Anatomi Fisiologi Hidung

43
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari biasanya. Hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Pada era di mana semakin banyak penelitian dan publikasi ilmiah didedikasikan terhadap bahaya kerja dan polutan udara, suatu pemahaman mendasar mengenai anatomi dan fisiologi hidung adalah penting. Hidung mempunyai beberapa fungsi di antaranya sebagai indera penghidu, menyiapkan udara inhalasi agar dapat digunakan paru-paru, mempengaruhi refleks tertentu pada paru-paru dan memodifikasi bicara. Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, misalnya sumbatan hidung perlu diketahui terlebih dahulu tentang anatomi hidung. Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung. Untuk mendiagnosis penyakit yang terdapat di dalam hidung perlu diketahui dan dipelajari pula cara pemeriksaan hidung dan sinus paranasal. 1.2 Tujuan Penulisan 1

description

refreshing

Transcript of Anatomi Fisiologi Hidung

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangHidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari biasanya. Hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan.Pada era di mana semakin banyak penelitian dan publikasi ilmiah didedikasikan terhadap bahaya kerja dan polutan udara, suatu pemahaman mendasar mengenai anatomi dan fisiologi hidung adalah penting.Hidung mempunyai beberapa fungsi di antaranya sebagai indera penghidu, menyiapkan udara inhalasi agar dapat digunakan paru-paru, mempengaruhi refleks tertentu pada paru-paru dan memodifikasi bicara.Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, misalnya sumbatan hidung perlu diketahui terlebih dahulu tentang anatomi hidung. Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung. Untuk mendiagnosis penyakit yang terdapat di dalam hidung perlu diketahui dan dipelajari pula cara pemeriksaan hidung dan sinus paranasal.

1.2 Tujuan PenulisanPenyusunan refreshing ini bertujuan untuk memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan Rumah Sakit Islam Jakarta Sukapura, Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta Periode 19 November 2012 23 Desember 2012 dan sebagai bahan informasi bagi para pembaca umumnya.

1.3 Teknik Pengumpulan ReferensiDalam penyusunan refreshing ini, metode pengumpulan referensi yang digunakan adalah secara tidak langsung melalui kepustakaan yaitu buku-buku referensi dan pustaka elektronik yang berhubungan dengan judul dari refreshing ini yaitu embriologi, anatomi, fisiologi, cara pemeriksaan dan dua penyakit terbanyak pada hidung dan sinus paranasal.

1.4 Sistematika PenulisanRefreshing ini disusun secara sistematis mulai dari bab pendahuluan yang membahas latar belakang, ruang lingkup penulisan, tujuan penulisan, teknik pengumpulan referensi dan sistematika penulisan. Kemudian diikuti bab pembahasan yang akan menjelaskan tentang embriologi, anatomi, fisiologi, cara pemeriksaan dan dua penyakit terbanyak pada hidung dan sinus paranasal. Terakhir bab III yang merupakan bab penutup yang akan disimpulkan mengenai pembahasan pada bab II serta kritik dan saran juga akan disampaikan pada bab III tersebut.

BAB IIANATOMI, FISIOLOGI DAN PEMERIKSAAN HIDUNG

2.1Anatomi 2.1.1 Hidung LuarHidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior).

Gambar 1. Anatomi hidung luarHidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasalis), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor, 3) beberapa pasang kartilago alar minor dan 4) tepi anterior kartilago septum.Ada dua pengatur otot-otot alar ; dilator (dilator naris, m. Procerus, caput angulare) dan konstriktor (m. Nasalis, depressor septi). Semua menerima innervasi persarafan dari saraf kranial VII.2

Gambar 2. Anatomi tulang hidung

Gambar 3. Hidung tampak ventral

Gambar 4. Hidung tampak inferior2.1.2 Hidung DalamRongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema.Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.

Gambar 5. Anatomi Hidung Dalam2.1.3Batas Rongga HidungDinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lemoeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa= saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Dibagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.

Gambar 6. Rongga hidung2.1.4Kompleks Ostiomeatal (KOM)Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang berupa celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan ressus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior, yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait.

Gambar 7. Kompleks Osteomeatal

2.1.5Suplai Darah (Vaskularisasi Hidung)Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a. Etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna.Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak.Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.

Gambar 8. Pembuluh Darah Hidung2.1.6Persarafan HidungBagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N. V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum.Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.

Gambar 9. Persarafan HidungFungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.2.1.7Sistem MukosiliarSeperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya. di dalam sinus, silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya. Pada dinding lateral hidung terdapat dua aliran ttanspor mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip), tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung.2.1.8 Sistem LimfatikSuplai limfatik hidung sangat kaya dimana terdapat jaringan pembuluh anterior dan posterior. Jaringan limfatik anterior adalah kecil dan bermuara di sepanjang pembuluh fasialis yang menuju leher. Jaringan ini mengurus hampir seluruh bagian anterior hidung vestibulum dan daerah prekonka.Jaringan limfatik posterior mengurus mayoritas anatomi hidung, menggabungkan ketiga saluran utama di daerah hidung belakang saluran superior, media dan inferior. Kelompok superior berasal dari konka media dan superior dan bagian dinding hidung yang berkaitan, berjalan di atas tuba eustachius dan bermuara pada kelenjar limfe retrofaringea. Kelompok media, berjalan di bawah tuba eustachius, mengurus konka inferior, meatus inferior, dan sebagian dasar hidung dan menuju rantai kelenjar limfe jugularis. Kelompok inferior berasal dari septum dan sebagian dasar hidung, berjalan menuju kelenjar limfe di sepanjang pembuluh jugularis interna.2.1.9Sinus Paranasal

Gambar 10. Sinus ParanasalAda delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung. Anatominya dapat dijelaskan sebagai berikut:Sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila kanan dan kiri (antrium highmore) dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing. Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris yakni muara dari sinus maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior.Sinus paranasal terbentuk pada fetus usia bulan III atau menjelang bulan IV dan tetap berkembang selama masa kanak-kanak, jadi tidak heran jika pada foto rontgen anak-anak belum ada sinus frontalis karena belum terbentuk. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus ethmoid posterior dan sinus sfenoid.a. Sinus MaksilarisSinus maksilaris merupakan sinus paranasalis yang terbesar. Sinus ini sudah ada sejak lahir dan mencapa ukuran maksimum (+ 15 ml) pada saat dewasa. Dari segi klinis yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maxilla adalah:1. Dasar sinus maksilaris berhubungan dengan gigi P1, P2, M1, dan M22. Ostium sinus maksilaris lebih tinggi dari dasarnyaSinus maksilaris (antrum of highmore) adalah sinus yang pertamaberkembang. Struktur ini pada umumnya berisi cairan pada kelahiran. Pertumbuhan dari sinus ini adalah bifasik dengan pertumbuhan selama 0-3 tahun dan 7-12 tahun.Sepanjang pneumatisasi kemudian menyebar ke tempat yang rendah dimana gigi yang permanen mengambil tempat mereka. Pneumatisasinya dapat sangat luas sampaiakar gigi hanya satu lapisan yang tipis dari jaringan halus yang mencakup mereka.Sinus maksilaris orang dewasa berbentuk piramida dan mempunyai volume kira-kira 15 ml (34 x 33 x 23 mm). dasar dari piramida adalah dinding nasal denganpuncak yang menunjuk ke arah processus zigomatikum. Dinding anterior mempunyai foramen intraorbital yang berada pada bagian midsuperior dimana nervus intraorbitalberjalan di atas atap sinus dan keluar melalui foramen ini. Bagian tertipis dari dinding anterior adalah sedikit diatas fossa canina. Atap dibentuk oleh dasar orbita dan ditranseksi oleh n.infraorbita. dinding posterior tidak bisa ditandai. Di belakang dari dinding ini adalah fossa pterygomaxillaris dengan a.maksilaris interna, ganglion sfenopalatina dan saluran vidian, n.palatina mayor dan foramen rotundum.Dasar dari sinus bervariasi tingkatannya. Sejak lahir sampai umur 9 tahun dasar dari sinus adalah di atas rongga hidung. Pada umur 9 tahun dasar dari sinus secara umum samadengan dasar nasal. Dasar sinus berlanjut menjadi pneumatisasi sinus maksilaris. Oleh karena itu berhubungan dengan penyakit gigi di sekitar gigi rahang atas, yaitupremolar dan molar.Cabang dari a. maksilaris interna mendarahi sinus ini. Termasuk infraorbita, cabang a. sfenopalatina, a. palatina mayor, v. aksilaris dan v. jugularis system duralsinus. Sedangkan persarafan sinus maksila oleh cabang dari n.V.2 yaitu n. palatina mayor dan cabang dari n. infraorbita.Ostium sinus maksilaris terletak di bagian superior dari dinding medial sinus. Intranasal biasanya terletak pada pertengahan posterior infundibulum etmoid, atau disamping 1/3 bawah processus uncinatus. Ukuran ostium ini rata-rata 2,4 mm tapi dapat bervariasi. 88% dari ostium sinus maksilaris bersembunyi di belakangprocessus uncinatus sehingga tidak bisa dilihat secara endoskopi.b. Sinus EthmoidalisSinus etmoid adalah struktur yang berisi cairan pada bayi yang baru dilahirkan. Selama masih janin perkembangan pertama sel anterior diikuti oleh selposterior. Sel tumbuh secara berangsur-angsur sampai usia 12 tahun. Sel ini tidakdapat dilihat dengan sinar x sampai usia 1 tahun. Septa yang ada secara berangsur-angsur menipis dan pneumatisasi berkembang sesuai usia. Sel etmoid bervariasi dan sering ditemukan di atas orbita, sfenoid lateral, ke atap maksila dan sebelah anteriordiatas sinus frontal. Peyebaran sel etmoid ke konka disebut konka bullosa.Gabungan sel anterior dan posterior mempunyai volume 15 ml (33 x 27 x 14mm). Bentuk ethmoid seperti piramid dan dibagi menjadi sel multipel oleh sekat yang tipis. Atap dari ethmoid dibentuk oleh berbagai struktur yang penting. Sebelah anterior posterior agak miring (15). 2/3 anterior tebal dan kuat dibentuk oleh os frontal dan foveola etmoidalis. 1/3 posterior lebih tinggi sebelah lateral dan sebelahmedial agak miring ke bawah ke arah lamina kribiformis. Perbedaan berat antara atapmedial dan lateral bervariasi antara 15-17 mm. sel etmoid posterior berbatasandengan sinus sfenoid.Sinus etmoid mendapat aliran darah dari a.karotis eksterna dan interna dimana a.sfenopalatina dan a.oftalmika mendarahi sinus dan pembuluh venanya mengikuti arterinya. Sinus etmoid dipersarafi oleh n V.1 dan V.2, n V.1 mensarafi bagiansuperior sedangkan sebelah inferior oleh n V.2. Persarafan parasimpatis melaluin.vidianus, sedangkan persarafan simpatis melalui ganglion servikal. Sel di bagian anterior menuju lamela basal. Pengalirannya ke meatus mediamelalui infundibulum etmoid. Sel yang posterior bermuara ke meatus superior dan berbatasan dengan sinus sfenoid. Sel bagian posterior umumnya lebih sedikit dalamjumlah namun lebih besar dalam ukuran dibandingkan dengan sel bagian anterior. Bula etmoid terletak diatas infundibulum dan permukaan lateral inferiornya, dan tepi superior prosesus uncinatus membentuk hiatus semilunaris. Ini merupakan sel etmoid anterior yang terbesar. Infundibulum etmoid perkembanganya mendahului sinus.Dinding anterior dibentuk oleh prosesus uncinatus, dinding medial dibentukoleh prosesus frontalis os maksila dan lamina papyracea.c. Sinus FrontalisSinus frontalis sepertinya dibentuk oleh pergerakan ke atas dari sebagianbesar sel-sel etmoid anterior. Os frontal masih merupakan membran pada saatkelahiran dan mulai mengeras sekitar usia 2 tahun. Perkembangan sinus mulai usia 5tahun dan berlanjut sampai usia belasan tahun.Volume sinus ini sekitar 6-7 ml (28 x 24 x 20 mm). Anatomi sinus frontalis sangat bervariasi tetapi secara umum ada dua sinus yang terbentuk seperti corong. Dinding posterior sinus yang memisahkan sinus frontalis dari fosa kranium anteriorlebih tipis dan dasar sinus ini juga berfungsi sebagai bagian dari atap rongga mata.Sinus frontalis mendapatkan perdarahan dari a.oftalmika melalui a.supraorbitadan supratrochlear. Aliran pembuluh vena melalui v.oftalmica superior menuju sinuskavernosus dan melalui vena-vena kecil di dalam dinding posterior yang mengalir kesinus dural. Sinus frontalis dipersarafi oleh cabang n V.1. secara khusus, nervus-nervus ini meliputi cabang supraorbita dan supratrochlear.d. Sinus SfenoidalisSinus sfenoidalis sangat unik karena tidak terbentuk dari kantong ronggahidung. Sinus ini dibentuk dalam kapsul rongga hidung dari hidung janin. Tidakberkembang sampai usia 3 tahun. Usia 7 tahun pneumatisasi telah mencapai sela turcica. Sinus mencapai ukuran penuh pada usia 18 tahun.Usia belasan tahun, sinus ini sudah mencapai ukuran penuh dengan volume 7,5 ml (23 x 20 x 17 mm). Pneumatisasi sinus ini, seperti sinus frontalis, sangatbervariasi. Secara umum merupakan struktur bilateral yang terletak posterosuperiordari rongga hidung. Dinding sinus sphenoid bervariasi ketebalannya, dinding anterosuperior dan dasar sinus paling tipis (1-1,5 mm). Dinding yang lain lebih tebal. Letak dari sinus oleh karena hubungan anatominya tergantung dengan tingkatpneumatisasi. Ostium sinus sfenoidalis bermuara ke recessus sfenoetmoidalis. Ukurannya sangat kecil (0,5 -4 mm) dan letaknya 10 mm di atas dasar sinus.Atap sinus sfenoid diperdarahi oleh a.ethmoid posterior, sedangkan bagian lainnya mendapat aliran darah dari a.sfenopalatina. Aliran vena melalui v.maksilaris ke v.jugularis dan pleksus pterigoid. sinus sfenoid dipersarafi oleh cabang n V.1 danV.2. n.nasociliaris berjalan menuju n.etmoid posterior dan mempersarafi atap sinus. Cabang-cabang n.sfenopalatina mempersarafi dasar sinus.2.2Fisiologi2.2.1 Fisiologi HidungFungsi hidung ialah untuk jalan napas, alat pengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, sebagai indra penghidu, untuk resonansi suara, turut membantu proses bicara dan refleks nasal. a. Sebagai Jalan NapasPada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sam seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian akan melaui nares anterior dan sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.

Gambar 11. Proses Inspirasib. Pengatur Kondisi UdaraFungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembaban udara dan mengatur suhu. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir (mucous blanket). Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi keadaan sebelumnya.Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37 oC.c. Sebagai Penyaring Dan PelindungFungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dandilakukan oleh : rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, serta palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia. Faktor lain ialah enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, yang disebut lysozyme.d. Indra PenghiduHidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.e. Resonansi SuaraResonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).f. Proses BicaraHidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran darah.g. Refleks Nasal Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

2.2.2 Fisiologi Sinus ParanasalBerbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan fungsi dari sinusparanasal. Teori ini meliputi fungsi dari kelembaban udara inspirasi, membantupengaturan tekanan intranasal dan tekanan serum gas, mendukung pertahanan imunitas, meningkatkan area permukaan mukosa, meringankan volume tengkorak, membantu resonansi suara, menyerap goncangan dan mendukung pertumbuhan muka.a. Mengatur Kelembaban Udara InspirasiMenurut beberapa teori walaupun mukosa hidung telah beradaptasi untukmelakukan fungsi ini, sinus tetap berperan pada area permukaan mukosa dankemampuannya untuk menghangatkan. Beberapa peneliti memperlihatkan bahwabernafas dengan mulut dapat menurunkan volume akhir CO2 yang dapatmeningkatkan kadar CO2 serum dan berperan pada sleep apnea.Meskipun sinus dianggap dapat berfungsi sebagai ruang tambahan untukmemanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi, namun teori ini memiliki kelemahan karena tidak didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus danrongga hidung. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untukpertukaran udara total dalam sinus. Selain itu mukosa sinus juga tidak memilikivaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.b. Penyaringan UdaraOleh karena produksi mukosa sinus, mereka berperan pada pertahanan imunatau penyaringan udara yang dilakukan oleh hidung. Hidung dan mukosa sinus terdiridari sel silia yang berfungsi untuk menggerakan mukosa ke koana. Penelitian yangpaling terbaru pada fungsi sinus berfokus pada molekul Nitrous Oxide (NO). studimenunjukkan bahwa produksi NO intranasal adalah secara primer pada sinus. Telahkita ketahui bahwa NO bersifat racun terhadap bakteri, jamur dan virus pada tingkatan sama rendah 100 ppb. Konsentrasi ini dapat menjangkau 30.000 ppbdimana beberapa peneliti sudah berteori tentang sterilisasi sinus. NO juga meningkatkan pergerakan silia.Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal jumlahnya kecil dibandingkandengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yangturut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius,merupakan tempat yang paling strategis.c. Fungsi Sinus LainnyaSinus diyakini dapat membantu keseimbangan kepala karena mengurangiberat tulang muka, namun bila udara dalam sinus digantikan dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebanyak 1% dari berat kepala, sehingga dianggap tidak bermakna. Sinus juga dianggap berfungsi sebagai peredam perubahan tekanan udara apabila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak seperti pada saat bersin atau membuang ingus. Sinus tidak mempunyai fungsi fisiologis yang nyata. Beberapa peneliti mendukung opini bahwa sinus juga berfungsi sebagai indra penghidu dengan jalan memudahkan perluasan dari etmokonka, terutama sinus frontalis dan sinus etmoidalis. Namun menurut penelitian lainnya, etmokonka manusia telah menghilang selama proses evolusi. Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Namun ada teori yang menyatakan bahwaposisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Fungsi sebagai peredam perubahan tekanan udara ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus. Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.2.3 Pemeriksaan Hidung2.3.1 Pemeriksaan hidung dan Sinus ParanasalAda 8 cara yang dapat kita lakukan untuk memeriksa keadaan hidung dan sinus paranasalis, yaitu :Pemeriksaan dari luar : inspeksi, palpasi, & perkusi. Rinoskopia anterior. Rinoskopia posterior. Transiluminasi (diaphanoscopia). X-photo rontgen. Pungsi percobaan. Biopsi.Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan rutin, bakteriologi, serologi, & sitologi.2.3.2 Pemeriksaan Hidung & Sinus Paranasalis dari LuarAda 3 keadaan yang penting kita perhatikan saat melakukan inspeksi hidung & sinus paranasalis, yaitu : Kerangka dorsum nasi (batang hidung). Adanya luka, warna, udem & ulkus nasolabial. Bibir atas.Ada 4 bentuk kerangka dorsum nasi (batang hidung) yang dapat kita temukan pada inspeksi hidung & sinus paranasalis, yaitu :

- Lorgnet pada abses septum nasi.- Saddle nose pada lues.- Miring pada fraktur.- Lebar pada polip nasi.- Kulit pada ujung hidung yang terlihat mengkilap, menandakan adanya udem di tempat tersebut.Adanya maserasi pada bibir atas dapat kita temukan saat melakukan inspeksi hidung & sinus paranalis. Maserasi disebabkan oleh sekresi yang berasal dari sinusitis dan adenoiditis. Ada 4 struktur yang penting kita perhatikan saat melakukan palpasi hidung & sinus paranasalis, yaitu : Dorsum nasi (batang hidung). Ala nasi. Regio frontalis sinus frontalis. Fossa kanina. Krepitasi dan deformitas dorsum nasi (batang hidung) dapat kita temukan pada palpasi hidung. Deformitas dorsum nasi merupakan tanda terjadinya fraktur os nasalis.

Ala nasi penderita terasa sangat sakit pada saat kita melakukan palpasi. Tanda ini dapat kita temukan pada furunkel vestibulum nasi. Ada 2 cara kita melakukan palpasi pada regio frontalis sinus frontalis, yaitu : Kita menekan lantai sinus frontalis ke arah mediosuperior dengan tenaga optimal dan simetris (besar tekanan sama antara sinus frontalis kiri dan kanan). Palpasi kita bernilai bila kedua sinus frontalis tersebut memiliki reaksi yang berbeda. Sinus frontalis yang lebih sakit berarti sinus tersebut patologis. Kita menekan dinding anterior sinus frontalis ke arah medial dengan tenaga optimal dan simetris. Hindari menekan foramen supraorbitalis. Foramen supraorbitalis mengandung nervus supraorbitalis sehingga juga menimbulkan reaksi sakit pada penekanan. Penilaiannya sama dengan cara pertama diatas. Palpasi fossa kanina kita peruntukkan buat interpretasi keadaan sinus maksilaris. Syarat dan penilaiannya sama seperti palpasi regio frontalis sinus frontalis. Hindari menekan foramen infraorbitalis karena terdapat nervus infraorbitalis.

Perkusi pada regio frontalis sinus frontalis dan fossa kanina kita lakukan apabila palpasi pada keduanya menimbulkan reaksi hebat. Syarat-syarat perkusi sama dengan syarat-syarat palpasi.2.3.3 Rinoskopi AnteriorAda 5 alat yang biasa kita gunakan pada rinoskopia anterior, yaitu : Cermin rinoskopi posterior. Pipa penghisap. Aplikator. Pinset (angulair) dan bayonet (lucae). Spekulum hidung Hartmann. Spekulum hidung Hartmann bentuknya unik.

Cara kita memakainya juga unik meliputi cara memegang, memasukkan dan mengeluarkan.Cara kita memegang spekulum hidung Hartmann sebaiknya menggunakan tangan kiri dalam posisi horisontal. Tangkainya yang kita pegang berada di lateral sedangkan mulutnya di medial. Mulut spekulum inilah yang kita masukkan ke dalam kavum nasi (lubang hidung) pasien.Cara kita memasukkan spekulum hidung Hartmann yaitu mulutnya yang tertutup kita masukkan ke dalam kavum nasi (lubang hidung) pasien. Setelah itu kita membukanya pelan-pelan di dalam kavum nasi (lubang hidung) pasien.Cara kita mengeluarkan spekulum hidung Hartmann yaitu masih dalam kavum nasi (lubang hidung), kita menutup mulut spekulum kira-kira 90%. Jangan menutup mulut spekulum 100% karena bulu hidung pasien dapat terjepit dan tercabut keluar.Ada 5 tahapan pemeriksaan hidung pada rinoskopia anterior yang akan kita lakukan, yaitu :- Pemeriksaan vestibulum nasi.- Pemeriksaan kavum nasi bagian bawah.- Fenomena palatum mole.- Pemeriksaan kavum nasi bagian atas.- Pemeriksaan septum nasi.- Pemeriksaan Vestibulum Nasi pada Rinoskopia AnteriorSebelum menggunakan spekulum hidung pada pemeriksaan vestibulum nasi, kita melakukan pemeriksaan pendahuluan lebih dahulu. Ada 3 hal yang penting kita perhatikan pada pemeriksaan pendahuluan ini, yaitu :- Posisi septum nasi.- Pinggir lubang hidung. Ada-tidaknya krusta dan adanya warna merah.- Bibir atas. Adanya maserasi terutama pada anak-anak.- Cara kita memeriksa posisi septum nasi adalah mendorong ujung hidung pasien dengan menggunakan ibu jari.Spekulum hidung kita gunakan pada pemeriksaan vestibulum nasi berguna untuk melihat keadaan sisi medial, lateral, superior dan inferior vestibulum nasi. Sisi medial vestibulum nasi dapat kita periksa dengan cara mendorong spekulum ke arah medial. Untuk melihat sisi lateral vestibulum nasi, kita mendorong spekulum ke arah lateral. Sisi superior vestibulum nasi dapat terlihat lebih baik setelah kita mendorong spekulum ke arah superior. Kita mendorong spekulum ke arah inferior untuk melihat lebih jelas sisi inferior vestibulum nasi.Saat melakukan pemeriksaan vestibulum nasi menggunakan spekulum hidung, kita perhatikan ada tidaknya sekret, krusta, bisul-bisul, atau raghaden.Pemeriksaan kavum nasi bagian bawah pada rinoskopia anterior. Cara kita memeriksa kavum nasi (lubang hidung) bagian bawah yaitu dengan mengarahkan cahaya lampu kepala ke dalam kavum nasi (lubang hidung) yang searah dengan konka nasi media.Ada 4 hal yang perlu kita perhatikan pada pemeriksaan kavum nasi (lubang hidung) bagian bawah, yaitu : Warna mukosa dan konka nasi inferior. Besar lumen lubang hidung. Lantai lubang hidung. Deviasi septi yang berbentuk krista dan spina. Fenomena Palatum Mole Pada Rinoskopia AnteriorCara kita memeriksa ada tidaknya fenomena palatum mole yaitu dengan mengarahkan cahaya lampu kepala ke dalam dinding belakang nasofaring secara tegak lurus. Normalnya kita akan melihat cahaya lampu yang terang benderang. Kemudian pasien kita minta untuk mengucapkan iii.Selain perubahan dinding belakang nasofaring menjadi lebih gelap akibat gerakan palatum mole, bayangan gelap dapat juga disebabkan cahaya lampu kepala tidak tegak lurus masuk ke dalam dinding belakang nasofaring.Setelah pasien mengucapkan iii, palatum mole akan kembali bergerak ke bawah sehingga benda gelap akan menghilang dan dinding belakang nasofaring akan terang kembali.Fenomena palatum mole positif bilamana palatum mole bergerak saat pasien mengucapkan iii dimana akan tampak adanya benda gelap yang bergerak ke atas dan dinding belakang nasofaring berubah menjadi lebih gelap. Sebaliknya, fenomena palatum mole negatif apabila palatum mole tidak bergerak sehingga tidak tampak adanya benda gelap yang bergerak ke atas dan dinding belakang nasofaring tetap terang benderang.Fenomena palatum mole negatif dapat kita temukan pada 4 kelainan, yaitu: Paralisis palatum mole pada post difteri. Spasme palatum mole pada abses peritonsil. hipertrofi adenoid Tumor nasofaring : karsinoma nasofaring, abses retrofaring, dan adenoid. Pemeriksaan Kavum Nasi Bagian Atas pada Rinoskopia AnteriorCara kita memeriksa kavum nasi (lubang hidung) bagian atas yaitu dengan mengarahkan cahaya lampu kepala ke dalam kavum nasi (lubang hidung) bagian atas pasien. Ada 4 hal yang penting kita perhatikan pada pemeriksaan kavum nasi (lubang hidung) bagian atas, yaitu : Kaput konka nasi media. Meatus nasi medius : pus dan polip. Septum nasi bagian atas : mukosa dan deviasi septi. Fissura olfaktorius. Deviasi septi pada septum nasi bagian atas bisa kita temukan sampai menekan konka nasi media pasien.Pemeriksaan Septum Nasi pada Rinoskopia AnteriorKita dapat menemukan septum nadi berbentuk krista, spina dan huruf S.

2.3.4 Rinoskopi PosteriorPrinsip kita dalam melakukan rinoskopia posterior adalah menyinari koane dan dinding nasofaring dengan cahaya yang dipantulkan oleh cermin yang kita tempatkan dalam nasofaring.Syarat-syarat melakukan rinoskopia posterior, yaitu :Penempatan cermin. Harus ada ruangan yang cukup luas dalam nasofaring untuk menempatkan cermin yang kita masukkan melalui mulut pasien. Lidah pasien tetap berada dalam mulutnya. Kita juga menekan lidah pasien ke bawah dengan bantuan spatula (spatel). Penempatan cahaya harus ada jarak yang cukup lebar antara uvula dan faring milik pasien sehingga cahaya lampu yang terpantul melalui cermin dapat masuk dan menerangi nasofaring.Cara bernapas. Hendaknya pasien tetap bernapas melalui hidung.Ada 4 alat dan bahan yang kita gunakan pada rinoskopia posterior, yaitu : Cermin kecil. Spatula. Lampu spritus. Solusio tetrakain (- efedrin 1%). Teknik-teknik yang kita gunakan pada rinoskopia posterior, yaitu :Cermin kecil kita pegang dengan tangan kanan. Sebelum memasukkan dan menempatkannya ke dalam nasofaring pasien, kita terlebih dahulu memanaskan punggung cermin pada lampu spritus yang telah kita nyalakan. Minta pasien membuka mulutnya lebar-lebar. Lidahnya ditarik ke dalam mulut, jangan digerakkan dan dikeraskan. Bernapas melalui hidung.Spatula kita pegang dengan tangan kiri. Ujung spatula kita tempatkan pada punggung lidah pasien di depan uvula. Punggung lidah kita tekan ke bawah di paramedian kanan lidah sehingga terbuka ruangan yang cukup luas untuk menempatkan cermin kecil dalam nasofaring pasien. Masukkan cermin kedalam faring dan kita tempatkan antara faring dan palatum mole kanan pasien. Cermin lalu kita sinari dengan menggunakan cahaya lampu kepala.Khusus pasien yang sensitif, sebelum kita masukkan spatula, kita berikan lebih dahulu tetrakain 1% 3-4 kali dan tunggu 5 menit.Ada 4 tahap pemeriksaan yang akan kita lalui saat melakukan rinoskopia posterior, yaitu :Tahap 1 : Pemeriksaan Tuba Kanan. Posisi awal cermin berada di paramedian yang akan memperlihatkan kepada kita keadaan kauda konka nasi media kanan pasien. Tangkai cermin kita putar kemudian ke medial dan akan tampak margo posterior septum nasi. Selanjutnya tangkai cermin kita putar ke kanan, berturut-turut akan tampak konka nasi terutama kauda konka nasi inferior (terbesar), kauda konka nasi superior, meatus nasi medius, ostium dan dinding tuba.Tahap 2 : Pemeriksaan Tuba Kiri. Tangkai cermin kita putar ke medial, akan tampak kembali margo posterior septum nasi pasien. Tangkai cermin terus kita putar ke kiri, akan tampak kauda konka nasi media kanan dan tuba kanan.Tahap 3 : Pemeriksaan Atap Nasofaring. Kembali kita putar tangkai cermin ke medial. Tampak kembali margo posterior septum nasi pasien. Setelah itu kita memeriksa atap nasofaring dengan cara memasukkan tangkai cermin sedikit lebih dalam atau cermin agak lebih kita rendahkan.Tahap 4 : Pemeriksaan Kauda Konka Nasi Inferior. Kita memeriksa kauda konka nasi inferior dengan cara cermin sedikit ditinggikan atau tangkai cermin sedikit direndahkan. Kauda konka nasi inferior biasanya tidak kelihatan kecuali mengalami hipertrofi yang akan tampak seperti murbei (berdungkul-dungkul).Ada 2 kelainan yang penting kita perhatikan pada rinoskopia posterior, yaitu : Peradangan. Misalnya pus pada meatus nasi medius & meatus nasi superior, adenoiditis, dan ulkus pada dinding nasofaring (tanda TBC). Tumor. Misalnya poliposis dan karsinoma. Ada 3 sumber masalah pada rinoskopia posterior, yaitu : Pihak pemeriksa : tekanan, posisi, dan fiksasi spatula. Pihak pasien : cara bernapas dan refleks muntah. Alat-alat : bahan spatula dan suhu & posisi cermin.Tekanan spatula yang kita berikan terhadap punggung lidah pasien haruslah seoptimal mungkin. Tekanan yang terlalu kuat akan menimbulkan sensasi nyeri pada diri pasien. Sebaliknya tekanan yang terlalu lemah menyebabkan faring tidak terlihat jelas oleh pemeriksa.Posisi spatula hendaknya kita pertahankan pada tempat semula. Gerakan kepala pasien berpotensi menggeser posisi spatula. Posisi spatula yang terlalu jauh ke pangkal lidah apalagi sampai menyentuh dinding faring dapat menimbulkan refleks muntah.Cara fiksasi spatula memiliki keunikan tersendiri. Ibu jari pemeriksa berada dibawah spatula. Jari II dan III berada diatas spatula. Jari IV kita tempatkan diatas dagu sedangkan jari V dibawah dagu pasien.Kesulitan yang menjadi tantangan buat kita dari pemeriksaan rinoskopia posterior ini terletak pada koordinasi yang kita jaga antara tangan kanan yang memegang cermin kecil, tangan kiri yang memegang spatula, kepala dan posisi cahaya dari lampu kepala yang akan menyinari cermin dalam faring, dan kejelian mata kita melihat bayangan pada cermin kecil dalam faring.Cara bernapas yang tidak seperti biasa menjadi kendala tersendiri bagi pasien. Mereka harus bernapas melalui hidung dengan posisi mulut yang terbuka. Ada beberapa pasien yang memiliki refleks yang kuat terhadap perlakuan yang kita buat. Kita bisa memberikannya tetrakain dan efedrin untuk mencegahnya.Bahan spatula yang terbuat dari logam dapat menimbulkan refleks pada beberapa pasien karena rasa logam yang agak mengganggu di lidah.Suhu cermin jangan terlalu panas dan terlalu dingin. Cermin yang terlalu panas menimbulkan rasa nyeri sedangkan cermin yang terlalu dingin menimbulkan kekaburan pada cermin yang mengganggu penglihatan kita.Posisi cermin jangan terlalu jauh masuk ke dalam apalagi sampai menyentuh faring pasien. Refleks muntah dapat timbul akibat kecerobohan kita ini.2.3.5 Transiluminasi (Diaphanoscopia).Syarat melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) adalah adanya ruangan yang gelap. Alat yang kita gunakan berupa lampu listrik bertegangan 6 volt dan bertangkai panjang (Heyman).Pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) kita gunakan untuk mengamati sinus frontalis dan sinus maksilaris. Cara pemeriksaan kedua sinus tersebut tentu saja berbeda.Cara melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) pada sinus frontalis yaitu kita menyinari dan menekan lantai sinus frontalis ke mediosuperior. Cahaya yang memancar ke depan kita tutup dengan tangan kiri. Hasilnya sinus frontalis normal bilamana dinding depan sinus frontalis tampak terang.Ada 2 cara melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) pada sinus maksilaris, yaitu :Cara I. Mulut pasien kita minta dibuka lebar-lebar. Lampu kita tekan pada margo inferior orbita ke arah inferior. Cahaya yang memancar ke depan kita tutup dengan tangan kiri. Hasilnya sinus maksilaris normal bilamana palatum durum homolateral berwarna terang.Cara II. Mulut pasien kita minta dibuka. Kita masukkan lampu yang telah diselubungi dengan tabung gelas ke dalam mulut pasien. Mulut pasien kemudian kita tutup. Cahaya yang memancar dari mulut dan bibir atas pasien, kita tutup dengan tangan kiri. Hasilnya dinding depan dibawah orbita tampak bayangan terang berbentuk bulan sabit.Penilaian pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) berdasarkan adanya perbedaan sinus kiri dan sinus kanan. Jika kedua sinus tampak terang, menandakan keduanya normal. Namun khusus pasien wanita, hal itu bisa menandakan adanya cairan karena tipisnya tulang mereka. Jika kedua sinus tampak gelap, menandakan keduanya normal. Khusus pasien pria, kedua sinus yang gelap bisa akibat pengaruh tebalnya tulang mereka.2.3.6 X-Photo RontgenUntuk melihat sinus maksilaris, kita usulkan memakai posisi Water pada X-photo rontgen. Hasil foto X dengan sinus gelap menunjukkan patologis. Perhatikan batas sinus atau tulang, apakah masih utuh ataukah tidak.2.3.7 Pungsi PercobaanPungsi percobaan hanya untuk pemeriksaan sinus maksilaris dengan menggunakan troicart. Kita melakukannya melalui meatus nasi inferior. Hasilnya jika keluar nanah atau sekret mukoid maka kita melanjutkannya dengan tindakan irigasi sinus maksilaris.

2.3.8 BiopsiJaringan biopsi kita ambil dari sinus maksilaris melalui lubang pungsi di meatus nasi inferior atau menggunakan Caldwell-Luc.2.3.9 Sinoskopi Pemeriksaan ke dalam sinus maksila menggunakan endoskop. Endoskop dimasukkan melalui lubang yang dibuat di meatus inferior atau di fosa krania. Dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan di dalam sinus, apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau kista, bagaimana keadaan mukosa dan apakah ostiumnya terbuka.

BAB IIIPENUTUPUntuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung dan sinus paranasal, misalnya rinitis alergi, sumbatan hidung, dan terjadinya sinusitis maka perlu diketahui terlebih dahulu tentang anatomi dari hidung dan sinus paranasal. Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung. Untuk mendiagnosis penyakit yang terdapat di dalam hidung dan sinus paranasal perlu diketahui dan dipelajari pula cara pemeriksaan hidung dan sinus paranasal yang sudah dijelaskan pada bab pembahasan.

30