Anemia Ckd Niken

48
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi Diabetes Melitus (DM) tipe 2 di berbagai penjuru dunia. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7 juta menjadi 12 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030. 1 Diabetes melitus mengambil peran sebesar 30-40% sebagai penyebab utama stadium akhir penyakit ginjal kronis di Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa yang diawali dengan nefropati diabetikum. 2 Angka kejadian nefropati diabetikum pada diabetes melitus tipe 1 dan 2 sebanding, tetapi insiden pada tipe 2 sering lebih besar daripada tipe 1 karena jumlah pasien diabetes mellitus tipe 2 lebih banyak daripada tipe 1. Pasien diabetes melitus tipe 2 dengan End-Stage Renal Disease (ESRD) jumlahnya saat ini meningkat karena meningkatnya pula prevalensi diabetes melitus tipe 2 dan secara progresif akan 1

Transcript of Anemia Ckd Niken

Page 1: Anemia Ckd Niken

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan

angka insidensi dan prevalensi Diabetes Melitus (DM) tipe 2 di berbagai penjuru dunia.

WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun

2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International

Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM

dari 7 juta menjadi 12 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka

prevalensi, laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM

sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030.1

Diabetes melitus mengambil peran sebesar 30-40% sebagai penyebab utama stadium

akhir penyakit ginjal kronis di Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa yang diawali dengan

nefropati diabetikum.2 Angka kejadian nefropati diabetikum pada diabetes melitus tipe 1

dan 2 sebanding, tetapi insiden pada tipe 2 sering lebih besar daripada tipe 1 karena jumlah

pasien diabetes mellitus tipe 2 lebih banyak daripada tipe 1. Pasien diabetes melitus tipe 2

dengan End-Stage Renal Disease (ESRD) jumlahnya saat ini meningkat karena meningkatnya

pula prevalensi diabetes melitus tipe 2 dan secara progresif akan menurunkan angka

kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung dan pembuluh darah.3

Di Amerika, nefropati diabetikum merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di

antara semua komplikasi diabetes mellitus, dan penyebab kematian tersering adalah karena

komplikasi kardiovaskular.4 Penelitian di luar negeri pada penderita diabetes melitus tipe 1

menyatakan bahwa 30-40% dari penderita ini akan berlanjut menjadi nefropati diabetikum

dini dalam waktu 5-15 tahun setelah diketahui menderita diabetes. Apabila telah berlanjut

menjadi nefropati diabetikum, maka perjalanan penyakit tidak dapat dihambat lagi. Dengan

demikian setelah 20-30 tahun menderita diabetes maka sekitar 40-50% akan mengalami

gagal ginjal yang membutuhkan cuci darah dan transplantasi ginjal.5

1

Page 2: Anemia Ckd Niken

BAB II

ILUTRASI KASUS

Pasien berobat ke IGD Tanggal : 1 April 2013

No rekam Medik : 02-40-11

Identitas Pasien

Nama : Ny. S

Umur : 67 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Status perkawinan : Sudah menikah

Kebangsaan : Indonesia

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Marga Catur, Lampung Selatan

Riwayat Penyakit (Auto dan alloanamnesis)

Keluhan Utama : Pusing dan berkunang-kunang sejak ± 4hari SMRS

Keluhan Tambahan : Sesak napas, badan terasa lemas, kedua kaki membengkak, BAK hanya

sedikit jumlahnya ± 3 kali/hari, riwayat DM (+), riwayat hipertensi disangkal.

Riwayat Perjalanan Penyakit

Pasien datang ke IGD RSUD Bob Bazar diantar oleh anak dan cucunya dengan keluhan kepala

terasa pusing dan berkunang-kunang sejak 4 hari SMRS. Pasien juga mengatakan merasa sesak

dan berat saat bernapas. Keluhan sesak ini sudah dirasakan sejak 1 minggu SMRS. Badan terasa

lemas, kedua kaki sering terlihat membengkak terutama jika duduk terlalu lama. Keluhan

seperti demam, rasa mual dan muntah disangkal. BAK ± 3 kali/hari dengan jumlah sedikit-

sedikit, warna kuning jernih, BAB tak ada keluhan. Nafsu makan dalam batas normal.

2

Page 3: Anemia Ckd Niken

Riwayat penyakit yang pernah diderita dahulu (RPD)

DM (sejak tahun 2006).

Hipertensi disangkal.

Riwayat maag disangkal.

Riwayat penyakit dalam keluarga (RPK)

Riwayat hipertensi (+) : kakak pasien.

Riwayat DM (+) : kakak dan adik kandung pasien.

Riwayat penyakit jantung/paru disangkal.

Riwayat penyakit ginjal disangkal.

Riwayat Kebiasaan

Tidak mengkonsumsi alkohol.

Tidak merokok.

Konsumsi makanan dengan gizi yang cukup (menurut pasien).

Pemeriksaan Fisik ( 1 April 2013 di IGD)

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Tanda Vital : TD : 160/80 mmHg N : 78 x/menit

RR : 25 x/menit S : 36,7”C

Status Generalis :

Kepala : Normocephal, rambut putih beruban, simetris

Mata : CA +/+, SI -/-, refleks cahaya +/+, pupil isokor 3mm/3mm

Hidung : Deformitas (-), NCH (+/+)

Mulut : Sianosis (-), mukosa bibir lembab

Leher : Simetris, KGB tidak teraba membesar, JVP 5-2 cmH2O

3

Page 4: Anemia Ckd Niken

Thorak :

Paru : Retraksi suprasternal (+), pergerakan dada simetris, rhonki basah halus di kedua

basal paru, wheezing -/-.

Jantung: Tak tampak ictus cordis, ictus cordis teraba di ICS 5 linea axilaris anterior, S1-S2

reguler, murmur (-), gallop (-).

Abdomen : Tampak cembung, supel, BU + Normal, NT (-), ascites (-)

Ekstremitas : Akral hangat, edema tungkai (+/+), CRT < 2 detik

Kulit : Tampak kering, eritema (-), ulkus (-)

Pemeriksaan penunjang :

(1 April 2013) : Hb : 7,6 g%

GDS : 145 mg/dL

(2 April 2013) : Hb : 8,0 g% Trombosit : 442.000

Leukosit : 10.000 Ureum/Creatinin : 32 / 5,0 mg/dL

GDS : 160 mg/dL

Diagnosis Kerja :

- Anemia

- Acute Lung Oedema

- Chronic Kidney Disease

Penatalaksanaan

Non medikamentosa :

- Posisi semi Fowler

- Monitoring tanda vital

- Oksigen 4 liter/menit

- Pasang DC

4

Page 5: Anemia Ckd Niken

Medikamentosa :

- IVFD NaCl 0,9% 10 tetes/menit

- Ceftriaxon 1gr/24jam

- Ranitidine 1 amp/12jam

- Teranol 1 amp/12jam

- Nifedipine 1 x 5mg

- Furosemide 1 x 40mg

- Pro transfusi 2 kolf/hari

Prognosis

Ad vitam : ad bonam

Ad fungsionam : dubia ad malam

Ad sanationam : dubia ad malam

Follow Up

Tanggal 2 April 2013, di kelas II

S : Sesak (-), pusing +, rasa lemas berkurang, nafsu makan baik

O : TD : 140/80 mmHg, HR : 82 x/menit, RR : 21 x/menit, S : Afebris

Mata : CA +/+, SI -/-

Hidung : NCH (-)

Thoraks (Pulmo) : retraksi suprasternal (-), SN ves +/+, rh -/-, wh -/-

(Cor) : S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen : Supel, BU (+) N, ascites (-)

Ekstremitas : edema tungkai +/+ (pitting)

Jumlah urine : ± 800cc/24jam

A : Anemia + DM tipe 2

P : IVFD NaCl 12 tetes/menit

Ceftriaxon 1gr/24jam

Ranitidine 1 amp/12jam

5

Page 6: Anemia Ckd Niken

Ketorolac 1 amp/12jam

On transfuse 2 kolf/hari (extra furosemide 2ampul)

Ironyl 3 x 1 tab

Monitor balance cairan

6

Page 7: Anemia Ckd Niken

BAB III

FORMAT PORTOFOLIO

Topik : Anemia kronik, acute lung oedema dan CKD

Tanggal (kasus): 1 April 2013 Presenter: dr. Niken Prabha Duhita

Tangal presentasi: Pendamping: dr. Yani Widowati

Tempat presentasi:

Obyektif presentasi:

√□ Keilmuan □ Keterampilan √ □ Penyegaran √ □ Tinjauan pustaka

√ □ Diagnostik √ □ Manajemen √ □ Masalah □ Istimewa

□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia √ □ Bumil

□ Deskripsi: Wanita, 67 th, pusing berkunang-kunang, sesak napas, oligouria, edema tungkai.

Pemeriksaan fisik didapati pasien anemis, takipnea, ditemukan rhonki basah halus di

kedua basal paru, napas cuping hidung (+), retraksi suprasternal, pitting edema kedua

tungkai.

□ Tujuan: Mengetahui tanda dan gejala, diagnosis dan penatalaksanaan anemia dan edema

paru pada ckd.

Bahan bahasan: √ □ Tinjauan pustaka □ Riset √ □ Kasus □ Audit

Cara membahas: □ Diskusi □ Presentasi dan diskusi √ □ E mail ‐ □ Pos

Data pasien: Nama: Ny. S No registrasi: 02-40-11

Nama RS : RSUD Bob Bazar Telp: - Terdaftar sejak: 03-2013

Data utama untuk bahan diskusi:

1. Diagnosis/Gambaran Klinis: Anemia dan CKD. Keluhan : pusing berkunang-kunang, sesak

napas, oligouria, edema tungkai. Pemeriksaan fisik didapati pasien anemis, takipnea,

ditemukan rhonki basah halus di kedua basal paru, napas cuping hidung (+), retraksi

suprasternal, pitting edema kedua tungkai.

2. Riwayat Pengobatan: Rutin kontrol gula darah dan konsumsi obat DM.

3. Riwayat kesehatan/Penyakit: Riwayat DM sejak tahun 2006.

7

Page 8: Anemia Ckd Niken

4. Riwayat keluarga: Anak ketiga dari 7 bersaudara.

5. Riwayat pekerjaan: Os bekerja sebagai ibu rumah tangga.

6. Lain lain : ‐ -

Daftar Pustaka:

1. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2011.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). 2011.

2. Ayodele, O.E., Alebiosu, C.O., Salako, B.L. Diabetic nephropathy—a review of the

natural history, burden, risk factors and treatment . Dalam: Journal National Medical

Association: 1445–54. 2004.

3. Ruggenenti, P and Remuzzi, G. Nephropathy of Type 1 and Type 2 Diabetes : Diverse

Pathophysiology, Same Treatment. Oxford Journals, 15(12), 1900-02. 2000.

4. Hendromartono. Nefropati Diabetik. In Aru W. Sudoyo, D. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. IV Ed. Jakarta, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006.

5. Molitch, M. E., DeFronzo, R. A., Franz, M. J., Keane, W. F., Mogensen, C. E., Parving,

H-H., Steffes, M. W. Nephropathy in Diabetes. Diabetes Care January, 2. 79-83. 2004.

6. Soman,SS and Soman,SA.2009.Diabetic Nephropathy.

http//emedicine.medscape.com/article/238946-overview. 2009.

7. Czekalski,S.2005.Diabetic Nephropathy and Cardiovascular Disease. Annales Academiae

Medicae Bialostocensis vol 50:122-125.

8. Schena,FP and Gesualdo,L.2005.Pathogenetic Mechanism of Diabetic Nephropathy. J

Am.Soc.Nephrol, America 16:S30-S33.

9. Obineche,EN and Adem,A. 2005. Update in Diabetic Nephropathy. Int J Diabetes &

Metabolism 13: 1-9

10. Arsono, Soni .(2005). Diabetes Melitus Sebagai Faktor Risiko Kejadian Gagal Ginjal

Terminal (Studi Kasus Pada Pasien RSUD Prof.Dr. Margono Soekarjo Purwokerto).

Jurnal Epidemiologi

11. Sukandar,Enday.2006. Nefrologi klinik edisi III. Pusat informasi ilmiah bagian ilmu

penyakit dalam kedokteran UNPAD/R.S. Dr. Hasan Sadikin Bandung.

12. Gilbert,Richard E and Marsden,Philip A.2008.Activated protein C and diabetic

nephropathy. New England journal of medicine 358;15;1628-1630.Massachusetts medical

8

Page 9: Anemia Ckd Niken

society.England.

13. Sofa, Chasani. 2007. Naskah Lengkap Diabetes Melitus Ditinjau dari Berbagai Aspek

Penyakit Dalam. Semarang, CV. Agung

14. Suwitra K. Penyaki Ginjal Kronik. Dalam :Sudoyo A.W, Setiyohadi B, Alwi I, dkk,

editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid I. Jakarta ;2006

15. Mulloy L.L., Talavera F., Aronoff G.R.Chronic Kidney Disease. Diunduh dari

http://www.emedicinehealth.com/chronic_kidney_disease/page3.htm. Diakses tanggal 8

Juni 2012.

16. Sylvia A price, Lorraine M Wilson. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit.

Volume 2. Jakarta: EGC. 2005

Hasil pembelajaran:

1. Diagnosa Anemia dan Edema Paru

2. Diagnosa Chronic Kidney Disease

3. Tatalaksana Anemia dan Edema Paru

4. Tatalaksana CKD dengan HT

5. Edukasi penyebab, faktor resiko, penatalaksanaan serta komplikasi

1. “Subyektif” Pasien datang dengan keluhan pusing dan berkunang-kunang, napas terasa

sesak dan berat. Keluhan tersebut dapat muncul akibat kurangnya suplai oksigen ke

jaringan. Hal ini dapat terjadi karna adanya gangguan pada organ paru, jantung maupun

ginjal yang bisa terjadi akibat suatu komplikasi dari penyakit metabolik. Kemudian

pasien juga mengeluh badan terasa lemas serta kedua kaki sering membengkak.

Keluhan lemas juga bisa terjadi akibat kurangnya kadar oksigen darah, dimana oksigen

itu sendiri yang membantu proses metabolisme anaerob yang nantinya menghasilkan

suatu energi. Edema tungkai yang dialami pasien bisa disebabkan adanya gangguan

fungsi jantung, ginjal, sistem limfatik dan proses infeksi. Keluhan seperti demam, rasa

mual dan muntah disangkal sehingga dapat menyingkirkan adanya suatu infeksi dan

pusing yang dialami pasien kemungkinan bukan akibat gangguan sistem vestibular.

Pasien mengatakan BAK ± 3 kali/hari dengan jumlah sedikit-sedikit. Keluhan oliguria ini

dapat timbul pada keadaan dehidrasi, gangguan fungsi ginjal serta saluran kemih. Pasien

9

Page 10: Anemia Ckd Niken

mempunyai riwayat DM sejak 2006 begitupun dengan kakak dan adik kandung pasien.

2. “Objektif” Hasil pemeriksaan fisik didapati pasien tampak anemis, takipnea, ditemukan

rhonki basah halus di kedua basal paru, napas cuping hidung (+), retraksi suprasternal,

pitting edema kedua tungkai. Adanya takipnea, anemis serta kerja otot-otot napas

tambahan (retraksi) mengarahkan kurangnya suplai oksigen diakibatkan kurangnya

factor pengikatnya yaitu hemoglobin (Hb). Keadaan anemia ini dapat disebabkan oleh

adanya perdarahan (hipovolemia), gangguan fungsi ginjal, kelainan darah maupun

penyakit kronik. Selain itu ditemukan adanya ronki basah halus menunjukkan adanya

edema paru yang juga bisa menyebabkan timbulnya sesak pada pasien. Edema paru

sendiri bisa disebabkan adanya gangguan pada paru, jantung maupun gangguan pada

fungsi ginjal. Didapatkan juga pitting edema pada kedua tungkai. Hal ini mengarahkan

kemungkinan adanya gangguan fungsi jantung maupun ginjal. Pada pasien ini

kemungkinan besar adanya gangguan fungsi ginjal, dimana dari hasil pemeriksaan fisik

fungsi jantung masih dalam batas normal dimana tidak didapatkan adanya bunyi

tambahan (murmur ataupun gallop) yang didukung juga dari anamnesa tidak didapatkan

manifestasi pada gagal jantung.

3. “Assessment”

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan korelasi pasien kemungkinan besar

menderita chronic kidney disease (CKD) yang terjadi akibat komplikasi DM sejak tahun

2006. CKD inilah yang menimbulkan keadaan akut yang saat ini dialami pasien yaitu

berupa anemia dan edema paru. CKD adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama 3

bulan atau lebih, berdasarkan kelainan patologik atau petanda kerusakan ginjal seperti

kelainan pada urinalisis, dengan penurunan laju filtrasi glomerulus atau pun tidak.

Hiperglikemik menyebabkan kerusakan ginjal secara langsung atau melalui modifikasi

hemodinamik. Hiperglikemik kemungkinan juga secara langsung meningkatkan produksi

vasodilator prostaglandin yang dapat berkontribusi untuk terjadinya hiperperfusi ginjal,

hipertensi intraglomerulus, dan hiperfiltrasi. Hiperfiltrasi dianggap sebagai awal dari

mekanisme patogenik dalam laju kerusakan ginjal, dimana saat jumlah nefron

mengalami pengurangan progresif, glomerulus akan melakukan kompensasi dengan

10

Page 11: Anemia Ckd Niken

meningkatkan filtrasi nefron yang masih sehat dan pada akhirnya nefron yang sehat

menjadi sklerosis. Selain itu kondisi hipoksia yang persisten juga akan mengakibatkan

terjadinya vasodilatasi nefron-nefron yang masih utuh dan terjadinya sklerosis sehingga

timbullah glumerulosklerosis yang meningkatkan hiperfiltrasi ginjal secara terus

menerus. Perjalanan klinis umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi 3 stadium,

yaitu penurunan cadangan ginjal, insufisiensi ginjal, dan penyakit ginjal stadium akhir.

Gambaran klinik nefropati diabetik sangat bervariasi; dari keluhan ringan atau tanpa

keluhan dan ditemukan kebetulan pada pemeriksaan rutin laboratorium sampai timbul

azotemia dan hipertensi. Gambaran klinis yang timbul antara lain proteinuria

asimtomatis yang merupakan tanda permulaan nefropati diabetik, timbulnya intermiten

selama beberapa tahun dan akhirnya menetap disertai proteinuria masif. Bila telah

terjadi proteinuria masif dan berlangsung lama selalu diikuti oleh gambaran klinik

lainnya seperti sembab dan hipertensi.

4. ”Plan”

Diagnosis :

Ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis serta hasil laboratorium yang mengarah pada

diagnosis Anemia, Edema Paru dan Chronic Kidney Disease (CKD).

Pengobatan :

Non medikamentosa :

- Posisi semi Fowler

- Monitoring tanda vital

- Oksigen 4 liter/menit

- Pasang DC

Tatalaksana awal pada pasien saat datang adalah mengurangi sesak yang dialami. Maka

dari itu pasien diposisikan setengah duduk (Semi Fowler) serta dipasang kanul O2 4

liter/menit untuk membantu memenuhi demand O2 terutama otak.

Medikamentosa :

- IVFD NaCl 0,9% 10 tetes/menit

- Ceftriaxon 1gr/24jam

11

Page 12: Anemia Ckd Niken

- Ranitidine 1 amp/12jam

- Teranol 1 amp/12jam

- Nifedipine 1 x 5mg

- Furosemide 1 x 40mg

- Pro transfusi 2 kolf/hari

Kemudian pasien dianjurkan rawat inap agar dapat dilakukan pemberian terapi yang

tepat serta dilakukan evaluasi terhadap keadaan klinis pasien. Pasien diberikan cairan

rumatan isotonik, tetapi pemberian cairan pada pasien harus diawasi karena sangat

besar kemungkinan terjadinya overload cairan, dimana fungsi ginjal sudah terganggu.

Pemberian antibiotik sefalosporin pada pasien bertujuan untuk mengurangi/mencegah

risiko terjadinya infeksi nosokomial karena pasien dilakukan perawatan di rumah sakit.

Pastikan pasien tidak ada hipersensitivitas terhadap obat tersebut dengan dilakukan skin

test sebelumnya.

Pada pasien dilakukan pemberian nifedipin 5mg, nifedipin merupakan golongan

antagonis kalsium yang menyebabkan penurunan resistensi vascular. Tujuannya untuk

menurunkan tekanan darah pasien yang saat dilakukan pemeriksaan pertama kali

didapatkan 160/80 mmHg, walaupun pasien menyangkal adanya riwayat hipertensi

sebelumnya. Furosemide 40 mg diberikan untuk mengurangi edema paru pada pasien,

dimana obat itu merupakan loop diuretik (diuretik kuat) sehingga cairan yang tertimbun

dalam interstisial paru akan diekskresikan melalui urin. Pada keadaan edema paru

seperti pada kasus ini baiknya dilakukan pemantauan keseimbangan cairan yang masuk

dan yang keluar seperti dilakukan pemasangan DC (tergantung kondisi klinis pasien).

Pada hasil laboratorium, pasien mengalami anemia (Hb= 8.0). Setelah dilakukan

konsultasi dengan SpPD, dianjurkan untuk dilakukan transfusi darah selama di ruangan

rawat 2 kolf/hari untuk menaikkan konsentrasi Hb darah agar kebutuhan O2 tetap

terjaga. Sedangkan menurut beberapa teori, sampai sekarang belum ditemukan obat-

obat khusus untuk nefropati diabetik. Pengobatan semata-mata simtomatis untuk

sembab, hipertensi, azotemia, dan memberantas infeksi saluran kemih dan ginjal

(pielonefritis) yang akan memperberat kelainan ginjal. Karena pasien mempunyai

12

Page 13: Anemia Ckd Niken

riwayat DM, pengendalian hiperglikemia merupakan langkah penting untuk mencegah

atau mengurangi semua komplikasi makroangiopati dan mikroangiopati. Pembatasan

protein merupakan hal yang penting. Protein dianjurkan sesuai dengan tingkatan

penurunan fungsi ginjal, diet protein diberikan 0,6-0,8 kg/kgBB per hari. Kemudian

pengendalian hipertensi. Penghambat enzim angiotensin-converting (ACE) sebagai terapi

tunggal atau kombinasi dengan antagonis kalsium non-dihydropiridine dapat

menurunkan tekanan darah dan mempunyai efek antiproteinuria disertai stabilisasi faal

ginjal. Diet rendah garam kurang dari 5 gram per hari penting untuk mencegah retensi

Na+ (sembab dan hipertensi) serta pembatasan cairan dan elektrolit. Pada pasien dengan

CKD juga harus mengatasi kemungkinan terjadinya hiperfosfatemia dengan cara :

a. Pembatasan asupan fosfat

b. Pemberian pengikat fosfat (Asam Folat dan B12)

c. Pemberian bahan kalsium memetik (CaCO3)

Indikasi dilakukannya hemodialisa, bila : LFG < 5 ml/menit, keadaan umum buruk dan

gejala klinis nyata, K serum > 6 mEq/L, ureum darah > 200mg/dl, pH darah < 7,1, anuria

berkepanjangan (> 5 hari), fluid overload.

Pendidikan :

Diberikan kepada pasien dan keluarga pasien agar pasien dan keluarga memahami

penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi, juga terapi yang harus dilakukan secara

bertahap.

BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

I. Nefropati Diabetik

A. Definisi

13

Page 14: Anemia Ckd Niken

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus merupakan

suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena

kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.1 Sedangkan nefropati diabetikum

adalah suatu sindrom klinis pada pasien diabetes melitus yang ditandai dengan albuminuria

menetap pada minimal 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6 bulan, penurunan

kecepatan filtrasi glomerulus yang tidak fleksibel dan peningkatan tekanan darah arterial

tetapi tanpa penyakit ginjal lainnya atau penyakit kardiovaskuler.1,6

Nefropati diabetik juga didiagnosis ketika terjadi kenaikan persisten rata-rata ekskresi

albumin urin diatas 30mg/24 jam pada pasien dengan diabetes permulaan dan ketika nilai

rata-rata ekskresi albumin urin terus menerus naik diatas 300mg/24 jam (overt atau

sesudah diketahui secara klinik). Pada kedua keadaan tersebut dengan penambahan kriteria

kehadiran retinopati diabetik dan ketidakhadiran bukti karena penyakit ginjal lain atau

penyakit pada saluran ginjal seharusnya dapat dipenuhi. Keadaan tersebut sebagian besar

ditemukan pada gangguan kardiovaskuler dan kejadian mortalitasnya selalu diikuti dengan

persistensi mikroalbuminuria, tetapi bukti nyata ditemukannya makroalbuminuria pada

pasien diabetes tidak hanya ditemukan pada pasien dengan gagal ginjal stadium akhir tetapi

juga pada penyakit kardiovaskuler yang sebelumnya menderita Diabetes melitus tipe 2.7

Deskripsi awal mengenai nefropati diabetik dimulai oleh Kim-melstiel dan Wilson pada

tahun 1936. Beliau memperkenalkan adanya massa hialin yang mencurigakan dari 8 orang

yang meninggal akibat kegagalan faal ginjal dengan alasan kuat yang menganggap bahwa

lesi tersebut diakibatkan diabetes melitus. Sehingga nefropati diabetik sering disebut

sindrom Kimmelstiel-Wilson atau glomerulonefritis interkapiler. Pada awalnya, pasien

memperlihatkan hiperfiltrasi, ditandai dengan nilai LFG (Laju Filtrasi Glomerulus) yang

tinggi, kira-kira dua kali dari nilai normal dan adakalanya dengan kejadian

mikroalbuminuria.8

B. Regulasi Hiperglikemik dan Etiopatogenesis

1. Regulasi Hiperglikemik

14

Page 15: Anemia Ckd Niken

Hiperglikemik menyebabkan kerusakan ginjal secara langsung atau melalui

modifikasi hemodinamik. Modifikasi hemodinamik ini akan menginduksi aktivasi protein

kinase C, meningkatkan produksinya dan menambah glikosilasi serta sintesis

diasilgliserol (DAG). Sebagai tambahan, keadaan tersebut responsif terhadap perubahan

hemodinamik seperti hiperfiltrasi pada glomerulus dan mikroalbuminuria. Perubahan

tersebut berkontribusi terhadap adanya stimulasi abnormal komunitas sel ginjal yang

memproduksi lebih banyak TGF-β1.8 Pengangkutan glukosa oleh GLUT-1 dipengaruhi

oleh faktor pertumbuhan yakni TGF-β1, yakni faktor pertumbuhan yang dihasilkan oleh

sel mesangial dan berfungsi untuk meningkatkan stimulasi pemasukan glukosa. Faktor

pertumbuhan ini meningkatkan regulasi GLUT-1, yang menginduksi dan meningkatkan

pengangkutan glukosa intraseluler dan pengambilan glukosa. TGF-β1 menyebabkan

penguatan deposisi protein matriks ekstraseluler (kolagen tipe I, IV, V dan VI, fibronektin

dan laminin) pada tingkat glomerulus, hal tersebut menginduksi penebalan membran

dasar glomerulus.8

Hiperglikemik kemungkinan juga secara langsung meningkatkan produksi vasodilator

prostaglandin yang dapat berkontribusi untuk terjadinya hiperperfusi ginjal, hipertensi

intraglomerulus, dan hiperfiltrasi. Nitric oxide (NO) dan Atrial Natriuretic Peptide (ANP)

diduga merupakan vasodilator yang menginduksi perubahan hemodinamik yang

memacu terjadinya hiperfiltrasi diabetik.9 Kelainan atau perubahan terjadi pada

membran basalis glomerulus dengan proliferasi dari sel-sel mesangium. Keadaan ini

akan menyebabkan glomerulosklerosis dan berkurangnya aliran darah, sehingga terjadi

perubahan-perubahan pada permeabilitas membran basalis glomerulus yang ditandai

dengan timbulnya albuminuria. Hiperfiltrasi dianggap sebagai awal dari mekanisme

patogenik dalam laju kerusakan ginjal, dimana saat jumlah nefron mengalami

pengurangan progresif, glomerulus akan melakukan kompensasi dengan meningkatkan

filtrasi nefron yang masih sehat dan pada akhirnya nefron yang sehat menjadi sklerosis.

Peningkatan laju filtrasi glomerulus pada nefropati diabetikum kemungkinan disebabkan

oleh dilatasi arteriol aferen.10 Teori lain menjelaskan bahwa peningkatan glukosa

intraseluler akan meningkatkan formasi dari produk penambahan glikosilasi akhir (AGEs)

15

Page 16: Anemia Ckd Niken

dengan menggunakan glikosilasi non-enzimatik ataupun protein intra dan ekstraseluler.

Dengan adanya AGEs menunjukkan perlekatan protein (kolagen,protein matriks

ekstraseluler), meningkatkan aterosklerosis, memperlihatkan disfungsi glomerulus,

menginduksi disfungsi sel endotel, serta perubahan struktur dan fungsi matriks

ekstraseluler.9

2. Teori Etiopatogenesis

a. Abnormalitas Struktur

Peningkatan tekanan intraglomerulus,hilangnya glikosaminoglikan pada

membran dasar dan kemudian akan meningkatkan porus membran dasar yang

semuanya akan berperan dalam albuminuria. Tiga bentukan utama histopatologis

dapat kita amati pada nefropati diabetik; glomerulosklerosis, keterlibatan vaskuler

dan penyakit tubulointerstisium.9 Podosit melalui tonjolan pada kakinya berperan

dalam mendukung kapiler glomerulus, penyangga tekanan intraglomerulus dan

merupakan lapisan akhir yang berperan sebagai pembatas (buffer) jalannya protein

melewati glomerulus kedalam ruang urinaria (urinary space). Menurut White (2002)

pada penderita diabetes ditemukan kelainan morfologi podosit. Processus kaki

podosit mendatar dan terhapus, kondisi ini merupakan tanda kerusakan pada

podosit. Podosit tidak dapat beregenerasi sehingga hilangnya kaki podosit tidak

dapat dikompensasi.9

Perubahan-perubahan morfologi dari kapiler glomerulus menandakan adanya

kelainan yang diakibatkan perubahan metabolisme sistemik karena efek

hiperglikemik pada penyakit diabetes mellitus. Perubahan histopatologi menurut

sukandar (2006) merupakan dasar dari gambaran klinik nefropati diabetik.11

Perubahan histopatologi yang terdapat pada nefropati diabetik adalah :11

a. Penebalan membran basal kapiler basal glomerulus

b. Membran basal lebih porotis terhadap glikoprotein

c. Penimbunan atau deposit endapan fibrin

d. Iskemi ginjal

e. Gangguan faal tubulus ginjal

16

Page 17: Anemia Ckd Niken

f. Hiperglikemia merupakan faktor predisposisi untuk infeksi saluran

kemih dan ginjal (pielonefritis).

Gambar 1. Gambaran Glomerulus pada Pasien Nefropati Diabetik 12.

b. Abnormalitas Hemodinamik

Peningkatan tekanan intraglomerulus akan mempercepat kerusakan glomerulus

secara langsung dan dengan ditemukannya proteinuria menandakan secara tidak

langsung proses pengrusakan ginjal.4 Sebuah penelitian yang dilakukan Zatz dkk

17

Page 18: Anemia Ckd Niken

(1986) mengindikasikan bahwa peningkatan tekanan intraglomerulus berkaitan

dengan konstriksi relatif arteri glomerulus eferen. Peningkatan tekanan

intraglomerulus juga memperburuk perubahan seluler dan biokimia. Studi di tahun

2000 yang dilakukan Gruden,dkk mengenai efek peregangan sel mesangial yang

akan mengaktifkan p38 melalui mekanisme dependen protein kinase menginduksi

terbentuknya TGF-β1 dan ekspresi fibronektin cukup membuktikan bahwa

peningkatan tekanan glomerulus terkait dengan perburukan kerusakan seluler.9

Terdapat teori patogenesis nefropati diabetik menurut Viberti13 :

1. Hiperglikemia

Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) dalam penelitiannya mengatakan

bahwa penurunan kadar glukosa darah dan kadar HbA1c pada penderita DM tipe 1

dapat menurunkan risiko perkembangan nefropati diabetik. Perbaikan kontrol

glukosa pada penderita DM tipe 2 dapat mencegah kejadian mikroalbuminuria.

Keadaan mikroalbuminuria akan memperberat kejadian nefropati diabetik. Ini

menunjukkan bahwa nefropati dan komplikasi mikroangiopati dapat kembali normal

bila kadar glukosa darah terkontrol.

2. Glikosilasi Non-Enzimatik

Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikosilasi non enzimatik asam

amino dan protein. Terjadi reaksi antara glukosa dengan protein yang akan

menghasilkan produk AGEs. Penimbunan AGEs dalam glumerulus maupun tubulus

ginjal dalam jangka panjang akan merusak membran basalis dan mesangium yang

akhirnya akan merusak seluruh glomerulus.

3. Polyol pathway

Dalam polyol pathway, glukosa akan diubah menjadi sorbitol oleh enzim aldose

reduktase. Di dalam ginjal enzim tersebut merupakan peran utama dalam mengubah

glukosa menjadi sorbitol. Bila kadar glukosa darah meningkat maka sorbitol akan

meningkat dalam sel ginjal dan akan mengakibatkan berkurangnya kadar

mioinosotol, yang akan mengganggu osmoregulasi sel hingga sel itu rusak.

4. Glukotoksisitas

18

Page 19: Anemia Ckd Niken

Konsentrasi glukosa yang tinggi akan menambah penimbunan matriks ekstraseluler.

Menurut Lorensi, glukosa mempunyai efek toksik terhadap sel, begitu pula terhadap

sel ginjal sehingga dapat terjadi nefropati diabetik.

5. Hipertensi

Hipertensi mempunyai peranan penting dalam patogenensis nefropati diabetik

disamping hiperglikemia. Hemodinamik dan hipertrofi mendukung adanya

hipertensi sebagai penyebab terjadinya hipertensi glomeruler dan hiperfiltrasi.

Hiperfiltrasi dari neuron yang sehat lambat laun akan menyebabkan sklerosis dari

nefron tersebut.

6. Proteinuria

Proteinuria merupakan prediktor independen dan kuat dari penurunan fungsi ginjal

baik pada nefropati diabetik maupun glomerulopati progresif lainnya. Adanya

hipertensi renal dan hiperfiltrasi akan menyebabkan terjadinya filtrasi protein,

dimana pada keadaan normal tidak terjadi. Proteinuria yang berlangsung lama dan

berlebihan akan menyebabkan kerusakan tubulo-interstisial dan progresifitas

penyakit. Bila reabsorbsi tubuler terhadap protein meningkat maka akan terjadi

akumulasi protein dalam sel epitel tubuler dan menyebabkan pelepasan sitokin

inflamasi sehingga terjadi renal scarring dan insufisiensi.

C. Klasifikasi

Perjalanan penyakit serta kelainan ginjal pada diabetes melitus lebih banyak dipelajari

pada diabetes melitus tipe 1 daripada tipe 2, dan oleh Mogensen dibagi menjadi 5

tahapan.4,1

Tabel 1. Tahapan Nefropati Diabetikum Oleh Mogensen.4,11

Tahap Kondisi ginjal UAER LFG TD

1 Hipertrofi Hiperfungsi

N ↑ N

2 Kelainan struktur N ↑ ↑ / N

19

Page 20: Anemia Ckd Niken

3 Mikroalbuminuria persisten

20-200 mg/menit

↑ / N ↑

4 Makroalbuminuria proteinuria

>200 mg/menit

Rendah Hipertensi

5 Uremia Tinggi/rendah <10 ml/menit

Hipertensi

UAER = Urine Albumin Excretion Rate, LFG = Laju Filtrasi Glomerulus, TD

= Tekanan Darah

1. Tahap I (Stadium Hiperfiltrasi)

Terjadi hiperfiltrasi dan hipertrofi glomerulotubulus pada saat diagnosis ditegakkan. Laju

filtrasi glomerulus dan laju ekskresi albumin dalam urin meningkat. Pada tahap ini LFG

meningkat sampai 40% diatas normal dan disertai pembesaran ukuran ginjal.

Albuminuria belum nyata dan tekanan darah biasanya normal. Tahap ini reversibel dan

berlangsung 0-5 tahun sejak awal didiagnosis diabetes melitus. Dengan pengendalian

glukosa darah yang ketat, kelainan fungsi maupun struktur ginjal kembali normal.

2. Tahap II (Stadium silent)

Secara klinis belum tampak kelainan yang berarti, LFG tetap meningkat, eksresi albumin

dalam urin dan tekanan darah normal. Albuminuria akan meningkat apabila setelah

latihan jasmani, keadaan stress atau kendali metabolik yang memburuk. Terdapat

perubahan histologis awal berupa penebalan membrane basalis yang tidak spesifik.

Terdapat pula peningkatan volume mesangium fraksional (dengan peningkatan matriks

mesangium). Terjadi 5-10 tahun setelah didiagnosis diabetes melitus. Keadaan ini dapat

berlangsung lama dan hanya sedikit yang akan berlanjut ke tahap berikutnya.

Progresivitas biasanya berlanjut terkait keadaan metabolik yang memburuk.

3. Tahap III (Stadium Mikroalbuminuria/Nefropati Insipient)

Merupakan tahap awal dari nefropati. Pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria atau

nefropati insipient. Laju filtrasi glomerulus meningkat atau dapat menurun sampai

20

Page 21: Anemia Ckd Niken

derajat normal. Laju ekskresi albumin dalam urin adalah 20-200 μg/menit (30-300

mg/24 jam). Tekanan darah mulai meningkat. Secara histologis, didapatkan peningkatan

ketebalan membran basalis dan volume mesangium fraksional dalam glomerulus. Tahap

ini biasanya terjadi setelah 10-15 tahun didiagnosis diabetes melitus. Keadaan ini dapat

bertahan bertahun-tahun dan progresivitas masih mungkin dapat dicegah dengan

kendali glukosa dan tekanan darah yang ketat.

4. Tahap IV (Stadium Makroalbuminuria/Nefropati Lanjut)

Merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut (overt nefropati), nefropati diabetikum

bermanifestasi klinis dengan proteinuria yang nyata dengan pemeriksaan biasa, tekanan

darah sering meningkat serta LFG yang sudah menurun dibawah normal sekitar

10ml/menit/tahun dan kecepatan penurunan ini berhubungan dengan tingginya

tekanan darah. Laju ekskresi albumin dalam urin adalah di atas 300 mg/24 jam

(200μg/menit). Perubahan histologis lebih jelas, juga timbul hipertensi pada sebagian

besar pasien. Sindroma nefrotik dan retinopati sering ditemukan pada tahap ini. Terjadi

setelah 15-20 tahun didiagnosis diabetes melitus. Progresivitas mengarah ke gagal ginjal

hanya dapat diperlambat dengan pengendalian glukosa darah, lemak darah, dan

tekanan darah.

5. Tahap V (Stadium Uremia/Gagal Ginjal Terminal)

Merupakan tahapan dimana terjadi gagal ginjal terminal. Laju Filtrasi Glomerulus sudah

demikian rendah sehingga pasien menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik dan

memerlukan tindakan khusus yaitu terapi pengganti, dialisis, maupun cangkok ginjal.

Rata-rata dibutuhkan waktu 15-17 tahun untuk sampai pada stadium IV dan 5-7 tahun

kemudian akan sampai stadium V.

D. Gambaran Klinis

Gambaran klinik nefropati diabetik sangat bervariasi; dari keluhan ringan atau tanpa

keluhan dan ditemukan kebetulan pada pemeriksaan rutin laboratorium sampai timbul

azotemia dan hipertensi. Banyak pasien diabetes melitus mungkin telah mempunyai lesi

histopatologi yang berarti (signifikan) untuk nefropati diabetik walaupun tanpa gambaran

21

Page 22: Anemia Ckd Niken

klinik seperti sembab, hipertensi maupun azotemia. Gambaran klinik nefropati diabetik

sebagai berikut :11

1. Proteinuria

Proteinuria asimtomatis merupakan tanda permulaan dari nefropati diabetik, timbulnya

intermiten selama beberapa tahun dan akhirnya menetap disertai proteinuria masif. Pada

stadium permulaan, proteinuria ringan dari nefropati diabetik ini sulit dibedakan dengan

proteinuria karena glomerulonefritis membranosa karena sebab lain.11

Bila telah terjadi proteinuria masif dan berlangsung lama selalu diikuti oleh gambaran

klinik lainnya seperti sembab dan hipertensi. Proteinuria pada nefropati diabetik biasanya

non-selektif. Proteinuria ini masih merupakan tanda yang dapat dipercaya sebagai indikator

untuk nefropati diabetik asal dapat dikesampingkan penyebab lainnya seperti gagal jantung

kongestif, ketoasidosis, pielonefritis, dan ortostatik.11

2. Sembab (Edema)

Penimbunan cairan pada jaringan ekstraseluler (sembab) sesuai dengan derajat

proteinuria dan hipoalbuminemia. Pada pasien-pasien berat, tidak jarang terdapat sembab

seluruh tubuh (anasarka).11

3. Hipertensi

Hipertensi tidak selalu ditemukan pada nefropati diabetik walaupun histopatologi telah

memperlihatkan kelainan yang khas. Hipertensi biasanya muncul setelah terdapat kelainan

histopatologi berat pada diabetes melitus tipe 1. Pada diabetes melitus tipe 2 sering disertai

hipertensi esensial.11

4. Gagal ginjal kronik (azotemia)

Penjernihan kreatinin (CCT) tidak selalu tepat untuk memperkirakan nilai laju filtrasi

glomerulus, karena dipengaruhi keadaan hiperglikemia, glikosuria, albuminuria, dan

ketoasidosis. Kreatinin serum merupakan satu-satunya pemeriksaan laboratorium rutin

yang dapat memperkirakan laju filtrasi glomerulus. Gellman, dkk (1959) melaporkan

hubungan antara kelainan histopatologi dengan gambaran klinik nefropati diabetik. Pada

glomerulosklerosis noduler : proteinuria masif, hipoalbuminemia, sembab, hipertensi, dan

azotemia. Pada glomerulosklerosis difus : hipertensi, proteinuria, dan azotemia.11

22

Page 23: Anemia Ckd Niken

II. Penyakit Ginjal Kronik

A. DefinisiPenyakit ginjal kronik (PGK) adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 bulan atau lebih, berdasarkan kelainan patologik atau petanda kerusakan ginjal

seperti kelainan pada urinalisis, dengan penurunan laju filtrasi glomerulus atau pun tidak.1,2 Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi

pada semua organ, akibat penurnan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.14,15

Tabel 2. Kriteria penyakit ginjal kronik14

1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan manifestasi :

Kelainan patologis Terdapat kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah

atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging test)2. Laju filtrasi glomerulus(LFG) kurang dari 60ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan,

dengan atau tanpa kerusakan ginjal

B. Klasifikasi

Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas derajat (stage)

penyakit dan atas dasar etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar

LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut :14

*Pada perempuan dikalikan 0,85

Tabel 3. Klasifikasi Penyakit Ginjal kronik atas derajat penyakit14

Derajat Penjelasan LFG (ml/min/1.73m2)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90

2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60-89

23

Page 24: Anemia Ckd Niken

3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30-59

4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15-29

5 Gagal ginjal < 15 atau dialysis

C. Gambaran Klinik

Perjalanan klinis umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi 3 stadium, yaitu

penurunan cadangan ginjal, insufisiensi ginjal, dan penyakit ginjal stadium akhir. Stadium

pertama disebut penurunan cadangan ginjal. Pada stadium ini keratinin serum dan kadar

BUN normal, dan pasien asimtomatik. Gangguan ginjal hanya terdeteksi dengan

memberikan beban kerja pada ginjal, seperti tes pemekatan urine.16

Stadium kedua disebut insufisiensi ginjal, bila lebih dari 75% jaringan yang berfungsi

telah rusak (GFR besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini BUN mulai meningkat. Kadar

kreatinin serum juga mulai meningkat. Azotemia biasanya ringan. Pada stadium ini mulai

timbul gejala-gejala nokturia dan poliuria.16 Stadium ketiga disebut end-stage renal disease

(ESRD) atau uremia. ESRD terjadi bila sekitar 90% dari masa nefron telah hancur. Nilai GFR

hanya 10% dari normal. Pada kondisi ini, kadar ureum dan kreatinin meningkat sangat

mencolok. Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik, meliputi:14,15

a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus

urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemia, Lupus Eritomatosus Sistemik

(LES)

b. Sindrom Uremik

Bila GFR menurun 5-10% dari keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien

akan menderita yang disebut sebagai sindrom uremik.

Gejala komplikasinya antara lain : hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,

asidosis metabolik, dan gangguan keseimbangan dan elektrolit.

D. Diagnosis

1. Gambaran penyakit ginjal kronik meliputi :14,15

24

Page 25: Anemia Ckd Niken

a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.

b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum,

dan penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus Kockcroft – Gault.

c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan

kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,

hiperfostatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.

d. Kelainan urinalis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isostenuria.

e. Ultrasonografi ginjal Bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,

korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,

kalsifikasi.

f. Renogram Menilai fungsi ginjal kiri dan kanan, lokasi gangguan (vaskular,

parenkim, ekskresi) serta sisa fungsi ginjal.

E. Penatalaksanaan

Terapi Spesifik terhadap penyakit dasarnya

Waktu yang tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya

penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Bila LFG sudah

menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penayakit dasar sudah tidak

banyak bermanfaat.14,15

Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid

Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG. Hal ini

untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien.

Faktor-faktor komorbid antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang

tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat

nefrotoksik, bahan radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.14

Menghambat Pemburukan Fungsi Ginjal

Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi

glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah:14

25

Page 26: Anemia Ckd Niken

a. Pembatasan asupan protein pembatasan mulai dilakukan pada LFG 60

ml/menit sedangkan diatas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak

selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6 – 0,8 /kgBB/hari, yang 0,35–0,50 gram

diantaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan

sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari.

b. Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerolus. Pemakaian

obat anti hipertensi, disamping bermanfaat untuk memperkecil resiko

kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat pemburukan

kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intra glomerulus dan hipertrofi

glomerulus.

Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular.

Pencegahan dan terapi ini merupakan hal yang penting, karena 40-45% kematian

penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal yang termasuk di

dalamnya adalah, diabetes, hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian

anemia, hiperfospatemia dan terhadap kelebihan cairan dan gangguan

keseimbangan elektrolit.14

Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi.

Tabel 4. Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik14

Derajat Penjelasan LFG Komplikasi1 Kerusakan ginjal dengan LFG

normal≥ 90 -

2 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan

60 - 89 Tekanan darah mulai naik

3 Penurunan LFG sedang 30 - 59 - Hiperfosfatemia- Hipokalsemia- Anemia- Hiperparatiroid- Hipertensi- Hiperhomosisttinemia

4 Penurunan LFG berat 15 - 29 - Malnutrisi- Asidosis Metabolik- Cenderung

26

Page 27: Anemia Ckd Niken

hiperkalemia- Dislipidemia

5 Gagal ginjal < 15 - Gagal Jantung- Uremia

Mengatasi Hiperfosfatemia

d. Pembatasan asupan fosfat

e. Pemberian pengikat fosfat

f. Pemberian bahan kalsium memetik

Pembatasan cairan dan elektrolit

III. Prognosis

Nefropati diabetik secara independen diprediksikan mengakibatkan morbiditas

kardiovaskuler dan kedua mikroalbuminuria dan makroalbuminuria meningkatkan mortalitas

dari banyak kasus DM. Pasien dengan proteinuria angka mortalitas rata-rata relatif tidak

rendah dan tidak stabil, mengingat pasien dengan proteinuria mempunyai angka mortaliras

rata-rata 40x lebih tinggi. ESRD adalah penyebab kematian terbesar, sekitar 59-60%

kematian pada pasien dengan IDDM dan nefropati. Penyakit kardiovaskuler juga menjadi

penyebab kematian terbesar (15-25%) pada orang dengan nefropati dan IDDM, meskipun

secara relatif kematian mereka pada usia muda. Prognosisnya sangat buruk. Komplikasi dari

gagal ginjal kronik biasa terjadi pada awal dan berkembang secara cepat, bila disebabkan

oleh diabetes dan pada penyebab yang lain.14

27

Page 28: Anemia Ckd Niken

BAB V

ANALISA KASUS

Pada kasus ini dari anamnesa didapatkan, pasien datang dengan keluhan pusing dan

berkunang-kunang, napas terasa sesak dan berat. Keluhan tersebut dapat muncul akibat

kurangnya suplai oksigen ke jaringan. Hal ini dapat terjadi karna adanya gangguan pada organ

paru, jantung maupun ginjal yang bisa terjadi akibat suatu komplikasi dari penyakit metabolik.

Kemudian pasien juga mengeluh badan terasa lemas serta kedua kaki sering membengkak.

Keluhan lemas juga bisa terjadi akibat kurangnya kadar oksigen darah, dimana oksigen itu

sendiri yang membantu proses metabolisme anaerob yang nantinya menghasilkan suatu energi.

28

Page 29: Anemia Ckd Niken

Edema tungkai yang dialami pasien bisa disebabkan adanya gangguan fungsi jantung, ginjal,

sistem limfatik dan proses infeksi. Keluhan seperti demam, rasa mual dan muntah disangkal

sehingga dapat menyingkirkan adanya suatu infeksi dan pusing yang dialami pasien

kemungkinan bukan akibat gangguan sistem vestibular. Pasien mengatakan BAK ± 3 kali/hari

dengan jumlah sedikit-sedikit. Keluhan oliguria ini dapat timbul pada keadaan dehidrasi,

gangguan fungsi ginjal serta saluran kemih. Pasien mempunyai riwayat DM sejak 2006

begitupun dengan kakak dan adik kandung pasien.

Kemudian dari pemeriksaan fisik didapati pasien tampak anemis, takipnea, ditemukan

rhonki basah halus di kedua basal paru, napas cuping hidung (+), retraksi suprasternal, pitting

edema kedua tungkai. Adanya takipnea, anemis serta kerja otot-otot napas tambahan (retraksi)

mengarahkan kurangnya suplai oksigen diakibatkan kurangnya factor pengikatnya yaitu

hemoglobin (Hb). Keadaan anemia ini dapat disebabkan oleh adanya perdarahan (hipovolemia),

gangguan fungsi ginjal, kelainan darah maupun penyakit kronik. Selain itu ditemukan adanya

ronki basah halus menunjukkan adanya edema paru yang juga bisa menyebabkan timbulnya

sesak pada pasien. Edema paru sendiri bisa disebabkan adanya gangguan pada paru, jantung

maupun gangguan pada fungsi ginjal. Didapatkan juga pitting edema pada kedua tungkai. Hal

ini mengarahkan kemungkinan adanya gangguan fungsi jantung maupun ginjal. Pada pasien ini

kemungkinan besar adanya gangguan fungsi ginjal, dimana dari hasil pemeriksaan fisik fungsi

jantung masih dalam batas normal dimana tidak didapatkan adanya bunyi tambahan (murmur

ataupun gallop) yang didukung juga dari anamnesa tidak didapatkan manifestasi pada gagal

jantung. Sehingga dari anamnesis dan pemeriksaan fisik ini didapatkan korelasi pasien

kemungkinan besar menderita chronic kidney disease (CKD) yang terjadi akibat komplikasi DM

sejak tahun 2006. CKD inilah yang menimbulkan keadaan akut yang saat ini dialami pasien yaitu

berupa anemia dan edema paru. CKD adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 bulan atau

lebih, berdasarkan kelainan patologik atau petanda kerusakan ginjal seperti kelainan pada

urinalisis, dengan penurunan laju filtrasi glomerulus atau pun tidak. Hiperglikemik

menyebabkan kerusakan ginjal secara langsung atau melalui modifikasi hemodinamik.

Hiperglikemik kemungkinan juga secara langsung meningkatkan produksi vasodilator

prostaglandin yang dapat berkontribusi untuk terjadinya hiperperfusi ginjal, hipertensi

29

Page 30: Anemia Ckd Niken

intraglomerulus, dan hiperfiltrasi. Hiperfiltrasi dianggap sebagai awal dari mekanisme patogenik

dalam laju kerusakan ginjal, dimana saat jumlah nefron mengalami pengurangan progresif,

glomerulus akan melakukan kompensasi dengan meningkatkan filtrasi nefron yang masih sehat

dan pada akhirnya nefron yang sehat menjadi sklerosis. Selain itu kondisi hipoksia yang

persisten juga akan mengakibatkan terjadinya vasodilatasi nefron-nefron yang masih utuh dan

terjadinya sklerosis sehingga timbullah glumerulosklerosis yang meningkatkan hiperfiltrasi ginjal

secara terus menerus. Perjalanan klinis umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi 3

stadium, yaitu penurunan cadangan ginjal, insufisiensi ginjal, dan penyakit ginjal stadium akhir.

Gambaran klinik nefropati diabetik sangat bervariasi; dari keluhan ringan atau tanpa keluhan

dan ditemukan kebetulan pada pemeriksaan rutin laboratorium sampai timbul azotemia dan

hipertensi. Gambaran klinis yang timbul antara lain proteinuria asimtomatis yang merupakan

tanda permulaan nefropati diabetik, timbulnya intermiten selama beberapa tahun dan akhirnya

menetap disertai proteinuria masif. Bila telah terjadi proteinuria masif dan berlangsung lama

selalu diikuti oleh gambaran klinik lainnya seperti sembab dan hipertensi.

Tatalaksana yang diberikan meliputi nonmedikamentosa dengan memposisikan pasien

½ duduk (semi fowler), monitoring tanda-tanda vital pasien, kanul O2 4 L/menit serta

melakukan pemasangan DC agar memudahkan penghitungan balans cairan pasien. Tatalaksana

awal pada pasien yang utama adalah mengurangi sesak yang dialami. Maka dari itu pasien

diposisikan setengah duduk (Semi Fowler) serta dipasang kanul O2 4 liter/menit untuk

membantu memenuhi demand O2 terutama otak. Kemudian tatalaksana medikamentosanya

antara lain :

- IVFD NaCl 0,9% 10 tetes/menit

- Ceftriaxon 1gr/24jam

- Ranitidine 1 amp/12jam

- Teranol 1 amp/12jam

- Nifedipine 1 x 5mg

- Furosemide 1 x 40mg

- Pro transfusi 2 kolf/hari

30

Page 31: Anemia Ckd Niken

Selain itu pasien juga dianjurkan rawat inap agar dapat dilakukan pemberian terapi yang tepat

serta dilakukan evaluasi terhadap keadaan klinis pasien. Pasien diberikan cairan rumatan

isotonik, tetapi pemberian cairan pada pasien harus diawasi karena sangat besar kemungkinan

terjadinya overload cairan, dimana fungsi ginjal sudah terganggu. Pemberian antibiotik

sefalosporin pada pasien bertujuan untuk mengurangi/mencegah risiko terjadinya infeksi

nosokomial karena pasien dilakukan perawatan di rumah sakit. Pastikan pasien tidak ada

hipersensitivitas terhadap obat tersebut dengan dilakukan skin test sebelumnya. Pada pasien

dilakukan pemberian nifedipin 5mg, nifedipin merupakan golongan antagonis kalsium yang

menyebabkan penurunan resistensi vascular. Tujuannya untuk menurunkan tekanan darah

pasien yang saat dilakukan pemeriksaan pertama kali didapatkan 160/80 mmHg, walaupun

pasien menyangkal adanya riwayat hipertensi sebelumnya. Furosemide 40 mg diberikan untuk

mengurangi edema paru pada pasien, dimana obat itu merupakan loop diuretik (diuretik kuat)

sehingga cairan yang tertimbun dalam interstisial paru akan diekskresikan melalui urin. Pada

keadaan edema paru seperti pada kasus ini baiknya dilakukan pemantauan keseimbangan

cairan yang masuk dan yang keluar seperti dilakukan pemasangan DC (tergantung kondisi klinis

pasien).

Pada hasil laboratorium, pasien mengalami anemia (Hb= 8.0). Setelah dilakukan

konsultasi dengan SpPD, dianjurkan untuk dilakukan transfusi darah selama di ruangan rawat 2

kolf/hari untuk menaikkan konsentrasi Hb darah agar kebutuhan O2 tetap terjaga. Sedangkan

menurut beberapa teori, sampai sekarang belum ditemukan obat-obat khusus untuk nefropati

diabetik. Pengobatan semata-mata simtomatis untuk sembab, hipertensi, azotemia, dan

memberantas infeksi saluran kemih dan ginjal (pielonefritis) yang akan memperberat kelainan

ginjal. Karena pasien mempunyai riwayat DM, pengendalian hiperglikemia merupakan langkah

penting untuk mencegah atau mengurangi semua komplikasi makroangiopati dan

mikroangiopati. Pembatasan protein merupakan hal yang penting. Protein dianjurkan sesuai

dengan tingkatan penurunan fungsi ginjal, diet protein diberikan 0,6-0,8 kg/kgBB per hari.

Kemudian pengendalian hipertensi. Penghambat enzim angiotensin-converting (ACE) sebagai

terapi tunggal atau kombinasi dengan antagonis kalsium non-dihydropiridine dapat

menurunkan tekanan darah dan mempunyai efek antiproteinuria disertai stabilisasi faal ginjal.

31

Page 32: Anemia Ckd Niken

Diet rendah garam kurang dari 5 gram per hari penting untuk mencegah retensi Na+ (sembab

dan hipertensi) serta pembatasan cairan dan elektrolit. Pada pasien dengan CKD juga harus

mengatasi kemungkinan terjadinya hiperfosfatemia dengan cara :

a. Pembatasan asupan fosfat

b. Pemberian pengikat fosfat (Asam Folat dan B12)

c. Pemberian bahan kalsium memetik (CaCO3)

Indikasi dilakukannya hemodialisa, bila : LFG < 5 ml/menit, keadaan umum buruk dan gejala

klinis nyata, K serum > 6 mEq/L, ureum darah > 200mg/dl, pH darah < 7,1, anuria

berkepanjangan (> 5 hari), fluid overload.

DAFTAR PUSTAKA

1. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2011.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). 2011.

2. Ayodele, O.E., Alebiosu, C.O., Salako, B.L. Diabetic nephropathy—a review of the

natural history, burden, risk factors and treatment . Dalam: Journal National Medical

Association: 1445–54. 2004.

3. Ruggenenti, P and Remuzzi, G. Nephropathy of Type 1 and Type 2 Diabetes : Diverse

Pathophysiology, Same Treatment. Oxford Journals, 15(12), 1900-02. 2000.

32

Page 33: Anemia Ckd Niken

4. Hendromartono. Nefropati Diabetik. In Aru W. Sudoyo, D. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. IV Ed. Jakarta, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006.

5. Molitch, M. E., DeFronzo, R. A., Franz, M. J., Keane, W. F., Mogensen, C. E., Parving,

H-H., Steffes, M. W. Nephropathy in Diabetes. Diabetes Care January, 2. 79-83. 2004.

6. Soman,SS and Soman,SA.2009.Diabetic Nephropathy.

http//emedicine.medscape.com/article/238946-overview. 2009.

7. Czekalski,S.2005.Diabetic Nephropathy and Cardiovascular Disease. Annales

Academiae Medicae Bialostocensis vol 50:122-125.

8. Schena,FP and Gesualdo,L.2005.Pathogenetic Mechanism of Diabetic Nephropathy. J

Am.Soc.Nephrol, America 16:S30-S33.

9. Obineche,EN and Adem,A. 2005. Update in Diabetic Nephropathy. Int J Diabetes &

Metabolism 13: 1-9

10. Arsono, Soni .(2005). Diabetes Melitus Sebagai Faktor Risiko Kejadian Gagal Ginjal

Terminal (Studi Kasus Pada Pasien RSUD Prof.Dr. Margono Soekarjo Purwokerto).

Jurnal Epidemiologi

11. Sukandar,Enday.2006. Nefrologi klinik edisi III. Pusat informasi ilmiah bagian ilmu

penyakit dalam kedokteran UNPAD/R.S. Dr. Hasan Sadikin Bandung.

12. Gilbert,Richard E and Marsden,Philip A.2008.Activated protein C and diabetic

nephropathy. New England journal of medicine 358;15;1628-1630.Massachusetts

medical society.England.

13. Sofa, Chasani. 2007. Naskah Lengkap Diabetes Melitus Ditinjau dari Berbagai Aspek

Penyakit Dalam. Semarang, CV. Agung

14. Suwitra K. Penyaki Ginjal Kronik. Dalam :Sudoyo A.W, Setiyohadi B, Alwi I, dkk,

editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid I. Jakarta ;2006

15. Mulloy L.L., Talavera F., Aronoff G.R.Chronic Kidney Disease. Diunduh dari

http://www.emedicinehealth.com/chronic_kidney_disease/page3.htm. Diakses tanggal 8

Juni 2012.

16. Sylvia A price, Lorraine M Wilson. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit.

Volume 2. Jakarta: EGC. 2005

33

Page 34: Anemia Ckd Niken

34