ANALISIS TEKNIK DAN GAYA PERMAINAN GITAR · PDF filesebagai dosen penguji pada saat seminar...
Transcript of ANALISIS TEKNIK DAN GAYA PERMAINAN GITAR · PDF filesebagai dosen penguji pada saat seminar...
ii
ANALISIS TEKNIK DAN GAYA PERMAINAN GITAR
KLASIK PADA LAGU SIPATOKAAN DAN BUBUY BULAN
ARANSEMEN IWAN TANZIL
SKRIPSI SARJANA
O
L
E
H
KRISRENDI MASDEO SIREGAR
NIM: 090707012
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2014
iii
ANALISIS TEKNIK DAN GAYA PERMAINAN GITAR
KLASIK PADA LAGU SIPATOKAAN DAN BUBUY BULAN
ARANSEMEN IWAN TANZIL
SKRIPSI SARJANA
O
L
E
H
KRISRENDI MASDEO SIREGAR
NIM: 090707012
Disetujui
Pembimbing I,
Drs. Prikuten Tarigan, M.Si.
NIP 19195804021987031003
Pembimbing II,
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.
NIP 196512211991031001
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana seni
dalam bidang Etnomusikologi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2014
iv
DISETUJUI OLEH: FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Medan,29 April 2014
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI KETUA DEPARTEMEN
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D NIP. 196512211991031001
v
PENGESAHAN
Diterima oleh:
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk
melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang
Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Medan.
Hari : Tanggal : FAKULTAS ILMU BUDAYA USU
DEKAN
Dr. Syahron Lubis, M.Si.,Ph.D.
NIP. 195110131976031001
PANITIA UJIAN No. Nama Tanda Tangan
1. ............................................................... ( )
2. ............................................................... ( )
3. ............................................................... ( )
4. ............................................................... ( )
5. ............................................................... ( )
i
KATA PENGANTAR
“Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan
kepadaku” (Filipi 4:13). Penulis mengucap syukur kepada Tuhan Yesus karena
atas kekuatan yang diberikan-Nya lah maka skripsi ini bisa terwujud.
Skripsi yang berjudul Analisis Teknik dan Gaya Permainan pada Lagu
Sipatokaan dan Bubuy Bulan Aransemen Iwan Tanzil ini disusun sebagai
syarat untuk menyelesaikan program pendidikan Strata 1 (S1) di Departemen
Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya serta sebagai wahana untuk melatih diri
dan mengembangkan wawasan berpikir dalam penulisan karya ilmiah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak
terdapat kekurangan. Hal ini dikarenakan penulis masih dalam tahap pembelajaran
dan peningkatan pengetahuan serta keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan
skripsi ini selanjutnya.
Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis dibantu oleh berbagai pihak
baik dari proses awal penulisan sampai penyelesaian skripsi ini. Dalam
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Orang tua penulis, yaitu Fitriyani Magdalena Sembiring dan Zul Arfan
Siregar (makasih ma, yah, atas dukungan doa, dana, dan nasehat-nasehat
yang selama ini kalian berikan) dan juga adik penulis, Christy, yang menjadi
motivator secara tidak langsung bagi penulis.
ii
2. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.Si.,Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D selaku Ketua Departemen
Etnomusikologi sekaligus Dosen Pembimbing II penulis yang telah
memberikan bimbingannya kepada penulis selama proses perkuliahan dan
pengerjaan skripsi ini.
4. Bapak Drs. Prikuten Tarigan, M.Si selaku Dosen Pembimbing I penulis
yang telah begitu banyak meluangkan waktu dan tenaga untuk mengarahkan
pembahasan skripsi ini ke arah yang lebih baik.
5. Bapak Drs. Kumalo Tarigan, M.A yang telah bersedia melakukan “diskusi
dadakan” sebagai cikal bakal lahirnya judul skripsi ini.
6. Bapak Prof. Mauly, M.A., Ph.D atas pertanyaan-pertanyaan sederhananya
yang merubah cara berpikir penulis tentang skripsi ini ke arah yang lebih
baik.
7. Bapak Drs. Muhammad Fadlin, M.A, ibu Dra. Heristina Dewi, M.Pd,
dan ibu Arifni Netrirosa, SST yang telah memberikan saran dan kritik
sebagai dosen penguji pada saat seminar proposal.
8. Bapak/Ibu Staf Pengajar Departemen Etnomusikologi USU yang telah
berjasa dalam memberikan banyak bekal ilmu pengetahuan, bimbingan serta
arahan kepada penulis selama penulis menimba ilmu pengetahuan di USU.
9. Mas Iwan Tanzil, selaku informan penulis yang telah berbaik hati
mengijinkan penulis untuk meneliti karya-karyanya dan meluangkan waktu
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang skripsi ini.
iii
10. Bang Wonter dan Bang Michael yang telah membantu penulis saat awal
pengerjaan skripsi ini sehingga penulis mendapatkan informan yang tepat.
11. Bang Ogan dan Bang Susan, guru-guru gitar yang mengajarkan dasar
bermain gitar klasik kepada penulis. Sebagian besar dari tulisan pada skripsi
ini merupakan pengetahuan penulis yang didapatkan dari ajaran mereka.
12. Sridewi Sartika Bakara, teman terdekat penulis yang tidak pernah merasa
lelah memberikan semangat dan mengingatkan penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini (sksdsb).
13. Anak-anak Etno ’09, teman-teman satu perjuangan penulis saat menimba
ilmu di USU yang saling mendukung dalam pengerjaan skripsi ini (trutama
leng mania yg sukak ngmpl di DT, “ada bagong klen?” dan bwt yg blum
siap skripsinya, cepatkan itu weeee....).
14. Monang, Itok, Riki, dan Dapit, teman-teman penulis semasa remaja (skses
bwt kita ya genk....).
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Medan, 29 April 2014
Penulis
Krisrendi Masdeo Siregar
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................ iv
DAFTAR BAGAN DAN TABEL ............................................................ vii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ viii
ABSTRAKSI ............................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah .................................................. 1
1.2 Pokok Permasalahan ....................................................... 11
1.3 Tujuan dan Manfaat ........................................................ 11
1.3.1 Tujuan ................................................................. 11
1.3.2 Manfaat ............................................................... 12
1.4 Konsep dan Teori ............................................................ 12
1.4.1 Konsep ................................................................ 12
1.4.2 Teori ................................................................... 14
1.5 Metode Penelitian ........................................................... 18
1.5.1 Studi Kepustakaan ............................................... 18
1.5.2 Observasi ............................................................ 19
1.5.3 Wawancara .......................................................... 20
1.5.4 Perekaman Lagu .................................................. 20
1.5.5 Kerja Laboraturium ............................................. 21
BAB II BIOGRAFI RINGKAS IWAN TANZIL DAN GAMBARAN
UMUM LAGU-LAGU DAERAH DI INDONESIA ............. 22
2.1 Pengenalan ..................................................................... 22
2.2 Biografi Ringkas ............................................................. 23
2.3 Letak Biografis Indonesia dan Hubungannya dengan
Kebudayaan .................................................................... 23
2.4 Lagu Daerah di Indonesia ............................................... 33
2.4.1 Lagu Sipatokaan .................................................. 40
v
2.4.2 Lagu Bubuy Bulan .............................................. 42
BAB III PENGENALAN INSTRUMEN GITAR KLASIK DAN
SISTEM NOTASINYA .......................................................... 45
3.1 Pengenalan Instrumen ..................................................... 45
3.1.1 Klasifikasi Gitar Klasik ....................................... 45
3.1.2 Pengenalan Bagian Gitar Klasik .......................... 49
3.1.3 Persiapan Bermain Gitar Klasik ........................... 51
3.2 Sistem Notasi pada Gitar Klasik ...................................... 54
BAB IV ANALISIS TEKNIK DAN GAYA PERMAINAN PADA
LAGU SIPATOKAAN DAN BUBUY BULAN .................... 68
4.1 Partitur Lagu Sipatokaan dan Bubuy Bulan ..................... 68
4.2 Analisis Teknik Permainan ............................................. 75
4.2.1 Analisis Teknik Permainan pada Lagu Sipatokaan 75
4.2.1.1 Apagados ............................................... 75
4.2.1.2 Ceja ....................................................... 78
4.2.1.3 Strumming ............................................. 83
4.2.2 Analisis Teknik Permainan pada Lagu Bubuy Bulan 85
4.2.2.1 Scordatura ............................................. 85
4.2.2.2 Sul Ponticello ........................................ 88
4.2.2.3 Harmonik ............................................... 91
4.2.2.4 Slur ........................................................ 97
4.2.2.5 Trill ....................................................... 99
4.2.2.6 Glissando ............................................... 102
4.3 Analisis Gaya Permainan ................................................ 105
4.3.1 Analisis Melodi ................................................... 105
4.3.1.1 Analisis Melodi pada Lagu Sipatokaan .. 107
4.3.1.2 Analisis Melodi pada Lagu Bubuy Bulan 107
4.3.2 Analisis Akor ...................................................... 109
4.3.2.1 Analisis Akor pada Lagu Sipatokaan ...... 111
4.3.2.2 Analisis Akor pada Lagu Bubuy Bulan .. 112
4.3.3 Analisis Ritem ..................................................... 113
vi
4.3.3.1 Analisis Ritem pada Lagu Sipatokaan .... 114
4.3.3.2 Analisis Ritem pada Lagu Bubuy Bulan ... 116
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ..................................................................... 122
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 125
DAFTAR INFORMAN ............................................................................ 126
LAMPIRAN .......................................................................................... 127
vii
DAFTAR BAGAN DAN TABEL
Bagan 1.1 Analisis Teknik dan Gaya Permainan Lagu Sipatokaan dan
Bubuy Bulan Aransemen Iwan Tanzil .................................. 17
Tabel 2.1 Proporsi Jumlah Suku di Indonesia ...................................... 25
Tabel 2.2 Lagu Daerah di Tiap Provinsi Indonesia .............................. 36
Tabel 3.1 Key Signature dan Nada Dasarnya ...................................... 55
Tabel 3.2 Nama, Nilai, Bentuk Not dan Tanda Istirahat ...................... 57
Tabel 3.3 Jenis-Jenis Tempo dan Angkanya pada Metronom .............. 58
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Iwan Tanzil ......................................................................... 24
Gambar 3.1 Busur, Lira, Harpa, Lute, dan Zither .................................... 47
Gambar 3.2 Bagian-Bagian pada Gitar Klasik ......................................... 49
Gambar 3.3 Footstool ............................................................................. 51
Gambar 3.4 Standbook ........................................................................... 52
Gambar 3.5 Posisi Bermain Gitar Klasik ................................................ 53
Gambar 3.6 Penamaan Jari dan Posisi Tangan ........................................ 62
Gambar 3.7 Tangga Nada C Mayor ........................................................ 63
Gambar 3.8 Sistem Tala Standar dan Penamaan Posisi Fret pada Gitar
Klasik .................................................................................. 64
Gambar 4.1 Half Barre ........................................................................... 80
Gambar 4.2 Barre ................................................................................... 82
Gambar 4.3 Strumming .......................................................................... 84
Gambar 4.4 Iwan Tanzil Saat Melakukan Teknik Scordatura .................. 88
Gambar 4.5 Sul Tasto ............................................................................. 89
Gambar 4.6 Sul Ponticello ...................................................................... 90
Gambar 4.7 Iwan Tanzil Saat Bermain dengan Teknik Sul Ponticello ..... 91
Gambar 4.8 Teknik Harmonik Natural pada Birama Pertama .................. 95
Gambar 4.9 Teknik Harmonik Artifisial pada Birama ke-62 ................... 96
Gambar 4.10 Hammer-on ......................................................................... 98
Gambar 4.11 Pull-off ................................................................................ 99
Gambar 4.12 Trill ..................................................................................... 102
Gambar 4.13 Glissando ............................................................................ 104
ix
ABSTRAKSI
Gitar klasik merupakan salah satu jenis gitar yang proses evolusinya berasal dari Spanyol sehinggga jenis gitar ini sering juga disebut spanish guitar. Gitar jenis ini dapat dimainkan dalam bentuk permainan solo tanpa didukung oleh pengiring instrumen lainnya. Adapun bentuk penyajian dari jenis gitar ini telah memiliki perkembangan yang dilihat dari perbendaharaan lagu yang dimainkan mulai dari jenis lagu yang diciptakan dari zaman klasik hingga zaman modern, bahkan dalam konsep musik daerah. Sehingga dalam kesempatan ini, penulis akan membahas bagaimana lagu daerah dimainkan dalam gitar klasik yang notabenenya memainkan lagu klasik..
Penulis telah menentukan lagu Sipatokaan dan Bubuy Bulan karya Iwan Tanzil sebagai objek penelitian dalam skripsi ini. Dalam konsep gitar tunggal, penulis tertarik untuk menganalisis teknik permainan yang disajikan oleh Iwan Tanzil sebagai arranger. Juga akan dilakukan analisis terhadap gaya permainan pada lagu-lagu tersebut setelah diaransemen.
Adapun tulisan ini dimanfaatkan untuk menambah informasi tentang gitar klasik. Selain aturan-aturan dasar dalam instrumen ini, teknik-teknik dan gaya permainan dalam dua lagu yang menjadi objek penelitian di atas akan dijelaskan dalam tulisan ini. Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran penulis untuk membahasnya dalam bentuk kajian ilmiah. Metode yang digunakan oleh penulis dalam mengkaji objek penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang akan melihat objek penelitian secara subjektif dalam mengumpulkan informasi-informasi yang didukung dengan observasi dan wawancara. Untuk itu dalam membantu metode tersebut penulis menggunakan disiplin lapangan dan disiplin laboratorium dalam proses pembahasannya.
Adapun bahan kajian dalam skripsi ini dikerjakan berdasarkan teori dan metode dalam etnomusikologi. Kemudian hasil data tersebut menghasilkan kesimpulan yang menjadi penyelesaian masalah dalam skripsi ini.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Musik merupakan suara yang disusun sedemikian rupa, sehingga
mengandung irama, lagu, dan keharmonisan--terutama suara yang dihasilkan dari
alat-alat yang dapat menghasilkan bunyi-bunyian (KBBI, 2011). Berbicara
tentang musik, tidaklah lengkap jika belum membicarakannya dalam konteks
kebudayaan. Alasannya adalah karena musik merupakan bagian dari budaya dan
mencerminkan aspek sosial kemasyarakatan di mana musik itu tumbuh, hidup,
dan berkembang. Hal ini dikarenakan musik mampu mengekspresikan hal-hal
yang terjadi dalam sistem sosial.
Dalam menghasilkan musik, diperlukan instrumen yang dengan cara
tertentu bisa diatur untuk memproduksi suatu suara oleh musisinya. Salah satu
instrumen musik adalah gitar. Gitar merupakan instrumen musik yang populer dan
umum dijumpai di dunia. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya orang di dunia yang
bisa memainkan gitar dibandingkan dengan instrumen musik lainnya. Mudah
untuk dipelajari dan harga yang terjangkau, membuat gitar menjadi instrumen
musik favorit untuk memulai dalam mempelajari musik. Instrumen ini biasa
digunakan sebagai pengiring karena kemampuannya memainkan lebih dari satu
nada secara bersamaan (harmonis). Alat musik yang termasuk ke dalam
klasifikasi lute1 berleher panjang ini, relatif ringan, sehingga mudah dibawa ke
1Salah satu jenis klasifikasi kordofon (baca Bab II)
2
mana-mana. Banyak masyarakat di seluruh penjuru dunia yang menggunakan
gitar untuk sekedar menghibur diri sendiri ataupun pengiring dalam bernyanyi
ketika berkumpul bersama orang-orang lain.
Gitar merupakan alat musik berdawai yang dimainkan dengan cara dipetik
menggunakan jari maupun plektrum.2 Secara umum dilihat dari sumber penghasil
bunyi, gitar dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu gitar akustik dan gitar elektrik.
Gitar akustik adalah jenis gitar yang menghasilkan bunyi dari hasil getaran senar
dengan lubang resonatornya3 sedangkan gitar elektrik menghasilkan bunyi dari
hasil penguatan elektrik. Gitar akustik ini kemudian dapat disubkategorikan ke
dalam beberapa jenis yaitu gitar klasik yang menggunakan senar nilon, gitar folk
yang menggunakan senar baja, gitar flamenco, dan lain-lain.
Gitar klasik biasa disebut juga dengan spanish guitar atau gitar Spanyol. Ini
dikarenakan proses perubahan evolusi alat musik ini lebih intens terjadi di
Spanyol. Abad ke-11 banyak bermunculan jenis alat musik mirip gitar di Eropa.
Gittern adalah yang pertama berkembang di benua ini. Dikembangkan dari desain
instrumen petik Asia, gittern sudah mendekati bentuk gitar modern. Hanya saja
senarnya masih terbuat dari catgut4 dan jumlah course5 yang bervariasi antara 3-4
course. Setelah gittern, banyak proses pengembangan pada instrumen ini yang
melahirkan alat-alat petik baru. Contohnya adalah quitarra, guiterre, guitare, lute,
2Plektrum, yang biasa disebut pick, adalah alat bantu dalam memetik senar gitar yang
dipegang dengan jempol dan telunjuk berbahan utama plastik, tulang, kayu, logam, atau tempurung kura-kura.
3Lubang resonator adalah lubang di tengah badan gitar yang berfungsi memperbesar suara yang dihasilkan oleh getaran senar.
4Kendati secara harfiah berarti usus kucing, namun sebenarnya catgut merujuk kepada istilah yang digunakan untuk usus domba.
5Course adalah jumlah jalur/senar yang dipakai dalam alat musik petik.
3
dan lainnya. Banyaknya jenis pengembangan gittern tidak membuat alat musik ini
sepenuhnya lenyap. Berganti nama menjadi vihuela, gittern masih populer di
kalangan masyarakat Spanyol. Sementara itu lute terus berkembang di benua
Eropa. Karena desain kedua instrumen ini yang semakin estetis dan fungsional,
diciptakanlah instrumen-instrumen serupa yang memiliki course yang lebih
banyak dan lebih baik kualitas suaranya.
Pada akhir abad ke-16, vihuela digantikan oleh gitar barok. Pada masa
inilah banyak gitaris dan komposer bermunculan. Namun desain gitar yang
dipakai tiap gitaris tidaklah sama. Tiap gitaris bisa saja memakai desain gitar yang
berbeda dari gitaris yang lainnya. Hal inilah yang membuat Antonio Torres Jurado
(1817-1892), seorang luthier6 Spanyol, menciptakan standar anatomi gitar
(dimensi, rangka, panjang, dan sebagainya) yang masih diterapkan pada dasar
pembuatan gitar klasik hingga sekarang (kecuali jenis senar yang dipakai).7
Walaupun para luthier pada masa sekarang mempunyai kekhasan masing-masing,
ada patokan tertentu dalam gitar modern yang masih berpegang pada desain
Torres. Inovasi-inovasi oleh para pembuat gitar yang menghasilkan jenis gitar
bersenar logam, termasuk penemuan teknologi listrik yang berdampak pada
ditemukannya gitar elektrik, memunculkan istilah gitar klasik. Istilah “gitar
klasik” membedakan gitar standar buatan Torres dengan gitar lainnya.
6Dahulunya luthier adalah istilah untuk pembuat gitar klasik. Namun sekarang tidak hanya
gitar klasik, tapi juga jenis gitar lainnya. Bahkan juga dipakai untuk pembuat instrumen musik yang berdawai dan mempunyai fret.
7Tahun 1946 adalah pertama kalinya senar berbahan nilon digunakan sebagai pengganti catgut. Ditemukan pertama kali oleh Albert Agustine, seorang pembuat instrumen musik dari Amerika. Karena tidak mampu memperoleh bahan catgut akibat pembatasan yang diberlakukan pada Perang Dunia II, Agustine membuat senar berbahan nilon karena berlebihnya jumlah persediaan nilon untuk militer.
4
Pada awalnya, gitar klasik memainkan repertoar yang dibuat khusus untuk
instrumen ini oleh komposer gitar klasik seperti Fransesco Tarrega, Aguado,
Carcassi, Carulli, Coste, dan banyak komposer lainnya, dan juga komposisi musik
klasik yang ditranskripsi ke gitar tunggal. Andres Segovia (1893-1987), yang
merupakan bapak gitar klasik dunia, banyak memainkan karya-karya dari sang
guru, Fransesco Tarrega. Recuerdos de Alhambra, Capricho Arabe, dan Lagrima
adalah sedikit dari komposisi-komposisi yang dimainkannya untuk menghormati
Tarrega. Karya Tarrega banyak yang masih dimainkan oleh gitaris klasik hingga
sekarang, selain dari musik-musik literatur Eropa yang “disulap” menjadi
komposisi bagi gitar tunggal. Pentranskripsian musik klasik ke gitar tunggal ini
pertama kali dilakukan oleh Fransesco Tarrega (1852-1909). Granados, Albeniz,
Chopin, Bach, adalah para komposer yang karyanya digubah oleh gitaris dan
komposer kelahiran Spanyol ini.
Mengikuti jejak sang guru, Segovia pun melakukan hal yang sama dengan
karyanya yang paling terkenal, Chaconne in D Minor karya J.S. Bach untuk solo
biola. Komposisi mereka inilah yang masih dimainkan oleh para gitaris klasik
hingga sekarang.
Saat musik literatur Eropa sepertinya mendominasi komposisi lagu yang
dimainkan untuk gitar klasik, beberapa dekade belakangan di Amerika lahir istilah
finger-picking style, yang sekarang lebih dikenal sebagai fingerstyle. Fingerstyle
bisa dikatakan teknik memetik gitar yang menggunakan jari, bukan plektrum yang
biasa dipakai oleh pemain dengan gitar bersenar logam. Bermula ketika sebagian
5
gitaris musik rakyat Amerika (country) memainkan arpegio8 dengan memetik
satu-persatu senar dengan jari saat menjadi pengiring. Dengan makin
berkembangnya teknik dan perbendaharaan lagu, para gitaris fingerstyle mulai
bermain solo di tiap penampilannya. Mereka memainkan bass, pengiring (akor),
dan melodi pada saat yang bersamaan dengan satu gitar. Selain senar yang
digunakan, komposisi lagu yang berupa lagu-lagu rakyat atau lagu-lagu populer
pada masa itu adalah salah satu pembeda gitaris fingerstyle dari gitaris klasik yang
hanya memainkan musik literatur Eropa.
Lagi-lagi perkembangan teknologi mempengaruhi gitar klasik. Kalau
sebelumnya dengan penemuan listrik mendorong terciptanya gitar elektrik,
kemudahan dalam berkomunikasi lewat internet mempengaruhi perbendaharaan
lagu pada gitar klasik. Pertukaran informasi melalui media ini menyebabkan batas
antara gitar klasik dan fingerstyle menjadi kabur. Banyak gitaris klasik yang
menyerap teknik-teknik dalam permainan fingerstyle yang sebelumya tidak ada
dalam teknik lagu-lagu yang dimankan di literatur Eropa seperti teknik efek
perkusi yang membuat lagu menjadi lebih ritmis. Begitu juga dengan gitaris
fingerstyle. Mereka mengadaptasi variasi arpeggio dan detail harmoni dari
komposisi-komposisi gitar klasik yang lebih kompleks. Dalam hal penyajian
musik, gitaris klasik banyak yang menyertakan musik rakyat atau lagu-lagu
populer ke dalam perbendaharaan lagunya. Fenomena ini menyebabkan inovasi-
inovasi dalam bermain gitar klasik seperti mengaransemen ataupun juga
mentranskripsi lagu-lagu yang bukan merupakan musik literatur Eropa. Repetitif
8Arpeggio berasal dari kata arpa/harpa karena gaya petikan yang mirip dengan harpa, yaitu
bentuk akor yang dimainkan not per not secara berurutan dalam pola tertentu.
6
dan terkesan “itu-itu saja” (monoton) juga faktor yang mempengaruhi gitaris
klasik mulai memainkan lagu-lagu non klasik. Bayangkan lagu Asturias karya
Isaac Albeniz yang selama hampir seabad tidak mengalami perubahan yang
berarti dan telah dimainkan di ribuan panggung dengan gitaris yang berbeda-beda,
serta banyak pengulangan dan durasi memainkannya yang cukup lama. Lambat
laun semakin banyak perbendaharaan lagu gitar klasik yang berasal dari lagu yang
populer di tengah masyarakat di tiap belahan dunia dan tidak sedikit yang
melakukan eksperimen dengan lagu daerah. Menjamurnya lagu-lagu non klasik
untuk dimainkan di gitar klasik membuat banyak gitaris mengtranskripsikan atau
bahkan mengaransemen lagu daerahnya sendiri untuk dimainkan secara solo.
Di Indonesia, banyak gitaris klasik ternama yang memainkan komposisi
lagu non klasik karya aransemen mereka sendiri. Sebut saja Iwan Tanzil, Benny
M Tanto, Jubing Kristianto, Sie Tjen Lie, dan masih banyak lagi. Dalam skripsi
ini, yang menjadi fokus kajian penulis adalah Iwan Tanzil. Beliau adalah seorang
gitaris dan komponis untuk instrumen gitar, warga negara Indonesia yang bertaraf
internasional. Ia banyak menimba ilmu dari para gitaris tingkat nasional dan dunia
seperti Johny Legoh, Rainer Wildt, Mariangeles Sanchez Benimeli (murid Andres
Segovia dan Emilio Pujol). Masih banyak lagi pengalaman internasional Iwan
Tanzil ini di bidang musik gitar ini. Secara lebih rinci dideskripsikan biografi
kesenimanannya di Bab II skripsi ini.
Walaupun ia memiliki pengalaman dan reputasi secara internasional sebagai
gitaris dan komponis untuk instrumen gitar, ia tidak melupakan akar budaya
dirinya sebagai warga negara Indonesia. Justru dengan semua pengalamannya
7
tersebut, ia mencoba mengenalkan lagu-lagu daerah Indonesia ke peringkat
internasional. Dua karya beliau yang menjadi bahan kajian dalam skripsi ini
adalah lagu Sipatokaan dari Sulawesi Utara dan Bubuy Bulan dari kebudayaan
Sunda di Jawa Barat Indonesia.
Secara etnomusikologis, karya beliau ini menarik untuk dikaji. Seperti
diketahui bahwa etnomusikologi adalah studi musik dalam kebudayaan. Dalam
hal ini sebagai seorang gitaris dan komponis untuk instrumen gitar yang
berpengalaman secara internasional beliau tidak melupakan akar kebudayaan
Indonesia. Sisi lain yang menarik adalah bagaimana beliau mengaransemen lagu-
lagu daerah Indonesia (dengan fokus kajian penulis pada dua lagu tersebut)?
Teknik-teknik permainan seperti apa yang diterapkan dalam komposisinya?
Semua ini menjadi bagian dari studi estetika dalam etnomusikologi.
Etnomusikologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang merupakan fusi dari
musikologi dan antropologi (etnologi). Secara eksplisit apa itu etnomusikologi
sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan manusia, didefinisikan oleh Merriam,
sebagai berikut.
Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in
8
culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies have been devoted to technical analysis of music sound (Merriam 1964:3-4).9
Apa yang dikemukakan oleh Merriam seperti kutipan di atas, bahwa para
pakar atau ahli etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih
pembagian ilmu, yaitu musikologi dan antropologi. Selanjutnya dalam
memfusikan kedua disiplin ini, akan menimbulkan kemungkinan-kemungkinan
munculnya masalah besar dalam rangka menggabungkan kedua disiplin itu. Oleh
karena itu setiap etnomusikolog akan berada dalam fokus keahlian ilmu pada
salah satu bidangnya saja, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut.
Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, dapat ditandai dari bahan-
bahan bacaan yang dihasilkannya. Katakanlah seorang sarjana etnomusikologi
menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem
tersendiri. Di lain sisi, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan
musik sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian
yang integral dari keseluruhan kebudayaan. Di dalam masa yang sama, beberapa
sarjana dipengaruhi secara luas oleh para pakar antropologi Amerika, yang
cenderung untuk mengasumsikan kembali suatu reaksi terhadap aliran-aliran
9Dalam aplikasi disiplin etnomusikologi di Indonesia dan dunia, terdapat sebuah buku yang
terus populer sampai sekarang ini, dalam realitasnya menjadi “bacaan wajib ” bagi para pelajar dan mahasiswa etnomusikologi seluruh dunia, dengan pendekatan kebudayan, fungsionalisme, strukturalisme, sosiologis, dan lain-lainnya. Buku yang diterbitkan tahun 1964 oleh North Western University di Chicago Amerika Serikat ini, menjadi semacam “karya utama” di antara karya-karya yang berciri khas etnomusikologis.
9
yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi
musik dalam konteks etnologisnya. Dalam kerja yang seperti ini, penekanan
etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian
struktur komponen suara musik sebagai suatu bagian dari permainan musik dalam
kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan
manusia yang lebih luas.
Hal tersebut telah disarankan secara bertahap oleh Bruno Nettl yaitu
terdapat kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" etnomusikologi di Jerman dan
Amerika, yang sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi
etnomusikologi ini dengan tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori,
metode, pendekatan, atau penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya
dilakukan oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang
bukan hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para
sarjana Amerika telah mempersembahkan teknik analisis suara musik.
Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk
dari dua disiplin ilmu dasar yaitu antropologi dan musikologi. Walaupun terdapat
variasi penekanan bidang yang berbeda dari masing-masing ahlinya, namun
terdapat persamaan bahwa mereka sama-sama berangkat dari musik dalam
konteks kebudayaannya.
Secara khusus, mengenai beberapa definisi tentang etnomusikologi telah
dikemukakan dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Pada tulisan edisi
berbahasa Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara (USU)
Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, telah
10
mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang terangkum dalam
buku yang bertajuk Etnomusikologi10 (1995). Dalam buku ini, Alan P. Merriam
mengemukakan 42 definisi etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut
kronologi sejarah dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun
1976.
Berdasarkan kepada keberadaan etnomusikologi yang merupakan fusi dari
dua bidang telaah, yaitu musikologi dan antropologi, maka sangatlah relevan
digunakan untuk mengkaji dua lagu tradisi (daerah) di Indonesia yang
diaransemen (secara musikologis) oleh Iwan Tanzil. Jadi musikologi penulis
gunakan untuk mengkaji bagaimana teknik dan gaya permainan gitar klasik pada
kedua lagu aransemen ini. Sementara di sisi lain, aspek kebudayaan (antropologis)
digunakan dalam melihat kedudukan lagu aransemen ini dalam konteks
masyarakat seni pendukung peradaban gitar klasik dunia, serta nilai-nilai tradisi
yang bagaimana yang terdapat dalam lagu ini, khususnya nilai tradisi Sulawesi
Utara dan Sunda.
10Buku ini diedit oleh R. Supanggah, diterbitkan tahun 1995. Diterbitkan di Surakarta oleh
Yayasan bentang Budaya, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan enam tulisan oleh empat pakar etnomusikologi (Barat) seperti: Barbara Krader, George List, Alan P. Merriam, dan K.A. Gourlay; yang dialihbahasakan oleh Santosa dan Rizaldi Siagian. Dalam buku ini Alan P. Merriam menulis tiga artikel, yaitu: (a) “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’: Sebuah Pandangan Historis-Teoretis,” (b) “Meninjau Kembali Disiplin Etnomusikologi,” (c) “Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi.” Sementara Barbara Krader menulis artikel yang bertajuk “Etnomusikologi.” Selanjutnya George List menulis artikel “Etnomusikologi: Definisi dalam Disiplinnya.” Pada akhir tulisan ini K.A. Gourlay menulis artikel yang berjudul “Perumusan Kembali Peran Etnomusikolog di dalam Penelitian.” Buku ini barulah sebagai alihbahasa terhadap tulisan-tulisan etnomusikolog (Barat). Ke depan, dalam konteks Indonesia diperlukan buku-buku panduan tentang etnomusikologi terutama yang ditulis oleh anak negeri, untuk kepentingan perkembangan disiplin ini. Dalam ilmu antropologi telah dilakukan penulisan buku seperti Pengantar Ilmu Antropologi yang ditulis antropolog Koentjaraningrat, diikuti oleh berbagai buku antropologi lainnya oleh para pakar generasi berikut seperti James Dananjaya, Topi Omas Ihromi, Parsudi Suparlan, Budi Santoso, dan lain-lainnya.
11
Dari latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti
dan menuliskannya ke dalam bentuk tulisan ilmiah berupa skripsi, dengan judul:
“Analisis Teknik dan Gaya Permainan Gitar Klasik pada Lagu Sipatokaan
dan Bubuy Bulan Aransemen Iwan Tanzil”.
1.2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang yang tertera di atas, pokok
permasalahan mengenai tulisan karya ilmiah ini adalah:
1. Teknik permainan apa sajakah yang digunakan dalam lagu Sipatokaan
dan Bubuy Bulan aransemen Iwan Tanzil tersebut?
2. Bagaimana gaya permainan lagu Sipatokaan dan Bubuy Bulan
aransemen Iwan Tanzil tersebut?
1.3 Tujuan dan Manfaat
1.3.1 Tujuan
Secara umun penelitian bertujuan untuk mengetahui atau mengungkapkan
objek yang diteliti yang bertujuan untuk menemukan sebuah kesimpulan dari
sebuah masalah. Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui teknik permainan yang digunakan dalam
aransemen lagu Sipatokaan dan Bubuy Bulan aransemen Iwan Tanzil.
2. Untuk mengetahui gaya lagu Sipatokaan dan Bubuy Bulan yang telah
diaransemen ke dalam bentuk gitar tunggal.
12
1.3.2 Manfaat
Hasil penelitian ini bermanfaat untuk penulis pribadi maupun masyarakat
luas pada saat membaca penulisan karya ilmiah ini. Adapun manfaat tersebut
antara lain:
1. Sebagai perbendaharaan dan dokumentasi bagi para gitaris klasik.
2. Sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya dikemudian hari.
3. Memberikan sumbangsih pemikiran kepada gitaris klasik agar
memperluas perbendaharaan lagunya.
4. Sebagai bahan motivasi bagi pembaca tulisan ini, secara khusus gitaris
klasik, agar dapat melestarikan lagu daerahnya masing-masing.
5. Sebagai syarat akhir penyelesaian studi penulis di Departemen
Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
1.4 Konsep dan Teori
1.4.1 Konsep
Konsep merupakan rancangan ide atau pengertian yang diabstrakan dari
peristiwa kongkret (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2005 hal
588).
Dalam penulisan konsep ini, penulis akan menerangkan kata-kata kunci
dalam judul tulisan yaitu: Analisis Teknik dan Gaya Permainan pada Lagu
Sipatokaan dan Bubuy Bulan Aransemen Iwan Tanzil. Hal ini dimaksudkan agar
pembaca memahami maksud dari judul tulisan ini.
13
Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan
penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antarbagian itu untuk memperoleh
pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan (Kamus Besar Bahasa
Indonesia , Balai Pustaka 2005 hal 43). Analisis yang dimaksudkan penulis pada
tulisan ini adalah penguraian teknik dan gaya permainan lagu daerah yang telah
ditetapkan sebagai objek penelitian dari sisi teknik dan gaya permainannya.
Teknik adalah cara membuat sesuatu atau melakukan sesuatu, sedangkan
permainan adalah suatu pertunjukan dan tontonan (Kamus Bahasa Indonesia
2008). Dari pengertian tersebut dapat diartikan bahwa teknik permainan
merupakan gambaran mengenai pola atau cara yang dipakai dalam suatu
pertunjukan. Yang dimaksud dengan teknik permainan dalam tulisan ini adalah
teknik permainan gitar klasik, yaitu cara memproduksi nada yang biasa dipakai
oleh pemain gitar klasik.
Gaya permainan yang penulis maksud dalam penelitian ini adalah
bagaimana komposisi lagu disusun oleh unsur-unsur musik baik dalam dimensi
ruang dan waktu. Antara dimensi ruang yang akan dikaji adalah tangga nada,
progresi akord (harmoni), bentuk lagu setelah diaransemen, dan aspek-aspek
sejenis setelah lagu tersebut diaransemen. Untuk dimensi waktu akan dikaji
tempo, tanda birama, durasi nada, dan lain-lainnya.
Lagu Sipatokaan dan Bubuy Bulan disini merupakan jenis lagu yang
dikategorikan ke dalam lagu daerah. Lagu daerah adalah lagu atau musik yang
berasal dari suatu daerah tertentu dan menjadi populer dinyanyikan baik oleh
rakyat daerah tersebut maupun rakyat lainnya. Biasanya pencipta lagu daerah
14
tidak diketahui (noname/NN). Lagu daerah biasanya memiliki lirik sesuai dengan
bahasa daerahnya masing-masing. Biasa dinyanyikan atau dimainkan pada tradisi-
tradisi tertentu pada masing-masing daerah seperti menidurkan anak, permainan
anak-anak, hiburan rakyat, pesta rakyat, dan sebagainya. Ciri lainnya adalah
mempunyai irama khusus yang merujuk bagi daerah asal lagu tersebut dan
disebarkan oleh media televisi dan radio.
Aransemen adalah upaya kreatif menata dan memperkaya sebuah lagu atau
komposisi, ke dalam format dan gaya yang baru. Mediumnya bisa apa saja, mulai
dari instrumen tunggal hingga orkestra. Mengaransemen lagu lebih mudah
daripada membuat komposisi karena tinggal mengutak-atik bahan yang sudah ada.
Perbendaharaan lagu yang bisa diaransemen pun banyak, mulai dari klasik, lagu-
lagu pop, atau lagu daerah. Untuk memperkaya aransemen, kita bisa melakukan
“bongkar-pasang” pada elemen-elemen dasar musik. Pola ritmik, melodi, timbre,
dan dinamika dengan racikan yang baru dapat membuat aransemen akan lebih
menarik. Tapi tentu saja tidak terlalu banyak mengubah esensi musik asli yang
akan dibawakan karena akan mengubah nilai dari arti aransemen yang sebenarnya,
yaitu memperkaya dan menata, bukan mengubahnya secara keseluruhan.
1.4.2 Teori
Teori merupakan bagian terpenting dari suatu pengetahuan. Tanpa teori
hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada
pengetahuan (Koentjaraningrat,1973:10). Teori sangat dibutuhkan dalam
penelitian untuk mempermudah peneliti dalam mengumpulkan informasi (data)
15
dan membatasi masalah yang ingin diteliti. Sebagai landasan berpikir dalam
melihat permasalahan dalam penelitian ini, maka penulis mempergunakan teori-
teori yang relevan.
Untuk menganalisis teknik permainan gitar klasik yang digunakan dalam
dua lagu aransmen Iwan Tanzil seperti diurai di atas, maka penulis menggunakan
teori teknik permainan gitar klasik dalam budaya Barat. Salah satu buku yang
memuat teori ini adalah pada Classic Guitar Course (T. Koizumi, 1974).
Pendekatan etnosains orang-orang Eropa dalam bermain gitar diantaranya adalah:
scordatura, mano izquerda sola, glissando, dan lain-lain.
Dalam menganalisis aspek gaya musik pada lagu Sipatokaan dan Bubuy
Bulan yang telah diaransemen Iwan tanzil, penulis melakukan identifikasi
terhadap hal-hal mendasar pada musik menurut Felix Salzer dalam bukunya yang
berjudul Structural Hearing Tonal Coherence In Music (1962:35).
The Rudiments of Music, a) Notation; scales; church modes; overtones series. b) Major, minor, diminished, and augmented intervals; triads and seventh chords; non harmonic tones (neighbour and passing tones, appogiaturas, suspensions, anticipations); roman numerals and figured bass numerals. c) Chord grammar (ability to write and identify any chord). Listening Approach: a) Aural recognition of the material listed above. b) Meter (duple, triple, and compound); rhythmic design of melodies. c) Melodic dictation of folk tunes and themes from instrumental music; two-part dictation of as preparation for two-part counterpoint. Teori ini memberikan gambaran bagaimana mengidentifikasi melalui
pengalaman mendengar musik, menentukan melodi, akor, dan ritem lagu, juga
kemampuan untuk mengidentifikasi semua bentuk-bentuk akor.
16
Dalam kaitannya menganalisis gaya dua lagu daerah Indonesia yang telah
diaransemen oleh Iwan Tanzil, maka penulis akan menganalisis: (1) dimensi
ruang yaitu melodi dan akor/harmoni; (2) dimensi waktu yaitu ritem.
Untuk mengkaji dua aspek komposisi dua lagu aransemen Iwan Tanzil di
atas, sesuai dengan teori dasar musikal yang ditawarkan oleh Salzer, maka penulis
menggunakan notasi balok yang ditulis sendiri oleh Iwan Tanzil. Kedua notasi
lagu ini dikirimkannya secara langsung melalui email.
Adapun notasi dalam etnomusikologi, menurut Charles Seeger (1971:24-34)
dibedakan dalam dua jenis notasi menurut tujuannya. Pertama adalah notasi
preskriptif, yaitu notasi untuk seorang penyaji (bagaimana ia harus menyajikan
sebuah komposisi musik). Notasi ini berfungsi tidak lebih dari membantu penyaji
untuk mengingat aspek musikal pada saat melakukan pertunjukan. Kedua adalah
notasi deskriptif, yaitu notasi yang menuliskan semua karakter musikal secara
rinci dari suatu komposisi musik.
Berdasarkan pemahaman yang dikemukakan Seeger tersebut, maka notasi
yang dihasilkan oleh Iwan Tanzil dalam mengkomposisikan aransemennya dapat
dikategorikan sebagai notasi deskriptif. Notasi aransemen ini, bisa dikatakan
sangat detil dan rinci, termasuk teknik-teknik yang digunakan bagian per bagian.
17
Bagan 1.1
Analisis Teknik dan Gaya Permainan Lagu Sipatokaan dan Bubuy Bulan
Aransemen Iwan Tanzil
Iwan TanzilGitaris dan Arranger
InternasionalWarga Negara Indonesia
Gitaris Klasik
Arranger Lagu-Lagu Daerah Indonesia
Sipatokaan& Bubuy Bulan
Analisis Teknik
Teori Etnosains Barat
Analisis Gaya
Teori Gaya Musik Nettl
Etnomusikologi
18
1.5 Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian terhadap bahan tulisan ini penulis
menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor (1975)
dalam buku Moleong (2004:3), metode kualitatif dijadikan sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Dalam rangka kerja penelitian ini, penulis juga berpedoman pada disiplin
etnomusikologi. Seperti yang dikemukakan Curt Sachs dalam Nettl (1964:62)
yaitu penelitian etnomusikologi dibagi dalam dua jenis pekerjaan yakni kerja
lapangan (field work) dan kerja laboraturium (desk work). Kerja lapangan meliputi
studi kepustakaan, observasi, wawancara, dan perekaman lagu. Sedangkan kerja
laboratorium meliputi pembahasan dan penganalisisan data yang telah diperoleh
selama penelitian.
1.5.1 Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan bisa diartikan sebagai segala usaha yang dilakukan oleh
peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah
yang akan atau sedang diteliti. Informasi itu dapat diperoleh dari buku-buku
ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, tesis dan disertasi,
peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, buku tahunan, ensiklopedia, dan
sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik.
Beberapa bahan tertulis yang dijadikan sumber untuk menghimpun
informasi oleh penulis antara lain:
19
1. Buku Gitarpedia oleh Jubing Kristianto (2007). Buku ini dijadikan
sebagai sumber informasi tentang gitar klasik mulai dari sejarah,
organologi, perbendaharaan lagu, dan unsur yang mendukungnya.
2. Buku Theory and Method in Ethnomusicology oleh Bruno Nettl.
Tulisan ini membahas tentang apa itu etnomusikologi baik itu tentang
kajiannya, metode, teori, pemahaman, maupun pembahasan tentang
etnomusikologi.
3. Buku Guitar Course Fundamental, 1, 2, dan 3 oleh T. Koizumi. Buku
ini berisi tentang dasa-dasar bermain gitar klasik dan teori-teori teknik
permainan dalam gitar klasik.
4. Pengetahuan Dasar Musik, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
(1982). Buku ini dijadikan pedoman dalam mendeskripsikan unsur-
unsur pendukung dalam musik yang berkaitan dengan judul penulis.
1.5.2 Observasi
Sebelum melakukan penelitian, penulis mencari informasi tentang pemain
gitar yang banyak mempunyai karya aransemen dalam bentuk gitar tunggal yang
berbahan dasar lagu daerah, dengan tujuan menjadikannya informan kunci. Agar
dapat melakukan kerja laboraturium dengan mudah, penulis mencari gitaris klasik
yang sudah mentranskripsi hasil aransemennya. Informasi mengenai Iwan Tanzil
ini penulis peroleh dari beberapa informan pangkal, yaitu para gitaris-gitaris,
guru, dan pengajar gitar klasik di Medan untuk dapat lebih menjelaskan secara
mendalam tentang gitar klasik dan hal-hal lain yang berkaitan dengan tulisan ini.
20
Mereka umumnya memang mengakui dan menyarankan untuk mengkaji lagu-lagu
aransemen Iwan Tanzil yang pengalaman dan kekaryaannya bertaraf
internasional, dan telah diketahui secara baik oleh para informan pangkal ini.
1.5.3 Wawancara
Berhubung saat melakukan penelitian informan sedang berdomisili di
Jerman, wawancara dilakukan penulis dengan menggunakan sarana teknologi
komunikasi yaitu email (gmail.com). Penulis selama tiga kali menanyakan seputar
karya aransemen dan ilmu pengetahuan musik kepada Bapak Iwan Tanzil. Ia pun
sangat merespons dengan baik dan bijaksana. Melalui email ini juga beliau
mengirimkan notasi dua lagu tersebut, serta data-data kehidupannya.
1.5.4 Perekaman Lagu
Perekaman lagu dilakukan sebagai bentuk antisipasi jika penulis tidak
mendapatkan partitur yang cukup dari informan kunci. Setelah direkam, barulah
penulis mentranskripsikannya menjadi sebuah notasi agar lebih mudah untuk
mendeskripsikannya. Selain itu, teknik permainan dan sistem penjarian akan lebih
terlihat jika dilakukan perkaman lagu secara visual.
Dalam hal ini penulis lebih dahulu mendapatkan notasi langsung melalui
email dari Iwan Tanzil. Untuk membantu penulis dalam aspek audiovisualnya,
penulis kemudian mencari dua lagu aransemen beliau ini. Akhirnya penulis
mendapatkannya di situs www.youtube.com. Selanjutnya sebagai bahan kajian
21
audiovisual, penulis merekam data-data audiovisual tersebut ke dalam format
mp4.
1.5.5 Kerja Laboraturium
Seluruh data yang telah dikumpulkan penulis, baik itu dalam bentuk partitur
atau rekaman lagu, akan diolah dalam kerja laboraturium. Dalam kerja
laboratorium ini penulis mendengar, melihat, dan membandingkannya dengan
notasi lagu yang telah didapat. Ternyata secara deskriptif apa yang tertulis bisa
dikatakan “sama” dengan notasi yang terlihat. Notasinya dikerjakan dengan amat
detail dan rinci.
Kemudian setelah itu, penulis menganalisisnya berdasarkan dua pokok
masalah yang telah ditentukan. Yang pertama adalah menganalisis teknik-teknik
permainan gitar klasik yang digunakan untuk memainkan aransemen dua lagu di
atas. Yang kedua adalah menganalisis gaya musik hasil arasmen Iwan tanzil untuk
dua lagu tersebut dengan melakukan identifikasi terhadap melodi, akor, dan ritem.
22
BAB II
BIOGRAFI RINGKAS IWAN TANZIL DAN
GAMBARAN UMUM LAGU-LAGU DAERAH DI INDONESIA
2.1 Pengenalan
Pada Bab II ini akan dijelaskan tentang dua hal yaitu: (a) biografi ringkas
Iwan Tanzil sebagai warga negara Indonesia, yang kemudian memiliki reputasi
internasional sebagai gitaris dan arranger lagu-lagu untuk gitar klasik, terutama
lagu-lagu daerah Indonesia, (b) gambaran umum lagu-lagu daerah di Indonesia
dimulai dengan membahas letak geografis Indonesia yang mempengaruhi
kebudayaan di dalamnya. Lalu akan dilakukan deskripsi terhadap lagu daerah
yang merupakan bagian dari unsur kebudayaan. Hingga pada akhir bab, penulis
akan fokus terhadap dua lagu daerah (yaitu Sipatokaan dan Bubuy Bulan) yang
merupakan objek penelitian tulisan ini dengan membahas hal-hal non-musikal
yang berkaitan dengan lagu-lagu tersebut.
Bab ini sebenarnya ingin menerangkan secara umum bahwa Iwan Tanzil
sebagai gitaris dan arranger lagu-lagu daerah Indonesia untuk intrumen gitar
adalah bagian yang integral dalam konteks “internasionalisasi” kebudayaan
Indonesia. Bagi penulis, Iwan Tanzil memiliki kecerdasan menyiasat zaman dan
juga mampu mengenalkan kebudayaan Indonesia dalam konteks globalisasi. Pada
masa ini setiap kelompok manusia harus kreatif dalam memperkenalkan
kebudayaanya secara internasional, dan sekaligus tetap teguh mempertahankan
identitas kebudayaannya, baik itu budaya etnik maupun nasionalnya.
23
2.2 Biografi Ringkas
Nama Iwan Tanzil menjadi pilihan penulis untuk menganalisis teknik
permainan dan struktur musik dari lagu yang telah diaransemen. Pria kelahiran
1963 ini memulai perjalanan musiknya dalam bergitar pada umur 14 tahun.
Iwan Tanzil pernah berguru kepada gitaris Indonesia antara lain Johny
Legoh dan Rainer Wildt. Selesai SMA tahun 1983, ia melanjutkan studi musik di
Hochschule der Kuenste Berlin (Sekolah Tinggi Seni Berlin) di bawah bimbingan
Mariangeles Sanchez Benimeli (murid Andres Segovia dan Emilio Pujol) dan
Prof. Martin Rennert. Selama belajar dia juga aktif mengikuti masterclass dari
gitaris-gitaris top dunia antara lain Javier Hinojosa (spesialis musik Renaisance
dan Barok), Vladimir Mikulka, Angelo Gilardino, Roberto Aussell, dan Manuel
Barrueco.
Tahun 1988 ia menyelesaikan studinya di bidang Concert Guitar dan
melanjutkannya ke jenjang "Kuenstlerische Reifeprüfung" (Ujian kematangan
seorang artis / Concert Diploma) yg diselesaikan tahun 1991. Keduanya lulus
dengan pujian (with Honour).
Setahun berikutnya, dalam usia 26 tahun ia menjuarai kompetisi gitar
internasional Concorso Internazionale La Conquista della Chitarra Classica di
Milano, Italia. Sejak itu ia aktif konser berkeliling Jerman, Polandia, Italia,
Spanyol, Korea Selatan, Jerman, dan juga Indonesia. Di konsernya ia juga
memainkan musik Renaisance dan Barok dengan menggunakan instrumen aslinya
seperti vihuela dan gitar Barok/Renaisance.
24
Ia telah membuat 5 CD, di antaranya album karya lengkap Heitor Villa-
lobos. Pujian untuk konser dan rekamannya mengalir dari dari majalah Gitarre
und Laute (Jerman dan edisi Jepang), Classical Guitar London (Inggris), Les
Cahier de la Musigue (Perancis), Guitar Aktuel (Jerman), Seicorde (Italia), juga
dari berbagai kritikus musik di surat-surat kabar di banyak negara Eropa, Afrika,
dan Asia. Sebagai gitaris konser, Tanzil bekerja sama dengan banyak komposer
terkenal seperti Nikita Koshkin (Rusia), Bredemeyer, Von Schweinitz, Stahmer
(Jerman), Carlo Domeniconi (Italia), Jaime M. Zenamon (Brazil), Ryun Chung
(Korea), dan masih banyak lagi. Dari kerja sama ini lahir berbagai karya untuk
gitar yang khusus ditulis (dedication) untuknya. Iwan Tanzil juga menjabat
sebagai editor di perusahaan penerbitan musik terkemuka Edition Margaux
/Verlag Neue Musik (Berlin), AMA Verlag (Brühl), dan Musik Verlag Vogt und
Fritz (Schweinfurt).
Gambar 2.1
Iwan Tanzil
Sumber: www.facebook.com
25
2.3 Letak Geografis Indonesia dan Hubungannya dengan Kebudayaan
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar. Sekitar 17.504 pulau
(Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, 2004) merupakan bagian dari
NKRI. Secara geografis, Indonesia diapit oleh 2 benua dan 2 samudera. Pada
barat laut Indonesia terdapat benua Asia dan di tenggara Indonesia berbatasan
dengan benua Australia. Letak Indonesia yang berada pada posisi silang ini
menjadikan Indonesia sebagai persimpangan lalu lintas dunia, baik darat, udara,
ataupun laut. Negara kepulauan dan berada di pusat posisi lintas dunia adalah
alasan yang cukup kuat untuk menjawab pertanyaan tentang kekayan kultur di
negeri ini.
Jumlah suku di Indonesia juga tidak sedikit. Ada sekitar 1.128 suku yang
terdaftar oleh BPS (Badan Pusat Statistik) melalui sensus penduduk terakhir
(2000). Tabel di bawah ini hanya mencantumkan suku-suku inti yang ada di
Indonesia, belum termasuk pecahan/pembagiannya.
Tabel 2.1
Proporsi Jumlah Suku di Indonesia
Suku Bangsa
Populasi
(ribu)
Persentasi
Kawasan Utama
Suku Jawa
86,012
41,7
Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung
Suku Sunda
31,765
15,4
Jawa Barat
Tionghoa-
Indonesia
7,776
3,7
Jabodetabek, Bandung, Kalimantan
Barat, Surabaya, Bangka Belitung,
Kepulauan Riau, Medan, Bagan Siapi-
api, Jambi, Palembang, Makassar,
26
Manado
Suku Melayu
7,013 3,4
Pesisir timur Sumatera , Kalimantan
Barat
Suku Madura
6,807 3,3 Pulau Madura
Suku Batak
6,188 3,0
Sumatera Utara
Suku
Minangkabau
5,569 2,7 Sumatera Barat, Riau
Suku Betawi
5,157 2,5
Jakarta
Suku Bugis
5,157 2,5
Sulawesi Selatan
Arab-Indonesia
5,000 2,4 Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah
Suku Banten
4,331 2,1 Banten
Suku Banjar
3,506 1,7 Kalimantan Selatan
Suku Bali
3,094 1,5 Pulau Bali
Suku Sasak
2,681
1,3
Pulau Lombok
Suku Makassar
2,063
1,0 Sulawesi Selatan
Suku Cirebon
1,856 0,9
Jawa Barat
India-Indonesia
3,094 1,2 Jawa Tengah
Sumber: BPS, 2000
Dengan banyaknya jenis suku bangsa di Indonesia membuat negeri ini
menjadi salah satu negara dengan kekayaan kultur yg mencolok. Hal ini bisa saja
terjadi karena setiap suku di Indonesia menghasilkan kebudayaan yang berbeda-
beda. Mempelajari unsur-unsur yang terdapat dalam sebuah kebudayaan sangat
penting untuk memahami kebudayaan manusia. Kluckhon dalam bukunya yang
berjudul Universal Categories of Culture membagi kebudayaan yang ditemukan
pada semua bangsa di dunia dari sistem kebudayaan yang sederhana seperti
27
masyarakat pedesaan hingga sistem kebudayaan yang kompleks seperti
masyarakat perkotaan.
Kluckhon membagi sistem kebudayaan menjadi tujuh unsur kebudayaan
universal atau disebut dengan kultural universal. Menurut Koentjaraningrat, istilah
universal menunjukkan bahwa unsur-unsur kebudayaan bersifat universal dan
dapat ditemukan di dalam kebudayaan semua bangsa yang tersebar di berbagai
penjuru dunia. Ketujuh unsur kebudayaan tersebut adalah:
1. Sistem Bahasa
Bahasa merupakan sarana bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan
sosialnya untuk berinteraksi atau berhubungan dengan sesamanya. Dalam ilmu
antropologi, studi mengenai bahasa disebut dengan istilah antropologi linguistik.
Menurut Keesing, kemampuan manusia dalam membangun tradisi budaya,
menciptakan pemahaman tentang fenomena sosial yang diungkapkan secara
simbolik, dan mewariskannya kepada generasi penerusnya sangat bergantung
pada bahasa. Dengan demikian, bahasa menduduki porsi yang penting dalam
analisa kebudayaan manusia.
Menurut Koentjaraningrat, unsur bahasa atau sistem perlambangan manusia
secara lisan maupun tertulis untuk berkomunikasi adalah deskripsi tentang ciri-ciri
terpenting dari bahasa yang diucapkan oleh suku bangsa yang bersangkutan
beserta variasivariasi dari bahasa itu. Ciri-ciri menonjol dari bahasa suku bangsa
tersebut dapat diuraikan dengan cara membandingkannya dalam klasifikasi
bahasa-bahasa sedunia pada rumpun, sub rumpun, keluarga dan sub keluarga.
Menurut Koentjaraningrat menentukan batas daerah penyebaran suatu bahasa
28
tidak mudah karena daerah perbatasan tempat tinggal individu merupakan tempat
yang sangat intensif dalam berinteraksi sehingga proses saling memengaruhi
perkembangan bahasa sering terjadi.
2. Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan dalam kultural universal berkaitan dengan sistem
peralatan hidup dan teknologi karena sistem pengetahuan bersifat abstrak dan
berwujud di dalam ide manusia. Sistem pengetahuan sangat luas batasannya
karena mencakup pengetahuan manusia tentang berbagai unsur yang digunakan
dalam kehidupannya.
Masyarakat pedesaan yang hidup dari bertani akan memiliki sistem kalender
pertanian tradisional yang disebut sistem pranatamangsa yang sejak dahulu telah
digunakan oleh nenek moyang untuk menjalankan aktivitas pertaniannya.
Menurut Marsono, pranatamangsa dalam masyarakat Jawa sudah digunakan sejak
lebih dari 2000 tahun yang lalu. Sistem pranatamangsa digunakan untuk
menentukan kaitan antara tingkat curah hujan dengan kemarau. Melalui sistem ini
para petani akan mengetahui kapan saat mulai mengolah tanah, saat menanam,
dan saat memanen hasil pertaniannya karena semua aktivitas pertaniannya
didasarkan pada siklus peristiwa alam. Sedangkan Masyarakat daerah pesisir
pantai yang bekerja sebagai nelayan menggantungkan hidupnya dari laut sehingga
mereka harus mengetahui kondisi laut untuk menentukan saat yang baik untuk
menangkap ikan di laut. Pengetahuan tentang kondisi laut tersebut diperoleh
melalui tanda-tanda atau letak gugusan bintang di langit.
29
Banyak suku bangsa yang tidak dapat bertahan hidup apabila mereka tidak
mengetahui dengan teliti pada musim-musim apa berbagai jenis ikan pindah ke
hulu sungai. Selain itu, manusia tidak dapat membuat alat-alat apabila tidak
mengetahui dengan teliti ciri-ciri bahan mentah yang mereka pakai untuk
membuat alat-alat tersebut. Tiap kebudayaan selalu mempunyai suatu himpunan
pengetahuan tentang alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, benda, dan manusia yang
ada di sekitarnya. Menurut Koentjaraningrat, setiap suku bangsa di dunia
memiliki pengetahuan mengenai, antara lain:
a. alam sekitarnya;
b. tumbuhan yang tumbuh di sekitar daerah tempat tinggalnya;
c. binatang yang hidup di daerah tempat tinggalnya;
d zat-zat, bahan mentah, dan benda-benda dalam lingkungannya;
e. tubuh manusia;
f. sifat-sifat dan tingkah laku manusia;
g. ruang dan waktu.
3. Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial
Unsur budaya berupa sistem kekerabatan dan organisasi sosial merupakan
usaha antropologi untuk memahami bagaimana manusia membentuk masyarakat
melalui berbagai kelompok sosial. Menurut Koentjaraningrat tiap kelompok
masyarakat kehidupannya diatur oleh adat istiadat dan aturan-aturan mengenai
berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan di mana dia hidup dan bergaul dari
hari ke hari. Kesatuan sosial yang paling dekat dan dasar adalah kerabatnya, yaitu
30
keluarga inti yang dekat dan kerabat yang lain. Selanjutnya, manusia akan
digolongkan ke dalam tingkatan-tingkatan lokalitas geografis untuk membentuk
organisasi sosial dalam kehidupannya.
Kekerabatan berkaitan dengan pengertian tentang perkawinan dalam suatu
masyarakat karena perkawinan merupakan inti atau dasar pembentukan suatu
komunitas atau organisasi sosial.
4. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Manusia selalu berusaha untuk mempertahankan hidupnya sehingga mereka
akan selalu membuat peralatan atau benda-benda tersebut. Perhatian awal para
antropolog dalam memahami kebudayaan manusia berdasarkan unsur teknologi
yang dipakai suatu masyarakat berupa benda-benda yang dijadikan sebagai
peralatan hidup dengan bentuk dan teknologi yang masih sederhana. Dengan
demikian, bahasan tentang unsur kebudayaan yang termasuk dalam peralatan
hidup dan teknologi merupakan bahasan kebudayaan fisik.
5. Sistem Ekonomi/Mata Pencaharian Hidup
Mata pencaharian atau aktivitas ekonomi suatu masyarakat menjadi fokus
kajian penting etnografi. Penelitian etnografi mengenai sistem mata pencaharian
mengkaji bagaimana cara mata pencaharian suatu kelompok masyarakat atau
sistem perekonomian mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Sistem
ekonomi pada masyarakat tradisional, antara lain:
a. berburu dan meramu;
31
b. beternak;
c. bercocok tanam di ladang;
d. menangkap ikan;
e. bercocok tanam menetap dengan sistem irigasi.
Pada saat ini hanya sedikit sistem mata pencaharian atau ekonomi suatu
masyarakat yang berbasiskan pada sektor pertanian. Artinya, pengelolaan sumber
daya alam secara langsung untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dalam
sektor pertanian hanya bisa ditemukan di daerah pedesaan yang relatif belum
terpengaruh oleh arus modernisasi.
Pada saat ini pekerjaan sebagai karyawan kantor menjadi sumber
penghasilan utama dalam mencari nafkah. Setelah berkembangnya sistem industri
mengubah pola hidup manusia untuk tidak mengandalkan mata pencaharian
hidupnya dari subsistensi hasil produksi pertaniannya. Di dalam masyarakat
industri, seseorang mengandalkan pendidikan dan keterampilannya dalam mencari
pekerjaan.
6. Sistem Religi
Koentjaraningrat menyatakan bahwa asal mula permasalahan fungsi religi
dalam masyarakat adalah adanya pertanyaan mengapa manusia percaya kepada
adanya suatu kekuatan gaib atau supranatural yang dianggap lebih tinggi daripada
manusia dan mengapa manusia itu melakukan berbagai cara untuk berkomunikasi
dan mencari hubungan-hubungan dengan kekuatan-kekuatan supranatural
tersebut.
32
Dalam usaha untuk memecahkan pertanyaan mendasar yang menjadi
penyebab lahirnya asal mula religi tersebut, para ilmuwan sosial berasumsi bahwa
religi suku-suku bangsa di luar Eropa adalah sisa dari bentuk-bentuk religi kuno
yang dianut oleh seluruh umat manusia pada zaman dahulu ketika kebudayaan
mereka masih primitif.
7. Kesenian
Perhatian ahli antropologi mengenai seni bermula dari penelitian etnografi
mengenai aktivitas kesenian suatu masyarakat tradisional. Deskripsi yang
dikumpulkan dalam penelitian tersebut berisi mengenai benda-benda atau artefak
yang memuat unsur seni, seperti patung, ukiran, dan hiasan. Penulisan etnografi
awal tentang unsur seni pada kebudayaan manusia lebih mengarah pada teknik-
teknik dan proses pembuatan benda seni tersebut. Selain itu, deskripsi etnografi
awal tersebut juga meneliti perkembangan seni musik, seni tari, dan seni drama
dalam suatu masyarakat.
Berdasarkan jenisnya, seni rupa terdiri atas seni patung, seni relief, seni
ukir, seni lukis, dan seni rias. Seni musik daerah terdiri atas seni vokal dan
instrumental, sedangkan seni sastra terdiri atas prosa dan puisi. Selain itu, terdapat
seni gerak dan seni tari, yakni seni yang dapat ditangkap melalui indera
pendengaran maupun penglihatan. Seni drama dibagi atas 2 jenis, yaitu drama
tradisional (wayang, ketoprak, tari, ludruk, dan lenong) dan drama modern (film,
lagu, dan koreografi).
33
2.4 Lagu Daerah di Indonesia
Kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun oleh suatu suku salah
satunya adalah kesenian. Kesenian mengacu pada nilai keindahan yang berasal
dari ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati mata atau telinga.
Tarian, musik (vokal dan instrumen), dan benda-benda bernilai seni adalah
kebudayaan daerah yang dimiliki setiap suku.
Seni musik vokal yang ada di daerah dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:
1. Seni musik klasik
Seni musik klasik adalah lagu yang dikembangkan di pusat-pusat
pemerintahan rakyat lama seperti ibukota kerajaan atau kesultanan. Unsur-unsur
musikalitas yang ada didalamnya sudah dipertimbangkan sedemikian detailnya.
Lagu Klasik dinilai lebih agung dibandingkan lagu rakyat saat pembawaanya. Ini
disebabkan karena lagu klasik memiliki fungsi yang lain, yaitu diterapkan pada
upacara-upacara adat kerajaan.
2. Seni musik kerakyatan
Lagu rakyat yaitu lagu yang berasal dari rakyat di suatu daerah. Lagu rakyat
tersebar secara alami yang disampaikan secara lisan dan turun-temurun. Contoh
lagu rakyat yaitu lagu yang dipakai untuk pernikahan, kematian, berladang,
berlayar, menenun, dan sebagainya. Perbedaan yang paling mencolok dengan lagu
klasik di istana kerjaan adalah nilai estetis yang ada didalamnya.
Lagu daerah, yang akan fokus penulis bahas dalam tulisan ini, lahir dari seni
musik kerakyatan. Iramanya mencirikan kultur dari daerah dimana lagu tersebut
berkembang. Lagu daerah atau musik daerah adalah lagu atau musik yang berasal
34
dari suatu daerah tertentu dan menjadi populer dinyanyikan baik oleh rakyat
daerah tersebut maupun rakyat lainnya. Lagu daerah juga bisa dikatakan sebagai
suatu bentuk karya seni yang menggunakan medium suara atau bunyi-bunyian,
yang hidup dan berkembang ditengah masyarakat yang sesuai dengan aturan-
aturan daerah setempat yang di lakukan secara turun menurun dan
pembelajarannya dilakukan secara oral. Musik daerah kebanyakan merupakan
warisan leluhur sehingga tidak diketahui siapa pencentusnya dan tidak
menonjolkan sikap perorangan karena musik daerah adalah milik suatu golongan
suku bangsa.
Beberapa ciri khas lagu daerah, antara lain sebagai berikut:
1. Menceritakan tentang keadaan lingkungan ataupun budaya masyarakat
setempat yang sangat dipengaruhi oleh adat istiadat setempat.
2. Bersifat sederhana sehingga untuk mempelajari lagu daerah tidak
dibutuhkan pengetahuan musik yang cukup mendalam seperti membaca dan
menulis not balok.
3. Jarang diketahui pengarangnya.
4. Mengandung nilai-nilai kehidupan, unsur-unsur kebersamaan sosial, serta
keserasian dengan lingkungan hidup sekitar.
5. Mengandung nilai-nilai kehidupan yang unik dan khas.
6. Sulit dinyanyikan oleh seseorang yang berasal dari daerah lain karena
kurangnya penguasaan dialek/bahasa setempat sehingga penghayatannya
kurang maksimal.
Fungsi lagu daerah juga bermacam-macam. Diantaranya adalah:
35
1. Sebagai sarana upacara adat
Di beberapa daerah tertentu musik dianggap memiliki kekuatan magis yang
tidak dapat di deskripsikan. Karena itu seringkali musik daerah mempunyai
fungsi yang sangat penting dalam suatu upacara adat seperti pada upacara
merapu di Sumba atau pada upacara seren taun (panen padi) didaerah sunda.
2. Sebagai pengiring tari
Musik daerah mempunyai fungsi utama yaitu untuk mengiringi tari-tari
daerah atau lagu-lagu daerah.
3. Media komunikasi
Sarana komunikasi dengan musik dapat di lihat pada saat bulan romadhan
dan saat siskamling. Dimana alat musik kentongan di tabuh untuk
membangunkan warga untuk bangun sahur atau untuk berwaspada.
4. Media bermain
Lagu-lagu daerah yang biasa diiringi dengan musik daerah biasanya
dijadikan media bermain bagi anak-anak daerah. Seperti contohnya lagu
cublak-cublak suweng dan sang bangau (betawi)
5. Sarana (media) penerangan
Dizaman modern musik daerah dapat di jadikan media penerangan untuk
mempromosikan keanekaragaman budaya daerah serta sebagai sarana iklan
layanan masyarakat.
6. Iringan pertunjukan
Musik adalah bagian yang tak terpisahkan dari sebuah pertunjukan. Sebuah
tarian tak akan lengkap tanpa musik. Sebuah lagu akan kurang semarak
36
tanpa musik. Pertunjukan kesenaian daerah selalu menggunakan alat musik
sebagai iringan pertunjukannya seperti; pagelaran wayang, sandratari,
ketoprak dll.
Tabel 2.2
Lagu Daerah di Tiap Provinsi Indonesia
No. Provinsi Judul Lagu
1. Nanggroe Aceh Darussalam Lagu Sepakat Segenap Lagu Bungong Jeumpa Lagu Lembah Alas
2. Sumatera Utara Lagu Butet Lagu Sengko-sengko Lagu Pantun Lama Lagu Anju Ahu Lagu Dago Inang Sarge Lagu Lisoi Lagu Madedek Magambiri Lagu Meriam Tomong Lagu Na Sonang Dohita Nadua Lagu Rambadia Lagu Sing Sing So Lagu Sinanggar Tulo
3. Sumatera Barat Lagu Ayam Den Lapeh Lagu Kampuang nan jauh di Mato Lagu Barek Solok Lagu Kambanglah Bungo Lagu Ka Parak Tingga Lagu Malam Baiko Lagu Rang Talu Lagu Dayung Palinggam
4. Jambi Lagu Selendang Mayang Lagu Pinang Muda Lagu Injit-Injit Semut
37
Lagu Batanghari
5. Bengkulu Lagu Lalan Belek
6. Riau Lagu Soleram Lagu Langgam melayu
7. Sumatera Selatan Lagu Dek Sangke Lagu Tari Tanggai Lagu Kabile-bile
8. Lampung Lagu Lipang Lipangdang Lagu Adi-adi Laun Lambar Sang Bumi Ruwa jurai
9. Jawa Barat Lagu Manuk Dadali Lagu Bubuy Bulan Lagu Cing Cangkeling Lagu Panon Hideung Lagu Pileuleuyan Lagu Tokecang Lagu Sintren
10. DKI Jakarta Lagu Jali-Jali Lagu Keroncong Kemayoran Lagu Kicir-Kicir Lagu Surilang
11. Jawa Tengah Lagu Gambang Suling Lagu Gek Kepriye Lagu Gundul Pacul Lagu llir-llir
12. Jawa Timur Lagu Keraban Sape Lagu Tanduk Majeng Lagu Rek ayo Rek Lagu Padhang wulan
13. Yogyakarta Lagu Pitik Tukung Lagu Sinom Lagu Suwe Ora Jamu Lagu Tekate Dipanah
38
Lagu Gundhul-gundhul pacul
14. Bali Lagu Macep-cepetan Lagu Meyong-Meyong Lagu Ngusak Asik Lagu Putri Ayu Lagu Juru Pencar Lagu Janger Dewa Ayu Lagu Mejangeran
15. Nusa Tenggar Barat Lagu Bolelebo Lagu Orlen-Orlen Lagu O re re Lagu Kupendi Jangi Lagu Haleleu Ala De Teang Lagu Moree Lagu Pai Mura Rame Lagu Tebe O Nana
16. Nusa Tenggara Timur Lagu Desaku Lagu Anak Kambing Saya Lagu Potong Bebek Lagu Flobamora Lagu Pai Mura Rame, Lagu Tutu Koda
17. Kalimantan Barat Lagu Cik-Cik Periuk
18. Kalimantan Tengah Lagu Palu Lempong Lagu Nuluya Lagu Tumpi Wayu Lagu Kelayar Lagu Pupoi
19. Kalimantan Selatan Lagu Paris Barantai Lagu Ampar-Ampar Pisang Lagu Saputangan Bapuncu Ampat
20. Kalimantan Timur Lagu Indung-Indung
21. Sulawesi Selatan Lagu Angin Mammiri Lagu Pakerena Lagu Peiwa
39
Lagu Tawa-tawa Lagu To Mepare Lagu Ma Rencong
22. Sulawesi Barat Lagu Tenggang-Tenggang Lopi
23. Sulawesi tengah Lagu Tondok Kadindangku Lagu Peiwa Tawa-tawa Lagu Tope Gugu
24. Sulawesi Tenggara Lagu Peiwa Tawa-tawa
25. Gorontalo Lagu Binde Buluhuta Lagu Tahuli Lagu Moholunga
26. Sulawesi Utara Lagu Esa Mokan Lagu 0 Ina Ni Keke Lagu Sipatokahan Lagu Sitara Tillo Lagu Tahanusangkara
27. Maluku Lagu Burung Tantina Lagu Goro-Gorone Lagu Fluhatee Lagu Kole-Kole Lagu Mande-mande Lagu Ayo Mama Lagu Ole Sioh Lagu Rasa Sayang-Sayange Lagu Sarinande Lagu Tanase
28. Papua Lagu Yamko Rambe Yamko Lagu Apuse
Sumber: www.wikipedia.or.id
Tabel di atas berisi tentang contoh-contoh lagu daerah yang terdapat di
Indonesia. Disertakan juga dari provinsi mana lagu tersebut berasal. Berdasarkan
40
ciri-ciri lagu daerah yang sudah dibahas sebelumnya, lagu-lagu ini biasanya
mencirikan suku daerah mayoritas yang ada di provinsi tersebut. Irama, pesan,
suasana, dan tentunya juga bahasa teks tersebut. Lagu ampar-ampar pisang, yang
berasal dari Kalimantan Selatan, liriknya berbahasa banjar. Bahasa banjar adalah
bahasa ibu suku Banjar yang banyak mendiami wilayah provinsi Kalimantan
Selatan. Lagu Butet, yang berisi curahan hati seorang ibu kepada anaknya tentang
suaminya yang sedang berperang, juga mempunyai lirik berbahasa batak, bahasa
yang dipakai oleh suku Batak Toba yang mayoritas mendiami provinsi Sumatera
Utara. Begitu juga dengan lagu Rasa Sayange yang menceritakan tentang
kecintaan masyarakat Maluku terhadap lingkungan dan sosialisasi diantara
masyarakat. Lagu ini tentunya juga mempunyai lirik dengan bahasa asli Maluku.
Selanjutnya akan dibahas lebih detail lagu yang menjadi objek penelitian dalam
tulisan ini, Sipatokaan dan Bubuy Bulan.
2.4.1 Lagu Sipatokaan
Lagu Sipatokaan berasal dari provinsi Sulawesi Utara. Bahasa yang dipakai
dalam lirik lagu ini adalah bahasa yang biasa digunakan oleh suku Minahasa.
Berikut lirik dari lagu Sipatokaan dan artinya dalam bahasa Indonesia.
Sayang-sayang, Si Patokaan
(wahai sayangku Sipatokaan)
Matego tego gorokan Sayang
(orang-orang pucat dan terseok-seok, Sayang)
Sayang-sayang, Si Patokaan
41
(wahai sayangku Sipatokaan)
Matego tego gorokan Sayang (orang-orang pucat dan terseok-seok, Sayang)
Sako mangewo tanah man jauh (bila kau pergi ke tanah yang jauh)
Mangewo milei lek lako Sayang (maka pergilah dengan hati-hati, Sayang)
Sako mangewo tanah man jauh (bila kau pergi ke tanah yang jauh)
Mangewo milei lek leko Sayang (maka pergilah dengan hati-hati, Sayang)
Sipatokaan, secara sederhana berarti orang-orang yang termasuk dalam
wilayah Minahasa di Propinsi Sulawesi Utara. Lagu yang memiliki pola
penuturan pantun ini adalah ungkapan perasaan cinta sekaligus khawatir seorang
ibu kepada anaknya yang sudah beranjak dewasa dan telah diwajibkan mencari
nafkah sendiri, biasanya anak lelaki. Tradisi merantau erat kaitannya dengan lirik
lagu tersebut. Bila dilihat lebih dalam, lirik tersebut secara utuh mengandung doa
sekaligus motivasi kepada objek penutur, yaitu anaknya. Tetapi pada bait pertama,
Ibu, sebagai subjek, dengan dewasa mengisyaratkan sisi buruk dari hidup. Bukan
untuk menakuti, tetapi lebih bertujuan mengingatkan dan memperlihatkan
kenyataan bahwa manusia tidak bisa terhindar dari pucat (sakit) dan ada saatnya
menjadi terseok-seok (susah). Apalagi hidup di tanah yang jauh dan asing yang
bisa dirasa sangat berat dan berbeda dengan hidup di tanah sendiri. Pada bagian
42
ini, Ibu memperlihatkan keadaan orang-orang kalah dan sakit, lebih jauh lagi
adalah kematian. Bait pertama dan kedua memiliki hubungan sebab akibat.
Setelah memperlihatkan segala yang buruk, sang Ibu berpesan kepada anaknya
agar berhati-hati pada bait kedua agar tidak terjadi seperti hal yang dijelaskan
pada bait pertama.
2.4.2 Lagu Bubuy Bulan
Lagu Bubuy Bulan berasal dari provinsi Jawa Barat. Sedikit berbeda dari
lagu daerah yang lainnya, Bubuy Bulan diciptakan oleh Benny Korda. Bahasa
yang dipakai dalam lirik lagu ini adalah bahasa yang biasa digunakan oleh suku
Sunda, suku yang menempati wilayah Jawa Barat. Berikut lirik dari lagu Bubuy
Bulan dan artinya dalam bahasa Indonesia.
Bubuy bulan
(memepes bulan)
Bubuy bulan sangray bentang
(memepes bulan menyangrai bintang)
Panon poe
(matahari)
Panon poe disasate
(matahari disate)
43
Unggal bulan
(setiap bulan)
Unggal bulan abdi teang
(setiap bulan aku nanti)
Unggal poe
(setiap hari)
Unggal poe oge hade
(setiap hari juga baik)
Situ Ciburuy
(danau Ciburuy)
Laukna hese dipancing
(ikannya susah dipancing)
Nyeredet hate
(bergetar hati)
Ningali ngeplak caina
(melihat airnya jernih)
Duh eta saha
(duh itu siapa)
Nu ngalangkung unggal enjing
44
(yang berjalan setiap pagi)
Nyeredet hate
(bergetar hati)
Ningali sorot socana
( melihat sorot matanya)
Bubuy adalah membahar sesuatu (makanan) dengan memasukannya ke
dalam bara api. Pada masyarakat Sunda, memasak singkong memakai kayu bakar
(hawu) dengan cara memasukkan singkong langsung ke bara api disebut bubuy
sampeu (singkong). Sangray adalah menggoreng tanpa minyak goreng agar
menjadi gosong atau matang. Danau Ciburuy adalah danau di pingir jalan antara
Cianjur/Rajamandala dan Padalarang (20 km barat Bandung) yang terkenal
sebagai daerah wisata di kota Bandung.
Lirik Bubuy Bulan berbentuk pantun11. Isinya bermakna seorang yang
ditinggalkan oleh kekasihnya, tetapi mulai tergoda dengan orang lain karena
melihat tatapan matanya.
11Pantun adalah salah satu jenis puisi lama dari kesusastraan Melayu. Pantun biasanya terdiri
dari 4 baris. Baris 1 dan 2 terdiri dari sampiran, sedangkan 3 dan 4 merupakan isi. Isi dalam pantun menceritakan nasehat, pesan moral, cinta, candaan, permainan, dan lain-lain. Sedangkan sampiran biasanya tidak berhubungan makna dengan isi (walau beberapa pantun mempunyai sampiran yang berhubungan dengan isi nya). Sampiran biasanya hanya berfungsi sebagai pengantar rima. Salah satu syarat pokok pantun ialah bersajak ab/ab. Jika diluar sajak tersebut, bisa dikatakan itu bukan pantun (puisi biasa). Pantun juga diwajibkan memiliki 4-6 kata dan 8-12 suku kata per baris. Namun aturan yang satu ini sudah banyak dilanggar.
45
BAB III
PENGENALAN INSTRUMEN GITAR KLASIK DAN SISTEM
NOTASINYA
Sebelum meneliti lebih jauh tentang aransemen lagu daerah yang menjadi
latar belakang masalah pada tulisan ini, penulis ingin menjelaskan beberapa hal
yang mendasar tentang gitar klasik. Jika pada bab I telah dijelaskan tentang
sejarah singkat dari gitar klasik, pada bab ini akan dibahas organologi, klasifikasi,
perlengkapan dan posisi bermain, serta hal yang paling mendasar untuk dapat
melanjutkan penelitian ke bab selanjutnya, yaitu sistem notasi pada gitar klasik.
3.1 Pengenalan Instrumen
Hal-hal yang harus diketahui sebelum meneliti sebuah karya adalah
pengenalan secara langsung terhadap instrumen yang memainkannya. Dalam
tulisan ini instrumen itu ialah gitar klasik. Pengenalan terhadap komponen-
komponen nya secara khusus juga diperlukan karena berkaitan langsung dengan
teknik permainan gitar klasik.
3.1.1 Klasifikasi Gitar Klasik
Curt Sachs (1913) dan Erich Von Hornbostel (1933) adalah dua ahli
organologi alat musik (Instrumentenkunde) berkebangsaan Jerman yang telah
mengembangkan satu sistem pengklasifikasian/penggolongan alat musik. Sistem
46
penggolongan alat musik Sahcs dan Hornbostel berdasarkan pada sumber
penggetar utama dari bunyi yang dihasilkan oleh sebuah alat musik.
Selanjutnya Sahcs-Hornbostel menggolongkan berbagai alat musik atas lima
golongan besar, yaitu:
1. Membranofon, di mana penghasil bunyi adalah membran atau kulit.
Contoh adalah gendang dan drum.
2. Idiofon, di mana penghasil bunyi adalah badan atau tubuh dari alat
musik itu sendiri. Contoh adalah gong, simbal, dan alat perkusi.
3. Aerofon, di mana penghasil bunyi adalah udara. Sebagai contoh
adalah suling, terompet, dan flute.
4. Kordofon, di mana penghasil bunyi adalah dawai/senar yang
diregangkan. Contoh adalah gitar dan biola.
Dari sistem pengelompokan yang mereka lakukan, selanjutnya Sahcs-
Hornbostel menggolongkan lagi alat musik kordofon menjadi lebih terperinci
berdasarkan karakteristik bentuknya yakni:
1. Jenis Busur
2. Jenis Lira
3. Jenis Harpa
4. Jenis Lute
5. Jenis Zither
47
Gambar 3.1
Busur, Lira, Harpa, Lute, dan Zither
Sumber: Alat Musik Dawai Irwansyah Harahap 2004
Gitar termasuk ke dalam klasifikasi lute. Lute adalah instrumen berdawai
yang mempunyai leher (neck) dan senar yang sejajar dengan lubang resonator.
Gitar sendiri sangat beragam jenisnya. Seperti yang telah dibahas pada bab
1, teknologilah yang menjadi penyebab utamanya. Abad 20 menjadi saksi lahirnya
jenis gitar baru, yaitu gitar akustik folk. Perintisnya adalah Henry Martin, putra
dari Christian Frederick Martin, pendiri pabrik gitar Martin. Tahun 1920-an
Martin membuat terobosan dengan memproduksi gitar dengan senar yang terbuat
dari logam. Setelah Martin, banyak yang bereksperimen untuk menemukan
terobosan baru dalam alat musik dawai ini. Lyody Loar dari perusahaan pembuat
gitar Gibson yang diketahui pertama kali melakukan uji coba dengan pick-up12
magnetik pada gitar. Namun yang mewujudkan gitar elektrik untuk pertama
kalinya adalah Paul Bart dan George Beauchamp. Pada tahun 1930-an mereka
12Pick-up adalah peranti yang berfungsi mengubah energi fisik getaran senar menjadi energi
listrik untuk diteruskan ke amplifier dan diubah menjadi gelombang suara yang bisa didengar.
48
memproduksinya secara komersial yang diikuti oleh perusahaan lainnya termasuk
Gibson, yang malah memimpin pasar gitar elektrik pada masa itu.
Lahirnya gitar selain gitar klasik akibat inovasi dan perkembangan teknologi
membuat banyaknya jenis gitar yang umum dipakai pada saat ini, diantaranya :
1. Gitar klasik, adalah gitar bersenar nilon dan sutra berlilit
logam. Mempunyai neck yang lebih lebar dari gitar lainnya.
2. Gitar folk akustik. Desain dasar seperti gitar
klasik namun memiliki tubuh lebih lebar, leher yang
lebih panjang dan sempit, serta senar dari logam. Suaranya
lebih berdenting dan cemerlang digunakan untuk musik-
musik balada, folk, country, blues, dan pop.
3. Akustik elektrik, kerap juga disebut semi akustik.
Semua jenis gitar akustik yang dilengkapi dengan sistem
amplifier13.
4. Gitar elektrik, gitar dengan badan dari kayu tipis
namun padat. Salah satu keunggulanya adalah penggunaan jenis
suara yang hampir tak terbatas berkat adanya dukungan dari peranti
efek. Lazim digunakan padaband-band rock, jazz, maupun pop.
13Piranti elektronik yang memproses dan menguatkan suara dari mikrofon adatu dari
instrumen musik elektrik untuk diteruskan ke loudspeaker atau pengeras suara.
49
3.1.2 Pengenalan Bagian Gitar Klasik
Gambar 3.2
Bagian-Bagian pada Gitar Klasik
Sumber: Guitar Course Fundamental
Instrumen gitar klasik memiliki tiga bagian utama. Masing-masing ketiga
bagian itu juga memiliki bagian-bagian lain yang lebih spesifik. Penamaannya
50
memakai bahasa Spanyol yang merupakan tempat asal instrumen ini. Bagian-
bagian tersebut adalah:
1. Head (cabeza)
- Pegs (clavijas), pemutar pada kepala gitar untuk mengendurkan
dan mengencangkan senar.
- Nut (ceja), bilah kecil keras yang menjadi tempat sandaran senar
di ujung leher gitar.
2. Fingerboard (diapason)
- Frets (trastes), deretan bilah logam tipis pada leher gitar yang
diatur dalam jarak tertentu.
- Position Marks (marcasi), titik putih sebagai penanda di fret
tertentu.
- Neck (brazo), leher gitar.
- Heel (tacon), bagian yang menonjol sebagai penahan leher yang
terletak di bagian belakang gitar (mirip sebuah tanduk).
3. Body (cuerpo)
- Rosette (boquilla), ornamen geometrik di sekeliling soundhole.
- Soundhole (boca), lubang resonator.
- Sideboard (costilla), disebut juga ribs, sisi samping gitar.
- Backboard (contratapa), sisi belakang gitar.
- Faceboard (tapa), sisi depan gitar.
- Bridge Base (puente), landasan saddle, tempat senar diikat.
- Saddle (ceja del puente), bagian gitar yang menempel di bridge.
51
3.1.3 Persiapan Bermain Gitar Klasik
Dalam bermain gitar klasik, ada dua hal yang penting untuk dilakukan
sebagai persiapan awal, yaitu perlengkapan dan posisi bermain.
Perlengkapan sebelum bermain gitar klasik yang paling umum diantaranya:
1. Kursi tanpa sandaran, untuk menjaga badan tetap dalam posisi tegak
lurus.
2. Footstool, merupakan alat pengganjal telapak kaki. Berfungsi
meninggikan posisi lutut dan paha kiri sebagai tempat menaruh bodi
gitar.
3. Standbook, tempat meletakkan partitur.
Gambar 3.3
Footstool
Sumber: Dokumentasi Pribadi
52
Gambar 3.4
Standbook
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Secara umum, hanya ada dua posisi dalam bermain gitar, yaitu berdiri dan
duduk. Gitaris elektrik kebanyakan bermain gitar dengan posisi berdiri dengan
memakai semacam tali untuk menahan gitar. Untuk gitar klasik, posisi bermain
yang dipakai adalah duduk. Bagian samping gitar (sideboard) diletakkan di paha
kiri yang telah ditopang oleh footstool. Kemudian bagian bawah gitar ditahan oleh
paha kanan.
53
Gambar 3.5
Posisi Bermain Gitar Klasik
Sumber : Guitar Course Fundamental
Fransesco Tarrega adalah penggagas posisi bermain gitar klasik seperti
gambar di atas. Pada posisi seperti ini, kedudukan gitar sangat stabil dan tangan
menjadi leluasa dalam menjelajah fingerboard.
54
3.2 Sistem Notasi pada Gitar Klasik
Sistem notasi adalah aturan dalam penulisan karya musik. Dalam notasi
musik, nada dilambangkan dengan not. Aturan standar untuk menuliskan not saat
ini adalah notasi barat/balok, yang didasarkan pada paranada dengan lambang
untuk tiap nada menunjukkan durasi dan ketinggian nada tersebut. Tinggi nada
digambarkan secara vertikal sedangkan waktu (ritme) digambarkan secara
horizontal.
Perbendaharaan lagu gitar klasik menggunakan sistem notasi barat yang
memiliki simbol/istilah untuk menjelaskan melodi dan ritme, serta unsur musikal
lainnya yang terdapat dalam suatu lagu. Adapun simbol-simbol itu akan
dijelaskan secara rinci di bawah ini.
1. Staff, dalam bahasa Indonesia disebut dengan garis paranada.
Merupakan 5 garis memanjang dengan 4 spasi untuk meletakkan not.
2. Birama, pengelompokan hitungan dalam jumlah tertentu yang
berulang secara teratur dalam suatu karya musik.
Ruang Birama Ruang Birama Ruang Birama
Garis Birama/Bar
Setiap pengulangan birama dibatasi dengan garis birama berupa garis
vertikal pada paranada. Jarak antara garis birama yang satu dengan
yang lainnya disebut juga dengan satu bar.
55
3. Tanda ulang/repeat mark, simbol untuk melakukan pengulangan pada
bagian lagu yang diapit simbol ini. Ditandai dengan dua titik vertikal.
4. G-clef, atau disebut juga kunci G. Menunjukkan bahwa not yang
berada pada garis kedua dari bawah adalah not G.
5. Key signature, adalah tanda kres (#) atau mol (b) yang diletakkan pada
staff untuk menandai nada dasar yang digunakan dalam sebuah karya
musik. Tanpa key signature, nada dasar dari sebuah komposisi adalah
C. Simbol ini memudahkan komposer untuk tidak menuliskan kres
dan mol berkali-kali pada partitur. Simbol ini bisa berjumlah satu
hingga maksilmal tujuh. Berikut daftar lengkap key signature beserta
nada dasarnya.
Tabel 3.1
Key Signature dan Nada Dasarnya
Key Signature Nada Dasar
G mayor/E minor
D mayor/B minor
56
A mayor/F# minor
E mayor/C# minor
B mayor/G# minor
F# mayor/D# minor
C# mayor/A# minor
F mayor/D minor
Bb mayor/G minor
Eb mayor/C minor
Ab mayor/ F minor
Db mayor/Bb minor
Gb mayor/Eb minor
Cb mayor/Ab minor
57
6. Time signature, merupakan dua angka yang diletakkan bersusun pada
sisi kanan clef pada permulaan sebuah lagu. Dalam bahasa Indonesia
disebut tanda birama. Angka di atas menunjukkan jumlah
hitungan/ketukan/beat dalam setiap bar, sedangkan angka di bawah
menunjukkan nilai not yang dihargai sebagai satu ketukan.
Tanda birama di atas adalah yang paling umum dijumpai, yaitu 4/4.
Angka 4 yang berada di atas menunjukkan hanya ada 4 ketukan dalam
tiap bar. Angka 4 di bawah berarti tiap not ¼ dihitung sebagai satu
beat.
7. Nilai not dan tanda istirahat, akan dijelaskan dalam tabel berikut.
Tabel 3.2
Nama, Nilai, Bentuk Not dan Tanda Istirahat
Nama Bentuk Nilai
(ketuk) Not Istirahat Not Istirahat
Whole Note/
Not Penuh
Whole Rest/
Istirahat Penuh
4
Half Note/
Not ½
Half Rest/
Istirahat ½
2
Quarter Note/
Not ¼
Quarter Rest/
Istirahat ¼
1
58
Eighth Note/
Not 1 8ൗ
Eighth Rest/
Istirahat 1 8ൗ
½
Untuk selanjutnya, misalnya not 116ൗ , tinggal menambahkan bendera
menjadi 2. Untuk not 132ൗ menambahkan bendera menjadi 3 dan begitu
seterusnya. Berlaku juga untuk tanda diam/istirahat.
8. Tie, garis melengkung yang menghubungkan dua not yang berurutan.
Berfungsi untuk memperpanjang nilai not yang bersangkutan. Dengan
kata lain, not kedua tidak lagi dibunyikan.
9. Tempo, adalah cepat lambatnya lagu dimainkan. Secara umum ada
delapan istilah tempo yang dipakai, selebihnya merupakan
pengembangan dari tempo tersebut.
Tabel 3.3
Jenis-Jenis Tempo dan Angkanya pada Metronom
Tingkat Kecepatan Istilah Angka Metronom14
Lambat sekali Largo 40-60
Lento 60-66
Lambat Adagio 66-76
14Alat untuk menghasilkan ketukan konstan dengan kecepatan yang bisa diatur. Angka pada
metronom maksudnya adalah berapa ketukan yang dihasilkan dalam satu menit. Sebagai contoh, jika angka pada metronom adalah 120, maka terdapat 120 ketukan permenit. Atau bisa juga dikatakan 2 ketukan perdetik.
59
Sedang Andante 76-108
Moderato 108-120
Cepat Allegro 120-160
Cepat sekali Vivace 160-184
Presto 184-208
Jenis tempo di atas juga sering dikombinasikan. Sebagai contoh
allegro vivace, yang berarti lebih cepat dari allegro tetapi tidak lebih
cepat dari vivace. Juga penambahan akhiran, seperti –etto yang berarti
“agak” dan –issimo yang berarti “sangat”. Sebagai contoh allegro
yang berarti cepat, jika menjadi allegreto akan menjadi agak cepat
(lebih lambat dari allegro) dan menjadi sangat cepat (lebih cepat dari
allegro) jika menjadi allegrissimo.
Dalam suatu karya musik, juga terkadang terjadi perubahan tempo.
Ada 3 istilah yang berkaitan dengan hal ini, yaitu:
- Ritardando (rit.), tempo diperlambat secara perlahan.
- Accelerando (accel.), tempo dipercepat secara perlahan.
- Tempo primo (a tempo), tempo kembali seperti semula.
10. Dinamika, ialah keras lembutnya lagu dimainkan. Pada dasarnya
hanya ada dua istilah, yaitu forte (keras) dan piano (lembut), dan
dikembangkan menjadi:
- f (keras) - p (lembut)
- mf (agak keras) - mp (agak lembut)
60
- ff (sangat keras) - pp (sangat lembut)
- fff (luar biasa keras) - ppp (luar biasa lembut)
Simbol untuk perubahan dinamika:
- Crescendo, semakin kuat.
- Decrescendo, semakin lembut.
11. Istilah/simbol lainnya yang lebih khusus dan tentu tidak mungkin
dijelaskan seluruhnya dalam tulisan ini karena terlalu banyak. Namun
akan dibahas beberapa istilah/simbol khusus yang muncul dalam
partitur yang menjadi objek penelitian, diantaranya:
- Fermata, perpanjangan nilai not yang diserahkan kepada
pemain. Simbol ini biasa diletakkan di atas atau di bawah not.
- Aksen, merupakan pemberian tekanan dengan peningkatan
volume pada not yang dimainkan. Ditandai dengan tanda “>” di
atas atau di bawah not.
- Da Capo (D.C.), ulangi dari bagian awal lagu. D.C. al coda,
ulangi lagu dari awal dan ketika melewati simbol coda langsung
melompat ke bagian coda (simbol coda selanjutnya).
61
- Da Segno (D.S.), ulangi dari bagian lagu bertanda “S” disilang.
D.S al coda, ulangi lagu dari tanda “S” disilang dan ketika
melewati simbol coda langsung melompat ke bagian coda
(simbol coda selanjutnya).
- Simile, istilah untuk memainkan persis seperti bar sebelumnya.
- Rubato, mainkan melodi dengan ketukan yang lebih bebas. Beri
penambahan ketukan pada not-not penting dan perpendek nilai
pada not-not yang kurang penting.
- Molto ritmico (molto; banyak/sangat, ritmico; mainkan dengan
tempo yang konstan), mainkan dengan tempo yang sangat konstan.
- Sempre, berkelanjutan/selalu.
Pada paragraf sebelumnya telah dijelaskan secara detail simbol/istilah dalam
notasi barat yang juga dipakai dalam sistem notasi gitar klasik. Namun ada
beberapa sitem perlambangan khusus untuk gitar klasik yang ditambahkan
kedalam sistem notasi barat ini yaitu:
1. Sistem penamaan jari, berfungsi untuk mengatur suatu nada ditekan
dan dipetik dengan memakai jari tertentu. Mempunyai sistem yang
sama pada penamaan jari tangan kiri pada alat musik jenis gitar lain
62
dan biola, namun berbeda pada penamaan jari tangan kiri karena gitar
klasik mempunyai teknik yang berbeda dengan gitar lainnya (dipetik
dengan keempat bahkan kelima jari).
Gambar 3.6
Penamaan Jari dan Posisi Tangan
Sumber: Guitar Course Fundamental
Pada gambar di atas dijelaskan penamaan jari pada gitar klasik dan
posisi tangan saat bermain. Gambar tentang penamaan jari, yang akan
lebih fokus dibahas pada bagian ini adalah pada dua gambar yang
berada di tengah. Gambar di kiri menunjukkan penamaan pada jari
tangan kiri yang memakai angka 1-4 (1; telunjuk, 2; tengah, 3; manis,
4; kelingking). Gambar di kanan menunjukkan penamaan pada jari
tangan kanan yang memakai singkatan dalam bahasa Spanyol, yaitu p
63
(pulgar) untuk jempol, i (indice) untuk telunjuk, m (medio) untuk
tengah, a (anular) untuk jari manis dan yang terakhir ch (chico) untuk
jari kelingking.
2. Sistem melodi pada gitar, merupakan penamaan nada pada posisi fret
di gitar serta pengaplikasian tinggi rendahnya not pada notasi kedalam
posisi tersebut.
Hal pertama yang harus kita ketahui adalah tangga nada C mayor yang
merupakan dasar penamaan posisi fret pada gitar klasik.
Gambar 3.7
Tangga Nada C Mayor
Sumber: Guitar Course Fundamental
Gambar di atas menunjukkan nada-nada pada C major scale beserta
jarak di antara not-not tersebut. Sistem satuannya adalah whole tone
dan semi tone. Semi tone merupakan satuan jarak terkecil pada sistem
notasi barat, atau biasa yang kita sebut dengan istilah ½ laras. Pada
64
tangga nada di atas, nada-nada yang berjarak semi tone adalah E-F dan
B-C. Dua semi tone merupakan whole tone, biasa kita sebut dengan
istilah 1 laras. Pada tangga nada di atas, nada-nada yang berjarak
whole tone adalah C-D, D-E, F-G, G-A, dan A-B. Pada pembahasan
selanjutnya akan digunakan istilah laras sebagai satuan jarak antar not.
Di gitar, ½ laras merupakan jarak antara fret yang satu dengan satu
fret di depan/dibelakangnya. Dan untuk mendapatkan jarak 1 laras
(whole tone) diperlukan 2 fret di depan/belakang not tersebut. Oleh
karena itulah nada C-D (1 laras) di gitar berjarak 2 fret, sedangkan E-
F (1/2 laras) berjarak 1 fret (lihat gambar di bawah).
Gambar 3.8
Sistem Tala Standar dan Penamaan Posisi Fret pada Gitar Klasik
Sumber : Guitar Course Fundamental
65
Gambar di atas merupakan sistem tala standar (gambar kiri) pada gitar
klasik dan pengaplikasian not pada posisi di fret gitar (gambar kanan).
Pembahasan akan dimulai dari gambar sebelah kanan. Gambar
tersebut merupakan posisi senar dan fret pada gitar klasik. Tiga kolom
(dan satu kolom kecil untuk open string) menggambarkan fret 1-3
sedangkan 6 baris menggambarkan senar. Pada posisi tersebut
terdapat nada-nada yang ada dalam tangga nada C mayor. Nada pada
gitar dapat dimainkan dari posisi not pada garis paranada berdasarkan
bagan di atas. Sebagai contoh, jika terdapat not yang berada pada garis
paling atas dari garis paranada (nada F, lihat gambar 3.7) kita tinggal
mencari not dengan posisi seperti itu pada bagan. Kemudian dilihat
ada di posisi senar dan fret berapa not tersebut. Pada contoh, dapat
dilihat nada F (terletak pada garis paling atas dari paranada) berada
pada posisi senar 1 dan fret 1. Tentu memerlukan waktu yang lama
jika harus mencari not per not seperti itu dalam memainkan suatu
lagu. Untuk itu diperlukan kemampuan bagi gitaris untuk menghapal
posisi di atas.
Gambar pada sebelah kiri merupakan penalaan standar pada gitar
klasik. Senar 1 fret 5 merupakan nada A (44o Hz). Nada ini
merupakan patokan dalam menstem senar lainnya. Penalaan standar
biasanya digunakan dalam nada-nada open string. Pada bagan, nada-
nada itu adalah E, B, G, D, A, E (mulai dari senar terbawah/1 sampai
66
teratas/6). Juga dijelaskan nada-nada yang sama frekwensinya pada
senar yang berbeda. Senar open string akan menghasilkan nada yang
sama dengan senar di atasnya jika ditekan pada fret 5, kecuali pada
senar 2 open string yang frekwensinya sama pada fret 4 senar di
atasnya. Penjelasan ini akan memudahkan pencarian nada-nada pada
notasi standar yang memainkan nada pada posisi lain (tidak seperti
posisi standar pada gambar sebelah kanan) yang akan dibahas lebih
lanjut pada paragraf selanjutnya.
Dalam beberapa lagu, banyak diminta untuk memainkan nada pada
posisi senar yang berbeda dari posisi di atas. Misalkan saja nada E
(senar 1 open string) terkadang diminta untuk dimainkan pada senar 2
atau bahkan senar 3. Untuk nada E pada senar 2 sudah tertera pada
gambar di atas, yaitu pada fret 5. Untuk mencari nada E pada senar 3
hanya tinggal menambahkan 4 fret (open string senar 2 = fret 4 senar
3) sehingga didapatkan hasilnya yaitu fret 9. Berarti nada E pada senar
3 berada pada fret 9. Atau bisa juga dengan cara lain, yaitu
menghitung jarak nada open string pada senar 3 dengan nada E. Open
string senar 3 merupakan nada G. Jarak antara nada G dan E adalah
4 12ൗ laras. 4 1
2ൗ laras pada gitar berarti 9 fret. Dapat disimpulkan bahwa
nada E pada senar 3 terhitung 9 fret dari nada G, yaitu fret ke-9.
Pada notasi gitar klasik, ada bentuk perlambangan yang dibuat untuk
memainkan nada dengan senar yang tidak sama dengan posisi standar.
Simbol ini berupa lingkaran yang terdapat angka di dalamnya. Angka
67
ini menunjukkan di senar berapa nada tersebut dimainkan. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat dalam contoh notasi di bawah ini.
Pada notasi di atas kita dapat melihat 2 not yang berfrekwensi sama
namun pada senar yang berbeda. Not B pertama pada notasi
dimainkan pada posisi standar (senar 2 open string). Not B kedua
dimainkan pada senar menurut angka yang ada di dalam lingkaran
kecil di atas not tersebut, yaitu senar 3. Pada senar 3, nada B berada
pada fret 4.
68
BAB IV
ANALISIS TEKNIK DAN GAYA PERMAINAN PADA LAGU
SIPATOKAAN DAN BUBUY BULAN
Banyak sekali tehnik permainan pada gitar klasik, seperti slur, slide,
harmonik, rasguedo, apoyando, tirando, mano izquerda sola, staccato, tabalet,
pizzicato dan lain-lain. Namun teknik permainan gitar klasik tidak semuanya
dapat terangkum dalam satu lagu dan tentu berbeda-beda teknik gitar klasik yang
dipakai antara satu lagu dengan lagu yang lainnya. Hal ini dikarenakan struktur
musik yang berbeda pada tiap lagu menghasilkan kebutuhan akan teknik
permainan yang berbeda pula.
Pada bab IV ini, penulis ingin melihat teknik-teknik apa saja yang
digunakan oleh Iwan Tanzil dalam mengaransemen lagu Sipatokaan dan Bubuy
Bulan kemudian menganalisisnya. Kemudian akan dilakukan analisis terhadap
gaya permainan dari kedua lagu ini setelah diaransemen dengan melakukan
identifikasi terhadap melodi, akor, dan ritem.
4.1 Partitur Lagu Sipatokaan dan Bubuy Bulan
Partitur ini menjadi patokan penulis dalam menganalisis teknik dan gaya
permainan kedua lagu yang menjadi objek penelitian. Selain partitur dengan
sistem notasi barat di bawah, penulis juga akan menganalisis secara visual
bagaimana teknik permainan itu dimainkan melalui video (www.youtube.com).
69
70
71
72
73
74
75
4.2 Analisis Teknik Permainan
Dalam menganalisis teknik permainan pada kedua lagu yang menjadi objek
penelitian, penulis menggunakan teori teknik permainan gitar klasik dalam budaya
Barat. Salah satu buku yang memuat teori ini adalah Classic Guitar Course (T.
Koizumi, 1974). Buku yang menjadi pedoman penulis saat pertama kali
mempelajari gitar klasik ini, membahas teknik-teknik gitar klasik secara deskriptif
dan disertai dengan penerapan pada contoh-contoh repertoar gitar klasik.
4.2.1 Analisis Teknik Permainan pada Lagu Sipatokaan
Berdasarkan partitur di atas, penulis menemukan tiga teknik permainan pada
lagu Sipatokaan, yaitu staccato, ceja, dan strumming. Selanjutnya akan dilakukan
analisis dari ketiga teknik tersebut berdasarkan pengertian secara umum, gambar,
dan video15 yang penulis dapat dari internet, buku, ataupun dokumentasi pribadi.
4.2.1.1 Apagados
Pada lagu Sipatokaan, teknik apagados ditemukan pada birama ke-2 dan 4
(lembar pertama) dan birama ke-75 (lembar ketiga). Dalam notasi, apagados
dilambangkan dengan staccato mark16 (tanda titik di atas/bawah not).
Birama 1-4:
15Sumber: http://www.youtube.com/watch?v=jm9Awi4vl6s 16Tanda untuk membuat jeda yang berbeda di not yang bersangkutan.
76
Birama 74 -75:
Apagados ialah teknik untuk memainkan not lebih pendek dari nilai yang
tertulis atau bisa juga dikatakan memainkan not dengan nilai sesingkat-
singkatnya. Apagados untuk beberapa not yang berurutan, akan menimbulkan
efek bunyi yang tersendat-sendat. Tidak hanya pada gitar klasik, teknik ini pun
sering digunakan di kalangan gitar elektrik. Dalam permainan elektrik, teknik ini
dikenal dengan istilah choking.
Ada 2 cara untuk melakukan teknik ini, yaitu:
1. Menyentuh senar yang bergetar dengan jari kiri atau kanan untuk
menghentikan bunyinya (untuk not pada open string dan akor dengan
teknik ceja yang mengharuskan staccato pada nada bass saja).
2. Mengendurkan tekanan pada jari kiri (untuk not yang memerlukan
bantuan pencetan jari kiri dalam pemetikannya).
Pada birama 2 dan 4, not dengan staccato mark berada di posisi B (open
string senar 2) dengan nilai ketukan yang berbeda (not B pada birama ke-2
bernilai 1 ketuk dan bernilai ½ ketuk pada birama ke-4). Dapat dilihat pada notasi
di atas, staccato mark yang dilambangkan dengan tanda titik (tanda panah) berada
di atas not-not tersebut. Dengan asumsi not yang dimainkan sesingkat-singkatnya
menjadi bernilai ¼ ketuk, maka bunyi dari nada tersebut dapat digambarkan
dengan notasi berikut.
77
Birama ke-2:
Not B pada notasi pertama bernilai 1 ketuk. Ketika dimainkan dengan
teknik apagados, nilainya menjadi ¼ ketuk dengan tanda istirahat bernilai ¾
ketuk.
Birama ke-4:
Not B pada notasi pertama bernilai ½ ketuk. Ketika dimainkan dengan
teknik apagados, nilainya menjadi ¼ ketuk dengan tanda istirahat bernilai ¼
ketuk.
Birama ke-75:
Not B pada notasi pertama bernilai ½ ketuk. Ketika dimainkan dengan
teknik apagados, nilainya menjadi ¼ ketuk dengan tanda istirahat bernilai ¼
ketuk.
Jika dimainkan akan berbunyi seperti notasi berikut
Jika dimainkan akan berbunyi seperti notasi berikut
Jika dimainkan akan berbunyi seperti notasi berikut
78
4.2.1.2 Ceja
Teknik ini banyak ditemukan pada lagu Sipatokaan. Penulis melihat, ada 19
kali teknik ceja muncul dalam lagu ini. Oleh sebab itu penulis akan mengambil
dua contoh yang berbeda jenisnya, yaitu pada birama ke-29 (lembar pertama) dan
birama ke-43 (lembar kedua). Dalam notasi, ada beberapa cara untuk
melambangkan teknik ini. Yang paling sering digunakan adalah tanda “C” diikuti
angka yang menunjukkan posisi pada fret berapa teknik ini dimainkan. Namun
ada juga yang hanya sekedar menambahkan garis tegak lurus didepan not-not
yang akan menggunakan teknik ini.
Birama ke-29: Birama ke-43:
Ceja adalah teknik untuk menekan beberapa (dua hingga enam) senar
dengan hanya menggunakan satu jari17. Teknik disebut juga dengan istilah barre.
Ceja memungkinkan gitaris mendapatkan akor-akor baru tanpa mengubah
susunan jari kiri, melainkan cukup menggesernya ke posisi lain.
Teknik ini, atau yang bisa disebut dengan teknik palang, mempunyai
beberapa cara khusus agar mendapatkan kualitas suara yang baik. Cara tersebut
antara lain:
17Biasanya yang dipakai jari telunjuk. Namun terkadang pada beberapa lagu
fingerstyle/pop, banyak bagian teknik ceja yang memakai jari kelingking dan telunjuk secara bersamaan. Biasa dimainkan untuk akor yang rumit.
79
1. Usahakan seluruh telunjuk kiri berada tepat di sisi fret (penekanan
tepat di atas fret akan menghasilkan suara yang tidak sempurna) yang
diinginkan.
2. Telunjuk kiri tidak harus selalu berbentuk rata. Karena kebanyakan
akor dengan ceja memerlukan tekanan jari telunjuk di senar tertentu
saja.
3. Hindari menekan senar dengan tenaga berlebihan karena dapat
menyakiti jari telunjuk. Terlebih jika terdapat lebih dari satu teknik ini
dalam satu lagu. Untuk perpindahan ceja secara langsung dari satu
akor ke akor yang lainnya diperlukan kelenturan jari telunjuk dan
tentunya tekanan yang tidak berlebihan pada senar. Penekanan dengan
tenaga yang berlebihan sering dilakukan akibat suara yang dihasilkan
kurang bagus. Namun sedikit tekanan dengan posisi yang tepat sudah
dapat membuat kualitas suara yang dihasilkan baik.
Berdasarkan jumlah senar yang ditekan, ceja dapat dibagi 2. Ceja yang
ditekan disemua senar (whole barre) dan tidak pada semua senar (half barre).
Kedua jenis teknik ini dapat dilihat pada kedua notasi yang telah disebutkan
sebelumnya, yaitu birama ke-29 dan 43.
Birama ke-29:
G# (senar 1 fret 4)
B (senar 2 open string)
Pada birama ke-29, ada 2 not yang dimainkan menggunakan teknik ceja
(lingkaran merah). Not-not tersebut ialah G# dan B. Not G# berada pada senar 1
80
fret 4 dan not B berada pada senar 2 open string. Karena teknik ini hanya bisa
dilakukan pada nada di fret yang sama, maka dicari alternatif untuk nada B yang
berada pada posisi open string. Sehingga nada B yang digunakan adalah nada B
yang terdapat pada senar 3 fret 4 (fret yang sama dengan nada G#). Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada gambar.
Gambar 4.1
Half Barre
nada B
nada G#
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Pada gambar di atas dapat dilihat teknik ceja yang digunakan untuk
menekan senar 1-3 pada fret 4. Walaupun hanya dua not pada notasi yang
81
dimainkan dengan teknik ini, nada D# yang berada di senar dua otomatis ikut
ditekan, tetapi tidak dipetik. Teknik palang dengan tidak menekan semua senar
seperti ini disebut dengan teknik half barre.
Birama ke-43:
B (senar 1 fret 7)
B (senar 2 open string)
B (senar 5 fret 2)
Pada birama ke-43, ada 3 not yang terlihat memakai teknik ceja dalam
memainkannya. Juga terdapat petunjuk di posisi/fret berapa not-not tersebut
dimainkan. Angka romawi (lingkaran merah) menunjukkan bahwa teknik ini
dimainkan pada fret ke 7.
Ketiga not pada birama ke-43 tersebut adalah nada B yang dimainkan di tiga
posisi berbeda (tiga nada yang sama dengan frekwensi yang berbeda). Nada B
tertinggi berada di fret ke-7, sudah tepat berdasarkan petunjuk posisi di atas. Nada
B yang berada di tengah berada di senar 2 open string. Perlu dicari posisi lain agar
bisa memenuhi syarat dalam memainkan teknik ini, yaitu harus berada pada satu
fret. Namun nada B yang dimaksud tidak terdapat pada fret ke-7 di senar
manapun. Jika melakukan teknik palang di fret 7, posisi terdekat nada tersebut
(bisa ditekan dengan jari lain selain telunjuk) adalah di posisi senar 4 fret 9. Jadi
nada tersebut bukan ditekan dengan telunjuk, tetapi jari manis atau tengah (untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah). Untuk nada B yang terendah,
berada di senar 5 fret 2. Untuk menyesuaikan ke teknik ceja pada posisi 7, nada B
tersebut dimainkan pada senar 6 fret 7.
82
Gambar 4.2
Barre
nada B
nada B
nada B
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Pada gambar di atas dapat dilihat teknik ceja yang digunakan menekan
seluruh senar pada fret 7. Namun hanya ada 3 nada yang dibunyikan (dipetik), 2
nada yang ditekan dengan palang (nada B terendah, senar 6 fret 7 dan nada B
tertinggi, senar 1 fret 7) serta nada B yang ditekan dengan jari manis (senar 2 fret
9). Teknik ceja seperti ini, dengan menekan keenam/seluruh senar, disebut juga
dengan barre.
83
4.2.1.3 Strumming
Pada lagu Sipatokaan, teknik strumming ditemukan pada birama ke-104
(lembar ketiga). Dalam notasi, strumming dilambangkan dengan tanda panah ke
atas/bawah di depan not.
Birama ke-104:
Strumming ialah membunyikan lebih dari satu senar sekaligus secara
serentak. Ada yang menyebutnya teknik “genjrengan” atau kocokan. Teknik ini
merupakan teknik pokok bagi gitaris pengiring. Berbeda dengan rasguedo18,
teknik ini biasanya hanya menggunakan satu jari. Pada lambang notasi untuk
teknik ini, juga dibubuhkan jari yang akan melakukan teknik strumming.
Gerakan dasar strumming hanya ada 2:
1. Down stroke, strumming ke arah kaki gitaris. Dilambangkan dengan
tanda panah ke atas.
2. Up stroke, strumming ke arah wajah gitaris. Dilambangkan dengan
tanda panah ke bawah.
Pada lagu Sipatokaan, teknik strumming ditemukan di bar ke-104. Pada bar
ini terlihat teknik ceja pada posisi ke-2 dimainkan dengan teknik strumming
dengan memakai jari P (jempol). Jempol memetik nada sol, re, fa, si, re, sol (akor
F#Maj7) secara serentak ke arah tanah (down stroke).
18Teknik strumming dengan memukulkan secara berurutan empat jari kanan ke semua senar. Dimulai dari kelingking sampai telunjuk. Biasa digunakan dalam musik flamenco.
84
Gambar 4.3
Strumming
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Birama ke-104 pada notasi menunjukkan enam nada yang akan dibunyikan
dengan teknik ini, yang dimulai dari senar 6 dan berakhir di senar 1. Strumming
memerlukan kelenturan pergelangan tangan saat melakukannya. Bukan dengan
hanya pergerakan jari, tetapi ayunan dari pergelangan tangan akan sangat
membantu untuk mendapatkan suara “genjrengan” yang bagus.
85
4.2.2 Analisis Teknik Permainan pada Lagu Bubuy Bulan
Berdasarkan partitur Bubuy Bulan, penulis menemukan tujuh teknik
permainan pada lagu ini, yaitu scordatura, sul ponticello, harmonik, slur, trill, dan
glissando. Selanjutnya akan dilakukan analisis dari ketiga teknik tersebut
berdasarkan pengertian secara umum, gambar, dan video19 yang penulis dapat dari
internet, buku, ataupun dokumentasi pribadi.
4.2.2.1 Scordatura
Pada notasi lagu Bubuy Bulan, teknik ini dijelaskan di bagian awal lagu.
Juga muncul di bagian tengah lagu, yaitu birama ke-22, yang jarang terjadi
digunakan sebanyak lebih dari satu kali pada suatu komposisi untuk gitar klasik.
Bagian awal lagu:
Birama ke-22:
19Sumber: http://www.youtube.com/watch?v=ODwwigMa9P0
86
Scordatura sering juga disebut dengan penalaan alternatif. Teknik ini
merupakan penalaan/tuning dengan urutan nada yang tidak sama dengan nada-
nada penalaan standar (E, B, G, D, A, E).
Scordatura mampu menghasilkan paduan nada maupun akor-akor yang unik
dan sulit dihasilkan dengan tala standar. Teknik ini juga dapat mempermudah jari
tangan kiri gitaris untuk menghasilkan musik yang tidak bisa dihasilkan dengan
penalaan standar.
Formula yang paling banyak dijumpai untuk teknik ini adalah ebgdad.
Hanya menurunkan senar 6 sebanyak satu laras dari “e” menjadi “d”. Hal ini biasa
dilakukan dalam lagu dengan nada dasar D atau Dm(F). Bertujuan untuk
mempermudah memainkan nada bass di nada “d” (senar 6). Berikut penalaan lain
yang sering dijumpai: - D, B, G, D, G, D - D, A, F#, D, A, D
- D, A, G, D, A, D - E, B, G#, E, B, E
- E, B, G#, B, G#, E - C#, G#, E, B, F#, B
Pada lagu Bubuy Bulan, penalaannya adalah E,B,A,E,A,E. Terdapat dua
senar yang berbeda tuning nya dengan penalaan standar, yaitu senar 3 dan 4
(masing-masing lebih tinggi 1 laras, nada G pada senar 3 menjadi A dan nada D
pada senar 4 menjadi E). Petunjuk penalaannya dijelaskan di awal lagu. Notasi
disebelahnya menjelaskan walaupun telah dilakukan penalaan alternatif, pada
partitur dua senar yang ditala tetap dituliskan seperti nada standar open string
pada gitar. Hal ini untuk memudahkan gitaris membaca partitur tersebut.
Selanjutnya teknik ini dilakukan kembali di bagian tengah lagu, yaitu
birama ke-22. Gambar notasi yang lebih kecil pada gambar menunjukkan senar 1
87
(nada E) ditala menjadi nada B. Hal ini mengakibatkan senar 1 dan 2 memiliki
nada yang sama, sehingga menimbulkan unisono20 pada bar selanjutnya. Istilah
“rip. ad libitum” berarti menganjurkan tempo dan dinamika dimainkan secara
bebas oleh pemain. Hal ini untuk memudahkan pemain dalam melakukan
penalaan pada pertengahan lagu. Mano sinistra adalah tangan kiri dalam bahasa
Italia. Maksudnya disini adalah gitaris melakukan penalaan dengan tangan kiri
dikarenakan tangan kanan masih memainkan bagian notasi pada gambar. Hal ini
untuk menghindari kesan “kosong” pada lagu. Untuk lebih jelas lagi, notasi ini
membuat simbol “*1” yang mengarahkan pemain ke bagian bawah lembar
partitur.
Bagian notasi di atas merupakan birama terakhir yang berada di lembar
kedua lagu Bubuy Bulan. Di bawah garis paranada tersebut terdapat tulisan dalam
bahasa Jerman dan Inggris yang menunjukkan cara menurunkan tala senar 1. Jika
diartikan, arti dari kalimat tersebut ialah, “gunakan tangan kiri untuk menurunkan
tuning senar pertama ke nada B”.
Untuk lebih jelas lagi dapat dilihat pada gambar di bawah. Gambar di bawah
merupakan foto Iwan Tanzil saat memainkan bagian lagu sambil melakukan
teknik scordatura.
20Dua not identik yang dimainkan/dibunyikan bersamaan.
88
Gambar 4.4
Iwan Tanzil Saat Melakukan Teknik Scordatura
Tangan
kiri melakukan tuning
Tangan kanan
tetap memetik
Sumber: www.youtube.com
4.2.2.2 Sul Ponticello
Pada lagu Bubuy Bulan teknik ini muncul sebanyak tiga kali, yaitu pada
birama ke-1, 42, dan 51.
Birama ke-1: Birama ke-42:
Birama ke-51:
89
Pada dasarnya, pemain gitar klasik dianjurkan untuk memetik gitar di depan
lubang resonator. Selain untuk mendapatkan suara yang lembut, hal ini juga
dimaksudkan kepada gitaris pemula karena memetik gitar di posisi tersebut lebih
mudah. Tetapi beberapa komposisi menganjurkan untuk memetik di bagian senar
yang dekat dengan bridge, di beberapa bagian lagunya.
Berdasarkan posisi memetiknya, teknik memetik gitar dapat dibagi menjadi:
1. Sul Tasto, adalah teknik memetik senar pada bagian tengah gitar.
2. Sul Ponticello, adalah teknik memetik senar di dekat bridge.
Gambar 4.5
Sul Tasto
Sumber: Dokumentasi Pribadi
90
Gambar 4.6
Sul Ponticello
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Sul Ponticello adalah salah satu cara yang digunakan gitaris untuk
menghasilkan timbre21 yang berbeda. Dengan memetik menggunakan teknik sul
ponticello, akan didapatkan nada dengan efek suara metalik.
Pada bagian awal lagu Bubuy Bulan, diinstruksikan untuk memainkan lagu
ini pada posisi sul ponticello. Hal ini ditunjukkan dengan adanya tulisan “sul
pont” di bawah garis paranada pada gambar. Juga muncul kembali pada birama
ke-42 dan 51. Teknik ini biasanya dilakukan pada satu bagian lagu, bukan hanya
pada satu birama dimana istilah “sul ponticello” muncul.
21 Warna suara/tone colour Definisi timbre. Timbre dipengaruhi oleh cara bergetarnya suatu sumber bunyi. Timbre terjadi karena banyaknya nada tambahan yang menyertai nada dasarnya. Misalkan seorang pria dan wanita menyanyikan sebuah nada dengan frekwnsi yang sama, akan tetap dapat dibedakan karena adanya warna suara tersebut.
91
Gambar 4.7
Iwan Tanzil saat bermain dengan teknik Sul Ponticello
Sumber: www.youtube.com
4.2.2.3 Harmonik
Pada lagu Bubuy Bulan, teknik harmonik ditemukan pada awal dan akhir
lagu. Teknik ini ditandai dengan lambang not yang berbentuk belah ketupat bukan
bulat seperti not pada biasanya.
Birama ke-1:
92
Birama ke-62:
Harmonik adalah efek nada menyerupai suara harpa pada gitar yang didapat
dari memetik nada di posisi tertentu dan menggunakan teknik tertentu. Teknik ini
dilakukan dengan cara menyentuh lembut senar kemudian memetiknya, bukan
menekan/memencet seperti memainkan nada yang biasa. Untuk meghasilkan
harmonik yang baik, jari harus menyentuh senar tepat diatas bilah besi.
Ada 2 jenis harmonik, yaitu:
1. Harmonik Natural, adalah harmonik pada open string. Hanya bisa
dilakukan pada fret tertentu, yaitu fret 3, 4, 5, 7, 9, 12, 16, 19, dan 24.
Nada yang dihasilkan antara lain:
- Harmonik 12 menghasilkan nada satu oktaf lebih tinggi dari
open string.
- Harmonik 7 menghasilkan nada perfect fifth22 dari harmonik 12.
- Harmonik 5 menghasilkan nada satu oktaf di atas harmonik 12.
- Harmonik 4 menghasilkan nada major third dari harmonik 5.
22Salah satu jenis dari interval. Interval adalah jarak yang terbentang antara dua not.
Interval dinamai dengan bilangan yang menyatakan urutan not kedua dari not pertama. Contoh: C ke C disebut unison, C ke D (1 laras) disebut major second, C ke E (2 laras) disebut major third, C ke F (2 ଵ
ଶ laras) disebut major fourth, C ke G (3 ଵ
ଶ laras) disebut perfect fifth, C ke A (4 ଵ
ଶ laras)
disebut major sixth, C ke B (5 ଵଶ laras) disebut major seventh, dan terakhir C ke C tinggi (6 laras)
disebut perfect eight atau oktaf.
93
- Harmonik 3 menghasilkan nada perfect fifith dari harmonik 5.
- Harmonik 9 menghasilkan nada major third dari harmonik 5.
- Harmonik 16 menghasilkan nada major third dari harmonik 5,
atau sama dengan harmonik pada fret 9 dan 4.
- Harmonik 19 menghasilkan nada perfect fifth dari harmonik 12,
atau sama dengan harmonik pada fret 7.
- Harmonik 24 menghasilkan nada satu oktaf di atas harmonik 12,
atau sama dengan harmonik pada fret 5.
2. Harmonik artifisial/harmonik oktaf, adalah harmonik yang
memanfaatkan efek harmonik 12 untuk memainkan senar yang
ditekan. Sebagai contoh, jika kita ingin memainkan nada harmonik
artifisial dari nada G (senar 1, fret 3), maka kita melakukannya dengan
cara menekan nada G pada senar 1 fret 3, menyentuh nada oktaf nya
yang berada di fret 1523, kemudian memetiknya. Diperlukan teknik
khusus dalam pemakaian jari tangan kanan. Hal ini disebabkan tangan
kanan harus menyentuh nada oktaf dan memetik dalam waktu
bersamaan. Penyentuhan nada oktaf dilakukan dengan telunjuk kanan.
Sedangkan pemetikannya dilakukan dengan jari manis. Dengan
demikian posisi telunjuk kanan akan berpindah-pindah mengikuti
jarak 12 fret dari not-not yang ditekan oleh jari kiri.
23 Nada oktaf dalam satu senar berada di fret ke 12 setelah nada tersebut. Misal nada F
(senar 1, fret 1), nada oktafnya berada di fret ke 13 (fret 1 + 12). Hal ini didapatkan dari interval oktaf yang berjarak 6 laras, sehingga jarak di gitar adalah 12 fret.
94
Dalam pemakaiannya, harmonik sering dipadukan dengan petikan akor dan
bass dengan jempol. Harmonik yang dimainkan bersamaan dengan petikan normal
akan menghasilkan efek suara seperti bunyi bel.
Dalam notasi, harmonik ditandai dengan kata harm atau arm. Biasanya
disertai juga dengan nomor senar yang akan dipetik dan nomor fret dimana posisi
nadanya akan dimainkan. Namun sudah banyak partitur yang meninggalkan cara
ini. Tanda harm/arm dihilangkan, digantikan menjadi not yang berbentuk belah
ketupat sebagai tanda dimainkan dengan teknik harmonik, dengan not berwarna
putih untuk melambangkan natural harmonic dan not warna hitam untuk
melambangkan artificial harmonic.
Pada birama ke-1, jelas terlihat jika 10 not seperenambelas pertama dan not
seperempat didepannya berbentuk belah ketupat, tidak bulat seperti not yang
lainnya. Ini menunjukkan bahwa not-not tersebut dimainkan dengan teknik
harmonik pada posisi/fret 12 (ceja) dengan jari kelingking (4) dan dipetik dengan
jempol (p). Namun terdapat sedikit kesalahan dalam pengetikan notasi tersebut.
Berdasarkan video yang penulis lihat, harmonik pada bagian tersebut dimainkan
dengan teknik harmonik natural. Hal ini tidak sesuai dengan partitur yang
menunjukkan not yang dimainkan dengan teknik artifisial. Seharusnya 10 not
seperenambelas pada bar tersebut berwarna putih. Karena dalam prakteknya,
nada-nada tersebut tidak memerlukan penekanan fret dengan tangan kiri (open
string). Oleh karena itu tangan kiri dapat langsung melakukan penyentuhan di fret
yang dimaksud. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah.
95
Gambar 4.8
Teknik Harmonik Natural pada Birama Pertama
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Jika pada awal lagu ini terdapat teknik harmonik natural, di akhir lagu
terdapat harmonik artifisial yang dipadukan dengan teknik trill. Pada birama
terakhir ini terlihat 5 not seperempat yang dimainkan dengan harmonik artifisial.
Juga tiap not dilengkapi dengan petunjuk di senar berapa dan di fret berapa not
tesebut dimainkan.
Kita ambil contoh not pertama yang dimainkan dengan teknik artifisial.
Terdapat petunjuk senar dan di fret berapa nada A dimainkan. Dalam aturan posisi
dasar dalam gitar klasik, nada si seperti di partitur tersebut dimainkan di senar 3
fret 2. Namun terdapat angka 4 di dalam lingkaran yang menunjukkan nada si
tersebut harus dimainkan di senar 4. Di senar 4, nada si berada di fret 7.
Kemudian di bawah not si tersebut juga terdapat angka 19 beserta huruf “i” dan
“a”. Maksud dari angka 19 adalah teknik penyentuhan senar dalam harmonik
96
artifisial di senar oktaf dari not dasarnya (fret 7 + 12 = 19). Huruf “i”
melambangkan dengan jari yang dipakai untuk melakukan teknik penyentuhan ini
(telunjuk) dan huruf “a” melambangkan jari yang dipakai untuk memetik (manis).
Begitulah dasar penjelasan untuk not-not dalam bar tersebut yang dimainkan
dengan teknik harmonik artifisial seterusnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada gambar di bawah.
Gambar 4.9
Teknik Harmonik Atifisial pada birama ke-62
Jari manis Jari telunjuk memetik menyentuh lembut
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Pada gambar terlihat proses pemetikan nada A. Proses ini dilakukan
sewaktu tangan kiri menekan nada A di senar 4 fret 7. Untuk mendapatkan suara
yang maksimal, biasanya setelah memetik, jari yang menyentuh dengan cepat
diangkat.
97
4.2.2.4 Slur
Teknik ini banyak ditemukan pada lagu Sipatokaan. Penulis melihat, ada 30
kali teknik slur muncul dalam lagu ini. Oleh sebab itu penulis akan mengambil
dua contoh yang berbeda jenisnya, keduanya berada pada satu birama ke 40.
Dalam notasi teknik ini ditandai dengan garis melengkung di atas/bawah dua not
atau lebih.
Birama ke-40:
Slur ialah teknik membunyikan dua not atau lebih dengan bunyi yang
menyambung/tanpa terputus. Ditandai dengan garis melengkung yang
menghubungkan not yang berbeda dalam notasi standar.
Cara memainkan teknik ialah sebagai berikut. Not pertama di petik dengan
cara biasa. Not kedua (ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya jika lebih dari dua
not) dibunyikan dengan jari tangan kiri memakai 2 cara, yaitu: 1) mengetuknya
(hammer-on/tapping) bila not tersebut lebih tinggi dari not di depan nya, 2)
memetiknya (pull-off) bila not tersebut lebih rendah dari not di depan nya. Bisa
disimpulkan, pada teknik slur pembuat suara dari not ke-2 dan seterusnya adalah
jari pada tangan kiri. Untuk teknik permainan yang lebih tinggi, rangkaian not
98
yang dimainkan dengan teknik ini dapat diperbanyak dan dipadukan dengan
tambahan iringan pada jari tangan kanan (mano izquerda sola)24.
Notasi di atas merupakan birama ke-40 dari lagu Bubuy Bulan. Pada birama
tersebut terdapat dua teknik slur, yaitu hammer-on dan pull-off. Teknik yang
pertama dimainkan pada birama tersebut adalah teknik hammer-on, karena
dimainkan dari nada rendah (F) ke nada yang lebih tinggi (A). Selanjutnya
digunakan teknik pull-off. Nada yang dimainkan pada teknik ini dimulai dari nada
yang tinggi (Bb) ke nada yang lebih rendah (A).
Gambar 4.10
Hammer-on
Sumber: Dokumentasi Pribadi
24 Membunyikan serangkaian nada dengan hanya memakai jari kiri, tanpa melibatkan jari
kanan. Menggunakan kombinasi teknik hammer on dan pull off. Dapat dimainkan tersendiri atau diberi tambahan iringan dengan petikan jari kanan.
99
Gambar 4.11
Pull-off
Sumber: Dokumentasi Pribadi
4.2.2.5 Trill
Sebanyak tiga kali teknik ini muncul pada lagu Bubuy Bulan, yaitu birama
ke-2, 4 dan 62. Teknik trill ditandai dengan “tr” dan garis bergelombang.
Birama ke-2: Birama ke-62:
Birama ke-4:
100
Trill adalah teknik memainkan sebuah not dengan not yang lebih tinggi
secara berulang-ulang dengan tempo yang cepat. Walaupun dengan tempo yang
cepat, lamanya not yang dimainkan harus tetap diperhatikan. Lamanya not tetap
tergantung kepada nilai not itu sendiri.
Teknik ini hampir menyerupai slur namun dengan 2 not yang “itu-itu saja”.
Cara memainkannya pun sama. Nada pertama dengan petikan biasa, dan
seterusnya dengan teknik hammer on dan pull off yang secara bergantian dan
terus-menerus dalam jangka waktu yang ditentukan oleh nilai not tersebut. Biasa
dilakukan dengan tempo yang cepat.
Pada notasi di atas terdapat tiga teknik trill yang dimainkan pada lagu
Bubuy Bulan. Pada paragraf ini akan diambil satu saja contoh dari ketiga notasi
tersebut yaitu pada notasi pertama. Pada birama kedua, nada yang dimainkan
dengan teknik trill adalah nada E (senar 1 fret 12) bernilai 3 ketuk. Nada ini
dipetik, kemudian dilakukan teknik hammer on untuk not yang satu tingkat lebih
tinggi pada tangga nada tersebut, yaitu nada F yang berada satu fret di depannya
(fret 13). Selanjutnya digunakan teknik pull off untuk membunyikan kembali nada
E. Lalu dilakukan kembali hammer on untuk memainkan nada F. Dengan kata
lain, hanya nada pertama saja yang dibunyikan dengan menggunakan petikan
tangan kanan. Tentu saja semua teknik slur ini dimainkan dengan tempo yang
cepat (secepat yang pemain bisa). Begitu seterusnya hingga 3 ketuk berakhir.
Dengan asumsi pemain dapat memainkan 4 nada dengan teknik ini dalam 1 ketuk,
hasil dari teknik ini pada lagu Bubuy Bulan dapat digambarkan pada notasi
berikut.
101
Birama ke-2:
Birama ke-4:
Birama ke-62:
102
Terdapat sedikit perbedaan pada birama ke-62. Seharusnya teknik ini
memainkan satu nada dengan nada yang lebih tinggi satu tingkat dari nada
pertama pada tangga nada yang sama. Jika nada pertama adalah A, seharusnya
nada berikutnya adalah B. Namun dengan adanya simbol not Bb pada birama
tersebut, nada kedua yang dimainkan bukan B, melainkan Bb.
Gambar 4.12
Trill
Sumber: Dokumentasi Pribadi
4.2.2.6 Glissando
Lagu Bubuy Bulan menggunakan sebanyak tiga kali teknik glissando, yaitu
pada birama-18, 32, dan 37. Pada notasi, teknik ini ditandai dengan “gliss” dan
garis searah dengan pergerakan melodi ke nada selanjutnya.
103
Birama ke-18: Birama ke-32:
Birama ke-37:
Glissando adalah teknik meluncur (glide) dari satu not ke not berikutnya.
Teknik ini dilakukan pada 2 not dalam satu senar dengan cara memetik not
pertama lalu menggeser (meluncur) jari kiri ke not berikutnya tanpa dipetik
dengan tidak mengurangi/mengendurkan tekanan jari tangan kiri pada senar.
Suara yang dihasilkan oleh not kedua berasal dari “sisa” getaran saat memetik not
pertama. Teknik yang sering juga disebut dengan slide ini, dapat juga
dimanfaatkan untuk akor.
Glissando pada garis birama ditandai dengan garis melengkung di atas garis
lurus. Atau bisa juga garis lurus yang memanjang diantara dua not yang
bersangkutan disertai “gliss” di atas not tersebut. Jika tanpa tanda “gliss”, maka
garis yang menghubungkan not-not tersebut hanya berarti kesamaan jari tangan
kiri dalam menekan not-not tersebut. Bisa juga dengan hanya membuat garis
melengkung di atas maupun di bawah garis lurus tersebut.
104
Pada bagian notasi dari lagu Bubuy Bulan di atas, terdapat tiga teknik
glissando yang dimainkan. Pada paragraf ini, hanya akan diambil satu contoh saja,
yaitu pada birama ke-18. Ada dua nada yang dimainkan dengan teknik ini, yaitu F
dan C. Nada F diminta untuk dimainkan dengan teknik ini menuju nada A,
sedangkan nada C menuju nada E. Nada F (senar 1 fret 1) dan C (senar 2 fret 1)
dipetik secara bersamaan selama 1 ketuk. Setelah itu, kedua jari yang menekan 2
senar pada nada F dan C tadi, di”luncur”kan ke nada-nada tujuan pada senar yang
sama, yaitu nada A (senar 1 fret 5) dan E (senar 2 fret 5).
Gambar 4.13
Teknik Glissando pada birama ke-18
Sumber: Dokumentasi Pribadi
105
4.3 Analisis Gaya Permainan
Dalam menganalisis gaya permainan pada lagu Sipatokaan dan Bubuy
Bulan, penulis akan melakukan identifikasi terhadap melodi, ritem, dan akor pada
kedua lagu tersebut.
4.3.1 Analisis Melodi
Melodi adalah tinggi rendahnya nada. Tinggi rendahnya nada yang
dihasilkan disebabkan oleh tingkat frekwensi yang berbeda-beda. Pada notasi,
tinggi rendahnya nada ditentukan oleh letak not tersebut dalam garis paranada.
Semakin tinggi letaknya, semakin tinggi pula frekwensinya.
Pada permainan gitar dengan konsep gitar tunggal seperti lagu Sipatokaan
dan Bubuy Bulan, melodi lagu sebagian besar dimainkan bersamaan dengan akor
dan bass. Dalam notasi gitar klasik, melodi ditandai dengan not dengan tungkai ke
atas. Sebelum menganalisis, penulis akan “memisahkan” melodi inti dan
membuatnya dalam notasi yang baru.
Dalam menganalisis, ada tiga hal penting yang akan dibahas yaitu bentuk,
frasa, dan motif. Bentuk adalah suatu aspek yang menguraikan tentang organisasi
musikal. Unit terkecil dari suatu melodi disebut dengan motif, yaitu tiga nada atau
lebih yang menjadi ide sebagai pembentukan melodi. Gabungan dari motif adalah
semi frasa, dan gabungan dari semi frasa disebut dengan frasa (kalimat).
Menurut William P. Malm dalam bukunya Musical Cultures of The Pasific
The Near East and Asia (1977:8), bentuk dapat dibagi menjadi lima bagian, yaitu:
1. Repetitive, yaitu bentuk nyanyian yang mengalami pengulangan.
106
2. Ireratif, yaitu suatu bentuk nyanyian yang menggunakan formula melodi
yang kecil dengan kecenderungan pengulangan-pengulangan di dalam
keseluruhan nyanyian.
3. Reverting, yaitu suatu bentuk nyanyian apabila di dalam nyanyian terjadi
pengulangan pada frasa pertama setelah terjadi penyimpangan melodis.
4. Strofic, yaitu apabila bentuk nyanyian diulang dengan formalitas yang sama
namun menggunakan teks yang baru.
5. Progressive, yaitu apabila bentuk nyanyian selalu berubah dengan
menggunakan materi melodi yang selalu baru.
Nettl dalam bukunya Theory and Method in Ethnomusicology, mengatakan
bahwa untuk mendeskripsikan bentuk suatu komposisi, ada beberapa patokan
yang dipakai untuk membagina ke dalam berbagai bagian, yaitu:
1. Pengulangan bagian komposisi yang diulangi bisa dianggap sebagai satu
unit.
2. Frasa-frasa istirahat bisa menunjukkan batas akhir suatu unit.
3. Pengulangan dengan perubahan (misal, transposisi lagu atau pengulangan
pola ritmis dengan nada-nada yang lain).
4. Satuan teks dalam musik vokal, seperti kata atau baris.
Dalam hal ini penulis membagi bentuk dalam lagu-lagu yang dianalisa
dengan patokan poin kedua diatas, yaitu membagi dengan berdasarkan frasa-frasa
istirahat.
107
4.3.1.1 Analisis Melodi pada Lagu Sipatokaan
Sebelum melakukan analisis melodi, melodi inti lagu Sipatokaan akan
dipisahkan dari partitur hasil aransemen dalam bentuk gitar tunggal. Berikut
hasilnya.
Dari notasi di atas, terdapat 3 frase yang ada dalam melodi lagu Sipatokaan.
Frase A dimulai dari birama pertama sampai 8, frase B dimulai dari birama ke-9
sampai 17, dan frase C dimulai dari birama ke-17 sampai birama terakhir.
Terdapat dua jenis bentuk menurut Malm dalam melodi lagu ini, yaitu
repetitif dan reverting. Bentuk repetitive terdapat pada frase A yang mengalami
pengulangan sedangkan bentuk reverting terjadi pada frase B yang mengalami
pengulangan pada frase C, namun sedikit berbeda pada melodi akhirnya.
4.3.1.2 Analisis Melodi pada Lagu Bubuy Bulan
Sebelum melakukan analisis melodi, melodi inti lagu Bubuy Bulan akan
dipisahkan dari partitur hasil aransemen dalam bentuk gitar tunggal. Berikut
hasilnya.
108
Dari notasi di atas, terdapat 6 frase yang terdapat dalam melodi lagu Bubuy
Bulan. Frase A dimulai dari birama pertama sampai ke-5, frase B dimulai dari
birama ke-5 sampai 9, frase C dimulai dari birama ke-11 sampai 14, frase D
dimulai dari birama ke-15 sampai 18, frase E dimulai dari birama ke-19 sampai
22, dan frase F dimulai dari birama ke-23 sampai birama terakhir.
Sama seperti pada lagu sebelumnya, yaitu lagu Sipatokaan, terdapat dua
jenis bentuk menurut Malm dalam melodi lagu ini, yaitu repetitif dan reverting.
Bentuk repetitive terdapat pada frase A dan B yang mengalami pengulangan
sehingga menghasilkan bentuk A-B-A-B. Sedangkan bentuk reverting terjadi
pada frase C yang mengalami pengulangan pada frase E, namun sedikit berbeda
pada melodi akhirnya. Jika frase E yang merupakan bentuk reverting dari frase C
diganti menjadi frase ܥଵ, maka bentuk keseluruhan dari lagu tersebut adalah A-B-
A-B-C-D-ܥଵ-F.
109
4.3.2 Analisis Akor
Pada sub bab ini, akan dilakukan identifikasi terhadap akor dalam lagu
Sipatokaan dan Bubuy Bulan. Maksud dari identifikasi di sini adalah mencari
akor-akor apa saja yang ada dalam lagu tersebut dan menganalisis nama dari akor-
akor tersebut berdasarkan kombinasi jarak antar not. Identifikasi dilakukan
berdasarkan dua partitur lagu yang menjadi objek penelitian (halaman 70-75).
Akor adalah kesatuan bunyi dalam musik yang mengandung 3 nada atau
lebih. Kombinasi jarak antar not menentukan nama akor bersangkutan. Terdapat
dua jenis akor yang paling sering digunakan dalam musik Barat, yaitu mayor dan
minor. Akor mayor terdiri dari nada do, mi, dan sol (1, 3, 5), dan akor minor
terdiri dari nada do, ri, dan sol (1, 3b, 5). Tetapi bila trinada dasar mendapat
tambahan nada baru, namanya akan berubah sesuai not yang ditambahkan.
Berikut sebagian contoh beserta kandungan notnya:
- Mayor 7 (CM7 atau Cmaj7) = 1, 3, 5, 7
- Minor 7 (Cm7) = 1, 3b, 5, 7b
- Dominan 7 (C7) = 1, 3, 5, 7b
- Diminished 7 (Cdim) = 1, 3b, 5b, 7b
- Mayor 6 (C6) = 1, 3, 5, 6
- Minor 6 (Cm6) = 1, 3b, 5, 6
- Mayor 9 (CM9 atau Cmaj9) = 1, 3, 5, 7, 9
- Minor 9 (Cm9) = 1, 3b, 5, 7b, 9
- Minor 11 (Cm11) = 1, 3b, 5, 7b, 9, 11
- Dominan 11 (C11) = 1, 3, 5, 7b, 9, 11
110
- Minor 13 (Cm13) = 1, 3b, 5, 7b, 9, 11, 13
- Dominan 13 (C13) = 1, 3, 5, 7b, 9, 11, 13
- Suspended 4 (Csus atau Csus4) = 1, 4, 5
- Augmented (Caug atau C+) = 1, 3, 5#
Angka 9, 11, dan 13 menunjukkan urutan not dihitung dari not dasar (1)
atau yang sering kita sebut dengan root (akar). Contohnya dalam akor Cmaj9, not
ke-9 dihitung dari C (1) yang merupakan root. Dengan begitu, Cmaj9 akan berisi
C, E, G, B, D.
Pada gitar, sulit untuk mempraktekkan bunyi semua not ini. Karena itu ada
sebagian not-not yang dihilangkan. Contoh pada akor C11, di gitar cukup dengan
memainkan nada C, Bb, D, dan F (1, 7b, 9, dan 11). Meski tidak lengkap, namun
bunyi yang dihasilkan sudah cukup efektif untuk memenuhi fungsinya sebagai
akor dominan.
Mengidentifikasi akor harus dimulai dengan menentukan nada-nada pada
akor tersebut, kemudian menentukan namanya berdasarkan daftar akor di atas
berdasarkan nada penyusunnya. Menentukan nada-nada pada akor gitar klasik
biasanya dengan melihat nada dasar (root) yang dipakai sebagai root chord
stratum/bass stratum dan trinada dari hasil inversi bass stratum atau yang biasa
disebut dengan chord stratum. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di
bawah.
Melody Stratum
Chord Stratum
Bass Stratum
111
4.3.2.1 Analisis Akor pada Lagu Sipatokaan
Penulis melihat ada 5 jenis akor dalam lagu Sipatokaan, yaitu B mayor, B
dominan 7, F# mayor, F#7, dan E mayor. Semua akor itu bisa saja muncul lebih
dari satu kali, oleh karena itu akan diambil contoh pada satu birama saja.
B mayor (birama ke-8):
F# = 5
B = 1
B7 (birama ke-36):
D# = 3
A = 7b
B = 1
F# mayor (birama ke-24):
C# = 5
F# = 1
F# = 1
F#7 (birama ke-104): C# = 5
A# = 3
E = 7b
F# = 1
E mayor (birama ke-38): G# = 3
B = 5
E = 1
112
Pada akor F# dan B# di atas, hanya ada dua jenis nada yang menjadi
formulanya, yaitu nada 1 dan 5 saja. Biasanya dengan formula 1 dan 5, bisa
teridentifikasi 2 kemungkinan akor, yaitu akor mayor dan minor. Namun dengan
melihat tangga nada (tangga nada B mayor) pada notasi ini, akor minor harus
menambahkan nada 3b. Sehingga kedua akor di atas adalah akor mayor.
4.3.2.2 Analisis Akor pada Lagu Bubuy Bulan
Penulis melihat ada 3 jenis akor dalam lagu Bubuy Bulan, yaitu A minor, D
minor, dan E suspended. Semua akor itu bisa saja muncul lebih dari satu kali,
oleh karena itu akan diambil contoh pada satu birama saja.
A minor (birama ke-6): A25 = 1
E = 5
A = 1
D minor (birama ke-30):
F = 3b
A = 5
D = 1
E suspended (birama ke-31):
B = 5
A = 4
E = 1
25Seharusnya nada G, tetapi karena teknik scordatura yang telah dibahas sebelumnya
menyebabkan not ini menjadi nada A. Begitu juga not D pada notasi, dalam prakteknya menjadi nada E.
113
Pada akor A minor di atas, hanya ada dua jenis nada yang menjadi
formulanya, yaitu nada 1 dan 5 saja. Biasanya dengan formula 1 dan 5, bisa
teridentifikasi 2 kemungkinan akor, yaitu akor mayor dan minor. Namun dengan
melihat tangga nada (tangga nada C mayor) pada notasi ini, akor mayor harus
menambahkan nada C#. Sehingga akor di atas adalah akor minor.
Pada akor D minor dan Esus, akor dimainkan dengan teknik arpeggio.
Teknik ini adalah teknik memainkan nada-nada pada akor dengan memetiknya
satu-persatu dalam pola tertentu.
4.3.3 Analisis Ritem
Ritem adalah variasi lamanya bunyi not dimainkan. Ritem menurut penulis
adalah unsur yang paling penting dalam musik. Sekumpulan ritem saja akan
menghasilkan musik yang masih indah jika didengar walau tanpa melodi. Namun
hasilnya tidak akan sama jika memainkan serangkaian melodi tanpa ritem..
Dalam menganalisis ritem lagu Sipatokaan dan Bubuy Bulan ini, penulis
melakukan pendekatan dengan melihat tempo dan pola ritem yang digunakan.
Tempo akan dijelaskan dengan mengacu pada simbol “M.M.” pada awal lagu,
sedangkan dalam menganalisis pola ritem kedua lagu tersebut penulis akan
menampilkan ritem iringan pada notasi yang baru. Kemudian akan dicari motif
pada ritem tersebut untuk mengetahui polanya.
Pada notasi ini, ada dua simbol dalam bentuk not. Not yang berada pada
garis paranada paling atas melambangkan chord strattum, sedangkan not yang
berada di garis kedua paranada melambangkan bass stratum.
114
4.3.3.1 Analisis Ritem pada Lagu Sipatokaan
Sebelum menganalisis, penulis akan menampilkan ritem iringan pada lagu
Sipatokaan dengan “memisahkan” ritem notasi chord stratum dan bass stratum
dari partitur aransemen Iwan Tanzil. Hasilnya dapat dilihat pada notasi di bawah
ini.
Tempo pada notasi di atas menunjukkan angka 126. Angka ini menunjukkan
bahwa pada lagu tersebut setiap satu menit terdapat 126 ketukan. Dengan tanda
birama menunjukkan angka 2/4, maka dengan kata lain 63 birama dari lagu ini
dimainkan dalam waktu satu menit.
Untuk menganalisis pola ritem, terlebih dahulu ditentukan motif-motif ritem
yang terdapat dalam lagu ini. Untuk mempermudah pengerjaan, penulis
115
membahas bagian per bagian dari lagu ini. Bagian-bagian tersebut adalah intro
(birama 1-19), awal lagu (birama 20-28), dan bagian refrain (birama 29-44).
1. Bagian intro, terdapat 5 motif:
- Motif A - Motif B
- Motif A1 (pengembangan A) - Motif C
- Motif A2 (pengembangan A)
Setelah ditentukan motif dari ritem pada intro, dapat ditentukan pola
ritemnya. Pola ritem pada bagian intro lagu Sipatokaan adalah A-A-B-A1-A1-A1-
B-C-A2.
2. Bagian awal lagu, hanya terdapat satu motif:
- Motif D
Setelah ditentukan motif dari ritem pada bagian awal lagu, dapat ditentukan
pola ritemnya. Pola ritem pada bagian awal lagu Sipatokaan adalah D-D-D-D dan
mengalami pengulangan sebanyak dua kali.
116
3. Bagian refrain, terdapat 2 motif:
- Motif E - Motif D (seperti motif D
pada bagian awal lagu)
Setelah ditentukan motif dari ritem pada bagian refrain lagu, dapat
ditentukan pola ritemnya. Pola ritem pada bagian refrain lagu Sipatokaan adalah
E-E-E-E-D-E-E-E dan mengalami pengulangan sebanyak dua kali.
4.3.3.2 Analisis Ritem pada Lagu Bubuy Bulan
Sebelum menganalisis, penulis akan menampilkan ritem iringan pada lagu
Bubuy Bulan dengan “memisahkan” ritem notasi chord stratum dan bass stratum
dari partitur aransemen Iwan Tanzil. Hasilnya dapat dilihat pada notasi di bawah
ini.
117
118
Tempo pada notasi di atas menunjukkan angka 72. Angka ini menunjukkan
bahwa pada lagu tersebut setiap satu menit terdapat 72 ketukan. Dengan tanda
birama menunjukkan angka 4/4, maka dengan kata lain 18 birama dari lagu ini
dimainkan dalam waktu satu menit.
Untuk menganalisis pola ritem, terlebih dahulu ditentukan motif-motif ritem
yang terdapat dalam lagu ini. Untuk mempermudah pengerjaan, penulis
membahas bagian per bagian dari lagu ini. Bagian-bagian tersebut adalah intro
(birama 1-25), awal lagu (birama 26-41), dan bagian refrain (birama 42-63).
1. Bagian intro, terdapat 5 motif:
- Motif A - Motif B
- Motif A1 (pengembangan A) - Motif B1 (pengembangan B)
- Motif C - Motif D
Motif C dan D masing-masing berbeda ritem di tiap biramanya. Namun ada
karakteristik yang sama, yaitu pada ketiga birama bermotif C (birama ke-10, 19,
dan 21) pengiring hanyalah bass stratum. Sedangkan pada keempat birama
bermotif D (birama ke-12, 14, 16, dan 18) pengiring hanyalah berupa chord
119
stratum karena senar rendah (bass stratum) berganti peran menjadi pembawa
melodi.
Setelah ditentukan motif dari ritem pada bagian intro lagu, dapat ditentukan
pola ritemnya. Pola ritem pada bagian intro lagu Bubuy Bulan adalah A-A-C-A-
D-A-D-A1-D-A1-D-C-A1-A1-C-C-B-B-B-B-B1-B1-B1-B1.
2. Bagian awal lagu, terdapat 4 motif:
- Motif E - Motif F
- Motif E1 (pengembangan E) - Motif F1 (pengembangan F)
Pada bagian ini, pengembangan dari motif masing-masing motif dilakukan
untuk “mengantar” kepada motif yang baru. Motif-motif pengantar ini hanya
dilakukan sekali dan biasanya pengantar motif ini merupakan penyederhanaan
dari motif sebelumnya. Motif F1 juga menjadi pengantar bagi motif pada bagian
ritem lagu selanjutnya (refrain). Penulis juga menemukan adanya pengulangan
melodi dalam lagu ini, namun dalam motif ritem yang berbeda (variasi 1dan 2).
Setelah ditentukan motif dari ritem pada bagian awal lagu, dapat ditentukan
pola ritemnya. Pola ritem pada bagian awal lagu Bubuy Bulan adalah E-E-E-E-E-
E-E-E1-F-F-F-F-F-F-F-F1.
120
3. Bagian refrain, terdapat 8 motif:
- Motif G - Motif G1 (pengembangan G)
- Motif H - Motif H1 (pengembangan H)
- Motif I
- Motif I1
- Motif E1 - Motif E11 (pengembangan E1)
Sama dengan bagian awal lagu, pada bagian ini pengembangan dari motif
merupakan pengantar ke motif berikutnya. Biasanya motif pengembangan ini
merupakan penyederhanaan dari motif asalnya. Juga terdapat 3 variasi ritem
dalam 2 kali pengulangan bagian melodi refrain. Pada refrain pertama, digunakan
121
variasi ritem 3 dan 4. Sedangkan pada pengulangannya, digunakan variasi 5 di
seluruh bagian refrain.
Setelah ditentukan motif dari ritem pada bagian refrain lagu, dapat
ditentukan pola ritemnya. Pola ritem pada bagian refrain lagu Bubuy Bulan adalah
G-G-G-G1-H-H-H-H1-I-I-I-I-I-I-I1-E1-E1-E11-E11.
122
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tentang analisis teknik dan gaya permainan pada
lagu Sipatokaan dan Bubuy Bulan aransemen Iwan Tanzil pada bab sebelumnya,
penulis membuat beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1. Teknik permainan pada lagu Sipatokaan dan Bubuy Bulan mempunyai
dua fungsi dalam penggunaannya; 1) memudahkan pemain dalam
memproduksi nada, dan 2) memperindah nada yang diproduksi oleh
pemain. Teknik ceja dan scordatura mempunyai fungsi nomor satu
pada penjelasan di atas. Teknik ceja membantu pemain untuk
menekan lebih dari satu senar hanya dengan satu jari. Ini
memungkinkan jari lain dapat menekan posisi yang lain. Teknik ini
juga membuat perpindahan akor pada satu lagu menjadi lebih
sederhana. Pada teknik scordatura, pemain dapat memainkan akor
yang sulit sembari memainkan melodi pada posisi-posisi fret yang
jauh. Pada lagu Bubuy Bulan yang bernada dasar A minor, rasanya
tidak mungkin untuk memainkan melodi pada fret yang jauh jika senar
3 dan 4 tidak ditala menjadi nada A dan E. Fungsi nomor dua pada
penjelasan di atas dimiliki oleh teknik apagados, strumming, sul
ponticello, slur, trill, dan glissando. Teknik apagados menciptakan
ketukan yang berbeda dengan hentakan-hentakan yang cepat pada
123
bunyi di gitar. Strumming membuat “rasa” yang berbeda dengan
memetik memakai keempat jari secara bersamaan. Sedangkan sul
ponticello membuat warna suara yang dihasilkan menjadi berbeda
dengan petikan di posisi biasa. Slur, trill, dan glissando dapat
menciptakan efek legato (suara rangkaian nada yang tidak terputus)
dengan cara mereka masing-masing. Teknik-teknik ini menghasilkan
variasi-variasi akibat cara-cara yang berbeda dari memproduksi nada
yang biasa. Variasi-variasi inilah yang menciptakan keindahan
tersendiri bagi permainan gitar klasik. Namun ada jug yang memiliki
fungsi keduanya, yaitu teknik harmonik. Selain memiliki warna suara
tersendiri (seperti harpa) teknik ini juga memudahkan pemain dalam
memproduksi nada. Pemain tidak perlu lagi bermain pada posisi fret
yang jauh untuk memainkan nada tinggi. Cukup dengan teknik
harmonik, nada yang tinggi dapat dihasilkan.
2. Style/gaya permainan lagu Sipatokaan dan Bubuy Bulan yang telah
diaransemen lebih mencolok pada bagian ritemnya. Pada analisis
ritem, terdapat banyak jenis petikan baik dari lagu Sipatokaan maupun
Bubuy Bulan. Jenis petikan arpeggio dan strumming bahkan
dikombinasikan dalam beberapa variasi pada lagu Bubuy Bulan. Pada
lagu bertempo cepat, Sipatokaan, iringan ritemnya mengandalkan
teknik permainan bass yang terus menerus dimainkan di setiap ketuk.
Petikan senar rendah ini tidak digabungkan dengan trinada seperti
pada lagu Bubuy Bulan. Justru divariasikan gerakannya secara susul-
124
menyusul dengan nada yang lebih tinggi tetapi tetap pada senar
rendah. Hal ini membuat lagu Sipatokaan berirama seperti lagu
mars26. Namun pada melodi dan akor, tidak banyak perubahan yang
berarti. Melodinya tidak banyak berubah dari lagu aslinya karena tidak
ada modulasi27 yang terjadi (biasa untuk menghilangkan kesan
monoton). Akor-akor yang dipakai pun hanya sebatas akor mayor dan
minor. Terhitung hanya sekali dipakai akor selain mayor minor pada
setiap lagu. F#maj7 pada bagian akhir lagu Sipatokaan dan Asus4
pada birama ke-31 lagu Bubuy Bulan. Namun berbicara tentang lagu
Bubuy Bulan, penulis berpendapat bahwa intro lagunya sangat
menarik. Dengan permainan melodi tunggal pada tujuh birama
pertama, telinga pendengar pasti kembali dimanjakan oleh permainan
gitar klasik dengan irama khas Sunda pada birama ke-8 sampai 25.
Belum lagi teknik strumming yang memainkan arpeggio dengan
memakai ketiga jari (I, M, A) pada birama ke-50 sampai 56 yang
sejauh pengamatan penulis belum banyak yang melakukannya.
Dengan minimnya aransemen pada melodi inti dan akor, penulis
menyimpulkan bahwa arranger dari kedua lagu ini, Iwan Tanzil, ingin
tetap mempertahankan rasa dan suasana asli dari kedua lagu daerah
tersebut.
26Musik untuk mengiringi parade/prosesi dengan birama 2/4, 4/4, atau 6/8 yang mempunyai aksen di setiap ketukannya.
27Perubahan nada dasar dalam satu komposisi.
125
DAFTAR PUSTAKA
Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Ethnomusicology. New York: The Free Press of Glencoe.
Kristianto, Jubing. 2007. Gitarpedia: Buku Pintar Gitaris. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama. Hornbostel, Erich M. Von and Curt Sach. 1961. Classification of Musical
Instrumen, Translate from the original German by Antonie Banes and Klaus P. Wachsman.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional. Pengetahuan Dasar Musik. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Malm, William P. 1977. Music Cultures of The Pasific, The Near East, and Asia.
New Jersey: Prentice Hall. Terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh Muhammad Takari, 1993. Kebudayaan Musik Pasifik, Timur Tengah, dan Asia. Medan: Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Manoff, Tom. 1991. “The Music Kit (Terjemahan)”. Medan. Departemen
Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Merriam, Alan P. 1964. The Antrhopology of Music. Chicago: North Western
University. Koizumi. T. 1974. Guitar Course Fundamental. Jakarta: Yamaha Music
Foundation. Koentjaningrat (Ed.) . 1977. Metode - Metode Penelitian Pada Masyarakat.
Jakarta: Gramedia. Harahap, Irwansyah. 2004. Alat Musik Dawai. Medan: Lembaga Pendidikan Seni
Nusantara. Sumber Internet http://www.notasimusik.com http://www.jubing.net http://www.chordwizard.com/theory.html
126
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Iwan Tanzil
Alamat : Jerman
Pekerjaan : Musisi dan Arranger Gitar Tunggal
2. Nama : Jubing Kristianto
Alamat : Jakarta
Pekerjaan : Musisi dan Arranger Gitar Tunggal
3. Nama : Wonter Purba
Alamat : Medan
Pekerjaan : Instruktur Gitar
4. Nama : Michael Panggabean
Alamat : Medan
Pekerjaan : Dosen Gitar Klasik
5. Nama : Marugan Simanjuntak
Alamat : P.Siantar
Pekerjaan : Guru Privat Gitar Klasik
127
Lampiran
128
129
130
131