Ancaman Keamanan Australia Pada Masa Pemerintahan...

14
1 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, Mei 2018 Ancaman Keamanan Australia Pada Masa Pemerintahan John Howard: 2001-2007 Albert Alfa Septa Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga Email: [email protected] Abstract On August 26, 2001. It was started by the incident of MV Tampa boat which led by Captain Arne Rinnan. MV Tampa received an instruction from Australian authoritative to rescue 433 passengers on a sinking vessel, located in international waters between Indonesia and Australia. After that, The Norwegian boat was neglected by Australian authoritative to be floating for several days in the sea without any clarification. Furthermore, Australian government was implemented a more restricted policy to restrain any assylum seeker to entering Australia. It is interesting to examine how Australian perspective regarding assylum seeker under John Howard era that being perceived as a national threat. Australian action regarding this case shown that post-cold war, national security issue has been developed into issues of terrorism, human traficking, refugee, and asylum seeker. Evenmore, Howard as an incumbent willing to create a momentum for his political strategy after the incident of MV Tampa. Keywords: Foreign Policy, Security, Threat, Securitization, Populism, Asylum seeker Abstrak Pada tanggal 26 Agustus 2001. telah terjadi insiden kapal MV Tampa yang dipimpin sang kapten kapal, Arne Rinnan. MV Tampa diminta oleh pemerintah Australia untuk menyelamatkan 433 penumpang kapal karam di perairan internasional di antara Indonesia dan Australia. Namun setelah itu, pemerintah Australia tidak mengizinkan MV Tampa kembali masuk ke wilayah Australia dan membiarkan kapal berbendera Norwegia tersebut terapung selama beberapa hari tanpa kejelasan nasib. Bahkan, pemerintah Australia menerapkan kebijakan untuk mencegah para pencari suaka masuk karena alasan keamanan. Menarik untuk dikaji, bagaimana kebijakan pemerintah Australia pada masa pemerintahan John Howard memandang pencari suaka sebagai ancaman bagi keamanan nasional. Tindakan pemerintah Australia terhadap pencari suaka adalah bukti bahwa kajian keamanan telah berkembang pasca Perang Dingin berakhir, isu-isu keamanan seperti terorisme, perdagangan manusia, pengungsi, dan pencari suaka telah diperhitungkan sebagai ancaman keamanan. Selain itu, John Howard juga ingin memanfaatkan momentum menuju pemilihan umum yang diadakan beberapa bulan setelah peristiwa MV Tampa. Kata-kata kunci: Kebijakan Luar Negeri, Keamanan, Ancaman, Sekuritisasi, Populisme, Pencari Suaka Keberadaan pengungsi dan pencari suaka selalu menunjukkan jumlah yang cenderung meningkat. Akibat berlangsungnya Perang Dunia I pada pada periode 1914-1918, jutaan manusia meninggalkan daerah asalnya untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman. Bahkan sejak Perang Dunia II hingga Perang Dingin pada akhir abad 20, orang yang mengungsi jumlahnya semakin besar. Sebagian dari para pengungsi akibat perang saat itu harus mencari tempat pengungsian di luar negaranya. International Organization for Migration Report (2005) mencatat bahwa jumlah orang-orang yang hidup di luar negara asalnya semakin bertam

Transcript of Ancaman Keamanan Australia Pada Masa Pemerintahan...

Page 1: Ancaman Keamanan Australia Pada Masa Pemerintahan …journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahida8a72ab4efull.pdfAncaman Keamanan Australia Pada Masa Pemerintahan John Howard: 2001-2007

1 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, Mei 2018

Ancaman Keamanan Australia Pada Masa

Pemerintahan John Howard: 2001-2007

Albert Alfa Septa

Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga

Email: [email protected]

Abstract

On August 26, 2001. It was started by the incident of MV Tampa boat which led by Captain Arne Rinnan. MV Tampa received an instruction from Australian authoritative to rescue 433 passengers on a sinking vessel, located in international waters between Indonesia and Australia. After that, The Norwegian boat was neglected by Australian authoritative to be floating for several days in the sea without any clarification. Furthermore, Australian government was implemented a more restricted policy to restrain any assylum seeker to entering Australia. It is interesting to examine how Australian perspective regarding assylum seeker under John Howard era that being perceived as a national threat. Australian action regarding this case shown that post-cold war, national security issue has been developed into issues of terrorism, human traficking, refugee, and asylum seeker. Evenmore, Howard as an incumbent willing to create a momentum for his political strategy after the incident of MV Tampa.

Keywords: Foreign Policy, Security, Threat, Securitization, Populism, Asylum seeker

Abstrak

Pada tanggal 26 Agustus 2001. telah terjadi insiden kapal MV Tampa yang dipimpin sang kapten kapal, Arne Rinnan. MV Tampa diminta oleh pemerintah Australia untuk menyelamatkan 433 penumpang kapal karam di perairan internasional di antara Indonesia dan Australia. Namun setelah itu, pemerintah Australia tidak mengizinkan MV Tampa kembali masuk ke wilayah Australia dan membiarkan kapal berbendera Norwegia tersebut terapung selama beberapa hari tanpa kejelasan nasib. Bahkan, pemerintah Australia menerapkan kebijakan untuk mencegah para pencari suaka masuk karena alasan keamanan. Menarik untuk dikaji, bagaimana kebijakan pemerintah Australia pada masa pemerintahan John Howard memandang pencari suaka sebagai ancaman bagi keamanan nasional. Tindakan pemerintah Australia terhadap pencari suaka adalah bukti bahwa kajian keamanan telah berkembang pasca Perang Dingin berakhir, isu-isu keamanan seperti terorisme, perdagangan manusia, pengungsi, dan pencari suaka telah diperhitungkan sebagai ancaman keamanan. Selain itu, John Howard juga ingin memanfaatkan momentum menuju pemilihan umum yang diadakan beberapa bulan setelah peristiwa MV Tampa.

Kata-kata kunci: Kebijakan Luar Negeri, Keamanan, Ancaman, Sekuritisasi, Populisme, Pencari Suaka

Keberadaan pengungsi dan pencari suaka selalu menunjukkan jumlah yang cenderung meningkat. Akibat berlangsungnya Perang Dunia I pada pada periode 1914-1918, jutaan manusia meninggalkan daerah asalnya untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman. Bahkan sejak Perang Dunia II

hingga Perang Dingin pada akhir abad 20, orang yang mengungsi jumlahnya semakin besar. Sebagian dari para pengungsi akibat perang saat itu harus mencari tempat pengungsian di luar negaranya. International Organization for Migration Report (2005) mencatat bahwa jumlah orang-orang yang hidup di luar negara asalnya semakin bertam

Page 2: Ancaman Keamanan Australia Pada Masa Pemerintahan …journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahida8a72ab4efull.pdfAncaman Keamanan Australia Pada Masa Pemerintahan John Howard: 2001-2007

Albert Alfa Septa

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, Mei 2018 2

bah dari angka 120 juta jiwa pada tahun 1990 hingga 191 juta jiwa pada tahun 2005, bahkan pada tahun 2005 angka tersebut mencapai 2,9% dari total keseluruhan populasi manusia di seluruh dunia dan menempati urutan keenam apabila diukur dari jumlah negara terpadat di dunia. Faktanya lebih dari 60% imigran berada di negara-negara maju, khususnya negara-negara industri dan 75% dari total populasi imigran tinggal hanya di 28 negara (IOM, 2005).

Dengan jumlah yang semakin besar, isu pengungsi dan pencari suaka hampir selalu mendominasi perhatian internasional, Kebutuhan pengungsi dan pencari suaka untuk berpindah tempat pada dasarnya adalah permasalahan pada level individu yang berkembang menjadi permasalahan kelompok masyarakat, nasional, dan internasional. Dapat dikatakan bahwa pengungsi dan pencari suaka adalah persoalan yang sangat rumit untuk ditangani, sehingga menjadi tantangan yang harus dijawab dan dihadapi bagi masyarakat internasional.

Australia sebagai salah satu negara tujuan para pencari suaka dan pengungsi, sudah memiliki banyak pengalaman dalam memberi dukungan kepada orang-orang yang mengalami krisis, para korban perang serta mereka yang menghadapi pengusiran dan ancaman kematian seperti pengungsi dan pencari suaka. Pada tahun 1954, Australia menjadi salah satu negara yang ikut menandatangani Konvensi 1951 berkaitan dengan pengungsi dan negara keenam yang meratifikasinya pada tahun 1973. Sejak saat itu Australia rutin berkontribusi dalam memberikan perlindungan terhadap pengungsi. Tercatat setelah Perang Dunia II berakhir, Australia telah memberikan perlindungan bagi 700000 pengungsi, IDPs, dan pencari suaka, termasuk gelombang pengungsi pencari suaka dari Vietnam pada periode 1970-an (McAdam, 2014). Bahkan pada kurun waktu 1947-1954 saja tercatat 171000 pengungsi mendapatkan perlindungan di Australia. Rekam jejak yang baik dalam

menangani pengungsi dan pencari suaka memberikan kesan bahwa Australia adalah sebagai tempat tujuan yang dicari oleh para pengungsi dan pencari suaka (Cheeseman, 1993).

Namun, pengungsi dan pencari suaka tidak selalu diterima dengan baik di Australia. Pada 26 Agustus 2001, sebuah kapal muatan Norwegia bernama MV Tampa akan berlayar menuju Singapura. Pada saat yang sama MV Tampa mendapat permintaan dari pemerintah Australia untuk menyelamatkan penumpang sebuah kapal nelayan dari Indonesia yang hampir tenggelam. Lokasi kapal yang bernama Palapa tersebut berada di perairan internasional antara Indonesia dan Australia, sekitar 140 kilometer di sebelah utara Pulau Christmas. MV Tampa akhirnya berhasil menyelamatkan para penumpang yang seluruhnya berjumlah 433 orang. Kapten MV Tampa, Arne Rinnan akan membawa mereka menuju Indonesia, namun dalam perjalanan, beberapa penumpang mengancam akan bunuh diri jika mereka tidak dibawa ke Australia, sehingga MV Tampa berbalik menuju Pulau Christmas, sebagai wilayah Australia terdekat. Namun pemerintah Australia seketika memberi instruksi untuk kembali menuju Indonesia sebelum MV Tampa sempat masuk wilayah Australia. Para penumpang yang berjumlah 433 tersebut adalah para pengungsi dari Irak, Pakistan, Afghanistan, dan Sri Lanka. Sebagian besar dari orang-orang tersebut adalah etnis Hazara yang berasal dari Afghanistan. Mereka dilarang masuk wilayah Australia karena dianggap illegal dan mendapatkan bantuan dari para penyelundup di Indonesia. Pada saat situasi yang dilematis tersebut, Kapten Arne Rinnan memutuskan membawa MV Tampa untuk menunggu di luar wilayah perairan Australia.

Satu hari kemudian, Kapten Arne Rinnan mencoba kembali meminta izin masuk dengan alasan MV Tampa yang hanya didesain untuk 50 kru mengalami kelebihan daya untuk menampung 433 penumpang yang telah diselamatkan,

Page 3: Ancaman Keamanan Australia Pada Masa Pemerintahan …journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahida8a72ab4efull.pdfAncaman Keamanan Australia Pada Masa Pemerintahan John Howard: 2001-2007

Ancaman Keamanan Australia

3 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, Mei 2018

apalagi beberapa penumpang juga membutuhkan pertolongan medis. Namun pemerintah Australia tetap tidak mengizinkan masuk. Kondisi kesehatan dan keamanan para penumpang yang semakin memburuk memaksa Kapten Arne Rinnan membawa MV Tampa masuk ke wilayah Australia dan mengabaikan peringatan radio dari otoritas lepas pantai Australia. Pemerintah Australia justru mengirim 45 angggota Special Air Service forces (SAS) untuk menghentikan dan mencegah MV Tampa berlabuh. Para penumpang MV Tampa juga dipindahkan ke kapal militer Australia (HMAS Manoora) untuk mendapatkan pertolongan medis, serta pada akhirnya sebanyak 131 penumpang dikirim ke Selandia Baru dan 302 sisanya dikirim menuju Nauru (McAdam, 2014).

Setelah Peristiwa MV Tampa, pemerintah Australia tetap memberlakukan pencegahan terhadap para pencari suaka yang menuju wilayah Australia. Pemerintah Australia juga melakukan negosiasi dengan negara tetangga seperti Papua Nugini dan Nauru untuk mengadakan perjanjian mengenai pengadaan detensi pencari suaka selama proses penetapan status pengungsi. Sebagai gantinya, pemerintah Australia akan memberikan bantuan jutaan dolar sebagai bantuan dan juga akan membayar seluruh biaya yang dibutuhkan untuk menampung para pencari suaka. Selain itu, Perdana Menteri Australia, John Howard, memberikan peringatan keras kepada semua pencari suaka bahwa pemerintah Australia tidak akan mengizinkan siapapun untuk masuk ke wilayah Australia, termasuk para pencari suaka (McAdam, 2014). Bahkan Howard menetapkan kebijakan baru yakni Pacific Solution. Pacific Solution merupakan suatu kebijakan yang mirip dengan Carribean Policy yang digunakan Amerika Serikat untuk menghadapi para imigran gelap (Kneebone, 2006). Dengan adanya kebijakan tersebut, maka angkatan laut Australia akan berpatroli di batas terluar wilayah maritim Australia dengan menggunakan kapal berkecepatan tinggi untuk mencegah

setiap perahu yang membawa para pencari suaka memasuki wilayah Australia. Pada 7 September 2001, sebuah kapal yang membawa pencari suaka berhasil ditangkap. Kapal tersebut adalah kapal nelayan bernama Aceng yang berasal dari Indonesia. Pada bulan-bulan berikutnya, hanya beberapa kapal saja yang berhasil menembus pantauan tim patroli dan memasuki wilayah Australia, meskipun pada akhirnya para pencari suaka tersebut akan dikirim ke pusat detensi untuk menjalani proses penetapan status pengungsi. Sedangkan mereka yang tertangkap di perbatasan akan langsung dipaksa untuk kembali menjauhi wilayah Australia.

Tindakan kontroversial Australia tersebut tentu saja menimbulkan banyak kecaman dan kritik dari dunia internasional. Komisaris HAM PBB, Mary Anderson menegaskan bahwa pemerintah Australia memiliki kewajiban atas kedatangan para pencari suaka, atau minimal ada tindakan pertolongan dalam kondisi darurat tersebut. UNHCR juga menyatakan bahwa semua negara yang tergabung dalam konvensi pengungsi, termasuk Australia sudah seharusnya bersedia menerima para pencari suaka. Hal tersebut merujuk pada fakta bahwa Australia adalah salah satu negara yang terlibat dalam beberapa konvensi internasional dan protokol yang disusun untuk memberikan perlindungan terhadap hak para pengungsi dan pencari suaka. UNHCR menganggap tindakan pemerintah Australia adalah inkonsistensi terhadap kesepakatan Konvensi Pengungsi (Maley, 2001). Selain itu, UNHCR menemukan fakta bahwa seluruh pencari suaka yang tertangkap akan dikirim menuju Nauru dan Papua Nugini. Pemerintah Australia dinilai meninggalkan komitmennya dengan tidak memberikan akses terhadap pencari suaka untuk mengikuti proses pemeriksaan status pengungsi di Australia. Selain itu pemerintah Australia juga tidak memenuhi prinsip non-refoulement (Maley, 2001). Prinsip non-refoulement merupakan pedoman internasional yang melarang

Page 4: Ancaman Keamanan Australia Pada Masa Pemerintahan …journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahida8a72ab4efull.pdfAncaman Keamanan Australia Pada Masa Pemerintahan John Howard: 2001-2007

Albert Alfa Septa

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, Mei 2018 4

pengembalian seorang individu atau kelompok kepada negara lain atau sebuah yurisdiksi yang memiliki resiko persekusi atau pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Prinsip ini tertuang dalam Konvensi Pengungsi dan menjadi pedoman dalam memberikan perlindungan kepada para pengungsi dan pencari suaka. Melalui prinsip tersebut, sebuah negara juga memiliki prosedur wajib memberi kesempatan kepada setiap individu untuk memperjuangkan haknya dalam memperoleh status pengungsi.

Walaupun menerima banyak kecaman, saat itu John Howard mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan Australia mengenai MV Tampa sudah sesuai dengan upaya perlindungan negara karena angka kedatangan ilegal yang semakin tidak terkontrol di Australia. Howard mengklaim sebelum insiden MV Tampa, kedatangan pencari suaka di Australia telah mencapai 4141. Bahkan dalam suatu kesempatan, John Howard mengatakan “I don want people like that in Australia, genuine refugees don’t do that, they hang onto their children” (Marr & Wilkinson, 2003). Hal tersebut menunjukkan sikap Howard yang memang tidak suka dengan keberadaan para pencari suaka. Sebaliknya Howard justru menyangkal pihak-pihak yang mengkritik adalah mereka yang tidak memiliki pengalaman menangani pengungsi maupun pencari suaka sebaik Australia (Schloenhardt, 2001).

Insiden MV Tampa menjadi langkah awal John Howard dalam menetapkan kebijakan menghalau para pencari suaka seperti pencari suaka. Dampaknya, pencari suaka menjadi salah satu isu penting dalam pemilu yang akan berlangsung sebulan kemudian. John Howard, dalam kampanye selalu menegaskan bahwa Australia berhak menentukan siapa yang dapat memasuki wilayah Australia dan dengan kondisi seperti apa mereka dapat masuk. Momentum tersebut memberikan dukungan kuat bagi John Howard untuk memenangkan pemilu. Selain itu, isu

terorisme pada peristiwa serangan 11 September di Amerika Serikat yang terjadi beberapa minggu setelah insiden MV Tampa juga semakin memperbesar dukungan masyarakat terhadap John Howard. Terbukti pada 10 November 2001 John Howard kembali terpilih sebagai Perdana Menteri Australia dengan peningkatan pemilih sebesar 3% sejak peristiwa MV Tampa. Padahal sebelumnya, John Howard diragukan banyak pihak untuk dapat memenangkan pemilu, bahkan sepanjang semester pertama tahun 2001, hasil pemungutan suara beberapa lembaga survei, kandidat dari Partai Buruh Australia (ALP) selalu unggul. Sekretaris ALP saat itu, Geoff Walsh mengatakan insiden MV Tampa secara signifikan mengubah arah dukungan masyarakat Australia dalam pemilu. Hal yang sama juga diungkapkan seorang pengamat sosial, Hugh Mackay bahwa peristiwa MV Tampa sangat menentukan pandangan masyarakat Australia yang cenderung negatif terhadap pencari suaka (Anderson, 1998). Walaupun demikian, John Howard menegaskan bahwa kemenangan yang diperolehnya tidak berkaitan dengan peristiwa MV Tampa maupun serangan 11 September.

Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai alasan pemerintahan Australia dibawah pimpinan John Howard menolak kedatangan pencari suaka dan menerapkan kebijakan yang represif, padahal sejarah membuktikan bahwa Australia merupakan negara yang memiliki keterkaitan erat dengan para imigran, pengungsi, dan pencari suaka. Australia adalah salah satu negara yang mendukung konvensi pengungsi.’

Pergeseran Konsep Keamanan Pasca Perang Dingin

Pada periode 1990, Perang Dingin sedang berlangsung, ketika itu persaingan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai dua negara adidaya telah membawa ketegangan dalam dunia internasional. Salah satunya adalah ancaman bencana nuklir. Setiap negara di dunia seolah dihadapkan pada dua

Page 5: Ancaman Keamanan Australia Pada Masa Pemerintahan …journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahida8a72ab4efull.pdfAncaman Keamanan Australia Pada Masa Pemerintahan John Howard: 2001-2007

Ancaman Keamanan Australia

5 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, Mei 2018

pilihan, yakni blok barat sebagai sekutu Amerika Serikat atau blok timur yang memihak Uni Soviet. Lebih spesifik lagi, mereka yang memihak Amerika Serikat adalah mendukung liberalisme, sebaliknya memihak Uni Soviet berarti menerima komunisme. Dalam setiap pilihan, masing-masing negara akan mengetahui siapa yang menjadi lawan dan siapa yang dihadapi sebagai lawan, serta langkah apa yang harus dilakukan (Devetak, 2004). Australia adalah salah satu negara yang memihak kepada blok barat sebagai sekutu Amerika Serikat.

Selama Perang Dingin berlangsung, dunia dipandang sebagai sistem yang bersifat anarki, yakni tidak adanya satu pihak yang memiliki otoritas untuk mengontrol perilaku negara. Pada saat itu, keamanan menjadi isu dominan bagi sebuah negara, seperti yang dikatakan John Baylis dan Steven Smith, bahwa untuk meningkatkan kemampuan negara melindungi diri, maka sektor militer harus diperkuat. Sesuai dengan pandangan kaum realis bahwa negara selalu berusaha mengutamakan power dengan tujuan untuk mempertahankan eksistensinya (Baylis & Smith, 2001).

Dalam persaingannya, kedua negara adidaya, Amerika Serikat dan Uni Soviet memiliki pandangan yang sama satu dengan yang lain. Amerika Serikat memandang Uni Soviet sebagai ancaman nuklir dan paham komunisme, begitu pula dengan Uni Soviet yang menganggap Amerika Serikat adalah kompetitor atau saingan. Bagi Australia, berlangsungnya Perang Dingin saat itu menuntut perhatian khusus dalam konteks keamanan, yakni untuk bertahan dari ancaman Uni Soviet dan paham komunisnya. Hal tersebut menjadi sebuah kepentingan nasional Australia, sehingga saat itu, apapun yang tidak berkaitan dengan Uni Soviet bukan merupakan perhatian utama bagi keamanan nasional Australia.

Keruntuhan Uni Soviet menandakan berakhirnya Perang Dingin. Banyak perubahan yang ditimbulkan dari berakhirnya perang

dingin, salah satunya perubahan pandangan mengenai konsep keamanan. Perdebatan mengenai studi keamanan mulai timbul di kalangan ilmuwan hubungan internasional atau para ahli. Salah satu yang mengajukan konsep baru dalam studi keamanan adalah Copenhagen School yang berusaha memahami keamanan dalam pandangan konstruktivis. Copenhagen School sebagai penganut studi keamanan non-tradisional mempertanyakan hal-hal berikut, yakni siapa yang mendapatkan keamanan, siapa yang dapat mengancam keamanan, keamanan seperti apa yang diperlukan, dan jika berkaitan dengan keamanan suatu negara, apakah meliputi keamanan setiap individu, kelompok serta seluruh masyarakat yang berada didalamnya.

Manurut pemikiran Buzan dan Hansen (2009), studi keamanan telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Terdapat lima faktor yang mempengaruhi perkembangan studi keamanan, yaitu great power politics, technology, event, institutionalization, dan academic debate. Great Power Politics sebagai faktor pertama dibuktikan dengan hadirnya persaingan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam beberapa dekade, khususnya pada masa Perang Dingin. Kemudian faktor technology, hal ini tampak pada berkembangnya teknologi transportasi, komunikasi, dan juga sektor persenjataan militer. Selanjutnya faktor events. Buzan menganggap setiap fenomena atau peristiwa yang terjadi dapat mempengaruhi pandangan serta hubungan dalam dunia internasional. Faktor yang keempat, institutionalization. Menurut Buzan dan Hansen (2009), institusi-institusi maupun program-program baru dalam penelitian hubungan internasional tentu akan menjadi salah satu jalan dalam mengkaji isu keamanan. Salah satunya adalah munculnya lembaga riset maupun kajian ilmu baru dalam dunia akademik. Kemudian, berdasarkan pengaruh yang ditimbulkan oleh academic debate, Buzan dan Hansen (2009) percaya bahwa analisis dalam sebuah ilmu sosial

Page 6: Ancaman Keamanan Australia Pada Masa Pemerintahan …journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahida8a72ab4efull.pdfAncaman Keamanan Australia Pada Masa Pemerintahan John Howard: 2001-2007

Albert Alfa Septa

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, Mei 2018 6

sangat dibutuhkan untuk menelaah serta mengkaji suatu permasalahan.

Barry Buzan, sebagai salah satu yang terlibat dalam Copenhagen School mencoba mengutarakan pernyataan-pernyataan baru dalam studi keamanan. Lewat karyanya yang berjudul The Evolution of International Security Studies, Buzan dan rekannya Hansen menganggap bahwa keamanan adalah upaya untuk melindungi setiap individu, kelompok, lingkungan, dan keberadaan bumi itu sendiri, jadi tidak hanya fokus pada keamanan negara. Kemudian yang kedua, menurut Buzan dan Hansen penting untuk mengidentifikasi sumber ancaman bagi keamanan. Keamanan pada dasarnya selalu berkaitan dengan batas – batas teritorial yang harus dilindungi dari pihak yang datang dari luar. Namun merujuk pada kompleksnya isu keamanan pasca perang dingin, maka Buzan dan Hansen (2009) menganggap dalam studi keamanan perlu untuk mengetahui bahwa ancaman dapat berasal dari dalam maupun luar negara. Sedangkan yang ketiga, Buzan dan Hansen mengembangkan pemikiran bahwa seharusnya studi keamanan tidak hanya mengenai sektor militer saja, tetapi lebih luas seperti sektor ekonomi dan sektor lingkungan. Selanjutnya, Buzan dan Hansen (2009) juga mencoba mengembangkan pemikiran bahwa dalam studi keamanan, tidak hanya memiliki perasaan terancam, namun juga upaya untuk menyerang atau mendominasi.

Secara spesifik, Buzan, Waever, dan Wilde (1998) merumuskan perluasan pada studi keamanan (Broader Conception of Security) menjadi lima sektor. Yang pertama adalah sektor keamanan militer (Military security). Pada sektor militer, keamanan merujuk pada kemampuan suatu negara dalam kondisi untuk menyerang dan bertaham. Kemudian yang kedua adalah sektor keamanan politik (Political security). Dalam sektor ini, studi keamanan akan fokus pada permasalahan stabilitas negara, ideologi, dan legitimasi

pemerintah serta sistem yang digunakan dalam pemerintahan. Sektor selanjutnya adalah keamanan ekonomi (Economic security). Sektor keamanan ekonomi meliputi keamanan pada akses sumber daya, keuangan, dan pasar. Kemudian pada sektor keamanan sosial (Societal security), studi keamanan terdiri dari upaya pemeliharaan budaya dan adat, baik dalam segi bahasa, kebiasaan, agama, dan identitas nasional. Selanjutnya pada sektor yang terakhir, yakni sektor keamanan lingkungan (Environmental security), studi keamanan berfungsi untuk menjaga setiap ruang dan lingkungan yang berfungsi untuk menopang kelangsungan hidup setiap individu di dalamnya. Selaras dengan apa yang disampaikan oleh Buzan, Richard Ullman (1983) mengatakan bahwa permasalahan keamanan nasional (National security) sudah seharusnya memiliki bidang kajian yang lebih luas daripada hanya military sector. Menurut Ullman, ketika studi keamanan hanya fokus pada military sector saja, maka akan menimbulkan dampak pada dua hal. Yang pertama, ketika negara hanya memprioritaskan military sector, maka negara memiliki kecenderungan akan mengabaikan sektor lainnya yang juga dapat menimbulkan ancaman bagi keamanan. Kemudian yang kedua ketika kajian keamanan hanya fokus pada military sector, maka dapat menimbulkan global insecurity atau militerisasi secara global (Baylis & Smith, 2001).

Dengan demikian pasca Perang Dingin, isu keamanan tidak hanya mengkaji tentang perang atau militer saja, namun lebih luas lagi. Beberapa diantaranya menurut Buzan & Hansen (2009) adalah isu terorisme, penyelundupan manusia, narkotika, dan Transnational Organized Crime (TOC). Dapat dikatakan bahwa isu keamanan telah menjadi multi-interpretatif, memiliki ruang lingkup ancaman militer maupun non-militer. Berkaitan dengan hal tersebut maka konsep keamanan yang pada awalnya didominasi oleh negara sebagai aktor utama (state

Page 7: Ancaman Keamanan Australia Pada Masa Pemerintahan …journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahida8a72ab4efull.pdfAncaman Keamanan Australia Pada Masa Pemerintahan John Howard: 2001-2007

Ancaman Keamanan Australia

7 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, Mei 2018

actors), namun pasca Perang Dingin, hal tersebut berkembang dengan munculnya aktor non-negara (non-state actors). Selain itu, berakhirnya Perang Dingin juga memicu arus migrasi yang tidak terkontrol. Hal tersebut disebabkan oleh adanya perang sipil dan instabilitas negara di berbagai wilayah seperti Sierra Leone, Rwanda, Somalia, dan negara-negara pecahan Yugoslavia. Oleh karena itu, untuk menghadapi arus migrasi, sebagai tantangan baru yang dihadapi sebuah negara adalah bagaimana negara memiliki kemampuan untuk mengontrol perbatasannya untuk tujuan keamanan.

Sekuritas dan Migrasi

Berakhirnya perang dingin menimbulkan arus migrasi dengan populasi yang masih di seluruh dunia. Negara-negara yang menjadi tujuan para imigran cenderung memperketat kebijakannya, bahkan dengan tindakan yang sangat represif (Watson, 2009). Kebijakan sekuritisasi dilakukan sebuah negara karena menganggap migrasi internasional sebagai kumpulan individu-individu yang dapat mengancam negara. Menurut Philippe Bourbeau (2011), terdapat tiga faktor yang digunakan negara untuk melihat ancaman terhadap keamanan negara, salah satu faktor tersebut adalah semakin besarnya arus migrasi.

Situasi pasca Perang Dingin tersebut terjadi seperti konsep yang dijelaskan oleh John Burton mengenai sistem internasional di era kontemporer (Burton, 1968). Sistem internasional disebutkan Burton semakin berkembang seperti jaring laba – laba, di dalamnya terdapat interaksi yang bersifat dinamis dan kompleks antara state actor dan non-state actor. Salah satu non-state actor tersebut adalah para imigran, pengungsi, dan pencari suaka yang melakukan perpindahan atau migrasi menuju negara tujuan. Pada dasarnya, pengungsi adalah sekelompok individu yang melakukan perjalanan lintas batas negara dengan tujuan menyelamatkan diri dari ancaman persekusi dan kekerasan hak asasi manusia (Betts & Loescher, 2008).

Pengungsi dianggap sebagai hasil dari kegagalan pemerintahan suatu negara dalam melindungi hak asasi warga negaranya.

Selain itu, menurut Betts & Loescher (2008) terdapat tiga dampak yang ditimbulkan oleh keberadaan para imigran, yakni munculnya terorisme (terrorism), jaringan diaspora (transnationalism), dan terjadinya konflik. Contoh terorisme seperti yang melibatkan para pengungsi Afghanistan yang bermukim di Pakistan. Banyak diantara para pengungsi tersebut yang direkrut oleh jaringan teroris. Kemudian jaringan diaspora dapat dijelaskan pada fenomena pengungsi Somalia yang menjadi memberikan bantuan dana berupa remittance ke wilayah Somalia. Selanjutnya yang ketiga adalah ketika para pengungsi memicu terjadinya konflik yang mempengaruhi kondisi keamanan di negara tujuan atau negara penerima. Salah satu contohnya adalah terjadinya perang sipil yang melibatkan pengungsi Palestina dan pemerintah Yordania pada tahun 1970 (Lischer, 2005).

Hubungan antara negara dan para imigran selanjutnya dijelaskan Alexander Betts dan Gil Loescher (2008) melalui respon suatu negara terhadap pengungsi. Dalam sebuah sistem internasional, negara akan melakukan tindakan untuk menghadapi kedatangan pengungsi. Menurut Alexander Betts dan Gil Loescher (2008), terdapat tiga tindakan yang dilakukan negara, yakni institusi atau ikut serta dalam kerja sama internasional, normatif, dan sekuritisasi. Pada tindakan institusi atau kerja sama internasional, negara akan melakukan berbagai program dan kebijakan yang berupaya untuk menerima pengungsi, membantu dalam proses integrasi dengan warga lokal, serta mengadakan repatriasi atau memfasilitasi pengungsi yang akan kembali ke negara asalnya. Kemudian yang kedua adalah normatif. Dalam hal ini, respon negara yang seharusnya mengenai pengungsi akan diuji. Sedangkan tindakan yang ketiga adalah sekuritisasi. Tindakan negara

Page 8: Ancaman Keamanan Australia Pada Masa Pemerintahan …journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahida8a72ab4efull.pdfAncaman Keamanan Australia Pada Masa Pemerintahan John Howard: 2001-2007

Albert Alfa Septa

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, Mei 2018 8

melalui sekuritisasi, akan melibatkan kajian mengenai keamanan dan migrasi itu sendiri. Fokus pada tindakan sekuritisasi ini adalah kemampuan dan cara negara untuk mengatur arus migrasi. Berdasarkan kasus MV Tampa yang dihadapi Australia, maka pemerintahan John Howard tersebut menggunakan tindakan sekuritisasi untuk menghadapi para pengungsi.

Teori Sekuritisasi

Sekuritisasi disebut sebagai tindakan yang dilakukan negara sebagai salah satu respon negara tersebut terhadap adanya pengungsi. Nyman menjelaskan bahwa sekuritisasi akan mengidentifikasi isu-isu ke dalam sektor keamanan seperti lingkungan, militer, ekonomi, politik, dan sosial. Kemudian dalam karyanya yang berjudul On Security, Ole Waever menggambarkan sekuritisasi sebagai interpretasi dari keamanan (Buzan & Hansen, 2009). Berhubungan dengan hal tersebut, Ole Waever bersama dengan kedua rekannya Barry Buzan dan Jaap de Wilde melalui karya mereka yang berjudul Security: A New Framework of Analysis, menjelaskan sekuritisasi sebagai tindakan politik dalam tingkat yang ekstrem. Sekuritisasi dipahami sebagai sebuah proses politik yang bertujuan untuk menciptakan wacana suatu isu agar dapat dipandang sebagai ancaman yang nyata (exixtential threat) walaupun pada dasarnya isu tersebut bukan sesuatu yang seharusnya menjadi ancaman (Buzan, 1998).

Berkaitan dengan isu yang digunakan dalam proses sekuritisasi, Buzan, Waever, dan Wilde membagi suatu isu ke dalam tiga kategori. Kategori yang pertama adalah non-politicized. Dalam kategori non-politicized, sebuah isu dianggap tidak memiliki urgensi dalam perdebatan publik. Sebaliknya, pada kategori yang kedua, yakni politicized, sebuah isu yang masuk ke dalam ruang lingkup publik dan diperlukan intervensi pemerintah sebagai pengatur kebijakan. Sedangkan kategori isu yang ketiga adalah to

securitized. Dalam kategori to securitized, suatu isu telah menjadi isu keamanan apabila dianggap sebagai exixtential threat terhadap keamanan, serta membutuhkan tindakan yang bersifat darurat. Tindakan yang dilakukan adalah khusus dan akan dianggap sebagai prosedur politik yang wajar walaupun pada prakteknya akan melewati batas-batas norma politik yang normal. Dengan demikian, suatu isu menjadi priotitas utama apabila telah mengganggu keamanan negara serta setiap entitas yang berada di dalamnya. Selain itu, isu tersebut juga menjadi penting jika dibandingkan dengan isu-isu lainnya. Walaupun demikian, isu keamanan dapat dianggap darurat karena konstruksi yang disengaja oleh seorang aktor, sehingga isu tersebut dipandang sebagai exixtential threat (Buzan, 1998).

Pada tahap konstruksi suatu isu sebagai isu keamanan, sangat dibutuhkan ide dan tindakan cerdas suatu aktor dalam mewacanakan isu tersebut agar dipercaya sebagai exixtential threat. Oleh karena itu, salah satu elemen penting dalam proses sekuritisasi adalah adanya speech act dari seorang aktor. Speech act merupakan proses penyebaran suatu isu yang berupa isu keamanan atau ancaman kepada masyarakat (audience). Seperti yang dikatakan Waever bahwasanya keamanan adalah hasil dari adanya speech act tersebut (Waever, 1995). Selanjutnya, untuk memahami speech act, maka diperlukan tiga unit analisis, yakni referent object, securitizing actors, dan functional actors. Referent object adalah sesuatu yang dianggap dalam kondisi yang sedang terancam dan memiliki legitimasi untuk dipertahankan. Kemudian securitizing actors, yakni aktor yang berperan sebagai pihak yang menyuarakan sekuritisasi suatu isu dengan suatu referent object yang sedang terancam keamanannya. Yang terakhir adalah functional actors. Aktor yang memiliki kapasitas untuk mempengaruhi proses sekuritisasi tanpa harus menjadi referent object atau securitizing actors. Keberadaan

Page 9: Ancaman Keamanan Australia Pada Masa Pemerintahan …journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahida8a72ab4efull.pdfAncaman Keamanan Australia Pada Masa Pemerintahan John Howard: 2001-2007

Ancaman Keamanan Australia

9 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, Mei 2018

functional actors dapat menentukan dalam bidang keamanan tertentu. Misalnya sebuah perusahaan dapat menjadi aktor penentu dalam sektor lingkungan tanpa harus melakukan sekuritisasi isu lingkungan.

Lebih lanjut lagi, Buzan, Waever, dan Wilde (1998) mengatakan bahwa melalui speech act, seorang securitizing actor dapat menghapuskan pemahaman lama dan kemudian menciptakan pemahaman baru bagi audience (Buzan, 1998). Seperti yang dikatakan John L. Austin mengenai performative utterance, bahwa ucapan seorang securitizing actor tidak hanya memberikan gambaran yang signifikan, namun memiliki potensi untuk menjadi sebuah fakta (Masaki, 2004). Namun, Buzan, Waever, dan Wilde (1998) juga menegaskan bahwa ukuran keberhasilan suatu sekuritisasi tidak bergantung pada penerimaan mutlak audience terhadap speech act melainkan lebih kepada tindakan yang dilakukan securitizing actor dalam merespon adanya existential threat. Sehingga sekuritisasi menurut Buzan, Waever, dan Wilde (1998) lebih mengutamakan pada kebijakan Negara sebagai tindakan nyata dalam menghadapi ancaman terhadap keamanan.

Pencari Suaka dan Pemilu Australia 2001

Populisme menurut Savirani, Tornquist, dan Stokke merupakan alternastif dari patronase. Pada konsep patronase, seorang aktor dalam sebuah negara akan menggunakan pemberdayaan kekuatan ekonomi dan kekuatan sosialnya untuk semakin memperkuat hubungan antara penguasa dan publik. Sedangkan dalam populisme, seorang elit politik akan menggunakan program-program yang digagas sebagai sarana untuk menarik perhatian publik dengan harapan dapat mengkonversikannya menjadi dukungan bagi elit politik tersebut (Savirani, 2014).

Pada perkembangannya, terdapat perdebatan mengenai pemahaman populisme. Menurut Mattijhs Roduijn,

terdapat beberapa karakteristik untuk memahami populisme. Yang pertama adalah isu yang diwacanakan biasanya berkaitan dengan masyarakat, kemudian terdapat kritik terhadap elit politik, sedangkan karakteristik yang ketiga adalah adanya prinsip bahwa rakyat adalah entitas yang bersifat homogen. Selanjutnya, kharakteristik yang keempat adalah aktor yang terlibat dalam populisme seringkali menggunakan suatu isu yang bersifat darurat walaupun isu yang dikatakan darurat tersebut belum tentu sesuai dengan faktanya (Rooduijn, 2012).

Selanjutnya, Gidron dan Bonikowski mencoba untuk menjelaskan populisme dalam tiga bentuk, yakni populisme sebagai ideologi, populisme sebagai discursive style, dan populisme sebagai strategi politik. Populisme sebagai ideologi dipandang sebagai ide yang berakar pada dua sisi yakni, rakyat dan anti-elit. Rakyat sebagai pihak yang tidak memiliki kekuasaan melawan pihak elit. Elit digambarkan sebagai pihak yang merugikan rakyat. Namun definisi elit tidak terbatas pada elit politik, melainkan elit dalam bidang lain seperti elit ekonomi dan elit hukum. Selanjutnya adalah populisme sebagai discursive style. Populisme dalam discursive style adalah retorika politik yang menggunakan bahasa untuk membangun moral dan perjuangan rakyat secara mayoritas. Gaya bahasa yang digunakan oleh aktor politik dalam discursive style biasanya cenderung sederhana dan dapat dipahami oleh masyarakat (Rooduijn, 2012). Kemudian yang ketiga adalah populisme sebagai strategi politik. Aktor politik yang memahami populisme sebagai strategi pemenangan politik akan fokus pada upaya untuk menang. Ciri utama populisme sebagai strategi politik adalah aktor yang berkuasa memiliki kapabilitas untuk menjaga kekuatannya dalam pemerintahan.

Menurut Kurt Weyland, seorang aktor akan berusaha untuk menjalin kedekatan dengan masyarakat melalui program-program yang berpihak pada

Page 10: Ancaman Keamanan Australia Pada Masa Pemerintahan …journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahida8a72ab4efull.pdfAncaman Keamanan Australia Pada Masa Pemerintahan John Howard: 2001-2007

Albert Alfa Septa

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, Mei 2018 10

aspirasi publik. Selain itu, strategi politik yang digunakan adalah dengan memobilisasi massa. Dengan demikian, Populisme sebagai strategi politik seringkali menggunakan media komunikasi seperti televisi, radio, dan juga surat kabar. Noam dan Bonikowski (2013) juga menambahkan bahwa populisme sebagai strategi politik lebih mengutamakan tujuan, yakni untuk memperoleh dukungan rakyat dengan kebijakan yang disukai rakyat dan mobilisasi massa. Dengan demikian tujuan populisme sebagai strategi jelas berfungsi sebagai penghasil dukungan bagi elit politik.

Kesimpulan

Peristiwa MV Tampa dan kebijakan Pacific Solution yang dilakukan pemerintahan John Howard terhadap para pencari suaka pada dasarnya merupakan perwujudan kepentingan nasional Australia untuk melindungi keamanan. Selain itu, kebijakan Pacific Solution yang diterapkan John Howard juga dilandasi sebagai upaya Australia untuk melakukan kontrol pada perbatasan maritim Australia, khususnya dari dari berbagai ancaman dari pihak luar seperti, terorisme, penyelundupan manusia, narkotika, dan Transnational Organized Crime (TOC) (Marr & Wilkinson, 2003). Termasuk di dalamnya adalah kedatangan pencari suaka yang seringkali sulit untuk dibedakan dengan pengungsi ataupun imigran ekonomi.

Dalam memahami tindakan sekuritisasi yang dilakukan oleh pemerintah Australia, dapat menggunakan teori sekuritisasi hasil pemikiran Buzan, Waever, dan Jaapde. Teori sekuritisasi yang dimaksud melibatkan beberapa elemen, yakni securitizing actor, speech act, audience, existential threat, dan referent object. Securitizing actor seringkali merupakan elit politik suatu negara. Elit politik tersebut berusaha untuk yang digunakan untuk membentuk pandangan mengenai suatu isu agar dapat diterima sebagai

suatu ancaman (Buzan, Waever, dan Jaapde, 1998). Elit politik akan menggunakan speech act sebagai proses mengartikulasikan suatu isu menjadi ancaman. Dalam kasus Australia dan pencari suaka, yang berperan sebagai securitizing actor adalah Perdana Menteri John Howard. John Howard memiliki peran penting sebagai pihak yang mengkoordinasikan sekuritisasi isu pencari suaka sebagai isu keamanan, meskipun banyak elit-elit politik lainnya yang terlibat dalam pemerintahan di Australia, atau para elit partai politik seperti Partai Koalisi dan Partai Buruh. Upaya sekuritisasi yang dilakukan pemerintah Australia adalah kebijakan Pacific Solution yang diimplementasikan melalui Operation Relex. Melalui Operation Relex inilah John Howard sebagai securitizing actor melakukan sekuritisasi terhadap isu pencari suaka. Pencari suaka sebagai pihak yang dianggap sebagai existential threat selalu dikonotasikan dengan hal-hal yang buruk atau jahat. Keberadaan pencari suaka sebagai existential threat akan semakin meyakinkan ketika masyarakat Australa menerima hal tersebut. Dengan berperan sebagai audience, maka masyarakat Australia secara tidak langsung memberikan dukungan kepada John Howard sebagai securitizing actor untuk melakukan kebijakan Pacific Solution. Sekuritisasi yang dilakukan Australia, menurut John Howard adalah upaya untuk melindungi referent object, yakni Australia itu sendiri dari ancaman pencari suaka. Lebih spesifik lagi, adalah untuk melakukan tindakan pengamanan terhadap perbatasan negara, khususnya para pencari suaka tersebut. Operation Relex adalah contoh nyata bahwa sekuritisasi dilakukan oleh pemerintah Australia sejak tahun 2001 hingga 2007 atau pada periode kedua masa kepemimpinan John Howard.

Upaya sekuritisasi ini direalisasikan melalui speech act, yakni pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan secara resmi oleh pemerintah terkait pencari suaka. Melalui pernyataan-pernyataan tersebut, maka, isu pencari suaka terkonstruksi

Page 11: Ancaman Keamanan Australia Pada Masa Pemerintahan …journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahida8a72ab4efull.pdfAncaman Keamanan Australia Pada Masa Pemerintahan John Howard: 2001-2007

Ancaman Keamanan Australia

11 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, Mei 2018

secara negatif dalam pandangan publik Australia. Dalam hal ini, pencari suaka tidak digambarkan sebagai pihak yang membutuhkan perlindungan, melainkan digambarkan sebagai ancaman yang mampu membawa pengaruh negatif kepada keamanan di Australia. Seperti yang dilakukan John Howard dilihat menggunakan pendekatan populisme sebagai strategi politik. Hal tersebut terbukti dari kemampuannya dalam memberikan gambaran pada masyarakat Australia mengenai pencari suaka sehingga masyarakat Australia yang mendukungnya mengalami peningkatan yang sangat besar, khususnya pasca insiden MV Tampa dan diterapkannya kebijakan Pacific Solution (McAdam, 2014). Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Klocker dan Dunn (2003) beberapa tahun setelah peristiwa MV Tampa, bertempat di Port Augusta, Australia Selatan, menunjukkan bagaimana komunitas di wilayah tersebut memandang pencari suaka sebagai suatu ancaman. Klocker dan Dunn (2003) memilih wilayah ini karena terletak hanya 15 kilometer dari sebuah fasilitas penahanan pencari suaka. Survei yang dilakukan melibatkan 1000 responden yang menulis bahwa pencari suaka identik dengan ancaman, dan ilegal. Hal ini menunjukkan bahwa responden memiliki sikap waspada terhadap pencari suaka dan membuktikan bahwa proses sekuritisasi oleh John Howard diterima masyarakat dengan baik. Puncaknya adalah ketika John Howard memenangkan pemilu Australia tahun 2001. Howard berhasil menggalang dukungan untuk mempertahankan kursi perdana menteri pada periode kedua masa jabatannya. Sehingga, melalui tindakan pemerintah tersebut, pemerintah jelas menggambarkan pencari suaka sebagai ancaman bagi keamanan nasional Australia.

Keberhasilan penerapan kebijakan perlindungan perbatasan dalam menangani pencari suaka tidak dapat dilepaskan dari dukungan publik terhadap pemerintah (Anderson, 1998). Dukungan publik terhadap pemerintah

diketahui melalui hasil dari sejumlah pemungutan suara pada tahun 2001. Secara keseluruhan menunjukkan persetujuan publik terhadap kebijakan yang ditetapkan pemerintah terhadap pencari suaka. Hasil pemungutan suara tersebut juga memperlihatkan kepercayaan publik terhadap pengaruh negatif yang dibawa pencari suaka sebagai penanda kesuksesan sekuritisasi yang dilakukan elit politik (Anderson, 1998). Pernyataan elit politik terkait pencari suaka sebagai aktor kriminal dan fakta bahwa mayoritas pencari suaka berasal dari wilayah konflik membuat publik memandang pencari suaka sebagai pihak yang tidak membutuhkan perlindungan negara.

Selain itu, setelah memenangkan pemilu pada November 2001, terbukti bahwa John Howard mampu menggunakan isu pencari suaka sebagai salah satu sumber dukungan publik terhadap John Howard. Selaras dengan pendekatan populisme sebagai strategi politik, maka menunjukkan bahwa sikap dan pandangan negatif responden memiliki terhadap pencari suaka adalah bentuk dukungan terhadap kebijakan Pacific Solution. Dengan kata lain, hal tersebut adalah suatu bukti bahwa proses sekuritisasi yang dilakukan oleh John Howard sebagai securitizing actor mampu diterima masyarakat dengan baik. Puncaknya adalah ketika John Howard memenangkan pemilu Australia tahun 2001. Howard berhasil menggalang dukungan untuk mempertahankan kursi perdana menteri pada periode kedua masa jabatannya.

Selain dukungan masyarakat Australia mengenai Kebijakan Pacific Solution, sebenarnya kebijakan tersebut juga tidak lepas dari sasaran kritik dan kecaman dari berbagai belahan dunia. Beberapa diantaranya adalah kritik yang dilayangkan oleh UNHCR dan Amnesty Internasional. Salah satu faktor utama timbulnya kritik tersebut adalah kebijakan Pacific Solution dianggap sebagai tindakan kontroversial. Bahkan Komisaris HAM PBB, Mary Anderson menegaskan bahwa pemerintah

Page 12: Ancaman Keamanan Australia Pada Masa Pemerintahan …journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahida8a72ab4efull.pdfAncaman Keamanan Australia Pada Masa Pemerintahan John Howard: 2001-2007

Albert Alfa Septa

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, Mei 2018 12

Australia memiliki kewajiban atas kedatangan para imigran, atau minimal ada tindakan pertolongan dalam kondisi darurat tersebut. UNHCR juga menyatakan bahwa semua negara yang tergabung dalam konvensi pengungsi, termasuk Australia sudah seharusnya bersedia menerima para pencari suaka. Meskipun demikian, pemerintah Australia tetap melanjutkan kebijakan Pacific Solution, bahkan kebijakan tersebut terus berlanjut hingga setahun sebelum John Howard mengakhiri masa jabatannya pada tahun 2007. John

Howard mengatakan bahwa sudah selayaknya setiap negara dapat menetapkan kebijakannya sebagai suatu usaha mencapai kepentingan nasionalnya. Dalam hal tersebut keamanan nasional merupakan kepentingan utama yang hendak dipertahankan Australia. Bahkan, John Howard menegaskan bahwa hanya Australia sendiri yang berhak menentukan setiap individu atau kelompok yang dapat memasuki wilayah Australia (McAdam, 2014).

Daftar Pustaka

BUKU [1] Baylis, Jhon & Smith, Steven. 2001. “The

Globalization of World Politics: An Introduction to International Relation”, Third Edition. Great Britain: Oxford University Press.

[2] Betts, Alexander. 2009. “Protection by Persuasion: International Cooperation In The Refugee Regime”. United States of America: Cornell University Press.

[3] Marr, David & Wilkinson, Marian. 2003. “Dark Victory: How a government lied its way to political triumph”. Sidney: Allen & Unwin.

[4] Rudy, T. May. 2002. “Study Strategis Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin”, Bandung: PT Refika Aditama.

[5] Savirani, A., Tornquist, O., & Stokke, K. (2014). “Demokrasi di Indonesia: Antara Patronase dan Populisme”. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada dan Universitas of Oslo. Hlm: 13-16.

JURNAL & ARTIKEL: [6] Betts, A. & Loescher, G. 2008. “Refugees in

International Relations”. dalam: Betts, A. & Loescher, G, eds. 2008. Refugees in International Relations. London: Oxford University Press.

[7] Bourbeau, Philippe. 2011. “The Securitization of Migration: A Study of Movement and Order”. USA: Routledge

[8] Buzan, Barry. 1983. “People, States, and Fear: The National Security Problems in International Relations”. USA: The University of North Carolina Press.

[9] Buzan, Barry and Hansen, Lenen. 2009. “The Evolution of International Security Studies”. United Kingdom: Cambridge University Press.

[10] Buzan, Barry, Waever, Ole dan Wilde, Jaap de. 1998. “Security: A New Framework for Analysis” USA: Lynne Rienner Publisher.

[11] Burton, J.W. 1968. “Systems, States, Diplomacy, & Rules”. New York: Cambridge University Press.

[12] Cheeseman, G. 1993. “Search For Self-Reliance: Australian Defense Since Vietnam”, Melbourne: Longman Chesire.

[13] Crab Jr. Cecil V. 1972. “American Foreign Policy in the Nuclear Age”, 3rd edition. New York: Harper and Row.

[14] Devetak, Richard. 2004. “In Fear of Refugees: The Politics of Borders Protection in Australia”. Great Britain: Taylor and Francis Group.

[15] European Asylum Support Office, 2016. “The Push and Pull Factors of Asylum Related Migration”. European Asylum Support Office. 7. November 2016. Diakses pada 20 Mei 2017.

[16] Evans, G. & Newnham, J. 1990. “The Dictonary of World Politics”., Swansea: Harvester, Wheat Sheaf.

[17] Fisher, Michael. 2014. “Migration: A World History”. USA: Oxford University Press.

[18] Fox, Peter D. 2010. “International Asylum and Boat People: The Tampa Affair and Australia's "Pacific Solution”. Maryland Journal of International Law. 25.

[19] Masaki, Yoshitake. 2004. “Critique of J. L. Austin’s Speech Act Theory: Decentralization of the Speaker-Centered Meaning in Communication”. Kyushu Communication Studies. 2:27-43.

[20] Henderson, C.W. 1998. “International Relations: Conflict and Corporation at turn of the 21st Century”, Singapore: MacGraw-Hill Companies.

[21] Herman, E.S. and Chomsky N. 1988, “Manufacturing Consent: The Political Economic of the Mass Media”. New York: Pantheon Books.

[22] International Organization for Migration, 2004. “Glosary on migration, International Migration Law”. Geneva: International Organization for Migration.

[23] International Organization for Migration, 2005. “World Migration: Costs and Benefits of International Migrations”. Geneva: International Organization for Migration.

[24] International Organization for Migration. 2014. “Fatal Journey: Tracking Lives Lost during Migration”. Geneva: International Organization for Migration.

Page 13: Ancaman Keamanan Australia Pada Masa Pemerintahan …journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahida8a72ab4efull.pdfAncaman Keamanan Australia Pada Masa Pemerintahan John Howard: 2001-2007

Ancaman Keamanan Australia

13 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, Mei 2018

[25] Kampmark, Binoy. 2002. “Refugee Identities and the MV Tampa”. Detroit: Wayne State University Press.

[26] Klocker, N. (forthcoming), ‘The Nature and Bases of Community Opposition Towards Asylum Seekers in Port Augusta, South Australia’, Australian Geographical Studies, forthcoming.

[27] Klocker, Natascha dan Dunn, Kevin M. 2003. “Who's driving the asylum debate: newspaper and government representations of asylum seekers”. Media International Australia Incorporating Culture and Policy: quarterly journal of media research and resources, 109 71-92.

[28] Kneebone, Susan. 2006. “The Pacific Plan: The Provision of ‘Effective Protection’?”. New York: Oxford University Press.

[29] Lischer, S. K. 2005. “Dangerous Sanctuaries; Refugee Camps, Civil War, and the Dilemmas of Humanitarian Aid”. Ithaca: Cornell University Press, hal. 11.

[30] Loescher, Gil. 2001. “The UNHCR and World Politics: A Perilous Path”. New York: Oxford University Press.

[31] Maley, W. 2001. “Security, People Smuggling, and Australia’s New Afghan Refugees”, Australian Journal of International Affairs, Vol 55. No. 3, hal. 352.

[32] Manheim, Jarol B. dan Rich, Richard C. 1995. “Empirical Political Analysis: Research Methods in Political Science”. London: Longman Publisher.

[33] McAdam, Jane dan Chong, Fiona. 2014. Refugees: “Why Seeking Asylum is Legal and Australia’s Policies are not”. Sydney: University of New South Wales Press.

[34] McMaster, D. 2001, Asylum Seekers: “Australia’s Response to Refugees”. Melbourne: Melbourne University Press.

[35] Plano, Jack C. dan Olton, R. 1982. “The International Dictionary”. California: ABC-CLIA. Hal 127.

[36] Jupp, James. Immigration. 1998. “Immigration”. Melbourne: Oxford University Press.

[37] Kegley, Charles W. & Wittkopf, Eugene R. 2006. “World Politics: Trend and Transformation”. California: Thomson.

[38] Keohane, Robert dan Nye, Joseph. 1977. “Power and Interdependence”. Boston: Little Brown.

[39] Ricardo, Boy. 2014. “Perubahan Pemilih pada Pilkada Jakarta Putaran Kedua”. Jakarta: Jurnal Politik. Hal.1387.

[40] Rooduijn, M. de Lange, Sarah L. dan Van der Brug, W. 2012. “A Populist Zeitgeist? Programmatic Contagion by Populist Parties in Western Europe”. Journal Sage. Hlm: 3-4.

[41] Schloenhardt, Andreas. 2001. “Australia and The Boat People: 25 Years of Unauthorised Arrivals”, University of New South Wales Law Journal. Vol. 23, No. 3, Sidney.

[42] Schloenhardt, Andreas. 2001. “Trafficking in Migrants: Illegal Migration and Organized Crime in Australia and The Asia Pacific Region”, International Journal of Sociology of Law, Australia. Hal 63.

[43] Schloenhardt, Andreas and Craig, Colin. 2015. “Turning Back The Boats: Australia’s Interdiction of Irregular Migrants at Sea, International Journal of Refugee Law, Australia.

[44] Ullman, Richard. 1983. “Redefining Security”. Cambridge: The MIT Press.

[45] Viotti, Paul R. & Kauppi, Mark V. 1993. “International Relations Theory: Realism, Pluralism and Globalism, 2nd edition”. New York: MacMillan Publishing Company.

[46] Watson, Scott D. 2009. “The Securitization of Humanitarian Migration: Digging Moats and Sinking Boats”. New York: Routledge.

[47] Waever, Ole. 1995. “Securitization and Desecuritization, dalam Ronnie D. Lipschutz (ed) On Security”. New York: Columbia University Press. hal. 55.

[48] Waever, Ole. 2000. “The UE as a Security Actors: Reflection from Pessimistic Constructivist on Post Sovereign Security Orders”. London: Routledge.

[49] UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees), 1951. Convention and Protocol Relationg to the Status of Refugees. http://www.unhcr.org/3b66c2aa10.html. Diakses pada 20 Januari 2017.

[50] United Nations High Commisioner for Refugee. 2007. Refugee Protection and Mixed Migration, http://www.unhcr.org/pages/4a16aac6 html>, diakses pada 11 Juli 2017.

[51] United Nations High Commisioner for Refugee. 2015. World at War: UNHCR Global Trends Forced Displacement in 2014. Geneva: UNHCR

PAPER: [52] Betts, Alexander. 2008, “North-South

Cooperation in the Refugee Regime: The Role of Linkages”, Global Governance, Vol.14, No.2, Hal. 157-178.

[53] Betts, K. 2001, “Boatpeople and Public Opinion in Australia”, People and Place, vol. 9, no. 4, pp. 34–48.

[54] Crock, Mary, 2010. “Alien Fears: Politics and Immigration Control”. The University of Sydney, Sydney Law School: Legal Studies Research Paper, 10 (73), 1-9.

[55] Gidron N. and Bonikowski B. 2013. “Varieties of Populism”: Literature Review and Research Agenda, in Weatherhead Working Paper Series, No. 13-0004.

[56] Refugee Council of Australia (RCOA) 2000, RCOA Discussion Paper on the Response to the 1999-2000 Boat Arrivals.

DOKUMEN PEMERINTAH: [57] Commonwealth of Australia 2002, “Report

of the Senate Select Committee on a Certain Maritime Incident (Children Overboard Inquiry)”. Senate Select Committee, Parliament House, Canberra.

[58] Philip, Janet dan Spinks, Harriet. 2013. “Boat arrivalsin Australia since 1976”. Canberra: Parliament of Australia, Department of Parliamentary Services, Parliamentary Library.

Page 14: Ancaman Keamanan Australia Pada Masa Pemerintahan …journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahida8a72ab4efull.pdfAncaman Keamanan Australia Pada Masa Pemerintahan John Howard: 2001-2007

Nama Penulis

14 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, Mei 2018