004-2006 termasuk dalam
kategori eutrofik dengan sumber pencemar utama adalah bahan organik. Pada waktu pantau tertentu
didapatkan beberapa parameter kualitas air seperti DO, pH, BOD, COD, nitrat, nitrit, fosfat total dan H2S
yang telah melebihi standar baku mutu Kelas II berdasarkan PP No. 82 Th 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Berdasarkan Analisis Jalur (Path Analyses) dapat
disimpulkan bahwa peningkatan populasi Microcystis spp. di waduk Sutami secara positif dipengaruhi oleh
tingginya TSS, BOD, total Kjeldahl N, total Fosfat, dan kelimpahan fitoplankton yang lain. Sedangkan
tingginya nilai TDS, COD dan rasio N:P dapat menurunkan populasi Microcystis spp.
Kata Kunci: Dinamika Populasi, Microcystis spp., Waduk Sutami
ABSTRACT
There are two problem facing in Sutami reservoir Malang: (1) the dominance of Microcystis spp
having potency to bloom and (2) the water quality had showed eutrophication and organic pollution. The
blooming of Microcystis can caused severe of other organism because of high toxicicity of microcystin. The
objective of this research is to know the population dynamics of Microcystis spp. in Sutami reservoir and that
interrelationship with the water quality. The exploration of Microcystis and water sampling was done every
two weeks on October-December 2004, January-December 2005 and January-March 2006. The water quality
parameters were measured: BOD, COD, KMnO4, TSS, TDS, nitrate, nitrite, Total Kjeldahl Nitrogen,
sulphate, kalium, total phosphate, sulfida (H2S), cyanida, temperature, conductivity, dissolved oxygent (DO),
and pH. The research result showed that fluctuation of Microcystis abundance in Stami reservoir is very high
with rangeof population 0-639,028 colony/Litre.Generally, the abundance in November-December is lower
and the abundance in January-March is higher. There are not significance difference the abundance between
* FMIPA UNIBRAW
Email : [email protected]
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
217
upper, middle and down area. The value of DO, pH, BOD, COD, nitrate, nitrite, total phosphate and H2S
have exceed the standard. Based on path analyses concluded that the population dynamics of Microcystis spp
is affected by the high of TSS, BOD, total Kjeldahl N, total phosphate, abundance of other phytoplankton and
the lower of TDS, COD and N:P ratio.
Key words: Population dynamics, Microcystis spp., Sutami reservoir
PENDAHULUAN
Salah satu permasalahan yang terjadi pada beberapa perairan menggenang di
Indonesia adalah peledakan (blooming) populasi dari jenis-jenis mikroalga terutama
Cyanobacteria. Salah satu perairan tawar yang juga mengalami permasalahan di atas adalah
waduk Sutami (Karangkates) di Malang Jawa Timur. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Retnaningdyah, dkk (2002), menunjukkan bahwa di waduk Sutami pada daerah bendungan
telah terjadi blooming fitoplankton dari jenis Microcystis spp. Berdasarkan hasil monitoring
selama tahun 2004 sampai bulan Maret 2006 ditemukan bahwa Microcystis spp. bersama-
sama dengan Synedra sp dan Ceratium sp. selalu ada dalam kelimpahan yang tinggi di
waduk Sutami meskipun tidak sampai mengakibatkan terjadinya blooming (Samino dan
Retnaningdyah, 2004; Retnaningdyah dan Samino, 2005 dan 2006).
Terjadinya dominansi ini menunjukkan bahwa ekosistem perairan waduk Sutami
sudah tidak stabil lagi oleh karena tingkat pencemaran air waduk sudah berpengaruh
terhadap struktur komunitas mikroalga. Seperti telah dinyatakan oleh Abel (1989) bahwa
suatu perairan yang didominansi oleh Microcystis spp. menunjukkan bahwa perairan
tersebut sudah tercemari oleh nitrat organik. Hal ini sesuai dengan hasil pemantauan
terhadap kualitas air di waduk Sutami yang dilakukan oleh Retnaningdyah dkk. (2002),
Samino dan Retnaningdyah (2004), serta Retnaningdyah dan Samino (2005 dan 2006) yang
menunjukkan bahwa baik pada tahun 2002, tahun 2004 (Oktober-Desember), 2005
(Januari-Desember) maupun tahun 2006 (Januari-Maret) perairan waduk Sutami termasuk
dalam kategori eutrofik dengan kadar nitrogen dan fosfat yang tinggi. Kadar nitrat berkisar
antara 0,325-11,07 mg/L, kadar nitrit berkisar antara 0,04-0,81 mg/L, sedangkan kadar
fosfat total di waduk Sutami berkisar antara 0,01-1,91 mg/L. Parameter kualitas air tersebut
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
218
telah melebihi standar baku mutu Kelas II untuk keperluan prasarana/sarana rekreasi air,
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman dan atau
peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut
berdasarkan PP No. 82 Th 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air yaitu sebesar 10 mg/L untuk nitrat, 0,06 mg/L untuk nitrit dan 0,2 mg/L
untuk fosfat total.
Perairan waduk Sutami selama penelitian tahun 2002-2006 juga menunjukkan telah
tercemar oleh bahan organik dengan nilai BOD dan COD yang tinggi. Kadar BOD berkisar
antara 3,9 - 46,2 mg/L dan kadar COD berkisar 10,2 -114,1 mg/L. Pencemaran bahan
organik ini juga dapat ditunjukkan dari hasil penghitungan Indeks Pencemaran Implisit
Prati’s di mana pada tahun 2002, 2004 dan 2005 termasuk dalam kategori dapat diterima
(Acceptable) sampai tercemar tingkat berat (Heavily polluted) dengan nilai indeks berkisar
antara 1,71-8,24 (untuk tahun 2002), 1,36-2,80 (untuk tahun 2004) dan 1,92-8.37 (untuk
tahun 2005). tingkat pencemaran perairan waduk Sutami pada waktu pantau bulan Januari
sampai Maret 2006 termasuk dalam kategori tercemar ringan (Slightly polluted) dengan
nilai indeks berkisar antara 2,59-3,52.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua permasalahan
yang dihadapi di perairan waduk Sutami yaitu dominansi mikroalga Cyanobacteria dari
genus Microcystis yang berpotensi untuk menimbulkan blooming pada waktu tertentu dan
juga permasalahan kualitas fisik-kimia perairan yang telah menunjukkan adanya eutrofikasi
dan pencemaran bahan organik tinggi.
Microcystis spp. adalah sejenis blue-green algae (Cyanobacteria) yang biasa
tumbuh di permukaan air. Pada kondisi yang normal Microcystis sp. ini tidak berbahaya
bagi organisme lain atau manusia. Organisme ini dapat membentuk koloni seperti pollen
yang terapung di permukaan air dengan warna hijau kekuning-kuningan. Pada kondisi
tertentu seperti musim panas dengan nutrien (terutama nitrat) yang tinggi jenis ini bisa
tumbuh secara cepat yang biasa disebut “algae blooms”. Pada kerapatan yang sangat tinggi
maka angin dapat meniup koloni ini menuju ke tepi perairan dan membentuk lapisan yang
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
219
sangat rapat. Pada kondisi blooming ini Microcystis sp. dapat menghasilkan racun yang
disebut microcystin yang dapat menyebabkan kematian pada organisme perairan serta
ternak dan burung yang minum air tersebut. Efek toksik racun ini pada manusia adalah
dapat mengakibatkan kerusakan liver secara kronik yang selanjutnya dapat memicu tumor
liver. Hal ini terjadi jika waktu pendedahannya sangat lama (Taylor, 1997; Solomon, 1998;
Oregon Public Health Services, 2002; Romanowska et al, 2002). Hasil penelitian Samino
dan Retnaningdyah (2006) menunjukkan bahwa kelimpahan Microcystis spp. dari waduk
Sutami yang diperlukan untuk mematikan 50% dari ikan Nila selama 24 sampai 72 jam
adalah nyata lebih tinggi (104.320-119.193 koloni/ml) dibandingkan dengan ikan Tawes,
Wader dan Mujair dengan nilai LC50 selama 24 sampai 96 jam yang berkisar antara
33.629-63.167 koloni/ml. Sedangkan nilai LC50 selama 96 jam untuk ikan Nila adalah
55.509 koloni/ml.
Uraian di atas menunjukkan bahwa Cyanobacteria Microcystis merupakan jenis
yang membahayakan bagi organisme yang lain, maka diperlukan usaha untuk
pengendalian jenis ini di perairan. Akan tetapi, penelitian tentang faktor-faktor lingkungan
yang menyebabkan terjadinya blooming di perairan daerah tropik belum diteliti.
Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keterkaitan
antara kualitas air (fisiko-kimiawi-biologi) dengan dinamika populasi Microcystis spp.di
perairan waduk Sutami. Dalam bidang perkembangan ilmu, hasil penelitian ini dapat
digunakan untuk melengkapi dasar teori penyebab blooming Microcystis spp. yang terjadi
di perairan tawar khususnya di daerah tropik. Sedangkan dalam bidang terapan, hasil
penelitian ini untuk selanjutnya diharapkan dapat dipakai sebagai landasan penelitian
berikutnya dan juga tindakan dalam rangka pengendalian blooming Microcystis spp. di
perairan.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
220
BAHAN DAN METODE
Pengambilan sampel plankton dilakukan di waduk Sutami. Analisis fisika kimia air
dilakukan di Laboratorium Perum Jasa Tirta I Malang. Identifikasi dan penghitungan
plankton (termasuk Microcystis spp.) dilakukan di Laboratorium Ekologi dan Diversitas
Hewan Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Brawijaya Malang. Pengambilan
sampel dilakukan pada tahun 2004 (Oktober-Desember), 2005 (Januari-Desember) maupun
tahun 2006 (Januari-Maret). Pengambilan sampel tersebut dilakukan tiap dua minggu sekali
sehingga jumlah total sampel adalah 109.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif eksploratif dengan variabel terikat
berupa kelimpahan Microcystis spp. dan kelimpahan jenis fitoplankton yang lain serta
zooplankton sedangkan variabel bebas berupa kualitas fisika kimia perairan. Pada perairan
waduk Sutami tersebut ditetapkan tiga stasiun pengambilan sampel. Stasiun satu adalah
daerah inlet yang dibatasi oleh desa Ternyang, stasiun dua adalah daerah inlet yang
dibatasi oleh desa Jati Gui, sedangkan stasiun tiga adalah daerah outlet (bendungan). Pada
masing-masing stasiun tersebut dilakukan pengulangan pengambilan sampel pada tiga
tempat yang berdekatan (dua tepi dan tengah). Pengambilan sampel tersebut dilakukan
secara acak, dengan asumsi bahwa pada satu stasiun kondisi faktor fisiko-kimia dan biologi
ekosistem perairan lentik tersebut relatif homogen. Pada masing-masing lokasi yang telah
ditetapkan tersebut dilakukan pengambilan sampel air dan plankton berdasarkan pedoman
Standard Methods for The Examination of Water and Waste Water (Clesceri et al.,
1989). Secara lebih jelas, diagram alir penelitian tahap ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
221
Gambar 1. Skema Diagram Alir Penelitian
Pada masing-masing stasiun pengamatan yang telah ditetapkan dilakukan
pengambilan sampel air sebanyak tiga liter dengan menggunakan alat pencuplik air (water
sampler) vertikal yang berkapasitas satu liter. Sampel air tersebut merupakan akumulasi
dari air yang diambil pada kedalaman + 0-25 cm, 25-50 cm, 50-75 cm dan 75-100 cm di
bawah permukaan air (masing-masing kedalaman di ambil 1 liter). Pengambilan sampel
plankton dilakukan dengan menyaring air tersebut dengan menggunakan jaring plankton
yang mempunyai ukuran 406 pori-pori per inci dan diameter 12 cm. Sampel plankton yang
tersaring selanjutnya dimasukkan dalam botol flakon dan diawetkan dengan formalin 4%.
Untuk menjaga agar klorofil fitoplankton tidak mudah rusak maka pada setiap sampel
diberi larutan CuSO4 jenuh (Welch, 1948).
PENGAMBILAN SAMPEL TIAP DUA MINGGU SEKALI
AIR PLANKTON
Uji Fisik Uji Kimia
Penyaringan & Fiksasi
Identifikasi & Penghitungan
WADUK SUTAMI DITENTUKAN 3 STASIUN
Analisis Data (Path analysis)
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
222
Plankton yang telah diperoleh selanjutnya diidentifikasi dan dihitung jumlah
masing-masing jenis yang didapatkan per liter dengan menggunakan Sedgewick Rafter
Counting Chamber dan bantuan mikroskop. Perhitungan masing-masing jenis plankton per
liter dilakukan menurut rumus berdasarkan Effendi (1979). Identifikasi fitoplankton
dilakukan dengan menggunakan buku Edmondson (1959), Prescot (1978) dan Bold &
Wynne (1985). Sedangkan identifikasi zooplankton dilakukan dengan menggunakan buku
Davis (1955) dan Hutabarat dan Evans (1986). Faktor fisika kimia air yang diukur dan
metoda pengukurannya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Faktor Lingkungan yang Diukur dalam Penelitian dan Metode Pengukurannya
No. Parameter Satuan Metode
I. Analisis lapangan
1. Temperatur o C Pemuaian
2. pH - Potensiometer
3. Konduktivitas mS/cm Konduktometri
4. Oksigen terlarut mg/L Titrimetri
5. Kecerahan cm Sechi disc
II. Analisis laboratorium
1. BOD mg/L Potensiometri
2. COD mg/L Spektropotometri
3. KMnO4 mg/L Oks. suasana asam
4. TSS mg/L Gravimetri
5. TDS mg/L Gravimetri
6. Nitrat (NO3-) mg/L Kromatografi ion
7. Sulphate (SO42-) mg/L Kromatografi ion
8. Kalium (K+) mg/L Kromatografi ion
9. Nitrit (NO2-) mg/L Asam Sulfanilat
10. Total Kjeldahl Nitrogen mg/L Makro Kjeldahl
11. Phospat total mg/L Asam Askorbat
12. Sulfida (H2S) mg/L Methilen Biru
13. Sianida (CN) mg/L Kalorimetri
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
223
Data hasil pengukuran parameter fisiko-kimiawi, kelimpahan Microcystis,
fitoplankton dan zooplankton pada tiap-tiap waktu pengamatan selanjutnya dibuat grafik.
Perbedaan kelimpahan populasi Microcystis antar stasiun diketahui dari uji Anova yang
dilanjutkan dengan uji Tukey HSD dengan SPSS release 13.0 for windows. Sedangkan
untuk mengetahui keterkaitan antara kualitas air (fisiko-kimiawi-biologi) dengan dinamika
populasi Microcystis spp.di perairan waduk Sutami, maka dilakukan analisis jalur (Path
Analysis) dengan program Lisrel 8.50 for windows.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil perhitungan terhadap kelimpahan Microcystis spp, fitoplankton lain dan
zooplankton di waduk Sutami periode pemantauan 2004-2006 menunjukkan fluktuasi yang
sangat tinggi yaitu 0-639.028 koloni/L (Microcystis spp.), 756-10.368.056 Individu/L
(fitoplankton lain) dan 138-31.625 Individu/L (zooplankton lain). Rata-rata kelimpahan
tersebut tiap waktu pantau dapat dilihat pada Gambar 2.
10,0
100,0
1000,0
10000,0
100000,0
1000000,0
10000000,0
27 O
kt 04
10 Nop
04
1 Des
04
15 Des
04
20 Jan
uari 05
24 Peb
ruari 05
17 M
aret 05
6 April 05
4 Mei 05
1 Ju
ni 05
6 Juli 0
5
3 Agustus 05
7 Sept 05
12 O
ktober 05
16 Nop
embe
r 05
7 Des
ember 05
11 Ja
n 06
8 Peb
06
08 M
aret 06
Kelimpahan
Microcystis (Koloni/L) Fitoplankton lain (Ind/L) Zooplankton lain (Ind/L)
Gambar 2. Rata-rata kelimpahan populasi Microcystis spp., fitoplankton lain dan zooplankton di Waduk
Sutami Periode Oktober 2004 sampai Maret 2006
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
224
Berdasarkan Gambar 2 tersebut dapat disimpulkan bahwa secara umum kelimpahan
populasi Microcystis pada bulan Nopember sampai Desember adalah lebih rendah (85-
11.838 koloni/L) dan mulai bulan Januari kelimpahan meningkat sampai bulan Maret (407-
232.146 koloni/L). Sedangkan kelimpahan bulan April sampai Oktober berada di antaranya
(342-34.539 koloni/L). Berdasarkan uji Anova yang dilanjutkan dengan Tukey HSD, dapat
diketahui bahwa kelimpahan Microcystis spp. di waduk Sutami antara daerah hulu, tengah
dan hilir adalah sama.
Tabel 2. Rata-rata Kualitas Air Waduk Sutami Periode Pemantauan 2004-2006
Parameter rata-rata Nilai
Minimum
Nilai
Maksimum
NBM Kelas II PP
No. 82 th 2001
BOD (mg/L) 8,17 2,70 58,60 3,00
COD (mg/L) 26,48 8,10 261,60 25,00
Nilai KMnO4 (mg/L) 14,51 4,70 104,30 -
TSS (mg/L) 21,74 2,30 142,70 -
TDS (mg/L) 230,36 103,60 349,20 -
NO3- (mg/L) 4,21 0,01 12,10 10,00
SO42-
(mg/L) 13,98 7,46 20,88 -
K+ (mg/L) 3,23 0,64 6,46 -
NO2- (mg/L) 0,21 0,00 1,13 0,06
Total Kjeldahl N (mg/L) 0,61 0,01 3,17 -
PO4 Total 0,26 0,00 3,44 0,20
H2S (mg/L) 0,03 0,00 0,25 0,002
CN (mg/L) 0,00 0,00 0,02 0,020
Suhu Udara (oC) 30,28 25,20 36,40 -
Suhu Air (oC) 29,15 21,60 32,70 Deviasi 3
Konduktivitas (mS/cm) 0,30 0,19 0,76 -
Kecerahan (cm) 69,17 18,00 148,00 -
DO (mg/L) 8,17 2,20 13,60 > 4
pH 8,52 6,60 10,00 6 - 9
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
225
Dinamika populasi Microcystis spp. sangat dipengaruhi oleh kualitas air sebagai habitatnya.
Kualitas air di waduk Sutami, secara umum dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 3.
Parameter kualitas air yang telah melebihi standar baku mutu Kelas II untuk keperluan
prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi
pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut berdasarkan PP No. 82 Th 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air adalah DO, pH, BOD, COD, nitrat, nitrit, fosfat total dan
H2S. Hal ini menunjukkan bahwa di perairan waduk Sutami selama waktu pantau periode
tahun 2004-2006 termasuk dalam kategori eutrofik dengan sumber pencemar utama adalah
bahan organik dan nutrien terutama N dan P.
Menurut Dokulil & Teubner (2000) dan Raps et al. (1983) penyebab terjadinya
blooming oleh Cyanobacteria adalah (1) suhu yang tinggi yang merupakan suhu optimal
bagi pertumbuhannya; (2) rendahnya energi cahaya yang diperlukan oleh Cyanobacteria
untuk dapat tumbuh cepat; (3) rendahnya CO2 dan pH yang tinggi; (4) rendahnya rasio total
N/total P; (5) Tingginya kadar nitrogen anorganik seperti nitrat; (6) rendahnya tingkat
kematian oleh karena kecilnya grazing oleh zooplankton; dan (7) mampu memproduksi
racun yang dapat berpengaruh terhadap biota yang lainnya.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
226
0,0
5,0
10,0
15,0
1 5 9 13 17 21 25 29 33 37
Waktu Pantau
Nitrat (m
g/L)
NBM=10
0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
1 5 9 13 17 21 25 29 33 37
Waktu Pantau
Nitrit (m
g/L)
NBM=0,06
0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
1,20
1,40
1,60
1,80
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37
Waktu Pantau
Total Kj. Nitrogen (mg/L)
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
1 5 9 13 17 21 25 29 33 37
Waktu Pantau
PO4 Total (m
g/l) NBM=0,02
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37
Waktu Pantau
Nilai KMnO4 (mg/L)
0,0
5,0
10,0
15,0
20,0
25,0
30,0
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37
Waktu Pantau
BOD (mg/L)
NBM=3
0,0
25,0
50,0
75,0
100,0
125,0
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37
Waktu Pantau
COD (mg/L)
NBM=25
0,00
50,00
100,00
150,00
200,00
250,00
300,00
350,00
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37
Waktu Pantau
TDS (mg/L)
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37
Waktu Pantau
TSS (m
g/L
)
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37
Waktu Pantau
K+ (mg/L)
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37
Waktu Pantau
Sulfat (m
g/L)
0,000
0,050
0,100
0,150
0,200
0,250
1 6 11 16 21 26 31 36
Waktu Pantau
H2S (mg/l)
NBM=0,002
0,000
0,002
0,004
0,006
0,008
0,010
0,012
0,014
0,016
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37
Waktu Pantau
CN (mg/L)
NBM=0,02
0,00
0,10
0,20
0,30
0,40
0,50
0,60
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37
Waktu Pantau
Konduktivitas
(mS/cm)
0,0
2,0
4,0
6,0
8,0
10,0
12,0
14,0
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37
Waktu Pantau
DO (mg/L)
NBM>4
24,0
26,0
28,0
30,0
32,0
34,0
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37
Waktu Pantau
Suhu A
ir (
oC)
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37
Waktu Pantau
pH
NBM=6-9
0,00
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
120,00
140,00
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37
Waktu Pantau
Kecerahan (cm)
Gambar 3. Rata-rata Kualitas air Waduk Sutami Selama Periode Waktu Pantau Tahun 2004,2005 dan 2006
(keterangan: NBM = Nilai Baku Mutu Kelas II PP No. 82 Th 2001)
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
227
Gambar 4. Koefisien Korelasi Hasil Analisis Jalur yang Menunjukkan Keterkaitan Antara Kualitas Air
dengan Dinamika Populasi Microcystis spp. di waduk Sutami
Keterkaitan antara kualitas air dengan dinamika populasi Microcystis spp di waduk
Sutami dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi sebagai hasil analisis jalur (Path Analyses)
seperti yang terlihat pada Gambar 4. Nilai koefisien jalur tersebut setelah diuji
signifikansinya dengan dilakukan transformasi ke nilai t menunjukkan bahwa koefisien
jalur tersebut adalah signifikan dengan nilai t > 1,96.
Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa kelimpahan populasi
Microcystis spp di waduk Sutami secara tidak langsung dipengaruhi oleh BOD, total N dan
P, serta rasio N:P. Parameter kualitas air yang mempengaruhi secara langsung dinamika
populasi Microcystis spp. adalah COD, TDS dan kelimpahan fitoplankton lain. Sedangkan
TSS mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung. COD, TDS dan rasio N:P
mempengaruhi secara negatif, yang mana dapat diartikan bahwa peningkatan COD, TDS
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
228
dan rasio N:P dapat menurunkan kelimpahan Microcystis spp., sedangkan parameter yang
lain bersifat sebaliknya yaitu semakin tinggi TSS, BOD, total P dan N serta kelimpahan
fitoplankton lain dapat mendorong peningkatan kelimpahan Microcystis spp. di waduk
Sutami.
Hasil di atas sesuai dengan Closs et al (2006) dan Ernst et al. (2005) yang
menyatakan bahwa kecukupan ketersediaan nutrien tumbuh bagi mikroalga yang sebagian
besar berasal dari bahan pencemar terutama bahan organik dan unsur hara lain yang masuk
ke perairan dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan kelimpahan mikroalga. Menurut
Abel (1989) dan Ramirez & Bicudo (2005), suatu perairan yang didominansi oleh
Microcystis spp. menunjukkan bahwa perairan tersebut sudah tercemari oleh nitrat organik.
Sedangkan Zmijewska et al. (2000), menyatakan bahwa Microcystis spp. merupakan jenis
yang dapat digunakan sebagai bioindikator untuk perairan yang telah mengalami
eutrofikasi.
Rasio N:P merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi kelimpahan relatif
dari mikroalga. Setiap jenis Cyanobacteria mempunyai kebutuhan N dan P dengan rasio
yang tertentu. Hasil penelitian Fujimoto & Sudo (1997) tentang kemampuan bersaing dari
Microcystis aeruginosa dan Phormidium tenue yang diisolasi dari salah satu danau di
Jepang terhadap P dan N di dalam kultur kontinyu secara tunggal (murni) dan campuran
dengan P dan N terbatas pada berbagai rasio suply N:P dan suhu menunjukkan bahwa M.
aeruginosa merupakan kompetitor unggul pada kondisi rasio N:P rendah (11, 22, dan 44
mol) dan suhu tinggi (30oC), sedangkan P. tenue unggul pada kondisi N:P tinggi (89 mol)
dan suhu rendah (20oC).
Tingginya unsur fosfor dan nitrogen di perairan dapat mengakibatkan terjadinya
proses peningkatan kesuburan yang disebut sebagai eutrofikasi. Banyak aktivitas manusia
di sekitar perairan yang dapat meningkatkan kesuburan perairan seperti limbah kotoran
(sewage effluents), limpasan air dari lahan pertanian dan sebagainya. Air limbah dan
limpasan tadi mengandung beban muatan yang berupa garam-garam mineral terlarut, bahan
organik terlarut, tubuh biota mati dan detritus serta endapan mineral. Beban muatan
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
229
tersebut merupakan bahan atau senyawa yang mengandung nutrien bagi biota nabati
(fitoplankton dan tumbuhan) di perairan. Dengan demikian sampai pada batas tertentu,
limbah dan limpasan dari suatu kegiatan manusia dapat meningkatkan produktivitas hayati
perairan. Apabila penambahan nutrien tadi berlebihan, perairan menjadi lewat subur
(eutrophic). Hal ini dapat berakibat “blooming” atau peledakan populasi biota tertentu,
terutama biota nabati. Tingginya unsur fosfor di dalam perairan, menurut Goldman &
Horne (1983) dapat mengakibatkan terjadinya dominansi jenis-jenis mikroalga tertentu.
Misalnya jenis diatom akan mendominansi perairan yang berkadar fosfat rendah (0-0,02
mg/L), pada kadar 0,02-0,05 mg/L banyak tumbuh chlorophyceae dan pada kadar yang
lebih tinggi dari 0,1 mg/L banyak terdapat cyanophyceae/cyanobacteria.
Menurut Abel (1989), limbah organik yang masuk ke perairan dapat berpengaruh
terhadap terhadap sifat fisik dan kimia perairan khususnya terhadap padatan tersuspensi
(suspended solid), BOD, Oksigen, NH4, NO3, dan PO4. Dalam keadaan normal nilai
oksigen terlarut (DO) lebih tinggi dari nilai BOD. Tetapi setelah terjadi pencemaran bahan
organik nilai BOD langsung meningkat sedangkan nilai DO menurun. Menurunnya
kandungan oksigen terlarut tersebut oleh karena terjadinya proses penguraian bahan
organik oleh bakteri aerob menjadi bahan anorganik yang mana dalam proses penguraian
tersebut bakteri memerlukan oksigen untuk pernafasannya. Sedangkan meningkatnya nilai
BOD oleh karena adanya bahan organik tersebut. Dengan kurun waktu tertentu, begitu
bahan pencemar organik mulai terurai, maka nilai BOD mulai menurun dan nilai DO mulai
meningkat lagi seperti semula. Kandungan ammonium (NH4+) dan PO4
3- adalah meningkat
dengan masuknya bahan organik ke perairan. Peningkatan kandungan kedua senyawa
diatas oleh karena dalam proses penguraian bahan organik secara aerobik, unsur N yang
terdapat pada bahan organik diuraikan menjadi NH4+ sedangkan unsur P diuraikan menjadi
PO43-
. Dan semakin ke arah hilir terlihat bahwa kandungan NH4+ mulai menurun sedangkan
NO3- meningkat. Hal ini karena NH4
+ yang ada tersebut apabila cukup tersedia oksigen
maka akan diuraikan lebih lanjut menjadi NO3- melalui peristiwa nitrifikasi yang dilakukan
oleh bakteri Nitrosomonas dan bakteri Nitrobacter. Dan selanjutnya kandungan ke tiga
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
230
senyawa tersebut menurun terus oleh karena dimanfaatkan oleh organisme perairan seperti
algae untuk pertumbuhannya.
KESIMPULAN
1. Fluktuasi kelimpahan populasi Microcystis spp. di waduk Sutami sangat besar.
kelimpahan populasi Microcystis pada bulan Nopember sampai Desember adalah lebih
rendah dan mulai bulan Januari kelimpahan meningkat sampai bulan Maret. Sedangkan
kelimpahan bulan April sampai Oktober berada di antaranya. Kelimpahan Microcystis
spp. di waduk Sutami antara daerah hulu, tengah dan hilir Kelimpahan bulan Nopember
adalah sama.
2. Perairan waduk Sutami selama waktu pantau periode tahun 2004-2006 termasuk dalam
kategori eutrofik dan sumber pencemar utama adalah bahan organik. Pada waktu
pantau tertentu didapatkan beberapa parameter kualitas air seperti DO, pH, BOD, COD,
nitrat, nitrit, fosfat total dan H2S yang telah melebihi standar baku mutu Kelas II
berdasarkan PP No. 82 Th 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air.
3. Berdasarkan Analisis Jalur (Path Analyses) dapat disimpulkan peningkatan COD, TDS
dan rasio N:P dapat menurunkan kelimpahan Microcystis spp., sedangkan peningkatan
nilai TSS, BOD, total P dan N serta kelimpahan fitoplankton lain dapat mendorong
peningkatan kelimpahan Microcystis spp. di waduk Sutami.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini dibiayai atas kerjasama Fakultas MIPA Universitas Brawijaya dengan
Perum Jasa Tirta I (PJT I) Malang, oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih
kepada Dekan Fakultas MIPA UB dan Direktur PJT I Malang. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada Bapak Drs. Setijono Samino, MS yang telah banyak membantu selama
penelitian dan juga kepada mahasiswa serta laboran yang terlibat dalam penelitian ini.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
231
DAFTAR PUSTAKA
Abel, P.D. 1989. Water Pollution Biology. Ellis Horwood Limited Publishers,
Chichester.
Bold, C.H and Wynne, M.J. 1985. Introduction to the Algae: Structure and
Reproduction. 2nd
Ed. Prentice Hall Inc Engelwood Clif. New Jersey
Clesceri, L.S., Arnold E.G., R.R. Trussel, & Mory A.H.F. 1989. Standard Methods for
the Examination of Water and Waste Water. Seventeenth Ed., Washington.
Closs, G., B. Downes, A. Boulton. 2006. A Scientific Introduction Freshwater
Ecology. Blackwell Publishing. Malden USA
Davis, C.C. 1955. The Marine and Fresh Water Plankton. Michigan State University
Press. Chicago.
Dokulil, M.T. & K. Teubner. 2000. Cyanobacterial Dominance in Lakes.
Hydrobiologia. 438: 1-12
Edmondson, W.T. 1959. Fresh Water Biology. Second Edition. John Wiley and Sons
Inc., New York.
Effendi, M.I. 1979. Metoda Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri, Bogor.
Ernst, A., M. Deicher, P.M.J. Herman, Ute I.A. Wollenzien. 2005. Nitrate and
Phosphate Affect Cultivability of Cyanobacteria from Environments with Low
Nutrient Levels. Applied and Environmental Microbiology 71(6):3379-3383
Fujimoto, N., R. Sudo. 1997. Nutrient-limited growth of Microcystis aeruginosa and
Phormidium tenue and competition under various N:P supply ratios and
temperatures. Limnol. Oceanogr., 42(2): 250-256
Goldman, C.R. & A.J. Horne. 1983. Limnology. Mc. Graw Hill International Book
Co., New York.
Hutabarat, S. & S.M. Evans. 1986. Kunci Identifikasi Zooplankton. Universitas
Indonesia Press. Jakarta.
Oregon Public Health Services. 2002. Fact Sheet: hazards from Microcystis aeruginosa
in Fresh Water. http://www.ohd.hr.state.or.us /esc/docs/mafact.htm. Diakses 26
April 2002
Prescott, G.W. 1978. How to Know the Fresh Water Algae. 3rd
Ed. Wm.C. Brown
Company Publisher, Iowa
Ramirez, J.J. dan C.E.M. Bicudo. 2005. Diurnal and Spatial (Vertical) Dynamics of
Nutrients (N, P, Si) in Four Sampling Days (Summer, Fall, Winter and Spring)
in A Tropical Shallow Reservoir and Their Relationships with The
Phytoplankton Ccommunity. Braz. J. Biol. 65(1): 141-157
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
232
Retnaningdyah, C. , Prayitno, Y. Rosyitawati, M.Y.C Dewi, A.N. Hartini, 2002.
Potensi Mikroalga sebagai Bioindikator Tingkat Pencemaran Bahan Organik di
Perairan Waduk. National Seminar on Research and Studies Research Grant
conducted by Ministry of National Education, Directorate General of Higher
Education, TPSDP, Jakarta December 27-28.
Retnaningdyah,C. Dan S. Samino. 2005. Monitoring Dinamika Komunitas
Fitoplankton dan Zooplankton di Waduk Sutami Malang Periode 2005. Laporan
Penelitian Kerjasama Perum Jasa Tirta I dengan Jurusan Biologi Fakultas
MIPA Universitas Brawijaya Sertifikat No. ID03/0127
Retnaningdyah,C. Dan S. Samino. 2006. Monitoring Dinamika Komunitas
Fitoplankton dan Zooplankton di Waduk Sutami Malang Periode Bulan
Januari-Maret 2006. Laporan Penelitian Kerjasama Perum Jasa Tirta I dengan
Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Brawijaya Sertifikat No.
ID03/0127
Romanowska-Duda, Z., J. Mankiewicz, M. Tarczyńska, Z. Walter, M. Zalewski. 2002.
The Effect of Toxic Cyanobacteria (Blue Green Algae) on Water Plants and
Animal Cells. Polish Journal of Environmental Studies. 11(5): 561-566
Samino, S. dan C. Retnaningdyah, 2004. Monitoring Dinamika Komunitas
Fitoplankton dan Zooplankton di Waduk Sutami Malang Periode Bulan
Oktober sampai Desember 2004. Laporan Penelitian Kerjasama Perum Jasa
Tirta I dengan Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Brawijaya Sertifikat
No. ID03/0127
Samino, S. dan C. Retnaningdyah, 2006. Evaluasi Sifat Toksik Microcystis spp.
Terhadap Beberapa Ikan dari Waduk Sutami untuk Pengembangan Early
Warning System dalam Blooming Mikroalga. Laporan Penelitian Kerjasama
Perum Jasa Tirta I dengan Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas
Brawijaya Sertifikat No. ID03/0127
Solomon, D. 1998. Microcystis in Southwest Michigan Lakes. http://www.kbs.
msu.edu/Extension/microcystis/INDEX.HTM. Diakses 26 Juli 2004
Taylor, R. 1997. That Blooming Microcystis: Where’d it come from ? Where’d it go.
http://www.sg.ohio-state.edu/publications/nuisances/algae/tl0897microcystis.
html. Diakses 25 April 2002
Welch, P.S. 1948. Limnological Methods. Mc Graw Hill International Book Co., New
York.
Zmijewska, M.I., E. Niemkiewicz, L. Bielecka. 2000. Abundance and Species
Composition of Plankton in the Gulf of Gdańsk-Wschód (Gdańsk-East) Sewage
Treatment Plant. Oceanologia, 42 (3): 335-357.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
233
KUALITAS AIR PASCA PENGERUKAN ALUR TRANSPORTASI
BATU KAPUR DI KALI DONAN CILACAP
Moh. Husein Sastranegara* & Sri Lestari*
ABSTRAK
Kali Donan berpotensi sebagai alur pelayaran internasional karena keberadaan industri.
Meskipun industri turut menyumbang permasalahan perubahan iklim; pengoperasian jaring apong
ditengarai juga sebagai penyebab pendangkalan kali dan mengganggu alur transportasi batu kapur. Tujuan
penelitian adalah untuk mengetahui kualitas air ditinjau dari aspek fisik, kimiawi dan biologik pada daerah
utara, tengah dan selatan pengerukan; serta tekstur sedimen, benthos dan plankton sebagai penunjang.
Survai dilakukan di semua daerah dari bulan Januari sampai Maret 2008. Pengambilan contoh air dilakukan
sesuai dengan persyaratan paket parameter pada kelas II dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 82 Tahun 2001 dan cara kerja SNI. Data dianalisis secara deskriptif dan ditunjang oleh indeks
similaritas Sorensen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar TDS, NH3, Mn dan Fe tetap melebihi baku
mutu yang dipersyaratkan; meskipun kadarnya berkurang. Sebaliknya, peningkatan kadar H2S berada di
tengah, sedangkan kadar Pb, tekstur sedimen berupa silty clay, serta dominansi benthos Rhinoclavis asper
dan plankton Lyngbya spirulinoides berada di daerah tengah dan selatan (indeks similaritas penelitian ini
95,14%; penelitian sebelumnya 99,15%). Kesimpulan menunjukkan bahwa pengerukan tidak merubah kadar
TDS yang tetap tinggi karena TDS yang terbawa oleh pasang surut dihambat oleh jaring apong. Selain itu,
kadar Pb, sedimen silty clay, serta dominasi benthos Rhinoclavis asper dan plankton Lyngbya spirulinoides
mempunyai kecenderuangan yang sama pada kelompok daerah tengah dan selatan pengerukan.
Kata kunci: kualitas air, pengerukan, Kali Donan
ABSTRACT
Donan River has the potential of international ship’s channel due to the availability of
industry. Even, the industry has a contributed additional problem on a climate change; the apong net
operation was predicted also causing river shallowness and disturb the limestone transportation channel. The
aim of research was to know water quality based on physic, chemical, and biological aspects at the north,
central, and south area of dredging; and sediment texture, benthos dan plankton as proponent. Survey was
done at all areas of dredging from January to March 2008. Water samples were taken according to the class
II of Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Number 82 in the year of 2001 and the procedure of SNI.
Data was analised as descriptive and supported by Sorensen similarity index. The result showed that the
concentration of TDS, NH3, Mn and Fe was above levels considered as water quality standard at all areas;
even the concentration decreases. On the other hand, increasing the concentration of H2S was only at the
central area, whereas the concentration of Pb, silty clay sediment texture, and domination of benthic of
Rhinoclavis asper and plankton of Lyngbya spirulinoides were at the central and south areas (similarity index
of this research was 95.14%; the research before was 99.15%). The conclution showed that the dredging did
not change the high concentration of TDS because it which was taken along tide was hampered by apong net.
In addition, the concentration of Pb, silty clay sediment texture, and dominated by benthic of Rhinoclavis
asper and plankton of Lyngbya spirulinoides have the same tendencies at the central and south areas.
Keywords: water quality, dredging, Donan River
___________________________________
* Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman; e-mail: [email protected]
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
234
PENDAHULUAN
Kali Donan berpotensi sebagai alur pelayaran internasional karena keberadaan PT
Holcim Indonesia Tbk, Kawasan Industri Cilacap, PT UP IV Pertamina, dan Pelabuhan
Intan (White et al., 1989). Meskipun industri turut menyumbang permasalahan perubahan
iklim dari kualitas udara seperti debu partikel dan TSP, SOx, COx, NOx, Ox, HC, serta Pb
(Gubernur Jawa Tengah, 2001); pengoperasian jaring apong ditengarai juga sebagai
penyebab pendangkalan kali dan mengganggu alur transportasi batu kapur, sehingga tim
penertiban alur pelayaran dan pembinaan kepada masyarakat nelayan di Kabupaten Cilacap
dibentuk (Bupati Cilacap, 2002). Tindak lanjut program yang berkaitan langsung dengan
nelayan jaring apong dilakukan dengan program advokasi (PT Semen Cibinong Tbk.,
2005a) pada 435 nelayan (Rosyadi, 2006).
Kegiatan transportasi batu kapur di Kali Donan dilakukan oleh PT Holcim
Indonesia Tbk. yang merupakan unit usaha dalam memproduksi semen dan beton untuk
keperluan pembangunan infrastuktur dengan lokasi unit pengolahan di Kabupaten Cilacap.
Untuk memperlancar pengangkutan bahan baku maupun produk melalui transportasi
angkutan air, PT Holcim Indonesia Tbk. telah melakukan kegiatan Maintenance Dredging
Alur Transportasi Batu Kapur di Perairan Kali Donan Cilacap dalam rangka penyusunan
dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan
Hidup (UKL dan UPL). Kegiatan Maintenance Dredging Alur Transportasi Batu Kapur di
Perairan Kali Donan Cilacap dilakukan antara bulan September 2006 dan Mei 2007 pada
Alur Kali Donan dari segmen Buoy 30 sampai 34. Pada segmen sepanjang 1,3 km tersebut,
volume sedimen perairan yang dikeruk mencapai ± 350.000 m3. Material sedimen hasil
kerukan ditempatkan di lahan yang terletak di tepian kali pada segmen yang sama pada
lahan Kawasan Industri milik Kawasan Industri Cilacap (KIC) dan lahan Kawasan Industri
milik PT Holcim Indonesia Tbk. Kegiatan penempatan hasil keruk (dumping) memerlukan
lahan seluas 11,2 ha yang digunakan untuk mengurug lahan Kawasan Industri milik KIC
seluas 8,3 ha dan Lahan Kawasan Industri milik PT Holcim Indonesia Tbk. seluas 2,9 ha
(PT Holcim Indonesia Tbk., 2007).
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
235
Kadar Total Dissolved Solid (TDS) selalu melampaui baku mutu yang
dipersyaratkan baik pada saat (pra-operasi, operasi, dan post-operasi) maupun pasca
pengerukan. Oleh karena itu, penelitian dengan judul ”Kualitas Air Pasca Pengerukan Alur
Transportasi batu kapur di Kali Donan Cilacap” perlu dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui kualitas air ditinjau dari aspek fisik, kimiawi dan biologik pada daerah utara,
tengah dan selatan pengerukan. Tekstur sedimen, benthos dan plankton juga diteliti untuk
menunjang data kualitas air.
BAHAN DAN METODE
Bahan penelitian berupa contoh air (fisik, kimiawi, dan mikrobiologik), substrat,
benthos, dan plankton. Cara kerjanya mengacu pada SNI untuk pengujian kualitas air dan
limbah (BSN, 2004) yang merujuk pada Standard methods for the examination of water
and waste water (APHA, AWWA, and WEF, 1998).
Metode penelitian dilakukan secara survai di daerah utara (stasiun 1 berada dekat
Bouy 34 sebagai kontrol dengan jarak 1 km dari batas terluar daerah pengerukan), tengah
(stasiun 2 berada antara Bouy 30 dan 34 yaitu tengah lokasi pengerukan) dan selatan
(stasiun 3 berada dekat Bouy 30 sebagai arah surut dengan jarak 1 km dari batas terluar
daerah pengerukan, Gambar 1) pada tanggal 24 Januari 2008, 22 Februari 2008, dan 23
Maret 2008 ketika bulan purnama penuh pada saat air pasang terendah (Hopper, 2004)
sebagai berikut:
1. Ulangan pertama dengan ketinggian 0,6 m dpl pada pukul 14:51 W.I.B.
2. Ulangan kedua dengan ketinggian 0,5 m dpl pada pukul 15:10 W.I.B.
3. Ulangan ketiga dengan ketinggian 0,4 m dpl pada pukul 15:13 W.I.B.
Pengambilan contoh air dilakukan sesuai dengan persyaratan paket parameter kualitas air
kelas II pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 (Presiden
Republik Indonesia, 2001).
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
236
Data dianalisis secara deskriptif yaitu dibandingkan dengan dokumen UKL dan
UPL (PT Holcim Indonesia Tbk., 2007), serta baku mutu (Presiden Republik Indonesia,
2001) dan ditunjang oleh indeks similaritas Sorensen beserta dendogramnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menginformasikan bahwa kadar TDS, NH3, Mn dan Fe tetap
melebihi baku mutu yang dipersyaratkan baik pada daerah utara, tengah maupun selatan
(Tabel 1); meskipun kadarnya berkurang (perbandingan data pada Tabel 1 dan PT Holcim
Indonesia Tbk., 2007). TDS dalam air yang pasang surut berpotensi terhambat oleh jaring
apong dan mengendap ke dasar kali.
Kadar NH3 yang tinggi di Kali Donan relatif masih tergolong lebih rendah di
kawasan Segara Anakan. NH3 merupakan salah satu nitrogen anorganik terlarut yang perlu
mendapat perhatian bersama dengan nitrogen anorganik terlarut lain seperti NO3 dan NO2
(Yuwono et al., 2007). Pada tahun 2002, NO2 di daerah yang sama pernah melampaui
ambang batas yang diperbolehkan (Sastranegara, 2004), sehingga proses pembusukan
pohon bakau ditengarai sebagai salah satu penyebab kadar NO2 yang tinggi karena kawasan
Segara Anakan merupakan perairan payau berhutan bakau.
Peningkatan kadar H2S di perairan berada di tengah saja (Tabel 1) dan ini
mengindikasikan PT Holcim Indonesia Tbk. berpeluang membuang limbah SOx. Odum
(1971) menyatakan bahwa H2S di perairan dapat berasal dari H2S di tanah dan sedimen,
serta H2S di atmosfir. Holcim Group Support Ltd. (2004) melaporkan bahwa H2S di
atmosfir dihasilkan olehnya dan instalasi pembuangan SO2 basah hanya mampu memotong
emisi gas SO2 mencapai 70%. Pada saat ini, hasil sampingan dimanfaatkan untuk
pembuatan gipsum. Pemilik sebelumnya, PT Semen Cibinong Tbk. (2005b) telah
melaksanakan kegiatan pemantauan terhadap parameter ini dalam dokumen Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Peningkatan kadar Pb berada di daerah tengah dan selatan (Tabel 1) dengan tekstur
sedimen berupa silty clay. Hal ini ditunjang oleh data indeks similaritas tertinggi pada
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
237
kelompok ini (95,14%; Tabel 2), serta juga penelitian sebelumnya (99,15%; PT Holcim
Indonesia Tbk., 2007).
Menurut NOAA (2003), Pb merupakan salah satu logam berat yang perlu mendapat
perhatian bersama dengan logam berat lain seperti Hg, Cd, Zn dan Cu. Pada tahun 2002, Cd
di daerah yang sama pernah melampaui ambang batas yang diperbolehkan (Sastranegara,
2004) dan akumulasinya terdeteksi pada kerang totok Polymesoda erosa (Nurlaeli, 2007)
dan ikan (Hartoyo dan Mahdiana, 2007). Everaarts et al. (1989) juga mendapatkan
akumulasi Cd pada komunitas benthos secara umum. Menurut UNEP (2003), Cd dapat
berasal dari industri dan aktivitas pemupukan. Industri dan aktivitas pemupukan terjadi juga
di Kali Donan.
Pengelompokan indeks similaritas pada pasca pengerukan (Tabel 2) memiliki
kemiripan lebih dari 50% yang ditunjukkan oleh semua kelompok dengan urutan tertinggi
pada kelompok antara stasiun bagian tengah daerah pengerukan dan stasiun bagian selatan
daerah pengerukan; diikuti oleh kelompok antara stasiun bagian utara daerah pengerukan
dan stasiun bagian tengah daerah pengerukan; serta antara stasiun bagian utara daerah
pengerukan dan stasiun bagian selatan daerah pengerukan sebagaimana tampilan
dendogram (Gambar 2).
Pengelompokan indeks similaritas pada saat pengerukan (PT Holcim Indonesia
Tbk., 2007) memiliki kemiripan lebih dari 50% yang ditunjukkan oleh kelompok dengan
urutan tertinggi pada kelompok antara stasiun bagian tengah daerah pengerukan pada saat
post-operasi dan stasiun bagian selatan daerah pengerukan pada saat post-operasi; serta
diikuti oleh kelompok lain sampai yang terendah seperti kelompok antara stasiun bagian
tengah daerah pengerukan pada saat operasi dan stasiun bagian selatan daerah pengerukan
pada saat post-operasi sebagaimana tampilan dendogram (Gambar 3).
Dendogram pada gambar 2 dan 3 menunjukan bahwa stasiun bagian utara daerah
pengerukan (U) cenderung berbeda dari stasiun bagian tengah daerah pengerukan (P) dan
stasiun bagian selatan daerah pengerukan (S) baik pada pasca pengerukan maupun saat
pengerukan, kecuali pada daerah pengerukan pada saat operasi. Pada daerah pengerukan
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
238
pada saat operasi, stasiun bagian pengerukan berbeda dari stasiun pada bagian utara dan
selatannya karena proses pengerukan, terutama menghasilkan TDS yang sangat tinggi
(Tabel 1 dan PT Holcim Indonesia Tbk., 2007). Stasiun bagian utara daerah pengerukan
cenderung berbeda dari ke dua stasiun lainnya karena TDS yang tinggi di stasiun bagian
tengah pengerukan terbawa ke stasiun bagian selatan pada saat air pasang terendah (Tabel
1). Secara umum, aktivitas manusia yang mengganggu dasar suatu perairan dapat
mengganggu komunitas benthos (Hatcher et al., 1989; Sastranegara, 2004; Gunarto, 2004;
Nordhaus, 2007).
Distribusi dan kelimpahan benthos berkaitan dengan karakteristik sedimen (Frusher
et al., 1994), sehingga spesies dominan akan mencirikan kondisi yang ada (Dittmann,
2002). Oleh karena itu, dominasi benthos Rhinoclavis asper di Kali Donan diduga karena
kesesuaian sedimen silty clay yang ada. Penelitian sebelumnya di daerah yang sama pada
Kali Donan menunjukkan sedimen yang sama (Djohan, 1982). Oleh karena itu, pengerukan
tidak merubah tekstur sedimen. Penelitian lain menunjukkan bahwa sedimen tepi dan dasar
kali adalah sama (Sastranegara, 2004), sehingga ombak pasang surut mempercepat
pendangkalan.
Plankton Lyngbya spirulinoides dijumpai dominan. Sastranegara dan Andriyani
(2006) juga mendapatkannya, meskipun bukan spesies dominan. Oleh karena itu,
perubahan komposisi dan kelimpahan plankton berjalan seiring dengan waktu. Spesies lain
yang didapatkan di Kali Donan dan berhubungan secara negatif dengan NH3 menurut
model asimtotik adalah Chaetoceros densum, Thallasiothrix nitzchioides, dan Nitzschia
vermicularis (Sastranegara et al., 1996).
Kadar Pb, sedimen silty clay, serta dominasi benthos Rhinoclavis asper dan
plankton Lyngbya spirulinoides mempunyai kecenderungan yang sama pada kelompok
antara daerah tengah dan selatan. Hal ini ditunjang oleh data indeks similaritas tertinggi
pada kelompok ini (95,14%), serta juga penelitian sebelumnya (99,15%).
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
239
KESIMPULAN
Kesimpulan menunjukkan bahwa pengerukan tidak merubah TDS yang tetap tinggi
di Kali Donan karena TDS yang terbawa oleh pasang surut berpotensi terhambat oleh
keberadaan jaring apong. Selain itu, kadar Pb, sedimen silty clay, serta dominasi benthos
Rhinoclavis asper dan plankton Lyngbya spirulinoides mempunyai kecenderungan yang
sama pada kelompok antara daerah tengah dan selatan pengerukan.
DAFTAR PUSTAKA
APHA, AWWA, and WEF, 1998. Standard methods for the examination of water and
wastewater. American Public Health Association, American Water Works
Association, and Water Environment Federation, Washington.
BSN, 2004. SNI 06-6989.1-2004: Pengujian kualitas air sumber dan limbah cair. Badan
Standar Nasional, Jakarta.
Bupati Cilacap, 2002. Keputusan Bupati Cilacap Nomor 615/136/17/Tahun 2002 tentang
pembentukan tim penertiban alur pelayaran dan pembinaan kepada masyarakat
nelayan di Kabupaten Cilacap. Pemerintah Kabupaten Cilacap, Cilacap.
Everaarts, J.M., Boon, J.P., Kastoro, W., Fischer, C.V., Razak, H., Sumanta, I., 1989.
Copper, zinc and cadmium in benthic organisms from the Java Sea and estuarine
and coastal areas around East Java. Netherlands Journal of Sea Research 23, 415-
426.
Dittmann, S., 2002. Benthic fauna in tropical tidal flats – a comparative perspective.
Wetlands Ecology and Management 10, 189-195.
Djohan, T.S., 1982. Species diversity of mangrove forest floor fauna in Segara Anakan and
the Donan River. In: E.C.F. Bird, A. Soegiarto, K.A. Soegiarto (eds), workshop on
coastal resources management in the Cilacap region. The Indonesian Institute of
Sciences and the United Nations University, Jakarta.
Frusher, S.T., Giddins, R.L., Smith III, T.J., 1994. Distribution and abundance of grapsid
crabs (Grapsidae) in a mangrove estuary: effects of sediment characteristics, salinity
tolerances, and osmoregulatory ability. Estuaries 17(3), 647-654.
Gubernur Jawa Tengah, 2001. Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 8 Tahun
2001 tentang baku mutu udara ambien di Provinsi Jawa Tengah. Pemerintah
Provinsi Jawa Tengah, Semarang.
Gunarto, 2004. Konservasi mangrove sebagai pendukung sumber hayati perikanan pantai.
Jurnal Litbang Pertanian 23(1), 15-21.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
240
Hartoyo, Mahdiana, A., 2007. Analisis resiko kontaminasi cadmium pada ikan terhadap
masyarakat pesisir Sungai Donan Kabupaten Cilacap. Jurnal Sains Akuatik 10(2),
96-104.
Hatcher, B.G., Johannes, R.E., Robertson, A.I., 1989. Review of research relevant to the
conservation of shallow tropical marine ecosystems. Oceanogr. Mar. Biol. Annu.
Rev. 27, 337-414.
Holcim Group Support Ltd., 2004. Holcim as a group to the top of the industry: Holcim
news report – technical meeting 2004. Holcim Group Support Ltd., Holderbank.
Hopper, M., 2004. WXTide32 version 4.0. Free Software Foundation Inc., Cambridge.
NOAA, 2003. Mangrove ecology. National Oceanic and Admospheric Administration.
http://response.restoration.noaa.gov/oilaids/mangroves/pdfs/chapter1.pdf
Nordhaus, I., 2007. The benthic community in the Segara Anakan lagoon, Java, Indonesia.
In: E. Yuwono, T. Jennerjahn, M.H. Sastranegara, and P. Sukardi (eds), synopsis of
ecological and socio-economic aspects of tropical coastal ecosystem with special
reference to Segara Anakan. Research Institute, Jenderal Soedirman University,
Purwokerto.
Nurlaeli, A., 2007. Kandungan logam berat cadmium (Cd) pada kerang totok (Polymesoda
erosa) di Segara Anakan Cilacap. Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman,
Purwokerto.
Odum, P.E., 1971. Fundamentals of ecology. Third edition. W.B. Saunders Co.,
Philadelphia.
Presiden Republik Indonesia, 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82
Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.
Sekretariat Negara, Jakarta.
PT Semen Cibinong Tbk., 2005a. Program advokasi dan pendampingan masyarakat
nelayan jaring apong di Kelurahan Kutawaru dan Karangtalun, Kabupaten Cilacap.
PT Semen Cibinong Tbk., Cilacap.
________________________, 2005b. Pemantauan lingkungan biotis dan kualitas air. PT
Semen Cibinong Tbk., Cilacap.
________________________, 2007. Maintenance dredging alur transportasi batu kapur di
perairan Kali Donan Cilacap. PT Holcim Indonesia Tbk., Cilacap.
Rosyadi, S., 2006. Tata kelola sumberdaya perairan Kali Donan Cilacap. Laporan
Penelitian Tripartit. Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Sastranegara, M.H., 2004. The impact of forest use on the intertidal crab community in
managed mangroves of Cilacap, Central Java, Indonesia. Cuvillier, Göttingen.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
241
Sastranegara, M.H., Andriyani, N., 2006. Keragaman dan kelimpahan plankton di Segara
Anakan Cilacap. Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Sastranegara, M.H., Eidman, M., Suratmo, G., Widjaja, F., 1996. Hubungan antara
ketersediaan unsur hara dengan keragaman dan kelimpahan fitoplankton di Segara
Anakan Cilacap. Majalah Ilmiah UNSOED 4(12), 10-21.
UNEP, 2003. Inventory of chemical information sources. United Nations Environment
Program.
http://dbserver.irptc.unep.cl:8887/metadb/owa/mt.BrowseInventory?iinvid=5123
White, A.T., Martosubroto, P., Sadorra, M.S.M., 1989. The coastal environmental profile of
Segara Anakan - Cilacap, South Java, Indonesia. ICLARM Techn. Rep. 25, Manila,
Philippines, 82 pp.
Yuwono, E., Jennerjahn, T.C., Nordhaus, I., Ardli, E.R.., Sastranegara, M.H., Pribadi, R.,
2007. Ecological status of Segara Anakan, Java, Indonesia, a mangrove-fringed
lagoon affected by human activities. Asian Journal of Water, Environment &
Pollution 4, 61-70.
Sumber: PT Holcim Indonesia Tbk. (2007)
Gambar 1. Lokasi penelitian
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
242
U
P
S
85 90 95 100
Persentase (%)
Keterangan:
U = Stasiun 1 pada bagian utara daerah pengerukan (Bouy 34)
P = Stasiun 2 pada bagian tengah daerah pengerukan (Bouy antara 30 da 34)
S = Stasiun 3 pada bagian selatan daerah pengerukan (Bouy 30)
Gambar 2. Dendogram Kali Donan pasca pengerukan
UCPCSCPBUBSBUAPASA
20 40 60 80 100
Persentase (%)
Keterangan:
U = Stasiun 1 pada bagian utara daerah pengerukan (Bouy 34)
P = Stasiun 2 pada bagian tengah daerah pengerukan (Bouy antara 30 da 34)
S = Stasiun 3 pada bagian selatan daerah pengerukan (Bouy 30)
A = Pra-operasi
B = Operasi
C = Post-operasi
Gambar 3. Dendogram Kali Donan saat pengerukan
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
243
Tabel 1. Kualitas air Kali Donan pasca pengerukan
No Parameter Unit Hasil
Standar* Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
I. FISIK
1. Suhu °C 29 29 29 Deviasi 3
2. TDS mg/l 13.942 19.574 23.248 1.000
3. TSS mg/l 14 16 12 50
II. KIMIAWI ANORGANIK
4. pH 7,02 7,14 7,24 6 – 9
5. BOD5 mg/l 8,39 3,52 2,30 3
6. COD mg/l 54,59 22,74 19,71 25
7. DO mg/l 4,24 4,08 4,42 > 4
8. PO4 mg/l 0,081 0,033 0,024 0,2
9. NO3 mg/l 0,169 0,121 0,133 10
10. NH3 mg/l 0,236 0,216 0,111 nd
11. Mn mg/l 0,053 < 0,010 < 0,010 nd
12. Fe mg/l 0.106 < 0,010 < 0,221 nd
13. As mg/l - - - 1
14. Cd mg/l < 0,005 < 0,005 0,006 0,01
15. Cr mg/l 0,010 0,004 0,004 0,05
16. Cu mg/l 0,008 0,050 0,023 0,02
17. Pb mg/l < 0,030 2,535 8,466 0,03
18. Hg mg/l < 0,001 < 0,001 < 0,001 0,002
19. Zn mg/l < 0,010 0,010 0,022 0,05
20. CN mg/l < 0,002 < 0,002 < 0,002 0,02
21. NO2 mg/l < 0,001 < 0,001 < 0,009 0,06
22. Chlorin bebas mg/l < 0,002 < 0,002 < 0,002 0,03
23. H2S mg/l < 0,002 0,055 0,002 0,002
III. KIMIAWI ORGANIK
24. Minyak dan lemak µg/l < 50 < 50 < 50 1.000
25. Deterjen sebagai MBAS µg/l - - - 200
26. Fenol µg/l < 1 < 1 6 1
IV. MIKROBIOLOGIK
27. Fecal coliform Jml/100 ml 23 43 23 1.000
28. Total coliform Jml/100 ml 0 0 0 5.000
Tabel 2. Indeks similaritas Kali Donan pasca pengerukan
U P S
U 0 0 0
P 91,42 0 0
S 86,98 95,14 0
Keterangan:
U = Stasiun 1 pada bagian utara daerah pengerukan (Bouy 34)
P = Stasiun 2 pada bagian tengah daerah pengerukan (Bouy antara 30 dan 34)
S = Stasiun 3 pada bagian selatan daerah pengerukan (Bouy 30)