ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA...

146
ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA PNEUMONIA PADA BALITA DI PROVINSI BANTEN TAHUN 2011-2015 SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) Oleh : ISNAENI WAHYU SAPUTRI NIM: 1112101000024 PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/ 2016 H

Transcript of ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA...

Page 1: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA PNEUMONIA

PADA BALITA DI PROVINSI BANTEN TAHUN 2011-2015

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana

Kesehatan Masyarakat (SKM)

Oleh :

ISNAENI WAHYU SAPUTRI

NIM: 1112101000024

PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1438 H/ 2016 H

Page 2: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

i

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Judul Skripsi

ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA PNEUMONIA

PADA BALITA DI PROVINSI BANTEN TAHUN 2011-2015

Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Disusun Oleh:

ISNAENI WAHYU SAPUTRI

NIM: 1112101000024

Jakarta, Desember 2016

Mengetahui

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ela Laelasari, SKM, M.Kes

NIP. 19721002 200604 2 001

Catur Rosidati, MKM

NIP. 19750210 200801 2 018

Page 3: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

ii

PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Disusun Oleh:

ISNAENI WAHYU SAPUTRI

NIM: 1112101000024

Jakarta, Desember 2016

Penguji I

Hoirun Nisa, M. Kes, Ph.D

NIP. 197904272005012005

Penguji II

Siti Rahmah, MKKK

Penguji III

Andi Asnifatimah, SKM, M.Kes

Page 4: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

iii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan

jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Desember 2016

Isnaeni Wahyu Saputri

Page 5: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DATA DIRI

Nama : Isnaeni Wahyu Saputri

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat, Tanggal Lahir : Purwokerto, 23 Agustus 1994

Usia : 22 Tahun

Agama : Islam

No. Telpon : 089661824299

Alamat : Gg. H. Sapri, RT 07 RW 03, no. 79, Kelurahan Parung

Serab, Kecamatan Ciledug, Kota Tangerang

Email : [email protected]

RIWAYAT PENDIDIKAN

2012 - sekarang : Peminatan Kesehatan Lingkungan, Program Studi

Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta

2009 – 2012 : SMAN 12 Tangerang

2006 – 2009 : SMPN 3 Tangerang

2000 – 2006 : SDN Peninggilan 03

Page 6: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

v

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

KESEHATAN LINGKUNGAN

Skripsi, Desember 2016

Isnaeni Wahyu Saputri, NIM: 1112101000024

Analisis Spasial Faktor Lingkungan Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita di

Provinsi Banten Tahun 2011-2015

xix + 122 halaman, 2 bagan, 2 grafik, 4 tabel, 9 peta, 2 lampiran

ABSTRAK

Penyakit ISPA pneumonia merupakan pembunuh nomor satu balita di Indonesia

dengan estimasi kematian sebesar 80-90%. Sejak tahun 2011-2013 penyakit ini menjadi

10 penyakit terbanyak yang diderita oleh masyarakat di Provinsi Banten. Bahkan

Provinsi Banten termasuk kedalam 10 Provinsi dengan kasus ISPA terbesar di

Indonesia. Dibutuhkan analisis situasi penyakit ISPA pneumonia di Provinsi Banten

menggunakan analisis spasial untuk menghadirkan informasi faktor-faktor lingkungan

yang memiliki kecenderungan berkontribusi dalam terjadinya penyakit ISPA pneumonia

pada balita secara lebih baik.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui frekuensi dan memetakan distribusi

penyakit ISPA pneumonia pada balita beserta faktor lingkungan seperti faktor

lingkungan fisik (jenis lantai rumah, jenis dinding rumah, jenis bahan bakar memasak,

kepadatan ternak, dan kepadatan industri) dan faktor lingkungan sosial ekonomi (jenis

pekerjaan dan kemiskinan) berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten

tahun 2011-2015.

Disain studi penelitian ini adalah ecological study dengan pendekatan Sistem

Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kasus ISPA

pneumonia pada balita per Kabupaten/Kota yang terlaporkan oleh Dinas Kesehatan

Provinsi Banten selama tahun 2011-2015.

Distribusi kejadian penyakit ISPA pneumonia yang tinggi pada balita selama

tahun 2011-2015 memperlihatkan adanya kecenderungan lebih terpusat di wilayah timur

Provinsi Banten. Kemudian, terdapat pola persebaran penyakit, dimana tingkat kejadian

ISPA pneumonia pada balita yang sama terjadi di wilayah yang berdekatan. Pola

persebaran penyakit ISPA pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa

kepadatan ternak, kepadatan industri, dan jenis pekerjaan industri memiliki

kecenderungan ke arah positif. Sedangkan pola persebaran penyakit ISPA pneumonia

pada balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis lantai, jenis dinding, jenis bahan

bakar, jenis pekerjaan pertanian dan kemiskinan memiliki kecenderungan ke arah

negatif.

Disarankan kepada Dinas Kesehatan Provinsi Banten untuk menanggulangi

permasalahan ISPA pneumonia pada balita dimulai dengan kabupaten/kota dengan kasus

Page 7: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

vi

tertinggi kemudian dilanjutkan dengan wilayah yang ada di sekitarnya, meningkatkan

upaya dalam memperbaiki kesehatan lingkungan di sektor industri dan peternakan, serta

meningkatkan ketersediaan data yang lebih baik.

Kata Kunci: Analisis spasial, faktor lingkungan, ISPA pneumonia balita, Provinsi

Banten.

Page 8: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

vii

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES

PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM

ENVIRONMENTAL HEALTH

Undergraduate Thesis, December 2016

Isnaeni Wahyu Saputri, NIM: 1112101000024

Spatial Analysis Environmental Factors of Pneumonia Acute Respiratory Infection In

Children Under Five Years in Banten Province 2011-2015

xix + 122 pages, 2 charts, 2 graph, 4 tables, 9 maps, 2 attachments

ABSTRACT

Pneumonia Acute Respiratory Infection (ARI) is the number one killer of

children under five years in Indonesia with an estimated mortality of 80-90%. Since

2011-2013, the illness becomes 10 diseases suffered by people in the Banten Province.

Even Banten included into 10 provinces with the largest ARI cases in Indonesia. An

analysis of the situation of Pneumonia ARI in Banten use spatial analysis to present a

better information about environmental factors that allow contribute to the occurrence

of respiratory diseases in children under five years.

This study aimed to determine the frequency and map the distribution of

Pneumonia ARI in children under five years and environmental factors such as physical

environmental factors (type of floor, type of walls, type of cooking fuel, stocking density,

and industry density) and socioeconomic environmental factors (type employment and

poverty) based on the regency / cities in Banten Province 2011-2015.

The design of this research study is an ecological study with approach of

Geographic Information Systems (GIS). The population in this study are all Pneumonia

ARI cases in children under five years per regency/city reported by the Banten

Provincial Health Office during the years 2011-2015.

The distribution of the incidence of pneumonia in children under five years that

have high cases during 2011-2015 show a pattern of spread of the disease that have a

tendency centrally in east area of Banten Province. Then, there is the pattern which the

incidence rate of pneumonia in children under five years same is occur in the adjacent

territory. The pattern of the spread of pneumonia in children against environmental

factors such as stocking density, industries density, and types of industrial work have a

tendency toward positive. The pattern of spread of Pneumonia in children against

environmental factors such as the type of floor, wall type, fuel type, the type of

agricultural work, and poverty have a tendency towards negative.

It is suggested that the Provincial Health Office of Banten to cope pneumonia in

children under five years starting with regency/cities with highest cases and then

proceed with the area around it, an increased effort to improve environmental health in

industry and agriculture, and increase cooperation for a better database availability.

Keywords: Spatial analysis, Environmental factors, Pneumonia in Children under five

years, Banten Province.

Page 9: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

viii

LEMBAR PERSEMBAHAN

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad,

ath-Thabrani, ad-Daruqutni)

“Barang siapa yang memudahkan kesulitan seorang mu’min dari berbagai kesulitan-

kesulitan dunia, Allah akan memudahkan kesulitan-kesulitannya pada hari kiamat.

Dan siapa yang memudahkan orang yang sedang dalam kesulitan niscaya akan Allah

mudahkan baginya di dunia dan akhirat” (HR. Muslim).

Skripsi ini aku persembahkan untuk:

Bapak dan Mamah yang sangat aku cintai

Kakak dan Adikku tersayang

Sahabat-sahabatku terkasih

Almamaterku UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Page 10: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

ix

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat

dan hidayah-Nya laporan hasil penelitian ini dapat diselesaikan. Sholawat serta salam

tidak lupa senantiasa dilimpahkan keharibaan Nabi Muhammad SAW yang telah

membawa umat Nya dari zaman yang gelap gulita menuju ke zaman yang terang

benderang. Laporan ini disusun untuk menunjang gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat.

Laporan skripsi dengan judul “Analisis Spasial Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita di

Provinsi Banten Tahun 2011-2015” dapat selesai dengan baik dan tepat pada waktunya

berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, ucapan terimakasih dituturkan

secara ikhlas dan penuh kerendahan hati atas terselesaikannya laporan skripsi ini kepada:

1. Keluarga tercinta, Bapak, Mamah, Mba Puput dan Shanti, terima kasih atas

dukungan dan doa yang tiada hentinya, perhatian, serta kasih sayang kalian yang

sangat luar biasa.

2. Prof. Dr. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan, dan Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.KM selaku Ketua Program Studi

Kesehatan Masyarakat.

3. Ibu Dr. Ela Laelasari, SKM, M.Kes selaku pembimbing 1 yang selalu siap

memberikan bimbingan, masukan, dan nasihat yang selalu saya ingat.

Page 11: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

x

4. Ibu Catur Rosidati, MKM selaku pembimbing 2 yang banyak membantu dalam

memberikan bimbingan dan masukan-masukan yang sangat baik dalam penelitian

ini.

5. Ibu Hoirun Nisa, M. Kes, Ph.D, Ibu Siti Rahmah Hidayatullah Lubis, MKKK, dan

Ibu Andi Asnifatima, SKM, M. Kes, selaku penguji yang telah banyak

memberikan penilaian dan masukan untuk perbaikan.

6. Bapak Fajar Nugraha, yang telah memberikan ilmu tentang Sistem Informasi

Geografis, selalu bersedia menyediakan waktu untuk bimbingan dan diskusi,

membantu dalam memberi masukan, pendapat, nasihat-nasihat yang akan selalu

saya ingat, saya ucapkan banyak terima kasih.

7. Jajaran Dinas Kesehatan Provinsi Banten. Kepada Kepala Dinas Kesehatan

Provinsi Banten yang telah memberikan saya izin untuk melaksanakan penelitian

ini. Terima kasih kepada seluruh staff bagian P2 Dinas Kesehatan Provinsi Banten

terutama Teh Ratna karena telah bersedia meluangkan waktunya untuk berdiskusi

dan memberikan data yang dibutuhkan untuk penelitian ini.

8. Sahabat-sahabat tercinta yang selalu ada saat senang maupun sedih, terima kasih

untuk doanya, semangatnya, bantuannya, terima kasih Abd Rohim, Yufa Zuriya,

Tyas Indah, Sri Widiyastuti, Nuril Hidayah, dan Lilis Yuliarti.

9. Seluruh teman peminatan Kesehatan Lingkungan angkatan 2012 yang selalu

memberi semangat, dukungan dan doa sampai penelitian ini selesai.

10. Teman-teman seperjuangan jurusan kesehatan masyarakat angkatan 2012 yang

memberi dukungan selama melaksanakan penelitian ini.

Page 12: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

xi

11. Semua civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang turut memberikan

berbagai fasilitas yang mendukung penelitian ini serta berbagai pihak yang tidak

dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak memberikan kontribusi dalam

proses penyusunan penelitian ini.

Penulis berharap laporan ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis sendiri,

mahasiswa, peneliti lainnya, pihak Dinas Kesehatan Provinsi Banten dan masyarakat

pada umumnya. Namun, dalam laporan ini tentu tidak lepas dari kekurangan. Oleh

karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan

laporan ini.

Wassalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh

Ciputat, Desember 2016

Penulis

Page 13: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

xii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

PERNYATAAN PERSETUJUAN ................................................................................... i

PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ........................................................................... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ....................................................................................... iv

ABSTRAK ....................................................................................................................... v

LEMBAR PERSEMBAHAN ...................................................................................... viii

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ix

DAFTAR ISI .................................................................................................................. xii

DAFTAR BAGAN ......................................................................................................... xvi

DAFTAR GRAFIK ..................................................................................................... xvii

DAFTAR TABEL ...................................................................................................... xviii

DAFTAR PETA ............................................................................................................ xix

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 6

1.3 Pertanyaan Penelitian .......................................................................................... 7

1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................................. 8

1.4.1 Tujuan Umum .............................................................................................. 8

1.4.2 Tujuan Khusus ............................................................................................. 8

1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................................... 9

1.5.1 Bagi Penelitian Selanjutnya ......................................................................... 9

1.5.2 Bagi Dinas Kesehatan Provinsi Banten ....................................................... 9

1.5.3 Bagi Masyarakat......................................................................................... 10

1.6 Ruang Lingkup .................................................................................................. 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 11

2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) .......................................................... 11

Page 14: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

xiii

2.2 Klasifikasi ISPA pada Balita ............................................................................. 12

2.3 Mekanisme Terjadinya ISPA ............................................................................ 13

2.4 Faktor Risiko ISPA ........................................................................................... 15

2.4.1 Faktor Individu ........................................................................................... 15

2.4.2 Faktor Lingkungan Fisik ............................................................................ 20

2.4.3 Faktor Lingkungan Sosial Ekonomi........................................................... 30

2.5 Program Penanggulangan ISPA ........................................................................ 35

2.6 Analisis Spasial ................................................................................................. 38

2.7 Kerangka Teori .................................................................................................. 39

BAB III KERANGKA KONSEP .................................................................................. 42

3.1 Kerangka Konsep .............................................................................................. 42

3.2 Definisi Operasional .......................................................................................... 44

BAB IV METODOLOGI .............................................................................................. 47

4.1 Desain Penelitian ............................................................................................... 47

4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian ............................................................................. 47

4.3 Populasi Penelitian ............................................................................................ 47

4.4 Manajemen Data ................................................................................................ 47

4.4.1 Pengumpulan Data ..................................................................................... 47

4.4.2 Pengolahan Data......................................................................................... 48

4.5 Instrumen Penelitian .......................................................................................... 50

4.6 Analisis Data ..................................................................................................... 51

BAB V HASIL ................................................................................................................ 52

5.1 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Wilayah

Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 .................................... 52

5.2 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Berdasarkan Faktor Lingkungan Fisik Di

Provinsi Banten Tahun 2011-2015.................................................................... 58

5.2.1 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Jenis Lantai

Rumah Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 .......................... 58

Page 15: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

xiv

5.2.2 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Jenis

Dinding Rumah Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ............ 61

5.2.3 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Jenis Bahan

Bakar Memasak Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ............ 64

5.2.4 Distribusi Frekuensi Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan

Kepadatan Ternak Unggas di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ............ 70

5.2.5 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Jumlah

Industri di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 .......................................... 73

5.3 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Faktor

Lingkungan Sosial Ekonomi Di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ................ 76

5.3.1 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Jenis

Pekerjaan Di Provinsi Banten Tahun 2011-2014 ...................................... 76

5.3.2 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Kemiskinan

Di Provinsi Banten Tahun 2011-2014 ....................................................... 79

BAB VI PEMBAHASAN ............................................................................................... 82

6.1 Keterbatasan Penelitian ..................................................................................... 82

6.2 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Wilayah

Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 .................................... 82

6.3 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Faktor

Lingkungan Fisik Di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ................................. 86

6.3.1 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Jenis Lantai

Rumah Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 .......................... 86

6.3.2 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Jenis

Dinding Rumah Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ............ 90

6.3.3 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Jenis Bahan

Bakar Memasak Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ............ 93

6.3.4 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Kepadatan

Ternak Unggas di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 .............................. 96

6.3.5 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Jumlah

Industri di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 .......................................... 98

6.4 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Faktor

Lingkungan Sosial Ekonomi Di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 .............. 100

Page 16: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

xv

6.4.1 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Jenis

Pekerjaan Di Provinsi Banten Tahun 2011-2014 .................................... 100

6.4.2 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Kemiskinan

Di Provinsi Banten Tahun 2011-2014 ..................................................... 104

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 107

7.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 107

7.2 Saran ................................................................................................................ 109

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 111

LAMPIRAN .................................................................................................................. 124

Page 17: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

xvi

DAFTAR BAGAN

DAFTAR BAGAN

Bagan 2. 1 Kerangka Teori .............................................................................................. 41

Bagan 3. 1 Kerangka Konsep ........................................................................................... 43

Page 18: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

xvii

DAFTAR GRAFIK

DAFTAR GRAFIK

Grafik 5. 1 Distribusi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Wilayah Kabupaten/Kota

di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ............................................................ 52

Grafik 5. 2 Insidens ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Wilayah Kabupaten/Kota

di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ............................................................ 54

Page 19: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

xviii

DAFTAR TABEL

DAFTAR TABEL Tabel 2. 1 Kategori Status Gizi Pada Balita .................................................................................. 16

Tabel 2. 2 Perbandingan Jumlah Kamar dan Penghuninya........................................................... 24

Tabel 3. 1 Definisi Operasional .................................................................................................... 44

Tabel 4. 1 Daftar Variabel, Instrument, dan Instansi Data Sekunder Penelitian .......................... 50

Page 20: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

xix

DAFTAR PETA

DAFTAR PETA

Peta 5. 1 Distribusi Insidens Penyakit ISPA Pnemonia Pada Balita Berdasarkan Wilayah

Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 .................................... 56

Peta 5. 2 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis

Lantai Rumah di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ........................................ 59

Peta 5. 3 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis

Dinding Rumah di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ..................................... 62

Peta 5. 4 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis

Bahan Bakar Memasak di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ......................... 65

Peta 5. 5 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis

Lantai Kayu, Jenis Dinding Kayu, dan Jenis Bahan Bakar Kayu di Provinsi

Banten Tahun 2011-2015 .................................................................................. 68

Peta 5. 6 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan

Kepadatan Ternak Unggas di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 .................... 71

Peta 5. 7 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan

Kepadatan Industri di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ................................ 74

Peta 5. 8 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis

Pekerjaan di Provinsi Banten Tahun 2011-2014 ............................................... 77

Peta 5. 9 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan

Kemiskinan Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2014 .......................... 80

Page 21: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

1

BAB I

PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) masih menjadi masalah

kesehatan utama di dunia. Penyakit ini menjadi penyebab utama morbiditas dan

mortalitas penyakit infeksi di seluruh dunia (WHO, 2014) dengan angka kejadian

sebesar 18,8 miliar kasus dan jumlah kematian sebesar 4 juta orang setiap tahunnya

(WHO, 2015). Secara global, ISPA menjadi penyebab ke-7 terbesar dari terjadinya

kematian terkait lingkungan (WHO, 2016). Penyakit ini terjadi di seluruh wilayah

mulai dari negara miskin, negara berkembang sampai negara maju. Seperti di

wilayah Sub Sahara Afrika, China, dan Australia dimana penyebab utama kunjungan

masyarakat ke pelayanan kesehatan adalah ISPA (Jary, et al., 2015, Juan, et al.,

2014, Clucas, et al., 2008). Selama tahun 2015, jumlah kematian akibat ISPA

tertinggi terjadi di wilayah Afrika, yang selanjutnya diikuti oleh Asia Tenggara

(WHO, 2016).

Infeksi Saluran Pernapasan Akut dapat dikategorikan menjadi 2 jenis yaitu

infeksi saluran pernapasan atas dan infeksi saluran pernapasan bawah (Simoes et al,

2006). Pneumonia merupakan salah satu dari jenis infeksi saluran pernapasan bawah

dan telah menjadi perhatian serius, karena merupakan penyebab utama dari kematian

Page 22: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

2

balita terutama di negara berkembang dengan 3 juta kematian setiap tahunnya

(WHO, 2015).

Balita merupakan kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap

penyakit ISPA. Sepanjang tahun 2015, pneumonia telah menyebabkan 5,9 juta balita

meninggal dunia (WHO, 2016). Hal ini menjadikan ISPA pneumonia menjadi

penyebab terbesar atas kematian anak di seluruh dunia, terutama di wilayah Asia

Tenggara dan Sub Sahara Afrika (WHO, 2015) dengan perkiraan jumlah kematian

sebesar 51 % (Dawood, 2012).

Di wilayah Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara dengan jumlah

kematian akibat ISPA tertinggi yaitu sebesar 25.000 jiwa selama tahun 2015,

kemudian diikuti oleh Philipina, Myanmar, Vietnam, Laos, dan Kamboja (WHO,

2016). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional tahun 2013 period

prevalence ISPA pneumonia di Indonesia sebesar 2,7 % yang mengalami

peningkatan dari hasil sebelumnya pada tahun 2007 yaitu sebesar 2,1 % (Kemenkes

RI, 2013). Bahkan, pneumonia sempat menjadi penyebab terbesar kematian bayi

yang terjadi di 10 provinsi di Indonesia pada tahun 2005, yaitu sebesar 22,30 % dari

seluruh kematian bayi (Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2012). Sehingga penyakit

ISPA pneumonia menjadi pembunuh balita nomor satu di Indonesia dengan

perkiraan kematian sebesar 80-90% (Dinas Kesehatan Tangerang Selatan, 2014).

Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013 Provinsi Banten masuk kedalam 10

provinsi dengan ISPA tertinggi di Indonesia, dimana periode prevalence ISPA

pneumonia pada balita sebesar 19,3 permil dan telah melebihi angka Indonesia yaitu

Page 23: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

3

18,5 permil (Kemenkes RI, 2013). Sementara itu, berdasarkan hasil Riskesdas

Banten tahun 2007 rasio prevalensi pneumonia klinis sebulan terakhir adalah lebih

dari 1 per 10 dari prevalensi klinis ISPA (Depkes RI, 2009 & 2013). Penyakit

Pneumonia pada balita di Provinsi Banten cenderung mengalami fluktuasi, dimana

pada tahun 2009 terdapat 13.098 kasus (1,6 %), kemudian mengalami peningkatan

pada tahun 2010 menjadi 35.767 kasus (2,6 %), tahun 2011 mengalami penurunan

kembali menjadi 20.475 kasus (1,8 %), dan terjadi lagi peningkatan yang cukup

tinggi pada tahun 2012 menjadi 116.906 kasus (10,8%). Dan setiap tahun ISPA

selalu menjadi urutan pertama dari 10 penyakit terbanyak yang terjadi di Provinsi

Banten (Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2011, 2012, 2013).

Salah satu indikator yang ingin dicapai pada Millenium Development Goals

(MDGs) adalah menurunkan angka kematian bayi dan balita. Namun berdasarkan

hasil pencapaian MDGs 2000-2015 indikator tersebut tidak tercapai di Indonesia dan

hingga kini masih menjadi masalah yang dibutuhkan kerja keras untuk mengatasinya

(Kemenkes RI, 2015). Karena ISPA pneumonia merupakan penyebab utama

kematian pada bayi dan balita di Indonesia, maka penanggulangan dan

pemberantasan penyakit ISPA pneumonia sangat diperlukan sebagai upaya

pencapaian indikator tersebut. Perencanaan program pemberantasan penyakit ISPA

harus dibentuk secara baik, dan berdasarkan pedoman pelaksanaan Sustainable

Development Goals (SDGs) di Indonesia bahwa peran pemerintah provinsi menjadi

kekuatan dasar dalam mewujudkan indikator yang ingin dicapai (Kemenkes RI,

2015), maka perencanaan program pemberantasan penyakit ISPA terutama

Page 24: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

4

pneumonia di tingkat Provinsi perlu dibuat dengan melakukan analisis situasi

penyakit yang sedang terjadi, mulai dari jumlah kasus, distribusi, serta karakteristik

dan faktor yang berkontribusi terhadap situasi penyakit tersebut.

Berbagai hasil penelitian menyatakan bahwa kondisi lingkungan pada

kelompok masyarakat di suatu wilayah merupakan penyebab dari terjadinya penyakit

ISPA. Keberadaan sumber-sumber pencemaran udara seperti gas buang kendaraan

bermotor, industri (Wardhani et al, 2010), pemeliharaan ternak di sekitar tempat

tinggal (Herawati & Sukoco, 2011) dapat menciptakan kondisi lingkungan udara

yang buruk dan merupakan faktor utama penyebab penyakit ISPA. Selain itu faktor

lingkungan dalam rumah juga menjadi faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya

penyakit ISPA (Shibata et al, 2014), seperti kondisi dinding rumah (Soesanto, Lubis,

& Atmosukarto, 2000), lantai rumah, sampai dengan penggunaan bahan-bahan yang

dapat menimbulkan pencemaran udara di dalam rumah seperti obat nyamuk bakar

(Yulianti, Setiani, & Hanani, 2012) dan bahan bakar memasak (Acharya, Mishra, &

Beckhoff, 2014) berperan dalam terjadinya penyakit ISPA. Bahkan faktor sosial dan

ekonomi masyarakat seperti kepadatan penduduk (Breiman, et al., 2015), pendapatan

(Prakash, 2014), dan pekerjaan (Cohen, 2006) juga ikut mempengaruhi kejadian

penyakit ISPA. Berbagai pencemaran udara tersebut dapat menimbulkan penyakit

ISPA dan dapat memperberat kondisi seseorang yang sudah menderita ISPA

terutama pneumonia pada Balita (Ditjen P2PL, 2012)

Untuk melihat gambaran situasi penyakit ISPA beserta faktor-faktor yang

mempengaruhinya di Provinsi Banten, maka pemetaan distribusi penyakit ISPA

Page 25: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

5

dengan menggunakan analisis spasial dapat sangat membantu menghadirkan

informasi tersebut secara lebih baik. Analisis spasial merupakan analisis data yang

dilakukan terhadap data spasial (data yang berorientasi keruangan), yang dapat

dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). Sistem Informasi

Geografis adalah sebuah sistem yang mampu membangun, memanipulasi dan

menampilkan informasi yang memiliki referensi geografis (Ramadona & Kusnanto,

2012). Analisis spasial menggunakan SIG memiliki keunggulan dibandingkan hanya

menggunakan analisis data tabular, karena memungkinkan untuk melihat,

memahami, menginterpretasi dan menampilkan data spasial dalam banyak cara, yang

memperlihatkan hubungan, pola dan trend secara spasial, dalam bentuk peta, globe,

laporan dan grafik (Marjuki, 2014).

Penggunaan analisis spasial terhadap suatu populasi di wilayah yang luas

merupakan langkah awal dalam menggambarkan situasi penyakit beserta

karakteristik yang melekat di wilayah tersebut. Analisis ini dapat sangat membantu

pemerintah dan petugas kesehatan di Provinsi Banten dalam mengetahui pola

distribusi penyakit ISPA pneumonia dan faktor-faktor yang menyertainya secara

lebih jelas. Dengan mengetahui pola distribusi penyakit dan kemungkinan

penyebabnya maka akan lebih mudah bagi petugas dalam melakukan perencanaan

upaya penanggulangan dan pencegahan penyakit ISPA pneumonia secara lebih

efektif, berbasis komunitas, ataupun mempermudah dalam merancang

pengembangan program penanggulangan selanjutnya (Ramadona & Kusnanto,

Page 26: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

6

2012), data yang ditampilkan pun mudah dipahami dan hasilnya mudah

disebarluaskan (Marjuki, 2014).

Analisis spasial penyakit ISPA pneumonia di Provinsi Banten mampu

menghadirkan peta distribusi penyakit dalam kurun waktu tertentu sehingga dapat

diketahui perkembangan penyakit yang terjadi. Maka dengan mengetahui informasi

tersebut dapat membantu membangun hipotesis terkait faktor risiko penyakit ISPA

pneumonia untuk kemudian merencanakan program penanggulangan secara efektif

dan tepat sasaran. Dengan demikian peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai analisis spasial penyakit ISPA pneumonia pada balita di Provinsi Banten

tahun 2011-2015.

1.2 Rumusan Masalah

Penyakit ISPA pneumonia merupakan pembunuh nomor satu balita di

Indonesia dengan estimasi kematian sebesar 80-90%. Sejak tahun 2011-2013

penyakit ini menjadi 10 penyakit terbanyak yang diderita oleh masyarakat di

Provinsi Banten. Bahkan Provinsi Banten termasuk kedalam 10 Provinsi dengan

kasus ISPA terbesar di Indonesia. Situasi tersebut dimungkinkan menjadi salah satu

penyebab dari tidak tercapainya salah satu indikator MDGs 2000-2015 yaitu

menurunkan angka kematian bayi dan balita. Sehingga pada perencanaan SDGs

indikator tersebut masih dimasukkan sebagai salah satu indikator yang harus dicapai

dengan kerja keras.

Untuk membuat perencanaan program penanggulangan penyakit ISPA secara

tepat sebagai salah satu upaya mencapai indikator SDGs, maka perlu diketahui

Page 27: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

7

informasi frekuensi kejadian penyakit ISPA pneumonia pada balita beserta faktor

yang memiliki kecenderungan ke arah positif dengan penyakit tersebut secara lebih

baik di tingkat provinsi, termasuk Provinsi Banten. Informasi tersebut dapat

dihasilkan secara lebih baik dengan membuat pemetaan distribusi penyakit ISPA

pneumonia menggunakan Sistem Informasi Geografis. Dengan demikian, peneliti

ingin mengangkat permasalahan ISPA pneumonia pada balita di Provinsi Banten

beserta faktor-faktor yang memiliki kecenderungan ke arah positif dengan penyakit

ISPA pneumonia pada balita menggunakan analisis spasial.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana distribusi dan frekuensi kejadian penyakit ISPA pneumonia pada

balita berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2011-2015?

2. Bagaimana distribusi dan frekuensi kejadian penyakit ISPA pneumonia pada

balita dilihat dari faktor lingkungan fisik (jenis lantai rumah, jenis dinding

rumah, jenis bahan bakar memasak, kepadatan ternak unggas, dan kepadatan

industri) berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2011-

2015?

3. Bagaimana distribusi dan frekuensi kejadian penyakit ISPA pneumonia pada

balita dilihat dari faktor lingkungan sosial ekonomi (jenis pekerjaan dan

kemiskinan) berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2011-

2015?

Page 28: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

8

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Diketahuinya distribusi dan frekuensi kejadian penyakit ISPA

pneumonia pada balita secara spasial dilihat dari faktor lingkungan

berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2011-2015.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Diketahuinya distribusi dan frekuensi kejadian penyakit ISPA pneumonia

pada balita berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun

2011-2015.

2. Diketahuinya distribusi dan frekuensi kejadian penyakit ISPA pneumonia

pada balita dilihat dari faktor lingkungan fisik (jenis lantai rumah, jenis

dinding rumah, jenis bahan bakar memasak, kepadatan ternak unggas, dan

kepadatan industri) berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi

Banten tahun 2011-2015.

3. Diketahuinya distribusi dan frekuensi kejadian penyakit ISPA pneumonia

pada balita dilihat dari faktor lingkungan sosial ekonomi (jenis pekerjaan

dan kemiskinan) berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten

tahun 2011-2015.

Page 29: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

9

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Penelitian Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi berkaitan

dengan distribusi dan frekuensi penyakit ISPA pneumonia pada balita

berdasarkan faktor-faktor lingkungan yang memiliki kecenderungan ke arah

positif ataupun negatif dengan kejadian ISPA pneumonia pada balita tersebut.

Hasil penelitian ini juga dapat membantu penelitian selanjutnya dalam

mengetahui lokasi wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten selama tahun

2011-2015 yang paling bermasalah, sehingga dapat membantu dalam

menentukan lokasi penelitian selanjutnya.

1.5.2 Bagi Dinas Kesehatan Provinsi Banten

Dapat dijadikan sebagai sumber informasi untuk mengetahui frekuensi

kejadian penyakit ISPA pneumonia pada balita di masing-masing wilayah

kabupaten/kota, kemudian mengetahui letak wilayah kabupaten/kota yang

memiliki frekuensi penyakit ISPA pneumonia pada balita tertinggi atau

wilayah yang paling bermasalah dan faktor-faktor yang memiliki

kecenderungan ke arah positif ataupun negatif terhadap penyakit tersebut di

Provinsi Banten tahun 2011-2015. Sehingga dapat dijadikan salah satu dasar

informasi dalam membuat keputusan selanjutnya yang berkaitan dengan

perencanaan program penanggulangan penyakit ISPA di Provinsi Banten.

Page 30: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

10

1.5.3 Bagi Masyarakat

Dapat dijadikan sumber informasi untuk menambah pengetahuan

masyarakat tentang distribusi dan frekuensi penyakit ISPA pneumonia pada

balita dan faktor-faktor yang memiliki kecenderungan ke arah positif ataupun

negatif dengan penyakit tersebut yang terjadi di Provinsi Banten.

1.6 Ruang Lingkup

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui frekuensi dan memetakan

distribusi penyakit ISPA pneumonia pada balita dan faktor lingkungan yang

memiliki kecenderungan ke arah positif ataupun negatif dengan penyakit tersebut

seperti faktor lingkungan fisik (jenis lantai rumah, jenis dinding rumah, jenis bahan

bakar memasak, kepadatan ternak unggas, dan kepadatan industri) dan faktor

lingkungan sosial ekonomi (jenis pekerjaan dan kemiskinan) di Provinsi Banten.

Penelitian ini dilakukan pada Bulan Juli-Desember 2016 di wilayah Provinsi

Banten. Disain studi penelitian ini adalah ecological study dengan pendekatan

Sistem Informasi Geografis (SIG), sehingga akan dihasilkan peta distribusi kejadian

penyakit ISPA pneumonia pada balita beserta faktor-faktor yang memiliki

kecenderungan ke arah positif ataupun negatif dengan penyakit tersebut di Provinsi

Banten. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang

diperoleh dari Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Provinsi Banten Tahun 2011-2015

dan Laporan Banten Dalam Angka oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Banten Tahun

2012-2016.

Page 31: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan infeksi yang menyerang

saluran pernapasan baik itu saluran pernapasan atas ataupun saluran pernapasan

bawah. Saluran pernapasan atas dimulai dari bagian lubang hidung, pita suara,

laring, sinus paranasal, serta telinga tengah, dan saluran pernapasan bawah terdiri

dari trakea, bronkus, bronkiolus, dan alveoli (Simoes, et al., 2006). ISPA yang

terjadi pada saluran pernapasan atas sering ditemui sebagai common cold, influenza,

sinusitis, tonsillitis, bahkan dapat meluas hingga menyebabkan otitis media.

Sementara ISPA yang menyerang saluran pernapasan bawah adalah bronchitis dan

pneumonia (Asih & Effendy, 2004).

ISPA pneumonia merupakan infeksi salurah pernafasan bawah atau biasa

disebut radang paru yang disebabkan oleh bakteri, dimana Streptococcus

pneumonia merupakan jenis bakteri penyebab utamanya (WHO, 2007). Selain

bakteri, fungi (Maryani dan Kristiana, 2004), virus (WHO, 2007), dan polutan

udara (WHO, 2009) juga merupakan agen penyebab penyakit ISPA pada umumnya,

dimana bukan hanya pajanan tunggal tetapi pajanan gabungan dari beberapa jenis

agen penyakit tersebut dapat menyebabkan terjadinya penyakit ISPA termasuk jenis

pneumonia.

Page 32: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

12

Walaupun penyakit ini menyerang saluran pernapasan, tetapi dampak yang

ditimbulkannya bersifat sistemik, sehingga dapat menyebabkan penyakit pada organ

dan sistem tubuh lainnya. Contoh dampak dari penyakit ISPA yang tidak

ditanggulangi adalah timbulnya penyakit berbahaya lainnya seperti penyakit difteri,

pertussis, dan campak (Simoes, et al., 2006). Penyakit ini menjadi penyebab utama

dari buruknya status kesehatan dan kematian pada anak-anak (WHO, 2009).

2.2 Klasifikasi ISPA pada Balita

Menurut Program Pemberantasan Penyakit ISPA terdapat 2 golongan

klasifikasi penyakit ISPA yaitu pneumonia dan bukan pneumonia. Berdasarkan

derajat beratnya penyakit, pneumonia itu sendiri dibagi lagi menjadi pneumonia

berat dan pneumonia tidak berat (Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2012). Secara

lebih jelasnya Kementerian Kesehatan (2012) mengklasifikasikan penyakit ISPA

kedalam beberapa kelompok yaitu

1. Untuk kelompok usia 2 bulan sampai < 5 tahun, dibedakan dalam 3 klasifikasi,

antara lain:

- Pneumonia berat, ditandai dengan adanya batuk dan atau sukar bernapas,

serta adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing)

- Pneumonia, ditandai dengan adanya batuk dan atau sukar bernapas, napas

cepat sebanyak 50 kali atau lebih/menit untuk usia 2 bulan sampai < 1

tahun, 40 kali atau lebih/menit untuk usia 1 sampai < 5 tahun.

Page 33: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

13

- Bukan pneumonia, ditandai dengan adanya batuk dan atau sukar bernafas,

tidak ada napas cepat serta tidak adanya tarikan dinding dada bagian bawah

ke dalam.

2. Untuk usia < 2 bulan, klasifikasi terdiri dari:

- Pneumonia berat, ditandai dengan adanya batuk dan atau sukar bernapas,

napas cepat 60 kali atau lebih per menit atau tarikan kuat dinding dada

bagian bawah ke dalam

- Bukan pneumonia, ditandai dengan adanya batuk dan atau sukar bernapas,

tidak adanya napas cepat dan tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah

ke dalam.

2.3 Mekanisme Terjadinya ISPA Pneumonia

Dalam mekanisme atau proses terjadinya penyakit ISPA pneumonia,

terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu sumber keberadaan agen

penyebab, wahana lingkungan sebagai media penularan, kontak atau pajanan

terhadap host, dan kemampuan tubuh untuk melakukan metabolisme agen yang

telah masuk untuk menentukan kondisi sakit atau tidak sakit, yang dikenal dengan

Teori Simpul (Anies, 2006).

Sumber agen pada penyakit ISPA dapat berupa bakteri, virus, atau polutan

udara. Sumber agen berupa bakteri dan virus dapat berasal dari lingkungan rumah

yang tidak baik, atau dapat berasal dari orang lain yang menderita penyakit ISPA

pneumonia, sementara agen berupa polutan udara dapat bersumber dari aktivitas

manusia didalam rumah seperti memasak, merokok, menggunakan obat nyamuk

Page 34: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

14

bakar, atau aktivitas manusia di luar rumah yang menyebabkan timbulnya emisi

kendaraan, emisi pabrik, gas buang dari tempat sampah atau kandang ternak yang

selanjutnya akan memasuki lingkungan udara.

Percikan air liur merupakan media bagi agen penyakit untuk dapat

menularkan penyakit ini (Depkes RI, 2009). Dalam proses penularannya, penyakit

ini dapat terjadi akibat terpapar oleh agen penyebabnya baik terjadi kontak langsung

antar permukaan badan dan perpindahan mikro-organisme dari orang yang

terinfeksi ke orang sehat yang rentan, maupun melalui benda perantara yang

terkontaminasi (terkena percikan air liur penderita) dan memindahkan agen

penyebabnya, cara ini dikenal dengan transmisi kontak.

Selain transmisi kontak, penularan penyakit ini juga dapat terjadi melalui

transmisi droplet. Terjadinya batuk, bersin, dan berbicara dari orang yang terinfeksi

merupakan sumber droplet agen penyebab ISPA pneumonia. Droplet yang

mengandung mikroorganisme penyebab ISPA jika tersembur dalam jarak dekat (<

1m) melalui udara dan terdeposit di mukosa mata, mulut, hidung, tenggorokan, atau

faring orang lain maka selanjutnya agen tersebut akan menyerang sistem

pernapasan manusia. (WHO, 2007). Pada fase ini maka agent penyakit telah masuk

ke dalam tubuh host.

Agen yang telah masuk akan memicu timbulnya reaksi oleh tubuh host. Jika

masih berada dalam saluran pernapasan atas maka akan menimbulkan reaksi berupa

peradangan yang memicu terjadinya gejala ringan yang diawali dengan panas atau

demam, tenggorokan sakit, nyeri telan, pilek, dan batuk (Kemenkes RI, 2013). Jika

telah memasuki saluran pernapasan yang lebih dalam, maka agen dapat menyerang

Page 35: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

15

paru-paru dan menyebabkan timbulnya nanah (pus) dan cairan yang memenuhi

alveoli, sehingga terjadi sesak napas, mengi, atau kesulitan bernapas (WHO, 2007)

karena kesulitan dalam penyerapan oksigen. Hal ini menyebabkan berkurangnya

kemampuan paru-paru untuk mengembang sehingga tubuh bereaksi dengan adanya

pernapasan yang cepat untuk menghindari terjadinya hipoksia. Jika keadaan ini

semakin memburuk, paru akan bertambah kaku dan timbul tarikan dinding dada

bagian bawah ke dalam. Pada fase ini maka host telah berada pada kondisi sakit

ISPA pneumonia. Jika hipoksia atau sepsis (infeksi menyeluruh) terjadi, dapat

berisiko untuk terjadinya kematian (Kemenkes RI, 2012).

2.4 Faktor Risiko ISPA Pneumonia

Terjadinya penyakit ISPA pneumonia dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik

itu dari individu itu sendiri maupun dari lingkungan disekitarnya seperti lingkungan

fisik dan sosial ekonomi. Faktor-faktor tersebut antara lain,

2.4.1 Faktor Individu

a. Usia

Kelompok usia tertentu memiliki kerentanan yang lebih tinggi

untuk terserang penyakit ISPA (WHO, 2007). Salah satu yang paling

rentan terhadap berbagai masalah kesehatan termasuk ISPA pneumonia

adalah balita dan anak-anak (Ditjen P2PL, 2012), karena pada masa

tersebut sistem kekebalan tubuh mereka masih belum sebaik orang

dewasa (Hafid et al, 2013). Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka

Page 36: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

16

mortalitas dan morbiditas pada balita terutama di negara berkembang

yang penyebab utamanya adalah penyakit ISPA (Mirji, et al, 2015).

b. Status gizi

Status gizi adalah suatu keadaan kesehatan tubuh yang

dipengaruhi oleh asupan zat gizi yang diperoleh melalui makanan dan

minuman yang dihubungkan dengan kebutuhan (Sutomo & Anggraini,

2010). Status gizi anak usia dibawah lima tahun merupakan indikator

kesehatan publik yang secara international dikenal untuk memonitor

kesehatan dan status gizi penduduk (LPEM FEUI, 2010). Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia menetapkan kategori dan ambang batas

yang dapat digunakan untuk menentukan status gizi anak berdasarkan

indeks sebagai berikut

Tabel 2. 1

Kategori Status Gizi Pada Balita

Sumber: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010

Page 37: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

17

Status gizi dapat sangat menentukan kerentanan seseorang untuk

menderita penyakit tertentu, termasuk ISPA (WHO, 2007). Seseorang

dengan status gizi yang rendah akan memiliki sistem kekebalan tubuh

yang rendah, sehingga akan lebih mudah terserang berbagai penyakit. Hal

ini sesuai dengan hasil penelitian Pore, Ghattargi, & Rayate (2010) yang

menyatakan bahwa status gizi berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada

balita, dimana 5,17 kali lebih tinggi risiko balita untuk terkena ISPA jika

berada pada kondisi gizi kurang. Mairuhu, Birawida, & Manyullei (2008)

dalam penelitiannya juga menyatakan terdapat hubungan antara status

gizi dengan kejadian ISPA, dimana terdapat sebesar 94,1% balita dengan

gizi kurang menderita penyakit ISPA. Balita merupakan kelompok rentan

terhadap berbagai masalah kesehatan sehingga apabila kekurangan gizi

maka akan sangat mudah terserang infeksi termasuk ISPA pneumonia

(Ditjen P2PL, 2012).

c. ASI eksklusif

ASI eksklusif atau pemberian ASI secara eksklusif adalah

pemberian ASI (air susu ibu) sedini mungkin setelah persalinan,

diberikan tanpa jadwal dan tidak diberi makanan lain baik itu tambahan

cairan lain seperti air putih, susu formula, jeruk, madu, air teh, maupun

tambahan makanan padat seperti pisang, papaya, bubur susu, biskuit,

bubur nasi, dan tim, sampai bayi berumur 6 bulan. Setelah 6 bulan, bayi

mulai dikenalkan dengan makanan lain dan tetap diberikan ASI sampai

Page 38: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

18

bayi berumur dua tahun atau bahkan lebih (Purwanti, 2004 & Roesli,

2001).

ASI eksklusif dapat memberikan manfaat yang sangat besar untuk

kesehatan anak karena kandungan gizinya yang sangat baik. Anak yang

mendapatkan ASI eksklusif akan memiliki kekebalan tubuh yang baik,

sehingga tubuhnya akan lebih mampu dalam menangkal berbagai agen

penyakit yang kontak atau masuk ke dalam tubuh. Sebaliknya anak yang

tidak mendapatkan ASI eksklusif akan memiliki kekebalan tubuh yang

lebih rendah, sehingga akan mudah terserang penyakit seperti ISPA

pneumonia. Hal ini sesuai dengan penelitian Mirji et al (2015) yang

menyatakan bahwa ASI eksklusif berhubungan dengan kejadian ISPA,

dimana semakin sedikit durasi ibu memberikan ASI, semakin besar risiko

balita untuk terserang penyakit ISPA. Bhat & Manjunath (2013) dalam

penelitiannya di India juga menemukan bahwa balita yang mendapatkan

ASI dalam periode waktu yang tidak memenuhi standar lebih berisiko

3,01 kali lebih besar untuk terkena ISPA pada saluran pernapasan bawah.

Hasil penelitian Sugihartono & Nurjazuli (2012) juga menyatakan bahwa

balita yang mengkonsumsi ASI tanpa cairan lainnya kurang enam bulan

berisiko 8,958 kali lebih besar menderita pneumonia dibandingkan

dengan balita yang mengkonsumsi ASI tanpa cairan lainnya lebih atau

sama dengan enam bulan.

Page 39: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

19

d. Status Imunisasi

Imunisasi adalah memasukkan sesuatu (agen penyakit) ke dalam

tubuh untuk membentuk kekebalan terhadap suatu penyakit agar tubuh

tahan terhadap penyakit yang sedang mewabah atau berbahaya bagi

seseorang. Pemberian imunisasi bertujuan untuk melindungi bayi dan

anak yang masih sangat rentan dari penyakit yang bisa menyebabkan

kesakitan, kecacatan, bahkan kematian karena imunitas tubuhnya masih

rendah (Hafid et al, 2013).

Pemberian imunisasi pada balita dapat menurunkan risiko untuk

terkena ISPA terutama pneumonia. Imunisasi tersebut terdiri dari

imunisasi pertussis (DTP), campak, haemophilus influenza (Hib), dan

pneumokokus (PCV). Hasil penelitian di Amerika Serikat menunjukkan

bahwa penurunan bermakna kejadian pneumonia pada anak dan

keluarganya terutama para lansia terjadi setelah penggunaan vaksin

secara rutin pada bayi. Hasil penelitian di Gambia (Afrika) menemukan

bahwa setelah pemberian imunisasi PCV 9 terjadi penurunan kasus

pneumonia sebesar 37 %, pengurangan penderita yang harus dirawat di

rumah sakit sebesar 15 %, dan pengurangan kematian pada anak sebesar

16 % (Kartasasmita, 2010).

Di Indonesia imunisasi masuk kedalam program upaya penurunan

angka morbiditas dan mortalitas pada balita, termasuk yang diakibatkan

oleh ISPA. Imunisasi pertussis (DPT) dan campak masuk kedalam

imunisasi dasar wajib bagi balita bersama dengan imunisasi BCG dan

Page 40: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

20

Polio (Hidayat, 2008). Sementara imunisasi haemophilus influenza (Hib)

dan pneumokokus (PCV) termasuk imunisasi yang dianjurkan (Said,

2010) dan merupakan salah satu alternatif dalam pencegahan pneumonia

(Weber & Handy, 2010).

Program imunisasi tersebut berpengaruh terhadap kejadian ISPA

pada balita. Hasil penelitian Nasution et al (2009) menyatakan bahwa

terdapat hubungan antara imunisasi dengan kejadian ISPA. Prajapati, et al

(2012) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa kejadian ISPA lebih

banyak terjadi pada balita yang tidak mendapatkan imunisasi

dibandingkan yang telah diimunisasi. Lebih lanjut Fanada (2012)

menemukan bahwa balita yang status imunisasinya tidak lengkap

memiliki risiko 7,6 kali untuk terkena penyakit pneumonia dibandingkan

dengan balita yang status imunisasinya lengkap.

2.4.2 Faktor Lingkungan Fisik

2.7.2.1 Lingkungan Fisik Dalam Rumah

a. Luas ventilasi

Ventilasi udara dapat menciptakan hawa ruangan tetap segar

karena pertukaran udara yang cukup menyebabkan ruangan mengandung

oksigen yang cukup. Jendela yang memadai merupakan salah satu bentuk

ventilasi udara yang harus ada dalam sebuah rumah. Luas jendela secara

keseluruhan kurang lebih 15 % dari luas lantai. Susunan ruangan juga

harus diatur sedemikian rupa sehingga udara dapat mengalir bebas jika

Page 41: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

21

jendela dan pintu dibuka (Chandra, 2007). Kementerian Kesehatan

mengatur luas ventilasi dalam sebuah hunian atau rumah sebaiknya

adalah sebesar 10% dari luas lantai (Kemenkes RI, 1999).

Agen penyebab penyakit ISPA seperti bakteri maupun virus

memiliki lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan

hidupnya, dimana kondisi yang lembab merupakan salah satunya.

Kelembaban dipengaruhi oleh suhu, pergerakan udara, dan cahaya

matahari. Rumah yang memiliki sedikit ventilasi akan menyebabkan

kurangnya intensitas cahaya yang masuk, pergerakan udara, dan suhu

yang rendah, sehingga akan menciptakan kondisi lingkungan yang

kondusif bagi agen penyakit ISPA. Hal ini menyebabkan seseorang yang

tinggal di rumah dengan luas ventilasi yang kurang atau tidak sesuai akan

lebih mudah untuk terserang penyakit ISPA termasuk pneumonia (Ditjen

P2PL, 2012).

Hasil penelitian Prajapati, Talsania, & Sonaliya (2011) di India

menunjukkan bahwa luas ventilasi rumah memiliki hubungan yang

signifikan dengan kejadian penyakit ISPA pada balita, dimana anak yang

menderita ISPA lebih banyak terjadi pada rumah dengan ventilasi yang

tidak mencukupi dibandingkan dengan rumah yang memiliki ventilasi

yang mencukupi. Hasil yang sama juga didapatkan oleh Goel et all

(2012) di India pada daerah yang berbeda bahwa prevalensi ISPA lebih

tinggi terjadi pada anak yang tinggal di rumah dengan ventilasi yang

Page 42: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

22

tidak mencukupi dibandingkan dengan rumah dengan ventilasi yang

mencukupi.

b. Jenis lantai

Jenis lantai berhubungan dengan kondisi kebersihan suatu rumah.

Berdasarkan kriteria rumah sehat sederhana (RSS) yang diterapkan di

Indonesia, suatu rumah harus memiliki lantai yang kering dan mudah

dibersihkan (Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002),

persyaratan tersebut dapat terpenuhi jika lantai rumah terbuat dari ubin

keramik (Chandra, 2007).

Hasil penelitian Geberetsadik, Worku, & Berhane (2015)

menunjukkan bahwa jenis lantai rumah berhubungan secara signifikan

dengan kejadian ISPA pada balita. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh

Pramudiyani & Prameswari (2011) juga menunjukkan bahwa kondisi

lantai menjadi salah satu faktor lingkungan rumah yang berhubungan

dengan kejadian penyakit pneumonia. Hal ini diperkuat dengan hasil

penelitian Wayangkau, Wambrauw, & Simanjuntak (2015) yang

menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara jenis

lantai rumah dengan kejadian ISPA, dimana anak yang tinggal dirumah

dengan jenis lantai tidak memenuhi syarat berisiko 3,538 kali lebih besar

untuk menderita ISPA dibanding dengan balita yang tinggal di rumah

dengan jenis lantai memenuhi syarat.

Page 43: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

23

c. Jenis dinding

Jenis dinding rumah sangat menentukan kualitas udara di dalam

rumah. Dinding rumah yang kurang baik seperti terdapat lubang dan

celah-celah ataupun terbuat dari material yang memungkinkan bagi

mikroorganisme untuk hidup dan berkembang biak akan memungkinkan

meningkatnya berbagai agen panyakit ISPA pneumonia seperti polutan

udara dan bakteri di dalam rumah. Sehingga jenis dinding tersebut akan

memberikan dampak pada lebih mudahnya seseorang untuk terserang

penyakit ISPA termasuk pneumonia. Oleh sebab itu sebuah rumah harus

memiliki persyaratan dinding yang terbuat dari conblock (Menteri

Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002) atau batu bata dan telah

diplester (Chandra, 2007).

Hasil penelitian Lubis, et al. (1996) menyatakan bahwa jenis

tembok berpengaruh terhadap proporsi balita yang sakit batuk dengan

napas cepat. Hasil penelitian Sikolia, et all (2002) juga menunjukkan

hasil yang serupa, bahwa jenis dinding rumah berpengaruh terhadap

kejadian penyakit ISPA pada balita, dimana balita yang tinggal di rumah

dengan kondisi dinding yang buruk memiliki risiko 1,13 kali lebih besar

untuk terkena penyakit ISPA dibanding dengan balita yang tinggal di

rumah dengan kondisi dinding yang telah diplester.

d. Kepadatan hunian rumah

Karena penyakit ISPA merupakan penyakit yang dapat ditularkan

melalui media udara dari satu penderita ke orang yang sehat, maka

Page 44: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

24

kepadatan hunian memiliki peran dalam terjadinya penyakit ini. Rumah

yang memiliki kepadatan hunian yang tinggi maka sirkulasi dan

pertukaran udara lebih rendah, juga memiliki kemungkinan lebih mudah

terserang penyakit jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit, karena

penularan kasus ISPA pneumonia akan lebih cepat apabila terjadi

pengumpulan massa (Ditjen P2PL, 2012).

Kepadatan hunian dapat dilihat dari jumlah ruangan atau kamar

beserta penghuninya. Ruang atau kamar diperhitungkan berdasarkan

jumlah penghuni atau jumlah orang yang tinggal bersama di dalam satu

rumah dengan persyaratan 5 m2 per orang (Chandra, 2007). Perbandingan

jumlah kamar dan penghuni dalam rumah dapat dilihat pada tabel

dibawah ini

Tabel 2. 2

Perbandingan Jumlah Kamar dan Penghuninya

Jumlah kamar Jumlah orang

1 2

2 3

3 5

4 7

5 10 Sumber: Chandra (2007)

Sementara itu Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (1999)

menetapkan standar luas ruang tidur minimal adalah 8 m2 dan tidak

dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang dalam satu ruangan, kecuali anak

di bawah umur 5 tahun.

Page 45: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

25

Hasil penelitian Taksande & Yeole (2016) menunjukkan bahwa

balita yang tinggal di lingkungan rumah dengan kepadatan hunian yang

tidak memenuhi syarat memiliki risiko 3,84 kali lebih tinggi untuk

terkena ISPA dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah dengan

kepadatan hunian yang memenuhi syarat. Fakunle, Ana, & Ayede (2014)

juga menemukan bahwa anak yang tinggal di rumah dengan kamar yang

dihuni lebih dari 2 orang memiliki 14 kali risiko yang lebih besar untuk

terkena ISPA dari pada anak yang tinggal di rumah dengan kamar yang

dihuni oleh kurang dari 2 orang.

e. Suhu dan kelembaban

Pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu agen penyakit ISPA

seperti bakteri dan virus akan lebih mudah untuk tumbuh dan

berkembang. Begitu pula pada jenis-jenis polutan udara tertentu yang

dapat bertahan atau bahkan bereaksi pada lingkungan dengan suhu dan

kelembaban tertentu. Oleh sebab itu sebaiknya suhu ruangan harus dijaga

tetap berkisar antara 18-20o C (Chandra, 2007) atau 18-30o C dan

kelembaban ruangan sebesar 40% - 70% (Kemenkes RI, 1999). Hasil

penelitian Choube, et all (2014) menemukan bahwa kelembaban rumah

merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi terjadinya

penyakit ISPA pada balita. Yuwono (2008) juga menemukan hasil yang

serupa bahwa balita yang tinggal di rumah dengan tingkat kelembaban

yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko 2.7 kali lebih besar untuk

Page 46: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

26

terkena pneumonia dari pada balita yang tinggal di rumah dengan tingkat

kelembaban yang memenuhi syarat.

f. Pencemaran udara dalam rumah

Salah satu agen penyebab penyakit ISPA adalah polutan udara.

Polutan udara ini dapat bersumber dari berbagai aktivitas manusia

didalam rumah, seperti aktivitas memasak, penggunaan obat nyamuk

bakar dan merokok. Rumah yang didalamnya masih menggunakan bahan

bakar fosil untuk memasak seperti kayu bakar atau minyak tanah akan

menghasilkan polutan udara yang lebih tinggi (Vanker, et al., 2015).

Sukar, et al (1996) dalam penelitiannya menemukan bahwa terdapat

hubungan yang signifikan antara ISPA dan tingkat pencemaran udara

karena kebiasaan ibu membawa bayi dan anak-anak mereka ketika

memasak didapur. Hasil penelitian lainnya di India (Rosdiana &

Hermawati, 2015) juga menunjukkan bahwa kejadian ISPA 4,312 kali

lebih berisiko pada balita yang di rumahnya menggunakan kayu bakar

untuk memasak dibandingkan dengan balita yang di rumahnya

menggunakan bahan bakar gas atau minyak tanah. Begitu pula pada

penelitian Wichman & Voyi (2006) yang menunjukkan bahwa terdapat

1,27 kali risiko yang lebih besar bagi anak untuk menderita pneumonia

bila tinggal di rumah yang menggunakan bahan bakar yang menimbulkan

pencemaran dibanding dengan yang menggunakan listrik atau gas.

Dalam penelitian Mairuhu, Birawida, & Manyullei (2008)

menyatakan bahwa penggunaan obat anti nyamuk memiliki hubungan

Page 47: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

27

yang signifikan dengan terjadinya penyakit ISPA pada balita, dimana

penderita ISPA lebih banyak terdapat di rumah yang masih menggunakan

obat nyamuk dibandingkan dengan rumah yang tidak menggunakan obat

nyamuk. Yulianti, Setiani, & Hanani (2012) juga menemukan bahwa

penggunaan obat nyamuk bakar merupakan faktor risiko kejadian

pneumonia pada balita, dimana balita yang tinggal di rumah dengan

menggunakan obat nyamuk bakar mempunyai risiko menderita

pneumonia 3,949 kali lebih besar dibandingkan dengan balita yang

tinggal di rumah dengan tidak menggunakan obat nyamuk bakar.

Begitu pula jika terdapat anggota keluarga yang merokok didalam

rumah, tentu asap rokok tersebut akan mengeluarkan berbagai bahan

pencemar udara yang dapat menyebabkan gangguan pada saluran

pernapasan jika terhirup. Seperti pada penelitian Bielska, et al., (2015)

yang menyatakan bahwa anak yang tinggal di dalam kondisi lingkungan

rumah yang terdapat polusi asap rokok akan lebih sering mengalami

penyakit ISPA. Winarni, Ummah, & Salim, (2010) juga menyatakan

bahwa jika salah satu anggota keluarga merokok di dalam rumah, maka

akan menyebabkan anggota keluarga lainnya terserang penyakit ISPA.

2.7.2.2 Lingkungan Fisik Luar Rumah

a. Suhu dan kelembaban

Suhu dan kelembaban merupakan salah satu faktor lingkungan

yang berpengaruh terhadap kejadian ISPA (WHO, 2007). Suhu dan

Page 48: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

28

kelembaban di lingkungan luar atau udara ambien dapat mempengaruhi

kondisi pencemaran udara. Syech, Sugianto, dan Anthika (2014) dalam

penelitiannya menyatakan bahwa suhu udara yang rendah dan

kelembaban udara yang tinggi menyebabkan konsentrasi zat pencemar

menjadi tinggi. Kondisi pencemaran udara ini dapat menyebabkan

lingkungan sekitar rumah menjadi rentan untuk menyebabkan penyakit

ISPA akibat adanya agen penyakit ISPA berupa polutan udara dan

mikroorganisme, bahkan bila kondisi fisik rumah memungkinkan,

polutan yang ada di lingkungan luar rumah dapat masuk ke dalam rumah.

b. Pencemaran udara ambien

Keberadaan polutan di udara ambien atau sekitar rumah menjadi

salah satu kondisi yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit ISPA

termasuk pneumonia. Polutan tersebut dapat berasal dari berbagai

aktivitas manusia, seperti penggunaan kendaraan bermotor, aktivitas

pabrik atau industri, memelihara ternak di sekitar tempat tinggal, sampai

aktivitas pembuangan sampah.

Hal ini dibuktikan dengan adanya hasil penelitian yang

menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara beberapa

jenis polutan udara dengan gangguan saluran pernapasan, antara lain SO2

dengan ISPA, SO2 dengan bronchitis, NO dengan bronchitis, dan NOx

dengan ISPA dimana sumber polutan tersebut dapat berasal dari

transportasi, industri, dan pembuangan limbah padat (Agustin, 2004).

Sugiarti (2008) juga menyatakan bahwa hasil aktivitas yang

Page 49: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

29

menggunakan sulfur dalam bahan bakar dan pelumas akan menghasilkan

emisi SOx yang dapat menyebabkan gangguan sistem pernapasan karena

menyerang selaput lendir pada hidung, tenggorokan, hingga paru-paru,

bahkan peradangan hebat dapat terjadi pada paparan yang lama. Hasil

penelitian Ardianto & Yudhastuti (2012) menyatakan bahwa lama tinggal

responden di kawasan industri berpengaruh terhadap kejadian ISPA,

dimana penduduk yang tinggal di kawasan industri ≥ 2 tahun berisiko

9,58 kali lebih tinggi untuk menderita ISPA dibandingkan yang belum

lama tinggal di kawasan industri.

Keberadaan ternak disekitar tempat tinggal juga memberikan

pengaruh terhadap kondisi lingkungan udara yang memicu timbulnya

ISPA. Penelitian Herawati dan Sukoco (2011) menyatakan bahwa

terdapat kecenderungan peningkatan risiko ISPA terhadap masyarakat

yang memelihara ternak, terutama pada mereka yang memelihara unggas

yang dikandangkan di dalam rumah. Hasil penelitian Yousef dan Hamed

(2016) terhadap anak-anak usia sekolah di Mesir menemukan bahwa

keberadaan sumber pencemar udara di dalam rumah seperti hewan

peliharaan, unggas, atau binatang pertanian dapat meningkatkan risiko

terjadinya ISPA.

Kualitas udara yang buruk juga dapat disebabkan oleh

pembuangan sampah. Penelitian Suhartini (2013) menemukan bahwa

udara di sekitar TPA mengandung mikroba penyebab ISPA yang terdiri

dari Streptococcus, Staphylococcus, Klebsiella, Corynebacterium,

Page 50: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

30

Aspergillus dan Candida, dimana semakin dekat dengan titik pusat TPA

maka jumlah mikroba semakin tinggi, dan semakin tinggi jumlah

populasi mikroba udara semakin tinggi pula kejadian ISPA.

Pencemaran udara tersebut dapat menimbulkan penyakit ISPA

dan dapat memperberat kondisi seseorang yang sudah menderita ISPA

terutama pneumonia pada Balita (Ditjen P2PL, 2012). Oleh sebab itu,

terdapat persyaratan lingkungan yang harus dipenuhi dari dibangunnya

sebuah rumah atau perumahan, yaitu letak perumahan harus jauh dari

sumber pencemaran dengan jarak minimal sekitar 5 Km dan memiliki

daerah penyangga atau daerah hijau (green belt) (Chandra, 2007).

2.4.3 Faktor Lingkungan Sosial Ekonomi

a. Kepadatan Penduduk

Kepadatan penduduk adalah angka yang menunjukkan rasio

banyaknya penduduk per kilometer persegi (Banten Dalam Angka, 2016).

Kepadatan penduduk merupakan salah satu kriteria dalam menentukan

prioritas wilayah dalam memberikan pelayanan kesehatan terutama

kesehatan lingkungan karena memiliki risiko kesehatan yang lebih tinggi

(Fauziah, 2006). Standar Nasional Indonesia mengkategorikan kepadatan

penduduk kedalam tiga kelompok yaitu, kepadatan penduduk rendah jika

<150 jiwa/ha, kepadatan penduduk sedang jika sama dengan 150-200

jiwa/ha, dan kepadatan penduduk tinggi jika >200 jiwa/ha.

Page 51: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

31

Kepadatan penduduk yang tinggi di suatu wilayah erat kaitannya

dengan kondisi lingkungan di wilayah tersebut. Wilayah yang memiliki

penduduk yang padat maka akan memiliki jarak antara satu rumah ke

rumah yang lain lebih dekat bahkan sempit, sehingga aktivitas yang

dilakukan oleh satu keluarga kemungkinan besar akan memberikan

pengaruh pada orang-orang disekitarnya, terutama aktivitas yang dapat

menyebabkan timbulnya penyakit ISPA termasuk pneumonia seperti

pencemaran udara yang dihasilkan dari kegiatan memasak terutama bila

masih menggunakan kayu bakar, aktivitas merokok anggota keluarga,

membakar sampah, emisi kendaraan bermotor, dan lainnya. Selain itu,

jarak rumah yang berdekatan akan memungkinkan anak untuk lebih

sering kontak dengan orang-orang disekitarnya yang bila berada dalam

kondisi sakit akan memungkinkan terjadinya penularan yang lebih besar.

Kepadatan penduduk yang tinggi di suatu wilayah juga memungkinkan

terbentuknya lingkungan yang kumuh, dimana pada kondisi lingkungan

kumuh akan meningkatkan risiko timbulnya berbagai penyakit termasuk

ISPA. Hasil Riskesdas menunjukkan bahwa kondisi tempat tinggal

penduduk menentukan kejadian ISPA, pada daerah rural anak-anak lebih

sedikit menderita penyakit ISPA dari pada anak yang tinggal di daerah

urban, dimana daerah rural dan urban tersebut dihubungkan dengan

perbedaan pada tingkat kepadatan penduduknya (Daroham &

Mutiatikum, 2009). Pandemik Influenza A (H1N1) juga pernah terjadi di

Utah pada tahun 2009, dimana terjadi pada daerah yang memiliki

Page 52: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

32

kepadatan penduduk tertinggi (CDC, 2011). Sebuah penelitian di Kiberia

juga menyatakan bahwa kepadatan penduduk diduga menjadi salah satu

penyebab dari penyebaran virus ISPA di wilayah perkotaan (Breiman, et

al., 2015). Penelitian di Malaysia terhadap 6 area strategis di Kota Kuala

Lumpur juga menemukan bahwa kasus ISPA yang tinggi lebih banyak

terjadi pada area perkotaan dengan kepadatan penduduk yang tinggi (Leh,

et al, 2011).

b. Jenis Pekerjaan

Bekerja merupakan kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh

seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh

pendapatan atau keuntungan (Banten Dalam Angka, 2016). Dengan

memperoleh pendapatan dari hasil bekerja maka masyarakat dapat

memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya, termasuk kebutuhan untuk

memenuhi kesehatannya.

Jenis pekerjaan penduduk secara tidak langsung dapat

mempengaruhi kejadian ISPA di suatu wilayah. Berbagai jenis pekerjaan

akan berpengaruh pada frekuensi dan distribusi penyakit karena sebagian

hidupnya dihabiskan di tempat pekerjaan (Budiarto & Anggraeni, 2003).

Seseorang yang bekerja di tempat yang berisiko seperti parbik yang

menghasilkan pencemaran udara, atau di pinggir jalan yang merupakan

pusat kepadatan lalu lintas sehingga menghirup banyak polusi, dan

tempat-tempat berisiko lainnya akan memiliki kemungkinan lebih besar

untuk terkena penyakit ISPA, dibandingkan orang yang bekerja di

Page 53: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

33

lingkungan yang sehat dan jauh dari sumber penyebab ISPA. Seperti

dalam penelitian Dewi (2009) dimana pekerja polisi lalu lintas memiliki

risiko untuk mengalami ISPA 1,97 kali lebih besar dari pada polisi bagian

administrasi. Begitu pula pada orang yang bekerja di lingkungan yang

berisiko terhadap pencemaran udara lainnya seperti Rumah Pemotongan

Unggas, dimana pekerja mengalami keluhan subjektif seperti sesak

napas, batuk, serta flu/bersin yang merupakan gejala dari penyakit ISPA

(Septantiana & Asfawi, 2015). Hasil penelitian Muhe (1994) menemukan

bahwa tinggal dalam keluarga yang ayahnya bekerja sebagai petani

memiliki keterkaitan dengan meningkatnya kejadian penyakit ISPA pada

anak. Goel et al (2012) juga menemukan bahwa prevalensi ISPA paling

tinggi terjadi pada anak yang pekerjaan ayahnya di bidang pertanian.

Hasil penelitian Geberetsadik, Worku, & Berhane, (2015) juga

menemukan bahwa status pekerjaan ibu berpengaruh terhadap kejadian

ISPA pada balita, dimana ibu yang memiliki pekerjaan

tetap/professional/teknik merupakan faktor protektif dari terjadinya ISPA.

c. Kemiskinan

Kemiskinan merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk

menilai status ekonomi penduduk. Kemiskinan dipandang sebagai suatu

keadaan dimana terdapat ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk

memenuhi kebutuhan dasar baik berupa makanan maupun non makanan yang

diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran

Page 54: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

34

per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan disebut sebagai penduduk

miskin (Banten Dalam Angka, 2016).

Kemiskinan juga dapat mempengaruhi kejadian penyakit ISPA di

suatu wilayah. Penduduk yang memiliki status ekonomi yang rendah atau

dikategorikan sebagai penduduk miskin cenderung akan memiliki tempat

tinggal atau rumah yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan, selain itu

ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan terhadap makanan yang

bergizi juga dapat terjadi sehingga masyarakatnya akan lebih rentan terserang

penyakit termasuk ISPA pneumonia. Kemiskinan juga akan mempengaruhi

kondisi lingkungan yang tercipta di wilayah mereka tinggal dan cenderung

memiliki kondisi yang tidak baik bahkan dapat menciptakan kondisi yang

kumuh. Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian Machmud (2009)

yang menemukan bahwa balita yang tinggal dalam lingkungan rumah tangga

miskin memiliki risiko yang lebih besar untuk terkena pneumonia, yang

disebabkan oleh pencemaran di dalam rumah.

Hasil penelitian (Hapsari, Dharmayanti, & Supraptini, 2013) dalam

kurun waktu 10 tahun menyatakan bahwa penyakit ISPA terus mengalami

peningkatan seiring dengan jumlah rumah sehat yang mengalami penurunan,

dan penurunan rumah sehat tersebut terjadi pada penduduk dengan status

ekonomi yang rendah. Hasil penelitian (Biradar, 2013) juga menemukan

bahwa kejadian penyakit ISPA sangat berkaitan dengan status ekonomi

penduduknya, dimana kejadian ISPA yang tinggi terjadi pada masyarakat

yang memiliki status ekonomi yang rendah. Penelitian Rahman & Rahman

Page 55: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

35

(1997) juga menyatakan bahwa kemiskinan berhubungan dengan kejadian

ISPA, dimana ISPA pada anak lebih banyak terjadi pada keluarga yang

tergolong miskin. Hasil penelitian (Rojas, 2007) juga menyatakan bahwa

kemiskinan berhubungan secara signifikan dengan kejadian ISPA pada

penduduk di Chili, terutama pada wilayah yang ditempati oleh penduduk

pribumi.

2.5 Program Penanggulangan ISPA

Sebagai upaya dalam menanggulangi penyakit ISPA, pemerintah

memfokuskan pengendalian ISPA pada beberapa hal, yaitu pengendalian

pneumonia balita, kesiapsiagaan dan respon terhadap pandemi influenza serta

penyakit saluran pernapasan lain yang berpotensi wabah, pengendalian ISPA

umur ≥ 5 tahun, dan faktor risiko ISPA (Ditjen P2PL, 2012), dengan penjelasan

sebagai berikut:

1. Pengendalian pneumonia balita

Pneumonia merupakan salah satu jenis ISPA yang menjadi pembunuh

nomor dua pada balita (13,2%). Salah satu penyebab tingginya angka

kematian yang disebabkan oleh pneumonia adalah tidak tertanganinya

penderita secara maksimal, hal ini disebabkan karena hanya sebagian kecil

saja kasus yang terlaporkan dan tertangani dengan baik. Sejak tahun 2000,

angka cakupan penemuan pneumonia Balita berkisar antara 20%-36% yang

masih jauh dari target nasional yaitu 86% pada periode 2000-2004, 46%-86%

pada periode 2005-2009. Oleh sebab itu, cakupan penemuan pneumonia

Page 56: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

36

balita secara maksimal dan sesuai dengan target nasional adalah salah satu

bentuk upaya dalam penanggulangan masalah ISPA di Indonesia.

2. Kesiapsiagaan dan respon terhadap pandemi influenza serta penyakit saluran

pernapasan lain yang berpotensi wabah

Kasus flu burung pernah terjadi di Indonesia dan telah tersebar di 13

provinsi serta 53 kabupaten/kota. Indonesia merupakan negara dengan kasus

flu burung terbesar di dunia dengan kematian 149 orang dari 181 kasus

positif (CFR 82,3%) dan 15 klaster (Oktober 2011). Walaupun penyakit

tersebut masih dalam fase penularan hewan ke manusia, namun terdapat

kekhawatiran kemungkinan akan terjadi mutasi virus flu burung dengan

patogenitas yang lebih tinggi dan dapat menular antar manusia. Oleh karena

itu, Indonesia telah menyusun Rencana Strategi Penanggulangan Flu Burung

dan Kesiapsiagaan Pandemi Influenza tahun 2005, dengan upaya

pengendalian antara lain penyiapan rumah sakit rujukan, penguatan

surveilans, laboratorium virologi dan BSL-3, KIE, aspek hukum, logistik,

koordinasi LP/LS, kerjasama internasional dan simulasi.

3. Pengendalian ISPA umur ≥ 5 tahun

Pada pengendalian ini dikembangkan Surveilans Sentinel Pneumonia

di seluruh Provinsi di Indonesia, dengan tujuan:

- Mengetahui gambaran kejadian pneumonia dalam distribusi epidemiologi

menurut waktu, tempat dan orang di wilayah sentinel

- Mengetahui jumlah kematian, angka fatalitas kasus (CFR) pneumonia

usia 0 – 59 bulan (Balita) dan ≥ 5 tahun

Page 57: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

37

- Tersedianya data dan informasi faktor risiko untuk kewaspadaan adanya

sinyal epidemiologi episenter pandemi influenza

- Terpantaunya pelaksanaan program ISPA

4. Faktor risiko ISPA

Penanggulangan penyakit ISPA juga dilakukan dengan cara

menanggulangi dan mengurangi faktor-faktor risiko seperti polusi udara

ambien, polusi udara dalam rumah terutama pada penggunaan kayu bakar

sebagai bahan bakar memasak, kondisi ventilasi rumah yang tidak memenuhi

syarat, kepadatan hunian maupun kepadatan penduduk, status gizi yang

rendah, dan penyakit campak.

Di dalam program penanggulangan penyakit ISPA terdapat beberapa

kegiatan-kegiatan pokok seperti advokasi dan sosialisasi, penemuan dan

tatalaksana pneumonia balita, ketersediaan logistik, supervisi, pencatatan dan

pelaporan, kemitraan dan jejaring, pengembangan program, autopsi verbal, serta

monitoring dan evaluasi. Berbagai bentuk kegiatan dalam upaya penanggulangan

penyakit ISPA tersebut harus dilakukan dengan mengikutsertakan seluruh

komponen mulai dari pemerintah sebagai penentu kebijakan, tenaga kesehatan,

berbagai sektor terkait, sampai dengan seluruh masyarakat harus bekerjasama

dengan baik untuk mencapai keberhasilan penanggulangan penyakit ISPA

termasuk pneumonia.

Page 58: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

38

2.6 Analisis Spasial

Analisis spasial merupakan istilah yang sering digunakan dalam melakukan

analisis data dengan menggunakan sistem informasi geografis, yang memiliki

keunikan dan berbeda dengan analisis lainnya karena mengikutsertakan dimensi

ruang atau geografi (Handayani, Soelistijadi, & Sunardi, 2005). Analisis spasial

berhubungan dengan bagaimana data diolah dan dianalisis untuk menghasilkan

sebuah informasi yang dilakukan dengan pengukuran (measurement), reklasifikasi

spasial (spatial reclassification), analisa jaringan, analisa permukaan (surface

analysis), vector geoprocessing, dan raster geoprocessing, dan hasilnya dapat

ditampilkan dalam bentuk peta, table, grafik, maupun laporan, yang dapat disimpan

kembali dalam basis data, serta dapat dimanfaatkan untuk aplikasi lain (Marjuki,

2014).

Hubungan antara lingkungan dan kesehatan secara lebih baik dapat

digambarkan dengan menggunakan teknik pemetaan. Selain lingkungan geografis,

faktor-faktor lainnya seperti sosial ekonomi dalam kaitannya dengan kesehatan dapat

digunakan untuk mengidentifikasi pola persebaran penyakit, yang dapat diselidiki

lebih lanjut untuk mengetahui korelasi antara faktor-faktor tersebut. Selain

mengetahui hubungan kausal, analisis spasial juga dapat dikembangkan untuk

memprediksi perubahan kesehatan berdasarkan perubahan lingkungan yang terjadi,

sebagai contoh pemetaan kerentanan masyarakat terhadap wabah penyakit dapat

diketahui dengan menggunakan analisis spasial yang didasarkan pada informasi

kualitas air, suhu, dan curah hujan (WHO, 2016).

Page 59: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

39

Berdasarkan penelitian terdahulu diketahui bahwa penggunaan analisis

spasial dapat memberikan manfaat dalam penelitian berbagai penyakit. Seperti

dalam penelitian Wardani et al (2013) yang memanfaatkan analisis spasial untuk

mengetahui pola persebaran penyakit tuberkulosis, hasil penelitian tersebut

menunjukkan informasi tentang lokasi populasi yang berisiko yaitu pada wilayah

dengan determinan sosial yang rendah, hasil penelitian tersebut digunakan sebagai

dasar dalam upaya pengendalian tuberkulosis. Hasil penelitian Widiarti, Heriyanto,

& Widyastuti (2014) yang menggunakan analisis spasial mampu menggambarkan

pola persebaran kejadian luar biasa penyakit malaria di Kabupaten Purbalingga yaitu

berpola mengelompok terhadap keberadaan mata air yang merupakan faktor

lingkungan yang berpengaruh pada keberadaan vektor penyakit. Pemanfaatan

analisis spasial pada penyakit lainnya seperti leptospirosis (Febrian & Solikhah,

2013), filariasis (Wulandhari, 2015) dapat menggambarkan pola persebaran penyakit

berdasarkan faktor lingkungan, serta dapat memprediksi daerah rawan pada penyakit

ISPA (Ni’mah, 2014), daerah rentan penyakit TB, demam berdarah, dan diare

(Fitria, Wahjudi, & Wati, 2014).

2.7 Kerangka Teori

Dari Berbagai teori yang telah dipaparkan sebelumnya, maka status

kesehatan masyarakat terhadap terjadinya penyakit ISPA pada balita dapat dijelaskan

berdasarkan teori H. L. Blum. Menurut teori tersebut, terdapat empat faktor utama

yang berpengaruh terhadap status kesehatan masyarakat yaitu faktor lingkungan,

faktor perilaku, faktor pelayanan kesehatan, dan faktor genetik (Ryadi, 2016). Faktor

Page 60: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

40

lingkungan merupakan faktor yang memiliki pengaruh paling besar, kemudian

diikuti oleh faktor perilaku, pelayanan kesehatan, dan yang paling sedikit

memberikan pengaruh adalah faktor genetik. Jika status kesehatan masyarakat yang

rendah dalam kaitannya dengan kejadian penyakit ISPA pneumonia yang tinggi pada

balita digambarkan berdasarkan teori H. L. Blum, maka faktor lingkungan yang

berperan adalah faktor lingkungan dalam rumah seperti luas ventilasi, jenis lantai,

jenis dinding, kepadatan hunian rumah, suhu, kelembaban, dan pencemaran udara

dalam rumah; faktor lingkungan fisik luar rumah seperti suhu, kelembaban, dan

pencemaran udara ambien; serta lingkungan sosial dan ekonomi seperti kepadatan

penduduk, jenis pekerjaan, dan kemiskinan penduduk. Kemudian faktor perilaku itu

sendiri dapat dikaitkan dengan faktor lingkungan sosial dan ekonomi, dimana faktor-

faktor itulah yang turut serta membentuk perilaku masyarakat terhadap pencegahan

penyakit ISPA pneumonia. Selanjutnya faktor pelayanan kesehatan dalam hal ini

maka adanya program penanggulangan penyakit ISPA, serta faktor genetik berupa

faktor individu yang terdiri dari usia, status imunisasi, status gizi, dan ASI eksklusif.

Hubungan berbagai faktor tersebut dapat terlihat lebih jelas dalam Bagan 2.1

Kerangka Teori berikut ini,

Page 61: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

41

Bagan 2. 1 Kerangka Teori

Faktor lingkungan sosial dan

ekonomi : kepadatan penduduk,

jenis pekerjaan, dan kemiskinan

Bakteri dan virus dalam tubuh penderita

Polutan udara dari emisi kendaraan, TPA, industri, dan kandang ternak

Masuk ke udara ambien

Terhirup oleh manusia (balita)

Masuk kedalam saluran

pernapasan balita

Metabolisme tubuh

Keluar melalui sistem

ekskresi

Replikasi pada alveoli menimbulka

n cairan, sehingga

mengalami kesulitan bernapas

Sakit ISPA pneumonia

Tidak sakit Urin

Karakteristik individu: - Usia - Status

imunisasi, - Status gizi, - ASI eksklusif

Faktor lingkungan dalam rumah : - Luas ventilasi, - Jenis lantai, - Jenis dinding, - Kepadatan hunian

rumah, - Suhu dan kelembaban - Pencemaran udara

dalam rumah

Faktor lingkungan luar rumah : - Suhu - Kelembaban

Genetik

Pelayanan

Kesehatan

Perilaku

Page 62: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

42

BAB III

KERANGKA KONSEP

BAB III KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep ini mengacu kepada kerangka teori pada pembahasan

sebelumnya dimana terdapat beberapa faktor yang berkaitan dengan terjadinya

ISPA pneumonia pada balita, yaitu faktor individu yang terdiri dari usia, status gizi,

status imunisasi, dan ASI eksklusif; kemudian faktor lingkungan dalam rumah yang

terdiri dari jenis lantai, jenis dinding, kepadatan hunian rumah, luas ventilasi, suhu,

kelembaban, dan pencemaran udara dalam rumah; kemudian faktor lingkungan luar

rumah yang terdiri dari suhu, kelembaban, sumber pencemaran udara ambien; serta

faktor lingkungan sosial ekonomi seperti jenis pekerjaan dan kemiskinan.

Namun, pada penelitian ini tidak semua variabel tersebut dapat diteliti.

Faktor individu tidak diteliti karena variabel tersebut tidak sesuai untuk desain studi

ekologi yang unit analisisnya merupakan populasi, selain itu penelitian ini juga

lebih terfokus pada faktor lingkungan, yaitu lingkungan fisik dan lingkungan sosial

ekonomi. Selanjutnya pada faktor lingkungan fisik dalam rumah, hanya variabel

jenis lantai, jenis dinding, dan bahan bakar memasak yang dapat dilakukan

penelitian, hal ini disebabkan oleh keterbatasan data yang tersedia. Sementara untuk

faktor lingkungan luar rumah, variabel status merokok, penggunaan obat anti

nyamuk, keberadaan TPA, serta suhu dan kelembaban udara tidak dilakukan

pengukuran karena keterbatasan data yang tersedia.

Page 63: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

43

Kerangka konsep terdiri dari variabel dependen dan variabel independen.

Yang merupakan variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian ISPA

pneumonia pada balita. Dan yang merupakan variabel independen adalah faktor

lingkungan fisik dalam rumah (jenis lantai, jenis dinding, dan bahan bakar

memasak), faktor lingkungan fisik luar rumah (kepadatan ternak unggas dan

industri), dan faktor lingkungan sosial ekonomi (jenis pekerjaan dan kemiskinan).

Hubungan antara variabel-variabel tersebut dapat digambarkan dalam Bagan 3.1

sebagai berikut.

Bagan 3. 1 Kerangka Konsep

Faktor lingkungan fisik :

- jenis lantai rumah - jenis dinding rumah - jenis bahan bakar memasak - kepadatan ternak unggas - kepadatan industri

Faktor lingkungan sosial ekonomi : - Jenis pekerjaan - Kemiskinan

Kejadian ISPA Pneumonia

Pada Balita

Page 64: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

44

3.2 Definisi Operasional

Tabel 3. 1 Definisi Operasional

Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil pengukuran Skala

ukur

1. Kejadian

ISPA

pneumonia

pada balita

Balita yang menderita infeksi saluran

pernafasan bawah jenis pneumonia

dibandingkan dengan jumlah balita

yang ada pada masing-masing

kabupaten/kota di Provinsi Banten

yang tercatat dalam Laporan Tahunan

Dinas Kesehatan Provinsi Banten

selama tahun 2011-2015

Observasi data

sekunder

Laporan Tahunan

Dinas Kesehatan

Provinsi Banten

Tahun 2011-2015

1. < 1%

2. 1% - 4%

3. > 4%

(Kemenkes RI, 2010)

Ordinal

2. Jenis lantai

rumah

Bahan atau material dari bagian dasar

dalam ruangan rumah penduduk per

kabupaten/kota yang diperoleh dari

hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional

yang tercatat dalam Laporan Banten

Dalam Angka selama tahun 2012-

2016

Observasi data

sekunder

Laporan Banten

Dalam Angka tahun

2012-2016

1. Lantai tanah (%)

2. Lantai non tanah

(%)

Ordinal

3. Jenis

dinding

rumah

Bahan atau material dari salah satu

elemen bagunan untuk memisahkan

atau membentuk ruangan dalam

rumah penduduk per kabupaten/kota

yang diperoleh dari hasil Survei Sosial

Ekonomi Nasional yang tercatat dalam

Laporan Banten Dalam Angka selama

tahun 2012-2016

Observasi data

sekunder

Laporan Banten

Dalam Angka tahun

2012-2016

1. Dinding tembok

(%)

2. Dinding kayu (%)

3. Dinding lainnya

(%)

Ordinal

4. Jenis bahan Bahan atau material yang digunakan Observasi data Laporan Banten 1. Listrik (%) Ordinal

Page 65: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

45

No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil pengukuran Skala

ukur

bakar

memasak

oleh penduduk untuk memasak per

kabupaten/kota yang diperoleh dari

hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional

yang tercatat dalam Laporan Banten

Dalam Angka selama tahun 2012-

2016

sekunder Dalam Angka tahun

2012-2016

2. Gas (%)

3. Minyak tanah

(%)

4. Kayu bakar (%)

5. Lainnya (%)

5. Kepadatan

industri

Banyaknya perusahaan industri

pengolahan yang memiliki tenaga

kerja 20 orang atau lebih di tiap

wilayah kabupaten/kota yang

dibandingkan dengan jumlah seluruh

perusahaan industri pengolahan yang

ada di Provinsi Banten yang diperoleh

dari hasil survei oleh Badan Pusat

Statistik dan tercatat dalam Laporan

Banten Dalam Angka selama tahun

2012-2016

Observasi data

sekunder,

kemudian

dilakukan

perhitungan

dengan rumus:

(Jumlah industri

di

kabupaten/kota

÷ jumlah

industri di

Provinsi) × 100

%

Laporan Banten

Dalam Angka per

setiap tahunnya

selama kurun waktu

2012-2016

1. < 5 %

2. 5 – 10 %

3. > 10 %

(Sopari, 2007)

Ordinal

6. Kepadatan

ternak

unggas

Banyaknya jenis hewan dari Famili

Phasianidae (keluarga burung) yang

dikembangbiakkan untuk

dimanfaatkan daging dan telurnya

dalam satuan ternak (ST) yang

dibandingkan dengan luas wilayah

kabupaten/kota dalam satuan Km2

yang diperoleh dari Dinas Pertanian

dan Peternakan Provinsi Banten yang

tercatat dalam Laporan Banten Dalam

Observasi data

sekunder,

kemudian

dilakukan

perhitungan

dengan rumus:

Jumlah unggas

(Satuan Ternak)

÷ luas wilayah

Laporan Banten

Dalam Angka tahun

2012-2016

1. Jarang (< 10)

2. Sedang (10 – 20)

3. Padat (20 – 50)

4. Sangat padat (>

50)

(Modifikasi dari teori

Ashari, Juarini, Sumanto,

Wibowo, dan Suratman,

Ordinal

Page 66: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

46

No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil pengukuran Skala

ukur

Angka selama tahun 2012-2016 (Km2) 1995)

7. Jenis

pekerjaan

Persentase jumlah penduduk yang

bekerja di bidang pertanian dan di

bidang industri tiap wilayah

kabupaten/kota di Provinsi Banten.

Observasi data

sekunder

Laporan Banten

Dalam Angka tahun

2012-2016

1. Pekerjaan bidang

pertanian (%)

2. Pekerjaan bidang

industri (%)

Ordinal

8. Kemiskinan Jumlah penduduk yang dikategorikan

sebagai penduduk miskin, yaitu

penduduk yang memiliki rata-rata

pengeluaran per kapita per bulan

dibawah Garis Kemiskinan pada

masing-masing kabupaten/kota di

Provinsi Banten yang dinyatakan

dalam persentase.

Observasi data

sekunder

Laporan Banten

Dalam Angka per

setiap tahunnya

selama kurun waktu

2012-2016

1. < 10 %

2. 10 – 20 %

3. 20 – 30 %

4. > 30 %

(BPS & Kementerian

Sosial RI, 2012)

Ordinal

Page 67: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

47

BAB IV

METODOLOGI

BAB IV METODOLOGI

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan desain

studi ekologi, karena pada penelitian ini menggunakan data sekunder berbasis

populasi (aggregate). Metode yang digunakan adalah analisis spasial, karena

variabel pada penelitian ini berupa faktor risiko atau karakteristik yang

keberadaannya konstan di masyarakat, dan selanjutnya akan dianalisis terhadap

distribusi penyakit (Chandra, 2009) yang dibatasi secara geografik.

4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Juli sampai dengan Bulan Desember

tahun 2016. Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Dinas Kesehatan Provinsi

Banten yang mencakup 4 kabupaten dan 4 kota.

4.3 Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kasus ISPA pneumonia pada

balita per Kabupaten/Kota yang terlaporkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Banten

selama tahun 2011-2015.

4.4 Manajemen Data

4.4.1 Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dilakukan bersumber pada data sekunder.

Data sekunder yang digunakan terdiri dari data spasial dan non spasial. Data

Page 68: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

48

spasial adalah data yang berorientasi geografis, dalam hal ini maka yang

termasuk dalam data spasial adalah peta digital Provinsi Banten berdasarkan

wilayah Kabupaten/Kota yang diperoleh secara open source dari Badan

Informasi Geospasial (BIG). Sementara data non spasial merupakan data

tabular atau data yang berisi informasi deskriptif, dalam hal ini maka yang

termasuk data non spasial adalah:

- Data kasus penyakit ISPA pneumonia di Provinsi Banten per

Kabupaten/Kota selama tahun 2011-2015 yang tercatat dalam Laporan

Tahunan Dinas Kesehatan Provinsi Banten yang diperoleh dari Bagian P2

(Penanggulangan Penyakit) Dinas Kesehatan Provinsi Banten.

- Data jenis lantai rumah penduduk, jenis dinding rumah penduduk, jenis

bahan bakar memasak penduduk, kepadatan ternak unggas, kepadatan

industri, jenis pekerjaan penduduk, dan kemiskinan di Provinsi Banten per

Kabupaten/Kota yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik dalam Laporan

Banten Dalam Angka Tahun 2012-2016.

4.4.2 Pengolahan Data

Tahapan pengolahan data dalam penelitian ini dapat dijelaskan

sebagai berikut:

1. Pemeriksaan Data

Pada tahapan ini semua data yang telah dikumpulkan dari

beberapa sumber akan diperiksa mana sajakah data yang dibutuhkan dan

Page 69: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

49

digunakan dalam penelitian, kemudian dilakukan pemeriksaan kembali

terkait kelengkapan dari data yang dibutuhkan tersebut.

2. Pemasukan Data

Setelah data dipilih dan diperiksa kelengkapannya selanjutnya

data yang dibutuhkan dimasukkan kedalam komputer menggunakan

software pengolah data tabular. Maka data yang akan diolah diubah

tampilannya kedalam bentuk tabel. Pada proses pemasukan data

dilakukan tahap normalisasi data. Tahapan ini dilakukan dengan cara

mengedit baris dan kolom yang tidak diperlukan pada setiap variabel

penelitian, sehingga tampilan tabel akan menjadi sesederhana mungkin.

Tampilan tabel tersebut akan membantu dalam proses analisis data tahap

selanjutnya.

3. Pemberian Kode

Tahapan selanjutnya adalah membuat kode pada setiap variabel

penelitian. Kode dibuat dengan panjang maksimal 10 huruf. Setelah

diberikan kode pada setiap variabel penelitian, selanjutnya menetapkan

primary key, dalam hal ini maka primary key adalah nama

kabupaten/kota. Kemudian tahap berikutnya adalah membuka file dbf

dari atribut shapfile yang telah tersedia dari BIG. Setelah filenya terbuka,

salin (copy dan paste) kolom primary key ke file berisi tabel kerja yang

dilakukan normalisasi, kemudian pindahkan dan samakan kolom primary

key ke dalam kolom kabupaten/kota dengan teknik dragging. Lalu

Page 70: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

50

lakukan pengecekkan kembali agar tidak terjadi kesalahan pada data yang

telah dimasukkan.

4. Perubahan Format File

Tahap berikutnya adalah menyimpan lembar kerja pengolahan

data tabular yang telah dilakukan normalisasi sebelumnya dalam bentuk

CSV. Selanjutnya data tersebut akan dijoin ke dalam software pengolah

data spasial yaitu Quantum GIS 2.8.1.

4.5 Instrumen Penelitian

Instrument dalam penelitian ini berupa laporan yang telah dikumpulkan dari

beberapa instansi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut ini

Tabel 4. 1 Daftar Variabel, Instrument, dan Instansi Data Sekunder Penelitian

Daftar Variabel, Instrument, dan Instansi Data Sekunder Penelitian

No Variabel Instrument Instansi

1. Kejadian ISPA pneumonia

pada balita

Laporan tahunan

Dinas Kesehatan

Provinsi Banten

Tahun 2011-2015

Dinas Kesehatan

Provinsi Banten

2. Jenis lantai rumah

penduduk, jenis dinding

rumah penduduk, jenis

bahan bakar memasak,

kepadatan ternak unggas,

kepadatan industri, jenis

pekerjaan penduduk, dan

kemiskinan

Laporan Banten

Dalam Angka

tahun 2012-2016

Badan Pusat

Statistik Provinsi

Banten

Page 71: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

51

4.6 Analisis Data

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis univariat dan

analisis spasial. Analisis univariat digunakan untuk menggambarkan distribusi

penyakit ISPA pneumonia berdasarkan variabel jenis lantai rumah penduduk, jenis

dinding rumah penduduk, jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak,

kepadatan ternak unggas, kepadatan industri, jenis pekerjaan penduduk, dan

kemiskinan. Hasil dari analisis univariat berupa proporsi yang ditampilkan dalam

bentuk grafik dan diagram.

Selanjutnya distribusi penyakit ISPA pneumonia tersebut akan dianalisis

menggunakan analisis spasial sehingga akan dihasilkan peta distribusi penyakit

berdasarkan variabel-variabel penelitian yang dipisahkan dan dibandingkan

berdasarkan letak geografis yaitu dibatasi oleh wilayah masing-masing

kabupaten/kota dan trend penyakit dalam kurun waktu 5 tahun. Analisis ini

dilakukan dengan cara menggabungkan (join) database peta digital wilayah Provinsi

Banten dengan jumlah kasus ISPA pneumonia pada masing-masing kabupaten/kota.

Kemudian pada attributable, tiap wilayah kabupaten/kota akan diberi warna sesuai

klasifikasi dari masing-masing variabel penelitian dan jumlah kasus ISPA

pneumonia.

Page 72: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

52

BAB V

HASIL

BAB V HASIL

5.1 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan

Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011-2015

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, didapatkan informasi

distribusi frekuensi penyakit ISPA pada balita secara umum yang dilihat dari proporsi

penyakit berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten dari tahun 2011-2015.

Perkembangan tren penyakit ISPA pada balita selama kurun waktu 5 tahun terakhir

dapat dilihat pada Grafik 5.1 berikut,

Grafik 5. 1 Distribusi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011-2015

Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi

Banten Tahun 2011-2015

Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2011-2015

Page 73: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

53

Berdasarkan Grafik 5.1, dapat diketahui bahwa frekuensi penyakit ISPA pada

balita selama lima tahun mengalami fluktuasi pada semua wilayah kabupaten/kota.

Dapat terlihat bahwa kenaikan frekuensi penyakit cenderung terjadi pada tahun 2012,

sedangkan penurunan frekuensi penyakit cenderung terjadi pada tahun 2013. Secara

umum, pada tahun 2014 juga terjadi peningkatan frekuensi penyakit ISPA pada balita

di sebagian besar wilayah kabupaten/kota, kecuali Kota Cilegon, begitu pula pada tahun

2015 dimana juga terus mengalami peningkatan pada sebagian besar wilayah

kabupaten/kota kecuali Kota Tangerang. Sehingga dapat terlihat adanya perkembangan

penyakit ISPA pada balita yang mengalami peningkatan tahun 2012, kemudian

menurun pada tahun 2013, yang selanjutnya cenderung terus mengalami peningkatan

hingga tahun 2015.

Frekuensi penyakit ISPA pada balita yang paling tinggi terjadi di Kota Cilegon

setiap tahunnya, dengan angka yang paling tinggi sebesar 100% pada tahun 2011 dan

2012. Sedangkan untuk kasus terendah tersebar di beberapa wilayah lainnya, dengan

angka terendah sebesar 13,13% terjadi pada tahun 2013 di Kota Serang. Berdasarkan

data tersebut, maka dapat terlihat jumlah kabupaten/kota yang telah melebihi prevalensi

penyakit ISPA pada balita di tingkat Provinsi Banten terus meningkat dalam 2 tahun

terakhir.

Sedangkan informasi perkembangan tren penyakit ISPA yang lebih terfokus

pada jenis ISPA pneumonia pada balita yang dilihat dari angka insidens penyakit

berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten selama kurun waktu 5 tahun

terakhir dapat dilihat pada Grafik 5.2 sebagai berikut,

Page 74: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

54

Grafik 5. 2 Insidens IS PA Pneum onia Pada Balita Berda sarkan Wilaya h Ka bupaten/Kota di Provinsi Ba nten Tahun 20 11-2015

Insidens Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Wilayah Kabupaten/Kota di

Provinsi Banten Tahun 2011-2015

Berdasarkan Grafik 5.2, dapat terlihat bahwa insidens penyakit ISPA

pneumonia pada balita selama lima tahun mengalami fluktuasi pada sebagian besar

wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten. Terdapat dua kabupaten/kota yang memliki

tren penyakit ISPA pneumonia yang cenderung meningkat, yaitu pada Kabupaten

Serang dan Kabupaten Tangerang, sementara Kota Tangerang Selatan terus mengalami

peningkatan selama lima tahun.

Dapat terlihat bahwa kenaikan frekuensi penyakit ISPA pneumonia pada balita

cenderung terjadi pada tahun 2014, sedangkan penurunan frekuensi penyakit cenderung

terjadi pada tahun 2013. Angka tertinggi dari insidens penyakit ISPA pneumonia pada

balita tersebut adalah sebesar 4,61 % yang terjadi di Kota Tangerang tahun 2012 dan

Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2011-2015

Page 75: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

55

angka terendah sebesar 0,43 % yang terjadi di Kabupaten Lebak tahun 2013.

Berdasarkan grafik tersebut, dapat terlihat bahwa jumlah kabupaten/kota yang telah

melebihi insidens penyakit ISPA pneumonia pada balita di tingkat Provinsi Banten juga

mengalami fluktuasi dalam 5 tahun terakhir.

Untuk melihat distribusi penyakit ISPA pneumonia pada balita tersebut

berdasarkan keruangan, dapat dilihat pada Peta 5.1 berikut,

Page 76: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

56

Peta 5. 1 Distribusi Ins idens Penyakit I SPA Pnemonia Pada Balita Berdasarkan Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011-2015

Distribusi Insidens Penyakit ISPA Pnemonia Pada Balita Berdasarkan Wilayah

Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011-2015

Tahun 2011 Tahun 2012

Tahun 2013 Tahun 2014

Tahun 2015

Keterangan:

Insidens ISPA Pneumonia Balita

Batas wilayah

Utara = Laut Jawa

Selatan = Samudera Hindia

Barat = Selat Sunda

Timur = Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat

Page 77: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

57

Peta 5.1 memperlihatkan distribusi frekuensi penyakit ISPA pada balita yang

lebih difokuskan pada jenis ISPA Pneumonia. Berdasarkan peta tersebut dapat terlihat 3

area yang memiliki warna berbeda. Wilayah dengan warna hijau (zona hijau)

menunjukkan kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang rendah, kemudian wilayah

dengan warna kuning (zona kuning) menunjukkan kejadian ISPA Pneumonia pada

balita yang sedang, sedangkan wilayah dengan warna merah (zona merah)

menunjukkan kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang tinggi.

Pada tahun 2011, dapat terlihat bahwa insidens ISPA Pneumonia pada balita

antara 1 – 4 % (zona kuning) tersebar merata pada seluruh wilayah kabupaten/kota di

Provinsi Banten. Kemudian di tahun 2012 terdapat peningkatan kejadian ISPA

Pneumonia pada balita di Kota Cilegon dan Kota Tangerang, sehingga terdapat

peningkatan jumlah kabupaten/kota yang berada pada zona merah yaitu 2 dari 8

kabupaten/kota. Pada tahun 2013 terjadi perbaikan yang ditandai dengan adanya

penurunan kejadian ISPA Pneumonia balita pada 2 kabupaten/kota yang sebelumnya

berada pada zona merah menjadi zona kuning, kemudian terjadi juga penurunan

kejadian ISPA Pneumonia pada balita di Kabupaten Lebak menjadi zona hijau,

sehingga tidak terdapat lagi kabupaten/kota yang berada pada zona merah. Namun di

tahun 2014 kembali terjadi peningkatan kasus ISPA Pneumonia pada balita di Kota

Tangerang dan Kota Tangerang Selatan sehingga terdapat 2 dari 8 kabupaten/kota yang

berada pada zona merah seperti di tahun 2012. Walaupun terdapat penurunan kasus

ISPA Pneumonia di tahun berikutnya (2015), namun tetap terdapat wilayah yang

Page 78: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

58

berada pada zona merah yang menunjukkan masih terdapat kejadian ISPA Pneumonia

pada balita yang tinggi, yaitu di Kota Tangerang Selatan.

Berdasarkan berbagai perkembangan persebaran ISPA Pneumonia pada balita

selama lima tahun tersebut, dapat terlihat bahwa penyakit ISPA Pneumonia pada balita

didominasi oleh wilayah kabupaten/kota yang berada pada zona kuning, dan persebaran

penyakit yang lebih tinggi cenderung terjadi di wilayah Timur Provinsi Banten.

5.2 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Berdasarkan Faktor Lingkungan

Fisik Di Provinsi Banten Tahun 2011-2015

5.2.1 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan

Jenis Lantai Rumah Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2015

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan informasi

perkembangan jenis lantai rumah yang dimiliki penduduk berdasarkan wilayah

kabupaten/kota di Provinsi Banten selama tahun 2011-2015. Jenis lantai rumah

penduduk tersebut merupakan faktor lingkungan yang akan dikaitkan dengan

frekuensi penyakit ISPA Pneumonia pada balita yang terjadi di Provinsi Banten

untuk melihat kecenderungan persebarannya berdasarkan faktor lingkungan yang

dapat dilihat secara keruangan pada Peta 5.2 berikut,

Page 79: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

59

Peta 5. 2 Distribus i Peny akit I SPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis Lantai Rumah di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 Distribusi Pe nyakit ISPA P neumonia P ada Balita Berdasar kan Je nis Lantai Tanah di Prov insi Bante n Tahun 2011-2015 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis

Lantai Rumah di Provinsi Banten Tahun 2011-2015

Tahun 2011 Tahun 2012

Tahun 2013 Tahun 2014

Tahun 2015

Keterangan:

Insidens ISPA Pneumonia Balita

Proporsi Jenis Lantai

Page 80: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

60

Peta 5.2 tersebut memperlihatkan persebaran kejadian penyakit ISPA

Pneumonia pada balita berdasarkan jenis lantai rumah penduduk selama lima

tahun. Dapat terlihat bahwa pada semua wilayah kabupaten/kota di Provinsi

Banten sebagian besar penduduknya telah memiliki rumah dengan lantai non

tanah, artinya terdapat kecenderungan kondisi rumah penduduk dilihat

berdasarkan jenis lantainya sudah cukup baik.

Bila dilihat berdasarkan proporsi lantai tanah penduduk, maka Kabupaten

Pandeglang memiliki proporsi tertinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lain

(dengan angka sebesar 11,66 % pada tahun 2013), namun wilayah tersebut berada

pada zona kuning dan terdapat zona hijau namun memiliki proporsi lantai tanah

yang cukup tinggi dibandingkan dengan wilayah lain yaitu Kabupaten Lebak pada

tahun 2013 (3,99 %) yang menunjukkan adanya kecenderungan kasus yang

rendah. Pada kondisi sebaliknya dapat terlihat bahwa proporsi kepemilikan lantai

tanah penduduk yang lebih rendah berada di Kota Tangerang (2,25 % pada tahun

2012 dan 0,30 % pada tahun 2014) dan Kota Tangerang Selatan (0,14 % pada

tahun 2014 dan tidak terdapat lagi penduduk yang menggunakan lantai tanah pada

tahun 2015), namun wilayah tersebut memiliki kejadian ISPA Pneumonia balita

yang berada pada zona kuning dan zona merah yang menunjukkan kecenderungan

kasus yang tinggi. Hal tersebut memperlihatkan adanya pola persebaran penyakit

ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis lantai

memiliki kecenderungan ke arah negatif. Artinya proporsi kepemilikan jenis

lantai tanah penduduk yang tinggi justru menunjukkan kejadian ISPA Pneumonia

pada balita yang rendah, begitu pula sebaliknya.

Page 81: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

61

5.2.2 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan

Jenis Dinding Rumah Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2015

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan informasi

perkembangan jenis dinding rumah yang dimiliki penduduk berdasarkan wilayah

kabupaten/kota di Provinsi Banten selama tahun 2011-2015. Jenis dinding rumah

penduduk merupakan faktor lingkungan yang akan dikaitkan dengan frekuensi

penyakit ISPA Pneumonia pada balita yang terjadi di Provinsi Banten untuk

melihat kecenderungan persebarannya berdasarkan faktor lingkungan yang dapat

dilihat secara keruangan pada Peta 5.3 berikut,

Page 82: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

62

Peta 5. 3

Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis Dinding Rumah

di Provinsi Banten Tahun 2011-2015

Tahun 2011 Tahun 2012

Tahun 2013 Tahun 2014

Tahun 2015

Keterangan:

Insidens ISPA Pneumonia Balita

Proporsi Jenis Dinding

Page 83: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

63

Peta 5.3 tersebut memperlihatkan persebaran kejadian penyakit ISPA

Pneumonia pada balita berdasarkan jenis dinding rumah penduduk selama lima

tahun. Dapat terlihat bahwa pada semua wilayah kabupaten/kota di Provinsi

Banten sebagian besar penduduknya telah memiliki rumah dengan jenis dinding

tembok, kemudian diikuti dengan jenis dinding lainnya, dan sebagian kecil yang

masih memiliki dinding kayu, artinya terdapat kecenderungan kondisi rumah

penduduk dilihat berdasarkan jenis dindingnya sudah cukup baik.

Bila dilihat berdasarkan proporsi dinding kayu maupun dinding lainnya,

maka Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang lah yang memiliki proporsi

tertinggi (dengan angka masing-masing sebesar 3,12 % dan 6,73 % pada tahun

2013). Namun wilayah tersebut berada pada zona kuning dan zona hijau yang

menunjukkan adanya kecenderungan kasus yang rendah. Pada kondisi sebaliknya

dapat terlihat bahwa proporsi kepemilikan jenis dinding kayu yang rendah terjadi

pada zona kuning dan merah yang menunjukkan kecenderungan perkembangan

kasus yang tinggi seperti pada Kota Tangerang (2,99 % pada tahun 2012 dan 2,67

% pada tahun 2014), dan Kota Tangerang Selatan (0,85 % pada tahun 2014 dan

0,47 % pada tahun 2015). Hal tersebut memperlihatkan adanya pola persebaran

penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis

dinding rumah memiliki kecenderungan ke arah negatif. Artinya proporsi

kepemilikan jenis dinding kayu penduduk yang tinggi justru menunjukkan

kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang rendah.

Persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita yang rendah dengan

proporsi kepemilikan dinding kayu yang tinggi memiliki kecenderungan terjadi di

Page 84: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

64

wilayah selatan Provinsi Banten, dimana wilayah tersebut merupakan wilayah

yang masih didominasi oleh area rural. Begitu pula pada persebaran penyakit

ISPA Pneumonia pada balita yang tinggi dengan proporsi kepemilikan dinding

kayu yang rendah memiliki kecenderungan terjadi di wilayah Timur Provinsi

Banten, dimana wilayah tersebut didominasi oleh area urban bahkan termasuk

kedalam wilayah penyangga ibu kota.

5.2.3 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan

Jenis Bahan Bakar Memasak Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-

2015

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan informasi

perkembangan jenis bahan bakar yang digunakan penduduk untuk memasak

berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten selama tahun 2011-2015.

Jenis bahan bakar penduduk tersebut merupakan faktor lingkungan yang akan

dikaitkan dengan frekuensi penyakit ISPA Pneumonia pada balita yang terjadi di

Provinsi Banten untuk melihat kecenderungan persebarannya berdasarkan faktor

lingkungan yang dapat dilihat secara keruangan pada Peta 5.4 berikut,

Page 85: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

65

Peta 5. 4 Distribusi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Penggunaan Bahan Bakar Kayu Untuk Memasak Oleh Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2015

Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis Bahan Bakar

Memasak di Provinsi Banten Tahun 2011-2015

Tahun 2011 Tahun 2012

Tahun 2013 Tahun 2014

Tahun 2015 Keterangan:

Insidens ISPA Pneumonia Balita

Proporsi Jenis Bahan Bakar

Page 86: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

66

Peta 5.4 tersebut memperlihatkan persebaran kejadian penyakit ISPA

Pneumonia pada balita selama lima tahun berdasarkan jenis bahan bakar yang

digunakan oleh penduduk untuk memasak. Dapat terlihat bahwa pada wilayah

utara Provinsi Banten (Kota Cilegon, Kabupaten Serang, Kota Serang, Kabupaten

Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan) sebagian besar

penduduknya telah menggunakan jenis bahan bakar gas, sementara pada wilayah

Selatan Provinsi Banten (Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak) sebagian

besar penduduknya masih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Hal ini

menunjukkan bahwa terdapat dua jenis bahan bakar yang paling dominan

digunakan oleh sebagian besar masyarakat di Provinsi Banten yaitu bahan bakar

gas dan kayu bakar, sementara untuk jenis bahan bakar lainnya hanya sebagian

kecil saja yang menggunakannya.

Bila dilihat berdasarkan proporsi bahan bakar kayu, maka Kabupaten

Lebak dan Kabupaten Pandeglang lah yang memiliki proporsi tertinggi (dengan

angka masing-masing sebesar 65,02 % dan 64,72% pada tahun 2013). Namun

wilayah tersebut berada pada zona kuning, bahkan pada tahun 2013 Kabupaten

Lebak berada pada zona hijau yang menunjukkan adanya kecenderungan kasus

yang rendah. Pada kondisi sebaliknya dapat terlihat bahwa proporsi kepemilikan

jenis bahan bakar kayu yang rendah terjadi pada zona kuning dan merah yang

menunjukkan kecenderungan perkembangan kasus yang semakin tinggi seperti

Kota Tangerang (1,02 % pada tahun 2012 dan 0,56 % pada tahun 2014) dan Kota

Tangerang Selatan (0,39 % pada tahun 2012 dan 0,30 % pada tahun 2014). Hal

tersebut memperlihatkan adanya pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada

Page 87: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

67

balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis bahan bakar untuk memasak

memiliki kecenderungan ke arah negatif. Artinya proporsi penggunaan jenis

bahan bakar kayu untuk memasak yang tinggi justru menunjukkan kejadian ISPA

Pneumonia pada balita yang rendah, begitu pula sebaliknya.

Persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita yang rendah dengan

proporsi penggunaan bahan bakar kayu yang tinggi memiliki kecenderungan

terjadi di wilayah selatan Provinsi Banten, dimana wilayah tersebut merupakan

wilayah yang masih didominasi oleh area rural. Begitu pula pada persebaran

penyakit ISPA Pneumonia pada balita yang tinggi dengan proporsi penggunaan

bahan bakar kayu yang rendah memiliki kecenderungan terjadi di wilayah Utara

Provinsi Banten, dimana wilayah tersebut didominasi oleh area urban, seperti

Kota Serang yang merupakan Ibu Kota dan pusat pemerintahan Provinsi Banten,

begitu pula Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan

yang termasuk kedalam wilayah penyangga ibu kota.

Page 88: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

68

Peta 5. 5 Distribusi Frekuensi Penyakit I SPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jen is Lantai Kayu, Jenis D inding Kayu, dan Jenis Bahan Bakar Kayu di Provins i Banten Tahun 2011-2015

Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis Lantai

Tanah, Jenis Dinding Kayu, dan Jenis Bahan Bakar Kayu di Provinsi Banten Tahun 2011-

2015

Tahun 2011 Tahun 2012

Tahun 2013 Tahun 2014

Tahun 2015

Keterangan:

Insidens ISPA Pneumonia Balita

Faktor Lingkungan

Page 89: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

69

Peta 5.5 menunjukkan persebaran kejadian ISPA Pneumonia pada balita

selama lima tahun dilihat berdasarkan 3 faktor lingkungan yang sebelumnya telah

dijelaskan yang lebih terfokus pada jenis faktor lingkungan yang paling

berpengaruh terhadap kejadian ISPA Pneumonia pada balita yaitu jenis lantai

tanah, dinding kayu, dan bahan bakar kayu. Dapat terlihat bahwa proporsi yang

paling tinggi dari ketiga faktor lingkungan tersebut justru terjadi pada wilayah

yang memiliki kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang cenderung rendah,

seperti pada Kabupaten Lebak tahun 2013, begitu pula sebaliknya proporsi yang

paling rendah dari ketiga faktor lingkungan tersebut justru terjadi pada wilayah

yang memiliki kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang cenderung tinggi. Hal

tersebut menunjukkan bahwa kejadian ISPA Pneumonia pada balita terhadap

faktor lingkungan berupa jenis lantai, dinding, dan bahan bakar memiliki

kecenderungan ke arah negatif.

Bila dilihat berdasarkan keruangan maka wilayah yang memiliki kejadian

ISPA Pneumonia pada balita yang rendah dengan proporsi lantai tanah, dinding

kayu, dan bahan bakar kayu yang tinggi terjadi pada daerah pedesaan. Sedangkan

wilayah yang memiliki kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang tinggi dengan

proporsi lantai tanah, dinding kayu, dan bahan bakar kayu yang rendah terjadi

pada daerah perkotaan.

Page 90: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

70

5.2.4 Distribusi Frekuensi Kejadian Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita

Berdasarkan Kepadatan Ternak Unggas di Provinsi Banten Tahun 2011-

2015

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan informasi

perkembangan kepadatan ternak unggas berdasarkan wilayah kabupaten/kota di

Provinsi Banten selama tahun 2011-2015. Kepadatan ternak unggas tersebut

merupakan faktor lingkungan yang akan dikaitkan dengan frekuensi penyakit

ISPA Pneumonia pada balita yang terjadi di Provinsi Banten untuk melihat

kecenderungan persebarannya berdasarkan faktor lingkungan tersebut yang dapat

dilihat secara keruangan pada Peta 5.6 berikut,

Page 91: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

71

Peta 5. 6 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pne umonia Pada Balita Berda sarkan Kepa datan Ternak Unggas di Provinsi Bante n Tahun 201 1-2 015

Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan

Kepadatan Ternak Unggas di Provinsi Banten Tahun 2011-2015

Tahun 2011 Tahun 2012

Tahun 2013 Tahun 2014

Tahun 2015

Keterangan:

Insidens ISPA Pneumonia Balita

Kepadatan Ternak Unggas

Page 92: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

72

Peta 5.6 memperlihatkan persebaran kejadian ISPA Pneumonia pada balita

berdasarkan faktor lingkungan berupa kepadatan ternak unggas selama lima

tahun. Dapat terlihat bahwa wilayah yang memiliki ternak unggas sangat padat

terdapat di zona merah seperti di wilayah Kabupaten Tangerang dan Kota

Tangerang pada tahun 2012 dan 2014, kemudian wilayah yang memiliki ternak

unggas sangat padat juga terdapat di zona kuning seperti yang terjadi di

Kabupaten Serang dan Kota Serang. Selain itu dapat terlihat juga adanya

peningkatan kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang seiring juga dengan

peningkatan kepadatan ternak unggas, begitu pula terjadinya penurunan kejadian

ISPA Pneumonia pada balita yang seiring dengan penurunan kepadatan ternak

unggas, pola persebaran penyakit ini terjadi pada wilayah Kota Tangerang selama

lima tahun. Hal ini memperlihatkan adanya pola persebaran penyakit ISPA

Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa kepadatan ternak

memiliki kecenderungan ke arah positif. Artinya wilayah dengan kepadatan

ternak yang tinggi menunjukkan kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang

tinggi pula.

Namun pada sebagian kecil wilayah kabupaten/kota lainnya menunjukkan

hasil yang berbeda. Dimana wilayah dengan kepadatan ternak unggas yang jarang

terdapat di zona merah seperti di Kota Cilegon tahun 2012, begitu pula sebaliknya

wilayah yang memiliki ternak unggas padat justru terjadi di zona hijau seperti

yang terjadi di Kabupaten Lebak tahun 2013. Selain itu terdapat peningkatan

ataupun penurunan kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang tidak disertai

Page 93: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

73

dengan peningkatan ataupun penurunan kepadatan ternak unggas, seperti yang

terjadi di Kota Cilegon tahun 2012 dan Kota Tangerang Selatan tahun 2011-2014.

Hal tersebut memperlihatkan adanya pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia

pada balita terhadap faktor lingkungan berupa kepadatan ternak unggas memiliki

kecenderungan ke arah negatif. Artinya kepadatan ternak unggas yang tinggi

menunjukkan kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang rendah, begitu pula

sebaliknya.

5.2.5 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan

Kepadatan Industri di Provinsi Banten Tahun 2011-2015

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan informasi

perkembangan kepadatan industri berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi

Banten selama tahun 2011-2015. Kepadatan industri tersebut merupakan faktor

lingkungan yang akan dikaitkan dengan frekuensi penyakit ISPA Pneumonia pada

balita yang terjadi di Provinsi Banten untuk melihat kecenderungan

persebarannya berdasarkan faktor lingkungan tersebut yang dapat dilihat secara

keruangan pada Peta 5.7 berikut,

Page 94: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

74

Peta 5. 7 Distribusi Frekue nsi Penyakit IS PA Pneumonia Pada Balita Berda sarkan Jumla h Industri di Pr ovinsi Ba nten Ta hun 2011 -20 15

Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Kepadatan Industri di

Provinsi Banten Tahun 2011-2015

Tahun 2011 Tahun 2012

Tahun 2013 Tahun 2014

Tahun 2015

Keterangan:

Insidens ISPA Pneumonia Balita

Kepadatan Industri

Page 95: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

75

Peta 5.7 memperlihatkan persebaran kejadian ISPA Pneumonia pada balita

berdasarkan faktor lingkungan berupa kepadatan industri selama lima tahun.

Dapat terlihat bahwa terdapat pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada

balita terhadap kepadatan industri memiliki kecenderungan ke arah positif. Tetapi

pola tersebut hanya terjadi di wilayah utara dan timur Provinsi Banten, yaitu

Kabupaten Serang, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang yang termasuk ke

dalam zona kuning dan merah yang disertai juga dengan kepadatan industri yang

sedang dan tinggi.

Sedangkan pada wilayah lainnya, menunjukkan kecenderungan ke arah

negatif. Walaupun pada tahun 2013 wilayah Kabupaten Lebak berada pada zona

hijau yang disertai juga dengan kepadatan industri yang rendah sehingga

menunjukkan adanya kecenderungan positif, namun pada dua tahun sebelumnya

sudah terlihat kondisi kepadatan industri yang sama, tetapi kepadatan industri

yang ada tidak menunjukkan kesesuaian dengan kejadian ISPA Pneumonia pada

balita yang ada, dan kondisi tersebut juga terulang di tahun berikutnya, sehingga

kecenderungan ke arah negatif antara kejadian ISPA Pneumonia pada balita

dengan kepadatan industri menjadi lebih besar.

Berbagai kondisi tersebut memperlihatkan bahwa dalam satu wilayah

Provinsi Banten dapat menunjukkan karakteristik yang berbeda-beda bila dilihat

dari distribusi dan frekuensi penyakitnya berdasarkan faktor yang

mempengaruhinya. Kejadian penyakit ISPA Pneumonia pada balita yang

memiliki kecenderungan ke arah positif dengan faktor lingkungan berupa

Page 96: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

76

kepadatan industri terjadi di wilayah utara dan timur Provinsi Banten terutama

Kabupaten Serang yang berbatasan langsung dengan ibu kota provinsi, serta

Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang yang berbatasan langsung dengan

DKI Jakarta dan merupakan wilayah penyangga ibu kota negara, sedangkan pada

wilayah lainnya memiliki kecenderungan ke araf negatif dengan kepadatan

industri yang ada.

5.3 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Faktor

Lingkungan Sosial Ekonomi Di Provinsi Banten Tahun 2011-2014

5.3.1 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan

Jenis Pekerjaan Di Provinsi Banten Tahun 2011-2014

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan informasi

perkembangan jenis pekerjaan penduduk berdasarkan wilayah kabupaten/kota di

Provinsi Banten selama tahun 2011-2014. Jenis pekerjaan penduduk merupakan

faktor lingkungan sosial ekonomi yang akan dikaitkan dengan frekuensi penyakit

ISPA Pneumonia pada balita yang terjadi di Provinsi Banten untuk melihat

kecenderungan persebarannya berdasarkan faktor lingkungan sosial ekonomi

tersebut yang dapat dilihat secara keruangan pada Peta 5.8 berikut,

Page 97: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

77

Peta 5. 8 Distribusi Frekue nsi Penyakit IS PA Pneumonia Pada Balita Berda sarkan Je nis Pek erjaan di Pr ovinsi Ba nten Ta hun 2011 -20 15

Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Jenis Pekerjaan di

Provinsi Banten Tahun 2011-2014

Tahun 2011 Tahun 2012

Tahun 2013 Tahun 2014

Keterangan:

Insidens ISPA Pneumonia Balita

Proporsi Jenis Pekerjaan

Page 98: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

78

Peta 5.8 tersebut memperlihatkan persebaran kejadian penyakit ISPA

Pneumonia pada balita selama lima tahun berdasarkan jenis pekerjaan penduduk.

Dapat terlihat bahwa pada wilayah utara Provinsi Banten (Kota Cilegon, Kota

Serang, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan)

sebagian besar penduduknya lebih banyak yang bekerja dibidang industri,

sementara pada wilayah Selatan Provinsi Banten (Kabupaten Pandeglang dan

Kabupaten Lebak) sebagian besar penduduknya lebih banyak bekerja di bidang

pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa jenis pekerjaan di bidang industri lebih

banyak terdapat di daerah urban, sedangkan jenis pekerjaan di bidang pertanian

lebih banyak terdapat di daerah rural.

Dapat terlihat bahwa wilayah kabupaten/kota yang termasuk dalam zona

merah memiliki proporsi jenis pekerjaan di bidang industri yang jauh lebih tinggi

dibandingkan dengan proporsi jenis pekerjaan di bidang pertanian, seperti yang

terjadi di Kota Cilegon (18,90 % pada tahun 2012), Kota Tangerang (32,11 %

pada tahun 2012 dan 34,33 % pada tahun 2014), dan Kota Tangerang Selatan

(7,16 % pada tahun 2014). Sedangkan proporsi pekerjaan bidang pertanian yang

paling tinggi terjadi di Kabupaten Lebak dan Pandeglang (dengan angka masing-

masing 37,69 % dan 43,11 % pada tahun 2013), dimana kedua wilayah tersebut

termasuk kedalam zona kuning dan zona hijau yang menunjukkan kejadian

penyakit ISPA Pneumonia yang rendah. Hal tersebut memperlihatkan adanya pola

persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan

berupa jenis pekerjaan bidang industri memiliki kecenderungan ke arah positif,

Page 99: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

79

sedangkan jenis pekerjaan bidang pertanian memiliki kecenderungan ke arah

negatif. Artinya proporsi pekerjaan bidang industri yang tinggi juga menunjukkan

kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang tinggi, sedangkan proporsi pekerjaan

bidang pertanian yang tinggi menunjukkan kejadian ISPA Pneumonia pada balita

yang rendah.

5.3.2 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan

Kemiskinan Di Provinsi Banten Tahun 2011-2014

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan informasi

perkembangan kemiskinan penduduk berdasarkan wilayah kabupaten/kota di

Provinsi Banten selama tahun 2011-2014. Kemiskinan penduduk tersebut dilihat

dari besarnya persentase penduduk yang tergolong sebagai penduduk miskin pada

setiap wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten selama tahun 2011-2014.

Proporsi penduduk miskin tersebut merupakan faktor lingkungan yang akan

dikaitkan dengan frekuensi penyakit ISPA Pneumonia pada balita yang terjadi di

Provinsi Banten untuk melihat kecenderungan persebarannya berdasarkan faktor

lingkungan sosial ekonomi tersebut yang dapat dilihat secara keruangan pada Peta

5.9 berikut,

Page 100: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

80

Peta 5. 9 Distribusi Frekue nsi Penyakit IS PA Pneumonia Pada Balita Berda sarkan Kemiski nan Penduduk di Provi nsi Bante n Tahun 2 011 -2014

Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Kemiskinan

Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2014

Tahun 2011 Tahun 2012

Tahun 2013 Tahun 2014

Keterangan:

Insidens ISPA Pneumonia Balita

Proporsi Penduduk Miskin

Page 101: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

81

Peta 5.9 tersebut memperlihatkan persebaran kejadian penyakit ISPA

Pneumonia pada balita selama empat tahun berdasarkan persentase penduduk

miskin. Dapat terlihat bahwa selama tahun 2011-2014 wilayah kabupaten/kota di

Provinsi Banten didominasi oleh tingkat proporsi penduduk miskin yang rendah

yaitu di bawah 10 %, dan hanya terdapat 1 kabupaten/kota yang memiliki

proporsi penduduk miskin antara 10 – 20 % yaitu di Kabupaten Pandeglang pada

tahun 2013. Wilayah kabupaten/kota yang hamir seluruhnya memiliki proporsi

penduduk miskin yang rendah selama lima tahun menunjukkan bahwa Provinsi

Banten termasuk ke dalam provinsi dengan tingkat kemiskinan yang rendah.

Selama kurun waktu 2011-2014 dapat terlihat bahwa terdapat

kabupaten/kota yang memiliki proporsi penduduk miskin rendah berada pada

zona hijau yang menunjukkan kasus yang rendah, seperti yang terjadi pada

Kabupaten Lebak pada tahun 2013. Kondisi tersebut memperlihatkan adanya pola

persebaran penyakit ISPA pneumonia pada balita terhadap kemiskinan penduduk

memiliki kecenderungan ke arah positif. Walaupun demikian, kabupaten/kota

yang memiliki proporsi penduduk miskin yang rendah dan berada pada zona

kuning dan merah yang menunjukkan kecenderungan kasus yang tinggi

jumlahnya jauh lebih besar. Sehingga pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia

pada balita terhadap faktor lingkungan berupa kemiskinan penduduk lebih

memiliki kecenderungan ke arah negatif. Artinya wilayah dengan proporsi

penduduk miskin yang tinggi menunjukkan kejadian ISPA Pneumonia pada balita

yang rendah.

Page 102: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

82

BAB VI

PEMBAHASAN

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian ini, terdapat beberapa keterbatasan, yaitu:

1. Penelitian ini merupakan jenis penelitian univariat, dimana hasilnya hanya berupa

distribusi dan frekuensi penyakit dilihat berdasarkan faktor lingkungan, sehingga

tidak dapat menyimpulkan adanya hubungan antara faktor lingkungan yang

diteliti dengan kejadian ISPA pneumonia pada balita yang ada.

2. Data penyakit ISPA pneumonia pada balita merupakan data sekunder yang

diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Banten, data tersebut diperoleh dari

masing-masing dinas kesehatan kabupaten/kota yang bersumber dari fasilitas

pelayanan kesehatan yang terdapat di wilayah kabupaten/kota tersebut, sehingga

data yang diperoleh merupakan penderita yang datang ke pelayanan kesehatan,

yang menandakan data yang ada belum merupakan seluruh kasus yang

sebenarnya, karena terdapat kemungkinan penderita yang tidak berobat.

3. Kejadian ISPA pada balita yang diteliti hanya difokuskan pada jenis ISPA

Pneumonia saja, karena keterbatasan standar baku yang dapat digunakan.

6.2 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan

Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011-2015

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diketahui persebaran penyakit ISPA

pada balita di Provinsi Banten selama 5 tahun (2011-2015). Terlihat bahwa

Page 103: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

83

Kabupaten Cilegon selalu memiliki kejadian ISPA yang tinggi, hal ini dimungkinkan

karena beberapa faktor, salah satunya adalah kondisi ekosistem di wilayah tersebut

yang termasuk sebagai daerah pemukiman dan industri. Terbentuknya area tertentu di

muka bumi seperti halnya area pemukiman dan perkotaan akan menciptakan kondisi

lingkungan tertentu, dimana kondisi lingkungan ini dapat berpengaruh pada kesehatan

masyarakat di area tersebut. Pengaruh yang dapat terlihat pada area pemukiman

adalah adanya aktivitas urbanisasi yang berpengaruh kepada timbulnya kepadatan

penduduk, adanya kepadatan tersebut menuntut ketersediaan lahan untuk tempat

tinggal, keterbatasan lahan yang ada menimbulkan adanya daerah slum/kumuh, dan

pada daerah tersebut sanitasi kesehatan lingkungan akan memburuk (Alhamda &

Sriani, 2015) yang dapat memicu timbulnya berbagai penyakit. Area pemukiman juga

cenderung memiliki aktivitas/kegiatan yang tinggi seperti lalu lintas, tingginya

aktivitas alat transportasi sehingga menimbulkan emisi gas yang dapat mencemari

udara, dan pencemaran udara ini jika terhirup masyarakat dapat memicu timbulnya

penyakit ISPA.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Novirsa dan Achmadi (2012) yang

menyatakan bahwa penduduk yang tinggal di area yang dekat dengan sumber

pencemar pabrik semen memiliki risiko yang lebih besar untuk terkena ISPA,

sehingga jarak paling aman bagi pemukiman dari sumber pabrik semen adalah diatas

2,5 Km. Gertrudis (2010) dalam penelitiannya terhadap masyarakat yang tinggal di

sekitar pabrik semen menemukan bahwa terdapat hubungan bermakna antara PM10

dengan kejadian ISPA pada balita dimana balita yang tinggal dalam rumah dengan

kadar PM10 tidak memenuhi syarat berisiko 3,1 kali untuk mengalami ISPA

Page 104: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

84

dibanding balita yang tinggal dalam rumah dengan kadar PM10 memenuhi syarat.

Hasil penelitian yang sejalan juga dilakukan oleh Maywati dan Novianti (2014)

terhadap kesehatan balita di lingkungan pemukiman sekitar industri mebeul yang

menunjukkan bahwa 74,5% tempat tinggal balita mempunyai kadar debu melebihi

standar, dan sebanyak 58,8% balita mengalami ISPA.

Distribusi penyakit ISPA pneumonia pada balita berdasarkan hasil penelitian

(Peta 5.1) jika dilihat secara spasial dan temporal, dapat terlihat selama kurun waktu

lima tahun terdapat kecenderungan persebaran penyakit ISPA pneumonia yang tinggi

lebih terpusat pada wilayah timur Provinsi Banten, terutama pada Kota Tangerang

dan Kota Tangerang Selatan. Jika diperhatikan, maka terdapat pola persebaran

penyakit, dimana terdapat tingkat kejadian ISPA pneumonia pada balita yang sama

terjadi pada wilayah yang berdekatan. Hal tersebut terjadi dimungkinkan karena

adanya pengaruh dari wilayah dengan kejadian ISPA pneumonia yang tinggi,

sehingga wilayah disekitarnya ikut mengalami peningkatan kasus. Menurut WHO

(2007) pengendalian administrasi dan lingkungan untuk mengurangi penularan

infeksi pernapasan akut sangat penting untuk dilakukan, karena walaupun cara

penularan utama sebagian besar ISPA adalah melalui droplet, tetapi penularan

melalui kontak (termasuk kontaminasi tangan yang diikuti oleh inokulasi tak sengaja)

dalam jarak dekat bisa juga terjadi untuk sebagian pathogen, sehingga resiko

penularan tinggi dapat terjadi di sekitar tempat yang terdapat banyak penderita.

Penularan dan persebaran penyakit ISPA yang menembus batas wilayah

pernah terjadi secara luas dan global, seperti wabah SARS yang pernah terjadi,

dimana penyakit ini pertama kali dilaporkan di Asia pada bulan Februari 2003 dan

Page 105: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

85

kemudian menular dan menyebar di lebih 24 negara di Asia, Amerika Utara, Amerika

Selatan, dan Eropa sebelum wabah tersebut terbendung (WHO, 2007). Penyakit

menular seperti ISPA termasuk pneumonia bersifat tidak mengenal batas wilayah

administratif dan sistem pemerintahan, maka perlu dikembangkan pengendalian

penyakit menular dan penyehatan lingkungan secara terpadu,

menyeluruh/komprehensif berbasis wilayah melalui peningkatan surveilans, advokasi

dan kemitraan (Ditjen P2PL, 2012).

Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan

merupakan wilayah yang berbatasan secara langsung dengan Ibu Kota Negara

Indonesia yaitu DKI Jakarta. Sebagai wilayah yang berbatasan langsung dengan ibu

kota, maka wilayah-wilayah tersebut menjadi daerah penyangga ibu kota yang

menyebabkan terpengaruhnya budaya serta karakteristik secara sosiodemografi yang

turut memberikan dampak pada status kesehatan masyarakatnya. Wilayah-wilayah

tersebut didominasi oleh area pemukiman dan industri, dengan kepadatan penduduk

yang tinggi, memungkinkan adanya daerah slum/kumuh sehingga sanitasi kesehatan

lingkungan akan memburuk (Alhamda & Sriani, 2015) seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya, kondisi tersebut dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi

perkembangan bakteri penyebab ISPA Pneumonia (Ditjen P2PL, 2012).

Selain faktor yang telah dijelaskan sebelumnya, masih terdapat faktor-faktor

lingkungan lainnya yang dimungkinkan memiliki keterkaitan terhadap kejadian ISPA

pneumonia pada balita di Provinsi Banten. Gambaran status kesehatan masyarakat

terhadap kejadian penyakit ISPA pneumonia pada balita di Provinsi Banten selama

tahun 2011-2015 yang dilihat berdasarkan kondisi lingkungan berupa jenis lantai,

Page 106: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

86

jenis dinding, bahan bakar memasak, kepadatan industri, kepadatan ternak unggas,

jenis pekerjaan, dan kemiskinan dapat dilihat pada penjelasan selanjutnya.

6.3 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Faktor

Lingkungan Fisik Di Provinsi Banten Tahun 2011-2015

6.3.1 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan

Jenis Lantai Rumah Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2015

Lantai merupakan salah satu komponen yang harus diperhatikan untuk

dapat menciptakan rumah yang sehat, kondisi lantai harus kedap air dan tidak

lembab, tinggi minimum 10 cm dari pekarangan dan 25 cm dari badan jalan,

untuk rumah panggung dapat terbuat dari papan atau anyaman bambu (Ditjen

Cipta Karya, 1997). Kondisi lantai rumah yang tidak memenuhi syarat dapat

menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya penyakit ISPA

Pneumonia pada balita. Ruangan di dalam rumah akan menjadi lebih panas dan

lembab jika lantai rumah masih terbuat dari tanah, bahkan kandungan pencemar

dari bahan bangunan rumah juga akan mengalami peningkatan karena terjadi

penguapan di dalam ruangan akibat suhu panas yang meningkat. Sel-sel bakteri

termasuk Pneumococus akan mengalami pertumbuhan yang cepat pada

kelembaban yang tinggi karena kandungan uap air di udara cukup tinggi, sehingga

kondisi ini sangat kondusif bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup agen

penyakit ISPA Pneumonia tersebut (Gould & Brooker, 2003).

Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian Pramudiyani &

Prameswari (2011) yang menunjukkan bahwa kondisi lantai menjadi salah satu

Page 107: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

87

faktor lingkungan rumah yang berhubungan dengan kejadian penyakit

pneumonia. Wayangkau, Wambrauw, & Simanjuntak (2015) juga menemukan

bahwa anak yang tinggal dirumah dengan jenis lantai tidak memenuhi syarat

berisiko 3,538 kali lebih besar untuk menderita ISPA dibanding dengan balita

yang tinggal di rumah dengan jenis lantai memenuhi syarat. Bahkan, hasil

penelitian Suriyasa et al (2006) membuktikan bahwa lantai rumah yang

memenuhi syarat dan berada dalam kondisi yang bersih mampu menurunkan

risiko ISPA sebesar 51%.

Namun, dalam penelitian ini menghasilkan gambaran yang berbeda,

dimana terdapat wilayah dengan proporsi lantai tanah penduduk yang tinggi

berada pada zona kuning dan zona hijau yang menunjukkan kecenderungan kasus

yang rendah. Kemudian terdapat proporsi kepemilikan lantai tanah penduduk

yang rendah berada pada zona kuning dan merah yang menunjukkan

kecenderungan perkembangan kasus yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa

pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan

berupa jenis lantai memiliki kecenderungan ke arah negatif. Pernyataan tersebut

sesuai dengan hasil penelitian Safitri dan Keman (2007) yang menunjukkan

bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis lantai rumah dengan kejadian ISPA

pada balita. Begitu pula pada penelitian Yousef dan Hamed (2016) yang

menyatakan tidak ada perbedaan yang signifikan antara lantai yang berbahan

keramik ataupun yang masih berupa tanah terhadap kejadian ISPA pada balita.

Untuk menciptakan kondisi rumah yang sehat tidak hanya ditentukan dari

jenis lantainya saja, tetapi juga beberapa kondisi lainnya seperti bangunan, jendela

Page 108: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

88

dan ventilasi, dinding, langit-langit, serta atap rumah (Ditjen Cipta Karya, 1997),

sehingga terdapat kemungkinan kejadian ISPA pneumonia pada balita

dipengaruhi oleh komponen lainnya selain jenis lantai tanah. Selain faktor

lingkungan dalam rumah, terdapat kemungkinan adanya pengaruh dari faktor lain

seperti geografi, demografi, maupun sosio ekonomi (Chen, Williams, dan Kirk,

2014), mengingat penyakit ISPA pneumonia merupakan penyakit yang tidak

hanya dipengaruhi oleh satu faktor saja.

Hasil penelitian ini juga memperlihatkan bahwa terdapat wilayah dengan

proporsi lantai tanah yang tinggi, namun memiliki kasus ISPA Pneumonia pada

balita yang rendah, seperti yang terjadi di Kabupaten Lebak tahun 2013. Hal ini

dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang ada di Kabupaten Lebak, yang

secara morfologi didominasi oleh daerah perbukitan dan pegunungan (Pokja

AMPL Kabupaten Lebak, 2013). Daerah perbukitan merupakan daerah yang

didominasi oleh area hutan dan perkebunan sehingga kualitas udara di area

tersebut masih sejuk dan bersih (KLHK, 2015), kondisi lingkungan tersebut dapat

memungkinkan menjadi faktor yang mendukung dari kejadian ISPA Pneumonia

pada balita yang rendah. Seperti dalam hasil penelitian Sulistiyani (n.d.) yang

menemukan bahwa terdapat perbedaan kualitas udara di daerah pantai, peralihan

ataupun pegunungan, dimana daerah pegunungan memiliki kualitas udara yang

lebih baik dari daerah lain karena memiliki kadar debu yang paling rendah. Hasil

penelitian Daroham & Mutiatikum (2009) juga menemukan bahwa anak-anak

yang tinggal di daerah rural lebih sedikit menderita penyakit ISPA dari pada anak

yang tinggal di daerah urban.

Page 109: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

89

Jika dilihat berdasarkan teori H. L. Blum, maka terdapat kemungkinan

adanya pengaruh yang lebih besar dari faktor lainnya, yaitu faktor pelayanan

kesehatan dan faktor genetik seperti yang terjadi di Kota Tangerang tahun 2012.

Pada faktor pelayanan kesehatan, persentase penemuan kasus pneumonia balita di

Kota Tangerang masih sangat rendah, yaitu 37,7% (Dinas Kesehatan Provinsi

Banten, 2012). Angka penemuan kasus pneumonia yang memenuhi target

merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk dapat menanggulangi penyakit

ISPA pada balita, bila angka penemuan kasus pneumonia pada balita rendah maka

terdapat kemungkinan masih banyaknya penderita yang tidak ditangani oleh

petugas kesehatan, sehingga memungkinkan untuk terjadinya penularan yang

lebih luas bahkan dapat meningkatkan risiko kematian (Ditjen P2PL, 2012).

Kemudian pada faktor genetik dapat dikaitkan oleh status gizi balita, dimana Kota

Tangerang memiliki persentase balita gizi buruk tertinggi dibandingkan dengan

kabupaten/kota lainnya yaitu sebesar 1,4% (Dinas Kesehatan Provinsi Banten,

2012). Status gizi yang buruk pada balita dapat mempengaruhi rendahnya

imunitas tubuh balita dalam melawan pathogen penyakit, sehingga balita akan

lebih mudah terserang penyakit termasuk ISPA (WHO, 2007).

Jadi, terdapat kecenderungan bahwa kejadian ISPA pada balita yang ada

di masyarakat tidak hanya berkaitan dengan kondisi lantai, tetapi juga berkaitan

dengan kondisi kesehatan lingkungan lainnya, dan dapat juga berkaitan dengan

faktor selain lingkungan seperti pelayanan kesehatan dan genetik.

Page 110: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

90

6.3.2 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan

Jenis Dinding Rumah Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2015

Menurut kemenkes RI (1999), salah satu persyaratan rumah yang sehat

adalah memiliki dinding yang terbuat dari conblock (Menteri Permukiman dan

Prasarana Wilayah, 2002) atau batu bata dan telah diplester (Chandra, 2007). Hal

ini difungsikan untuk memberikan perlindungan penghuninya dari berbagai

kondisi lingkungan luar rumah yang dapat membahayakan kesehatan dan

keselamatan, salah satunya adalah kondisi udara luar rumah (ambien) yang

mengalami pencemaran seperti gas-gas beracun dari alam ataupun aktivitas

manusia (Kemenkes RI, 1999). Selain itu, bahan bangunan rumah tidak boleh

terbuat dari bahan yang dapat melepaskan zat-zat yang dapat membahayakan

kesehatan (Kemenkes RI, 1999), sementara kayu merupakan bahan yang bersifat

higroskopis (menyerap dan melepaskan kelembaban), memiliki pori-pori atau

serat-serat, sehingga memiliki kemampuan untuk menyerap udara yang ada

disekitarnya, terlebih lagi bila kayu memiliki ketebalan yang rendah, maka

kemungkinan besar polusi udara yang berada di luar rumah dapat memasuki

ruangan dalam rumah melewati serat-serat atau celah-celah pada dinding yang

terbuat dari kayu tersebut, selain itu juga dapat memungkinkan bagi

mikroorganisme terutama bakteri untuk hidup dan melekat pada permukaan kayu

(Dumanau, 2007) yang dapat menjadi agen penyakit ISPA. Kondisi dinding

rumah ini akan berpengaruh juga pada kelembaban. Kelembaban rumah akan

menjadi tidak normal jika dinding rumah memiliki kondisi yang tidak memenuhi

syarat, dan kelembaban yang tidak normal tersebut akan menjadi prakondisi

Page 111: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

91

pertumbuhan kuman maupun bakteri pathogen yang dapat menimbulkan penyakit

bagi penghuinya (Padmonobo, Setiani, dan Joko, 2012).

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Lubis, et al. (1996) yang

menyatakan bahwa jenis tembok berpengaruh terhadap proporsi balita yang sakit

batuk dengan napas cepat. Hasil penelitian Sikolia, et all (2002) juga

menunjukkan hal yang serupa, bahwa jenis dinding rumah berpengaruh terhadap

kejadian penyakit ISPA pada balita, dimana balita yang tinggal di rumah dengan

kondisi dinding yang buruk memiliki risiko 1,13 kali lebih besar untuk terkena

penyakit ISPA dibanding dengan balita yang tinggal di rumah dengan kondisi

dinding yang telah diplester. Lebih lanjut Sunarsih dan Purba (2015) dalam hasil

penelitiannya menyatakan bahwa materi dinding yang tidak diplester, yang

terbuat dari kayu atau papan akan memproduksi partikel debu halus yang dapat

mengiritasi saluran pernapasan bila terhirup, dan iritasi tersebut akan

memudahkan seseorang untuk terserang pneumonia.

Namun, penelitian ini menghasilkan kondisi yang berbeda. Berdasarkan

Peta 5.3 dapat terlihat bahwa wilayah dengan proporsi dinding kayu yang tinggi

berada pada zona kuning dan hijau yang menunjukkan kecenderungan kasus yang

rendah. Kemudian proporsi kepemilikan jenis dinding kayu yang rendah terjadi

pada zona kuning dan merah yang menunjukkan kecenderungan kasus yang

tinggi. Hal tersebut memperlihatkan adanya pola persebaran penyakit ISPA

Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis dinding rumah

memiliki kecenderungan ke arah negatif.

Page 112: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

92

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Winardi, Umboh, dan Rattu

(2015) yang menyatakan tidak terdapat hubungan antara jenis dinding rumah

terhadap penyakit ISPA pada anak balita. Maka terdapat kemungkinan adanya

faktor lingkungan lain yang mempengaruhinya, salah satunya adalah kondisi

lingkungan geografis wilayah tersebut. Kota Tangerang termasuk kedalam daerah

penyangga ibukota yang didominasi oleh area pemukiman (50%), pertanian

(20%), dan industri (15%). Kota Tangerang terdapat sistem jaringan transportasi

terpadu dengan kawasan Jabodetabek, serta memiliki aksesibilitas yang baik

terhadap simpul transportasi berskala nasional dan internasional, seperti Bandar

Udara Internasional Soekarno Hatta, Pelabuhan Internasional Tanjung Priok, serta

Pelabuhan Bojonegara, menjadikan letak geografis Kota Tangerang yang strategis

dan memiliki mobilitas yang tinggi, sehingga mendorong pertumbuhan aktivitas

industri, perdagangan dan jasa (Pokja AMPL Kota Tangerang, 2013).

Tingkat kepadatan penduduk di Kota Tangerang juga merupakan yang

tertinggi jika dibandingkan wilayah kabupaten/kota lainnya di Provinsi Banten

yang dapat berkaitan juga dengan sanitasi rumah dan pemukiman penduduknya

yang kurang baik. Berbagai kondisi tersebut menyebabkan adanya peningkatan

aktivitas manusia yang berdampak pada penurunan kualitas udara ambien di

wilayah Kota Tangerang, sehingga terjadinya kontak antara pathogen dan

penderita bisa saja tidak hanya berasal dari dalam rumah, melainkan dari

lingkungan udara ambien di luar rumah.

Jika dilihat berdasarkan teori H. L. Blum, maka terdapat kemungkinan

adanya pengaruh dari faktor lainnya, yaitu faktor genetik. Berdasarkan faktor

Page 113: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

93

genetik dapat dilihat dari masih rendahnya pemberian ASI ekslusif di Kota

Tangerang (34,8%), kemudian jumlah balita yang mengalami gizi kurang (10,5

%) dan gizi buruk (1,7 %) merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan

Kabupaten/kota lainnya di Provinsi Banten (Dinas Kesehatan Provinsi Banten,

2012). ASI eksklusif dan status gizi balita akan berpengaruh pada terbentuknya

imunitas balita menjadi lebih baik yang dapat melindungi dari berbagai penyakit.

Sehingga kedua faktor ini dapat berkaitan dengan tingginya kasus ISPA

pneumonia pada balita di Kota Tangerang walaupun proporsi dinding kayu yang

ada sudah rendah.

6.3.3 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan

Jenis Bahan Bakar Memasak Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-

2015

Salah satu penyebab ISPA Pneumonia pada balita dapat bersumber dari

dalam rumah sendiri, yang berasal dari asap rumah tangga yang masih

menggunakan kayu bakar untuk memasak, hal ini dapat diperburuk apabila

ventilasi rumah kurang baik dan dapur menyatu dengan ruang keluarga atau

kamar (Ditjen P2PL, 2012). Asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu

menghasilkan beberapa jenis polutan udara seperti particulate matter, carbon

monoxide, nitrogen oxide, formaldehyde, benzene, 1,3 butadiene, polycyclic

aromatic hydrocarbons yang berbahaya bagi kesehatan termasuk bagi saluran

pernapasan (Krauss, 2003). Bila polutan tersebut terhirup kedalam saluran

pernapasan, maka dapat menimbulkan iritasi. Adanya iritasi pada saluran

Page 114: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

94

pernapasan akan mengganggu fungsi mukosilier dalam mencegah masuknya

kuman ke dalam saluran pernapasan, sehingga kuman dan bakteri penyebab

penyakit ISPA Pneumonia akan lebih mudah menyerang sistem pernapasan pada

balita (Wahyuni & Ikhsan, 2010).

Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian di India (Rosdiana &

Hermawati, 2015) yang menemukan bahwa kejadian ISPA 4,312 kali lebih

berisiko pada balita yang di rumahnya menggunakan kayu bakar untuk memasak

dibandingkan dengan balita yang di rumahnya menggunakan bahan bakar gas atau

minyak tanah. Hasil penelitian Sanbata, Asfaw, dan Kumie (2014) di Ethiopia

juga menemukan bahwa penggunaan kayu bakar memiliki risiko 2,97 kali lebih

besar bagi balita untuk terserang penyakit ISPA. Penelitian Wichman & Voyi

(2006) juga menunjukkan bahwa terdapat 1,27 kali risiko yang lebih besar bagi

anak untuk menderita pneumonia bila tinggal di rumah yang menggunakan bahan

bakar yang menimbulkan pencemaran dibanding dengan yang menggunakan

listrik atau gas. Perubahan jenis bahan bakar biomasa dan kayu bakar (arang)

untuk memasak menjadi bahan bakar bersih seperti gas dan listrik dapat menjadi

salah satu upaya dalam mengurangi prevalensi penyakit ISPA (Kilabuko & Nakai,

2007).

Namun hasil penelitian ini menunjukkan kondisi yang berbeda. Dimana

terdapat wilayah dengan proporsi bahan bakar kayu yang tinggi berada pada zona

kuning dan zona hijau yang menunjukkan kecenderungan kasus yang rendah.

Terdapat juga proporsi kepemilikan jenis bahan bakar kayu yang rendah dan jenis

bahan bakar gas yang tinggi terjadi di wilayah yang berada pada zona kuning dan

Page 115: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

95

merah yang menunjukkan kecenderungan kasus yang tinggi. Hal tersebut

memperlihatkan adanya pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita

terhadap faktor lingkungan berupa jenis bahan bakar untuk memasak memiliki

kecenderungan ke arah negatif.

Hal tersebut dapat terjadi tergantung pada kondisi lingkungan rumah, jika

di ruangan dapur terdapat lubang penghawaan keluar (baik berupa lubang

ventilasi, maupun peralatan bantu elektrikal seperti blower atau exhaust fan) maka

asap pembakaran dari dapur tidak akan memasuki ruangan keluarga, ruang tidur,

ruang tamu dan ruang kerja, sehingga tidak mengganggu kenyamanan ruangan

dalam bangunan dimana anggota keluarga termasuk balita berada (Menteri

Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002). Bila ruang dapur memiliki ventilasi

yang baik, maka kejadian ISPA Pneumonia pada balita dapat dicegah, karena

konsentrasi emisi partikel asap dari sisa pembakaran dapat berkurang dengan

adanya sirkulasi udara yang baik dari keberadaan ventilasi tersebut

(Sunyatiningkamto, et al., 2004 & Yadama, et al., 2012). Oleh sebab itu

pemanfaatan ventilasi udara di dapur menjadi salah satu metode untuk

menurunkan risiko pneumonia pada balita yang diakibatkan bahan bakar

memasak (Fahimah, Kusumowardani, dan Susanna, 2014).

Selain faktor lingkungan dari ruang dapur, terdapat kemungkinan adanya

pengaruh dari faktor lainnya yaitu faktor perilaku. Berdasarkan faktor perilaku

terdapat kemungkinan kebiasaan ibu ketika memasak tidak membawa balita ke

dapur, sehingga risiko untuk menghirup asap yang ditimbulkan berkurang, seperti

dalam penelitian Sukar, et al (1996) yang menemukan bahwa terdapat hubungan

Page 116: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

96

yang signifikan antara ISPA dan kebiasaan ibu membawa bayi dan anak-anak

mereka ketika memasak didapur. Maka dalam hal ini letak atau posisi dapur yang

terpisah dari ruang lainnya di dalam rumah menjadi hal yang sangat penting,

karena asap pembakaran dari kegiatan memasak dapat mencemari ruang lainnya

di dalam rumah, termasuk ruang kamar tempat balita lebih banyak menghabiskan

waktunya (Anwar & Dharmayanti, 2012).

6.3.4 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan

Kepadatan Ternak Unggas di Provinsi Banten Tahun 2011-2015

Berdasarkan Peta 5.6 dapat terlihat bahwa wilayah yang memiliki ternak

unggas padat dan sangat padat terdapat di zona merah dan zona kuning yang

menunjukkan adanya kecenderungan kasus yang tinggi. Selain itu dapat terlihat

juga adanya peningkatan kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang seiring juga

dengan peningkatan kepadatan ternak unggas, begitu pula sebaliknya. Hal ini

memperlihatkan adanya pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita

terhadap faktor lingkungan berupa kepadatan ternak memiliki kecenderungan ke

arah positif.

Keberadaan unggas di sekitar tempat tinggal merupakan salah satu faktor

risiko dari penyakit ISPA pada balita (WHO, 2007). Kegiatan memelihara unggas

memiliki risiko terhadap penurunan kualitas lingkungan karena dapat

meningkatkan keberadaan bakteri, protozoa, fungi, virus, atau parasit lainnya

yang dapat menyebabkan atau menularkan penyakit ke manusia (Krauss, et al.,

2003), dan berbagai mikroorganisme tersebut merupakan agent penyebab

Page 117: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

97

penyakit ISPA Pneumonia. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Herawati

dan Sukoco (2011) serta Yousef dan Hamed (2016) yang juga menyatakan bahwa

terdapat kecenderungan peningkatan risiko ISPA terhadap masyarakat yang

memelihara unggas. Bahkan beberapa jenis virus telah terbukti dapat menularkan

penyakit dari unggas secara langsung ke manusia, seperti wabah flu burung yang

pernah terjadi di Indonesia dan telah tersebar di 13 provinsi serta 53

kabupaten/kota yang merupakan kasus terbesar di dunia dengan kematian 149

orang dari 181 kasus positif (CFR 82,3%) (Ditjen P2PL, 2012). Hal ini

menunjukkan bahwa faktor lingkungan berupa keberadaan ternak unggas yang

tinggi memiliki kecenderungan untuk menunjukkan kejadian ISPA Pneumonia

yang tinggi pula.

Namun hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian Hemsworth

(2006) yang menunjukkan bahwa memelihara ternak unggas tidak selalu

menyebabkan penyakit ISPA, karena dengan menjaga kebersihan dan sanitasi

unggas serta melindungi diri dari kontaminasi secara langsung dapat mencegah

timbulnya infeksi atau penyakit yang ditularkan oleh unggas tersebut. Memelihara

kebersihan kandang, kotoran, dan mengatur jarak kandang unggas dengan tempat

tinggal secara baik juga dapat menurunkan risiko terkena ISPA yang disebabkan

oleh unggas (Puspita, 2014), sehingga keberadaan unggas tidak akan

memperburuk kondisi lingkungan fisik dalam rumah (Afandi, 2012). Maka

terdapat kemungkinan bahwa jika perilaku masyarakat dalam memelihara unggas

sudah baik, dan ternak unggas berada pada jarak yang jauh dari rumah penduduk,

tidak akan memberikan dampak buruk pada masyarakat.

Page 118: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

98

6.3.5 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan

Kepadatan Industri di Provinsi Banten Tahun 2011-2015

Berdasarkan Peta 5.7 dapat diketahui bahwa terdapat kabupaten/kota yang

termasuk ke dalam zona merah dan disertai juga dengan kepadatan industri yang

tinggi. Maka terdapat pola kejadian ISPA pneumonia pada balita terhadap

kepadatan industri memiliki kecenderungan ke arah positif, tetapi pola tersebut

hanya terjadi pada wilayah timur Provinsi Banten.

Berdasarkan hal tersebut terdapat kecenderungan bahwa masyarakat yang

tinggal di wilayah yang memiliki kepadatan industri yang tinggi juga memiliki

kejadian ISPA pneumonia pada balita yang tinggi pula. Hal ini sejalan dengan

hasil penelitian Ardianto & Yudhastuti (2012) yang menyatakan bahwa lama

tinggal responden di kawasan industri berpengaruh terhadap kejadian ISPA,

dimana penduduk yang tinggal di kawasan industri ≥ 2 tahun berisiko 9,58 kali

lebih tinggi untuk menderita ISPA dibandingkan yang belum lama tinggal di

kawasan industri.

Salah satu penyebab penyakit ISPA pneumonia adalah polutan udara.

Aktivitas industri akan menghasilkan beberapa jenis polutan udara yang dapat

membahayakan kesehatan khususnya pada sistem pernapasan, dan jika terhirup

oleh manusia dapat menyebabkan adanya reaksi peradangan pada saluran

pernapasan, kondisi yang lebih buruk dapat terjadi bila terhirup oleh balita dan

anak-anak yang imunitas tubuhnya masih rendah. Hasil penelitian Agustin (2004)

menemukan bahwa beberapa jenis polutan seperti SO2, NO, dan NOx yang

berasal dari transportasi, industri, dan pembuangan limbah padat berhubungan

Page 119: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

99

dengan gangguan saluran pernapasan termasuk ISPA. Sugiarti (2008)

menambahkan bahwa paparan SOx dapat menyebabkan peradangan pada selaput

lendir di hidung, tenggorokan, hingga paru-paru, bahkan jika paparan terjadi

dalam waktu yang lama peradangan hebat dapat terjadi. Peradangan tersebut

menjadi satu kondisi yang menguntungkan bagi bakteri penyebab pneumonia

untuk menyerang saluran pernapasan bawah, sehingga akan lebih mudah bagi

balita untuk menderita pneumonia (Wahyuni & Ikhsan, 2010).

Namun penelitian ini juga menghasilkan kondisi yang berbeda pada

wilayah lainnya, dimana terdapat wilayah dengan kepadatan industri yang rendah

namun memiliki kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang tinggi. Hal ini

menunjukkan bahwa kejadian ISPA pneumonia yang tinggi bisa saja tidak

berkaitan dengan jumlah industri yang ada, tetapi karena pengaruh dari faktor

lainnya.

Selain faktor lingkungan, menurut H. L. Blum pelayanan kesehatan juga

merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan status kesehatan masyarakat

(Ryadi, 2016). Berdasarkan pedoman penanggulangan ISPA di Indonesia, salah

satu upaya untuk menurunkan kejadian ISPA pada balita yang tinggi adalah

dengan meningkatkan angka cakupan penemuan kasus pneumonia sesuai dengan

target yang telah ditetapkan yaitu 70% pada tahun 2011 dan 80% pada tahun 2012

(Ditjen P2PL2, 2012). Namun di Kabupaten Pandeglang penemuan kasus

pneumonia balita hanya mencapai 1,9% bahkan menjadi yang terendah

dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya, walaupun terjadi peningkatan yang

cukup tinggi pada tahun 2012 menjadi 23,1%, namun tetap masih jauh dari target

Page 120: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

100

yang harus dicapai (Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2011 & 2012). Faktor

tersebutlah yang dimungkinkan menjadi salah satu penyebab adanya

kecenderungan penyakit ISPA Pneumonia pada balita yang tinggi walaupun

jumlah industri di wilayah tersebut sudah rendah.

6.4 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Faktor

Lingkungan Sosial Ekonomi Di Provinsi Banten Tahun 2011-2015

6.4.1 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan

Jenis Pekerjaan Di Provinsi Banten Tahun 2011-2014

Status kesehatan seseorang dapat dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang

digeluti oleh orang tersebut. Jenis pekerjaan seseorang akan berhubungan dengan

keterpaparan penyakit akibat pekerjaannya (Daroham & Mutiatikum, 2009).

Pekerjaan di bidang pertanian dapat menjadi faktor risiko dari terjadinya infeksi

saluran pernapasan, karena dalam kegiatan pertanian terdapat beberapa polutan

yang sering kontak dengan pekerja, polutan tersebut antara lain debu organik,

debu anorganik, gas-gas yang berasal dari kandang hewan seperti hydrogen

sulfide (H2S), ammonia (NH3), carbon dioxide (CO2) dan methane (CH4), serta

gas, asap, maupun bahan-bahan kimia lain yang bersifat toksik (Kirkhorn, n.d).

Bila berbagai polutan tersebut terhirup oleh pekerja maka dapat menyebabkan

iritasi pada saluran pernapasan sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya

infeksi saluran pernapasan termasuk pneumonia (Daud & Sedionoto, 2010.,

Fahimah, Kusumowardani, dan Susanna, 2014). Pernyataan tersebut sesuai

dengan hasil penelitian Muhe (1994) yang menemukan bahwa tinggal dalam

Page 121: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

101

keluarga yang ayahnya bekerja sebagai petani memiliki keterkaitan dengan

meningkatnya kejadian penyakit ISPA pada anak. Goel et al (2012) juga

menemukan bahwa prevalensi ISPA paling tinggi terjadi pada anak yang

pekerjaan ayahnya di bidang pertanian.

Namun, hasil penelitian ini memberikan gambaran yang berbeda. Dapat

terlihat bahwa proporsi pekerjaan bidang pertanian yang tinggi terjadi pada zona

kuning dan zona hijau, yang menunjukkan kejadian ISPA pneumonia pada balita

yang rendah. Hal tersebut memperlihatkan adanya pola persebaran penyakit ISPA

Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis pekerjaan bidang

pertanian memiliki kecenderungan ke arah negatif. Hasil ini sejalan dengan

penelitian Sofiyatun, Rahayuningsih (2014) dan Suriyasa, et al. (2006) yang

menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis pekerjaan baik itu

tidak bekerja, pekerja petani, pekerja kantoran, polisi, ataupun jenis pekerjaan

lainnya dengan kejadian ISPA. Kondisi tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor

lainnya yang melekat pada wilayah masing-masing, yaitu pada karakteristik

wilayah secara morfologi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa

Kabupaten Lebak memiliki wilayah yang didominasi oleh daerah perbukitan dan

pegunungan dimana kualitas udara masih segar dan bersih (memiliki tingkat

pencemaran udara yang rendah), sehingga kejadian ISPA Pneumonia pada balita

rendah walaupun penduduk yang bekerja di bidang pertanian tinggi.

Sementara itu, pada jenis pekerjaan di bidang industri memberikan hasil

yang berbeda. Dapat terlihat bahwa proporsi pekerjaan bidang industri yang tinggi

terjadi pada zona kuning dan zona merah, yang menunjukkan kejadian ISPA

Page 122: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

102

pneumonia pada balita yang tinggi. Hal tersebut memperlihatkan adanya pola

persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan

berupa jenis pekerjaan bidang industri memiliki kecenderungan ke arah positif.

Emisi udara, limbah buangan, dan sampah padat yang dapat mengandung

berbagai jenis polutan kimia berpotensi dihasilkan dari kegiatan pokok di dalam

industri (Widyastuti, 2006). Sehingga orang yang bekerja di lingkungan industri

memiliki potensi besar untuk terpapar oleh zat-zat kimia berbahaya yang dapat

menyebabkan penyakit salurah pernapasan. Contoh bahaya kesehatan pekerja di

industri adalah paparan uap zat kimia yang dapat mengakibatkan iritasi dan

peradangan pada saluran pernapasan yang ditandai dengan batuk, pilek, sesak

napas, dan demam (Lestari, 2010). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian

Yusnabeti, Wulandari, & Luciana (2010) yang menyatakan bahwa terdapat

hubungan antara pekerjaan industri dengan kejadian ISPA, dimana proses

produksi dan aktivitas industri dapat menghasilkan polutan PM10 yang melebihi

nilai ambang batas sehingga berperan dalam kejadian ISPA pada pekerja, hal ini

diperkuat lagi dengan kondisi lingkungan kerja yang tidak memenuhi syarat

kesehatan.

Adanya pola kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang memiliki

kecenderungan ke arah positif dengan pekerjaan bidang industri menunjukkan

bahwa terdapat kecenderungan penyakit ISPA Pneumonia yang diderita oleh

balita disebabkan karena penularan dari anggota keluarga yang terkena ISPA,

terutama dengan anggota keluarga yang bekerja di bidang industri. Hal ini sejalan

dengan hasil penelitian Banda, et al., (2016) yang menyatakan bahwa ada

Page 123: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

103

hubungan antara anggota keluarga yang menderita ISPA dengan kejadian ISPA

pada balita, dimana anggota keluarga terutama ibu dan saudara kandung yang

tinggal serumah dengan riwayat penyakit ISPA sebulan terakhir memiliki risiko

untuk menularkan kepada balita. Selain itu, terdapat kemungkinan pula orang

yang bekerja di bidang industri adalah penduduk setempat yang berada atau

tinggal di sekitar area industri, sehingga terdapat kemungkinan rumah penduduk

berada pada jarak yang dekat dengan area industri sehingga meningkatkan risiko

balita untuk terkena ISPA Pneumonia.

Namun dalam hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Etiler,

Velipasaoglu, & Aktekin (2002) yang menemukan bahwa tidak terdapat

hubungan antara status pekerjaan anggota keluarga (ayah) dengan kejadian ISPA

pada balita. Seseorang yang bekerja di bidang industri memang memiliki risiko

untuk menderita ISPA dan memungkinkan untuk menularkan kepada balita atau

anggota keluarga lain di lingkungan rumah. Namun pekerja maupun masyarakat

dapat terlindungi dari paparan zat kimia yang dikeluarkan dari proses industri

selama bekerja jika prosedur industri dan tindakan pencegahan tepat dijalankan

dengan benar (Widyastuti, 2006). Sehingga walaupun terdapat anggota keluarga

yang bekerja di tempat kerja yang memiliki risiko untuk terserang penyakit ISPA,

ia tidak akan terserang penyakit tersebut bila selama bekerja menerapkan prosedur

pencegahan keterpaparan agen-agen penyakit ISPA di tempat kerja dengan baik,

dan bila ia dapat menjaga kebersihan diri ketika berada di rumah dan kontak

dengan balita, maka akan menurunkan risiko terjadinya penularan.

Page 124: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

104

6.4.2 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan

Kemiskinan Di Provinsi Banten Tahun 2011-2014

Penyakit ISPA merupakan salah satu jenis penyakit yang banyak diderita

oleh masyarakat miskin (Kasim, 2006). Badan organisasi dunia WHO

menjelaskan bahwa penyakit ISPA pada dasarnya bukan penyakit mematikan dan

jarang menjadi fatal bila sistem pelayanan kesehatan memiliki sumber daya yang

baik dan efektif, namun di negara berkembang penyakit ISPA pneumonia menjadi

salah satu penyebab kematian terbesar pada balita dan anak-anak, hal ini

disebabkan oleh pelayanan kesehatan yang kurang memadai, akses yang buruk

terhadap pelayanan kesehatan yang tersedia, kurangnya sumber daya yang

dibutuhkan dan berbagai penyebab lainnya yang dipengaruhi oleh masalah

kemiskinan (Apriningsih, 2009). Kondisi kemiskinan tersebut juga akan

berpengaruh pada ketidaktercapaian kebutuhan asupan gizi yang baik bagi balita

sehingga berpengaruh pada rendahnya status gizi balita, dan berkaitan erat dengan

kondisi sanitasi lingkungan rumah yang buruk (pencemaran lingkungan dalam

rumah) (Machmud, 2009). Kedua faktor tersebut akan berpengaruh pada kondisi

fisik balita sehingga lebih mudah terserang ISPA Pneumonia (Pore, Ghattargi, &

Rayate 2010., Machmud, 2009).

Hal tersebut sesuai dengan penelitian Hapsari, Dharmayanti, & Supraptini

(2013), Rojas (2007), Biradar (2013) yang menyatakan bahwa kemiskinan

berhubungan secara signifikan dengan kejadian ISPA, dimana kejadian ISPA

yang tinggi terjadi pada masyarakat yang memiliki status ekonomi yang rendah.

Page 125: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

105

Penelitian Rahman & Rahman (1997) juga menyatakan bahwa kejadian ISPA

pada anak lebih banyak terjadi pada keluarga yang tergolong miskin.

Namun, hasil penelitian ini menunjukkan kondisi yang berbeda. Jumlah

kabupaten/kota yang memiliki proporsi penduduk miskin yang rendah dan berada

pada zona kuning dan merah yang menunjukkan kecenderungan kasus yang tinggi

jumlahnya jauh lebih besar, yang menunjukkan pola persebaran penyakit ISPA

Pneumonia pada balita terhadap kemiskinan penduduk memiliki kecenderungan

ke arah negatif. Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian Duarte & Botelho

(2000) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara pendapatan

keluarga dengan kejadian penyakit ISPA pada anak.

Adanya kondisi pola penyakit ISPA pneumonia terhadap faktor

lingkungan sosial ekonomi berupa kemiskinan penduduk yang memiliki

kecenderungan ke arah negatif paling terlihat di wilayah Kota Tangerang.

Wilayah tersebut memiliki angka kepadatan Industri yang paling tinggi

dibandingkan dengan wilayah lainnya di Provinsi Banten selama lima tahun.

Selain itu pada hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya pola persebaran

penyakit yang memiliki kecenderungan ke arah positif dengan faktor lingkungan

berupa kepadatan industri. Sehingga terdapat kecenderungan bahwa faktor

tersebutlah yang berperan terhadap kejadian ISPA pneumonia pada balita yang

tinggi walaupun proporsi kemiskinan penduduknya rendah.

Dengan demikian, dapat terlihat bahwa pada wilayah timur Provinsi

Banten, terutama Kota Tangerang menunjukkan kecenderungan sebagai wilayah

yang paling bermasalah, karena pada beberapa faktor lingkungan yang

Page 126: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

106

menunjukkan hasil adanya kecenderungan ke arah positif terhadap penyakit ISPA

pneumonia pada balita selalu terjadi pada wilayah tersebut.

Page 127: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

107

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

1. Distribusi frekuensi penyakit ISPA pneumonia pada balita yang tinggi di Provinsi

Banten selama tahun 2011-2015 memiliki kecenderungan lebih terpusat pada wilayah

timur Provinsi Banten, terutama pada Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan.

Kemudian, terdapat pola persebaran penyakit, dimana tingkat kejadian ISPA

pneumonia pada balita yang sama terjadi pada wilayah yang berdekatan.

2. Distribusi frekuensi penyakit ISPA pneumonia berdasarkan faktor lingkungan fisik di

Provinsi Banten tahun 2011-2015 yaitu:

2.1 Kabupaten/kota dengan proporsi lantai tanah penduduk yang tinggi tersebar pada

wilayah yang memiliki kejadian ISPA pneumonia pada balita yang rendah, dan

begitu pula sebaliknya. Sehingga terdapat pola persebaran penyakit ISPA

Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis lantai yang

memiliki kecenderungan ke arah negatif.

2.2 Kabupaten/kota dengan proporsi dinding kayu yang tinggi tersebar pada wilayah

yang memiliki kejadian ISPA pneumonia pada balita yang rendah, dan begitu pula

sebaliknya. Sehingga terdapat pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada

balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis dinding yang memiliki

kecenderungan ke arah negatif.

2.3 Kabupaten/kota dengan proporsi bahan bakar kayu yang tinggi tersebar pada

wilayah yang memiliki kejadian ISPA pneumonia pada balita yang rendah, dan

Page 128: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

108

begitu pula sebaliknya. Sehingga terdapat pola persebaran penyakit ISPA

Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis bahan bakar yang

memiliki kecenderungan ke arah negatif.

2.4 Kabupaten/kota yang memiliki ternak unggas padat dan sangat padat tersebar di

wilayah yang memiliki kejadian ISPA pneumonia pada balita yang tinggi. Selain

itu terdapat peningkatan dan penurunan kejadian ISPA Pneumonia pada balita

yang seiring juga dengan peningkatan dan penurunan kepadatan ternak unggas.

Sehingga terdapat pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap

faktor lingkungan berupa kepadatan ternak yang memiliki kecenderungan ke arah

positif.

2.5 Kabupaten/kota dengan kepadatan industri yang tinggi tersebar pada wilayah

yang memiliki kejadian ISPA pneumonia pada balita yang tinggi. Sehingga

terdapat pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor

lingkungan berupa kepadatan industri yang memiliki kecenderungan ke arah

positif.

3. Distribusi kejadian penyakit ISPA pneumonia berdasarkan faktor lingkungan sosial

ekonomi di Provinsi Banten selama tahun 2011-2015 yaitu:

3.1 Kabupaten/kota dengan proporsi pekerjaan bidang industri yang tinggi tersebar

pada wilayah yang memiliki kejadian ISPA pneumonia pada balita yang tinggi.

Sehingga terdapat pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap

faktor lingkungan berupa jenis pekerjaan industri yang memiliki kecenderungan

ke arah positif, sementara pada jenis pekerjaan pertanian memiliki kecenderungan

ke arah negatif.

Page 129: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

109

3.2 Kabupaten/kota dengan kejadian ISPA pneumonia pada balita yang tinggi

tersebar pada wilayah yang memiliki proporsi penduduk miskin yang rendah.

Sehingga terdapat pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap

faktor lingkungan berupa kemiskinan yang memiliki kecenderungan ke arah

negatif.

7.2 Saran

1. Bagi Dinas Kesehatan Provinsi Banten

1.1 Disarankan kepada Dinas Kesehatan Provinsi Banten untuk lebih meningkatkan

kerjasama antar Kabupaten/kota di seluruh Provinsi Banten dalam menanggulangi

permasalahan ISPA pneumonia pada balita dimulai dengan wilayah yang paling

tinggi kasusnya (Kota Cilegon, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan)

kemudian dilanjutkan dengan wilayah yang ada di sekitarnya.

1.2 Disarankan kepada Dinas Kesehatan Provinsi Banten untuk meningkatkan upaya

dalam memperbaiki kesehatan lingkungan tidak hanya pada kesehatan lingkungan

rumah penduduk tetapi juga kesehatan lingkungan di sektor industri dan

peternakan.

1.3 Disarankan kepada Dinas Kesehatan Provinsi Banten untuk meningkatkan

kerjasama dengan berbagai sektor dalam melakukan surveilans, sehingga dapat

membantu dalam ketersediaan data yang lebih baik untuk analisis situasi kejadian

ISPA dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Page 130: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

110

1.4 Disarankan kepada Dinas Kesehatan Provinsi Banten untuk menetapkan target

pencapaian pada berbagai komponen status kesehatan dan kesejahteraan

masyarakat, terutama pada program pemberantasan penyakit ISPA.

2. Bagi Penelitian Selanjutnya

2.1 Melakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat hubungan beberapa faktor

lingkungan yang dalam hasil penelitian ini memiliki kecenderungan ke arah

positif dengan kejadian ISPA pneumonia pada balita seperti faktor kepadatan

ternak, kepadatan industri, dan pekerjaan industri.

2.2 Penelitian lanjutan yang lebih terfokus pada wilayah yang lebih kecil seperti

kabupaten/kota dengan kasus tertinggi seperti di Kota Cilegon, Kota Tangerang,

dan Kota Tangerang Selatan sangat baik dilakukan dengan menggunakan metode

point penyakit, sehingga dapat dilakukan analisis hubungan antar berbagai faktor

lingkungan dengan kejadian penyakit ISPA pneumonia secara lebih mendalam.

Page 131: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

111

DAFTAR PUSTAKA

Acharya, Pawan., Mishra, Shiva Raj., & Beckhoff, Gabriele Berg. (2015). Solid Fuel in

Kitchen and Acute Respiratory Tract Infection Among Under Five Children:

Evidence from Nepal Demographic and Health Survey 2011. Journal Community

Health, Vol. 40: 515-521.

Afandi, A. I. (2012). Hubungan Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian Infeksi

Saluran Pernafasan Akuta Pada Anak Balita di Kabupaten Wonosobo Provinsi

Jawa Tengah Tahun 2012. Depok: Universitas Indonesia.

Agustin. (2004). Hubungan Kualitas Udara Ambien Dengan Kasus ISPA, Bronkitis dan

Asma di DKI Jakarta Tahun 2003-2004 (Studi Ekologi di 15 Kecamatan). Tesis.

Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Kekhususan Epidemiologi Kesehatan

Lingkungan, Universitas Indonesia.

Alhamda, S., & Sriani, Y. (2015). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM). Padang:

Deepublish.

Anies. (2006). Manajemen Berbasis Lingkungan, Solusi Mencegah dan Menanggulangi

Penyakit Menular: Seri Lingkungan dan Penyakit. Jakarta: PT. Elex Media

Komputindo.

Anwar, Athena., & Dharmayanti, Ika. (2012). Pneumonia Pada Anak Balita di Indonesia.

Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 8 (8): 359-365.

Apriningsih. (2009). Indikator Perbaikan Kesehatan Lingkungan Anak. Jakarta: Buku

Kedokteran EGC.

Ardianto, Y. Denny., & Yudhastuti, Ririh. (2012). Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan

Akut pada Pekerja Pabrik. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 6 (5): 230-

233.

Ashari E, Juarini E, Sumanto, Wibowo, Suratman. (1995). Pedoman Analisis Potensi

Wilayah Penyebaran dan Pengembangan Peternakan. Jakarta: Balai Penelitian

Ternak dan Direktorat Bina Penyebaran dan Pengembangan Peternakan.

Asih, Niluh Gede Yasmin., & Effendy, Christantie. (2004). Medikal Bedah: Klien

Dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: EGC.

Badan Pusat Statistik (BPS) & Kementerian Sosial RI. (2012). Analisis Data Kemiskinan

Berdasarkan Data Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2011.

Jakarta: BPS.

Page 132: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

112

Banda, e. a. (2016). Risk Factors Associated With Acute Respiratory Infections Among

Under-Five Children Admitted to Arthur's Children Hospital, Ndola, Zambia.

Asian Pacific Journal Of Health Science, 3 (3), 153-159.

Bhat, R. Y., & Manjunath, N. (2013). Correlates of Acute Lower Respiratory Tract

Infections in Children Under 5 Years of Age in India. The International Journal

of Tuberculosis and Lung Disease, 17 (3): 418-422.

Bielska, D. E., et al. (2015). Exposure to Environmental Tobacco Smoke and Respiratory

Tract Infections in Pre-School Chlidren - a Cross Sectional Study in Poland.

Annals of Agricultural and Environmental Medicine, 22 (3), 524-529.

Biradar, M. K. (2013). Epidemiologi Factors Contributing To Acute Respiratory

Infection In Under Five Children In An Urban Slum. International Journal Of

Pharma and Bio Sciences, 4 (1), 364-369.

Breiman, Robert F., et al. (2015). Severe Acute Respiratory Infection in Children in A

Denely Populated Urban Slum in Kenya 2007-2011. BioMed Central Infectious

Disease, 15 (95): 1-11.

Budiarto, E., & Anggraeni, D. (2003). Pengantar Epidemiologi Edisi 2. Jakarta: Buku

Kedokteran EGC.

Center for Disease Control and Prevention (CDC). (2011). Severe Illness from 2009

Pandemic Influenza A (H1N1)-Utah, 2009-2010 Influenza Season. Utah:

Morbidity and Mortality Weekly Report.

Chandra, Budiman. (2007). Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: EGC.

Choube, et al. (2014). Potential Risk Factors Contributing to Acute Respiratory Infections

in Under Five Age Group Children. International Journal of Medical Science and

Public Health, 3 (11).

Clucas, D. B., et al., (2008). Disease Burden and Health-Care Clinic Attendances for

Young Children in Remote Aboriginal Communities of Northen Australia.

Bulletin of World Health Organization, 86 (4): 275-281.

Cohen, S. (2006). Social Status and Susceptibility to Respiratory Infection. Annals New

York Academy Of Sciences, 15213-3890.

Daroham, N. I., & Mutiatikum. (2009). Penyakit ISPA Hasil Riskesdas Di Indonesia.

Buletin Penelitian Kesehatan, 50-55.

Daud A, & Sedionoto B. (2010). Analisis Risiko Konsentrasi SO2 dan PM2,5 Terhadap

Penurunan Kapasitas Fungsi Paru Penduduk di Sekitar Kawasan Industri

Makassar. Jurnal Lingkungan Tropis, 4 (2): 129-137.

Page 133: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

113

Dawood, Fatimah S, et al. (2012). Estimated Global Mortality Associated With The First

12 Months Of 2009 Pandemic Influenza A H1N1 Virus Circulation: A Modelling

Study. The Lancet Infectious Diseases Journal, 12 (9): 687-695.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI). (2009). Laporan Hasil Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) Provinsi Banten Tahun 2007. Jakarta: Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik

Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI). (2013). Laporan Hasil Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) Provinsi Banten Tahun 2013. Jakarta: Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik

Indonesia.

Dewi, H. R. (2009). Hubungan Antara Lingkungan Kerja dan Kejadian Infeksi Saluran

Pernapasan Akut (ISPA) Pada Polisi Lalu Lintas Di Polwiltabes Semarang.

Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. (2014). Profil Kesehatan Kota Tangerang

Selatan Tahun 2014. Tangerang Selatan: Dinas Kesehatan Kota Tangerang

Selatan.

Dinas Kesehatan Provinsi Banten. (2011). Profil Kesehatan Provinsi Banten Tahun 2010.

Serang: Dinas Kesehatan Provinsi Banten.

Dinas Kesehatan Provinsi Banten. (2012). Profil Kesehatan Provinsi Banten Tahun 2011.

Serang: Dinas Kesehatan Provinsi Banten.

Dinas Kesehatan Provinsi Banten. (2013). Profil Kesehatan Provinsi Banten Tahun 2012.

Serang: Dinas Kesehatan Provinsi Banten.

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2PL).

(2012). Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Jakarta:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian

Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Ditjen Cipta Karya. (1997). Rumah dan Lingkungan Pemukiman Sehat. Jakarta:

Departemen Pekerjaan Umum RI.

Duarte, D. M., & Botelho, C. (2000). Clinical Profile in Children Under Five Year Old

With Acute Respiratory Tract Infections. Journal de Pediatria, 76 (3), 207-212.

Dumanau, J.F. (2007). Mengenal Kayu. Yogyakarta: Kanisius.

Etiler, N., Velipasaoglu, S., & Aktekin, M. (2002). Incidence of Acute Respiratory

Infections and The Relationship With Some Factors in Infancy in Antalya,

Turkey. Pediatrics International, 44, 64-69.

Page 134: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

114

Fahimah, Rilla., Kusumowardhani, Endah., dan Susanna, Dewi. (2014). Kualitas Udara

Rumah Dengan Kejadian Pneumonia Anak Bawah Lima Tahun (di Puskesmas

Cimahi Selatan dan Leuwi Gajah Kota Cimahi). Makara Journal Health

Respiratory, 18 (1): 25-33.

Fakunle, G. A., Ana, G. R., & Ayede, A. I. (2014). Environmental Risk Factors for Acute

Respiratory Infections in Hospitalized Children Under 5 Years of Age in Ibadan,

Nigeria. Journal of Paediatrics and International Child Health, 34 (2): 120-124.

Fanada, Mery. (2012). Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit

Pneumonia Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kenten Palembang Tahun

2012. Badan Diklat Provinsi Sumatera Selatan.

Fauziah, M. (2006). Bencana Alam: Perlindungan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Buku

Kedokteran EGC.

Febrian, Ferry., & Solikhah. (2013). Analisis Spasial Kejadian Penyakit Leptospirosis di

Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011. Jurnal

Kesehatan Masyarakat, 7 (1): 1-54.

Fitria, Laras., Wahjudi, Pudjo., & Wati, Dwi Martiana. (2014). Pemetaan Tingkat

Kerentanan Daerah Terhadap Penyakit Menular (TB Paru, DBD, dan Diare) di

Kabupaten Lumajang Tahun 2012. E-Jurnal Pustaka Kesehatan, 2 (3): 460-467.

Geberetsadik, A., Worku, A., & Berhane, Y. (2015). Facors Associated With Acute

Respiratory Infection in Children Under The Age of 5 Years: Evidence From The

2011 Ethiopia Demographic and Health Survey. Pediatric Health, Medicine and

Therapeutics, 6, 9-13.

Gertrudis T. (2010). Hubungan Antara Kadar Partikulat (PM10) Udara Rumah Tinggal

Dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Sekitar Pabrik Semen PT Indocement,

Citeureup, Tahun 2010. Depok: Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Indonesia.

Goel, Kapil, et all. (2012). A Cross Sectional Study on Prevalence of Acute Respiratory

Infections (ARI) in Under-Five Children of Meerut District, India. Journal

Community Medical Health Education, 2 (9): 1-4.

Gould D., & Brooker, C. (2003). Mikrobiologi Terapan Untuk Perawat. Jakarta: EGC.

Hafid, et al. (2013). Majalah Kesehatan Muslim: Antara Tawakal dan Pengobatan (Edisi

III). Yogyakarta: Pustaka Muslim.

Hapsari, D., Dharmayanti, I., & Supraptini. (2013). Pola Penyakit ISPA dan Diare

Berdasarkan Gambaran Rumah Sehat di Indonesia Dalam Kurun Waktu Sepuluh

Tahun Terakhir. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 16 (4), 363-372.

Page 135: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

115

Hemsworth S, P. B. (2006). Pet ownership in immunocompromised children—a review

of the literature and survey of existing guidelines. Eur J Oncol Nurs, 10, 117-127.

Herawati, Maria Holly., & Sukoco, Noor Edi Widya. (2011). Pengaruh Memelihara

Ternak Dalam Rumah Terhadap Kecenderungan Meningkatnya Risiko Infeksi

Saluran Pernapasan Akut. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 15 (1): 83-90.

Hidayat, A. Aziz Alimul. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan

Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.

Jary, H., et al. (2015). Study Protocol: The Effects of Air Pollution Exposure and Chronic

Respiratory Disease on Pneumonia Risk in Urban Malawian Adults - The Acute

Infection of The Respiratory Tract Study (The AIR Study). BMC Pulmonary

Medicine: 1-8.

Juan, G. L., et al. (2014). Association Between Ambient Air Pollution and Outpatient

Visit for Acute Bronchitis in a Chinese City. Biomed Environ Sci, 27 (11), 833-

840.

Kartasasmita, Cissy B. (2010). Pneumonia Pembunuh Balita. Buletin Jendela

Epidemiologi: Pneumonia Balita, 3: 22-26.

Kasim, M. (2006). Karakteristik Kemiskinan di Indonesia dan Strategi

Penanggulangannya. Jakarta: Indomedia.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). (1999). Keputusan Menteri

Kesehatan RI Nomor: 829/Menkes/SK/VII/1999 Tentang Persyaratan Kesehatan

Perumahan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). (2010). Pneumonia Balita.

Buletin Jendela Epidemiologi, 3: 1-10.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). (2012). Modul Tatalaksana

Standar Pneumonia: Lihat dan Dengarkan dan Selamatkan Balita Indonesia dari

Kematian. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan

Lingkungan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). (2013). Riset Kesehatan

Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,

Kementerian Kesehatan RI.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). (2015). Kesehatan Dalam

Kerangka Sustainable Development Goals (SDGs). Jakarta: RAKORPOP

Kementerian Kesehatan RI.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). (2015). Statistik Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2014. Pusat Data dan Informasi

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Page 136: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

116

Kilabuko, J. H., & Nakai, S. (2007). Effects of Cooking Fuels on Acute Respiratory

Infections in Children in Tanzania. International Journal of Environmental

Research and Public Health, 4 (4), 283-288.

Kirkhorn, S. R. (n.d.). Agricultural Respiratory Hazards and Disease. Waseca:

University of Minnesota Family Practice and Community Health.

Krauss H, W. A., & al., e. (2003). Zoonoses: Infectious Diseases Transmissible From

Animals to Humans, 3rd edition. Washington, DC: American Society for

Microbiology Press.

Leh, O. L., et al. (2011). Urban Environmental Health : Respiratory Illness and Urban

Factors in Kuala Lumpur City, Malaysia. Journal of EnvironmentAsia, 4 (1), 39-

46.

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas

Indonesia (LPEM FEUI). (2010). Indonesia Macroeconomic Outlook 2010.

Jakarta: Grasindo.

Lestari, F. (2010). Bahaya Kimia : Sampling & Pengukuran Kontaminan Kimia di

Udara. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Lubis, A., et al. (1996). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit Batuk

Dengan Nafas Cepat Pada Balita. Buletin Penelitian Kesehatan, 24 (2 & 3): 55-

64.

Mairuhu, V., Birawida, A. B., & Manyullei, S. (2008). Faktor Yang Berhubungan

Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Pulau Barrang Lompo Kecamatan Ujung

Tanah Subdistrct Makassar City. Hasanudin University Repository, Bagian

Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin:

1-8.

Marjuki, Bramantiyo. (2014). Sistem Informasi Geografi Menggunakan Quantum GIS

2.0.1 Durfour.

Maryani, H., & Kristiana, L. (2004). Tanaman Obat Untuk Influenza. Depok: PT.

AgroMedia Pustaka.

Maywati, S., & Novianti, S. (2014). Dampak Aktivitas Home Industri Meubel Terhadap

Kesehatan Balita di Sekitas Industri Meubel Sektor Informal Kel. Kahuripan Kec.

Tawang Kota Tasikmalaya. Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia, 10 (1), 923-

930.

Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia. (2002). Keputusan

Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor: 403/KPTS/M/2002

Tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat).

Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia.

Page 137: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

117

Mirji, G., et al. (2015). Influence of Breast Feeding Practices and Immunization Status

Among Under Five Children Suffering From Acute Respiratory Infection. Indian

Journal of Health and Wellbeing, 6 (1): 100-102.

Muhe, L. (1994). Child Health And Acute Respiratory Infections In Ethiopia,

Epidemiology For Prevention And Control. Umea: Dissertations. Department of

Epidemiology and Public Health, Umea University and Depatment of Paediatrics

and Chilf Health Addis Ababa University.

Nasution, K., et al. (2009). Infeksi Saluran Napas Akut pada Balita di Daerah Urban

Jakarta. Sari Pediatri, 11 (4): 223-228.

Ni’mah, Risma Muti Setyandri An. (2014). Sistem Informasi Geografis Visualisasi

Clustering Penyakit ISPA di Kecamatan Kaliwungu. Jurusan Teknik Informatika,

Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Dian Nuswantoro Semarang.

Novirsa, Randy., & Achmadi, Umar Fahmi. (2012). Analisis Risiko Pajanan PM2,5 di

Udara Ambien Siang Hari Terhadap Masyarakat di Kawasan Industri Semen.

Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 7 (4): 173-179.

Padmonobo, H., Setiani, O., & Joko, T. (2012). Hubungan Faktor-faktor Lingkungan

Fisik Rumah dengan Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja

Puskesmas Jatibarang Kabupaten Brebes. Jurnal Kesehatan Lingkungan

Indonesia, 11 (2), 194-198.

Pokja AMPL Kabupaten Lebak. (2013). Buku Putih Sanitasi Kabupaten Lebak Provinsi

Banten. Pemerintah Kabupaten Lebak.

Pokja AMPL Kota Tangerang. (2013). Buku Putih Sanitasi Kota Tangerang Provinsi

Banten. Pemerintah Kota Tangerang.

Pore, Prasad D., Ghattargi, Chandrashekhar H.,, & Rayate, Madhavi V. (2010). Study of

Risk Factors of Acute Respiratory Infection (ARI) in Underfives in Solapur.

National Journal of Community Medicine, 1 (2): 63-66.

Prajapati, Bipin., Talsania, Nitiben., & Sonaliya K N. (2011). A Study On Prevalence Of

Acute Respiratory Tract Infections (ARI) In Under Five Children In Urban And

Rural Communities Of Ahmedabad District, Gujarat. National Journal of

Community Medicine, 2 (2) : 255-259.

Prajapati, et al. (2012). A Study of Risk Factors of Acute Respiratory Tract Infection

(ARI) of Under Five Age Group in Urban and Rural Communities of Ahmedabad

District, Gujarat. Healthline, 3 (1): 16-20.

Prakash, L. K. (2014). Acute Respiratory Infection Among Children and Health Seeking

Behaviour in India. International Journal of Scientific and Research Publications,

4 (11), 1-6.

Page 138: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

118

Pramudiyani, N. A., & Prameswari, G. N. (2011). Hubungan Antara Sanitasi Rumah Dan

Perilaku Dengan Kejadian Pneumonia Balita. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 6

(2): 71-78.

Purwanti, Hubertin Sri. (2004). Konsep Penerapan ASI Eksklusif: Buku Saku Untuk

Bidan. Jakarta: EGC.

Puspita, A. D. (2014). Hubungan Pemeliharaan Ternak Dengan Kejadian ISPA di Desa

Patokan Kecamatan Bantaran Kabupaten Probolinggo. Jurnal Universitas

Airlangga.

Rahman, M., & Rahman, A. (1997). Prevalence of Acute Respiratory Tract Infection And

Its Risk Factors in Under Five Children. Bangladesh Media Respiratory Council

Bulletin, 47-50.

Ramadona, Aditya L., & Kusnanto, Hari. (2012). Open Source GIS: Aplikasi Quantum

GIS Untuk Sistem Informasi Lingkungan. Yogyakarta: BPFE

Roesli, Utami. (2001). Mengenal ASI Eksklusif (Seri 1). Jakarta: Trubus Agriwidya.

Rojas, F. (2007). Poverty Determinants of Acute Respiratory Infections Among Mapuche

Indigenous People in Chile's Ninth Region of Araucania, Using GIS and Spatial

Statistics to Identify Health Disparities. International Journal of Health

Geographics, 6 (26), 1-12.

Rosdiana, Dian., & Hermawati, Ema. (2015). Hubungan Kualitas Mikrobiologi Udara

dalam Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Balita.

Journal of Respiration Indonesia, 35 (2): 83-96.

Ryadi, Alexander Lucas Slamet. (2016). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Yogyakarta:

ANDI.

Said, Mardjanis. (2010). Pengendalian Pneumonia Anak-Balita dalam Rangka

Pencapaian MDG4. Buletin Jendela Epidemiologi: Pneumonia Balita. 3: 16-21.

Sanbata, H., Asfaw, A., & Kumie, A. (2014). Association of Biomass Fuel Use With

Acute Respiratory Infections Among Under-Five Children in a Slum Urban of

Addis Ababa, Ethiopia. MBC Public Health, 14 (1122), 1-8.

Septantiana, N., & Asfawi, S. (2015). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keluhan

Subjektif Pernapasan Pada Pedagang Unggas Wanita Akibat Kondisi Udara di

RPU Penggaron Kota Semarang Tahun 2015. Jurnal Universitas Dian

Nuswantoro, 1-15.

Shibata, T., et al. (2014). Childhood Acute Respiratory Infections and Household

Environment in an Eastern Indonesia Urban Setting. Internasional Journal of

Environmental Research and Public Health, 12190-12203.

Page 139: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

119

Sikolia DN, et all. (2002). The Prevalence of Acute Respiratory Infections and The

Associated Risk Factors: A Study of Children Under Five Years of Age in Kibera

Lindi Village, Nairobi, Kenya. Journal National Institute Public Health, 51 (1):

67-72.

Simoes, E. A., et al. (2006). Acute Respiratory Infections in Children (Chapter 25). The

International Bank for Reconstruction and Development/The Wolrd Bank Grup,

Disease Control Priorities in Developing Countries, second edition (NCBI), 483-

497.

Soesanto, Sri Soewasti., Lubis Agustina., & Atmosukarto, Kusnindar. (2000). Hubungan

Kondisi Perumahan Dengan Penularan Penyakit ISPA dan TB Paru. Media

Litbang Kesehatan. 10 (2): 27-31.

Sofiyatun, E., & Rahayuningsih, B. V. (2014). Risk Factors Study Of Acute Infection

Respiratory Syndrome in District of Banjarnegara. Jurnal Kesehatan Masyarakat,

8 (1), 77-82.

Sopari, Asep. (2007). Analisis Spasial Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Pneumonia Pada Balita di Kabupaten Tangerang 2004. Tesis. Fakultas

Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.

Sugihartono, & Nurjazuli. (2012). Analisis Faktor Risiko Kejadian Pneumonia Pada

Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sidorejo Kota Pagar Alam. Jurnal Kesehatan

Lingkungan Indonesia, 11 (1): 82-86.

Suhartini, Nin. (2013). Hubungan Antara Populasi Mikroorganisme Udara Dengan

Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir

Sampah Terjun Medan. Tesis: Universitas Sumatera Utara.

Sukar, et al. (1996). Pengaruh Kualitas Lingkungan Dalam Ruang (Indoor) Terhadap

Penyakit ISPA-Pneumonia Di Indramayu, Jawa Barat. Buletin Penelitian

Kesehatan, 24 (1): 13-20.

Sulistiyani. (n.d.). Status Kesehatan Masyarakat dan Kualitas Lingkungan Pada DAS

Garang Kabupaten dan Kota Semarang (Studi Analisis Spasial Pada Daerah

Urban, Rural, Pantai, Pegunungan). Http://jurnal.unimus.ac.id, 1-10.

Sunarsih, E., & Purba, I. G. (2015). Risk Factor Analysis of Acute Respiratory Infection

on Children Under Five Years Old in Tanjung Pering Village Ogan Ilir.

International Journal of Sciences: Basic and Applied Research, 22 (1), 21-30.

Sunyatiningkamto, et al. (2004). The Role Of Indoor Air Pollution And Other Factors In

The Incidence Of Pneumonia In Under-Five Children. Journal of Paediatrica

Indonesiana, 44 (1-2): 25-29.

Page 140: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

120

Suriyasa, P., & al., e. (2006). Non-dirt House Floor and The Stimulant of Environmental

Health Decreased The Risk Acute Respiratory Infection (ARI). Med J

Indonesia,15 (1), 60-65.

Sutomo, Budi., & Anggraini, Dwi Yanti. (2010). Menu Sehat Alami Untuk Batita &

Balita. Jakarta: Demedia.

Syech, Riad., Sugianto, & Anthika. (2014). Faktor-faktor Fisis Yang Mempengaruhi

Akumulasi Nitrogen Monoksida dan Nitrogen Dioksida di Udara Pekanbaru.

Jurnal Universitas Riau: 516-523.

Taksande, Amar M., & Yeole, Mayuri. (2016). Risk Factors of Acute Respiratory

Infection (ARI) in Under-Five in a Rural Hospital of Central India. Journal of

Pediatric and Neonatal Individualized Medicine, 5 (1): 1-6.

Vanker, A., et al. (2015). Home Environment and Indoor Air Pollution Exposure in an

African Birth Cohort Study. Journal of The Science of the total environment: 7-

362.

Wahyuni TD., & Ikhsan M. (2010). Perubahan Iklim dan Kesehatan Paru. Journal

Respiratory Indonesia, 30: 230-237.

Wardani, Dyah Wulan Sumekar Rengganis., et al. (2013). Pentingnya Analisis Cluster

Berbasis Spasial dalam Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia. Jurnal

Kesehatan Masyarakat Nasional,. 8 (4): 147-151.

Wardhani, Eka., et al. (2010). Hubungan Faktor Lingkungan, Sosial-Ekonomi, dan

Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Pada Balita di Kelurahan Cicadas Kota Bandung. Seminar Nasional Sains &

Teknologi III, Lembaga Penelitian Universitas Lampung.

Wayangkau, E. C., Wambrauw, A., & Simanjuntak, T. P. (2015). The Correlation Of

Physical Of A House To The Acute Respiratory Tract Infection (ARTI) Cases On

Toddler At Nendali Village, East Sentani District. International Journal of

Research In Medical and Health Sciences, 5 (4), 1-7.

Weber, Martin., & Handy, Fransisca. (2010). Action Against Pneumonia In Children,

Outline of a Global Action Plan (GAPP) – Aksi Global Melawan Pneumonia

Pada Anak. Buletin Jendela Epidemiologi: Pneumonia Balita. Vol. 3, ISSN 2087-

1546.

Wichman J., & Voyi, KVV. (2006). Impact of Cooking and Heating Fuel Use On Acute

Respiratory Health of Preschool Children in South Africa. The Southern Africa

Journal of Epidemiology and Infection, 21 (2): 48-54.

Widiarti., Heriyanto, Bambang., & Widyastuti Umi. (2014). Analisis Spasial Pada

Kejadian Luar Biasa (KLB) Malaria di Desa Panusupan Kecamatan Rembang dan

Page 141: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

121

Desa Sidareja Kecamatan Kaligodang Kabupaten Purbalingga. Media Litbangkes,

24 (4):169-180.

Widyastuti, P. (2006). Bahaya Bahan Kimia Pada Kesehatan Manusia dan Lingkungan.

Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Winardi, W., Umboh, J. M., & Ratuu, A. J. (2015). Hubungan Antara Kondisi

Lingkungan Rumah Dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Anak Balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Sario Kecamatan Sario Kota Manado. Manado: Tesis,

Universitas Sam Ratulangi.

Winarni., Ummah, B. A., & Salim, S. A. (2010). Hubungan Antara Perilaku Merokok

Orang Tua dan Anggota Keuarga yang Tinggal Dalam Satu Rumah Dengan

Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sempor II Kabupaten

Kebumen Tahun 2009. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, 6 (1): 16-21.

World Health Organization (WHO). (2007). Pencegahan dan Pengendalian Infeksi

Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi

di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Pedoman Interm WHO, Waspada dan Tanggap

Epidemi dan Pandemi, 1-100.

World Health Organization (WHO). (2009). Indikator Perbaikan Kesehatan Lingkungan

Anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

World Health Organization (WHO). (2014). Infection Prevention and Control of

Epidemic- and Pandemic-prone Acute Respiratory Infection in Health Care. WHO

Inatitutional Repository, 1-156.

World Health Organization (WHO). (2015). Pneumonia. Media centre: fact sheet.

(Online). Tersedia: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs331/en/, diakses

pada 27 April 2016.

World Health Organization (WHO). (2016). Children: Reducing Mortality. Media centre:

fact sheet. (Online). Tersedia:

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs178/en/, diakses pada 7 Mei 2016.

World Health Organization (WHO). (2015). Protocol For The Investigation of Acute

Respiratory Illness Outbreaks of Unknown Etiology. Brazzaville: Integrated

Disease Surveillance Programme Health Security and Emergencies Cluster,

World Healt Organization Regional Officer for Africa.

World Health Organization (WHO). (2016). Map and Spatial Information Technologies

(Geographical Information Systems) in Health and Environment Decision-

Making. Scientific data and assessment tools, The Health and Environment

Linkages Initiative (HELI). (Online). Tersedia:

http://www.who.int/heli/tools/maps/en/, diakses pada 7 Mei 2016.

Page 142: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

122

World Health Organization (WHO). (2016). An Estimated 12.6 Million Deaths Each Year

Are Attributable to Unhealthy Environments. Geneva: Media Center, World

Health Organization.

Wulandhari, Shobiechah Aldillah. (2015). Analisis Spasial Aspek Kesehatan Lingkungan

Dengan Kejadian Filariasis di Kota Pekalongan. Skripsi: Jurusan Ilmu Kesehatan

Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang.

Yadama GN, et al. (2012). Social, Economic, and Resource Predictors of Variability in

Household Air Pollution From Cookstove Emissions. Plos One, 7 (10): 1-8.

Yulianti, Lina., Setiani, Onny., & Hanani D, Yusniar. (2012). Faktor-faktor Lingkungan

Fisik Rumah Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Pangandaran Kabupaten Ciamis. Jurnal Kesehatan

Lingkungan Indonesia, 11 (2) :187-193.

Yusnabeti, Wulandari, R. A., & Luciana, R. (2010). PM10 dan Infeksi Saluran

Pernapasan Akut Pada Pekerja Industri Mebel. Jurnal Makara Kesehatan, 14 (1) ,

25-30.

Yuwono, T. A. (2008). Faktor-faktor Lingkungan Fisik Rumah Yang Berhubungan

Dengan Kejadian Pneumonia Pada Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas

Kawunganten Kabupaten Cilacap. Tesis: Magister Kesehatan Lingkungan,

Universitas Diponegoro.

Page 143: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

LAMPIRAN

Page 144: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

124

LAMPIRAN

Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Kabupaten/kota di Provinsi Banten

Tahun 2011-2015

Kabupaten/kota Kejadian ISPA Pada Balita (%)

2011 2012 2013 2014 2015

Pandeglang 23.09 48.17 41.89 48.87 52.33

Lebak 40.56 59.73 27.68 47.21 47.58

Tangerang 29.66 35.60 24.13 31.86 32.91

Serang 27.33 32.20 25.83 36.69 40.56

Tangerang (K) 55.33 58.84 45.81 51.03 40.27

Cilegon (K) 100.00 100.00 79.58 66.97 73.51

Serang (K) 32.54 35.01 13.13 35.94 41.75

Tangerang Selatan (K) 30.08 36.28 25.23 38.35 42.75

Banten 35.81 48.66 32.45 41.49 41.89

Insidens ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Kabupaten/kota di Provinsi Banten

Tahun 2011-2015

Kabupaten/kota Insidens ISPA Pneumonia Pada Balita (%)

2011 2012 2013 2014 2015

Pandeglang 1.01 2.57 1.65 2.05 1.56

Lebak 1.64 1.25 0.43 1.72 1.68

Tangerang 1.34 1.61 1.78 2.44 2.81

Serang 1.07 1.70 1.44 2.31 3.02

Tangerang (K) 3.10 4.61 3.77 4.18 3.58

Cilegon (K) 3.69 4.51 3.20 2.94 2.56

Serang (K) 3.98 3.24 1.20 3.44 3.16

Tangerang Selatan (K) 1.17 1.47 3.15 4.15 4.07

Banten 1.71 2.37 2.16 2.89 2.91

LAMPIRAN 1

Page 145: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

125

LAMPIRAN 3

LAMPIRAN 2 LAMPIRAN 2

Page 146: ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34269/1/ISNAENI... · Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini

126