ANALISIS MOTIF BATU YANTRA SEBAGAI DIAGRAM MAGIS DI … fileanalisis motif batu yantra sebagai...

14
ANALISIS MOTIF BATU YANTRA SEBAGAI DIAGRAM MAGIS DI JAWA BARAT Mochamad Ficky Aulia S.Ds., M.Sn. DEPARTEMEN DESAIN KOMUNIKASI VISUAL UNIVERSITAS NUSA PUTRA, SUKABUMI, INDONESIA e-mail : [email protected] ABSTRAK Estetika seni tidak berdiri secara otonom, ia dijangkit oleh variable-variabel budaya secara sistemik. Secara antropologis, estetika tumbuh dengan kualitas ilmu dan praksis lain di setiap karakter zamannya melalui; teknologi, agama, sains dan filsafat. Pandangan manusia terhadap seni pun selalu berubah-ubah pada setiap segmen zaman, bagaimana desain kapak (tanpa kesadaran berseni) yang ditemukan 2 juta tahun SM, ada pula seni yang bersifat halus sebagai bentuk pelayanan atas segalas Ketuhanannya, hingga ketercapaian seni untuk seni itu sendiri di zaman modern ini. Batu Nyantra ialah salah satu artefak berupa diagram magis yang didedikasikan teruntuk ruang spiritual. Sebagai peninggalan Tantra, yaitu suatu metode spiritual yang berasal dari Hindu India dan Budha Tibet, batu ini berbeda dengan asalnya dikarenakan terjadi sinkretisme di dalamnya. Oleh karena tersebut perlu untuk diurai mengenai aspek aspek yang menunjang motif tersebut sebagai bentuk respon terhadap catatan sejarah Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif yang meliputi pengumpulan data dari sumber lisan atau tulisan. Usaha penulis dalam meneliti permasalahan ini adalah dengan menggunakan metode etnografi, di mana memunculkan kembali sebuah ide dan sistem sosial yang terjadi pada masa tersebut, dengan penggalian data terhadap masyarakat setempat maupun para ahli terkait dalam kedua Batu Nyantra ini. Hingga nantinya bermunculan makna yang terdapat di balik motif batu tersebut. Kata Kunci : Batu Nyantra, Motif, Yantra, Tantra, Artefak, Jawa Barat PENDAHULUAN Suatu hal yang melatarbelakangi penulisan ini adalah ketika saya yang tanpa sengaja menemukan ketertarikan akan Tantra melalui wacana-wacana literatur. Sebatas wacana, poin yang menjadi penarik dalam dunia Tantra adalah metodenya itu sendiri, untuk mencapai Atma/unsur Keilahian. Para penganut Tantra menyelenggarakan ritualnya dengan prosesi meditasi yang disertai mantra sebagai unsur bunyi, mudra yang diikuti seks dan tapa itu sendiri, serta Yantra sebuah diagram magis atau disebut dengan mandala, yakni kekuatan yang terdapat pada bentuk visual. Kemudian ketidaksengajaan lainnya adalah saat menemukan dua batu berukir yang terdapat di museum Sribaduga. Dan ini akan menjadi kajian ringkas yang berangkat dari penelitian tesis sebelumnya yang ditulis oleh pengkaji pada tahun 2015. Kita semua mengetahui bahwa Bangsa Indonesia merupakan suatu bangsa yang memiliki rumpun budaya yang sangat banyak dan beragam. Hal tersebut dapat terdeteksi melalui banyak artefak yang tercecer baik di lokasi situs penemuan, museum-museum, atau perpustakaan. Artefak- artefak tersebut sebagian telah terindikasi bahwasanya Indonesia tidaklah berdiri dengan sendiri, tetapi adanya suatu lingkungan yang terbangun oleh kontribusi era prasejarah hingga era kolonial. Di Indonesia budaya-budaya eksternal tidak diterima begitu saja, proses sinkretisme terjadi di dalamnya melalui proses yang panjang, suatu pengadopsian budaya luar oleh budaya nenek moyang. Jika kita menyimak contoh kasusnya seperti pola Islam Kejawen, bagaimana Sultan menghadiri suatu ritual mengenakan pakaian batik bercorak kaligrafi ayat kitab suci, atau ketika Raden Saleh menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Jawa semasa di Belanda, dan Tradisi Hindu-Budha yang meninggalkan artefaknya di beberapa bagian tanah- tanah Indonesia yang disertai mitos dan serat berbahasa Sunda dan Jawa. Ini suatu cerminan bahwa budaya terjadi atas konsepsi religi. Seluruh agama menghasilkan tradisi kesenian itu sendiri, termasuk Tantra yang meninggalkan jejaknya melalui artefak batu berukir. Estetika seni tidak berdiri secara otonom, ia dijangkit oleh variable-variabel budaya secara sistemik. Batu Nyantra adalah salah satu contoh sebuah produk budaya yang kini berada di museum Sribaduga Bandung. Ada dua batu yang memiliki

Transcript of ANALISIS MOTIF BATU YANTRA SEBAGAI DIAGRAM MAGIS DI … fileanalisis motif batu yantra sebagai...

Page 1: ANALISIS MOTIF BATU YANTRA SEBAGAI DIAGRAM MAGIS DI … fileanalisis motif batu yantra sebagai diagram magis di jawa barat mochamad ficky aulia s.ds., m.sn. departemen desain komunikasi

ANALISIS MOTIF BATU YANTRA SEBAGAI DIAGRAM MAGIS DI JAWA BARAT Mochamad Ficky Aulia S.Ds., M.Sn. DEPARTEMEN DESAIN KOMUNIKASI VISUAL UNIVERSITAS NUSA PUTRA, SUKABUMI, INDONESIA e-mail : [email protected] ABSTRAK Estetika seni tidak berdiri secara otonom, ia dijangkit oleh variable-variabel budaya secara sistemik. Secara antropologis, estetika tumbuh dengan kualitas ilmu dan praksis lain di setiap karakter zamannya melalui; teknologi, agama, sains dan filsafat. Pandangan manusia terhadap seni pun selalu berubah-ubah pada setiap segmen zaman, bagaimana desain kapak (tanpa kesadaran berseni) yang ditemukan 2 juta tahun SM, ada pula seni yang bersifat halus sebagai bentuk pelayanan atas segalas Ketuhanannya, hingga ketercapaian seni untuk seni itu sendiri di zaman modern ini. Batu Nyantra ialah salah satu artefak berupa diagram magis yang didedikasikan teruntuk ruang spiritual. Sebagai peninggalan Tantra, yaitu suatu metode spiritual yang berasal dari Hindu India dan Budha Tibet, batu ini berbeda dengan asalnya dikarenakan terjadi sinkretisme di dalamnya. Oleh karena tersebut perlu untuk diurai mengenai aspek aspek yang menunjang motif tersebut sebagai bentuk respon terhadap catatan sejarah Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif yang meliputi pengumpulan data dari sumber lisan atau tulisan. Usaha penulis dalam meneliti permasalahan ini adalah dengan menggunakan metode etnografi, di mana memunculkan kembali sebuah ide dan sistem sosial yang terjadi pada masa tersebut, dengan penggalian data terhadap masyarakat setempat maupun para ahli terkait dalam kedua Batu Nyantra ini. Hingga nantinya bermunculan makna yang terdapat di balik motif batu tersebut. Kata Kunci : Batu Nyantra, Motif, Yantra, Tantra, Artefak, Jawa Barat PENDAHULUAN

Suatu hal yang melatarbelakangi penulisan

ini adalah ketika saya yang tanpa sengaja menemukan ketertarikan akan Tantra melalui wacana-wacana literatur. Sebatas wacana, poin yang menjadi penarik dalam dunia Tantra adalah metodenya itu sendiri, untuk mencapai Atma/unsur Keilahian. Para penganut Tantra menyelenggarakan ritualnya dengan prosesi meditasi yang disertai mantra sebagai unsur bunyi, mudra yang diikuti seks dan tapa itu sendiri, serta Yantra sebuah diagram magis atau disebut dengan mandala, yakni kekuatan yang terdapat pada bentuk visual. Kemudian ketidaksengajaan lainnya adalah saat menemukan dua batu berukir yang terdapat di museum Sribaduga. Dan ini akan menjadi kajian ringkas yang berangkat dari penelitian tesis sebelumnya yang ditulis oleh pengkaji pada tahun 2015.

Kita semua mengetahui bahwa Bangsa Indonesia merupakan suatu bangsa yang memiliki rumpun budaya yang sangat banyak dan beragam. Hal tersebut dapat terdeteksi melalui banyak artefak yang tercecer – baik di lokasi situs penemuan, museum-museum, atau perpustakaan. Artefak-

artefak tersebut sebagian telah terindikasi bahwasanya Indonesia tidaklah berdiri dengan sendiri, tetapi adanya suatu lingkungan yang terbangun oleh kontribusi era prasejarah hingga era kolonial. Di Indonesia budaya-budaya eksternal tidak diterima begitu saja, proses sinkretisme terjadi di dalamnya melalui proses yang panjang, suatu pengadopsian budaya luar oleh budaya nenek moyang. Jika kita menyimak contoh kasusnya seperti pola Islam Kejawen, bagaimana Sultan menghadiri suatu ritual mengenakan pakaian batik bercorak kaligrafi ayat kitab suci, atau ketika Raden Saleh menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Jawa semasa di Belanda, dan Tradisi Hindu-Budha yang meninggalkan artefaknya di beberapa bagian tanah-tanah Indonesia yang disertai mitos dan serat berbahasa Sunda dan Jawa. Ini suatu cerminan bahwa budaya terjadi atas konsepsi religi. Seluruh agama menghasilkan tradisi kesenian itu sendiri, termasuk Tantra yang meninggalkan jejaknya melalui artefak batu berukir.

Estetika seni tidak berdiri secara otonom, ia dijangkit oleh variable-variabel budaya secara sistemik. Batu Nyantra adalah salah satu contoh sebuah produk budaya yang kini berada di museum Sribaduga Bandung. Ada dua batu yang memiliki

Page 2: ANALISIS MOTIF BATU YANTRA SEBAGAI DIAGRAM MAGIS DI … fileanalisis motif batu yantra sebagai diagram magis di jawa barat mochamad ficky aulia s.ds., m.sn. departemen desain komunikasi

ukiran Mandala. Menurut Sutresno seorang staf pemandu museum, batu ini telah berada di Museum Sribaduga pada tahun 1980 atas pemindahan dari MUSKALA (Museum Purbakala) yang sebelumnya ditemukan oleh seorang sejarawan Sunda berikut akademisi IKIP Bandung yang kemudian menetap di Bogor – yaitu Profesor Saleh Danasasmita pada tahun 1979. Beliau pernah pula menuliskan kajian tentang salah satu batu tersebut di jurnal Lembaga Kebudayaan UNPAD pada tahun 1982 berjudul “Keterangan tentang ‘Batu Berukir’ dari Tapos.” Inilah yang menjadi pengembangan dan kritik kajian oleh penulis dengan cara mengkaji ulang motif berukir batu Nyantra tersebut dan mengidentifikasi batu lainnya yang diduga juga merupakan medium spiritual. KAJIAN PUSTAKA

Tantra dalam “The Path Of ecstasy” yang ditulis oleh Teologis Jerman Georg Feuerstein menjelaskan bahwa secara etimologi Tantra berasal dari bahasa Sansakerta, dengan Tan yang memiliki arti sebuah “pengembangan” atau “menuju keluasan/memperluaskan”. Dalam akar lain, Tantra dapat juga bermula dari istilah “Tantu” yang memiliki arti “tali/benang”, yang didefinisikan sebagai penghubung kepercayaan. Untuk itu dalam penguraian terminologi, Tantra menurut Fuerstein (1998) ini merujuk pada “Yoga” yakni suatu tingkatan kontemplasi, atau sebuah pengalaman yang luas akan dunia kebatinan (esoterik) untuk memperoleh pengetahuan dalam pengetahuan yakni kebijaksanaan, realitas dalam realitas, yang terbatas dengan yang tak terhingga, ambang kesadaran dan kesadaran sejati menuju yang tunggal, surga dan penderitaan, Sakala dan Niskala, lelaki dan perempuan, imanen dan transenden, semuanya bekerja secara paradoksal dalam sebuah doktrin atau ajaran atau metode tanpa institusi yang mutlak. Mungkin secara bentuk lain dapat diartikan seperti sufisme Hindu dan Budha.

Namun, Tantra sendiri merupakan hasil dari perjalanan panjang dan luas serta bekerja secara paralel melalui pintu masuk tradisi Hindu (India) dan Budha (Tibet). Ajit Mookerjee dan Madhu Khanna pada buku “The Tantrics way” (1983:12) mendeteksi kehadiran Tantra melalui ritualnya yang berasal dari bangsa Indo-Arya penganut Veda kuno pada 2000 SM. Meski pada perkembangannya Tantra terpengaruh oleh Upanishad, Epik dan Purana hingga abad pertengahan. Adapun periodesasi Tantra dalam Hindu secara garis besar yang terdeteksi menurut Umar Assasudin Sokah dalam uraian bukunya yang berjudul “Din Ilahi,

Kontroversi Keberagaman Sultan Akbar Agung (India 1560-1605)” adalah sebagai berikut: 1. 1500 - 600 SM : Bangsa Arya yang pada

awalnya memiliki kitab, pada akhir 600 SM muncul konsepsi baru mengenai kelahiran kembali (reincarnation of the soul)

2. +600 SM – 200 M : muncul periode epik, di-mana pada awalnya terdapat pemecahan kas-ta manusia dalam konsepsi Ketuhanan, yaitu : Brahmana, Ksatria, Vaisya dan Sudra. Kemudian setelahnya muncul kasta ke lima yang tidak bisa disentuh. Pada masa ini mun-culah pemujaan terhadap “Sang Bhakti.”

3. +200 M – 1800 M : terjadi pergerakan kaum Sudra, dijelaskan apabila dalam periode epic kaum Sudra telah mendapat tempat dalam agama Hindu, dengan catatan bahwa otoritas kependetaan tetap dipegang oleh kaum Brah-mana. Jika dalam periode sebelumnya Trimurti tidak begitu penting, kemudian pada periode epik, sosok Brahma, Wisnu, Shiwa malah se-baliknya, sosok-sosok tersebut disembah dan dianggap sangat penting serta diakui sebagai Dewa dalam porsi sekte-sekte.

Profesor Jakob Sumardjo (2009:374) men-

jelaskan adanya reaksi dari kaum Saiwa (penyem-bah Dewa Shiwa) dan Waisnawa (penyembah De-wa Whisnu) terhadap Brahmanisme ortodoks. Kaum elit Brahmanisme mengasosiasikan dirinya terhadap sifat kelelakian, berdasarkan kasta dan kepercayaan reinkarnasi. Sedangkan Tantra sendiri bersifat lelaki maupun perempuan, juga berlaku untuk semua orang tanpa membedakan kelas so-sial, dan mempercayai ide dan metode “sekarang juga,” yang berarti metode pencerahan yang lebih cepat, tidak perlu terikat pada reinkarnasi.

Sedangkan peran Tantra dalam Budha ada-lah terbentuk dari tradisi Mahayana, yaitu tingkat keimanan tertinggi dalam spiritualitas Budha. Oleh karenanya Tantra disebut Vajrayana atau Wajraya-na dalam bahasa Indonesia. Menurut Saleh Danasasmita (1982), kata Wajra berarti permata (Ratna) atau mani (manik-permata). Kata “mani” sering dijadikan lambang untuk pengertian Ke-budhaan. Di Hindu memiliki arti petir, yang dalam tradisi Hinduisme merupakan senjata Sakti milik Dewa Indera. Kemudian diperkuat oleh tuturan Agus Aris Munandar seorang Profesor dan Arkeolog Universitas Indonesia yang juga ikut terli-bat dalam pengangkatan salah satu Batu Yantra bersama Saleh Dana Sasmita, Agus menyatakan bahwa Wajrayana menganggap seorang yang Dharma Budhayana tinggi dan tak tergoyahkan seperti “permata”. Tidak tergoda untuk urusan-urusan keduniawian. Budha yang memiliki sifat

Page 3: ANALISIS MOTIF BATU YANTRA SEBAGAI DIAGRAM MAGIS DI … fileanalisis motif batu yantra sebagai diagram magis di jawa barat mochamad ficky aulia s.ds., m.sn. departemen desain komunikasi

seperti itu disebut dengan Adhi Budha atau Wajra-sattwa, dalam arti beliau adalah Budha yang sangat tinggi.

Doktrin dasar aliran Wajrayana adalah segala unsur berasal dari unsur yang abadi, jika ia dapat masuk ke dalam wilayah itu, maka tercapailah un-sur asal dan kebebasan Nirwana. Dalam Hindu-isme doktrin seperti ini terdapat pada aliran Tantra juga. Berseragam dengan sari, inti, esensi, asal. Oleh karena itu Wajrayana disebut pula Tantrayana Budha. Baik dikeduanya, dalam praktik menguta-makan Semedi dan Mantra.

Tantris/Yogini memiliki cara sendiri dalam mengolah kebatinannya. Terdapat tiga metode yang ideal, yaitu Mantra adalah sutu pendekatan spiritual melalui unsur kata-kata atau bahkan tak terucapkan sama sekali untuk dapat berkonsentrasi ke dalam dunia lain melalui pengulangan-pengulangan ka-limat. Kedua adalah Mudra, banyak varian untuk ini, sesuai dengan kemampuan spiritual dan buda-yanya, bisa dilakukan dengan tapa (seperti yang dilakukan tanah Sunda, sebagai Tantra sayap kanan), tarian, atau bahkan seks secara berjamaah – seperti yang dilakukan penganut Tantra sayap kiri dan akhirnya menjadi suatu kesalahkaprahan oleh budaya Barat. Dan yang ketiga adalah Yantra, ap-likasi secara visual melalui diagram magis, atau Mandala yang diartikan sebagai pola kosmik dalam spiritual. Media Yantra bisa berupa ukiran pada ba-tu, bubuk, atau bunga.

Adapun klasifikasi Yantra adalah sebagai media menghadirkan Dewa, sebagai perlindungan magis (dalam bahasa Indonesia disebut Jimat), dan Yantra yang disebut Mandala didefinisikan sebagai permukaan di mana objek ritual ditempatkan.

Selanjutnya adalah pemecahan tingkat spir-itual dalam pembelajaran Ketuhanan, di antaranya : Arhat: tingkatan tertinggi, frase ini dianggap sudah “selesai” dan menyerap energy-energi Dewa. Arhat tidak memerlukan arca maupun symbol, tidak me-nyebarkan metode pula, dengan kata lain ia melakukan cara kerja sufi. Kedua adalah Anagamin : tingkatan hapir mendekati Moksha, secara keilmuan sudah dianggap selesai, namun ia masih bertugas sebagai pintu masuk delusi dan perantara dalam proses pembentukan simbol-simbol ritual atas ilham. Ketiga yaitu Sakker Dagamin, tahap ini membutuhkan symbol-simbol dan arca dalam memperoleh wawasan. Tahap ini juga turut andil dalam pembuatan arca-arca. Yang terakhir adalah Slopatamma : ini adalah lingkaran paling luar, seperti kebanyakan orang yang masih membutuhkan arca dan simbol tertentu dalam me-raih kualitas spiritualnya.

Tantra di Indonesia

Tidak ada informasi yang mendetail terkait penyebaran Tantra di Indonesia. Itu disebabkan karena Tantra tersebar secara acak dari Sumatera hingga Bali. Identifikasinya hanya dapat dicapai melalui penemuan artefak, seperti pada prasasti kalasan di Jawa Tengah pada tahun 778. Menurut Saleh Danasasmita disebutkan bahwa Rakai Panangkaran mendirikan bangunan suci untuk Dewi Tara. Di Solo terdapat Candi Sukuh yang memunculkan nilai-nilai erotisme, sedangkan di Ja-wa Barat yang kemasannya tidak memunculkan bentuk erotisme, melainkan mereduksi bentuk ke bentuk yang lebih sederhana, seperti beberapa ar-tefak batu telapak dan bertulis, serta arca-arca Shi-wa dan Parwati pada abad ke 10 hingga 15, dan prasasti Sriwijaya sendiri pada abad ke 17.

Ada dua permasalahan seputar ini yang diungkapkan Jakob Sumardjo dalam “Khazanah-Pantun Sunda” (2009:373). Ia menjelaskan bahwa Tantra adalah ajaran rahasia di lingkungan yang ekslusif pada zaman Hindu-Budha di Indonesia. Dengan kata lain, ajaran ini berlangsung di ling-kungan kaum intelektual. Dan di Jawa Tantra dikenal sebagai “Agama Budha” yang merupakan perpaduan Shiwa dan Bhudisme.

Sistem Hindu di Indonesia sendiri sangat berbeda jauh dari negri asalnya, India. Hal ini terjadi akibat adanya proses sinkretisme antara ajaran Hindu-Budha dan agama lokal yang begitu kuat dan telah lama berada di tanahnya. Mereka mem-percayai yang tunggal, namun pula tidak mene-lantarkan sebuah konsepsi manifestasi. Pada pen-ganut Hindu Saiwa, (penyembah Dewa Shiwa) di-anggap yang tunggal sebagai perwujudan tanpa rupa, tanpa warna, tanpa rasa, tanpa bau, tanpa sabda, tanpa raba, dan tanpa penyakit. Jakob kemudian menjelaskan yang Tunggal itu adalah kosong-halus-mutlak (Sukma Sunya). Kemudian muncul pertanyaan bagaimana menyembah Yang Kosong Mutlak? Maka berkembanglah ajaran ten-tang perwujudan Shiwa. Inilah bibit dari paham emanasi di Indonesia.

Hal kepercayaan yang sejatinya abstrak, da-lam perkembangannya justru menjadi tubuh institusi itu sendiri yang terpecah namun satu. Masing-masing terbagi atas kepercayaan Dewa yang melindunginya. Di antaranya yaitu Agama Saiwa (Shiwa), agama Waisnawa (Wisnu), dan agama Sakta (sakti). Ini berimbas pada pola kosmologi mereka masing-masing yang cenderung banyak sekali penamaan secara kompleks.

Letak yang kerap kali membingungkan sebenarnya adalah di sebuah konsepsi manifestasi pendewaan. Ketika Dewa Shiwa adalah seorang

Page 4: ANALISIS MOTIF BATU YANTRA SEBAGAI DIAGRAM MAGIS DI … fileanalisis motif batu yantra sebagai diagram magis di jawa barat mochamad ficky aulia s.ds., m.sn. departemen desain komunikasi

Batara Guru di Indonesia, dan Dewa Indra adalah Dewa tertinggi dari dewa-dewa, namun periode yang lebih tua menyatakan bahwa Indra merupakan manifestasi dari Shiwa. Dan Shiwa sendiri memiliki ratusan jumlah nama. METODOLOGI

Untuk mengurai penelitian ini, khususnya ter-hadap kajian motif terhadap simbol pada kedua Batu Nyantra. Penelitian didasari kajian budaya vis-ual melalui cara yang menurut Profesor Yasraf Amir Piliang dalam buku Hipersemiotika dengan mena-warkan suatu analisis pembedahan estetis di wila-yah semiotika, adapun metodenya menggunakan metode gabungan kualitatif - interpretatif dan metode semiotika – empiris. Keduamya mampu bekerja dengan cara menganalisis bentuk-bentuk yang terkait aspek lingkungan beserta filsafatnya, sekaligus interpretasi akan muatan kualitas dari simbol-simbol tersebut. Ini lah cara yang kemudian dilakukan dalam proses meneliti dan menganalisis.

Selain mengunjungi museum Sribaduga dan Badan Arkeologi Bandung, tulisan ini ditunjang dengan metode penelitan etnografi kajian budaya visual, melalui pendekatan emik – yakni pengkate-gorian fenomena budaya menurut pemilik budaya atau setidaknya warga setempat. Penelitian berupa observasi lapangan dan wawancara dengan juru kunci terkait sebagai pemberi informasi di daerah Tapos, Bogor – tepatnya pada muara Ciaruteun dan Cisadane.

(Kerangka metodologi penelitian)

Dalam observasi lapangan, terjadi beberapa

masalah yang didapat: 1. Tidak adanya arsip yang berkenaan dengan

batu tersebut dari pihak museum dan Badan Arkeologi Bandung.

2. Status Pak Tata pada saat batu ditemukan belum menjadi juru kunci dan masih berusia 21 tahun, ia meneruskan status kuncen sang ayah

(sebagai penemu/perawat batu) sejak tahun 90-an.

3. Tidak ada yang mengetahui posisi batu saat ditemukan di muara

4. Tidak ada yang mengetahui usia dan jarak di antara kedua batu tersebut. Pihak museum mengakui adanya pergantian kepegawaian yang signifikan, sehingga perpindahan arsip tidak tersalin.

Metode Analisis Untuk menjelaskan peran estetika pada artefak budaya visual tersebut, perlu diketahui beberapa pemikiran teori yang mendukung di belakangnya sebagai pengkategori atau pengklasifikasian model artefak budaya ini. Husen Hendriyana menjelaskan (2009:76), bahwasanya terdapat dimensi dalam ranah estetika khususnya timur. Dimensi tersebut adalah religi, rasio dan rasa dalam keindahan. Disebutkan bahwa dalam sistem kebudayaan, perspektif dan kategoresisasi pola berfikir filosofis religius juga memuat dimensi rasio dan rasa, sehingga karya budaya fisik itu terwujud. Dimensi rasio dapat meruang dalam budaya fisik sebagai sistem dan strategi faktual dalam menyukseskan keberlangsungan kebudayaannya. Dengan kata lain, rasionalitas perwujudan artefak budaya adalah suatu bagian yang harus ditelaah untuk melihat suatu kebudayaan, walaupun kebudayaan dimaksud termasuk dalam kategori budaya spiritual, transendental, dan mitos yang berwujud dalam bidang seni. Dengan landasan tersebut, penulis mencoba untuk membedah dua objek ini dengan metode komparatif, yang akan disinggung berdasarkan teori-teori terkait. Di antaranya yang menjadi metode adalah dengan menghubungkan elemen-elemen simbol yang terkait dengan lokasi penemuan. Merumus hasil wawancara dan studi literatur yang terhubung melalui pintu-pintu mitos.

Page 5: ANALISIS MOTIF BATU YANTRA SEBAGAI DIAGRAM MAGIS DI … fileanalisis motif batu yantra sebagai diagram magis di jawa barat mochamad ficky aulia s.ds., m.sn. departemen desain komunikasi

(Skema pemetaan aspek-aspek kajian)

HASIL DAN PEMBAHASAN Pada latar belakang telah disampaikan bah-

wa Batu Nyantra sebelum dipindahkan ke Museum Sribaduga (yang sebelumnya bernama MUSKALA) ditemukan di daerah Tapos, kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Namun informasi di lapangan memunculkan beragam lokasi di antaranya tepi-ansungai Cisadane, Ciaruteun, Cinangneng, dan Ciampea. Warga setempat melalui kuncen mewar-tai artefak tersebut ditemukan di muara. Dalam kompleks sungai itu, mengarahkan saya kepada artefak-artefak lain yang masih diletakkan di sana, seperti prasasti Kebon Kopi, Batu Tulis Ciaruteun dan Batu Muara.

Batu Nyantra II memiliki garis nasib yang lebih hilang, tidak ada informasi sedikitpun mengenainya, baik dari pihak Sribaduga, warga setempat, bahkan para ahli sekaligus. Belum lagi terjadi pemekaran wilayah oleh peerintah setempat, yang berimbas pada perubahan nama-nama kawa-san. Daerah Ciampea yang dahulu, telah berganti nama menjadi Cibungbulang, yang merupakan ba-gian dari kecamatan Tapos. Adapun hal yang sedi-kit melegakan hanya sebatas dugaan dari Badan Arkeologi Bandung yang mengkelaskan kemung-kinan Batu Nyantra II tak jauh dari kompleks sungai sungai tersebut. Batu Nyantra I

Sebelum memulai pembedahan, penulis coba memberi gambaran sedikit informasi tentang hal-hal terkait pengkajian batu pertama ini. Yang akan dil-akukan untuk menganalisis batu Nyantra I ini ada-

lah melalui motif yang memiliki elemen-elemen yang merujuk pada makna tertentu, sehingga terbangun suatu interpretasi yang terhubung antara visual dan kajian budayanya.

Profesor Saleh Danasasmita, selain salah sa-tu tokoh yang menemukan kembali batu ini di tepian sungai, ia pula pernah menganalisis kualitas yang terdapat pada motif batu Nyantra I pada tahun 1982. Kajian beliau menstimulus saya untuk mene-lusuri motif batu Nyantra, dan rupanya ini yang menjadi sebuah kajian kritis saya dalam rangka merespon catatan sejarah. Untuk saya meminta izin pada pihak Museum agar diperbolehkan untuk me-raba tekstur garis tersebut sebelum kemudian menyalinnya.

Batu pertama ini tergolong bebatuan berjenis

terasit, jenis yang terdapat di sepanjang aliran sungai Cisadane.Yang memiliki luas bentuk 45x 35cm, dengan jari- jari lingkaran 15,5cm. diyakini merupakan warisan dari pasca Kerajaan Pajajaran, yaitu zaman Tarumanegara yang terakhir, sekitar abad ke tujuh saat rezim Raza Purnawarman. Karena sejak abad ke empat, Tarumanegara masih didominasi kepercayaan lokal.

Page 6: ANALISIS MOTIF BATU YANTRA SEBAGAI DIAGRAM MAGIS DI … fileanalisis motif batu yantra sebagai diagram magis di jawa barat mochamad ficky aulia s.ds., m.sn. departemen desain komunikasi

(Motif Batu Nyantra I)

(Motif Batu Nyantra Saleh danasamita)

1. Bindu Ialah titik pusat di tengah yang terbentuk oleh

motif bunga teratai. Bindu bukanlah motif yang tercerai dari motif lain, melainkan motif yang terbentuk atas motif/garis. Secara harfiah Bindu;Bindhu adalah suatu titik pusat, dalam istilah Sunda disebut Masagi – bagaimana lingkaran mampu membentuk persegi. Bulat bermakna kesempurnaan, kebebasan mutlak, kebenaran sejati, tak berwaktu-tak beruang, kosong atau dengan kata lain sebuah titik Atma atau Ke-Ilhian. Dan kotak sama sisi ialah representasi dari ke-imanenan.

Bindu merupakan konsep kosmologis, bagaimana semesta tercipta. Satu titik yang di dalamnya memiliki tiga titik yang diurai, namun tetap satu entitas dalam ruang yang berbeda. Adapun bentuk yang dihadirkan dalam wujud visual maupun difungsikan ke dalam wujud meditasi, Tantris membentuk sinergi kosmik yang “bahan dasarnya” merupakan berasal dari bentuk Bindu. Bentuk hasilnya merupakan sebuah representasi sebuah bentuk bentuk alam. Penguraian Adjit mookerjee dapat masuk ke dalam pembahasan ini, titik yang telah menjadi karakter adalah sebagai berikut:

• Zat Bumi : berat, kasar, keras, lembam, padat, buram; menarik indera penciuman

• Zat Air : cair, kental, dingin, lembut, licin, cairan; menarik beragam zat rasa.

• Zat Api : panas, penetrasi, halus, ringan, kering, jelas; jernih dan bercahaya.

• Zat angin : cahaya, dingin, kering, transparan, ada diatas.

• Zat langit : keseimbangan, kekuatan, cahaya, langka, elastis; mampu bersuara (getaran).

Pada praktek meditasi Yoga

pun demikian, bagaimana meditasi membuat kesan untuk memanggil sang Dewa. Bindu terletak di dada, sebagai pusat pemancaran ke delapan arah, persis seperti apa yang tertera pada motif daun teratai. Dan inilah sifat dari Mandala. Baik ditubuh, pembacaan semesta maupun diagram magis.

Dalam dunia senirupa titik adalah suatu pijakan awal untuk menjadi garis, bentuk dan ruang. Gambaran titik bisa sekecil mungkin, bahkan paradoksnya, titik besar adalah ruang, akan tetapi masih dapat disebut titik juga. Karena titik dapat meruang secara menyeluruh. Ini dapat menjadi sebuah analogi dari konsep Bindu pada Mandala. Hal ini diperjelas kemudian oleh Amrizal Selayan – seorang pengajar sekaligus pematung asal Minang, pada tanggal 4 Agustus 2013 di kediamannya, dalam wawancara itu beliau merespon soal titik :

“Perkembangan ruang dalam rupa berbalik arah kembali kepada esensi titik, bagaimanapun titik atau masagi merupakan suatu esensi yang dapat meruang sekaligus.”

2. Padma

(motif Batu Nyantra I : Teratai)

Padma atau teratai merupakan salah satu

elemen motif pada Batu Nyantra I, yang menempel atau menginduk pada lingkaran pusat atau Bindu. Teratai direpresentasikan sebagai simbol dari

Page 7: ANALISIS MOTIF BATU YANTRA SEBAGAI DIAGRAM MAGIS DI … fileanalisis motif batu yantra sebagai diagram magis di jawa barat mochamad ficky aulia s.ds., m.sn. departemen desain komunikasi

kehidupan yang abadi, seperti roda aturan dalam kosmologi Hindu-Budha. Disebutkan pada The Art of Tantra, (1993;126), Philip Rawson menjelaskan bahwasanya teratai merupakan sebuah bentuk representatif dari kemurnian kosmik. Penulis melihat hubungan ini terjalin antara satu sama lain dengan energi kosmos yang bersatu, antara teratai dan air. Padma sendiri sebenarnya merupakan sebuah produk pemikiran ajaran Budha, yang dianggap tempat di mana para Dewa Dewi bersemedi. Dalam Padma, terdapat sebuah getah dalam bunga, yang bernama ambrosia, di istilah dan mitos timur berjulukan Amerta, dalam mitos ini jika air tersebut diminum, akan menjadi Bodhi, manusia kekal, yang telah tuntas dalam tahapan spiritual tertinggi. Teratai tumbuh di atas air, ini terkait dengan penemuan Batu Nyantra yang ditemukan di sekitaran sungai.

Ini merupakan bentuk cara seorang Tantris dalam pencarian pembebasan jiwa ketika dia masih hidup. Mencari kebahagiaan dan kebenaran tunggal melalui perputaran energi yang divisualisasikan ke dalam bentuk teratai. Ini merupakan suatu proses pengolahan pikiran dalam tubuh yang melarutkan diri pada kekosongan, hingga mencapai dunia yang dianggap transenden. Dengan kata lain, keabadian di saat hidup.

Tantra adalah sebuah metode untuk mencapai suatu kebebasan jiwa. Oleh karenanya untuk sampai ke sana dibutuhkan sebuah syarat tertentu melalui jalan ketubuhan. Pada tradisi Tantris, Yoga adalah sebagai jalur pengobatan, yang berjalan di jalur-jalur pendarahan tertentu. Ketika meditasi berjalan lancar dan halus, ini disimbolkan seperti roda atau lotus yang berputar. Selain itu untuk memperoleh kualitas terbaik dalam Yoga untuk memperoleh energi semesta, perlu adanya sikap yang disebut Mudra. Ini terkait dengan pengolahan nafas dalam tubuh, tanpa tubuh mustahil mendapatkan energi semesta, diyakini bisa didapatkan oleh tubuh melalui proses tersebut. Energi halus ini disebut Prana, di mana kaum India ortodoks memanggil energi semesta melalui proses pernafasan agar terserap di tubuhnya. Konsep semacam Prana ini bukan hanya ada pada India, dalam bahasa Latin disebut Spiritus, yang terkandung dalam kata kata nafas-terkait seperti inspirasi dan ekspirasi (proses ketika udara keluar dari paru-paru). Hal lainnya hubungan antara semangat dan napas dalam pengertian yang menyerupai dalam bahasa Yunani adalah Pneuma dan dalam Ibrani yaitu Ruah. Koneksi ini adalah bersignifikan besar dan menunjukkan pemahaman awal fungsi napas dalam pengalaman spiritual.

Cakra merupakan bagian dalam dari sistem meditasi, meditasi bertujuan untuk meraih titik

monisme. Meditasi ini disebut Yoga, dan Tantra sendiri merupakan istilah lain dari Yoga. Oleh karenanya terkait jelas antara isi (cakra) dan Yoganya itu sendiri. Dalam sikap tubuh Yoga, tubuh itulah sebagai Mandalanya. Tubuh melebihi dari anggapan sebagai instrumen penarik daya-daya semesta, akan tetapi, kaum Tantra menganggap tubuh adalah semesta itu sendiri. Sebagai representatif dari Makrokosmos. Dalam hal ini, tubuh yang mengontrol segala energi semesta. Yang masing-masing Cakra memiliki daerah energi di setiap teritori tubuh yang bersemedi. Yang meliputi titik-titik Cakra didalamnya.

Cakra (gambar pengembangan dari Feueurstein )

(Gambar dari Ajiit Mookerjee)

(Gambar dari Tumblr.com)

Jumlah arah teratai adalah delapan sebagai

representasi arah mata angin, bagi penulis ini merupakan suatu celah untuk menarik bahwa bilangan tersebut adalah kelipatan dari salah satu pola kosmologi setelah tri, yaitu papat ka lima

Page 8: ANALISIS MOTIF BATU YANTRA SEBAGAI DIAGRAM MAGIS DI … fileanalisis motif batu yantra sebagai diagram magis di jawa barat mochamad ficky aulia s.ds., m.sn. departemen desain komunikasi

pancer. 8 Suatu bilangan di mana Sembilan adalah titik puncak manusia, sebelum kembali ke nol. Tentu tidak merujuk pada bentuk dari angka latin, namun filsafat India angka delapan merupakan bilangan sempurna dalam dunia keimanenan, atau bisa disebut fana yang abadi. Dalam maksud penguasaan nafsu yang terus berputar mengililingi tubuh, melilit seperti ular, dan itu merupakan sebuah bentuk perwujudan dari Shakti Shiwa, yaitu Dewi Parwati. Energi shakti Dewi Parwati merupakan simbol paradox, yang terdiri dari kehalusan, kebatinan, energi kekuasaan dan kesuburan, bahkan sekaligus simbol dari nafsu yang mengikat. Ini berkaitan dengan Cakra ke delapan, Muladhara Cakra. Yaitu titik permulaan manusia sebagai imanensi. Sebagai metafora keterbatasan manusia. Sebagai akar dari semua Cakra. Oleh karenanya digambarkan dengan ular yang melilit atau “coiled serpent”.

Dalam sunda, ular sering dikaitkan sebagai simbol bumi, yang merujuk pada kesuburan. Ini menjadi penting, karena energi feminis membentuk energi Shiwa, seperti dalam falsafah Sunda, “cangkang rejeung eusi kudu sarua lobana” konsep kosong-isi ini, dalam teratai, “cangkang” sebagai yang mewadahi imanensi maskulin, sebuah komparasi yang menjadi titik temu dalam makna di balik motif teratai tersebut. Kemudian, konsep teratai sebagai bentuk metafora feminis, dijelaskan Alain Danielou & Jean Louis Gabin (2006 : 90), sebagai berikut :

• Bindu ("titik batas" yang memisahkan nonmanifestasi dari manifestasi) berarti "sperma"

• Vajra (petir) berarti "organ laki-laki"

• Mudra (gerakan) berarti "cairan vagina"

• Padma (teratai) berarti "wanita."

Ini bukti bahwa sistem dualitas telah hadir dalam satu wujud bentuk teratai. Seperti yang terdapat pada lukisan atau arca-arca Shiwa, yang sejatinya memiliki empat lengan, namun menjadi delapan saat Parwati meleburkan dirinya terhadap sang Batara.suatu cara memonistikan diri menuju Brahman yang Esa.

Wajra

(Gambar Wajra-Trisula)

Wajra sebagai batu Permata melambangkan keabadian, kesucian dan kesehatan. merupakan batu yang paling murni di antara batu-batu yang lain dan sebuah benda yang paling keras yang pernah ditemukan manusia, oleh karenanya disebut batu mulia. Kemampuannya untuk merefleksikan cahaya dipercaya mampu meningkatkan kejernihan pikiran dan tubuh. Adapun yang menganggap batu ini mampu meningkatkan keberanian. Dalam bahasa Sansekerta, batu Permata disebut dengan "vajra" yang berarti pencerahan.

Sedangkan Saleh Danasasmita menyebut ini adalah Wajra yang memiliki arti petir, atau adalam bahasa Indonesia memiliki arti mani;manik atau permata. Vajra juga merupakan nama lain dari ajaran Tantra di Budha yaitu Vajrayana. Beliau mengaitkan Wajra dengan Trisula, yakni suatu senjata Indra dan trisula milik Shiwa. Tidak dipersalahkan, karena sulit menentukan bentuk asli Wajra. Karena sebagian menyebutnya sebagai senjata pukul Dewa Indera hingga menimbulkan cahaya seperti halilintar, seperti Thunderbolt yang digunakan oleh Dewa Zeus. Sebagian menganggap yang memiliki dua muka adalah wajra/bajra, ditemukan pula patung-patung baru di India, yang memiliki satu wajah seperti garpu tersebut pada bagian atas saja. Ada pula bentuk wajra yang tanpa ujung, artinya saling bertemu dan menutup pada masing-masing pangkalnya.

Dalam mitos Purana, bahwa Bajra, atau Wajra merupakan senjata dari Dewa Iswara, Iswara sendiri merupakan sosok manifestasi Shiwa dalam Nawasanga. Diceritakan Wajra terbuat dari tuang benulang Dadici1. Yang pada akhirnya dipindahkan tangankan kepada Dewa Indra. Dewa Indra sendiri dalam sekelumit periode tradisi Hindu adalah manifestasi dari Shiwa itu sendiri pula.

Di Indonesia, Wajra yang mengarah ke delapan arah diasosiasikan sebagai arah mata angin. Ini terkait dengan konsep kepercayaan pada Tantra Hindu-Budha, yaitu Astadipalaka. Di mana mereka meletakan kepercayaan yang menganggap ada utusan Dewa-dewa (manifestasi Shiwa) yang menjaga gunung Mahameru, sebuah gunung yang dianggap suci oleh masyarakat Hindu-Budha. Dewa-dewa tersebut bekerja melalui arah mata angin, serta mempunyai peran masing-masing.

1 Dalam legenda dan mitologi Hindu, Dadici adalah nama seorang resi,

suami Lopamudra. Menurut Brahmapurana, pertapaannya terletak di

tepi sungai Gangga. Kekuatan resi ini membuat para makhluk jahat

tidak berani mendekatinya. Kisah-kisahnya muncul dalam Purana,

dan disebut sebagai seorang pemuja Siwa yang taat.

Page 9: ANALISIS MOTIF BATU YANTRA SEBAGAI DIAGRAM MAGIS DI … fileanalisis motif batu yantra sebagai diagram magis di jawa barat mochamad ficky aulia s.ds., m.sn. departemen desain komunikasi

(Ilustrasi Astadipalaka)

Sebagai catatan, penulis akan merumusnya sesingkat mungkin dalam uraian ini sebagai latar belakang informasi. 1. Kuvara/Kubera, sebagai penguasa Utara,

Dewa kesejahteraan dan kekayaan. Ini meru-pakan Dewa yang disimbolkan dengan kekayaan, diyakini oleh para kaum Hindu, mampu memberikan jalan untuk meraih kekayaan. Sejatinya, Kubera merupakan sim-bol kekayaan hati, hingga membuat semuanya menjadi tentram. Kubera juga sebagai pengikut Shiwa yang setia.

2. Isana/Shiwa, Sebagai penguasa Timur laut, sebagai Dewa kemakmuran, pengetahuan dan perdamaian.

3. Indra, merupakan penguasa wilayah Timur, sebagai Dewa kekuatan dan dewa pertempu-ran. Dalam sejarah Hindu, Dewa Indera meru-pakan Raja para Dewa, atau dikenal sebagai Mahadewa. Merupakan sosok penguasa Kahyangan sekaligus Dewa hujan dan badai petir. Beliau digambarkan dengan menggunakan kendaraan Gajah Airawata yang dikawal oleh Agni (dewa api yang kembar). Dikatakan lahir dari Dyaus Pitar (Bapa Surga) dan Prithvi Mata (Ibu Bumi). Ia juga disebutkan sebagai Aditya, putra Aditi. Rumahnya terletak di Gunung Meru di langit.

4. Agni, Merupakan penguasa bagian Tenggara, Agni diidentikan sebagai Dewa Api dan dewa cahaya.

5. Yama, penguasa bagian Selatan, yang identi-kan sebagai Dewa Kematian. Ini juga digam-barkan dengan memiliki kekuatan yang besar. Akan tetapi masih di bawah perintah Shiwa dan Wisnu. Yama banyak diperhitungkan oleh masyarakat umum, untuk dihindari atau di-waspadai dalam peletakan arah apapun, bi-asanya pada bangunan.

6. Nrtti, menguasai bagian Barat Daya, dikenal sebagai Dewa Kemeranaan. Juga sering dikaitkan dengan unsur sakit dan kematian.

7. Varuna/Baruna, menguasai bagian Barat, yang diidentikan sebagai Dewa laut. Baruna sebagai penjaga tatanan ilahi, pembawa hujan. Dia disebut mahakuasa dan maha tahu, dia bertanggung jawab atas geraknya matahari di langit, memisahkan siang dan malam, dan menjaga bentuk konstan bumi, dan menge-tahui setiap pikiran.

8. Vayu/Bayu, menguasai bagian Barat laut, di-identikan sebagai sebagai Dewa Angin. Dalam Bahasa Sansakerta Vayu; Melayu: Bayu, ada-lah dewa Hindu utama, selain sebagai Dewa angin, Bayu juga merupakan ayah dari Bima dan guru spiritual Dewa Hanuman. Dia juga dikenal sebagai Pavana (Penjernih), dan terkadang Prana (nafas).

Gunung Maha Meru merupakan sebuah gunung mitos di India, di mana puncaknya digam-barkan sangat tinggi, hingga ketinggiannya men-capai lautan angkasa, gunung Mahameru telah berangsur-angsur dipercaya kesakralannya. Apabi-la kita menengok kepada Gunung Semeru yang berada di Indonesia, yang juga dijelaskan dalam kitab Tantu Pagelaran, mitosnya yang menyebut-kan, bahwa Gunung Semeru merupakan bentuk lain dari Gunung Mahameru. Akan tetapi dalam kitab tersebut tidak diceritakan sosok Dewa Indera, yang ada adalah sosok Dewa Shiwa yang me-merintahkan Wisnu dan Brahma agar memin-dahkan/mengangkut sebagian Gunung Meru ke tanah Indonesia. Ini pun menjadi Gunung tertinggi di Pulai Jawa, dengan ketinggian 3.676 Meter dari permukaan laut (mdpl).

Jika delapan arah Wajra ini, merupakan ben-tuk dasar dari Trisulanya itu sendiri, berarti men-guatkan sistem simbolik yang tertuju pada Shiwa. Dan Yantra memang digunakan untuk memanggil energi Sang Hyang Taya; Shiwa, maka konsep Mandalanya pun terdapat penjabaran yang lebih spesifik. Adapun mandala itu disebut dengan “Na-wa Sanga”, yang bermanifestasi menjadi bentuk-bentuk lain, baik Nawa maupun Sanga, keduanya memiliki arti Sembilan. Ini merupakan bentuk Shi-wa di delapan arah. Shiwa sendiri menjadi induk dari semuanya, karena itu diposisikan sebagai pusat. Dan keseluruhan berjumlah 9.

Page 10: ANALISIS MOTIF BATU YANTRA SEBAGAI DIAGRAM MAGIS DI … fileanalisis motif batu yantra sebagai diagram magis di jawa barat mochamad ficky aulia s.ds., m.sn. departemen desain komunikasi

(Ilustrasi Nawa Sanga)

1. Shiva, dalam Nawa Sanga, Shiwa menjadi

pancer sebagai bentuk mulya yang absolut. Berbagai manifestasi dibagi ke penjuru-penjuru 8 arah mata angin sebagai bentuk kekuasaan Shiwa. Meskipun dianggap dewa penghancur pada periode Trimurti, ada hal yang dapat dipandang secara postif, karena kehancuran tersebut merupakan sebuah sifat keduniawian yang harus dimusnahkan.

2. Mahadeva, merupakan bentuk terAgung dian-tara Dewa-dewa. Dalam posisi ini Shiwa ber-manifestasi diarah barat, menandakan sebagai Raja besar.

3. Isvara, disimbolkan sebagai pengontrol,yang terletak di posisi Timur. Digambarkan dengan membawa senjata Bajra;Wajra, ini merupakan senjata dari Iswara pada awalnya, akan tetapi dalam mitos kitab purana, di pindahkan men-jadi milik Indra. Iswara kaitannya dengan Bhuana Agung disimbolkan sebagai angin dan dalam Bhuana Alit disimbolkan dengan jan-tung.

4. Visnu/Whisnu, diposisikan di bagian utara, atau dalam diagram, dia mendekati esensi Brahman yang begitu halus sebagai Dewa pemelihara. Merupakan simbol dari budi peker-ti dan olehkarenanya Wisnu membawa Cakra sebagai simbol keabadian, yang merupakan representasi dari roda dan teratai.

5. Brahma, merupakan sebagai Dewa pencipta pada Trimurti, dalam Nawa Sanga dia diposisi selatan. Brahma sering digambarkan dengan memiliki senjata gada. Brahma juga memiliki kendaraan angsa. Brahma memiliki keterkaitan dengan Bhuana Agung disimbolkan sebagai unsur api dan dalam Bhuana Alit disimbolkan dengan hati.

6. Rudra, dijuluki Dewa badai. Ini bentuk Shiwa kasar yang digambarkan dengan sosok yang mengerikan. Rudra juga mendapat julukan Raksasa.. Unsur ini terkait dengan Dewa Indra. Dalam Bhuana Alit disimbolkan dengan usus.

7. Sambhu, bekedudukan di arah Timur Laut, disimbolkan sebagai dewa penyelamat. Beliau mewakili warna biru/abu-abu, Dewa Sambhu kaitannya dengan Bhuana Agung disimbolkan sebagai awan tebal dan dalam Bhuana Alit disimbolkan dengan jaringan.

8. Maheswara, beliau diposisikan di bagian Tenggara. Maheswara merupakan sosok pertama di antara semua dewa. Digambarkan dengan membawa senjata dupa, juga mewakili unsur warna merah muda. Serta disimbolkan sebagai awan tipis dan dalam Bhuana Alit disimbolkan dengan paru-paru.

9. Sangkha/Shankara, merupakan penguasa Barat Laut, sebagai Dewa pemberi sukacita kebahagiaan terhadap Makhluk makhluk bumi. Dewa Sangkara kaitannya dengan Bhuana Agung disimbolkan dengan mendung, serta dalam Bhuana Alit disimbolkan dengan limpa.

Motif Luar

(Gambar Motif Luar)

Motif terakhir Batu Nyantra I adalah bagian

luar dari motif trisula. Penulis memiliki pandangan yang berbeda tentang ini dari apa yang menurut Saleh merupakan sebuah stilasi gajah. Membaca kedelapan arah Wajra, penulis kemudian beranggapan ada kemungkinan-kemungkinan lain yang terkait. Salah satunya adalah bahwa ini menyerupai bentuk ular. Yang merupakan simbol dari Dewi Parwati atau Durga. Beliau adalah seorang Shakti dari Shiwa.

Sistem monisme Shiwa meleburkan diri terhadap Brahma melalui persetubuhan energi kosmosnya dengan Dewi Parwati. Ini merupakan simbol dari penyatuan dua entitas. Shiwa digambarkan seperti seluruh semesta. Kemudian Dewi Parwati disimbolkan dengan bagian bawah, karena kaitannya dengan kesuburan. Begitu pula ular dipercaya oleh masyarakat primordial sebagai Dewi bumi. Karena letaknya yang di bawah.

Page 11: ANALISIS MOTIF BATU YANTRA SEBAGAI DIAGRAM MAGIS DI … fileanalisis motif batu yantra sebagai diagram magis di jawa barat mochamad ficky aulia s.ds., m.sn. departemen desain komunikasi

Dewi Parwati bekerja dalam sistem Cakra, di mana Parwati berupa saluran Nadi, yaitu yang mengalirkan energi sekaligus kontrol, dari akar Cakra hingga ke Ajna, dan mencapai puncak Sahasrara. Dimana teratai terakhir digambarkan wujud keabadian absolut. Dewi Parwati memulainya sebagai Kundalini Cakra. Yang melilit, mengikat dan mengelilingi Cakra-Cakra. Itu sebabnya disimbolkan dengan ular. Karena juga peran wanita di gambarkan sebagai Hawa Nafsu duniawi. Hukum seksual tidak lagi menjadi kaku dan kasar dalam artian imanen. Tetapi, melalui kontrol dan proses yang panjang sehingga menemukan titik lebur dari dualitas. Sehingga menjadi sesuatu yang Non-Dual.

Mengingat konsep kosong dan isi pada masyarakat sunda kuno, dengan bahasa “cangkang rejeung eusi (kudu) sarua lobana.” Ini mengingatkan bahwa pentingnya aspek wanita. Jika kita tengok lebih, mayarakat kuno, kerap kali mewarisi budaya pemikiran aspek wanita atau ibu. Bumi sering di kaitkaitkan sebagai sosok ibu. Oleh karenanya hingga kini, di berbagai penjuru Indonesia, selalu terdapat mitos atau ritual tentang konsep ibu, biasanya pada tataran konsep kelahiran yang berasal dari tanah. Selain itu, selain Arca Shiwa, juga banyak ditemukan arca-arca Dewi Parwati di daerah Jawa Barat. Bentuknya selalu berbeda, tetapi memiliki karakter serupa. Begitu pula Shiwa digambarkan selalu membawa ular di pundaknya meskipun digambarkan ikon yang sendiri. Ini berarti Parwati selalu hadir dengan bentuk ular yang mengikut pada Shiwa. Shiwa juga memiliki hitungan “urip” terutama di Bali, dengan 8. Angka ini mengembalikan lagi terhadap simbol ular yang melilit, sebuah representasi dari Dewi Parwati. Jika kita melepas motif, Batu Nyantra merupakan simbol dari Shiwa, maka sungai tersebutlah unsur Parwatinya – mengingat bahwa Cisadane memiliki arti perempuan. Tentu ini bukan suatu kebetulan, prodak artefak ini telah dipertimbangkan dengan matang oleh kaum Anagamin setempat. Yaitu seorang ahli batu sekaligus Guru ibadah yang membuat simbol melalui energi para Dewa. Dan untuk digunakan oleh dirinya dan kaum strata dibawahnya.

Makna Shiwa dan Parwati terkadang sering kali disalahpahami ketika Siwa dan Shaktinya dipandang sebagai bentuk sosok ikon "manusia" dan "perempuan" dan hubungan mereka dianggap sebagai hubungan seksual belaka. Kita melihat bahwa seksualitas sebenarnya adalah sesuatu perjalanan yang benar-benar natural, dan ironisnya ketika terjadi kesalahpahaman timbul, apabila antara seksualitas dan spiritualitas dicampur adukan. Perlu adanya penjabaran dari sistem relasi ini, sebagai bentuk fisik, seksualitas dianggap

gabungan dari pria dan wanita yang mengalami persetubuhan. Sedangkan wilayah spiritualitas adalah merupakan gabungan dari manusia dan kesadaran Ilahi. Ini merupakan ukuran wujud Imanen terhadap transenden, melalui konsep monisme.

Batu Nyantra II

Agus Aris Munandar menganggap ini adalah warisan dari Raja Tarumanegara, dan mereka bukan penganut paham Wajrayana, melainkan mereka penganut Weda kuno (yang sebenarnya metode Tantra telah ada namun samar penamaannya). Suatu anggapan yang menarik, karena di sekitaran daerah Ciaruteun, masih dalam komplek tersebut, terdapat prasasti Ciaruteun, prasasti peninggalan Tarumanegara yang terdapat ukiran Sansakerta mengenai pemujaannya terhadap Waisnawa. Istilah Waisnawa tersebut di India justru lebih popular di kalangan Tantris. Sebagai bentuk pengabdian terhadap wisnu. Jika ini merupakan produk Tantra, maka ini dibuat oleh para penganut metode Tantra Waisnawa (Wisnu) atau (Pancharatra). Di mana para penganutnya menyembah Wisnu, tetapi Wisnu di dunia Tantra bukan merupakan sumber Dewa utama. Melainkan wujud transendensi lain dari semesta dan kehidupan, cara kepercayaan ini dilakukan Tantris dalam rangka bertujuan agar dapat masuk ke dimensi Brahma – yang seiring juga mengabdi pada Shiwa.

Page 12: ANALISIS MOTIF BATU YANTRA SEBAGAI DIAGRAM MAGIS DI … fileanalisis motif batu yantra sebagai diagram magis di jawa barat mochamad ficky aulia s.ds., m.sn. departemen desain komunikasi

Batu Nyantra II berukuran lebih kecil dari sebelumnya yang pertama. Dari segi motif batu ini berbeda dengan Batu Nyantra I, juga adanya cekungan dalam pada batu, pada tradisi Sunda disebut Dakon. Peneliti arkeologi di Balai Arkeologi Bandung, Sriwahyuni dan Nanang Sartono 2 beranggapan : “ini merupakan dua polesan yang berbeda zaman, antara motif dan dakon.”

Jika itu sebatas kemungkinan, maka perlu adanya respon yang menolak untuk kemungkinan tersebut melalui kemungkinan lainnya, Penulis sendiri tidak melihatnya begitu. Karena letaknya bisa begitu teratur antara dakon dan motif. Maka kemungkinan tersebut merupakan suatu pen-gaplikasian dari penjelasan kosmos secara metafor bahwa adanya dunia lain selain manusia di atas sana.

(Bentuk Dakon)

(gambar motif dan dakon)

Dakon pada batu kedua merupakan bentuk

lain dari Yoni, seharusnya terdapat pasangannya yaitu lingga yang berbentuk semacam bola, yang kemudian diletakan di atas cekungan tersebut saat ritual. Ini tidak seperti dakon yang lain, yang fungsinya sebagai tempat sesaji. Agus Aris Munandar menanggapinya secara cendikia bahwa semuanya bisa terjadi dan berfungsi lebih dari itu,

2 Sri Wahuyuni dan Nanang Sartono merupakan seorang peneliti di

Balai Arkeologi Bandung.

karena bisa terkait dengan keastrologian, sebagai alat untuk menentukan sesuatu yang berkaitan dengan waktu. Namun, belum ada penjelasan yang merucut ke dalam dunia astrologi. Ditambah tidak diketemukannya Sang Lingga.

Motif Roda Cakra

(Motif Roda Cakra)

Motif ini merupakan bentuk Bindu dalam

mandala Cakra. Bindu sendiri sudah dijelaskan pada sub-bab motif Batu Nyantra I. ini merupakan kekuatan kosmos yang menginduk. Di mana sebuah energi yang besar berasal dari kesederhanaan. Titik tersebut juga meruang dalam kebebasan yang terkurung. Karena itu sudah menjadi sifat mandala. Ini sebagai medan penghubung yang sakral, antara energi Masagi yang tunggal, dengan energi imanen yang non tunggal. Sama halnya dengan Batu Nyantra I. semuanya dilebur pada titik Niskala (suatu yang tak berwaktu), sehingga tidaklah berwaktu dan beruang, sekaligus meliputi semuanya. Ini juga sebagai tempat dimana Dewa Wisnu bersemayam saat dipanggil dalam ritualnya.

Kita sering mendengar kata “Cakrawala,” yaitu sebuah tataran kosmos yang meliputi jagad semesta, ini merupakan sebuah tendensi bagi Shiwa yang sebagai semesta tersebut. sedangkan Parwati energi yang menyokongnya. Cakra di sini merupakan sebuah bentuk yang mengurung ruang Chaos tersebut. Ini serupa dengan konsep Mandala. Sebuah unsur yang bebas merupakan sebuah unsur keterbatasan, dan juga, sebaliknya, sebuah keterbatasan memiliki nilai-nilai kebebasan. Cakra sebagai pembatas dalam perluasan semesta yang sekaligus memiliki batas juga. Ini berarti direfleksikan dengan bentuk elemen bagian dari semesta tersebut.

Zimmer menjelaskan (1952:118) bahwa penampakan di cakrawala dalam bentuk roda (cakra) merupakan duplikasi simbol neolitik dari roda matahari. Penjelasannya menjadi terang, ketika matahari tiba, seluruh umat primordial melalkukan ritual murninya dalam konsentrasi pagi untuk menjalankan doa dan meditasi, hal itu berdiri sebagai tanda bahwa ia adalah untuk melakukan

Page 13: ANALISIS MOTIF BATU YANTRA SEBAGAI DIAGRAM MAGIS DI … fileanalisis motif batu yantra sebagai diagram magis di jawa barat mochamad ficky aulia s.ds., m.sn. departemen desain komunikasi

kampanye untuk menyatukan seluruh alam duniawi. Bagi kaum Budha, Cakra dianggap sebagai makna "Enlightened One” – satu pencerahan, karena dianggap dapat menggerakkan roda dari wilayah pendoktrinan yang suci.

Melihat kecenderungan masyarakat primordial pada waktu itu, sebagai monisme naturalistik, elemen matahari, menjadi sebuah hal primer dalam pola hidup sehari-hari. Dan tidak sedikit istilah RA digunakan pada nama-nama, baik nama raja atau kerajaan, wilayah dan sebagainya. Ini menjelaskan peran matahari sebagai Cakra dianggap sebagai bagian hidup manusia yang telah menyatu dengan bagian alam. Begitu penting karena melihat keintiman unsur tersebut atas dasar kesadaran kosmik yang diperoleh melalui sikap meditasi. Jika saja ini terkait dengan dewa Whisnu yang dipanggil melalui diagram magis Mandala Cakra ini, ini merupakan bentuk budhi yang setia, sebagai bentuk pemeliharaan baik rasa atau kontrol terhadap alam fisiknya.

Motif Trisula

(Motif Cakra-Trisula)

Selanjutnya adalah masih seputar elemen

motif Cakra. Jika kita melihat ini, secara dasar maka ini menyerupai bentuk Wajra. Ini bukanlah bentuk lain dari Shiwa, Chakra sebagai senjata roda atau dengan makna lain adalah medan gaya, dengan nama lain Chakra Sudarshana. Ini dibuat oleh Dewa Shiwa untuk Dewa Wisnu sebagai tanda cinta.

Dalam kisahnya Dewa Wisnu digambarkan memiliki pengabdian yang paling besar terhadap Dewa Siwa. Di mana Dewa Wisnu memberikan setiap hari seribu bunga teratai kepada Shiwa. Bentuk loyalitas ini diceritakan dalam mitos Hindu, bahwa suatu hari dalam rangka untuk menguji ketulusan hati Dewa Wisnu, Dewa Shiwa menyembunyikan salah satu bunga teratai. Selama ibadah, Dewa Wisnu menyadari bahwa jumlah teratai berkurang, untuk menyempurnakan

kesetiannya, lalu ia kemudian memetik salah satu bola matanya, dan menawarkan itu kepada Dewa Shiwa. Dewa Shiwa menjadi sangat senang dan memberikan senjata berharganya. Cakra ini memiliki energi yang mengerikan, Dewa Wisnu memegang ini sebagai senjata tetapi juga untuk melestarikan alam semesta. Energi Chakra diatur oleh sebuah mantra yang disebut Wisnu Sudarsana Mantra, ketika mantra diaktivasi, bahkan kayu yang direndam dalam air pun akan terbakar. Mitos tersebut menceritakan ada hubungan khusus antara Shiwa dan whisnu. Oleh sebabnya, dalam paham Tantrayana, Wisnu mempunyai kelas untuk itu.

Sama dengan pola sebelumnya, motif ini juga memiliki pengejawantahan dari empat arah mata angin. Juga sebagai wilayah “papat ka lima pancer” yang digambarkan dengan Cakranya tersebut. Dalam Empat diantaranya pokok, arah kiri dan kanan adalah menyimbolkan kebaikan dan keburukan. Bagian bawah adalah keberadaan manusia, dan atas menunjukan loyalitas manusia terhadap yang maha kuasa. Ini juga sekaligus dapat menjelaskan pola tiga dari kosmologi Sunda, di mana terdapat dunia atas, tengah dan bawah. Dunia atas dihuni oleh daya-daya Transenden, atau kosong mutlak. Dunia tengah dihuni oleh manusia, serta dunia bawah sebagai jagad raya. Bagian tengah juga sebagai medan pertemuan yang transenden dengan imanen, yaitu Niskala-Sakala. Titik temunya saat menjalankan metodenya, yaitu ibadah tapa. Lebih dari itu, pada titik tersebut, pula masyarakat primordial yang menjalani tapa tidak lagi mengenal Tuhan lainnya, karena Tuhan telah bersatu dengan tubuhnya itu sendiri. Ini bukan sang Tuhan Ijunajati nistemen, melainkan sebuah modal untuk mendekatinya, melalui dewa-dewa tersebut. agar dapat mencapai keharmonisan rasa batiniah. Kesederhanaan motif merupakan gambaran tentang kompleksitas spiritual Sunda.

(Gambaran Kosmologi II)

Page 14: ANALISIS MOTIF BATU YANTRA SEBAGAI DIAGRAM MAGIS DI … fileanalisis motif batu yantra sebagai diagram magis di jawa barat mochamad ficky aulia s.ds., m.sn. departemen desain komunikasi

Motif yang miring tidak penuh sampai keluar, merupakan simbol kebebasan yang diatur tersebut. bahwa ada kesadaran tubuh yang tidak dapat menjadi kesejatian Ilahi, karena kita adalah makhluk ciptaannya. Ben Suharto dalam buku memoar yang ditulis oleh F.X. Widaryanto (2000 : 86; 95; 117) menyatakan, dalam gambaran sebuah Diagram, format Mandala melambangkan aspek “yang terbatas atau terikat”, sementara struktur komponennya (isinya) melambangkan aspek “yang tak terikat atau bebas”. Kemudian Asumsi Ben terhadap Mandala adalah bahwa setiap jengkal kebebasan yang ada tidak boleh tidak hanya bisa didapatkan lewat sebuah langkah pengendalian diri. Hubungan keduanya, kebebasan dan pengendalian diri, dikatakannya memiliki hubungan yang bersifat serasi, selaras dan seimbang. Kebebasan dianggap memiliki kedudukan sebagai isi, sementara pengendalian diri sebagai wadah. KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari uraian analisis adalah proses budaya begitu panjang dan rumit, suatu kepercayaan yang ada begitu saja tidak terlepas dari kualitas kehidupan masyarakatnya yang juga tumbuh berkembang. Kesadaran sesungguhnya adalah sebuah kesederhanaan dalam kerumitan. Tradisi Tantra di Indonesia telah hilang, namun unsurnya masih terdapat di pola kehidupan sehari-hari manusianya. Bagaimana masyarakat kita masih mempercayai hal-hal mistis di segi yang sangat materalistis. Bagaimanapun pergerakan budaya tidak lepas dari catatan sejarah.

Lalu kesimpulan mengenai batu ialah bahwa keduanya merupakan sebuah unsur Mandala dalam arti Diagram Magis, akan tetapi, dalam klasifikasinya, Batu I yang bernama Batu Nyantra, merupakan produk benar atas artinya yang berasal dari Yantra dan Batu ke II lebih tepat dengan nama Batu Cakra. Mengingat keduanya memiliki fungsi untuk memanggil Dewa-dewa yang ditujunya. Batu Nyantra I merupakan bentuk atau alat yang digunakan untuk persembahan Dewa Shiwa. Sedangkan Batu II, merupakan Batu Cakra yang erat kaitannya dengan Wisnu.

Batu-batu tersebut memiliki kaitan erat dengan alam, karena masyarakat setempat menganut yang beraliran Wajrayana atau menginduk pada Hindu Saiwa, cendurung memiliki paham monisme naturalistik. Sejajar dengan ditemukannya batu tersebut di sekitaran Sungai. Ini terkait dengan mitos-mitos Gunung Meru dan Air Amerta, seperti yang telah dijelaskan pada bab-

bab sebelumnya. Ini mendukung berdirinya sebuah makna terhadap motif tersebut. Namun letak kecacatan ialah ketika posisi batu tersebut saat ditemukan. Tidak ada sama sekali informasi tentang ini. DAFTAR PUSTAKA [1] Amir P., Yasraf (2003) Hipersemiotika; Tafsir

Cultural Studies atas matinya makna. Yogyakarta. Jalasutra

[2] Assasudin S., Umar (1994) Din Ilahi, Kontroversi Keberagaman Sultan Akbar Agung (India 1560-1605). Yogyakarta. Jalasutra

[3] Budiman, Kris. (2011) Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonitas. Yogyakarta. Jalasutra

[4] Bahnemann, Gudrun. (2003) Mandalas and Yantras in the Hindu Traditions. Boston. Brill_s Indological library_ v. 18 [5] Danasasmita, Saleh. (1982) Keterangan

Tentang “Batu Berukir” Dari Tapos. Bandung. Lembaga Kebudayaan UNPAD

[6] Ekadjati, Edi S. & Setiawan, Hawe (2006) Mencari Gerbang Pakuan. Bandung. Pusat Studi Sunda Bandung

[7] Feuerstein, Georg. (1998) Tantra, the path of ecstacy. London. Shambala

[8] Hendriyana Husen. (2009) Metodologi kajian Artefak Budaya Fisik. Bandung. Sunan Ambu Press.

[9] Kartika, S.Dharsono & P.G Nanang (2004) Pengantar Estetika. Bandung. Rekayasa Sains. [10] Klostermaier, Klaus K. (2003) A Concise

Encyclopedia Of Hinduism. Oxford. One World [11] Koentjaraningrat (2005) Pengantar Antropologi

I. Jakarta. Rineka Cipta. [12] Kutha Ratna, Nyoman (2010) Metodologi

Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

[13] Mookerje, Ajit (1983) Kundalini ;The Aurosal Of The Inner Energy. London. Thames And Hudson [14] Mookerje, Ajit & Khanna, Madhu (1977) The

Tantric Way. Art, Science, Ritual. Boston. Little Brown & Co.

[15] Sumardjo, Jakob (2009) Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda. Bandung. Kelir. (2011) Pola Rasionalitas Budaya. Bandung. Kelir.

[16] Surisno, Mudji, dkk (2005)Teks-Teks Kunci Estetika; filsafat seni. Yogyakarta. Galang Press.

[17] Rawson, Philip (1993) The Art Of Tantra. London. Thames And Hudson.

[18] Universitas Pakuan Bogor. (1993) Proceedings Seminar Nasional Sastra dan Sejarah Pakuan Pajajaran.

[19] Widaryanto, F.X. (2000) Memoar Ben Suharto. Arti.line. [20] Yuniarthi, Niwayan (2003) 2009 vol.4 No. 2/Februari. Imaji