ANALISIS SOSIAL KERAGAMAN BUDAYA MASYARAKAT DESA … · ANALISIS SOSIAL KERAGAMAN BUDAYA MASYARAKAT...
Transcript of ANALISIS SOSIAL KERAGAMAN BUDAYA MASYARAKAT DESA … · ANALISIS SOSIAL KERAGAMAN BUDAYA MASYARAKAT...
ANALISIS SOSIAL KERAGAMAN BUDAYA MASYARAKAT DESA
GORONTALO KECAMATAN KOMODO
KABUPATEN MANGGARAI BARAT
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana
Pendidikan Pada Program Studi Pendidikan Sosiologi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar
Oleh
Aslianti
NIM 10538294014
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
JURUSAN PENDIDIKAN SOSIOLOGI
JULI 2018
PERSEMBAHAN
Saya persembahkan tulisan ini bagi :
1. Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan kesehatan kepada saya
hingga sekarang ini saya masih diberi kesempatan untuk
menyelesaikan tulisan ini.
2. kedua orangtua saya yang selealu memberi semangat dan motivasi
yang tiada hentinya.
3. Kedua pembimbing yang telah sabar dan rela menuntun saya dalam
menyelesaikan tulisan ini.
4. Ketiga sahabat saya yang selalu ada buat saya (sugianyanti, Fatima,
dan nuraida).
5. Kanda bahari, a. md. Par.
6. Semua orang yang telah berjasa dalam hidup saya.
7. Almamater yang telah menjadikan saya seorang yang berakal budi dan
berguna bagi nusa dan bangsa.
MOTTO
THANKFULL IS MY WAY
DOAKAN APA YANG ENGKAU KERJAKAN
KERJAKAN APA YANG ENGKAU DOAKAN
LAKUKAN YANG MENJADI BAGIANMU
DAN
ALLAH AKAN MELAKUKAN APA YANG MENJADI BAGIAN-NYA
ABSTRAK
Aslianti . 2018 Analisis Sosial Keragaman Kebudayaan Masyarakat
Desa Gorontalo Kacamatan Komodo Kabupaten Manggarai Barat Skripsi.
Program Studi Pendidikan Sosiologi Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar. Pembimbing I: Dr. Ir.
H. M. Syaiful Saleh, M.Si dan II: Dr. Muhammad Akhir, M.Pd
Masalah utama dalam penelitian ini adalah setiap masyarakat memiliki
pendapat tersendiri tentang Keragaman Budaya yang ada di Desa
Gorontalo Kacamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, di karenakan
banyaknya tradisi-tradisi moderen yang membuat masyarakat lupa dengan
budayanya sendiri.
Tujuan peneliti ini adalah ( i ) mengukapkan kembali pentingnya
keragaman budaya yang ada di Desa Gorontalo. ( ii ) mengungkapkan
kemungkinan dengan adanya tradisi moderen yang ada di Desa Gorontalo,
akan merugikan masyarakat setempat. ( iii ). Menemukan solusi
bagaimana caranya supaya masyarakat Desa Gorontalo mengembangkan
kembali keragaman budaya, dan tidak mengikuti tradisi moderen, yang
akan merugikan apabila selalu di utamakan kergaman budaya yang
moderen, sedangakan budaya yang ada di Desa tersebut sangat di
butuhkan oleh para pecinta kesenian dan terutamanya parawisatawan yang
ingin melihat kebudayaan di suatu Desa. Jenis penelitian yang di lakukan
adalah penelitian kualitatif yang bertujuan untuk memahami penting
keragaman budaya di Desa Gorontalo.
Kata Kunci: Sosial dan Keragaman Budaya
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang senantiasa
memberi berbagai karunia dan nikmat yang tiada terhitung, kepada seluruh
makhluknya terutama manusia. Demikian pula salam dan syalawat kepada
junjungan kita Nabiullah Muhammad SAW yang merupakan panutan dan
contoh yang kita ikuti sampai akhir zaman. Yang dengan keyakinan itu
penulis dapat menyelesaikan proposal ini yang Alhamdulillah tepat pada
waktunya.
Motivasi dari berbagai pihak sangat membantu dalam perampungan
tulisan ini. Segala rasa hormaat, penulis mengucapkan terima kasih kepada
kedua orangtua Safiuddin dan Memang yang telah berjuang, berdoa,
mengasuh, membesarkan, mendidik, dan membiayai penulis dalam proses
menuntut ilmu. Demikian pula penulis ucapkan kepada para keluarga yang tak
hentinya memberikan motivasi dan selalu menemaniku dengan candanya.
Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis haturkan
kepada: Dr. H. Irwan Akib, M.Pd, Rektor Universitas Muhammadiyah
Makassar. Dr. H. Andi Sukri Syamsuri, M.Hum, Dekan Fakultas Keguruan
Dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar, Drs. H. Nurdin,
M.Pd. Ketua Jurusan Pendidikan Sosiologi dan Dr. Muhammad Akhir, M.Pd
selaku Sekretaris Progarm Studi Pendidikan Sosiologi, selanjutnya
Syarifuddin, S.Pd., M.Pd, sebagai pembimbing yang telah memberikan
bimbingan, arahan serta motivasi sejak awal penysunan proposal hingga
selesai, serta kepada seluruh dosen dan karyawan dalam lingkungaan Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan , Universitas Muhammadiyah Makassar yang
telah membekali penuli`san dengan serangkaian ilmu pengetahuan yang
sangat bermanfaat bagi penulis.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis ucapkan kepada
Abdul Fatah selaku kepala Desa Gorontalo yang telah memberikan izin dan
bantuan untuk melakukan penelitian. Penulis juga mengcapkan terima kasih
kepada teman seperjuangku Sugianyanti dan Fatima yang selalu menemaniku
dalam suka dan duka, sahabat-sahabatku terkasih serta seluruh rekan
mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi atas segala kebersamaan,
motivasi, saran, dan bantuannya kepada penulis.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis senantiasa
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak,
karena penulis yakin bahwa suatu persoalan tidak akan berarti sama sekali
tanpa adanya kritikan. Mudah-mudahan dapat memberi manfaat bagi para
pembaca, terutama bagi diri pribadi penulis. Amin.
Makassar, Juli 2018
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................... iii
SURAT PERNYATAAN........................................................................ iv
SURAT PERJANJIAN ........................................................................... v
PERSEMBAHAN ................................................................................... vii
MOTTO .................................................................................................. viii
ABSTRAK .............................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ............................................................................ ix
DAFTAR ISI ........................................................................................... x
DAFTAR TABEL ................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN
A. LatarBelakang ......................................................................................... 1
B. RumusanMasalah .................................................................................... 9
C. TujuanPenelitian ..................................................................................... 9
D. ManfaatPenelitian ................................................................................... 10
E. DefinisiOperasional................................................................................. 11
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEP
A. KajianTeori ............................................................................................. 12
1. KonsepKebudayaanManggarai ............................................................... 12
2. AnalisisSosialBudayaMasyarakatManggarai .......................................... 23
3. BentukKeragamanBudayaMasyarakatManggarai................................... 24
4. PersepsiMasyarakatTentaangKeragamanBudayaManggarai Barat ........ 38
5. TeoriInteraksionalismeSimbolis ............................................................. 38
B. KerangkaPikir/Konsep ............................................................................ 41
BAB III METODE PENELITIAN
A. JenisPenelitian ......................................................................................... 43
B. LokasiPenelitian ...................................................................................... 44
C. InformanPenelitian .................................................................................. 45
D. FokusPenelitian ....................................................................................... 45
E. InstrumenPenelitian................................................................................. 46
F. Jenis Dan SumberPenelitian .................................................................... 46
G. TeknikPengumpulan Data ....................................................................... 47
H. TeknikAnalisis Data ................................................................................ 48
I. TeknikKeabsahan Data ........................................................................... 49
BAB IV GAMBARAN DAN HISTORIS LOKASI PENELITIAN
A. AsalUsulMoyangManggarai ................................................................... 52
B. SejarahKeragamanBudayaManggaarai ................................................... 58
C. LetakGeografis ........................................................................................ 61
BAB V HASIL PENELITIAN
A. BENTUK KERAGAMAN BUDAYA MASYARAKAT MANGGARAI
BARAT
1. Caci ......................................................................................................... 56
2. Torok Tae/Tudak ..................................................................................... 71
3. Sanda ....................................................................................................... 78
4. Mbata....................................................................................................... 79
5. Danding ................................................................................................... 82
6. Sae ........................................................................................................... 82
7. Ronda ...................................................................................................... 84
8. Nenggo/Dere ........................................................................................... 84
B. PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG KERAGAMAN BUDAYA
MANGGARAI BARAT ......................................................................... 85
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN ............................................................................................ 88
B. SARAN ................................................................................................... 89
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1: Pertimbangan kesamaan antara suku Maggarai dengan Gowa Makassar
Bugis ............................................................................................................. 55
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1: Kerangka Pikir .......................................................................... 42
Gambar 4.1: Bentuk Rumah Panggung Manggarai Barat .............................. 56
Gambar 4.2: Kain Songke .............................................................................. 57
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kesatuan yang penuh dengan keragaman dan
kekayaan.Indonesia terdiri atas beraneka ragam suku, budaya, ras, daerah,
kepercayaan agama dan lain-lain.Namun Indonesia bisa mempersatukan berbagai
keragaman tersebut sesuai dengan semboyang negara Indonesia yaitu “Bhineka
Tunggal Ika” yang artinya berbeda-beda tapi tetap satu jua.Keragaman budaya
atau “cultural diversity” adalah keniscayaan yang dimiliki bangsa Indonesia.Di
Indonesia keragaman budaya adalah sesuatu yang tidak dapat di pungkiri lagi
keberadaannya.
Masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai adat dan kebudayaan daerah,
bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai adat, kebudayaan
kelompok suku bangsa yang ada di daerah tersebut. Dengan jumlah penduduk
kurang lebih 200 juta orang dimana mereka tinggal tersebar di pulau-pulau di
negara Indonesia.Mereka juga mendiami suatu wilayah dengan kondisi geografis
yang berbeda-beda.Mulai dari dataran tinggi, dataran rendah, tepian hutan, pesisir,
pedesaan, sampai perkotaan.Hal ini juga berkaitan dengan tingkat peradaban
kelompok-kelompok suku bangsa dan masyarakat di negara Indonesia yang
berbeda-beda.
Indonesia merupakan kepulauan terbesar di dunia yang memiliki puluhan ribu
pulau.Indonesia memiliki luas wilayah 1,904,569 km2 dengan jumlah pulau
sebanyak 17,508 pulau.3 pulau diantaranya dibagi menjadi 2 atau 3 wilayah
negara. Pulau Papua yang merupakan pulau terbesar kedua di dunia ini dibagi
menjadi 2 wilayah negara dimana bagian baratnya dikuasai oleh Indonesia dan
bagian timur dikuasai oleh Papua Nugini.
Pualu Timor juga dibagi menjadi 2 wilayah yang bagian baratnya merupakan
salah satu Provinsi Indonesia yaitu Nusa Tenggara Timur dan bagian timurnya
adalah Negara Timor Leste.Sedangkan pulau Kalimantan dikuasai oleh 3 negara
yaitu Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Beberapa pulau terbesar di
Indonesia anrata lain yaitu, pulau Papua, pulau Kalimantan, pulau Sumatera,
pulau Sulawesi dan pulau Jawa.
Salah satu Provinsi yang memiliki keanekaragam budaya adalah Provinsi
Nusa Tenggara Timur (NTT) terbentuknya pada tahun 1958. Sebelumnya Provinsi
(NTT) merupakan bagian dari Provinsi Nusa Tenggara Timur yang wilayahnya
mencakup Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan NTT. Pembentukan provinsi ini
berdasarkan Undang-Undang No 64 Tahun 1958.Nenek moyang penghuni NTT
beraneka ragam.Beberapa ahli memperkirakan bahwa nenek moyang orang NTT
berasal dari ras Astromelanesoid.Hal ini dibuktikan dengan penemuan kerangka
manusia yang diperkirakan berasal dari ras tersebut dan berusia sekitar 3.500
tahun. Beberapa kerangka lain yang ditemukan memiliki ciri-ciri ras yang
beraneka ragam, seperti dari ras Mongoloid, campuran antara Mongoloid dan
Astromelanesoid, Eropoid, dan Negroid. Hal ini menunjukkan keanekaragaman
penghuni pertama NTT.
Pada masa pra sejarah, penduduk hidup berpindah-pindah karena
menggantungkan hidupnya pada perburuan binatang.Mereka berpindah mengikuti
arah gerak binatang-binatang buruannya. Ketika bercocok tanam mulai menjadi
cara hidup penduduk, mereka tidak sepenuhnya menetap. Kadang-kadang mereka
berpindah-pindah yang biasanya disebabkan oleh kedatangan penduduk baru yang
lebih kuat.Yang tersingkir biasanya pindah ke daerah pedalaman.
Flores berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia.Flores termasuk
dalam gugusan Kepulauan Sunda Kecil bersama Bali dan NTB, dengan luas
wilayah sekitar 14.300 km².Daerah ini termasuk daerah yang kering dengan curah
hujan rendah, memiliki potensi bidang pertanian yang rendah. Meskipun potensi
di bidang pertanian rendah, Flores memiliki potensi di bidang lain yang cukup
menjanjikan. Tapi sayang, tidak banyak yang tahu mengenai potensi tersebut.
Potensi pariwisata dan budaya Flores dianggap akan dapat memakmurkan
perekonomian daerah Flores. Budaya Flores yang beraneka ragam dapat menjadi
daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Aneka tarian, lagu daerah, alat musik
dan berbagai produk budaya lainnya merupakan kekayaan Flores yang menuntut
warganya untuk selalu melestarikannya.Upacara-upacara adat yang unik juga
dapat memberikan ciri khas bagi daerah Flores. Apabila potensi-potensi di bidang
budaya ini dikembangkan, akan dapat memajukan dan meningkatkan
perekonomian Flores di masa depan.
Pulau Flores mempunyai keanekaragaman budaya yang berbeda beda seperti
sub-suku bangsa Riung, Ngada, Nage-Keo, Ende, Lio dan Sikka, namun
perbedaan tersebut tidak terlalu mencolok. Tetapi, perbedaan antara kelompok
sub-suku bangsa Riung, Ngada, Nage-Keo, Ende, Lio dengan orang Manggarai
termasuk besar. Seperti halnya dari segi bentuk fisik, ada satu perbedaan yang
mencolok. Penduduk Flores pulau dari orang-orang riung, makin ke timur
menunjukkan banyak ciri-ciri Malanesia, seperti penduduk Papua, sedangkan
orang Manggarai lebih banyak menunjukkan cirri-ciri mongoloid-melayu. Adapun
sub-suku bangsa Larantuka berbeda dari yang lain. Hal ini dikarenakan mereka
tercampur dengan mendapat pengeruh unsur-unsur kebudayaan dari lain-lain suku
bangsa Indonesia yang datang dan bercampur dikota Larantuka.
Berkaitan dengan kebudayaan ini penulis lebih mengkaji mengenai
kebudayaan timur terlebih khusus budaya Manggarai.Melihat berbagai
perkembangan yang terjadi saat ini masyarakat manggarai tidak pernah lekang
atau ketinggalan dari berbagai model perubahan.Hal ini tampak seperti masuknya
budaya luar yang berdampak mempengaruhi budaya asli masyarakat
Manggarai.Keadaan ini yang menjadi kekhawatiran kita sebagai generasi yang
memiliki peran penting terhadap keragaman budaya Manggarai.Bagi penulis
buadaya adalah sesuatu yang sangat unik dan patut dipertahankan kelestarian dan
kekhasannya.Mengingat budaya adalah salah satu bentuk identitas yang di
wariskan dari nenek moyang dan juga sebagai generasi penerus.Pada umumnya
gambaran masyarakat Manggarai bisa dilihat dari corak maupun ragam budaya
yang tercermin dalam berbagai sistem atau sub-sistem yang berlaku.Beragam sub-
sistem yang hidup dalam masyarakat Manggarai yang dapat memperlihatkan
bagaimana sesungguhnya corak kebudayaan di manggarai.Koentjaraningrat
dengan jelas menyebutkan beberapa unsur budaya yang hidup dalam masyarakat
manggarai yaitu sistem religi dan upacara keagamaan, sistem organisasi
kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian
atau ekonomi, sistem teknologi dan peralatan (1990: 2).
Dari segi dan peran budaya, sesungguhnya budaya itu lahir sebaagai cipta,
rasa, karsa maanusia.Bahkan, budaya tidak hanya lahir sebagai cipta, rasa, karsa
manusia, ulas koentjaraningrat tetapi mencakup seluruh total dari pikiran, karya
dan karya hasil manusia yang tidak berakar kepada nalurinya (1990: 1).Manusia
dapat berpakaian, bertutur kata, bersikap dan bertindak, baik secara lugas maupun
berupa kiasan-kiasan, tanda-tanda, lambang-lambang, totem-totem, dan simbol-
simbol, karena itu semua adalah cerminan budaya. Hartoko menguraikan bahwa
hal seperti itu direfleksikan sebagai cara hidup masyarakat yang serba bergantung
pada dunia lain yang keramat, dunia nenek moyang (dewa) yang dilambangkan
dengan totem-totem (1886:28-29). Ungkapan-ungkapan seperti itu juga diterapkan
dalam budaya Manggarai.Manggarai adalah sebuah daerah yang terletak di bagian
barat pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).Kini Manggarai terbagi
atas tiga Kabupaten, yaitu Kabupaten Manggarai, Kabupaten Manggarai Barat,
dan Kabupaten Manggarai Timur.
Dulu orang Manggarai menganut kepercayaan agama asli yaitu dinamisme
dan anamisme (kepercayaan pada roh-roh halus) mereka berkeyakinan bahwa
kebanyakan roh (dewa/leluhur) hadir pada pohon-pohon besar (lengke) dan di
sumber mata air/rawa-rawa.Pohon dan tempat semacam itu dianggap keramat,
yang mempunyai kekuatan dan perlindungan (pong).Karenanya nenek moyang
Manggarai berupaya menanam kembali bibit pohon besar itu (lengke) agar
tumbuh ditengah kampung/sekitar kampung, yang disebut compang.Compang itu
berbentuk bundar, di tengah-tengah compang tumbuh pohon besar (lengke), yang
dijadikan tempat sesajian.Dengan adanya compang itu, orang merasa diberi
kekuatan, dapat menyejukkan hati dan pikiran, terlindung dari
ancaman.barangkali ini mirip dengan apa yang diistilahkan oleh Nadjib, Spiritual
Guard yakni melegitimaikan keabsahan dan kehebatannya (1992:235). Jadi roh
dipohon besar itu dibuatkan lagi berupa compang ditengah kampung tetapi Pong
ada dua versi : kekuatan yang baik dan jahat. Verheijen (1991:233) menjelaskan
bahwa orang Manggarai yakni bahwa bila seorang jatuh dari pohon, biasanya
dituduhkan kepada darat atau poti tetapi juga kepada jing (roh halus).Memang
pada dasarnya, tegas Kleden manusia tak diminta untuk tunduk pada
alam.Manusia dan alam menurut Kleden, ada hubungan kewajiban antara
keduanya sebagai sesama ciptaan, alam wajib menghidupi manusia dan manusia
wajib melestarikn alam (1988:150). Dalam kaitan dengan ini, memang cukup
berbahaya jika orang salah menggunakan pong, compang, boa, wae teku, bukan
bermaksud untuk bersahabat dengan alam, tetapi mau mencari kekuatan gaib,
supaya menjadi manusia super, bahwa dengan modal dukun (mbeko) untuk ajang
bisnis jual kekuatan yang bisa jadi berujung pada raha rombo lingko/raha rumbu
tana (pertumpahan darah merebut tanah ulayat/tanah). Jadi, bukan hukum adat,
hukum positif yang dikedepankan, tetapi commercial mbeko.Sikap naik banding
di tempat/sikap main hakim sendiri jelas merupakan perbutan melawan hukum,
juga dapat dihukum.Hal itu dengan jelas tercantum dalam pasal 167 dan 406
KUHP (Mertokusumo, 2002:3).
Di Manggarai konon pada masa lampau dikenal adanya sistem
feodal/bangsawan. Sejak Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945 dan sejak
berlakunya sistem pemerintahan Orde Lama (Orla), maka jabatan feudal hilang,
sehingga sistem kasta di Manggarai tidak ada. Kemungkinan besar sistem feudal
ini berlahan-lahan berkurang/hilang, menurut Verheijen adalah sejak masuknya
pengaruh langsung dari Eropa mulai masuk Manggarai pada tahun 1907.Pada
tahun 1915 datang seorang misionaris dari peninggalan pertama (1991:24).Sejak
Orla itu, dikenal dengan istilah Kepala Desa (istilah Jawa) kemudian berlaku
secara menyeluruh untuk wilayah Nusantara. Dulu, kebanyakan yang menjabat
sebagai kepala desa adalah dari turunan bangsawan, menguasai budaya setempat,
berjiwa memimpin, bahasa Indonesia yang baik dan benar, serta cukup mengenal
sistem pemerintahan RI, sehingga bisa berkomunikasi/berkoordinasi dengan
pemerintah yang lebih tinggi.
Atas dasar itu, praktisnya di Manggarai tidak diterapkan sistem feodal.
Beberapa istilah sekarang ini yang merupaka warisan lampau yang menunjuk
pada pengertian jabatan-jabatan tua-tua adat seperti itulah yang akan berperan
dalam mengatur kehidupan masyarakat mengenai adat istiadat. Jabatan adat ini
harus dari kaum laki-laki/pria.Dalam menyelesaikan sengketa tanah di Manggarai,
baik itu tanah lingko maupun tanah tingkul hanang koe (milik perindividu),
hendaknya dilibatkan peran tua-tua adat dalam menyelesaikan persoalan sebelum
diteruskan ke meja hakim (pengadilan).Oleh karena itu, semestinya jika ada
sengketa tanah ulayat (lingko), tua-tua, khususnya tua teno tidak dibenarkan
sebagai saksi salah satu pihak.Kecuali masalah antara lingko, maka tua teno
sebagai pemuka/pihak dalam persengketaan. Di sisi lain bahwa penerapan sanksi
adat Manggarai (teging) yang dilakukan oleh tua-tua adat adalah secara
perdamaian dan cara menyelesaikannya ialah disatuakn masalah pidana dan
perdatanya. Dalam hukum positif Indonesia tentu penyelesaian hukum dipisahkan
antara masalah perdata, pidana, militer, dan tata negara.
Di sisi lainnya, bahwa orang Manggarai menyadari akan dualisme kehidupan,
yaitu hidup-mati, dunia kini dan akan datang. Sejak manusia lahir maka budaya
turut lahir bersamanya.Ketika manusia meninggal dunia, maka harus dilakukan
acara khas tradisi Manggarai yaitu tae mata (acara kematian).Salah satu tradisi
yang dilakukan bila salah seorang meniggal dunia, maka pasti disertai dengan
lorang/retang (ratap tangis).kalau dalam budaya Jawa tidak perlu ratap dan tangis
kepada orang yang meninggal dunia.Pada saat pemakaman pun dilakukan dengan
tenang, tidak demonstratif, dan air mata tidak suka dimunculkan.Yang terpenting
bagaimana yang ditegaskan Geertz adalah melakukan tugas-tugas lagi, tidak
terlalu terkungkung dalam rasa sedih yang berlarut-larut (1992:84).Bagi oaarng
Manggarai, tangis terhadap salah seorang keluarga yang meninggal dunia itu baru
berakhir secara formal pada saat acara saung ta’a (pelepasan duka setelah malam
ketiga atau malam kelima sejak malam pemakaman jenazah).
Sedangkan dalam perkumpulan hidup selanjutnya, budaya Manggarai dikenal
adanya suatu ungkapan rasa seni (estetika), seperti acara : caci (tarian saling
mencambuki antara laki-laki), torok tae (patuah adat/bahasa tinggi
budaya/sesajian), sanda, mbata, danding (tarian), nenggo/dere (menyanyi). Nilai-
nilai seni semacam ini diejawantahkan dalam nuansa suka cita, bahasa yang
bersifat sosial.Kleden menyatakan bahwa salah satu pokok kesulitan yang timbul
dalam kebudayaan Indonesia modern ialah identifikasi (yang keliru) antara
penolakan terhadap sikap tradisional dan penolakan terhadap tradisi itu sendiri.
Salah satu sebabnya, lanjut Kleden, karena kebudayaan dipandang atas cara yang
serba estetis (1988:245). Apa yang diuraikan Kleden itu, Kalau dikaitan dengan
koteks caci, mbata, sanda, danding, dll, seperti tertantang di tengah modernisasi
budaya sekarang ini. Oleh karena itu, warisan-warisan budaya seperti itu
hendaknya dimaknai secara keseluruhan (totalitas) sebagai ciri khas budaya
Manggarai.Dalam konteks caci sesungguhnya suatu ajang strategis dalam hal
promosi wisata daerah.Tarian saling mencambuki antara laki-laki dewasa (caci)
seyogiannya perlu dibuatkan dasar hukumnya dalam bentuk peraturan
daerah.Inilah tugas parlemen daerah (DPRD) untuk membuat peraturan daerah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah bentuk analisis sosial keragaman budaya masyarakat
Manggarai barat ?
2. Bagaimanakah persepsi masyarakat tentang karagaman budaya masyarakat
Manggarai Barat ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bentuk keragaman budaya masyarakat Manggarai
2. Untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang keanekaragaman budaya
masyarakat Manggarai Barat
D. Manfaat Penelitian
Ada dua hal yang diharapkan akan mendapatkan manfaat dari hasil penelitian
antara lain:
1. Secara teori atau akademik, dengan adanya penelitian ini diharapkan bisa
memberi dukungan dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya
mengenai keragaman budaya masayarakat Manggarai.
2. Secara praktis atau nyata
a. Untuk pemerintah sebagai masukan untuk mengembangkan keragaman
budaya masyarakat Manggarai yang akan membangun kepercayaan
masyarakatnya serta kiranya dapat juga mempercepat perkembangan dari
suatu sikap mental yang modern dengan menyediakan perangsang-perangsang
yang dapat mendorong timbulnya unsur-unsur sikap mental masyarakatnya di
Nusa Tenggara Timur (NTT)
b. Untuk pembaca, hasil penelitian ini menjadi informasi bagi pembaca tentang
keragaman budaya masyarakat Manggarai yang ada di Provinsi Nusa
Tenggara Timur.
c. Untuk peneliti, penelitian ini dilakukan untuk menambah wawasan tentang
keragaman budaya masyarakat Manggarai dan untuk menyusun skripsi
sebagai syarat memperboleh gelar serjana di Pendidikan Sosiologi, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Makassar.
E. Definisi Operasional
1. Analisis merupakan penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui
keadaan yang sebenarnya (sebab musabab, duduk perkaranya, dan
sebagainya).
2. Sosial merupakan segala perilaku manusia yang menggambarkan hubungaan
non individualis.
3. Keragaman merupakan suatu kondisi dalam masyarakat dimana terdapat
perbedaan-perbedaan dalam berbagai bidang termasuk suku bangsa, ras,
agama, ideology dan budaya (Masyarakat majemuk). Keragaman dalam
masyarakat adalah sebuah keadaan yang menunjukkan perbedaan yang cukup
banyak macam atau jenisnya dalam masyarakat.
4. Budaya adalah suatu sistem yang berupa norma, adat istiadat, gagasan dan
ide-ide yang diyakini dan dijadikan pedoman hidup masyarakat yang di
wariskan secara turun temurun.
5. Masyarakat Manggarai (orang Manggarai) adalah orang-orang pribumi yang
tersebar dari perbatasan Timur, Barat, Utara, Selatan Wilayah Manggarai.
Salah satu kekhasan Manggarai sebagai suku bangsa adalah adanya
berbagai kesamaan dalam bahasa dan watak.
23
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEP
A. Kajian Pustaka
1. Konsep Kebudayaan Manggarai
Kebudayaan (culture) adalah produk dari segala rangkaian proses sosial yang
dijalankaan oleh manusia dalam masyarakat dengan segala aktivitasnya. Dengan
demikian, maka kebudayaan adalah hasil nyata dari sebuah proses yang di
jalankan oleh manusia bersama masyarakatnya.
Kata kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta budhayah yang merupakan
kata jamak dari budhi yang berarti budi atau akal.Kebudayaan di artikan sebagai
hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal.(Koentjaraningrat, 1979: 195).
Koentjaraningrat (Soekarnto, 2003: 172) culture berasal dari bahasa lain colere
yang berarti mengolah atau mengerjakan, mengolah tanah atau bertani. Culrue
diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan
mengubah alam. Sejalan dengan Selo Soemardjan Dan Soelaiman Soemardi
(Seokanto, 2002: 173), bahwa kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan
cipta masyarakat.
E. B. Taylor (Saifuddin, 2005: 82) juga mengemukakan hal yang hampir
sama, bahwa kebudayaan adalah totalitas pengalaman manusia yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kapabilitas,
serta kebiasaan-kebiasaan lain yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota
masyarakat. C. Kluckhon menghimpun dan menerbitkan kembali 164 definisi
24
kebudayaan yang dikelompokkan menjadi enam: deskriptif historical, normative,
psikologis, struktural dan genetik (Saifuddin, 2005: 83), Kluckhon melalui
universal kategories of culture (1953) menuruskan 7 unsur kebudayaan yang
universal (Koentjaraningrat, 1979: 218), yaitu:
a. sistem teknologi, yaitu perlatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian,
perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi transport, dan
sebagainya).
b. sistem mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi (pertanian, peternakan,
sistem produksi, sistem distribusi, dan lainnya).
c. Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum,
dan sistem perkawinan).
d. bahasa (lisan dan tertulis)
e. kesenian (seni rupa, seni tari, seni gerak, dan sebagainya).
f. Sistem pengetahuan.
g. religi (sistem kepercayaan)
Makna kebudayaan kini telah semakin luas karena semakin luasnya perhatian
sejarawan, sosiolog dan kritisi sastra.Perhatian banyak diacuhkan kepada
kebudayaan popular yakni sikap-sikap dan nilai-nilai masyarakat awan serta
pengungkapannya kedalam kesenian rakyat, lagu daerah, cerita rakyat, ferstival
rakyat dan sebagainya.
Pada umumnya orang mengartikan kebudayaan dengan estetika atau hasil
karya manusia.Seperti seni tari, seni suara, seni lukis, seni drama dan
sebagainya.Demikian juga perilaku manusia yang dilakukan dalam lingkup yang
25
luas juga dikatakan kebudayaan.Jadi, kebudayaan dalam pengertian umum seperti
ini lebih bersifat material.Sedangkan pandangan hidup, tata nilai, norma-norma
yang bersifat ideal tidak dimsukkan sebagai kebudayaan. Pandangan tersebut
tidak salah, akan tetapi sesungguhnya kebudayaan lebih luas cakupannya dari
pada itu semua termasuk hal-hal yang bersifat ideal.
Berikut ini beberapa definisi kebudayaan: Koentjaningraat (1981),
menyatakan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan kegiatan yang meliputi
tindakan, perbuatan, tingkah laku manusia dan hasil karyanya yang didapat dari
belajar. Selo Soemardjan (1979), kebudayaan merupakan semua hasil karya, rasa
dan cipta manusia.
Kedua definisi diataslah yang banyak mempengaruhi masyarakat dalam
mengartikan apa itu kebudayaan. Sedangkan pengertian kebudayaan yang lebih
luas dapat dilihat pada pendapat E.B. Tylor, berikut ini: “kebudayaan merupakan
sesuatu yang kompleks yang mencakup pengetahuan, moral, hukum adat istiadat,
kesenian dan kemampuan-kemampuan lain serta kebiasaan yang dapat dilakukan
oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Jadi fungsi kebudayaan bagi masyarakat adalah kebudayaan mempunyai
fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat.Bermacam kekuatan yang
harus dihadapi masyarakat dan anggota-anggotanya seperti kekuatan alam,
maupun kekuatan-kekuatan lainnya.Selain itu, manusia dan masyarakat
memerlukan pula kepuasan, baik di bidang spiritual maupun di bidang
materil.Kebutuhan-kebutuhan masyarakat tersebut diatas untuk sebagian besar
dipenuhi oleh kebudayaan yang bersumber pada masyarakat itu sendiri.Dikatakan
26
sebagian besaar karena kemampuan masyarakat terbatas sehingga kemampuan
kebudayaan yang merupakan hasil ciptanya juga terbatas di dalam memenuhi
segala kebutuhan.
Berikut ini beberapa konsep kebudayaan Manggaraibarat :
1. Letak Geografis
Daerah atau suku Manggarai terletak diujung barat pulau Flores, Provinsi
Nusa Tenggara Timur.Dalam hal ini penulis menguraikan letak geografis suku
Manggarai (bukan dilihat menurut wilayah kabupatennya).Dulu Manggarai hanya
satu kabupaten saja, tetapi sekarang Manggarai telah dimekarkan menjadi tiga
Kabupaten.
Adapun letak geografis suku Manggarai yaitu sebagai berikut:
a. Bagain Timur dibatasi oleh Kabupaten Ngada
b. Bagian Barat dibatasi oleh Selat Sape
c. Bagian Utara dibatasi oleh Laut Flores
d. Bagia Selatan dibatasi oleh Pulau Sumba (Nuri, 1985:18).
2. Geologi, Topografi, dan Iklim
Berdasarkan data makro/pola umum pembangunan NTT (Nuri, 1985:8-9),
maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Manggarai pun dapat dikategorikan
sebagai berikut:
1) Manggarai terbentuk sejak zaman mesozoikum dan terus ke zaman tertier dan
kuarter. Bahannya terdiri dari bahan endapan.
27
2) Dari segi topografi
Dari segi topografi Manggarai adalah daerah yang berbukit, bergunung dan
sebagainya dataran (pandang).Dulu moyang Manggarai mendirikan rumah-rumah
(kampung) di bukit/gunung, sehingga kampung itu dalam bahasa Manggarainya
ialah Golo Lonto. Golo arti harfiahnya adalah bukit, gunung, keris. Mereka
mendirikan kampung di bukit/gunung supaya terhindar dari serangan
musuh.Verheijen menyatakan bahwa dapatlah dimengerti bahwa orang Manggarai
mendirikan kampungnya jauh dari pantai, di pedalaman (1991:23).Sampai
sekarang ini masih ada sebagian besar kampung di Manggarai berada di bukit-
bukit.
3) Manggarai tergolong iklim kering.
Musim hujan berkisar antara bulan desember/januari sampai maret /april.
Sedangkan musim kemarau berkisar antara bulan mei/juli sampai bulan
oktober/November.
3. Kebudayaan Agraris
Menurut Verheijen (1991:27), data tahun 1936-1948, Manggarai mempunyai
kebudayaan agraris, yaitu makanan pokoknya jagung, padi lading kering, ubi jalar
(tete wase), ubi manis (tase), ubi kayu (tet haju,tete daeng). Yang digambarkan ini
merupakan gambaran kehidupan agraris Manggarai sebelum tahun 1950-an
(1991:24).
Oleh karena itu, Verheijen mengulas bahwa tidaklah heran Manggarai
memasukkan budaya bercocok tanam (kerja kebun) sebagai mata pencahariannya
yang utama.Dalam hal berkebun dikenal istilah lingko (kebun bundar ulayat), dan
28
uma tingkul (kebun hasil garapan pribadi).Menyangkut lingko itu, telah
dimasukkan sebagai bagian dari tata ruang budaya Manggarai. Kalau sekelompok
msyarakat terkecil (kampung = beo) tidak mempunyai lingko, maka masyarakat
tersebut tidak diakui keabsahannya sebagai masyarakat terkecil/kampung yang
disebut beo/golo lonto., yaitu untuk menggambarkan satu kesatuan. Dalam
kaitannya ini, muncul istilah Manggarai beone lingko peang (kampung di dalam,
kebun bundar di luar). Jadi kebun bundar/tanah ulayat (lingko) merupakan salah
satu syarat legalitas adat akan kesatuan masyarakat di dalam kampung.
4. Jumlah Penduduk
Dalam data jumlah penduduk tahun 1975, jumlah penduduk Nusa Ternggara
Timur adalah 2.438.301 jiwa. Apabila dilihat dari segi jumlah, Manggarai
mempunyai jumlah penduduk sebanyak 341.107 jiwa (14,2%), dan itu merupakan
konsentarsi penduduk terbanyak di Nusa Tenggara Timur (Nuri, 1985:16), yang
terbagi kedalam 12 kabupaten yang identik dengan 12 suku). Dari penelitian Nuri
itu, dapat disimpulkan bahwa dari segi kualitas penduduk suku Manggarai
memiliki sumber daya manusia (SDM) yang perlu diberdayakan dalam rangka
membangun daerah Manggarai.Seyogiannya jumlah penduduk yang lebih banyak
itu perlu diimbangi dengan kualitas SDM-nya.Konsep ini cocok diterapkan pada
kondisi daerah Manggarai sampai tahun 1990-an. Tetapi sekarang Manggarai
terbagi atas tiga kabupaten, sehingga butuh penelitian lagi berupa data ilmiah
lainnya.
29
5. Kesatuan Genealogis
Kesatuan genealogis lebih besar yang harus dianggap paling utama di
Manggarai ialah klan patrilineal (wa’u). Namun endogami bahkan antara saudara-
saudari sepupu kadang-kadang ditemukan, perkawinan bersifat patrilokal seperti
biasa pada keluarga (klan) pemberi istri (anak rona) mempunyai pengaruh besar.
Hal ini, ulas Verheijen, sangat dikukuhkan oleh perkawinan crosscousin
unilateral (tungku) diwajibkan satu anak laki-laki dan satu anak perempuan dari
tiap perkawinan (1991:25).Garis keturunan keluarga nenek moyang dilihat
berdasarkan garis keturunan laki-laki (ayah). Karena begitu kuatnya klan
patrilineal (wa’u), anak laki-lakilah yang berhak sebagai ahli waris harta kekayaan
orangtua kandung. Anak laki-laki selamanya tetap tinggal pada marga
orangtuanya, sehingga pantas laki-laki disebut ata one (orang dalam) sebutan ata
one dilakukan (dideklarasikan) sejak manusia lahir yaitu melalui budaya (tradisi)
entap dinding/entap siding (entap = pukul/memukul; dinding/siding = sekat
rumah, bilik rumah). Entap dinding/siding artinya memukul sekat atau bilik
rumah.Entap dinding dalam istilah tae loas ialah memukul sekat/bilik rumah
waktu bersalin.
Kalau sudah bersalin, maka salah seorang yang ditunjuk langsung memukul
sekat/bilik rumah dari luar halaman rumah sebanyak tiga kali dan sambil bertanya
dalam bahasa Manggarai yang khas, ata pe’ang ko ata one? (orang luar ataukah
orang dalam?). Ibu-ibu/perempuan yang berada dalam kamar bersalin menjawab
pertanyaan itu sebanyak tiga kali.Setiap satu pertanyaan maka dijawab juga satu
kali.Begitupun pertanyaan yang kedua dan pertanyaan yang ketiga.Jawabannya
30
disesuaikan dengan jenis kelamin bayi yang lahir.Kalau yang laahir itu adalah
anak laki-laki, maka jawabannya adalah ata one (orang dalam).Tetapi kalau yang
lahir ialah jenis perempuan, maka jawabannya adalah ata pe’ang (orang luar).
Laki=laki disebut ata one, karena kalau laki-laki setelah kawin ia tetap tinggal
pada marganya sendiri/pada marga warisan orangtua. Sedangkan perempuan
disebut ata pe’ang, sebab anak peempuan setelah kawin ia tinggal pada kampung
suaminya/pada marga suaminya untuk selamanya, dan anak perempuan tak berhak
mendapat harta warisan orangtua kandung, sehingga tidak heran kalau perempuan
disebut ata pe’ang (orang luar).
Jadi entap dinding atau entap siding ini semacam pengukuhan atau deklarasi
pertama tentang status jenis kelamin anak dalam keluarga.Ini terkait pada sistem
patrilineal di Manggarai.
Dampak lanjutan dari sistem patrilineal ini adalah realita yang terjadi di
Manggarai sampai kini adalah bahwa yang memegang tampuk pimpinan adat
istiadat baik dari tingkat terendah maupun tingkat yang lebih tinggi diatasnya
adalah kaum laki-laki.Bahkan kalau laki-laki mempersunting perempuan, maka
perempuan tersebut ibaratnya seperti dibeli yaitu dengan istilah belis (paca).
Dalam kata lain Hidayat mengulas bahwa belis sebagai simbol status pribadi
disebut paca, wagal atau gelar weki. Lanjut Hidayat, dalam perkawinan kontan
yaitu perkawinan dimana belis dibayar kontan, sehingga dengan demikian istrinya
dapat dibawa dan dimasukkan kedalam anggota klan suaminya (1976:130).
Mungkin inilah salah satu budaya yang diulas J.Sunarka bahwa dalam keluarga
yang berwawasan budaya patrilineal, semua berada dalam kuasa suami.Apalagi
31
dengan adanya paham cultural di bawah sadar bahwa dalam pernikahan
perempuan itu dibeli. Sedikit banyaknya dengan adanya beli untuk masyarakat
Indonesia timur atau masukan tukon untuk kalangan masyarakat Jawa (Bunga
Rampaai VII:2003:23).
6. Asal Usul Moyang Manggarai
Dalam uraian penulis bahwa Manggarai mempunyai suku asli. Dalam
kaitannya dengan ini, ulasan Dami N. Toda, “orang asli” (ata ici tana) Manggarai
senantiasa dikisahkan trdisi pelisanan sebagai makhluk berbadan bulu, berpakaian
kulit kayu, memakan makanan mentah, dan belum mengenal api ( metaforik),
sehingga bulu badan mereka gugur oleh panas api dan mengenal makanan yang
dimasak (1999:221-222).
Menurut hsil penelitian Verheijen, di Manggarai ditemukan beberapa subklan
yang moyangnya sebagai seorang pribadi datang dari luar, antara lain: dari Bugis,
Goa, Makassar, Serang, Sumba, Bima, Boneng Kebo (1991:23). Itu artinya bahwa
moyang Manggarai berasal dari banyak suku yang datang dari luar.Oleh karena
kurangnya data tertulis, sehingga sulit dipastikan pengelompokkan klan-klan si
Manggarai berdasarkan suku asalnya, baaik yang datang dari luar maupun suku
asli Manggarai. Hampir pada umumnya setiap wilayah distrik (hamente/dalu)
atau wilayah kecamatan di Manggarai memiliki dialek bahasa yang berbeda-beda.
Meskipun bahasa daerah tetap satu yaitu bahasa Manggarai. Hal itu, Verheijen
berkesimpulan bahwa tidaklah jelas apakah golongan bangsawan (keraeng) pada
umumnya berasal dari satu kelompok migrant tertentu (199i:24).
32
Hemat penulis bahwa suku luar yang cukup berpengaruh di Manggarai
kebanyakan berasal dari Sulawesi Selatan (Kerajaan Goa/Makassar/Bugis).
Misalnya, istilah keraeng sesungguhnya merujuk pada sebutan bangsawan yang
sama dengan yang digunakan di Makassar (Goa). Hanya sedikit perbedaan dari
segi penulisan dan penghafalannya.Orang Manggarai menyebutkan keraeng (ke-
ra-eng); sedangkan orang Makassar menyebutnya karaeng (ka-ra-eng).Mengapa
istilah sebagai salah satu pertimbangan yang cukup kuat, karena istilah tersebut
mengarah pada istilah bangsawan.Bangsawan adalah status sosial masyarakat
yang terhormat.Golongan bangsawan sebagai pemangku adat/tua adat untuk
mengatur tata hidup sosial.
Dalam hal bentuk rumah pun, bahwa bentuk rumah Manggarai adalah rumah
panggung (mbaru ngaung).Di Bugis, Goa/Makassar pun diperoleh bentuk
rumahnya yaitu rumah panggung. Beberapa data tersebut diatas dapat diperoleh
penulis ketika merantau selama 13 tahun di Makassar/Goa, sejak tahun 1990-
2002.Adapun data lainnya, Verheijen menegaskan bahwa pekerjaan menenun
telah dimasukkan dari Goa/Makassar (1976:24).Pekerjaan menenun menghasilkan
kain sarung songke (lipa songke, towe songke). Hidayat Z.M. juga menegaskan
bahwa Manggarai mendapat pengaruh dari Sulawesi selatan terutama dari
Goa/Makassar (1976:130)
Setelah menyimak dari beberapa hal yang telah diuraikan di atas, penulis
belum dapat menyimpulkan secara jelas, tegas, dan akurat menyangkut asal usul
leluhur Manggarai.Kemungkinan besar leluhur Manggarai berasal dari banyak
suku, baik dari dalam maupun dari luar.Cuma kemungkinan besar bahwa bahwa
33
suku yang cukup dekat dengan Manggarai adalah suku Goa/Makassar,
Bugis.Tetapi cukup sulit mendapat pengaruh langsung dan menyeluruh dari suku-
suku luar Manggarai.Karena Manggarai memiliki keadaan alam yang penuh bukit,
gunung. Hal itu karena terbukti Manggarai mempunyai warisan budaya yang unik,
misalnya: tarian caci, caci adalah tarian khas Manggarai, yang tidak ada pada suku
lain. Itu sebagai pertanda bahwa kemungkinan besar Manggarai mempunyai suku
aslinya.Tetapi karena penulis buka sejarawan, melainkan sebagai pemerhati dan
peminat besar masalah budaya.
2. Analisis Sosial Budaya Masyarakat Manggarai Barat
Melihat berbagai perkembangan yang terjadi saat ini masyarakat Manggarai
tidak pernah lekang atau ketinggalan dari berbagai model perubahan.Hal ini
tampak seperti masuknya budaya luar yang berdampak mempengaruhi budaya asli
masyarakat Manggarai.Keadaan ini yang menjadi kekhawatiran kita sebagai
generasi yang memiliki peran penting terhadap keragaman budaya
Manggarai.Bagi penulis, budaya adalah sesuatu yang sangat unik dan patut
dipertahankan kelestarian dan kekhasannya.Mengingat budaya adalah salah satu
bentuk identitas yang di wariskan dari nenek moyang dan juga sebagai bentuk
pelaksanaan sebagai tri sakti yang pernah mencetuskan proklamator Indonesia,
Bung Karno.
Bung Karno pernah menegaskan bahwa orarng muda harus berkepribadian
dalam bidang budaya sehingga dengan itu kita dituntut untuk bisa memegang
laanjut tongkat estavet budaya secara berkelanjutan.
34
Kekhawatiran sekarang ini adalah masih ada begitu banyak genersi muda
Manggarai yang apatis terhadap kebudayaannya sendiri.Generasi muda saat ini
seakan tidak peduli terhadap budaya tersebut bahkan mereka lebih mudah
dipengaruhi oleh budaya luar.Mungkin untuk saat ini budaya Manggarai masih
tampak terlihat di kalangan masyarakat Manggarai karena masih banyak generasi-
generasi sebelumnya yang memahami budaya Manggarai.
Beberapa jenis budaya masyarakat Manggarai seperti tarian caci, kapok,
danding, mbat, sae, ronda, dan sebagainya memang terlihat masih memiliki
banyak penggemar baik kalangan muda maupun tua. Tetapi masih banyak pula
jenis Manggarai yang belum diketahui benar oleh generasi muda, contohnya
adalah go’et.
Ironisnya lagi masih banyak putra-putri masyarakat Manggarai barat saat ini
tidak tahu mengenakan atribut Manggarai seperti mengenakan songke, sesek sapu,
dan sebagainya.Hal-hal seperti ini memang terlihat kecil tetapi dampaknya sangat
luar biasa.
Dalam adat budaya Manggarai misalnya pada saat acara syukuran panen,
biasanya disandingkan dengan tarian caci.Sudah sangat jelas bahwa tarian caci ini
punya nilai seni tersendiri.Nilai seni itupun ditunjukkan pada saat peserta caci
menari mengikuti irama gendang dan gong.Ini juga menjadi sorotan bagi kaum
muda Manggarai bahwa masih banyak kaum muda tidak tahu memainkan
gendang dan gong.Padahal keberadaan kedua barang ini menjadi tolak ukur dan
memiliki nilai estetika seni tersendiri dalam permainan caci.
35
3. Bentuk Keragaman Budaya Masyarakat Manggarai Barat
a. Caci
Kata caci berasal dari kata ca = satu. Caci terbagi atas dua suku kata, yaitu ca
dan ci.Kata ci kalau berdiri sendiri artinya paksa, memaksa.Misalnya, seorang
anak selalu menangis minta makan pada orangtuanya.Begitu orang memberi
makan pada anak itu, tetap saja anak tersebut meminta makan pada orangtuanya.
Sakin marahnya si orangtua, lalu ia mengatakan, eme toe aku ci hang ce lewing
mese bo bae! (kalau tidak, nanti saya paksa kau makan satu periuk/dandang besar
baru kau rasa!). caci arti harfiahnya satu-satu, satu disana, satu dissini, memukul
dan menangkis secara berbalasan, satu lawan satu.
Main caci terdiri dari dua kelompok (kubu).Istilah kubu disini bukan
bermaksud sebagai lawan, musuh, dan dalam pertandingan pun tak
mengutamakan siapa yang kalah dan siapa yang menang, tetapi yang penting
dilihat adalah secara keseluruhan permainan caci itu. Permainan caci merupakan
cara budaya , misalnya, dilakukan pada waktu acara adat perkawinan (tae
kawing), acara syukuran (penti), dan lain-lain. Yang bermain caci adalah kaum
lelaki, sedangkan perempuan hanya berpartisipasi dalam acara, seperti main gong
(tebaang nggong), melayani tamu-tamu/keluarga kerabat dengan menyiapkan
konsumsi/snak, main caci dilaksanakan pada siang hari, antara sekitar pukul 08.00
pagi sampai pukul 17.00 waktu setempat; tempat pelaksanaan caci di halaman
kampung (natas) atau di lapangan tertentu yang telah disepakati bersama.
Seyogiannya yang ikut bermain caci adalah orang dewasa sudah tua atau
36
berkeluarga. Main caci juga tak di perkenankan pemain caci antar saudara
kandung, saudara sepupu terdekat, keluarga terdekat, satu warga kampung,
keluarga tetangga (pa’ang ngaung), kenalan dekat (hae reba).
Adapun beberapa kriteria caci antara lain sebagai brikut:
1. Pria/Lekaki
Kalau dulu yang ikut bermain caci khususnya lelaki yang sudah dewasa, tetapi
kini bisa juga remaja/orang muda/anak sekolah sesuai momen acaranya.Dalam
permainan caci dalam konteks perkawinan (tae kawing), acara syukuran (penti),
syukuran membuka kebun bundar yang baru/tanah ulayat yang baru (randang
lingko), dan lain-lain, maka permainan caci dewasa yang ditampilkan. Sedangkan
anak remaja, orang muda, bisa ikut bermain caci dalam konteks pendidikan,
seperti pada peringatan proklamasi kemerdekaan RI, hari pendidikan nasional
(hardiknas), hari sumpah pemuda, derta hari bersejarah lainnya, yang
diselenggarakan oleh pemerintah daerah Manggarai. Peresta main caci untuk
acara seperti itu ialah anak sekolah di tingkat SLTP sampai SLTA; kelompok
pertandingan caci di sesuaikan dengan tingkat sekolah/jenjang pendidikan.
Permainan caci ialah khusus lelaki, karena motif permainannya keras, agak
kasar, kurang etis yaitu tak memakai baju.Bagian perut (tuka) sampai batas pusat
(putes) tak ditutupi dengan baju.Jadi, caci khusus tarian lelaki.
2. Selek
Selek adalah menata diri permainan caci dalam hal berpakaian, secara
umumnya bahwa perlengkapan pakaian caci sudah diketahui oleh setiap pemain
caci, akan tetapi cara berpakaian : kerapian, kebersihan pakaian, merupakan nilai
37
plus bagi peserta main caci. Kalau ada ungkapan Manggarai begini, dia keta selek
caci ata rona hiot maeng caci (baik sekali cara berpakaian si laki-laki pemain caci
itu). Dari ungkapan ini menandakan bahwa selek dia (berpakaian yang baik)
merupakan ekspresi jati diri, menunjukkan estetika budaya.Berpkaian itu punya
arti dalam hidup manusia, di mana saja berada.Berpakaian merupakan cerminan
diri manusia.
3. Lomes
Lomes adalah tatak rama, kemarahan, yang menekankan variasi gaya pemain
caci. Yang dilihat secara sepintas menyangkut lomes yaitu: suara waktu
menyanyi, raut muka yang ramah, bahasa-bahasa kiasan yang digunakan yang tak
menyinggung perasaan orang lain, tetapi malah orang lain merasa senang dan
terpaku, dan kagum, terlena, tertawa ria, simpati pada diri pemain caci itu.
Misalnya cara menari (congka), cara memuji diri di hadapan lawan.penonton dan
anggotanya (kubunya), dengan khas.
Lomes tidak hanya ditamilkan pada waktu diri pemain caci yang tak kena
cambukan caci, tetapi ia tetap menunjukan sikap ramah (lomes). Misalnya si A
telaah menangkis pukulan/cambukan dari pihak lawan (poli tiba larik) dan
pihaknya mendapat kena cambukan (hena larik), ia tetap menunjukkan diri dengan
sikap ramah (lomes), dengan banyak variasi antara lain seperti dalam bahasa
Manggarai berikut ini : asa ende, ema, ase, kae, weta-weta, hena ko? Sala hena
ranga?Sala hena mata?Sala hena tilu?Sala hena tuka? Sala hena lime (artinya,
bagaimana ibu, bpak, saudara, saudari, adik-adik, apakah saya kena cambukan?
Barangkali kena dimuka?Barangkali kena mata?Barangkali kena
38
telinga?Barangkali kena perut? Barangkali kena tangan?.Jadi si pemain caci
menanyakan dirinya sendiri setelah menangkis cambukan dari lawan caci. Apakah
ia kena cambuk atau tidak, tetapi ini adalah salah satu cara lomes dalam
permainan caci.
Setiap pertanyaan dari permainan caci seperti contoh lomes tersebut di atas,
maka anggota kelompoknya (satu kubu) dan penonton caci harus menjawab toe
manga (tidak) meskipun ia kena atau tidak. Hal ini adalah salah satu setika main
caci dari kubu/kelompok dan penonton main caci.Setelah itu, pemain saling
cambukan ini meneruskan variasi lomes dengan menyebut identitas diri/nama
samarannya dalam bahasa kiasa. Misalnya, meter pas reba lada, buah mangga ada
di Manggarai (artinya, meter pas pemuda dari kampung lada, buah mangga ada di
Manggarai). Makna kiasa ini adalah si A yang menyebut dirinya meter pas adalah
pemuda yang berasal dari kampung lada di Manggarai. Dan bahkan setelah itu, si
A membawakan sebuah lagu tunggal (dere nenggo). Lagu yang dibawakan itu
harus merdu, tak menyinggung pasangan orang lain/sinis, tetapi lagu yang
membuat orang kagum/simpati, isi lagu harus sesuai topik acara saat itu.
4. Ilo
Ilo artinya tidak kena cambukan oleh lawan caci. Pemain caci yang ilo
merupakan yang salah satu nilai/bobot tersendiri yang penting. Orang juga
dianggap hebat main caci justru salah satu hal terletak disini yaitu ilo (tak kena
pukulan/cambukan atau jarang kena cambukan oleh lawan caci).
Mencari pemain seperti ini cukup sulit.Karena pihak lawan caci, yang
mendapat giliran memukul/mencambuk disertai berbagai macam gerakan, upaya-
39
upaya, aba-aba sedemikian rupa membuat pihak lawan terlena (temo), tertipu
(adong). Karena ketika pihak yang menerima cambukan (ata tiba larik) dan
mampu menangkis cambukan tersebut (nganceng tiba larik) dan tak kena pukulan
(toe hena larik), itulah yang disebut ilo.
Yang disebut ilo tiba larik (lincah tak kena cambuk caci) bukan karena belas
kasihan dari pihak lawan, atau bukan karena ia menangkisnya dengan cara tidak
halal (dilakukan secara sportif, jujur. Jadi, tak ada sekongkol.Dalam hal sistem
pemerintahan, mental pemimpin daerah/lokal sebetulnya bisa mengambil intisari
dari salah satu segi yaitu tak adanya kolusi, korupsi dan nopetisme (KKN).Jadi,
orang dianggap hebat bukan karena didongkrak oleh orang lain, tetapi karena
prestasi individualnya.
5. Co’o Pakin
Co’o pakin (co’o artinya bagaimana caranya.Pakin artinya memukul,
mencambuk). Co’o pakin artinya bagaimana cara memukul/mencambuknya. Pada
kriteria kelima ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain:
a) Mberes Paki
Mberes paki (mberes artinya derasa, kuat.Paki artinya memukul,
mencambuk).Mberes paki artinya kuat memukul/mencambuk.Mberes paki (kuat
memu/deras memukul) ialah lambang kejantanan, kekuatan energi lelaki. Dampak
lain mberes paki ialah pada pihak penangkis pukulan diupayakan supaya siap
siaga, waspada menerima pukulan yang deras itu. Logisnya, bilamana kena
pukulan pada lawan, kemungkinan besar mendapat luka besar, lukanya dalam dan
keluar darah. Menarik juga di tonton bila kuat memukul, karena akan terdengar
40
bunyi tangkisanya oleh pihak lawan. Pemain caci mestinya memiliki fisik yang
cukup besar, berenergi, dan bersih.Dan syarat utamanya ialah sehat jasmani dan
rohani.
b) Co;o pakin
Co’o pakin ialah bagaimana cara mencambuk/memukulnya. Memukul/saling
mencambuk dalam tanding caci tak sekadar mencambuki.Seharusnya berpacu
pada aturan-aturan umum permainan caci, yang prakteknya tergantung tabiat
setiap orang.Misalnya, dalam hal embong larik (lagu-lagu singkat membuat pihak
penangkis terlena). Mungkin lagu tersebut hanya satu bait saja, baru langsung
mencambuki lawan.
c) Nia pakin
Nia pakin (nia = dimana; Pakin = sasaran pukulannya, sasaran cambukan). Nia
pakin artinya dimana sasaran memukul/mencambukan.Tak semua badan
dipikul/dicambuki saat main caci.Secara umum batas area tubuh yang
dipukul/dicambuk ialah pada bagian tubuh tertentu seseorang, yaitu sekitar diatas
pusat (putes) sampai ujung rambut/kepala (haeng eta sai). Jika ada orang
memukul di luar ketentuan umum tersebut akan ditegur (toing) dan dimarahi
(rabo) oleh tua adat/panitia pertandingan/tarian. Atau dalam kondisi tertentu yang
melanggar memukul itu di keluarkan dalam area permainan/pertandingan.Sifat
pemberhatian hanya berlaku saat itu, bukan untuk seterusnya.Dalam arti kalau
pemain yang langgar itu hari berlakunya bisa ikut lagi permainan caci.Cuma kalau
permainan ini dalam konteks pertandingan misalnya dalam rangka merayakan
HUT RI.Maka si pelanggar ditegur, dan dikurangi nilaai perlombaannya.
41
d) Nganceng hena paki one ata
Nganceng hena paki one ata (nganceng = bisa, dapat; Hena = kena; Paki =
cambuk/pukul; one ata = kepada orang lain). Nganceng hena paki one ata artinya
bisa kena cambuk pada pihak lawan. Di atas telah diuraikan tentang badan area
badan orang yang akan dicambuki oleh pihak lawan, maka bagian selanjutnya
adalah apakah si pemain caci yang mendapat giliran mencambuk/memukul
mampu mengenai lawan.
Ada beberapa tingkatan bobot pukulan dalam tanding caci.Misanya, si
pecambuk yang mampu melukai lawannya.Lebih hebat lagi si pecambuk mampu
mengarahkan pukulannya dan mengenai lawan pada bagian tubuh tertentu yang
dianggap bergensi, dan kalau pada tempat tersebut hena beke (kena luka
cacat).Tempat-tempat tersebut adalah tangan, dan bagian muka/kepala.Disebut
hena beke, sebab dalam permainan saling caambuk ini posisi tangan terlindung
oleh tameng (nggiling) dan gagang (koret).Sedangkan bagian kepala/muka disebut
beke (kena cacat) sebab bagian ini ditutupi dengan topi (panggal) dan seluruh
muka dan kepala ditutupi dengan lapisan kain yang disebut janggo. Jadi, orang
yang terkena cambukan pada bagian yang dianggap beke akan merasa malu,
merasa gensi turun.
Pertanyaanya: apakah orang Manggarai tak punya hati nurani bila ada orang
yang kena cambukan bahkan menjadi pinsan waktu main caci? Jawabannyasama
sekali tidak demikian. Malah permainan ini makin meningkatkan rasa persatuan,
persaudaraan, persahabatan, dan kekeluargaan.Caci adalah suatu momen budaya
tertentu yang sifatnya sukacita, dalam menampilkan kehebatan main cambuk, tak
42
mengutamakan kalah menang, tetapi memperhatikan semangat
kekeluargaan.Realitasnya, dari dulu sampai sekarang ini, tidak ada orang
Manggarai berkelahi karena caci.
e) Nenggo/Dere
Nenggo/dere adalah nyanyian/menyanyi.Dere sebetunya adalah bagian dari
lomes.Tetapi karena lomes menyangkut hal-hak yang umum, maka nenggo perlu
diuraikan secara khusus.Dere/nenggo yang ditampilkan waktu caci tak sekedar
menyanyi, tetapi sedapat mungkin berkaitan dengan momen acara. Pesan
Manggarainya begini: porong icin dere cama nuhu co’o icin tombo adak duhu hitu
(isi pesan lagu harus sesuai dengan topic acara pada saat itu). Misalnya, main caci
waktu magal (perkwinan) beda isi judul/pesan pada waktu pesta syukuran
membuka kampung baru (penti pande beo weru). Atau saat itu diadakan caci
dalam rangka HUT Kemerdekaan RI, maka pesan lagu pun harus dengan suara
merdu.Lagu dapat membahasakan sesuatu.
Bagi orang Manggarai, lagu (dere) bukan sekedar estetika budaya, melainkan
mempunyai pesan budaya cukup penting, karena begitu besarnya kesukaan orang
Manggarai dalam hal dere, baik berupa dere tunggal maupun dere kolektif.Dan
kalau dianalisis lebih jauh lagi, hampir setiap acara budaya dere tetap ditampilkan.
f) Tebang Nggong
Tebang nggong (tebang = main, bermain; nggong = gong). Tebang nggong
artinya bermain gong/membunyikan gong.Peserta main gong ialah
perempuan/ibu-ibu, dengan memakai pakaian adat yang sesuai acara. Ada
beberapa macam jenis tebang nggong yakni: pertama tebang nggong tutun (main
43
gong dengan gerak tempo lambat). Dan kedua tebang nggong kedendit (main
gong dengan gerak tempo cepat). Tebang nggong adalah syarat mutlak/bagian
yang tak terpisahkan dalam main caci. Bunyi gong yang baik akan sangat
menentukan/berpengaruh, menambah semangat lomes, jika bunyi gongnya gerak
tempo lambat, maka pemain caci pun menari dengan lambat; begitu pun kalau
gongnya gerak tempo cepat, maka pemain pun akan menari dengan cepat.
Tebang nggong bukanlah kriteria khusus pemain caci, tetapi itu adalah bagian
dari seluruh rangkaian main caci pada umumnya.
b. Torok Tae/Tudak
Torok tae dan tudak hampir sama, sehingga susah dibedakan, yang mana
sebetulnya kedua hal tersebut ada perbedaannya dari segi prakteknya. Oleh krena
itu pada bagian ini diuraikan saja antara torok tae dan tudak, dilihat menurut segi
perbedaannya.
1. Arti Torok Tae
Torok tae (torok = menyampaikan/mengemukakan/membeberkan; tae =
bicara, acara, pesta). Torok tae artinya menyampaikan pesan wujud permohonan
acara/pesta kepada leluhur/Allah.Misalnya, torok tae mata (menyampaikan pesan
waktu acara kematian). Pengertian torok tae yang lebih lengkap ialah
penyampaian pesan, berupa doa permohonan, syukuran, pujian, sembah, hormat,
terima kasih kepada Allah/leluhur, sesama, lingkungan baik yang masih hidup
maupun yang sudah meninggal dunia atas segala pengalaman hidup manusia yang
sifatnya positif, dalam situasi formal, terbuka, di hadapan banyak orang dengan
44
menggunakan bahasa kiasa (bahasa tinggi budaya), dan dapat dilakukan dengan
disertai penyembelihan hewan dan bisa juga tanpa dengan penyembelihan hewan.
2. Arti Tudak
Tudak adalah menyampaikan pesan/maksud kepada leluhur, jin
(darat/poti/lempo). Inti bahasa tudak berupa permohonan, syukur, pujian, hormat,
baik yang diucapkan dalam situasi formal maupun dalam situasi tak formal
(pribadi), baik yang bersifat positif maupun negatif, dengan menggunakan bahasa
kiasan.
c. Sanda
Sanda adalah salah satu tarian budaya Manggarai dengan gerak, jarak
berbaris-baris secara teratur membentuk lingkaran berbaris sambil menyanyi
antara pria dan wanita dengan memakai pakaian adat yang berlaku, yang
dilakukan di rumah adat, waktu pelaksanannya pada malam hari dalam suasana
sukacita.
Dapat diuraikan bahwa sanda merupakan kategori seni suara dan gerak.
Supaya sanda itu dapat digunakan dengan baik, dibutuhkan kerja tim (team work)
yang baik.
Perlu dipahami bahwa tak mungkin ditampilkan secara sendiri-sendiri, tanpa
memulai suatu momen acara adat.Misalnya, pada waktu acara penti (pesta
syukuran).Jadi, tak sekedar menampilkan sanda, melainkan dalam rangka acra
budaya.Sanda mestinya dilaksanakan pada malam hari, karena butuh konsentrasi,
disiplin berbaris, menguasai lagu yang dinyanyikan alias tak boleh
45
salah/lupa.Kalau salah ucap (cadel) akan dimarahi oleh sesama anggota keluarga,
sebab salah ucap berarti dianggap pembawa sial.
Ada banyak lagu sanda. Di Manggarai ada satu jenis lagu yang dikenal dengan
sebutan sanda lima. Sanda lima artinya isi syair lagu tersebut sebanyak lima
babak, berarti harus dinyanyikan semua secara nonstop. Dari ke lima babak lagu
itu tak boleh berhenti sebelum sanda lima selesai. Tak boleh dibawakan secara
penggal-penggal. Alasan lain mengapa sanda lima dibawakan di rumah adat, itu
sebagai lambang persatuan. Oleh karena itu, usahakan yang ikut tampil dalam
acara sanda lima, harus mewakili dari setiap keluarga ranting dalam kampung
(panga). Memang cocok kalau sanda lima dilakukan di rumah adat, sebab dari
segi luas rumah adat cukup untuk menampung peserta sanda.
d. Mbata
Mbata adalah suatu acara budaya yang dilakukan dengan sopan sambil
menyanyi dan membunyikan/memukul gong dan tambur oleh pria dan wanita di
rumah adat, dan waktunya dilaksanakan pada malam hari dalam suasana sukacita,
santai dan juga formal.
Menyimak sepintas pengertian mbata tersebut, bahwa di samping bermakna
estetika, tetapi juga lambang perdaban budaya. Dalam situasi tertentu, mbata
dapat dilakukan waktu senggang dalam suasana sukacita, sekedar menghibur,
karena cape/lelah bekerja disawah atau ladang. Mbata juga dapat dilakukan pada
waktu perkawinan.Bahwa kalau bicara adat perkawinan sudah selesai, maka
mengadakan mbata antara anggota keluarga kerabat pihak keluarga mempelai
laki-laki dan kelurag pihak mempelai perempuan.Atau juga mbata bisa dijadikan
46
alat skorsing bicara adat.Misalnya, saat pembicaraan adat perkawinan belum ada
titik temu pendapat antara keluarga mempelai perempuan dan keluarga mempelai
laki-laki, yang diwakili oleh juru bicara masing-masing, maka bisa minta skorsing
bicara adat dan lamanya waktu skorsing dikondisikan (tak lewat dari 1 jam).Lagu-
lagu yang ditampilkan pada waktu itu, bermakna cigu (saling menyinggung kedua
keluarga tersebut) dengan tetap memperhatikan etika bicara adat yang baik.
Bila mbata yang ditampilkan waktu itu baik, saling tersentuh hati kedua
keluarga kerabat, maka bisa saja dalam bicara adat yang sebelumnya belum
menemukan jalan keluarnya, kemungkinan besar dapat terjawab melalui acara
mbata.Mbata dilakukan oleh pria-wanita dari kedua kelurga kerabat itu. Situasi
saat itu sangat akrab, karena sambil diselingi dengan minum kopi (inung kopi),
inung tuak balok (minum alkohol dari pohon enau), hang kokis (makan sarabe
khas Manggarai), sambil rokok. Selain itu mbata juga dilaksanakan pada malam
hari, maka alat skorsing melalui mbata bisa dilakukan pada pagi hari/sore hari.
e. Danding
Danding hampir sama dengan sanda. Cuma danding dilakukan di halaman
kampung (natas), waktu pelaksanaannya di siang hari antara laki-laki dan
perempuan; lagu yang dinyanyikan dalam bentuk kanon (bergantian: adanya
nyanyian solo, ada yang besama-sama), sambil berjalan membentuk lingkaran
secara teratur dengan memakai pakaian adat, serta dalam suasana sukacita.
Danding dilakukan pada siang hari, dihalaman kampung dan/atau dihalam
terbuka.Lagu yang dinyanyikan baitnya singkat, penuh riang.Judul lagu
47
dinyayikan bersambung. Artinya, kalau yang satu sudah selesai, maka yang lain
akan secara spontan membawakan lagu yang baru, dan seterunya.
f. Sae
Sae arti katanya mengusir binatang/hewan, seperti kambing, anjing, babi.Kata
sae hanya untuk hewan seperti tersebut di atas. Biasanya jika seseorang mengusir
kambing, anjing, dan babi selalu di serta gerakan tangan (ayunan tangan) kekiri
atau kekanan, dan depan. Mirip arah gerakan si penari.
Oleh karena itu, sae adalah tarian Manggarai yang dilakukan oleh lelaki-
perempuan dengan memakai pakaian adat yang telah di tentukan. Tempat
acaranya dilaksanakan di halaman kampung (natas) atau ditempat tertentu di
hadapan pejabat/tamu terhormat dalam situsi formal.Tarian sae lebih menonjol
gerakan tangan dari pada bagian tubuh lainnya.Si penari sae hanya melakukan
gerakan tubuh, tanpa bersuara, tanpa bernyanyi. Orang lain yang membunyikan
gong dan tambur saat acara sae disebut pemandu danke. Ndundu ndake bisa
dimainkan oleh laki-laki atau perempuan.Jadi, orang dapat melakukan sae jika ada
orang yang melakukan ndundu ndake.Gerakan si penari sae harus sesuai gerakan
tempo bunyi ndundu ndake.
g. Ronda
Ronda adalah gerak berbaris secara teratur sambil bernyanyi bersama-sama
dari rumah adat menuju keluar, atau daari luar menuju kampung/rumah adat atau
tempat tertentu. Ronda dapat dilakukan dari rumah adat menuju halaman
kampung ialah ronda dalam kaitan acara caci. Pada saat seperti ini, kelompok
pemain caci dipimpin oleh seorang yang disebut ata ba leso (orang yang bawa
48
matahari).Orang yang disebut ata ba leso ialah punya tabiak khusus, dia adalah
penunjuk jalan, pembawa terang bagi para peserta pemain.Diharapkan agar
peserta main caci tidak menemukan sial waktu pertandingan.
Sedangkan contoh ronda, yang datang dari luar menuju kampung/rumah adat
yaitu saat menjemput tamu terhormaat/pejabat, atau meneiman kedatangan wote
weru (anak menantu perempuan baru). Dan menyangkut kedatangan wote weru
yang baru pertama kali masuk kampung suaminya disebut gerap ruha (injak telur).
h. Nenggo/Dere
Nenggo/dere (menyanyi lagu).Nenggo tidak hanya tampil waktu acara caci,
tetapi hampir dalam semua acara adat istiadat Manggarai.Bahkan waktu acara
kematian pun nenggo bisa dilakukan, asalkaan setelah malam saung ta’a (daun
hijo, mentah) yaitu pada malam ketiga atau kelima setelah
pemakaman.Dingkatnya dere/nenggo dilkukn dalam setiap mta acar budaya
Manggarai, baik dalam situasi dukacita maupun di saat sukacita, baik dinyanyikan
secara individu maupun berkelompok, baik dibwakan dalam situasi formal
maupun saat santai/rileks. Nenggo yang baik yaitu selain suara penyanyi baik,
tetapi isi, pesan lagu yang disampai itu hendaknya bermakna dan sesuai dengan
situasi dan kondisi, sesuai topik saat itu.
Peran neggo ialah untuk menghibur (pande rewo/rame), supaya
menghilangkan rasa duka, sepih, stres dan semacamnya. Klau ada anak yang
selalu menangis, maka perlu dere/neggo untuk meninabobokan anak anak (pande
reni toko ata koe). Dere/neggo juga dapat memperhalus bahasa yang hendak
disampaikan kepada seseorang/sekelompok orang, dalam moment
49
tertentu.Melalui dere juga orang dapat menyelesaikan persoalan yang sulit ,
khususnya dalam hubungan kekerabatan anak wina dengan anak rona. Nenggo
dibawa oleh pria atau perempuan.Sura menyanyi sangat di perlukan. Bukan tidak
mungkin, bagusnya suara orang menyanyi dan pesan lagu yang di sampaikan lagu
itu akan membuka peluang yang besar untuk mendapat jodoh. Ada suatu
ungkapan Manggarai ini begini, am ranga da’at landing co’o keta dia reweng eme
dere (biar mukanya jelek asalkan suaranya baik waktu menyanyi).
4. Persepsi Masyarakat Tentang Keragaman Budaya Manggarai Barat
Persepsi masyarakat terhadap kergaman budaya masyarakat Manggarai
khususnya Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat,
Provinsi Nusa Tenggara Timur.Masyarakat Desa Gorontalo sangat antusias
terhadap keberagaman budaya Manggarai dengan terus meregenerasikan
keberagaman budaya tersebut kepada generasi-generasi muda agar keberagaman
budaya tersebut tetap eksis pada masyarakat Manggarai secara umumnya dan
pada masyarakat Desa Gorontalo pada khususnya.
5. Teori Interaksionalisme Simbolis
Teori interaksionalisme simbolis memahami realitas sebagai suatu interaksi
yang dipengaruhi berbagai simbol.Kenyataan merupakan interaksi interpersonal
yang menggunakan simbol-simbol.
50
Untuk memahami lebih jelasnya tentang teori interaksionalisme simbolis, mari
kita lihat apa asumsi yang ada dalam teori ini.
Asumsi Teori Interaksionalisme Simbolis
Menurut turner, ada empat asumsi dari Teori Interaksionalisme Simbolis,
yaitu:
a. Manusia adalah makhluk yang mampu meciptakan dan menggunakan simbol
Tindakan sosial dipahami suatu tundakan suatu individu yang memiliki arti
atau makna (meaning). Subjek bagi dirinya dan dikaitkaan dengan orang lain.
Dalam proses melakukan tindakan sosial terdapat proses pemberian arti atau
pemaknaan. proses pemberian arti atau pemaknaan menghasilkan simbol. Ketika
tindakan sosial dilakukan oleh dua orang atau lebih, maka pada saat itu dua anak
manusia atau lebih dengan menggunakan atau menciptakan simbol.
b. Manusia menggunakan simbol untuk saling berkomunikasi
Manusia menciptakan simbol melalui pemberian nilai atau pemaknaan
terhadap sesuatu (baik berupa bunyi, kata, kerak tubuh, benda atau hal yang
lainnya).
c. Manusia berkomunikasi melalui pengambilaan peran (role taking)
Pengambilan peran (role taking) merupakan proses pengambilan peran yang
mengacu pada bagaimana kita melihat situasi sosial dari sisi orang lain dimana
dari dia kita akan memperoleh respon. Dalam proses pengambilan peran seorang
menempatkan dirinya dalam kerangka pikir orang lain.
51
d. Masyarakat terbentuk, bertahan, dan berubah berdasarkan kemampuan
manusia untuk merpikir, untuk mendefinisikan, untuk melakukan refleksi diri
dan untuk melakukan evaluasi
Masyarakat dibentuk, dipertahankan, dan berdasarkan kemampuan manusia
yang dikembangkan melalui interaksi sosial.Kemampuan manusia dalam berpikir,
mendefinisikan refleksi diri dan evaluasi berkembang melalui interaksi sosial.
Jadi, proses interaksi sosial ada;ah sangat penting dalam mengembangkan
kemampuan manusia. Dengan kemampuan tersebut, melalui interaksi juga,
manusia membentuk, mempertahankan, dan mengubah masyarakat.
Penelitian Yang Relevan:
1. Menurut hasil penelitian Verheijen, 1991:23 dalam bukunya (Budaya
Manggarai Selayang Pandang) di Manggarai ditemukan beberapa subklan
yang moyangnya sebagai seorang pribadi datang dari luar, antara lain: Bugis,
Goa, Makassar, Serang, Sumba, Bima, Boneng Kebo. Artinya moyangnya
Manggarai berasal dari banyak suku yang datang dari luar.
2. Menurut hasil penelitian Soekmono, dalam bukunya (Budaya Manggarai
Selayang Pandang, 1990:11),di Manggarai memiliki keanekaragam budaya
salah satunya yaitu tradisi tarian caci di desa wae rebo, dia mengulas lagi
bahwa sesungguhnya pendukung kebudayaan itu bukanlah manusia seorang
diri melainkan masyarakat seluruhnya.
52
B. Kerangka Konsep
Desa Gorontalo Manggarai Barat merupaka salah satu Desa yang memiliki
keanekaragam budaya.Pada umumnya gambaran masyarakat Manggarai barat bisa
dilihat dari corak maupun ragam budaya yang tercermin dalam berbagai sub-
sistem yang berlaku.beragamsub-sistem yang hidup dalam masyarakat Manggarai
yang dapat memperlihatkan bagaimana sesungguhnya corak kebudayaan di
Manggarai. Koentjaraningrat dengan jelas menyebutkan beberapa unsur budaya
yang hidup dalam masyarakat Manggarai yaitu sistem religi dan upacara
keagamaan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa,
kesenian, sistem mata pencaharian atau ekonomi, sistem teknologi dan peralatan
(1990:2).
Adapun bentuk-bentuk keragaman budaya masyarakat Manggarai antara lain:
Tarian caci, torok tae/tudak, sanda, mbata, sae, ronda, dan nenggo/dere. Dari
bentuk-bentuk tersebut, terungkaplah persepsi dari masyarakat tentang
keanekaragam budaya masyarakat Manggarai itu sendiri khususnya Desa
Gorontalo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Masyarakat Desa Gorontalo sangat antusias terhadap
keberagaman budaya Manggarai dengan terus meregenerasikan keberagaman
budaya tersebut kepada generasi-generasi muda agar keberagaman budaya
tersebut tetap eksis pada masyarakat Manggarai secara umumnya dan pada
masyarakat Desa Gorontalo pada khususnya.
53
Gambar 2.1 Kerangka Pikir
DESA GORONTALO KECAMATAN
KOMODO KABUPATEN
MANGGARAI BARAT
BENTUK KERAGAMAN
BUDAYA MANGGARAI
BARAT
PERSEPSI MASYARAKAT
TENTANG BUDAYA
MANGGARAI BARAT
KERAGAMAN BUDAYA
MASYARAKAT
MANGGARAI BARAT
HASIL ATAU TEMUAN
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif
deskriptif yang bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk, keunikan, dan
ragam budaya masyarakat Manggarai. Instrument utama dalam penelitian ini
adalah penelitian sendiri.Data yang dikumpulkan berupa kata-kata dalam bentuk
tertulis maupun lisan.Seluruh data dianalisis secara induktif sehingga
menghasilkan data yang deskriptif.
Untuk memperoleh data dilakukan atau dibutuhkan teknik pengumpulan
data.Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi atau
pengamatan, wawancara, dan dokumentasi yang berupa sumber bacaan atau
tetulis serta foto atau gambar dari bentuk-bentuk dan keunikan keragaman budaya
masyarakat Manggarai.
Adapun pendekatan yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah :
1. Pendekata etnografi
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian etnografi (budaya) yang mana
etnografii itu sendiri merupakan konsep kebudayaan serta usaha menguraikan
kebudayaan atau aspek-aspek kebudayaan (Lexy, 2010:13).
Penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan tentang budaya primitif dalam
bentuk cara berfikir, cara hidup, adat, berperilaku dan bersosial (Iskandar,
2000:58). Penelitian keragaman budaya ini berkaitan dengan unsur-unsur
kebudayaan yang kental, sehingga penulis menggunakan penelitian etnografi.
2. Pendekatan Fenomenologis
Pendekatan fenomonologis yaitu berusaha memahami arti peristiwa-peristiwa
dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi tertentu. Dalam
pendekatan penelitian ini yang menjadi perhatian dan fenomena utama adalah
tradisitarian caciyang merupakan bagian dari Nusa Tenggara Timur (NTT), tari ini
dimainkan saat syukuran musim panen (hang woja) dan ritual tahun baru (penti),
upacara pembukaan lahan atau upacara adat besar lainnya, serta dipentaskan untuk
menyambut tamu penting.
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo,
Kabupaten Manggarai Barat, pemilihan lokasi dilakukan, karena Desa Gorontalo
adalah salah satu Desa yang masih melakukan berbagai macam ragam budaya
seperti tarian caci, torok tae/tudak, sanda, danding serta budaya lainnya yang
diwariskan oleh nenek moyang kepada anak cucu, meskipun ada beberapa unsur-
unsur yang telah berubah. Desa gorontalo juga masih menyimpan benda-benda
peninggalan nenek moyang seperti : compang (tempat persembahan).
Alasan peneliti memilih lokasi ini karena Desa Gorontalo Manggarai
Barat/Nusa Tenggara Timur merupakan wilayah yang kaya akan keragaman
budayanya. Di samping itu Flores/NTT juga terkenal dengan wisatanya yang
begitu indah dan keunikkan lainnya serta bentuk-bentuk rumah dan ciri khas
makanan dan minuman yang dimiliki oleh masyarakat flores yang begitu
membedakan dengan masyarakat lainnya/wilayah lainnya. Karena alasan tersebut
peneliti melakukan penelitian di wilayah NTT khususnya Desa Gorontalo
Manggarai Barat.
C. Informan Penelitian
Informan penelitan ada 5 orang yaituTua Golo, Tua Teno, Tua Gendang,
kepala Desa Gorontalo dan juga tokoh masyarakat Desa Gorontalo. Penentuan
informan dilakukan secara purposive, yakni dengan memilih orang yang memiliki
pengetahuan dan pengalaman yang memadai terkait dengan hal dikaji dalam
penelitian ini. Langkah awal yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menemui
orang yang dalam penelitian ini diposisikan sebagai informan kunci, yaitu orang
bisa memberikan informasi awal mengenai orang yang ikut aktif dari berbagai
macam ragam budaya yaitu kepala Desa Gorontalo
Untuk menemukan informan lainnya peneliti meminta keterangan dari kepala
Desa Gorontalo untuk mendapatkan informan lainnya yang mempunyai
pengetahuan khusus mengenai fokus penelitian ini, demikian seterusnya sehingga
terjadi proses pemilihan informan secara bercabangdan beranting dengan teknik
pemilihan informan yang dalam penelitian disebut teknik Snowball. Secara lebih
kongkrit informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah Tua Golo, Tua
Gendang, dan Tua Teno dan kepala Desa Gorontalo.
D. Fokus Penelitian
Fokus penelitian dibuat agar penelitian lebih terarah dan batas-batas dan
masalahpun diketahui secara jelas.Seperti pengertian fokus penelitian menurut
Moleong (2006:92) bahwa fokus penelitian berfungsi sebagai pedoman dalam
melakukan pembahasan terhadap hasil penelitian yang telah ditetapkan.
E. Instrument Penelitian
Untuk memperoleh data yang sesuai dengan permasalahan penelitian, maka
dalam hal ini penelitian berperan aktif dalam teknik pengumpilan data sekaligus
sebagai instrument penelitian.Hal tersebut disebabkan Karena dalam penelitian ini
penelitian bertindak sebagai berencana dan sekaligus sebagai pelaksana dari
rancangan penelitian yang sudah disusun.
Diharapkan proses pengambilan data tetap sesuai dengan perencanaan yang
telah dibuat dan mendapatkan hasil seperti tujuan yang telah ditetapkan.
Instrument lainnya sebagai instrument pembantu berupa alat tulis untuk mencatat
hal-hal penting yang dalam proses pengumpilan data yaitu observasi, wawancara,
tapi recorder sebagai alat perekam dalam wawancara, serta kamera digital untuk
mengambil gambar pada proses penelitian.
F. Jenis Dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data primer dan
sekunder, data primer adalah data yang didapatkan dari hasil wawancara atau
observasi.Sedangkan data sekunder adalah data yang didapatkan dari hasil telaah
buku referensi atau dokumentasi. Yang menjadi sumber adalah Tua Golo, Tua
Gendang, Tua Teno dan kepala Desa Gorontalo, dimana peneliti menjadikan
mereka sebagai informann kunci.
G. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpilan data merupakan suatu cara yang digunakan untuk
memperoleh atau mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam penelitian. Untuk
memperoleh data yang sesuai dengan permasalahan diperlukan teknik
pengumpulan data. Teknik pengumpilan data yang digunakan dalam penelitian ini
antara lain:
1. Observasi
Dalam penelitian ini penelitian bertujuan langsung kelapangan untuk
memperoleh dan mengumpulkan data. Proses kegiatan ini lebih ditekankan pada
ketelitian dan kejelian peneliti sendiri. Dalam observasi ini, peneliti melakukan
pengamatan secara langsung tempat yang akan digunakan untuk penelitian.
2. Wawancara
Tahap kedua untuk mengumpulkan data yaitu melakukan wawancara langsung
secara mendalam dengan responden yang telah dilakukan sebelumnya.Wawancara
adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua
pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang
diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu
(moleong: 2002: 135). Wawancara diadakan dengan tujuan untuk memperoleh
datayang diperlukan, untuk mengecek kebenaran data yang diperoleh melalui
kegiatan observasi yang dilakukan pada langkah pertama.
3. Dokumentasi
Tahap dokumentasi dilakukan untuk dapat memperkuat data hasil dari
wawancara dan observasi. Dokumen-dokumen yang berisi data-data yang
dibutuhkan meliputi buku-buku yang relevan, serta foto-foto atau gambar tentang
bentuk-bentuk dan keunikan budaya Manggarai
H. Teknik Analisis Data
Berdasarkan pada jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif, maka dari
data yang terkumpul akan dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif yaitu
dengan cara melukiskan hasil penelitian dalam bentuk kata-kata atau kalimat
sehingga dengan demikian penulis menguraikan secara mendalam hasil penelitian
tersebut sesuai dengan keadaan yang sebenarnya yang terjadi di lapangan. Setelah
data terkumpul maka harus dilakukan analisis terhadap data yang ada. Untuk
melakukan analisis maka digunakan apa yang disebut teknik analisis data. Teknik
analisis data merupakan cara atau langkah-langkah yang dilakukan untuk
mengolah data baik data primer maupun data sekunder, sehingga data-data yang
terkumpul akan diketahui manfaatnya, terutama dalam memecahkan
permasalahan penelitian. Dengan demikian, maka perhatian utama dari analisis
data ini adalah dari kata, ungkapan, kalimat maupun perilaku dari objek
penelitian.
Menurut Milles dan Huberman dalam Bungin (2004:99), analisis data pada
penelitian kualitatif meliputi tahap-tahap sebagai berikut:
1. Reduksi Data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemisahan, perhatian pada
penyederhaanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari
catatan-catatan tertulis di lapangan. Data yang diperoleh di lokasi penelitian
kemudian dituangkan dalam uraian atau laporan yang lengkap dan terinci.Laporan
lapangan akan direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal, pokok, difokuskan pada hal-
hal yang penting kemudian dicari tema atau polanya. Reduksi data berlangsung
secara terus menerus selama proses penelitian berlangsung. Laporan/ data di
lapangan dituangkan dalam uraian lengkap dan terperinci.Dalam reduksi data
peneliti dapat menyederhanaan data dalam bentuk ringkasan.
2. Penyajian Data
Adalah suatu usaha untuk menyusun sekumpulan informasi yang telah
diperoleh di lapangan, untuk kemudian data tersebut disajikan secara jelas dan
sistematis sehingga akan memudahkan dalam pengambilan kesimpulan. Penyajian
data ini akan membantu dalam memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang
seharusnya dilakukan. Kegiatan penyajian data disamping sebagai kegiatan
analisis juga merupakan kegiatan reduksi data.
3. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi
Pada tahap ini peneliti berusaha untuk memahami, menganalisis dan mencari
makna dari data yang dikumpulkan, dan akhirnya setelah data terkumpul akan
diperoleh suatu kesimpulan. Kesimpulan – kesimpulan tersebut selanjutnya akan
diverifikasi untuk diuji validitasnya dan kebenerannya data – data tersebut.
I. Teknik Keabsahan Data
Dalam menguji keabsahan data peneliti menggunakan teknik triangulasi, yaitu
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data
untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut, dan
teknik triangulasi yang paling banyak digunakan adalah dengan pemeriksaan
melalui sumber yang lainnya. Menurut Moloeng (2007:330), triangulasi adalah
teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar
data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data
itu.Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui
sumber lainnya.Denzin dalam Moloeng (2007:330) membedakan empat macam
triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber,
metode, penyidik, dan teori.
Triangulasi dilakukan melalui wawancara, observasi langsung dan observasi
tidak langsung, observasi tidak langsung ini dimaksudkan dalam bentuk
pengamatan atas beberapa kelakukan dan kejadian yang kemudian dari hasil
pengamatan tersebut diambil benang merah yang menghubungkan di antara
keduannya. Teknik pengumpulan data yang digunakan akan melengkapi dalam
memperoleh data primer dan skunder. Observasi dan interview digunakan untuk
menjaring data primer yang berkaitan dengan keragaman budaya masyarakat
Flores, sementara studi dokumentasi digunakan untuk menjaring data skunder
yang dapat diangkat dari berbagai dokumentasi tentang keragaman budaya.
Beberapa macam triangulasi data sendiri menurut Denzin dalam Moleong
(2004 : 330) yaitu dengan memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik
dan teori, antara lain yaitu:
1. Triangulasi Sumber (data)
Triangulasi ini membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan
suatu informasi yang diperoleh melalui sumber yang berbeda dalam metode
kualitatif.
2. Triangulasi Metode
Triangulasi ini menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data
kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda.
3. Triangulasi Penyidikan
Triangulasi ini dengan jalan memanfaatkan peneliti atau pengamat lainnya
untuk keperluan pengecekan kembali derajat kepercayaan data.Contohnya
membandingkan hasil pekerjaan seorang analisis dengan analisis lainnya.
4. Triangulasi Teori
Triangulasi ini berdasarkan anggapan bahwa fakta tertentu tidak dapat
diperiksa derajat kepercayaan dengan satu atau lebih teori tetapi hal itu dapat
dilakukan, dalam hal ini dinamakan penjelasan banding. Dari empat macam
teknik triangulasi diatas, peneliti menggunakan teknik triangulasi sumber (data)
dan triangulasi metode untuk menguji keabsahan data yang berhubungan dengan
masalah penelitian yang diteliti oleh peneliti.
BAB IV
GAMBARAN DAN HISTORIS LOKASI PENELTIAN
A. Asal Usul Moyang Manggarai
Dalam uraian penulis bahwa Manggarai mempunyai suku asli. Dalam
kaitannya dengan ini, ulasan Dami N. Toda, “orang asli” (ata ici tana) Manggarai
senantiasa dikisahkan tradisi pelisanan sebagai makhluk berbadan bulu,
berpakaian kulit kayu, memakan makanan mentah, dan belum mengenal api (
metaforik), sehingga bulu badan mereka gugur oleh panas api dan mengenal
makanan yang dimasak (1999:221-222).
Dulu orang Manggarai menganut kepercayaan agama asli yaitu dinamisme
dan anamisme (kepercayaan pada roh-roh halus) mereka berkeyakinan bahwa
kebanyakan roh (dewa/leluhur) hadir pada pohon-pohon besar (lengke) dan di
sumber mata air/rawa-rawa.Pohon dan tempat semacam itu dianggap keramat,
yang mempunyai kekuatan dan perlindungan (pong).Karenanya nenek moyang
Manggarai berupaya menanam kembali bibit pohon besar itu (lengke) agar
tumbuh ditengah kampung/sekitar kampung, yang disebut compang.Compang itu
berbentuk bundar, di tengah-tengah compang tumbuh pohon besar (lengke), yang
dijadikan tempat sesajian.Dengan adanya compang itu, orang merasa diberi
kekuatan, dapat menyejukkan hati dan pikiran, terlindung dari
ancaman.barangkali ini mirip dengan apa yang diistilahkan oleh Nadjib, Spiritual
Guard yakni melegitimaikan keabsahan dan kehebatannya (1992:235). Jadi roh
dipohon besar itu dibuatkan lagi berupa compang ditengah kampung tetapi Pong
ada dua versi : kekuatan yang baik dan jahat. Verheijen (1991:233) menjelaskan
bahwa orang Manggarai yakni bahwa bila seorang jatuh dari pohon, biasanya
dituduhkan kepada darat atau poti tetapi juga kepada jing (roh halus).Memang
pada dasarnya, tegas Kleden manusia tak diminta untuk tunduk pada
alam.Manusia dan alam menurut Kleden, ada hubungan kewajiban antara
keduanya sebagai sesama ciptaan, alam wajib menghidupi manusia dan manusia
wajib melestarikn alam (1988:150). Dalam kaitan dengan ini, memang cukup
berbahaya jika orang salah menggunakan pong, compang, boa, wae teku, bukan
bermaksud untuk bersahabat dengan alam, tetapi mau mencari kekuatan gaib,
supaya menjadi manusia super, bahwa dengan modal dukun (mbeko) untuk ajang
bisnis jual kekuatan yang bisa jadi berujung pada raha rombo lingko/raha rumbu
tana (pertumpahan darah merebut tanah ulayat/tanah). Jadi, bukan hukum adat,
hukum positif yang dikedepankan, tetapi commercial mbeko.Sikap naik banding
di tempat/sikap main hakim sendiri jelas merupakan perbutan melawan hukum,
juga dapat dihukum.Hal itu dengan jelas tercantum dalam pasal 167 dan 406
KUHP (Mertokusumo, 2002:3).
Di Manggarai konon pada masa lampau dikenal adanya sistem
feodal/bangsawan. Sejak Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945 dan sejak
berlakunya sistem pemerintahan Orde Lama (Orla), maka jabatan feudal hilang,
sehingga sistem kasta di Manggarai tidak ada. Kemungkinan besar sistem feudal
ini berlahan-lahan berkurang/hilang, menurut Verheijen adalah sejak masuknya
pengaruh langsung dari Eropa mulai masuk Manggarai pada tahun 1907.Pada
tahun 1915 datang seorang misionaris dari peninggalan pertama (1991:24).Sejak
Orla itu, dikenal dengan istilah Kepala Desa (istilah Jawa) kemudian berlaku
secara menyeluruh untuk wilayah Nusantara. Dulu, kebanyakan yang menjabat
sebagai kepala desa adalah dari turunan bangsawan, menguasai budaya setempat,
berjiwa memimpin, bahasa Indonesia yang baik dan benar, serta cukup mengenal
sistem pemerintahan RI, sehingga bisa berkomunikasi/berkoordinasi dengan
pemerintah yang lebih tinggi.
Menurut hsil penelitian Verheijen, di Manggarai ditemukan beberapa subklan
yang moyangnya sebagai seorang pribadi datang dari luar, antara lain: dari Bugis,
Goa, Makassar, Serang, Sumba, Bima, Boneng Kebo (1991:23). Itu artinya bahwa
moyang Manggarai berasal dari banyak suku yang datang dari luar.Oleh karena
kurangnya data tertulis, sehingga sulit dipastikan pengelompokkan klan-klan si
Manggarai berdasarkan suku asalnya, baaik yang datang dari luar maupun suku
asli Manggarai. Hampir pada umumnya setiap wilayah distrik (hamente/dalu)
atau wilayah kecamatan di Manggarai memiliki dialek bahasa yang berbeda-beda.
Meskipun bahasa daerah tetap satu yaitu bahasa Manggarai. Hal itu, Verheijen
berkesimpulan bahwa tidaklah jelas apakah golongan bangsawan (keraeng) pada
umumnya berasal dari satu kelompok migrant tertentu (199i:24).
Hemat penulis bahwa suku luar yang cukup berpengaruh di Manggarai
kebanyakan berasal dari Sulawesi Selatan (Kerajaan Goa/Makassar/Bugis).
Misalnya, istilah keraeng sesungguhnya merujuk pada sebutan bangsawan yang
sama dengan yang digunakan di Makassar (Goa). Hanya sedikit perbedaan dari
segi penulisan dan penghafalannya.Orang Manggarai menyebutkan keraeng (ke-
ra-eng); sedangkan orang Makassar menyebutnya karaeng (ka-ra-eng).Mengapa
istilah sebagai salah satu pertimbangan yang cukup kuat, karena istilah tersebut
mengarah pada istilah bangsawan.Bangsawan adalah status sosial masyarakat
yang terhormat.Golongan bangsawan sebagai pemangku adat/tua adat untuk
mengatur tata hidup sosial.
Ada beberapa pertimbangan lain yaitu berupa unsur bahasa yang mempunyai
kesamaan antara suku Manggarai dengan Goa/Makassar/Bugis, antara lain:
Bugis Goa/Makassar Manggarai Indonesia
Manuk
Lipa
Kasiasi
-
-
-
-
Bembe
-
Lipa
-
Somba opu
Lampa
Karaeng
Nyaraang
Bembe
Manuk
Lipa/towe
Kasiasi
Sombaa opu
Lampa
Keraeng
Jarang
Bembe,mbe
Ayam
Kain sarung
Miskin
Menghornati leluhur
Jalan/melangkah
Bangsawan
Kuda
Kambing
Tabel 4.1: Pertimbangan kesamaan antara Suku Manggarai dengan
Goa/Makassar/Bugis.
Dalam hal bentuk rumah pun, bahwa bentuk rumah Manggarai adalah rumah
panggung (mbaru ngaung). Di Bugis, Goa/Makassar pun diperoleh bentuk
rumahnya yaitu rumah panggung.
Gambar 4.1: Bentuk Rumah Panggung Manggarai Barat
Beberapa data tersebut diatas dapat diperoleh salah satu peneliti ketika
merantau selama 13 tahun di Makassar/Goa, sejak tahun 1990-2002.Adapun data
lainnya, Verheijen menegaskan bahwa pekerjaan menenun telah dimasukkan dari
Goa/Makassar (1976:24).Pekerjaan menenun menghasilkan kain sarung songke
(lipa songke, towe songke).
Gambar 4.2 : Kain Songke adalah kerajinan tangan Wanita Manggarai
(Sumber: Drs. Anthony Bagul Dagur, 1997:132)
Hidayat Z.M. juga menegaskan bahwa Manggarai mendapat pengaruh dari
Sulawesi selatan terutama dari Goa/Makassar (1976:130) Setelah menyimak dari
beberapa hal yang telah diuraikan di atas, penulis belum dapat menyimpulkan
secara jelas, tegas, dan akurat menyangkut asal usul leluhur Manggarai.
Kemungkinan besar leluhur Manggarai berasal dari banyak suku, baik dari dalam
maupun dari luar.Cuma kemungkinan besar bahwa bahwa suku yang cukup dekat
dengan Manggarai adalah suku Goa/Makassar, Bugis.Tetapi cukup sulit mendapat
pengaruh langsung dan menyeluruh dari suku-suku luar Manggarai.Karena
Manggarai memiliki keadaan alam yang penuh bukit, gunung. Hal itu karena
terbukti Manggarai mempunyai warisan budaya yang unik, misalnya: tarian caci,
caci adalah tarian khas Manggarai, yang tidak ada pada suku lain. Itu sebagai
pertanda bahwa kemungkinan besar Manggarai mempunyai suku aslinya.Tetapi
karena penulis buka sejarawan, melainkan sebagai pemerhati dan peminat besar
masalah budaya.
B. Sejarah Keragaman Budaya Manggarai
Adapun beberapa sejarah keragaman budaya Manggarai antara lain :
1. Caci
Asal Mula Tari Caci
Menurut sumber sejarah yang ada, tarian caci ini berawal dari tradisi
masyarakat Manggarai dimana para laki-laki saling bertarung satu lawan satu
untuk menguji keberanian dan ketangkasan mereka dalam bertarung.Tarian ini
kemudian berkembang menjadi sebuaah kesenian dimana terdapat gerak tari, lagu
dan musik pengiring untuk memeriahkan acara. Nama Tari Caci sendiri berasal
dari kata “ca” berarti “satu” dan “ci” yang berarti “uji”. Sehingga caci dapat
diartikan sebagai uji ketangkasan satu lawan satu.
Jadi caci terdiri dari dua kelompok (kubu).Istilah kubu disini bukan
bermaksud sebagai lawan, musuh, dan dalam pertandingan pun tak
mengutamakan siapa yang kalah dan siapa yang menang, tetapi yang penting
dilihat adalah secara keseluruhan permainan caci itu. Permainan caci merupakan
cara budaya , misalnya, dilakukan pada waktu acara adat perkawinan (tae
kawing), acara syukuran (penti), dan lain-lain. Yang bermain caci adalah kaum
lelaki, sedangkan perempuan hanya berpartisipasi dalam acara, seperti main gong
(tebaang nggong), melayani tamu-tamu/keluarga kerabat dengan menyiapkan
konsumsi/snak, main caci dilaksanakan pada siang hari, antara sekitar pukul 08.00
pagi sampai pukul 17.00 waktu setempat; tempat pelaksanaan caci di halaman
kampung (natas) atau di lapangan tertentu yang telah disepakati bersama.
Seyogiannya yang ikut bermain caci adalah orang dewasa sudah tua atau
berkeluarga. Main caci juga tak di perkenankan pemain caci antar saudara
kandung, saudara sepupu terdekat, keluarga terdekat, satu warga kampung,
keluarga tetangga (pa’ang ngaung), kenalan dekat (hae reba).
2. Torok tae/Tudak
a. Arti Torok Tae
Torok Tae (Torok = menyampaikan/mengemukakan/membeberkan; Tae =
bicara, acara, pesta). Torok Tae artinya menyampaikan pesan wujud permohonan
acara/pesta kepada leluhur/Allah. Misalnya, Torok Tae Mata (menyampaikan
pesan waktu acara kematian). Pengertian Torok Tae yang lebih lengkap ialah
penyampaian pesan, berupa doa permohonan, syukuran, pujian, sembah, hormat,
terima kasih kepada Allah/leluhur, sesama, lingkungan baik yang masih hidup
maupun yang sudah meninggal dunia atas segala pengalaman hidup manusia yang
sifatnya positif, dalam situasi formal, terbuka, di hadapan banyak orang dengan
menggunakan bahasa khiasa (bahasa tinggi budaya), dan dapat dilakukan dengan
disertai penyembelihan hewan dan bisa juga tanpa dengan penyembelihan hewan.
b. Arti Tudak
Tudak adalah menyampaikan pesan/maksud kepada leluhur, jin (darat/poti/le
mpo). Inti bahasa tudak berupa permohonan, syukur, pujian, hormat, baik yang
diucapkan dalam situasi formal maupun dalam situasi tak formal (pribadi), baik
yang bersifat positif maupun negatif, dengan menggunakan bahasa khiasan.
3. Mbata
Flores masih menyimpan berbagai musik tradisional. Alat musik tradisional
itu terbuat dari bambu, dari kulit kambing, kulit kerbau.berkeliling ke Pulau
Flores bukan hanya menikmati keindahan alamnya,pantainya, panoramanya,
gunungnya, danaunya. Tapi, berwisata juga untuk menikmati keunikan musik-
musik tradisionalnya.Bagi seorang pemusik, Kota Labuan Bajo juga terkenal
dengan keunikan-keunikan musik tradisionalnya.Seperti Desa Gorontalo atau
Waemata Flores Barat ada mbata.
4. Danding
Selain musik Mbata, ada juga musik tradisional yang disebut Danding.Musik
Danding dinyanyikan secara berkelompok sambil berdiri dengan bergerak
mengitari lingkaran dan juga musik sanda dinyanyikan tanpa diiringi dengan alat
musik.
Perempuan dan laki-laki bisa bergabung dalam satu lingkaran asalkan tetap
meenjaga sopan santun.Sanda menari dalam bentuk lingkaran secara
sendiri.Beriringan dengan entakan kaki ke kanan dank ke kiri sambil
menyanyikan lagu-lagu berdialek lokal.
Danding dipimpi oleh seorang yang disebut nggejang yang berdiri di tengah
lingkaran untuk mengatur irama gerakan, entakan kaki dan memulai sebuah
syairdengan menggunakan gemerincing. Dibanding Sanda, Danding dinyanyikan
dengan irama yang lebih cepat, lebih hidup dan bersemangat. Danding
dinyanyikan tanpa diiringi alat musik seperti gong atau gendang.
5. Sae
Pada zaman dahulu, setelah panen padi, di kampung-kampung dilakukan
tarian Ndundu Ndake di halaman rumah adat. Perempuan Flores khususnya
Manggarai segera berdandan dengan pakaian adat Manggarai dan bergegas untuk
bergabung bersama penari lainnya yang akan menampilkan tarian massal Ndundu
Ndake. Tarian ini dibawakan oleh 1.500 penari, baik laki-laki maupun perempuan.
Adapun sistem-sistenm yang ada di masyarakat tersebut antara lain: Sistem
teknologi yaitu perlatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan,
alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi transport, dan sebagainya).
Sistem mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem
produksi, sistem distribusi, dan lainnya).Sistem kemasyarakatan (sistem
kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, dan sistem perkawinan).Bahasa
(lisan dan tertulis).Kesenian (seni rupa, seni tari, seni gerak, dan
sebagainya).Sistem pengetahuan.Religi (sistem kepercayaan).
C. Letak Geografis
Daerah atau suku Manggarai terletak diujung barat pulau Flores, Provinsi
Nusa Tenggara Timur.Dalam hal ini penulis menguraikan letak geografis suku
Manggarai (bukan dilihat menurut wilayah kabupatennya).Dulu Manggarai hanya
satu kabupaten saja, tetapi sekarang Manggarai telah dimekarkan menjadi tiga
Kabupaten.
Adapun letak geografis suku Manggarai yaitu sebagai berikut:
Bagain Timur dibatasi oleh Kabupaten Ngada, Bagian Barat dibatasi oleh
Selat Sape, Bagian Utara dibatasi oleh Laut Flores, Bagia Selatan dibatasi oleh
Pulau Sumba (Nuri, 1985:18).
BAB V
HASIL PENELITIAN
A. Bentuk Keragaman Budaya Masyarakat Manggarai Barat
1. Caci
Kata caci berasal dari kata ca = satu. Caci terbagi atas dua suku kata, yaitu ca
dan ci.Kata ci kalau berdiri sendiri artinya paksa, memaksa.Misalnya, seorang
anak selalu menangis minta makan pada orangtuanya.Begitu orang memberi
makan pada anak itu, tetap saja anak tersebut meminta makan pada orangtuanya.
Sakin marahnya si orangtua, lalu ia mengatakan, eme toe aku ci hang ce lewing
mese bo bae! (kalau tidak, nanti saya paksa kau makan satu periuk/dandang besar
baru kau rasa!). caci arti harfiahnya satu-satu, satu disana, satu dissini, memukul
dan menangkis secara berbalasan, satu lawan satu.
Adapun hasil wawncaara dengan Pak Drs. Lambertus salah satu tokoh Adat
Manggarai(12 juni 2018)
caci merupakan pertarungan antara dua orang pria, satu lawan satu, secara
bergantian. Dalam caci ada pihak yang memukul (paki) lawannya dengan
menggunakan larik (pecut) atau tali terbuat dari kulit kerbau yang sudah kering
dan lawan yang dipukul menangkis (ta'ang) dengan menggunakan Nggiling
(perisai, juga terbuat dari kulit kerbau) dan tereng/agang atau busur yang terbuat
dari bambu.Memukul dilakukan secara bergantian.Mengenai asal-usul atau
sejarah tarian caci.
Main caci terdiri dari dua kelompok (kubu).Istilah kubu disini bukan
bermaksud sebagai lawan, musuh, dan dalam pertandingan pun tak
mengutamakan siapa yang kalah dan siapa yang menang, tetapi yang penting
dilihat adalah secara keseluruhan permainan caci itu. Permainan caci merupakan
cara budaya , misalnya, dilakukan pada waktu acara adat perkawinan (tae
kawing), acara syukuran (penti), dan lain-lain. Yang bermain caci adalah kaum
lelaki, sedangkan perempuan hanya berpartisipasi dalam acara, seperti main gong
(tebaang nggong), melayani tamu-tamu/keluarga kerabat dengan menyiapkan
konsumsi/snak, main caci dilaksanakan pada siang hari, antara sekitar pukul 08.00
63
pagi sampai pukul 17.00 waktu setempat; tempat pelaksanaan caci di halaman
kampung (natas) atau di lapangan tertentu yang telah disepakati bersama.
Seyogiannya yang ikut bermain caci adalah orang dewasa sudah tua atau
berkeluarga. Main caci juga tak di perkenankan pemain caci antar saudara
kandung, saudara sepupu terdekat, keluarga terdekat, satu warga kampung,
keluarga tetangga (pa’ang ngaung), kenalan dekat (hae reba).
Dari hasil wawncara yang di jelaskan Pak Drs. Lambertus, terdapat beberapa
kriteria tarian caci antara lain sebagai brikut:
a. Pria/Lelaki
Kalau dulu yang ikut bermain caci khususnya lelaki yang sudah dewasa, tetapi
kini bisa juga remaja/orang muda/anak sekolah sesuai momen acaranya.Dalam
permainan caci dalam konteks perkawinan (tae kawing), acara syukuran (penti),
syukuran membuka kebun bundar yang baru/tanah ulayat yang baru (randang
lingko), dan lain-lain, maka permainan caci dewasa yang ditampilkan. Sedangkan
anak remaja, orang muda, bisa ikut bermain caci dalam konteks pendidikan,
seperti pada peringatan proklamasi kemerdekaan RI, hari pendidikan nasional
(hardiknas), hari sumpah pemuda, derta hari bersejarah lainnya, yang
diselenggarakan oleh pemerintah daerah Manggarai. Peresta main caci untuk
acara seperti itu ialah anak sekolah di tingkat SLTP sampai SLTA; kelompok
pertandingan caci di sesuaikan dengan tingkat sekolah/jenjang pendidikan.
Permainan caci ialah khusus lelaki, karena motif permainannya keras, agak
kasar, kurang etis yaitu tak memakai baju.Bagian perut (tuka) sampai batas pusat
(putes) tak ditutupi dengan baju.Jadi, caci khusus tarian lelaki.
b. Selek
Selek adalah menata diri permainan caci dalam hal berpakaian, secara
umumnya bahwa perlengkapan pakaian caci sudah diketahui oleh setiap pemain
caci, akan tetapi cara berpakaian : kerapian, kebersihan pakaian, merupakan nilai
plus bagi peserta main caci. Kalau ada ungkapan Manggarai begini, dia keta selek
caci ata rona hiot maeng caci (baik sekali cara berpakaian si laki-laki pemain caci
itu). Dari ungkapan ini menandakan bahwa selek dia (berpakaian yang baik)
merupakan ekspresi jati diri, menunjukkan estetika budaya.Berpkaian itu punya
arti dalam hidup manusia, di mana saja berada.Berpakaian merupakan cerminan
diri manusia.
c. Lomes
Lomes adalah tatak rama, kemarahan, yang menekankan variasi gaya pemain
caci. Yang dilihat secara sepintas menyangkut lomes yaitu: suara waktu
menyanyi, raut muka yang ramah, bahasa-bahasa kiasan yang digunakan yang tak
menyinggung perasaan orang lain, tetapi malah orang lain merasa senang dan
terpaku, dan kagum, terlena, tertawa ria, simpati pada diri pemain caci itu.
Misalnya cara menari (congka), cara memuji diri di hadapan lawan.penonton dan
anggotanya (kubunya), dengan khas.
Lomes tidak hanya ditamilkan pada waktu diri pemain caci yang tak kena
cambukan caci, tetapi ia tetap menunjukan sikap ramah (lomes). Misalnya si A
telaah menangkis pukulan/cambukan dari pihak lawan (poli tiba larik) dan
pihaknya mendapat kena cambukan (hena larik), ia tetap menunjukkan diri dengan
sikap ramah (lomes), dengan banyak variasi antara lain seperti dalam bahasa
Manggarai berikut ini : asa ende, ema, ase, kae, weta-weta, hena ko? Sala hena
ranga?Sala hena mata?Sala hena tilu?Sala hena tuka? Sala hena lime (artinya,
bagaimana ibu, bpak, saudara, saudari, adik-adik, apakah saya kena cambukan?
Barangkali kena dimuka?Barangkali kena mata?Barangkali kena
telinga?Barangkali kena perut? Barangkali kena tangan?.Jadi si pemain caci
menanyakan dirinya sendiri setelah menangkis cambukan dari lawan caci. Apakah
ia kena cambuk atau tidak, tetapi ini adalah salah satu cara lomes dalam
permainan caci.
Setiap pertanyaan dari permainan caci seperti contoh lomes tersebut di atas,
maka anggota kelompoknya (satu kubu) dan penonton caci harus menjawab toe
manga (tidak) meskipun ia kena atau tidak. Hal ini adalah salah satu setika main
caci dari kubu/kelompok dan penonton main caci.Setelah itu, pemain saling
cambukan ini meneruskan variasi lomes dengan menyebut identitas diri/nama
samarannya dalam bahasa kiasa. Misalnya, meter pas reba lada, buah mangga ada
di Manggarai (artinya, meter pas pemuda dari kampung lada, buah mangga ada di
Manggarai). Makna kiasa ini adalah si A yang menyebut dirinya meter pas adalah
pemuda yang berasal dari kampung lada di Manggarai. Dan bahkan setelah itu, si
A membawakan sebuah lagu tunggal (dere nenggo). Lagu yang dibawakan itu
harus merdu, tak menyinggung pasangan orang lain/sinis, tetapi lagu yang
membuat orang kagum/simpati, isi lagu harus sesuai topik acara saat itu.
d. Ilo
Ilo artinya tidak kena cambukan oleh lawan caci. Pemain caci yang ilo
merupakan yang salah satu nilai/bobot tersendiri yang penting. Orang juga
dianggap hebat main caci justru salah satu hal terletak disini yaitu ilo (tak kena
pukulan/cambukan atau jarang kena cambukan oleh lawan caci).
Mencari pemain seperti ini cukup sulit.Karena pihak lawan caci, yang
mendapat giliran memukul/mencambuk disertai berbagai macam gerakan, upaya-
upaya, aba-aba sedemikian rupa membuat pihak lawan terlena (temo), tertipu
(adong). Karena ketika pihak yang menerima cambukan (ata tiba larik) dan
mampu menangkis cambukan tersebut (nganceng tiba larik) dan tak kena pukulan
(toe hena larik), itulah yang disebut ilo.
Yang disebut ilo tiba larik (lincah tak kena cambuk caci) bukan karena belas
kasihan dari pihak lawan, atau bukan karena ia menangkisnya dengan cara tidak
halal (dilakukan secara sportif, jujur. Jadi, tak ada sekongkol.Dalam hal sistem
pemerintahan, mental pemimpin daerah/lokal sebetulnya bisa mengambil intisari
dari salah satu segi yaitu tak adanya kolusi, korupsi dan nopetisme (KKN).Jadi,
orang dianggap hebat bukan karena didongkrak oleh orang lain, tetapi karena
prestasi individualnya.
e. Co’o Pakin
Co’o pakin (co’o artinya bagaimana caranya.Pakin artinya memukul,
mencambuk). Co’o pakin artinya bagaimana cara memukul/mencambuknya. Pada
kriteria kelima ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain:
1) Mberes Paki
Mberes paki (mberes artinya derasa, kuat.Paki artinya memukul,
mencambuk).Mberes paki artinya kuat memukul/mencambuk.Mberes paki (kuat
memu/deras memukul) ialah lambang kejantanan, kekuatan energi lelaki. Dampak
lain mberes paki ialah pada pihak penangkis pukulan diupayakan supaya siap
siaga, waspada menerima pukulan yang deras itu. Logisnya, bilamana kena
pukulan pada lawan, kemungkinan besar mendapat luka besar, lukanya dalam dan
keluar darah. Menarik juga di tonton bila kuat memukul, karena akan terdengar
bunyi tangkisanya oleh pihak lawan. Pemain caci mestinya memiliki fisik yang
cukup besar, berenergi, dan bersih.Dan syarat utamanya ialah sehat jasmani dan
rohani.
2) Co;o pakin
Co’o pakin ialah bagaimana cara mencambuk/memukulnya. Memukul/saling
mencambuk dalam tanding caci tak sekadar mencambuki.Seharusnya berpacu
pada aturan-aturan umum permainan caci, yang prakteknya tergantung tabiat
setiap orang.Misalnya, dalam hal embong larik (lagu-lagu singkat membuat pihak
penangkis terlena). Mungkin lagu tersebut hanya satu bait saja, baru langsung
mencambuki lawan.
3) Nia pakin
Nia pakin (nia = dimana; Pakin = sasaran pukulannya, sasaran cambukan). Nia
pakin artinya dimana sasaran memukul/mencambukan.Tak semua badan
dipikul/dicambuki saat main caci.Secara umum batas area tubuh yang
dipukul/dicambuk ialah pada bagian tubuh tertentu seseorang, yaitu sekitar diatas
pusat (putes) sampai ujung rambut/kepala (haeng eta sai). Jika ada orang
memukul di luar ketentuan umum tersebut akan ditegur (toing) dan dimarahi
(rabo) oleh tua adat/panitia pertandingan/tarian. Atau dalam kondisi tertentu yang
melanggar memukul itu di keluarkan dalam area permainan/pertandingan.Sifat
pemberhatian hanya berlaku saat itu, bukan untuk seterusnya.Dalam arti kalau
pemain yang langgar itu hari berlakunya bisa ikut lagi permainan caci.Cuma kalau
permainan ini dalam konteks pertandingan misalnya dalam rangka merayakan
HUT RI.Maka si pelanggar ditegur, dan dikurangi nilaai perlombaannya.
4) Nganceng hena paki one ata
Nganceng hena paki one ata (nganceng = bisa, dapat; Hena = kena; Paki =
cambuk/pukul; one ata = kepada orang lain). Nganceng hena paki one ata artinya
bisa kena cambuk pada pihak lawan. Di atas telah diuraikan tentang badan area
badan orang yang akan dicambuki oleh pihak lawan, maka bagian selanjutnya
adalah apakah si pemain caci yang mendapat giliran mencambuk/memukul
mampu mengenai lawan.
Ada beberapa tingkatan bobot pukulan dalam tanding caci.Misanya, si
pecambuk yang mampu melukai lawannya.Lebih hebat lagi si pecambuk mampu
mengarahkan pukulannya dan mengenai lawan pada bagian tubuh tertentu yang
dianggap bergensi, dan kalau pada tempat tersebut hena beke (kena luka
cacat).Tempat-tempat tersebut adalah tangan, dan bagian muka/kepala.Disebut
hena beke, sebab dalam permainan saling caambuk ini posisi tangan terlindung
oleh tameng (nggiling) dan gagang (koret).Sedangkan bagian kepala/muka disebut
beke (kena cacat) sebab bagian ini ditutupi dengan topi (panggal) dan seluruh
muka dan kepala ditutupi dengan lapisan kain yang disebut janggo. Jadi, orang
yang terkena cambukan pada bagian yang dianggap beke akan merasa malu,
merasa gensi turun.
Pertanyaanya: apakah orang Manggarai tak punya hati nurani bila ada orang
yang kena cambukan bahkan menjadi pinsan waktu main caci? Jawabannya sama
sekali tidak demikian. Malah permainan ini makin meningkatkan rasa persatuan,
persaudaraan, persahabatan, dan kekeluargaan.Caci adalah suatu momen budaya
tertentu yang sifatnya sukacita, dalam menampilkan kehebatan main cambuk, tak
mengutamakan kalah menang, tetapi memperhatikan semangat
kekeluargaan.Realitasnya, dari dulu sampai sekarang ini, tidak ada orang
Manggarai berkelahi karena caci.
5) Nenggo/Dere
Nenggo/dere adalah nyanyian/menyanyi.Dere sebetunya adalah bagian dari
lomes.Tetapi karena lomes menyangkut hal-hak yang umum, maka nenggo perlu
diuraikan secara khusus.Dere/nenggo yang ditampilkan waktu caci tak sekedar
menyanyi, tetapi sedapat mungkin berkaitan dengan momen acara. Pesan
Manggarainya begini: porong icin dere cama nuhu co’o icin tombo adak duhu hitu
(isi pesan lagu harus sesuai dengan topic acara pada saat itu). Misalnya, main caci
waktu magal (perkwinan) beda isi judul/pesan pada waktu pesta syukuran
membuka kampung baru (penti pande beo weru). Atau saat itu diadakan caci
dalam rangka HUT Kemerdekaan RI, maka pesan lagu pun harus dengan suara
merdu.Lagu dapat membahasakan sesuatu.
Bagi orang Manggarai, lagu (dere) bukan sekedar estetika budaya, melainkan
mempunyai pesan budaya cukup penting, karena begitu besarnya kesukaan orang
Manggarai dalam hal dere, baik berupa dere tunggal maupun dere kolektif.Dan
kalau dianalisis lebih jauh lagi, hampir setiap acara budaya dere tetap ditampilkan.
6) Tebang Nggong
Tebang nggong (tebang = main, bermain; nggong = gong). Tebang nggong
artinya bermain gong/membunyikan gong.Peserta main gong ialah
perempuan/ibu-ibu, dengan memakai pakaian adat yang sesuai acara. Ada
beberapa macam jenis tebang nggong yakni: pertama tebang nggong tutun (main
gong dengan gerak tempo lambat). Dan kedua tebang nggong kedendit (main
gong dengan gerak tempo cepat). Tebang nggong adalah syarat mutlak/bagian
yang tak terpisahkan dalam main caci. Bunyi gong yang baik akan sangat
menentukan/berpengaruh, menambah semangat lomes, jika bunyi gongnya gerak
tempo lambat, maka pemain caci pun menari dengan lambat; begitu pun kalau
gongnya gerak tempo cepat, maka pemain pun akan menari dengan cepat.
Tebang nggong bukanlah kriteria khusus pemain caci, tetapi itu adalah bagian
dari seluruh rangkaian main caci pada umumnya.
2. Torok Tae/Tudak
Torok tae dan tudak hampir sama, sehingga susah dibedakan, yang mana
sebetulnya kedua hal tersebut ada perbedaannya dari segi prakteknya. Oleh krena
itu pada bagian ini diuraikan saja antara torok tae dan tudak, dilihat menurut segi
perbedaannya.
a. Torok Tae
1). Arti Torok Tae
Torok Tae (Torok = menyampaikan/mengemukakan/membeberkan; tae =
bicara, acara, pesta). Torok tae artinya menyampaikan pesan wujud permohonan
acara/pesta kepada leluhur/Allah.Misalnya, torok tae mata (menyampaikan pesan
waktu acara kematian). Pengertian torok tae yang lebih lengkap ialah
penyampaian pesan, berupa doa permohonan, syukuran, pujian, sembah, hormat,
terima kasih kepada Allah/leluhur, sesama, lingkungan baik yang masih hidup
maupun yang sudah meninggal dunia atas segala pengalaman hidup manusia yang
sifatnya positif, dalam situasi formal, terbuka, di hadapan banyak orang dengan
menggunakan bahasa kiasa (bahasa tinggi budaya), dan dapat dilakukan dengan
disertai penyembelihan hewan dan bisa juga tanpa dengan penyembelihan hewan.
Siapa Yang Membuat Torok Tae (hasil wawancara dariPak Drs. Fiktori, 15
juni 2018)
Iya, Kalau dulu pada zaman feudal, yang berhak membawakan Torok Tae
ialah dari turunan bangsawan, karena ini adalah pesan budaya dengan
memnggunakan bahasa tinggi budaya.Tetapi kini karena pengaruh zaman
modernisasi budaya bahwa yang membawakan Torok Tae ialah boleh juga di luar
turunan darah biru.Yang penting punya charisma untuk itu. Oleh karena itu ia
harus menguasai adat, memahami istilah-istilah budaya Manggarai, sehingga kata
yang diucapkannya pada saat Torok Tae sesuai dengan momen acaranya. Dalam
contoh Torok Tae berikut ini bahasa yang digunakan sama untuk semua
golongan/agama.
2) Sifat Torok Tae
(a) Baro (melapor)
Pada bagian awal torok tae, pertama-tama orang menyapa Allah/leluhur/dewa.
Selanjutnya ia menyampaikan maksud yang mau disampaikan.
Contohnya: Ho’o ami mendi ana’de manga ranga, lonto torok, padir wai, rentu
sai, wan koe etan tua, pa’ang olo ngaung musi ce’e tana Manggarai ho’o, te tegi
berkak Dite, sembeng koel ite sangged gejur dami one ntaung ho’o.
(Kini kami hambamu, hadir duduk berbicara dan bersila, ada kebulatan hari
dan pikiran dari yang kecil sampai yang besar/tua, mulai dari pintu gerbang
kampung sampai kolong belakang rumah dalam satu masyarakat/kampung di
daerah Manggarai, hendak memohon berkat dan perlindunganmu atas pekerjaan
kami tahun ini).
(b) Naring (pujian)
Berikut ini sebagian bait contoh doa/sesajian yang bersifat pujian.
Ho’o ami mai hiang, naring kamping ite, jari agu Dedek, par awo kolep sale,
ulun le wain lau, tanan waawang eta.
(kini kami memuji sebagai pencipta alam semesta, dari ufuk barat, dari utara
dan selatan, tanah di bawah dan awan di atas).
(c) Bengkes (syukuran/terima kasih)
Contoh torok tae yang bersifat syukuran dan terima kasih
Cembes keta nai dami, lep pucu, mbiang ranga, ai mesen momang Dite latang
ami anak’de; ai kawe lami haeng, tuluk lami dumpu, hamar laami manga, ita hang
ciwal, haeng hang kawe, lincik ici, weras wua, lebo kala weri wua raci po’ong,
tela galang kete api, kembus wae teku, mboas wae woang.
(hati kami tersa bahagia dan damai, karena begitu besar balas kasihmu pada
kami hambamu, sebab yang dicari kami temukan, yang kami raba dapat
menemukannya, telah melihat makanan sebagai pekerjaan kami, menemukan
makanan yang kami cari, mendapat buah panen yang baik daan bersih, daun sirih
yang dditanam tumbuh subur, pinang yang ditanam berbuah, makanan ternak
berisi, api menyala, saluran mata air bersih dan lancar).
(d) Ampong Ndekok (pengampunan dosa)tegi (permintaan/permohonan)
Contoh doa minta pengampunan dosa
Ampong koe sangged sala dami mendi, le humeer nai, le tombo, agu le pande,
agu lawang one mai kilo ru, osang bate duat, cewen kole agu hae ata. Ami tegi
berkak Dite yo Mori/Empo kudut toto lami naai molor, nggalas nawa, rantang
kose mose one lino, rantang calang wakar ngo one ngampang.
(ampunilah segala salah dan dosa kami hambamu, berupa pikiran, perkataan,
hasrat dan perbuatan kami yang jahat, mulai dari keluarga sendiri, dan terhadap
sesama manusia. Curahkanlah berkatmu, ya Allah/leluhur, agar kami
menunjukkan hati yang bersih, pikiran jernih jangan sampai jiwa kami melarat ke
alam baka/neraka).
(e) Tegi (permintaan/permohonan)
Contoh doa/sesajian yang bersifat permohonan.
Yo Mori, berkak koe weki agu wakar demi mendi, kudut cebo lewe mose one
lino ho’o. Uwa koe ami haeng wulang, langkas haeng ntala, nai ca anggit tuka ca
leleng, lema emas luju mu’u eme curup cama tau.Berkak koe golo lonto, ntalas
labar, compaang dari wae teku.Porong duat peang uma we’e onembaru, neka
cumang dungka, neka pala ranga, neka dudi tae tuil pala tae raja, neka nggoko one
golo caka one salang.
(berbaktilah jiwa dan raga kami hambamu agar kami panjang umur di dunia
ini, semoga kami tumbuh dan berkembang sampai ke bulan, tinggi sampai
menemukan bintang di langit, semoga sehati dan sejiwa. Lidah beremas bila
berbicara kepada sesama.Berkatilah kampung tempat tinggal, halaman bermain,
berkatilah juga tempat sesajian kami, kebun dan tempat mata air minum
kami.Semoga kami pergi kerja di kebun tak ketemu langsung dan tak tatap wajah
terhadap segala sial, baik siang maupun malam hati).
(f) Suju (sembah/persembahan)
Contoh doa atau sesajian dengan ujud persembahan
Ai dolong ite toe nganceng dopo, kawe lami ite toe nganceng haeng, depa lami
toe hena, landing imbi lami ite manga ranga lawang wiu agu leson one mose agu
gejur dami teleson-leson. Le mesen momang Dite itu tara tadang sangged usaNG
warat, sembeng buru mese, pangga lite darap detana kolang deleso, ita lami hang
ciwal, haeng hang kawe, ho’os lami condo weki agu wakar dami one tara wua
po’ong so’o. Te ho’on agu tedeng len.
(kami berupaya mengejarmu tak terhingga, mencari engkau tak dapat,
merentangkan tangan kami tak dapat. Kami sadar, telah di jauhkan dari hujan
deras, terlindung dari angin taufan, menghadang panas, dan menghapus keringat
terik matahari, kami telah mendapat makanan hasil kerja kami.Ini kami serahkan
jiwa kami melalui hasil bumi yang telah kami peroleh di tahun ini).
3) Mcam-Macam Torok Tae
Macam-macam torok tae yang dimaksudkan disini ialah petuah adat sesajian
yang disampaikan itu sesuaikan dengan momen acaranya.Seperti waktu penti atau
(acara syukuran); waktu kelas (pesta keduri bagi orang yang meninggal dunia);
waktu acara wagal (perkawinan); waktu pergi melanjutkan sekolah kepergian
tinggi (uwat wai kesekolah); dan sebagiannya.
Meskipun setiap bahasa khiasan torok tae/sesajian belum ada formatnyaa yang
baku supaya bahasa doanya seragam, akan tetapi dalam realitanya, setiap acara
yang berbeda-beda topiknya, bahasa-bahasa khiasan torok taepun berbeda pula.
Dari isi yang berbeda-beda itu, sehingga dalam pandangannya masyarakat
Manggarai ada torok tae ini dan ada torok tae itu (beragam macam torok tae).
Berikut ini penulis hanya memberikan sebagian torok tae untuk sekedar
contoh sebagai perbandingan antar isi khiasan setiaap torok tae berdasar topik
acara yang dilakukan.
Adapun hasil wawancara mengenai macam-macam torok tae yang di jelaskan
olehBapakAbdul Karim sebagai Tokoh Masyarakat Desa Gorontalo, Pada
Tanggal 15 Juni 2018)
(a) Torok Tae Penti (bahasa khiasan dalam acara syukuran)
Ho’ong ongko sangged po’ong, ko gujer dami mendi anak one nataung ho’ong
neka koe benta reha pola Pohang, mora ata ita, ahir nuhu laing kali sangged. Ata
poli haeng, kudut nganceng tinu mose, hang bara wengko weki.
(ini kami semua meengumpulkan hasil yang kami kerjakan, sebab semua yang
kami cari mendapat, telah melihat makna hasil kerja kami, daun sirih tumbuh
subur, pinaang yang ditanam berbuah, buah padi yang berisi, biki jagung yang
matang. Janganlah hilang apa yang sudah ada. Semogaa mendapatnyaa seperti
pasir untuk makanan di perut, selimut di badan).
(b) Torok Tae Wuat Wai Ngo Sekolah (pesan kepada anak sekolah)
Ini adalah sebuah nasehat orangtua kepada anak yang pergi sekolah
keperguruan tinggi. Dan ini haanya sebagian contoh bait pesan orangtua tersebut
kepada anak sekolah tersebut. Inti pesan dibawah ini adalah agar seorang anak
yang pergi sekolah, diharapkan belajar tekun, bersikap jujur, dan kembali
kekampung dengan membawa hasil/mendapat gelar pendidikan (izasah). Contoh
doa tersebut adalah:
Torong neka buta mata telelo surak, neka nenteng tilu te senget sengged toing
agu titong de tuang guru. Porong lalong bakok dulu lako, lalong rombeng dulu
kole.
(semoga tak buta mata membaca surat, tak tuli mendengar pengajaran dan
nasihat dari guru. Semoga engkau pergi seperti ayam putih dan kembali sepeti
ayam yang berbulu lebat dan berwarna-warni).
(c) Torok Tae Wagal (pesan adat waktu perkawinan)
Ho’o ami neki weki, nai cang anggit lonto leok wae nelu, ho’o kaali adak
tecikat sai kina/ela (latang nasrani) kocikat sai mbe (latang muslim) agu wagak
kaba tenipu sangget tombo. Latang ine wai, neko lerong kole ceki de ende-ema,
landing hitu kaliga ine wai lerong ceki de rona.Porong kaeng jari, cebo lewe
mose.Beka agu buar, wing cama nuhu cing labu, wela cama nuhu wela ndesi.
(kini kita bersatu antara keluarga mempelai laki-laki dan keluarga mempelai
perempuan, duduk melingkar. Dengan membelah kepala babi (untuk nasrani) atau
membelah kepala kambing (untuk muslim) dan membelah kepala kerbau untuk
menyatukan semua pembicaraan adat. Dan untuk anak perempuan (istri) mulai
sekarang ini, kamu meninggalkan segala kebiasaan atau marga orangtua
kandungmu, sanak saudara, dan kini mengikuti tradisi marga suami untuk
seterusnya.Semoga hidupmu berkembang menjalar seperti labu, dan berbuka
seperti bunga kestela). Maka doa ini ialah pengukuhan adat terakhir kedua
mempelai bahwa semua acara adat perkawinan telah tuntas. Dan untuk itu, anak
perempuan (istri) telah menyerahkan sepenuhnya pada tanggung jawab suaminya
dalam hidup berumah tangga, meskipun tanpa mengabaikan hubungan
kekerabatan antara keluarga mempelai perempuan dan keluarga mempelai laki-
laki.
b. Tudak
1) Arti Tudak
Tudak adalah menyampaikan pesan/maksud kepada leluhur, jin (darat/poti/le
mpo). Inti bahasa tudak berupa permohonan, syukur, pujian, hormat, baik yang
diucapkan dalam situasi formal maupun dalam situasi tak formal (pribadi), baik
yang bersifat positif maupun negatif, dengan menggunakan bahasa khiasan.
2) Sifat-Sifat Tudak
(a) Tudak yang bersifat positif
Untuk sifat-sifat tudak yang positif, tak perlu diuraikan lagi, karena intinya
hampir sama dengan torok tae
(b) Tudak yang bersifat negatif
Tudak yang bersifat negatif dilakukan dalam banyak kesempatan baik secara
pribadi, maupun secara kolektif, resmi, formal, dan transparan.
Berikut ini sebagai salah satu contoh tudak mengutuk orang lain:
Denge lehau empo, ho’o manuk miteng, porong nendep taung nain, porong
keti nuhu manuk ho’o kole nain.Hitu kole tegi daku.
(dengarlah hai engkau leluhur, inilah seskor ayam, jantan hitam, semoga
hatinya diliputi oleh kegelapan, derita dan nestapa. Semoga nafasnya hembus
terakhir ketika bersamaan ayam hitam ini lehernya terputus).
Contoh tudak tersebut di atas itu adalah kebiasaan yang dilakukan moyang
Manggarai.
3. Sanda
Sanda adalah salah satu tarian budaya Manggarai dengan gerak, jarak
berbaris-baris secara teratur membentuk lingkaran berbaris sambil menyanyi
antara pria dan wanita dengan memakai pakaian adat yang berlaku, yang
dilakukan di rumah adat, waktu pelaksanannya pada malam hari dalam suasana
sukacita.
Dapat diuraikan bahwa sanda merupakan kategori seni suara dan gerak.
Supaya sanda itu dapat digunakan dengan baik, dibutuhkan kerja tim (team work)
yang baik.
Dari hasil wawancara dengan Bapak Abdullah Ismail sebagai warga
masyarakat Desa Gorontalo, 19 Juni 2018.
Iya, Perlu dipahami bahwa tak mungkin ditampilkan secara sendiri-sendiri,
tanpa memulai suatu momen acara adat.Misalnya, pada waktu acara penti (pesta
syukuran).Jadi, tak sekedar menampilkan sanda, melainkan dalam rangka acra
budaya.Sanda mestinya dilaksanakan pada malam hari, karena butuh konsentrasi,
disiplin berbaris, menguasai lagu yang dinyanyikan alias tak boleh salah/lupa.
Kalau salah ucap (cadel) akan dimarahi oleh sesama anggota keluarga, sebab
salah ucap berarti dianggap pembawa sial.
Ada banyak lagu sanda. Di Manggarai ada satu jenis lagu yang dikenal dengan
sebutan sanda lima. Sanda lima artinya isi syair lagu tersebut sebanyak lima
babak, berarti harus dinyanyikan semua secara nonstop. Dari ke lima babak lagu
itu tak boleh berhenti sebelum sanda lima selesai. Tak boleh dibawakan secara
penggal-penggal. Alasan lain mengapa sanda lima dibawakan di rumah adat, itu
sebagai lambang persatuan. Oleh karena itu, usahakan yang ikut tampil dalam
acara sanda lima, harus mewakili dari setiap keluarga ranting dalam kampung
(panga). Memang cocok kalau sanda lima dilakukan di rumah adat, sebab dari
segi luas rumah adat cukup untuk menampung peserta sanda.
4. Mbata
Mbata adalah suatu acara budaya yang dilakukan dengan sopan sambil
menyanyi dan membunyikan/memukul gong dan tambur oleh pria dan wanita di
rumah adat, dan waktunya dilaksanakan pada malam hari dalam suasana sukacita,
santai dan juga formal.
Mbata adalah musik tradisional yang mengungkapkan kegembiraan dan rasa
syukur kepada sang Mori Keraeng (Tuhan Pencipta), kepada alam dan leluhur.
Orang Manggarai menyebut sang pencipta dengan sebutan Mori Jari Agu Dedek.
Artinya melalui tangan tuhan mencipta manusia dan alam semesta.
Musik mbata ini biasanya dilaksanakan pada maalam hari saat upacara penti,
syukuran panen pada akhir raya tahun.Orang Manggarai memiliki warisan leluhur
yang terus dilaksanakan setiap tahun.Warisan itu adalah ritual penti, syukur panen
tahunan.Bahkan, music ini dilaksanakan semalam suntuk di dalam rumah adat
gendang.Kaum perempuan dan laki-laki dengan lirikan dan nyanyian ungkapan
syukur bersama kegembiraan diiringi taburan gendang dan gong.
Lantunan lagu-lagu daerah yang mengungkapkan rasa syukur atas berkat dari
sang pencipta dan perlindungan dari leluhur terhadap hasil panen padi, jagung dan
berbagai hasil bumi lainnya. Masing-masing suku dan sub suku di wi layah
manggarai timur, manggarai barat dan manggarai melaksanakan upacara penti
dengan cara berbeda-beda. Ada yang melaksanakan pada akhir desember jelang
tahun baru.Ada juga yang melaksanakan pada bulan juli dan agustus setiap tahun.
Upacara penti harus dilaksanakan setiap tahun oleh warga di satu kampung dari
berbagai suku dan sub suku. Namun, pada upacara penti itu musik yang
dibawakan adalah Mbata.
Dari Hasil Wawancara Dengan Drs. Lambertus, sebagai Tokoh Adat
Manggarai, 12 Juni 2018
Mbata, Sanda, dan Danding merupakan olah vokal secara alamiah dalam diri
orng Manggarai. Selain itu, musik tradisional ini merupakan permainan kata-kata
dalam bentuk lagu daerah yang dinyanyikan oleh laki-laki dan perempuan serta
anak-anak yang berisi syair kehidupan, syair tentang kasih sayang, persahabatan,
perjuangan, hidup dan sehat.Sanda dinyanyikan sambil berdiri membentuk
lingkaran dengan gerak berputar dan sesekali disertai dengan hentakan kaki
seirama.
Mbata dinyanyikan sambil duduk dalam lingkaran atau membentuk
barisan.Mbata dinyanyikan dengan diiringi pukulan gong dan gendang yang
lembut.Pemain gendang dan gong bisa berada di dalam lingkaran maupun berada
di luar lingkaran sambil menabuh dan memukul gong dipadukan dengan
nyanyian-nyanyian yang sesuai dengan nyanyian di dalam lingkaran.
Musik Mbata merupakan warisan dari nenek moyang masyarakat Manggarai
yang terus dipentaskan dalam berbagai upacara adat dan upacara-upacara yang
diselenggarakan oleh pemerintah.
Menyimak sepintas pengertian mbata tersebut, bahwa di samping bermakna
estetika, tetapi juga lambang peradaban budaya. Dalam situasi tertentu, mbata
dapat dilakukan waktu senggang dalam suasana sukacita, sekedar menghibur,
karena cape/lelah bekerja disawah atau ladang. Mbata juga dapat dilakukan pada
waktu perkawinan.Bahwa kalau bicara adat perkawinan sudah selesai, maka
mengadakan mbata antara anggota keluarga kerabat pihak keluarga mempelai
laki-laki dan kelurag pihak mempelai perempuan.Atau juga mbata bisa dijadikan
alat skorsing bicara adat.Misalnya, saat pembicaraan adat perkawinan belum ada
titik temu pendapat antara keluarga mempelai perempuan dan keluarga mempelai
laki-laki, yang diwakili oleh juru bicara masing-masing, maka bisa minta skorsing
bicara adat dan lamanya waktu skorsing dikondisikan (tak lewat dari 1 jam).Lagu-
lagu yang ditampilkan pada waktu itu, bermakna cigu (saling menyinggung kedua
keluarga tersebut) dengan tetap memperhatikan etika bicara adat yang baik.
Bila mbata yang ditampilkan waktu itu baik, saling tersentuh hati kedua
keluarga kerabat, maka bisa saja dalam bicara adat yang sebelumnya belum
menemukan jalan keluarnya, kemungkinan besar dapat terjawab melalui acara
mbata.Mbata dilakukan oleh pria-wanita dari kedua kelurga kerabat itu. Situasi
saat itu sangat akrab, karena sambil diselingi dengan minum kopi (inung kopi),
inung tuak balok (minum alkohol dari pohon enau), hang kokis (makan sarabe
khas Manggarai), sambil rokok. Selain itu mbata juga dilaksanakan pada malam
hari, maka alat skorsing melalui mbata bisa dilakukan pada pagi hari/sore hari.
5. Danding
Danding hampir sama dengan sanda. Cuma danding dilakukan di halaman
kampung (natas), waktu pelaksanaannya di siang hari antara laki-laki dan
perempuan; lagu yang dinyanyikan dalam bentuk kanon (bergantian: adanya
nyanyian solo, ada yang besama-sama), sambil berjalan membentuk lingkaran
secara teratur dengan memakai pakaian adat, serta dalam suasana sukacita.
Danding dilakukan pada siang hari, dihalaman kampung dan/atau dihalam
terbuka.Lagu yang dinyanyikan baitnya singkat, penuh riang.Judul lagu
dinyayikan bersambung. Artinya, kalau yang satu sudah selesai, maka yang lain
akan secara spontan membawakan lagu yang baru, dan seterunya.
6. Sae/Ndundu Ndake
Sae arti katanya mengusir binatang/hewan, seperti kambing, anjing, babi.Kata
sae hanya untuk hewan seperti tersebut di atas. Biasanya jika seseorang mengusir
kambing, anjing, dan babi selalu di serta gerakan tangan (ayunan tangan) kekiri
atau kekanan, dan depan. Mirip arah gerakan si penari.
Oleh karena itu, sae adalah tarian Manggarai yang dilakukan oleh lelaki-
perempuan dengan memakai pakaian adat yang telah di tentukan. Tempat
acaranya dilaksanakan di halaman kampung (natas) atau ditempat tertentu di
hadapan pejabat/tamu terhormat dalam situsi formal.Tarian sae lebih menonjol
gerakan tangan dari pada bagian tubuh lainnya.Si penari sae hanya melakukan
gerakan tubuh, tanpa bersuara, tanpa bernyanyi. Orang lain yang membunyikan
gong dan tambur saat acara sae disebut pemandu danke. Ndundu ndake bisa
dimainkan oleh laki-laki atau perempuan.Jadi, orang dapat melakukan sae jika ada
orang yang melakukan ndundu ndake.Gerakan si penari sae harus sesuai gerakan
tempo bunyi ndundu ndake.
Liuk tubuh dengan irama yang sama sambil menerangkan selendang sumgguh
memukau para pebalap sepeda Internasional dari Inggris, Rusia, Iran, Asia dan
Indonesia yang menyaksikan dari podium kehormatan di halaman Kantor Bupati
Manggarai.
Sesungguhnya Ndundu Ndake, memanggil kaum perempuan Manggarai untuk
menari bersama-sama.
Dari Hasil Wawancara Tua Gendang Sebagai Tokoh Adat Manggarai, 22
Juni 2018
Biasanya orang Manggarai memanggil dengan sapaan halus anak perempuan
adalah Ndu.Sedangkan bagian kolang memanggil anak-anak gadis dengan sapaan
halus adalah Ikeng.Sedang wilayah kecamatan Macang Pacar, khususnya wilayah
Rego menyapa perempuan secara halus dengan sebutan Neng.
Kali ini tarian massal Ndundu Ndake dipentaskan di lapangan Motangrua
untuk mengungkapkan kegembiraan warga Manggarai terhadap para pebalap
sepeda yang berani bertarung di jalan Transflores mulai dari Larantuka, Flores
Timur sampai di Labuan Bajo, Flores Barat.Warga Manggarai menghibur para
pebalap itu dengan tarian Ndundu Ndake.
Ndundu Ndake itu perempuan yang menari dimana perempuan itu sembari
berpelukan, tarian ini biasa dibawakan saat upacara adat pada Congko Lokap
(bersihkaan rumah adat).
Ini merupaka sejarah pertama kaum ibu menunjukkan kebolehan menari
Ndudu Ndake secara massal di lapangan terbuka.
7. Ronda
Ronda adalah gerak berbaris secara teratur sambil bernyanyi bersama-sama
dari rumah adat menuju keluar, atau daari luar menuju kampung/rumah adat atau
tempat tertentu. Ronda dapat dilakukan dari rumah adat menuju halaman
kampung ialah ronda dalam kaitan acara caci. Pada saat seperti ini, kelompok
pemain caci dipimpin oleh seorang yang disebut ata ba leso (orang yang bawa
matahari).Orang yang disebut ata ba leso ialah punya tabiak khusus, dia adalah
penunjuk jalan, pembawa terang bagi para peserta pemain.Diharapkan agar
peserta main caci tidak menemukan sial waktu pertandingan.
Sedangkan contoh ronda, yang datang dari luar menuju kampung/rumah adat
yaitu saat menjemput tamu terhormaat/pejabat, atau meneiman kedatangan wote
weru (anak menantu perempuan baru). Dan menyangkut kedatangan wote weru
yang baru pertama kali masuk kampung suaminya disebut gerap ruha (injak telur).
8. Nenggo/Dere
Nenggo/dere (menyanyi lagu).Nenggo tidak hanya tampil waktu acara caci,
tetapi hampir dalam semua acara adat istiadat Manggarai.Bahkan waktu acara
kematian pun nenggo bisa dilakukan, asalkaan setelah malam saung ta’a (daun
hijo, mentah) yaitu pada malam ketiga atau kelima setelah
pemakaman.Dingkatnya dere/nenggo dilkukn dalam setiap mta acar budaya
Manggarai, baik dalam situasi dukacita maupun di saat sukacita, baik dinyanyikan
secara individu maupun berkelompok, baik dibwakan dalam situasi formal
maupun saat santai/rileks. Nenggo yang baik yaitu selain suara penyanyi baik,
tetapi isi, pesan lagu yang disampai itu hendaknya bermakna dan sesuai dengan
situasi dan kondisi, sesuai topik saat itu.
Peran Neggo ialah untuk menghibur (pande rewo/rame), supaya
menghilangkan rasa duka, sepih, stres dan semacamnya. Klau ada anak yang
selalu menangis, maka perlu dere/neggo untuk meninabobokan anak anak (pande
reni toko ata koe). Dere/neggo juga dapat memperhalus bahasa yang hendak
disampaikan kepada seseorang/sekelompok orang, dalam moment tertentu.
Melalui dere juga orang dapat menyelesaikan persoalan yang sulit , khususnya
dalam hubungan kekerabatan anak wina dengan anak rona. Nenggo dibawa oleh
pria atau perempuan.Sura menyanyi sangat di perlukan. Bukan tidak mungkin,
bagusnya suara orang menyanyi dan pesan lagu yang di sampaikan lagu itu akan
membuka peluang yang besar untuk mendapat jodoh. Ada suatu ungkapan
Manggarai ini begini, am ranga da’at landing co’o keta dia reweng eme dere (biar
mukanya jelek asalkan suaranya baik waktu menyanyi).
B. Persepsi Masyarakat Tentang Keragaman Budaya Manggarai Barat
Persepsi masyarakat terhadap keragaman budaya Manggarai khususnya Desa
Gorontalo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa
Tenggara Timur.Masyarakat Desa Gorontalo sangat antusias terhadap
keberagaman budaya Manggarai dengan terus meregenerasikan keberagaman
budaya tersebut kepada generasi-generasi muda agar keberagaman budaya
tersebut tetap eksis pada masyarakat Manggarai secara umumnya dan pada
masyarakat Desa Gorontalo pada khususnya. Bahkan mereka selalu menyatukan
persepsi dengan pesan bijak budaya:
Persepsi Ini Dari Hasil Wawancara Dengan Drs. Lambertus Sebagai Tokoh
Adat Manggarai. 27 Juni 2018
maiga ite nai ca anggit, tuka caleleng, kope oles todo kongkol, bantang cama
reje lele, kudut pande rewo beo rang kaeng tana Manggarai (marilah kita sehati
dan sepikir bersatu padu yang dilandasi oleh semangat hidup bermusyawarah
untuk tercapainya suatu mufakat sehingga dapat terciptanya jadi diri daerah yang
mantap, kokoh dan bermartabat).
Untuk meningkatkan kualitas kehidupan khususnya dalam rangka mendorong
dan mengembangkan sikap kerja yang perlu dipahami adalah dari berbagai aspek
kehidupan manusia, budaya merupakan salah satu bagian yang mendasar dalam
kehidupan seseorang ataupun sekelompok orang.Dengan adanya keragaman
budaya di Menggarai Barat membantu mengembangkan peningkatan ekonomi
yang ada di Manggarai Barat, salah satunya, Caci dance yang sudah terkenal,
sehingga wisatawan domestik maupun wisatawan manca negara jauh-jauh datang
dari negaranya hanya untuk melihat seperti apa caci dance itu, setelah mereka
menyaksikan pertunjukan caci dance baru mereka tahu ternyata pertunjukan yang
di lakukan masyarakat Desa Gorontalo sangat berbahaya dan menggunakan
keberanian tersendiri yang tidak dimiliki oleh orang biasa.Tetapi untuk saat ini
keragaman budaya tersebut sudah mulai fakum karena masyarakat Desa
Gorontalo jarang mengembangkan kebudayaan tersebut, karena budaya – budaya
moderen sudah mulai mempengaruhinya.Torok Tae/Tudak juga salah satu budaya
masyarakat Desa Gorontalo yang seharusnya di kembangkan agar budaya tersebut
selalu berkembang supaya masyarakat tahu bahwa budaya tersebut mempunyai
manfaat bagi masyarakat dan anak muda, khususnya di Desa Gorontalo salah satu
wilayah pariwisata yang seharusnya masyarakat mengembangkan budaya
tersebut, supaya budaya yang ada di Desa Gorontalo tidak kalah saing dengan di
daerah lainnya seperti Lombok.
Selaras Dengan Pembahasan Bapak Muhammad Saleh Salah Satu Warga
Masyarakat Desa Gorontalo. 02 Juli 2018
Iya, Masyarakat juga berharap agar pemerintah ikut serta atau partisipasi
dalam membangun keragaman budaya di Desa Gorontalo agar budaya tersebut
bisa berjalan dengan baik, karena bantuan pemerintah juga sangat penting dalam
hal bantuan seperti materi dan dukungan, tanpa dukungan dari pemerintah
semuanya tidak akan bertahan lama, seperti saat ini keragaman budaya di Desa
Gorontalo mulai fakum karena dukungan dari pemerintah sangat lemah. Harapan
kami sebagai masyarakat Desa Gorontalo agar pemerintah mau membantu supaya
keragaman budaya tersebut mulai berkembang kembali seperti semula.
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Keragaman budaya Masyarakat Desa Gorotanlo Kacamatan Komodo
Kabupaten Manggarai Barat harus lebih mengutamakan kebudayaan pribumi dari
pada kebudayaan orang luar supaya ada nilai jual di mata masyarakat dan
pemerintah, karena kebudayaan yang ada di desa tersebut sangat memiliki
keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh daerah lain seperti kebudayaan ,
tarian caci, tarian torok tae/tudak, tarian sanda, tarian mbata, tarian danding, tarian
sae, tarian ronda, dan tarian nenggo/dere. Tarian-tarian tersebut hanya ada di Desa
Gorontalo maka dari itu kita perlu mengembangkannya, agar kita tidak kalah
saing dengan daerah lain.
Persepsi masyarakat terhadap keragaman budaya Manggarai khususnya Desa
Gorontalo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa
Tenggara Timur.Masyarakat Desa Gorontalo sangat antusias terhadap
keberagaman budaya Manggarai dengan terus meregenerasikan keberagaman
budaya tersebut kepada generasi-generasi muda agar keberagaman budaya
tersebut tetap eksis pada masyarakat Manggarai secara umumnya dan pada
masyarakat Desa Gorontalo pada khususnya.
B. Saran
Mengingat dengan adanya peluang yang bisa menguntungkan Masyarakat
Desa Gorontalo, agar bisa membaca peluang tersebut supaya keragaman budaya
sendiri bisa dikembangkan lebih baik lagi dan tidak mengutamakan kebudayaan
orang lain. Agar parawisatawan lebih meningkat kunjungan didaerah Desa
Gorontalo Kacamatan Komodo Kabupaten Manggarai Barat.
DAFTAR PUSTAKA
Kluckhon C., melalui universal categories of culture (1953), Sosiologi
Komunikasi, Jakarta: Prenada Media Group.
Cleden, 1988, Budaya Manggarai Selayang Pandang, Yokyakatra: Nusa
Indah.
Toda, Dami N., (1999:221-222). “orang asli” (ata ici tana) Manggarai.
Budaya Manggarai Selayang Pandang, tentang Asal Usul Moyang
Manggarai, Yokyakarta: Nusa Indah.
Taylor B. E., (saifuddin,2005: 82), Sosiologi Komunikasi, Jakarta: Prenad
a Media Group.
Hartoko, 1886, Budaya Manggarai Selayang Pandang, tentang cara hidup
masyarakat dilambangkan dengan Totem-totem, Yokyakarta: Nusa
Indah.
Hidayat, 1976, Budaya Manggarai Selayang Pandang, bahwa belis sebagai
simbol status pribadi disebut paca, wagal atau gelar weki, Yokyakarta:
Nusa Indah.
Hidayat, Z. M., 1976, Budaya Manggarai Selayang Pandang, juga menega
skan bahwa Manggarai mendapat pengaruh dari Sulawesi selatan
terutaman dari Goa/Makassar, Yokyakarta: Nusa Indah.
Sunarka, J. (Bunga Rampai VII:2003:23), Budaya Manggarai Selayang
Pandang, bahwa dalam keluarga yang berwawasan budaya patrilineal,
semua berada dalam kuasa suami, Yokyakarta: Nusa Indah.
Koentjaraningkrat, 1990, Budaya Manggarai Selayang Pandang,
Yokyakarta: Nusa Indah.
Koentjaraningrat, 1979, Sosiologi Komunikasi, Jakarta: Prenada Media
Group.
Koentjaraningrat, (Soekanto, 2003:172), Sosiologi Komunikasi, Jakarta:
Prenada Media Group.
Koentjaraningrat, sosiologi suatu pengantar, fungsi kebudayaan bagi
masyarakat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Mertokusumo, 2002, Budaya Manggarai Selayang Pandang, Yokyakatra:
Nusa Indah.
Milles dan Huberman, 2004, Redearch Design Pendekatan Kualitatif,
Kuantitatif, Dan Mixed, Yokyakarta: Pustaka Belajar.
Nuri, 1995, Budaya Manggarai Selayang Pandang, letak geografis,
Yokyakarta: Nusa Indah.
Nuri (1985:16), Budaya Manggarai Selayang Pandang, Yokyakarta: Nusa
Indah.
Soemardjan Selo Dkk, (Seokanto, 2002:173), Sosiologi Komunikasi,
Bahwa Kebudayaan Sebagai Semua Hasil Karya, Rasa, Dan Cipta
Masyarakat, Jakarta: Prenada Media Group.
Varheijen, 1991, Budaya Manggarai Selayang Pandang, Yokyakarta: Nusa
Indah.
Varheijen, 1991, Budaya Manggarai Selayang Pandang, tentang masuknya
pengaruh Eropa di Manggarai pada Tahun 1907-1915, Yokyakarta:
Nusa Indah.
Verheijen, 1991, Budaya Manggarai Selayang Pandang, dilihat dari segi
topografinya sampai sekarang kampung di Manggarai berada di bukit-
bukit, Yokyakarta: Nusa Indah.
Verheijen (1991:27), data tahun 1936-1948, kebudayaan agraris yang
digambarkan ini merupakan gambaran kehidupan agraris Manggarai
sebelum tahun 1950-an (1991:24). Budaya Manggarai Selayang
Pandang, Yokyakarta: Nusa Indah.
Verheijen, 1991, Budaya Manggarai Selayang Pandang, Asal Usul
Moyang Manggarai, Yokyakarta: Nusa Indah.
RIWAYAT HIDUP
Aslianti, lahir di Pulau Messah, pada tanggal 9 Agustus 1994. Anak ke empat
dari enam bersaudara dan merupakan buah kasih sayang dari pasangan Sapiudin
dan Memang . penulis menempuh pendidikan sekolah dasar di SDN Pulau Messah
mulai tahun 2002 sampai tahun 2008. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan
Pendidikan di SMPN Satap Pulau Seraya dan tamat pada tahun 2011. Kemudia
pada tahun 2012 penulis melanjutkan pendidikan di SMKN 1 Kota Bima dan
tamat pada tahun 2014. Kemudia pada tahun yang sama penulis berhasil lulus
pada Jurusan Pendidikan Sosiologi, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyaah Makassar Program Strata 1 (S1) Kependidikan. Dan
penulis menyelesaikan studi pada tahun 2018 dengan gelar serjana pendidikan.
.
1. Dokumentasi
2. Pedoman wawancara
3. Permohonan judul skripsi
4. Kartu kontrol bimbingan proposal
5. Berita acara ujian proposal
6. Keterangan perbaikan hasil ujian proposal
7. Surat izin penelitian
8. Kartu kontrol pelaksanaan penelitian
9. Kartu kontrol bimbingan skripsi
DOKUMENTASI
Gambar 1: Budaya atau Tarian Caci Acara Adat Kampung
Gambar 2: Budaya atau Tarian Mbata Acara Penti/Syukuran
Gambar 3: Tarian Sanda Sebagai Salah Satu Budaaya Manggarai
Gambar 4: Kain Songke Salah Satu Budaya Manggarai
Gambar 5: Wawancara Dengan Beberapa Orang Yang Termasuk
Pemain Tarian Sae/Ndundu Ndake
PEDOMAN WAWNCARA
Dalam upaya memperoleh data, peneltian ini menggunakan wawancara
sebagai metode utama untuk melakukan pengkajian data secara mendalam.
Berikut ini merupakan pedoman wawancara kepada informan yang
berbeda antara lain sebagai berikut :
1. Bagaimanakah menurut Bapak mengenai Tarian Caci yang merupakan
salah satu budaya Khas Manggarai Barat ?
…………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………
……………………………………………………
2. Kapan di adakan atau dilaksanakan kegiatan budaya Caci tersebut ?
…………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………
……
3. Apa yang di maksud dengan Torok Tae/Tudak dan siapa yang
melakukannya ?
…………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………
………………………………………………………
4. Kebiasaan apa sajakah yang termasuk dalam macam-macam Torok Tae ?
…………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………
………
5. Bagaimana menurut Bapak tentang Tarian Sanda dan kapan dilaksanakan
tarian tersebut ?
…………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………
……………………………………………………….
6. Budaya apa sajakah yang dilaksanakan pada akhir tahun ?
…………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
7. Apa sebabnya Tarian Sae di sebut sebagai Tarian Ndundu Ndake ?
…………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………
…………………………………………………………….
8. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap keragaman budaya yang ada di
Manggarai Barat ?
…………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………
…………………………………………………………….
9. Apa yang di harapkan masyarakat berkaitan dengan keragaman budaya
sekarang ini ?
…………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………
……………………………………………………………