ANALISIS PENGARUH BELANJA PEMERINTAH DAERAH...

132
ANALISIS PENGARUH BELANJA PEMERINTAH DAERAH TERHADAP PDRB DAERAH OTONOMI BARU (DOB) TERTINGGAL SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Untuk Memenuhi Syarat-syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Oleh: Silviana Arie Yuningsih NIM: 11150840000065 PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019 M / 1440

Transcript of ANALISIS PENGARUH BELANJA PEMERINTAH DAERAH...

ANALISIS PENGARUH BELANJA PEMERINTAH DAERAH

TERHADAP PDRB DAERAH OTONOMI BARU (DOB) TERTINGGAL

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Untuk Memenuhi Syarat-syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

Oleh:

Silviana Arie Yuningsih

NIM: 11150840000065

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2019 M / 1440

i

ii

iii

iv

v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Silviana Arie Yuningsih

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 6 Juni 1997

Alamat : Jl. H. Kuling No. 123 Petukangan Utara,

Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan

Telepon : 089667367394

Email : [email protected]

II. LATAR BELAKANG KELUARGA

Ayah : Jamsuri

Tempat, Tanggal Lahir : Tangerang, 14 Juni 1968

Ibu : Rohana

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 03 November 1975

Anak ke : 1 dari 2 bersaudara

III. PENDIDIKAN

1. TK Risanti II

2. SDN 03 Meruya Selatan

3. SMPN 206 Jakarta Barat

4. SMKN 43 Jakarta Selatan

5. S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

vi

IV. PRESTASI DAN PENGHARGAAN

1. Piagam Penghargaan Peraih Nilai UN Tertinggi Mata Pelajaran

Kompetensi (2015)

2. Penerima Beasiswa Prestasi LP3I (2015)

3. Piagam Penghargaan Kompetensi Keahlian Akuntansi (2015)

4. Penerima Beasiswa PPA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2017)

V. PENGALAMAN BEKERJA

1. Prakerin Divisi Sentra Operasi, PT. Bank Rakyat Indonesia (persero) Tbk.

(2014)

2. Prakerin Department Pelayanan Markas Polri, Markas Besar Kepolisian

Negara RI (2014)

3. Magang Customer Service, HIJUP.com (2016)

4. Magang Divisi Human Capital, PT. SUCOFINDO (2018)

5. Magang Divisi FA, Ritase.com (2019)

6. Admin Online Shop, PT. Halosis (2019)

VI. PENGALAMAN ORGANISASI

1. Anggota OSIS SMKN 43 Jakarta Selatan (2013)

2. Anggota Panitia Acara Pentas Seni SMKN 43 Jakarta Selatan (2015)

3. Anggota HMJ Ekonomi Pembangunan Departemen Kemahasiswaan

(2016)

4. Anggota HMJ Ekonomi Pembangunan Departemen Internal (2017)

vii

ABSTRACT

The diversity of economic growth between regions in Indonesia is one of

the factors that bring up the conception of developed and underdeveloped regions.

In essence the government has two policies in an effort to encourage economic

growth, one of them is fiscal policy. In fiscal policy, government expenditure is a

form of stimulus by government to the economy. The theory is directly

proportional to one of the strategic issues in the development efforts of

underdeveloped regions, namely the weak quality of expenditure in

underdeveloped regions. Then this study aims to analyze the effect of allocation of

regional government expenditure represented by Indirect Expenditures and Direct

Expenditures on Economic Growth represented by GRDP in 10 Underdeveloped

New Autonomous Regions (DOB) in 2014 to 2017. This study uses panel data

analysis with the approach of Random Effect Model (REM). The results shows

that partially Indirect Expenditures and Direct Expenditures have positive and

significant effect on GRDP in 10 Underdeveloped New Autonomous Regions

(DOB) in 2014 to 2017. Simultaneously Indirect Expenditures and Direct

Expenditures have an effect on GRDP in 10 Underdeveloped New Autonomous

Regions (DOB) in 2014 to 2017.

Keywords: Economic Growth, Indirect Expenditures, Direct Expenditures, and

Random Effect Model (REM).

viii

ABSTRAK

Keragaman pertumbuhan ekonomi antardaerah di Indonesia adalah salah

satu faktor yang memunculkan konsepsi daerah maju dan daerah tertinggal. Pada

hakikatnya pemerintah memiliki dua kebijakan dalam upaya mendorong

pertumbuhan ekonomi, salah satunya yaitu kebijakan fiskal. Dalam kebijakan

fiskal, belanja pemerintah merupakan bentuk rangsangan yang dilakukan oleh

pemerintah terhadap perekonomian. Teori tersebut berbanding lurus dengan salah

satu isu strategis dalam upaya pembangunan daerah tertinggal, yaitu lemahnya

kualitas belanja daerah tertinggal. Maka penelitian ini bertujuan untuk

menganalisis pengaruh alokasi belanja pemerintah daerah yang diwakili oleh

Belanja Tidak Langsung dan Belanja Langsung terhadap Pertumbuhan Ekonomi

yang diwakili oleh PDRB di 10 Daerah Otonomi Baru (DOB) Tertinggal Tahun

2014-2017. Penelitian ini menggunakan analisis data panel dengan pendekatan

Random Effect Model (REM). Hasil menunjukkan bahwa Belanja Tidak Langsung

dan Belanja Langsung berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap PDRB

di 10 Daerah Otonomi Baru (DOB) Tertinggal Tahun 2014-2017. Secara

simultan, Belanja Tidak Langsung dan Belanja Langsung berpengaruh secara

signifikan terhadap PDRB di 10 Daerah Otonomi Baru (DOB) Tertinggal Tahun

2014-2017.

Kata Kunci: Pertumbuhan Ekonomi, Belanja Tidak Langsung, Belanja

Langsung, dan Random Effect Model (REM).

ix

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmannirrahim

Assalamualaikum Wr.Wb.

Segala puji dan syukur kepada Allah Subhanahu Wata’ala yang karena

izin-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Pengaruh

Belanja Pemerintah Daerah Terhadap PDRB Daerah Otonomi Baru (DOB)

Tertinggal” dengan baik dan lancar. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah

kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam berserta keluarga dan para

sahabatnya.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar

Sarjana Ekonomi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi

ini dapat terselesaikan tentu atas bimbingan, bantuan dan semangat dari orang-

orang yang ada di sekeliling penulis. Tanpa orang-orang di sekeliling yang

mendukung, penulis mungkin tidak dapat menyelesaikan skripsi ini dengan tepat

waktu. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Orang tua, Umi ku Rohana dan Ayahanda Jamsuri yang selalu

memberikan doa yang tiada henti dan restu serta dukungan moril maupun

materi kepada penulis, sehingga semangat penulis tetap terjaga dalam

menyelesaikan tugas skripsi ini. Terima kasih atas segalanya, semoga saya

dapat terus membahagiakan kalian dan semoga Allah SWT. selalu

menjaga kalian.

2. Adikku tersayang, Muhammad Rifki Maulana yang merupakan salah satu

semangatku, terima kasih sudah selalu membantu, berbagi canda dan tawa

di kala penulis sedang merasa lelah.

x

3. Bapak Prof. Dr. Amilin, SE.,Ak.,M.Si.,CA.,QIA.,BKP.,CRMP selaku

Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

beserta seluruh jajarannya.

4. Bapak Dr. Hartana Iswandi Putra. M.Si dan Bapak Deni Pandu Nugraha

SE. M.Sc selaku Ketua Jurusan dan Sekretaris Prodi Ekonomi

Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak Arief Fitrijanto M.Si selaku dosen pembimbing skripsi, terima

kasih atas seluruh kesediaan waktu, tenaga, pikiran dan ilmu yang

bermanfaat yang telah diberikan hingga penulisan skripsi ini selesai.

6. Bapak Zaenal Mutaqqin, MPP selaku dosen pembimbing akademik

penulis sejak awal perkuliahan.

7. Seluruh Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan

Bisnis beserta jajarannya yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama

masa perkuliahan dan penulisan skripsi ini.

8. Keluarga Besar HMJ Ekonomi Pembangunan UIN Jakarta periode

2016/2017.

9. Teman terbaik sejak menjadi MaBa (Ayu, Ana, Ute, Eja, Desti, dan Tia)

yang sudah mengisi hari-hari di kampus dan memberikan cerita manis.

Semoga kebersamaan kita selalu. Sukses untuk kita

10. Keluarga besar Ekonomi Pembangunan angkatan 2015 yang sudah

menjadi teman baik dalam berjuang bersama. See u on top guys

11. Team Kuy (Amei, Inka, Dela, Sarah, Firly, Defi, Widya, Panca, dan

Rahmat) yang sudah menjadi penghibur dan selalu kuy untuk sekedar

berbagi cerita bersama sejak di masa SMK.

12. Kayan yang selama ini sudah memberikan dukungan, doa, dan selalu ada

saat penulis membutuhkan. Terima kasih banyak untuk supportnya.

13. FDAS (Fany, Dhieta, dan Dinda) yang telah menjadi sahabat baik sejak

duduk di sekolah dasar.

14. BAZVAR, sahabat sejak masa SMP yaitu Ayu, Ayas, Fany, Rahma, dan

Rara yang telah menjadi tempat berbagi keluh kesah serta hal-hal lucu

yang selalu membuat tertawa.

xi

15. Nabila dan Shesyll, adikku sekaligus teman main masa kecil hingga saat

ini. Sukses untuk kalian dan tetap seperti ini ya!

16. Teman-teman semasa penulis bekerja, khususnya Ka Septi, Ka Hilda,

Mervi, Felda, Ka Yulvi, Ajis, dan Ka Melly. Terima kasih untuk kerja

sama dan pengalamannya.

17. Serta untuk orang-orang yang turut membantu penulis dalam penulisan

skripsi ini dan tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena

keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang penulis miliki. Oleh sebab

itu, penulis menerima segala bentuk kritik dan saran yang membangun untuk

pencapaian yang lebih baik.

Wassalamualaikum Wr.Wb

Jakarta, September 2019

Silviana Arie Yuningsih

xii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI...................................... i

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH........................... iii

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI................................................... iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP............................................................................. v

ABSTRACT.......................................................................................................... vii

ABSTRAK.......................................................................................................... viii

KATA PENGANTAR.......................................................................................... ix

DAFTAR ISI........................................................................................................ xii

DAFTAR TABEL................................................................................................ xv

DAFTAR GRAFIK.......................................................................................... xvii

DAFTAR GAMBAR........................................................................................ xviii

DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... xix

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1

A. Latar Belakang............................................................................................ 1

B. Batasan Masalah........................................................................................ 11

C. Rumusan Masalah..................................................................................... 11

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian................................................................. 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 13

A. Landasan Teori.......................................................................................... 13

1. Pertumbuhan Ekonomi........................................................................ 13

2. Pengeluaran/Belanja Pemerintah........................................................ 21

3. Daerah Otonomi Baru (DOB)............................................................. 31

4. Daerah Tertinggal................................................................................ 41

B. Penelitian Terdahulu.................................................................................. 44

C. Hubungan Antar Variabel......................................................................... 57

xiii

D. Kerangka Pemikiran.................................................................................. 58

E. Hipotesis Penelitian................................................................................... 59

BAB III METODOLOGI PENELITIAN......................................................... 59

A. Ruang Lingkup Penelitian......................................................................... 59

B. Metode Penentuan Sampel........................................................................ 59

C. Metode Pengumpulan Data....................................................................... 60

D. Metode Analisis Data................................................................................ 61

E. Operasional Variabel Penelitian................................................................ 70

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN...................................................... 71

A. Gambaran Umum Kondisi Daerah............................................................ 71

1. Karakteristik Daerah Tertentu............................................................. 72

2. Karakteristik Daerah........................................................................... 74

3. Aksesibilitas........................................................................................ 75

4. Sarana dan Prasarana........................................................................... 77

5. Sumber Daya Manusia........................................................................ 78

6. Kemampuan Keuangan Daerah........................................................... 79

B. Struktur Belanja Pemerintah..................................................................... 80

C. Pertumbuhan Ekonomi.............................................................................. 81

D. Temuan Hasil Penelitian........................................................................... 82

1. Estimasi Model Data Panel................................................................. 82

a. Uji Chow....................................................................................... 83

b. Uji Hausman.................................................................................. 84

c. Uji Lagrange Multiplier................................................................ 86

d. Random Effect Model.................................................................... 86

2. Pengujian Hipotesis............................................................................. 87

a. Uji Signifikan Simultan (Uji F-statistik)....................................... 87

b. Uji Koefisien Determinasi (R2)..................................................... 88

c. Uji Signifikan Parsial (Uji t-statistik) dan Pembahasan Analisis.. 89

d. Individual Effect............................................................................ 93

xiv

BAB V PENUTUP............................................................................................... 96

A. Kesimpulan................................................................................................ 96

B. Saran.......................................................................................................... 97

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 98

LAMPIRAN....................................................................................................... 103

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Daftar Daerah Otonomi Baru (DOB) Tertinggal .................................. 3

Tabel 1.2 Perbandingan Rata-rata Pendapatan Per Kapita 10 DOB

Tertinggal dengan Nasional Tahun 2013-2017 ..................................... 4

Tabel 1.3 Perbandingan Persentase Penduduk Miskin 10 DOB

Tertinggal dengan Nasional Tahun 2015-2017 ..................................... 5

Tabel 1.4 Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia 10 DOB

Tertinggal dengan Nasional Tahun 2013-2017 ..................................... 6

Tabel 1.5 Pertumbuhan Ekonomi 10 DOB Tertinggal

Tahun 2014-2017 .................................................................................. 9

Tabel 1.6 Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah DOB

Pembentukan 2009-2013 ..................................................................... 10

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu ............................................................................ 49

Tabel 3.1 Jenis dan Sumber Data yang Digunakan sebagai Variabel ................. 60

Tabel 3.2 Definisi Operasional Variabel ............................................................. 70

Tabel 4.1 Daerah Otonomi Baru (DOB) Tertinggal ............................................ 71

Tabel 4.2 Persentase Daerah Rawan Bencana dan Konflik

di 10 DOB Tertinggal Tahun 2014 ...................................................... 74

Tabel 4.3 Rata-Rata Jarak Kantor Desa ke Kabupaten dan Pelayanan

Pendidikan di 10 DOB Tertinggal Tahun 2014 ................................... 75

Tabel 4.4 Jumlah Desa dengan Akses Menuju Tempat Pelayanan

Kesehatan > 5 Km di 10 DOB Tertinggal Tahun 2014 ....................... 76

xvi

Tabel 4.5 Persentase Jenis Permukaan jalan di 10 DOB Tertinggal

Tahun 2014 .......................................................................................... 77

Tabel 4.6 PDRB ADHK dan PDRB Per Kapita ADHB pada

10 DOB Tertinggal Tahun 2016-2017................................................. 78

Tabel 4.7 Hasil Estimasi Common Effect Model / PLS ....................................... 83

Tabel 4.8 Hasil Estimasi Fixed Effect Model ...................................................... 83

Tabel 4.9 Uji Chow (Reduntant Fixed Effects Tests) ......................................... 84

Tabel 4.10 Hasil Estimasi Random Effect Model................................................. 85

Tabel 4.11 Uji Hausman (Correlated Random Effects - Hausman Test) ............ 85

Tabel 4.12 Uji Lagrange Multiplier .................................................................... 86

Tabel 4.13 Hasil Regresi Random Effect Model ................................................. 87

Tabel 4.14 Uji F-statistik ..................................................................................... 88

Tabel 4.15 Uji Koefisien Determinasi ................................................................. 88

Tabel 4.16 Uji t-statistik ...................................................................................... 90

Tabel 4.17 Cross-section Effects.......................................................................... 93

xvii

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1.1 Pendapatan dan Belanja Daerah (Nasional) ......................................... 8

Grafik 4.1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Tahun 2013-2018 ................. 77

Grafik 4.2 Rasio Derajat Desentralisasi, Tahun 2014-2017 ................................ 78

Grafik 4.3 Realisasi Belanja Menurut Kabupaten Tahun 2017 ........................... 80

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kurva Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah menurut Wagner...... 25

Gambar 2.2 Kurva Perkembangan Pengeluaran Pemerintah................................ 27

Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Teoritis............................................................ 57

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 ........................................................................................................ 103

A. Data Penelitian ....................................................................................... 103

B. Setelah di LOG ...................................................................................... 105

Lampiran 2 Hasil Estimasi Model Data Panel .................................................. 107

A. Common Effect Model .......................................................................... 107

B. Fixed Effect Model ................................................................................ 108

C. Uji Chow ............................................................................................... 109

D. Uji Hausman .......................................................................................... 110

E. Uji Lagrange Multiplier ......................................................................... 111

F. Random Effect Model ........................................................................... 112

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tujuan pembangunan daerah pada hakikatnya adalah mewujudkan

masyarakat yang mempunyai tingkat kesejahteraan sosial yang tinggi, serta bagian

integral dari pembangunan nasional yang sedang dilaksanakan. Namun dalam

perjalanannya, berbagai kendala masih sering dijumpai. Kemajuan pertumbuhan

ekonomi yang berkesinambungan di setiap daerah menjadi perhatian pemerintah

karena pada dasarnya pertumbuhan ekonomi nasional merupakan akumulasi

pertumbuhan ekonomi daerah. Pertumbuhan ekonomi antardaerah di Indonesia

sangat beragam. Keragaman tersebut menjadi salah satu faktor yang

memunculkan konsepsi daerah maju dan daerah tertinggal.

Sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang

Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, yang kemudian diperbarui dengan

Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004,

telah terjadi pelimpahan kewenangan yang semakin luas kepada pemerintah

daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya sendiri demi

meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan fungsi pemerintah daerah.

Kedua undang undang tersebut adalah sebagai payung hukum pelaksanaan dan

tonggak awal diselenggarakannya otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah

membawa suatu harapan untuk dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi yang

selanjutnya akan tercapai peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Selama tujuh belas tahun pelaksanaan otonomi daerah, ternyata masih

banyak daerah yang dikategorikan sebagai daerah tertinggal. Hal itu tertuang

dalam Peraturan Presiden (perpres) No. 131 Tahun 2015 tentang Penetapan

Daerah Tertinggal Tahun 2015-2019 yang menyatakan bahwa daerah tertinggal

adalah daerah kabupaten yang wilayah serta masyarakatnya kurang berkembang

dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional.

2

Dalam RPJMN 2015-2019 dan Perpres tersebut terdapat 122 daftar daerah

yang ditetapkan sebagai daerah tertinggal, dimana persebaran daerah tertinggal

terkonsentrasi di kawasan Indonesia bagian timur, yakni 103 kabupaten atau 84,42

persen dari 122 jumlah daerah tertinggal terdapat di Kawasan Timur Indonesia.

Provinsi dengan jumlah kabupaten tertinggal terbanyak adalah Papua dengan 26

dari 29 kabupaten atau 89,66 persen wilayah di Provinsi Papua adalah daerah

tertinggal dan Nusa Tenggara Timur dengan 18 dari 22 kabupaten atau 81,82

persen wilayahnya berstatus daerah tertinggal.

Salah satu hal yang menandai adanya otonomi daerah di Indonesia adalah

semakin banyaknya daerah baru hasil dari pemekaran di berbagai daerah. Dalam

hal seperti adanya pemekaran daerah, menurut Perpres No. 131 Tahun 2015,

Presiden dapat menetapkan daerah tertinggal baru. Pemekaran wilayah

berkembang secara intensif sebagai salah satu upaya dalam pemerataan

pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Total daerah

otonomi di Indonesia sampai dengan tahun 2014 berjumlah 542 daerah otonomi.

Istilah pemekaran daerah sebenarnya dipakai sebagai upaya memperhalus bahasa

(eupheisme) yang menyatakan proses “perpisahan” atau “pemecahan” satu

wilayah untuk membentuk satu unit administrasi lokal baru (Makaganza, 2008).

Dari 122 daerah tertinggal yang telah ditetapkan sebagai daerah tertinggal,

sebanyak 113 kabupaten adalah daerah yang berkarakteristik tertinggal,

sedangkan sisanya ditambah dengan 9 Daerah Otonomi Baru (DOB)

(pembentukan tahun 2012/2013) yang masuk dalam daftar daerah tertinggal baru.

Sedangkan daftar Daerah Otonomi Baru (DOB) tertinggal yang menjadi fokus

penelitian adalah daerah pembentukan tahun 2009/2012/2013 dimana selama

periode tersebut terdapat pembentukan 16 Daerah Otonomi Baru (DOB) dan 62,5

persen atau 10 kabupaten diantaranya adalah termasuk daerah tertinggal baru. 10

kabupaten tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

3

Tabel 1.1

Daftar Daerah Otonomi Baru (DOB) Tertinggal

No. Daerah Otonomi

Baru

Daerah Induk Dasar UU

Provinsi Kab

1 Kab. Maybrat Papua Barat Sorong No. 13 Tahun

2009

2 Kab. Pesisir Barat Lampung Lampung

Barat

No. 22 Tahun

2012

3 Kab. Malaka NTT Belu No. 3 Tahun 2013

4 Kab. Mahakam Ulu Kalimantan

Timur

Kutai Barat No. 2 Tahun 2013

5 Kab. Banggai Laut Sulawesi Tengah Banggai Kep. No. 5 Tahun 2013

6 Kab. Mamuju

Tengah

Sulawesi Barat Mamuju No. 4 Tahun 2013

7 Kab. Pulau Taliabu Maluku Utara Kepulauan

Sula

No. 6 Tahun 2013

8 Kab. Morowali

Utara

Sulawesi Tengah Morowali No. 12 Tahun

2013

9 Kab. Musi Rawas

Utara

Sumatera Selatan Musi Rawas No. 16 Tahun

2013

10 Kab. Konawe

Kepulauan

Sulawesi

Tenggara

Konawe No. 13 Tahun

2013

Sumber: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi

RI, 2015

4

Salah satu indikator yang dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur

kemajuan pembangunan ekonomi suatu daerah adalah pendapatan regional per

kapita. Berdasarkan tabel 1.2, semua daerah otonomi baru tertinggal mengalami

peningkatan pendapatan regional per kapita sepanjang 2013-2017. Kabupaten

Mahakam Ulu, Morowali Utara dan Musi Rawas Utara adalah daerah yang

memiliki tingkat pendapatan regional per kapita rata-rata tertinggi dibandingkan

daerah lainnya sepanjang 2013-2017. Ketimpangan antara daerah tertinggal dan

nasional juga dapat dilihat dari indikator ini, yaitu masih cukup besarnya gap yang

terjadi. Dimana daerah otonomi baru tertinggal selalu memiliki rata-rata

pendapatan regional per kapita lebih rendah dari rata-rata pendapatan per kapita

secara nasional. Pada tahun 2017 misalnya, rata-rata pendapatan regional per

kapita daerah otonomi baru tertinggal berada di bawah nasional, atau hanya

sekitar 69 persennya saja.

Tabel 1.2

Perbandingan Rata-rata Pendapatan Per Kapita 10 DOB Tertinggal dengan

Nasional Tahun 2013-2017

PDRB Per Kapita Atas Dasar Harga Berlaku (Ribu Rupiah)

No. Kabupaten 2013 2014 2015 2016 2017

1 Maybrat 10686 11801 13006 14185 15535

2 Pesisir Barat 17665 19684 21561 23807 25995

3 Malaka 9191 10086 10929 11874 12843

4 Mahakam Ulu 61277 68682 76266 82097 88820

5 Banggai Laut 20199 22274 24267 26105 27949

6 Mamuju Tengah 15632 17351 18961 19991 21141

7 Pulau Taliabu 15565 17562 19122 20775 22402

8 Morowali Utara 56216 57557 66329 69449 74522

9 Musi Rawas Utara 28282 32043 32534 32772 34155

10 Konawe Kepulauan 24836 27335 29726 32236 34704

Rata-rata 25954,9 28437,5 31270,1 33329,1 35806,6

Indonesia 38365,9 41915,9 45119,6 47957,2 51887,3

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), 2018 (diolah)

5

Kemiskinan merupakan masalah multidimensi yang tidak mudah diatasi

dalam masyarakat. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata

pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan. Pengentasan

kemiskinan saat ini memasuki periode krusial karena menghadapi sasaran dimana

penduduk miskin banyak yang berada di daerah tertinggal, di wilayah terpencil

yang sulit terjangkau, wilayah perbatasan, wilayah pedalaman, atau pulau-pulau

terluar. Kemiskinan menjadi salah satu sasaran pokok pembangunan daerah

tertinggal dalam RPJMN 2015-2019. Masih banyaknya kantong kemiskinan di

daerah tertinggal tercermin pada angka kemiskinan di daerah tertinggal yang

mencapai 16,64 persen jauh di atas angka nasional sebesar 10,96 persen (BPS,

2014). Hal serupa juga terjadi pada 10 daerah otonomi baru tertinggal yang angka

kemiskinannya jauh di atas angka nasional, yaitu mencapai 16,39 persen pada

tahun 2015, 16,24 persen pada tahun 2016, dan 16,19 persen pada tahun 2017.

Tabel 1.3

Perbandingan Persentase Penduduk Miskin 10 DOB Tertinggal dengan

Nasional Tahun 2015-2017

Penduduk Miskin (%)

No. Kabupaten 2015 2016 2017

1 Maybrat 35,31 34,65 34,87

2 Pesisir Barat 15,81 15,91 15,61

3 Malaka 17,28 16,66 16,52

4 Mahakam Hulu 10,50 10,65 11,29

5 Banggai Laut 17,68 16,60 16,17

6 Mamuju Tengah 6,86 6,83 6,95

7 Pulau Taliabu 7,04 7,29 7,17

8 Morowali Utara 16,91 16,07 15,73

9 Musi Rawas Utara 19,73 20,00 19,49

10 Konawe Kepulauan 16,73 17,72 18,10

Rata-rata 16,39 16,24 16,19

Indonesia 11,13 10,70 10,12

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), 2018 (diolah)

6

Kemudian, kinerja pembangunan daerah tertinggal erat kaitannya dengan

kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai subjek pembangunan. Kualitas

SDM diukur melalui pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Jika

dilihat pada tabel 1.4, rata-rata IPM daerah otonomi baru tertinggal mengalami

peningkatan sepanjang 2013-2017. Namun, apabila dibandingkan dengan

nasional, rata-rata IPM daerah otonomi baru tertinggal masih relatif lebih rendah

dari IPM nasional yang mencapai 70,81 pada tahun 2017. Bahkan 3 dari 10

kabupaten, yakni Kabupaten Malaka, Pulau Taliabu, dan Maybrat masuk ke dalam

daftar kabupaten/kota dengan IPM berstatus “rendah”, dikarenakan memiliki IPM

< 60 (BPS, 2019). Hal ini berbanding terbalik dengan tujuan ekonomi yang ingin

dicapai dari adanya pemekaran daerah, yaitu terwujudnya peningkatan indeks

pembangunan manusia sebagai indikator peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Tabel 1.4

Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia 10 DOB Tertinggal dengan

Nasional Tahun 2013-2017

Indeks Pembangunan Manusia

Daerah Otonomi Baru Tahun

2013 2014 2015 2016 2017

Maybrat 54,93 55,36 55,78 56,35 57,23

Pesisir Barat 58,95 59,76 60,55 61,50 62,20

Malaka 56,14 56,94 57,51 58,29 58,90

Mahakam Hulu 63,81 64,32 64,89 65,51 66,09

Banggai Laut 61,86 62,12 62,90 63,49 64,08

Mamuju Tengah 61,05 61,48 62,22 62,89 63,64

Pulau Taliabu 56,86 57,31 58,26 58,66 59,03

Morowali Utara 65,01 65,81 66,00 66,57 67,35

Musi Rawas Utara 60,56 61,34 62,32 63,05 63,18

Konawe Kepulauan 61,15 61,31 61,72 62,56 63,44

Rata-rata 60,03 60,58 61,22 61,89 62,51

Indonesia 68,31 68,90 69,55 70,18 70,81

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), 2018

7

Penetapan suatu kabupaten mengalami ketertinggalan dapat diukur dengan

menggunakan standar yang telah ditetapkan sebelumnya mengacu pada Peraturan

Menteri DPDTT No. 3 Tahun 2016 tentang Petunjuk Teknis Penentuan Indikator

Daerah Tertinggal Secara Nasional, yaitu menggunakan 6 (enam) kriteria dan 27

(dua puluh tujuh) indikator yang meliputi kriteria perekonomian masyarakat,

sumber daya manusia, sarana dan prasarana, kemampuan keuangan daerah,

aksesibilitas, dan karakteristik daerah. Salah satu penyebab munculnya daerah

tertinggal adalah adanya kesenjangan pembangunan yang terjadi antara daerah

tertinggal dan non tertinggal, dan untuk mengurangi kesenjangan tersebut

diperlukan upaya pembangunan daerah tertinggal yang terencana dan sistematis

agar pemerataan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi antardaerah di

Indonesia cepat tercapai.

Pemerintah memiliki dua kebijakan dalam mendorong pertumbuhan

ekonomi yaitu kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Kebijakan moneter

merupakan kebijakan yang berkaitan dengan jumlah uang beredar di masyarakat.

Sedangkan kebijakan fiskal merupakan kebijakan pemerintah dalam bidang

pengeluaran dan pendapatannya dengan tujuan untuk menciptakan tingkat

kesempatan kerja yang tinggi tanpa inflasi (Sukirno, 2013). Dalam kebijakan

fiskal, pemerintah mengalokasikan penerimaan daerah dalam bentuk pajak

maupun bukan ke dalam belanja daerah. Keynes berpendapat bahwa ada dua

pendekatan yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam melakukan kebijakan

fiskal, yaitu: income approach (melalui pajak) dan expenditure approach (melalui

pengeluaran). Menurutnya, perekonomian akan tumbuh dengan baik jika

pemerintah menurunkan pajak atau menaikkan pengeluarannya (Mankiw, 2007).

Teori Keynes ini sejalan dengan salah satu isu strategis dalam upaya

pembangunan daerah tertinggal yaitu lemahnya kualitas belanja daerah tertinggal

(KDPDTT, 2015). Dalam hal ini peran pemerintah sangatlah penting dan

diperlukan dalam mendorong kemajuan pertumbuhan ekonomi suatu daerah.

8

Pengeluaran pemerintah atau belanja daerah merupakan bentuk

rangsangan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap perekonomian daerah

(Putra, 2010). Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran

pemerintah, atau lebih umumnya adalah ukuran dari sektor publik, adalah

pengeluaran pemerintah dapat menaikkan pertumbuhan ekonomi dalam jangka

panjang (Sodik, 2007). Berdasarkan Grafik 1.1 di bawah dapat diketahui adanya

pertumbuhan pendapatan daerah seiring dengan pertumbuhan belanja daerah

secara nasional dari tahun ke tahun. Dari TA 2008 hingga TA 2013, pendapatan

daerah dan belanja daerah mengalami pertumbuhan. Pendapatan tumbuh sebesar

75,3%. Pada TA 2008 nilai pendapatan sebesar Rp 365,1 Trilliun menjadi Rp

640,2 Triliiun pada TA 2013. Belanja mengalami kenaikan yang signifikan yaitu

sebesar 98,2%. Pada TA 2008 nilai belanja sebesar Rp 355,7 Triliun naik menjadi

Rp 704,9 Triliun pada TA 2013.

Grafik 1.1

Sumber: Kementerian Keuangan, 2013

9

Untuk memberikan gambaran mengenai kondisi pertumbuhan ekonomi

daerah otonomi baru tertinggal dapat dilihat tabel 1.5, diketahui bahwa daerah

otonomi baru tertinggal memiliki rata-rata laju pertumbuhan ekonomi relatif

rendah yakni sebesar 5,63 - 5,92 persen per tahun. Bahkan pada tahun 2014-2016

pertumbuhan ekonomi menurun, namun meningkat kembali pada tahun 2017.

Tabel 1.5

Pertumbuhan Ekonomi 10 DOB Tertinggal Tahun 2014-2017

DOB Tertinggal 2014 2015 2016 2017

Kab. Maybrat 6,33 5,51 6,40 6,56

Kab. Pesisir Barat 5,10 4,94 5,31 5,34

Kab. Malaka 5,08 4,90 5,02 5,11

Kab. Mahakam Hulu 4,94 3,32 3,41 4,23

Kab. Banggai Laut 7,83 7,98 7,86 6,58

Kab. Mamuju Tengah 5,93 6,73 4,94 5,70

Kab. Pulau Taliabu 5,89 5,62 5,69 5,65

Kab. Morowali Utara 0,46 7,21 6,40 7,48

Kab. Musi Rawas Utara 9,92 3,34 3,48 4,08

Kab. Konawe

Kepulauan

7,69 7,79 7,82 7,10

Rata-rata 5,92 5,73 5,63 5,78

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), 2018 (diolah)

Pertumbuhan PDRB, sebagai tolak ukur pertumbuhan suatu ekonomi regional

juga tidak bisa lepas dari peran pengeluaran pemerintah di sektor layanan publik.

Pengeluaran belanja langsung merupakan pengeluaran pemerintah untuk

pelaksanaan proyek-proyek terdiri dari sektor-sektor pembangunan dengan tujuan

untuk melakukan investasi. Pengeluaran belanja tidak langsung pemerintah

meliputi seluruh pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini

adalah pemerintah daerah otonomi baru tertinggal, dalam rangka penyelenggaraan

kegiatan administrasi pemerintahan.

10

Perkembangan pengeluaran pemerintah yang diukur dari besarnya belanja

langsung dan belanja tidak langsung antara DOB tertinggal dan DOB tidak

tertinggal pembentukan tahun 2009-2013 dapat di lihat pada tabel 1.6.

Berdasarkan tabel 1.6, ditunjukkan bahwa perkembangan belanja langsung DOB

Tertinggal dari tahun 2014 sampai 2017 mengalami peningkatan rata-rata sebesar

40,28 persen dari. Sedangkan perkembangan belanja tidak langsung mengalami

peningkatan rata-rata sebesar 31,96 persen. Selain itu juga bisa dilihat bahwa

untuk DOB tidak tertinggal memiliki realisasi pengeluaran pemerintah atas

belanja langsung dan belanja tidak langsung jauh lebih besar dari DOB tertinggal

selama tahun 2014-2017.

Tabel 1.6

Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah DOB Pembentukan 2009-2013

DOB Tertinggal

Tahun Belanja Langsung

(Juta Rp)

%

Kenaikan

Belanja Tidak Langsung

(Juta Rp)

%

Kenaikan

2014 191.798 - 144.847 -

2015 395.855 106,39 215.452 48,74

2016 435.220 9,94 290.221 34,70

2017 454.851 4,51 326.331 12,44

DOB Tidak Tertinggal

Tahun Belanja Langsung

(Juta Rp)

%

Kenaikan

Belanja Tidak Langsung

(Juta Rp)

%

Kenaikan

2014 48.952.983 - 62.519.869 -

2015 56.584.192 15,59 71.298.781 14,04

2016 61.053.256 7,90 79.365.656 11,31

2017 64.701.302 5,98 83.760.796 5,54

Sumber: Kemenkeu, 2014-2017 (diolah)

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul “Analisis Pengaruh Belanja Pemerintah

Daerah Terhadap PDRB Daerah Otonomi Baru (DOB) Tertinggal”.

11

B. Batasan Masalah

Dalam penelitian ini, penulis akan membatasi permasalahan yakni

mengenai:

1. Variabel Belanja Tidak Langsung dan Belanja Langsung sebagai variabel

bebas (X). Kedua variabel tersebut merupakan variabel yang

mempengaruhi variabel PDRB sebagai variabel terikat (Y).

2. Penelitian ini hanya meneliti di 10 Daerah Otonomi Baru (DOB)

Tertinggal dan penelitian hanya dilakukan periode 2014-2017.

3. Penelitian ini hanya mengkaji tentang bagaimana hubungan alokasi

belanja pemerintah daerah menurut kelompok (belanja tidak langsung dan

belanja langsung) dapat berpengaruh terhadap PDRB. Serta mengkaji

tentang bagaimana gambaran umum kondisi karakteristik dan

perkembangan kinerja perekonomian daerah yang menjadi fokus

penelitian.

C. Rumusan Masalah

Pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) beserta akibatnya memang

amat perlu dicermati. Seharusnya, dengan adanya Daerah Otonomi Baru (DOB)

pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat semakin meningkat

setelah daerah tersebut dimekarkan. Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal

mengandung arti keberpihakan terhadap pembangunan daerah tertinggal di bidang

perencanaan, pendanaan dan pembiayaan serta penyelenggaraan pembangunan

daerah tertinggal.

Keynes berpendapat bahwa dengan kebijakan fiskal pemerintah bisa

mempengaruhi jalannya perekonomian. Belanja dikelompokkan menjadi belanja

langsung dan belanja tidak langsung. Belanja langsung merupakan pengeluaran

yang bersifat menambah modal masyarakat dalam bentuk pembangunan fisik dan

non fisik. Sementara belanja tidak langsung merupakan pengeluaran yang berguna

sebagai penunjang kelancaran mekanisme sistem pemerintah serta upaya

peningkatan efisiensi dan produktifitas yang pada gilirannya akan tercapainya

12

sasaran dan tujuan setiap tahap pembangunan. Dengan demikian, peningkatan

belanja pemerintah akan membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi.

Berdasarkan hal tersebut, diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh belanja tidak langsung terhadap PDRB di 10 Daerah

Otonomi Baru Tertinggal 2014-2017?

2. Bagaimana pengaruh belanja langsung terhadap PDRB di 10 Daerah

Otonomi Baru Tertinggal 2014-2017?

3. Bagaimana pengaruh belanja tidak langsung dan belanja langsung

terhadap PDRB di 10 Daerah Otonomi Baru Tertinggal 2014-2017?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan yang akan dicapai dari

penelitian ini adalah :

a. Menganalisis pengaruh belanja tidak langsung terhadap PDRB di 10

Daerah Otonomi Baru Tertinggal 2014-2017.

b. Menganalisis pengaruh belanja langsung terhadap PDRB di 10 Daerah

Otonomi Baru Tertinggal 2014-2017.

c. Menganalisis pengaruh belanja tidak langsung dan belanja langsung secara

simultan terhadap PDRB di 10 Daerah Otonomi Baru Tertinggal 2014-

2017.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penulisan ini adalah sebagai berikut :

a. Hasil dari penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi

berbagai pihak terutama pemerintah Daerah Otonomi Baru (DOB)

tertinggal, dalam mengambil kebijakan yang dapat memberikan kemajuan

pembangunan dalam rangka percepatan dan pengentasan daerahnya.

b. Hasil dari penulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam

bidang keuangan daerah serta meningkatkan kemampuan analisis tentang

kinerja keuangan daerah selama periode yang ditentukan.

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Pertumbuhan Ekonomi

a. Pengertian Pertumbuhan Ekonomi

Berhasil tidaknya program-program pembangunan di negara-

negara berkembang sering dinilai berdasarkan tinggi rendahnya tingkat

pertumbuhan output dan pendapatan nasional. Cara pandang yang

digunakan dalam hal ini adalah pendekatan konvensional yang memiliki

fokus utama pada pertumbuhan ekonomi. Menurut Sukirno (2013)

pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai perkembangan kegiatan dalam

perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi

dalam masyarakat bertambah. Kuznets mengemukakan pendapat yang

hampir serupa, pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai kenaikan

jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan

semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya.

Kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, dan

penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukannya (Jhingan,

2000).

Pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktivitas

perekonomian akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat

pada suatu periode tertentu. Karena pada dasarnya aktivitas

perekonomian adalah suatu proses penggunaan faktor-faktor produksi

untuk menghasilkan output, maka proses ini pada gilirannya akan

menghasilkan suatu aliran balas jasa terhadap faktor produksi yang

dimiliki oleh masyarakat (Asbiantari et al., 2016), dengan adanya

pertumbuhan ekonomi maka diharapkan pendapatan masyarakat sebagai

14

pemilik faktor produksi juga akan meningkat. Jadi, pertumbuhan

ekonomi suatu daerah yang terus menunjukkan peningkatan

menggambarkan bahwa perekonomian daerah tersebut berkembang

dengan baik (Sukirno, 2008).

b. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Pertumbuhan ekonomi dalam sistem pemerintahan daerah biasanya

diindikasikan dengan meningkatnya produksi barang dan jasa yang

diukur melalui PDRB. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai

kenaikan PDB/PNB tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar

atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk, atau apakah

perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak (Arsyad, 1999).

Adisasmita (2014), juga berpendapat bahwa salah satu indikator

yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur untuk melihat pertumbuhan

ekonomi suatu wilayah adalah kenaikan Produk Domestik Regional

Bruto (PDRB). Alasan yang mendasari pemilihan PDRB sebagai suatu

indikator mengukur pertumbuhan ekonomi adalah :

1) PDRB adalah jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh

aktivitas produksi di dalam perekenomian daerah. Hal ini berarti

peningkatan PDRB mencerminkan pula peningkatan balas jasa kepada

faktor produksi yang digunakan dalam aktivitas produksi tersebut.

2) PDRB dihitung atas dasar konsep arus barang, artinya perhitungan

PDRB hanya mencakup nilai produk yang dihasilkan pada suatu

periode tertentu. Aliran konsep ini memungkinkan kita untuk

membandingkan jumlah output yang dihasilkan pada tahun ini dengan

tahun sebelumnya.

3) Batas wilayah perhitungan PDRB adalah daerah (perekonomian

domestik). Hal ini memungkinkan untuk mengukur sejauh mana

kebijakan-kebijakan ekonomi yang diterapkan pemerintah mampu

mendorong aktivitas perekonomian domestik.

15

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut BPS

didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang

dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam satu wilayah, atau merupakan

jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh

unit usaha dalam satu wilayah. Menurut BPS, cara penyajian Produk

Domestik Regional Bruto (PDRB) disusun dalam dua bentuk yaitu :

1) PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang

dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga pada setiap tahun

(harga yang mengalami perubahan sesuai dengan ekonomi yang

terjadi).

2) PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan

jasa yang dihitung dan menggunakan harga pada tahun tertentu

sebagai dasar.

Cara perhitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dapat

diperoleh melalui tiga pendekatan :

1) Pendekatan produksi. PDRB merupakan jumlah Nilai Tambah Bruto

(NTB) atau nilai barang akhir yang dihasilkan oleh unit produksi

disuatu wilayah dalan suatu periode tertentu, biasanya satu tahun.

Sedangkan NTB adalah nilai produksi bruto dari barang dan jasa

tersebut dikurangi seluruh biaya antara yang digunakan dalam proses

produksi. Metode ini yang digunakan dalam perhitungan pertumbuhan

ekonomi di Indonesia dan negara-negara berkembang. Adapun

perhitungan PDRB dengan metode produksi :

Y = P1Q1 + P2Q2 + .... + PnQn

Keterangan:

Y : Pendapatan Nasional

P : harga

Q : kuantitas

2) Pendekatan pendapatan. PDRB adalah jumlah seluruh balas jasa yang

diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses

16

produksi disuatu wilayah dalam jangka waktu tertentu, biasanya satu

tahun. Berdasarkan pengertian tersebut, maka NTB adalah jumlah dari

gaji, sewa tanah, bunga modal, dan keuntungan dimana pajak

penghasilan dan pajak langsung belum dipotong. Dalam pengertian

PDRB ini termasuk pola komponen penyusutan dan pajak tidak

langsung netto.

Rumus pendekatan pendapatan :

Y = Yw + Yr + Yi + Yp

Keterangan:

Y : Pendapatan Nasional

w : upah

r : sewa

i : bunga neto

p : keuntungan

3) Pendekatan pengeluaran. Pengeluaran adalah cara penentuan

pendapatan regional dengan cara menjumlahkan seluruh nilai

penggunaan akhir dari barang dan jasa yang diproduksi didalam

negeri. Kalau dilihat dari segi penggunaan maka total penyediaan atau

produksi barang dan jasa itu digunakan untuk: konsumsi rumah

tangga, konsumsi swasta yang tidak mencari untung, konsumsi

pemerintah, pembentukan modal tetap bruto (investasi) perubhan stok

dan ekspor neto(total ekspor dikurangi dengan total impor).

Rumus pendekatan pengeluaran:

Y = C + I + G (X - M)

Keterangan:

Y : Pendapatan Nasional

C : konsumsi

I : investasi

G : pengeluaran pemerintah

X : ekspor

M : impor

17

Manfaat yang dapat diperoleh dari Produk Domestik Regional

Bruto (PDRB) antara lain :

1) PDRB harga berlaku menunjukkan kemampuan sumber daya ekonomi

untuk penghasilan dari satu provinsi. Nilai PDRB yang besar

menunjukk an kemampuan sumber daya ekonomi yang besar.

2) PDRB harga berlaku menunjukkan pendapatan yang memungkinkan

dapat dinikmati oleh penduduk suatu region.

3) PDRB harga konstan digunakan untuk menunjukkan laju

pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan atau setiap sektor dari tahun

ke tahun.

4) Distribusi PDRB harga berlaku menurut sektor menunjukkan besarnya

struktur perekonomian dan peranan sektor ekonomi dalam suatu

wilayah. Sektor-sektor ekonomi yang mempunyai peranan besar

menunjukkan basis perekonomian suatu wilayah.

5) PDRB harga berlaku menurut penggunaan menunjukkan bagaimana

produk barang dan jasa digunakan untuk tujuan konsumsi, investasi,

dan diperdagangkan dengan pihak luar.

c. Teori Pertumbuhan Ekonomi

1) Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik

Adapun ekonomi klasik menurut Arsyad (2010), pertumbuhan

ekonomi dipengaruhi oleh dua faktor utama yakni dua faktor utama

yakni pertumbuhan output total dan pertumbuhan penduduk. Unsur

pokok dari sistem produksi suatu negara ada tiga:

a. Sumber daya alam yang tersedia merupakan wadah paling

mendasar dari kegiatan produksi suatu masyarakat dimana jumlah

sumber daya alam yang tersedia mempunyai batas maksimum bagi

pertumbuhan suatu perekonomian.

18

b. Sumber daya insani (jumlah penduduk) merupakan peran pasif

dalam proses pertumbuhan output, maksudnya jumlah penduduk

akan menyesuaikan dengan kebutuhan akan tenaga kerja.

c. Stok modal merupakan unsur produksi yang sangat menentukan

tingkat pertumbuhan output.

Laju pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh

produktivitas sektor-sektor dalam menggunakan faktor-faktor

produksinya. Produktivitas dapat ditingkatkan melalui berbagai

sarana pendidikan, pelatihan dan manajemen yang lebih baik.

2) Teori Pertumbuhan Neo Klasik

Menurut Arsyad (2010), teori pertumbuhan neoklasik

dikembangkan oleh Solow dan Swan. Model Solow-Swan

menggunakan unsur pertumbuhan penduduk, akumulasi kapital, dan

besarnya output yang saling berinteraksi. Perbedaan utama dengan

model Harrod-Domar adalah dimasukkannya unsur kemajuan

teknologi dalam modelnya. Selain itu, Solow, dan Swan menggunakan

model fungsi produksi yang memungkinkan adanya substitusi antara

kapital (K) dan tenaga kerja (L).

Adapun model pertumbuhan ekonomi Neo Klasik Solow (Solow

Neo Classical Growth Model) maka fungsi produksi agregat standar

adalah sama seperti yang digunakan dalam persamaan dibawah ini:

Y = ∫ (K, L)

Dalam kerangka ekonomi regional, menderivasikan rumus di atas

menjadi sebagai berikut:

Yi = aiKi + (1-ai)ni

Keterangan:

Yi : besarnya output

ai : bagian yang dihasilkan dari faktor modal

Ki : tingkat pertumbuhan modal

(1-ai) : bagian yang dihasilkan di luar faktor modal

ni : tingkat pertumbuhan tenaga kerja

19

Teori Neoklasik sebagai penerus dari teori klasik menganjurkan

agar kondisi selalu diarahkan untuk menuju pasar sempurna. Dalam

keadaan pasar sempurna, perekonomian bisa tumbuh maksimal. Hal

khusus yang perlu dicatat adalah bahwa model neoklasik

mengasumsikan I=S. Hal ini berarti kebiasaan masyarakat yang suka

memegang uang tunai dalam jumlah besar dapat menghambat

pertumbuhan ekonomi.

Analisis lanjutan dari paham neoklasik menunjukkan bahwa

untuk terciptanya suatu pertumbuhan yang mantap (steady growth),

diperlukan suatu tingkat saving yang tinggi dan seluruh keuntungan

pengusaha diinvestasikan kembali.

3) Teori David Ricardo

Menurut Arsyad (2010), proses pertumbuhan ekonomi masih

memacu antara laju pertumbuhan penduduk dan laju pertumbuhan

output. Jumlah faktor produksi tanah (sumber daya alam) tidak bisa

bertambah sehingga akhirnya faktor pembatas dalam proses

pertumbuhan suatua masyarakat. Perekonomian yang diciri-cirikan

Ricardo sebagai berikut:

a. Tanah terbatas

b. Tenaga kerja meningkat atau menurun sesuao tingkat upah diatas

atau dibawah tingkat uapah minimal.

c. Akumulasi modal terjadi apabila tingkat keuntungan yang

diperoleh pemilik modal berada diatas tingkat keuntungan minimal

yang diperlukan untuk menarik meraka melakukan investasi.

d. Sektor pertanian dominan

Dari faktor produksi tanah dan tenaga kerja, ada satu kekuatan

dinamis yang selalu menarik perekonomian kearah tingkat upah

minimum, yaitu bekerjanya the law of diminishing return. Pada

20

akumulasi modal juga berlaku hukum tersebut. Dimana the law of

dimishing return yang akan menang.

Keterbatasan faktor produksi tanah akan membatas

pertumbuhan ekonomi suatu negara. Suatu negara hanya bisa tumbuh

sampai batas yang dimungkinkan oleh sumber-sumber alamnya.

Apabila sumber daya alam ini telah diekspolitasi secara penuh maka

perekonomian berhenti tumbuh, masyarakat akan mencapai

stationernya.

d. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Sukirno (2013), adapun faktor-faktor yang mempengaruhi

pertumbuhan ekonomi antara lain sebagai berikut :

1) Tanah dan kekayaan alam lainnya

Kekayaan alam suatu negara meliputi luas dan kesuburan tanah,

keadaan iklim dan cuaca, jumlah dan jenis hasil hutan dan hasil laut,

jumlah dan jenis kekayaaan barang tambang yang ada. Kekayaan alam

akan mempermudah usaha untuk mengembangkan perekonomian

suatu negara, terutama pada masa-masa permulaan. Pertumbuhan

ekonomi di setiap negara yang baru bermula terdapat banyak

hambatan untuk mengembangkan berbagai kegiatan ekonomi diluar

sektor utama (pertanian dan pertambangan). Peranan penanaman

barang pertanian untuk ekspor dan pertambangan minyak menjadi

penggerak permulaan bagi pertumbuhan ekonomi di beberapa negara

Asia adalah bukti nyata besarnya peranan kekayaan alam pada tingkat

permulaan pertumbuhan ekonomi.

2) Jumlah dan mutu dari penduduk dan tenaga kerja

Penduduk yang bertambah dari waktu ke waktu dapat menjadi

pendorong maupun penghambat pertumbuhan ekonomi. Semakin

banyak penduduk akan meningkatkan tenaga kerja. Disamping itu

sebagai akibat dari pendidikan, latihan dan pengalaman kerja

penduduk akan semakin bertambah, maka produktivitas akan

21

meningkat. Namun luasnya kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh

suatu negara bergantung pada banyaknya pengusaha dalam ekonomi.

Sehingga dapat disimpulkan semakin tingginya jumlah dan mutu

penduduk dan tenaga kerja akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

3) Barang-barang modal dan tingkat teknologi

Barang-barang modal dan teknologi penting dalam

mempertinggi keefisienan pertumbuhan ekonomi. Kemajuan teknologi

menimbulkan beberapa efek positif dalam pertumbuhan ekonomi dan

oleh karena itu pertumbuhan ekonomi semakin pesat. Dengana adanya

kemajuan teknologi akan mempertinggi keefisienan kegiatan

produksi, menimbulkan barang-barang baru dan meningkatkan mutu

barang yang diproduksi tanpa meningkatkan harganya.

4) Sistem sosial dan sikap masyarakat

Dalam negara berkembang, sistem sosial dan sikap masyarakat

menjadi pengahalang pertumbuhan ekonomi. Adat istiadat menjadi

penghambat masyarakat untuk menggunakan cara memproduksi yang

modern dan produktivitas tinggi. Sikap masyarakat juga menentukan

sampai mana pertumbuhan ekonomi dapat dicapai. Sikap masyarakat

yang memberi dorongan terhadap pertumbuhan antara lain sikap

berhemat untuk berinvestasi, sikap menghargai kerja keras, dan

kegiatan lain untuk mengembangkan usaha.

2. Pengeluaran/Belanja Pemerintah

a. Pengertian Pengeluaran/Belanja Pemerintah

Menurut Ilyas (1989), pengeluaran pemerintah menyangkut

seluruh pengeluaran untuk membiayai kegiatan-kegiatannya, pengeluaran

tersebut bertujuan agar tercapai kesejahteraan masyarakat secara

keseluruhan. Menurut Susanti et al., (2017), pengeluaran pemerintah

adalah seluruh pembelian atau pembayaran barang dan jasa untuk

kepentingan nasional, seperti pembelian persenjataan dan alat-alat kantor

pemerintah, pembangunan jalan dan bendungan, gaji pegawai negeri,

22

angkatan bersenjata, dan lainnya. Dari beberapa pendapat diatas

disimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah adalah pengeluaran yang

dikeluarkan pemerintah untuk membiayai konsumsi pemerintah,

kegiatan-kegiatan dan pengeluaran lainnya guna tercapai kesejahteraan

masyarakat secara keseluruhan.

Aktivitas utama pemerintah dalam pengelolaan fiskal adalah

pengelolaan pendapatan yang berupa penerimaan negara dari pajak

maupun non pajak dan belanja yang berarti pengeluaran pemerintah.

Apabila pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli

barang dan jasa, pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang

harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan

tersebut (Mangkoesoebroto, 2008). Dasar teori pengeluaran pemerintah

adalah dari identitas keseimbangan pendapatan nasional, yaitu : Y = C +

I + G + (X-M) yang merupakan sumber legitimasi pandangan kaum

Keynesian akan relevansi campur tangan pemerintah dalam

perekonomian. Pengeluaran pemerintah (G) merupakan salah satu unsur

permintaan agregat. Sedang Y melambangkan pendapatan nasional,

sekaligus mencerminkan penawaran agregat. Keynes berpendapat bahwa

peningkatan atau penurunan pengeluaran pemerintah akan

mempengaruhi pendapatan nasional.

b. Kebijakan Fiskal dalam Perspektif Al-Qur’an

Prinsip islam tentang kebijakan fiskal dan anggaran belanja

bertujuan untuk mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan atas

distribusi kekayaan berimbang dengan menempatkan nilai-nilai material

dan spiritual pada tingkat yang sama. Kebijakan fiskal dianggap sebagai

alat untuk mengatur dan mengawasi perilaku manusia yang dipengaruhi

melalui insentif yang disediakan dengan meningkatkan pemasukan

pemerintah. Kebijakan fiskal dalam suatu negara tentu diharapkan sesuai

dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai karena tujuan pokok agama Islam

adalah mencapai kesejahteraan umat manusia secara keseluruhan.

23

Menurut Gusfahmi (2017), pengeluaran negara memiliki prinsip

yang harus ditaati oleh Ulil Amri, yakni sebagai berikut: Tujuan

penggunaan pengeluaran kekayaan negara telah ditetapkan langsung oleh

Allah Swt.; Apabila ada kewajiban tambahan, maka harus digunakan

untuk tujuan semula kenapa ia dipungut; Adanya pemisahan antara

pengeluaran yang wajib diadakan disaat ada atau tidaknya harta dan

pengeluaran yang wajib diadakan hanya di saat adanya harta; Dan

pengeluaran harus hemat.

Pengeluaran haruslah ditujukan untuk hal-hal yang jelas

bermanfaat dan hemat, tidak boros dan Islam mengutuk pemborosan.

Penimbunan juga dikutuk karena dengan penimbunan itu, kekayaan tidak

dapat beredar dan manfaat pengunaannya tidak dapat dinikmati si

pemakai dan masyarakat.

Allah Swt. berfirman:

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan

(harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah

(pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” - Q. S. Al-

Furqan [25] : 67.

Kemudian ada dua macam kebijakan pengeluaran yaitu pada masa

awal pemerintahan islam dengan konsep anggaran berimbang, berapa

penghasilan yang diterima dan itulah yang menentukan jumlah yang

tersedia untuk dibelanjakan, dan kebijakan pengeluaran di masa periode

modern pemerintahan islam dengan konsep anggaran defisit.

c. Teori Pengeluaran Pemerintah

Bailey (1995), membagi teori mengenai perkembangan

pengeluaran pemerintah menjadi dua, yaitu teori makro dan teori mikro.

24

Model makro dapat menjelaskan perhitungan jangka panjang

pertumbuhan pengeluaran pemerintah, sedangkan model mikro

menjelaskan perubahan secara partikular komponen-komponen

pengeluaran pemerintah.

Teori makro mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah

dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu (Mangkoesoebroto, 2008):

1) Model Pembangunan Tentang Perkembangan Pengeluaran Pemerintah

Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang

menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap

pembangunan ekonomi. Pada tahap awal perkembangan ekonomi,

persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab

pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana. Pada tahap

menengah investasi pemerintah tetap diperlukan untuk menghindari

terjadinya kegagalan pasar yang disebabkan oleh investasi swasta

yang sudah semakin besar pula. Pada tingkat ekonomi yang lebih

lanjut, aktivitas pemerintah beralih pada bentuk pengeluaran-

pengeluaran untuk aktivitas-aktivitas sosial (Mangkoesoebroto, 2008).

2) Hukum Wagner

Teori Hukum Wagner menyatakan bahwa dalam suatu

perekonomian, apabila pendapatan perkapita meningkat, secara relatif

pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Menurut Wagner

mengapa peranan pemerintah semakin besar, disebabkan karena

pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat,

hukum, pendidikan, rekreasi kebudayaan dan sebagainya

(Mangkoesubroto, 2008).

Hukum Wagner dapat diformulasikan sebagai berikut :

25

Gpc/Ypc

Kurva 2

0 Waktu

Keterangan :

GpC = Pengeluaran pemerintah perkapita

YpC = Pendapatan perkapita, yaitu GDP/jumlah penduduk

t = Indeks waktu (tahun)

Menurut Wagner ada lima hal yang menyebabkan pengeluaran

pemerintah selalu meningkat yaitu tuntutan peningkatan perlindungan

keamanan dan pertahanan, kenaikan tingkat pendapatan masyrakat,

urbanisasi yang mengiringi pertumbuhan ekonomi serta

perkembangan demokrasi dan ketidakefisienan birokrasi yang

mengiringi perkembangan pemerintah (Dumairy, 1996).

Hukum Wagner yang menjelaskan tentang perkembangan

pengeluaran pemerintah ditunjukkan dalam gambar berikut ini,

dimana kenaikan pengeluaran pemerintah mempunyai bentuk

eksponensial dengan kurva berbentuk cembung dan bergerak naik dari

kiri bawah menuju kanan atas, sebagaimana yang ditunjukkan Kurva

1, dan bukan seperti ditunjukkan oleh Kurva 2 yang memiliki bentuk

linear.

Gambar 2.1

Kurva Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah menurut Wagner

Kurva 1

Sumber: Guritno Mangkoesoebroto (2008)

26

3) Teori Peacock dan Wiseman

Peacock dan Wiseman mengemukakan pendapat lain dalam

menerangkan perilaku perkembangan pengeluaran pemerintah.

Pemerintah lebih cenderung menaikkan pajak untuk membiayai

anggarannya. Di sisi lain masyarakat memiliki keengganan untuk

membayar pajak, terlebih lagi jika pajak terus dinaikkan.

Mempertimbangkan teori pemungutan suara dimana masyarakat

memiliki batas toleransi pembayaran pajak. Perkembangan ekonomi

menyebabkan pemungutan pajak yang semakin meningkat. Oleh

karena itu, dalam keadaan normal meningkatnya GDP akan

menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga

dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Akibat

adanya keadaan tertentu yang mengharuskan pemerintah untuk

memperbesar pengeluarannya, maka pemerintah memanfaatkan pajak

sebagai alternatif untuk peningkatan penerimaan negara. Jika tarif

pajak dinaikkan maka pengeluaran investasi dan konsumsi masyarakat

menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek pengalihan

(displacement effect) yaitu adanya suatu gangguan sosial

menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah

(Mangkoesubroto, 2008).

Pengeluaran pemerintah dikemukakan oleh beberapa teori yaitu

model pembangunan, hukum Wagner, teori Peacock dan Wiseman.

Model pembangunan menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah

sebagai investasi pemerintah dapat meningkatkan pembangunan

ekonomi baik dalam tahap awal, menengah maupun akhir. Hukum

Wagner berisi teori bahwa pendapatan per kapita yang semakin

meningkat secara relatif pengeluaran pemerintah meningkat. Selain

itu, Teori Peacock dan Wiseman juga mengungkapkan bahwa dalam

keadaan normal, meningkatnya GDP akan menyebabkan penerimaan

pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran

pemerintah yang semakin besar. Dari beberapa teori tersebut dapat

27

A G B Pengeluaran swasta

0 t t+1 Tahun

disimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah merupakan salah satu

komponen yang dapat mempengaruhi GDP serta pertumbuhan

ekonomi suatu negara.

Berbeda dengan pandangan Wagner, perkembangan

pengeluaran pemerintah versi Peacock dan Wiseman tidaklah

berbentuk suatu garis, melainkan seperti tangga.

Gambar 2.2

Kurva Perkembangan Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran pemerintah/GDP C D F Pengeluaran pemerintah

Sumber: Guritno Mangkoesoebroto (2008)

d. Jenis Pengeluaran/Belanja Pemerintah

Berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, belanja daerah

meliputi semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang

mengurangi ekuitas dana, merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun

anggaran dan tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah.

Kemudian belanja daerah dirinci menurut urusan pemerintahan daerah,

organisasi, program, kegiatan, kelompok, jenis, obyek dan rincian obyek

kerja.

1) Belanja Menurut Urusan Pemerintahan terdiri dari belanja urusan

wajib dan belanja urusan pilihan.

a. Belanja menurut urusan wajib mencakup:

28

1. Pendidikan

2. Kesehatan

3. Pekerjaan Umum

4. Perumahan Rakyat

5. Penataan Ruang

6. Perencanaan Pembangunan

7. Perhubungan

8. Lingkungan Hidup

9. Pertanahan

10. Kependudukan dan Catatan Sipil

11. Pemberdayaan Perempuan

12. Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera

13. Sosial

14. Tenaga Kerja

15. Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah

16. Penanaman Modal

17. Kebudayaan

18. Pemuda dan Olah Raga

19. Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri

20. Pemerintahan Umum

21. Kepegawaian

22. Pemberdayaan Masyarakat dan Desa

23. Statistik

24. Arsip, dan

25. Komunikasi dan Informatika

b. Belanja menurut urusan pilihan mencakup:

1. Pertanian

2. Kehutanan

3. Energi dan Sumber Daya Mineral

4. Pariwisata

5. Kelautan dan Perikanan

29

6. Perdagangan

7. Perindustrian, dan

8. Transmigrasi

2) Belanja Menurut Fungsi yang digunakan untuk tujuan keselarasan

dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara terdiri dari:

a. Pelayanan Umum

b. Ketertiban dan Ketentraman

c. Ekonomi

d. Lingkungan Hidup

e. Perumahan dan Fasilitas Umum

f. Kesehatan

g. Pariwisata dan Budaya

h. Pendidikan, dan

i. Perlindungan Sosial

3) Belanja Menurut Organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi

pada masing-masing pemerintah daerah.

4) Belanja Menurut Program dan Kegiatan disesuaikan dengan urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.

5) Belanja Menurut Kelompok Belanja terdiri dari belanja tidak

langsung dan belanja langsung.

a. Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan

tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan

kegiatan, mencakup:

1. Belanja Pegawai. Belanja kompensasi, dalam bentuk gaji

dan tunjangan, serta penghasilan lainnya yang diberikan

kepada pegawai negeri sipil yang ditetapkan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

30

2. Bunga. Belanja untuk menganggarkan pembayaran b unga

utang yang dihitung atas kewajiban pokok utang (principal

outstanding) berdasarkan perjanjian pinjaman jangka

pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.

3. Subsidi. Belanja untuk menganggarkan bantuan biaya

produksi kepada perusahaan/lembaga tertentu agar harga

jual produksi/jasa yang dihasilkan dapat terjangkau oleh

masyarakat banyak.

4. Hibah. Belanja untuk menganggarkan pemberian hibah

dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa kepada pemerintah

atau pemerintah daerah lainnya, dan kelompok

masyarakat/perorangan yang secara spesifik telah ditetapkan

peruntukannya.

5. Bantuan Sosial. Belanja untuk menganggarkan pemberian

bantuan dalam bentuk uang dan/atau barang kepada

masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan

masyarakat.

6. Belanja Bagi Hasil. Belanja untuk menganggarkan dana bagi

hasil yang bersumber dari pendapatan provinsi kepada

kabupaten/kota atau pendapatan kabupaten/kota kepada

pemerintah desa atau pendapatan pemerintah daerah tertentu

kepada pemerintah daerah lainnya sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan.

7. Bantuan Keuangan. Belanja untuk menganggarkan bantuan

keuangan yang bersifat umum atau khusus dari provinsi

kepada kabupaten/kota, pemerintah desa, dan kepada

pemerintah daerah lainnya atau dari pemerintah

kabupaten/kota kepada pemerintah desa dan pemerintah

daerah lainnya dalam rangka pemerataan dan/atau

peningkatan kemampuan keuangan.

31

8. Belanja Tidak Terduga. Belanja untuk kegiatan yang

sifatnya tidak biasa atau tidak diharapkan berulang seperti

penanggulangan bencana alam dan bencana sosial yang tidak

diperkirakan sebelumnya, termasuk pengembalian atas

kelebihan penerimaan daerah tahun-tahun sebelumnya yang

telah ditutup.

b. Belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait

secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan,

mencakup:

1. Belanja Pegawai. Belanja untuk pengeluaran

honorarium/upah dalam melakasanakan program dan

kegiatan pemerintahan daerah.

2. Belanja Barang dan Jasa. Belanja untuk pengeluaran

pembelian/pengadaan barang yang nilai manfaatnya kurang

dari 12 (duabelas) bulan dan/atau pemakaian jasa dalam

melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah.

3. Belanja Modal. Belanja untuk pengeluaran yang dilakukan

dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan asset

tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12

(duabelas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan

pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan

mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan

aset tetap lainnya.

3. Daerah Otonomi Baru (DOB)

a. Pengertian Daerah Otonom

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun

2004, daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang

mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat

32

menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Untuk menjadi daerah otonom, terdapat beberapa unsur yang harus

dipenuhi. Salah satunya, yaitu :

1) Unsur Kewilayahan

Sebagai kesatuan masyarakat hukum, batas suatu wilayah

sangat menentukan untuk kepastian hukum bagi pemerintah dan

masyarakat dalam melakukan interaksi hukum, misalnya dalam

penetapan kewajiban tertentu sebagai warga masyarakat serta

pemenuhan hak-hak masyarakat terhadap fungsi pelayanan umum

pemerintahan dan peningkatan kesejahteraan secara luas kepada

masyarakat setempat. Di sisi lain, batas wilayah ini sangat penting

apabila ada sengketa hukum yang menyangkut wilayah perbatasan

antardaerah. Suatu daerah perlu memiliki batas-batas yang jelas

untuk membedakan daerah yang bersangkutan dengan daerah-

daerah lain di sekitarnya.

2) Unsur Pemerintahan

Eksistensi pemerintah di daerah, didasarkan atas legitimasi

undang-undang yang memberikan kewenangan kepada pemerintah

daerah, untuk menjalankan urusan pemerintahan yang berwenang

mengatur berdasarkan kreativitasnya sendiri. Elemen pemerintahan

daerah meliputi daerah dan lembaga DPRD sebagai unsur

penyelenggara pemerintahan daerah.

3) Unsur Masyarakat

Masyarakat sebagai elemen pemerintahan daerah

merupakan kesatuan masyarakat hukum, baik gemeinschaft

maupun gesselschaft jelas mempunyai tradisi, kebiasaan, dan adat

istiadat yang turut mewarnai sistem pemerintahan daerah, mulai

dari bentuk cara berpikir, bertindak, dan kebiasaan tertentu dalam

kehidupan masyarakat. Bentuk-bentuk partisipatif budaya

masyarakat antara lain gotong-royong, permusyawaratan, cara

33

menyatakan pendapat dan pikiran menunjang pembangunan daerah

untuk meningkatkan kesejahteraan melalui pelayanan

pemerintahan.

b. Pembentukan Daerah

Daerah otonomi baru adalah suatu daerah yang memenuhi syarat-

syarat sebagai suatu daerah otonom yang meliputi: mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat

menurut prakarsa sendiri, kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial-

budaya, sosial-politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan,

keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya

otonomi daerah. Pembentukan DOB pada hakekatnya bertujuan untuk

lebih meningkatkan jangkauan dan kualitas pelayanan publik serta

peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah baru (Kemitraan bagi

Pembaruan Tata Pemerintahan, 2012)

Berdasarkan PP 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan,

Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, pembentukan daerah dapat

berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang

bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau

lebih. Dalam hal ini pembentukan daerah dapat berupa pembentukan

daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota.

1) Penggabungan daerah adalah penyatuan daerah yang dihapus ke

dalam daerah lain yang bersandingan.

2) Pemekaran daerah adalah pemecahan provinsi atau kabupaten/kota

menjadi dua daerah atau lebih.

Pada PP 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan,

Penghapusan, dan Penggabungan Daerah juga disebutkan bahwa

pembentukan daerah hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi

syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.

34

1) Persyaratan Administratif didasarkan atas aspirasi sebagian besar

masyarakat setempat untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah

dengan melakukan kajian daerah terhadap rencana pembentukan

daerah.

2) Persyaratan secara Teknis didasarkan pada faktor:

a. Kemampuan Ekonomi. Cerminan hasil kegiatan ekonomi

dalam bentuk (1) PDRB per kapita; (2) Pertumbuhan ekonomi;

dan (3) Kontribusi PDRB terhadap PDRB total.

b. Potensi Daerah. Perkiraan penerimaan dari rencana

pemanfaatan ketersediaan sumber daya buatan, sumber daya

aparatur, serta sumber daya masyarakat yang akan digunakan

untuk meningkatkan pelayanan publik yang dapat diukur

dengan: (1) Rasio bank dan lembaga keuangan non bank per

10.000 penduduk; (2) Rasio kelompok pertokoan per 10.000

penduduk; (3) Rasio pasar per 10.000 penduduk; (4) Rasio

sekolah SD per penduduk usia SD;

(5) Rasio sekolah SLTP per penduduk usia SLTP; (6) Rasio

sekolah SLTA per penduduk usia SLTA; (7) Rasio fasilitas

kesehatan per 10.000 penduduk; (8) Rasio tenaga medis per

10.000 penduduk; (9) Persentase rumah tangga yang

mempunyai kendaraan bermotor atau perahu atau perahu motor

atau kapal motor; (10) Persentase pelanggan listrik terhadap

jumlah rumah tangga; (11) Rasio panjang jalan terhadap jumlah

kendaraan bermotor; (12) Persentase pekerja yang

berpendidikan minimal SLTA terhadap penduduk usia 18 tahun

ke atas; (13) Persentase pekerja yang berpendidikan minimal S-

1 terhadap penduduk usia 25 tahun ke atas; dan (14) Rasio

pegawai negeri sipil terhadap penduduk.

c. Sosial Budaya. Cerminan aspek sosial budaya yang diukur

dengan (1) Rasio sarana peribadatan per 10.000 penduduk; (2)

35

Rasio fasilitas lapangan olahraga per 10.000 penduduk; dan (3)

Jumlah balai pertemuan.

d. Sosial Politik. Cerminan aspek sosial politik yang diukur

dengan (1) Rasio penduduk yang ikut pemilu legislatif

penduduk yang mempunyai hak pilih; dan (2) Jumlah

organisasi kemasyarakatan.

e. Kependudukan. Cerminan aspek penduduk yang diukur dengan

(1) Jumlah Penduduk; dan (2) Kepadatan Penduduk.

f. Luas Daerah. Cerminan sumber daya lahan/daratan cakupan

wilayah yang dapat diukur dengan (1) Luas wilayah

keseluruhan; dan (2) Luas wilayah efektif yang dapat

dimanfaatkan.

g. Pertahanan. Cerminan ketahanan wilayah yang dapat diukur

dengan karakter wilayah dari aspek (1) Rasio jumlah personil

aparat pertahanan terhadap luas wilayah; dan (2) Karakteristik

wilayah, dilihat dari sudut pandang pertahanan.

h. Keamanan. Cerminan aspek keamanan dan ketertiban daerah

yang dapat diukur dengan Rasio jumlah personil aparat

keamanan terhadap jumlah penduduk.

i. Kemampuan Keuangan. Cerminan terhadap keuangan yang

dapat diukur dengan (1) Jumlah PAD; (2) Rasio PDS terhadap

Jumlah Penduduk dan (3) Rasio PDS terhadap PDRB.

j. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat. Cerminan terhadap tingkat

pendidikan, kesehatan dan pendapatan masyarakat yang dapat

diukur dengan indeks pembangunan manusia.

k. Rentang Kendali Penyelenggaraan Pemerintahan. Cerminan

terhadap kedekatan jarak ke lokasi calon ibukota yang dapat

diukur dengan (1) Rata-rata jarak kabupaten/kota atau

kecamatan ke pusat pemerintahan (ibukota provinsi atau

ibukota kabupaten); dan (2) Rata-rata waktu perjalanan dari

36

kabupaten/kota atau kecamatan ke pusat pemerintahan (ibukota

provinsi atau ibukota kabupaten).

3) Persyaratan Fisik Kewilayahan dalam pembentukan daerah

meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibukota, sarana, dan

prasarana pemerintahan.

Penyebab Munculnya Daerah Otonomi Baru :

1) Keinginan untuk menyediakan pelayanan publik yang lebih baik

dalam wilayah kewenangan yang terbatas/terukur. Pendekatan

pelayanan melalui pemerintahan daerah yang baru diasumsikan

akan lebih dapat memberikan pelayanan yang lebih baik

dibandingkan dengan pelayanan melalui pemerintahan daerah

induk dengan cakupan wilayah pelayanan yang lebih luas. Melalui

proses perencanaan pembangunan daerah pada skala yang lebih

terbatas, maka pelayanan publik sesuai kebutuhan lokal akan lebih

tersedia.

2) Mempercepat pertumbuhan ekonomi penduduk setempat melalui

perbaikan kerangka pengembangan ekonomi daerah berbasiskan

potensi lokal. Dengan dikembangkannya daerah baru yang otonom,

maka akan memberikan peluang untuk menggali berbagai potensi

ekonomi daerah baru yang selama ini tidak tergali.

3) Penyerapan tenaga kerja secara lebih luas di sektor pemerintah dan

bagi-bagi kekuasaan di bidang politik dan pemerintahan.

Kenyataan politik seperti ini juga mendapat dukungan yang besar

dari masyarakat sipil dan dunia usaha, karena berbagai peluang

ekonomi baru baik secara formal maupun informal menjadi lebih

tersedia sebagai dampak ikutan pemekaran wilayah

37

Disisi lain, menurut Sjafrizal (2012), ada beberapa faktor yang

dapat memicu terjadinya pemekaran wilayah, antara lain:

1) Perbedaan agama. Kenyataan yang terjadi dalam masyarakat

menunjukkan bahwa perbedaan agama merupakan salah satu unsur

yang dapat menyebabkan timbulnyakeinginan masyarakat untuk

memisahkan diri dari suatu negara/ daerah yang telah ada untuk

menjadi negara/ daerah baru.

2) Perbedaan etnis dan budaya. Sama halnya dengan perbedaan

agama, perbedaan etnis dan budaya juga merupakan unsur penting

lainnya yang dapat memicu terjadinya keinginan untuk melakukan

pemekaran wilayah. Kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat

merasa kurang nyaman bila hidup dalam suatu masyarakat dengan

etnis, adat istiadat, dan kebiasaan yang berbeda. Bila kesatuan

budaya ini terganggu karena kehadiran warga masyarakat lain

dengan budaya yang berbeda, maka seringkali terjadi ketegangan

bahkan konflik sosial dalam masyarakat tersebut.

3) Ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah. Aspek

berikutnya yang cenderung menjadi pemicu terjadinya pemekaran

wilayah adalah ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah.

Termasuk juga ke dalam aspek ini adalah ketimpangan dalam

ketersediaan sumber daya alam bernilai tinggi, seperti minyak

bumi, gas alam, dan batu bara yang selanjutnya akan mendorong

terjadinya ketimpangan kemakmuran antar daerah. Ketimpangan

ini selanjutnya mendorong terjadinya kecemburuan sosial dan

merasa dianaktirikan oleh pemerintah pusat sehinnga akhirnya

muncul keinginan untuk melakukan pemekaran wilayah.

4) Luas daerah. Luas daerah dapat pula memicu timbulnya keinginan

untuk melakukan pemekaran wilayah. Alasannya adalah karena

wilayah yang besar akan cenderung menyebabkan pelayanan

38

public tidak dapat dilakukan secara efektif dan merata ke seluruh

pelosok daerah. Sementara tugas pemerintah daerah adalah

memberikan pelayanan publik kepada seluruh masyarakat di

daerahnya. Dalam rangka memperbaiki pelayanan kepada

masyarakat, maka salah satu cara yang dapat ditempuh adalah

dengan melakukan pemekaran daerah. Pemekaran wilayah

diharapkan dapat menciptakan kemandirian daerah

Terlepas dari penyebabnya, pemekaran daerah yang terjadi ternyata

telah membawa sejumlah implikasi positif maupun negatif. Ada

beberapa implikasi dari adanya pemekaran daerah, antara lain (Pratikno,

2008) :

1) Implikasi Sosial Politik

Dari sisi politis, pemekaran wilayah dapat menumbuhkan

perasaan homogen daerah pemekaran baru yang justru akan

memperkuat perasaan egosentrisme. Hal ini jika tidak dikelola

dengan baik akan menimbulkan konflik horizontal maupun vertikal.

Selain itu munculnya banyak Kabupaten/Kota justru menimbulkan

ketidakefisiensian manajemen pemerintahan daerah. Sulitnya

Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi juga menjadi

implikasi sosial politis pemekaran daerah.

2) Implikasi Sosial Ekonomi

Pemekaran Daerah telah menyebabkan beban keuangan yang

harus ditanggung Pemerintah Pusat semakin meningkat. Apabila

fenomena tersebut benar maka semangat pemekaran daerah telah

mengikari semangat otonomi daerah karena yang terjadi justru

adanya ketergantungan daerah hasil pemekaran terhadap pemerintah

pusat.

3) Implikasi Sosial Kultural

Melalui pemekaran daerah, masyarakat daerah ternyata telah

membawa dampak pada pengakuan sosial, politik dan kultural

39

terhadap masyarakat. Di satu sisi implikasi ini akan menimbulkan

kohesivitas di tataran masyarakat namun dilihat dari sisi eksternal

dapat dipandang sebagai egosentrisme kedaerahan.

4) Implikasi pada Pelayanan Publik

Dari dimensi pelayanan publik seperti di bidang pendidikan

kesehatan, infrastruktur, dan pelayanan administrasi kependudukan,

pemekaran daerah akan memperpendek jarak geografis antara

penduduk dengan sentra pelayanan yaitu Ibukota Kabupaten/Kota.

5) Implikasi bagi Pembangunan Ekonomi

Adanya pemekaran daerah akan memberi kesempatan kepada

daerah miskin untuk memperoleh lebih banyak subsidi dari

pemerintah pusat (DAU dan DAK) dan hal ini akan mendorong

peningkatan pendapatan per kapita di daerah tersebut.

6) Implikasi pada Pertahanan, Keamanan dan Integrasi Nasional

Pemekaran Daerah sebenarnya dapat dipandang sebagai pemicu

bagi terpecahnya negara Kesatuan, bahkan juga bisa dipandang

sebagai ancaman untuk membentuk negara federal di Indonesia.

c. Tata Cara Pembentukan Daerah

Pembentukan daerah provinsi dilaksanakan dengan tahapan

sebagai berikut:

1) Aspirasi sebagian besar masyarakat setempat dalam bentuk

Keputusan BPD untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau

nama lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi calon cakupan

wilayah provinsi atau kabupaten/kota yang akan dimekarkan.

2) Keputusan DPRD kabupaten/kota berdasarkan aspirasi sebagian

besar masyarakat setempat.

3) Bupati/walikota dapat memutuskan untuk menyetujui atau menolak

aspirasi dalam bentuk keputusan bupati/walikota berdasarkan hasil

kajian daerah.

40

4) Keputusan masing-masing bupati/walikota disampaikan kepada

gubernur.

5) Dalam hal gubernur menyetujui usulan pembentukan provinsi

sebagaimana yang diusulkan oleh bupati/walikota dan berdasarkan

hasil kajian daerah, usulan pembentukan provinsi tersebut

selanjutnya disampaikan kepada DPRD provinsi.

6) Setelah adanya keputusan persetujuan dari DPRD provinsi, gubernur

menyampaikan usulan pembentukan provinsi kepada Presiden

melalui Menteri.

Pembentukan daerah kabupaten/kota dilaksanakan dengan tahapan

sebagai berikut:

1) Aspirasi sebagian besar masyarakat setempat dalam bentuk

Keputusan BPD untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau

nama lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi calon cakupan

wilayah kabupaten/kota yang akan dimekarkan.

2) DPRD kabupaten/kota dapat memutuskan untuk menyetujui atau

menolak aspirasi dalam bentuk Keputusan DPRD berdasarkan

aspirasi sebagian besar masyarakat setempat yang diwakili oleh BPD

untuk desa atau nama Iain dan Forum Komunikasi Kelurahan untuk

kelurahan atau nama lain.

3) Bupati/walikota memutuskan untuk menyetujui atau menolak

aspirasi dalam bentuk keputusan bupati/ walikota berdasarkan hasil

kajian daerah.

4) Bupati/walikota mengusulkan pembentukan kabupaten/kota kepada

gubernur untuk mendapatkan persetujuan.

5) Gubernur memutuskan untuk menyetujui atau menolak usulan

pembentukan kabupaten/kota berdasarkan evaluasi terhadap kajian

daerah.

41

6) Gubernur menyampaikan usulan pembentukan calon kabupaten/kota

kepada DPRD provinsi.

7) DPRD provinsi memutuskan untuk menyetujui atau menolak usulan

pembentukan kabupaten/kota, dan

8) Dalam hal gubernur menyetujui usulan pembentukan

kabupaten/kota, gubernur mengusulkan pembentukan

kabupaten/kota kepada Presiden melalui Menteri.

4. Daerah Tertinggal

Daerah tertinggal sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78/2014

dan Peraturan Presiden Nomor 131/2015 adalah daerah kabupaten yang

wilayah serta masyarakatnya kurang berkembang dibandingkan dengan

daerah lain dalam skala nasional. Suatu daerah dikategorikan sebagai daerah

tertinggal, karena beberapa faktor penyebab, antara lain:

a. Geografis. Umumnya secara geografis daerah tertinggal relatif sulit

dijangkau karena letaknya yang jauh di pedalaman, perbukitan

/pegunungan, kepulauan, pesisir, dan pulau-pulau terpencil atau

karena faktor geomorfologis lainnya sehingga sulit dijangkau oleh

jaringan baik transportasi maupun media komunikasi.

b. Sumberdaya Alam. Beberapa daerah tertinggal tidak memiliki

potensi sumberdaya alam, daerah yang memiliki sumberdaya alam

yang besar namun lingkungan sekitarnya merupakan daerah yang

dilindungi atau tidak dapat dieksploitasi, dan daerah tertinggal

akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan.

c. Sumberdaya Manusia. Pada umumnya, masyarakat di daerah

tertinggal mempunyai tingkat pendidikan, pengetahuan, dan

keterampilan yang relatif rendah serta kelembagaan adat yang

belum berkembang.

d. Sarana dan Prasarana. Keterbatasan sarana dan prasarana

komunikasi, transportasi, air bersih, irigasi, kesehatan, pendidikan,

dan pelayanan lainnya yang menyebabkan masyarakat di daerah

42

tertinggal tersebut mengalami kesulitan untuk melakukan aktivitas

ekonomi dan sosial.

e. Daerah Rawan Bencana dan Konflik Sosial. Seringnya suatu daerah

mengalami bencana alam dan konflik sosial dapat menyebabkan

terganggunya kegiatan pembangunan sosial dan ekonomi.

f. Kebijakan Pembangunan. Suatu daerah menjadi tertinggal dapat

disebabkan oleh beberapa kebijakan yang tidak tepat seperti kurang

memihak pada pembangunan daerah tertinggal, kesalahan

pendekatan dan prioritas pembangunan, serta tidak dilibatkannya

kelembagaan masyarakat adat dalam perencanaan dan

pembangunan.

Penetapan suatu kabupaten mengalami ketertinggalan dapat diukur

dengan menggunakan standar yang telah ditetapkan sebelumnya mengacu

pada Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan

Transmigrasi No. 3 Tahun 2016 tentang Petunjuk Teknis Penentuan

Indikator Daerah Tertinggal Secara Nasional, yaitu berdasarka kriteria:

a. Perekonomian masyarakat, terdiri dari indikator:

1) Persentase penduduk miskin

2) Pengeluaran konsumsi per kapita

b. Sumber daya manusia, terdiri dari indikator:

1) Angka harapan hidup

2) Rata-rata lama sekolah

3) Angka melek huruf

c. Sarana dan prasarana, terdiri dari indikator:

1) Persentase desa dengan jenis permukaan jalan utama terluas

aspal/beton

2) Persentase desa dengan jenis permukaan jalan utama terluas

diperkeras

3) Persentase desa dengan jenis permukaan jalan utama terluas tanah

43

4) Persentase desa dengan jenis permukaan jalan utama terluas

lainnya

5) Persentase rumah tangga pengguna telepon

6) Persentase rumah tangga pengguna listrik

7) Persentase rumah tangga pengguna air bersih

8) Persentase desa yang mempunyai pasar tanpa bangunan

permanen / semi permanen

9) Jumlah Sarana dan Prasarana Kesehatan Per 1000 Penduduk

10) Jumlah Dokter Per 1000 Penduduk

11) Jumlah SD dan SMP per 1000 penduduk

d. Kemampuan keuangan daerah

e. Aksesibilitas, terdiri dari indikator:

1) Rata-rata jarak dari kantor desa ke kantor kabupaten yang

membawahi

2) Persentase desa dengan jarak pelayanan kesehatan ≥ 5 km

3) Rata-rata jarak dari desa ke pusat pelayanan pendidikan dasar

f. Karakteristik daerah, terdiri dari indikator:

1) Persentase Desa Gempa Bumi

2) Persentase Desa Tanah Longsor

3) Persentase Desa Banjir

4) Persentase Desa Bencana Lainnya

5) Persentase Desa di Kawasan Hutan Lindung

6) Persentase Desa Berlahan Kritis

7) Persentase Desa Konflik satu tahun terakhir

Selain berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud di atas dapat

dipertimbangkan karakteristik Daerah Tertentu, yang meliputi:

1) Jumlah desa tertinggal

2) Daerah rawan pangan

3) Daerah perbatasan

4) Daerah rawan bencana

44

5) Daerah pasca konflik

6) Daerah pulau kecil dan terluar

Pembangunan daerah tertinggal menurut Peraturan Pemerintah Nomor

78 Tahun 2014 merupakan upaya terencana untuk mengubah suatu daerah

yang dihuni oleh komunitas dengan berbagai permasalahan sosial ekonomi

dan keterbatasan fisik, menjadi daerah yang maju dengan komunitas yang

kualitas hidupnya sama atau tidak jauh tertinggal dibandingkan dengan

masyarakat Indonesia lainnya. Pembangunan daerah tertinggal tidak hanya

meliputi aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial, budaya, dan keamanan

(bahkan menyangkut hubungan antara daerah tertinggal dengan daerah

maju).

Jumlah daerah tertinggal sejak tahun 2005 hingga saat ini mengalami

beberapa perkembangan, yaitu : (i) Periode tahun 2005-2009, terdapat 199

daerah tertinggal. Selama periode ini dari 199 daerah tertinggal terdapat 50

daerah yang telah terentaskan, namun demikian pada periode tersebut

terdapat 34 Daerah Otonomi Baru (DOB) atau daerah pemekaran yang

termasuk dalam kategori tertinggal, sehingga pada Periode 2010-2014

terdapat 183 daerah tertinggal, (ii) Pada Periode 2010-2014 terdapat 70

kabupaten yang berhasil dientaskan dari ketertinggalan berdasarkan

Keputusan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal No. 141 tentang

Penetapan Kabupaten Daerah Tertinggal Yang Terentaskan Tahun 2014,

namun demikian terdapat 9 kabupaten DOB yang termasuk kategori daerah

tertinggal (KDPDTT, 2015).

B. Penelitian Terdahulu

Adapun teori yang mengkaitkan hubungan antara pertumbuhan ekonomi

dan pengeluaran pemerintah adalah Teori Keynes, yakni pengeluran pemerintah

merupakan bagian dari bentuk pendapatan nasional dimana formulasi pendapatan

nasional yaitu Y = C + I + G + (X-M). Keynes berpendapat bahwa peningkatan

atau penurunan pengeluaran pemerintah akan mempengaruhi pendapatan nasional.

45

Untuk mendukung penelitian ini digunakan beberapa penelitian sebelumnya

sebagai bahan perbandingan, diantaranya adalah:

1. (Haryanto, 2013) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis

bagaimana pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan

ekonomi. Pada penelitian ini, variabel independen yang digunakan memiliki

kesamaan dengan variabel independen yang akan penulis teliti. Namun,

terdapat perbedaan objek penelitian yaitu Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa

Tengah karena pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah pada tahun 2011 masih

dikatakan rendah, sama dengan keadaan pengeluaran pemerintah Jawa

Tengah yang masih tergolong rendah.

2. (Sari et al., 2017) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk untuk

menganalisis pengaruh pengeluaran pemerintah dan tenaga kerja terhadap

pertumbuhan ekonomi Kabupaten Lampung Tengah. Pada penelitian ini,

variabel independen yang digunakan memiliki kesamaan dengan variabel

independen yang akan penulis teliti. Namun, terdapat perbedaan objek

penelitian yaitu Kabupaten Lampung Tengah karena merupakan daerah

dengan pengeluaran pemerintah dan tenaga kerja terbesar di Provinsi

Lampung pada tahun 2014.

3. (Putra & Adigorim, 2011) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui pengaruh belanja langsung dan belanja tidak langsung terhadap

pertumbuhan ekonomi di kabupaten Badung tahun 2001 – 2010. Pada

penelitian ini, variabel independen yang digunakan memiliki kesamaan

dengan variabel independen yang akan penulis teliti. Namun, terdapat

perbedaan objek penelitian yaitu Kabupaten Badung karena merupakan

daerah yang memiliki PDRB dan APBD terbesar di Provinsi Bali, yang

perekonomiannya lebih didukung oleh sektor pariwisata.

46

4. (Samsuri, 2016) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis

pengaruh belanja pemerintah terhadap Produk Domestik Regional Bruto

(PDRB) provinsi se-Sumatera. Pada penelitian ini, variabel yang digunakan

memiliki kesamaan dengan variabel yang akan penulis teliti. Namun,

variabel independen yang digunakan sedikit berbeda karena pengeluaran

pemerintah dalam hal ini adalah belanja modal dan belanja operasi karena

belanja modal memiliki multiplier effect dalam menggerakan roda

perekonomian daerah dan belanja operasi merupakan rasio belanja untuk

sektor konsumsi.

5. (Anggraeni, 2017) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

pengaruh pengeluaran pemerintah di beberapa sektor (pendidikan, kesehatan

dan pertanian) terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka

panjang maupun jangka pendek. Pada penelitian ini, variabel yang

digunakan memiliki kesamaan dengan variabel yang akan penulis teliti.

Namun, variabel independen yang digunakan sedikit berbeda karena

pengeluaran pemerintah dalam hal ini adalah pengeluaran pemerintah di

beberapa sektor (pendidikan, kesehatan dan pertanian) karena peneliti

mengacu kepada salah satu sumber pertumbuhan ekonomi, yaitu SDM

dimana 3 bidang penting yang harus ada adalah bidang pendidikan, bidang

kesehatan dan bidang ekonomi.

6. (Saidah, 2011) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis

pengaruh belanja pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi

kabupaten tertinggal dan belanja fungsi apa yang memberikan pengaruh

terbesar terhadap pertumbuhan tersebut. Pada penelitian ini, variabel yang

digunakan memiliki kesamaan dengan variabel yang akan penulis teliti.

Namun, variabel independen yang digunakan sedikit berbeda karena

pengeluaran pemerintah dalam hal ini adalah belanja per fungsi karena

mengacu kepada studi empiris yang dilakukan oleh peneliti. Dan terdapat

kesamaan objek penelitian yaitu daerah tertinggal.

47

7. (Dudzevičiūtė et al., 2018) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

memberikan estimasi kuat tentang hubungan antara pengeluaran pemerintah

dan pertumbuhan ekonomi di Uni Eropa (EU) selama periode 1995-2015.

Dari penelitian ini mendapatkan hasil bahwa hubungan kausal berjalan dari

GE ke pertumbuhan ekonomi ada di Swedia dan Slovakia. Ini mendukung

pendekatan Keynesian dan menegaskan dampak GE terhadap pertumbuhan

ekonomi. Sedangkan efek searah yang berjalan dari GDP ke GE telah

terdeteksi di Perancis, Belgia, Jerman, Portugal, dan Siprus. Hasil ini telah

mendukung pendekatan Wagnerian, yang menyatakan bahwa seiring

pertumbuhan ekonomi, ukuran relatif GE juga ikut meningkat.

8. (Çakerri et al., 2014) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan

jawaban yang tepat untuk pertanyaan: Dapatkah belanja pemerintah

memiliki potensi untuk berdampak dan merangsang pertumbuhan ekonomi?

Bagaimana perubahan ukuran instrumen kebijakan fiskal telah

mempengaruhi indikator pertumbuhan ekonomi di Albania?. Dari penelitian

ini mendapatkan hasil bahwa perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi pada

negara-negara yang berbeda terjadi karena beberapa faktor, salah satu faktor

yang paling penting yaitu peran dan ukuran belanja publik. Serta

pengeluaran yang paling efisien adalah pengeluaran yang digunakan untuk

sektor-sektor produktif.

9. (Kyissima et al., 2017) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti

hubungan jangka panjang dan jangka pendek antara pengeluaran pemerintah

dan pertumbuhan ekonomi di Tanzania selama periode 1996-2014. Dari

penelitian ini mendapatkan hasil bahwa pemerintah Tanzania harus

meningkatkan alokasi sumber daya dalam pengeluaran pembangunan

(infrastruktur) dan belanja layanan sosial dan menyalurkan pengeluaran

tersebut untuk memungkinkan partisipasi sektor swasta dan pembangunan

infrastruktur untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi.

48

10. (Suwanti, 2013) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menaganalisis

pengaruh pengeluaran pemerintah dan faktor lain yang dapat mempengaruhi

PDRB sektor pertanian. Pada penelitian ini, variabel yang digunakan

memiliki kesamaan dengan variabel yang akan penulis teliti. Namun,

variabel independen yang digunakan sedikit berbeda karena pengeluaran

pemerintah dalam hal ini adalah pengeluaran pemerintah sektor pertanian

karena objek penelitian yaitu Jawa tengah merupakan daerah dengan

kontribusi sektor pertanian paling tinggi terhadap PDRB di pulau Jawa.

Akan tetapi, laju pertumbuhan sektor pertanian dalam keadaan stagnasi atau

bahkan dikatakan mundur pada periode penelitian dilakukan. Oleh karena

itu, variabel dependen yang digunakan adalah PDRB sektor pertanian.

11. (Bastias, 2010) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis

pengaruh pengeluaran pemerintah atas pendidikan, kesehatan, dan

infrastruktur. Pada penelitian ini, variabel yang digunakan memiliki

kesamaan dengan variabel yang akan penulis teliti. Namun, variabel

independen yang digunakan sedikit berbeda karena pengeluaran pemerintah

dalam hal ini adalah pengeluaran pemerintah di beberapa sektor

(pendidikan, kesehatan dan infrastruktur) karena peneliti menyatakan bahwa

pada dasarnya ketiga sektor tersebut merupakan investasi ekonomi yang

selanjutnya akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.

49

Tabel 2.1

Penelitian Terdahulu

No Penulis

dan Tahun Judul Penelitian

Variabel dan Alat

Analisis Hasil Penelitian Perbedaan

1. Tommy

Prio

Haryanto

(2013)

Pengaruh

Pengeluaran

Pemerintah

Terhadap

Pertumbuhan

Ekonomi

Kab/Kota Di

Provinsi Jawa

Tengah Tahun

2007-2011

Variabel :

Pertumbuhan

Ekonomi, Belanja

Langsung, dan

Belanja Tidak

Langsung

Alat Analisis :

fixed effect model

(FEM)

Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa

pengeluaran pemerintah

untuk belanja tidak langsung

dan belanja langsung

berpengaruh positif dan

signifikan terhadap

pertumbuhan ekonomi di

Jawa Tengah, baik secara

parsial atau bersama-sama.

Metode: fixed

effect model

(FEM)

Periode: 2007-

2011

Objek: 35

kabupaten/kota di

Jawa Tengah

2. Devi

Novita

Sari, Toto

Gunarto,

Muhamma

d Husaini

(2017)

Pengaruh

Pengeluaran

Pemerintah Dan

Tenaga Kerja

Terhadap

Pertumbuhan

Ekonomi Di

Kab Lampung

Tengah

Variabel :

Pertumbuhan

Ekonomi, Belanja

Langsung,

Belanja Tidak

Langsung,

Tenaga Kerja

Alat Analisis :

Model Regresi

Berganda

Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa

pengeluaran pemerintah pada

belanja langsung berpengaruh

positif namun tidak signifikan

terhadap pertumbuhan

ekonomi, pada belanja tidak

langsung berpengaruh positif

dan signifikan terhadap

pertumbuhan ekonomi. Dan

tenaga kerja berpengaruh

positif dan signifikan

terhadap pertumbuhan

ekonomi.

Variabel

independen:

Tenaga Kerja

Metode: Model

Regresi Berganda

Periode: 2001-

2014

Objek: Kabupaten

Lampung Tengah

50

No Penulis

dan Tahun Judul Penelitian

Variabel dan Alat

Analisis Hasil Penelitian Perbedaan

3. I Gede

Dwi

Purnama

Putra, I

Made

Adigorim

(2011)

Pengaruh

Belanja

Langsung Dan

Belanja Tidak

Langsung

Terhadap

Pertumbuhan

Ekonomi

Variabel : PDRB,

Belanja

Langsung, dan

Belanja Tidak

Langsung

Alat Analisis :

Model Regresi

Berganda

Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa baik

belanja langsung atau belanja

tidak langsung memiliki

pengaruh yang positif

signifikan terhadap

pertumbuhan ekonomi/PDRB

Kabupaten Badung.

Metode: Model

Regresi Berganda

Periode: 2001-

2010

Objek: Kabupaten

Badung

4. Singgih

Samsuri

(2016)

Analisis

Pengaruh

Belanja

Pemerintah

Terhadap PDRB

Provinsi Se-

Sumatera

Variabel : PDRB,

Belanja Modal,

Belanja Operasi

Alat Analisis :

Random Effect

Model (REM)

Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa seluruh

variabel bebas yaitu belanja

modal dan belanja operasi

mempunyai pengaruh positif

dan signifikan terhadap

PDRB di 10 provinsi se-

Sumatera.

Var. independen:

Belanja Modal,

Belanja Operasi

Periode: 2009-

2013

Objek: 10 prov. di

Sumatera

5. Merlin

Anggraeni

(2017)

Analisis

Pengaruh

Pengeluaran

Pemerintah

Pendidikan,

Kesehatan, Dan

Pertanian

Terhadap

Pertumbuhan

Ekonomi

Variabel :

Pertumbuhan

Ekonomi,

Pengeluaran

Pemerintah

(Pendidikan,

Kesehatan, dan

Pertanian)

Alat Analisis :

Error Correction

Model (ECM)

Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa seluruh

variabel independen

Pengeluaran Pemerintah di

Beberapa Sektor (Pendidikan,

Kesehatan dan Pertanian)

berpengaruh signifikan

terhadap PDB Indonesia, baik

secara parsial atau secara

simultan.

Var. independen:

Pengeluaran

Pemerintah

Sektor

Pendidikan,

Kesehatan, dan

Pertanian

Metode: ECM

Periode: 1970-

2015

Objek: Indonesia

51

No Penulis

dan Tahun Judul Penelitian

Variabel dan Alat

Analisis Hasil Penelitian Perbedaan

6. Nur

Saidah

(2011)

Analisis

Pengaruh

Belanja

Pemerintah

Daerah

Terhadap

Pertumbuhan

Ekonomi

Kabupaten

Tertinggal

Variabel :

Pertumbuhan

Ekonomi, Belanja

Per Fungsi

(Ekonomi,

Pendidikan,

Kesehatan,

Pelayanan

Umum, dan

Lainnya), Jumlah

Angkatan Kerja

Alat Analisis :

Random Effect

Model (REM)

Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa masing-

masing variabel belanja

fungsi pelayanan umum,

kesehatan, pendidikan dan

lainnya berpengaruh

signifikan terhadap

pertumbuhan ekonomi.

Variabel bebas yang lain

yaitu angkatan kerja dan

belanja fungsi ekonomi tidak

berpengaruh signifikan

pertumbuhan ekonomi 22

kabupaten tertinggal.

Var. independen:

Belanja Per

Fungsi, Jumlah

Angkatan Kerja

Periode: 2007-

2009

Objek: 22

Kabupaten

Tertinggal di

Pulau Sumatra

7. Gitana

Dudzeviči

ūtė, Agnė

Šimelytė,

Aušra

Liučvaitie

nė (2018)

Government

expenditure and

Economic

growth in the

European Union

Countries

Variabel : GDP

Per Kapita,

Pengeluaran

Pemerintah

Alat Analisis :

Correlation

Analysis, Granger

Causality Test,

Regression

Reliance

Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa

hubungan kausal berjalan dari

pengeluaran pemerintah ke

pertumbuhan ekonomi ada di

Swedia dan Slovakia. Ini

mendukung pendekatan

Keynesian, dimana

peningkatan pengeluaran

pemerintah cenderung

mengarah pada permintaan

agregat yang tinggi.

Variabel

dependen: GDP

Per Kapita

Metode: Granger

Causality Test

Periode: 1995-

2015

Objek: Negara

Uni Eropa

52

No Penulis

dan Tahun Judul Penelitian

Variabel dan Alat

Analisis Hasil Penelitian Perbedaan

8. Lorena

Çakerri,

Migena

Petanaj,

Oltiana

Muharrem

i (2014)

The effect of

government

expenditures on

economic

growth. The

case of Albania

Variabel :

Pertumbuhan

Ekonomi,

Pengeluaran

Pemerintah

Alat Analisis :

literatur empiris

Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa

pengeluaran pemerintah

secara positif mempengaruhi

pertumbuhan ekonomi,

karena negara Albania dan

negara berkembang lainnya

adalah negara transisi di

mana sektor publik sangat

penting dalam kemajuan

reformasi ekonomi,

pengembangan sektor swasta,

dll.

Metode: literatur

empiris

Periode: 2000-

2013

Objek: Negara

Albania

9. Kelvin

Henry

Kyissima,

Yapatake

Kossele

Thales

Pacific,

Abeid

Ahmed

Ramadhan

(2017)

Government

expenditure and

economic

growth in

Tanzania: a time

series analysis

Variabel :

Pertumbuhan

Ekonomi,

Pengeluaran

Pemerintah

Alat Analisis :

Error Correcting

Model (ECM),

Granger

Causality Test

Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa dalam

jangka panjang pengeluaran

pemerintah ditemukan

signifikan secara statistik dan

memiliki hubungan positif

dengan pertumbuhan

ekonomi. Perkiraan jangka

pendek menunjukkan tidak

ada hubungan yang signifikan

antara pengeluaran

pemerintah dan pertumbuhan

ekonomi.

Metode:Error

Correcting Model

(ECM), Granger

Causality Test

Periode: 1996-

2014

Objek: Negara

Tanzania

53

No Penulis

dan Tahun Judul Penelitian

Variabel dan Alat

Analisis Hasil Penelitian Perbedaan

10. Edy Yusuf

Agung

Guanto

Suwanti

(2013)

Analisis

Pengaruh

Pengeluaran

Pemerintah

Sektor Pertanian

Terhadap PDRB

Sektor

Pertanian 35

Kabupaten/Kota

Di Provinsi

Jawa Tengah

Tahun 2007-

2010

Variabel : PDRB

Sektor Pertanian,

Pengeluaran

Pemerintah

Pertanian dan

Tenaga Kerja

Alat Analisis :

Fixed Effect

Model (FEM)

Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa

pengeluaran pemerintah

secara positif tidak signifikan

mempengaruhi PDRB Sektor

Pertanian, sementara tenaga

kerja berpengaruh positif dan

signifikan. Dan secara

simultan semua variabel

independen mempengaruhi

variabel dependen.

Var. independen:

Pengeluaran

Pemerintah

Pertanian dan

Tenaga Kerja

Metode: Fixed

Effect Model

(FEM)

Periode: 2007-

2010

Objek: 35

Kab/Kota di Prov.

Jawa Tengah

11. Desi Dwi

Bastias

(2017)

Analisis

Pengaruh

Pengeluaran

Pemerintah Atas

Pendidikan,

Kesehatan Dan

Infrastruktur

Terhadap

Pertumbuhan

Ekonomi

Indonesia

Periode 1969-

2009

Variabel :

Pertumbuhan

Ekonomi,

Pengeluaran

Pemerintah

(Pendidikan,

Kesehatan,

Perumahan dan

Transportasi)

Alat Analisis :

Error Correcting

Model (ECM)

Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa dalam

jangka pendek hanya variabel

pengeluaran pemerintah atas

transportasi yang

berpengaruh positif secara

signifikan terhadap

pertumbuhan ekonomi.

Sedangkan dalam jangka

panjang variabel pengeluaran

pemerintah atas perumahan

dan transportasi

mempengaruhi pertumbuhan

ekonomi secara signifikan

dan bertanda positif.

Var. independen:

Pengeluaran

Pemerintah

Sektor

Pendidikan,

Kesehatan,

Perumahan dan

Transportasi

Metode: Error

Correcting Model

(ECM)

Periode: 1969-

2009

Objek: Indonesia

Sumber: Jurnal dan Penelitian Terdahulu

54

C. Hubungan Antar Variabel

Pengeluaran pemerintah (goverment expenditure) adalah bagian dari

kebijakan fiskal yakni suatu tindakan pemerintah untuk mengatur jalannya

perekonomian dengan cara menentukan besarnya penerimaan dan pengeluaran

pemerintah tiap tahunnya yang tercermin dalam dokumen APBN untuk nasional

dan APBD untuk daerah/regional. Tujuan dari kebijakan fiskal ini adalah dalam

rangka menstabilkan harga, tingkat output maupun kesempatan kerja dan memacu

pertumbuhan ekonomi (Sukirno, 2013).

Selain itu, pengeluaran pemerintah merupakan salah satu komponen dalam

permintaan agregat (aggregate demand / AD). Secara teori ekonomi makro

Keynesian dinyatakan bahwa peningkatan pengeluaran/belanja pemerintah

cenderung mengarah pada permintaan agregat (aggregate demand / AD) yang

tinggi dan perkembangan ekonomi yang cepat (Dudzevičiūtė et al., 2018).

Peranan pengeluaran pemerintah di negara sedang berkembang sangat signifikan

dalam kemajuan reformasi ekonomi, pengembangan sektor swasta, dan lain-lain

(Çakerri et al., 2014).

a. Hubungan Antara Belanja Tidak Langsung dengan PDRB

Belanja tidak langsung adalah belanja yang tidak digunakan secara

langsung oleh adanya program atau kegiatan. Anggaran belanja tidak langsung

memegang peran penting untuk menunjang kelancaran mekanisme sistem

pemerintah serta upaya peningkatan efisiensi dan produktifitas yang pada

gilirannya akan tercapainya sasaran dan tujuan setiap tahap pembangunan. Dalam

hal ini belanja tidak langsung dapat memberikan dampak melalui pelayanan

publik oleh pegawai pemerintah kepada masyarakat, seperti pelayanan perizinan

investasi dan pelayanan perpanjangan surat-surat.

Belanja tidak langsung meliputi belanja pegawai, belanja bunga, belanja

subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan

keuangan dan belanja tak terduga. Belanja pegawai yang dimaksud dalam rincian

belanja tidak langsung ini adalah belanja yang digunakan untuk memberi gaji dan

tunjangan bagi pegawai negeri sipil, penghasilan dan tunjangan bagi anggota

55

DPRD yang ditetapkan sesuai undang-undang dan tambahan penghasilan lainnya

dengan persetujuan DPRD.

Menurut Putra & Adigorim (2011) dalam penelitian yang berjudul

“Pengaruh Belanja Langsung Dan Belanja Tidak Langsung Terhadap

Pertumbuhan Ekonomi”, Haryanto (2011) “Pengaruh Pengeluaran Pemerintah

Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2007-2011”, dan Sari et al. (2017) “Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Dan

Tenaga Kerja Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Kabupaten Lampung Tengah”

hubungan antara belanja tidak langsung dan pertumbuhan ekonomi adalah positif

sehingga akan terwujud pertumbuhan ekonomi yang disebabkan oleh proses

distribusi pengeluaran pemerintah untuk belanja tidak langsung kepada

masyarakat.

b. Hubungan Antara Belanja Langsung dengan PDRB

Belanja langsung adalah belanja yang digunakan secara langsung oleh

adanya program dan kegiatan yang direncanakan. Belanja langsung ini merupakan

pengeluaran yang bersifat menambah modal masyarakat dalam bentuk

pembangunan fisik dan non fisik di berbagai bidang seperti sarana dan prasarana.

Pembentukan modal di bidang sarana dan prasarana ini umumnya menjadi Social

Overhead Capital (SOC) yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi. SOC

ini sangat penting karena pihak swasta tidak akan mau menyediakan berbagai

fasilitas publik, namun tanpa adanya fasilitas publik ini maka pihak swasta tidak

berminat untuk menanamkan modalnya.

Dengan adanya berbagai fasilitas publik ini akan memudahkan masyarakat

dalam menjalankan aktivitas ekonomi atau sosial, dan selanjutnya dapat

mendorong pertumbuhan ekonomi serta peningkatan pendapatan. Belanja

langsung meliputi belanja pegawai, belanja barang dan jasa dan belanja modal.

Untuk belanja pegawai yang dimaksud dalam rincian belanja langsung yaitu

belanja yang dikeluarkan dalam bentuk upah yang digunakan untuk melaksanakan

program dan kegiatan pemerintah daerah.

56

Menurut Putra dan Adigorim (2011) dalam penelitian yang berjudul

“Pengaruh Belanja Langsung Dan Belanja Tidak Langsung Terhadap

Pertumbuhan Ekonomi”, Haryanto (2011) dalam penelitian yang berjudul

“Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Kabupaten/Kota Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007-2011” menyatakan bahwa

belanja langsung berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan

ekonomi/PDRB. Setiap terjadi peningkatan belanja langsung maka penerimaan

PDRB mengalami peningkatan.

57

D. Kerangka Pemikiran

Gambar 2.3

Kerangka Pemikiran Teoritis

Analisis Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah Terhadap

PDRB Daerah Otonomi Baru (DOB) Tertinggal

Perekonomian dapat dipengaruhi

oleh kebijakan fiskal melalui :

1. Pajak

2. Pengeluaran Pemerintah

Analisis Data Panel

Random Effect Model

Uji Hipotesis :

1. Uji t

2. Uji F

3. Uji Adj R2

Kesimpulan dan Saran

Variabel Independen

:

Belanja Tidak

Langsung (X1)

Belanja Langsung

(X2)

Variabel Dependen :

PDRB (Y)

58

E. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan acuan yang telah dijelaskan pada bagian kerangka berpikir

dan studi empiris yang pernah dilakukan dengan penelitian di bidang ini, maka

peneliti mengambil beberapa hipotesis. Hipotesis merupakan jawaban

sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah

penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan (Sugiyono, 2012).

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Belanja langsung diduga memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial

terhadap PDRB di 10 daerah otonomi baru tertinggal.

2. Belanja tidak langsung diduga memiliki pengaruh yang signifikan secara

parsial terhadap PDRB di 10 daerah otonomi baru tertinggal.

3. Belanja langsung dan belanja tidak langsung secara simultan memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap PDRB di 10 daerah otonomi baru

tertinggal.

59

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

tahun 2014 - 2017 dengan menggunakan metode data panel. Data yang

digunakan penelitian ini adalah data tahunan. Sedangkan jenis data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh

atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang telah ada. Penelitian ini

dilakukan untuk menganalisis seberapa besar alokasi belanja pemerintah

daerah terhadap PDRB. Variabel penelitian merupakan konsep yang dapat

diukur dengan berbagai macam nilai untuk memberikan gambaran yang nyata

mengenai fenomena yang diteliti. Dimana variabel dependen atau terikat yang

digunakan adalah PDRB, sedangkan variabel independen atau bebas meliputi

Belanja Tidak Langsung dan Belanja Langsung.

B. Metode Penentuan Sampel

Metode penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Purposive Sampling, yaitu pengambilan data sampel berdasarkan penilaian

atau kriteria yang memenuhi persyaratan untuk dijadikan sampel dalam

penelitian. Penelitian ini kemudian memilih 10 kabupaten untuk menjadi

sampel dalam penelitian ini. Fokus objek yang dipilih dalam penelitian ini

meliputi Kabupaten Maybrat, Kabupaten Pesisir Barat, Kabupaten Malaka,

Kabupaten Mahakam Ulu, Kabupaten Banggai Laut, Kabupaten Mamuju

Tengah, Kabupaten Pulau Taliabu, Kabupaten Morowali Utara, Kabupaten

Musi Rawas Utara, dan Kabupaten Konawe Kepulauan.

60

C. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan hal yang harus dilakukan dalam

penyusunan penelitian untuk memperoleh hasil yang sesuai dengan tujuan

penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder

yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Keuangan.

Data dari BPS berasal dari data Potensi Desa dan Publikasi PDRB

Kabupaten/Kota. Data pengeluaran pemerintah daerah diperoleh dari laporan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pemerintah daerah yang

diterbitkan Kementrian Keuangan. Beserta studi kepustakaan guna melengkapi

informasi agar lebih baik dan komprehensif. Adapun berikut penjelasan

mengenai metode pengumpulan data pada penelitian ini:

1. Data sekunder adalah data yang diproleh tidak melalui tangan pertama,

tetapi melalui tangan kedua, ketiga, dan seterusnya. Atau dengan kata lain,

sumber data penelitian yang diperoleh secara tidak langsung.

2. Studi kepustakaan dapat dilakukan dengan cara mencari informasi melalui

berbagai literatur, jurnal dan lain-lain yang dipublikasikan yang

berhubungan dengan objek penelitian ini.

Tabel 3.1

Jenis dan Sumber Data yang Digunakan sebagai Variabel

No. Variabel Penelitian Sumber Data Satuan

1 PDRB BPS (PDRB ADHK 10 DOB

tertinggal), tahun 2014 – 2017

juta

rupiah

2 Belanja Langsung Kemenkeu (Realisasi APBD),

tahun 2014 – 2017

juta

rupiah

3 Belanja Tidak

Langsung

Kemenkeu (Realisasi APBD),

tahun 2014 – 2017

juta

rupiah

61

D. Metode Analisis Data

1. Analisis Deskriptif

Metode analisis deskriptif merupakan suatu metode analisis yang

sederhana yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi suatu

observasi dengan menyajikannya dalam bentuk tabel, grafik maupun

narasi dengan tujuan untuk memudahkan pembaca dalam menafsirkan

hasil observasi. Metode analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan

untuk menggambarkan secara umum kondisi karakteristik daerah atau

wilayah (seperti karakteristik, aksesibilitas, sarana dan prasarana, sumber

daya manusia, serta kemampuan keuangan daerah). Serta untuk

menggambarkan struktur belanja pemerintah dan pertumbuhan ekonomi,

sehingga dapat dilihat proporsi atau prioritas belanja pemerintah dan

pertumbuhan ekonomi yang terjadi.

2. Analisis Data Panel

Sesuai dengan tinjauan literatur, hal yang akan diteliti dalam

penelitian ini adalah pengaruh belanja pemerintah (belanja tidak langsung

dan belanja langsung) terhadap PDRB 10 Daerah Otonomi Baru (DOB)

tertinggal. Pendekatan yang dilakukan untuk mengestimasi model ini

adalah pendekatan ekonometrika dengan metode analisis data panel

(pooled data). Menurut Baltagi (2005), keunggulan penggunaan analisis

data panel antara lain sebagai berikut:

a. Analisis data panel memiliki kontrol terhadap heterogenitas data

individual dalam suatu periode waktu.

b. Analisis data panel menyajikan data yang lebih informatif, lebih

bervariasi, memiliki kolinearitas antar variabel yang kecil, memiliki

derajat kebebasan yang lebih besar, dan lebih efisien.

c. Analisis data panel lebih tepat dalam mempelajari dinamika

penyesuaian (dynamics of change).

62

d. Analisis data panel dapat lebih baik mengidentifikasi dan mengukur

pengaruh-pengaruh yang secara sederhana tidak dapat terdeteksi

dalam data cross section atau time series saja.

e. Model analisis data panel dapat digunakan untuk membuat dan

menguji model perilaku yang lebih kompleks dibandingkan analisis

data cross section murni atau time series murni.

f. Analisis data panel pada level mikro dapat meminimisasi atau

menghilangkan bias yang terjadi akibat agregasi data ke level makro.

g. Analisis data panel pada level makro memiliki time series yang lebih

panjang tidak seperti masalah jenis distribusi yang tidak standar dari

unit root tests dalam analisis data time series.

Walaupun demikian, analisis data panel juga memiliki keterbatasan

dalam penggunaannya, khususnya apabila data panel dikumpulkan atau

diperoleh dengan metode survei. Menurut Baltagi (2005), keterbatasan

penggunaan analisis data panel antara lain sebagai berikut:

a. Analisis data panel menimbulkan masalah dalam rancangan dan

pengumpulan data penelitian yang mencakup coverage, nonresponse,

kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi, dan waktu

wawancara akibat penggunaan data yang relatif besar dengan

melibatkan komponen cross section dan time series.

b. Analisis data panel dapat menimbulkan distorsi dalam kesalahan

pengamatan.

c. Analisis data panel dapat menimbulkan masalah selektivitas seperti

self selectivity, nonresponse, dan attrition (jumlah responden yang

terus berkurang pada survei lanjutan).

d. Analisis data panel dapat menimbulkan dimensi series jangka pendek.

e. Analisis data panel dapat menimbulkan masalah ketergantungan cross

section yang dapat mengakibatkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak

tepat (missleading inference).

63

Dalam penelitian ini analisis data yang digunakan adalah analisis data

panel. Data panel adalah gabungan antara data runtut waktu (time series)

dengan data silang daerah (cross section). Data time series yang digunakan

dalam penelitian ini adalah periode tahun 2014-2017, sedangkan data cross

section meliputi 10 Kabupaten yang termasuk dalam Daerah Otonomi Baru

(DOB) tertinggal. Dalam perhitungan analisis data ini dilakukan dengan

menggunakan bantuan program Eviews8. Dalam penelitian ini terdapat dua

variabel independen yaitu belanja tidak langsung (X1), belanja langsung (X2)

dan variabel dependen dalam penelitian ini adalah PDRB (Y). Model yang

disusun dalam penelitian adalah sebagai berikut:

Yit = β0 + β1 BTLit + β2 BLit + εit

dimana :

β0 = intercept

β 1,2 = koefisien masing-masing variabel bebas

ε = error term/ derajat kesalahan model

Y = PDRB ADHK (dalam juta rupiah)

BTL = belanja tidak langsung (dalam juta rupiah)

BL = belanja langsung (dalam juta rupiah)

i = data cross section, yaitu 10 DOB tertinggal

t = tahun penelitian, yaitu dari tahun 2014 – 2017

Analisis data panel dapat diestimasi mengunakan metode Ordinary

Least Square (OLS) jika memenuhi syarat BLUE (Best Linear Unbiased

Estimator) atau dengan menggunakan metode Generalized Least Square

(GLS) jika syarat BLUE tidak dipenuhi. Menurut Winarno (2007), untuk

mengestimasi parameter model dengan data panel, terdapat beberapa

teknik antara lain:

64

1. Pooled Least Square (PLS)

Pendekatan yang paling sederhana dalam pengolahan data panel

adalah dengan menggunakan metode kuadrat terkecil biasa yang

diterapkan dalam data berbentuk pool, sering disebut pula dengan

Pooled Least Square. Kelemahan metode Ordinary Least Square ini

adalah ketidaksesuaian model dengan keadaan yang sesungguhnya.

Kondisi ini tiap objek saling berbeda, bahkan satu objek pada suatu

waktu akan sangat berbeda pada kondisi objek tersebut pada waktu

yang lain (Winarno, 2007).

2. Fixed Effect Model (FEM)

Menurut Winarno (2007), metode efek tetap ini dapat

menunjukkan perbedaan antar objek meskipun dengan koefisien

regresor yang sama. Model ini dikenal dengan model regresi Fixed

Effect (efek tetap). Efek tetap ini dimaksudkan adalah bahwa satu

objek, memiliki konstan yang tetap besarnya untuk berbagai periode

waktu. Demikian juga dengan koefisien regresinya, tetap besarnya

dari waktu ke waktu (time invariant).

Keuntungan metode efek tetap ini adalah dapat membedakan efek

individual dan efek waktu serta tidak perlu mengasumsikan bahwa

komponen error tidak berkorelasi dengan variabel bebas yang

mungkin sulit dipenuhi. Dan kelemahan metode efek tetap ini adalah

ketidaksesuaian model dengan keadaan yang sesungguhnya. Kondisi

tiap objek saling berbeda, bahkan satu objek pada suatu waktu akan

sangat berbeda dengan kondisi objek tersebut pada waktu yang lain.

3. Random Effect Model (REM)

Keputusan untuk memasukkan variabel boneka dalam model efek

tetap (fixed effect) tak dapat dipungkiri akan dapat menimbulkan

konsekuensi (trade off). Penambahan variabel boneka ini akan dapat

mengurangi banyaknya derajat kebebasan (degree of freedom) yang

pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter yang

diestimasi. Model panel yang di dalamnya melibatkan korelasi antar

65

error term karena berubahnya waktu karena berbedanya observasi

dapat diatasi dengan pendekatan model komponen error (error

component model) atau disebut juga model efek acak (Random effect).

Metode ini digunakan untuk mengatasi kelemahan metode efek tetap

yang menggunakan variabel semu, sehingga model mengalami

ketidakpastian. Tanpa menggunakan variabel semu, metode efek

random menggunakan residual, yang diduga memiliki hubungan antar

waktu dan antar objek. Syarat untuk menganalisis efek random yaitu

objek data saling harus lebih besar daripada banyaknya koefisien

(Winarno, 2007).

Ada 3 tahap dalam memilih metode dalam data panel. Pertama kita

harus membandingkan PLS dengan FEM terlebih dahulu. Kemudian

dilakukan uji F-test. Jika hasil menunjukkan model PLS yang diterima,

maka model PLS lah yang akan dianalisa. Tetapi jika model FEM yang

diterima, maka tahap kedua dijalankan, yakni melakukan perbandingan

lagi dengan model REM. Setelah itu dilakukan pengujian dengan

Hausman test untuk menentukan metode mana yang akan dipakai, apakah

FEM atau REM (Winarno, 2007) dan yang terakhir adalah LM test.

1. Uji Chow

Uji ini dilakukan untuk mengetahui model Pooled Least Square

(PLS) atau Fixed Effect Model (FEM) yang akan digunakan dalam

estimasi. Hipotesis dari uji chow yaitu:

- Prob (p-value) > α, maka menerima H0 dan menolak H1 sehingga

pooled least square yang valid digunakan.

- Prob (p-value) < α, maka menolak H0 dan menerima H1 sehingga

fixed effect model yang valid digunakan.

66

Signifikan level (α) atau disebut juga alpha batas kesalahan

maksimal yang dijadikan patokan dalam perhitungan statistik.

Berdasarkan konvensi, alpha yang biasa digunakan adalah sebesar 1%

(0,01), 5% (0,05) dan 10% (0,10).

2. Uji Hausman

Ada beberapa pertimbangan teknis empiris yang dapat digunakan

sebagai panduan untuk memilih Fixed Effect Model atau Random

Effect Model. Hipotesis dari uji hausman yaitu:

- Prob (p-value) > α, maka menerima H0 dan menolak H1 sehingga

random effect model yang valid digunakan.

- Prob (p-value) < α, maka menolak H0 dan menerima H1 sehingga

fixed effect model yang valid digunakan.

Keputusan penggunaan FEM dan REM dapat pula ditentukan

dengan menggunakan spesifikasi yang dikembangkan dengan

Hausman. Spesifikasi ini akan memberikan penilaian dengan

menggunakan Chisqaure statistik sehingga keputusan pemilihan

model akan dapat ditentukan secara statistik. Pengujian ini dilakukan

dengan hipotesa sebagai berikut (Winarno, 2007):

H0 : Random Effect Model

H1 : Fixed Effect Model

Setelah dilakukan pengujian ini, hasil dari Hausman test

dibandingkan dengan Chi-square statistik dengan df = k, di mana k

adalah jumlah koefisien variabel yang diestimasi. Jika hasil dari

Hausman test signifikan, maka H0 ditolak, yang FEM digunakan.

3. Uji Lagrange Multiplier (LM)

Uji ini menentukan apakah pooled least squared atau random

effect model yang dipilih untuk dilakukan estimasi. Hipotesis dari uji

LM ini adalah:

- Nilai Breusch-pagan > α, maka menerima H0 dan menolak H1

sehingga pooled least square yang valid digunakan.

67

- Nilai Breusch-pagan < α, maka menolak H0 dan menerima H1

sehingga random effect model yang valid digunakan.

Uji hipotesis model berfungsi untuk mengetahui apakah model

yang digunakan dalam penelitian sudah cukup baik ataupun belum dalam

menjelaskan keragaman yang terdapat pada suatu permasalahan.

Terdapat beberapa kriteria yang digunakan yaitu uji koefisien determinan

(R-squared), uji F-statistik dan uji t-statistik (Juanda, 2009).

1. Koefisien Determinasi R2 (R Squared)

Koefisien determinasi bertujuan untuk mengukur seberapa baik

garis regresi cocok dengan datanya atau mengukur presentase total

variasi Y yang dijelaskan oleh garis regresinya. Nilai koefisien

determinasi mempunyai interval sebagai berikut :

0 ≤ R2 ≤ 1

Semakin angkanya mendekati 1 maka semakin baik garis regresi

karena mampu menjelaskan data aktualnya. Semakin mendekati nol

maka kita mempunyai garis regresi yang kurang baik.

Koefisisen determinasi tidak pernah menurun terhadap jumlah

variabel independen. Artinya koefisien determinasi akan semakin

besar jika menambah variabel independen di dalam model. Oleh

karena nilai R2 yang selalu naik jika menambah variabel independen

walaupun variabel tersebut belum tentu mempunyai pembenaran dari

teori ekonomi maupun logika ekonomi, sebagai alternatifnya adalah

dengan menggunakan R2 yang disesuaikan (Adjusted R square).

(Widardjono, 2013)

68

2. Uji Simultan (Uji F)

Uji ini digunakan untuk mengevaluasi pengaruh semua variabel

independen terhadap variabel dependen. Pengujian ini dilakukan

dengan membandingkan nilai Fhitung dengan Ftabel. Dalam hasil regresi

yang dilakukan dengan pengolahan software sudah di hitung nilai F

hitung. Langkah selanjutnya adalah mencari nilai F tabel. F tabel

ditetapkan berdasarkan besarnya dan df (degree of freedom) dimana

besarnya ditentukan oleh numerator (k-1) dan df untuk denominator

(n-k) n merupakan jumlah observasi dan k merupakan jumlah variabel

bebas.

Kriteria pengambilan keputusan :

a. Jika nilai F-hitung > nilai F-tabel maka H0 ditolak atau menerima

H1, artinya secara besama-sama, paling tidak satu dari variabel

bebas berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikat.

b. Jika nilai F-hitung ≤ nilai F-tabel maka H0 diterima atau menolak

H1, artinya secara besama-sama, paling tidak satu dari variabel

bebas tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikat.

Selain itu di dalam menentukan menerima atau menolak hipotesis

nol dapat dilakukan dengan melihat besarnya probabilitas yang

menunjukkan besarnya , Dari perhitungan seperti Eviews dapat

dilihat nilai probabilitasnya. Jika nilai probabilitas > 5% maka

menerima hipotesis nol yang berarti secara bersama-sama variabel

independen tidak berpengaruh terrhadap variabel independen.

Sebaliknya jika nilai probabilitas < 5% maka menolak hipotesis nol

yang berarti secara bersama-sama variabel independen berpengaruh

terhadap variabel independen (Widarjono, 2013).

69

3. Uji Parsial (Uji t)

Uji t merupakan suatu prosedur yang mana hasil sampel dapat

digunakan untuk verifikasi kebenaran atau kesalahan hipotesis nol

(H0). Keputusan untuk menolak atau menerima H0 dibuat berdasarkan

nilai uji statistik yang diperoleh dari data. Uji hipotesis dua sisi

digunakan jika peniliti tidak mempunyai landasan teori atau dugaan

yang kuat. Dalam uji dua sisi hubungan antara variabel independen

dengan variabel dependen dalam persamaan regresi bisa positif

maupun negatif. Pengambilan kesimpulan dilakukan dengan

membandingkan antara nilai t hitung dengan nilai t tabel.

Kriteria pengambilan keputusan :

a. Jika nilai t-hitung > nilai t-tabel maka H0 ditolak atau menerima Ha,

artinya secara individu variabel independen berpengaruh terhadap

variabel dependen.

b. Jika nilai t-hitung ≤ nilai t-tabel maka H0 diterima atau menolak Ha,

artinya secara individu variabel independen tidak berpengaruh

terhadap variabel dependen

Selain itu di dalam menentukan menerima atau menolak

hipotesis nol dapat dilakukan dengan melihat besarnya probabilitas

yang menunjukkan besarnya , Dari perhitungan seperti Eviews dapat

dilihat nilai probabilitasnya. Jika nilai probabilitas > 5% maka

menerima hipotesis nol yang berarti variabel bebas tidak berpengaruh

nyata terhadap variabel terikat. Sebaliknya jika nilai probabilitas < 5%

maka menolak hipotesis nol yang berarti variabel bebas berpengaruh

nyata terhadap variabel terikat (Widarjono, 2013).

70

E. Operasional Variabel Penelitian

Tabel 3.2

Definisi Operasional Variabel

No Variabel Indikator Definisi Variabel

1 Dependen (Y) PDRB Suatu ukuran kuantitatif yang

menggambarkan perkembangan

suatu perekonomian daerah dari

suatu tahun ke tahun berikutnya

dapat diproksikan dengan

PDRB, PDRB suatu daerah di

satu waktu berarti

menggambarkan kondisi

pertumbuhan ekonomi suatu

daerah di satu waktu (biasanya

satu tahun).

2 Independen (X1) Belanja Tidak

Langsung

Belanja yang dianggarkan terkait

secara langsung dengan

pelaksanaan program dan

kegiatan.

3 Independen (X2) Belanja Langsung Belanja yang dianggarkan tidak

terkait secara langsung dengan

pelaksanaan program dan

kegiatan.

71

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Kondisi Daerah

Daftar Daerah Otonomi Baru (DOB) tertinggal yang menjadi fokus

penelitian adalah daerah pembentukan tahun 2009/2012/2013 dan dapat dilihat

pada tabel di bawah.

Tabel 4.1

Daerah Otonomi Baru (DOB) Tertinggal

No. Nama Daerah

Otonom

Daerah

Induk

Ibukota Provinsi UU Pembentukan Tanggal

1 Kab. Maybrat Sorong Kumurkek Papua

Barat

No. 13 Tahun 2009 16 Jan 2009

2 Kab. Pesisir

Barat

Lampung

Barat

Krui Lampung No. 22 Tahun 2012 17 Nov 2012

3 Kab. Malaka Belu Betun NTT No. 3 Tahun 2013 11 Jan 2013

4 Kab. Mahakam

Ulu

Kutai

Barat

Long

Bagun

Kalimantan

Timur

No. 2 Tahun 2013 11 Jan 2013

5 Kab. Banggai

Laut

Banggai

Kepulauan

Banggai Sulawesi

Tengah

No. 5 Tahun 2013 11 Jan 2013

6 Kab. Mamuju

Tengah

Mamuju Tobadak Sulawesi

Barat

No. 4 Tahun 2013 11 Jan 2013

7 Kab. Pulau

Taliabu

Kepulauan

Sula

Bobong Maluku

Utara

No. 6 Tahun 2013 11 Jan 2013

8 Kab. Morowali

Utara

Morowali Kolonodale Sulawesi

Tengah

No. 12 Tahun 2013 15 Mei 2013

9 Kab. Musi

Rawas Utara

Musi

Rawas

Muara

Rupit

Sumatera

Selatan

No. 16 Tahun 2013 10 Juli 2013

10 Kab. Konawe

Kepulauan

Konawe Langara Sulawesi

Tenggara

No. 13 Tahun 2013 15 Mei 2013

Sumber: Kementerian Dalam Negeri RI, 2014

72

Total daerah otonom di Indonesia sampai dengan tahun 2014 adalah 542,

terdiri atas: 34 provinsi, 415 kabupaten, 1 kabupaten administratif, 93 kota, dan 5

kota administratif. Sedangkan jumlah daerah tertinggal pada periode 2015-2019

terdapat 122 daerah tertinggal. Jumlah tersebut merupakan hasil dari

terentaskannya 70 kabupaten dari 183 kabupaten tertinggal pada periode RPJMN

2010–2014. Berdasarkan Peraturan Menteri DPDTT No. 3 Tahun 2016 tentang

Petunjuk Teknis Penentuan Indikator Daerah Tertinggal Secara Nasional, suatu

daerah ditetapkan sebagai daerah tertinggal berdasarkan kriteria: karakteristik

daerah tertentu, karakteristik daerah, aksesibilitas, sarana dan prasarana, sumber

daya manusia, kemampuan keuangan daerah, dan perekonomian masyarakat.

1. Karakteristik Daerah Tertentu

Umumnya secara geografis daerah tertinggal relatif sulit dijangkau

karena letaknya yang jauh di pedalaman, perbukitan / pegunungan,

kepulauan, pesisir, dan pulau-pulau terpencil atau karena faktor

geomorfologis lainnya sehingga sulit dijangkau oleh jaringan baik

transportasi maupun media komunikasi. Untuk daerah yang sulit diakses

dikarenakan daerah pedalaman dan kawasan hutan lindung adalah

Kabupaten Mahakam Hulu. Untuk daerah yang sulit diakses dikarenakan

kondisi perbukitan atau pegunungan antara lain Kabupaten Malaka, Musi

Rawas Utara, Mamuju Tengah, Maybrat, dan Morowali Utara. Untuk

daerah yang sulit diakses dikarenakan daerah kepulauan antara lain

Kabupaten Banggai Laut, Pulau Taliabu, dan Konawe Kepulauan. Untuk

daerah yang sulit diakses dikarenakan wilayah pesisir adalah Kabupaten

Pesisir Barat. Berikut beberapa aspek kajian daerah tertentu:

1. Daerah rawan pangan, merupakan daerah dengan kondisi penduduk

yang mengalami kekurangan pangan. 10 DOB tertinggal yang

menjadi fokus penelitian adalah daerah yang mempunyai kondisi

rawan pangan.

2. Daerah perbatasan, terdapat tiga aspek pokok yang mendasari

karakteristik daerah perbatasan, yaitu sosial ekonomi, pertahanan–

73

keamanan dan politis. Kabupaten yang termasuk dalam daerah

perbatasan adalah Malaka dan Mahakam Hulu

3. Daerah rawan bencana, kondisi daerah yang rawan bencana tentunya

dapat menyebabkan pembangunan terhambat dan atau merusak

pembangunan yang sudah terlaksana. 10 DOB tertinggal yang

menjadi fokus penelitian adalah daerah yang mempunyai kondisi

rawan bencana. Berikut bencana yang sering terjadi di beberapa

kabupaten, Pesisir Barat: banjir, tanah longsor, gempa bumi dan

tsunami, Mamuju Tengah: gempa bumi, tsunami, banjir dan abrasi,

Morowali Utara: banjir, longsor dan gempa, Musi Rawas Utara:

banjir, Maybrat: longsor, gempa dan kebakaran.

4. Daerah pasca konflik, penanganan konflik sosial memerlukan upaya

berkelanjutan untuk membangun persepsi dan cara pandang baru dari

kelompok masyarakat yang berkonflik dan dalam pencegahan konflik

sosial perlu dibutuhkan sistem deteksi dini (early warning system).

Berikut kabupaten dengan desa konflik terbesar adalah Musi Rawas

Utara, sebesar 10,11% dari 89 desa yang ada.

5. Pulau kecil terluar, pengelolaan pulau kecil terluar sudah seharusnya

dilakukan secara terpadu untuk memanfaatkan dan mengembangkan

potensi sumber daya yang ada di wilayah tersebut. Kabupaten yang

termasuk pulau kecil dan terluar adalah Pesisir Barat.

6. Desa tertinggal adalah desa yang memiliki potensi sumber daya

sosial, ekonomi, dan ekologi tetapi belum, atau kurang mengelolanya

dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, kualitas

hidup manusia serta mengalami kemiskinan dalam berbagai

bentuknya. Berikut jumlah desa tertinggal di 10 kabupaten, Musi

Rawas Utara: 13 dari 82 desa, Malaka: 79 dari 127 desa, Morowali

Utara: 45 dari 122 desa, Pesisir Barat: 53 dari 116 desa, Mahakam

Hulu: 34 dari 50 desa, Banggai Laut: 31 dari 63 desa, Konawe

Kepulauan: 68 dari 72 desa, Mamuju Tengah: 21 dari 54 desa, Pulau

Taliabu: 60 dari 71 desa, Maybrat: 253 dari 259 desa.

74

2. Karakteristik Daerah

Pada Tabel 4.2. dapat dilihat bahwa DOB tertinggal berada di atas

rata-rata nasional untuk persentase desa rawan tanah longsor, rawan banjir,

rawan bencana lainnya, di kawasan lindung dan yang berlahan kritis

dengan persentase masing-masing adalah 8,00 persen, 27,09 persen, 12,38

persen, 18,68 persen dan 42,34 persen. Sedangkan untuk persentase desa

rawan gempa bumi dapat diketahui bahwa DOB tertinggal berada di

bawah rata-rata desa secara nasional dengan selisih yang cukup sedikit

karena hanya ada 3 kabupaten yang mengalami bencana gempa bumi,

yaitu Morowali Utara, Pulau Taliabu dan Maybrat. Begitu pula dengan

persentase desa rawan konflik dapat diketahui bahwa DOB tertinggal

berada di bawah rata-rata desa secara nasional dengan selisih yang sangat

sedikit karena terdapat 1 kabupaten yang tidak mengalami konflik, yaitu

Pesisir Barat.

Tabel 4.2.

% Daerah Rawan Bencana dan Konflik di 10 DOB Tertinggal Tahun 2014

Kabupaten Jml

Desa

% Desa

Rawan

Gempa

Bumi

% Desa

Rawan

Tanah

Longsor

%Desa

Rawan

Banjir

% Desa

Rawan

Bencana

Lainnya

% Desa

di

Kawasan

Lindung

% Desa

Berlahan

Kritis

%Desa

Dengan

Konflik

Musi Rawas Utara 89 0.00% 10.11% 39.33% 2.25% 6.74% 26.97% 10.11%

Pesisir Barat 118 0.00% 12.71% 20.34% 2.54% 8.47% 22.88% 0.00%

Malaka 127 0.00% 22.05% 19.69% 40.94% 11.02% 60.63% 3.15%

Mahakam Hulu 50 0.00% 0.00% 46.00% 16.00% 0.00% 16.00% 4.00%

Banggai Laut 66 0.00% 6.06% 18.18% 16.67% 0.00% 84.85% 1.52%

Morowali Utara 125 0.80% 7.20% 42.40% 11.20% 11.20% 59.20% 2.40%

Konawe Kepulauan 95 0.00% 1.05% 13.68% 2.11% 71.58% 9.47% 1.05%

Mamuju Tengah 56 0.00% 8.93% 32.14% 5.36% 12.50% 41.07% 3.57%

Pulau Taliabu 71 8.45% 11.27% 36.62% 26.76% 43.66% 50.70% 4.23%

Maybrat 157 0.64% 0.64% 2.55% 0.00% 21.66% 51.59% 1.91%

Rata-rata DOB Tertinggal 0.99% 8.00% 27.09% 12.38% 18.68% 42.34% 3.19%

Rata-rata Nasional 3.15% 6.34% 17.23% 10.23% 3.09% 4.54% 3.49%

Sumber: BPS, Podes 2014 (diolah)

75

3. Aksesibilitas

Pada tabel 4.3. menunjukkan bahwa kabupaten yang memiliki

jarak tempuh terjauh dari kantor desa ke kabupaten dan dari kantor desa ke

pelayanan pendidikan dasar adalah Mahakam Hulu. Hal tsb dikarenakan

akses jalan darat di kabupaten ini masih sulit, masyarakat harus melalui

jalur sungai. Kondisi ini menyebabkan harga kebutuhan pokok di

Mahakam Hulu menjadi sangat mahal, kemudian harga jual produk dari

Mahakam Hulu justru lebih murah karena harus dihitung biaya yang

dikeluarkan serta risiko yang akan ditanggung ketika melalui jalur sungai.

Kemudian dapat dilihat bahwa rata-rata jarak dari kantor desa ke

pelayanan pendidikan menengah lebih jauh dibandingkan dengan jarak

dari kantor desa ke pelayanan pendidikan dasar.

Tabel 4.3

Rata-Rata Jarak Kantor Desa ke Kabupaten dan Pelayanan Pendidikan di

10 DOB Tertinggal Tahun 2014

Kabupaten Jumlah

Desa

Rata-rata Jarak

Tempuh Kantor

Desa ke

Kabupaten (Km)

Rata-rata Jarak Kantor Desa ke

Pelayanan

Pendidikan (Km)

Sekolah

Dasar

(SD)

Sekolah Menengah

Pertama (SMP)

Musi Rawas Utara 89 40,42 0,5 5,21

Pesisir Barat 118 37,93 1,25 3,5

Malaka 127 22,23 1,13 3,93

Mahakam Hulu 50 178,78 6,82 4,65

Banggai Laut 66 43,47 1,25 4,21

Morowali Utara 125 65,97 1,2 6,28

Konawe Kepulauan 95 27,74 0,69 2,78

Mamuju Tengah 56 31,07 1,75 4,78

Pulau Taliabu 71 74,06 0,37 3,88

Maybrat 157 26,58 6,35 15,3

Sumber: BPS, Podes 2014 (diolah)

76

Pada tabel 4.4. menyajikan gambaran mengenai jumlah desa

dengan akses pelayanan kesehatan > 5 Km untuk beberapa sub indikator,

yaitu rumah sakit, rumah sakit bersalin, tempat praktek dokter, tempat

praktek bidan, poliklinik dan apotek. Untuk semua sub indikator dapat

dilihat bahwa jumlah desa di DOB tertinggal dengan akses pelayanan

kesehatan > 5 Km adalah mencapai 50 persen lebih (dari total desa di

kabupaten masing-masing). Rata-rata tersebut jauh lebih besar dari rata-

rata desa secara nasional yang hanya mencapai 12,33 persen.

Tabel 4.4

Jumlah Desa dengan Akses Menuju Tempat Pelayanan Kesehatan > 5 Km di

10 DOB Tertinggal Tahun 2014

Kabupaten Jumlah

Desa

Jumlah Desa Dengan Akses Pelayanan Kesehatan >5Km

Rumah

Sakit

Rumah

Sakit

Bersalin

Tempat

Praktek

Dokter

Tempat

Praktek

Bidan

Poliklinik Apotek

Musi Rawas Utara 89 82 89 72 48 88 88

Pesisir Barat 118 115 118 82 5 90 94

Malaka 127 117 120 117 125 111 107

Mahakam Hulu 50 50 50 46 45 48 50

Banggai Laut 66 59 66 49 48 58 54

Morowali Utara 125 119 125 91 101 124 115

Konawe Kepulauan 95 95 95 82 81 95 95

Mamuju Tengah 56 56 56 43 47 56 52

Pulau Taliabu 71 71 71 71 69 71 71

Maybrat 157 157 157 157 156 149 146

Sumber: BPS, Podes 2014 (diolah)

77

4. Sarana dan Prasarana

Pada tabel 4.5. dapat dilihat bahwa kondisi jalan sebagai jalur

transportasi di DOB tertinggal masih cukup memprihatinkan. Walaupun

sebagian besar desa sudah dapat dilalui oleh kendaraan roda empat

(mobil), akan tetapi, hanya sekitar 34,37 persen yang sudah diaspal, lebih

banyak jalan yang kondisinya terbatas. Kondisi jalan yang diaspal masih

banyak yang berada di bawah rata-rata desa secara nasional (61,57 persen).

Kabupaten Konawe Kepulauan, Pulau Taliabu dan Mahakam Hulu

merupakan daerah yang mempunyai persentase desa dengan jalan aspal

yang paling rendah.

Tabel 4.5

Persentase Jenis Permukaan jalan di 10 DOB Tertinggal Tahun 2014

Kabupaten Jumlah

Desa

% Desa

Dengan

Dominasi

Jalan

Aspal/Beton

% Desa

Dengan

Dominasi

Jalan

Diperkeras

% Desa

Dengan

Dominasi

Jalan Tanah

% Desa

Dengan

Dominasi

Jalan Lainnya

Musi Rawas Utara 89 66.29% 29.21% 3.37% 1.12%

Pesisir Barat 118 60.17% 26.27% 13.56% 0.00%

Malaka 127 27.56% 66.14% 6.30% 0.00%

Mahakam Hulu 50 10.00% 32.00% 24.00% 20.00%

Banggai Laut 66 53.03% 9.09% 21.21% 1.52%

Morowali Utara 125 43.20% 44.80% 4.00% 2.40%

Konawe Kepulauan 95 2.11% 29.47% 63.16% 5.26%

Mamuju Tengah 56 19.64% 75.00% 5.36% 0.00%

Pulau Taliabu 71 5.63% 7.04% 69.01% 2.82%

Maybrat 157 56.05% 34.39% 5.10% 2.55%

Rata-rata DOB Tertinggal

34.37% 35.34% 21.51% 3.57%

Rata-rata Nasional 61.57% 20.29% 12.86% 1.79%

Sumber: BPS, Podes 2014 (diolah)

78

5. Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia adalah salah satu kriteria yang perlu

diperhatikan, karena sumber daya manusia merupakan motor penggerak

sekaligus sebagai objek pembangunan itu sendiri. Kualitas sumber daya

manusia DOB tertinggal mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Akan tetapi, dengan peningkatan tersebut masih relatif kecil dibandingkan

angka nasional. Sehingga dapat disimpulkan percepatan pembangunan

sumber daya manusia masih kurang progresif.

Perkembangan kualitas sumber daya manusia tahun 2013-2017

dapat dilihat dari Grafik 4.1. Seluruh kabupaten mengalami peningkatan

setiap tahunnya. Akan tetapi, peningkatan kualitas DOB tertinggal (2013

sebesar 60,03 dan pada 2017 menjadi sebesar 63,24) masih berada di

bawah IPM nasional (2013 sebesar 68,31 dan pada 2017 menjadi sebesar

71,39).

Grafik 4.1

Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Tahun 2013-2018

Sumber: BPS, 2018 (diolah)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

2013 2014 2015 2016 2017 2018

IPM

Musi Rawas Utara Pesisir Barat Malaka

Mahakam Hulu Banggai Laut Morowali Utara

Konawe Kepulauan Mamuju Tengah Pulau Taliabu

Maybrat Indonesia Linear (Indonesia)

79

6. Kemampuan Keuangan Daerah

Salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah

dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisis

rasio derajat desentralisasi. Derajat desentralisasi menunjukkan derajat

kontribusi PAD terhadap total pendapatan daerah. Semakin tinggi

kontribusi PAD, maka semakin tinggi kemampuan daerah dalam

penyelenggaraan desentralisasi. Menurut Davoodi dan Zou, (1998),

desentralisasi fiskal adalah bagian dari reformasi peningkatan efisiensi di

sektor publik dan peningkatan kompetisi antara pemerintah daerah dalam

pemenuhan kebutuhan publik yang dalam menstimulasi pertumbuhan

ekonomi. Namun, dapat dilihat pada Grafik 4.2 bahwa dari tahun 2014-

2017 persentase PAD terhadap TPD di DOB tertinggal adalah kurang dari

10,00 sehingga masuk tingkat desentralisasi fiskal “sangat kurang”.

Grafik 4.2

Rasio Derajat Desentralisasi, Tahun 2014-2017

Sumber: Kemenkeu, 2014-2017 (diolah)

0

2

4

6

8

10

12

2014 2015 2016 2017

Der

ajat

Des

entr

alis

asi

Musi Rawas Utara Pesisir Barat Malaka

Mahakam Hulu Banggai Laut Morowali Utara

Konawe Kepulauan Mamuju Tengah Pulau Taliabu

Maybrat sangat kurang Linear (sangat kurang)

80

B. Struktur Belanja Pemerintah

Realisasi APBD yang merupakan representasi pengeluaran pemerintah

daerah, akan memberikan dampak terhadap kinerja perekonomian di daerah yang

tercermin dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Realisasi belanja

terbesar didominasi belanja langsung, yaitu 8 dari 10 kabupaten (kecuali

Morowali Utara dan Malaka) memiliki realisasi belanja langsung terbesar

dibandingkan belanja tidak langsung.

Perkembangan belanja tidak langsung dari tahun 2014-2017 bervariasi

antardaerah, sebagian besar mengalami kenaikan (yang mengalami penurunan :

Musi Rawas Utara (2016) dan Mahakam Hulu (2017)). Keragaman tersebut

sangat dipengaruhi oleh belanja pegawai dan belanja bantuan keuangan. Pada

gambar 4.3 memperlihatkan bahwa tahun 2017 Kabupaten Morowali Utara

mempunyai belanja tidak langsung terbesar dibandingkan dengan kabupaten

lainnya yaitu sebesar 476.012 juta rupiah atau 13,6 persen lebih tinggi dari rata-

rata belanja tidak langsung seluruh kabupaten yang ada yaitu 41,8 persen. Belanja

tidak langsung terkecil adalah Kabupaten Konawe Kepulauan yang hanya 187.172

juta rupiah. Terdapat lima kabupaten yang memiliki realisasi lebih besar

dibandingkan rata-rata (41,8 persen). Lima kabupaten tersebut adalah Pesisir

Barat, Banggai Laut, Maybrat, Morowali Utara dan Malaka.

Perkembangan belanja langsung dari tahun 2014-2017 sangat bervariasi

antardaerah, sebagian besar mengalami penurunan pada tahun-tahun tertentu

(yang selalu mengalami kenaikan : Pesisir Barat, Banggai Laut, Morowali Utara

dan Malaka). Keragaman tersebut sangat dipengaruhi oleh belanja barang dan jasa

dan belanja bantuan modal. Pada Grafik 4.3 memperlihatkan bahwa tahun 2017

Kabupaten Mahakam Hulu mempunyai belanja tidak langsung terbesar

dibandingkan dengan kabupaten lainnya yaitu sebesar 864.447 juta rupiah atau

13,5 persen lebih tinggi dari rata-rata belanja langsung seluruh kabupaten yang

ada yaitu 58,2 persen. Belanja langsung terkecil adalah Kabupaten Banggai Laut

yang hanya 311.122 juta rupiah. Terdapat lima kabupaten yang memiliki realisasi

lebih besar dibandingkan rata-rata (41,8 persen). Lima kabupaten tersebut adalah

81

MusiRawasUtara

PesisirBarat

Malaka

Mahakam

Hulu

Banggai Laut

Morowali

Utara

Konawe

Kepulauan

Mamuju

Tengah

PulauTaliab

u

Maybrat

belanja tidak langsung 32,9 44,8 55,4 28,3 46,7 50,8 33,4 38,4 39,4 48,2

belanja langsung 67,1 55,2 44,6 71,7 53,3 49,2 66,6 61,6 60,6 51,8

0,0

10,0

20,0

30,0

40,0

50,0

60,0

70,0

80,0

Rea

lisas

i An

ggar

an

Kabupaten

belanja tidak langsung belanja langsung

Pulau Taliabu, Mamuju Tengah, Konawe Kepulauan, Musi Rawas Utara dan

Mahakam Hulu.

Grafik 4.3

Realisasi Belanja Menurut Kabupaten Tahun 2017

Sumber: Kemenkeu, 2017 (diolah)

C. Pertumbuhan Ekonomi

Perekonomian daerah umumnya dapat dilihat dari besarnya pertumbuhan

ekonomi yang mana selalu dilihat dari PDRB dari sisi ekonominya. Pada tabel 4.6

dapat dilihat bahwa 10 daerah otonomi baru tertinggal mengalami peningkatan

PDRB dan PDRB Per Kapita pada Tahun 2016-2017. Kabupaten Morowali Utara

mempunyai PDRB tertinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya yaitu sebesar

6.243 miliar (2016) dan 6.709 miliar (2017). Sumbangan terbesar pertama yaitu

dari sektor pertanian dan perkebunan, seperti tanaman pangan, palawija, kakao,

cengkeh, dan masih banyak lagi. Dan sumbangan terbesar kedua yaitu dari sektor

pertambangan.

82

Sedangkan Kabupaten Maybrat mempunyai PDRB terendah dibandingkan

dengan kabupaten lainnya, hal ini dikarenakan 97,7 desanya adalah desa

tertinggal. Tidak hanya PDRB, Kabupaten Morowali Utara juga mempunyai

PDRB per kapita tertinggi kedua dibandingkan dengan kabupaten lainnya yaitu

sebesar 69449 ribu (2016) dan 74522 ribu (2017). PDRB per kapita tertinggi

pertama adalah Kabupaten Mahakam Hulu.

Tabel 4.6

PDRB ADHK dan PDRB Per Kapita ADHB pada 10 DOB Tertinggal Tahun

2016-2017

Kabupaten

PDRB ADHK (Miliar Rp) PDRB Per Kapita ADHB

(Ribu Rupiah)

2016 2017 2016 2017 Musi Rawas Utara 4.926 5.127 32772 34155

Pesisir Barat 2.655 2.797 23807 25995 Malaka 1.605 1.687 11874 12843 Mahakam Hulu 1.524 1.589 82097 88820 Banggai Laut 1.460 1.556 26105 27949 Morowali Utara 6.243 6.709 69449 74522 Konawe Kepulauan 853 914 32236 34704 Mamuju Tengah 1.902 2.011 19991 21141 Pulau Taliabu 768 811 20775 22402 Maybrat 393 418 14185 15535 Nasional 47957 51887

Sumber: BPS, 2016-2017 (diolah)

D. Temuan Hasil Penelitian

1. Estimasi Model Data Panel

Ada tiga tahap dalam memilih model dalam data panel. Pertama,

membandingkan antara PLS (Common Effect Model) dengan FEM (Fixed

Effect Model). Jika hasil menunjukkan PLS yang diterima, maka model PLS

yang akan dianalisa. Dan jika FEM yang diterima, maka tahap kedua

dijalankan yaitu melakukan perbandingan antara REM (Random Effect

Model) dan FEM. Jika REM yang diterima, maka tahap ketiga yang

dilakukan yaitu membandingkan antara PLS atau REM.

83

Tabel 4.7

Hasil Estimasi Common Effect Model / PLS

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 10.62152 2.884427 3.682368 0.0007

LOGBTL? 0.299826 0.246664 1.215525 0.2319

LOGBL? -0.000724 0.256142 -0.002827 0.9978

R-squared 0.056527

Adj. R-squared 0.005528

F-statistic 1.108399

Prob(F-statistic) 0.340798

Sumber: Hasil Pengolahan Data Dengan Eviews 8

Tabel 4.8

Hasil Estimasi Fixed Effect Model

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 12.62779 0.166022 76.06079 0.0000

LOGBTL? 0.103735 0.019557 5.304187 0.0000

LOGBL? 0.030477 0.016497 1.847383 0.0753

R-squared 0.998614

Adj. R-squared 0.998069

F-statistic 1833.746

Prob(F-statistic) 0.000000

Sumber: Hasil Pengolahan Data Dengan Eviews 8

a. Uji Chow

Uji Chow dilakukan untuk dapat mengetahui model regresi data

panel yang akan digunakan dalam penelitian ini, maka dilakukan uji F-

Restricted dengan cara melihat nilai probabilitas pada F-statistik. Pada uji

chow dapat terpilih estimasi metode yang terbaik antara common effect

atau fixed effect. Setelah keluar hasilnya akan dilihat apakah lebih kecil

atau lebih besar dari tingkat signifikansi α = 5%.

84

Untuk mengetahui hasilnya maka dibuat terlebih dahulu hipotesisnya,

hipotesisnya adalah sebagai berikut:

H0 : Pooled Least Square Model

H1: Fixed Effect Model

Di bawah ini merupakan tampilan hasil uji Chow dengan

menggunakan Redundant Fixed Effects - Likelihood Ratio adalah sebagai

berikut:

Tabel 4.9 Uji Chow (Reduntant Fixed Effects Tests)

Effect Test Statistic d.f Prob.

Cross-section F 2114.379356 (9,28) 0.0000

Sumber: Hasil Pengolahan Data Dengan Eviews 8

Jika dilihat dari hasil uji chow, nilai probabilitasnya adalah sebesar

0,00000 yang artinya lebih kecil dari nilai tingkat signifikansi α = 5%

(0,0000 < 0,05). Maka dapat disimpulkan melalui uji chow bahwa H0

ditolak, jadi model panel yang dapat digunakan dalam penelitian ini adalah

Fixed Effect Model.

b. Uji Hausman

Setelah melakukan uji Chow dan didapatkan hasil bahwa model

yang tepat untuk penelitian ini adalah Fixed Effect Model, maka hal

selanjutnya yang harus dilakukan adalah uji Hausman untuk mengetahui

mana di antara Fixed Effect Model dan Random Effect Model yang lebih

tepat. Untuk mengetahui hasilnya maka dibuat terlebih dahulu

hipotesisnya, hipotesisnya adalah sebagai berikut:

H0 : Random Effect Model

H1: Fixed Effect Model

85

Berikut adalah hasil estimasi model REM:

Tabel 4.10

Hasil Estimasi Random Effect Model

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 12.62615 0.334718 37.72178 0.0000

LOGBTL? 0.103970 0.019549 5.318440 0.0000

LOGBL? 0.030380 0.016493 1.841982 0.0735

R-squared 0.739038

Adj. R-squared 0.724932

F-statistic 52.39160

Prob(F-statistic) 0.000000

Sumber: Hasil Pengolahan Data Dengan Eviews 8

Di bawah ini merupakan tampilan hasil uji Hausman dengan

menggunakan tes Correlated Random Effects - Hausman test adalah

sebagai berikut:

Tabel 4.11 Uji Hausman (Correlated Random Effects - Hausman Test)

Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section Random 0.287367 2 0.8662

Sumber: Hasil Pengolahan Data Dengan Eviews 8

Jika dilihat dari hasil uji Hausman, nilai probabilitasnya adalah

sebesar 0.8662 yang artinya lebih besar dari nilai tingkat signifikansi α =

5% (0.8662> 0,05). Maka dapat disimpulkan melalui uji Hausman bahwa

H0 diterima, maka model panel yang dapat digunakan dalam penelitian ini

adalah Random Effect Model.

86

c. Uji Lagrange Multiplier

Metode ini dilakukan untuk menentukan apakah model yang

digunakan bersifat Random Effect Model atau Pooled Least Square. Dapat

dilihat dari nilai probabilitas cross – section Breusch-pagan. Untuk

mengetahui hasilnya maka dibuat terlebih dahulu hipotesisnya,

hipotesisnya adalah sebagai berikut:

H0 : Pooled Least Square

H1: Random Effect Model

Hasil uji Lagrange Multiplier yang didapat setelah dilakukan

pengolahan data adalah sebagai berikut:

Tabel 4.12 Uji Lagrange Multiplier

Cross – section Time Both

Breusch – Pagan 58.38643 2.036400 60.42283

(0.0000) (0.1536) (0.0000)

Sumber: Hasil Pengolahan Data Dengan Eviews 8

Jika dilihat dari hasil uji Lagrange Multiplier, nilai probabilitasnya

adalah sebesar 0.0000 yang artinya lebih kecil dari nilai tingkat

signifikansi α = 5% (0.0000< 0,05). Maka dapat disimpulkan melalui uji

Lagrange Multiplier bahwa H0 ditolak, maka model panel yang dapat

digunakan dalam penelitian ini adalah Random Effect Model.

d. Random Effect Model

Dari hasil estimasi data yang telah dilakukan, dapat diketahui

bahwa hasil olah data yang diperoleh menunjukkan bahwa model data

panel yang paling tepat digunakan dalam penelitian ini adalah Random

Effect Model.

87

Dapat dijelaskan melalui persamaan sebagai berikut :

PDRB = 12.62615 + 0.103970 BTL + 0.030380 BL + e

Keterangan :

PDRB : Produk Domestik Regional Bruto

BTL : Belanja Tidak Langsung

BL : Belanja Langsung

Tabel 4.13 Hasil Regresi Random Effect Model

Variable Coefficient Prob.

C 12.62615 0.0000

LOGBTL? 0.103970 0.0000**

LOGBL? 0.030380 0.0735*

Sumber: Hasil Pengolahan Data Dengan Eviews 8

Berdasarkan hasil regresi data panel pada tabel 4.13, dapat dilihat

pada kolom coefficient bahwa semua variabel independen memiliki arah

hubungan yang positif terhadap variabel dependen yaitu PDRB.

2. Pengujian Hipotesis

a. Uji Signifikan Simultan (Uji F-statistik)

Uji F-statistik digunakan untuk mengetahui tingkat signifikansi

pengaruh seluruh variabel independen secara simultan terhadap variabel

dependen. Penentuan pengaruh signifikan dapat dilihat dengan cara

membandingkan nilai probabilitas F-statistik dengan tingkat signifikansi α

= 5% (0,05).

88

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

H0 : Tidak ada pengaruh belanja tidak langsung dan belanja langsung

secara simultan terhadap PDRB di 10 daerah otonomi baru tertinggal

tahun 2014-2017.

H1 : Ada pengaruh belanja tidak langsung dan belanja langsung secara

simultan terhadap PDRB di 10 daerah otonomi baru tertinggal tahun 2014-

2017.

Berdasarkan hasil regresi data panel, diperoleh hasil uji F-stat

sebagai berikut :

Tabel 4.14 Uji F-statistik

F-stat 52.39160

Prob(F-stat) 0.000000

Sumber: Hasil Pengolahan Data Dengan Eviews 8

Nilai probabilitas (F-statistik) pada tabel 4.14 sebesar 0.000000,

dimana nilai tersebut lebih kecil dibandingkan dari tingkat signifikansi α =

5% (0.000000 < 0,05), maka H0 ditolak dan H1 diterima. Artinya variabel

– variabel belanja tidak langsung dan belanja langsung berpengaruh secara

bersama-sama atau simultan terhadap PDRB, khususnya di 10 kabupaten

yang termasuk dalam DOB tertinggal.

b. Uji Koefisien Determinasi (R2)

Tabel 4.15 Uji Koefisien Determinasi

R-Squared 0.739038

Adjusted R-Squared 0.724932

Sumber: Hasil Pengolahan Data Dengan Eviews 8

89

Koefisien determinansi dilakukan untuk mengetahui seberapa besar

kemampuan model dalam penelitian ini menjelaskan variasi variabel

dependennya. Berdasarkan hasil pengolahan data yang ditampilkan pada

tabel 4.15 didapatkan hasil bahwa nilai koefisien determinansi adalah

sebesar 0.739. Hal ini berarti bahwa 73,9% dari variasi PDRB 10 daerah

otonomi baru tertinggal pada tahun 2014 sampai dengan tahun 2017

mampu dijelaskan oleh variabel belanja pemerintah, sedangkan 26,1

persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model penelitian ini.

c. Uji Signifikan Parsial (Uji t-statistik) dan Pembahasan Analisis

Uji t dilakukan untuk menguji apakah variabel independen (belanja

tidak langsung dan belanja langsung) berpengaruh secara parsial terhadap

variabel dependennya (PDRB). Uji t-statistik dilakukan dengan cara

membandingkan nilai probabilitas t-statistik terhadap tingkat signifikan α

= 5% melihat apakah hipotesisnya diterima atau ditolak. Adapun hipotesis

dalam penilitian ini adalah sebagai berikut:

H0 : Tidak ada pengaruh belanja tidak langsung secara parsial

terhadap PDRB di 10 daerah otonomi baru tertinggal tahun 2014-

2017.

H1 : Ada pengaruh belanja tidak langsung secara parsial terhadap

PDRB di 10 daerah otonomi baru tertinggal tahun 2014-2017.

H0 : Tidak ada pengaruh belanja langsung secara parsial terhadap

PDRB di 10 daerah otonomi baru tertinggal tahun 2014-2017.

H1 : Ada pengaruh belanja langsung secara parsial terhadap PDRB

di 10 daerah otonomi baru tertinggal tahun 2014-2017.

90

Tabel 4.16 Uji t-statistik

Variable Coefficient Prob.

C 12.62615 0.0000

LOGBTL 0.103970 0.0000**

LOGBL 0.030380 0.0735*

Sumber: Hasil Pengolahan Data Dengan Eviews 8

*Signifikan pada α = 10% atau 0,1

**Signifikan pada α = 5% atau 0,05

Berdasarkan hipotesis di atas, maka pembuktian dari penelitian ini

didapatkan hasilnya sebagai berikut :

Nilai probabilitas t-statistik pada variabel belanja tidak langsung

adalah 0,0000 < 0,05 (α = 5%) yang artinya H1 diterima dan H0

ditolak, sehingga ada pengaruh antara belanja tidak langsung

terhadap PDRB di 10 daerah otonomi baru tertinggal.

Nilai probabilitas t-statistik pada variabel belanja langsung adalah

0.0735 < 0,1 (α = 10%) yang artinya H1 diterima dan H0 ditolak,

sehingga ada pengaruh antara belanja langsung terhadap PDRB di

10 daerah otonomi baru tertinggal.

91

1) Pengaruh Belanja Tidak Langsung terhadap PDRB

Secara teori ekonomi makro Keynesian pada dasarnya peningkatan belanja

pemerintah membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. Namun,

besarnya nilai pengaruh belanja tidak langsung terhadap PDRB dalam

penelitian ini mengisyaratkan bahwa dengan peningkatan jumlah pengeluaran

pemerintah untuk belanja tidak langsung dapat mengakibatkan peningkatan

PDRB di 10 Daerah Otonomi Baru (DOB) Tertinggal. Belanja tidak langsung

memang tidak berdampak langsung terhadap masyarakat, namun dapat

memberikan dampak melalui pelayanan publik oleh pegawai pemerintah

kepada masyarakat yang diharapkan dapat memperlancar proses kegiatan

ekonomi dan peningkatan pertumbuhan ekonomi pada akhirnya dapat

terwujud. Pelayanan publik ini, seperti pelayanan perizinan investasi,

pelayanan perpanjangan surat-surat dan lainnya.

Berdasarkan hasil estimasi pada regresi dengan menggunakan metode data

panel, dengan alat analisis Random Effect yang ditujukan tabel 4.16

menunjukkan variabel belanja tidak langsung memiliki pengaruh positif dan

signifikan terhadap PDRB pada tingkat signifikansi α = 5%. Sehingga hal ini

menunjukkan bahwa hipotesis pertama dalam penelitian ini diterima karena

secara statistik terbukti. Pada penelitian ini dinyatakan bahwa apabila belanja

tidak langsung meningkat sebesar 1 persen akan meningkatkan PDRB sebesar

0,103 persen.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Putra dan

Adigorim (2011) yang menyatakan bahwa belanja tidak langsung memiliki

pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi/PDRB yang di

lakukan di Kabupaten Badung. Selain itu, Haryanto (2011) juga memiliki hasil

yang sama. Pengeluaran pemerintah untuk belanja tidak langsung mempunyai

pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi

Jawa Tengah karena belanja tidak langsung memiliki dampak tidak langsung

melalui pelayanan publik yang dilakukan pegawai pemerintah. Kemudian dari

hasil penelitian Sari et al. (2017) menambahkan bahwa belanja tidak langsung

berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi karena

92

dalam APBD Kabupaten Lampung Tengah belanja tidak langsung memiliki

porsi yang lebih besar dibanding dengan belanja langsung.

2) Pengaruh Belanja Langsung terhadap PDRB

Belanja langsung memiliki dampak langsung bagi pertumbuhan ekonomi

daerah karena sifatnya yang langsung bisa dirasakan oleh masyarakat. Sebagai

contoh adalah pembangunan jalan raya kabupaten, pembangunan jembatan,

dan lain-lain. Jumlah pengeluaran pemerintah untuk belanja langsung yang

tinggi maka porsi untuk pembangunan infrastruktur juga akan semakin besar.

Adanya pelayanan publik yang semakin baik dan tersedianya infrastruktur

yang memadai diharapkan dapat memperlancar proses kegiatan ekonomi

sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Realisasi belanja terbesar

dalam penelitian ini didominasi oleh belanja langsung. Namun, kecilnya nilai

pengaruh belanja langsung terhadap PDRB dalam penelitian ini menunjukkan

bahwa bahwa belanja langsung di 10 Daerah Otonomi Baru (DOB) Tertinggal

belum dapat secara maksimal mendukung pertumbuhan ekonomi daerahnya.

Berdasarkan hasil estimasi pada regresi dengan menggunakan metode data

panel, dengan alat analisis Random Effect yang ditujukan tabel 4.16

menunjukkan variabel belanja langsung memiliki pengaruh positif dan

signifikan terhadap PDRB pada tingkat signifikansi α = 10%. Sehingga hal ini

menunjukkan bahwa hipotesis pertama dalam penelitian ini diterima karena

secara statistik terbukti. Pada penelitian ini dinyatakan bahwa apabila belanja

langsung meningkat sebesar 1 persen akan meningkatkan PDRB sebesar 0,030

persen. Hubungan positif ini sesuai dengan Teori Rostow dan Musgrave yang

menyatakan pada tahap pembangunan diperlukan investasi pemerintah yang

digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Investasi

pemerintah yang dimaksud yaitu pengeluaran pemerintah yang dilihat dari

belanja langsung.

93

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Haryanto (2011) yang

menyatakan bahwa belanja langsung berpengaruh positif dan signifikan

terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah. Dalam penelitian ini

belanja langsung sama dengan pengeluaran pembangunan karena kegunaannya

sama-sama untuk memperbaiki infrastruktur atau fasilitas publik. Selain itu,

Putra dan Adigorim (2011) juga memiliki pendapat yang sama. Peningkatan

pertumbuhan ekonomi menandakan bahwa pemerintah masing-masing daerah

peduli akan perbaikan infrastruktur. Dan penelitian Sari et al. (2017) memiliki

hasil belanja langsung berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap

pertumbuhan ekonomi, artinya secara statistik belanja langsung di Kabupaten

Lampung Tengah memiliki pengaruh pada pertumbuhan ekonomi namum

memiliki pengaruh yang kecil.

d. Individual Effect

Tabel 4.17 Cross-section Effects

Coefficient Ind. Effect

C 12.62615

Random Effects (Cross)

_MUSIRAWASUTARA--C 1.115350 13.74150

_PESISIRBARAT--C 0.464328 13.090478

_MAHAKAMULU--C -0.117940 12.50821

_BANGGAILAUT--C -0.102789 12.523361

_MOROWALIUTARA--C 1.272308 13.898458

_KONAWEKEPULAUAN--C -0.563651 12.062499

_MALAKA—C -0.054886 12.571264

_PULAUTALIABU--C -0.685557 11.940593

_MAMUJUTENGAH--C 0.167028 12.793178

_MAYBRAT—C -1.494192 11.131958

Sumber: Hasil Pengolahan Data Dengan Eviews 8

94

Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa:

Apabila masing-masing variabel belanja tidak langsung dan belanja

langsung mengalami perubahan sebesar 1% maka Kabupaten Musi

Rawas Utara akan mendapatkan pengaruh individu terhadap PDRB

sebesar 13.74%.

Apabila masing-masing variabel belanja tidak langsung dan belanja

langsung mengalami perubahan sebesar 1% maka Kabupaten

Pesisir Barat akan mendapatkan pengaruh individu terhadap PDRB

sebesar 13.09%.

Apabila masing-masing variabel belanja tidak langsung dan belanja

langsung mengalami perubahan sebesar 1% maka Kabupaten

Mahakam Ulu akan mendapatkan pengaruh individu terhadap

PDRB sebesar 12.50%.

Apabila masing-masing variabel belanja tidak langsung dan belanja

langsung mengalami perubahan sebesar 1% maka Kabupaten

Banggai Laut akan mendapatkan pengaruh individu terhadap

PDRB sebesar 12.52%.

Apabila masing-masing variabel belanja tidak langsung dan belanja

langsung mengalami perubahan sebesar 1% maka Kabupaten

Morowali Utara akan mendapatkan pengaruh individu terhadap

PDRB sebesar 13.89%.

Apabila masing-masing variabel belanja tidak langsung dan belanja

langsung mengalami perubahan sebesar 1% maka Kabupaten

Konawe Kepulauan akan mendapatkan pengaruh individu terhadap

PDRB sebesar 12.06%.

Apabila masing-masing variabel belanja tidak langsung dan belanja

langsung mengalami perubahan sebesar 1% maka Kabupaten

Malaka akan mendapatkan pengaruh individu terhadap PDRB

sebesar 12.57%.

95

Apabila masing-masing variabel belanja tidak langsung dan belanja

langsung mengalami perubahan sebesar 1% maka Kabupaten Pulau

Taliabu akan mendapatkan pengaruh individu terhadap PDRB

sebesar 11.94%.

Apabila masing-masing variabel belanja tidak langsung dan belanja

langsung mengalami perubahan sebesar 1% maka Kabupaten

Mamuju Tengah akan mendapatkan pengaruh individu terhadap

PDRB sebesar 12.79%.

Apabila masing-masing variabel belanja tidak langsung dan belanja

langsung mengalami perubahan sebesar 1% maka Kabupaten

Maybrat akan mendapatkan pengaruh individu terhadap PDRB

sebesar 11.13%.

96

BAB V

PENUTUP

a. Kesimpulan

Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat hubungan antara belanja

pemerintah daerah terhadap PDRB di 10 Daerah Otonomi Baru (DOB)

tertinggal tahun 2014-2017. Berdasarkan hasil analisis yang telah dibahas,

untuk pengujian terhadap PDRB, belanja tidak langsung dan belanja

langsung dengan menggunakan model regresi data panel yaitu Random

Effect Model (REM) maka penulis memperoleh kesimpulan adalah sebagai

berikut:

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa belanja tidak langsung memiliki

pengaruh yang signifikan dan positif terhadap PDRB dengan tingkat

kepercayaan 95% di 10 Daerah Otonomi Baru (DOB) tertinggal.

Hubungan ini memiliki arti apabila belanja tidak langsung meningkat

maka PDRB juga akan mengalami peningkatan.

2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa belanja langsung memiliki

pengaruh yang signifikan dan positif terhadap PDRB dengan tingkat

kepercayaan 90% di 10 Daerah Otonomi Baru (DOB) tertinggal.

Hubungan ini memiliki arti apabila belanja langsung meningkat maka

PDRB juga akan mengalami peningkatan.

3. Seluruh variabel independen dalam penelitian ini, yaitu belanja tidak

langsung dan belanja langsung berpengaruh signifikan secara bersama-

sama atau simultan terhadap PDRB di 10 Daerah Otonomi Baru

(DOB) tertinggal. Jika terjadi perubahan pada variabel belanja tidak

langsung dan belanja langsung secara bersama-sama maka akan turut

serta merubah PDRB pada objek penelitian terkait.

97

b. Saran

1. Bagi Pemerintah

a. Perlu meningkatkan perannya sebagai institusi pemerintah yang

secara tidak langsung melalui perencanaan dan kewenangannya

dalam penganggaran belanja langsung dimana diharapkan mampu

mempengaruhi PDRB daerah nya secara maksimal.

2. Bagi Peneliti Selanjutnya

a. Menambah variabel-variabel independen lain yang mungkin

mempengaruhi PDRB agar mendapatkan hasil penelitian yang

lebih signifikan secara menyeluruh dan koefisien determinasi yang

lebih mewakili penelitian.

b. Menggunakan alat analisis lainnya seperti uji kausalitas sehingga

dapat mengetahui hubungan sebab akibat di antara variabel

independen pada penelitian yang sedang dilakukan.

98

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, Rahardjo. 2014. Pertumbuhan Wilayah dan Wilayah Pertumbuhan.

Yogyakarta: Graha Ilmu.

Anggraeni, Merlin. 2017. Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah

Pendidikan, Kesehatan, Dan Pertanian Terhadap Pertumbuhan Ekonomi.

Jurnal Pendidikan dan Ekonomi, Vol 6 No. 5. Universitas Negeri

Yogyakarta.

Arsyad, Lincolin. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi

Daerah. Yogyakarta: BPPE.

Arsyad, Lincolin. 2010. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: Upp Stim Ykpn.

Asbiantari, Dara Resmi et al. 2016. Pengaruh Ekspor Terhadap Pertumbuhan

Ekonomi Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, Vol 5

No. 2. Institut Pertanian Bogor.

Ashsubli, Muhammad. 2016. Dinamika Gerakan Pembentukan Daerah Otonom

Baru Kabupaten Mandau-Riau. Jurnal Ilmu Pemerintahan, Vol 6 No. 1.

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Bengkalis.

Badan Pusat Statistik. 2014. Data dan Informasi Kemiskinan Kabupaten/Kota.

Jakarta: BPS Pusat.

Badan Pusat Statistik. 2014. Potensi Desa. Jakarta: BPS Pusat.

Badan Pusat Statistik. 2018. Persentase Penduduk Miskin Kabupaten/Kota, 2015-

2018. Jakarta: BPS Pusat.

Badan Pusat Statistik. 2018. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota di

Indonesia 2013-2017. Jakarta: BPS Pusat.

Badan Pusat Statistik. 2019. Indeks Pembangunan Manusia 2018. Jakarta: BPS

Pusat.

Bailey, White. 1995. Decentralization, Governance and Public Services The

Impact of Institutional Arrangements. IRIS Center, University of

Maryland, College Park.

99

Baltagi, B H. 2005. Econometrics Analysis of Data Panel. Chichester: John Wiley

& Sons Ltd.

Bappeda Kab Mamuju Tengah. 2018. Buku Profil Daerah Kabupaten Mamuju

Tengah 2017. Tobadak: Bappeda Kab Mamuju Tengah.

Bastias, Desi Dwi. 2010. Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Atas

Pendidikan, Kesehatan dan Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan

Ekonomi Indonesia Periode 1969-2009. Skripsi. Universitas Diponegoro.

Çakerri, Lorena dkk. 2014. The effect of government expenditures on economic

growth. The case of Albania. European Journal of Social Sciences, Vol 2

No. 1. University of Vlora.

Darise, Nurlan. 2009. Pengelolaan Keuangan Pada Satuan Kerja Perangkat

Daerah (SKPD) dan BLU. Jakarta: Indeks.

Davoodi, Hamid dan Heng-fu Zou. 1998. Fiscal Decentralization and Economic

Growth: A cross-Country Study. Journal of Urban Economics.

Deliarnov. 2007. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: Erlangga.

Direktorat Jenderal Cipta Karya. Dokumen RPI2KM (10 Kabupaten).

Direktorat Jenderal Otonomi Daerah. 2014. Pembentukan Daerah-Daerah

Otonomi di Indonesia Sampai Dengan Tahun 2014. Kementerian Dalam

Negeri RI.

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Realisasi APBD 2014-2017.

Kementerian Keuangan.

Dudzevičiūtė, Gitana et al. 2018. Government expenditure and Economic growth

in the European Union Countries. International Journal of Social

Economics, Vol 45 No. 2. Emerald Insight.

Gusfahmi. 2017. Pajak Menurut Syariah. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Haryanto, Tommy Prio. 2013. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Terhadap

Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun

2007-2011. Economics Development Analysis Journal, Vol 2 No. 3.

Universitas Negeri Semarang.

100

Ilyas, Marzuki. 1989. Ilmu Keuangan Negara. Jakarta: PPLPTK.

Jhingan, M L. 2000. Ekonomi Perencanaan dan Pembangunan. Jakarta: PT Raja

Gravindo Persada.

Juanda, B. 2009. Ekonometrika : permodelan dan pendugaan. Bogor: IPB Press.

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi RI. 2015.

Buku Data dan Informasi Penyiapan Pembangunan Daerah Tertinggal.

Jakarta: KDPDTT.

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan. 2012. Parameter Daerah

Persiapan “Penjelasan Teknis Pembentukan DOB dalam Desain Besar

Penataan Daerah.. Jakarta: Partnership for Governance Reform.

Kyissima, Kelvin Henry. Government expenditure and economic growth in

Tanzania: a time series analysis. International Journal of Development

and Economic Sustainability, Vol 5 No. 1. European Centre for Research

Training and Development UK.

Makaganza, H.R. 2008. Tantangan Pemekaran Daerah. Yogyakarta : FusPad.

Mangkoesoebroto, Guritno. 2008. Ekonomi Publik. Jakarta: BPFE.

Mankiw, Gregory N. 2007. Makroekonomi. Jakarta: Erlangga.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006. Tentang Pedoman

Pengelolaan Keuangan Daerah.

Peraturan Menteri DPDTT Nomor 15 Tahun 2015. Tentang Rencana Strategis

KDPDTT Tahun 2015-2019.

Peraturan Menteri DPDTT Nomor 3 Tahun 2016. Tentang Petunjuk Teknis

Penentuan Indikator Daerah Tertinggal.

Peraturan Menteri DPDTT Nomor 3 Tahun 2016. Tentang Petunjuk Teknis

Penentuan Indikator Daerah Tertinggal Secara Nasional.

Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007. Tentang Tata Cara Pembentukan,

Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2014. Tentang Percepatan Pembangunan

Daerah Tertinggal.

101

Peraturan Presiden Nomor 131 Tahun 2015. Tentang Penetapan Daerah

Tertinggal Tahun 2015-2019.

Pratikno. 2008. Usulan Perubahan Kebijakan Penataan Daerah : Pemekaran dan

Penggabungan Daerah. Paper USAID.

Putra, I Gede Dwi Purnama Dan I Made Adigorim. 2011. Pengaruh Belanja

Langsung Dan Belanja Tidak Langsung Terhadap Pertumbuhan Ekonomi.

E-Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol 1 No. 2. Universitas Udayana.

Putra, Norista Gathama. 2010. Pengaruh Belanja Modal dan Belanja Operasi

Terhadap Laju Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Tengah.

Semarang: Universitas Diponegoro Semarang.

Saidah, Nur. 2011. Analisis Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah Terhadap

Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Tertinggal.. Skripsi. Institut Pertanian

Bogor.

Samsuri, Singgih. 2016. Analisis Pengaruh Belanja Pemerintah Terhadap Produk

Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Se-Sumatera. Skripsi.

Universitas Lampung.

Sari, Devi Novita et al. 2017. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Dan Tenaga

Kerja Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Kab Lampung Tengah. Jurnal

Ekonomi Pembangunan, Vol 6 No. 2. Universitas Lampung.

Sjafrizal. 2012. Ekonomi Wilayah dan Perkotaan. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Sodik, Jamzani. 2007. Pengeluaran Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi

Regional: Studi Kasus Data Panel di Indonesia. Jurnal Ekonomi

Pembangunan, Vol 12 No. 1. UPN Veteran Yogyakarta.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan (pendekatan kualitatif, kuantitatif

dan R&D). Bandung: Alfabeta.

Sukirno, Sadono. 2008. Mikro Ekonomi : Teori Pengantar. Jakarta: PT.

Rajagrafindo Persada.

Sukirno, Sadono. 2013. Makroekonomi : Teori Pengantar. Jakarta: PT.

Rajagrafindo Persada.

102

Susanti, Hewi et al. 2017. Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi dan

Pengeluaran Pemerintah Aceh Terhadap Pendapatan Asli Daerah

Provinsi Aceh Setelah Tsunami. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik

Indonesia, Vol 4 No. 1. Universitas Syiah Kuala.

Suwanti, Edy Yusuf Agung Gunanto. 2013. Analisis Pengaruh Pengeluaran

Pemerintah Untuk Sektor Pertanian Terhadap PDRB Sektor Pertanian 35

Kab/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007-2010. Jurnal Ekonomi

Diponegoro, Vol 2 No. 4. Universitas Diponegoro.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Tentang Perimbangan Keuangan Pusat

dan Daerah.

Widardjono, Agus. 2013. Ekonometrika : Pengantar dan aplikasinya. Jakarta:

Ekonosia.

Winarno, W W. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews.

Yogyakarta: UPP STIM YKPN.

103

LAMPIRAN

Lampiran 1:

a. Data Penelitian

Kabupaten Tahun PDRB

(Juta Rupiah)

Belanja Tidak

Langsung

(Juta Rupiah)

Belanja Langsung

(Juta Rupiah)

Musi Rawas Utara 2014 4.606.000 108.166 453.301

Musi Rawas Utara 2015 4.760.000 213.451 457.273

Musi Rawas Utara 2016 4.926.000 157.609 562.693

Musi Rawas Utara 2017 5.127.000 250.611 511.761

Pesisir Barat 2014 2.402.000 151.242 128.818

Pesisir Barat 2015 2.521.000 247.157 303.829

Pesisir Barat 2016 2.655.000 304.505 428.246

Pesisir Barat 2017 2.797.000 363.917 447.821

Mahakam Ulu 2014 1.427.000 228.589 257.193

Mahakam Ulu 2015 1.474.000 239.364 913.157

Mahakam Ulu 2016 1.524.000 436.502 540.366

Mahakam Ulu 2017 1.589.000 341.723 864.447

Banggai Laut 2014 1.253.000 105.725 81.259

Banggai Laut 2015 1.353.000 153.867 276.875

Banggai Laut 2016 1.460.000 221.455 301.694

Banggai Laut 2017 1.556.000 272.506 311.122

Morowali Utara 2014 5.473.000 220.619 255.947

Morowali Utara 2015 5.867.000 345.611 345.039

Morowali Utara 2016 6.243.000 444.186 402.375

Morowali Utara 2017 6.709.000 476.012 461.066

Konawe Kepulauan 2014 734.000 18.678 91.516

Konawe Kepulauan 2015 791.000 99.882 297.884

Konawe Kepulauan 2016 853.000 134.447 390.225

Konawe Kepulauan 2017 914.000 187.172 373.377

Malaka 2014 1.457.000 228.092 82.561

Malaka 2015 1.529.000 311.898 190.495

Malaka 2016 1.605.000 363.405 342.579

Malaka 2017 1.687.000 457.732 368.699

Pulau Taliabu 2014 688.000 59.129 60.772

Pulau Taliabu 2015 727.000 88.548 321.952

104

Kabupaten Tahun PDRB

(Juta Rupiah)

Belanja Tidak

Langsung

(Juta Rupiah)

Belanja Langsung

(Juta Rupiah)

Pulau Taliabu 2016 768.000 128.230 441.510

Pulau Taliabu 2017 811.000 227.202 349.503

Mamuju Tengah 2014 1.698.000 114.380 109.479

Mamuju Tengah 2015 1.813.000 179.572 319.906

Mamuju Tengah 2016 1.902.000 220.663 457.930

Mamuju Tengah 2017 2.011.000 230.501 370.368

Maybrat 2014 350.000 213.846 397.135

Maybrat 2015 369.000 275.171 532.145

Maybrat 2016 393.000 491.205 484.583

Maybrat 2017 418.000 455.933 490.350

105

b. Setelah di LOG

Kabupaten Tahun LOGPDRB LOGBTL LOGBL

Musi Rawas Utara 2014 15,34287036 11,59142296 13,02431085

Musi Rawas Utara 2015 15,37575823 12,27116399 13,03303616

Musi Rawas Utara 2016 15,41003786 11,96787232 13,2404891

Musi Rawas Utara 2017 15,45003125 12,43165874 13,14561206

Pesisir Barat 2014 14,69181228 11,92663427 11,76615448

Pesisir Barat 2015 14,74016621 12,41778065 12,62421991

Pesisir Barat 2016 14,79195521 12,62644116 12,96745235

Pesisir Barat 2017 14,84405797 12,80468117 13,01214951

Mahakam Ulu 2014 14,1710849 12,33968286 12,4575826

Mahakam Ulu 2015 14,20349035 12,3857424 13,72466343

Mahakam Ulu 2016 14,23684902 12,98654743 13,20000127

Mahakam Ulu 2017 14,27861545 12,74175453 13,66984505

Banggai Laut 2014 14,04105123 11,56859587 11,30540274

Banggai Laut 2015 14,11783491 11,94384685 12,5313206

Banggai Laut 2016 14,19394699 12,3079742 12,61717012

Banggai Laut 2017 14,25762898 12,51541498 12,64794007

Morowali Utara 2014 15,51533747 12,30419306 12,45272549

Morowali Utara 2015 15,58485399 12,75306773 12,75141383

Morowali Utara 2016 15,64697139 13,00399872 12,90514098

Morowali Utara 2017 15,71896047 13,07319765 13,04129629

Konawe Kepulauan 2014 13,50626431 9,835119675 11,42427397

Konawe Kepulauan 2015 13,58105325 11,51174763 12,60445873

Konawe Kepulauan 2016 13,65651483 11,80892822 12,87447931

Konawe Kepulauan 2017 13,72558585 12,1397828 12,83034268

Malaka 2014 14,19189009 12,33750283 11,32129525

Malaka 2015 14,24012448 12,65043266 12,15737985

Malaka 2016 14,28863431 12,80327257 12,74425848

Malaka 2017 14,33846236 13,03403991 12,81773549

Pulau Taliabu 2014 13,44154412 10,98748303 11,01489136

Pulau Taliabu 2015 13,49668176 11,39129441 12,68215748

Pulau Taliabu 2016 13,55154501 11,76157876 12,99795539

Pulau Taliabu 2017 13,60602333 12,33359578 12,76426657

Mamuju Tengah 2014 14,34496165 11,64728383 11,60348509

Mamuju Tengah 2015 14,41049349 12,09833303 12,67578292

Mamuju Tengah 2016 14,45841652 12,30439371 13,03447076

Mamuju Tengah 2017 14,51414267 12,34801156 12,82225299

Maybrat 2014 12,76568843 12,2730131 12,89203054

Maybrat 2015 12,81855192 12,52514745 13,18467035

106

Kabupaten Tahun LOGPDRB LOGBTL LOGBL

Maybrat 2016 12,88156489 13,10461636 13,09104458

Maybrat 2017 12,94323671 13,03010173 13,10287471

107

Lampiran 2: Hasil Estimasi Model Data Panel

a. Common Effect Model

Dependent Variable: LOGPDRB?

Method: Panel Least Squares

Date: 09/27/19 Time: 03:02

Sample: 2014 2017

Periods included: 4

Cross-sections included: 10

Total panel (balanced) observations: 40

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 10.62152 2.884427 3.682368 0.0007

LOGBTL 0.299826 0.246664 1.215525 0.2319

LOGBL -0.000724 0.256142 -0.002827 0.9978

R-squared 0.056527 Mean dependent var 14.28437

Adjusted R-squared 0.005528 S.D. dependent var 0.810081

S.E. of regression 0.807839 Akaike info criterion 2.483131

Sum squared resi 24.14635 Schwarz criterion 2.609797

Log likelihood -46.66262 Hannan-Quinn criter. 2.528929

F-statistic 1.108399 Durbin-Watson sitat 0.018314

Prob(F-statistic) 0.340798

108

b. Fixed Effect Model

Dependent Variable: LOGPDRB?

Method: Panel Least Squares

Date: 09/27/19 Time: 03:08

Sample: 2014 2017

Periods included: 4

Cross-sections included: 10

Total panel (balanced) observations: 40

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 12.62779 0.166022 76.06079 0.0000

LOGBTL? 0.103735 0.019557 5.304187 0.0000

LOGBL? 0.030477 0.016497 1.847383 0.0753

Fixed Effects (Cross) _MUSIRAWASUTARA—C 1.115683

_PESISIRBARAT—C 0.464556

_MAHAKAMULU—C -0.117956

_BANGGAILAUT—C -0.102827

_MOROWALIUTARA—C 1.272899

_KONAWEKEPULAUAN—C -0.564056

_MALAKA—C -0.054759

_PULAUTALIABU—C -0.685932

_MAMUJUTENGAH—C 0.167069

_MAYBRAT—C -1.494677

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.998614 Mean dependent var 14.28437

Adjusted R-squared 0.998069 S.D. dependent var 0.810081

S.E. of regression 0.035595 Akaike info criterion -3.589876

Sum squared resi 0.035477 Schwarz criterion -3.083212

Log likelihood 83.79752 Hannan-Quinn criter. -3.406682

F-statistic 1833.746 Durbin-Watson sitat 1.827940

Prob(F-statistic) 0.000000

109

c. Uji Chow

Redundant Fixed Effects Tests

Equation: Untitled

Test cross-section fixed effects

Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 2114.379356 (9,28) 0.0000

Cross-section Chi-square 260.920280 9 0.0000

Cross-section fixed effects test equation:

Dependent Variable: LOGPDRB

Method: Panel Least Squares

Date: 09/20/19 Time: 06:52

Sample: 2014 2017

Periods included: 4

Cross-sections included: 10

Total panel (balanced) observations: 40

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 10.62152 2.884427 3.682368 0.0007

LOGBTL? 0.299826 0.246664 1.215525 0.2319

LOGBL? -0.000724 0.256142 -0.002827 0.9978

Root MSE 0.776955 R-squared 0.056527

Mean dependent var 14.28437 Adjusted R-squared 0.005528

S.D. dependent var 0.810081 S.E. of regression 0.807839

Akaike info criterion 2.483131 Sum squared resi 24.14635

Schwarz criterion 2.609797 Log likelihood -46.66262

Hannan-Quinn criter. 2.528929 F-statistic 1.108399

Durbin-Watson stat 0.018314 Prob(F-statistic) 0.340798

110

d. Uji Hausman

Correlated Random Effects - Hausman Test

Equation: Untitled

Test cross-section random effects

Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 0.287367 2 0.8662

Cross-section random effects test comparisons:

Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob. LOGBTL? 0.103735 0.103970 0.000000 0.6780

LOGBL? 0.030477 0.030380 0.000000 0.8015

Cross-section random effects test equation:

Dependent Variable: LOGPDRB

Method: Panel Least Squares

Date: 09/20/19 Time: 06:53

Sample: 2014 2017

Periods included: 4

Cross-sections included: 10

Total panel (balanced) observations: 40 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 12.62779 0.166022 76.06079 0.0000

LOGBTL 0.103735 0.019557 5.304187 0.0000

LOGBL 0.030477 0.016497 1.847383 0.0753 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Root MSE 0.029781 R-squared 0.998614

Mean dependent var 14.28437 Adjusted R-squared 0.998069

S.D. dependent var 0.810081 S.E. of regression 0.035595

Akaike info criterion -3.589876 Sum squared resid 0.035477

Schwarz criterion -3.083212 Log likelihood 83.79752

Hannan-Quinn criter. -3.406682 F-statistic 1833.746

Durbin-Watson sitat 1.827940 Prob(F-statistic) 0.000000

111

e. Uji Lagrange Multiplier

Lagrange Multiplier Tests for Random Effects

Null hypotheses: No effects

Alternative hypotheses: Two-sided (Breusch-Pagan) and one-sided

(all others) alternatives Test Hypothesis

Cross-section Time Both

Breusch-Pagan 58.38643 2.036400 60.42283

(0.0000) (0.1536) (0.0000)

Honda 7.641101 -1.427025 4.394016

(0.0000) (0.9232) (0.0000)

King-Wu 7.641101 -1.427025 2.584711

(0.0000) (0.9232) (0.0049)

Standardized Honda 8.611859 -1.169561 2.602305

(0.0000) (0.8789) (0.0046)

Standardized King-Wu 8.611859 -1.169561 0.797227

(0.0000) (0.8789) (0.2127)

Gourieroux, et al.* -- -- 58.38643

(0.0000)

112

f. Random Effect Model

Dependent Variable: LOGPDRB?

Method: Panel EGLS (Cross-section random effects)

Date: 09/27/19 Time: 03:33

Sample: 2014 2017

Periods included: 4

Cross-sections included: 10

Total panel (balanced) observations: 40

Swamy and Arora estimator of component variances Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 12.62615 0.334718 37.72178 0.0000

LOGBTL? 0.103970 0.019549 5.318440 0.0000

LOGBL? 0.030380 0.016493 1.841982 0.0735 Random Effects (Cross)

_MUSIRAWASUTARA—C 1.115350 _PESISIRBARAT—C 0.464328 _MAHAKAMULU—C -0.117940 _BANGGAILAUT—C -0.102789

_MOROWALIUTARA—C 1.272308 _KONAWEKEPULAUAN—C -0.563651

_MALAKA—C -0.054886 _PULAUTALIABU—C -0.685557

_MAMUJUTENGAH—C 0.167028 Effects Specification

S.D. Rho Cross-section random 0.919140 0.9985

Idiosyncratic random 0.035595 0.0015 Weighted Statistics R-squared 0.739038 Mean dependent var 0.276542

Adjusted R-squared 0.724932 S.D. dependent var 0.066280

S.E. of regression 0.034762 Sum squared resid 0.044710

F-statistic 52.39160 Durbin-Watson stat 1.452637

Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.036059 Mean dependent var 14.28437

Sum squared resid 24.67018 Durbin-Watson stat 0.002633