Anatomi Dan Fisiologi Hidung
-
Upload
siti-alfiah -
Category
Documents
-
view
84 -
download
1
Transcript of Anatomi Dan Fisiologi Hidung
PEMERIKSAAN
A. PEMERIKSAAN FISIK tanggal: 5 November 2010, jam 09.00
A.1. Status Generalis
- Kesadaran : Composmentis - Nafas : 20x/menit
- Aktivitas : Normoaktif - Suhu : 36,6oC
- Kooperativitas : Kooperatif - Jantung : BJ I-I N, bising (-)
- Status gizi : Cukup - Paru : SD vesikuler
- Kulit : Turgor kulit cukup - Hati : Tak teraba
- Konjungtiva : Palpebra pucat -/- - Limfe : Pembesaran nnll -/-
- Nadi : 80x/menit - Anggota
gerak
: Dalam batas normal
- Tensi : 120/70 mmHg
A.2. Status Lokalis (THT)
1. Telinga Kanan Kiri
- Mastoid : Nyeri tekan (-), nyeri ketok (-) Nyeri tekan (-), nyeri ketok (-)
- Pre-aurikula : Nyeri tekan (-), fistel (-) Nyeri tekan (-), fistel (-)
- Retro-aurikula : Nyeri tekan (-), nyeri ketok (-) Nyeri tekan (-), nyeri ketok (-)
- Aurikula : Nyeri tarik (-) Nyeri tarik (-)
- Kanalis eksternus : Hiperemis (-), edema (-) Hiperemis (-), edema (-)
- Discaj : (-) (-)
- Lain-lain : Serumen (-) Serumen (-)
- Membran timpani :
- Warna : Putih mengkilat, seperti
mutiara
Putih mengkilat, seperti
mutiara
- Refleks cahaya : (+) arah jam 5 (+) arah jam 7
- Perforasi : (-) (-)
- Lain-lain : Bulging (-) Bulging (-)
2. Hidung dan Sinus Paranasal :
a) Pemeriksaan luar
- Hidung : simetris, deformitas (-)
- Sinus : nyeri tekan/ ketok pangkal hidung dan dahi (-), nyeri tekan & ketok
kedua pipi (+/+)
b) Rinoskopi anterior Kanan Kiri
- Discaj : (-) (-)
- Mukosa : Hiperemis (+) Hiperemis (+)
- Konka : Hiperemis (+),
edema (+)
Hiperemis (+),
edema (+)
- Tumor : (-) (-)
- Septum : Deviasi (-) Deviasi (-)
c) Diafanoskopi : kesuraman (+/+)
3. Tenggorok :
3.a. Faring :
3.a.1. Orofaring:
-Palatum : Simetris, bombans (-)
-Arkus faring : Simetris, hiperemis (-)
-Mukosa : Hiperemis (-), granulasi (-), sekret (-)
-Tonsil : Kanan Kiri
-Ukuran : T1 T1
-Warna : Hiperemis (-) Hiperemis (-)
-Permukaan : Rata Rata
-Kripte : Tidak melebar Tidak melebar
-Detritus : (-) (-)
-Membran : (-) (-)
-Peritonsil : Abses (-) Abses (-)
4. Kepala dan Leher
-Kepala : Mesosefal
-Wajah : Simetris, deformitas (-)
-Leher anterior : Pembesaran tiroid (-) Pembesaran tiroid (-)
-Leher lateral : Pembesaran nnll (-) Pembesaran nnll (-)
-Lain-lain :
5. Gigi dan Mulut
-Gigi-geligi : Caries (-)
-Lidah : Makroglosi (-), deviasi (-), atrofi papil (-)
-Palatum : Bombans (-)
-Pipi : Simetris, benjolan (-)
-Lain-lain :
B. PEMERIKSAAN LABORATORIUM/PENUNJANG/KHUSUS
2. Tes Pendengaran
a) Tes bisik : tidak dilakukan
b) Tes garputala :
-Konvensional - Kanan : -
- Kiri : -
-Rinne - Kanan : AC > BC
- Kiri : AC > BC
-Schwabach - Kanan : = pemeriksa
- Kiri : = pemeriksa
-Weber : Tidak ada lateralisasi
Kesan : Pendengaran kedua telinga normal
9. Fungsi N. Fasialis : mengerutkan dahi +/+
menutup mata +/+
memperlihatkan gigi +/+
bersiul (+)
10. Lain-lain : ......
RINGKASAN
Seorang laki-laki 26 tahun datang dengan keluhan ± 3 bulan ini keluar cairan encer dan
jernih dari kedua lubang hidung, timbul terutama saat udara dingin, bersin-bersin bila menghirup
debu dan udara dingin, hidung tersumbat bergantian kanan – kiri, hidung terasa gatal, terasa lendir
mengalir di tenggorokan, demam, pusing. Bila diminumi obat yang dibeli sendiri, keluhan
berkurang namun timbul lagi. Keluhan dirasakan lebih dari 4 hari dalam 1 minggu.Karena dirasa
mengganggu aktivitas, penderita memeriksakan diri ke polilkinik RSDK.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan :
Telinga : dalam batas normal
Hidung : nyeri ketok kedua pipi (+/+), mukosa
hiperemis (+/+), edema konka (+/+),
hipermemis konka(+/+),
Diafanoskopi : kesuraman (+/+)
DIAGNOSIS BANDING
1. Suspek sinusitis kronik maksilaris dekstra et sinistra
2. Suspek rinitis alergika persisten sedang-berat
DIAGNOSIS SEMENTARA
1. Suspek sinusitis kronik maksilaris dekstra et sinistra
2. Suspek rinitis alergika persisten sedang-berat
RENCANA PENGELOLAAN
Pemeriksaan Diagnostik
Ip Dx : S : -
O: Skin Prick Test, X-foto Waters
Terapi
- Cefadroxil 2 x 500 mg
- Ambroxol 3 x 30 mg
- Paracetamol 3 x 500 mg
- Aldisa SR 2x 1tab (Loratadin 5mg & Pseudoefedrin sulfat 120 mg)
Pemantauan
Perbaikan klinis dan keluhan saat penderita kontrol kembali
Penyuluhan
o Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit dan penatalaksanaannya
o Menjelaskan kepada penderita tentang diagnosis sementara penyakit, dan
rencana pemeriksaan penunjang selanjutnya yang perlu dilakukan.
PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad sanam : ad bonam
Quo ad fungsionam : ad bonam
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL
A. Anatomi Hidung
1. Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian – bagiannya dari atas ke bawah :
1. Pangkal hidung (bridge)
2. Dorsum nasi
3. Puncak hidung
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung (nares anterior)1,2,3
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M. Nasalis pars
allaris. Kerja otot – otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan menyempit.
Batas atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar), antara radiks
sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi.1,2,3 Lubang yang terdapat pada bagian
inferior disebut nares, yang dibatasi oleh :
- Superior : os frontal, os nasal, os maksila
- Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor dan
kartilago alaris minor 1,2,3
Gambar 1. Bagian-bagian pembentuk hidung luar
Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior menjadi
fleksibel.
Pendarahan :
1. A. Nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang dari A. Oftalmika,
cabang dari a. Karotis interna).1,2,3
2. A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A. Maksilaris interna,
cabang dari A. Karotis interna)1,2,3
3. A. Angularis (cabang dari A. Fasialis)
Persarafan :
1. Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)
2. Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)
3. Nervus Olfaktorius (N I) untuk fungsinya sebagai organ penghidu1,2,3
2. Kavum Nasi
Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan yang
membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini berhubungan
dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa kranial media.1,2,3
Batas – batas kavum nasi :
Posterior : berhubungan dengan nasofaring
Atap : os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus sfenoidale dan sebagian
os vomer
Lantai : merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horisontal, bentuknya
konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap. Bagian ini dipisahnkan
dengan kavum oris oleh palatum durum.
Medial : septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan (dekstra dan
sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi oleh kulit, jaringan subkutan
dan kartilago alaris mayor. Bagian dari septum yang terdiri dari kartilago ini disebut
sebagai septum pars membranosa = kolumna = kolumela.
Lateral : dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os etmoid, konka
nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.1,2,3
Gambar 2. Septum nasi
Gambar 4. Konka nasalis
Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang etmoid.
Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan di atas dan
belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang berhubungan dengan
sinis sfenoid. Kadang – kadang konka nasalis suprema dan meatus nasi suprema terletak
di bagian ini. 2,3
Pendarahan :
Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah A.sfenopalatina yang
merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale anterior yang merupakan cabang
dari A. Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus yang terletak submukosa yang berjalan
bersama – sama arteri.1,2,3
Persarafan :
1. Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus yaitu N.
Etmoidalis anterior
2. Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion pterigopalatinum
masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian menjadi N. Palatina mayor menjadi
N. Sfenopalatinus.1,2,3
Gambar 3. Vaskularisasi hidung
3. Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian
besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang
mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel – sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena
aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang – kadang terjadi metaplasia menjadi sel
epital skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini
dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet.1,2,3
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan
gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah
nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya
sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung.
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan
menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh
pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat – obatan.1,2,3
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia
(pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam
sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu
berwarna coklat kekuningan.1,2,3
B. Fisiologi hidung
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media
dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk
lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian
mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran
udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung
dengan aliran dari nasofaring.3
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang
akan masuk ke dalam alveolus.3 Fungsi ini dilakukan dengan cara :
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan
pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.3
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi
dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui
hidung kurang lebih 37oC.3
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh :
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir
dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut
lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.3
4. Indra penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap
rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat
mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas
dengan kuat.3
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan
menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.3
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga
mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara.3
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks
bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung dan pankreas.3
B. Anatomi Sinus Paranasal
Sinus paranasal merupakan rongga-rongga yang terdapat di dalam maxilla os frontale, os
sphenoidale, dan os ethmoidale. Dindingnya terdiri atas tulang kompakta dengan dilapisi
muco-endosteum yang berhubungan dengan mucosa respiratoria pada cavitas nasi. Sinus
paranasal diinervasi oeleh cabang-cabang n.ophthalmicus dan n.maxillaris. Sinus merupakan
penonjolan/evaginasi dari cavitas nasi sehinga drainage keluar dari cairannya menuju cavitas
nasi secara langsung atau tidak langsung. Dengan adanya hubungan ini maka rhinitis atau
radang pada cavitas nasi dapat menjalar ke sinus menyebabkan sinusitis. Sinus pada waktu
lahir kecil tapi mengalami perkembangan pada waktu pubertas atau dewasa.1,2,3
Gambar 4. Sinus Paranasal
1. Sinus Maxillaris
Merupakan sinus paranasal yang terbesar. Terdapat dalam corpus maxillae.
Berbentuk piramid berbaring dengan basis di sebelah medial sedang apex di processus
zygomaticus maxillae. Dinding medialnhya merupakan dinding lateral cavitas nasi.
Atapnya merupakan lantai orbita. Sedangkan alasnya merupakan processus
alveolaris.1,2,3
Muara sinus maxillaris pada meatus nasi medius yaitu pada hiatus semilunaris.
Saluran ini terdapat pada dinding medial sebelah anterosuperior.1,2,3
Innervasi oleh n.alveolaris superior dan n.infraorbitalis
Vaskularisasi oleh a.maxillaris interna, a.infraorbitalis, a.palatina mayor.1,2,3
2. Sinus Ethmoidalis
Terdiri atas beberapa ruangan (4-17 pada tiap sisi), terletak di dalam
labyrinthus ethmoidalis di antara orbita dan cavitas nasi.1,2,3
Bagian-bagian dari sinus ethmoidalis disebut cellulae ethmoidales. Dindingnya
dibentuk oleh os frontale, maxilla, os lacrimale, os sphenoidale, dan os palatina.1,2,3
Berdasarkan muaranya, cellulae ethmoidales digolongkan menjadi:
1. Cellulae ethmoidales anterior yang bermuara di meatus nasi medius
2. Cellulae ethmoidales posterior yang bermuara di meatus nasi superior dan
suprema1,2,3
Inervasi oleh n.ethmoidalis posterior dan n.ethmoidalis anterior.
Vaskularisasi oleh a.ethmoidalis posterior dan a.ethmoidalis anterior.1,2,3
3. Sinus Frontalis
Dapat dianggap sebagai akibat meluasnya cellulae ethmoidalis anterior ke os
frontale. Kanan dan kiri tidak sama besar dan dipisahkan oleh keping tulang yang
terdapat di linea mediana. Sinus ini sering meluas sampai atap orbita. Sinus frontalis
bermuara ke meatus nasi medius secara langsung atau melalui saluran yang disebut
duktus frontonasalis.1,2,3
Inervasi: n.supraorbitalis cabang dari n.ophthalmicus
Vaskularisasi: a.supraorbitalis
4. Sinus Sphenoidalis
Terdapat di dalam corpus sphenoidale dan dapat meluas ke os occipitale.
Bermuara pada recessus sphenoethmoidalis. Sinus sphenoidalis terbagi menjadi
belahan kanan dan kiri oleh septum tulang yang biasanya mengalami deviasi ke salah
satu pihak. Dinding depannya merupakan dua keping tulang tipis disebut conchae
sphenoidale.1,2,3
Inervasi n.ethmoidalis posterior
Vaskularisasi a.maxillaris
BAB III
PATOFISIOLOGI
A. Rhinitis Alergika
1. Definisi
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai IgE.3
Rinitis alergika adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
yang atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya
suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.3,4
2. Patogenesis
Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari dua fase yaitu Immediate Phase Allergic
Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan
alergen sampai 1 jam setelahna dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase
Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8jam (fase hiper-reaktifitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.3
Pada kontak langsung pertama dengan alergen atau tahap sensitasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/ APC akan menangkap
alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan
membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk
komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian
dipresentasikan pada sel T helper ( Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepaskan sitokin
seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan
Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin sperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL13. IL 4 dan IL 13
dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif
dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE disirkulasi darah akan masuk ke jaringan
dan diikat oleh reseptor Ig E dipermukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga
kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitasi.4,5,6
Gambar 5. Patogenesis reaksi alergi pada rhinitis alergika
Bila mukosa yang sudah tersensitasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua
rantai IgE akan mengikat alergen spasifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk
(Preformed Mediators) terutama histamin. Selain histamine juga dikeluarkan Newly Formed
Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrin D4 (LT D4), Leukotrin C4 (LT
C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin (IL3, IL4, IL5, IL6,
GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut
sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).4,5,6
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan
rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa
dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi
rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamine
merangsang ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung
sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adheesion Molecule 1 (ICAM 1).4,5,6
Gambar 6. Pengaruh mediator-mediator kimia pada jaringan
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon ini tidak berhenti sampai disini
saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6 – 8 jam setelah pemaparan. Pada
RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil,
limfosit, netrofil, basofil, dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3,
IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada
sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan
eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Protein (EDP), Major
Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini selain factor spesifik
(alergen), iritasi oleh factor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang
merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.4,5,6
Gambar 7. Reaksi alergi pada rhinitis alergika
Bila dilihat pada gambaran mikroskopik, akan tampak adanya dilatasi pembuluh darah
(vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga
pembesaran ruang interselular dan penebalan membrane basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel
eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung Gambaran yang demikian terdapat pada
saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat
terjadi terus menerus/persisten sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan
yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak
mukosa hidung menebal.3,4
3. Faktor Risiko
Faktor resiko rhinitis alergika5
a) Penderita dengan asma dan dermatitis
b) Keluarga dengan riwayat atopi
c) Lingkungan dan lapangan kerja
- Lingkungan yang lembab -> jamur, debu, kutu
- Hobi yang berkaitan dengan musim penyerbukan
- Polusi lingkungan
- Kebiasaan merokok
- Bekerja di peternakan5
B. Sinusitis
1. Definisi
Sinusitis adalah peradangan di daerah sinus paranasal yaitu suatu tempat di daerah
hidung, dan bila terjadi pada beberapa sinus disebut multisinusitis. Bagian yang paling sering
mengalami peradangan adalah sinus maxilla (pipi), etmoidalis (belakang tulang hidung),
frontalis (dahi), dan sfenoidalis (pelipis). Sinusistis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3
minggu atau kurang) maupun kronis (berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut
sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun).3,4,8
2. Etiologi
Sinusitis dapat disebabkan oleh;
a. Infeksi virus. Sinusitis biasa terjadi setelah infeksi virus pada saluran pernafasan
bagian atas, misalnya; pilek.
b. Bakteri. Di dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam keadaan
normal tidak menimbulkan penyakit. Jika sistem pertahan tubuh menurun dari sinus
tersumbat akibat pilek atau infeksi virus lainnya maka bateri yang sebelumnya tidak
berbahaya akan berkembang biak dan menyusup ke dalam sinus sehingga terjadi
infeksi sinus akut.
c. Infeksi jamur. Apergillus merupakan jamur yang bisa menyebabkan sinusitis pada
penderita gangguan sistim kekebalan. Pada orang-orang tertentu, sinusitis jamur
merupakan sejenis reaksi alergi terhadap jamur.
d. Peradangan menahun pada saluran hidung
e. Penyakit tertentu. Sinusisitis akut lebih sering terjadi pada penderita gangguan sistim
kekebalan dan penderita kelainan sekresi lendir.
f. Asma
g. Penyakit alergi
h. Gangguan sistim kekebalan atau kelainan sekresi ataupun pembuangan lendir3,4,7
3. Patogenesis dari Rhinitis Alergika
Pada paparan primer dengan alergen, dalam tubuh penderita akan terjadi interaksi antara
makrofag dan limfosit T untuk menghasilkan suatu mediator (interleukin -4/IL-4) yang
memacu limfosit B memproduksi IgE spesifik. Bagian Fc Ig E akan menempel pada reseptor
khusus permukaan sel mediator yang telah terikat dengan IgE disebut sel mediator yang
tersensitisasi. Selanjutnya bila terjadi paparan ulang dengan alergen yang sejenis, maka alergen
akan berikatan dengan bagian Fab Ig E yang ada pada permukan sel mastosit atau basofil.
Reaksi itu terjadi dalam waktu 1-5 menit sampai 30 menit, dengan puncak reaksi antara 10-20
menit dan disebut reaksi akut atau reaksi akut dini. Ikatan tersebut akan memberikan tanda ke
dalam sel yang akan mengaktifkan sistem nukleotida, siklik guanosin monofosfat (cGMP),
siklik adenosin monofosfat (c AMP) dan meningkatkan perbandingan siklik guanosin
monofosfat terhadap siklik adenosin monofosfat serta aktivasi proesterase. Ikatan antigen IgE
juga meningkatan influks Ca++ dari ruang ekstraseluler, sehingga menaikkan kadar Ca++ di
dalam sel. Kadar Ca++ yang meningkat ini menyebabkan terjadinya degranulasi dan
penglepasan mediator preformed seperti histamin yang melalui sistem saraf otonom
menimbulkan gejala bersin, vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler yang
menimbulkan rinore dan edema serta kontraksi otot polos pada bronkus yang menimbulkan
sesak napas, Kinin menyebabkan vasodilatasi, sehingga menimbulkan edema. Triptase
menyebabkan proteolisis dan aktivasi C3a. Neutrophil chemotactic factor (NCF) menyebabkan
pengarahan netrofil ke organ target serta eosinophil chemotactic factor (ECF) menyebabkan
pengarahan eosinofil ke organ target.4,6,7,8
Bila penderita rinitis alergi terpapar dengan alergen spesifik akan terjadi juga realsi
lambat dalam waktu 4-12 jam sesudah reaksi akut dan dapat berlangsung sampai 24 jam.
Reaksi akut yang disusul oleh reaksi lambat disebut bifasis. Reaksi lambat ini pada saat yang
sama dengan proses degranulasi di dalam sel, yaitu dimulai dari timbulnya aktivasi enzim
fosfolipase yang memecah fosfolipid membran sel menjadi asam arakidonat. Sel-sel yang
melepas asam arakidonat adalah sel mastosit, eosinofil, makrofag, trombosit dan endotel
vaskuler. Selanjutnya asam arakidonat dipecah menjadi prostaglandin, tromboksan, leukotrin
dan platelet activating factor (PAF). Oleh karena mediator- mediator tersebut dilepas setelah
histamin, maka disebut newly generated. Pada reaksi lambat ini terjadi reaksi inflamasi yang
menyebabkan sumbatan hidung akan berlangsung lama.4,6,7,8
Menurut Stammberger yang dikutip oleh Rifki, lebih dari 90% penyebab kasus sinutis
maksila dan frontal terletak di kompleks ostiomeatal yang terdiri dari infundibulum etmoid,
resesus frontal, sel-sel etmoid anterior beserta ostiumnya dan ostium sinus maksila.6,7,8
Pada rinitis alergi akan terjadi inflamasi, sehingga mukosa infundibulum etmoid dan
resesus frontal yang berhadapan akan saling berdekatan, sehingga ventilasi terganggu. PH
dalam sinus akan menurun dan akan menyebabkan gerakan silia dalam sinus berkurang serta
mukus tidak dapat dialirkan. Bila sumbatan terus berlanjut akan terjadi hipoksia dan retensi
mukus, yang merupakan kondisi yang ideal untuk tumbuhnya kuman-kuman patogen. Infeksi
dan toksin selanjutnya dapat mengganggu fungsi mukosa dan menyebabkan terjadinya
lingkaran setan (vicious cycle). Kontak mukosa dapat juga terjadi pada celah antara prosesus
unsinatus dengan konka media, bula etmoid dengan konka media dan sinus lateral yang terletak
di atas dan belakang bula etmoid.7,8
Bukti lain juga menyokong bahwa kompleks ostiomeatal adalah tempat primer terjadinya
infeksi di sinus paranasal yaitu ujung depan konka media dan meatus medius disebabkan
daerah tersebut adalah tempat yang paling banyak terkena udara inspirasi.7,8
Gambar 8. Proses patogenesis sinusitis
4. Faktor Risiko
Faktor resiko sinusitis9
a) Kelainan anatomis ostiomeatal complex (contohnya. septum deviasi, polip nasi)
b) Tumor cavum nasi
c) Periodontitis
d) ISPA
e) lingkungan: debu, jamur, rokok, bahan kimia yang bersifat iritatif, polusi lingkungan
f) Rhinitis alergi dan rhinitis non alergi
g) Kekebalan tubuh yang menurun
h) Hormonal (pubertas, kehamilan, kontrasepsi oral)9
BAB IV
DIAGNOSIS RHINITIS ALERGIKA DAN SINUSITIS
Diagnosis didapatkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik, dan diikuti pemeriksaan penunjang.
1. Rhinitis Alergika
1. Anamnesis
Pasien umumnya datang dengan mengeluh sering bersin berulang terutama setelah
terpapar alergen tertentu, diikuti ingus encer dan bening, hidung tersumbat yang hilang
timbul, hidung dan mata yang gatal, sampai dapat terjadi lakrimasi saat serangan. 10
2. Pemeriksaan Fisik
Dari inspeksi dapat kita temukan beberapa tanda yang dapat mengarahkan ke adanya
alergi:
- Allergic shinner: warna kebiruan di bawah mata yang diakibatkan oleh statis vena
akibat obstuksi hidung
- Allergic salute: aktivitas menggosok hidung dengan punggung tangan ke arah atas
- Allergic crease: garis melintang di dorsum nasi 1/3 bawah akibat kebiasaan
menggosok hidung.
- Facies adenoid: bentuk wajah yang khas, bercirikan mulut yang selalu terbuka,
langit-langit mulu tumbuh cekung ke atas, dan gigi rahang atas maju ke depan.
Sedangkan dari rhinoskopi anterior ditemukan mukosa udem-hipertrofi, livid, sekret
serous & banyak. 10,11
3. Pemeriksaan Penunjang
Untuk mengetahui jenis alergen sehingga pasien dapat menghindarinya, dibutuhkan tes
alergi. Tes alergi dapat dilakukan dengan 2 macam cara; in vitro (material diambil dari
darah, untuk mengetahui IgE dan IgG) dan in vivo (material dapat dari kulit atau melalui
tes provokasi)
• In vitro:
- Hitung eosinofil à ditemukan jumlah eosinofil yang meningkat
- Pemeriksaan IgE total
- Pemeriksaan IgE spesifik
• In vivo:
- Skin Prick test
- Diet eliminasi & Challenge Test
Pada klinis, pemeriksaan yang sering dan praktis untuk dilakukan adalah Skin
Prick Test, yang bertujuan untuk membuktikan adanya IgE spesifik yang terikat pada sel
mastosit kulit dan menentukan macam alergen sehingga pasien bisa menghindari alergen
tersebut, dan sebagai dasar pemberian imunoterapi jika medikamentosa gagal mengatasi
gejala.
Diet eliminasi adalah untuk mengetahui alergen makanan, di mana pasien akan
menghentikan konsumsi makanan yang dicurigai sebagai penyebab alergi .
Challenge Test dilakukan untuk pasien yang telah melakukan diet eliminasi namun tidak
berhasil menemukan makanan penyebab alergi. Dalam diet ini, pasien akan diberikan
menu makanan tinggi protein secara satu per satu dan jika timbul gejala laeri maka dapat
diduga makanan tersebut adalah penyebabnya. 11
Skin Prick Test
Indikasi: 3
1. Jika ada kecurigaan rhinitis alergika terutama jika gejala tidak dapat dikontrol
dengan medikamentosa
2. Ada riwayat asma persisten pada penderita yang terpapar alergen
3. Kecurigaan alergi terhadap makanan
4. Kecurigaan alergi terhadap sengatan serangga
Persiapan sebelum dilakukannya Skin Prict Test:
• Persiapan bahan/material ekstrak alergen.
– gunakan material yang belum kedaluwarsa
– gunakan ekstrak alergen yang terstandarisasi
• Persiapan Penderita :
– Hentikan obat (antihistamin/KS) 5-7 hari sebelum tes.
– Hati2 pada imunodefisien
• Persiapan pemeriksa :
– Teknik dan ketrampilan
– Emergency kit
Teknik Pemeriksaan: 12
• Desinfeksi area volar dengan alkohol 70%
• Tandai area
• Teteskan satu tetes larutan alergen (Kontrol positif ) dan larutan kontrol ( Buffer/
Kontrol negatif)
• Cukitkan (jarum ukuran 26 ½ G atau 27 G / blood lancet), sudut kemiringan 45 0
menembus lapisan epidermis tanpa menimbulkan perdarahan.
• Tes dibaca setelah 15-20 menit dengan menilai bentol yang timbul.
Interpretasi Tes Cukit ( Skin Prick Test ): 12
Untuk menilai ukuran bentol berdasarkan The Standardization Committee of
Northern (Scandinavian) Society of Allergology dengan membandingkan bentol yang
timbul akibat alergen dengan bentol positif histamin dan bentol negatif larutan
kontrol. Adapun penilaiannya sebagai berikut :
- Bentol histamin dinilai sebagai +++ (+3)
- Bentol larutan kontrol dinilai negatif (-)
- Derajat bentol + (+1) dan ++(+2) digunakan bila bentol yang timbul besarnya
antara bentol histamin dan larutan kontrol.
- Untuk bentol yang ukurannya 2 kali lebih besar dari diameter bento histamin
dinilai ++++ (+4).
2. Sinusitis
1. Anamnesis
Umumnya pasien mengeluh hidung tersumbat, dapat pada satu sisi maupun keduanya.
Adanya nyeri pada muka (sesuai anatomi sinus) yakni nyeri pipi, dahi dan pangkal
hidung, sampai nyeri alih (misal nyeri kepala, nyeri gigi, nyeri orbita, nyeri telinga).
Adanya ingus kental sampai berwarna purulen jika telah terjadi infeksi sekunder oleh
bakteri. Dan adanya post nasal drip, yakni pasien merasakan ada yang mengalir dari
hidung bagian belakang menuju tenggorok. 10
2. Pemeriksaan Fisik
Dari inspeksi dapat kita lihat daerah sinus yang merah dan bengkak akibat reaksi
inflamasi yang terjadi. Palpasi didapatkan nyeri tekan/ketuk daerah sinus (pipi, pangkal
hidung, dan dahi). Sedangkan dari rhinoskopi anterior terlihat edema dan hiperemis
mukosa, adanya sekret (mukoid, purulen) yang keluar dari meatus media. Rhinoskopi
posterior dapat ditemukan post nasal discharge. 10
3. Pemeriksaan Penunjang
Transiluminasi merupakan pemeriksaan penunjang sinusitis yang praktis namun tidak
terlalu efektif. Prinsip pemeriksaan ini adalah menilai terang/gelap di kedua sisi.
Transiluminasi ini memiliki manfaat terbatas, karena hanya mampu menilai secara kasar
keadaan sinus frontalis & maksillaris. Hasil pemeriksaan transiluminasi yang suram tidak
selalu berarti sinusitis, namun dapat pula massa dan kista. Pemeriksaan ini juga
dipengaruhi ketebalan tulang (di mana pada wanita, tulang lebih tipis sehingga
menghasilkan bayangan terang. Namun pada pria, tulangnya lebih tebal sehingga hasil
lebih gelap). 13
Foto polos merupakan cara efektif untuk menilai keadaan sinus. Untuk mendapatkan
gambaran anatomi sinus, beberapa posisi foto yang diperlukan adalah sebagai berikut: 14
- Posisi Waters: arah sinar adalah suboccipito-frontal yang mampu menilai sinus
maksila, frontal, dan ethmoid
- Posisi Caldwell: menilai sinus frontal
- Posisi lateral: menilai sinus frontal, sfenoid, dan ethmoid
CT-Scan merupakan gold standar pemeriksaan penunjang sinusitis karena mampu menilai
anatomi hidung & sinus paranasal. Namun karena biaya yang relatif lebih mahal, maka
CT-Scan diindikasikan terutama untuk pasien dengan sinusitis kronik dan untuk diagnosis
pra-operatif. 10
Mikrobiologi, diindikasikan jika terdapat ingus purulen yang merupakan akibat dari
infeksi sekunder oleh bakteri. Bahan diambil dari sekret terutama yang berasal dari
meatus superior/medius. Hasil pengambilan sekret akan lebih baik jika dilakukan pungsi
sinus. Tujuan pemeriksaan mikrobiologi dari sinusitis adalah untuk mengetahui jenis
kuman & sebagai bahan untuk tes resistensi antibiotik. 10
Sinuskopi adalah pungsi menembus dinding medial sinus maksilaris melalui meatus inferior. Dari
sinuskopi kita dapat melihat keadaan dalam rongga sinus maksilaris. Sinuskopi yang dilakukan
dengan irigasi sinus dapat bermanfaat sekaligus sebagai terapi. 10
BAB V
PENATALAKSANAAN RINITIS ALERGIKA DAN SINUSITIS
A. Rhinitis Alergika
Penyakit alergi disebabkan oleh mediator kimia yang dilepaskan oleh sel mast yang
dipicu oleh adanya ikatan alergen dengan IgE spesifik yang melekat pada reseptornya di
permukaan sel tersebut. Histamin merupakan mediator yang berperan besar pada timbulnya gejala
rinitis alergi pada reaksi fase cepat, sedangkan mediator lain yang tergolong newly formed
mediator dan mediator dari sel eosinofil berperan pada reaksi fase lambat yang menyebabkan
inflamasi dan hiperreaktifitas non spesifik yang dapat menetap berhari-hari.15
Tujuan pengobatan rinitis alergi adalah :
1. Mengurangi gejala akibat paparan alergen, hiperreaktifitas nonspesifik dan inflamasi.
2. Perbaikan kualitas hidup penderita sehingga dapat menjalankan aktifitas sehari-hari.
3. Mengurangi efek samping pengobatan.
4. Edukasi penderita untuk meningkatkan ketaatan berobat dan kewaspadaan terhadap
penyakitnya.
5. Merubah jalannya penyakit/pengobatan kausal.15
Untuk mencapai tujuan pengobatan rinitis alergi, dapat ditempuh langkah-langkah berikut
:
1. Antihistamin
Sampai saat ini antihistamin merupakan pilihan pertama untuk pengobatan
rinitis alergi. Antihistamin bekerja dengan cara menghambat efk mediator histamin pada
tingkat reseptor histamin. Obat ini sangat efektif untuk mengurangi gejala rinitis (hidung
gatal, bersin dan rinore), meskipun kurang efektif untuk gejala hidung tersumbat.15
Sekarang didapatkan banyak macam antihistamin, tetapi secara garis besar
dibedakan atas antihistamin H1 klasik dan antihistamin H1 generasi baru.15
Antihistamin klasik yang disebut juga antihistamin generasi I pemakaiannya
terbatas karena bersifat sedatif.
Contoh :
Diphenhydramin
Prometazin
Tripolidin
Chlorpheniramine
Insidal
Polaramine
Tavegyl
Incitin
Selain efek antihistamin, anti-H1 klasik juga mempunyai efek antikolinergik,
dapat menyebabkan gangguan pada jantung dan tidak selektif pada reseptor H1 perifer
karena dapat menembus sawar darah otak sehingga bersifat sedatif. Di antara antihistamin
klasik tersebut, chlorpheniramine mempunyai sifat sedatif yang paling ringan.15
Antihistamin generasi baru yang disebut juga long acting antihistamine karena
bekerja lama (24 jam), tidak menembus sawar darah otak dan selektif terhadap reseptor
H1 perifer sehingga bersifat non sedasi bila diberikan sesuai dosis yang dianjurkan.15
Antihistamin dimetabolisme di hati oleh enzim sitokrom P450 subtipe 3A4 yang
juga dipakai untuk metabolisme obat lain seperti golongan azol (ketoconazole) dan
golongan makrolida. Oleh karena itu pemakaian antihistamin bersamaan dengan obat-
obatan tersebut harus dihindari. Pemakaian beberapa antihistamin ternyata dapat
menyebabkan gangguan jantung akibat blokade pada potassium channel jantung sehingga
memperpanjang interval QT yang dapat menimbulkan torsades de point yang dapat
berakibat kematian.15
Contoh antihistamin generasi baru :
Terfenadine
Astemizole
Oxatomide
Loratadine
Cetirizine
Fexofenadine
Desloratadine
Selain karakteristik non sedatif dan mempunyai efek anti H1 spesifik,
antihistamin baru dilaporkan mempunyai efek anti alergi yang lebih luas karena15 :
- Dapat mengurangi penglepasan PGD2 dan kinin (fexofenadine, loratadin, terfenadin)
- Menekan kemotaksis eosinofil (fexofenadine, cetirizine)
- Mengurangi ekspresi ICAM-1 (fexofenadine, terfenadine, loratadine, cetirizine)
- Menekan penglepasan berbagai macam sitokin (IL-4, IL-5, IL-1) dan leukotrien
(fexofenadine)15
Pada dasarnya antihistamin mempunyai efektivitas yang sama, meskipun
terdapat variasi individual antarpenderita. Karenanya ada kemungkinan bahwa suatu
antihistamin mungkin kurang responsif pada seseorang, sementara antihistamin lain lebih
responsif. Demikian pula efek sedasi suatu antihistamin. Terdapat variasi individual
terhadap efek sedasi antihistamin baik dari golongan sedasi maupun non sedasi.15
Keamanan antihistamin :
a. Salah satu keterbatasan antihistamin klasik adalah adanya efek sedasi, sehingga tidak
dianjurkan bagi penderita yang memerlukan konsntrasi tinggi dalam aktifitas sehari-
harinya. Efek antikolinergik juga harus diwaspadai karena beberapa kasus pemakaian
lama dapat mengganggu aktifitas saluran kencing dan dapat mengganggu penglihatan
serta gangguan jantung.
b. Hampir semua antihistamin dimetabolisme di hati kecuali yang merupakan bentuk
metabolit aktif (cetirizine, fexofenadine dan desloratadine). Oleh karena itu
pemakaiannya harus diperhatikan pada penderita yang mempunyai kelemahan fungsi
hati.
c. Belakangan dilaporkan adanya efek antihistamin ke jantung karena dapat
menyebabkan perpanjangan interval QT yang dapat berakibat terjadinya takikardi
ventrikuler. Efek ini “dose dependent” terutama jika diberikan bersamaan dengan
obat makrolide dan golongan ketokonazole. Perpanjangan interval QT dihubungkan
dengan kejadian “torsades de pointes”. Contoh antihistamin tersebut adalah
terfenadin dan astemizol, sehingga pemakaiannya harus sangat hati-hati bila ada
kecurigaan kelainan jantung atau diperlukan obat makrolide dan golongan
ketokonazole pada penderita tersebut pada saat yang bersamaan. Di beberapa negara
obat tersebut sudah ditarik dari peredaran.15
Rekomendasi :
Antihistamin klasik mungkin mempunyai efektifitas klinik yang setara
dibanding antihistamin yang baru, tetapi antihistamin generasi baru harus
dipertimbangkan sebagai pilihan pertama untuk pengobatan rinitis alergi, kecuali jika
antihistamin baru sukar/tidak dapat diperoleh atau tidak terjangkau oleh penderita. Bila
terpaksa menggunakan antihistamin klasik maka penderita harus dijelaskan tentang efek
samping obat tersebut. 15
Jenis Antihistamin Baru
Nama Dosis Lama Kerja Metabolisme di Hati Efek ke Jantung
Cetirizine
Fexofenadin
Loratadin
Terfenadin
Astemizole
2. Dekongestan hidung
Obat-obat dekongestan hidung menyebabkan vasokonstriksi karena efeknya
pada reseptor alfa adrenergik. Ada beberapa sediaan yang dipakai dalam klinik yang
dapat dipakai secara oral maupun topikal15 :
- Agonis alfa-1 adrenergik (phenyleprin)
- Agonis alfa-2 adrenergik (efedrin, pseudoefedrin, amfetamin)
- Obat-obat mencegah reuptake noradrenalin (cocain, phenylpropanolamin)
Pemakaian topikal sangat efektif untuk menghilangkan sumbatan hidung, tetapi
tidak efektif untuk keluhan bersin dan rinore. Efek vasokonstriksi terjadi dalam 10 menit,
berlangsung kurang lebih 1 jam untuk epinefrin dan 8 – 12 jam untuk oxymetazolin.15
Pemakaian oral seperti :
Ephedrin
Phenyleprin
Phenylpropanolamin
Pseudoephedrin
Efek dekongestan mulai terjadi dalam 30 menit, berlangsung sampai 6 jam atau
8 – 24 jam yang berbentuk sustained release. Efektivitasnya lebih lemah dibanding
pemakaian topikal, tetapi pemakaian lama tidak menyebabkan efek rebound
vasodilatasi.15
Keamanan :
Pemakaian vasokonstriktor topikal dapat menimbulkan rasa hidung terbakar,
kering atau ulserasi mukosa dan bahkan perforasi septum. Pemakaian lebih dari 10 hari
dapat menyebabkan takifilaksis, pembengkakan mukosa dan mengakibatkan drug induce
rhinitis (rinitis medikamentosa).15
Pemakaian sistemik (dose dependent) dapat menimbulkan efek samping :
- Iritabel
- Pusing
- Sakit kepala
- Tremor dan insomnia
- Takikardi dapat terjadi pada wanita hamil
- Hipertensi
- Kadang-kadang halusinasi15
Pemakaian harus ekstra hati-hati pada :
- Penyakit kardiovaskuler (hipertensi, miokard infark)
- Glaukoma
- Hipertrofi prostat
- Ibu hamil15
Rekomendasi :
- Karena resiko terjadinya rinitis medikamentosa, pemakaian topikal terbatas < 10 hari
- Pemakaian topikal harus untuk mengatasi obstruksi hidung yang hebat bersamaan
dengan obat lain
- Pemakaian pada anak-anak < 1 tahun harus sangat hati-hati karena batas yang sempit
antara dosis terapi dan dosis toksik
- Secara umum tidak dianjurkan memberikan pada penderita :
Penderita umur > 60 tahun
Wanita hamil
Hipertensi
Hipertrofi prostat
Glaukoma
Kelainan jiwa
Pemakaian beta bloker
3. Kombinasi antihistamin dan dekongestan oral
Kombinasi kedua obat ini dimaksud untuk mengatasi obstruksi hidung yang
tidak dipengaruhi oleh antihistamin. Tetapi :
- Farmakokinetik kedua obat ini tidak sama dan biasanya diberikan BID.
- Kombinasi antihistamin sedatif dengan dekongestan oral, efek sedasinya tidak
berkurang karena stimulasi vasokonstriktor.15
4. Kortikosteroid
Pemberian sistemik :
Pemakaian sistemik kadang diberikan peroral atau suntikan sebagai depo steroid
intramuskuler. Data ilmiah yang mendukung relatif sedikit dan tidak ada penelitian
komparatif mengenai cara mana yang lebih baik dan hubungannya dengan dose
response.15
Efektivitas dan keamanan :
Glukokortikoid sistemik mempunyai kerja antiinflamasi yang luas dan efektif
untuk hampir semua gejala rinitis, terutama sumbatan hidung. Tidak ada laporan
keamanan untuk pemberian depo glukokortikoid ulangan. Pemberian oral lebih dipilih
karena lebih murah dan dosisnya lebih dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Pemberian
depo akan mengakibatkan penglepasan yang terus-menerus sepanjang hari dan menekan
HPA-axis dan juga dapat berakibat atrofi jaringan lokal. Pemberian depo intranasal pada
konka yang bengkak dan polip harus dihindari, karena dapat menyebabkan efek samping
yang serius (kebutaan).15
Kontraindikasi :
Kontraindikasi untuk glukokortikoid sistemik adalah :
- Glaukoma
- Herpes keratitis
- DM
- Instabilitas psikologis
- Osteoporosis
- Hipertensi berat
- TBC atau infeksi kronik spesifik
Sebaiknya dihindari pada : anak-anak dan wanita hamil.
Glukokortikoid topikal :
Pemakaian topikal glukokortikoid berhasil setelah ditemukan sediaan topikal
yang mempunyai efek anti-inflamasi yang kuat dan mempunyai afinitas yang tinggi pada
reseptornya serta bila mencapai hati akan di-deaktivasi dengan cepat sehingga tidak
mencapai sirkulasi sistemik. Dengan demikian sediaan topikal ini tepat untuk pengobatan
rinitis alergi karena dapat dicapai konsentrasi yang tinggi pada reseptornya di mukosa
hidung dengan risiko efek sistemik yang minimal.15
Beberapa sediaan glukokortikoid topikal :
- Beclometason propionat
- Budesonide
- Flunisolide
- Triamcinolone acetonide
- Fluticasone propionat
- Mometasone fuorate
Efek anti-inflamasi intranasal glukokortikoid pada sel dapat menekan banyak fase proses
inflamasi. Banyak sel yang berperan pada inflamasi alergi di hidung dipengaruhi,
misalnya15 :
- APC (sel Langhans) : sangat sensitif, dipengaruhi up-take dan prosesnya.
- Jumlah sel-sel APC berkurang secara bermakna setelah pemberian kortikosteroid
topikal.
- Eosinofil (terutama intraepitelial) dan produknya juga berkurang secara bermakna.
- Influk basofil dan sel mast di lapisan epitel juga berkurang.
- Beberapa sel seperti makrofag dan neutrofil tidak terpengaruh tidak mempunyai efek
samping pada respon imun dan infeksi bakteri.
- Glukokortikoid mengurangi penglepasan pembentukan mediator : histamin,
prostanoids, leukotrien, yang mungkin karena berkurangnya sel dalam mukosa.15
Efek samping :
Preparat glukokortikoid topikal dapat dipakai dalam waktu lama tanpa atrofi mukosa.
Efek yang dilaporkan :
- Rasa kering
- Terbentuk krusta
- Epistaksis ringan (transien)
- Perforasi septum pernah dilaporkan
- Efek menekan HPA aksis, dilaporkan pada Dexametason topikal
- Pernah dilaporkan menghambat pertumbuhan anak (beclometason)
- Pernah dilaporkan adanya sentral retinopati
- Pada wanita hamil tidak dilaporkan meningkatnya efek teratogenik pada pemakaian
topikal untuk asma15
Rekomendasi :
Dari metaanalisis, pemakaian glukokortikoid lebih efektif dibanding antihistamin untuk
pengobatan rinitis alergi sedang dan berat. Meskipun demikian dalam klinik harus
dipertimbangkan :
- Kesukaan penderita
- Ketaatan penderita
- Kemudahan mendapatkan obat
- Keterjangkauan obat15
5. Imunoterapi
Imunoterapi spesifik adalah memberikan alergen yang sesuai dengan hasil tes
kulit, dosisnya secara bertahap dinaikkan sampai dosis maksimal yang tidak
menimbulkan serangan/gejala alergi. Tujuannya supaya penderita berkurang simptomnya
pada paparan alergen penyebab. Secara klinis imunoterapi pada rinitis alergi terbukti
efektif.15
Injeksi subkutan lebih banyak dipraktekkan. Imunoterapi sublingual/peroral
masih banyak diteliti dan mulai banyak dipakai. Kemungkinan terjadi efek samping
anafilaksi sistemik pada suntik, imunoterapi pada rinitis alergi lebih kecil daripada
penderita asma. Meskipun demikian, resiko terjadinya reaksi anafilaksis sistemik
mengakibatkan keterbatasan pengobatan ini. Pemberian imunoterapi spesifik harus
diberikan oleh spesialis yang berpengalaman atau terlatih dan menyadari kemungkinan
terjadinya efek samping sistemik dan mampu untuk mengatasinya bila sewaktu-waktu
terjadi. Pemberian imunoterapi yang ideal dengan menggunakan cara end poit titration
(SET).15
Rekomendasi :
Imunoterapi hanya boleh dilakukan :
1. Jelas disebabkan oleh adanya Ig E (tes kulit atau Ig E spesifik)
2. Bila jelas ada hubungan klinis antara hasil tes kulit dan timbulnya gejala
3. Oleh/atas tanggungjawab dokter karena adanya resiko reaksi anafilaksi
4. Pada RA yang sedang-berat dan lamanya keluhan (ukuran obyektif seperti gangguan
sekolah/kerja, perhatikan fungsi paru : bila ada asma tidak dianjurkan. Harus ada
monitoring fungsi paru).
5. Bila respom terhadap pengobatan lain seperti farmakoterapi kurang memuaskan
penderita.
6. Tersedia vaksin/alergen yang terstandarisasi/berkualitas.
7. Kontraindikasi : menggunakan beta bloker, terdapat penyakit imunologis, penderita
yang tidak dapat taat berobat.
8. Faktor sosial : biaya, jarak dengan fasilitas pengobatan dan pekerjaan penderita.15
Penatalaksanaan rinitis alergi sesuai WHO-ARIA
Gambar 9. Penatalaksanaan Rinitis Alergi Sesuai WHO-ARIA. Kelompok studi alergi-imunologi
PERHATI.
B. Sinusitis
Pengobatan sinusitis paranasal ditujukan kepada penyebab, Pada sinusitis akut jika
penyebabnya kuman, antibiotika golongan amoksisilin merupakan pilihan pertama. Jika kumannya
mengeluarkan enzim beta laktam seperti H. influenza, B. catarrhalis atau S. aureus golongan
amoksisilin-asam klavulanat, trimetoprim-sulfametoksasol atau eritromisin dapat diberikan.
Pengobatan dasar dengan antibiotika ini diberikan selama 2 minggu, jika tidak ada perbaikan
antibiotioka dari golongan lain seperti klidamisisn, sefalosporin dapat diberikan. Sinusitis karena
kalainan gigi biasanya karena bakteri anaerob atau campuran dari keduanya. Untuk itu diperlukan
metronidazole.15
Pengobatan tambahan seperti pemberian dekongestan hidung, antihistamin, analgetik,
kortikosteroid, mukolitik diberikan berdasarkan kebutuhan sesuai dengan gejala yang timbul.
Pengobatan opeartif hanya dilakukan pada sinus yang tidak sembuh dengan pengobatan
konservatif. Tindakan sederhana seperti punksi dan irigasi sinus maksila dilakukan pada fase
akut.15
Gambar 10. Bagan penatalaksanaan sinusitis
BAB VI
PROGNOSIS RHINITIS ALERGIKA DAN SINUSITIS
Quo ad vitam: ad bonam. Rhinitis alergika dan atau sinusitis tidak mengancam nyawa penderita.
Quo ad sanam: dubia ad malam. Penderita rhinitis alergika dan atau sinusitis memiliki risiko
rekurensi jika alergen tidak dapat dihindari atau jika penyebab sinusitis adalah kelainan kompleks
osteomeatal.
Quo ad fungsionam: dubia ad bonam. Fungsi hidung pada penderita rhinitis alergika dapat
terganggu apabila terus terjadi serangan. 11
Komplikasi yang dapat terjadi melalui alur: Direk/langsung (melalui dehisensi konginetal ataupun
adanya erosi pada tulang barier terutama lamina papirasea) dan retrograde tromboplebitis (melalui
anyaman pembuluh darah yang berhubungan langsung antara wajah, rongga hidung, sinus dan
orbita).10,11
1. Rhinitis alergika
a. Polip hidung: akibat proses inflamasi kronis dari rhinitis alergika
b. Otitis media: akibat dekatnya anatomi hidung-telinga dan adanya infeksi sekunder
yang menyertainya
c. Sinusitis paranasal: proses sinusitis yang mengenai seluruh lokasi sinus
2. Sinusitis
a. Kelainan orbita
Klasifikasi komplikasi intraorbita (Chandler at al) :
1. Selilitis periorbita : gejala yang tampak adanya odem dan hiperemis daerah
periorbita.
2. Selulitis orbita : tampak adanya proptosis, kemosis, penurunan gerak ekstra okuler.
3. Abses subperiosteal : tertimbunnya pus diantara periorbita dan dinding tulang
orbita. Gejala proptosis lebih jelas dan penurunan gerak.
4. Abses orbita : pus tertimbun di dalam orbita, gejalnya optalmoplegi, proptosis dan
kebutaan.
5. Trombosis sinus kavernosus : sama dengan gejala nomor 4 disertai tanda-tanda
meningitis.
b. Kelainan intrakranial
Tahap komplikasi intrakranial :
1. Osteomielitis : penyebaran infeksi melalui anyaman pembuluh darah ke tulang
kranium mengakibatkan erosi tulang.
2. Epidural abses : timbunan pus diantara duramater dan ruang kranium. Gejala
sangat ringan, tanpa ada gangguan neurologi, ada nyeri kepala yang makin lama
dirasakan makin berat dan sedikit demam.
3. Subdural empiema: terjadi karena retrograde tromboplebitis ataupun penyebaran
langsung dari abses epidural. Gejala nyeri kepala hebat, ada tanda-tanda
iskemik/infark kortek seperti hemiparesis, hemiplegi, paralisis n.Facialis, kejang,
peningkatan tekanan intrakranial, demam tinggi, lekositosis dan akhirnya
kesadaran menurun.
4. Abses otak. Lokasi di daerah frontal paling sering disebabkan sinusitis frontal
dengan penyebaran retrograde, septik emboli dari anyaman pembuluh darah. Bila
odem terjadi di sekitar otak, tekanan intrakranial akan meningkat, gejala-gejala
neurologi jelas tampak, ancaman kematian segera terjadi bila abses ruptur.
5. Meningitis: karena infeksi sekunder dari sinus etmoid dan sfenoid. Gejala-gejala
tampak jelas : adanya demam, sakit kepala, kejang, diikuti kesadaran menurun
sampai koma.
BAB VII
PENCEGAHAN DAN EDUKASI RHINITIS ALERGIKA DAN SINUSITIS
A. Rhinitis Alergika
Edukasi pasien dengan rhinitis alergika5 :1. Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit dan penatalaksanaannya2. Menyarankan kepada pasien untuk tes alergi3. Menyarankan pada pasien untuk semaksimal mungkin menghindari alergen4. Menyarankan pada pasien untuk memakai obat sesuai anjuran dokter, dan berobat
kembali bilamana setelah pemakaian gejala belum berkurang
B. Sinusitis
Edukasi bagi pasien sinusitis9 :1. Menjelaskan pada pasien tentang penyakit dan penatalaksanaannya2. Mengontrol faktor-faktor resiko seperti3. meningkatkan higienitas, terutama menjaga higienitas gigi dan mulut4. Menjaga kebersihan lingkungan5. Menghindari alergen6. Memakai obat sesuai anjuran7. Segera memeriksakan diri ke dokter apabila sakit batuk pilek