Anarkisme Ilmu Pengetauan (Analisis Terhadap Konstruksi Epistimologi Paul Karl Feyerabend 1924-19

218
ANARKISME ILMU PENGETAHUAN (Analisis Terhadap Konstruksi Epistemologi Paul Karl Feyerabend, 1924-1994) S K R I P S I Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Untuk Memenuhi sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) Filsafat Islam Disusun Oleh: FATHORRAHMAN NIM. 0051 0251

Transcript of Anarkisme Ilmu Pengetauan (Analisis Terhadap Konstruksi Epistimologi Paul Karl Feyerabend 1924-19

ANARKISME ILMU PENGETAHUAN (Analisis Terhadap Konstruksi Epistemologi Paul Karl Feyerabend, 1924-1994)

SKRIPSIDiajukan kepada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Untuk Memenuhi sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) Filsafat Islam

Disusun Oleh: FATHORRAHMAN NIM. 0051 0251

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2005

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini terdapat perhatian yang semakin besar terhadap filsafat ilmu. Dinamika perkembangan ilmu yang begitu pesat dan cepat serta pengaruhnya yang cukup signifikan terhadap kehidupan masyarakat, menuntut intensitas pemikiran kita untuk mempelajari berbagai metode cabang ilmu secara terpadu dan berkesinambungan. Hakikat ilmu sebagai suatu kumpulan pengetahuan berdaya guna memberikan dorongan bagi kita dalam menjelaskan, meramalkan dan mengontrol gejala-gejala alam. Pengetahuan yang merupakan produk kegiatan berpikir merupakan obo r peradaban telah memungkinkan manusia menemukan jati dirinya dan menghayati hidup dengan lebih sempurna. Berbagai peralatan serta merta dikembangkan manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya. Proses penemuan dan penerapan itulah yang menghasilkan kapak dan batu zaman dulu sampai komputer hari ini. Berbagai masalah memasuki benak pemikiran manusia dalam menghadapi kehidupan sehari-hari, dan beragam buah pemikiran telah dihasilkan sebagai bagian dari sejarah kebudayaannya. Meskipun tampak betapa banyak dan beraneka ragamnya buah pemikiran itu, namun pada hakikatnya upaya manusia dalam memperoleh pengetahuan didasarkan pada tiga masalah pokok, yakni: Apakah yang ingin kita ketahui?

Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan? dan Apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita?1 Hal ini juga sesuai dengan dimensi utama filsafat ilmu itu sendiri sebagai sebuah proses penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya. Sebab filsafat ilmu itu sendiri bersinggungan pula dengan bagian-bagian filsafat sistematik lainnya, seperti filsafat pengetahuan (hakikat serta otentisitas pengetahuan), ontologi (ciri-ciri serta susunan kenyataan) dan filsafat kesusilaan (nilai-nilai serta tanggungjawab).2 Pertanyaan itu kelihatannya sederhana namun mencakup permasalahan yang sangat azasi. Lahirnya sejumlah karya pemikiran besar pun sebenarnya merupakan wujud nyata dari keseriusan kaum intelektual dalam rangka merumuskan format penafsiran baru yang lebih bermutu atas ketiga pertanyaan tersebut di atas. Pemikiran-pemikiran besar dalam sejarah kebudayaan manusia dapat dicirikan dan dibedakan dari cara mereka menjawab dan menyikapi pertanyaan-pertanyaan itu yang merupakan titik tolak dalam pengemban gan pemikiran selanjutnya. Ilmu merupakan salah satu bentuk manifestasi dari pengetahuan manusia yang pada abad modern ini telah merasuki setiap sudut kehidupan manusia. Salah satu pandangan kontemporer tentang ilmu yang paling menantang dan provokatif adalah pandangan yang dikemukakan dan dibela secara gemilang oleh Paul Karl Feyerabend. Ia mengajukan pandangan yang sangat menantang dan baru dalam filsafat ilmu. Baginya, tidak ada penilaian mengenai watak dan statusJujun Suparjan Suriasumantri (penyunting), Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakikat Ilmu (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm. 2. Beerling, et.al., Pengantar Filsafat Ilmu, alih bahasa Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hlm. xii.2 1

ilmu akan lengkap tanpa suatu usaha untuk memahaminya secara integral dan holistik. Untuk bisa menghargai ilmu sebagaimana mestinya sesungguhnya kita harus mengerti apakah hakikat ilmu itu sebenarnya secara mendalam, sehingga hal tersebut bukan saja akan meningkatkan apresiasi kita terhadap ilmu itu sendiri, namun juga membuka mata kita terhadap berbagai kekurangan yang

dikandungnya. Mereka yang mendewa-dewakan ilmu sebagai satu-satunya sumber

kebenaran biasanya tidak mengetahui hakikat ilmu yang sebenarnya. Demikian juga sebaliknya dengan mereka yang memalingkan muka dari ilmu, dan tidak mau melihat kenyataan bahwa ilmu telah mampu membentuk peradaban seperti apa yang kita saksikan sekarang ini, kepicikan seperti itu kemungkinan besar disebabkan karena mereka kurang mengenal hakikat ilmu yang seb enarnya. Menghadapi dua pola pendapat yang ekstrem ini seyogianya kita harus bersikap lapang dan bijak dengan menyadari bahwa meskipun ilmu memang memberikan gambaran konseptual tentang hakikat kebenaran, namun kebenaran keilmuan bukanlah satu-satunya sumber kebenaran dalam hidup kita ini. Terdapat berbagai model kebenaran lain yang memperkaya khazanah kehidupan kita. Kehidupan terlalu rumit untuk dianalisis hanya oleh satu jalan pemikiran saja. Adalah ketinggi hatian yang tidak mempunyai dasar sama sekali, jika kita beranggapan bahwa ilmulah alpha dan omega dari segala kebenaran yang ada. Dalam konteks pemikiran inilah, Paul Karl Feyerabend ingin melihat mengapa pada abad modern ini ilmu pengetahuan diberi penghargaan tinggi

dalam masyarakat dibandingkan bidang-bidang lainnya. Seolah-olah kini ilmu pengetahuan bersifat "anarkis".3 Feyerabend menyesalkan pembela-pembela ilmu yang secara tipikal menilai ilmu adalah superior atas bentuk-bentuk pengetahuan lain tanpa melakukan penyelidikan yang layak mengenai be ntuk-bentuk pengetahuan lain.4 Ia mengemukakan bahwa banyak kaum metodologis sudah menganggap benar tanpa argumentasi, bahwa ilmu (fisika) membentuk paradigma rasionalitas. Secara kritis Feyerabend menulis tentang Imre Lakatos yang dianggapnya sebagai rekan anarkis karena metodologinya tidak menyediakan hukum -hukum untuk memilih teori atau program: "Setelah menyelesaikan rekonstruksinya tentang ilmu modern, ia (Lakatos) mengalihkannya ke bidang -bidang lain seolaholah telah mapan bahwa ilmu modern lebih ung daripada sihir-sihir atau ilmu gul Aristotelian, dan bahwa ia tidak mempunyai hasil-hasil ilusif. Namun, tidak ada secuil pun argumentasi yang dikemukakannya. 'Rekonstruksi rasional'

menganggap 'kearifan ilmiah' sudah benar, tetapi tidak dibuktikan bahwa a lebih i baik daripada 'kearifan' para ahli sihir dan tukang -tukang sulap. Feyerabend menggambarkan hal tersebut dengan pernyataan berikut: Having finished his reconstruction of modern science, he turns it against other fields as if it had already been established that modern science is superior to magic, or to Aristotelian science, and that it has no illusory results. However, there is not a shared of an argument of this kind. Rational reconstructions take basic scientific wisdom for granted, they

Prasetya T.W., "Anarkisme dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl Feyerabend", dalam Tim Redaksi Driyarkara (penyunting), Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 47. A.F. Chalmers, Apa itu yang dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian Tentang Watak dan Status Ilmu serta Metodenya (Jakarta: Hasta Mitra, 1982), hlm. 149.4

3

do not show that it is better than the basic wisdom of witches and warlocks. 5 Feyerabend tidak bersedia menerima keharusan superioritas ilmu atas bentuk-bentuk pengetahuan lain, karena hal semacam itu hanya akan

membenarkan tentang adanya suatu fenomena penjajahan intelektual secara terselubung. Dari segi tesisnya tentang ilmu-ilmu yang tidak bisa saling diukur, ia juga menolak ide bahwa akan bisa lahir suatu argumen menentukan yang menguntungkan ilmu atas bentuk-bentuk pengetahuan lain. Apabila ilmu hendak diperbandingkan dengan bentuk -bentuk pengetahuan lain, maka diperlukan penyelidikan terhadap watak, tujuan dan metode dari ilmu itu serta bentuk-bentuk pengetahuan lainnya. Hal ini harus dilakukan dengan meneliti "catatan-catatan sejarah, buku-buku pelajaran, tulisan-tulisan orisinal, pembicaraan serta surat-surat pribadi, dan sebagainya". Ia mengatakan, that is, we shall have study historical recordstexbooks, original papers, records of meetings and private conversations, letters, and like.6 Ia pun tidak bisa sekedar asumsi tanpa penelitian lebih jauh, bahwa suatu bentuk pengetahuan yang sedang diteliti itu harus sesuai dengan hukum -hukum logika, sebagaimana yang biasanya dipahami oleh para filsuf dan rasionalis kontemporer. Feyerabend meyakini bahwa tidak ada metodologi ilmu yang ada selama ini yang bisa bertahan dari perubahan. Secara meyakinkan Feyerabend

mengemukakan bahwa metodologi-metodologi ilmu gagal menyediakan hukum hukum yang memadai untuk membimbing aktivitas para ilmuwan. Menurut5 Paul Karl Feyerabend, Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge (London: New Left Books, 1975), hlm. 205. 6 Ibid., hlm. 253.

Feyerabend, mengingat kompleksitas sejarah, maka tidak masuk akal untuk mengharapkan ilmu dapat diterangkan hanya atas dasar beberapa hukum metodologi yang terlalu simplistik (sederhana) dan superfisial (dangkal). Feyerabend adalah penganjur pluralisme metodolog yang i menolak

pandangan idealisme dan naturalisme. Idealisme berpendapat bahwa rasionalitas adalah agung, bersifat universal, terlepas dari subyektivitas, konteks dan historisitas. Baik rasionalisme maupun empirisme mendukung rasionalitas yang menurutnya universal dengan cara yang berbeda. Seperti halnya Kuhn yang berasumsi bahwa tidak ada suatu teori apa pun yang bertahan dalam sejarah, Feyerabend menyangkal adanya rasionalitas yang universal dan historis. Maksudnya, kebenaran universal yang tidak terikat dengan ruang dan waktu, yang merupakan pedoman untuk menilai suatu teori lebih baik daripada yang lainnya.7 Kesamaan Feyerabend dengan Kuhn terletak pada tesis keduanya yang menyatakan bahwa ilmu-ilmu atau teori-teori tidak bisa saling diukur dengan standar yang sama. Feyerabend beranggapan bahwa makna dan interpretasi tentang keterangan observasi tergantung pada konteks teoretis. Dengan begitu, ia ingin menentang pandangan yang memisahkan teori dan observasi. Konsekuensi logisnya adalah, tidak mungkinlah merumuskan keterangan observasi yang sama dalam suatu konteks yang berbeda. Perbedaan dua teori atau

Akhyar Yusuf Lubis, Paul Feyerabend: Penggagas Anti-Metode (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 119 dan 116.

7

lebih cukup mendasar, sehingga tidak mungkin saling membandingkan teori teori rival secara logis.8 Dalam sebuah kutipan yang agak panjang, Feyerabend mengatakan: The idea that science can, and should, be run according to fixed and universal rules, is both unrealistic and pernicious. It is unrealistic, for it takes too simple a view of the talents of man and of the circumstances which encourage, or cause, their development. And it is pernicious, for the attempt to enforce the rules is bound to increase our professional qualifications at the expense of our humanity. In addition, the idea is detrimental to science, for it neglects the complex physical and historical conditions which influence scientific change. It makes our science less adaptable and more dogmaticAll methodologies have their limitations, and the only rule that survives is anything goes. 9 [Ide bahwa ilmu dapat dan harus berjalan sesuai dengan hukum-hukum universal yang mapan, adalah tidak realistis dan juga merusak. Ia tidak realistis, karena terlalu menyederhanakan bakat manusia dan keadaan lingkungan yang mendorong atau menyebabkan perkembangan. Dan ia merusak, karena usaha untuk memberlakukan hukum-hukum itu cenderung meningkatkan kualifikasi profesional kita yang mengorbankan rasa kemanusiaan. Selain itu, ide itu pun merugikan ilmu, karena ia mengabaikan kondisi fisik dan historis yang kompleks yang mempengaruhi perubahan ilmiah. Ia menyebabkan ilmu semakin kurang bisa dikelola dan semakin dogmatikSemua metodologi mempunyai keterbatasannya dan satu-satunya 'hukum' yang survive adalah 'apa saja boleh']. Kasus Feyerabend yang menentang metode, memukul metodologi -

metodologi yang dianggap telah memberikan hukum-hukum untuk membimbing para ilmuwan ini ternyata ditunjang dengan alasan yang kuat. Menurutnya: the methodology of research programmes provides standar that aid the scientist in ds evaluating the historical situation in which he makes his decisions; it does not

Christiaan R.O.M. Verhaak dan Robert Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah atas Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 167-168.9

8

Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 295-6.

contain rules that tell him what to do.10 Maksudnya, "Metodologi dan program program riset menyediakan standar-standar yang membantu ilmuwan menilai situasi historis untuk mengambil keputusan-keputusannya; ia tidak berisi hukumhukum yang mendikte apa yang harus diperbuat ilmuwan. Maka tidaklah bijaksana, bahwa para ilmuwan dalam melakukan pemilihan-pemilihan dan keputusan-keputusan terikat oleh hukum-hukum yang diatur atau terkandung di dalam metodologi-metodologi ilmu. Feyerabend membela apa yang ia sebut sebagai "sikap kemanusiawian" yang memandang bahwa manusia individual harus bebas dan memiliki kebebasan sebagaimana yang diperjuangkan John Stuart Mill. Feyerabend menyetujui usaha meningkatkan kebebasan menuju ke kehidupan yang penuh dan produktif. Ia mendukung Mill dalam membela "pembinaan individualitas yang secara pribadi mampu berproduksi sendiri, atau dapat memproduksi manusia -manusia yang maju". Feyerabend menyatakan bahwa, It is in conflict with cultivation of individuality which alone produces, or can produce, well-developed human beings.11 Dari sudut pandang kemanusiawian ini, pemikiran anarkis Feyerabend tentang ilmu mendapatkan dasar pembenarannya, karena di dalam ilmu ia memang diarahkan guna meningkatkan kebebasan i dividu dengan memacu n penyingkiran segala macam kungkungan metodologis. Dalam konteks yang lebih luas, ia senantiasa mendorong semangat kebebasan bagi para individu untuk memilih antara ilmu dan bentuk -bentuk10 11

Ibid., hlm. 186. Ibid., hlm. 20.

pengetahuan lain. Jadi jelas sekali, bahwa Feyerabend menolak sikap otoriter dalam bentuk apapun juga. Feyerabend hendak mendobrak anggapan bahwa ada keteraturan dalam perkembangan ilmu yang hendak diwujudkan dalam hukum dan sistem. Sebab pada dasarnya ilmu pengetahuan dan perkembangannya tidak bisa dierangkan t ataupun diatur oleh segala macam aturan dan sistem maupun hukum yang berlaku. Ia harus bebas karena memang kegiatan ilmiah atau ilmu pengetahuan merupakan suatu upaya yang anarkistik. Pendapat Feyerabend ini juga harus dilihat sehubungan dengan analisisnya tentang masyarakat. Dalam perspektif Paul Karl Feyerabend, perkembangan ilmu di dalam masyarakat kita tidak lagi konsisten dengan sikap kemanusiawian. Di kalangan masyarakat kita dewasa ini, ilmu pengetahuan menduduki posisi yang sama dengan posisi agama seperti halnya pada masa Abad Pertengahan. Ilmu pengetahuan memiliki kuasa mutlak. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan tidak lagi berfungsi membebaskan manusia, namun justru menguasai dan memperbudak manusia. Apa yang perlu kita lakukan dalam masa ini, tulis Feyerabend, adalah lah "membebaskan masyarakat dari kungkungan ilmu yang membatu secara

ideologis, persis seperti nenek moyang kita membebaskan kita dari kungkungan 'agama satu-satunya' yang benar". Ia menyatakan, let us free society from the strangling hold of an ideologically petrified science just as our ancestors freed us from the strangling hold of the One True Religion!.12

12

Ibid., hlm. 307.

Hal ini perlu ditempuh karena menurut citra Feyerabend, setiap individu dilahirkan ke dalam suatu masyarakat yang sudah eksis lebih dulu, dan dalam pengertian itu, masyarakat itu bukanlah pilihannya yang bebas. Kebebasan yang dimiliki seorang individu akan tergantung pada posisi yang ia duduki di dalam struktur sosial tersebut, dan oleh karena itu, suatu analisa tentang struktur sosial bersangkutan merupakan prasyarat untuk mengerti tentang kebebasan sang individu. Setidaknya ia menyadari hal semacam ini dan dalam satu bagian tentang kebebasan riset, Feyerabend menulis: The scientist is still restricted by the properties of his instruments, the amount of money available, the intelligence of his assistants, the attitude of his colleagues, his playmetshe or sheis restricted by innumerable physical, physiological, sociological, historical contraints 13 . Artinya bahwa, "Ilmuwan masih dibatasi oleh sifat-sifat dari instrumeninstrumennya, jumlah uang yang bisa diperolehnya, kecakapan para asistennya, sikap rekan-rekannya, teman-teman mainnyalelaki atau perempuania dibatasi oleh banyak sekali kekangan fisik, psikologis, sosiologis dan historis".

Seluruh pembicaraan dan perdebatan tentang pemikiran Paul Karl Feyerabend tersebut di atas tersimpul dalam sebuah mainstream yang padat makna, anarkisme ilmu pengetahuan, sebagai suatu kritik yang diajukan dan ditujukan untuk semakin dapat menemukan wajah ilmu pengetahuan yang sebenarnya. Atas nama kebebasan individu, Feyerabend mengkritik ilmu dari dua sisi yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.13

Ibid., hlm. 187.

Yang

pertama,

dengan

memegang

semboyan

anti metode -

(Against

Method), Feyerabend ingin melawan batang tubuh beserta

metode ilmu

pengetahuan yang oleh para ilmuwan dianggap mempunyai satu metode yang baku dan universal serta tahan sepanjang masa, dan juga dapat membawahi semua fakta dan penelitian. Kemudian, atas nama kebebasan yang sama, Fe yerabend mempunyai sikap anti-ilmu pengetahuan (Against Science) sebagai kritik terhadap praktek ilmiah, kekuasaan, fungsi dan kedudukan ilmu pengetahuan dalam masyarakat yang kerapkali melampaui maksud utamanya. Dengan posisi seperti ini, ia hendak melawan ilmu pengetahuan yang oleh para ilmuwan dianggap lebih unggul daripada bidang-bidang atau bentuk-bentuk pengetahuan lain semisal sihir, magi, voodoo, mitos, dan sebagainya. Feyerabend menyimpulkan bahwa, sains maupun rasionalitas bukanlah ukuran unggul yang universal. Keduanya adalah tradisi partikular yang tidak menyadari latar historisnya sendiri. Ilmu pengetahuan sebagaimana tinjauan historis Feyerabend, lebih merupakan suatu perkembangan dari berjuta-juta alternatif, satu dengan yang lain tidak selalu terdapat konsistensi atau kesepadanan.14 Maksud dari semua itu sebenarnya adalah, Feyerabend ingin mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu bukanlah ideologi yang berisi omong kosong belaka yang dipropagandakan oleh para ilmuwan. Ia memilih istilah realisme imiah yang l

14

Akhyar Yusuf Lubis, op.cit., hlm. 130.

dalam salah satu bentuknya berupa aktivitas-aktivitas kita mengumpulkan pengetahuan sebagai jalan terbaik untuk memahami dunia. Dalam pengertian ini berarti ilmu pengetahuan tidak hanya sanggup menghasilkan prediksi-prediksi saja, melainkan juga berpotensi untuk menggali hakikat realitas yang menjadi cita-cita dari pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Realisme ini akan bisa terwujud pada saat teori-teori, sistem pemikiran, dan kerangka-kerangka pandang diterapkan dalam bentuknya yang paling kuat, bukan sekedar sebagai skema-skema bagi setiap proses kejadian yang kodratnya ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan eksternal, tetapi sekaligus juga bertindak sebagai penentu orientasi keilmuan yang telah dirancangnya. Pada akhir kegelisahan intelektualnya, Feyerabend menawarkan terma anarkisme sebagai obat mujarab dalam menyembuhkan epistemologi dari sakitnya. Sebagai obat bukan berarti ilmu pengetahuan harus menjadi anarkis, namun baik epistemologi maupun filsafat ilmu pengetahuan harus menerima anarkisme agar dengan demikian kita akan kembali kepada bentuk -bentuk rasionalitas yang lebih jelas dan bebas, kurang lebih seperti yang diproyeksikan dan diidealisasikan oleh Feyerabend. Adanya klaim bahwa anarkisme ilmu pengetahuan sebagai bentuk kesewenang-wenangan epistemologis Feyerabend perlu kiranya dimengerti dalam porsi pemahaman yang tepat dan seimbang. Sebab pada kenyataannya istilah ekstrem itu dimaksudkan untuk memberikan kritik eksternal terhadap metode dan praktek ilmu pengetahuan yang acapkali mengaburkan karakter dan tujuan dasar utamanya. Tetapi hal itu mungkin bisa dipahami karena memang seorang anarkis

di bidang ilmu pengetahuan oleh Feyerabend diistilahkan mengutip pendapat Hans Richtersebagai dadais yang anti terhadap segala bentuk kemapanan. Maka berkaitan dengan persoalan itu pula, skripsi ini diangkat guna menelaah lebih jauh mengenai beberapa pokok pemikiran Feyerabend beserta aspek penting lain yang terdapat di dalamnya. Secara khusus, dalam tulisan ini penulis ingin melacak dan mengurai sejauhmana konsistensi dari seluruh sistem pemikiran Feyerabend dalam alur sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dengan berbagai tawaran metodis yang disodorkannya. Sebagai sebuah kajian serius tentang tokoh filsafat ilmu pengetahuan baru, Feyerabend melontarkan gagasan kritis-progresif yang sayangnya sampai saat ini masih relatif kurang bisa dibaca, dipelajari dan diakses lebih jauh oleh para peminat filsafat pada khususnya serta kalangan dunia akademis pada umumnya. Mungkin hal inilah yang kemudian menjadi latar dari pemilihan tokoh dan pembahasan topik Paul Karl Feyerabend, yang dalam rekaan awal penulis, beberapa pandangan ilmu pengetahuannya tidak lebih hanya sekedar reaksi keilmuan mengenai presuposisi-presuposisi akan adanya berbagai deviasi

(penyimpangan) nilai-nilai etis-praktis ilmu pengetahuan yang diterapkan oleh para ilmuwan kala itu saja. Namun setelah melalui proses studi yang runut dan seksama, ternyata penulis menemukan beberapa endapan gagasan vital dan relatif belum banyak diperbincangkan muatan-muatan filosofisnya, yang selain disinyalir menjadi tonggak kebangkitan era filsafat ilmu pengetahuan baru pasca dominasi aliran Positivisme Logis, juga telah dianggap berhasil memecahkan kebuntuan

monometodologi

ilmu

pengetahuan

untuk

direinterpretasikan

dan

direformulasikan secara paradigmatik dan anarkistik, tanpa terikat oleh hukum hukum positivistik-logis yang berkembang sebelum masa Feyerabend. Pondasi ilmu pengetahuan Feyerabend yang berusaha mendobrak

keangkuhan format dan prosedur-prosedur sains modern ini telah menggugah kesadaran kolektif kita untuk merefleksikan ulang tentang asumsi-asumsi ilmiah sebagai simbol kemajuan peradaban modern, yang telah beralih fungsi menjadi semacam arogansi intelektual, atau terkesan hanya menjadi menara gading, dan pada akhirnya berujung pada retorika serta ideologi tertutup yang penuh kedangkalan makna dan kepentingan-kepentingan tertentu. Maka dengan pluri-metodologi dan pandangan konstruktivis-kontekstualis seperti yang dinyatakan oleh Feyerabend, kita jadi mafhum bahwa semua klaim pengetahuan (fakta, kebenaran, validitas) hanya dapat dimengerti dan

diperdebatkan dalam konteks dan dalam paradigma atau komunitas tertentu pula. Tidak satupun yang diterima sebagai fakta, teori, atau kesimpulan yang sele sai atau final, sebab penerimaan atas pluri-metodologi Feyerabend ini memang mengandaikan adanya berbagai standar kebenaran. Dengan mengacu pada realitas historis seperti itu, penulis pun

berketetapan hati untuk menempatkan segi-segi fundamental filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend tersebut sebagai starting point dan landasan pemikiran dalam menggali dan mengolah ide-ide dasar ilmu pengetahuan Paul Karl Feyerabend secara lebih jelas dan obyektif. Harapannya, paling tidak urgensi

topik dalam penulisan karya ilmiah ini bisa menambah koleksi seri tokoh filsafat ilmu di masa mendatang.

B. Rumusan Masalah Dari deskripsi umum di atas, ada beberapa kata kunci yang perlu kiranya dicermati dari pola pemikiran yang dibangun oleh tokoh utama dalam fokus kajian skripsi ini, yakni Paul Karl Feyerabend. Banyak jalinan ide penting Feyerabend yang saling berhubungan dalam membentuk konsep -konsep penting lainnya sehingga semakin memperkokoh landasan teoretis yang dituangkan semasa hidupnya. Oleh karena itu, agar alur pembahasan ini tepat sasaran, terarah dan sesuai dengan maksud dan tujuan penulisan skripsi ini, maka tentu saja ruang lingkup masalah yang akan dijadikan sumber acuan nantinya terbatas dan terumus dalam masalah-masalah berikut, yaitu: 1. Bagaimana prinsip-prinsip ilmu pengetahuan Paul Karl Feyerabend dalam filsafat ilmu pengetahuannya? 2. Bagaimana corak pemikiran anarkisme ilmu pengetahuan Paul Karl Feyerabend?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Adapun tujuan dan kegunaan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui prinsip-prinsip ilmu pengetahuan Paul Karl Feyerabend secara utuh dan mendalam.

2. Mengetahui corak pemikiran anarkisme ilmu pengetahuan yang digunakan oleh Paul Karl Feyerabend secara jelas dan memadai.

D. Metodologi Penelitian Menurut sumber bacaan yang ada, metodologi penelitan merupakan i15 serangkaian metode yang saling melengkapi dalam melakukan penelitian. Sifat

dari penelitian ini sendiri adalah kajian kepustakaan (Library Research) yang memuat data-data dan bahan-bahan yang mendukung dan melengkapi terhadap isi pembahasan ini baik berupa buku, ensiklopedi, jurnal, artikel, dan sebagainya. Selanjutnya dalam proses pengumpulan data-data tersebut, penulis

berusaha untuk menghimpun data primer maupun sekunder yang sekiranya ada kaitannya dengan pokok pembicaraan dalam skripsi ini. Data primer itu berupa buku masterpiece Paul Karl Feyerabend sendiri yang berjudul Against Method, sedangkan data sekunder adalah berupa karya -karya Feyerabend lainnya yang dilengkapi pula dengan tulisan atau karya ilmiah para ahli yang secara khusus mengkaji dan membahas tentang pemikiran Paul Karl Feyerabend. Disamping itu, penelitian ini juga merupakan penelitian historis-faktual mengenai seorang tokoh16, dalam hal ini Paul Karl Feyerabend. Dalam kaitan ini, penulis berusaha menyelami pikiran, karya d latar belakang historis yang an melingkupi sejarah kehidupan dan keilmuannya.

Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Pedoman Penulisan Proposal dan Skripsi (Yogyakarta: Fak. Ushuluddin, 2002), hlm. 9. Anton Bakker dan A. Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 61.16

15

Untuk mempermudah prosedur

pengolahan data

itu,

maka

dalam

penelitian ini penulis menggunakan metode-metode khusus, yaitu: (1) Deskriptif. Dengan metode ini, peneliti menguraikan dan membahas secara sistematis dan terperinci seluruh konsepsi pemikiran tokoh yang bersangkutan.17 Dalam konteks ini, penulis akan menggambarkan dan menguraikan sepenuhnya dengan memakai analisis filosofis tentang konstruksi filsafat ilmu pengetahuan Feye rabend dan beberapa gagasan penting lainnya secara lebih lengkap dan jelas. (2) Interpretatif. Dalam hal ini, peneliti berusaha menyelami karya tokoh untuk menangkap18 kandungan arti dan nuansa yang dimaksudkan secara spesifik. (3) Analisis.

Dengan cara ini, penulis akan merinci istilah-istilah atau pendapat-pendapat tokoh (Feyerabend) ke dalam bagian-bagian khusus tertentu sehingga dapat dilakukan pemeriksaan atas arti yang dikandungnya, dengan maksud untuk memperoleh kejelasan tentang arti yang sebenar-benarnya.19 Dengan begitu, diharapkan nantinya akan bisa diperoleh suatu pemahaman yang benar pula tentang ciri, sifat, latar belakang dan ide-ide dasar Feyerabend itu sendiri.

E. Tinjauan Pustaka Diantara para filsuf sezamannya, Feyerabend dinilai paling kontroversial, paling berani dan paling ekstrem, yang terutama didasarkan pada karya

17

Ibid., hlm. 65.

18 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 98. Lihat juga dalam Anton Bakker dan A. Charris Zubair, op.cit., hlm. 63. 19 Ibid., hlm. 60.

monumentalnya, Against Method. W.H. Newton-Smith20 menilai bahwa tidak ada kritik terhadap ilmu pengetahuan setegar dan selantang kritik Feyerabend. Kritik yang disampaikan melalui buku itu telah menggambarkan panggung filsafat pada tahun 70-an21 yang banyak mengundang polemik dan perdebatan sengit. Sudah ada beberapa literatur yang mengupas jejak-jejak pemikiran Feyerabend, baik dalam versi Bahasa Indonesia maupun asing. Misalnya tulisan Prasetya T.W. yang berjudul Anarkisme dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl Feyerabend, yang dimuat dalam antologi buku Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu.22 Secara lengkap dan padat, di dalamnya diuraikan seluk -beluk kemunculan Feyerabend dalam ranah filsafat ilmu pengetahuan serta sejarah awal perjalanannya menjadi seorang anarkis. Dalam buku itu juga, dijelaskan tentang definisi dari anti-metode dan anti-ilmu pengetahuan yang menjadi kritik utama dalam pemikiran Feyerabend. Selain itu pula, buku yang secara representatif dalam menampilkan dan menanggapi urgensi pemikiran Feyerabend juga diungkapkan oleh A.F. Chalmers dalam sub-topik bahasan, Teori Anarkistis Feyerabend Tentang Pengetahuan, yang termaktub dalam bukunya Apa itu yang dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian

20 W.H. Newton-Smith, The Rationality of Science (Boston: Routledge & Keagan Paul Ltd., 1981), sebagaimana yang dikutip oleh Endro Witj., Feyerabend: Rasionalitas Ilmu Yang Goyah, dalam Fokus, Februari 1989, hlm. 34. 21

Kees Bertens, Panorama Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987),

hlm. 17.22 Prasetya T.W., Anarkisme dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl Feyerabend, dalam Tim Redaksi Driyarkara (penyunting), Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1993).

Tentang Watak dan Status Ilmu serta Metodenya.23 Buku ini secara teliti dan akurat memberikan ringkasan tentang segi segi kunci pandangan Feyerabend yang meliputi seluruh konstruksi epistemologinya dengan disertai kritik -kritik yang cukup argumentatif-korektif. Buku lain yang membicarakan sisi-sisi pemikiran Feyerabend adalah The Rationality of Science, karya W.H. Newton Smith24, yang berintikan tema-tema aktual dan liberal Feyerabend secara menyeluruh, mulai dari konsep anti-metode yang merupakan topik utama pemikirannya sampai gagasan -gagasan vital lainnya, seperti pandangan Feyerabend tentang prosedur kontra-induksi, ketidaksepadanan, dan seterusnya yang dibahas secara tuntas dan mendalam. Satu lagi buku rujukan yang berkaitan dengan fenomena pemikiran Feyerabend adalah apa yang ditulis oleh Akhyar Yusuf Lubis dalam bukunya, Paul Feyerabend: Penggagas Anti-Metode.25 Seri pengantar tokoh filsafat ini memberikan garis-garis besar haluan sebagai gambaran awal yang sistematis tentang sosok filsuf Paul Karl Feyerabend yang kerapkali mendera sains dengan kritik-kritik kerasnya. Ia tidak menawarkan metodologi apapun sebagai ganti induksi yang selama ini dijadikan panduan utama cara kerja ilmiah. Dengan lantangnya, Feyerabend justru memproklamirkan anarkisme epistemologis yang

A.F. Chalmers, Apa itu yang dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian Tentang Watak dan Status Ilmu serta Metodenya (Jakarta: Hasta Mitra, 1982). W.H. Newton-Smith, The Rationality of Science (Boston: Routledge & Keagan Paul Ltd., 1981).25 24

23

Akhyar Yusuf Lubis, Paul Feyerabend: Penggagas Anti-Metode (Jakarta: Teraju,

2003).

berhasil membuka sumbat penyatuan metode yang selama ini diberhalakan oleh sains. Dari sekian literatur tersebut di atas, ada perbedaan yang cukup signifikan dengan maksud penelitian ini, yaitu bahwa artikel yang ditulis o Prasetya T.W. leh hanya sebatas mengenalkan sejarah awal dan garis -garis besar haluan filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend dalam pergulatannya dengan aliran Positivisme Logis. Sedangkan buku A.F. Chalmers dan W.H. Newton-Smith sekedar rangkuman dari beberapa substansi pemikiran Feyerabend tentang anarkisme ilmu pengetahuan saja yang pembahasannya terkesan ambivalen tanpa disertai jalinan sketsa ilmu pengetahuan Feyerabend dengan pemikiran tokoh -tokoh lain serta minimnya aspek historisitas mengenai kemunculan dan keterlibatan Feyerabend dalam wacana filsafat ilmu pengetahuan secara terperinci. Demikian juga dengan buku Akhyar Yusuf Lubis sebagai buku pengantar dalam memahami traktat-traktat berat filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend yang secara khusus hanya memandu pembaca untuk mengenal ciri, sifat dan latar belakang pemikiran filsafat Feyerabend yang disisipi juga penjelasan tentang titik persinggungannya dengan model metodologi ilmu pengetahuan yang berkembang sebelumnya, semisal metodologi Galilean dan metodologi Positivisme Logis. Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis secara spesifik berusaha menyelidiki pokok-pokok masalah yang menjadi sasaran kritik utama Feyerabend serta letak-letak perbedaan fundamental yang terdapat dalam corak pemikiran filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend dengan para filsuf ilmu pengetahuan

lainnya, tanpa terperangkap ke dalam pemihakan-pemihakan subyektif yang terkesan berlebihan dan kontraproduktif. Selain daripada itu, penulis juga akan mengkaji sejauhmana konsekuensikonsekuensi yang ditimbulkan dari dasar-dasar pemahaman epistemologi

Feyerabend dalam mindset sosio-kultural masyarakat yang akhir-akhir ini secara tidak kritis cenderung hanya terpaku pada satu bentuk kebenaran monologis yang bersumber dari konsepsi keilmuan tertentu.

F. Sistematika Pembahasan Untuk lebih mudah dan urutnya penulisan ini, maka pembahasan dalam skripsi ini akan dikelompokkan menjadi beberapa bab dan sub-bab, yaitu: Diawali dengan Bab I, yang mencakup latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika pembahasan. Kemudian Bab II, berisi tentang biografi singkat Paul Karl Feyerabend yang terdiri dari riwayat hidup, karya serta tokoh-tokoh yang membentuk watak dan mempengaruhi karakteristik pemikirannya. Selanjutnya Bab III, menyarikan tentang prinsip-prinsip ilmu pengetahuan Paul Karl Feyerabend yang berkisar tentang persoalan apa saja boleh (anything goes), ilmu yang tidak bisa saling diukur dengan standar yang sama, ilmu tidak harus mengungguli bidang-bidang pengetahuan lain, dan kebebasan individu. Disusul dengan Bab IV, yang merupakan intisari pembahasan yang mengetengahkan tentang penafsiran Paul Karl Feyerabend terhadap makna

anarkisme sebagai kritik atas ilmu pengetahuan itu sendiri berupa anti-metode (Against Method), dan anti-ilmu pengetahuan (Against Science). Terakhir Bab V, adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran dari penulis berdasarkan seluruh hasil pembahasan yang dilakukan dan ditekuni selama dalam proses awal sampai akhir penyusunan skripsi ini. BAB II BIOGRAFI PAUL KARL FEYERABEND (1924-1994)

A. Riwayat Hidup dan Karyanya Paul Karl Feyerabend lahir pada tahun 1924 di Wina, Austria. Tahun 1945 ia belajar seni suara teater, dan sejarah teater di Institute for Production of Theater, the Methodological Reform the German Theater di Weimar. Sepanjang hidupnya ia menyukai drama dan kesenian. Ia belajar Astronomi, Matematika, Sejarah, Filsafat. Menurut pengakuannya, kalau ia mengingat masa itu, ia menggambarkan dirinya sebagai seorang rasionalis. Maksudnya, ia percaya akan keutamaan dan keunggulan ilmu pengetahuan yang memiliki hukum -hukum universal yang berlaku dalam segala tindakan yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Keyakinan rasionalitasnya pada masa itu tampak dari kiprahnya dalam Himpunan Penyelamatan Fisika Teoretis (A Club for Salvation of Theoretical Phsysics).26 Keanggotaannya dalam kelompok tersebut tentu melibatkan dirinya dengan eksperimen-eksperimen ilmu alam dan sejarah perkembangan ilmu fisika26

Prasetya T.W., "Anarkisme Pengetahuan dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl Feyerabend", dalam Tim Redaksi Driyarkara (penyunting), Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 48.

itu sendiri. Dari sinilah ia melihat hubungan yang sesungguhnya antara eksperimen dengan teori yang ternyata relasi itu tidak sesederhana apa yang dibayangkan dan dijelaskan dalam buku-buku pelajaran selama ini. Terjadinya perubahan pemikiran dalam Paul Karl Feyerabend itu setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, karena adanya

perkembangan baru dalam ilmu fisika, terutama fisika kuantum. Ia melihat bahwa fisika kuantum telah menolak beberapa patokan dasar fisika yang ketika itu dianggap modern (Newtonian) yang di atasnya prinsip-prisnip positivisme ditegakkan. Yang Kedua, sambutan para fisikawan/filsuf terhadap teori mekanika kuantum yang dianggap sebagai dukungan bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Gagasan Popper, Thomas S. Kuhn, dan terutama Imre Lakatos, sangat mempengaruhi pemikiran filsafatnya.27 Pada permulaan tahun 50-an, ia mengikuti seminar-seminar filsafat dari Karl Raimund Popper di London. Waktu itu ia masih tetap berpegang teguh pada keyakinan rasionalitasnya, bahkan ia berpendapat bahwa perkenalannya dengan Popper semakin memperteguh keyakinannya itu. Ia memperoleh gelar Ph.D. dalam bidang fisika dari Wina University dan kemudian mengajar di California University. Ia telah menyatakan diri sebagai seorang anarkis yang menentang penyelidikan terhadap aturan-aturan

penggantian teori dan pembangunan kembali pemikiran rasional dari kemajuan kemajuan ilmu pengetahuan. Sikap Feyerabend tentang apa saja boleh dan

27

Akhyar Yusuf Lubis, Paul Feyerabend: Penggagas Anti-Metode (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 101-102.

bahwa sasaran dari kreativitas dalam ilmu pengetahuan itu adalah sebagai bentuk pengembangbiakan teori-teori.28 Pada tahun 1953, ia menjadi pengajar di Bristol. Tahun -tahun berikutnya mengajar Estetika, Sejarah Ilmu Pengetahuan dan Filsafat di Austria, Jerman, Inggris, Selandia Baru dan Amerika Serikat. Pada tahun -tahun itu pula ia mulai mengalami pertobatan pemikiran. Tidak bisa tidak pertobatannya itu merupakan akibat dari perkenalannya dengan Imre Lakatos, yang meniupkan pemikiran pemikiran anarkis terhadapnya.29 Kelak, Feyerabend menyebutkan bahwa Lakatos dianggap sebagai saha at b anarkisnya. Lagi pula seperti yang ia akui, Lakatoslah yang mendorongnya untuk menuliskan gagasan-gagasannya. Seperti yang pernah dikatakan Lakatos padanya, Paul, he said, you have such strange ideas, why dont you write them down 30 ? Dalam pertobatannya itu ia melihat bahwa dalam sejarah mekanika kuantum, bermacam-macam patokan telah dilanggar, dan anehnya patokan itu dijunjung tinggi oleh para filsuf bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam pertobatannya itu, Feyerabend mengajukan pertanyaan: apakah manusia tidak mengejar ilusi-ilusi kalau mencari hukum universal guna mencapai hasil dalam ilmu pengetahuan? Tahun 1958 ia menjadi guru besar Universitas California di Berkeley, tempat28

ia

mengajar

sampai

akhir

hayatnya.

Tahun

1964 -1965

proses

John Losee, A Historical Introduction to the Philosophy of Science, Fourth Edition (New York: Oxford University Press, 2001), hlm. 177. 29 Paul Karl Feyerabend, Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge (London: New Left Books, 1975), hlm. 5. Feyerabend mempersembahkan buku ini kepada Imre Lakatos dengan menulis To Imre Lakatos, friend and fellow-anarchist. 30 Ibid., hlm. vii.

pertobatannya dipercepat karena percakapannya dengan Carl Freither von Weizscker di Hamburg mengenai dasar-dasar mekanika kuantum. Pertobatannya itu juga dipercepat oleh keraguannya terhadap bangunan sistem pendidikan intelektualistis di tempat ia bekerja sebagai pengajar.31 Puncak pemikiran anarkisnya tertuang dalam Against Method yang terbit pada tahun 1970, suatu karangan panjang yang pada tahun 1975 diolah lagi menjadi sebuah buku dengan judul yang sama pula. Terbitnya buku itu ternyata mampu menyedot dan menyulut antusiasme publik dengan adanya berbagai kontroversi, diskusi dan kritik yang cukup beragam corak dan pemaknaannya dari para tokoh filsafat dan kaum ilmuwan secara luas. Maka sebagai jawaban atas kritik terhadap pemikirannya itu, ia pun kemudian menerbitkan lagi beberapa buku yang memuat penjelasan serta argumentasi atau perluasan gagasan yang sudah diulas dalam buku yang dikritik sebelumnya. Namun begitu, munculnya tanggapan dari berbagai pihak itu seolah -olah justru semakin memperkokoh pemikiran anarkisnya. Mungkin Feyerabend merupakan salah satu filsuf yang sangat provokatif pada abad ke-20. Ia giat melakukan perlawanan terhadap setiap gagasan ilmu yang memiliki metodologi tersendiri untuk membatasinya dengan yang bukan ilmu dan ilmu palsu. Walaupun mulai dulu sampai sekarang banyak usahausahanya yang disia-siakan, tetapi usaha itu bisa dijadikan sebagai dasar persiapan yang masih layak dan berharga bagi bentuk-bentuk perlawanan lain.32

32

31 Prasetya T.W., op.cit., hlm. 49. Yuri Balashov and Alex Rosenberg (eds.), Philosophy of Science: Contemporary Readings (London: Routledge, 2002), hlm. 141.

Dalam analisis Don Cupitt, sebagai seorang filsuf sains dari California yang sangat Californian sekali, Feyerabend berargumen bahwa apa yang ia sebut dengan teori pengetahuan anarkistik merupakan pemaknaan ulang terhadap pengetahuan saintifik. Baik filsuf maupun yang lainnya berhak menetapkan dan menggambarkan apa saja yan diperbolehkan sebagai metode saintifik, baik yang g termasuk kategori sains asli ataupun yang bukan sains sekalipun. Sebab beberapa usaha untuk menjalankan aturan-aturan yang ada sebelumnya hanya mengundang pertentangan seperti yang nampak jelas pada kasus konflik agama dan (menurut Feyerabend) juga berlaku pada kasus sains. Sudah banyak contoh sejarah yang mengesampingkan hal-hal semacam itu sebagai intuisi tandingan teori-teori saintifik, seperti transmutasi spesies, relativitas umum dan teori kuantum.33

B. Paul Karl Feyerabend dalam Wacana Filsafat Ilmu Pengetahuan Dalam menempatkan konteks pemikiran Feyerabend, penulis membatasi diri mulai dari tahun 1920-an sampai Feyerabend muncul di panggung filsafat. Semenjak tahun 1920, panggung filsafat ilmu pengetahuan dikuasai oleh aliran Positivisme Logis. Kelompok ini berusaha memperbaharui positivisme abad ke 19 yang telah dirintis oleh tokoh positivisme klasik August Comte (1798-1857) dan para pengikutnya yang dinilai diwarnai pemikiran yang bersifat dogmatis dan indoktrinasi ideologi yang mengarah kepada absolutisme.34

33

Don Cupitt, After God: Masa Depan Agama, terj. Abdul Qodir Shaleh (Yogyakarta: IRCiSoD, 2001), hlm. 204-205. Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Epistemologi dan Logika (Bandung: Remadja Karya, 1985), hlm. 2.

34

Filsafat Comte adalah anti-metafisis. Ia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah. Positivisme klasik hanya mengakui tentang gejala-gejala (fenomen-fenomen), sehingga tidak ada gunanya mencari hakikat kenyataan yang tidak mempunyai arti faktual sama sekali. Sebab bagi Comte, hanya ada satu hal yang penting, yaitu savoir pour prvoir, mengetahui supaya siap untuk bertindak, mengetahui agar manusia dapat memperkirakan apa yang akan terjadi. Oleh karena itu, manusia harus menyelidiki gejala -gejala dan hubungan-hubungan antara fenomena-fenomena fisik-faktual tersebut sehingga ia dapat memproyeksikan tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Hubungan hubungan antara gejala-gejala itu disebut oleh Comte dengan konsep -konsep atau hukum-hukum positif yang dapat dipersepsi oleh akal pikiran manusia. Tetapi lawan dari filsafat positivisme ini bukanlah suatu filsafat negatif, melainkan filsafat spekulatif atau obyek metafisik.35 Positivisme klasik merumuskan hukum-hukum positif itu sebagai berikut: Setiap perkembangan pemikiran rohani dan ilmu pengetahuan manusia secara berturut-turut melewati tiga tahap (stadia) yang berbeda, yakni tahap teologis yang berdasarkan fantasi, tahap metafisis yang abstrak dan tahap positif-ilmiah. Tahap teologis, merupakan tahap dimana manusia percaya akan kemungkinan adanya kekuatan adikodrati yang mutlak. Dalam tahap teologis ini terdapat tiga tahap lagi: animisme, politeisme dan monoteisme. Berdasarkan kepercayaan animistis ini, manusia beranggapan bahwa benda-benda itu merupakan sesuatu yang bergerak. Banyak benda disebut suci35

Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 54-55.

dan sakti yang biasa diidentikkan dengan dewa-dewa, seperti dewa api, dewa lautan, dewa angin, dewa panen, dan sebagainya, diatur dalam suatu sistem sehingga menjadi paham politeisme dengan berbagai macam spesialisasinya. Selanjutnya, semua gejala tersebut dikembalikan pada satu sumber kekuatan tunggal, yakni satu keilahian yang pada akhirnya melahirkan pemikiran tentang monoteisme.36 Kemudian dalam tahap metafisis, alam pikiran manusia secara simbolis beralih kepada kekuatan-kekuatan kosmis yang abstrak. Pada tahap positif-ilmiah, manusia mulai sadar dan mengetahui bahwa upaya teologis dan metafisis itu tidak ada gunanya. Dari sini kemudian manusia berusaha mencari hukum-hukum alam dengan memakai kemampuan akal budi yang dimilikinya.37 Di lain pihak, kaum Positivisme Logis itu sendiri menolak filsafat yang tidak menghiraukan kenyataan dan susunan serta hasil ilmu pengetahuan empiris. Mereka menganggap bahwa satu-satunya sumber pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang telah diatur dan dirumuskan dalam kaidah -kaidah ilmu alam dan diperoleh dari pengamatan inderawi serta dapat diperiksa secara empiris. Aliran Positivisme Logis membagi pengetahuan hanya terbatas kepada ilmu matematika (ilmu pasti) dan ilmu-ilmu lain yang diperoleh dari gejala-gejala yang dapat diamati oleh indera. Pengetahuan semacam ini yang disebutnya sebagai pengetahuan positif, artinya dapat dinyatakan atau dibuk tikan (verifiablepositive knowledge). Seperti halnya dengan Bacon yang mendeskripsikan semua

36

Ibid., hlm. 55.

37

Asmoro Achmadi, Filsafat Umum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 114115.

pengetahuan atas

dasar

pengalaman dan

pengamatan

inderawi,

kalangan

Positivisme Logis menolak persoalan sebab-sebab terakhir (final causes) yang menjadi pokok perdebatan filsafat klasik, terutama mengenai sebab pertama (irst f cause), sehingga mengakibatkan pembicaraan tentang Tuhan pun sama sekali mereka tolak.38 Kiranya pandangan Positivisme Logis ini mempunyai dasar -dasar persamaan ontologis dengan aliran Naturalisme yang juga menentang segala bentuk pikiran yang menyatakan adanya suatu dunia yang bersifat adialami atau transendental.39 Bagi aliran ini, persoalan-persoalan ilmiah harus dipecahkan secara lebih tepat dan sistematis dengan menggunakan teknik -teknik logika matematika, sebab mereka menganggap bahwa ilmu formal (matematika, logika) bukan sebagai pengetahuan yang berhubungan dengan sesuatu di luar bahasa (kenyataan). Ilmu pengetahuan sendiri dirumuskan dan diuraikan sebagai kalkulasi aksiomatis, yang memberikan perangkat-perangkat hukum pada interpretasi terhadap observasi yang terbatas.40 Positivisme Logis bertitik tolak dari data empiris dan tetap setia pada sifatnya yang empiristis dengan menganggap hukum -hukum logis sebagai hubungan antara istilah-istilah, hasil pengamatan dan fakta yang dinyatakan dengan memakai ungkapan dasar dalam suatu ilmu yang bercorak empiris atau dalam pengertian Rudolf Carnapkalimat protokol. Ilmu formal sama sekali38

A. Hanafi, Ikhtisar Sejarah Filsafat Barat (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1981), hlm. 65.

39

Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, alih bahasa Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), hlm. 116. Frederick Suppe (ed.), The Structure of Scientific Theories (Urbana University of Illionis Press, 1974), hlm. 4.

40

tidak menyinggung tentang bukti dan data empirik (kenyataan), tetapi hanya menampilkan jalinan hubungan antara lambang -lambang logiko-matematis yang membuka kemungkinan pemakaian data observasi yang telah diperoleh untuk menghitung (menyusun penjabaran logis dan deduksi).41 Sebagai sebuah aliran epistemologi, Positivisme Logis menganggap logika dan matematika mencakup sebuah sintaksis dan semantik umum sehingga struktur-struktur matematis dan logis untuk menjelaskan himpunan, transformasi maupun aspek-aspek terkecil dari logika hanya merupakan struktur-struktur linguistik.42 Positivisme sebagai sebuah pandangan filsafat mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terjadi berdasarkan hukum -hukum dapat dibuktikan dengan teknik observasi, eksperimen dan verifikasi.43 Menurut Positivisme Logis, hanya apa yang nampak jelas dan berg una saja yang secara prinsipil bisa diverifikasi melalui observasi dan eksperimentasi. Persoalan tentang nilai sebuah teori atau makna suatu penjelasan dianggapnya tidak berarti apa-apa karena tidak memberikan jawaban yang pasti dan terukur.44 Prinsip verifikasi sebagai sentral dalam doktrin Positivisme Logis menegaskan bahwa suatu ungkapan baru akan mempunyai makna manakala ia menunjuk pada pengalaman langsung dan konkrit. Dan bahasa figuratif atau41

Cornelis Anthonie van Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 82.

42

Jean Piaget, Strukturalisme, terj. Hermoyo (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), hlm. 63.

43

Burhanuddin Salam, Sejarah Filsafat, Ilmu dan Teknologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 193.

44 Henry van Laer, Filsafat Sains Bagian Pertama: Ilmu Pengetahuan Secara Umum, Yudian W. Asmin (ed.), (Yogyakarta: Pusat Penterjemah dan Penulis Muslim Indonesia, 1995), hlm. 133.

kiasan juga hanya akan dianggap mempunyai akan makna apabil diterjemahkan a ke dalam bahasa literal hurufiah. Positivisme Logis menggabungkan argumen epistemologis dengan argumen semantik, persis seperti dilakukan oleh Locke dan Hobbes yang melihat kerancuan dan kekaburan kategori itu terdapat dalam penggunaan kiasan metaforis bahasa. Mereka yakin pula bahwa filsafat hanya bisa maju jika menggunakan bahasa lugas literal murni. Imbasnya lantas timbul keyakinan umum yang semakin kuat bahwa dalam dunia kebahasaan manusia sebetulnya yang berperan besar adalah memang bahasa literal itu sendiri.45 Positivisme Logis menempatkan filsafat ilmu pengetahuan sebagai logika ilmu. Pandangan semacam itu menguasai dan diterima luas oleh para filsuf ilmu pengetahuan pada zaman itu. Penerimaan secara luas ini membuat pandangan semacam itu oleh Frederick Suppe disebut The Received View.46 Sebagai tradisi intelektual yang berakar pada ilmu pengetahuan alam kodrati (natural sciences), pesatnya perkembangan kelompok yang lazim juga dinamakan empirisme neo klasik ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain karena memang kesan baik yang diberikan oleh ilmu fisika sebagai disiplin ilmu yang prestisius dengan teknik-teknik penelitian yang impresif, di samping itu juga disebabkan oleh adanya orang-orang besar dan terhormat dalam bidang ilmu pengetahuan yang terdapat dalam kelompok ini seperti Albert Einstein.47

45

I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 126-127.46

Frederick Suppe (ed.), op.cit., hlm. 161.

47

Soeroso H. Prawirohardjo, Pengamatan Meta-Teoritis atas Ilmu Pengetahuan dan Implikasinya Bagi Program Pendidikan Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Yogyakarta: U.P. Indonesia, 1984), hlm. 9-10.

Berdasarkan kronologi sejarahnya, Positivisme Logis muncul pertama kali sebagai suatu logika bagi ilmu-ilmu fisika. Tahun 1895, Ernst March menjabat sebagai guru besar pertama filsafat ilmu-ilmu induksi di Universitas Wina, dan pada tahun 1922, posisi itu digantikan oleh Moritz Schlick, seorang murid dari Max Planck yang pada saat itu ia memusatkan karyanya pada filsafat fisika. Kemudian pada tahun 1929, kelompok ini menerbitkan sebuah manifesto yang berisi tentang tujuan perkumpulan itu dan memberinya nama: Scientific A Conception of the World: The Vienna Circle (Suatu Konsepsi Ilmiah Tentang Dunia: Lingkaran Wina).48 Para anggota yang ikut bergabung dalam kelompok ini adalah para kaum positivis yang kebanyakan adalah ahli ilmu alam, matematikus dan filsuf berlatar belakang matematika. Dalam tulisan Morton White disebutkan bahwa aliran Positivisme Logis ini telah dipelopori oleh Moritz Schlick yang kala itu menjabat sebagai guru besar Filsafat di Wina, dan resmi dibentuk pada tahun 1923 dengan sebutan The Vienna Circle. Secara khusus, Schlick dan Wittgenstein mengunjungi Amerika pada tahun 1929 untuk memperkenalkan aliran tersebut. Namun ketika Hitler berkuasa, mulailah aliran Positivisme Logis ini disebut-sebut sebagai gerakan pemikiran yang sangat berbahaya. Popkin & Stroll menambahkan pula bahwa para anggota Lingkaran Wina ini adalah Moritz Schlick, Hans Hahn, Friederich Waismann, Herbert Feigel, Otto Neurath dan Rudolf Carnap.49

48

Roy J. Howard, Pengantar atas Teori-teori Pemahaman Kontemporer: Hermeneutika; Wacana Analitik, Psikososial, dan Ontologis, Ninuk Kleden-Probonegoro (ed.), (Bandung: Nuansa, 2000), hlm. 51.49

Bawengan, G.W., Sebuah Studi Tentang Filsafat (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hlm. 113.

Kelompok ini pernah mengadakan seminar atau studi kelompok dengan melakukan pembahasan pada tulisan Wittgenstein yang sangat teliti serta didasarkan pada pandangan bahwa filsafat bukanlah teori, melainkan suatu aktivitas. Mereka berpedoman pada pendapat bahwa fils afat tidak mungkin menghasilkan pernyataan, baik pernyataan yang salah maupun pernyataan yang benar. Filsafat hanya memberikan penjelasan mengenai pengertian suatu

pernyataan; mengemukakannya secara ilmiah, matematik atau bahkan tidak mempunyai arti apapun. Inti pandangan mereka terletak pada keyakinan bahwa setiap pernyataan mengikuti ketentuan logika formal dan bahwa pernyataan itu harus bersifat ilmiah. Positivisme Logis ini biasa disebut sebagai hasil karya Ludwig Josef Johann Wittgenstein (1889-1951), yaitu dalam buku berjudul Tractatus LogicoPhilosophicus yang terbit pada tahun 1921, lalu berkembang ke seluruh dunia termasuk Inggris dan Amerika Serikat. Dalam tulisan tersebut, Wittgenstein menyatakan bahwa filsafat bukanlah suatu teori, melainkan suatu aktivitas atau kegiatan. Wittgenstein pun yakin bahwa teka-teki dan kekacauan filsafati akan dapat diatasi oleh analisis bahasa. Wittgenstein mensinyalir bahwa apabila suatu pernyataan dapat diajukan, maka pernyataan itu pun seyogianya dapat dijawab seca jelas dan tuntas. Tetapi ra kenyataannya, ternyata tidak semua pernyataan yang diajukan itu benarbenar bermakna. Maka agar supaya kita tidak terperangkap ke dalam persoalan persoalan filsafati yang tidak berarti, yang bersumber dari pernyataan -pernyataan yang tidak bermakna itu, maka dalam pandangan Wittgenstein harus ditemukan

peraturan-peraturan tentang permainan bahasa (language game) yang digunakan lewat ungkapan bahasa sehari-hari. Berbeda dengan Ayer, bagi Wittgenstein, yang penting bukanlah mengatur bagaimana suatu ungkapan bahasa itu harus berarti atau bermakna, tetapi kita harus bisa menangkap apa arti yang terkandung dalam suatu ungkapan bahasa itu. Oleh karena itu, kita harus mengalisis bentuk -bentuk hidup (forms of life) sampai ke dasar terdalam dari setiap permainan bahasa. Wittgenstein menegaskan bahwa arti ditentukan oleh bagaimana suatu kata digunakan dalam konteksnya. Lewat analisis bahasa, seseorang akan dapat memperoleh kejelasan ( larify) arti bahasa c sebagaimana yang diutarakan oleh orang yang menggunakan bahasa itu.50 Senada dengan Wittgenstein, Kuhn juga berpendirian bahwa pengetahuan sains seperti bahasa pada dasarnya adalah milik bersama suatu kelompok. Dan untuk memahaminya kita perlu mengetahui karakteristik-karakteristik khusus dari kelompok yang menciptakan dan menggunakannya.51 Apabila disimak secara seksama, seluruh ajaran filsafat Wittgenstein itu tidak lain hanya menawarkan suatu metode yang sering disebut sebagai metode analisis bahasa. Metode itu bersifat netral, tanpa pengandaian filsafati, epistemologis ataupun metafisik. Analisis bahasa secara logis tanpa mereduksikan sesuatu sehingga pada prinsipnya hanya sekedar membuat lebih jelas tentang maksud yang dikatakan lewat suatu ungkapan bahasa verbal. Metode analisis

50

Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 122.

51

Thomas S. Kuhn, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, terj. Tjun Surjaman (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 203.

bahasa yang dikemukakan oleh Wittgenstein ini disebut juga dengan metode klarifikasi. Pandangan Positivisme Logis bahwa bahasa merupakan gambaran realitas inilah yang ditolak Feyerabend. Bagi Feyerabend, fakta-fakta itu sesungguhnnya tergantung pada teori yang menjadi mediasi dalam proses pemahaman. Sedangkan pengalaman dan pemahaman itu sendiri terjadi lewat bahasa. Oleh karena itu, bahasa selalu terbatas untuk mengungkapkan totalitas pengalaman. Pengalaman yang kita alami senantiasa sudah terefleksikan yang dinyatakan dalam bahasa. Jadi, distorsi itu tidak hanya terjadi pada waktu obyek atau peristiwa dipresepsikan. Interpretasi yang dilakukan setelah dipersepsi pun, sebagaimana diutarakan Feyerabend, juga dipengaruhi oleh pengalaman dan harapan -harapan dari orang yang berusaha menafsirkan struktur realitas itu.52 Disamping itu, Positivisme Logis ini juga biasa disebut sebagai Logika Empirisme dengan pelopornya yang sangat menonjol, yakni Rudolf Carnap. Ia merupakan seorang tokoh kelahiran Jerman, datang ke Wina pada ta hun 1927 dan ikut secara aktif di Lingkaran Wina. Ia adalah seorang ahli yang terlatih dalam bidang fisika dan juga seorang logisian yang rajin bekerja keras. Para anggota aliran ini sendiri adalah bekas ilmuwan yang terjun ke dunia filsafat dan sebelumnya telah berhasil membentuk suatu kegiatan di Lingkaran Wina. Para ilmuwan yang terkenal itu diantaranya adalah Ludwig Boltzmann, Pierre Duhem, Helmholtz, Ernst March termasuk juga Einstein.53

52

Akhyar Yusuf Lubis, op.cit., hlm. 111-113.53

Bawengan, G.W., op.cit., hlm. 114.

Positivisme Logis sebenarnya merupakan perkawinan antara dua alira n, empirisme dan logika tradisional. Tetapi sebutan positivisme kemudian diralat menjadi empirisme, sebab menghilangkan sebutan positivisme seperti kata Morton White adalah berhubungan erat dengan kritik terhadap ajaran August Comte yang menggunakan istilah positivisme juga. Dalam perspektif Morton White, setidaknya terdapat dua kutub dalam aliran Positivisme Logis yang patut juga kiranya mendapat perhatian cermat dalam diskursus perdebatan filsafat ilmu pengetahuan kontemporer. Yang pertama adalah pihak negatif, suatu golongan yang ekstrem, militan, penuh kritik tajam dan menganggap remeh pula pandangan -pandangan

pendahulunya. Pihak kedua adalah kelompok positif yang bersikap mengagumi logika dan ilmu pengetahuan. Disisi lain mereka juga membantah sekalgus i menyerang metafisika dan etika yang gagasan awalnya sudah mulai dilontarkan beberapa filsuf analitik yang embrionya berasal dari Lingkaran Wina itu sendiri. Mereka mengembangkan ajaran yang disebut kriteria pengertian empiris dan menolak setiap ajaran, pandangan dan pengertian yang tidak memakai rumusan matematik dan empiris. Pada umumnya, mereka menolak metafisika karena mereka sependapat bahwa metafisika tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Salah satu pemikir kontemporer filsafat analitik terkenal yang memiliki pengaruh cukup besar, Alfred Jules Ayer (1910-1970) lewat bukunya Language, Truth and Logic (1963), juga berupaya mengeliminasi metafisika yang didasarkan pada prinsip verifikasi, yaitu agar suatu pernyataan ( statement) benar-benar penuh

arti, maka pernyataan tersebut haruslah dapat diverifikasi oleh salah satu atau lebih dari kelima pancaindera. Tokoh positivisme logika modern Inggris dan salah satu penganut empirisis logis ini menandaskan bahwa kata makna dalam positivisme logis berarti gagasan yang kebenaran dan kepalsuannya dapat ditegaskan dalam batas-batas pengalaman inderawi.54 Pada tahap perkembangan selanjutnya, munculnya Karl Raimund Popper menandai kreasi wacana baru dan sekaligus merupakan masa transisi bagi suatu zaman filsafat ilmu pengetahuan baru. Popper membuka babak baru sekaligus sebagai masa transisi dipicu oleh adanya dua alasan penting. Pertama, lewat teori falsifikasinya Popper menjadi orang pertama yang meruntuhkan dominasi aliran Positivisme Logis dari Lingkaran Wina. Kedua, lewat pendapatnya tentang berguru pada ilmu-ilmu, Popper mengintroduksikan suatu zaman filsafat ilmu pengetahuan baru yang dirintis oleh Thomas Samuel Kuhn. Popper menentang Lingkaran Wina terutama dalam distingsi antara ungkapan yang disebut meaningful dan meaningless berdasarkan

kemungkinannya untuk diverifikasi, yakni dibenarkan secara empiris. Namun Popper sendiri dalam hal ini mengakui bahwa ia tidak pernah berasumsi dengan memaksa kesimpulan yang telah diverifikasi dapat ditetapkan sebagai sebuah jaminan kebenaran, apalagi hanya sekedar dijadikan acuan untuk menerapkan prinsip mungkin atau bisa jadi benar (probability). Bahkan mungkin saja yang disalahkan (difalsifikasi) itu menjadi benar dalam arti verifiable (dapat diuji) secara ilmiah. Oleh Popper distingsi itu diganti dengan apa yang disebut garis54

Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna, terj. Muhammad Nur Mufid bin Ali (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 59.

batas (demarcation) antara ungkapan yang ilmiah dan yang tidak ilmiah. Menurut Popper, pokok demarkasi terletak pada ada tidaknya kemungkinan falsifikasi bagi ungkapan yang bersangkutan. Popper menandaskan bahwa metode falsifikasi itu mengisyaratkan tidak adanya kesimpulan deduktif, kecuali hanya perubahan sifat pengulangan kata dari logika deduktif yang memiliki derajat kebenaran yang tidak lagi diperselisihkan. Ia mengatakan, ...the method of falsification presupposes no inductive inference, but not only tautological transformation of deductive logic whose validity is not indispute.55 Popper menegaskan bahwa suatu ungkapan bersifat empiris atau tidak, tidak dapat ditentukan berdasarkan azas pembenaran (verifiability) sebagaimana dianut oleh aliran Positivisme Logis. Pokok persoalannya adalah mustahilnya pembenaran proses induksi. Sebagai ganti azas pembenaran, Popper menyodorkan prinsip

falsifiabilitas, artinya ciri pengetahuan ilmiah adalah dapat dibuktikan salah.56 Popper lantas menyarankan dilakukannya suatu deductive testing of theories untuk menguji kesahihan (validasi) dan ketepatan (akurasi) suatu teori ilmu pengetahuan lewat empat jalur berbeda. Pertama, perbandingan logis dari kesimpulan antar teori dalam hal konsistensi internal dari sistem yang diuji. Kedua, penyelidikan terhadap bentuk logis dari teori dengan obyek penelitian teori tersebut untuk memastikan apakah teori tersebut mempunyai karakter suatu

55

Karl Raimund Popper, The Logic of Scientific Discovery (New York: Harper & Row Pub., 1968), hlm. 40-42. Christiaan R.O.M. Verhaak dan Robert Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah atas Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 160.

56

teori empiris atau teori ilmiah, atau juga mungkin terjadi hubungan tautologis (pengulangan kata yang mengaburkan makna) diantara teori-teori tersebut. Ketiga, perbandingan dengan teori-teori lain dengan tujuan untuk menentukan apakah teori itu telah memenuhi standar mutu hip otesis umum sebagai scientific advance yang tahan dari berbagai ujian dan kritik maupun diskusibilitas publik sehingga hal itu akan semakin mengukuhkan corroboration) ( keberadaannya dalam setiap proses pencarian kebenaran ilmu pengetahuan. Keempat, pengujian terhadap teori dengan cara aplikasi empiris dari kesimpulan yang berasal dari teori tersebut. Dari cara yang terakhir inilah, suatu pernyataan tunggal dapat menghasilkan suatu prediksi kemungkinan baru yang dapat diuji (applicable) yang dideduksi dari suatu teori pengetahuan tertentu. Setelah dilakukan seleksi terhadap beberapa pernyataan (prediksi), maka diambil suatu putusan melalui perbandingan antar pernyataan tersebut dengan hasil aplikasi praktis dan eksperimen. Apabila putusan itu positif, berarti kesimpulan tunggal itu acceptable (dapat diterima secara logika) atau verified (dapat dibuktikan secara empiris). Tetapi jika kesimpulan tersebut negatif atau falsified (tidak dapat dibuktikan keabsahannya), maka teori yang digunakan untuk mendeduksi teori-teori tersebut secara logis tidak dapat diterima sebagai sebuah hasil kebenaran yang sah.57 Dengan begitu Popper dianggap berhasil memberikan pemecahan bagi masalah induksi. Dengan itu pula, Popper serentak merubah seluruh pandangan tradisional atau The Received View yang dipegang oleh Lingkaran Wina. Bila cara57

Conny R. Semiawan, et.al., Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu (Bandung: Rosdakarya, 1991), hlm. 51-52.

kerja ilmu pengetahuan tradisional didasarkan pada prinsip verifikasi, maka dasar yang diajukan Popper adalah prinsip falsifiabilitas, suatu cita-cita yang sebenarnya diimpikan oleh para ilmuwan tradisional yakni mendasarkan cara kerja ilmu-ilmu empiris pada logika deduktif yang ketat. Namun menurut kaum falsifikasionisme sofistikit, masalah keutamaan falsifiabililtas belum cukup untuk menjajaki kebenaran suatu teori, sebab masih ada kondisi lain yang diperlukan oleh ilmu untuk dapat berkembang lebih maju. Pandangan ini lebih menekankan pentingnya manfaat relatif teori teori yang bersaing daripada manfaat suatu teori tunggal. Pertanyaan-pertanyaan tentang teori seperti: Apakah ia falsifiable? Bagaimana tingkat falsifiabilitasnya? dan Sudahkah ia difalsifiable? dalam penilaian mereka kini lebih layak diganti dengan, Apakah teori yang baru ini memiliki daya saing untuk menggantikan teori yang ditantangnya?. Jadi disini berlaku pragmatisme dari suatu teori ilmiah yang merupakan racun ampuh terhadap paham determinisme yang bersifat statis dan yang sebelumnya tidak dibicarakan oleh Popper. Sedangkan pendapat Popper tentang berguru pada sejarah ilmu -ilmu juga mengintroduksikan zaman filsafat ilmu pengetahuan baru. Popper menegaskan bahwa cara kerja (berdasarkan prinsip falsifiabilitas) itu bisa dilihat secara nyata dalam proses pertumbuhan dan perkembangan sejarah ilmu -ilmu. Selanjutnya, dikatakan bahwa tidak hanya hipotesa melainkan juga hukum dan te yang ori kokoh dalam proses falsifikasi lalu ditinggalkan.58 Dari situ Popper meyakini

58

Christiaan R.O.M. Verhaak dan Robert Haryono Imam, op.cit., hlm. 161.

tidak ada ungkapan, hukum dan teori yang definitif dan baku. Semua pengetahuan manusia sementara sifatnya, bisa difalsifikasi. Beerling59 juga berpendapat bahwa semua hasil ilmu itu tidak sempurna, dapat ditambah dan diperbaiki. Jika tidak demikian, maka ilmu pengetahuan justru akan merosot menjadi ideologi tertutup dari segala kritik dan pembaruan. Dalam kaitannya dengan hal inilah, maka kemudian muncul paham falsifikasionisme yang memandang ilmu sebagai suatu perangkat hipotesis yang dikemukakan lewat proses mencoba-coba (trial and error) dengan tujuan melukiskan secara akurat gejala suatu fenomena dunia atau alam semesta. Jadi apabila suatu hipotesis akan dijadikan bagian dari bangunan struktur ilmu, maka ia harus falsifiable (dapat dinyatakan sebagai benar atau salah). Mengikuti cara berpikir Popper, kita seharusnya memecahkan setiap persoalan yang menarik melalui dugaan yang berani melawan (dan terutama) apabila tidak lama kemudian ternyata salah daripada mengulang suatu rangkaian kebenaran yang tidak relevan lagi dengan konteks zamannya. Kita mesti belajar dari kesalahan-kesalahan kita terdahulu, dan untuk selanjutnya setelah mengetahui bahwa dugaan kita salah, maka lalu kita akan belajar banyak tentang model kebenaran yang lain. Dalam perkembangan ilmu, falsifikasi menjadi sandaran penting, sebab penarikan kesimpulan teori-teori universal dari keterangan observasi tidak mungkin menemukan jalan kebenaran yang diharapkan. Tetapi sebaliknya, membuat deduksi tentang ketidakbenaran suatu teori lewat proses falsifikasi

59

Seperti dikutip oleh Conny R. Semiawan, op.cit., hlm. 58.

mungkin saja ditempuh, sebab pada dasarnya ilmu memang berkembang maju melalui berbagai percobaan dan kesalahan. Paham falsifikasionisme ini dapat dipakai sebagai landasan berpikir pragmatis tanpa selalu menganggap semua teori ilmiah sudah benar secara ilmiah dalam perjalanan ilmu. Kesalahan kita selama ini, sebagaimana yang diutarakan oleh Huston Smith adalah mengira sains dapat memberikan satu pandangan utuh ten tang dunia seisinya. Tapi sayangnya sains cuma mampu memperlihatkan kepada kita serpihan-serpihan dunia yang bersifat fisikal, bisa dikalkulasi dan diuji lewat pengamatan fakta-fakta empiris semata. Potongan-potongan dunia itu tidak dapat divisualisasikan hanya dengan indera reseptor manusia yang memiliki standar sensibilitas terbatas. Tak heran jika menjelang wafatnya, Richard Feynman berujar kepada murid-muridnya, Jangan pernah menanyakan bagaimana cara kerja alam semesta, karena pertanyaan seperti itu a kan menyeret kalian ke dalam sebuah lubang, dan tak seorang saintis pun bisa keluar darinya dengan selamat.60 Ketahuilah, tak ada manusia yang dapat memahami bagaimana alam bekerja.

Popper sendiri sebenarnya ingin menekankan tentang pentingnya kontrol intersubyektif dan kesepakatan dalam komunitas para peneliti sendiri sehubungan dengan kemunculan teori-teori baru agar kemungkinan falsifikasi atas teori-teori itu tidak semata-mata didasarkan pada koherensi logis dan linguistis belaka, melainkan juga atas kriteria praktis dan fungsional.61

60

Huston Smith, Kebenaran Yang Terlupakan: Kritik atas Sains dan Modernitas, terj. Inyiak Ridwan Muzir (Yogyakarta: IRCiSoD, 2001), hlm. xviii.61

I. Bambang Sugiharto, op.cit., hlm. 77.

Popper juga selalu mendorong tentang perlunya mengembangkan budaya rasionalisme yang secara kritis mempermasalahkan dasar -dasar pikiran yang berbau mitos untuk mengikis tradisi-tradisi dogmatik yang selama ini hanya selalu mengagung-agungkan kebenaran satu doktrin saja untuk selanjutnya digantikan dengan doktrin yang lebih bersifat majemuk (pluralistik) dan masing -masing mencoba menemukan kebenaran secara analisis kritis.62 Tuntutan falsifikasi Popper tersebut di atas tentu harus dipahami pula berkaitan dengan pandangan filsafatnya tentang rasionalisme kritis yang salah satu uraian pokok ajarannya menjelaskan bahwa setiap pernyataan teoretis harus disusun sedemikian rupa sehingga memungkinkan terbukanya peluang -peluang perbaikan lanjutan. Sebab hanya dengan demikian daya topang dan kemungkinan perkembangan ilmu-ilmu ikut tertunjang secara selaras dan seimbang. Rasionalisme kritis memang tepat mengatakan bahwa rasionalitas suatu ilmu tidak pernah secara berat sebelah dapat dicari dan ditemukan pada kekuatan nalar ilmiah saja, seperti yang dikatakan oleh Descartes dan Leibniz, melainkan bahwa sifat rasional itu justru dibentuk oleh adanya sikap keterbukaan terhadap kritik dan kenyataan empiris menuju suatu kebijakan dan strategi il u yang lebih m terpadu dan menyeluruh. Berbeda dengan Kant, Popper mengajukan suatu pandangan yang lebih historis dan dinamis mengenai ilmu yang harus selalu memodifikasi dan memperbaiki diri. Demikian pula terhadap pendirian empiristis dari Hume ditandaskannya tidak perlu menunggu secara pasif berulangnya gejala untuk62

Jujun Suparjan Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hlm. 112.

mencari keteraturan. Justru kitalah yang harus berusaha secara aktif memaksakan hukum keteraturan (regularities) kepada alam. Sebab pada hakikatnya sifat kritis berarti bahwa kita seperti kata Kant senantiasa siap terbuka pada semua aneka bentuk perubahan yang kita hadapi dan pengalaman yang kita alami. Tetapi Popper menggarisbawahi bahwa akal baru sungguh -sungguh dianggap kritis apabila kita bersedia membuang rongrongan -rongrongan yang dipaksakan

(imposed regularities) oleh sistem makrokosmos alam semesta ini dalam sistem mentalitas berpikir kita.63 Popper menawarkan formulasi lain dalam prinsip epistemologi dengan sebuah keyakinan awal bahwa tidak ada sesuatu yang tidak bisa kita refleksikan dan kita buat eksplisit. Baginya ketidakmungkinan mengeksplisitkan asumsi asusmi dasar adalah sebuah mitos yang cenderung dibesar besarkan sehingga membuat kesulitan menjadi ketidakmungkinan. Ia memang percaya bahwa setiap saat kita ini terpenjara oleh teori-teori, harapan-harapan, pengalaman-pengalaman dan bahasa kita. Tetapi sebenarnya kalau saja kita mau, kita selalu bisa keluar dari kerangka acuan dasar itu setiap saat. Memang kita akan terperangkap dalam kerangka yang lain, tetapi kerangka itu pasti yang lebih baik. Lalu disitu pun kita bisa saja keluar lagi untuk kemudian merefleksikan ulang tentang kerangka acuan dasar itu. Inti persoalannya adalah bahwa suatu diskusi kritis dan perbandingan berbagai kerangka acuan selalu mungkin dilakukan.64 Sejalan dengan ide-ide awal yang provokatif tersebut, tampilnya Thomas Kuhn, sebagai generasi pasca Popper, semakin memantapkan permulaan suatu63

Cornelis Anthonie van Peursen, op.cit., hlm. 83-84.64

I. Bambang Sugiharto, op.cit., hlm. 92-93.

zaman baru dalam proses dialektika filsafat ilmu kontemporer yang biasa disebut filsafat ilmu pengetahuan baru. Secara khusus, Kuhn memperlihatkan bahwa sepanjang sejarah perkembangan ilmu pengetahuan itu pembaharuan -

pembaharuan yang benar hanya terjadi dalam beberapa fase saja, yaitu sewaktu anggapan para ahli ilmu pengetahuan pindah dari suatu paradigma (istilah teknis Kuhn, artinya susunan dasar ilmu alam pada zaman dan wilayah perkembangan ilmu tertentu) ke paradigma yang lain tanpa adanya hubungan logis antara keduanya. Tokoh-tokoh yang disebut bersama Kuhn adalah Mihael Polanyi, Paul Karl Feyerabend, N.R. Hanson, Robert Polter, Stephen Toulmin dan A. Kaplan. Mereka ini disebut sebagai generasi filsafat ilmu pengetahuan baru karena mempunyai perhatian besar terhadap sejarah ilmu pengetahuan dan peranan sejarah ilmu pengetahuan bagi penyusunan filsafat ilmu pengetahuan yan lebih g mendekati kenyataan ilmu pengetahuan yang sesungguhnya. Mereka itu oleh Cornelis Anthonie van Peursen65, digolongkan sebagai filsuf ilmu pengetahuan baru karena mereka melihat perkembangan ilmu pengetahuan sebagai perkembangan yang revolusioner. Ole Dudley Shapere66, h mereka digolongkan sebagai pemikir baru yang mendasarkan pandangan

filosofisnya pada sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri. Hal ini nampak dari cara kerja Feyerabend dalam menentang empirisme kontemporer dan teori kuantum mutakhir dari in terpretasi Kopenhagen yang menegaskan bahwa tidak mungkin untuk menyatakan posisi dan kecepatan sebuah65

Cornelis Anthonie van Peursen, op.cit., hlm. 10.

66

Dudley Shapere, Meaning and Scientific Change, dalam Ian Hacking (ed.), hlm. 29.

elektron bersama-sama. Berdasarkan percobaan, kemustahilan ini ditarik dari kenyataan bahwa setiap kuantitas cahaya yang cukup untuk menangkap posisinya akan merubah kecepatannya, dan sebaliknya, setiap kuantitas cahaya yang tidak mempengaruhi kecepatan tidak akan memadai untuk menyatakan posisinya. Menurut interpretasi Kopenhagen yang dipertahankan oleh ahli fisika Werner Heisenberg (1901-1976) dengan Uncertainly principle (Prinsip

Ketidakpastian)-nya, kemustahilan ini adalah kemustahilan prinsipiil. Alasannya, pada tingkat sub-mikroskopik kita tidak berhak untuk memberikan suatu sifat kepada entitas kecuali kita dapat membuktikannya secara eksperimental. Ia mengatakan bahwa para ahli fisika tidak membangun peralatan yang canggih untuk membantah hipotesis dan pondasi ilmu pengetahuan yang telah ada, melainkan untuk mengembangkan dan menguatkan praktek kegiatan ilmiahnya. Namun sayangnya, peralatan kitaistilah Einsteinterlalu kasar untuk mendeteksi dan memaksa menspesifikasikan kecepatan dan arah tertentu dari partikel elektron yang lebih kecil daripada atom. Akibatnya, kenyataan obyektif digambarkan secara mekanis sehingga hanya menghasilkan informasi yang terbatas dan tidak utuh. Istilah-istilah seperti massa, kecepatan, posisi, volume, tekanan, kekuatan dan unsur-unsur semesta atomik yang paling kecil merupakan sifat-sifat utama dari materia yang bergerak secara bebas. Dunia nyata diasumsikan menjadi suatu sistem partikel-partikel material yang dipahami secara geometris. Akhirnya, Heisenberg berkesimpulan bahwa ilmuwan tidak mungkin dapat melihat elektron dan sekaligus mengukur kecepatannya pada waktu yang bersamaan. Apa yang kita amati bukanlah alam an sich, tetapi alam yang tampak

seperti dalam metode penelitian, dan gerakan sub-atomik alam itu sesungguhnya tidak bisa dipastikan atau diramalkan. Dalam kegiatan-kegiatan bebas, kita memanipulir benda-benda yang terdiri dari bermiliar-miliar atom, dan bukannya atom-atom itu sendiri. Sehingga dengan alasan bahwa teori kuanta (partikel) itu masih jauh dari kadar kepastian, dan karena kebebasan kita juga tidak dilaksanakan pada tingkat mikroskopik, melainkan pada tingkat makroskopik dari kuanta, maka konsep inde terminisme Heisenberg tersebut tidak dapat berfungsi lagi. Salahlah menjadikan kepercayaan kita akan pertanggungjawaban manusiawi itu pada jurang -jurang kekosongan yang ditemukan oleh Heisenberg dalam struktur deterministik gambar dunia fisik.67 Implikasi dari adanya fenomena tentang interpretasi Kopenhagen itu ternyata membawa sains modern kepada cara analisis yang bersifat atomistik dengan jalan memilah-milah suatu proses ke dalam proses pencarian sebab -sebab efisiensi maupun subyek-subyek aktual yang terlibat dalam rangkaian kegiatan penyelidikan ilmu pengetahuan. Sekali analisis dimulai harus dikejar dan ditelusuri sampai batas akhir, karena sains baru akan merasa tahu bagaimana secara persis dari proses alami jika telah menemukan komponen-komponen fisis dasar yang menyebabkan terjadinya hukum kausalitas dalam proses kegiatan tersebut sampai kepada teori atomik sebagai pusat aktivitas saintifik. Prinsip ketidakpastian ini telah memacu fungsi imajinasi manusia untuk memunculkan ide-ide serta penemuan-penemuan baru yang merupakan refleksi67

Louis Leahy, Manusia Sebuah Misteri: Sintesa Filosofis Tentang Makhluk Paradoksal (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 176 dan 315.

perkembangan ilmu dari masa ke masa. Dari sini kemudian perkembangan ilmuilmu modern telah mengakibatkan penjernihan dari prasangka -prasangka

metafisika dan pencocokan lebih teliti pada data dan cara berpikir yang lebih benar. Kalau filsafat ilmu pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 lebih difokuskan pada upaya untuk menemukan penjelasan yang radikal tentang apa, bagaimana dan untuk apa gejala alam itu, maka filsafat di abad modern memperlihatkan kecenderungan menggese landasan dan obyek telaahannya. r Filsafat ilmu abad modern bersumber pada manusia itu sendiri yang pada perkembangan berikutnya terkesan menjadi filsafat ilmu kehidupan. Artinya, ilmu bukan lagi merupakan hasil usaha manusia semata -mata berdasarkan pengalaman empirik yang diperolehnya melalui pengamatan inderanya dan penelitian

percobaannya serta pembuktiannya, melainkan manusia itu sendiri sebagai makhluk yang memiliki keistimewaan khusus, yaitu dalam hal kemampuan berimajinasi. Oleh karena itu, filsafat ilmu abad modern tidak lagi mengutamakan penalaran semata, tetapi bertujuan juga untuk meningkatkan dan membuka tabir serta mendalami realitas alam yang penuh misteri dan paradoks ini melalui perangkat dimensi kreatif ilmu pengetahuan kontemporer. Oleh Frederick Suppe68, Feyerabend disebut bersama Kuhn, Toulmin, Hanson, Popper dan Bohm sebagai pembawa pandangan alternatif ( lternatives to a the Received View). Suppe secara khusus menempatkan mereka dalam kelompok analisis Weltanschaungen, suatu model analisis untuk menginterpretasi dunia.

68

Frederick Suppe (ed.), op.cit., hlm. 119.

Anehnya, pada posisi ini Feyerabend justru didekatkan dengan Popper. Dikatakan bahwa filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend merupakan percobaan untuk memperkembangkan analisis Popperian, terutama dalam penilaian Feyerabend terhadap empirisme kontemporer yang dianut oleh para pengikut The Received View. Mereka digolongkan sebagai filsuf ilmu pengetahuan baru bukan saja karena mendasarkan pandangan filosofisnya pada sejarah ilmu pengetahuan, melainkan juga karena mereka melihat adanya hubungan antara sejarah ilmu pengetahuan dengan filsafat ilmu pengetahuan. Misalnya, Lakatos mengatakan bahwa filsafat ilmu pengetahuan tanpa sejarah ilmu pengetahuan adalah omong kosong ilmiah belaka. Sebaliknya, sejarah filsafat tanpa sejarah ilmu pe ngetahuan adalah buta.69 Namun berbeda dengan Popper, dan lebih sehaluan dengan Thomas S. Kuhn, ia menyangkal kemungkinan adanya tentang experimentum crucis, yakni keadaan bahwa dengan satu falsifikasi saja bisa menghancurkan suatu teori. Sebab berdasarkan keyakinan Lakatos, seandainya ada gerak lawan lain yang muncul dari ranah pengalaman subyek peneliti pasti memproduk suatu teori baru, karena fakta tanpa kerangka teoretis tidak pernah dapat menjadi relevan secara ilmiah. Yang terjadi dalam pembaruan suatu ilmu itu sebetulnya merupakan peralihan dari teori yang satu ke teori yang lain. Atau lebih jelasnya lagi, yang berlangsung sebetulnya adalah suatu program penelitian. Jika nantinya semua ini menghasilkan

69

Prasetya T.W. op.cit., hlm. 52.

teori yang lebih baik, maka ini bisa dikatakan seb agai program penelitian progresif, tetapi kalau tidak dinamakan degeneratif.70

Lakatos menyatakan bahwa seluruh bangunan ilmu alam merupakan suatu kompleksitas makro yang intinya seharusnya melawan segala usaha untuk membuktikan salah. Kompleksitas itu terdiri atas sejumlah teori ilmiah yang menurut Popper tidak dapat berlaku sekaligus (yaitu apabila teori yang baru masuk, maka yang lama dianggap gugur), tetapi justru deretan teori-teori ilmiah itu yang dimaksud Lakatos dengan program riset ( esearch program) yang dalam r prakteknya di lapangan tidak boleh dilaksanakan secara fragmentaris. Sementara disisi yang lain, Feyerabend juga berusaha melawan segala usaha untuk menemukan keteraturan dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Feyerabend merasa bosan akan segala law and order yang ingin dicapai oleh para sarjana, khususnya Popper. Feyerabend berpendapat bahwa manusia dewasa ini terkekang oleh semua cara kerja yang telah diperincikan dengan teliti itu dengan hanya berlandaskan pada teori dan hipotesis yang kurang ditopang oleh kenyataan yang terjadi dalam masyarakat.71 Feyerabend secara tegas mengatakan bahwa antara sejarah ilmu

pengetahuan dan filsafat ilmu pengetahuan mempunyai keterkaitan timbal balik. Dalam Against Method72, Feyerabend mengatakan bahwa para ilmuwan tidak bisa melepaskan diri dari latar belakang historis bagi hukum -hukum, hasil-hasil

70

Cornelis Anthonie van Peursen, op.cit., hlm. 86. 71 Soedjono Dirdjosisworo, op.cit., hlm. 17.72

Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 211.

eksperimen, teknik-teknik matematis, prasangka-prasangka epistemologis dan sikap-sikap mereka terhadap akibat-akibat aneh dari teori-teori diterimanya. Kaitan itu dilukiskan oleh Feyerabend sebagai sebuah perkawinan yang cocok (marriage convenience).73 Alasannya adalah bahwa analisis-analisis terhadap kejelasan, konfirmasi dan teori perbandingan yang diberikan oleh para filsuf berguna baik bagi ilmuwan maupun para pakar sejarah. Dengan semboyan Against Method yang disuarakannya secara ekstrem, Feyerabend mendesak membuka pintu bagi bermacam -macam model alternatif demi pembaruan suatu ilmu. Bahkan yang kini sama sekali tidak ilmiah, atau masih disebut magis sekalipun, misalnya, dapat berfungsi sebagai ancangan alternatif yang merangsang untuk menggantikan metode ilmiah tradisional dan kaku, dengan maksud agar lebih banyak bahan yang bervariasi sifatnya dapat dicakup dalam sistem ilmiah.74 Segala upaya dekonstruksi metodologis Feyerabend dalam filsafat ilmu modern tersebut memberikan perspektif baru tentang hakikat ilmu pengetahuan yang sebenarnya. Pandangan-pandangan maupun kritik-kritik tajam yang

dilontarkannya merupakan sebuah reaksi nyata dalam menyikapi kegagalan teori teori ilmiah tradisional yang tidak dapat dibuktikan secara konklusif

(meyakinkan), dan sekaligus juga sebagai penentangan terhadap adanya asumsi bahwa ilmu itu adalah suatu aktivitas rasional yang beroperasi hanya berdasarkan satu atau beberapa metode tertentu. Sebab bagi Feyerabend, ilmu tidak

73

John Losee, Philosophy of Science and Historical Enquiry (Oxford: Clarendon Press, 1974), hlm. 4.74

Cornelis Anthonie van Peursen, op.cit., hlm. 90.

mempunyai segi-segi istimewa yang dapat menyatakan dirinya lebih unggul daripada cabang-cabang pengetahuan lain. BAB III PRINSIP-PRINSIP ILMU PENGETAHUAN PAUL KARL FEYERABEND

C. Apa Saja Boleh (anything goes) Pada zaman Yunani kuno, hubungan antara kesatuan alam semesta yang teratur (kosmos) dengan pemikiran para filsuf berkembang menjadi teori teori yang berbeda. Platonisme, berasumsi bahwa kesatuan adalah nyata, sedangkan pengertian (pengamatan) awam adalah opini sebagai duplikat yang tidak sempurna. Aristoteles menganggap bahwa opini atau hasil pengamatan (menurut Plato) itulah yang benar, sedangkan hasil pengetahuan rasional abstrak Plato itu adalah mimpi yang tidak berguna. Teori lain (para Sophis) menganggap obye k natural adalah sesuatu yang nyata, sementara obyek -obyek matematika (obyek akal) merupakan pemikiran dan bayangan yang tidak realistik dari obyek natural. Munculnya kaum Sophis itu secara tidak langsung memperlihatkan tentang mulai adanya krisis dalam pemikiran filsafat Yunani. Orang-orang Yunani merasa jemu terhadap banyak ajaran yang dikemukakan oleh para filsuf pra Sokratik. Kebosanan ini kemudian melahirkan Skeptisisme sebagaimana yang dianut oleh tokoh-tokoh berpengaruh besar kaum Sophis, seperti Protagoras ( 480-411 SM.), Georgias ( 480-380 SM.), Hippias, Prodikos dan Kritias.

Akibatnya kebenaran diragukan dan dasar ilmu pengetahuan mulai disanggah. Hal ini jelas membawa pengaruh yang tidak baik bagi kebudayaan Yunani zaman itu.

Nilai-nilai tradisional dalam bidang agama dan moral dirubuhkan serta kecakapan berpidato di depan umum digunakan untuk memutarbalikkan kenyataan demi kepentingan pihak yang berbicara saja.75 Kelompok ini menolak segala realitas serta mengingkari proposisiproposisi ilmiah dan empirikal. Kaum Sophis dengan kritik-kritiknya yang bersifat menjatuhkan telah menjadikan manusia dan segala hal yang berhubungan dengan akal budi pengetahuan sebagai pusat perhatian utama. Anehnya, Sokrates oleh lawan-lawannya dinamakan juga orang Soph meskipun ia sebetulnya is, adalah lawan yang terbesar dari kaum Sophis. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena Sokrates terus bertekad untuk mempertahankan azas -azas pokok mengenai pengetahuan hidup yang hendak dirongrong dan dirusak oleh kaum Sophis. Di sisi yang lain, kaum Sophis menyangkal adanya nilai-nilai universal mengenai prinsip baik dan buruk atau adil dan tidak adil yang terdapat dalam suatu tatanan masyarakat. Sebaliknya, Sokrates membenarkan bahwa nilai yang berkembang dalam masyarakat memang tidak dapat tahan terhadap kritik. Tetapi ia juga merasa bahwa nilai-nilai yang ada itu pasti ada yang bergerak menuju kepada tercapainya suatu norma yang bersifat mutlak, absolut dan abadi. Ia membela yang benar dan baik sebagai nilai nilai obyektif yang harus diterima dan dijunjung tinggi oleh semua manusia. Ia sadar bahwa mengenai satu hal ia lebih tahu daripada kebanyakan orang, sehingga tanpa ragu -ragu ia pun berujar, Saya tidak tahu apa-apa, tetapi saya juga tidak mengira mengetahui sesuatu. Semboyan Sokrates yang kemudian lebih populer dengan ungkapan Gnothi75

Martinus Anton Wesel Brouwer dan M.P. Heryadi, Sejarah Filsafat Barat dan Sezaman (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 22.

Seauton (Kenalilah dirimu) ini menyiratkan bahwa ia mencintai kebijaksanaan dan bukan untuk menguasainya.76 Kaum Sophis membantah adanya norma-norma moral-etis yang berlaku terus-menerus. Kesalahan mereka adalah bahwa ukuran dari nilai kebenaran yang mereka ajukan itu hanya sebatas pengamatan yang nampak dari bagian permukaan luarnya saja. Padahal menurut Sokrates, kesadaran akan adanya hakikat yang mutlak itu justru berada dalam jiwa manusia yan g selalu berpikir serta berusaha mencari dan menyelidiki problem mendasar dari filsafat, yakni tentang Ada. Namun begitu, harus diakui pula bahwa aliran Sophis mempunyai pengaruh yang positif pada kebudayaan Yunani. Aliran Sophis inilah yang pada akhirnya menimbulkan revolusi intelektual di Yunani. Kaum Sophis menciptakan gaya bahasa baru yang sangat mempengaruhi para sejarawan dan penulis drama Yunani. Kaum Sophis juga menempatkan manusia sebagai obyek pemikiran filsafat dan meletakkan dasar bagi pendidikan untuk para pemuda secara sistematis. Dan yang paling penting adalah mereka menyiapkan kelahiran suatu genre pemikiran filsafat baru yang direalisasikan oleh tiga mahaguru filsuf terkemuka Yunani Kuno, yakni Sokrates, Plato dan Aristoteles. Pemikiran Yunani sendiri ditandai oleh ketergantungan pada akal sehat (common sense) manusia (human reason) dalam memecahkan berbagai macam persoalan. Setiap persoalan digagas atau dirancang dalam satu sistem kehidupan yang dialogis dan kritis, sehingga peranan akal sehat dan logika diakui sangat penting.76

Burhanuddin Salam, Sejarah Filsafat, Ilmu dan Teknologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 42.

Sejak

filsuf

Yunani

Kuno

berusaha

meruntuhkan

mitos

dengan

mengedepankan logos, yang berusaha untuk mencari dasar realitas arche) dalam ( berbagai unsur kosmos atau alam raya, pemikiran manusia seolah -olah

mememukan eksistensinya kembali. Implikasi filosofisnya, berbagai pergolakan dan sekaligus pembongkaran atas pemikiran manusia pun kemudian bermunculan sebagai suatu respons positif terhadap berbagai usaha yang dilakukan oleh para filsuf Yunani Kuno tersebut, sehingga mampu melahirka