Anestesi Pada Pasien Hipertensi By Hafiz Ibrahim

40
Anestesi Pada Pasien Hipertensi Bab 1 PENDAHULUAN Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai.Diperkirakan satu dari empat populasi dewasa di Amerika atau sekitar 60 juta individu dan hampir 1 milyar penduduk dunia menderita hipertensi, dengan mayoritas dari populasi ini mempunyai risiko yang tinggi untuk mendapatkan komplikasi kardiovaskuler.1-4 Data yang diperoleh dari Framingham Heart Study menyatakan bahwa prevalensi hipertensi tetap akan meningkat meskipun sudah dilakukan deteksi dini dengan dilakukan pengukuran tekanan darah (TD) secara teratur. Pada populasi berkulit putih ditemukan hampir 1/5 mempunyai tekanan darah sistolik (TDS) lebih besar dari 160/95 mmHg dan hampir separuhnya mempunyai TDS lebih besar dari 140/90 mmHg. Prevalensi hipertensi tertinggi ditemukan pada populasi bukan kulit putih.2,5 Hipertensi yang tidak terkontrol yang dibiarkan lama akan mempercepat terjadinya arterosklerosis dan hipertensi sendiri merupakan faktor risiko mayor terjadinya penyakit-penyakit jantung, serebral, ginjal dan vaskuler.3 Pengendalian hipertensi yang agresif akan menurunkan komplikasi terjadinya infark miokardium, gagal jantung kongestif, stroke, gagal ginjal, penyakit oklusi perifer dan diseksi aorta, sehingga morbiditas dapat dikurangi.3,6 Konsekuensi dari penggunaan 1

description

Presentasi Kasus

Transcript of Anestesi Pada Pasien Hipertensi By Hafiz Ibrahim

Page 1: Anestesi Pada Pasien Hipertensi By Hafiz Ibrahim

Anestesi Pada Pasien Hipertensi

Bab 1

PENDAHULUAN

Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai.Diperkirakan satu dari empat

populasi dewasa di Amerika atau sekitar 60 juta individu dan hampir 1 milyar

penduduk dunia menderita hipertensi, dengan mayoritas dari populasi ini

mempunyai risiko yang tinggi untuk mendapatkan komplikasi kardiovaskuler.1-4

Data yang diperoleh dari Framingham Heart Study menyatakan bahwa prevalensi

hipertensi tetap akan meningkat meskipun sudah dilakukan deteksi dini dengan

dilakukan pengukuran tekanan darah (TD) secara teratur. Pada populasi berkulit

putih ditemukan hampir 1/5 mempunyai tekanan darah sistolik (TDS) lebih besar dari

160/95 mmHg dan hampir separuhnya mempunyai TDS lebih besar dari 140/90

mmHg. Prevalensi hipertensi tertinggi ditemukan pada populasi bukan kulit putih.2,5

Hipertensi yang tidak terkontrol yang dibiarkan lama akan mempercepat terjadinya

arterosklerosis dan hipertensi sendiri merupakan faktor risiko mayor terjadinya

penyakit-penyakit jantung, serebral, ginjal dan vaskuler.3 Pengendalian hipertensi

yang agresif akan menurunkan komplikasi terjadinya infark miokardium, gagal

jantung kongestif, stroke, gagal ginjal, penyakit oklusi perifer dan diseksi aorta,

sehingga morbiditas dapat dikurangi.3,6 Konsekuensi dari penggunaan obatobat

antihipertensi yang rutin mempunyai potensi terjadinya interaksi dengan obat-obat

yang digunakan selama pembedahan. Banyak jenis obat-obatan yang harus tetap

dilanjutkan selama periode perioperatif, dimana dosis terakhir diminum sampai

dengan 2 jam sebelum prosedur pembedahan dengan sedikit air dan dilanjutkan

kembali pada saat pemulihan dari pengaruh anestesia.7 Tingginya angka penderita

hipertensi dan bahayanya komplikasi yang bisa ditimbulkan akibat hipertensi ini

menyebabkan pentingnya pemahaman para ahli anestesia dalam manajemen

selama periode perioperatif. Periode perioperatif dimulai dari hari dimana

dilakukannya evaluasi prabedah, dilanjutkan periode selama pembedahan sampai

pemulihan pasca bedah.1,7

1

Page 2: Anestesi Pada Pasien Hipertensi By Hafiz Ibrahim

Kasus

1.1 IDENTITAS

Nama : Nn. R (123510)

Umur : 39 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Bidasari 2B-26

Agama : Islam

Tanggal operasi : 1 May 2010

1.2 ANAMNESIS (Alloanamnesa)

1.2.1 Keluhan Utama

Hidung mampet sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit

1.2.2 Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke poliklinik THT dengan keluhan hidung mampet, sesak

napas sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien sering bersin-bersin

setiap pagi, pusing dan menjalar ke atas kepala. Bersin disertai dengan

sekret berwarna jernih dan sedikit encer. Saat ini keluhan makin berat. Pasien

sering mengeluh hidung tersumbat dan apabila tidur diberitahu suaminya

bahwa pasien sering ngorok.

1.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat alergi obat -, riwayat penyakit infeksi kronis –

1.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga pasien yang mengalami penyakit yang sama.

1.2.5 Riwayat pengobatan

Pasien tidak pernah dirawat di rumah sakit dan tidak pernah mengalami

operasi.

1.3 PEMERIKSAAN FISIK

Kesadaran : CM, tampak sakit sedang

Tanda vital :

Tekanan darah: 169/112 mmHg

Nadi : 80x/menit

RR : 18 x/menit

Suhu : afebris

2

Page 3: Anestesi Pada Pasien Hipertensi By Hafiz Ibrahim

Kepala : konjungtiva anemis - /-, Sklera ikterik -/-,

Telinga : normotia

Mulut : Gigi geligi tidak ada kelainan, mukosa mulut normal, massa (-)

Hidung : mukosa hidung normal, epitaksis (-), massa (-)

Leher : KGB dan tiroid tidak teraba membesar, massa (-)

Jantung : SI SII normal, regular, Murmur -, Gallop –

Paru : Suara nafas vesikuler kanan kiri, Ronchi - / -, Wheezing - / -

Perut : datar, soepel, Bu + Normal, NT -, udema -, hepat dan lien tidak teraba

membesar

Ekstremitas : akral hangat, motorik N, reflex N

Status THT :

Telinga : Dalam batas normal

Hidung : Septum deviasi –

Sekret –

Hiperemis

Konka membesar

Tenggorokan : Uvula normal

Tonsil normal

Hiperemis

1.4 DIAGNOSIS

Hipertrofi konka et causa Rinitis Allergi

1.5 TINDAKAN

Pada pasien, tindakan yang dilakukan adalah konkotomi yaitu pemotongan konka

inferior dengan cara kauterisasi. Operasi dilakukan oleh dr Teppy Sp THT pada

tanggal 1 Mei 2010 di kamar operasi RS Otorita Batam.

3

Page 4: Anestesi Pada Pasien Hipertensi By Hafiz Ibrahim

1.6 LAPORAN ANESTESI

Pasien, Ny. R, 39 tahun, datang ke ruang operasi untuk menjalani operasi

elektif konkotomi pada tanggal 1 Mei 2010 dengan menggunakan General Anestesi

dengan pemasangan endotrakeal tube non kinking. Posisi pasien saat operasi

dalam posisi terlentang. Dengan dokter anestesi adalah dr. Gusno Sp.An dan

operatornya dr. Teppy, Sp.THT. Operasi berlangsung dari jam 1345 – 1442 dengan

lama operasi selama 57 menit. Anestesi menggunakan recofol, 02-N20-sevoflurane

dengan relaksasi menggunakan Tramus.

Dilakukan pemasangan alat-alat anestesi seperti tensimeter, elektroda EKG,

oksimetri dan pada pasien ini telah dilakukan pemasangan IV line. Keadaan umum

pasien sebelum operasi compos mentis, dengan nadi 80 x/menit, suhu afebris, tensi

169/112mmHg, saturasi oksigen 98% dan mempunyai berat badan 79 kg. Pada

pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan kelainan yang berarti. Sebelum dilakukan

intubasi, persiapan alat-alat anestesi telah disediakan. Setelah semuanya

dipersiapkan, premedikasi dimasukkan pada jam 1250 dengan menggunakan

Sedacum sebagai obat sedasi dan untuk menenangkan pasien. Kemudian pasien

diberikan Catapres 150mcg dengan tujuan untuk menurunkan tekanan darah pasien.

Setelah pemberian Catapres, tensi pasien menurun ke 135/95 mmHg. Pada jam

1315, pasien diberikan Fentanyl 50 mcg yang merupakan obat opioid yang bersifat

analgesic dan bisa bersifat induksi pada pemberian dosis tinggi dan juga diberikan

kliran 4mg dengan tujuan untuk mengurangkan keluhan mual dan muntah pada

pasien.

Pada jam 1315, pasien ini diberikan pelemas otot berupa Tramus 30 mg

untuk merelaksasikan otot-otot pernapasan sehingga pasien apnoe. Pada waktu

yang sama pasien diberikan recofol sebanyak 100 mg sebagai anestesi intravena.

Setelah itu pasien disungkupkan dengan sungkup muka yang telah terpasang pada

mesin anestesi yang menghantarkan gas (sevoflurane) dengan ukuran 3 vol%

dengan fresh flow gas yaitu oksigen dan N20 dengan perbandingan 1:1 dari mesin

ke jalan napas pasien sambil melakukan bagging selama kurang lebih 3 menit untuk

menekan pengembangan paru dan juga menunggu kerja dari pelemas otot sehingga

mempermudah dilakukannya intubasi. Penggunaan sevofluran disini dipilih karena

sevofluran mempunyai efek induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding

dengan gas lain, dan baunya pun lebih harum dan tidak merangsang jalan napas

sehingga digemari untuk induksi anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek

4

Page 5: Anestesi Pada Pasien Hipertensi By Hafiz Ibrahim

terhadap kardiovaskular pun relatif stabil dan jarang menyebabkan aritmia. Setelah

pasien di intubasi, dengan menggunakan ETT non kinking no 7 dengan cuff, maka

dialirkan sevofluran 3 vol%, oksigen dan N20 sekitar 1000 ml/menit(1:1) sebagai

anestesi rumatan. Ventilasi dilakukan dengan bagging dengan laju napas 12 x/ menit

dengan volume tidal sebesar 650.

Pada jam 1325, pasien diberikan Transamin 500mg dengan tujuan untuk

mengontrol perdarahan. Operasi dimulakan pada jam 1345 dan pasien dimonitor

semua tanda-tanda vitalnya sepanjang operasi berlangsung. Dexametason 5mg

juga diberikan ketika operasi hampir selesai. Ketika operasi mulai berakhir, pada

pukul 1440, konsentrasi sevoflurane diturunkan menjadi 1 vol%. Operasi selesai

pada jam 1442 dengan tensi 90/65 mmHg, nadi 76 kali per menit dan saturasi

oksigen pada 99%. Dan pada pukul 1450 apabila napas pasien sudah spontan dan

adekuat, sevoflurane di dihentikan.Total cairan yang diberikan pada pasien ini

sejumlah 1000cc berupa 500cc Asering dan 500cc Haemaccel dengan perdarahan

pada operasi ini sangat minimal.

5

Page 6: Anestesi Pada Pasien Hipertensi By Hafiz Ibrahim

BAB 2 HIPERTENSI DAN ANESTESI

2.1 DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI HIPERTENSI

Diagnosis suatu keadaan hipertensi dapat ditegakkan bila ditemukan adanya

peningkatan tekanan arteri diatas nilai normal yang diperkenankan berdasarkan

umur, jenis kelamin dan ras. Batas atas tekanan darah normal yang diijinkan adalah

sebagai berikut :

Dewasa 140/90 mmHg

Dewasa muda (remaja) 100/75 mmHg

Anak usia prasekolah 85/55 mmHg

Anak < 1 tahun (infant) 70/45 mmHg

Menurut The Joint National Committee 7 (JNC 7) on prevention, detection,

evaluation, and treatment of high blood pressure tahun 2003, klasifikasi hipertensi

dibagi atas prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan 2 (lihat tabel 1).

Tabel 1. Klasifikasi hipertensi menurut JNC 72

Klasifikasi di atas untuk dewasa 18 tahun ke atas. Hasil pengukuran TD

dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk posisi dan waktu pengukuran, emosi,

aktivitas, obat yang sedang dikonsumsi dan teknik pengukuran TD. Kriteria

ditetapkan setelah dilakukan 2 atau lebih pengukuran TD dari setiap kunjungan dan

6

Page 7: Anestesi Pada Pasien Hipertensi By Hafiz Ibrahim

adanya riwayat peningkatan TD darah sebelumnya.3 Penderita dengan klasifikasi

prehipertensi mempunyai progresivitas yang meningkat untuk menjadi hipertensi.

Nilai rentang TD antara 130-139/80-89 mmHg mempunyai risiko 2 kali berkembang

menjadi hipertensi dibandingkan dengan nilai TD yang lebih rendah dari nilai itu.2 Di

samping itu klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya, dapat dibagi dalam 2

penyebab dasar, yaitu sebagai berikut:5,8

1. Hipertensi primer (esensial, idiopatik).

2. Hipertensi sekunder:

A. Hipertensi sistolik dengan tekanan nadi melebar:

Regurgitasi aorta, tirotoksikosis, PDA.

B. Hipertensi sistolik dan diastolik dengan peningkatan SVR:

Renal: glomerulonefritis akut dan kronis, pyelonefritis, polikistik ginjal,

stenosis arteri renalis.

Endokrin: Sindroma Chusing, hiperplasia adrenal congenital, sindroma Conn

(hiperaldosteronisme primer), phaeochromacytoma, hipotiroidisme.

Neurogenik: peningkatan TIK, psikis (White Coat Hypertension), porfiria akut,

tanda-tanda keracunan.

Penyebab lain: coarctation dari aorta, polyarteritis nodosa, hiperkalsemia,

peningkatan volume intravaskuler (overload).

2.2 PATOGENESIS TERJADINYA HIPERTENSI

Hanya berkisar 10-15% kasus hipertensi yang diketahui penyebabnya secara

spesifik. Hal ini penting menjadi bahan pertimbangan karena beberapa dari kasus-

kasus hipertensi tersebut bisa dikoreksi dengan terapi definitif pembedahan, seperti

penyempitan arteri renalis, coarctation dari aorta, pheochromocytoma, cushing’s

disease, akromegali, dan hipertensi dalam kehamilan. Sedangkan hipertensi yang

tidak diketahui penyebabnya sering disebut sebagai hipertensi esensial. Hipertensi

esensial menduduki 80-95% dari kasus-kasus hipertensi.1,3,9,10 Secara umum

hipertensi selalu dihubungkan dengan ketidaknormalan peningkatan aktivitas

simpatis, yaitu terjadi peningkatan baseline dari curah jantung (CO), seperti pada

keadaan febris, hipertiroidisme atau terjadi peningkatan resistensi pembuluh darah

perifer (SVR) atau kedua-duanya. Peningkatan SVR merupakan penyebab

hipertensi pada mayoritas penderita hipertensi.1,3 Pola perkembangan terjadinya

7

Page 8: Anestesi Pada Pasien Hipertensi By Hafiz Ibrahim

hipertensi, awalnya CO meningkat, tetapi SVR dalam batas-batas normal. Ketika

hipertensi semakin progresif, CO kembali normal tetapi SVR meningkat menjadi

tidak normal. Afterload jantung yang meningkat secara kronis menghasilkan LVH

(left ventricle hypertrophy) dan merubah fungsi diastolik. Hipertensi juga merubah

autoregulasi serebral sehingga cerebral blood flow (CBF) normal untuk penderita

hipertensi dipertahankan pada tekanan yang tinggi.3 Tekanan darah berbanding

lurus dengan curah jantung dan SVR, dimana persamaan ini dapat dirumuskan

dengan menggunakan hukum Law, yaitu:1,9

BP = CO x SVR

Secara fisiologis TD individu dalam keadaan normal ataupun hipertensi,

dipertahankan pada CO atau SVR tertentu. Secara anatomik ada 3 tempat yang

mempengaruhi TD ini, yaitu arterial, vena-vena post kapiler (venous capacitance)

dan jantung. Sedangkan ginjal merupakan faktor keempat lewat pengaturan volume

cairan intravaskuler (gambar 1). Hal lain yang ikut berpengaruh adalah baroreseptor

sebagai pengatur aktivitas saraf otonom, yang bersama dengan mekanisme

humoral, termasuk sistem rennin-angiotensin-aldosteron akan menyeimbangkan

fungsi dari keempat tersebut. Faktor terakhir adalah pelepasan hormon-hormon lokal

yang berasal dari endotel vaskuler dapat juga mempengaruhi pengaturan SVR.

Sebagai contoh, nitrogen oksida (NO) berefek vasodilatasi dan endotelin-1 berefek

vasokonstriksi.9

2.3 FARMAKOLOGI DASAR OBAT-OBATANTIHIPERTENSI

Obat antihipertensi bekerja pada reseptor tertentu yang tersebar dalam

tubuh.8,9 Kategori obat antihipertensi dibagi berdasarkan mekanisme atauprinsip

kerjanya, yaitu:

1. Diuretika, menurunkan TD dengan cara mengurangi natrium tubuh dan volume

darah, sehingga CO berkurang. Contohnya: golongan thiazide, loop diuretics.

2. Golongan simpatolitik / simpatoplegik, menurunkan TD dengan cara

menumpulkan refleks arkus simpatis sehingga menurunkan resistensi pembuluh

darah perifer, menghambat fungsi kardiak, meningkatkan pengisian vena sehingga

terjadi penurunan CO. Contohnya: beta dan alpha blocker, methyldopa dan

8

Page 9: Anestesi Pada Pasien Hipertensi By Hafiz Ibrahim

clonidine, ganglion blocker, dan post ganglionic symphatetic blocker (reserpine,

guanethidine).

3. Vasodilator langsung, menurunkan TD dengan cara relaksasi otot-otot polos

vaskuler. Contoh: nitroprusside, hydralazine, calcium channel blocker.

4. Golongan penghambat produksi atau aktivitas Angiotensin, penghambatan ini

menurunkan resistensi perifer dan volume darah, yaitu dengan menghambat

angiotensin I menjadi angiotensin II dan menghambat metabolisme dari bradikinin.

2.4 MANAJEMEN PERIOPERATIF PENDERITA HIPERTENSI

2.4.1 Penilaian Preoperatif dan Persiapan Preoperatif Penderita Hipertensi

Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan

menjalani prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus dicari,

yaitu:10,11

Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensinya.

Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah

terjadi.

Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita.

Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi,

untuk prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi.

Semua data-data di atas bisa didapat dengan melakukan anamnesis riwayat

perjalanan penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan prosedur

diagnostik lainnya.2,11 Penilaian status volume cairan tubuh adalah menyangkut

apakah status hidrasi yang dinilai merupakan yang sebenarnya ataukah suatu relatif

hipovolemia (berkaitan dengan penggunaan diuretika dan vasodilator). Disamping itu

penggunaan diuretika yang rutin, sering menyebabkan hipokalemia dan

hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya

aritmia.5,11,12 Untuk evaluasi jantung, EKG dan x-ray toraks akan sangat

membantu. Adanya LVH dapat menyebabkan meningkatnya risiko iskemia

miokardial akibat ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Untuk

evaluasi ginjal, urinalisis, serum kreatinin dan BUN sebaiknya diperiksa untuk

memperkirakan seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal. Jika ditemukan ternyata

9

Page 10: Anestesi Pada Pasien Hipertensi By Hafiz Ibrahim

gagal ginjal kronis, maka adanya hiperkalemia dan peningkatan volume plasma

perlu diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat adanya stroke atau TIA

dan adanya retinopati hipertensi perlu dicatat.5 Tujuan pengobatan hipertensi adalah

mencegah komplikasi kardiovaskuler akibat tingginya TD, termasuk penyakit arteri

koroner, stroke, CHF, aneurisme arteri dan penyakit ginjal. Diturunkannya TD secara

farmakoligis akan menurunkan mortalitas akibat penyakit jantung sebesar 21%,

menurunkan kejadian stroke sebesar 38%, menurunkan penyakit arteri

koronariasebesar 16%.11

2.4.2 Pertimbangan Anestesia Penderita Hipertensi

Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya

yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaan

anestesia dan operasi.12,13 Namun banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110

atau 115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia atau

operasi kecuali operasi emergensi.11,12 Kenapa TD diastolik (TDD) yang dijadikan

tolak ukur, karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat seiring dengan

pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai perubahan

fisiologik dibandingkan patologik. Namun beberapa ahli menganggap bahwa

hipertensi sistolik lebih besar risikonya untuk terjadinya morbiditas kardiovaskuler

dibandingkan hipertensi diastolik. Pendapat ini muncul karena dari hasil studi

menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi sistolik dapat

menurunkan risiko terjadinya stroke dan MCI pada populasi yang berumur tua.

Dalam banyak uji klinik, terapi antihipertensi pada penderita hipertensi akan

menurunkan angka kejadian stroke sampai 35%-40%, infark jantung sampai 20-25%

dan angka kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50%. 2,12 Menunda

operasi hanya untuk tujuan mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi khususnya

pada pasien dengan kasus hipertensi yang ringan sampai sedang. Namun

pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan hemodinamik,

karena hemodinamik yang labil mempunyai efek samping yang lebih besar terhadap

kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensinya itu sendiri. Penundaan

operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya kerusakan target organ

sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum operasi.15 The American

Heart Association / American College of Cardiology (AHA/ACC) mengeluarkan

10

Page 11: Anestesi Pada Pasien Hipertensi By Hafiz Ibrahim

acuan bahwa TDS _ 180 mmHg dan/atau TDD _ 110 mmHg sebaiknya dikontrol

sebelum dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada keadaan

operasi yang sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam beberapa menit sampai

beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi yang bersifat rapid acting.16

Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung mempunyai respon TD yang

berlebihan pada periode perioperatif. Ada 2 fase yang harus menjadi pertimbangan,

yaitu saat tindakan anestesia dan postoperasi. Contoh yang sering terjadi adalah

hipertensi akibat laringoskopi dan respons hipotensi akibat pemeliharaan anestesia.

Pasien hipertensi preoperatif yang sudah dikontrol tekanan darahnya dengan baik

akan mempunyai hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol

dengan baik..11,13,14

2.4.3 Perlengkapan Monitor

Berikut ini ada beberapa alat monitor yang bisa kita gunakan serta maksud dan

tujuan penggunaanya:5

EKG: minimal lead V5 dan II atau analisis multipel lead ST, karena pasien

hipertensi punya risiko tinggi untuk mengalami iskemia miokard.

TD: monitoring secara continuous TD adalah esensial kateter Swan-Ganz:

hanya digunakan untuk penderita hipertensi dengan riwayat CHF atau MCI

berulang.

Pulse oxymeter: digunakan untuk menilai perfusi dan oksigenasi jaringan

perifer.

Analizer end-tidal CO2: Monitor ini berguna untuk membantu kita

mempertahankan kadar CO2.

Suhu atau temperature.

2.4.4 Premedikasi

Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita hipertensi.

Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa menggunakan

ansiolitik seperti golongan benzodiazepin atau midazolam. Obat antihipertensi tetap

dilanjutkan sampai pada hari pembedahan sesuai jadwal minum obat dengan sedikit

11

Page 12: Anestesi Pada Pasien Hipertensi By Hafiz Ibrahim

air non partikel. Beberapa klinisi menghentikan penggunaan ACE inhibitor dengan

alasan bisa terjadi hipotensi intraoperatif.

2.4.5 Induksi Anestesi

Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan

hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun

saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi

perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga

preloading cairan penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum

induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena

efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi

oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker.3,8,10

Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan

intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan dapat menyebabkan

iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi

endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah 15

detik dapat membantu meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa

teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk

menghindari terjadinya hipertensi.3,10

Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5-

10 menit.

Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25

mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0,5-1

mikrogram/ kgbb).

Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea.

Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb,

propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).

Menggunakan anestesia topikal pada airway.

Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi adalah bervariasi untuk

masing-masing klinisi. Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan etomidat tingkat

12

Page 13: Anestesi Pada Pasien Hipertensi By Hafiz Ibrahim

keamanannya adalah sama untuk induksi pada penderita hipertensi.3 Untuk

pemilihan pelumpuh otot vekuronium atau cis-atrakurium lebih baik dibandingkan

atrakurium atau pankuronium. Untuk volatile, sevofluran bisa digunakan sebagai

obat induksi secara inhalasi.8,10

2.4.6 Pemeliharaan Anestesia dan Monitoring

Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan

anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi TD yang terlalu lebar.

Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah sama

pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode preoperatif.10 Pada

hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran kekanan autoregulasi dari serebral

dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini akan mudah terjadi penurunan

aliran darah serebral dan iskemia serebral jika TD diturunkan secara tiba-tiba. Terapi

jangka panjang dengan obat antihipertensi akan menggeser kembali kurva

autregulasi kekiri kembali ke normal. Dikarenakan kita tidak bisa mengukur

autoregulasi serebral sehingga ada beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan,

yaitu:8

Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal

yang dianjurkan untuk penderita hipertensi.

Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala

hipoperfusi otak.

Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian

stroke.

Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal, kurang lebih sama

dengan yang terjadi pada serebral.

Anestesia aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan

memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia dengan

volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan N2O), anestesia imbang (balance

anesthesia) dengan opioid + N2O + pelumpuh otot, atau anestesia total intravena

bisa digunakan untuk pemeliharaan anestesia.3 Anestesia regional dapat

dipergunakan sebagai teknik anesthesia, namun perlu diingat bahwa anestesia

regional sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan

13

Page 14: Anestesi Pada Pasien Hipertensi By Hafiz Ibrahim

pada pasien dengan keadaan hipovolemia.10 Jika hipertensi tidak berespon

terhadap obat-obatan yang direkomendasikan, penyebab yang lain harus

dipertimbangkan seperti phaeochromacytoma, carcinoid syndrome dan tyroid

storm.17 Kebanyakan penderita hipertensi yang menjalani tindakan operasi

tidak memerlukan monitoring yang khusus. Monitoring intra-arterial secara langsung

diperlukan terutama jenis operasi yang menyebabkan perubahan preload dan

afterload yang mendadak. EKG diperlukan untuk mendeteksi terjadinya iskemia

jantung. Produksi urine diperlukan terutama untuk penderita yang mengalami

masalah dengan ginjal, dengan pemasangan kateter urine, untuk operasi-operasi

yang lebih dari 2 jam. Kateter vena sentral diperlukan terutama untuk memonitoring

status cairan pada penderita yang mempunyai disfungsi ventrikel kiri atau adanya

kerusakan end organ yang lain.3,10

2.4.7 Hipertensi Intraoperatif

Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga pada

periode anestesia maupunsaat pasca bedah.13 Hipertensi intraoperatif yang tidak

berespon dengan didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan antihipertensi

secara parenteral (lihat tabel 2), namun faktor penyebab bersifat reversibel atau bisa

diatasi seperti anestesia yang kurang dalam, hipoksemia atau hiperkapnea harus

disingkirkan terlebih dahulu.3

Tabel 2. Antihipertensi parenteral untuk mengatasi hipertensi akut3

14

Page 15: Anestesi Pada Pasien Hipertensi By Hafiz Ibrahim

Pemilihan obat antihipertensi tergantung dari berat, akut atau kronik,

penyebab hipertensi, fungsi baseline ventrikel, heart rate dan ada tidaknya penyakit

bronkospastik pulmoner dan juga tergantung dari tujuan dari pengobatannya atau

efek yang diinginkan dari pemberian obat tersebut (lihat tabel 3).3,19 Berikut ini

ada beberapa contoh sebagai dasar pemilihan obat yang akan digunakan:3

Beta-adrenergik blockade: digunakan tunggal atau tambahan pada pasien

dengan fungsi ventrikuler yang masih baik dan dikontra indikasikan pada

bronkospastik.

Nicardipine: digunakan pada pasien dengan penyakit bronkospastik.

Nifedipine: refleks takikardia setelah pemberian sublingual sering

dihubungkan dengan iskemia miokard dan antihipertensi yang mempunyai

onset yang lambat.

Nitroprusside: onset cepat dan efektif untuk terapi intraoperatif pada

hipertensi sedang sampai berat.

Nitrogliserin: mungkin kurang efektif, namun bisa digunakan sebagai terapi

atau pencegahan iskemia miokard.

15

Page 16: Anestesi Pada Pasien Hipertensi By Hafiz Ibrahim

Fenoldopam: dapat digunakan untuk mempertahankan atau menjaga fungsi

ginjal.

Hydralazine: bisa menjaga kestabilan TD, namun obat ini juga punya onset

yang lambat sehingga menyebabkan timbulnya respon takikardia.

2.4.8 Krisis Hipertensi

Dikatakan krisis hipertensi jika TD lebih tinggi dari 180/120 mmHg dan dapat

dikategorikan dalam hipertensi urgensi atau hipertensi emergensi, berdasarkan

ada tidaknya ancaman kerusakan target organ atau kerusakan target organ yang

progresif. Pasien dengan hipertensi sistemik kronis dapat mentoleransi TDS yang

lebih tinggi dibandingkan individu yang sebelumnya normotensif dan lebih mungkin

mengalami hipertensi yang sifatnya urgensi dibandingkan emergensi.10 Hal-hal

yang paling sering menimbulkan krisis hipertensi adalah antara lain karena

penggunaan obat antihipertensi seperti clonidine, hiperaktivitas autonom, obat-obat

penyakit kolagen-vaskuler, glomerulonefritis akut, cedera kepala, neoplasia seperti

pheokromasitoma, preeclampsia dan eklampsia. Manifestasi klinis yang timbul

adalah sesuai dengan target organ yang rusak akibat hipertensi ini.8 Krisis

hipertensi terbagi atas hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi. Hipertensi

emergensi adalah pasien dengan bukti adanya kerusakan target organ yang sedang

terjadi atau akut (ensefalopati, perdarahan intra serebral, kegagalan ventrikel kiri

akut dengan edema paru, unstable angina, diseksi aneurisme aorta, IMA, eclampsia,

16

Page 17: Anestesi Pada Pasien Hipertensi By Hafiz Ibrahim

anemia hemolitik mikro angiopati atau insufisiensi renal) yang memerlukan intervensi

farmakologi yang tepat untuk menurunkan TD sistemik. Ensefalopati jarang terjadi

pada pasien dengan hipertensi kronis sampai TDD melebihi 150 mmHg sedangkan

pada wanita hamil yang mengalami hipertensi dapat mengalami tanda-tanda

ensefalopati pada TDD < 100 mmHg. Sehingga walaupun tidak ada gejala, wanita

hamil dengan TDD > 109 mmHg dianggap sebagai hipertensi emergensi dan

memerlukan terapi segera. Bila TD diturunkan secara cepat akan terjadi iskemia

koroner akut, sehingga MAP diturunkan sekitar 20% dalam 1 jam pertama,

selanjutnya pelan-pelan diturunkan sampai160/110 selama 2-6 jam. Tanda-tanda

penurunan TD ditoleransi dengan baik adalah selama fase ini tidak ada tanda-tanda

hipoperfusi target organ.8,10,20 Hipertensi urgensi adalah situasi dimana TD

meningkat tinggi secara akut, namun tidak ada bukti adanya kerusakan target organ.

Gejala yang timbul dapat berupa sakit kepala, epitaksis atau ansietas. Penurunan

TD yang segera tidak merupakan indikasi dan pada banyak kasus dapat ditangani

dengan kombinasi antihipertensi oral bertahap dalam beberapa hari.10,20

2.4.9 Manajemen Postoperatif

Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasien

yang menderita hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan kebutuhan

oksigen miokard sehingga berpotensi menyebabkan iskemia miokard, disritmia

jantung dan CHF. Disamping itu bisa juga menyebabkan stroke dan perdarahan

ulang luka operasi akibat terjadinya disrupsi vaskuler dan dapat berkonstribusi

menyebabkan hematoma pada daerah luka operasi sehingga menghambat

penyembuhan luka operasi.3,10 Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi ada

banyak faktor, disamping secara primer karena penyakit hipertensinya yang tidak

teratasi dengan baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem respirasi, nyeri,

overload cairan atau distensi dari kandung kemih. Sebelum diputuskan untuk

memberikan obat-obat antihipertensi, penyebab-penyebab sekunder tersebut harus

dikoreksi dulu.3 Nyeri merupakan salah satu faktor yang paling berkonstribusi

menyebabkan hipertensi pasca operasi, sehingga untuk pasien yang berisiko, nyeri

sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan morfin epidural secara infus

kontinyu. Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah teratasi, maka

intervensi secara farmakologi harus segera dilakukan dan perlu diingat bahwa

17

Page 18: Anestesi Pada Pasien Hipertensi By Hafiz Ibrahim

meskipun pasca operasi TD kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudah

mempunyai riwayat hipertensi, sebaiknya obat antihipertensi pasca bedah tetap

diberikan.14 Hipertensi pasca operasi sebaiknya diterapi dengan obat antihipertensi

secara parenteral misalnya dengan betablocker yang terutama digunakan untuk

mengatasi hipertensi dan takikardia yang terjadi. Apabila penyebabnya karena

overload cairan, bisa diberikan diuretika furosemid dan apabila hipertensinya disertai

dengan heart failure sebaiknya diberikan ACE-inhibitor. Pasien dengan iskemia

miokard yang aktif secara langsung maupun tidak langsung dapat diberikan

nitrogliserin dan beta-blocker secara intravena sedangkan untuk hipertensi berat

sebaiknya segera diberikan sodium nitroprusside.13 Apabila penderita sudah bisa

makan dan minum secara oral sebaiknya antihipertensi secara oral segera

dimulai.3,10,14

18

Page 19: Anestesi Pada Pasien Hipertensi By Hafiz Ibrahim

BAB 3 RINITIS ALERGI

3.1 Definisi

Rinitis alergi secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsi hidung yang

terjadi setelah paparan alergen melalui inflamasi yang diperantarai IgE pada mukosa

hidung.

3.2 Epidemiologi

Rinitis adalah masalah klinis yang paling umum terjadi pada pasien dengan

alergi. Rinitis secara konsisten berada pada urutan enam penyakit kronis utama di

Amerika Serikat. Morbiditas dari rinitis menyebabkan kualitas hidup yang menurun

dikarenakan sakit kepala, mudah lelah, gangguan kognisi, dan efek samping obat-

obatan. Rinitis alergi dapat menurunkan kualitas hidup, antara lain fungsi fisik,

problem bekerja, nyeri badan, vitalitas, fungsi sosial, stabilitas emosi, bahkan

kesehatan mental.

3.3 Etiologi

Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi

genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat

berperan pada ekspresi rinitis alergi.

Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan

ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti

urtikaria dan gangguan pencernaan.

Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa

pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi

musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang

tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu

Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang

peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat.. Faktor resiko untuk terpaparnya

debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor

kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk

tumbuhnya jamur. Riwayat hobi berkebun/rekreasi ke pegunungan membantu

identifikasi untuk terpaparnya serbuk sari.

19

Page 20: Anestesi Pada Pasien Hipertensi By Hafiz Ibrahim

Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa

faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau

merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban yang tinggi.

3.4 Klasifikasi

Rinitis alergi sebelumnya dibagi berdasarkan waktu pajanan menjadi rinitis

alergi musiman (seasonal), sepanjang tahun (perenial) dan akibat kerja (occasional).

Rinitis alergi musiman hanya ada di negara yang memiliki empat musim. Alergen

penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari dan spora jamur. Gejala ketiganya hampir

sama, hanya sifat berlangsungnya yang berbeda. Gejala rinitis alergi sepanjang

tahun timbul terus menerus atau intermiten.

Namun sekarang klasifikasi rinitis alergi menggunakan parameter gejala dan

kualitas hidup, berdasarkan lamanya dibagi menjadi intermiten dengan gejala ≤4 hari

perminggu atau ≤4 minggu dan persisten dengan gejala >4 hari perminggu dan >4

minggu. Berdasarkan beratnya penyakit dibagi dalam ringan dan sedang-berat

tergantung dari gejala dan kualitas hidup. Dikatakan ringan yaitu tidak ditemukan

gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, olah raga, belajar, bekerja dan

lain-lain yang mengganggu. Dikatakan sedang-berat jika terdapat satu atau lebih

gangguan tersebut di atas.

3.5 Penilaian Klinis

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:

3.5.1. Anamnesis

Anamnesis sangat penting karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan

pemeriksa. Diagnosis rinitis alergi ditegakkan dari anamnesis dengan adanya trias

gejala yaitu beringus (rinorea), bersin dan sumbatan hidung, ditambah gatal hidung.

Perlu diperhatikan juga gejala alergi di luar hidung (asma, dermatitis atopi, injeksi

konjungtiva, dan lain sebagainya).

3.5.2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik untuk rinitis alergi berfokus pada hidung, tetapi

pemeriksaan wajah, mata, telinga, leher, paru-paru, dan kulit juga penting.

20

Page 21: Anestesi Pada Pasien Hipertensi By Hafiz Ibrahim

a. Wajah

- Allergic shiners yaitu dark circles di sekitar mata dan berhubungan

dengan vasodilatasi atau obstruksi hidung

- Nasal crease yaitu lipatan horizontal (horizontal crease) yang melalui

setengah bagian bawah hidung akibat kebiasaan menggosok hidung

keatas dengan tangan.

b. Hidung

- Pada pemeriksaan hidung digunakan nasal speculum atau bagi

spesialis dapat menggunakan rhinolaringoskopi

- Pada rinoskopi akan tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat,

disertai adanya sekret encer yang banyak.

- Tentukan karakteristik dan kuantitas mukus hidung. Pada rinitis alergi

mukus encer dan tipis. Jika kental dan purulen biasanya berhubungan

dengan sinusitis. Namun, mukus yang kental, purulen dan berwarna

dapat timbul pada rinitis alergi.

- Periksa septum nasi untuk melihat adanya deviasi atau perforasi

septum yang dapat disebabkan oleh rinitis alergi kronis, penyakit

granulomatus.

- Periksa rongga hidung untuk melihat adanya massa seperti polip dan

tumor. Polip berupa massa yang berwarna abu-abu dengan tangkai.

Dengan dekongestant topikal polip tidak akan menyusut. Sedangkan

mukosa hidung akan menyusut.

c. Telinga, mata dan orofaring

- Dengan otoskopi perhatikan adanya retraksi membran timpani, air-fluid

level, atau bubbles. Kelainan mobilitas dari membran timpani dapat

dilihat dengan menggunakan otoskopi pneumatik. Kelaianan tersebut

dapat terjadi pada rinitis alergi yang disertai dengan disfungsi tuba

eustachius dan otitis media sekunder.

- Pada pemeriksaan mata

- Akan ditemukan injeksi dan pembengkakkan konjungtiva palpebral

yang disertai dengan produksi air mata.

d. Leher. Perhatikan adanya limfadenopati

e. Paru-paru. Perhatikan adanya tanda-tanda asmaf. Kulit. Kemungkinaan adanya dermatitis atopi.

21

Page 22: Anestesi Pada Pasien Hipertensi By Hafiz Ibrahim

3.6 Penatalaksanaan

Menurut ARIA penatalaksanaan rinitis alergi meliputi :

a. Penghindaran alergen.

Merupakan terapi yang paling ideal. Cara pengobatan ini bertujuan untuk

mencegah kontak antara alergen dengan IgE spesifik dapat dihindari sehingga

degranulasi sel mastosit tidak berlangsung dan gejalapun dapat dihindari.

Namun, dalam praktek adalah sangat sulit mencegah kontak dengan alergen

tersebut. Masih banyak data yang diperlukan untuk mengetahui pentingnya

peranan penghindaran alergen.

b. Pengobatan medikamentosa

Cara penngobatan ini merupakan konsep untuk mencegah dan atau

menetralisasi kinerja molekul-molekul mediator yang dilepas sel-sel inflamasi

alergis dan atau mencegah pecahnya dinding sel dengan harapan gejala dapat

dihilangkan. Obat-obat yang digunakan untuk rinitis pada umumnya diberikan

intranasal atau oral.

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja

secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat

farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis

alergi. Antihistamin diabsorbsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif

untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal,

tetapi tidak efektif untuk mengatasi obstruksi hidung pada fase lambat.

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai

dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi denfgan antihistamin atau

topikal. Namun pemakaian secara topiukal hanya boleh untuk beberapa hari saja

untuk menghindari terjadinya rinitis alergi medikamentosa.

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat respons fase

lambat tidak dapat diatasi dengan obat lain. Kortikosteroid topikal bekerja untuk

mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran

protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit.

Preparat antikolinergik topikal bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena

aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor. Pengobatan baru

lainnya untuk rinitis alergi di masa yang akan datang adalah anti leukotrien, anti

IgE, DNA rekombinan.

22

Page 23: Anestesi Pada Pasien Hipertensi By Hafiz Ibrahim

Obat-obat tidak memiliki efek jangka panjang setelah dihentikan. Karenanya

pada penyakit yang persisten, diperlukan terapi pemeliharaan.

c. Imunoterapi spesifik

Imunoterapi spesifik efektif jika diberikan secara optimal. Imunoterapi

subkutan masih menimbulkan pertentangan dalam efektifitas dan keamanan.

Oleh karena itu, dianjurkan penggunaan dosis optimal vaksin yang diberi label

dalam unit biologis atau dalam ukuran masa dari alergen utama. Dosis

optimal untuk sebagian besar alergen utama adalah 5 sampai 20 g.

Imunoterapi subkutan harus dilakukan oleh tenaga terlatih dan penderita

harus dipantau selama 20 menit setelah pemberian subkutan.

Indikasi imunoterapi spesifik subkutan

- Penderita yang tidak terkontrol baik dengan farmakoterapi

konvensional

- Penderita yang gejala-gejalanya tidak dapat dikontrol baik dengan

antihistamin H1 dan farmakoterapi

- Penderita yang tidak menginginkan farmakoterapi

- Penderita dengan farmakoterapi yang menimbulkan efek samping

yang tidak diinginkan

- Penderita yang tidak ingin menerima terapi farmakologis jangka

panjang.

Imunoterapi spesifik nasal dan sublingual dosis tinggi-imunoterapi spesifik

oral

- Dapat digunakan dengan dosis sekurang-kurangnya 50-100 kali lebih

besar dari pada yang digunakan untuk imunoterapi subkutan.

- Pada penderita yang mempunyai efek samping atau menolak

imunoterapi subkutan

- Indikasinya mengikuti indikasi dari suntikan subsukatan

Pada anak-anak, imunoterapi spesifik adalah efektif. Namun tidak

direkomendasikan untuk melakukan imunoterapi pada anak dibawah umur 5

tahun.

d. Imunoterapi non-spesifik

Imunoterapi non-spesifik menggunakan steroid topikal. Hasil akhir sama

seperti pengobatan imunoterapi spesifik-alergen konvensional yaitu sama-

23

Page 24: Anestesi Pada Pasien Hipertensi By Hafiz Ibrahim

sama mampu menekan reaksi inflamasi, namun ditinjau dari aspek

biomolekuler terdapat mekanisme yang sangat berbeda.

Glukokortikosteroid (GCSs) berikatan dengan reseptor GCS yang berada

di dalam sitoplasma sel, kemudian menembus membran inti sel dan

mempengaruhi DNA sehingga tidak membentuk mRNA. Akibat selanjutnya

menghambat produksi sitokin pro-inflammatory.

e. Edukasi

Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani telah diketahui

berkhasiat dalam menurunkan gejala alergis. Mekanisme biomolekulernya

terajadi pada peningkatan populasi limfosit TH yang berguna pada

penghambatan reaksi alergis, serta melalui mekanisme

imunopsikoneurologis.

f. Operatif

Tindakan bedah dilakukan sebagai tindakan tambahan pada beberapa

penderita yang sangat selektif. Seperti tindakan konkotomi (pemotongan

konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak

berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau triklor

asetat. Pada kasus ini,yang dipilih untuk pasien adalah tindakan konkotomi.

24

Page 25: Anestesi Pada Pasien Hipertensi By Hafiz Ibrahim

BAB 4 KESIMPULAN

Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai, dengan angka penderita

yang cukup tinggi. Hipertensi sendiri merupakan faktor risiko mayor yang bisa

menyebabkan terjadinya komplikasi seperti penyakitpenyakit jantung, serebral, ginjal

dan vaskuler. Mengingat tingginya angka kejadian dan komplikasi yang bisa

ditimbulkan oleh penyakit hipertensi ini, maka perlu adanya pemahaman para ahli

anestesia dalam manajemen selama periode perioperatif. Manajemen perioperatif

dimulai sejak evaluasi prabedah, selama operasi dan dilanjutkan sampai periode

pasca bedah. Evaluasi prabedah sekaligus optimalisasi keadaan penderita sangat

penting dilakukan untuk meminimalkan terjadinya komplikasi, baik yang terjadi

selama intraoperatif maupun yang terjadi pada pascapembedahan. Goncangan

hemodinamik mudah terjadi, baik berupa hipertensi maupun berupa hipotensi, yang

bisa menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi. Hal ini harus diantisipasi dengan

perlunya pemahaman tentang teknik anestesia yang benar, manajemen cairan

perioperatif, pengetahuan farmakologi obat-obat yang digunakan, baik obat-obatan

antihipertensi maupun obatobatan anestesia serta penanganan nyeri akut yang

adekuat. Dengan manajemen perioperatif yang benar terhadap penderita-penderita

hipertensi yang akan menjalani pembedahan, diharapkan bisa menurunkan atau

meminimalkan angka morbiditas maupun mortalitas.

25

Page 26: Anestesi Pada Pasien Hipertensi By Hafiz Ibrahim

DAFTAR PUSTAKA

1. Murray MJ. Perioperative hypertension: evaluation and management; Available at: http://www.anesthesia.org.cn/asa2002/rcl.source/512Murray.pdf

2. The seventh report of Joint National Committee on Prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure, NIH publication No.03- 5233, December 2003.

3. Morgan GE, Michail MS, Murray MJ. Anesthesia for patients with cardiovaskular disease. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York: McGraw-Hill; 2006.p.444-52.

4. Perez-Stable EJ. Management of mild hypertension- selecting an antihypertensive regimen. West J Med 1991;154:78-87.

5. Yao FSF, Ho CYA. Hypertension. Anesthesiologyproblem oriented patient manajement. 5th ed. Philadelphia: Elsevier; 2003.p.337-57.

6. Anderson FL, Salgado LL, Hantler CB. Perioperative hypertension (HTN). Decision making in anesthesiology-an algorithmic approach. 4th ed. Philadhelpia: Elsevier; 2007.p.124-6.

7. Kuwajerwala NK. Perioperative medication management; Available at: http://www. emedicine.com/MED/ topic3158.htm..

8. Neligan P. Hypertension and anesthesia; Available at: http://www.4um.com/ tutorial/anaesthbp.htm.

9. Benowitz NL. Antihypertensive agentcardiovaskular- renal drugs. In: Katzung BG, editor. Basic and clinical pharmacology. 9th ed. New York: McGraw-Hill; 2004.p.160-83.

10. Wallace MC, Haddadin AS. Systemic and pulmonary arterial hypertension. In: Hines RL, Marschall KE, editors. Stoelting �s anesthesia and co-existing disease. 5th ed. Philadelphia: Elsevier; 2008.p.87-102.

11. Stier GR. Preoperative evaluation and testing. In: Hines RL, editor. Adult perioperative anesthesiathe requisites in anesthesiology. Philadelphia: Elsevier; 2004.p.3-82.

12. Dix P, Howell S. Survey of cancellation rate of hypertensive patient undergoing anesthesia and elective surgery. British Journal of Anesthesia 2001;86(6):789-93.

13. Kaplan NM. Perioperative management of hypertension. In: Aronson MD, Bakris GL. editors. Available at: www.uptodate.com.

14. Laslett L. Hypertension-preoperative assesment and perioperative management. West J Med 1995;162:215-9.

26

Page 27: Anestesi Pada Pasien Hipertensi By Hafiz Ibrahim

15. Hanada, et al. Anesthesia and medical disease-hypertension and anesthesia. Current Opinion in Anesthesiology 2006;19(3):315-9.

16. Howell SJ, Foex P. Hypertension, hypertensive heart disease and perioperative cardiac risk. British Journal of Anesthesia 2004;92(4):570-83.

17. Paix AD, et al. Crisis management during anesthesia: hypertension. Qual Saf Health Care 2005;14:e12.

18. Barisin S, et al. Perioperatif blood pressure control in hypertensive and normotensive patient undergoing off-pump coronary bypass grafting. Croat Med J 2007;48:341-7.

19. Common problem in the cardiac surgery recovery unit in perioperative care. In: Cheng DCH, David TE, editors. Cardiac anesthesia and surgery. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.p.1178-22.

20. Hypertensive emergencies. Available at: www.ehs.egypt.net/pdf/11-guideline.pdf.

21. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke lima.

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004.

22. Adams G., Boies L., Higler P. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam. Penerbit

Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 1997.

23. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Edisi ke delapan.

McGrawl-Hill. 2003.

24. Becker, W., Naumann, H., Pfaltz, C. Ear, Nose, and Throat Disease. Edisi ke

dua. Thieme. New York:1994.

27