Anatomi Dan Fisiologi Hidung

52
PEMERIKSAAN A. PEMERIKSAAN FISIK tanggal: 5 November 2010, jam 09.00 A.1. Status Generalis - Kesadaran : Composmentis - Nafas : 20x/menit - Aktivitas : Normoaktif - Suhu : 36,6 o C - Kooperativi tas : Kooperatif - Jantung : BJ I-I N, bising (-) - Status gizi : Cukup - Paru : SD vesikuler - Kulit : Turgor kulit cukup - Hati : Tak teraba - Konjungtiva : Palpebra pucat -/- - Limfe : Pembesaran nnll -/- - Nadi : 80x/menit - Anggota gerak : Dalam batas normal - Tensi : 120/70 mmHg A.2. Status Lokalis (THT) 1. Telinga Kanan Kiri - Mastoid : Nyeri tekan (-), nyeri ketok (-) Nyeri tekan (-), nyeri ketok (-) - Pre-aurikula : Nyeri tekan (-), fistel (-) Nyeri tekan (-), fistel (-) - Retro-aurikula : Nyeri tekan (-), Nyeri tekan (-),

Transcript of Anatomi Dan Fisiologi Hidung

Page 1: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

PEMERIKSAAN

A. PEMERIKSAAN FISIK tanggal: 5 November 2010, jam 09.00

A.1. Status Generalis

- Kesadaran : Composmentis - Nafas : 20x/menit

- Aktivitas : Normoaktif - Suhu : 36,6oC

- Kooperativitas : Kooperatif - Jantung : BJ I-I N, bising (-)

- Status gizi : Cukup - Paru : SD vesikuler

- Kulit : Turgor kulit cukup - Hati : Tak teraba

- Konjungtiva : Palpebra pucat -/- - Limfe : Pembesaran nnll -/-

- Nadi : 80x/menit - Anggota

gerak

: Dalam batas normal

- Tensi : 120/70 mmHg

A.2. Status Lokalis (THT)

1. Telinga Kanan Kiri

- Mastoid : Nyeri tekan (-), nyeri ketok (-) Nyeri tekan (-), nyeri ketok (-)

- Pre-aurikula : Nyeri tekan (-), fistel (-) Nyeri tekan (-), fistel (-)

- Retro-aurikula : Nyeri tekan (-), nyeri ketok (-) Nyeri tekan (-), nyeri ketok (-)

- Aurikula : Nyeri tarik (-) Nyeri tarik (-)

- Kanalis eksternus : Hiperemis (-), edema (-) Hiperemis (-), edema (-)

- Discaj : (-) (-)

- Lain-lain : Serumen (-) Serumen (-)

Page 2: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

- Membran timpani :

- Warna : Putih mengkilat, seperti

mutiara

Putih mengkilat, seperti

mutiara

- Refleks cahaya : (+) arah jam 5 (+) arah jam 7

- Perforasi : (-) (-)

- Lain-lain : Bulging (-) Bulging (-)

2. Hidung dan Sinus Paranasal :

a) Pemeriksaan luar

- Hidung : simetris, deformitas (-)

- Sinus : nyeri tekan/ ketok pangkal hidung dan dahi (-), nyeri tekan & ketok

kedua pipi (+/+)

b) Rinoskopi anterior Kanan Kiri

- Discaj : (-) (-)

- Mukosa : Hiperemis (+) Hiperemis (+)

- Konka : Hiperemis (+),

edema (+)

Hiperemis (+),

edema (+)

- Tumor : (-) (-)

- Septum : Deviasi (-) Deviasi (-)

c) Diafanoskopi : kesuraman (+/+)

3. Tenggorok :

3.a. Faring :

3.a.1. Orofaring:

-Palatum : Simetris, bombans (-)

-Arkus faring : Simetris, hiperemis (-)

Page 3: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

-Mukosa : Hiperemis (-), granulasi (-), sekret (-)

-Tonsil : Kanan Kiri

-Ukuran : T1 T1

-Warna : Hiperemis (-) Hiperemis (-)

-Permukaan : Rata Rata

-Kripte : Tidak melebar Tidak melebar

-Detritus : (-) (-)

-Membran : (-) (-)

-Peritonsil : Abses (-) Abses (-)

4. Kepala dan Leher

-Kepala : Mesosefal

-Wajah : Simetris, deformitas (-)

-Leher anterior : Pembesaran tiroid (-) Pembesaran tiroid (-)

-Leher lateral : Pembesaran nnll (-) Pembesaran nnll (-)

-Lain-lain :

5. Gigi dan Mulut

-Gigi-geligi : Caries (-)

-Lidah : Makroglosi (-), deviasi (-), atrofi papil (-)

-Palatum : Bombans (-)

-Pipi : Simetris, benjolan (-)

Page 4: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

-Lain-lain :

B. PEMERIKSAAN LABORATORIUM/PENUNJANG/KHUSUS

2. Tes Pendengaran

a) Tes bisik : tidak dilakukan

b) Tes garputala :

-Konvensional - Kanan : -

- Kiri : -

-Rinne - Kanan : AC > BC

- Kiri : AC > BC

-Schwabach - Kanan : = pemeriksa

- Kiri : = pemeriksa

-Weber : Tidak ada lateralisasi

Kesan : Pendengaran kedua telinga normal

9. Fungsi N. Fasialis : mengerutkan dahi +/+

menutup mata +/+

memperlihatkan gigi +/+

bersiul (+)

10. Lain-lain : ......

Page 5: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

RINGKASAN

Seorang laki-laki 26 tahun datang dengan keluhan ± 3 bulan ini keluar cairan encer dan

jernih dari kedua lubang hidung, timbul terutama saat udara dingin, bersin-bersin bila menghirup

debu dan udara dingin, hidung tersumbat bergantian kanan – kiri, hidung terasa gatal, terasa lendir

mengalir di tenggorokan, demam, pusing. Bila diminumi obat yang dibeli sendiri, keluhan

berkurang namun timbul lagi. Keluhan dirasakan lebih dari 4 hari dalam 1 minggu.Karena dirasa

mengganggu aktivitas, penderita memeriksakan diri ke polilkinik RSDK.

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan :

Telinga : dalam batas normal

Hidung : nyeri ketok kedua pipi (+/+), mukosa

hiperemis (+/+), edema konka (+/+),

hipermemis konka(+/+),

Diafanoskopi : kesuraman (+/+)

DIAGNOSIS BANDING

1. Suspek sinusitis kronik maksilaris dekstra et sinistra

2. Suspek rinitis alergika persisten sedang-berat

DIAGNOSIS SEMENTARA

1. Suspek sinusitis kronik maksilaris dekstra et sinistra

2. Suspek rinitis alergika persisten sedang-berat

RENCANA PENGELOLAAN

Pemeriksaan Diagnostik

Ip Dx : S : -

O: Skin Prick Test, X-foto Waters

Terapi

- Cefadroxil 2 x 500 mg

Page 6: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

- Ambroxol 3 x 30 mg

- Paracetamol 3 x 500 mg

- Aldisa SR 2x 1tab (Loratadin 5mg & Pseudoefedrin sulfat 120 mg)

Pemantauan

Perbaikan klinis dan keluhan saat penderita kontrol kembali

Penyuluhan

o Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit dan penatalaksanaannya

o Menjelaskan kepada penderita tentang diagnosis sementara penyakit, dan

rencana pemeriksaan penunjang selanjutnya yang perlu dilakukan.

PROGNOSIS

Quo ad vitam : ad bonam

Quo ad sanam : ad bonam

Quo ad fungsionam : ad bonam

BAB II

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

A. Anatomi Hidung

1. Hidung Luar

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian – bagiannya dari atas ke bawah :

1. Pangkal hidung (bridge)

2. Dorsum nasi

Page 7: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

3. Puncak hidung

4. Ala nasi

5. Kolumela

6. Lubang hidung (nares anterior)1,2,3

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit,

jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M. Nasalis pars

allaris. Kerja otot – otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan menyempit.

Batas atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar), antara radiks

sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi.1,2,3 Lubang yang terdapat pada bagian

inferior disebut nares, yang dibatasi oleh :

- Superior : os frontal, os nasal, os maksila

- Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor dan

kartilago alaris minor 1,2,3

Gambar 1. Bagian-bagian pembentuk hidung luar

Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior menjadi

fleksibel.

Pendarahan :

1. A. Nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang dari A. Oftalmika,

cabang dari a. Karotis interna).1,2,3

Page 8: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

2. A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A. Maksilaris interna,

cabang dari A. Karotis interna)1,2,3

3. A. Angularis (cabang dari A. Fasialis)

Persarafan :

1. Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)

2. Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)

3. Nervus Olfaktorius (N I) untuk fungsinya sebagai organ penghidu1,2,3

2. Kavum Nasi

Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan yang

membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini berhubungan

dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa kranial media.1,2,3

Batas – batas kavum nasi :

Posterior : berhubungan dengan nasofaring

Atap : os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus sfenoidale dan sebagian

os vomer

Lantai : merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horisontal, bentuknya

konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap. Bagian ini dipisahnkan

dengan kavum oris oleh palatum durum.

Medial : septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan (dekstra dan

sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi oleh kulit, jaringan subkutan

dan kartilago alaris mayor. Bagian dari septum yang terdiri dari kartilago ini disebut

sebagai septum pars membranosa = kolumna = kolumela.

Lateral : dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os etmoid, konka

nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.1,2,3

Page 9: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

Gambar 2. Septum nasi

Gambar 4. Konka nasalis

Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang etmoid.

Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan di atas dan

belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang berhubungan dengan

sinis sfenoid. Kadang – kadang konka nasalis suprema dan meatus nasi suprema terletak

di bagian ini. 2,3

Pendarahan :

Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah A.sfenopalatina yang

merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale anterior yang merupakan cabang

dari A. Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus yang terletak submukosa yang berjalan

bersama – sama arteri.1,2,3

Persarafan :

Page 10: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

1. Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus yaitu N.

Etmoidalis anterior

2. Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion pterigopalatinum

masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian menjadi N. Palatina mayor menjadi

N. Sfenopalatinus.1,2,3

Gambar 3. Vaskularisasi hidung

3. Mukosa Hidung

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas

mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian

besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang

mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel – sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena

aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang – kadang terjadi metaplasia menjadi sel

epital skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah

karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini

dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet.1,2,3

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan

gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah

nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya

sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung.

Page 11: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan

menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh

pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat – obatan.1,2,3

Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian

atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia

(pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam

sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu

berwarna coklat kekuningan.1,2,3

B. Fisiologi hidung

1. Sebagai jalan nafas

Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media

dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk

lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian

mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran

udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung

dengan aliran dari nasofaring.3

2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)

Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang

akan masuk ke dalam alveolus.3 Fungsi ini dilakukan dengan cara :

a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim

panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan

pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.3

b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di

bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi

dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui

hidung kurang lebih 37oC.3

3. Sebagai penyaring dan pelindung

Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan

dilakukan oleh :

Page 12: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi

b. Silia

c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir

dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut

lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.

d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.3

4. Indra penghidu

Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap

rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat

mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas

dengan kuat.3

5. Resonansi suara

Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan

menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.3

6. Proses bicara

Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga

mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara.3

7. Refleks nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,

kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks

bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur,

lambung dan pankreas.3

B. Anatomi Sinus Paranasal

Sinus paranasal merupakan rongga-rongga yang terdapat di dalam maxilla os frontale, os

sphenoidale, dan os ethmoidale. Dindingnya terdiri atas tulang kompakta dengan dilapisi

muco-endosteum yang berhubungan dengan mucosa respiratoria pada cavitas nasi. Sinus

Page 13: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

paranasal diinervasi oeleh cabang-cabang n.ophthalmicus dan n.maxillaris. Sinus merupakan

penonjolan/evaginasi dari cavitas nasi sehinga drainage keluar dari cairannya menuju cavitas

nasi secara langsung atau tidak langsung. Dengan adanya hubungan ini maka rhinitis atau

radang pada cavitas nasi dapat menjalar ke sinus menyebabkan sinusitis. Sinus pada waktu

lahir kecil tapi mengalami perkembangan pada waktu pubertas atau dewasa.1,2,3

Gambar 4. Sinus Paranasal

1. Sinus Maxillaris

Merupakan sinus paranasal yang terbesar. Terdapat dalam corpus maxillae.

Berbentuk piramid berbaring dengan basis di sebelah medial sedang apex di processus

zygomaticus maxillae. Dinding medialnhya merupakan dinding lateral cavitas nasi.

Atapnya merupakan lantai orbita. Sedangkan alasnya merupakan processus

alveolaris.1,2,3

Muara sinus maxillaris pada meatus nasi medius yaitu pada hiatus semilunaris.

Saluran ini terdapat pada dinding medial sebelah anterosuperior.1,2,3

Innervasi oleh n.alveolaris superior dan n.infraorbitalis

Vaskularisasi oleh a.maxillaris interna, a.infraorbitalis, a.palatina mayor.1,2,3

2. Sinus Ethmoidalis

Terdiri atas beberapa ruangan (4-17 pada tiap sisi), terletak di dalam

labyrinthus ethmoidalis di antara orbita dan cavitas nasi.1,2,3

Bagian-bagian dari sinus ethmoidalis disebut cellulae ethmoidales. Dindingnya

dibentuk oleh os frontale, maxilla, os lacrimale, os sphenoidale, dan os palatina.1,2,3

Berdasarkan muaranya, cellulae ethmoidales digolongkan menjadi:

1. Cellulae ethmoidales anterior yang bermuara di meatus nasi medius

2. Cellulae ethmoidales posterior yang bermuara di meatus nasi superior dan

suprema1,2,3

Page 14: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

Inervasi oleh n.ethmoidalis posterior dan n.ethmoidalis anterior.

Vaskularisasi oleh a.ethmoidalis posterior dan a.ethmoidalis anterior.1,2,3

3. Sinus Frontalis

Dapat dianggap sebagai akibat meluasnya cellulae ethmoidalis anterior ke os

frontale. Kanan dan kiri tidak sama besar dan dipisahkan oleh keping tulang yang

terdapat di linea mediana. Sinus ini sering meluas sampai atap orbita. Sinus frontalis

bermuara ke meatus nasi medius secara langsung atau melalui saluran yang disebut

duktus frontonasalis.1,2,3

Inervasi: n.supraorbitalis cabang dari n.ophthalmicus

Vaskularisasi: a.supraorbitalis

4. Sinus Sphenoidalis

Terdapat di dalam corpus sphenoidale dan dapat meluas ke os occipitale.

Bermuara pada recessus sphenoethmoidalis. Sinus sphenoidalis terbagi menjadi

belahan kanan dan kiri oleh septum tulang yang biasanya mengalami deviasi ke salah

satu pihak. Dinding depannya merupakan dua keping tulang tipis disebut conchae

sphenoidale.1,2,3

Inervasi n.ethmoidalis posterior

Vaskularisasi a.maxillaris

BAB III

PATOFISIOLOGI

A. Rhinitis Alergika

1. Definisi

Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001

adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat

setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai IgE.3

Page 15: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

Rinitis alergika adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien

yang atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya

suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.3,4

2. Patogenesis

Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap

provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari dua fase yaitu Immediate Phase Allergic

Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan

alergen sampai 1 jam setelahna dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase

Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8jam (fase hiper-reaktifitas)

setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.3

Pada kontak langsung pertama dengan alergen atau tahap sensitasi, makrofag atau

monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/ APC akan menangkap

alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan

membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk

komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian

dipresentasikan pada sel T helper ( Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepaskan sitokin

seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan

Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin sperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL13. IL 4 dan IL 13

dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif

dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE disirkulasi darah akan masuk ke jaringan

dan diikat oleh reseptor Ig E dipermukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga

kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitasi yang menghasilkan sel mediator yang

tersensitasi.4,5,6

Page 16: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

Gambar 5. Patogenesis reaksi alergi pada rhinitis alergika

Bila mukosa yang sudah tersensitasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua

rantai IgE akan mengikat alergen spasifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)

mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk

(Preformed Mediators) terutama histamin. Selain histamine juga dikeluarkan Newly Formed

Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrin D4 (LT D4), Leukotrin C4 (LT

C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin (IL3, IL4, IL5, IL6,

GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut

sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).4,5,6

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan

rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa

dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi

rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamine

merangsang ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung

sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adheesion Molecule 1 (ICAM 1).4,5,6

Page 17: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

Gambar 6. Pengaruh mediator-mediator kimia pada jaringan

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan

akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon ini tidak berhenti sampai disini

saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6 – 8 jam setelah pemaparan. Pada

RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil,

limfosit, netrofil, basofil, dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3,

IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada

sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan

eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Protein (EDP), Major

Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini selain factor spesifik

(alergen), iritasi oleh factor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang

merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.4,5,6

Page 18: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

Gambar 7. Reaksi alergi pada rhinitis alergika

Bila dilihat pada gambaran mikroskopik, akan tampak adanya dilatasi pembuluh darah

(vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga

pembesaran ruang interselular dan penebalan membrane basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel

eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung Gambaran yang demikian terdapat pada

saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat

terjadi terus menerus/persisten sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan

yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak

mukosa hidung menebal.3,4

3. Faktor Risiko

Faktor resiko rhinitis alergika5

a) Penderita dengan asma dan dermatitis

b) Keluarga dengan riwayat atopi

c) Lingkungan dan lapangan kerja

- Lingkungan yang lembab -> jamur, debu, kutu

- Hobi yang berkaitan dengan musim penyerbukan

- Polusi lingkungan

- Kebiasaan merokok

- Bekerja di peternakan5

B. Sinusitis

1. Definisi

Sinusitis adalah peradangan di daerah sinus paranasal yaitu suatu tempat di daerah

hidung, dan bila terjadi pada beberapa sinus disebut multisinusitis. Bagian yang paling sering

Page 19: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

mengalami peradangan adalah sinus maxilla (pipi),  etmoidalis (belakang tulang hidung),

frontalis (dahi), dan sfenoidalis (pelipis). Sinusistis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3

minggu atau kurang) maupun kronis (berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut

sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun).3,4,8

2. Etiologi

Sinusitis dapat disebabkan oleh;

a. Infeksi virus. Sinusitis biasa terjadi setelah infeksi virus pada saluran pernafasan

bagian atas, misalnya; pilek. 

b. Bakteri. Di dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam keadaan

normal tidak menimbulkan penyakit. Jika sistem pertahan tubuh menurun dari sinus

tersumbat akibat pilek atau infeksi virus lainnya maka bateri yang sebelumnya tidak

berbahaya akan berkembang biak dan menyusup ke dalam sinus sehingga terjadi

infeksi sinus akut.

c. Infeksi jamur. Apergillus merupakan jamur yang bisa menyebabkan sinusitis pada

penderita gangguan sistim kekebalan. Pada orang-orang tertentu, sinusitis jamur

merupakan sejenis reaksi alergi terhadap jamur.

d. Peradangan menahun pada saluran hidung

e. Penyakit tertentu. Sinusisitis akut lebih sering terjadi pada penderita gangguan sistim

kekebalan dan penderita kelainan sekresi lendir.

f. Asma

g. Penyakit alergi

h. Gangguan sistim kekebalan atau kelainan sekresi ataupun pembuangan lendir3,4,7

3. Patogenesis dari Rhinitis Alergika

Pada paparan primer dengan alergen, dalam tubuh penderita akan terjadi interaksi antara

makrofag dan limfosit T untuk menghasilkan suatu mediator (interleukin -4/IL-4) yang

memacu limfosit B memproduksi IgE spesifik. Bagian Fc Ig E akan menempel pada reseptor

khusus permukaan sel mediator yang telah terikat dengan IgE disebut sel mediator yang

tersensitisasi. Selanjutnya bila terjadi paparan ulang dengan alergen yang sejenis, maka alergen

akan berikatan dengan bagian Fab Ig E yang ada pada permukan sel mastosit atau basofil.

Reaksi itu terjadi dalam waktu 1-5 menit sampai 30 menit, dengan puncak reaksi antara 10-20

menit dan disebut reaksi akut atau reaksi akut dini. Ikatan tersebut akan memberikan tanda ke

dalam sel yang akan mengaktifkan sistem nukleotida, siklik guanosin monofosfat (cGMP),

siklik adenosin monofosfat (c AMP) dan meningkatkan perbandingan siklik guanosin

monofosfat terhadap siklik adenosin monofosfat serta aktivasi proesterase. Ikatan antigen IgE

juga meningkatan influks Ca++ dari ruang ekstraseluler, sehingga menaikkan kadar Ca++ di

Page 20: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

dalam sel. Kadar Ca++ yang meningkat ini menyebabkan terjadinya degranulasi dan

penglepasan mediator preformed seperti histamin yang melalui sistem saraf otonom

menimbulkan gejala bersin, vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler yang

menimbulkan rinore dan edema serta kontraksi otot polos pada bronkus yang menimbulkan

sesak napas, Kinin menyebabkan vasodilatasi, sehingga menimbulkan edema. Triptase

menyebabkan proteolisis dan aktivasi C3a. Neutrophil chemotactic factor (NCF) menyebabkan

pengarahan netrofil ke organ target serta eosinophil chemotactic factor (ECF) menyebabkan

pengarahan eosinofil ke organ target.4,6,7,8

Bila penderita rinitis alergi terpapar dengan alergen spesifik akan terjadi juga realsi

lambat dalam waktu 4-12 jam sesudah reaksi akut dan dapat berlangsung sampai 24 jam.

Reaksi akut yang disusul oleh reaksi lambat disebut bifasis. Reaksi lambat ini pada saat yang

sama dengan proses degranulasi di dalam sel, yaitu dimulai dari timbulnya aktivasi enzim

fosfolipase yang memecah fosfolipid membran sel menjadi asam arakidonat. Sel-sel yang

melepas asam arakidonat adalah sel mastosit, eosinofil, makrofag, trombosit dan endotel

vaskuler. Selanjutnya asam arakidonat dipecah menjadi prostaglandin, tromboksan, leukotrin

dan platelet activating factor (PAF). Oleh karena mediator- mediator tersebut dilepas setelah

histamin, maka disebut newly generated. Pada reaksi lambat ini terjadi reaksi inflamasi yang

menyebabkan sumbatan hidung akan berlangsung lama.4,6,7,8

Menurut Stammberger yang dikutip oleh Rifki, lebih dari 90% penyebab kasus sinutis

maksila dan frontal terletak di kompleks ostiomeatal yang terdiri dari infundibulum etmoid,

resesus frontal, sel-sel etmoid anterior beserta ostiumnya dan ostium sinus maksila.6,7,8

Pada rinitis alergi akan terjadi inflamasi, sehingga mukosa infundibulum etmoid dan

resesus frontal yang berhadapan akan saling berdekatan, sehingga ventilasi terganggu. PH

dalam sinus akan menurun dan akan menyebabkan gerakan silia dalam sinus berkurang serta

mukus tidak dapat dialirkan. Bila sumbatan terus berlanjut akan terjadi hipoksia dan retensi

mukus, yang merupakan kondisi yang ideal untuk tumbuhnya kuman-kuman patogen. Infeksi

dan toksin selanjutnya dapat mengganggu fungsi mukosa dan menyebabkan terjadinya

lingkaran setan (vicious cycle). Kontak mukosa dapat juga terjadi pada celah antara prosesus

unsinatus dengan konka media, bula etmoid dengan konka media dan sinus lateral yang terletak

di atas dan belakang bula etmoid.7,8

Bukti lain juga menyokong bahwa kompleks ostiomeatal adalah tempat primer terjadinya

infeksi di sinus paranasal yaitu ujung depan konka media dan meatus medius disebabkan

daerah tersebut adalah tempat yang paling banyak terkena udara inspirasi.7,8

Page 21: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

Gambar 8. Proses patogenesis sinusitis

4. Faktor Risiko

Faktor resiko sinusitis9

a) Kelainan anatomis ostiomeatal complex (contohnya. septum deviasi, polip nasi)

b) Tumor cavum nasi

c) Periodontitis

d) ISPA

e) lingkungan: debu, jamur, rokok, bahan kimia yang bersifat iritatif, polusi lingkungan

f) Rhinitis alergi dan rhinitis non alergi

g) Kekebalan tubuh yang menurun

Page 22: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

h) Hormonal (pubertas, kehamilan, kontrasepsi oral)9

BAB IV

DIAGNOSIS RHINITIS ALERGIKA DAN SINUSITIS

Diagnosis didapatkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik, dan diikuti pemeriksaan penunjang.

1. Rhinitis Alergika

1. Anamnesis

Pasien umumnya datang dengan mengeluh sering bersin berulang terutama setelah

terpapar alergen tertentu, diikuti ingus encer dan bening, hidung tersumbat yang hilang

timbul, hidung dan mata yang gatal, sampai dapat terjadi lakrimasi saat serangan. 10

2. Pemeriksaan Fisik

Dari inspeksi dapat kita temukan beberapa tanda yang dapat mengarahkan ke adanya

alergi:

- Allergic shinner: warna kebiruan di bawah mata yang diakibatkan oleh statis vena

akibat obstuksi hidung

- Allergic salute: aktivitas menggosok hidung dengan punggung tangan ke arah atas

- Allergic crease: garis melintang di dorsum nasi 1/3 bawah akibat kebiasaan

menggosok hidung.

- Facies adenoid: bentuk wajah yang khas, bercirikan mulut yang selalu terbuka,

langit-langit mulu tumbuh cekung ke atas, dan gigi rahang atas maju ke depan.

Sedangkan dari rhinoskopi anterior ditemukan mukosa udem-hipertrofi, livid, sekret

serous & banyak. 10,11

3. Pemeriksaan Penunjang

Untuk mengetahui jenis alergen sehingga pasien dapat menghindarinya, dibutuhkan tes

alergi. Tes alergi dapat dilakukan dengan 2 macam cara; in vitro (material diambil dari

darah, untuk mengetahui IgE dan IgG) dan in vivo (material dapat dari kulit atau melalui

tes provokasi)

• In vitro:

- Hitung eosinofil à ditemukan jumlah eosinofil yang meningkat

Page 23: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

- Pemeriksaan IgE total

- Pemeriksaan IgE spesifik

• In vivo:

- Skin Prick test

- Diet eliminasi & Challenge Test

Pada klinis, pemeriksaan yang sering dan praktis untuk dilakukan adalah Skin

Prick Test, yang bertujuan untuk membuktikan adanya IgE spesifik yang terikat pada sel

mastosit kulit dan menentukan macam alergen sehingga pasien bisa menghindari alergen

tersebut, dan sebagai dasar pemberian imunoterapi jika medikamentosa gagal mengatasi

gejala.

Diet eliminasi adalah untuk mengetahui alergen makanan, di mana pasien akan

menghentikan konsumsi makanan yang dicurigai sebagai penyebab alergi .

Challenge Test dilakukan untuk pasien yang telah melakukan diet eliminasi namun tidak

berhasil menemukan makanan penyebab alergi. Dalam diet ini, pasien akan diberikan

menu makanan tinggi protein secara satu per satu dan jika timbul gejala laeri maka dapat

diduga makanan tersebut adalah penyebabnya. 11

Skin Prick Test

Indikasi: 3

1. Jika ada kecurigaan rhinitis alergika terutama jika gejala tidak dapat dikontrol

dengan medikamentosa

2. Ada riwayat asma persisten pada penderita yang terpapar alergen

3. Kecurigaan alergi terhadap makanan

4. Kecurigaan alergi terhadap sengatan serangga

Persiapan sebelum dilakukannya Skin Prict Test:

• Persiapan bahan/material ekstrak alergen.

– gunakan material yang belum kedaluwarsa

– gunakan ekstrak alergen yang terstandarisasi

• Persiapan Penderita :

Page 24: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

– Hentikan obat (antihistamin/KS) 5-7 hari sebelum tes.

– Hati2 pada imunodefisien

• Persiapan pemeriksa :

– Teknik dan ketrampilan

– Emergency kit

Teknik Pemeriksaan: 12

• Desinfeksi area volar dengan alkohol 70%

• Tandai area

• Teteskan satu tetes larutan alergen (Kontrol positif ) dan larutan kontrol ( Buffer/

Kontrol negatif)

• Cukitkan (jarum ukuran 26 ½ G atau 27 G / blood lancet), sudut kemiringan 45 0

menembus lapisan epidermis tanpa menimbulkan perdarahan.

• Tes dibaca setelah 15-20 menit dengan menilai bentol yang timbul.

Interpretasi Tes Cukit ( Skin Prick Test ): 12

Untuk menilai ukuran bentol berdasarkan The Standardization Committee of

Northern (Scandinavian) Society of Allergology dengan membandingkan bentol yang

timbul akibat alergen dengan bentol positif histamin dan bentol negatif larutan

kontrol. Adapun penilaiannya sebagai berikut :

- Bentol histamin dinilai sebagai +++ (+3)

- Bentol larutan kontrol dinilai negatif (-)

- Derajat bentol + (+1) dan ++(+2) digunakan bila bentol yang timbul besarnya

antara bentol histamin dan larutan kontrol.

- Untuk bentol yang ukurannya 2 kali lebih besar dari diameter bento histamin

dinilai ++++ (+4).

2. Sinusitis

1. Anamnesis

Umumnya pasien mengeluh hidung tersumbat, dapat pada satu sisi maupun keduanya.

Adanya nyeri pada muka (sesuai anatomi sinus) yakni nyeri pipi, dahi dan pangkal

Page 25: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

hidung, sampai nyeri alih (misal nyeri kepala, nyeri gigi, nyeri orbita, nyeri telinga).

Adanya ingus kental sampai berwarna purulen jika telah terjadi infeksi sekunder oleh

bakteri. Dan adanya post nasal drip, yakni pasien merasakan ada yang mengalir dari

hidung bagian belakang menuju tenggorok. 10

2. Pemeriksaan Fisik

Dari inspeksi dapat kita lihat daerah sinus yang merah dan bengkak akibat reaksi

inflamasi yang terjadi. Palpasi didapatkan nyeri tekan/ketuk daerah sinus (pipi, pangkal

hidung, dan dahi). Sedangkan dari rhinoskopi anterior terlihat edema dan hiperemis

mukosa, adanya sekret (mukoid, purulen) yang keluar dari meatus media. Rhinoskopi

posterior dapat ditemukan post nasal discharge. 10

3. Pemeriksaan Penunjang

Transiluminasi merupakan pemeriksaan penunjang sinusitis yang praktis namun tidak

terlalu efektif. Prinsip pemeriksaan ini adalah menilai terang/gelap di kedua sisi.

Transiluminasi ini memiliki manfaat terbatas, karena hanya mampu menilai secara kasar

keadaan sinus frontalis & maksillaris. Hasil pemeriksaan transiluminasi yang suram tidak

selalu berarti sinusitis, namun dapat pula massa dan kista. Pemeriksaan ini juga

dipengaruhi ketebalan tulang (di mana pada wanita, tulang lebih tipis sehingga

menghasilkan bayangan terang. Namun pada pria, tulangnya lebih tebal sehingga hasil

lebih gelap). 13

Foto polos merupakan cara efektif untuk menilai keadaan sinus. Untuk mendapatkan

gambaran anatomi sinus, beberapa posisi foto yang diperlukan adalah sebagai berikut: 14

- Posisi Waters: arah sinar adalah suboccipito-frontal yang mampu menilai sinus

maksila, frontal, dan ethmoid

- Posisi Caldwell: menilai sinus frontal

- Posisi lateral: menilai sinus frontal, sfenoid, dan ethmoid

CT-Scan merupakan gold standar pemeriksaan penunjang sinusitis karena mampu menilai

anatomi hidung & sinus paranasal. Namun karena biaya yang relatif lebih mahal, maka

CT-Scan diindikasikan terutama untuk pasien dengan sinusitis kronik dan untuk diagnosis

pra-operatif. 10

Mikrobiologi, diindikasikan jika terdapat ingus purulen yang merupakan akibat dari

infeksi sekunder oleh bakteri. Bahan diambil dari sekret terutama yang berasal dari

Page 26: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

meatus superior/medius. Hasil pengambilan sekret akan lebih baik jika dilakukan pungsi

sinus. Tujuan pemeriksaan mikrobiologi dari sinusitis adalah untuk mengetahui jenis

kuman & sebagai bahan untuk tes resistensi antibiotik. 10

Sinuskopi adalah pungsi menembus dinding medial sinus maksilaris melalui meatus inferior. Dari

sinuskopi kita dapat melihat keadaan dalam rongga sinus maksilaris. Sinuskopi yang dilakukan

dengan irigasi sinus dapat bermanfaat sekaligus sebagai terapi. 10

BAB V

PENATALAKSANAAN RINITIS ALERGIKA DAN SINUSITIS

A. Rhinitis Alergika

Penyakit alergi disebabkan oleh mediator kimia yang dilepaskan oleh sel mast yang

dipicu oleh adanya ikatan alergen dengan IgE spesifik yang melekat pada reseptornya di

Page 27: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

permukaan sel tersebut. Histamin merupakan mediator yang berperan besar pada timbulnya gejala

rinitis alergi pada reaksi fase cepat, sedangkan mediator lain yang tergolong newly formed

mediator dan mediator dari sel eosinofil berperan pada reaksi fase lambat yang menyebabkan

inflamasi dan hiperreaktifitas non spesifik yang dapat menetap berhari-hari.15

Tujuan pengobatan rinitis alergi adalah :

1. Mengurangi gejala akibat paparan alergen, hiperreaktifitas nonspesifik dan inflamasi.

2. Perbaikan kualitas hidup penderita sehingga dapat menjalankan aktifitas sehari-hari.

3. Mengurangi efek samping pengobatan.

4. Edukasi penderita untuk meningkatkan ketaatan berobat dan kewaspadaan terhadap

penyakitnya.

5. Merubah jalannya penyakit/pengobatan kausal.15

Untuk mencapai tujuan pengobatan rinitis alergi, dapat ditempuh langkah-langkah berikut

:

1. Antihistamin

Sampai saat ini antihistamin merupakan pilihan pertama untuk pengobatan

rinitis alergi. Antihistamin bekerja dengan cara menghambat efk mediator histamin pada

tingkat reseptor histamin. Obat ini sangat efektif untuk mengurangi gejala rinitis (hidung

gatal, bersin dan rinore), meskipun kurang efektif untuk gejala hidung tersumbat.15

Sekarang didapatkan banyak macam antihistamin, tetapi secara garis besar

dibedakan atas antihistamin H1 klasik dan antihistamin H1 generasi baru.15

Antihistamin klasik yang disebut juga antihistamin generasi I pemakaiannya

terbatas karena bersifat sedatif.

Contoh :

Diphenhydramin

Prometazin

Tripolidin

Chlorpheniramine

Insidal

Polaramine

Tavegyl

Incitin

Selain efek antihistamin, anti-H1 klasik juga mempunyai efek antikolinergik,

dapat menyebabkan gangguan pada jantung dan tidak selektif pada reseptor H1 perifer

Page 28: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

karena dapat menembus sawar darah otak sehingga bersifat sedatif. Di antara antihistamin

klasik tersebut, chlorpheniramine mempunyai sifat sedatif yang paling ringan.15

Antihistamin generasi baru yang disebut juga long acting antihistamine karena

bekerja lama (24 jam), tidak menembus sawar darah otak dan selektif terhadap reseptor

H1 perifer sehingga bersifat non sedasi bila diberikan sesuai dosis yang dianjurkan.15

Antihistamin dimetabolisme di hati oleh enzim sitokrom P450 subtipe 3A4 yang

juga dipakai untuk metabolisme obat lain seperti golongan azol (ketoconazole) dan

golongan makrolida. Oleh karena itu pemakaian antihistamin bersamaan dengan obat-

obatan tersebut harus dihindari. Pemakaian beberapa antihistamin ternyata dapat

menyebabkan gangguan jantung akibat blokade pada potassium channel jantung sehingga

memperpanjang interval QT yang dapat menimbulkan torsades de point yang dapat

berakibat kematian.15

Contoh antihistamin generasi baru :

Terfenadine

Astemizole

Oxatomide

Loratadine

Cetirizine

Fexofenadine

Desloratadine

Selain karakteristik non sedatif dan mempunyai efek anti H1 spesifik,

antihistamin baru dilaporkan mempunyai efek anti alergi yang lebih luas karena15 :

- Dapat mengurangi penglepasan PGD2 dan kinin (fexofenadine, loratadin, terfenadin)

- Menekan kemotaksis eosinofil (fexofenadine, cetirizine)

- Mengurangi ekspresi ICAM-1 (fexofenadine, terfenadine, loratadine, cetirizine)

- Menekan penglepasan berbagai macam sitokin (IL-4, IL-5, IL-1) dan leukotrien

(fexofenadine)15

Pada dasarnya antihistamin mempunyai efektivitas yang sama, meskipun

terdapat variasi individual antarpenderita. Karenanya ada kemungkinan bahwa suatu

antihistamin mungkin kurang responsif pada seseorang, sementara antihistamin lain lebih

responsif. Demikian pula efek sedasi suatu antihistamin. Terdapat variasi individual

terhadap efek sedasi antihistamin baik dari golongan sedasi maupun non sedasi.15

Keamanan antihistamin :

a. Salah satu keterbatasan antihistamin klasik adalah adanya efek sedasi, sehingga tidak

dianjurkan bagi penderita yang memerlukan konsntrasi tinggi dalam aktifitas sehari-

harinya. Efek antikolinergik juga harus diwaspadai karena beberapa kasus pemakaian

Page 29: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

lama dapat mengganggu aktifitas saluran kencing dan dapat mengganggu penglihatan

serta gangguan jantung.

b. Hampir semua antihistamin dimetabolisme di hati kecuali yang merupakan bentuk

metabolit aktif (cetirizine, fexofenadine dan desloratadine). Oleh karena itu

pemakaiannya harus diperhatikan pada penderita yang mempunyai kelemahan fungsi

hati.

c. Belakangan dilaporkan adanya efek antihistamin ke jantung karena dapat

menyebabkan perpanjangan interval QT yang dapat berakibat terjadinya takikardi

ventrikuler. Efek ini “dose dependent” terutama jika diberikan bersamaan dengan

obat makrolide dan golongan ketokonazole. Perpanjangan interval QT dihubungkan

dengan kejadian “torsades de pointes”. Contoh antihistamin tersebut adalah

terfenadin dan astemizol, sehingga pemakaiannya harus sangat hati-hati bila ada

kecurigaan kelainan jantung atau diperlukan obat makrolide dan golongan

ketokonazole pada penderita tersebut pada saat yang bersamaan. Di beberapa negara

obat tersebut sudah ditarik dari peredaran.15

Rekomendasi :

Antihistamin klasik mungkin mempunyai efektifitas klinik yang setara

dibanding antihistamin yang baru, tetapi antihistamin generasi baru harus

dipertimbangkan sebagai pilihan pertama untuk pengobatan rinitis alergi, kecuali jika

antihistamin baru sukar/tidak dapat diperoleh atau tidak terjangkau oleh penderita. Bila

terpaksa menggunakan antihistamin klasik maka penderita harus dijelaskan tentang efek

samping obat tersebut. 15

Jenis Antihistamin Baru

Nama Dosis Lama Kerja Metabolisme di Hati Efek ke Jantung

Cetirizine

Fexofenadin

Loratadin

Terfenadin

Astemizole

2. Dekongestan hidung

Obat-obat dekongestan hidung menyebabkan vasokonstriksi karena efeknya

pada reseptor alfa adrenergik. Ada beberapa sediaan yang dipakai dalam klinik yang

dapat dipakai secara oral maupun topikal15 :

Page 30: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

- Agonis alfa-1 adrenergik (phenyleprin)

- Agonis alfa-2 adrenergik (efedrin, pseudoefedrin, amfetamin)

- Obat-obat mencegah reuptake noradrenalin (cocain, phenylpropanolamin)

Pemakaian topikal sangat efektif untuk menghilangkan sumbatan hidung, tetapi

tidak efektif untuk keluhan bersin dan rinore. Efek vasokonstriksi terjadi dalam 10 menit,

berlangsung kurang lebih 1 jam untuk epinefrin dan 8 – 12 jam untuk oxymetazolin.15

Pemakaian oral seperti :

Ephedrin

Phenyleprin

Phenylpropanolamin

Pseudoephedrin

Efek dekongestan mulai terjadi dalam 30 menit, berlangsung sampai 6 jam atau

8 – 24 jam yang berbentuk sustained release. Efektivitasnya lebih lemah dibanding

pemakaian topikal, tetapi pemakaian lama tidak menyebabkan efek rebound

vasodilatasi.15

Keamanan :

Pemakaian vasokonstriktor topikal dapat menimbulkan rasa hidung terbakar,

kering atau ulserasi mukosa dan bahkan perforasi septum. Pemakaian lebih dari 10 hari

dapat menyebabkan takifilaksis, pembengkakan mukosa dan mengakibatkan drug induce

rhinitis (rinitis medikamentosa).15

Pemakaian sistemik (dose dependent) dapat menimbulkan efek samping :

- Iritabel

- Pusing

- Sakit kepala

- Tremor dan insomnia

- Takikardi dapat terjadi pada wanita hamil

- Hipertensi

- Kadang-kadang halusinasi15

Pemakaian harus ekstra hati-hati pada :

- Penyakit kardiovaskuler (hipertensi, miokard infark)

- Glaukoma

- Hipertrofi prostat

- Ibu hamil15

Rekomendasi :

- Karena resiko terjadinya rinitis medikamentosa, pemakaian topikal terbatas < 10 hari

Page 31: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

- Pemakaian topikal harus untuk mengatasi obstruksi hidung yang hebat bersamaan

dengan obat lain

- Pemakaian pada anak-anak < 1 tahun harus sangat hati-hati karena batas yang sempit

antara dosis terapi dan dosis toksik

- Secara umum tidak dianjurkan memberikan pada penderita :

Penderita umur > 60 tahun

Wanita hamil

Hipertensi

Hipertrofi prostat

Glaukoma

Kelainan jiwa

Pemakaian beta bloker

3. Kombinasi antihistamin dan dekongestan oral

Kombinasi kedua obat ini dimaksud untuk mengatasi obstruksi hidung yang

tidak dipengaruhi oleh antihistamin. Tetapi :

- Farmakokinetik kedua obat ini tidak sama dan biasanya diberikan BID.

- Kombinasi antihistamin sedatif dengan dekongestan oral, efek sedasinya tidak

berkurang karena stimulasi vasokonstriktor.15

4. Kortikosteroid

Pemberian sistemik :

Pemakaian sistemik kadang diberikan peroral atau suntikan sebagai depo steroid

intramuskuler. Data ilmiah yang mendukung relatif sedikit dan tidak ada penelitian

komparatif mengenai cara mana yang lebih baik dan hubungannya dengan dose

response.15

Efektivitas dan keamanan :

Glukokortikoid sistemik mempunyai kerja antiinflamasi yang luas dan efektif

untuk hampir semua gejala rinitis, terutama sumbatan hidung. Tidak ada laporan

keamanan untuk pemberian depo glukokortikoid ulangan. Pemberian oral lebih dipilih

karena lebih murah dan dosisnya lebih dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Pemberian

depo akan mengakibatkan penglepasan yang terus-menerus sepanjang hari dan menekan

HPA-axis dan juga dapat berakibat atrofi jaringan lokal. Pemberian depo intranasal pada

konka yang bengkak dan polip harus dihindari, karena dapat menyebabkan efek samping

yang serius (kebutaan).15

Page 32: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

Kontraindikasi :

Kontraindikasi untuk glukokortikoid sistemik adalah :

- Glaukoma

- Herpes keratitis

- DM

- Instabilitas psikologis

- Osteoporosis

- Hipertensi berat

- TBC atau infeksi kronik spesifik

Sebaiknya dihindari pada : anak-anak dan wanita hamil.

Glukokortikoid topikal :

Pemakaian topikal glukokortikoid berhasil setelah ditemukan sediaan topikal

yang mempunyai efek anti-inflamasi yang kuat dan mempunyai afinitas yang tinggi pada

reseptornya serta bila mencapai hati akan di-deaktivasi dengan cepat sehingga tidak

mencapai sirkulasi sistemik. Dengan demikian sediaan topikal ini tepat untuk pengobatan

rinitis alergi karena dapat dicapai konsentrasi yang tinggi pada reseptornya di mukosa

hidung dengan risiko efek sistemik yang minimal.15

Beberapa sediaan glukokortikoid topikal :

- Beclometason propionat

- Budesonide

- Flunisolide

- Triamcinolone acetonide

- Fluticasone propionat

- Mometasone fuorate

Efek anti-inflamasi intranasal glukokortikoid pada sel dapat menekan banyak fase proses

inflamasi. Banyak sel yang berperan pada inflamasi alergi di hidung dipengaruhi,

misalnya15 :

- APC (sel Langhans) : sangat sensitif, dipengaruhi up-take dan prosesnya.

- Jumlah sel-sel APC berkurang secara bermakna setelah pemberian kortikosteroid

topikal.

- Eosinofil (terutama intraepitelial) dan produknya juga berkurang secara bermakna.

- Influk basofil dan sel mast di lapisan epitel juga berkurang.

- Beberapa sel seperti makrofag dan neutrofil tidak terpengaruh tidak mempunyai efek

samping pada respon imun dan infeksi bakteri.

- Glukokortikoid mengurangi penglepasan pembentukan mediator : histamin,

prostanoids, leukotrien, yang mungkin karena berkurangnya sel dalam mukosa.15

Page 33: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

Efek samping :

Preparat glukokortikoid topikal dapat dipakai dalam waktu lama tanpa atrofi mukosa.

Efek yang dilaporkan :

- Rasa kering

- Terbentuk krusta

- Epistaksis ringan (transien)

- Perforasi septum pernah dilaporkan

- Efek menekan HPA aksis, dilaporkan pada Dexametason topikal

- Pernah dilaporkan menghambat pertumbuhan anak (beclometason)

- Pernah dilaporkan adanya sentral retinopati

- Pada wanita hamil tidak dilaporkan meningkatnya efek teratogenik pada pemakaian

topikal untuk asma15

Rekomendasi :

Dari metaanalisis, pemakaian glukokortikoid lebih efektif dibanding antihistamin untuk

pengobatan rinitis alergi sedang dan berat. Meskipun demikian dalam klinik harus

dipertimbangkan :

- Kesukaan penderita

- Ketaatan penderita

- Kemudahan mendapatkan obat

- Keterjangkauan obat15

5. Imunoterapi

Imunoterapi spesifik adalah memberikan alergen yang sesuai dengan hasil tes

kulit, dosisnya secara bertahap dinaikkan sampai dosis maksimal yang tidak

menimbulkan serangan/gejala alergi. Tujuannya supaya penderita berkurang simptomnya

pada paparan alergen penyebab. Secara klinis imunoterapi pada rinitis alergi terbukti

efektif.15

Injeksi subkutan lebih banyak dipraktekkan. Imunoterapi sublingual/peroral

masih banyak diteliti dan mulai banyak dipakai. Kemungkinan terjadi efek samping

anafilaksi sistemik pada suntik, imunoterapi pada rinitis alergi lebih kecil daripada

penderita asma. Meskipun demikian, resiko terjadinya reaksi anafilaksis sistemik

mengakibatkan keterbatasan pengobatan ini. Pemberian imunoterapi spesifik harus

diberikan oleh spesialis yang berpengalaman atau terlatih dan menyadari kemungkinan

terjadinya efek samping sistemik dan mampu untuk mengatasinya bila sewaktu-waktu

Page 34: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

terjadi. Pemberian imunoterapi yang ideal dengan menggunakan cara end poit titration

(SET).15

Rekomendasi :

Imunoterapi hanya boleh dilakukan :

1. Jelas disebabkan oleh adanya Ig E (tes kulit atau Ig E spesifik)

2. Bila jelas ada hubungan klinis antara hasil tes kulit dan timbulnya gejala

3. Oleh/atas tanggungjawab dokter karena adanya resiko reaksi anafilaksi

4. Pada RA yang sedang-berat dan lamanya keluhan (ukuran obyektif seperti gangguan

sekolah/kerja, perhatikan fungsi paru : bila ada asma tidak dianjurkan. Harus ada

monitoring fungsi paru).

5. Bila respom terhadap pengobatan lain seperti farmakoterapi kurang memuaskan

penderita.

6. Tersedia vaksin/alergen yang terstandarisasi/berkualitas.

7. Kontraindikasi : menggunakan beta bloker, terdapat penyakit imunologis, penderita

yang tidak dapat taat berobat.

8. Faktor sosial : biaya, jarak dengan fasilitas pengobatan dan pekerjaan penderita.15

Penatalaksanaan rinitis alergi sesuai WHO-ARIA

Page 35: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

Gambar 9. Penatalaksanaan Rinitis Alergi Sesuai WHO-ARIA. Kelompok studi alergi-imunologi

PERHATI.

B. Sinusitis

Pengobatan sinusitis paranasal ditujukan kepada penyebab, Pada sinusitis akut jika

penyebabnya kuman, antibiotika golongan amoksisilin merupakan pilihan pertama. Jika kumannya

mengeluarkan enzim beta laktam seperti H. influenza, B. catarrhalis atau S. aureus golongan

amoksisilin-asam klavulanat, trimetoprim-sulfametoksasol atau eritromisin dapat diberikan.

Pengobatan dasar dengan antibiotika ini diberikan selama 2 minggu, jika tidak ada perbaikan

Page 36: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

antibiotioka dari golongan lain seperti klidamisisn, sefalosporin dapat diberikan. Sinusitis karena

kalainan gigi biasanya karena bakteri anaerob atau campuran dari keduanya. Untuk itu diperlukan

metronidazole.15

Pengobatan tambahan seperti pemberian dekongestan hidung, antihistamin, analgetik,

kortikosteroid, mukolitik diberikan berdasarkan kebutuhan sesuai dengan gejala yang timbul.

Pengobatan opeartif hanya dilakukan pada sinus yang tidak sembuh dengan pengobatan

konservatif. Tindakan sederhana seperti punksi dan irigasi sinus maksila dilakukan pada fase

akut.15

Gambar 10. Bagan penatalaksanaan sinusitis

BAB VI

Page 37: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

PROGNOSIS RHINITIS ALERGIKA DAN SINUSITIS

Quo ad vitam: ad bonam. Rhinitis alergika dan atau sinusitis tidak mengancam nyawa penderita.

Quo ad sanam: dubia ad malam. Penderita rhinitis alergika dan atau sinusitis memiliki risiko

rekurensi jika alergen tidak dapat dihindari atau jika penyebab sinusitis adalah kelainan kompleks

osteomeatal.

Quo ad fungsionam: dubia ad bonam. Fungsi hidung pada penderita rhinitis alergika dapat

terganggu apabila terus terjadi serangan. 11

Komplikasi yang dapat terjadi melalui alur: Direk/langsung  (melalui dehisensi konginetal ataupun

adanya erosi pada tulang barier terutama lamina papirasea) dan retrograde tromboplebitis (melalui

anyaman pembuluh darah yang berhubungan langsung antara wajah, rongga hidung, sinus dan

orbita).10,11

1. Rhinitis alergika

a. Polip hidung: akibat proses inflamasi kronis dari rhinitis alergika

b. Otitis media: akibat dekatnya anatomi hidung-telinga dan adanya infeksi sekunder

yang menyertainya

c. Sinusitis paranasal: proses sinusitis yang mengenai seluruh lokasi sinus

2. Sinusitis

a. Kelainan orbita

Klasifikasi komplikasi intraorbita (Chandler at al) :

1. Selilitis periorbita : gejala yang tampak adanya odem dan hiperemis daerah  

periorbita.

2. Selulitis orbita : tampak adanya proptosis, kemosis, penurunan gerak ekstra okuler.

3. Abses subperiosteal : tertimbunnya pus diantara periorbita dan dinding tulang

orbita. Gejala proptosis lebih jelas dan penurunan gerak.

4. Abses orbita : pus tertimbun di dalam orbita, gejalnya optalmoplegi, proptosis dan

kebutaan.

5. Trombosis sinus kavernosus : sama dengan gejala nomor 4 disertai tanda-tanda

meningitis.

Page 38: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

b. Kelainan intrakranial

Tahap komplikasi intrakranial :

1.      Osteomielitis : penyebaran infeksi melalui anyaman pembuluh darah ke tulang

kranium mengakibatkan erosi tulang.

2.      Epidural abses : timbunan pus diantara duramater dan ruang kranium. Gejala

sangat ringan, tanpa ada gangguan neurologi, ada nyeri kepala yang makin lama

dirasakan makin berat dan sedikit demam.

3.      Subdural empiema: terjadi karena retrograde tromboplebitis ataupun penyebaran

langsung dari abses epidural. Gejala nyeri kepala hebat, ada tanda-tanda

iskemik/infark kortek seperti hemiparesis, hemiplegi,  paralisis n.Facialis, kejang,

peningkatan tekanan intrakranial, demam tinggi, lekositosis dan akhirnya

kesadaran menurun.

4.      Abses otak. Lokasi di daerah frontal paling sering disebabkan sinusitis frontal

dengan penyebaran retrograde, septik emboli dari anyaman pembuluh darah. Bila

odem terjadi di sekitar otak, tekanan intrakranial akan meningkat, gejala-gejala

neurologi jelas tampak, ancaman kematian segera terjadi bila abses ruptur.

5.      Meningitis: karena infeksi sekunder dari sinus etmoid dan sfenoid. Gejala-gejala

tampak jelas : adanya demam, sakit kepala, kejang, diikuti kesadaran menurun

sampai koma.

BAB VII

PENCEGAHAN DAN EDUKASI RHINITIS ALERGIKA DAN SINUSITIS

A. Rhinitis Alergika

Edukasi pasien dengan rhinitis alergika5 :1. Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit dan penatalaksanaannya2. Menyarankan kepada pasien untuk tes alergi3. Menyarankan pada pasien untuk semaksimal mungkin menghindari alergen4. Menyarankan pada pasien untuk memakai obat sesuai anjuran dokter, dan berobat

kembali bilamana setelah pemakaian gejala belum berkurang

Page 39: Anatomi Dan Fisiologi Hidung

B. Sinusitis

Edukasi bagi pasien sinusitis9 :1. Menjelaskan pada pasien tentang penyakit dan penatalaksanaannya2. Mengontrol faktor-faktor resiko seperti3. meningkatkan higienitas, terutama menjaga higienitas gigi dan mulut4. Menjaga kebersihan lingkungan5. Menghindari alergen6. Memakai obat sesuai anjuran7. Segera memeriksakan diri ke dokter apabila sakit batuk pilek