ABSTRAK Irmayanti Br Sembiring. 1302070069. Pengaruh Model ...
ANALISIS STRUKTUR MELODI DAN MAKNA TEKSTUAL … file3. Drs. Bebas Sembiring, M.Si. ( ) 4. Drs....
Transcript of ANALISIS STRUKTUR MELODI DAN MAKNA TEKSTUAL … file3. Drs. Bebas Sembiring, M.Si. ( ) 4. Drs....
ANALISIS STRUKTUR MELODI DAN MAKNA TEKSTUAL DEDENG MEMANGGIL ANGIN PADA ETNIK MELAYU LANGKAT DI DESA TELUK BAKUNG SKRIPSI SARJANA DIAJUKAN O L E H NAMA: REINHARD PANGONDIAN HUTAPEA NIM : 140707019
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2018
i
ANALISIS STRUKTUR MELODI DAN MAKNA TEKSTUAL DEDENG MEMANGGIL ANGIN PADA ETNIK MELAYU LANGKAT DI DESA TELUK BAKUNG OLEH: NAMA : Reinhard Pangondian Hutapea NIM : 140707019 Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II, Drs. Muhammad Takari, M. Hum, Ph.D. Drs. Fadlin, M.A. NIP. 196512211991031001 NIP. 196102201989031003
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2018
ii
PENGESAHAN DITERIMA OLEH : Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan. Pada Tanggal : Hari : Fakultas Ilmu Budaya USU Dekan, Dr. Budi Agustono, M.S. NIP. 196008051987031001 Panitia Ujian : Tanda Tangan 1.Drs. Muhammad Takari, M.Hum,Ph.D. ( )
2. Drs. Fadlin, M.A ( )
3. Drs. Bebas Sembiring, M.Si. ( )
4. Drs. Kumalo Tarigan, M.A., Ph.D. ( )
iii
DISETUJUI OLEH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI KETUA, Arifninetrirosa, SST., MA. NIP. 196502191994032002
iv
PERNYATAAN
Dengan ini saya nyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan
Tinggi dan, sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali, yang secara tertulis
disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 2018 Reinhard Pangondian Hutapea NIM 140707019
v
ABSTRAK Skripsi sarjana ini berjudul “Analisis Struktur Melodi dan Makna Tekstual
Dedeng Memanggil Angin Pada Etnik Melayu Langkat di Desa Teluk Bakung.” Nyanyian ini merupakan salah satu musik vokal yang berasal dari etnik Melayu Langkat yang berfungsi sebagai sarana komunikasi kepada Tuhan melalui mambang agar para nelayan yang ingin pergi ke laut diberikan angin sehingga dengan harapan, perahu yang dikembangkan layar ditiup oleh angin. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan dua masalah pokok: (1) bagaimana struktur melodi dedeng, (2) apa makna tekstual dari dedeng sehingga menjadi salah satu ungkapan komunikasi kepada roh-roh penguasa alam. Untuk mengkaji pokok masalah pertama, digunakan teori description of musical vcopositions oleh Nettl ditulis kedalam buku yang berjudul Theory and Method in Ethnomusicology yang menjelaskan delapan poin yang harus diperhatikan dalam mendeskripsikan musik setelah itu, untuk mendukung teori tersebut penulis mengkombinasikan metode weighted scale (bobot tangga nada) dari Malm. Selanjutnya untuk menguraikan pokok masalah kedua penulis menggunakan teori semiotika yang dikemukakan oleh Sudjiman dan Zoest yang menyatakan bahwa, semiotika berarti tanda atau isyarat dalam suatu sistem lambang yang lebih besar. Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam mengerjakan tulisan ini adalah metode deskriptif-komperatif yang artinya, di dalam penelitian ini akan dipetakan dan dipelajari berbagai hal termasuk masalah-masalah dalam suatu masyarakat, tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi tertentu termasuk, tentang hubungan kegiatan, sikap-sikap, pandangan serta, proses yang sedang berlangsung dan berpengaruh dari suatu fenomena. Di dalam kerja laboratorium penulis mengumpulkan data mulai dari wawancara, dokumentasi dan, perekaman diuraikan secara rinci, detail dan ditafsirkan dengan pendekatan emik dan etik. Dedeng memanggil angin yang dinyanyikan oleh salah satu narasumber bernama H.M. Yunus Tampubolon berupa free rhythm yang memiliki sebelas nada yang di antaranya dua nada rendah dan dua nada oktaf. Struktur pada dedeng memanggil angin yaitu: A-B-B1-C. Pada bagian A sebagai pembuka lagu/intro sedangkan B dan B1 masuk kedalam bait pertama dan bait kedua meskipun ada beberapa pengulangan terhadap melodi tersebut tetapi, mempunyai sedikit perbedaan diantara keduanya dan pada bagian C merupakan bait tiga dan empat sekaligus sebagai penutup. Syair ini menceritakan tentang keinginan seorang nelayan yang ingin mencari ikan sinangin yang merupakan incaran para nelayan didalam pencariannya, seorang nelayan melantunkan syair dedeng yang ditunjukan kepada mambang agar segala aktivitasnya dilaut diberikan kelancaran serta sampai pulangnya mendapat hasil yang melimpah. Kata kunci: dedeng memanggil angin, nelayan, struktur melodi, Makna teks.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, dengan
limpahan kasih dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi
ini. Adapun skripsi sarjana ini diberi judul “Analisis Struktur Melodi dan Makna
Tekstual Dedeng Memanggil Angin Pada Etnik Melayu Langkat di Desa Teluk
Bakung.”Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada yang terhormat Bapak
Dr.Budi Agustono, M.S., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU Medan.
Begitu juga segenap jajaran di Dekanat Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Sumatera Utara.
Terimakasih kepada Ibu Arifninetriroza, SST., M.A selaku ketua program
studi dan Bapak Drs. Bebas Sembiring, M.Si. selaku sekretaris program studi
Etnomusikologi FIB USU Medan. Terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak
Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D. selaku pembimbing I dan Bapak Drs.
Fadlin,
M.A. selaku pembimbing II (yang juga dosen Prodi Etnomusikologi FIB
USU), yang telah meluangkan waktunya selama penyusunan skripsi ini. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat seluruh staf pengajar di
Prodi Etnomusikologi USU yang telah banyak memberikan pemikiran dan
wawasan baru kepada penulis selama mengikuti perkuliahan. Kepada seluruh
dosen di Etnomusikologi, Bapak Prof. Drs. Mauly Purba, M.A.,Ph.D., Bapak Drs.
Irwansyah Harahap, M.A., Ibu Drs. Rithaony Hutajulu, M.A., Bapak Drs. Bebas
Sembiring, M.Si., Ibu Arifni Netrosa, SST, M.A., Ibu Dra. Frida Deliana, M.Si.,
Bapak Drs. Perikuten Tarigan, M.Si., Bapak Drs. Dermawan Purba, M.Si., dan
Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum., dan Bapak Drs. Kumalo Tarigan, M.A.,
iii
Ph.D. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Bapak/Ibu yang telah membagikan ilmu dan pengalaman hidup Bapak/Ibu
sekalian. Seluruh ilmu dan pengalaman hidup Bapak/Ibu sekalian menjadi
pelajaran berharga untuk penulis.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada alm. Ibu
saya yang tercinta Martha Mulyanti semasa hidunya beliau telah berjuang untuk
mengkuliahkan saya dan Abang saya Salmon Dirga Putra Hutapea beserta isteri
Arni Ariesta, Dwi Apriandi Hutapea beserta isteri Delviana Irma Natasia
Sidabutar serta Kakak saya Kartika Oktora Hutapea. Terimakasih atas cinta kasih
dan perhatian yang telah diberikan kepada saya. Serta motivasi-motivasi yang
diberikan dan juga doa yang selalu dipanjatkan kepada penulis dalam
penyelesaian skripsi ini. Penulis juga banyak mengucapkan terima kasih kepada
Bapak Rodinson Sinamo Ramadhan Syahputa, Endang Ridona Sinulingga, Steven
Cristian Pinem, Lola Julianty Tambunan, Dicky Frans Ginting, Maria Desi
Sagala, Megar Utami Tarigan, Jeremia Sembiring dan murid saya Paduan Suara
SMA Negeri 1 Secanggang.
Kepada semua informan yang telah memberikan dukungan dan bantuan
untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini; Bapak Syamsul Bahri, Bapak
H.M.Yunus Tampubolon, Bapak Zainal Arifin Aka, Datuk Ahmad Fauzi dan
Bapak Faharujin Amri Sungguh pengalaman dan kesempatan yang tak terhingga
yang penulis dapat untuk mengetahui tentang nyanyian Dedeng.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman mahasiswa
Etnomusikologi USU stambuk emapatbelas terkhusus untuk Hendri Tinaro
Tindaon, Jhonson Pasaribu, Adi Candra Silitonga, Armando Bonavensus Sialoho,
iv
Johanes T. Nababan, Indri Kesuma Pardede, Septi Arsila Sargih, Ananta Sitio,
Bestari Natalia Purba dan Marimar Angelia S.
Medan,2018
Penulis,
Reinhard Pangondian Hutapea NIM 140707019
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK .......................................................................................................... i KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii DAFTAR ISI ....................................................................................................... v BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................................. 1 1.2 Pokok Permasalahan ....................................................................................... 4 1.2.1 Batasan Masalah .................................................................................... 4 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................................ 4 1.3.1 Tujuan Penelitian ................................................................................... 4 1.3.2 Manfaat Penelitian ................................................................................. 5 1.4 Tinjauan Pustaka ............................................................................................. 5 1.4.1 Konsep ................................................................................................... 6 1.4.2 Landasan Teori ...................................................................................... 8 1.5 Metode Penelitian ........................................................................................... 10 1.5.1 Wawancara ............................................................................................ 12 1.5.2 Kerja Laboratorium ................................................................................ 13 1.5.3 Lokasi Penelitian .................................................................................... 13 BAB II ETNOGRAFI UMUM MASYARAKAT MELAYU LANGKAT DI DESA TELUK BAKUNG 2.1 Suku Melayu Langkat ..................................................................................... 14 2.1.1 Asal Usul Melayu Langkat ..................................................................... 15 2.1.2 Masa Kolonial ........................................................................................ 18 2.1.3 Daftar Raja-Raja Kesultanan Langkat .................................................... 21 2.2 Lokasi Penelitian ............................................................................................ 22 2.2.1 Etnografis Desa Teluk Bakung ............................................................... 22 2.3 Sistem Kekerabatan Melayu Langkat .............................................................. 26 2.4 Agama ............................................................................................................ 28 2.5 Sistem Mata Pencaharian ................................................................................ 29 2.6 Kesenian Melayu Langkat ............................................................................... 30 BAB III DEDENG MEMANGGIL ANGIN PADA ETNIK MELAYU LANGKAT 3.1 Pengertian Dedeng .......................................................................................... 35 3.2 Fungsi dan Jenis Dedeng ................................................................................. 37 3.2.1 Dedeng Memanggil Angin ...................................................................... 37 3.2.2 Asal Usul Dedeng Melayu Langkat Menurut H.M Yunus Tampubolon ...................................................................... 37 3.2.3 H.M. Yunus Tampubolon Mengenal Dedeng ......................................... 41 3.2.4 Dedeng Mulaka Nukal (Menanam Benih) ............................................. 45 3.2.5 Dedeng Ahoi .......................................................................................... 46 3.2.6 Dedeng Padang Reba (Menebang Hutan) ............................................... 49 3.3 Fungsi Dedeng ................................................................................................ 51 3.3.1 Fungsi Komunikasi ................................................................................ 51 3.3.2 Fungsi Pengungkapkan Emosional ......................................................... 53 3.4 Pandangan Masyarakat Terhadap Dedeng ....................................................... 53
vi
BAB IV ANALISIS STRUKTUR MELODI DAN MAKNA TEKSTUAL DEDENG MEMANGGIL ANGIN 4.1 Kajian Struktur Melodi Dedeng Memanggil Angin .......................................... 59 4.2 Kajian Struktur Melodi ................................................................................... 62 4.2.1 Perbendaharaan Nada ............................................................................. 62 4.2.2 Tangga Nada .......................................................................................... 62 4.2.3 Jumlah Nada (Frequency of Notes) ......................................................... 63 4.2.4 Nada Dasar ............................................................................................ 64 4.2.5 Wilayah Nada (Range) ........................................................................... 65 4.2.6 Interval ................................................................................................... 66 4.2.7 Kontur Melodi ....................................................................................... 70 4.2.8 Formula Melodi ..................................................................................... 73 4.2.9 Bentuk .................................................................................................. 74 4.2.10 Ritme ................................................................................................... 78 4.3 Asal Uusl Bahasa dan Syair ............................................................................ 80 4.3.1 Definisi Syair ......................................................................................... 82 4.4 Bentuk Teks Dedeng Memanggil Angin .......................................................... 83 4.5 Definisi Pantun ............................................................................................... 84 4.5.1 Pantun dan Konteksnya .......................................................................... 86 4.6 Analisis Semiotik Dedeng Memanggil Angin .................................................. 86 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 93 6.2 Saran .............................................................................................................. 94 LAMPIRAN ........................................................................................................ 96 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 97 DAFTAR INFORMAN ...................................................................................... 98
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Musik vokal merupakan salah satu kesenian atau tradisi budaya yang ada di
Indonesia sama halnya dengan kebudayaan Melayu khususnya di Langkat. Secara
budaya, etnik Melayu Langkat memiliki banyak corak dan ragam adat dan budaya
termaksud di dalammnya kesenian. Kesenian di wilayah Kabupaten Langkat di
antaranya adalah musik Ronggeng Melayu, Senandung, Hadrah, Barzanji, musik
Tari Inai untuk Pengantin, Tari Serampang XII dan juga musik vokal yang disebut
dengan dedeng. Selain dedeng musik vokal lain yang ada di etnik Melayu Langkat
yaitu, Dadoh atau biasa di sebut sebagai Dodoi merupakan nyanyian menidurkan
anak yang dulunya sering dinyanyikan seorang ibu untuk mengantar anaknya tidur
didalam nyanyianya tersebut sang ibu juga bercerita tentang kegelisahannya kepada
anaknya dan berharap sang anak dapat mendengar dan mengerti. Syair Selendang
Delima merupakan musik vokal yang dipergunakan dalam berbagai aktivitas seperti
persembahan bangsawan, upacara perkawinan, Sebagai prolog dalam pertunjukan
kesenian Melayu, dan pengungkapan settika dan lain-lain (Fadlin :2011).
Seperti yang diketahui musik vokal dedeng memiliki beberapa jenis yaitu,
pada saat upacara penebangan hutan yang disebut Dedeng Padang Reba, menanam
benih di lahan disebut Dedeng Mulaka Nukal, dan pada saat aktivitas musim panen
tiba yang disebut dengan Dedeng Ahoi (Zulfahmi, 2012: 14).
2
Secara pasti, bahwa dedeng merupakan nyanyian atau syair yang berasal dari
Melayu Langkat dikarenakan berdasarkan sejarah dan fenomena yang terjadi
dimasyarakat langkat dan aktivitas masyarakat tersebut tidak terlepas dari nyanyian.
Menurut H. M Yunus Tampubolon1, asal mula nyanyian dedeng ini berasal
dari seorang pemuda yang gagah yang bernama Dedeng yang hidup sebatangkara
dan pandai bersahabat serta mau merendah mengakibatkan, Datuk Garang bersimpati
dan menjadikan dia sebagai orang suruhan. Setelah hamper tiga tahun berselang,
putri Datuk Garang bernama Mayang Saroja, menaruh hati pada si Dedeng begitu
juga dengan si Dedeng. Lama kelamaan Datuk Garang mendengar kabar bahwa
puterinya Mayang Seroja jatuh hati kepada si Dedeng akhirnya, mengundang
masalah besar dan membuat Datuk Garang marah dan berusaha menjauhkan
puterinya dari si Dedeng dan memerintahkan anak buahnya untuk menghabisi nyawa
si Dedeng. Mayang Seroja merasah sedih dan merindukan lantunan senandung
dedeng yang sangat menyentuh hati sambil meratap kepada laut dan bahkan
mengadukan penderitaannya kepada mambang2 yang ada di pulau Tapak Kuda
kemudian terjadi perkelahian antara Datuk Garang dengan si Dedeng yang
mengakibatkan kematian Datuk Garang dan Dedeng. Kemudian Datuk Garang
dimakamkan di pinggir pantai dan jasad Dedeng di kuburkan di atas bukit Hutan
Bakau.
1Wawancara dengan H.M. Yunus Tampubolon salah satu pelaku Dedeng pada tanggal 09 Maret 2018 2 Mambang merupakan makhluk halus.
3
Menurut Syamsul Bahri3, dedeng ini merupakan seorang nelayan yang
pernah hidup lebih kurang 500 tahun yang lalu. Beliau tinggal di satu pulau yang
disebut sekarang ini adalah Pulau Kampai konon, riwayat tersebut pernah kami teliti
bahwasanya beliau pernah bermukim di sana dan terdapat makamnya yang
dikisarkan berumur 500 tahun. Dedeng ini dalam syair Melayu hanya dipergunakan
untuk memanggil angin yang berbentuk sebagai pelipur lara bagi nelayan yang akan
menangkap ikan kelaut kemudian, salah satu cara memanggil angin sehingga angin
datang dengan harapan perahu yang dibentangkan layar akan ditiup angin sehingga
mereka tidak menggunakan tenaga untuk mejalankan perahu. Dedeng juga bisa
dipergunakan sebagai mantra untuk memanggil roh-roh para leluhur atau juga
mengursir roh-roh gaib. Dalam penggunaan dedeng sebagai salah satu cara untuk
membuka hutan, menanam padi serta memanen padi. Tergantung konteksnya
kemana dedeng ini mau diarahkan.
Ditinjau dari sudut konteksnya, dedeng dapat dikatagorikan dalam nyanyian
yang bersifat sakral dan religi, karena aktifitas bernyanyi ini bagi masyarakat Melayu
Langkat pada awalnya dianggap sesuatu yang suci dan ditunjukan kepada roh-roh
gaib (Takari: 55, 1996). Menurut Takari, musik vokal dedeng termakasud dalam
katagori musik yang sebahagianya dari religi animisme.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, mengenai Dedeng
Memanggil Angin. maka penulis tertarik untuk menyusun serta menuliskannya dalam
bentuk skripsi dengan judul: “Analisis Struktur Melodi dan Makna Tekstual 3 Wawancara dengan Syamsul Bahri salah satu pelaku Dedeng pada tanggal 23 Januari 2018
4
Dedeng Memanggil Angin pada Etnik Melayu Langkat di Desa Teluk Bakung.”
1.2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan
sebelumnya, yang menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini yaitu:
1. Bagaimana struktur melodi dedeng?
2. Apa makna tekstual dari dedeng sehingga menjadi salah satu ungkapan
permohonan kepada roh-roh penguasa alam.
1.2.1 Batasan Masalah
Masyarakat Etnik Melayu Langkat memiliki kekayaan akan musik vokal
yang digunakan sebagai media komunikasi. Dalam penelitian ini penulis akan
membahas dedeng memanggil angin sebagai media komunikasi dimana nyanyian
dedeng memiliki versi dan variasi yang berbeda disetiap daerah baik dari segi teks
maupun melodi. Dalam hal ini penulis hanya akan membahas dedeng memanggil
angin spesifik khusus disatu daerah saja, namun tetap memanfaatkan sampel dari
daerah lain sebagai referensi tambahan bagi penulis.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk menganalisis struktur dari dedeng.
2. Untuk menganalisis makna dedeng.
5
1.3.2 Manfaat Penelitian
1. Salah satu upaya pemeliharaan lagu rakyat Melayu Langkat sebagai bagian
dari kekayaan budaya nasional.
2 Sebagai pendokumentasian karena dedeng sudah dilupakan dan kemungkinan
akan mengalami kepunahan.
3 Sebagai pembelajaran dedeng kepada generasi muda.
4 Sebagai proses pengaplikasian ataupun pengembangan ilmu yang diperoleh
penulis selama mengikuti perkuliahan di Program Studi Etnomusikologi.
5 Sebagai referensi untuk peneliti lainnya yang mempunyai keterkaitan dengan
topik penelitian.
6 Untuk menambah dokumentasi mengenai etnik Melayu Langkat di Program
Studi Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
1.4 Tinjauan Pustaka
Penelitian terhadap dedeng sudah pernah dilakukan peneliti oleh Muhammad
Zulfahmi (seorang dosen di salah satu institusi di Padang), Zumaidi Abdullah
(seorang mahasiswa di Universitas Negeri Medan) dan, Kartini C.P Sitanggang
(seorang mahasiswi di Universitas Negeri Medan)
Muhammad Zulfahmi menulis tentang “Dedeng: Nyanyian Upacara Turun
ke Ladang Etnik Melayu Langkat, Pesisir Timur Sumatera Utara” yang dimuat dalam
Jurnal Ekspresi Seni ISI Padang Panjang. Zulfahmi mengatakan bahwa nyanyian
dedeng merupakan salah satu alat bagi masyarakat Etnik Melayu Langkat dalam
6
meminta permohonan karena dilihat dari segi teks dedeng berisi tentang himbauan
serta harapan yang ditujukan kepada dua hal yakni manusia dan alam.
Zumaidi Abdullah menulis tentang “Gaya Bernyanyi dalam Mengiringi Tari
Mengirik Padi Pada Masyarakat Melayu di Kabupaten Langkat” yang dimuat dalam
bentuk skripsi ia mengatakan, nyanyian dedeng Ahoi sebagai sarana mengirim doa
dan rasa mengucap syukur kepada Tuhan setelah padi berhasil di panen.
Berbeda dengan lainya, Kartika C.P Sitanggang menulis tentang “Makna Tari
Ahoi Pada Masyarakat Melayu Langkat di Kecamatan Sei Wampu” yang dimuat
kedalam bentuk skripsi ia mengatakan tarian itu muncul berawal dari kegiatan
sehari-hari masyarakat di sawah ketika musim panen tiba.
Tulisan dari Muhammad Zulfahmi sangat membantu penulis dalam
pengayaan refesensi penulisan karya ilmiah. Namun ada hal yang belum dibahas
didalam karya ilmiah Zulfahmi yaitu, nyanyian dedeng memanggil angin yang akan
menjadi salah satu fokus penulis dalam melaksanakan penelitian ini.
1.4.1 Konsep
Untuk memberikan pemahaman yang sama dalam tulisan ini, perlu diuraikan
kerangka konsep yang digunakan sebagai landasan dalam penulisan yaitu; Dedeng
ialah berdedeng yang dilakukan secara sepihak. Dalam hal ini yang dinyanyikan
adalah berbentuk sebuah mantra ataupun doa yang ditujukan kepada roh-roh dan
penguasa alam agar perahu yang dibentangkan layar ditiup oleh angin hingga
membawanya sampai ketengah laut.
7
Dalam hal ini pemahaman setiap orang mengenai dedeng tidak semua
masyarakat mengetahuinya khususnya yang ada di daerah Kabupaten Langkat
dikarenakan nyanyian dedeng tersebut sudah jarang digunakan oleh masyarakat
namun, penulis ingin mencari pokok permasalahan dan memecahkan permasalahn
dalam penelitian ini.
Kajian atau analisis adalah kegiatan berpikir untuk menguraikan suatu
keseluruhan menjadi komponen sehingga dapat mengenal tanda-tanda komponen,
hubunganya satu sama lain dan fungsi masing-masing dalam satu keseluruhan
(Komaruddin 2001:53).
Menurut Soeharto. M dalam buku “kamus musik” (1992:86) pengertian musik
adalah pengungkapan gagasan melalui bunyi, yang unsur dasarnya berupa melodi,
irama, dan harmoni dengan pendukung berupa gagasan, sifat dan warna bunyi. Dari
pengertian musik ini, dapat dikatakan bahwa musikal merupakan suatu ungkapan
dari ekspresi manusia yang diolah dalam suatu nada-nada yang harmonis.
Dedeng merupakan sebuah nyanyian yang penulis nyatakan sebagai objek
kajian Etnomusikologi, karena ada atau terbentuk dari struktur, bentuk, bunyi-
bunyian, unsur musikal yang dapat digolongkan atau dikategorikan sebagai
nyanyian.
Teks merupakan bentuk lisan maupun tertulis (Halliday, 1985:290). Dari
pengertian teks diatas, maka teks bukan hanya serangkatian kata atau kalimat yang
berdiri sendiri tetapi merupakan sesuatu yang diciptakan atau disusun dengan cara
tertentu sehingga mengandung pengertian konteks tertentu dan berfungsi sebagai
8
penyampaian pesan. Sesuai dengan judul tulisan ini, penulis akan menganalisa
makna dari teks dedeng memamnggil angin.
1.4.2 Landasan Teori
Dalam penelitian ini, melakukan analisis penulis menkombinasikan metode
weigthed scale (bobot tangga nada) dari William P. Malm yaitu, (1) tangga nada, (2)
nada dasar (picth centre), (3) wilayah nada, (4) jumlah nada-nada, (5) jumlah
interval, (6) pola-pola kadensa, (7) formula-formula melodi, (8) kontur (Malm dalam
terjemahan Takari 1995:15). Selain itu untuk mendukung teori weighted scale (bobot
tangga nada) digunakan cara mendeskripsikan musik (description of
musicalcopositions) yang dikemukakan oleh Bruno Nettl. Hal-hal yang patut
diperhatikan dalam mendeskripsikan melodi yaitu, (1) perbendaharaan nada, (2)
tangga nada, (3) tonalitas, (4) interval, (5) tonalitas (6) kontur melodi (7) ritme (8)
bentuk ( (1964:1450-1550).
Dalam musik vokal, hal yang sangat penting untuk diperhatikan ialah
hubungan antara melodi dengan syairnya. Apabila nada dipakai untuk setiap silabel
atau suku kata, gaya ini disebut syllabic. Sebaliknya, bila suku kata dinyanyikan
dengan beberapa nada disebut melismatic.
Mentranskripsi musik kedalam bentuk notasi adalah satu-satunya cara yang
digunakan peneliti, untuk dapat menganalisis suatu musik lebih jauh, dengan
mentranskripsi dan menganalisis melodi-melodi tersebut merupakan tahapan bagi
peneliti untuk dapat mengetahui apa yang terjadi di dalam melodi-melodi tersebut
(Nettl 1973: 35). Oleh karena kerangka fikir ini, penulis berpedoman bahwa dengan
9
melakukan pentranskripsian terhadap musik yang diteliti dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan dedeng memanggil angin.
Setiap kebudayaan musik dunia memiliki sistem-sistem musik yang berbeda,
karena kebudayaan musik dikerjakan dengan cara yang tidak sama oleh setiap
pendukung kebudayaan (Netll 1997:3). Sistem-sistem musik tersebut dapat berupa
teori, penciptaan, pertunjukan, pendokumenrasian, penggunaan, fungsi, pengajaran,
estetika, kesejarahan, dan lain-lain.
Dalam penelitian ini digunakan teori semiotika. Istilah kata semiotka ini
berasal dari kata Yunani, semeioni. Panuti Sudjiman dan Van Zoest (bakar 2006:45-
52) menyatakan bahwa semiotika berarti tanda atau isyarat dalam suatu sistem
lambang yang lebih besar. Teori semiotika adalah teori mengenai lambang yang
dikomunikasikan. Teori ini digunakan untuk memahami bagaimana makna
diciptakan dan dikomunikasikan melalui sistem simbol yang membangun sebuah
peristiwa seni baik dari segi syair maupun melodi.
Simbolitas dalam teks-teks sastra itu sendiri, kadang-kadang juga berbeda
satu sama lain. Bukan dalam hal kode, tetapi dalam cara menunjuk sesuatu secara
tradisional (Zoest 1978: 74). Selanjutnya Zoest mengatakan dalam buku semiotika
pengirim tanda musik, komponis, harus mencapai penerimanya. Tidak ada semiotika
tanpa semantik. Jadi tidak ada semiotika musik tanpa semantik musik (Zoest 1978:
121).
Berkaitan dengan tekstual dedeng memanggil angin, Curt Sach (1962: 66)
menulis tentang logogenic dan melogenic. Logogenic adalah nyanyian yang
mengutamakan teks daripada melodinya, karena melodinya merupakan perulangan
10
saja. Sedangkan melogenic merupakan nyanyian yang mengutamakan melodi karena
teksnya hanyalah pengulangan saja. Berdasarkan landasan teori ini penulis dapat
melihat apakahdedeng memanggil angin lebih mengutamakan teks dari pada
melodinya maupun sebaliknya.
Studi tentang teks juga memberikan kesempatan untuk menemukan hubungan
antara aksen dalam bahasa dengan aksen pada musik, serta sangat membantu melihat
rekasi musikal bagi sebuah kata yang dianggap penting dan pewarnaan kata-kata
dalam puisi (Malm 1977:17).
1.5 Metode Penelitian
Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif-
komparatif. Disebut deskriptif karena di dalam penelitian ini akan dipetakan dan
dipelajari berbagai hal termasuk masalah-masalah dalam suatu masyarakat, tata cara
yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang
hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses
yang sedang berlangsung dan berpengaruh dari suatu fenomena (Nazir 1999: 63-64),
dan disebut komparatif karena melalui penelitian akan dicari jawaban yang bersifat
mendasar tentang sebab akibat; ini akan dicapai dengan melakun penganalisaan
faktor-faktor penyebab terjadinya atau munculnya suatu fenomena tertentu (Nazir
1999: 68).
Teluk Bakung adalah desa yang penulis tentukan sebagai lokasi penelitian.
Selain desa Teluk Bakung penulis juga melakukan penelitian di beberapa desa lainya
seperti, desa Jati Makmur dan, Pangkalan Berandan untuk menambah informasi
11
dalam menambah perbendaharaan penulis terkait objek yang dikaji.
Dalam menganalisi melodi ada tiga dasar yang utama yaitu (1) melakukan
analisis yang berhubungan dengan aspek organisasi melodi, (2) analisis terhadap
aspek yang berhubungan dengan waktu, dan (3) analisis yang berhubungan dengan
aspek tekstual. Dalam melakukan analisis yang berhubungan dengan aspek
organisasi melodi yang akan dibahas ialah tangga nada, nada dasar, wilayah nada,
jumlah nada, interval, pola kadensa, dan kantur. Untuk menganalisis aspek yang
berhubungan dengan waktu adalah tempo, birama, meter, dan ritem. Selanjutnya
untuk menganalisis aspek tekstual, penulis melakukan penggalian makna dari dedeng
sehingga dapat mengetahui arti dan makna yang disampaikan pada dedeng..
Ada dua pendekatan yang dilakukan dalam mendeskripsikan musik (1) kita
dapat menganalisis dan mendeskripsikan musik dari apa yang kita dengar, (2) kita
dapat menuliskan musik tersebut diatas kertas dan mendeskripsikan apa yang kita
lihat dengan berbagai cara (Nettl 1964: 96). Dalam hal ini penulis akan
menggunakan beberapa tahap dalam mentranskripsikan melodi diantaranya:
1. Memilih melodi
2. Mendengar melodi secara berulang-ulang
3. Memahami melodi.
4. Menuliskannya kedalam kertas dalam bentuk notasi.
Transkripsi merupakan proses penotasian bunyi yang didengar dan dilihat.
Dalam mengerjakan transkripsi penulis menggunakan notasi yang dinyatakan Seeger
(1958a) yaitu notasi preskriptif dan deskriptif. Notasi preskriptif adalah notasi yang
dimaksudkan sebagai alat pembantu untuk penyaji supaya dapat menyajikan
12
komposisi musik yang belum diketahui oleh pembaca. Untuk mendukung tulisan ini,
penulis menggunakan beberapa sumber bacaan yang diperoleh dari buku, jurnal,
skripsi, paper, catatan-catatan dan internet yang berkaitan dengan topik
permasalahan.
1.5.1 Wawancara
Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data-data
yang dibutuhkan oleh penulis. Koentjaraningrat (1993:138-139) menyatakan pada
umumnya ada beberpa macam wawancara yang dikenal oleh para peneliti.Beberapa
macam wawancara dibagi ke dalam dua golongan besar: (1) wawancara berencana
dan (2) wawancara tak berencana. Wawancara berencana selalu terdiri dari suatu
daftar pertanyaan yang telah direncanakan dan disusun sebelumnya. Sebaliknya,
wawancara tak berencana tak mempunyai suatu persiapan sebelumnya dari suatu
daftar pertanyaan dengan susunan kata dan tata urut tetap harus dipatuhi oleh peneliti
secara kuat. Jenis-jenis metode wawancara tak berencana secara lebih khusus ialah:
(a) metode wawancara berstruktur (structured interview) dan (b) metode wawancara
tak berstruktur (unstructured interview). Wawancar tak berstruktur juga dapat
dubedakan secara lebih khusu lagi ialah: (1) wawancara berfokus (focused interview)
dan (2) wawancara bebas (free interview).
Wawancara adalah teknik mengumpulkan data yang digunakan peneliti untuk
mendapatkan keterangan-keterangan lisan melalu bercakap-cakap dan berhadapan
muka dengan orang yang dapat memberikan keterangan pada sipeneliti.
(Mardalis:2006:64).
13
Dalam wawancara, penulis menetapkan empat narasumber, yaitu Syamsul
Bahri, H.M.Yunus Tampubolon, Datuk Ahmad Fauzi dan Zainal Aka Selain itu,
penulis juga mewawancarai beberapa tokoh masyarakat lainnya yang berkaitan untuk
mengembangkan penulisan skripsi ini.
1.5.2 Kerja Laboratorium
Dalam kerja laboratorium, penulis akan mengumpulkan data, mulai dari
wawancara, dokumentasi, dan perekaman diuraikan secara rinci, detail dan
ditafsirkan dengan pendekatan emik dan etik. Data perekaman audio menjadi objek
yang diteliti oleh penulis dengan cara ditranskripsikan melalui pendengaran dan
menuliskannya kedalam notasi balok.
Selanjutnya, data tersebut diklasifikasi dan dibentuk sebagai data. Data
tersebut diperbaiki dan diperbaharui agar tidak rancu sesuai objek penelitian dalam
menulis skripsi. Pengolahan data ini dilakukan bertahap data-data tidak didapat atau
diperoleh sekaligus. Data-data tersebut juga merupakan data yang diperlukan sesuai
dengan kriteria displin ilmu Etnomusikologi.
1.5.3 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian penulis tempatkan di desa Teluk Bakung Kecamatan
Tanjung Pura kabupaten Langkat karena kasus dan informan yang penulis dapatkan
ialah di desa Teluk Bakung.
14
BAB II ETNOGRAFI UMUM MASYARAKAT MELAYU LANGKAT
DI DESA TELUK BAKUNG
Dalam bab II ini akan dijelaskan mengenai etnografi secara umum terkait
lokasi penelitian juga wilayah-wilayah yang penulis kunjungi serta, kesenian yang
terdapat di etnik Melayu Langkat yang tujuannya untuk menambah perbendaharaan
tulisan.
2.1 Suku Melayu Langkat
Diketahui bahwa, disepanjang pesisir pantai sumatera timur banyak
bermukim suku Melayu seperti, Palembang/Riau, Bengkalis, Bagan siapi-api,
Tanjung Pinang, Kota Pinang, Rantau Prapat, Labuhan Bilik, Asahan, Batubara, Sei
Rampah, Bedagei, Perbaungan, Batangkuis, Hamparan Perak, Binjai/Langkat,
Secanggang, Jaring Halus, Besitang, Pangkalan Berandan, Pangkalan Susu, Langkat
Tamiang. Hampir keseluruhanya adalah masyarakat keturunan suku Melayu
Suku Melayu Langkat (Maya-Maya [baca: maye-maye]), adalah salah satu
suku Melayu yang terdapat di Sumatra Utara. Pemukiman suku Melayu Langkat ini
berada di wilayah kabupaten Langkat. Penyebaran suku Melayu Langkat ini mulai
dari daerah kota Medan, Binjai, Bohorok, Stabat, Tanjung Pura, Pangkalan Brandan,
Pangkalan Susu dan hampir di seluruh wilayah kabupaten Langkat. Suku Melayu
Langkat, berbicara dalam bahasa Melayu Maya-Maya (maye-maye), dengan dialek
"e", mirip dengan dialek orang Melayu Malaysia.
15
Suku-suku melayu pada umunya adalah masyarakat nelayan pantai ada yang
datang dari tanah Semenanjung Malaka, Johor, Selangor, Batupahat, Perlis, Pahang
dan lain sebagainya. Bahkan, sejak abad 13 (tiga belas) sudah merupakan sebuah
bangsa yang besar dan berpengaruh juga hampir sebagian besar masyarakat suku
melayu berada di seluruh nusantara seperti Kalimantan, Sulewesi, Ambon, NTB,
Sumatera dan Pulau Jawa. Dalam misi pengembangan agama Islam dan disetiap
pelabuhan yang ada dikepulauan Nusantara mempergunakan bahasa Melayu sebagai
bahasa pengantar ini membuktikan bahwa, sejak tahun seribu empat ratus delapan,
bahasa melayu menjadi bahasa kebangsaan dari Sabang sampai Merauke.
2.1.1 Asal-usul suku Melayu Langkat
Gambar 2.1
Istana Kesultanan Langkat
16
Kesultanan Langkat merupakan kerajaan yang dulu memerintah di wilayah
Kabupaten Langkat, Sumatera Utara sekarang. Kesultanan Langkat menjadi makmur karena
dibukanya perkebunan karet dan ditemukannya cadangan minyak di Pangkalan Brandan.
Kesultanan Langkat merupakan monarki yang berusia paling tua di antara
monarki-monarki Melayu di Sumatera Timur. Pada tahun 1568, di wilayah yang kini
disebut Hamparan Perak, salah seorang petinggi Kerajaan Aru dari Tanah Karo yang
bernama Dewa Shahdan berhasil menyelamatkan diri dari serangan Kesultanan Aceh
dan mendirikan sebuah kerajaan. Kerajaan inilah yang menjadi cikal-bakal
Kesultanan Langkat modern. Nama Langkat berasal dari nama sebuah pohon yang
menyerupai pohon langsat. Pohon langkat memiliki buah yang lebih besar dari buah
langsat namun lebih kecil dari buah duku. Rasanya pahit dan kelat. Pohon ini dahulu
banyak dijumpai di tepian Sungai Langkat, yakni di hilir Sungai Batang Serangan
yang mengaliri kota Tanjung Pura. Hanya saja, pohon itu kini sudah punah
(www.langkatonline.com)
Di Tanah Langkat pernah berdiri sebuah kerajaan tua yang beraliran Hindu,
yaitu Kerajaan Aru, sebuah kerajaan Batak Karo pada masa lalu, yang diperkirakan
telah berdiri sejak abad 2 Masehi. Setelah berakhirnya masa Kerajaan Aru, maka
bermunculan kesultanan-kesultan di Tanah Langkat ini, seperti Kesultanan Langkat,
yang diduga sebagai kelanjutan dari Kerajaan Aru. Tanah Langkat menurut ceritanya
pertama kali dihuni oleh masyarakat suku Batak Karo yang berasal dari dataran
tinggi Tanah Karo, yang bermigrasi ke wilayah ini. Seiring dengan masuknya suku
17
bangsa Melayu yang diperkirakan berasal dari daratan Riau dan daratan Malaysia ke
wilayah Langkat ini, dengan membawa adat-istiadat dan budayanya, maka wilayah
Langkat ini dipenuhi oleh suku bangsa Melayu, yang sekarang dikenal sebagai suku
Melayu Langkat. Suku bangsa Batak Karo yang pada awalnya mendiami wilayah ini
pun akhirnya sebagian memeluk agama Islam, dan ikut menyerap budaya Melayu
dan ikut menjadi Melayu, yang lebih dikenal sebagai suku Karo Melayu Langkat.
Dalam tatanan kekuasaan kesultanan langkat bahwasanya, nama leluhur
dinasti Langkat yang paling awal adalah Dewa Syahdan. Diperkirakan masa
kekuasaannya tahun 1500 sampai 1580. Menurut teromba Langkat, Dewa Syahdan
datang dari arah pantai yang berbatasan dengan Kerajaan Aceh. Ia menjadi anak beru
dari Sibayak Kota Buluh di Tanah Karo. Kemudian ia dikenal dengan gelar Sibayak
Si Pintar Ukum oleh orang-orang Karo, menurut pihak Karo ia marga Perangin-angin
Kuta Buluh. Ia mempunyai regalia rantai emas buatan Aceh buatan dan kain
Minangkabau. Tiada berapa lama kemudian ia turun ke Deli Tua, kemudian ia
pindah ke Guri atau Buluh Cina sekarang. Dewa Syahdan mempunyai seorang putra
bernama Dewa Sakti. Ia bergelar Kejeruan Hitam. Ada pendapat yang menyatakan
ialah “Indra Sakti” adiknya Putri Hijau di Deli Tua yang diserang Aceh. Dewa Sakti
mangkat digantikan oleh putranya, yang setelah mangkatnya bergelar Marhom Guri
(mungki sekali di Merah Milu kepada orang haru yang menentang Sultan Aceh Saidi
Mukamil). Dimakamkan di Buluh Cina, Hamparan Perak sekarang. Dewa Sakti
hilang raib kemungkinan tewas dalam penyerangan Aceh, peristiwa penyerangan ini
diperkirakan pada tahun 1539.
18
Marhom Guri digantikan oleh putranya Raja Kahar (1673); anak-anaknya
yang lain ialah Sutan Husin keturunan bangsawan Bahorok dan seorang putri
bernama Dewi Tahrul. Raja Kahar pendiri Kerajaan Langkat dan berpusat di Kota
Dalam, daerah antara Stabat dengan Kampung Inai, kira-kira pertengahan abad ke-
18. Ia dimakamkan di Buluh Cina juga. Raja Kahar berputra Badiulzaman bergelar
Sutan Bendahara, seorang yang berpribadi kuat dan denagn cara damai telah
memperluas daerahnya. Ia dimakamkan di Punggai, bergelar Marhom Kaca Puri.
Badiulzaman mempunyai 4 orang anak laki-laki yaitu Kejeruan Tuah Hitam, Raja
Wan Jabar yang mendirikan Selesai, Syahban di Punggai dan Indra Bongsu yang
tetap bersama Kerjeuran Hitam tinggal di Kota Dalam.
2.1.2 Masa Kolonial
Pada masa pemerintahan Sultan Musa al-Khalid al-Mahadiah Muazzam
Shah, seorang administrator Belanda bernama Aeilko Zijlker Yohanes Groninger
dari Deli Maatschappij menemukan konsesi minyak bumi di Telaga Said, Pangkalan
Brandan. Konsesi pertama eksploitasi minyak bumi diberikan oleh Sultan pada tahun
1883. Dua tahun kemudian, dilakukan pemroduksian pertama minyak bumi dari
perut bumi. Pada tahun 1892 kilang minyak Royal Dutch yang menjalankan usaha
eksplotasi mulai melakukan produksi massal.
Berkat ditemukannya ladang minyak tersebut, pihak Kesultanan Langkat
menjadi kaya raya akibat pemberian royaliti hasil produksi minyak dalam jumlah
besar. Secara umum bila di bandingkan dengan kesultanan-kesultanan Melayu di
Sumatera Timur saat itu, Langkat jauh lebih makmur melebihi harapan. Bersama
19
Kesultanan Siak, Kesultanan Kutai Kartanegara, dan Kesultanan Bulungan, Langkat
menjadi salah satu negeri terkaya di Hindia Belanda saat itu. Salah satu sisa kejayaan
Langkat yang dapat disaksikan sekarang adalah Masjid Azizi di Tanjung Pura.
Pada tahun 1907 Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rakhmat Shah
menandatangani kontrak politik dengan Belanda yang diwakili oleh Jacob Ballot
selaku Residen van Sumatra Oostkust. Dalam perjanjian ini batas wilayah
Kesultanan Langkat ditetapkan. Daerah-daerah yang termasuk dalam wilayah
kekuasaan Sultan terdiri dari Pulau Kampei, Pulau Sambilan, Tapa Kuda, Pulau
Masjid dan pulau-pulau kecil di dekatnya, Kejuruan Stabat, Kejuruan Bingei
(Binjai), Kejuruan Selesei, Kejuruan Bahorok, daerah dari Datu Lepan, dan daerah
dari Datu Besitang.
Wilayah Langkat secara administratif dibagi menjadi tiga bagian :
• Langkat Hulu
• Langkat Hilir
• Teluk Haru
Terjadi perhelatan besar pada bulan November 1926, di mana Sultan Ahmad
Sulaimanuddin dari Kesultanan Bulungan di Kalimantan Utara meminang putri
Sultan Abdul Aziz yaitu Putri Lailan Syafinah. Oleh rakyat Langkat, Sultan
Bulungan dikenal dengan nama Sultan Maulana Ahmad. Jarak antara Bulungan dan
Langkat jika ditarik garis lurus mencapai sekitar 2.200 kilometer. Arsip Belanda juga
mencatat sejumlah foto pernikahan keduanya di Tanjung Pura, yang juga dirayakan
dengan tarian Suku Karo.
20
Pada masa Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah, tepatnya saat tentara
Kekaisaran Jepang masuk dan membuat Belanda mundur, sejumlah catatan
menunjukkan penderitaan rakyat Langkat saat itu. Rakyat diperas dan diperbudak
untuk mengerjakan proyek-proyek Jepang. Disini tak ditemukan bagaimana relasi,
kontestasi, dan peta politik Langkat dengan kerajaan-kerajaan tetangga.
Beberapa bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dibacakan
oleh Soekarno dan Hatta, kabar mengenai proklamasi bahkan belum sampai ke
Kesultanan Langkat. Tapi tak lama kemudian, suasana mulai memanas. Laskar-
laskar terbentuk. Dan pada 5 Oktober 1945, Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat
Shah kemudian menyatakan bergabungnya kesultanan dengan negara Republik
Indonesia. Pada tanggal 29 Oktober, Tengku Amir Hamzah diangkat menjadi Asisten
Residen (Bupati) Langkat dan berkedudukan di Binjai oleh Gubernur Sumatera,
Teuku Muhammad Hasan.
Kesultanan Langkat runtuh bersamaan dengan meletusnya Revolusi Sosial
yang didukung pihak komunis pada tahun 1946. Pada saat itu banyak keluarga
Kesultanan Langkat yang terbunuh, termasuk Tengku Amir Hamzah, penyair
Angkatan Pujangga Baru dan pangeran Kesultanan Langkat.
Puluhan orang yang berhubungan dengan swapraja ditahan dan dipenjarakan
oleh laskar-laskar yang tergabung dalam Volksfront. Di Binjai, Tengku Kamil dan
Pangeran Stabat ditangkap bersama beberapa orang pengawalnya. Istri-istri mereka
juga ditangkap dan ditawan ditempat berpisah. Berita yang paling ironis adalah
pemerkosaan dua orang putri Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah pada malam
jatuhnya Istana Darul Aman, 9 Maret 1946.
21
Setelah menangkap Tengku Amir Hamzah, Peradilan Rimba, demikian istilah
bagi laskar-laskar itu, menjatuhkan hukuman pancung bagi Amir Hamzah. Jasadnya
kemudian ditumpuk dengan jenazah ke 26 Tengku lainnya. Keesokan harinya jasad
Amir Hamzah dikebumikan di Masjid Azizi, Tanjung Pura. Istana Darul Aman
memang diserbu dan dibakar, akan tetapi Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah
tak turut dibunuh. Ia ditangkap dan diasingkan ke Batang Serangan hingga kemudian
Belanda membebaskannya pada bulan Juli 1947.
2.1.3 Daftar Raja-Raja Kesultanan Langkat
Berikut ini adalah daftar raja-raja (dan atau sultan-sultan yang pernah
memerintah di Negeri Langkat.
1. 1568-1580 : Panglima Dewa Shahdan
2. 1580-1612 : Panglima Dewa Sakti, anak raja sebelumnya
3. 1612-1673 : Raja Kahar bin Panglima Dewa Sakdi, anak raja sebelumnya
4. 1673-1750 : Bendahara Raja Badiuzzaman bin Raja Kahar, anak raja
sebelumnya
5. 1750-1818 : Raja Kejuruan Hitam (Tuah Hitam) bin Bendahara Raja
Badiuzzaman, anak raja sebelumnya
6. 1818-1840 : Raja Ahmad bin Raja Indra Bungsu, keponakan raja sebelumnya
7. 1840-1893 : Tuanku Sultan Haji Musa al-Khalid al-Mahadiah Muazzam Shah
(Tengku Ngah) bin Raja Ahmad, anak raja sebelumnya
8. 1893-1927 : Tuanku Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rakhmat Shah bin Sultan
Haji Musa, anak raja sebelumnya
22
9. 1927-1948 : Tuanku Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah bin Sultan
Abdul Aziz, anak raja sebelumnya
10. 1948-1990 : Tengku Atha'ar bin Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah,
anak raja sebelumnya, sebagai pemimpin keluarga kerajaan
11. 1990-1999 : Tengku Mustafa Kamal Pasha bin Sultan Mahmud Abdul Jalil
Rahmad Shah, saudara raja sebelumnya
12. 1999-2001 : Tengku Dr Herman Shah bin Tengku Kamil, cucu Sultan Abdul
Aziz Abdul Jalil Rahmad Shah
13. 2001-2003 : Tuanku Sultan Iskandar Hilali Abdul Jalil Rahmad Shah al-Haj
bin Tengku Murad Aziz, cucu Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmad Shah,
gelar Sultan dipakai kembali
14. 2003-sekarang : Tuanku Sultan Azwar Abdul Jalil Rahmad Shah al-Haj bin
Tengku Maimun, cucu Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmad Shah
2.2 Lokasi Penelitian
Dalam lokasi penelitian ini, penulis memilih desa Teluk Bakung, Kecamatan
Tanjung Pura, Kabupaten Langkat.
23
2.2.1 Etnografis Teluk Desa Bakung
Gambar 2.1.2
Peta Desa Teluk Bakung Kec. Tanjung Pura
Teluk Bakung merupakan salah satu desa yang ada di kecamatan Tanjung
Pura, kabupaten Langkat, provinsi Sumatera Utara, Indonesia.
1. Kode Desa/Kelurahan :1205112007
2. Luas Wilayah : 600 Hektar
3. Kordinat Bujur : 99.801018
4. Kordinat Lintang : 1.433901
Ketinggian diatas permukaan laut: 0 Meter
24
Desa/kelurahan terluar di Indonesia: Tidak
Desa/kelurahan terluar Provinsi: Tidak
Desa/kelurahan terluar di Kabupaten/Kota : Tidak
Desa/kelurahan terluar di Kecamatan : Tidak
Tabel 2.1
Jumlah Penduduk
No Tanggal Laki-Laki Perempuan Jumlah Jumlah KK Kepadatan Penduduk
1 13/09/2017 2.062 2.037 4.099 1.107 683
2 23/07/2016 1.932 1.876 3.808 1.082 634
3 22/12/2015 2.183 2.160 4.343 1.410 723
4 31/12/2014 2.183 2.160 4.343 1.410 723
5 31/12/2013 2.123 2.095 4.218 1.261 703
25
Tabel 2.1.1
Mata Pencaharian Pokok
No Tanggal Jenis Pekerjaan Laki-
Laki
Perempuan Jumlah
1 13/09/2017 Karyawan Perusahaan Swasta 20 15 35
2 23/07/2016 Karyawan Perusahaan Swasta 15 10 25
3 22/12/2015 Dosen Swasta 5 1 6
4 31/12/1014 Dosen Swasta 5 1 6
5 31/12/2013 Pegawai Negeri Sipil 55 60 115
26
Tabel 2.1.2
Suku/Etnis
No Tanggal Nama Etnis/Suku Lk (orang) Pr (orang) Jumlah Orang
1 13/09/2017 Sasak 1 0 1
2 13/09/2017 Jawa 230 228 458
3 13/09/2017 Minang 4 6 10
4 13/09/2017 Mandailing 17 13 30
5 13/09/2017 Karo 27 23 50
6 13/09/2017 Banten 6 4 10
7 13/09/2017 Gayo 1 0 1
8 13/09/2017 Banjar 20 25 45
9 13/09/2017 Cina 2 0 2
10 22/12/2015 Melayu 1.215 1.120 2.335
11 03/02/2015 Melayu 1.215 1.110 2.325
27
2.3 Sistem Kekerabatan Melayu Langkat
Bahasa dan adat istiadat adalah dua unsur penting penanda identitas suatu
etnik. Kedua unsur ini muncul dalam sistem kekerabatan. Pada komunitas Melayu
Langkat, sistem kekerabatan mengacu pada garis keturunan ibu dan garis keturunan
ayah. Sistem kekerabatan dapat dibedakan berdasarkan (1) lapisan sosial dan (2)
lapisan keluarga. Panggilan kekerabatan pada lapisan sosial adalah tengku, wan,
datuk, aja dan orang kaya, serta encek dan tuan. Pada lapisan keluarga, komunitas
Melayu memiliki 8 panggilan (sapaan) kekeluargaan sesuai dengan urutan kelahiran
yaitu ulong/yong, ngah, alang, uteh, andak, oda/uda, etam, dan suncu. Hasil
pengujian terhadap 230 responden membuktikan bahwa sebagian komunitas remaja
tidak memahami dan tidak lagi menggunakan sapaan ini. Adapun arti
sebutan/panggilan di Suku Melayu Langkat ke dalam bahasa Indonesia yaitu,
Tabel 2.1.3
Sebutan dalam Bahasa Melayu Langkat
No Bahasa Melayu Langkat Terjemahan Bahasa Indonesia
1 Atok Kakek
2 Andong Nenek
3 Aje Ayah
4 Mamak Mamak
5 Babah Abang
6 Unyang Nenek Buyut
28
Dalam masyarakat Melayu ini keluarga intinya lebih senang mengembangkan
rumah tangga sendiri. Walaupun pasangan baru umumnya tinggal di rumah orang tua
pihak perempuan, namun mereka segera pindah tidak lama setelah lahir anak
pertama. Rumah untuk keluarga baru ini biasanya didirikan dilingkungan
pemukiman kelompok pihak suami. Mungkin karena itulah ada anggapan, bahwa
garis keturunan yang mereka pakai adalah patrilineal. Di masa kesultanan Langkat
dalam masyarakat ini dikenal pelapisan masyarakat yang membedakan keturunan
bangsawan dan rakyat biasa. Golongan bangsawan adalah keturunan raja yang
dikenali dengan gelar-gelar tertentu, seperti Tengku, Sultan, Datuk. Sisa-sisa
pelapisan sosial lama masih nampak dalam masyarakat ini. Misalnya masih
ditemukan kelompok orang bangsawan yang berasal dari keturunan sultan-sultan
dulu, mereka biasanya dipanggil dengan gelar Tengku Lalu, bekas pejabat kesultanan
dan keturunannya biasanya dipanggil dengan gelar Datuk. Sedangkan keturunan
tengku dan datuk dengan orang kebanyakan dipanggil dengan gelar Wan.
2.4 Agama
Islam adalah kepercayaan setiap warga masyarakat Melayu, karena Melayu
sendiri pun berlandaskan Islam. Untuk itu saya akan menjelaskan bagaimana proses
masuknya agama Islam ke dalam peradaban Melayu. Jika di Indonesia Islam mulai
berkembang pada zaman Kerajaan Hindu-Budha berkat hubungan dagang dengan
negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti India, Tionkok, dan wilayah
29
Timur Tengah. Agama Hindu masuk keIndonesia diperkirakan pada awal Masehi,
dibawa oleh para musafir dari India antara lain: Maha Resi Agastya, yang di Jawa
terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para musafir dari
Tiongkok yakni musafir Budha Pahien. Pada abad ke-4 di Jawa Barat terdapat
kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha, yaitu kerajaan Tarauma Negara yang
dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16 (Luckman Sinar 1986).
Di abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa
Timur, yaitu Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga1364, Gajah Mada, berhasil
memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia
beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada
termasuk kodifikasi hukum dan pembentukan kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat
dalam Wiracarita Ramayana.( sejarah dari Ramayana). Masuknya ajaran Islam pada
sekitar abad ke-12, melahirkan kerajaan-kerajaan bercorak Islam, seperti Samudra
Pasai di Sumatera dan Demak di Jawa. Munculnya kerajaan-kerajaan tersebut, secara
perlahan-lahan mengakhiri kejayaan Sriwijaya dan Majapahit, sekaligus menandai
akhir dari era ini. (Takari dan Fadlin 2009). Banyak pertanyaan mengatakan kenapa
Melayu sangat erat hubungan dengan Islam? Atau apa pengaruh yang diberikan
Islam kepada masyarakat Melayu sehingga Melayu harus berdasarkan Islam. Al
Attas menguraikan bahwa ajaran Islam selalu memberikan keterangan dan memiliki
sifat asasi insan itu ialah akal, dan unsur hakikat inilah yang menjadi perhubungan
antara dia dan hakikat semesta. sebagaimana kegelapan lenyap dipancari sinar surya
yang membuat setiap umat Islam selalu mencari kebenaran berdasarkan akal.
Demikian juga kedatangan Islam di Kepulauan Melayu di Indonesia yang membawa
30
rasionalisme dan pengetahuan akhlak serta menegaskan suatu sistem masyarakat
yang terdiri dari individu-individu. Jadi Islam membawa peradaban yang mudah
diterima, intelektualisme, dan ketinggian budi insan di tanah Melayu. Al-Attas juga
menunjukkan bukti bahwa dari tangan ulama-ulama Islam lahirlah budaya sastra,
tulisan, falsafah, buku, dan lain-lain, yang tidak dibawa oleh peradaban sebelumnya.
Islam memang tidak meninggalkan kebudayaan patung (candi) sebagaimana
kebudayaan pra-Islam (sumber: www.wikipedia.com).
2.5 Sistem Mata Pencaharian
Matapencarian suku Melayu Langkat, saat ini memiliki profesi beragam,
tetapi sebagian besar hidup sebagai petani. Mereka menanam berbagai jenis tanaman,
seperti padi, ubi, jagung, berbagai jenis sayuran dan buah-buahan. Di daerah pesisir
biasanya menjadi nelayan. Di luar itu mereka memilih profesi sebagai pedagang,
nelayan, sektor pemerintahan dan sektor swasta. Di sisi lain beberapa dari mereka
menjadi buruh diperkebunan dan lain-lain.
2.6 Kesenian Melayu Langkat
Kesenian yaitu sebuah hasil karya yang diciptakan oleh penciptanya sendiri
untuk menghasilkan sebuah keindahan. Untuk itu kesenian ini menjadi warisan yang
diturunkan dari turun- temurun, agar masyarakat Melayu dapat dikenal dan memiliki
indentitas untuk diperkenalkan di masyarakat lain. Dalam kebudayaan Melayu
terdapat seni-seni seperti seni suara, dengan genrenya seperti berzikir dan azan.
Nyanyian ini bersifat keagamaan sehingga musik tidak digunakan saat bernyanyi.
31
Sedangkan seni vokal yang tergabung dengan musik adalah nyanyian-nyanyian yang
sifatnya menghibur.
Musik mencerminkan kebudayaan masyarakat pendukungnya. didalam
musik, terkandung nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi bagian daripada proses
enlkulturasi budaya, baik dalam bentuk formal maupun informal. Musik itu sendiri
memilki bentuk yang khas, baik dari sudut strukutal maupun genrenya dalam
kebudayaan.
Demikian juga yang terjadi dalam musik kebudayaan masyarakat Melayu
Sumatera Utara. Pertunjukan musik tradisional mengikuti aturan-aturan tradisional.
Pertunjukan ini, selalu berkaitan dengan penguasa alam, mantera (jampi) yang
tujuannya menjauhkan bencana, mengusir hantu atau setan. Musik tradisi Melayu
berkembang secara improvisasi berdasarkan transmisi.
Ada satu konsep musik yang lazim digunakan dalam kebudayaan musik
Melayu, yaitu rentak. Rentak-rentak dalam seni pertunjukan Melayu di antaranya
ialah, rentak senandung, mak inang, lagu dua, (joget), zapin, ghazal, hadrah, dan lain
sebagainya. Rentak ini juga berkaitan dengan erat dengan ekspresi emosi, misalnya
rasa gembira diekspresikan melaui rentak joget atau lagu dua. Sedangkan rasa sedih
dieskpresikan melalui rentak asli atau rentak senandung. Selain itu, selaras dengan
perkembangan zaman, masyarakat Melayu juga mengadopsi secara akulturatif
berbagai rentak musik dunia. Namum dengan pertimbangan matang dan sistem
penapisan yang baik, agar rentak musik dunia itu sesuai dan sepadan dengan budaya
Melayu. Contoh rentak yang mereka adopsi adalah chacha, rumba, serta musik
Timur Tengah (Arab). Seperti lagu Habibi, Salabat Laila, Naam Sidi, dan lain-lain.
32
Menurut Fadlin (1988) di dalam musik Melayu, ada tiga dasar rentak yang
sering digunakan yaitu rentak senandung (4/4, dalam satu siklus delapan ketukan)
yang berirama lambat yang biasanya lagu ini yang bertema sedih. Contoh lagu rentak
senandung adalah Laksamana Mati Dibunuh, Kuala Deli, Sri Mersing, Damak,
Sayang Serawak, Laila Manja, dan lain-lain. Dalam rentak senandung ini, ada lagu
yang diciptakan oleh Nur ‘Ainun yaitu Jangan Duduk Termenung. Kemudian ada
rentak mak inang yang memilki ketukan (2/4), temponya sedang, dan lagu-lagunya
selalu bertemakan persahabatan ataupun kasih sayang. Contoh dari lagu yang
rentaknya mak inang adalah Mak Inang Pulau Kampai, Mak Inang Juara, Mak Inang
Stanggi, Pautan Hati, Haji Lahore, Mak Inang Kampung, dan lain-lainnya. Yang
lainnya adalah rentak lagu dua, yang berbirama 6/8. Rentak ini disebut juga oleh
masyarakat Melayu sebagai rentak joget. Rentak ini sangat banyak disukai oleh
masyarakat Melayu. Karena rentak ini cepat, sesuai untuk membuat suasana ceria
dan gembira, maka lagu dalam rentak ini selalu bertemakan tentang hal-hal yang
gembira atau senang. Contoh dari lagu-lagu Melayu dalam rentak lagu dua atau joget
adalah: Tanjung Katung, Seramang Laut, Hitam Manis, Selayang Pandang,
Gendang Rebana, dan lain-lainnya. Rentak-rentak inilah yang selalu dipakai dalam
musik Melayu untuk mengiringi lagu-lagu. Ini juga lah yang menjadi ketertarikan
saya untuk membahas rentak dalam lagu Melayu yang dibawakan oleh Nur ‘Ainun
untuk dituliskan ke dalam tuilisan ini. Begitu juga Nur ‘Ainun baginya alat musik
Melayu sangat diperlukan untuk mengiringi lagu-lagu yang beliau nyanyikan. Tanpa
alat-alat musik Melayu kurang sedap dengan kata lain Nur ‘Ainun mengatakan
bahwa musik dan nyanyian adalah satu.
33
Beliau juga menambahkan bahwa musik adalah salah satu alat yang
mempunyai irama yang selalu dibutuhkan pada saat dia ingin menyanyikan lagu-
lagunya, dengan menggunakan rentak sebagai pengatur ketukan saat Beliau
bernyanyi.
Selain itu kesenian tari yang sering kita lihat disetiap pagelaran acara besar
seperti peresmian gedung ataupun yayasan yaitu,
1. Tari Makan Sirih (Tari Persembahan)
Tari makan sirih biasanya disebut tari persembahan dan biasanya digunakan
untuk menyambut tamu atau pembukaan acara-acara tertentu. Tarian ini
menggambarkan bahwa orang Melayu menghargai hubungan persahabatan dan
kekerabatan. Saat pertunjukan, salah satu penari dalam tari persembahan akan
membawa kotak yang berisi sirih. Sirih dalam kotak tersebut kemudian dibuka dan
tamu yang dianggap agung diberi kesempatan pertama untuk mengambilnya sebagai
bentuk penghormatan, kemudian diikuti oleh tamu yang lain. Karenanya, banyak
orang yang menyebut tari persembahan Riau dengan sebutan tari sekapur sirih. Bagi
masyarakat Riau, sirih bukan hanya sekedar benda. Sirih juga menjadi media perekat
dalam pergaulan. Melalui tarian, masyarakat Riau telah menunjukkan kesadaran
bahwa manusia saling berhubungan dengan manusia lainnya. Kesadaran sosial
tersebut kemudian mampu menumbuhkan komunikasi yang baik, saling menghargai,
dan menghormati terhadap sesama manusia. Adanya tari penyambutan untuk tamu
menunjukkan bahwa, orang Melayu sangat menghargai hubungan persahabatan dan
kekerabatan.
34
Sejarahnya, pada tahun 1957 di Pekanbaru terjadi musyawarah pembakuan tari
persembahan, yang menampilkan tarian-tarian dan lagu-lagu Melayu Riau, seperti
Tari Serampang Duabelas, Tari Mak Inang Pulau Kampai, Tari Tanjung Katung dan
Tari Lenggang Patah Sembilan. Berdasarkan musyawarah itu kemudian mengolah
sebuah tari untuk persembahan kepada tamu-tamu, maka terciptalah Tari Makan
Sirih yang kini menjadi tari persembahan yang diciptakan oleh seniman-seniman
Riau. Sosialisasi Pembakuan Tari Persembahan ini dilakukan agar dikenal oleh
lapisan masyarakat Riau. Penari Tari Makan Sirih ini harus memahami istilah-istilah
khusus dalam tarian Melayu, seperti igal (menekankan pada gerakan tangan dan
badan), liuk (gerakan menundukkan atau menganyunkan badan), lenggang (berjalan
sambil menggerakkan tangan), titi batang (berjalan dalam satu garis bagai meniti
batang), gentam (menari sambil menghentakkan tumit kaki), cicing (menari sambil
berlari kecil), legar (menari sambil berkeliling 180 derajat), dan lainnya (Sinar, ed.,
2009).
Tari persembahan dipentaskan dengan iringan musik Melayu yang bersumber
dari perpaduan instrumen suara marwas, biola atau fill, gendang, gambus, dan
akordion. Suara akordian merupakan unsur yang penting dalam musik Melayu,
mengingat suara tersebut yang menjadi kekhasan musik Melayu.
2. Tari Zapin
Tari zapin telah lama berkembang di banyak daerah di Indonesia. Tari ini
banyak dipengaruhi oleh budaya Arab dan sarat kandungan agama dan tata nilai.
Tarian ini mempertontonkan gerakan kaki cepat mengikuti pukulan gendang
(marwas). Zapin awalnya hanya dilakukan penari lrlaki namun kini penari
35
perempuan juga ditampilkan.
Zapin berasal dari bahasa arab yaitu "Zafn" yang mempunyai arti pergerakan
kaki cepat mengikut rentak pukulan. Diperkirakan berasal dari Yaman, Zapin
merupakan khazanah tarian rumpun Melayu yang mendapat pengaruh Arab. Tarian
tradisional ini bersifat edukatif dan sekaligus menghibur, digunakan sebagai media
dakwah Islamiyah melalui syair lagu-lagu zapin yang didendangkan.
Musik pengiringnya terdiri atas dua alat yang utama yaitu alat musik petik
gambus dan tiga buah alat musik tabuh gendang kecil yang disebut marwas. Sebelum
tahun 1960, zapin hanya ditarikan oleh penari laki-laki namun kini sudah biasa
ditarikan oleh penari perempuan bahkan penari campuran laki-laki dengan
perempuan.
Seperti itulah pemaparan kesenian yang terdapat pada etnik Melayu Langkat.
Dengan demikian, selain dedeng, terdapat berbagai jenis musik vokal atau nyanyian
lainnya. Begitu juga dengan berbagai genre lainnya. Ada yang terus berkembang
seperti zapin dan ronggeng, namun sebagian lagi mengalami penurunan kuantitas
pertunjukan. Sebahagian lainnya bahkan sudah jarang ditemui lagi aktivitasnya.
36
BAB III DEDENG MEMANGGIL ANGIN PADA ETNIK MELAYU LANGKAT
Pada bab III ini, penulis akan menjelaskan apa itu Dedeng Memanggil Angin
serta jenis-jenisnya dan fungsi nyanyian ini pada Etnik Melayu Langkat, serta,
bagaimana pengetahuan masyarakat tentang nyanyian ini.
3.1 Pengertian Dedeng
Dedeng merupakan salah satu genre kebudayaan musikal etnik Melayu Langkat
Sumatera Utara. Musik vokal dedeng dinyanyikan pada saat kegiatan atau aktivitas masyarakat
melayu terkhusus di kabupaten Langkat. yaitu pada saat mencari ikan di laut, penebangan hutan
untuk lahan pertanian disebut dedeng padang reba, menanam benih di lahan disebut dedeng
mulaka nukal dan pada saat aktifitas musim panen tiba. Ditinjau dari sudut konteks penyajiannya,
musik vocal dedeng dapat dikategorikan kepada nyanyian yang bersifat sakral dan religi
animisme. Teks-teks dedeng berisi tentang himbauan, permohonan, dan harapan yang
ditujukan kepada dua hal yakni kepada manusia dan kepada alam. Kepada manusia ditujukan
sebagai himbauan untuk bekerja sama untuk me la k u ka n s ua t u pekerjaan serta meminta izin kepada
mambang dan penunggu hutan yang terdiri , binatang buas, dan hama-hama tanaman, agar
tidak mengganggu aktifitas atau menghalangi keinginan mereka untuk merintis dan
mendapatkan hasil yang melimpah.
37
Ditinjau dari sudut konteksnya, nyanyian Dedeng dapat dikategorikan kepada nyanyian
yang bersifat sakral dan religi, karena aktifitas bernyanyi ini bagi masyarakat Melayu Langkat pada
awalnya dianggap sesuatu yang suci dan ditujukan kepada roh-roh gaib. Menurut Muhammad
Takari musik vokal dedeng termasuk dalam kategori musik sebagai bagian dari religi animisme.
Dedeng bermakna bernyanyi, atau aktifitas bernyanyi dari seseorang atau kelompok masyarakat
yang ditujukan untuk memberikan suatu perlindungan dan kesuburan, dan hasil yang melimpah.
Walaupun Dedeng merujuk kepada suatu aktifitas bernyanyi, tetapi yang dimaksudkan bukanlah
bernyanyi dalam pengertian umum dalam kebudayaan musik masyarakat Melayu lainnya seperti
Dendang Melayu, dan Langgam Melayu. Dendang Melayu lebih menekankan kepada fungsinya
sebagai hiburan biasa, sedangkan aktifitas berdedeng lebih bermakna kepada sebuah aktifitas
yang lebih khusus yakni bernyanyi dengan harapan untuk mendapatkan hasil yang melimpah
dari kuasa gaib yang dipercaya dapat memberikan perlindungan dari musuh-musuh tanaman baik
berupa hama tanaman maupun dari binatang buas dan juga dari binatang perusak tanaman yang
tidak tampa ksecara kasat mata.
38
3.2 Fungsi dan Jenis Dedeng
3.2.1 Dedeng Memanggil Angin
Dedeng ini dalam syair Melayu hanya dipergunakan untuk memanggil angin
yang berbentuk sebagai pelipur lara bagi nelayan yang akan menangkap ikan kelaut
kemudian, salah satu cara memanggil angin sehingga angin datang dengan harapan
perahu yang dibentangkan layar akan ditiup angin sehingga mereka tidak
menggunakan tenaga untuk mejalankan perahu. Dedeng juga bisa dipergunakan
sebagai mantra untuk memanggil roh-roh para leluhur atau juga mengusir roh-roh
gaib.
3.2.2 Asal Usul Dedeng Melayu Langkat Menurut H.M. Yunus Tampubolon
Semasa Existensi Langkat zetel semula (1365) terletak dikota Sipinang (50
km dariBesitang) oleh Sulthan Husin dikenal sebelumnya bernama Kerajaan ARU,
kemudiansekitar abad ke 14 (1407-1443), ditaklukkan oleh kerajaan Samudera
dibawahpimpinan Panglima Gocah Pahlawan, Setelah Kerajaan Aru dikuasai
KerajaanSamudera, lalu berganti nama menjadi kerajaan Samudera Pasai (1443-
1487), dinasti kerajaan Aru berganti nama dipimpin oleh Dewa Syahdan (Keturunan
Panglima Gocah Pahlawan), Kemudian Dewa Syahdan mangkat (1487-1500),
digantikan anaknya bernama Dewa Sakti bergelar Kejeruan Hitam, ketika terjadi
pertempuran dengan pihak kerajaan Aceh, Dewa Sakti menyingkir ke Kota Buluh
(1500-1580) lalu pindah ke Delitua membangun Kerajaan Aru Dua (1580-1612).
kemudian Aru Dua kembali diserang Aceh, Dewa Sakti tewas melawan tentara
kerajaan Aceh (ingat kisah Puteri Hijau 1612).
39
Sejak Kerajaan Aru diserang aceh abad ke14, dan keluarga Dewa Sakti
beserta anak-anaknya melarikan diri ke Kota Buluh, Daerah kesultanan Aru dikuasai
kerajaan Samudera Pasai, disekitar pesisir pantai yang sudah ada penghuninya
dikenal kampung para nelayan seperti Kuala Langkat, Bubun, Jaring Alus, Pulau
Kampai bahkan di Hinai dan sebuah pulau bernama pulau Tapak Kuda (karena
bentuknya seperti ladam/tapak kuda, dikenal paling angker dan dilingkari hutan
bakau), didaerah ini sudah memiliki ragam budaya melayu seperti kesenian barzanji,
marhaba, bordah dan qasidah serta senandung/syair dari tanah melayu semenanjung
malaka ( juga telah membudaya adat istidat ritual jamu laut, turun kesawah, panen
padi dil). Pulau tapak kuda sangat ditakuti karena sering tempat bersembunyi para
prompak siam dan penyamun selat malaka yang sangat kejam, dan dihuni oleh
mambang- mambang (hantu atau jembalang) di. Disinilah tempat terdamparnya
seorang pemuda berparas elok, gagah dan kekar tubuhnya, belakangan dikenal dan
dijuluki orang dengan nama panggilannya yaitu Dedeng. Disamping itu si dedeng
yang sopan serta santun, berbudi bahasa dalam tutur sapa, juga diketahui memiliki
ilmu bela diri dan sangat pendiam dan sangat tertutup, senyum dan peramah, rajin
bekerja, hormat kepada orang tua, juga paling suka menyendiri baik siang maupun
malam, akrap berteman dengan laut dan pantai serta sering melamun dengan kebiasaannya
bersenandung melantunkan irama yang sangat merdu, sendu menyayat hati dan siapa yang
mendengar terasa menyejukkan hati. Pada suatu ketika pulau tapak kuda didatangi seorang
perompak laut bersama anak dan isterinya serta beberapa orang anak buah sebagai
pengawalnya. Kedatangan mereka membuat para masyarakat menjadi takut dan kikuk bahkan
siapa yang lemah terus ditindas dan dipaksa harus tunduk dan patuh kepadanya, sejak
40
kedatangannya dijuluki orang dengan julukan Datuk Garang. Namun lain halnya dengan si
dedeng, dia pemuda gagah yang hidup sebatangkara dan pandai bersahabat serta mau
nerendah, mengakibatkan Datuk Garang bersimpati dan menjadikan dia (si dedeng) sebagai
orang suruhan, karena sangat patuh dia sering diperlakukan seperti budak, namun semua anak
buah Datuk Garang segan pada sidedeng karena sulit dikalahkan ilmu bela dirinya.
Setelah hampir tiga tahun berselang puteri Datuk Garang bernama Mayang
Seroja, menaruh hati pada si dedeng, demikian sebaliknya sidedeng juga terpaut hati
dan yang dibangun dengan saling rasa cinta mencintai, pada awalnya hubungan
mereka tanpa diketahui oleh Datuk Garang, apabila ada kesempatan mereka berjumpa
dan Mayang Seroja sering merindukan irama lantunan senandung dedeng yang sangat
menyentuh dilubuk hati sanubari mayang, bahkan risau rasa hatinya kalau tak
mendengar alunan suara dendang senandung sidedeng.
Lama kelamaan Datuk Garang mendengar dan mencium khabar bahwa
puterinya Mayang Seroja jatuh hati pada si dedeng, akhirnya mengundang masalah
besar serta kemarahan Datuk Garang sering dihempaskan pada Isterinya terutama
pada Mayang, Datuk Garang sering mencoba menjauhkan dedeng dengan puterinya
melalui tugas menebang bakau, membakar arang bahkan disuruh pergi ketengah laut
mencari ikan, dan membawa armada kayu arang sampai ke malaka dan bengkalis
bahkan memerintahkan beberapa anak buahnya untuk menghabisi nyawa dedeng
didalam perjalanan jauh itu.
Sementara itu kemarahan Datuk Garang tak habis-habis menyiksa ibunda
serta anak kandungnya (apabila dedeng tidak ada). Mayang seroja gelisah resah,
perasaan bagaikan hancur luluh atas perbuatan ayahandanya yang harus tidur satu
41
kamar dengannya. Terlebih-lebih ibunda mayang remuk redam melihat keadaan
anaknya dan sangat membenci perlakuan suaminya terhadap anak kandungnya
sendiri. Mayang seroja selalu duduk termangu, menunggu kadatangan dedeng,
menyendiri ditepi pantai menangis dan meratap kepada laut, kepada pantai, kepada
ombak, kepada angin bahkan mengadukan penderitaannya kepada mambang segala
mambang yang ada di pulau tapak kuda itu.
Datuk Garang semakin kalut, marah bagai kesurupan syetan jembalang,
akhirnya naas menimpa Mayang yang dipaksa dan diperkosa ayahandanya dipinggir
pantai dibawah hutan bakau, seketika itu rintihan mayang disampaikan kepada
bundanya, dan disambut dengan pertengkaran suami isteri, menjadikan suasana
rumah tangganya dan mengakibatkan mayang mengalami kecelakaan menambrak
lampu dinding tepat mengenai matanya, lalu merangkak menuju keluar rumah terus
meraung menangis mengadukan nasipnya kepada mambang hujan yang turun disertai
angin topan dan badai laut mengantar ombak, petir dan halilintar membahana.
Ditengah cuaca yang bagaikan marah ibunda menyusui mayang, disaat itu
dedeng pulang dan melihat suasana pulau tapak kuda yang sedang ditimpa
malapetaka, Dedeng datang menghadapi Datuk Garang lalu mengakibatkan terjadi
perkelahian saling mengadu kepandaian ilmu bela diri. Ketika dedeng mendengar
suara mayang menjerit memanggil namanya lalu melompat keluar rumah ingin
menyusul mayang namun naas ujung tombak Datuk Garang meluncur tajam
menghunjam menembus punggung dedeng, saat yang hampir bersamaan Datuk
Garang disambut petir yang menggelegar menyebabkan kaki dan tangannya berpisah
dari badan dan kepala Datuk Garang hangus terbakar.
42
Malam berganti siang, saat itu Tapak kuda mencekam sepi seakan mati
bersama mayang yang hanyut dibawa mambang, ibundanya tenggelam ditelan ombak
dan pasir pantai,dedeng rebah bersimbah darah tersungkur mencium pasir pantai
tapak kuda Masyarakat nelayan penghuni Tapak Kuda diselimuti rasa duka yang
teramat dalam melihat dedeng yang diam tak bernyawa, isteri Datuk Garang dan
anaknya Mayang Seroja tak diketahul kemana perginya, jasad Datuk Garang ditanam
dipinggir pantai dan jasad dedeng dikuburkan di atas bukit hutan bakau.
Semenjak itu dendang irama senandung Dedeng tetap menjadi kenangan dan
dijadikan sebuah nyanyian rakyat yang berkembang dilingkungan masyarakat melayu
nelayan khususnya dipesisir pantai Kuala Langkat, Tanjung Pura ( dulu bernama
KotaPati), lalu dibawa orang hinai ke dataran tinggi padang tualang, langkat tamiang
dan seterusnya ke Punggal langkat hulu. Kemudian irama nandung sidedeng (lama
kelamaan sejak langkat dibawah kepemimpinan Sultan Nobatsyah dan Raja Ahmad
mangkat, sampai masa kepemimpinan Sultan Musa dan sampai sekarang sebutan
syair senandong sidedeng berubah istilah menjadi rama dedeng melayu langkat),
Yunus mengenal Dedeng
3.2.3 H.M. Yunus Tampubolon Mengenal Dedeng
Ibu kandung saya bernama Wan Zaleha (almrh) lahir pada tahun 1927, di
Pangkalan Berandan Kabupaten Langkat, anak kandung Wan Abu Kasim (Alm)
digelar Tuan Gur Bilal Ongah, keturunan Nakhoda Saut Malangkah Sutan
(bangsawan melayu) pengutip cukai di Labuhan Bilik (Panail), pada zaman jepang
ibu mengungsi ke Kota Tanjung Batai Asahan) berumah tangga dengan ayah saya
43
bernama MYahya Ayub (alm), putera Melayu Asahan berdarah Toba (Marga
Tampubolon) lahir pada tahun 1917 disungai Kapias Tanjung Balai.
Ketika penulis masih berusia 5 (ima) tahun, ibu saya mengalami gangaguan
yang latim disebut orang terkena ulah puaka (kemasukan ruh makhluk halus) yang
sering kambuh bila-bila saat beliau bersusah hati, ciri makhluk yang datang kedalam
raga ibu saya semacam makhluk kalangan bangsawan melayu dipanggil dengan nama
panggilannya yaitu : Nenek Tursina, dengan menggunakan bahasa melayu
(malaysia), padahal ibu saya sehari-harinya tidak mengerti/tak pernah menggunakan
bahasa melayu seberane baikpun bahasa labuhan bilik maupun bahasa melayu
langkat. Dan amat mengherankan beliau tidak pernah menyanyikan irama senandong,
namun ketika para makhluk yang masuk ketubuh ibu saya senantiasa menggunakan
bahasa dan syair melayu
Selama berpuluh tahun beliau tetap bertingkah seperti itu halnya, sehingga
saya dewasa (bisa dan mengerti/ memahami gaya bahasa melayu tersebut), namun
secara pribadi saya sangat senang dengan irama syair maupun bait-bait pantunne,
akhirnya saya mampu menguasal irama ratap dan tangisan Nenek Tursina lewat syair
dan celotehya, kemudian saya terbiasa meladeninya/menyambut permainan irama
syair dan pantun-pantunnya, yang saya sendiri belum tau apakah itu syair Labuhan
Bilik atau syair Malaysia, bahkan tak tau pasti apakah itu senandong malaysia atau
lain-lainnya. Banyak datu/dukun pandai yang dihubungi dan berusaha mengobati
penyakitnya, namun tak ada yang mampu mengusir puaka4 itu.
Pada tahun 1966 ibu saya meninggalkan kabupaten asahan pindah tugas ke 4 Puaka merupakan pemujaan kepada roh-roh gaib yang dipercayai masyarakat Melayu.
44
Binjai tepatnya di Panti Karya Sosial Pungai, setelah saya mampu menguasai
mengimbangi (berbalas pantun) dengan Nenek Tursina, saya berhasil membujuk
nenek tursina berserta dayang-dayang dan para panglima/hulu balangnya, membuat
suatu kesepakatan (perdamaian), kemudian sampai masa jabatannya berakhir
(pensiun) di Kanwil Departemen Sosial Propinsi Sumatera Utara. Lebih kurang 8
tahun sebelum beliau (Ibu saya) pensiun, nenek tursina tak pernah datang lagi
Satu kesempatan saya memperoleh penjelasan dari salah seorang musisi di
Binjai bernama M.Salim AZ (alm), bertepatan kami bersama-sama bermain orkes ke
pulau tapak kuda (1969), bahwa irama dedeng berawal dari seorang petualang yang
terdampar di Tapak Kuda, kemudian seorang pawang lebah di Kebun Lada Binjai
(Uncu Hasyim/alm), pernah mendengar cerita dari atoknya, tentang kisah legendaris
di daerah pesisir pantai Kabupaten Langkat tepatnya peristiwa atau asal usul dari
dedeng yang menjadi salah satu budaya tradisionil melayu di daerah Langkat secara
turun temurun, sebagaimana diuraikan diatas tentang kisah legendaris yang terjadi di
Pulau Tapak Kuda Langkat bersamaan terjadinya kisah legendaris Puteri Hijau,
semasa aceh memerangi kerajaan aru dua (diDelitua) sekitar tahun 1612.
Perasaan heran dan rasa ingin tau tentang senandung/dedeng langkat terus
menghantui saya dan dengan cara terus menjalin hubungan tali pergaulan sehari-hai
dengan masayarakat melayu langkat, kemudian (1970) seorang bernama Tengku
Abd.Kadir,MS (alm) seorang Veteran dan Pegawai Sosial, bertempat tinggal di
Pungai, pernah bercerita tentang cerita kisah malapetaka yang terjadi di Tapak Kuda,
semasa Bapak Alm.Kapten Adham Hasry (Sekda Langkat) memimpin organisasi
Badan Pekerja Budaya Langkat.
45
Pada saat akan berlangungnya Festival Seni Budas Melayu Sumatera Utara ke
tiga yang dilaksanakan di Kota Stabat Kab Langkat (19861, saya mendapat
kepercayaan dari tim kesenian Kota Binjal mengikuti Lomba. Pada pelaksanaan yang
saya dapat dari Nenek Tursina, ketika mendengar irama senandung yang ditampilkan
(Uncu jafar dari Selayang Selesail) dari peserta utusan daerah langkat yang nada dan
iramanya sama seperti yang saya tau, saya terkejut dan heran mengapa Senandong
yang saya bawa sama dengan yang dibawakan dari langkat.
Saya berhasil meraih juara senandong terbaik satu, dan sejak itulah saya
ketahui bahwa nandong melayu yang saya bawakan itu bernama dedeng melayu
langkat yang berjudul Datuk Belakangan (1996) saya coba menulis sebuah naskah
drama menggarang yang dialami kisah peristiwa kasih tak sampai, merupakan latar
belakangsejarah asal usulnya irama senandung melayu langkat yang disebut dedeng.
Disisi lain dedeng hamper secara keseluruhanya dituangkan dalam bentuk
pantun-pantun (pantun hikayat, pantun nasehat, pantun kekasih, pantun jenaka,
pantun pepatah) disamping itu jiwa/perasaan/kerinduan hati ketika dilanda duka
diungkapkan. Pelampiasan kepada penghuni alam (jin atau mambang), terutama
kepada sang khalik. Dilantunkan dan didendangkan orang dizaman dahulu pada masa
turun kesawa, musim panen padi (dikenal sebagai musim berahoi) demikian pula
dikalangan masyarakat melayu pesisir pantai yang bernotabene berhadapan dengan
lingkungan ombak dan badai untuk mencari nafkah dari hasil tanaman hutan (madu
lebah) dan juga termasuk untuk cerita dongeng sebelum tidur (dikenal dengan irama
46
Daduh5) dan dapat juga dijadikan irama mengantar sebuah kisah
sejarah/lagenda/hikayat/riwayat.
3.2.4 Dedeng Mulaka Nukal (Menanam Benih Padi)
Mulaka nukal adalah kegiatan yang dilakukan pada saat penaburan benih padi di lahan
pertanian yang baru dibuka. Dalam pelaksanaan upacara Mulaka nukal, kegiatannya tidak
lagidilaksanakan secaraluas oleh kesatuan dari beberapa kelompok melainkan dilaksanakan
hanya oleh para pemilik lahan yang menggarap lahannya masing-masing menurut pembagian
keluarga atau kerabatanya. Hal ini terjadi disebabkan setelah lokasi hutan dibersihkan, mereka
membagi lahan kepada masing masing keluarga atau kerabatnya, walaupun dalam proses
mengerjakannya aktifitas menanam benih tetap dilakukan secara bersama-sama yang bertujuan
untuk membantu setiap kelompokkeluarga.
Sebelum upacara menabur benih dilakukan, biasanya para pemilik lahan mendatangi
para tetangga untuk meminta bantuan dalam menabur benih ke lahan barunya. Pemilik ladang
menyediakan beraneka makanan untuk disantap oleh para tetangga yang akan membantunya
menuai benih.
Setelah para tetangga dan kerabat bersedia untuk membantunya, lalu mereka secara
bersama-sama turun ke ladang sambil menyiapkan bebagai keperluan untuk menuai benih padi
seperti alat-alat untuk melubangi tanah sebagai tempat bibit padi ditaburkan yaitu sebuah kayu
berukuran sebesar pergelangan tangan dan panjangnya kira-kira satu setengah meter. Bagian
pangkal dsari kayu tersebut dikikis diberi ketajaman agar dapat membuat lubang di tanah.
Upacara dimulai dengan menyanyikan beberapa bait teks dedeng oleh si pemilik lahan atau boleh 5 Daduh merupakan syair menidurkan anak Melayu Langkat.
47
juga oleh peserta yang dapat menyanyikannya. Nyanyian dedeng pada upacara mulaka nukal
syairnya berisi tentang permohonan agar padi yang sudah ditanam dapat tumbuh dengan baik,
terhindar dari hama-hama tanaman, dan juga harapan agar mendapatkan hasil panen yang
melimpah roh dari kuas-kuasa gaib yang diyakini dapat memberikan kebaikan kepada manusia.
3.2.5 Dedeng Ahoi
Setelah sekian lama bibit padi ditanam, selanjutnya padi mulai tumbuh besar, tinggi
yang kemudian menghasilkan padi baru siap untuk dipanen. Selanjutnyasi empunya ladang
akan kembali mengundang warga kampung, terutama kaum muda-mudi dalam kegiatan
mengetam padi. Mengetam padi adalah sebuah kegiatan memanen padi dengan
menggunakan ketam atau ani-ani yakni pisau pemutus padi dari tangkainya. Sambil
mengetam padi para muda-mudi kampung berkomunikasi antara satu sama lainnya dan
saling lebih mempererat tali silatu rahmi diantara mereka, bahkan ada yang melanjutkan
perkenalan diantara mereka, sebagaimana mereka telah merajut tali asmara ketika mereka
melaksanakan aktifitas menukal sebelumnya.
Setelah pekerjaan mengetam padi selesai dikerjakan, sebagaian diantara muda- mudi tadi
ada yang mengikat tangkai-tangkai padi yang baru diketam dan dikumpulkan secara
berkelompok-kelompok agar mudah di bawa ke rumah si empunya padi. Setelah kegiatan
mengetam padi dan mengagkat padi kerumah selesai dikerjakan, beberapa hari selanjutnya pemilik
padi kembali mengundang para pemuda dan pemudi ke rumahnya untuk melakukan pekerjaan
lanjutan..
Kegiatan pemuda-pemudi selanjutnta adalah kegiatan mengirik padi yaitu kegiatan yang
bertujuan untuk melepas butir padi dari tangkainya. Lokasi tempat mengirik padi biasanya berada
48
pada bagian tengah dalam rumah. Posisi para wanita berada di belakang sebuah bilik, sedangkan
parapengirik padi lelaki berada dipinggir tumpukan tangkai padi dalam posisi membentuk
lingkaran tumpukan padi. Para orang tua biasanya berada di sekitar belakang bagian dapur rumah
sambil mengawasi kegiatan mengirik padi ini sampai selesai dikerjakan kaum muda-mudi.
Kegiatan mengirik padi adalah kegiatan melepaskan butir padi dari tangkainya yaitu dengan cara
meginjak-injak tangkai padi sampai padi nya lepas dari tangkainya. Tangkai-tangkai padi tadi
diinjak, dipilin, diputar dengan menggunakan kedua kaki sehingga padi seluruh butir padi jatuh
ke bawah lantai yang diberi alas tikar pandan. Untuk lebih menghangatkan suasana para pengirik
padi yang berjenis kelamin laki-laki melantumkan beberapa pantun. Mereka bernyanyi dedeng
sambil mengucapkan kata-kata Ahoi-Ahoi secara responsorial, untuk lebih menambah semangat
dalam melakukan aktifitas mengirikpadi.
Para pemuda terus menyanyi, berpantun secara bersahut-sahutan dan secara bergiliran
bertujuan untuk mengeluarkan cetusan isi hati mereka kepada para wanita idamannya masing-
masing. Biasanya pantun terdiri dari beberapa bait sesuai dengan kemampuan masing-masing
pemuda dalam membuatnya. Pantun terdiri dari sampiran dan isi yang diucapkan seseorang
dengan nada yang sama dan berulang-ulang tapi teksnya berbeda dan isi pantun disesuaikan
dengan kehendak dan maksud, pikiran si penyampai pantun . Ketika sampiran dan isi
yangterdiridari empat barisselesaidiucapkan, selanjutnya para peserta lainnya langsung menyambut
dengan kata Ahoi-Ahoi-Ahoi. Selanjutnya ketika isi pantun selesai diucapkan seketika itu pula
para peserta lainnya kembali mengucapka kata-kata Ahoi- Ahoi-Ahoi, demikian seterusnya. Jika
sesorang telah menyelesaikan pantunnya, maka pantun selanjutnya dapat dilakukan secara
bergantian oleh seluruh peserta. Cara pelaksanaannya sama dengan pemantun sebelumnya dan
disambut pula oleh peserta lainnya dengan kata Ahoi-Ahoi-Ahoi. Pantun boleh juga diajukan
49
kepada seseorang wanita yang disenangi. Dalam aktivitas berpantun ini sering terjadi kesalah
pahaman diantara mereka ketika pantun dinyanyikan, dimana seseorang merasa bahwa pantun
tersebut ditujukan kepada dirinya, tetapi ternyata bukan ditujukan kepada dirinya, sehingga
terjadilah gelak tawa yang membahana diantarasesama mereka bahkan paraorangtua yang
mengawasi mereka. Contoh pantunya,
Tiga peta ktiga penjuru Tiga ekor kumbang diapit
Pantun tidak tertuju padamu Teruntuk dara berlesung pipit.
Mendengar pantun ditujukan kepadanya, wanita berleseung pipit kemudian tersipu-sipu malu,
bahkan diantara paragadis- gadis ada yang saling cubit cubitan. Selanjutnya seorang gadis
menjulurkan sekapur sirih dengan menggunakan seutas tali kepada seorang pemantun untuk
menyambut baik pemantun. Tetapi ada kalanya seorang pemuda iseng mengambil juluran
sekapur sirih yang ditujukan kepada pemantun padahal sekapur sirih itu bukan ditujukan
kepadanya. Namun jika juluran sekapur sirih itu langsung diambil si pemantun, barulah pemuda
iseng tadi tidak mengambilnya. Mereka terus mengirik padi sambil bernyanyi dengan
menggunakan pantun yang bervariasi sesuai dengan tujuannya diantaranya adalah pantun sekedar
perkenalan, pantun nasehat, pantun asmara, pantun semangat dan jenis pantun yang disesuaikan
dengan kehendak, hasrat dan pikiran seorang pemantun.
Para pemuda maju ketengah secara bergantian untuk melakukan aktifitas berpantun
yangkemudian disambut pula oleh para pemuda lainnya di arena mengirik padi tersebut. Mereka
terus beradu pantun sambil melakukan aktifitas mengirik padi hingga tidak terasa hari sudah
beranjak larut malam. Setelah mereka lelah mengirik padi barulah beristirahat sambil menikmati
50
beberapa makanan, bahkan ada keluarga yang rela mempersiapkan hidangan untuk makan
malam bersama sebelum acara mengirik padi dilaksanakan dan juga minuman yang telah
dihidangkan oleh para anak dara. Bila mereka semua telah merasa lelah, barulah kegiatan mengirik
padi dapat dihentikan. Jika seandainya persediaan tangkai padi masih banyak, maka kegiatan
mengirik padi dapat dilanjutkan pada malam hari berikut (Zulfahmi 2012 : 14 )
3.2.6 Dedeng Padang Reba (Penebangan Hutan)
Proses penyajian dedeng padang reba diawali oleh berkumpulnya para kaum lelaki yang
bersepakat untuk pergi ke hutan untuk mencari lahan sebagai perladangan baru dengan beberapa
pertimbangan yang cocok sebagai lahan seperti tanah yang subur, mengandung banyak air, dan
banyak ditumbuhi bebagai macam jenis tumbuhan. Setelah lahan hutan tersebut ditemukan, lalu
mereka mendatangi pengetua adat kampung dan melaporkan hasil temuan mereka. Setelah
dilaporkan dan dipertimbangkan oleh pengetua adat kampong, lalu mereka bersama sama
masyarakat lainnya meninjau lokasibaru tersebut. Untuk meninjau lokasi baru itu juga tidak boleh
secara sembarangan melainkan ditentukan harinya yang menurut mereka hari itu merupakan hari
yang baik. Penentuan hari baik untuk meninjau lokasi baru tersebut ditentukan pula oleh sang
pengetua adat setelah melakukan “menilik hari” dan menemukan hari yang tepat. Selanjutnya
setelah hari yang baik ditemukan lalu pengetua adat menghimbau kepada masyarakat dan
pemuda setempat untuk meninjau lokasi hutan sebagai lahan pertanian baru itu. Mereka
membawa beberapa peralatan menebang hutan seperti beberapa kampak dan parang. Selanjutnya
mereka mencari pohon yang paling besar sebagai tempat untuk menancapkan beberapa parang
dan kampak tersebut ke pohon kayu sambil berkomunikasi dengan roh penunggu kayu tersebut
dengan mengungkapkan beberapa kalimat yang berfungsi sebagai mantera seperti dibawah ini.
51
Kalau hutan ini boleh kami jadikan tempat perladangan kami, tolong diberi tanda
supaya kami tidak mendapat halangan, perkenankan kami mencari nafkah di tempat ini dan
berikan rezeki, maka pertanda kampak ini tetap berada di kayu ini. Tetapi seandainya pohon ini
tidak boleh kami tebang, berilah tanda kepada kami supaya kami berpindah ke tempat lain,
pertanda parang atau kampak ini lepas dari pohon kayu ini. (Zulfahmi,2012: 14)
Rentang waktu antara penancapan kampak dan parang dengan waktu mendapatkan khabar
izin dari roh –roh gaib, lamanya adalah satu malam. Hal ini berarti bahwa jika kampak dan
parang telah ditancapkan selama satu malam maka keesokan harinya anggota masyrakat telah
mendapatkan khabar izin atau tidaknya lahan tersebut dibuka dari makluk-makhluk gaib yang ada
di sekitar pohon itu. Adakalanya ketika keinginn mereka untuk membuka lahan baru ternyata
tidak mendapatkan izin maka mereka meminta bantuan seorang pawang sebagai mediator untuk
memindahkan makhluk gaib yang ada di sekitarnya ketempat lain.
Biasanya untuk mengetahui apakah lahan tersebut mendapat izin atau tidak, dilakukan oleh
pengetua adat yang langsung meninjau lokasi lahan baru itu pada waktu pagi hari. Apabila
kampak dan parang masih tertancap pada pohon kayu yang besar itu berarti lahan tersebut
mendapat izin untuk dibuka sebagai lahan perladangan baru. Selanjutnya pengetua adat memberi
tahu kepada seluruh warga bahwa lahan tersebut telah mendapatkan izin, yang kemudian
dilaksanakan sebuah upacara penebangan hutan yang diikuti oleh seluruh warga sekitarnya
dengan dipimpin oleh seorang dukun atau pawang. Pada saat upacara penebangan hutan inilah
dedeng padang reba dinyanyikan oleh seorang dukun atau pengetua adat yang dapat
menyanyikannya dengan baik sembari menyiapkan beberapa beras kunyit dan kemenyan yang
dibakar ditujukan untuk mendapatkan restu dari kuasa- kuasa gaib yang berada di sekitar lahan itu.
52
Upacara dilakukan dengan cara menaburkan segenggam beras kunyit oleh pengetua adat,
sedangkan pawang terus membakar dupa kemenyan sambil menyanyikan nyanyian dedeng.
3.3 Fungsi Dedeng
Nyanyian dedeng tidak hanya sekedar nyanyian untuk mengisi kekosongan
atau sarana hiburan saja tetapi, dedeng merupakan salah satu sarana komunikasi
ataupun sebuah mantra yang ditunjukan kepada penguasa alam yaitu roh-roh gaib
atau biasa yang disebut mambang bagi kepercayaan etnik Melayu. Selain sebagai
fungsi komunikasi dedeng juga merupakan bagian pengungkapan emosional.seperti
yang dikemukakan oleh Alan P.Merriam musik terdiri dari sepuluh fungsi,
diantaranya; pengungkapan emosional, penghayatan estetis, hiburan, komunikasi,
perlambangan, norma sosial, kesinambungan budaya, dan pengintergrasian
masyarakat.
3.3.1 Fungsi Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan)
yang dilakukan secara lisan atau tulisan dalam bentuk verbal maupun noverbal.
Komunikasi bisa dilakukan dalam berbagai bentuk. Seperti yang di kemukakan oleh
Berelson dan Steiner dalam Jasahdin (1986:10) defenisi komunikasi adalah sebagai
berikut: “penyampaian informasi, ide, emosi, keterampilan, dan lain sebagainya,
melalui penggunaan simbol kata, gambar, angka, grafik, dan lain-lain.
Nyanyian merupakan salah satu bentuk dari komunikasi yang sifatnya verbal.
Banyak jenis-jenis nyanyian yang digunakan sebagai media komunikasi pada
53
masyarakat Melayu langkat. Salah satunya adalah dedeng. Komunikasi yang
dimaksud didalam nyanyian ini bukanlah komunikasi antara A dengan B, atau
komunikator dengan komunikan, ,melainkan komunikasi yang dilakukan kepada
sesuatu yang tidak terlihat/berwujud. Meski pesan, atau maksud dan tujuan
diutarakan kepada yang tidak terlihat wujudnya namun berdasarkan pengalaman
pribadi mereka merasa bahwa sesuatu yang disampaikan telah sampai pada tujuannya
melalui nyanyian tersebut.
Komunikasi memang memiliki pengertian yang cukup luas, pengertian
komunikasi secara umum ialah proses pertukaran informasi antara dua orang atau
lebih. Namun komunikasi yang dimaksud di dalam dedeng adalah komunikasi yang
dilakukan untuk diri sendiri secara intens, yang ditujukan kepada seseorang atau
sesuatu, tanpa adanya pertukaran informasi.
Ilmu komunikasi pun menyelidiki gejala komunikasi, tidak hanya dengan
pendekatan secara ontologis (apa itu komunikasi), tetapi juga secara aksiologis
(bagaimana berlangsungnya komunikasi yang efektif) dan, secara epistomologis
(untuk apa komunikasi itu dilaksanakan), Jasahdin (2005:211).
3.3.2 Fungsi Pengungkapan Emosional
Syair-syair yang terkandung dalam dedeng merupakan bagian pengungkapan
emosional karena lewat nyanyian ini, seseorang dapat menghibur dirinya ketika
emosi, sedih maupun senang. Dengan kata lain dedeng merupakan sebuah media
yang digunakan untuk mengungkapkan seluruh isi hatinya.
54
3.4 Pandangan Masyarakat Terhadap Dedeng
Dalam pemaparan ini, penulis akan menjelaskan pengelamanya didalam pencarian data
terhadap dedeng, dan pandangan serta pengetahuan masyarakat. Pada dasarnya berdedeng atau
bermakna bernyanyi bagi seseorang atau sekelompok masyarakat Melayu ditujukan untuk
memberikan suatu perlindungan dan kesuburan pada mata pencaharian masyarakat. Walaupun
dedeng merujuk pada suatu aktivitas bernyanyi, bukan berarti untuk kebutuhan hiburan
melainkan berdedeng lebih bermakna kesebuah aktivitas yang lebih khusus yakni bernyanyi
dengan harapan untuk mendapatkan hasil yang melimpah dari kuasa gaib yang dipercayai dapat
memberikan perlindungan seperti musuh tanaman, binatang buas dan roh-roh gaib yang tidak
mengizinkan masyrakat untuk melakukan sebuah aktivitas.
Dalam penyajian musik vokal dedeng, pada masyarakat Melayu Langkat pada dasarnya
terdiri dari dua bagian yang terintegrasi. Pertama, besifat sacral dan religi terutama pada bagian
baris pantun atau syair yang berisi mantra yang dilakukan oleh seorang pawing. Kemudian, pada
baris pantun yang dinyanyikan oleh peserta upacara yang dianggap sebagai hiburan. Walaupun
berbeda konteksnya namun mereka menganggap keduanya terintegrasi karena keduanya
tercakup didalam sebuah aktivitas upcara yang sakral yang sesuai dengan keperluan upacara.
Menurut informan yang penulis jumpai yang bernama H.M Yunus Tampubolon yaitu
seorang seniman Melayu Langkat yang bertempat tinggal di Binjai sekaligus seorang pelantun
dedeng didalam wawancaranya beliau mengatakan bahwa, masyarakat Melayu Langkat mulai
melupakan kesenian mereka yang merupakan sebagai identitas masyarakat Melayu Langkat.
55
Gambar 3.1
H. M. Yunus Tampubolon
Foto H.M Yunus Tampubolon
Sumber: Dokumentasi Penulis, 2018
Dari pengalamnya setelah ia mengetahui serta bisa melntunkanya beliau mengatakan ”
kalau sekarang ini, masyarakat khususnya yang ada di Langkat kurang pengetahuan mereka atau
bisa dibilang tidak tahu tentang dedeng ini”. Hal ini dirasakan oleh penulis dalam pencarian data
tentang dedeng ini dimana, masyarakat jarang mengetahui akan adanya dedeng kalau itu ada,
mereka hanya mengetahuinya saja tetapi, tidak bisa melantukanya.
Menurut Syamsul Bahri bahwa kurangnya pengetahuan masyarakat tentang dedeng ini
dikarenakan beberapa faktor yaitu, perkembangangan zaman yang meliputi ilmu pengetahuan
dan teknologi yang begitu besar pengaruhnya pada kehidupan masyarakat. seperti contoh pada
awalnya perahu yang digunakan pada masyarakat nelayan hanya menggunakan layar dan angin
sebagai alat penggerak perahu agar, layar yang ditiup oleh angin bisa menjalan kan sebuah
perahu. Bukan hanya itu saja dahulunya, dalam menanam padi hingga memanen, para petani
56
tidak melakukan secara manual yang diartikan hanya menggunakan tenaga manusia tetapi
sekarang, petani sudah menggunakan alat untuk memanam hingga memanen padi.
Gambar 3.2
Syamsul Bahri
Sumber: Dokumentasi Penulis, 2018
Fenomena tersebut menjadi sebuah pemerhatian khusus bagi seniman Melayu Langkat bernama,
Zainal Arifin, Aka berupaya, mempertahankan dedeng yang didokumentasikan dalam sebuah
pembuatan film asuhan Syamsul Arifin, SE berjudul, Dedeng pada tahun 2004 (dua ribu empat)
bersama Teater Garis Lurus dan Dewan Kesenian Kabupaten Langkat.
57
Gambar 3.3
Sampul Film Dedeng
Sumber: Dokumentasi Film 2004
Pembuatan film ini berlokasi di Pulau Kampai, Kabupaten Langkat yang
dibintangi oleh, Ariffuddin Alwi, Nana Herina, Zainal Aka, Yusmaliana, Siti Anggur
Ritonga, Syamsul Bahri, Usman Sanjaya, Rusli Effendy, Jamal Lazuardi, Fitriadi,
Isral, Nazaruddin, Chadijah, Rumalia Ariani, Siti Helfida, Yulianti, Nanda Zainal,
Basuki, Asmarallah, Renaldi Komang, Zulman Ferri, Fadli Anasyah, Devan Rao dan,
Sugiarto.
Film Dedeng yang diproduksi pada tahun 2004 (dua ribu empat)
mengkisahkan seorang pemuda miskin yang lahir disebuah pulau kecil bernama
Pulau Kampai bernama Dedeng kesehariannya, pemuda tersebut adalah seorang
nelayan yang setiap harinya mencari ikan dilaut. Pada keseharianya juga ia sering
58
melantunkan syair yang berisi tentang ungkapan perasaannya yang ditunjukan kepada
alam atau mambang. Singkat cerita, pemuda tersebut jatuh hati kepada seorang putri
dari anak seorang Datuk yang kaya raya, putri tersebut bernama Bulan. Selang
beberapa waktu, berita kedekatan mereka terdengan oleh Datuk yang merupakan
Ayah dari putri Bulan. Datuk tersebut merasa marah karna kedekatan putrinya dengan
seorang pemuda miskin setelah itu, Datuk tersebut memerintahkan para pengawalnya
untuk mencari Dedeng dan membuangnya kelaut tetapi, upaya tersebut tidak tidak
berhasil dan pada akhirnya Dedeng bertemu dengan Datuk dan kembali
memerintahkan pengawalnya untuk menangkap Dedeng dan membunuhnya tetapi
upaya tersebut dihalau oleh ibu dari si Dedeng yang bernama Mak Bedah singkat
cerita, Mak Bedah menceritakan asal-usul Dedeng dan ternyata Dedeng merupakan
anak dari seorang datuk yang dulu pernah ditinggalkan oleh isteri pertamanya. Hal itu
ditandai dari adanya kalung yang dipakai Dedeng. Pada akhirnya Dedeng merasa
marah mendengar kisahnya tersebut dan ia bersumpah kepada alam dan kepada para
mambang tidak akan mengganggap Datuk karena, berupaya untuk memisahkan putri
Bulan kepadanya. Pembuatan film ini bertujuan untuk mengenalkan kepada
masyarakat melayu yang ada di Kabupaten Langkat dan mempertahankan dedeng
yang merupakan sebagai identitas etnik Melayu Langkat yang harus dipertahankan
dan dilestarikan kepada generasi muda agar, keberlanjutan nyanyian ini yang
merupakan warisan Melayu Langkat.
59
Gambar 3.4
Drs, Zainal Arifin, Aka
Sumber : Dokumentasi Penulis, 2018
60
BAB IV ANALISIS MELODI DAN MAKNA TEKSTUAL
DEDENG MEMANGGIL ANGIN
Dalam ilmu Etnomusikologi, transkripsi merupakan proses penulisan
bunyi-bunyian sebagai hasil dari pengamatan dan pendengaran suatu musik
kedalam bentuk simbol-simbol yang disebut notasi. Untuk melakukan
transkripsi melodi dedeng memanggil angin, penulis memilih notasi deskriptif
yang dikemukakan oleh Charles Seeger. Notasi deskriptif adalah notasi yang
ditujukan untuk menyampaikan kepada pembaca tentang ciri atau detail-detail
komposisi musik yang belum diketahui oleh pembaca.
Dalam bab ini, penulis memilih untuk mentranskripsikan dan
menganalisis melodi dedeng memangil angin. Hasil transkripsi dan analisis
dikerjakan dengan menggunakan notasi Barat. Penulis memilih notasi barat
agar dapat menggambarkan pergerakan melodi dedeng memanggil angin
secara grafis.
4.1 Kajian Struktur Melodi Dedeng Memanggil Angin
Kajian struktur melodi merupakan sebuah pekerjaan etnomusikolog
61
yang mendeskripsikan tentang hal-hal yang berkaitan dengan aspek musikal.
Pada skripsi ini, penulis akan mengkaji struktur melodi dedeng memanggil
angin. Adapun struktur melodi yang akan dideskripsikan pada dedeng
memanggil angin ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Bruno Nettl
yakni: ada empat aspek yang dapat dideskripsikan dari sebuah musik (melodi)
yaitu: materi tonal yang terdiri dari perbendaharaan nada/tangga nada, nada
dasar, dan interval nada dan kontur melodi; ritme yang terdiri dari nilai notasi
yang digunakan, sukat/meter, dan tempo; bentuk yang terdiri dari seksi, motif,
dan frasa; dan elemen-elemen lain yakni timbre, tekstur (Bruno Nettl 1964).
Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis menganalisis aspek
musikal dengan dua pendekatan untuk menganalisis suatu musik yaitu; (1)
menganalisis dan mendeskripsikan apa yang kita dengar, dan (2) menuliskan
dan mendes-kripsikan apa yang kita lihat Bruno Netll (1964: 98). Oleh sebab
itu, penulis melakukan perekaman terhadap lagu dedeng memanggil angin,
kemudian melakukan pentranskripsian dan menganalisis hasil transkripsi
tersebut.
Nyanyian tersebut penulis transkripsikan dengan menggunakan sistem
notasi barat yakni menggunakan garis paranada (notasi balok). Penggunaan
sistem tersebut akan memudahkan penulis menganalisisnya sesuai dengan
prosedur analisis musik yang dikemukakan oleh Bruno Nettl diatas. Garis
paranada tersebut pada dasarnya terdiri dari lima garis dan empat spasi namun
untuk nada dengan frekwensi yang lebih tinggi atau lebih rendah maka akan
ditambah juga garis bantu sesuai dengan kebutuhan pentranskripsian. Sistem
62
notasi ini menggunakan tanda kunci (cleff) G, seperti berikut ini.
Beberapa simbol notasi barat yang digunakan dalam pentranskripsian
dedeng memaggil angin adalah sebagai berikut.
Tabel 4.1
Simbol nitasi yang digunakan dalam dedeng memanggil angin
No Simbol
Notasi
Tanda
istirahat
Nilai Not
1. Empat ketukan dasar (not
penuh)
2.
Dua ketukan dasar (not
setengah)
3.
Satu ketukan dasar
4.
½ (setengah) ketukan
dasar (pulsa)
5.
¼ (seperempat) ketukan
dasar
63
4.2 Kajian Struktur Melodi
4.2.1 Perbendaharaan Nada
Sebagaimana dikemukakan oleh Nettl bahwa cara-cara untuk
mendeskripsikan tangga nada adalah dengan menuliskan semua nada yang
dipakai dalam membangun sebuah komposisi musik tanpa melihat fungsi
masing-masing nada tersebut dalam lagu.
Nada-nada yang terdapat dalam dedeng memanggil angin berjumlah
sebelas nada, diantaranya terdapat dua nada rendah dan dua nada oktaf. Nada
nada tersebut penulis susun dari nada yang paling rendah ke nada yang paling
tinggi. Maka akan terlihat seperti berikut ini: E – F – G – G# - A – B – C – D
– D# - E1 – F1
4.2.2 Tangga Nada
Natll (1964 : 145 ), mengemukakan cara-cara mendeskripsikan tangga
nada dengan menuliskan nada yang dipakai tanpa melihat fungsi masing-
masing dalam lagu. Tangga nada dalam musik barat dapat diartikan sebagai
satu kumpulan not yang diatur sedemikian rupa dengan aturan yang telah ada
(baku) sehingga memberikan karakter tertentu.
Tangga nada digolongkan menurut beberapa klasifikasi, menurut
jumlah nada yang dipakai. Tangga nada ditonic (dua nada), tritonic (tiga
64
nada), tetratonic (empat), pentatonic (lima nada), hexatonic (enam nada),
heptatonic (tujuh nada). Serta menurut interval antara nada-nada yang disusun
dari nada terendah sampai nada tertinggi seperti mayor dan minor dua nada,
dengan jarak satu oktaf biasanya dianggap satu nada saja (Bruno Nettl terj.
Nathalian 2012: 142). Berdasarkan pendapat tersebut, tangga nada Dedeng
Memanggil Angin disebut heptatonik ( terdiri dari tujuh nada). Nada-nada
diatas jika digambarkan dalam notasi balok, maka hasilnya seperti berikut:
C D E F G A B C1
4.2.3 Jumlah Nada (frequency of notes)
Jumlah nada dapat dilihat dari banyaknya pemakaian nada dalam
sebuah komposisi musik yang telah ditranskripsikan kedalam bentuk notasi.
Jumlah nada yang dipakai dalam Dedeng Memanggil Angin dengan tangga
nada yang telah dibuat sebelumnya.
Berikut jumlah nada yang digunakan dalam Dedeng Memanggil Angin
adalah
65
Tabel 4.2
Jumlah Nada
No Nada Jumlah Nada
1. C 8
2. D 27
3. Dis 21
4. E 16
5. F 20
6. G 12
7. Gis 14
8. A 4
9. B 1
66
4.2.4 Nada Dasar
Tonalitas merupakan nada yang menjadi dasar sebuah lagu.
Menentukan nada dasar sebuah lagu merupakan hal yang terkadang sulit.
Beberapa cara yang dikemukakan oleh Bruno nettl dalam menentukan nada
dasar yakni:
1. Patokan umum adalah melihat nada mana yang paling sering dipakai
dan nada mana yang jarang dipakai dalam komposisi tersebut.
2. Kadang-kandang nada yang harga ritmisnya besar dapat dianggap
sebagai nada dasar, walaupun nada tersebut jarang dipakai.
3. Nada yang dipakai pada akhir (awal) komposisi atau pada akhir
(awal) bagian-bagian komposisi, dapat dianggap sebagai tonalitas
dalam komposisi tersebut.
4. Nada yang menduduki posisi paling terendah dalam tangga nada atau
posisi persis ditengah-tengah dapat juga dianggap penting.
5. Interval-interval yang terdapat diantara nada-nada kadang dipakai
sebagai patokan.
6. Ada tekanan ritmis pada sebuah nada, juga dipakai sebagai tonalitas.
7. Nada sebagai nada dasar, dengan alasan bahwa setiap frasa yang
diakhiri atau diselesaikan pada nada ini akan memberi kesan yang
kuat bahwa lagu tersebut telah berakhir atau berada pada posisi
terminalnya, dan melodic line (alur melodi) yang diakhiri pada nada
67
ini juga memberi nuansa bahwa kalimat lagu tersebut telah selesai
disajikan.
Berdasarkan tabel jumlah nada diatas, maka:
Nada yang sering dipakai adalah C dengan jumlah nada 8 (delapan). Maka
nada dasar pada dedeng memanggil angina adalah C.
4.2.5 Wilayah Nada ( Range)
Wilayah nada dalam sebuah komposisi musik adalah jarak antara nada
terendah dengan nada tertinggi yang ada pada melodi tersebut. Dari hasil
traskripsi nada terendah ialah E dan pada nada tertinggi ialah F1. Maka
melodi Dedeng Memanggil Angin tersebut akan dimasukan kedalam garis
paranada untuk dapat melihat denga jelas susunan nada-nada yang ada pada
nyanyian tersebut, dengan tujuan untuk mempermudah penulis dalam melihat
nada terendah dan tertinggi dalam nyanyian tersebut. Wilayah nada dedeng
dapat kita lihat pada gambar dibawah ini.
68
E F’
4.2.6 Interval
Interval merupakan jarak (range) antara nada satu dengan nada lainnya
yang diukur berdasarkan sistem laras dari masing-masing nada. Interval terdiri
atas dua yaitu; (1) interval harmonis, yaitu nada-nada dibunyikan secara
bersamaan (2) interval melodis, yaitu nada-nada yang dibunyikan secara tidak
bersamaan.
Penentuan sebuah interval nada berdasarkan jarak nada nada tersebut.
Jika dari nada dasar C maka nada C-C disebut prime, C-D disebut sebagai
sekunda, C-E disebut terts, C-F disebut kwart, C-G disebut kwint, C-A disebut
sekta, C-B disebut septime, dan C-c' disebut oktaf. Penamaan interval juga
ditambahi dengan mayor, minor, agumentik, dan diminis. Penentuan tersebut
berdasarkan jika laras sebuah nada diturunkan atau dinaikkan dari ketepan
laras yang sudah ditentukan. Untuk lebih jelasnya penulis menggambarkannya
dalam bentuk tabel dibawah ini.
69
Tabel 4.3
Rumus Interval
Nada Interval Laras
C-C Prime perfect 0
C-D Sekunda minor 1/5
C-E Terts mayor 2
C-F Kwart perfect 2 ½
C-G Kwint perfect 3 ½
C-A Sekta mayor 4 ½
C-B Septime mayor 5 ½
C-c' Oktaf perfect 6
Tabel 4.3.1
Rumus Interval
dim + ½ laras m + ½ laras = M M + ½ laras =
Ag
m- ½ laras = dim M – ½ laras = m Ag – ½ laras =
M
P – ½ laras = dim P + ½ laras =
Ag
70
Dengan demikian, berdasarkan hokum interval diatas maka interval yang
terdapat dalam Dedeng Memanggil Angin adalah:
Tabel 4.3.2
71
72
4.2.7 Kontur Melodi
Kontur adalah garis melodi dalam sebuah nyanyian. Malm
membedakan kontur ke dalam beberapa jenis, sebagai berikut:
1) Ascending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk
naik, dari nada yang lebih rendah ke nada yang lebih tinnggi.
2) Descending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk
turun dari nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah.
3) Pendulousyaitu garis melodi yang dengan bentuk turun dari
nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah, kemudian
kembali lagi ke nada yang lebih tinggi atau sebaliknya.
4) Conjuct yaitu garis melodi yang sifatnya bergerak melangkah
dari satu nada ke nada yang lain baik naik maupun turun.
5) Terraced yaitu garis melodi yang bergerak berjenjang baik dari
nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah atau dimulai
dari nada yang lebih rendah ke nada yang lebih tinggi.
6) Disjuct yaitu garis melodi yang bergerak melompat dari satu
nada ke nada yang lainnya, dan biasanya memiliki interval di
atas sekonde baik mayor maupun minor.
73
7) Static yaitu garis melodi yang bentuknya tetap dan jaraknya
memiliki batasan.
Garis kontur yang terdapat pada melodi dedeng memanggil angin adalah
1. Kontur Ascending
2. kontur Discending
3. Kontur Tracced
74
4. Kontur Pandulous
Jika di lihat secara keseluruhan maka dedeng memiliki kontur yang
bergelombang (pandulos) yaitu dengan nada yang menaik dan menurun
sehingga tidak terdapat kontur yang statis.
5. Kontur Disjuct
6. Kontur Static
75
Maka, dari pemaparan diatas Dedeng Memanggil Angin memiliki 5 (lima)
garis kontur melodi yaitu, ascending, discending, tracced, pendulous, disjuct,
dan static.
4.2.8 Formula Melodi
Formula melodi yang akan dibahas tulisan ini meliputi bentuk frasa.
Bentuk adalah gabungan dari beberapa frasa yang terjalin menjadi satu pola
melodi. Frasa adalah bagian-bagian kecil dari melodi. William P. Malm
mengemukakan bahwa ada beberapa istilah dalam menganalisis bentuk, yaitu:
1) Repetitive: bentuk nyanyian dengan melodi pendek yang di
ulang-ulang
2) Iterative: bentuk nyanyian yang memakai formula melodi kecil
dengan kecenderungan pengulangan-pengulangan di dalam
keseluruhan nyanyian.
3) Strophic: bentuk nyanyian yang diulang tetapi menggunakan
teks nyanyian yang baru atau berbeda.
76
4) Reverting: bentuk nyanyian apabila dalam nyanyian terjadi
pengulangan pada frasa pertama setelah terjadi penyimpangan-
penyimpangan melodi.
5) Progressive: bentuk nyanyian yang terus berubah dengan
menggunakan materi melodi yang selalu baru.
Frasa yang terdapat pada dedeng memanggil angin adalah seperti yang
dibawah ini:
Formula Melodi Dedeng Memanggil Angin
Frasa 1
Frasa 2
Dari pemaparan tersebut, diadalam dedeng memanggil angin terdapat
pengulangan melodi tetapi lirik yang dinyanyikan berbeda dengan
sebelumnya yang disebut, Strophic.
4.2.9 Bentuk
Bentuk merupakan hubungan-hubungan diantara bagian-bagian dari
77
sebuah komposisi lagu. Hubungan-hubungan tersebut termaksud unsur-unsur
melodis dan ritmis. Untuk lebih jelasnya, sebuah komposisi lagu dapat
dikatakan kumpulan dari beberapa bentuk. Bentuk-bentuk inilah yang
jemudian dianalisis sehingga dapat dilihat bagaimana bentuk yang satu
dihubungkan dengan bentuk lainnya sehingga tersusun sebuah komposisi lagi
yang utuh. Bentuk disusun oleh frasa-frasa/sub frasa dan motif-motif.
Hubungan-hubungan antara bagian-bagian bentuk akan digambarkan dengan
kode huruf, yaitu A, B, C, dan seterusnya. Selanjutnya dua bagian yang
bermiripan tetapi tidak persis sama digambarkan dengan tambahan angka di
atas baris; misalnya, A, A1 dan A2 adalah dua bagian yang dianggap sebagai
variasi dari bahan musikal yang sama. Bentuk melodi yang ditemukan dalam
dedeng memanggil angin terdiri dari 3 (tiga) bentuk yaitu A, B, dan C Dengan
susunan bentuk A – B – B1 – C.
Bentuk melodi A adalah seperti berikut.
78
Penentuan tersebut diperoleh penulis berdasarkan penggunaan not panjang.
Frasa pertama berada pada bar pertama sampai nada kedua.
Motif adalah sebuah pola terkecil dalam irama musik yang
mengandung arti. Dalam bentuk A pada dedeng memanggil angin terdiri dari
1 (satu) motif. penentuan motif tersebut yaitu ditandai dengan penyusunan
nada yang berbeda dari beberapa motif yang akan dijelaskan pada motif
selanjutnya. Hal ini ditandai dengan, didalam pengguanaan nada didalam frase
tersebut memiliki 27 (dua puluh tujuh) yang diantaranya yaitu, A# - C – D –
D# - D – D# - D – D# - D – D# - D – D# - D – D# - D – D# - D – F – C – D –
D# - D – D# - D – D# - D – D# - G. Motif A dalam dedeng tersebut, sebagai
pembukaan sebelum masuk kedalam lirik.
Bentuk Melodi B dan B1 seperti berikut.
(B)
79
(B1)
Seperti yang sudah dipaparkan bahwa, bentuk melodi B dan B1 pada
frase pertama memiliki sedikit perbedaan yaitu pada susunan nada yang
diantaranya pada frase pertama di B yaitu, E – E – F – G – G – F – E – D – F
– D – F – C sedangkan, pada frase pertama pada bentuk melodi B1 yaitu, E –
E – E – E – G – G – F – E – D – F – D# dari pemaparan keduanya dibagian
frase pertama, terdapat sedikit perbedaan pada pembagian nada meskipun
begitu, ritem yang dimainkan sama dan pada frase selanjutnya di bagian
bentuk melodi B dan B1 terdapat sedikit perbedaan juga seperti pada frase
pertama yaitu pada susunan nada yang dipakai seperti pada bagian B,D – D –
F – F – F – C – D – G# - G# - G# - G# - G# - F. sedangkan pada bagian B1
susnan nadanya seperti ini, F – E – D – C – D – C – D – C – D – D# - F – F –
F – C – D# - C – D# - G – G# - G# - G# - A – G – F – F – F – E – E.
80
Bentuk Melodi C sebagai berikut.
Pada bagian C pada dedeng memanggil angin, terdapat beberapa nada
yang diataranya, D# - D# - D# - F – G – D# - D# - D# - D# - D# - F – G# - G#
- G# - A – E – D – D – F – G – F – A – G – D – D – D – D – E – E – B – G –
G – G – G# - E pada bentuk melodi C merupakan bentuk terakhir pada dedeng
atau sebagai akhir dari nyanyian.
4.2.10 Ritme
Ritme atau irama adalah gerak nada yang teratur karena adanya aksen
yang tetap. Berdasarkan penggunaan ritme pada hasil transkripsi lagu mbaba
kampil dapat dilihat terdapat rintme single, duple, dan triple.
81
1. Single
Sebuah not dengan nilai seperempat.
Sebuah not dengan nilai setengah yakni terdiri dari dua ketukan dasar.
Sebuah not dengan nilai setengah danterdiri dari tiga ketukan dasar.
2. Duple
Dua buah not yang masing-masing bernilai seperdelapan.
3. Triple
Satu ketukan dasar yang terdiri dari tiga nada masing masing nada
bernilai seperdelapan.
82
4. Quardruplet
Satu ketukan dasar yang terdiri dari empat nada masing-masing nada bernilai seperenambelas.
4.3 Asal Usul Bahasa Syair
Dari sisi lain syair (yang didedandangkan/senandungkan) bertitik tolak
dari hasil ciptaan para penyair dari timur tengah (seperti irama Sikka,
Nehwan, Ras, Rakibi, Humanzaka) yang berasal dari seorang penyair arab
bernama Al Barzanji) yang dirangkai menjadi syair kenabian/ kerasulan dan
lain sebagainya kemudian, berkembang/dikembangkan oleh para pedagang
arab yang datang ke wilayah asia termasuk Indonesia dalam misi
perkembangan agama Islam. Jenis maqam66 secara lebih luas sangatlah
beragam. Keberagaman ini hal yang cukup rasional mengingat masing-masing
daerah budaya musik di Timur Tengah memiliki maqam sendiri-sendiri.
Setiap maqam memiliki nama, ada yang diambil dari suatu nama tempat. Di
antaranya adalah Isfahan, nama kota di
Iran, Irak, kemungkinan bentuk Persia yang di India disebut raga menandakan
6Maqomat atau maqam dapat didefinisikan sebagai deretan tangga nada heptatonik dengan
sebuah nada oktafnya dalam Yunani Kuno dibagi kepada dua unit yang terdiri dari empat nada tetrakord (Takari,2005:9).
83
bahwa aslinya dari India, Hijaz bagian dari Saudi Arabia, Nahawand desa di
Turki (Purwanto, 2006: 20). Pada kajian ini yang hendak diuraikan adalah
maqam- maqam yang digunakan dalam aktivitas pelaguan Seni Tilawatil
Qur‟an. Seperti Bayati, Hijaz, Saba, Rast, Jiharkah, Sikah, dan Nahawand.
Dari sinilah letak perpaduan syair Arab dan syair Melayu
dikumandangkan sehingga menjadi sebuah tangkai seni yang dibudayakan
orang berawal dari dalam irama Qiro’at, Qasidah, Barzanji/Marhaba,
Sholawat, bordah, dan lain sebagainya sampai pada tingkat kejayaanya
diperkirakan sejak dari masa khalipah Usman Ibnu ‘Affan sampai ke masa
Hamzah Al Fansuri, Raja Ali Aji (pencipta Gurindam 12).
Dari sekian jauh perjalan irama bernuansa islami yang membudaya
ditengah-tengah kehidupan masyarakat melayu khususnya, diSemenanjung
Malaka dibawa oleh masyarakat negeri siam dikenal dengan Kindom of
Malaka, kemudian di Aceh, Riau, Palembang, Minangkabau, Mandailing serta
di Kalimantan, di Sulawersi serta pulau Jawa yang dikenal dengan istilah
tembang Sunda, tembang Betawi, tembang Keraton dan seterusnya dijadikan
bahasa budaya yang mengandung seni tradisional dimasing-masing suku/ras
yang ada dan dikenal sampai sekarang.
Pada dasarnya seni yang membudaya tampaknya mengandung nilai
pendidikan dan kedekatan pada kekuasaan Sang Maha Pencipta yang ada
disegenap penghuni alam ini. Terlepas dari percaya atau tidak, keyakinan dan
kemampuan insan makhluk dialam semesta yang menyimpan rahasia bathin
(isnting atau naluri), hidup dan berkembang secara khaffah (tanpa merubah
84
wujud dan keberadaanya) yang mampu membangun akhlak pribadi serta
memiliki budi pekerti luhur taat dan patuh merupakan sebuah kekuatan
pengetahuan menjaga dan memelihara harkat dan martabat disepanjang masa
peradabanya namun, sangat disayangkan sejak tahun delapan puluh-an seni
budaya tradisi yang bernuansa islami dikalangan masyarakat khususnya orang
melayu, sudah boleh dikatakan hampir hilang dan tak terdengar lagi bahkan,
cenderung tidak diminati terutama dikalangan muda sekarang ini (Yunus :
Dedeng Mengurai Jembatan hal.7).
4.3.1 Definisi Syair
Kata syair berasal dari bahasa Arab, syu’ur yang artinya “perasaan”.
Dilihat dari asal katanya, syair dapat diartikan sebagai ekspresi perasaan atau
pikiran pembuatnya. Syair adalah jenis puisi lama yang tiap-tiap bait terdiri
atas empat larik (baris) yang berakhir dengan bunyi yang sama. Syair
digunakan untuk melukiskan hal-hal yang panjang misalnya tentang suatu
cerita, nasihat, agama, cinta, dan lain-lain. Oleh karena itu, bait-bait dalam
syair sangat banyak. Ditinjau dari struktur fisiknya, syair sangat terikat oleh
jumlah baris dalam satu bait, jumlah suku kata dalam setiap baris, jumlah bait
dalam setiap puisi, dan aturan dalam hal rima dan ritma.
Menurut isinya, syair dapat dibagi menjadi lima golongan, yaitu:
1. Syair Panji: Syair panji adalah syair yang berisi/bercerita tentang
keadaan yang terjadi dalam istana (kerajaan), keadaan orang-orang
85
yang ada atau berasal dari dalam istana. Contohnya “Syair Ken
Tambunan”.
2. Syair Romantis: Syair romantis adalah syair yang berisi tentang
percintaan pelipur lara, cerita rakyat. Contohnya, “Syair Bidasari”.
3. Syair Kiasan: Syair kiasan adalah syair yang menceritakan tentang
percintaan antara ikan, burung, bunga, atau buah-buahan yang
semuanya itu hanyalah simbolik yang terkandung di dalamnya, kiasan
atau sindiran kepada peristiwa tertentu. Contohnya, “Syair Burung
Pangguk”.
4. Syair Sejarah: Syair sejarah adalah syair yang berdasarkan peristiwa
sejarah terpenting, misalnya tentang peperangan. Contoh, “Syair
Perang Mengkasar”.
5. Syair Agama: Syair agama adalah syair yang mengandungi tema
ajaran ilmu tasawuf. Syair agama tergolong syair terpenting, terbagi
menjadi empat, yaitu syair sufi, syair tentang ajaran Islam, syair
riwayat Nabi, dan syair nasihat.
4.4 Bentuk Teks Dedeng Memanggil Angin
Dedeng memanggil angin sebagai salah satu nyanyian kesenian
tradisional etnik Melayu Langkat mengandung teks yang menjadikannya
fungsional dalam kehidupan masyarakat Melayu Langkat. Penyampaian teks
dedeng mamanggil angin membentuk sebuah komunikasi dalam menyatakan
atau menyampaikan sesuatu kepada mambang sebagai wujud permohonan
86
agar diberi kelancaran bagi para nelayan sewaktu mencari ikan dilaut.
Teks dedeng memanggil angin berbentuk pantun secara keseluruhan
memiliki sajak yang berbentu a-b-a-b. teks dedeng memanggil angin
disampaikan dengan menggunakan kata-kata berupa kiasan. Meski kata-kata
yang digunakan berupa kiasan teks dedeng memanggil angin memiliki makna
yang berarti didalamnya.
Teks dedeng memanggil angin digolongkan sebagai teks yang bersifat
melogenik, dimana teks merupakan bagian yang paling penting dalam
terciptanya dedeng memanggil angin. Teks dedeng memanggil angin
diciptakan oleh penyaji/penyanyi sesuai dengan kondisi, suasana, maupun
perasaannya. Teks dedeng memanggil angina juga digolongkan sebagai teks
yang bersifat melismatik. Melismatik berarti satu suku kata dapat dinyanyikan
dengan beberapa nada. Dalam teks dedeng memanggil angin ditemukan
berbagai suku kata yang diciptakan penyaji dan dinyanyikan dengan beberapa
nada.
Dalam bab IV ini juga, penulis mengkaji teks dedeng memanggil
angin yang disajikan dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan pengalaman
pribadi dari informan yang sudah ditetapkan. Kajian ini menggunakan teori
semiotik yang meletakkan lambang sebagai bagian dari komunikasi.
Komunikasi yang dimaksud ialah mengandung makna-makna tertentu dan
digunakan untuk menyampaikan suatu pesan.
4.5 Definisi Pantun
87
Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang sangat luas dikenal
dalam bahasa-bahasa Nusantara. Pantun berasal dari kata patuntun dalam
bahasa Minangkabau yang berarti "petuntun". Dalam bahasa Jawa, misalnya,
dikenal sebagai parikan, dalam bahasa Sunda dikenal sebagai paparikan, dan
dalam bahasa Batak dikenal sebagai umpasa (baca: uppasa). Lazimnya pantun
terdiri atas empat larik (atau empat baris bila dituliskan), setiap baris terdiri
dari 8-12 suku kata, bersajak akhir dengan pola a-b-a-b dan a-a-a-a (tidak
boleh a-a-b-b, atau a-b-b-a). Pantun pada mulanya merupakan sastra lisan
namun sekarang dijumpai juga pantun yang tertulis. Ciri lain dari sebuah
pantun adalah pantun tidak terdapat nama penulis. Hal ini dikarenakan
penyebaran pantun dilakukan secara lisan.
Semua bentuk pantun terdiri atas dua bagian: sampiran dan isi.
Sampiran adalah dua baris pertama, kerap kali berkaitan dengan alam
(mencirikan budaya agraris masyarakat pendukungnya), dan biasanya tak
punya hubungan dengan bagian kedua yang menyampaikan maksud selain
untuk mengantarkan rima/sajak. Dua baris terakhir merupakan isi, yang
merupakan tujuan dari pantun tersebut.
Karmina dan talibun merupakan bentuk kembangan pantun, dalam
artian memiliki bagian sampiran dan isi. Karmina merupakan pantun "versi
pendek" (hanya dua baris), sedangkan talibun adalah "versi panjang" (enam
baris atau lebih).
88
Peran pantun Sebagai alat pemelihara bahasa, pantun berperan sebagai
penjaga fungsi kata dan kemampuan menjaga alur berpikir. Pantun melatih
seseorang berpikir tentang makna kata sebelum berujar. pantun juga melatih
orang berpikir asosiatif, bahwa suatu kata bisa memiliki kaitan dengan kata
yang lain. Secara sosial pantun memiliki fungsi pergaulan yang kuat, bahkan
hingga sekarang. Di kalangan pemuda sekarang, kemampuan berpantun
biasanya dihargai. Pantun menunjukkan kecepatan seseorang dalam berpikir
dan bermain-main dengan kata.
Secara umum peran sosial pantun adalah sebagai alat penguat
penyampaian pesan. Kedekatan nilai sosial dan pantun bahkan bermula dari
filosofi pantun itu sendiri. ”Adat berpantun, pantang melantun” adalah filosofi
yang melekat pada pantun. Adagium tersebut mengisyaratkan bahwa pantun
lekat dengan nilai-nilai sosial dan bukan semata imajinasi. Effensi (2005)
mencatat semangat ”hakikat pantun menjadi penuntun" pada pantuan.
Penjelasan tersebut meneguhkan fungsi pantun sebagai penjaga dan media
kebudayaan untuk memperkenalkan dan menjaga nilai-nilai masyarakat.
4.5.1 Pantun dan Konteksnya
Salah satu kesenian tradisional sastra pada masyarakat Melayu
Langkat ialah pantun. Dalam masyarakat Melayu Langkat, pantun merupakan
bagian yang sangat penting dalam setiap kegiatan upacara adat, komunikasi,
maupun yang bersifat hiburan. Pantun biasanya berisikan nasihat-nasihat
89
maupun uangkapan perasaan yang dilakukan oleh seseorang yang mahir
dalam merangkai kata-kata. Umumnya pantun dilakukan secara spontatis yang
disesuaikan dengan kebutuhan.
Pantun bagi masyarakat Melayu Langkat tidak hanya dilakukan dalam
bentuk karya sastra. Pantun juga disajikan kedalam bentuk nyanyian, salah
satunya adalah nyanyian dedeng memanggil angin.
4.6 Analisis Semiotik Teks Dedeng Memanggil Angin
Teks merupakan bentuk lisan maupun tertulis (Halliday 1985:290).
Dari pengertian teks diatas, maka teks bukan hanya serangkatian kata atau
kalimat yang berdiri sendiri tetapi merupakan sesuatu yang diciptakan atau
disusun dengan cara tertentu sehingga mengandung pengertian konteks
tertentu dan berfungsi sebagai penyampaian pesan
Teks dedeng memanggil angin merupakan sastra tradisional Melayu
Langkat yang diwariskan dari satu generasi kegenarasi lain secara lisan. Isi
teks dari dedeng memanggil angin secara khusus merupakan sebua ungkapan
permohonan/doa, ungkapan perasaan yang disajikan dalam bentuk pantun.
Menganalisis teks dedeng memanggil angin berarti mencari tahu dan
menemukan makna-makna yang muncul dalam nyanyian tersebut.
Sehubungan dengan penemuan makna-makna tersebut, Alan P. Merriam
mengemukakan bahwa musik juga mempengaruhi bahasa dimana keperluan
musikal meminta perubahan bentuk-bentuk percakapan normal.
Pantun adalah karya sastra yang terdiri dari dua penggal, dengan
90
struktur penggal pertama adalah sampiran dan penggal kedua adalah isi. Satu
bait pantun dapat terdiri dari dua bari, empat baris, enam baris, dan lainnya.
Secara umum digunakan adalah pantun empat baris. Pantun ini
mengutamakan aspek rima yaitu persamaan bunyi di ujung setiap barisnya.
Pantun ini juga digunakan dalam teks dedeng memanggil angin.
Sebelum merujuk kepada sebuah penyajiannya, para nelayan yang
sudah berada diatas sampan mengucapkan kata oi yang berarti memanggil
yang ditujukan kepada para mambang yang berada dilaut. Setalah
menggucapkan kata oi barulah masuk kepada syair yang berbentuk sebuah
pantun
Berikut ini merupakan syair yang disajikan dalam dedeng memanggil
angin.
Oi………..
Angin sinangin mambang di angin
Ikan sinangin mengantar tolak
Jadi pengayuh menyulam batin
Bawalah hamba ke laut todak
Awal bismillah layar bergulung
Mengawal sudah baru dihantar
Kelaut hamba tanjung ke tanjung
Dari nan tolang kapal bagodar
Buih dan pantai meniti pasir
91
Hembuskan jala menuju baggora
Mambang dilaut mambang di awan
Bawa kaulah anak merawai
Tabel 4.4
Teks Dedeng Memanggil Angin
No Teks Dedeng
Memanggil Angin
Terjemahan dalam
Bahasa Indonesia
1. Oi……,
Angin sinangin
mambang di angin
Oi……,
Angin sinangin (nama
ikan) mambang (Roh-
roh gaib) angin
2. Ikan sinangin
membawa tolak
Ikan sinangin membawa
perahu
3. Jadi pengayuh
menyulam batin
Menyatu dengan roh-
roh gaib
4. Bawalah hamba kelaut
todak
Bawalah aku kelaut
yang berombak
Keterangan:
1. Sinangin/ nama ikan: keinginan seorang nelayan yang ingin mencari
ikan sinangin
92
2. Pengayuh menyulam batin/ menyatu dengan mambang (roh-roh gaib):
permohonan seorang nelayan agar mendapat perlindungan dari
mambang.
Berdasarkan teks yang terdapat dalam tabel nomor satu, yang menyatakan
tentang ikan sinangin yang merupakan keinginan nelayan dalam mencari ikan
sinangin dikarenakan ikan tersebut mempunyai harga yang tinggi dalam
penjualanya sehingga, ikan tersebut menjadi incaran para nelayan. Teks yang
terdapat dalam tabel nomor tiga yang menyatakan menyatu dengang
mambang atau roh-roh gaib artinya, seorang nelayan memberitahukan kepada
mambang yang berada dilaut agar diberikan perlindungan dari marabahaya
yang bisa mencelakakan mereka saat mencari ikan dari hewan buas, serta
cuacah dan, memberikan hasil yang melimpah.
Tabel 4.4.1
Teks Dedeng Memanggil Angin
No Teks Dedeng
Memanggil Angin
Terjemahan dalam
Bahasa Indonesia
1 Awal bismillah layar
bergulung
Dengan mengucapkan
bismillah mengawali
gulungan layar
2 Mengawal sudah baru
dihantar
Mengontrol dahulu baru
dikirim
93
3 Kelaut hamba tanjung
ke tanjung
Aku pergi kelaut berjalan
meniti
4 Dari nan tolang kapal
bagodar
Sebuah tempat kapal
yang ramai
Keterangan :
1. Tanjung/ menapak; menjalani: seorang nelayan yang mencari ikan dari
satu tempat ke tempat yang lain.
2. Tolang/ tempat : tempat perhentian sebuah kapal
3. Bagodar/ ramai : sebuah kerumunan kapal
Makna teks yang tedapat pada tabel 4.4.1 ialah sebelum para nelayan pergi
terlebih dahulu mereka mengucapkan bismillah sambil para nelayan
mengecek perahu serta layar yang akan mereka kembangkan apakah layar
tersebut dalam keadaan baik atau tidak. Setelah semua sudah siap, barulah
mereka pergi kelaut.
Tabel 4.4.2
Teks Dedeng Memanggil Angin
No Teks Dedeng Memanggil
Angin
Terjemahan dalam
Bahasa Indonesia
1. Buih dan pantai meniti
pasir
Gelembung pantai
menghampiri pasi
94
2. Hembuskan jalan menuju
bagora
Lewati jalan menuju
seramaian kapal
3. Mambang dilaut mambang
di awan
Mambang di laut
mambang di awan
4. Bawa kaulah anak
merawai
Membawa seorang anak
ke tongkat
Keterangan :
1. Buih/Gelembung : gelembung kecil yang terdapat didalam air laut
ketia ombak memnghampiri pinggiran pantai,
2. Merawai/Tongkat : tongkat yang dimaksud merupakan kemudi yang
akan dikendalikan seorang anak (nelayan) untuk mengarahkan dan
menjalankan sampan.
Dalam tabel 4.4.2 bait yang pertama merupakan sebuah pemujaan kepada
mambang yang ada dilaut, angin, dan awan sebagai wujud permohonan agar
dilancarakan segala aktivitas seorang anak (nelayan) dalam mencari ikan
dilaut sebagai mata pencaharianya. Dalam aktivitasnya, selama mereka dilaut
pemujaan terus mereka lakukan kepada mambang agar keinginan mereka
dapat tercapai dan sampai selesai kegiatan para nelayan dalam mencari ikan.
Teks yang tertulis didalam tabel secara keselurahan mengartikan bahwa
seorang nelayan yang bersiap untuk pergi kelaut mencari ikan serta
mengawalai perjalannya dengan mengucapkan Bismillah. Dalam aktivitasnya
95
bahwa seorang nelayan yang mencari ikan dari tempat satu ke tempat yang
lain artinya, nelayan tersebut dalam mencari ikan, tidak hanya mencari di satu
tempat serta melewati sebuah keramaian sampan nelayan yang bersama-sama
ingin mencari ikan.
Begitulah sebuah teks dedeng memanggil angin yang disajikan oleh H.M
Yunus Tampubolon serta makna yang dikisahkan dari sebuah teks tersebut
yang menceritakan tentang keluh-kesah dan keseharian para nelayan dalam
mencari ikan sinangin yang merupakan ikan keinginan para nelayan.
96
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Dedeng memanggil angin adalah salah satu kesenian tradisional etnik
Melayu Langkat berbentuk nyanyian. Dedeng memanggil angin, dilakukan
pada saat para nelayan yang ingin pergi kelaut untuk mencari ikan. Fungsi
angin tersebut merupakan alat bagi mereka agar, layar yang mereka
kembangkan ditiup oleh angin dan bisa menggerakkan/menjalankan sampan
yang mereka tumpangi. Salah satu kesenian rakyat ini merupakan salah satu
media komunikasi masyarakat Melayu Langkat yang ditujukan kepada
mambang atau roh gaib yang menguasai laut agar, mereka dapat diberi
kelancaran serta mendapatkan hasil yang melimpah dalam mencari ikan.
Dedeng memanggil angin dilakukan oleh satu orang yang berada
diatas sampan jika, didalam satu sampan terdiri dari tiga orang maka, salah
satu dari mereka yang melantunkan syair dedeng.
Pada era sekarang ini penggunaan dedeng memanggil angin sudah
jarang dijumpai bahkan bisa dibilang sudah tidak ada lagi dikarenakan
perkembangan zaman yang meliputi teknologi dan pola pikir manusia
contohnya, sekarang ini tidak ada lagi nelayan yang menggunakan sampan
yang memiliki sebuah layar sebagai alat bantu penggeraknya melainkan,
mesin yang sudah mereka pakai sebagai alat utama penggerak sampan yang
berbahan bakar bensin ataupun solar.
97
Kini dedeng memanggil angin hanya bisa dijumpai oleh para pelaku
dan orang yang mengetahui tentang dedeng karena, kurangnya pemerhatian
akan keberlanjutan nyanyian tersebut kepada kegenerasi selanjutnya.
Pada dedeng memanggil angin, penulis memperoleh nada dasar C dan
memiliki jumlah nada sebanyak sebelas nada yaitu, E – F – G – G# - A – B –
C – D – D# - E1 – F1 . Wilayah (range) nada yang terdapat pada dedeng
memanggil angin dari hasil transkripsi nada terendah ialah E dan pada nada
tertinggi ialah F1. Pada analisi Kontur melodi yang terdapat didalam dedeng
memanggil angin memiliki enam jenis yaitu diantaranya, Ascending,
Discending, Tracced, Pandulous, Disjuct dan, Static. Pada pembahsan yang
terakhir didalam bentuk melodi dedeng memanggil angin memiliki tiga jenis
yaitu A-B-B1-C.
6.2 Saran
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam proses penyusunan
tulisan mengenai dedeng memanggil angin ini. Salah satunya adalah
kurangnya sumber-sumber referensi mengenai dedeng memanggil angin yang
dapat mendukung tulisan ini. Penulis berharap dilain waktu, peneliti-peneliti
berikutnya dapat menyempurnakan tulisan ini. Bagi para peneliti berikutnya,
penulis menyarankan beberapa hal untuk dipersiapkan dalam penyusunan
tulisan. Pertama, harus memiliki pengetahuan umum tentang kebudayaan
Melayu Langkat. Sehingga pada saat menerapkan teknik-teknik penelitian
lapangan kita dapat mengetahui dan menyusun konsep pengerjaan selanjutnya
98
secara bertahap juga sistematis. Selanjutnya kita juga harus mempunyai
kemampuan menjadi insider. Dengan kata lain, pengetahuan tentang bahasa
Melayu Langkat dapat mendukung proses penelitian nantinya. Terakhir,
penulis menyarankan agar peneliti berikutnya dapat mengkaji dedeng Melayu
Langkat yang lainnya. Karena dalam ilmu Etnomusikologi tulisan-tulisan
yang membahas tentang nyanyian tradisi Melayu Langkat masih terbilang
sedikit jumlahnya. Bagi pemilik kebudayaan Melayu Langkat penulis
berharap agar bersedia memberikan pengetahuan tentang seluruh kebudayaan
musikal yang terdapat dalam etnik Simalungun. Dengan demikian, seluruh
kebudayaan tersebut akan terdokumentasi nantinya. Penulis juga berharap
kepada masyarakat Melayu Langkat sebagai pendukung dan pemilik
kebudayaan etnik Melayu Langkat dapat menggenerasikan kebudayaannya
sesuai dengan adat-istiadat yang terdapat dalam tradisi masyarakat Melayu
Langkat.
Demikian tulisan ini diselesaikan, semoga dapat memberikan manfaat
kepada budaya dan pendidikan secara umum dan ilmu Etnomusikologi secara
khusus.
99
LAMPIRAN
100
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Zumaidi 2014. Gaya Bernyanyi dalam Mengiringi tari Mengirik Padi di Kabupaten Langkat. Undergraduate thesis, UNIMED.
Ahmad, Komaruddin, 2001. Dasar-Dasar Manajemen Investasi dan Portofolio. Rineka Cipta.
Berger, Asa Arthur, 1984. Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer (Diterjemahkan oleh M. Dwi Satrianto). Yogyakarta. Tiara Wacana.
Curt, Sach 1962. The Wellsprings Of Music. Fadlin. 2011. “Syair Dalam Kebudayaan Melayu: Kajian Struktur Musikal”.
Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara. Koentjaraningrat. 1993. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Koentjaraningrat. 1983. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta. Malm, William P. 1977. Music Culture of the Pasific, the Near East, and
Asia (Diterjamahkan oleh Takari). Medan. Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.
Mardalis. 2006. Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara
Nettl, Bruno. 1973. Teori dan Metode dalam Etnomusikologi (Diterjemahkan oleh Nathalian H.P.D. Putra) Jayapura. Jayapura Center Of Music.
Nazir, Mohammad. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Resnick, Halliday. 1985 PHYSICS 3rd Edition. Bandung: Departemen Fisika
Institut Teknologi Bandung. Sitanggang, Kartini C.P 2015. Makna Tari Ahoi Pada Masyarakat Melayu
Langkat di Kecamatan Sei Wampu. Undergraduate thesis, UNIMED.
Sugiono, 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Rifqhy, H, Siregar, Yudisthira. 2018 “ Anaslisis Sturktur Melodi dan Makna Teks Lagu Selimut Putih Karya Ahmad Baqi”. Skripsi Etnomusikologi Usu 2018.
Zulfahmi, Muhammad. 2012. “Dedeng: Nyanyian Upacara Turun Keladang Etnik Melayu Langkat, Pesisir Timur Sumatera Utara”. Jurnal Ekspresi Seni. Volume. 1, No 1, Juni 2012.
Zoest, Van Art dan Panuti Sudjiman. 1930. Semiotika: Tentag Tanda. Cara Kerjanya, dan apa yang Kita Lakukan Denganya (Diterjemahkan oleh Ani Soekowati). Jakarta. Perpustakaan Nasional.
101
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : H.M. Yunus Tampubolon Umur : 76 Tahun Pekerjaan : Tukang Becak Alamat : Jl. Gaharu, Jatimakmur, Binjai.
2. Nama : Syamsul Bahri
Umur : 60 Tahun Pekerjaan : Guru MTS Alamat : Desa Teluk Bakung, Tanjung Pura
3. Nama : Drs. Zainal Arifin Aka Umur : 61 Tahun Pekerjaan : Dosen dan Seniman Melayu Langkat (Memiliki
Sanggar Seni Pusaka Aru Teater Garis Tegak Lurus Langkat)
Alamat : Pangkalan Berandan
4. Nama : Datuk Ahmad Fauzi Umur : 58 Tahun Pekerjaan : Dosen Musik Praktek Melayu di Etnomusikologi USU Alamat : Jalan Garu no.34A
5. Nama : Faharjun Amri
Umur : 40 Tahun Pekerjaan : Guru SMP Alamat : Stabat