ANALISIS TINGKAT KEKRITISAN LAHAN KAWASAN …eprints.ums.ac.id/51925/15/NASKAH PUBLIKASI.pdf ·...
Transcript of ANALISIS TINGKAT KEKRITISAN LAHAN KAWASAN …eprints.ums.ac.id/51925/15/NASKAH PUBLIKASI.pdf ·...
ANALISIS TINGKAT KEKRITISAN LAHAN KAWASAN
BUDIDAYA PERTANIAN KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2016
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I
pada Jurusan Geografi Fakultas Geografi
Oleh:
DESSY IKA WIJAYANTI
E100160007
PROGRAM STUDI GEOGRAFI
FAKULTAS GEOGRAFI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
i
ii
iii
1
ANALISIS TINGKAT KEKRITISAN LAHAN KAWASAN BUDIDAYA
PERTANIAN KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2016
Abstrak
Penelitian ini mengenai analisis tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya
pertanian di Kabupaten Sleman. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui agihan
tingkat kekritisan lahan yang ada pada lahan kritis lahan kawasan budidaya pertanian
Kabupaten Sleman serta mengetahui alternatif pengelolaam yang tepat diterapkan .
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei.
Penelitian ini menggunakan metode analisis Sistem Informasi Geografis dengan
pendekatan kuantitatif berjenjang tertimbang dan analisis deskiptif. Pendekatan
kuantitatif berjenjang tertimbang digunakan untuk mengolah parameter tingkat
kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian sehingga tingkat kekritisan lahan dapat
ditentukan. Parameter yang digunakan dalam pennetuan tingkat kekritisan lahan antara
lain, manajemen lahan, produktivitas pertanian, kemiringan lereng, tingkat erosi, dan
agihan batuan. Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui alternative pengelolaan
lahan kritis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Tingkat kekritisan lahan kawasan
budidaya pertanian Kabupaten Sleman terdiri dari lahan tidak kritis dengan luas 671,88
Ha (20,82%), potensial kritis 19.250,85 Ha (64,88%), agak kritis 3.490,85 Ha (11.76%),
kritis 687.02 Ha (2.32%), dan sangat kritis 65.32 Ha (0.22%). (2) Alternatif pengelolaan
lahan kawasan budidaya pertanian dilakukan berdasarkan tingkat kekeritisan. Untuk
lahan tidak kritis diperlukan upaya untuk mempertahankan lahan tersebut, salah satunya
dengan membuat batasan lahan LP2B. Lahan potensial kritis memerlukan konservasi
tanah agar lahan tersebut menjadi lebih produktif dan tidak menjadi lahan kritis. Lahan
yang telah mengalami kekritisan membutuhkan konservasi dan rehabilitasi agar lahan
tersebut dapat dipergunakan kembali.
Kata Kunci: Lahan, Kekritisan Lahan, Kawasan Budidaya Pertanian, Sistem Informasi
Geografis.
Abstracts
This study analyzes the degree of criticality of the land on the farm area in Sleman
district. The purpose of this study was to determine the critical level Shareable existing
land on degraded land farm area of Sleman Regency as well as knowing the right
alternative applied land management. The method used in this study is a survey method.
This study uses Geographic Information System analysis with weighted tiered
quantitative approach and analysis descriptively. The weighted tiered quantitative
approach used to process parameters critical level of agricultural land cultivated area
so that land can be determined critical level. Parameters used in pennetuan critical
level land, among others, land management, agricultural productivity, slope, erosion,
and Shareable rocks. Descriptive analysis is used to determine the critical alternative
land management. The results showed that: (1) The level of criticality land farm area
consists of Sleman district not critical land with an area of 671.88 ha (20.82%), the
critical potential 19250.85 ha (64.88%), somewhat critically 3490 , 85 ha (11.76%), the
critical 687.02 Ha (2:32%), and very critical 65.32 Ha (12:22%). (2) Alternative land
management farm area is based on the level of criticality. To land not critical efforts
are needed to maintain the land, one with a boundary LP2B land. Critical potential
land requires soil conservation in order to become more productive land and not be
2
degraded lands. Land that has experienced the critical need of conservation and
rehabilitation so that the land can be used again.
Keywords: Land, Land Criticality, Region Agriculture, Geographic Information
Systems.
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ketergantungan manusia terhadap lahan sangat tinggi. FAO dalam Arsyad (1989)
mengemukakan bahwa lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief,
tanah, air, dan vegetasi serta benda yang diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap
penggunaan lahan, termasuk di dalamnya hasil kegiatan manusia di masa lalu dan sekarang
seperti hasil reklamasi laut, pembersihan vegetasi, dan juga hasil merugikan seperti yang
tersalinasi. Kabupaten Sleman mempunyai wilayah yang cukup subur dan mempunyai
sumberdaya air yang mecukupi akibat pengaruh keberadaan Gunung Merapi. Lahan di
Kabuapten Sleman berorientasi pada aktivitas Gunung Merapi dan ekosistemnya sehingga
banyak terdapat pertanian lahan basah maupun lahan kering. Hal tersebut membuat
Kabupaten Sleman mempunyai luasan lahan sawah terbanyak diantara daerah lain di Provinsi
DIY sehingga mempunyai kawasan budidaya pertanian paling luas.
Pertambahan jumlah penduduk di Kabupaten Sleman dari tahun ke tahun menyebabkan
kebutuhan sarana dan prasarana semakin meningkat. Peningkatan jumlah penduduk
berbanding lurus dengan meningkatnya kebutuhan akan lahan peruntukan permukiman bagi
tempat tinggal manusia, industri, maupun lahan pertanian pangan sebagai sarana pemenuhan
kebutuhan pangan manusia. Perubahan penggunaan lahan terjadi dari waktu ke waktu akibat
kebutuhan lahan yang semakin meningkat. Perubahan penggunaan lahan untuk kepentingan
manusia tidak jarang melalaikan karakteristik atau kemampuan dari lahan tersebut.
Penggunaan lahan yang mengabaikan faktor fisik lahan tanpa melihat kemampuan lahan dan
kesesuaian lahan dapat mendorong timbulnya lahan kritis. Perubahan penggunaan lahan yang
sering terjadi yaitu konversi lahan sawah menjadi permukiman maupun kawasan
perdagangan. Perubahan tersebut mempengaruhi luasan lahan sawah di Sleman yang semakin
tahun menurun.
Menurut Poerwowidodo (1990), lahan kritis dapat menyebabkan produktivitas suatu lahan
menjadi rendah karena keadaan lahan terbuka akibat adanya erosi seperti yang dikemukakan
bahwa : “Lahan kritis adalah suatu keadaan lahan yang terbuka atau tertutupi semak belukar,
sebagai akibat dari solum tanah yang tipis dengan batuan bermunculan di permukaan tanah
3
akibat tererosi berat dan produktivitas rendah”. Lahan kritis merupakan tanah yang sudah
tidak produktif ditinjau dari segi pertanian, karena pengelolaan dan penggunaan yang kurang
memperhatinkan syarat-syarat pengolahan tanah maupun kaidah konversi tanah. Kerusakan
lahan dapat berupa kerusakan fisik, kimia, maupun biologi yang dapat mengakibatkan
terancamnya fungsi produksi. Luasan lahan kritis yang ada di Sleman semakin meluas dari
tahun ke tahun. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis melakukan penelitian dengan
judul Analisis Tingkat Kekritisan Lahan Kawasan Budidaya Pertanian Kabupaten Sleman
Tahun 2016.
1.2 Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari latar belakang permasalahan yang telah dirumuskan di atas maka
penelitian ini diharapkan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana agihan tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian Kabupaten
Sleman?
2. Bagaimana alternatif pengelolaan lahan yang diterapkan di area lahan kritis kawasan
budidaya pertanian Kabupaten Sleman?
1.3 Telaah Pustaka
1.3.1 Lahan
Lahan menjadi satu hal yang tidak lepas dari kehidupan manusia. Manusia
membutuhkan lahan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Penggunaan lahan menujukkan
adanya campur tangan manusia terhadap lahan. Lahan akan mempengaruhi penggunaan lahan
manusia. FAO dalam Sitorus (2004) mengemukakan bahwa lahan adalah suatu daerah di
permukaan bumi dengan dengan sifat-sifat tertentu yang meliputi biosfer, atmosfer, tanah,
lapisan geologi, hidrologi, populasi tanaman dan hewan serta hasil kegiatan manusia masa
lalu dan sekarang, sampai pada tingkat tertentu dengan sifat-sifat tersebut mempunyai
pengaruh yang berarti terhadap fungsi lahan oleh manusia pada masa sekarang dan masa yang
akan datang.
1.3.2 Lahan Kritis
Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahannya dan tanpa adanya
pengelolaan tanaman yang kurang tepat akan mengakibatkan berkurangnya kemampuan lahan
tersebut dalam memproduksi hasil pertanian dan dan mendorong timbulnya lahan kritis.
Kuswanto dalam Hanafiah (2005) menjelaskan; “Lahan kritis adalah lahan yang telah
mengalami atau dalam proses kerusakan fisik, kimia, atau biologi yang akhirnya dapat
membahayakan fungsi hidrologi, orologi, produksi pertanian, permukiman, dan kehidupan
sosial ekonomi dari daerah lingkungan pengaruhnya”.
4
1.3.3 Kawasan Budidaya Pertanian
Kawasan mengandung penekanan fungsional suatu unit wilayah, yakni adanya
karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan komponen-komponen di dalam suatu unit
wilayah, sehingga batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional. Menurut
Undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, kawasan adalah wilayah
dengan fungsi utama lindung dan budidaya.
Kawasan budidaya yang telah ditetapkan dalam RTRW Kabupaten/Kota harus dikelola
dalam rangka optimalisasi implementasi rencana. Di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 disebutkan bahwa yang termasuk dalam kawasan budidaya adalah kawasan peruntukan
hutan produksi, kawasan peruntukan hutan rakyat, kawasan peruntukan pertanian, kawasan
peruntukan perikanan, kawasan peruntukan pertambangan, kawasan peruntukan permukiman,
kawasan peruntukan industri, kawasan peruntukan pariwisata, kawasan tempat beribadah,
kawasan pendidikan, dan kawasan pertahanan keamanan. Salah satu peruntukan kawasan
adalah pertanian. Pertanian dalam arti lain atau dalam arti yang sempit merupakan segala
aspek biofisik yang berkaitan dengan usaha penyempurnaan budidaya tanaman untuk
memperoleh produksi fisik yang maksimum (Sumantri, 1980). Dari beberapa pengertian di
atas dapat diketahui bahwa kawasan budidaya pertanian merupakan kawasan yang
mempunyai fungsi untuk budidaya atau usaha peruntukan pertanian tanaman pangan maupun
peruntukan tanaman pertanian holtikultura.
1.3.4 Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem Informasi Geografi (SIG) menawarkan banyak manfaat bagi sistem pengolah
citra, tidak hanya dalam tampilan kartografis ataupun dalam memanfaatkan keluaran produk
pengolah citra sebagai masukan dalam memanfaatkan keluaran produk pengolah citra sebagai
masukan dalam proses analisis lebih lanjut, melainkan juga dalam membantu meningkatkan
kinerja proses klasifikasi (Danoedoro, 2012). Pada SIG, data harus dirujukkan dengan
kejadian yang akan memberikan perbaikan, analisis dan tayangan pada kriteria spasial
(Tomlison, 1972). SIG paling tidak terdiri dari subsistem pemrosesan, subsistem analisis, dan
subsitem yang memakai informasi (Lo, C.P., 1996).
2. METODE
Metode penelitian yang digunakan dalam analisis tingkat kekritisan lahan kawasan
budidaya pertanian yaitu dengan menggunakan metode survei dan metode analisis data
sekunder. Metode survei dilakukan untuk mengetahui parameter kemiringan lereng dan
manajemen lahan yang merupakan parameter tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya
5
pertanian. Metode analisis data sekunder berupa pengumpulan data sekunder yang kemudian
diolah dan dianalisis, sehingga menghasilkan parameter tingkat kekritisan lahan kawasan
budidaya pertanian seperti produktivitas pertanian, tingkat erosi, serta batuan. Metode analisis
dalam penelitian ini terdiri atas metode analisis SIG dengan pendekatan kuantitatif berjenjang
tertimbang dan analisis deskriptif. Analisis SIG berfungsi untuk mengetahui agihan
kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian parameter/ indikator kekritisan lahan yang
digunakan, sedangkan analisis deskriptif digunakan untuk mentukan alternatif pengelolaan
lahan kritis.
2.1 Objek Penelitian
Objek penelitian analisis tingkat keketitisan lahan kawasan budidaya pertanian adalah
lahan yang termasuk dalam kawasan peruntukan budidaya pertanian menurut Badan
Perencanaan Daerah Kabupaten Sleman. Unit analisis dari penelitian ini adalah satuan lahan
pada lahan peruntukan budidaya pertanian.
2.2 Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel untuk analisis kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian
menggunakan metode purposive sampling. Pengambilan sampel dilakukan pada satuan lahan.
Satuan lahan terdiri dari data kemiringan lereng, penggunaan lahan, dan jenis tanah.
Pengambilan sampel pada satuan lahan bertujuan untuk melakukan validasi dari data primer
hasil pengolahan menggunakan data penginderaan jauh. Titik sampel dibuat menyebar
berdasarkan permasalahan dalam penelitian untuk mengetahui tingkat kekritisan lahan pada
kawasan budidaya pertanian, serta ditentukan juga berdasarkan kemampuan peneliti.
Pemilihan titik sampel dilakukan berdasarkan satuan lahan yang dapat mewakili anggota
populasi atas dasar karaketer strata. Koreksi dilakukan pada titik sampel hasil survei yang
tidak sesuai dengan peta.
2.3 Metode Pengolahan Data
2.3.1 Pengolahan Data Parameter
A. Manajemen Lahan
Penilaian parameter manajemen lahan untuk tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya
pertanian berdasarkan ada tidaknya penerapan konservasi tanah dan pemeliharaan. Klasifikasi
penilaian manajemen lahan terbagi menjadi tiga kategori, yaitu baik, sedang, dan buruk.
Manajemen lahan mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam penentuan tingkat kekritisan
lahan kawasan budidaya pertanian sehingga mempunyai bobot 30. Kelas manajemen lahan
baik mempunyai harkat 5, kelas sedang 4, sedangkan kelas buruk mendapatkan harkat 3. Peta
6
manajemen lahan diturunkan dari peta penggunaan lahan yang diperoleh dari hasil interpretasi
citra penginderaan jauh yang sudah tervalidasi melalui cek lapangan.
B. Produktivitas Pertanian
Parameter produktivitas pertanian mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan
tingkat kekritisan lahan. Sama halnya dengan manajemen lahan, produktivitas pertanian juga
mempunyai bobot 30. Klasifikasi penilaian produktivitas pertanian terbagi menjadi lima
kelas, yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Produktivitas pertanian
sangat dipengaruhi luas dan banyaknya hasil panen.
C. Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng mempunyai bobot 20 dalam penenentuan tingkat kekritisan lahan
kawasan budidaya pertanian. Data kemiringan lereng diperoleh dari pengolahan data SRTM
melalui software ArcGIS. Data hasil pengolahan tersebut digunakan sebagai acuan titik
sampel survei.
D. Tingkat Erosi
Tingkat erosi mempunyai bobot 15 dalam penenentuan tingkat kekritisan lahan kawasan
budidaya pertanian. Data tingkat erosi yang digunakan dalam penelitian analisis kekritisan
lahan kawasan budidaya pertanian Kabupeten Sleman adalah data sekunder yang diperoleh
dari Badan Perencanaan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Sleman.
E. Agihan Batuan
Data spasial agihan batuan yang digunakan dalam penelitian analisis tingkat kekritisan
lahan kawasan budidaya pertanian tahun 2016 merupakan data sekunder dari Badan
Perencanaan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Sleman. Agihan batuan sedikit berarti terdapat
10% batuan yang terlihat atau berada di permukaan tanah, sedang 10-30%, lalu banyak >30%.
Parameter agihan batuan mempunyai bobot 5 dalam penentuan tingkat kekritisan lahan di
kawasan budidaya pertanian.
Tabel 1 Skor Parameter Tingkat Kekritisan Lahan Kawasan Budidaya
Pertanian
No Kriteria (% Bobot) Kelas Harkat
1 Manajemen Lahan (30)
Baik 5
Sedang 3
Buruk 1
2 Produktivitas Pertanian (30)
Sangat Tinggi 5
Tinggi 4
Sedang 3
Rendah 2
Sangat Rendah 1
7
Skor = (30*HM) + (30*HP) + (20*HKL) + (15*HE) + (5*HA)
2.3.2 Analisis Spasial
Salah satu fasilitas yang ada pada software ArcGIS 10.1 adalah analisis spasial. Analisis
spasial yang digunakan untuk pemetaan tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian
yaitu dengan menggunakan fasilitas Overlay. Kelima peta yang menjadi parameter kekritisan
lahan kawasan budidaya pertanian ditumpang susunkan menjadi satu dengan fasilitas
Intersect pada software ArcGIS. Informasi attribute table hasil Intersect akan menghasilkan
informasi attribute table gabungan dari Peta Manajemen Lahan, Peta Produktivitas Pertanian,
Peta Kemiringan Lereng, Peta Tingkat Erosi, dan Peta Agihan Batuan.
2.3.3 Analisis Pemodelan Spasial
Analisis pemodelan spasial melalui metode kuantitatif yaitu dengan menghitung skor
kekritisan lahan terhadap peta hasil overlay. Rumus yang digunakan untuk menghitung indeks
ketahanan pangan, yaitu sebagai berikut:
Keterangan:
HM : Harkat Manajemen Lahan
HP : Harkat Produktivitas Pertanian
HKL : Harkat Kemiringan Lereng
HE : Harkat Erosi
HA : Harkat Agihan Batuan
Hasil perhitungan skor kekritisan lahan, selanjutnya dikelaskan menjadi lima kelas
dengan mengunakan klasifikasi menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. P.32/Menhut-
3 Kemiringan Lereng (20)
0-8% 5
8-15% 4
15-25% 3
25-40% 2
>40% 1
4 Tingkat Erosi (15)
Ringan 5
Sedang 4
Berat 3
Sangat Berat 2
5 Agihan Batuan (5)
<10% 5
10-30% 3
>30% 1
(1)
8
II/2009 tentang petunjuk teknis penyusunan data spasial lahan kritis. Range kelas, kategori
dan tingkat ketahanan pangan dapat dijabarkan pada tabel 1.2 berikut ini.
Tabel 2 Tingkat Kekritisan Lahan Kawasan Budidaya
Pertanian
No Tingkat Kekritisan
Lahan
Besaran Nilai
1 Sangat Kritis 115-200
2 Kritis 201-275
3 Agak Kritis 276-350
4 Potensi Kritis 351-425
5 Tidak Kritis 426-500
2.4 Metode Analisis Data
Analisis data untuk penelitian tingkat kektitisan lahan kawasan budidaya pertanian
dilakukan dengan menggunakan metode analisis SIG. Metode analisis SIG yang digunakan
adalah metode pendekatan kuantitatif berjenjang tertimbang dengan melakukan overlay
atau tumpang susun parameter-parameter kekritisan lahan. Tumpang susun atau overlay
merupakan suatu data grafis adalah menggabungkan antara dua atau lebih data grafis untuk
dapat diperoleh data grafis baru yang mempunyai satuan pemetaan (unit pemetaan) gabungan
dari beberapa data grafis tersebut.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Agihan Tingkat Kekritisan Lahan Kawasan Budidaya Pertanian Kabupaten Sleman
Lahan kritis merupakan lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga berkurang
fungsinya. Penentuan tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya pertanian dipengaruhi
oleh manajemen lahan, produktivitas pertanian, kemiringan lereng, erosi, dan agihan batuan.
Tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya pertanian Kabupaten Sleman mempunyai
lima kelas, yaitu sangat kritis, kritis, agak kritis, potensial kritis, dan tidak kritis. Lahan pada
kawasan budidaya pertanian Kabupaten Sleman dengan kategori sangat kritis mempunyai luas
65.32 Ha. Lahan kategori sangat kritis di kawasan budidaya pertanian Kabupaten Sleman
hanya 0,22%. Lahan tersebut berada di wilayah Kecamatan Prambanan dan Pakem. Lahan
kategori kritis mempunyai luas 687,02 Ha (2,23%). Lahan pada kategori agak kritis berada
pada wilayah Prambanan, Pakem, serta sedikit area yang ada pada Kalasan, Cangkringan,
9
Kalasan, Seyegan, Cangkringan, dan Moyudan. Lahan dengan kategori agak kritis
mempunyai luas 3.490 Ha (11,76%). Lahan tersebut ada pada wilayah Pakem, Prambanan,
Kalasan, Minggir, Seyegan, Gamping, Moyudan, dan Kalasan. Lahan dengan kategori
potensial kritis mempunyai luas 19.250,85 Ha (64,88%). Lahan kategori potensial kritis
berada pada sebagian besar wilayah kawasan budidaya pertanian yang meliputi Kecamatan
Tempel, Turi, Cangkringan, Minggir, Seyegan, Sleman, Mlati, Gamping, Berbah, Prambanan,
Kalasan, dan Cangkringan. Lahan kateogri tidak kritis mempunyai luas 6.178,88 Ha
(20,82%). Lahan tidak kritis berada pada wilayah Kecamatan Ngaglik, Ngemplak, Moyudan,
dan Godean.
Kelas lahan tidak kritis
terdapat pada lahan yang
didominasi lereng 0%-8%
(datar), serta penggunaan
lahan didominasi oleh
penggunaan lahan
pertanian, seperti sawah,
ladang, dan perkebunan
campuran. Kemiringan
lereng 0%-8% (datar)
mempunyai tingak erosi
ringan, karena area yang
dimiliki cenderung datar sehingga energi angkut air rendah sehingga proses terangkutnya
bagian-bagian tanah sangat kecil terjadi. Kemiringan lereng yang datar juga mempengaruhi
agihan batuan karena lereng data cenderung mempunyai agihan batuna yang lebih sedikit
daripada lereng curam. Kondisi erosi dan agihan batuan yang sedemikian rupa membuat lahan
berlereng datar cocok untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian.
Lahan yang termasuk dalam potensial kritis mempunyai kemiringan lereng 0-8%, 8-15%,
dan 15-25%. Lahan potensial kritis dengan lereng 0-8% didominasi oleh penggunaan lahan
bukan pertanian seperti permukiman, semak dan belukar, serta lahan terbuka, akan tetapi
terdapat lahan pertanian seperti kebun campuran, sawah, dan ladang dengan lereng 0-8%
pada kelas potensial kritis. Hal tersebut terjadi kemungkinan karena produktivitas pada
wilayah tersebut kurang optimal akibat pengaruh penggunaan lahan lain di sekitarnya. Lahan
pertanian dengan kelas potensial kritis juga terdapat pada kemirinngan lereng 8-15% dan 15-
25%. Penggunaan lahan jenis pertanian seperti sawah, ladang, dan perkebunan campuran, dan
10
perkebunan kurang optimal pada lereng tersebut karena tingkat erosi pada lereng tersebut
sudah mulai bertambah.
Lahan kelas agak kritis didominasi dengan lahan yang mempunyai kemiringan lereng 15-
25% dan 25-40%. Penggunaan lahan bersifat pertanian pada kelas kemiringan lereng tersebut
akan menghasilkan hasil produksi yang kurang optimal. Lahan pada kemiringan lereng 15-
25% dan 25-40% mempunyai lereng yang agak curam – curam sehingga erosi permukaan
mulai sampai dengan erosi alur yang tergolong erosi berat mulai terjadi. Adanya erosi tersebut
menganggu kesuburan tanah karena bagian-bagian tanah akan terkikis. Lahan pada lereng 15-
25% dan 25-40% juga cenderung mempunyai agihan batuan dengan kelas sedang mengingat
semakin tinggi lereng maka semakin banyak agihan batuan. Lahan pada kategori agak kritis
berada pada wilayah Prambanan, Pakem, serta sedikit area yang ada pada Kalasan,
Cangkringan, Kalasan, Seyegan, Cangkringan, dan Moyudan.
Lahan kategori kritis kawasan budidaya pertanian Kabupaten Sleman didominasi dengan
lahan yang mempunyai kemiringan lereng 25-40% dan >40%, penggunaan lahan berupa semak
belukar dan permukiman, serta jenis tanah regosol. Kondisi lereng curam memberikan daya
erosivitas pada hujan yang semakin besar sehingga berbagai material kesuburan tanah akan
terpengaruh dengan dengan pelepasan yang terjadi di permukaan. Lereng yang curam
mempunyai tingkat erosi yang tinggi. Penggunaan lahan semak belukar dan permukiman
menandai lahan tersebut kurang produktif. Penggunaan lahan juga dapat mempengaruhi erosi.
Penggunaan lahan yang mengadung vegetasi dapat menghambat aliran permukaan dan
memperbesar infiltrasi sehingga proses erosi dapat terkurangi. Penggunaan lahan seperti semak
belukar dan permukiman tidak dapat mengurangi proses erosi. Tanah regosol merupakan tanah
yang muda sehingga kandungan bahan organik pada tanah tersebut sedikit dan kurang subur.
Lahan kritis berada pada wilayah Prambanan, Pakem, serta sedikit area yang ada pada Kalasan,
Cangkringan, Kalasan, Seyegan, Cangkringan, dan Moyudan.
Lahan yang mendominasi pada kelas sangat kritis mempunyai kemiringan lereng > 40%,
penggunaan lahan non pertanian seperti permukiman,semak belukar, dan lahan terbuka, serta
tanah latosol dan regosol. Lereng dengan kemiringan sangat curam mempunyai erosi yang
sangat berat yang akan berpengaruh terhadap produktivitas pertanian. Penggunaan lahan
dengan cover vegetasi rendah seperti permukiman, semak belukar, dan lahan terbuka
merupakan penggunaan lahan yang kurang dapat menghalangi proses erosi, sehingga erosi
berjalan terus-menerus. Lahan sangat kritis terdapat pada wilayah Kecamatan Pakem dan
Prambanan. Wilayah Pakem mempunyai jenis tanah regosol sedangkan wilayah Prambanan
didominasi oleh jenis tanah latosol. Tanah regosol mempunyai kandungan bahan organik yang
11
sedikit karena merupakan tanah muda yang terdapat pada horizon A marginal sehingga tanah
kurang subur. Jenis tanah latosol yang mendominasi wilayah Prambanan mempunyai
kandungan lempung yang tinggi sehingga kemampuan menyerap air mudah, akan tetapi susah
untuk meloloskan air sehingga jenis tanah tersebut agak peka terhadap erosi.
Tabel 3 Luas Agihan Kekritisan Lahan
No Kelas Kekritisan Luas (Ha) Persentase (%)
1 Sangat Kritis 65,32 0,22
2 Kritis 687,02 2,32
3 Agak Kritis 3490,03 11,76
4 Potensial Kritis 19.250,85 64,88
5 Tidak Kritis 6.178,88 20,82
Jumlah 29.672,11 100
3.2 Alternatif Pengelolaan Lahan yang Diterapkan di Area Lahan Kritis Budidaya
Pertanian Kabupaten Sleman
Tingkat kekritisan lahan pada kawasanbudidaya pertanian Kabupaten Sleman mempunyai
lima kelas, yaitu tidak kritis, potensial kritis, agak kritis, kritis, dan sangat kritis. Secara garis
besar lahan di pada kawasanbudidaya pertanian Kabupaten Sleman terbagi menjadi dua, yaitu
lahan yang belum mengalami kekritisan yang terdiri dari lahan tidak kritis dan potensial kritis
serta lahan yang telah mengalami kekritisan yang terdiri lahan agak kritis, kritis, dan sangat
kritis. Lahan yang belum mengalami kekritisan dengan lahan yang sudah mengalami
kekritisan memerlukan cara pengelolaan yang berbeda.
Lahan dengan kelas tidak kritis terdapat pada lahan dengan kemiringan lereng yang datar,
jenis penggunaan lahan pertanian, serta dominasi jenis tanah kambisol yang terdapat pada
sekitar wilayah Godean. Lahan tersebut mempuyai produktivitas tinggi karena lahan pertanian
dalam kondisi baik sehingga menghasilkan hasil produksi optimal. Lahan seperti ini perlu
dilindungi agar terhindar dari konversi lahan mengingat kebutuhan lahan semakin meningkat
seiring berjalannya waktu terutama konversi dari lahan pertanian menjadi lahan non
pertanian. Perlindungan terhadap lahan tidak kritis untuk pertanian tersebut perlu melibatkan
pihak pemerintah dan warga. Pemerintah perlu membuat dan menetapkan regulasi mengenai
LP2B (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan). Lahan yang masuk dalam zona LP2B tidak
12
boleh mengalami konversi lahan dan harus menerapkan konservasi lahan sesuai anjuran
pemerintah.
Lahan dengan kelas potensial merupakan kelas lahan yang mendominasi dengan persentase
64,88%. Lahan potensial kritis belum mengalami kekritisan akan tetapi lahan tersebut
menunjukkan indikasi kekritisan lahan, sehingga apabila penggunaan lahan kurang
memperhatikan kelestariannya maka lahan tersebut akan menjadi lahan kritis. Lahan potensial
kritis tidak dapat dipandang sebelah mata karena luas lahan potensial kritis lebih besar
daripada luas lahan tidak kritis, sehingga jika tidak dilakukan konservasi akan membuat lahan
kritis meluas. Lahan potensial kritis pada kawasan budidaya pertanian Kabupaten Sleman
didominasi oleh lahan dengan kemiringan landai dan agak curam serta penggunaan lahan
pertanian seperti sawah, ladang, perkebunan campuran, serta perkebunan. Lahan tersebut
cenderung kurang produktif karena terletak pada lereng yang kurang sesuai untuk penggunaan
lahan pertanian. Erosi dengan tingkat sedang mulai terjadi pada lahan kelas potensial kritis
ini. Konservasi tanah perlu dilakukan pada lahan tersebut. Konservasi tanah yang harus
dilakukan yaitu memperlambat aliran permukaan, melakukan pergiliran penanaman, serta
mulsa. Proses memperlambat aliran permukaan dengan melakukan perbaikan drainase dan
irigasi. Pergiliran tanaman bertujuan untuk menjaga tanah agar tetap terdapat vegetasi.
Vegetasi pada tanah mempunyai fungsi untuk melindungi tanah terhadap daya perusak aliran
alir di atas permukaan dan memperbaiki penyerapan air oleh tanaman. Mulsa dilakukan agar
kesuburan tanah yang mulai hilang akibat terjadinya erosi tetap terjaga.
Lahan yang telah mengalami kekritisan pada kawasan budidaya pertanian di Kabupaten
Sleman termasuk dalam kelas agak kritis, kritis, dan sangat kritis. Lahan kelas agak kritis,
kritis, dan sangat kritis mempunyai lereng curam sampai dengan sangat curam. Penggunaan
lahan pada wilayah lahan kritis berupa penggunaan lahan non pertanian seperti semak dan
belukar, permukiman, serta lahan terbuka. Lahan kritis merupakan lahan yang mengalami
kerusakan akibat bagian-bagian tanahnya terkena erosi sehingga mempunyai produktivitas
yang cenderung rendah. Lahan yang tergolong kritis terebut memerlukan konservasi maupun
rehabilitasi agar dapat memperbaiki kerusakan yang terjadi. Konservasi lahan pada kawasan
kritis dapat dilakukan dengan menampung dan menyalurkan aliran permukaan mengingat
lahan pada kemiringan lereng curam mempunyai tingkat erosi berat. Pembuatan dam dapat
menampung aliran permukaan serta perbaikan saluran drainase akan membuat aliran
permukaan mengalir pada saluran tersebut sehingga akan mengurangi timbulnya erosi.
Adanya penampung air juga membuat penyediaan air bagi tanaman aman ketika musim
kemarau. Mulsa pada lahan kritis bertujuan untuk memperbaiki kesuburan tanah yang hilang
13
akibat erosi yang berat. Rehabilitasi lahan kritis dilkukan dengan cara reboisasi. Reboisasi
dilakukan pada penggunaan lahan kurang produktif seperti lahan terbuka serta semak dan
belukar. Lahan terbuka dapat ditanami dengan tanaman seperti tanaman bambu sedangkan
wilayah pada penggunaan lahan semak dan belukar dapat ditanami tanaman dengan akar yang
kuat seperti pohon sengon dan jati.
4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Pembuatan peta agihan tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian Kabupaten
Sleman didapatkan tingkat kekritisan yang terdiri dari lima kelas, yaitu tidak kritis,
potensial kritis, agak kritis, kritis, dan sangat kritis.
a) Lahan dengan kelas tidak ktitis mempunyai luas 671,88 Ha atau 20,82% dari luas
keseluruhan, lahan tidak kritis sebagian besar berada pada lahan dengan kemiringan
lereng datar yang berada pada wilayah Kecamatan Ngaglik, Ngemplak, Moyudan, dan
Godean.
b) Kelas potensial kritis mendominasi dengan luas 671,88 Ha atau 64,88% dari total luas
keseluruhan, yang meliputi Kecamatan Tempel, Turi, Cangkringan, Minggir, Seyegan,
Sleman, Mlati, Gamping, Berbah, Prambanan, Kalasan, dan Cangkringan.
c) Kelas lahan agak kritis 3.490,85 Ha atau seluas 11,76%, meliputi wilayah Pakem,
Prambanan, Kalasan, Minggir, Seyegan, Gamping, Moyudan, dan Kalasan.
d) Kelas lahan kritis 687,02 Ha atau 2,32% berada pada kemiringan lereng yan curam yang
meliputi sebagian kecil wilayah Prambanan, Pakem, serta sedikit area yang ada pada
Kalasan, Cangkringan, Kalasan, Seyegan, Cangkringan, dan Moyudan.
e) Lahan sangat kritis 65,32 Ha atau mencakup 0,22% dari luas keseluruhan, dan berada
pada di wilayah Kecamatan Prambanan dan Pakem.
2. Alternatif pengelolaan lahan kawasan budidaya pertanian dilakukan berdasarkan tingkat
kekeritisan. Untuk lahan tidak kritis diperlukan upaya untuk mempertahankan lahan
tersebut, salah satunya dengan membuat batasan lahan LP2B. Lahan potensial kritis
memerlukan konservasi tanah agar lahan tersebut menjadi lebih produktif dan tidak
menjadi lahan kritis. Lahan yang telah mengalami kekritisan membutuhkan konservasi
dan rehabilitasi agar lahan tersebut dapat dipergunakan kembali.
14
4.2 Saran
1. Survei lapangan dilakukan pada saat bukan musim penghujan sehingga lahan kritis yang
ada pada lahan dengan penggunaan lahan semak belukar lebih terlihat.
2. Data citra penginderaan jauh yang digunakan sebaiknya citra yang tidak mempunyai
tutupan awan sehingga interpretasi lebih teliti.
PERSANTUNAN
Ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu penelitian ini baik
dalam penyediaan data maupun pengerjaan data terutama untuk :
1) Program Studi Geografi, Fakultas Geografi, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)
sebagai instansi yang telah menaungi penelitian ini, dan memberikan izin penelitian.
2) BAPPEDA Kabupaten Sleman
DAFTAR PUSTAKA
Arsad, Sitanala. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.
Asdak, Chay. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan DAS. Yogyakarta: UGM Press.
Badan Lingkungan Hidup. 2011. Buku Status Lingkungan Hidup Daerah Istmewa
Yogyakarta. Yogyakarta: Pemerintah Daerah Provinsi DIY.
Badan Lingkungan Hidup. 2012. Buku Status Lingkungan Hidup Daerah Istmewa
Yogyakarta. Yogyakarta: Pemerintah Daerah Provinsi DIY.
Badan Lingkungan Hidup. 2013. Buku Status Lingkungan Hidup Daerah Istmewa
Yogyakarta. Yogyakarta: Pemerintah Daerah Provinsi DIY.
Badan Lingkungan Hidup. 2014. Buku Status Lingkungan Hidup Daerah Istmewa
Yogyakarta. Yogyakarta: Pemerintah Daerah Provinsi DIY.
Badan Lingkungan Hidup. 2015. Buku Status Lingkungan Hidup Daerah Istmewa
Yogyakarta. Yogyakarta: Pemerintah Daerah Provinsi DIY.
Danoedoro, Projo. 2012. Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Yogyakarta: CV. Andi
Offset.
Darmawijaya, Isa.1980. Klasifikasi Tanah Dasar Penelitian Bagi Peneliti Tanah dan
Pelaksana Pertanian di Indonesia. Bandung: IPB.
Departemen Kehutanan, 2004. Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis.
Jakarta.
Dulbahri. 1986. Penggunaan Teknik Penginderaan Jauh Dalam Identifikasi dan Inventarisasi
Lahan Kritis. Yogyakarta: Fakultas Geografi - Universitas Gadjah Mada.
Elachi, C., Jakob van Zyl. 2006. Introduction to the Physics and Techniques of Remote
Sensing. New Jersey: John Wiley & Sons Inc.
FAO. 1979. Assesing Soil Degradation. FAO Soil Bull. No. 34.
FAO-UN (Food and Agriculture Organization). 1976. A Framework for Land Evaluation.
FAO Soils Bulletin 32. FAO, Rome.
Hall, F. G., Strebel, D. E., Nickeson, J. E., & Geoets, S. J. (1991). Radiometric Rectification:
Toward A Common Radiometric Response Among Multidate, Multisensor Images.
Remote Sensing of Environment, 35, 11-27.
15
Hanafiah, Kemas Ali. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta: Raja Grafindo.
Hardjowigeno, Sarwono. 1995. Imu Tanah. Jakarta: Akademika Presindo.
Hudson, Norman. 1973. Soil Conservation. London: B.T. Batsford Ttd.
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.778 /Menhutbun-V/1998. Reboisasi dan
Lahan Kritis. Jakarta: Kementerian Kehutanan
Lo, CP. 1996. Penginderaan Jauh Terapan. Jakarta: UI Press.
Mosher, A.T. 1966. Getting Agriculture Moving. New York: The Agricultural Development
Council Inc.
Nurcahyo, Sidik. 2008. Analisis Lahan Kritis Di Kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali.
Skripsi. Surakarta: Program Studi Geografi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. P.32/Menhut-II/2009. Petunjuk Teknis Penyusunan
Data Spasial Lahan Kritis. Jakarta: Kementrian Kehutanan.
Poerwowidodo. 1990. Telaah Kesuburan Tanah. Bamdung: Angkasa.
Prasetya, Rahmadi Nur dan Totok Gunawan. (2012). Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh
dan Sistem Informasi Geografis Untuk Pemetaan Lahan Kritis di Daerah Kokap dan
Pengasih Kabupaten Kulon Progo. Jurnal Geografi Indonesia, 79, 281–290.
Rahmatika, Rosita. 2014. Analisis Spasial Agihan Lahan Kritis Di Kabupaten Sragen Provinsi
Jawa TengahSkripsi. Surakarta: Program Studi Geografi, Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Rayes, M. Luthfi. (2007). Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan. Yogyakarta: Andi.
Sumantri.1980. Pengantar Agronomi. Jakarta: PT. Gramedia.
Taryono. 1997. Erosi dan Konservasi Tanah. Diktat Kuliah. Surakarta: UMS.
Tomlinson, R.F. (ed). 1972. Geographical Data Handling. Ottawa: I.G.U. Commission on
Geographical Data Sensing and Processing.
Wati, Fitri Anggoro. 2015. Kajian Lahan Kritis Di Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman
dengan Menggunakan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi. Skripsi.
Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Geografi, Universitas Negeri Yogyakarta.