Analisis Pengaruh Modal Sosial Di Dalam Demokrasi Singapore Dan Thailand

download Analisis Pengaruh Modal Sosial Di Dalam Demokrasi Singapore Dan Thailand

of 22

Transcript of Analisis Pengaruh Modal Sosial Di Dalam Demokrasi Singapore Dan Thailand

ANALISIS PENGARUH MODAL SOSIAL DI DALAM DEMOKRASI SINGAPORE DAN THAILANDAKHMAD SOLEH RICARDO1111004015Departemen Ilmu Politik, FIES, Universitas Bakrie, Kuningan, Jakarta

AbstrakSingapura adalah negara yang menganut demokrasi namun terbatas yang mempunyai pendapat per kapita tertinggi di dunia dan merupakan negara yang menjadi pusat kegiatan ekonomi dan bisnis. Dengan beberapa kebijakannya, Singapura menjadi negara yang nyaman bagi para turis dan tempat dimana banyak perusahaan. Namun, negara tetangganya, Thailand berbalik keadaannya dengan apa yang terjadi di Singapura. Thailand juga menganut demokrasi yang juga terbatas seperti Singapura. Negara yang juga bersistem Monarki ini mempunyai pendapatan per kapita yang lebih rendah dari tetangganya, Singapura. Namun, walaupun kedua negara ini mempunyai sistem Demokrasi, namun demokrasi yang kedua negara anut ini masih terbatas dimana ada beberapa elemen yang tidak terterapkan di kedua negara tersebut. Selanjutnya, Modal Social memiliki peranan penting dalam kemajuan ekonomi sebuah bangsa, Singapore dan Thailand dapat dijadikan contoh keberhasilan modal social mempengaruhi kemajuan perekonomian Singapore dan Pemulihan Krisis ekonomi Thailand, karena modal social memiliki elemen penting yaitu norms, hubungan timbal balik, kepercayaan dan jaringan. Sementara itu tujuan analisis ini ada melihat peranan social capital dalam proses kemajuan ekonomi kedua Negara tersebut Singapore dan Thailand dibawah Lee Kuan Yew dan Thaksin Shinawatra.Keyword: Singapore, Thailand, Social, Democracy, Lee Kuan Yew, Thaksin Shinawatra, Thaksinomics

PendahuluanSingapura merupakan negara yang merdeka dan menganut sistem Demokrasi sejak lepasnya mereka dari Inggris pada tanggal 9 Agustus 1965 dengan perdana menteri pertamanya yakni Lee Kuan Yew. Di masa pemerintahan Lee Kuan Yew, Singapura berkembang menjadi negara yang dimana demokrasinya terbatas dan itu terus berlangsung selama 7 periode (dari tahun 1963 hingga 1988) Singapura berbentuk Negara yang berbentuk pulau kecil yang terletak di antara Indonesia dan Malaysia, merupakan negara dengan imigrasi terbesar di Asia Tenggara. Selain imigrasi terbesar di Asia Tenggara, Singapura merupakan negara Asia yang menjadi salah satu pusat kegiatan perekonomian dunia Singapura terus memperkokoh posisinya sebagai hubungan bisnis konglomerasi internasional untuk menarik berbagai perusahaan multinasional menanamkan modalnya atau menginvestasi di negeri Merlion ini. Negara yang mempunyai pendapat per kapitanya yakni US$ 48. 595 per orang per tahun. Ini merupakan negara satu-satunya di Asia Tenggara yang mempunyai pendapatan per kapita tertinggi di dunia. Menurut IMF, negara yang tidak mempunyai sumber daya alam atau SDA ini, juga merupakan satu-satunya negara dari Asia Tenggara yang dimana pendapatan per kapitanya mengalahkan 4 negara, yakni Norwegia, Amerika Serikat, Uni Emirat Arab, dan Swiss (http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/05/23/17323166/pendapatan.orang.singapura.tertinggi.di.dunia/23/6/2013) . Singapura yang dimana secara ekonomi ini terbilang sejahtera ternyata memiliki masalah dalam demokrasinya dari dulu hingga sekarang. Hingga kini, dari zaman Lee Kuan Yew menjabat sampai anaknya, Lee Hsien Loong menjabat, masih belum ada kebebasan ekspresi hingga kebebasan pers yang menjadi bagian demokrasi. Hingga kini, elemen demokrasi yang ada hanya pemilihan umum yang memilih perdana menteri dari Singapura. Kebebasan untuk berpendapat hingga kini masih dikekang oleh pemerintahnya hingga jajak pendapat pun masih dikunci. Sehingga, ketika pemilihan umum tiba, sudah terprediksi siapa selanjutnya yang menjadi perdana menteri.Kalau di Singapura rata-rata dari masyarakatnya merupakan masyarakat yang sejahtera secara ekonomi, lain halnya dengan Thailand. Thailand merupakan negara Asia Tenggara yang menganut demokrasi dan adanya monarki di dalam pemerintahannya. Demokrasi yang dianut oleh negara ini pun masih terbatas dan tertutup. Dari tahun 1932 hingga 1997, politik di Thailand masih dikuasai oleh militer yang dimana salah satu diktator yang terkenalnya adalah Luang Phibunsongkhram yang juga mengaliansikan Thailand dengan Jepang pada masa Perang Dunia II. Setelah 1997,muncul Konstitusi 1997 dimana diperkenalkannya Hak Asasi Manusia dan beberapa elemen demokrasi yang mulai diterapkan di Thailand dengan adanya pemilihan umum dan pemilihan dewan perwakilan. Namun, kudeta rupanya tidak berhenti sampai 1997, kudeta-kudeta lainnya juga terjadi diantaranya yang signifikan ketika masa pemerintahan Thaksin Shinawatra pada tahun 2006 yang dimana ketika itu kudeta terjadi dengan adanya junta militer dan ketika itu penasihat raja Thailand, Jenderal Surayud Chulanont ditunjuk oleh raja Thailand sebagai Perdana Menteri untuk menggantikan Thaksin pada saat itu. Secara ekonomi, pendapatan per kapita Thailand yakni US$ 5,046. Sama seperti Singapura, Thailand mengandalkan impor SDA dari negara lain dan mempunyai industri berbasis SDA yang maju dan meningkatkan GDP masyarakatnya. Namun, secara demokrasi, Thailand masih dikekang akibat dari masih adanya militer yang berkuasa di negaranya. Militer memang tidak seperti dulu, memengaruhi langsung dan menjabat di pemerintahan, namun ketika Perdana Menterinya ada masalah atau bermasalah, maka Raja Thailand tidak segan-segan langsung menunjuk militer untuk menggulingkan rezim Perdana Menterinya tersebut. Sehingga di Thailand sampai sekarang ini masih terjadi kudeta-kudeta yang dimana signifikannya terjadi pada tahun 2006. Demonstrasi besar-besaran masih terjadi di Thailand hingga sekarang. Selain itu dalam study yang melihat hubungan antara modal social dan pertumbuhan ekonomi berfokus pada peranan jaringan dan kepercayaan dalam pertumbuhan ekonomi, karena pembangunan ataupun pertumbuhan ekonomi dapat berkontribusi terhadap pembangunan yang pada akhirnya menimbulkan kesejahteraan (Sabatini 2008 h. 466). Namun dalam beberapa kasus Negara menurut studi yang dilakukan World Bank pada tahun 2010 dikutip dari Sabatini ( 2008 h. 466) mengungkapkan bahwa sejarah menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak diikuti oleh progress peningkatan pembangunan sumber daya manusia, padahal dalam hal ini modal social sangat dipengaruhi oleh pembangunan Sumber Daya Manusia. Namun di beberapa Negara menunjukkan relasi antara modal sosial dengan kemajuan ekonomi suatu Negara, terutama Singapore dan Thailand, seperti kita ketahui, Singapore menurut Amaldas ( 2009 h. 982) sebagai negara pulau mengalami sebuah kemajuan ekonomi yang sangat baik dalam beberapa dekade terakhir abad 20, bangkit dari yang awalnya hanya pelabuhan menjadi kota global dan bangsa yang maju. Sementara itu, mengutip dari Kingsburi dalam Rodan (2004) keberhasilan meletakkan fundamental perekonomian Singapore, tidak bisa dilepaskan dari PAP (People Action Party) dan kepemimpinan Lee Kuan Yew sejak tahun 1959 hingga tahun 1990. Selain itu, kunci sukses keberhasilan pembangunan Singapore menurut BTI Index ( 2012, h. 5) Slogan Satu Bangsa, satu orang Singapore menjadi pemersatu Singapore yang tiga perempatnya merupakan etnis China dan mengelola konflik antar etnis yang berbeda di dalam negeri, penerapan sekularisme dalam kehidupan beragama (pemisahan agama dalam tataran politik dan hukum ) menjadi modal penting dalam membangun Singapore.Sementara itu, Thailand, menurut Looney (2004 h. 65) pasca krisis ekonomi tahun 1997, dibawah Thaksin Shinawatra dapat mengembalikan thailand kepada kejayaan ekonomi, hal ini terlihat dari tingginya pertumbuhan ekonomi. Pandangan ekonominya sering disebut dengan Thakshinomics yang memiliki pengaruh kuat dalam pembuatan kebijakan di kawasan Asia Tenggara, dalam tataran praktis, Thaksinomics mengacu pada Looney ( 2004 h. 67 ) kunci pandangan Thaksinomics memadukan kebijakan arahan IMF atau biasa dikenal dengan nama Washington konsensus, penerapan kebijakan berbasis pasar bebas, mendorong privatisasi, namun disisi lain pendekatan ekonomi kerakyatan seperti pemberian kredit. Walaupun kebijakan ini dinilai Kontroversial sebagaimana Reagenomics, kebijakan ini sukses membantu Thailand melakukan recovery terhadap ekonominya, namun kebijakan ini mendapatkan dukungan yang luas dari masyarakat, terutama yang mendapatkan manfaat dari kebijakan Dual Track ini, seperti masyarakat di pedesaan hal ini akibat program seperti program UKM ) menghasilkan sebuah kepercayaan khususnya dari konstituen pendukung Thaksin Shinawatra (Intarakumnerd 2011 h. 62). Berdasarkan jurnal yang ditulis oleh Ufen (2007 h. 15) pemilu 2001 dan 2005 dimenangkan oleh Thai Rak Thai yang didirikan oleh milioner pemilik media Thaksin Shinawatra berhasil mendapatkan 248 dari 500 kursi parlemen di pemilu tahun 2001, mengacu pada Nelson yang dikutip dari Ufen (2007 h. 15) TRT merupakan partai profesional namun disisi lain masih mengandalkan peran sosok populis untuk mendulang suara, hal tersebut sebagai sebuah modal sosial bagi Thaksin untuk menjalankan program maupun kebijakannya. Maka dari dari pendahuluan diatas bias dilihat peranana modal sosial dalam memajukan perekonomian di Singapore di bawah Lee Kuan Yew dan Thailand di bawah Thakshin Shinawatra.

Objektivitas PenulisDalam jurnal ini, objektivitas penulis atau positioning penulis dalam hal ini adalah sebagai seseorang yang membandingkan bagaimana pengaruh sosial demokrasi di SIngapura dan Thailand terhadap perekonomian dan kondisi sosial masyarakatnya di kedua negara tersebut. Karena secara general, sosial demokrasi dianggap bagaimana partisipasi publik adalah elemen yang paling krusial dalam suatu negara demokrasi. Karena jika tidak ada partisipasi publik dalam negara, maka yang menjadi minoritas akan selalu terpinggirkan karena tidak adanya partisipasi. Maka dalam hal ini, jurnal ini melihat bagaimana partisipasi publik dalam memengaruhi kebijakan ekonomi dan memengaruhi perekonomian dari kedua negara tersebut. Dalam hal ini jika kaum minoritas tidak mengirimkan perwakilan kepada badan legislatif, maka akan terjadi suatu. Dalam hal ini, kelas atas akan menghormati akan bahkan jika mereka itu menuntut penghapusan hak. Maka dari itulah di sini penulis melihat bagaimana suatu partisipasi publik yang kurang dari negara Singapura dan Thailand dan melihat perbandingan partisipasinya di kedua negara tersebut. Serangkaian kebijakan ekonomi yang menjadi partisipasi publik akan memengaruhi perekonomian masyarakat Singapura dan Thailand begitu juga dengan kondisi sosial dari Singapura dan Thailand. Banyaknya demonstrasi di Thailand merupakan bagian dari demokrasi yang masih belum terbuka.Kemudian penulis juga tidak setuju dengan pandangan yang mengesampingkan faktor modal sosial dalam setiap kemajuan perekonomian, karena banyak pandangan berdasarkan riset mengenai bahwa kemajuan perekonomian selalu dibarengi dengan penerapan demokrasi, dalam case Singapore kemajuan perekonomian berjalan beriringan dengan praktik otoritarianisme, namun tetap membiarkan pasar bebas tanpa kontrol negara, Dan di Thailand sendiri Raja memiliki peran sentral didalam menjaga keberlangsungan negara.Atas dasar itulah penulis memiliki keberpihakan terhadap pentingnya modal sosial dalam kemajuan perekonomian sebuah negara dan argumen-argumen pendukungnya akan penulis jelaskan pada pembahasan kasus. Adapun rumusan permasalahan yang akan dibahas yaitu: (1) Bagaimana Social Capital mempengaruhi kemajuan perekonomian Singapore dan Thailand ?, (3) Dampaknya bagi perekonomian kedua Negara ?

Kerangka TeoriSocial Capital: Definisi, Penyebab Terjadinya dan FungsinyaWiliam and Durrance (2008) mencoba menjelasksn definisi mengenai Social Capital, Nan Lin dalam (Wiliam and Durrance 2008) mengutip Marx (1987) menyebut sebagai modal manusia, Bourdieu dan Passeron (1970) menyebut sebagai budaya modal, Linz mendefinisankannya agar dapat diukur, maka definisinya adalah sumber daya tertanam dalam sebuah jaringan yang dimobilisasi ketika aktor ingin mencapai sebuah tujuan.Dari beberapa mencoba ilmuan social mencoba meneliti mengenai Social Capital atau modal social, Sosiolog James Coleman merupakan yang paling popular, penulis mencoba merangkum menjadi beberapa penjelasan. Sosiolog James Coleman mencoba menjelaskan mengenai Social Capital, menurutnya hal tersebut didapat dari hubungan antar individu yang menghasilkan suatu tindakan. Tidak seperti modal secara fisik ataupun modal berupa sumber daya manusia, modal sosial ini tidak dapat terlihat dan sulit untuk diukur karena hanya terdapat dalam hubungan setiap individu (Coleman, 1988 h. 100). Selain itu, sama seperti modal secara fisik maupun modal berupa sumber daya manusia, modal sosial ini juga dapat menghasilkan suatu kegiatan yang produktif (Coleman, 1988 h. 101). Sementara menurut Coleman Dalam sebuah Social capital, (1988 h. 101 ) suatu kelompok yang di dalamnya terdapat kepercayaan yang besar dan berkelanjutan akan dapat menghasilkan yang lebih banyak dibandingkan dengan kelompok yang di dalamnya tidak memiliki kepercayaan (Coleman, 1988: 101). Dan yang terpenting menurut Coleman (1988 h. 99) sebuah Modal sosial ini juga akan lebih mudah didapatkan di negara yang masyarakatnya homogen dibandingkan dengan negara yang masyarakatnya heterogen.Dan Putnam ( Krishna 2002 h. 03) juga menjelaskan mengenai peranan modal social dalam sebuah masyarakat sipil,Menuntut pengefektifan pelayanan public, sehingga mereka siap untuk mencapai tujuan bersama, bentuknya adalah kinerja pemerintahan perwakilan lebih hanya sebagai fasilitator karena dalam masyarakat sipil, warga dan pejabatnya telah memiliki infrastruktur social dan nilai nilai demokrasi (Krishna 2002 h. 02 )Berdasarkan Studinya di Italia, Putnam dalam Krishna ( 2002 h. 03) melihat social capital sebagai sebuah variable penting dalam pencapaian sebuah masyarakat, khususnya dalam hal pembangunan demokrasi masyarakat dan potensi konflik, penerapan reformasi legislative di Italia tahun 1970 berdampak pada perbaikan kinerja pemerintahan khususnya dalam hal kinerja ekonomi.

Relasi Social Capital Dengan Kemajuan PerekonomianMenurut seorang sociology asal Perancis bernama Pierre Bourdieu dalam Liu ( 2001 h. 360) menjelaskan bahwa modal sosial mampu memaikan peran yang signifikan khususnya dalam hal politik dan ekonomi, serta melihat pentingnya membandingkan antara modal ekonomi dan sosia, selain itu modal social dianggapnya sebagai akar dari berbagai modal, baik modal manusia maupun fisik, Senada dengan Bourdieu, Fukuyama dalam (Liu 2001 h. 361) Social Capital memiliki kecenderungan untuk membentuk sociability yang memiliki konsekuensi penting dalam ekonomi, dalam hal ini liu mengibaratkan modal sosial sebagai "Public Good" social capital akan menghilangkan batansan dalam biaya dalam membentuk sosial network yang berbasis kepercayaan, mampu menjadi sosial infrastructure. Sementara itu Unger dalam (Liu 2001 h. 361) menyebutkan bahwa modal sosial dapat meningkatkan produktivitas ekonomi dan menciptakan eksternalitas positiveDalam konteks Asia Tenggara, Dalam konteks Asia Tenggara, Bates dan Popkin dalam Krishna (2002 h. 25) menjelaskan tentang karakteristik ekonomi yang sangat dipengaruhi oleh modal sosial disebut ekonomi moral artinya pembagiannya berdasarkan kepentingan besama (mempertahankan keseimbangan ekonomi yang subsisten), hal ini sangat dipengaruhi oleh proses internalisasi norma para petani di desa. Selain itu, Menurut Krishna (2002 h. 26) Modal Sosial memiliki peranan dalam masyarakat Asia Tenggara :Modal sosial dapat mempengaruhi individu untuk bekerja sama, dan jaringan sosial yang sudah ada akan memfasilitasi kerjasama pada umumnya, tetapi di bidang-bidang spesifik tindakan, terutama di mana lingkungan eksternal perlu dilibatkan, instansi tertentu seperti partai politik atau kelompok kepentingan yang terorganisir akan diperlukan tambahan ( Krishna 2002 h. 26)Namun pertanyaannya, Bagaimana ini dapat berjalan dengan baik? right man in the right place, menurut Krishna ( 2002 h. 26 ) jabatan harus diisi orang yang baik dan cocok, tugas dan kinerjanya harus terkoordinasi dan memiliki tujuan, pengambilan keputusan diserahkan negara atau kepada pasar. Selain itu Lowi 1985 dalam Krishna memnjelaskan permasalahan tentang pengambilan keputusan di tingkat nasional karena konstituen di daerah memiliki karakternya sendiri (Krishna 2002 h. 26 ).

Gambar 1.2 The Mediating Agency Prespective dalam Krishna (2002 h. 27)Skema diatas dijelaskan oleh Krishna (2002 h. 27) sebagai berikut:Modal sosial secara kelembagaan dijadikan memiliki kinerja melalui mediasi lembaga atau saluran, yang masing-masing memiliki focus khususnya masalah yang berkaitan dengan beberapa problem sosial tertentu dan bukan orang lain dan melihat Efektivitas lembaga mediasi adalah sama pentingnya dengan tingkat aset (modal sosial) untuk memahami variasi dalam kinerja kelembagaan (Krishna 2002 h. 27)Sementara itu dari prespektif Bank Dunia dalam Troschke ( 2011 h. 03) melihat modal social sebagai sebuah lembaga yang memelihara hubungan, sikap, nilai yang dapat berkontribusi dalam pembangunan ekonomi, Selain itu menurut Troschke (2011 h. 04) dalam penelitian Bank Dunia pernah melakukan study khusus mengenai Social Capital, menunjukkan ruang lingkup modal social dalam pembangunan ekonomi, pertama tingkatan mikro yaitu interaksi antara individu, rumah tangga dan perusahaan yang membangun kelompok, kedua tingkat messo interaksi vertical antar kelompok secara hirarkis, ketiga adalah tingkatan makro lingkungan atau interaksi yang mempengaruhi struktur. Indikataor untuk mengukur kinerja modal social yang dimiliki pemerintah adalah kebebasan politik, penegakkan hukum dan indicator stabilitas.

2.1 Praktek Bridging Social Capital di Singapore Dalam Mendukung Kemajuan Ekonomi Kemajuan Ekonomi Singapore memang tidak bisa dipisahkan dengan pengaruh Social Capital, karena berdasarkan beberapa teori diatas bahwa elemen penting dari Social Capital adalah norma, hubungan timbal balik, kepercayaan, dan jaringan, hal tersebut menjadi variable penting dalam mendorong kemajuan ekonomi Singapore, sebelum membahas mengenai praktek social capital di Singapore, Background Singapore, menurut Lee Kuan Yew dalam bukunya The Third World To First (2000) pasca berpisah dengan malaysia pada tahun 1965, Singapore merupakan Negara yang sangat miskin, karena Singapore terletak di pulau tropis dengan luas (700 km) yang miskin sumber daya alam, air bersih, namun memiliki pertumbuhan populasi penduduk yang tinggi, menjamurnya perumahan kumuh, memiliki potensi konflik yang tinggi karena berbagai macam etnik agama yang mendiami Singapore, namun dalam bukunya lee Kuan Yew mengatakan bahwa:Today, Singapore is a gleaming global hub of trade, finance and transportation. its transformation from third world to first in one generation is one of asias great success stories (Yew, 2000).Hal tersebut membuktikkan bahwa Singapore sukses melakukan transformasi pembangunan ekonomi, untuk melihat kemajuan perekonomian Singapore, dan yang mampu menjadi penentu factor keberhasilan pembangunan ekonomi Singapore adalah factor nilai dan buadaya yang dianut masyarakat Singapore sendiri, hal ini senada dengan dengan Troschke (2011 h.) bahwa budaya menjadi factor yang ikut menjalankan modal social di sebuah Negara karena mampu menyediakan informasi bagi tersedianya modal social di masyarakat, Lee kuan Yew dalam setiap tulisannya menyatakan bahwa kemajuan SIngapura tidak bias dilepaskan dari nilai yang dijunjung tinggi yaitu Asian Value bahwa dkatakan Lee Kuan Yew mengutip dari Elgin (2010 h. 138) menjelaskan bahwa system yang bekerja di barat tidak cocok diterapkan di Negara negera di timur, konsep ajaran Asian value melihat individu bukan merupakan sebuah entitas yang terpisah melainkan menjadi sebuah keluarga, Selain itu Elgin (2010) juga menambahkan bahwa seperangkat nilai asia yang menanamkan standar kerja keras, disiplin, dan hal ini mampu menciptakan jalan baru manuju sebuah pertumbuhan ekonomi.Sementara itu menurut Lazar ( 2001 h. 7) masyarakat Singapore terdiri dari tiga kelompok etnis utama Cina (76,9 persen), Melayu (14 persen) dan India (7,7 persen) , namun seperti kita tahu mayoritas beretnis China, Namun bentuk heterogenitas sendiri bukan bukan jaminan adanya korelasi munculnya konflik, namun persoalan kepercayaan dan Agama dianggap Lee Kuan Yew sebagai hambatan didalam pembangunan ekonomi maka heterogenitas yang ada dijadikan modal untuk membangun sebuah rasa kebangsaan bagi Singapore, Hal membangun yang dinamakan bridging social capital biasanya dalam masyarakat yang hiterogen dari berbagai ragam unsur latar belakang budaya dan suku, hal ini dimaksudkan oleh Supriono dkk ( 2010 h. 07 ) untuk menjembatani perbedaan yang ada, karena seperti kita ketahui bahwa menurut (OECD 2010 ) kerentanan politik dan ekonomi pasca berpisahnya singapore dengan federasi Malaysia tahun 1965, Lee Kuan Yew menetapkan dua tujuan utama dalam membangun Singapore, pertama membangun ekonomi Singapore yang modern dan kedua menciptakan rasa identitas nasional, Yang penting disini langkah Lee Kuan Yew menciptakan rasa identitas nasional adalah hal ini menurut BTI ( 2012 h. 5 ) dikarenakan komposisi Negara Singapore yang sangat heterogen namun didominasi etnis China, Singapore dibawah Lee Kuan Yew memunculkan konsep budaya kewarganagaraan netral, yang diwujudkan dengan konsep Satu Bangsa, Satu Orang, Satu Singapore, dengan cara ini pemerintah dapat mengelola konflik antar etnis seperti yang terjadi saat dibawah konfederasi Malaya, Selain itu Singapore juga memilih jalan menjadi Negara sekuler, sehingga dogma agama tidak memiliki pengaruh dalam tatanan hukum dan lembaga politik, hal tersebut senada dengan konsep bridging social capital mengacu pada Coleman dalam (Supriono dkk 2010 h. 07) mampu menjadi jembatan dalam perkembangan dan kemajuan masyarakat, berdasarkan hasil observasi dibeberapa Negara menunjukkan bahwa korupsi lebih terkontrol, semakin efisiennya pekerjaan pemerintah, mempercepat penanggulangan kemiskinan, meningkatnya kualitas hidup manusia menjadi jauh lebih kuat.Selain itu, nampak beberapa indicator yang menunjukkan kuat pengaruh modal social dalam karakteristik masyarakat Singapore menurut Chua (2010 h. 7) pertama heterogenitas ras yang menunjukan komposisi masyarakat Singapore, hal tersebut menimbulkan pola masyarakat ras bertingkat khususnya dalam hal lapangan kerja antara teknokratis, manajerial dan administrasi, Kedua mengacu pada Chan ( 2010 ) dalam Chua (2010 h. 7) meskipun secara karakteristik modern namun masyrakat Sengapore masih sangat sangat patriarki, hal dikatakan bahwa perempuan masih memerankan banyak peran di rumah, selain itu, ketiga Singapore merupakan negara yang menganut meritokrasi yang terlihat dalam hal pendidikan dan pekerjaan (Chua 2010 h. 7), Selain keberhasilan pembangunan Singapore terlihat dari beberapa indicator di bawah ini yaitu, dibawah ini merupakan Indeks pertumbuhan GDP Singapore dari tahun 1960 hingga tahun 2010 yang dikatakan oleh Absire (2011) dalam bukunya yang berjudul The History Of Singapore, Sejak kemerdekaan pada tahun 1965 Singapore mengalami transformasi khususnya dalam hal pembangunan ekonomi dan sosial

Gambar 2.1 Pertumbuhan GDP Singapore dari tahun 1960 hingga 2010 (dalam $)Sumber ( Australia National University Division of Economics, http://rspas.anu.edu.au/economics) dalam Elgin (2010 h. 139)

Perbandingan Pertumbuhan Singapore di Kawasan 1975 - 2003

Gambar 2.2 Perbandingan Pertumbuhan Singapore dikawasan 1975-2003 Sumber ( Australia National University Division of Economics, http://rspas.anu.edu.au/economics) dalam Elgin (2010 h. 139 )Gambar diatas menunjukkan bahwa Singapore mengalami kemajuan ekonomi yang cukup signifikan hal tersebut ditunjukkan dari pertumbuhan GDP yang sangat capat dibandingkan dengan negara Negara dikawasan, dapat kita lihat GDP Singapore dari yang awalnya dibawah 5.000 US$ menjadi hampir 300.000 US$, hal ini tidak bisa dilepaskan dari reformasi ekonomi yang dilakukan oleh Lee Kuan Yew yang merupakan perdana menteri pertama Singapore.Bentuk Reformasi ekonomi menurut (OECD 2010) yang dilakukan Lee Kuan Yew untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, 1960 melakukan penekanan pada industry manufaktur untuk menarik lapangan kerja yang padat untuk menciptakan lapangan kerja bagi tenaga kerja dengan kemampuan rendah 1970 1980 pergeseran ke manufaktur yang lebih intensif di bidang teknik dan di pertengahan 1990an Singapore berusaja menjadi pemain ekonomi dalam hal pengertahuan atau berbasis teknologi tinggi yang mengandalkan inovasi yang intensif, Namun keberhasilan pelaksanaannya tidak akan berhasil jika tidak didukung struktur administrasi yang baik (BTI 2012 ) dan penyediaan layanan public yang baik, dikatakan bahwa pelanan adiministrasi Singapore merupakan yang paling efisien di dunia, dan pemenuhan fungsi yuridksi yang baik hal ini akan mempengaruhi proses penegakkan hukum di Negara tersebut (BTI 2012), Dan proses transformasi ini tidak bisa dilepaskan dari peranan social capital, karena dalam sebuah skema yang digambarkan oleh Fukuyama dalam ( Kresna 2002 h. 17 )

Gambar 1.1 Analisis pengaruh Culture, History, Legacy terhadap, social capital dan kualitas sebuah institusi, Masyarakat yang memiliki modal social akan mudah merespon perubahan khususnya perbaikan sebuah institusi Sumber: Fukuyama dalam Krishna (2002 h. 17)

Peranan Culture, History, Legacy dapat menjadi modal social penting bagi Singapore dalam adalah factor heterogenitas penduduknya serta pengaplikasian nilai Asia ini dikatakan banyak pihak akan mempengaruhi performa institusi di Singapore (Elgin 2010 h 8 ) , Selain itu menurut ( Keong 2010 h. 2) pemerintah Singapore juga berusaha untuk membuat ikatan yang kuat antara warga Singapore dalam membangun bangsa dan negaranya, sementra itu modal social dibangun dari kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, karena hal tersebut sangat penting untuk proses memimpin semua sektor masyarakat dalam menghadapi tantangan kolektif. Tingginya kepercayaan masyarakat, terlihat dari perolehan suara partai berkuasa yaitu PAP yang selalu menjadi pemenang pemilu, Dibawah ini merupakan perolehan suara People Action Party dari tahun 1963 hingga 1997Gambar 1.2 Perolehan Suara PAP di Pemilu

Sumber: Gomez (1999) dalam Uri Gordon (2010)Gambar 2.3 diatas menjelaskan tentang, perolehan suara PAP yang selalu menjadi mayoritas di parlemen, bahkan pada tahun 1968 sampai 1980, menjadi partai tunggal tanpa oposisi.Sementara itu, Luhulima (2010) menjelaskan mengenai struktur PAP dan peranannya, karena PAP merupakan factor penting pendukung rezim Lee Kuan Yew, PAP sendiri digambarkan sebuah organisasi atau sebuah institusi yang disiplin dan struktur birokrasinya sangat terstruktur dan memliki jiwa entrepreneur, PAP memiliki peranan penting dalam pengambilan keputusan yang diisolasi oleh kekuatan kekuatan social, hal ini berhasil menciptakan Singapore sebagai Negara yang efisien dan terbebas dari korupsi khususnya di jajaran pemerintahannya, hal ini tidak lepas dari peranan modal social yang ikut memperkuat dalam hal kapabilitas institusi di Negara Singapore, Hal tersebut dibuktikkan oleh oleh Indeks yang dirilis oleh WJP Indeks, yang menempatkan Singapore pada posisi penting. Berikut ini Indeks WJP :Gambar 2.4 Singapore dalam RIlis WJP Rule Of Law Indeks

Gambar 2.4 diatas menjelaskan tentang performance Singapore khususnya dalam hal Korupsi, keamanan penegakan hukum, akses kepada pemerintahan menunjukkan sangat baik dilihat dari segi score maupun rangking.Sumber: WJP Rule Of Law Indeks (2011 h. 92)

Rilis yang dilakukan WJP Rule Of Law Indeks menunjukkan ( 2011 h. 28 ) Singapore memiliki peringkat yang baik di tingkat global maupun regional, pertama Singapore menduduki peringkat kedua dalam memberikan keamanan bagi warganya, Administrasi public efektif dan korupsi di Singapore minimal menduduki posisi ke empat, Sistem peradilan Salah satu yang paling efektif didunia, yaitu dengan menduduki peringkat ke 5. Hal tersebut tentunya menimbulkan dampak bagi Singapore menurut BTI (2011) menyebutkan bahwa beberapa prestasi penting didapatkan akibat penerapan institusi pemerintahan yang efisien dan bebas korupsi, pertama kita dapat melihat dari segi infrastuktur, jaringan jalan menghubungkan seluruh wilayah Singapore, dan Singapore juga memiliki pelabuhan kontener terbesar didunia dan memiliki salah satu bandara terpadat di dunia yaitu Changi yang melayani lebih dari 42 juta penumpang pertahun.

2.2 Pengaruh Praktek Bounding Social Capital dan Pemulihan Perekonomian Thailand Pasca Krisis Ekonomi tahun 1997/1998Sementara itu, Di Thailand, study mengenai praktek Social capital di bawah rezim Thaksin Shinawatra dalam penanganan krisis ekonomi yang terjadi di tahun 1997, mengacu pada beberapa teori diatas yang menjelaskan mengenai social capital dapat disimpulkan bahwa elemen penting dari social capital adalah norma, hubungan timbal balik, kepercayaan, dan jaringan. Lalu mengapa Thailand dikategorikan sebagai menganut praktek Bounding Social Capital, karena mengacu pada Supriono (2010 h. 5) masyarakat Thailand yang homogen, hal ini senada dengan Rilis yang dilakukan CIA (2013) menyebutkan bahwa masyarakat Thailand terdiri dari etnis Thai 75%, China 14% dan lainnya sekitar 11 %, Selain itu Bounding Social Capital dijelaskan oleh Putnam dalam Supriyono (2010 h. 5) pada masyarakat sacred society sebagai sebuah dogma yang mendominasi masyarakat yang Hirarki, serta pola interaksi social dituntun oleh norma yang menguntungkan level Hirarki dan feodalisme tertentu, seperti kita tahu merupakan sebuah monarki konstitusional, sementara itu menurut Mccargo (2005 h. 500) menjelaskan mengenai pola kekuasaan di Thailand, bahwa dari tahun 1973 hingga tahun 2001 bahwa raja Bhumibol yang berkuasa penuh, namun hal ini berubah pada tahun 2001 ketika pengusaha telekomomunikasi memimpin Thailand yaitu Thaksin Shinawatra, mengubah pola perpolitikan yang selama ini akibat dukungan public yang kuat terhadap Thaksin Shinawatra. Namun kuatnya dukungan rakyat terhadap Thaksin sebelum akhirnya dikudeta, tidak dapat dilepaskan dari kemampuan Thaksin dalam penangan krisis yang terjadi. Sebelum melihat proses penanganan krisis yang terjadi di Thailand menurut Warr (2011 h. 1) menunjukan oeriode sejarah perekonomia Thailand dari tahun 1951 hingga 2006 berdasarkan indicator pendapatan perkapita dan tingkat pertumbuhan ekonominya dan Warr (2011 h. 1) membaginya menjadi empat periode: pertama Pra-boom (hingga tahun 1986), kedua booming tahun 1987 hingga 1996, ketiga periode krisis tahun (1997-1999) dan keempat pemulihan tahun (2000-2006), dalam periodesasi tersebut, akan dilihat periodesasi penanganan krisis dari tahun 2000 hingga 2006 dibawah Thaksin Shinawatra.Pasca terjadinya krisis ekonomi tahun 1997, Warr (2011 h. 2 ) menjelaskan perekonomian Thailand diambang kehancuran dalam beberapa indicator mampu menjelakan yaitu keluarnya investasi asing, meningkatnya angka kemiskinan, runtuhnya nilai tukar Bath. Dan pemerintahan Thailand dipaksa menerima bantuan dari IMF dan kebijakan bailout senilai 172 miliar US$ dipilih untuk memperbaiki system keuangan yang bangkrut dan mengembalikan kepercayaan public (Warr 2011 h. 2) , selain itu menurut Scmid ( 2007 h. 4) pada tahun 1998 pemerintah Thailand melakukan pemorongan 35 persen anggran untuk pelayanan social, 26 persen untuk pertanian, 27 persen untuk pengembangan ilmu pengetahuan, selain itu IMF dan Bank Dunia memperkenalkan program penggabungan dengan system pasar, hal ini dikatakan Scmith (2007 h. 4) peningkatan pajak konsumsi dan pemotongan gaji pegawai negeri. Namun pada tahun 2001 keadaan berubah ketika Thaksin Shinawatra terpilih menjadi perdana menteri Thailand, Berdasarkan jurnal yang ditulis oleh Ufen (2007 h. 15) pemilu 2001 dan 2005 dimenangkan oleh Thai Rak Thai yang didirikan oleh milioner pemilik media Thaksin Shinawatra berhasil mendapatkan 248 dari 500 kursi parlemen di pemilu tahun 2001. Kebijakan ekonomi pada masa Thaksin Shinawatra menurut Phongpaichit (2003 h. 2) dilatar belakangi oleh sentiment nasionalisme dari kelompok bisnis local yang dipengaruhi oleh efek negative krisis 1997, kebijakan penanganan krisis tidak dapat dipisahkan dari praktek social capital, hal dijelaskan oleh hipotesis yang ditulis oleh Mangkuprawira (2000 h. 4):

Gambar 3.1 Hubungan Modal Sosial dengan Kesejahteraan masyarakat

Gambar 3.1 menjelaskan tentang hubungan modal social dengan kesejahteraan yang didalamnya terdapat jejaring social rasa saling percaya dan kebersamaan yang akan menjadi modal optimal dalam penciptaan kesejah teraan masyarakatSumber: Mangkuprawira (2005 h. 4)

Lalu mangapa dalam hal ini penulis mencoba menghubungkan antara modal social dengan pemulihan krisis yang terjadi di Thailand ? karena melibatkan sentiment nasionalisme, hal ini terlihat Phongpaichit (2003) yang melihat prioritas kebijakan Thakshnomics yaitu pertumbuhan, perdagangan bebas dan pemelharaan kapitalisme domestic agar masyarakat lebih menerima mafaat dari pertumbuhan, Sementara itu Looney (2004 h. 70) menjaskan kebijakan Thaksinomics, menggabungkan elemen tradisional dan kebijakan arahan IMF, biasa disebut kebijakan dualtrack, langkah pertama dari kebijakan Thaksinomics fokus pada pengentasan kemiskinan pada daerah miskin seperti program pendampingan pertanian, pemberian insentif terhadap orang miskin, memberikan bantuan terhadap desa - desa, pendirian bank rakyat, Langkah kedua menurut Phongpaichit (2003) adalah melanjutkan perdagangan bebas, menjaga tingkat pengangguran dan menjaga tingkat pertumbuhan PDB pertahun. Sementara itu, praktek kebijakan Thaksinomiks pada dasarnya memiliki implikasi pada modal social terhadap Thakshin Shinawatra, hal ini dikarenakan kebijakan Thaksin yang sangat populis bagi masyarakat pedesaan, menurut Boonpern dkk (2012 h. 2) pada tahun 2001 pemerintah Thailand mengaluarkan program dana pedesaan dan perkotaan secara bergilir, setiap masyarakat desa dan kota diberikan modal kerja untuk membuat usahanya, hingga pada tahun 2005 program ini menjadi yang terbesar di dunia karena meminjamkan 259 miliar bath dengan jangkauan 17,8 juta orang. Kebijakan pro rakyat tersebut menurut Tangpianpang (2010 h. 27) membuat Thaksin Shinawatra kembali memenangkan pemilu 2005 meraih 19 juta suara, hal ini dikarenakan rusaknya citra partai Demokrat pasca krisis, mengurangi pengaruh local dijelaskan oleh Tanpianpang (2010) sebagai peguasa di pedesaan. Tingginya kepercayaan masyarakat terhadap Thaksin Shinawatra dan partai Thai Rak Thai terlihat pada perolehan kursi di parlemen tahun 2001 dan 2005

Gambar 3.2 Perolehan Kursi Parlemen Thai Rak Thai di Pemilu 2001 dan 2005

Gambar 3.2. menunjukkan perolehan kursi parlemen Thai Rak Thai di pemilu 2001 dan 2005, memperoleh kursi mayoritas di parlemen, tahun 2005 memperoleh 377 kursi atau 75% dari 500 kursi parlemenSumber: Orathai 2002 dan Chambers (2006) dalam Ufen (2007 h. 20)Berikut ini beberapa indicator yang menunjukkan proses kemajuan ekonomi Thailand pasca krisis, hal tersebut juga membuktikan bahwa kesuksesan implementasi kebijakan ekonomi Thaksinomics.Gambar 3.3 Pertumbuhan GDP Per Kapita Thailand pasca krisis ekonomi tahun 1997

Gambar 3.3 menunjukkan trend pertumbuhan GDP Thailand pasca krisis ekonomi (fase pemulihan) dibawah Thaksin Shinawatra GDP perkapita Thailand tumbuh 5 persen di tahun 2005Sumber: Asian Development Bank dalam Warr (2007 h. )Gambar 3.4 Perbandingan Pertumbuhan GDP per Kapita Thailand dengan Kawasan

Gambar 3.4 menjelaskan pertumbuhan GDP Per Kapita Thailand yang mengalami pertumbuhan pasca krisis ekonomi 1997/1998Sumber : Asian Development Bank dalam Warr (2007 h. )Dari Hipotesis diatas kita dapat menarik benang merah antara proses pemulihan Thailand pasca krisis ekonomi 1997/1998, hal tersebut menjadi penting karena ada factor modal social yang mendorong dan mempercepat pemulihan Thailand krisis ekonomi, selain itu kebijakan ekonomi Thaksin Shinawatra yang biasa dikenal dengan Thaksinomics memadukan beberapa unsur salah satunya adalah modal social, mengapa karena ada factor kebersamaan, kepercayaan dan memanfaatkan jaringan masyarakat pedesaan, hal ini menjadi sumber daya efektif dalam pemulihan ekonomi Thailand pasca krisis ekonomi. Indicator pemulihan ekonomi terlihat dari pertumbuhan GDP Per Kapita Thailand, yang mengalami penurunan saat krisis ekonomi.

Kesimpulan

Berdasarkan topic diatas yang berjudul Analisis Pengaruh modal sosial terhadap demokrasi Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Modal Sosial , mengacu pada beberapa teori yang menjelaskan mengenai social capital dapat disimpulkan bahwa elemen penting dari social capital adalah norma, hubungan timbal balik, kepercayaan, dan jaringan. Sementara itu memiliki pengaruh penting dalam pembangunan ekonomi di kedua Negara tersebut , kedua Negara tersebut memiliki praktek social capital yang berbeda, hal tersebut dikarenakan karakteristik masyarakat di kedua Negara, Singapore menganut praktek Bridging Social Capital artinya menjembatani perbedaan yang ada karena banyaknya etnis yang mendiami Singapore, Lee Kuan Yew menjadikan perbedaan menjadi sebuah modal social dalam membangun Singapore, Selain itu Nilai Asia yang dianut Lee Kuan Yew juga memiliki pengaruh penting dalam pembangunan ekonomi Singapore, tingginya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah juga menjadi modal social penting, hal ini juga mempengaruhi performance institusi di Singapore yang mampu mendukung pembangunan Ekonomi Singapore.Thailand menganut Bounding Social Capital, hal dikarenakan karakteristik masyarakat Thailand yang Homogen, Masyarakat Thailand yang masih sangat feudal dan hirarkis, hal ini terjadi karena Thailand merupakan sebuah kerajaan memiliki nilai yang dianut oleh masyarakatnya. Dari analisis diatas dapat kita lihat peranan modal social dalam pemulihan pasca krisis ekonomi 1997/1998, keberhasilan kebijakan Thailand dibawah Thaksin Shinawatra (Thaksinomics) sangat dipengaruhi factor modal social karena didalam modal social, kepercayaan masyarakat menjadi penting dalam pemulihan Thailand dari krisis.

Daftar Pustaka

Buku

Abshire E, Jean. 2011. The Singapore History. CA: GreenwoodKrishna, Anirudh. 1893. Active Social Capital: Tracing TheRootsof Development and Democracy. New York: Columbia University.Rodan, Garry. 2004. Transparancy And Authoritharian Rules In Southeast Asia. London: Routledge CurzonWJP. (2011) "Rule Of Law Index" Washington: WJPYew, Lee Kuan. 2000. From Third World To First. Singapore: Harper Business.

JurnalAmaldas, Marystella. (2009) "The Management Of Globalization in Singapore:Twentieth Century Lessons For the Early Decades Of The New Century" Journal Of Alternative Perspectives in the Social Science (2009) Vol 1, No 3, 982-1002Boonpern, Jirawan dkk (2012) "Appraising the Thailand Village Fund" Research Policy Paper 5998 The World BankBTI (2012) " Singapore Country Report " Bertelsmann Stiftung's Trasformation Index (BTI) 2012.C.P.F Luhulima (2010) Analisis Perbandingan Sistem Pemerintahan Malaysia dan Singapore (http://yoursdp.org/index.php/perspective/vantage/3818-singapore-and-its-road-to- democracy).Chua, Vincent. (2010) "Social Capital And Inequality In Singapore" Thesis Degree Of Doctor Philosphy, Department Sosiology, University of TorontoCIA. 2013. The World Factbook2013-14. Washington, DC: Central Intelligence AgencyColeman S, James. (1988) "Social Capital in The Creation of Human Capital " The American Journal Of Sosiology (1988) pp. 195-S120Elgin, Molly. (2010) "Asian Values: A New Models For Development " Jornal Summer 2010 Stanford University 135-145.Gordon, Uri. (2010) Machiavelli's Tiger: Lee Kuan Yew and Singapore's Authoritarian Regime Jurnal Department of Political Science, Tel Aviv University, Israel, 2010Intarakumnerd, Patarapong. (2011) 'Thaksin's Legacy: Thaksinomics and Its Impact on Thailands National Innovation System and Industrial Upgrading" International Journal Of Institution and Economies Vol. 3 No. 1 April 2011, pp.31-60Keong T, Tan. (2010) "Social Capital and Singapore Society" National University Of Singapore (NUS)Lazar M, MIchelle. (2001) "For the good of the nation: 'Strategic egalitarianism' in the Singapore context " Nation and Nationalism 7 (1) 2001, 59-74ASEN 2001Liu, Hong. (2003) Social Capital and Business Networking: A Case Study of Modern Chinese Transnationalism Southeast Asia Studies Vol. 39 No. 3 December 2001Looney, Robert (2004) "Thaksinomics: A New Asian Paradigm ? " Volume 29 Number 1, Spring 2004.Mangkuprawira, Sjafri (2005) "Strategi Peningkatan Kapasitas Modal Sosial Dan Kualitas Sumber Daya Manusia Pendamping Pengembangan Masyarakat " Makalah Pengembangan Panel Utama IPBMcCargo, Duncan. (2005) " Network Monarchy and legitimacy crises in thailand " The Pacific Review , vol 18 No. 4 December 2005 499-519 RoutledgeOECD (2010) "Singapore Rapid Improvement Followed by Strong Performance " OECD USA 159-176Phongpaichit, Pasok. (2003) "Financing Thaksinomics" JSPS Core University Project, Center for Southeast Asian StudiesSabatini, Fabio. (2008) "Social Capital and The Quality Of Economic Development" KYKLOS, Vol 61-2008-No. 3, 466-499.Schmidt, J. D. (2007). From Thaksin's Social Capitalism to Self-sufficiency Economics in Thailand. Paper presented at Autochthoneity or Development? Asian Tigers' in the World: Ten Years after the Crisis, Wien, Austria.Supriono, Agus dkk. (2010) "Modal Sosial: Definisi, Demensi, Dan Tipologi" Jurnal ISIP " 1-10 2010 Tangpianpang G, Patana. (2010) " Thaksin Populism And Beyond: A Study Of Thaksin Pro Poor Populist Policies in Thailand" Wasleyan University April, 2010Trochke, Manuela (2011) : Social capital and economic development: The case of Uzbekistan, Arbeiten aus dem Osteuropa-Institut Regensburg, Arbeitsbereich Wirtschaft, Migration und Integration, No. 310Ufen, Andreas (2007) "Political Party and Party System Institutionalisation in Southeast Asia:A Comparison of Indonesia, the Philippines, and Thailand" GIGA Research Programme: Legitimacy and Efficiency of Political System March 2007Warr, Peter (2011) : Thailand's development strategy and growth performance, Working paper // World Institute for Development Economics Research, No. 2011,02, ISBN 978-92-9230-365-5Wiliam and Durrance (2008) "Social Networks And Social Capital Rethingking Theory In Community Informatics" Vol 4 No 3 (2008)

WEBSITEhttp://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/05/23/17323166/pendapatan.orang.singapura.tertinggi.di.dunia/23/6/2013