Andri Santi

31
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Belajr lebih dari sekedar mengingat. Bagi siswa, untuk benar-benar mengerti dan dapat menerapkn ilmu pengetahuan, meereka harus bekerja untuk memechkan masalah menemukn sesuatu bagi dirinya sendiri, dan selalu bermula dengn ide- ide. Tugas pendidikan tidk hanya menuangkan atau menjejalkan sejumlah informasi ke dalam benak siswa, tetapi mengysahakan bagaimana agar konsep-konsep penting dan sangat berguna tertenam kuat dalam benak siswa. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Teori konstruktivisme ini diperlukan dalam proses beajar karena teori ini menekanan pada keaktifan siswa. Sehigga dapat membantu mengembangkan konsep – konsep yang dimliiki siswa. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai bagaimana pandangan belajar menurut teori konstruktivisme. B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pandangan belajar menurut teori konstruktivisme? 2. Bagaimanakah sejarah konstrruktivisme? 3. Bagaimana ciri – ciri, prinsip, serta kelebihan dan kekurangan dari teori konstruktivisme? 4. Apa yang dimaksud dengan proses top down? 5. Bagaimana pembelajaran generatif menurut teori konstruktivisme? 6. Apa yang dimaksud dengan pembelajaran dengan penemuan? 1

description

knkkn

Transcript of Andri Santi

BAB IPENDAHULUANA. Latar Belakang

Belajr lebih dari sekedar mengingat. Bagi siswa, untuk benar-benar mengerti dan dapat menerapkn ilmu pengetahuan, meereka harus bekerja untuk memechkan masalah menemukn sesuatu bagi dirinya sendiri, dan selalu bermula dengn ide-ide. Tugas pendidikan tidk hanya menuangkan atau menjejalkan sejumlah informasi ke dalam benak siswa, tetapi mengysahakan bagaimana agar konsep-konsep penting dan sangat berguna tertenam kuat dalam benak siswa. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Teori konstruktivisme ini diperlukan dalam proses beajar karena teori ini menekanan pada keaktifan siswa. Sehigga dapat membantu mengembangkan konsep konsep yang dimliiki siswa. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai bagaimana pandangan belajar menurut teori konstruktivisme.

B. Rumusan MasalahAdapun rumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pandangan belajar menurut teori konstruktivisme?2. Bagaimanakah sejarah konstrruktivisme?3. Bagaimana ciri ciri, prinsip, serta kelebihan dan kekurangan dari teori konstruktivisme?4. Apa yang dimaksud dengan proses top down?5. Bagaimana pembelajaran generatif menurut teori konstruktivisme?6. Apa yang dimaksud dengan pembelajaran dengan penemuan?7. Apa yang dimaksud dengan pembelajaran dengan pengaturan diri?8. Apa yang dimaksud dengan pembelajaran dengan scaffolding?9. Bagaimana metode konstruktivime dalam bidang fisika?10. Bagaimana perbandingan antara teori belajar behavoristik dengan teori belajar konstruktivisme?

C. Tujuan Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:1. Untuk mengetahui pengertian pandangan belajar menurut teori konstruktivisme.2. Untuk bagaimanakah sejarah konstrruktivisme.3. Untuk mengetahui ciri ciri dan prinsip dari teori konstruktivime.4. Untuk mengetahui definisi dari proses top down.5. Untuk mngetahui pembelajaran generatif menurut teori konstruktivisme.6. Untuk mengetahui pengetian pembelajaran dengan penemuan.7. Untuk mengetahui pengertian pembelajaran dengan pengatruran diri.8. Untuk mengetahui pengertian pembelajaran dengan scaffolding.9. Untuk mengetahui metode konstruktivime dalam bidang fisika.10. Untuk mengetahui perbandingan antara teori belajar behavoristik dengan teori belajar konstruktivisme.

BAB IIPEMBAHASAN

A. Pandangan Belajar Menurut Teori KonstruktivismeKonstruktivisme adalah istilah yang sering digunakan dalam konteks pembelajaran dewasa ini. Ahli filsafat pendidikan menggunakan istilah konstruktivisme sebagai teori epistemologi yang merujuk pada sifat alami pengetahuan bagi seseorang. Konstruktivisme merupakan teknik pembelajaran yang melibatkan peserta didik untuk membangun sendiri pengetahuannya secara aktif dengan menggunakan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri. Guru dapat membantu proses iini, dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan membrikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide, dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan secara sadar menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Secara konseptual, proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemutakhiran struktur kognitifnya.Hakikat dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menjadikan informasi itumiliknya sendiri. Teori konstruktivis memandang siswa secara terus menerus memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama dan memperbaiki aturan-aturan tersebut jika tidak sesuai lagi. Karena penekanannya pada siswa sebagai siswa yang aktif, strategi konstruktivis sering disebut pengajaran yang terpusat pada siswa atau student centred instuctions. Di dalam kelas yang terpusat pada siswa peran guru adalah membantu siswa menemukan fakta, konsep, atau prinsip bagi diri mereka sendiri, bukan memberikan ceramah atau mengendalikan seluruh kegiatan kelas.Pembelajaran yang berlandaskan cara pandang konstruktivisme meliputi 4 tahap yaitu :1. Tahap apersepsi (mengungkap konsepsi awal dan membangktkan motivasi belajar peserta didik )2. Tahap eksplorasi 3. Tahap diskusi dan penjelasan konsep4. Tahap pengembangan dan aplikasi konsepPembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme meliputi 4 kegiatan anatar lain :1. Berkaitan dengan penegtahuan awal (prior knowledge) peserta didik2. Mengandng kegiatan pengalaman nyata (experiences)3. Terjadi interaksi sosial (social instructions)4. Terbentuknya kepekaan terhadap lingkungan ( sense of making environment)Petunjuk tentang proses pembelajaran yang mengacu teori belajar konstuktivisme juga dikemukakan oleh Dahar. Dalam hal ini guru perlu melakukan hal-hal sebagai berikut :1. Menyiapkan benda-benda nyata untuk digunakan para peserta didik2. Memilih pendekatan yang sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik3. Memperkenalkan kegiatan yang layak dan menarik serta beri kebebasan mereka untuk menolak saran guru4. Menekankan penciptaan pertanyaan dan masalah serta pemecahannya5. Menganjurkan para pesewrta didik untuk saling berinterkasi atau berkomunikasi6. Menghindari istilah teknis dan menekankan pentingnya kemampuan berfikir7. Menganjurkan peserta didik untuk berfikir dengan caranya sendiri8. Memperkenalkan kembali materi dan kegiatan yang sama setelah beberapa waktu berlaluUraian-uraian diatas dapat memberi pandangan kepada guru agar dalam menerapkan prinsip-prinsip teori belajar konstruktivisme, benar-benar harus memperhatikan kondisi lingkungan peserta didik karena faktor lingkungan merupakan salah satu sarana interaksi, dan bukanlah satu-satunya yang faktor pendukung yang perlu mendapat perhatian dari guru.B. Sejarah KonstruktivismeRevolusi kontruktivisme memiliki akar yang kuat di dalam sejarah pendidikan. Kontruktivisme lahir dari gagasan Piaget dan Vigotsky, dimana keduanya menekankan bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami sebelumnya diolah melalui suatu proses ketidakseimbangan dalam upaya memahami informasi-informasi baru. Piaget dan Vigotsky juga menekankan adanya hakikat sosial dari belajar, dan keduanya menyarankan untuk menggunakan kelompok-kelompok belajar dengan kemampuan anggota kelompok yang berbeda-beda untuk mengupayakan perubahan pengertian atau belajar.Pembelajaran Sosial. Ide-ide konstruktivis modern banyak berlandaskan pada teori Vygotsky (Karpov & Bransford, 1995), yang telah digunakan untuk menunjang metode pengajaran yang menekankan pada pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis kegiatan, dan penemuan. Empat prinsip kunci yang diturunkan dari teorinya telah memegang suatu peran penting. Pertama adalah penekanannya pada hakikat sosial dari pembelajaran. Ia mengemukakan bahwa siswa belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Pada proyek kooperatif, siswa dihadapkan pada proses berfikir teman sebaya mereka; metode ini tidak hanya membuat hasil belajar terbuka untuk seluruh siswa, tetapi juga membuat proses berfikir siswa lain terbuka untuk seluruh siswa. Vygotsky memperhatikan bahwa pemecah masalah yang berhasil berbicara kepada diri mereka sendiri tentang langkah-langkah pemecahan masalah yang sulit. Dalam kelompok kooperatif, siswa lain dapat mendengarkan pembicaraan dalam hati ini yang diucapkan dengan keras oleh pemecah masalah dan belajar bagaimana jalan pikiran atau pendekatan yang dipakai pemecah masalah yang berhasil ini.Zona Perkembangan Terdekat atau Zone Of Proximal Development. Konsep kunci kedua adalah ide bahwa siswa belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada dalam zone perkembangan terdekat mereka. Anak sedang bekerja di dalam zona perkembangan terdekat mereka pada saat mereka terlibat dalam tugas-tugas yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri tetapi dapat menyelesaikannya bila dibantu oleh teman sebaya mereka atau orang dewasa. Sebagai misal,5 apabila seorang anak tidak dapat menemukan sendiri median dari suatu himpunan bilangan tetapi dapat menemukannya dengan bantuan gurunya, maka menemukan median ini boleh jadi berada dalam zona perkembangan terdekatnya. Pada saat anak-anak sedang bekerja sama, kemungkinan sekali ada tingkat prestasi atau kinerja salah seorang dari anggota kelompok pada suatu tugas tertentu berada pada tingkat kognitif sedikit lebih tinggi dari tingkat kinerja anak tersebut, ini berarti tugas tersebut tepat berada di dalam zona perkembangan terdekat anak tersebut.Pemagangan Kognitif atau Cognitive Apprenticeship. Konsep lain yang diturunkan dari teori Vygotsky menekankan pada dua-duanya, hakikat sosial dari belajar dan zona perkembangan terdekat adalah pemagangan kognitif (Gardner, 1991). Istilah ini mengacu kepada proses dengan mana seseorang yang sedang belajar secara tahap demi tahap memperoleh keahlian dalam interaksinya dengan seorang pakar, pakar itu bisa orang dewasa atau orang yang lebih tua atau kawan sebaya yang telah menguasai permasalahannya. Dalam banyak pekerjaan, pekerja-pekerja baru mempelajari pekerjaan mereka melalui proses pemagangan, dimana seorang pekerja didampingi oleh pekerja yang sudah berpengalaman, yang bertindak sebagai model, memberikan umpan balik kepada pekerja yang belum berpengalaman, dan tahap demi tahap memperkenalkan pekerja baru itu ke dalam norma dan perilaku profesi itu. Mengajar siswa di kelas adalah suatu bentuk pemagangan. Penganut teori konstruktivis menganjurkan pentransferan model pengajaran dan pembelajaran yang efektif ini ke aktivitas sehari-hari di kelas, baik dengan cara melibatkan siswa dalam tugas-tugas kompleks maupun membantu mereka mengatasi tugas-tugas tersebut (Newmann & Wehlage, 1993) dan melibatkan siswa dalam kelompok pembelajaran kooperatif heterogen di mana siswa yang lebih pandai membantu siswa yang kurang pandai dalam menyelesaikan tugas-tugas kompleks tersebut.Scaffolding atau Mediated Learning. Akhirnya, teori Vygotsky menekenkan bahwa scaffolding atau mediated learning atau dukungan tahap demi tahap untuk belajar dan pemecahan masalah (Kozulin & Presseisen, 1995) sebagai suatu hal yang penting dalam pemikiran konstruktivis modern. Penafsiran terkini terhadap ide-ide Vygotsky adalah siswa seharusnya diberikan tugas-tugas kompleks, sulit dan realistik dan kemudian diberikan bantuan secukupnya untuk menyelesaikan tugas-tugas ini (bukan diajar sedikit demi sedikit komponen-komponen suatu tugas kompleks yang pada suatu hari diharapkan akan terwujud menjadi suatu kemampuan untuk meyelesaikan tugas kompleks tersebut). Prinsip ini digunakan untuk menunjang pemberian tugas kompleks di kelas seperti proyek, simulasi, penyelidikan di masyarakat, menulis untu dipresentasikan ke pendengar yang sesungguhnya, dan tugas-tugas autentik yang lain. Istilah situated learning (Prawat, 1992) digunakan untuk memberikan pembelajaran yang terjadi di dalam kehidupan-nyata, tugas-tugas autentik atau asli atau yang sebenarnya.

C. Ciri ciri, Prinsp, Kelemahan dan Kekurangan Dari Teori Konstruktivisme

1. Ciri Ciri KonstruktivismeAdapun ciri ciri pembelajaran secara kontruktivisme adalah :1. Memberi peluang kepada murid membina pengetahuan baru melalui penglibatan dalam dunia sebenar2. Menggalakkan soalan/idea yang dimul akan oleh murid dan menggunakannya sebagai panduan merancang pengajaran.3. Menyokong pembelajaran secara koperatif Mengambilkira sikap dan pembawaan murid4. Mengambilkira dapatan kajian bagaimana murid belajar sesuatu ide5. Menggalakkan & menerima daya usaha & autonomi murid6. Menggalakkan murid bertanya dan berdialog dengan murid & guru7. Menganggap pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran.8. Menggalakkan proses inkuiri murid mel alui kajian dan eksperimen.2. Prinsip Prinsip Konstruktivisme Secara garis besar, prinsip-prinsip konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar mengajar adalah:1. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar3. Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah4. Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.5. Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa6. Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan7. Mmencari dan menilai pendapat siswa8. Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa . siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat penemuan.3. Kelebihan dan Kelemahan Teori Konstruktivisme

Kelebihana. Berfikir : Dalam proses membina pengetahuan baru, murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, menjana idea dan membuat keputusan.b. Faham : Oleh kerana murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih faham dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi.c. Ingat : Oleh kerana murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Yakin Murid melalui pendekatan ini membina sendiri kefahaman mereka. Justeru mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru.d. Kemahiran sosial : Kemahiran sosial diperolehi apabila berinteraksi dengan rakan dan guru dalam membina pengetahuan baru.e. Seronok : Oleh kerana mereka terlibat secara terus, mereka faham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan sihat, maka mereka akan berasa seronok belajar dalam membina pengetahuan baru. KelemahanDalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung.D. Proses Top DownPendekatan kontruktivis dalam pengajaran lebih menekankan pada pengajaran top-down dariapada bottom-up. Top-down berarti bahwa siswa mulai dengan masalah - masalah yang kompleks untuk di pecahkan dan selanjutnya memecahkan atau menemukan (dengan bantuan guru) keterampilan-keterampilan dasar yang di perlukan. Sebagai contoh, siswa dapat diminta untuk menuliskan suatu susunan, kalimat, dan baru kemudian belajar tentang mengeja, tata bahasa dan tanda baca. Pendekatan proses top-down ini berlawanan dengan strategi battom-up tradisional dimana keterampilan-keterampilan dasar secara bertahap dilatihkan secara bertahap untuk mewujudkan keterampilan-keterampilan ysng lebih komplek. Di dalam pengajaran top-down, siswa mulai dengan suatu tugas yang kompleks, lengkap dan authentic, artinya tugas-tugas itu bukan merupakan bagian atau penyederhanaan dari tugas-tugas yang akhirnya diharapkan dapat dilakukan siswa, melainkan tugas itu merupakan tugas yang sebenarnya.Sebagai satu contoh pendekatan konstruktivis dalam pengajaran matematika, perhatikan contoh dalam lempert (1986). Secara tradisional dalam pendekatan bottom-up untuk mengajarkan perkalian bilangan dua digit dengan bilangan satu digit (contoh 4 x 12 = 48) adalah mengajarkan kepada siswa prosedur langkah demi langkah untuk mendapatkan jawaban yang benar. Hanya setelah mereka menguasai keterampilan-keterampilan dasar ini, mereka baru diberi masalah terapan sederhana. Misalnya Tono melihat permen yang harganya dua puluh lima. Berapa dia harus bayar jika dia ingin membeli 4 buah permen tersebut? Pendekatan kontruktivis bekerja dengan arah yang sebaliknya, dimulai dengan masalah (sering muncul dari siswa itu sendiri) dan selanjutnya membantu siswa menyelesaikan bagaimana menemukan langkah-langkah memecahkan masalah tersebut.E. Pembelajaran Generatif atau Generative LearningBanyak strategi pengajaran yang digunakan dalam pendekatan konstruktivis dalam pengajaran termasuk generative learning atau pembelajaran generatif. Asumsi sentral pendekatan konstruktivis adalah bahwa belajar itu ditemukan; meskipun apabila kita menyampaikan sesuatu kepada siswa, mereka harus melakukan operasi mental atau kerja otak atas informasi itu untuk membuat informasi itu masuk ke dalam pemahaman mereka. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa pembelajaran generatif adalah salah satu model pembelajaran yang berlandaskan pada pandangan konstruktivisme, dengan asumsi dasar bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran siswa.Pembelajaran generatif merupakan suatu model pembelajaran yang menekankan pada pengintegrasian secara aktif pengetahuan baru dengan menggunakan pengetahuan yang sudah dimiliki siswa sebelumnya. Pengetahuan baru itu akan diuji dengan cara menggunakannya dalam menjawab persoalan atau gejala yang terkait. Jika pengetahuan baru itu berhasil menjawab permasalahan yang dihadapi, maka pengetahuan baru itu akan disimpan dalam memori jangka panjang. Sebagai misal, seorang siswa telah berhasil diajar untuk membuat pertanyaan pertanyaan untuk diri mereka sendiri, ikhtisar dan analogi tentang materi yang telah mereka baca dan mengucapkan dengan kata kata sendiri apa yang telah mereka dengar dan kegiatan kegiatan generatif ini telah memberikan sumbangan kepada hasil belajar dan ingatan siswa. Model pembelajaran generatif berbasis pada pandangan konstruktivisme, dengan asumsi dasar bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran siswa. Hal ini ditegaskan Witkktrock bahwa intisari dari pembelajaran generatif adalah otak tidak menerima informasi dengan pasif, melainkan justru dengan aktif mengkonstruksi suatu interpretasi dari informasi tersebut dan kemudian membuat kesimpulan. Model pembelajaran generatif merupakan salah satu model pembelajaran yang dilakukan dengan tujuan agar siswa secara aktif mengkonstruksi pengetahuan dalam pembelajaran. Dalam teori belajar generatif merupakan suatu penjelasan tentang bagaimana seorang siswa membangun pengetahuan dalam fikirannya seperti membangun ide tentang arti suatu istilah dan membangun strategi agar sampai pada suatu penjelasan tentang pertanyaan bagaimana dan mengapa.Model pembelajaran generatif dikembangkan pada tahun 1985 oleh Osborne dan Wittrock (Hulukati, 2005). Wittrock (1992) menyatakan bahwa model pembelajaran generatif merupakan suatu model pembelajaran tentang bagaimana seorang siswa membangun pengetahuan dalam pikirannya, seperti membangun ide tentang suatu fenomena atau membangun arti suatu istilah danjuga membangun strategi untuk sampai pada suatu penjelasan tentang pertanyaan bagaimana dan mengapa. Wittrock (Grabowski, 2001:720) mengonsepkan model pembelajaran generatif berdasarkan model syaraf dari fungsi otak dan telaah kognitif pada proses pengetahuan. Hal ini ditegaskan Osborne dan Wittrock (Hulukati, 2005) bahwa intisari dari pembelajaran generatif adalah otak tidak menerima informasi dengan pasif, melainkan justru dengan aktif mengkonstruksi suatu interpretasi dari informasi tersebut dan kemudian membuat kesimpulan.Otak bukanlah suatu'blank slate' yang dengan pasif belajar dan mencatat semua informasi yang diberikan.Penerapan model pembelajaran generatif merupakan suatu cara yang baik untuk mengetahui pola pikir siswa serta bagaimana siswa memahami dan memecahkan masalah dengan baik. Secara ringkasnya model pembelajaran generatif adalah suatu model pembelajaran berdasarkan kepada penyelidikan tentang bagaimana manusia belajar. Sejalan dengan itu Jonasse (Marrison, 2011) mengemukakan bahwa strategi pembelajaran generatif, are those that require learners consciously and deliberately to relate new information to existing knowledge. Dengan demikian melalui model pembelajaran generatif, pengetahuan yang dimiliki oleh siswa adalah hasil daripada aktivitas yang dilakukan oleh pelajar tersebut dan bukan pengajaran yang diterima secara pasif. Grabowski (2001: 723) mengatakan bahwa kontribusi penting pada model generatif bagaimanapun juga bergantung pada strategi guru dalam merancang situasi pembelajaran dan mengelola isi materi yang disampaikan agar menarik perhatian siswa.Menurut Osborne dan Wittrock (Hulukati, 2005: 51) model pembelajaran generatif adalah model pembelajaran dimana siswa secara aktif mengkonstruksi pengetahuan melalui lima tahap yaitu tahap orientasi, tahap pengungkapan ide, tahap tantangan dan restrukturisasi, tahap penerapan. Menurut Tytler (Hulukati, 2005:60), model pembelajaran generatif merupakan salah satu model yang dapat diterapkan dalam pembelajaran matematika, dan terdiri dari empat fase pembelajaran yaitu fase eksplorasi pendahuluan (preliminary), fase pemusatan (focus), fase tantangan (challenge), serta fase aplikasi (application).Intisari dari model pembelajaran genertif adalah bahwa otak tidak menerima informasi dengan pasif melainkan justru juga aktif mengkonstruksi suatu interpretasi dari informasi tersebut dan kemudian membuat kesimpulan. Untuk lebih jelasnya kelima tahapan dalam model pembelajaran generatif dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:a. Tahap Orientasi, Tahap orientasi yaitu tahap dimana siswa diberi kesempatan untuk membangun kesan mengenai konsep yang sedang dipelajari dengan mengaitkan materi dengan pengalaman sehari-hari. Tujuannya agar siswa termotivasi mempelajari konsep tersebut.Tahap orientasi, merupakan tahap memotivasi siswa untuk mempelajari materi yang akan diajarkan dengan mengaitkan manfaat materi tersebut di dalam kehidupan sehari-hari. Siswa diberikan kesempatan untuk membangun kesan mengenai konsep yang sedang dipelajari dengan menghubungkannya dengan pengalaman sehari-hari (Osborne dan Wittrock dalam Hulukati, 2005). Tujuannya agar dalamproses pembelajaran siswa dapat membayangkan sesuatu serta dapat memanfaatkan pengalaman dan pengetahuan yang telah dimilikinya untuk menyelesaikan masalah pada pokok bahasan yang sedang dihadapi, dengan demikian siswa termotivasi mempelajari pokok bahasan yang akan dipelajari.Sejalan dengan hal tersebut Asmin (2005) mengemukakan bahwa berpikir generatif adalah mencari sebanyak mungkin pemecahan yang sifatnya harus masuk akal, yang bersumber dari fakta yang ditelaah, yang merupakan cara berpikir yang menghasilkan beragam cara dalam menanggapi.Proses menghubungkan (mengkoneksikan) pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sudah ada akan melibatkan motivasi. Pengetahuan dari konsepsi awal akan menghasilkan pemaknaan dan pemahaman siswa dalam pembelajaran. Hal ini didukung oleh teori Gagne, yaitu belajar harus didukungoleh peristiwa pembelajaran (instructional event), misalnya memotivasi siswa mengkomunikasikan tujuan pembelajaran, mengarahkan perhatian siswa, membangkitkan transfer (generalisasi), memunculkan kinerja, dan memberikan umpan balik.b. Tahap pengungkapan ideTahap pengungkapan ide yaitu tahap dimana siswa diberi kesempatan untuk mengemukakan ide mereka mengenai konsep yang dipelajari. Pada tahap ini siswa akan menyadari bahwa ada pendapat yang berbeda mengenai konsep tersebut.Dalam tahappengungkapan ide, Osborne dan Wittrock (Hulukati, 2005) menjelaskan bahwa pada tahap ini guru dapat mengetahui ide atau konsep awal yang dimiliki siswa mengenai materi yang akan diajarkan. Siswa diberikan kesempatan untuk mengemukakan ide mereka mengenai konsep yang dipelajari. Guru berperan sebagai motivator dengan cara mengajukan pertanyaan yang bersifat menggali pengetahuan siswa (Socratic questioning) sehingga akan terungkap ide atau gagasan yang ada dalam benak siswa. Pertanyaan yang bersifat menggali dapat membantu siswa menghargai kekurangajegan cara berpikir mereka dan mengkontruksi kembali gagasan mereka dengan cara yang lebih koheren atau bertalian secara logis. Grabowski (2001: 723) mengatakan, Teaching and design strategies that deal with attribution should result in enduring interest, persistence, and motivation.Ketika siswa mengungkapkan ide, siswa akan menyadari bahwa ada pendapat yang berbeda dengan teman yang lain pada topik yang sedang dipelajarinya. Hal tersebut akan menimbulkan konflik dalam dirinya sehinggamenimbulkan ketidakpuasan terhadap ide dan gagasan yang akan mendorong siswa melakukan perubahan. Ketidakpuasan tersebut dapat dibangkitkan dengan memunculkan dan meningkatkan kepedulian terhadap gagasan-gagasan mereka sendiri, meminta mereka menjelaskan konsep-konsep yang tidak sesuai, dan mendiskusikan konsep-konsep tersebut. Pada tahap ini juga siswa diberikan kesempatan untuk menggali gagasan-gagasan mereka dalam diskusi kelompok kecil untuk mendiskusikan konsep-konsep yang sedang dipelajari.Hampir senada dengan tahap pengungkapan ide yang dikemukakan oleh Osborne dan Wittrock, Tytler (Fitriandini, 2009) mengungkapkan fase eksplorasi dan fase pemusatan (focus). Pada fase eksplorasi, guru dapat mengeksplorasi dan mengklasifikasi gagasan-gagasan siswa tentang konsep-konsep yang akan dipelajari. Konsep awal siswa pada fase ini digunakan sebagai titik tolakperencanaan program pembelajaran. Ini dilakukan guru untuk mendapatkan latar belakang gagasan atau konsep-konsep siswa dan kecenderungan tantangan pengetahuannya tentang topik yang dipelajari. Hal ini senada dengan Grobowski (2001: 741) mengungkapkan bahwa model pembelajaran generatif member kesempatan kepada siswa untuk aktif mencari informasi dan menemukan konsep pengetahuan yang baru.Fase ini berlanjut dengan guru memberikan pertanyaan kepada siswa sebagai motivasi, membangkitkan rasa ingin tahu siswa terhadap aspek penting dalam suatu topik, sehingga siswa memiliki dasar mengajukan pertanyaan.Setelah fase eksplorasi, fase selajutnya menurut Tytler (Fitriandini, 2009) adalah fase pemusatan (focus). Pada fase ini guru melakukan pemusatan yang terarah pada konsep yang akan dipelajari oleh siswa. Kemudian siswa melakukan kegiatan untuk mengenal materi-materi yang digunakan untuk mengajukan pertanyaan (masalah atau soal). Pada saat itu siswa diharapkan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan topik yang dipelajari, selanjutnya respon siswa diinterpretasikan dan diklarifikasi. Selain itu juga siswa dapatmengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai konsep yang dipelajari, melakukan refleksi dan mengklarifikasi konsepnya apa benar atau tidak. Selanjutnya para siswa mengkomunikasikan pada temannya melalui diskusi kelas atau diskusi kelompok.

c. Tahap tantangan dan restrukturisasi, Tahap tantangan dan restrukturisasi yaitu guru menyiapkan suasana dimana siswa diminta membandingkan pendapatnya dengan pendapat siswa lain dan mengemukakan keunggulan dari pendapat mereka tentang konsep yang dipelajari. Kemudian guru mengusulkan peragaan demonstrasi untuk menguji kebenaran pendapat siswa. Pada tahap ini diharapkan siswa sudah mulai mengubah struktur pemahaman mereka (conceptual change).

Tahap Tantangan dan Restrukturisasi, guru memunculkancognitive conflictdengan cara menyiapkan kondisi dimana siswa diminta membandingkan pendapatnya dengan pendapat temannya, serta bisa mengupayakan mengungkapkan kebenaran/keunggulan pendapatnya. Kemudian guru mengusulkan peragaan atau demonstrasi untuk menguji kebenaran pendapat mereka (Osborne dan Wittrock dalam Hulukati, 2005).

Diharapkan selama proses ini muncul konflik antara apa yang dimiliki siswa dengan apa yang dilihat dan diperagakan oleh guru. Grobowski (2001) mengemukakan, External stimuli arouse attention through the ascending reticular activating system. Without active, dynamic, and selective attending of an environmental stimulus, it follows that meaning generation cannot occur regarding that environmental stimulus.Setelah tahap tantangan tersebut diharapkan siswa bisa memperoleh pemahaman baru yang lebih benar mengenai konsep yang bersangkutan. Supaya siswa mempunyai keinginan untuk mengubah struktur pemahaman mereka, siswa diberikan masalah-masalah yang menantang untuk membangkitkan keberaniannya dalam mengajukan pandapatnya dan berargumentasi tentang pokok bahasan yang sedang dipelajari.

Tytler (Fitriandini, 2009) mengemukakan, fase tantangan (challenge)adalah fase guru berperan sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran. Guru menghargai pendapat siswanya, bahkan siswa disarankan melakukan pemecahan dengan berbagai cara, misalnya dengan jalan pikirannya sendiri, bekerjasama dengan teman sejawatnya, mencari penyelesaian melalui diskusi, presentasi dan adu argumentasi (sharing) atas ide-ide yang dimiliki berkaitan dengan materi yang dibahas.

d. Tahap penerapan, yaitu kegiatan dimana siswa diberi kesempatan untuk menguji ide alternatif yang mereka bangun unuk menyelesaikan persoalan yang bervariasi. Siswa diharapkan mampu mengevaluasi keunggulan konsep baru yang dia kembangkan. Melalui tahap ini guru dapat meminta siswa menyelesaikan persoalan baik yang sederhana maupun yang kompleks.

Tahap selanjutnya dalam pembelajaran generatif menurut Osborne dan Wittrock (Hulukati, 2005) adalah tahap penerapan, pada tahap ini siswa menerapkan konsep awal yang mereka miliki ditambah konsep baru yang mereka peroleh pada permasalahan matematika dalam bentuk latihan-latihan soal. Siswa diberikan kesempatan untuk memecahkan masalah yang lebih kompleks, mengujiide alternatif yang mereka bangun untuk menyelesaikan persoalan yang bervariasi.Siswa diharapkan mampu mempertimbangkan dan mengevaluasi keunggulan gagasan baru yang dia kembangkan. Kondisi ini memberikan peluang kepada siswa untuk mengembangkan sendiri strategi penyelesaian suatu masalah. Dengan mendorong siswa secara aktif untuk mempertimbangkan strategi yang mungkin untuk menyelesaikan suatu masalah siswa akan berusaha untuk menyelesaikannya dan terpacu untuk melakukandoing mathematics. Strategi penyelesaian harus dikembangkan sendiri oleh siswa dengan menghubungkan konsep-konsep yang sudah dimiliki sebelumnya dan konsep yang sedang dipelajarinya.Sejalan dengan tahap penerapan, Tytler (Fitriandini, 2009) mengemukakanfase terakhir dalam pembelajaran generatif yaitu fase aplikasi. Fase ini dimulai dengan kegiatan guru mengevaluasi, berupa penyajian soal sederhana yang dapat dipecahkan siswa dengan menggunakan konsep-konsep yang benar. Selanjutnya guru membimbing siswa untuk mengklarifikasi jawaban yang benar dan menunjukan bahwa konsep yang benar itu dapat diaplikasikan dalam suatu rentang situasi. Kemudian guru mernbantu siswa dalam memecahkan masalah (soal-soal) yang lebih kompleks.Kegiatan siswa dalam fase terakhir ini antara lain adalah memecahkan soal-soal praktis berdasarkan konsep-konsep yang benar, menyajikan solusi dari suatu masalah kepada teman sejawatnya, berdiskusi dan beradu argumentasi tentang konsep-konsep yang benar, dan secara kritis mengevaluasi penggunaankonsep-konsep itu adalah situasi yang berbeda. Pada fase ini siswa mengevaluasi dan membandingkan antara pengetahuan tentang konsep-konsep sebelumnya dengan konsep yang telah dikontruksi, dan mengadakan refleksi terhadap prosedur yang ditempuh. Selanjutnya guru mengadakan review terhadap perubahan-perubahan ide-ide siswa sebagai hasil restrukturisasi terhadap gagasan atau ide awalnya.e. Tahap melihat kembali, yaitu siswa diberi kesempatan untuk mengevaluasi kelemahan dari konsepnya yang lama. Siswa juga diharapkan dapat mengingat kembali apa saja yang mereka pelajari selama pembelajaran.

Tahap terakhir menurut Osborne dan Wittrock (Hulukati, 2005) adalah tahap melihat kembali. Siswa diberi kesempatan untuk mengevaluasi kelemahan dari konsep yang dimilikinya, kemudian memilih cara/konsep yang paling efektif dalam menyelesaikan permasalahan. Siswa juga diharapkan dapat mengingat kembali konsep yang sudah dipelajari secara keseluruhan. Kondisi ini memberikan peluang kepada siswa untuk mengungkap tentang apa yang sudahdan sedang dikerjakannya. Apakah yang dikerjakannya itu sudah sesuai dengan apa yang dipikirkannya.Dalam belajar generatif siswa sendirilah yang aktif membangun pengetahuannya, sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan mediator dalam pembelajaran. Model pembelajaran generatif berbasis pada pandangan konstruktivisme, dengan asumsi dasar bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran siswa.Empat peran utama guru yang harus diperhatikan dalam pembelajaran generatif (Tytler dalam Hidayati, 2008 : 16) yaitu:a. Stimulator rasa ingin tahu.Guru berperan menggugah perhatian dan memotivasi siswa untuk menyimak tujuan riil pembelajaran. Rasa ingin tahu ditumbuhkembangkan. Untuk itu, guru harus merancang aktivitas- aktivitas yang dapat memberi kejutan bagi siswa.

b. Membangkitkan dan menantang ide-ide siswa.Guru berperan sebagai pembangkit, pemberi semangat, merangsang siswa untuk berfikir kritis dalam mengemukakan argumen maupun dalam melakukan investigasi.

c. Sebagai narasumber.Guru mempersiapkan diri untuk menjawab pertanyaan yang mungkin akan ditanyakan oleh siswa serta menyiapkan informasi yang memadai baik tertulis maupun verbal ataupun menyusun rencana untuk menggunakan alat peraga yang mendukung dalam proses belajar mengajar di kelas.

d. Sebagaisenior co-investigator.Istilah ini dapat diartikan bahwa siswa sebagai investigator, guru berperan sebagai pembantu investigasi (co-investigato), karena guru lebih berpengalaman dari siswanya maka muncullah istilahsenior co-investigator.Guru berperan sebagai model bagi siswa dalam mengajukkan pertanyaan, juga merancang suatu aktivitas pembelajaran berupa diskusi ilmiah sehingga timbul sikap respek siswa terhadap teman sejawat.Sutrisno (Hulukati, 2005) mengemukakan bahwa dari kegiatan belajar yang dilakukan dalam model pembelajaran generatif terlihat bahwa siswa diharapkan dapat mengutarakan konsepnya deng disertai argumentasi, untuk mendukung konsepnya tersebut dan diharapkan siswa dapat beradu pendapat dengan siswa lain. Hal ini diharapkan dapat berpengaruh positif karena siswa akan terbiasa menghargai konsep orang lain dan terbiasa mengutarakan pendapatnya tanpa dibebani rasa ingin menang atau takut kalah.

F. Pembelajaran dengan PenemuanPembelajaran dengan penemuan merupakan satu komponen penting dalam pendekatan konstruktivis yang telah memiliki sejarah panjang dalam inovasi atau pembaharuan pendidikan. Dalam pembelajaran denganpeneman (Wilcox, 1993), siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemkan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri. Bruner (1966), penganjur pembelajaran dengan penemuan, menyatakan ide tersebut seperti ini: Kita mengajarkan suatu bahan kajian tidak untuk menghasilkan perpustakaan hidup tentang bahan kajian itu, tetapi lebih ditujukan untuk membuat siswa berfikir... untuk diri mereka sendiri, meneladani seperti apa yang dilakukan oleh seorang sejarahwan, mereka turut mengambil bagian dalam proses mendapatkan pengetahuan (Bruner 1966, h.72). Belajar dengan penemuan mempunyai terapan di dalam banyak mata pelajaran. Sebagai contoh, siswa diberi sederet silinder dengan ukuran dan berat yang berbeda-beda. Siswa diminta untuk menggelindingkan silinder tersebut pada suatu bidang miring. Bila percobaan itu dilakukan dengan benar, siswa akan dapat menemukan prinsip-prinsip utama yang menentukan kecepatan silinder tersebut.Belajar dengan penemuan mempunyai beberapa keuntungan. Metode ini memacu keinginan hendak tahu siswa, memotivasi mereka untuk melanjutkan pekerjaannya hingga mereka menemukan jawabannya (Berlyne, 1965). Siswa juga belajar memecahkan masalah secara sendiri dan keterampilan berfikir kritis karena mereka harus selalu menganalisis dan menangani informasi.1. Penerapan Teori di dalam Praktek: Pembelajaran dengan Penemuan di dalam KelasGuru yang menganut tujuan pokok Bruner, yaitu menjadikan siswa mampu berdiri sendiri, harus mendorong siswa untuk mandiri sedini mungkin sejak dari awal masuk sekolah. Guru harus mendorong siswa untuk memecahkan sendiri di dalam kelompoknya, bukan mengajarkan mereka jawaban dari masalah yang dihadapi tersebut. Siswa akan mendapat keuntungan jika mereka dapat melihat dan melakukan sesuatu daripada hanya sekedar mendengarkan ceramah. Guru dapat membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit dengan bantuan gambar dan demonstrasi.Belajar harus luwes dan bersifat menyelidiki atau melalui penemuan. Jika siswa tampak berusaha dengan menghadapi suatu masalah, berikan mereka waktu untuk mencoba sendiri memecahkan masalah tersebutsebelum memberikan pemecahannya.Guru juga harus memperhatikan sikap siswa terhadap belajar. Menurut Bruner, sekolah harus merangsang keingintahuan anak, meminimalkan resiko kegagalan, dan bertindak serelevan mungkin bagi siswa.Berikut ini beberapa saran tambahan berdasarkan pada pendekatan penemuan dalam pengajaran:1. Mendorong siswa mengajukan dugaan awal dengan cara mengajukan pertanyaan membimbing.2. Gunakan bahan dan permainan yang bervariasi.3. Berikan kesempatan kepada siswa untuk memuaskan keinginan tahu mereka, meskipun jika mereka mengajukan gagasan-gagasan yang tidak berhubungan langsung dengan pelajaran yang diberikan.4. Gunakan sejumlah contoh yang kontras atau memperlihatkan perbedaan yang nyata dengan materi ajar mengenai topik-topik yang terkait.

G. Pembelajaran dengan Pengaturan-Diri atau Self-Regulated LearningSalah satu konsep kunci dari teori belajar konstrukativ adalah menganut visi atau wawasan siswa ideal sebagai seorang pelajar yang memiliki kemampuan mengatur dirinya sendiri atau self regulated learner (Weinstein & McCombs, 1995). Self regulated learner adalah seorang yang memiliki pengetahuan tentang strategi belajar efektif dan bagaimana serta kapan menggunakan pengetahuan itu (Bandura, 1991; Howard-Rose & Winne, 1993; Schunk & Zimmerman, 1994; Winne,1995). Sebagai missal mereka mengetahui bagaimana memecah masalah kompleks menjadi langkah-langkah lebih sederhana atau menguji coba solusi alternative; mereka tahu bagaimana dan kapan membaca buku sepintas lalu dan kapan membaca untuk memperoleh pemahaman mendalam; dan mereka mengetahui bagaimana menulias untuk meyakinkan dan menulis untuk memberi informasi. Lebih dari itu, self regulated learner termotivasi oleh belajar itu sendiri, tidak hanya karena nilai atau motivator eksternal yang lain (Boekaerts, 1995; Corno, 1992; Schunk 1995), dan mereka mampu tetap menekuni tugas berjangka panjang sampai tugas itu terselesaikan. Apabila siswa memiliki dua-duanya, baik strategi belajar yang efktifdan motivasi serta tekun menerapkan strategi itu sampai pekerjaannterselesaikan demi kepuasan mereka, maka kemungkinan sekali mereka adalah pelajar yang efektif (William, 1995; Zimmerman, 1995) dan memiliki motivasi abadi untuk belajar (Corno & Kanfer, 1993).H. ScaffoldingScaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya (Slavin, 1997). Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri. Scaffolding didasarkan pada konsep vygotsky tentang konsep pembelajaran dengan bantuan (assisted learning). Menurut Vygotsky, fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi, termasuk di dalamnya kemampuan untuk mengarahkan memori dan atensi untuk tujuan tertentu serta kemampuan untuk berpikir dalam symbol-simbol, adalah perilaku yang memerlukan bantuan media. Dengan mendapatkan bantuan secara eksternal (dari luar diri siswa) oleh budaya, perilaku itu masuk dan melekat dalam benak siswa sebagai alat psikologis.Dalam pembelajaran dengan bantuan, atau assisted learning, guru adalah agen budaya yang memandu pengajaran sehingga siswa akan menguasai secara tuntas keterampilan-keterampilan yang memungkinkan fungsi kognitif yang lebih tinggi. Kemampuan untuk menguasai secara tuntas alat-alat budaya budaya berkaitan dengan usia atau tingkat perkembangan kognitif siswa. Sekali alat budaya itu dikuasai, maka mediator internal (siswa itu sendiri) memungkinkan berkembangannya pembelajaran yang dibantu diri sendiri (mandiri).Dalam penggunaan sehari-hari, scaffolding termasuk pemberian kepada siswa bantuan yang lebih terstruktur pada awal pelajaran dan secara bertahap mengalihkan tanggung jawab belajar kepada siswa untuk bekerja atas arahan diri mereka sendiri (Palinscar, 1986; Rosenshine and Meister,1992).Sebagai contoh siswa dapat membuat pertanyaan sendiri tentang materi yang telah mereka baca. Pada awalnya, guru dapat memberikan contoh-contoh pertanyaan yang dapat diajukan siswa, tetapi selanjutnya siswa harus dapat membuat sendiri pertanyaan-pertanyaan tersebut.Penelitian mengamati scaffolding oleh orang tua pada saat membantu anak yang berada di kelas lima mengerjakan pekerjaan rumah matematika (Pratt, Green, MacVicar, & Bountroganni, 1992). Para peneliti mengukur seberapa jauh orang dewasa menyesuaikan tingkat keterlibatan mereka agar pas dengan zona perkembangan terdekat anak. Pada saat anak menjumpai kesulitan, orang dewasa yang mendampingi anak itu meningkatkan arahannya sekedar cukup untuk memberikan dukungan dan tidak melakukan sedemikian banyak sehingga mengambil alih tugas itudan mengurangi arahan saat anak itu mulai berhasil. Temuan mengukakan bahwa penggunaan prinsip ini memiliki sumbangan terhadap hasil belajar anak dalam matematika. Sub-bab berikut dalam bab ini membahas pengajaran terbalik (reciprocal teaching), suatu metode yang menggunakan scaffolding seperti yang digunakan orang dewasa itu. Scaffolding erat kaitannya dengan pemagangan kognitif; pekerja yang telah berpengalaman saat bekerja dengan pemagang lazim melibatkan mereka dengan tugas-tugas kompleks dan mengurangi pemberian saran dan bimbingan kepada mereka secara tahap demi tahap.

I. Metode Konstruktivime Dalam Bidang FisikaSalah satu metode mengajar yang sangat konstruktivis adalah metode inquiry (penyelidikan). Dalam metode pembelajaran ini siswa dilibatkan dalam proses penemuan melalui pengumpulan data dan tes hipotesis. Yang utama dari metode inquiry adalah menggunakan pendekatan induktif dalam menemukan pengetahuan dan berpusat pada keaktifan siswa. Meski para ahli menjelaskan secara berbeda-beda model inquiry, tetapi secara sederhana dapat dijelaskan sebagai model pengajaran yang menggunakan proses berikut (Kindsvater, Wilen, & Ishler, 1996 dalam Suparno, 2007):1. Identifikasi persoalan2. Membuat hipotesis3. Mengumpulkan data4. Menganalisis data5. Mengambil kesimpulanDari langkah-langkah di atas, jelas bahwa model inquiry menggunakan prinsip-prinsip metode ilmiah atau saintifik dalam menemukan suatu prinsip, hukum ataupun teori. Secara umum metode ilmiah ini punya langkah seperti: (1) merumuskan masalah, (2) membuat hipotesis, (3) melakukan percobaan untuk mengumpulkan data, (4) menganalisis data yang diperoleh, dan (5) mengambil kesimpulan apakah hipotesis diterima atau ditolak. Proses di atas adalah proses pendekatan induktif, yaitu dari pengalaman lapangan untuk mencari generalisasi dan konsep umum.Kindsvater dkk. membedakan antara dua macam inquiry yaitu guided inquiry dan open inquiry (bebas). Guided inquiry adalah inquiry yang banyak dicampuri oleh guru. Guru memberikan persoalan dan siswa disuruh memecahkan persoalan itu dengan prosedur yang tertentu yang diarahkan oleh guru. Siswa dalam menyelesaikan persoalan menyesuaikan dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh guru. Campur tangan guru misalnya dalam pengumpulan data, guru sudah memberikan beberapa data dan siswa tinggal melengkapi. Guru lebih banyak memberikan pertanyaan di sela-sela proses sehingga kesimpulan lebih cepat dan lebih mudah diambil.Model inquiry terarah ini lebih cocok untuk awal semester dimana siswa belum biasa melakukan inquiry. Dengan model tersebut siswa tidak mudah bingung dan tidak akan gagal karena guru terlibat penuh.Berikut contoh mengajar dengan inquiry terarah: Benda Padat dalam air. Persoalan: apakah semua benda padat bila dimasukkan ke dalam air akan tenggelam? Mengapa demikian? Hipotesis: siswa diminta membuat hipotesis. Misalnya, semua benda padat akan tenggelam dalam air karena massa jenisnya lebih besar dari air. Pengumpulan data: disediakan banyak macam benda padat dan Waskom air. Siswa diminta memasukkan benda-benda itu dalam air, dan mengamati serta mencatat apakah semuanya akan tenggelam dalam air atau tidak. Kemudian dibuat tabel. Analisis data: siswa diminta menganalisis data-data yang terkumpul. Kesimpulan: siswa diminta membuat kesimpulan. Bagaimana kesimpulannya? Apakah semua tenggelam? Mengapa? Apakah hipotesis mereka benar? Siswa disuruh menjelaskan.Berbeda dengan inquiry terarah, pada open inquiry (inquiry terbuka, bebas) siswa diberi kebebasan dan inisiatif untuk memikirkan bagaimana akan memecahkan persoalan yang dihadapi. Siswa sendiri berpikir, menentukan hipotesis, lalu menentukan peralatan yang akan digunakan, merangkainya, dan mengumpulkan data sendiri. Jadi siswa lebih bertanggung jawab dan lebih mandiri. Guru hanya sebagai fasilitator, membantu sejauh diminta oleh siswa. Guru tidak banyak memberikan arah dan memberikan kebebasan kepada siswa untuk menemukan sendiri. Berikut contoh mengajar dengan inquiry bebas. Persoalan: Selidikilah apakah suhu es yang dipanaskan sehingga mengalami perubahan wujud terus-menerus naik? Siswa dalam kelompok bebas melakukan inquiry. Pengembangan pola pembelajaran yang demikian, membutuhkan komitmen total guru fisika untuk selalu: Aktif mengembangkan bahan pelajaran dan metodenya. Tidak merasa puas atas keyakinan dan hasil yang dicapainya, serta ingin mengembangkannya menjadi semakin baik. Guru fisika menjadi seorang pemikir dan perancang pembelajaran yang terus-menerus belajar (termasuk belajar dari kesalahan dan kelemahannya). Kritis (tidak hanya ikut-ikutan) sehingga mampu memilih mana yang paling tepat bagi siswanya (ada inisiatif untuk berbuat). Bebas berpikir dan mengembangkan pemikirannya termasuk berfantasi terhadap sesuatu yang baik yang menjadi penyemangat karyanya dalam menciptakan siswa fisika yang kreatif dan inovatif untuk massa depannya. Mampu berefleksi terhadap apa yang dilakukan dan yang akan dilakukan serta implikasinya pada pembentukan pribadi para siswanya (intelektual maupun nilai-nilai humanisme dan spiritual).Dengan pengelolaan pengajaran yang konstruktivis, maka guru fisika telah mengantarkan siswanya untuk mengetahui bagaimana belajar cara belajar (learning how to learn). Dengan kemampuan ini siswa akan menjadi berdaya dan akan menjadi seorang pembelajar sepanjang hidupnya.J. Perbandingan Antara Teori Belajar Behavoristik Dengan Teori Belajar Konstruktivisme Adapun perbandingan antara teori belajar behavioristik dengan teori belajar konstruktivisme adalah sebagai berikut :Pembelajaran BehavioristikPembelajaran Konsrtruktivisme

Kurikulum disajikan dari bagian-bagian menuju keseluruhan dengan menekankan pada keterampilan-keterampilan dasar Kurikulum disajikan mulai dari keseluruhan menuju ke bagian-bagian dan lebih mendekatkan pada konsep yang lebih luas

Pembelajaran sangat taat pada kurikulum yang telah ditetapkan Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide siswa

Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada buku teks dan buku kerja Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada sumber-sumber data primer dan manipulasi bahan

Siswa-siswa dipandang sebagai kertas kosong yang dapat digoresi informasi oleh guru, dan guru-guru pada umumnya menggunakan cara didaktik dalam menyampaikan informasi kepada siswa Siswa dipandang sebagai pemikir-apemikir yang dapat memunculkan teori-teori tentang dirinya

Penilaian hasil belajar atau pengetahuan siswa dipandang seb agai bagian dari pembelajaran dan biasany dilkukan pada akhir pelajaran dengan cara testing Pengukuran proses dan hasil belajar siswa terjalin di dalam kesatuan kegiatan pembelajaran dengan cara guru mengamati hal-hal yang sedang dilakukan siswa, serta melalui tugas-tugas pekerjaan

Siswa-siswa biasanya bekerja sendiri-sendiri tanpa ada group proces dalam belajar Siswa-siswa banyak belajar dan bekerja di dalam group process

BAB IIIPENUTUPA. KesimpulanKonstruktivisme adalah teori epistemologi yang merujuk pada sifat alami pengetahuan bagi seseorang. Konstruktivisme merupakan teknik pembelajaran yang melibatkan peserta didik untuk membangun sendiri pengetahuannya secara aktif dengan menggunakan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Siswa harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Salah satu metode mengajar yang sangat konstruktivis adalah metode inquiry (penyelidikan). Dalam metode pembelajaran ini siswa dilibatkan dalam proses penemuan melalui pengumpulan data dan tes hipotesis. Yang utama dari metode inquiry adalah menggunakan pendekatan induktif dalam menemukan pengetahuan dan berpusat pada keaktifan siswa. Adapun kelebihan teori ini yaitu siswa dituntut aktif dalam belajar dan membangun konsep konsep yang sudah dimiliki sedangkan kelemahannya adalah guru tidak aktif dan lebih cenderung pasif. Sehingga metode konstruktivisme ini adalah metode yang perlu diterapkan pada saat saat tertentu dan yang terlebih penting adalah perlunya keseimbangan antara teori belajar konstruktivisme dengan teori belajar lainnya guna memperoleh hasil yang maksimal.

B. SaranBerdasarkan pembahasan sebelumya, penulis memberi saran bahwa dalam proses belajar perlu menerapkan teori teori belajar secara seimbang untuk memperoleh hasil yang maksimal. Karena masing masing teori belajar memiki kelebihan dan kekurangan, maka antara teori belajar yang satu dengan yang lainnya akan saling melengkapi jika dilaksanakan dalam kondisi yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Aunurrahman. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.Budiningsih, Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakata : PT Rineka Cipta.Nur, Mohammad. 2004. Pengajaran Berpusat kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. Surabaya : UNS.Uno, Hamzah. 2006.Perencanaan Pembelajaran. Jakarta : BumiAksara..

21