ANALISIS PENERAPAN INTERNET REPORTING DAN...
Transcript of ANALISIS PENERAPAN INTERNET REPORTING DAN...
ANALISIS PENERAPAN INTERNET REPORTING DAN PENILAIAN
KINERJA KEUANGAN ORGANISASI PENGELOLA ZAKAT
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Disusun oleh:
Dewi Supriyatin
1113082000051
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
i
ii
iii
iv
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
1. Nama : Dewi Supriyatin
2. Tempat, Tanggal Lahir : Tegal, 19 Januari 1995
3. Alamat : Jl. Rivaria Dalam RT 04/RW 01 no. 14
4. Agama : Islam
5. Nama Ayah : Kisnoto
6. Nama Ibu : Tuniroh
7. Nomor Telepon : 08986342375
8. E-mail : [email protected]
II. PENDIDIKAN FORMAL
1. SDN Bedahan 01 Tahun 2001-2007
2. SMPN 10 Depok Tahun 2007-2010
3. SMAN 5 Depok Tahun 2010-2013
4. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2013-2017
III. PENGALAMAN ORGANISASI
1. Rohis SMAN 5 Depok sebagai Koordinator DKM (2010–2011)
2. LDK Komda FEB sebagai Koordinator Akhwat Syiar (2014–2015)
3. LDK Syahid sebagai Anggota Dana Usaha (2015 – 2016)
4. GenBI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai anggota Dept Ekonomi
(2014-2015)
vi
ANALYSIS OF APPLICATION OF INTERNET REPORTING AND
ASSESSMENT OF FINANCIAL PERFORMANCE OF ZAKAT MANAGERS
ORGANIZATIONAL
ABSTRACT
This study aims to determine the level of accountability and success of Zakat
Management Organization in managing zakat funds through the implementation of
internet reporting and financial performance assessment of zakat management
organizations. Sample in measurement of internet reporting application is Zakat
Management Organization website registered in Directorate General of Taxation
Regulation No. PER-15 / PJ / 201. In addition, in measuring financial performance,
there are seven objects of research are: Bamuis BNI, Dompet Dhuafa, PKPU, RZ,
BAZNAS, BMH and YBM BRI. The method of research analysis used is content
analysis and performance measurement of prime part of financial performance
issued by Indonesia Magnificence of Zakat (IMZ) in Indonesia Zakat Development
Report (IZDR) 2011.
The results of the study found that overall the average level of Zakat
Management Organization accountability remained at a very low level of 39%.
Only two Zakat Management Organization have reached the middle website
accountability level by obtaining a percentage of more than 60%, namely BAZNAS
and PKPU, while the rest are at very low accountability levels of less than 50%.
The assessment of financial performance in general is considered quite good.
Bamuis BNI financial performance ranked first, YBM BRI ranks second, RZ ranks
third, BAZNAS ranks fourth, BMH and PKPU ranks fifth, and Dompet Dhuafa
ranks sixth.
Keywords: Zakat Management Organization, accountability, internet reporting
and financial performance
vii
ANALISIS PENERAPAN INTERNET REPORTING DAN PENILAIAN
KINERJA KEUANGAN ORGANISASI PENGELOLA ZAKAT
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat akuntabilitas dan keberhasilan
Organisasi Pengelola Zakat dalam mengelola dana zakat melalui penerapan internet
reporting dan penilaian kinerja keuangan organisasi pengelola zakat. Sampel dalam
pengukuran penerapan internet reporting adalah website Organisasi Pengelola
Zakat yang terdaftar dalam peraturan Direktorat Jenderal Pajak No.PER-15/PJ/201.
Selain itu, dalam mengukur kinerja keuangan, terdapat tujuh objek penelitian yaitu:
Bamuis BNI, Dompet Dhuafa, PKPU, RZ, BAZNAS, BMH dan YBM BRI. Metode
analisis penelitian yang digunakan adalah analisis konten dan pengukuran kinerja
prima bagian kinerja keuangan yang dikeluarkan oleh Indonesia Magnificence of
Zakat (IMZ) dalam Indonesia Zakat Development Report (IZDR) 2011.
Hasil penelitian menemukan bahwa secara keseluruhan rata-rata tingkat
akuntabilitas Organisasi Pengelola Zakat masih berada pada tingkat yang sangat
rendah yaitu sebesar 39%. Hanya dua Organisasi Pengelola Zakat yang telah
mencapai tingkat akuntabilitas website menengah dengan memperoleh persentase
lebih dari 60%, yaitu BAZNAS dan PKPU, sedangkan sisanya berada pada tingkat
akuntabilitas yang sangat rendah yaitu kurang dari 50%. Penilaian kinerja keuangan
secara umum dinilai cukup baik. Kinerja keuangan Bamuis BNI menempati urutan
terbaik pertama, YBM BRI menempati urutan kedua, RZ menempati urutan ketiga,
BAZNAS menempati peringkat keempat, BMH dan PKPU menempati urutan
kelima, dan Dompet Dhuafa menempati urutan keenam.
Kata Kunci: Organisasi Pengelola Zakat, akuntabilitas, internet reporting dan
kinerja keuangan
viii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh
AlhamdulillahiRabbil’aalamiin. Syukur alhamdulillah peneliti panjatkan
kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas nikmat iman, Islam dan karunia-Nya
yang telah diberikan sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Analisis Penerapan Internet Reporting dan Penilaian Kinerja Keuangan Organisasi
Pengelola Zakat”. Shalawat beserta salam semoga terus tercurah kepada Rasulullah
Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Skripsi ini disusun untuk memenuhi
salah satu syarat menyelesaikan program Sarjana (S1) pada Program Sarjana
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selama proses penyusunan skripsi ini peneliti banyak mendapatkan
bimbingan, arahan, bantuan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
dalam kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberikan kekuatan, kesabaran,
limpahan kasih dan sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini.
2. Kedua orang tuaku tercinta yang selalu mendoakan anaknya supaya mendapat
kemudahan dalam urusannya. Kakak dan adikku tersayang yang selalu menjadi
motivasi bagi penulis.
3. Ibu Dr. Rini, M.Si.,Ak.,CA selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk memberi bimbingan, arahan, dan ilmu
pengetahuannya kepada peneliti selama penyusunan skripsi hingga akhirnya
skripsi ini bisa terselesaikan. Semoga Allah membalas dengan sebaik-baiknya
balasan.
4. Seluruh Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu, pengalaman serta nasihatnya
sehingga menjadi bekal menjalani kehidupan setelah lulus kuliah.
ix
5. Akuntansi angkatan 2013, terkhusus akuntansi B, sahabat terbaikku Hani,
Fatimah, Nurul, Weni, Anis, Tatil, Tuti, dan Akmalia, yang selalu
membersamai penulis selama sekian tahun berjuang bersama.
6. Keluarga Besar LDK Syahid spesial Forkat Al-Anfal, sahabat terbaikku Ai,
Mahda, Rifa, Wati, Juni, dan Dila, syukran atas bantuan, inspirasi, semangat
maupun do’anya.
7. KKN Cocos Nucifera 2016, yang seakan menjadi sebuah keluarga baru
tersendiri yang tidak akan mampu penulis lupakan. Thanks atas candaannya
yang membuat penulis selalu terhibur.
8. Keluarga Besar TK Islam Azkia Hanifa, terkhusus Ibu Ana, Bapak Wawan, Ibu
Ria, Ibu Rizky, dan Ibu Istin yang telah memberikan semangat kepada penulis
untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
9. Keluarga Besar Rohis SMAN 5 Depok, terkhusus Forkat Asyaroh, sahabat
seperjuangan Luki, Nufita, Nova, Puti, Zahara, dan Medina yang selalu setia
memberikan semangat maupun do’anya kepada penulis.
Peneliti menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak
kekurangan dan keterbatasan, oleh karena itu kritik dan saran sangat peneliti
harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagai tambahan
informasi dan pengetahuan bagi semua pihak yang membutuhkan.
Wassalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh.
Jakarta, Agustus 2017
Dewi Supriyatin
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI .......................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF ............................ ii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ............................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH .................... iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ..................................................................... v
ABSTRACT .................................................................................................... vi
ABSTRAK ..................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................... viii
DAFTAR ISI .................................................................................................. x
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xv
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Perumusan Masalah ................................................................... 10
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 10
D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 12
A. Tinjauan Literatur ...................................................................... 12
1. Zakat ...................................................................................... 12
2. Organisasi Nirlaba ................................................................. 43
3. Organisasi Pengelola Zakat .................................................... 44
4. Akuntabilitas .......................................................................... 52
5. E-Governance ........................................................................ 52
6. Kinerja .................................................................................... 54
B. Penelitian Terdahulu .................................................................. 71
C. Kerangka Pemikiran ................................................................... 77
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .................................................. 78
A. Ruang Lingkup Penelitian .......................................................... 78
xi
B. Metode Penentuan Sampel ......................................................... 80
C. Jenis dan Sumber Data ............................................................... 81
D. Metode Pengumpulan Data ........................................................ 81
E. Metode Analisis Data ................................................................. 82
F. Pengukuran Penerapan Internet Reporting dan Penilaian Kinerja
Keuangan Organisasi Pengelola Zakat ....................................... 84
1. Kriteria Penerapan Internet Reporting Organisasi Pengelola
Zakat .................................................................................... 84
2. Pengukuran Kinerja Keuangan ............................................ 88
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ............................................... 92
A. Analisis Penerapan Internet Reporting Organisasi Pengelola
Zakat ........................................................................................... 92
1. Pengukuran Atas Aspek Isi Dari Isi dari Penerapan Internet
Reporting Organisasi Pengelola Zakat ................................... 94
2. Pengukuran Atas Aspek Penyajian dari Penerapan Internet
Reporting Organisasi Pengelola Zakat ................................... 104
3. Hasil Pengukuran Tingkat Akuntabilitas Pengungkapan
Internet Reporting .................................................................. 112
B. Analisis Pengukuran Kinerja Keuangan Organisasi Pengelola
Zakat di Indonesia ...................................................................... 115
1. Kriteria Penilaian Efisiensi Keuangan .............................. 120
2. Kriteria Penilaian Kapasitas Organisasi ............................. 132
3. Kriteria Penilaian Laporan Keuangan ................................
4. Hasil Penilaian Kinerja Keuangan Organisasi Pengelola
Zakat ................................................................................... 134
BAB V PENUTUP ..................................................................................... 136
A. Kesimpulan ................................................................................ 136
1. Penerapan Internet Reporting Organisasi Pengelola Zakat .... 136
2. Penilaian Kinerja Keuangan Organisasi Pengelola Zakat ..... 136
B. Saran ............................................................................................ 137
xii
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 138
LAMPIRAN .................................................................................................... 143
xiii
DAFTAR TABEL
Nomor Keterangan Halaman
1.1 Dana Perolehan ZIS Nasional ................................................. 3
1.2 Kasus Penyelewengan Zakat .................................................... 6
2.1 Kadar Wajib Zakat pada Unta ................................................. 24
2.2 Kadar Wajib Zakat pada Sapi .................................................. 25
2.3 Kadar Wajib Zakat pada Kambing (Domba) ........................... 25
2.4 Penelitian Terdahulu ................................................................. 71
3.1 Kepemilikan Website Organisasi Pengelola Zakat ................... 78
3.2 Pengukuran Penerapan Internet Reporting ............................... 86
3.3 Kriteria Tingkat Pengungkapan ................................................ 88
3.4 Kriteria Penilaian Laporan Keuangan ..................................... 88
3.5 Kriteria Keuangan Efisiensi dan Kapasitas Organisasi ............ 89
3.6 Nilai Ranking Setiap Angka ..................................................... 90
4.1 Alamat Website Organisasi Pengelola Zakat ............................ 93
4.2 Panel A: Akuntansi dan Informasi Keuangan .......................... 95
4.3 Panel B: Informasi Tata Kelola Organisasi Pengelola Zakat ... 98
4.4 Panel C: Rincian Kontak dan Informasi Lainnya ..................... 100
4.5 Panel D: Keterbukaan Pertanggungjawaban Sosial ................. 103
4.6 Panel E: Ketepatwaktuan Informasi ......................................... 105
4.7 Panel F: Vitur Teknologi .......................................................... 108
4.8 Panel G: Fasilitas untuk Mempermudah Pengguna dalam
mengakses website.................................................................... 111
4.9 Tingkat Pengungkapan atau Tingkat Akuntabilitas ................. 113
4.10 Kriteria Penilaian Efisiensi Keuangan ...................................... 116
4.11 Kriteria Penilaian Efisiensi Dan Kapasitas Organisas .............. 121
4.12 Kriteria Penilaian Laporan Keuangan ......................................
4.13 Konversi Nilai Kinerja Keuangan OPZ .................................... 134
xiv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Keterangan Halaman
2.1 Kerangka Kerja Pengukuran Kinerja Lembag Zakat Penelitian
Abd. Halim Mohd Noor ........................................................... 70
2.2 Skema Kerangka Pemikiran.... ................................................. 83
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Keterangan Halaman
1 Laporan Keuangan Badan Amil Zakat Nasional ...................... 143
2 Laporan Keuangan Baitul Maal Ummat Islam Bank Negara
Indonesia................................................................................... 144
3 Laporan Keuangan Baitul Maal Hidayatullah .......................... 145
4 Laporan Keuangan Dompet Dhuafa Republika ....................... 148
5 Laporan Keuangan Pos Keadilan Peduli Ummat ..................... 156
6 Laporan Keuangan Rumah Zakat Indonesia ............................ 156
7 Laporan Keuangan Yayasan Baitul Maal Bank Rakyat
Indonesia................................................................................... 160
8 Penilaian Efisiensi Keuangan ................................................... 162
9 Penilaian Kapasitas Organisasi................................................. 163
10 Penilaian Laporan Keuangan .................................................... 167
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Zakat merupakan salah satu pilar dalam agama Islam yang wajib
dilaksanakan. Sebagian besar umat Islam meyakini bahwa zakat mempunyai
peranan yang sangat penting dalam pemberdayaan dan memajukan sektor
ekonomi umat. Namun faktanya, negara-negara dengan mayoritas penduduk
penganut agama Islam, masih tergolong sebagai negara berkembang dengan
tingkat kemiskinan yang relatif tinggi (Miftah, 2008).
Indonesia merupakan salah satu negara dengan mayoritas penduduk
muslim dan merupakan negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia.
Berdasarkan data yang di peroleh, dari 6,8 Milyar penduduk dunia 23% atau
sekitar 1,57 Milyar adalah jumlah penduduk muslim dan sebanyak 202.867.000
atau 12,9% diantaranya berada di Indonesia (Laela, 2010). Menurut data
pertumbuhan yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, pada tahun 2012 penduduk
Indonesia berjumlah 244.775.796 jiwa dan 88% atau sekitar 182.570.000 jiwa
diantaranya beragama Islam (Prasetyoningrum, 2015), sedangkan berdasarkan
data terkini yang di keluarkan oleh Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk
Indonesia pada tahun 2015 diperkirakan sebanyak 255,5 juta jiwa (Hartono,
Direktorat Jendral Pajak, 2016).
2
Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi oleh
negara berkembang khususnya dengan negara yang mayoritas berpenduduk
muslim termasuk Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat
Statistik (BPS), pada Maret 2016 BPS menyatakan bahwa jumlah penduduk
miskin di Indonesia tercatat sebesar 28.005.410 jiwa atau 11% dari total penduduk
Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2016). Meskipun demikian jumlah ini menurun
sebesar 0,22% dari 11,22% pada Maret tahun 2015 (Badan Pusat Statistik, 2017).
Salah satu faktor terjadinya kemiskinan khususnya diberbagai negara berkembang
termasuk Indonesia adalah eksploitasi penjajah, dualisme ekonomi, dualisme
keuangan, kesenjangan, produktifitas SDM yang rendah, inefisiensi dan
ketidaksempurnaan pasar yang menyebabkan distribusi kekayaan dan pendapatan
tidak merata (Bank Indonesia dan Universitas Islam Indonesia, 2016). Untuk
mengatasi hal tersebut, maka perlu dilakukannya optimalisasi peran zakat sebagai
instrumen pemberdayaan masyarakat. Namun sangat disayangkan bahwa, sampai
dengan saat ini para ulama dan pemerintah belum memberikan perhatian khusus
terhadap zakat sebagai salah satu instrumen pembangun negara.
Menurut perhitungan yang dilakukan oleh BAZNAS dan IPB, berdasarkan
PDB tahun 2010 potensi zakat di Indonesia sebesar Rp217 Triliun. Dengan
metode esktrapolasi, potensi zakat tahun 2015 sebesar Rp280 Triliun dan
realisasinya diperkirakan Rp4 Triliun atau kurang dari 1,4% dari potensinya
(Hartono, Direktorat Jendral Pajak, 2016). Sedangkan menurut data yang
diperoleh dari BAZNAS, realisasi penghimpunan dana ZIS secara nasional
selama 2013 hingga 2015 ditunjukan pada tabel berikut.
3
Tabel 1.1
Dana Perolehan ZIS Nasional
2013 2014 2015
BAZNAS Kab/
Kota
281.687.974.612 10,67% 1.422.364.285.476 43,10% 885.309.169.850 24,25%
BAZNAS
Provinsi 1.645.482.867.203 62,34% 415.451.020.092 12,59% 642.797.514.841 17,61%
BAZNAS 59.238.304.066 2,24% 82.293.545.780 2,49% 94.068.893.820 2,58%
LAZNAS 653.194.923.848 24,75% 1.379.891.148.652 41,81% 2.028.193.434.453 55,56%
Total 2.639.604.069.730 100,00% 3.300.000.000.000 100,00% 3.650.369.012.964 100,00%
Sumber: (Pusat Kajian Strategis Badan Amil Zakat Nasional, 2016)
Potensi zakat yang sangat besar ini dapat menjadi sumber dana bagi
masyarakat dan pemerintah selain dari dana pajak, dana zakat dapat dugunakan
untuk menggerakan perekonomian, menghapuskan kesenjangan sosial sehingga
mampu menghapuskan kemiskinan. Namun, adanya perbedaan angka yang cukup
besar antara potensi dan realisasi penerimaan zakat menyiratkan adanya
permasalahan dalam pengelolaan zakat (Hartono, Direktorat Jendral Pajak, 2016),
meskipun jumlah zakat yang dihimpun dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan.
Terdapat berbagai macam permasalahan dalam pengelolaan zakat di
Indonesia, seperti; pertama, zakat hanya dipandang sebagai suatu kewajiban
agama untuk membersihkan harta milik. Pemahaman masyarakat yang seperti ini,
akhirnya tidak melihat kemanfaatan zakat yang dapat memainkan peran penting
dan signifikan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta berpengaruh nyata
pada tingkah laku konsumen. Kedua, meningkatnya kesadaran umat Islam dalam
membayar zakat tidak disertai dengan pengumpulan dan penyaluran yang
terencana secara komprehensif. Pengelolaan yang tidak baik dan profesional
menjadikan zakat tidak produktif dalam ikut andil mengembangkan ekonomi
umat. Walaupun telah ada Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat
4
(LAZ), namun sistem kelembagaan zakat tidak sama dengan kelembagaan pajak
yang sudah dinilai kuat, BAZ/LAZ dinilai masih terkesan lemah dan tidak mudah
menetapkan target, ditambah lagi dengan persoalan amanah yang kurang dimiliki
oleh penyelenggara zakat. Ketiga, sisi pendukung legal formal kurang proaktif
dalam melihat potensi zakat yang sekaligus sebagai aplikasi dari ketaatan kepada
agama bagi umat Islam (Mughni, 2015).
Untuk mengoptimalkan peran zakat, Islam mendorong tumbuhnya
lembaga-lembaga sosial untuk saling menolong di masa-masa sulit (Yuniartati,
2012), salah satu lembaga yang penting adalah Organisasi Pengelola Zakat (OPZ).
OPZ merupakan lembaga non-profit yang bertujuan membantu umat Islam
menyalurkan zakat, infak, shodaqoh kepada yang berhak. Aktivitas pengelolaan
zakat melibatkan beberapa pihak yang saling terkait yakni pemberi zakat,
pengelola, dan penerima (Rahmayati, 2015). Namun, dalam pengelolaan tersebut
terkadang pengelola dana bukanlah orang-orang atau institusi yang benar-benar
dikenal oleh pemberi dana, dan karena OPZ baik LAZ maupun BAZ tergolong ke
dalam katagori lembaga publik yang sebagian atau seluruh dananya bersumber
dari masyarakat, sehingga memunculkan kebutuhan akan adanya akuntabilitas
dan transparansi dalam pengungkapan kinerja pengelolaan dana zakat. Karena itu,
menjadi penting bagi lembaga pengelola zakat untuk bisa menyusun laporan
keuangan yang baik dan transparan (Ari Kristin, 2011).
Terdapat tiga kata kunci yang harus dipegang oleh organisasi pengelola
zakat agar menjadi good organization governance, yaitu Amanah, Professional
dan Transparan. Transparansi dan akuntabilitas merupakan hal yang sangat
5
penting dalam pelaporan kinerja pengelolaan dana zakat. Karena, salah satu faktor
penyebab tidak tercapainya penerimaan zakat yang optimal dari para muzaki
adalah masih rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat pada organisasi
pengelola zakat (Septiarini, 2011), hal ini dapat dilihat pada penelitian yang
dilakukan oleh Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) pada
tahun 2007 di 11 kota besar di Indonesia dengan jumlah responden sebanyak
2.000 orang yang menjelaskan bahwa terdapat pola kecenderungan penyaluran
ZIS, sebanyak 59% responden menyalurkan zakat melalui amil masjid disekitar
rumah, atau langsung kepada yang berhak, dan melalui BAZ dan LAZ sekitar 6%
dan 1,2% (PIRAC, 2007). Selain itu, berdasarkan survei yang dilakukan Dompet
Dhuafa Republika tahun 2009 tentang persepsi publik terkait zakat mal dan
pengelolaan zakat untuk wilayah jabodetabek diperoleh hasil bahwa, muzaki yang
membeyarkan zakatnya secara langsung ke mustahiq sebesar 33,2%, masjid
sebesar 18,3%, BAZ dan LAZ sebesar 2,1%, kiai/ulama sebesar 2,1%, dan
yayasan sosial sebesar 2,1%, serta sisanya tidak menjawab (Nurul huda, 2015).
Rendahnya kepercayaan masyarakat kepada OPZ disebabkan oleh banyaknya
kasus penyelewengan yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab
dari organisasi pengelola zakat, seperti yang ditampilkan dalam tabel berikut.
6
Tabel 1.2
Kasus Penyelewengan Zakat
No Kasus
1 November 2013, mantan Kepala Baitul Mal Aceh Besar, Dr Armiadi Musa MA ditetapkan
sebagai tersangka kasus penyelewengan dana zakat, infak, dan sedekah (ZIS) Aceh Besar
tahun 2010 dan 2011. Pengungkapan kasus ini merupakan tindak lanjut dari Laporan Hasil
Pemeriksaan (LHP) BPK RI pada tahun 2012 yang menyimpulkan bahwa dana zakat
tahun 2011 sebesar Rp 7 M yang dihimpun Unit Pengumpul Zakat (UPZ) telah digunakan
tanpa mengikuti mekanisme APBK (Tribunnews, 2017).
2 Januari 2015, Polresta Pagaralam, Sumatera Selatan menetapkan empat PNS dikota
tersebut sebagai tersangka dalam kasus korupsi dana BAZ senilai Rp461 juta yang berasal
dari dana zakat yang dipotong dari gaji para PNS di empat satker perangkat daerah
Pemerintah Kota Pagaralam sejak tahun 2004 hingga tahun 2014 (Viva, 2017).
3 Desember 2016, Penyidik Kejari Parigi Moutong (Parmout) menahan dan menetapkan
Hari Tamsul J Soda yaitu mantan bendahara BAZ Kabupaten Parigi Moutong sebagai
tersangka atas tindak korupsi yang dilakukan pada tahun 2011 hingga 2015 atas dana
zakat sebesar Rp375 juta yang berasal dari pemotongan gaji PNS di lingkup Pemkab
Parmout (Trimedianews, 2017).
4 November 2015, Kejati Lampung mendalami dugaan penyelewengan dana zakat sebesar
Rp750 juta di Kementrian Agama yang berasal dari pemotongan gaji PNS dengan dalih
penyaluran ZIS (Harian Pilar, 2017).
5 Agustus 2013, terdapat dugaan penyelewengan dana zakat dan shadaqah di BAZ
Kabupaten Pasaman Barat oleh pengurus dengan mengalihkan dana zakat yang berada
dalam pengelolaannya, dana zakat sebesar Rp5,2 M disalurkan setengahnya kepada yang
berhak, sedangkan sisanya disimpan pada beberapa bank dalam bentuk tabungan dan di
pinjamankan pada pihak ketiga, hal ini melanggar UU No 23 tahun 2011 (Pasamanbarat,
2017).
6 Pada tahun 2011, Kejati Riau menangani kasus dugaan penyelewengan dana badan amil
zakat daerah (bazda) Kabupaten Kampar sebesar 1 M pada tahun 2011. Kasus ini
melibatkan pengurus BAZDA Kampar periode 2007 – 2009 (Rini, 2016).
7 Kapten Chb Ismail didakwa menyelewengkan uang zakat sebesar Rp10.500.000.
September 2011, karena memanipulasi data penyaluran dana zakat di Masjid Agung
Sudirman Denpasar. Berdasarkan keputusan pengadilan militer, terdakwa
mengembalikan dana tersebut pada Maret 2012 (Rini, 2016).
8 Walikota Surabaya, Risma pernah membekukan dana bazda Surabaya sebesar 300 juta
rupiah. Hal ini karena buruknya tata kelola BAZDA, dimana terdapat dugaan
penyelewengan sebesar 50%. Penyelewengan ini berupa gaji yang besar, dana studi
banding yangbesar, sehingga penyaluran hanya 50% (Rini, 2016).
9 Sumber dana Badan Amil Zakat Kabupaten OKU Timur digelapkan dengan dugaan
kerugian dari empat SKPD ditaksir sekitar Rp400 juta, yang dilakukan pengelola zakat
(bendahara) kurun waktu sejak 2014 silam (Pagaralampos 2015, Tribunnews 2015).
Dalam kasus tersebut Polres Pagar Alam menetapkan 4 tersangka (Rini, 2016).
Sumber: (Rini, 2016) dan dioleh dari berbagai referensi
Kasus penyelewengan dana zakat diatas menunjukkan masih buruknya tata
kelola OPZ di Indonesia yang disebabkan ketidakterbukaan sistem pengelolaan
zakat yang dihimpun, serta kurang dilakukannya evaluasi untuk mengukur kinerja
OPZ.
7
Untuk meningkatkan kepercaayaan masyarakat, transparansi dan
akuntabilitas atas aktivitas operasional OPZ perlu dilakukan. Menurut Fikri yang
dikutip oleh Rini, organisasi non-profit memiliki berbagai kelemahan terkait
akuntabilitas karena minimnya penyampaian informasi kepada masyarakat.
Namun, seiring dengan berkembangannya kemajuan teknologi, OPZ dapat
memanfaatkan internet sebagai salah satu media informasi kepada masyarakat
luas, yaitu dengan membangun website (Gatot Soepriyanto, 2011). Dengan
adanya situs website ini, pelaporan keuangan melalui internet (Internet Financial
Reporting atau IFR) juga turut berkembang. IFR memberikan penghematan yang
besar dalam biaya produksi dan distribusi informasi keuangan (Rini, 2016). IFR
juga memberikan jangkauan informasi yang lebih luas, sehingga relatif lebih
murah (Shamharir Abidin, 2014). Penerapan IFR menunjukan adanya dukungan
terhadap akuntabilitas organisasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Penelitian mengenai internet reporting telah banyak dilakukan, namun
penelitian tersebut hanya berfokus pada sektor komersial (Shamharir Abidin,
2014), sedikit sekali penelitian terkait dengan isu yang sama dijumpai pada sektor
non-komersial atau nirlaba, bahkan penelitian mengenai IFR pada OPZ belum
ditemukan (Rini, 2016). Penerapan IFR penting dilakukan OPZ sebagai bentuk
pertanggungjawaban terhadap penggunaan sumber daya kepada publik. Sebab,
dana yang digunakan dan dikelola oleh OPZ pada dasarnya berasal dari
masyarakat dan masyarakat berhak mendapatkan informasi atas penggunaan dana
tersebut.
8
Tidak hanya penerapan IFR yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
akuntabilitas dan transparansi OPZ, internet reporting dengan menggunakan
website juga dapat digunakan dalam aspek non-financial, seperti pengenalan
profil OPZ, media informasi seputar zakat, penyampaian program dan kegiatan
yang dimiliki OPZ. Penggunaan website juga dapat digunakan sebagai media
periklanan, dan pemasaran untuk menarik minat masyarakat berzakat melalui
OPZ. Urgensi atas internet reporting pada OPZ sangatlah penting dilakukan.
Dengan adanya internet reporting, secara tidak langsung publik dapat mengawasi
dan mempengaruhi kegiatan OPZ dalam mengelola dana zakat.
Minimnya keterbukaan sistem pengelolaan zakat yang dihimpun, kurang
dilakukannya evaluasi untuk mengukur kinerja OPZ juga diyakini menjadi
penyebab rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat. Hal tersebut terjadi karena
masih sedikitnya alat atau metode yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja
OPZ. Menurut Frumking dan Keating yang dikutip oleh Agyenim Boateng
(2016), menyimpulkan terdapat tiga alasan utama mengapa pengukuran kinerja
pada organisasi non-profit sulit dilakukan yaitu: Pertama, tidak ada pemegang
saham dalam kepemilikan saham di organisasi nirlaba yang menuntut atau
membutuhkan pengukuran kinerja. Kedua, tidak ada batas bawah profitabilitas
yang dapat digunakan sebagai dasar pengukuran. Ketiga, sifat perpaduan
kepemilikan dan pemegang saham di sektor nirlaba menimbulkan masalah atas
akuntabilitas sistem yang konsisten pada seluruh Sektor.
Namun demikian, beberapa metode untuk mengukur kinerja organisasi non-
profit telah dirumuskan, begitu pula untuk mengukur kinerja OPZ di Indonesai,
9
salah satu diantaranya adalah pengukuran kinerja pengelola zakat yang
dikembangkan oleh Indonesia Magnificence of Zakat (IMZ). IMZ adalah lembaga
konsultasi pemberdayaan dan manajemen organisasi nirlaba yang bergerak dalam
bidang pelatihan, konsultasi dan pendampingan, serta riset dan advokasi zakat.
IMZ telah membuat pengukuran kinerja untuk OPZ yang dikemas dalam acara
berupa IMZ Award. Pada tahun 2011, metode ini disempurnakan dan hasilnya
dapat dilihat dalam buku IZDR 2011 (Indonesia Zakat and Development Report).
Penilaian kinerja dengan pendekatan IMZ dapat menilai kinerja OPZ secara
komprehensif, dimulai dari kinerja kepatuhan syariah, legalitas, kelembagaan,
manajemen, keuangan, program pendayagunaan, dan legitimasi sosial. Penjabaran
penilaian kedalam lima komponen yang lebih spesifik merupakan kelebihan bagi
metode ini jika dibandingkan dengan metode pengukuran kinerja lainnya.
Pengukuran kinerja pada OPZ mendesak dilakukan, terlebih dengan cukup
banyaknya OPZ yang ada di Indonesia. Berdasarkan data yang di peroleh terdapat
38.013 Organisasi yang terlibat dalam pengelolaan zakat (Nikmatuniah, 2015).
Selain itu, pengukuran kinerja ini dilakukan untuk mengetahui keefektifan
pengelolaan dana zakat, hal ini dilakukan tidak lain untuk meningkatkan
kepercayaan masyarakat terhadap OPZ.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan
kepercayaan masyarakat terhadap OPZ, perlu adanya transparansi dan
akuntabilitas dalam melaporkan aktivitas OPZ yang dapat dilakukan melalui
pemanfaatan internet dan melakukan evaluasi untuk menilai kinerja OPZ, terlebih
lagi kinerja keuangan untuk mengetahui kemampuan OPZ dalam menjalankan
10
fungsinya yang amanah, akuntabel, dan transparan. Oleh karena itu, penelitian ini
akan membahas mengenai pengukuran penerapan internet reporting dan penilaian
kinerja keuangan OPZ berdasarkan pada pengukuran dan analisis kinerja prima
yang dijelaskan dalam IZDR 2011.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan dari penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana penerapan internet reporting pada Organisasi Pengelola Zakat
yang terdaftar dalam peraturan No.PER-15/PJ/2012 Direktorat Jenderal
Pajak?
2. Bagaimana Kinerja keuangan tujuh Organisasi Pengelola Zakat yang
terdaftar dalam peraturan No.PER-15/PJ/2012 Direktorat Jenderal Pajak?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka tujuan diadakannya penelitian ini
adalah:
1. Mengetahui penerapan internet reporting pada Organisasi Pengelola Zakat
yang terdaftar dalam peraturan No.PER-15/PJ/2012 Direktorat Jenderal Pajak.
2. Mengetahui dan menganalisis kinerja keuangan Organisasi Pengelola Zakat
yang terdaftar dalam peraturan No.PER-15/PJ/2012 Direktorat Jenderal Pajak.
D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi beberapa
pihak, yaitu:
11
1. Bagi Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan wawasan
mengenai penerapan internet reporting dan mengetahui kinerja keuangan
organisasi pengelola zakat.
2. Bagi Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan
bagi organisasi pengelola zakat terkait dalam melakukan internet reporting
untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Selain itu, pengukuran
kinerja keuangan dapat menjadi bahan evaluasi atas pengelolaan dana zakat
oleh organisasi pengelola zakat.
3. Bagi Masyarakat
Memberikan informasi kepada muzaki dan masyarakat luas
mengenai penerapan internet reporting dan penilaian kinerja keuangan
organisasi pengelola zakat dalam mengelola dana zakat yang mereka
salurkan.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Literatur
1. Zakat
a) Pengertian zakat
Zakat merupakan salah satu kewajiban yang disyari’atkan Allah
kepada umat Islam, sebagai salah satu perbuatan ibadah setara dengan
shalat, puasa dan ibadah haji. Akan tetapi, zakat tergolong ibadah maliah,
yakni ibadah melalui harta kekayaan dan bukan ibadah badaniah yang
pelaksanaannya dengan fisik (BAZIS DKI Jakarta, 1999).
Ditinjau dari segi bahasa, zakat berasal dari kata zakkaa, yuzakkii,
zakaatan yang berarti kesuburan, kesucian, keberkahan dan kebaikan yang
banyak. Dalam pengertian lain, zakat juga berarti tumbuh, berkembang dan
kesuburan atau bertambah atau dapat pula berarti membersihkan atau
mensucikan.
Secara istilah, zakat adalah sejumlah harta tertentu yang harus
diberikan kepada kelompok tertentu dengan berbagai syarat. Menurut
hukum Islam, zakat adalah nama bagi suatu pengambilan tertentu dari harta
yang tertentu, menurut sifat-sifat tertentu dan untuk diberikan kepada
golongan tertentu.
Mannan mendefinisikan zakat sebagai upaya untuk menyucikan
yang menumpuk. Zakat yang memiliki arti lain seperti Al-Barakatu, yang
13
bermakna penegasan bahwa orang yang selalu membayar zakat, pada
hartanya akan dilimpahkan keberkahan, kemudian keberkahan harta ini
akan berdampak kepada keberkahan hidup. Keberkahan ini lahir karena
harta yang kita gunakan adalah harta yang suci dan bersih, sebab dari
‘kotoran’ dengan menunaikan zakat yang hakekatnya zakat itu sendiri
berfungsi untuk membersihkan dan mensucikan harta. Al-Numuw, yang
berarti tumbuh dan bekembang. Makna ini menegaskan bahwa orang yang
selalu menunaikan zakat, hartanya akan selalu tumbuh dan berkembang. Hal
ini disebabkan oleh kesucian dan keberkahan harta yang telah ditunaikan
kewajiban zakatnya. Al-Thaharatu, yang artinya Zakat bermakna
membersihkan atau mensucikan, hal ini menegaskan bahwa orang yang
selalu menunaikan zakat karena Allah SWT dan bukan karena ingin dipuji
manusia, Allah akan membersihkan dan mensucikannya, baik harta maupun
jiwa. Dan Al-Shalahu, yang artinya beres atau keberesan, bahwa orang-
orang yang selalu menunaikan zakat, hartanya akan selalu beres dan jauh
dari masalah (Kementrian Agama Republik Indonesia, 2013).
Dengan demikian, zakat merupakan kewajiban bagi seorang
mukmin yang memenuhi syarat syariah Islam sebagai muzakki untuk
mengeluarkan sebagian pendapatan atau harta guna diberikan kepada
mustahiq yang telah ditetapkan Syari’at Islam (Lili Bariadi, 2005).
b) Dasar hukum zakat
Zakat dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 82 kali. Hal ini
menunjukan bahwa, zakat sebagai rukun Islam ketiga memiliki rujukan dan
14
dasar hukum yang sangat kuat. Ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits tentang
zakat semua hadir dalam bentuk umum/global. Ini menunjukkan keinginan
Allah SWT agar zakat selalu dinamis, senantiasa variatif dan produktif
sepanjang zaman (Kementrian Agama Republik Indonesia, 2013). Adapun
dalil-dalil zakat dapat dilihat dalam Al-Qur’an, Hadis, dan Ijma’.
1) Dalil Al-Qur’an
Adapun beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang menunjukkan atas
wajibnya zakat, diantaranya adalah:
a. Al-Baqarah: 43
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta
orang-orag yang ruku” (Al-Baqarah: 43).
b. At-Taubah: 130
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk
mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa
bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”
(QS. At-Taubah: 130).
c. Al-Bayyinah: 5
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus”
(QS. Al-Bayyinah: 5).
15
2) Hadis
Selain rujukan dari Al-qur’an, penjelasan mengenai zakat juga
dijelaskan dari sabda-sabda Rasulullah. Berikut merupakan beberapa
Hadist Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mengenai zakat.
Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanad yang sah dari Anas
bahwa salah seorang laki-laki dari suku Tamim datang menemui Nabi
Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan berkata, “Ya Rasulullah,
saya ini berharta banyak, mempunyai kaum keluarga, kekayaan dan
kawan-kawan yang datang bertamu. Cobalah katakan apa yang harus
saya perbuat dan bagaimana caranya saya mengeluarkan nafkah?” lalu
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Bersabda “Keluarkanlah
zakat dari hartamu karena itu merupakan penyuci yang akan
membersihkan kamu menyambung tali silaturahim dengan kaum
keluargamu dan mengakui hak pengemis, tetangga dan orang-orang
miskin” (HR. Muslim).
Rasulullah bersabda dalam sebuah hadis sahih yang
diriwayatkan Syaikhaini, Bukhari Muslim, dalam As-Shahihin, juga
diriwayatkan oleh selain keduanya dari hadis Abdullah bin Umar bin
Khattab dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, beliau
bersabda:“Islam terbangun di atas lima perkara: syahadat
(persaksian) bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad
adalah utusan Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, berpuasa
16
di bulan Ramadhandan melaksanakan ibadah haji ke Baitullah Al-
Haram” (HR. Bukhari).
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, (2011) dalam bukunya
menjelaskan bahwa hadis ini berikut maknanya memberi pengertian
bahwa seseorang yang bakhil dengan zakat dan tidak mau
membayarnya, serta melakukan konfrontasi terhadapnya, maka ia boleh
diperangi. Sebagaimana Abu Bakar pernah memerangi
pembangkangnya, sebab menurut pendapat beliau, seseorang tidak
dijaga darahnya kecuali jika mendirikan shalat dan membayar zakat.
Kala itu Umar mengkritik kebijakan Abu Bakar seraya berkata
“Bagaimana engkau memerangi kaum yang bersaksi bahwa tiada
sesembahan yang hak selain kepada Allah dan Muhammad utusan
Allah. Kalau mereka yang lakukan yang demikian, berarti telah mereka
jaga darah dan harta mereka, kecuali jika ada hak untuk menuntut darah
dan hartanya”. Kata Abu Bakar, “Bukankah zakat adalah diantara yang
hak la ilaha illallah? Demi Allah akan saya perangi siapa saja yang
memisahkan antara shalat dan zakat. Demi Allah kalau mereka tetap
tidak mau membayar zakat yang pernah mereka tunaikan kepada
Rasulullah, maka akan aku perangi mereka karena menghalang-
halanginya.”
3) Ijma’ Ulama
Sedangkan secara ijma’, para ulama baik salaf (klasik) maupun
khalaf (kontemporer) telah sepakat tentang adanya kewajiban zakat dan
17
merupakan salah satu rukun Islam serta menghukumi kafir bagi orang
yang mengingkari kewajibannya (Fakhruddin, 2008).
c) Subjek zakat
Secara umum, masyarakat mengenal subjek zakat ada dua, yaitu:
muzakki dan mustahiq. Muzakki adalah seorang muslim atau badan usaha
yang berkewajiban menunaikan zakat. muzakki adalah pemilik harta yang
telah mencapai batas terendah (nisab) yang telah ditentukan dan telah
sampai waktu wajib mengeluarkan zakat (haul) menurut ketentuan agama
Islam. Sedangkan mustahiq adalah orang yang berhak menerima zakat
(Kementrian Agama Republik Indonesia, 2013).
Allah Subhanallahu wa ta’ala, telah menentukan golongan-
golongan tertentu yang berhak menerima zakat. Zakat harus dibagikan
kepada golongan-golongan yang telah ditentukan sesuai dalam Al-Qur’an
Surat At-Taubah: 60.
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang,
untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan,
sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. At-Taubah: 60).
Berikut adalah penjelasan lebih lanjut mengenai delapan golongan
penerima zakat (Mufraini, 2006).
18
1) Fakir, ialah golongan yang tidak mendapati sesuatu yang mencukupi
kebutuhan mereka atau sering dikaitkan dengan kenihilan materi.
2) Miskin, ialah orang yang hanya dapat mencukupi separuh atau lebih
dari kebutuhannya (tetap tidak bisa terpenuhi seluruhnya) atau sering
dikaitkan dengan penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan.
3) Amil Zakat, ialah orang atau lembaga yang mendapat tugas untuk
mengambil, memungut, dan menerima zakat dari para muzaki,
menjaga dan memeliharanya kemudian menyalurkannya kepada
mustahik.
4) Riqab, yang dimaksud menurut jumhur ulama adalah perjanjian
seorang muslim (budak belian) untuk bekerja dan mengabdi kepada
majikannya, dimana pengabdian tersebut dapat dibebaskan bila si
budak belian memenuhi kewajiban pembayaran sejumlah uang,
namun si budak belian tersebut tidak memiliki kecukupan materi
untuk membayar tebusan atas dirinya tersebut. Oleh karena itu, sangat
dianjurkan untuk memberikan zakat kepada orang itu agar dapat
memerdekakan diri mereka sendiri.
5) Muallaf, secara prinsip pengertian muallaf adalah orang-orang yang
baru memeluk agama Islam. Sedangkan menurut Yusuf Qardawi
golongan muallaf terbagi menjadi tujuh golongan. Antara lain:
golongan yang diharapkan keislamannya atau keislaman
kelompoknya, golongan yang dikhawatirkan perilaku
kriminalitasnya, pemimpin serta tokoh masyarakat yang masuk islam
19
dan mempunyai sahabat-sahabat orang kafir (nonmuslim), pemimpin
dan tokoh kaum muslim yang berpengaruh dikalangan kaumnnya
akan tetapi imannya masih lemah, kaum muslim yang bertempat
tinggal di benteng-benteng dan di daerah perbatasan dengan musuh,
kaum muslim yang membutuhkan dana untuk mengurus dan
memerangi kelompok pembangkang kewajiban zakat.
6) Gharimin, ialah orang yang memiliki kesulitan dalam hidupnya
sehingga harus berhutang dan tidak dapat membayar hutangnya.
Menurut madzhab Imam Maliki, Syafi’i, dan Ahmad menyatakan
bahwa orang yang mempunyai utang terbagi kepada dua golongan,
yaitu: Pertama, kelompok orang yang mempunyai utang untuk
kebaikan dan kemaslahatan diri dan keluarganya. Kedua, kelompok
orang yang berutang untuk kemaslahatan orang atau pihak lain.
7) Fisabilillah, ialah orang yang sukarela menjadi pejuang Allah untuk
berperang dan berjuang untuk kemaslahatan seluruh muslimin. Dana
fisabilillah hanya bisa disalurkan untuk mereka yang berperang
dijalan Allah atau lebih tepatnya dapat diibaratkan sebagai “dana
perang umat”.
8) Ibnu Sabil, menurut para jumhur ulama adalah kiasan untuk musafir
(perantau), yaitu orang yang melakukan perjalanan dari satu daerah ke
daerah lain. Ibnu sabil mempunyai hak dari dana zakat apabila
kehabisan dana akomodasi dan perbekalannya, walaupun pada asal
kondisi ekonominya berkecukupan.
20
Sedangkan terdapat lima golongan yang tidak berhak menerima zakat
(Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2012). Kelima golongan
tersebut yaitu:
1. Orang kaya, ialah orang yang penghasilannya mencapai nisab setelah
dikurangi kebutuhan-kebutuhan pokoknya.
2. Orang yang mampu dan berpeluang untuk bekerja. Diharamkan zakat
bagi orang yang sehat dan kuat, karena ia masih mampu bekerja untuk
mencukupi kebutuhan dirinya sendiri tanpa harus menunggu dan
menggantungkan harapan pada sedekah.
3. Non muslim, baik harbi maupun dzimmi
4. Istri, bapak keatas, ibu keatas, dan anak kebawah
5. Keluarga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
d. Objek zakat
Jumhur ulama baik salaf maupun khalaf berpendapat bahwa zakat
harta wajib atas harta-harta yang memenuhi syarat-syaratnya. Kewajiban
harta tidak hanya terbatas pada jenis harta yang ada pada zaman Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, pada masa permulaan Islam, yaitu naqdain
(emas dan perak), barang-barang dagangan, hasil pertanian, buah-buahan,
binatang ternak dan nikaz (karta karun). Akan tetapi zakat wajib dikeluarkan
atas semua harta yang telah memenuhi syarat-syarat wajib zakat. Fuqaha’
kontemporer telah membagi harta dan pemasukan yang masuk dizakati
ketika syarat-syaratnya terpenuhi ke dalam beberapa jenis yaitu, harta yang
dirinya sendiri dan pertumbuhannya wajib dizakati, seperti barang-barang
21
dagangan, barang-barang industri, kekayaan moneter, investasi, dan
aktivitas-aktivitas kontemporer yang sejenis dengannya. Dan harta yang
dirinya sendiri wajib dizakati, seperti rikaz (harta karun), hasil pertanian,
buah-buahan dan al-mal al-mustafad (harta yang diperoleh) (Fakhruddin,
2008).
Secara garis besar, zakat dibagi menjadi dua macam, yaitu zakat mal
(zakat harta) dan zakat nafs (zakat jiwa) yang dalam masyarakat dikenal
dengan zakat fitrah (zakat fitri) (BAZIS DKI Jakarta, 1999). Zakat mal
(harta) adalah bagian dari harta kekayaan seseorang (juga badan hukum)
yang wajib dikeluarkan untuk golongan orang-orang tertentu setelah
dipunyai selama jumlah waktu tertentu dalam jumlah minimal tertentu.
Sedangkan zakat fitrah adalah pengeluaran yang wajib dilakukan oleh setiap
muslim yang mempunyai kelebihan dari keperluan keluarga yang wajar
pada malam dan hari raya idul fitri (Fakhruddin, 2008). Sayid Sabiq
mendefinisikan zakat fitrah sebagai zakat yang wajib dilaksanakan,
disebabkan oleh selesainya puasa ramadhan, hukumnya wajib atas setiap
muslimin, baik kecil ataupun dewasa, laki-laki ataupun perempuan dan
orang yang merdeka ataupun seorang budak belian. Oleh karena itu, zakat
ini wajib bagi setiap muslim yang mempunyai kelebihan makanan pada
waktu sehari semalam idul fitri. Dengan demikian bayipun wajib
mengeluarkan zakat fitrahnya jika kelahirannya sebelum matahari terbenam
pada akhir bulan ramadhan (Fakhruddin, 2008).
22
Dalam bukunya, Fakhrudin membedakan sumber-sumber zakat,
yaitu sumber zakat konvensional dan sumber-sumber zakat dalam
perekonomian modern.
1) Sumber zakat konvensional
Harta dalam bahasa Arab disebut al-amwal yang merupakan jama’
atau plural dari kata al-mal (bentuk mufrad, singular, menunjukan arti
tunggal). Menurut Yusuf al-Qardhawi yang dimaksud dengan harta
adalah segala sesuatu yang diinginkan sekali oleh manusia untuk
menyimpan dan memilikinya. Dalam surat at-Taubah ayat 103
disebutkan bahwa zakat diambil dari harta-harta umat islam untuk
membersikan dan mensucikan mereka dengan zakat tersebut. Berikut
merupakan sumber zakat konvensional yang dijelaskan oleh Fakhrudin
dalam bukunya.
a) Zakat hasil pertanian (Tanaman dan Buah-buahan)
“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan
yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang
bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa
(bentuk dan warnanya) dan tidaksama (rasanya). makanlah dari
buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan
tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan
disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-
lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-
lebihan” (QS: Al-An’am: 141).
23
Hasil pertanian yang dimaksud adalah hasil pertanian yang
digunakan sebagai makanan pokok dan tidak busuk jika disimpan,
misalnya jagung, beras, dan gandum. Sedangkan jenis buah-
buahan misalnya kurma dan anggur. Dengan batas minimal nisab
adalah 653 kilogram. Adapun ukuran yang dikeluarkan untuk zakat
pertanian adalah, Jika pertanian itu didapatkan dengan cara
pengairan (menggunakan alat penyiram tanaman), maka zakatnya
sebanyak 1
20 atau 5%, dan, Jika pertanian itu diairi dengan hujan
maka zakatnya sebanyak 1
10 atau 10%.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh
Muslim dan Abu Daud dari Jabir, bahwa beliau mendengar Nabi
bersabda:
“Pada yang disiram hujan dan mata air dan tumbuh-tumbuhan itu
hanya minum air hujan, dikenakan al-‘usyr (sepersepuluh), dan
oada yang disirami dengan mengangkut air nifshu al-‘usyr
(setengah dari sepersepuluh atau seperlima)” (H.R. Muslim dan
Abu Daud).
b) Zakat hewan ternak
Fakhruddin (2008) menjelaskan, para ulama sepakat bahwa
hewan ternak yang yang termasuk ke dalam bagian dari sumber
zakat dan wajib dikeluarkan zakatnya ada tiga jenis, yaitu unta,
sapi, dan domba. Adapun di luar dari ketiga jenis hewan tersebut,
seperti kuda dan sebagainya terjadi perbedaan di kalangan ulama.
24
Menurut Abu Hanifah, kuda termasuk hewan yang wajib
dikeluarkan zakatnya, sedangkan menurut Imam Syafi’I dan Imam
Maliki kuda tidak dizakati kecuali kalau telah merupakan barang
dagang. Berikut adalah kadar wajib zakat hewan ternak.
Tabel 2.1
Kadar Wajib Zakat pada Unta
Nisab Kadar Wajib Zakat
5-9 ekor 1 kambing (syah)
10-14 ekor 2 kambing
15-19 ekor 3 kambing
20-24 ekor 4 kambing
25-35 ekor 1 unta betina berumur 1 tahun
36-45 ekor 1 unta betina berumur 2 tahun
46-60 ekor 1 unta betina berumur 3 tahun
61-75 ekor 1 unta betina berumur 4 tahun
76-90 ekor 2 unta betina berumur 2 tahun
91-120 ekor 2 unta betina berumur 3 tahun
121-129 ekor 3 unta betina berumur 2 tahun
130-139 ekor 1 unta betina berumur 3 tahun dan 2 tahun
140-149 ekor 2 unta betina berumur 3 tahun dan 2 unta
betina berumur 2 tahun
150-159 ekor 3 unta betina berumur 3 tahun
160-169 ekor 4 unta betina berumur 2 tahun
170-179 ekor 3 unta betina berumur 2 tahun dan 1 unta
betina berumur 3 tahun
180-189 ekor 2 unta betina berumur 2 tahun dan 2 unta
betina berumur 3 tahun
190-199 ekor 3 unta betina berumur 3 tahun dan 1 unta
betina berumur 2 tahun
200-209 ekor 4 unta betina berumur 3 tahun
210-219 ekor 4 unta betina berumur 2 tahun dan 1 unta
betina berumur 3 tahun
220-229 ekor 3 unta betina berumur 2 tahun dan 2 unta
betina berumur 3 tahun
230-239 ekor 3 unta betina berumur 3 tahun dan 2 unta
betina berumur 2 tahun
240-249 ekor 4 unta betina berumur 3 tahun dan 1 unta
betina berumur 2 tahun
Sumber: (Fakhruddin, 2008)
25
Tabel 2.2
Kadar Wajib Zakat pada Sapi
Nisab Kadar Wajib Zakat
30-39 ekor 1 sapi jantan atau sapi betina berumur 1 tahun
40-59 ekor 1 sapi betina berumur 2 tahun
60-69 ekor 2 sapi jantan berumur 2 tahun
70-79 ekor 1 sapi betina berumur 2 tahun dan 1 sapi
jantan berumur 1 tahun.
80-89 ekor 2 sapi betina berumur 2 tahun
90-99 ekor 3 sapi jantan berumur 1 tahun
100-109 ekor 2 sapi jantan berumur 1 tahun dan 1 sapi
betina berumur 2 tahun
110-119 ekor 2 sapi betina berumur 2 tahun dan 1 sapi
jantan berumur 1 tahun
120 ekor Setiap 30 ekor: 1 sapi jantan berumur 1 tahun
atau 1 sapi betina berumur 1 tahun. dan setiap
40 ekor: 1 sapi betina berumur 2 tahun
Sumber: (Fakhruddin, 2008)
Tabel 2.3
Kadar Zakat pada Kambing (Domba)
Nisab Kadar Wajib Zakat
40-120 ekor
1 kambing yang berjenis domba berumur
1 tahun atau 1 kambing dari jenis ma’iz
(kambing kacang) yang berumur 2 tahun
121-200 ekor 2 kambing
201-300 ekor 3 kambing
Lebih dari 301ekor Setiap kelipatan 100, bertambah 1
kambing sebagai wajib zakat.
Sumber: (Fakhruddin, 2008)
c) Zakat barang dagangan
Zakat perdagangan atau zakat perniagaan adalah zakat yang
dikeluarkan atas kepemilikan harta yang diperuntukkan untuk jual
beli. (Fakhrudin, 2008). Tarif zakat yang dikeluarkan adalah 2,5%
(Fakhruddin, 2008).
26
d) Zakat barang temuan (rikaz) dan barang tambang (ma’din)
Rikaz menurut zumhur ulama adalah harta peninggalan
yang terpendam dalam bumi atau disebut juga harta karun.
Sedangkan ma’din adalah sesuatu yang diciptakan Allah dalam
perut bumi baik padat maupun cair, seperti emas, perak, tembaga,
minyak, gas, besi dan sulfur (Fakhruddin, 2008). Rikaz dan ma’din
tidak disyaratkan mencapai haul (berlaku satu tahun), akan tetapi
wajib dikeluarkan zakatnya pada saat didapatkan, dan ukuran
zakatnya adalah 1
5 atau 20% (Fakhruddin, 2008).
e) Zakat emas dan perak
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar
dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-
benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka
menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang
yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada
jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka
akan mendapat) siksa yang pedih” (QS. Al-Baqarah: 34).
Ayat tersebut menyatakan bahwa mengeluarkan zakat emas
dan perak wajib hukumnya. Syara’ telah menegaskan bahwa emas
dan perak yang wajib dizakatai adalah emas dan perak yang sampai
nisab-nya dan telah cukup setahun dimiliki dengan penuh nisab-
nya, terkecuali jika emas dan perak yang baru didapati dari galian
27
maka tidak disyaratkan cukup satu tahun (haul) (Fakhruddin,
2008).
Adapun nisab emas mengacu pada sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Hazm dari Ali, bahwa Rasulullah bersabda:
“Tiada engkau atas sesuatu hingga ada emas itu, 20 dinar. Apabila
ada pada engkau 20 dinar itu telah sampai setahun engkau miliki,
maka zakatnya setengah dinar dan yang lebih dari padanya
menurut perhitungannya”.
Dari hadis tersebut, kita bisa mengetahui bahwa ukuran
zakat emas adalah 1
40 atau 2,5% (Fakhruddin, 2008). Nisab zakat
emas adalah 85 gram emas (murni 24 karat).
2) Sumber-sumber zakat dalam perekonomian modern
a) Zakat profesi
Istilah zakat profesi menurut ulama salaf bagi zakat atas
penghasilan atau profesi biasanya disebut dengan al-mal al-mustafad.
Yang termasuk dalam kategori zakat ini adalah pendapatan yang
dihasilkan dari profesi non-zakat yang dijalani, seperti gaji pegawai
negeri/swasta, konsultan, dokter dan lain sebagainya, atau rezeki yang
dihasilkan secara tidak terduga seperti undian, kuis berhadian (yang
tidak mengandung unsur judi) dan lain-lain (Fakhruddin, 2008).
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum
zakat profesi. Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat profesi tidak
didukung oleh adanya dalil yang jelas baik yang berasal dari Al-
28
Qur’an maupun al-sunnah. Bahkan, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam tidak pernah menerapkan zakat profesi dimasa beliau
masih hidup, sementara sekian jenis profosi dan spesialisasi telah ada.
Bahkan sampai sekian abad kemudian, umumnya para ulama pun
tidak pernah menuliskan adanya zakat profesi di dalam kitab-kitab
fiqih dalam bab khusus. Oleh karena itu, apabila sekarang ini ada
sebagian ulama yang mengatakan bahwa tidak ada zakat profesi di
dalam syariat Islam, hal ini masih bisa diterima.
Selanjutnya zakat profesi menurut mereka yang mencetuskannya
sebenarnya bukan hal yang baru. Bahkan para ulama yang mendukung
zakat ini mengatakan bahwa landasan zakat profesi atau penghasilan
itu sangant kuat, yaitu langsung dari Al-Qur’an itu sendiri. Istilah
yang digunakan dalam Al-Qur’an untuk zakat profesi ini adalah al-
kasab. Selain itu mereka juga mengatakan bahwa profesi di masa
Rasulullah SAW itu berbeda hakikatnya dengan profesi di masa kini.
Sebab sebenarnya yang terkena zakat itu pada hakikatnya bukan
karena dia berprofesi di berprofesi apa atau berdagang apa, tetapi
apakah seseorang sudah masuk dalam kategori kaya atau tidak. Masih
menurut kalangan pendukung zakat profesi, maka meski di masa
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam ada beberapa jenis profesi,
namun mereka tidaklah termasuk orang kaya dan penghasilan mereka
tidak besar. Maka oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam,
merekapun tidak dipungut zakat. sebaliknya, pada masa itu orang kaya
29
identik dengan pedagang, petani atau peternak atau mereka yang
memiliki simpanan emas dan perak. Maka kepada mereka zakat itu
dikenakan. Meski demikian, jelas tidak semua dari mereka adalah
orang kaya, karena itu ada aturan batas minimal kepemilikan atau
yang lebih dikenal dengan nisab.
Para peserta muktamar internasional pertama tentang zakat di
Kuwait telah sepakat tentang wajibnya zakat profesi apabila telah
mencapai nisab, meskipun mereka berbeda pendapat dalam cara
mengeluarkannya. Oleh karena itu, dengan berbagai pertimbangan di
atas, Didin Hafidhuddin menyimpulkan bahwa setiap keahlian dan
pekerjaan apapun yang terkait dengan orang lain, seperti seorang
pegawai dan karyawan, apabila penghasilan dan pendapatannya telah
mencapai nisab, maka wajib dikeluarkan zakatnya.
Tidak ada ketetapan yang pasti tentang nisab, waktu, ukuran dan
cara mengeluarkan zakat profesi. Namun demikian terdapat beberapa
kemungkinan kesimpulan dalam menentukan nisab, waktu, ukuran
dan cara mengeluarkan zakat profesi. Hal ini sangat bergantung pada
qiyas/analog yang dilakukan.
Pertama, jika dianalogikan pada zakat perdagangan, maka nisab,
waktu, ukuran dan waktu mengeluarkannya sama dengannya dan
sama pula dengan zakat emas dan perak. Nisab-nya senilai 85 gram
emas, ukuran zakatnya 2,5% dan waktu mengeluarkannya setahun
sekali, setelah dikurangkan kebutuhan pokok. Kedua, jika
30
dianalogikan pada zakat pertanaia, maka nisab-nya senilai 653 kg padi
atau gandum, ukuran zakatnya senilai 5% dan dikeluarkannya pada
setiap mendapatkan gaji atau penghasilan, misalnya sebulan sekali.
Ketiga, jika dikategorikan dalam zakat emas atau perak dengan
mengacu pada pendapat yang menyamakan mata uang masa kini
dengan emas atau perak, maka dengan demikian nisab-nya adalah
setara dengan nisab emas atau perak, dan ukuran yang harus
dikeluarkan adalah 2,5%. Sedangkan waktu menunaikan zakatnya
adalah segera setelah menerima (tidak menunggu haul).
Zakat profisi juga dapat dianalogikan pada dua hal secara
sekaligus, yaitu pada zakat pertanian dan pada zakat emas dan perak.
Dari sudut nisab dianalogikan pada zakat pertanian yaitu sebesar lima
ausaq yaitu senilai 653 kg padi/gandum dan dikeluarkan pada saat
menerimanya. Karena dianaligikan sebagai zakat pertanian, maka
bagi zakat profesi tidak ada ketentuan haul. Ketentuan waktu zakat
menyalurkannya adalah pada saat menerima. Dari sudut ukuran,
dianalogikan pada zakat uang, karena memang gaji, honorarimupah
dan yang lainya pada umumnya diterima dalam bentuk uang. Karena
itu ukuran zakatnya adalah sebesar 2,5%.
b) Zakat perusahaan
Pada saat ini hampir sebagian besar perusahaan dikelola tidak
secara individual, melainkan secara bersama-sama dalam sebuah
kelembagaan dan organisasi dengan manajemen yang modern.
31
Menurut para ahli ekonomi, sekarang sebagaimana yang dikutip oleh
Didin Mafidhuddin, paling tidak, jenis perusahaan dapat
dikategorikan ke dalam tiga kelompok. Pertama, perusahaan yang
menghasilkan produk tertentu. Kedua, perusahaan yang bergerak
dibidang jasa dan ketiga perusahaan yang bergerak di bidang
keuangan. Adapun yang menjadi landasan hukum kewajiban zakat
perusahaan adalah nash-nash yang bersifat umum, seperti yang
termaktub dalam surat al-Baqarah: 267, yang artinya:
“Hai orang-orang yang berimah, nafkahkanlah (di jalan Allah)
sebagian hasil dari usahamu yang baik-baik dan sebian dari apa yang
kami keluarkan dari bumi untuk kamu dan janganlah kamu memilih
yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu
sendiri tidak mau nmengambilnya melainkan dengan memicingkan
mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi
Maha Terpuji.”
Sedangkan landasan hukum zakat perusahaan dari hadits, dapat
dipahami dari hadits yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Abdillah
al-Anshari dari bapaknya, ia berkata bahwa Abu Bakar r.a. telah
menulis surat yang berisikan kewajiban yang diperintahkan oleh
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam:
“dan janganlah disatukan (dikumpulkan) harta yang mula-mula
terpisah. Sebaliknya jangan pula dipisahkan harta yang pada
mulanya bersatu, karena takut mengeluarkan zakat.”
32
Hadis tersebut pada awalnya hanya berkaitan dengan kongsi
hewan ternak, sebagaimana dikeukakan dalam berbagai kitab fiqh.
Akan tetapi dengan dasar qiyas dipergunakan pula untuk berbagai
kitab perusahaan dan perkongsian serta kerja sama dalam berbagai
bidang.
Perusahaan menurut hasil muktamar internasional pertama di
Kuwait termasuk kedalam syakhsan hukumiyah i’tibaran (badan
hukum yang dianggap orang). Karena diantara individu itu kemudian
muncul transaksi, meminjam, menjual, berhubungan dengan pihak
luar, dan juga menjalin kerja sama. Segala kewajiban dan hasil
akhirpun dinikmati secara bersama. Termasuk didalamnya kewajiban
kepada Allah Subhanahu Wata’ala dalam bentuk zakat. tetapi di luar
zakat perusahaan, tiap individu wajib mengeluarkan zakat, sesuai
dengan penghasilan dan nisab-nya.
Sebuah perusahaan biasanya memiliki harta yang tidak akan
terlepas dari tiga bentuk, yaitu pertama, harta dalam bentuk barang,
baik yang berupa sarana dan prasarana, maupun yang berbentuk
komoditas perdagangan. Kedua, harta dalam bentuk uang tunai, yang
biasanya disimpan di lembaga keuangan. Ketiga, harta dalam bentuk
piutang. Dengan demikian harta yang wajib dizakati adalah ketiga
bentuk harta tersebut, dikurangi harta dalam bentuk sarana dan
prasarana dan kewajiban mendesak lainnya, seperti uang yang jatuh
tempo atau yang harus dibayar saat itu juga.
33
Perhitungan zakat perusahaan didasarkan pada laporan
keuangan perusahaan (neraca) dengan cara mengurangkan kewajiban
atas aktivitas lancar. Dengan kata lain, seluruh harta (diluar sarana dan
prasarana) ditambah keuntungan dikurangi pembayaran utang dan
kewajiban lainnya lalu dikeluarkannya 2,5% sebagai zakat. sementara
pendapat lainnya menyatakan bahwa, yang wajib dikeluarkan
zakatnya itu hanyalah keuntungan/hasilnya saja.
c) Zakat surat berharga
Saham dan obligasi adalah kertas berharga yang berlaku dalam
transaksi-transaksi perdagangan khususnya yang disebut “Bursa
kertas-kertas berharga”.
(1) Zakat saham
Saham merupakan sebagian modal dari sebuah perusahaan
yang akan mengalami keuntungan dan kerugian sesuai dengan
keuntungan dan kerugian perusahaan tersebut. Pemilik saham
merupakan salah seorang rekan kongsi di dalam sebuah perusahaan
atau dengan kata lain dia merupakan pemilik sebagian dari harta
perusahaan mengikuti ukuran nisbah saham-sahamnya berbanding
dengan jumlah keseluruhan saham perusahaan dan pemilik saham
berhak menjual sahamnya bila dikehendaki.
Saham merupakan salah satu bentuk harta yang berkaitan
dengan perusahaan dan bahkan berkaitan dengan kepemilikan.
Pemegang saham adalah pemilik perusahaan yang mewakilkan
34
perusahaan untuk menjalankan operasional perusahaan. Pada
setiap akhir tahun yang biasanya pada waktu rapat umum
pemegang saham (RUPS) dapatlah diketahui keuntungan dan
kewajiban zakat terhadap saham tersebut.
Yusuf Qardhawi mengemukakan dua pendapat yang berkaitan
dengan kewajiban membayar zakat pada saham tersebut. Pertama,
jika perusahaan tersebut merupakan perusahaan industri murni
artinya tidak melakukan kegiatan perdagangan, maka perusahaan
tersebut tidak wajib dikenakan zakat. Kedua, jika perusahaan
tersebut merupakan perusahaan dagang murni yang membeli dan
menjual barang-barang tanpa melakukan kegiatan pengelolaan,
maka saham-saham atas perusahaan tersebut wajib dikeluarkan
zakatnya. Landasan hukum kewajiban zakat saham pun diambil
dari keumuman ayat tentang harta-harta yang wajib dizakati. Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam telah bersabda: “Apabila kamu
mempunyai 200 dirham dan telah cukup hail (genap setahun)
diwajibkan zakatnya 5 dirham dan tidak diwajibkan mengeluarkan
zakat (emas) kecuali kamu mempunya 20 dinar. Apabila kamu
mempunya 20 dinar dan telah cukup haulnya, diwajibkan zakatnya
setengah dinar. Demikian juga ukuranya jika nilainya bertambah
dan tidak diwajibkan zakat bagi sesuatu harta kecuali genap
setahun”.
35
Zakat saham dianalogikan pada zakat perdagangan, baik nisab
ataupun ukurannya yaitu senilai 85 gram emas dan zakatnya senilai
2,5%. Sementara itu, menurut muktamar internasional pertama
tentang zakat menyatakan jika, perusahaan telah mengeluarkan
zakatnya sebelum dividen dibagikan kepada pemegang saham,
maka pemegang saham tidak perlu lagi mengeluarkan zakatnya.
Jika belum mengeluarkan, maka zakat pemegang sahamlah yang
berkewajiban mengeluarkan zakatnya.
(2) Zakat obligasi
Obligasi adalah kertas berharga yang berisi pengakuan bahwa
bank, perusahaan atau pemerintah berhutang kepada pembawanya
sejumlah tertentu dengan bunga tertentu pula. Obligasi merupakan
bagian dari pinjaman yang diberikan kepada pihak perusahaan atau
pihak yang mengeluarkannya. Landasan kewajiban pengambilan
zakat dari obligasi diambil dari keumuman ayat tentang harta-harta
yang wajib dizakati adapun dasar haditsnya adalah, Saidina Ali
telah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam telah bersabda: “Apabila kamu mempunyai 200 dirham
dan telah cukup haul (genap setahun) diwajibkan zakatnya 5
dirham dan tidak diwajibkan mengeluarkan zakat (emas) kecuali
kamu mempunya 20 dinar . Apabila kamu mempunyai 20 dinar dan
telah cukup haulnya, diwajibkan zakatnya setengah dinar.
36
Demikian juga ukuranya jika nilainya bertambah dan tidak
diwajibkan zakat bagi sesuatu harta kecuali genap setahun”.
Untuk menentukan status hukum bermuamalah dengan
obligasi sebaiknya dilihat pembagian jenis obligasi tersebut.
Terdapat dua macam obligasi. Pertama, obligasi konvensional
yang merupakan surat hutang dari suatu lembaga, perusahaan atau
negara untuk jangka waktu tertentu dan dengan suku bunga
tertentu. Pihak yang mengeluarkannya diibaratkan sebagai
peminjam dan pembeli diibaratkan sebagai pemberi pinjaman.
Para investor akan mendapatkan return yaitu bunga yang
bersifat tetap, dibayarkan secara periodik atas dasar nilai
nominalnya. Para ulama sependapat mengenai keharaman
bermuamalah dengan obligasi jenis ini karena sarat dengan unsur
ribawi. Jenis obligasi kedua adalah obligasi syariah, perbedaan
yang mendasar antara obligasi konvensional dan syariah terletak
pada akadnya. Pada obligasi konvensional akad yang digunakan
adalah hutang piutang dengan komparasi suku bunga tertentu.
Sedangkan, obligasi menggunakan akad mudharabah, dengan
prosentase bagi hasil yang disetujui kedua belah pihak. Disini,
status penerbit obligasi adalah sebagai penglola (mudharib),
sedangkan pemberi obligasi sebagai pemilik modal (shahibul mal).
Obligasi syariah hukumnya halal dan wajib dizakatkan, baik
obligasinya maupun keuntungan yang diperoleh. Besarnya zakat
37
adalah 2,5% pertahun dianalogikan pada zakat komoditi
perdagangan.
d) Zakat madu dan produk ternak
Madu adalah cairan yang keluar dari perut lebah yang
mengandung berbagai macam kandungan gizi maupun obat bagi
manusia. Dalam menetapkan zakat terhadap madu, M. Ali Hasan
mencatat dua kelompok ulama yang berbeda pendapat. Kelompok
pertama, antara lain Abu Hanifah dan pengikutnya berpendapat bahwa
madu itu wajib dikeluarkan zakatnya. Dan besar zakatnya adalah 10%.
Imam Ahmad juga berpendapat sama, menurutnya Umar bin Khatab
pernah memungut zakat madu. Selanjutnya, M. Ali hasa mencatat tiga
hadits sebagai landasan yang dipergunakan oleh Imam Abu Hanifah
dan ulama yang sependapat dengannya:
Hadis pertama diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Daruquthni.
“Sesungguhnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mengambil
zakat madu sebesar 1/10 (10%)”. (H.R Ibn Majah dan Daruquthni)
Hadis kedua diriwayatkan oleh Abu Sayyarah al-Mut’i.
“Sesungguhnya Abu Sayyarah al-Mut’i berkata: saya bertanya:
wahai Rasulullah saya mempunyai lebah, Beliau bersabda:
Keluarkanlah 1/10. Saya berkata: wahai Rasulullah jagalah hal
tersebut. Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menjaganya
hal itu (sehingga tetap menjadi milikku”. (H.R Ahmad dan Ibn
Majah).
38
Sedangkan hadis ketiga diriwayatkan oleh Baihaki.
“Keluarkanlah 1/10 madu kalian, dan kemudian madu itu dibawa
kepada Umar dan menjualnya, lalu Umar memasukannya ke dalam
zakat kaum muslimin” (H.R al-Baihaki).
Kelompok kedua, antara lain terdiri dari imam Malik, Ibn Abi
Laila, Hasan Abi Salih dan Ibn Al-Mundziri menyatakan bahwa madu
itu bukan objek yang harus dikeluarkan zakatnya. Hal ini dikarenakan
hadits diatas tidaklah kuat sehingga tidak dapat dijadikan dalil dan
madu merupakan cairan yang sama kedudukannya seperti susu
binatang, sedangkan susu tidak dikenakan zakat.
Dari kedua pendapat tersebut, Yusuf al-Qardhawi melihat bahwa
pendapat yang mewajibkan adanya kewajiban zakat madu, merupakan
pendapat yang relatif lebih kuat (Qardawi, 1996). Hal ini didasarkan
pada beberapan alasan. Alasan pertama, keumuman nash yang tidak
memerinci antara harta dan yang lainnya, nash yang dimaksud adalah
surat at-Taubah: 103.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi
mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui” (QS. At-
Taubah: 130).
Kedua, analogi madu dengan hasil tanaman dan buah-buahan,
yakni setiap penghasilan yang diperoleh dari bumi, dinilai sama
39
dengan penghasilan yang diperoleh dari lebah. Dan ketiga, terdapat
beberapa hadits yang walaupun berbeda-beda periwayatannya
menunjukan bahwa madu itu termasuk objek yang wajib dikeluarkan
zakatnya.
Adapun mengenai zakat produksi hewani seperti sutra dan susu,
sebagian ulama yang menyatakan buka sebagai sumber zakat
sehingga tidak wajib dikeluarkan. Tetapi sebagian lagi menyatakan
sebagai sumber zakat, sehingga wajib dikeluarkan, apabila telah
memenuhi persyaratan sebagai sumber zakat. Di samping terjadi
perbedaan pendapat dalam menentukan statusnya, perbedaan
pendapatpun terjadi dalam analogi kewajiban zakatnya.
Produk-produk hewani termasuk dalam objek zakat dan menjadi
komoditas perdagangan. Berdasarkan hal tersebut maka
penganalogian zakat ini adalah zakat perdagangan disamping
pendapat yang menganalogikannya kepada pertanian. Jika
penganalogian pada perdagangan maka nisab-nya senilai 85 gram
emas dan wajib dikeluarkan zakatnya setiap tahun sebesar 2,5%.
Namun, jika dianalogikan kepada pertanian, maka nisab-nya senilai
635 kg padi/gababah atau gandum dan presentase zakatnya sebesar
10% dikeluarkan setiap panen. Mazhab Imam bin Hambali
menyatakan bahwa ukuran zakat madu adalah sebesar 10%.
e) Zakat investasi properti
40
Zakat investasi adalah zakat yang dikenakan terhadap harta yang
diperoleh dari hasil investasi. Hal ini dilakukan oleh suatu perusahaan
jika ia memiliki surplus anggaran untuk membiayai kegiatan pokoknya.
Pada zaman ini, investasi merupakan sektor ekonomi yang amat vital.
Yang dimaksud dengan zakat investasi adalah kekayaan yang tidak
wajib atas materinya tetapi hasil dsri produknya. Yusuf al-Qardhawi
dalam fiqh zakat mengistilahkan kegiatan ini dalam al-musthaghallat
atau investasi, baik untuk disewakan maupun untuk melakukan
kegiatan produksi yang kemudian di jual. Sebagian ulama seperti Ibnu
Hazm dan beberapa ulama lainnya, sebagaimana yang dikutip oleh
Didin Hafidhhuddin, menyatakan bahwa harta tersebut bukan
merupakan sumber zakat. Karenanya zakat tidak wajib pada harta
tersebut. Pendapat ini disebabkan karena Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam tidak menjelaskan secara rinci sumber-sumber yang wajib
dikeluarkan zakatnya. Dan mereka juga berpendapat bahwa para ulama
fiqh, sepanjang masa dan waktu tidak ada yang mewajibkannya.
Zakat investasi adalah zakat yang dikenakan terhadap harta yang
diperoleh dari hasil investasi. Yang wajib dikeluarkan zakatnya bukan
dari nilai investasi, tetapi pemasukan dari investasi tersebut.
Pengeluaran zakatnya bukan dihitung berdasarkan perputaran tahun,
tetapi berdasarkan pemasukan hasil. Yaitu ketika penerimaan uang
maka saat itu zakat dikeluarkan. Harta investasi yang dikeluarkan
zakatnya adalah hasil investasi itu setelah dikurangi dengan kebutuhan
41
pokok. Namun, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa yang
dikeluarkan zakatnya adalah pemasukan kotornya. Pendapat ini lebih
cocok bagi pemilik investasi yang besar dan mendatangkan keuntungan
berlimpah sehingga pemiliknya hidup berkecukupan.
Dilihat dari karakteristik investasi, biasanya modal tidak bergerak
dan tidak terpengaruh terhadap hasil produksi. Dengan demikian zakat
investasi lebih dekat ke zakat pertanian, yaitu seharga 520 kg beras tiap
panen. Zakat investasi dikeluarkan pada saat menghasilkan sedangkan
modal tidak dikenai zakat. kadar zakat yang dikeluarkan sebesar 5%
atau 10%. Dengan perincian 5% untuk penghasilan kotor dan 10%
untuk penghasilan bersih. Adapun nisab untuk zakat investasi
mengikuti nisab zakat pertanian. Para ulama berpendapat bahwa nisab
zakat investasi adalah jumlah penghasilan bersih selama setahun, meski
pemasukan ini terjadi setiap waktu.
Para ulama menganalogikan zakat investasi ini dengan zakat
pertanian, yaitu antara 5% hingga 10% adapaun cara pembayaran
zakatnya adalah jika perusahaan yang mengeluarkan saham itu telah
membayarkan zakatnya, maka tidak ada lagi kewajiban zakat atas
pemilik saham. Tetapi jika belum maka pemilik harus menzakatkannya
sesuai dengan tujuan apa ia memiliki zakat tersebut.
f) Zakat asuransi syariah
Islam memiliki sebuah sistem yang mampu memberikan jaminan
atas kecelakaan atau musibah lainnya melalui sistem zakat. bahkan
42
sistem ini jauh lebih unggul dari asuransi konvensional karena sejak
awal didirikan memang untuk kepentingan sosial dan bantuan
kemanusiaan. Sehingga seseorang tidak harus mendaftarkan diri
menjadi anggota dan juga tidak diwajibkan untuk membayar premi
secara rutin. Bahkan jumlah bantuan yang diterimanya tidak berkaitan
dengan level seseorang dalam daftar peserta tetapi berdasarkan tingkat
kerugisn yang menimpanya dalam musibah tersebut. Dana yang
diberikan kepada setiap orang yang tertimpa musibah ini bersumber
dari orang-orang kaya yang membayarkan kewajiban zakatnya sebagai
salah satu rukun Islam.
Asuransi syariah adalah suatu asuransi yang diperbolehkan secara
syariah, jika tidak menyimpang dari prinsi-prinsip dan aturan-aturan
syariat Islam. Untuk itu dalam muamalah tersebut harus memenuhi
ketentuan-ketentuan seperti:
(1) Asuransi syariah harus dibangun atas dasar ta’awun (kerja sama),
tolong menolong, saling menjamin, tidak berorientasi nisnis atau
keuntungan materi semata.
(2) Asuransi syariah tidak bersifat mu’awadhah, tetapi tabarru dan
mudharabah.
(3) Sumbangan (tabarru) sama dengan pemberian (hibah).
(4) Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah
ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan
prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu
43
diambilnya sejumlah uang guna membantu orang yang sangat
memerlukan.
(5) Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya
dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila
terkena suatu musibah. Akan tetapi ia biberi uang jamaah sebagai
ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.
(6) Apabila uang itu akan dikembangkan, maka ia harus dijalankan
menurut aturan syar’i.
Perusahaan asuransi sebagi pengelola dana dapat melakukan
kegiatan-kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil, seperti
mudharabah, murabahah, musyarakah dan wadiah. Atas dasar itu
semua, jika dilihat dari kajian zakat, perusahaan asuransi syariah
termasuk dalam sumber atau objek zakat. sehingga setiap tahun wajib
dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5% dari total aset yang dimilikinya
setelah diperhitungkan rugi labanya. Demikian pula nasabah atau
peserta atau ahli warisnya yang mendapatkan klaim asuransi, pada saat
menerimanya ia wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 2,5% dari
seluruh klaim yang diterimanya, jika jumlahnya mencapai lebih atau
sama dengan senilai 85 gram emas.
Zakat dari asuransi syariah pada saat menerima klaimnya jika
besarnya sama atau lebih dari 85 gram emas, maka zakat yang
dikeluarkan sebesar 2,5%.
2. Organisasi Nirlaba
44
Organisasi nirlaba merupakan organisasi yang tidak berorientasi pada
pencarian laba, melainkan organisasi yang bertujuan untuk mensejahterakan
kehidupan sosial masyarakat. Organisasi nirlaba meliputi sekolah,
universitas, lembaga penelitian, organisasi kesehatan, organisasi
lingkungan, organisasi hak asasi manusia, organisasi keagamaan, yayasan,
organisasi sosial (Anheier, 2005), termasuk didalamnya organisasi
pengelola zakat. Bagi para stakeholder organisasi nirlaba, pengukuran
kinerja dapat digunakan sebagai evaluasi atas akuntabilitas internal dan
eksternal organisasi tersebut.
3. Organisasi Pengelola Zakat
Amil atau pengelola zakat adalah orang atau sekelompok orang atau
institusi yang bertugas mengumpulkan, rnendistribusikan
danmendayagunakan zakat (Kementerian Agama Republik Indonesia,
2013). Menurut Yusuf Qardawi, Amil adalah mereka yang melaksanakan
segala kegiatan urusan zakat, mulai dari para pengumpul sampai kepada
bendahara dan para penjaganya. Juga mulai dari pencatat sampai kepada
penghitung yang mencatat keluar masuknya zakat, dan membagi kepada
mustahiknya. Salah satu aktivitas amil adalah melakukan kegiatan
penggalangan dana zakat, infaq, sedekah dan wakaf dari masyarakat, baik
individu, kelompok organisasi dan perusahaan yang akan disalurkan dan
didayagunakan untuk mustahik atau penerima zakat (Sucipto, 2011).
Definisi amil dapat pula tercermin dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat
130 yang artinya:
45
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui” (QS. At-Taubah: 130).
Dalam surat At-Taubah diatas menjelaskan bahwa zakat itu diambil
(dijemput) dari orang-orang yang berkewajiban membayar zakat (muzakki)
untuk kemudian diberikan kepada orang yang berhak menerimanya
(mustahiq). Dimana yang mengambil dan menjemput zakat tersebut adalah
petugas (amil).
Sementara itu pengertian pengelolaan zakat dalam UU nomor 23
tahun 2011 menjelaskan bahwa pengelolaan zakat adalah kegiatan
perencanaan, pelaksanaan, dan pengkoordinasian dalam pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Lebih lanjut, dalam UU nomor
23 tahun 2011 tersebut dalam melakukan pengelolaan zakat di Indonesia
dapat dilakukan oleh oraganisasi pengelolaan zakat, yaitu: Badan Amil
Zakat Nasional (BAZNAS), yaitu lembaga yang melakukan pengelolaan
zakat secara nasional. Selain itu, terdapat Lembaga Amil Zakat (LAZ) yaitu
lembaga yang dibentuk masyarakat yang memiliki tugas membantu
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. serta terdapat
pula Unit Pengumpul Zakat (UPZ) yaitu satuan organisasi yang dibentuk
oleh BAZNAS untuk membantu pengumpulan zakat.
Dalam UU nomor 23 tahun 2011 pada pasal 3 menjelaskan bahwa
tujuan pengelolaan zakat adalah untuk meningkatkan efektivitas dan
46
efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat, dan untuk meningkatkan
manfaat zakat demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan sebagai
upaya penanggulangan kemiskinan. Berdasarkan tujuan tersebut, maka
pembentukan organisai pengelola zakat penting dilakukan dengan untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menunaikan danpelayanan
ibadah zakat, meningkatnya fungsi dan peran pranata keagamaan dalam
upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial, serta
meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat.
4. Akuntabilitas
Akuntabilitas merupakan salah satu unsur pokok perwujudan good
governance yang saat ini sedang diupayakan di Indonesia (Sadjianto, 2000).
Akuntabilitas memiliki cakupan yang luas, dan dapat lihat dari sikap dan
watak manusia meliputi akuntabilitas intern dan ekstern, seperti yang
diungkapkan oleh Ni Wayan yang dikutip oleh Janet Silvia (2011)
menyatakan bahwa akuntabilitas secara intern disebut juga akuntabilitas
secara spiritual karena merupakan pertanggungjawaban seseorang kepada
Tuhannya, sedangkan akuntabilitas secara eksten adalah
pertanggungjawaban seseorang kepada lingkungannya secara formal
(terhadap atasan) maupun informal (terhadap masyarakat).
Dalam organisasi profit maupun non-profit, akuntabilitas selama ini
dipahami hanya terbatas pada penyusunan laporan keuangan bahkan lebih
sempit lagi yaitu hanya mencakup pertanggungjawaban anggaran.
Akibatnya, entitas menganggap bahwa kewajiban mempertanggung
47
jawabkan kegiatan secara memadai itu hanya sebatas melaporkan
penggunaan dananya, tanpa mengevaluasi manfaat dari kegiatan tersebut
terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat (Dwi Afritanti, 2015). Hal
ini tidak sejalan dengan harapan masyarakat atas kondisi ideal suatu
organisasi khususnya OPZ sebagai pengelola dana zakat yang berasal dari
masyarakat.
Menutur The Oxford Learner’s Dictionary, akuntabilitas adalah the
fact of being responsible for your decisions or actions and expected to
explain them when you are asked (Oxford University Press, 2016). Dengan
kata lain, dalam akuntabilitas terkandung kewajiban untuk menyajikan dan
melaporkan segala tindak tanduk dan kegiatannya terutama dibidang
administrasi keuangan kepada pihak yang lebih tinggi. Indikator
pengukuran kinerja adalah kewajiban individu dan organisasi untuk
mempertanggungjawabkan capaian kinerja melalui pengukuran yang
seobjektif mungkin.
Menurut J.B Ghartey akuntabilitas ditujukan untuk mencari jawaban
terhadap pertanyaana yang berhubungan dengan pelayanan apa, siapa,
kepada siapa, yang mana dan bagaimana. Pertanyaan yang memerlukan
jawaban tersebut antara lain, apa yang harus dipertanggungjawabkan,
mengapa pertanggungjawaban harus diserahkan, kepada siapa
pertanggungjawaban itu harus diserahkan, siapa yang bertanggungjawab
terhadap berbagai bagian kegiatan dalam masyarakat, apakah
pertanggungjawban berjalan seiring dengan kewenangan yang memadai dan
48
lain sebagainya (Lembaga Administrasi Negara, 2000). Akuntabilitas juga
merupakan instrumen untuk kegiatan kontrol terutama dalam pencapaian
hasil pada pelayanan publik. Evaluasi kinerja dilakukan untuk mengetahui
sejauh mana pencapaian hasil serta cara-cara bagaimana untuk mencapai
semua itu.
Deklarasi Tokyo mengenai akuntabilitas publik menetapkan definisi
sebagai berikut, bahwa akuntabilitas merupakan kewajiban-kewajiban dari
individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber daya
publik dan yang bersangkutan untuk dapat menjawab hal-hal yang
menyangkut pertanggungjawaban fiskal, manajerial, dan program
(Departemen Teknik Planologi ITB, 2004). Akuntabilitas merupakan
perwujudan kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk
mempertanggugjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan
dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui media
pertanggungjawaban secara periodik.
Media akuntabilitas yang memadai adalah berbentuk laporan yang
dapat mengekspresikan pencapaian melalui pengelolaan sumber daya suatu
organisasi. Media akuntabilitas ini dapat berupa laporan tahunan tentang
pencapaian tugas pokok dan fungsi dengan aspek-aspek penunjangnya
seperti aspek keuangan, aspek sarana dan prasarana, aspek sumber daya
manusia dan lain-lain (Lembaga Administrasi Negara, 2000).
49
Akuntabilitas informasi diperlukan sebagai bantuan untuk pengambilan
keputusan tentang kinerja aktual. Pada berbagai tingkat manajemen,
informasi akuntabilitas digunakan secara internal dengan tujuan
pengendalian manajemen di seluruh siklus kegiatan manajemen seperti
perencanaan dan informasi anggaran yang diperlukan untuk membangun
kerangka acuan akuntabilitas.
Akuntabilitas dapat dipandang dari berbagai perspektif (Sadjianto,
2000). Dari perspektif akuntansi, American Accounting Association
menyatakan bahwa akuntabilitas suatu entitas pemerintahan dapat dibagi
dalam empat kelompok, yaitu akuntabilitas terhadap:
a) Sumber daya finansial
b) Kepatuhan terhadap aturan hukum dan kebijaksanaan administratif
c) Efisiensi dan ekonomisnya suatu kegiatan
d) Hasil program dan kegiatan pemerintah yang tercermin dalam
pencapaian tujuan, manfaat dan efektivitas.
Sedangkan dari perspektif fungsional, menurut Stewart yang dikutip
oleh Sofia Yasmin (2014) menyatakan bahwa akuntabilitas dilihat sebagai
suatu tingkatan dengan lima tahap yang berbeda yang diawali dari tahap
yang lebih banyak membutuhkan ukuran-ukuran obyektif (legal
compliance) ke tahap yang membutuhkan lebih banyak ukuran-ukuran
subyektif (Sofia Yasmin, 2013). Tahap-tahap tersebut adalah:
a) Akuntabilitas kejujuran dan hukum
50
Hal ini menyangkut pertanggungjawaban penggunaan dana sesuai
dengan anggaran yang telah disetujui dan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (compliance). Akuntabilitas
kejujuran dan hukum, terkait dengan dilakukannya penyalagunaan,
KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme), sehingga dapat menjamin sebuah
praktik yang sehat, sedangkan akuntabilitas hukum menjamin adanya
peraturan terkait dengan supremasi hukum dan peraturan lain dalam
organisasi (Janets Silvia, 2011; Sofia Yasmin, 2013).
b) Akuntabilitas proses
Dalam hal ini menyangkut proses, prosedur, atau ukuran-ukuran
dalam melaksanakan kegiatan yang ditentukan (planning, allocating
and managing), hal ini ditekankan lebih kepada pemberian pelayanan
yang cepat dan responsif.
c) Akuntabilitas kinerja
Pada level ini dilihat apakah kegiatan yang dilakukan sudah efisien
dan juga melakukan evaluasi atas kinerja organisasi dengan
membandingkan apakah kegiatan organisasi telah sesuai dengan
standar yang ada.
d) Akuntabilitas program
Pada level ini, dilakukan suatu penilaian terhadap penetapan dan
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dan ini berkaitan terhadap
keterbukaan informasi atas aktivitas dan pencapaian tersebut.
Akuntabilitas program, berkaitan dengan bagaimana organisasi
51
melahirkan sebuah program yang berkualitas serta mendukung strategi
dalam pencapaian visi dan misi organisasi (Janets Silvia, 2011).
e) Akuntabilitas kebijakan
Dalam tahap ini, mencoba untuk memastikan bahwa pihak-pihak
yang terlibat bertanggungjawab atas segala pemilihan berbagai
kebijakan yang dibuat, hal ini berkaitan dengan pertanggungjawaban
yang dilakukan pembina, pengurus dan pengawas atas kebijakan yang
diambil, sehingga dibutuhkan sebuah pertimbangan dalam membuat
suatu kebijakan.
Dari perspektif sistem akuntabilitas, terdapat beberapa karakteristik
pokok sistem akuntabilitas ini yaitu:
a) Berfokus pada hasil.
b) Menggunakan beberapa indikator yang telah dipilih untuk mengukur
kinerja.
c) Menghasilkan informasi yang berguna bagi pengambilan keputusan
atas suatu program atau kebijakan.
d) Menghasilkan data secara konsisten dari waktu ke waktu.
e) Melaporkan hasil (outcomes) dan mempublikasikannya secara teratur.
Menurut Pace yang dikutip oleh Sofia Yasmin (2014), menyatakan
bahwa terdapat hubungan antara agama dan akuntabilitas. Lebih lanjut
Askary dan Clarke menjelaskan bahwa, Islam memberikan perhatian yang
besar terhadap akuntabilitas dan etika, dengan menyatakan bahwa
akuntabilitas bukan hanya sekedar memenuhi kewajiban sosial tetapi
52
utamanya untuk memenuhi kewajiban agama. Dari sudut pandang Islam,
kata lain untuk akuntabilitas adalah “hesab” dimana kata ini dituliskan
dalam Al-Quran sebanyak delapan puluh kali, yang menandakan pentingnya
akuntabilitas untuk dilaksanakan. Selanjutnya, Baydoun dan Willett melihat
akuntabilitas sosial dan keterbukaan secara penuh sebagai dasar penggugur
akuntabilitas sesungguhnya dalam Islam tidakhanya kepada manusia semata
tetapi kepada Allah SWT.
Akuntabilitas organisasi pengelola zakat ditunjukkan dalam laporan
keuangan yang diterbitkan oleh organsasi tersebut. Untuk bisa disahkan
sebagai organisasi resmi, lembaga zakat harus menggunakan sistem
pembukuan yang benar dan siap diaudit akuntan publik. Ini artinya standar
akuntansi zakat mutlak diperlukan. Karena dalam PSAK No. 109, akuntansi
zakat bertujuan untuk mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian dan
pengungkapan transaksi zakat, infak/shadaqah (Rahmayanti, 2015).
5. E-Governance
Yamamoto seperti yang dikutip oleh Nurhadryani (2009) menjelaskan
bahwa konsep governance merupakan hasil pergeseran wewenang atau disebut
dengan pergeseran paradigma dari era ‘government’ (pemerintah) menjadi era
‘governance’ (kepemerintahan). Pergeseran yang dimaksud adalah transfer
wewenang dari pemerintah kepada sektor non-pemerintah seperti sektor privat,
lembaga swadaya masyarakat maupun masyarakat secara individual sehingga
sektor non-pemerintah semakin meningkat dan terbuka aksesnya dalam proses
pembuatan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan.
53
E-Governance digambarkan sebagai suatu aplikasi atas perangkat keras,
perangkat lunak, internet dan teknologi informasi dan komunikasi lainnya yang
dapat digunakan pemerintah untuk memberikan pelayanan secara efektif,
efisien, transparan dan akuntabel yang memungkinkan maksimalnya pelayanan
yang diberikan kepada masyarakat. E-Governance merupakan suatu alat yang
berguna untuk memastikan terjadinya sistem chack and balance (Hassan,
2013).
E-Governance merupakan penggunaan teknologi informasi dan
komunikasi oleh pemerintah, masyarakat, dan organisasi untuk saling
berdialog dan memberikan umpan balik sebagai proses partisipasi dalam
mendukung good governance (Gajendra Sharma, 2014). E-governance terdiri
dari dua elemen penting yaitu ‘governance’ sebagai konsep utama dan
‘elektronik’ atau ICTs (Information’s and Communication Technologies)
sebagai alat untuk meningkatkan proses governance (Nurhadryani, 2009).
Menurut World Bank yang dikutip oleh Puji Lestari (2015) mengatakan bahwa
e-governance mengacu pada penggunaan teknologi informasi (seperti Wide
Area Network, internet, dan mobile computing) oleh instansi pemerintah yang
memiliki kemampuan untuk mengubah hubungan dengan masyarakat, bisnis,
dan badan lain dari pemerintah yang dapat digunakan untuk menyebarkan
informasi kepada sektor-sektor yang terlibat, menyelenggarakan pelayanan
publik kepada sektor yang terkait dan berkomunikasi antar sektor secara
elektronik. Teknologi ini dapat melayani berbagai tujuan yang berbeda seperti
pengiriman yang lebih baik dari pemerintah kepada masyarakat, meningkatkan
54
interaksi dengan bisnis dan industri, pemberdayaan warga melalui akses
informasi, atau manajemen pemerintah yang lebih efisien (Puji Lestari, 2015).
Manfaat atas penerapan e-governance yang dihasilkan adalah dapat
mengurangi korupsi, meningkatkan transparansi, akuntabilitas, cepat, mudah,
biaya yang efektif dalam melakukan pelayanan dan meningkatkan partisipasi
masyarakat karena kemudahan dalam mengakses setiap informasi (Kiran
Yadav, 2014). Tanpa ICTs proses governance sulit atau lamban untuk terwujud
(Puji Lestari, 2015).
6. Kinerja
a) Pengertian kinerja
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kinerja adalah sesuatu yang
dicapai; prestasi yang diperlihatkan; dan kemampuan kerja. Menurut
Mahsum yang dikutip oleh Shabri (2011) menyatakan bahwa Kinerja adalah
gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu
kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan
misi organisasi yang tertuang dalam strategic planing suatu organisasi.
Sedangkan menurut Mahmudi menyatakan bahwa kinerja merupakan suatu
konstruksi multi dimensional yang mencakup banyak faktor yang
mempengaruhinya antara lain:
1) Faktor personal yang meliputi pengetahuan, keterampilan fisik,
kemampuan kepercayaan diri, motivasi dan komitmen yang dimiliki
seseorang.
55
2) Faktor kepemimpinan yang meliputi kualitas dalam motivasi,
semangat, arahan dan dukungan yang diberikan manajer dan para
pemimpin.
3) Faktor tim yang meliputi kualitas dukungan dan semangat,
kepercayaan, kekompakan, dan keeratan dari rekan satu tim.
4) Faktor sistem yang meliputi sistem kerja, fasilitas, proses organisasi,
dan budaya kerja dalam organisai.
5) Faktor kontekstual (situasional) yang meliputi pengaruh tekanan dan
perubahan lingkungan eksternal dan internal.
b) Pengukuran kinerja
Pengukuran kinerja adalah proses dimana organisasi menetapkan
parameter hasil untuk dicapai oleh program, investasi, dan akuisisi yang
dilakukan. Pengukuran kinerja dimaksudkan untuk menghasilkan informasi
yang relevan pada program atau kinerja organisasi yang dapat digunakan
untuk memperkuat manajemen dan menginformasikan pengambilan
keputusan, mencapai hasil dan meningkatkan kinerja secara keseluruhan,
serta meningkatkan akuntabilitas (Poister, 2003).
Menurut Schuster, Berman dan West yang dikutip oleh Poister (2003)
mengatakan bahwa pengukuran kinerja pada organisasi nirlaba oleh
manajer dipandang sebagai usaha yang penting untuk dilakukan. Suatu
organisasi dapat diketahui berjalan dengan baik setelah ada evaluasi dari
kegiatan yang sudah dilakukan. Evaluasi dapat dilakukan dengan cara
mengukur kinerja, sehingga aktivitas organisasi dapat dipantau secara
56
periodik. Tujuan pokok pengukuran kinerja menurut Mulyadi yang dikutip
oleh Shabri (2011) adalah untuk memotivasi karyawan dalam mencapai
tujuan organisasi dan dalam mematuhi standar perilaku yang telah
ditetapkan sebelumnya agar membuahkan tindakan dan hasil yang
diinginkan. Penilaian kinerja dilakukan juga untuk menekan perilaku yang
tidak semestinya dan untuk mendorong perilaku yang semestinya
diinginkan melalui umpan balik hasil kinerja pada waktunya serta imbal
balik yang bersifat intrinsik maupun ekstrinsik.
Menurut Taylor dan Sumariwalla yang dikutip oleh Poister (2003)
menyatakan bahwa, pada awal 1990-an, kesehatan nirlaba dan lembaga-
lembaga kemanusiaan biasanyan melakukan pengukuran mengenai
akuntabilitas keuangan, produk program atau output, standard kualitas
dalam pelayanan, demografi dan karakteristik lainnya, efisiensi, dan
kepuasan klien. Mengingat bahwa banyak lembaga nirlaba yang bergerak
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat luas dengan tujuan
melakukan perbaikan sosial, seperti yang dilakukan oleh organisasi
pemerintah, dengan memperhatikan kriteria pengukuran, seperti efektivitas
program, efisiensi operasi, kualitas layanan, dan kepuasan klien. Proses
pengukuran kinerja sangat mirip di sektor nirlaba dan sektor publik,
terutama dalam hal masalah teknis. Sistem pengukuran harus dirancang
untuk mendukung dan melayani kebutuhan proses manajemen. Sistem
pengukuran kinerja yang digunakan untuk mendukung berbagai fungsi
manajemen, sebagai berikut: (1) Monitoring dan pelaporan, (2) Perencanaan
57
strategis, (3) Penganggaran dan manajemen keuangan, (4) Manajemen
Program, (5) Evaluasi Program, (6) Manajemen kinerja, (7) Peningkatan
kualitas dan perbaikan proses, (8) Manajemen kontrak, (9) Benchmarking
eksternal, dan (10) Komunikasi dengan publik. Masing-masing fungsi ini
dapat dilakukan dengan cara-cara untuk memfasilitasi manajemen dan
dalam setiap kasus pengukuran kinerja sangat penting untuk memberikan
umpan balik yang berfokus pada hasil.
1) Pengukuran kinerja organisasi nirlaba
Menurut Argyris dan Bennis yang dikutip oleh Agyenim Boateng
(2016), menyatakan bahwa pengukuran kinerja organisasi nirlaba saat
ini dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pengukuran internal
dan eksternal. Pengukuran internal dapat dilihat dari tingkat kesehatan
organisasi terutama pada indikator keuangan seperti efisiensi
pendanaan, kekurangan dana, biaya dan pertumbuhan dan kinerja
keuangan. Sedangkan, pengukuran eksternal dengan memperhatikan
hubungan antara organisasi dan lingkungan sekitar.
Sedangkan menurut Cutt dan Murray yang dikutip oleh Agyenim
Boateng (2016), mengkategorikan pengukuran kinerja dalam dua
katagori, yaitu absolute dan relative standards, standar absolut dengan
mempertimbangkan bagaimana organisasi mencapai tujuan spesifik,
sementara standar relatif mempertimbangkan perbandingan hasil
capaian antar organisasi yang sama.
58
Menurut Theodore H. Poister, terdapat banyak metode yang
digunakan untuk mengukur kinerja organisasi nirlaba yang tentunya
disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai, namun terdapat tujuh
indikator pengukuran kinerja yang paling relevan yang dapat digunakan
yaitu:
(a) Pengukuran output
Pengukuran output penting dilakukan karena berkaitan
langsung dengan produk dan program organisasi nirlaba, seperti
dengan mengukur banyaknya aktivitas program berupa pelatihan,
seminar dan rutinitas kegiatan. Output juga sering diukur dari segi
jumlah pekerjaan yang dilakukan, dan tahapan yang berbeda dari
proses pelayanan.
(b) Pengukuran efisiensi
Pengukuran efisiensi atas operasi berkaitan dengan output,
dengan melihat rasio efisiensi antara output dengan biaya yang
dikeluarkan dalam melakukan output.
(c) Pengukuran produktivitas
Produktivitas merupakan indikator yang paling sering
digunakan sebagai alat diukur, biasanya dilihat dari kinerja para
staff atau karyawan. Perngukuran produktivitas juga dapat
menggunakan rasio antara jumlah waktu penyelesaian atas tugas
yang diberikan dibagi dengan jam kerja karyawan.
(d) Pengukuran kualitas layanan
59
Walaupun kualitas atas layanan yang diberikan biasanya
diukur secara subjektif di setiap tingkatan individu. Namun
biasanya, pengukuran kualitas pelayanan pada organisasi publik
dan nirlaba diukur dari kesesuaian, ketuntasan, aksesibilitas,
ketepatan waktu, kesantunan, dan keamanan.
(e) Pengukuran efektivitas
Pengukuran efektifitas menggambarkan tingkat program
yang dihasilkan dengan pencapaian hasil yang diinginkan.
(f) Pengukuran efektivitas biaya
Mengingat indikator pengukuran efisiensi adalah unit biaya
dari produksi atas output, maka pengukuran efektivitas biaya
berhubungan dengan biaya untuk mengukur output.
(g) Pengukuran kepuasan pelanggan
Pengukuran ini seringkali dikaitkan dengan pengukuran
kualitas pelayanan, namun terdapat perbedaan dari pengukuran
kinerja ini, dimana pengukuran kepuasan pelanggan sering
dihubungkan dengan pengukuran efektivitas. Pengukuran ini
berfokus pada output program.
2) Pengukuran kinerja organisasi pengelola zakat
Sampai saat ini, belum didapatkan sebuah metodologi pengukuran
kinerja untuk organisasi pengelola zakat yang paling tepat, baku dan
komprehensif. Hal ini berbeda dengan pengukuran kinerja untuk
perusahaan atau lembaga keuangan seperti perbankan yang telah
60
memiliki pengembangan metodologi untuk pengukuran kinerjanya.
Namun demikian, upaya-upaya untuk merumuskan metode yang tepat
guna mengukur kinerja organisasi pengelola zakat di Indonesia sedang
diupayakan dan dilakukan baik melalui penelitian ataupun melalui
agenda tertentu. Beberapa metode pengukuran yang telah dirumuskan
dan digunakan dalam penilaian kinerja OPZ yang telah ada saat ini
diantaranya adalah sebagai berikut.
(a) Pengukur kinerja oleh FOZ dan KBC (2009)
Forum Zakat, atau disingkat FOZ adalah asosiasi lembaga
pengelola Zakat yang berfungsi sebagai wadah berhimpunnya Badan
Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) di seluruh
Indonesia. Lembaga ini didirikan pada hari Juma’at tanggal 19
September 1997 oleh 11 lembaga yang terdiri Dompet Dhuafa
Republika, Bazis DKI Jakarta, Baitul Mal Pupuk Kujang, Baitul Mal
PT. Pupuk Kaltim, Baitul Mal Pertamina, Telkom Jakarta, Bapekis
Bank Bumi Daya, Lembaga Keuangan Syariah Bank Muamalat
Indonesia, PT. Internusa Hasta Buana dan Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi Indonesia (STIE) Jakarta.
Dalam rangka mengakomodasi secara menyeluruh Lembaga
Amil Zakat baik di tingkat nasional maupun daerah, dan Badan Amil
Zakat tingkat provinsi dan kabupaten atau kota, maka Forum
Organisasi Zakat (FOZ) dan Karim business Consulting (KBC)
mengadakan Islamic Social Responsibility (ISR) Award (Forum
61
Zakat , 2010). Ada tiga aspek yang dinilai, yakni fundraising
(penghimpunan), fund distribution (penyaluran), management
system development (pengembangan manajemen sistem).
(b) Analisis pengukuran kinerja lembaga amil zakat oleh IMZ (2011)
IMZ (Indonesia Magnifinance of Zakat) adalah sebuah lembaga
konstitusi pemberdayaan dan manajemen organisasi nirlaba yang
bergerak dalam bidang pelatihan, konsultasi, dan pendampingan
serta riset advokasi di bidang zakat, kemiskinan, dan pemberdayaan.
Setiap tahunnya (dimulai tahun 2010), IMZ rutin melakukan
penelitian mengenai zakat dan diterbitkan dalam sebuah buku yang
berjudul IZDR (Indonesian Zakat and Development Report) salah
satu penelitian yang dilakukan adalah mengenai kinerja Organisasi
Pengelola Zakat (OPZ) (Indonesia Magnificence of Zakat, 2017).
Dalam buku tersebut, diungkapkan bahwa untuk dapat
mengetahui kinerja sebuah OPZ terdapat 19 Key Performance
Indicators yang dikelompokan dalam lima komponen (Indonesia
Magnificence of Zakat, 2011). Penilaian kinerja dengan pendekatan
IMZ ini dapat menilai kinerja OPZ secara komprehensif. Penjabaran
penilaian kedalam lima komponen yang lebih spesifik merupakan
kelebihan bagi metode ini jika dibandingkan dengan metode
pengukuran kinerja lainnya. Kelima komponen pengukuran kinerja
dalam IZDR 2011 tersebut antara lain:
1) Kinerja kepatuhan syariah, legalitas, dan kelembagaan
62
Kinerja kepatuhan syariah, legalitas, dan kelembagaan dari
OPZ merupakan prasyarat dasar bagi semua OPZ untuk
meningkatkan profesionalitas manajemen amil zakat.
Pengukuran kinerja kepatuhan syariah OPZ bertujuan untuk
menyediakan informasi bagi masyarakat berkenaan dengan
sejauh mana kesesuaian antara aktivitas, produk, atau layanan
OPZ dengan batasan-batasan syariat yang mengatur pengelolaan
zakat. Sedangkan pengukuran kinerja legalitas dan kelembagaan
bertujuan untuk menyediakan informasi sejauh mana OPZ telah
mematuhi berbagai peraturan yang berlaku dan dikelola secara
profesional untuk efisiensi, transparansi dn kinerja tinggi.
Penilaian untuk komponen ini terkait dengan:
a) Dewan Pengawas Syariah (DPS)
DPS pada OPZ bertugas mengawasi apakah pelaksanaan
manajemen zakat yang dilakukan telah sesuai dengan batasan
syariat. Penilaian kinerja OPZ dalam hal ini yaitu memiliki
DPS yang berkompetensi, dinilai dari latar belakang
pendidikan atas ilmu syariah yang dipahami agar dapat
memberikan arahan yang benar pada OPZ.
b) Visi dan misi
Visi adalah tujuan dari organisasi, sedangkan misi adalah
strategi yang dilakukan untuk mencapai visi. Visi dan misi
wajib dimiliki oleh sebuah organisasi karena dengan memiliki
63
visi dan misi yang jelas maka jelas pula arah yang dituju oleh
organisasi.
c) Struktur organisasi
Struktur organisasi OPZ memiliki empat fungsi sebagai
kriterianya, yaitu: 1) fungsi pencatatan atau perhitungan yang
mencakup kegiatan pencatatan, penyimpanan dan pelaporan
dana, 2) fungsi penghimpunan atau pemeliharaan yang
mencakup kegiatan penggalangan dana ZIS, 3) fungsi
penyaluran dan pendayagunaan yang mencakup kegiatan
penyaluran pemanfaatan dan pengelolaan program untuk
mustahiq, 4) fungsi penelitian atau pengembangan yang
mencakup pengembangan terhadap muzaki dan mustahiq.
d) Tingkat pendidikan pegawai
Tingkat pendidikan pegawai sangat berpengaruh kepada
produktifitas dan sikap kerja pegawai. Pegawai yang memiliki
tingkat pendidikan lebih tingi biasanya akan bekerja lebih
cerdas dan memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah
sehingga memiliki peran penting untuk memajukan OPZ.
e) Program diklat reguler
Program diklat reguler merupakan saran untuk
mengembangkan pengetahuan, kemampuan, keahlian, dan
sikap SDM. Pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan
tentang ilmu yang harus dikuasai pada suatu posisi.
64
Kemampuan yang dimaksud adlah kemampuan untuk
menangani tugas-tugas yang diamanahkan. Keahlian yang
dimaksud adalah beberapa keahlian yang diperlukan agar
pekerjaan yang diselesaikan dengan baik, sedangkan sikap
yang dimaksud adalah emosi dan kepribadian yang harus
dimiliki agar suatu pekerjaan berhasil dengan sukses. Kualitas
SDM dapat meningkat dengan adanya diklat reguler, terlebih
jika frekwensi diklat diberikan secara rutin.
f) Presentasi pegawai full time
Pegawai full time pada OPZ mengindikasikan bahwa
kinerja pegawai all out atau tidak setengah-setengah. Fokus
pegawai pada pekerjaannya dapat memicu tingkat efisiensi
dan efektifitas kinerja.
2) Kinerja manajemen
Penilaian untuk komponen ini terkait dengan:
a) Standar Operasional Prosedur (SOP)
SOP adalah serangkaian pedoman dalam organisasi yang
menjelaskan prosedur tertentu. SOP juga disebut sebai acuan
yang harus dilalui tahapannya agar segala keputusan dan
tindakan yang akan dilakukan dapat berjalan sesuai standar
organisasi. Kriteria SOP yang baik untuk OPZ harus
mencakup fungsi penghimpunan, pengelolaan, atau keuangan,
pendayagunaan, dan penelitian zakat.
65
b) Rencana strategis
Rencana strategis adalah rencana jangka panjang dalam
waktu 5-10 tahun kedepan. Akan tetapi rencana jangka
panjang ini akan dibagi–bagi kedalam rencana tahunan
(workplan) karena untuk mencapai sesuatu yang besar
membutuhkan sebuah proses secara bertahap.
c) Penilain kinerja amil
Penilain kinerja amil dapat dilakukan sebagai bahan
evaluasi atau feedback atas kinerja amil, penilaian prestasi
kerja amil dapat menjadi motivasi bagi amil untuk terus
memberikan proses dan hasil kerja terbaiknya bagi OPZ.
3) Kinerja keuangan
Komponen penilaian yang digunakan dalam kinerja
keuangan adalah komponen laporan keuangan, komponen
efisiensi keuangan dan komponen kapasitas organisasi.
a) Laporan keuangan
Laporan keuangan yang dianalisa mencakup laporan
audit oleh akuntan publik, disamping internal audit,
penyediaan laporan keuangan yang up date dan ketersediaan
laporan keuangan untuk diakses oleh masyarakat umum
seperti melalui website, harian umum atau media laiinnya.
b) Efisiensi keuangan
66
Efisiensi keuangan diukur dengan operational expense
ratio, yaitu total biaya operasional dibagi dengan total
penggunaan dana diluar gaji untuk para amil. Semakin efisien
OPZ dalam mengelola pengeluaran biaya operasionalnya,
maka semakin baik kinerja yang dimiliki OPZ.
c) Kapasitas organisasi
Kapasitas organisasi diukur melalui empat kriteria, yaitu:
1) primary revenue ratio adalah total penerimaan dana zakat
dibagi dengan total penerimaan dana infak dan sedekah; 2)
primary revenue growth adalah pertumbuhan penerimaan dana
khusus zakat dari tahun sebelumnya dengan tahun saat ini; 3)
program expenses ratio adalah pengeluaran untuk pembiayaan
program dibagi dengan total pengeluaran; 4) program expense
growth adalah pertumbuhan pengeluaran untuk pembiayaan
program dari tahun sebelumnya dengan tahun saat ini.
4) Kinerja pendayagunaan ekonomi
Kinerja dalam pendayagunaan mendapat sorotan yang
cukup kuat karena dari sisi pendayagunaan dapat diketahui
keberhasilan OPZ dalam mengelola zakat dalam upaya
pengentasan kemiskinan. Adapun penilaian umtuk komponen
yang diukur adalah:
a) Kualitas program-program pendayagunaan zakat
67
Kualitas program pendayagunaan zakat diukur dengan
mustahik expense, yaitu pembagian total untuk program
pendayagunaan terhadap jumlah mustahik. Semakin besar
jumlah dana yang diterima oleh penerima manfaat, maka
semakin berkualitas pendayagunaan yang dilakukan.
b) Produk untuk kegiatan ekonomi produktif
Program ekonomi produktif diukur dengan economic
ratio, yaitu pembagian total dana yang digunakan untuk
kegiatan ekonomi produktif terhadap total penggunaan dana.
Program ekonomi produktif bukan program prioritas OPZ,
akan tetapi perlu diketahui bagaimana alokasi dana yang
diberlakukan OPZ dalam mengelola program tersebut.
c) Pendampingan
Pendampingan diukur dengan mengetahui frekuensi
waktu pendampingan permustahik. Program pendayagunaan
sebaiknya dilakukan pendampingan agar manfaatnya lebih
terasa. Fungsi pendampingan sangat penting sebagai fasilitator
atau pemandu, komunikator atau penghubung, dan
dinamisator atau penggerak dalam membina dan mengarahkan
kegiatan penerima manfaat.
d) Pelatihan.
Pelatihan diukur dengan mengetahui frekuensi pelatihan
permustahik. Pelatihan diperlukan agar penerima manfaat
68
dapat menggunakan dana dari program pendayagunaan secara
amanah, baik, dan benar. Fungsi pelatihan adalah untuk
memberikan tambahan pengetahuan tentang program yang
sedang digulirkan.
5) Kinerja legitimasi sosial
Kinerja legitimasi sosial diukur dengan tiga komponen
yaitu biaya promosi, biaya sosialisasi dan edukasi, dan biaya
advokasi.
a) Biaya promosi
Biaya promosi diukur dengan biaya promosi OPZ termasuk
iklan dibagi dengan total biaya operasional.
b) Biaya sosialisasi dan edukasi
Biaya sosialisasi dan edukasi diukur dengan biaya
sosialisasi dan edukasi zakat kepada masyarakat dibagi dengan
total biaya operasional. Biaya sosialisasi dan edukasi adalah
media untuk menambah pengetahuan seputar pengelolaan
dana ZIS dan sekaligus untuk menjembatani jarak yang ada
diantara masyarakat dengan OPZ agar tingkat kepercayaan
masyarakat kepada OPZ dapat meningkat.
c) Biaya advokasi
Biaya advokasi diukur dengan biaya untuk penguatan
jaringan kerja atau biaya penguatan asosiasi zakat termasuk
biaya seminar untuk pegawai dibagi dengan biaya operasional.
69
Biaya advokasi harus dikelola secara efisien dan efektif.
Penguatan jaringan atau asosiasi zakat diperlukan bagi OPZ
untuk menciptakan sinergi yang positif antar OPZ.
(c) Kerangka pengukuran kinerja oleh Abd. Halim Mohd Noor (2012)
Abd. Halim Mohd Noor mengembangkan dan mengusulkan
kerangka pengukuran kinerja untuk lembaga zakat. Kepercayaan dan
tanggung jawab dalam mengelola dana zakat atas nama umat
menekankan betapa pentingnya pekerjaan ini dilakukan secara
efisien. Dengan demikian, tujuan pengukuran kinerja diperlukan
untuk mengertahui apakah lembaga zakat dapat memenuhi
tujuannya.
Salah satu tujuan dari indikator kinerja adalah untuk
mengukur efisiensi dan efektivitas lembaga zakat dalam
melaksanakan tugasnya. Dengan demikian, dalam membuat
indikator tersebut, peneliti dalam penelitian ini memperhitungkan
berbagai aspek atau dimensi pengumpulan dan distribusi zakat.
Setelah diadaptasi dari penelitian sebelumnya (Keehley &
Abercrombie, 2008 dan Abd Halim, Rozman & Ahmad, 2007),
maka didapatlah bahwa kinerja lembaga zakat dipengaruhi oleh
empat dimensi yaitu, input, process, output dan outcome (Abd Halim
Mohd Noor, 2015). Dimensi input, proses, output dan outcome yang
saling terkait, sehingga mempengaruhi pengukuran kinerja lembaga
zakat secara keseluruhan.
70
Gambar 2.1
Kerangka Kerja Pengukuran Kinerja Lembag Zakat
Penelitian Abd. Halim Mohd Noor
Sumber: diadaptasi oleh Noor, Abd. Halim Mohd et, al., (2012) dari
(Keehley & Abercrombie, 2008 dan Abd Halim, Rozman & Ahmad,
2007)
Dimensi pertama dari kerangka pengukuran kinerja zakat
melibatkan input atau sumber daya yang tersedia. Dimensi kedua
adalah proses (process), yaitu kegiatan yang dihasilkan oleh
program. Dimensi ketiga adalah output yang mengacu pada aktivitas
yang telah diselesaikan oleh lembaga zakat, misalkan meliputi
jumlah penerima dana zakat, kegiatan dan target yang telah selesai
dan dana yang telah disalurkan. Dan dimensi yang terakhir adalah
(outcome) yang merupakan konsekuensi dari proses dan output. Ini
adalah perubahan status dari penerima dana zakat, karena
keterlibatan mereka dalam program.
KINERJA LEMBAGA ZAKAT
Input Process Output Outcome
71
B. Penelitian Terdahulu
Berikut ini merupakan tabel 2.5 yang berisi beberapa hasil penelitian sebelumnya.
Tabel 2.5
Hasil Penelitian Terdahulu
No Peneliti
Terdahulu
Judul Metodologi Penelitian Hasil Penelitian
Persamaan Perbedaan
1 Forum
Organisasi
Zakat, 2009
Islamic
Social
Responsibility
(ISR)
Sama-sama meneliti
tentang kinerja
pengelola zakat pada
organisasi pengelola
zakat.
Peneliti terdahulu
mengguanakan tiga metode
penelitian yaitu fundrising, fund
distribution dan Management
System. sedangkan peneliti saat
ini menggunakan metode IZDR
2011 yang dikeluarkan oleh
IMZ dan jugamelakukan
analisis terhadap penerapan
pelaporan OPZ di internet.
Tiga teratas kategori LAZNAS
yaitu: Bamuis BNI, Rumah
Zakat Indonesia, dan Dompet
Dhuafa. Tiga teratas kategori
BAZDA, yaitu: DSNI,
Lembaga Manajemen Infak,
dan Lampung Peduli. Tiga
teratas kategori BAZ provinsi,
yaitu: Baitul Maal Aceh,
BAZDA Sumatera Utara,
BAZDA DIY. Pemenang tiga
teratas kategori BAZ
Kabupaten/ Kota yaitu:
BAZDA Kab. Cianjur, BAZDA
Kab. Aceh Besar, dan BAZDA
Kab. Tebing Tinggi. Sedankan
untuk kategori Special Award,
yaitu Badan Amil Zakat
Nasional.
Bersambung ke halaman selanjutnya
72
Tabel 2.5 (lanjutan)
No Peneliti
Terdahulu
Judul Metodologi Penelitian Hasil Penelitian
Persamaan Perbedaan
2 Sugiyarti
Fatma
Laela, 2010
Analisis
Faktor-Faktor
yang
Mempengaruhi
Kinerja
Organisasi
Pengelola
Zakat
Sama-sama
meneliti
tentang kinerja
organisasi
pengelola
zakat.
Peneliti terdahulu menguji faktor-
faktor yang memiliki pengaruh
signifikan terhadap efisiensi OPZ
dengan mengunakan data survey dari
14 sampel OPZ. Sedangkan peneliti
saat ini menggunakan metode IZDR
2011 yang dikeluarkan oleh IMZ
yang disebut dengan kinerja prima
pengelola zakat dengan meneliti
kinerja keuangannya dan juga
melakukan analisis terhadap
penerapan pelaporan OPZ di internet.
Komposisi Dewan Pembina tidak
memiliki pengruh yang signifikan
terhdp efisiensi OPZ. jumlah
Dewan Pengawas terhadap
Direktur Pelaksana memiliki
pengaruh yang signifikan
perubahan kompensasi yang
dibayarkan kepada pegawai,
penerapan program manajemen
dan sistem budaya yang efficiency
emphasis, struktur kelembagaan
OPZ dan ukuran (size) OPZ tidak
terbukti memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap efisiensi.
3 IMZ, 2011 Indonesian
zakat
development
report 2011
penelitian
terhadap 7
LAZNAS dan
1 BAZ.
Sama-sama
meneliti
tentang kinerja
OPZ dan
menggunakan
metode
pengukuran
yang sama,
yakni analisis
kinerja prima.
Peneliti terdahulu dengan tahun
penelitian 2011 dan meneliti 7
LAZNAS yaitu: BAMUIS BNI,
BAZMA Pertamina, BMM, DD,
DPU DT, PKPU, YBM BRI. dan 1
BAZ yaitu BAZIS DKI. Sedangkan
penelitian ini dengan tahun
penelitian 2015 pada OPZ dan juga
melakukan analisis terhadap
penerapan pelaporan OPZ di internet.
Peringkat OPZ menurut kinerja,
yaitu: BMM, DD, PKPU, BAZIS
DKI, DPU DT, BAMUIS BNI
YBM BRI, dan BAZMA
Pertamina.
Bersambung ke halaman selanjutnya
73
Tabel 2.5 (lanjutan)
No Peneliti
Terdahulu
Judul Metodologi Penelitian Hasil Penelitian
Persamaan Perbedaan
4 Husni
Shabri,
2011
Pengukuran
Kinerja Badan
Amil Zakat dan
Lembaga Amil
Zakat di
Sumatera Barat
Sama-sama
meneliti tentang
pengukuran kinerja
organisasi
pengelola zakat
dengan
menggunakan
metode pengukuran
dalam IZDR 2011
yang dikeluarkan
oleh IMZ.
Peneliti terdahulu meneliti kinerja
BAZDA dan LAZ di provinsi
Sumatera Barat pada tahun 2011
selain itu, peneliti terdahulu juga
melakukan uji beda antar sampel
yang digunakan. Sedangkan
peneliti saat ini selain mengukur
kinerja OPZ juga melakukan
analisis terhadap penerapan
pelaporan OPZ di internet.
Terdapat perbedaan yang
signifikan antara kinerja
manajemen zakat di BAZ dan
LAZ di Provinsi Sumatera
Barat. Kinerja BAZ lebih baik
dari kinerja LAZ terutama
kinerja keuangan dan
legitimasi sosial.
5 Abd. Halim
Mohd.
Noor, 2012
Assessing
Performance of
Nonprofit
Organization A
Framework for
Zakat
Institutions
Sama-sama fokus
pada kinerja
Organisasi
Pengelola Zakat
Penelitian terdahulu mengusulkan
kerangka kerja konseptual
komprehensif untuk mengukur
kinerja lembaga zakat. Dimana,
kinerja lembaga zakat dipengaruhi
oleh empat dimensi yaitu, input,
process, output (keluaran) dan
outcome (hasil). Sedangkan
peneliti saat ini lebih kepada
pengukuran kinerja keuangan,
bukan menyediakan kerangka
pengukurannya.
Menyajikan kerangka tidak
hanya mencakup kinerja
efisiensi organisasi Zakat tetapi
juga pada evaluasi hasil yang
telah didapatkan dari
pendistribusian dana zakat.
Bersambung ke halaman selanjutnya
74
Tabel 2.5 (lanjutan)
No Peneliti
Terdahulu
Judul Metodologi Penelitian Hasil Penelitian
Persamaan Perbedaan
6 Shamharir
Abidin dan
Ram Al
Jaffri Saad,
2014
Evaluating
Corporate
Reporting
on the
Internet:
The Case of
Zakat
Institutionsi
n Malaysia.
Melakukan
pengukuran
pada
penerapan
pelaporan OPZ
di internet
untuk menilai
akuntabilitas
website.
Penelitian sebelumnya hanya
mengukur akuntabilitas
website melalui penerapan
pelaporan OPZ di internet di
negara Malaysia, sedangkan
pada penelitian saat ini peneliti
juga melakukan pengukuran
kinerja OPZ yang berada di
Indonesia.
Sebagian besar lembaga zakat di Malaysia
menyajikan informasi berupa jumlah
pengumpulan dan penyaluran dana zakat,
namun tidak ada satupun lembaga zakat
yang menyajikan laporan keuangan.
Sebagian besar lembaga zakat telah
mengelola website dengan baik, dan
digunakan sebagai media utama untuk
berkomunikasi.
7 Dwita
Darmawati,
et., al, 2011
Kinerja
Lembaga
Amil Zakat
/LAZ dalam
Perspektif
Keuangan
dan
Customer
(Studi
Kasus Di
Kabupaten
Banyumas)
Sama-sama
meneliti
tentang kinerja
pengelola
zakat pada
Lembaga Amil
Zakat.
Penelitian terdahulu
menggunakan perspektif
keuangan dan customer dan
wilayah Kabupaten Banyumas.
Sedangkan peneliti saat ini
menggunakan metode
pengukuran dalam Indonesia
Zakat and Development Report
(IZDR) 2011 yang dikeluarkan
oleh Indonesia Magnifinance
of Zakat (IMZ) yang disebut
dengan kinerja prima pengelola
zakat, dengan meneliti kinerja
keuangannya.
Kinerja LAZ dalam perspektif keuangan
(kenaikan jumlah pengumpulan dan
penyaluran dana ZIS) dinilai baik.
Sedangkan hasil kinerja LAZ dalam dalam
perspektif customer adalah belum puasnya
customer (muzakki dan mustahiq) akan
pelayanan LAZ. Faktor kendala dalam
memberikan pelayanan kepada customer
adalah keandalan, empati dan tangible. Dan
permasalahan yang dialami oleh LAZ adalah
keterbatasan SDM yaitu sedikitnya jumlah
SDM dibanding beban kerja; seringnya
terjadi perputaran karyawan. dan status
legalitas LAZ. Bersambung ke halaman selanjutnya
75
Tabel 2.5 (lanjutan)
No Peneliti
Terdahulu
Judul Metodologi Penelitian Hasil Penelitian
Persamaan Perbedaan
8 Aulia Zahra,
Prayogo P.
Harto, Ahmad
Bisyri AS,
2016
Pengukuran
Efisiensi
Organisasi
Pengelola
Zakat dengan
Metode Data
Envelopment
Analysis
Sama-sama meneliti
tentang kinerja
keuangan
Organisasi
Pengelola Zakat.
Peneliti terdahulu meneliti 7 OPZ
tingkat nasional yang memiliki
izin pemerintah yaitu RZ, Bamuis
BNI, BSM Ummat, BMH,
BAZNAS, LAZISMU, dan YBM
BRI dengan menggunakan metode
Data Envelopment Analysis
(DEA). Dengan variabel input:
biaya personalia, biaya sosialisasi
dan biaya operasional lainnya dan
variabel output : jumlah dana ZIS
yang terhimpun dan tersalurkan
periode 2012-2014. Sedangkan
peneliti saat ini meneliti penilaian
kinerja keuangan dengan
menggunakan metode pengukuran
Indonesia Magnifinance of Zakat
(IMZ) Selain itu peneliti saat ini
mengukur penerapan pelaporan di
internet oleh OPZ.
Kinerja OPZ pada tahun 2013
lebih baik dari tahun 2012 dan
2014. Hal ini dikarenakan
terjadi penurunan biaya di
tahun 2013 namun tidak terjadi
peningkatan efisiensi
pengelolaan ZIS dari tahun
2013-2014. Kinerja OPZ
sudah cukup efisien secara
teknis, hal ini mengindikasikan
OPZ telah memiliki
manajemen yang baik dalam
pengelolaan dana ZIS, namun
demikian secara keseluruhan
tingkat efisiensi pada OPZ
masih rendah dikarenakan
kondisi eksternal yang kurang
baik. Perhitungan terhadap
OPZ tahun 2013 menunjukan
hanya 3 OPZ yang telah
efisien yaitu Bamuis BNI,
BSM Ummat, dan YBM BRI.
Bersambung ke halaman selanjutnya
76
Tabel 2.5 (lanjutan)
No Peneliti
Terdahulu
Judul Metodologi Penelitian Hasil Penelitian
Persamaan Perbedaan
9. Alfi Lestari,
2015
Efisiensi Kinerja
Keuangan
Badan Amil
Zakat Daerah
(BAZDA):
Pendekatan Data
Envelopment
Analysis (DEA)
Sama-sama
meneliti tentang
kinerja keuangan
Organisasi
Pengelola Zakat.
Peneliti terdahulu meneliti BAZDA di
kabupaten Lombok menggunakan
metode Data Envelopment Analysis
(DEA). Dengan variabel input: dana ZIS
yang dihimpun, aktiva tetap, gaji
karyawan dan variabel output : jumlah
dana ZIS yang disalurkan dan biaya
operasional. Sedangkan peneliti saat ini
meneliti Bamuis BNI, DD, PKPU, RZ,
BMH, BAZNAS dan YBM BRI.
Metode pengukuran (IMZ) dengan
meneliti kinerja keuangannya. Selain itu
peneliti saat ini mengukur penerapan
pelaporan di internet oleh OPZ.
BAZDA Kabupaten Lombok
Timur secara menyeluruh telah
mampu mencapai efisiensi
maksimum secara relative,
sehingga bisa dikatakan bahwa
BAZDA Kabupaten Lombok
Timur berhasil mencapai
tingkat efisiensi pada t ga
periode, yaitu 2012-2014.
10. Rini, 2016
Penerapan
Internet
Financial
Reporting untuk
Meningkatkan
Akuntabilitas
Organisasi
Pengelola Zakat
Sama-sama
meneliti
mengenai
penerapan
Internet
Reporting, dalam
hal Internet
Financial Report
Peneliti terdahulu meneliti internet
reporting, namun hanya dalam lingkup
IFR dan tidak meneliti mengenai
pengukuran kinerja OPZ.
Dari 19 OPZ terdapat 7 OPZ
yang menerapkan pelaporan
keuangan melalui internet (IFR)
Tingkat pengungkapan
pelaporan keuangan ketujuh
OPZ berdasarkan PSAK 109
masih rendah. Rata-rata tingkat
pengungkapan ketujuh OPZ
tersebut sebesar 43.4%.
Sumber: Jurnal-jurnal referensi
77
C. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam
gambar 2.2
Gambar 2.2
Skema Kerangka Pemikiran
Pengumpulan Data
Hasil Analisis
Perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada umat islam untuk membayar zakat
(QS. T-Taubah:103) dan merupakan salah satu rukun islam.
Dibentuknya Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) baik itu Badan Amil Zakat
(BAZ) maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang bertugas melakukan
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat (UU No 23 Tahun
2011)
Kurang maksimalnya pengumpulan dana zakat terbukti dari tingginya perbedaan
antara potensi pengumpulan zakat dan realisasinya (Hartono, 2016).
Permasalahan ini disebabkan oleh kurang profesionalnya pengelolaan zakat yang
dilakukan oleh OPZ (Labib, 2015), rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat
pada OPZ karena kurangnya trasnparansi dalam melaporkan kinerja keuangan
dan menilai akuntabilitas Organisasi Pengelola Zakat dalam menyalurkan dana
zakat (Septiarini, 2011).
Penerapan Pelaporan OPZ di
Internet
Aspek isi
Aspek tampilan
Kinerja OPZ
Kinerja keuangan
Kesimpulan dan Saran
Metode Analisis Deskriptif
78
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang diteliti, maka jenis penelitian yang
digunakan adalah penelitian deskriptif. Penelitian ini akan membahas mengenai
penerapan internet reporting dan penilaian kinerja keuangan OPZ. Objek dalam
penelitian berupa website dan laporan keuangan OPZ di Indonesia yang bisa
sebagai pengurang pajak sesuai peraturan Direktur Jenderal Pajak No.PER-
15/PJ/2012. Berikut 19 OPZ yang terdaftar dalam peraturan tersebut dan
kepemilikan website, diantaranya:
Tabel 3.1
Kepemilikan Website
No Nama OPZ Kepemilikan Website
Ada Tidak
1 Badan Amil Zakat Nasional
2 LAZ Dompet Dhuafa Republika
3 LAZ Yayasan Amanah Takaful
4 LAZ Pos Keadilan Peduli Umat
5 LAZ Baitulmaal Muamalat
6 LAZ Yayasan Dana Sosial Al
Falah
7 LAZ Baitul Maal Hidayatullah
8 LAZ PZU Persis (Pusat Zakat
Ummat Persatuan Indonesia)
9 LAZ Bamuis BNI (Baitul Maal
Ummat Islam Bank Negara
Indonesia)
10 LAZNAS BSM Umat
11 LAZ DDII (Dewan Dakwah
Islam Indonesia)
Bersambung ke halaman selanjutnya
79
Tabel 3.1 (lanjutan)
No Nama OPZ Kepemilikan Website
Ada Tidak
12 LAZ Yayasan Baitul Maal Bank
Rakyat Indonesia
13 LAZ Baitul Maal wat Tamwil
14 LAZ Bazma (Baituz Zakah
Pertamina)
15 LAZ Dompet Peduli Ummat
Daarut Tauhid
16 LAZ Rumah Zakat Indonesia
17 LAZIS Muhammadiyah
18 LAZIS Nahdlatul Ulama Dalam masa
perbaikan
19 LAZIS Ikatan Persaudaraan Haji
Indonesia
Sumber: Data diolah peneliti
Penggunaan website sebagai objek dalam penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui penerapan internet reporting, seperti dalam penelitian sebelumnya
yang telah dilakukan oleh Shamharir Abidin dan Ram Al Jaffri Saad (2014) pada
lembaga zakat di Malaysia. Terdapat dua bagian pokok yang diukur dalam
penelitian ini, yaitu bagian isi (content) dan bagian tampilan (presentation).
Dalam bagian isi, terdapat empat sub bagian diantaranya adalah akuntansi dan
informasi keuangan, informasi tata kelola OPZ, rincian kontak dan informasi
lainnya, serta pengungkapan pertanggungjawaban sosial. Sedangkan pada bagian
tampilan terdiri dari tiga sub bagian yaitu, ketepatwaktuan informasi, vitur
teknologi, dan fasilitas untuk mempermudah pengguna dalam mengakses website.
Selain mengukur penerapan internet reporting, dalam penelitian ini juga
akan membahas mengenai penilaian kinerja keuangan untuk mengetahui tingkat
keberhasilan OPZ dalam mengelola dana zakat berdasarkan pengukuran
80
Indonesia Zakat and Development Report (IZDR) 2011 oleh Indonesia
Magnificience of Zakat (IMZ). Dalam pengukuran kinerja keuangan ini, objek
yang digunakan adalah laporan keuangan periode 2015 yang penyusunannya telah
sesuai dengan PSAK 101 dari OPZ yang telah menerapkan Internet Financial
Reporting (IFR), yaitu diantaranya Bamuis BNI, PKPU, RZ, BMH, BAZNAS,
dan YBM BRI, terdapat juga LAZ yang memiliki laporan keuangan namun tidak
menerapkan IFR yaitu Dompet Dhuafa, perolehan laporan keuangan Dompet
Dhuafa dilakukan setelah adanya permohonan permintaan untuk kepentingan
penelitian. Ruang lingkup penelitian ini hanya mencakup pengukuran kinerja
keuangan, bukan pengukuran kinerja secara keseluruhan.
B. Metode Penentuan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh OPZ yang ada di Indonesia.
Adapun metode penentuan sampel dalam penelitian ini adalah pemilihan sampel
berdasarkan judgement sampling atau purposive yaitu pengumpulan data atas
dasar strategi kecakapan atau pertimbangan pribadi semata. Kriteria sampel
dalam penelitian ini adalah OPZ yang bisa menjadi pengurang pajak sesuai
peraturan Direktur Jenderal Pajak No.PER-15/PJ/2012. Terdapat 19 OPZ dalam
peraturan tersebut, 16 diantaranya telah memiliki website yang dapat dijadikan
objek penelitian. Sedangkan, untuk pengukuran kinerja keuangan objek yang
digunakan adalah laporan keuangan dari OPZ yang telah melakukan penyusunan
laporan keuangan sesuai PSAK 101, laporan yang disusun harus terdiri dari
laporan perubahan dana. Terdapat 7 sempel sampel dalam penelitian ini, 6
diantaranya telah menerapkan IFR dengan menerbitkan laporan keuangan
81
periode 2015 sesuai dengan PSAK 101 dan mempublikasikannya melalui
website, ke-6 OPZ tersebut diantaranya BAZNAS, Baitul Maal Hidayatullah,
Pos Keadilan Peduli Umat, Baitul Maal Bank Rakyat Indonesia, Bamuis BNI,
dan Rumah Zakat Indonesia. Sedangkan LAZ lainnya yang memiliki laporan
keuangan namun tidak menerapkan IFR yaitu Dompet Dhuafa, perolehan
laporan keuangan dapat diterima setelah adanya permohonan permintaan untuk
kepentingan penelitian.
C. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder adalah data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung
melalui media perantara atau telah diperoleh dan dicatat oleh pihak lain yang
umumnya berupa bukti, catatan atau laporan historis yang tersusun dalam arsip
yang dipublikasikan atau tidak dipublikasikan. Sumber data dalam penelitian ini
berasal dari website setiap OPZ baik berupa laporan keuangan maupun konten dan
tampilan dari website itu sendiri. Observasi dilakukan selamua bulan Maret 2017.
D. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan penelitian pustaka. Peneliti memperoleh data yang berkaitan
dengan masalah yang sedang diteliti melalui buku, jurnal, tesis, internet dan
perangkat lain yang berkaitan dengan judul penelitian. Perolehan informasi atas
penerapan internet reporting oleh OPZ diperoleh melalui website, begitupula
dengan laporan keuangan yang dapat diperoleh melalui website.
82
E. Metode Analisis Data
Adapun dalam penelitian ini penulis menggunakan analisis data kualitatif.
Proses analisis data secara kualitatif dimulai dengan menelaah data yang
diperoleh dari berbagai sumber atau informasi, baik melalui wawancara maupun
studi dokumentasi. Data tersebut terlebih dahulu dibaca, dipelajari, ditelaah,
kemudian dianalisis.
Metode analisis data yang digunakan peneliti adalah konsep dari Miles dan
Huberman. Menurut konsep tersebut, aktivitas dalam analisa data kualitatif
harus dilakukan secara interaktif dan terus menerus pada setiap tahapan
penelitian sehingga sampai tuntas dan datanya sampai jelas.
1. Data Collection
Dalam penelitian ini, langkah pertama yang dilakukan adalah
mengumpulkan data yang diperlukan. Pengumpulan data dilakukan dengan
melakukan observasi terhadap website dengan menelaah isi dan tampilan
website serta penerapan IFR dalam website tersebut. Observasi dilakukan
selama bulan Maret 2017.
2. Data Reduction
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal penting, mencari tema dan polanya. Dengan
demikian, data yang direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas
dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data
selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan. Proses reduksi data akan
memfokuskan pada penerapan internet reporting oleh OPZ berdasarkan
83
pengukuran oleh Shamharir Abidin dan Ram Al Jaffri Saad, dan proses
reduksi juga memfokuskan pada pengukuran kinerja OPZ berdasarkan
penilaian IZDR 2011 dengan menggunakan satu komponen pengukuran
yaitu kinerja keuangan. Penilaian kinerja keuangan ini dilakukan melalui
pembobotan, dengan kriteria bobot nilai 1-5. Nilai tersebut adalah 5 untuk
kategori nilai sangant baik, 4 untuk kategori nilai baik, 3 untuk kategori nilai
cukup, 2 untuk kategori nilai kurang, dan 1 untuk kategori nilai jelek.
3. Data Display
Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplay
data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam
bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar katagori, flowchart dan
sejenisnya. Miles dan Huberman menyatakan bahwa, yang paling sering
digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan
teks yang bersifat naratif, disarankan juga untuk menggunakan grafik,
matriks, network dan chart.
4. Conclution Drawing atau Verification
Langkah selanjutnya dalam analisis kualitatif adalah penarikan
kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih
bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang
kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Akan
tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal didukung
oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali kelapangan
mengumpulkan data maka, kesimpulan yang dikemukakan merupakan
84
kesimpulan yang kredibel. Dengan demikian kesimpulan dalam kualitatif
mungkin dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal,
tetapi mungkin juga tidak karena masalah dan rumusan masalah dalam
penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembanga setelah
penelitian.
F. Pengukuran Penerapan Internet Reporting dan Penilaian Kinerja keuangan
Organisasi Pengelola Zakat
Sebelum melakukan penelitian, peneliti membuat indikator mengenai
penerapan internet reporting dan penilaian kinerja keuangan OPZ. Untuk
menentukan pengukuran internet reporting, peneliti mengadopsi pengukuran
dari Shamharir Abidin dan Ram Al Jaffri Saad (2014) dan Rini (2016) yang telah
disesuaikan dengan kebutuhan peneliti. Sedangkan untuk penilaian kinerja
keuangan OPZ peneliti menggunakan pengukuran berdasarkan Indonesia Zakat
and Development Report 2011 (IZDR 2011) oleh Indonesia Magnificience of
Zakat (IMZ).
1. Kriteria penerapan internet reporting organisasi pengelola zakat
Peneliti akan menganalisis secara komprehensif keterbukaan
informasi di dalam website OPZ (content analysis). Pengukuran
keterbukaan internet reporting dilakukan dengan membagi dua bagian
utama yaitu isi (content) dan penyajian (presentation) pada website OPZ.
Penelitian ini tidak hanya menganalisis jenis informasi yang disampaikan
atau informasi yang disebarluaskan yang umumnya mengenai pelaporan
keuangan, tapi juga bagaimana informasi tersebut ditampilkan melalui
85
penggunaan teknologi pada website yang dapat memudahkan pengunjung
untuk mendapatkan informasi. Pada bagian isi terdapat empat sub bagian,
diantaranya adalah akuntansi dan informasi keuangan, informasi tata kelola
OPZ, rincian kontak dan informasi lainnya, serta pengungkapan
pertanggungjawaban sosial. Sedangkan pada bagian tampilan terdiri dari
tiga sub bagian yaitu, ketepatwaktuan informasi, fitur teknologi, dan
fasilitas untuk mempermudah pengguna dalam mengakses website. Dalam
pengukuran ini terdapat 48 indikator pengukuran, dengan 24 indikator
disetiap bagian untuk mengetahui keefektifan website OPZ sebagai media
penyebaran informasi kepada masyarakat dalam mengelola dana zakat.
Apabila pada setiap indikator dalam pengukuran penerapan
pelaporan OPZ di internet diungkapkan dalam website, maka dalam tabel
pengukuran akan diberi tanda checklist (). Selanjutnya, tanda tersebut
akan dikonversi dalam suatu nilai dicotomous, nilai “Satu” (1) diberikan
untuk setiap indikator yang diungkapkan, sedangkan apabila tidak
diungkapkan maka diberi nilai “Nol”(0).
Indikator pengukuran internet reporting dalam penelitian ini berasal
dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Shamharir Abidin dan Ram
Al Jaffri Saad (2014), mengenai evaluasi penerapan internet reporting
lembaga zakat di negara Malaysia. Namun dalam penelitian ini, setiap
indikator yang digunakan telah disesuaikan dengan menghapus indikator
yang tidak relevan atau dengan menggantinya dengan yang lebih relevan
sesuai dengan kondisi di Indonesia. Terdapat tiga indikator yang dihapus.
86
Pada bagian isi website, indiktor yang dihapus adalah ringkasan perolehan
dana zakat, ringkasan penyaluran dana zakat, dan CSR. Sedangkan terdapat
satu indikator yang diubah yaitu keteribatan komunitas menjadi ruang
keterlibatan relawan dan satu indikator yang ditambahkan yaitu kolom
layanan donatur. Untuk bagian tampilan website, terdapat satu indikator
yang ditambahkan yaitu respon terhadap pertanyaan pengunjung,
sedangkan indikator yang dihapus adalah hyperlink dalam laporan
keuangan. Berikut merupakan indikator penelitian yang digunakan dan
telah disesuaikan.
Tabel 3.2
Pengukuran Penerapan Internet Reporting
Bagian Sub Bagian Indikator
Penerapan
aspek isi
atas
pelaporan
organisasi
pengelola
zakat di
internet
Akuntansi dan
informasi
keuangan
Laporan posisi keuangan
Laporan perubahan dana
Laporan arus kas
Laporan perubahan aset kelolaan
Catatan atas laporan keuangan
Laporan analisis manajemen
Laporan auditor tahun berjalan
Laporan tahunan (3 tahun terakhir)
Laporan pengumpulan dan penyaluran
dana zakat tahun berjalan
Informasi tata
kelola OPZ
Kode etik
CV anggota manajemen
Peramalan perolehan dana zakat
Dokumentasi atas program/kegaiatan
Struktur organisasi
Rincian kontak
dan informasi
lainnya
Nomor telepon
Alamat
Tampilan dalam versi bahasa Inggris
Bersambung ke halaman selanjutnya
87
Tabel 3.2 (lanjutan)
Bagian Sub Bagian Indikator
Frequently asked question (FAQ)
Kolom layanan donatur
Keterbukaan
pertanggung-
jawaban sosial
Publikasi majalah atau jurnal
Laporan kesehatan atau kondisi sosial
karyawan
Mitra Donatur
Ruang Keterlibatan relawan
Penerapan
aspek
penyajian
pelaporan
organisasi
pengelola
zakat di
internet
Ketepatwaktuan
informasi
Berita atau perilisan media terbaru
Informasi Haul
Nilai nisab terkini (harga emas)
Kalender
Halaman menunjukan update terakhir
Perolehan zakat bulanan atau mingguan
Vitur teknologi Kecepatan sistem saat memuat–tak lebih
dari 10 detik
Teks dalam website dapat disalin
Data keuangan dapat di edit
Laporan tahunan dalam format pdf
Laporan tahunan dalam format html
Gambar grafik
Efek tampilan
Arsip suara
Arsip video
Fasilitas untuk
mempermudah
pengguna dalam
mengakses
website.
Layanan online untuk meminta
informasi
Respon terhadap pertanyan pengunjung
Navigasi website
Pull down menu
Mouse hover trigger
Mesin pencarian internal
Next previous buttons to navigate
sequentially (Tombol setelah dan
sebelum pada navigasi)
Hyperlink langsung menuju email
Tampilan jumlah pengunjung website
Sumber: Shamharir Abidin dan Ram Al Jaffri Saad (2014), diolah
88
Hasil akhir pada pengukuran internet reporting ini adalah penjumlahan
skor yang diperoleh pada setiap indikator dan OPZ, kemudian
diperbandingkan antara total skor yang didapat dengan total skor yang
diharapkan. Berikut merupakan rumus untuk menghitung tingkat
pengungkapan internet reporting.
𝑇𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑢𝑛𝑔𝑘𝑎𝑝𝑎𝑛 =𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑘𝑎𝑡𝑜𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑢𝑛𝑔𝑘𝑎𝑝𝑘𝑎𝑛
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑘𝑎𝑡𝑜𝑟 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑢𝑛𝑔𝑘𝑎𝑝𝑎𝑛
Selanjutnya, untuk mengukur tingkat akuntabilitas penerapan internet
reporting maka digunakanlah standar dibawah ini sebagai acuan, standar ini
digunakan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rini (2016).
Tabel 3.3
Kriteria Tingkat Pengungkapan
Persentase Pengungkapan Tingkat Pengungkapan
>80% Sangat tinggi
70% s.d. 80% Tinggi
60% s.d. 69% Menengah
50% s.d. 59% Rendah
<50% Sangat rendah
Sumber: Haron (2006)
2. Pengukuran kinerja keuangan
Pengukuran kinerja keuangan dibagi dalam tiga kriteria penilaian yang
mencakup penilaian laporan keuangan, efisiensi keuangan dan kapasitas
organisasi. Metodelogi ini digunakan dalam Indonesia Magnifinance of Zakat
(IMZ) dengan metode pengukuran kinerja prima, bagian kinerja keuangan.
a. Kriteria penilaian laporan keuangan
Laporan keuangan yang dianalisa mencakup laporan audit oleh
akuntan audit (auditability), penyediaan laporan keuangan yang update
89
(time concern), dan ketersediaan laporan keuangan untuk diakses oleh
masyarakat umum seperti melalui website, harian umum atau media
lainnya (transparancy) (Indonesia Magnificence of Zakat, 2011).
Tabel 3.4
Kriteria Penilaian Laporan Keuangan
Kriteria
Penilaian Jawaban Nilai
Audit, time
concern dan
transparency
Tidak tersedia 1
Tersedia, tapi tidak update dan tidak diaudit 2
Tersedia, update, tapi tidak diaudit 3
Tersedia, update, dan diaudit tapi tidak
transparan 4
Tersedia, update, diaudit, dan transparan 5
Arti nilai 5: sangat baik, 4: baik, 3: cukup, 2: kurang, 1: jelek
Sumber: IMZ, 2011
b. Kriteria penilaian efisiensi keuangan
Efisiensi keuangan (financial eciciency) diukur dengan
Operational Expenses Ratio yaitu seluruh biaya yang digunakan untuk
menjalankan roda OPZ dibandingkan terhadap total penggunaan dana di
luar gaji untuk para amil (IMZ, 2011).
Tabel 3.5
Kriteria Efisiensi Keuangan
Kinerja
Keuangan
Efisiensi
(%)
Konversi Nilai
1 2 3 4 5
Operational
Expenses
Ratio
>11,00 9,00 – 10,99 7,00 – 8,99 5,00 – 6,99 <5,00
Arti nilai 5: sangat baik, 4: baik, 3: cukup, 2: kurang, 1: jelek
Sumber: IMZ, 2011
90
c. Kriteria penilaian kapasitas organisasi
Kapasitas organisasi diukur melalui empat kriteria (IMZ, 2011), yaitu:
1) Primary Revenue Ratio yaitu total perolehan dana khusus zakat
terhadap total perolehan dana termasuk infaq, shadaqah dan wakaf.
2) Primary Revenue Growth yaitu pertumbuhan perolehan dana khusus
zakat (di luar ZISWAF) dari tahun sebelumnya.
3) Program Expenses Ratio pengeluaran untuk pembiayaan program
atau penyaluran dana kepada mustahiq terhadap total penggunaan
dana (tidak termasuk gaji amil/ bagian amil atas dana ziswaf).
4) Program Expenses Growth yaitu pertumbuhan pengeluaran untuk
pembiayaan program atau penyaluran dana kepada mustahiq dari
tahun sebelumnya.
Tabel 3.6
Kriteria Kapasitas Organisasi
Kinerja
Kapasitas
Organisasi
(%)
Konversi Nilai
1 2 3 4 5
Primary
Revenue Ratio <70,00 70,00 – 74,99 75,00 – 80,00 80,00 – 84,00 >84,99
Primary
Revenue
Growth
<10,00 10,00 – 14,99 15,00 – 19,99 20,00 – 24,99 >24,99
Program
Expenses
Ratio
<60,00 60,00 – 69,99 70,00 – 79,99 80,00 – 89,99 >89,99
Program
Expenses
Growth
<10,00 10,00 – 14,99 15,00 – 19,99 20,00 – 24,99 >24,99
Arti nilai 5: sangat baik, 4: baik, 3: cukup, 2: kurang, 1: jelek
Sumber: IMZ, 2011
Hasil akhir dari penilaian kinerja keuangan OPZ adalah penjumlahan dari
seluruh nilai yang diperoleh OPZ. Seluruh nilai tersebut diperoleh melalui ketiga
91
komponen pengukuran, yang terdiri dari efisiensi keuangan, kapasitas
organisasi, dan laporan keuangan. Jumlah ketiga komponen tersebut kemudian
dibagi tiga sesuai dengan pengukuran yang digunakan. Selanjutnya, hasil nilai
tersebut dikonversi kedalam peringkat yang telah ditetapkan dalam IZDR 2011
yang terdapat pada tabel 3.7 dibawah ini.
Tabel 3.7
Nilai Ranking Setiap Angka
Nilai Minimal dan Nilai
Maksimal per Aspek (1-10) Nilai
9.50 AAA+
9.00 AAA
8.50 AAA-
8.00 AA+
7.50 AA
7.00 AA-
6.50 A+
6.00 A
5.50 A-
5.00 BBB+
4.50 BBB
4.00 BBB-
3.50 BB+
3.00 BB
2.50 BB-
2.00 CCC+
1.50 CCC
1.00 CCC-
Sumber:IMZ 2011
92
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Penerapan Internet Reporting Organisasi Pengelola Zakat
Perkembangan media saat ini memainkan peranan penting dalam kegiatan
kedermawanan sosial (filantropi) yang telah berkembang pesat khususnya di
Indonesia. Internet tidak lagi hanya berperan sebagai media informasi dan hiburan,
tapi memeperluas kiprahnya sebagai penggalang, pengelola dan penyaluran dana
sosial melalui pemanfaatan sebuah website di internet oleh lembaga sosial seperti
OPZ.
Sebuah website pada OPZ dapat digunakan untuk mendorong masyarakat untuk
lebih mengenal OPZ melalui pengenalan profil dan program/kegiatan yang
dilakukan. Website juga dapat digunakan sebagai media pertanggungjawaban OPZ,
yaitu dengan melakukan IFR (Internet Financial Reporting) sebagai bentuk
transparansi dalam mengelola dana zakat.
Berdasarkan pada rumusan dan tujuan penilitian yang telah diuraikan pada
bagian sebelumnya, penelitian ini akan membahas mengenai akuntabilitas OPZ
melalui penerapan internet reporting dan penilaian kinerja keuangan pada tujuh OPZ
pada periode 2015. Berikut, merupakan hasil atas pengukuran tingkat akuntabilitas
OPZ melalui penerapan internet reporting berdasarkan observasi yang telah
dilakukan terhadap kepemilikan website pada setiap OPZ yang dilakukan selama
bulan Maret 2017 yang ditunjukan pada tabel 4.1.
93
Berdasarkan hasil observasi tersebut, terdapat 19 OPZ yang bisa menjadi
pengurang pajak sesuai peraturan Direktorat Jenderal Pajak. Kepemilikan website
menunjukkan adanya usaha OPZ untuk melakukan transparansi dan akuntabilitas
dalam menjalankan aktivitasnya. Hasil observasi terhadap ke-19 website OPZ
ditunjukkan pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.1
Alamat Website Organisasi Pengelola Zakat
No. Nama OPZ Alamat Website
1 Badan Amil Zakat Nasional
(BAZNAS)
www.pusat.baznas.go.id
2 LAZ Dompet Dhuafa Republika
(DDR)
www.dompetdhuafa.org
3 LAZ Yayasan Amanah Takaful
(YAT)
www.amanahtakaful.org
4 LAZ Pos Keadilan Peduli Umat
(PKPU)
www.pkpu.or.id
5 LAZ Baitulmaal Muamalat
(BMM)
www.baitulmaal.org
6 LAZ Yayasan Dana Sosial Al
Falah (YDSF)
www.ydsf.org
7 LAZ Baitul Maal Hidayatullah
(BMH)
www.bmh.or.id
8 LAZ PZU Persis (Pusat Zakat
Ummat Persatuan Indonesia)
www.pzu.or.id
9 LAZ Bamuis BNI (Baitul Maal
Ummat Islam Bank Negara
Indonesia)
www.bamuisbni.or.id
10 LAZNAS BSM Umat www.laznasbsm.or.id
11 LAZ DDII (Dewan Dakwah
Islam Indonesia)
www.dewandakwah.or.id
12 LAZ Yayasan Baitul Maal Bank
Rakyat Indonesia (YBM BRI)
www.ybmbri.org
13 LAZ Baitul Maal wat Tamwil Tidak tersedia
14 LAZ Bazma (Baituz Zakah
Pertamina)
www.bazmapertamina.com
Bersambung ke halaman selanjutnya
94
Tabel 4.1 (lanjutan)
No. Nama OPZ Alamat Website
15 LAZ Dompet Peduli Ummat
Daarut Tauhid (DPU-DT)
www.dpudt.daaruttauhid.org
16 LAZ Rumah Zakat Indonesia
(RZI)
www.rumahzakat.org
17 LAZIS Muhammadiyah
(Lazismu)
www.lazismu.org
18 LAZIS Nahdlatul Ulama
(NU)
Dalam masa perbaikan
19 LAZIS Ikatan Persaudaraan Haji
Indonesia (IPHI)
Tidak tersedia
Persentase Kepemilikan 84%
Sumber: Data diolah peneliti
Berdasarkan tabel 4.1 diatas, dapat diketahui bahwa sebanyak 84% OPZ
telah memiliki website yang dapat diakses. Sedangkan terdapat tiga OPZ yang situs
web-nya tidak dapat diakses, dua diantaranya yaitu LAZ Baitul Maal wat Tamwil
dan LAZIS Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia yang tidak memiliki website dan
satu OPZ yaitu LAZIS Nahdlatul Ulama (NU) yang sedang dalam perbaikan. Hal
ini sangat disayangkan, padahal pembuatan website merupakan salah satu bentuk
pemanfaatan teknologi yang mudah, murah dan cepat yang dapat digunakan sebagai
media untuk menunjukan akuntabilitas OPZ.
1. Pengukuran atas aspek isi dari penerapan internet reporting organisasi
pengelola zakat
Tabel 4.9 merupakan hasil pengukuran penerapan internet reporting secara
keseluruhan. Jika ditinjau dari bagian isi dan tampilan website, dapat
disimpulkan bahwa secara umum tingkat akuntabilitas OPZ masih sangat
rendah dalam melaporkan aktivitas pengelolaan dana zakat. Persentase yang
95
diperoleh sebesar 39%, yang berarti informasi yang pengunjung dapatkan dari
sebuah website OPZ rata-rata hanya memenuhi 39% dari kebutuhan informasi
yang diperlukan. Berikut ini akan dijelaskan mengenai setiap panel pengukuran
pada aspek isi dalam penerapan internet reporting oleh OPZ.
a. Panel A: Akuntansi dan informasi keuangan
Berikut ini merupakan tabel hasil pengukuran penerapan pelaporan
akuntansi dan informasi keuangan di internet pada OPZ yang terdaftar
dalam peraturan Direktorat Jenderal Pajak.
Tabel 4.2
Panel A: Akuntansi dan Informasi Keuangan
La
po
ran
Po
sisi
Keu
an
ga
n (
20
15
)
La
po
ran
Per
ub
ah
an
Da
na
(2
01
5)
La
po
ran
Aru
s K
as
(20
15
)
La
po
ran
Per
ub
ah
an
Ase
t
Kel
ola
an
(20
15
)
Ca
tata
n A
ata
s L
ap
ora
n
Keu
an
ga
n
(201
5)
La
po
ran
An
ali
sis
Ma
na
jem
en
(20
15
)
La
po
ran
Au
dit
or
Ta
hu
n
Ber
jala
n (
20
15
)
La
po
ran
Keu
an
ga
n (
3 T
ah
un
Ter
ak
hir
) (2
01
3-2
01
5)
La
po
ran
Pen
gu
mp
ula
n D
an
Pen
ya
lura
n D
an
a Z
ak
at
Ta
hu
n
Ber
jala
n (
20
16
)
%
BAZNAS - - - 67
DDR - - - - - - - - - 0
YAT - - - - - - - - - 0
PKPU - - - 67
BMM - - - - - - - - - 0
YDSF - - - - - - - - - 0
BMH - - - - - - - 22
PZU - - - - - - - - 11
Bamuis BNI - - - - 56
BSM - - - - - - - - - 0
DDII - - - - - - - - - 0
YBM BRI - - - - 56
BAZMA - - - - - - - - - 0
DPUDT - - - - - - - - - 0
RZI - - - - - - 33
Lazismu - - - - - - - - - 0
% 38 38 25 31 0 0 13 19 12 19
Sumber: Data diolah peneliti
96
Pada tabel 4.2 menunjukan bahwa, dari segi isi (content) yang dimuat
pada sub bagian akuntansi dan informasi keuangan, dapat dilihat bahwa
hanya 44% OPZ yang telah melakukan IFR, namun dari jumlah tersebut
hanya 6 OPZ atau 38% yang melakukan penyusunan laporan keuangan
sesuai dengan PSAK 101 mengenai Laporan Amil. Dari 6 OPZ tersebut,
meskipun dalam penyusunan laporan keuangan telah sesuai berdasarkan
PSAK 101, kelengkapan komponen laporan keuangan yang disusun
belumlah diungkapkan secara lengkap. Komponen laporan keuangan yang
diungkapkan pada setiap website OPZ berbeda-beda, pada umumnya
laporan yang dibuat dan diungkapkan adalah laporan posisi keuangan dan
laporan perubahan dana periode 2015. Sedangkan untuk laporan
pengumpulan dan penyaluran dana zakat pada tahun berjalan hanya
diungkapkan oleh 12% OPZ.
Berdasarkan kriteria tingkat pengungkapan dan akuntabilitas yang
ditetapkan oleh Haron, maka dapat disimpulkan bahwa hanya BAZNAS dan
PKPU yang telah melakukan pengungkapan pada tingkat menengah dengan
melakukan pengungkapan sebesar 67% atas informasi keuangannya.
Sedangkan pada lembaga lainnya tingkat pengungkapan dan akuntabilitas
atas informasi keuangan masih rendah seperti YBM BRI dan Bamuis BNI
sebesar 56%. Bahkan sebagian besar OPZ atau sekitar 76%, tingkat
pengungkapan terhadap informasi akuntansi masih sangat rendah, yaitu
dibawah 50%.
97
Informasi akuntansi dan keuangan dapat dijadikan sebagai bahan
penilaian terhadap kinerja keuangan dalam mengelola dana zakat. Laporan
yang diunggah pada website seharusnya berisi mengenai laporan yang diatur
oleh PSAK 101 mengenai laporan amil pada lembaga zakat secara lengkap,
laporan ini terdiri atas laporan posisi keuangan, laporan perubahan dana,
laporan arus kas, laporan perubahan aset kelolaan, dan catatan atas laporan
keuangan. Selain itu, laporan analisis manajemen, serta laporan perolehan
dan penyaluran zakat periode berjalan juga penting untuk diungkapkan
sebagai bentuk transparansi amil dalam mengelola dan menerima dana
zakat. Sedangkan untuk pengungkapan laporan auditor, dapat memberikan
keuntungan bagi OPZ untuk meyakinkan publik bahwa OPZ telah
melakukan pengelolaan dana zakat secara akuntabel.
Pengungkapan terhadap informasi keuangan merupakan salah satu
bentuk transparansi dan akuntabilitas OPZ kepada muzaki dan utamanya
kepada Allah SWT. OPZ harus lebih aktif dan terbuka dalam melaporkan
pengelolaan dana zakat karena penerapan internet reporting dalam hal
keuangan merupakan salah satu indikator utama sebagai upaya untuk
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap OPZ, sehingga penerapan
IFR bukan hanya dijadikan sebagai kewajiban melainkan kebutuhan OPZ
guna mengoptimalkan penerimaan dana zakat dan meningkatkan
kemaslahatan umat.
98
b. Panel B: Informasi tata kelola organisasi pengelola zakat
Pada sub bagian selanjutnya, yaitu penerapan internet reporting
dalam hal informasi mengenai tata kelola OPZ memainkan peran yang
sangat penting untuk menentukan dan menilai efektivitas kinerja para amil
dalam mengelola dana zakat. Penerapan GCG dalam OPZ merupakan faktor
yang penting untuk mengoptimalkan kinerja pengelola zakat dan penerapan
internet reporting juga sangat penting untuk menjaga image dan
meyakinkan masyarakat bahwa OPZ telah mengelola dana zakat sesuai
dengan prinsip dan aturan yang berlaku. Dalam penelitian ini, terdapat lima
parameter untuk menilai keterbukaan OPZ. Kelima parameter tersebut
ditunjukan pada tabel 4.3 dibawah ini.
Tabel 4.3
Panel B: Informasi Tata Kelola Organisasi Pengelola Zakat
Kod
e E
tik
CV
An
ggota
Man
aje
men
Foer
cast
ing
Per
ole
han
Dan
a Z
ak
at
(2015)
Dok
um
enta
s
i A
tas
Pro
gra
m/
Keg
aia
tan
Str
uk
tur
Org
an
isasi
%
BAZNAS - - 60
DDR - - - - 20
YAT - - - - 20
PKPU - - 60
BMM - - - 40
YDSF - - - 40
BMH - - - 40
PZU - - - - 20
Bamuis BNI - - 60
BSM - - - 40
DDII - - - 40
YBM BRI - - - 40
BAZMA - - - 40
DPUDT - - - 40
Bersambung ke halaman selanjutnya
99
Tabel 4.3 (lanjutan)
Kod
e E
tik
CV
An
ggota
Man
aje
men
Foer
cast
ing
Per
ole
han
Dan
a Z
ak
at
(2015)
Dok
um
enta
s
i A
tas
Pro
gra
m/
Keg
aia
tan
Str
uk
tur
Org
an
isasi
%
RZI - - - 40
Lazismu - - - 40
% 0 13 6 100 81 40
Sumber: Data diolah peneliti
Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat bahwa hanya 6% OPZ yang
melaporkan forecasting perolehan dana zakat, dan 94% memiliki
dokumentasi atas program yang telah dilakukan. Untuk kode etik sendiri,
tidak ada satupun OPZ yang menampilkan atau menjelaskannya pada
website. Keterbukaan terhadap kode etik dapat mengindikasikan dan
meyakinkan publik bahwa kepengurusan OPZ sungguh-sungguh dijalankan
untuk mengelola dana zakat berlandaskan aturan untuk mencapai
kemanfaatan dana zakat. Kode etik dapat membantu memastikan pihak
eksekutif mengikuti aturan yang sama dengan anggota lainnya. Sedangkan
informasi CV anggota manajemen hanya diunggah oleh 13% OPZ dan
mengenai informasi struktur organisasi, sebanyak 81% OPZ telah
melaporkannya pada website.
Secara keseluruhan, terdapat tiga OPZ yang berada pada tingkat
menengah dalam pengungkapan akuntabilitasnya terhadap tata kelola OPZ
yaitu BAZNAS, PKPU, dan Bamuis BNI. Sedangkan sisanya akuntabilitas
100
terhadap tata kelola OPZ masih berada pada tingkat yang sangat rendah
yaitu dibawah 50%.
c. Panel C: Rincian kontak dan informasi lainnya
Pada sub bagian selanjutnya yaitu mengenai rincian kontak dan
informasi lainnya, berisi mengenai informasi dasar atas pendirian atau
keberadaan OPZ. Keberadaan OPZ dapat diketahui dengan adanya alamat,
nomor telepon, ataupun dengan alamat e-mail yang dapat digunakan untuk
menghubungi OPZ. Selanjutnya, FAQ merupakan fasilitas dalam website
OPZ yang memuat informasi mengenai zakat ataupun informasi
kelembagaan OPZ. Sedangkan untuk kolom layanan donatur dan tampilan
dalam versi bahasa Inggris dapat memudahkan pengunjung dalam
mengakses informasi dan memudahkan para donatur dalam menyalurkan
dannya. Hasil pengukuran mengenai keenam parameter dalam panel ini
ditunjukan pada tabel 4.4 dibawah ini.
Tabel 4.4
Panel C Rincian Kontak dan Informasi Lainnya
E-M
ail
Nom
or
Tel
epon
Ala
mat
Tam
pil
an
Dala
m V
ersi
Bah
asa
In
ggri
s
Fre
qu
entl
y
Ask
ed Q
ues
tion
(FA
Q)
Kolo
m L
ayan
an
Don
atu
r
%
BAZNAS - - 67
DDR - - 67
YAT - - - - 33
PKPU 100
BMM - 83
YDSF - - 67
BMH - - 67
Bersambung ke halaman selanjutnya
101
Tabel 4.4 (lanjutan)
E-M
ail
Nom
or
Tel
epon
Ala
mat
Tam
pil
an
Dala
m V
ersi
Bah
asa
In
ggri
s
Fre
qu
entl
y
Ask
ed Q
ues
tion
(FA
Q)
Kolo
m L
ayan
an
Don
atu
r
%
PZU - 83
Bamuis BNI - - 67
BSM - - - - 33
DDII - - - 50
YBM BRI - - - 50
BAZMA - - 67
DPUDT - - 67
RZI - - 67
Lazismu - - 67
% 88 100 94 6 25 75 65
Sumber: Data diolah peneliti
Berdasarkan pengukuran pada tabel diatas, menjelaskan bahwa
hanya terdapat satu OPZ yang menyediakan menu tampilan dalam bahasa
asing yaitu inggris dan arab. Hal tersebut sangat disayangkan karena
meskipun mayoritas masyarakat Indonesia menggunakan bahasa Indonesia,
namun penyediaan tampilan dalam bahasa asing akan membantu kaum
minoritas yang tidak menggunakan bahasa Indonesia untuk memperoleh
informasi mengenai OPZ. Pada parameter selanjutnya, semua OPZ
menampilkan nomor telepon, terdapat dua OPZ yang tidak menampilkan
alamat e-mail, sedangkan untuk alamat terdapat satu OPZ yang tidak
menginformasikannya. E-mail dan alamat merupakan informasi penting
yang seharusnya ditampilkan untuk memastikan keberadaan OPZ.
Selanjutnya, sebagian besar OPZ atau sekitar 75% menampilkan kolom
layanan donatur yang bertujuan untuk mempermudah donatur menyalurkan
102
dananya. Sedangkan untuk FAQ hanya 25% yang memilikinya, FAQ
merupakan bagian website untuk memfasilitasi pengguna memperoleh
informasi yang sering ditanyakan.
Tingkat akuntabilitas OPZ yang ditunjukan dengan adanya rincian
kontak untuk memastikan keberadaan OPZ dan informasi lainnya untuk
mempermudah pengguna website dalam mengakses informasi dan secara
umum tingkat akuntabilitas OPZ yang ditunjukan pada bagian ini berada
pada tingkat menengah.
d. Panel D: Keterbukaan pertanggungjawaban sosial
Keterbukaan akan pertanggungjawaban sosial merupakan hal yang
sudah populer pada sektor komersial, hal tersebut merupakan salah satu alat
untuk menganalisa peran perusahaan dan kaitannya terhadap masyarakat.
CSR dalam OPZ atau organisasi nirlaba dapat diibaratkan sebagai kegiatan
utama berjalannya organisasi, karena seluruh kegiatan atau program yang
dilakukan pada organisasi nirlaba dijalankan untuk kepentingan dan
kemaslahatan masyarakat khususnya para mustahiq, sehingga sudah
seharusnya diungkapkan. Dalam penelitian ini, terdapat empat indikator
untuk menilai keterbukaan pertanggungjawaban OPZ ditunjukan pada tabel
4.5 dibawah ini.
103
Tabel 4.5
Panel D: Keterbukaan Pertanggungjawaban Sosial
Pu
bli
kasi
Maja
lah
ata
u
Ju
rnal
Lap
ora
n
Kes
ehata
n
Ata
u K
on
dis
i
Sosi
al
Kary
aw
an
C
om
mer
cial
Spon
sori
ng
(Mit
ra)
Ru
an
g
Ket
erli
bata
n
Rel
aw
an
%
BAZNAS - 75
DDR - - 50
YAT - - - 25
PKPU - - - 25
BMM - - - 25
YDSF - - - 25
BMH - - - 25
PZU - - - - 0
Bamuis BNI - - - 25
BSM - - 50
DDII - - - 25
YBM BRI - - - 25
BAZMA - - - - 0
DPUDT - - - - 0
RZI - - 50
Lazismu - - - 25
% 38 0 44 31 28
Sumber: Data diolah peneliti
Berdasarkan hasil observasi terhadap setiap website, sebanyak 44%
OPZ menampilkan sejumlah mitra (partner) atau donatur yang secara rutin
menyalurkan dananya, sedangkan untuk parameter penerbitan jurnal atau
majalah sebanyak 38% yang melakukannya, jurnal ataupun majalah ini berisi
informasi mengenai perkembangan zakat yang diperoleh, ulasan informasi
mengenai berbagai program dan kegiatan yang telah dilakukan OPZ dalam
menyalurkan dana ZIS. Jurnal ataupun majalah ini dapat digunakan sebagai
media periklanan dan media transparansi dengan mempublikasikan kegiatan
ataupun program yang telah dijalankan OPZ secara lebih rinci. Beberapa OPZ
104
atau 31% diantaranya juga turut membuka kesempatan bagi masyarakat luas
untuk ikut terlibat dan bergabung dalam melaksanakan kegiatannya, hal ini
menunjukan adanya keterbukaan OPZ dalam menjalankan program dan
agendanya. Namun, untuk laporan mengenai karyawan sendiri, tidak satupun
OPZ yang mengungkapkannya pada website, hal ini perlu dilakukan untuk
mengetahui bagaimana kinerja amil dalam mengelola dana ZIS, terlebih
sebagian besar biaya operasional pada OPZ dialokasikan untuk amil.
Secara umum, tingkat akuntabilitas OPZ yang ditunjukan oleh
keterbukaan pertanggungjawaban sosial melalui website masih sangat rendah.
Hanya BAZNAS yang telah mengungkapkan secara tinggi akuntabilitasnya
yaitu sebesar 75%.
penerapan internet reporting dalam hal keterbukaan
pertanggungjawaban sosial, dapat digunakan sebagai media untuk menilai
keberhasilan OPZ dalam mengelolan dana ZIS, bukan hanya dilihat dari
seberapa besar dana zakat yang diterima dan seberapa banyak program yang
dijalankan, namun juga bagaimana program tersebut dilaksanakan sehingga
penerapan internet reporting atas pertanggungjawaban sosial ini merupakan
suatu keharusan.
2. Pengukuran atas aspek penyajian dari penerapan internet reporting organisasi
pengelola zakat
Akuntabilitas website tidak hanya ditunjukan pada isi atau konten yang
dimuat, tetapi juga bagaimana informasi tersebut ditampilkan. Untuk
memudahkan para pengguna dalam mengakses dan memperoleh informasi
105
pada OPZ, maka diperlukan tampilan yang baik yang dapat pula dilengkapi
dengan fasilitas tertentu pada website. Dalam pengukuran mengenai
penyampaian informasi pada internet reporting, terdapat beberapa parameter
yang seharusnya ada dalam tampilan website. Dalam penelitian ini, terdapat
tiga sub bagian untuk mengukur penyampaian atau penyajian informasi dalam
internet reporting, diantaranya ketepatwaktuan informasi, vitur teknologi, dan
fasilitas untuk mempermudah pengguna dalam mengakses website. Berikut ini
akan dijelaskan mengenai masing-masing panel pengukuran dalam penerapan
penyajian pelaporan OPZ di internet.
a. Panel E: Ketepatwaktuan informasi
Sub bagian pertama pada pengukuran penyajian internet reporting
adalah ketepatwaktuan informasi yang dimuat dalam website,
ketepatwaktuan informasi merupakan hal yang penting bagi lembaga yang
menggunakan aplikasi online sebagai media komunikasi untuk
menyampaikan informasi yang relevan dan aktual. Berikut merupakan
parameter dalam sub bagian ketepatwaktuan informasi yang ditunnjukan
pada tabel 4.6 dibawah ini.
Tabel 4.6
Panel E: Ketepatwaktuan Informasi
Ber
ita
Ata
u
Per
ilis
an
Med
ia
Ter
ba
ru (
20
17)
Info
rma
si Z
ak
at
da
n H
au
l
Nil
ai
Nis
ab
Ter
kin
i (H
arg
a
Em
as)
Ka
len
der
Ha
lam
an
Men
un
juk
an
Up
da
te T
era
kh
ir
Per
ole
ha
n Z
ak
at
Bu
lan
an
ata
u
Min
gg
ua
n
%
BAZNAS - - - 33
Bersambung ke halaman selanjutnya
106
Tabel 4.6 (lanjutan)
Ber
ita
Ata
u
Per
ilis
an
Med
ia
Ter
ba
ru (
20
17)
Info
rma
si Z
ak
at
da
n H
au
l
Nil
ai
Nis
ab
Ter
kin
i (H
arg
a
Em
as)
Ka
len
der
Ha
lam
an
Men
un
juk
an
Up
da
te T
era
kh
ir
Per
ole
ha
n Z
ak
at
Bu
lan
an
ata
u
Min
gg
ua
n
%
DDR - - - 50
YAT - - - - - 17
PKPU - - - - 33
BMM - - - - - - 0
YDSF - - - - - 17
BMH - - - - - 17
PZU - - - - 33
Bamuis
BNI
- - - - - 17
BSM - - - - - - 0
DDII - - - - 33
YBM BRI - - - - 33
BAZMA - - - - - - 0
DPUDT - - - - - 17
RZI - - - - 33
Lazismu - - - - 33
% 69 13 0 6 38 19 24
Sumber: Data diolah peneliti
Berdasarkan tabel 4.6 diatas menunjukan bahwa, sekitar 69% OPZ
selalu memperbaharui berita online atau memposting kegiatan-kegiatan
terbaru yang mereka adakan, dan untuk memudahkan pengunjung
mengakses berita baru ataupun populer, sebanyak 38% OPZ menyediakan
kolom update terbaru pada website. Sedangkan untuk informasi mengenai
nilai nisab terkini tidak ditampilkan, padahal informasi ini sangat penting
untuk membantu publik mengetahui dan mengatur dana zakat yang
disalurkan khususnya pada zakat emas. Begitu pula mengenai informasi
zakat dan haul dalam menentukan jumlah dan ketentuan pembayaran zakat
hanya ditampilkan oleh 13% OPZ saja. Parameter selanjutnya yaitu
107
fasilitas kalender pada website yang hanya dimuat oleh 6% atau satu OPZ
saja. Dan sayangnya, kalender yang ditampilkan tidak memuat informasi
mengenai rencana kegiatan ataupun agenda amil dalam mengelola dana
zakat. Untuk informasi mengenai perolehan dana zakat setiap bulan atau
perminggu hanya ditampilkan oleh 19% OPZ saja. Keterbukaan mengenai
pelaporan informasi terbaru pada OPZ seharusnya dapat lebih responsif
dan timely basis, karena ketepatwaktuan informasi yang disampaikan
merupakan faktor penting untuk menentukan apakah website telah relevan
sebagai sarana keterbukaan terhadap publik.
Tingkat akuntabilitas OPZ yang ditunjukan oleh ketepatwaktuan
informasi masih berada pada tingkat yang sangat rendah. Hal ini
disebabkan tidak disajikannya informasi yang seharusnya ditampilkan
pada OPZ yang seharusnya menjadi informasi dasar OPZ dalam mengelola
dana ZIS yang diperoleh.
b. Panel F: Vitur teknologi
Sub bagian kedua atas aspek penyajian adalah penerapan internet
reporting dalam hal vitur teknologi yang merupakan komponen penting
untuk menilai relevansi sebuah website. Dengan adanya kemudahan dan
kesederhanaan sistem, dapat memudahkan pengunjung dalam mencari
informasi dan pengambilan keputusan. Tabel 4.7 dibawah ini, merupakan
parameter yang digunakan dalam pengukuran penerapan internet reporting
pada sub vitur teknologi yang digunakan dalam website OPZ.
108
Tabel 4.7
Panel F: Vitur Teknologi
Kec
epa
tan
Sis
tem
Mem
ua
t-T
ida
k L
ebih
Da
ri 1
0 D
etik
Tek
s D
ap
at
Dis
ali
n
Da
ta K
eua
ng
an
Da
pa
t d
i E
dit
La
po
ran
Ta
hu
na
n
Da
lam
Fo
rma
t P
df
La
po
ran
Ta
hu
na
n
Da
lam
Fo
rma
t H
tml
Ga
mb
ar
Gra
fik
Efe
k T
am
pil
an
Ars
ip S
uara
Ars
ip V
ideo
%
BAZNAS - - - - 56
DDR - - - - - - 44
YAT - - - - - - - 22
PKPU - - - - - 44
BMM - - - - - 44
YDSF - - - - - - 33
BMH - - - - - - 33
PZU - - - - - 44
Bamuis
BNI
- - - - - 44
BSM - - - - - - 33
DDII - - - - - - 33
YBM
BRI
- - - 67
BAZMA - - - - - - 33
DPUDT - - - - 56
RZI - - - - - - 33
Lazismu - - - - - - - - 11
% 94 10
0
0 50 0 31 2
5
0 56 40
Sumber: Data diolah peneliti
Website yang baik ditentukan dengan seberapa cepat waktu yang
diperlukan untuk memuat konten didalamnya, sehingga kecepatan sistem ini
menentukan sikap pengguna ketika ingin mengunjungi sebuah website.
Sebanyak 94% website telah memiliki sistem yang baik yang ditunjukan
oleh kecepatan memuat konten yang tidak lebih dari sepuluh detik.
Tampilan website yang memuat sejumlah berita maupun informasi lainnya
juga dapat disalin oleh pengguna dari seluruh website OPZ, hal ini
109
memudahkan pengunjung untuk mengutip informasi yang diperlukan.
Selain itu, tidak satupun OPZ yang menampilkan informasi keuangan dalam
bentuk word ataupun excel sehingga tidak satupun data keuangan dari OPZ
yang dapat di edit secara langsung. Sekitar 44% OPZ telah melakukan IFR
dengan menggunakan format pdf, format ini dapat menyajikan informasi
berupa teks, grafik, dan gambar sehingga dapat dengan mudah digunakan.
Selanjutnya, tidak ada satupun OPZ yang mengunggah laporan keuangan
dalam bentuk HTML (HyperText Mark up Language), karena seluruh
laporan keuangan yang diunggah berbentuk pdf.
Tampilan grafik pada website ditampilkan oleh 31% OPZ yang
umumnya menggambarkan perkembangan dana zakat yang diperoleh dan
juga struktur organisasi pada OPZ. Grafik ini dapat membantu pengguna
untuk membaca informasi dengan lebih menyenangkan, karena jika
ditampilkan dalam bentuk narasi secara keseluruhan, informasi yang
disajikan akan terlihat membosankan jika dibaca oleh pengunjung.
Selanjutnya, 25% website OPZ menerapkan flash atau efek tertentu pada
tampilannya, sehingga menambah nilai estetika pada website. Sebanyak
56% OPZ memiliki arsip video yang menampilkan dokumentasi kegiatan
ataupun program yang dilakukan, selain itu video ini menampilkan
informasi seputar zakat, ceramah, dan informasi ke-Islaman lainnya. Dan
untuk arsip suara tidak satupun OPZ yang memuatnya di dalam website.
Padahal, jika sebuah website menyediakan arsip suara seperti misalnya lagu-
110
lagu Islami tertentu akan menambah kesenangan pengunjung ketika sedang
menelusurinya.
Secara umum, tingkat akuntabilitas website OPZ yang ditunjukan
oleh penyediaan vitur teknologi, masih berada pada tingkat yang sangat
rendah. Hanya YBM BRI saja yang telah mencapai tingkat menengah,
sedangkan tingkat akuntabilitas yang rendah ditunjukan oleh BAZNAS dan
DPUDT.
c. Panel G: Fasilitas untuk mempermudah pengguna dalam mengakses
website.
Sub ketiga dalam internet reporting pengukuran tampilan ini adalah
adanya fasilitas untuk mempermudah pengguna dalam mengakses website.
Ketika sedang mengunjungi sebuah website, tak jarang pengguna merasa
kesulitan menemukan informasi yang dibutuhkan karena kurangnya
penyediaan fasilitas pembantu dalam website. Website yang indah memang
penting, namun lebih penting lagi website yang dapat menyediakan
informasi yang berguna bagi pembaca. Website yang indah namun
mengandung kekurangan akan menghabiskan banyak waktu ketika sedang
ditelusuri, dan umumnya pengguna lebih fokus pada konten yang disediakan
dari pada tampilan. Berikut merupakan parameter fasilitas untuk
mempermudah pengguna dalam mengakses sebuah website yang ditunjukan
dalam tabel panel G dibawah ini.
111
Tabel 4.8
Panel G: Fasilitas untuk Mempermudah Pengguna dalam Mengakses
Website
La
ya
na
n O
nli
ne
un
tuk
Mem
inta
In
form
asi
Res
po
n L
an
gsu
ng
Ter
ha
da
p P
erta
ny
an
Pen
gu
nju
ng
Na
vig
asi
Web
site
Pu
ll D
ow
n M
enu
Mo
use
Ho
ver
Tri
gg
er
Mes
in P
enca
ria
n I
nte
rna
l
To
mb
ol
Nex
t D
an
Pre
vio
us
pa
da
Na
vig
asi
Hyp
erli
nk
La
ngsu
ng
Men
uju
E-M
ail
Ta
mp
ila
n J
um
lah
Pen
gu
nju
ng
Web
site
%
BAZNAS - 89
DDR - - 78
YAT - - - - 56
PKPU - - 78
BMM - - - - 56
YDSF - - - - - - 33
BMH - - - - - - 33
PZU - - - - - - 33
Bamuis BNI - - - - - - 33
BSM - - - - - - 33
DDII - - - 67
YBM BRI - - - - - - 33
BAZMA - - - - 56
DPUDT - - - - 56
RZI - - - 67
Lazismu - - - - 56
% 63 25 10
0
88 31 81 75 19 0 53
Sumber: Data diolah peneliti
Berdasarkan parameter yang terdapat pada tabel 4.8 diatas,
menunjukan bahwa sebanyak 63% OPZ menyediakan kolom layanan online
untuk informasi, kolom ini berfungsi untuk menanyakan atau meminta
informasi tertentu yang tidak dimuat dalam website, namun dari sejumlah
OPZ yang menyediakan kolom tersebut, hanya 25% saja yang merespon
atau membalas pertanyaan dan permintaan dari pengunjung secara
langsung, selebihnya hanya mengirimkan notifikasi bahwa pesan akan di
balas secepatnya, dan setelah beberapa waktu kemudian tidak ada tindak
112
lanjut atau respon dari OPZ atas pertanyaan yang diajukan. Parameter
selanjutnya yaitu table of content site map, seluruh OPZ memiliki daftar isi
website, yang dapat dilihat dari navigasi, dari jumlah tersebut sebanyak 88%
dapat melakukan pull down menu atau terlihatnya menu apabila kita meng-
klik item navigasi dalam website. Sementara itu, hanya 31% saja yang dapat
melakukan mouse hover trigger, yaitu kita dapat melihat kolom deskripsi
dari item yang kita klik atau pilih. Selanjutnya adalah mesin pencarian
internal, fasilitas ini dapat ditemukan pada sekitar 81% OPZ, mesin
pencarian ini penting karena dapat membantu pengunjung untuk
menemukan informasi yang diperlukannya secara langsung. Kemudian
sebanyak 19% website dapat secara langsung menghubungkan e-mail ke
fasilitas online hubungan pelanggan. Dan terdapat 75% website
menyediakan fasilitas tombol Next dan Previous pada navigasi pada
tampilan website-nya untuk melihat informasi yang ditampilkan secara lebih
cepat.
3. Hasil pengukuran tingkat akuntabilitas pengungkapan penerapan internet
reporting
Tabel 4.9 dibawah ini merupakan hasil pengukuran tingkat
akuntabilitas penerapan internet reporting secara keseluruhan. Kriteria
pengukuran ini berdasarkan pengukuran yang dibuat oleh Haron (2006), yang
digunakan sebelumnya pada penelitian mengenai Penerapan Internet Financial
Reporting Untuk Meningkatkan Akuntabilitas Organisasi Pengelola Zakat
yang dilakukan oleh Rini pada tahun 2016.
113
Tabel 4.9
Tingkat Pengungkapan atau Tingkat Akuntabilitas
Tota
l S
kor
bagia
n i
si
Tota
l sk
or
bagia
n t
am
pil
an
Tota
l sk
or
yan
g
dip
erole
h
Tota
l sk
or
yan
g
dih
ara
pk
an
Per
sen
tase
pen
gu
ngk
ap
an
(%)
Tin
gk
at
pen
gu
ngk
ap
an
ata
u T
ingk
at
Ak
un
tab
ikli
tas
BAZNAS 16 16 32 48 67 Menengah
DDR 7 14 21 48 44 Sangat rendah
YAT 4 8 12 48 25 Sangat rendah
PKPU 16 13 29 48 60 Menengah
BMM 8 9 17 48 35 Sangat rendah
YDSF 7 7 14 48 29 Sangat rendah
BMH 9 7 16 48 33 Sangat rendah
PZU 7 9 16 48 33 Sangat rendah
Bamuis BNI 13 8 21 48 44 Sangat rendah
BSM 6 6 12 48 25 Sangat rendah
DDII 6 11 17 48 35 Sangat rendah
YBM BRI 11 11 22 48 46 Sangat rendah
BAZMA 6 8 14 48 29 Sangat rendah
DPUDT 6 11 17 48 35 Sangat rendah
RZI 11 11 22 48 46 Sangat rendah
Lazismu 7 8 15 48 31 Sangat rendah
Jumlah 140 157 297 768 39 Sangat rendah
Sumber: Data diolah peneliti
Berdasarkan hasil pengukuran akhir tersebut dapat disimpulkan bahwa,
secara keseluruhan tingkat akuntabilitas OPZ yang ditunjukkan oleh muatan
dan penyajian dari setiap website OPZ masih sangat rendah, persentase rata-
rata yang diperoleh hanya sebesar 39%. Ini berarti, informasi yang diperoleh
oleh pengunjung hanya terpenuhi sekitar 39% saja dari setiap muatan yang
ditampilkan oleh OPZ. Secara parsial, hanya dua OPZ yang telah mencapai
tingkat akuntabilitas website secara menengah atau cukup baik, yaitu BAZNAS
dan PKPU. Sedangkan untuk OPZ lainnya tingkat akuntabilitas OPZ yang
114
ditunjukan melalui pelaporan di internet masih berada pada tingkat yang sangat
rendah.
Tingkat akuntabilitas OPZ yang sebagian besar berada pada kondisi
yang sangat rendah menunjukan bahwa, OPZ belum dapat melakukan good
organization governance. Oleh karena itu, OPZ perlu meningkatkan fungsi
website mereka dengan menampilkan isi atau konten penting lainnya dan
mengadakan fasilitas pembantu dalam website, agar masyarakat dapat dengan
mudah memperoleh informasi yang mereka butuhkan.
B. Analisis penilaian kinerja keuangan organisasi pengelola zakat di Indonesia
Pada bagian sebelumnya dalam penelitian ini membahas mengenai
pengukuran penerapan pelaporan di internet oleh OPZ, maka pada bagian kedua ini
akan dibahas mengenai penilaian kinerja keuangan dari OPZ yang terdaftar dalam
peraturan Direktorat Jenderal Pajak sebagai biaya yang bisa menjadi pengurang
pajak. Terdapat 19 OPZ dalam peraturan tersebut, namun hanya 7 OPZ saja yang
dapat digunakan sebagai sampel. 6 sampel diantaranya telah menerapkan IFR, yaitu
diantaranya Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Baitul Maal Hidayatullah
(BMH), Yayasan Baitul Maal Bank Rakyat Indonesia (YBM BRI), Baitul Maal
Ummat Islam Bank Negara Indonesia (Bamuis BNI), Rumah Zakat (RZ), dan Pos
Keadilan Peduli Umat (PKPU), sedangkan hanya satu yang tidak menerapkan IFR
yaitu Dompet Dhuafa Republika (DDR) perolehan laporan keuangan Dompet
Dhuafa dilakukan setelah adanya permohonan permintaan untuk kepentingan
penelitian. Terdapat satu OPZ lainnya yang telah menerapkan IFR yaitu LAZ PZU
Persis (Pusat Zakat Ummat Persatuan Indonesia) namun, dalam penyusunan laporan
115
keuangannya belum sesuai dengan PSAK 101 mengenai Laporan Amil sehingga
tidak dapat digunakan menjadi sampel penelitian.
Penilaian kinerja keuangan dalam penelitian ini berdasarkan pada
pengukuran Indonesia Zakat and Development Report 2011 (IZDR 2011) oleh
Indonesia Magnificience of Zakat (IMZ) yang terdiri dari tiga komponen penilaian
yang digunakan, ketiga komponen ini yaitu, efisiensi keuangan, komponen kapasitas
organisasi dan komponen laporan keuangan. Berikut ini akan dijabarkan hasil
pengukuran pada setiap komponen penilaian pada setiap OPZ.
1. Kriteria penilaian efisiensi keuangan
Efisiensi keuangan diukur dengan menggunakan rasio beban operasional.
Tabel 4.10 menunjukan hasil penilaian efisiensi keuangan OPZ. Sebagian besar
OPZ mendapat penilaian yang buruk untuk komponen efisiensi keuangan, hal ini
disebabkan oleh tingginya biaya operasional pada setiap OPZ jika dibandingkan
dengan total pengeluaran dana. 6 OPZ mendapat nilai buruk karena rasio yang
diperoleh untuk penggunaan dana operasional terhadap total perolehan dana lebih
dari 11%. Kecuali untuk LAZ Bamuis BNI yang mendapat nilai 3 atau cukup,
dengan perolehan rasio efisiensi keuangan sebesar 8,79%. Untuk mendapat nilai
yang baik, OPZ harus berusaha untuk meminimalisir pengeluaran operasional
hingga kurang dari 5%. Berikut ini akan dijabarkan penjelasan mengenai
penilaian efesiensi keuangan untuk setiap OPZ.
116
Tabel 4.10
Kriteria Penilaian Efisiensi Keuangan
Kriteria
Penilaian
Efisiensi
Keuangan
Hasil Penilaian Efisiensi Organisasi
BA
ZN
AS
BM
H
DD
R
YB
M
BR
I
Bam
uis
BN
I
RZ
PK
PU
Operational
expenses ratio(%)
15,29 22,63 19,49 11,77 8,79 11,40 13,87
Konversi Nilai 1 1 1 1 3 1 1
Keterangan:nilai 5: Sangatbaik, 4: Baik, 3: Cukup, 2: Kurang, 1: Buruk
Sumber: Data diolah peneliti
a) Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)
Hasil pengukuran kinerja keuangan dari komponen efisiensi keuangan
pada BAZNAS dapat ditunjukan pada tabel 4.10. Dari hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa kinerja keuangan BAZNAS ditinjau dari rasio biaya
operasionalnya dinilai buruk. Hal ini disebabkan oleh tingginya biaya
operasional yang dikeluarkan BAZNAS dalam menjalankan aktivitas berupa
kegiatan penyaluran dan pemberdayaan dana zakat yaitu sebesar 15,29% atau
sebesar Rp12.446.964.349 dari total pengeluaran dana yaitu
Rp81.388.679.735. Untuk mengurangi biaya operasional, BAZNAS perlu
melakukan efisiensi terhadap aktivitas operasionalnya agar dana zakat yang
disalurkan menjadi lebih bermanfaat untuk mustahiq, terlebih sumber
perolehan dana BAZNAS tidak hanya diperoleh dari masyarakat, namun juga
dari alokasi APBN.
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh IMZ pada tahun 2011,
pengukuran kinerja keuangan BAZNAS melalui rasio beban operasional
117
mengalami penurunan. Sebelumnya rasio ini menunjukan nilai yang baik
yaitu sebesar 6%. Salah satu kemungkinan penyebab perbedaan tersebut
adalah rendahnya dana yang didapat dan disalurkan dan sedikitnya program
yang dilakukan sehingga dana yang diguanakan untuk mengelola OPZ juga
kecil.
b) Baitul Maal Hidayatullah (BMH)
Hasil pengukuran kinerja keuangan dari komponen efisiensi keuangan
pada BMH dapat disimpulkan bernilai buruk. Rasio beban operasional pada
BMH sebesar 22,63%. Hal ini berarti, dari total pengeluaran dana sebesar
Rp90.386.476.858, dana yang digunakan untuk mendanai aktivitas
operasional sebesar Rp20.454.804.018. Dari jumlah tersebut, 51% digunakan
untuk pembayaran gaji dan tunjangan pegawai, sehingga usaha efisiensi
terhadap biaya operasional ini perlu dilakukan untuk meningkatkan
efektivitas dana zakat. Selain itu, persentase biaya operasional terhadap total
pengeluaran pada BMH merupakan yang terbesar dibandingkan dengan OPZ
lainnya.
c) Dompet Dhuafa Republika (DDR)
Sama halnya pada dua OPZ sebelumnya, hasil pengukuran terhadap
kinerja keuangan dari komponen efisiensi keuangan pada DDR dilihat dari
rasio biaya operasionalnya dinilai buruk. Rasio yang diperoleh sebesar
19,49% atau dana sebesar Rp48.067.355.366 digunakan untuk menjalankan
roda OPZ dari total pengeluaran dana sebesar Rp246.648.974.154. Dari total
biaya operasional tersebut sebagian besar (47%) digunakan untuk biaya
118
personalia. Jika dibandingkan dengan OPZ lainnya jumlah biaya operasional
pada DDR merupakan yang terbesar, hal ini dikarenakan ukuran OPZ yang
lebih besar sehingga sumber daya yang diperlukan besar pula.
Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
IMZ pada tahun 2011, pengukuran kinerja keuangan melalui rasio beban
operasional mengalami penurunan. Sebelumnya rasio ini menunjukan nilai
yang baik yaitu sebesar 5%, meningkatnya rasio ini disebabkan oleh
banyaknya program pendayagunaan zakat yang dilakukan oleh DD sehingga
menyebabkan biaya operasional juga meningkat.
d) Yayasan Baitul Maal Bank Rakyat Indonesia (YBM BRI)
Hasil pengukuran kinerja keuangan dari komponen efisiensi keuangan
pada YBM BRI disimpulkan buruk. Rasio yang diperoleh YBM BRI pada
komponen efisiensi keuangan sebesar 11,77%. Artinya dana yang digunakan
untuk menjalankan roda OPZ sebesar Rp9.680.242.840 dari total pengeluaran
dana sebesar Rp82.265.729.292.
Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
IMZ pada tahun 2011, pengukuran kinerja keuangan melalui rasio beban
operasional mengalami penurunan. Sebelumnya rasio ini menunjukan nilai
yang baik yaitu sebesar 6%, salah satu kemungkinan penyebab perbedaan
tersebut adalah rendahnya dana yang didapat dan disalurkan dan sedikitnya
program yang dilakukan sehingga dana yang diguanakan untuk mengelola
OPZ juga kecil.
119
e) Baitul Maal Ummat Islam Bank Negara Indonesia (Bamuis BNI)
Berdasarkan pengukuran rasio beban operasional, Bamuis BNI
menunjukan hasil yang cukup baik, hal ini dikarenakan perolehan rasio antara
beban operasional terhadap total pengeluaran dana masih dibawah 11%, atau
sebesar 8,79%. Sebanyak Rp2.512.184.613 dana digunakan untuk membiayai
aktivitas OPZ dari total pengeluaran dana sebesar Rp30.271.430.296,
sebagian besar dana ini digunakan untuk beban personalian amil (67%) yang
terdiri dari biaya gaji, pengobatan, cuti, THR dan insentif. Namun demikian,
perlu diperhatikan pula walaupun rasio beban operasional pada Bamuis
merupakan yang terbaik dibandingkan dengan OPZ lainnya, total penggunaan
dana pada Bamuis BNI merupakan yang terendah hal ini darenakan masih
kecilnya ukuran OPZ sehingga penggunaan dana tersebut tergolong kecil.
Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
IMZ pada tahun 2011, pengukuran kinerja keuangan melalui rasio beban
operasional mengalami penurunan. Sebelumnya rasio ini menunjukan nilai
yang sangat baik yaitu sebesar 3,3%, salah satu kemungkinan penyebab
perbedaan tersebut adalah rendahnya dana yang didapat dan disalurkan dan
sedikitnya program yang dilakukan sehingga dana yang diguanakan untuk
mengelola OPZ juga kecil.
f) Rumah Zakat (RZ)
Berdasarkan pengukuran rasio beban operasional, kinerja RZ dilihat
dari rasio beban operasional menunjukan hasil yang buruk. Hal ini
disebabkan oleh biaya yang dikeluarkan untuk menjalankan roda aktivitas
120
OPZ cukup besar. Rasio yang diperoleh RZ sebesar 11,04% atau dana sebesar
Rp25.519.015.734 digunakan untuk membiayai operasional OPZ dari total
pengeluaran sebesar Rp223.786.396.220. Biaya ini sebagain besar digunakan
untuk kegiatan operasional pengelolaan (40%).
g) Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU)
PKPU mendapatkan rasio yang buruk juga dalam efisiensi keuangan,
dengan memperoleh angka sebesar 13,87%. Ini berarti biaya operasional yang
dikeluarkan oleh PKPU sebesar Rp22.601.676.628 dari total pengeluaran
dana sebesar Rp162.986.396.220. Dana operasional ini sebagian besar
digunakan untuk gaji pegawai (56%).
Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
IMZ pada tahun 2011, pengukuran kinerja keuangan melalui rasio beban
operasional mengalami penurunan. Sebelumnya rasio ini menunjukan nilai
yang baik yaitu sebesar 6%, salah satu kemungkinan penyebab perbedaan
tersebut adalah rendahnya dana yang didapat dan disalurkan dan sedikitnya
program yang dilakukan sehingga dana yang diguanakan untuk mengelola
OPZ juga kecil.
2. Kriteria penilaian kapasitas organisasi
Penilaian atas kapasitas organisasi diukur melalui empat kriteria. Tabel
4.11 dibawah ini menunjukan hasil penilaian kapasitas OPZ. Hasilpengukuran
kinerja keuangan dari komponen kapasitas organisasi ini secara keseluruhan
disimpulkan bernilai cukup baik. Berikut merupakan penjabaran rasio kapasitas
organisasi untuk setiap OPZ.
121
Tabel 4.11
Kriteria Penilaian Efisiensi Dan Kapasitas Organisasi
Kriteria
Penilaian
Kapasitas
Organisasi
Hasil Penilaian Kapasitas Organisasi
BA
ZN
AS
BM
H
DD
R
YB
M
BR
I
Bam
uis
BN
I
RZ
PK
PU
Primary
revenue ratio
(%)
82,14 30,62 52,27 98,04 98,71 43,71 29,47
Konversi Nilai 4 1 1 5 5 1 1
Primary
revenue growth
(%)
17,76 15,26 18,81 18,04 14,73 21,18 12,10
Konversi Nilai 3 3 3 3 3 4 2
Program
expenses ratio
(%)
91,64 88,82 89,39 94,32 96,99 92,23 94,13
Konversi Nilai 5 4 4 5 5 5 5
Program
expenses
growth (%)
7,32 19,91 4,90 35,54 19,66 30,29 18,49
Konversi Nilai 1 3 1 5 3 5 3
Keterangan:nilai 5: Sangatbaik, 4: Baik, 3: Cukup, 2: Kurang, 1: Buruk
Sumber: Data diolah peneliti
a. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)
Berdasarkan tabel 4.11, dapat diketahui bahwa BAZNAS mendapat
predikat penilaian yang buruk pada Program expenses growth. Rasio atas
Program expenses growth berarti bahwa pertumbuhan pengeluaran untuk
pembiayaan program ataupun penyaluran dana kepada mustahiq dari tahun
sebelumnya hanya tumbuh 7,32%, atau meningkat sebesar Rp5.089.867.877
122
dari Rp69.497.246.778 ditahun 2014 menjadi Rp74.587.114.655 pada tahun
2015.
Selanjutnya, untuk Primary revenue growth pada BAZNAS mendapat
penilaian cukup. Rasio sebesar 17,76% diperoleh BAZNAS atas
pertumbuhan perolehan dana khusus zakat pada tahun 2015 sebesar
Rp82.272.643.293 atau meningkat Rp12.407.136.622 dari tahun sebelumnya
yang memperoleh sebesar Rp69.865.506.671. Untuk meningkatkan rasio
pertumbuhan zakat dan mendapat predikat penilaian yang baik di tahun
mendatang, setidaknya BAZNAS harus meningkatkan perolehan dana zakat
minimal sebesar 20,00% dari tahun ini.
Pada Primary revenue ratio atau perolehan dana khusus zakat jika
dibandingkan dengan total perolehan dana secara keseluruhan di BAZNAS
menunjukan predikat baik, hal ini dikarenakan tingkat persentase yang
diperoleh sebanyak 82,14%, artinya dari dana yang diperoleh BAZBAS yaitu
Rp100.166.023.554, sebanyak Rp82.272.643.293 berasal dari zakat.
Persentase ini lebih baik jika dibandingkan dengan penelitian oleh IMZ pada
tahun 2011, dimana persentase yang diperoleh hanya sebesar 50%.
Dan untuk Program expenses ratio, BAZNAS mendapatkan nilai yang
sangat baik. Hal ini dikarenakan pengeluaran untuk pembiayaan program
ataupun penyaluran dana kepada mustahiq berhasil terealisasi sebesar 91,62%
dari total penggunaan dana, atau sebesar Rp74.587.114.655 berhasil
tersalurkan dari total dana sebesar Rp81.388.679.735.
123
b) Baitul Maal Hidayatullah (BMH)
Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, BMH mendapat
penilaian yang buruk untuk Primary revenue ratio, artinya bahwa BMH
hanya berhasil mengumpulkan dana zakat sebesar 30,62% terhadap
perolehan dana secara keseluruhan atau sebesar Rp25.418.329.582 dari total
perolehan keseluruhan dana yaitu Rp100.166.023.554. Dana terbesar yang
berhasil BMH kumpulkan berasal dari infak yaitu sebesar 67%.
Selanjutnya, untuk Primary revenue growth pada BMH mendapat
penilaian cukup. Rasio sebesar 15,26% diperoleh BMH atas pertumbuhan
perolehan dana khusus zakat pada tahun 2015 sebesar Rp25.418.329.582
atau meningkat Rp3.365.837.445 dari tahun sebelumnya yang diperoleh
sebesar Rp22.052.492.137. Untuk meningkatkan rasio pertumbuhan zakat
dan mendapat predikat penilaian yang baik di tahun mendatang, BMH harus
meningkatkan perolehan dana zakat minimal sebesar 20% dari tahun ini.
Untuk Program expenses ratio, BMH mendapatkan nilai yang baik. Hal
ini dikarenakan pengeluaran untuk pembiayaan program ataupun
penyaluran dana kepada mustahiq berhasil terealisasi sebesar 88,82% dari
total penggunaan dana, atau sebesar Rp80.276.909.404 berhasil tersalurkan
dari total dana sebesar Rp90.386.476.858. Besarnya nilai peringkat ini sama
dengan nilai peringkat yang diperoleh oleh DDR, namun jika dibandingkan
dengan OPZ lain nilai ini merupakan nilai terendah.
Dan untuk program expenses growth persentase yang diperoleh sebesar
19,91%, yang berarti penggunaan dana pembiayaan program mengalami
124
kenaikan sebesar 19,91% dari tahun sebelumnya,dari Rp66.949.464.101 di
tahun 2014 meningkat sebesar Rp13.327.445.303 menjadi
Rp80.276.909.404 pada tahun 2015.Angka ini juga menunjukan bahwa
pertumbuhan pengeluaran untuk pembiayaan program ataupun penyaluran
dana kepada mustahiq cukup baik. Agar dapat mempertahankan nilai
baiknya, peningkatan pembiayaan program BMH di tahun mendatang tidak
boleh kurang dari 20% dari pembiayaan program tahun ini.
c) Dompet Dhuafa Republika (DDR)
Berdasarkan pengukuran Program expenses growth pada DDR di tabel
4.11 menunjukan bahwa pertumbuhan pengeluaran untuk pembiayaan
program ataupun penyaluran dana kepada mustahiq mendapat predikat
penilaian yang terburuk jika dibandingkan dengan OPZ lain. Rasio atas
Program expenses growth hanya tumbuh sebesar 4,90% dari tahun
sebelumnya atau meningkat sebesar Rp10.305.618.501 dari
Rp210.161.830.144 ditahun 2014 menjadi Rp220.467.448.645 pada tahun
2015. Selanjutnya untuk Primary revenue ratio yang diperoleh oleh DDR
juga mendapat penilaian buruk yaitu sebesar 52%, artinya perolehan dan
khusus zakat sebesar Rp147.378.640.738 dari total keseluruhan perolehan
dana yaitu Rp281.952.902.708. Namun, perolehan dana zakat di DDR
merupakan yang terbesar dibandingkan dengan 7 OPZ lainnya.
Untuk Primary revenue growth atau rasio pertumbuhan perolehan dana
khusus zakat yang diperoleh oleh DDR tumbuh18,81% dari tahun
sebelumnya atau sebesar Rp23.333.634.808, jika dibandingkan pada tahun
125
2014 yang memperoleh dana zakat sebesar Rp124.045.005.930 menjadi
Rp147.378.640.738 di tahun 2015. Rasio ini menunjukan kinerja DDR
dalam mengumpulkan dana zakat cukup baik, walaupun bila dibandingkan
dengan OPZ lain, DDR memperoleh pertumbuhan dana zakat terbesar.
Dan untun Program expenses ratio atau rasio pertumbuhan pengeluaran
untuk pembiayaan program atupun penyaluran dana kepada mustahiq pada
DDR mendapat nilai yang baik. Hal ini dikarenakan DDR berhasil
merealisasikan 89,93% dana yang terkumpul atau sebesar
Rp220.467.448.645 untuk mustahiq dari total dana yang diperoleh sebesar
Rp269.046.479.170. Meskipun mendapat penilaian terendah sama dengan
BMH sebelumnya, namun jika dibandingkan dengan OPZ lainnya pada
periode 2015 besarnya dana yang terealisasi untuk mustahiq pada DDR
merupakan yang terbesar.
d) Yayasan Baitul Maal Bank Rakyat Indonesia (YBM BRI)
Berdasarkan hasil pengukuran kinerja keuangan pada YBM BRI
dilihat dari komponen kapasitas organisasi maka secara keseluruhan
mendapat penilaian yang baik. Namun yang turut mendapatkan perhatian
lebih adalah pada Primary revenue growth atau rasio pertumbuhan
perolehan dana khusus zakat yang mendapat rasio cukup baik yaitu sebesar
18,04%, artinya bahwa perolehan dana zakat yang didapatkan oleh YBM
BRI meningkat sebesar 18% dari tahun sebelumnya, atau meningkat sebesar
Rp13.203.160.255, dari Rp73.171.790.223 di tahun 2014 menjadi
Rp86.374.950.478 pada tahun 2015. Untuk meningkatkan nilai primary
126
revenue growth menjadi baik, YBM BRI perlu meningkatkan perolehan
dana zakat di tahun mendatang minimal 20% dariperolehan dana zakat
tahun ini.
Sedangkan untuk perolehan Primary revenue ratio, Program
expenses ratio, Program expenses growth, mendapatkan penilaian yang
sangat baik. Untuk Program expenses growths endiri, YBM BRI
mendapatkan persentase penilaian tertinggi jika dibandingkan dengan OPZ
lainnya yaitu sebesar 35,54%, hal ini berarti pertumbuhan pengeluaran
untuk pembiayaan program ataupun penyaluran dana kepada mustahiq
tumbuh sebesar 35,54% atau sebesar Rp20.324.422.231 dari tahun 2014
sebesar Rp66.949.464.101 menjadi Rp80.276.909.404 pada tahun 2015.
Namun demikian jika dibandingkan dengan pertumbuhan penyaluran dana
yang diperoleh OPZ lain, maka angka ini lebih kecil dari PKPU yang
tumbuh hanya sekitar 18,49% dari periode sebelumnya.
Pengukuran selanjutnya yaitu Program expenses ratio atau rasio
pengeluaran untuk pembiayaan program ataupun penyaluran dana kepada
mustahiq. Rasio yang diperoleh YBM BRI sebesar 94,32%, rasio ini
menunjukan penilaian yang sangat baik karena YBM BRI berhasil
merealisasikan dana sebesar 94,32% untuk mustahiq atau sebesar
Rp77.514.976.831 dari total penggunaan dana sebesar Rp82.265.729.292.
Dan untuk perolehan persentase primary revenue ratio pada YBM
BRI diperoleh sebesar 98,04%, hal ini berarti perolehan dana zakat YBM
BRI tahun 2015 sangat baik. Persentase ini menunjukan perolehan dana
127
zakat sebesar Rp86.374.950.478 dari total perolehan dana sebesar
Rp88.104.097.550. Penilaian ini meningkat cukup signifikan jika
dibandingkan pada penelitian IMZ sebelumnya di tahun 2011 yang
mendapat penilaian kurang dengan mendapat persentase sekitar 72%. Hal
ini menunjukan peningkatan kinerja YBM BRI dalam meningkatkan
sumber dana zakat.
e) Baitul Maal Ummat Islam Bank Negara Indonesia (Bamuis BNI)
Hasil pengukuran kinerja keuangan Bamuis BNI dari komponen
kapasitas organisasi secara umum menunjukan hasil yang baik. Namun yang
perlu diperhatikan dan ditingkatkan oleh Bamuis BNI adalah Primary
revenue growth dan Program expenses growth dimana keduanya
menunjukan nilai yang cukup dan untuk mendapatkan nilai yang baik maka
setidaknya harus mencapai sekitar 20,00% dari tahun sebelumnya. Untuk
Primary revenue growth, rasio yang diperoleh sebesar 14,73% hal ini berarti
perolehan dana zakat yang didapat Bamuis BNI tahun ini mengalami
peningkatan sebesar 14,73% dari perolehan zakat tahun lalu. Atau perolehan
dana zakat mengalami kenaikan sebesar Rp3.813.793.840 dari
Rp25.897.623.035 di tahun 2014 menjadi Rp29.711.416.875 di tahun 2015.
Sedangkan untuk Program expenses growth Bamuis BNI perlu
meningkatkan pengeluaran dana pembiayaan program di tahun mendatang.
Karena pertumbuhan pengeluaran dana pembiayaan program di tahun ini
sebesar 19,66% dari tahun lalu. Atau meningkat sebesar Rp4.554.739.500
128
dari Rp23.172.832.654di tahun 2014 menjadi Rp27.727.572.154 di tahun
2015.
Selanjutnya untuk Primary revenue ratio atau total perolehan dana
khusus zakat Bamuis BNI berhasil memperoleh nilai yang sangat baik yaitu
sebesar 98,71% dari perolehan dana total. Hal ini berarti mayoritas
pendapatan yang diterima berasal dari dana zakat yaitu sebesar
Rp29.711.416.875 dari Rp30.098.271.266. Persentase ini merupakan yang
terbesar namun, jika dibandingkan dengan OPZ lainnya dalam penelitian
ini, perolehan dana zakat yang diperoleh Bamuis BNI merupakan yang
terendah setelah PKPU. Hal ini berarti, Bamuis BNI masih memiliki
peluang untuk memperoleh dana zakat yang lebih besar.
Pada Program expenses ratio, Bamuis BNI mendapatkan nilai yang
sangat baik yaitu 96,99%. Hal ini berarti pembiayaan program ataupun
penyaluran dana kepada mustahiq yang dikeluarkan oleh Bamuis BNI
terealisasi sebesar 96,99% atau sebesar Rp27.727.572.154 dari total
penggunaan dana sebesar Rp30.271.430.296. Persentase ini merupakan
persentase tertinggi yang dicapai dan hal ini menunjukan Bamuis BNI telah
mampu mengoptimalkan pengelolaan dana zakat, walaupun perolehan
pengumpulan dana di Bamuis BNI merupakan yang terendah. Dan agar
Bamuis BNI tetap mempertahankan nilainya yang sangat baik, dana yang
dikeluarkan untuk pembiayaan program di tahun mendatang tidak boleh
kurang 89,99% dari total penggunaan dananya.
129
f) Rumah Zakat (RZ)
Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan pada terhadap kinerja
keuangan RZ jika ditijau dari komponen kapasitas organisasi, secara umum
menunjukan hasil yang cukup baik. Khusus untuk Primary revenue
ratioatau rasio perolehan dana khusus zakat terhadap perolehan dana total,
perlu mendapatkan perhatian yang serius karena RZ mendapat penilaian
yang buruk, dimana RZ hanya mampu mengumpulkan dana zakat sebesar
43,71% atau sebesar Rp97.666.410.793 dari total keseluruhan dana yang
diperoleh senilai Rp223.464.826.355. Perolehan dana terbesar berasal dari
infak yaitu sebesar 55,49% dari total perolehan dana. Perolehan dana zakat
43,71% dinilai masih sangat kurang untuk sebuah OPZ, sehingga dinilai
buruk. Perolehan dana zakat dinilai cukup jika perolehannya berkisar
75,00%-74,99%.
Meskipun RZ mendapat penilaian yang buruk untuk Primary
revenue ratio, namun jika dibandingkan dengan pertumbuhan perolehan
dana khusus zakat (Primary revenue growth) dari tahun sebelumnya
menunjukan nilai yang baik. Hal tersebut dapat dilihat dari persentase yang
diperoleh yaitu sebesar 21,18%, hal ini berarti perolehan dana zakat tahun
ini meningkat 21,18% dari perolehan dana zakat tahun lalu. Atau perolehan
zakat tahun lalu sebesar Rp 80.596.311.461 meningkat sebesar
Rp17.070.099.332 menjadi Rp97.666.410.793 di tahun 2015.
Selanjutnya untuk Program expenses ratio dan Program expenses
growth pada RZ sama-sama menunjukan nilai yang sangat baik. Untuk
130
Program expenses ratio RZ memperoleh persentase sebesar 92,23%, hal
tersebut berarti dana yang dikeluarkan oleh RZ untuk pembiayaan program
ataupun penyaluran dana sebesar 92,23% atau senilai Rp206.407.010.884
dari total penggunaan dana sebesar Rp223.786.396.220. Sedangkan untuk
Program expenses growth pada RZ memperoleh persentase sebesar 30,29%.
Hal ini berarti dana pembiayaan program yang dikeluarkan RZ di tahun ini
mengalami peningkatan sebesar 30,29% dari tahun lalu, atau mengalami
peningkatan Rp47.985.798.566 dari Rp158.421.212.318 di tahun 2013
menjadi Rp206.407.010.884 pada tahun 2015. Dari segi jumlah, angka
pertumbuhan ini merupakan yang terbesar jika dibandingkan dari OPZ
lainnya meskipun persentase pada Bamuis BNI merupakan yang tertinggi.
g) Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU)
Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan berkaitan dengan
kapasitas organisasi untuk menilai kinerja keuangan PKPU, maka dapat
disimpulkan bahwa hasil yang diperolehan secara umum dikatakan baik.
Sama dengan OPZ sebelumnya, yang perlu diperhatikan dan ditingkatkan
oleh PKPU dalam mengelola dana zakat adalah Primary revenue ratio.
Rasio ini menggambarkan perolehan dana khusus zakat yang diperoleh
PKPU jika dibandingkan dengan keseluruhan perolehan dana, PKPU
mendapat nilai yang buruk karena hanya dapat mengumpulkan dana zakat
sebesar 29,47% dari total penerimaan. Perolehan dana zakat hanya
Rp51.370.531.824 dari total perolehan dana sebesar Rp174.318.201.094.
Persentase ini merupakan yang terkecil dibandingkan dengan perolehan
131
zakat OPZ lainnya. Perolehan dana terbesar PKPU berasal dari infak, hal ini
dikarenakan PKPU merupakan NGO internasional sehingga sebagian besar
dananya berasal dari infak yaitu sebesar 70%, baik yang bersumber dari
dalam ataupun luar negeri. Untuk memperbaiki primary revenue ratio,
PKPU perlu meningkatkan perolehan dana atas zakat di tahun mendatang.
Dan agar PKPU mendapatkan nilai minimal cukup baik, maka PKPU perlu
meningkatkan perolehan dananya minimal 75,00% dari total perolehan
dana.
Perhatian lebih lanjut turut diberikan pada Primary revenue growth,
rasio pada pertumbuhan perolehan dana khusus zakat menunjukan hasil
yang kurang, dimana PKPU hanya dapat menumbuhkan 12,10% dari tahun
sebelumnya. Pada tahun 2015, PKPU dapat mengumpulkan
Rp51.370.531.824 dana zakat atau tumbuh sekitar Rp5.544.227.647 dari
tahun sebelumnya yaitu Rp45.826.304.177. Agar PKPU bisa mendapatkan
nilai yang baik untuk primary revenue growth-nya, PKPU perlu
meningkatkan perolehan zakat di tahun mendatang, minimal 20,00% dari
total perolehan dananya.
Selanjutnya untuk program expenses ratio, PKPU mendapatkan
nilai yang sangat baik yaitu 94,14%. Hal ini berarti, dana pembiayaan
program ataupun penyaluran dana kepada mustahiq sebesar 94,14% atau
senilai Rp153.414.255.343 dari total penggunaan dana sebesar
Rp162.986.043.222. Persentase ini meningkat cukup signifikan dari 70,32%
pada tahun 2011, yang mengindikasikan semakin meningkatnya kinerja
132
PKPU dalam mendayagunakan dana zakat yang diperoleh. Meskipun dalam
program expenses ratio PKPU mendapatkan nilai yang sangat baik namun
untuk Program expenses growth sendiri, PKPU mendapatkan nilai cukup
dengan berhasil menumbuhkan dana zakat sebesar18,49% dari tahun
sebelumnya, atau sebesar Rp23.939.395.020 dari Rp129.474.860.323 di
tahun 2014 menjadi Rp153.414.255.343 pada tahun 2015. Agar PKPU
memperoleh nilai minimal baik, PKPU perlu meningkatkan penggunaan
dana untuk pembiayaan di tahun mendatang minimal sebesar 20,00% dari
tahun ini.
3. Kriteria penilaian laporan keuangan
Tabel 4.12 menunjukan hasil penilaian terhadap laporan keuangan OPZ.
Sebagian besar OPZ mendapat penilaian yang sangat baik. Hal ini dikarenakan
tingginya kesadaran OPZ akan akuntabilitas dan transparansi dalam malaporkan
aktifitas pengelolaannya kepada masyarakat melalui penyusunan laporan
keuangan. Terdapat 6 OPZ yang mendapat penilaian sangat baik, karena telah
mampu menerbitkan laporan keuangan secara time concern, laporan keuangan
juga telah diaudit oleh KAP dan OPZ telah mengumumkannya melalui media
seperti penerapan IFR dengan mengunggahnya ke website. Sedangkan, terdapat
satu OPZ yang mendapat penilaian baik, yaitu DDR. Hal ini disebabkan karena
DDR tidak melakukan pengungkapan terhadap laporan keuangan seperti
melakukan IFR, walaupun dalam penyusunannya telah sesuai dengan PSAK 101
dan telah diaudit.
133
Tabel 4.12
Kriteria Penilaian Laporan Keuangan
Kriteria Penilaian
Laporan Keuangan
Hasil Penilaian Laporan Keuangan
BA
ZN
AS
BM
H
DD
R
YB
M B
RI
Bam
uis
BN
I
RZ
PK
PU
Apa laporan keuangan
tersedia?
Apa laporan keuangan
diterbitkan secara up to
date (time concern)?
Apa laporan keuangan
diaudit oleh KAP?
Apa laporan keuangan
dipublikasikan?
-
Konversi Nilai 5 5 4 5 5 5 5
Keterangan:nilai 5: Sangatbaik, 4: Baik, 3: Cukup, 2: Kurang, 1: Buruk
Sumber: Data diolah peneliti
Namun, dari ketujuh OPZ tersebut, belum semua OPZ telah lengkap menyusun
komponen laporan keuangan sesuai dengan PSAK 101. Dalam PSAK 101 diatur
komponen-komponen laporan keuangan apa saja yang harus disusun oleh OPZ
yaitu terdiri dari neraca (laporan posisi keuangan), laporan perubahan dana,
laporan perubahan aset kelolaan, laporan arus kas, dan catatan atas laporan
keuangan (Ikatan Akuntan Indonesia, 2016). Dari tujuh OPZ yang melakukan
penyusunan terhadap laporan keuangan, hanya satu yang melampirkan CALK
dan membuat laporan aktivitas yaitu DDR, lima OPZ telah menyusun laporan
arus kas yaitu BAZNAS, DDR, YBM BRI, Bamuis BNI, dan PKPU. Enam OPZ
yang telah menyusun laporan perubahan aset kelolaan yaitu BAZNAS, DDR,
PKPU, YBM BRI, dan Bamuis BNI. Sedangkan untuk laporan posisi keuangan
dan laporan perubahan dana telah disusun oleh seluruh OPZ.
134
4. Hasil penilaian kinerja keuangan organisasi pengelola zakat
Hasil akhir dari penilaian kinerja keuangan OPZ adalah penjumlahan dari
seluruh nilai yang diperoleh OPZ. Seluruh nilai tersebut diperoleh melalui ketiga
komponen pengukuran, yang terdiri dari efisiensi keuangan, kapasitas organisasi, dan
laporan keuangan. Jumlah ketiga komponen tersebut kemudian dibagi tiga sesuai
dengan pengukuran yang digunakan. Selanjutnya, hasil nilai yang diperoleh atas
pembagian tersebut merupakan hasil akhir penilaian kinerja keuangan. Hasil nilai
tersebut lalu dikonversi kedalam peringkat yang telah ditetapkan dalam IZDR 2011,
dengan demikian diperolehlah hasil akhir peringkat disetiap OPZ dari peringkat satu
sampai dengan peringkat tujuh. Peringkat ini dapat dilihat pada kolom 4.13 dibawah
ini.
Tabel 4.13
Konversi Nilai Kinerja Keuangan OPZ
Total Jumlah
Konversi Nilai
Bam
uis
BN
I
YB
M B
RI
RZ
BA
ZN
AS
BM
H
PK
PU
Dom
pet
Dh
uafa
Efisiensi Keuangan 3 1 1 1 1 1 1
Kapasitas Organisasi 16 18 15 13 11 11 9
Laporan Keuangan 5 5 5 5 5 5 4
Jumlah 24 24 21 19 17 17 14
Hasil Nilai 8 8 7 6,33 5,67 5,67 4,67
Huruf AA+ AA+ AA- A A- A- BBB
Peringkat 1 2 3 4 5 5 6
Keterangan:nilai 5: Sangatbaik, 4: Baik, 3: Cukup, 2: Kurang, 1: Buruk
Sumber: Data diolah peneliti
135
Berdasarkan tabel 4.13 dapat disimpulkan bahwa terdapat nilai yang sama
antara Bamuis BNI dan YBM BRI yaitu 8 atau AA+. Namun, terdapat perbedaan
dalam penilaian efisiensi keuangan dan kapasitas organisasi. Bamuis BNI mendapat
nilai yang cukup untuk penilaian efisiensi keuangan, sedangkan YBM BRI
mendapat penilaian yang buruk. Untuk penilaian kapasitas organisasi Bamuis BNI
mendapat akumulasi nilai sebesar 16 sedangkan untuk YBM BRI mendapat
akumulasi nilai sebesar 18. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peringkat
pertama didapatkan oleh Bamuis BNI, karena penilaian pada kapasitas organisasi
merupakan akumulasi dari empat kriteria, sedangkan penilaian terhadap efisiensi
keuangan merupakan penilaian tunggal sehingga penilaian yang diperoleh pada
efisiensi keuangan berada pada tingkat yang lebih tinggi dari pada penilaian
kapasitas organisasi. Kemudian pada peringkat kedua diraih oleh Baitul Maal Bank
Rakyat Indonesia (YBM BRI) dengan perolehan nilai 8 atau AA+. Diperingkat
ketiga diraih oleh Rumah Zakat (RZ) dengan nilai 7 atau AA-, selanjutnya peringkat
keempat diraih oleh BAZNAS dengan nilai total 6,33 atau A. Sedangkan
diperingkat kelima diraih oleh Baitul Maal Hidayatullah dan PKPU dengan
perolehan nilai yang sama yaitu nilai angka 5,67 atau A-. Terakhir diperingkat
ketujuh diraih oleh Dompet Dhuafa Republika (DDR) dengan nilai 4,67atau BBB.
136
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengukuran tingkat akuntabilitas melalui penerapan
internet reporting yang dilakukan terhadap website OPZ, dapat disimpulkan
bahwa sebagian besar tingkat akuntabilitas website OPZ masih berada pada
tingkat yang sangat rendah yaitu sebesar 39%. Ini berarti, informasi yang
diperoleh oleh pengunjung hanya terpenuhi sekitar 39% saja dari setiap muatan
yang ditampilkan oleh OPZ. Secara parsial, hanya dua OPZ yang telah mencapai
tingkat akuntabilitas website menengah atau cukup baik, yaitu BAZNAS dan
PKPU dengan memperoleh persentase 67% dan 60%, sedangkan sisanya atau 14
OPZ lainnya berada pada tingkat akuntabilitas yang sangat rendah dengan
memperoleh persentase dibawah 50%.
Selanjutnya, berdasarkan pengukuran penilaian kinerja keuangan yang
dilakukan terhadap tujuh OPZ, dapat disimpulkan secara umum, kinerja
keuangan OPZ dinilai cukup baik dengan nilai angka total 6,476. Peringkat
terbaik didapat oleh Baitul Mal Ummat Islam Bank Negara Indonesia (Bamuis
BNI) dengan nilai angka 8 atau AA+, hasil yang sama diraih oleh Yayasan Baitul
Maal Bank Rakyat Indonesia (YBM BRI), Namun YBM BRI menempati
peringkat kedua. Kemudian, pada peringkat ketiga diraih oleh RZ dengan nilai
7 atau AA-, selanjutnya peringkat keempat diraih oleh BAZNAS dengan nilai
total 6,33 atau A. Sedangkan diperingkat kelima diraih oleh Baitul Maal
137
Hidayatullah dan PKPU dengan perolehan nilai yang sama yaitu nilai angka 5,67
atau A-. Terakhir diperingkat keenam diraih oleh Dompet Dhuafa Republika
(DDR) dengan nilai 4,67 atau BBB.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, berikut beberapa
saran yang dapat peneliti sampaikan. Saran ini diharapkan dapat memberi
gambaran dan peluang bagi peneliti yang akan datang untuk melakukan
penelitian yang lebih baik dari penelitian ini.
1. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat memperluas lingkup penelitian
dengan melakukan pengukuran terhadap kinerja kepatuhan syariah,
legalitas, dan kelembagaan, kinerja manajemen, kinerja pendayagunaan
ekonomi dan kinerja legitimasi sosial. Hal ini bertujuan agar hasil penelitian
yang dihasilkan bersifat lebih komprehensif dan andal.
2. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat meneliti tingkat akuntabilitas
organisasi nirlaba khususnya OPZ melalui instrumen penelitian yang lebih
baik dan memperluas penelitian dengan mengetahui kepuasan pengguna
atas informasi yang di tampilkan dalam website sebagai upaya penyadaran
masyarakat akan pentingnya menyalurkan zakatnya melalui OPZ.
138
DAFTAR PUSTAKA
Abd Halim Mohd Noor, M. S. (2015). Efficiency of Islamic Institutions: Empirical
Evidence of Zakat Organizations’ Performance in Malaysia. Journal of
Economics Business and Management Vol. 3 No. 2, 283.
Al-Utsaimin, M. b. (2011). Fiqih Zakat Kontemporer. Solo: Al-Qowam.
Anheier, H. K. (2005). Non Profit Organization: Theory, Manajement, Policy. New
York: Rountledge.
Ari Kristin, U. K. (2011). Penerapan Akuntansi Zakat pada Lembaga Amil Zakat.
VALUE ADDED, Vol. 7 , No.2, 72.
Badan Pusat Statistik. (2016). Number and Percentage of Poor People,Poverty
Line, Poverty Gap Index, Poverty Severity Index by Province,. Jakarta: BPS.
Badan Pusat Statistik. (2017, Mei 1). Persentase Penduduk Miskin Maret 2015
Mencapai 11,22 persen. Diambil kembali dari Badan Pusat Statistik:
http://www.bps.go.id/
Bank Indonesia dan Universitas Islam Indonesia. (2016). Pengelolaan Zakat yang
Efektif: Konsep dan Praktik di Berbagai Negara. Jakarta: Departemen
Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia.
BAZIS DKI Jakarta. (1999). Mengenal Hukum Zakat dan Infak/Sedekah. Jakarta:
Badan Amil Zakat Dan Infak/Sedekah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
BPS. (2016). Number and Percentage of Poor People,Poverty Line, Poverty Gap
Index, Poverty Severity Index by Province,. BPS.
Departemen Teknik Planologi ITB. (2004). Keterkaitan Akuntabilitas dan
Transparansi dalam Pencapaian Good Governance. Jurnal Perencanaan
Wilayah dan Kota Vol 15 No 1, 36.
Dwi Afritanti, H. G. (2015). Penilaian Indeks Akuntabilitas Instansi Pemerintah.
Jurnal Tata Kelola dan Akuntabilitas Keuangan Negara Vol 1 No 1 , 22.
Fakhruddin. (2008). Fiqih dan Manajemen Zakat di Indonesia. Malang : UIN
Malang Press.
Forum Zakat . (2010, September 2). Mengungkap Sistem Penilaian ISR Award
2009. Diambil kembali dari Forum Zakat : www.foz.org
Gajendra Sharma, X. B. (2014). Public Participation and Ethical Issues on E-
governance: A Study Perspective in Nepal. Electronic Journal of e-
Government Volume 12, 84.
139
Gatot Soepriyanto, R. A. (2011). Evaluasi Pengungkapan Laporan Keuangan
Daerah di Situs Internet: Studi Pada Pemerintah Daerah Indonesia. Binus
Business Review Vol. 2 No. 1, 192-201.
Hafidhuddin, D. (2007). Zakat dalam Perekonomian. Jakarta: Gema Insani.
Harian Pilar. (2017, Februari 4). Kejati Dalami Kasus Dana Zakat Kemenag
Lampung. Diambil kembali dari Harian Pilar:
http://www.harianpilar.com/2015/11/05/kejati-dalami-kasus-dana-zakat-
kemenag-lampung
Hartono. (2016, November Jumat). Direktorat Jendral Pajak. Diambil kembali dari
Direktorat Jendral Pajak web site: http://pajak.go.id
Hartono. (2016, November 5). Direktorat Jendral Pajak. Diambil kembali dari
http://www.pajak.go.id
Hassan, R. (2013). E-Governance and E-Government in Bangladesh: Performance,
Challenges and Remedies. Asian Journal of Applied Science and
Engineering, Volume 2 No 2, 112.
Ikatan Akuntan Indonesia. (2016). Standar Akuntansi Keuangan Syariah. Jakarta:
Graha Akuntan.
Indonesia Magnificence of Zakat. (2011). Indonesia Zakat and Development Report
2011: Kajian Empiris Peran Zakat dalam Pengentasan Kemiskinan.
Ciputat: Indonesia Magnificence of Zakat.
Indonesia Magnificence of Zakat. (2011). Indonesia Zakat and Development Report
2011: Kajian Empiris Zakat dalam Pengentasan Kemiskinan. Ciputat:
Indonesia Magnificence of Zakat.
Indonesia Magnificence of Zakat. (2017, Mei 2). Indonesia Magnificence of Zakat.
Diambil kembali dari Indonesia Magnificence of Zakat: http://www.imz.or/
Janets Silvia, M. A. (2011). Akuntabilitas dalam Perspektif Gereja Protestan (Studi
Fenomenologis pada Gereja Protestan Indonesia Donggala Jemaat
Manunggal Palu). Simposium Nasional Akuntansi XIV Aceh , 4.
Kementerian Agama Republik Indonesia. (2013). Modul Penyuluhan Zakat.
Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2012). Laporan Kajian Islamic
Publik Finance. Jakarta: Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Kementrian Agama Republik Indonesia. (2013). Modul Penyuluhan Zakat. Jakarta:
Kementrian Agama Republik Indonesia.
140
Kementrian Agama Republik Indonesia. (2013). Pedoman Penyuluhan Zakat.
Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia.
Kiran Yadav, S. T. (2014). E-Governance in India: Opportunities and Challenges.
Advance in Electronic and Electric Engineering Volume 4 Nomer 6, 676.
Komite Nasional Kebijakan Governance. (2006). Pedoman Umum Good Corporate
Governance Indonesia. Jakarta: Komite Nasional Kebijakan Governance.
Laela, S. F. (2010). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Organisasi
Pengelola Zakat. TAZKIA Islamic Finance & Business Review, 126.
Lembaga Administrasi Negara. (2000). Akuntabilitas dan Good Governance.
Jakarta: Lembaga Administrasi Negara.
Lili Bariadi, M. Z. (2005). Zakat dan Wirausaha. Jakarta: Centre For
Entrepreneurship Development.
Miftah, A. A. (2008). Pembaharuan Zakat Untuk Pengentasan Kemiskinan di
Indonesia. Innovatio Vol VII No 14, 423.
Mufraini, A. (2006). Akuntansi dan Manajemen Zakat. Jakarta: Kencana Prenada
Medika Group.
Mughni, L. (2015, September selasa). Permasalahan Zakat di Indonesia. Diambil
kembali dari Al Ittihad darussaadah: http://www.darussaadah.or.id/
Nikmatuniah, M. (2015). Akuntabilitas Laporan Keuangan Lembaga Amil Zakat di
Kota Semarang. Mimbar, 485-486.
Nurhadryani, Y. (2009). Memahami Konsep E-Governance Serta Hubungan
dengan E-Government dan E-Demokrasi. Seminar Nasional Informatika
UPN”Veteran Yogyakarta,, 112.
Nurul huda, N. Y. (2015). Zakat Perspektif Mikro-Makro: Pendekatan Riset.
Jakarta: Prenadamedia Group.
Oxford University Press. (2016, Desember 1). Oxford Learners Dictionaries.
Diambil kembali dari Oxford University Press:
http://www.oxfordlearnersdictionaries.com
Pasamanbarat. (2017, Februari 4). Dugaan Kecurangan Pengurus BAZ Pasaman
Barat Mulai Terkuak. Diambil kembali dari Pasamanbarat:
http://www.pasamanbarat.com/dugaan-kecurangan-pengurus-baz-
pasaman-barat-mulai-terkuak/
PIRAC. (2007). Meningkat, Kesadaran dan Kapasitas Masyarakat dalam
Berzakat. Jakarta: PIRAC.
141
Poister, T. H. (2003). Measuring Performance In Public And Nonprofit
Organizations. San Francisco: Jossey Bass A wiley Imprint.
Prasetyoningrum, A. K. (2015). Pendekata Balance Scorecard Pada Lembaga Amil
Zakat di Masjid Agung Jawa Tengah. Economica Jurnal Pemikiran dan
Penelitian Ekonomi Islam, 9-10.
PT Multi Utama Indojasa. (2015, September 5). Pengertian Good Corporate
Governance. Dipetik Mei 3, 2017, dari PT Multi Utama Indojasa:
http://muc-advisory.com/tag/komite-cadbury/
Puji Lestari, U. P. (2015). Identifikasi Faktor Organisasional dalam Pengembangan
E-Governance pada organisasi Pengelola Zakat. Mimbar Vol 31 Nomor 1,
224.
Pusat Kajian Strategis Badan Amil Zakat Nasional. (2016). 2017 Outlook Zakat
Indonesia. Jakarta: Pusat Kajian Strategis Badan Amil Zakat Nasional.
Qardawi, Y. (1996). Hukum Zakat. Bandung: Mizan.
Rahmayanti, A. (2015). Filantropi Islam: Model dan Akuntabilitas. Syariah Paper
Accounting FEB UMS, 25.
Rahmayati, A. (2015). Filantropi Islam: Model dan Akuntabilitas. Syariah Paper
Accounting FEB UMS, 18.
Rini. (2016). Penerapan Internet Financial Reporting untuk Mendukung
Akuntabilitas pada Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia. Jurnal
Akuntansi Multiparadigma Vol 7 No 2, 156-323.
Sadjianto, A. (2000). Akuntabilitas dan Pengukuran Kinerja Pemerintah. Jurnal
Akuntansi & Keuangan Vol. 2, No. 2,, 139.
Septiarini, D. F. (2011). Pengaruh Transparansi dan Akuntabilitas Terhadap
Pengumpulan Dana Zakat, Infaq dan Shodaqoh pada LAZ di Surabaya.
Akrual Jurnal Akuntansi, 177-180.
Shamharir Abidin, R. A. (2014). Evaluating Corporate Reporting on the Internet:
The Case of Zakat Institutions in Malaysia. Jurnal Pengurusan 42, 19 - 29.
Sofia Yasmin, R. H. (2013). Communicated Accountability by Faith-Based Charity
Organisations. Springer Science Business Media Dordrecht , 107.
Sucipto, A. (2011, Maret 16). Membangun Transparansi dan Akuntabilitas
Lembaga Pengelola Zakat. Diambil kembali dari El Zawa Pusat kajian zakat
dan Wakaf UIN MALIKI Malang: http://elzawa.uin-
malang.ac.id/membangun-transparansi-dan-akuntabilitas-lembaga-
pengelola-zakat/#more-274
142
Tribunnews. (2017, Februari 4). Kepala Baitul Maal Tersangka Penyelewengan
Dana Zakat. Diambil kembali dari Tribunnews:
http://www.tribunnews.com/regional/2014/01/09/kepala-baitul-mal-
tersangka-penyelewengan-dana-zakat
Trimedianews. (2017, Februari 4). Kasus Dana Zakat, Mantan Bendahara BAZ
Parmout Ditahan. Diambil kembali dari Trimedianews:
http://www.trimedianews.id/news/read/kasus-dana-zakat-mantan-
bendahara-baz-parmout-ditahan
Viva. (2017, Februari 4). Empat PNS Jadi Tersangka Korupsi Dana Zakat. Diambil
kembali dari Viva: http://www.viva.co.id/berita/nasional/583838-empat-
pns-jadi-tersangka-korupsi-dana-zakat
Yuniartati, L. A. (2012). Akuntabilitas Lembaga Pengelola Zakat di Kabupaten
Jember. Conference In Business Accounting and Management, 1194.
143
Lampiran 1 Laporan Keuangan
Badan Amil Zakat Nasional (Laporan Perubahan Dana)
Lampiran 2 Laporan Keuangan
Baitul Maal Ummat Islam Bank Negara Indonesia
(Laporan Perubahan Dana)
145
Lampiran 3 Laporan Keuangan
Baitul Maal Hidayatullah (Laporan Perubahan Dana)
146
(Lanjutan)
147
(Lanjutan)
148
Lampiran 4 Laporan Keuangan
Dompet Dhuafa Republika (Laporan Perubahan Dana)
149
(Lanjutan)
150
(Lanjutan)
151
Lampiran 5 Laporan Keuangan
Pos Keadilan Peduli Ummat (Laporan Perubahan Dana)
152
(Lanjutan)
153
(Lanjutan)
154
(Lanjutan)
155
(Lanjutan)
156
Lampiran 6 Laporan Keuangan
Rumah Zakat Indonesia (Laporan Perubahan Dana)
157
(Lanjutan)
158
(Lanjutan)
159
(Lanjutan)
160
Lampiran 7 Laporan Keuangan
Yayasan Baitul Maal Bank Rakyat Indonesia
(Laporan Perubahan Dana)
161
(Lanjutan)
162
Rumus : (𝑂𝐸
𝑇𝐸𝑥 100%)
Keterangan : OE : Operational expense, seluruh biaya yang digunakan
untuk menjalankan roda OPZ
TE : Total expense, total penggunaan dana (diluar dana gaji
untuk amil
Organisasi
Pengelola Zakat
Penilaian Efisiensi Keuangan
(Operational Expenses Ratio)
Total Biaya
Operasional
Total Biaya
Yang
Dikeluarkan
Rasio Biaya
Operasional
BAZNAS 12.446.964.349 81.388.679.735 15,29%
BMH 20.454.804.018 90.386.476.858 22,63%
DDR 48.067.355.366 246.648.974.154 19,49%
YBM BRI 9.680.242.840 82.265.729.292 11,77%
Bamuis BNI 2.512.184.613 28.588.097.288 8,79%
RZ 25.519.015.734 223.786.396.220 11,40%
PKPU 22.601.676.628 162.986.043.222 13,87%
Lampiran 8 Penilaian Efisiensi Keuangan
BAZNAS, BMH, DDR, YBM BRI,
Bamuis BNI, RZ, dan PKPU
163
Rumus : (𝑍𝑅
𝑇𝑅𝑥 100%)
Keterangan : ZR : Zakat revenue, total perolehan dana khusus zakat
TR : Total revenue, total perolehan dana
Organisasi
Pengelola Zakat
Penilaian Efisiensi Keuangan
(Primary Revenue Ratio)
Total Perolehan
Dana Zakat
Total Dana Yang
Diperoleh
Rasio Perolehan
Dana Zakat
BAZNAS 82.272.643.293 100.166.023.444 82,14%
BMH 25.418.329.582 83.005.745.703 30,62%
DDR 147.378.640.738 281.952.902.708 52,27%
YBM BRI 86.374.950.478 88.104.097.550 98,04%
Bamuis BNI 29.711.416.875 30.098.271.266 98,71%
RZ 97.666.410.793 223.464.826.355 43,71%
PKPU 51.370.531.824 174.318.201.094 29,47%
Lampiran 9 Penilaian Kapasitas Organisasi
(Primary Revenue Ratio)
BAZNAS, BMH, DDR, YBM BRI, Bamuis
BNI, RZ, dan PKPU
164
Rumus : (𝑍𝑅𝑛−𝑍𝑅(𝑛−1)
𝑍𝑅(𝑛−1)𝑥100%)
Keterangan : ZRn : Zakat revenue, total perolehan dana zakat tahun
berjalan
ZR(n-1) : Zakat revenue, total perolehan dana zakat tahun
sebelumnya
Organisasi
Pengelola
Zakat
Penilaian Efisiensi Keuangan
(Primary Revenue Growth)
Perolehan
Dana Zakat
Tahun
Berjalan
(2015)
Perolehan
Dana Zakat
Tahun
Sebelumnya
(2014)
Selisih
(Pertumbuhan)
Rasio
Pertumbuhan
Dana Zakat
BAZNAS 82.272.643.293 69.865.506.671 12.407.136.622 17,76%
BMH 25.418.329.582 22.052.492.137 3.365.837.445 15,26%
DDR 147.378.640.738 124.045.005.930 23.333.634.808 18,81%
YBM BRI 86.374.950.478 73.171.790.223 13.203.160.255 18,04%
Bamuis
BNI 29.711.416.875 25.897.623.035 3.813.793.840 14,73%
RZ 97.666.410.793 80.596.311.461 17.070.099.332 21,18%
PKPU 51.370.531.824 45.826.304.177 5.544.227.647 12,10%
(Lanjutan) Penilaian Kapasitas Organisasi
(Primary Revenue Growth)
BAZNAS, BMH, DDR, YBM BRI, Bamuis
BNI, RZ, dan PKPU
165
Rumus : (𝑃𝐸
𝑇𝐸𝑥 100%)
Keterangan : PE : Program expense, total pengeluaran untuk pembiayaan
program ataupun penyaluran dana kepada mustahiq
TE : Total expense, total penggunaan dana
Organisasi
Pengelola Zakat
Penilaian Efisiensi Keuangan
(Program Expense Ratio)
Total
Pengeluaran
Pembiayaan
Program
Ataupun
Penyaluran
Dana Kepada
Mustahiq
Total
Penggunaan
Dana
Rasio Biaya
Program
BAZNAS 74.587.114.655 81.388.679.735 91,64%
BMH 80.276.909.404 90.386.476.858 88,82%
DDR 220.467.448.645 246.648.974.154 89,39%
YBM BRI 77.514.976.831 82.265.729.292 94,32%
Bamuis BNI 27.727.572.154 28.588.097.288 96,99%
RZ 206.407.010.884 223.786.396.220 92,23%
PKPU 153.414.255.343 162.986.043.222 94,13%
(Lanjutan) Penilaian Kapasitas Organisasi
(Program Expense Ratio)
BAZNAS, BMH, DDR, YBM BRI, Bamuis
BNI, RZ, dan PKPU
166
Rumus : (𝑃𝐸𝑛−𝑃𝐸(𝑛−1)
𝑃𝐸(𝑛−1)𝑥100%)
Keterangan : PEn : Program expense, total pengeluaran untuk
pembiayaan program ataupun penyaluran dana kepada
mustahiq tahun berjalan
PE(n-1) : Program expense, total pengeluaran untuk
pembiayaan program ataupun penyaluran dana kepada
mustahiq tahun sebelumnya
Organisasi
Pengelola
Zakat
Penilaian Efisiensi Keuangan
(Primary Revenue Growth)
Total
Pengeluaran
Pembiayaan
Program
Ataupun
Penyaluran
Dana Kepada
Mustahiq Tahun
Berjalan (2015)
Total
Pengeluaran
Pembiayaan
Program
Ataupun
Penyaluran
Dana Kepada
Mustahiq Tahun
Sebelumnya
(2014)
Selisih
(Pertumbuhan)
Rasio
Pertumbuhan
Biaya
Program
BAZNAS 74.587.114.655 69.497.246.778 5.089.867.877 7,32%
BMH 80.276.909.404 66.949.464.101 13.327.445.503 19,91%
DDR 220.467.448.645 210.161.830.144 10.305.618.501 4,90%
YBM BRI 77.514.976.831 57.190.554.600 20.324.422.231 35,54%
Bamuis
BNI 27.727.572.154 23.172.832.654 4.554.739.500 19,66%
RZ 206.407.010.884 158.421.212.318 47.985.798.566 30,29%
PKPU 153.414.255.343 129.474.860.323 23.939.395.020 18,49%
(Lanjutan) Penilaian Kapasitas Organisasi
(Program Expense Growth)
BAZNAS, BMH, DDR, YBM BRI, Bamuis
BNI, RZ, dan PKPU
167
Organisasi
Pengelola
Zakat
Penilaian Laporan Keuangan
Tidak
tersedia
Tersedia, tapi
tidak up to
date dan
tidak diaudit
Tersedia,
up to date
tapi tidak
diaudit
Tersedia, up
to date,
diaudit, tapi
tidak
transparan
Tersedia, up
to date,
diaudit, dan
transparan
(1) (2) (3) (4) (5)
BAZNAS
BMH
DDR
YBM BRI
Bamuis BNI
RZ
PKPU
Lampiran 10 Penilaian Laporan Keuangan
BAZNAS, BMH, DDR, YBM BRI, Bamuis
BNI, RZ, dan PKPU