ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM DARI PEMALSUAN …/Analisis... · dan saran yang telah diberikan. Pada...
Transcript of ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM DARI PEMALSUAN …/Analisis... · dan saran yang telah diberikan. Pada...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM DARI PEMALSUAN
SERTIFIKASI DAN LABELISASI HALAL SEBAGAI BENTUK
LEGITIMASI KEHALALAN PRODUK DI INDONESIA
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna
Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
LINDU AJI SAPUTRO
NIM. E0008182
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
Lindu Aji Saputro. E 0008182. 2012. ANALISIS PERLINDUNGAN
HUKUM DARI PEMALSUAN SERTIFIKASI DAN LABELISASI HALAL
SEBAGAI BENTUK LEGITIMASI KEHALALAN PRODUK DI
INDONESIA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum
yang diberikan kepada konsumen dari pemalsuan sertifikasi dan lebelisasi halal
serta pengaturan sertifikasi halal dan labelisasi halal sebagai bentuk legitimasi
kehalalan produk di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum
normatif bersifat preskriptif, yaitu penelitian dilakukan untuk dapat menghasilkan
argumentasi bahwa sampai saat ini belum ada kepastian mengenai pengaturan
sertifikasi dan lebelisasi halal di Indonesia.
Pendekatan yang digunakan oleh peneliti adalah pendekatan undang-
undang (statute approach) dengan menelaah Undang-undang Nomor 7 Tahun
1996 Tentang Pangan, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang
Label dan Iklan Pangan serta peraturan teknis dibawahnya. Jenis data yang
digunakan yaitu data sekunder. Sumber data yang digunakan mencakup bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik
pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui studi kepustakaan baik berupa
buku-buku, peraturan perundang-undangan, karangan ilmiah, makalah, jurnal,
surat kabar dan cyber media. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah
dengan interpretasi sistematis digunakan dalam pokok permasalahan nomor 1, dan
interpretasi teleologis atau sosiologi dalam pokok permasalahan nomor 2. Untuk
memperoleh jawaban atas permasalahan nomor 3, upaya pemberantasan sertifikat
dan label halal palsu, digunakan silogisme deduksi.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, yaitu
pertama pengaturan sertifikasi dan labelisasi halal diatur dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999
Tentang Label dan Iklan Pangan serta peraturan teknis dibawahnya. Kedua,
peraturan perundang-undangan yang mengatur sertifikasi halal maupun labelisasi
halal belum sepenuhnya memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi
konsumen muslim dalam mencegah dan mengatasi pemalsuan sertifikasi dan
labelisasi halal terhadap pangan dan produk lainnya. Ketiga, bentuk perlindungan
hukum yang diberikan kepada konsumen dan pemberantasan sertifikasi dan
labelisasi halal palsu adalah berupa pemberian sanksi pidana yang tegas dan
sanksi administratif yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) , Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dan Peraturan
Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan, serta adanya
sistem pengawasan yang ketat baik dari pihak pemerintah, masyarakat maupun
lembaga-lembaga non pemerintahan dan penegakan hukum yang tegas.
Kata Kunci: halal, pemalsuan, pemberantasan, perlindungan hukum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRACT
Lindu Aji Saputro. E 0008182. 2012. AN ANALYSIS ON LAW
PROTECTION OF CERTIFICATION FALSIFICATION AND HALAL
LABELING AS THE PRODUCT RIGHTFULNESS LEGITIMACY FORM
IN INDONESIA. Faculty of Law of Sebelas Maret University.
This research aims to find out how the law protection is given to the consumer
against certification falsification and halal (rightful) labeling as well as the regulation of
halal certification and halal labeling as the product rightfulness legitimacy form in
Indonesia. This research was a normative law research that was prescriptive in nature, the
one conducted to provide argumentation that up to now there has no been certainty about
the regulation of halal certification and labeling in indonesia.
The approach used by the author was statute approach by studying the act Number
7 of 1996 about Food, Act Number 8 of 1999 about Consumer Protection, Government
Regulation Number 69 of 1999 about Food Label and Advertisement as well as technical
regulation below it. The type of data used was secondary data. The data source used
included primary, secondary, and tertiary law materials. Technique of collecting data used
was library study in the form of books, legislations, scientific works, papers, journals,
newspapers, and cyber media. Technique of analyzing data used in this research was
systematic interpretation for the problem number 1, and teleological or siciological
interpretation for the problem number 2. Meanwhile to answer the problem number 3, the
attempt of eradicating false halal certification and label, the deductive syllogism.
Based on the result of research and discussion, the following conclusion could be
drawn. Firstly, the halal certification and labeling regulation was governed in the Act
Number 7 of 1996 about Food, Act Number 8 of 1998 about Consumer Protection,
Government Regulation Number 69 of 1999 about Food label and Advertisement as well
as technical regulation below it. Secondly, the legislations governing both halal certification
and halal labeling had not completely given law certainty and protection yet to the Moslem
consumer in preventing and coping with halal certificate and label falsification for food and
other product. Thirdly, the form of law protection given to the consumers and the
eradication of false halal certification and label included the imposition of firm criminal and
the administrative sanction governed in the Penal Code (KUHP), Act Number 7 of 1996
about Food, Act Number 8 of 1999 about Consumer Protection, Government Regulation
Number 69 of 1999 about Food Label and Advertisement, as well as the presence of tight
supervision system from either government or society or non-government organization, and
firm law enforcement.
Keywords: halal, falsification, eradication, law protection.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
“Barangsiapa bersungguh-sungguh, sesungguhnya kesungguhannya itu adalah
untuk dirinya sendiri.”
(QS Al-Ankabut: 6)
“Sesuatu yang belum dikerjakan, seringkali tampak mustahil. Kita baru yakin
kalau kita telah berhasil melakukannya dengan baik”.
(Evelyn Underhill)
“And now, the end is here and so I face the final curtain. I did it my way”.
(Frank Sinatra)
Saya datang, saya bimbingan, saya ujian, mungkin saya revisi dan saya akan
menang”.
(Penulis)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah, kupersembahkan karya kecilku ini
untuk orang-orang yang kusayangi:
1. Ayah bunda tercinta, Agung Sawali dan Ani Patmawati, motivator
terbesar dalam hidupku yang tak pernah jemu menyayangiku,
mendoakanku di dalam setiap hembusan nafasnya, atas semua
pengorbanan dan kesabaran mengantarku sampai kini. Tak pernah cukup
ku membalas cinta ayah bunda padaku. Kedua adikku tercinta Artha dan
Nailah yang selalu ku sayangi.
2. Seseorang terkasih yang hadir di masa kini dan masa depanku.
3. Almamaterku.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas
segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM DARI PEMALSUAN
SERTIFIKASI DAN LABELISASI HALAL SEBAGAI BENTUK
LEGITIMASI KEHALALAN PRODUK DI INDONESIA”. Shalawat dan
salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW yang
telah membimbing manusia dari alam kegelapan ke alam terang benderang.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis telah berusaha sebaik-baiknya,
namun demikian menyadari akan adanya kekurangan-kekurangan yang
diakibatkan oleh keterbatasan kemampuan penulis, maka dengan segala rendah
hati penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala kritik
dan saran yang telah diberikan.
Pada kesempatan ini secara khusus penulis sampaikan penghargaan dan
ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas
Hukum UNS yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada
penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini.
2. Bapak Pius Triwahyudi,SH.,M.Si selaku Pembimbing I yang telah
meluangkan waktunya dan memberikan petuah bijak serta dorongan
semangat dan memberikan ilmu yang sangat bermanfaat bagi Penulis
3. Bapak Ismunarno,SH.,M.Hum selaku Pembimbing II penulisan skripsi
yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan
bimbingan dan arahan bagi tersusunnya skripsi ini.
4. Ibu Rosita Candrakirana, SH.,M.H selaku Pembimbing Seminar
Proposal penulis.
5. Bapak Prasetyo Hadi P,SH.,M.S selaku Pembimbing Akademik
penulis yang telah memberi bimbingan kepada penulis dari awal
semester hingga semester akhir.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
6. Seluruh bapak dan ibu dosen Fakultas Hukum UNS yang telah
memberi ilmu yang bermanfaat kepada penulis.
7. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum UNS yang telah memberi
pelayanan kepada seluruh mahasiswa Fakultas Hukum UNS.
8. Keluargaku tercinta : ayahku Agung Sawali, ibuku Ani Patmawati,
adikku tersayang Artha dan Nailah, yang telah memberiku dukungan
yang sangat besar, baik materiil maupun spirituil, menghibur aku
dikala kesesakan dan memberiku kekuatan baru.
9. Almarhummah ibunda tercinta Daryanti, yang telah melahirkan dan
membesarkanku, tanpa pamrih memberiku kasih sayang yang tiada
batas.
10. Teman-teman kost seperjuangan Yayan, Mimin, Bowo, Ahmad, Bayu,
Adil, Kemal, Banu, Gigih, Jati, Bintang, Weny, Sigit, Agil, Niko,
Angger yang setelah sekian tahun selalu bersama dan menghadirkan
tawa dan keceriaan bagiku. Sungguh aku akan merindukan kalian
semua.
11. Yang terkasih Harina Ratyasti, yang telah memberi warna di hari-hari
ku dan memberiku dukungan yang sangat berarti dalam penulisan
hukum ini.
12. Teman-teman seperjuangan Fakultas Hukum UNS 2008, tetap
semangat dan terus berjuang. Anak-anak parkiran Fakultas Hukum,
mas Eko dan seluruh Satpam dan semua pihak yang tidak dapat
penulis sebutkan satu-persatu yang telah memberikan bantuan dalam
penyelesaian skripsi ini.
Semoga Allah SWT Tuhan semesta alam senantiasa memberikan
petunjuk, bimbingan dan perlindungan kepada kita semua, Amin.
Surakarta, Juli 2012
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.............................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN .............................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN .............................................................. iv
ABSTRAK ............................................................................................ v
HALAMAN MOTTO ............................................................................ vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................... viii
KATA PENGANTAR ........................................................................... ix
DAFTAR ISI ......................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................ xiii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................ 6
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 7
D. Manfaat Penelitian .............................................................. 7
E. Metode Penelitian ............................................................... 8
F. Sistematika Penulisan Hukum ............................................ 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................... 14
A. Kerangka Teori ................................................................... 14
1. Tinjauan tentang Efektivitas Hukum ..................... 14
2. Tinjauan tentang Perlindungan Konsumen ............ 18
a. Pengertian Konsumen ................................ 18
b. Pengertian Perlindungan Konsumen .......... 19
c. Asas Perlindungan Konsumen ................... 21
d. Tujuan Perlindungan Konsumen ............... 22
e. Hak dan Kewajiban Konsumen ................ 22
f. Kewajiban Pelaku Usaha .......................... 24
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
g. Prinsip-prinsip Perlindungan Konsumen .. 24
h. Bentuk-bentuk Perlindungan Konsumen ...... 25
3. Tinjauan tentang Sertifikasi Halal dan Labelisasi 27
Halal ..........................................................................
a. Sertifikasi Halal ............................................ 27
b. Labelisasi Halal ............................................ 28
4. Tinjauan mengenai Halal dan Haram dalam Pangan .. 32
a. Pengertian Halal dan Haram ........................ 32
b. Hukum Halal dan Haram ............................. 33
5. Tinjauan Mengenai Kejahatan Pemalsuan .............. 37
B. Kerangka Pemikiran ............................................................ 41
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................... 44
A. Pengaturan sertifikasi dan labelisasi halal sebagai bentuk
legitimasi kehalalan produk di Indonesia ........................... 44
B. Analisis Keefektifan Peraturan Perundang-undangan
yang mengatur sertifikasi dan labelisasi halal .................... 57
C. Solusi yang efektif guna memberantas pemalsuan sertifikasi
dan labelisasi halal.............................................................. 66
BAB IV PENUTUP ........................................................................... 78
A. Simpulan ........................................................................... 78
B. Saran ................................................................................. 79
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka pemikiran ...................................................... 41
Gambar 2. Prosedur Sertifikasi Halal ............................................. 56
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap orang dalam menjalankan hubungan manusia dengan
manusia pada saat yang bersamaan tidak dapat melepaskan diri dari
pengaruh dengan Tuhan-Nya sebagaimana dijumpai secara maknawi
dalam norma filosofis negara, Pancasila. Setiap warga negara Republik
Indonesia dijamin hak konstitusional oleh UUD 1945 seperti hak asasi
manusia, hak beragama dan beribadat, hak mendapat perlindungan hukum
dan persamaan hak dan kedudukan dalam hukum, serta hak untuk
memperoleh kehidupan yang layak termasuk hak untuk mengkonsumsi
pangan dan menggunakan produk lainnya yang dapat menjamin kualitas
hidup dan kehidupan manusia. Negara turut menjamin akan hak tersebeut
seperti yang diatur pada Pasal 29 UUD 1945 sebagaimana telah
diamandemen menjadi Pasal 28(E) UUD 1945 yang berbunyi:
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di
wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat berkumpul dan
mengeluarkan pendapat.
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk Muslim
terbesar di dunia. Dari sekitar 235 juta jiwa, lebih dari 80 persen
penduduknya menganut agama islam. Dengan jumlah sebesar itu, bisa
dipastikan Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial untuk
pemasaran berbagai produk, baik makanan, pakaian, maupun obat-obatan
(“Pentingnya Jaminan Halal”.Republika, Kamis 19 Januari 2012).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
The potential market for halal products is the world’s Islamic
population, which is of the order of 1600 million people. Of this total,
Indonesia contributes 180 million; India, 140 million; Pakistan, 130
million; the Middle East, 200 million; Africa, 300 million; Malaysia,
14 million and North America, 8 million. As the world’s most
populous Muslim country, Indonesia has the potential to become
not only a major market but also a major producer of halal
products (Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities.
Vol. 3. Endang S Soesilowati 2010 :151–160).
Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi yang diterapkan
dalam proses produksi atas barang dan jasa, maka timbul suatu masalah
bahwa konsumen memiliki keterbatasan untuk mengetahui kebenaran
informasi yang ada pada produk yang akan dikonsumsinya. Informasi
yang dimaksud adalah mengenai kebenaran akan bahan-bahan dari produk
konsumsi yang bersangkutan tersebut dan secara mutlak harus ada dalam
label kemasan produk atau dalam bentuk etiket lain yang jelas dan mudah
dipahami oleh konsumen. Dari hal tersebut timbul suatu keraguan atas
keamanan dan kenyamanan dari barang yang dikonsumsi karena
kemungkinan pada pembuatannya, bahan-bahan produknya, ada
campuran bahan-bahan kritis tertentu, dari alat-alat produksinya, hingga
pengemasan ataupun hasil akhir dari proses produksi mengandung suatu
zat atau bahan yang tidak dibenarkan hukum agama, maka disini perlu
adanya informasi atas kehalalan yang termuat dalam label halal pada
produk yang bersangkutan.
The technological developments have multiplied the need of
consumers and have changed the tradition that guided our living in
the past. The rapid industrial development has not only brought
new innovations and products into common use but has also
affected the mode and outlook of our living. The simple goods
which were catering our needs have been replaced by complex and
complicated goods. In view of the socio – economic changes which
have taken place in the lives of the people it is imperative to build
up a strong and broad based consumer movement which may give
impetus and bring about socio-legal measures necessary for
consumer protection (Journal of Indian Law Institute New Delhi.
Vol. 3 No. 1 Tahun 1991, Rajendra Kumar Nayak 1991).
Adanya keterbatasan kemampuan konsumen dalam meneliti
kebenaran isi label halal tersebut dan belum adanya hukum positif di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Indonesia yang secara khusus mengatur tentang jaminan kehalalan dengan
sertifikasi dan labelisasi halal, oleh negara melalui beberapa peraturan
yang sudah ada yang mengatur tentang labeling halal pada produk pangan
dalam kemasan yakni; UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan UU
No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kemudian diikuti
dengan peraturan-peraturan dibawahnya yakni Peraturan Pemerintah No.
69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Keputusan Menteri
Agama No. 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan
dan Penetapan Pangan Halal, SK Menteri Kesehatan No.
924/Menkes/SK/VII/1996 jo SK Menkes No.82/Menkes/SK/I/1996
Tentang Pencantuman “Tulisan Halal” Pada Label Makanan.
Sertifikasi halal pada produk makanan yang menjadi konsumsi
masyarakat merupakan salah satu upaya perlindungan pemerintah terhadap
masyarakat secara umum. Soalan kehalalan bukan ditilik dari bahannya
semata, tetapi juga dari proses pengolahan yang bercampur dengan aneka
bahan tambahan, hingga tahap pengemasan yang masih kritis tercampur
dengan bahan-bahan tidak halal. Dalam hal inilah diperlukan label halal
yang terpercaya, yang dapat memberikan ketentraman bagi konsumen
untuk mengkonsumsi pangan halal (http://halalguide.info/categorykonsep-
dasar/halal-itu-penting). Dari 2005 hingga September 2011, Lembaga
Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama
Indonesia (MUI) sudah memberi 5.614 sertifikat halal pada sejumlah
produk. Dari jumlah tersebut, terdapat 87.013 item produk dari 3.308
perusahaan (“Pentingnya Jaminan Halal”.Republika, Kamis 19 Januari
2012).
Pelaku usaha dan konsumen adalah pihak yang saling berhubungan
dan saling memerlukan, tetapi pada prakteknya seringkali konsumen
dirugikan atas tindakan pelaku usaha yang tidak jujur, nakal, dari tinjauan
aspek hukum merupakan tindakan pelanggaran hukum. Konsumen yang
keberadaanya sangat tidak terbatas, dengan strata yang sangat bervariasi
menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
produk barang atau jasa dengan cara-cara yang seefektif mungkin agar
dapat mencapai konsumen yang majemuk tersebut. Untuk itu semua cara
pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai
dampak, termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat
negatif bahkan tidak terpuji yang berawal dari itikad buruk. Dampak buruk
yang sering terjadi antara lain, menyangkut kualitas atau mutu barang,
informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan pemalsuan dan sebagainya
(Sri Redjeki Hartono, 2000:34). Maka dapat dikatakan bahwa konsumen
berada pada posisi yang lemah dari pada pelaku usaha. Konsumen sebagai
pihak yang lemah juga diakui secara internasional sebagaimana tercermin
dalam Resolusi Majelis Umum PBB No.A/RES/39/248 Tahun 1985,
tentang Guidelines for Consumer Protection (Susanti Adi Nugroho,
2008:3), yang menyatakan bahwa :
“Taking into account the interest and needs of consumers in all
countries, particularly those in developing countries, recognizing
that consumers often face imbalance in economic terms,
educational levels, and bargaining power, and bearing in mind
that consumers should have the right of access to nonhazard-ous
products, as well as the right to promote just, equitable and
sustainable economic and social development,”.
Adanya peredaran produk pangan dalam kemasan yang
memasang label halal tanpa memenuhi ketentuan perundang-undangan,
sangat meresahkan konsumen, seperti kasus yang terjadi di Surabaya
dimana Badan POM mengadakan pengujian terhadap 35 merek
dendeng/abon sapi, terdiri dari 15 dendeng dan 20 abon, menemukan
sebanyak 5 merek dendeng positif DNA babi, pada dendeng dan abon
daging babi dikemas dan ditulis sebagai daging sapi, bahkan ada cap
halalnya pada bungkus dendeng tersebut (http://rabbitica.
blogspot.com/2011/02/pemalsuan). Masyarakat sebagai konsumen, sering
merasa tertipu karena telah membeli produk dalam kemasannya
bertuliskan halal, namun kenyataannya belum memperoleh sertifikat halal
dari MUI maupun legalisasi dari pemerintah. Apalagi produk tersebut
belum mempunyai kejelasan mengenai status kehalalannya. Padahal,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah,
pencantuman label atau tanda halal pada kemasan produk, harus dengan
izin resmi pemerintah, dalam hal ini adalah Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM). Izin dari BPOM untuk mencantumkan label atau tanda
halal, harus didasarkan pada Sertifikat Halal dari MUI. Dimana Sertifikat
Halal tersebut diperoleh melalui pemeriksaan dan proses sertifikasi halal
yang dilakukan LPPOM MUI. Hal tersebut untuk menjamin bahwa produk
yang dihasilkan halal seterusnya, bukan hanya halal pada saat pengajuan
dan diaudit/diperiksa oleh LPPOM MUI.
Hal tersebut diatas membuktikan bahwa kesadaran masyarakat
maupun pelaku usaha masih rendah dalam pentingnya memperhatikan
hak-hak konsumen dan pememahaman produk yang dikonsumsinya
tersebut dengan kurang menghiraukan apakah produk yang mereka
konsumsi benar-benar halal atau masih menimbulkan keragu-raguan.
Seperti contoh yaitu dalam survei yang dilakukan oleh “Jurnal Halal”
bahwa presentase penggunaan produk kosmetika yang telah mendapatkan
Sertifikat Halal mendapat angka kurang dari 5% dari total 60 merk yang
disebutkan. Sisanya yakni 95% atau sekitar 57 merk merupakan produk
kosmetika yang belum jelas aspek kehalalannya (http://threemc.
multyply.com/read/article). Adanya permasalahan mengenai kehalalan
produk yang beredar di pasaran Indonesia juga memperlihatkan masih
lemahnya pengawasan dari pemerintah maupun lembaga yang terkait
dalam mengawasi peredaran produk yang beredar di pasar Indonesia. Perlu
juga diketahui bahwa asas sertifikasi dan labelisasi produk halal di
Indonesia masih bersifat sukarela (voluntary) bukan bersifat mandatory
atau wajib. Istilah voluntary merujuk pada sifat sertifikasi yang bersifat
sukarela, siapa mau, silakan daftar. Yang tidak mau, tidak masalah dan
tidak ada sanksi. Dari hal tersebut menimbulkan polemik dan pertanyaan
yang mendasar. Belum juga jika melihat bahwa pada era pasar bebas
sekarang ini sejumlah produk secara bebas dapat masuk ke dalam negeri,
adanya lembaga sertifikasi halal dan labelisasi halal di luar negeri yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
memberikan sertifikat dan label halal atas produk impor yang masuk ke
dalam negeri yang menimbulkan pertanyaan mengenai kebenaran dan
keabsahan apakah produk yang bersangkutan tersebut benar-benar halal
atau tidak. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri dalam melindungi
hak konsumen khususnya konsumen Muslim untuk memperoleh kejelasan
kehalalan produk tentu harus ada filter atau penyaring dalam bentuk aturan
dan pelaksanaan yang tegas dan efektif dari sertifikasi dan labelisasi halal
atas produk pangan.
Berdasarkan paparan yang diuraikan diatas, penulis merasa tertarik
untuk mengadakan penelitian yang tertuang dalam bentuk penulisan
hukum dengan judul: “ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP PEMALSUAN SERTIFIKASI DAN LABELISASI
HALAL SEBAGAI BENTUK LEGITIMASI KEHALALAN
PRODUK DI INDONESIA”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengaturan sertifikasi dan labelisasi halal sebagai
bentuk legitimasi kehalalan produk di Indonesia?
2. Apakah ketentuan perundang-undangan yang ada sudah dapat
mencegah dan mengatasi pemalsuan sertifikasi dan labelisasi halal
yang merugikan konsumen?
3. Bagaimanakah solusi yang efektif guna memberantas pemalsuan
sertifikasi dan labelisasi halal?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
C. Tujuan Penelitian
“Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu
hukum yang timbul” (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 41), berdasarkan hal
tersebut maka penelitian ini mempunyai tujuan obyektif dan subyektif,
sehingga mampu mencari pemecahan isu hukum yang terkait. Adapun
tujuan dari penelitian yang hendak dicapai peneliti adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui pengaturan sertifikasi dan labelisasi halal
sebagai bentuk legitimasi kehalalan produk di Indonesia.
b. Untuk mengetahui keefektifan ketentuan perundang-undangan
yang ada apakah sudah dapat mencegah dan mengatasi pemalsuan
sertifikasi dan labelisasi halal yang merugikan konsumen
c. Untuk memberikan solusi yang efektif guna memberantas
pemalsuan sertifikasi dan labelisasi halal.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah dan memperluas pengetahuan penulis mengenai
hukum nasional dalam bidang Hukum Administrasi Negara dan
Hukum Pidana khususnya khususnya mengenai perlindungan
konsumen atas pemalsuan sertifikasi dan labelisasi halal.
b. Memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar Sarjana
Hukum dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Penulis berharap dengan kegiatan penelitian dalam penulisan
hukum ini akan bermanfaat bagi penulis maupun untuk pihak lain. Adapun
manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan hukum ini antara lain:
1. Manfaat teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
umumnya dan Hukum Administrasi Negara dan Hukum Pidana
pada khususnya serta dapat dipakai sebagai acuan terhadap
penulisan maupun penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan
literatur dalam dunia kepustakaan tentang Analisis Perlindungan
Hukum Terhadap Pemalsuan Sertifikasi dan Labelisasi Halal
Sebagai Bentuk Legitimasi Kehalalan Produk di Indonesia.
2. Manfaat Praktis
a. Memeberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.
b. Memberikan gambaran dan informasi tentang penelitian yang
sejenis dan pengetahuan bagi masyarakat luas mengenai
Perlindungan Hukum Terhadap Pemalsuan Sertifikasi dan
Labelisasi Halal Sebagai Bentuk Legitimasi Kehalalan Produk di
Indonesia.
c. Memberikan kontribusi terhadap pemecahan masalah dalam
penegakan dan pelindungan konsumen khususnya dalam
pemberantasan pemalsuan sertifikasi dan labelisasi halal produk.
E. Metode Penelitian
Penelitian adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,
pemikiran tertentu dan sistematika. Metode penelitian juga mempengaruhi
perolehan data-data dalam penelitian yang dilakukan yang untuk selanjutnya
diolah dan dikembangkan semaksimal mungkin sesuai dengan metode ilmiah
demi tercapainya tujuan penelitian yang dirumuskan. Penelitian hukum adalah
suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun
doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter
Mahmud Marzuki 2005:35). Agar suatu penelitian dapat berjalan dan
memperoleh hasil yang diharapkan, maka perlu menggunakan suatu metode
penelitian yang baik dan tepat. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan
metode penelitian sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
1. Jenis Penelitian
Penelitian hukum secara umum dibedakan menjadi penelitian
dotrinal dan non-doktrinal. Adapun dalam penelitian ini, penulis
menggunakan jenis penelitian doktrinal atau disebut juga sebagai
penelitian hukum normatif. Penelitian doktrinal bersifat preskriptif dan
bukan deskriptif sebagaimana ilmu-ilmu alamiah dan ilmu-ilmu sosial
(Peter Mahmud Marzuki 2005:33).
2. Sifat Penelitian
Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat
preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum
mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum,
konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan
ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-
rambu dalam melaksanakan aturan hukum. Sifat preskriptif keilmuan
hukum ini merupakan sesuatu yang subtansial di dalam ilmu hukum. Hal
ini tidak akan mungkin dapat dipelajari oleh disiplin lain yang objeknya
juga hukum (Peter Mahmud Marzuki 2005:22).
3. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai
aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah
pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case
approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan
komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual
(conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki 2005:93).
Dari kelima macam pendekatan yang tersebut diatas, pendekatan
yang relevan dengan penelitian hukum yang diangkat oleh penulis adalah
pendekatan undang-undang (statute approach). Pendekatan undang-
undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang
ditangani (Peter Mahmud Marzuki 2005:93). Dengan mempelajari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti
akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum,
konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang
dihadapi (Peter Mahmud Marzuki 2005:95).
4. Sumber Bahan Penelitian
Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi
sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan
bahan-bahan hukum sekunder. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
peruandang-undangan dan putusan-putusan hakim (Peter Mahmud
Marzuki 2005:141). Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang
digunakan yaitu:
1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( KUHP );
2) UU RI No.7 Tahun1996 tentang Pangan;
3) UU RI No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
4) PP No.69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan;
5) SK Menteri Agama No. 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan
Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal.
6) SK Menteri Agama No 519 Tahun 2001 tentang Lembaga
Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal;
7) SK Menteri Agama No. 525 Tahun 2001 tentang Penunjukan
Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (PERUM
PERURI) Sebagai Pelaksana Pencetakan Label Halal;
8) SK Menteri Kesehatan No 924/Menkes/SK/VIII/ 1996 tentang
perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No
82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pecantuman Tulisan Halal dan
Label Makanan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Bahan-bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang
hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal
hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud
Marzuki 2005:141). Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini yaitu
buku-buku yang ditulis oleh pakar-pakar hukum, jurnal-jurnal hukum,
artikel internet, dan berbagai sumber lain yang mempunyai korelasi untuk
mendukung penelitian ini.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum dimaksudkan untuk
memperoleh bahan hukum dalam penelitian. Begitu isu hukum ditetapkan,
peneliti melakukan penelusuran untuk mencari bahan-bahan yang relevan
terhadap isu yang dihadapi (Peter Mahmud marzuki 2005:194). Teknik
pengumpulan bahan hukum yang mendukung dan berkaitan dengan
pemaparan penulisan hukum ini adalah studi dokumen (studi
kepustakaan). Studi dokumen ini berguna untuk mendapatkan landasan
teori dengan mengkaji dan mempelajari peraturan perundang-undangan,
buku-buku referensi, dokumen laporan, arsip dan hasil penelitian terdahulu
lainnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
6. Teknik Analisa Bahan Hukum
Teknik analisis data dalam suatu penelitian merupakan hal yang
sangat penting untuk menguraikan dan memecahkan masalah yang diteliti
berdasarkan data-data yang sudah dikumpulkan. Analisis data adalah
proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori
dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexy J.
Moleong, 2007:280).
Dalam penelitian ini, metode penalaran yang digunakan penulis
adalah metode deduksi dimana penggunaan metode deduksi ini berpangkal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
dari pengajuan premis mayor. Kemudian diajukan premis minor. Dari
kedua premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion
(Peter Mahmud marzuki 2005:47).
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk lebih memudahkan penulisan hukum ini, maka penulis
dalam penelitiannya membagi penulisan hukum ini menjadi empat bab dan
dalam tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk
memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian. Adapun
sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada Dalam bab ini dikemukakan tentang latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan
hukum.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ke dua ini memuat sub bab, yaitu kerangka teori
dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori penulis
menguraikan tinjauan tentang efektivitas hukum, tinjauan
tentang perlindungan konsumen, tinjauan tentang setifikasi
dan labelisasi halal, tinjauan tentang halal dan haram dalam
makanan, tinjauan tentang pemalsuan. Selain itu untuk
memudahkan pemahaman alur berpikir, maka dalam bab ini
juga disertai kerangka pemikiran.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis menguraikan dan menyajikan
pembahasan berdasarkan rumusan masalah, yaitu
pengaturan sertifikasi dan labelisasi halal sebagai bentuk
legitimasi kehalalan produk di Indonesia, analisis terhadap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
ketentuan peraturan yang ada yang mengatur sertifikasi dan
labelisasi halal dan solusi yang efektif guna memberantas
pemalsuan sertifikasi dan labelisasi halal.
BAB IV PENUTUP
Bab ini menguraikan kesimpulan dan saran terkait dengan
permasalahan yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Efektivitas Hukum
Dalam menemukan pengertian hukum, beberapa ahli hukum sulit
menemukan definisi yang memadai kenyataan, seperti diungkapkan Lemaire
bahwa yang banyak seginya serta meliputi segala lapangan ini menyebabkan
orang tidak mungkin membuat suatu definisi apa itu hukum sebenarnya. Selain
Lemaire, Van Apeldoorn juga pernah menyatakan bahwa tidak mungkin
memberikan definisi tentang hukum, yang sungguh-sungguh dapat memadai
kenyataan (Ishaq, 2008:1).
Pengertian hukum menurut beberapa pendapat ahli hukum (Ishaq, 2008:2-
3) diantaranya:
a. Duguit, menyatakan bahwa hukum adalah aturan tingkah laku para
anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu
diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan
bersama terhadap orang yang melanggar peraturan itu.
b. S.M Amin, berpendapat bahwa hukum itu adalah kumpulan peraturan
yang terdiri atas norma dan sanksi-sanksi.
c. E. Utrecht, berpendapat bahwa hukum adalah himpunan petunjuk hidup
(perintah dan larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat,
dan seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat yang
bersangkutan. Oleh karena itu, pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat
menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa itu.
d. J.T.C Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, mengungkapkan bahwa
hukum ialah peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah
laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan resmi
yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan tadi berakibat
diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
Dari beberapa pengertian hukum oleh para ahli hukum diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa hukum adalah suatu seperangkat aturan yang berisi norma-
norma yang dijadikan pedoman hidup dan tingkah laku bagi manusia yang apabila
hukum itu dilanggar maka terdapat ancaman sanksi.
Tentang hal berlakunya hukum dapat dibedakan menjadi tiga hal, yaitu
berlakunya secara filosofis, yuridis dan sosiologis. Berlakunya hukum secara
filosofis berarti bahwa hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum, sebagai
nilai positif yang tertinggi. Berlakunya hukum secara yuridis seperti anggapan
Hans Kelsen, yang mengatakan bahwa kaidah hukum mempunyai kekuatan
yuridis, apabila penentuannya berdasarkan kaidah yang lebih tinggi tingkatannya.
Berlakunya secara sosiologis bahwa hukum itu berlaku didalam masyarakat
secara sosiologis yang intinya adalah “efektivitas hukum” (Soleman B.Taneko,
1993:47).
Berbicara mengenai efektivitas hukum tidak terlepas membicarakan dan
mengkaji mengenai ketaatan manusia terhadap hukum yang berlaku. Jika suatu
aturan hukum ditaati maka dapat dikatakan aturan hukum tersebut efektif. Namun
tetap dapat dipertanyakan lebih jauh mengenai derajat efektifitasnya. Untuk
mengetahui mengenai derajat efektifitas suatu aturan hukum dapat kita lihat pada
hubungan teori ketaatan hukum dari H. C Kelman (1966) dan L. Pospisil (1971)
yang membagi ketaatan dalam tiga jenis (http://errymeta.
blogspot.com/membangun-kesadaran-hukum-dan-ketaatan.html), yaitu:
a. Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu jika seseorang mentaati suatu
aturan, hanya karena takut terkena sanksi. Kelemahan ketaatan jenis ini,
karena membutuhkan pengawasan yang terus-menerus.
b. Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika seseorang mentaati suatu
aturan, hanya karena takut hubungan baiknya dengan pihak lain menjadi
rusak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
c. Ketaatan yang bersifat internalization, yaitu jika seseorang mentaati suatu
aturan, benar-benar karena merasa bahwa aturan itu sesuai dengan nilai-
nilai intristik yang dianutnya
Mengenai efektifnya suatu perundang-undangan tergantung pada beberapa
faktor antara lain :
a. Pengetahuan terhadap substansi (isi) dari perundang-undangan
tersebut.
b. Cara-cara memperoleh pengetahuan tersebut
c. Institusi yang terkait perundang-undangan dalam masyarakatnya.
Menurut Achmad Ali, faktor yang mempengaruhi efektivitas hukum dan
perundang-undangan adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran,
wewenang, dan fungsi dari penegak hukum, baik dalam menjalankan tugas yang
dibebankan kepada mereka maupun dalam menegakkan hukum dan undang-
undang. Bekerjanya undang-undang dapat dilihat dari dua perspektif
(http://scribd.com/doc/Efektivitas-Hukum), antara lain :
a. Perspektif Organisatoris. Memandang undang-undang sebagai institusi
yang ditinjau dari ciri-cirinya. Didalam perspektif ini tidak terlalu
memperhatikan pribadi-pribadi yang pergaulan hidupnya diatur oleh
hukum atau perundang-undangan.
b. Perspektif Individu. Ketaatan, yang lebih berfokus pada segi Individu
atau pribadi dimana pergaulan hidupnya diatur oleh perundang-
undangan. Fokus perspektif Individu adalah kepada masyarakat
sebagai kumpulan pribadi-pribadi. Faktor kepentingan yang
menyebabkan orang taat atau tidak taat terhadap undang-undang,
dengan kata lain pola-pola perilaku masyarakat yang banyak
mempengaruhi efektifitas perundang-undangan.
Berlaku efektifnya suatu hukum atau perundang-undangan tak lepas dari
peranan penegak hukum. Menurut Jimly Asshiddiqie (http://www.docudesk.com/
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Penegakan-hukum), Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk
tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman
perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
Hukum bertugas untuk menciptakan kepastian hukum karena bertujuan
menciptakan ketertiban masyarakat. Tentunya masyarakat mengharapkan manfaat
dalam pelaksanaan dan penegakan hukum, karena hukum itu untuk manusia,
maka pelaksanaan dan penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan
bagi masyarakat.
Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi
penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit,
aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu,
dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas
sipir pemasyarakatan. Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum
itu, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu: (i) institusi
penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana
pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; (ii) budaya kerja yang
terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan
(iii) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya
maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik
hukum materielnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum
secara sistemik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan,
sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal
dapat diwujudkan secara nyata (http://www.docudesk.com/Penegakan-
hukum).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
2. Tinjauan tentang Perlindungan Konsumen
a. Pengertian konsumen
Pasal 1 angka 2 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK) disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan konsumen adalah:
(2) Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan.
Penjelasan Pasal 1 angka 2 UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen disebutkan, di dalam kepustakaan
ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara.
Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu
produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang
menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu
produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini
adalah konsumen akhir.
Ada beberapa hal yang perlu ditelaah dari pengertian
konsumen menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen diatas yakni, pertama dalam penggunaan
istilah “orang” pada pengertian konsumen dalam UUPK
menimbulkan keraguan karena subyek hukum bukan hanya orang
tetapi juga badan hukum, sehingga dalam pemakaian istilah
“orang” dapat diartikan hanya orang individual atau natuurlijke
persoon dan badan hukum bukan termasuk didalamnya. Kedua,
penggunaan istilah “pemakai” menimbulkan anggapan bahwa
barang yang bersangkutan bisa saja bukan milik sendiri walaupun
sebelumnya terjadi transaksi jual beli. Ketiga, penggunaan istilah
berasal dari pelaku usaha adalah karena konsumen disini memiliki
hubungan hukum dengan pelaku usaha, dimana salah satunya
terkait masalah tuntutan ganti kerugian dari konsumen terhadap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
pelaku usaha apabila konsumen mengalami kerugian yang
disebabkan oleh produk dari pelaku usaha.
Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, konsumen
adalah setiap orang/badan hukum yang memperoleh dan/atau
memakai barang/jasa yang berasal dari pelaku usaha dan tidak
untuk diperdagangkan (Ahmadi Miru&Sutarman Yodo, 2004:7).
Sedangkan pengertian konsumen muslim adalah sekelompok
konsumen yang menerapkan Syariat atau Hukum Islam dalam
kehidupan kesehariannya, termasuk didalamnya pada aspek
makanan yang aman tidak hanya sekedar terbebas dari bahaya
fisik, kimia ataupun mikrobiologi semata, namun juga terdapat
suatu unsur yang hakiki yakni aman dari bahaya barang yang
diharamkan dan diragukan kehalalannya.
b. Pengertian Perlindungan Konsumen
Istilah “hukum konsumen” dan “hukum perlindungan
konsumen” sudah sangat sering terdengar. Namun, belum jelas
benar apa saja yang masuk ke dalam materi keduanya. Juga,
apakah kedua “cabang” hukum itu identik. M.J Leder menyatakan:
In a sence there is no such creature as consumer law. Sekalipun
demikian, secara umum sebenarnya hukum konsumen dan hukum
perlindungan konsumen itu seperti yang dinyatakan oleh Lowe,
yakni : ….rules of law which recognize the bargaining weakness of
the individual consumer and which ensure that weakness is not
unfairly exploted. Karena posisi konsumen yang lemah maka ia
harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan
hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada
masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan hukum
perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit
dipisahkan dan ditarik batasnya (Shidarta, 2000:9).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Istilah “Perlindungan Konsumen” berkaitan dengan
perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen
mengandung aspek hukum (Shidarta, 2000:16). Menurut Pasal 1
angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK) bahwa “perlindungan konsumen adalah segala upaya
yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen”.
Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum”, diharapkan menjadi benteng
untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang
merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan
perlindungan konsumen” (Ahmadi Miru&Sutarman Yodo,
2004:1).
Perlindungan konsumen merupakan masalah kepentingan
manusia, oleh karenanya harapan bagi semua bangsa di dunia
untuk dapat mewujudkannya. Mewujudkan perlindungan
konsumen adalah mewujudkan hubungan berbagai dimensi yang
satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling ketergantungan
antara konsumen, pengusaha dan pemerintah. Pengaturan
perlindungan konsumen dilakukan dengan (Nurmadjito, 2000:7):
a) menciptakan sistem perlindungan konsumen yang
mengandung unsur keterbukaan akses dan informasi, serta
menjamin kepastian hukum;
b) melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan
kepentingan seluruh pelaku usaha ;
c) meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa;
d) memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek
usaha yang menipu dan menyesatkan;
e) memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan
pengaturan dan perlindungan konsumen dengan bidang-
bidang perlindungan pada bidang-bidang lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
c. Asas perlindungan konsumen
Pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK) menyebutkan bahwa “Perlindungan konsumen
berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan
keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”. Dalam penjelasan
Undang-Undang tesebut, perlindungan konsumen diselenggarakan
sebagai usaha bersama berdasarkan 5 asas yang relevan dalam
pembangunan nasional yaitu:
a) asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa
segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya
bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara
keseluruhan.
b) asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat
dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan
kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya
secara adil.
c) asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha
dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
d) asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan
untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan
kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
digunakan.
e) asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha
maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh
keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen,
serta negara menjamin kepastian hukum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
d. Tujuan Perlindungan Konsumen
Pasal 3 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, menyatakan bahwa perlindungan konsumen bertujuan
untuk:
a) meningkatkan kesadaran, kemampuan dan
kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b) mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan
cara menghindarkannya dari ekses negatif
pemakaian barang dan/atau jasa;
c) meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam
memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya
sebagai konsumen;
d) menciptakan sistem perlindungan konsumen yang
mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
e) menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai
pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab
dalam berusaha;
f) meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang
menjamin kelangsungan usaha produksi barang
dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan,
dan keselamatan konsumen.
e. Hak dan Kewajiban konsumen
Perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan
perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen
(Shidarta, 2000:16). Hak-hak dasar konsumen sebagaimana
dikemukakan pertama kali oleh Presiden Amerika Serikat J.F
Kennedy di depan kongres pada tanggal 15 Maret 1962 (Ahmadi
Miru&Sutarman Yodo, 2004:38), yaitu terdiri atas:
a) hak memperoleh keamanan;
b) hak memilih;
c) hak mendapat informasi;
d) hak untuk didengar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Dari keempat hak diatas, Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen lebih luas cakupannya, yakni:
a) hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
Pada pasal ini menunjukan, bahwa setiap konsumen
termasuk kosumen muslim berhak untuk
mendapatkan barang yang nyaman dikonsumsi
olehnya. Nyaman bagi konsumen muslim adalah
bahwa barang tersebut tidak bertentangan dengan
kaidah agama atau halal (Wiku Adisasmito. 2008.
“Case Study: Analisis Kebijakan Nasional MUI dan
BPOM” Makalah. Disampaikan di Universitas
Indonesia tahun 2008).
b) hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta
mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
c) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas
barang dan/atau jasa yang digunakan;
e) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan
upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen
secara patut;
f) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan
konsumen;
g) hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif;
h) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima
tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
i) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Kewajiban konsumen sebagaimana tercantum pada Pasal 5 UU No.
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yakni:
a) membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan
prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau
jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b) beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian
barang dan/atau jasa;
c) membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
d) mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
f. Kewajiban pelaku usaha
Pasal 7 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, kewajiban pelaku usaha adalah:
a) beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b) memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa
serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan;
c) memperlakukan atau melayani konsumen secara benar
dan jujur serta tidak diskriminatif;
d) menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi
dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar
mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e) memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji,
dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta
memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang
dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian
atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
g) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian
apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau
dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
g. Prinsip-prinsip perlindungan konsumen
Dalam perkembangan sejarah hukum perlindungan
konsumen muncul doktrin-doktin mengenai kedudukan konsumen
dalam hubungannya dengan pelaku usaha (Shidarta, 2000:50),
yakni:
a) Let the buyer beware
Asas ini berasumsi, pelaku usaha dan konsumen adalah
dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu
ada proteksi apapun bagi si konsumen.
b) The due care theory
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Doktrin ini menyatakan bahwa pelaku usaha
mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam
memasyarakatkan produk baik barang maupun jasa.
Selama berhati-hati dengan produknya, ia tidak dapat
dipersalahkan. Pada prinsip ini berlaku sistem
pembuktian siapa yang mendalilkan maka dialah yang
membuktikan.
c) The privity of contract
Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai
kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal
tersebut baru bisa dilakukan apabila antara konsumen
dan pelaku usaha telah melakukan hubungan secara
kontraktual.
h. Bentuk-bentuk perlindungan konsumen
Bentuk-bentuk perlindungan konsumen dalam rangka
melindungi kepentingan konsumen dapat ditempuh melalui banyak
cara, yaitu bisa perlindungan secara individu, perlindungan dari
pelaku usaha, perlindungan dari negara atau pemerintah dan
perlindungan dari lembaga atau organisasi konsumen.
a) Perlindungan secara individual.
Mengingat bahwa konsumen pada umumnya menjadi pihak
yang lemah dan banyak dirugikan atas tindakan pelaku
usaha yang tidak bertangungjawab dan masih banyaknya
konsumen yang tidak menyadari akan hak-haknya sebagai
konsumen maka salah satu cara upaya perlindungan
individual yang dilakukan adalah memberdayakan
konsumen dengan memberikan pendidikan konsumen,
pendidikan disini bertujuan untuk memberikan pengetahuan
dalam memilih dan menggunakan produk yang akan
dikonsumsi sehingga diharapkan dapat terhindar dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
kerugian yang diderita akibat penggunannya. Dari hal
tersebut konsumen akan dapat melindungi dirinya sendiri
dan dapat bertindak benar ketika merasa dirugikan.
b) Perlindungan dari pelaku usaha.
Pada perlindungan ini, pelaku usaha harus memperhatikan
kewajibannya sebagai pelaku usaha terhadap konsumen
seperti tercantum secara yuridis formal pada Pasal 7 UU
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pelaku
usaha harus memenuhi persyaratan keamanan dan
keselamatan yang ditentukan oleh pemerintah.
c) Perlindungan dari negara atau pemerintah.
Selain memberikan perlindungan konsumen melalui
berbagai undang-undang, langkah yang dapat ditempuh
oleh pemerintah adalah dengan mengatur dan mengawasi
dan mengendalikan produksi, distribusi, dan peredaran
produk.
d) Perlindungan dari lembaga atau organisasi konsumen.
UUPK memberikan pengakuan terhadap keberadaan
organisasi konsumen atau Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) seperti
disebutkan pada Pasal 44 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, yakni:
(1) Pemerintah mengakui lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi
syarat.
Untuk melindungi kepentingan konsumen, tugas dari
LPKSM adalah :
a. Menyebarkan informasi dalam rangka
meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
dan kehatihatian konsumen dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
b. Memberikan nasihat kepada konsumen yang
memerlukannya;
c. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya
mewujudkan perlindungan konsumen;
d. Membantu konsumen dalam memperjuangkan
haknya, termasuk menerima keluhan atau
pengaduan konsumen;
e. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan
masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan
konsumen.
3. Tinjauan tentang Sertifikasi Halal dan Labelisasi halal
a. Sertifikasi halal
Sertifikasi halal dan labelisasi halal merupakan dua
kegiatan yang berbeda tetapi mempunyai keterkaitan satu sama
lain. Sertifikasi halal dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan
pengujian secara sistematik untuk mengetahui apakah suatu barang
yang diproduksi suatu perusahaan telah memenuhi halal. Hasil dari
kegiatan Sertifikasi Halal tersebut adalah diterbitkannya Sertifikat
Halal apabila produk yang dimaksudkan telah memenuhi ketentuan
sebagai produk halal. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri
Agama No. 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara
Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal menunjuk Lembaga
Pengkajian Pangan Obat dan Makanan Majelis Ulama Indonesia
atau yang selanjutnya disingkat dengan (LPPOM MUI) untuk
melakukan pemeriksaan pangan terhadap suatu produk yang akan
diberikan label halal. Sebelum mendapatkan label halal maka
terlebih dahulu produsen harus mendapatkan sertifikasi halal dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
LPPOM MUI (Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Medan Area, moral&adil Vol. 1 No. 1 Elvi Zahara Lubis. 2009).
Pengertian sertifikat halal menurut SK Menteri Agama RI
No.518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan
dan Penetapan Pangan Halal yakni pada Pasal 1 huruf (d) bahwa
“Sertifikat Halal adalah fatwa tertulis yang menyatakan kehalalan
suatu produk pangan yang dikeluarkan oleh Lembaga
Pemeriksaan”. Fatwa MUI yang menyatakan kehalalan suatu
produk sesuai dengan syariat Islam. Tujuan pelaksanaan sertifikasi
halal pada produk pangan adalah untuk memberikan kepastian
kehalalan suatu produk sehingga dapat menentramkan batin yang
mengkonsumsi.
b. Labelisasi halal
Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label
dan Iklan Pangan, dalam ketentuan umumnya, pengertian label
pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk
gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang
disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada,
atau merupakan bagian kemasan pangan, yang selanjutnya dalam
Peraturan Pemerintah ini disebut Label. Labelisasi halal adalah izin
pemasangan kata halal pada kemasan produk dengan logo halal
yang diajukan oleh suatu perusahaan dengan izin Departemen
Kesehatan RI atau sekarang menjadi Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM).
Pencantuman label halal pada makanan atau kemasan
makanan dilakukan setelah produsen atau pelaku usaha memiliki
Sertifikat Halal. Produk makanan yang dinyatakan halal atas fatwa
MUI setelah melalui serangkaian pemeriksaan atau audit di lokasi
pelaku usaha atau produsen dan pengujian laboratorium secara
seksama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Pengaturan mengenai Label pada kemasan pangan diatur
pada Pasal 30 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan
disebutkan “Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke
dalam wilayah Indonesia makanan yang dikemas untuk
diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan
atau di kemasan pangan”. Pada ayat (2) disebutkan Label,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat sekurang-kurangnya
keterangan mengenai :
a. Nama produk;
b. Daftar bahan yang digunakan
c. Berat bersih atau isi bersih;
d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau
memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia
e. Keterangan tentang halal; dan
f. Tanggal, bulan, dan tahun kedaluarsa
Peraturan dibawahnya yaitu Pasal 2 Peraturan Pemerintah
No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan disebutkan
bahwa “Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan
pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk
diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan
atau di kemasan pangan. Label dimaksud tidak mudah lepas dari
kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak, serta terletak pada
bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dan dibaca”.
Pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang
Label dan Iklan Pangan menyebutkan bahwa “Setiap orang yang
memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam
wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa
pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas
kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan
keterangan atau tulisan halal pada Label”. Dari ketentuan diatas
menekankan suatu kewajiban pagi pelaku usaha untuk
mencantumkan label halal pada hasil produknya serta memberikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
kepastian akan jaminan bahwa produk tersebut halal untuk
dikonsumsi oleh umat muslim.
Kegiatan sertifikasi halal secara operasional ditangani oleh
Lembaga Pengkajian Obat dan Makanan (LPPOM) MUI. Peraturan
yang lebih tinggi yang menaungi atas ketentuan sertifikasi dan
labelisasi halal antara lain UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang
Pangan dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pada Pasal 34 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan
disebutkan:
(1) “Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan
bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan
persyaratan agama atau kepercayaan tertentu bertanggung
jawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan
agama atau kepercayaan tersebut”.
Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1996 tentang
Pangan disebutkan dalam ketentuan ini, benar tidaknya suatu
pernyataan halal dalam label atau iklan tentang pangan tidak hanya
dapat dibuktikan dari segi bahan baku pangan, bahan tambahan
pangan, atau bahan bantu lain yang dipergunakan dalam
memproduksi pangan, tetapi mencakup pula proses pembuatannya.
Selanjutnya UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 8 huruf (h) disebutkan:
8(h) “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal,
sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan
dalam label”.
Secara teknisnya pencantuman label halal pada makanan
juga dijelaskan pada Surat Keputusan (SK) Menteri Kesehatan
No.924/ Menkes/SK/VII/1996 jo SK Menkes No.82/MENKES/
SK/I/1996 Tentang Pencantuman “Tulisan Halal” Pada Label
Makanan, yakni:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Pasal 8 : “Produsen dan importir yang akan mengajukan
permohonan pencantuman tulisan "halal" wajib siap
diperiksa oleh petugas tim gabungan dari Majelis Ulama
Indonesia dan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal".
Pasal 10 : (1) “Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pasal 8 dari hasil pengujian laboratorium sebagaimana
dimaksud pasal 9 dilakukan evaluasi oleh tim ahli Majelis
Ulama Indonesia; (2) “Hasil evaluasi sebagaimana
dimaksud ayat (1) disampaikan kepada Komisi Fatwa
Majelis Ulama Indonesia untuk memperoleh fatwa”; (3)
“Fatwa Majelis Ulama Indonesia sebagaimana dimaksud
ayat (2) berupa pemberian sertifikat halal bagi yang
memenuhi syarat atau berupa penolakan".
Pasal 11: Persetujuan pencantuman tulisan "halal"
diberikan berdasarkan fatwa dari Komisi Fatwa Majelis
Ulama Indonesia".
Pasal 12 : (1) berdasarkan Fatwa dari Majelis Ulama
Indonesia. Direktur Jenderal memberikan:
(a) persetujuan bagi yang memperoleh
sertifikat "Halal",
(b) penolakan bagi yang tidak
memperoleh sertifikat "halal".
(2) penolakan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf b diberikan secara tertulis
kepada pemohon disertai alasan
penolakan".
Pasal 17: Makanan yang telah mendapat persetujuan
pencantuman tulisan "Halal" sebelum ditetapkannya
keputusan ini, harus menyesuaikan dengan ketentuan
dalam keputusan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak
tanggal ditetapkannya keputusan ini".
Berdasarkan ketentuan di atas, maka izin pencantuman
label halal dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Obat
dan Makanan Depkes RI (sekarang menjadi Badan Pengawas Obat
dan Makanan atau Badan POM) berdasarkan sertifikat halal yang
dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonsia (MUI).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
4. Tinjauan mengenai Halal dan Haram dalam Pangan
a. Pengertian halal dan haram
Kata “halal” berasal dari bahasa Arab yang berarti
“melespaskan” dan “tidak terikat”, secara etimologi halal berarti
hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak
terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Istilah halal
dan haram sebagaimana dikutip Siti Zulaekah dan Yuli
Kusumawati dari Sakr, halal dan haram keduanya berasal dari
bahasa Arab, halal yang artinya dibenarkan atau dibolehkan,
sedangkan haram berarti tidak dibenarkan atau dilarang (Jurnal
Suhuf. Vol. XVII No. 01 Siti Zulaekah dan Yuli Kusumawati.
2005).
Halal, which is the opposite of haram, is a term to say that
something is not forbidden to be consumed by the
scriptures of Qur’an, by the saying of the prophet or by the
ijma’ (consensus) of the ulama’ (Salehudin, I. and Luthfi,
B.A. 2010. “Marketing Impact of Halal Labeling toward
Indonesian Muslim Consumer’s Behavioral Intention Based
on Ajzen’s Planned Behavior Theory: A Policy Capturing
Study in Five Different Product Categories”. Paper.
Proceeding of 5th International Conference on Business
and Management Research (ICBMR), Presented 4th August
2010, Depok‐Indonesia).
In the holy great Al Quran, there are verses that call
Muslim believers to seek provisions that are “halalan
toyibban”. This phrase means allowed and permissible for
consumption with relation to Syariah Law as long as they
safe and not harmful. Therefore, Halal is actually including
everything from the foods we consumed to the business we
conduct up to the transactions we perform in our daily
lives. It is a part of Muslims responsibility to make sure that
everything he practices and consumes are clean, hygienic
and not detrimental to his health and well-being. This Halal
matter is a concept that encourages Muslims to find, use
any products or services that promote cleanliness in all
aspects (Rozailin Abdul Rahman and Zainalabidin
Mohamed. 2009. Malaysian Halal Food Entrepreneurs
Perspective Towards Globalization – A Conceptual
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Framework.http://ssrn.com/doc/1869683>[12 Maret 2012
pukul 21.10]).
Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label
dan Iklan Pangan juga menyebutkan pengertian pangan halal,
yakni pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang
haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, baik yang
menyangkut bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, bahan
bantu dan bahan penolong lainnya termasuk bahan pangan yang
diolah melalui proses rekayasa genetika dan iradiasi pangan, dan
yang pengelolaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum
agama Islam.
b. Hukum halal dan haram
Pada dasarnya suatu benda atau perbuatan melekat lima
perkara yakni halal, haram, mubah, syuhbat dan makruh . Terhadap
barang yang halal secara mutlak kita disuruh oleh Allah untuk
memakannya, sedang terhadap yang haram kita disuruh untuk
menjauhinya. Sebagaimana firman Allah yaitu dalam Al-Qur’an,
yakni:
1) Al-Baqarah 168 : “ Hai sekalian umat manusia makanlah
dari apa yang ada di bumi ini secara halal dan baik. Dan
janganlah kalian ikuti langkah-langkah syetan.
Sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagi kalian”.
2) Al-Baqarah 172-173 : “Hai orang-orang yang beriman,
makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan
kepada kalian dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-
benar kepada-Nya kalian menyembah. Sesungguhnya Allah
hanya mengharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging
babi dan binatang yang disembelih atas nama selain Allah.
Barang siapa dalam keadaan terpaksa, sedangkan ia tidak
berkehendak dan tidak melampaui batas, maka tidaklah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
berdosa. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Pengasih”.
3) Al-Anam 145 : “Katakanlah, saya tidak mendapat pada apa
yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi
yang memakannya, kecuali bangkai, darah yang tercurah,
daging babi karena ia kotor atau binatang yang disembelih
dengan atas nama selain Allah. Barangsiapa dalam keadaan
terpaksa sedangkan ia tidak menginginkannya dan tidak
melampaui batas, maka tidaklah berdosa. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih”.
4) Al-Maidah 3 : “Diharamkan bagi kalian bangkai, darah,
daging babi, hewan yang disembelih dengan atas nama
selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang
ditanduk, dan yang diterkam binatang buas kecuali yang
kalian sempat menyembelihnya. Dan diharamkan pula bagi
kalian binatang yang disembelih di sisi berhala”.
5) Al-Maidah 90-91 : “Wahai orang-orang yang beriman
sesungguhnya meminum khamr, berjudi, berkorban untuk
berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan
keji termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan.
Sesungguhnya syetan itu hendak menimbulkan permusuhan
dan perbencian di antara kalian lantaran meminum khamr
dan berjudi dan menghalangi kalian dari mengingat Allah
dan shalat, maka apakah kalian berhenti dari mengerjakan
pekerjaan itu.”
6) Al-Maidah 96 : “Dihalalkan untuk kalian binatang buruan
laut dan makanannya”.
7) Al-A’raf 157 : “Dia menghalalkan kepada mereka segala
yang baik dan mengharamkan kepada mereka segala yang
kotor”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Ayat tersebut diatas jelas-jelas telah menyuruh kita hanya
memakan makanan yang halal dan baik, suatu kesatuan yang tidak
bisa dipisahkan, yang dapat diartikan halal dari segi syariah dan
baik dari segi kesehatan, gizi, estetika dan lain sebagainya.
Makanan halal maupun haram sama-sama memiliki pengaruh besar
dalam kehidupan seseorang, baik dalam akhlak, kehidupan hati,
dikabulkannya doa, dan sebagainya. Orang yang senantiasa
memenuhi dirinya dengan makanan yang halal, maka akhlaknya
akan baik, hatinya akan hidup dan doanya akan dikabulkan.
Sebaliknya, orang yang memenuhi dirinya dengan makanan yang
haram maka akhlaknya akan buruk, hatinya akan sakit, dan doanya
tidak dikabulkan. Dan seandainya saja akibatnya itu hanya tidak
dikabulkannya doa, maka hal tersebut sudah merupakan kerugian
besar. Sebab, seseorang yang beragama tidak terlepas dari
kebutuhan berdoa kepada Tuhannya meskipun hanya sekejap mata.
Konsep Islam dalam makanan sesungguhnya sama dengan
konsep Islam dalan hal lainnya, yaitu konsep yang menjaga
keselamatan jiwa, raga dan akal. Makanan yang halal
diperbolehkan karena bermanfaat bagi akal dan badan. Sebaliknya,
makanan yang buruk tidak diperbolehkan karena akan merusak
akal dan badannya (Jurnal Suhuf. Vol. XVII No. 01 Siti Zulaekah
dan Yuli Kusumawati. 2005).
Prinsip-prinsip hukum halal dan haram antara lain
(Panduan Umum Sistem Jaminan Halal. LPPOM MUI 2008):
1) Pada dasarnya segala sesuatu halal hukumnya.
2) Penghalalan dan pengharaman hanyalah wewenang Allah
SWT semata.
3) Mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram
termasuk perilaku syirik terhadap Allah SWT.
4) Sesuatu yang diharamkan karena ia buruk dan berbahaya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
5) Pada sesuatu yang halal sudah terdapat sesuatu yang
dengannya tidak lagi membutuhkan yang haram.
6) Sesuatu yang mengantarkan kepada yang haram maka
haram pula hukumnya.
7) Menyiasati yang haram, haram hukumnya.
8) Niat baik tidak menghapuskan hukum haram.
9) Hati-hati terhadap yang syubhat agar tidak jatuh ke dalam
yang haram.
10) Sesuatu yang haram adalah haram untuk semua.
Bahan yang dikonsumsi umat manusia pada umumnya
terdiri dari komposisi bahan hewani, nabati dan bahan olahan.
Makanan dari nabati secara umum halal dikonsumsi karena tidak
menimbulkan keragu-raguan dan selagi ia tidak diracuni atau tidak
diniatkan untuk digunakan dalam membuat makanan yang haram,
seperti menanam anggur untuk membuat bir atau minuman keras.
Makanan dari hewan dikelompokkan menjadi hewan laut dan
hewan darat, menurut mahzab Maliki seluruh hewan yang berada
di laut hukumnya halal tanpa terkecuali, baik jenis ikan atau jenis
yang lain (Kamil Musa, 2006:57). Untuk hewan darat hanya
sebagian saja yang halal dan boleh untuk dikonsumsi. Sementara
itu kehalalan atau keharaman makanan olahan sangat tergantung
dari bahan (baku, tambahan, dan/atau penolong) dan proses
produksinya.
Produk halal adalah produk yang memenuhi syarat
kehalalan sesuai dengan syariat islam, yaitu dengan ketentuan
sebagai berikut (http://www.halalmui.org):
1) Tidak mengandung babi atau bahan yang berasal dari babi.
2) Daging yang digunakan berasal dari hewan halal yang
disembelih menurut tata cara syariat Islam.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
3) Semua bentuk minuman yang mengandung alkohol
(khamar).
4) Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengelola,
tempat pengelolaan dan tempat transportasi tidak digunakan
untuk babi atau barang tidak halal lainnya, tempat tersebut
harus terlebih dahulu dibersihkan dengan tatacara yang
diatur menurut syari’at Islam.
5) Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti:
bahan yang berasal dari organ tubuh manusia, darah,
kotoran dan lain sebagainya.
6) Tidak mengandung Khamr atau minuman yang
memabukkan.
5. Tinjauan Mengenai Kejahatan Pemalsuan
Dengan diundangkannya UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, mengenai ketentuan pidana yang secara tegas
diatur dalam UUPK tidak berlaku pada ketentuan Pidana yang diatur
dalam KUHP atau berlaku asas Lex Specialis derogat Legi Generali atau
dengan kata lain hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum
yang bersifat umum. Pengecualian berlakunya delik pada ketentuan pidana
pada UUPK adalah mengenai penipuan konsumen dalam bahasan ini,
ketentuan lain mengenai delik selain diatur secara tegas dalam UUPK,
maka ketentuan pidana dalam KUHP tetap berlaku. Kejahatan mengenai
pemalsuan atau disingkat kejahatan pemalsuan adalah kejahatan yang di
dalamnya mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas
sesuatu (objek), yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar
adanya padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya
(Adami Chazawi, 2005:3). Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis
pelanggaran terhadap dua norma dasar:
a) Kebenaran (kepercayaan) yang pelanggarannya dapat
tergolong dalam kelompok kejahatan penipuan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
b) Ketertiban masyarakat, yang pelanggarannya tergolong
dalam kelompok kejahatan terhadap negara/ketertiban
masyarakat.
Pemalsuan Sertifikat dan Label Halal dalam KUHP dikategorikan
sebagai tindak pidana kejahatan bisnis. Dalam menangani permasalahan
kejahatan pemalsuan Sertifikat dan Label Halal palsu ini dibutuhkan
keterlibatan hukum pidana.yang salah satu upayanya menggunakan
pendekatan kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal yaitu suatu usaha
rasional dari masyarakat untuk mengantisipasi dan menanggulangi
kejahatan. Salah satu usaha tersebut dapat dilihat dari penggunaan hukum
pidana (penal).
Kejahatan pemalsuan yang dimuat dalam buku II KUHP
dikelompokkan menjadi 4 golongan, yakni:
a) Kejahatan sumpah palsu ( Bab IX );
b) Kejahatan pemalsuan uang ( Bab X );
c) Kejahatan pemalsuan materai dan merek ( Bab XI );
d) Kejahatan pemalsuan surat ( Bab XII ).
Pemalsuan sertifikat dan label halal behubungan dengan kejahatan
pemalsuan materai dan merek yang diatur pada Bab XI Pasal 255 KUHP
mengenai pemalsuan cap tera dan pemalsuan surat yang diatur pada Bab
XII Pasal 263 KUHP. Istilah merek (merken) dalam kejahatan pemalsuan
merek ini pengertiannya terbatas pada merek, tanda atau cap pada benda-
benda emas dan perak, tanda atau cap pada benda-benda yang digunakan
sebagai alat ukur, alat timbang dan alat penakar (benda-benda tera), serta
tanda atau cap yang diharuskan atau dibolehkan UU dilekatkan pada benda
tertentu atau bungkusnya (Adami Chazawi, 2005:73). Pengertian tersebut
diatas tidak termasuk merek dagang dan merek jasa sebagaimana yang
dimaksudkan dan diatur dalam UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
Perbuatan memalsu label halal yang asli, artinya pada produk dalam hal ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
terdapat dalam kemasan produk atau pada labelnya diberikan tanda label
halal yang palsu. Kejahatan yang dimaksud, yang diatur pada Pasal 255
KUHP adalah dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 225: Dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun:
(1) barangsiapa membubuhi benda yang wajib ditera atau
yang atas permintaan yang berkepentingan diizinkan
untuk ditera atau ditera lagi dengan tanda tera
Indonesia yang palsu, atau barangsiapa yang memalsu
tanda tera asli, dengan maksud untuk memakai atau
menyuruh memakai benda itu seolah-olah tanda teranya
asli dan tidak dipalsu;
Pada rumusan diatas terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
a. Unsur-unsur obyektif:
1) Perbuatan: a). Membubuhi tanda tera Indonesia
yang palsu; b). Memalsu tanda tera yang asli;
2) Pada: a). benda yang wajib di tera; b). benda-benda
yang dimohonkan untuk ditera; c). benda-benda
yang ditera ulang.
b. Unsur subyektif: dengan maksud untuk memakai atau
menyuruh memakai benda itu seolah-olah tanda teranya
asli dan tidak dipalsu.
Perbuatan memalsu (vervalsen) surat adalah perbuatan mengubah
dengan cara bagaimanapun oleh orang yang tidak berhak atas sebuah surat
yang berakibat sebagian atau seluruh isinya menjadi lain/berbeda dengan
isi surat semula. Tidak penting apakah dengan perubahan itu isinya
menjadi benar ataukah tidak atau bertentangan dengan kebenaran ataukah
tidak (Adami Chazawi, 2005:100). Pasal 263 yang memuat tentang
kejahatan pemalsuan surat pada umumnya rumusannya adalah sebagai
berikut:
(1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat
yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau
pembebasan utang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti
daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah
isinya benar dan tidak dipalsu, dipidana jika pemakaian
tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan
surat, dengan pidana penjara paling lama 6 tahun.
(2) Dipidana dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan
sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-
olah asli, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan
kerugian.
Dari rumusan dua ayat diatas, terdapat unsur- unsur kejahatan pemalsuan
Sertifikat Halal. Rumusan pada ayat (1) terdiri dari unsur-unsur yaitu:
a. Unsur-unsur obyektif:
1) Perbuatan: a). Membuat palsu; b). memalsu.
2) Obyeknya : Surat : a). yang dapat menimbulkan
suatu hak; b). yang menimbulkan suatu perikatan;
c). yang menimbulkan suatu pembebasan utang; d).
yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu
hal.
3) Dapat menimbulkan akibat kerugian dari pemakaian
surat tersebut.
b. Unsur subyektif: dengan maksud untuk memakai atau
menyuruh orang lain memakai seolah-olah isinya benar dan
tidak dipalsu.
Rumusan ayat (2) mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a. Unsur-unsur obyektif:
1) Pebuatan: memakai.
2) Obyeknya: a). Surat palsu; b). surat yang
dipalsukan.
3) Pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan
kerugian.
b. Unsur subyektif: dengan sengaja.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
B. Kerangka pemikiran
Bagan 1. Kerangka Pemikiran
Perlindungan Konsumen
Jaminan halal produk
Sertifikasi dan labelisasi
halal
UU No. 8 Tahun 1999
UUPK
Pemalsuan
Upaya
pemberantasan
Penipuan konsumen Pemalsuan dalam
KUHP
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Keterangan:
Kerangka pemikiran diatas menjelaskan alur pemikiran penulis dalam
mengangkat, menggambarkan, mengkaji, menelaah dan menjabarkan serta
menemukan jawaban atas permasalahan hukum yaitu perlindungan konsumen
terhadap adanya label produk yang palsu yang secara otomatis tidak adanya
sertifikasi halal atau bahkan mungkin setifikat halal tersebut palsu.
Mengingat terbatasnya kemampuan konsumen dalam meneliti kebenaran
isi label halal tersebut dan belum adanya hukum positif di Indonesia yang secara
khusus mengatur masalah jaminan halal dengan sertifikasi dan labelisasi halal,
maka negara menggunakan pelbagai perangkat hukum dan kelembagaannya untuk
mengatur tentang labeling halal pada produk pangan dalam kemasan. Peraturan
perundang-undangan yang mengatur masalah kehalalan produk pangan dalam
kemasan yakni; UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan UU No.8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen. Kemudian diikuti dengan peraturan-peraturan
dibawahnya yakni Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan
Iklan Pangan, Keputusan Menteri Agama No. 518 Tahun 2001 tentang Pedoman
dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal serta SK Menteri
Kesehatan No. 924/Menkes/SK/VII/1996 jo SK Menkes
No.82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman “Tulisan Halal” Pada Label
Makanan.
Karena sifat dari sertifikasi sendiri adalah sukarela maka disini menuntut
kesadaran dan etika bisnis dari pelaku usaha untuk memperhatikan hak-hak
konsumen, terutama konsumen muslim dalam hal jaminan produknya tersebut
halal dan dapat dipertanggungjawabkan. Bukan hanya itu, konsumen sendiri juga
diharapkan jeli dan teliti sebelum mengkonsumsi. Tidak sedikitnya pemalsuan
atas label palsu yang dijumpai di pasar Indonesia seperti contoh kasus yang telah
dipaparkan sebelumnya bahwa adanya pemalsuan label halal pada produk yang
bahan pokoknya tidak sesuai dengan label halalnya seperti kasus abon sapi yang
ternyata adalah berbahan dasar babi bahkan ada label halalnya telah menunjukkan
bahwa masih lemahnya kesadaran pelaku usaha dan pengawasan lembaga-
lembaga maupun aparatur yang menaungi masalah perlindungan konsumen.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Penulis membagi pemalsuan sertifikat halal dan label halal tersebut sebagai
penipuan konsumen yang mengacu pada UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen karena bisa jadi sebagai pelanggaran dengan
memberikan informasi yang menyesatkan dan pemalsuan atau secara prosedur
administrasi memang tidak melakukan pengajuan permohonan sertifikasi dan
labelisasi halal yang oleh penulis mengacu pada KUHP dengan formulasi pada
Pasal KUHP yaitu pada Pasal 255 KUHP mengenai pemalsuan cap tera dan
pemalsuan surat pada Pasal 263 KUHP. Berangkat dari hal tersebut diatas, maka
penulis mencoba untuk memberikan suatu jawaban atas permasalahan yang telah
diuraikan diatas dengan upaya yang dapat dilakukan dalam memberantas
pemalsuan sertifikat dan label halal pada produk.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan sertifikasi dan labelisasi halal sebagai bentuk legitimasi
kehalalan produk di Indonesia.
Tujuan perlindungan konsumen sebagaimana tercantum pada Pasal 3 UU No.8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu untuk meningkatkan
kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri,
mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari
ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa, meningkatkan pemberdayaan
konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai
konsumen, menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi, menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab
dalam berusaha, meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan konsumen. Untuk mewujudkan capaian tujuan
tersebut tentu menjadi perhatian dari semua kalangan, baik pemerintah maupun
pihak lain yang terkait dalam hal ini pelaku usaha atau produsen dan konsumen
serta Lembaga Perlindungan Konsumen baik itu dari pemerintah atau Lembaga
Swadaya Masarakat perlu bersinergi untuk mewujudkan tujuan dari perlindungan
konsumen.
Dalam kesehariannya, manusia tidak bisa jauh dari pangan, kosmetika dan obat-
obatan. Dalam bahasan ini, penulis hanya membatasi persoalan mengenai
pemalsuan sertifikat dan label halal yang ada pada kemasan pangan. Pangan
adalah kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi seluruh
Warga Negara Indonesia dalam membangun sumber daya manusia yang
berkualitas seperti pada tujuan pembangunan nasional. Pangan yang baik,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
bermutu dan bergizi tentunya menjadi syarat mutlak dalam pemenuhan kebutuhan
manusia yang baik. Tidak hanya syarat mutlak diatas yang diperlukan tetapi juga
soalan pangan yang tidak hanya baik, bermutu dan bergizi tersebut aman dan
nyaman dikonsumsi dalam artian tidak mengandung bahan-bahan yang dilarang
oleh hukum agama. Islam mensyaratkan umatnya agar mengkonsumsi sesuatu
yang bukan hanya thayib atau memenuhi standar kesehatan tetapi juga harus halal
seperti Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah 168, Al-Baqarah 172-
173, Al-Anam 145, Al-Maidah 3, Al-Maidah 90-91, Al-Maidah 96, Al-A’raf 157.
Soal kehalalan merupakan sesuatu yang mutlak terkecuali dalam keadaan darurat
sehingga upaya perlindungan terhadap konsumen Muslim di Indonesia juga perlu
menyentuh permasalahan kehalalan suatu produk. Mengingat negara Indonesia
adalah negara dengan mayoritas penduduk memeluk agama Islam, dapat diartikan
bahwa sebagian besar konsumen yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia ini
adalah Konsumen Muslim, dimana Konsumen Muslim ini menerapkan Syariat
atau Hukum Islam dalam kehidupan kesehariannya, termasuk didalamnya pada
aspek makanan dan minuman yang dikonsumsinya. Kebutuhan akan pangan aman
tidak hanya sekedar terbebas dari bahaya fisik, kimia ataupun senyawa lainnya,
namun juga terdapat suatu unsur yang paling hakiki yakni aman dari bahaya
barang yang diharamkan dan diragukan kehalalannya, tentu saja permasalahan
halal tidaknya suatu pangan tersebut menjadi persoalan yang harus diutamakan.
Oleh karena itu, hal tersebut diatas menjadi tanggung jawab bersama baik
pemerintah, pelaku usaha untuk tetap memperhatikan dan mengutamakan hak-hak
dari konsumen serta konsumen juga ikut andil dalam memberdayakan dirinya
sebagai konsumen dengan memperhatikan kewajibannya sebagai konsumen untuk
teliti dan jeli dalam sebelum mengkonsumsi pangan tertentu yang masih
menimbulkan keragu-raguan.
Secara umum, saat konsumen memutuskan apa yang akan dikonsumsinya,
semestinya akan memastikan terlebih dahulu informasi dasar yang tertera pada
label kemasan produk, apakah baik, aman, dan boleh dikonsumsi atau tidak. Inilah
salah satu dari tujuan dari adanya label pangan. Dengan membaca label dan iklan
produk pangan, konsumen dapat memutuskan apakah pangan tersebut dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
konsumsi atau tidak. Jika tercantum lambang Sertifikat Halal didalam labelnya,
artinya memang sudah aman, dan konsumen dimudahkan dalam hal ini. Tapi jika
belum ada, karena masih menjadi samar, artinya walaupun belum ada label tanda
halal tapi masih mungkin halal, maka konsumen harus melihat dan meneliti
informasi ingredient-nya, apakah ada bahan yang meragukan kehalalannya atau
tidak. Ingredient adalah komposisi atau bahan-bahan dan kandungan yang ada
dalam pembuatan suatu produk. Persoalannya pemahaman tersebut tentu tidak
mudah, karena keterbatasan pengetahuan konsumen dalam memahami arti dari
bahan-bahan tersebut. Untuk memberikan kepastian mengenai jaminan produk
yang akan dikonsumsi oleh konsumen tersebut halal dan aman untuk dikonsumsi,
maka diperlukan adanya Sertifikat Halal dan label halal pada produk konsumsi
tersebut.
Dalam sistem perdagangan internasional masalah sertifikasi dan penandaan
kehalalan produk mendapat perhatian baik dalam rangka memberikan
perlindungan terhadap konsumen umat Islam di seluruh dunia sekaligus sebagai
strategi menghadapi tantangan globalisasi dengan berlakunya sistem pasar bebas
dalam kerangka ASEAN - AFTA, NAFTA, Masyarakat Ekonomi Eropa, dan
Organisasi Perdagangan Internasional (World Trade Organization). Sistem
perdagangan internasional sudah lama mengenal ketentuan halal dalam CODEX
yang didukung oleh organisasi internasional berpengaruh antara lain WHO, FAO,
dan WTO. Negara-negara produsen akan mengekspor produknya ke negara-
negara berpenduduk Islam termasuk Indonesia. Dalam perdagangan internasional
tersebut “label/tanda halal” pada produk mereka telah menjadi salah satu
instrumen penting untuk mendapatkan akses pasar untuk memperkuat daya saing
produk domestiknya di pasar internasional(http://halalsehat.com/RUU-Produk-
Halal-dan-Perubahan- Masyarakat).
Sertifikasi Halal adalah suatu proses untuk memperoleh Sertifikat Halal melalui
beberapa tahap untuk membuktikan bahwa bahan, proses produksi dan Sistem
Jaminan Halal memenuhi standar LPPOM MUI. Hasil dari kegiatan Sertifikasi
Halal adalah diterbitkannya Sertifikat Halal apabila produk yang dimaksudkan telah
memenuhi ketentuan sebagai produk halal. Sertifikat Halal adalah fatwa tertulis
yang dikeluarkan oleh MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk yang
merupakan keputusan sidang Komisi Fatwa MUI berdasarkan proses audit yang
dilakukan oleh LPPOM MUI. Sertifikasi halal dilakukan oleh lembaga yang
mempunyai otoritas untuk melaksanakannya, dalam hal ini di Indonesia lembaga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
tersebut adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdasarkan Keputusan Menteri
Agama No. 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan
Halal. Tujuan akhir dari Sertifikasi Halal adalah adanya pengakuan secara legal
formal bahwa produk yang dikeluarkan telah memenuhi ketentuan halal.
Sedangkan labelisasi halal adalah pencantuman tulisan atau pernyataan halal pada
kemasan produk untuk menunjukkan bahwa produk yang dimaksud berstatus
sebagai produk halal.
Producing Halal products may be easy, but to get Halal status is not as easy as
producing it. In order to certified, authorities must conduct a detailed background
check on manufacturers who request Halal certification this long awaiting
process, sometimes may forces local manufacturers to be more creative to
attracting muslim consumers. producing imitate halal logo is one way to attract
muslim consumers to consume their products. despite easy to be copied. this fake
logo also does not required manufacturers to spend so much money and time to be
produced. fake halal logo nonetheless had leaved consumers in hesitations and
confusion. (Journal Computer Science and Information Technology (ISCIT)
University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia. Vol 6. No.9. Azah Anir Norman.
2009).
Sertifikasi Halal berkaitan erat dengan labelisasi halal karena kedua hal tersebut
merupakan serangkaian proses dimana suatu produk yang diajukan untuk
dimintakan label halal akan diberi label halal dalam bentuk stiker,cap atau logo
pada kemasannya atau penjelasan etiket dengan bentuk lain yang mempunyai
keabsahan dan dapat dipertangungjawabkan. Lebih singkatnya tidak ada labelisasi
halal tanpa adanya Sertifikat Halal dari produk yang bersangkutan. Sertifikasi dan
labelisasi halal merupakan sesuatu yang sangat penting bagi konsumen Indonesia
yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Selain menyatakan bahwa produk
yang dikonsumsi itu aman, dengan adanya label halal juga menimbulkan
ketentraman batin yang menkonsumsinya karena tidak bertentangan dengan syariat
agama.
Halal logo also signals which food outlets are permissible to be patronage by the
Muslim. As a result, the logo provides an avenue for the manufacturers to indicate
to their target consumers that their products meet the Islamic standard. This
definitely will create significant advantage to the particular manufacturers versus
its competitors that do not have halal certification (Journal Business &
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
Accountancy. Faculty of Business & Accountancy Universiti Malaya, Kuala
Lumpur, Malaysia.Vol. 32 No. 01, Shahidan Shafie. 2009).
Pengaturan sertifikasi dan labelisasi halal yang terkait dalam hukum positif
Indonesia diantaranya UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan UU No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pada UU No. 7 Tahun 1996 Tentang
Pangan pada Pasal 30 ayat (1) dan (2):
(1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah
Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib
mencantumkan label pada, didalam dan atau di kemasan pangan ;
(2) Label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat sekurang-kurangnya
keterangan mengenai :
a. Nama produk ;
b. Daftar bahan yang digunakan ;
c. Berat bersih atau isi bersih ;
d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan
pangan ke dalam wilayah Indonesia;
e. Keterangan tentang halal ; dan
f. Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa
Pasal 34 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan:
(1) Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang
diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan
tertentu bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan
persyaratan agama atau kepercayaan tersebut.
Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan
bahwa dalam ketentuan ini, benar tidaknya suatu pernyataan halal dalam label atau
iklan tentang pangan tidak hanya dapat dibuktikan dari segi bahan baku pangan,
bahan tambahan pangan, atau bahan bantu lain yang dipergunakan dalam
memproduksi pangan, tetapi mencakup pula proses pembuatannya.
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen mensyaratkan bahwa
pelaku usaha dilarang berproduksi yang tidak mengkuti ketentuan halal seperti
yang ada pada label. Ketentuan yang dimaksud yakni pada Pasal 8 huruf (h) yang
menyebutkan "Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan
barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal,
sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label”. Pasal 8 huruf
(h) tersebut berarti pelaku usaha tidak boleh serta merta mengklaim atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
mencantumkan tulisan halal yang dicantumkannya dalam label produknya, karena
penilaian halal tidaknya produk tersebut harus dilakukan penelitian secara
seksama dan teliti oleh badan yang memiliki kompetensi dalam bidangnya.
Halal is a term exclusively used in Islam which means permitted or lawful,
there’s, no parties can claim Halal without complying Islamic Law. Halal and
non- Halal covers all spectrums of Muslim life, not limited to foods and drinks
only. Halal and Tayibb themselves portray the symbol of intolerance in hygiene,
safety and quality (Habibah Abdul Talib. 2008. “Quality Assurance in Halal Food
Manufacturing in Malaysia: A Preliminary Study”. Paper. Proceedings of
International Conference on Mechanical & Manufacturing Engineering
(ICME2008). Johor Bahru, Malaysia. Faculty of Mechanical & Manufacturing
Engineering, Presented in Universiti Tun Hussein Onn Malaysia (UTHM). 21–23
May 2008).
Peraturan dibawah undang-undang sebagai pelaksanaan dari sertifikasi dan
labelisasi halal yaitu PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, lebih
spesifik diatur pada Pasal 10 PP No. 69 Tahun 1999 mengenai kewajiban
produsen produk pangan untuk mencantumkan label halal pada makanan yang
dikemas sebagai berikut:
(1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas
ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa
pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran
pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal
pada Label.
Penjelasan Pasal 10 ayat (1) PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan
Pangan disebutkan bahwa Pencantuman keterangan halal atau tulisan "halal" pada
label pangan merupakan kewajiban apabila pihak yang memproduksi dan atau
memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia menyatakan (mengklaim)
bahwa produknya halal bagi umat Islam. Penggunaan bahasa atau huruf selain
bahasa Indonesia dan huruf Latin, harus digunakan bersamaan dengan
padanannya dalam bahasa Indonesia dan huruf Latin. Keterangan tentang
kehalalan pangan tersebut mempunyai arti yang sangat penting dan dimaksudkan
untuk melindungi masyarakat yang beragama Islam agar terhindar dari
mengonsumsi pangan yang tidak halal (haram). Kebenaran suatu pernyataan halal
pada label pangan tidak hanya dibuktikan dari segi bahan baku, bahan tambahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
pangan, atau bahan bantu yang digunakan dalam memproduksi pangan, tetapi
harus pula dapat dibuktikan dalam proses produksinya.
Sebagai pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label
dan Iklan Pangan, Menteri Agama mengeluarkan Keputusan Menteri Agama No.
518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan
Pangan Halal. Kemudian Menteri Agama menunjuk Majelis Ulama Indonesia
(MUI) sebagai lembaga pelaksana pemeriksaan pangan yang dinyatakan halal
berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 519 Tahun 2001 tentang Lembaga
Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal. Selanjutnya, Menteri Agama menunjuk
Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) sebagai
pelaksana pencetakan label halal untuk ditempelkan pada setiap kemasan pangan
halal yang akan diperdagangkan di Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri
Agama No. 525 Tahun 2001 tentang Penunjukan Perusahaan Umum Percetakan
Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) Sebagai Pelaksana Pencetakan Label
Halal Sebagai Pelaksana Pencetakan Label Halal. Selain itu Pencantuman label
halal pada makanan juga dijelaskan pada Kepetusan Menteri Kesehatan No.
924/Menkes/SK/VII/1996 jo SK Menkes No.82/MENKES/SK/I/1996 Tentang
Pencantuman “Tulisan Halal” Pada Label Makanan.
Pengaturan pencantuman label halal pada SK Menteri Kesehatan No.
924/Menkes/SK/VII/1996 jo SK Menkes No.82/MENKES/SK/I/1996 Tentang
Pencantuman “Tulisan Halal” Pada Label Makanan, diantaranya:
Pasal 8: Produsen dan importir yang akan mengajukan permohonan pencantuman
tulisan "halal" wajib siap diperiksa oleh petugas tim gabungan dari Majelis Ulama
Indonesia dan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan yang ditunjuk
oleh Direktur Jenderal".
Pasal 10: (1) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pasal 8 dari hasil
pengujian laboratorium sebagaimana dimaksud pasal 9 dilakukan evaluasi oleh
tim ahli Majelis Ulama Indonesia.
(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud ayat (1) disampaikan
kepada Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia untuk memperoleh fatwa.
(3) Fatwa Majelis Ulama Indonesia sebagaimana dimaksud ayat (2) berupa
pemberian sertifikat halal bagi yang memenuhi syarat atau berupa penolakan".
Pasal 11: Persetujuan pencantuman tulisan "halal" diberikan berdasarkan
fatwa dari Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia".
Pasal 12: (1) berdasarkan Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia. Direktur Jenderal
memberikan:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
(a) persetujuan bagi yang memperoleh sertifikat "Halal",
(b) penolakan bagi yang tidak memperoleh sertifikat "halal".
(2) penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b diberikan secara
tertulis kepada pemohon disertai alasan penolakan".
Pasal 17: Makanan yang telah mendapat persetujuan pencantuman tulisan
"Halal" sebelum ditetapkannya keputusan ini, harus menyesuaikan dengan
ketentuan dalam keputusan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak tanggal
ditetapkannya keputusan ini".
Berdasarkan ketentuan di atas, maka izin pencantuman label halal dikeluarkan
oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Depkes RI (sekarang
menjadi Badan Pengawas Obat dan Makanan atau Badan POM) berdasarkan
sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonsia (MUI). Untuk
pencantuman label halal sebelumnya harus dilaksanakan pemeriksaan atau
pengujian oleh lembaga yang berwenang, berdasarkan Pasal 11 ayat (2) PP No. 69
tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan bahwa “Pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pedoman dan tata cara yang
ditetapkan oleh Menteri Agama dengan mempertimbangkan dan saran lembaga
keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut”. Lembaga yang
memiliki kompetensi yang dimaksud adalah Majelis Ulama Indonesia yang
berdasarkan penunjukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga
pelaksana pemeriksaan pangan yang dinyatakan halal berdasarkan Keputusan
Menteri Agama No. 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan
Pangan Halal. Pelaksanaan dari pengkajian dan pengujian pangan halal sendiri
oleh MUI diserahkan kepada LPPOM MUI. Didalam lembaga tersebut terdiri dari
beberapa staf ahli seperti ahli pangan, kimia, fisokimia, kefarmasian, hukum dan
lain-lain. Para ahli tersebut bergabung dalam melaksanakan pengujian atas pangan
secara ilmiah. Hasil dari pengujian yang dilakukan LPPOM MUI atas produk
pangan tersebut kemudian disidangkan oleh komisi fatwa yang ada di MUI.
Komisi Fatwa adalah salah satu komisi MUI yang bertugas untuk menghasilkan
ketetapan hukum Islam tentang status hukum suatu kasus tertentu. Apabila hasil
dari pengujian dari pangan tersebut dinyatakan halal, maka MUI akan
mengeluarkan Sertifikat Halal. Adapun sistem dan prosedur sertifikasi halal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
adalah sebagai berikut (Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Medan
Area, moral&adil. Vol. 1 No. 1, Elvi Zahara Lubis. 2009) :
1. Sebelum produsen mengajukan Sertifikat Halal bagi produknya, maka
terlebih dahulu disyaratkan yang bersangkutan menyiapkan hal-hal
sebagai berikut :
a. Produsen menyiapkan suatu Sistem Jaminan Halal (Halal Assurance
System).
b. Sistem Jaminan Halal tersebut harus didokumentasikan secara jelas
dan rinci serta merupakan bagian dari kebijakan manajemen
perusahaan.
c. Dalam pelaksanaannya, Sistem Jaminan Halal ini diuraikan dalam
bentuk panduan halal (Halal Manual). Tujuan membuat panduan halal
adalah untuk memberikan uraian sistem manajemen halal yang
dijalankan produsen. Selain itu, panduan halal ini dapat berfungsi
sebagai rujukan tetap dalam melaksanakan dan memelihara kehalalan
produk tersebut.
d. Produsen menyiapkan prosedur baku pelaksanaan (Standard Operating
Procedure) untuk mengawasi setiap proses yang kritis agar kehalalan
produknya dapat terjamin.
e. Baik panduan halal maupun prosedur baku pelaksanaan yang disiapkan
harus disosialisasikan dan diuji coba di lingkungan produsen, sehingga
seluruh jajaran dari mulai direksi sampai karyawan memahami betul
bagaimana memproduksi produk halal dan baik.
f. Produsen melakukan pemeriksaan intern (audit internal) serta
mengevaluasi apakah Sistem Jaminan Halal yang menjamin kehalalan
produk ini dilakukan sebagaiman mestinya.
g. Untuk melaksanakan butir f, perusahaan harus mengangkat minimum
seorang Auditor Halal Internal yang beragama Islam dan berasal dari
bagian yang terkait dengan produksi halal.
2. Proses Sertifikasi Halal :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
a. Setiap produsen yang mengajukan Sertifikat Halal bagi produknya,
harus mengisi formulir yang telah disediakan dengan melampirkan:
1) Spesifikasi dan Sertifikat Halal bahan baku, bahan tambahan dan
bahan penolong serta bagan alir proses.
2) Sertifikat Halal atau Surat Keterangan Halal dari MUI Daerah
(produk lokal) atau Sertifikat Halal dari Lembaga Islam yang telah
diakui oleh MUI (produk impor) untuk bahan yang berasal dari
hewan dan turunannya.
3) Sistem Jaminan Halal yang diuraikan dalam panduan halal beserta
prosedur baku pelaksanaannya.
b. Tim Auditor LPPOM MUI melakukan pemeriksaan/audit ke lokasi
produsen setelah formulir beserta lampiran-lampirannya dikembalikan
ke LPPOM MUI dan diperiksa kelengkapannya.
c. Hasil pemeriksaan/audit dan hasil laboratorium dievaluasi dalam Rapat
Tenaga Ahli LPPOM MUI. Jika telah memenuhi persyaratan, maka
dibuat laporan hasil audit untuk diajukan kepada Sidang Komisi Fatwa
MUI untuk diputuskan status kehalalannya.
d. Sidang Komisi Fatwa MUI dapat menolak laporan hasil audit jika
dianggap belum memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan.
e. Sertifikat Halal dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia setelah
ditetapkan status kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI.
f. Perusahaan yang produknya telah mendapat Sertifikat Halal, harus
mengangkat Auditor Halal Internal sebagai bagian dari Sistem Jaminan
Halal. Jika kemudian ada perubahan dalam penggunaan bahan baku,
bahan tambahan atau bahan penolong pada proses produksinya,
Auditor Halal Internal diwajibkan segera melaporkan untuk mendapat
“ketidakberatan penggunaannya”. Bila ada perubahaan yang terkait
dengan produk halal harus dikonsultasikan dengan LPPOM MUI oleh
Auditor Halal Internal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Dalam proses sertifikasi halal juga tidak lepas kaitannya dengan Sistem Jaminan
Halal (SJH). Sistem Jaminan Halal adalah suatu sistem manajemen yang disusun,
diterapkan dan dipelihara oleh perusahaan pemegang sertifikat halal untuk
menjaga kesinambungan proses produksi halal sesuai dengan ketentuan LPPOM
MUI. Sesuai peraturan LPPOM MUI, bahwa masa berlaku Sertifikat Halal adalah
dua tahun dan dapat diperpanjang lagi. Selama masa tersebut, perusahaan harus
dapat memberikan jaminan kepada MUI dan konsumen Muslim bahwa
perusahaan senantiasa menjaga konsistensi kehalalan produknya. Oleh karena itu
LPPOM MUI mewajibkan perusahaan untuk menyusun suatu sistem yang disebut
Sistem Jaminan Halal (SJH) dan terdokumentasi sebagai Manual SJH. Manual ini
disusun oleh produsen sesuai dengan kondisi perusahaannya. Tujuan penyusunan
dan penerapan SJH di perusahaan adalah untuk menjaga kesinambungan proses
produksi halal, sehingga produk yang dihasilkan dapat selalu dijamin
kehalalannya sesuai dengan ketentuan LPPOM MUI (Panduan Umum Sistem
Jaminan Halal. LPPOM MUI. 2008).
Masa berlaku Sertifikat Halal hanya selama dua tahun, adapun batas waktu
berlakunya Sertifikat Halal adalah sebagai berikut (Elvi Zahara Lubis. 2009.
Hubungan Pencantuman Label Halal Terhadap Perlindungan Konsumen. Jurnal
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Medan Area, moral&adil. Vol. 1 No.
1):
a. Untuk daging yang diekspor Surat Keterangan Halal diberikan untuk
setiap pengapalan.
b. Tiga bulan sebelum berakhir masa berlakunya sertifikat, LPPOM MUI
akan mengirimkan surat pemberitahuan kepada produsen yang
bersangkutan.
c. Dua bulan sebelum berakhir masa berlakunya sertifikat, produsen harus
daftar kembali untuk Sertifikat Halal yang baru.
d. Produsen yang tidak memperbaharui Sertifikat Halalnya, tidak diizinkan
lagi menggunakan Sertifikat Halal tersebut dan dihapus dari daftar yang
terdapat dalam majalah resmi LPPOM MUI, Jurnal Halal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
e. Jika Sertifikat Halal hilang, pemegang harus segera melaporkannya ke
LPPOM MUI.
f. Sertifikat Halal yang dikeluarkan oleh MUI adalah milik MUI. Oleh sebab
itu, jika karena sesuatu hal diminta kembali oleh MUI, maka pemegang
sertifikat wajib menyerahkannya.
g. Keputusan MUI yang didasarkan atas fatwa MUI tidak dapat diganggu
gugat.
Sertifikat Halal yang dipegang oleh pelaku usaha dapat diperpanjang lagi masa
berlakunya, adapun prosedur perpanjangan Sertifikat Halal adalah sebagai berikut
(Elvi Zahara Lubis. 2009. Hubungan Pencantuman Label Halal Terhadap
Perlindungan Konsumen. Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Medan
Area, moral&adil. Vol. 1 No. 1) :
a. Produsen yang bermaksud memperpanjang sertifikat yang dipegangnya
harus mengisi formulir pendaftaran yang telah tersedia.
b. Pengisian formulir disesuaikan dengan perkembangan terakhir produk.
Perubahan bahan baku, bahan tambahan dan penolong, serta jenis
pengelompokkan produk harus diinformasikan kepada LP POM MUI.
c. Produsen berkewajiban melengkapi dokumen terbaru tentang spesifikasi,
sertifikat halal dan bagan alir proses.
Untuk memudahkan gamabaran alur prosedur Sertifikasi Halal, penulis
memberikan gambaran diagram alur dari sertifikasi halal sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Ya
Tidak
Ya
Produk berbasis hewan
Tidak
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
Ya
Tidak
Ya Ya
Sumber: Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LPPOM MUI 2008
Bagan 2. Prosedur Sertifikasi Halal
Persiapan Sistem Jaminan Halal
Pendaftaran / Penyerahan Dokumen Sertifikasi Halal
Pemeriksaan Kecukupan Dokumen
Pre audit
memorandum
Audit
Rapat Auditor
Rapat Komisi
Fatwa
Penerbitan Sertifikat Halal
pembiayaan
Analisis Lab
Penyerahan Dokumen
Sertifikasi Halal
Audit
Memorandum
Tidak dapat
disertifikasi
Persyaratan
terpenuhi? (Status
SJH A/B)
Dapat Diaudit
Perlu analisis
Lab?
Persyaratan terpenuhi?
Mengandung bahan
haram?
Lunas?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
B. Analisis keefektifan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur
sertifikasi dan labelisasi halal.
Hukum merupakan bagian dari perangkat kerja sistem sosial. Menurut
Surojo Wignjodipuro bahwa tujuan hukum adalah menjamin kepastian dalam
perhubungan kemasyarakatan. Hukum diperlukan untuk penghidupan di dalam
masyarakat demi kebaikan dan ketentraman bersama (Ishaq, 2008:6).
Seiring perkembangan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi
makanan atau minuman yang dijamin kehalalannya cukup tinggi. Pemerintah
harus mengupayakan dan melindungi masyarakat dalam mengkonsumsi makanan
yang halal, permasalahan halal tidaknya suatu pangan tersebut menjadi persoalan
yang harus diutamakan. Seperti yang telah diamanatkan Konstitusi negara
Indonesia bahwa setiap warga negara Republik Indonesia dijamin hak
konstitusional oleh UUD 1945 seperti hak asasi manusia, hak beragama dan
beribadat, hak mendapat perlindungan hukum dan persamaan hak dan kedudukan
dalam hukum, serta hak untuk memperoleh kehidupan yang layak termasuk hak
untuk mengkonsumsi pangan dan menggunakan produk lainnya yang dapat
menjamin kualitas hidup dan kehidupan manusia.
Berbicara mengenai apakah peraturan perundang-undangan yang sudah
ada yang mengatur mengenai sertifikasi dan labelisasi halal sudah dapat
mencegah dan mengatasi pemalsuan sertifikat dan label halal yang merugikan
konsumen, menurut hemat penulis adalah belum sepenuhnya. Hal ini dikarenakan
masih banyaknya kasus pemalsuan sertifikat maupun label halal yang terjadi di
beberapa daerah di Indonesia. Seperti yang terjadi di Surabaya dimana Badan
Pengkajian Obat dan Makanan (BPOM) menemukan produk dendeng yang bahan
bakunya ternyata bukan dari sapi namun babi, tetapi parahnya pada kemasan
dendeng tersebut ada cap halalnya (http://news.detik.com/read.php). Bahkan
direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim mengemukakan bahwa banyak beredar
sertifikat halal palsu atau tidak berlaku lagi mencapai 54,9% dari produk yang
beredar (http://Halalmui.org/read/article.html). Selain itu juga ada
penyalahgunaan sertifikat halal palsu dimana LPPOM MUI menemukan
penggunaan sertifikat halal palsu oleh perusahaan daging asal Kanada, Citizen
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Food Inc. Rekanan Citizen di Indonesia adalah Sumber Laut yang pemiliknya
adalah Basuki Hariman. Pernah menjadi Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha
Importir Daging Indonesia (2003-2008) (http://www.tempointeraktif.
com/khusus/selusur.php).
Dari segi peraturan perundang-undangan tidak lepas dari bagaimana
peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah sertifikasi dan labelisasi
halal tersebut dapat diterima dan berlaku di masyarakat Indonesia, berarti disini
pengkajian selanjutnya dari segi keefektifan hukum maupun keefektifan
perundang-undangannya. Berbicara mengenai efektivitas hukum tidak terlepas
membicarakan dan mengkaji mengenai ketaatan manusia terhadap hukum yang
berlaku. Jika suatu aturan hukum ditaati maka dapat dikatakan aturan hukum
tersebut efektif. Namun tetap dapat dipertanyakan lebih jauh mengenai derajat
efektifitasnya. Untuk mengetahui mengenai derajat efektifitas suatu aturan hukum
dapat kita lihat pada hubungan teori ketaatan hukum dari H. C Kelman (1966) dan
L. Pospisil (1971) yang membagi ketaatan dalam tiga jenis
(http://errymeta.blogspot.com/membangun-kesadaran-hukum-dan-ketaatan.html),
yaitu:
a. Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu jika seseorang menaati suatu
aturan, hanya karena takut terkena sanksi. Kelemahan ketaatan jenis ini,
karena membutuhkan pengawasan yang terus-menerus.
b. Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika seseorang menaati suatu
aturan, hanya karena takut hubungan baiknya dengan pihak lain menjadi
rusak.
c. Ketaatan yang bersifat internalization, yaitu jika seseorang menaati suatu
aturan, benar-benar karena merasa bahwa aturan itu sesuai dengan nilai-
nilai intristik yang dianutnya.
Efektifnya suatu perundang-undangan tergantung pada beberapa faktor antara lain
:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
a. Pengetahuan terhadap substansi (isi) dari perundang-undangan
tersebut.
b. Cara-cara memperoleh pengetahuan tersebut
c. Institusi yang terkait perundang-undangan dalam masyarakatnya.
Menurut Achmad Ali, faktor yang mempengaruhi efektivitas hukum dan
perundang-undangan adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran,
wewenang, dan fungsi dari penegak hukum, baik dalam menjalankan tugas yang
dibebankan kepada mereka maupun dalam menegakkan hukum dan undang-
undang. Bekerjanya undang-undang dapat dilihat dari dua perspektif
(http://scribd.com/Efektivitas-Hukum), antara lain :
a. Perspektif Organisatoris. Memandang undang-undang sebagai institusi
yang ditinjau dari ciri-cirinya. Didalam perspektif ini tidak terlalu
memperhatikan pribadi-pribadi yang pergaulan hidupnya diatur oleh
hukum atau perundang-undangan.
b. Perspektif Individu. Ketaatan, yang lebih berfokus pada segi Individu
atau pribadi dimana pergaulan hidupnya diatur oleh perundang-
undangan. Fokus perspektif Individu adalah kepada masyarakat
sebagai kumpulan pribadi-pribadi. Faktor kepentingan yang
menyebabkan orang taat atau tidak taat terhadap undang-undang,
dengan kata lain pola-pola perilaku masyarakat yang banyak
mempengaruhi efektifitas perundang-undangan.
Proses pembentukan perundang undangan menurut Mochtar Kusuma Atmaja
harus dapat menampung semua hal yang erat hubungannya (relevant) dengan
bidang atau masalah yang hendak diatur dengan undang-undang itu, apabila
perundang-undangan hendak merupakan suatu pengaturan hukum efektif.
Efektifnya produk produk perundang-undangan dalam penerapannya memerlukan
perhatian akan lembaga dan prosedur-prosedur yang diperlukan dalam
pelaksanaannya(http://halalsehat.com/RUU-Produk-Halal-dan-Perubahan-
Masyarakat).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
Peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah sertifikasi halal dan
labelisasi halal antara lain:
a. UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan;
b. UU No. 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen;
c. Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan;
d. SK Menteri Agama No. 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara
Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal;
e. SK Menteri Agama No 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana
Pemeriksaan Pangan Halal;
f. SK Menteri Agama No. 525 Tahun 2001 tentang Penunjukan Perusahaan
Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) Sebagai
Pelaksana Pencetakan Label Halal;
g. SK No 924/Menkes/SK/VIII/ 1996 tentang perubahan atas Keputusan
Menteri Kesehatan RI No 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pecantuman
Tulisan Halal dan Label Makanan.
Dari sekian banyak peraturan yang mengatur mengenai sertifikasi dan labelisasi
halal diatas penulis menemukan beberapa isu antara lain:
a. Masih banyaknya konsumen yang menemui kesulitan dalam membedakan
mana yang halal dan mana yang haram, yang berpotensi menimbulkan
keraguan lahir dan ketidaktentraman batin dalam mengkonsumsi pangan
dan menggunakan produk lainnya karena peraturan perundang-undangan
yang mengatur atau yang berkaitan dengan produk halal belum
memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum bagi umat Islam
terhadap pangan dan produk lainnya.
b. Institusi atau lembaga penjamin halal di Indonesia belum ada kepastian
hukumnya mengenai wewenang, tugas, dan fungsi mengenai atau dalam
kaitannya dengan jaminan produk halal. Karena institusi atau lembaga
penjamin halal tersebut bukan merupakan suatu sistem di dalam sistem
tata negara dalam konstruksi pemerintahan negara sebagai institusi atau
lembaga penjamin halal terhadap pangan dan produk lainnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
c. Terdapat ketentuan yang rancu antara produk hukum satu sama lain,
diantaranya UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan dengan peraturan di
bawahnya yakni Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label
dan Iklan Pangan.
d. Sistem produk halal Indonesia belum memiliki standar dan label halal
resmi (standar halal nasional), hal tersebut yang mengakibatkan
munculnya pemalsuan label halal karena pelaku usaha menetapkan label
sendiri sesuai selera masing-masing.
e. SK Menteri Agama No. 525 Tahun 2001 tentang Penunjukan Peruri
sebagai Pelaksana Pencetak Label Halal apabila ditelaah menghambat
pelaku usaha karena secara teknis akan menyulitkan pelaku usaha yang
akan melakukan sertifikasi halal dan pelabelan halal.
f. SK Menteri Agama No. 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana
Pemeriksaan Pangan Halal berbenturan dengan SK No.
924/Menkes/SK/VIII/ 1996 tentang perubahan atas Keputusan Menteri
Kesehatan RI No 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pecantuman Tulisan Halal
dan Label Makanan.
g. Belum adanya ketentuan yuridis yang mengatur standarisasi biaya untuk
sertifikasi halal pada makanan secara transparan.
Peraturan yang rancu dapat dilihat pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan
dengan Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan
tidak disebutkan tanda label halal padahal di UU No 7 Tahun 1996 tentang
Pangan disebutkan. Pada pasal 30 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan
disebutkan “Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah
Indonesia makanan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan
label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan”. Pada ayat (2) disebutkan
Label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat sekurang-kurangnya
keterangan mengenai :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
a. Nama produk;
b. Daftar bahan yang digunakan
c. Berat bersih atau isi bersih;
d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke
dalam wilayah Indonesia
e. Keterangan tentang halal; dan
f. Tanggal, bulan, dan tahun kedaluarsa.
Pasal 30 ayat (3) menyebutkan “Selain keterangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Pemerintah dapat menetapkan keterangan lain yang wajib atau dilarang
untuk dicantumkan pada label makanan”.
Alih-alih mengatur keterangan kehalalan, Peraturan Pemerintah No. 69 tahun
1999 tentang Label dan Iklan Pangan tidak mengatur keterangan kehalalan
tentang produk. Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) disebutkan
“Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke
dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan Label
pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan”. Selanjutnya pada Pasal 3
disebutkan :
(1) Label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berisikan keterangan
mengenai pangan yang bersangkutan.
(2) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya :
a. nama produk;
b. daftar bahan yang digunakan;
c. berat bersih atau isi bersih;
d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan
ke dalam wilayah Indonesia;
e. tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa.
Dari ketentuan Pasal 3 ayat (2) diatas tentu menimbulkan pengertian bahwa
keterangan halal menjadi tidak wajib, karena dalam ketentuan Pasal tersebut
keterangan halal dalam label tidak menjadi syarat minimal keterangan pangan
yang dicantumkan pada label suatu produk sehingga hal tersebut menunjukan
peraturan dibawah undang-undang tidak mendukung peraturan yang ada
diatasnya. Selanjutnya pada Pasal 4 PP No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan
Pangan disebutkan “Selain keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (2), untuk pangan olahan tertentu Menteri Kesehatan dapat menetapkan
pencantuman keterangan lain yang berhubungan dengan kesehatan manusia pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Label sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini”. Kemudian keluarlah Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 82/Menkes/SK/I/1996 tentang
Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan pada Pasal 2 disebutkan “Pada
label makanan dapat dicantumkan tulisan halal”. Pasal 3 ayat (2) a disebutkan
“Produk Makanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi
persyaratan makanan halal berdasarkan hukum Islam”.
UU No.8 Tahun 1998 Tentang Perlindungan Konsumen sebagai peraturan yang
menjadi landasan tertinggi perlindungan konsumen di Indonesia masih belum
cukup bahkan tidak dapat berbicara banyak mengenai ketentuan jaminan
kehalalan suatu produk. Padalal seharusnya UU ini menjadi harapan dan mewakili
kepentingan umat muslim di Indonesia ini mengingat mayoritas pemeluk Islam
dominan di negara ini. Kekurangan dari UU Perlindungan Konsumen perlu
dilengkapi, misalnya dengan ketentuan mengenai jaminan kehalalan sampai
mencakup hal teknis pelaksanaannya hingga penentuan sumber daya manusia
(SDM) dan fasilitas yang harus dipenuhi pada tingkat daerah kabupaten atau kota.
Keluarnya SK No. 525 Tahun 2001 tentang Penunjukan Peruri Sebagai Pelaksana
Pencetakan Label Halal dapat menghambat pelaku usaha dan tidak efektif karena
secara teknis akan menyulitkan para pelaku usaha untuk melakukan pelabelan
halal. Karena apabila pelaku usaha yang ingin melakukan pelabelan halal melalui
Peruri, dengan wilayah Indonesia yang luas dan berupa kepulauan tentu hal
tersebut menyulitkan pelaku usaha yang misalnya ada di luar pulau jawa, seperti
di Papua, Sulawesi dan lainnya jika ingin melakukan pelabelan halal berdasarkan
SK tersebut karena harus dilakukan Peruri yang ada di Jakarta. SK Menteri
Agama tersebut kurang kuat, sebab dalam peraturan yang telah ada, tidak ada
pengaturan labelisasi halal harus melalui Peruri, melainkan dapat langsung dicetak
oleh MUI atas izin BPOM setelah pelaku usaha mendapat Sertifikat Halal atas
produknya dari MUI.
SK Menteri Agama No. 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana
Pemeriksaan Pangan Halal pelu diganti karena SK tersebut berbenturan dengan
SK No. 924/Menkes/SK/VIII/ 1996 tentang perubahan atas Keputusan Menteri
Kesehatan RI No 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pecantuman “Tulisan Halal”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Pada Label Makanan. Kedua peraturan diatas mengatur hal yang sama, oleh
karena itu SK Menteri Agama No. 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana
Pemeriksaan Pangan Halal perlu diganti agar tidak berbenturan dengan aturan
yang telah ada dan memiliki kekuatan hukum karena mengacu pada aturan yang
telah ada.
Belum adanya landasan yuridis mengenai sistem produk halal Indonesia yang
belum memiliki standar dan label halal resmi (standar halal nasional) yang
ditetapkan pemerintah menyebabkan pelaku usaha menetapkan label sendiri
sesuai selera masing-masing sehingga terjadilah berbagai pemalsuan label halal.
Oleh karena serfitikasi halal sendiri masih bersifat sukarela (voluntary), artinya
siapa mau boleh daftar yang tidak melakukan tidak dikenai sanksi, jadi LPPOM
MUI disini menjadi pihak yang pasif. Hal itulah yang mengakibatkan masih
banyaknya pelaku usaha yang kurang sadar akan pentingnya sertifikasi halal ini
serta mengklaim bahwa produknya halal atas dasar keyakinannya sendiri bahwa
produk mereka tersebut halal.
Anggapan-anggapan mengenai faktor biaya yang mahal dan proses dari sertifikasi
dan labelisasi yang berbelit-belit juga menjadi alasan utama para pelaku usaha
untuk mendaftarkan sertifikasi halal produknya, tidak dapat dipungkiri biaya
proses sertifikasi halal untuk saat ini belum terstandarisasi dengan baik dan
dipayungi hukum yang telah ada. Biaya Pemeriksaan Halal dan Biaya Sertifikat
berkisar antara Rp 100.000 hingga Rp 1.000.000 per produk dengan masa berlaku
dua tahun. Besarnya menjadi relatif karena terjadi subsidi silang antara pengusaha
besar dengan pengusaha kecil. Bahkan, ada juga yang dibebaskan dari biaya. Jadi,
tidak ada alasan untuk memberatkan (http://halalsehat.com/RUU-Produk-Halal-
dan-Perubahan- Masyarakat). Untuk itu, perlu Adanya standarisasi biaya untuk
sertifikasi halal pada makanan secara transparan juga harus ada dalam aturan
tersendiri misalnya di dalam Peraturan Pemerintah atau Keputusan Menteri.
Sebab, selama ini LPPOM MUI belum memiliki landasan yuridis guna penentuan
biaya terutama untuk pengurusan sertifikasi makanan halal di daerah. Jika ini
dikelola dengan baik tentunya pemerintah dapat memenuhi kebutuhan operasional
dan fasilitas laboratorium hingga di tingkat daerah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Dari beberapa uraian diatas dapat dikatakan bahwa peraturan perundang-
undangan yang sudah ada yang mengatur mengenai sertifikasi dan labelisasi halal
belum dapat mencegah dan mengatasi pemalsuan sertifikasi dan labelisasi halal
yang merugikan. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa peraturan perundang-
undangan yang mengatur masalah sertifikasi dan labelisasi halal belum efektif
karena ketaatan yang rendah dari masyarakat serta penegakan hukum yang masih
lemah, sehingga perlu ditingkatkan harmonisasi undang-undang kedalam
masyarakat, sosialisasi, pengawasan dan penegakan hukum yang lebih tegas.
Selain kurangnya kesadaran dari pelaku usaha dalam memenuhi hak-hak
konsumen, khususnya konsumen muslim akan kebutuhan produk yang terjamin
kehalalannya. Konsumen sendiri juga harus lebih jeli dan teliti sebelum
memutuskan untuk mengkonsumsi suatu produk yang masih menimbulkan
keragu-raguan sebagai upaya untuk memberdayakan dirinya sebagai konsumen
yang cerdas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
C. Solusi yang efektif guna memberantas pemalsuan sertifikasi dan
labelisasi halal.
Sudah menjadi rahasia umum di Indonesia tampaknya sudah menjadi ladang
subur bagi segala bentuk pembajakan ataupun pemalsuan misalnya saja merek
dagang maupun barang dagang, tidak terkecuali Sertifikat Halal dan label halal.
Sebagai umat muslim hal tersebut tentu menimbulkan rasa keprihatinan. Apalagi
Konsumen Muslim sebagai konsumen terbesar di Indonesia jelas dirugikan. Yang
seharusnya Sertifikat Halal dan label halal menjadi jaminan kehalalan suatu
produk, justru di pasaran sering ditemukan produk yang bersertifikat halal palsu
ataupun berlabel halal tanpa Sertifikat Halal yang artinya hal tersebut merupakan
label halal palsu. Seperti dicontohkan kasus yang terjadi di Indonesia pada bab
sebelumnya, direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim yang mengemukakan
bahwa banyak beredar sertifikat halal palsu atau tidak berlaku lagi mencapai 54,9
% dari produk yang beredar (http://Halalmui.Org/read/article.htm). Yang terjadi
di Surabaya dimana BPOM menemukan produk dendeng yang bahan bakunya
ternyata bukan dari sapi namun babi, tetapi parahnya pada kemasan dendeng
tersebut ada cap halalnya (http://news.detik.com/read.php). Selain itu juga ada
penyalahgunaan sertifikat halal palsu dimana LPPOM MUI menemukan
penggunaan sertifikat halal palsu oleh perusahaan daging asal Kanada, Citizen
Food Inc. Rekanan Citizen di Indonesia adalah Sumber Laut yang pemiliknya
adalah Basuki Hariman. Pernah menjadi Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha
Importir Daging Indonesia masa jabatan 2003-2008
(http://www.tempointeraktif.com/khusus/selusur.php). Selain dari contoh kasus
diatas tentu masih banyak kasus lagi mengenai pemalsuan sertifikat dan label
halal yang terjadi di pasaran Indonesia.
Pelaku usaha dan konsumen adalah pihak yang saling berhubungan dan saling
memerlukan, tetapi pada prakteknya seringkali konsumen dirugikan atas tindakan
pelaku usaha yang tidak jujur, nakal, dari tinjauan aspek hukum merupakan
tindakan pelanggaran hukum. Konsumen yang keberadaanya sangat tidak terbatas,
dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan
pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara-cara yang seefektif
mungkin agar dapat mencapai konsumen yang majemuk tersebut. Untuk itu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
semua cara pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai
dampak, termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif
bahkan tidak terpuji yang berawal dari itikad buruk. Dampak buruk yang sering
terjadi antara lain, menyangkut kualitas atau mutu barang, informasi yang tidak
jelas bahkan menyesatkan pemalsuan dan sebagainya (Sri Redjeki Hartono,
2000:34).
Selama ini upaya pemerintah dan pelaku usaha untuk melindungi umat dari
mengkonsumsi produk yang tidak halal dan untuk mendukung hak informasi
konsumen agar mengetahui kehalalan produk sudah berjalan dengan baik, yaitu
melalui Sertifikasi Halal dari MUI dan dengan mencetak langsung tanda halal
pada label produk. Sebenarnya peraturan-peraturan yang sudah ada saat ini yaitu
UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dan PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan
Pangan telah dengan jelas mengatur cara pencantuman tanda (tulisan) halal
berikut sanksi hukum yang jelas. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran
karena pemalsuan Sertifikat Halal dan label halal melanggar beberapa ketentuan
peraturan perundang-undangan yang akan disebutkan dibawah ini. Pada UU No.7
Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan pada Pasal 58 huruf i dan j yakni:
58 i. Barang siapa Memberikan keterangan atau pernyataan secara tidak benar dan
atau menyesatkan mengenai pangan yang diperdagangkan melalui, dalam, dan
atau dengan label dan atau iklan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 ayat (2);
j. Memberikan pernyataan atau keterangan yang tidak benar dalam iklan atau label
bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai menurut persyaratan agama
atau kepercayaan tertentu, sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 ayat (1);
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling
banyak Rp 360.000.000,00 (tiga ratus enam puluh juta rupiah).
Ketentuan mengenai sanksi pidana pada UU No.8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen disebutkan pada Pasal 62 ayat (1), bahwa:
(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Ancaman pidana tambahan bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan, yang
disebutkan pada Pasal 63:
Pasal 63: Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat
dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
a. perampasan barang tertentu;
b. pengumuman keputusan hakim;
c. pembayaran ganti rugi;
d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya
kerugian konsumen;
e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f. pencabutan izin usaha.
Selain sanksi pidana seperti yang tersebut diatas, terdapat pula sanksi
administratif seperti disebutkan pada PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan
Iklan Pangan yang tercantum pada Pasal 61 yang menyebutkan:
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Pemerintah ini dikenakan tindakan administratif.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. peringatan secara tertulis;
b. larangan untuk mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah
untuk menarik produk pangan dari peredaran;
c. pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa
manusia;
d. penghentian produksi untuk sementara waktu;
e. pengenaan denda paling tinggi Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah);
dan atau
f. pencabutan izin produksi atau izin usaha.
Dengan kemajuan teknologi dewasa ini, tentu sangat mudah untuk memalsukan
sertifikat dan label halal dengan berbagai cara. Cara yang paling sering digunakan
yaitu dengan di scan, bahkan digandakan dengan menggunakan alat cetak
modern. Pemalsuan seperti ini yang sulit untuk dimonitor oleh LPPOM MUI
karena tidak melalui proses legal secara administrasi.
Hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen lebih mengarah kepada
aspek keperdataan. Dengan adanya pemalsuan sertifikat dan label halal palsu pada
produk pangan dalam kemasan yang beredar di pasaran, hal tersebut dapat
dikatakan sebagai penipuan konsumen yang implikasi sanksinya disebutkan pada
Pasal 62 UUPK. Hal tersebut tidaklah cukup karena sanksi hanyalah berupa ganti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
kerugian yang merupakan kajian dari hukum perdata, yang menjadi persoalan
selanjutnya adalah sanksi pidana yang berupa denda yang dijatuhkan kepada
pelaku usaha yang berbadan hukum yang melakukan perbuatan pidana. Sanksi
pidana denda yang dipandang hanya sekedar “ongkos” operasional produksi atau
pemasaran, akan mengakibatkan perusahaan sebagai subyek hukum pidana tidak
menjadi jera atau sanksi pidana denda yang dimaksud tidak mengubah perilaku
perusahaan yang dimaksud. Akibatnya perbuatan pidana dapat selalu berulang
(Abdul Halim Barkatullah, 2008:104). Untuk itu perlu dipertimbangkan pula
mengenai pidana tambahan seperti tersebut pada Pasal 63 UUPK. Untuk
memberantas adanya pemalsuan sertifikat dan label halal bukan hanya didasarkan
pada sanksi ganti rugi maupun sanksi denda, perlu juga pengenaan ketentuan
sanksi administratif, karena sanksi tersebut dapat dipaksakan, pengenaannya bisa
secara sepihak. Pemberian sanksi pidana bagi pemalsu sertifikasi dan labelisasi
halal seharusnya tidak sebatas pada pengenaan denda. Maka upaya lain untuk
memberantas Sertifikat Halal dan Label Halal palsu dapat digunakan dengan
pendekatan kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal yaitu suatu usaha rasional dari
masyarakat untuk mengantisipasi dan menanggulangi kejahatan. Salah satu usaha
tersebut dapat dilihat dari penggunaan hukum pidana (penal). Oleh karena itu
formulasi pidana di dalam KUHP perlu diterapkan.
Kejahatan pemalsuan Sertifikat Halal berhubungan dengan pemalsuan surat atau
akta. Pasal 263 yang memuat tentang kejahatan pemalsuan surat rumusannya
adalah sebagai berikut:
(3) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat
menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan utang, atau yang
diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk
memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah
isinya benar dan tidak dipalsu, dipidana jika pemakaian tersebut dapat
menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara
paling lama 6 tahun.
(4) Dipidana dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai
surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah asli, jika pemakaian surat itu
dapat menimbulkan kerugian.
Dari rumusan dua ayat diatas, terdapat unsur- unsur kejahatan pemalsuan
Sertifikat Halal. Rumusan pada ayat (1) terdiri dari unsur-unsur yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
c. Unsur-unsur obyektif:
4) Perbuatan: a). Memalsu Sertifikat Halal.
5) Obyeknya : Sertifikat Halal
6) Dapat menimbulkan akibat kerugian dari pemakaian Sertifikat
Halal palsu tersebut.
d. Unsur subyektif: dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang
lain memakai seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu.
Rumusan ayat (2) mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
c. Unsur-unsur obyektif:
4) Pebuatan: memakai.
5) Obyeknya: a). Sertifikat Halal yang dipalsukan.
6) Pemakaian Sertifikat Halal palsu tersebut dapat menimbulkan
kerugian.
d. Unsur subyektif: dengan sengaja.
Kata “Palsu” artinya tidak benar atau bertentangan dengan yang sebenarnya
(Adami Chazawi, 2005:99). Pemalsuan Sertifikat Halal identik dengan perbuatan
memalsu (vervalsen) surat atau akta dimana sebelum perbuatan tersebut
dilakukan, sudah ada sebuah Serifikat Halal yang asli atau mencontoh Sertifikat
Halal yang asli. Kemudian pada sertifikat yang asli ini, terhadap isinya dilakukan
perbuatan memalsu yang akibatnya bertentangan dengan kebenaran karena tidak
dilakukan secara sah sebagaimana prosedur administrasinya. Menurut hemat
penulis, sebab pemalsuan Sertifikat Halal oleh pelaku usaha terdapat dua
kemungkinan, yang pertama memang pelaku usaha tidak memiliki Sertifikat Halal
dan enggan untuk mengajukan pendaftaran untuk memperoleh Sertifikat Halal
kemudian pelaku usaha membuat Sertifikat Halal sendiri yaitu dengan memalsu
format subtansi Sertifikat Halal yang sudah ada dari pelaku usaha lain. Yang
kedua pelaku usaha memiliki Sertifikat Halal tetapi Sertifikat Halal tersebut sudah
berakhir masa berlakunya dan enggan melakukan perpanjangan kemudian pelaku
usaha memalsu Sertifikat Halal tersebut dengan memperpanjang sendiri masa
berlakunya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
Perbuatan memalsu label halal dalam KUHP identik dengan pemalsuan merek.
Perbuatan memalsu label halal yang asli, artinya pada produk dalam hal ini
terdapat dalam kemasan produk atau pada labelnya diberikan tanda label halal
yang palsu. Kejahatan yang dimaksud, yang diatur pada Pasal 255 KUHP adalah
dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 225 : Dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun:
(1) barangsiapa membubuhi benda yang wajib ditera atau yang atas
permintaan yang berkepentingan diizinkan untuk ditera atau
ditera lagi dengan tanda tera Indonesia yang palsu, atau
barangsiapa yang memalsu tanda tera asli, dengan maksud
untuk memakai atau menyuruh memakai benda itu seolah-olah
tanda teranya asli dan tidak dipalsu;
Pada rumusan diatas terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
a. Unsur-unsur obyektif:
3) Perbuatan: a). Membubuhi tanda label halal palsu; b). Memalsu
tanda label halal yang asli;
4) Pada: kemasan produk.
b. Unsur subyektif: dengan maksud untuk menyatakan produk tersebut halal
sebagaimana tanda halalnya asli dan tidak dipalsu.
Istilah merek (merken) dalam kejahatan pemalsuan merek ini pengertiannya
terbatas pada merek, tanda atau cap pada benda-benda emas dan perak, tanda atau
cap pada benda-benda yang digunakan sebagai alat ukur, alat timbang dan alat
penakar (benda-benda tera), serta tanda atau cap yang diharuskan atau dibolehkan
UU dilekatkan pada benda tertentu atau bungkusnya (Adami Chazawi 2005:73).
Pengertian tersebut diatas tidak termasuk merek dagang dan merek jasa
sebagaimana yang dimaksudkan dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 tentang Merek.
Penerapan formulasi pidana pada pemalsuan sertifikat dan label halal ini
diharapkan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku usaha serta pencegahan
pemalsuan sertifikat dan label halal palsu dari pelaku usaha lain. Mengenai teori
pemidanaan, penulis lebih condong pada teori pemidanaan relatif atau teori tujuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
dimana tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban
di dalam masyarakat tidak terganggu. Dengan kata lain, pidana yang dijatuhkan
kepada si pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatannya, melainkan
untuk mempertahankan ketertiban umum. Hal tersebut berarti Pemidanaan tidak
dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
Filosof Inggris Jeremy Bantham (1748-1832), merupakan tokoh yang
pendapatnya dapat dijadilan landasan dari teori ini. Menurut Jeremy Bantham
bahwa manusia merupakan makhluk yang rasional yang akan memilih secara
sadar kesenangan dan menghindari kesusahan. Oleh karena itu suatu pidana harus
ditetapkan pada tiap kejahatan sedemikian rupa sehingga kesusahan akan lebih
berat dari pada kesenganan yang ditimbulkan oleh kejahatan. Mengenai tujuan-
tujuan dari pidana adalah:
1. mencegah semua pelanggaran;
2. mencegah pelanggaran yang paling jahat;
3. menekan kejahatan;
4. menekan kerugian/biaya sekecil-kecilnya.
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, teori relatif ini dibagi dua yaitu:
a) prevensi umum (generale preventie),
b) prevensi khusus (speciale preventie).
Mengenai prevensi umum dan khusus tersebut, E. Utrecht menuliskan sebagai
berikut: “Prevensi umum bertujuan untuk menghindarkan supaya orang pada
umumnya tidak melanggar. Prevensi khusus bertujuan menghindarkan supaya
pembuat (dader) tidak melanggar”. Prevensi umum menekankan bahwa tujuan
pidana adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan
penjahat. Dengan memidana pelaku kejahatan, diharapkan anggota masyarakat
lainnya tidak akan melakukan tindak pidana. Sedangkan teori prevensi khusus
menekankan bahwa tujuan pidana itu dimaksudkan agar narapidana jangan
mengulangi perbuatannya lagi. Dalam hal ini pidana itu berfungsi untuk mendidik
dan memperbaiki narapidana agar menjadi anggota masyarakat yang baik dan
berguna (Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jambi. Vol.3 No.11,
Usman. 2009:70-71).
Untuk mewujudkan pemberantasan pemalsuan Sertifikasi Halal dan labelisasi
halal diatas tak lepas dari peran seluruh kalangan baik itu pemerintah, lembaga
perlindungan konsumen pemerintah, pelaku usaha, konsumen maupun lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat serta aparatur penegak hukum yang
tegas. Dari pemerintah melalui lembaga pembentuk undang-undang (legislatif)
haruslah ada political will baik dalam perumusan peraturan maupun penegakan
dari peraturan itu sendiri harus mencerminkan rasa keadilan dan tuntutan keadaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
sosial. Terkait bagaimana untuk memberantas ataupun mencegah pemalsuan
sertifikat dan label halal palsu, ada baiknya pemerintah setingkat provinsi atau
kota berupaya membantu dan memfasilitasi pelaku usaha yang akan mengajukan
sertifikat halal, baik itu terdapat dalam program pemerintah maupun upaya
lainnya. Mengadakan sosialisasi kepada pelaku usaha akan pentingnya jaminan
kehalalan pada produk baik itu dalam bentuk seminar atau dalam forum lainnya,
karena permasalahan jaminan kehalalan ini adalah sebagai isu dan tantangan
dalam menghadapi era perdagangan bebas seperti sekarang maupun di masa
mendatang. Atau bisa juga seperti yang dilakukan di provinsi Jawa Barat dimana
salah satu program tahunan yang telah berlangsung sejak 2005 di pemerintah
provinsi tersebut mengalokasikan anggaran senilai Rp 600 juta untuk program
sertifikasi produk halal bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di
provinsi itu (http://halalcare.blogspot.com /2011/08/.html). Apabila setiap
provinsi di Indonesia melakukan program seperti diatas, tentu pemalsuan sertifikat
dan label halal dapat ditekan.
Untuk mencegah beredarnya produk yang mencantumkan tulisan halal namun
tidak memiliki sertifikat halal, cukup dengan meningkatkan sistem dan
mekanisme pengawasan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku saat
ini sehingga peraturan perundang-undangan yang ada dapat berjalan efektif.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan, pengawasan adalah serangkaian
kegiatan diawali pengamatan kasat mata, pengujian, penelitian dan survei
terhadap barang dan jasa yang beredar di pasar, guna memastikan kesuaian barang
dan/atau jasa dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa,
pencantuman label, klausula baku, cara menjual, pengiklanan serta pelayanan
purna jual barang dan/atau jasa. Agar pengawasan dilakukan lebih efektif, langkah
lain yang harus dilakukan adalah dengan meningkatkan peran serta Pemerintah,
Masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
(LPKSM). Bahkan, Pemerintah dapat mengoptimalkan peran Kantor Urusan
Agama (KUA) yang mewakili Departemen Agama dan Pusat Kesehatan
Masyarakat (Puskesmas) yang mewakili Departemen Kesehatan di tingkat
kecamatan untuk melakukan pengawasan barang yang beredar
(http://halalsehat.com/RUU-Produk-Halal-dan-Perubahan-Masyarakat).
Isu mengenai jaminan kehalalan pada produk kosumsi seharusnya menjadikan
para pelaku usaha jeli dalam mengambil peluang, selain untuk menambah daya
saing produknya juga untuk mendapatkan keuntungan lebih dari produknya yang
beredar di pasaran. Karena kecenderungan konsumen khususnya konsumen
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
muslim lebih memilih produk yang tidak menimbulkan keragu-raguan pada
produk yang akan dikonsumsinya yaitu produk yang ada jaminan kehalalan
dengan sertifikat halal maupun label halal. Dalam hal ini seharusnya pelaku usaha
memiliki kesadaran akan pentingnya kehalalan dan tidak hanya berorientasi pada
keuntungan saja, yaitu dengan mendaftarkan sertifikasi dan labelisasi halal pada
produknya agar produk yang bersangkutan tersebut memperoleh jaminan
kehalalan. Masalah biaya dan waktu seharusnya bukan lagi menjadi kendala bagi
pelaku usaha yang akan mengajukan permohonan sertifikasi dan labelisasi halal.
Untuk pengeluaran biaya sertifikasi tentunya tak jadi masalah karena nilai biaya
yang dikeluarkan untuk sertifikasi halal tidak sebanding dengan nilai keuntungan
yang akan didapat dari penjualan produk yang diproduksi, bisa jadi keuntungan
yang didapat lebih besar seperti alasan yang dijabarkan diatas yaitu selain
menambah daya saing produk tetapi konsumen cenderung memilih produk yang
terjamin kehalalannya. Untuk masalah waktu pelaku usaha tidak perlu lagi repot
dalam pendaftaran sertifikasi halal dengan alasan proses yang berbelit-belit.
Karena sekarang LPPOM MUI sudah meluncurkan Certification Online Service
System (CEROL-SS) 23000, yaitu sistim Sertifikasi Halal online berbasis web,
dengan aplikasi “Less paper”. Dalam sistim ini, tak diperlukan dokumen-
dokumen dalam bentuk kertas, juga tak dibutuhkan kurir untuk mengirimkan
berkas. Autentifikasi dokumen dilakukan dengan audit administrasi. Pihak
perusahaan cukup menunjukkan dokumen-dokumen asli yang sesuai dengan file-
file dokumen yang telah dikirimkan pada saat pengajuan sertifikasi secara online.
Begitu pula autentifikasi ke lembaga-lembaga mitra dalam proses sertifikasi halal,
tidak perlu menggunakan kertas faksimile. Dengan adanya sistim online ini, tentu
akan sangat mempermudah proses pendaftaran sertifikasi halal
(http://www.halalmui.org /NewMUI/index.php).
Pihak konsumen sendiri seharusnya juga harus lebih jeli dan teliti sebelum
memilih dan mengkonsumsi produk, hal tersebut adalah bentuk upaya untuk
memberdayakan dirinya sendiri sebagai konsumen cerdas. Selain mengetahui hak-
haknya, konsumen juga harus mengetahui kewajibannya seperti pada salah satu
kewajiban konsumen pada Pasal 5 huruf a UU No. 8 Tahun 1999 tentang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
Perilindungan Konsumen bahwa “Kewajiban Konsumen adalah membaca atau
mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang
dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan”. Persoalan selanjutnya yaitu
terletak pada keterbatasan pengetahuan konsumen untuk mengetahui komposisi
bahan pada produk yang akan dikonsumsinya. Jika hanya sekedar membaca dan
mengikuti petunjuk penggunaan saja, umumnya semua konsumen pun bisa. Tetapi
untuk mengetahui kandungan komposisi bahan yang digunakan pada produk yang
bersangkutan yang akan dikonsumsi tentu tidak semua konsumen paham
mengenai kelayakan atau halal tidaknya komposisi bahan yang ada pada produk
yang besangkutan, terlebih lagi sekarang banyak produk yang pembuatannya
diperoleh dari campuran rekayasa genetika dan bahan-bahan kimia yang tidak
semua konsumen mengetahuinya. Untuk menjembatani ketidaktahuan dari
konsumen tersebut, pemerintah melalui lemabaga terkait baik itu dari LPPOM
MUI maupun lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat seperti YLKI
untuk memberikan fasilitas sejenis layanan konsumen atau pengaduan seperti
program layanan pesan singkat atau SMS maupun Telepon serta internet yang
dikirimkan ke nomor atau alamat situs LPPOM MUI maupun YKLI bagi
konsumen yang menemui masalah keragu-raguan soal komposisi bahan yang
tidak dimengerti konsumen. Fasilitas tersebut tentunya juga harus bebas biaya dan
didukung oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang ahli dalam bidangnya serta
sarana dan prasarana dan mekanisme kerja yang memadai. Selain itu konsumen
juga harus aktif dalam program tersebut. Konsumen juga harus berani melaporkan
apabila ada sertifikat dan label halal palsu, mengenai label halal palsu dapat
diketahui pada kemasan pada produk yang bersangkutan, bisa juga dengan
membandingkan label halal pada produk lainnya, hal tersebut akan nampak
perbedaan atau kejanggalan pada labelnya, karena label halal sendiri mudah
dipalsu dengan bentuk stiker atau bentuk lainnya atau dengan mencocokkan
antara komposisi bahan yang ada pada produk dengan labelnya. Apabila
komposisinya mengandung bahan yang tidak halal sedangkan terdapat nomor
register sertifikat maupun label halal pada kemasannya bisa dipastikan bahwa
produk tersebut memasang label halal yang palsu, dan tentunya bisa juga pelaku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
usahanya menggunakan sertifikat halal palsu atau bahkan tidak memiliki sertifikat
halal. Untuk itu peran lembaga perlindungan konsumen sangat penting disini yaitu
untuk menjembatani laporan dari konsumen tersebut yang kemudian diteruskan
kepada aparat yang berwenang. Mengenai law enforcement seperti pengawasan
baik itu pre market maupun post market harus lebih ketat. Dalam hal ini LPPOM
MUI harus bekerja sama dengan BPOM dalam penentuan uji makanan karena
dalam hasil dari pengujian tersebut nantinya akan nampak mengenai thayibnya
produk yang diuji. Selanjutnya mengenai urusan penentuan halal tidaknya produk
yang telah diuji tersebut adalah kewenangan LPPOM MUI.
Penegakan hukum dalam kejahatan bisnis merupakan upaya untuk setiap orang
atau badan hukum mematuhi ketentuan hukum yang berlaku dalam bidang bisnis.
Upaya yang dimaksudkan yaitu tidak terlepas dari tindakan represif yakni barang
siapa yang melanggar ketentuan hukum pidana bisnis disamping berfungsi
sebagai upaya preventif. Dalam rangka penegakan hukum dari kejahatan bisnis
bukan hanya tugas dari penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) saja, tetapi harus
ada koordinasi, persepsi dan peran serta lembaga yang terkait penerapan
ketentuan tindak pidana kejahatan bisnis. Misalnya berkoordinasi dan bekerja
sama dengan BPOM yang dalam kegiatannya melakukan pengawasan dan
inspeksi pada peredaran produk di pasaran, Ditjen Bea dan Cukai, Dinas
Kesehatan, Dinas Perdagangan, maupun Lembaga Konsumen Swadaya
Masyarakat seperti YLKI.
YLKI berperan dalam konstrol sosial. Diibaratkan anggota tubuh, YLKI adalah
sebagai “mata” dan “mulut”, sedangkan yang punya tangan adalah Pemerintah
melalui instansi terkait. Dalam Praktik, YLKI sering melakukan penelusuran di
pasar tradisional maupun ritel-ritel modern (Mimbar Hukum.Vol.21 No.2, Irna
Nurhayati. 2009: 214).
Penegak hukum dalam pengertiannya institusi penegak hukum dan aparat
(orangnya) penegak harus lebih tegas, karena berhasil tidaknya penegakan hukum
itu tergantung dari sikap dan pengetahuan penegak hukum itu sendiri. Maka hal
yang perlu digaris bawahi adalah bahwa penegak hukum harus mempunyai
pengetahuan hukum yang cukup agar tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan
hukum yang ada. Oleh karena pemalsuan Sertifikasi dan labelisasi halal ini bukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
merupakan delik aduan, penegak hukum haruslah aktif dan memiliki pengetahuan
dalam menangani, memeriksa dan menyelesaikan tindak pidana bisnis. Mulai di
tingkat kepolisian misalnya, harus tegas dan kinerja yang maksimal serta
mencermikan rasa keadilan, karena di beberapa kasus yang terjadi seperti
restoran yang ada di Surabaya yang menyalahgunakan Sertifikat Halal yang
dilaporkan oleh YLKI kasusnya hanya terhenti di kepolisian, sehingga tidak ada
penyelesaian dan tidak sampai pada tingkat pengadilan
(http://www.republika.co.id/berita.html). Hukum bertugas untuk menciptakan
kepastian hukum karena bertujuan menciptakan ketertiban masyarakat. Tentunya
masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan dan penegakan hukum,
karena hukum itu untuk manusia, maka pelaksanaan dan penegakan hukum harus
memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat.
Pengenaan sanksi baik itu ganti kerugian, denda maupun penjara dirasa cukup adil
untuk pelaku usaha yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan
yang ada didalam UU Pangan, UUPK maupun KUHP serta sanksi administratif
pada PP No.69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Karena sebenarnya
kerugian yang dialami konsumen akibat pemalsuan sertifikat halal dan label halal
palsu yang ada pada produk pangan yang belum tentu isinya halal tersebut
bukanlah berupa kerugian secara material melainkan kerugian yang dapat
dikatakan tidak terlihat atau kerugian secara bathiniah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai Analisis
Perlindungan Hukum Terhadap Pemalsuan Sertifikasi dan Labelisasi Halal
Sebagai Bentuk Legitimasi Kehalalan Produk Di Indonesia, maka dapat
ditarik simpulan sebagai berikut:
1. Dalam rangka memberikan perlindungan konsumen atas jaminan
produk halal, pemerintah memberikan perlindungan melalui
peraturan perundang-undangan dengan labelisasi halal yang
tertuang dalam beberapa produk hukum antara lain UU No. 7
Tahun 1996 tentang Pangan, UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Kemudian diikuti peraturan-peraturan di
bawahnya yakni PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan
Pangan, SK Menteri Agama No. 518 Tahun 2001 tentang Pedoman
dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal, serta SK
Menkes No. 924/Menkes/SK/VII/1996 jo. SK Menkes No.
82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman “Tulisan Halal” Pada
Label Makanan.
2. Peraturan perundang-undangan yang sudah ada yang mengatur
labelisasi halal sebenarnya sudah mampu memberikan
perlindungan maksimal kepada konsumen namun tampaknya
perlindungan hukum melalui UU saja tidak cukup sehingga perlu
adanya aparat penegak hukum yang berani untuk menegakkan isi
dari UU.
3. Untuk mewujudkan pemberantasan pemalsuan Sertifikat Halal dan
label halal diatas tak lepas dari peran seluruh kalangan baik itu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
pemerintah, lembaga perlindungan konsumen pemerintah, pelaku
usaha, konsumen maupun lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat serta aparatur penegak hukum yang tegas.
Selain memberikan sanksi yang tegas bagi pemalsu sertifikat dan
label halal yang terdapat pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang
Pangan yang disebutkan pada Pasal 58 huruf i dan j, UU No. 8
Tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen yang disebutkan pada
Pasal 62 ayat (1), beserta ancaman pidana tambahan yang
disebutkan pada Pasal 63, dan sanksi administratif sebagai mana
disebutkan pada Pasal 61 PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan
Iklan Pangan, perlu juga penerapan formulasi pidana dalam KUHP
atas kejahatan pemalsuan surat dan pemalsuan cap/tera
sebagaimana disebutkan pada Pasal 263 dan Pasal 255 KUHP.
B. Saran
Berkaitan dengan hasil penelitian dan pembahasan yang telah
diuraikan, maka penulis menyarankan:
1. Perlu segera diupayakan pembentukan peraturan yang khusus
mengatur mengenai jaminan kehalalan produk di Indonesia berikut
sanksi hukum yang tegas, perlu juga dilengkapi dengan aturan
standar dan label halal resmi, penunjukan institusi atau lembaga
penjamin halal yang memiliki komepetensi dalam penentuan
kehalalan pangan sebagai kepanjangan tangan dari kementerian
agama sehingga terdapat kepastian mengenai wewenang, tugas,
dan fungsi mengenai atau dalam kaitannya dengan jaminan produk
halal, serta aturan mengenai transparansi biaya pengajuan
sertifikasi halal.
2. Mengubah paradigma sukarela (voluntary) dalam pengajuan
sertifikasi dan labelisasi halal pada produk menjadi kewajiban
(mandatory). Wajib untuk pelaku usaha berskala besar baik
perorangan maupun berbentuk badan hukum misalnya untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
perusahaan besar wajib untuk menjamin kehalalan produknya
dengan sertifikasi dan labelisasi halal. Untuk UMKM dilakukan
secara bertahap dan tentunya perlu dibantu oleh pemerintah
mengenai masalah biaya dan prosedurnya.
3. Memberikan sosialisasi kepada pelaku usaha dan masyarakat akan
pentingnya jaminan kehalalan. Sehingga diharapkan dapat
menunjang kesadaran pelaku usaha untuk mengajukan sertifikasi
dan labelisasi halal serta sebagai upaya untuk memberikan
pengetahuan kepada konsumen akan pentingnya jaminan kehalalan
pada produk yang akan dikonsumsinya. Penegakan hukum harus
lebih tegas mulai dari tingkat kepolisian, seharusnya penegak
hukum harus lebih aktif karena pemalsuan sertifikat dan label halal
ini bukan merupakan delik aduan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Al-Qur’an dan Terjemahannya. 2000. Semarang: Putra Toha.
Abdul Halim Barkatullah. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen. Banjarmasin:
FH Unlam Press.
Adami Chazawi. 2005. Kejahatan Mengenai Pemalsuan. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Ahmadi Miru&Sutarman Yodo. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta:
PT.RajaGrafindo Persada.
Ishaq. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Kamil Musa 2006. Ensiklopedia Halal Haram dalam Makanan dan Minuman.
Surakarta: Ziyad Visi Media.
Lexy J. Moleong. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Nurmadjito. 2000. Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang
Perlindungan Konsumen dalam Menghadapi Era Globalisasi, dalam
Husni Syawali & Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen.
Bandung: CV. Mandar Maju.
Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Shidarta. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo
Soleman B.Taneko. 1993. Pokok-Pokok Studi Hukum Dalam Masyarakat. Jakarta:
PT.RajaGrafindo Persada.
Sri Redjeki Hartono. 2000. Aspek-aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam
Kerangka Era Perdagangan Bebas, dalam Husni Syawali & Neni Sri
Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung: CV. Mandar
Maju.
Susanti Adi Nugroho. 2008. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau
Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 45 Beserta Amandemen. Yogyakarta: Aditya Pustaka.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
UU RI No.7 Tahun1996 Tentang Pangan;
UU RI No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
PP No.69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
Keputusan Menteri Agama No. 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara
Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal.
Keputusan Menteri Agama No. 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana
Pemeriksaan Pangan Halal.
Keputusan Menteri Agama No. 525 Tahun 2001 tentang Penunjukan Perusahaan
Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (PERUM PERURI) Sebagai
Pelaksana Pencetakan Label Halal.
Keputusan Menteri Kesehatan No 924/Menkes/SK/VIII/ 1996 tentang perubahan
atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No 82/Menkes/SK/I/1996 tentang
Pecantuman Tulisan Halal dan Label Makanan.
3. Makalah
Habibah Abdul Talib. 2008. “Quality Assurance in Halal Food Manufacturing in
Malaysia: A Preliminary Study”. Paper. Proceedings of International
Conference on Mechanical & Manufacturing Engineering (ICME2008).
Johor Bahru, Malaysia. Faculty of Mechanical & Manufacturing
Engineering, Presented in Universiti Tun Hussein Onn Malaysia
(UTHM). 21–23 May 2008.
Salehudin, I. and Luthfi, B.A. 2010. “Marketing Impact of Halal Labeling toward
Indonesian Muslim Consumer’s Behavioral Intention Based on Ajzen’s
Planned Behavior Theory: A Policy Capturing Study in Five Different
Product Categories”. Paper. Proceeding of 5th International Conference
on Business and Management Research (ICBMR), Presented 4th August
2010, Depok‐Indonesia.
Wiku Adisasmito. 2008. “Case Study: Analisis Kebijakan Nasional MUI dan
BPOM” Makalah. Disampaikan di Universitas Indonesia tahun 2008.
4. Jurnal
Azah Anir Norman. 2009. “Consumer Acceptance of RFID – Enabled Services in
Validating Halal Status”. Journal Computer Science and Information
Technology (ISCIT) University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia.
Vol 6. No.9.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Elvi Zahara Lubis. 2009. “Hubungan Pencantuman Label Halal Terhadap
Perlindungan Konsumen”. Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Medan Area, moral&adil Vol. 1 No. 1.
Endang S Soesilowati. 2010. “Business Opportunities for Halal Products in the
Global Market: Muslim Consumer Behaviour and Halal Food
Consumption”. Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities.
Vol. 3.
Irna Nurhayati. 2009. “Efektivitas Pengawasan Badan Pengawasan Obat dan
Makanan”. Mimbar Hukum. Vol.21 No.2.
Rajendra Kumar Nayak. 1991. “Consumer Protection Law in India: An Eco-Legal
Treatise on Consumer Justice”. Journal of Indian Law Institute New
Delhi. Vol. 3 No. 1.
Shahidan Shafie. 2009. “Halal Certification: an international marketing issues and
challenges”. Journal of Business & Accountancy. Faculty of Business &
Accountancy Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia.Vol. 32 No.
01.
Siti Zulaekah dan Yuli Kusumawati. 2005. “Halal dan Haram Makanan dalam
Islam”. Jurnal Suhuf. Vol. XVII No. 01.
Usman. 2009. “Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana”. Jurnal Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Jambi. Vol.3 No.11.
5. Majalah LPPOM MUI. 2008. Panduan Umum Sistem Jaminan Halal. LPPOM MUI.
6. Koran
.“Pentingnya Jaminan Halal”.Republika, Kamis 19 Januari 2012.
7. Internet
Erry Meta. Filsafat Hukum Dalam Membangun Kesadaran Hukum dan Ketaatan
Hukum. http://errymeta.blogspot.com/membangun-kesadaran-hukum-
dan-ketaatan.html> [11 Juni 2012 pukul 22.45].
Icha Auliani. 2011. Pemalsuan Produk Olahan Daging.http://rabbitica.
blogspot.com/2011/02/pemalsuan>[10 November 2011 pukul 20.47].
Jimly Asshiddiqie. Penegakan Hukum. http://www.docudesk.com/Pdf>[ 6 Juni
2012 pukul 10.10].
Ken yunita. MUI yakin Label halal di dendeng/abon Babi palsu.
http://news.detik.com/read.php>[12 Juni 2012 pukul 19:40].
Rozailin Abdul Rahman and Zainalabidin Mohamed. 2009. Malaysian Halal
Food Entrepreneurs Perspective Towards Globalization – A Conceptual
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Framework.http://ssrn.com/doc/E-Journal/1869683>[12 Maret 2012
pukul 21.10].
Syarif. RUU Produk Halal dan Perubahan Masyarakat.
http://halalsehat.com/pdf>[7 Juni 2012 pukul 22:42].
Yuris Susanto. Efektivitas Hukum. http://scribd.com/doc/Efektivitas-Hukum> [11
Juni 2012 pukul 00:00].
. 97% Produk Kosmetika Yang Beredar Tidak Jelas Kehalalannya.
http://threemc. multyply.com/read/article/>[ 8 November 2011 pukul
20.30].
.Halal Itu Penting. http://halalguide.info/categorykonsep-dasar/halal-
itu-penting>[20 Oktober 2011 pukul 20.15].
.Implementasi CEROL-SS23000 Sebagai Aktualisasi "Go
Green".http://www.halalmui.org /NewMUI/index.php >[12 juni 2012
pukul 19.30].
. Jabar Anggarkan 600 Juta Untuk
Sertifikasi.http://halalcare.blogspot.com /2011/08/.html>[7 Juni 2012
pukul 02:30].
. Kasus Pelanggaran Sertifikat Halal Sering Mandeg di Polisi.
http://www.republika.co.id/berita.html > [12 Juni 2012 pukul 22:00].
. Menyoal Kembali Akurasi Label Halal Dalam Produk-Produk
Makanan. Halalmui.Org/read/article.html>[12 Juni 2012 pukul 19:18].
.Pemain daging Partai Sejahtera. http://www.tempointeraktif.com/
khusus/selusur.php>[12 Juni 2012 pukul 20:20].
. Syarat Kehalalan Menurut Syariat Islam.http://www.halalmui.org>[
15 Mei 2012 pukul 19.20].