ANALISIS SEMIOTIK FOTO PADA BUKU ORANGUTAN...
Transcript of ANALISIS SEMIOTIK FOTO PADA BUKU ORANGUTAN...
ANALISIS SEMIOTIK FOTO PADA BUKU ORANGUTAN RHYME AND
BLUES KARYA REGINA SAFRI
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Andika Febriana
1111051000089
JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H / 2018 M
i
ii
iii
iv
ABSTRAK
Andika Febriana
Analisis Semiotik Foto dalam Buku Orangutan Rhyme and Blues karya
Regina Safri.
Sebuah foto merupakan salah satu karya visual yang dapat menyampaikan
sebuah pesan dalam bentuk gambar, tanpa adanya proses manipulasi atau
rekayasa. Kerusakan hutan Indonesia khususnya yang terjadi di wilayah
Kalimantan dan Sumatera, dalam beberapa puluh tahun terakhir terus menjadi
sorotan. Adanya gambaran atau informasi tersebut tidak hanya dapat diketahui
dengan berita tulisan saja, tetapi juga sebuah gambar atau foto dapat memberikan
informasi tambahan bagi masyarakat mengenai kondisi suatu wilayah. Melalui
sebuah buku berjudul Orangutan Rhyme and Blues, Regina Safri atau yang akrab
disapa rere ini menampilkan bagaimana kondisi orangutan setelah rusaknya hutan
di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis dengan pendekatan
kualitatif. Foto-foto yang dikaji dalam penelitian ini menggunakan analisis
semiotika Roland Barthes. Metode ini memberi titik tekan pada makna denotasi,
konotasi, dan mitos. Selanjutnya, penulis memperkaya temuan makna dengan
mengarakannya pada permasalahan orangutan.
Dari data yang dikaji melalui semiotika Roland Barthes, diperoleh
beberapa data, yakni: analisa makna denotasi yang memberikan gambaran kepada
masyarakat mengenai kondisi orangutan dan habitatnya, khusunya yang berada di
wilayah Kalimantan dan Sumatera. Dari analisa makna konotasi mengungkapkan
bahwa luasnya perkebunan kelapa sawit sama halnya dengan rusaknya hutan yang
merupakan tempat tinggal bagi ratusan spesies makhluk hidup termasuk
orangutam. Dari analisa mitos, diketahui bahwa perubahan alam yang terjadi di
wilayah Kalimantan dan Sumatera merupakan hasil perbuatan manusia. Hal ini
tentunya menjadi pengingat bagi kita agar tidak melakukan kerusakan di muka
bumi, sesuai dengan apa yang telah di firmankan Allah SWT.
Atas hasil penelitian ini kembali menunjukan bahwa fotografi dokumenter
mampu mengungkapkan objektifitas dalam fenomena yang terjadi di masyarakat.
Foto-foto yang terdapat di dalam buku ini juga bukan sekedar muncul tanpa
makna, tetapi juga terdapat pesan mengenai orangutan di Indonesia yang masih
bejuang untuk dapat dilepasliarkan. Terlebih lagi foto-foto dalam penelitian ini
memiliki kesinambungan dengan apa yang terdapat dalam ayat-ayat suci Al-
quran, dalam artian foto bukan hanya mampu menjadi sarana komunikasi tetapi
juga dapat dijadikan media berdakwah. Melalui foto-foto yang ditampilkan,
diharap juga menjadi salah satu kontribusi para fotografer dan masyarakat untuk
bersama memperjuangkan nasib orangutan.
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum wr.wb
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta
salam juga tak lupa penulis curahkan kepada baginda besar Nabi Muhammad
SAW dan para keluarga, para sahabat, juga kita sebagai pengikutnya, semoga
kelak akan mendapatkan Syafa’at di Yaumul Akhir.
Syukur alhamdulillah penulis bisa menyelesaikan skripsi ini yang berjudul
“Analisis Semiotik Foto dalam Buku Orangutan Rhyme and Blues karya Regina
Safri”, yang disusun untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Strata
1 (S1) di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Secara khusus penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada orangtua
penulis, yaitu ibunda Murwati dan ayahanda Eko Sukarno yang senantiasa
memberikan semangat dan kasih sayangnya. Semoga mereka selalu dalam
lindungan Allah SWT.
Selama dalam masa penelitian, penyusunan, penulisan sampai masa
penyelesaian skripsi ini penulis menyadari banyak dibantu dan diberi arahan oleh
berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terimakasih kepada:
vi
1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Dekan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. H. Arief
Subhan, M.A. Wakil Dekan I Bidang Akademik, Dr. Suparto, M. Ed,
Ph.D. Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum, Drs. Jumroni, M.Si,
serta Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan, H. Sunandar, M.A.
2. Ketua jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Drs. Masran dan Sekertaris
jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Drs. Fita Faturohmah, yang telah
bersedia meluangkan waktunya untuk sekedar berkonsultasi dan meminta
bantuan dalam perkuliahan.
3. Dosen pembimbing, Rachmat Baihaky MA, yang telah bersedia
memberikan waktunya untuk membimbing, memberikan masukan, arahan,
dan semangat kepada penulis dengan kesabaran yang luar biasa sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
4. Seluruh dosen dan segenap staf Fakultas Ilmu Dakwan dan Ilmu
Komunikasi yang telah memberikan ilmu-ilmu yang bermanfaat serta
bantuan dalam hal akademis.
5. Pimpinan dan karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi yang
telah menyediakan buku serta fasilitas lainnya sehingga penulis mendapat
banyak referensi dalam penelitian ini,
6. Mbak Regina Safri, yang telah mengizinkan bukunya dijadikan
pembahasan dalam skripsi ini dan rela meluangkan waktunya untuk
berbagi banyak hal mengenai orangutan. serta proses pembuatan buku
Orangutan Rhyme and Blues.
vii
7. Mahrifatul Ulum, adik penulis yang senantiasa mendoakan agar penulis
dapat segera menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
8. Teman-teman KPI C 2011 yang sudah banyak memberi masukan dan
berjuang bersama di kampus. Terimakasih atas pertemanan, pembelajaran,
dan pengalaman yang telah diberikan kepada penulis.
9. KKN PENA 2014 yang banyak memberi inspirasi bagi penulis, semoga
tali silaturahmi akan tetap terjaga selamanya.
10. Keluarga besar Klise Fotografi yang menjadi wadah bagi penulis untuk
belajar dan berkreasi. Terimakasih atas pembelajaran dan kebersamaan
yang sudah diberikan kepada penulis.
11. Untuk tiga sekawan penulis M.Solihin, Nur Said, dan Attaqian Alfarits
khususnya yang telah memberikan koneksi internet secara Cuma-Cuma
untuk mencari data yang penulis perlukan dan masukan mengenai
penulisan, serta untuk Monica Safitri yang selalu menyemangati penulis
untuk menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini adalah hasil terbaik yang penulis bisa sajikan. Semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Wassalamualaikum. Wr.Wb
Penulis
Andika Febriana
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN............................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN............................................................................. iii
ABSTRAK ..................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ..................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .......................................... 4
1. Batasan Masalah ........................................................... 4
2. Rumusan Masalah . ....................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ................................................................ 5
D. Manfaat Penelitian .............................................................. 5
1. Manfaat Teoritis . .......................................................... 5
2. Manfaat Praktis . ........................................................... 5
E. Metodologi Penelitian . ....................................................... 5
1. Paradigma Penelitian .................................................... 5
2. Metode Penelitian ......................................................... 6
3. Subjek Penelitian .......................................................... 6
ix
4. Teknik Sampling Data .................................................. 6
5. Teknik Pengumpulan Data ........................................... 7
a. Observasi ................................................................ 7
b. Dokumentasi ........................................................... 7
c. Wawancara ............................................................. 7
6. Teknis Analisis Data ..................................................... 8
7. Teknik Penulisan .......................................................... 8
F. Tinjauan Pustaka . ............................................................... 9
G. Sistematika Penulisan ......................................................... 10
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Umum Foto dan Fotografi ................................... 12
1. Pengertian Foto.............................................................. 12
2. Pengertian Fotografi........................................................ 13
3. Sejarah Fotografi .......................................................... 13
4. Fotografi di Indonesia . ................................................. 14
5. Unsur-unsur dalam Fotografi . ...................................... 16
6. Aliran-aliran dalam Fotografi ....................................... 19
7. Fotografi Dokumenter .................................................. 21
B. Pengertian Semiotika . ............................................... 22
C. Semiotika Roland Barthes .................................................. 25
BAB III KONDISI ORANGUTAN DAN HABITATNYA
A. Profil Buku Orangutan Rhyme and Blues .......................... 30
B. Hewan-hewan yang terancam Punah di Indonesia............... 32
x
C. Kondisi Orangutan .............................................................. 40
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA
A. Analisis Data Foto I . .......................................................... 49
B. Analisis Data Foto II . ......................................................... 54
C. Analisis Data Foto III ......................................................... 58
D. Analisis Data Foto IV . ....................................................... 62
E. Analisis Data Foto V .......................................................... 66
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................... 71
B. Saran ................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 77
LAMPIRAN .................................................................................................. 80
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai salah satu icon konservasi satwa dunia, orangutan yang sebarannya
80 persen berada di Indonesia (Sumatera dan Kalimantan) selalu menjadi sorotan
dunia. Selain sebagai satu-satunya kera besar di Asia, juga karena populasinya
yang terus menurun akibat berkurangnya habitat alami yang disebabkan oleh
konversi hutan menjadi perkebunan, pertambangan, perluasan pemukiman dan
ancaman perburuan liar serta perdagangan liar.
Orangutan berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem dengan
memencarkan biji dari buah yang dikonsumsinya. Ketidakhadiran orangutan di
hutan hujan tropis dapat mengakibatkan suatu jenis tumbuhan yang
penyebarannya tergantung oleh orangutan. Namun keberadaan mereka rentan
dengan pola hidup semi-soliter (tidak berkelompok/berpasangan), melahirkan
hanya satu individu per kelahiran dengan jarak antara kelahiran yang jauh (6-9
tahun).1
Berkurangnya belantara hutan hujan tropis Kalimantan dan Sumatera
tentunya membawa dampak bagi siklus kehidupan, termasuk masyarakat
tradisional yang bergantung pada hutan hujan tropis tersebut. Maraknya
pembalakan liar, munculnya pertambangan dan berubahnya hutan menjadi kebun
sawit merupakan hasil dari perbuatan manusia yang dilakukan demi keuntungan
1 Regina Safri, Orangutan Rhyme & Blues (Galeri Foto Jurnalistik Antara, 2012) h.122
2
semata. Hal ini juga sebagai bukti nyata dari apa yang tertulis dalam Al-Qur‟an
surat Ar-Rum ayat 41 :
“telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”
Regina Safri, adalah satu-satunya fotografer Indonesia yang tertarik untuk
mendokumentasikan kondisi orangutan di Indonesia. Ketertarikannya ini muncul
saat dia memotret di Yayasan Konservasi Borneo Orangutan Survival Foundation
(BOSF) di Samboja. Dirinya merasa tidak dapat menahan perasaan sedihnya saat
melihat kondisi orangutan di sana.
Perjalanannya dimulai pada akhir tahun 2011 sampai pertengahan tahun
2012.2 Dengan segala tekad yang dimiliki, Regina Safri atau yang biasa dipanggil
Rere ini berjuang untuk dapat memberikan gambaran dan informasi mengenai
kondisi orangutan di Indonesia. Karena bukan hanya memiliki peran bagi alam
dan lingkungan, orangutan juga berperan dalam kehidupan manusia.
Tidak hanya orangutan yang menjadi pusat kepeduliannya, Regina Safri juga
memikirkan lingkungan dan nasib anak cucu kita nanti. Jika lingkungan dan
habitat orangutan tidak kita jaga, akan semakin sering banjir, cuaca ekstrem yang
2 Wawancara dengan Regina Safri pada 16 Maret 2016
3
tidak jelas waktunya, kemarau berkepanjangan, kualitas oksigen yang buruk, dan
ancaman berbagai macam penyakit.3
Regina Safri mengatakan bahwa memang belum ada dampak langsung yang
terjadi, karena masalah besar memang tidak semudah membalikan telapak
tangan.4 Meski demikian, Regina Safri tetap berperan aktif dalam melindungi
kelestarian Orangutan tanpa masuk dalam lembaga-lembaga tertentu, dan hanya
menjadi seorang jurnalis di kesehariannya.
Hasil dari jerih payahnya itu, akhirnya terwujud dalam sebuah buku berjudul
Orangutan Rhyme and Blues. Buku ini tidak terdapat di toko-toko buku manapun,
dan hanya dapat diperoleh di Galeri Foto Jurnalistik Antara. Foto-foto yang
terdapat dalam buku ini beraliran dokumenter, dimana foto dokumenter memiliki
cakupan yang lebih luas dan mendalam jika dibandingkan dengan foto berita atau
foto jurnalistik.
Penulis mempunyai ketertarikan dalam bidang fotografi, mengingat penulis
sudah mendalami dunia fotografi melalui organisasi fotografi yang berada di
dalam kampus. Hal tersebut menjadi alasan kuat kenapa penulis ingin meneliti
buku “Orangutan Rhyme and Blues” untuk mengetahui dan memahami
bagaimana membedah suatu buku dengan menggunakan teori semiotika Roland
Barthes yang melihat gambar dengan makna konotasi, denotasi dan mitos.
Dari pemaparan latar belakang di atas, seberapa relevan dan pentingnya
penelitian ini. Maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
3 Regina Safri, Orangutan Rhyme & Blues,h.120
4 Wawancara Pribadi dengan Regina Safri pada 16 Maret 2016
4
“Analisis Semiotik Foto Pada Buku Orangutan Rhyme and Blues Karya
Regina Safri”
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini terarah, penulis memfokuskan pada
foto-foto karya Reniga Safri dalam buku Orangutan Rhyme and Blues yang
telah dipublikasikan pada tahun 2012, yang bercerita mengenai kondisi
orangutan. Penulis sengaja membatasi pada lima foto saja, karena menurut
penulis kelima foto tersebut sudah mewakili pesan yang ingin disampaikan
oleh fotografer.
2. Rumusan masalah
Berdasarkan pembatasan di atas, maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Apa makna denotasi pada lima foto karya Regina Safri dalam buku
Orangutan Rhyme and Blues?
b. Apa makna konotasi pada lima foto karya Regina Safri dalam buku
Orangutan Rhyme and Blues?
c. Apa makna mitos pada lima foto karya Regina Safri dalam buku
Orangutan Rhyme and Blues?
5
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan
penelitian adalah:
1. Untuk mengetahui makna denotasi yang terkandung pada lima foto
dalam buku Orangutan Rhyme & Blues
2. Untuk mengetahui makna konotasi yang terkandung pada lima foto
dalam buku Orangutan Rhyme & Blues
3. Untuk mengetahui makna mitos yang terkandung pada lima foto dalam
buku Orangutan Rhyme & Blues
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu referensi tambahan dan kajian
dalam memahami foto melalui tanda atau simbol dengan metode semiotik yang
berkaitan dengan komunikasi visual.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pecinta fotografi, praktisi dan
mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dalam
memahami fotografi dokumenter.
E. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma
konstruktivis, yang menafsirkan makna bersifat subjektif. Data yang diambil
6
merupakan suatu perasaan pihak yang diteliti dengan menyatakan melalu
tafsiran. Pandangan realitas sosial dalam paradigma ini merupakan hasil dari
sebuah konstruksi berpikir, bukan berdasarkan sesuatu yang natural. Selain itu,
paradigma ini menganggap bahwa subjek merupakan faktor penting dalam
komunikasi dan hubungan sosial. Oleh karena itu penulis menggunakan
paradigma konstruktivis untuk memahami dan menjelaskan mengenai proses
interpretasi keadaan atau kondisi orangutan di Indonesia dalam buku
Orangutan Rhyme and Blues.
2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif,
dimana hasil temuan akan dideskirpsikan dan ditinjau kembali untuk dianalisis
dari hasil pengamatan dan penelurusan pustaka.
3. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah foto-foto dalam buku Orangutan Rhyme and
Blues karya Regina Safri yang dipublikasikan pada tahun 2012. Objek
penelitian ini adalah analisis semiotik foto pada buku Orangutan Rhyme and
Blues.
4. Teknik Sampling Data
Penelitian ini menggunakan Purposive Sampling, karena peneliti telah
mengambil sampel yang telah ditentukan untuk menjawab maksud dan tujuan
peneliti. Purposive Sampling adalah teknik pengumpulan sampel dengan
pertimbangan khusus sehingga layak dijadikan sampel.5
5 Juliansyah Noor, Metode Penelitian, (Jakarta: Kencana Pranada Group, 2011),
h.115
7
Sumber data dibagi menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder.
Data primer berupa foto-foto yang menjadi kajian dalam penelitian ini, yang
ada dalam buku Orangutan Rhyme & Blues. Sedangkan data sekunder didapat
dari hasil wawancara peneliti dengan Regina Safri selaku fotografer buku
tersebut, dan ditambah dengan referensi lain seperti jurnal atau buku yang
relevan dengan penelitian ini.
5. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Observasi merupakan metode pengumpuan data yang paling alamiah
dan paling banyak digunakan tidak hanya dalam dunia keilmuan, tetapi
juga dalam berbagai aktivitas kehidupan.6
Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini dengan mengumpulkan
foto yang dijadikan sebagai subjek penelitian. Dan membeli buku tersebut
di Galeri Foto Jurnalistik Antara.
b. Dokumentasi
Merupakan dokumen-dokumen foto yang diperoleh secara langsung
dari Regina Safri, buku-buku, artikel yang didapat dari majalah, surat
kabar, internet, jurnal serta bacaan lain yang mendukung dalam penelitian
ini. Sebagai pelengkap data dari yang dilakukan peneliti.
c. Wawancara
Untuk mengumpulkan informasi terkait, penulis juga menggunakan
teknik wawancara. Yaitu percakapan yang dilakukan dua pihak, dimana
6 Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama, (Bandung
PT. Remaja Rosdakarya, 2001), h.167
8
peneliti mengajukan beberapa pertanyaan kepada narasumber.7
Wawancara dilakukan langsung dengan Regina Safri.
6. Teknis Analisis Data
Semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia.
Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni
sesuatu yang harus kita beri makna.8
Penulis menggunakan teori semiotik Roland Barthes karena dalam
penelitian ini banyak mengkaji mengenai tanda atau simbol tentang kerusakan
alam.
Pada tahap teknis analisis data, foto-foto yang telah menjadi batasan
masalah kemudian akan dijadikan sampel dalam penelitian. Teknis analisis
data ini menggunakan semiotika Roland Barthes untuk mengetahui makna
denotasi, konotasi, dan mitos pada foto-foto yang terdapat dalam buku
Orangutan Rhyme & Blues karya Regina Safri.
7. Teknik Penulisan
Penulisan dalam penelitian ini merujuk pada buku pedoman Penulisan
Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) Hamid Nasution dkk, yang
diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance)
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
7 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2007), h.187 8 Benny H. Hoed, Semiotik & Dinamika Sosial Budaya, (Depok: Komunitas
Bambu, 2014), h.15
9
F. Tinjauan Pustaka
Dalam penyusunan skripsi ini, peneliti telah meninjau beberapa skripsi yang
memberikan inspirasi penulis dengan pembahasan yang cukup relevan dan subjek
yang berbeda, antara lain:
1. Skripsi dengan judul “Analisis Semiotik Foro Karya Ismar Patrizki
Pada Pameran Foto GAZA perkasa” di tahun 2010 yang ditulis oleh
Muhammad Lutfi Rahman. Pendekatan skripsi ini adalah kualitatif.
Penelitian ini meneliti tanda-tanda dan simbol-simbol dalam foto Ismar
Patrizki menggunakan teori semiotika Roland Barthes.
2. Skripsi yang berjudul “Makna Foto Perjalanan Ibada Haji (Analisis
Semiotika Karya Zarqoni Maksum Pada Galeri Antara.co.id). yang
ditulis oleh Fatimah pada tahun 2008. Menganalisis tanda, simbol
ataupun makna untuk mengetahui pesan yang disampaikan oleh
fotografer. Penelitian ini juga menggunakan teori semiotika Roland
Barthes.
3. “Analisis Semiotik Foto Pada Buku Jakarta Estetika Banal Karya Erik
Prasetya” ditulis oleh Marifka Wahyu Hidayat pada tahun 2014.
Skripsi ini juga menggunakan teori semiotik Roland Barthes yang juga
meneliti tentang buku foto dokumenter.
4. Skripsi karya Isye Naisila Zulmi yang ditulis pada tahun 2014 dengan
judul “Analisis Seniotika Terhadap Foto Karya Kemal Jufri Pada
Pameran Aftermath: Indonesia in Midst of Catasrophes tahun 2012”.
Skripsi ini meneliti simbol-simbol dan tanda-tanda pada foto Kemal
Jufri dengan teori semiotik Roland Barthes.
10
Keempat skripsi di atas sama-sama meneliti tentang makna dan simbol
dengan menggunakan analisis semiotika. Tetapi foto yang akan penulis teliti
tentunya berbeda dan berasal dari sumber yang berbeda pula.
Subjek dari penelitian ini adalah foto-foto dalam buku Orangutan Rhyme &
Blues karya Regina Safri pada tahun 2012. Sedangkan objeknya adalah makna
yang terkandung dalam foto-foto tersebut. Penelitian ini akan mengupas makna
dari foto-foto dalam buku Orangutan Rhyme & Blues yang bercerita tentang nasib
Orangutan akibat rusaknya habitat dan lingkungan mereka akibat beralihnya
fungsi hutan hujan tropis.
G. Sistematika Penulisan
Agar skripsi ini lebih terarah dalam penyusunannya, peneliti membuat
sitematika penulisan yang disesuaikan dalam masing-masing Bab. Ada lima Bab
dan terdapat beberapa Sub Bab yang menjelaskan Bab tersebut. Sistematika
penulisan tersebut adalah:
BAB I: pendahuluan, dalam bab ini peneliti akan menguraikan
tentang latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka
dan sistematika penulisan.
BAB II: Landasan teori, dalam bab ini berisi mengenai penjabaran
mengenai teori yang dipakai. peneliti akan menguraikan seputar
fotografi, sejarah fotografi, perkembangannya dan aliran-aliran
fotografi. Kemudian terdapat pula bagaimana memahami makna
dalam foto melalui semiotik, berdasarkan konsep semiotika Roland
Barthes.
11
BAB III: Gambaran umum buku Orangutan Rhyme & Blues,
dalam bab ini penulis akan menguraikan jenis-jenis satwa di
Indoneisa yang keberadaanya terancam punah. Selain itu, penulis
juga akan mengenalkan profil Regina Safri, latar belakang
pembuatan buku dan karya lain dari Regina Safri..
BAB IV: Temuan dan analisis data, dalam bab ini penulis akan
membahas konsep semiotika Roland Barthes mengenai makna
denotasi, konotasi dan mitos foto-foto yang sudah penulis pilih
dalam buku Orangutan Rhyme & Blues.
BAB V: Penutup, peneliti memberikan kesimpulan dari hasil
penelitian dan saran untuk para pecinta fotografi serta mahasiswa/i
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tentang makna, peran dan juga kekuatan daya
tarik foto dokumenter.
12
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Umum Foto dan Fotografi
1. Pengertian Foto
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, foto memiliki arti gambar, atau
lukisan.1 Foto merupakan hasil akhir dari seni yang saat ini sudah
berkembang begitu pesat, yaitu fotografi. Foto dan fotografi adalah dua hal
yang saling berkaitan. Oleh sebab itu foto tidak akan muncul tanpa adanya
fotografi, dan sebaliknya. Untuk membuat sebuah foto di era teknologi
yang kian berkembang seperti sekarang tidaklah sulit, apalgai saat ini seni
fotografi bukanlah hal mewah atau mahal seperti awal kemunculannya.
Perkembangan teknologi yang semakin maju membuat siapa saja dapat
membuat foto. Tidak perlu dengan kamera besar dan berat, karena saat ini
produsen handphone (HP) sudah melengkapinya dengan kamera yang
cukup mumpuni. Namun demikian, dibalik kemudahannya sekarang
tentunya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan lebih jauh, seperti apa
fotografi itu sendiri, bagaimana sejarahnya, dan unsur apa saja yang
terkandung di dalamnya.
1 Kamus Besar Bahasa Indonesia
13
2. Pengertian Fotografi
Fotografi sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu photos dan
graphein, yang berarti cahaya dan melukis.2 Dalam kamus besar bahasa
Indonesia, kata fotografi diartikan sebagai seni mengambil gambar dengan
cahaya pada film atau permukaan yang dipekakan.3 Maka dapat dikatakan
fotografi merupakan sebuah seni melukis dengan cahaya sebagai
medianya. Jika seorang pelukis menggunakan cat untuk menuangkan
idenya ke dalam kanvas, maka seorang fotografer menggunakan cahaya
sebagai media dan kamera sebagai alat untuk menceritakan apa yang ingin
ia sampaikan. Cahaya memang menjadi media terpenting dalam fotografi,
sehingga jika tidak ada cahaya maka tidak akan ada karya fotografi.
Sejatinya fotografi bukan hanya membicarakan cahaya, masih banyak
hal yang perlu diperhatikan di dalamnya. Fotografi dinikmati oleh semua
orang, karena itulah persepsi ketika melihat sebuah foto akan berbeda
antara kita dengan yang lain. Dalam buku Kisah Mata, Seno Gumira
Ajidarma menulis, sebuah foto memiliki kemungkinan-kemungkinan yang
berbeda untuk diartikan atau ditafsirkan oleh penonton atau pelihat foto.4
3. Sejarah Fotografi
Berkembangnya tren fotografi saat ini menjadikan setiap orang yang
memegang kamera profesional dapat atau langsung dikatakan sebagai
fotografer. Namun, sudahkah kita mengetahui siapa yang menemukan
2 Ferry Darmawan, Dunia Dalam Bingkai, cet 1 (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), h. 19 3 Kamus Besar Bahasa Indonesia 4 Seno Gumira Ajidarma, Kisah Mata, Fotogafi antara Dua Subjek: Perbincangan
tentang Ada, (Yogyakarta: Galang Press,2002),h.6
14
dasar teknik dari fotografi tersebut? Mungkin sebagian besar dari kita tidak
mengetahui bahwa penemu teknik fotografi adalah seorang fisikawan
muslim, yaitu al Haytham.
Ilmuwan yang dikenal sebagai „al Hazen‟ bagi kalangan barat ini
memiliki nama lengkap Abu al Hasan ibn al Haytham, ia lahir di kota
Basrah pada tahun 965 M.5 Teori dasar al Haytham yang menjadi dasar
teknik fotografi adalah bentuk lengkung yang ditempuh cahaya ketika
berada di udara.6 Dari teorinya tersebut al Haytham mengatakan bahwa
kita dapat melihat cahaya bulan dan matahari sebelum keduanya berada di
cakrawala.
Di dunia barat, foto pertama kali dibuat oleh Joseph Nicephore Niepce
pada tahun 1826. Foto ini masih menggunakan plat dengan ukuran 6,5 x 8
inci, kemudian diolesi dengan cairan kimia yang peka terhadap cahaya.
Proses ini memakan waktu selama delapan jam, setelah itu plat disikat dan
digarami agar foto lebih awet.
Pada tahun 1839 terjalin kerja sama antara Joseph Nicephore Niepce
dengan Louis Daguerre. Namun, setelah empat tahun bekerja sama, Niepce
meninggal dunia. Kemudian Daguerre melanjutkannya seorang diri,
akhirnya ia berhasil membuat foto dengan plat yang semula selama
delapan jam kini menjadi 30 menit. Meskipun demikian proses menyikat
dan menggarami masih digunakan untuk tujuan yang sama. Metode ini
dikenal dengan nama “Daguerreotype Process”.7
5 Diakses dari www.tirto.id/humaniora pada 12 Juni 2017 6 Diakses dari www.tirto.id/humaniora pada 12 Juni 2017 7 Soeprapto Soedjono, Pot-Pourri Fotografi, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2007), h.63
15
Pada saat itu harga sebuah foto tergolong sangat mahal dan foto belum
dapat diduplikat karena belum adanya proses dari negatif ke positif.8
Sehingga jika ingin membuat foto yang sama lebih dari satu fotografer
harus menggunakan dua kamera atau lebih.
4. Fotografi di Indonesia
Fotografi sendiri masuk ke Indonesia diyakini pada masa penjajahan
kolonial Belanda. Pada zaman itu fotografi digunakan untuk
menggambarkan kondisi wilayah jajahannya dan melengkapi data secara
visual, baik dari segi manusia, potensi, maupun geografisnya.9
Dalam bukunnya Foto Junalsitik, Taufan Wijaya mengatakan Juriaan
Munich adalah utusan kementrian kolonial Belanda, yang membawa
fotografi masuk ke Indonesia lewat jalur laut Batavia pada tahun 1841.10
Munich diberi tugas untuk mengabadikan tanaman-tanaman serta kondisi
alam yang ada di Indonesia, guna memberikan informasi mengenai alam
Indonesia.11
Sejak saat itu kamera menjadi bagian dari teknologi modern
pemerintah Belanda yang digunakan untuk menjalankan kekuasaannya.
Menguasai dan mengontrol tanah jajahan dalam teknologi komunikasi dan
transportasi. Sehingga tidak mengherankan jika dalam kurun waktu 100
tahun keberadaan fotografi di Indonesia (1841-1941) perkembangannya
8 Soeprapto Soedjono, Pot-Pourri Fotografi,h.63 9 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, (Klaten: CV SAHABAT, 2011), h.6 10 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik,h.6 11 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik,h.6
16
sangat lambat, karena penguasaan alat ini (kamera) ada di tangan bangsa
Eropa, Cina, dan Jepang.12
Sampai kemudian kita kenal sebuah nama Kassian Cephas, fotografer
Keraton Yogyakarta di era Sri Sultan Hamengkubuwono ke-VII, yang
merupakan anak angkat dari pasangan Belanda dengan foto pertamanya
yang diidentifikasikan bertahun 1875.13
12 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik,h.7 13 Taufan Wijaya, Foto jurnalistik, h.7
17
5. Unsur-unsur dan Teknik dalam fotografi
Setelah penulis menjabarkan pengertian dan sejarah fotografi, pada
sub-bab ini penulis akan menggambarkan unsur yang ada dalam fotografi.
Setidaknya terdapat dua unsur, yaitu teknis, dan estetis. Unsur teknis
dalam hal ini meliputi pencahayaan dan teknik pemotretan. Dalam
pencahayaan terdapat tiga jenis, yaitu:
a. Shutter Speed adalah kecepatan bukaan rana kamera dalam
menangkap cahaya.14
Ketika tombol shutter ditekan maka
bagian dalam kamera akan terbuka. Terbukanya rana kamera
inilah yang kemudian membuat sensor kamera merekam
cahaya yang masuk. Kecepatan bukaan rana atau shutter akan
mempengaruhi intensitas cahaya yang masuk. Di dalam
kamera shutter speed ditunjukan melalui angka, dimulai dari
bulb, 30”, 15”, 1”, 1/10, 1/30, 1/80, 1/400 dan seterusnya. Bulb
adalah kecepatan rana yang diatur sendiri oleh fotografernya,
sedangan maksud dari 1/10 merupakan 1 detik dibagi 10 dan
seterusnya. Jika kita memotret dengan shutter speed rendah
seperti 1/30, 1/10, 1” dan seterusnya, maka gambar yang
dihasilkan akan goyang (shake). Sedangkan jika menggunakan
shutter speed tinggi seperti 1/100, 1/400, 1/500 dan seterusnya,
gambar yang dihasilkan akan diam (freeze) meskipun
subjeknya adalah benda bergerak.
14 Materi dalam Komunitas Lingkar Seni Fotografi FIDIKOM
18
b. Aperture atau diafragma, pengertian mengenai hal ini sering
diumpamakan sebagai keran air. Semakin besar bukaan keran
maka akan semakin banyak air yang keluar dan sebaliknya.15
Diafragma dalam kamera ditunjukan melalui angka, semakin
besar lubang diafragma maka angkanya semakin kecil, juga
sebaliknya. Diafragma juga dipengarhui oelh jenis lensa,
angka diafragma dimulai dari 1.0, 1.2, 1.4, 1.8, 2.8, 3.5, 7.1
bahkan ada yang mencapai angka 36. Efek yang terjadi dalam
penggunaan aperture atau diafragma adalah jumlah cahaya
yang masuk ke dalam sensor kamera dan ketajaman gambar
atau disebut Depth of Field (DOF). Jika kita menggukanan
diafragma dengan angka kecil dan memfokuskan pada satu
titik, maka salah satu dari background atau foreground akan
tampak blur dan membuat banyak cahaya yang masuk.
Namun, jika menggunakan diafragma dengan angka besar,
gambar akan tampak jelas secara keseluruhan tapi membuat
gambar kurang terang karena cahaya yang masuk hanya
sedikit.
c. International Standaritazion Organitation (ISO), adalah
tingkat kepekaan kamera terhadap cahaya.16
ISO dimulai dari
angka 100, 200, 400, 800, 1600 dan seterusnya. Hasil yang
didapat jika menggunakan ISO rendah seperti 100 dan 200
adalah gambar yang jernih. Biasanya ISO rendah digunakan
15 Materi dalam Komunitas Lingkar Seni Fotografi FIDIKOM 16 Materi dalam Komunitas Lingkar Seni Fotografi FIDIKOM
19
dalam kondisi yang banyak cahaya seperti luar ruangan.
Sedangkan jika menggunakan ISO tinggi seperti 800, 1600,
dan seterusnya gambar yang dihasilkan cenderung kasar atau
terdapat bintik-bintik yang disebut noise. ISO tinggi biasa
digunakan dalam kondisi kurang cahaya.
Adapun teknik pemotretan adalah teknik untuk menghasilkan gambar
agar foto yang dihasilkan lebih menarik dan tidak monoton. Ada beberapa
teknik dalam pengambilan gambar, antara lain Freezing, Panning, Moving,
dan Siluet.17
Freezing Seperti yang telah penulis paparkan pada sub shutter
speed, teknik ini dihasilkan dengan menggunakan speed yang tinggi.
Gambar yang dihasilkan adalah subjek yang diam meskipun dalam
keadaan bergerak. Sementara Panning diakukan dengan cara mengikuti
subjek yang bergerak dan menggunakan speed yang sedikit lambat.
Hasilnya adalah gambar dengan latar belakang yang blur sehingga seolah-
olah subjek bergerak dengan cepat. Kemudian Moving, dalam memotret
dengan teknik ini harus menggunakan speed yang lambat untuk
memperlihatkan kesan subjek yang bergerak. Perbedaannya dengan teknik
Panning adalah kamera tidak bergerak mengikuti subjek. Sedangkan Siluet
adalah teknik untuk menghasilkan gambar seperti bayangan. Caranya
adalah memotret subjek dengan kamera yang menghadap langsung pada
sumber cahaya.
Unsur fotografi yang kedua adalah unsur estetis, yang kemudian
terbagi menjadi dua yaitu sudut pandang dan komposisi. Sudut pandang
17 Materi dalam Komunitas Lingkar Seni Fotografi FIDIKOM
20
adalah di mana dalam pengambilan gambar seorang fotografer juga harus
menempatkan subjek sesuai dengan keadaannya. Hal ini juga bisa
membuat persepsi bagi pelihat foto. Setidaknya ada lima sudut pandang
yang ditulis dalam buku Foto Jurnalistik karya Audy Mirza yaitu, bird eye
view, high angle, low angle, eye level, dan frog eye.18
Sementara
komposisi merupakan aturan dalam menempatkan sesuatu dalam satu
frame. Dalam hal ini tidak jauh berbeda dengan komposisi dalam membuat
sesuatu. Tujuannya adalah mengarahkan mata pelihat foto untuk langsung
tertuju pada subjek yang ingin disampaikan oleh fotografer. Dalam materi
dasar fotografi komposisi terdapat beberapa jenis, yaitu aturan 1/3 atau
rule of third , diagonal, dan irisan emas atau golden section.19
6. Aliran-aliran dalam Fotofrafi
Aliran di sini bukan suatu pemaham tersendiri, melainkan jenis
fotografi yang berkembang seiring semakin canggihnya teknologi. Dalam
seminar “Basic Food Photography” yang diadakan oleh LSO Klise
Fotografi pada 23 Mei 2016, Roy Genggam selaku pembicara mengatakan,
bahwa jauh sebelum kamera digital dan berbagai software editing ada foto
yang diciptakan tidak seperti saat ini. Dulu seorang fotografer hanya
menggunakan kamera roll film sehingga imajinasi yang dihasilkan tidak
sebanyak saat ini. Sekarang apapun yang kita pikirkan bisa direalisasikan
dengan bantuan teknologi.20
18 Audy Mirza, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke
Media Massa,(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004),h.23 19 Materi dalam Komunitas Lingkar Seni Fotografi FIDIKOM 20
Seminar “Basic Food Photography” dengan pembicara Roy Genggam di Teater Aqib
Suminto FIDIKOM UIN Jakarta, 23 Mei 2016
21
Dari yang penulis kutip di laman resmi Lensculture terdapat beberapa
jenis aliran diantaranya adalah; fine art, Black and White, Portrait
Photography, Conceptual Photography, Still Life Photography, Landscape
Photography, Nature Photography, Wild Life Photography, dan Foto
Jurnalistik.21
Fine art yaitu seorang fotografer bebas berkreasi dengan
media lainnya.22
Dalam workshop di Kelas Pagi Jakarta, ada materi
MixMedia yang menggabungkan potongan-potongan gambar menjadi satu.
Selanjutnya Black and White Photography, yaitu hanya menggunakan
warna hitam dan putih. Dalam menggunakan jenis ini biasanya fotografer
memandang subjeknya sebagai sosok yang penuh dengan berbagai hal.
Roy Genggam dalam behind the scene pembuatan buku “Memotret
Pemotret” menceritakan penggunaan jenis hitam putih karna ia menilai
masih banyak hal yang belum ia ketahui mengenai subjeknya, meskipun
semuanya adalah teman atau sahabat se profesi.
Portrait photography, jenis aliran ini mengharuskan seorang
fotografer mampu menonjolkan subjek sesuai dengan karakternya.23
Conceptual photography, aliran ini bisa dilakukan untuk project pribadi
maupun bersama klien. Perlu direncanakan dengan matang dan detil agar
pesan yang ingin disampaikan dapat tersalurkan dengan baik. Still life
Photography, sebenarnya aliran ini hampir serupa dengan conceptual
karena memerlukan perencanaan yang matang. Namun, aliran ini lebih
kepada memotret benda mati dan membuatnya seperti „hidup‟ dan
membuat orang tertarik untuk melihatnya.
21 Diakses dari www.lensculture.com pada 28 Mei 2016 22 Materi dalam Kelas Pagi Jakarta 23 Materi dalam Kelas Pagi Jakarta
22
Selanjutnya ada Landscape photography, jenis aliran ini merupakan
aliran yang paling sering digunakan. Aliran ini menampilkan keindahan
pemandangan baik di darat, laut, atau udara dan aliran tidak membutuhkan
teknik tertentu sehingga siapapun dapat melakukannya. Alam atau Nature
Photography, menampilkan kejadian yang berada di alam seperti kondisi
hutan dan lainnya. Wild life Photography, memotret hewan-hewan yang
berada di alam liar. Memotret jenis aliran ini juga memerlukan kondisi
fisik yang prima, karena fotografer harus masuk ke dalam hutan dan
terkadang harus tinggal beberapa hari untuk menunggu hewan yang dicari.
Salah satu fotografer alam liar Indonesia adalah Riza Marlon. Fotografi
Jurnalistik, adalah fotografi yang berisi mengenai berita. Untuk
memperkuat foto yang ada, biasanya fotografer menambahkan caption dan
harus memenuhi unsur 5w+1h.
7. Fotografi Dokumenter
Fotografi dokumenter merupakan induk dari segala aliran fotografi
yang sudah ada sejak fotografi itu sendiri lahir, bahkan dapat dikatakan
bahwa fotografi dokumenter menempati urutan tertinggi dibandingkan
aliran lainnya.
Foto dokumenter berisi gambaran tentang realitas yang ada, menjadi
sebuah dokumen mengenai suatu perubahan. Sebagai induk dari foto
jurnalistik, dan sebagai dasar dari aliran fotografi lainnya, seni yang
dihasilkan oleh fotografi dokumenter memiliki nilai sejarah yang panjang
untuk referensi bagi karya fotografi selanjutnya.
23
Menurut Erik Prasetya dalam bukunya “On Street photography”, ada
empat unsur yang terdapat dalam foto dokumenter, yang pertama adalah
kelengkapan data subjek, hal ini menjadi sangat penting karena dengan
data tersebut foto dokumenter dapat diteliti, dipelajari, dan sebagai sumber
pengetahuan atau informasi.24
Kedua, fotografer boleh menyeting atau
menyutradarai saat proses pemotretan dengan catatan itu adalah kejadian
yang sebenarnya, maksudnya adalah ketika kita akan membuat foto
portrait (seseorang) yang bisa kita arahkan.25
Ketiga, keindahan atau
estetika foto bukan merupakan hal utama, dalam membuat foto
dokumenter hal ini memang berada diurutan teratas, karena yang
terpenting adalah alur cerita yang akan kita buat.26
Meskipun begitu
estetika juga dapat menjadi penting jika hal tersebut adalah momen atau
perisiwa yang langka. Dan yang terakhir adalah bersifat objektif, foto
dokumenter adalah menggambarkan sesuai dengan keadaan aslinya, jadi
sudah menjadi hal penting bagi fotografer untuk objektif dan tidak
memasukan unsur perasaan.27
Begitu pula foto-foto yang ada dalam buku Orangutan Rhyme and
Blues karya Regina Safri yang dikerjakannya selama berbuan-bulan.
Menceritakan kondisi orangutan yang semakin menurun populasinya,
upaya menjaga kelestariannya dan melepasliarkannya kembali ke dalam
hutan.
24 Erik Prasetya, On Street Photography, (Jakarta: KPG [Kepustakaan Populer
Gramedia], 2014), h.12 25 Erik Prasetya, On Street Photography,h.12 26 Erik Prasetya, On Street Photography,h.12 27 Erik Prasetya, On Street Photography,h.12
24
B. Pengertian Semiotika
Semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia.28
Artinya, semua yang hadir yang dapat dimaknai oleh manusia yang
melihatnya. Sedangkan yang biasanya didefinisikan sebagai pengkajian
tanda-tanda (the study of signs), pada dasarnya merupakan sebuah studi atas
kode-kode, yaitu sistem apa pun yang memungkinkan kita memandang
entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang
bermakna (Scholes, 1982: ix).29
Tanda yang dimaksud bisa dalam tanda yang
dibuat oleh manusia, dimana terdapat unsur budaya ataupun kebudayaan di
dalamnya.
Yang dimaksud dengan tanda itu sendiri menurut Little John adalah
pondasi dari seluruh komunikasi, karena dengan adanya tanda manusia dapat
berkomunikasi atau menyampaikan pesan apa yang ingin disampaikan.30
Sebagai contoh dalam sebuah perayaan, biasanya panitia menyediakan atau
membuat sebuah poster yang di dalamnya terdapat waktu dan tempat
dilaksanakannya perayaan tersebut. Tujuannya tidak lain agar mereka yang
melihat dan membacanya dapat berpartisipasi.
Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani Semion
yang berarti tanda.31
Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas
dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili
sesuatu yang lain. Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai
28
Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, (Depok: Komunitas Bambu,
2014), h.3 29 Kris Budiman, Semiotika Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), h.3 30 Indiawan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi, (Jakarta: Mitra Wacana
Media,2011), h.6 31 Alex Sobur, "Analisis Teks Media", (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h. 95
25
ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa,
seluruh kebudayaan sebagai tanda.32
Terdapat pengertian atau pemahaman dari beberapa ahli mengenai
semiotika, diantaranya adalah Charles Sander Pierce, Ferdinand de Saussure,
dan Roland Barthes yang secara eksplisit akan peneliti gunakan kerangka
berpikirnya dalam penelititan ini.
Istilah semiotika (semiotics) merujuk pada sebuah nama yaitu Charles
Sander Pierce.33
Menurutnya, penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat
tanda. Tanda tersebut merupakan sesuatu yang diwakilkan oleh sesuatu.
Pierce mengembangakan tiga bagian tanda, yaitu ikon, index, dan simbol.34
ketiga bagian tanda yang biasa disebut Trikotomi ini juga memiliki
perbedaan. Ikon adalah sesuatu yang bukan selalu meliliki arti sebenarnya
atau berupa perumpamaan, indeks adalah tanda dalam kehidupan sehari-hari
yang kadang kegunaannya atau maksudnya adalah mengatur atau memberi
tahu sesuatu, contohnya lampu merah yang mengahruskan setiap pengendara
berhenti. Sedangkan simbol adalah tanda yang keberadaannya diakui oleh
hukum dan digunakan untuk berkomunikasi seperti bahasa tulisan.35
Selanjutnya, istilah semiologi merujuk pada nama lain yakni Ferdinand
de Saussure. Menurut Saussure dalam Hidayat,36
semiologi didasarkan pada
anggapan bahwa perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau
32 Alex Sobur, "Analisis Teks Media,h. 95 33 Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2012), h.11 34 Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual,h.14 35 Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual,h.14 36 Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual,h.11
26
selama berfungsi sebagai tanda, di belakangnya harus ada sistem pembedaan
dan konvensi yang memungkinkan makna itu ada.
Penamaan semiotika atau semiologi pada dasarnya sama saja, karena
keduanya digunakan dalam mengkaji ilmu tentang tanda. Begitupun para ahli
yang tidak mau dipusingkan dengan perbedaan istilah tersebut, karena
menurut mereka keduanya memang sama saja. Meskipun begitu menurut
Hawkes dalam Sobur,37
satu-satunya perbedaan istilah tersebut karena
semiologi umumnya digunakan oleh masyarakat Eropa, sedangkan semiotika
cenderung digunakan oleh mereka yang berbahasa Inggris.
Pada dasarnya analisis semiotika merupakan sebuah ikhtisar untuk
merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang perlu ditanyakan lebih lanjut
ketika membaca teks atau narasi wacana tertentu. Analisisnya bersifat
paradigmatic dalam arti berupaya menemukan makna termasuk dari hal-hal
yang tersembunyi dibalik sebuah teks.38
C. Semiotika Roland Barthes
Kancah penelitian semiotika tidak bisa begitu saja melepaskan nama
Roland Barthes. Pria yang lahir pada tahun 1915 di Cherbourg dan dibesarkan
di Bayonne, sebuah kota kecil di sebelah barat daya Perancis, adalah seorang
pemikir strukturalis yang menjadikan gambar sebagai kajian semiotiknya.
Barthes secara khusus membahas semiotika dalam fotografi. Inti dari
pemikirannya adalah adanya dua tahapan dalam signifikasi karya fotografi.
37
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,2009),h.12 38
Indiawan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi, h.5
27
Signifikasi tahapan yang pertama adalah denotasi, yaitu relasi antara penanda
dan petanda. Sedangkan signifikasi tahap kedua adalah konotasi.39
Denotasi merupakan tingkat pertandaan yang menjelaskan antara penanda
dan petanda pada kenyataan, yang menghasilkan makna yang tepat dan
pasti.40
Denotasi merupakan tingkat pemaknaan pertama yang deskriptif,
yang dapat dipahami secara langsung tanpa perlu adanya penafsiran lebih
jauh.
Tingkat pemaknaan kedua dalam semiotika Barthes adalah konotasi, pada
tingkat ini mejelaskan hubungan penanda dan petanda yang memiliki sifat
rahasia atau tersembunyi.41
Pemaknaan dalam tingkatan ini tercipta dengan
menghubungkan penanda dan petanda pada aspek kebudayaan yang lebih
luas. Dengan kata lain konotasi tidak langsung menghasilkan makna yang
tepat dan pasti.
Denotasi dan konotasi tidak bisa dilihat secara terpisah atau berdiri sendiri.
Sebuah tanda yang kita lihat pasti suatu denotasi. Makna denotasi adalah apa
yang terlihat dalam gambar, dengan kata lain gambar dengan sendirinya
memunculkan denotasi.42
Selain pemaknaan denotasi dan konotasi, dalam kajian semiotika Barthes
terdapat pemaknaan yang disebut mitos. menurut Barthes mitos merupakan
cara berfikir dari sebuah kebudayaan tentang sesuatu atau cara memahami
39 Indiawan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi, h.5 40 Indiawan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi, h.5 41 Indiawan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi, h.6 42
Aida Islamie, “Analisis Semiotik Foto Daily Life Stories Pada Word Press Photo
2009”, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwan dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Jakarta,
2009),h.28
28
sesuatu.43
Mitos dapat membantu kita dalam memaknai pengalaman yang
telah kita alami dalam konteks budaya tertentu.
Dijelaskan oleh Sunardi, bahwa dalam “The Photographic Message”
Barthes mengajukan tiga tahap dalam membaca foto yaitu, perseptif, kognitif,
dan etis-ideologis.44
a. Perseptif terjadi ketika seseorang mencoba melakukan transformasi
gambar ke kategori verbal. Konotasi perspektif tidak lain adalah
imajinasi sintagmatik yang pada dasarnya bersifat perspektif.
b. Kognitif dilakukan dengan cara mengumpulkan dan menghubungkan
unsur-unsur “historis” dari analogon (denotasi). Ini konotasi yang
dibangun atas dasar imajinasi paradigmatik.
c. Etis-ideologis adalah mengumpulkan berbagai signifier (petanda) yang
siap “dikalimatkan”
Terdapat tiga aspek fotografi menurut Barthes, yang pertama adalah sang
pemotret atau operator, yang kedua adalah seorang yang melihat foto atau
spectra, dan yang ketiga adalah apa saja yang terdapat di dalam foto atau
disebut spectrum.45
Dari apa yang diungkapkan oleh Barthes, dapat
dimungkinkan terjadinya perbedaan dalam menafsirkan sebuah foto. Hal ini
terjadi karena adanya perbedaan pengalaman antara sang pemotrer dengan
orang yang melihat foto.
43 St. Sunardi, Semiotika Negativa, (Yogyakarta: Penerbit Buku Baik Yogyakarta,2002),
h.147 44 St. Sunardi, Semiotika Negativa,h.148 45
Roland Barthes, Camera Lucida Reflection on Photography, (New York: Hill and
Wang, 2010), h.9
29
Barthes menambahkan ada dua hal yang berkaitan dengan pemandang
foto, pertama adalah studium yaitu kesan secara keseluruhan yang
memutuskan apakah ia suka dengan foto tersebut atau tidak, bagus atau tidak
bagus, bersifat sejarah atau politik. Kemudian yang kedua punctum yaitu
bagian dari detil foto yang membuat pemandang foto tertarik untuk
mengamati terus-menerus.46
Penulis dalam penelitian ini merumuskan bagaimana pembacaan terhadap
foto yang telah penulis pilih dalam buku Orangutan Rhyme and Blues. Untuk
menjelaskan hal tersebut, penulis menggunakan enam prosedur konotasi yang
dipaparkan Barthes yaitu, trick effects, pose, object, photogenia, aestheticism,
dan syntax.47
Keenam prosedur tersebut nantinya akan dijelaskan dan
digunakan dalam bab empat skripsi ini.
46
Roland Barthes, Camera Lucida Reflection on Photography, h.43 47
Kris Budiman, Semiotika Visual, h.70
30
BAB III
BUKU ORANGUTAN RHYME AND BLUES
A. Profil Buku Orangutan Rhyme and Blues
Berawal dari kegemarannya memotret binatang setelah penat
dengan aktivitas jurnalistiknya, ia memutuskan untuk meliput orangutan di
Kalimantan.1 Adalah Regina Septiarini Safri sosok dibalik buku yang
bercerita mengenai orangutan ini. Wanita yang akrab disapa Rere ini lahir
di Jakarta pada 23 September 1983. Orangtuanya berasal dari Padang
Sumatera Barat dan pindah ke Cilacap Jawa tengah, ketika ia berusia
empat tahun. Wanita yang bergerak mendukung keberadaan orangutan ini
adalah fotografer yang begitu ramah. Regina merupakan lulusan dari UPN
Veteran Yogyakarta jurusan Public Relation.
Sebelumnya Regina Safri memang tidak memiliki latar belakang
sebagai seorang jurnalis. Namun, ketertarikannya dalam bidang fotografi
begitu kuat sehingga membuatnya rajin untuk mencatat angle-angle yang
ia lihat di televisi berita, dan koran. Selain itu ia juga rajin mengunjungi
pameran foto maupun lukisan.
Tak hanya sampai di situ, Regina Safri juga terus belajar dengan
memotret dan mengirimkannya ke koran-koran lokal di Yogyakarta.
Regina safri mengatakan ada kepuasan tersendiri ketika menjadi jurnalis
foto, salah satunya adalah dapat menyampaikan aspirasi “orang kecil”.2
1 Wawancara Pribadi dengan Regina Safri pada 16 Maret 2016 2 Wawancara Pribadi dengan Regina Safri pada 16 Maret 2016
31
Hingga pada tahun 2005 Regina Safri lulus dari kuliahnya dan menjadi
perwakilan di kantor berita ANTARA biro Yogyakarta sampai sekarang3.
Rere dikenal sebagai aktivis yang peduli akan keberadaan
orangutan akibat eksploitasi berlebihan terhadap habitat asli orangutan
untuk kepentingan ekonomi. Rere melakukan proyek pribadinya ini
dengan masuk ke pedalaman Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur
atas pembiayaan sendiri dengan menyisihkan pendapatan serta menjual
beberapa barang berharganya.
Di sana Rere bergabung dengan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) bersama para
relawan lainnya.4 Pada awalnya Rere hanya berniat untuk memotret
kondisi orangutan saja, namun setelah sampai di sana Rere tersentuh
melihat kondisi orangutan dan berniat melakukan sesuatu semampuya.
Perjalanannya dimulai pada akhir tahun 2011 hingga pertengahan
tahun 2012. Selama proses pengumpulan materi foto, Rere belajar banyak
hal mengenai orangutan, hutan dan lainnya. Orangutan sangat berperan
penting bagi kehidupan manusia, kelestaritan hutan dan lingkungan.
Buku Orangutan Rhyme and Blues ini adalah hasil dari jerih
payahnya melintasi Jawa-Kalimantan selama berbulan-bulan. Buku yang
menggambarkan kondisi Orangutan di Indonesia setelah semakin
berkurangnya habitat asli mereka. buku ini diterbitkan di Galeri Foto
Jurnalistik Antara (GFJA) pada tahun 2012, yang dikuratori oleh Oscar
3 Wawancara Pribadi dengan Regina Safri pada 16 Maret 2016 4 Borneo Orangutan Survival Foundation adalah organisasi non-profit di Indoneisa yang
didedikasikan untuk konservasi orangutan borneo dan habitatnya. Lebih lengkap dapat dilihat di
www.orangutan.or.id
32
Matulloh. Dalam peluncuran buku ini Rere sekaligus membuat pameran di
beberapa tempat, seperti di Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA), House
of Sampoerna di Surabaya, dan di Bentara Budaya Yogyakarta pada akhir
Januari 2013 lalu.
Dengan diluncurkannya buku ini, Rere juga mengemban misi
untuk mampu meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai kondisi
orangutan dan hutan kalimantan. Rere juga tengah menjajaki untuk
menyebarluaskan hal ini ke sekolah-sekolah agar mereka tahu bahwa
kerusakan hutan atau kepunahan orangutan dapat berdampak bagi
kehidupan masyarakat pulau jawa.
B. Hewan-hewan yang terancam punah di Indonesia
Sebagai negara kepulauan, Indonesia menjadi salah satu negara
dengan keanekaragaman tertinggi setelah Brazil. Dari wilayah Sabang
hingga Merauke sedikitnya terdapat 10 persen spesies tumbuhan, 12
persen hewan menyusui (mamalia), 16 persen dari segala jenis reptil dan
amfibi, sementara itu 17 persen adalah spesies burung, dan lebih dari 25
persen adalah spesies ikan.5
Namun, marakanya perburuan liar serta eksploitasi besar-besaran
yang dilakukan masyarakat membuat beberapa spesies mulai langka dan
bahkan terancam mengalami kepunahan. Sedikitnya ada lima jenis spesies
di Indonesia terancam punah yang penulis kutip dari artikel World Wide
5 Regina Safri, Orangutan Rhyme and Blues, h.121
33
Fund for Nature (WWF) Indonesia, di antaranya; harimau Sumatera, gajah
Sumatera, badak Sumatera, badak Jawa, dan orangutan.6
Harimau Sumatera yang kondisi habitatnya saat ini terancam
punah, disebabkan oleh maraknya perburuan liar, dan berkurangnya
jumlah spesies mangsa.7 Tidak hanya itu, dari hasil catatan TRAFFIC
8
pada tahun 2008, penyebab lain dari menurunnya jumlah populasi harimau
Sumatera adalah adanya pasar ilegal yang kemudian menjadi pasar terbuka
di Sumatera untuk menjual bagian tubuh harimau.9 Dalam kurun waktu
empat tahun (1998-2002), sedikitnya ada 50 ekor harimau yang
diperjualbelikan setiap tahunnya.10
Hal lain yang juga mendorong berkurangnya populasi harimau
Sumatera tentunya pembukaan lahan menjadi pertanian, pembalakan, dan
pembuatan jalan.11
Dari hal tersebut harimau kehilangan tempat tinggal
dan terpaksa memasuki pemukiman warga. Akibatnya warga yang tidak
sengaja berjumpa merasa terancam dengan kehadiran harimau, dan mau
tidak mau warga terpaksa menangkap atau membununhnya.12
Sementara
itu provinsi Riau yang menjadi rumah dari sepertiga populasi harimau
Sumatera, dalam 25 tahun terakhir jumlahnya menurun hingga 70 persen
dan saat ini diperkirakan hanya tersisa 192 ekor saja.13
6 Diakses dari http://www.wwf.or.id/program/spesies/, pada 16 April 2016 7 Diakses dari http://www.wwf.or.id/program/spesies/, pada 16 April 2016 8 Traffic adalah sebuah progam kerja sama antara World Wide Fund for Nature (WWF)
dengan lembaga konservasi dunia, International Union for Conservation of Nation (IUCN) 9 Diakses dari http://www.wwf.or.id/program/spesies/, pada 16 April 2016 10 Diakses dari http://www.wwf.or.id/program/spesies/, pada 16 April 2016 11 Diakses dari http://www.wwf.or.id/program/spesies/, pada 16 April 2016 12 Diakses dari http://www.wwf.or.id/program/spesies/, pada 16 April 2016 13 Diakses dari http://www.wwf.or.id/program/spesies/, pada 16 April 2016
34
Kasus lainnya seperti yang terjadi di Medan, Sumatera Utara pada
27 agustus 2017 lalu. Seekor harimau betina dengan ukuran panjang tubuh
198 centimeter dan tinggi 86 centimeter, disita oleh Balai Besar Taman
Nasional Gunung Leuser (TNGL) dalam kondisi mati.14
Penyitaan ini
dilakukan oleh pihak TNGL kepada seorang warga Langkat.
Gajah Sumatera yang dalam seperempat abad ini habitatnya
berkurang sebesar 70 persen, serta lebih dari separuh populasinya
berkurang.15
Di provinsi Riau, sebesar 84 persen populasi gajah Sumatera
mengalami penurunan yang menyisakan 210 ekor pada tahun 2007.16
Ancaman utama yang dihadapi oleh gajah Sumatera adalah pembalakan
liar, perburuan, perdagangan liar, serta perubahan hutan menjadi ladang
kelapa sawit dan kertas dalam jumlah besar.17
Hal tersebut menjadikan
hilangnya populasi gajah Sumatera.
Kegiatan penebangan kayu atau deforestasi di pulau Sumatera
merupakan yang paling parah di dunia.18
Di mana hal ini mengurangi
jumlah gajah lebih cepat dari jumlah hutannya. Laju industri kertas dan
kelapa sawit merupakan alasan terkuat dari menurunnya jumlah populasi
gajah Sumatera.19
Hal tersebut karena pohon kelapa sawit muda adalah
makanan favorit bagi gajah Sumatera, dari situlah terjadi kerusakan
tanaman sawit yang kemudian menimbulkan konflik antara manusia dan
14
Diakses dari https://news.detik.com/berita/d-3618646/harimau-sumatera-mati-
pemburunya-ditangkap-di-langkat, pada 8 Desember 2017 15 Diakses dari http://www.wwf.or.id/program/spesies/, pada 16 April 2016 16 Diakses dari http://www.wwf.or.id/program/spesies/, pada 16 April 2016 17 Diakses dari http://www.wwf.or.id/program/spesies/, pada 16 April 2016 18 Diakses dari http://www.wwf.or.id/program/spesies/, pada 16 April 2016 19 Diakses dari http://www.wwf.or.id/program/spesies/, pada 16 April 2016
35
gajah.20
Mereka yang selalu dianggap sebagai „hama‟ akhirnya dibunuh
agar tidak ada lagi yang merusak perkebunan.21
Hal menarik diungkapkan oleh Drajat Dwi Hartono, seksi
pengawetan insitu Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA),
mengatakan bahwa satwa memiliki jalur jelajahnya sendiri termasuk
gajah.22
Di mana dalam setahun gajah mampu mengelilingi suatu wilayah
dan akan kembali ke tempat dan jalur yang sama dengan insting
alamiahnya. Meskipun wilayah tersebut sudah menjadi pemukiman
ataupun perkebunan, gajah akan tetap kembali karena itu adalah jalurnya.
Karena itu pula sering terjadi konflik manusia dengan gajah.
Selain itu Dwi juga mengatakan bahwa hutan bukan dirubah
menjadi perkebunan, melainkan menggunakan sistim pinjam-pakai.23
Keuntungan yang didapat diantaranya ada reboisasi, mengalokasikan dana
untuk kegiatan konservasi, juga mengalokasikan lahan jika dalam wilayah
tersebut terdapat tumbuhan yang dijaga agar lahan tersebut tidak dibuka.
Adalah badak Sumatera yang merupakan satu-satunya badak
dengan dua cula di Asia.24
Panjang cula depan yang dimiliki badak
Sumatera antara 25-80cm, sedangkan panjang cula belakang hanya
berkisar 10cm.25
Sementara itu untuk ukuran tubuh, badak Sumatera
dewasa memiliki panjang 2-3 meter, tinggi 1-1,5 meter dengan berat
20 Diakses dari http://www.wwf.or.id/program/spesies/, pada 16 April 2016 21 Diakses dari http://www.wwf.or.id/program/spesies/, pada 16 April 2016 22 Wawancara Pribadi dengan Drajat Dwi hartono pada 27 Maret 2017 23
Wawancara Pribadi dengan Drajat Dwi Hartono 24 Diakses dari http://www.wwf.or.id/program/spesies/, pada 16 April 2016 25 Diakses dari http://www.wwf.or.id/program/spesies/, pada 16 April 2016
36
sekitar 800-950 kilogram.26
Tidak heran jika badak Sumatera merupakan
badak dengan ukuran terkecil dari seluruh spesies badak di seluruh
dunia.27
Dari Strategi dan Rencana Aksi Kelestarian (STRAK) Departemen
Kehutanan di tahun 2007, populasi badak Sumatera diperkirakan hanya
tersisa 300 ekor saja.28
Meskipun begitu ada indikasi bahwa hal tersebut
bisa lebih rendah dari apa yang sudah diperkirakan, para ahli juga
menyebutkan tidak lebih dari 75 ekor badak Sumatera yang terdapat dalam
satu wilayah jelajahnya.29
Masalah yang dihadapi oleh badak Sumatera tidak jauh berbeda
dengan dua hewan sebelumnya. Utamanya adalah berkurangnya habitat
asli mereka dan perburuan liar. Badak Sumatera yang diburu akan diambil
culanya, dan bagian lainnya.30
Cula badak Sumatera sudah lama diperjual
belikan karena akan dijadikan obat tradisional.31
Akibat dari rusaknya
hutan, banyak dari mereka yang keluar hutan dan masuk ke pemukiman
warga untuk mencari makan. Sementara itu, ancaman yang terdapat di
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan adalah adanya alih fungsi hutan
menjadi perkebunan kopi dan jenis lainnya.32
Badak Jawa yang statusnya sudah dilindungi sejak tahun 1931
memiliki nasib yang serupa dengan badak Sumatera.33
Meskipun sudah
26 Diakses dari http://www.wwf.or.id/program/spesies/, pada 16 April 2016 27 Diakses dari http://www.wwf.or.id/program/spesies/, pada 16 April 2016 28 Diakses dari http://www.wwf.or.id/program/spesies/, pada 16 April 2016 29 Diakses dari http://www.wwf.or.id/program/spesies/, pada 16 April 2016 30 Diakses dari http://www.wwf.or.id/program/spesies/, pada 16 April 2016 31 Diakses dari http://www.wwf.or.id/program/spesies/, pada 16 April 2016 32 Diakses dari http://www.wwf.or.id/program/spesies/, pada 16 April 2016 33 Diakses dari http://www.wwf.or.id/program/spesies/, pada 16 April 2016
37
didukung dengan dijadikannya Ujung Kulon sebagai Taman Nasional,
mamalia besar ini hanya terdapat 50 ekor di alam liar dan menjadikannya
berada diambang kepunahan.34
Lembaga konservasi dunia IUCN, bahkan sudah memasukan badak
jawa ke dalam daftar spesies yang hampir punah.35
Mamalia yang mampu
hidup di ketinggian 3000 meter di atas permukaan laut ini, pada tahun
1960-an tersisa 20-30 ekor di Taman Nasional.36
Meski demikian pada
tahun 1967-1978 populasi badak Jawa mengalami peningkatan dua kali
lipat.37
Dan di akhir tahun 70-an populasinya cenderung stabil dengan
pertumbuhan sebesar satu persen setiap tahunnya, hal tersebut tidak lepas
dari perlindungan yang ketat.38
Berbeda dengan tiga spesies sebelumnya,
ancaman yang dihadapi oleh badak Jawa bukan melulu soal perburuan liar,
hal ini karena sudah tidak ada lagi kegiatan tersebut pada tahun 1990-an
akibat penegakkan hukum secara efektif yang dilakukan oleh pengelola
Taman Nasional Ujung Kulon.39
Ancaman bagi badak Jawa adalah sedikitnya keragaman genetis.40
Dari sedikitnya jenis genetis tersebut membuat badak Jawa tidak kuat
dalam menghadapi wabah penyakit, juga dalam menghadapi bencana alam
seperti gunung meletus dan gampa bumi.41
Namun demikian, masalah
sama yang dihadapi badak Jawa adalah pembukaan lahan atau berubahnya
34 Diakses dari http://www.wwf.or.id/program/spesies/, pada 16 April 2016 35
Diakses dari http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2017/02/26/badak-jawa-mamalia-
paling-langka-di-dunia-ada-di-taman-ujung-kulon-394550, pada 8 Desember 2017 36 Diakses dari http://www.wwf.or.id/program/spesies/, pada 16 April 2016 37 Diakses dari http://www.wwf.or.id/program/spesies/, pada 16 April 2016 38 Diakses dari http://www.wwf.or.id/program/spesies/, pada 16 April 2016 39 Diakses dari http://www.wwf.or.id/program/spesies/, pada 16 April 2016 40 Diakses dari http://www.wwf.or.id/program/spesies/, pada 16 April 2016 41 Diakses dari http://www.wwf.or.id/program/spesies/, pada 16 April 2016
38
hutan menjadi pemukiman, yang mengakibatkan semakin sedikit dan kian
hilangnya tempat tinggal mereka.42
Dengan terancamnya status dari badak jawa ini, setidaknya cukup
memilukan khusunya untuk masyarakat sunda. Sebagaimana yang kita
ketahui bahwa terdapat sebuah tempat bernama Ranca Badak (kubangan
badak) yang saat ini menjadi rumah sakit Hasan Sadikin Bandung.43
Nama
tersebut sudah begitu melekat bagi masyarakat Sunda, bahkan sampai saat
ini patung badak bercula satu pun masih berdiri di Balai Kota Bandung.44
Dari wawancara yang peneliti lakukan oleh Novi Hardianto
(WWF), hewan-hewan yang diburu sebagian besar akan dijadikan sebagai
hewan peliharaan.45
Seperti jenis primata yaitu, orangutan, siamang,
kukang dan kera ekor panjang. Selain itu, bagian tubuh hewan-hewan yang
diburu seperti gading gajah, dan cula badak, nantinya akan dikirim ke
China sebagai bahan obat tradisional atau lebih dikenal Traditional China
Medicine (TCM).46
Mitos yang kuat di Indonesia pun memiiki andil yang cukup besar,
Novi mengatakan biasanya para pemburu mengambil taring harimau
kemudian dibalut dengan emas yang nantinya akan dijadikan kalung atau
gelang sebagai jimat.47
Lain halnya dengan gading gajah, bagian tubuh
mamalia ini dapat dijadikan bermacam-macam kreasi souvenir yang
42 Diakses dari http://www.wwf.or.id/program/spesies/, pada 16 April 2016 43
Diakses dari http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2017/02/26/badak-jawa-mamalia-
paling-langka-di-dunia-ada-di-taman-ujung-kulon-394550, pada 8 Desember 2017 44 Diakses dari http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2017/02/26/badak-jawa-mamalia-
paling-langka-di-dunia-ada-di-taman-ujung-kulon-394550, pada 8 Desember 2017 45 Wawancara Pribadi dengan Novi Hardianto pada 10 Mei 2016 46 Wawancara Pribadi dengan Novi Hardianto pada 10 Mei 2016 47 WawancaraPribadi dengan Novi Hardianto pada 10 Mei 2016
39
bernilai jual tinggi, seperti dijadikan kaki meja, sisir, diukir menjadi pipa,
maupun tuts piano.48
Di luar itu, Novi juga menyinggung tentang fungsi adanya kebun
binatang.49
Di dunia terdapat dua lembaga konservasi, yaitu Insitu dan
Eksitu.50
Insitu merupakan habitat asli dari hewan-hewan tersebut seperti
Taman Nasional, dan Suaka Marga Satwa. Sedangkan mini zoo, taman
satwa, dan kebun binatang termasuk dalam lembaga konservasi Eksitu
yaitu berada di luar dari habitat aslinya. Fungsinya sendiri sebagai sarana
edukasi bagi masyarakat. sayangnya, dibeberapa kasus kebun binatang,
management lalai akan kesejahteraan binatang yang ada di dalamnya.
Seperti tidak memberikan tempat yang layak, pengaturan suhu seperti di
habitat aslinya dan sebagainya.
Kebun binatang ternyata juga bisa menjadi gerbang kasus jual beli
hewan-hewan dilindungi.51
Hal ini menjadi lebih mencengangkan karena
yang menjual adalah dokter hewan itu sendiri.52
Bagaimana tidak, jika kita
ambil contoh cula badak, Novi mengatakan bahwa harga cula badak untuk
setiap gram mencapai angka 25 juta. Bisa dibayangkan seseorang yang
menjual satu cula badak sudah mampu membeli sebuah mobil mewah.
48 Wawancara Pribadi dengan Novi Hardianto pada 10 Mei 2016 49
Wawancara Pribadi dengan Novi Hardianto pada 10 Mei 2016 50 Wawancara Pribadi dengan Novi Hardianto pada 10 Mei 2016 51 Wawancara Pribadi dengan Novi Hardianto pada 10 Mei 2016 52 Wawancara Pribadi dengan Novi Hardianto pada 10 Mei 2016
40
Bahkan dalam pelelangan cula badak secara online, harga cula badak
menembus angka 800 juta per kilogram.53
Undang-undang No.5 tahun 1990 menjadi celah bagi orang-orang
yang ingin menyelamatkan satwa-satwa tersebut. Dalam UU dikatakan
bahwa hukuman bagi pemburu yaitu kurungan selama lima tahun dan
denda 100 juta. Namun, dalam prakteknya jika dirata-rata hukuman yang
ada hanya dua setengah tahun, bahkan bisa hanya delapan bulan
kurungan.54
C. Kondisi Orangutan
Menyambung dari artikel yang dipaparkan oleh WWF, pada sub-
bab ini penulis akan menjelaskan kondisi orangutan di Indonesia.
Orangutan merupakan kera terbesar yang berada di Asia, di mana
penyebarannya 80 persen berada di Sumatera dan Kalimantan. Ancaman
kepunahan pun melekat seperti keempat jenis hewan yang sudah
disebutkan di atas, maka tidak heran jika mamalia besar ini menjadi pusat
perhatian dunia.
Dari artikel yang ditulis oleh Sapariah Saturi berjudul “Populasi
Makin Terancam, Ayo Selamatkan Orangutan..” disebutkan, bahwa
orangutan yang berada di Sumatera dan Kalimantan kondisinya sangat
mengkhawatirkan.55
Tercatat populasi orangutan Sumatera dari tahun
1992-2000 menurun sekitar 50 persen, dengan perkiraan tersisa kurang
53
Diakses dari http://www.kompas.com/internasional/read/2017/08/21/08492541/harga-
rp-800-juta-per-kg-lelang-online-cula-badak-tak-terbendung, pada 8 Desember 2017 54 Wawancara Pribadi dengan Novi Hardianto pada 10 Mei 2016 55
Diakses dari http://www.mongabay.co.id/2013/08/11/populasi-makin-terancam-ayo-
selamatkan-orangutan/, pada 1 Februari 2016
41
lenih 7.000 ekor yang berada di alam bebas.56
Sementara itu prediksi yang
ditulis dari SOCP tersisa sekitar 6.000 ekor pada tahun 2012.57
Sama
halnya dengan orangutan Sumatera, orangutan Kalimantan juga diprediksi
berkurang di angka 43 persen dari sekitar 45.000 ekor di alam bebas.58
Penyusutan jumlah populasi orangutan serta kerusakan hutan yang
terjadi di Sumatera dan Kalimantan selama 10 tahun terakhir, akan
membawa dampak ekologis yang besar bagi masyarakat. pernyataan
tersebut dijelaskan dalam Strategi dan Rencana Aksi Kelestarian di laman
Forina.59
Rusaknya kawasan hutan ini sedikitnya mengurangi habitat
orangutan 1-1,5 persen setiap tahunnya di pulau Sumatera. Sementara
untuk pulau Kalimantan penurunan jumlah habitatnya lebih tinggi yaitu
sebesar 1,5-2 persen setiap tahunnya. Ancaman perburuan untuk dijadikan
hewan peliharaan serta menjadi bahan makanan bagi sebagian masyarakat
juga turut memperburuk kondisi orangutan. Dengan kondisi yang
mengkhawatirkan pada tahun 2007 IUCN menempatkan orangutan
Sumatera ke dalam kategori sangat terancam punah (critically
endangered). Berbeda dengan orangutan Sumatera, orangutan Kalimantan
masuk ke dalam kategori terancam punah (endangered). Meskipun begitu
hal tersebut bukan jaminan bahwa masa depan orangutan Kalimantan lebih
baik dari orangutan Sumatera. Hanya dengan aksi nyata dari pemerintah
56
Diakses dari http://www.mongabay.co.id/2013/08/11/populasi-makin-terancam-ayo-
selamatkan-orangutan/, pada 1 Februari 2016 57 Diakses dari http://www.mongabay.co.id/2013/08/11/populasi-makin-terancam-ayo-
selamatkan-orangutan/, pada 1 Februari 2016 58 Diakses dari http://www.mongabay.co.id/2013/08/11/populasi-makin-terancam-ayo-selamatkan-
orangutan/, pada 1 Februari 2016 59 FORINA adalah salah satu forum yang berupaya untuk menjaga kelestarian orangutan.
Lebih lengkap dapat dilihat di www.forina.or.id
42
dan kesadaran dari masyarakat untuk menyelamatkan kera besar di Asia
dari ancaman kepunahan di kedua pulau tersebut.
Jenis hutan seperti hutan rawa air tawar, rawa gambut, perbukitan,
hutan pegunungan, daerah aliran sungai dan dataran rendah merupakan
tempat yang mampu disinggahi orangutan. Untuk orangutan Kalimantan
dapat dijumpai pada ketinggian 500 meter di atas permukaan laut.
Sementara orangutan Sumatera dapat mencapai ketinggian 1.000 meter di
atas permukaan laut.60
Dalam beberapa kesempatan pejantan orangutan
Sumatera mampu mencapai ketinggian 1.500 meter di atas permukaan
laut. Sayangnya sebagian besar populasinya berada di dataran rendah
seperti hutan rawa, yang mana jenis hutan seperti itulah yang menjadi
sasaran industri baik kehutanan maupun pertanian.61
Sehingga tidak
mengherankan jika sering terjadi konflik antara manusia dan orangutan.
Upaya konservasi orangutan tidak hanya dilakukan oleh organisasi
atau kelompok-kelompok tertentu saja. Hadirnya kebun binatang dan
Taman Safari Indonesia di Cisarua, Bogor diharapkan juga turut
membantu kelestarian orangutan. Selain memang dijadikan sebagai objek
wisata keluarga, kedua lembaga yang termasuk dalam kelompok Eksitu
tersebut juga dimanfaatkan sebagai sarana edukasi bagi masyarakat.
Taman margasatwa Ragunan pada laman Forina memiliki jumlah
orangutan Kalimantan terbanyak, yaitu 23 ekor jantan dan 20 ekor
betina.62
Berbeda dengan di Taman Safari Indonesia yang hanya memiliki
60 Diakses dari www.forina.or.id, pada 10 Juni 2016 61 Diakses dari www.forina.or.id, pada 10 Juni 2016 62 Diakses dari www.forina.or.id, pada 10 Juni 2016
43
13 ekor jantan dan 15 ekor betina.63
Sedangkan untuk orangutan Sumatera,
Taman Margasatwa Ragunan baik jantan dan betina masing-masing hanya
terdapat dua ekor saja.64
Sementara di Taman Safri Indonesia memiliki
empat ekor jantan dan enam ekor betina.65
Ancaman terbesar bagi orangutan Sumatera dan Kalimantan adalah
pembukaan lahan hutan dalam skala besar.66
Bukan hanya orangutan yang
terkena dampaknya, tetapi juga termasuk ekosistem yang berada di
dalamnya. Semua itu terjadi akibat serakahnya para pengepul materi yang
dengan sengaja merusak tanpa memikirkan lingkungan sekitarnya. Selama
kurun waktu 10 tahun (1980-1990), Forina mencatat hutan di Indonesia
telah berkurang atau beralih fungsi menjadi pertanian, perkebunan, dan
pemukiman.67
Selain itu, kebakaran hutan dan praktek pengusahaan hutan
yang tidak berkelanjutan juga turut memberi andil. Banyak pihak menilai
bahwa laju deforestasi di Indonesia juga terjadi akibat pengembangan
otonomi daerah dan penerapan desentralisasi atau penyerahan wewenang
dari pusat ke daerah di tahun 1998.68
Selain itu pemerintah daerah juga
memberi atau mengeluarkan izin usaha pemanfaatan kayu dan
pembangunan perkebunan, yang mana hal tersebut tentunya berdampak
bagi upaya konservasi orangutan.69
Secara lebih rinci, Forina menjelaskan ancaman yang dihadapi oleh
orangutan serta upaya untuk mengatasinya, di antaranya; tekanan populasi
63 Diakses dari www.forina.or.id, pada 10 Juni 2016 64 Diakses dari www.forina.or.id, pada 10 Juni 2016 65 Diakses dari www.forina.or.id, pada 10 Juni 2016 66 Diakses dari www.forina.or.id, pada 10 Juni 2016 67 Diakses dari www.forina.or.id, pada 10 Juni 2016 68 Diakses dari www.forina.or.id, pada 10 Juni 2016 69 Diakses dari www.forina.or.id, pada 10 Juni 2016
44
penduduk, perubahan landuse atau tata guna lahan, kebakaran hutan,
pertambangan, penegakan hukum yang masih lemah, penebangan hutan,
dan perburuan atau perdagangan illegal.70
Dengan masuk dalam tingkat ancaman sedang, tekanan populasi
penduduk memiliki dampak pada degradasi sumberdaya.71
Hal tersebut
menjadikan perburuan, meningkatnya erosi, serta gangguan hidrologi
menjadi faktor punahnya spesies.72
Untuk itu pencegahan adanya migrasi
ke Taman Nasional sudah mulai dilakukan, juga membatasi atau mengatur
tentang pemanfaatan sumberdaya.73
Tingkat ancaman tinggi terjadi pada perubahan tata guna lahan,
karena ancamannya adalah rusaknya atau penurunan sumberdaya,
hiangnya fungsi hutan, sampai pada punahnya spesies.74
Oleh karena itu
larangan merubah lahan yang menjadi habitat orangutan sudah dilakukan,
juga mencarikan atau menyediakan mata pencaharian alternatif.75
Di sisi
lain juga mendorong agar membuat peraturan daerah tentang orangutan
yang salah satunya untuk membangun tempat konservasi di area
penggunaan lain (APL).76
Kebakaran hutan yang sering terjadi, lebih lagi jika masuk musim
kemarau juga berada dalam tingkat ancaman yang tinggi.77
Dampak
70 Diakses dari www.forina.or.id, pada 10 Juni 2016 71 Diakses dari www.forina.or.id, pada 10 Juni 2016 72 Diakses dari www.forina.or.id, pada 10 Juni 2016 73 Diakses dari www.forina.or.id, pada 10 Juni 2016 74 Diakses dari www.forina.or.id, pada 10 Juni 2016 75 Diakses dari www.forina.or.id, pada 10 Juni 2016 76 Diakses dari www.forina.or.id, pada 10 Juni 2016 77 Diakses dari www.forina.or.id, pada 10 Juni 2016
45
utamanya sudah menjurus pada degradasi habitat.78
Untuk itu perlu adanya
pendidikan mengenai konservasi, pencegahan dan cara mengatasi
kebakaran, serta translokasi atau pemindahan ke tempat yang lebih aman
bagi orangutan.
Banyaknya pertambangan di kawasan yang menjadi habitat
orangutan turut menjadi faktor berubahnya habitat. Meskipun hanya
masuk dalam tingkat sedang, namun tetap diupayakan agar ada aturan
yang melarang kegiatan pertambangan di wilayah orangutan.79
Ancaman tingkat sedang juga terdapat di penegakan hukum.
Belum tegasnya hukum yang melindungi orangutan dan hutan ditengarai
menjadi jalan mulus bagi kegitatan penebangan hutan dan perburuan liar.80
Oleh sebab itu akan diadakan forum yang mengawasi penegakan hukum
dan aturan tentang orangutan di luar dari kawasan konservasi.81
Penebangan hutan, perburuan dan perdagangan illegal masuk
dalam ancaman yang tinggi.82
Selain berdampak berkurangnya spesies,
juga dapat menghasilkan kepunahan.83
Untuk itu perlu merencanakan
pedoman penebangan di kawasan yang terdapat orangutan, mengadakan
patroli hutan, dan menegakan aturan yang melarang berburu orangutan.84
Dari apa yang telah penulis paparkan mengenai hewan-hewan yang
terancam punah dan upaya penyelamatannya, sudah seharusnya sebagai
78 Diakses dari www.forina.or.id, pada 10 Juni 2016 79 Diakses dari www.forina.or.id, pada 10 Juni 2016 80 Diakses dari www.forina.or.id, pada 10 Juni 2016 81 Diakses dari www.forina.or.id, pada 10 Juni 2016 82 Diakses dari www.forina.or.id, pada 10 Juni 2016 83 Diakses dari www.forina.or.id, pada 10 Juni 2016 84 Diakses dari www.forina.or.id, pada 10 Juni 2016
46
umat muslim kita mendukung dan ikut melestarikan hewan-hewan
tersebut. Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengelurkan
fatwa nomor 04 tahun 2014 tentang pelestarian satwa langka untuk
keseimbangan ekosistem. Dengan mengacu atau mengingat firman Allah
SWT mengenai perintah berbuat baik kepada sesama makhluk hidup,
antara lain:
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan
burung-nurung yang terbang dengan kedua sayapnya,
melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah kami
alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada
Tuhanlah mereka dihimpunkan”. (QS. Al-An‟am [6] :38)
Kemudian larangan berbuat kerusakan di bumi termasuk satwa langka di
dalamnya, yaitu:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi.
Setelah Allah memperbaikinya”. (QS. Al-A‟raf [7] :36)
Selain firman Allah SWT, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga
menjelaskan dengan mengacu pada hadits Rasulullah SAW, yaitu:
47
Dari Jarir ibn Abdullah ra ia berkata: Rasulullah saw
bersabda: “Sayangilah setiap makhluk di bumi niscaya
kalian akan disayangi oleh Dzat yang di langit”. (HR. Abu
Dawud, al Turmudzi, dan al-Hakim)
Meskipun fatwa MUI bukan merupakan rujukan hukum di Indonesia,
tetapi penulis menganggap bahwa ini merupakan salah satu acuan dan pengingat
bagi kita untuk tetap menjaga apa yang diciptakan oleh Allah SWT.
48
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS DATA
Setelah menjelaskan mengenai semiotika pada bab II, pembahasan pada
bab IV ini akan menganalisis foto-foto yang telah penulis pilih dalam buku
Orangutan Rhyme and Blues karya Regina Safri. Dari beberapa tokoh semiotika
yang telah dipaparkan dalam bab II, penulis memilih teori yang dikemukakan oleh
Roland Barthes yang mana ada tiga tahapan dalam membaca sebuah foto. Pertama
adalah tahap Denotasi, kedua adalah tahap Konotasi, dan ketiga adalah tahap
Mitos.
Dalam tahapan Konotasi ada enam unsur yang diebutkan oleh Kris
Budiman dalam bukunya Semiotika Visual.1 Yang pertama ada Trick Effect, yaitu
memanupulasi foto dengan maksud ingin menyampaikan apa yang dibuat oleh
sang pemotret. Kedua adalah Pose, yaitu gaya, posisi, sikap, atau ekspresi dari
objek yang difoto. Ketiga terdapat Objek, yaitu sasaran atau Point of Interest yang
akan diambil oleh sang pemotret. Posisi keempat terdapat Photogenia, yaitu
teknik yang digunakan dalam mengambil gambar, seperti pencahayaan, moving,
freezing, panning, angle, dan yang lainnya. Kelima adalah Aestheticism, yaitu
komposisi pada foto yang akan membuat makna konotasi. Keenam yaitu
Sintaksis, yang merupakan gabungan dari keseluruhan foto, biasanya berupa
caption atau teks untuk menambah informasi tentang sebuah foto.
1 Kris Budiman, Semiotika Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2011) h.70
49
Dari penjelasan di atas, maka penulis rasa tepat jika analisis ini
menggunakan teori dari Roland Barthes. Hal ini juga bukan menyatakan bahwa
teori-teori yang dikemukakan oleh Charles Sander Pierce, Ferdinand Saussure dan
tokoh semiotika lainnya kurang tepat, tetapi karena ada ungkapan yang
diungkapkan oleh Barthes tentang mitos yang memperkuat teori analisis miliknya
untuk digunakan dalam penelitian.
A. Analisis Data Foto I
1. Tahap Denotasi
Dalam foto yang dibagi dalam dua halaman ini, terdapat sebuah
truk yang melintasi perkebunan kelapa sawit dengan tiga orang berada
di bagian atas truk tersebut. Salah seorang yang berada di posisi paling
kanan atas truk tersebut menengok ke belakang, dan dua lainnya
melihat ke depan.
50
2. Tahap Konotasi
Seperti yang penulis jelaskan di atas, pemahaman dalam tahap
konotasi dapat dilakukan dengan enam unsur. Pertama Trick Effect,
memanipulasi foto secara berlebihan untuk menyampaikan pesan sang
fotografer dalam foto jurnalistik ataupun foto cerita adalah hal yang
dilarang. Batasan pengolahan yang diperbolehkan hanya pada
pengaturan cahaya, kesesuaian warna, kontras, dan cropping untuk
membuat foto presisi. Dalam foto I penulis tidak menemukan adanya
penambahan atau manipulasi yang dilakukan oleh Regina Safri.
Perkembangan fotografi saat ini yang didukung dengan berbagai
software olah digital tentunya memudahkan bagi fotografer dalam
menjalankan tugasnya. Namun, di sisi lain juga mampu menjadikan
atau memudahkan terjadinya kasus manipulasi.
Unsur kedua adalah Pose, sebagimana yang dijelaskan di atas
bahwa pose terdapat gaya, posisi, sikap, atau ekspresi sebuah objek.
Dalam foto I yang merupakan foto landscape merupakan gabungan
antara foto manusia dengan alam, yang mana kita akan lebih mudah
menentukan pose dalam foto yang mengandung unsur manusia dan
hewan. Karena alam tidak memiliki untur gaya, sikap dan ekspresi.
Dalam foto I penulis melihat posisi sebuah truk yang diletakan
pada bagian kanan dari keseluruhan gambar. Regina Safri ingin
menyampaikan bahwa perkebunan kelapa sawit sudah begitu luas.
Ketiga adalah Objek, pada dasarnya semua bagian dalam sebuah
foto bisa dikatakan sebagai objek. Namun, dalam membaca foto yang
51
dimaksud sebagai objek yang sudah penulis jelaskan di atas
merupakan point of interest atau sesuatu yang menonjol dari sebuah
foto. Pada foto I ini point of interest yang terdapat yaitu sebuah truk
yang melintasi perkebunan kelapa sawit dengan tiga orang terdapat di
bagian atas truk tersebut.
Unsur yang keempat adalah Photogenia, unsur ini kita membaca
foto dengan melihat cara pengambilan atau tekniknya. Teknik tersebut
meliputi pencahayaan, efek gerak (moving), efek diam (freezing), efek
kecepatan (panning) efek blur, dan sudut pandang (angle). Jika
melihat dari teknik pengambilannya, pada data foto I menggunakan
cahaya alami yang berasal dari matahari. Foto yang ditampilkan jelas
tanpa adanya perbedaan antara latar depan (foreground) dengan latar
belakang (background), menunjukan foto diambil dengan ruang tajam
luas, agar gambar yang yang dihasilkan jelas secara keseluruhan.
Diafragma yang dibutuhkan untuk menghasilkan ruang tajam luas
berkisar antara f/5,6 sampai f/11. Dengan menggunakan diafragma
tersebut maka kecepatan rana (speed) yang diperlukan untuk
menghasilkan foto I berkisar antara 1/60 sampai 1/125. Selain dengan
rana (speed), dapat juga dikombinasikan dengan ISO yang berada di
angka 100 sampai 200.
Saat melihat point of interest pada foto I terlihat jika fotografer
menggunakan teknik high angle, dengan menggunakan angle ini
secara teknik fotografer ingin menggambarkan kondisi suatu wilayah.
52
Penggunaan angle dalam fotografi sedikit banyak mampu memberikan
informasi yang ingin disampaikan oleh fotografer.
Kelima adalah unsur Aestheticsm, dalam foto I yang menggunakan
format horizontal menampilkann point of interest sebuah truk dengan
tiga orang yang berada di atasnya, menggunakan aturan komposisi 1/3
atau rule of third dengan menempatkan truk di bagian kanan foto.
Tampilan ini membuat yang melihatnya langsung tertuju pada truk
tersebut. Pengambilan secara landscape dengan menempatkan jalanan
disebelah kanan yang tidak menampilkan ujung jalanan tersebut,
memberi pesan bahwa betapa luasnya perkebunan kelapa sawit yang
dilalui oleh truk tersebut.
Unsur keenam adalah Sintaksis, dengan lebih banyak
menempatkan kebun kelapa sawit di bagian kiri dan point of interest
sebuah truk di bagian kanan, dapat penulis tafsirkan bahwa Regina
Safri sengaja menempatkan foto tersebut dalam urutan pertama dalam
bukunya. Penempatan foto tersebut dalam urutan pertama seperti ingin
membuka awal cerita kisah orangutan yang habitatnya hilang oleh
padatnya perkebunan kelapa sawit.
Dari berbagai aspek yang telah dijabarkan di atas, didapati makna
konotasi dalam data foto I bahwa perkebunan kelapa sawit yang dilalui oleh truk
tersebut sangat luas. Keberadaan perkebunan kelapa sawit tersebut menggaggu
habitat orangutan dan makhluk lainnya. Akibatnya banyak diantara mereka yang
masuk ke pemukiman warga termasuk orangutan itu sendiri, sehingga
menimbulkan konflik antara manusia dan orangutan.
53
3. Mitos
Perkebunan kelapa sawit bukan hanya ada di pulau Kalimantan, di
Sumatera juga terdapat ribuan hektar kebun kelapa sawit yang sudah
mengambil alih tempat tinggal orangutan. Dalam foto ini, makna mitos
yang dapat dibangun adalah, keberadaan sebuah truk di perkebunan
sawit yang menjadi salah satu unsur foto tersebut dapat disimbolkan
sebagai kebutuhan para pekerja di sana. Hal tersebut dapat dimaknai
bahwa perkebunan kelapa sawit membutuhkan alat transportasi yang
cukup besar untuk mengangkut hasil panennya. Kebutuhan untuk
menggunakan transportasi besar juga merupakan tuntutan untuk
memenuhi geliat perekonomian. Bagi masyarakat yang bekerja di sana,
kebutuhan ekonomi merupakan hasil kerja keras untuk mendapatkan
apa yang telah dijanjikan Allah SWT dalam surat Yasin ayat 35.
Bahwasannya mereka akan makan dari apa yang telah
diusahakannya. Selain dari ukurannya, truk juga mampu menempuh
jarak yang lebih jauh dan lebih efisien dari segi bahan bakar jika
dibandingkan dengan mobil sejenis pickup.
54
B. Analisis Data Foto II
1. Tahap Denotasi
Makna denotasi yang terdapat pada foto ini adalah seekor induk
orangutan yang menggendong anaknya di tepi aliran sungai. Induk
tersebut memanfaatkan dahan atau batang pohon untuk berayun. Di
dalam mulut, induknya juga menyimpan dua biji buah. Lokasi
orangutan dan anaknya ini berada di pulau pra release, di mana mereka
para orangutan sudah tidak diberikan makanan secara langsung.
2. Tahap Konotasi
Sebagaimana yang sudah penulis jelaskan sebelumnya, bahwa trick
effect merupakan tindakan memanipulasi gambar secara berlebihan
untuk menyampaikan pesan dari sang fotografer. Terkait dengan data
foto II, penulis tidak menemukan adanya unsur yang dikatakan sebagai
trick effect.
55
Peran teknologi yang kian memudahkan mengolah gambar dalam
bentuk digital, membuat rentan terjadinya tindakan manipulasi. Hal ini
sangat tidak dianjurkan karena sudah menyebarkan realitas yang bukan
sebenarnya. Perlu diketahui bahwa tindakan memanipulasi yang
berlebihan sehingga memunculkan realitas yang bukan sebenarnya,
dapat dicontohkan dengan menggabungkan beberapa foto menjadi
satu.
Pose dalam data foto II memperlihatkan induk orangutan yang
sedang berayun bersama anaknya pada batang pohon dengan posisi
miring dan kedua tangan berada di batang. Sementara itu anak
orangutan tersebut memeluk induknya dengan wajah yang terlihat
sayu. Posisi sang induk maupun anaknya merupakan posisi yang
normal dilakukan oleh orangutan. Di mana mereka akan berayun dari
satu pohon ke pohon lainnya
Dalam data foto II dapat dilihat bahwa objek atau point of interest
adalah induk orangutan yang sedang menggendong anaknya.
Berdasrkan keterangan yang diberikan oleh Regina Safri, anak
orangutan akan terus berada dalam pelukan induknya hingga mencapai
usia ± tujuh tahun.2 Orangutan dalam data foto II berada dalam sebuah
pulau pra release, di mana mereka sudah tidak berinteraksi dengan
manusia dan mencari makanannya sendiri.3
Unsur Photogenia dalam data foto II jika melihat dari segi teknik
pengambilan, cahaya yang digunakan berasal dari cahaya alami
2 Wawancara Pribadi dengan Regina Safri pada 24 Mei 2017 3 Wawancara Pribadi dengan Regina Safri pada 24 Mei 2017
56
(available light) yaitu matahari. Adanya perbedaan antara latar depan
(foreground) dengan latar belakang (background) menandakan foto
diambil dengan teknik ruang tajam sempit, dengan begitu penulis
mengindikasi bahwa diafragma yang digunakan berada antara f/2,8
sampai f/3,5. Dengan bukaan diafragma tersebut untuk menghasilkan
foto seperti data foto II, kecepatan rana (speed) yang diperlukan
berkisr antara 1/125 sampai 1/250. Selain itu juga bisa dengan
mengkombinaasikan dengan ISO yang berada di angka 100 sampai 20.
Dengan melihat posisi objek atau point of interest pada data foto II,
menunjukan bahwa foto diambil dengan posisi sejajar atau dalam
fotografi disebut eye level.
Kemudian pada unsur Aestheticism, format dalam data foto II
merupakan foto yang diambil dengan posisi horizontal. Objek yang
berada di tengah dengan ukuran yang besar, membuat mata langsung
tertuju pada objek. Tampilan seperti itu dengan sang induk
menggendong anaknya sambil berayun di sebuah batang pohon,
menimbulkan pesan bahwa sifat liar sudah kembali dalam dirinya.
Dalam unsur Sintaksis dalam data foto II, penulis menafsirkan
bahwa pengambilan gambar orangutan dengan posisi tersebut timbul
dari keyakinan Regina Safri bahwa orangutan tersebut sudah memiliki
jiwa liarnya kembali dan siap untuk dilepasliarkan ke habitat aslinya.
Dari beberapa aspek yang telah dijabarkan, makna konotasi yang dapat
penulis ambil dalam data foto II adalah sikap kepedulian seorang induk. Perlu
diingat kembali bahwa orangutan memiliki kesamaan genetik dengan manusia
57
sebesar 96,4 persen. Ditambah lagi anak orangutan akan berada dalam pelukan
induknya ± sampai usia tujuh tahun. Dalam kondisi apapun seorang induk akan
selalu mengutamakan keselamatan anaknya. Karena sebab itu, perilaku yang
dilakukan atau diperlihatkan orangutan pada foto II layaknya kebiasaan yang
dilakukan manusia (ibu) terhadap anaknya.
3. Mitos
Kerusakan hutan merupakan hal yang tidak diinginkan. Selain
dapat menghilangkan tempat tinggal bagi ratusan spesies makhluk
hidup, rusaknya hutan juga akan mengakibatkan timpangnya ekosistem
yang mana akan menimbulkan bencana bagi kita. Berubahnya hutan
menjadi areal perkebunan sawit inilah yang mengharuskan orangutan
masuk dalam daftar hewan yang hampir punah. Selain itu, orangutan
juga kehilangan tempat tinggalnya.
Meskipun demikian masih banyak pihak-pihak yang peduli
terhadap nasib orangutan. Mereka membangun tempat konservasi agar
orangutan terhindar dari kepunahan. Jika melihat foto II ini, makna
mitos yang dapat dibangun adalah kepedulian. Seperti induk orangutan
kepada anaknya di atas. Kepedulian masyarakat juga dapat dilihat
dengan membantu orangutan menyelesaikan masa rehabilitasinya,
sampai dinyatakan layak untuk dilepasliarkan kembali. Pesan yang
dapat diambil dari mitos yang penulis bangun adalah menjaga dan
peduli terhadap kelangsungan hidup makhluk ciptaan-Nya merupakan
sebuah keniscayaan yang perlu dipertahankan. Karena apa yang
diciptakan-Nya terdapat suatu manfaat bagi kita. Pernyataan di atas
58
merupakan cerminan nyata seperti yang tertuang dalam Al-Qur/an
surat Sad ayat 27:
bahwa Allah tidak menciptakan langit dan bumi serta yang ada
diantara keduanya tanpa adanya hikmah.
C. Analisis Data Foto III
1. Tahap Denotasi
Dalam foto ini seekor orangutan bernama Hercules berada di balik
kandang besi dengan kondisi mata kanan yang buta. Selain itu posisi
wajah (mata dan hidung) yang dibagi ke dalam ruas-ruas kandang.
2. Tahap Konotasi
Unsur pertama yaitu trick effect, sebagaimana yang telah dijelaskan
bahwa trick effeck merupakan langkah manipulasi foto, dalam data
foto III ini penulis tidak menemukan adanya unsur tersebut.
59
Berdasarkan penjelasan Regina Safri, pemotretan dilakukan dengan
jarak dekat.4 Dari pernyataan tersebut penulis menafsirkan bahwa pada
data foto III hanya dilakukan proses cropping untuk membuat foto
seperti itu.
Dalam unsur Pose, data foto III menampilkan visual hanya bagian
kepala orangutan yang langsung berhadapan dengan kamera. Penulis
menangkap dengan posisi seperti ini akan memberi pesan bahwa sudah
tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk melepasliarkan Hercules,
mengingat kondisi matanya yang buta dibagian kanan.
Unsur Objek dalam data foto III yang menjadi point of interest
adalah Hercules, orangutan yang mengalami kebutaan pada mata
kanannya. Tidak ada lagi objek selain Hercules dengan kandang besi
yang menjadi sekat. Dalam foto ini Regina Safri ingin menampilkan
detil dari penderitaan yang dialami orangutan.
Secara photogenia, penulis mengamati data foto III menggunakan
sudut pandang eye level. Meskipun tidak ada pesan khusus yang ingin
disampaikan dengan teknik ini, namun dengan pengambilan dari jarak
dekat hal tersebut mampu menampilkan secara detil objek yang ada.
Dari segi pencahayaan, fotografer menggunakan cahaya alami
(available light) matahari, meskipun objek berada di dalam kandang.
Hal ini dapat dilihat bahwa cahaya pada objek tidak merata karena
cahaya datang dari atas objek.
4 Wawancara Pribadi dengan Regina Safri pada 24 Mei 2017
60
Selain itu, adanya foreground yang nampak blur mengindikasikan
bahwa foto diambil dengan ruang tajam sempit. Hal tersebut dapat
diperkirakan dengan bukaan dikisaran angka f/2,8 sampai f/5.
Kecepatan rana yang mendukung hasil dari data foto III berada pada
kisaran angka 1/80 sampai 1/125, juga dapat dikombinasikan dengan
ISO antara 100 sampai 200.
Beralih dalam unsur Aestheticsm, pada data foto III merupakan
jenis foto close up dengan menampilkan wajah orangutan dari jarak
dekat. Jika penulis perhatikan, foto tersebut menggunakan kaidah 1/3
(rule of third) dengan menempatkan objek di sisi kanan. Meskipun
tidak terlalu menjorok ke kanan, hal tersebut penulis yakini dengan
melihat posisi besi di sisi sebelah kiri yang memiliki ruang lebih luas
dibandingkan dengan besi di sisi kanan.
Dengan menampilkan wajah secara close up, fotografer ingin
menunjukan penderitaan yang dialami oleh orangutan khususnya
Hercules, yang dalam data foto III diperlihatkan kondisi mata primata
tersebut. Tersirat juga pesan kasihan atau iba yang ingin ditimbulkan
dari foto ini.
Pada tahap Sintaksis, pada data foto III terdapat penjelasan
mengenai penyebab hilangnya pengelihatan pada mata kanan Hercules,
yang ada di sebelah kanan foto. Unsur sintaksis yang dapat penulis
jelaskan adalah editor buku ini ingin menerapkan budaya membaca
kita, yaitu dari kiri ke kanan. Maka dari itu penjelasan mengenai
penyebab butanya salah satu mata Hercules di tempatkan di sebelah
61
kanan, yang langsung dapat dipahami setelah melihat foto terlebih
dahulu.
Setelah dijelaskan dalam beberapa tahap, makna konotasi yang ada di
foto III adalah penderitaan. Melihat kondisi Hercules yang kehilangan mata
kanannya akan menimbulkan rasa sedih. Kekerasan yang dilakukan oleh pemburu
mengakibatkan banyak dari orangutan kehilangan kesempatan untuk kembali ke
alam liar. Selain itu, alasan tidak dapatnya orangutan kembali dilepasliarkan
adalah hilangnya insting mereka dalam mencari makanan sendiri.
3. Mitos
Kerusakan fisik tidak hanya terjadi pada Hercules saja, beberapa
orangutan di Nyaru Menteng juga mengalami hal serupa. Mitos yang
dapat diangkat dari foto III ini hampir sama dengan makna konotasi
yang penulis sebutkan sebelumnya, hanya saja terdapat pemahaman
yang lebih mendalam. Berada dibalik jeruji besi, mengakibatkan
hilangnya kebebasan Hercules dan teman-temannya. Berada dalam
sebuah kandang juga akan mengikis kemampuan alami mereka,
terutaman dalam memperoleh makanan. Kelangsungan hidup mereka
kini bergantung kepada manusia. Belum lagi mata kanan Hercules
yang mengalami kebutaan, membuat pergerakannya menjadi sulit.
Namun demikian mata kirinya masih dalam keadan sehat. Hal tersebut
setidaknya masih memberikan simbol harapan bagi masa depan hewan
primata ini, agar kelak mereka dapat kita saksikan keberadaanya di
alam liar kembali. Adanya harapan yang muncul juga disertai dengan
usaha yang gigih oleh para pelaku konservasi. kerja keras dan do‟a
62
merupakan kombinasi yang tepat untuk mewujudkan harapan tersebut.
Al-quran dalam surat Al-Insyirah adalah salah satu bentuk perwujudan
dari bentuk usaha dan harapan yang hanya digantungkan kepada Allah
SWT.
D. Analisis Data Foto IV
1. Tahap Denotasi
Jika dilihat pada foto IV ini, terdapat seekor orangutan yang berada
di dalam kandang tengah diberikan suntikan. Terlihat tangan penjaga
63
sedang menyuntikan ke salah satu lengan orangutan. Di dalam
kandang tersebut juga terdapat dedaunan dan ban bekas untuk sarana
bermain.
2. Tahap Konotasi
Pada unsur pertama yaitu Trick Effect, penulis tidak menemukan
adanya manipulasi yang dilakukan fotografer dalam data foto IV.
Sebab apa yang terlihat dalam foto IV adalah hasil yang didapat oleh
fotografer dalam penangkaran orangutan di kalimantan. Sebagimana
yang sudah dijelaskan, bahwa trick effect adalah memanipulasi foto
dengan salah satunya mengabungkan dua foto menjadi satu. Contoh
lain yang juga bisa dikatakan memanipulasi adalah menghilangkan
unsur-unsur atau elemen-elemen yang terdapat di dalam foto.
Pose dalam data foto IV terlihat seekor orangutan yang disuntik.
Dapat dilihat pula ekspresi orangutan yang murung sehingga memberi
pesan bahwa dirinya sedang dalam kondisi tidak sehat. Jika dilihat dari
pose, kesan yang timbul adalah kesehatan orangutan yang rentan
terhadap serangan penyakit di mana penyebarannya bisa melalui
manusia. Hal tersebut karena DNA yang dimiliki orangutan memiliki
kemiripan dengan manusia.
Pada data foto IV yang menjadi point of interest adalah orangutan
yang berada di dalam kandang. Orangutan tersebut bisa dikatakan
sebagai objek utama dalam data foto IV. Selain itu, penulis juga
melihat adanya objek pendukung yang keberadaannya bisa menjadi
pelengkap sebuah foto. Sebuah tangan yang sedang menyuntikan
64
jarum ke tubuh orangutan, dapat memberi pesan bahwa orangutan
tersebut sedang dalam kondisi tidak sehat dan membutuhkan
perawatan.
Dari segi Photogenia, dalam data foto IV pengambilan gambar
dilakukan dalam ruangan terbuka meskipun objek utama berada dalam
sebuah kandang. Foto IV menggunakan cahaya alami (available light)
yaitu matahari. Dengan mengambil atau menempatkan objek lebih
rendah dari posisi kamera, maka dapat dikatakan bahwa fotografer
menggunakan teknik high angle. Kemudian fotografer juga
menggunakan latar depan (foreground) yaitu kerangka besi kandang
orangutan tersebut, yang mana hal ini mengindikasikan bahwa
fotografer menggunakan teknik ruang tajam sempit dengan bukaan
diafragma antara f/2,8 sampai f/4,5. Dengan bukaan seperti itu, untuk
menghasilkan gambar seperti foto 4, maka kecepatan rana atau speed
yang digunakan berkisar 1/125 sampai 1/250. Selain itu juga dapat
dipadu padankan dengan menggunakan ISO antara 100 sampai 200.
Unsur selanjutnya adalah Aestheticism, jika dilihat foto tersebut
menggunakan kaidah rule of third. Dengan menempatkan objek utama
di 2/3 bagian kanan foto, dan menyisakan 1/3 ruang di sebelah kiri
foto. Ukuran objek yang cukup besar sehingga menegaskan mata untuk
langsung tertuju pada objek. Tampilan objek yang didukung dengan
adanya tangan manusia sedang memberikan suntikan terhadap
orangutan, memberikan kesan bahwa kondisi orangutan saat ini begitu
rentan.
65
Unsur Sintaksis, jika dalam foto jurnalistik unsur sintaksis dapat
dilihat dengan adanya penjelasan atau caption dalam sebuah foto,
maka untuk foto yang tidak memiliki caption seperti data foto 4 bukan
berarti tidak memiliki unsur sintaksis. Di sini penulis menjelaskan
unsur sintaksis melalui beberapa elemen yang terdapat dalam foto IV.
Setelah dijabarkan di atas, makna konotasi yang dapat diambil dari
foto IV ini yaitu mengenai tanggung jawab. Melihat usaha yang dilakukan oleh
penjaga yang merawat primata ini, rasa tanggung jawab sangat diperlukan. Tidak
hanya para penjaga, peran masyarakat pun harus turut andil dalam menjaga
kelangsungan habitat orangutan. Rasa tanggung jawab yang dimiliki oleh para
penjaga primata ini patut kita contoh. Karena meski memiliki resiko tertular
penyakit dari orangutan yang sakit, mereka tetap menjalankan tugasnya dengan
baik.
3. Mitos
Dalam foto IV yang memperlihatkan tangan penjaga sedang
memberikan suntikan kepada orangutan, dapat dikembangkan mitos
mengenai bagaimana seekor orangutan yang tinggal di tempat
konservasi. upaya ini dilakukan setelah mereka mengalami hal yang
tidak selayaknya, seperti kehilangan tempat tinggal yang mana
berkakibat hilangnya pasokan makanan bagi kawanan primata ini.
Jarum suntik yang berada pada foto ini juga bisa diartikan sebagai
suatu yang menakutkan, karena jarum suntik identik dengan kondisi
66
yang tidak baik seperti dalam keadaan sakit, sehingga memerlukan
jarum suntik untuk memasukan obat ke dalam tubuh.
Di alam bebas orangutan mampu berayun dari satu pohon ke pohon
lainnya dengan mudahnya. Namun, pada foto ini orangutan tersebut
seolah-olah kehilangan kelincahannya. Hal tersebut membuat kesan
terhadap orangutan menjadi lain. Walaupun kenyataannya orangutan
ini tengah berada dalam perawatan di tempat konservasi.
E. Analisis Data Foto V
1. Tahap Denotasi
Dalam foto ini terlihat tujuh orang relawan, enam diantaranya
mengangkat kandang yang berisi orangutan untuk dilepasliarkan. Dua
dari enam relawan menggunakan helm berwarna kuning di sisi sebelah
kanan, dan dua lainnya menggunakan topi rimba di sisi sebelah kiri.
Satu relawan yang berada di belakang tidak mengenakan topi dan
67
satunya lagi mengenakan topi biasa. Sementara salah satu relawan di
sisi kanan atas bertugas mengawasi.
2. Tahap Konotasi
Dalam tahap ini unsur pertama adalah Trick Effect, seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya bahwa yang dimaksud trick effect adalah
memanipulasi gambar secara berlebihan untuk menyampaikan pesan
dari fotografer. Dalam data foto V penulis tidak menemukan hal yang
mengandung sebagai trick effect. Sama dengan empat foto
sebelumnya, pada foto V kali ini hanya sebatas pengkoreksian warna,
kecerahan, dan cropping.
Unsur kedua adalah Pose, dalam data foto V adalah jenis foto
portrait dengan format gambar horizontal. Foto tersebut mengambil
gambar para relawan yang sedang mengangkat orangutan untuk
dilepas liarkan kembali. Pose yang penulis tangkap dari data foto V
adalah bobot dari mamalia tersebut yang sangat berat, hal ini dapat
dilihat dari lima relawan yang menggotongnya bersamaan. Ekspresi
yang ditangkap oleh Regina Safri, juga ingin menyampaikan bahwa
selain tubuh mamalia yang berat, para relawan juga berburu dengan
waktu karena obat bius yang diberikan kepada orangutan hanya
bertahan selama 60 menit.5
Ketiga adalah unsur Objek, meskipun bukan sebagai objek utama
pada data foto V, dua relawan yang memakai helm berwarna kuning
menurut tafsiran penulis dapat dikatakan sebagai point of interest. Jika
5 Wawancara Pribadi dengan Regina Safri pada 24 Mei 2017
68
kita lihat dari semua objek yang terdapat dalam data foto V, kedua
relawan ini sangat mencolok perhatian dengan adanya warna yang
berbeda. Dalam keterangan yang dijelaskan oleh Regina Safri, ia tidak
begitu memperhatikan saat mengambil foto tersebut, ia hanya fokus
memotret relawan dan orangutan yang akan dilepas liarkan.6 Dalam
pengakuannya, ia juga mengatakan bahwa penggunaan helm tersebut
merupakan inisiatif dari relawan itu sendiri.7
Selanjutnya adalah Photogenia, jika kita lihat dari segi teknik
dalam data foto V ini fotografer menggunakan cahaya alami (available
light). Kejelasan atau ketajaman yang dihasilkan menyeluruh terhadap
semua objek yang ada, menandakan bahwa gambar diambil dengan
teknik ruang tajam luas. Jika demikian bukaan yang diperlukan
berkisar antara f7,1 sampai f/11. Dengan bukaan berada di angka
tersebut, maka kecepatan rana atau speed yang diperlukan sekitar 1/80
sampai 1/200. Kondisi hutan yang lebat sehingga proses penerimaan
cahaya sedikit berkurang, bisa disiasati dengan menggunakan ISO
pada angka 400 sampai 800. Melihat objek foto V mengindikasikan
bahwa foto diambil dengan teknik eye level, yaitu posisi yang sama
dengan mata manusia. Meskipun objek terlihat berada sedikit dibawah
kamera, hal ini terjadi karena posisi fotografer berada dibagian tanah
yang sedikit lebih tinggi. Posisi atau angle seperti ini tidak
menimbulkan pesan tertentu.
6 Wawancara Pribadi dengan Regina Safri pada 24 Mei 2017 7 Wawancara Pribadi dengan Regina Safri pada 24 Mei 2017
69
Unsur yang kelima dalah Aestheticsm, format gambar dalam data
foto V adalah portraiture, yang mana menggunakan manusia sebagai
subjek utama. Dengan adanya point of interest pada dua relawan yang
menggunakan helm berwarna kuning, kemudian mata langsung
mengarah keseluruh subjek yang ada. Dengan posisi seperti ini akan
menimbulkan pesan bahwa apa yang dilakukan oleh para relawan ini
bukan hal biasa. Mereka berjuang mengantarkan orangutan ke habitat
aslinya dengan segala tantangan yang ada.
Terakhir yaitu Sintaksis, dari keseluruhan elemen yang ada pada
foto V memberi pesan bahwa proses untuk melepasliarkan orangutan
dibutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Para relawan berjuang
melewati hutan dan menyusuri sungai untuk mencapai posisi ideal bagi
orangutan tersebut.
Dari beberapa hal yang telah dijabarkan, makna konotasi yang dapat
penulis ambil dari foto V ini adalah kesigapan. Jika kita melihat kerja keras para
relawan dalam usaha melepasliarkan orangutan, kesigapan sangatlah diperlukan.
Para relawan harus bersiap menghadapi sesuatu yang tidak terduga. Seperti jalur
menuju titik pelepasliaran yang jauh, medan yang berat, serta berpacu dengan obat
bius yang diberikan kepada orangutan.
3. Mitos
Dalam melakukan pelepasliaran orangutan kesiapan yang
diperlukan bukan hanya kekuatan fisik saja, relawan juga perlu
mempersiapkan mental mereka. selain itu, kerja sama antara relawan
dengan pihak pengelola hutan mutlak diperlukan. Dalam foto yang
70
menampilkan kerja sama para relawan dapat dikembangkan mitos
bagaimana seharusnya relawan bekerja. Sekuat apapun seorang
relawan, untuk memindahkan seekor orangutan mereka harus
mengangkatnya bersama-sama. Hal ini sesuai dengan pernyataan
bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang tidak dapat hidup
sendirian. Di dalam Al-quran pun sudah dijelaskan mengenai kerja
sama ataupun tolong menolong. Surat Al-Maidah ayat 2 dikatakan:
bertolong-tolonglah dalam berbuat kebaikan. Kegiatan untuk merawat
hingga melepasliarkan orangutan kembali adalah hal yang baik. Di
samping itu juga hal tersebut dilakukan untuk menjaga dan
melestarikan orangutan.
71
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian terhadap lima foto
karya Regina Safri dalam buku Orangutan Rhyme and Blues adalah
sebagai berikut:
1. Tahap Denotasi
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan terhadap kelima foto
yang merupakan bagian dari buku Orangutan Rhyme and Blues ini
memberikan gambaran tentang upaya Regina Safri untuk menyampaikan
informasi mengenai kondisi orangutan. Melalui foto-foto tersebut, terlihat
jelas bagaimana kondisi primata besar ini setelah kehilangan habitat
aslinya. Dalam menyampaikan pesan dan informasinya, Regina Safri tidak
melakukan tindakan manipulasi yang akan merubah makna foto tersebut.
Foto-foto yang disajikan merupakan realita yang terjadi.
Dalam tahap ini dapat disimpukan juga bahwa Regina Safri ingin
memberikan informasi kepada masyarakat luas mengenai apa yang dialami
orangutan tanpa adanya rekayasa. Dengan ditampilkannya visual
habitatnya yang rusak sampai pada proses pelepasliaran, Regina Safri
ingin menyampaikan pesan kepada masyarakat bahwa masih ada harapan
untuk kembali menyaksikan orangutan di alam liar. Juga sebagai perhatian
kepada kita agar tidak lagi merubah fungsi hutan.
72
2. Tahap Konotasi
Pada tahap ini penulis menemukan makna-makna konotasi yang
terdapat dalam lima foto tersebut. Kemudian, pada tahap ini juga
mengatakan bahwa sebuah foto dapat dipahami tidak hanya dengan
melihatnya saja, tetapi juga terdapat cara-cara agar pesan yang ingin
disampaikan oleh fotografer berhasil diterima dengan baik.
Pada foto pertama, penulis menyimpulkan bahwa makna konotasi
yang dapat diambil adalah ukuran perkebunan kelapa sawit yang begitu
luas. Dengan kata lain, luasnya perkebunan sawit ini sama dengan
hilangnya hutan yang menjadi tempat tinggal ratusan spesies di dalamnya,
tidak terkecuali orangutan. Dampak yang terjadi dari perubahan ini adalah
masuknya orangutan ke pemukiman warga, yang mana hal ini dianggap
sebagai hama. Oleh karena itu konflik antara orangutan dan manusia kerap
terjadi.
Makna yang terdapat pada foto kedua adalah kepedulian. Layaknya
seorang ibu, induk orangutan tersebut menggendong anaknya sambil
berayun di sebuah batang pohon. Perilaku primata ini memang menyerupai
manusia, karena kesamaan genetik yang mencapai angka 96,4 persen.
Kemudian pada foto ketiga, makna yang dapat penulis ambil
adalah penderitaan. Kehilangan salah satu fungsi matanya membuat
Hercules tidak dapat dilepasliarkan. Ditambah dengan hilangnya insting
mereka dalam mencari makanan sendiri, menambah alasan mereka tidak
dapat kembali ke alam bebas. Selain kehilangan tempat tinggal,
73
penderitaan orangutan juga ditambah dengan maraknya perburuan liar
yang dilakukan dengan tindakan menyakiti mereka.
Pada foto keempat, penulis mengambil kesimpulan bahwa makna
dari foto tersebut adalah tanggung jawab. Bagi seorang penjaga atau
babysitter orangutan, rasa tanggung jawab sangat dibutuhkan. Meskipun
memiliki resiko untuk tertular penyakit, namun mereka tetap bekerja dan
merawat orangutan seperti mereka merawat anak-anaknya.
Pada foto terakhir, penulis dapat memaknai bahwa dalam proses
untuk melepasliarkan orangutan diperlukan tim yang sigap dan solid.
Karena untuk menuju titik pelepasliaran, tim dihadapi dengan medan yang
berat, jarak yang jauh dan mereka harus bekerja dengan cepat sebelum
bius yang diberikan kepada orangutan habis.
Beberapa makna yang penulis pahami menunjukan bahwa
kerusakan alam akan membawa ketimpangan ekosistem. Bukan hanya
berdampak bagi orangutan dan spesies lainnya, tapi juga berdampak bagi
kelangsungan hidup manusia.
3. Mitos
Mitos merupakan sesuatu yang dibangun secara turun-temurun.
Pada rangkaian foto karya Regina Safri ini, menunjukan bahwa kondisi
alam kita khususnya hutan di Kalimantan dan Sumatera sudah mengalami
perubahan. Kerusakan yang diakibatkan perubahan fungsi hutan dirasakan
oleh makhuk hidup di dalamnya. Melalui buku yang dibuatnya ini,
setidaknya kita kembali diingatkan pada firman Allah SWT tentang
larangan berbuat kerusakan terhadap bumi dan satwa di dalamnya.
74
Selain ketiga hal di atas kesimpulan lain yang dapat diambil dari
penelitian ini adalah, bahwa foto, komunikasi, dan dakwah dapat
terintegrasi satu sama lain. Ini dapat dilihat bahwa sebuah foto mampu
menampilkan keadaan atau informasi kepada masyarakat luas, yang mana
hal tersebut merupakan salah satu bentuk dari komunikasi. Dalam lingkup
yang lebih luas, sebuah foto juga mampu menjadi media dakwah. Dengan
menganalisis isi dari foto tersebut dan mengaitkannya dengan keilmuan-
keilmuan yang terdapat di dalam Al-quran maupun Hadits.
B. Saran
Berbicara mengenai seni fotografi, saat ini sudah tidak lagi melulu
untuk mendebatkan bagaimana foto itu dibuat, melainkan pada makna apa
yang terkandung dalam sebuah foto. Sehingga hal ini dapat membantu
perkembangan seni fotografi di Indonesia. Karenanya, fotografi banyak
berkaitan dengan berbagai hal dan fenomena yang terjadi di masyarakat.
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, ada beberapa hal
yang menjadi saran baik untuk akademisi Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi agar penelitian ini tidak berhenti pada analisis ini saja. Tetapi
juga dapat terus dikembangkan oleh mahasiswa progam studi Komunikasi
Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta masyarakat umum
yang menyukai dunia fotografi khusunya fotografi dokumenter, sebagai
berikut:
1. Melihat banyaknya minat mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam menggunakan
analisis semiotika dalam melakukan penelitian skripsinya, penulis
75
memberi saran agar diadakannya mata kuliah semiotika. Supaya
mahasiswa yang ingin menggunakan metode ini, sudah diberi bekal
yang cukup sebelum menlanjutkannya dalam penelitian.
2. Foto-foto yang terdapat dalam buku Orangutan Rhyme and Blues ini
dikerjakan dalam waktu satu tahun lebih oleh Regina Safri. Jadi, tidak
mengherankan jika dalam penelitian ini fungsi fotografi dapat
menjelaskan suatu kejadian di luar sana dengan begitu mendalam.
Oleh karena itu, diharapkan bagi pembaca penelitian ini mampu
membuat foto dokumenter dalam waktu yang panjang. Agar foto yang
dihasilkan tidak hanya estetis, tetapi juga terdapat pesan dan makna
yang mendalam.
3. Meskipun sebuah foto mampu membuat ceritanya sendiri, ada baiknya
jika membuat buku foto dokumenter seperti ini ditambah dengan
memasukan caption, baik dengan bahasa Indonesia maupun bahasa
Inggris. Minimal pada foto-foto yang memiliki pesan khusus seperti
momen pelepasliaran. Tujuannya tidak lain supaya buku fotografi ini
mudah untuk diteliti. Selain itu juga dapat memberi tambahan
informasi, mengingat adanya keinginan mbak Regina Safri untuk
mengkampanyekan keadaan primata ini ke sekolah-sekolah di seluruh
Indonesia. Itulah sedikit masukan untuk buku Orangutan Rhyme and
Blues ini. Buku ini sangat bermanfaat bagi perkembangan fotografi di
Indonesia, dan membuka mata dunia akan nasib yang dialami
orangutan.
76
Dengan itu, penelitian-penelitian tentang semiotika dan fotografi
yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi dapat terus berkembang, dengan diikuti perkembangan
mengenai fotografi sebagai sebuah bahasa komunikasi.
77
DAFTAR PUSTAKA
Ajidarma, Seno Gumira, Kisah Mata, Fotogafi antara Dua Subjek: Perbincangan
tentang Ada, Yogyakarta: Galang Press,2002
Alwi, Audy Mirza, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke
Media Massa, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004
Barthes, Roland, Camera Lucida Reflection on Photography, New York: Hill and
Wang, 2010
Budiman, Kris, Semiotika Visual, Yogyakarta: Jalasutra, 2011
Darmawan, Ferry, Dunia Dalam Bingkai, cet 1 Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009
Hoed, Benny H, Semiotik & Dinamika Sosial Budaya, Depok: Komunitas Bambu,
2014
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama, (Bandung
PT. Remaja Rosdakarya, 2001
Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2007
Noor, Juliansyah, Metode Penelitian, Jakarta: Kencana Pranada Group, 2011
Prasetya, Erik, On Street Photography, Jakarta: KPG [Kepustakaan Populer
Gramedia], 2014
Safri, Regina, Orangutan Rhyme & Blues, Galeri Foto Jurnalistik Antara, 2012
Sunardi, St, Semiotika Negativa, Yogyakarta: Penerbit Buku Baik
Yogyakarta,2002
Sobur, Alex, Analisis Teks Media, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006
Sobur, Alex, Semiotika Komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,2009
Soedjono, Soeprapto, Pot-Pourri Fotografi, Jakarta: Universitas Trisakti, 2007
Tinarbuko, Sumbo, Semiotika Komunikasi Visual, Yogyakarta: Jalasutra, 2012
Wibowo, Indiawan Seto Wahyu, Semiotika Komunikasi, Jakarta: Mitra Wacana
Media, 2011
Wijaya, Taufan, Foto Jurnalistik, Klaten: CV SAHABAT, 2011
78
Wawancara dan Seminar
Wawancara dengan Regina Safri pada 16 Maret 2016 dan 24 Mei 2017
Wawancara dengan Novi Hardianto pada 10 Mei 2016
Wawancara dengan Drajat Dwi hartono pada 27 Maret 2017
Seminar “Basic Food Photography” dengan pembicara Roy Genggam di Teater
Aqib Suminto Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 23 Mei 2016
Karya Ilmiah
Islamie, Aida, “Analisis Semiotik Foto Daily Life Stories Pada Word Press Photo
2009”, Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009
Rahman, Muhammad Lutfi, “Analisis Semiotik Foro Karya Ismar Patrizki Pada
Pameran Foto GAZA perkasa”, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010
Fatimah, “Makna Foto Perjalanan Ibada Haji (Analisis Semiotika Karya Zarqoni
Maksum Pada Galeri Antara.co.id)”, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008
Hidayat, Mafrika Wahyu, “Analisis Semiotik Foto Pada Buku Jakarta Estetika
Banal Karya Erik Prasetya”, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014
Website
http://kamusbesarbahasaindonesia.org/fotografi
www.lensculture.com
www.orangutan.or.id
www.forina.or.id
http://www.wwf.or.id/program/spesies
https://news.detik.com/berita/d-3618646/harimau-sumatera-mati-pemburunya-
ditangkap-di-langkat
http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2017/02/26/badak-jawa-mamalia-paling-
langka-di-dunia-ada-di-taman-ujung-kulon-394550
http://www.kompas.com/internasional/read/2017/08/21/08492541/harga-rp-800-
juta-per-kg-lelang-online-cula-badak-tak-terbendung
79
http://www.mongabay.co.id/2013/08/11/populasi-makin-terancam-ayo-
selamatkan-orangutan
Lainnya:
Materi dalam Komunitas Lingkar Seni (KLISE) Fotografi FIDIKOM
Materi dalam Kelas Pagi Jakarta
80
Dokumentasi Wawancara
Penulis dan Regina Safri foto bersama setelah wawancara
Penulis menunjukan buku Orangutan Rhyme and Blues setelah melakukan
wawancara dengan Drajat Dwi Hartono
Penulis dan Novi Widianto foto bersama setelah wawancara
Dokumentasi Wawancara
Penulis dan Regina Safri foto bersama setelah wawancara
Penulis menunjukan buku Orangutan Rhyme and Blues setelah melakukan
wawancara dengan Drajat Dwi Hartono
Penulis dan Novi Widianto foto bersama setelah wawancara