ANALISIS YURIDIS PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS …
Transcript of ANALISIS YURIDIS PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS …
ANALISIS YURIDIS PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS
KEPEMILIKAN SATUAN RUMAH SUSUN
YANG BERDASARKAN AKTA PERJANJIAN
PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) YANG
DIBANGUN DIATAS TANAH
HAK PENGELOLAAN
( STUDI KASUS APARTEMEN GREEN PRAMUKA CITY )
Diajukan Sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian
Studi Sarjana Hukum
DISUSUN DAN DIAJUKAN OLEH:
MULYANI OKTAVIA
017210405010
FAKULTAS HUMANIORA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS PRESIDEN
BEKASI
2018
i
PENGESAHAN SKRIPSI
Skirpsi yang berjudul:
”ANALISIS YURIDIS PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS
KEPEMILIKAN SATUAN RUMAH SUSUN YANG BERDASARKAN
AKTA PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) YANG
DIBANGUN DI ATAS HAK PENGELOLAAN (STUDI KASUS
APARTEMEN GREEN PRAMUKA CITY)” disiapkan dan diajukan oleh
Mulyani Oktavia dalam memenuhi persyaratan untuk gelar S1 Program Studi
Ilmu Hukum. Skripsi ini telah direview oleh dosen pembimbing sebagai
persyaratan untuk sidang skripsi.
Menyetujui:
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Maria Fransisca, SH., MKn. Timotius N. Susilo, SE., SH., MM., MKn.
ii
DEKLARASI SKRIPSI
Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ANALISIS YURIDIS
PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS KEPEMILIKAN SATUAN
RUMAH SUSUN YANG BERDASARKAN AKTA PERJANJIAN
PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) YANG DIBANGUN DI ATAS TANAH
HAK PENGELOLAAN (STUDI KASUS APARTEMEN GREEN
PRAMUKA CITY)” adalah judul dan isi yang terbaik dari pengetahuan dan
kepercayaan saya sendiri. Skripsi ini belum pernah diajukan sebagian atau
seluruhnya ke Universitas lain sebagai syarat mendapat gelar sarjana Program
Studi Ilmu Hukum.
Bekasi, 05 Maret 2018
Mulyani Oktavia
iii
LEMBAR PERSETUJUAN DAN PEMBIMBING
Skirpsi yang berjudul:
”ANALISIS YURIDIS PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS
KEPEMILIKAN SATUAN RUMAH SUSUN YANG BERDASARKAN
AKTA PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) YANG
DIBANGUN DI ATAS HAK PENGELOLAAN (STUDI KASUS
APARTEMEN GREEN PRAMUKA CITY)” telah selesai disusun dan
diajukan oleh Mulyani Oktavia jurusan Hukum Fakultas Humaniora telah dinilai
dan disetujui untuk lulus ujian secara lisan pada tanggal 05 Maret 2018.
Gratianus prikasetya putra, S.H.,M
Penguji Skripsi
Dr. Maria Fransisca, SH., MKn.
Pembimbing I
Timotius N. Susilo, SE., SH., MM., MKn.
Pembimbing II
iv
ABSTRAK
Asas pemisahan horizontal memungkinkan dalam satu bidang tanah yang sama
terdapat beberapa hak kepemilikan atas tanah secara bersamaan. PT. Duta
Paramindo Sejahtera yang merupakan pengembang dari Apartemen Green
Pramuka City membangun rumah susun di atas bidang tanah Hak Pengelolaan
(HPL) milik PT Angkasa Pura I (Persero) yang terletak di jalan Jendral A. Yani
Kavling 49, Rawasari, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Proses jual beli kepada
pelanggan dilakukan dengan Perjanjian Jual Beli (PPJB) dibawah tangan dan
sampai dengan penulisan ini pelanggan belum memperoleh sertipikat sebagai
bukti sah kepemilikan atas bangunan tersebut. Penulis tertarik melakukan kajian
yang lebih mendalam terkait dengan perlindungan konsumen atas proses
pembelian rumah susun yang dilakukan oleh perusahaan pengembang atau
perusahaan pembangunan dan pemukiman kepada konsumennya yang
menggunakan PPJB dibawah tangan dan perlindungan konsumen terkait dengan
pembangunan satuan rumah susun yang dibangun diatas Hak Pengelolaan,.
Metode penelitian ini yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis
normatif-empiris, sepesifikasi penulisan adalah deskriptif, data yang digunakan
adalah bahan hukum primer yang diperoleh dari ketentuan aturan perundangan-
undangan dan didukung dengan data sekunder berupa literatur-literatur dari buku-
buku yang berhubungan dengan judul penulisan ini.
PPJB yang dibuat antara developer dengan pembeli dilakukan dibawah tangan,
kurang memberikan perlindungan kepada konsumen, selain itu kendala yang
dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan konsumen ini adalah kurangnya
kesadaran hukum dari konsumen. Konsumen dalam membeli apartemen tidak
mengetahui adanya perjanjian pengelolaan tanah hak pengelolaan yang dibangun
satuan rumah susun antara pemilik hak atas hak pengelolaan dengan Developer
sehingga konsumen kurang memahami resiko atas pembelian satuan rumah susun
tersebut.Tanah Hak Pengelolaan hanya dapat dibangun rumah susun apabila tanah
tersebut dilekati dengan Hak Guna Bangunan (HGB) atau Hak Pakai (HP), akan
tetapi kelemahan dari HGB dan HP adalah bahwa kedua hak tersebut memiliki
jangka waktu yang apabila tidak diperpanjang atau diperbaruhi menyebabkan
status haknya kembali kepada pemilik awal yaitu pemegang Hak Pengelolaan.
Apabila hak atas tanah tersebut kembali kepada pemegang Hak Pengelolaan,
maka Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun hapus demi hukum.
Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Rumah Susun, Perjanjian
Pengikatan Jual Beli
v
ABSTRACT
he principle of horizontal separation allows in the same plot of land there are
several land ownership rights simultaneously. PT. Duta Paramindo Sejahtera, a
developer of Green Pramuka City Apartment, built a flats house in the field of
Right of Management (HPL) owned by PT Angkasa Pura I (Persero) located on
Jalan Jendral A. Yani Kavling 49, Rawasari, Cempaka Putih, Central Jakarta, The
process of buying and selling to customers is done with the Sale and Purchase
Agreement (PPJB) under the hand and until this writing the customer has not
obtained the certificate as a legal proof of ownership of the building. The authors
are interested in conducting a more in-depth study related to consumer protection
of the flats purchasing process undertaken by development companies or
development and resettlement companies to their customers who use PPJB under
the hand and consumer protection associated with the development of apartment
units built on the Right of Management. This research method used in this writing
is juridical normative-empirical, the specification of writing is descriptive, the
data used is the primary legal material obtained from the provisions of the rules of
legislation and supported by secondary data in the form of literature-literature of
books related to title of this writing. PPJB created between the developer and the
buyer is done under the hands, giving less protection to the consumer, besides the
obstacle faced in the implementation of this consumer protection is the lack of
legal awareness of the consumer. Consumers in buying an apartment are not
aware of any land management rights agreement built by apartment units between
rights owners and management rights so that consumers do not understand the
risks of purchasing the apartment units. The land of management rights can only
be constructed by flats if the land is attached with Right of Use (HGB) or Right to
Use (HP), but the disadvantage of HGB and HP is that both rights have a time
period which, if not extended or altered, causes the status of the rights to return to
the original owner of the Right of Management. If the right to the land is returned
to the holder of the Right to Management, then the Property Owned by the
Housing Unit is deleted by law.
Keywords : consumer protection, Flats, Sale and Purchase Agreement.
KATA PENGANTAR
Puji syukurah kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karunianya kepada penulis. Akhirnya penulis berhasil menyelesaikan
penulisan ini dengan baik dan tepat pada waktunya, dengan judul ANALISIS
YURIDIS PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS KEPEMILIKAN
SATUAN RUMAH SUSUN YANG BERDASARKAN AKTA PERJANJIAN
PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) YANG DIBANGUN DI ATAS TANAH
HAK PENGELOLAAN (STUDI KASUS APARTEMEN GREEN
PRAMUKA CITY)
Skripsi ini merupakan persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Humaniora, Program Studi Ilmu Hukum Universitas
Presiden. Dalam penulisan ini penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak, baik secara moril maupun materil yang sangat berharga. Oleh
karena itu selayaknya penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang
sebesar- besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Jony Oktavian Haryanto, SE, MM, MA, selaku Rektor
Universitas Presiden yang telah menyediakan segala sarana dan prasarana
sebagai penunjang, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
2. Bapak Teuku Rezasyah Haryanto, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Humaniora
Universitas Presiden beserta jajarannya yang telah mempermudah proses
penyelesaian penulisan ini.
3. Kepala Progam Studi Ilmu Hukum Universitas Presiden Ibu Fennika
Kristianto, SH., MH., MKn., yang telah banyak memberikan bimbingan dan
arahan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Dosen Pembimbing Penulis Ibu Dr. Maria Fransisca , S.H, MKn. dan Bapak
Timotius Noto Susilo, SE., SH., MM., MKn. yang telah banyak
memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penyelesaian
penulisan ini.
5. Bapak/ Ibu Dosen yang telah mendidik dan memberikan ilmu-ilmunya
kepada penulis sehingga penulis bisa seperti ini mengerti apa yang belum
penulis mengerti, semua ilmu yang telah diberikan sangat berarti dan
berharga demi kesuksesan penulis dimasa mendatang.
6. Kepada orangtua tercinta terima kasih telah membimbing dan mendidik
dengan rasa iklas dan penuh kesabaran selama ini.
7. Rekan-rekan Mahasiswa Seperjuangan Fakultas Hukum President
University Angkatan 2014 yang kompak dan penuh kekeluargaan.
8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam penulisan tesis ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini belum sempurna oleh karena
itu dengan penuh kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran guna
penyempurnaan tesis ini, Terima kasih.
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
PENGESAHAN SKRIPSI .............................................................................. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................... iii
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI......................................... iv
ABSTRAK ....................................................................................................... v
KATA PENGANTAR...................................................................................... vi
DAFTAR ISI.................................................................................................. ... vii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
1.2. Identifikasi Masalah ............................................................................. 7
1.3. Tujuan Penulisan.................................................................................... 8
1.4. Kegunaan Penelitian.............................................................................. 8
1.4.1. Kegunaan Teoritis..................................................................... 9
1.4.2. Kegunaan Praktis...................................................................... 9
1.5. Kerangka Pemikiran............................................................................... 11
1.5.1. Kerangka Teori.......................................................................... 11
1.5.2.Kerangka Konsepsional.............................................................. 13
1.6. Metode Penelitian................................................................................... 18
1.6.1.Metode Pendekatan..................................................................... 19
1.6.2.Spesifikasi Penelitian................................................................... 21
1.6.3. Sumber Data dan Jenis Data.......................................................... 22
1.6.4. Tehnik Pengumpulan Data............................................................. 26
1.6.5. Metode Analisa Data....................................................................... 28
1.6.6. Lokasi Pengumpulan Data............................................................... 29
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hak-Hak Atas Tanah..................................................................... 30
2.1.1. Hak-hak atas tanah yang bersifat Primer............................ 30
2.1.2. Hak-hak atas tanah yang bersifat Sekunder........................ 50
2.1.3. Hak Jaminan atas Tanah: Hak Tanggungan......................... 55
2.2. Bangunan atas Satuan Rumah Susun............................................. 58
2.3. Pengertian Rumah Susun dan Satuan Rumah susun..................... 59
2.4. Penjualan Satuan Rumah Susun...................................................... 62
2.5. Strata Title........................................................................................ 66
BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN AKTA PERJANJIAN
PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB)
3.1. Perlindungan Konsumen................................................................. 68
3.2. Perjanjian Pengikatan Jual Beli........................................................ 78
3.3. Perikatan dan Perjanjian................................................................... 79
3.3.1. Macam-macam Perikatan dan Perjanjian .............................. 80
3.3.2. Syarat-syarat sahnya Suatu Perjanjian................................... 81
3.3.3 Wanprestasi dan Akibat Hukumnya......................................... 84
3.3.4. Batal dan Pembatalan Suatu Perjanjian................................... 85
3.3.5. Resiko dan Hapusnya Suatu Perjanjian................................... 91
3.4. Perjanjian Pengikatan Jual Beli........................................................ 94
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Perlindungan Konsumen Atas Kepemilikan Satuan Rumah
Susun Berdasarkan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli.................... 101
4.1.1. Analisis berdasarkan keputusan Menpera No.11/KPPS/94
Tentang Pedoman PPJB............................................................ 109
4.1.2. Analisis Akibat Hukum Perjanjian Jual Beli Unit Satuan
Rumah Susun............................................................................ 110
4.2. Perlindungan Konsumen Atas Kepemilikan Satuan Rumah
Susun Yang Dibangun Diatas Tanah Hak Pengelolaan...................... 118
4.2.1. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 PMDN No. 5
Tahun 1974............................................................................... 118
4.2.2. Berdasarkan Pasal 17 Undang-undang No. 20
Tahun 2011............................................................................... 122
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan..................................................................................... 134
5.2. Saran................................................................................................ 136
Daftar Pustaka..................................................................................................... 139
vii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Berbicara mengenai tanah merupakan pokok bagi kehidupan manusia
di dunia ini, sebab tanpa tanah maka manusia akan kehilangan nilai-nilai
sosial dan jati dirinya sebagai manusia. Hal ini diketahui bahwa manusia
sejak lahir sampai mati membutuhkan tanah.1
Hak-hak atas tanah memberikan wewenang untuk mempergunakan
tanah dengan batas-batas yang ditentukan dengan peraturan-peraturan
terkait. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (untuk selanjutnya disebut UUPA) menjelaskan
tentang status tanah dapat dibedakan menjadi: tanah negara, tanah adat
(ulayat), dan tanah yang mempunyai alas hak seperti: Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah,
Hak Memungut Hasil Hutan dan hak-hak lain.
Berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
(selanjutnya disebut UUD 1945) disebutkan bumi dan air dan kekayaan
yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.2 Menurut konsepsi hukum tanah
nasional (UUPA) dalam Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa seluruh bumi,
air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung
1 Suhanan Yosua, Hak Atas Tanah Timbul (Aanslibbing) Dalam Sistem Hukum Pertanahan
Nasional, Jakarta: Restu Agung, Hlm. 57 2 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 ayat (3)
2
didalamnya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
kekayaan nasional.3
Selain mengelola bumi air dan kekayaan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya, negara juga berperan dalam mensejahterakan rakyat
sebagaimana diamanatkan dalam tujuan negara yang tertuang dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sabagai berikut “Kemudian
daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial .” 4
Salah satu cara dalam mensejahterakan rakyat adalah pemerintah
memberikan dan menyediakan fasilitas rumah yang layak bagi rakyatnya,
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan
dan Pemukiman disebutkan bahwa “Rumah adalah bangunan yang
berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan
keluarga.”5 Sedangkan rumah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
online adalah:
1) Bangunan untuk tempat tinggal
2) Bangunan pada umumnya (seperti gedung)6
3 Undang-Undang Negara Republik Indonesia tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
UU Nomor 5 Tahun 1960, Pasal 1 ayat (2) 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Alinea keempat
5 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemujiman, Pasal 1 angka 1
6 Kamus Besar Bahasa Indonesia Diring, https://kbbi.kemdikbud.go.id
3
Berdasarkan definisi tersebut maka dapat dikatakan rumah adalah
bangunan untuk tempat tinggal yang pada umumnya seperti gedung. Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
(untuk selanjutnya disebut UU Bangunan Gedung) menyebutkan “Bangunan
gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan
tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di
dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan
kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan,
kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.”7
Fungsi gedung sebagai tempat tinggal berdasarkan Pasal 4 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (untuk
selanjutnya disebut PP Bangunan Gedung) menyebutkan “… sebagai tempat
tinggal manusia yang meliputi rumah tinggal tunggal, rumah tinggal deret,
rumah tinggal susun, dan rumah tinggal sementara.”8
Setiap manusia membutuhkan tempat tinggal sebagai kebutuhan
pokok yang harus dihadapi, oleh karenanya tanah sebagai tempat berpijak
bagi manusia merupakan kebutuhan hidup yang tidak bisa dipungkiri.9
Keberadaan tanah yang semakin terbatas terutama di kota-kota besar
membuat konsep rumah tinggal deret beralih ke konsep rumah tinggal susun
atau sering disebut dengan apartemen.
7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, Pasal 1 angka 1
8 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, Pasal 4 ayat (1) 9 Suhanan Yosua, Hak Atas Tanah Timbul (Aanslibbing) Dalam Sistem Hukum Pertanahan
Nasional, Jakarta: Restu Agung, hlm.1
4
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011
tentang Rumah Susun (untuk selanjutnya disebut UU Rumah Susun)
disebutkan bahwa “Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang
dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang
distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal
dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan
digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi
dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.”10
Hak-hak atas tanah yang diberikan oleh negara, diatur dalam Pasal 16
ayat (1) UUPA, yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,
Hak Pakai, Hak Sewa Untuk Bangunan, dan Hak Pengelolaan sedangkan
hak atas tanah untuk pembangunan rumah susun dapat dilakukan di atas
tanah yang memiliki Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak
Sewa Untuk Bangunan, dan Hak Pengelolaan.
Hak Pengelolaan tidak dikenal dalam UUPA, akan tetapi Hak
Pengelolaan ini terdapat dalam Penjelasan Umum UUPA yaitu Kekuasaan
Negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan suatu hak oleh seseorang atau
pihak lain adalah lebih luas dan penuh. Dengan berpedoman kepada tujuan
yang disebutkan di atas, negara dapat memberikan tanah yang demikian itu
kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut
peruntukkan dan keperluannya, misalnya hak milik, hak guna usaha, hak
guna bangunan, hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada
10
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, Pasal 1 angka 1
5
sesuatu badan pengusaha (Departemen, Jawatan, atau Swatantra) untuk
dipergunakan bagi pelaksanaan tugas masing-masing (Pasal 2 ayat (4).11
Penguasaan atas rumah susun dapat dilakukan dengan berbagai cara
yaitu secara pembelian maupun sewa, pada saat ini perusahaan pengembang
atau perusahaan pembangunan dan pemukiman memberikan berbagai
macam kemudahan untuk dapat memiliki rumah susun, pembelian atas
rumah susun dapat dilakukan secara tunai ataupun dengan cicilan.
PT. Duta Paramindo Sejahtera merupakan salah satu perusahaan
pengembang atau perusahaan pembangunan dan pemukiman yang
akan/sedang/telah membangun bangunan-bangunan rumah susun di atas
bidang tanah Hak Pengelolaan (HPL) milik PT Angkasa Pura I (Persero)
yang terletak di jalan Jendral A. Yani Kavling 49 Kelurahan Rawasari,
Kecamatan Cempaka Putih, Jakarta Pusat, setempat dikenal sebagai Green
Pramuka City.
Antara PT. Duta Paramindo Sejahtera sebagai penjual dan
konsumennya sebagai pembeli melakukan jual beli atas satuan rumah susun
dengan menggunakan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat
dibawah tangan antara penjual dan pembeli. PPJB dibuat untuk melakukan
pengikatan sementara sebelum pembuatan Akta Jual Beli (AJB) resmi di
hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Secara umum, isi PPJB
adalah kesepakatan penjual untuk mengikatkan diri akan menjual kepada
pembeli dengan disertai pemberian tanda jadi atau uang muka berdasarkan
kesepakatan. Umumnya PPJB dibuat di bawah tangan karena suatu sebab
11
Undang-Undang Negara Republik Indonesia tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
UU Nomor 5 Tahun 1960, Penjelasan Umum
6
tertentu seperti pembayaran harga belum lunas. Di dalam PPJB memuat
perjanjian-perjanjian, seperti besarnya harga, kapan waktu pelunasan dan
dibuatnya AJB.
Ketentuan secara umum atas PPJB dalam pelaksaaan jual beli rumah
susun diatur berdasarkan Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat
Nomor 9 Tahun 1995. Perjanjian ini merupakan salah satu kekuatan hukum
sekaligus jaminan hukum pada saat membeli rumah.
Pembelian oleh konsumen atas satuan rumah susun harus
mendapatkan perlindungan secara hukum oleh pemerintah. Berdasarkan
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UU Perlindungan Konsumen)
disebutkan bahwa Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen.12
Perlindungan konsumen bertujuan untuk (a) Meningkatkan kesadaran,
kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri, (b)
Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya
dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa, (c) Meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-
haknya sebagai konsumen, (d) Menciptakan sistem perlindungan konsumen
yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta
akses untuk mendapatkan informasi, (e) Menumbuhkan kesadaran pelaku
usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap
12
Undang-Undang Negara Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen. UU Nomor 8
Tahun 1999, Pasal 1 angka 1
7
yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha, (f) Meningkatkan
kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi
barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
konsumen.13
Sebagaimana telah diuraikan diatas, diperlukan kajian yang lebih
mendalam terkait dengan perlindungan konsumen atas proses pembelian
rumah susun yang dilakukan oleh perusahaan pengembang atau perusahaan
pembangunan dan pemukiman kepada konsumennya yang menggunakan
PPJB dibawah tangan dan perlindungan konsumen terkait dengan
pembangunan satuan rumah susun yang dibangun diatas Hak Pengelolaan,
untuk hal tersebut tertarik untuk melakukan penulisan atas penelitian dan
kajian dengan topik: ANALISIS YURIDIS PERLINDUNGAN
KONSUMEN ATAS KEPEMILIKAN SATUAN RUMAH SUSUN
YANG BERDASARKAN AKTA PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL
BELI (PPJB) YANG DIBANGUN DI ATAS TANAH HAK
PENGELOLAAN (STUDI KASUS APARTEMEN GREEN
PRAMUKA CITY).
13
Undang-Undang Negara Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen. UU Nomor 8
Tahun 1999, Pasal 3
8
1.2. Identifikasi Masalah
Masalah penelitian merupakan suatu pertanyaan yang mempersoalkan
keberadaan suatu variabel atau mempersoalkan hubungan antara variabel
pada suatu fenomena.14
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini meliputi:
a) Bagaimana perlindungan konsumen atas kepemilikan satuan rumah
susun yang berdasarkan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)?
b) Bagaimana perlindungan konsumen atas kepemilikan satuan rumah
susun yang dibangun di atas Hak Pengelolaan?
1.3. Tujuan Penulisan
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan
pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan
menganalisanya.15
Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan ini meliputi:
a) Untuk menganalisa perlindungan konsumen atas kepemilikan satuan
rumah susun yang berdasarkan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli
(PPJB)?
b) Untuk menganalisa perlindungan konsumen atas kepemilikan satuan
rumah susun yang dibangun di atas Hak Pengelolaan?
14
Ronny Kountur, Metode Penelitian – Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, Jakarta: Buana
Printing, hlm.35 15
Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, hlm.43
9
1.4. Kegunaan Penelitian
Fungsi metode penelitian adalah alat untuk mengetahui sesuatu
masalah yang akan diteliti, baik ilmu-ilmu sosial, ilmu hukum maupun ilmu
lainnya.
Kegunaan dalam penelitian ini antara lain:
1.4.1. Kegunaan Teoritis
a) Untuk menjadi pengetahuan tentang perkembangan bidang
pertanahan, khususnya mengenai kajian yuridis tentang
perlindungan konsumen atas kepemilikan satuan rumah susun
berdasarkan atas akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)
yang dibuat dibawah tangan dan perlindungan konsumen atas
kepemilikan rumah susun yang dibangun di atas tanah Hak
Pengelolaan. 16
b) Untuk dapat dijadikan dasar penelitan lain terkait dengan
mengenai kajian yuridis tentang perlindungan konsumen atas
kepemilikan satuan rumah susun berdasarkan atas akta
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat dibawah
tangan dan perlindungan konsumen atas kepemilikan rumah
susun yang dibangun di atas tanah Hak Pengelolaan.
c) Untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi kajian hukum
agraria di Indonesia terutama mengenai perlindungan konsumen
atas kepemilikan satuan rumah susun berdasarkan atas akta
16
H. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, hlm.21
10
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat dibawah
tangan dan perlindungan konsumen atas kepemilikan rumah
susun yang dibangun di atas tanah Hak Pengelolaan.
1.4.2. Kegunaan Praktis
a) Bagi Badan Pertanahan Nasional / Kantor Wilayah Pertanahan /
Kantor Pertanahan, untuk dapat dijadikan dasar bagi Badan
Pertanahan Nasional / Kantor Pertanahan untuk membuat aturan
teknis mengenai mengenai kajian yuridis tentang perlindungan
konsumen atas kepemilikan satuan rumah susun berdasarkan
atas akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat
dibawah tangan dan perlindungan konsumen atas kepemilikan
rumah susun yang dibangun di atas tanah Hak Pengelolaan.17
b) Bagi pelaku usaha, untuk dapat memberikan panduan dan
pertimbangan bagi pelaku usaha dan pihak-pihak yang
berkepentingan lainnya dalam membeli dan berinvestasi properti
dan mengetahui tentang kajian yuridis tentang perlindungan
konsumen atas kepemilikan satuan rumah susun berdasarkan
atas akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat
dibawah tangan dan perlindungan konsumen atas kepemilikan
rumah susun yang dibangun di atas tanah Hak Pengelolaan.
c) Bagi masyarakat umum, untuk memberikan tambahan
pengetahuan dan mengetahui konsekuensi atas kajian yuridis
17
Ahmad Muliadi, Politik Hukum, Akademia permata, Jakarta, 2013, hlm 98
11
tentang perlindungan konsumen atas kepemilikan satuan rumah
susun berdasarkan atas akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli
(PPJB) yang dibuat dibawah tangan dan perlindungan konsumen
atas kepemilikan rumah susun yang dibangun di atas tanah Hak
Pengelolaan.
1.5. Kerangka Pemikiran
1.5.1. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan keberadaan hukum sebagai aturan
sangat dibutuhkan dalam setiap kehidupan sosial masyarakat karena
hukum dapat mewujudkan dan menjaga tatanan kehidupan bersama
yang harmonis. Peraturan-peraturan diperlukan dalam kehidupan
masyarakat demikian juga dalam hubungannya dengan negara
kepastian hukum harus dijaga demi keamanan negara, maka hukum
positif harus selalu ditaati, meskipun isinya kurang adil atau juga
kurang sesuai dengan tujuan hukum.18
Dalam penelitian ini digunakan teori-teori, konsep-konsep, dan
pandangan-pandangan para pakar-pakar yang berpengaruh sebagai
landasan kerangka pemikiran penelitian. Pandangan teoritis tersebut
dikombinasikan dengan peraturan perundang-undangan dan
instrumen-instrumen hukum perjanjian dan pertanahan. Kerangka
konseptual yang digunakan dalam penelitian ini dengan teori
18
H. Salim dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Disertasi dan Tesis- Buku Kedua, Jakarta: Rajawalipers, hlm.1
12
perikatan, perjanjian, hokum jaminan, perlindungan hukum dan
hukum pertanahan nasional.
Legal Theory (teory hukum) mempunyai kedudukan yang sangat
penting di dalam penelitian disertasi dan tesis, karena teori hukum
tersebut dapat digunakan sebagai pisau analisis untuk mengungkapkan
fenomena-fenomena hukum baik dalam tataran hukum normatif
maupun empiris.
Teori hukum yang dalam bahasa Inggris disebut dengan theory
of law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan rechtstheorie
mempunyai kedudukan yang sangat penting di dalam proses
pembelajaran maupun di dalam penerapan hukum, karena adanya teori
hukum dapat membantu dalam kerangka memecahkan berbagai
persoalan, dimana di dalam hukum normatif tidak diatur.19
Hukum agraria atau hukum tanah nasional merupakan hukum
tanah Indonesia yang tersusun dalam suatu sistem berdasarkan alam
pikiran hukum adat, sehingga sumber utama dalam pembangunan
hukum agraria adalah hukum adat. Falsafah / konsepsi hukum agraria
adalah komulaistik-religius yang memungkinkan penguasa tanah
secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi,
sekaligus mengandung unsur kebersamaan.
Dalam hukum agrarian menyatakan bahwa secara prinsip negara
mempunyai penguasaan atas bumi, air dan kekayaan yang terkandung
didalammya tetapi negara juga mempunyai peran penting untuk
19
Ahmad Muliadi, Op. Cit., hlm.5
13
memberikan lesejahteraan bagi rakyatmya dikarenakan setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang merupakan
kebutuhan dasar manusia, dan yang mempunyai peran yang sangat
strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai
salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati
diri, mandiri, dan produktif.
Sebagai regulator dan dalam tanggung jawabnya untuk
menyediakan tempat tinggal, negara bertanggung jawab melindungi
segenap bangsa Indonesia dalam penyelenggaraan perumahan, baik
rumah deret maupun rumah susun yang layak bagi kehidupan yang
sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah
Indonesia.20
Setiap orang diharapkan dapat berpartisipasi untuk memenuhi
kebutuhan tempat tinggal melalui pembangunan rumah deret maupun
rumah susun yang layak, aman, harmonis, terjangkau secara mandiri,
dan berkelanjutan, dan negara juga berkewajiban memenuhi
kebutuhan tempat tinggal yang terjangkau bagi masyarakat.
1.5.2. Kerangka Konsepsional
Dalam penelitian hukum normatif maupun sosiologis atau
empiris, dimungkinkan untuk menyusun kerangka konsepsional yang
20
Undang-Undang Negara Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen. UU Nomor 8
Tahun 1999, Pasal 1 angka 1
14
di piris, dimungkinkan untuk menyusun kerangka konsepsional yang
didasarkan atau diambil dari peraturan perundang-undangan tertentu.
Biasanya kerangka konsepsionil tersebut, sekaligus merumuskan
definisi-definisi tertentu yang dapat dijadikan pedoman operasionil di
dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisa dan konstruksi data.
a) Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen. Perlindungan konsumen bertujuan untuk: 21
(1) Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian
konsumen untuk melindungi diri,
(2) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang
dan/atau jasa,
(3) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai
konsumen,
(4) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang
mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan
informasi serta akses untuk mendapatkan informasi,
(5) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai
pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh
sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha,
21
Undang-Undang Negara Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen. UU Nomor 8
Tahun 1999, Pasal 3
15
(6) Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang
menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau
jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
konsumen.22
b) Rumah, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia online
disebutkan pengertian mengenai rumah yaitu, (1) Bangunan
untuk tempat tinggal dan (2) Bangunan pada umumnya (seperti
gedung).23
Pasal 1 angka 1 UU Perumahan dan Pemukiman
disebutkan bahwa “Rumah adalah bangunan yang berfungsi
sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan
keluarga.”24
c) Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang
dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-
bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah
horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang
masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah,
terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian
bersama, benda bersama, dan tanah bersama.”25
d) Perjanjian Pengikatan Jual Beli, ketentuan secara umum atas
PPJB dalam pelaksaaan jual beli rumah susun diatur
berdasarkan Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat
22
Undang-Undang Negara Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen. UU Nomor 8
Tahun 1999, Pasal 3 23
Kamus Besar Bahasa Indonesia Diring, https://kbbi.kemdikbud.go.id 24
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemujiman, Pasal 1 angka 1 25
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, Pasal 1 angka 1
16
Nomor 9 Tahun 1995. Perjanjian ini merupakan salah satu
kekuatan hukum sekaligus jaminan hukum pada saat membeli
rumah.
e) Hak Pengelolaan tercantum dalam Penjelasan Umum UUPA;
Kekuasaan Negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan suatu
hak oleh seseorang atau pihak lain adalah lebih luas dan penuh.
Dengan berpedoman kepada tujuan yang disebutkan di atas,
negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada
seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut
peruntukkan dan keperluannya, misalnya hak milik, hak guna
usaha, hak guna bangunan, hak pakai atau memberikannya
dalam pengelolaan kepada sesuatu badan pengusaha
(Departemen, Jawatan, atau Swatantra) untuk dipergunakan bagi
pelaksanaan tugas masing-masing (Pasal 2 ayat (4)).26
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri
(PMDN) Nomor 5 Tahun 1974 disebutkan bahwa Hak
Pengelolaan adalah hak atas tanah yang memberi wewenang
kepada pemegangnya untuk:
(1) Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang
bersangkutan.
(2) Menggunakan tanah yang bersangkutan untuk keperluan
pelaksanaan usaha.
26
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, Penjelasan Umum
17
(3) Menyerahkan bagian tanah yang bersangkutan kepada
pihak ketiga dengan hak pakai untuk jangka waktu 6
(enam) bulan.
(4) Menerima uang pemasukan / ganti kerugian dan uang
wajib Tahunan.27
f) Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), berdasarkan Pasal 1
angka 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37
Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang
diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun.28
PPAT bertugas pokok
melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan
membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi
pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan
oleh perbuatan hukum itu. Perbuatan hukum adalah sebagai
berikut: jual beli; tukar menukar; hibah; pemasukan ke dalam
perusahaan (inbreng); pembagian hak bersama; pemberian Hak
Guna Bangunan / Hak Pakai atas Tanah Hak Milik; pemberian
27
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974, tentang Ketentuan-Ketentuan mengenai
Penyediaan dan Pemberian Tanah Untuk Keperluan Perusahaan, Pasal 3 28
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pasal 1
angka (1)
18
Hak Tanggungan; pemberian Kuasa membebankan Hak
Tanggungan.29
g) Notaris, berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris adalah pejabat umum
yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.30
Sedangkan yang dimaksud dengan Akta Otentik adalah Suatu
akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-
Undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang
untuk itu di tempat akta itu dibuat.31
1.6. Metode Penelitian
Penelitian penting dilakukan karena manusia memerlukan jawaban
untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya. Untuk
itu diperlukan pengetahuan ilmiah, proses pencarian pengetahuan ilmiah
atau pengetahuan yang benar itu harus berlangsung sesuai prosedur dan
langkah-langkah yang dilakukan secara sistematis, kritis, terkontrol dan
dilakukan menurut hukum dan kaidah-kaidah berlakunya akal yaitu logika
dan hasil penelitian bermanfaat secara teoritis maupun secara praktis.32
Dalam melaksanakan pendekatan permasalahan yang berhubungan
dengan topik penelitian ini menggunakan metode sebagai berikut:
29
Ibid, Pasal 2 ayat (1) dan (2) 30
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 1 angka 1 31
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1868 32
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Mandar Maju. hlm.9
19
1.6.1. Metode Pendekatan
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan.
Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi
dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari
jawabnya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian
hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach),
pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical
approach), pendekatan komparatif (comparative approach),
pendekatan konseptual (conceptual approach).33
Pendakatan undang-undang atau statute approach dan sebagian
ilmuwan hukum menyebutnya dengan pendekatan yuridis, yaitu
penelitian terhadap produk-produk hukum.34
Penelitian ini
menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach)
dikarenakan dilakukan dengan menelaah peraturan dan regulasi yang
terkait dengan perlindungan konsumen atas kepemilikan satuan rumah
susun berdasarkan atas akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)
yang dibuat dibawah tangan dan perlindungan konsumen atas
kepemilikan rumah susun yang dibangun di atas tanah Hak
Pengelolaan.
Sebagai ilmu normatif (ilmu tentang norma) ilmu hukum
mengarahkan refleksinya kepada norma dasar yang diberi bentuk
33
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum – Edisi Revisi, Jakarta: Prenadamedia Group,
hlm.133 34
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Mandar Maju. hlm.92
20
konkret dalam norma-norma yang ditentukan dalam bidang-bidang
tertentu.35
Beda dengan ilmu-ilmu empiris yang dapat dibuktikan
kebenarannya melalui penilaian dalam pola tertentu, menurut Huljbers
ilmu hukum yang berisi norma-norma dan kewajiban dalam hidup
manusia tidak mungkin dibuktikan kebenarannya, sebagaimana yang
diinginkan oleh sarjana-sarjana dalam bidang ilmu-ilmu pengetahuan
positif (empiris). Alasannya, karena norma dan kewajiban hanya dapat
dipastikan kesungguhannya dalam kesadaran masing-masing manusia
yang menghadapinya, sebagai gejala yang tidak dapat dielakkan.36
Penelitian hukum empiris bertujuan untuk mengetahui sejauh
mana bekerjanya hukum dalam masyarakat. Penelitian ilmu hukum
empiris sebagai hasil interaksi antara ilmu hukum dengan disiplin
ilmu-ilmu lainnya terutama sekali sosiologi dan antropologi
melahirkan sosiologi hukum dan antropologi hukum.37
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
yuridis normatif-empiris. Penggunaan metode yuridis normatif-
empiris ini dikarenakan penulisan yuridis normatif dalam bidang
hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum yang
dapat digunakan untuk menjawab permasalahan / isu hukum tertentu
yang dihadapi. Metode ini berkaitan dengan prinsip-prinsip dan
norma-norma hukum pertanahan / agraria di Indonesia serta praktek
35
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia
Publishing, hlm.49 36
Ibid., hlm.50 37
Bahder Johan Nasution, Op.Cit. hlm.123
21
penerapannya terutama terkait dengan perlindungan konsumen atas
kepemilikan satuan rumah susun berdasarkan atas akta Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat dibawah tangan dan
perlindungan konsumen atas kepemilikan rumah susun yang dibangun
di atas tanah Hak Pengelolaan..
Penelitian empiris adalah karena adanya fenomena hukum
masyarakat atau fakta sosial yang terdapat dalam masyarakat terkait
dengan adanya pelaku usaha dan masyarkat umum yang melakukan
pembelian atas satuan rumah susun yang beralaskan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB) dan dan dibangun di atas tanah Hak
Pengelolaan.
1.6.2. Spesifikasi Penelitian
Suatu penelitian deskriptif, dimaksudkan untuk memberikan
data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-
gejala lainnya.38
Spesifikasi dalam penelitian ini menggunakan
bersifat deskriptif analitis yaitu untuk memperoleh suatu gambaran
yang menyeluruh dan sistematis tentang permasalahan mengenai
kajian yuridis tentang perlindungan konsumen atas kepemilikan
satuan rumah susun berdasarkan atas akta Perjanjian Pengikatan Jual
Beli (PPJB) yang dibuat dibawah tangan dan perlindungan konsumen
atas kepemilikan rumah susun yang dibangun di atas tanah Hak
38
Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, hlm.10
22
Pengelolaan ditinjau dari perspektif hukum agraria dan hukum
perlindungan konsumen.
1.6.3. Sumber Data dan Jenis Data
Lazimnya di dalam penelitian, dibedakan antara data yang
diperoleh langsung dari masyarakat dan dari bahan pustaka, yang
pertama disebut data primer atau data dasar (primary data atau basic
data) dan yang kedua dinamakan data sekunder (secondary data).
Data primer diperoleh langsung dari sumber pertama, yakni perilaku
warga masyarakat, melalui penelitian. Data sekunder antara lain,
mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian
yang berwujud laporan, buku harian, dan seterusnya.39
a) Sumber Data
Secara umum, maka dalam penelitian biasanya dibedakan
data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat (mengenai
perilakunya: data empiris) dan dari bahan pustaka. Sumber data
yang digunakan dalam penulisan ini adalah dari bahan pustaka
dan menggunakan data sekunder. Sumber data sekunder terdiri
dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tertier, antara lain:
1) Bahan Hukum Primer
39
Ibid. hlm.12
23
Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang
mengikat. Bahan hukum primer yang digunakan dalam
penelitian ini, antara lain:
a) Pembukaan UUD 1945 dan Undang-Undang Dasar
1945
b) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.
c) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang
Perumahan dan Pemukiman.
d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
e) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung.
f) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris.
g) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang
Rumah Susun.
h) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai atas Tanah.
i) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.40
40
Ibid. hlm.51
24
j) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Pejabat Pembuat Akta Tanah.
k) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
l) Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965
tentang Pelaksanaan Konversi Hak Pengusaan dan
Tanah Negara dan Ketentuan-Ketentuan tentang
Kebijaksanaan selanjutnya.
m) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun
1974, tentang Ketentuan-Ketentuan mengenai
Penyediaan dan Pemberian Tanah Untuk Keperluan
Perusahaan,
n) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder, yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti
misalnya, rancangan undang-undang, hasil-hasil
penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan
seterusnya.41
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam
penulisan ini antara lain: buku-buku tentang hukum
pertanahan dan literatur-literatur mengenai pertanahan,
41
Ibid. hlm.52
25
pendapat hukum tentang teori kepastian hukum, berkas-
berkas atau dokumen-dokumen dan bahan-bahan dari
internet yang berkaitan dengan pertanahan dengan teori
perjanjian.
3) Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder.
Bahan hukum tertier yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Kamus Lengkap Inggris-Indonesia
Indonesia-Inggris Karangan Tri Kembara (Penerbit
Pustaka Dua Surabaya) dan Kamus Inggris Indonesia oleh
John M.Echols dan Hasan Shadily (Penerbit PT. Gramedia
Jakarta) serta Kamus Besar Bahasa Indonesia bertujuan
untuk membantu menjelaskan bahan hukum primer dan
sekunder.42
b) Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder, antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi,
buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan, dan
seterusnya. Data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian
ini yaitu: buku-buku atau literatur-literatur dan peraturan
perundang-undangan mengenai pertanahan, hasil penelitian
42
Ibid , hlm 53
26
terdahulu, artikel, berkas-berkas, atau dokumen-dokumen dan
sumber lain yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
1.6.4. Tehnik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data pada penulisan ini dilakukan dengan
memakai data sekunder yaitu studi kepustakaan (library research)
yang didukung dengan bahan-bahan hukum lainnya sebagai berikut:
a) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum ini di dapat melalui studi kepustakaan
(library research) yang digunakan untuk dapat menemukan dan
mengkaji peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan hukum agraria khususnya tentang perlindungan
konsumen atas kepemilikan satuan rumah susun berdasarkan
atas akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat
dibawah tangan dan perlindungan konsumen atas kepemilikan
rumah susun yang dibangun di atas tanah Hak Pengelolaan yang
berhubungan dengan penelitian ini.43
b) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum ini pengumpulannya melalui studi dokumen
yang dikumpulkan dari dokumen-dokumen yang bersumber dari
buku-buku mengenai hukum khususnya yang berhubungan
dengan masalah hukum agraria atau pertanahan, literatur hukum,
maupun dari berbagai penulisan baik makalah, jurnal maupun
43
Ibid, hlm 54
27
internet lainnya tentang perlindungan konsumen atas
kepemilikan satuan rumah susun berdasarkan atas akta
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat dibawah
tangan dan perlindungan konsumen atas kepemilikan rumah
susun yang dibangun di atas tanah Hak Pengelolaan. Data yang
dikumpulkan akan diproses dan digunakan untuk mendukung
bahan hukum primer melalui langkah-langkah yang bersifat
umum, kemudian difokuskan pada hal-hal yang penting untuk
diambil suatu kesimpulan guna dilakukan verifikasi. Data yang
terkumpul akan direduksi untuk kemudian dicari maknanya,
mencari pola hubungan persamaan hal-hal yang sering timbul
dan kemudian akan disimpulkan. Tehnik tersebut digunakan
untuk memberikan gambaran atas penelitian ini.44
c) Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tersier didapatkan dengan mencari dan
meneliti guna melengkapi bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder yang telah ada, selanjutnya akan didapatkan
melalui Kamus hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus
bahasa Inggris-Indonesia yang membantu dalam memberikan
penjelasan yang lebih mendalam.
44
Soerjono Soekamto, Loc.Cit.
28
1.6.5. Metode Analisis Data
Pada dasarnya pengolahan, analisa dan konstruksi data dapat
dilakukan secara kualitatif dan / atau secara kualitatif. Kadang-kadang
penyajian hasil-hasil penelitian (sebagai hasil pengolahan data)
disatukan dengan analisa data.45
Analisis hasil penelitian berisi uraian tentang cara-cara analisis
yang menggambarkan bagaimanasuatu data dianalisis dan apa manfaat
data yang terkumpul untuk dipergunakan dalam memecahkan masalah
penelitian.
Analisis bahan hukum adalah bagaimana memanfaatkan
sumber-sumber bahan hukum yang telah terkumpul untuk digunakan
untuk memecahkan permasalahan dalam penelitian. Dasar dari
penggunaan analisis adalah normative-empiris, dikarenakan bahan-
bahan hukum dalam penelitian ini mengarah pada kajian-kajian yang
bersifat teoritis dalam bentuk asas-asas hukum, konsep-konsep
hukum, serta kaidah-kaidah hukum ditambah dengan fakta hukum
yang ada di masyarakat. Bahan-bahan hukum yang telah berhasil
dikumpulkan berkenaan dengan “Kajian yuridis tentang perlindungan
konsumen atas kepemilikan satuan rumah susun berdasarkan atas akta
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat dibawah tangan
dan perlindungan konsumen atas kepemilikan rumah susun yang
dibangun di atas tanah Hak Pengelolaan”, dalam hal ini terlebih
45
Ibid. hlm.68
29
dahulu dilakukan analisis yaitu: deskriptif, interprestasi, evaluasi,
sistematisasi. 46
1.6.6. Lokasi Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini dilakukan mulai bulan September 2017
dengan lokasi yang diambil adalah di PT Duta Paramindo Sejahtera
Jakarta Pusat dan studi kepustakaan di Universitas Presiden
Kabupaten Bekasi, beberapa Kantor Notaris dan PPAT serta Kantor
Pertanahan Jakarta Pusat.
46
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Mandar Maju, hlm.174
30
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hak-Hak Atas Tanah
Pasal 4 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa; “Atas dasar hak menguasai
dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 (UUPA), ditemukan
adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun
bersama sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”.1
Hak tanah merupakan hak pengusaan atas tanah yang berisi
serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya
untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki antara lain:
2.1.1. Hak-hak atas tanah yang bersifat Primer
Hak-hak atas tanah yang bersifat primer adalah rmerupakan hak-
hak atas tanah yang diberikan oleh negara, diatur dalam Pasal 16 ayat
(1) UUPA, antara lain:
a) Hak Milik
Hak Milik diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 37
UUPA. Pasal 20 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa Hak Milik
adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh, yang dapat
1 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, Pasal 4 ayat (1)
31
dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan Pasal 6
(UUPA).2
Hak Milik tidak mempunyai jangka waktu dan dapat
diwakafkan. Hak Milik dapat dibebani dengan hak-hak lainnya
seperti Hak Guna Usaha, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak
Tanggungan, dan hak-hak lainnya.3
Hapusnya Hak Milik terdapat dalam Pasal 27 yang menetapkan
faktor-faktor penyebab hapusnya Hak Milik atas tanah dan
tanahnya jatuh kepada negara, yaitu:
1) Karena pencabutan hak sesuai Pasal 18 UUPA
2) Karena Penyerahan secara sukarela oleh pemiliknya
3) Karena ditelantarkan
4) Karena subyek haknya tidak memenuhi syarat sebagai
subyek Hak Milik atas tanah
5) Karena perpindahan Hak Milik kepada orang lain atau
badan hukum yang tidak memenuhi syarat sebagai subyek
Hak Milik.4
b) Hak Guna Usaha
Berdasarkan Pasal 28 UUPA disebutkan bahwa Hak Guna
Usaha merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu sebagaimana
2 Ibid., Pasal 20
3 Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, hlm.38. 4 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, Pasal 27
32
dimaksud dalam Pasal 29 (UUPA) guna perusahaan pertanian,
perikanan atau perkebunan.5
Jangka waktu pemanfaatan tanah atas Hak Guna Usaha diatur
dalam Pasal 29 UUPA dan Pasal 8 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 disebutkan bahwa Hak Guna
Usaha diberikan untuk jangka waktu 35 Tahun dan dapat
diperpanjang 25 Tahun atas permintaan pemegang hak dengan
mengingat keadaan perusahaannya. Sesudah jangka waktu Hak
Guna Usaha dan perpanjangannya berakhir, kepada pemegang
hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Usaha di atas tanah
yang sama untuk jangka waktu paling lama 35 Tahun.6
Tanah dalam Hak Guna Usaha adalah tanah negara atau tanah
yang dikuasai langsung oleh negara, kalau asal tanah berasal
dari kawasan hutan, maka Hak Guna Usaha dapat diberikan
setelah kawasan hutan tersebut dikeluarkan statusnya sebagai
kawasan hutan. Kalau asal tanah Hak Guna Usaha adalah tanah
hak tertentu, maka Hak Guna Usaha dapat diberikan setelah
tanah hak tersebut dilepaskan atau diserahkan oleh pemegang
haknya dengan pemberian ganti kerugian atas tanah dan
bangunan oleh calon pemegang Hak Guna Usaha (Pasal 28 ayat
(1) UUPA dan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40
Tahun 1996).7
5 Ibid., Pasal 28
6 Ibid., Pasal 29
7 Ibid., Pasal 28
33
Berdasarkan Pasal 31 UUPA dan Pasal 6 dan Pasal 7 PP Nomor
40 Tahun 1996 menetapkan bahwa Hak Guna Usaha terjadi
karena Penetapan Pemerintah dalam bentuk Keputusan
Pemberian Hak oleh Kepala Badan Pertanahan Republik
Indonesia atau pejabat Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia yang diberikan kelimpahan kewenangan untuk
memberikan hak atas tanah. Surat Keputusan Pemberian Hak
Guna Usaha wajib didaftar dalam buku tanah pada Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota. Pendaftaran tersebut dimaksudkan
untuk diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya.
Pemegang Hak Guna Usaha dilarang menyerahkan penguasaan
Hak Guna Usaha kepada pihak lain, kecuali dalam hal-hal
diperbolehkan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku (Pasal 12 PP Nomor 40 Tahun 1996).8
Pasal 34 UUPA menetapkan faktor-faktor penyebab hapusnya
Hak Guna Usaha, yaitu:
(1) Jangka waktunya berakhir
(2) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena
sesuatu syarat tidak terpenuhi
(3) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu
berakhir
(4) Dicabut untuk kepentingan umum
(5) Ditelantarkan
8 Ibid., Pasal 31
34
(6) Tanahnya musnah
(7) Karena pemegang haknya tidak memenuhi syarat sebagai
pemegang Hak Guna Usaha.9
c) Hak Guna Bangunan
Hak Guna Bangunan (HGB) disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1)
huruf (c) dan Pasal 25 sampai dengan Pasal 40 UUPA,
Pasal 35 UUPA menyebutkan bahwa:
(1) Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan
miliknya sendiri dengan jangka waktu 30 Tahun
(2) Atas permintaan pemegang hak dengan mengingat
keperluan dan keadaan bangunan-bangunannya, jangka
waktu tersebut dapat diperpanjang paling lama 20 Tahun
(3) Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada
pihak lain”.10
Berdasarkan pengertian tersebut pemegang Hak Guna Bangunan
berhak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas
tanah yang bukan miliknya sendiri untuk jangka waktu tertentu.
Pasal 37 UUPA menetapkan bahwa tanah Hak Guna Bangunan
dapat berasal dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau
tanah milik orang lain.11
9 Ibid., Pasal 34
10 Ibid., Pasal 35 ayat (1), (2) dan (3)
11 Ibid., Pasal 37
35
Pasal 21 PP Nomor 40 Tahun 1996 menambahkan asal tanah
Hak Guna Bangunan yaitu tanah yang dapat diberikan dengan
Hak Guna Bangunan adalah tanah negara, tanah Hak
Pengelolaan, dan tanah Hak Milik.12
Pasal 36 ayat (1) juncto Pasal 19 PP Nomor 40 Tahun 1996
menetapkan bahwa yang dapat mempunyai (subjek) Hak Guna
Bangunan adalah warga negara Indonesia dan badan hukum
yang didirikan menurut hukum di Indonesia dan berkedudukan
di Indonesia.13
Pasal 32 PP Nomor 40 Tahun 1996 menetapkan hak pemegang
Hak Guna Bangunan yaitu: Pemegang Hak Guna Bangunan
berhak menguasai dan menggunakan tanah yang diberikan
dengan Hak Guna Bangunan selama waktu tertentu untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi
atau usahanya serta untuk mengalihkan hak tersebut kepada
pihak lain dan membebaninya.14
Pasal 34 ayat (2) juncto Pasal 34 ayat (1) PP Nomor 40 Tahun
1996 menetapkan macam perlihan Hak Guna Bangunan yaitu
jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah, dan
pewarisan. Jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal,
dan hibah merupakan peralihan Hak Guna Bangunan yang
12
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai Atas Tanah, Pasal 21 13
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, Pasal 36 14
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai Atas Tanah, Pasal 32
36
berbentuk dialihkan, sedangkan pewarisan merupakan peralihan
Hak Guna Bangunan yang berbentuk beralih. Peralihan Hak
Guna Bangunan karena jual beli kecuali melalui lelang, tukar
menukar, penyertaan dalam modal, dan hibahdilakukan dengan
akta yang dibuat oleh PPAT. Peralihan Hak Guna Bangunan
karena lelang dibuktikan dengan berita acara lelang yang dibuat
oleh pejabat dari Kantor Lelang. Peralihan Hak Guna Bangunan
karena warisan harus dibuktikan dengan surat wasiat wasiat atau
surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang
berwenang. Peralihan Hak Guna Bangunan baik dalam bentuk
beralih atau dialihkan harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan
Kabupaten / Kota untuk dicatat dalam buku tanah dan dilakukan
perubahan nama pemegang Hak Guna Bangunan dalam
sertipikat. Peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak
Pengelolaan harus dengan persetujuan tertulis dari pemegang
Hak Pengelolaan, Peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak
Milik harus dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak
Milik yang bersangkutan.15
Pasal 40 UUPA menetapkan faktor-
faktor penyebab hapusnya Hak Guna Bangunan, yaitu:
(1) Jangka waktunya berakhir
(2) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena
sesuatu syarat tidak terpenuhi
15
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, hlm.66
37
(3) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka
waktunya berakhir
(4) Dicabut untuk kepantingan umum
(5) Ditelantarkan
(6) Tanahnya musnah
(7) Karena pemegang haknya tidak memenuhi syarat sebagai
pemegang Hak Guna Bangunan.16
d) Hak Pakai
Berdasarkan Pasal 41 ayat (1) UUPA disebitkan bahwa
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memunggut
dari hasil tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau milik
orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang
ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
berwenang atau dalam perjanjian dengan pemilik tanah yang
bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengelolaan
tanah, asal segala sesuatunya tidak bertentangan dengan jiwa
dan ketentuan undang-undang ini (UUPA).
Jangka waktu Hak Pakai adalah sebagai berikut:
(1) Pasal 41 ayat (2) UUPA
(a) Selama waktu tertentu atau selama tanahnya
dipergunakan untuk keperluan tertentu.
(b) Dengan Cuma-Cuma, dengan pembayaran atau
pemberian jasa berupa apapun.
16
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, Pasal 40
38
(2) PP Nomor 40 Tahun 1996
(a) Hak Pakai dapat diberikan untuk jangka waktu
paling lama 25 Tahun dan dapat diperpanjang untuk
jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya
dipergunakan untuk keperluan tertentu.
(b) Setelah jangka waktu panjangnyasudah selesai,
kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan
Hak Pakai atas tanah yang sama.
(c) Hak Pakai yang diberikan untuk jangka waktu yang
tidak ditentukan dapat diberikan kepada:
i. Departemen, Lembaga Pemerintahan Non
Departemen dan Pemerintah Daerah.
ii. Perwakilan Negara Asing dan Perwakilan
Badan Internasional.
(d) Hak Pakai atas tanah negara dapat diperpanjang atau
diperbaharui atas permohonan pemegang hak jika
memenuhi syarat:17
i. Tanahnya masih digunakan dengan baik
sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan
pemberian hak.
ii. Syarat-syarat pemberian hak dipenuhi
dengan baik oleh pemegang hak.
17
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, Pasal 41 ayat (1)
39
iii. Pemegang hak masih memenuhi syarat
sebagai pemegang hak.
(e) Jangka waktu hak pakai atas tanah milik dapat
diberikan paling lama 25 Tahun dan tidak dapat
diperpanjang.
(f) Hak Pakai atas tanah milik dapat diperbaharui
dengan pemberian Hak Pakai baru dengan akta yang
dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan.
(g) Pemberian Hak Pakai tidak boleh disertai syarat-
syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.18
Berdasarkan Pasal 41 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa
asal tanah Hak Pakai adalah tanah yang dikuasai lengsung
oleh negara atau tanah milik orang lain. Pasal 41 PP
Nomor 40 Tahun 1996 menambahkan asal tanah yang
dapat diberikan Hak Pakai adalah: Tanah Negara, Tanah
Hak Pengelolaan dan Tanah Hak Milik.
Pasal 52 PP Nomor 40 Tahun 1996 menetapkan hak
pemegang Hak Guna Bangunan, yaitu: Pemegang Hak
Pakai berhak menguasai dan menggunakan tanah yang
diberikan dengan Hak Pakai selama waktu tertentu untuk
keperluan pribadi atau usahanya serta memindahkan hak
18
H.M. Arba (2015), Hukum Agraria Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika. hlm.117
40
tersebut kepada pihak lain dan membebaninya atau selama
digunakan untuk keperluan tertentu.19
Pasal 54 PP Nomor 40 Tahun 1996 mengatur peralihan
Hak Pakai atas tanah, yaitu:
(1) Hak Pakai yang diberikan atas tanah negara untuk
jangka waktu tertentu dan Hak Pakai atas tanah Hak
Pengelolaan dapat beralih dan dialihkan kepada
pihak lain.
(2) Hak Pakai atas tanah negara yang tidak berjangka
waktu tertentu tidak dapat beralih dan dialihkan
kepada pihak lain. Hak Pakai yang tidak berjangka
waktu tertentu adalah Hak Pakai yang dikuasai oleh
Departemen, Lembaga Pemerintah Non
Departemen, Pemerintah Daerah, badan keagamaan,
badan social, perwakilan negara asing, dan
perwakilan badan internasional.
(3) Hak Pakai atas tanah Hak Milik hanya dapat
dialihkan apabila hak tersebut memungkinkan dalam
perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak
Milik yang bersangkutan. Pengalihan Hak Pakai atas
tanah Hak Milik harus dilakukan dengan persetujuan
tertulis dari pemegang Hak Pakai yang berangkutan
(4) Peralihan Hak Pakai terjadi karena:
19
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai Atas Tanah, Pasal 52
41
(a) Jual Beli
(b) Tukar menukar
(c) Penyertaan dalam modal
(d) Hibah
(e) Pewarisan
(5) Peralihan Hak Pakai wajib didaftarkan pada Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota.
(6) Peralihan Hak Pakai karena jual beli kecuali jual beli
melalui lelang, tukar menukar, penyertaan dalam
modal dan hibah harus dilakukan dengan akta yang
dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
(7) Jual beli yang dilakuan melalui pelelangan
dibuktikan dengan berita acara lelang yang dibuat
oleh pejabat dari Kantor Lelang.
(8) Peralihan karena pewarisan harus dibuktikan dengan
surat wasiat atau surat keterangan waris yang dibuat
oleh instansi yang berwenang.
(9) Perlaihan Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan
harus dilakukan dengan persetujuan tertulis dari
pemegang Hak Pengelolaan.20
UUPA tidak mengatur hapusnya Hak Pakai atas tanah,
Hapusnya Hak Pakai atas tanah diatur dalam Pasal 55 PP Nomor
40 Tahun 1996, yaitu:
20
Ibid., Pasal 54
42
1) Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam
keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam
perjanjian pemberiannya
2) Dibatalkannya oleh pejabat yang berwenang pemegang
Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sebelum
jangka waktunya berakhir karena:21
(a) Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang
hak, dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan
sebagaimana dimaksud Pasal 50, Pasal 51, dan Pasal
52 (UUPA)
(b) Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-
kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian
Hak Pakai antara pemegang Hak Pakai dan
pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan
tanah Hak Pengelolaan atau
(c) Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap
3) Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya
sebelum jangka waktunya berakhir
4) Dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1961
5) Ditelantarkan
6) Tanahnya musnah
21
21 Ibid., Pasal 55
43
7) Karena pemegang haknya tidak memenuhi syarat sebagai
subyek Hak Pakai (Ketentuan Pasal 40 ayat (2).
e) Hak Sewa Untuk Bangunan
Hak sewa diatur dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 45 UUPA,
berdasarkan Pasal 50 ayat (2) UUPA disebutkan bahwa
ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Sewa Untuk Bangunan
diatur dengan peraturan perundangan.
Pengertian Hak Sewa Untuk Bangunan disebutkan dalam Pasal
44 ayat (1) UUPA, yaitu seseorang atau badan hukum
mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak
menggunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan
dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai
sewa.22
Dalam Penjelasan Pasal 44 dan Pasal 45 UUPA dinyatakan
bahwa: Oleh karena Hak Sewa merupakan Hak Pakai yang
mempunyai sifat-sifat khusus, maka disebut tersendiri. Hak
sewa hanya disediakan untuk bangunan-bangunan berhubungan
dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UUPA. Hak Sewa tanah
pertanian hanya mempunyai sifat sementara (Pasal 16 jo Pasal
53). Negara tidak dapat menyewakan tanah karena negara bukan
pemilik tanah.23
22
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, hlm.82 23
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, Penjelasan Pasal 44 dan 45
44
UUPA membedakan hak sewa atas tanah menjadi 2 macam,
yaitu:
1) Hak Sewa untuk bangunan
2) Hak Sewa untuk pertanian
Dalam Hak Sewa Untuk Bangunan, pemilik tanah menyerahkan
tanahnya dalam keadaan kosong kepada penyewa dengan
maksud agar penyewa dapat mendirikan bangunan di atas tanah
tersebut. Bangunan itu menurut hukum menjadi milik penyewa,
kecuali ada perjanjian lain.24
Berdasarkan Pasal 44 ayat (3) UUPA menetapkan bahwa
perjanjian sewa menyewa tanah tidak boleh disertai dengan
syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan dan
mengharuskan Hak Sewa Untuk Bangunan dibuat dengan
perjanjian antara pemilik tanah dengan pihak lain sebagai calon
pemegang Hak Sewa Untuk Bangunan.
Perjanjian untuk terjadinya Hak Sewa Untuk Bangunan menurut
Pasal 44 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, dibuat dalam bentuk akta Pejabat Pembuat Akta Tanah,
yaitu: “Pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah, atau
Hak Milik atas satuan rumah susun, pembebanan Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Sewa Untuk Bangunan atas Hak
Milik, dan pembebanan lain pada ha katas tanah atau hak milik
atas satuan rumah susun yang ditentukan oleh peraturan
24
Soedikno Mertokusumo, Hukum dan Politik Agraria, Jakarta: Universitas Terbuka – Karunika.
hlm.5.25 dikutip oleh Urip Santoso, Op.Cit., hlm.83
45
perundang-undangan dapat didaftar jika dibuktikan dengan akta
yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku’.25
Pasal 44 ayat (2) UUPA mengatur pembayaran uang sewa dalam
Hak Sewa Untuk Bangunan, yaitu pembayaran uang sewa dapat
dilakukan:
1. Satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu
2. Sebelum atau sesudah tanahnya digunakan.
UUPA tidak mengatur secara tegas berapa lama jangka waktu
Hak Sewa Untuk Bangunan. Jangka waktu berlakunya Hak
Sewa Untuk Bangunan diserahkan kepada kesepakatan antara
pemilik tanah dan pemegang Hak Sewa Untuk Bangunan. Pada
dasarnya, pemegang Hak Sewa Untuk Bangunan tidak
diperbolehkan mengalihkan hak sewanya kepada pihak lain
tanpa izin dan persetujuan dari pemilik tanah. Pelanggaran
terhadap larangan ini dapat berakibat terputusnya hubungan
sewa menyewa tanah antara pemilik tanah dan pemegang Hak
Sewa Untuk Bangunan.
UUPA tidak mengatur hapusnya Hak Sewa Untuk Bangunan.
Faktor-faktor yang menjadi penyebab hapusnya Hak Sewa
Untuk Bangunan yaitu:
(1) Jangka waktunya berakhir
25
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 44 ayat (1)
46
(2) Dihentikannya sebelum jangka waktunya berakhir
disebabkan pemegang Hak Sewa Untuk Bangunan tidak
memenuhi syarat-syarat sebagai pemegang Hak Sewa
Untuk Bangunan
(3) Dilepaskan oleh pemegang Hak Sewa Untuk Bangunan
sebelum jangka waktunya berakhir
(4) Hak Milik atas tanah dicabut untuk kepentingan umum
(5) Hak Milik atas tanah dilepaskan atau diserahkan oleh
pemilik tanahnya
(6) Tanahnya musnah
f) Hak Pengelolaan
Hak Pengelolaan atas tanah tidak dikenal dalam UUPA, akan
tetapi Hak Pengelolaan ini terdapat dalam Penjelasan Umum
UUPA, sehingga yang menjadi dasar pengaturan Hak
Pengelolaan adalah sebagai berikut:26
Penjelasan Umum UUPA; Kekuasaan Negara atas tanah yang
tidak dipunyai dengan suatu hak oleh seseorang atau pihak lain
adalah lebih luas dan penuh. Dengan berpedoman kepada tujuan
yang disebutkan di atas, negara dapat memberikan tanah yang
demikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan
sesuatu hak menurut peruntukkan dan keperluannya, misalnya
hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai atau
memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu badan
26
26 Ibid., Pasal 44 ayat (2)
47
pengusaha (Departemen, Jawatan, atau Swatantra) untuk
dipergunakan bagi pelaksanaan tugas masing-masing (Pasal 2
ayat (4).27
Pasal 2 Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang
Pelaksanaan Konversi Hak Pengusaan dan Tanah Negara dan
Ketentuan-Ketentuan tentang Kebijaksanaan Selanjutnya,
disebutkan Jika Hak Penguasaan atas Tanah Negara yang
diberikan kepada departemen-depertemen, direktorat-direktorat,
dan daerah-daerah swatantra, selain digunakan untuk
kepentingan instansi-instansi itu sendiri, dimaksudkan juga
untuk dapat diberikan kepada suatu hak kepada pihak ketiga,
maka Hak Penguasaan atas Tanah Negara tersebut dikonversi
menjadi Hak Pengelolaan.28
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 PMDN Nomor 5 Tahun 1974
disebutkan bahwa Hak Pengelolaan adalah hak atas tanah yang
memberi wewenang kepada pemegangnya untuk:
1) Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang
bersangkutan
2) Menggunakan tanah yang bersangkutan untuk keperluan
pelaksanaan usaha
27
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, Penjelasan Umum 28
Urip Santoso, Hak Atas Tanah, Hak Pengelolaan dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun,
Depok; Kencana, hlm.173
48
3) Menyerahkan bagian tanah yang bersangkutan kepada
pihak ketiga dengan hak pakai untuk jangka waktu 6
(enam) bulan
4) Menerima uang pemasukan / ganti kerugian dan uang
wajib Tahunan.29
Pemegang Hak Pengelolaan berdasarkan Pasal 9 Peraturan
Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 berkewajiban
mendaftarkan Hak Pengelolannya kepada Kantor Pendaftaran
Tanah yang bersangkutan. Pendaftaran Hak Pengelolaan
ditegaskan lagi dalam Peraturan Menteri Agraria No.1 Tahun
1966 tentang Pendaftaran Hak Pakai dan Hak Pengelolaan yaitu
kewajiban untuk mendaftarkan Hak Pengelolaan bagi
depertemen-departemen, direktorat-direktorat, dan daerah-
daerah swatantra yang memperoleh Hak Pengelolaan.30
Dalam perkembangannya, Pasal 9 Peraturan Pemerintah No.24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah LNRI Tahun 1997
No.50 TLNRI No.3696 menetapkan bahwa Hak Pengelolaan
termasuk obyek pendaftaran tanah, selain Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Tanah Wakaf, Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun, Hak Tanggungan dan tanah
negara.31
29
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974, tentang Ketentuan-Ketentuan mengenai
Penyediaan dan Pemberian Tanah Untuk Keperluan Perusahaan, Pasal 3 30
Urip Santoso, Loc.Cit. 31
Ibid, hlm.174
49
Tanda bukti pendaftaran Hak Pengelolaan diterbitkan surat
tanda bukti hak berupa Sertipikat Hak Pengelolaan oleh kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota (dahulu Kantor Pendaftaran Tanah).
Menurut Pasal 1 Angka 20 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun
1997, yang dimaksud dengan sertipikat adalah surat tanda bukti
hak sebagaimana dimaksud dalam 19 ayat (2) huruh c UUPA
untuk Hak Atas Tanah, Hak Pengelolaan, Tanah Wakaf, Hak
Milik atas Satuan Rumah Susun dan Hak Tanggungan yang
masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang
bersangkutan.32
Ketentuan Pasal 7 Undang Undang Nomor 16 Tahun 1985
tentang Satuan Rumah Susun menyebutkan:
(1) Rumah susun hanya dapat dibangun di atas tanah hak
milik, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah Negara
atau hak pengelolaan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(2) Penyelenggaraan pembangunan yang membangun rumah
susun di atas tanah yang dikuasai dengan hak pengelolaan,
wajib menyelesaikan status hak guna bangunan di atas hak
pengelolaan tersebut sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku sebelum menjual satuan rumah
susun yang bersangkutan.33
32
Urip Santoso, Loc.Cit. 33
Undang Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Satuan Rumah Susun, Pasal 7
50
2.1.2. Hak-hak atas tanah yang bersifat Sekunder
Hak atas tanah yang bersifat sementara diatur dalam Pasal 53
UUPA, hak tersebut dimaksudkan sebagai hak yang bersifat
sementara karena pada suatu ketika hak tersebut akan dihapus. Hak-
hak atas tanah sekunder adalah hak-hak atas tanah yang bersumber
dari pihak lain.
a) Hak Gadai Tanah
Hak Gadai diatur dalam Pasal 53 UUPA dan Pasal 7 Undang-
Undang Nomor 56/Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas
Tanah Pertanian yang Dimiliki oleh Satu Keluarga.
Hak Gadai sering disebut juga jual gadai atau jual sende, Hak
Gadai adalah penyerahan tanah dengan pembayaran sejumlah
uang dengan ketentuan bahwa orang yang menyerahkan berhak
atas pengembalian tanahnya dengan memberikan uang tebusan.
Penegang gadai dapat menggunakan tanah yang dipegangnya.
Kapan hak gadai itu akan berakhir bergantung pada kapan uang
pinjaman akan dikembalikan (kapan tanah akan ditebus). Dalam
hal gadai tidak disebut-sebut soal bunga, karena pemegang gadai
dapat memetik hasil tanah jaminan tersebut.34
Hak Gadai disamping mempunyai unsur tolong menolong,
namun juga mengandung sifat pemerasan karena selama pemilik
34
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hlm.127
51
tanah tidak dapat menebus tanahnya, tanahnya akan tetap
dikuasai oleh pemegang gadai.35
Hak Gadai dapat dialihkan oleh pemegangnya kepada pihak
lain, baik dengan persejuan atau tanpa persetujuan pemilik
tanah. Tanah yang digadaikan itu dapat juga dibebani dengan
hak sewa. Jika pemegang gadai meninggal dunia, maka gadai
beralih kepada ahli warisnya.36
Faktor-faktor yang menyebabkan hapusnya Hak Gadai adalah
sebagai berikut:
(1) Telah dilakukan penebusan oleh pemilik tanah (pemberi
gadai)
(2) Hak Gadai sudah berlangsung 7 tahun atau lebih
(3) Adanya putusan pengadilan yang menyatakan bahwa
pemegang gadai menjadi pemilik tanah yang digadaikan
karena pemilik tanah tidak dapat menebus dalam jangka
waktu yang disepakati oleh kedua belah pihak dalam
Gadai Tanah
(4) Tanahnya dicabut untuk kepentingan umum
(5) Tanahnya musnah.37
b) Hak Usaha Bagi Hasil
Hak usaha bagi hasil adalah hak seseorang atau badan hukum
untuk menggarap di atas tanah pertanian milik orang lain dengan
35
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, hlm.134 36
H.M. Arba, Op.Cit. hlm.127 37
Urip Santoso, Op.Cit. hlm.138
52
perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara kedua belah pihak
menurut imbangan yang telah disetujui sebelumnya.38
Menurut Departemen Penerangan dan Ditjen Agraria Depdagri,
Perjanjian bagi hasil adalah suatu perbuatan hukum dimana
pemilik tanah karena suatu sebab tidak dapat mengerjakan
sendiri tanahnya tetapi ingin mendapatkan hasil atas tanahnya.
Oleh karena itu, ia membuat suatu perjanjian bagi hasil dengan
pihak lain dengan imbangan bagi hasil yang telah disetujui oleh
kedua belah pihak.39
Faktor-faktor yang menjadi penyebab hapusnya perjanjian bagi
hasil adalah:
(1) Jangka waktunya berakhir
(2) Atas persetujuan kedua belah pihak, perjanjian bagi hasil
diakhiri
(3) Pemilik tanah meninggal dunia
(4) Adanya pelanggaran oleh penggarap terhadap larangan
dalam perjanjian bagi hasil
(5) Tanahnya musnah.40
c) Hak Sewa Tanah Pertanian
Hak Sewa Tanah pertanian adalah penyertaan tanah pertanian
kepada orang lain yang memberi sejumlah uang kepada
pemiliknya dengan perjanjian bahwa setelah penyewa itu
38
H.M. Arba, Op.Cit. hlm.128 39
Departemen Penerangan dan Ditjen Agraria Depdagri, dikutip oleh Urip Santoso, Op.Cit,
hlm.138 40
Ibid. hlm.143
53
menguasai tanah selama waktu tertentu, tanahnya akan kembali
kepada pemiliknya.41
Hak sewa pertanian bisa terjadi dalam bentuk perjanjian yang
tidak tertulis atau tertulis yang memuat unsur-unsur para pihak,
obyek, uang sewa, jangka waktu, hak dan kewajiban bagi
pemilik tanah pertanian dan penyewa.42
Faktor-faktor yang menjadi penyebab hapusnya Hak Sewa
Tanah pertanian yaitu:
(1) Jangka waktunya berakhir
(2) Hak sewa dialihkan kepada pihak lain tanpa persetujuan
dari pemilik tanah kecuali hal itu diperkenankan oleh
pemilik tanah
(3) Hak sewanya dilepaskan secara sukarela oleh penyewa
(4) Hak atas tanah tersebut dicabut untuk kepentingan umum
(5) Tanahnya musnah.43
d) Hak Menumpang
Hak menumpang adalah hak yang memberi wewenang kepada
seseorang untuk mendirikan dan menempati rumah di atas
pekarangan orang lain. Pemegang Hak Menumpang tidak wajib
membayar sesuatu kepada pemilik tanah. Hubungan hukum
dengan tanah tersebut lemah, artinya sewaktu-waktu dapat
diputus oleh pemilik tanah jika dia memerlukan sendiri tanah
41
H.M. Arba, Op.Cit. hlm.129 42
Urip Santoso, Op.Cit. hlm.146 43
Ibid. hlm.146
54
tersebut. Hak Menumpang dilakukan hanya terhadap
pekarangan / bangunan dan tidak terhadap pertanian.44
Hak menampung biasanya terjadi karena atas dasar kepercayaan
oleh pemilik tanah kepada orang lain yang belum mempunyai
rumah sebagai tempat tinggal dalam bentuk tidak tertulis, tidak
ada saksi dan tidak diketahui oleh perangkat desa/kelurahan
setempa, sehingga jauh dari jaminan kepastian hukum dan
perlindungan hukum bagi kedua belah pihak.45
Dalam Hak Menampung memuat wewenang seseorang untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan, dalam arti
mendirikan rumah dan mendiaminya di atas tanah milik orang
lain.46
Hak menumpang bersifat turun temurun, artinya apabila yang
berhak menumpang itu meninggal dunia, maka hak menumpang
itu dilanjutkan oleh ahli warisnya.47
Faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab hapusnya Hak
Menampung adalah sebagai berikut:
(1) Pemilik tanah sewaktu-waktu dapat mengakhiri hubungan
hukum antara pemegang Hak Menampung dengan tanah
yang bersangkutan
(2) Hak milik atas tanah yang bersangkutan dicabut untuk
kepentingan umum
44
H.M. Arba, Loc.Cit. 45
Urip Santoso, Op.Cit. hlm.144 46
Urip Santoso, Loc.Cit. 47
H.M. Arba, Op.Cit, hlm.130
55
(3) Pemegang Hak Menampung melepaskan hak secara
sukarela Hak Menampung
(4) Tanahnya musnah.48
e) Wakaf
Ketentuan tentang Wakaf diatur dalam Pasal 49 UUPA sebagai
berikut: (1) Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial
sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan
dan sosial diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin
pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan
usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial. (2) Untuk
keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai
dimaksud dalam Pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara dengan hak pakai. (3) Perwakafan tanah
milik dilindungi dan diatur dengan PP.
2.1.3. Hak Jaminan Atas Tanah : Hak Tanggungan.
Ketentuan tentang Hak Jaminan Atas Tanah diatur dalam Pasal
23, 33, 39, 51 UUPA dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Hak Tanggungan, Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak
jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah (sebagai mana
dimaksud dalam UUPA) berikut atau tidak berikut benda-benda lain
48
Urip Santoso, Op.Cit. hlm.145
56
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan
hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain (bandingkan
dengan Pasal 1162 KUH Perdata tentang Hipotik).49
Hak Tanggungan jika dikaitkan dengan Pasal 4 UUHT maka berakibat
sebagai berikut :
(1) Hak Tanggungan sebagai hak jaminan atas hak atas tanah tidak
hanya menyangkut benda-benda yang telah ada saja, tetapi juga
benda-benda yang akan ada (Pasal 4 ayat 4; bandingkan dengan
Pasal 1175 KUH Perdata).
(2) Dimungkinkan pula pembebanan Hak Tanggungan atas
bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada atau akan ada
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut yang tidak
dimiliki oleh pemegang hak atas tanah (dimiliki oleh orang lain)
dengan syarat pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda
tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta
pada Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang
bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu
olehnya dengan akta otentik (Pasal 4 ayat 4 dan Pasal 5 UUHT).
Selanjutnya dalam Penjelasan Umum angka 1 UUHT tersebut
disinggung masalah pembangunan ekonomi sebagai bagian dari
pembangunan nasional yang merupakan salah satu upaya untuk
mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan
49
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, Pasal 49
57
Pancasila dan UUD 1945. Untuk memelihara kesinambungan
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat
secara perorangan ataupun badan hukum, sangat diperlukan dana
dalam jumlah yang besar. Dengan meningkatkan kegiatan
pembangunan, meningkat pula keperluan akan tersedianya dana, yang
sebagian besar diperoleh melalui kegiatan perkreditan. Mengingat
pentingnya kedudukaan dan perkreditan tersebut dalam proses
pembanguan, sudah semestinya jika pemberi dan penerima kredit serta
pihak lain yang terkait mendapat perlindungan melalui suatu lembaga
hak jaminan yang kuat dan yang dapat pula memberikan kepastian
hukum bagi semua pihak yang berkepentingan.50
Namun demikian berbicara tentang kegiatan perkreditan sudah tentu
tidak terlepasdari bidang hukum yang mengatur masalah perjanjian,
hubungan hutang-piutang antara kreditur dengan debitur, dan apa
yang dapat dilakukan kreditur jika debitur misalnya tidak dapat
memenuhi apa yang sudah diperjanjikan atau wanprestasi.
Dalam kaitan itu hukum bukan saja hanya memperhatikan
kepentingan kreditur sebagai pihak yang memberikan kredit, tetapi
perlindungan juga diberikan secara seimbang kepada debitur yang
pada tahap permohonan kreditnya belum disetujui, yang dalam
hubungannya dengan kreditur kedudukannya masih lemah. Bahkan
perlindungan juga diberikan kepada pihak ketiga yang kepentingannya
50
Frieda Husni Abdullah, Hukum Kebendaan Perdata, Cetakan Ketiga 2009, Jakarta PT CV
INDHILL CO, hlm 135
58
bisa terpengaruh oleh hubungan hutang piutang antara kreditur dan
debitur serta penyelesaiannya jika debitur cidera janji.51
2.2. Bangunan Atas Satuan Rumah Rumah Susun
Salah satu cara dalam mensejahterakan rakyat adalah pemerintah
memberikan dan menyediakan fasilitas rumah yang layak bagi rakyatnya,
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan
dan Pemukiman disebutkan bahwa “Rumah adalah bangunan yang
berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan
keluarga.”52
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia online
rumah adalah:
(1) Bangunan untuk tempat tinggal
(2) Bangunan pada umumnya (seperti gedung)53
Berdasarkan definisi tersebut maka dapat dikatakan rumah adalah
bangunan untuk tempat tinggal yang pada umumnya seperti gedung. Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
(untuk selanjutnya disebut UU Bangunan Gedung) menyebutkan “Bangunan
gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan
tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di
dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan
51
Frieda Husni Abdullah, Loc. Cit. 52
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemujiman, Pasal 1 angka 1 53
Kamus Besar Bahasa Indonesia Diring, https://kbbi.kemdikbud.go.id
59
kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan,
kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.”54
Fungsi gedung sebagai tempat tinggal berdasarkan Pasal 4 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (untuk
selanjutnya disebut PP Bangunan Gedung) menyebutkan “… sebagai tempat
tinggal manusia yang meliputi rumah tinggal tunggal, rumah tinggal deret,
rumah tinggal susun, dan rumah tinggal sementara.”55
Setiap manusia membutuhkan tempat tinggal sebagai kebutuhan
pokok yang harus dihadapi, oleh karenanya tanah sebagai tempat berpijak
bagi manusia merupakan kebutuhan hidup yang tidak bisa dipungkiri.56
Keberadaan tanah yang semakin terbatas terutama di kota-kota besar
membuat konsep rumah tinggal deret beralih ke konsep rumah tinggal susun
atau sering disebut dengan apartemen.
2.3. Pengertian Rumah Susun Dan Satuan Rumah Susun
Pengertian rumah susun disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (untuk selanjutnya
disebut UU Rumah Susun), yaitu bangunan gedung bertingkat yang
dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang
distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal
dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimilki dan
54
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, Pasal 1 angka 1 55
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, Pasal 4 ayat (1) 56
Suhanan Yosua, Hak Atas Tanah Timbul (Aanslibbing) Dalam Sistem Hukum Pertanahan
Nasional, Jakarta: Restu Agung, hlm.1
60
digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi
dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Pada rumah
susun terdapat bagian yang dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah,
yang disebut satuan rumah susun.57
Pengertian satuan rumah susun disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 UU
Rumah Susun, yaitu rumah susun yang tujuan utamanya digunakan secara
terpisah dengan fungsi utama sebagai tempat hunian dan mempunyai sarana
penghubung ke jalan umum.58
Hak yang lahir dari satuan rumah susun disebut Hak Milik atas Satuan
Rumah Susun. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun adalah Hak Milik Atas
Satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah, meliputi juga hak bersama
atas bagiab bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Pada Hak Milik
atas Satuan Rumah Susun terdapat hak bersama, yang meliputi bagian
bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
Bagian bersama berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU Rumah Susun yaitu
bagian rumah susun yang dimiliki tidak terpisah untuk pemakaian bersama
dalam satuan fungsi dengan satuan-satuan rumah susun.59
Pasal 1 angka 6 UU Rumah Susun menyatakan bahwa benda bersama
yaitu benda yang bukan merupakan bagian rumah susun, melainkan bagian
yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama.60
Pengertian tanah bersama disebutkan dalam Pasal 1 angka 4 UU
Rumah Susun, yaitu sebidang tanah atau tanah sewa untuk membangun
57
Urip Santoso, Hak Atas Tanah,Hak Pengelolaan dan Hak Milik Satuan Rumah Susun, Cetakan
kesatu oktober 2017, Jakarta PT Kharisma Putra Utama, hlm 215 58
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, Pasal 1 angka 2 59
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, Pasal 1 angka 5 60
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, Pasal 1 angka 6
61
yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang di atasnya
berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin
mendirikan bangunan.61
UU Rumah Susun menetapkan 4 (empat) jenis rumah susun, yaitu :
a) Rumah Susun Umum
Rumah susun umum adalah rumah susun yang diselenggarakan untuk
memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah
(Pasal 1 angka 7 UU Rumah Susun)
b) Rumah Susun Khusus
Rumah susun khusus adalah rumah susun yang diselenggarakan untuk
memenuhi kebutuhan khusus (Pasal 1 angka 8 UU Rumah Susun).
c) Rumah Susun Negara
Rumah susun negara adalah rumah susun yang dimilki oleh negara
dan berfungsi sebagai tempat tinggal atas hunian, sarana pembinaan
keluarga, serta penunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau pegawai
negeri (Pasal 1 angka 9 UU Rumah Susun).
d) Rumah Susun Komersial
Rumah susun komersial adalah rumah susun yang diselenggarakan
untuk mendapatkan keuntungan (Pasal 1 angka 10 UU Rumah Susun).
61
Urip Santoso, Op. Cit. hlm 215
62
2.4. Penjualan Satuan Rumah Susun
Pelaku pembangunan rumah susun dapat menjual satuan rumah susun
nya kepada masyarakat melalui 2 (dua) cara,yaitu:
a) Penjualan satuan rumah susun melalui pembuatan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB).
Pelaku pembangunan rumah susun dapat melakukan pemasaran
sebelum pembangunan rumah susun dilaksanakan. Dalam hal
pemasaran dilakukan sebelum pembangunan rumah susun
dilaksanakan, pelaku pembangunan rumah susun sekurang-kurangnya
harus memiliki:
(1) Kepastian peruntukan ruang;
(2) Kepastian hak atas tanah;
(3) Kepastian status penguasaan rumah susun;
(4) Perizinan pembangunan rumah susun
(5) Jaminan atas pembangunan rumah susun dari lembaga
penjamin.
Dalam hal pemasaran dilakukan sebelum pembangunan rumah susun
dilaksanakan, segala sesuatu yang dijanjikan oleh pelaku
pembangunan rumah susun dan/atau agen pemasaran mengikat
sebagai Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) bagi para pihak.
Proses jual beli satuan rumah susun sebelum pembangunan rumah
susun selesai dapat dilakukan melalui Perjanjian Pengikatan Jual Beli
yang dibuat dihadapan Notaris.62
62
Ibid. hlm 221
63
Perjanjian Pengikatan Jual Beli dilakukan setelah memenuhi
persyaratan kepastian atas:
(1) Status kepemilikan tanah;
(2) Kepemilikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB);
(3) Ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum;
(4) Keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen; dan
(5) Hal yang diperjanjikan.
b) Penjualan satuan rumah susun melalui pembuatan Akta Jual Beli
(AJB)
Proses jual beli satuan rumah susun yang dilakukan sesudah
pembangunan rumah susun selesai dilakukan melalui Akta Jual Beli
(AJB) yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah ( PPAT) yang
berwenang. Akta Jual Beli dibuat dihadapan notaris Pejabat Pembuat
Akta Tanah untuk Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung (SKBG)
satuan rumah susun sebagai bukti peralihan hak.63
c) Kepemilikan Atas Satuan Rumah Susun
Ruang lingkup kepemilikan satuan rumah susun ditetapkan
dalam Pasal 46 Undang-undang No.20 Tahun 2011,yaitu:
Hak kepemilikan atas satuan rumah susun merupakan hak milik
atas satuan rumah susun yang bersifat perseorangan dan terpisah
dengan hak bersama atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah
bersama.
63
Ibid. hlm 222
64
Pada bangunan rumah susun terdapat bagian yang dimiliki yang
bersifat perseorangan dan terpisah disebut satuan rumah susun.
Pengertian satuan rumah susun disebutkan dalam Pasal 1 angka 2
Undang-undang No.20 Tahun 2011, yaitu rumah susun yang tujuan
utamanya digunakan secara terpisah dengan fungsi utama sebagai
tempat hunian dan mempunyai sarana penghubung ke jalan umum.
Satuan rumah susun bersifat perseorangan dan terpisah adalah
ruang yang dibatasi oleh permukaan dinding, permukaan kolom,
permukaan atas lantai (sebagai batas bawah). Komponen bangunan
yang menjadi bagian pemilikan perseorangan adalah ruang tamu/
ruang makam, ruang tidur, dapur, kamar mandi/MCK, ruang jemuran,
jendela, dan pintu.64
Pada rumah susun juga terdapat hak bersama bagi setiap pemilik
satuan rumah susun, yang meliputi:
a) Bagian bersama
Pengertian bagian bersama disebutkan dalam Pasal 1 angka 5
Undang-undang No.20 Tahun 2011, yaitu bagian rumah susun
yang dimilki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama
dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan rumah susun.
Yang dimaksud dengan bagian bersama, antara lain fondasi,
kolom, balok, dinding lantai, atap, talang air, tangga, lift,
selasar, pipa, jaringan listrik, gas, dan telekomunikasi.
b) Benda bersama
64
Urip Santoso. Loc. Cit.
65
Pengertian benda bersama disebutkan dalam Pasal 1 angka 6
Undang-Undang No. 20 Tahun 2011, yaitu benda yang bukan
merupakan bagian rumah susun, melainkan bagian yang dimiliki
bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama. Yang
dimaksud dengan benda bersama, antara lain ruang pertemuan,
tanaman, bangunan pertamanan, bangunan sarana sosial, twmpat
ibadah, tempat bermain, dan tempat parkir yang terpisah atau
menyatu dengan struktur bangunan rumah susun.
c) Tanah bersama
Pengertian tanah bersama disebutkan dalam Pasal 1 angka 4
Undang-Undang No. 20 Tahun 2011, yaitu sebidang tanah atau
tanah sewa untuk bangunan yang digunakan atas dasar hak
bersama secara tidak terpisah yang di atasnya berdiri rumah
susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin
mendirikan bangunan.
Tanah yang dimiliki secara bersama-sama oleh setiap pemilik
satuan rumah susun berstatus Hak Milik, Hak Guna Bangunan
atas tanah negara, Hak Guna Bangunan atas tanah Hak
Pengelolaan, Hak Pakai atas tanah negara, atau Hak Pakai atas
tanah Hak Pengelolaan. 65
Hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama dihitung
berdasarkan atas Nilai Perbandingan Proporsional (NPP).
1. Nilai Perbandingan Proporsional (NPP)
65
Ibid, hlm 223
66
Dalam satuan rumah susun dikenal dengan adanya Pengertian
Nilai Perbandingan Proporsional (NPP), berdasarkan Pasal 1
angka 13 UU Rumh Suaun NPP adalah angka yang menunjukan
perbandingan antara satuan rumah susun terhadap hak atas tanah
bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang
dihitung berdasarkan nilai satuan rumah susun yang
bersangkutan terhadap jumlah nilai rumah susun secara
keseluruhan pada waktu pembangunan pertama kali
memperhitungkan biaya pembangunannya secara keseluruhan
untuk menentukan harga jualnya.66
Satuan rumah susun yang bersifat perseorangan dan
terpisah dikelola sendiri oleh pemilik satuan rumah susun yang
bersangkutan, sedangkan hak bersama yang meliputi bagian
bersama, benda bersama, dan tanah bersama dikelola secara
bersama-sama oleh seluruh pemilik satuan rumah susun melalui
Penghimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun
(PPPSRS).
2.5. Strata Title
Strata Title merupakan istilah lain yang sangat populer dari rumah
susun atau gedung bertingkat di luar negeri, terutama di negara- negara yang
menganut sistem common law atau Anglosaxon. Konsep strata title tidak
dikenal dalam sistem hukum Indonesia yang berasal dari hukum Belanda
66
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, Pasal 1 angka 13
67
yang menganut sistem civil law atau kontonental. Istilah strata title pertama
kali diperkenalkan di Australia pada tahun 1967 melalui Undang –Undang
yang dikenal dengan Strata Title Act.67
Jadi, konsep hukum strata title dikenal di negara-negara yang
menganut sistem hukum Anglosaxon (inggris beserta negara-negara
jajahannya dan Amerika Serikat) yang berakar pada jenis tenancy in
common. Konsep strata title memisahkan hak seseorang terhadap beberapa
strata (tingkatan), yakni terhadap hak atas permukaan tanah, atas bumi di
bawah tanah, dan udara di atasnya. Pada intinya konsep strata title
memungkinkan kepemilikan bersama secara horisontal disamping pemilikan
secara vertikal.68
Strata Title adalah suatu sistem pemukiman atau hunian yang
memungkinkan pembagian tanah dan bangunan dalam unit-unit yang
disebut satuan (parcel) yang masing-masing merupakan hak yang terpisah
yang dapat dimiliki secara individual. Di samping kepemilikan secara
individual tersebut dikenal pula adanya tanah, benda, serta bagian yang
merupakan milik bersama (common property). Jadi, dalam strata title
terdapat gabungan kepemilikan bersama dan kepemilikan individual. Hal ini
tidak ada pada model pemilikan tanah dan rumah pada kawasan horisonal,
seperti di kompleks perumahan (real estate) atau pemukiman individual
lainnya di kampung-kampung yang berada dalam kawasan perkotaan.
67
Suriansyah Murhaini, Hukum Rumah Susun, Cetakan Kesatu 2015, Laksbang Grafika , hlm 39 68
Ibid,hlm 40
68
BAB III
PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN
AKTA PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB)
3.1. Perlindungan Konsumen
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen disebutkan bahwa Perlindungan konsumen adalah segala upaya
yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan
kepada konsumen.1 Perlindungan konsumen bertujuan untuk
a) Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri,
b) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa,
c) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen,
d) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi,
e) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha,
1 Undang-Undang Negara Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen. UU Nomor 8
Tahun 1999, Pasal 1 angka 1
69
f) Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.2
Hak-hak konsumen diatur dalam Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen
adalah sebagai berikut:
a) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan;
c) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d) Hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan;
e) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
h) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
2 Undang-Undang Negara Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen. UU Nomor 8
Tahun 1999, Pasal 4
70
i) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.3
Sedangkan kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 5 UU Perlindungan
Konsumen sebagai berikut:
a) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan;
b) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa;
c) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
Berdasarkan Pasal 6 UU Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa hak-
hak pelaku usaha adalah sebagai berikut:
a) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
b) Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang beritikad tidak baik;
c) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen;
3 Undang-Undang Negara Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen. UU Nomor 8
Tahun 1999, Pasal 5
71
d) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan;
e) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya. 4
Berdasarkan Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa hak-
hak pelaku usaha adalah sebagai berikut:
a) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
d) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa yang berlaku;
e) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan;
4 Undang-Undang Negara Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen. UU Nomor 8
Tahun 1999, Pasal 7
72
f) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan;
g) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.5
Berdasarkan Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen menyebutkan tentang
ketentuan pencantuman klausula baku adalah sebagai berikut:
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula
baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
(a) Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
(b) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen;
(c) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang
dibeli oleh konsumen;
(d) Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku
usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk
melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
(e) Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang
atau pemanfaatan jasa yang dibeli ileh konsumen;
5 Undang-Undang Negara Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen. UU Nomor 8
Tahun 1999, Pasal 18
73
(f) Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat
jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjdi
obyek jual beli jasa;
(g) Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang
berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan
lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
(h) Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku
usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak
jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada
dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan
dengan Undang-undang ini.6
Berdasarkan Pasal 19 UU Perlindungan Konsumen menyebutkan tentang
tanggung jawab pelaku usaha adalah sebagai berikut:
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
6 Undang-Undang Negara Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen. UU Nomor 8
Tahun 1999, Pasal 19
74
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau
pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh)
hari setelah tanggal transaksi.
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana
berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur
kesalahan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan
tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Berdasarkan Pasal 29 UU Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa
pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraan perlindungan
konsumen sebagaimana berikut:7
(1) Pemerintah bertanggun jawab atas pembinaan penyelenggaraan
perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen
dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan
7 Undang-Undang Negara Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen. UU Nomor 8
Tahun 1999, Pasal 29.
75
pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku
usaha.
(2) Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan
konsumen sebagaimana dimakasud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
(3) Menteri sebagaiman dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi
atau penyelenggaraan perlindungan konsumen.
(4) Pembinaan penyelenggaraan perlindunagn konsumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk :
(a) terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat
antara pelaku usaha dan konsumen;
(b) berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat;
(c) meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta
meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang
perlindungan konsumen.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan
perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan Pasal 30 UU Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa
pemerintah bertanggung jawab atas pengawasan atas perlindungan
konsumen sebagaimana berikut:8
(1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumenserta
penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya di
8 Undang-undang Negara Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen. UU Nomor 8
Tahun 1999, Pasal 30.
76
selenggarakan oleh pemerintah, dan lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat.
(2) Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh menteri dan/atau menteri teknis terkait.
(3) Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang
beredar di pasar.
(4) Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan membahayakan konsumen, menteri dan/atau menteri
teknis terkait mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(5) Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan
kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan
menteri teknis.
(6) Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan denan Peraturan
Pemerintah.9
Pengertian Konsumen dalam UUPK luas dibandingkan dengan 2 (dua)
rancangan undang-undang perlindungan konsumen lainnya, yaitu pertama
dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diajukan
9 Undang-undang Negara Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen. UU Nomor 8
Tahun 1999, Pasal 30.
77
oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yang menentukan bahwa
“Konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain
yang tidak untuk diperdagangkan kembali.”
Sedangkan yang kedua dalam naskah final Rancangan Akademik
Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut
Rancangan Akademik) yang disusun oleh Fakultas Hukum Universitas
Indonesia bekerja sama dengan Badan Penelitian dan pengembangan
perdagangan Departemen perdagangan RI menentukan bahwa, konsumen
adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan batang untuk dipakai
dan tidak untuk diperdagangkan.10
Dapat diketahui pengertian Konsumen dalam UUPK lebih luas
daripada pengertian konsumen pada kedua Rancangan Undang-undang
Perlindungan Konsumen yang telah disebutkan terakhir ini, karena dalam
UUPK juga, meliputi pemakaian barang untuk kepentingan mahluk hidup
lain. Hal ini berarti UUPK dapat memberikan perlindungan kepada
konsumen yang bukan manusia (hewan,maupun tumbuh-tumbuhan).
Pengertian Konsumen yang luas seperti itu, sangat tepat dalam rangka
memberikan perlindungan seluas-luasnya kepada konsumen. Walaupun
begitu masih perlu disempurnakan sehubungan dengan penggunaan istilah “
pemakai”, demikian pula dengan eksistensi “ badan hukum” yang
tampaknya belum masuk dalam pengertian tersebut.
10
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Perlindungan Konsumen Cetakan Kedelapan 2014, Jakarta,
PT RajaGrafindo persada 2015, hal 5
78
Dari sudut pandang yang lain, jika kita hanya berpegang pada
rumusan pengertian konsumen dalam UUPK, kemudian dikaitkan dengan
Pasal 45 yang mengatur tentang gugatan ganti kerugian dari konsumen
kepada pelaku usaha, maka keluarga, orang lain dan mahluk hidup lain,
tidak dapat menuntut ganti kerugian karena mereka tidak termasuk
konsumen, tetapi kerugian yang dialaminya dapat menjadi alasan untuk
mengadakan tuntutan ganti kerugian.11
Berdasarkan hal itu, apabila badan hukum, keluarga , dan orang lain
diberi hak untuk menuntut ganti kerugian maka rumusan pengertian
konsumen sebaiknya menentukan bahwa “ konsumen adalah setiap orang/
badan hukum yang memperoleh dan/atau memakai barang/jasa yang berasal
dari pelaku usaha dan tidak untuk dperdagangkan.”
Disebutkan kata “ berasal dari pelaku usaha” dalam rumusan di atas,
karena pengertian konsumen dalam UUPK sangat terkait dengan masalah
tuntutan ganti kerugian dari konsumen kepada pelaku usaha tidak tercakup
dalam undang-undang ini.
3.2. Perjanjian Pengikatan Jual Beli
PPJB dibuat untuk melakukan pengikatan sementara sebelum
pembuatan AJB resmi di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Secara umum, isi PPJB adalah kesepakatan penjual untuk mengikatkan diri
akan menjual kepada pembeli dengan disertai pemberian tanda jadi atau
uang muka berdasarkan kesepakatan. Umumnya PPJB dibuat di bawah
11
Ibid. hlm 6
79
tangan karena suatu sebab tertentu seperti pembayaran harga belum lunas.
Di dalam PPJB memuat perjanjian-perjanjian, seperti besarnya harga, kapan
waktu pelunasan dan dibuatnya AJB.
3.3. Perikatan dan Perjanjian
Menurut Subekti dalam buku Hukum Perjanjian disebutkan bahwa
suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua
pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari
yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi kewajiban
itu.12
Perikatan adalah suatu hubungan hokum yang artinya hubungan yang
diatur dan diakui oleh hokum. Hubungan hokum ini perlu dibedakan dengan
hubungan-hubungan yang terjadi dalam pergaulan hidup berdasarkan
kesopanan, kepatutan dan kesusilaan.13
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji
kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa ini timbullah suatu hubungan antara
dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan
suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya,
perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji
atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
12
Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan keduapuluhtiga 2010, Jakarta, PT Intermasa, hlm.1 13
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cetakan Kelima, September 1994, Bandung,
Binacipta, Hlm. 3
80
3.3.1. Macam-macam perikatan dan perjanjian
Sebagaimana sudah kita lihat, suatu perikatan merupakan suatu
hubungan hukum antara dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu
berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain
berkewajiban memenuhi tuntutan itu. Apabila di masing-masing pihak
hanya ada satu orang, sedangkan sesuatu yang dapat dituntut hanya
berupa satu hal, dan penuntutan ini dapat dilakukan seketika,maka
perikatan ini merupakan bentuk yang paling sederhana. Perikatan
dalam bentuk yang paling sederhana ini dinamakan perikatan
bersahaja atau perikatan murni.14
Di samping bentuk yang paling sederhana itu, Hukum perdata
mengenal pula berbagai macam perikatan yang agak lebih rumit.
Bentuk-bentuk yang lain itu,adalah:
(a) Perikatan bersyarat,
(b) Perikatan dengan ketetapan waktu;
(c) Perikatan mana suka (alternatif);
(d) Perikatan tanggung-menanggung atau soldier;
(e) Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi;
(f) Perikatan dengan ancaman hukuman.
14
Subekti, Op Cit.
81
3.3.2. Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian
Berdasarkan ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata disebutkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat:
(a) sepakat mereka yang mengikat dirinya;
(b) cakap untuk membuat suatu perjanjian;
(c) mengenai suatu hal tertentu;
(d) suatu sebab yang halal;15
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif,
karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan
perjanjian, sedangkan dua syarat yang terkahir dinamakan syarat-
syarat objektif karena mengenai perjanjian sendiri atau obyek dari
perbuatan hukum yang dilakukan itu.16
Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan
bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus
bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari
perjanjian yang diadakan pihak yang lain. Mereka menghendaki
sesuatu yang sama secara timbal-balik.
Si penjual mengingini sejumlah uang, sedang si pembeli
mengingini sesuatu barang dari si penjual. Orang yang membuat suatu
perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, Setiap orang
yang sudah dewasa atau akilbaliq dan sehat pikiranya, adalah cakap
menurut hukum. Dalam Pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum
15
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1320 16
Subekti , Hukum Perjanjian, cetakan keduapuluhtiga 2010, Jakarta, PT Intermesa, hlm 17
82
Perdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat
suatu perjanjian :
1) Orang –orang yang belum dewasa;
2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3) Orang perempuan dalam hal-hal ditetapkan oleh undang-
undang, dan semua orang kepada siapa undang-undang telah
melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.17
Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus
mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak
dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan.
Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus
ditentukan jenisnya. Bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada di
tangannya si berutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan
oleh undang-undang.juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja
kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.
Akhirnya oleh Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata tersebut di atas, ditetapkan sebagai syarat keempat untuk suatu
perjanjian yang sah adanya suatu sebab yang halal. Dengan sebab ini
dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian. Dengan segera harus
dihilangkan suatu kemungkinan salah sangka, bahwa sebab itu adalah
sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian yang
termaksud. Bukan itu yang di maksudkan oleh Undang-undang
dengan sebab yang halal iyu. Sesuatu yang menyebabkan seorang
17
Subekti, op cit hlm.19
83
membuat suatu perjanjian atau dorongan jiwa untuk membuat suatu
perjanjian pada asasnya tidak diperdulikan oleh Undang-undang.18
Hukum pada asasnya tidak menghiraukan apa yang berada
dalam gagasan seorang atau apa yang dicita-citakan seorang. Yang
diperhatikan oleh hukum atau undang-undang hanyalah tindakan
orang-orang dalam masyarakat.
Jadi, yang dimaksudkan dengan sebab atau causa dari suatu
perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri. Dalam suatu perjanjian jual
beli isinya adalah: pihak yang satu menghendaki uang. Dalam
perjanjian sewa-menyewa: satu pihak mengingini kenikmatan sesuatu
barang, pihak yang lain menghendaki uang.19
Dalam hal ini harus dibedakan antara syarat subyektif dengan
syarat obyektif. Dalam hal syarat obyektif, kalau syarat itu tidak
terpenuh, perjanjian itu batal demi hukum, artinya: dari semula tidak
pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu
perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut
untuk melahirkan suatu perikatan hukum, adalah gagal. Dengan
demikian , maka tidak dasar untuk saling menuntut di depan hakim.
Dalam bahasa inggris dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu
null and void.20
Dalam hal suatu syarat subyektif, jika syarat itu tidak terpenuhi,
perjanjiannya bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak
18
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1320 19
Subekti, Op Cit, hlm 19 20
Ibid. Hlm. 20
84
mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan.
Pihak yang dapat meminta pembatalan itu, adalah pihak yang tidak
cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya ( perizinannya) secara
tidak bebas. Jadi perjanjian yang telah buat itu mengikat juga,selama
tidak dibatalkan (oleh Hakim) atas permintaan pihak yang berhak
meminta pembatalan tadi. Dengan demikian, nasib sesuatu perjanjian
seperti itu tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak
untuk mentaatinya. Perjanjian yang demikian dinamakan voidable
(bahasa inggris) atau vernietigbaar (bahasa belanda). Ia selalu diancam
dengan bahaya pembatalan (conceling). Yang dapat meminta
pembatalan dalam hal seorang anak yang belum dewasa adalah anak
itu sendiri apabila ia sudah dewasa atau orang tua/walinya. Dalam hal
seorang yang telah memberikan sepakat atau perizinanya secara tidak
bebas, orang itu sendiri. Bahaya pembatalan itu mengancam selama 5
(lima) tahun ( Pasal 1454 Kitab Undang-undang Hukum Perdata).
3.3.3. Wanprestasi dan akibat hukumnya
Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang
dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan” wanpretasi”. Ia alpa
atau “lalai” atau ingkar janji. Atau juga ia melanggar perjanjian, bila ia
melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang berarti
85
prestasi buruk (Bandingkan: wanbeheer yang berarti pengurusan
buruk, wandaad perbuatan buruk).21
Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat
berupa empat macam :
a) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b) Melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikan;
c) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
d) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukannya.
Hukuman atau akibat-akibat yang tidak enak bagi debitur yang lalai
ada empat macam,yaitu:22
Pertama : membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan
singkat dinamakan ganti-rugi;
Kedua : pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan
perjanjian;
Ketiga : peralihan resiko;
Keempat : membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di
depan hakim.
3.3.4. Batal dan Pembatalan Suatu Perjanjian
Dalam bab mengenai syarat-syarat untuk sahnya suatu
perjanjian, telah ditrerangkan, bahwa apabila suatu syarat objektif
21
Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan Keduapuluhtiga, Jakarta, PT Intermasa, hlm 45 22
Subekti, Op. Cit
86
tidak terpenuhi (hal tertentu atau causa yang halal), maka
perjanjiannya adalah batal demi hukum (bahasa inggris: null and
volid). Dalam hal yang demikian, secara yuridis dari semula tidak ada
suatu perjanjian dan tdiak ada pula suatu perikatan antara orang-orang
yang bermaksud membuat perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk
meletakkan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama lain,
telah gagal. Tak dapatlah pihak yang satu menuntut pihak yang lain di
depan hakim,karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim ini diwajibkan
karena jabatannya, menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu
perjanjian atau perikatan.23
Apabila pada waktu pembuatan perjanjia, ada kekurangan
mengenai syarat yang subyektif sebagaimana sudah kita lihat, maka
perjanjian itu bukannya batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan
pembatalan( cancelling) oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah : pihak
yang tidak cakap menurut hukum ( orang tua atau walinya, ataupun ia
sendiri apabila ia sudah menjadi cakap), dan pihak yang memberikan
perizinannya atau menyetujuinya perjanjian itu secara tidak bebas.
Tentang perjanjian yang tidak mengandung sesuatu hal yang
tertentu, dapat dikatakan bahwa perjanjian yang demikian tidak dapat
dilaksanakan karena tidak terang apa yang dijanjikan oleh masing-
masing pihak. Keadaan tersebut dapat seketika dilihat oleh Hakim.
Tentang perjanjian yang isinya tidak halal, teranglah bahwa perjanjian
yang demikian itu tidak boleh dilaksanakan karena melanggar hukum
23
Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan Keduapuluhtiga 2010, Jakarta, PT Intermasa, hlm 22
87
atau kesusilaan. Hal yang demikian juga seketika dapat diketahui oleh
Hakim. Dari sudut keamanan dan ketertiban, jelaslah bahwa
perjanjian-perjanjian seperti itu harus dicegah.
Tentang perjanjian yang kekurangan syarat-syarat subyektifnya
yang menyangkut kepentingan seseorang, yang mungkin tidak
mengingini perlindungan hukum terhadap dirinya, mislanya, seorang
yang oleh undang-undang dipandang sebagai tidak cakap, mungkin
sekali sanggup memikul tanggung jawab sepenuhnya terhadap
perjanjian yang telah dibuatnya. Atau, seorang yang telah memberikan
persetujuannya karena khilaf atau tertipu,mungkin sekali segan atau
malu meminta perlindungan Hukum. Juga adanya kekurangan
mengenai syarat subyektif itu tidak begitu saja dapat diketahui oleh
Hakim. Jadi harus diajukan oleh pihak yang berkepentingan, dan
apabila diajukan kepada hakim, mungkin sekali disangkal oleh pihak
lawan,sehingga memerlukan pembuktian.24
Oleh karena itu, dalam hal adanya kekurangan mengenai syarat
subyektif, undang-undang menyerahkan kepada pihak yang
berkepentingan, apakah ia menghendaki pembatalan perjanjiannya
atau tidak. Jadi, perjanjian yang demikian itu, bukannya batal demi
hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan.
Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan kesepakatan itu,
harus diberikan secara bebas. Dalam Hukum Perjanjian ada tiga sebab
yang membuat perizinan tidak bebas, yaitu: paksaan,kekhilafan dan
24
Ibid. hlm 22
88
penipuan. Yang dimaksudkan dengan paksaan, adalah paksaan rohani
atau paksaan jiwa ( psychis), jadi bukan paksaan badan (fisik),
misalnya, salah satu pihak, karena diancam atau ditakut-takuti
terpaksa menyetujui suatu perjanjian. Jadi kalau seorang dipegang
tangannya dan tangan itu dipaksa menulis tanda tangan di bawah
sepucuk surat perjanjian yang telah dt itu. Orang yang dipegang
tangannya secara paksaan ini tidak memberikan persetujuannya,
sedangkan yang dipersoalkan di sini adalah orang yang memberikan
persetujuannya, sedangkan yang dipersoalkan di sini adalah orang
yang memberikan persetujuannya karenna ia takut terhadap suatu
ancaman, misalnya akan dianiaya atau akan dibuka suatu rahasia
kalau ia tidak menyetujui suatu perjanjiaan. Kalau yang diancamkan
itu suatu tindakan yang memang diizinkan oleh undang-undang,
misalnya ancaman akan digugat di depan hakim, maka tidak dapat
dikatakan tentang suatu paksaan. Adalah dianggap sebagai mungkin,
bahwa paksaan itu dilakukan oleh seorang ketiga. Lain halnya dengan
penipuan,yang hanya dapat dilakukan oleh pihak lawan. 25
Kekhilafan atau kekeliruan terjadi, apabila salah satu pihak
khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau
tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi obyek
perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian
itu. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa, hingga seandainya
25
Ibid. hlm 23
89
orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan
memberikan persetujuannya. 26
Penipuan terjadi, apabila satu pihak dengan sengaja memberikan
keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan
tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan
perizinannya. Pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk
menjerumuskan pihak lawannya.27
Dengan demikian, maka ketidakcakapan seorang dan
ketidakbebasan dalam memberikan perizinan pada suatu perjanjian,
memberikan hak kepada pihak yang tidak cakap dan pihak yang tidak
bebas dalam memberikan sepakatnya ituuntuk meminta pembatalan
perjanjiannya. Dengan sendirinya harus dimengerti bahwa pihak
lawan dari orang-orang tersebut tidak boleh meminta pembatalan itu.
Hak meminta pembatalan hanya ada pada satu pihak saja, yaitu pihak
yang oleh undang-undang diberi perlindungan itu. Meminta
pembatalan itu oleh Pasal 1454 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dibatasi sampai suatu batas waktu tertentu, yaitu 5 tahun.
Waktu mana mulai berlaku (dalam hal ketidakcakapan suatu pihak)
sejak orang ini menjadi cakap menurut hukum. Dalam hal paksaan,
sejak hari paksaan itu telah berhenti. Dalam kehilafan atau penipuan
itu. Pembatasan waktu tersebut tidak berlaku terhadap pembatalan
yang diajuakan selaku pembelaan atau tangkisan, yan mana selalu
dapat dikemukakan.
27
Ibid. hlm 24
90
Memang ada dua cara untuk meminta pembatalan perjanjian itu.
Pertama pihak yang berkepentingan secara aktif sebagai penggugat
meminta kepada hakim supaya perjanjian itu dibatalkan. Cara kedua,
menunggu sampai ia digugat di depan hakim untuk memenuhi
perjanjian tersebut. Di depan sidang pengadilan itu, ia sebagai
tergugat mengemukakan bahwa perjanjian tersebut telah disetujuinya
ketika ia masih belum cakap, ataupun disetujuinya karena ia diancam,
atau karena ia khilaf mengenai obyek perjanjian atau karena ia ditipu.
Dan didepan sidang pengadilan itu ia memohon kepada hakim supaya
perjanjian dibatalkan. Meminta pembatalan secara pembelaan inilah
yang tidak dibatasi waktunya.
Terhadap asas konsensualisme yang dikandung oleh Pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sebagaimana sudah kita lihat,
ada kekecualianya, yaitu di sana sini oleh undang-undang ditetapkan
suatu formalitas untuk beberapa macam perjanjian. Misalnya untuk
perjanjian penghibahan benda tak bergerak harus dilakukan dengan
akta notaris. Perjanjian perdamaian harus dibuat secara tertulis dan
lain sebagainya. Perjanjian-perjanjian untuk mana ditetapkan suatu
formalitas atau bentuk cara tertentu sebagai mana sudah kita lihat,
dinamakan perjanjain formil. Apabila perjanjain yang demikian itu
tidak memenuhi formalitas yang ditetapkan oleh undang-undang,
maka ia batal oleh hukum.28
28
Ibid, hlm. 26
91
3.3.5. Resiko dan Hapusnya Suatu Perjanjian
Resiko ialah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan
karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak. Barang yang
diperjual belikan musnah di perjalanan karena perahu yang
mengangkutnya karam.
Barang yang dipersewakan terbakar habis selama waktu
dipersewakannya.29
Dalam bagian umum Buku ke III Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, sebenarnya kita hanya dapat menemukan satu Pasal, yang
senagajka mengatur soal risiko ini, yaitu Pasal 1237. Pasal ini
berbunyik sebagai berikut : “ Dalam hal adanya perikatan dilahirkan,
adalah atas tanggungan si berpiutang”. Perkataan tanggungan dalam
Pasal ini sama dengan “resiko”. Dengan begitu, dalam perikatan untuk
memberikan suatu barang tertentu tadi, jika barang ini sebelum
diserahkan, musnah karena suatu peristiwa di luar keslahan slah satu
pihak, kerugian ini harus sipikul oleh “si berpiutang”, yaitu pihak
yang berhak menerima barang itu. Suatu perikatan untuk
memberiakan suatu barang tertentu, adalah suatu perikatan yang
timbul dari suatu perjanjian yang sepihak. Pembuat undang-undang
disini hanya memikirkan suatu perjanjian di mana hanya ada suatu
kewajiban pada satu pihak, yaitu kewajiban memberiak suatu barang
tertentu, dengan tidak memikirkan bahwa pihak yang memikul
kewajiban ini juga dapat menjadi pihak yang berhak atau dapat
29
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1237
92
menuntut sesuatu. Dengan kata lain, pembuat undang-undang tidak
memikirkan perjanjian-perjanjian yang timbal-balik, dimana pihak
yang berkewajiban melakuakan suatu prestasi juag berhak menuntut
suatu kontraprestasi! Dia hanya memikirkan pada suatu perikatan
secara abstrak, dimana ada suatu pihak yang wajib melakukan suatu
prestasi dan suatu pihak lain yang berhak atas prestasi tersebut.
Bagaimana pun Pasal 1237 itu, hanya dapat dipakai untuk perjanjian
yang sepihak, sepertinya : perjanjain penghibahan dan perjanjian
pinjam pakai. Ia tidak dapat dipakai untuk perjanjain-perjanjian yang
timbal-balik! Jadi, satu-satunya Pasal yang kita ketemukan dalam
Bagian Umum, yang sengaja mengatur perihal resiko, hanya dapat
kita pakai untuk perjanjian-perjanjianyang sepihak dan tidak dapat
kita pakai untuk perjanjian timbal-balik. Untuk perjanjian-perjanjian
yang timbal-balik ini, kita harus mencari Pasal-Pasal dalam Bagian
Khusus, yaitu dalam bagian yang mengatur perjanjian-perjanjian
khusus: jual beli, tukar menukar, sewa-menyewa dan sebagainya.
Dalam Bagian Khusus, memang kita ketemukan beberapa Pasal
yang mengatur soal resiko tersebut, miaslnya Pasal 1460. Jika kita
bandingkan Pasal 1460 (risiko dalam jual beli) dengan Pasal 1545
(risiko dalam tukar-menukar), maka ternyatalah dua Pasal itu, kedua-
duanya mengatur soal risiko dalam suatu perjanjian yang tibal-balik
tetapi sangat berbeda satu sama lain, bahkan berlawanan satu sama
lain.
93
Pasal 1460 mengatakan “Jika barang yang dijual itu berupa
suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang ini sejak saat
pembelian adalah tanggungan si pembeli, meskipun penyerahanya
belum dilakukan, dan sipenjual berhak menuntut harganya :30
Sebaliknya Pasal 1545 menentukan: “Jika suatu barang tertentu,
yang telah dijanjikan untuk ditukar musnah diluar kesalahan
pemiliknya, maka perjanjian dianggap sebagai gugur, dan pihak yang
telah memenuhi perjanjian dapat menuntut kembali barang yang telah
diberikanya dalam tukar-menukar itu”.
Memang kedua Pasal tersebut di atas, berlainan sekali. Pasal
1460 (jual-beli) meletakan risiko pada pundaknya si pembeli, yang
merupakan kreditur terhadap barang yang dibelinya (kreditur, karena
ia berhak menuntut penyerahanya). Pasal 1545 (tukar-menukar)
meletakan risiko pada pundak masing-masing pemilik barang yang
dipertukaran. Pemilik adalah debitur terhadap barang yang
dipertukarkan dan musnah sebelum diserahkan.31
Pasal 1553 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang
mengatur masalah risiko dalam perjanjian sewa-menyewa, yang juga
suatu perjanjian timbal-balik, adalah selaras dengan Pasal 1545 yang
meletakan risiko pada pundak si pemilik barang yang di persewakan.
Lain dari Pasal 1237 dan 1460, yang kedua duanyajelas memakai
perkataan “tanggungan” (yang berarti “risiko”), Pasal 1553 dalam
sewa-menyewa itu tidak memakai perkataan tersebut dan peratutan
30
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1460 31
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1553
94
tentang risiko hanya “tersirat” di dalamnya, artinya kita ambil
peraturan itu secara menyimpulkan dari kata-kata yang dipakai di situ.
Dalam Pasal 1553 itu disebutkan : “Jika selama waktu sewa, barang
yang dipersewakan itu musnah diluar kesalahan salah satu pihak,
maka perjanjian sewa-menyewa gugur demi hukum. Dari perkataan
“gugur” itu, kita simpulkan, bahwa masing-masing pihak tak dapat
menuntut seuatu apa dari pihak lainya. Dengan kata lain : Kerugian
akibat kemusnahan itu dipikul seluruhnya oleh pemilik barang!
Selaras dengan pedoman atau asas yang telah kita simpulkan dari
Pasal 1545, yang mengatur masalah risiko dalam tukar menukar.
3.4. Perjanjian Pengikatan Jual Beli
Definisi Jual Beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang
mengikat dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak
yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
Yang dijanjikan oleh pihak yang satu ( pihak penjual), menyerahkan
atau memindahkan hak miliknya atas barang yang ditawarkan, sedangkan
yang dijanjikan olehbpihak yang lain, membayar harga yang telah
disetujuinya. Meskipun tiada dissebutkan dalam salah satu Pasal undang-
undang , namun sudah semestinya bahwa “ harga” ini harus berupa sejumlah
uang,karena bila tidak demikian dah harga itu berupa barang atau barter.32
Yang harus diserahkan oleh penjual kepada pembeli, adalah hak milik
atas barangnya, jadi bukan sekedar kekuasaan atas barang tadi. Yang harus
3232
Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan Keduapuluhtiga 2010, Jakarta, PT Intermasa, hlm 79
95
dilakukan adalah “ penyerahan” atau “ levering” secara yuridis, bukannya
penyerahan feitelijk ! dan sebagaimana sudah kita ketahui, maka menilik
macam-macamnya barang, menurut Hukum perdata ada tiga macam
penyerahan yuridis itu :
a) Penyerahan barang bergerak
b) Penyerahann barang tak bergerak dan
c) Penyerahan piutang atas nama yang masing-masing mempunyai cara-
caranya sendiri.33
Sebagaimana sudah kita ketahui dari Hukum Benda, maka:
a) Penyerahan barang bergerak dilakukan dengan penyerahan yang nyata
atau menyerahkan kekuasaan atas barangnya ( Pasal 612 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata).
b) Penyerahan barang tak bergerak terjadi dengan pengutipan sebuah “
akta transport” dalam register tanah di depan pegawai Balik Nama
(Ordonansi Balik Nama L.N. 1834-27). Sejak berlakunya Undang-
undang Pokok Agraria ( Undang-undang No.5 Tahun 1960) dengan
pembuatan aktanya jual-beli oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
(P.P.A.T)
c) Penyerahan piutang atas nama dilakukan dengann pembuatan sebuah
akta yang diberitahukan kepada si berutang (akta ” cessie”,Pasal 613).
Jual beli suatu perjanjian konsensuil, artinya, ia sudah dilahirkan sebagai
suatu perjanjian yang sah (mengikat atau mempunyai kekuatan hukum) pada
detik tercapainya sepakat antara penjual dan pembeli mengenai unsur-unsur
33
Ibid, hlm 79
96
yang pokok (essentialia) yaitu barang dan harga, biarpunjual beli itu
mengenai barang yang tak bergerak. Sifat konsensuil jual beli ini ditegaskan
dalam Pasal 1428 yang berbunyi, “Jual beli dianggap telah terjadi antarab
kedua belah pihak sewaktu mereka telah mencapai sepakat tentang barang
dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum
dibayar.”34
Salah satu sifat yang penting lagi dari jual beli menurut sistem Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, adalah bahwa perjanjian jual beli itu hanya
“obligator” saja! Apa artinya ini? Ini berarti, menurut sistem Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, jual beli itu belum memindahkan hak milik, ia baru
memberikan hak dan meletakan kewajiban pada kedua belah pihak, yaitu
memberikan kepada sipembeli hak untuk menuntut diserahkanya hak milik
atas barang yang dijual. Apa yang dikemukakanya disini mengenai sifat jual
beli ini nampak jelas dari Pasal 1459, yang menerangkan bahwa hak milik
atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli selama
penyerahnya belum dilakukan (menurut ketentuan-ketentuan yang
bersangkutan). Suatu sistem yang berlainan dari sistem Code Civil, yang
menetapkan bahwa hak milik sudah berpindah kepada si pembeli sejak saat
dicapainya persetujuan tentang barang dan harga (Pasal 1583 Code Civil). 35
Dengan demikian jual beli yang harga belinya ditetapkan oleh seorang
ketiga merupakan suatu perjanjian dengan suatu syarat tangguh, juga
34
Ibid. hlm 80 35
Ibid. hlm 80
97
diperbolehkan untuk menetapkan harga itu kemudian, asal cara menetapkan
disetujui oleh kedua belah pihak36
Resiko dalam jual beli sebagaimana sudah kita lihat sewaktu kita
membicarakan maslah risiko ini, pada umumnya menurut Pasal 1460 Kitab
Undang-undang Hukum perdata, diletakan pada pundaknya si pembeli. Kita
sudah melihat, bahwa untuk membatasi kemungkinan keganjilan-keganjilan
yang dapat timbul karena peraturan tersebut, Pasal tersebut dibatasi
berlakunya, hingga hanya mengenai barang tertentu saja yang musnah
sebelum diserahkan kepada si pembeli.
Pasal 1460 tersebut di atas, sebagai mana halnya dengan Pasal 1471,
telah dikutip dari Code Civil tanpa disadari bahwa Pasal tersebut dalam
sistem Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan saat
pemindahan hak milik pada detik dilakukanya penyerahan (levering),
tidaklah tepat.
Sesuai dengan peraturan risiko yang termaktub dalam Pasal 1460
tersebut diatas, oleh Pasal 1461 ditetapak jika sejumlah barang-barang tidak
dijual menurut tumpukan, tetapi menurut berat, jumlah atau ukuran, maka
barang-barang itu ditimbangan, dihitung atau diukur.37
Jika sebaliknya, barang-barang itu dijual menurut tumpukan, maka
barang-barang itu adalah tanggungan si pembeli meskipun belum ditimbang,
dihitung atau diukur (Pasal 1462). Si penjual mempunyai dua kewajiban
utama, yaitu menyerahkan barangnya dan menanggungnya. Menyerahkan
adalah memindahkan barang yang telah dijual itu menjadi milik si pembeli.
36
Ibid. hlm 82 37
Ibid. hlm 83
98
Jadi, penyerahan (leveling) itu, suatu perbuatan hukum yang harus dilakukan
untuk memindahkan hak milik dari satu ke lain orang, dari si penjual kepada
si pembeli. Kita sudah melihat, bahwa menilik macam-macamnya barang
yang harus diserahkan itu, dalam Hukum Perdata ada tiga macam atau cara
penyerahan (barang bergerak, barang tak bergerak dan piutang atas nama).38
Biaya penyerahan harus dipikul oleh si penjual, sedangkan biaya
pengambilan harus dipikul oleh si pembeli, jika tidak diperjanjikan
sebaliknya (Pasal 1476). Penyerahan harus dilakukan di tempat di mana
barang yang di perjual belikan itu berada, pada waktu ditutupnya perjanjian
jual beli tersebut, jika tentang itu tidak ada perjanjian lain (Pasal 1477).
Barang harus diserahkan dalam keadaan di mana ia berada pada saat
ditutupnya perjanjian jual beli. Sejak saat itu segala hasil kepunyaan si
pembeli (Pasal 1481).
Penjualan suatu piutang meliputi segala sesuatu yang melekat
padanya, seperti penanggungan-penanggungan, hak-hak istimewa dan
hipotik-hipotik. Dengan kata lain, sangkut-paut atau embel-embel dari
piutang tadi ikut serta (Pasal 1533). Barangsiapa menjual suatu piutang atau
hak tak bertubuh lainnya harus menanggung bahwa hak-hak itu bener ada
sewaktu diserahkannya, biarpun penjualan dilakukan tanpa janji
penanggungan (Pasal 1543).39
Sangat penting apa yang ditentukan dalam Pasal 1535 bahwa si penjual
piutang tidak bertanggung jawab tentang cukup mampunya si berutang
38
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1476 39
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1533
99
(debitur), kecuali jika ia telah mengikatkan dirinya untuk itu, dan hanya
untuk jumlah harga pembelian yang telah diterima nya untuk piutangnya.40
Sebenarnya, jika suatu piutang kita dianggap sebagai suatu barang,
tidak mampunya si debitur ( hal mana yang tidak diketahui oleh si pembeli
piutang). Adalah mirip dengan suatu cacad tersembunyi. Dalam hal suatu
barang, cacad demikian itu harus ditanggung oleh si penjual. Tetapi di sini
kita melihat, apakah si debitur itu mampu membayar utangnya ataupun tidak,
adalah dil uar tanggungan si penjual piutang.41
Kalau jual beli piutang ini kita bandingkan dengan penjualan suatu
wesel (piutang wesel), maka nampaklah tanggung jawab si penjual piutang
lebih ringan. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang, kita lihat bahwa
seorang yang menjual dan menyerahkan suatu wesel (endosan) harus
menanggung pembayaran wesel itu. Kewajiban menanggung ini dinamakan
wajib regres.
Jika jual beli diadakan tanpa suatu janji, bahwa harganya boleh dicicil
(jual beli tunai), dan pembeli tidak membayar harga itu, maka selama
barangnya masih berada di tangan si pembeli, penjual dapat menuntut
kembali barang itu, asal saja penuntut kembali ini dilakukan dalam jangka
waktu tiga puluh hari. Hak si penjual ini terkenal dengan nama “ hak
reclame” (reklame berarti penuntutan kembali) dan diatur dalam Pasal 1145
Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu suatu Pasal yang terdapat dalam
Buku II ( Hukum Benda) bagian “ piutang-piutang di istimewakan”
(privileges).
40
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1535 41
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1145
100
Hak reklame juga diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang,
yaitu Pasal 230 dan selanjutnya, tetapi peraturan yang terdapat dalam Kitab
Undang-udang Hukum Dagang ini hanya berlaku dalam hal si pembeli telah
dinyatakan pailed. Dalam kepailitan si pembeli itu tuntutan reclame harus
ditunjukan kepada Balai Harta Peninggalan sebagai surat curatrice (
pengampu) si pembeli.42
Syarat-syarat untuk melakukan reklame dalam Kitab Undang-undang
Hukum Dagang adalah lebih longgar, yaitu:
a) Jual beli nya tidak usah kontan (tunai), memang dalam kalangan
perdagangan jual beli lebih banyak dilakukan secara kredit;
b) Penuntutan kembali dapat dilakukan dalam jangka waktu 60 hari. Jadi
lebih lama dari jangka waktu yang diperkenankan oleh Kitab Undang-
undang Hukum Perdata;
c) Tuntutan reklame masih boleh dijalankan, meskipun barangnya sudah
berada ditangan orang lain.
Jika kita perhatikan benar-benar hak reclame ini, nampak sifatnya sama
dengan hak membeli kembali, yaitu hakekatnya merupakan hak si penjual
untuk diluar hakim membatalkan perjanjian jual beli. Barang yang dibeli dan
sudah diserahkan (dilever) kepada si pembeli secara yuridis sudah menjadi
milik si pembeli. Hanyalah dengan jalan pembatalan itu, si penjual dapat
menuntut kembali barang tadi sebagai miliknya.
42
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm 230
101
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Perlindungan Konsumen Atas Kepemilikan Satuan Rumah Susun
Berdasarkan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli
Pembangunan rumah susun di Indonesia dibangun untuk
kemudian dipasarkan kepada warga. Pemasaran yang dilakukan dengan
memperhatikan peraturan lain yang berkaitan dengan transaksi tersebut.
Disamping peraturan yang telah disebut di atas beberapa aturan lain
diantranya adalah berkaitan dengan hak atas tanah maka yang perlu
diperhatikan adalah UndanUndang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria, Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah. 1
UU No 20 Tahun 2011 mengatur tentang pemasaran rumah susun.
Pemasaran tersebut dapat dilakukan sebelum pembangunan sarusun
dilaksanakan, apabila hal ini dilakukan sekurang-kurangnya pengembang
harus sudah memiliki:
1. Kepastian peruntukan ruang.
2. Kepastian hak atas tanah.
3. Kepastian status penguasaan rumah susun.
4. Perizinan pembangunan rumah susun.
5. Jaminan atas pembangunan rumah susun dari lembaga penjamin.
1 Suriansyah Murhaini, Hukum Rumah Susun, Cetakan Kesatu November 2015, Jakarta, Penerbit
Laksbang Grafika, hlm 112
102
Pemasaran yang dilaksanakan dalam pembangunan belum dilaksanakan, maka
harus melalui perjanjian pengikatan jual beli ( PPJB) yang dibuat dihadapan
pejabat yang berwenang yaitu Notaris. PPJB memuat kepastian mengenai:
1. Status kepemilikan tanah.
2. Kepemilikan IMB.
3. Ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum.
4. Keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen).
5. Hal yang diperjanjikan.
Terhadap pembangunan rumah susun yang telah dilaksanakan, maka dapat
dilaksanakan ditandai dengan adanya sertifikat laik fungsi dan sertifikat hak milik
satuan rumah susun dan sertifikat kepemilikan bangunan gedung satuan rumah
susun. Rumah susun komersial penguasaannya dapat dimiliki dengan jual beli
atau sewa.2
Pada kasus Apartemen Green Pramuka City pada penelitian perjanjian
yang dibuat antara Pihak Konsumen sebagai pihk kedua berminat untuk membeli
dari pihak pertama unit satuan Rumah Susun. Antara pihak pertama sebagai
perusahaan pengembangan atau perusahaan pembangunan yang telah membangun
bangunan-bangunan Rumah Susun atas bidang tanah Hak Pengelolaan (HPL).
Bahwa satu dan hal lain jual beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang
berwenang belum dapat oleh kedua belah pihak, maka kedua belah pihak hendak
membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Satuan Rumah Susun Green
Pramuka City.
2 Ibid , hlm 90
103
Jual beli menurut menurut KUHPerdata pasal 1457 adalah suatu perjanjian
dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya umtuk menyerahkan suatu
benda dan pihak lain membayar harga yang telah dijanjikan. Maka dari itu dalam
perjanjian jual beli Rumah Susun, hubungan kontraktual antara pengembang dan
pembeli secara normatif diatur dalam Pasal 42 Rumah Susun yang mengatur
kewajiban dan syarat yang harus dipenuhi oleh pengembang yaitu:3
1. Pelaku pembangunan dapat melakukan pemasaran sebelum pembangunan
Rumah Susun dilaksanakan
2. Dalam hal pemasaran dilakukan sebelum pembangunan Rumah Susun
dilaksanakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku pembangunan
sekurang-kurangnya harus memilki.
a. Kepastian peruntukan ruang:
b. Kepastian hak atas tanah;
c. Kepastian status penguasaan Rumah Susun;
d. Perizinan pembangunan Rumah Susun; dan
e. Jaminan atas pembangunan Rumah Susun dari lembaga penjamin.
3. Dalam hal pemasaran dilakukan sebelum pembangunan Rumah Susun
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), segala sesuatu yang dijanjikan oleh
pelaku pembangunan dan / atau agen pemasaran mengikat sebagai
perjanjian pengikat jual beli (PPJB) bagi para pihak.
3 Ibid, hlm 90
104
Pengikatan jual beli hak milik atas satuan Rumah Susun yang dilakukan
pengembang selaku kreditor dan pihak pembeli atau user selaku debitor,
tujuannya adalah agar kedua belah pihak mengikatkan diri untuk dalam perjanjian
jual beli tersebut pembayarannya dilakukan secara bertahap hingga selesainya
pembangunan dan pengalihan oleh pihak pertama kepada pihak kedua sampai
dibuatnya perjanjian jual beli yang dibuat di hadapan Notaris.4
Peralihan satuan Rumah Susun melalui jual beli, pada mulanya dilakukan
dengan perjanjian jual beli yang dikenal dengan perjanjian pengikatan jual beli
(PPJB). PPJB ini sebagai perjanjian pendahuluan (pra contractual) yang dilakukan
dengan pemesanan terlebih dahulu atas Sarusun. Beberapa pihak yang terkait
dalam suatu transaksi jual beli Rumah Susun, yaitu pihak pengembang dan pihak
pembeli (konsumen).
Perjanjian pengikatan jual beli ini berfungsi sebagai ikatan jual beli,
dikarenakan bangunan Rumah Susun yang dijual masih dalam tahap penyelesaian,
sehingga nantinya akan dialhikan melalui Akta Jual beli. Pembayaran atas harga
jual beli dilakukan secara bertahap sesuai kesepakatan sampai dinyatakan lunas,
baru kemudian dilakukan penyerahan unit Sarusun kepada pembelinya jika telah
selesai dibangun.
4 4 Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan Kesembilan, PT
Rajagrafindo persada 2015, hlm 44
105
Mengenai pengalihan Rumah Susun, menurut Pasal 44 Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, menyatakan bahwa:
1. Proses Jual Beli, yang dilakukan sesudah pembangunan Rumah susun
selesai, dilakukan memalui akta jual beli (AJB).
2. Pembangunan Rumah Susun dinyatakan selesai sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) apabila telah diterbitkan.
a. Sertifikat laik fungsi; dan
b. SHM atas Sarusun atau SKBG ( Sertifikat Kepemilikan
Bangunan Gedung) atau Sarusun.
Unsur –unsur jual beli Rumah Susun dilakukan oleh pihak pengembang
dan pembeli. Penandatanganan akta jual beli (AJB) untuk setiap unit satuan
Rumah Susun dilakukan di hadapan Notaris. Dalam proses jual beli tersebut juga
dilibatkan pihak Badan Pertanahan Nasional atau kantor pertanahan. Hal ini
terkait dengan penerbitan sertifikat hak atas sarusun dan proses balik nama satuan
Rumah Susun oleh pihak kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk
selanjutnya diserahkan kepada masing-masing pembeli.5
Terkait dengan perlindungan konsumen, maka harus diperhatikankan juga UU No.
8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen (UUPK). “Perlindungan
konsumen” adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen. (Pasal 1 angka 1 UUPK).
“Perlindungan hukum” adalah suatu pemberian jaminan atau kepastian bahwa
seseorang akan mendapatkan apa yang telah menjadi hak dan kewajibannya,
sehingga yang bersangkutan merasa aman. Perlindungan hukum UUPK diberikan
5 Urip santoso,Hak Atas Tanah,Hak Pengelolaan&Hak Milik Satuan Rumah Susun,Cetakan Kesatu
Oktober 2017,HLM 177
106
kepada setiap konsumen. Konsumen berdasarkan Pasal 2 UUPK angka 2 adalah:
Konsumen adalah setiap pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Konsumen pada rumah susun adalah masyarakat yang membeli barang
berupa sarutan rumah susun yang beli pada pelaku pembangunan/pelaku usaha
dan juga penghuni. Penghuni adalah orang yang menempati sarusun, baik sebagai
pemilik maupun bukan pemilik.pembentukan UUPK adalah: 6
1. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
2. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
3. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
5. mendapatkan informasi;
6. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab
dalam berusaha;
7. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang, menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan,
dan keselamatan konsumen.
6 Ibid, hlm 182
107
Konsumen pada satuan rumah susun juga seharus menjadi target UUPK.
Hal ini disebabkan karena penghuni dan pemilik membeli barang atau menyewa
barang yang diproduksi oleh pelaku usaha/pelaku pembangunan. Konsumen
rumah susun juga seharusnya menjadi tujuan dari UUPK karena sebagai
konsumen penghuni dan pemilik belum memiliki kesadaran dan kemampuan
untuk melindungi diri. Disamping itu konsumen tidak mengetahui hukum yang
mengatur mengenai barang atau rumah susun yang dibelinya. Ketidaktahuan itu
juga dimanfaatkan oleh pelaku pembangunan/pelaku usaha. Konsumen dalam
UUPK memiliki hak dan kewajiban yaitu: Hak konsumen adalah:7
1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/
atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
7 Ibid, hlm 191
108
8. Hak untuk mendapatkan komnpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya;
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Kewajiban konsumen adalah
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut;
Pada konsumen rumah susun salah satu hak yang terdapat di UUPK tidak
didapatkannnya yaitu hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.8
Jika bangunan Rumah Susun tersebut mengalami kerusakan dan roboh
maka akibat hukumnya Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun akan hapus.
Kerusakan dan robohnya bangunan Rumah Susun akan hapus, yang disebabkan
keadaan force majeure membebaskan kreditur untuk bertanggung jawab. Hal ini
membawa akibat seluruh hak-hak yang melekat atau tertumpang atau
menumpangi di atas Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun akan turut pula
berakhir dan hapus.
8 Ibid,hlm 192
109
Perlindungan konsumen dalamPasal 3 menyebutkan tentang ketentuan hak untuk
memperoleh ganti kerugian. Hak atas ganti rugi dimaksudkan untuk memulihkan
keadaan yang telah menjadi rusak (tidak seimbang) akibat adanya penggunaan
barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini sangat terkait
dengan penggunaan produk yang telah merugikan konsumen, baik yang berupa
kerugian materi, maupun kerugian yang menyangkut diri konsumen. untuk
merealisasikan hak ini tentu saja harus melalui prosedur tertentu, baik yang
diselesaikan secara damai diluar pengadilan maupun yang diselesaikan melalui
pengadilan.9
4.1.1 Analisis berdasarkan keputusan Menpera Nomor 11/KPPS/94 Tentang
Pedoman PPJB.
Berdasarkan Keputusan Menpera Nomor 11/KPPS/94 tentang Pedoman
PPJB Sarusun meliputi:
a. penandatangan surat pemesanan yang berisi nomor bangunan sarusun
yang dipesan, nomor lantai, tipe sarusun, luas sarusun, harga jual,
ketentuan pembayaran uang muka, spesifikiasi bangunan, tanggal
selesainya pembangunan dan pernyataan setuju menerima persyaratan.
b. terhitung 30 hari kalender sejak tanggal surat pemesanan dilakukan
penandatanganan akta PPJB dilakukan di hadapan Notaris yang memuat
objek berikut fasilitas dilingkungan Rusun seseuai dengan NPP.
9 Ibid, hlm 202
110
c. jual beli dilakukan dihadapan PPAT apabila telah terbit sertipikat Laik
Fungsi, Sertipikat Hak Milik Sarusun, atau dihadapan Notaris untuk
sertipikat SKBG (sertikat Kepemilikan Bangunan Gedung).
Berikut aturan pajak-pajak terkait rumah susun tersebut, yaitu
untuk properti di atas Rp.42.000.000,- dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
sebesar 10 % dari harga jual untuk sarusun dengan harga bangunan per meter
persegi di atas Rp. 4.000.000,- atau luasnya lebih dari 150 m2 dikenakan PPNBm
(Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah) sebesar 20 % dari harga jual (apabila
dibeli dari developer), Serta dikenakan BPHTB sebesar 5 % (dari harga transaksi
dikurangi harga jual objek pajak tidak kena pajak), untuk harga jual objek pajak
tidak kena pajak dapat melihat dari Peraturan Daerah tentang BPHTB di masing-
masing Pemerintah Daerah.Idealnya selama alur proses perijinan belum
diikuti/belum dilaksanakan maka Notaris/PPAT belum bisa membuat akta-akta
yang dimaksudkan sebagai transaksi jual beli rumah susun/apartemen dalam unit-
unit sarusun untuk menghindari potensi masalah yang akan muncul.10
4.1.2. Analisis Akibat Hukum Perjanjian Jual Beli Unit Satuan Rumah
Susun
1. Dari UU No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun
Dalam PPJB unit satuan rumah susun terdapat klausa yang mengecualikan
Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011, oleh karena itu bagi konsumen terdapat
beberapa aspek yang perlu dibahas. Aspek yang dapat di analisis dari segi sanksi
perdata dan pidana, maupun perlindungan hak konsumen.
10
Ibid, hlm 204
111
Apabila melihat ketentuan Pasal 105 Ayat (2) UU NO. 20/2011 telah jelas
menyatakan bahwa:
“(2) dalam Hal penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat tidak
tercapai, pihak yang dirugikan dapat menggugat melalui pengadilan yang berada
dilingkungan pengadilan umum atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan yang
disepakati para pihak yang bersengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa”.
Lebih lanjut dalam Pasal 106 UU No.20/2011 mengatur ketentuan sebagai
berikut:11
“Pasal 106
Gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 Ayat (2) dapat dilakukan oleh:
a. Orang perseorangan;
b. Badan Hukum;
c. Masyarakat; dan/atau
d. Pemerintah atau instansi terkait.”
Artinya, dari ketentuan di atas maka pihak yang merasa dirugikan, dalam hal ini
konsumen yang telah melakukan PPJB dengan pihak developer PT. Y tidak
menutup kemungkinan dapat mengajukan gugatan perdata kepada developer PT.
Y. Hal ini disebabkan karena perjanjian mengikat kedua belah pihak berdasarkan
pada terpenuhinya sama syarat yang telah diatur dalam peraturan, dalam hal ini
telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum perdata (KUHPerdata).
Selain itu adanya akibat hukum dari PPJB unit satuan rumah susun yang tidak
memenuhi ketentuan Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011, telah diberikan sanksi
11
Adrian Sutedi,Hukum Rumah Susun dan Apartemen,Sinar Grafika,Jakarta,2012,hlm 112
112
secara pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 110 UU No. 20/ 2011, yang
menuliskan sebagai berikut:
”Pasal 110 Pelaku pembangunan yang membuat PPJB:
a. Yang tdiak sesuai dengan yang dipasarkan, atau
b. Sebelum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43
Ayat (2):
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp.
4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah).
Dari ketentuan di atas telah mengatur konsekuensi hukum secara pidana apabila
developer membuat PPJB unit satuan rumah susun yang belum memenuhi Pasal
43 Ayat (2) No.20/2011. Hal ini sangat mutlak bagi kesalahan developer PT. Y,
dimana dalam PPJB unit satuan rumah susun yang telah secara tegas
mengakuidan membuat ketentuan pada awal konsideran huruf f PPJB unit satuan
rumah susun yang berbunyi:
“ Bahwa mengingat beberapa persyaratan sebagaimana diatur didalam peraturan
Rumah Susun belum dapat dipenuhi dan pembangunan sedang dalam tahap
penyelesaian, maka Jual Beli Satuan Unit Rumah Susun Green Pramuka City
sebagaimana disyaratkan peraturan Rumah Susun dengan akta yang dibuat
dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah belum dapat dilakukan”.12
Dikatakan mutlak karena secara jelas bahwa PT. Y selaku developer
Green Pramuka City telah mengakui secara tegas bahwa dalam proses
pembangunan satuan rumah susun belum dapat memenuhi ketentuan sebagaimana
12
Ibid, hlm 114
113
telah diatur dalam Peraturan Rumah Susun, dalam hal ini adalah UU No. 20/2011
tentang Rumah Susun. Akan tetapi, sanksi yang diberikan oleh UU No.20/2011
sangatlah mengikat dan berlaku secara umum tanpa melihat adanya kesepakatan
para pihak.13
Hal ini disebabkan ketentuan pidana dibuat oleh pemerintah bersama
dengan legislatif bertujuan melindungi konsumen dalam melakukan transaksi
awal atas pembelian rumah susun. Selain itu, karakteristik ketentuan pidana di
indonesia hanya melihat dari pemenuhan unsur pidana yang dilanggar, maka
siapapun dapat dilaporkan pidana. Dengan adanya ketentuan pidana ini, maka
diharapkan adanya perlindungan konsumen dan juga kepastian dari developer
dalam membangunan Rumah Susun.
2. Dari Hukum Perdata
Apabila kita berbicara mengenai syarat sahnya perjanjian, maka
berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata khususnya untuk syarat dalam suatu sebab
yang halal ditemukan adanya pelanggaran mengenai syarat sahnya perjanjian.
Namun, perlu dicatat bahwa perjanjian akan mengikat kedua belah pihak
berdasarkan kesepakatan yang dibuat secara dengan undang-undang yang berlaku.
“ Pasal 1320 KUHPerdata syarat sahnya perjanjian perlu dipenuhi empat syarat:
1. Kesepakatan mereka yang mengikat dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.”
13
Ibid, hlm 116
114
Dalam Pasal 1320 KUHPerdata tersebut menyatakan bahwa untuk sahnya
suatu perjanjian diperlukan 4(empat) syarat yaitu:
a. Sepakat mereka yang mengikat dirinya
Kesepakatan antara pihak yang membuat perjanjian yang mana terjadinya
pertemuan atau kesesuaian kehendak diantara para pihak, dan kesepakatan
tersebut karena diberikan secara bebas, artinya bebas dari paksaan dan
kekhilafan, dan penipuan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1321
KUHPerdata.14
Dalam Hal ini para pihak yang terlibat dalam kesepakatan ini adalah pihak
Green Pramuka City yang diwakili oleh Developer dalam hal ini PT. Y
dengan pihak pembeli satuan Rumah Susun ( konsumen) tanpa ada
paksaan, kehilafan dan penipuan.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dimana kecakapan dari sahnya
suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak yaitu pihak Green Pramuka
City yang diwakili oleh PT. Y dengan pihak konsumen adalah sah tidak
melanggar dan syarat kecakapan dalam sahnya suatu perjanjian.
c. Suatu Hal Tertentu
Hal tertentu maksudnya adalah objek perjanjian atau prestasi yang
diperjanjikan harus jelas, dapat dihitung dan dapat ditentukan jenisnya.
Dalam hal ini jelas yang menjadi objek perjanjian adalah unit satuan
rumah susun. Ditinjau dari Pasal 1332-1334 KUHPerdata objek perjanjian
dibuat oleh pihak Developer PT. Y dengan pembeli satuan rumah susun
14
Badruzaman, Mariam D,Perjanjian Baku,Perkembangannya di Indonesia,Bina Cipta,Jakarta,1994,hlm 45
115
yang menjadi barang diperdagangkan, mempunyai pokok suatu barang
paling sedikit ditentukan jenisnya dan barang yang baru ada pada waktu
yang akan datang adalah hak milik atas satuan rumah susun (HMSRS)
Green Pramuka City dikawasan cempaka putih, jakarta selatan, DKI
Jakarta.
d. Suatu Sebab Yang Halal
Dalam pasal 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu sebab
adalah terlarang. Apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila
berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dilihat dari
PPJB yang dilakukan pihak Green Pramuka City yang dilakukan oleh
pihak PT. Y dengan pihak pembeli satuan rumah susun (konsumen) adalah
tidak sah karena isi PPJB tidak memenuhi Pasal 43 Ayat (2) Huruf d yang
menyatakan bahwa dalam hal melakukan PPJB sebagaimana dimaksud
Pasal 1 dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas
keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen), namun pihak Green
Pramuka City dalam hal ini diwakili oleh Developer PT. Y dalam PPJB
yang dibuat diantara mereka memuat suatu pasal pengabaian yang diatur
dalam Pasal 21 Ayat (1) huruf b yaitu mengabaikan Pasal 43 ayat (2) UU
No. 20 THUN 2011 tentang Rumah Susun. 15
Padahal secara jelas dan
tegas dalam UU No. 20 Tahun 2011 menyatakan bahwa dalam Pasal 98
huruf b dimana pelaku pembangunan dalam hal ini PT. Y sebagai pihak
Developer dilarang membuat PPJB sebelum memenuhi persyaratan
kepastian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 Ayat (2) yaitu adanya
15
Ibid,hlm 49
116
kepastian keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen). Selain itu,
UU No.20 Tahun 2011 memiliki sifat imperatif dimana dalam Pasal 110
huruf b menyatakan bahwa Pelaku Pembangunan bila tidak memenuhi
persyaratan kepastian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 Ayat (2)
sebagaimana dimaksud dalam pasal 98, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp.4.000.000.000
(empat milyar).16
Maka berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata yang mempunyai 4
(empat) unsur dalam sahnya suatuperjanjian, PPJB unit Satuan Rumah
Susun yang mana dalam hal ini diwakili oleh PT.Y dengan pihak pembeli
unit satuan rumah susun ( konsumen) tidak memenuhi salah satu unsur
sahnya suatu perjanjian yaitu unsur sebab yang halal yang mana unsur
tersebut sangat memegang peran penting dalam menentukan sahnya
perjanjian dari segi hukum perjanjian. Selain itu didukung juga oleh
UURS yang baru yaitu UU No. 20 Tahun 2011 dimana dalam UU ini
dengan jelas mengatur secara tegas bila terjadi pelanggaran yang dilarang
dalam Pasal dalam UU ini maka akan dikenakan sanksi pidana dan
administratif (UU No.20 Tahun 2011 bersifat imperatif atau memkasa).
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas maka PPJB unit Satuan
Rumah Susun Green Pramuka City dengan diwakili oleh PT. Y dengan
pihak Pembeli Satuan Rumah Susun Green Pramuka City (konsumen)
dapat batal demi hukum (null and void). Dengn batalnya demi hukumnya
suatu perjanjian para pihak yang tidak dapat mengajukan tuntutan
16
Ibid,hlm 53
117
pengadilan untuk melaksanakan perjanjian atau meminta ganti rugi,
karena perjanjian tersebut tidak melahirkan hak dan kewajiban yang
mempunyai akibat hukum, selain itu, secara jelas diatur juga dalam Pasal
1338 KUHPerdata, yang isi lengkapnya adalah sebagai berikut:
“Pasal 1338 KUHPerdata: Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan
undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan
kesepakatan kedua belah pihak, atau, karena alasan-alasan yang ditentukan
oleh undang-undang persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”17
Lebih lanjut bahwa perjanjian tersebut harus dilandaskan oleh
itikad baik dari masing-masing pihak. Selain itu, berdasarkan Pasal 1339
KUHPerdata juga menjelaskan lebih lanjut yaitu:
“Pasal 1339 KUPerdata: Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang
dengan tegas ditentukan didalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang
menurut sifat persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau
undang-undang.”
Ketentuan Pasal di atas mengatur bahwa perjanjian harus
didasarkan pada nilai keadilan, kebiasaan, dan undang-undang. Jadi
sangatlah jelas bahwa tidak cukup dengan kata sepakat saja dapat
membuat perjanjian menjadi sah dan mengikat, tetapi harus dibuat sesuai
dengan undang-undang yang berlaku, keadilan,kebiasaan dalam
masyarakat.
17
Ibid,hlm 58
118
Dalam hal ini pembangunan satuan rumah susun Green Pramuka
City yang telah dituangkan dalam PPJB tidak dapat mengikat secara
hukum antara para pihak, karena melanggar Pasal 1338 dan Pasal 1339
KUHPerdata. Konsekuensi hukum yang terjadi adalah perjanjian tidak
dapat mengikat secara hukum (batal demi hukum) karena terdapat
pengaturan dalam PPJB unit Satuan Rumah Susun yang mengecualikan
ketentuan Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011. Oleh karena itu , apabila ada
pihak yang merasa dirugikan tidak dapat mengajukan tuntutan hak ke
pengadilan negeri atas Pasal 21 PPJB unit Satuan Rumah Susun.18
Walaupun demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 105 Ayat (4) UU
No.20/2011 menyatakan bahwa” Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menghilangkan tanggung jawab
pidana”. Oleh karena itu, konsekuensi hukum yang dapat dikenakan
terhadap PT.Y selaku Developer bukan terbatas pada hak keperdataan saja.
Tetapi dapat dituntut berdasarkan ranah Hukum pidana.
4.2. Perlindungan Konsumen Atas Kepemilikan Satuan Rumah Susun Yang
Dibangun Diatas Tanah Hak Pengelolaan.
4.2.1. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 PMDN No. 5 Tahun 1974
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 PMDN Nomor 5 Tahun 1974
disebutkan bahwa Hak Pengelolaan adalah hak atas tanah yang memberi
wewenang kepada pemegangnya untuk merencanakan peruntukan dan
pengunaan tanah yang bersangkutan, menggunakan tanah yang
18
Ibid,hlm 55
119
bersangkutan untuk keperluan pelaksanaan usaha , menyerahkan bagian
tanah yang bersangkutan kepada pihak ketiga dengan hak pakai untuk
jangka 6 (enam) bulan, dan menerima uang pemasukan / ganti kerugian dan
uang wajib tahunan.19
Semula hak pengelolaan diberikan kepada departemen, direktorat,
jawatan, daerah swatantra (Pemerintah Daerah), perusahaan pembangunan
perumahaan, dan industrial estate. Dengan peraturan menteri Negara
Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 ini terbuka
pengelolaan yang ditetapkan oleh pemerintah. Badan Hukum pemerintah
ini dapat mempunyai Hak Pengelolaan dengan syarat tugas pokok dan
fungsinya berkaitan dengan pengelolaan tanah.
Terkait dengan kedudukan Hak Pengelolaan dalam Hukum Tanah
Nasional terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ahli. Ada yang
menyatakan bahwa Hak Pengelolaan merupakan hak menguasai negara atas
tanah dan ada pula yang berpendapat bahwa Hak Pengelolaan merupakan
hak atas tanah.
Jadi pengertian “Hak Pengelolaan dalam peraturan Menteri Negara
Agraria/ kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999, Pasal 1
angka 3 adalah hak menguasai negara yang kewenangan pelaksanaannya
sebagaian dilimpahkan kepada pemegangnya, sehingga dengan demikian,
Hak pengelolaan adalah bukan hak atas tanah sebagaimana yang
dimaksudkan dalam Pasal 16 UUPA”. 20
19
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria,Isi, dan Pelaksanaan, Djambatan, Jakarta,1998, hal 77 20
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Cetakan Kedua, 1989, hal 1010
120
Pada banyak fakta di lapangan, perjanjian yang dibuat antara
pemilik tanah dengan pihak swasta memberikan kewenangan kepada pihak
tersebut selama jangka waktu tertentu dapat mengalihkan atau mengoperkan
Hak yang diberikan kepadanya baik itu merupakan Hak Guna Bangunan
ataupun Hak Pakai untuk dipecah-pecah dan dialihkan kepada pihak ketiga
Sebagai contoh salah satu kasus Apartemen Green Pramuka City melakukan
perjanjian kerja sama dengan PT Angkasa Pura 1 ( Persero) yang status
tanahnya berupa Hak Pengelolaan (HPL) Pemda Khusus Ibu Kota Jakarta
tersebut memberikan hak kepada PT. Angkasa Pura (Persero) dengan Hak
Guna Bangunan (HGB) di atas tanah HPL selama 20 tahun, sehingga atas
pemberian hak tersebut maka dikeluarkanlah sertifikat HGB atas nama PT.
Angkasa Pura (Persero). Permasalahan mulai timbul pada saat pemilik stand
pertokoan ITC Mangga Dua Jakarta mengetahui bahwa status tanah bersama
yang ditempati sebenarnya adalah HGB diatas HPL.21
Hal ini menimbulkan masalah apabila status tanah beralih menjadi
HPL maka secara otomatis SHMRS tersebut juga akan hapus, karena
mendasarkan pula pada Pasal 17 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011
tentang Rumah Susun, bahwa rumah susun hanya dapat dibangun di atas
tanah yang berstatus Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai di atas
Tanah Negara, dan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai di atas Hak
Pengelolaan.
Atas dasar itulah, maka terlihat jelas bahwa masih banyak ketidak
pahaman masyarakat akan pengaturan hukum pertanahan di Indonesia. Hal
21
Ibid, hlm 57
121
sama dapat terjadi pula pada kasus-kasus serupa. Kasus dimana pemilik
lahan selaku pemegang Hak Pengelolaan memberikan kewenangan kepada
developer atau suatu perusahaan. Pada sistem ini pemilik lahan memberikan
persetujuannya untuk dapat diberikan hak atas tanah berupa Hak Guna
Bangunan di atas Hak Pengelolaan. Dalam kesepakatannya pula pihak
perusahaan atau developer diharuskan menyelesaikan proses pemecahan
sertifikat Hak Guna Bangunan untuk kemudian diterbitkan sertifikat Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun non. Permasalahan yang kerap kali timbul
yaitu apabila setelah jangka waktu perjanjian berakhir, secara otomatis
seluruh bangunan dan lahan akan beralih kembali kepada pemilik lahan.22
Konsekuensinya Hak Guna Bangunan yang melekat diatas Hak
Pengelolaan juga akan hapus jika tidak diperpanjang dan tentunya diikuti
pula dengan hapusnya Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun non Hunian,
hal ini dikarenakan tidak ada ketentuan yang mengatur bahwa Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun non Hunian dapat berdiri di atas tanah bersama
yang berstatus Hak Pengelolaan sebagaimana Pasal 17 UndangUndang
Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun yang telah dijelaskan di atas.
Perlu diketahui bahwa asas hubungan hukum antara orang dengan tanah di
Indonesia menganut asas pemisahan horizontal yaitu asas dimana bangunan
dan tanaman bukan merupakan satu kesatuan dengan tanah.
22
Iman Kuswahyono, “ Hukum Rumah Susun dalam Arie Sukanti Hutagalung “Sistem Kondominium di Indonesia: Implikasi dan Manfaatnya bagi Developer/Property Owner”. Makalah Seminar, 18 Januari, Jakarta: Tanpa Penerbit, hlm 83
122
4.2.2. Berdasarkan Pasal 17 Undang-undang Nomor. 20 Tahun 2011
Adapula dengan hapusnya Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun non
Hunian, hal ini dikarenakan tidak ada ketentuan yang mengatur bahwa Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun non Hunian dapat berdiri di atas tanah
bersama yang berstatus Hak Pengelolaan sebagaimana Pasal 17 UU Nomor
20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun yang telah dijelaskan di atas. Perlu
diketahui bahwa asas hubungan hukum antara orang dengan tanah di
Indonesia menganut asas pemisahan horizontal yaitu asas dimana bangunan
dan tanaman bukan merupakan satu kesatuan dengan tanah. telah disepakati,
untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/ atau
sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu. Konsep BGS
untuk Objek berupa aset non negara/ daerah, mengacu pada hukum
perjanjian yaitu kesepakatan diantara para pihak untuk mengikatkan diri
dengan aturan-aturan sesuai dengan konsep BGS yaitu Objek.23
Perjanjian berupa tanah milik salah satu pihak dalam perjanjian,
yang selanjutnya didirikan bangunan dan/atau sarana oleh pihak lainnya dan
pihak tersebut kemudian mempergunakannya dalam jangka waktu yang
telah disepakati. Kemudian apabila jangka waktu perjanjian telah berakhir,
maka pihak tersebut berkewajiban untuk menyerahkan kembali tanah
beserta bangunan dan/atau sarana kepada pemilik tanah.
Rumah susun menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2011 adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu
lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara
23
Ibid,hlm 85
123
fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan
satuan-satuan yang masing- masing dapat dimiliki dan digunakan secara
terpisah, teruntuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama,
benda bersama, dan tanah bersama. Berdasarkan definisi di atas, ada dua
kepemilikan yang terkandung dalam rumah susun yaitu pertama adalah
kepemilikan individual (perseorangan) dan terpisah, sebagaimana
pengertian satuan rumah susun menurut R. Soeprapto adalah unit-unit ruang
yang tujuan utamanya digunakan secara terpisah dan berdiri sebagai hunian
serta dapat menuju ke jalan umum. Berdiri sendiri artinya tidak melalui
ruang milik orang lain dilengkapim dengan bagian bersama, benda bersama,
dan tanah bersama sebagai satu kesatuan. Kedua adalah kepemilikan
bersama yaitu terdiri dari bagian bersama, benda bersama, dan tanah
bersama.24
Rumah susun dalam regulasi yang terbaru (Undang-Undang No. 20
Tahun 2011) membagi 4 (empat) macam rumah susun yaitu rumah susun
umum, rumah susun khusus, rumah susun negara, dan rumah susun
komersial. Pada Pasal 17 nya pula menyatakan dengan tegas bahwa rumah
susun hanya dapat dibangun di atas tanah:
a. Hak Milik;
b. Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas Tanah Negara;
c. Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 memungkinkan jual-beli
dilakukan sebelum rumah susun tersebut dibangun, akan tetapi jual-beli
24
Ibid , hlm 110
124
tersebut hanya dapat dilakukan melalui Perjanjian Pengikatan Jual Beli
(PPJB) yang dibuat dihadapan notaris bukan dengan akta jual beli (AJB),
dengan persyaratan adanya kepastian atas:25
1. Status kepemilikan tanah
2. Kepemilikan IMB
3. Ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum
4. Keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen)
5. Hal yang diperjanjikan
Prosedur peralihan SHM sarusun harus terlebih dahulu
memperhatikan syarat materiil dan formil agar peralihan tersebut sah. Untuk
peralihan SHM sarusun dengan cara jual-beli, maka harus memperhatikan
syarat keabsahan suatu perjanjian yang tertuang dalam Pasal 1320 BW yaitu
sepakat, cakap, suatu hal tertentu (objek), dan suatu sebab yang halal (kausa
yang diperbolehkan), akan tetapi khusus objek berupa tanah maka harus
pula memperhatikan syarat-syarat tentang pertanahan yang telah diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Syarat materiil di sini, harus
memperhatikan syarat sahnya subjek hukum yang dapat menerima hak atas
tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, sehingga dianggap sebagai
cakap melakukan perbuatan hukum. Subjek Hak Milik Atas satuan Rumah
Susun adalah yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah,
sedangkan objek dalam hal ini adalah satuan rumah susun.
Hak milik atas sarusun merupakan salah satu objek pendaftaran tanah
sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah
25
Ibid 113
125
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yaitu objek pendaftaran
tanah meliputi:
a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna
usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai;
b. Tanah hak pengelolaan;
c. Tanah wakaf
d. Hak milik atas satuan rumah susun
e. Hak tanggungan
f. Tanah negara.
Sebelum melalui proses pemeliharaan data pendaftaran tanah,
pertama kali yang harus dilakukan adalah adanya proses peralihannya
apakah karena beralih melalui pewarisan ataukah dialihkan melalui proses
jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, atau lelang.
Untuk proses pemeliharaan pendaftaran tanah melalui pewarisan, maka
pembuktian perolehan haknya berdasarkan surat kematian dan surat
penetapan ahli waris atau berdasarkan pada putusan pengadilan. Sedangkan
untuk pembuktian perolehan hak berdasarkan jual-beli, tukar-menukar,
hibah, pemasukan dalam perusahaan hanya dapat didaftaran jika dibuktikan
dengan akta yang dibuat oleh PPAT.26
Berdasarkan pembuktian hak tersebut, maka selanjutnya dapat didaftarkan
kepada Kepala Kantor Pertanahan untuk mengubah data fisik atau data
yuridis objek pendaftaran tanah yang telah terdaftar. Menjawab isu hukum
pertama penulisan ini terkait Hak Milik sarusun diatas tanah yang berstatus
26
Ibid, hlm 122
126
Hak Pengelolaan apakah dapat dimiliki selamanya ataukah tidak, maka
berdasarkan pemaparan sebelumnya, dapat diperoleh kesimpulan bahwa
tidak ada rumah susun yang dapat berdiri di atas tanah Hak Pengelolaan.
Sebagaimana penjelasan di atas, bahwa rumah susun hanya dapat berdiri di
atas tanah hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah
negara, dan hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak
pengelolaan.
Apabila rumah susun tetap didirikan diatas tanah hak pengelolaan,
maka terlebih dahulu harus diajukan permohonan hak atas tanah di atas
tanah hak pengelolaan. Hak atas tanah yang dapat dilekati dengan hak
pengelolaan adalah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai. Akan tetapi kedua
hak atas tanah ini memiliki kelemahan yaitu hak tersebut bukan merupakan
hak mutlak yang dapat dimiliki selama-lamanya sebagaimana hak milik.
Kedua hak tersebut memiliki jangka waktu sebagaimana aturan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. Hal ini memberikan
konsekuensi yaitu apabila jangka waktu tersebut telah berakhir dan tidak
diperpanjang, maka secara hukum hak atas tanah tersebut kembali kepada
pemegang Hak Pengelolaan dan secara hukum pula hak milik atas satuan
rumah susun yang melekat di atas tanah bersama berupa HGB atau Hak
Pakai juga akan berakhir.27
Status Hak Milik Atas Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak
Pengelolaan selain mendasar pada hak atas tanahnya, tidak terlepas pula dari
perjanjian antara pemegang Hak Pengelolaan dengan pemegang HGB.
27
Ibid, hal 125
127
Rumah susun yang didirikan diawali dengan perjanjian BGS, harus
dicermati terlebih dahulu dari jangka waktu yang telah disepakati. Ada dua
kemungkinan yang terjadi yaitu HGB berakhir terlebih dahulu dari pada
perjanjian BGS atau sebaliknya.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, HGB yang berakhir
menyebabkan status tanah kembali ke status asalnya, yaitu apabila HGB
tersebut berdiri di atas tanah Hak Milik maka apabila HGB berakhir tanah
tersebut kembali berstatus tanah Hak Milik, sama halnya apabila HGB
tersebut berdiri di atas tanah Hak Pengelolaan maka apabila HGB tersebut
berakhir, tanah tersebut kembali statusnya menjadi tanah Hak Pengelolaan.
Sehingga apabila hak atas tanah bersama rumah susun berakhir dan kembali
kepada pemegang Hak Pengelolaan, maka kedudukan SHM sarusun secara
hukum juga akan berakhir, akan tetapi berakhirnya ini tidak menyebabkan
status bangunannya beralih kepada pemegang Hak Pengelolaan. Hal ini
dikarenakan sebelum berakhirnya perjanjian BGS, bangunan masih
merupakan milik para penghuni rumah susun hingga jangka waktu
perjanjian BGS berakhir.28
Apabila perjanjian BGS berakhir terlebih dahulu dari pada Hak Guna
Bangunan, maka bangunan beserta fasilitas termasuk pula sertpikat hak atas
tanah bersama yaitu HGB setelah jangka waktu perjanjian berakhir beralih
kepada pemegang Hak Pengelolaan. Pada posisi ini HGB yang masa
berlakunya belum berakhir diserahkan kembali kepada pemegang Hak
Pengelolaan akan menimbulkan permasalahan baru yaitu Apakah bisa satu
28
Ibid, hal 129
128
Subjek hukum memiliki 2 (dua)sertifikat hak atas tanah yaitu HGB dan Hak
Pengelolaan. Apabila ditarik dari hukum pertanahan nasional, salah satu
tujuan lahirnya UUPA adalah untuk menciptakan kepastian hukum terhadap
hukum pertanahan, termasuk pula proses pendaftaran hak atas tanah.
Apabila dalam satu Objek tanah terdapat dua hak atas tanah dengan Subjek
sama, maka akan timbul ketidak pastian hukum. Di samping itu padaposisi
ini pula, tidak ada kesempatan bagi pemilik sarusun atau perhimpunan
pemilik dan penghuni sarusun untuk memperpanjang HGB.29
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa yang dapat melakukan
permohonan memperpanjang atau memperbarui Hak Guna Bangunan adalah
pemegang Hak Guna Bangunan. Apabila hak guna bangunan berakhir, maka
hak guna bangunan atas tanah negara atas permintaan pemegang haknya
dapat diperpanjang dan diperbarui. Pengertian ini memfoskuskan pada
pemegang Hak Guna Bangunan yang dapat memperpanjang haknya. Salah
satu bukti seseorang atau badan hukum sebagai pemegang Hak Guna
Bangunan adalah nama yang tercantum dalam sertifikat Hak Guna
Bangunan.
Pada satuan rumah susun, diketahui bahwa Hak Guna Bangunan
adalah atas nama developer atau investor yang membangun rumah susun,
sedangkan penghuni rumah susun bukan merupakan nama yang tercantum
dalam sertifikat Hak Guna Bangunan tersebut. Hal ini yang menjadi
permasalahan adalah terkait dengan kewenangan memperpanjang berada
pada pemegang Hak Guna Bangunan ataukah pada pemegang Hak Milik
29
Ibid, hlm 132
129
Atas Satuan Rumah Susun. Untuk menjawab permasalahan ini maka harus
dilihat terlebih dahulu dari tujuan awal terbentuknya rumah susun.30
Tujuan dibentuknya rumah susun sebagaimana amanat dalam
undang-undang adalah untuk memberikan kepastian hukum salah satunya
terhadap kepemilikan rumah susun. Hal ini menunjukan bahwa kedepannya
kewenangan perpanjangan HGB tersebut akan beralih pada pemilik satuan
rumah susun, salah satu caranya adalah dengan mengubah kepemilikan Hak
Guna Bangunan dalam sertifikat atas nama pemilik satuan rumah susun atau
atas nama perhimpunan pemilik dan penghuni satuan rumah susun.
Penegasan amanat tersebut sebenarnya telah diatur dalam
peraturan perundangundangan yaitu Peraturan PemerintahN Nomor 4 Tahun
1998 sebagai pelaksana UU Rumah Susun, yaitu pada Pasal 52 ayat (1)
yang menyatakan bahwa “sebelum Hak Guna Bangunan atau Amanat
tersebut sebenarnya telah dipertegas dalam konsep rumah susun
sebagaimana Pengertian rumah susun pada Undang-undang Nomor 20
Tahun 2011 yang pada intinya menyebutkan bahwa rumah susun tersebut
adalah bangunan gedung bertingkat yang dilengkapi dengan bagian
bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Dalam arti, apabila developer
menjual satuan rumah susun kepada pihak ketiga, maka yang diperjual
belikan bukan hanya bangunannya saja akan tetapi termasuk pula bagian
bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
30
Sumardji, Jual Beli Hak Milik Atas Satuan Apartemen di Indonesia, Majalah Yuridika FH UNAIR, Vol.20, September-Oktober, hal 387
130
Di samping itu dapat dilihat pula pada prosedur proses penerbitan
sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang telah dijelaskan pada
Bab III. Proses penerbitan SHM Sarusun pertama kali harus dilakukan
pemisahan dan pemecahan pertelan rumah susun dengan akta pemisahan.
Akta tersebutlah yang membagi sarusun dalam pertelannya (perunit atas
satuan rumah susun) termasuk pula tanah bersama berupa HGB milik
developer atau investor, sehingga apabila pihak ketiga membeli satuan
rumah susun dengan bukti kepemilikan SHM sarusun, maka yang dibeli
juga termasuk tanah bersama berupa HGB.
Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, maka dapat diperoleh
suatu pemahaman bahwa developer atau investor dengan sadar telah
menjual sebagian atau seluruh Hak Guna Bangunannya yang merupakan
tanah bersama kepada tiaptiap penghuni atau pemilik rumah susun.
Apabila disimpulkan, walaupun sertifikat masih atas nama developer atau
investor dan belum dibalik nama atas nama pemilik satuan rumah susun
atau perhimpunannya, secara yuridis sebenarnya developer atau investor
telah menyerahkan tanah bersama tersebut kepada tiap-tiap pemilik satuan
rumah susun, sehingga developer atau investor tidak lagi memiliki
kewenangan terhadap hak atas tanah tersebut.31
Hak Pakai atas tanah negara yang di atasnya berdiri rumah susun
sebagimana maksud pasal 389 haknya berakhir, para pemilik melalui
perhimpunan penghuni mengajukan permohonan perpanjangan atau
pembaharuan hak atas tanah tersebut sesuai peraturan perundangundangan
31
Sumardji, Op Cit, hal 391
131
yang berlaku”. Pasal tersebut memberi penegasan bahwa pemilik sarusun
melalui perhimpunan penghuni memiliki kewenangan untuk
memperpanjang Hak Guna Bangunan. Menjadi permasalahan adalah
apakah peraturan pemerintah tersebut masih berlaku mengingat aturan
undang-undang rumah susun Nomor 16 Tahun 1985 sudah tidak berlaku.
Walaupun dalam Peraturan Pemerintah tersebut terdapat beberapa
klausula yang tidak lagi relevan diterapkan dikarenakan adanya UU
Rumah Susun terbaru, akan tetapi selama peraturan pemerintah tersebut
belum ada pengganti atau pembaruan dan belum pula dicabut, maka
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 masih berlaku selama tidak
bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang ada di atasnya
yaitu: UndangUndang Dasar 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat, dan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (PERPU).32
Jangka waktu Hak Guna Bangunan dapat diperpanjang atau
diperbarui haknya selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya
jangka waktu tersebut atau perpanjangannya. Adapun syarat Hak Guna
Bangunan dapat diperpanjang ataupun diperbarui yaitu:
1. Tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan
keadaan sifat dan tujuan pemberian hak tersebut;
2. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik
oleh pemegang hak; Pemegang hak masih memenuhi
syarat sebagai pemegang hak.
32
Ibid,hlm 402
132
3. Tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah yang bersangkutan.
Selain syarat sebagaimana di atas, terdapat syarat mutlak yang
harus dilakukan bagi pemegang Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak
Milik dan di atas tanah Hak Pengelolaan. Syarat memperpanjang jangka
waktu atau memperbarui hak Hak Guna Bangunan di atas Tanah Hak
Pengelolaan adalah mendapat ijin atau persetujuan dari pemilik tanah Hak
Pengelolaan, sedangkan Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik
tidak bisa diperpanjang tetapi hanya diperbarui dan syarat pembaruannya
adalah adanya kesepakatan baru antara pemilik Hak Milik dengan
pemegang Hak Guna Bangunan, untuk selanjutnya diberikan Hak Guna
Bangunan baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT. Sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 26 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
1996. Apabila Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik tidak
diperbarui, maka hapusnya Hak Guna Bangunan mengakibatkan tanahnya
kembali ke dalam penguasaan pemegang Hak Milik, sama halnya apabila
Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan tidak diperpanjang
jangka waktu atau diperbarui haknya, maka hapusnya Hak Guna
Bangunan mengakibatkan tanahnya kembali ke dalam penguasaan
pemegang Hak Pengelolaan.33
Selain syarat sebagaimana di atas, terdapat syarat mutlak yang
harus dilakukan bagi pemegang Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak
Milik dan di atas tanah Hak Pengelolaan. Syarat memperpanjang jangka
33
Ibid,hlm 402
133
waktu atau memperbarui hak Hak Guna Bangunan di atas Tanah Hak
Pengelolaan adalah mendapat ijin atau persetujuan dari pemilik tanah Hak
Pengelolaan, sedangkan Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik
tidak bisa diperpanjang tetapi hanya diperbarui dan syarat pembaruannya
adalah adanya kesepakatan baru antara pemilik Hak Milik dengan
pemegang Hak Guna Bangunan, untuk selanjutnya diberikan Hak Guna
Bangunan baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT. Sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 26 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
1996. Apabila Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik tidak
diperbarui, maka hapusnya Hak Guna Bangunan mengakibatkan tanahnya
kembali ke dalam penguasaan pemegang Hak Milik, sama halnya apabila
Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan tidak diperpanjang
jangka waktu atau diperbarui haknya, maka hapusnya Hak Guna
Bangunan mengakibatkan tanahnya kembali ke dalam penguasaan
pemegang Hak Pengelolaan.34
Pemilik satuan rumah susun dapat mengajukan perpanjangan
jangka waktu Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang berdiri di atas
tanah yang berstatus Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan dengan
terlebih dahulu memperoleh ijin dari pemegang Hak Pengelolaan. Guna
memperlancar proses perpanjangan, maka dibentuklah perhimpunan
penghuni dan pemilik sarusun yang pembentukannya harus terlebih dahulu
mendapatkan kuasa dari seluruh pemilik sarusun.
34
Ibid,hlm 404
134
134
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1) Perlindungan Konsumen Atas Kepemilikan Satuan Rumah
Susun Berdasarkan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli
(a) PPJB dibuat untuk melakukan pengikatan sementara sebelum
dilakukan pembuatan akta jual beli (AJB) dan menjadi pedoman
bagi para pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban.
(b) PPJB yang dibuat antara PT Duta Paramindo Sejahtera selaku
pengembang (Developer) dengan pembeli dilakukan dibawah
tangan, hal tersebut kurang memberikan perlindungan kepada
konsumen dikarenakan posisi tawar yang tidak berimbang antara
Developer dengan konsumen yasng lebih menguntungkan.
(c) Kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan
perlindungan konsumen ini adalah kurangnya kesadaran hukum
baik dari konsumen maupun pelaku usaha/pengembang dan juga
kurang memadainya peraturan perundang-undangan
khususnyaUndang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8
Tahun 1999 yang tidak secara eksplisit dan tegak mengatur
perlindungan konsumen di bidang perumahan pada umumnya
dan konsumen apartemen pada khususnya.
135
2) Perlindungan Konsumen Atas Kepemilikan Satuan Rumah
Susun Yang Dibangun Diatas Tanah Hak Pengelolaan
(a) Pembangunan Rumah Susun di atas Hak Pengelolaan tidak
mempunyai aturan yang tegas terkait jangka waktu masa perjanjian
penggunaan tanah Hak Pengelolaan tersebut.
(b) Konsumen dalam membeli rumah susun tidak mengetahui perjanjian
pengelolaan tanah hak pengelolaan yang dibangun satuan rumah
susun antara pemilik hak atas hak pengelolaan dengan Developer
sehingga konsumen kurang memahami resiko atas pembelian satuan
rumah susun tersebut.
(c) Tanah Hak Pengelolaan hanya dapat dibangun rumah susun apabila
tanah tersebut dilekati dengan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai,
akan tetapi kelemahan dari HGB dan HP adalah bahwa kedua hak
tersebut memiliki jangka waktu yang apabila tidak diperpanjang atau
diperbaruhi menyebabkan status haknya kembali kepada pemilik
awal yaitu pemegang Hak Pengelolaan. Apabila hak atas tanah
tersebut kembali kepada pemegang Hak Pengelolaan, maka Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun hapus demi hukum, sebagaimana
Undang-undang Rumah Susun bahwa tidak ada rumah susun yang
dapat berdiri di atas tanah Hak Pengelolaan.
136
5.2. Saran
1) Perlindungan Konsumen Atas Kepemilikan Satuan Rumah
Susun Berdasarkan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli
(a) Pembuatan akta sebaiknya dilakukan oleh pejabat Notaris yang
berwenang.
(b) Sebelum melakukan PPJB hendaknya konsumen memahami isi
dari PPJB sehingga konsumen tidak dirugikan.
(c) Penyelesaian atau jalan keluarnya adalah meningkatkan
kesadaran hukum para pihak dengan memberikan pendidikan,
penyuluhan dan pengawasan dari lembaga-lembaga terkait dan
pemerintah. Meningkatkan sosialisasi Undang-undang
Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999, terutama memberi
pengetahuan yang cukup kepada masyarakat, agar masyarakat
mengetahui hak dan kewajibannya sebagai konsumen dapat
melakukan pilihan yang tepat terutama apabila terjadi
perselisihan atau sengketa antara konsumen dengan pelaku
usaha. Konsumen dapat menentukan sikapnya sesuai dengan apa
yang dikehendaki atau menjadi tujuan dari Undang-undang
Perlindungan Konsumen. perlunya penyempurnaan Undang-
undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999, mengingat
telah dibuat pada 15 (lima belas) tahun yang lalu di saat ini
kurang memadai dengan perkembangan bisnis dan transaksi
137
yang ada, khususnya transaksi jual beli di bidang perumahan/
apartemen.
(d) PPJB apartemen atau rumah susun diwajibkan dibuat dalam
bentuk tertulis secara notaril dengan mencantumkansecara detail
dan terperinci mengenai kondisi apartemen yang akan diterima
oleh konsumen baik secara fisik, luasan, maupun secara legalitas
kepemilikan hak atas satuan rumah susun tersebut.
Menyebutkan dengan jelas dan detail kewajiban dan hak
pengembang, serta kewajiban dan hak konsumen, sehingga
dapat memberikan kekuatan hukum terutama dalam pembuktian
apabila terjadi perselisihan di antara para pihak di kemudian
hari. Instansi pemerintah di daerah yang terkait dengan
pembangunan apartemen lebih meningkatkan sosialisasi
peraturan-peraturan tentang apartemen khususnya UURS No. 20
Tahun 2011 kepada pengembang-pengembang dan konsumen.
sehingga baik pengembang maupun konsumen sama-sama
mengetahui hak dan kewajibannya dengan jelas dan lengkap.
2) Perlindungan Konsumen Atas Kepemilikan Satuan Rumah
Susun Yang Dibangun Diatas Tanah Hak Pengelolaan
(a) Dalam setiap pembelian developer wajib menjelaskan produk
yang dijual sesuai dengan amanah UUPK.
(b) Bagi masyarakat yang akan membeli satuan Rumah Susun
diharapkan untuk lebih cermat dan teliti dalam membeli unti
138
satuan Rumah Susun dan harus juga dilihat dari aturan yang
lebih konkrit terkait dalam Undang-undang HPL.
(c) Bagi pelaku usaha diharapkan untuk lebih bersikap kooperatif
dan terbuka mengenai status tanah di mana rumah susun tersebut
didirikan.
(d) Pemerintah sebagai pembuat dan pelaksanaan Undang-undang
diharapkan untuk merevisi Undang-undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Pokok-pokok Agraria. Revisi tersebut berupa
pengecualian asas pemisahan horizontal terhadap rumah susun.
Asas pemisahan horizontal dikecualikan dengan menggunakan
asas perlekatan. Pemerintah juga diharapkan memberikan
pendidikan konsumen kepada masyarakat yang akan membeli
unit satuan rumah susun.
139
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU-BUKU
Muliadi Ahmad, Politik Hukum, Akademia Permata, Jakarta, 2013
Miru Ahmadi & Yodo Sutarman, Perlindungan Konsumen Cetakan Kedelapan 2014,
Jakarta, PT RajaGrafindo persada 2015.
Miru Ahmad & Yodo Sutarman, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan kesembilan,
PT Rajagrafindo Persada 2015.
Harsono Boedi, Hukum Agaria Indonesia – Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Nasution Johan Bahder, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Mandar Maju.
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambaran, Jakarta, 2008.
H. Salim dan Nurbani Septiana Erlies, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Disertasi dan Tesis – Buku Kedua, Jakarta: Rajawali Pers.
Ibrahim Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:
Bayumedia Publishing.
Yosua Suhanan, Hak Atas Tanah Timbul (Aanslibbing) Dalam Sistem Hukum
Pertanahan Nasional, Jakarta: Restu Agung.
Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan keduapuluhtiga 2010, Jakarta, PT Intermasa.
Kountur Ronny, Metode Penelitian – Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, Jakarta:
Buana Printing,
140
Setiawan R., Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cetakan Kelima, September 1994,
Bandung, Binacipta
Soekamto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press.
Murhaini Suriansyah, Hukum Rumah Susun, Cetakan kesatu November 2015, Jakarta ,
Penerbit Laksbang Grafika,
H. Ali Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.
Marzuki Mahmud Peter, Penelitian Hukum – Edisi Revisi, Jakarta: Prenadamedia
Group.
Santoso Urip, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Arba H.M. (2015), Hukum Agraria Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika
Mertokusumo Soedikno, Hukum dan Politik Agraria, Jakarta: Universitas
Terbuka – Karunika. hlm.5.25 dikutip oleh Urip Santoso,
Husni Abdullah Frieda, Hukum Kebendaan Perdata, Cetakan Ketiga 2009, Jakarta PT
CV INDHILL CO.
Murhaini Suriansyah, Hukum Rumah Susun, Cetakan Kesatu 2015, Laksbang
Grafika.
Sutedi Adrian, Hukum Rumah Susun dan Apartemen, Sinar Grafika,
Jakarta,2012.
Mariam D Badruzaman, , Perjanjian Baku, Perkembangannya di Indonesia, Bina
Cipta, Jakarta, 1994.
141
B. UNDANG-UNDANG
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Negara Republik Indonesia tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria. UU Nomor 5 Tahun 1960.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung,
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen UU
Nomor 8 Tahun 1999.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974, tentang Ketentuan-Ketentuan
mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah Untuk Keperluan Perusahaan.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.
C. SUMBER LAIN
Kamus Besar Bahasa Indonesia Diring, https://kbbi.kemdikbud.go.id
142