Anemia Aplastik Kelompok F3

download Anemia Aplastik Kelompok F3

of 22

Transcript of Anemia Aplastik Kelompok F3

PRESENTASI KASUS ANEMIA APLASTIK

Disusun oleh : Kelompok F3 M. Rizki Fadlan Meivita Tahalele Kaharudin Thrifindana Abednego Irvianna Hamdja Ester Morjaan Adrian N. Putra G1A007130 G1A007133 G1A007134 G1A007135 G1A007136 G1A007137 K1A006069

Pembimbing : Dr. Suharno, Sp. PD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

2010

LEMBAR PENGESAHAN

Telah disetujui presentasi kasus dengan judul :

ANEMIA APLASTIK

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Kegiatan Blok ECCE III di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Disusun Oleh : Kelompok F3 M. Rizki Fadlan Meivita Tahalele Kaharudin Thrifindana Abednego Irvianna Hamdja Ester Morjaan Adrian N. Putra G1A007130 G1A007133 G1A007134 G1A007135 G1A007136 G1A007137 K1A006069

Pembimbing :

Dr. Suharno, Sp. PD PRESENTASI KASUS

I.

IDENTITAS Nama Usia Jenis kelamin Alamat Status Agama Pekerjaan Tanggal masuk No CM : Nn. R : 18 th : Perempuan : Teluk, RT 02, RW 03, Purwokerto Selatan : Belum Menikah : Islam : Pelajar : 06 Desember 2010 : 828502

Tanggal periksa : 06 Desember 2010

II. ANAMNESA a. Keluhan utama b. nafas. c. Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang ke IGD RSMS dengan keluhan Demam sejak satu minggu yang lalu. Demam dirasakan setiap hari dan lebih meningkat pada sore / malam hari sehingga mengganggu aktivitas pasien. Pasien juga menuturkan bahwa selama satu minggu tersebut, ia telah berobat di salah seorang mantri di dekat rumahnya. Pasien meminum obat yang diberikan mantri untuk menurunkan demam namun dirasakan tidak membaik. Pasien juga mengeluh mual dan kadang muntah, sehingga nafsu makan pasien menurun. Keluhan lain yang sering dirasakan pasien adalah lemas dan pasien tidak bisa beraktivitas seperti biasa. Lemas dirasakan sejak hari pertama demam. Pasien juga merasakan pusing dan sesak nafas. Pusing dirasakan bertambah bila melakukan pekerjaan sehari-hari. Pusing dirasakan menetap, tidak berdenyut-denyut. d. Riwayat penyakit dahulu Keluhan tambahan : Demam : Kadang mual dan muntah, lemas, pusing, sesak

1) Pernah berobat di mantri dan dinyatakan demam tifoid 1 tahun yang lalu, kemudian sembuh dan kambuh lagi 1 minggu sebelum ke IGD RSMS 2) Riwayat Pengobatan demam Tifoid selama 1 bulan (1 tahun yang lalu) dan 1 minggu sebelum ke IGD RSMS 3) Riwayat alergi obat disangkal 4) Riwayat perdarahan disangkal 5) Riwayat penyakit keganasan disangkal 6) Riwayat penyakit hepar disangkal 7) Riwayat transfusi darah disangkal e. Riwayat penyakit keluarga Keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit yang sama dengan pasien. Keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit keganasan. f. Riwayat status sosial Pasien adalah seorang pelajar SMA kelas 3, tinggal bersama ayah, ibu dan ketiga saudaranya. Pasien merupakan anak bungsu dalam keluarganya. Pasien berasal dari sosial ekonomi bawah dan biaya rumah sakit ditanggung Askeskin. Pasien mengaku gemar mengkonsumsi makanan yang dijual di depan sekolahnya dan sering jajan di pinggir jalan. III. PEMERIKSAAN A. Tanggal 06 Desember 2010, di IGD Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum Kesadaran Vital Sign : Tampak lemah BB = 26 kg : TD = 90 / 60 mmHg N = 88x/menit Status Generalis TB = cm RR = 20x/menit T = 38 C : Composmentis, GCS 15

Pemeriksaan Kepala : Conjungtiva Anemis (+/+), Sklera Ikterik (-/-) Pemeriksaan Thoraks : Cor = S1 > S2, Murmur (-), Gallop (-) Pulmo = Ronki halus (+/+) minimal, wheezing (-/-) Pemeriksaan Abdomen: Supel, nyeri tekan (-), seluruh abdomen (+) Bising Usus (+) normal Hati dan Lien = DBN Pemeriksaan Penunjang Hemoglobin Leukosit Hematokrit Eritrosit Trombosit MCV MCH MCHC RDW MPV Hitung Jenis Basofil Eosinofil Batang Segmen Limfosit Monosit Laju Endap Darah 0,3 1,2 0,00 52 41,4 5,1 82 mm/jam 0,0 1,0 % 2,0 4,0 % 2,00 5,00 % 40,0 70,0 % 25,0 40,0 % 2,0 8,0 % 8,2 gr/dL 3310 /L 25 % 3,1 . 106 /L 95.000/ L 80,5 fl 26,6 pg 33,1 % 15,7 % (12 16 g/dl) 4800 10800/L 37 47 % 4,2 5,4 . 106 /L (150.000 450.000 /ml) 79,0 99, 0 fL 27,0 31,0 pg 33,0 37,0 % 11,5 14,5 % 7,2 11,1 fL

Kimia Klinik GDS

93 mg/dL

S2 3. Abdomen Inspeksi : Cembung, pulsasi parasternal (-), pulsasi epigastrium (-) Palpasi Perkusi DBN Auskultasi: Bising usus (+) normal 4. Ekstremitas Superior : Deformitas (-), ikterik (-), sianosis (-), oedem (-), akral dingin (-) Inferior : Deformitas (-), ikterik (-), sianosis (-), oedem (-), akral dingin (-) : Supel, nyeri tekan (-), undulasi (-) : Timpani, pekak alih (-), pekak sisi (-), hepar dan lien = : Ictus cordis teraba di SIC V 1 jari lateral LMCS, kuat

IV. DIAGNOSA KERJA Anemia Aplastik V. DIAGNOSA BANDING

a. b.

Leukimia akut Anemia megaloblastik

VI. PENATALAKSANAAN Farmakologi 1. IVFD RL 20 tpm 2. Inj. Rantin 2x1 gr ampul IV 3. Inj. Ciprofloxacin 2x200 mg (IV)

PEMBAHASAN 1. Definisi Anemia aplastik

Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang ditandai dengan pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang. Pada anemia aplastik terjadi penurunan produksi sel darah dari sumsum tulang sehingga menyebabkan retikulositopenia, anemia, granulositopenia, monositopenia dan trombositopenia. Sinonim lain yang sering digunakan antara lain hipositemia progressif, anemia aregeneratif, aleukia hemoragika, panmyeloptisis, anemia hipoplastik dan anemia paralitik toksik (William, 1991). Pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang diproduksi tidak memadai. Penderita mengalami pansitopenia, yaitu keadaan dimana terjadi kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit (Salonder, 2001, Bakhsi, 2010). Hampir semua kasus anemia aplastik berkembang pada kematian bila tidak dilakukan pengobatan. Angka kelangsungan hidup tergantung seberapa berat penyakit saat didiagnosis, dan bagaimana respon tubuh terhadap pengobatan. Semakin berat hipoplasia yang terjadi maka prognosis akan semakin jelek. (Shadduck, 2007). 2. Epidemiologi The Internasional Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study dan French Study memperkirakan ada 2 kasus persejuta orang pertahun (Salonder, 2001, Shadduck, 2007). Frekuensi tertinggi anemia aplastik terjadi pada orang berusia 15 sampai 25 tahun; peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun. Insidensi anemia aplastik diperkirakan lebih sering terjadi di Negara Timur dibanding Negara Barat, dimana insiden kira-kira 7 kasus per sejuta penduduk di Cina, 4 kasus per sejuta penduduk di Thailand dan 5 kasus persejuta penduduk di Malaysia. Penjelasan kenapa insiden di Asia Timur lebih besar daripada di negara Barat belum jelas (Shadduck, 2007). Peningkatan insiden ini diperkirakan berhubungan dengan faktor lingkungan seperti peningkatan paparan dengan bahan kimia toksik, dibandingkan dengan faktor genetik. Hal ini terbukti dengan tidak ditemukan peningkatan

insiden pada orang Asia yang tinggal di Amerika. Penelitian yang dilakukan di Thailand menunjukkan peningkatan paparan dengan pestisida sebagai etiologi yang tersering (Niazzi & Rafiq, 2010). 3. Klasifikasi Anemia Aplastik Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut : a. Klasifikasi menurut kausa (Salonder, 2001) : 1. Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira 50% kasus. 2. 3. Sekunder : bila kausanya diketahui. Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan, misalnya anemia Fanconi b. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan atau prognosis (lihat tabel 1).Tabel 1. Klasifikasi anemia aplastik berdasarkan tingkat keparahan (Bakshi, 2010, Shadduck, 2007, Smith & Marsh, 2005).

4.

Etiologi Anemia Aplastik Anemia aplastik sering diakibatkan oleh radiasi dan paparan bahan kimia. Akan tetapi, kebanyakan pasien penyebabnya adalah idiopatik, yang

berarti penyebabnya tidak diketahui (Young, 2000, Requette & Munker, 2007). a. Radiasi Aplasia sumsum tulang merupakan akibat akut yang utama dari radiasi dimana stem sel dan progenitor sel rusak. Radiasi dapat merusak DNA dimana jaringan-jaringan dengan mitosis yang aktif seperti jaringan hematopoiesis sangat sensitif (Young, 2007). Paparan jangka panjang dosis rendah radiasi eksterna dapat menyebabkan anemia aplastik, bila terkena pada stem sel hematopoiesis. Radiasi dapat berpengaruh pula pada stroma sumsum tulang dan menyebabkan fibrosis (Salonder, 2001). b. Bahan Kimia Bahan kimia seperti benzene dan derivat benzene berhubungan dengan anemia aplastik dan akut myelositik leukemia (AML). Beberapa bahan kimia yang lain seperti insektisida dan logam berat juga berhubungan dengan anemia yang berhubungan dengan kerusakan sumsum tulang dan pansitopenia (Hillman, Ault & Rinder, 2005). c. Obat-obatan Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau dosis obat berlebihan. Praktis semua obat dapat menyebabkan anemia aplastik pada seseorang dengan predisposisi genetik. Yang sering menyebabkan anemia aplastik adalah kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, emas, dan antikonvulsan, obat-obatan sitotoksik misalnya mieleran atau nitrosourea (Salonder, 2001). d. Infeksi Anemia aplastik dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti virus hepatitis, virus Epstein-Barr, HIV dan rubella. Virus hepatitis merupakan penyebab yang paling sering. Pansitopenia berat dapat timbul satu sampai dua bulan setelah terinfeksi hepatitis. Walaupun anemia aplastik jarang diakibatkan hepatitis akan tetapi terdapat hubungan antara

hepatitis seronegatif fulminan dengan anemia aplastik (Young & Maciejewski, 2000, Young, 2007, & Hillman, Ault & Rinder, 2005). Infeksi virus biasanya berhubungan dengan supresi minimal pada sumsum tulang, biasanya terlihat neutropenia dan sedikit jarang trombositopenia. Virus dapat menyebabkan kerusakan sumsum tulang secara langsung yaitu dengan infeksi dan sitolisis sel hematopoiesis atau secara tidak langsung melalui induksi imun sekunder, inisiasi proses autoimun yang menyebabkan pengurangan stem sel dan progenitor sel atau destruksi jaringan stroma penunjang (Young & Maciejewski, 2000). e. Faktor Genetik Kelompok ini sering dinamakan anemia aplastik konstitusional dan sebagian dari padanya diturukan menurut hukum mendell, contohnya anemia Fanconi. Anemia Fanconi merupakan kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh hipoplasia sumsung tulang disertai pigmentasi coklat dikulit, hipoplasia ibu jari atau radius, mikrosefali, retardasi mental dan seksual, kelainan ginjal dan limpa (Salonder, 2001). f. Anemia Aplastik pada Keadaan/Penyakit Lain 1. Pada leukemia limfoblastik akut kadang-kadang ditemukan pansitopenia dengan hipoplasia sumsum tulang (Salonder, 2001). 2. Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH). Penyakit ini dapat bermanifestasi berupa anemia aplastik. Hemolisis disertai pansitopenia mengkin termasuk kelainan PNH (Salonder, 2001). 3. Kehamilan Kasus kehamilan dengan anemia aplastik telah pernah dilaporkan, tetapi hubungan antara dua kondisi ini tidak jelas. Pada beberapa pasien, kehamilan mengeksaserbasi anemia aplastik yang telah ada dimana kondisi tersebut akan membaik lagi setelah melahirkan. Pada kasus yang lain, aplasia terjadi selama kehamilan dengan kejadian yang berulang pada kehamilan-kehamilan berikutnya (Shadduck, 2007).

5.

Patofisiologi Setidaknya ada 3 mekanisme terjadinya anemia aplastik. Anemia aplastik yang diturunkan (inherited aplastic anemia), terutama anemia Fanconi disebabkan oleh ketidakstabilan DNA. Beberapa bentuk anemia aplastik yang didapatkan (acquired aplastic anemia) disebabkan kerusakan langsung stem sel oleh agen toksik, misalnya radiasi. Patogenesis dari kebanyakan anemia aplastik yang didapatkan melibatkan reaksi autoimun terhadap stem sel (Paquette et al.,2007). Anemia Fanconi merupakan bentuk inherited anemia aplastik yang paling sering karena bentuk inherited yang lain merupakan penyakit yang langka. Kromosom pada penderita anemia Fanconi sensitif (mudah sekali) mengalami perubahan DNA akibat obat-obat tertentu. Sebagai akibatnya, pasien dengan anemia Fanconi memiliki resiko tinggi terjadi aplasia, myelodysplastic sindrom (MDS) dan akut myelogenous leukemia (AML). Kerusakan DNA juga mengaktifkan suatu kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G dan F. Hal ini menyebabkan perubahan pada protein FANCD2. Protein ini dapat berinteraksi, contohnya dengan gen BRCA1 (gen yang terkait dengan kanker payudara). Mekanisme bagaimana berkembangnya anemia Fanconi menjadi anemia aplastik dari sensitifitas mutagen dan kerusakan DNA masih belum diketahui dengan pasti (Abidin,2007 ; Paquette et al.,2007). Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat disebabkan oleh paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agenagen ini dapat menyebabkan rantai DNA putus sehingga menyebabkan inhibisi sintesis DNA dan RNA (Paquette et al., 2007) Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun mungkin merupakan mekanisme utama patofisiologi anemia aplastik. Walaupun mekanismenya belum diketahui benar, tampaknya T limfosit sitotoksik berperan dalam menghambat proliferasi stem sel dan mencetuskan kematian stem sel. Pembunuhan langsung terhadap stem sel telah

dihipotesa terjadi melalui interaksi antara Fas ligand yang terekspresi pada sel T dan Fas (CD95) yang ada pada stem sel, yang kemudian terjadi perangsangan kematian sel terprogram (apoptosis) (Paquette et al., 2007). 6. Manifestasi Klinis

a. Anemia menyebabkan fatig, dispnea, dan jantung berdebar-debar b. Trombositopenia menyebabkan mudah memar dan perdarahan mukosa c. Neutropenia menyebabkan kerentanan terhadap infeksi (Abidin, 2007). Menurut Salonder, 1983 terdapat beberapa keluhan yang terdapat pada penderita anemia aplastik diantaranya : a. Perdarahan b. Badan lemah c. Pusing d. Jantung berdebar e. Demam f. Nafsu makan menurun g. Pucat h. Sesak napas i. Penglihatan kabur j. Telinga berdengung 7. Pemeriksaan Laboratorium a. Darah Tepi Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Jenis anemia adalah normokom normositer. Kadang-kadang ditemukan juga makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis. Adanya eritrosit muda dan atau leukosit muda menandakan bukan anemia aplastik. Granulosit dan trombosit ditemukan rendah. Limfositosis relatif terdapat pada lebih dari 75% kasus. b. Laju endap darah

Laju endap darah selalu meningkat. Penulis menemukan bahwa 62 dari 70 kasus (89%) mempunyai laju endap darah lebih dari 100mm dalam jam pertama. c. Faal hemostatis Waktu perdarahan memanjang dan retraksi bekuan memburuk disebabkan karena trombositopenia d. Sumsum tulang Dilakukan dengan biopsy untuk mengetahui adanya anemia aplastik dengan adanya sarang-sarang hemopoesis (Abidin, 2007) 8. Diagnosis Banding Anemia Aplastik Diagnosis banding anemia yaitu dengan setiap kelainan yang ditandai dengan pansitopenia perifer, berikut penyebab pansitopenia (Linker, 2007): a. Kelainan sumsum tulang Anemia aplastik Myelodisplasia Leukemia akut Myelofibrosis Penyakit Infiltratif: limfoma, myeloma, carcinoma, hairy cell leukemia Anemia megaloblastik b. Kelainan bukan sumsum tulang Hipersplenisme Sistemik lupus eritematosus Infeksi: tuberculosis, AIDS, leishmaniasis, brucellosis Kelainan yang paling sering mirip dengan anemia aplastik berat yaitu sindrom myelodisplastik dimana kurang lebih 5 sampai 10 persen kasus sindroma myelodisplasia tampak hipoplasia sumsum tulang. Beberapa ciri dapat membedakan anemia aplastik dengan sindrom myelodisplastik yaitu pada myelodisplasia terdapat morfologi film darah yang abnormal (misalnya

poikilositosis, granulosit dengan anomali pseudo-Pelger- Het), prekursor eritroid sumsum tulang pada myelodisplasia menunjukkan gambaran disformik serta sideroblast yang patologis lebih sering ditemukan pada myelodisplasia daripada anemia aplastik. Selain itu, prekursor granulosit dapat berkurang atau terlihat granulasi abnormal dan megakariosit dapat menunjukkan lobulasi nukleus abnormal (misalnya mikromegakariosit unilobuler) (Shadduck, 2007). Kelainan seperti leukemia akut dapat dibedakan dengan anemia aplastik yaitu dengan adanya morfologi abnormal atau peningkatan dari sel blast atau dengan adanya sitogenetik abnormal pada sel sumsum tulang. Leukemia akut juga biasanya disertai limfadenopati, hepatosplenomegali, dan hipertrofi gusi (Supandiman, 1997; Linker, 2007). Hairy cell leukemia sering salah diagnosa dengan anemia aplastik. Hairy cell leukemia dapat dibedakan dengan anemia aplastik dengan adanya splenomegali dan sel limfoid abnormal pada biopsi sumsum tulang (Linker, 2007). Pansitopenia dengan normoselular sumsum tulang biasanya disebabkan oleh sistemik lupus eritematosus (SLE), infeksi atau hipersplenisme. Selularitas sumsum tulang yang normoselular jelas membedakannya dengan anemia aplastik 9. Penatalaksanaan a. Pengobatan Suportif Bila terdapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed red cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien dengan penyakit kardiovaskular. Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm3. Transfusi trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit dibawah 20.000/mm3 sebagai profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit donor acak. Transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi,

donor diganti dengan yang cocok HLA-nya (orang tua atau saudara kandung). Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversial dan tidak dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit yang ditransfusikan sangat pendek (Solander, 2006) b. Terapi Imunosupresif Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA). ATG atau ALG diindikasikan pada: Anemia aplastik bukan berat Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat pengobatan tidak terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan granulosit lebih dari 200/mm3 Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan pasti dan mungkin melalui koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal dan stimulasi langsung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis. Metilprednisolon juga dapat digunakan sebagai ganti predinison. Kombinasi ATG, siklosporin dan metilprednisolon memberikan angka remisi sebesar 70% pada anemia aplastik berat. Kombinasi ATG dan metilprednisolon memiliki angka remisi sebesar 46% (Solander, 2006) Pemberian dosis tinggi siklofosfamid juga merupakan bentuk terapi imunosupresif. Pernyataan ini didasarkan karena stem sel hematopoiesis memliki kadar aldehid dehidrogenase yang tinggi dan relatif resisten terhadap siklofosfamid. Dengan dasar tersebut, siklofosfamid dalam hal ini lebih bersifat imunosupresif daripada myelotoksis. Namun, peran obat ini sebagai terapi lini pertama tidak jelas sebab toksisitasnya mungkin berlebihan yang melebihi dari pada kombinasi ATG dan siklosporin (Shadduck, 2007). Pemberian dosis tinggi siklofosfamid sering disarankan untuk imunosupresif yang mencegah relaps. Namun, hal ini belum dikonfirmasi.

Sampai kini, studi-studi dengan siklofosfamid memberikan lama respon leih dari 1 tahun. Sebaliknya, 75% respon terhadap ATG adalah dalam 3 bulan pertama dan relaps dapat terjadi dalam 1 tahun setelah terapi ATG (Solander, 2006) c. Terapi penyelamatan Terapi ini antara lain meliputi siklus imunosupresi berulang, pemberian faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik dan pemberian steroid anabolik. Pasien yang refrakter dengan pengobatan ATG pertama dapat berespon terhadap siklus imunosupresi ATG ulangan (Solander, 2006) Pemberian faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik seperti Granulocyte-Colony Stimulating Factor (G-CSF) bermanfaat untuk meningkatkan neutrofil akan tetapi neutropenia berat akibat anemia aplastik biasanya refrakter. Peningkatan neutrofil oleh stimulating faktor ini juga tidak bertahan lama. Faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya modalitas terapi anemia aplastik. Kombinasi G-CSF dengan terapi imunosupresif telah digunakan untuk terapi penyelamatan pada kasus-kasus yang refrakter dan pemberiannya yang lama telah dikaitkan dengan pemulihan hitung darah pada beberapa pasien (Solander, 2006) Steroid anabolik seperti androgen dapat merangsang produksi eritropoietin dan sel-sel induk sumsum tulang. Androgen terbukti bermanfaat untuk anemia aplastk ringan dan pada anemia aplastik berat biasanya 2006) d. Transplantasi sumsum tulang Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien anemia aplastik berat berusia muda yang memiliki saudara dengan kecocokan HLA. Akan tetapi, transplantasi sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil pasien (hanya sekitar 30% pasien yang tidak bermanfaat. Androgen digunakan sebagai terapi penyelamatan untuk pasien yang refrakter terapi imunosupresif (Solander,

mempunyai saudara dengan kecocokan HLA). Batas usia untuk transplantasi sumsum tulang sebagai terapi primer belum dipastikan, namun pasien yang berusia 35-35 tahun lebih baik bila mendapatkan terapi imunosupresif karena makin meningkatnya umur, makin meningkat pula kejadian dan beratnya reaksi penolakan sumsum tulang donor (Graft Versus Host Disesase/GVHD). Pasien dengan usia > 40 tahun terbukti memiliki respon yang lebih jelek dibandingkan pasien yang berusia muda (Shadduck, 2007). 10. Prognosis Prognosis berhubungan dengan jumlah absolut netrofil dan trombosit. Jumlah absolut netrofil lebih bernilai prognostik daripada yang lain. Jumlah netrofil kurang dari 500/l (0,5x109/liter) dipertimbangkan sebagai anemia aplastik berat dan jumlah netrofil kurang dari 200/l (0,2x109/liter) dikaitkan dengan respon buruk terhadap imunoterapi dan prognosis yang jelek bila transplantasi sumsum tulang allogenik tidak tersedia. Anak-anak memiliki respon yang lebih baik daripada orang dewasa. Anemia aplastik konstitusional merespon sementara terhadap androgen dan glukokortikoid akan tetapi biasanya fatal kecuali pasien mendapatkan transplantasi sumsum tulang (Shadduck, 2007) Transplantasi sumsum tulang bersifat kuratif pada sekitar 80% pasien yang berusia kurang dari 20 tahun, sekitar 70% pada pasien yang berusia 2040 tahun dan sekitar 50% pada pasien berusia lebih dari 40 tahun. Celakanya, sebanyak 40% pasien yang bertahan karena mendapatkan transplantasi sumsum tulang akan menderita gangguan akibat GVHD kronik dan resiko mendapatkan kanker sekitar 11% pada pasien usia tua atau setelah mendapatkan terapi siklosporin sebelum transplantasi stem sel. Hasil yang terbaik didapatkan pada pasien yang belum mendapatkan terapi imunosupresif sebelum transplantasi, belum mendapatkan dan belum tersensitisasi dengan produk sel darah serta tidak mendapatkan iradiasi dalam hal conditioning untuk transplantasi. Sekitar 70% pasien memiliki perbaikan

yang bermakna dengan terapi kombinasi imunosupresif (ATG dengan siklosporin). Walaupun beberapa pasien setelah terapi memiliki jumlah sel darah yang normal, banyak yang kemudian mendapatkan anemia sedang atau trombositopenia. Penyakit ini juga akan berkembang dalam 10 tahun menjadi proxysmal nokturnal hemoglobinuria, sindrom myelodisplastik atau akut myelogenous leukimia pada 40% pasien yang pada mulanya memiliki respon terhadap imunosupresif. Pada 168 pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang, hanya sekitar 69% yang bertahan selama 15 tahun dan pada 227 pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif, hanya 38% yang bertahan dalam 15 tahun (Shadduck, 2007) Pengobatan dengan dosis tinggi siklofosfamid menghasilkan hasil awal yang sama dengan kombinasi ATG dan siklosporin. Namun, siklofosfamid memiliki toksisitas yang lebih besar dan perbaikan hematologis yang lebih lambat walaupun memiliki remisi yang lebih bertahan lama (Shadduck, 2007)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin. 2007. Anemia Aplastik. Dalam : Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : EGC Jilid II Edisi IV. 627-633 Bakshi, S. Aplastic Anemia. Available in URL: HYPERLINK http://www.emedicine.com/med/topic162.htm. Diakses pada 15 Desember 2010 Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. 2005. Hematology in Clinical Practice 4th ed. New York: Lange McGraw Hill. Linker CA. Aplastic anemia. In: McPhee SJ, Papadakis MA, et al (eds). Current Medical Diagnosis and Treatment. New York: Lange McGraw Hill, 2007;510-11 Niazzi, M, Rafiq F. The Incidence of Underlying Pathology in Pancytopenia. Available in URL: HYPERLINK http://www.jpmi.org/org_detail.asp. Diakses pada 15 Desember 2010 Paquette R, Munker R. Aplastic Anemias. In: Munker R, Hiller E, et al (eds). Modern Hematology Biology and Clinical Management 2nd ed. New Jersey: Humana Press, 2007 ;207-16. Salonder, H. 2001. Anemia aplastik. In: Suyono S, Waspadji S, et al (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 501-8. Shadduck RK. Aplastic anemia. In: Lichtman MA, Beutler E, et al (eds). William Hematology 7th ed. New York : McGraw Hill Medical; 2007 Solander H. Anemia aplastik In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 2006;637-43. Supandiman, I. 2003. Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi Onkologi Medik. Jakarta. Q-communication. William, DM. 1993. Pancytopenia, aplastic anemia, and pure red cell aplasia. In: Lee GR, Foerster J, et al (eds). Wintrobes Clinical Hematology 9th ed. Philadelpia- London: Lee& Febiger, 911-43. Young, N S. 2007. Aplastic anemia, myelodysplasia, and related bone marrow failure syndromes. In: Kasper DL, Fauci AS, et al (eds). Harrisons Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York: McGraw Hill, 2007:617-25. Young, NS, Maciejewski J. 2000. Aplastic anemia. In: Hoffman. Hematology : Basic Principles and Practice 3rd ed. Churcil Livingstone, 153-68.