ANALISIS PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA … · Medan City budget realization reports in...
Transcript of ANALISIS PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA … · Medan City budget realization reports in...
ANALISIS PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN
DANA ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA DAERAH
DI KOTA MEDAN PERIODE 1999-2012
MUHAMMAD HILMAN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Pengaruh
Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Daerah di
Kota Medan Periode 1999-2012 adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
Muhammad Hilman
NIM H14100102
ABSTRAK
MUHAMMAD HILMAN. Analisis Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan
Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Daerah di Kota Medan Periode 1999-2012.
Dibimbing oleh MUHAMMAD FINDI A.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis
pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU)
terhadap Belanja Daerah (BD) pada Kota Medan. Data yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan data sekunder yang berupa data runtut waktu (time
series) dari laporan realisasi APBD Kota Medan dari tahun 1999 sampai tahun
2012. Variabel penelitian terdiri atas satu variabel dependen yaitu BD dan dua
variabel independen yaitu DAU dan PAD. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
belanja daerah pada Kota Medan lebih dipengaruhi oleh DAU daripada PAD. Hal
ini menunjukan bahwa terjadi flypaper effect. Hasil analisis juga menunjukkan
bahwa 𝐷𝐴𝑈𝑡−1 dan 𝑃𝐴𝐷𝑡−1 secara serentak juga berpengaruh terhadap BDt.
Kata kunci : Flypaper effect, DAU, PAD, dan belanja daerah
ABSTRACT
MUHAMMAD HILMAN. Analisys on The Effect on Regional Revenue
and General Allocation Fund for Regional Expenditures in Medan City on The
Period of 1999 to 2012. Supervised by MUHAMMAD FINDI A.
This study aims to investigate and analyze the effect of regional revenue
(PAD) and the general allocation fund (DAU) for regional expenditures in Medan
City. The data that is used in this study is a secondary data in time series form of
Medan City budget realization reports in the 1999-2012 period. Variables
consisted of a dependent variable, that is BD and two independent variables, those
are DAU and PAD. The result of this study indicated that regional expenditure in
Medan City is more affected by DAU than PAD. This condition shows that there
is an “flypaper effect” in local government finance. The analysis also showed that
𝐷𝐴𝑈𝑡−1 and 𝑃𝐴𝐷𝑡−1 simultaneously affect the 𝐵𝐷𝑡 .
Keywords: Flypaper effect, general allocation fund, regional revenue, regional
expenditure
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
ANALISIS PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN
DANA ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA DAERAH
DI KOTA MEDAN PERIODE 1999-2012
MUHAMMAD HILMAN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Analisis Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi
Umum terhadap Belanja Daerah di Kota Medan Periode 1999-2012
Nama : Muhammad Hilman
NIM : H14100102
Disetujui oleh
Dr. Muhammad Findi A, M.E.
Pembimbing
Diketahui oleh
Dedi Budiman Hakim, Ph.D.
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini ialah
keuangan daerah, dengan judul Analisis Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan
Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Daerah di Kota Medan Periode 1999-2012.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Muhammad Findi A, ME
selaku pembimbing. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu,
serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2014
Muhammad Hilman
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR iii
DAFTAR LAMPIRAN iii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
Hipotesis Penelitian 4
TINJAUAN PUSTAKA 4
Flypaper Effect 4
Dana Alokasi Umum (DAU) 5
Pendapatan Asli Daerah (PAD) 5
Belanja Daerah 5
Pengaruh DAU terhadap Belanja Daerah 6
Pengaruh PAD terhadap Belanja Daerah 6
Kerangka Pemikiran 7
METODE 7
Jenis dan Sumber Data 7
Metode Analisis Data 7
Pengujian Kriteria Ekonomi dan Statistik 8
Uji Ekonometrika 9
Beberapa Kelemahan Metode Ordinary Least Square (OLS) 10
Model Regresi Berganda 11
HASIL DAN PEMBAHASAN 12
Pengaruh DAU dan PAD terhadap Belanja Daerah 12
Pengaruh PAD dan DAU terhadap Belanja Daerah Kota Medan pada Tahun
yang Sama 14
Pengaruh PAD dan DAU terhadap Belanja Daerah Kota Medan Tahun
Berikutnya 15
Indikasi Flypaper Effect 16
Analisis Deskriptif pada Ketergantungan Pemerintah Kota Medan atas Dana
Alokasi Umum 17
Proses Penyusunan Anggaran 18
SIMPULAN DAN SARAN 20
Simpulan 20
Saran 20
DAFTAR PUSTAKA 21
LAMPIRAN 22
RIWAYAT HIDUP 24
DAFTAR TABEL
1 Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota
Medan Tahun 1999 sampai 2012 13
DAFTAR GAMBAR
1 Perkembangan Total Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) Kota Medan Periode 1999-2012 2 2 Kerangka Pemikiran 7
3 Perkembangan Rasio Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah (BD) Kota Medan Periode
1999-2012. 12 4 Proses Penyusunan APBD 19
DAFTAR LAMPIRAN
1 Perkembangan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum
(DAU), dan Belanja Daerah (BD) Kota Medan tahun 1999 sampai 2012 22
2 Uji Asumsi Klasik Model Pengaruh PAD dan DAU terhadap Belanja
Daerah Kota Medan pada Tahun yang Sama 22
3 Uji Asumsi Klasik Model Pengaruh PAD dan DAU terhadap Belanja
Daerah Kota Medan pada Tahun Berikutnya 23
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penerapan otonomi daerah di Indonesia merupakan wujud dari
diberlakukannya desentralisasi. Indonesia melaksanakan otonomi daerah dengan
memberikan peran yang lebih besar kepada pemerintah dan para pelaku ekonomi
daerah dalam mengelola pembangunan di daerah. Proses pembangunan di
Indonesia sebelumnya telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan pembangunan
antara wilayah di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa, antara Indonesia Barat dan
Timur sehingga menimbulkan tuntutan untuk pelaksanaan otonomi daerah.
Kesenjangan tersebut terjadi karena ketidakmerataan alokasi investasi
antarwilayah yang kemudian memacu ketidakseimbangan pembangunan dalam
pertumbuhan antarwilayah. Oleh karena itu, pelaksanaan otonomi daerah
dianggap sebagai langkah yang tepat untuk mengelola pembangunan di daerah.
Undang-Undang Dasar 1945 telah mengatur kewenangan pemerintah daerah
dalam mengelola daerahnya sendiri sebagaimana yang tertuang dalam pasal 18
ayat (2) yang menyebutkan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten,
dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan.” Selanjutnya pada pasal 18 ayat (5) tertulis,
“Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan
pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan pemerintah
pusat.” Dan pada pasal 18 ayat (6) menyatakan, “Pemerintahan daerah berhak
menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan
otonomi dan tugas pembantuan.”
Undang-Undang Otonomi Daerah mengalami beberapa perubahan yang
bertujuan untuk penyempurnanaan. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah yang disahkan untuk menggantikan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan
bahwa untuk pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah, pemerintah pusat akan
mentransfer dana perimbangan yang terdiri atas Dana Alokasi Umum (DAU),
Dana Alokasi Khusus (DAK), dan bagian daerah dari Dana Bagi Hasil (DBH)
yang terdiri atas pajak dan sumberdaya alam.
Pemerintah daerah juga mempunyai sumber pendanaan sendiri berupa
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Kebijakan penggunaan semua dana tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah
dan diharapkan dana transfer dari pemerintah pusat digunakan secara efektif dan
efisien oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan pelayanannya kepada
masyarakat.
Pada sumber pendanaan yang berasal dari dana transfer, proporsi DAU
memiliki peran yang lebih dominan dibanding DAK dan DBH. Penggunaan DAU
diharapkan dialokasikan dengan sebaik-baiknya agar dapat memaksimalkan
daerah untuk membiayai setiap kebutuhan yang diperlukan sesuai dengan potensi
daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan, besarnya DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26 persen dari
pendapatan dalam negeri neto yang ditetapkan dalam APBN. DAU yang diberikan
2
pemerintah pusat kepada daerah disesuaikan dengan kondisi dan potensi daerah
tersebut.
Konsep utamanya adalah daerah yang mempunyai kemampuan fiskal rendah
akan mendapatkan DAU dalam jumlah yang relatif besar, sebaliknya daerah yang
mempunyai kemampuan fiskal tinggi akan mendapatkan DAU dalam jumlah yang
kecil. Tetapi jumlah tersebut juga disesuaikan dengan potensi daerah. Pemberian
DAU ini bertujuan mengurangi disparitas fiskal horizontal, sehingga daerah
mempunyai kemampuan fiskal yang relatif sama dalam mengimplementasikan
otonomi daerah. Pemerintah daerah diharapkan mampu mengalokasikan sumber
dana ini pada sektor-sektor produktif agar dapat mendorong peningkatan investasi
di daerah dan juga pada sektor yang berdampak pada peningkatan pelayanan
publik serta dapat meningkatkan kontribusi publik terhadap PAD.
Pendapatan Asli Daerah diharapkan dapat menjadi modal utama bagi
penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan. Pendapatan tersebut merupakan
sumber penerimaan yang sepenuhnya menjadi kewenangan daerah dalam
pengelolaannya. Tetapi pada saat ini kondisinya masih sangat kurang memadai.
Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa hampir semua daerah di
Indonesia memiliki derajat desentralisasi fiskal yang rendah (Kuncoro 1995:3-17).
Hal ini terjadi hampir di seluruh kabupaten dan kota, termasuk juga halnya pada
Kota Medan, dimana dari sumber penerimaan daerah yang tercantum dalam
statistik keuangan pemerintah daerah Sumatera Utara, ternyata pos penerimaan
dana perimbangan dari pemerintah pusat terutama pada DAU masih merupakan
sumber penerimaan yang terbesar dalam penyelenggaraan pemerintah dan
pembangunan.
Permasalahan yang sering terjadi saat ini adalah pemerintah daerah terlalu
bergantung pada alokasi DAU untuk membiayai belanja modal dan pembangunan
tanpa mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh daerah. Ketika DAU yang
diterima besar, pemerintah daerah cenderung berusaha agar dana alokasi yang
diterima di periode selanjutnya tidak berkurang atau bahkan diusahakan agar terus
meningkat. Perkembangan total DAU dan PAD di Kota Medan dari tahun 1999
sampai dengan tahun 2012 yang merupakan transfer dana dari pemerintah pusat
dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini.
Sumber : BPS Kota Medan, 2014 (diolah).
Gambar 1 Perkembangan Total Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) Kota Medan Periode 1999-2012
0
200
400
600
800
1.000
1.200
1.400
Tahun
Jum
lah
Dan
a (m
iliar
ru
pia
h)
PAD
DAU
3
Pada Gambar 1 terlihat bahwa setiap tahun kontribusi DAU lebih besar
dibandingkan dengan PAD. Walaupun Kota Medan termasuk daerah maju, DAU
yang diterima cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Jumlah DAU
yang diperoleh pemerintah daerah diusahakan agar habis terpakai tanpa sisa. Hal
ini dilakukan supaya dana transfer di periode selanjutnya tetap atau bahkan
bertambah besar karena seakan-akan daerah terlihat masih membutuhkan dana
transfer yang besar untuk pembangunan.
Daerah yang seharusnya semakin mandiri dalam membiayai pembangunan
daerahnya sendiri melalui PAD malah semakin bergantung pada dana transfer
yang berbentuk DAU dari pemerintah pusat. Secara konseptual, daerah yang maju
sudah seharusnya memiliki tingkat kemandirian fiskal yang tinggi pula. Pada
penelitian ini daerah Kota Medan merupakan daerah yang paling maju di Provinsi
Sumatera Utara. Hal itulah yang melatarbelakangi keinginan peneliti untuk
mengetahui bagaimana pengaruh DAU dan PAD terhadap belanja daerah di Kota
Medan dan apakah terjadi flypaper effect terhadap belanja daerah atau tidak.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah (BD) di Kota Medan?
2. Apakah terjadi flypaper effect pada belanja daerah Pemerintah Kota
Medan?
3. Bagaimanakah kecenderungan DAU dan PAD dalam peningkatan jumlah
belanja daerah Kota Medan di tahun berikutnya?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan bukti empiris pada:
1. Pengaruh secara simultan dan parsial dari DAU dan PAD terhadap belanja
Pemerintah Kota Medan.
2. Kemungkinan terjadinya flypaper effect pada belanja daerah Kota Medan.
3. Kecenderungan DAU dan PAD dalam peningkatan jumlah belanja daerah
Kota Medan di tahun berikutnya.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi Akademisi, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
tambahan referensi bagi pihak-pihak yang ingin mengambil penelitian dan
studi pustaka tentang keuangan daerah.
2. Bagi pemerintah, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
evaluasi tentang kebijakan keuangan daerah bagi pemerintah daerah
khususnya untuk kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Utara.
4
Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. H1 adalah DAU dan PAD secara simultan dan parsial berpengaruh
signifikan terhadap belanja daerah Pemerintah Kota Medan
2. H2 adalah terjadi flypaper effect pada belanja daerah Kota Medan.
3. H3 adalah flypaper effect cenderung menyebabkan peningkatan jumlah
belanja daerah Kota Medan di tahun berikutnya.
TINJAUAN PUSTAKA
Flypaper Effect
Flypaper effect atau efek kertas layang adalah suatu kondisi yang terjadi
saat pemerintah daerah merespon (belanja) lebih banyak dengan menggunakan
dana transfer (grants) yang diproksikan dengan DAU dari pada menggunakan
kemampuan sendiri, diproksikan dengan PAD (Maimunah 2006:9). Karena itu
flypaper effect dianggap sebagai suatu anomali dalam perilaku rasional jika
transfer harus dianggap sebagai tambahan pendapatan masyarakat (seperti halnya
pajak daerah), sehingga harus dibelanjakan dengan cara yang sama pula dengan
PAD.
Fenomena flypaper effect membawa implikasi lebih luas bahwa transfer
akan meningkatkan belanja pemerintah daerah lebih besar daripada penerimaan
transfer itu sendiri. Anomali yang timbul tersebut menghasilkan dua aliran
pemikiran dari para pengamat ekonomi mengenai telaah flypaper effect, yakni
model birokratik (bureaucratic model) dan model ilusi fiskal (fiscal illusion
model).
Flypaper effect dalam model birokratik dilihat dari sudut pandang birokrat.
Pemikiran birokratik berpandangan posisi birokrat lebih kuat dalam pengambilan
keputusan publik dimana berusaha untuk memaksimalkan anggaran sebagai
proksi kekuasaannya. Aliran pemikiran birokratik ini diperkenalkan oleh
Niskanen (1968) yang mengasumsikan birokrat berperilaku memaksimisasi
anggaran sebagai proksi kekuasaannya. Secara implisit, model birokratik ini
menegaskan bahwa adanya atau terjadinya flypaper effect sebagai akibat dari
perilaku birokrat yang lebih leluasa membelanjakan transfer daripada menaikkan
pajak.
Model ilusi fiskal (fiscal illusion model) pertama kali dikemukakan oleh
ekonom Italia bernama Amilcare Puviani yang menggambarkan ilusi fiskal terjadi
saat pembuat keputusan yang memiliki kewenangan dalam suatu institusi
menciptakan ilusi dalam penyusunan keuangan (rekayasa) sehingga mampu
mengarahkan pihak lain pada penilaian maupun tindakan tertentu. Penjelasan
dalam konteks penelitian ini adalah pemerintah daerah melakukan rekayasa
terhadap anggaran agar mampu mendorong masyarakat untuk memberikan
5
kontribusi lebih besar dalam hal membayar pajak atau retribusi, dan juga
mendorong pemerintah pusat untuk mengalokasikan dana dalam jumlah yang
lebih besar. Apabila terdapat respon yang asimetris terkait dengan penerimaan
maupun pengeluaran maka dapat diindikasikan terjadi ilusi fiskal.
Dana Alokasi Umum (DAU)
Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, DAU adalah dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan untuk
pemerataan kemampuan keuangan antardaerah, untuk mendanai kebutuhan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU merupakan dana hibah murni
(grants) yang kewenangan penggunaanya diserahkan penuh kepada pemerintah
daerah penerima. DAU digunakan sebagai sarana untuk mengurangi ketimpangan
kemampuan keuangan antardaerah melalui penerapan formula yang
mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerahnya.
Pemberian DAU lebih diprioritaskan pada daerah yang mempunyai
kapasitas fiskal rendah dimana daerah tersebut belum mampu memaksimalkan
PAD-nya dikarenakan suatu hal. Untuk daerah yang mempunyai kapasitas fiskal
tinggi justru akan mendapat jumlah DAU yang lebih kecil, sehingga diharapkan
dapat mengurangi ketidakseimbangan fiskal antardaerah dalam menjalani era
otonomi sekarang.
Jumlah kebutuhan DAU sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004 pasal 27 ditetapkan sekurang-kurangnya 26 persen dari pendapatan dalam
negeri neto yang ditetapkan dalam APBD. DAU diprioritaskan penggunaannya
untuk mendanai gaji dan tunjangan pegawai, kesejahteraan pegawai, kegiatan
operasi dan pemeliharaan serta pembangunan fisik sarana dan prasarana dalam
rangka peningkatan pelayanan dasar dan pelayanan umum yang dibutuhkan
masyarakat.
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 pasal 1 ayat 18, PAD
adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan
daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kelompok PAD dipisahkan
menjadi empat jenis pendapatan, yaitu pajak daerah, retribusi daerah, hasil
perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang
dipisahkan, serta Lain-Lain PAD yang sah.
Belanja Daerah
Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 pasal 1 ayat 14, Belanja
Daerah (BD) adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai
kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Pengeluaran
belanja berbeda dengan pengeluaran pembiayaan. Perbedaan tersebut terletak
6
pada ada atau tidaknya pengembalian dana yang telah dikeluarkan. Pemerintah
daerah tidak akan mendapatkan pembayaran kembali atas pengeluaran belanja
yang terjadi, baik pada tahun anggaran berjalan maupun pada tahun anggaran
berikutnya. Sedangkan pengeluaran pembiayaan merupakan pengeluaran yang
akan diterima kembali pembayarannya pada tahun anggaran berjalan atau pada
tahun anggaran berikutnya.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar
Akuntansi Pemerintahan (SAP), struktur belanja daerah yang digunakan dalam
APBD diklasifikasikan menurut klasifikasi ekonomi, yaitu Belanja Operasi (BO),
Belanja Modal (BM), dan Belanja Tidak Terduga. Belanja operasi adalah
pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari pemerintah daerah yang
memberikan manfaat jangka pendek. Belanja operasi terdiri atas belanja pegawai,
belanja barang, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, dan belanja bantuan
sosial. Belanja modal merupakan pengeluaran yang dianggarkan untuk pembelian
atau pengadaan aset tetap dan aset lainnya untuk digunakan dalam kegiatan
pemerintahan.
Belanja modal terdiri atas belanja tanah; belanja peralatan dan mesin;
belanja gedung dan bangunan; belanja jalan, irigasi dan jaringan; belanja aset
tetap dan lainnya; dan belanja aset lainnya. Belanja tidak terduga adalah
pengeluaran anggaran untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa dan tidak
diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana, bencana sosial dan
pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka
penyelenggaraan kewenangan pemerintah pusat/daerah. Belanja tidak terduga
antara lain meliputi belanja penanganan bencana dan belanja pelaksanaan
kewenangan.
Pengaruh DAU terhadap Belanja Daerah
DAU adalah salah satu sumber pendapatan yang penting bagi sebuah daerah
dalam memenuhi pengeluarannya. Tingkat kemandirian suatu daerah dapat dilihat
dari besarnya DAU yang diterima oleh pemerintah daerah. Semakin banyak DAU
yang diterima maka daerah tersebut masih bergantung kepada pemerintah pusat
yang menunjukkan bahwa daerah tersebut belum mandiri dan belum siap menjadi
daerah otonom seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Begitu juga sebaliknya, semakin sedikit DAU
yang diterima maka daerah tersebut semakin mandiri dan siap menghadapi
otonomi.
Pengaruh PAD terhadap Belanja Daerah
PAD merupakan sumber pendapatan penting bagi sebuah daerah dalam
memenuhi kebutuhan belanjanya. Besarnya PAD yang diterima oleh pemerintah
daerah dapat menunjukkan tingkat kemandirian suatu daerah. Semakin besar PAD
yang didapat maka semakin memungkinkan daerah tersebut untuk dapat
memenuhi kebutuhan belanjanya sendiri tanpa harus bergantung pada pemerintah
7
pusat. Jika hal ini terjadi, pemerintah daerah tersebut telah mampu untuk mandiri
dan menjadi daerah otonom.
Kerangka Pemikiran
Dalam penelitian yang dilakukan, Kota Medan merupakan suatu daerah
maju yang dianggap mewakili daerah-daerah lainnya di Provinsi Sumatera Utara.
Secara konseptual, daerah yang maju sudah seharusnya memiliki tingkat
kemandirian fiskal yang tinggi pula. Tetapi kondisi keuangan daerah Kota Medan
masih didominasi oleh DAU. Dengan itu peneliti ingin melakukan analisis
pengaruh DAU dan PAD terhadap belanja daerah dengan kerangka pemikiran
sebagai berikut.
Gambar 2 Kerangka Pemikiran
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Objek penelitian ini adalah laporan realisasi Anggaran Penerimaan dan
Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Kota Medan. Jenis data yang akan diteliti
adalah data sekunder, berupa catatan atau laporan historis yang telah tersusun
dalam arsip yang dipublikasikan dengan periode pengamatan tahun anggaran 1999
sampai 2012. Data diperoleh dari publikasi Badan Pusat Statistik yang berjudul
“Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Sumatera Utara”.
Metode Analisis Data
Untuk menguji hipotesis yang diajukan, data dianalisis dengan
menggunakan analisis regresi berganda (multiple regression) dengan
menggunakan Software Eviews. Dalam menguji keberartian koefisien regresi
secara simultan dilakukan uji-F dan untuk menguji pengaruh secara parsial
dilakukan uji-t. Model regresi untuk uji hipotesis I adalah:
𝐿𝑛𝐵𝐷𝑡 = 𝑎 + 𝑏1 𝐿𝑛𝐷𝐴𝑈𝑡 + 𝑏2 𝐿𝑛𝑃𝐴𝐷𝑡 + 𝑒 (1)
Dana Alokasi Umum
Pendapatan Asli Daerah
Belanja Daerah
8
Kriteria penerimaan hipotesis II adalah “Untuk dapat dikatakan telah terjadi
flypaper effect maka hasil yang diperoleh haruslah menunjukkan nilai koefisien
DAU lebih besar dari nilai koefisien PAD dan keduanya signifikan atau PAD
tidak signifikan.”
Untuk menguji apakah flypaper effect cenderung menyebabkan peningkatan
jumlah Belanja Daerah dapat menggunakan regresi berganda, persamaan yang
dapat digunakan dalam pengujian hipotesis III adalah sebagai berikut:
𝐿𝑛𝐵𝐷𝑡 = 𝑎 + 𝑏1 𝐿𝑛𝐷𝐴𝑈𝑡−1 + 𝑏2 𝐿𝑛𝑃𝐴𝐷𝑡−1 + 𝑒 (2)
Penelitian ini menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Untuk
memudahkan dalam pengolahan data yang digunakan, maka data tersebut
dimasukan ke dalam Microsoft Excel 2007 dan diolah dengan menggunakan
Eviews 6.
Pengujian Kriteria Ekonomi dan Statistik
Setelah menentukan parameter estimasi maka langkah selanjutnya yang
dilakukan adalah melakukan pengujian terhadap parameter estimasi tersebut agar
suatu model dapat dikatakan baik. Pengujian-pengujian tersebut yaitu uji statistik
terhadap model penduga melalui uji F dan pengujian untuk parameter-parameter
regresi melalui uji t serta melihat berapa persen variabel bebas dapat dijelaskan
oleh variabel-variabel terikatnya melalui koefisien determinasi (R-squared). Uji
ekonometrika yang akan dilakukan antara lain uji heteroskedastisitas, uji
autokorelasi, uji multikolinearitas, dan uji normalitas.
Uji t
Uji t atau uji parsial dilakukan untuk melihat apakah masing-masing
variabel bebas (independent variable) secara parsial berpengaruh pada variabel
terikatnya. Probability t-statistik menunjukkan besarnya pengaruh nyata untuk
masing-masing variabel. Apabila probability untuk masing-masing variabel bebas
bernilai lebih kecil dari taraf nyata (prob < α), maka dapat disimpulkan variabel
bebas tersebut berpengaruh nyata. Begitu pula sebaliknya, jika probability lebih
besar dari taraf nyata (prob > α), variabel bebas tersebut tidak memengaruhi
belanja daerah Kota Medan.
Uji F
Probability F-statistic digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh
secara keseluruhan dari variabel bebas (independent variabel) terhadap belanja
daerah Kota Medan. Hipotesis untuk melakukan uji F-statistik adalah sebagai
berikut.
𝐻0 : Semua 𝛼𝑖 = 0, artinya tidak ada variabel bebas yang berpengaruh terhadap
belanja daerah Kota Medan
𝐻1 : 𝛼𝑖 ≠ 0, artinya minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh terhadap
belanja daerah Kota Medan.
9
Apabila probability F-statistic kurang dari taraf nyata (prob < α), maka
kesimpulannya adalah tolak H0, artinya minimal ada satu variabel bebas yang
memengaruhi belanja daerah Kota Medan secara nyata. Namun sebaliknya jika
probability F-statistic lebih besar dari taraf nyata (prob > α), dapat disimpulkan
terima 𝐻0 , artinya tidak ada variabel bebas yang berpengaruh terhadap belanja
daerah Kota Medan.
Uji Koefisien Determinasi (𝑹𝟐)
Uji koefisien determinasi digunakan untuk melihat sejauh mana variabel
bebas mampu menerangkan keragaman variabel terikatnya. Nilai 𝑅2 mengukur
tingkat keberhasilan model regresi yang digunakan dalam memprediksi nilai
variabel terikatnya. Nilai 𝑅2 memiliki dua sifat yaitu memiliki besaran positif dan
besarnya adalah 0 ≤ 𝑅2 ≤ 1. Jika 𝑅2 sebesar nol, maka hal ini menunjukkan bahwa
tidak ada hubungan antara variabel terikat dengan variabel bebas. Sedangkan jika
𝑅2 sebesar satu, maka terdapat kecocokan yang sempurna antara variabel terikat
dengan variabel bebas.
Uji Ekonometrika
Heteroskedastisitas
Suatu fungsi dikatakan baik apabila memenuhi asumsi homoskedastisitas
(tidak terjadi heteroskedastisitas) atau memiliki ragam error yang sama. Adanya
heteroskedastisitas akan menyebabkan parameter yang diduga menjadi tidak
efisien. Heteroskedastisitas tidak merusak ketakbiasan dan konsistensi dari
penaksir Ordinary Least Square (OLS), tetapi penduga OLS tidak lagi efisien baik
dalam sampel kecil maupun besar (yaitu asimtotik) (Gujarati 1997). Untuk
mendeteksi ada tidaknya pelanggaran ini dengan menggunakan White
Heteroscedasticity Test. Nilai probabilitas Obs*R-squared dijadikan sebagai
acuan untuk menolak atau menerima 𝐻0 : homoskedastisitas.
Probabilitas Obs*R-squared < taraf nyata α, maka tolak 𝐻0
Probabilitas Obs*R-squared > taraf nyata α, maka terima 𝐻0
Apabila H0 ditolak maka akan terjadi gejala heteroskedastisitas, begitu juga
sebaliknya apabila terima 𝐻0 maka tidak akan terjadi gejala heteroskedastisitas.
Autokorelasi
Kendall dan Buckland dalam Gujarati (1997) mengatakan istilah
autokorelasi bisa didefinisikan sebagai korelasi diantara anggota observasi yang
diurut menurut waktu (seperti data deret berkala) atau ruang (seperti data lintas
sektoral). Sebagaimana halnya dengan masalah heteroskedastisitas, penduga OLS
tidak lagi efisian atau ragamnya tidak lagi minimum jika ada autokorelasi. Untuk
mendeteksi ada tidaknya autokorelasi dapat digunakan Breusch-Godfrey Serial
Correlation LM Test.
Probabilitas Obs*R-squared < taraf nyata α, maka terdapat autokorelasi
Probabilitas Obs*R-squared > taraf nyata α, maka tidak terdapat
autokorelasi
10
Uji Normalitas
Uji ini dilakukan karena data yang digunakan kurang dari 30. Uji ini
digunakan untuk melihat apakah error term mendekati distribusi normal. Kriteria
uji yang digunakan:
1. Jika diperoleh nilai probabilitas Jarque Bera ≥ taraf nyata (α), maka model
tidak memiliki masalah normalitas masalah normalitas atau dapat
dikatakan error term terdistribusi secara normal.
2. Jika diperoleh nilai probabilitas Jarque Bera ≤ taraf nyata (α), maka model
memilki masalah normalitas atau dapat dikatakan error term tidak
terdistribusi secara normal.
Multikolinearitas
Multikolinearitas terjadi apabila pada regresi berganda tidak terjadi
hubungan antarvariabel bebas atau terjadi karena adanya korelasi yang nyata
antarpeubah bebas. Pelanggaran asumsi ini akan menyebabkan kesulitan untuk
menduga yang diinginkan. Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas
adalah dengan memperhatikan hasil probabilitas t-statistik hasil regresi (Gujarati
1997). Jika banyak koefisien parameter yang diduga menunjukkan hasil yang
tidak signifikan maka hal ini mengindikasikan adanya multikolinearitas. Salah
satu cara yang paling mudah untuk mengatasi pelanggaran ini adalah dengan
menghilangkan salah satu variabel yang tidak signifikan tersebut. Hal ini sering
tidak dilakukan karena dapat menyebabkan bias parameter yang spesifikasi pada
model. Kemudian cara lain adalah dengan mencari variabel instrumental yang
berkorelasi dengan variabel terikat namun tidak berkorelasi dengan variabel bebas
lainnya. Namun hal ini agak sulit dilakukan mengingat tidak adanya informasi
tentang tipe variabel tersebut.
Ada beberapa cara untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinear. Salah satu
caranya menurut Gujarati (2007) yaitu melalui correlation matric, dimana batas
terjadinya korelasi antarsesama variabel bebas adalah tidak lebih dari |0.80|.”
Selain itu ada cara lain menurut Gujarati (2007) untuk mendeteksi ada
tidaknya multikolinearitas yaitu dengan menggunakan Uji Klein. Menurut Uji
Klein, apabila terjadi nilai korelasi yang lebih tinggi dari | 0.80 |, multikolinearitas
dapat diabaikan selama nilai korelasi tersebut tidak melebihi Adjusted R-squared-
nya.
Beberapa Kelemahan Metode Ordinary Least Square (OLS)
Ketika menggunakan data runtut waktu (time series), seringkali muncul
kesulitan-kesulitan yang sama sekali tidak dijumpai pada saat menggunakan data
seksi cross section. Sebagian besar kesulitan tersebut berkaitan dengan urutan
pengamatan. Ada beberapa hal yang menjadi kelemahan dari metode Ordinary
Least Square (OLS) dengan menggunakan data time series (Sarwoko 2005) antara
lain :
1. Suatu kondisi dimana suatu variabel time series berubah secara koefisien
dan terprediksi sebelum variabel lain ditentukan demikian. Jika suatu
variabel mendahului variabel lain, tidak dapat dipastikan bahwa variabel
11
pertama tersebut menyebabkan variabel lain berubah, namun hampir dapat
dipastikan bahwa kebalikannya adalah bukan hal itu.
2. Variabel-variabel independen nampak lebih signifikan dari yang
sebenarnya, yaitu apabila variabel-variabel itu memiliki trend menaik yang
sama dengan variabel dependennya dalam kurun waktu periode sampel.
3. Terkadang variabel time series tidak stasioner. Maksudnya rata-rata dan
variannya tidak konstan sepanjang waktu dan nilai kovarian antara dua
periode waktu bergantung dari jarak atau lag antara kedua periode dari
waktu sesungguhnya dimana kovarian itu dihitung dan bukan dari periode
pada waktu itu.
4. Terkadang variabel time series tidak mempunyai kointegrasi yaitu dalam
jangka waktu tertentu tidak terdapat keseimbangan.
5. Sulit untuk menentukan kapan sebuah variabel bebas masuk ke dalam
persamaan regresi. Apakah variabel tersebut penting sebagaimana
dijelaskan dalam teori atau sebaliknya teorinya kurang jelas, maka akan
muncul dilema.
6. Sulit untuk menentukan model persamaan mana yang lebih baik.
7. Perlakuan terhadap error semua model persamaan adalah sama.
Model Regresi Berganda
Model regresi berganda adalah model dalam variabel tak bebas (dependence
variabel) bergantung pada dua atau lebih variabel yang menjelaskan atau variabel
bebas (explanatory variabels/independence variabel). Tujuan dari model ini
adalah untuk menghitung parameter-parameter estimasi dan untuk melihat apakah
ada atau tidakanya hubungan antara variabel-variabel tersebut (Gujarati 1997).
Variabel yang diestimasi adalah variabel terikat yaitu belanja daerah Kota Medan,
sedangkan variabel yang memengaruhinya adalah variabel bebas yaitu PAD dan
DAU. Hal ini digunakan untuk melihat bagaimana pengaruh faktor-faktor tersebut
terhadap belanja daerah Kota Medan, apakah positif atau berhubungan negatif.
Dalam menggunakan model regresi berganda pada hakekatnya asumsi yang
digunakan antara lain (Firdaus 2004):
1. E (ε𝑖) = 0 untuk setiap i.
2. Cov (ε𝑖 , ε𝑗 ) = 0, i ≠ j. Asumsi ini dikenal sebagai asumsi tidak adanya
korelasi berurutan atau tidak adanya autokorelasi.
3. Var ( ε𝑖 ) = σ2 , untuk setiap i, asumsi ini dikenal sebagai asumsi
homoskedastisitas, atau varians sama.
4. Cov (ε𝑖 I 𝑋2𝑖) = Cov (ε𝑖 I 𝑋3𝑖) = 0. Artinya kesalahan pengganggu ε𝑖 dan
variabel bebas X tidak berkorelasi.
5. Tidak ada multikolinearitas (multicolinearity) yang berarti tidak terdapat
hubungan linearitas yang pasti di antara variabel bebas.
12
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah
terhadap Belanja Daerah
Tujuan utama dari desentralisasi fiskal adalah terciptanya kemampuan
dalam hal keuangan daerah, dimana pemerintah daerah diharapkan mampu
menggali sumber-sumber keuangan lokal, khususnya melalui Pendapatan Asli
Daerah (PAD). Daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan PAD yang positif
mempunyai kemungkinan untuk memiliki tingkat pendapatan per kapita yang
lebih baik, sehingga dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap
petumbuhan ekonomi di suatu daerah. Dalam hal ini jika PAD meningkat, dana
yang akan dikelola untuk pembangunan juga mengalami peningkatan, artinya
semakin besar pendapatan yang didapat maka semakin meningkat pula tingkat
pengeluaran, sehingga ada kecenderungan untuk menghabiskan dana anggaran
daerah. Dalam hal ini pemerintah daerah akan berinisiatif untuk lebih menggali
potensi–potensi daerah dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Salah satu fungsi Dana Alokasi Umum (DAU) adalah untuk menutup celah
yang terjadi karena kebutuhan daerah melebihi dari potensi penerimaan daerah
yang ada, sehingga distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki
kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang
mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang
relatif besar. Demikian pula dengan PAD yang mempunyai inti tujuan untuk
menekan ketergantungan daerah akan transfer DAU, sehingga secara perlahan-
lahan pengalokasian DAU dapat dikurangi seiring kemampuan fiskal daerah dan
pada akhirnya tidak terjadinya flypaper effect.
Sumber : BPS Kota Medan, 2014 (diolah).
Gambar 3 Perkembangan Rasio Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah (BD) Kota Medan
Periode 1999-2012.
Rasio DAU dan PAD terhadap belanja daerah di sini adalah untuk melihat
perbandingan persentase antara DAU dan PAD terhadap belanja daerah periode
0,00%
10,00%
20,00%
30,00%
40,00%
50,00%
60,00%
70,00%
80,00%
Per
sen
tase
Tahun
Rasio PAD terhadap BD
Rasio DAU terhadap BD
13
1999-2012. Berdasarkan gambar di atas maka dapat dilihat bahwa pengaruh DAU
terhadap belanja daerah di Kota Medan sangat jelas terlihat, dimana rasio DAU
terhadap belanja daerah dalam kurun waktu 13 tahun terus mendominasi.
Kecenderungan pengaruh DAU dalam jangka panjang dapat menganggu
kemampuan daerah dalam membiayai pengeluarannya khususnya pengelolaan
sumber daya sendiri. Kondisi ini menyebabkan tujuan utama dari DAU untuk
menghilangkan kesenjangan fiskal (fiscal gap) akan tetap ada.
Rendahnya kontribusi PAD terhadap belanja daerah mengindikasikan
daerah tersebut belum memaksimalkan pemanfaatan sumber-sumber penghasil
pertumbuhan PAD seperti peningkatan penerimaan pajak daerah, retribusi daerah,
bagian laba BUMD, dan pendapatan investasinya. Ini dapat terjadi karena adanya
kecenderungan pengharapan transfer dana dari pemerintah pusat, sehingga akan
melemahkan kemampuan daerah dalam membiayai kebutuhannya sendiri.
Pada Gambar 3 juga terlihat bahwa di tahun 2010 rasio PAD terhadap
belanja daerah meningkat dengan pesat sampai pada tahun 2012 hampir
menyamai rasio DAU terhadap belanja daerah. Peningkatan yang pesat itu
disebabkan oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang sudah berlaku
efektif sejak 1 Januari 2010. Undang-Undang ini merupakan salah satu wujud
upaya penguatan taxing power daerah, yaitu dengan perluasan basis pajak daerah
dan retribusi daerah yang sudah ada, penambahan jenis pajak daerah dan retribusi
daerah, peningkatan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah, dan pemberian
diskresi penetapan tarif pajak.
Tabel 1 Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota
Medan Tahun 1999 sampai 2012.
Tahun PAD (ribu rupiah) DAU (ribu rupiah)
1999 59.420.212 91.775.589
2000 55.755.686 82.745.669
2001 88.262.844 283.116.623
2002 146.930.659 351.378.074
2003 233.786.688 433.041.453
2004 257.989.893 404.989.980
2005 282.228.792 426.570.000
2006 312.862.351 574.568.000
2007 324.263.785 748.707.000
2008 344.509.313 808.664.570
2009 368.564.026 882.215.657
2010 588.941.453 846.541.452
2011 995.072.572 1.066.353.555
2012 1.147.901.461 1.153.789.320
Sumber : BPS Kota Medan, 2014.
Pada Tabel 4.1 terlihat bahwa DAU Kota Medan cenderung mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan PAD yang cukup pesat
menggambarkan semakin mandirinya suatu daerah dimana daerah tersebut
semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri dan kebutuhan akan DAU
14
semakin berkurang. Tapi yang menjadi pertanyaan disini adalah kenapa
peningkatan PAD yang pesat itu juga diikuti dengan peningkatan DAU karena
seharusnya kebutuhan akan dana transfer dari pusat berkurang.
Pengaruh PAD dan DAU terhadap Belanja Daerah
Kota Medan pada Tahun yang Sama
Dari hasil pengolahan data Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum,
dan belanja daerah Kota Medan periode 1999 sampai dengan 2012, diperoleh
hasil sebagai berikut:
Dependent Variable: LNBD
Method: Least Squares
Date: 03/04/14 Time: 08:12
Sample: 1999 2012
Included observations: 14
White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. Keterangan
LNDAU 0.875444 0.125764 6.960995 0.0000 SIGNIFICANT
LNPAD 0.283155 0.097183 2.913643 0.0141 SIGNIFICANT
C -2.300765 0.983872 -2.338480 0.0393
R-squared 0.977930 Mean dependent var 20.64446
Adjusted R-squared 0.973918 S.D. dependent var 0.980576
S.E. of regression 0.158363 Akaike info criterion -0.660440
Sum squared resid 0.275868 Schwarz criterion -0.523500
Log likelihood 7.623083 Hannan-Quinn criter. -0.673117
F-statistic 243.7105 Durbin-Watson stat 1.011135
Prob(F-statistic) 0.000000
Persamaan regresi yang diperoleh sebagai berikut:
𝐿𝑛𝐵𝐷 = −2.300765 + 0.875444 𝐿𝑛𝐷𝐴𝑈 + 0.283155 𝐿𝑛𝑃𝐴𝐷
Dari persamaan tersebut dapat dinyatakan bahwa:
DAU memiliki koefisien 0.875444 artinya setiap peningkatan 1% DAU
maka akan meningkatkan BD sebesar 0.875444% dengan asumsi cateris
paribus.
Uji–t
H0 : DAU tidak berpengaruh nyata terhadap BD
H1 : DAU berpengaruh nyata terhadap BD
Dari hasil uji-t diperoleh t-hitung (6.960995) atau prob (0.0000) < alpha
5% maka tolak H0 artinya DAU berpengaruh signifikan terhadap BD.
PAD memiliki koefisien 0.283155 artinya setiap peningkatan 1% PAD
maka akan meningkatkan BD sebesar 0.283155% dengan asumsi cateris
paribus.
Uji–t
H0 : PAD tidak berpengaruh nyata terhadap BD
H1 : PAD berpengaruh nyata terhadap BD
Dari hasil uji-t diperoleh t-hitung (2.913643) atau prob (0.0141) < alpha
5% maka tolak H0 artinya PAD berpengaruh signifikan terhadap BD.
15
Berdasarkan interpretasi koefisien regresi, bahwa koefisien DAU lebih besar
dibandingkan dengan koefisien PAD. Dapat disimpulkan pengaruh DAU lebih
besar dari PAD terhadap BD. R-Squared 0.977930 atau 97,79% artinya
keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor dalam model sebesar
97,79% sedangkan sisanya 2,21% dapat dijelaskan oleh faktor lain di luar model.
Pengaruh PAD dan DAU terhadap Belanja Daerah
Kota Medan Tahun Berikutnya
Dari hasil pengolahan data Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum,
dan Belanja Daerah Kota Medan periode 1999 sampai dengan 2012, diperoleh
hasil sebagai berikut:
Dependent Variable: LNBD
Method: Least Squares
Date: 03/04/14 Time: 08:13
Sample (adjusted): 2000 2012
Included observations: 13 after adjustments
White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
LNDAU(-1) 0.607444 0.335116 1.812637 0.1000
LNPAD(-1) 0.395019 0.193378 2.042728 0.0683
C 1.099607 3.625928 0.303262 0.7679
R-squared 0.868154 Mean dependent var 20.77914
Adjusted R-squared 0.841785 S.D. dependent var 0.875549
S.E. of regression 0.348260 Akaike info criterion 0.927441
Sum squared resid 1.212852 Schwarz criterion 1.057814
Log likelihood -3.028366 Hannan-Quinn criter. 0.900643
F-statistic 32.92312 Durbin-Watson stat 1.937642
Prob(F-statistic) 0.000040
Pada pengujian dengan menggunakan lag satu tahun, persamaan regresi
yang diperoleh adalah sebagai berikut:
𝐿𝑛𝐵𝐷 = 1.099607 + 0.607444 𝐿𝑛𝐷𝐴𝑈−1 + 0.395019 𝐿𝑛𝑃𝐴𝐷−1
Dari persamaan tersebut dapat dinyatakan bahwa:
DAU memiliki koefisien 0.607444 artinya setiap peningkatan 1% DAU
maka akan meningkatkan BD sebesar 0.607444% di tahun berikutnya
dengan asumsi cateris paribus.
Uji–t
H0 : DAU tidak berpengaruh nyata terhadap BD
H1 : DAU berpengaruh nyata terhadap BD
Dari hasil uji-t diperoleh t-hitung (1.812637) atau prob (0.1000) > alpha
15% maka terima H0 artinya DAU berpengaruh signifikan terhadap BD.
16
PAD memiliki koefisien 0.395019 artinya setiap peningkatan 1% PAD
maka akan meningkatkan BD sebesar 0.395019% di tahun berikutnya
dengan asumsi cateris paribus.
Uji–t
H0 : PAD tidak berpengaruh nyata terhadap BD
H1 : PAD berpengaruh nyata terhadap BD
Dari hasil uji-t diperoleh t-hitung (2.042728) atau prob (0.0683) < alpha
15% maka tolak H0 artinya PAD berpengaruh signifikan terhadap BD.
Berdasarkan interpretasi koefisien regresi, bahwa koefisien DAU lebih besar
dibandingkan dengan koefisien PAD. Sehingga dapat disimpulkan pengaruh DAU
lebih besar dari PAD terhadap BD tahun berikutnya. R-Squared 0.868154 atau
86.82% artinya keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor dalam
model sebesar 86.82% sedangkan sisanya 13,18% dapat dijelaskan oleh faktor
lain diluar model.
Indikasi Flypaper Effect
Hasil analisis dengan menggunakan regresi data time series menunjukkan
bahwa penerimaan daerah berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) sebagai variabel independen berpengaruh signifikan terhadap
pengeluaran pemerintah berupa belanja daerah (BD) sebagai variabel dependen.
Namun pengaruh DAU terhadap belanja daerah lebih tinggi daripada pengaruh
PAD terhadap belanja daerah. Dari kesimpulan tersebut dapat diambil keputusan
DAU sangat berpengaruh cukup besar terhadap belanja daerah dan menimbulkan
flypaper effect. Hal ini membuktikan pemerintah daerah masih bergantung pada
pemerintah pusat dalam mendanai pembangunan daerah. Seharusnya pemerintah
daerah berusaha meningkatkan PAD-nya agar dapat memenuhi kebutuhannya
sendiri. Hal ini juga menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan Pemerintah Kota
Medan terhadap pemerintah pusat masih tinggi. Jika hal ini masih terus
berlangsung maka otonomi daerah kemungkinan besar akan sangat terhambat.
Dana perimbangan merupakan konsekuensi dari tidak meratanya
kemampuan keuangan dan ekonomi daerah. Selain itu, tujuan dari dana
perimbangan adalah mengurangi kesenjangan keuangan horizontal antardaerah,
mengurangi kesenjangan vertikal antara pusat dan daerah, mengatasi persoalan
efek pelayanan publik antardaerah, dan untuk menciptakan stabilisasi aktivitas
perekonomian di daerah. Pemerintah daerah bisa merespon transfer dari
pemerintah pusat secara simetris maupun tidak simetris (Gamkhar dan Oates
1996).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon pemerintah Kota Medan
berbeda untuk DAU dan PAD, artinya ketika penerimaan daerah berasal dari
DAU, maka stimulasi atas belanja daerah yang ditimbulkannya berbeda dengan
stimulasi yang muncul dari PAD-nya, ketika respon pemerintah Kota Medan lebih
besar terhadap DAU maka disebut flypaper effect. DAU memberikan sumbangan
efektif yang paling besar dan paling dominan terhadap belanja daerah sehingga
menimbulkan flypaper effect daripada PAD.
17
Flypaper effect membawa implikasi dimana pemerintah Kota Medan
cenderungan untuk menanti bantuan dari pusat dibandingkan dengan mengelola
sumber daya daerah sendiri. Secara implisit terdapat beberapa implikasi dari
terjadinya flypaper effect pada belanja daerah seperti celah kepincangan fiskal
(fiscal gap) akan tetap ada. Jika terjadi flypaper effect artinya pencapaian
pemberian dana transfer kurang optimal. Selain itu, juga menyebabkan unsur
ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat tetap ada, karena secara langsung
pemberian DAU kepada daerah berarti pemerintah pusat mensubsidi pengeluaran
daerah untuk mengurangi beban pembiayaan, sehingga akan melemahkan
kemampuan daerah dalam membiayai kebutuhannya sendiri.
Pada kondisi flypaper Effect ini, pemerintah Kota Medan memperlihatkan
perilaku yang tidak seperti biasanya, sehingga adanya kecenderungan
menganggarkan pengeluaran pemerintah setinggi mungkin dengan tidak
mengupayakan maksimalisasi PAD agar nantinya dapat dapat memperoleh
bantuan berupa transfer dari pemerintah pusat sehingga pemerintah daerah merasa
lebih mudah untuk memaksimalkan belanja daerah daripada menempuh cara
untuk memaksimalkan PAD. Seharusnya pemerintah Kota Medan sudah mulai
mengupayakan dan mencari cara untuk memaksimalkan potensi daerahnya agar
berdampak pada peningkatan PAD. Cara ini harus dilakukan karena tidak
mungkin selamanya pemerintah Kota Medan akan selalu bergantung pada DAU
pemerintah pusat.
Analisis Deskriptif pada Ketergantungan Pemerintah
Kota Medan atas Dana Alokasi Umum
Dana perimbangan adalah pendanaan yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan diperuntukkan guna
mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Dalam proses pengurangan ketimpangan pada kebutuhan pembiayaan dan
penguasaan pajak antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yaitu melalui
pelaksanaan Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Umum (DAU).
Rendahnya kontribusi PAD terhadap belanja daerah di Kota Medan
menunjukkan kurang maksimalnya pemerintah daerah dalam menggali potensi
daerahnya dalam hal pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba BUMD dan
investasi lainnya, dan pendapatan asli daerah lainnya. Berdasarkan Gambar 3,
kontribusi PAD terhadap belanja daerah Kota Medan mengalami peningkatan
yang cukup pesat sejak tahun 2010. Hal ini disebabkan oleh Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang sudah
berlaku efektif sejak 1 Januari 2010. Undang-Undang ini merupakan salah satu
wujud upaya penguatan taxing power daerah, yaitu dengan perluasan basis pajak
daerah dan retribusi daerah yang sudah ada, penambahan jenis pajak daerah dan
retribusi daerah, peningkatan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah, dan
pemberian diskresi penetapan tarif pajak.
Undang-Undang tersebut menyatakan PBB perkotaan/pedesaan dan BPHTB
sudah menjadi pajak daerah. Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2011
tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menyatakan bahwa sejak 1 Januari
18
2012 mulai diberlakukan. Seiring dengan hal tersebut maka segala bentuk urusan
PBB dikelola oleh Dinas Pendapatan Kota Medan. Mengacu pada Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009, maka Pemerintah Kota Medan menetapkan
beberapa Peraturan Daerah yang baru sebagai berikut.
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 1 tentang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB).
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 4 tentang Pajak Hotel.
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 5 tentang Pajak Restoran.
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 tentang Pajak Air Tanah.
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 7 tentang Pajak Hiburan.
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 10 tentang Pajak Parkir.
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 11 tentang Pajak Reklame.
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 12 tentang Pajak Sarang Burung
Walet.
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 16 tentang Pajak Penerangan Jalan.
Semua jenis pajak yang tertuang dalam Peraturan Daerah di atas sudah
menjadi pajak daerah kabupaten/kota. Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan
tersebut diserahkan kepada Dinas Pendapatan Kota Medan. Ini merupakan
perwujudan dari peningkatan taxing power Kota Medan.
Rendahnya PAD sebelum tahun 2010 dapat disebabkan oleh kecilnya
kewenangan daerah dalam perpajakan dan lemahnya taxing power daerah.
Sehingga dapat disimpulkan semakin besar kewenangan yang dimiliki pemerintah
daerah dalam mengatur keuangannya maka semakin mudah bagi daerah untuk
mencapai kemandiriannya secara financial.
Proses Penyusunan Anggaran
Pemberian dana transfer oleh pemerintah pusat (khususnya DAU) bertujuan
mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan PAD terutama melalui
peningkatan upaya pajak sebagai suatu usaha untuk meningkatkan PAD, sehingga
akan mengurangi ketergantungan daerah terhadap pusat. Tetapi bukti empiris
dalam penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi flypaper effect dalam APBD
Kota Medan.
Proses penyusunan anggaran (APBD) melibatkan satuan kerja, tim anggaran
eksekutif, dan legislatif. Eksekutif sebagai pengusul anggaran dan sekaligus
sebagai pelaksana anggaran berupaya memaksimalkan jumlah anggaran (Smith &
Bertozzi 1998), sedangkan legislatif yang dipilih oleh rakyat memanfaatkan
anggaran sebagai alat pengawasan. Legislatif dapat mengubah jumlah anggaran
dan mengubah distribusi belanja/pengeluaran.
Stiglitz (1999) menyatakan bahwa sumber dana memengaruhi kehati-hatian
seseorang dalam membuat kebijakan penggunaannya. Dalam hubungan
antarpemerintah, perilaku ini disebut flypaper effect, yakni adanya perbedaan
respons belanja atas sumber pendapatan atau penerimaan pemerintah. Dalam
19
konteks peran legislatif dalam penganggaran, adanya motif self-interest dapat
memengaruhi pengalokasian dana di dalam anggaran.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 23, proses penyusunan
APBD secara skematis hampir sama dengan APBN dan digambarkan sebagai
berikut:
Diajukan
Ditolak
Diterima
Sumber : Departemen Dalam Negeri dan Lembaga Administrasi Negara
Gambar 4 Proses Penyusunan APBD.
Proses penyusunan anggaran dalam penganggaran kinerja dimulai dari
satuan kerja-satuan kerja yang ada di pemerintah kabupaten atau kota, melalui
dokumen usulan anggaran yang disebut Rencana Kerja dan Anggaran Satuan
Kerja Perangkat Daerah (RK SKPD). RK SKPD kemudian diteliti oleh tim
anggaran eksekutif untuk dinilai kelayakannya (berdasarkan urgensi dan
ketersediaan dana) diakomodasi dalam Rancangan APBD (RAPBD) yang akan
disampaikan kepada legislatif dan direspon oleh semua komisi dan fraksi dalam
pembahasan anggaran.
Dalam pembahasan anggaran, eksekutif dan legislatif membuat
kesepakatan-kesepakatan yang dicapai melalui bargaining sebelum anggaran
ditetapkan sebagai suatu peraturan daerah. Anggaran yang telah ditetapkan
menjadi dasar bagi eksekutif untuk melaksanakan aktivitasnya dalam pemberian
layanan publik dan acuan bagi legislatif untuk melaksanakan fungsi pengawasan
dan penilaian kinerja eksekutif dalam hal pertanggungjawaban kepala daerah.
Besarnya kewenangan legislatif dalam proses penyusunan anggaran
membuka ruang bagi legislatif untuk bersikap oportunis. Posisi legislatif sebagai
pengawas bagi pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah dapat digunakan untuk
memproritaskan preferensinya dalam penganggaran. Jika ingin merealisasikan
kepentingan pribadinya, politisi memiliki preferensi terhadap alokasi yang
mengandung lucrative opportunities dan memiliki dampak politik jangka panjang
seperti mengusulkan pengurangan terhadap alokasi untuk pendidikan, kesehatan,
dan belanja publik lainnya yang tidak bersifat job programs dan targetable.
Flypaper effect yang terjadi dalam penyusunan APBD dapat dieliminasi oleh
perilaku eksekutif dan legislatif dalam memutuskan persetujuan anggaran yang
lebih memihak pada kepentingan umum. Sehingga daerah terus didorong untuk
BUPATI/WALIKOTA Menyusun RAPBD/Nota
Keuangan Daerah
RAPBD dan disidangkan DPRD
APBD/Perda
APBD tahun lalu
20
terus meningkatkan PAD agar dapat mengurangi ketergantungan terhadap
pemerintah pusat.
Perlu ditekankan bahwa pada subbab ini peneliti tidak bertujuan menuduh
legislatif dan eksekutif sebagai penyebab terjadinya flypaper effect. Peneliti hanya
mencoba menjelaskan secara deskriptif celah-celah legislatif dan eksekutif untuk
bersikap oportunis karena adanya informasi asimetris dalam proses penyusunan
anggaran yang dapat menyebabkan flypaper effect.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh Dana Alokasi Umum
(DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah (BD) di Kota
Medan periode 1999 sampai dengan 2012, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil analisis, variabel DAU dan PAD berpengaruh positif
dan signifikan terhadap belanja daerah Kota Medan pada tahun yang sama.
2. Pengaruh DAU terhadap belanja daerah lebih tinggi daripada pengaruh
PAD terhadap belanja daerah. Dapat diambil kesimpulan DAU sangat
berpengaruh cukup besar terhadap belanja daerah dan menimbulkan
flypaper effect.
3. Flypaper effect menyebabkan peningkatan jumlah belanja daerah Kota
Medan di tahun berikutnya.
4. Penguatan taxing power daerah dengan memberikan kewenangan yang
lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi mempermudah
pemerintah daerah dalam memaksimalkan PAD-nya.
Saran
1. Pemerintah Kota Medan perlu melakukan perencanaan dan pelaksanaan
anggaran yang lebih baik dan lebih akurat oleh pemerintah daerah Kota
Medan. Agar pada saat pelaksanaan anggaran jumlah dana yang
dibutuhkan oleh masing-masing satuan kerja lebih efektif dan efisien
sehingga tidak terjadi underfinancing atau overfinancing.
2. Pemerintah pusat diharapkan dapat menekan jumlah DAU secara perlahan
dan memberikan kewenangan yang lebih kepada pemerintah daerah dalam
menggali potensi daerahnya dalam hal perpajakan dan retribusi. Dalam
upaya menciptakan kemandirian daerah, hal itu lebih efektif dilakukan
daripada mempermudah persyaratan pemberian DAU kepada daerah.
3. Pemerintah pusat hendaknya melakukan pengendalian yang lebih ketat
yaitu dengan selalu melakukan verifikasi terhadap segala informasi yang
diperoleh dari pemerintah daerah terkait dengan APBD. Informasi yang
perlu diperhatikan khususnya adalah terkait dengan pengalokasian DAU.
Dana tersebut seharusnya digunakan untuk mendukung upaya
21
memaksimalkan potensi daerah sehingga PAD-nya mecapai angka yang
tinggi.
4. Dilakukannya pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk
menyediakan informasi anggaran yang akurat dan pengembangan
komitmen pemerintah daerah terhadap penyebarluasan informasi sehingga
memudahkan pelaporan dan pengendalian, serta mempermudahkan
mendapatkan informasi. Hal ini dapat mengurangi informasi yang
asimetris yang ada dalam proses penyusunan anggaran.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Sumatera Utara.
Berbagai Edisi Tahun Penerbitan. BPS, Sumatera Utara.
Badruddin, Rudy. 2012. Ekonomika Otonomi Daerah. UPP STIM YKPN,
Yogyakarta.
Halim, Abdul dan Muhammad Iqbal. 2012. Pengelolaan Keuangan Daerah. Edisi
Ketiga. UPP STIM YKPN, Yogyakarta.
Jhingan, ML. 1994. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Kuncoro, Haryo. 2007. Fenomena Flypaper Effect pada Kinerja Keuangan
Pemerintah Daerah Kota dan Kabupaten di Indonesia. The 1st Accounting
Conference Faculty of Economic Universitas Indonesia: 1-29. Tersedia
pada: http://www.feui.ac.id, diakses tanggal 10 Februari 2014.
Kuncoro, Mudrajad. 1997. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan
Kebijakan. UPP-AMP YKPN, Yogyakarta.
Maimunah, Mutiara. 2006. Flypaper Effect pada Dana Alokasi UMUM (DAU)
dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah pada
Kabupaten atau Kota di Pulau Sumatera. Simposium Nasional Akuntansi
9:1-27. Tersedia pada: http://www.fekon.unand.ac.id, diakses tanggal 11
Februari 2014.
Mardiasmo. 2002. Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah. ANDI, Yogyakarta
Said, Mas’ud. 2008. Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia. UPT Penerbitan
Universitas Muhammadiyah Malang, Malang.
Shinta, Dian Ayu. 2009. Perilaku Asimetris Pemerintah Daerah terhadap Transfer
dari Pemerintah Pusat pada Kabupaten/Kota di Jawa Tengah [Skripsi].
Purwokerto (ID): Universitas Jenderal Soedirman.
Widodo, Pambudi Tri. 2007. Flypaper Effect pada Dana Alokasi UMUM (DAU)
dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah pada
Kabupaten atau Kota di Bali. (Studi pada Kabupaten/Kota di Bali). Tersedia
pada:
http://rac.uii.ac.id/server/document/Private/2008072511265203312374.pdf.
Diakses 10 Februari 2014.
[DPJK] Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah. Jakarta (ID): DPJK.
22
[Kemendagri] Kementerian Dalam Negeri. Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta (ID): Kemendagri.
[Pemkomedan] Pemerintah Kota Medan. Produk Hukum Tentang Berbagai Jenis
Pajak Daerah. Medan (ID): Pemkomedan.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Perkembangan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi
Umum (DAU), dan Belanja Daerah (BD) Kota Medan tahun
1999 sampai 2012
Tahun
PAD
(ribu rupiah)
DAU
(ribu rupiah)
BD
(ribu rupiah)
1999 59.420.212 91.775.589 160.487.929
2000 55.755.686 82.745.669 158.688.943
2001 88.262.844 283.116.623 414.268.914
2002 146.930.659 351.378.074 542.695.599
2003 233.786.688 433.041.453 793.083.234
2004 257.989.893 404.989.980 628.679.209
2005 282.228.792 426.570.000 691.392.251
2006 312.862.351 574.568.000 1.322.425.419
2007 324.263.785 748.707.000 1.751.826.295
2008 344.509.313 808.664.570 1.872.915.721
2009 368.564.026 882.215.657 1.886.588.720
2010 588.941.453 846.541.452 2.235.195.758
2011 995.072.572 1.066.353.555 3.041.037.853
2012 1.147.901.461 1.153.789.320 3.021.172.391
Sumber: BPS Kota Medan, 2014.
Lampiran 2 Uji Asumsi Klasik Model Pengaruh PAD dan DAU terhadap
Belanja Daerah Kota Medan pada Tahun yang Sama
Normalitas
0
1
2
3
4
5
6
-0.3 -0.2 -0.1 -0.0 0.1 0.2
Series: Residuals
Sample 1999 2012
Observations 14
Mean -4.63e-15
Median 0.056304
Maximum 0.172261
Minimum -0.275125
Std. Dev. 0.145673
Skewness -0.675365
Kurtosis 2.228990
Jarque-Bera 1.411042
Probability 0.493851
23
Heteroskedastisitas
Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey
F-statistic 0.277232 Prob. F(2,11) 0.7630
Obs*R-squared 0.671817 Prob. Chi-Square(2) 0.7147
Scaled explained SS 0.254858 Prob. Chi-Square(2) 0.8804
Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 2.225557 Prob. F(2,9) 0.1639
Obs*R-squared 4.632746 Prob. Chi-Square(2) 0.0986
Lampiran 3 Uji Asumsi Klasik Model Pengaruh PAD dan DAU terhadap
Belanja Daerah Kota Medan pada Tahun Berikutnya
Normalitas
Heteroskedastisitas
Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey
F-statistic 6.361298 Prob. F(2,10) 0.0165
Obs*R-squared 7.278823 Prob. Chi-Square(2) 0.0263
Scaled explained SS 3.688029 Prob. Chi-Square(2) 0.1582
Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 0.045833 Prob. F(2,8) 0.9554
Obs*R-squared 0.147271 Prob. Chi-Square(2) 0.9290
0
1
2
3
4
5
6
7
-0.75 -0.50 -0.25 0.00 0.25 0.50 0.75
Series: Residuals
Sample 2000 2012
Observations 13
Mean 4.70e-15
Median 0.034061
Maximum 0.622174
Minimum -0.532310
Std. Dev. 0.317917
Skewness -0.095539
Kurtosis 2.712576
Jarque-Bera 0.064525
Probability 0.968252
24
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lhokseumawe pada tanggal 10 Oktober 1992 dari ayah
Faisal Putra dan Ibu Hirawati. Penulis adalah putra kedua dari tiga bersaudara.
Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 4 Medan dan pada tahun yang sama
penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian
Talenta Masuk IPB (UTM IPB) dan diterima di Departemen Ilmu Ekonomi,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah aktif di Himpunan Profesi
dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIPOTESA) di divisi
discussion and analysis (DNA). Penulis juga bergabung dengan organisasi
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) setelah mengikuti Latihan Kaderisasi I (LK I)
di Komisariat FEM IPB.