Anestesi Pada Pasien Hipertensi By Hafiz Ibrahim
-
Upload
hafiz-ibrahim -
Category
Documents
-
view
868 -
download
34
description
Transcript of Anestesi Pada Pasien Hipertensi By Hafiz Ibrahim
Anestesi Pada Pasien Hipertensi
Bab 1
PENDAHULUAN
Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai.Diperkirakan satu dari empat
populasi dewasa di Amerika atau sekitar 60 juta individu dan hampir 1 milyar
penduduk dunia menderita hipertensi, dengan mayoritas dari populasi ini
mempunyai risiko yang tinggi untuk mendapatkan komplikasi kardiovaskuler.1-4
Data yang diperoleh dari Framingham Heart Study menyatakan bahwa prevalensi
hipertensi tetap akan meningkat meskipun sudah dilakukan deteksi dini dengan
dilakukan pengukuran tekanan darah (TD) secara teratur. Pada populasi berkulit
putih ditemukan hampir 1/5 mempunyai tekanan darah sistolik (TDS) lebih besar dari
160/95 mmHg dan hampir separuhnya mempunyai TDS lebih besar dari 140/90
mmHg. Prevalensi hipertensi tertinggi ditemukan pada populasi bukan kulit putih.2,5
Hipertensi yang tidak terkontrol yang dibiarkan lama akan mempercepat terjadinya
arterosklerosis dan hipertensi sendiri merupakan faktor risiko mayor terjadinya
penyakit-penyakit jantung, serebral, ginjal dan vaskuler.3 Pengendalian hipertensi
yang agresif akan menurunkan komplikasi terjadinya infark miokardium, gagal
jantung kongestif, stroke, gagal ginjal, penyakit oklusi perifer dan diseksi aorta,
sehingga morbiditas dapat dikurangi.3,6 Konsekuensi dari penggunaan obatobat
antihipertensi yang rutin mempunyai potensi terjadinya interaksi dengan obat-obat
yang digunakan selama pembedahan. Banyak jenis obat-obatan yang harus tetap
dilanjutkan selama periode perioperatif, dimana dosis terakhir diminum sampai
dengan 2 jam sebelum prosedur pembedahan dengan sedikit air dan dilanjutkan
kembali pada saat pemulihan dari pengaruh anestesia.7 Tingginya angka penderita
hipertensi dan bahayanya komplikasi yang bisa ditimbulkan akibat hipertensi ini
menyebabkan pentingnya pemahaman para ahli anestesia dalam manajemen
selama periode perioperatif. Periode perioperatif dimulai dari hari dimana
dilakukannya evaluasi prabedah, dilanjutkan periode selama pembedahan sampai
pemulihan pasca bedah.1,7
1
Kasus
1.1 IDENTITAS
Nama : Nn. R (123510)
Umur : 39 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Bidasari 2B-26
Agama : Islam
Tanggal operasi : 1 May 2010
1.2 ANAMNESIS (Alloanamnesa)
1.2.1 Keluhan Utama
Hidung mampet sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit
1.2.2 Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke poliklinik THT dengan keluhan hidung mampet, sesak
napas sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien sering bersin-bersin
setiap pagi, pusing dan menjalar ke atas kepala. Bersin disertai dengan
sekret berwarna jernih dan sedikit encer. Saat ini keluhan makin berat. Pasien
sering mengeluh hidung tersumbat dan apabila tidur diberitahu suaminya
bahwa pasien sering ngorok.
1.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat alergi obat -, riwayat penyakit infeksi kronis –
1.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami penyakit yang sama.
1.2.5 Riwayat pengobatan
Pasien tidak pernah dirawat di rumah sakit dan tidak pernah mengalami
operasi.
1.3 PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran : CM, tampak sakit sedang
Tanda vital :
Tekanan darah: 169/112 mmHg
Nadi : 80x/menit
RR : 18 x/menit
Suhu : afebris
2
Kepala : konjungtiva anemis - /-, Sklera ikterik -/-,
Telinga : normotia
Mulut : Gigi geligi tidak ada kelainan, mukosa mulut normal, massa (-)
Hidung : mukosa hidung normal, epitaksis (-), massa (-)
Leher : KGB dan tiroid tidak teraba membesar, massa (-)
Jantung : SI SII normal, regular, Murmur -, Gallop –
Paru : Suara nafas vesikuler kanan kiri, Ronchi - / -, Wheezing - / -
Perut : datar, soepel, Bu + Normal, NT -, udema -, hepat dan lien tidak teraba
membesar
Ekstremitas : akral hangat, motorik N, reflex N
Status THT :
Telinga : Dalam batas normal
Hidung : Septum deviasi –
Sekret –
Hiperemis
Konka membesar
Tenggorokan : Uvula normal
Tonsil normal
Hiperemis
1.4 DIAGNOSIS
Hipertrofi konka et causa Rinitis Allergi
1.5 TINDAKAN
Pada pasien, tindakan yang dilakukan adalah konkotomi yaitu pemotongan konka
inferior dengan cara kauterisasi. Operasi dilakukan oleh dr Teppy Sp THT pada
tanggal 1 Mei 2010 di kamar operasi RS Otorita Batam.
3
1.6 LAPORAN ANESTESI
Pasien, Ny. R, 39 tahun, datang ke ruang operasi untuk menjalani operasi
elektif konkotomi pada tanggal 1 Mei 2010 dengan menggunakan General Anestesi
dengan pemasangan endotrakeal tube non kinking. Posisi pasien saat operasi
dalam posisi terlentang. Dengan dokter anestesi adalah dr. Gusno Sp.An dan
operatornya dr. Teppy, Sp.THT. Operasi berlangsung dari jam 1345 – 1442 dengan
lama operasi selama 57 menit. Anestesi menggunakan recofol, 02-N20-sevoflurane
dengan relaksasi menggunakan Tramus.
Dilakukan pemasangan alat-alat anestesi seperti tensimeter, elektroda EKG,
oksimetri dan pada pasien ini telah dilakukan pemasangan IV line. Keadaan umum
pasien sebelum operasi compos mentis, dengan nadi 80 x/menit, suhu afebris, tensi
169/112mmHg, saturasi oksigen 98% dan mempunyai berat badan 79 kg. Pada
pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan kelainan yang berarti. Sebelum dilakukan
intubasi, persiapan alat-alat anestesi telah disediakan. Setelah semuanya
dipersiapkan, premedikasi dimasukkan pada jam 1250 dengan menggunakan
Sedacum sebagai obat sedasi dan untuk menenangkan pasien. Kemudian pasien
diberikan Catapres 150mcg dengan tujuan untuk menurunkan tekanan darah pasien.
Setelah pemberian Catapres, tensi pasien menurun ke 135/95 mmHg. Pada jam
1315, pasien diberikan Fentanyl 50 mcg yang merupakan obat opioid yang bersifat
analgesic dan bisa bersifat induksi pada pemberian dosis tinggi dan juga diberikan
kliran 4mg dengan tujuan untuk mengurangkan keluhan mual dan muntah pada
pasien.
Pada jam 1315, pasien ini diberikan pelemas otot berupa Tramus 30 mg
untuk merelaksasikan otot-otot pernapasan sehingga pasien apnoe. Pada waktu
yang sama pasien diberikan recofol sebanyak 100 mg sebagai anestesi intravena.
Setelah itu pasien disungkupkan dengan sungkup muka yang telah terpasang pada
mesin anestesi yang menghantarkan gas (sevoflurane) dengan ukuran 3 vol%
dengan fresh flow gas yaitu oksigen dan N20 dengan perbandingan 1:1 dari mesin
ke jalan napas pasien sambil melakukan bagging selama kurang lebih 3 menit untuk
menekan pengembangan paru dan juga menunggu kerja dari pelemas otot sehingga
mempermudah dilakukannya intubasi. Penggunaan sevofluran disini dipilih karena
sevofluran mempunyai efek induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding
dengan gas lain, dan baunya pun lebih harum dan tidak merangsang jalan napas
sehingga digemari untuk induksi anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek
4
terhadap kardiovaskular pun relatif stabil dan jarang menyebabkan aritmia. Setelah
pasien di intubasi, dengan menggunakan ETT non kinking no 7 dengan cuff, maka
dialirkan sevofluran 3 vol%, oksigen dan N20 sekitar 1000 ml/menit(1:1) sebagai
anestesi rumatan. Ventilasi dilakukan dengan bagging dengan laju napas 12 x/ menit
dengan volume tidal sebesar 650.
Pada jam 1325, pasien diberikan Transamin 500mg dengan tujuan untuk
mengontrol perdarahan. Operasi dimulakan pada jam 1345 dan pasien dimonitor
semua tanda-tanda vitalnya sepanjang operasi berlangsung. Dexametason 5mg
juga diberikan ketika operasi hampir selesai. Ketika operasi mulai berakhir, pada
pukul 1440, konsentrasi sevoflurane diturunkan menjadi 1 vol%. Operasi selesai
pada jam 1442 dengan tensi 90/65 mmHg, nadi 76 kali per menit dan saturasi
oksigen pada 99%. Dan pada pukul 1450 apabila napas pasien sudah spontan dan
adekuat, sevoflurane di dihentikan.Total cairan yang diberikan pada pasien ini
sejumlah 1000cc berupa 500cc Asering dan 500cc Haemaccel dengan perdarahan
pada operasi ini sangat minimal.
5
BAB 2 HIPERTENSI DAN ANESTESI
2.1 DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI HIPERTENSI
Diagnosis suatu keadaan hipertensi dapat ditegakkan bila ditemukan adanya
peningkatan tekanan arteri diatas nilai normal yang diperkenankan berdasarkan
umur, jenis kelamin dan ras. Batas atas tekanan darah normal yang diijinkan adalah
sebagai berikut :
Dewasa 140/90 mmHg
Dewasa muda (remaja) 100/75 mmHg
Anak usia prasekolah 85/55 mmHg
Anak < 1 tahun (infant) 70/45 mmHg
Menurut The Joint National Committee 7 (JNC 7) on prevention, detection,
evaluation, and treatment of high blood pressure tahun 2003, klasifikasi hipertensi
dibagi atas prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan 2 (lihat tabel 1).
Tabel 1. Klasifikasi hipertensi menurut JNC 72
Klasifikasi di atas untuk dewasa 18 tahun ke atas. Hasil pengukuran TD
dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk posisi dan waktu pengukuran, emosi,
aktivitas, obat yang sedang dikonsumsi dan teknik pengukuran TD. Kriteria
ditetapkan setelah dilakukan 2 atau lebih pengukuran TD dari setiap kunjungan dan
6
adanya riwayat peningkatan TD darah sebelumnya.3 Penderita dengan klasifikasi
prehipertensi mempunyai progresivitas yang meningkat untuk menjadi hipertensi.
Nilai rentang TD antara 130-139/80-89 mmHg mempunyai risiko 2 kali berkembang
menjadi hipertensi dibandingkan dengan nilai TD yang lebih rendah dari nilai itu.2 Di
samping itu klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya, dapat dibagi dalam 2
penyebab dasar, yaitu sebagai berikut:5,8
1. Hipertensi primer (esensial, idiopatik).
2. Hipertensi sekunder:
A. Hipertensi sistolik dengan tekanan nadi melebar:
Regurgitasi aorta, tirotoksikosis, PDA.
B. Hipertensi sistolik dan diastolik dengan peningkatan SVR:
Renal: glomerulonefritis akut dan kronis, pyelonefritis, polikistik ginjal,
stenosis arteri renalis.
Endokrin: Sindroma Chusing, hiperplasia adrenal congenital, sindroma Conn
(hiperaldosteronisme primer), phaeochromacytoma, hipotiroidisme.
Neurogenik: peningkatan TIK, psikis (White Coat Hypertension), porfiria akut,
tanda-tanda keracunan.
Penyebab lain: coarctation dari aorta, polyarteritis nodosa, hiperkalsemia,
peningkatan volume intravaskuler (overload).
2.2 PATOGENESIS TERJADINYA HIPERTENSI
Hanya berkisar 10-15% kasus hipertensi yang diketahui penyebabnya secara
spesifik. Hal ini penting menjadi bahan pertimbangan karena beberapa dari kasus-
kasus hipertensi tersebut bisa dikoreksi dengan terapi definitif pembedahan, seperti
penyempitan arteri renalis, coarctation dari aorta, pheochromocytoma, cushing’s
disease, akromegali, dan hipertensi dalam kehamilan. Sedangkan hipertensi yang
tidak diketahui penyebabnya sering disebut sebagai hipertensi esensial. Hipertensi
esensial menduduki 80-95% dari kasus-kasus hipertensi.1,3,9,10 Secara umum
hipertensi selalu dihubungkan dengan ketidaknormalan peningkatan aktivitas
simpatis, yaitu terjadi peningkatan baseline dari curah jantung (CO), seperti pada
keadaan febris, hipertiroidisme atau terjadi peningkatan resistensi pembuluh darah
perifer (SVR) atau kedua-duanya. Peningkatan SVR merupakan penyebab
hipertensi pada mayoritas penderita hipertensi.1,3 Pola perkembangan terjadinya
7
hipertensi, awalnya CO meningkat, tetapi SVR dalam batas-batas normal. Ketika
hipertensi semakin progresif, CO kembali normal tetapi SVR meningkat menjadi
tidak normal. Afterload jantung yang meningkat secara kronis menghasilkan LVH
(left ventricle hypertrophy) dan merubah fungsi diastolik. Hipertensi juga merubah
autoregulasi serebral sehingga cerebral blood flow (CBF) normal untuk penderita
hipertensi dipertahankan pada tekanan yang tinggi.3 Tekanan darah berbanding
lurus dengan curah jantung dan SVR, dimana persamaan ini dapat dirumuskan
dengan menggunakan hukum Law, yaitu:1,9
BP = CO x SVR
Secara fisiologis TD individu dalam keadaan normal ataupun hipertensi,
dipertahankan pada CO atau SVR tertentu. Secara anatomik ada 3 tempat yang
mempengaruhi TD ini, yaitu arterial, vena-vena post kapiler (venous capacitance)
dan jantung. Sedangkan ginjal merupakan faktor keempat lewat pengaturan volume
cairan intravaskuler (gambar 1). Hal lain yang ikut berpengaruh adalah baroreseptor
sebagai pengatur aktivitas saraf otonom, yang bersama dengan mekanisme
humoral, termasuk sistem rennin-angiotensin-aldosteron akan menyeimbangkan
fungsi dari keempat tersebut. Faktor terakhir adalah pelepasan hormon-hormon lokal
yang berasal dari endotel vaskuler dapat juga mempengaruhi pengaturan SVR.
Sebagai contoh, nitrogen oksida (NO) berefek vasodilatasi dan endotelin-1 berefek
vasokonstriksi.9
2.3 FARMAKOLOGI DASAR OBAT-OBATANTIHIPERTENSI
Obat antihipertensi bekerja pada reseptor tertentu yang tersebar dalam
tubuh.8,9 Kategori obat antihipertensi dibagi berdasarkan mekanisme atauprinsip
kerjanya, yaitu:
1. Diuretika, menurunkan TD dengan cara mengurangi natrium tubuh dan volume
darah, sehingga CO berkurang. Contohnya: golongan thiazide, loop diuretics.
2. Golongan simpatolitik / simpatoplegik, menurunkan TD dengan cara
menumpulkan refleks arkus simpatis sehingga menurunkan resistensi pembuluh
darah perifer, menghambat fungsi kardiak, meningkatkan pengisian vena sehingga
terjadi penurunan CO. Contohnya: beta dan alpha blocker, methyldopa dan
8
clonidine, ganglion blocker, dan post ganglionic symphatetic blocker (reserpine,
guanethidine).
3. Vasodilator langsung, menurunkan TD dengan cara relaksasi otot-otot polos
vaskuler. Contoh: nitroprusside, hydralazine, calcium channel blocker.
4. Golongan penghambat produksi atau aktivitas Angiotensin, penghambatan ini
menurunkan resistensi perifer dan volume darah, yaitu dengan menghambat
angiotensin I menjadi angiotensin II dan menghambat metabolisme dari bradikinin.
2.4 MANAJEMEN PERIOPERATIF PENDERITA HIPERTENSI
2.4.1 Penilaian Preoperatif dan Persiapan Preoperatif Penderita Hipertensi
Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan
menjalani prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus dicari,
yaitu:10,11
Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensinya.
Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah
terjadi.
Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita.
Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi,
untuk prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi.
Semua data-data di atas bisa didapat dengan melakukan anamnesis riwayat
perjalanan penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan prosedur
diagnostik lainnya.2,11 Penilaian status volume cairan tubuh adalah menyangkut
apakah status hidrasi yang dinilai merupakan yang sebenarnya ataukah suatu relatif
hipovolemia (berkaitan dengan penggunaan diuretika dan vasodilator). Disamping itu
penggunaan diuretika yang rutin, sering menyebabkan hipokalemia dan
hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya
aritmia.5,11,12 Untuk evaluasi jantung, EKG dan x-ray toraks akan sangat
membantu. Adanya LVH dapat menyebabkan meningkatnya risiko iskemia
miokardial akibat ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Untuk
evaluasi ginjal, urinalisis, serum kreatinin dan BUN sebaiknya diperiksa untuk
memperkirakan seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal. Jika ditemukan ternyata
9
gagal ginjal kronis, maka adanya hiperkalemia dan peningkatan volume plasma
perlu diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat adanya stroke atau TIA
dan adanya retinopati hipertensi perlu dicatat.5 Tujuan pengobatan hipertensi adalah
mencegah komplikasi kardiovaskuler akibat tingginya TD, termasuk penyakit arteri
koroner, stroke, CHF, aneurisme arteri dan penyakit ginjal. Diturunkannya TD secara
farmakoligis akan menurunkan mortalitas akibat penyakit jantung sebesar 21%,
menurunkan kejadian stroke sebesar 38%, menurunkan penyakit arteri
koronariasebesar 16%.11
2.4.2 Pertimbangan Anestesia Penderita Hipertensi
Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya
yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaan
anestesia dan operasi.12,13 Namun banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110
atau 115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia atau
operasi kecuali operasi emergensi.11,12 Kenapa TD diastolik (TDD) yang dijadikan
tolak ukur, karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat seiring dengan
pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai perubahan
fisiologik dibandingkan patologik. Namun beberapa ahli menganggap bahwa
hipertensi sistolik lebih besar risikonya untuk terjadinya morbiditas kardiovaskuler
dibandingkan hipertensi diastolik. Pendapat ini muncul karena dari hasil studi
menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi sistolik dapat
menurunkan risiko terjadinya stroke dan MCI pada populasi yang berumur tua.
Dalam banyak uji klinik, terapi antihipertensi pada penderita hipertensi akan
menurunkan angka kejadian stroke sampai 35%-40%, infark jantung sampai 20-25%
dan angka kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50%. 2,12 Menunda
operasi hanya untuk tujuan mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi khususnya
pada pasien dengan kasus hipertensi yang ringan sampai sedang. Namun
pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan hemodinamik,
karena hemodinamik yang labil mempunyai efek samping yang lebih besar terhadap
kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensinya itu sendiri. Penundaan
operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya kerusakan target organ
sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum operasi.15 The American
Heart Association / American College of Cardiology (AHA/ACC) mengeluarkan
10
acuan bahwa TDS _ 180 mmHg dan/atau TDD _ 110 mmHg sebaiknya dikontrol
sebelum dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada keadaan
operasi yang sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam beberapa menit sampai
beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi yang bersifat rapid acting.16
Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung mempunyai respon TD yang
berlebihan pada periode perioperatif. Ada 2 fase yang harus menjadi pertimbangan,
yaitu saat tindakan anestesia dan postoperasi. Contoh yang sering terjadi adalah
hipertensi akibat laringoskopi dan respons hipotensi akibat pemeliharaan anestesia.
Pasien hipertensi preoperatif yang sudah dikontrol tekanan darahnya dengan baik
akan mempunyai hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol
dengan baik..11,13,14
2.4.3 Perlengkapan Monitor
Berikut ini ada beberapa alat monitor yang bisa kita gunakan serta maksud dan
tujuan penggunaanya:5
EKG: minimal lead V5 dan II atau analisis multipel lead ST, karena pasien
hipertensi punya risiko tinggi untuk mengalami iskemia miokard.
TD: monitoring secara continuous TD adalah esensial kateter Swan-Ganz:
hanya digunakan untuk penderita hipertensi dengan riwayat CHF atau MCI
berulang.
Pulse oxymeter: digunakan untuk menilai perfusi dan oksigenasi jaringan
perifer.
Analizer end-tidal CO2: Monitor ini berguna untuk membantu kita
mempertahankan kadar CO2.
Suhu atau temperature.
2.4.4 Premedikasi
Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita hipertensi.
Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa menggunakan
ansiolitik seperti golongan benzodiazepin atau midazolam. Obat antihipertensi tetap
dilanjutkan sampai pada hari pembedahan sesuai jadwal minum obat dengan sedikit
11
air non partikel. Beberapa klinisi menghentikan penggunaan ACE inhibitor dengan
alasan bisa terjadi hipotensi intraoperatif.
2.4.5 Induksi Anestesi
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan
hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun
saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi
perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga
preloading cairan penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum
induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena
efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi
oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker.3,8,10
Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan
intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan dapat menyebabkan
iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi
endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah 15
detik dapat membantu meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa
teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk
menghindari terjadinya hipertensi.3,10
Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5-
10 menit.
Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25
mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0,5-1
mikrogram/ kgbb).
Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea.
Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb,
propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).
Menggunakan anestesia topikal pada airway.
Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi adalah bervariasi untuk
masing-masing klinisi. Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan etomidat tingkat
12
keamanannya adalah sama untuk induksi pada penderita hipertensi.3 Untuk
pemilihan pelumpuh otot vekuronium atau cis-atrakurium lebih baik dibandingkan
atrakurium atau pankuronium. Untuk volatile, sevofluran bisa digunakan sebagai
obat induksi secara inhalasi.8,10
2.4.6 Pemeliharaan Anestesia dan Monitoring
Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan
anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi TD yang terlalu lebar.
Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah sama
pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode preoperatif.10 Pada
hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran kekanan autoregulasi dari serebral
dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini akan mudah terjadi penurunan
aliran darah serebral dan iskemia serebral jika TD diturunkan secara tiba-tiba. Terapi
jangka panjang dengan obat antihipertensi akan menggeser kembali kurva
autregulasi kekiri kembali ke normal. Dikarenakan kita tidak bisa mengukur
autoregulasi serebral sehingga ada beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan,
yaitu:8
Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal
yang dianjurkan untuk penderita hipertensi.
Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala
hipoperfusi otak.
Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian
stroke.
Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal, kurang lebih sama
dengan yang terjadi pada serebral.
Anestesia aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan
memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia dengan
volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan N2O), anestesia imbang (balance
anesthesia) dengan opioid + N2O + pelumpuh otot, atau anestesia total intravena
bisa digunakan untuk pemeliharaan anestesia.3 Anestesia regional dapat
dipergunakan sebagai teknik anesthesia, namun perlu diingat bahwa anestesia
regional sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan
13
pada pasien dengan keadaan hipovolemia.10 Jika hipertensi tidak berespon
terhadap obat-obatan yang direkomendasikan, penyebab yang lain harus
dipertimbangkan seperti phaeochromacytoma, carcinoid syndrome dan tyroid
storm.17 Kebanyakan penderita hipertensi yang menjalani tindakan operasi
tidak memerlukan monitoring yang khusus. Monitoring intra-arterial secara langsung
diperlukan terutama jenis operasi yang menyebabkan perubahan preload dan
afterload yang mendadak. EKG diperlukan untuk mendeteksi terjadinya iskemia
jantung. Produksi urine diperlukan terutama untuk penderita yang mengalami
masalah dengan ginjal, dengan pemasangan kateter urine, untuk operasi-operasi
yang lebih dari 2 jam. Kateter vena sentral diperlukan terutama untuk memonitoring
status cairan pada penderita yang mempunyai disfungsi ventrikel kiri atau adanya
kerusakan end organ yang lain.3,10
2.4.7 Hipertensi Intraoperatif
Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga pada
periode anestesia maupunsaat pasca bedah.13 Hipertensi intraoperatif yang tidak
berespon dengan didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan antihipertensi
secara parenteral (lihat tabel 2), namun faktor penyebab bersifat reversibel atau bisa
diatasi seperti anestesia yang kurang dalam, hipoksemia atau hiperkapnea harus
disingkirkan terlebih dahulu.3
Tabel 2. Antihipertensi parenteral untuk mengatasi hipertensi akut3
14
Pemilihan obat antihipertensi tergantung dari berat, akut atau kronik,
penyebab hipertensi, fungsi baseline ventrikel, heart rate dan ada tidaknya penyakit
bronkospastik pulmoner dan juga tergantung dari tujuan dari pengobatannya atau
efek yang diinginkan dari pemberian obat tersebut (lihat tabel 3).3,19 Berikut ini
ada beberapa contoh sebagai dasar pemilihan obat yang akan digunakan:3
Beta-adrenergik blockade: digunakan tunggal atau tambahan pada pasien
dengan fungsi ventrikuler yang masih baik dan dikontra indikasikan pada
bronkospastik.
Nicardipine: digunakan pada pasien dengan penyakit bronkospastik.
Nifedipine: refleks takikardia setelah pemberian sublingual sering
dihubungkan dengan iskemia miokard dan antihipertensi yang mempunyai
onset yang lambat.
Nitroprusside: onset cepat dan efektif untuk terapi intraoperatif pada
hipertensi sedang sampai berat.
Nitrogliserin: mungkin kurang efektif, namun bisa digunakan sebagai terapi
atau pencegahan iskemia miokard.
15
Fenoldopam: dapat digunakan untuk mempertahankan atau menjaga fungsi
ginjal.
Hydralazine: bisa menjaga kestabilan TD, namun obat ini juga punya onset
yang lambat sehingga menyebabkan timbulnya respon takikardia.
2.4.8 Krisis Hipertensi
Dikatakan krisis hipertensi jika TD lebih tinggi dari 180/120 mmHg dan dapat
dikategorikan dalam hipertensi urgensi atau hipertensi emergensi, berdasarkan
ada tidaknya ancaman kerusakan target organ atau kerusakan target organ yang
progresif. Pasien dengan hipertensi sistemik kronis dapat mentoleransi TDS yang
lebih tinggi dibandingkan individu yang sebelumnya normotensif dan lebih mungkin
mengalami hipertensi yang sifatnya urgensi dibandingkan emergensi.10 Hal-hal
yang paling sering menimbulkan krisis hipertensi adalah antara lain karena
penggunaan obat antihipertensi seperti clonidine, hiperaktivitas autonom, obat-obat
penyakit kolagen-vaskuler, glomerulonefritis akut, cedera kepala, neoplasia seperti
pheokromasitoma, preeclampsia dan eklampsia. Manifestasi klinis yang timbul
adalah sesuai dengan target organ yang rusak akibat hipertensi ini.8 Krisis
hipertensi terbagi atas hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi. Hipertensi
emergensi adalah pasien dengan bukti adanya kerusakan target organ yang sedang
terjadi atau akut (ensefalopati, perdarahan intra serebral, kegagalan ventrikel kiri
akut dengan edema paru, unstable angina, diseksi aneurisme aorta, IMA, eclampsia,
16
anemia hemolitik mikro angiopati atau insufisiensi renal) yang memerlukan intervensi
farmakologi yang tepat untuk menurunkan TD sistemik. Ensefalopati jarang terjadi
pada pasien dengan hipertensi kronis sampai TDD melebihi 150 mmHg sedangkan
pada wanita hamil yang mengalami hipertensi dapat mengalami tanda-tanda
ensefalopati pada TDD < 100 mmHg. Sehingga walaupun tidak ada gejala, wanita
hamil dengan TDD > 109 mmHg dianggap sebagai hipertensi emergensi dan
memerlukan terapi segera. Bila TD diturunkan secara cepat akan terjadi iskemia
koroner akut, sehingga MAP diturunkan sekitar 20% dalam 1 jam pertama,
selanjutnya pelan-pelan diturunkan sampai160/110 selama 2-6 jam. Tanda-tanda
penurunan TD ditoleransi dengan baik adalah selama fase ini tidak ada tanda-tanda
hipoperfusi target organ.8,10,20 Hipertensi urgensi adalah situasi dimana TD
meningkat tinggi secara akut, namun tidak ada bukti adanya kerusakan target organ.
Gejala yang timbul dapat berupa sakit kepala, epitaksis atau ansietas. Penurunan
TD yang segera tidak merupakan indikasi dan pada banyak kasus dapat ditangani
dengan kombinasi antihipertensi oral bertahap dalam beberapa hari.10,20
2.4.9 Manajemen Postoperatif
Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasien
yang menderita hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan kebutuhan
oksigen miokard sehingga berpotensi menyebabkan iskemia miokard, disritmia
jantung dan CHF. Disamping itu bisa juga menyebabkan stroke dan perdarahan
ulang luka operasi akibat terjadinya disrupsi vaskuler dan dapat berkonstribusi
menyebabkan hematoma pada daerah luka operasi sehingga menghambat
penyembuhan luka operasi.3,10 Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi ada
banyak faktor, disamping secara primer karena penyakit hipertensinya yang tidak
teratasi dengan baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem respirasi, nyeri,
overload cairan atau distensi dari kandung kemih. Sebelum diputuskan untuk
memberikan obat-obat antihipertensi, penyebab-penyebab sekunder tersebut harus
dikoreksi dulu.3 Nyeri merupakan salah satu faktor yang paling berkonstribusi
menyebabkan hipertensi pasca operasi, sehingga untuk pasien yang berisiko, nyeri
sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan morfin epidural secara infus
kontinyu. Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah teratasi, maka
intervensi secara farmakologi harus segera dilakukan dan perlu diingat bahwa
17
meskipun pasca operasi TD kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudah
mempunyai riwayat hipertensi, sebaiknya obat antihipertensi pasca bedah tetap
diberikan.14 Hipertensi pasca operasi sebaiknya diterapi dengan obat antihipertensi
secara parenteral misalnya dengan betablocker yang terutama digunakan untuk
mengatasi hipertensi dan takikardia yang terjadi. Apabila penyebabnya karena
overload cairan, bisa diberikan diuretika furosemid dan apabila hipertensinya disertai
dengan heart failure sebaiknya diberikan ACE-inhibitor. Pasien dengan iskemia
miokard yang aktif secara langsung maupun tidak langsung dapat diberikan
nitrogliserin dan beta-blocker secara intravena sedangkan untuk hipertensi berat
sebaiknya segera diberikan sodium nitroprusside.13 Apabila penderita sudah bisa
makan dan minum secara oral sebaiknya antihipertensi secara oral segera
dimulai.3,10,14
18
BAB 3 RINITIS ALERGI
3.1 Definisi
Rinitis alergi secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsi hidung yang
terjadi setelah paparan alergen melalui inflamasi yang diperantarai IgE pada mukosa
hidung.
3.2 Epidemiologi
Rinitis adalah masalah klinis yang paling umum terjadi pada pasien dengan
alergi. Rinitis secara konsisten berada pada urutan enam penyakit kronis utama di
Amerika Serikat. Morbiditas dari rinitis menyebabkan kualitas hidup yang menurun
dikarenakan sakit kepala, mudah lelah, gangguan kognisi, dan efek samping obat-
obatan. Rinitis alergi dapat menurunkan kualitas hidup, antara lain fungsi fisik,
problem bekerja, nyeri badan, vitalitas, fungsi sosial, stabilitas emosi, bahkan
kesehatan mental.
3.3 Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi.
Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan
ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti
urtikaria dan gangguan pencernaan.
Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa
pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi
musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang
tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu
Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang
peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat.. Faktor resiko untuk terpaparnya
debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor
kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk
tumbuhnya jamur. Riwayat hobi berkebun/rekreasi ke pegunungan membantu
identifikasi untuk terpaparnya serbuk sari.
19
Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa
faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau
merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban yang tinggi.
3.4 Klasifikasi
Rinitis alergi sebelumnya dibagi berdasarkan waktu pajanan menjadi rinitis
alergi musiman (seasonal), sepanjang tahun (perenial) dan akibat kerja (occasional).
Rinitis alergi musiman hanya ada di negara yang memiliki empat musim. Alergen
penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari dan spora jamur. Gejala ketiganya hampir
sama, hanya sifat berlangsungnya yang berbeda. Gejala rinitis alergi sepanjang
tahun timbul terus menerus atau intermiten.
Namun sekarang klasifikasi rinitis alergi menggunakan parameter gejala dan
kualitas hidup, berdasarkan lamanya dibagi menjadi intermiten dengan gejala ≤4 hari
perminggu atau ≤4 minggu dan persisten dengan gejala >4 hari perminggu dan >4
minggu. Berdasarkan beratnya penyakit dibagi dalam ringan dan sedang-berat
tergantung dari gejala dan kualitas hidup. Dikatakan ringan yaitu tidak ditemukan
gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, olah raga, belajar, bekerja dan
lain-lain yang mengganggu. Dikatakan sedang-berat jika terdapat satu atau lebih
gangguan tersebut di atas.
3.5 Penilaian Klinis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
3.5.1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Diagnosis rinitis alergi ditegakkan dari anamnesis dengan adanya trias
gejala yaitu beringus (rinorea), bersin dan sumbatan hidung, ditambah gatal hidung.
Perlu diperhatikan juga gejala alergi di luar hidung (asma, dermatitis atopi, injeksi
konjungtiva, dan lain sebagainya).
3.5.2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik untuk rinitis alergi berfokus pada hidung, tetapi
pemeriksaan wajah, mata, telinga, leher, paru-paru, dan kulit juga penting.
20
a. Wajah
- Allergic shiners yaitu dark circles di sekitar mata dan berhubungan
dengan vasodilatasi atau obstruksi hidung
- Nasal crease yaitu lipatan horizontal (horizontal crease) yang melalui
setengah bagian bawah hidung akibat kebiasaan menggosok hidung
keatas dengan tangan.
b. Hidung
- Pada pemeriksaan hidung digunakan nasal speculum atau bagi
spesialis dapat menggunakan rhinolaringoskopi
- Pada rinoskopi akan tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat,
disertai adanya sekret encer yang banyak.
- Tentukan karakteristik dan kuantitas mukus hidung. Pada rinitis alergi
mukus encer dan tipis. Jika kental dan purulen biasanya berhubungan
dengan sinusitis. Namun, mukus yang kental, purulen dan berwarna
dapat timbul pada rinitis alergi.
- Periksa septum nasi untuk melihat adanya deviasi atau perforasi
septum yang dapat disebabkan oleh rinitis alergi kronis, penyakit
granulomatus.
- Periksa rongga hidung untuk melihat adanya massa seperti polip dan
tumor. Polip berupa massa yang berwarna abu-abu dengan tangkai.
Dengan dekongestant topikal polip tidak akan menyusut. Sedangkan
mukosa hidung akan menyusut.
c. Telinga, mata dan orofaring
- Dengan otoskopi perhatikan adanya retraksi membran timpani, air-fluid
level, atau bubbles. Kelainan mobilitas dari membran timpani dapat
dilihat dengan menggunakan otoskopi pneumatik. Kelaianan tersebut
dapat terjadi pada rinitis alergi yang disertai dengan disfungsi tuba
eustachius dan otitis media sekunder.
- Pada pemeriksaan mata
- Akan ditemukan injeksi dan pembengkakkan konjungtiva palpebral
yang disertai dengan produksi air mata.
d. Leher. Perhatikan adanya limfadenopati
e. Paru-paru. Perhatikan adanya tanda-tanda asmaf. Kulit. Kemungkinaan adanya dermatitis atopi.
21
3.6 Penatalaksanaan
Menurut ARIA penatalaksanaan rinitis alergi meliputi :
a. Penghindaran alergen.
Merupakan terapi yang paling ideal. Cara pengobatan ini bertujuan untuk
mencegah kontak antara alergen dengan IgE spesifik dapat dihindari sehingga
degranulasi sel mastosit tidak berlangsung dan gejalapun dapat dihindari.
Namun, dalam praktek adalah sangat sulit mencegah kontak dengan alergen
tersebut. Masih banyak data yang diperlukan untuk mengetahui pentingnya
peranan penghindaran alergen.
b. Pengobatan medikamentosa
Cara penngobatan ini merupakan konsep untuk mencegah dan atau
menetralisasi kinerja molekul-molekul mediator yang dilepas sel-sel inflamasi
alergis dan atau mencegah pecahnya dinding sel dengan harapan gejala dapat
dihilangkan. Obat-obat yang digunakan untuk rinitis pada umumnya diberikan
intranasal atau oral.
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis
alergi. Antihistamin diabsorbsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif
untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal,
tetapi tidak efektif untuk mengatasi obstruksi hidung pada fase lambat.
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi denfgan antihistamin atau
topikal. Namun pemakaian secara topiukal hanya boleh untuk beberapa hari saja
untuk menghindari terjadinya rinitis alergi medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat respons fase
lambat tidak dapat diatasi dengan obat lain. Kortikosteroid topikal bekerja untuk
mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran
protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit.
Preparat antikolinergik topikal bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena
aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor. Pengobatan baru
lainnya untuk rinitis alergi di masa yang akan datang adalah anti leukotrien, anti
IgE, DNA rekombinan.
22
Obat-obat tidak memiliki efek jangka panjang setelah dihentikan. Karenanya
pada penyakit yang persisten, diperlukan terapi pemeliharaan.
c. Imunoterapi spesifik
Imunoterapi spesifik efektif jika diberikan secara optimal. Imunoterapi
subkutan masih menimbulkan pertentangan dalam efektifitas dan keamanan.
Oleh karena itu, dianjurkan penggunaan dosis optimal vaksin yang diberi label
dalam unit biologis atau dalam ukuran masa dari alergen utama. Dosis
optimal untuk sebagian besar alergen utama adalah 5 sampai 20 g.
Imunoterapi subkutan harus dilakukan oleh tenaga terlatih dan penderita
harus dipantau selama 20 menit setelah pemberian subkutan.
Indikasi imunoterapi spesifik subkutan
- Penderita yang tidak terkontrol baik dengan farmakoterapi
konvensional
- Penderita yang gejala-gejalanya tidak dapat dikontrol baik dengan
antihistamin H1 dan farmakoterapi
- Penderita yang tidak menginginkan farmakoterapi
- Penderita dengan farmakoterapi yang menimbulkan efek samping
yang tidak diinginkan
- Penderita yang tidak ingin menerima terapi farmakologis jangka
panjang.
Imunoterapi spesifik nasal dan sublingual dosis tinggi-imunoterapi spesifik
oral
- Dapat digunakan dengan dosis sekurang-kurangnya 50-100 kali lebih
besar dari pada yang digunakan untuk imunoterapi subkutan.
- Pada penderita yang mempunyai efek samping atau menolak
imunoterapi subkutan
- Indikasinya mengikuti indikasi dari suntikan subsukatan
Pada anak-anak, imunoterapi spesifik adalah efektif. Namun tidak
direkomendasikan untuk melakukan imunoterapi pada anak dibawah umur 5
tahun.
d. Imunoterapi non-spesifik
Imunoterapi non-spesifik menggunakan steroid topikal. Hasil akhir sama
seperti pengobatan imunoterapi spesifik-alergen konvensional yaitu sama-
23
sama mampu menekan reaksi inflamasi, namun ditinjau dari aspek
biomolekuler terdapat mekanisme yang sangat berbeda.
Glukokortikosteroid (GCSs) berikatan dengan reseptor GCS yang berada
di dalam sitoplasma sel, kemudian menembus membran inti sel dan
mempengaruhi DNA sehingga tidak membentuk mRNA. Akibat selanjutnya
menghambat produksi sitokin pro-inflammatory.
e. Edukasi
Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani telah diketahui
berkhasiat dalam menurunkan gejala alergis. Mekanisme biomolekulernya
terajadi pada peningkatan populasi limfosit TH yang berguna pada
penghambatan reaksi alergis, serta melalui mekanisme
imunopsikoneurologis.
f. Operatif
Tindakan bedah dilakukan sebagai tindakan tambahan pada beberapa
penderita yang sangat selektif. Seperti tindakan konkotomi (pemotongan
konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak
berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau triklor
asetat. Pada kasus ini,yang dipilih untuk pasien adalah tindakan konkotomi.
24
BAB 4 KESIMPULAN
Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai, dengan angka penderita
yang cukup tinggi. Hipertensi sendiri merupakan faktor risiko mayor yang bisa
menyebabkan terjadinya komplikasi seperti penyakitpenyakit jantung, serebral, ginjal
dan vaskuler. Mengingat tingginya angka kejadian dan komplikasi yang bisa
ditimbulkan oleh penyakit hipertensi ini, maka perlu adanya pemahaman para ahli
anestesia dalam manajemen selama periode perioperatif. Manajemen perioperatif
dimulai sejak evaluasi prabedah, selama operasi dan dilanjutkan sampai periode
pasca bedah. Evaluasi prabedah sekaligus optimalisasi keadaan penderita sangat
penting dilakukan untuk meminimalkan terjadinya komplikasi, baik yang terjadi
selama intraoperatif maupun yang terjadi pada pascapembedahan. Goncangan
hemodinamik mudah terjadi, baik berupa hipertensi maupun berupa hipotensi, yang
bisa menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi. Hal ini harus diantisipasi dengan
perlunya pemahaman tentang teknik anestesia yang benar, manajemen cairan
perioperatif, pengetahuan farmakologi obat-obat yang digunakan, baik obat-obatan
antihipertensi maupun obatobatan anestesia serta penanganan nyeri akut yang
adekuat. Dengan manajemen perioperatif yang benar terhadap penderita-penderita
hipertensi yang akan menjalani pembedahan, diharapkan bisa menurunkan atau
meminimalkan angka morbiditas maupun mortalitas.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Murray MJ. Perioperative hypertension: evaluation and management; Available at: http://www.anesthesia.org.cn/asa2002/rcl.source/512Murray.pdf
2. The seventh report of Joint National Committee on Prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure, NIH publication No.03- 5233, December 2003.
3. Morgan GE, Michail MS, Murray MJ. Anesthesia for patients with cardiovaskular disease. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York: McGraw-Hill; 2006.p.444-52.
4. Perez-Stable EJ. Management of mild hypertension- selecting an antihypertensive regimen. West J Med 1991;154:78-87.
5. Yao FSF, Ho CYA. Hypertension. Anesthesiologyproblem oriented patient manajement. 5th ed. Philadelphia: Elsevier; 2003.p.337-57.
6. Anderson FL, Salgado LL, Hantler CB. Perioperative hypertension (HTN). Decision making in anesthesiology-an algorithmic approach. 4th ed. Philadhelpia: Elsevier; 2007.p.124-6.
7. Kuwajerwala NK. Perioperative medication management; Available at: http://www. emedicine.com/MED/ topic3158.htm..
8. Neligan P. Hypertension and anesthesia; Available at: http://www.4um.com/ tutorial/anaesthbp.htm.
9. Benowitz NL. Antihypertensive agentcardiovaskular- renal drugs. In: Katzung BG, editor. Basic and clinical pharmacology. 9th ed. New York: McGraw-Hill; 2004.p.160-83.
10. Wallace MC, Haddadin AS. Systemic and pulmonary arterial hypertension. In: Hines RL, Marschall KE, editors. Stoelting �s anesthesia and co-existing disease. 5th ed. Philadelphia: Elsevier; 2008.p.87-102.
11. Stier GR. Preoperative evaluation and testing. In: Hines RL, editor. Adult perioperative anesthesiathe requisites in anesthesiology. Philadelphia: Elsevier; 2004.p.3-82.
12. Dix P, Howell S. Survey of cancellation rate of hypertensive patient undergoing anesthesia and elective surgery. British Journal of Anesthesia 2001;86(6):789-93.
13. Kaplan NM. Perioperative management of hypertension. In: Aronson MD, Bakris GL. editors. Available at: www.uptodate.com.
14. Laslett L. Hypertension-preoperative assesment and perioperative management. West J Med 1995;162:215-9.
26
15. Hanada, et al. Anesthesia and medical disease-hypertension and anesthesia. Current Opinion in Anesthesiology 2006;19(3):315-9.
16. Howell SJ, Foex P. Hypertension, hypertensive heart disease and perioperative cardiac risk. British Journal of Anesthesia 2004;92(4):570-83.
17. Paix AD, et al. Crisis management during anesthesia: hypertension. Qual Saf Health Care 2005;14:e12.
18. Barisin S, et al. Perioperatif blood pressure control in hypertensive and normotensive patient undergoing off-pump coronary bypass grafting. Croat Med J 2007;48:341-7.
19. Common problem in the cardiac surgery recovery unit in perioperative care. In: Cheng DCH, David TE, editors. Cardiac anesthesia and surgery. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.p.1178-22.
20. Hypertensive emergencies. Available at: www.ehs.egypt.net/pdf/11-guideline.pdf.
21. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke lima.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004.
22. Adams G., Boies L., Higler P. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 1997.
23. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Edisi ke delapan.
McGrawl-Hill. 2003.
24. Becker, W., Naumann, H., Pfaltz, C. Ear, Nose, and Throat Disease. Edisi ke
dua. Thieme. New York:1994.
27