Anestesi GA
-
Upload
mahar-matul-hilma -
Category
Documents
-
view
27 -
download
13
description
Transcript of Anestesi GA
BAB I
PENDAHULUAN
Mastoiditis merupakan peradangan kronik yang mengenai rongga mastoid dan
sebagai komplikasi dari otitis media kronis. Diagnosis dapat ditegakkan dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Salah satu tata laksana
mastoiditis adalah pembedahan, mastoidektomi.
Setiap pasien yang akan menjalani tindakan invasif, seperti tindakan bedah akan
menjalani prosedur anestesi. Anestesi sendiri secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya
yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Terdapat beberapa tipe anestesi, yang pertama anestesi total, yaitu hilangnya
kesadaran secara total, anestesi lokal, yaitu hilangnya rasa pada daerah tertentu yang
diinginkan (pada sebagian kecil daerah tubuh), anestesi regional yaitu hilangnya rasa pada
bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif pada jaringan spinal atau saraf
yang berhubungan dengannya.
Pembiusan lokal atau anestesi lokal adalah salah satu jenis anestesi yang hanya
melumpuhkan sebagian tubuh manusia dan tanpa menyebabkan manusia kehilangan
kesadaran. Obat bius jenis ini bila digunakan dalam operasi pembedahan, maka setelah
selesai operasi tidak membuat lama waktu penyembuhan operasi.
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan di atas, maka tatalaksana anestesi
pada mastoidektomi kasus mastoiditis kronis penting untuk dibahas dalam suatu kajian
ilmiah dalam bentuk laporan kasus.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. E
Umur : 31 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Pandeglang
Pekerjaan : Karyawan
Agama : Islam
Status : Menikah
Tanggal masuk : 20 April 2015
B. ANAMNESIS
Pasien datang ke Poliklinik THT RSUD Cilegon dengan keluhan nyeri pada
telinga bagian belakang disertai keluarnya cairan 4 hari SMRS. Nyeri dirasakan
berdenyut dan hilang-timbul. Cairan berwarna keruh seperti lendir, berbau, tanpa
darah. 2 tahun SMRS pasien mengeluhkan keluhan yang sama, tetapi dengan cairan
yang berwarna bening encer. Pasien juga mengaku demam hilang-timbul saat nyeri
telinga berlangsung selama dua tahun terakhir. Pasien mengaku sudah berobat, namun
tidak ada perbaikan.
Pasien belum pernah melakukan riwayat anestesi ataupun tindakan operasi
sebelumnya. Pasien tidak memiliki riwayat alergi pada makanan maupun obat-obatan.
Pasien menyangkal memiliki riwayat penyakit sistemik seperti diabetes mellitus
ataupun hipertensi, riwayat asma, dan pengobatan paru 6 bulan. Pasien tidak merokok
dan mengonsumsi minuman beralkohol. Pasien sudah puasa sejak pukul 23.00 malam
hari hingga waktu akan dioperasi pada pukul 10.00 (puasa 11 jam).
C. PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran : Compos Mentis
c. Tanda – tanda vital
Tekanan darah : 110/70mmHg
2
Nadi : 80 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,00 C
BB : 50 kg
TB : 155 cm
d. Status Generalisata :
Kepala : normocephale
Mata :conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor,
reflek cahaya langsung (+/+), reflek cahaya tidak langsung
(+/+)
Hidung : pernafasan cuping hidung (-), mukosa hiperemis (-), sekret (-)
deviasi septum (-)
Telinga : normotia (+/+), nyeri tekan tragus (-/-), otore (-/-),serumen
(+/+)
Mulut : bibir sianosis (-), mukosa hiperemis (-), perdarahan gusi (-),
oral hygiene baik, lidah kotor (-), faring hiperemis (-), tonsil
T1-T1
Leher : Trakea terletak di tengah, KGB dan tiroid tidak teraba
membesar
Thorax : Simetris dalam keadaan statis dan dinamis
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba disela iga ke-V sedikit medial LMCS, tidak
terdapat thrill
Perkusi :
Batas kanan jantung ICS IV LSD
Batas kiri jantung ICS V sedikit medial LMCS
Batas pinggang jantung ICS III LPSS
Auskultasi : Bunyi jantung I&II regular, tidak terdengar bunyi jantung
tambahan, murmur (-), gallop (-)
3
Paru
Inspeksi : Bentuk dan pergerakan pernafasan kanan-kiri simetris
Palpasi : Fremitus taktil simetris kanan-kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler pada seluruh lapangan paru, wheezing
(-/-),
ronkhi (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : perut rata ,tidak ada kelainan warna kulit, tidak tampak
pelebaran pembuluh darah, tidak terdapat jaringan sikatrik,
tidak tampak massa.
Auskultasi : bising usus (+) normal pada lapang abdomen
Perkusi : timpani pada lapang abdomen, batas hepar pada ICS VI
sampai subcostalis dektra.
Palpasi : teraba supel, nyeri tekan (-), hepar,lien tidak teraba massa,
ballotement ginjal (-) .
Ekstremitas
Superior : Sianosis (-), edema (-), ikterik (-)
Inferior : Sianosis (-), edema (-), ikterik (-)
Punggung : Tidak terdapat edema, tidak terdapat kelainan tulang vertebrae
seperti lordosis, skoliosis, dan kifosis.
e. Penilaian Fisik Untuk Intubasi Menurut Metode LEMON :
Inspeksi : Tampak trakea di tengah, tidak terdapat jejas
Gigi : Tidak ada pemakaian gigi palsu
Tindakan buka mulut : Jarak antara insisipus kurang lebih tiga jari
Jarak antara thyroid notch kurang lebih dua jari
Jarak antar ulang hyoid dan dagu kurang lebih tiga jari
Klasifikasi mallampati kelas II (tampak hanya palatum molle dan uvula)
Tidak terdapat adanya obstruksi jalan nafas
Pasien dapat menempelkan dagu ke dadanya dan dapat melakukan ekstensi
leher tanpa adanya kesulitan
4
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium (tanggal 15 Juni 2014)
- Hb: 12,3 g/dl
- Leukosit: 7.300 /uL
- Ht: 34,3 %
- Trombosit; 258.000 /uL
- LED: 20 mm/jam
- GDS: 75 mg/dl
- SGOT: 18 u/l
- SGPT: 11 u/l
- Ureum: 17 mg/dl
- Kreatinin: 0,7
- Asam Urat: 3,0
- Na: 139,3 mmol/l
- K: 3,77 mmol/l
- Cl: 102,2 mmol/l
- Anti HIV: non reaktif
- HbsAg: negatif
- Masa Perdarahan: 2’
- Masa Pembekuan: 12’
- Golongan Darah: B Rh+
Pemeriksaan Urinalisa
- Warna : Kuning
- Kekeruhan : Jernih
- Berat Jenis : 1.030
- pH : 6,0
- Albumin : -
- Glukosa : -
- Keton : ++
- Bilirubin : -
- Darah samar : -
- Nitrit : -
- Urobilinogen : -
- Leukosit : 2-3/LPB
- Eritrosit : 4-6/LPB
- Epitel : -
- Silinder jenis : -
- Kristal jenis : -
- Bakteri : -
- Jamur : -
- Lain – lain : -
E. STATUS FISIK
Pasien normal (dengan penyakit yang akan dioperasi) sehingga dapat dikategorikan
pasien memiliki status fisik ASA I.
F. KESAN ANESTESI
Pasien seorang laki-laki berusia 31 tahun dengan diagnosis mastoiditis, klasifikasi
ASA I.
5
G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan kepada pasien meliputi :
a. Intravena fluid drip RL 1000 cc (selama puasa sampai dengan mulai tindakan)
b. Informed consent mengenai tindakan operasi mastoidektomi
c. Konsul ke bagian Anestesi
d. Informed consent pembiusan : dilakukan operasi pembedahan mastoidektomi
dengan regional Anestesi dengan klasifikasi ASA I.
H. KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka ;
Diagnosis pre operatif : Mastoiditis
Status operatif : ASA I
Jenis Operasi : Mastoidektomi
Jenis Anestesi : General Anestesi (ETT)
6
BAB III
LAPORAN ANESTESI
A. Preoperatif
Informed Consent (+)
Puasa (+) kurang lebih 6-8 jam
Tidak terdapat gigi goyang dan pemakaian gigi palsu
IV line terpasang dengan infus RL 500 cc, mengalir lancar
Keadaan umum tampak sakit sedang
Kesadaran Compos Mentis
Tanda Vital:
o TD : 120/80 mmHg
o RR : 20 x/menit
o Nadi : 80 x/menit
o Suhu : 36,6˚C
B. Premedikasi Anestesi
Sebelum dilakukan tindakan anestesi diberikan Ondansentron 4 mg secara bolus IV.
C. Tindakan Anestesi
Pasien dalam posisi terlentang, kemudian melakukan inform consent terhadap tindakan
anestesi. Fentanyl 100 µg, propofil 100 mg, dan rocurorium bromida mg dibolus.
Kemudian memantau tekanan darah, nadi serta saturasi oksigen melalui monitor.
Kemudian memeriksa refleks bulu mata pasien untuk memastikan pasien sudah dalam
fase hipnotik. Kemudian dilakukan fess mask pada pasien. Fess mask dilakukan
dengan oksigen 2 lpm, N2O 2 lpm, isofluran 2%. Memastikan saturasi oksigen baik,
dan dilakukan intubasi.
Intubasi dilakukan dengan menggunakan laringoskop sehingga ditemukan epiglotis
dan plica vokalis. Kemudian endotracheal tube dimasukkan menyusuri laringoskop
hingga melewati plica vokalis kira-kira hinggan 21 cm pada endotracheal tube. Balon
endotracheal tube kemudian dikembangkan menggunakan spuit berisi udara sebanyak
20-25 cc. Fiksasi endotracheal tube. Laringoskop ditarik keluar. Kedua mata pasien
7
diolesi chloramphenicole zalf dan kemudian ditutup menggunakan micropore. Ambu
terus dipompa hingga pasien bernapas spontan.
D. Pemantauan Selama Tindakan Anestesi
Melakukan pemantauan keadaan pasien terhadap tindakan anestesi. Yang dipantau
adalah fungsi kardiovaskular dan fungsi respirasi, serta cairan.
Kardiovaskular : pemantauan terhadap tekanan darah dan frekuensi nadi setiap 5
menit.
Respirasi : Inspeksi pernapasan spontan kepada pasien dan saturasi oksigen
Cairan : monitoring input cairan infus.
Lampiran Monitoring Tindakan Operasi:
Jam Tindakan Tensi Nadi Saturasi
09
.45
Pasien masuk kamar operasi, dibaringkan
di meja operasi kemudian dilakukan
pemasangan manset di lengan kanan atas
dan pulse oxymetri di jari telunjuk tangan
kiri. Diberikan ondansetron 4 mg secara
bolus.
120/80 88 99
09.5
0
Dilakukan general anestesi.
Diberikan propofol 100 mg, fentanyl 100
µg, rocurorium 50 mg secara bolus.
Dilakukan fess mask dan intubasi dengan
ett : oksigen 2lpm, N2O 2 lpm, isofluran
2%
113/78 88 98
1
0.05
Operasi dimulai 110/79 83 99
10.1
0
112/69 80 99
1
0.15
110/77 96 100
10.2
0
108/69 82 99
10.2 110/67 88 99
8
5
10.3
0
108/67 82 99
10.3
5
102/64 80 99
10.4
0
112/72 80 98
10.4
5
106/70 74 98
10.5
0
110/75 76 98
10.5
5
Tramadol 100 mg diberikan secara bolus 120/77 82 99
11.0
0
108/76 86 98
11.0
5
110/72 78 98
11.1
0
Operasi Selesai.
Diberikan pronalges supp 100 mg
121/80 83 99
Laporan Anestesi
1. Diagnosis Pra Bedah
Mastoiditis Kronis
2. Diagnosis Pasca Bedah
Mastoiditis Kronis
3. Penatalaksanaan Preoperasi
Infus RL 1000cc
4. Penatalaksanaan Anestesi
a. Jenis pembedahan : Mastoidektomi
b. Jenis Anestesi : General Anestesi
c. Teknik Anestesi : Semi closed Circuit System, dengan ETT
d. Mulai Anestesi : pukul 09.50 WIB
e. Mulai Operasi : pukul 10.05 WIB
9
f. Premedikasi : Ondansentron 4 mg IV
g. Medikasi : Propofol 100 mg, Fentanyl 100 µg, rocurorium
bromide 50 mg
h. Medikasi tambahan : Tramadol 100 mg, Pronalgesik supp 100mg.
i. Respirasi : Pernapasan spontan dan terpasang O2 2 lpm, N2O 2
lpm, isofluran 2.
j. Cairan durante operasi : RL 500 cc
k. Pemantauan tekanan darah dan HR : terlampir
l. Selesai operasi : pukul 11.10 WIB
5. Post Operatif
a. Pasien masuk ke dalam ruang pemulihan (Recovery Room) pukul 11.20 WIB.
Keluhan: mual (-), muntah (-), sesak (-), pusing (-), nyeri (-)
b. Observasi tanda-tanda vital dalam batas normal :
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : somnolen
TD : 118/76 mmHg
Nadi : 77x/menit
Respirasi : 16x/menit dengan guedel dan selang oksigen
Saturasi oksigen : 99%
c. Pemeriksaan fisik:
Warna kulit kemerahan, airway paten, nafas spontan, akral hangat dan CRT
< 2 detik
Skor Aldrete untuk menilai pemulihan anestesia: >8 sudah pulih dari
anestesia dan dapat dipindahkan ke ruangan
GERAKAN SKORDapat menggerakan ke 4 ekstremitasnya sendiri atau dengan perintah
2
Dapat menggerakkan ke 2 ekstremitasnya sendiri atau dengan perintah
1
Tidak dapat menggerakkan ekstremitasnya sendiri atau dengan perintah
0
PERNAPASANBernapas dalam dan kuat serta batuk 2Bernapas berat atau dispnu 1Apnu atau napas dibantu 0
10
TEKANAN DARAH SKORSama dengan nilai awal + 20% 2Berbeda lebih dari 20-50% dari nilai awal 1Berbeda lebih dari 50% dari nilai awal 0KESADARAN SKORSadar penuh 2Tidak sadar, ada reaksi terhadap rangsangan 1Tidak sadar, tidak ada reaksi terhadap rangsangan 0WARNA KULIT SKORMerah 2Pucat , ikterus, dan lain-lain 1Sianosis 0
11
BAB IV
ANALISA KASUS
Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka
pasien dapat diklasifikasikan ke dalam ASA I, yaitu pasien normal dan hanya menderita
penyakit yang akan dioprasi tanpa penyakit sistemik lainnya. Persiapan yang dilakukan
sebelum operasi yaitu memastikan pasien dalam keadaan baik, memasang infus, dan
pasien dalam keadaan puasa selama 6-8 jam sebelum operasi untuk meminimalkan risiko
aspirasi isi lambung ke jalan nafas selama anestesi. Kebutuhan cairan maintenance
normal, dihitung berdasarkan rumus Morgan (2006), dapat diperkirakan dari pasien ini
(berat badan 43 kg):
Berat Badan Jumlah Perhitungan untuk pasien ini
10kg pertama 4 mL/kg/jam 40 mL/jam
10kg berikutnya + 2 mL/kg/jam + 20 mL/jam
Tiap kg di atas
20kg
+ 1 mL/kg/jam + 23 mL/jam
Total kebutuhan cairan maintenance pasien ini: 83 mL/jam
Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan
waktu puasa. Pasien puasa selama 11 jam maka kebutuhan cairan untuk memenuhi defisit
cairan sebelum operasi: 11 x 83 ml/jam = 913ml. Pada pasien diberikan RL sebagai cairan
maintenance sebanyak 1000cc sampai dengan operasi.
Menjelang operasi pasien dalam keadaan tampak sakit ringan dan kesadaran
compos mentis. Jenis anestesi yang akan dilakukan yaitu general anestesi dengan teknik
SCCS dengan ETT. Dari anamnesis diketahui bahwa pasien belum pernah menjalankan
operasi apapun. Pasien direncanakan untuk operasi mastoidektomi elektif.
Sebelum operasi dimulai, pasien dipersiapkan terlebih dahulu yaitu memastikan
infus berjalan lancar, hal ini dimaksudkan karena pada saat operasi sebagian besar obat-
obatan diberikan melalui jalur intravena, kemudian pemasangan alat-alat tanda vital
seperti alat tensi dan alat saturasi yang bertujuan untuk melihat tekanan darah pasien
apakah pasien mengalami hipertensi atau hipotensi karena beberapa obat anestesi dapat
mempengaruhi perubahan tekanan darah, dan alat saturasi bertujuan untuk memantau
suplai oksigen pasien, kemudian memastikan pasien dalam keadaan tenang dan kooperatif.
12
Pasien diberikan obat premedikasi yaitu Ondansentron 4 mg yang diberikan secara
bolus IV. Hal ini bertujuan karena obat-obat anestesi dapat merangsang muntah pada
pasien. Ondansentron adalah suatu antagonis reseptor serotonin 5 – HT 3 selektif.
Serotonin 5-hydroxytriptamine (5HT3) merupakan zat yang akan dilepaskan jika terdapat
toksin dalam saluran cerna, berikatan dengan reseptornya dan akan merangsang saraf
vagus menyampaikan rangsangan ke CTZ (Chemoreseptor Trigger Zone) dan pusat
muntah dan kemudian terjadi mual dan muntah.
Kemudian dilakukan anestesi general kepada pasien dengan menggunakan
propofol, fentanyl dan rocurorium. Propofol bekerja sebagai sedasi atau hipnotik. Dosis
induksi menyebabkan pasien tidak sadar, dimana dalam dosis yang kecil dapat
menimbulkan efek sedasi, tanpa disetai efek analgetik, pada pemberian dosis induksi (2mg
/kgBB) pemulihan kesadaran berlangsung cepat. Fentanyl sebagai analgetik. Fentanil
adalah analgesik narkotik yang poten, bisa digunakan sebagai tambahan untuk general
anastesi maupun sebagai awalan anastetik. Fentanil menyediakan stabilitas jantung dan
stress yang berhubungan dengan hormonal, yang berubah pada dosis tinggi. Dosis 100 mg
(w.o ml) setara dengan aktifitas analgesik 10mg morfin. Fentanil memiliki kerja cepat dan
efek durasi kerja kurang lebih 30 menit setelah dosis tunggal IV 100mg. Fentanil
bergantung dari dosis dan kecepatan pemberian bisa menyebabkan rigiditas otot, euforia,
miosis dan bradikardi. Rocurorium sebagai relaksan otot. Sebagai tambahan pada anestesi
umum untuk mempermudah intubasi endotrakea dan memberikan relaksasi otot rangka
selama pembedahan.
Selama anestesi berlangsung, pasien diberikan Tramadol 100 mg secara bolus IV.
Tramadol adalah analgesik kuat yang bekerja pada reseptor opiat.
Tramadol mengikat secara stereospsifik pada reseptor di sistem saraf pusat sehingga
menghentikan sensasi nyeri dan respon terhadap nyeri. Di samping itu juga menghambat
pelepasan neutrotransmiter dari saraf aferen yang bersifat sensitif terhadap rangsang,
akibatnya impuls nyeri terhambat
Terapi cairan durante operasi pada pasien ini dipilih menggunakan Ringer Laktat.
Ringer laktat merupakan cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan.
Jumlah cairan durante operasi dihitung berdasarkan:
- M (Maintanance) = 2 cc/kgBB = 2 x 50 = 100 cc
- PP (Pengganti puasa sebelum operasi) = Lama puasa x M = 11 x 100 = 1100 cc
13
- SO (stres operasi), dimana 6-8 ml/kgBB untuk bedah besar, 4-6 ml/kgBB untuk bedah
sedang, 2-4 ml/kgBB untuk bedah kecil. Mestoidektomi termasuk bedah kecil, maka
SO = 2x 50 =100 cc.
Karena pasien telah terpasang infus maka pengganti puasa, untuk jam I akan diberikan
50% , jadi rumus terapi cairan durante operasi : M + 50% PP + SO = 100+ (50% x 1100)
+ 100 = 750 cc. Lama operasi hanya 70 menit sehingga pemberian cairan durante operasi
hanya diberikan 500 cc dan dilanjutkan pemberian cairan di ruangan.
Setelah operasi selesai, pemantauan dilanjutkan di ruangan RR (Recovery Room).
Tampak kondisi pasien stabil, sadar penuh, tanda-tanda vital dalam batas normal, tidak
tampak adanya tanda syok, dan penilaian respon motorik pasca anestesi dengan
menggunakan skor Bromage didapatkan skor <2, setelah itu pasien dibawa kembali ke
ruangan.
14
BAB V
TINJAUAN PUSTAKA
ANESTESI UMUM
Definisi
Anestesi umum adalah suatu keadaan meniadakan nyeri secara sentral yang dihasilkan
ketika pasien diberikan obat-obatan untuk amnesia, analgesia, kelumpuhan otot, dan
sedasi. Pada pasien yang dilakukan anestesi dapat dianggap berada dalam keadaan
ketidaksadaran yang terkontrol dan reversibel. Anestesi memungkinkan pasien untuk
mentolerir tindakan pembedahan yang dapat menimbulkan rasa sakit tak tertahankan, yang
berpotensi menyebabkan perubahan fisiologis tubuh yang ekstrim, dan menghasilkan
kenangan yang tidak menyenangkan. Komponen anestesi yang ideal terdiri dari: 1.
Hipnotik, 2. Analgetik, 3. Relaksasi otot
Anestesi umum menggunakan cara melalui intravena dan secara inhalasi untuk
memungkinkan akses bedah yang memadai ke tempat dimana akan dilakukan operasi.
Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa anestesi umum mungkin tidak selalu menjadi
pilihan terbaik, tergantung pada presentasi klinis pasien, anestesi lokal atau regional
mungkin lebih tepat.
Metode pemberian anestesi umum dapat dulihat dari cara pemberian obat, terdapat 3
cara pemberian obat pada anestesi umum:
1. Parenteral
Anestesi umum yang diberikan secara parentral baik intravena maupun
intramuskuler biasanya digunakan untuk tindakan operasi yang singkat atau untuk
induksi anestesi. Obat anestesi yang sering digunakan adalah:
Pentothal
Dipergunakan dalam larutan 2,5% atau 5% dengan dosis permulaan 4-6 mg/kg BB
danselanjutnya dapat ditambah sampai 1 gram.
Penggunaan:
15
- Untuk induksi, selanjutnya diteruskan dengan inhalasi.
- Operasi-operasi yang singkat seperti: curettage, reposisi, insisi abses.
Cara Pemberian:
Larutan 2,5% dimasukkan IV pelan-pelan 4-8 CC sampai penderita tidur,
pernapasan lambat dan dalam. Apabila penderita dicubit tidak bereaksi, operasi
dapat dimulai. Selanjutnya suntikan dapat ditambah secukupnya apabila perlu
sampai 1 gram.
Kontra Indikasi:
1.Anak-anak di bawah 4 tahun
2.Shock , anemia, uremia dan penderita-penderita yang lemah
3.Gangguan pernafasan: asthma, sesak nafas, infeksi mulut dan saluran nafas
4.Penyakit jantung
5.Penyakit hati
6.Penderita yang terlalu gemuk sehingga sukar untuk menemukan vena yang baik.
Ketalar (Ketamine)
Diberikan IV atau IM berbentuk larutan 10 mg/cc dan 50 mg/cc.Dosis: IV 1-3
mg/kgBB,IM 8-13 mg/kgBB1-3 menit setelah penyuntikan operasi dapat dimulai.
Penggunaan:
1. Operasi-operasi yang singkat
2. Untuk indikasi penderita tekanan darah rendah
Kontra Indikasi:
Penyakit jantung, kelainan pembuluh darah otak dan hypertensi.
Oleh karena komplikasi utama dari anestesi secara parenteral adalah
menekan pusat pernafasan, maka kita harus siap dengan peralatan dan tindakan
pernafasan buatan terutama bila ada sianosis.
16
2. Perektal
Obat anestesi diserap lewat mukosa rectum kedalam darah dan selanjutnya
sampai ke otak. Dipergunakan untuk tindakan diagnostic (katerisasi jantung,
roentgen foto, pemeriksaanmata, telinga, oesophagoscopi, penyinaran dsb)
terutama pada bayi-bayi dan anak kecil. Juga dipakai sebagai induksi narkose
dengan inhalasi pada bayi dan anak-anak. Syaratnya adalah:
1.Rectum betul-betul kosong
2.Tak ada infeksi di dalam rectum. Lama narkose 20-30 menit.
Obat-obat yang digunakan:
- Pentothal 10% dosis 40 mg/kgBB
- Tribromentothal (avertin) 80 mg/kgBB
3. Perinhalasi
Obat anesthesia dihirup bersama udara pernafasan ke dalam paru-paru, masuk ke
darah dan sampai di jaringan otak mengakibatkan narkose.
Obat-obat yang dipakai:
1. Induksi halotan
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2.
Induksidimulai dengan aliran O2 > 4 ltr/mnt atau campuran N2O:O2 = 3:1.
Aliran > 4 ltr/mnt.Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan, untuk
kemudian kalau sudah tenang dinaikan lagi sampai konsentrasi yang
diperlukan.
2. Induksi sevofluran
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk
walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol %.
Seperti dengan halotankonsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.
17
3. Induksi dengan enfluran (ethran), isofluran ( foran, aeran ) atau desfluran
jarang dilakukan karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.
Apabila obat anestesi inhalasi, dihirup bersama-sama udara inspirasi masuk ke
dalam saluran pernafasan, di dalam alveoli paru akan berdifusi masuk ke dalam sirkulasi
darah. Demikian pula yang disuntikkan secara intramuskuler, obat tersebut akan
diabsorbsi masuk ke dalam sirkulasi darah. Setelah masuk ke dalam sirkulasi darah obat
tersebut akan menyebar kedalam jaringan. Dengan sendirinya jaringan yang kaya
pembuluh darah seperti otak atau organ vital akan menerima obat lebih banyak
dibandingkan jaringan yang pembuluh darahnya sedikit seperti tulang atau jaringan lemak.
Tergantung obatnya, di dalam jaringan sebagian akan mengalami metabolisme, ada yang
terjadi di hepar, ginjal atau jaringan lain.
Ekskresi bisa melalui ginjal, hepar, kulit atau paru–paru. Ekskresi bisa dalam
bentuk asli atau hasil metabolismenya. N2O diekskresi dalam bentuk asli lewat paru.
Faktor yang mempengaruhi anestesi antara lain:
- Faktor respirasi (untuk obat inhalasi).
- Faktor sirkulasi
- Faktor jaringan.
- Faktor obat anestesi.
Faktor respirasi
Sesudah obat anestesi inhalasi sampai di alveoli, maka akan mencapai tekanan
parsiel tertentu, makin tinggi konsentrasi zat yang dihirup tekanan parsielnya makin tinggi.
Perbedaan tekanan parsiel zat anestesi dalam alveoli dan di dalam darah menyebabkan
terjadinya difusi. Bila tekanan di dalam alveoli lebih tinggi maka difusi terjadi dari alveoli
ke dalam sirkulasi dan sebaliknya difusi terjadi dari sirkulasi ke dalam alveoli bila tekanan
parsiel di dalam alveoli lebih rendah (keadaan ini terjadi bila pemberian obat anestesi
dihentikan.
Makin tinggi perbedaan tekanan parsiel makin cepat terjadinya difusi. Proses difusi
akan terganggu bila terdapat penghalang antara alveoli dan sirkulasi darah misalnya pada
18
udem paru dan fibrosis paru. Pada keadaan ventilasi alveoler meningkat atau keadaan
ventilasi yang menurun misalnya pada depresi respirasi atau obstruksi respirasi.
Faktor sirkulasi
Aliran darah paru menentukan pengangkutan gas anestesi dari paru ke jaringan dan
sebaliknya. Pada gangguan pembuluh darah paru makin sedikit obat yang dapat diangkut
demikian juga pada keadaan cardiac output yang menurun.
Blood gas partition coefisien adalah rasio konsentrasi zat anestesi dalam darah dan
dalam gas bila keduanya dalam keadaan keseimbangan. Bila kelarutan zat anestesi dalam
darah tinggi/BG koefisien tinggi maka obat yang berdifusi cepat larut di dalam darah,
sebaliknya obat dengan BG koefisien rendah, maka cepat terjadi keseimbangan antara
alveoli dan sirkulasi darah, akibatnya penderita mudah tertidur waktu induksi dan mudah
bangun waktu anestesi diakhiri.
Faktor jaringan
Yang menentukan antara lain:
- Perbedaan tekanan parsiel obat anestesi di dalam sirkulasi darah dan di dalam
jaringan.
- Kecepatan metabolisme obat.
- Aliran darah dalam jaringan.
- Tissue/blood partition coefisien
.Faktor zat anestesi
Tiap-tiap zat anestesi mempunyai potensi yang berbeda. Untuk mengukur potensi obat
anestesi inhalasi dikenal adanya MAC (minimal alveolar concentration). Menurut Merkel
dan Eger (1963), MAC adalah konsentrasi obat anestesi inhalasi minimal pada tekanan
udara 1 atm yang dapat mencegah gerakan otot skelet sebagai respon rangsang sakit
supramaksimal pada 50% pasien. Makin rendah MAC makin tinggi potensi obat anestesi
tersebut.
Stadium anestesi
19
Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi anestesi, agar tidak
terlalu dalam sehingga membahayakan jiwa penderita, tetapi cukup adekuat untuk
melakukan operasi. Kedalaman anestesi dinilai berdasarkan tanda klinik yang didapat.
Guedel membagi kedalaman anestesi menjadi 4 stadium dengan melihat pernafasan,
gerakan bola mata, tanda pada pupil, tonus otot dan refleks pada penderita yang mendapat
anestesi ether.
1. Stadium I
Disebut juga stadium analgesi atau stadium disorientasi. Dimulai sejak diberikan
anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini operasi kecil bisa
dilakukan.
2. Stadium II
Disebut juga stadium delirium atau stadium exitasi. Dimulai dari hilangnya
kesadaran sampai nafas teratur. Dalam stadium ini penderita bisa meronta ronta,
pernafasan irregular, pupil melebar, refleks cahaya positif gerakan bola mata tidak
teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi, reflex fisiologi masih ada, dapat terjadi
batuk atau muntah, kadang-kadang kencing atau defekasi. Stadium ini diakhiri
dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata dan selanjutnya nafas menjadi
teratur. Stadium ini membahayakan penderita, karena itu harus segera diakhiri.
Keadaan ini bisa dikurangi dengan memberikan premedikasi yang adekuat,
persiapan psikologi penderita dan induksi yang halus dan tepat. Keadaan
emergency delirium juga dapat terjadi pada fase pemulihan dari anestesi.
3. Stadium III
Disebut juga stadium operasi. Dimulai dari nafas teratur sampai paralise otot nafas.
Dibagi menjadi 4 plane:
- Plane I: Dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata. Ditandai
dengan nafas teratur, nafas torakal sama dengan abdominal. Gerakan bola mata
berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya (+), lakrimasi meningkat, reflex faring
dan muntah menghilang, tonus otot menurun.
20
- Plane II: Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan paralisa otot
interkostal. Ditandai dengan pernafasan teratur, volume tidak menurun dan
frekuensi nafas meningkat, mulai terjadi depresi nafas torakal, bola mata
berhenti, pupil mulai melebar dan refleks cahaya menurun, refleks kornea
menghilang dan tonus otot makin menurun.
- Plane III: Dari permulaan paralise otot interkostal sampai paralise seluruh otot
Interkostal. Ditandai dengan pernafasan abdominal lebih dorninan dari torakal
karena terjadi paralisis otot interkostal, pupil makin melebar dan reflex cahaya
menjadi hilang, lakrimasi negafif, reflex laring dan peritoneal menghilang,
tonus otot makin menurun.
- Plane IV: Dari paralise semua otot interkostal sampai paralise diafragma.
Ditandai dengan paralise otot interkostal, pernafasan lambat, iregular dan tidak
adekuat, terjadi jerky karena terjadi paralise diafragma. Tonus otot makin
menurun sehingga terjadi flaccid, pupil melebar, refleks cahaya negatif refleks
spincter ani negative.
4. Stadium IV
Dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Juga disebut stadium over
dosis atau stadium paralysis. Ditandai dengan hilangnya semua refleks, pupil
dilatasi, terjadi respiratory failure dan dikuti dengan circulatory failure.
Persiapan Anestesia Umum:
Praktek anesesi yang aman dan efisien memerlukan personil bersertifikat, obat-
obatan dan peralatan yang tepat, serta keadaan pasien yang optimal.
Persyaratan minimum untuk anestesi umum
Kebutuhan infrastruktur minimum untuk anestesi umum termasuk ruang yang
cukup terang dengan ukuran yang memadai, sebuah sumber oksigen bertekanan
(paling sering di pipa); perangkat hisap yang efektif; monitor yang sesuai dengan
standar ASA (American Society of Anesthesiologist) , termasuk denyut jantung,
tekanan darah, EKG, denyut nadi oksimetri, kapnografi, suhu, dan konsentrasi oksigen
terinspirasi dan dihembuskan dan zat anestesi yang diaplikasikan.
Selain ini, beberapa peralatan dibutuhkan untuk memasukkan zat anestesi. Alat
yang sederhana seperti jarum dan jarum suntik, jika obat harus diberikan sepenuhnya
21
intravena. Dalam sebagian besar keadaan, ini berarti membutuhkan tersedianya sebuah
mesin yang memungkinkan untuk mengetahui pemasukkan gas dan memelihara
anestesi tetap berjalan
Menyiapkan pasien
Kondisi pasien harus cukup dipersiapkan. Metode yang paling efisien adalah
pasien ditinjau oleh orang yang bertanggung jawab untuk memberikan anestesi dengan
baik sebelum tanggal operasi.
Evaluasi praoperasi memungkinkan pemantauan laboratorium yang tepat,
perhatian terhadap kondisi medis pasien yang terbaru atau yang sedang berlangsung,
diskusi dari setiap reaksi sebelumnya yang merugikan pribadi atau keluarga untuk
anestesi umum, penilaian status fungsional jantung dan paru, dan rencana anestesi
yang efektif dan aman. Hal ini juga berfungsi untuk meredakan kecemasan dari
pembedahan yang tidak diketahui oleh pasien dan keluarga mereka. Secara
keseluruhan, proses ini memungkinkan untuk optimasi pasien pada waktu
perioperatif.
Pemeriksaan fisik yang terkait dengan evaluasi praoperasi memungkinkan
pelaksana anestesi untuk fokus secara khusus pada kondisi saluran napas yang
diharapkan, termasuk membuka mulut, gigi longgar atau bermasalah, keterbatasan
dalam rentang gerak leher, anatomi leher, dan presentasi Mallampati (lihat di bawah).
Dengan menggabungkan semua faktor, rencana yang sesuai untuk intubasi dapat
diuraikan dan langkah tambahan, jika perlu, dapat diambil untuk mempersiapkan
bronkoskopi serat optik, laringoskopi video, atau berbagai intervensi sulit terhadap
saluran napas lainnya.
Manajemen jalan napas
Kesulitan yang mungkin dihadaapi dalam manajemen jalan napas, meliputi kondisi
dibawah ini:
Rahang yang kecil atau mundur
Gigi rahang atas yang menonjol
Leher yang pendek
Ekstensi leher terbatas
Pertumbuhan gigi yang buruk
Tumor di wajah, mulut, leher, atau tenggorokan
Trauma pada wajah
22
Fiksasi antar-gigi
Penggunaan cervical collar yang keras
Berbagai sistem penilaian telah dibuat menggunakan pengukuran orofacial untuk
memprediksi intubasi sulit. Yang paling banyak digunakan adalah skor Mallampati,
yang mengidentifikasi pasien dengan faring yang kurang jelas divisualisasikan melalui
mulut terbuka.
Penilaian Mallampati idealnya dilakukan saat pasien duduk dengan mulut terbuka
dan lidah yang menonjol tanpa phonating. Pada banyak pasien yang diintubasi karena
indikasi emergensi, jenis penilaian seperti ini tidak mungkin. Sebuah penilaian
sederhana dapat dilakukan pada pasien dalam posisi terlentang untuk mendapatkan
gambaran dari ukuran bukaan mulut dan perkiraan lidah dan orofaring sebagai faktor
dalam keberhasilan intubasi (lihat gambar di bawah)
Skor Mallampati yang tinggi telah terbukti menjadi prediksi intubasi sulit. Namun,
tidak ada sistem penilaian yang sensitive 100% atau spesifik 100% . Akibatnya,
praktisi mengandalkan beberapa kriteria dan pengalaman mereka untuk menilai jalan
napas.
Pelaksana anestesi bertanggung jawab untuk menilai semua faktor yang
mempengaruhi kondisi medis pasien dan memilih teknik anestesi yang optimal sesuai
kondisi pasien. Beberapa pertimbangan dalam melakukan anestesi umum meliputi:
Keuntungan
- Menurunkan kesadaran dan ingatan pasien selama operasi
- Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu yang lama
23
- Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi
- Dapat digunakan dalam kasus-kasus yang sensitif terhadap zat anestesi local
- Dapat diberikan tanpa memindahkan pasien dari posisi terlentang
- Dapat disesuaikan dengan mudah untuk prosedur operasi dengan durasi
waktu yang tak dapat diprediksi atau pada keadaan penambahan waktu
operasi
- Dapat diberikan dengan cepat dan reversibel
Kekurangan
- Membutuhkan peningkatan kompleksitas perawatan dan biaya yang terkait
- Membutuhkan persiapan pasien praoperasi
- Dapat menyebabkan fluktuasi perubahan fisiologis yang memerlukan
intervensi aktif
- Terkait dengan komplikasi kurang serius seperti mual atau muntah, sakit
tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan dibutuhkan waktu dalam
pengembalian fungsi mental yang normal
- Terkait dengan kondisi hipertermia yang gawat, sebuah kondisi yang jarang,
terkait dengan kondisi otot yang terkena paparan beberapa (tidak semua) zat
anestesi umum yang dapat menyebabkan kenaikan suhu akut dan berpotensi
mematikan, hiperkarbia, asidosis metabolik, dan hyperkalemia.
Cara memberikan anestesi
Pemberian anestesi dimulai dengan induksi yaitu memberikan obat
sehingga penderita tidur. Tergantung lama operasinya, untuk operasi yang
waktunya pendek mungkin cukup dengan induksi saja. Tetapi untuk operasi yang
lama, kedalaman anestesi perlu dipertahankan dengan memberikan obat terus
menerus dengan dosis tertentu, hal ini disebut maintenance atau pemeliharaan.
Kedaaan ini dapat diatasi dengan cara mendalamkan anestesi. Pada operasi-
operasi yang memerlukan relaksasi otot, bila relaksasinya kurang maka ahli bedah
24
akan mengeluh karena tidak bisa bekerja dengan baik, untuk operasi yang
membuka abdomen maka usus akan bergerak dan menyembul keluar, operasi yang
memerlukan penarikan otot juga sukar dilakukan. Keadaan relaksasi bisa terjadi
pada anestesi yang dalam, sehingga bila kurang relaksasi salah satu usaha untuk
membuat lebih relaksasi adalah dengan mendalamkan anestesi, yaitu dengan cara
menambah dosis obat.
Pada umumnya keadaan relaksasi dapat tercapai setelah dosis obat anestesi
yang diberikan sedemikian tinggi, sehingga menimbulkan gangguan pada organ
vital. Dengan demikian keadaan ini akan mengancam jiwa penderita, lebih-lebih
pada penderita yang sensitif atau memang sudah ada gangguan pada organ vital
sebelumnya. Untuk mengatasi hal ini maka ada tehnik tertentu agar tercapai trias
anestesi pada kedalaman yang ringan, yaitu penderita dibuat tidur dengan obat
hipnotik, analgesinya menggunakan analgetik kuat, relaksasinya menggunakan
pelemas otot (muscle relaxant) tehnik ini disebut balance anestesi.
Pada balance anestesi karena menggunakan muscle relaxant, maka otot
mengalami relaksasi, jadi tidak bisa berkontraksi atau mengalami kelumpuhan,
termasuk otot respirasi, jadi penderita tidak dapat bernafas. Karena itu harus
dilakukan nafas buatan (dipompa), tanpa dilakukan nafas buatan, penderita akan
mengalami kematian, karena hipoksia. Jadi nafas penderita sepenuhnya tergantung
dari pengendalian pelaksana anestesi, karena itu balance anestesi juga disebut
dengan tehnik respirasi kendali atau control respiration.
Untuk mempermudah respirasi kendali penderita harus dalam keadaan
terintubasi. Dengan menggunakan balance anestesi maka ada beberapa keuntungan
antara lain:
- Dosis obatnya minimal, sehingga gangguan pada organ vital dapat dikurangi.
Polusi kamar operasi yang ditimbulkan obat anestesi inhalasi dapat dikurangi.
Selesai operasi penderita cepat bangun sehingga mengurangi resiko yang
ditimbulkan oleh penderita yang tidak sadar.
- Dengan dapat diaturnya pernafasan maka dengan mudah kita bisa melakukan
hiperventilasi, untuk menurunkan kadar CO2 dalam darah sampai pada titik tertentu
25
misalnya pada operasi otak. Dengan hiperventilasi kita juga dapat menurunkan
tekanan darah untuk operasi yang memerlukan tehnik hipotensi kendali.
- Karena pernafasan bisa dilumpuhkan secara total maka mempermudah tindakan
operasi pada rongga dada (thoracotomy) tanpa terganggu oleh gerakan pernafasan.
Kita juga dapat mengembangkan dan mengempiskan paru dengan sekehendak kita
tergantung keperluan. Dengan demikian berdasar respirasinya, anestesi umum
dibedakan dalam 3 macam yaitu:
- Respirasi spontan yaitu penderita bernafas sendiri secara spontan.
- Respirasi kendali/respirasi terkontrol /balance anestesi:
pernafasanpenderita sepenuhnya tergantung bantuan kita.
- Assisted Respirasi: penderita bernafas spontan tetapi masih kita berikan
sedikit bantuan.
Berdasar sistim aliran udara pernapasan dalam rangkaian alat anestesi,
anestesi dibedakan menjadi 4 sistem, yaitu : Open, semi open, closed, dan semi
closed.
1. Sistem open adalah sistem yang paling sederhana. Di sini tidak ada
hubungan fisik secara langsung antara jalan napas penderita dengan alat
anestesi. Karena itu tidak menimbulkan peningkatan tahanan respirasi. Di
sini udara ekspirasi babas keluar menuju udara bebas. Kekurangan sistem
ini adalah boros obat anestesi, menimbulkan polusi obat anestesi di kamar
operasi, bila memakai obat yang mudah terbakar maka akan meningkatkan
resiko terjadinya kebakaran di kamar operasi, hilangnya kelembaban
respirasi, kedalaman anestesi tidak stabil dan tidak dapat dilakukan
respirasi kendali.
2. Dalam system semi open alat anestesi dilengkapi dengan reservoir bag
selain reservoir bag, ada pula yang masih ditambah dengan klep 1 arah,
yang mengarahkan udara ekspirasi keluar, klep ini disebut non rebreating
valve. Dalam sistem ini tingkat keborosan dan polusi kamar operasi lebih
rendah dibanding system open.
26
3. Dalam sistem semi closed, udara ekspirasi yang mengandung gas anestesi
dan oksigen lebih sedikit dibanding udara inspirasi, tetapi mengandung CO2
yang lebih tinggi, dialirkan menuju tabung yang berisi sodalime, disini CO2
akan diikat oleh sodalime. Selanjutnya udara ini digabungkan dengan
campuran gas anestesi dan oksigen dari sumber gas ( FGF /Fresh Gas
Flow) untuk diinspirasi kembali. Kelebihan aliran gas dikeluarkan melalui
klep over flow. Karena udara ekspirasi diinspirasi lagi, maka pemakaian
obat anestesi dan oksigen dapat dihemat dan kurang menimbulkan polusi
kamar operasi.
4. Dalam system closed prinsip sama dengan semi closed, tetapi disini tidak
ada udara yang keluar dari sistem anestesi menuju udara bebas.
Penambahan oksigen dan gas anestesi harus diperhitungkan, agar tidak
kurang sehingga menimbulkan hipoksia dan anestesi kurang adekuat, tetapi
juga tidak berlebihan, karena pemberian yang berlebihan bisa berakibat
tekanan makin meninggi sehingga. menimbulkan pecahnya alveoli paru.
Sistem ini adalah sistem yang paling hemat obat anestesi dan tidak
menimbulkan polusi. Pada system closed dan semiclosed juga disebut
system rebreathing, karena udara ekspirasi diinspirasi kembali, sistem ini
juga perlu sodalime untuk membersihkan CO2. Pada system open dan semi
open juga disebut system nonrebreathing karena tidak ada udara ekspirasi
yang diinspirasi kembali, system ini tidak perlu sodalime. Untuk menjaga
agar pada system semi open tidak terjadi rebreathing, aliran campuran gas
anestesi dan oksigen harus cepat, biasanya diberikan antara 2 – 3 kali menit
volume respirasi penderita.
System Rebreathing Reservoir
bag
Sodalime Tingkat polusi
kamar operasi
Tingkat
keborosan obat
Open - - - ++++ +++
Semi open - + + +++ ++
Semi closed + + + ++ +
Closed + + + + -
27
Bila obat anestesi seluruhnya menggunakan obat intravena, maka disebut anestesi
intravena total (total intravenous anesthesia/TIVA). Bila induksi dan maintenance anestesi
menggunakan obat inhalasi maka disebut VIMA (Volatile Inhalation and Maintenance
Anesthesia)
Pemulihan anestesi
Pada akhir operasi atau setelah operasi selesai, maka anestesi diakhiri dengan
menghentikan pemberian obat anestesi. Pada anestesi inhalasi bersamaan dengan
penghentian obat anestesi aliran oksigen dinaikkan, hal ini disebut oksigenisasi. Dengan
oksigenisasi maka oksigen akan mengisi tempat yang sebelumnya ditempati oleh obat
anestesi inhalasi diaveoli yang berangsur-angsur keluar mengikuti udara ekspirasi.
Dengan demikian tekanan parsiel obat anestesi di alveoli juga berangsur-angsur
turun, sehingga lebih rendah dibandingkan dengan tekanan parsiel obat anestesi inhalasi
didalamdarah. Maka terjadilah difusi obat anestesi inhalasi dari dalam darah menuju ke
alveoli. Semakin tinggi perbedaan tekanan parsiel tersebut kecepatan difusi makin
meningkat. Sementara itu oksigen dari alveoli akan berdifusi ke dalam darah.
Semakin tinggi tekanan parsiel oksigen di alveoli (akibat oksigenisasi) difusi
kedalam darah semakin cepat, sehingga kadar oksigen di dalam darah meningkat,
menggantikan posisi obat anestesi yang berdifusi menuju ke alveoli. Akibat terjadinya
difusi obat anestesi inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli, maka kadarnya di dalam
darah makin menurun.
Turunnya kadar obat anestesi inhalasi tertentu di dalam darah, selain akibat difusi
di alveoli juga akibat sebagian mengalami metabolisme dan ekskresi lewat hati, ginjal, dan
keringat. Kesadaran penderita juga berangsur-angsur pulih sesuai dengan turunnya kadar
obatanestesi di dalam darah. Bagi penderita yang mendapat anestesi intravena, maka
kesadarannya, berangsur-angsur pulih dengan turunnya kadar obat anestesi akibat
metabolisme atau ekskresi setelah pemberinya dihentikan.
Selanjutnya pada penderita yang dianestesi dengan respirasi spontan tanpa
menggunakan pipa endotrakheal maka tinggal menunggu sadarnya penderita, sedangkan
bagi penderita yang menggunakan pipa endotrakheal maka perlu dilakukan
ekstubasi(melepas pipa ET). Ekstubasi bisa dilakukan pada waktu penderita masih
28
teranestesi dalam dan dapat juga dilakukan setelah penderita sadar. Ekstubasi pada
keadaan setengah sadar membahayakan penderita, karena dapat terjadi spasme jalan
napas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler, naiknya tekanan intra okuli dan naiknya
tekanan intra cranial.
Ekstubasi pada waktu penderita masih teranestesi dalam mempunyai resiko tidak
terjaganya jalan nafas, dalam kurun waktu antara tidak sadar sampai sadar. Tetapi ada
operasi tertentu ekstubasi dilakukan pada waktu penderita masih teranestesi dalam. Pada
penderita yang mendapat balance anestesi maka ekstubasi dilakukan setelah napas
penderita adekuat. Untuk mempercepat pulihnya penderita dari pengaruh muscle relaxant
maka dilakukan reverse, yaitu memberikan obat antikolinesterase.
Sebagian ahli anestesi tetap memberikan reverse walaupun napas sudah adekuat
bagi penderita yang sebelumnya mendapat muscle relaxant. Sebagian ahli anestesi
melakukan ekstubasi setelah penderita sadar, bisa diperintah menarik napas dalam, batuk,
menggelengkan kepala dan menggerakkan ekstremitas. Penilaian yang lebih obyektif
tentang seberapa besar pengaruh muscle relaxant adalah dengan menggunakan alat nerve
stimulator.
Adapun setelah prosedur diatas selesai, pasien dipindahkan ke ruang pemulihan
dan terus diobservasi dengan cara menilai Aldrette’s score nya, nilai 8-10 bisa
dipindahkan ke ruang perawatan, 5-8 observasi secara ketat, kurang dari 5 pindahkan ke
ICU, penilaian meliputi:
Hal yang dinilai Nilai
1. Kesadaran:
Sadar penuh
Bangun bila dipanggil
Tidak ada respon
2
1
0
2. Respirasi:
Dapat melakukan nafas dalam, bebas, dan dapat batuk
Sesak nafas, nafas dangkal atau ada hambatan
Apnoe
2
1
0
29
3. Sirkulasi: perbedaan dengan tekanan preanestesi
Perbedaan +- 20
Perbedaan +- 50
Perbedaan lebih dari 50
2
1
0
4. Aktivitas: dapat menggerakkan ekstremitas atas perintah:
4 ekstremitas
2 ekstremitas
Tidak dapat
2
1
0
5. Warna kulit
Normal
Pucat, gelap, kuning atau berbintik-bintik
Cyanotic
2
1
0
30
BAB VI
KESIMPULAN
Pasien adalah laki-laki usia 31 tahun dengan mastoiditis, yang dilakukan operasi
mastoidektomi pada tanggal 21 April 2015. Dari anamnesis pasien tidak ada keluhan dan
tidak memiliki penyakit sistemik seperti hipertensi, diabetes mellitus, asma. Pasien juga
tidak memakai gigi palsu dan tidak mempunyai gigi goyang. Pasien tidak demam maupun
batuk. Dari pemeriksaan fisik dan penunjang tidak didapatkan kelainan. Berdasarkan
American Society of Anesthesiology digolongankan dalam ASA I. Tindakan anestesi yang
dilakukan adalah anestesi general dengan bantuan ETT . Hal ini dipilih karena keadaan
pasien sesuai dengan indikasi anestesi umum.
Evaluasi pre operasi pada pasien dalam batas normal. Tidak ditemukan kelainan
lain yang menjadi kontraindikasi dilakukannya anestesi general. Pasien diberikan
premedikasi berupa ondansetron dan dilakukan general anestesi menggunakan propofol,
fentanyl dan rocuronium. Pasien juga diberikan tramadol secara bolus IV dan oksigen,
N2O serta isofluran sebagai maintenance.. Selama durante operasi, tidak terjadi
komplikasi. Kondisi pasien relatif stabil sampai operasi selesai.
Evaluasi post operatif dilakukan pemantauan terhadap pasien, dan tidak didapatkan
keluhan dan tanda-tanda syok. Selama di ruang Recovery Room pasien cukup stabil
dengan penilaian respon motorik pasca anestesi yaitu skor Aldrette bernilai 8, sehingga
pasien dapat dipindahkan ke ruang rawat.
31