ANESTESI EMBOLI PARU
-
Upload
shinta-hestiningrum -
Category
Documents
-
view
124 -
download
7
description
Transcript of ANESTESI EMBOLI PARU
Bila gangguan hemodinamik hebat, dalam waktu dua jam pasien dapat meninggal , dan sering
didiagnosis sebagai henti jantung . Fibrilasi ventrikel mungkin muncul, mungkin juga tidak. Pijat
jantung dapat dicoba dilakukan , tetapi biasanya tidak berhasil.
b. Gambaran klinis emboli paru ukuran sedang
Biasanya emboli paru akan menyumbat cabang arteri pulmonalis segmental dan subsegmental .
Pasien biasanya mengeluh adanya nyeri pleura, sesak nafas, demam diatas 37,5⁰ C , hemoptisis.
Tidak ditemukan sinkop atau hipotensi , kecuali apabilatelah ada kelainan jantung dan paru yang
diderita sebelumnya.
Pada pemeriksaan jantung tidak ditemukan tanda-tanda kelainan yang nyata , kecuali pada pasien
yang menderita emboli paru yang berulang , dapat timbul kor-pulmonal dengan hipertensi
pulmonal berat dan berlanjut timbul gagal jantung kanan .
Pada pemeriksaan paru ditemukan : ((1) tanda-tanda pleuritis (nyeri pleura, suara gesek pleura
daerah terkena), (2) area konsolidasi paru (gerak nafas daerah berkurang, fremitus raba
mengeras, perkusi redup pada daerah paru yang terkena suara bronchial dan egofoni mengeras ,
dan sebagainya ), (3) tanda-tanda fisis adanya efusi pleura (dada daerah yang terkena
mencembung, gerakan nafas berkurang, fremitus menurun, suara perkusi pekak, dan suara nafas
mengurang atau menghilang). Bila terdapat nyeri tekan diatas daerah efusi pleura mungkin
terdapat empiema . Apabila terdapat infark paru , dapat ditemukkan adanya demam, leukositosis,
dan ikterus ringan.Wheezing jarang ditemukan , tetapi pada 15% kasus dapat ditemukan
wheezing.
Emboli paru ukuran sedang dapat terjadi berulang dalam beberapa bulan atau tahun berikutnya,
terutama pada pasien usia lanjut yang harus tirah baring lama . Gejala tromboemboli ini hanya
berupa takipnea, atau asimptomatik.
c. Gamaran klinis emboli paru ukuran kecil.
Tromboemboli paru ukuran kecil sering luput dari perhatian , karena sumbatan mengenai
cabang-cabang kecil arteri pulmonalis . Baru sesudah sebagian besar system sirkulasi pulmonal
( vascular bed ) tersumbat , muncullah gejalanya. Gejalanya ialah sesak nafas waktu bekerja,
mirip dengan keluhan gagal jantung kiri. Apabila emboli paru terjadi berulang kali dan
berlangsung sampai berbulan-bulan akan mengakibatkan hipertensi pulmonal.Hipertensi
pulmonal ini akan menyebabkan ventrikel kanan membesar . Ada keluhan mudah lelah, pingsan
waktu kerja ( sinkop), dan angina pectoris menunjukkan bahwa curah jantung sudah terbatas.
Sebagian pasien mengalami mikroemboli(emboli ukuran kecil) bersama-sama dengan kehamilan
atau bersamaan dengan penggunaan pil kontrasepsi oral.
d. Kelainan Laboratorium
Kelainan laboratorium ( darah tepi, kimia darah, analisi gas darah, elektrokardiografi, dan
radiologic) yang ditemukan pada pasien emboli paru merupakan kelainan yang tidak spesifik ,
serta tidak dapat membantu menegakkan diagnosis.Pemeriksaan laboratorium tersebut penting
dilakukan dengan tujuan atau dapat dimanfaatkan untuk menyingkirkan penyakit lain .
- Pemeriksaan darah tepi : kadang-kadang dapat ditemukan leukositosis dan laju endap
darah yang sedikit meningkat.
- Kimia darah : Pada emboli paru masif dapat ditemukan peningkatan kadar SGOT, LDH ;
dan CPK yang arti klinisnya belum jelas . Terdapat peningkatan kadar FDP ( fibrin/
fibrinogen degradation product ) , yang mencapai puncaknya pada hari ketiga serangan.
Parameter laboratorium ini (FDP ) lebih mempunyai arti klinis mengingat angka negative
atau positif palsunya relative kecil ( kurang dari 7%)
- Analisis gas darah : Biasanya didapatkan tekanan PaO₂ rendah (hipoksemia) , tetapi tidak
jarang ditemukan pasien dengan serangan emboli paru mempunyai tekanan PaO₂lebih
dari 80mmHg. Menurunnya tekanan PaO₂ disebabkan karena gagalnya fungsi perfusi dan
ventilasi paru . Tekanan PCO₂ umumnya dibawah 40 mmHg , dan penurunan PCO₂ini
terjadi karena reaksi kompensasi hiperventilasi sekunder.
- Elektrokardiografi : Kelainan yang ditemukan pada hasil rekaman elektrokardiogram
juga tidak spesifik untuk emboli paru , tetapi paling tidak dapat dipakai sebagai pertanda
pertama dugaan adanya emboli paru , terlebih bila digabungkan dengan keluhan dan
gambaran klinis lainnya.
Pada emboli paru masif , kira-kira 77 % kasus akan menunjukkan gambar EKGseperti
pada pada pasien kor-pulmonal akut, sebagai berikut:
Adanya strain ventrikel kanan ( misalnya terdapat gelombang Tterbalik pada sadapan
perikordial
diafragma, disebut Hampton’s hump. Biasanya gambaran khas untuk infark paru (Hampton’s
hump) yang berbentuk kerucut (wedge like density) dengan basis pada pleura dan puncak
menunjuk pada hilus, jarang ditemukan. Gambaran lain yang dapat ditemukan pada emboli paru
adalah efusi pleura unilateral atau bilateral, dan menghilang beberapa hari setelah perfusi
membaik.
DIAGNOSIS
Diagnosis emboli paru maupun infark paru seharusnya ditegakkan melewati proses
diagnosis yang lazim dalam klinis, yaitu berdasarkan anamnesis untuk mendapatkan informasi
tentang riwayat penyakit, pemeriksaan fisis untuk mengetahui kelainan klinis yang ada, dan hasil
pemeriksaan penunjang untuk memperkuat data yang ada.
Menegakkan diagnosis emboli paru ataupun infark paru secara klinis seperti disebutkan
diatas tadi agak sulit. Dengan adanya gejala klinis tertentu misalnya adanya keluhan sesak napas
mendadak, nyeri dada (nyeri pleuritik) ataupun hemoptisis, dikemukakan terlebih dahulu
kecurigaan adanya emboli paru atau infark paru. Kecurigaan makin besar bila ditemukan juga
kelainan EKG, foto dada dan hasil analisis gas darah. Kecurigaan dapat lebih besar lagi bila
ditemukan trombus vena perifer atau pada pasien yang dihadapi ditemukan adanya satu atau
beberapa faktor risiko klinis timbulnya emboli paru, antara lain trombosis vena dalam (vena ileo-
femoral), fraktur tulang femur atau coxae, tirah baring lama atau inaktivitas, pembedahan
abdomen/pelvis, stroke, infark jantung, dan faktor umur (lebih dari 40 tahun).
Sesudah menaruh kecurigaan bahwa seseorang pasien mungkin menderita emboli paru
(tersangka emboli paru), kemudian baru dilengkapai data lain yang memperkuat diagnosisnya.
Untuk mendiagnosis adanya trombosis vena perifer diperlukan pemeriksaan penunjang berupa:
- Doppler ultra sound blood velocity detector
- Impedance plethysmography (IPG)
- Isotop l125 atau fibrinogen tes
Diagnosis definitif emboli paru dapat dilakukan dengan pemeriksaan penunjang:
1. Sidikan paru perfusi dan ventilasi
Pemeriksaan sidikan paru perfusi menggunakan albumin yang ditanda dengan Te99m . Bahan
kontras radioaktif disuntikkan secara intavena. Beberapa saat kemudian daerah perfusinya
dibaca dengan kamera gamma. Efek sidikan paru (cold nodule) menunjukkan adanya
gangguan perfusi, menentukan kemungkinan letak emboli paru atau infark paru. Hasil positif
palsu dijumpai pada pneumonia dan karsinoma. Apabila hasil sidikan paru menunjukkan
normal, maka telah memastikan bahwa tidak ada emboli paru. Pemeriksaan sidikan paru
mempunyai sensitivitas cukup baik, tapi spesifisitasnya kurang baik karena terdapat nilai
positif palsu. Untuk menghalangi kekurangan tersebut, hasil sidikan paru sebaiknya
dikombinasikan dengan pemeriksaan sidikan ventilasi paru dengan gas Xenon. Bahan
radioaktif gas Xenon diinhalasikan pada pasien yang telah dilakukan sidikan perfusi dan
distribusi bahan radioaktif telah dibaca dengan kamera gamma.
2. Angiografi paru
Angiografi paru merupakan satu-satunya sarana untuk menilai anatomi pembuluh darah paru
paling akurat. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara menyuntikkan bahan kontras radioopak,
lebih baik menggunakan kateter jantung ke dalam arteri pulmonalis. Pemeriksaan ini lebih
beresiko dibanding prosedur yang lain, tetapi dapat memberikan visualisasi pembuluh darah
paru dan data hemodinamik. Gambaran diagnostik emboli paru berupa penghentian mendadak
aliran kontras yang menunjukkan filling defect. Angiografi tidak perlu dilakukan bila hasil
sidikan perfusi ventilasi paru normal. Angiografi mutlak perlu dilakukan apabila akan
dilakukan embolektomi paru, dan sangat dianjurkan jika pasien akan diterapi dengan risiko
perdarahan. Angiografi dapat dilakukan satu minggu sesudah episode akut. Angiografi paru
merupakan tindakan diagnostik invasif, kurang ideal dan mahal. Untuk pengerjaannya perlu
mengingat adanya faktor indikasi dan kontraindikasi, sehingga tidak dapat dilakukan sebagai
pemeriksaan penyaring untuk setiap pasien.
DIAGNOSIS BANDING
Apabila ada kecurigaan adanya emboli atau infark paru pada seorang pasien, sedangkan
pemeriksaan definitifnya untuk memastikan diagnosis belum dilakukan, perlu diingat diagnosis
banding terhadap kelainan yang dihadapi.
1. Diagnosis banding emboli paru masif, disertai adanya nyeri dada mendadak dan hipotensi
adalah infark miokard akut, aneurisma aorta disekan, gagal jantung kiri berat dan ruptur
esofagus.
2. Diagnosis banding emboli paru ukuran sedang, tanpa ada infark paru adalah sindrom
hiperventilasi, asma bronkial, alveolitis alergik dan sebagainya.
3. Diagnosis banding emboli paru akut dengan infark paru adalah pneumonia, sumbatan
bronkus oleh lendir pekat, karsinoma paru dengan pneumonia pasca obstruksi, empiema,
dan tuberkulosis paru dengan efusi pleura.
PENGOBATAN
Penyakit emboli paru masif dan infark paru merupakan keadaan gawat darurat sehingga
memerlukan tindakan yang cepat, tepat dan seksama. Sehingga sejak awal menghadapi pasien
dengan kecurigaan terhadap adanya emboli paru atau infark paru, tindakan yang bersifat
preventif maupun terapeutik sudah dilaksanakan sejak penegakkan diagnosis dilakukan.
Biasanya dokter menangani pasien dengan menggunakan bagan atau algoritma diagnosis atau
penatalaksanaan emboli paru tertentu yang dianutnya. Pada uraian ini dilampirkan contoh dua
bagan diagnostik dan penatalaksanaan pasien dengan emboli paru (Bagan I: untuk kondisi
emboli paru dengan kondisi hemodinamik stabil, dan bagian II: untuk pasien emboli paru dengan
kondisi hemodinamiknya jelas tidak stabil).
Pengobatan yang diberikan kepada pasien emboli paru atau infark paru, terdiri atas:
1. Tindakan untuk memperbaiki keadaan umum pasien
2. Pengobatan atas dasar indikasi khusus
3. Pengobatan utama terhadap emboli paru/infark paru
4. Pengobatan lainnya.
1. Tindakan untuk memperbaiki keadaan umum pasien
Tindakan pertama pada pasien dengan emboli paru adalah mempertahankan fungsi-fungsi
vital tubuh. Hal-hal yang perlu dilakukan misalnya: (a) memberikan oksigen untuk mencegah
terjadinya hipoksemia, (b) memberikan cairan infus untuk mempertahankan kestabilan
keluran ventrikel kanan dan aliran darah pulmonal, (c) intubasi (bila diperlukan)
2. Pengobatan atas dasar indikasi khusus
Emboli paru masif merupakan keadaan gawat darurat, sedikit atau banyak menimbulkan
gangguan terhadap fungsi jantung, maka perlu dilakukan tindakan pengobatan terhadap
gangguan pada jantung, yang dengan sendirinya diberikan atas dasar indikasi khusus sesuai
dengan masalahnya. Contoh, ada indikasi untuk pemberian obat vasopressor, obat inotropik,
anti aritmia, digitalis dan sebagainya.
3. Pengobatan utama terhadap emboli paru / infark paru
Pengobatan utama terhadap emboli atau infark paru sampai saat ini yang dilakukan adalah:
pengobatan anti koagulan dengan heparin dan warfarin dan pengobatan trombolitik. Tujuan
pengobatan utama ini ialah segera menghambat pertumbuhan tromboemboli, melarutkan
tromboemboli dan mencegah timbulnya emboli ulang.
Pengobatan antikoagulan
Heparin, sekarang ini merupakan pengobatan standar awal pada pasien dengan
tromboemboli vena, mengingat kebaikannya: (1) membuat pelarutan trombus dengan sifat
fibrinolitik tetapi tidak dihambat oleh pertumbuhan trombus, (2) membantu mencegah
emboli ulang, dan (3) heparin juga dapat menghambat agregasi trombosit dan karena itu
dapat menghambat pelepasan tromboksan dan serotonin pada tempat emboli dan efek
heparin reversibel.
Pemberian heparin dapat dengan berbagai cara menurut keadaan pasien: (1) drip heparin
dengan infus intravena, (2) suntikan intravena intermitten, (3) suntikan subkutan. Pemberian
drip heparin lewat infus kontinu intravena lebih disukai dibandingkan pemberian intravena
intermitten, karena efek samping perdarahan kurang sering. Dosis heparin: bolus 3000-5000
unit intravena diikuti sebanyak 30.000-35.000 unit/hari dalam infus glukosa 5% atau NaCl
0.9% atau disesuaikan, sampai dicapai hasil pengobatan heparin, dengan target pemeriksaan
PTT mencapai 1,5-2 kali nilai normal. Lama pengobatan diberikan selam 7-10 hari,
selanjutnya obat antikoagulan oral. Pada emboli paru yang tidak masif, heparin diberikan
5.000 unit tiap 4 jam, sesudah 48 jam diberikan pula obat antikoagulan oral. Sedangkan
pada emboli paru masif, dosis heparin ditingkatkan menjadi 10.000 unit tiap 4 jam.
Pemberian heparin subkutan lebih menguntungkan karena pemberiannya lebih mudah,
mobilisasi lebih cepat dan bisa untuk pasien rawat jalan. Dosis mulai dengan suntikan bolus
intravena 3000-5000 unit bersama suntikan subkutan pertama, kemudian suntikan subkutan
diberikan 5000 unit/4 jam, atau 10000 unit/8 jam atau 15000-20000 unit tiap 12 jam sampai
dicapai PTT 1,5-2,5 kali nilai normal. Heparin tidak boleh diberikan intramuskular karena
dapat menimbulkan hematom pada tempat suntikan. Keberhasilan pengobatan heparin dapat
mencapai 92% dan heparin dapat diberikan pada wanita hamil karena heparin tidak dapat
melewati plasenta.
Warfarin, obat ini bekerja dengan menghambat aktivitas vitamin K, yaitu dengan
mempengaruhi sintesis prokoagulan (faktor II, VII, IX, X). Karena awal kerjanya lambat
maka pemberian warfarin dilakukan sesudah pemberian heparin. Warfarin diberikan pada
pasien dengan trombosis vena atau emboli paru berulang dan pada pasien dengan faktor
resiko menetap. Dosis yang biasa diberikan ialah 10-15 mg/kgBB, dengan target sampai
terjadi pemanjangan (lebih dari 15-25%) dari nilai normal waktu protrombin yang
maksimum. Pemberian warfarin adalah secara oral. Lama pemberian biasanya sekitar 3
bulan (12 minggu) terus menerus. Harus hati-hati terhadap pemberian bersama dengan obat-
obat lain, karena warfarin dapat saling berpengaruh dengan obat-obat lain.
Pengobatan trombolitik
Cara ini merupakan pengobatan definitif karena bertujuan untuk menghilangkan
sumbatan mekanik karena tromboemboli. Cara kerja obat ini adalah mengadakan
trombolisis. Obat yang tersedia ada dua sediaan yaitu streptokinase dan urokinase.
Streptokinase merupakan protein nonenzim, disekresi oleh kuman streptokokus beta
hemolitik grup C sedangkan urokinase merupakan protein enzim, dihasilkan oleh parenkim
ginjal manusia. Urokinase sekarang dapat diproduksi lewat kultur jaringan ginjal (rekayasa
ginetik).
Streptokinase dan urokinase sebagai obat trombolitik, kerjanya akan memperkuat
aktivitas fibrinolisis endogen yang lebih mengaktifkan plasmin. Plamin dapat langsung
melisiskan dan mempunyai efek sekunder sebagai antikoagulan. Terapi trombolitik selain
mempercepat resolusi emboli paru, juga dapat menurunkan tekanan di arteri pulmonalis dan
jantung kanan, serta meperbaiki fungsi ventrikel kiri dan kanan pada kasus-kasus yang jelas
menderita emboli paru.
Terapi trombolitik sering diindikasikan untuk pasien emboli paru masif akut, trombosis
vena dalam, emboli paru dengan gangguan hemodinamik dan terdapat penyakit jantung atau
paru tetapi belum mengalami perbaikan dengan terapi heparin. Terapi trombolitik boleh
diberikan bila gejala-gejala yang timbul kurang dari 7 hari. Selama pengobatan trombolitik
tidak boleh melakukan suntikan intra-arteri, intravena, atau intravaskular pada pasien.
Demikian juga selama pengobatan trombolitik jangan memberikan obat antikoagulan, anti
platelet bersama.
Dosis awal streptokinase 250.000 unit dalam larutan garam fisiologis atau glukosa 5%
diberikan secara intravena selama 30 menit. Dosis pemeliharaan streptokinase: 100.000
unit/jam diberikan selama 25-72 jam. Dosis awal urokinase 4.400 unit /kgBB, dalam larutan
garam fisiologis atau glukosa 5% diberikan intravena selama 15-30 menit. Dosis
pemeliharaan urokinase 4400 unit/kgBB/jam selama 12-24 jam. Perbaikan atau keberhasilan
terapi sudah terlihat dalam waktu 12 jam untuk urokinase dan 24 jam untuk streptokinase.
Terapi trombolitik tidak boleh dilakukan apabila dalam 10 hari terakhir atau kurang
terdapat tindakan/biopsi didaerah yang sulit dievaluasi, tumor intrakranial, cerebro vascular
accident, hipertensi maligna dan perdarahan aktif di traktus gastrointestinal. Evaluasi terapi
trombolitik dilakukan sebelum, selama, dan sesudah terapi, dan parameter yang diukur
adalah waktu trombin, PTT, waktu protrombin dan FDP (fibrin degeneration product).
Komplikasi terapi trombolitik yang sering terjadi adalah perdarahan dengan insiden 5-7%.
4. Pengobatan lainnya
Yang terpenting adalah pengobatan pembedahan. Pengobatan pembedahan pada emboli paru
diperuntukkan bagi pasien yang tidak adekuat atau tidak dapat diberikan terapi heparin.
Dengan tindakan pembedahan ini dapat dilakukan venous interruption dan embolektomi paru.
Tujuan venous interruption adalah mencegah emboli ulang dari trombus vena dalam tungkai
bawah. Sekarang yang banyak dikerjakan ialah pemasangan filter di vena kava inferior secara
intravena, yang tidak menyumbat aliran vena, dapat mencegah emboli yang lebih besar dari 2
mm dan jarang mengalami trombosis di filter tersebut.
Tindakan embolektomi ini dulu banyak dikerjakan jika terdapat kontraindikasi terhadap
pemakaian antikoagulan atau pada pasien emboli paru kronik. Karena resiko kematian cukup
besar, maka tindakan embolektomi ini sekarang ditinggalkan, lebih-lebih karena telah adanya
kemajuan terapi trombolitik.
PENCEGAHAN
Pencegahan terhadap timbulnya trombosis vena dalam dan trombolemboli paru dilakukan
dengan tindakan-tindakan fisis, suntikan heparin dosis kecil dan obat anti platelet (antitrombosit)
pada pasien-pasien resiko tinggi. Tindakan-tindakan fisis, misalnya pemasangan stocking elastik
dan kompresi dada intermitten pada tungkai bawah. Pemasangan stocking elastik mungkin
efektif untuk mencegah timbulnya trombosis vena dalam. Pemasangan alat kompresi udara
intermitten pasca operasi pada tungkai bawah dianjurkan pada pasien sesudah pembedahan saraf,
prostat atau lutut. Tindakan-tindakan lain untuk mecegah trombosis vena dalam misalnya
mobilisasi dini sesudah pembedahan, kaki letaknya ditinggikan pada pasien tirah baring, dan
latihan aktif dan pasif meggerakkan kaki pada pasien tirah baring.
Suntikan heparin dosis rendah, 5000 unit subkutan diberikan tiap 8-12 jam, dimulai 2 jam
sebelum operasi. Monitoring sama seperti pengobatan heparin. Pencegahan dengan obat
antitrombosit dalam mencegah trombosis vena dalam belum ada bukti keberhasilannya.
PROGNOSIS
Prognosis emboli paru dengan terapi yang tepat segera diberikan adalah baik. Emboli
paru juga dapat menimbulkan kematian mendadak. Prognosis emboli paru tergantung pada
penyakit yang mendasarinya, juga tergantung ketepatan diagnosis dan pengobatan yang
diberikan.
Umumnya prognosis emboli paru kurang baik. Pada emboli paru masif prognosisnya
lebih buruk lagi, karena 70% dapat mengalami kematian dalam waktu 2 jam sesudah serangan
akut. Prognosis juga buruk pada pasien emboli paru kronik dan yang sering mengalami serangan
berulang. Resolusi emboli paru dapat terjadi dengan terapi trombolitik yang progresif. Umumnya
resolusi dapat dicapai dalam waktu 30 jam. Resolusi komplit terjadi dalam waktu 7-19 hari,
variasinya tergantung pada kapan mulai terapi, adekuat tidaknya terapi dan besar-kecilnya
emboli paru yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Brewis RAL. Lecture Note on Respiratory Disease. 2nd ed. Singapore: PG Publishing
Pte Ltd; 1983.
2. Bahar A. Emboli Paru dalam Buku: Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Balai
penerbit FKUI; 1990.
3. Crofton J and Douglas A. Respiratory Disease. 2nd ed. Blackwell Scientific
Publications, Medical Book Center; 1975.
4. Goldman MJ. Principles of Clinical Electrocardiography. 8th ed. Japan: Maruzen
Asian Edition, Lange Medical Publication Maruzen Company Ltd; 1973.
5. Karlisky JB, Lau J and Goldstein RH. Decision Making in Pulmonary Disease.
Philadelphia: BC Decker; 1991.
6. Major RH and Delp MH. Physical Diagnosis. 6th ed. Philadelphia: WB Saunders
Company; 1962.
7. Moser KM. Pulmonary Thromboembolism in Braunwald E, et al. Eds. Harrison”s
Principles of Internal Medicine 11th ed. New York : McGraw-Hill Book Company;
1987.
8. Neff TA. Pulmonary Thromboembolism in Mitchell RS Ed. Synopsis of Clinical
pulmonary Disease. Saint Louis: CV Mosby; 1979.
9. Staufer JL. Pulmonary Disesae in Schroeder et al (eds) Current Medical Diagnostic
& Treatment 1989. London: Prentice-hall international Inc; 1989.
10. Wilson III JE. Pulmonary Embolism in Wyngaarden JB and Smith LH (eds)Cecil
Textbook of Medicine vol 1, 16 th ed. Tokyo: WB Saunders; 1982.