anatomi fisiologi hidung dan sinus paranasal

13
BAB I PENDAHULUAN Pengetahuan tentang keberadaan sinus paranasal serta upaya untuk mengobatinya awalnya sangat sedikit yang diketahui tentang fungsi dan terutama anatomi sistem sampai akhir abad lalu. Sampai abad pertengahan akhir fungsi sinus kadang-kadang tidak jelas, seperti memegang "grease" untuk gerakan bola mata, atau memungkinkan otak untuk "menguras roh yang buruk" ke dunia luar, membawa tentang nama-nama seperti "la kloaka del cerebro "oleh Sansovino pada abad ke-16. Pengetahuan saat ini tentang anatomi dasar tersebut berasal dari penelitian Emil Zuckerkandl dari Austria, yang mulai dari tahun 1870-an menjelaskan rincian anatomi dan pengembangan hidung dan sinus, membuka pandangan baru dalam bidang ilmiah dan bedah. Pada pergantian abad dengan studi tentang anatomi sectional dan bedah, menciptakan spesialisasi Rhinology dan menuju konsep modern tentang diagnosis dan terapi dari penyakit hidung dan sinus paranasal. Radiologi,

description

referat tht

Transcript of anatomi fisiologi hidung dan sinus paranasal

Page 1: anatomi fisiologi hidung dan sinus paranasal

BAB I

PENDAHULUAN

Pengetahuan tentang keberadaan sinus paranasal serta upaya untuk

mengobatinya awalnya sangat sedikit yang diketahui tentang fungsi dan terutama

anatomi sistem sampai akhir abad lalu. Sampai abad pertengahan akhir fungsi

sinus kadang-kadang tidak jelas, seperti memegang "grease" untuk gerakan bola

mata, atau memungkinkan otak untuk "menguras roh yang buruk" ke dunia luar,

membawa tentang nama-nama seperti "la kloaka del cerebro "oleh Sansovino

pada abad ke-16. Pengetahuan saat ini tentang anatomi dasar tersebut berasal dari

penelitian Emil Zuckerkandl dari Austria, yang mulai dari tahun 1870-an

menjelaskan rincian anatomi dan pengembangan hidung dan sinus, membuka

pandangan baru dalam bidang ilmiah dan bedah. Pada pergantian abad dengan

studi tentang anatomi sectional dan bedah, menciptakan spesialisasi Rhinology

dan menuju konsep modern tentang diagnosis dan terapi dari penyakit hidung dan

sinus paranasal. Radiologi, khususnya pengembangan tomografi konvensional dan

selama dua dekade terakhir telah membantu untuk menemukan rincian menarik

dan hubungan yang kompleks dari sistem sinus paranasal. Bersama dengan

perkembangan mikroskop operasi dan endoskopi yang membantu pendekatan

diagnosis dan terapi penyakit hidung dan sinus paranasal. (Stammberger H.

History of rhinology: anatomy of the paranasal sinuses. Rhinology. 1989

Sep;27(3):197-210. PubMed PMID: 2700242)

Hidung merupakan organ penting pada tubuh, yaitu sebagai alat pernafasan terluar,

pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan, sebagai indera

penciuman. Hidung mempunyai fungsi untuk menghidu, mempersiapkan udara yang akan

Page 2: anatomi fisiologi hidung dan sinus paranasal

masuk ke dalam paru-paru, mempengaruhi refleks tertentu, membantu proses bicara, dan

menjadi tempat bermuara sinus paranasal dan saluran air mata.

Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan

sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar

102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera

Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama

dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung

dari 7 propinsi2 .Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-

Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut

adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis. Dari jumlah tersebut 30%

mempunyai indikasi operasi BSEF. Karena berbagai kendala dari jumlah ini

hanya 60%nya (53 kasus) yang dilakukan operasi. Di Bagian THT RS Dr.

Wahidin Sudirohusodo, Makasar dilaporkan tindakan FESS pada periode Januari

2005-Juli 2006 adalah 21 kasus atas indikasi Sinusitis, 33 kasus pada polip hidung

disertai sinusitis dan 30 kasus FESS disertai dengan tindakan septum koreksi atas

indikasi sinusitis dan septum deviasi.

Sekitar 0,2-1 % orang dewasa di Inggris pernah menderita polip hidung.6

Salah satu etiologi terjadinya polip hidung adalah adanya peradangan kronik dan

berulang pada mukosa hidung dan sinus. Kekerapan polip hidung meningkat

seiring dengan umur sampai sekitar 59 tahun, dan lebih banyak pada laki-laki

daripada perempuan.6

Begitu banyak angka kejadian penyakit pada hidung dan sinus paranasal

sehingga perlu diketahuinya anatomi dan fisiologi hidung dan sinus paranasal

Page 3: anatomi fisiologi hidung dan sinus paranasal

sebagai dasar untuk mempelajari penyakit dan kelainan yang terjadi pada hidung

dan sinus paranasal.

Manusia mempunyai beberapa rongga di sepanjang atap dan bagian lateral rongga hidung. Rongga rongga ini diberi nama sinus yang kemudian diberi nama sesuai dengan

Page 4: anatomi fisiologi hidung dan sinus paranasal

letaknya : sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis (sinus paranasalis). Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi dan mampu menghasilkan mukus dan bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat, sinus terutama berisi udara

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hidunga. Definisi

b. EmbriologiSelama enam minggu lubang hidung akan terus masuk ke arah posterior karena pertumbuhan prominens dan bagianya karena penetrasi ke dalam dasar mesenkim. Pada mulanya rongga hidung akan memisahkan dari cavum oral dengan membentuk foramina baru yang disebut koana primitif. Choana akan terletak pada sisi garis tengah dan kemudian akan berada di belakang palatum primer. Kemudian dengan pembentukan langit-langit sekunder dan pengembangan lebih lanjut dari rongga hidung primitif, choanae definitif terletak di hubungan antara rongga hidung dan faring.

Page 5: anatomi fisiologi hidung dan sinus paranasal

Gambar 1. Pembentukan rongga hidung. A. Potongan sagital rongga nasal dan medial nasal prominens dari embrio berusia 6 minggu. B. Pemisahan oronasal membran. C. Embrio berusia 7 minggu dengan pembukaan hubungan primitif choanae dengan cavum nasal. D. Potongan sagital dari wajah pada embrio 9 bulan yang menunjukan pemisahan devinitif nasal dan cavum oral oleh palatum sekunder. Choanae definitif adalah hubungan antara cavum oral dan faring.

c. Anatomi

d. FisiologiFisiologis hidung berfungsi sebagai penyaring dan pertahanan lini pertama. Terdiri dari silia epitel respirasi, kelenjar mukus dan palut lendir yang membentuk sistem mekanisme pertahanan penting dalam sistem respirasi yang kemudian dikenal sebagai sistem mukosiliar. Keberhasilan sistem mukosiliar sebagai suatu mekanisme pertahanan lokal hidung tergantung clearance mukosiliar. Agar tercapainya tujuan pertahanan tersebut, transpor mukosiliar harus baik.( TRANSPOR MUKOSILIAR PADA SEPTUM DEVIASI, Dolly Irfandy, Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/ RSUP M Djamil Padang)

B. Sinus Paranasala. Definisi

Page 6: anatomi fisiologi hidung dan sinus paranasal

Sinus paranasal adalah kantung berongga berisi udara yang terletak di sekitar tulang tengkorak. Kantung-kantung tersebut tepatnya mengelilingi rongga hidung. Dinding sinus terdiri dari tulang kompakta dilapisi muco-endosteum yang berhubungan dengan mukosa respiratori pada cavitas nasi.

b. EmbriologiSecara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3 – 4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maxillaris (antrum of highmore) adalah sinus yang pertamakali berkambang dan pada awalnya berisi cairan. Sinus etmoid dan maksila telah ada sejak anak lahir, sedangkan sinus frontalis berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8 – 10 tahun dan berasal dari bagian posterosuperior rongga hidung. Sinus – sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15 – 18 tahun.Manusia mempunyai sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral rongga udara hidung; jumlah, ukuran, bentuk, dan simetri bervariasi. Sinus – sinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah dan diberi nama sesuai : sinus maksilaris, sfenoidalis, frontalis, dan etmoidalis. Yang terakhir biasanya berupa kelompok – kelompok sel etmoidalis anterior dan posterior yang saling berhubungan, masing – masing kelompok bermuara ke dalam hidung. (E.Mangunkusumo . Fisiologi Hidung dan Parasanal Dalam Iskandar N. dkk (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Balai Penerbit FK UI Jakarta 1990)Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi, dan mampu menghasilkan mukus, dan bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat, rongga terutama berisi udara. Sinus paranasal berkembang sebagai diverticula dari dinding nasal lateral dan meluas ke rahang atas, ethmoid, frontal, dan sphenoid tulang. Sinus paranasal akan mencapai ukuran maksimum selama masa pubertas dan berkontribusi dalam pembentukan wajah.

c. Anatomi dan Fisiologi Sinus ParanasalTerdapat empat sinus disekitar hidung yaitu sinus maksilaris (terletak di pipi), sinus ethmoidalis (di antara kedua mata), sinus frontalis (terletak di dahi) dan sinus sphenoidalis (terletak di belakang dahi) (Mangunkusumo,Endang, Soetjipto D. SinusitisdalamBuku Ajar Ilmu KesehatanTelinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. FKUI. Jakarta 2007. Hal 150-3).

Page 7: anatomi fisiologi hidung dan sinus paranasal

Gambar 2. Sinus Paranasal

1. Sinus MaksilaSinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 6 – 8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk seperti limas, dan menempati seluruh badan masing-masing maksilla. Puncak sinus maksillaris menjulang ke arah os zigomaticum, bahkan seringkali memasukinya. dinding superior sinus maksillaris ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris maksilla dan palatum. Akar gigi atas terutama akar kedua dentes molares pertama seringkali menimbulkan tonjolan seperti kerucut pada dasar sinus. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fossa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung. Masing-masing sinus akan bermuara ke meatus nasalis medius dengan perantara hiatus semilunaris pada suatu ostium yang letaknya lebih tinggi dari alasnya. Karena ostium tersebut letaknya lebih superior dari dasar sinus maka apabila terdapat sekret sinus tidak dapat mengeluarkan sekret tersebut dari dalam sinus pada posis kepala tegak kecuali sekret di dalam sinus sudah terisi penuh.

Page 8: anatomi fisiologi hidung dan sinus paranasal

Gambar 3. Sinus maksillaris.Sinus maxillaris diperdarahi terutama dari arteria alveolaris superior cabang dari arteri maksillaris dan cabang arteri palatina major mengantarkan darah ke dasar sinus maksillaris.

Gambar 4. PerdarahPersarafan sinus maxillaris berasal dari nervus alveolaris superior posterior, nervus alveolaris anterior, nervus alveolaris medius, dan nervus alveolaris superior yang merupakan cabang-cabang dari nervus maksillaris atau nervus kranial V-2.

2. Sinus Frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus, berasal dari sel – sel resessus frontal atau dari sel – sel infundibulum etmoid. Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm, dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat – sekat dan tepi sinus berlekuk – lekuk. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fossa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal

Page 9: anatomi fisiologi hidung dan sinus paranasal

berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resessus frontal. Resessus frontal adalah bagian dari sinus etmoid anterior. Suplai darah diperoleh dari arteri supraorbital dan arteri supratrochlear yang berasal dari arteri oftalmika yang merupakan salah satu cabang dari arteri carotis interna. Inervasi mukosa disuplai oleh cabang supraorbital dan supratrochlear cabang dari nervus frontalis yang berasal dari nervus trigeminus.

3. Sinus EtmoidPada orang dewasa sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4,5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior. Sinus etmoid berongga – rongga, terdiri dari sel – sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak diantara konka media dan dinding medial orbita. Sel – sel ini jumlahnya bervariasi antara 4 – 17 sel (rata – rata 9 sel). Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel – sel sinus etmoid anterior biasanya kecil – kecil dan banyak, letaknya dibawah perlekatan konka media, sedangkan sel – sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di postero-superior dari perlekatan konka media. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resessus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid. Suplai darah berasal dari cabang nasal dari arteri sphenopalatina. Inervasi mukosa berasal dari divisi oftalmika dan maksilaris nervus trigeminus.

4. Sinus SphenoidSinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi dari 5 – 7,5 ml. Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmikus, sedangkan arteri oftalmikus berasal dari arteri karotis interna. Yang penting ialah arteri sphenopalatina dan ujung dari arteri palatina mayor. Bagian depan dan atas dari rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoid anterior yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus (nervus V – 1). Rongga hidung lainnya sebagian besar mendapatkan persarafan sensoris dari nervus maksilla

Page 10: anatomi fisiologi hidung dan sinus paranasal

melalui ganglion sphenopalatina. Ganglion sphenopalatina disamping memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor/ otonom pada mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut – serabut sensoris dari nervus maksila (nervus V – 2), serabut parasimpatis dari nervus petrosis superfisialis mayor, dan serabut – serabut simpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sphenopalatina terletak di belakang dan sedikit diatas dari ujung posterior konka media