ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP KUALITAS LINGKUNGAN...
Transcript of ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP KUALITAS LINGKUNGAN...
ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI
TERHADAP KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP
(Studi Kasus: Enam Provinsi di Pulau Jawa Periode 2009-2018)
HALAMAN JUDUL
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Untuk Memenuhi Syarat Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh
Ghina Fadhilla
NIM: 11160840000051
JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1442 H / 2020 M
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI
TERHADAP KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP
(Studi Kasus: Enam Provinsi di Pulau Jawa Periode 2009-2018)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Untuk Memenuhi Syarat Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh
Ghina Fadhilla
NIM: 11160840000051
JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1442 H / 2020 M
i
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF
Hari ini Kamis, 14 Mei 2020 telah dilakukan Ujian Komprehensif atas mahasiswa:
Nama : Ghina Fadhilla
NIM : 11160840000051
Jurusan : Ekonomi Pembangunan
Judul Skripsi : Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap
Kualitas Lingkungan Hidup (Studi Kasus: Enam Provinsi
di Pulau Jawa Periode 2009-2018)
Setelah mencermati dan memerhatikan penampilan dan kemampuan yang
bersangkutan selama proses ujian komprehensif, maka diputuskan bahwa
mahasiswa tersebut di atas dinyatakan lulus dan diberi kesempatan untuk
melanjutkan ke tahap Ujian Skripsi sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Jurusan Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 14 Mei 2020
1. Dr. Lukman, M.Si. NIP. 196406072003021001
(……………………………...)
Penguji I
2. Aizirman Djusan, M.Sc., Econ. NIP. 195312051981031002
(……………………………...)
Penguji II
ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ILMIAH
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Ghina Fadhilla
NIM : 11160840000051
Jurusan : Ekonomi Pembangunan
Fakultas : Ekonomi dan Bisnis
Dengan ini menyatakan bahwa dalam penulisan skripsi, saya:
1. Tidak menggunakan ide orang lain tanpa mampu mengembangkan dan
mempertanggungjawabkan.
2. Tidak melakukan plagiasi terhadap naskah karya orang lain.
3. Tidak menggunakan karya orang lain tanpa menyebutkan sumber asli
atau tanpa izin pemilik karya.
4. Tidak melakukan pemanipulasian dan pemalsuan data.
5. Mengerjakan sendiri karya ini dan mampu bertanggung jawab atas
karya ini.
Jika di kemudian hari ada tuntutan dari pihak lain atas karya saya, dan telah melalui
pembuktian yang dapat dipertanggung jawabkan, ternyata memang ditemukan bukti
bahwa saya telah melanggar pernyataan ini, maka saya siap dikenai sanksi
berdasarkan aturan yang berlaku di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.
Bekasi, 30 November 2020 Yang Menyatakan,
Ghina Fadhilla
iii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
Hari ini Rabu, 23 Desember 2020 telah dilakukan sidang skripsi atas mahasiswa:
Nama : Ghina Fadhilla
NIM : 11160840000051
Jurusan : Ekonomi Pembangunan
Judul Skripsi : Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kualitas
Lingkungan Hidup (Studi Kasus: Enam Provinsi di Pulau Jawa
Periode 2009-2018)
Setelah mengamati dan memperhatikan penampilan dan kemampuan yang
bersangkutan selama proses sidang skripsi, maka diputuskan bahwa mahasiswa
tersebut di atas dinyatakan “LULUS” dan skripsi ini diterima sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 13 Januari 2021
1. Deni Pandu Nugraha, M.Sc NIDN: 2012108503
(……………………………...)
Ketua
2. Fahmi Wibawa, SE., MBA. NIDN: 311077202
(……………………………...)
Pembimbing
3. Djaka Badranaya, M.E. NIP: 197705302007011008
(……………………………...)
Penguji Ahli
iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Pribadi
1. Nama : Ghina Fadhilla
2. Tempat, Tanggal Lahir : Bekasi, 26 Januari 1999
3. Alamat : Perumahan Taman Sentosa, Kab. Bekasi
4. Telepon : 08886181233
5. Email : [email protected]
B. Riwayat Pendidikan
1. SDIT Annida Cikarang 2005-2011
2. SMP RSBI Islamic Village Karawaci 2011-2013
3. SMA Al-Muslim Tambun 2013-2016
4. S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2016-2020
C. Pengalaman Organisasi
1. AIESEC in South Tangerang, Maret 2018-Oktober 2019.
D. Partisipasi Seminar Terkait
1. Waste-led Design oleh Slow Factory Foundation, November 2020.
2. Deconstructing Greenwashing Myths oleh Slow Factory Foundation,
Oktober 2020.
3. Indonesia Circular Economy Forum oleh Greeneration Foundation, 11-
12 November 2019.
4. Stop waste, go circular economy! oleh Kedutaan Besar Finlandia di
Jakarta, Oktober 2019.
5. Gaya Hidup Zero Waste oleh Zero Waste Indonesia, April 2019.
v
ABSTRACT
The nexus of economic growth and environmental quality is a complex interrelation. At some point, economic growth could reap benefits such as life standard improvement, increase in consumption, and so on. On the other hand, economic growth could be a burdensome to the environment from the natural resource extraction, waste and the pollutant that threaten the environmental sustainability. Therefore, a research is done to analyze the effect of economic growth proxied by GRDP, population density and FDI on environmental quality using Environmental Quality Index (IKLH) on six provinces in Java Island, which dominate the national economy by the GDP distribution almost reaching 60%.
This research uses panel data ranging from 2009 to 2018 obtained from Central Bureau of Statistics (BPS) and the Ministry of Environment and Forestry (KLHK). The data was estimated using common effect model with log-linear regression model. The result shows GRDP partially has positive effect on environmental quality on six provinces in Java Island, meanwhile both population density and FDI partially have significant and negative effect on environmental quality. Finally, this research found the three variables together have a significant effect on environmental quality in six provinces on Java Island.
Keywords: Economic Growth, Gross Regional Domestic Product, Population Density, Foreign Direct Investment, Environmental Quality.
vi
ABSTRAK
Pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan hidup memiliki hubungan saling memengaruhi yang kompleks. Di satu sisi, pertumbuhan ekonomi dapat memberikan manfaat berupa peningkatan standar hidup, peningkatan konsumsi, dan sebagainya. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi memberi beban terhadap lingkungan hidup berupa pemanfaatan SDA, limbah dan polusi yang mengancam kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, dilakukan penelitian untuk menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi yang diproksikan dengan variabel PDRB, kepadatan penduduk dan PMA terhadap kualitas lingkungan hidup menggunakan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) di enam provinsi Pulau Jawa yang mendominasi perekonomian nasional dengan tingkat distribusi PDB hampir 60%.
Penelitian ini menggunakan data panel tahun 2009 hingga 2018 yang diperoleh dari BPS dan KLHK. Data diolah menggunakan estimasi model common effect dengan model regresi log-linier. Hasil penelitian menunjukkan PDRB secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas lingkungan hidup di enam provinsi Pulau Jawa, sedangkan kepadatan penduduk dan PMA secara parsial menunjukkan hubungan negatif dan signifikan terhadap kualitas lingkungan hidup. Kemudian, penelitian ini menunjukkan ketiga variabel bebas secara bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kualitas lingkungan hidup di enam provinsi di Pulau Jawa.
Kata Kunci: Pertumbuhan Ekonomi, Produk Domestik Regional Bruto, Kepadatan Penduduk, Penanaman Modal Asing, Kualitas Lingkungan Hidup.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kualitas
Lingkungan Hidup (Studi Kasus: Enam Provinsi di Pulau Jawa Periode 2009-
2018)”. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Fahmi Wibawa, SE,
MBA. sebagai dosen pembimbing skripsi atas saran dan dukungannya selama
proses penulisan skripsi.
Di tahun 2020 semua orang menghadapi masalahnya masing-masing yang
disebabkan oleh Covid-19. Di masa yang tidak mudah ini, penulis sangat bersyukur
atas dukungan dari keluarga, teman-teman penulis yaitu Dea, Ismi dan Fajrian yang
menyemangati penulis untuk menyelesaikan skripsi, dan Fakhri yang bersedia
membagi ilmunya mengenai penulisan skripsi. Selain itu, pidato Kim Seokjin
dalam #DearClassof2020 sangat memotivasi penulis untuk percaya pada
kemampuan diri sendiri, serta menjadi pengingat bahwa setiap orang membutuhkan
waktu yang berbeda-beda untuk mencapai suatu tujuan, dan itu merupakan hal yang
normal.
Penulis sangat senang dapat menulis dan menyelesaikan skripsi mengenai
topik lingkungan. Dalam beberapa tahun ke belakang, penulis tertarik dengan isu
lingkungan dan sudah mulai bergeser ke gaya hidup ramah lingkungan yang
menghindari konsumerisme. Penulis menganggap skripsi ini bukan hanya sebagai
pemenuhan syarat untuk meraih gelar sarjana ekonomi, namun juga sebagai andil
penulis dalam mendukung kelestarian lingkungan. Semoga karya ini bermanfaat.
Bekasi, November 2020
Ghina Fadhilla
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... 0
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ...................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF .................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ILMIAH.......................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI .............................................................. iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................... v
ABSTRACT ...................................................................................................... vi
ABSTRAK ........................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xii
DAFTAR GRAFIK ......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiv
BAB I: PENDAHULUAN .................................................................................. 1 A. Latar Belakang ......................................................................................... 1 B. Batasan Masalah ..................................................................................... 15 C. Identifikasi Masalah ............................................................................... 16 D. Rumusan Masalah .................................................................................. 16 E. Tujuan Penelitian .................................................................................... 17 F. Manfaat Penelitian .................................................................................. 17
ix
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 18 A. Teori -Teori Terkait dengan Penelitian ................................................... 18 B. Keterkaitan antar Variabel ...................................................................... 33 C. Penelitian Terdahulu ............................................................................... 47 D. Kerangka Pemikiran ............................................................................... 53 E. Hipotesis ................................................................................................ 55
BAB III: METODE PENELITIAN ................................................................. 56 A. Populasi dan Sampel ............................................................................... 56 B. Data dan Sumber Data ............................................................................ 56 C. Metode Analisis Data ............................................................................. 57 D. Definisi Operasional Variabel ................................................................. 66
BAB IV: TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................... 67 A. Gambaran Umum Objek Penelitian ........................................................ 67 B. Temuan Hasil Penelitian ......................................................................... 72 C. Pembahasan ............................................................................................ 79
BAB V: SIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 84 A. Simpulan ................................................................................................ 84 B. Saran ...................................................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 86
LAMPIRAN ..................................................................................................... 93
x
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Klasifikasi Predikat Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH)... 44
Tabel 2.2. Nilai Minimum dan Maksimum Indikator IKLH 2018…...…...…. 45
Tabel 2.3. Penelitian Terdahulu……………………………………………… 47
Tabel 3.1. Operasional Variabel Penelitian…………………………...……... 66
Tabel 4.1. Hasil Regresi Model Common Effect…………………………….. 73
Tabel 4.2. Hasil Uji Multikolinieritas………………………………………... 75
Tabel 4.3. Hasil Uji Heteroskedastisitas……………………………………... 76
Tabel 4.4. Hasil Uji t-statistik………………………………………………... 77
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Kerangka Teori……..…………………………………………. 35
Gambar 2.2. Kurva Lingkungan Kuznets …………………..…………...…. 38
Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran…………………………...…………...…. 53
xii
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1.1. Rata-Rata Nilai Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH)
Tahun 2009 dan 2018 di Indonesia (dalam persen)…………... 5
Grafik 1.2. Distribusi PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2009 dan
2018 di Indonesia (dalam miliar rupiah)……………………… 8
Grafik 1.3. Rata-Rata Kepadatan Penduduk di Indonesia Tahun 2009-
2018 (per km2)………………………………………………… 10
Grafik 1.4. Rata-Rata Nilai Realisasi Penanaman Modal Asing (PMA)
Tahun 2009 dan 2018 di Indonesia (dalam juta dolar)………... 12
Grafik 4.1. PDRB Atas Dasar Harga Berlaku di Enam Provinsi Pulau
Jawa Tahun 2018 (dalam miliar rupiah)……………………… 67
Grafik 4.2. Nilai Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) di Enam
Provinsi Pulau Jawa Tahun 2099-2018 (dalam persen)………. 68
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I Estimasi Model Regresi…………………………………..
A. Model Common Effect……….….………………….
B. Model Fixed Effect…………….…………………...
C. Model Random Effect………………………………
D. Uji Chow…………………………………………...
E. Uji Hausman………………………………………..
F. Uji Lagrange Multiplier……………………………
93
93
93
94
95
96
97
Lampiran II Uji Asumsi Klasik………………………………………...
A. Uji Multikolinieritas………………………………..
B. Uji Heteroskedastisitas……………………………..
97
97
98
Lampiran III Data Penelitian…………………………………………… 98
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1. Permasalahan Secara Umum
Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu hal yang diharapkan oleh
setiap negara, dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, maka suatu
negara akan menikmati hasilnya diantaranya berupa peningkatan standar
hidup masyarakat, kesehatan, pendidikan, tingkat konsumsi barang dan jasa
yang lebih tinggi, dan sebagainya. Pertumbuhan ekonomi juga disebut
sebagai salah satu indikator penting untuk mengukur keberhasilan
pembangunan suatu negara.
Berdasarkan survei ekonomi yang dilakukan oleh OECD di Indonesia,
dua dekade setelah krisis keuangan Asia pada tahun 1998, dan satu dekade
setelah krisis keuangan global, standar hidup masyarakat Indonesia meningkat
jauh lebih tinggi daripada sebelumnya, dan perekonomian negara juga menjadi
lebih kuat. Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita pun meningkat sebesar
70% selama dua dekade terakhir, hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan
ekonomi di Indonesia terus mengalami peningkatan.
Namun meski pertumbuhan ekonomi memberikan manfaat yang positif
terhadap negara maupun regional, tidak dapat dipungkiri bahwa usaha untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi memberikan beban terhadap lingkungan
hidup. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan lingkungan hidup
1
merupakan isu yang cukup kompleks. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi
dibutuhkan supaya masyarakat dapat menikmati standar hidup yang tinggi
seperti yang diharapkannya. Tetapi di satu sisi, kegiatan perekonomian yang
tidak berbasis pada pembangunan berkelanjutan akan memberi beban yang
berat untuk lingkungan hidup sebagai penyedia sumber daya.
Semakin cepat pertumbuhan ekonomi, maka semakin banyak barang
sumber daya yang diperlukan dalam proses produksi, yang pada gilirannya
akan mengurangi tersedianya sumber daya alam yang ada di bumi
(Suparmoko, 2014). Kegiatan produksi dicirikan dengan adanya intensitas
tertentu pada penggunaan sumber daya alam (SDA) sebagai faktor produksi
(bahan bakar fosil, udara, air, dan sumber yang terbarukan), serta polutan dan
sampah yang dihasilkan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan mendorong
terjadinya degradasi lingkungan.
Ekstraksi SDA untuk kegiatan produksi tanpa regulasi lingkungan yang
ketat akan menghasilkan gas rumah kaca (greenhouse gas), salah satunya
yaitu CO2. CO2 merupakan produk sampingan (by-product) yang dihasilkan
secara tidak disengaja dan tidak dapat dihindari proses produksi. Namun,
emisi gas rumah kaca yang berlebihan dan tidak terkendali ini akan
menyebabkan penipisan lapisan atmosfer dan meningkatkan suhu bumi, yang
berdampak pada peningkatan ketinggian permukaan laut karena terjadinya
ekspansi air laut, mencairnya gletser, dan mempercepat mencairnya es abadi di
kutub utara maupun selatan. Hal ini merupakan penyebab terjadinya gangguan
2
iklim global (global climate disruption) yang bersifat tidak dapat diubah
(irreversible).
Kula (1988) dalam Aşıcı (2012) menyebutkan, catatan sejarah
menunjukkan bahwa bencana lingkungan yang berhubungan dengan manusia
bukanlah sebuah fenomena yang jarang ditemui. Contohnya, pada tahun 800
sebelum masehi di Cina, kegiatan konservasi tanah dengan terasering untuk
sawah berakibat pada deforestasi. Selain itu, pada masa kejayaan Kerajaan
Romawi, tanah dan air di sekitar Roma terkontaminasi oleh aktivitas manusia.
Pertumbuhan ekonomi selayaknya tidak mengesampingkan variabel
lingkungan hidup, karena tanpa lingkungan hidup yang layak, pada akhirnya
manusia akan sulit untuk memenuhi kebutuhannya. Menurut Todaro (2011),
berkurangnya kualitas lingkungan dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi,
disebabkan oleh menurunnya produktivitas masyarakat akibat faktor kesehatan
dan adanya pengeluaran tambahan untuk kesehatan.
2. Kondisi Lingkungan
Kegiatan produksi membutuhkan sumber daya, sumber daya adalah
segala sesuatu yang dapat memberikan nilai tambah serta menciptakan barang
maupun jasa (output). Sumber daya dapat berupa tenaga kerja, uang, bahan
mentah, dan lainnya. Salah satu sumber daya adalah Sumber Daya Alam
(SDA). SDA adalah segala sesuatu yang berasal dari alam yang dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia, yang juga merupakan sumber
terjadinya aktivitas perekonomian.
3
Dalam ilmu ekonomi, sumber daya yang tersedia jumlahnya terbatas,
namun kebutuhan manusia jumlahnya tidak terbatas, dengan begitu sumber
daya yang tersedia tidak akan cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan dan
keinginan manusia. Saat konsumsi meningkat, maka sumber daya harus lebih
tinggi untuk memenuhi tuntutan pertumbuhan ekonomi dan permintaan
lainnya (Shah, 2005).
SDA merupakan sumber daya yang diekstraksi dari lingkungan, SDA
ada yang bersifat terbarukan dan tidak terbarukan. Pemanfaatan SDA yang
tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan seperti Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (Amdal), serta tidak melestarikan keberagaman kearifan
lokal dapat merugikan lingkungan hidup beserta seluruh ekosistemnya,
termasuk pada akhirnya akan berdampak terhadap kehidupan manusia.
Dengan berkembangnya waktu dan semakin meningkatnya pembangunan
demi meningkatkan kesejahteraan manusia, ternyata fungsi/peranan
lingkungan telah menurun dari waktu ke waktu. Hal ini berarti bahwa jumlah
bahan mentah yang dapat disediakan lingkungan alami telah berkurang dan
menjadi langka, kemampuan alam untuk mengolah limbah juga semakin
berkurang karena terlalu banyaknya limbah yang harus ditampung melebihi
daya tampung lingkungan, dan kemampuan alam menyediakan kesenangan
dan kegembiaraan langsung juga semakin berkurang karena banyak SDA dan
lingkungan yang telah diubah fungsinya dan meningkatnya pencemaran
(Suparmoko, 2014).
4
Beberapa aktivitas ekonomi yang memberikan dampak negatif terhadap
lingkungan sudah banyak contohnya, dimulai dari penggunaan bahan baku
mentah yang berlebihan, pembukaan hutan secara masif untuk perkebunan,
pembuangan limbah industri ke sungai, polusi udara dari sektor industri dan
mobilitas transportasi yang tinggi, dan lainnya.
Berikut ini adalah perbandingan nilai IKLH pada 6 provinsi di Pulau
Jawa tahun 2009 hingga 2018 dalam grafik:
Grafik 1.1. Rata-Rata Nilai Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH)
Tahun 2009 dan 2018 di Indonesia (dalam persen)
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2020, diolah.
Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa rata-rata nilai IKLH terendah
ada di Pulau Jawa, yaitu sebesar 51.7% pada tahun 2009. Sedangkan rata-rata
nilai IKLH tertinggi ada di Pulau Papua dan Kepulauan Maluku yaitu sebesar
86.21% pada tahun 2018.
Secara lebih luas menurut Resosudarmo, dkk (2000) dikutip dari
Mardanugraha dkk., (2002), pencemaran lingkungan yang berakibat dari
pemenuhan kebutuhan manusia dan perekonomian sudah terjadi di darat, laut
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
100
Sumatera Jawa Bali & Nusa Tenggara
Kalimantan Sulawesi Papua
2009
2018
5
dan udara. Kerusakan di lingkungan darat, misalnya erosi, proses
desertifikasi, peracunan oleh limbah kimia, mengeringnya sumber mata air,
tercemarnya sungai, menciutnya hutan dan menyusutnya keanekaragaman
sumber daya alam hayati. Kerusakan lingkungan di lautan, seperti
kontaminasi kimia di lautan, pencemaran laut oleh buangan kapal, kotoran
sampah dari daratan, kerusakan terumbu karang oleh pengeboman dalam
menangkap ikan, terkurasnya ikan oleh jaring-jaring raksasa dan panjang dan
naiknya permukaan laut akibat panas bumi. Kerusakan lingkungan juga
terjadi di udara, seperti lapisan ozon yang terkoyak oleh gas chloro fluoro
carbon (CFC), terjadinya proses kimiawi dengan gas di udara sehingga
menghasilkan hujan asam, meningkatnya suhu bumi akibat berkumpulnya gas
rumah kaca seperti CO2, SOx, Nx, CFC, dan lain-lain menjadi selimut yang
membalut bumi ini.
Selanjutnya, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan)
juga menunjukkan tingkat pencemaran udara di Indonesia semakin
memprihatinkan. Bahkan salah satu studi melaporkan bahwa Indonesia
menjadi negara dengan tingkat polusi udara tertinggi ketiga di dunia. World
Bank juga menempatkan Jakarta menjadi salah satu kota dengan kadar
polutan/partikulat tertinggi setelah Beijing, New Delhi dan Mexico City
(Gupito, 2012). Menurut laporan Statistik Lingkungan Hidup Indonesia, pada
tahun 2017 emisi gas rumah kaca di Indonesia mencapai angka 1.150.772
ribu ton CO2e.
6
Seiring dengan berjalannya waktu, peningkatan konsekuensi yang
didapat dari perubahan ekosistem terlihat semakin jelas. Tetapi respon-respon
politik semakin hari semakin tidak memadai untuk mengubah pola
pemanfaatan sumber daya yang tidak berkelanjutan (Cumming & von
Cramon-Taubadel, 2018). Pertumbuhan ekonomi yang dibarengi dengan
kemunduran pada instrumen pengaman hak atas lingkungan hidup yang baik
dan sehat akan membawa konsekuensi pencemaran, dan penurunan kualitas
lingkungan. Menurunnya kualitas lingkungan pada akhirnya berakibat pada
rentannya derajat kesehatan yang dipicu oleh penyakit akibat lingkungan
yang buruk, seperti Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), diare, penyakit
kulit/gatal-gatal dan lain-lain. Pada tahun 2008 Asian Development Bank
(ADB) menyebutkan bahwa pencemaran air di Indonesia berpotensi
menimbulkan kerugian Rp 45 triliun per tahun, atau 2,2% terhadap PDB.
3. Pertumbuhan Ekonomi di Pulau Jawa
PDB merupakan salah satu indikator yang umum digunakan untuk
mengukur pertumbuhan ekonomi pada periode waktu tertentu. Di tingkat
regional, angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah
satu indikator penting yang dapat digunakan untuk melihat perkembangan
perekonomian suatu wilayah, karena dengan melihat PDRB dapat diketahui
angka laju pertumbuhan ekonominya, serta dapat juga digunakan untuk
melihat apakah terjadi perubahan struktur di wilayah tersebut (Sukirno, 2006).
Pulau Jawa seringkali disebut sebagai pusat perekonomian nasional.
Pernyataan ini didukung dengan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) yang
7
menunjukkan bahwa pada tahun 2018 distribusi PDB terbesar masih dimiliki
oleh Pulau Jawa, dengan kontribusi sebesar 58,52%, angka ini membuktikan
bahwa Pulau Jawa mendominasi sebanyak lebih dari setengah perekonomian
nasional. Berikut adalah data distribusi PDRB atas dasar harga berlaku di
Indonesia menurut lokasi pada tahun 2009 dan 2018 dalam grafik sebagai
perbandingan:
Grafik 1.2. Distribusi PDRB Atas Dasar Harga Berlaku
Tahun 2009 dan 2018 di Indonesia (dalam miliar rupiah)
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2020, diolah.
Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa distribusi PDRB tertinggi di
Indonesia ditempati oleh Pulau Jawa, yaitu sebesar 58,52% pada tahun 2018,
di mana nilai ini lebih dari setengah dari PDB nasional. Sedangkan distribusi
PDRB terendah berada di Pulau Papua dan Kepulauan Maluku yaitu sebesar
2,47% pada tahun 2018.
PDRB sering dianggap sebagai ukuran terbaik dari kinerja
perekonomian di sebuah daerah, tujuannya adalah untuk meringkas aktivitas
ekonomi dalam suatu nilai uang tertentu selama periode waktu tertentu. Ada
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
100
Sumatera Jawa Bali & Nusa Tenggara
Kalimantan Sulawesi Papua
2009
2018
8
dua cara untuk melihat statistik ini, salah satunya adalah dengan melihat
PDRB sebagai pendapatan total dari setiap orang di dalam perekonomian
daerah. Cara lain untuk melihat PDRB adalah sebagai pengeluaran total atas
output barang dan jasa perekonomian. Dari kedua sudut pandang tersebut,
jelas bahwa PDRB merupakan cerminan kinerja ekonomi (Mankiw, 2006).
Hal ini berarti bahwa peningkatan pada PDRB menunjukkan adanya
pertumbuhan ekonomi.
Menurut Robert Kennedy, “PDRB sebagai barometer dari kinerja
ekonomi dianggap mampu mengukur segala hal, kecuali hal-hal yang
membuat hidup manusia berharga,” termasuk variabel lingkungan. PDRB juga
tidak menjelaskan mengenai keberlanjutan (sustainability), tidak juga
menjelaskan mengenai degradasi modal sosial dari alam, yang mana
perekonomian sangat bergantung pada hal tersebut. Singkatnya, PDRB hanya
menghitung pertumbuhan yang terkonsentrasi pada output yang dihasilkan.
Walaupun angka PDRB meningkat, tetapi angka ini tidak menjelaskan
mengenai kesejahteraan dan kesetaraan (Talberth, 2010). Maka, pertumbuhan
ekonomi yang dilihat dari angka PDRB tersebut tidak selalu dapat
mencerminkan kualitas lingkungan yang sehat.
Sebagai pulau yang mendominasi perekonomian nasional, aktivitas
ekonomi Pulau Jawa pada berbagai sektor tentunya sangat tinggi, hal ini
menunjukkan adanya aktivitas sosial-ekonomi penduduk yang juga tinggi.
Pertumbuhan penduduk yang tinggi dapat menyuplai tenaga kerja yang cukup
untuk mendukung perekonomian, sehingga dapat memperluas pasar domestik.
9
Hal ini berarti produsen dan pemasok dapat meningkatkan kekayaannya, dan
selanjutnya pertumbuhan penduduk yang tinggi akan mendorong kompetisi
pada pasar yang kemudian akan menghasilkan inovasi dan teknologi-teknologi
yang baru (Owusu, 2012).
Tetapi, tingginya aktivitas sosial-ekonomi penduduk akan menekan
lingkungan hidup, baik lingkungan lahan/tanah, air, maupun udara. Semakin
padat penduduk maka tekanan terhadap lingkungan akan semakin besar, yang
akhirnya akan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Kepadatan
penduduk dihitung dari jumlah penduduk di suatu daerah dibagi dengan luas
daerah tersebut dalam satuan luas tertentu. Berikut adalah data rata-rata
kepadatan penduduk di Indonesia pada tahun 2009 dan 2018 dalam grafik
sebagai perbandingan:
Grafik 1.3. Rata-Rata Kepadatan Penduduk di Indonesia
Tahun 2009 dan 2018 (per km2)
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2020, diolah.
Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa rata-rata kepadatan penduduk
tertinggi ditempati oleh Pulau Jawa, yaitu sebanyak 3590,83 penduduk/km2
0 500
1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000
Sumatera Jawa Bali & Nusa Tenggara
Kalimantan Sulawesi Papua
2009
2018
10
pada tahun 2018. Sedangkan rata-rata kepadatan penduduk terendah berada di
Pulau Papua dan Kepulauan Maluku yaitu hanya sebanyak 24 penduduk/km2.
Berdasarkan data BPS pada tahun 2019, di Pulau Jawa terdapat hampir
150 juta penduduk, yang mana jumlah tersebut adalah lebih dari setengah
penduduk Indonesia sebesar 265 juta. Hasil dari Survei Penduduk Antar
Sensus tahun 2015, BPS memproyeksi jumlah penduduk Indonesia tahun
2030 meningkat menjadi hampir 300 juta penduduk. Disaat jumlah penduduk
meningkat, lahan yang tersedia tidak akan ikut bertambah, maka kepadatan
penduduk akan semakin tinggi pada masa yang akan datang. Lingkungan pun
akan memikul beban yang semakin besar untuk memenuhi kebutuhan
manusia. Peningkatan permintaan akan kebutuhan ini meliputi energi untuk
industri, transportasi, dan lain-lain yang menyebabkan meningkatnya emisi
bahan bakar fosil.
Murtaugh & Schlax dalam Rahman (2017) menunjukkan bahwa satu
anak yang baru lahir dapat menghasilkan gas rumah kaca 20 kali lebih besar
dibanding dengan upaya penghematan energi yang dilakukan oleh satu orang
dengan mengurangi berkendaraan pribadi, melakukan daur ulang,
menggunakan peralatan energi yang efisien, dan lain-lain. Dengan begitu,
kepadatan penduduk dalam sebuah perekonomian mempunyai implikasi yang
penting terhadap tingkat polusi yang akan memengaruhi kualitas lingkungan
hidup di suatu negara ataupun daerah (Ohlan, 2015).
Selain PDRB dan kepadatan penduduk, pertumbuhan ekonomi juga
didukung oleh penanaman modal asing (PMA). Menurut Suyatno (2003)
11
dalam Ambarsari & Purnomo (2005), PMA merupakan aliran arus modal
yang berasal dari luar negeri yang mengalir ke sektor swasta baik yang
melalui investasi langsung (direct investment) maupun investasi tidak
langsung (portofolio). Investasi sebagai salah satu faktor produksi yang
krusial memainkan peran yang penting untuk meningkatkan produksi, yang
ditunjukkan melalui pertumbuhan ekonomi. Dalam kata lain, investasi
menjadi penggerak dalam aktivitas perekonomian nasional.
Berikut adalah data rata-rata nilai realisasi PMA di Indonesia pada tahun
2009 dan 2018 dalam grafik sebagai perbandingan:
Grafik 1.4. Rata-Rata Nilai Realisasi Penanaman Modal Asing
Tahun 2009 dan 2018 di Indonesia (dalam juta dolar)
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2020, diolah.
Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa rata-rata nilai realisasi PMA
tertinggi berada di Pulau Jawa, yaitu sebesar 2840,98 juta dolar pada tahun
2018. Sedangkan, nilai realisasi PMA terendah berada di Pulau Sulawesi,
yaitu sebesar 390,88 juta dolar pada tahun 2018.
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
Sumatera Jawa Bali & Nusa Tenggara
Kalimantan Sulawesi Papua
2009
2018
12
PMA dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dengan cara
langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, PMA meningkatkan
produksi, pekerjaan, dan penambahan nilai dan ekspor. Secara tidak langsung,
PMA berdampak pada terjadinya transisi teknologi, pengetahuan, pelatihan
kerja, eksternalitas, kelebihan teknologi (technology spillover), pembentukan
pengembangan sumber daya manusia, efisiensi, serta produktivitas (Behname,
2012).
Pasar yang sedang berkembang (emerging markets) merupakan destinasi
yang menggiurkan untuk melakukan investasi asing langsung. Menurut
International Monetary Fund (IMF), pada tahun 2010 pasar yang sedang
berkembang memegang bagian sebanyak 52% dari total PMA langsung secara
global. Delapan pasar berkembang yang terbesar berada pada posisi yang
menguntungkan dalam hal menarik investor, hal ini dikarenakan ukuran
pasarnya (Owusu, 2012).
Meski demikian, terdapat kemungkinan bahwa PMA berkontribusi
terhadap emisi CO2 dari aktivitas ekonomi. Seperti yang diketahui, PMA dapat
meningkatkan output nasional, dengan begitu PMA berhubungan secara
positif terhadap emisi CO2. Pada penelitiannya, Jensen (1996) dan Acharyya
(2009) menemukan bahwa meskipun PMA dapat berkontribusi untuk
pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, investasi asing langsung ini dapat
menyebabkan polusi industri yang lebih tinggi serta degradasi lingkungan
(Lau dkk., 2014).
13
4. Pertumbuhan Ekonomi dan Lingkungan
Kajian dalam pertumbuhan ekonomi dan lingkungan mulai bangkit sejak
maraknya isu perubahan iklim (climate change), atau yang lebih tepat disebut
dengan disrupsi iklim (climate disruption). Fokus kajiannya telah bergeser dari
pertanyaan mengenai kelangkaan sumber daya yang tak terbarukan, menjadi
polusi yang berkaitan dengan penggunaan sumber daya.
Menurut Zhu & Peng (2012) dalam Basyiran (2014), perubahan pada
tingkat konsumsi dan struktur populasi penduduk merupakan faktor pengaruh
utama terhadap emisi karbon yang merupakan akibat dari pembakaran bahan
bakar fosil. Pembakaran bahan bakar fosil mengarah kepada emisi CO2 yang
terakumulasi di atmosfer. Peningkatan konsentrasi karbon di atmosfer
kemudian akan menyebabkan semakin memburuknya efek rumah kaca yang
bertanggung jawab atas terjadinya pemanasan global (Schubert, 2018).
Pertumbuhan ekonomi yang baik adalah apabila kualitas lingkungan
hidup juga turut diperhatikan, jadi tidak semata-mata memanfaatkan SDA
untuk keuntungan segelintir orang atau beberapa pihak tertentu. Perekonomian
dan kualitas lingkungan harus berjalan dengan selaras. Lingkungan sebagai
habitat manusia merupakan pusat dari aktivitas dan pertumbuhan ekonomi,
lingkungan menyediakan sumber daya yang dibutuhkan manusia untuk
memproduksi barang dan jasa, serta memikul beban hasil produksi berupa
polusi dan sampah (Everett dkk., 2010).
Menurut Goodland (1995), keberlanjutan lingkungan (environmental
sustainability) merupakan salah satu faktor yang penting untuk keseimbangan
14
ekonomi dan lingkungan. Keberlanjutan lingkungan didefinisikan sebagai
meningkatkan kesejahteraan manusia dengan memelihara sumber-sumber
bahan mentah yang digunakan untuk kebutuhan manusia, dan memastikan
bahwa sistem pengelolaan sampah tidak melebihi kapasitasnya untuk
mencegah bahaya bagi manusia.
Guna melestarikan lingkungan dan sekaligus tetap memastikan bahwa
perekonomian tetap berjalan dengan baik, dibutuhkan hukum dan kondisi
ekonomi yang mendukung efisiensi sumber daya dan mengurangi penggunaan
sumber daya. Tujuan dari melestarikan sumber daya adalah untuk memastikan
bahwa generasi selanjutnya memiliki SDA yang cukup, serta menghindari
dampak terhadap lingkungan yang berakibat dari pemanfaatan sumber daya.
Selanjutnya dari uraian-uraian, pemaparan data-data, dan latar belakang
tersebut maka penulis memberikan penelitian ini dengan judul “Analisis
Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kualitas Lingkungan Hidup
(Studi Kasus: Enam Provinsi di Pulau Jawa Periode 2009-2018)”.
B. Batasan Masalah
Penulis membatasi penelitian ini supaya hasil penelitian yang
diharapkan tidak keluar dari pokok bahasan. Penelitian ini dilakukan pada
enam provinsi di pulau Jawa, diantaranya yaitu Banten, DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Tengah, DIY serta Jawa Timur pada periode tahun 2009 hingga
2018. Selanjutnya, penelitian ini dibatasi oleh variabel terikat berupa IKLH,
serta tiga variabel bebas yang terdiri dari angka PDRB, angka kepadatan
penduduk, dan angka realisasi PMA dalam skala per tahun.
15
C. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas,
maka dapat diidentifikasi masalah-masalah sebagai berikut:
1. Sebagai pusat perekonomian nasional, nilai IKLH di enam provinsi Pulau
Jawa mendominasi klasifikasi predikat kurang baik.
2. Ekstraksi SDA untuk kegiatan produksi tanpa regulasi lingkungan yang
ketat akan menciptakan degradasi lingkungan.
3. Aktivitas ekonomi yang tinggi pada suatu daerah menciptakan kepadatan
penduduk yang tinggi, namun akan menekan kualitas lingkungan hidup.
4. Penanaman modal asing tanpa kebijakan perusahaan dan regulasi
lingkungan yang ketat akan membawa lebih banyak dampak negatif
dibanding dampak positif.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan yang terdapat dalam latar belakang diatas, maka
adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pengaruh PDRB terhadap kualitas lingkungan hidup di
enam provinsi Pulau Jawa Tahun 2009-2018?
2. Bagaimana pengaruh Kepadatan Penduduk terhadap kualitas
lingkungan hidup di enam provinsi Pulau Jawa Tahun 2009-2018?
3. Bagaimana pengaruh PMA terhadap kualitas lingkungan hidup di enam
provinsi Pulau Jawa Tahun 2009-2018?
4. Bagaimana pengaruh PDRB, Kepadatan Penduduk dan PMA secara
bersama-sama terhadap kualitas lingkungan hidup di enam provinsi
16
Pulau Jawa Tahun 2009-2018?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang terdapat diatas, maka adapun tujuan
penelitian adalah untuk :
1. Mengetahui pengaruh PDRB terhadap kualitas lingkungan hidup di
enam provinsi Pulau Jawa Tahun 2009-2018.
2. Mengetahui pengaruh kepadatan penduduk terhadap kualitas
lingkungan hidup di enam provinsi Pulau Jawa Tahun 2009-2018.
3. Mengetahui pengaruh PMA terhadap kualitas lingkungan hidup di
enam provinsi Pulau Jawa Tahun 2009-2018.
4. Mengetahui pengaruh pengaruh PDRB, kepadatan penduduk dan PMA
secara bersama-sama terhadap kualitas lingkungan hidup di enam
provinsi Pulau Jawa Tahun 2009-2018.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:
1. Memberikan informasi dan kontribusi terhadap pengembangan
penelitian mengenai pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap
lingkungan hidup.
2. Sebagai salah satu sarana penyampaian rekomendasi saran bagi
pemerintah dalam membuat kebijakan dan regulasi yang baik dalam
menjaga kelestarian lingkungan.
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori -Teori Terkait dengan Penelitian
1. Degradasi Lingkungan
Degradasi lingkungan atau penurunan kualitas lingkungan merupakan
salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh dunia saat ini. Degradasi
lingkungan membawa dampak yang merugikan bagi kesehatan manusia,
biodiversitas, lapisan ozon, kualitas udara, sumber daya alam (SDA) seperti
air, tanah dan hutan, serta perekonomian secara keseluruhan. Salah satu
penyebab degradasi lingkungan adalah meningkatnya emisi CO2 secara
global, yang merupakan hasil dari adanya aktivitas sosial ekonomi (Rahman,
2020).
Degradasi lingkungan muncul dari adanya aktivitas antropogenik, yaitu
perubahan lingkungan yang disebabkan atau dipengaruhi oleh manusia, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Interaksi antara manusia, ekonomi,
masyarakat, dan alam telah mendukung perkembangan peradaban manusia
dan pengembangan sejarah. Di satu sisi, manusia menerima manfaat dari
alam melalui pemanfaatan energi, sumber daya, lahan, membuang sampah,
dan menikmati lingkungan ekologis, namun di sisi lain, alam membatasi
pembangunan karena terbatasnya ketersediaan hal-hal tersebut.
Manusia membutuhkan SDA untuk kelangsungan hidup manusia serta
pembangunan. Dengan adanya industrialisasi global pasca Perang Dunia II,
18
permintaan akan SDA semakin meningkat, dan tekanan dari manusia
terhadap lingkungan merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, yang
pada akhirnya menyebabkan kelangkaan serta konflik seputar ketersediaan
dan pemanfaatan SDA. Dari tahun 1963 hingga 2013, perekonomian dunia
berkembang secara pesat, dan PDB global meningkat dari US$1624.3 miliar
menjadi US$74909.8 miliar, yang merupakan peningkatan sebesar 46 kali
lipat. Peningkatan produktivitas serta kemampuan adaptasi manusia terhadap
alam kemudian menyebabkan populasi manusia meningkat pesat pula. Dalam
dua dekade terakhir, jumlah penduduk dunia telah tumbuh menjadi sebesar 5
kali lipat.
Selama lebih dari satu abad terakhir, negara-negara maju telah
mengalami industrialisasi dan modernisasi melalui konsumsi energi tinggi
karbon. Industrialisasi negara-negara maju telah mempercepat konsumsi
bahan bakar fosil secara besar-besaran. Saat ini, banyak negara-negara yang
sedang berkembang (NSB) sedang memasuki proses industrialisasi, yang
akan mempercepat peningkatan konsumsi energi global. Penggunaan energi
pada industri di NSB masih bergantung pada bahan bakar fosil, yang mana
bahan bakar ini persediaannya terbatas dan akan habis di kemudian hari. Di
saat yang sama, gas rumah kaca yang dihasilkan dari konsumsi bahan bakar
fosil yang tinggi terakumulasi di atmosfer, hal ini menimbulkan efek rumah
kaca yang menyebabkan semakin tingginya frekuensi bencana alam dan
cuaca ekstrem yang mengancam pembangunan berkelanjutan pada
masyarakat (Du dkk., 2020)
19
Selain industri, salah satu penyebab adanya degradasi lingkungan juga
dapat disebabkan oleh skala yang lebih kecil, yaitu rumah tangga. Rumah
tangga sebagai pelaku ekonomi yang paling kecil dalam arus perputaran
ekonomi (circular flow) juga membutuhkan energi seperti sektor-sektor
lainnya. Sama halnya dengan industri, konsumsi energi di NSB masih
memiliki tantangan degradasi lingkungan. Sebagian besar konsumsi energi di
NSB masih terkonsentrasi pada penggunaan bahan bakar fosil, emisi CO2,
dan akses yang terbatas terhadap sumber energi terbarukan dan ramah
lingkungan (Rahmani dkk., 2020)
Menurut Hertwich & Peters (2009) dan Wilson, dkk (2013) dalam Clift
dkk., (2016) jumlah emisi gas rumah kaca bergantung pada jumlah energi
yang dikonsumsi pada rumah tangga. Sektor rumah tangga bertanggungjawab
terhadap hampir tiga perempat dari emisi karbon global, yaitu sekitar 72%
dari emisi karbon secara global. Jejak karbon dalam rumah tangga berasal
dari beberapa kategori, yaitu transportasi, perumahan (termasuk listrik di
dalamnya), makanan, serta barang dan jasa.
Seperti yang sudah diketahui, lingkungan memiliki batasan dalam
mengelola polusi yang ada di lingkungan. Apabila upaya-upaya pertumbuhan
ekonomi tidak memulai transisi pada teknologi dan energi yang lebih ramah
lingkungan (rendah karbon), maka semakin lama tingkat degradasi
lingkungan akan menjadi tidak terkendali, dan lingkungan tidak mampu
menyediakan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan manusia.
20
2. Disrupsi Iklim (Climate Disruption)
Istilah perubahan iklim (climate change) dipakai secara luas dan telah
tertanam dalam persetujuan-persetujuan internasional, birokrasi, dan buku-
buku teks. Namun, terdapat istilah lain yang lebih sesuai untuk menjelaskan
dampak dari buangan gas CO2 dan gas perangkap panas (heat-trapping)
dalam kuantitas besar lainnya ke atmosfer bumi, yaitu disrupsi iklim (climate
disruption). John Holdren, penasihat sains untuk Presiden Obama yang
mengemukakan istilah ini berpendapat bahwa, konsekuensi dari disrupsi
iklim tidak bersifat bertahap, dan tidak juga dapat diprediksi, melainkan
konsekuensinya akan berbeda di berbagai tempat (Woodward, 2019).
Disrupsi iklim secara langsung berinteraksi dengan struktur sosial
manusia, dan juga terkait erat dengan pertumbuhan ekonomi, dengan begitu
aktivitas ekonomi berada pada pusat dari fenomena yang kompleks ini. Di
mulai dari revolusi industri dan percepatan teknologi, konsumsi manusia
terhadap bahan bakar fosil secara signifikan telah meningkatkan tingkat emisi
CO2. Dengan globalisasi dan industrialisasi yang berkembang pesat, output
dunia juga semakin meningkat. Emisi CO2 telah terbukti secara langsung
berhubungan dengan pertumbuhan PDB, salah satu sebabnya adalah
pertumbuhan output membutuhkan energi yang menghasilkan emisi CO2
(Rahman, 2020).
Meski emisi CO2 dalam pertumbuhan ekonomi tidak dapat dihindari,
kerusakan iklim dan lingkungan menyebabkan pertumbuhan ekonomi
menjadi tidak ekonomis, karena biaya dari kerusakan yang melebihi
21
keuntungannya. Wade & Jennings (2016) mengasumsikan persediaan modal
akan berkurang karena dampak dari disrupsi iklim, maka kapasitas produksi
dunia akan menurun. Hal ini dapat menunjukkan adanya pergeseran menurun
dalam fungsi produksi dunia, dikarenakan setiap unit tenaga kerja
memproduksi lebih sedikit output. Suhu dunia yang tinggi juga akan
memengaruhi ketahanan pangan (food security), penyebaran penyakit
menular, dan merugikan para pekerja lapangan. Hal-hal tersebut akan
mengurangi efektivitas produksi dan jumlah tenaga kerja yang tersedia untuk
memproduksi.
Pada tingkat dunia, dampak dari disrupsi iklim berpotensi menimbulkan
bencana besar (catastrophic), hal ini termasuk perpindahan penduduk secara
besar-besaran yang diakibatkan oleh beberapa bagian dari bumi yang menjadi
kurang layak untuk dihuni karena tingkat kepanasan yang berlebihan,
kekeringan, maupun genangan air dari kenaikan tingkat permukaan laut.
Menurut Kulp & Strauss, 70% dari jumlah penduduk dunia saat ini tinggal di
daerah yang rentan bencana di 8 negara Asia, yaitu: Cina, Bangladesh, India,
Vietnam, Indonesia, Thailand, Filipina, dan Jepang (Scott & Lennon, 2020).
Disrupsi iklim akan berpengaruh secara negatif terhadap masyarakat
yang tinggal di negara-negara yang kurang berkembang, di mana masyarakat
tersebut tidak berkontribusi banyak terhadap penyebab disrupsi iklim.
Sebaliknya, masyarakat yang tinggal di negara-negara maju dengan
kontribusi emisi yang besar, akan menerima dampak yang lebih kecil dari
disrupsi iklim (Zachara dkk., 2020). Menurut Mendelsohn, Schlesinger &
22
Williams (2000), dampak dari disrupsi iklim berbeda di satu negara dan
lainnya. Negara-negara yang secara geografis terletak di garis lintang yang
tinggi (high-latitude), akan menerima manfaat dari kenaikan suhu bumi
dibandingkan dengan negara-negara yang terletak di garis lintang rendah
(low-latitude). Hal yang serupa juga dikemukakan oleh penelitian lain dari
Mendelsohn, dkk (2000) yang mengasumsikan apabila suhu bumi naik
sebesar 2 derajat celsius pada tahun 2060, maka perekonomian di negara-
negara OECD akan menerima keuntungan dari kenaikan suhu ini, sedangkan
negara lainnya akan menerima kerugian (Wade & Jennings, 2016).
3. Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan (Sustainable Economic
Growth)
Pertumbuhan ekonomi berkelanjutan memiliki artian bahwa tingkat
pertumbuhan dapat dipertahankan dalam jangka panjang. Pertumbuhan
berkelanjutan meliputi lingkungan yang berkelanjutan, di mana upaya
pertumbuhan ekonomi tidak mengeksploitasi sumber daya langka, serta
pertumbuhan dengan inflasi yang rendah dan perekonomian yang stabil.
Secara sederhana, pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dapat didefinisikan
sebagai pertumbuhan yang tidak akan menurunkan kemampuan produksi
untuk generasi yang akan datang. Kemampuan produksi generasi yang akan
datang dipengaruhi oleh tersedianya modal, sumber daya manusia, sumber
daya alam dan teknologi yang diwariskan oleh generasi saat ini atau
sebelumnya.
23
Pertumbuhan yang berkelanjutan secara lingkungan (environmentally
sustainable growth) harus dipertahankan dalam jangka yang sangat panjang
sampai beberapa dekade bahkan abad. Untuk mencapai hal ini, perlu
diperhatikan beberapa hal berupa:
a. Pembatasan polusi yang dapat membahayakan kehidupan.
Contohnya, tenaga nuklir dapat memberikan energi yang murah
untuk 50 tahun ke depan, namun limbah radioaktif dapat
membahayakan generasi yang akan datang.
b. Pertumbuhan yang tidak menyebabkan disrupsi iklim. Kelebihan
produksi CO2 berkontribusi terhadap pemanasan global. Apabila
suhu global meningkat sebesar 2 atau 3 derajat, dapat
menyebabkan banyak bagian di dunia yang tidak dapat dihuni.
Contohnya, kenaikan tingkat permukaan air akan menyebabkan
hilangnya banyak dataran rendah, dan juga dapat menyebabkan
meningkatnya desertifikasi lahan pertanian, yang akan
menurunkan kemampuan untuk memberikan sumber makanan
bagi generasi di masa yang akan datang. Pertumbuhan yang
berkelanjutan seharusnya memprioritaskan pembatasan emisi CO2
dan mencegah pemanasan global.
c. Melindungi sumber daya yang tak terbarukan. Pertumbuhan yang
berdasarkan pada konsumsi sumber daya yang tak terbarukan
tidak dapat dipertahankan saat sumber daya tersebut akhirnya
24
habis. Hal ini termasuk dengan pembakaran bahan bakar fosil,
atau hilangnya biodiversitas.
Pertumbuhan maupun pembangunan dapat dikatakan berkelanjutan
apabila tidak ada masalah ketidakmerataan antar generasi (intergenerational
inequality problem) (Suparmoko, 2014). Pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan ekonomi saling bersinergi dalam mencapai tujuan
pembangunan nasional. Namun, jika dua aspek tersebut tidak memperhatikan
sisi kelestarian lingkungan, akan muncul masalah di kemudian hari. Menurut
Drews & Bergh (2017) dalam Febriana dkk. (2019) masalah penting dalam
pembangunan ekonomi adalah bagaimana menghadapi trade-off antara
pembangunan dengan upaya pelestarian lingkungan. Secara ringkas,
pembangunan ekonomi yang semata-mata hanya merujuk pada sebuah
keuntungan tanpa mempertimbangkan keberlangsungan alam dan lingkungan,
tidak akan membawa dampak negatif bagi alam saja, melainkan pada manusia
juga.
Untuk mencapai masyarakat dan perekonomian yang inklusif, sebuah
keseimbangan antara pembangunan ekonomi, keadilan sosial, dan
keberlanjutan ekologi harus ditetapkan dan ditegaskan. Terdapat beberapa
tantangan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,
menurut Juhro (2015) permasalahan ketidakmerataan akses masih kuat pada
kesempatan dan peluang ekonomi bagi masyarakat luas sehingga
pertumbuhan ekonomi belum sepenuhnya inklusif. Walaupun secara agregat
jumlah orang miskin dan tingkat kemiskinan di Indonesia masih dalam tren
25
menurun, namun tren ini masih lambat dan belum dapat mengurangi
ketimpangan akses pada kesempatan dan peluang ekonomi terutama pada
masyarakat berpendapatan rendah.
Tantangan selanjutnya yaitu barang-barang sumber daya dan
lingkungan dianggap tersedia dengan bebas, sehingga tidak perlu diberikan
harganya. Keadaan ini telah berlangsung lama dan akibatnya telah terjadi
penggunaan sumber daya yang berlebihan, sehingga berakibat pada
memburuknya kualitas lingkungan. Untuk memasukkan dimensi lingkungan
ke dalam berbagai kebijakan ekonomi, pemberian harga atau nilai moneter
terhadap berbagai produk dan jasa lingkungan sangat diperlukan (Suparmoko,
2014).
4. Pembangunan Rendah Karbon (Low-Carbon Development)
Kekhawatiran mengenai disrupsi iklim global telah mendorong para
pembuat kebijakan untuk mencari solusi dalam mengurangi emisi CO2, salah
satunya yaitu pembangunan rendah karbon. Karbon merupakan sebuah faktor
ekologis yang akan selalu ada pada kehidupan manusia. Karbon menunjukkan
interaksi antara manusia dengan ekosistemnya, serta dampak dari manusia
dalam ekosistem. Peradaban industri terlalu banyak bergantung pada sumber
daya energi yang diakumulasi dari peradaban kuno. Energi bahan bakar fosil
ini tidak akan tersedia terus menerus dan akan habis, atau dalam kata lain
tidak bersifat berkelanjutan (Du dkk., 2020)
Istilah pembangunan rendah karbon pertama kali diperkenalkan pada
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada
26
tahun 1992, yang disebut juga sebagai strategi pembangunan rendah emisi
atau low-emission development strategy (LEDS). Terdapat beberapa
interpretasi yang berbeda mengenai definisi pembangunan rendah karbon,
Department for International Development (DFID) di Inggris
mendefinisikannya sebagai strategi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi
sekaligus menangani disrupsi iklim dan mengurangi emisi karbon. The
Danish Institute for International Studies (DIIS) berpendapat bahwa
pembangunan rendah karbon merujuk pada proses meminimalisasi emisi gas
rumah kaca di atmosfer, sembari mengembangkan perekonomian. OECD
mendefinisikannya sebagai rencana atau strategi pembangunan ekonomi
nasional jangka panjang yang meliputi pertumbuhan ekonomi dengan emisi
yang rendah dan/atau ketahanan iklim. Sedangkan menurut Du dkk. (2020)
implikasi langsung dari pembangunan rendah karbon adalah untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca guna mengurangi dampak disrupsi iklim.
Secara luas, pembangunan rendah karbon merupakan jenis produksi dan gaya
hidup yang baru, yang menggabungkan pembangunan hijau dan
pembangunan sirkular, serta membawa manusia ke arah peradaban yang
ekologis, dengan mengikuti jalan pembangunan yang berkelanjutan. Meski
terdapat interpretasi yang luas mengenai pembangunan rendah karbon,
terdapat beberapa poin yang sama dari berbagai definisi, yaitu: pengurangan
emisi gas rumah kaca, pemanfaatan energi rendah karbon dan memastikan
pertumbuhan ekonomi (Yuan dkk., 2011).
27
Pembangunan rendah karbon merupakan revolusi energi yang
mendorong untuk transformasi pertumbuhan dan konsumsi. Jenis
pembangunan ini merupakan arah pembangunan ilmiah, hukum, regulasi,
kebijakan, dan standar teknis yang membutuhkan aksi konkrit, serta strategi
dan aksi pembangunan berkelanjutan dengan jangka waktu dan susunan yang
jelas. Pembangunan rendah karbon dalam implementasinya akan membatasi
industri tinggi karbon (high-carbon industries), mengeliminasi kapasitas
produksi yang lamban, membangkitkan model-model yang baru untuk energi
rendah karbon, memperbaiki struktur industri dan pekerjaan, serta
mengembangkan area-area pertumbuhan ekonomi yang baru.
Implementasi pembangunan rendah karbon pada suatu negara maupun
daerah merupakan salah satu cara untuk menanggulangi degradasi
lingkungan, dan merupakan sebuah langkah untuk menuju pertumbuhan
ekonomi berkelanjutan. Dengan meningkatkan efisiensi energi dan
menggunakan energi yang terbarukan serta rendah karbon untuk mengubah
gaya hidup masyarakat yang semula tinggi karbon (high-carbon society)
menjadi masyarakat dengan gaya hidup yang rendah karbon (low-carbon
society), pembangunan rendah karbon ini merupakan model pembangunan
yang ideal untuk mengembangkan ekonomi hijau (Du dkk., 2020).
Menurut laporan Low Carbon Development Initiative (LCDI) yang
dibentuk oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas),
pertumbuhan rendah karbon dapat menghasilkan tingkat pertumbuhan PDB
rata-rata sebesar 6% per tahun hingga tahun 2045. Hal ini dapat
28
menguntungkan pada sisi ekonomi, sosial dan lingkungan, termasuk
mengurangi kemiskinan, menghasilkan pekerjaan-pekerjaan baru, dan
menghindari kematian dari berkurangnya polusi udara (Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, 2019).
Di Indonesia, terdapat beberapa target dari implementasi pembangunan
rendah karbon, yaitu: penggunaan energi terbarukan dalam jangka waktu
yang panjang, peningkatan efisiensi dalam penggunaan energi yang
diharapkan dapat mengurangi rasio total konsumsi energi per individu sebesar
3.5% di tahun 2030 dan 4.5% di tahun 2045, pengurangan sepertiga total gas
rumah kaca di tahun 2030 dan 60% di tahun 2045 dibandingkan dari tahun
2018, serta peningkatan produktivitas lahan sebesar 4% per tahun (Bappenas,
2019 dalam Rahma, 2019)
5. Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Lingkungan Hidup
Di Indonesia, peraturan perundang-undangan mengenai lingkungan
hidup diatur salah satunya dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang ini
merupakan upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan
fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Undang-undang ini dibentuk dengan beberapa pertimbangan, salah
satunya yaitu kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah
mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya
29
sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan.
Perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dilaksanakan melalui beberapa tahapan, yaitu (1) inventarisasi lingkungan
hidup, (2) penetapan wilayah ekoregion, dan (3) penyusunan Rencana
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH). Kemudian,
instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
terdiri atas:
a. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS);
b. Tata ruang;
c. Baku mutu lingkungan hidup;
d. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
e. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal);
f. Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan
Lingkungan Hidup (UKL-UPL);
g. Perizinan;
h. Instrumen ekonomi lingkungan hidup;
i. Peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup;
j. Anggaran berbasis lingkungan hidup;
k. Audit lingkungan hidup;
l. Instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan
ilmu pengetahuan.
30
Namun, pada saat penelitian ini dilakukan yaitu pada tahun 2020
terdapat beberapa perubahan perundang-undangan yang berkenaan dengan
lingkungan hidup, yaitu adanya Omnibus Law Cipta Kerja. Secara garis besar,
UU Cipta Kerja menghapus, mengubah dan menetapkan aturan baru terkait
perizinan berusaha yang sebelumnya diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009.
Menurut Kartodihardjo (2020) setidaknya terdapat sepuluh pasal perubahan
UU No. 32 Tahun 2009 yang sekarang diatur dalam UU Cipta Kerja,
diantaranya:
a. Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya
Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) tidak lagi diperlukan
sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan izin
penyelenggaraan usaha, seperti tertera dalam pasal 1 angka 22;
b. Pasal 1 angka 35 tentang kewajiban industri mendapatkan izin
lingkungan dihapus dan diubah menjadi persetujuan lingkungan;
c. Sembilan kriteria usaha yang berdampak penting dihapus (pasal 1
angka 35);
d. Dalam perubahan pasal 24, selain menunjuk lembaga dan/atau
ahli bersertifikat, pemerintah bisa melakukan sendiri uji
kelayakan lingkungan hidup, yang didasarkan pada dokumen
analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), untuk
menentukan kelayakan lingkungan hidup dalam penerbitan izin
berusaha;
31
e. Dalam penyusunan Amdal, masyarakat yang diizinkan terlibat
dalam penyusunannya hanya mereka yang terdampak. Tak ada
lagi pemerhati lingkungan hidup dan/atau masyarakat yang
terpengaruh, seperti bunyi pasal 26 sebelum diubah;
f. Menghapus pasal 29, 30, 31 mengenai Komisi Penilai Amdal.
Untuk kegiatan yang wajib memenuhi standar UKL-UPL,
pemerintah pusat langsung menerbitkan Perizinan Berusaha
ketika sudah ada pernyataan kesanggupan korporasi mengelola
lingkungan hidup;
g. Tak ada lagi penegasan bahwa kelayakan lingkungan hidup harus
diakses dengan mudah oleh masyarakat seperti pasal 39 UU
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH);
h. Pengawasan dan sanksi administratif seluruhnya dijalankan oleh
pemerintah pusat, seperti perubahan Bab XII pasal 72 hingga 75;
i. Jenis-jenis sanksi administratif ditiadakan dengan mengubah
pasal 76. Delegasi kepada peraturan pemerintah hanya akan berisi
tata cara pengenaan sanksi tersebut;
j. Tak ada celah atau pintu masuk bagi warga negara menggugat
lembaga lain yang merusak lingkungan seperti tercantum dalam
pasal 93 UUPPLH, sebagai konsekuensi dihapusnya izin
lingkungan.
32
B. Keterkaitan antar Variabel
1. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai suatu ukuran kuantitatif yang
menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun
tertentu apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Sukirno, 2006).
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan
pembangunan di suatu perekonomian. Kesejahteraan dan kemajuan suatu
perekonomian ditentukan oleh besarnya pertumbuhan yang ditunjukkan oleh
perubahan output nasional. Adanya perubahan output dalam perekonomian
merupakan analisis ekonomi jangka pendek (Ma’ruf & Wihastuti, 2008).
Secara sederhana, pertumbuhan ekonomi mengukur seberapa banyak uang
berubah dalam perekonomian. Pertumbuhan terjadi saat nilai dan angka dari
transaksi komersial terjadi dalam perekonomian (Ngunjiri, 2017).
Secara umum teori pertumbuhan ekonomi dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu teori pertumbuhan ekonomi klasik dan teori pertumbuhan
ekonomi modern. Pada teori pertumbuhan ekonomi klasik, analisis
didasarkan pada kepercayaan akan efektivitas mekanisme pasar bebas. Teori
ini dicetuskan oleh para ahli ekonomi yang hidup pada abad 18 hingga awal
abad 20, antara lain Adam Smith, David Ricardo dan W.A Lewis.
Selanjutnya, teori pertumbuhan ekonomi modern memiliki karakteristik
umum yang mengakui pentingnya peran pemerintah dalam perekonomian
untuk mengatasi kegagalan sistem pasar bebas. Kelompok ini cenderung tidak
mengakui keefektifan sistem pasar bebas tanpa campur tangan pemerintah.
33
Salah satu pencetus teori ini adalah ekonom Harrod-Domar (Ma’ruf &
Wihastuti, 2008).
Dari berbagai teori pertumbuhan yang ada, terdapat tiga faktor atau
komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi, yaitu:
a. Akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk atau jenis
investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan
modal atau sumber daya manusia;
b. Pertumbuhan penduduk, yang beberapa tahun selajutnya akan
memperbanyak jumlah angkatan kerja;
c. Kemajuan teknologi.
Selanjutnya, menurut Adisasmita (2013) terdapat beberapa faktor yang
memengaruhi pertumbuhan ekonomi modern, kebanyakan ekonom
menganggap faktor produksi sebagai kekuatan utama yang memengaruhi
pertumbuhan. Beberapa faktor produksi tersebut adalah:
a. Sumber Daya Alam (SDA) merupakan faktor utama yang
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi;
b. Akumulasi Modal atau pembentukan modal adalah peningkatan
stok modal dalam jangka waktu tertentu;
c. Organisasi bersifat melengkapi (komplemen) modal, buruh, dan
membantu meningkatkan produktivitasnya;
d. Kemajuan Teknologi merupakan yang paling penting dalam
pertumbuhan ekonomi yaitu untuk meningkatkan produktivitas,
modal dan faktor produksi lainnya;
34
e. Pembagian Kerja dan Skala Produksi, spesialisasi dan pembagian
kerja menciptakan peningkatan produktivitas. Keduanya
membawa ke arah ekonomi produksi skala besar, yang
selanjutnya membantu perkembangan industri.
Dari beberapa teori dan pendapat tersebut, maka dibentuk kerangka
teori penelitian ini sebagai berikut:
Gambar 2.1. Kerangka Teori
Sumber: Pengolahan pribadi, 2020.
Kerangka teori (theoretical framework) di atas menjelaskan bahwa
PDRB, kepadatan penduduk dan penanaman modal asing merupakan
beberapa diantara faktor-faktor terjadinya pertumbuhan ekonomi.
a. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Pada tingkat regional, PDRB merupakan salah satu indikator yang
umum digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi pada periode
waktu tertentu, serta untuk melihat perkembangan perekonomian suatu
wilayah (Sukirno, 2006). Menurut Lequiller (2004) dalam Dynan &
Sheiner (2018), PDRB dapat digunakan sebagai pengukuran
Kepadatan Penduduk
Penanaman Modal
PDRB
Pertumbuhan Ekonomi
35
pertumbuhan ekonomi apabila pertumbuhan yang dimaksud adalah
peningkatkan output barang dan jasa.
b. Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk adalah perbandingan antara jumlah
penduduk dengan luas wilayah yang dihuni. Biasanya kepadatan
penduduk dihitung dengan satuan km2 (Mantra, 2007). Angka
kepadatan penduduk bervariasi pada tiap daerah. Di Indonesia, provinsi
dengan kepadatan penduduk terendah adalah Provinsi Kalimantan Utara
dan Papua Barat, dengan jumlah penduduk per km2 sebanyak 9 jiwa.
Sedangkan, provinsi dengan kepadatan penduduk tertinggi adalah DKI
Jakarta dengan kepadatan penduduk sebanyak 15.764 jiwa/ km2.
Jumlah penduduk yang tinggi dapat menyediakan tenaga kerja
yang cukup untuk mendukung perekonomian, sehingga dapat
memperluas pasar domestik. Hal ini berarti produsen dan pemasok dapat
meningkatkan kekayaannya, dan selanjutnya pertumbuhan penduduk
yang tinggi akan mendorong kompetisi pada pasar yang kemudian akan
menghasilkan inovasi dan teknologi-teknologi yang baru (Owusu,
2012).
c. Penanaman Modal Asing (PMA)
Menurut Suyatno (2003) dalam Ambarsari & Purnomo (2005),
PMA merupakan aliran arus modal yang berasal dari luar negeri yang
mengalir ke sektor swasta baik yang melalui investasi langsung (direct
investment) maupun investasi tidak langsung (portofolio). International
36
Monetary Fund (IMF) mendefinisikan PMA sebagai investasi yang
dibuat untuk mencapai ketertarikan yang berkelanjutan dalam suatu
perusahaan yang beroperasi pada perekonomian di luar negara investor
tersebut. Tujuan investor melakukan investasi asing langsung adalah
untuk memiliki suara yang efektif dalam manajemen perusahaan
tersebut.
PMA merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi
pertumbuhan ekonomi. PMA sangat berpotensi untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi di negara berkembang, seperti Indonesia.
Investasi sebagai salah satu faktor produksi yang krusial memainkan
peran yang penting untuk meningkatkan produksi, yang ditunjukkan
melalui pertumbuhan ekonomi.
Kontribusi PMA terhadap pertumbuhan ekonomi dengan cara
langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, PMA meningkatkan
produksi, pekerjaan, dan penambahan nilai dan ekspor. Secara tidak
langsung, PMA berdampak pada terjadinya transisi teknologi,
pengetahuan, pelatihan kerja, eksternalitas, kelebihan teknologi
(technology spillover), pembentukan pengembangan sumber daya
manusia, efisiensi, serta produktivitas (Behname, 2012).
2. Hubungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dengan
Kualitas Lingkungan Hidup
Beberapa pendapat menyatakan bahwa PDRB merupakan tolok ukur
yang paling umum digunakan untuk menilai tingkat pembangunan sebuah
37
negara maupun daerah, meski demikian angka-angka yang ditunjukkan oleh
PDRB cenderung mengesampingkan kerusakan yang disebabkan oleh polusi
dan semakin menipisnya SDA, yang merupakan dampak umum yang terjadi
dari proses pertumbuhan (Kahuthu, 2006). PDRB mengukur pendapatan,
bukan kesetaraan, dan PDRB mengukur pertumbuhan, tetapi mengabaikan
kerusakan (Ngunjiri, 2017).
Hubungan antara PDRB (maupun PDB) dengan lingkungan dijelaskan
dalam Kurva Lingkungan Kuznets yang dikemukakan oleh ekonom Simon
Kuznets. Kurva ini berbentuk U terbalik untuk menggambarkan hubungan
kedua variabel tersebut. Pada kurva ini pertumbuhan ekonomi diwakilkan
dengan PDB per kapita suatu negara, semakin meningkatnya PDB per kapita,
maka pada akhirnya tingkat degradasi lingkungannya akan semakin rendah.
Namun hal ini hanya akan terjadi setelah tingkat degradasi lingkungan
mencapai titik tertinggi (turning point).
Gambar 2.2. Kurva Lingkungan Kuznets
Sumber: Tejvan Pettinger, 2020, diolah.
38
Kurva lingkungan kuznets membagi perekonomian suatu negara
menjadi tiga era perekonomian yaitu, fase perekonomian pra-industrialisasi,
fase perekonomian industrialisasi, dan fase perekonomian pasca industrialisasi
(perekonomian beriorientasi jasa). Pada fase pertama, pertumbuhan ekonomi
sedang menuju peningkatan, dan tingkat degradasi akan sejalan dengan
peningkatan ekonomi, dengan begitu semakin tinggi tingkat perekonomian
maka tingkat degradasi lingkungan pun semakin tinggi. Selanjutnya pada fase
industrialisasi, pertumbuhan ekonomi terus meningkat dan tingkat degradasi
lingkungan akan mencapai puncaknya, yang kemudian akan membentuk
turning point. Kemudian pada fase terakhir yaitu pasca industrialisasi,
perekonomian tetap meningkat namun terjadi pergeseran yaitu menjadi lebih
berorientasi pada bidang jasa, sehingga tingkat degradasi lingkungan akan
menurun.
3. Hubungan Kepadatan Penduduk dengan Kualitas Lingkungan
Hidup
Hubungan antara kepadatan penduduk terhadap kualitas lingkungan
dapat dilihat dari beberapa pendapat para ekonom terdahulu. Thomas Robert
Malthus dalam esainya yang berjudul “Essay on the Principle of Population”
yang terbit pada tahun 1798, menunjukkan kekhawatirannya akan
pertumbuhan penduduk, yang akan menyebabkan tekanan pada sumber daya
yang terbatas. Malthus memprediksi apabila manusia tidak melakukan
tindakan pencegahan, pertumbuhan penduduk akan membatasi kesejahteraan,
yaitu dengan timbulnya kemiskinan, penyakit, kelaparan, bahkan peperangan.
39
Pendapat yang bertolak belakang datang dari Ester Boserup pada 1981
yang berargumen bahwa tingginya kepadatan penduduk merupakan prasyarat
untuk berkembangnya inovasi teknologi dalam pertanian. Inovasi teknologi
akan menghasilkan peningkatan hasil panen, dan distribusi pangan yang lebih
efisien. Hal ini kemudian akan memungkinkan lingkungan hidup untuk
menyokong jumlah penduduk yang tinggi dengan tingkat kesejahteraan yang
sama (Shi, 2001).
Hubungan kepadatan penduduk dengan lingkungan juga dijelaskan
dalam teori IPAT sebagai berikut:
I = P × A × T (1)
di mana:
I = Environmental impact (dampak lingkungan)
P = Population (penduduk)
A = Affluence (konsumsi)
T = Technology (teknologi)
Teori IPAT menjelaskan bahwa peningkatan pada penduduk, konsumsi, atau
teknologi akan meningkatkan dampak lingkungan, atau dapat juga
didefinisikan bahwa dampak lingkungan berasal dari penduduk, konsumsi
dan teknologi.
4. Hubungan Penanaman Modal Asing (PMA) dengan Kualitas
Lingkungan Hidup
PMA seringkali disebut sebagai faktor yang krusial terhadap
pertumbuhan ekonomi. Meski demikian, PMA cenderung beresiko
40
menimbulkan degradasi lingkungan. Dampak PMA terhadap lingkungan
dijelaskan dalam pollution haven hypothesis atau pollution haven effect, yaitu
situasi di mana saat negara-negara maju yang telah terindustrialisasi berencana
untuk membangun pabrik atau kantor di luar negeri, mereka cenderung akan
mencari opsi yang lebih murah untuk sumber daya dan tenaga kerja, supaya
dapat memenuhi lahan dan akses material yang dibutuhkannya. Biasanya
negara-negara industri yang melakukan relokasi ke negara dengan regulasi
lingkungan yang kurang ketat, seperti negara-negara berkembang (Levinson &
Taylor, 2004).
5. Kualitas Lingkungan Hidup
Kualitas lingkungan hidup pada penelitian ini digambarkan dengan
Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) yang diterbitkan oleh Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia per tahunnya.
IKLH merupakan indeks kinerja pengelolaan lingkungan hidup secara
nasional, dimana IKLH merupakan generalisasi dari indeks kualitas
lingkungan hidup seluruh kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia. Indeks ini
dapat digunakan untuk mengevaluasi secara umum kualitas lingkungan hidup
dan tren pencapai tujuan pembangunan berkelanjutan di Indonesia, yang
ditunjukan dengan kualitas lingkungan hidup masing-masing di 34 provinsi di
Indonesia berdasarkan perhitungan tiga indeks didalamnya.
Secara lebih luas, IKLH disusun oleh KLHK dengan tujuan sebagai
berikut:
a. Sebagai informasi untuk mendukung proses pengambilan
41
keputusan di tingkat pusat maupun daerah yang berkaitan dengan
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
b. Sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik tentang
pencapaian target kinerja program perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan
pemerintah daerah;
c. Sebagai instrumen indikator keberhasilan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dalam mengelola dan mengendalikan
pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Sebagai indikator pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, IKLH
merupakan perpaduan konsep Indeks Kualitas Lingungan (IKL) dan konsep
Environmental Performance Index (EPI). IKLH diadopsi oleh KLHK pada
tahun 2008, yang mula pertamanya adalah pengembangan dari konsep yang
dikembangkan oleh Virginia Commonwealth University (VCU) dan Badan
Pusat Statistik (BPS).
Penerbitan IKLH oleh KLHK pun tentunya memiliki dasar hukum,
diantaranya yaitu:
a. Pasal 28 H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945;
b. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
c. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
d. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2018 tentang Informasi
42
Keterbukaan Publik;
e. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara;
f. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rancangan
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019;
g. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 45 Tahun 1997
tentang Indeks Standar Pencemaran Udara;
h. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003
tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air;
i. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.74/Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2016 tentang Pedoman Nomenklatur
Perangkat Daerah Provinsi dan Kab/Kota yang melaksanakan
urusan pemerintahan bidang lingkungan hidup dan urusan
pemerintahan bidang kehutanan;
j. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.
P.78/SETJEN/SET.1/9/2016 tentang Penetapan Indikator Kinerja
Utama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
IKLH terdiri dari Indeks Kualitas Udara (IKU), parameter yang diukur
yaitu SO2 dan NO2, lalu Indeks Kualitas Air (IKA), parameter yang diukur ada
tujuh yaitu TSS, DO, BOD, COD, total fosfat, fecal coli, dan total coliform,
serta yang terakhir Indeks Kualitas Tutupan Lahan (IKTL), diukur
berdasarkan luas tutupan lahan. IKLH disajikan berupa persentase, apabila
angka persentase IKLH di suatu provinsi mendekati angka 100, maka kualitas
43
lingkungan hidup di provinsi tersebut dapat dinilai sangat baik. Namun
sebaliknya, apabila angka persentase IKLH di suatu provinsi jauh dari angka
100, atau berada di bawah angka rata-rata IKLH, maka provinsi tersebut
membutuhkan perhatian khusus agar dilakukan upaya peningkatan kualitas
lingkungan hidupnya.
Pengklasifikasian peringkat IKLH didasarkan pada sebaran nilai IKLH
pada 34 provinsi. Klasifikasi ini bersifat dinamis sesuai dengan sebaran nilai
IKLH dari masing-masing provinsi. Berikut adalah pengklasifikasian predikat
nilai IKLH secara nasional tahun 2018:
Tabel 2.1. Klasifikasi Predikat Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH)
No. Predikat Kisaran Nilai IKLH
1. Sangat Baik IKLH > 80
2. Baik 70 < IKLH ≤ 80
3. Cukup Baik 60 < IKLH ≤ 70
4. Kurang Baik 50 < IKLH ≤ 60
5. Sangat Kurang Baik 40 < IKLH ≤ 50
6. Waspada 30 < IKLH ≤ 40
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2019.
Pada tahun 2018 nilai Indeks Kualitas Lingkungan Hidup secara
nasional yaitu 71,67. Nilai IKLH tersebut dipengaruhi oleh nilai IKA sebesar
72,77 dan nilai IKTL sebesar 61,03. Berikut adalah tabel nilai minimum dan
maksimum indikator IKLH tahun 2018:
44
Tabel 2.2. Nilai Minimum dan Maksimum Indikator IKLH Tahun 2018
Indikator Minimum Maksimum Nasional
IKU 66,57
(DKI Jakarta)
93,56
(Sulawesi Selatan) 84,74
IKA 51,93
(DKI Jakarta)
88,15
(Sumatera Selatan) 72,77
IKTL 24,14
(DKI Jakarta)
100
(Papua Barat) 71,67
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2018.
Rumus yang digukanan untuk perhitungan IKLH Provinsi adalah:
IKLH Provinsi = (30% x IKA) + (30% x IKU) + (40% x IKTL) (2)
Keterangan:
IKLH Provinsi : Indeks Kualitas Lingkungan Tingkat Provinsi
IKA : Indeks Kualitas Air
IKU : Indeks Kualitas Udara
IKTL : Indeks Kualitas Tutupan Lahan
Setelah didapatkan nilai IKLH Provinsi, selanjutnya dihitung IKLH Nasional
dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
IKLH = � IKLH Provinsi × � Populasi ProvinsiPopulasi Indonesia
+ Luas ProvinsiLuas Indonesia
�÷234
i=1
(3)
Dalam perkembangannya (tahun 2009-2018) penghitungan IKLH telah
mengalami penyempurnaan sebanyak empat kali. Tahun 2018 terdapat 2
indikator yang disempurnakan yaitu Indeks Kualitas Air (IKA) dan Indeks
Kualitas Tutupan Lahan (IKTL). Pada komponen IKA, jumlah parameter yang
45
digunakan bertambah menjadi 10 parameter, dengan perhitungan berdasarkan
metode National Sanitation Foundation Water Quality Index (NSF-WQI).
Pada perhitungan IKTL, parameter yang dinilai selain tutupan hutan,
juga menambahkan tutupan belukar dan belukar rawa pada kawasan hutan,
dan kawasan yang memiliki fungsi lindung (lereng dengan kemiringan >25%
dan sempadan sungai, danau, pantai), ruang terbuka hijau, kebun raya dan
taman keanekaragaman hayati. Penghitungan IKTL dilakukan dengan
membanding luas hutan dengan luas wilayah administratif. Berdasarkan UU
Nomor 41 Tahun 1999, bahwa setiap provinsi minimal memiliki kawasan
hutan sekitar 30% dari luas wilayah. Asumsi yang digunakan dalam
penghitungan IKTL, bahwa daerah-daerah yang memiliki kawasan hutan 30%
dari luas wilayah administrasinya diberi nilai 50. Sedangkan daerah dengan
nilai IKTL tertinggi (100) adalah daerah yang memiliki kawasan 84,3% dari
luas wilayah administratifnya. Untuk perhitungan IKU, parameter yang diukur
masih tetap. IKU Nasional dihitung berdasarkan hasil pengukuran kualitas
udara ambien di kabupaten/kota dilakukan pada 4 lokasi yang mewakili
wilayah industri, pemukiman, transportasi, dan perkantoran dengan metode
manual passive sampler. Metodologi perhitungan IKU mengadopsi program
dari Uni Eropa. Indeks ini dikalkulasi untuk data rata-rata perjam, harian, dan
tahunan (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2019).
Dengan diterbitkannya IKLH oleh KLHK per tahunnya, maka
diharapkan pengambil kebijakan dapat memperhatikan variabel lingkungan
hidup untuk mengambil keputusan khususnya dalam hal perekonomian.
46
C. Penelitian Terdahulu
Tabel 2.3. Penelitian Terdahulu
No. Penulis dan Tahun Judul Metode Hasil 1. Katrin Retno Gupito
(2012)
Keterkaitan PDRB Perkapita dari
Sektor Industri, Transportasi,
Pertanian dan Kehutanan
Terhadap Kualitas Lingkungan
Diukur Dari Emisi CO2 (Studi
Kasus: 30 kab/kota Jawa Tengah
tahun 2009-2010)
Variabel: Emisi CO2, PDRB
perkapita Sektor Industri,
Transportasi, Pertanian dan
Kehutanan.
Analisis: Regresi linier berganda
metode OLS.
Terdapat hubungan positif dan
signifikan antara sektor
transportasi dan kehutanan
terhadap emisi CO2.
2. Agung Wahyu
Pranoto, Abdul
Halim (2016)
Pengaruh Desentralisasi Fiskal,
PDRB, Kepadatan Penduduk, dan
Penanaman Modal Asing terhadap
Kualitas Lingkungan Hidup (Studi
pada Provinsi di Indonesia Periode
2009-2013)
Variabel: IKLH, Dana Alokasi
Umum (DAU) terhadap total
pendapatan daerah, PDRB,
kepadatan penduduk, dan PMA
provinsi di Indonesia.
Analisis: Random effect model.
Variabel desentralisasi fiskal
memberikan pengaruh positif dan
tidak signifikan terhadap kualitas
lingkungan hidup provinsi di
Indonesia. PDRB, kepadatan
penduduk dan PMA secara
parsial berpengaruh negatif dan
47
No. Penulis dan Tahun Judul Metode Hasil signifikan terhadap kualitas
lingkungan hidup provinsi di
Indonesia.
3. Ramphul Ohlan
(2015)
The impact of population density,
energy consumption, economic
growth and trade openness on
CO2 emissions in India
Variabel: emisi CO2, kepadatan
populasi, konsumsi energi,
pertumbuhan ekonomi,
keterbukaan perdagangan
Analisis: Auto Regressive
Distributed Lag (ARDL) dan
Vector Error Correction Model
(VECM)
Terdapat hubungan antara emisi
CO2 dan faktor-faktor sosio-
ekonomi. Kepadatan populasi,
konsumsi energi dan
pertumbuhan ekonomi secara
statistik memiliki efek signifikan
positif terhadap emisi CO2 pada
jangka pendek dan jangka
panjang.
4. Rizky Adi Prasurya
(2016)
Analisis Pengaruh PDRB
Terhadap Kualitas Lingkungan
Hidup di Pulau Sumatera Tahun
2010-2014
Variabel: IKLH, PDRB Pertanian,
Industri Pengolahan, dan
Transportasi Pergudangan
Analisis: Generalized Least Square
Model (GLS) dengan Fixed Effect
Model (FEM)
Ketiga nilai PDRB berpengaruh
terhadap variabel terikat IKLH.
Dengan hasil yang signifikan dan
menunjukkan adanya kesesuaian
dengan Kurva Lingkungan
Kuznet.
48
No. Penulis dan Tahun Judul Metode Hasil 5. Abdulloh
Nashiruddin Wafiq
(2018)
Analisis Pertumbuhan Ekonomi
dan Kepadatan Penduduk terhadap
Kualitas Lingkungan Hidup di
Indonesia Tahun 2010-2016
Variabel: IKLH, PDRB, kepadatan
penduduk.
Analisis: Regresi data panel.
Tingkat keeratan hubungan
antara pertumbuhan ekonomi
dengan kualitas lingkungan hidup
adalah sedang, dan memiliki
pengaruh yang negatif dan
signifikan terhadap kualitas
lingkungan hidup di 33 Provinsi
Indonesia.
Tingkat keeratan hubungan
antara kepadatan penduduk
dengan kualitas lingkungan hidup
adalah sedang, dan memiliki
pengaruh yang negatif dan
signifikan terhadap kualitas
lingkungan hidup di 33 Provinsi
Indonesia.
6. Aulia Yusri R.A
(2015)
Analisis Pengaruh Pertumbuhan
Ekonomi Terhadap Perubahan
Variabel: emisi CO2, PDB per
kapita, konsumsi energi per kapita,
Pada jangka panjang
pertumbuhan sektor industri
49
No. Penulis dan Tahun Judul Metode Hasil Kualitas Lingkungan di Indonesia penanaman modal asing,
pertumbuhan sektor industri,
kepadatan penduduk, keterbukaan
perdagangan.
Analisis: ARDL-ECM
berpengaruh secara positif
signifikan terhadap peningkatan
CO2, sedangkan perubahan
kepadatan populasi dan
keterbukaan perdagangan
memberikan pengaruh
sebaliknya. Penanaman modal
asing menjadi satu-satunya
variabel yang tidak signifikan di
dalam model. Pada jangka
pendek, pertumbuhan sektor
industri dan perubahan kepadatan
populasi berpengaruh secara
positif signifikan terhadap
peningkatan emisi CO2,
sedangkan keterbukaan
perdagangan berpengaruh secara
negatif signifikan.
50
No. Penulis dan Tahun Judul Metode Hasil 7. Yuliana (2019) Pengaruh Produk Domestik
Regional Bruto Terhadap Indeks
Kualitas Lingkungan Hidup
Kalimantan Barat
Variabel: IKLH, PDRB sektor
pertanian dan kehutanan, PDRB
industri dan pengolahan, PDRB
transportasi dan pergudangan serta
PDRB pertambangan dan
penggalian
Analisis: Regresi berganda atau
Ordinary Least Square (OLS)
PDRB pertanian dan kehutanan,
PDRB industri dan pengolahan,
PDRB transportasi dan
pergudangan serta PDRB
pertambangan dan penggalian
berpengaruh terhadap IKLH di
Kalimantan Barat.
8. Rahmah Nurul
Hakim (2017)
PDRB dan kerusakan lingkungan:
Environmental Kuznets Curve di
Indonesia
Variabel: IKLH, PDRB per kapita,
jumlah penduduk, indeks
keterbukaan ekonomi
Analisis: Regresi
Secara linier PDRB per kapita
berpengaruh signifikan terhadap
IKA dan IKU dengan arah yang
berbeda. Jumlah penduduk hanya
signifikan terhadap kualitas
udara, dan indeks keterbukaan
ekonomi tidak signifikan
terhadap ketiga kualitas
lingkungan.
51
No. Penulis dan Tahun Judul Metode Hasil 9. Mizan bin Hitam,
Halimahton binti
Borhan (2012)
FDI, Growth and the
Environment: Impact on Quality
of Life in Malaysia
Variabel: Emisi CO2, PMA, PDB,
kepadatan penduduk, ekspor dan
impor.
Analisis: Model non-linier.
PDB, PMA, kepadatan
penduduk, dan ekspor
berpengaruh positif terhadap
emisi CO2. Sedangkan impor
mengurangi emisi polutan.
10. Mohammad Mafizur
Rahman (2017)
Do population density, economic
growth, energy use and exports
adversely affect environmental
quality in Asian populous
countries?
Variabel: emisi CO2, penggunaan
energi, pertumbuhan ekonomi,
ekspor, kepadatan penduduk
Analisis: Fully Modified Ordinary
Least Squares (FMOLS), dan
Dynamic Ordinary Least Squares
(DOLS).
Penggunaan energi, ekspor dan
kepadatan populasi secara
berlawanan mempengaruhi
kualitas lingkungan dalam jangka
panjang.
52
D. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran adalah sebuah pemahaman yang melandasi
pemahaman-pemahaman yang lainnya. Penelitian yang terdiri dari pertautan
antar variabel ini kemudian dirumuskan ke dalam bentuk paradigma penelitian
yang didasarkan pada kerangka berpikir berikut:
Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran
Sumber: Pengolahan pribadi, 2020.
Analisis Hasil Penelitian, Kesimpulan dan Saran.
Pertumbuhan Ekonomi Degradasi Lingkungan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Kepadatan Penduduk
Penanaman Modal Asing (PMA)
Indeks Kualitas Lingkungan Hidup
(IKLH)
Regresi Data Panel: 1. Estimasi Model Regresi 2. Uji Asumsi Klasik 3. Uji t-Statistik 4. Uji F-Statistik 5. Uji Koefisien Determinasi
53
Pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan memiliki hubungan
yang kompleks. Di satu sisi pertumbuhan ekonomi dapat memberikan
manfaat berupa peningkatan standar hidup, di sisi lain pertumbuhan ekonomi
tanpa memedulikan variabel lingkungan hidup akan memberikan dampak
negatif terhadap lingkungan hidup dan manusia yang tinggal di dalamnya.
Angka PDRB yang tinggi menunjukkan bahwa perekonomian
mengalami peningkatan dilihat dari jumlah output yang dihasilkan suatu
daerah pada periode tertentu. Tetapi nilai output yang tinggi juga dapat
mengindikasikan bahwa tingkat konsumsi masyarakat meningkat, maka
pemanfaatan sumber daya pun akan menjadi lebih tinggi untuk memenuhi
kebutuhan manusia.
Angka kepadatan penduduk yang tinggi menunjukkan bahwa aktivitas
ekonomi dan sosial di daerah tersebut juga tinggi. Namun hal ini akan
berakibat pada kadar polusi yang lebih tinggi karena menanggung beban
penduduk yang padat, serta ruang terbuka hijau pun menjadi berkurang untuk
memenuhi tuntutan pertumbuhan ekonomi.
Nilai realisasi PMA yang tinggi menunjukkan bahwa suatu daerah
merupakan destinasi investasi yang menarik sehingga akan menguntungkan
jika menanam modal asing di daerah tersebut. Meski demikian,
mempermudah akses investasi tanpa penerapan kebijakan perusahaan dan
peraturan perundang-undangan mengenai lingkungan hidup yang ketat dapat
menciptakan resiko yang tinggi terhadap lingkungan hidup.
54
Dari tahun ke tahun, nilai IKLH enam provinsi di Pulau Jawa
mengalami kenaikan dan penurunan, dan berada pada rentang klasifikasi
IKLH dengan predikat cukup baik hingga waspada. Sebab adanya hubungan
yang dilematis antara pertumbuhan ekonomi dan lingkungan, maka akan
dilakukan penelitian mengenai pengaruh PDRB, kepadatan penduduk dan
PMA terhadap kualitas lingkungan hidup di enam provinsi di Pulau Jawa.
E. Hipotesis
Hipotesis merupakan sebuah argumen yang dikemukakan dan belum
memiliki bukti yang cukup untuk membuktikan keabsahannya. Oleh karena
itu, hipotesis dalam penelitian ini bersifat tentatif yang harus dilakukan
penelitian lebih lanjut mengenai bukti-bukti logisnya.
Adapun hipotesis dalam penelitian ini diduga sebagai berikut :
1. Diduga PDRB berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kualitas
lingkungan hidup di enam provinsi Pulau Jawa periode 2009-2018.
2. Diduga kepadatan penduduk berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap kualitas lingkungan hidup di enam provinsi Pulau Jawa
periode 2009-2018.
3. Diduga PMA berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kualitas
lingkungan hidup di enam provinsi Pulau Jawa periode 2009-2018.
4. Diduga secara bersama-sama PDRB, kepadatan penduduk dan PMA
berpengaruh signifikan terhadap kualitas lingkungan hidup di enam
provinsi Pulau Jawa periode 2009-2018.
55
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Populasi dan Sampel
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan
data sekunder. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh variabel
bebas berupa pertumbuhan ekonomi yang terdiri dari Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB), Kepadatan Penduduk serta Penanaman Modal Asing
(PMA), terhadap variabel terikat berupa Indeks Kualitas Lingkungan Hidup
(IKLH). Ruang lingkup penelitian ini mencakup tahun 2009 hingga 2018 di
enam provinsi di Pulau Jawa yaitu Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Timur,
dan Banten.
Sampel untuk penelitian ini ditentukan dengan teknik sampling non-
probabilitas berupa purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik
pengambilan sampel berdasarkan atas adanya pertimbangan yang berfokus
pada tujuan tertentu. Penelitian ini mengambil sampel Pulau Jawa (per
provinsi) sebagai pusat perekonomian nasional yang mengalami pertumbuhan
ekonomi dari tahun ke tahun. Keenam provinsi tersebut dipilih untuk melihat
apakah pertumbuhan memiliki dampak terhadap kualitas lingkungan hidup di
masing-masing provinsi.
B. Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan
56
skala tahunan. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik tiap provinsi
di Pulau Jawa, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia, serta publikasi lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
C. Metode Analisis Data
Analisis data menggunakan model regresi berganda data panel
menggunakan aplikasi EViews 9 yang digunakan untuk mengetahui apakah
terdapat pengaruh angka PDRB (X1), Kepadatan Penduduk (X2), dan PMA
(X3) terhadap Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (Y) di enam provinsi di
Pulau Jawa Tahun 2009-2018.
Adapun model umum dari analisis ini adalah sebagai berikut:
logIKLHit = α0 + α1logPDRB1it + α2logPOP2it + α3logPMA3it + eit (1)
di mana:
IKLH = Indeks Kualitas Lingkungan Hidup
POP = Kepadatan penduduk
PMA = Penanaman Modal Asing
α0 = Intersep atau konstanta
α1,2,3 = Koefisien variabel bebas
e = Variabel gangguan (error)
i = Jumlah individu
t = Jumlah periode
log = Transformasi logaritma
Data panel (pooled data) atau yang disebut juga data longitudinal
57
merupakan gabungan antara data cross section dan data time series. Teknik
pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan model
analisis regresi linier berganda untuk data panel. Data panel terbentuk dari
kombinasi unit-unit deret waktu dari beberapa unit data, sehingga
terbentuklah suatu kumpulan data. Jika jumlah periode observasi sama
banyakanya untuk tiap-tiap unit cross-section maka dinamakan balanced
panel. Sebaliknya jika jumlah periode observasi tidak sama untuk tiap-tiap
unit cross section maka disebut unbalanced panel. Pada penelitian ini data
cross section adalah enam provinsi di Jawa, sedangkan data time series
adalah menggunakan data sepuluh tahun terakhir yaitu 2009-2018.
Penggunaan data panel dalam regresi memiliki beberapa keuntungan,
diantaranya:
1. Dengan menggabungkan data time series dan cross section, panel
menyediakan data yang lebih banyak dan informasi yang lebih
lengkap serta bervariasi. Dengan demikian akan
dihasilkan degress of freedom (derajat bebas) yang lebih besar
dan mampu meningkatkan presisi dari estimasi yang dilakukan.
2. Data panel mampu mengakomodasi tingkat heterogenitas
individu-individu yang tidak diobservasi namun dapat
mempengaruhi hasil dari permodelan (individual heterogenity).
Hal ini tidak dapat dilakukan oleh studi time series maupun cross
section sehingga dapat menyebabkan hasil yang diperoleh melalui
kedua studi ini akan menjadi bias.
58
3. Data panel dapat digunakan untuk mempelajari kedinamisan data.
Artinya dapat digunakan untuk memperoleh informasi bagaimana
kondisi individu-individu pada waktu tertentu dibandingkan pada
kondisinya pada waktu yang lainnya.
4. Data panel dapat mengidentifikasikan dan mengukur efek yang
tidak dapat ditangkap oleh data cross section murni maupun
data time series murni.
5. Data panel memungkinkan untuk membangun dan menguji model
yang bersifat lebih rumit dibandingkan data cross section murni
maupun data time series murni.
6. Data panel dapat meminimalkan bias yang dihasilkan oleh
agregasi individu karena unit observasi terlalu banyak.
Berikut adalah metode dan langkah yang dilakukan untuk regresi data panel:
1. Metode Estimasi Model Regresi
Menurut Basuki & Yuliadi (2015), dalam metode estimasi model regresi
dengan menggunakan data panel, dapat dilakukan melalui 3 pendekatan,
antara lain:
a. Model Common Effect
Merupakan pendekatan model data panel yang paling sederhana,
karena hanya mengombinasikan data time series dan cross section. Pada
model ini tidak diperhatikan dimensi waktu maupun individu, sehingga
diasumsikan bahwa perilaku data suatu individu sama dalam berbagai
kurun waktu. Metode ini bisa menggunakan pendekatan Ordinary Least
59
Square (OLS) atau teknik kuadrat terkecil untuk mengestimasi model
panel.
b. Model Fixed Effect
Model ini mengasumsikan bahwa perbedaan antar individu dapat
diakomodasi dari perbedaan intersepnya. Untuk mengestimasi data
panel model fixed effect menggunakan teknik variabel dummy untuk
menangkap perbedaan intersep antar individu. Namun demikian,
slopenya sama antar individu. Model estimasi ini sering juga disebut
dengan teknik Least Squares Dummy Variable (LSDV).
c. Model Random Effect
Model ini akan mengestimasi data panel di mana variabel
gangguan mungkin saling berhubungan antar waktu dan antar individu.
Pada model random effect, perbedaan intersep diakomodasi oleh error
term masing-masing individu. Keuntungan menggunakan model random
effect yaitu menghilangkan heteroskedastisitas. Model ini juga disebut
dengan Error Component Model (ECM) atau teknik Generalized Least
Square (GLS).
Menurut Basuki & Yuliadi (2015), untuk memilih model yang paling
tepat digunakan dalam mengelola data panel, terdapat beberapa pengujian
yang dapat dilakukan, yaitu:
a. Uji Chow
Uji Chow merupakan pengujian untuk menentukan model fixed
effect atau common effect yang paling tepat digunakan dalam
60
mengestimasi data panel. Hipotesis yang dibentuk dalam uji chow
adalah sebagai berikut:
H0 = Model Common Effect
H1 = Model Fixed Effect
H0 ditolak jika P-value lebih kecil dari nilai α 5%, maka model
terbaik yang dipilih adalah fixed effect. Sebaliknya, H0 diterima jika
nilai probabilitasnya lebih besar dari nilai α 5%, maka model terbaik
yang dipilih adalah common effect.
b . Uji Hausman
Uji Hausman adalah pengujian statistik untuk memilih apakah
model fixed effect atau random effect yang paling tepat digunakan untuk
mengestimasi data panel. Hipotesis yang dibentuk dalam uji hausman
adalah sebagai berikut:
H0 = Model Random Effect
H1 = Model Fixed Effect
H0 ditolak jika P-value lebih kecil dari nilai α 5%, maka model
terbaik yang dipilih adalah fixed effect. Sebaliknya, H0 diterima jika
nilai probabilitasnya lebih besar dari nilai α 5%, maka model terbaik
yang dipilih adalah random effect.
c. Uji Lagrange Multiplier
Uji Lagrange Multiplier (LM) digunakan untuk mengetahui
apakah model random effect lebih barik daripada model common effect
untuk mengestimasi data panel. Hipotesis yang dibentuk dalam Uji LM
61
adalah sebagai berikut:
H0 = Model Common Effect
H1 = Model Random Effect
H0 ditolak apabila nilai probabilitas Breusch-Pagan lebih kecil dari
α 5%, maka model terbaik yang dipilih adalah random effect. Sebaliknya
H0 diterima apabila nilai probabilitasnya lebih besar dari α 5%, maka
model terbaik yang dipilih adalah common effect.
2. Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik yang digunakan dalam regresi linier dengan
pendekatan Ordinary Least Squares (OLS) meliputi uji linieritas,
autokorelasi, heteroskedastisitas, multikolinieritas dan normalitas. Walaupun
demikian, tidak semua uji asumsi klasik harus dilakukan pada setiap model
regresi linier dengan pendekatan OLS. (1) Uji linieritas hampir tidak
dilakukan pada setiap model regresi linier, karena sudah diasumsikan bahwa
model bersifat linier. (2) Uji normalitas pada dasarnya bukan merupakan
syarat BLUE (Best Linear Unbiased Estimator) dan beberapa pendapat tidak
mengharuskan syarat ini sebagai sesuatu yang wajib dipenuhi. (3)
Autokorelasi hanya terjadi pada data time series. (4) Multikolinieritas perlu
dilakukan pada saat regresi linier menggunakan lebih dari satu variabel bebas.
Jika variabel bebas hanya satu, maka tidak mungkin terjadi multikolinieritas.
(5) Heteroskedastisitas biasanya terjadi pada data cross section, di mana data
panel lebih dekat ke ciri data cross section dibanding time series (Basuki &
Yuliadi, 2015).
62
Dari uraian di atas, maka uji asumsi klasik yang dilakukan pada
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Uji Multikolinieritas
Pada pengujian multikolinieritas bertujuan untuk mengetahui
apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas.
Hipotesis yang dibentuk untuk uji multikolinieritas adalah sebagai
berikut:
H0 = Terjadi multikolinieritas
H1 = Bebas multikolinieritas
Multikolinieritas dapat mengakibatkan hasil uji parsial lebih
sering menerima H0, sehingga variabel prediktornya banyak yang tidak
berpengaruh signifikan. Multikolinieritas dapat dideteksi melalui
metode koefisien korelasi sampel (r). Menurut Gujarati & Porter
(2008), terjadinya multikolinieritas antar dua variabel prediktor
(variabel bebas) yang berbeda ditandari dengan nilai |r| > 0,8. Apabila
semua variabel bebas memiliki nilai |r| < 0,8, maka data terbebas dari
masalah multikolinieritas.
b. Uji Heteroskedastisitas
Uji ini bertujuan untuk melihat apakah pada sebuah model regresi
terjadi ketidaksamaan varian dari residual dalam satu pengamatan ke
pengamatan lainnya. Apabila varian berbeda, disebut
heteroskedastisitas. Hipotesis yang dibentuk untuk uji
heteroskedastisitas adalah sebagai berikut:
63
H0 = Terjadi heteroskedastisitas
H1 = Bebas heteroskedastisitas
Salah satu cara untuk mengetahui ada tidaknya heteroskedastisitas
pada suatu model regresi linier berganda, yaitu dengan melakukan Uji
Glejser yang dilakukan dengan cara meregresi nilai absolute residual
terhadap variabel independen lainnya.
3. Uji Hipotesis
a. Uji t-statistik (Uji Parsial)
Uji ini digunakan untuk melihat signifikansi dari pengaruh
variabel bebas terhadap variabel terikat secara parsial (individual).
Penelitian ini menggunakan uji satu arah dengan tingkat signifikansi
atau α = 5%, dengan hipotesis berikut:
1) Hipotesis 1
H0 = PDRB tidak berpengaruh secara signifikan terhadap IKLH.
H1 = PDRB berpengaruh secara signifikan terhadap IKLH.
2) Hipotesis 2
H0 = Kepadatan penduduk tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
IKLH.
H1 = Kepadatan penduduk berpengaruh secara signifikan terhadap
IKLH.
3) Hipotesis 3
H0 = PMA tidak berpengaruh secara signifikan terhadap IKLH.
H1 = PMA berpengaruh secara signifikan terhadap IKLH.
64
Apabila variabel bebas secara parsial memiliki nilai probabilitas >
α = 5% maka H0 diterima, yang berarti variabel bebas secara parsial
tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat. Namun apabila
variabel bebas secara parsial memiliki nilai probabilitas < α = 5% maka
H1 diterima, yang berarti variabel bebas secara parsial berpengaruh
signifikan terhadap variabel terikat.
b. Uji F-statistik
Uji F-statistik pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel
bebas dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap
variabel terikat. Berikut adalah hipotesis untuk uji F-statistik:
H0 = PDRB, kepadatan penduduk dan PMA tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap IKLH.
H1 = PDRB, kepadatan penduduk dan PMA berpengaruh secara
signifikan terhadap IKLH.
Apabila nilai probabilitas F-statistic > α = 5% maka H0 diterima,
yang berarti variabel bebas secara bersama-sama tidak berpengaruh
signifikan terhadap variabel terikat. Namun apabila nilai probabilitas F-
statistic < α = 5% maka H1 diterima, yang berarti variabel bebas secara
bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat.
c. Uji Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi berfungsi untuk mengukur proporsi atau
persentase dari variasi total variabel bebas yang mampu dijelaskan oleh
model regresi. Kisaran nilai koefisien determinasi adalah 0 ≤ R2 ≤ 1.
65
Model dikatakan semakin baik apabila nilai R2 mendekati 1 atau 100%,
di mana terdapat hubungan yang kuat antara variabel bebas dan terikat.
D. Definisi Operasional Variabel
Dibawah ini merupakan variabel-variabel yang digunakan dalam
penelitian Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kualitas
Lingkungan Hidup (Studi Kasus: Enam Provinsi di Pulau Jawa Periode 2009-
2018).
Tabel 3.1. Operasional Variabel Penelitian
No. Variabel Simbol Variabel Satuan Sumber Data
1. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Jawa
IKLH Persen Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia
2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
PDRB Miliar rupiah Badan Pusat Statistik Indonesia (per regional)
3. Kepadatan Penduduk
POP Kilometer persegi
Badan Pusat Statistik Indonesia (per regional)
4. Penanaman Modal Asing (PMA) PMA Juta dolar Badan Pusat Statistik
Indonesia (per regional)
Sumber: KLHK dan BPS, 2020, diolah.
66
BAB IV
TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian
Pulau Jawa merupakan salah satu dari lima pulau besar di Indonesia.
Pulau Jawa terdiri dari enam provinsi yaitu: Banten; Daerah Khusus Ibukota
(DKI) Jakarta; Jawa Barat; Jawa Tengah; Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY);
serta Jawa Timur. Pulau Jawa seringkali disebut sebagai pusat perekonomian
nasional. Pernyataan ini didukung dengan catatan Badan Pusat Statistik (BPS)
yang menunjukkan bahwa pada tahun 2018 distribusi PDB terbesar masih
dimiliki oleh Pulau Jawa, dengan kontribusi sebesar 58,52%, angka ini
membuktikan bahwa Pulau Jawa mendominasi sebanyak lebih dari setengah
perekonomian nasional. Berikut grafik PDRB di enam provinsi Pulau Jawa:
Grafik 4.1. PDRB Atas Dasar Harga Berlaku di Enam Provinsi Pulau Jawa
Tahun 2018 (dalam miliar rupiah)
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2020, diolah.
0
200000
400000
600000
800000
1000000
1200000
1400000
1600000
1800000
2000000
Banten DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur
67
Aktivitas perekonomian yang tinggi berkaitan erat dengan degradasi
lingkungan sebagai eksternalitas negatif, karena kegiatan ekonomi tidak
terlepas dari emisi CO2 yang dihasilkannya. Berikut grafik nilai IKLH di
enam provinsi Pulau Jawa:
Grafik 4.2. Nilai Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH)
di Enam Provinsi Pulau Jawa Tahun 2009-2018 (dalam persen)
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2020, diolah.
Berdasarkan grafik di atas, nilai IKLH pada enam provinsi di Pulau
Jawa dari tahun 2009 hingga 2018 angkanya berubah-ubah, pada tiap provinsi
nilai IKLH akan mengalami kenaikan ataupun penurunan pada setiap
tahunnya. Nilai IKLH terendah ditempati oleh Provinsi DKI Jakarta yaitu
sebesar 35,66% pada tahun 2013. Nilai tersebut sangat rendah karena nilai
maksimum IKLH adalah 100. Pada provinsi lain, nilai IKLH juga masih
tergolong cukup rendah, yaitu Jawa Tengah yang memiliki nilai sebesar
68,27% pada tahun 2018.
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
100
Banten DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta
Jawa Timur
2009
2013
2018
68
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2019),
terdapat beberapa hal yang berpotensi memengaruhi kualitas lingkungan hidup
di enam Provinsi Pulau Jawa, diantaranya yaitu: transportasi, industri besi dan
baja, logam, kimia, bahan bangunan, makanan dan minuman, pelumas,
plastik, pulp dan kertas, tekstil, karet, perkebunan, pemukiman,
pertambangan, pertanian, peternakan, industri pariwisata, jumlah kendaraan,
limbah padat sarana transportasi, beban limbah cair dan limbah B3 dari
sarana penginapan serta rumah sakit, keterbatasan fasilitas buang air besar,
dan timbulan sampah.
1. Banten
Provinsi Banten memiliki luas wilayah sebesar 9.662,92 km2,
persentase luas wilayah ini terhadap luas Indonesia adalah 0,51%. Provinsi
Banten terdiri dari 4 kota dan 4 kabupaten, serta memiliki sebanyak 131
pulau. Berdasarkan data BPS tahun 2018, Banten memiliki jumlah penduduk
sebanyak 12.448.200 penduduk, dengan kepadatan penduduk sejumlah 1.288
jiwa/ km2. Pada tahun yang sama, terdapat sebanyak 1.895 proyek PMA di
Banten dengan nilai investasi sebesar 2.827,3 juta dolar. Distribusi PDRB
tertinggi di Provinsi Banten yaitu industri pengolahan; konstruksi; dan
perdagangan besar dan eceran serta reparasi mobil dan sepeda motor.
2. Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta
Provinsi DKI Jakarta memiliki luas wilayah sebesar 664,01 km2,
persentase luas wilayah ini terhadap luas Indonesia adalah 0,03%. Provinsi
DKI Jakarta terdiri dari 5 kota dan 1 kabupaten, serta memiliki sebanyak 218
69
pulau. Berdasarkan data BPS tahun 2018, DKI Jakarta memiliki jumlah
penduduk sebanyak 10.374.200 penduduk, dengan kepadatan penduduk
sejumlah 15.624 jiwa/ km2. Pada tahun yang sama, terdapat sebanyak 6.499
proyek PMA di DKI Jakarta dengan nilai investasi sebesar 4.857,7 juta dolar.
Distribusi PDRB tertinggi di Provinsi DKI Jakarta yaitu perdagangan besar
dan eceran serta reparasi mobil dan sepeda motor; industri pengolahan; dan
konstruksi.
3. Jawa Barat
Provinsi Jawa Barat memiliki luas wilayah sebesar 35.377,76 km2,
persentase luas wilayah ini terhadap luas Indonesia adalah 1,85%. Provinsi
Jawa Barat terdiri dari 9 kota dan 18 kabupaten, serta memiliki sebanyak 131
pulau. Berdasarkan data BPS tahun 2018, Jawa Barat memiliki jumlah
penduduk sebanyak 48.037.600 penduduk, dengan kepadatan penduduk
sejumlah 1.358 jiwa/ km2. Pada tahun yang sama, terdapat sebanyak 4.713
proyek PMA di Jawa Barat dengan nilai investasi sebesar 5.573,5 juta dolar.
Distribusi PDRB tertinggi di Provinsi Jawa Barat yaitu industri pengolahan;
perdagangan besar dan eceran serta reparasi mobil dan sepeda motor; dan
konstruksi.
4. Jawa Tengah
Provinsi Jawa Tengah memiliki luas wilayah sebesar 32.800,69 km2,
persentase luas wilayah ini terhadap luas Indonesia adalah 2,96%. Provinsi
Jawa Tengah terdiri dari 6 kota dan 29 kabupaten, serta memiliki sebanyak
296 pulau. Berdasarkan data BPS tahun 2018, Jawa Tengah memiliki jumlah
70
penduduk sebanyak 34.257.900 penduduk, dengan kepadatan penduduk
sejumlah 1.044 jiwa/ km2. Pada tahun yang sama, terdapat sebanyak 801
proyek PMA di Jawa Tengah dengan nilai investasi sebesar 2.372,7 juta
dolar. Distribusi PDRB tertinggi di Provinsi Jawa Tengah yaitu industri
pengolahan; pertanian, kehutanan dan perikanan; dan perdagangan besar dan
eceran serta reparasi mobil dan sepeda motor.
5. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
Provinsi DIY memiliki luas wilayah sebesar 3.133,15 km2, persentase
luas wilayah ini terhadap luas Indonesia adalah 0,16%. Provinsi DIY terdiri
dari 1 kota dan 4 kabupaten, serta memiliki sebanyak 23 pulau. Berdasarkan
data BPS tahun 2018, DIY memiliki jumlah penduduk sebanyak 3.762.200
penduduk, dengan kepadatan penduduk sejumlah 1.201 jiwa/ km2. Pada tahun
yang sama, terdapat sebanyak 184 proyek PMA di DIY dengan nilai investasi
sebesar 81,3 juta dolar. Distribusi PDRB tertinggi di Provinsi DIY yaitu
industri pengolahan; konstruksi; dan penyediaan akomodasi dan makan
minum.
6. Jawa Timur
Provinsi Jawa Timur memiliki luas wilayah sebesar 47.799,75 km2,
persentase luas wilayah ini terhadap luas Indonesia adalah 2,50%. Provinsi
Jawa Timur terdiri dari 9 kota dan 29 kabupaten, serta memiliki sebanyak 287
pulau. Berdasarkan data BPS tahun 2018, Jawa Timur memiliki jumlah
penduduk sebanyak 39.293.000 penduduk, dengan kepadatan penduduk
sejumlah 822 jiwa/ km2. Pada tahun yang sama, terdapat sebanyak 1.441
71
proyek PMA di Jawa Timur dengan nilai investasi sebesar 1.333,4 juta dolar.
Distribusi PDRB tertinggi di Provinsi Jawa Timur yaitu industri pengolahan;
perdagangan besar dan eceran serta reparasi mobil dan sepeda motor; dan
pertanian, kehutanan, dan perikanan.
B. Temuan Hasil Penelitian
1. Estimasi Model Regresi
Estimasi model regresi dilakukan untuk memilih salah satu model
terbaik di antara model common effect, fixed effect atau random effect. Uji
yang dilakukan yaitu:
a. Uji Chow
Uji chow dilakukan untuk membandingkan model common effect
dengan model fixed effect. Hipotesis yang dibentuk dalam uji chow
adalah sebagai berikut:
H0 = Model Common Effect
H1 = Model Fixed Effect
Nilai probabilitas cross-section F pada uji chow penelitian ini
adalah 0,1933 > 0,05 yang artinya H0 diterima, maka model common
effect lebih baik dibanding model fixed effect.
b. Uji Hausman
Uji hausman dilakukan untuk membandingkan model random
effect dengan model fixed effect. Hipotesis yang dibentuk dalam uji
hausman adalah sebagai berikut:
H0 = Model Random Effect
72
H1 = Model Fixed Effect
Nilai cross-section random pada uji hausman penelitian ini adalah
0,1012 > 0,05 yang artinya H1 diterima, maka model random effect
lebih baik dibanding model fixed effect.
c. Uji Lagrange Multiplier
Uji lagrange multiplier (uji LM) dilakukan untuk membandingkan
model common effect dengan model random effect. Hipotesis yang
dibentuk dalam Uji LM adalah sebagai berikut:
H0 = Model Common Effect
H1 = Model Random Effect
Nilai probabilitas Breusch-Pagan pada uji LM penelitian ini
adalah 0,3228 > 0,05, yang artinya H0 diterima, maka model common
effect lebih baik dibanding model random effect.
Dari ketiga uji tersebut, model common effect merupakan model terbaik
yang dibuktikan dari hasil uji chow dan uji LM, maka kesimpulannya model
regresi yang digunakan pada penelitian ini adalah model common effect.
Berikut adalah hasil regresi menggunakan model common effect yang
menunjukkan nilai koefisien variabel:
Tabel 4.1. Hasil Regresi Model Common Effect
Variabel Coefficient
C 1,927961
LOG_PDRB 0,046583
LOG_POP -0,126916
73
Variabel Coefficient
LOG_PMA -0,023813 Sumber: Hasil olah data, 2020.
Model common effect dapat digambarkan dalam persamaan regresi
berikut:
LOG_IKLHit = 1,927961 + 0,046583 (LOG_PDRBit) - 0,126916
(LOG_POPit) - 0,023813 (LOG_PMAit) + eit
(1)
Berdasarkan hasil regresi menggunakan model common effect maka
dapat diinterpretasikan sebagai berikut:
a. Variabel PDRB memiliki pengaruh positif terhadap IKLH dengan
koefisien sebesar 0,046583. Hal ini berarti peningkatan 1%
PDRB dapat meningkatkan kualitas lingkungan hidup di enam
provinsi Pulau Jawa sebesar 0,04%, dengan anggapan bahwa
variabel lainnya bersifat tetap.
b. Variabel kepadatan penduduk memiliki hubungan negatif
terhadap variabel IKLH dengan koefisien sebesar -0,126916. Hal
ini berarti peningkatan 1% kepadatan penduduk dapat
menurunkan kualitas lingkungan hidup di enam provinsi Pulau
Jawa sebesar 0,12%, dengan anggapan bahwa variabel lainnya
bersifat tetap.
c. Variabel PMA memiliki hubungan negatif terhadap variabel
IKLH dengan koefisien sebesar -0,023813. Hal ini berarti
peningkatan 1% PMA dapat menurunkan kualitas lingkungan
hidup di enam provinsi Pulau Jawa sebesar 0,02%, dengan
74
anggapan bahwa variabel lainnya bersifat tetap.
2. Uji Asumsi Klasik
Untuk memenuhi asumsi klasik, data panel harus bersifat non-
multikolinieritas dan non-heteroskedastisitas. Berikut uji yang dilakukan:
a. Uji Multikolinieritas
Uji multikolinieritas dilakukan untuk melihat apakah terdapat
korelasi antar variabel bebas. Hipotesis yang dibentuk dalam uji
multikolinieritas adalah sebagai berikut:
H0 = Terjadi multikolinieritas
H1 = Bebas multikolinieritas
Data terdeteksi multikolinearitas apabila korelasi antar variabel
nilainya > 0,8. Berikut hasil uji multikolinieritas pada penelitian ini:
Tabel 4.2. Hasil Uji Multikolinieritas
LOG_PDRB LOG_POP LOG_PMA
LOG_PDRB 1,000000 0,307928 0,794590
LOG_POP 0,307928 1,000000 0,341939
LOG_PMA 0,794590 0,341939 1,000000
Sumber: Hasil olah data, 2020.
Berdasarkan hasil uji multikolinieritas di atas, antar variabel
independen memiliki korelasi < 0,8, maka H0 ditolak yang berarti data
penelitian ini lolos uji asumsi klasik non-multikolinieritas.
75
b. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas dilakukan untuk melihat apakah pada
sebuah model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual dalam
satu pengamatan ke pengamatan lainnya. Hipotesis yang dibentuk
dalam uji heteroskedastisitas adalah sebagai berikut:
H0 = Terjadi heteroskedastisitas
H1 = Bebas heteroskedastisitas
Pada penelitian ini uji heteroskedastisitas dilakukan dengan Uji
Glejser dengan α = 5%. Berikut adalah hasil uji heteroskedastisitas pada
penelitian ini:
Tabel 4.3. Hasil Uji Heteroskedastisitas
Variabel Prob.
LOG_PDRB 0,7127
LOG_POP 0,5629
LOG_PMA 0,9204
Sumber: Hasil olah data, 2020.
Berdasarkan hasil uji heteroskedastisitas di atas, nilai probabilitas
ketiga variabel bebas > 0,05 maka H0 ditolak yang berarti data
penelitian ini lolos uji asumsi klasik non-heteroskedastisitas.
3. Uji Hipotesis
a. Uji t-statistik
Uji t-statistik dilakukan untuk melihat apakah variabel bebas
secara parsial berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikat.
76
Berikut adalah nilai probabilitas ketiga variabel bebas:
Tabel 4.4. Uji t-statistik
Variabel Prob.
LOG_PDRB 0,0165
LOG_POP 0,0000
LOG_PMA 0,0290 Sumber: Hasil olah data, 2020.
Variabel bebas secara parsial berpengaruh signifikan terhadap
variabel terikat apabila nilai probabilitasnya < α = 5%, berikut adalah
hipotesisnya:
1) Hipotesis 1
H0 = PDRB tidak berpengaruh secara signifikan terhadap IKLH.
H1 = PDRB berpengaruh secara signifikan terhadap IKLH.
Dari hasil regresi, variabel PDRB nilai probabilitasnya
0,0165 < 0,05 maka H0 ditolak yang berarti PDRB berpengaruh
signifikan terhadap kualitas lingkungan hidup di enam provinsi
Pulau Jawa periode 2009-2018.
2) Hipotesis 2
H0 = Kepadatan penduduk tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap IKLH.
H1 = Kepadatan penduduk berpengaruh secara signifikan terhadap
IKLH.
Dari hasil regresi, variabel kepadatan penduduk nilai
77
probabilitasnya 0,0000 < 0,05 maka H0 ditolak yang berarti
kepadatan penduduk berpengaruh signifikan terhadap kualitas
lingkungan hidup di enam provinsi Pulau Jawa periode 2009-
2018.
3) Hipotesis 3
H0 = PMA tidak berpengaruh secara signifikan terhadap IKLH.
H1 = PMA berpengaruh secara signifikan terhadap IKLH.
Dari hasil regresi, variabel PMA nilai probabilitasnya
0,0290 < 0,05 maka H0 ditolak yang berarti PMA berpengaruh
signifikan terhadap kualitas lingkungan hidup di enam provinsi
Pulau Jawa periode 2009-2018.
b. Uji F-statistik
Uji F-statistik dilakukan untuk melihat apakah variabel bebas
secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap variabel
terikat. Berikut adalah hipotesis untuk uji F-statistik:
H0 = PDRB, kepadatan penduduk dan PMA tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap IKLH.
H1 = PDRB, kepadatan penduduk dan PMA berpengaruh secara
signifikan terhadap IKLH.
Pada uji F-statistik penelitian ini, nilai probabilitasnya adalah
0,000000 < 0,05, maka H0 ditolak yang berarti signifikan secara
statistik. Dengan demikian, PDRB, kepadatan penduduk dan PMA
secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap kualitas
78
lingkungan hidup di enam provinsi Pulau Jawa.
c. Uji Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi berfungsi untuk mengukur proporsi atau
persentase dari variasi total variabel bebas yang mampu dijelaskan oleh
model regresi. Pada penelitian ini, R-squared bernilai 0,657364, maka
PDRB, kepadatan penduduk dan PMA dapat menjelaskan kualitas
lingkungan hidup di enam provinsi Pulau Jawa sebesar 65,73%.
Sedangkan 34,27% lainnya dijelaskan oleh variabel lain di luar
penelitian ini.
C. Pembahasan
1. Produk Domestik Bruto (PDRB) terhadap Kualitas Lingkungan
Hidup
Dalam penelitian ini, variabel PDRB berpengaruh positif dan signifikan
terhadap variabel IKLH. Hal ini berarti peningkatan PDRB dapat
meningkatkan kualitas lingkungan hidup di enam provinsi Pulau Jawa.
Namun hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hipotesis yang telah
ditentukan, yaitu adanya pengaruh PDRB secara negatif dan signifikan
terhadap kualitas lingkungan hidup, seperti penelitian yang dilakukan oleh
Wafiq (2018) dan Pranoto & Halim (2016). Meski tidak sesuai hipotesis,
terdapat penelitian terdahulu yang mendukung hasil penelitian penulis yaitu
penelitian Aye & Edoja (2017), Luo dkk. (2014), Kim & Baek (2011) yang
mengemukakan bahwa kualitas lingkungan akan membaik seiring dengan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Faktor-faktor yang mendasarkan hasil
79
penelitian tersebut adalah adanya inovasi teknologi, perubahan struktur
ekonomi menjadi perekonomian yang beriorientasi jasa (service-based
economy), efisiensi sumber daya, serta peningkatan kesadaran masyarakat
akan kelestarian lingkungan.
Hubungan positif antara PDRB dan kualitas lingkungan hidup sejalan
dengan teori lingkungan Kuznets yang digambarkan dengan kurva
lingkungan Kuznets, yaitu pada titik tertentu kenaikan PDRB akan
menyebabkan penurunan emisi CO2 atau kenaikan pada kualitas lingkungan
hidup. Selain itu, penerapan UU No. 32 Tahun 2009 mengenai kewajiban
pelaku usaha terhadap upaya pelestarian lingkungan hidup yang baik juga
dapat memberikan hubungan positif antara PDRB dengan kualitas lingkungan
hidup. Penelitian yang dilakukan oleh Rodrik (2014) mengenai kebijakan
industri hijau (green industrial policy) menunjukkan bahwa kebijakan
industri dapat mencapai pertumbuhan hijau (green growth) yang didasarkan
pada penggunaan sumber daya terbarukan yang berkelanjutan dan teknologi
hijau (green technology) atau teknik produksi yang menghemat sumber daya
tak terbarukan, dan yang menghasilkan lebih sedikit gas rumah kaca.
Di Pulau Jawa sendiri, hubungan positif antara PDRB dengan kualitas
lingkungan hidup dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu
perbandingan nilai Eco-Regional Domestic Product (ERDP) dengan PDRB.
ERDP adalah nilai PDRB konvensional yang dikurangi dengan nilai PDRB
dari sektor ekstraktif dan polutif, perhitungan ini digagas oleh The Statistical
Office of the United Nations (UNSO) pada tahun 1990 sebagai salah satu
80
System of Integrated Environmental and Economic Accounting (SEEA).
Penelitian oleh Yusuf (2010) mengenai ERDP di 30 provinsi di Indonesia
menunjukkan bahwa provinsi di Pulau Jawa tidak termasuk dalam provinsi
yang memiliki proporsi nilai ERDP terhadap PDRB yang rendah, hal ini
berarti bahwa secara dominan perekonomian di Pulau Jawa tidak ditopang
oleh sektor sumber daya ekstraktif atau likuidasi aset lingkungan seperti
minyak, gas, pertambangan dan kehutanan.
Hubungan antara lingkungan, perekonomian dan kemakmuran manusia
merupakan masalah yang kompleks, karena tidak semua bentuk pertumbuhan
ekonomi dapat menyebabkan degradasi lingkungan. Kurangnya
pembangunan ekonomi justru akan membawa masalah lingkungan, salah
satunya sanitasi yang tidak memadai (Ali & de Oliveira, 2018). Selain itu,
terdapat beberapa pendapat ahli yang mendukung hal ini. Dalam Suryanto
(2009), Bhagwati (1993) berpendapat bahwa pertumbuhan merupakan pra-
kondisi bagi perbaikan lingkungan, Beckerman (1992) mengemukakan
terdapat korelasi yang kuat dan hubungan yang positif antara pendapatan dan
ukuran perlindungan lingkungan, dan menurut Panayotou (1993) di negara-
negara berkembang pertumbuhan ekonomi akan menguatkan kemampuan
perbaikan terhadap lingkungan.
2. Kepadatan Penduduk terhadap Kualitas Lingkungan Hidup
Dalam penelitian ini, variabel kepadatan penduduk berpengaruh negatif
dan signifikan terhadap variabel IKLH. Hal ini berarti peningkatan kepadatan
penduduk dapat mengurangi kualitas lingkungan hidup di enam provinsi
81
Pulau Jawa. Dengan demikian, hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis
yang telah ditentukan. Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang
mendukung hasil penelitian ini, diantaranya yaitu penelitian oleh Wafiq
(2018) dan Pranoto & Halim (2016) yang menunjukkan bahwa kepadatan
penduduk memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap kualitas
lingkungan hidup di 33 Provinsi Indonesia, serta penelitian Rahman (2017)
dan Ohlan (2015) yang menemukan adanya pengaruh negatif kepadatan
penduduk terhadap lingkungan hidup yang diukur dengan emisi CO2 di
negara-negara Asia dengan penduduk yang tinggi seperti Bangladesh dan
India.
Dampak negatif kepadatan penduduk terhadap lingkungan dapat dilihat
dari kebutuhan manusia yang meningkat. Kebutuhan manusia disokong oleh
SDA yang jumlahnya terbatas, selain itu kepadatan penduduk yang tinggi
akan mengurangi ruang terbuka hijau yang berfungsi menghasilkan oksigen,
dan juga sebagian besar energi yang digunakan saat ini masih berasal dari
bahan bakar fosil. Hal-hal tersebut berpotensi besar akan menyebabkan
degradasi lingkungan di enam provinsi Pulau Jawa. Hasil penelitian ini juga
sesuai dengan teori IPAT yang menjelaskan bahwa dampak lingkungan (I)
disebabkan oleh penduduk (P), konsumsi (A), dan teknologi (T). Selain itu,
hasil penelitian ini juga mendukung pendapat Malthus bahwa pertumbuhan
penduduk akan memberi tekanan terhadap lingkungan sebagai penyedia
sumber daya.
82
3. Penanaman Modal Asing (PMA) terhadap Kualitas Lingkungan
Hidup
Dalam penelitian ini, variabel PMA berpengaruh negatif terhadap
variabel IKLH. Hal ini berarti peningkatan PMA dapat mengurangi kualitas
lingkungan hidup di enam provinsi Pulau Jawa. Dengan demikian, hasil
penelitian ini sesuai dengan hipotesis yang telah ditentukan. Hasil penelitian
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Baek (2016), Pranoto &
Halim (2016), dan Hitam & Borhan (2012).
Dengan majunya negara-negara berkembang sebagai destinasi yang
menarik untuk penanaman modal asing, arus globalisasi akhir-akhir ini
menyebabkan perpindahan kegiatan produksi polutif dari negara dengan
kebijakan lingkungan yang ketat (negara maju), ke negara yang memiliki
kebijakan lingkungan yang relatif lebih rendah (negara berkembang), maka
hasil penelitian ini sesuai dengan teori pollution haven effect.
4. PDRB, Kepadatan Penduduk dan PMA terhadap Kualitas
Lingkungan Hidup
Dalam penelitian ini, variabel PDRB, kepadatan penduduk dan PMA
secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap variabel IKLH. Hal ini
berarti perubahan pertumbuhan ekonomi dapat menyebabkan perubahan pada
kualitas lingkungan hidup di enam provinsi Pulau Jawa. Maka, hasil ini
sesuai dengan hipotesis yang telah ditentukan, serta penelitian yang dilakukan
oleh Pranoto & Halim (2016), R.A & Arsyad (2015) dan Hitam & Borhan
(2012).
83
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Penelitian ini membahas tentang pengaruh pertumbuhan ekonomi yang
diproksikan dengan PDRB, kepadatan penduduk, dan PMA terhadap kualitas
lingkungan hidup di enam provinsi Pulau Jawa tahun 2009-2018.
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dijelaskan sebelumnya,
maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Variabel PDRB berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel
IKLH, hal ini berarti peningkatan PDRB dapat meningkatkan kualitas
lingkungan hidup di enam provinsi Pulau Jawa.
2. Variabel kepadatan penduduk berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap variabel IKLH, hal ini berarti peningkatan kepadatan
penduduk dapat mneurunkan kualitas lingkungan hidup di enam
provinsi Pulau Jawa.
3. Variabel PMA berpengaruh negatif dan signifikan terhadap variabel
IKLH, hal ini berarti peningkatan investasi asing dapat menurunkan
kualitas lingkungan hidup di enam provinsi Pulau Jawa.
4. Variabel PDRB, kepadatan penduduk dan PMA secara bersama-sama
berpengaruh secara signifikan terhadap variabel IKLH, hal ini berarti
perubahan pada PDRB, kepadatan penduduk dan PMA secara bersama-
84
sama dapat menyebabkan perubahan terhadap kualitas lingkungan
hidup di enam provinsi Pulau Jawa.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka penulis memberikan saran
sebagai berikut:
1. PDRB akan berpengaruh positif terhadap kualitas lingkungan hidup
apabila penegakan peraturan perundang-undangan mengenai
lingkungan hidup pada kegiatan ekonomi dilaksanakan dengan baik dan
regulasinya diperketat untuk menghindari degradasi lingkungan di
enam provinsi Pulau Jawa.
2. Diperlukan upaya-upaya untuk menekan angka kepadatan penduduk,
peningkatan kualitas SDM, serta partisipasi masyarakat secara kolektif
dalam menjaga kelestarian lingkungan.
3. Diperlukan penguatan kebijakan investasi asing dan hukum
perlindungan lingkungan khususnya dalam kegiatan industri agar enam
provinsi di Pulau Jawa terhindar dari degradasi lingkungan yang
disebabkan oleh transfer polusi.
4. Ketiga rekomendasi diatas secara bersama-sama diharapkan dapat
menciptakan perekonomian yang berkelanjutan secara lingkungan di
enam provinsi di Pulau Jawa.
85
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. H. (2019). Relevansi Teori Environmental Kuznets Curve terhadap Degradasi Lingkungan di Tiga Klasifikasi Negara Tahun 1985-2014. Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ali, S. H., & de Oliveira, J. A. (2018). Pollution and economic development: an empirical research review. Environmental Research Letters, 13(123003).
Ambarsari, I., & Purnomo, D. (2005, Juni). Studi Tentang Penanaman Modal Asing di Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 6(1), 26-47.
Aşıcı, A. A. (2012). Economic growth and its impact on environment: A panel data analysis. Ecological Indicators, 324-333.
Aye, G. C., & Edoja, P. E. (2017, September). Effect of economic growth on CO2 emission in developing countries: Evidence from a dynamic panel threshold model. Cogent Economics & Finance, 5. doi:https://doi.org/10.1080/23322039.2017.1379239
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2019). Low Carbon Development: A Paradigm Shift Towards a Green Economy in Indonesia. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Badan Pusat Statistik. (2009). Statistik Indonesia 2009. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
_______. (2010). Indeks Kualitas Lingkungan Tahun 2008. Jakarta: Badan Pusat Statistik Indonesia.
_______. (2012). Statistik Indonesia 2012. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
_______. (2018a). Proyeksi Penduduk Indonesia 2015-2045 Hasil SUPAS 2015 (Edisi Revisi). Jakarta: Badan Pusat Statistik.
_______. (2018b). Statistik Indonesia 2018. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
_______. (2019a). Statistik Indonesia 2019. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
_______. (2019b). Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2019. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
_______. (2020). Statistik Indonesia 2020. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
86
Baek, J. (2016). A new look at the FDI-income-energy-environment nexus: Dynamic panel data analysis of ASEAN. Energy Policy, 91, 22-27. doi:10.1016/j.enpol.2015.12.045
Basuki, A. T., & Yuliadi, I. (2015). Ekonometrika (1 ed.). Yogyakarta: Matan.
Basyiran, T. B. (2014). Konsumsi Energi Listrik, Pertumbuhan Ekonomi dan Penduduk Terhadap Emisi Gas Rumah Kaca Pembangkit Listrik di Indonesia. Skripsi Universitas Syiah Kuala.
Behname, M. (2012). Foreign Direct Investment and Economic Growth: Evidence from Southern Asia. Atlantic Review of Economics, 2.
Cohen, S. (2020, Januari). Economic Growth and Environmental Sustainability. Diambil kembali dari Earth Institute Columbia University.
Cumming, G. S., & von Cramon-Taubadel, S. (2018). Linking economic growth pathways and environmental sustainability by understanding development as alternate social-ecological regimes. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America.
Druckman, A., & Jackson, T. (2016). Understanding Households as Drivers of Carbon Emissions. Dalam R. Clift, & A. Druckman, Taking Stock of Industrial Ecology (hal. 181-203). Guildford, United Kingdom: Springer. doi:10.1007/978-3-319-20571-7
Du, X., Zhou, D., Chao, Q., Wen, Z., Huhe, T., & Liu, Q. (2020). Overview of Low-Carbon Development. Beijing: China Environment Publishing Group.
Duce, M., & de España, B. (2003). Definitions of Foreign Direct Investment (FDI): a methodological note. CGFS Working Group. Bank of International Settlements.
Dynan, K., & Sheiner, L. (2018, Agustus). GDP as a Measure of Economic Well-being. Hutchins Center Working Paper, 43.
Economic and legal dimensions of resource conservation. (2014, Juli 15). Retrieved Agustus 25, 2020, from Umwelt Bundesamt: https://www.umweltbundesamt.de/en/topics/waste-resources/economic-legal-dimensions-of-resource-conservatio
Everett, T., Ishwaran, M., Ansaloni, G. P., & Rubin, A. (2010). Economic Growth and the Environment. Defra Evidence and Analysis Series, 5.
87
Febriana, S., Diartho, H. C., & Istiyani, N. (2019). Hubungan Pembangunan Ekonomi Terhadap Kualitas Lingkungan Hidup di Provinsi Jawa Timur. Jurnal Dinamika Ekonomi Pembangunan, 58-70.
Gorus, M. S., & Aslan, M. (2019). Impacts of economic indicators on environmental degradation: Evidence from MENA countries. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 103, 259-268. doi:doi.org/10.1016/j.rser.2018.12.042
Greenpeace Indonesia. (2020, Juli 13). Omnibus Law Bahayakan Investasi Berkelanjutan di Indonesia. Dipetik Agustus 26, 2020, dari Greenpeace: https://www.greenpeace.org/indonesia/siaran-pers/5398/omnibus-law-bahayakan-investasi-berkelanjutan-di-indonesia/
Gujarati, D. N., & Porter, D. C. (2008). Basic Econometrics (5 ed.). New York: McGraw-Hill Irwin.
Gupito, K. R. (2012). Keterkaitan PDRB Perkapita dari Sektor Industri, Transportasi, Pertanian dan Kehutanan Terhadap Kualitas Lingkungan Diukur Dari Emisi CO2. Skripsi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro.
Hakim, R. N. (2017). PDRB dan kerusakan lingkungan: Environmental Kuznets Curve di Indonesia. Skripsi Ekonomi Pembangunan Universitas Parahyangan.
Hitam, M. b., & Borhan, H. b. (2012). FDI, Growth and the Environment: Impact on Quality of Life in Malaysia. Procedia, 333-342. doi:10.1016/j.sbspro.2012.08.038
Juhro, S. M. (2015). Sustainable Economic Growth: Challenges and Policy Strategies. Bank Indonesia Working Paper.
Kahuthu, A. (2006). Economic Growth and Environmental Degradation in a Global Context. Environment, Development and Sustainability, 55-68.
Kartodihardjo, H. (2020). 10 Ancaman Omnibus Law Terhadap Lingkungan. Diambil kembali dari Forest Digest.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. (2009, Oktober). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
88
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2011). Indeks Kualitas Lingkungan Hidup 2010. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup.
_______. (2015). Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Tahun 2014. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia.
_______. (2017a). Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia 2016. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia.
_______. (2017b). Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Tahun 2015. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia.
_______. (2018). Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia 2017. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia.
_______. (2019). Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia 2018. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kim, H. S., & Baek, J. (2011, April 17). The Environmental Consequences of Economic Growth Revisited. Economics Bulletin, 31(2), 1198-1211.
Lau, L. S., Choong, C. K., & Eng, Y. K. (2014). Investigation of the environmental Kuznets curve for carbon emissions in Malaysia: Do foreign direct investment and trade matter? Energy Policy, 490-497.
Levinson, A., & Taylor, M. S. (2004). Unmasking the Pollution Haven Effect. NBER Working Paper Series.
Luo, Y., Chen, H., Zhu, Q., Peng, C., Yang, G., Yang, Y., & Zhang, Y. (2014, Agustus). Relationship between Air Pollutants and Economic Development of the Provincial Capital Cities in China during the Past Decade. PLOS ONE, 9(8). doi:10.1371/journal.pone.0104013
Mankiw, N. G. (2006). Makroekonomi (6 ed.). (F. Liza, & I. Nurmawan, Trans.) Jakarta: Penerbit Erlangga.
Mantra, I. B. (2007). Demografi Umum. Yogyakarta: BPFE.
Mardanugraha, E., Resosudarmo, B. P., Pharmasetiawan, B., Halimatussadiyah, A., & Nugraha, A. (2002). Analisis dan Penyusunan Indeks Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah. Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 1(3), 326.
Ma'ruf, A., & Wihastuti, L. (2008, April). Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Determinan dan Prospeknya. Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan, 9(1), 44-55.
89
Mukhtar, W. (2016). Analisis Hubungan Pertumbuhan Ekonomi, Kepadatan Penduduk dan Keterbukaan Perdagangan Terhadap Kualitas Lingkungan, Penerapan Environmental Kuznets Curve Model (Periode 1980-2010). Skripsi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran.
Ngunjiri, N. (2017). Is GDP a satisfactory measure of economic growth?
OECD. (2018). OECD Economic Survey of Indonesia. OECD.
OECD Observer. (2005). Is GDP a satisfactory measure of growth? Retrieved Agustus 30, 2020, from OECD Observer: https://oecdobserver.org/news/archivestory.php/aid/1518/Is_GDP_a_satisfactory_measure_of_growth_.html
Ohlan, R. (2015, Juli). The Impact of Population Density, Energy Consumption, Economic Growth and Trade Openness on CO2 Emissions in India. Natural Hazards, 79, 1409-1428.
Owusu, R. K. (2012). Population Density and Economic Growth. Thesis Economic and Business Administration Roskilde University.
Pasaribu, R. B. (2013). Perekonomian Hijau Indonesia. Dipetik November 19, 2020, dari Perekonomian Indonesia.
Pettinger, T. (2020, Mei 19). Sustainable growth. Dipetik Oktober 18, 2020, dari Economics Help.
Pimm, S. L. (2009, Juli 28). Climate Disruption and Biodiversity. Current Biology, 19(14), 595-601. doi:10.1016/j.cub.2009.05.055
Pranoto, A. W., & Halim, A. (2016). Pengaruh Desentralisasi Fiskal, PDRB, Kepadatan Penduduk, dan Penanaman Modal Asing terhadap Kualitas Lingkungan Hidup (Studi pada Provinsi di Indonesia Periode 2009-2013). Tesis Ekonomika Pembangunan Universitas Gadjah Mada.
Prasurya, R. A. (2016). Analisis Pengaruh PDRB terhadap Kualitas Lingkungan Hidup di Pulau Sumatera Tahun 2010-2014. Skripsi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung.
R.A, A. Y., & Arsyad, L. (2015). Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Perubahan Kualitas Lingkungan di Indonesia. Tesis Ekonomika Pembangunan Universitas Gadjah Mada.
Rahma, G. R. (2019). Pembangunan Rendah Karbon: Menuju Indonesia yang Lebih Baik. Universitas Padjadjaran.
90
Rahman, M. M. (2017). Do population density, economic growth, energy use and exports adversely affect environmental quality in Asian populous countries? Renewable and Sustainable Energy Reviews, 506-514.
Rahman, M. M. (2020). Environmental degradation: The role of electricity consumption, economic growth and globalisation. Journal of Environmental Management, 253(109742). Dipetik November 3, 2020
Rahmani, O., Rezania, S., Pour, A. B., Aminpour, S. M., Soltani, M., Ghaderpour, Y., & Oryani, B. (2020). An Overview of Household Energy Consumption and Carbon Dioxide Emissions in Iran. Processes, 8(994).
Rodrik, D. (2014). Green industrial policy. Oxford Review of Economic Policy, 30(3), 469-491.
Schubert, K. (2018). Macroeconomics and the Environment. Revue de l'OFCE, 117-132.
Scott, M., & Lennon, M. (2020, Januari 14). Climate Disruption and Planning: Resistance or Retreat? Planning Theory & Practice, 21(1), 125-154. doi:10.1080/14649357.2020.1704130
Shah, A. (2005, Agustus 10). Effects of Consumerism. Dipetik Agustus 25, 2020, dari Global Issues.
Shi, A. (2001). Population Growth and Global Carbon Dioxide Emissions. IUSSP Conference. Brazil. Dipetik November 16, 2020
Sukirno, S. (2006). Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan. Kencana.
Suparmoko, D. M. (2014). Modul Ekonomi Lingkungan. Dalam Peranan Sumber Daya Alam dan Lingkungan dalam Pembangunan (hal. 1-43). Universitas Terbuka.
Suryanto. (2009, April). Mampukah PDB Hijau Mengakomodasi Degradasi Lingkungan dan Kesejahteraan Masyarakat? Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan, 99-109.
Susanti, E. D. (2018). Environmental Kuznets Curve: Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Degradasi Kualitas Udara daalam Pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) di Indonesia. Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta.
91
Talberth, J. (2010, April 14). Measuring What Matters: GDP, Ecosystems and the Environment. Dipetik September 2, 2020, dari World Resources Institute.
United Nations. (2015). World Population Prospects: The 2015 Revision, Key Findings and Advanced Tables. New York: United Nations. Diambil kembali dari ePathshala.
Wade, K., & Jennings, M. (2016). The impact of climate change on the global economy. Schroders.
Wafiq, A. N. (2018). Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Kepadatan Penduduk terhadap Kualitas Lingkungan Hidup di Indonesia Tahun 2010-2016. Skripsi Universitas Negeri Surakarta.
Wendling, Z., Emerson, J., de Sherbinin, A., & Esty, D. (2020). Environmental Performance Index. New Haven: Yale Center for Environmental Law & Policy.
Woodward, A. (2019). Climate change: Disruption, risk and opportunity. Global Transitions, 1, 44-49. doi:10.1016/j.glt.2019.02.001
Yuan, H., Zhou, P., & Zhou, D. (2011). What is Low-Carbon Development? A Conceptual Analysis. Energy Procedia, 5, 1706-1712.
Yuliana. (2019). Pengaruh Produk Domestik Regional Bruto Terhadap Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Kalimantan Barat. Curvanomic, 8(1).
Yusuf, A. A. (2010, Agustus). Estimates of the "Green" or "Eco" Regional Domestic Product of Indonesian Provinces for the year 2005. Economics and Finance in Indonesia, 58, 131-148.
Zachara, M. (2020). To Grow or Not to Grow: Evolution of the Economic Paradigm as a Response to Climate Disruption. Dalam E. V. Shabliy, D. Kurochkin, & M. J. Crawford, Discourses on Sustainability: Climate Change, Clean Energy, and Justice (hal. 157-184). Cham: Palgrave Macmillan. doi:10.1007/978-3-030-53121-8
92
LAMPIRAN
Lampiran I: Estimasi Model Regresi
A. Model Common Effect
Dependent Variable: LOGIKLH Method: Panel Least Squares Date: 12/22/20 Time: 19:34 Sample: 2009 2018 Periods included: 10 Cross-sections included: 6 Total panel (balanced) observations: 60
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 1.927961 0.090460 21.31291 0.0000
LOGPDRB 0.046583 0.018840 2.472522 0.0165 LOGPOP -0.126916 0.013495 -9.404693 0.0000 LOGPMA -0.023813 0.010624 -2.241410 0.0290
R-squared 0.657364 Mean dependent var 1.714086
Adjusted R-squared 0.639008 S.D. dependent var 0.070239 S.E. of regression 0.042201 Akaike info criterion -3.428390 Sum squared resid 0.099733 Schwarz criterion -3.288767 Log likelihood 106.8517 Hannan-Quinn criter. -3.373776 F-statistic 35.81289 Durbin-Watson stat 1.924524 Prob(F-statistic) 0.000000
B. Model Fixed Effect
Dependent Variable: LOGIKLH Method: Panel Least Squares Date: 12/22/20 Time: 19:45 Sample: 2009 2018 Periods included: 10 Cross-sections included: 6 Total panel (balanced) observations: 60
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 0.478384 0.992481 0.482008 0.6319
LOGPDRB -0.009622 0.041947 -0.229387 0.8195 LOGPOP 0.395365 0.351340 1.125306 0.2657
93
LOGPMA 0.005704 0.018036 0.316228 0.7531 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.702376 Mean dependent var 1.714086
Adjusted R-squared 0.655690 S.D. dependent var 0.070239 S.E. of regression 0.041215 Akaike info criterion -3.402563 Sum squared resid 0.086631 Schwarz criterion -3.088411 Log likelihood 111.0769 Hannan-Quinn criter. -3.279681 F-statistic 15.04467 Durbin-Watson stat 2.074998 Prob(F-statistic) 0.000000
C. Model Random Effect
Dependent Variable: LOGIKLH Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 12/22/20 Time: 19:45 Sample: 2009 2018 Periods included: 10 Cross-sections included: 6 Total panel (balanced) observations: 60 Swamy and Arora estimator of component variances
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 1.927961 0.088345 21.82312 0.0000
LOGPDRB 0.046583 0.018400 2.531711 0.0142 LOGPOP -0.126916 0.013179 -9.629830 0.0000 LOGPMA -0.023813 0.010376 -2.295067 0.0255
Effects Specification S.D. Rho Cross-section random 0.000000 0.0000
Idiosyncratic random 0.041215 1.0000 Weighted Statistics R-squared 0.657364 Mean dependent var 1.714086
Adjusted R-squared 0.639008 S.D. dependent var 0.070239 S.E. of regression 0.042201 Sum squared resid 0.099733 F-statistic 35.81289 Durbin-Watson stat 1.924524 Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
94
R-squared 0.657364 Mean dependent var 1.714086 Sum squared resid 0.099733 Durbin-Watson stat 1.924524
D. Uji Chow
Redundant Fixed Effects Tests Equation: FELOG Test cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob. Cross-section F 1.542646 (5,51) 0.1933
Cross-section Chi-square 8.450369 5 0.1331
Cross-section fixed effects test equation: Dependent Variable: LOGIKLH Method: Panel Least Squares Date: 12/22/20 Time: 19:45 Sample: 2009 2018 Periods included: 10 Cross-sections included: 6 Total panel (balanced) observations: 60
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 1.927961 0.090460 21.31291 0.0000
LOGPDRB 0.046583 0.018840 2.472522 0.0165 LOGPOP -0.126916 0.013495 -9.404693 0.0000 LOGPMA -0.023813 0.010624 -2.241410 0.0290
R-squared 0.657364 Mean dependent var 1.714086
Adjusted R-squared 0.639008 S.D. dependent var 0.070239 S.E. of regression 0.042201 Akaike info criterion -3.428390 Sum squared resid 0.099733 Schwarz criterion -3.288767 Log likelihood 106.8517 Hannan-Quinn criter. -3.373776 F-statistic 35.81289 Durbin-Watson stat 1.924524 Prob(F-statistic) 0.000000
Redundant Fixed Effects Tests Equation: FE Test cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob. Cross-section F 1.806237 (5,51) 0.1283
Cross-section Chi-square 9.782311 5 0.0816
95
E. Uji Hausman
Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: RELOG Test cross-section random effects
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 6.223858 3 0.1012 ** WARNING: estimated cross-section random effects variance is
zero.
Cross-section random effects test comparisons:
Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob. LOGPDRB -0.009622 0.046583 0.001421 0.1360
LOGPOP 0.395365 -0.126916 0.123266 0.1369 LOGPMA 0.005704 -0.023813 0.000218 0.0454
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: LOGIKLH Method: Panel Least Squares Date: 12/22/20 Time: 19:46 Sample: 2009 2018 Periods included: 10 Cross-sections included: 6 Total panel (balanced) observations: 60
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 0.478384 0.992481 0.482008 0.6319
LOGPDRB -0.009622 0.041947 -0.229387 0.8195 LOGPOP 0.395365 0.351340 1.125306 0.2657 LOGPMA 0.005704 0.018036 0.316228 0.7531
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.702376 Mean dependent var 1.714086
Adjusted R-squared 0.655690 S.D. dependent var 0.070239 S.E. of regression 0.041215 Akaike info criterion -3.402563 Sum squared resid 0.086631 Schwarz criterion -3.088411 Log likelihood 111.0769 Hannan-Quinn criter. -3.279681
96
F-statistic 15.04467 Durbin-Watson stat 2.074998 Prob(F-statistic) 0.000000
F. Uji Lagrange-Multiplier
Lagrange Multiplier Tests for Random Effects Null hypotheses: No effects Alternative hypotheses: Two-sided (Breusch-Pagan) and one-sided (all others) alternatives
Test Hypothesis Cross-section Time Both Breusch-Pagan 0.977576 14.31280 15.29038 (0.3228) (0.0002) (0.0001)
Honda -0.988724 3.783227 1.976012 -- (0.0001) (0.0241)
King-Wu -0.988724 3.783227 1.468167 -- (0.0001) (0.0710)
Standardized Honda 0.017348 4.043547 -0.281576 (0.4931) (0.0000) --
Standardized King-Wu 0.017348 4.043547 -0.739466
(0.4931) (0.0000) -- Gourierioux, et al.* -- -- 14.31280
(< 0.01) *Mixed chi-square asymptotic critical values:
1% 7.289 5% 4.321
10% 2.952
Lampiran II: Uji Asumsi Klasik
A. Uji Multikolinieritas
LOGPDRB LOGPOP LOGPMA LOGPDRB 1.000000 0.307928 0.794590
LOGPOP 0.307928 1.000000 0.341939 LOGPMA 0.794590 0.341939 1.000000
97
B. Uji Heteroskedastisitas
Dependent Variable: RESABS Method: Panel Least Squares Date: 12/22/20 Time: 19:51 Sample: 2009 2018 Periods included: 10 Cross-sections included: 6 Total panel (balanced) observations: 60
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LOGPDRB 0.004216 0.011393 0.370048 0.7127
LOGPOP 0.004750 0.008160 0.582053 0.5629 LOGPMA -0.004193 0.006424 -0.652698 0.5166
C 0.005492 0.054700 0.100404 0.9204 R-squared 0.011642 Mean dependent var 0.032361
Adjusted R-squared -0.041306 S.D. dependent var 0.025008 S.E. of regression 0.025519 Akaike info criterion -4.434460 Sum squared resid 0.036468 Schwarz criterion -4.294837 Log likelihood 137.0338 Hannan-Quinn criter. -4.379846 F-statistic 0.219880 Durbin-Watson stat 1.920879 Prob(F-statistic) 0.882199
Lampiran III: Data Penelitian
No. Provinsi Tahun IKLH PDRB POP PMA 1. Banten 2009 50.86 83453.7 1085 1412
2010 48.98 271465.3 1106 1544.2
2011 52.7 290545.8 1139 2171.7
2012 46.85 310385.6 1164 2716.3
2013 46.33 331099 1185 3720.2
2014 43.67 349351 1211 2034.6
2015 55.36 368377 1237 2542
2016 60 387835 1263 2912.1
2017 51.58 410137 1288 3047.5
2018 57 434015 1313 2827.3 2. DKI 2009 41.73 371469.5 12459 5510.8
98
No. Provinsi Tahun IKLH PDRB POP PMA Jakarta 2010 41.81 1075183.5 14506 6429.3
2011 37.68 1147558.2 14518 4824.1
2012 38.43 1222527.9 15085.82 4107.7
2013 35.66 1296695 15015 2591.1
2014 36.88 1373389 15173 4509.4
2015 43.79 1454564 15328 3619.4
2016 38.69 1539017 15478 3398.2
2017 35.78 1635359 15624 4595
2018 45.21 1736291 15764 4857.7 3. Jawa
Barat 2009 49.69 303405.3 1124 1934.4
2010 53.44 906685.8 1222 1692
2011 50.49 965622.1 1180.79 3839.4
2012 48.37 1028409.7 1198.37 4210.7
2013 47.8 1093544 1282 7124.9
2014 45.06 1149216 1301 6562
2015 63.49 1207232 1320 5738.7
2016 51.87 1275619 1339 5470.9
2017 50.26 1343662 1358 5142.9
2018 56.98 1419689 1376 5573.5 4. Jawa
Tengah 2009 55.4 176673.5 1002 83.1
2010 50.48 623224.6 989 59.1
2011 58.36 656268.1 1003 175
2012 60.05 691343.1 1022 241.5
2013 58 726655 1014 464.3
2014 60.63 764959 1022 463.4
2015 60.78 806765 1030 850.4
2016 58.75 849099 1037 1030.8
2017 58.15 893750 1044 2372.5
2018 68.27 941164 1052 2372.7 5. DIY 2009 53.52 20064.3 1118 8.1
99
No. Provinsi Tahun IKLH PDRB POP PMA
2010 71.91 64679.9 1107 4.9
2011 49.82 68049.9 1095 2.4
2012 53.03 71702.4 1103 84.9
2013 51.81 75627 1147 29.6
2014 49.53 79536 1161 64.9
2015 50.99 83474 1174 89.1
2016 51.37 87686 1188 19.6
2017 49.8 92300 1201 36.5
2018 62.98 98024 1214 81.3 6. Jawa
Timur 2009 59.01 320861.2 798 422.1
2010 49.49 990648.8 786 1769.2
2011 60.22 1054401.8 786 1312
2012 57.61 1124464.4 785 2298.8
2013 56.25 1192790 803 3396.3
2014 56.48 1262684 808 1802.5
2015 62.67 1331376 813 2593.4
2016 58.98 1405564 817 1941
2017 57.46 1482300 822 1566.7
2018 67.08 1563769 826 1333.4
100