ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

92

Transcript of ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

Page 1: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER
Page 2: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER
Page 3: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

NURDIN SAIDI

BINAWATI GINTING

MURNIANA

MUSTANIR

Jurusan Kimia

Fakultas Matematikan dan Ilmu Pengetahuan alam

Universitas Syiah Kuala

Page 4: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

i

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Allah SWT, karena telah memberikan kurnia

nikmat yang tidak terhingga dan salah satu nikmat tersebut adalah

selesainya kegiatan penulisan buku Analisis Metabolit Sekunder. Buku

ini memuat berbagai hal tentang koleksi sampel, analisis fitokimia,

ekstraksi, isolasi senyawa dan uji aktivitas senyawa hasil isolasi. Buku

ini diharapkan mampu membantu mahasiswa dalam pemahaman

senyawa metabolit sekunder tumbuhan, terutama teknik isolasi. Buku

ini disusun berdasarkan pengalaman penelitian yang selama ini telah

dilakukan. Materi Analisis metabolit sekunder diajarkan di berbagai

Fakultas dan Jurusan serta Program Studi yang memiliki kajian di

bidang senyawa metabolit sekunder dan aktivitasnya dari berbagai

material tumbuhan.

Penulisan buku ini masih banyak sekali kekurangan dan kelemahan,

tetapi dimasa akan datang akan terus-menerus direvisi, sehingga buku

ajar ini dapat menjadi lebih baik. Pada kesempatan ini diucapkan

terimakasih kepada pihak-pihak yang telah ikut membantu

terselenggaranya kegiatan penulisan buku ajar ini. Ucapan terimakasih

kepada :

1. Ketua peer group kimia organik dan anggotanya.

2. Ketua Jurusan Kimia FMIPA.

3. Dekan Fakultas MIPA, yang telah memberi kesempatan dalam

penulisan buku ini.

Page 5: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

ii

4. Semua anggota herbarium Chemistry Department University of

Malaya

5. Dan semua yang ikut membantu kegiatan ini.

Semoga semua jasa dan pengorbanan semua pihak akan diberi

ganjaran yang setimpal oleh Allah SWT. Akhirnya semoga laporan ini

bermanfaat bagi kita semua, terutama untuk pakar bidang kimia bahan

alam.

Banda Aceh, September 2018

Penyusun,

Page 6: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

iii

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ................................................................................... i

Daftar Isi ........................................................................................... iii

Daftar Gambar .................................................................................... iv

Daftar Skema..................................................................................... v

PENDAHULUAN............................................................................. 1

BAB I PENGUMPULAN SAMPEL TUMBUHAN ...................... 5

A. Persiapan ................................................................................ 6

B. Pengumpulan Sampel Tumbuhan .......................................... 7

C. Penanganan Sampel ............................................................... 8

BAB 2. ANALISIS FITOKIMIA .................................................... 12

A. Pendahuluan ........................................................................... 12

B. Uji Fitokimia Alkaloid ........................................................... 13

C. Uji Fitokimia Terpenoid, Steroid Dan Saponin ..................... 19

D. Uji Fitokimia Flavonoid ......................................................... 25

BAB 3. PEMISAHAN SENYAWA................................................. 28

A. Pelarut .................................................................................... 28

B. Esktraksi ................................................................................. 30

C. Isolasi ..................................................................................... 36

BAB 4. TEKNIK BIOASSAY ......................................................... 54

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 78

Page 7: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Pengumpulan kulit batang sampel tumbuhan ................... 8

Gambar 2 Pengeringan sampel di udara terbuka ............................... 9

Gambar 3 Bilik herbarium sampel tumbuhan .................................... 10

Gambar 4 Cara pengambilan sampel ................................................. 11

Gambar 5 Beberapa senyawa metabolit golongan alkaloid .............. 15

Gambar 6 Struktur senyawa golongan steroid ................................... 20

Gambar 7 Struktur senyawa golongan saponin steroid ...................... 20

Gambar 8 Struktur senyawa golongan terpenoid ............................... 21

Gambar 9 Kerangka dasar senyawa golongan flavonoid ................... 25

Gambar 10 Strutur senyawa flavonoid, apigenin ............................... 27

Gambar 11 Strutur senyawa flavonoid, trisetin ................................. 27

Gambar 12 Peralatan ekstraksi soklet ................................................ 33

Gambar 13 Ekstraksi secara perkolasi ............................................... 35

Gambar 14 Kolom kromatografi ........................................................ 46

Gambar 15 Kromatografi kolom cair vakum ..................................... 48

Gambar 16 Kromatografi lapis tipis preparatif .................................. 49

Page 8: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

v

DAFTAR SKEMA

Skema 1 Uji fitokimia senyawa alkaloid ........................................ 16

Skema 2 Uji fitokimia senyawa golongan terpenoid, steroid dan

saponin ............................................................................. 22

Skema 3 Uji fitokimia senyawa golongan flavonoid ...................... 26

Skema 4 Proses isolasi umum dengan peningkatan kepolaran ....... 37

Skema 5 Isolasi senyawa metabolit sekunder dari tumbuhan ......... 39

Skema 6 Teknik ekstraksi umum yang dimulai dengan pelarut

polar ................................................................................. 40

Skema 7 Cara umum ekstraksi dan fraksionasi (Sumber Harborne,

1987) ................................................................................ 43

Skema 8 Tahapan ekstraksi senyawa alkaloid dan non alkaloid dari

kulit batang C. Sintoc ....................................................... 52

Skema 9 Tahapan isolasi dan purifikasi senyawa alkaloid dan non

Alkaloid ............................................................................ 53

Page 9: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

1

PENDAHULUAN

Isolasi senyawa yang berasal dari tumbuhan saai ini dirasakan

semakin penting untuk menghadapi pertambahan jumlah penduduk

yang semakin meningkat. Hal ini mengakibatkan kebutuhan pangan,

obat-obatan dan kesehatan serta keperluan lahan untuk pemukiman,

pertanian dan pembangunan semakin meningkat. Tekanan ini

menyebabkan perambahan hutan dan tumbuhan semakin tidak

terkendali, sehingga mengakibatkan terjadinya kepunahan berbagai

spesies tumbuhan yang tidak dapat diperbaharui, sementara potensi

tumbuhan tersebut belum pernah diteliti dan dikaji.

Kepunahan budaya suatu masyarakat tertentu ikut juga memicu

hilangnya pengetahuan tentang potensi sumber daya tumbuhan.

Punahnya budaya mengakibatkan putusnya rantai pengetahuan

etnobotanik penggunaan tumbuhan yang sudah berlangsung lama dan

turun-temurun. Pengetahuan etnobotanik merupakan hal yang sangat

penting, karena kajian senyawa yang berasal dari tumbuhan didasarkan

oleh dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah secara etnobotanik

dan kedua adalah secara kemotaksonomi. Pendekatan etnobotanik

didasarkan pada penggunaan tumbuhan oleh suatu masyarakat untuk

keperluan tertentu, misalnya sebagai bahan obat tradisional.

Pendekatan ini belum dapat dapat dipertanggungjawabkan karena

secara ilmiah belum dapat dibuktikan, namun demikian sebagai dasar

kajian ilmiah sudah sangat membantu. Pendekatan kemotaksonomi

didasarkan pada kekerabatan kandungan kimia, sehingga suatu famili

Page 10: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

2

tumbuhan diyakini memiliki kandungan kimia yang sama atau hampir

sama. Pembuktian ini sudah sering dilakukan dengan cara penapisan

fitokimia, sehingga golongan senyawa metabolit sekunder dapat

diketahui.

Tumbuhan diketahui menghasilkan dua metabolit, yaitu primer

dan sekunder. Metabolisme primer merupakan bahan penyusun utama

dari makhluk hidup dan berfungsi untuk kelangsungan hidupnya.

Contoh metabolit primer adalah polisakarida, lemak, protein dan asam

nukleat. Produk metabolit sekunder merupakan produk sisa dari

metabolit primer dan proses pembentukan metabolit sekunder terjadi

hanya pada spesies tertentu, sehingga memberikan produk yang

berlainan untuk setiap sepsies. Produk ini bukan digunakan untuk

eksistensinya, tetapi banyak pakar menduga untuk pertahan diri dari

serangan spesies lain. Contoh produk ini dapat berupa pertahanan,

penarik sex, feromon, juvenil hormon dari berbagai kelompok yang

didasarkan pada kerangka utama senyawanya. Pengelompokkan

tersebut dapat berupa senyawa golongan alkaloid, terpenoid, steroid,

sapinin, kumarin, falavonoid dan beberapa kelompok lain. Beberapa

pakar juga menduga bahwa produk metabolit sekunder terbentuk,

karena ketidakmampuan tumbuhan untuk membuang sisa metabolism

primer dalam sel, sehingga terjadi detoksifikasi.

Ekstraksi, isolasi dan struktur elusidasi senyawa boaktif

memerlukan pakar multidisiplin ilmu. Diterminasi tumbuhan dan

pengenalan spesies memerlukan pakar biologi, khususnya botanis. Uji

aktvitas senyawa memerlukan pakar dari berbagai disiplin, misalnya

biokimia, pakar mikrobiologi dan biologi. Ekstraksi, isolasi dan

Page 11: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

3

struktur elusidasi senyawa memerlukan pakar kimia organik bahan

alam dan analitik. Modifikasi struktur dan sintesis, pakar organik

sintesis sangat berperan.

Cara yang sering dilakukan dalam kajian senyawa asal tumbuhan

meliputi pengumpulan sampel tumbuhan, menyiapkan sampel untuk

bioassay, penapisan senyawa yang memiliki potensi, penapisan

fitokimia untuk menggolongkan kelompok metabolit sekunder dan

elusidasi struktur. Saat ini elusidasi struktur lebih mudah dilakukan,

karena peralatan yang semakin canggih. Peralatan nuclear magnetic

resonance (NMR) saat ini sudah memilki daya resolusi yang tinggi

bahkan sampai 800 MHz. Nuclear magnetic resonance dua dimensi

(2D-NMR HMQC, HMBC, COSY, NOESY) dan MS sangat

membantu dalam elusidasi struktur.

Penapisan dan isolasi sampel tumbuhan untuk senyawa metabolit

sekunder yang aktif memerlukan pendekatan multidisipli ilmu.

Pendekatan yang sudah baku dan teruji selama ini ini digunakan untuk

keperluan ini. Satu contoh adalah fraksionasi yang dipandu dengan uji

hayati (Bioassay guided fractination). Cara ini yang diisolasi hanya

senyawa aktif saja, namun senyawa lain tidak terisolasi. Teknik isolasi

yang juga kerap dilakukan adalah mengisolasi senyawa apa saja,

walaupun potensi aktivitasnya belum diketahui. Senyawa yang tidak

aktif pada bioindikator tertentu belum tentu tidak bermanfaat. Rekayasa

senyawa melalui sintesis dan modifikasi struktur sangat berperan untuk

meningkatkan potensi suatu senyawa.

Page 12: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

4

Penapisan pendahuluan melalui uji hayati merupakan hal yang

menjadi penentu keberhasilan isolasi selanjutnya. Namun memerlukan

beberapa kriteria, yaitu prosedurnya harus jelas dan sederhana, dapat

dilakukan dengan cepat, terpercaya, murah, peka terhadap bioindikator,

tidak banyak memerlukan peralatan dan mampu mengidentifikasi

bioindikator, baik secara umum maupun khusus.

Page 13: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

5

BAB I

PENGUMPULAN SAMPEL TUMBUHAN

Analisis metabolit sekunder dalam suatu tumbuhan sangat erat

kaitannya dengan pengumpulan, determinasi atau identifikasi dan

penyimpanan sampel. Pengumpulan sampel merupakan pengerjaan

yang memerlukan kepakaran dan persiapan khusus, sehingga sampel

yang akan dianalisis kandungan kimianya sesuai dengan yang

diinginkan. Penanganan sampel bertujuan untuk memastikan bahwa

kandungan kimia tidak mengalami perubahan, sehingga perlu

dilakukan secara baik. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh reaksi

oksidasi senyawa dalam sampel atau kerja-kerja mikroorganisme.

Sampel yang akan dikoleksi untuk tujuan kajian dan penelitian

seringkali tidak terdapat disekitar pemukiman, tetapi berada dalam

hutan, bahkan hutan yang belum dijamah samasekali, sehingga

diperlukan perlakuan khusus. Sampel tumbuhan yang harus diambil

terdiri atas beberapa bagian tumbuhan, meliputi daun, kulit batang,

bunga, buah dan akar. Beberapa bagian tumbuhan, jika tidak

mencukupi, maka koleksi sampel dibatasi pada bagain yang cukup saja.

Misalnya bagian daun mencukupi untuk keperluan penelitian, tetapi

bagian bunga atau buah tidak mencukupi, maka cukup mengambil

bagian daunnya saja. Beberapa tumbuhan yang sudah langka atau yang

dilindungi karena memiliki potensi obat atau lainnya, maka koleksi

tumbuhan tersebut tidak boleh ditebang. Koleksi sampel doilakukan

dengan mengambil sebagian dahan atau cabang. Berikut ini beberapa

Page 14: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

6

hal yang perlu dilakukan dalam pengumpulan sampel tumbuhan untuk

keperluan penelitian, yaitu persiapan, pengumpulan dan penanganan

atau penyimpanan sampel.

A. PERSIAPAN

Persiapan perlu dilakukan untuk menghindari kesulitan dalam

pengumpulan sampel, Beberapa hal yang perlu dilakukan tujuan

tersebut adalah:

a. Kenderaan. yang digunakan untuk transportasi harus mampu

digunakan dalam medan atau kondisi yang berat. Karena tidak

semua sampel dapat diperoleh dari tempat yang mudah dijangkau,

misalnya di daerah bukit yang relatif tinggi dan jurang yang dalam.

b. Chain saw atau alat pemotong batang, cabang atau ranting

tumbuhan yang relatif besar, sehingga tidak memerlukan waktu

yang lama.

c. Goni atau wadah sampel yang terbuat dari kain. Hindari sampel di

simpan dalam wadah dari plastik, karena dapat merusak struktur

senyawa, akibat kerja-kerja mikroba.

d. Etanol diperlukan untuk menyimpan spesimen buah agar tidak

cepat rusak karena mikroba tidak akan hidup.

e. Gunting, alat pemotong, parang, kampak, tali goni,

f. Kabel besar berfungsi untuk menarik sampel yang masuk ke dalam

jurang.

g. Pengepres spesimen.

h. Sepatu, baju lengan panjang, sarung tangan, topi dan kaca mata juga

diperlukan untuk melindungi diri dari duri atau binatang kecil.

Page 15: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

7

i. Makanan dan minuman secukupnya

B. PENGUMPULAN SAMPEL TUMBUHAN

Sampel yang diambil adalah tergantung tumbuhan yang menjadi

objek penelitian. Penelitian yang difokuskan untuk mencari senyawa

alkaloid, maka dipilih pohon dari jenis yang mengandung alkaloid,

misalnya lauraceae, apocynaceae, pavaperaceae. Jika Objek kajian

adalah senyawa metabolit sekunder golongan steroid, maka sampel

tumbuhan yang dipilih adalah famili meliaceae atau euphorbiaceae.

Bagian yang dipilih untuk dikumpulkan menjadi sampel harus memiliki

persyaratan untuk determinasi atau identifikasi, misalnya buah, bunga

dan daun. Tanpa persyaratan ini botanis akan sulit menentukan jenis

dan spesies sampel yang dikoleksi. Jika peneliti mengalami keraguan

terhadap nama spesies tertentu, maka sampel harus dikirim ke tempat

lain dan digunakan sebagai pembanding.

Berbagai jenis bagian sampel tumbuhan, misalnya kulit batang,

daun, buah, bunga dan lainnya memerlukan cara yang khas. Beberapa

tumbuhan memiliki kulit yang tipis, tebal dan seringkali dalam

keadaaan yang sulit di haluskan pada saat kering, sehingga proses

penghalusan dilakukan dalam keadaan basah. Contoh tumbuhan yang

seperti ini adalah famili Anonaceae. Famili Myrtaceae, umumnya

meliki kulit yang tipis, sehingga pengumpulan sampel harus dalam

jumlah yang banyak sampai mencukupi jumlah sampel yang akan

dianalisis. Gambar 1 menunjukkan cara pengupasan kulit batang

tumbuhan famili Lauraceae. Kulit batang yang sudah dikupas

dimasukkan ke dalam goni atau wadah kain dan siap dikeringanginkan.

Page 16: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

8

Penggunaan wadah goni atau kain mempunyai tujuan agar sampel yang

dikumpulkan tidak mengalami kerusakan akibat kerja mikroorganisme

sebelum proses pengeringanginan. Cara yang sama juga dilakukan

terhadap daun, bunga dan buah (jika mencukupi).

Gambar 1. Pengumpulan Kulit Batang Sampel Tumbuhan

C. PENANGANAN SAMPEL TUMBUHAN

Jumlah sampel basah yang dikumpulkan tegantung dengan

keperluan ekstraksi atau isolasi. Umumnya dari sekitar 10 kg sampel

kulit batang, kulit akar, bunga dan buah basah, diperoleh berat kering

sekitar 4-5 kg. Sampel daun basah akan menyusut lebih tinggi, karena

Page 17: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

9

lebih banyak mengandung air. Jumlah tersebut diperkirakan cukup

untuk keperluan isolasi, uji fitokimia dan uji hayati. Sampel

dikeringanginkan di udara terbuka tanpa sinar matahari secara langsung

(Gambar 2) sehingga dapat kering secara baik dan tidak rusak secara

biologi. Sampel yang telah kering dihancurkan dengan mesin

penghancur dan selanjutnya dimasukkan ke dalam wadah yang terlah

diberi kode herbarium.

Gambar 2. Pengeringan sampel di udara terbuka

Spesimen yang telah diberi alkohol dan dipres, dilakukan

determinasi atau identifikasi untuk menetukan jenis dan spesies sampel.

Determinasi sebaiknya dilakukan di tiga tempat yang berbeda untuk

Page 18: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

10

memastikan nama spesies tersebut. Nama spesies yang sudah diketahui

diletakkan dalam bilik herbarium (Gambar 3).

Gambar 3. Bilik herbarium sampel tumbuhan

Page 19: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

11

Gambar 4. Cara pengambilan sampel

Page 20: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

12

BAB II

ANALISIS FITOKIMIA

A. PENDAHULUAN

Analisis senyawa kimia tumbuhan bertujuan untuk mengetahui

keberadaan metabolit sekunder. Metabolit sekunder ini dapat

dikelompokkkan berdasarkan kerangka dasar senyawa, meliputi

golongan alkaloid, terpenoid, steroid, flavonoid maupun saponin.

Beberapa senyawa metabolit sekunder tidak dapat digolongkan secara

spesifik, karena kerangka dasarnya belum ditetapkan secara umum.

Secara kualitatif keberadaan senyawa ini dapat diketahui dengan

reagen-reagen penampak noda tertentu. Cara seperti ini disebut dengan

analisis fitokimia. Tujuan analisis fitokimia adalah sebagai panduan

dalam isolasi golongan senyawa target dan panduan untuk uji hayati.

Keberadaan golongan metabolit sekuder sangat bervariasi dalam

tumbuhan dan umumnya dapat diprediksi lebih awal dari suatu famili.

Misalnya famili Lauraceae, anonaceae dan apocynaceae dan beberapa

famili lain memiliki kandungan senyawa dari golongan alkaloid,

walaupun keberadaan golongan senyawa lainnya mungkin ada. Famili

Meliaceae umumnya memiliki kandungan senyawa golongan

terpenoid. Famili Moraceae diketahui banyak terdapat metabolit

sekunder dari golongan flavonoid. Walaupun demikian para pakar

senyawa bahan alam tidak dapat menduga pasti setiap tumbuhan

mengandung senyawa tertentu, untuk itu uji fitokimia menjadi hal yang

Page 21: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

13

penting untuk pedoman dalam isolasi senyawa metabolit sekunder

selanjutnya.

Banyak cara para peneliti melakukan uji fitokimia, namun secara

umum cara yang paling sering digunakan adalah analisis fitokimia

dengan penampak noda. Penampak noda masing-masing golongan

berbeda-beda. Golongan senyawa alkaloid dapat diidentifikasi dengan

reagen Mayer, Wagner maupun dragendorf. Steroid dan terpenoid

biasanya menggunakan reagen Libermann-Bourchard atau vanillin

sulfat sebagai penampak noda dan flavonoid mereaksikan sampel

dengan pereaksi FeCl3.

B. UJI FITOKIMIA ALKALOID

Definisi senyawa golongan alkaloid masih terjadi perdebatan dan

para pakar mendefinisikan secara berbeda-beda, namun secara umum

memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Sebagian besar atom N merupakan bagian cincin heterosilklik.

b. Mempunyai sifat fisiologis yang unik, sebagian beracun dan

sebagian lagi dapat dimanfaatkan untuk obat-obatan.

c. Mengandung paling sedikit sebuah N (walaupun ada beberapa

senyawa alam yang mengandung N tetapi bukan alkaloid.

d. Bersifat basa dan terasa pahit (tidak disarankan untuk mencicipi

sampel tumbuhan).

e. Keberadaan dalam tumbuhan tersebar secara luas di setiap

jaringan (akar, daun, kulit batang dan kadang-kadang dalam buah,

bahkan dalam beberapa spesies jamur juga terdapat alkaloid).

Page 22: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

14

Alkaloid adalah senyawa produk alam yang paling bervariasi,

sehingga jumlah senyawa golongan ini memiliki jenis yang paling

banyak jika dibandingkan dengan golongan lainnya. Variasi senyawa

alkaloid disebabkan oleh rantai samping yang sangat beragam.

Beberapa contoh senyawa alkaloid yang sudah ditemukan di dalam

tumbuhan tertera pada Gambar 5.

N

O

O1

3

456

78

4a

8a

Papralina

N

O

O

O

OCH3

H3CO

1

23

3a4

5

7

7a

8

910

11

11a

1a

1b

6a

Disentrinona

Page 23: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

15

H3CO

HO

N

H3CO

H3CO

CH3

1

4a 345

6

7

8

8a

1'

2'3'

4'

5'

6'

H

Kodamina

Gambar. 5 Beberapa Senyawa Metabolit Golongan Alkaloid

Sampel tumbuhan baik dalam keadaan segar ataupun yang sudah

dikeringanginkan (akar, kulit batang, daun atau buah) sebanyak 10 g

digerus atau dihaluskan dan kemudian dibasahkan dengan amonia pekat

selama 2 jam. Penggunaan ammonia dapat juga dilakukan dengan

konsentrasi 10%, namun waktu yang diperlukan sekitar 24 jam. Sampel

yang telah dibasahkan dengan ammonia dimaserasi dengan 5 mL

diklorometana atau kloroform, kemudian digerus atau dikocok

sehingga untuk mempercepat proses ekstraksi. Filtrat disaring dan

dipekatkan sampai volumenya menjadi 1 mL. Filtrat ditambahkan asam

klorida 5% sebanyak 5 mL, dikocok kuat-kuat, didiamkan beberapa saat

sampai larutan asam klorida dan dikorometana atau kooroform

memisah. Lapisan asam klorida diambil dan dibagi dalam tiga tabung

reaksi dan masing-masing tabung diuji untuk mengetahui keberadaan

Page 24: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

16

alkaloid. Penambahan dengan pereaksi Meyer akan menyebabkan

terjadinya endapan putih, dengan reagen Dragendorff akan

menyebabkan ada endapan coklat kemerahan, dan dengan pereaksi

wagner timbul endapan kuning. Uji fitokimia secara skematis dapat

dilihat pada Skema 1.

Sampel 10 g

ResiduFiltrat

-Digerus dan dihaluskan

-Dibasahkan dengan amonia pekat 2 jam

-Dimaserasi dengan 5 mL CH2Cl2

-Dikocok kuat-kuat

-Disaring dan dipekatkan

-Ditambahkan 5 mL HCl 5%

-Dikocok

-Didiamkan beberapa saat sampai terjadi 2

lapisan

Lapisan CH2Cl2Lapisan HCl

-Dibagi kedalam 3 tabung reaksi

-Diuji dengan reagen Mayer, Dragendorf, dan Wagner

Hasil

Skema 1. Uji Fitokimia Senyawa Golongan Alkaloid

Setiap proses perlakuan memiliki pengaruh atau tujuan terhadap

analisis fotokimia. Sampel digerus atau dihaluskan bertujuan untuk

Page 25: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

17

mempercepat proses reaksi antara ammonia dengan alkaloid. Alkaloid

di alam masih dalam bentuk garam alkaloid, sehingga proses

ekstraksinya lebih susah, apalagi menggunakan pelarut yang non polar

atau semipolar. Alkaloid yang sudah menjadi netral diekstraksi dengan

diklorometana atau kloroform. Penggunaan kloroform harus hati-hati

karena lebih bersifat toksik dibandingkan dengan diklorometana.

Ekstraksi dengan etilasetat juga banyak dilakukan, namun pada saat

pemekatan sedikit lebih susah, karena etilasetat memiliki titik didih

yang lebih tinggi dibandingkan diklorometana atau kloroform. Filtrat

yang mengandung alkaloid masih bercampur dengan senyawa non

alkaloid lain, sehingga perlu penambahan HCl 5% untuk menjadikan

alkaloid netral menjadi garam alkaloid sehingga terjadi pemisahan

antara alkaloid dengan non alkaloid.

Garam alkaloid diuji kualitatif dengan berbagai reagen penampak

noda. Penambahan penampak noda dengan reagen Mayer menunjukkan

positif mengandung alkaloid, jika terjadi endapan putih. Jika

menggunakan penampak noda Dragendorff terjadi endapan merah

kecoklatan dan pereaksi Wagner ada endapan kuning. Masih banyak

lagi penampak noda untuk senyawa alkaloid, misalnya reagen asam

pikrat atau asam tanat. Penambahan berbagai penampak noda ini

berguna untuk mendeteksi semua jenis alkaloid, karena alkaloid dari

jenis tertentu sensitif dengan reagen penampak noda tertentu. Misalnya

alkaloid jenis oksoaporfina akan sangat sensitif dengan Dragendorff

dan dalam masa relatif singkat akan menjadi coklat kehitaman.

Alkaloid yang memiliki N tidak terikat pada cincin aromatik atau siklik,

tidak menunjukkan warna yang tajam dengan reagen Dragendorff.

Page 26: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

18

Kesulitan lain dari analisis kualitatif ini, seringkali terjadi jika suatu

sampel yang sebernarnya mengandung alkaloid, tetapi memiliki

konsentrasi yang kecil sehingga seolah-olah dalam sampel tidak

mengandung alkaloid. Hal ini dapat diatasi dengan menambah jumlah

sampel dan diikuti dengan pemekatan filtrat. Cara lain untuk

mendeteksi senyawa alkaloid adalah dengan melakukan kromatografi

lapis tipis (KLT). Filtrat yang sudah pekat ditotolkan pada plat KLT dan

dielusi dengan pelarut yang sesuai kemudian di semprot dengan

penampak noda Dragendorff menunjukkan warna coklat. Penggunaaan

reagensia penampak noda untuk alkaloid disarankan yang baru dibuat,

karena reagensia ini kurang stabil, sehingga dikhawatirkan tidak

menunjukkan reaksi yang positif. Pembuatan masing-masing reagen ini

adalah sebagai berikut:

a. Reagen Mayer

Endapat putih yang terbentuk menunjukkan ada alkaloid di dalam

sampel. Reagen ini dibuat dengan menimbang 1,4 g merkuri (II) klorida

dalam 60 mL air distilasi dan mencampurkan larutan kalium iodide ( 5

g KI dalam 10 mL air distilasi). Kedua jenis laruatan ini dicampur dan

kemudian ditambah air distilasi sampai volume menjadi 150 mL.

b. Reagen Dragendorff

Reagent Dragendorff digunakan untuk mendeteksi alkaloid yang

umumnya untuk penyemprotan di pelat kromatografi lapis tipis (KLT).

Noda coklat kemerahan menunjukkan positif alkaloid Pembuatan

reagen Dragendorff adalah bismuth (III) nitrat (1.7 g) dilarutkan dengan

20 mL asam asetat glasial dan diencerkan dengan 80 mL air distilasi.

Larutan ini disebut dengan larutan A. Kalium Iodida (16 g) dilarutkan

Page 27: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

19

dalam dalam 40 mL air distilasi. Larutan ini disebut dengan larutan B.

Kedua campuran larutan ( A dan B) dicampurkan menjadi regaen stok

Dragendorf. Larutan untuk penyemprotan dibuat dengan mengukur 40

mL larutan stok dan dicampur dengan 20 mL asam asetat glasial,

kemudian diencerkan dengan 120 mL air distilasi.

c. Reagen Wagner

Reagen Wagner dibuat dengan cara menimbang 1,25 g iodine, I2

dan 1 g kalium iodide, KI. Campuran bahan tersebut dilarutkan dalam

100 mL aqudes dalam labu ukur. Reaksi positif alkaloid menunjukkan

endapan coklat.

C. UJI FITOKIMIA TERPENOID, STEROID DAN SAPONIN

Terpenoid, steroid dan saponin merupakan senyawa produk alam

yang tersebar hampir di semua jenis tumbuhan. Triterpenoid, steroid

dan saponin secara struktural memiliki beberapa persamaan (Gambar 6,

7 dan 8). Secara umum terpenoid dibagi kedalam beberapa kelas, yaitu

monoterpenoid (C10), sesquiterpenoid (C15), diterpenoid (C20) dan

tetraterpenoid (C40).

Steroid, secara struktural mirip dengan triterpenoid, namun pada

atom C4 memiliki gugus metil untuk golongan terpenoid dan tidak ada

untuk steroid. Saponin merupakan triterpenoid atau steroid yang

memiliki gugus gula. Jika gugus steroid mengikat gugus gula disebut

dengan saponin steroid dan jika terpenoid mengikat gugus gula, maka

disebut saponin triterpenoid. Jika gugus gula mengalami hidrolisis,

maka seteroid atau triterpenoid disebut dengan aglikon dan gugus gula

Page 28: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

20

disebut glikon. Gambar 6 merupakan contoh steroid yang diisolasi dari

spesies Cryptocarya rugulosa, family Lauraceae.

HO

2

3

4

56

7

89

10

11

1213

1415

1

17

18

19

20

21

2223

24

2526

27

28

29

16H

H H

H

H

H

Gambar 6. Struktur Senyawa Golongan Steroid

O

O

CH2OH

HO

HOOH

12

3

45

67

89

10

1112

13

1415

16

17

18

19

20

21

2223 24

2526

27

28

29

1'2'3'

4'5'

6'

H

HH

H

H

H

Gambar 7. Struktur Senyawa Golongan Saponin Steroid

Page 29: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

21

Gambar 8. Struktur Senyawa Golongan Terpenoid

Analisis fitokimia ketiga jenis senyawa tersebut biasanya

dilakukan secara bersamaan dan menggunakan penampak noda

Libermann Bourchard atau vanillin sulfat dalam pelat KLT. Skema 2

adalah analisis fitokimia senyawa golongan terpenoid, steroid dan

saponin.

Page 30: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

22

Skema 2. Uji Fitokimia Senyawa Golongan Terpenoid, Steroid dan

Saponin

Sampel yang digunakan untuk uji fitokimia dapat dalam keadaan

segar, maupun yang sudah dikeringanginkan. Penggunaan sampel segar

lebih dianjurkan, karena senyawa yang terkandung masih diyakini

belum rusak secara struktur, namun kandungan air yang terdapat dalam

sampel berpengaruh terhadap konsentrasi. Seringkali konsentrasi yang

Sampel 10 g

Fraksi yang larut

Ekstrak

metanol

Filtrat

Ekstrak

Busa stabil ± 30

menit

Fraksi yang

tidak larut

(Residu)

Ungu/Merah

(+)

Hijau/Biru

(+)

Hijau/Biru

(+) Saponin

Steroid

Ungu/merah

(+) Saponin

Triterpen

- Digerus halus - Ditambahkan metanol panas

- Diuapkan dengan rotary evaporator

- Diekstraksi dengan etilasetat atau diklorometana

- Diuji dengan pereaksi Liebermann - Burchard

- Ditambahkan HCl

Page 31: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

23

kecil tidak terdeteksi oleh reagensia yang digunakan untuk identifikasi.

Sampel sebaiknya dihaluskan untuk mempercepat proses ekstraksi.

Ekstraksi sampel dilakuan menggunakan methanol panas dengan

harapan semua senyawa metabolit sekunder dapat diekstraksi ke dalam

pelarut.

Filtrat yang diperoleh diuapkan menggunakan rotary evaporator,

sehingga senyawa yang dikuatirkan rusak akan terjaga dengan baik.

Umumnya golongan terpenoid dan steroid bersifat non polar sampai

semi polar, sementara itu saponin umunya bersifat polar, karena

memiliki banyak gugus fungsi hidroksil. Perlakuan dengan

memisahkan kedua golongan itu dilakukan dengan ekstraksi ekstrak

menggunakan pelarut yang non polar sampai semi polar. Banyak

pelarut yang dapat digunakan, diantaranya adalah n-heksana (non

polar), etilasetat, kloroform, diklorometana atau dietileter (semi polar).

Golongan senyawa terpenoid dan steroid larut dalam pelarut

non polar sampai semi polar. Senyawa yang larut dalam pelarut tersebut

dapat diidentifikasi dengan menggunakan reagen Liebermann-

Burchard. Warna hijau atau biru menunjukkan adanya steroid dan

warna ungu atau merah positif terpenoid. Identifikasi dengan cara lain

adalah memperlakukan secara kromatografi lapis tipis, kemudian

dielusi dengan eluen yang sesuai dan disemprot dengan penampak noda

vanillin sulfat atau serik sulfat.

Fraksi yang tidak larut dalam pelarut non polar atau semi polar

adalah golongan senyawa saponin. Uji kualitatif saponin dapat

dilakukan dengan menambahkan air kemudian dikocok. Busa yang

terbentuk akan stabil dalam waktu yang relatif lama, lebih kurang 30

Page 32: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

24

menit. Saponin tidak menunjukkan sensitifitas dengan reagen

Liebermann-Burchard, sehingga perlu dihidrolisis dengan HCl untuk

memutuskan ikatan glikosidanya. Ikatan glikosida yang sudah terputus

menjadikan senyawa steroid atau terpenoid (aglikon) dan senyawa gula

(glikon). Aglikon diidentifikasi menggunakan reagensia Liebermann-

Burchard atau vanillin sulfat. Hasil positif ditunjukkan warna ungu atau

merah untuk saponin triterpen dan hijau atau biru untuk saponin steroid.

Reagen penampak noda yang paling sering digunakan untuk

identifikasi adalah Liebermann-Burchard, vanillin sulfat dan serik

sulfat. Masing reagen dapat dibuat dengan cara sebagai berikut:

a. Reagen Liebermann-Burchard

Campuran ssam asetat anhidrat (5 mL) dan 5 mL asam sulfat

pekat secara hati-hati di tambahkan 5 mL etanol absolut di

dalam penangas es.

b. Reagen vanillin sulfat

Larutan 1. 5% vanillin dalam etanol absolut

Larutan 2. 5% asam sulfat pekat dalam etanol absolut

Kedua larutan tersebut dicampur dan dimasukkan ke dalam

botol sprayer. Pencampuran reagensia ini sebaiknya dilakukan

pada saat akan digunakan untuk menghindari kerusakan reagen.

c. Reagen serik sulfat.

Dibuat dengan mencampurkan serik sulfat jenuh ke dalam

larutan asam sulfat 65%.

Page 33: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

25

D. UJI FITOKIMIA FLAVONOID

Senyawa golongan flavonoid sebenarnya adalah senyawa

golongan fenolat. Umumnya golongan senyawa ini bersifat polar,

karena memiliki beberapa gugus hidroksil atau juga sering dijumpai

dalam bentuk flavon glikosida. Banyak tumbuhan-tumbuhan yang

memiliki kandungan senyawa golongan falvonoid. Famili moraceae

dan leguminocae adalah contoh tumbuhan yang banyak terkandung

senyawa golongan ini. Kerangka dasar flavonoid terdiri atas 15 atom

karbon yang memiliki 2 cincin fenil (A dan B) yang dihubungkan oleh

rantai propane (Gambar 9).

Gambar 9. Kerangka Dasar Senyawa Golongan Flavonoid

Analisis fitokimia senyawa golongan flavonoid dapat dilakukan

secara sederhana. Secara skematis (Skema 3) dapat dilakukan sebagai

berikut.

Page 34: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

26

Skema 3. Uji Fitokimia Senyawa Golongan Flavonoid

Sampel diekstraksi menggunakan pelarut methanol karena

umumnya senyawa golongan flavonoid bersifat polar, sehingga

diharapkan semua flavonoid dapat terekstraksi ke dalam pelarut. Filtrat

yang diperoleh dipekatkan menggunakan rotary evaporator. Ekstrak

metanol pekat diekstraksi, secara partisi menggunakan pelarut non

polar, misalnya n-heksana atau petroleum eter. Penggunaan pelarut ini

bertujuan untuk menghilangkan senyawa-senyawa non fenolik (lemak

atau mono terpenoid) sehingga tidak mengganggu proses identifikasi.

Senyawa golongan fenol menyerap sinar daerah ultra violet

pendek yang dapat diamati pada pelat KLT yang mengandung indikator

fluoresensi gelombang 254 nm. Cara lain mendeteksi senyawa

golongan fenol adalah dengan menambahkan larutan FeCl3 yang

Sampel 10 g

Ekstrak

metanol

Merah muda/ungu

(+) Flavonoid

Filtrat Residu

- Diekstraksi dengan metanol

- Dipekatkan

- Diekstraksi dengan n-heksana

- Diekstraksi dengan 10 mL etanol 80%

- Ditambahkan 0,5 g Mg dan Hcl 0,5 M

Page 35: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

27

menunjukkan warna biru sampai ungu. Deteksi secara sederhana

lainnya adalah dengan menotolkan ekstrak pada pelat KLT yang diikuti

dengan pemberian uap ammonia. Bercak biru agak pudar menunjukkan

positif senyawa golongan fenol. Beberapa contoh senyawa flavonoid

adalah seperti pada Gambar 10 dan 11.

Gambar 10. Struktur Senyawa Flavonoid, Apigenin

Gambar 11. Struktur Senyawa Flavonoid, Trisetin

Senyawa golongan flavonoid umumnya memiliki aktivitas

antioksidan. Aktivitas tersebut diduga, karena golongan flavonoid

memiliki gugus fungsi hidroksil.

Page 36: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

28

BAB III

PEMISAHAN SENYAWA

Senyawa dalam sampel tumbuhan masih dalam keadaan

bercampur satu sama lain, sehingga teknik pemisahan senyawa menjadi

hal yang penting dalam keberhasilan pekerjaan. Senyawa, seringkali

memiliki sifat kepolaran yang mirip, sehingga, proses pemisahan

menjadi lebih rumit. Berbagai faktor yang harus diperhatikan dalam

pemisahan senyawa meliputi, pelarut, proses ekstraksi, isolasi dan

purifikasi.

A. PELARUT

Faktor pelarut sangat berperan penting dalam proses ekstraksi ini.

Pelarut yang digunakan memiliki kualitas yang bervariasi dan jika

digunakan untuk ekstraksi dapat dilakukan menggunakan pelarut yang

kualitasnya relatif lebih rendah (industrial grade). Pelarut ini dapat

ditingkatkan kualitasnya dengan cara distilasi pelarut. Rendemen hasil

distilasi biasanya berkisar antara 70-80% tergantung sistem

pendinginnya atau jumlah pengotornya.

Secara umum pelarut yang digunakan untuk ekstraksi dibagi tiga

kategori yaitu (1) pelarut non polar, misalnya n-heksana dan petroleum

eter. (2) pelarut semi polar, misalnya, etilasetat, aseton, diklorometana,

benzena dan kloroform. (3) Pelarut polar biasanya digunakan metanol

dan etanol. Pada dasarnya pelarut yang digunakan untuk ekstraksi harus

memiliki beberapa persyaratan.

Page 37: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

29

a. Mudah diperoleh

Banyak pelarut yang diproduksi harus dipesan dalam waktu yang

relatif lama, sehingga pekerjaan ekstraksi dapat terhambat.

b. Relatif murah

Pelarut satu dengan yang lainnya, seringkali memiliki perbedaan

harga yang signifikan, walaupun keduanya memiliki fungsi yang

relatif sama dalam hal pemisahan.

c. Memiliki titik didih yang rendah

Pelarut yang memiliki titik didih rendah memudahkan dalam

proses pemekatan. Pelarut dengan titik didih yang relatif tinggi

memerlukan waktu yang lebih lama dalam proses pemekatan ekstrak.

Satu contoh etanol dan metanol merupakan pelarut organik polar dan

senyawa yang terekstraksi relatif sama, tetapi etanol memiliki titik

didih 79 0C dan metanol adalah 65 0C. Para pakar umumnya lebih

menyukai metanol sebagai pelarut.

d. Relatif kurang berbahaya

Satu contoh pelarut yang berbahaya adalah, misalnya kloroform

(walaupun merupakan ekstrakstor yang baik), tetapi pengerjaannya

harus sangat hati-hati. Contoh lain pelarut yang tidak dianjurkan

adalah benzena, karena pelarut ini sangat karsinogenik.

e. Tidak bereaksi dengan sampel

Beberapa pelarut seringkali bereaksi dengan pelarut, sehingga

jika digunakan akan diperoleh senyawa yang sudah berubah dari

senyawa asalnya.

Page 38: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

30

Tabel 1 adalah beberapa pelarut dan titik didihnya, yang lazim

digunakan dalam proses ekstraksi maupun isolasi, walaupun masih

banyak jenis pelarut yang lain tidak tercantum dalam tabel tersebut.

Tabel 1. Titik didih beberapa pelarut yang biasa digunakan untuk

Ekstraksi

No Nama Pelarut Titik didih (oC

1 n-heksana 69

2 Petroleum eter 60-70

3 Dietileter 35

4 Kloroform 61

5 Diklorometana 40

6 Etilasetat 77

7 Aseton 56

8 Benzene 80

9 n-Propanol 97

10 Asetonitril 82

11 Asam asetat 118

12 n-butanol 118

13 Etanol 79

14 Methanol 65

15 Air 100

B. EKSTRAKSI

Ekstraksi merupakan proses penyarian suatu senyawa atau

kelompok senyawa menggunakan pelarut tertentu yang sesuai dengan

sifat kepolaran senyawa yang diinginkan. Berbagai cara ekstraksi telah

dilakukan untuk analisis senyawa kimia dalam tumbuhan. Masing-

masing cara ekstraksi memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan

tergantung sifat senyawa yang diinginkan. Beberapa jenis ekstraksi

Page 39: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

31

yang sering dilakukan oleh kimiawan organik bahan alam meliputi

maserasi, sokletasi, perkolasi dan partisi.

a. Maserasi

Maserasi adalah proses ekstraksi yang menggunakan pelarut

dingin, tanpa perlakuan suhu dan dengan cara perendaman. Cara ini

paling sering digunakan, karena memiliki beberapa kelebihan

walaupun juga memiliki beberapa kekurangan. Kelebihan ekstraksi

dengan cara maserasi adalah:

1) Senyawa yang mudah rusak akan tetap terjaga dengan baik,

karena tidak menggunakan suhu tinggi pada saat ekstraksi.

2) Jumlah sampel yang diekstrasi dapat dilakukan dengan

jumlah yang banyak, karena wadahnya dapat dimodifikasi

sesuai dengan jumlah sampel.

3) Tidak menggunakan peralatan khusus. Wadah apa saja dapat

digunakan untuk maserasi sejauh tidak bereaksi atau dapat

larut dengan pelarut yang digunakan.

Ekstraksi secara maserasi, walaupun memiliki beberapa kelebihan,

namun ada juga beberapa kelemahan.

1) Pelarut yang diperlukan lebih banyak, karena dilaukan

perendaman berulang-ulang sampai diharapkan semua

senyawa terekstrak.

2) Waktu yang diperlukan untuk proses ekstraksi relatif lebih

lama. Biasanya satu kali maserasi dilakukan dalam masa 3

hari. Jika maserasi dilakukan berulang-ulang 3 kali, maka

akan memerlukan waktu 9 hari.

Page 40: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

32

3) Jika waktu yang digunakan tidak maksimum, maka tidak

semua senyawa terekstrak dengan sempurna.

b. Sokletasi

Teknik ekstraksi ini adalah menggunakan pelarut yang sesuai

dengan titik didihnya sebagai ekstraktor. Cara ini dapat digunakan jika

menggunakan pelarut yang memiliki titik didih rendah. Karena titik

didih yang rendah memungkinkan senyawa yang terekstrak tidak

rusak. Ekstraksi beberapa senyawa metabolit sekunder dapat juga

dilakukan dengan cara ini, karena senyawa tersebut cukup tahan

terhadap suhu tinggi. Alat sokletasi sederhana yang kerap digunakan

untuk ekstraksi terlihat pada Gambar 12. Cara ini memiliki beberapa

kelebihan sebagai berikut.

1) Lebih ekonomis

2) Menggunakan pelarut yang sedikit, karena sistem kerja

peralatan soklet, pelarut akan kembali ke dalam labu soklet.

3) Ekstraksi dapat berlangsung secara cepat, sehingga tidak

memerlukan waktu yang lama untuk memperoleh ekstrak.

4) Senyawa yang terekstraksi menjadi lebih banyak, karena

sirkulasi perendaman berlangsung lebih banyak dan cepat.

Page 41: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

33

Gambar 12. Peralatan Ekstraksi Soklet

Page 42: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

34

Ekstraksi cara ini juga memiliki kelemahan dan diantaranya

adalah:

1) Senyawa yang terekstraksi dikuatirkan akan rusak, terutama

senyawa-senyawa yang sensitif terhadap panas, apalagi

menggunakan pelarut yang memiliki titik didih tinggi.

2) Peralatan soklet umumnya dapat menampung sampel dalam

jumlah yang sedikit. Jika sokletasi sampel dalam jumlah yang

banyak, maka diperlukan sokletasi berkali-kali, sehingga

memerlukan waktu yang lama.

Cara kerja alat ini adalah sampel diletakkan pada tempat sampel

dan ditambahkan dengan natrium sulfat anhidrat untuk mengurangi atau

menghilangkan air yang terdapat dalam sampel. Pelarut organik yang

digunakan diletakkan dalam labu bulat dan dipanaskan dengan heating

mantel. Pelarut diuapkan melalui jalan langsung uap (bypass sidearm)

sehingga terjadi pengembunan pada kondensor. Kondensor harus

dihubungkan dengan sistem pendingin (cooler), sehingga

pengembunan uap pelarut terjadi secara sempurna.

Pelarut yang mengembun menjadi cair akan merendam sampel

sampai pada batas ketinggian refluk sidearm, maka pelarut akan turun

ke dalam labu bulat lagi. Proses ini berlangsung secara terus menerus

sampai diperkirakan semua senyawa terkstraksi.

c. Perkolasi

Proses ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru secara terus

menerus sampai sempurna disebut dengan perkolasi. Proses perkolasi

ini dilakukan pada suhu ruang, sama seperti proses ekstraksi maserasi.

Page 43: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

35

Ekstraksi cara akan dihentikan jika senyawa yang terekstraksi tidak

terkandung lagi dalam sampel. Perkolasi dapat dihentikan, jika tetesan

perkolat tidak berwarna lagi, walaupun seringkali banyak senyawa

yang tidak berwarna. Cara lain adalah pada perkolat terakhir dilakukan

KLT, kemudian dilihat di bawah lampu UV dan jika masih terlihat ada

senyawa, maka perkolasi masih dilanjutkan.

Gambar 13. Ekstraksi secara Perkolasi

Cara kerja proses ini adalah sampel ditempatkan dalam labu

perkolasi dan direndam dengan pelarut. Senyawa yang terekstraksi

Page 44: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

36

dipisahkan dengan cara membuka keran labu. Laju tetesan ekstrak sama

dengan tetesan pelarut baru yang diletakkan dalam botol yang telah

dimodifikasi dan dilengkapi dengan keran (Gambar 13). Ekstraksi

dengan cara perkolasi memiliki beberapa kuntungan.

1) Kandungan senyawa dalam sampel tidak mengalami kerusakan,

karena dilakukan dengan suhu kamar.

2) Sampel yang diekstrasi dapat dilakukan dengan jumlah yang

banyak, karena wadahnya dapat dimodifikasi sesuai dengan

jumlah sampel.

3) Pelarut yang digunakan terus menerus dalam keadaan baru,

sehingga proses ekstraksi akan lebih cepat.

Beberapa kelemahan proses ekstrasi dengan cara perkolasi adalah

1) Memerlukan pelarut yang banyak

2) Proses ekstraksi memerlukan waktu yang lama

d. Partisi

Partisi adalah pemisahan dua campuran senyawa atau lebih

dengan menggunakan pelarut yang tidak saling larut dengan salah satu

senyawa. Cara ini sering dilakukan untuk campuran senyawa dalam

keadaan cairan, namun sering juga dalam campuran padatan. Peralatan

yang paling sering digunakan untuk proses adalah corong pisah.

C. ISOLASI

Isolasi adalah pengasingan masing-masing senyawa berdasarkan

sifat kepolaran senyawa yang akan diasingkan. Isolasi senyawa

metabolit sekunder dapat dilakukan dengan berbagai cara. Cara yang

Page 45: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

37

paling sering dilakukan adalah secara kromatografi kolom,

kromatografi kolom cair vakum, kromatografi lapis tipis preparatif

(KLTP) dan kromatografi cair kinerja tinggi preparatif (KCKTP).

Umumnya proses isolasi dilakukan dengan menaikkan tingkat

kepolaran pelarut yang dimulai dari ekstrak yang bersifat non polar

sampai polar. Proses isolasi didahului oleh proses proses ekstraksi.

Skema 4 adalah contoh ekstraksi umum yang sering dipedomani

sebagai cara yang sederhana.

Skema 4. Proses isolasi umum dengan peningkatan kepolaran

Sampel Tumbuhan

Residu Filtrat n-heksana

Ekstrak etilasetat

Residu

Filtrat MeOH Residu

Ekstraksi dengan MeOH

Ekstraksi dengan n-heksana

Ekstraksi dengan Etilasetat dipekatkan

Ekstrak n-heksana

Filtrat etilasetat

Dipekatkan

Extrak MeOH

Dipekatkan

Page 46: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

38

Pengerjaan awal sampel dimulai dengan cara ekstraksi (misalnya,

maserasi, sokletasi, perkolasi atau partisi) menggunakan pelarut n-

heksana. Pelarut ini dapat mengekstrak senyawa golongan lemak,

monoterpenoid ataupun senyawa metabolit sekunder lain yang bersifat

non polar. Pengerjaan isolasi ini akan diperoleh kelompok senyawa non

polar. Senyawa ini dalam pengerjaan selanjutnya dilakukan isolasi dan

dapat diidentifikasi masing-masing senyawa. Residu diekstrasi dengan

pelarut semipolar, misalnya etilasetat atau diklorometana. Fungsi

pelarut ini untuk memisahkan senyawa yang bersifat semi polar. Isolasi

ekstrak etil asetat melalui berbagai cara pemisahan dapat diperoleh

senyawa-senyawa yang terkandung dalam ekstrak ini. Pelarut polar,

misalnya metanol, digunakan untuk menarik senyawa-senyawa polar,

misalnya golongan senyawa saponin, tanin, flavonoid atau metabolit

sekunder lainnya yang bersifat polar. Hasil pengerjaan ini diharapkan

semua senyawa dalam sampel dapat terekstraksi dan dapat diisolasi

yang selanjutnya diidentifikasi melalui elusidasi struktur. Skema 5

adalah contoh pengerjaan isolasi senyawa metabolit sekunder dari

tumbuhan.

Page 47: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

39

Skema 5. Isolasi senyawa metabolit sekunder dari tumbuhan

Ekstrak n-heksana atau

EtOAc atau MeOH

Kolom kekromatografi

Fraksi 1 Fraksi n

Elusidasi struktur

Isolat murni

Struktur

Rekromatografi

atau PTLC

Fraksi 3

TLC

dipekatkan

Fraksi 2 Fraksi 4

TLC TLC TLC TLC

Sub fraksi A Sub fraksi B Sub fraksi n

Rekromatografi

atau PTLC

Rekromatografi

atau PTLC

Isolat murni

Page 48: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

40

Teknik isolasi yang dimulai dari pelarut polar sering juga

dilakukan, namun pengerjaannya dengan cara ini sedikit lebih susah,

karena pada saat partisi antara semi polar dengan polar, harus

menambahkan air. Air memiliki titik didih yang tinggi sehingga lebih

sulit dipekatkan. Cara ini memiliki kelebihan, yaitu menggunakan

pelarut yang relatif sedikit. Skema 6 adalah contoh teknik isolasi umum

yang dimulai dengan pelarut polar.

Skema 6. Teknik ekstraksi umum yang dimulai dengan pelarut polar

Sampel Tumbuhan

Filtrat

Ekstrak n-heksana

Ekstrak etilasetat Ekstrak MeOH

Filtrat MeOH

Residu

- Ekstraksi dengan MeOH

dipekatkan dipekatkan

- Diencerkan dengan MeOH

- Dipartisi dengan n-heksana

Filtrat

- Ditambah air

- Dipartisi dengan EtOAc

Ekstrak MeOH

Dipekatkan

Filtrat Residu

Dipekatkan

Residu

Page 49: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

41

Sampel diekstraksi dengan metanol beberapa kali sampai

diharapkan semua senyawa baik yang polar, semipolar maupun non

polar dapat terkestraksi ke dalam pelarut. Ekstraksi dapat dihentikan

jika pelarut tidak berwarna lagi atau diidentifikasi dengan cara

menotolkan ekstrak di atas plat KLT, kemudian di-spray dengan reagen

penampak noda. Metanol adalah pelarut yang sangat baik untuk

ekstraksi semua senyawa metabolit sekunder dalam jaringan tumbuhan.

Kemampuan ini disebabkan metanol dapat merusak struktur jaringan

sel tumbuhan, sehingga semua senyawa dapat terektraksi. Ekstrak

metanol disaring dan dipekatkan dengan rotari evaporator. Ekstrak

pekat metanol dipartisi dengan n-heksana secara berulang-ulang,

sampai semua senyawa non polar dapat terekstraksi. Filtrat dipekatkan

dan dipeoleh ekstrak pekat n-heksana.

Ekstraksi secara partisi dengan n-heksana adalah untuk menarik

senyawa non polar yang terkandung dalam sampel. Partisi dilakukan

berulang-ulang sampai senyawa non polar terekstraksi sempurna.

Fraksi ini dilakukan pemisahan dengan teknik-teknik isolasi secara

kromatografi kolom, kolom lapis tipis preparatif ataupun kromatografi

kolom cair vakum.

Residu yang diperoleh dilarutkan dalam air dan dipartisi dengan

pelarut semi polar, misalnya etilasetat, EtOAc atau diklorometana atau

pelarut semipolar lainnya. Fungsi penambahan air bertujuan untuk

meningkatkan kepolaran, sehingga akan terjadi polarisasi antara

senyawa semipolar dan polar. Partisi dengan senyawa ini dilakukan

Page 50: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

42

berulang-ulang sampai semua senyawa semi polar diharapkan

terkestraksi. Filtrat disaring dan dipekatkan untuk tujuan isolasi.

Residu yang dihasilkan adalah ekstrak polar yang mengandung

air. Pemekatan ekstrak ini sedikit lebih susah, karena pemekatan

menggunakan rotary evaporator memerlukan waktu yang lama dan

suhu yang relatif tinggi, sehingga dikuatirkan senyawa akan menjadi

rusak. Cara pemekatan yang sederhana adalah pemekatan melalui

freeze dryer.

Perbandingan teknik ekstraksi yang dimulai dari pelarut non polar

(Skema 4) dan dimulai dari pelarut polar (Skema 6), masing-masing

memiliki kelebihan dan kekurangan. Cara pertama banyak memerlukan

pelarut, tetapi pengerjaannya relatif lebih mudah. Cara kedua adalah

sebaliknya, sehingga peneliti dapat memilih mana yang terbaik untuk

isolasi.

Secara umum isolasi yang dapat mengidentifikasi semua

senyawa, termasuk golongan alkaloid terlihat dalam Skema 7. Sampel

dalam jumlah yang cukup untuk keperluan identifikasi dan elusidasi

struktur senyawa, dihomogenkan dengan dalam pelarut metanol-air

(4:1) selama 5 menit. Tujuannya adalah semua senyawa, bahkan yang

sangat polar sekalipun, misalnya saponin dan tanin, dapat terekstrak ke

dalam pelarut tersebut.

Residu diekstraksi dengan etilasetat secara berulang-ulang,

sehingga diperoleh residu dan filtrat. Residu mengandung senyawa

polisakarida, misalnya selulosa atau senyawa makromolekul. Filtrat

mengandung senyawa lemak atau lilin. Kedua senyawa tersebut dapat

dipisahkan secara KLT preparatif atau kromatografi kolom. Jika hanya

Page 51: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

43

untuk identifikasi dapat dilakukan dengan KLT atau gas kromatografi-

mass spektrometri (GC-MS).

Skema 7. Cara umum ekstraksi dan fraksionasi (Sumber Harborne,

1987)

Ekstraksi polar Ekstak MeOH (alkaloid kuarterner dan N-oksida)

- basakan sampai pH 10

dengan NH4OH

- ekstraksi dengan

CHCl3-MeOH (3:1)

2X dan CHCl3

Lapisan air

basa

Ekstrak

CHCL3- MeOH

Keringkan, uapkan

Uapkan,

Ekstaksi

Dengan

MeOH

Ekstraksi basa (kebanyakan alkaloid) KLT pada silika atau Elektroferesis

Lapisan air

asam

Residu

Sampel

- Homogenkan 5 menit dalam

Filtrat

Ekstraksi dengan EtOac (5X), saring

Uapkan sampai 1/10 vol. (40oC) Asamkan dengan H2SO4 2M/HCl 5% Ekstaksi dengan CHCL3 (3X)

Serat (terutama poli-sakarida)

Residu Ekstrak netral (lemak, lilin) Pisah dengan KLT Pada silika atau KGC

Filtrat

Ekstrak polar

pertengahan

(terpenoid

atau senyawa

fenol) KKt atau

KLT Pada silika

Ekstrak CHCL3

Keringkan,

uapkan

Page 52: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

44

Filtrat yang diperoleh dipekatkan pada suhu 40 oC sampai volume

menjadi 10%-nya. Filtrat tersebut diasamkan dengan asam sulfat 2 M

atau HCl 5%, untuk memisahkan golongan alkaloid (jika dalam sampel

mengandung senyawa tersebut) dan bukan alkaloid. Perlakuan

selanjutnya ke dalam sampel tersebut ditambahkan dengan kloroform

atau diklorometana atau pelarut organik semipolar lainnya, sehingga

terpisah antara fraksi air dan fraksi organik. Fraksi air mengandung

senyawa alkaloid dalam bentuk garam alkaloid. Fraksi organik

dipekatkan dan mengandung senyawa terpenoid, steroid, kumarin dan

ada juga golongan flavonoid. Isolasi senyawa dari fraksi ini dapat

dilakukan secara KLT preparatif, kromatografi kolom atau HPLC

preparatif.

Lapisan air-asam dibasakan dengan ammonia sampai pH 10 atau

11 untuk mengubah alkaloid garam menjadi netral, sehingga dapat

terekstraksi dengan kloroform atau diklorometana. Penambahan pelarut

metanol bersama kloroform adalah untuk memisahkan alkaloid yang

semi polar dan polar (misalnya alkaloid yang mengandung N-oksida.

Isolasi senyawa dari ekstrak dapat dilakukan dengan berbagai

cara diantaranya adalah kolom kromatografi (kromatografi kolom

(Gambar 13), kromatografi tipis preparatif, kromatografi kolom cair

vakum dan kromatografi kolom cair kinerja tinggi preparatif. Teknik

tersebut masing-masing memiliki beberapa kelebihan maupun

kekurangan tergantung senyawa yang akan dipisahkan.

A. Kromatografi kolom

Kromatografi kolom didasarkan pada absorpsi senyawa dalam

silika yang didasarkan pada kepolaran senyawa. Senyawa yang lebih

Page 53: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

45

non polar akan turun terlebih dahulu dibandingkan dengan senyawa

yang lebih polar. Sebelum pengerjaan kromatografi kolom, maka

dilakukan terlebih dahulu mencari sistem pelarut. Sistem pelarut

ditentukan dengan cara KLT secara berulang-ulang sampai diperoleh

pelarut yang sesuai. Secara teknis pengerjaan dengan kolom

kromatografi adalah sebagai berikut:

a. Sampel dalam bentuk ekstrak dilarutkan dalam pelarut yang lebih

non polar dibandingkan dengan system eluen yang akan

digunakan untuk elusi dan dibuat sepekat mungkin.

b. Kolom yang digunakan berdiameter sesuai dengan jumlah

sampel. Jika jumlah sampel banyak, maka digunakan kolom yang

berdiameter besar.

c. Silika gel (fasa diam) yang digunakan sebaiknya menggunakan

jenis memiliki kualitas yang tinggi.

d. Silika gel yang digunakan sebaiknya dimasukkan ke dalam oven

pada suhu 110 oC untuk menghilangkan kadar air yang

terkandung dalam silika gel. Silika gel direndam selama satu

malam dalam pelarut yang lebih non polar dibandingkan dengan

system eluen yang akan digunakan untuk elusi. Misalnya sistem

pelarut untuk elsui adalah diklorometana-metanol 90:10, maka

untuk merendam silika gel digunakan pelarut diklorometana

100%. Perendaman dilakukan untuk menghomogenkan interkasi

antara fasa diam dengan pelarut dan menghilangkan udara yang

terdapat dalam silika gel.

e. Bagian bawah kolom diletakkan kapas dan diatasnya pasir untuk

menahan silica gel keluar melalui penampung isolat.

Page 54: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

46

f. Ke dalam kolom masukkan pelarut yang lebih non polar

dibandingkan dengan system eluen yang akan digunakan untuk

elusi.

g. Sedikit demi sedikit masukkan silika gel melalui dinding kolom

sambil keran penampung eluen dibuka, tetapi kolom jangan

sampai kering.

h. Pasir diletakkan dibagian atas silika untuk menghindari

menyebarnya silika pada saat memasukkan sampel atau eluen.

i. Sampel dimasukkan perlahan-lahan melalui dinding kolom.

j. Eluen dimasukkan sedikit demi sedikit agar sampel tidak

menyebar di dalam pelarut.

Gambar 14. Kolom kromatografi

Page 55: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

47

k. Eluat ditampung dalam wadah (tergantung volume isolat

tampungan). Jumlah sampel yang besar, maka volume isolate

yang ditampung setiap wadah juga besar, begitu juga sebaliknya.

l. Setiap wadah (fraksi) dilakukan KLT untuk memonitor kelompok

noda. Pola noda yang sama digabung menjadi sub fraksi baru.

m. Sub fraksi baru (jika tidak menunjukan kemurnian), maka

dilakukan re-kromatografi kolom.

n. Isolat murni dipekatkan dan dilanjutkan dengan elusidasi struktur

atau uji hayati atau keduanya.

Sistem elusi dapat dilakukan secara gradient elusi. Elusi dengan

cara ini adalah menggunakan pelarut yang mingkatkan kepolaran. Satu

sistem eluen untuk elusi adalah diklorometana 90:10, maka elusi

dimulai dari 100% diklorometana, dilanjutkan dengan 99:1; 98:2 dan

seterusnya sampai methanol 100%.

B. Kromatografi kolom cair vakum

Pada prinsipnya isolasi senyawa dengan cara ini sama dengan

kromatografi kolom. Perbedaannya hanya pada ukuran silika gel (yaitu

silika gel 60 F254 yang memilki partikel lebih kecil) dan pergerakan

sampel dan eluen didasarkan pada pompa vakum. Berikut ini adalah

Gambar 15 yang menunjukkan peralatan kromatografi kolom cair

vakum.

Page 56: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

48

Gambar 15. Kromatografi kolom cair vakum

Kertas saring diletakkan diatas silika gel dan sampel diletakkan

di atasnya lagi. Sampel dikemas dalam keadaan kering, dengan cara

mencampur dengan silika gel yang ukuran partikelnya sedikit lebih

kasar. Sampel dielusi menggunakan pelarut non polar sampai senyawa

non polar terelusi semua dan ditampung. Berikutnya diikuti dengan

pelarut semipolar dan terakhir dengan pelarut polar. Eluat yang

diperoleh dilakukan KLT dan fraksi yang memilki pola noda sama

digabung. Fraksi yang belum murni dilakukan re-kromatografi dan

sampel murni dielusidasi struktur.

Page 57: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

49

C. Kromatografi Lapis Tipis Preparatif

Kromatografi lapis tipis preparatif (KLT preparatif) dilakukan

untuk pemurnian senyawa. Sebaiknya penggunaan cara ini dilakukan,

jika jumlah senyawa dalam sampel sudah tidak terlalu banyak(2 atau 3

senyawa), sehingga pemisahan senyawa satu dan yang lain akan lebih

mudah. Hasil kromatografi kolom yang mengandung dua atau tiga

senyawa dapat dilakukan dengan metode ini.

Gambar 16. Kromatografi Lapis Tipis Preparatif

a. Sampel dilarutkan dengan pelarutnya dan dengan penotol kaca

sampel dan disapukan pada bagian bawah.

b. Sampel dielusi dengan pelarut yang sesuai dalam chamber

sampai tanda batas

c. Setiap lapisan senyawa dikikis untuk memperoleh masing-

masing senyawa.

d. Hasil kikisan diletakkan dalam wadah dan dilarutkan dengan

pelarutnya.

e. Saring dan dipekatkan menggunakan rotary evaporator.

Page 58: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

50

f. Isolat murni dielusidasi strukturnya menggunakan IR, UV, MS,

1D-NMR dan 2D-NMR.

D. Isolasi Alkaloid

Perlakuan isolasi senyawa golongan alkaloid sedikit berbeda

denga prosedur yang telah dijelaskan. Berikut ini adalah contoh isolasi

alkaloid dari suatu tumbuhan family Lauraceae, genus Cinnamomum

dan spesies Cinnamomum sintoc.

Sampel kulit batang Cinnamomum sintoc (3 kg) yang sudah

dikeringanginkan dan dihaluskan, dimaserasi dengan n-heksana selama

3 x 24 jam. Ekstrak n-heksana disaring dan dipekatkan dengan rotary

evaporator. Ekstrak pekat n-heksana diuji aktivitas antifungal dengan

konsentrasi 0,5; 5; 10; dan 20%. Residu dibasakan dengan amonia 10%

dan dibiarkan selama satu malam. Residu yang sudah dibasakan dengan

amonia dimaserasi dengan dikolormetana selama 3 x 24 jam sampai

diperkirakan senyawa terekstrak sempurna dalam diklorometana.

Filtrat disaring, dipekatkan menggunakan rotary evaporator dan

ditimbang.

Ekstrak pekat ditambahkan diklorometana sampai volume

menjadi 500 mL, ditambahkan 100 mL HCl 5% dan dipartisi dengan

corong pisah. Pengerjaan ini dilakukan berulang-ulang sampai uji

Meyer menunjukkan negatif alkaloid. Lapisan organik (non alkaloid)

dipekatkan, ditimbang (sebagian untuk isolasi dan sebagian lagi untuk

uji hayati). Lapisan anorganik yang mengandung alkaloid digabung,

dibasakan dengan amonia sampai pH 11 dan diekstraksi kembali

dengan diklorometana (dengan cara partisi). Fraksi dikorometana

Page 59: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

51

(fraksi alkaloid) ditambahkan dengan natrium sulfat anhidrat untuk

menghilangkan kadar air, disaring dipekatkan (sebagian untuk isolasi

dan sebagain lagi untuk uji hayati).

Ekstrak alkaloid diisolasi dengan kolom kromatografi

menggunakan fasa diam silika gel G 60 F secara gradien elusi. Rasio

eluen yang digunakan adalah antara metanol dan diklorometana (100:0;

99:1; 98:2; 96:4; 93:7; 90:10; 85:15; 80:10 dan 50:50). Fraksi

dikumpulkan setiap 100 mL dan setiap fraksi dilakukan kromatografi

lapis tipis dengan eluen metanol dan diklorometana. Noda alkaloid

dilihat dibawah lampu UV (254 dan 366 nm) dan disemprot dengan

reagen Dragendorff’s. Fraksi yang mempunyai pola noda yang sama

digabung. Jika kelompok noda belum menunjukkan satu noda, maka

dilakukan re-kromatografi kolom atau kromatografi lapis tipis

preparatif. Senyawa murni dilakukan pengukuran secara spekroskopi

menggunakan UV, IR, MS, 1D dan 2D-NMR. Cara yang sama

dilakukan untuk isolasi senyawa non alkaloid. Secara umum ekstraksi

dan isolasi diperlihatkan dalam skema 8 dan 9.

Page 60: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

52

Skema 8. Tahapan ekstraksi senyawa alkaloid dan non alkaloid dari

kulit batang C. sintoc

Sampel C. sintoc (3 kg)

Maserasi dengan n-

heksana

selama 3 x 24 jam

Ekstrak

n-heksana Residu

- Dibasakan dengan 10%

NH3

- Diekstraksi dengan CH2Cl2

Extract CH2Cl2

(alkaloid)

Residu

Uji fitokimia

Uji hayati

Dipekatkan

Dipekatkan

Page 61: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

53

Skema 9. Tahapan isolasi dan purifikasi senyawa alkaloid dan non

alkaloid

Extract CH2Cl2

(alkaloid)

- Ditambah 500 ml CH2Cl2

- Ditambah 5% HCl 100 ml (sampai uji mayer –ve)

- Dipartisi

Lapisan air Lapisan organik

(non alkaloid)

- Dtambah NH3 sampail pH 11

- Ditambah CH2Cl2 (sampai test mayer –ve)

- Dipartisi

Lapisan organik

Ekstrak alkaloid

Isolat murni

- Dipekatkan

- Kromatografi

kolom

Struktur

Elusidasi struktur

Kromatografi

kolom

Lapisan air

Isolat murni

Struktur

Elusidasi struktur

Uji hayati

Uji hayati

Page 62: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

54

BAB IV

TEKNIK BIOASSAY

Senyawa kimia hasil isolasi,seringkali diguanakn untuk uji

hayati (bioassay). Berbagai metode bioassay telah dilakukan untuk

menentukan aktivitas senyawa. Aktivitas senyawa sangat bervariasi

dan diantaranya adalah aktivitas anti kanker, antidiabetes,

anatimalarial, antifungal, pestisida dan masih banyak fungsi-fungsi

lain yang belum ditelaah.\Suatu senyawa tertentu seringkali memiliki

beberapa aktivitas, sehingga sangat sulit diperkirakan kelompok

senyawa tertentu memiliki aktivitas tertentu juga. Berikut ini adalah

beberapa jenis bioassay yang telah kerap digunakan untuk

menentukan aktivitas senyawa.

1. Uji Aktivitas Antifungal

Pengujian antifungal dilakukan dengan metode difusi agar

menggunakan cakram. Media yang digunakan adalah Sabouroud

Dextrose Agar (SDA) sebanyak 20 g, disterilisasi dalam autoklaf pada

suhu 121 0C selama 15 menit. Setiap cawan petri diisi dengan media

sebanyak 20 mL, kemudian ketika suhu mencapai 45 0C (media

belum mengeras) diinokulasi suspensi jamur Candida albicans

sebanyak 1 mata kawat ose. Cakaram diisi dengan larutan uji yang

telah disiapkan dengan konsentrasi 10, 50, 100, 500 dan 1000 ppm

dan diinokulasi pada suhu 370C selama 24 jam. Setiap set percobaan

diletakkan cakram berisi larutan uji sebagai kontrol positif (nistatin 50

Page 63: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

55

μg obat antibiotik) dan kontrol negatif pada daerah yang berbeda

dalam media tmbuh jamur. Diamati pertumbuhan jamur untuk setiap

area. Bila zona hambatan belum tampak, dibiarkan selama 24 jam

lagi. Daerah zona hambatan diukur dengan penggaris dalam satuan

milimeter.

2. Uji Aktivitas Antimakan

Uji aktivitas antimakan dilakukan dengan metode daun cakram

pilihan yang dikembangkan oleh Schwinger dkk. tahun 1983. Larutan

uji dibuat dengan berbagai variasi konsentrasi dengan pelarut

metanol, selanjutnya dioleskan pada parohan kiri tulang daun dan

kontrol pada parohan kanannya. Jika sampel tidak larut dalam

methanol, maka ditambahkan teepol untuk meningkatkan kelarutan.

Dibiarkan beberapa saat agar pelarut mengering. Ke dalam cawan

petri berlubang bulat dimasukkan berturut-turut kertas saring basah,

kain kasa, daun uji dan dua ekor serangga uji (E. sparsa) instar 2 atau

3. Pengamatan dicatat setiap 12 jam selama 24 jam. Dihitung persen

daun yang dikonsumsi untuk mengetahui aktivitasnya dengan rumus:

Persen luas dikonsumsi (kontrol - perlakuan):

persen luas dikonsumsi (kontrol + perlakuan) x 100%

3. Uji Aktivitas Antimalarial

a. Kultur Plasmodium falciparum

Kultur Plasmodium falciparum dilakukan sesuai dengan

prosedur yang dibuat oleh Trager dan Jensen (1976). Parasit

Page 64: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

56

dikultivasi dalam labu 75 cm2 yang telah mengandung medium RPMI

1640 (20 mL) sebagai suplemen HEPES (25 mM; Gibco-BRL,

Paisley, Scotland), NaHCO3 (25 mM), 10% dari A+serum dan

erythrocytes (haematocrit 2.5%). Kultur kemudian diinkubasi pada 37

oC, 10% O2, 6% CO2, 84% N2, dengan kelembaban 90%.

b. Pengukuran Parasitaemia

Uji hayati dilakukan secara triplikat in plate 96-well kultur

jaringan(Nunc Brand products, Fisher, Paris, France). Kandungan

plate tersebut adalah 200 μL kultur parasit pada 2% parasitamia, 2%

haematocrit dan 5 μL sampel yang telah dilarutkan dalam DMSO atau

H2O. Kontrol negative adalah bersisi hanya pelarut DMSO atau H2O

dan control positif adalah Chloroquine yang ditambahkan untuk setiap

set percobaan.

Setelah 48 jam inkubasi tanpa pengubahan medium plate

kemudian disentrifugasi dan cairan bagian atas diganti dengan 200 μL

larutan hydroethidine (0.05 mg/ml in PBS). Setelah 20 menit inkubasi

dalam ruang gelap pada 37 oC dan tiga kali pencucian dan PBS

akhirnya didilusi dalam 1 mL PBS. Pembacaan parasitemia

menggunakan cytometer FACSort.

c. Pengukuran Konsentrasi Daya Hambat

Nilai IC50 dilakukan dengan mengukur nilai rata-rata dari 3

perlakuan percobaan. Konsentrasi sampel tumbuhan yang

menunjukkan penurunan infeksi erythrocytes 50%-nya dinyatakan

sebagai IC50 Plasmodium.

Page 65: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

57

4. Uji Antimikrobial

Uji antimikrobial dilakukan dengan metode Kirby-Bauer

menggunakan cakram. Media yang digunakan adalah Muller Hinton

Agar (32 g). Disterilisasi di dalam autoklaf pada suhu 1210C selama

15 menit. Setiap cawan petri diisi dengan media padat dan disebarkan

suspensi bakteri yang sesuai dengan standar Mc Farland 0,5 secara

merata dengan menggunakan kapas lidi steril. Cakram diisi dengan

ekstrak n-heksana, etilasetat dan metanol pada konsentrasi 100%

sebanyak 10 mikroliter, dengan. Kemudian dipilih fraksi mana yang

paling baik aktivitasnya. Inkubasi dilakukan pada suhu 370C selama

24 jam. Untuk setiap set perlakuan dimasukkan dua cakram kontrol

positif dan kontrol negatif. Bila zona hambatan belum tampak

dibiarkan lagi selama 24 jam lagi. Zona hambatan yang terbentuk

diukur dengan menggunakan penggaris dalam milliliter.

5. Uji Aktivitas Serangga (Repellensi)

Serangga yang digunakan digunakan adalah ngengat kain

(Tysanura:Lepismatidae) dan S. zeamais. Untuk S. zeamais yang

digunakan adalah imagonya, sedangkan untuk ngengat kain adalah

yang diperoleh dari kain yang terserang serangga tersebut yang

berukuran 1 cm. Contoh yang digunakan adalah ekstrak, serbuk,

limbah dan minyak nilam. Disamping itu juga digunakan kamfer

untuk pembanding. Serbuk dan limbah nilam yang digunakan dalam

bentuk bubuk masing-masing 10 gram yang dibungkus dalam kain

kasa. Ekstrak dan minyak nilam dicampur dengan komposisi ekstrak

atau minyak (0,3 g), dekstrin (6,7 g) serbuk gergaji (3,0 g ) dan air

Page 66: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

58

secukupnya. Campuran tersebut dibuat adonan, dibagi 20 dan dibuat

seperti pelet. Komposisi tersebut digunakan setelah melalui uji

pendahuluan. Kamfer yang digunakan adalah 5 gram persatuan

percobaan.

Alat yang digunakan adalah dua stoples plastik yang

dihubungkan dengan pipa plastik dan ditutup dengan kain kasa. Kedua

stoples diisi makanan serangga yang sesuai dengan jenis serangganya.

Salah satu stoples tersebut diberi perlakuan dengan ekstrak dan stoples

yang lain tidak diberi perlakuan (kontrol). Sebanyak 10 ekor serangga

Lepismatidae dilepaskan kedalam stoples yang diberi perlakuan. Cara

ini digunakan juga untuk serbuk, limbah, kamfer dan minyak serta

juga untuk serangga S. zeamais. Pengamatan dilakukan dengan

menghitung jumlah serangga yang tetap berada pada perlakuan dan

yang berpindah kekontrol. Pengamatan dilakukan beberapa jam

sampai dengan empat hari setelah perlakuan dan diulang pada 7, 14,

21, 28 dan 35 hari setelah perlakuan. Persentase penolakan dihitung

dengan rumus:

Jumlah serangga yang menolak

% penolakan = x 100

Jumlah serangga total

Sumber: Mardiningsih, T. L. Dkk

Page 67: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

59

6. Uji Aktivitas Biji Buah Annona Glabra Azadirachta indica

Terhadap Phaedonia inclusa

Serangga dewasa P. inslusa dipelihara dilabolaturium sampai

bertelur. Telur diletakkan dan dipindahkan kedalam wadah plastik.

Setelah telur menetas, larva diberi makan daun kedelai muda. Larva

instar terakhir generasi pertama digunakan untuk percobaan. Ekstraksi

biji buah nona sabrang dan nimba dilakukan dengan menggunakan

metanol. Residu Biji disaring dan dipekatkan dengan pengisat gasing

hampa. Pengujiannya adalah ekstrak biji buah nona sabrang dan

nimba masing-masing dicampur dengan Tween-20 (polioksietilen

sorbitan monolaurat), dilarutkan dalam etanol dan kemudian

diencerkan dengan air suling menjadi enam tingkat konsentrasi dari

0,2% sampai dengan 1%.

Daun kedelai (satu daun trifoliat) dicelupkan dalam ekstrak uji

selama 3-5 detik dan Dibiarkan mengering. Daun kontrol dicelupkan

dalam air (mengandung Tween-20 0,2% dan etanol (5%). Satu daun

trifoliat kedelai uji dan daun kontrol diletakkan dalam wadah plastik

berventilasi (diameter 11 cm dan tinggi 5 cm) yang dialasi kertas

hisap lembab, kemudian kedalam wadah tersebut dimasukkan 10 ekor

larva P. Inclusa instar terakhir (usia 1 hari). Untuk setiap tingkat

konsentrasi dan kontrol diulang tiga kali. Setelah 24 jam larva

dipindahkan kewadah plastik yang bersih dan diberi makan daun

tanpa perlakuan. Larva uji diamati setiap hari hingga berkepompong.

Gejala keracunan dan jumlah serangga yang mati dicatat.

Sumber: Djoko Projono dan Dadan Hindayana, 1993

Page 68: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

60

7. Uji Toksisitas Ekstrak Biji Buah Annona glabra Terhadap

Crocidolomia binotatis

Larva C. Binotalis dikumpulkan dari kemudian dipelihara di

labolaturium. Larva diberi makan daun brokoli (Brassica oleraceae

var. italica) dan serangga dewasa diberi makan larutan madu 10%.

Instar ketiga dari generasi ke-15 dan ke-16 digunakan untuk

percobaan. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut metanol

dan air. Ekstraksi dengan metanol, biji buah nona sabrang dikeringkan

, digiling halus dan dimaserasi selama 48 jam, kemudian disaring dan

dipekatkan dengan pengisat gasing hampa. Ekstraksi dengan

menggunakan air, biji buah nona sabrang dikupas kemudian

dikeringudarakan selama 3 hari atau kadar air tersisa 5,53% biji (0,25-

2g) dihaluskan dengan mortar kemudian diekstraksi dengan

menggunakan 100 ml (mengandung etanol 1% dan pengemulsi alkil

gliserol ftalat 0,154%). Ekstrak disaring melalui tiga lapis kain kasa

halus dan filtratyang diperoleh langsung digunakan untuk pengujian.

Ekstrak metanol biji buah nona sabrang diemulsikan dalam air

yang mengandung metanol 1% dan alkil gliserol ftalat 0,154%. Efek

insektisida ekstrak tersebut diuji pada enam tingkat konsentrasi

dengan kisaran 0,019-0,149% yang diharapkan dapat memberikan

tingkat kematian >0% dan <100%. Lembaran daun caisim (Brassica

Campestris var. chinensis) ukuran 4X4 cm dicelupkan dalam emulsi

ekstrak selama 3-5 detik, kemudian dibiarkan mengering. Daun

Page 69: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

61

kontrol dicelupkan dalam air yang mengandung metanol dan

pengemulsi dengan konsentrasi seperti pada emulsi ekstrak uji.

Empat lembar daun caisim uji dan daun kontrol diletakkan

dalam wadah plastik berventilasi yang dialasi dengan kertas hisap

lembab, kemudian kedalam wadah tersebut dimasukkan 10 ekor larva

C. Binotalis instar ke-3 (12-16 jam setelah ganti kulit). Untuk setiap

tingkat konsentrasi dan kontrol digunakan empat ulangan. Setelah 24

jam larva dipindahkan kedalam wadah plastik yang bersih dan diberi

makan daun tanpa perlakuan. Larva uji diamati setiap hari hingga saat

berkepompong. Gejala keracunan dan jumlah serangga yang mati

dicatat. Pengujian dengan menggunakan ekstrak air biji buah nona

sambrang dilakukan dengan cara yang sama dengan cara diatas.

Sumber: Djoko Rijono dkk., 1993.

8. Racun Kontak atau Racun Perut

a. Racun Kontak Dengan Metode Suspensi Air (Water

suspension Method) Terhadap Larva Nyamuk (C. Pippens)

Untuk mengetahui aktivitas daya racun kontak dilakukan

dengan mengunakan larva nyamuk. Metode uji yang digunakan

melalui suspensi contoh dalam air. Ke dalam suspensi air contoh

dimasukkan larva nyamuk.

Pada tahap pertama, bahan uji yang telah dikeringkan

ditimbang seberat 5 mg dan dilarutkan ke dalam 0,5 ml air.

Larutan dipipet berturut-turut sebanyak 100; 80; 60; 40; 20;10

dan 0 ul. Larutan tersebut kemudian dimasukkan kedalam botol

Page 70: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

62

uji. Replikasi dilakukan sebanyak tiga (3) kali. Kelompok

konsentrasi disertai blanko yang hanya berisi pelarut asal (air) ke

dalam setiap botol uji tepat menjadi 5 ml. Berarti kelompok

sekarang menjadi 100; 80; 60; 40; 20;10 dan 1 ppm. Pengamatan

dilakukan setelah 6; 12; dan 24 jam dengan mencatan jumlah

larva nyamuk yang masih hidup. Analisis data uji bioaktivitas ini

diolah dengan analisi Finney untuk menentukan harga LC50

pada batas kepercayaan 95%.

(Sumber: Tjokronegoro, R. K., 1987).

b. Uji Aktivitas Racun Perut dengan Metode Makan (Feeding

Method) Terhadap Kutu Beras (Calandra orizae)

Bahan uji dibuat dengan melarutkan 2 mg contoh kedalam

2 ml pelarutnya dan dibuat konsentrasi masing-masing menjadi

100; 80; 60; 40; 20;10 dan 1 ppm dengan volume 3 ml. Larutan

uji kemudian dicampurkan ke dalam 3 gram tepung beras

sebagai makanan kutu beras sebelum perlakuan kutu beras harus

dipuaskan terlebih dahulu selama 2 jam dan bahkan makanan

kutu beras harus bebas dari pelarut uji (dengan cara menguapkan

pelarut ditempat terbuka). Selanjutnya tepung beras yang telah

diperlakukan diletakkan ke dalam cawan petri dan dimasukkan

10 ekor kutu beras. Sebagai kontrol digunakan tepung beras yang

Page 71: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

63

hanya diberi pelarut. Mortalitas kutu beras dicatat setiap 12 jam

sekali dan berturut-turut sebanyak 5 kali.

(Sumber: Tjokronegoro, R. K., 1987).

9. Uji Hayati Antimakan (Antifeedant)

a. Metode Cakram Daun Pilihan (Choice Leaf Disk Method)

Metode yang digunakan adalah Hozosawa Method yang

mengunakan makanan berupa daun sesuai dengan makanan kesukaan

serangga indikator seperti daun Morus alba Linn. (murbei) untuk

Bombix mori dan Brassica oleraceae Linn. (kubis) untuk

Crocidolomia binotalis. Daun yang menjadi pilihan diusahakan yang

mempunyai ketebalan sama, kemudian dipotong bulat-bulat

membentuk cakram bergaris tengah sekitar 2,5 cm. Senyawa yang

akan diuji dilarutkan kedalam pelarut aseton dan kemudian sebanyak

20 ul dioleskan pada satu sisi permukaan cakram daun. Sebagai

kontrol digunakan daun yang mempunyai ukuran sama, tetapi hanya

diolesi dengan 20 ul aseton. Bilamana senyawa aktif cukup banyak

maka lebih baik daun dicelupkan atau direndam selama dua detik

dalam larutan pada konsentrasi yang diinginkan. Daun yang sudah

mendapat perlakuan kemudian dibiarkan pada udara terbuka selama

setengah jam untuk menguapkan pelarutnya. Dalam cawan petri

diameter 9 cm yang dialasi dengan kertas saring yang basah

diletakkan lima lembar cakram daun yang diberi senyawa uji dan lima

lembar kontrol secara berseling. Kedalam cawan petri dimasukkan

Page 72: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

64

sepuluh ekor ulat uji. Kepada serangga uji dikemungkinkan

mengadakan pilihan cakram daun mana yang akan dimakan. Evakuasi

dilakukan setelah dua jam. Karena uji hayati ini dilakukan hanya

untuk memperoleh gambaran dari kemungkinan bentuk aktivisasi

senyawa uji, maka evaluasi dibatasi hanya secara visual dimana

besarnya sisa cakram daun yang diberi perlakuan dibanding terhadap

kontrol. Untuk pengamatan yang sesungguhnya maka cakram-cakram

itu ditimbang untuk dibandingkan dengan kontrol. Penyusutan berat

daun karena penguapan juga diperhatikan dengan menimbang cakram

daunnya saja (tidak diberikan kepada ulat).

(Sumber: Tjokronegoro, R. K., 1987).

b. Metode Cakram Daun Tanpa Pilihan ( No Choice Leaf Disk

Method)

Pada metode ini serangga yang diuji tidak diberikan pilihan

antara daun yang diberi senyawa uji kontrol. Kedua jenis cakram daun

ini (dengan senyawa uji dan kontrol) masing-masing dalam cawan

petri yang terpisah. Kedalam cawan ini masing-masing dilepaskan dua

ekor ulat. Untuk setiap perlakuan digunakan lima cawan dengan

cakram daun yang diberi senyawa uji dan kontrol. Setelah dua jam

penelitian dihentikan. Kepada ulat yang digunakan untuk uji diberikan

makanan biasa untuk mengetahui apakah ulat tersebut benar-benar

masih dalam keadaan sehat. Keaktifaln dapat diukur dengan cara

visual (secara kasar) atau dengan penimbangan sisa daun uji (secara

teliti).

(Sumber: Tjokronegoro, R. K., 1987).

Page 73: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

65

c. Uji Aktivitas Antimakan Kumbang Kapas

Prosedur uji hayati plug-agar dikembangkan oleh Hedin dkk.

Yang telah sedikit dimodifikasi. Plug-agar dibuat dengan mendidih 3

gram agar bersama-sama dengan 3 gram kapas kering dalam 100 ml

air suling untuk membuat sol kental. Sol dituang ke dalam gelas

dengan diameter 13 mm dan gelatin akan terbentuk setelah

pendinginan. Gelatin yang berbentuk batang dipotong masing-masing

3,5 cm.

Ditimbang kertas saring Whatman ukuran 4 cm dan kemudian

dimasukkan kedalam larutan ekstrak. Setelah kering kertas saring

ditimbang untuk mengetahui konsentrasi ekstrak yang akan diuji.

Kertas kontrol juga dipotong dengan ukuran 4 cm dan dimasukkan ke

dalam pelarut yang digunakan untuk melarutkan ekstrak dan dibiarkan

mengering. Kertas saring diselipkan disekitar plug-agar. Akhirnya

plug ditutup dengan sumbat gabus. Plug kemudian diletakkan disisi

stapel dalam cawan petri untuk mengharuskan kumbang kapas

memakan hanya dengan cara melubangi kertas. Dua puluh ekor

kumbang kapas yang baru diambil dimasukkan ke dalam cawan petri

14 x 2 yang mengandung plug kontrol dan uji. Uji hayati dibiarkan

dalam tempat gelap pada suhu 26°C selama 4 jam.

Aktivitas antimakan dapat dihitung sebagai nilai %T/C, yaitu:

Jumlah lubang pada kertas uji

% T/C = X 100%

Jumlah lubang pada kertas kontrol

Page 74: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

66

Nilai %T/C nol, menunjukkan total hambatan makan dan nilai yang

lebih besar dari 100 menunjukkan aktivitas penarik makan.

(Sumber: Miles, D. H., 1994).

d. Uji Hayati Antimakan Larva Ulat Tembakau

Pada metode ini blok rancangan acak sempurna dari delapan

ulangan dengan lima larva digunakan untuk masing-masing data.

Senyawa sampel yang akan diuji disiapkan pada rentangan konsentrasi

5-6 dari 0,5% total makanan. Betar larva dinyatakan sebagai persen

kontrol (%T/C). Persen senyawa yang menurunkan pertambahan berat

dengan 50% detetapkan sebagai. Untuk pendekatan nilai, berat larva

ditunjukkan sebagai %T/C yang diplot sebagai persen senyawa pada

makanan dengan mengunakan porsi linier dari kurva.

Prosedur perlakuannya adalah potongan daun masing-masing

diletakkan pada blok kertas lembab dengan bagian atasnya menghadap

keatas. Emulasi uji dipipet dan disemprotkan ke potongan daun.

Setelah larutan mengering, ulat daun tembakau dimasukkan ke dalam

potongan daun (1 ulat setiap cawan). Cawan ditutup dengan

penutupnya dan kemudian diinkubasi dalam ruang gelap. Persentase

yang dimakan dihitung masing-masing setelah 2 hari, 6 hari dan 10

hari perlakuan dengan catatan ulat masih hidup.

e. Uji Hayati Antimakan Terhadap Rayap

Sarang serangga rayap Reticulitermes speratus dikumpulkan dan

dipelihara di laboraturium yang selanjutnya digunakan untuk uji

hayati. Beberapa potong kertas saring dicelupkan selama lebih kurang

Page 75: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

67

satu detik ke dalam larutan yang mengandung Briliant blue FCF

(suatu bahan warna tak beracun) dan dikeringkan sebelum digunakan

untuk uji. Contoh uji dilarutkan dalam metanol dan konsentrasinya

dicatat, kemudian dioleskan pada kertas saring ukuran 8 mm. Sebagai

kontrol, kertas saring berwarna disiapkan untuk makanan rayap.

Serangga tersebut dilepaskan dalam cawan petri yang bagian

bawahnya dilapisi dengan pasir laut yang lembab. Sepuluh rayap

digunakan untuk uji hayati dari masing-masing contoh (kecuali untuk

uji pendahuluan yang mana dua rayap digunakan) dan masing-masing

konsentrasi diulang tiga kali. Laju pertumbuhan, persen yang hidup

dan intensitas warna dari pencernaan serangga dibandingkan dengan

kontrol.

(Sumber: Colegate, S. M., and R, J Molyneux, 1993)

f. Uji Aktivitas Antimakan (Antifeedant) Terhadap Ulat Daun

Epilachna varivestis

Uji aktivitas antimakan dapat dilakukan melalui dua metode

yaitu metode daun cakram pilihan dan metode saun cakram tanpa

pilihan. Schwinger dkk, (1983) telah menjelaskan metode uji aktivitas

antimakan beberapa senyawa dari tumbuhan Azadirachta indica dan

Melia azadirach dengan metode cakram daun pilihan terhadap larva

E. Varivestis instar 4. Uji mengunakan daun kacang buncis (Phaseolus

vulgaris saxa) sebagai media uji.

Uji hayati terhadap Epilachna varivestis dilakukan dengan cara

menyapukan larutan uji pada parohan kiri daun kacang buncis dan

parohan kanan dengan pelarut larutan uji sebagai kontrol. Daun

Page 76: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

68

kacang buncis yang telah diberi perlakuan dibebaskan dari pelarut

dengan cara menggunakan kipas angin atauu dibiarkan beberapa saat.

Selanjutnya daun yang telah diberi perlakuan dan bioindikator

dimasukkan kedalam cawan petri. Setelah perlakuan satu kali 24 jam

diukur luas daun kacang buncis yang dimakan dan dibandingkan

dengan kontrol. Perhitungan aktivitas dari senyawa uji dihitung

dengan cara:

x 100

Persentase yang dikonsumsi dihitung dengan cara pembagian luas

menjadi 32 sektor atau 100 sektor.

(Sumber: Schwinger dkk., 1983).

g. Uji Aktivitas Antimakan Terhadap Larva Spesies Spodoptera,

Heliothis dan Locusta migratoria

Serangga yang digunakan adalah larva instar terakhir dari

Spodoptera, yaitu S. Littoralis, S. Exempta, Heliothis virescene dan H.

Armigera. Dari jenis Locust yaitu L. Migratoria. Makanan larva

tersebut adalah dibatasi pada spesies Graminae. Sebelum pengujian

serangga telah diberi makan yang cukup sampai pada instar dimana

larva sangat kuat daya makannya.

Senyawa dilarutkan dalam etanol 96% untuk membuat tingkat

konsentrasi dari 2x10-3 M sampai dengan 10-1 M. Larutan ini

digunakan untuk persiapan uji bahan daun (T). Cakra daun cabai

dengan diameter 2,1 cm atau helai daun gandum yang panjangnya 3,8

cm dicelupkan ke dalam larutan uji selama 1 menit, angkat dan

Page 77: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

69

keringkan di aliran udara dingin. Bahan daun kontrol (C) dicelupkan

ke dalam etanol 96% dan dikeringkan. Cakra filter gelas fiber dengan

diameter 2,1 cm juga dapat digunakan sebagai bahan uji selama dapat

dimakan oleh larva dan menghindari terbentuknya variabelitas yang

tidak dapat dihindari dengan daun uji. Cakra tersebut dapat dibuat

enak dengan penambahan 200 ul larutan sukrosa (0,05 M). Ketika

kering digunakan sebagai cakra kontrol (C). Cakra uji (T) dibuat

dengan penambahan 200 ul larutan etanol dari senyawa uji untuk

cakra kontrol dan dikeringkan.

Bahan daun atau cakra ditimbang dan ditunjukkan sebagai

pasangan (C vs T) untuk masing-masing ulat dalam cawan petri

selama 8 jam jadi tidak pernah lebih dari 50% dari beberapa cakra

yang dimakan. Pengujian terhadap Locust juga dilakukan dengan cara

yang sama, masing-masing diletakkan dalam kantong plastik yang

bersih dengan ukuran 27x15x10 cm dengan pilihan dua cakra. Satu

untuk uji dan satu lagi untuk kontrol. Pengujian Locust dilakukan di

tempat gelap pada suhu 28°C dan berakhir setelah 3 jam. Ulat dan

Locusta biasanya memakan 20 sampai dengan 45% cakra kontrol.

Setelah serangga dipindahkan bahan yang tidak dimakan ditimbang

dan uji signifikasi perbedaan berat daun sebelum dan setelah

perlakuan. Selama perioda uji jumlah cakra daun sebelah kiri pada

pasangan dalam tempat uji tanpa serangga untuk membiarkan

pengaruh berat yang menguap menjadi tak berhubungan dengan hasil.

(Sumber: Simmonds dkk., 1985).

Page 78: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

70

10. Uji Hayati Kontrol Populasi Lipas

Juvenoid adalah senyawa potensial untuk mengontrol populasi

lipas, hal ini disebabkan kemampuan untuk menghentikan reproduksi.

Lima puluh instar keempat lipas dicampur dengan Blatella germani

sex (Lipas Jerman) dimasukkan ke dalam kerangkeng tikus ukuran 28

x 17 x 12 cm. Pinggir dinding kerangkeng diolesi dengan suspensi

telflon cair Fluon AD-1 untuk mencegah lipas melarikan diri. Dalam

kerangkeng harus disediakan air dan udara yang cukup. Suhu dijaga

sekitar 27°C selama 16 jam dan kelembaban kamar (RH) sekitar 50%

dalam ruangan penyejuk (udara tidak berganti). Masing-masing uji

dibuat dalam replikasi. Makanan disiapkan dengan melumatkan

burger dalam blender. Tepung makanan kemudian dicampurkan

dengan senyawa aktif (senyawa uji) yang dilarutkan dalam aseton.

Setelah pencampuran itu makanan dibiarkan dalam wadah selama 24

jam agar pelarut menguap. Sekitar 10 gram makanan diberikan untuk

serangga uji dan sisanya disimpan dalam wadah tertutup pada suhu

5°C untuk pemberian makanan berikutnya. Semua populasi secara

berkala dihitung ada atau tidaknya ketidaknormalan morfogenetik.

(Sumber: Miles, D. H., 1994).

11. Uji Kematian Larva udang (Brine Shrimp Lethality Test)

Suatu uji hayati umum yang mampu mendeteksi bioaktih pada

spektrum yang luas dari senyawa yang terdapat dalam ekstraks kasar

adalah dengan uji kematian larva udang (Brine Shrimp Lethality Test).

Teknik pengujian ini mudah dipahami, murah dan mengunakan

contoh uji yang sedikit. Tujuannya adalah alat penapisan terdepan

Page 79: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

71

yang kemudian didukung dengan uji hayati yang lebih khusus bila

senyawa yang terkandung sudah berhasil diisolasi. Hasil pengujian Uji

Kematian Larva Udang (BSLT) ini dapat membuat prakiraan aktivitas

sitotoksisitas dan pestisida. Sebagai bioindikator digunakan udang

kecil Artemia salina. Telurnya mudah diperoleh dan dapat disimpan

beberapa tahun dalam lemari pendingin . telur tersebut jika

dimasukkan kedalam air laut/air garam, telur menetas dalam waktu 48

jam dan berkumpul menuju sumber cahaya.

Pengujian dilakukan dengan membuat larutan ekstrak dalam air

garam dengan konsentrasi 10, 100 dan 1000 ppm. Pada setiap 5 ml

larutan dalam botol dimasukkan 10 ekor larva udang. Setelah 24 jam

larva yang masih hidup diamati dengan stereoskop mikroskop.

Tentukan nilai LC50 dengan batas kepercayaan 95%.

Telah dilakukan berbagai modifikasi kecil sesuai kebutuhan,

misalnya untuk persoalan kelarutan ekstrak. Hal ini dapat diatasi

dengan menggunakan Tween-80 (2% dalam air) atau

polivinilpitolidon (tidak toksik sampai pada konsentrasi 400 ug/ml

dalam air). Pengujian ini juga dapat dilakukan dalam pelat tetes 400

ul. Air laut (50 ul) mengandung 10-40 larva dipipet kedalam masing-

masing lubang pelat dan kemudian ditambah 300 ul larutan yang diuji,

sehingga konsentrasi akhir contoh diperoleh 1,25; 5,0 dan 8,5 mg/ml.

Pelat diinkubasi dibawah sinar lampu pada suhu 25 sampai 30°C dan

setelah 24 jam larva yang mati dihitung dibawah mikroskop. Larva

yang masih hidup dibunuh dengan menambahkan 50 ul dapar posfat

(pH 1). Kemudian jumlah keseluruhan yang mati dihitung.

Sumber: 1. Colegate, S. M., and R. J. Molyneux, 1993

Page 80: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

72

2. Betz, J. M., and W. J. Blogoslawsky, 1982

3. Tarigan, P., 1996).

12. Metode Penapisan Untuk Aktivitas Nematisida

Biarkan Nematoda (bentuk propagatif) dipisahkan dari media

dibiarkan dengan corong Baermann dan dihitung dibawah mikroskop

(x20). Dibuat suspensi nematoda (ca 15.000) nematoda/ml) dalam air.

Botrytis cinerea dibiakkan dalam 3 ml medium agar Czapex-Dox

(1,3% agar) dalam cawan petri (diameter 4 cm) pada suhu 22°C

selama 4 hari. Pada pusat lapik fungal dalam petri diletakkan bola

kapas (diameter 5 mm) yang mengandung 20 mg larutan pekat uji.

Suspensi nematoda yang telah disiapkan (0,1 ml) disuntikkan dengan

mikropipet kedalam bola kapas dan cawan disimpan pada suhu 26°C

selama 116 jam. Pengaruh nematisidal (aktif atau tidak aktif) dihitung

dengan melihat miselia dimakan (+) atau tidak (-) oleh nematoda.

Untuk perkiraan kuantitatif jumlah nematoda yang masih hidup

dapat dihitung sebagai berikut: Nematoda yang masih hidup

dipisahkan dari media biakan melalui dua lapis kertas saring melalui

corong Baermann selama 24 jam. Untuk memudahkan perhitungan,

nematoda dikumpulkan dengan cara setrifugasi dengan putaran 650

selama 3 menit dan dimatikan dengan memasukkan tabung dalam air

mendidih selama 3 menit. Kemudian dibri warna dengan 2 tetes

larutan metilen biru 1%. Suspensi nematoda yang telah diwarnai

dituang kedalam pelat cawan dan diamati dibawah mikroskop (x20)

dan nematoda dihitung. Laju pembiakan dinyatakan dalam persen dari

jumlah nematoda yang diperhitungkan dengan kontrol.

Page 81: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

73

(Sumber: Kawazu, K, Y. Nishi, K. Ishi and M. Tada).

13. Uji Hayati Untuk Aktivitas Herbisida

Metode untuk uji ini adalah dengan melarutkan 500 mg ekstrak

kasar dalam 5 ml air atau pelarut yang cocok. Semprotkan 1 ml

larutan ini diatas kertas saring dalam cawan petri (8,5 cm). Kertas

saring dibiarkan mengering dan kemudian ditambahkan air sampai 10

ml. Letakkan biji Vigna radiata (greenpea) diatas kertas saring dan

dibiarkan tumbuh selama satu minggu dalam ruang gelap pada suhu

25-28°C. Perkecambahan dan pertumbuhan diukur dan dibandingkan

dengan kontrol.

Prosedur penapisan lain untuk memantau fitotoksisitas adalah

beberapa mikroliter larutan uji diteteskan pada daun yang telah

dipetik. Daun tersebut diletakkan diatas kertas saring yang telah

dibasahi dan dimasukkan kedalam cawan petri. Cawan ditutup dengan

kertas parafilm diinkubasi pada suhu dan intensitas cahaya yang

diatur. Aktivitas contoh uji dapat dilihat dengan timbulanya noda

klorotik, nekrotik atau berwarna yang menyebar ke sekeliling dari

tempat penetasan larutan uji. Aktivitasnya dapat dibaca setelah 24 jam

dan kemudian bandingkan dengan kontrol.

(Sumber: Zakaria, M., 1991).

14. Penghambat Sintesis Kitin

Page 82: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

74

Metode yang digunakan adalah metode Groscurt. Serangga uji

berupa pupa yang baru keluar atau ulat pada instar terakhir. Jika yang

diperlakukan adalah pupa, maka analisis kitin dilakukan terhadap

sayap depan serangga dewasa (imago), sedangkan jika yang

diperlakukan adalah larvanya, maka analisis kitin dilakukan terhadap

kulit pupa. Perlakuan dilakukan dengan menetaskan suatu volume

tertentu pada dada (thorax), tengkuk atau perut (abdomen) target yang

diuji. Kulit pupa atau sayap serangga dewasa dikeringkan pada 100°C

sampai berat konstan, lalu dicatat beratnya. Dihidrolisis dengan KOH

30% selama 15 menit dalam penangas air. Sisa padatanyang tidak

larut kemudian dicuci enam kali dengan air, dua kali dengan etanol

96% dan dua kali dengan eter. Kadar kitin adalah berat (mg) residu

perberat (mg) kulit pupa atau sayap serangga kering.

(Sumber: Tjokronegoro, R. K., 1987).

15. Uji Aktivitas Eugenol Terhadap Bakteri Pseudomonas

solanacearum

Bakteri yang digunakan meliputi tiga isolat P. Solanacearum (T.

585, T 615 dan T. 557). Bakteri ini yang menyebabkan penyakit layu

pada tanaman jahe, kentang, dan tumbuhan nilam.

Cara kerja uji aktivitas ini adalah eugenol dan minyak cengkeh

diemulsikan dalam trietanolamin, tween-80 dan gelatin 5%. Emulsi

dari bahan-bahan tersebut dicampurkan dengan media agar nutrien.

Konsentrasi dari eugenol dan minyak cengkeh dibuat menjadi 1000,

800, 600, 400, 200, 100, dan 0 ppm (kontrol negatif). Campuran dari

bahan-bahan pengemulsi diuji aktivitasnya terhadap bakteri P.

Page 83: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

75

Solanacearum sebagai perlakuan kontrol positif. Serbuk cegkeh

dicampur dengan agar nutrien dan dibuat konsentrasinya menjadi 0-

10.000 ppm dengan rentangan tergantung dari serbuk cengkeh dan

isolat dari bakterinya.

Isolat bakteri yang sedang dalam masa pertumbuhan maksimum

(sekitar dua hari) disuspensikan dengan akuades steril. Suspensi

bakteri digoreskan pada media agar nutrien yang telah dicampur

dengan eugenol, minyak dan serbuk cengkeh. Perlakuan diinkubasi

pada suhu 28°C. Pengamatan terhadap pertumbuhan bakteri dilakukan

pada hari ke-1, 3 dan ke-5 setelah inkubasi. Pertumbuhan bakteri

dinilai mulai dai 0 sampai dengan 5. Nilai 0 menunjukkan tidak ada

pertumbuhan dan nilai 5 menunjukkan pertumbuhan bakteri yang

sangat baik.

(Sumber: Hartati, S. Dkk).

16. Uji Aktivitas Lada Hitam Terhadap Serangga Sitophilus

zeamais

S. zeamais adalah serangga hama gudang yang sangat merusak.

Serangga ini menyerang jagung, sorgum, beras dan serealia lainnya.

Lada hitam direndam dalam air, maka lada enteng mengapung dan

lada berat tengelam kedasar wadah. Kedua jenis tersebut dipisahkan

dan dikeringkan dalam oven pada suhu 50°C sampai cukup untuk

digiling dan diperoleh bubuk halus sekitar 0,75 mesh.

Bubuk lada enteng diperlakukan secara terpisah dengan

konsentrasi 0,25%; 0,5%; 1%; 2% dan 4% (gram bubuk lada pergram

beras) pada beras dan dikocok selama 15 menit. Sebanyak 20 kg beras

Page 84: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

76

yang telah diberi perlakuan dimasukkan ke dalam botol plastik

(volume 80 ml). Botol-botol tersebut dibiakan selama satu malam.

Keesokan harinya sebanyak 10 ekor serangga S. Zeamais hasil

pemeliharaan di laboratorium dimasukkan kedalam botol-botol

tersebut. Untuk kontrol yang digunakan hanya beras yang tidak diberi

bubuk lada dan dimasukkan 10 ekor serangga. Pengamatan dilakukan

dengan menghitung mortalitas serangga pada 7, 14 dan 21 hari setelah

serangga dimasukkan. Pada hari ke-21 semua serangga diambil dan

dimusnahkan. Perlakuan ini diulang untuk bubuk lada berat.

(Sumber: Mardiningsih, T. L dan Sodang, S. L. T).

17. Uji Aktivitas Antimakan, penetasan Telur dan Fekunditas

Ulat Spodoptera litura

Ulat S. Litura dipelihara dilaboratorium dengan menggunakan

pakan daun jarak (Riccinus communis). Stadia yang digunakan adalah

telur, larva instar tiga dan ngengat. Contoh yang digunakan adalah

ekstrak kulit buah dan biji duku. Kedua bahan tersebut dicuci dan

dikeringkan sampai kandungan airnya minimum (berat bahan akan

berkurang 60-75%.

Pengujian aktivitas makan digunakan larva instar tiga. Kedua

macam ekstrak dilarutkan dalam aseton dan dibuat dalam satu seri

konsentrasi mulai dari 80, 40, 20, 10 dan 0 persen. Pakan disajikan

dalam bentuk sandwich daun. Pengujian dilakukan dengan dua cara

yaitu uji dengan pilihan dan uji tanpa pilihan. Pengujian degan pilihan

yaitu sandwich daun ekstrak diletakkan dalam cawan petri sama. Ulat

larva instar ketiga sebanyak tiga ekor yang telah dipuasakan selama 4

Page 85: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

77

jam dilepaskan ke dalamnya. Pengamatan dilakukan selama 6 jam.

Luas daun yang dimakan dihitung baik daun ekstrak maupun kontrol.

Penurunan aktivitas antimakan dengan rumus:

P = (1 – T/C) x 100

Keterangan: P adalah penurunan aktivitas antimakan

T adalah luas daun ekstrak yang dimakan dan

C adalah luas daun kontrol yang dimakan

Uji tanpa pilihan dan perhitungan adalah sama dengan uji

dengan pilihan. Bedanya hanya pada sandwich daun ekstrak dan

kontrol diletakkan secara terpisah pada cawan petri berbeda.

Pengujian penetasan telur dengan menggunakan telur sebagai

stadium serangga. Ekstrak dibuat dalam suatu seri konsentrasi mulai

dari 100; 50; 25; 12,5; 6,25 dan 0 persen sebagai kontrol. Pengujian

dilakukan dengan mencelupkan satu kelompok telur ke dalam larutan

ekstrak. Pengamatan dilakukan sampai telur menetas. Dihitung jumlah

telur yang menetas maupun yang tidak menetas.

Pada uji fekunditas ngengat stadium serangga yang digunakan

adalah sepasang ngengat yang baru keluar dari kepompong. Ekstrak

dicampur dengan larutan madu 10% dengan perbandingan 1 : 1 (v/v).

Ekstrak yang telah dicampur madu dibuat dalam satu seri konsentrasi

mulai dari 100; 50; 25; 12,5 dan 0 persen sebagai kontrol. Pakan

diberikan dengan cara membasahkan pda kapas. Pengamatan

dilakukan sampai ngengat tersebut mati dan dihitung telur yang

dihasilkan.

(Sumber: Pujiastuti, Y. Dkk).

Page 86: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

77

DAFTAR PUSTAKA

1. Cordell, G. A. (1981), Introduction to Alkaloids A Biogenetic

Approach, John Willey & Sons, Inc.,

2. Grainge, M. and Ahmed, S, (1987), Handbook of Plants with

Pest Control Properties, John Willey & Sons.

3. Harborne, J. B., 1984. Phytochemical Methods, Chapmann and

Hall Ltd.

4. Manitto, P. (1981), Biosynthesis of Natural Products, Ellis

Horwood Limited.

5. Betz, J. M. And W. J. Blogoslawsky, (1982). Toxicity of

Gonyaulax tamarensis Var.

Exavata Cell to Brine Shrimp Artemia salina L. Journal of

Pharmaceutical sciencis. 71 (4), 463-464.

6. Colegate, S. M. And R. J. Molyneux. (1993). Bioactive

Natural Product: Detection, Isolation and Structure

Determination. CRC Press. Boca Raton, Ann Arbor, london

and tokyo. Pp. 241-263 and 452-456.

7. Hartati, S. Y., E.M. Adhi, dan N. Karyani. (1993). Ujii efikasi

minyak cengkeh dan serai wangi terhadap Pseudomonas

Solanacearum. Proseding Seminar Hasil Penelitian dalam

rangka pemnafaatan pestisida Nabati.Bogor. Hal. 37-42.

8. Kawazu, K., Y. Nisshi and M. Tada. (1980). A Convenient

Screening Method for Nematicial Activity. Agric. Biol. Chem.

44 (3), 631-635.

Page 87: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

78

9. Mardiningsih, T. L. Dan S. L. T. Sondang. Efikasi Buah Lada

Hitam terhadap Sitophyluis Zeamis. Proseding Seminar Hasil

Penelitian dalam Rangka Pemnafaatan pestisida Nabati. Bogor.

Hal. 101-105.

10. Mardinigsih, T. L., S. Rusli, E. A. Wikardi, dan S. L. T.

Sondang. (1993). Kemungkinan Produk nilam

Sebagai bahan penolak serangga. Proseding seminar hasil

penelitian dalam rangka pemnafaatan pestisida nabati. Bogor.

Hal. 101-105.

11. Miles, D. H. (1994). A Guide to Biologically Active Plants

Constituent. Departement of Chemistry,

University of Florida. USA. Pp. 10-12.

12. Prijono, D. Dan D. Hindayana. (1993). Efek Insektisida

Ekstrak Biji Buah Nona Sabrang (Annona

Glabra) dan Nimba (Azadirachta indica) Terhadap Phaedonia

inclusa. Proseding seminar hasil penelitian dalam rangka

pemnafaatan pestisida Nabati. Bogor. Hal. 163-170.

13. Pujiastuti. Y., E. Martono, dan S. Mangundiharjo, (1993).

Pengaruh Ekstrak Kulit Buah dan Biji Duku (Lansium

domesticum) terhadap aktivitas makan, penetasan Telur dan

Fekunditas ulat Grayak (Spodoptera Littura). Proseding

Seminar Hasil Penelitian dalam rangka pemnafaatan pestisida

nabati. Bogor. Hal. 106-112.

14. Schwinger, M., B. Ehhamer and W. Krauss. (1983).

Methodology of the evilachna varivestis Bioassay of

Page 88: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

79

Antifeedants Demonstrated with some coumpounds from

Azadirachta indica and Melia azadirach, Proc. 2nd Int. Neem

Conf. Stuttgart, 181.

15. Simonds, M. S. J., W. M. Blaney, F. D. Monache, M. M.

Mcquhae, and G. B. M. Bettolo (1985). Insect Antifeedant

Properties of Antranoids from genus Vismia. Journal of

Chemical Ecology. 11 (12), 1593.

16. Tjokronegoro, R. K. (1987). Penelusuran senyawa kandungan

tumbuhan indonesia bioaktif terhadap Serangga. Disertasi.

Universitas padjajaran,Bandung. Hal. 76-80.

17. Tarigan, P. (1996). Analisis senyawa Bioaktif Alami;

pengantar dan penuntun praktikum. Universitas Padjajaran,

Bandung Hal. 1-15.

18. Zakaria, M. (1991). Preliminery Bioassay for Herbicidal

Activity of plant Extract. The 8th National Seminar and

Unesco Regional Workshop on the Bioassay Natural Product

with special Emphasis on Anticancer Agents. Institute for

Advances Studies University of malaya. Pp. 20-21.

19. Nurdin Saidi*, Hira Helwati, Lailatul Qhadariah Lubis,

Muhammad Bahi, 2017, ANTIMICROBIAL ACTIVITY OF

METHANOL EXTRACT FROM STEM BARK OF

Cinnamomum sintoc, Jurnal Natural, Vol.17, 77-82, pISSN

1411-8513 eISSN 2541-4062.

20. Saidi N, Morita H, Litaudon M, Nafiah MA, Awang K,

Mustanir., 2016, New Phenyl Propanoids from Cryptocarya

Page 89: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

80

bracteolata , Natural product communications, Vol. 1, 815-

816, 1555-9475.

21. R Nasution, T Barus, P Nasution, N Saidi, 2014, Isolation and

Structure Elucidation of Steroid from Leaves of Artocarpus

camansi (Kulu) as Antidiabetic , International Journal of

Pharm Tech Research , Vol.6,, 1279-1285, 0974-4304.

22. Bastian Arifin , Rosnani Nasution, Nurdin Saidi, Marianne,

and Sri Aprilia, 2014, Vitex Trifolia Plant Control of Mice

Environmentally Friendly, International Journal of ChemTech

Research, Vol. 6, 4595 - 4600, 0974 - 4290.

23. Mustanir*, Hendra Fahrizal, Nurhaida, dan Nurdin Saidi,

2013, ANTIFUNGAL EKSTRAK n-HEKSANA TUMBUHAN

OBAT DI ACEH TERHADAP Candida albicans, J. Ind. Soc.

Integ. Chem., Volume, 7-14, 2085-1715.

24. Nurdin Saidi, Hiroshi Morita, Marc Litaudon, Mat Ropi

Mukhtar, Khalijah Awang, A. Hamid A. Hadi, 2012, Isolasi

Senyawa Alkaloid dari Tumbuhan Cryptocarya bracteolata

GAMB. (Lauraceae), Jurnal Farmasi Indonesia, Vol 6, 1-6,

1412-1107.

25. Nurdin Saidi, Hiroshi Morita, Marc Litaudon, Mat Ropi

Mukhtar, Khalijah Awang, A. Hamid A. Hadi, 2011,

BENZYLISOQUINOLINE ALKALOIDS FROM BARK OF

Cryptocarya rugulosa, Indonesian Journal of Chemistry, Vol.

1, 59-66, 1411-9420.

Page 90: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

81

26. Nurdin Saidi, 2011, Isolation and Structure Elucidation of

Sterols From Cryptocarya rugulosa, Jurnal Natural, Vol. 9,

27. Nurdin Saidi, 2011, Alkaloidal Constituents from Bark of

Cryptocarya rugulosa, Jurnal Natural, Vol 11, 48-51, 1141-

8513.

28. Murniana, Israhadi, Khairan dan Nurdin Saidi, 2011,

Antifungal from Ethylacetate Extract of Plumeria alba Against

Candida albicans, Jurnal Natural, Vol 11, 85-88, 1141-8513.

29. Nurdin Saidi, 2010, CINNAMIDE AND BENZAMIDE FROM

SPECIES OF CRYPTOCARYA CRASSIVERVIA , Jurnal

Natural, Vol. 1, 7-11, 1141-8513.

30. Pratiwi Pudjiastuti 1, Mat Ropi Mukhtar, A. Hamid A. Hadi ,

Nurdin Saidi , Hiroshi Morita, Marc Litaudon and Khalijah

Awang, 2010, (6,7-Dimethoxy-4-methylisoquinolinyl)-(4’-

methoxyphenyl)- methanone, a New Benzylisoquinoline

Alkaloid from Beilschmiedia brevipes, molecules, Volume,

2339-2346, ISSN 1420-3049.

31. Nurdin Saidi, 2009, Two Oxoaphorpine alkaloids from Bark of

Cryptocarya rugulosa, Jurnal Natural, Vol 11, 48-51, pISSN

1411-8513 .

32. Nurdin Saidi, A. Hamid A. Hadi, Khalijah Awang, Mat Ropi

Mukhtar, 2009, Aphorpine alkaloids from bark of Cryptocarya

ferrea, Indonesian journal of Chemistry, Vol.9,, 461-465,

1411-9420.

Page 91: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

82

33. Khalijah Awang, A. Hamid A. Hadi, Nurdin Saidi, Mat Ropi

Mukhtar, Hiroshi Morita, Marc Litaudon, 2008, New

Phenantrene alkaloids from Cryptocarya crassinervia,

Fitoterapia, Vol 79, 308-310, 0367-326X.

34. Nurdin Saidi, Mat Ropi Mukhtar, Khalijah Awang, A. Hamid

A. Hadi and Seik Weng Ng*, 2007, 6,7,8-Trimethoxycoumarin

from Cryptocarya bracteolata, Acta Crystallographyca

Journal, E63, 3692-3693, 1600-5368.

35. Suyanto, Wahyudi Priyono Suwarso , Soleh Kosela , Hery

Suwito , Pratiwi Pudjiastuti , Sri Winiati , and Nurdin Saidi,

2006, ANTHRAQUINONE FROM THALLUS OF LICHEN

Ramalina javanica Nyl, Indo. J. Chem., 2006,, Vol. 6, 85 - 87,

1411-9420.

36. Kartini Hasballah, Murniana, and Nurdin Saidi, 2012,

Antibacterial activity of secondary metabolite compounds from

leaf of Eclipta alba L. Hassk, Proceedings of The 2nd Annual

International Conference Syiah Kuala University 2012, & The

8th IMT-GT Uninet Biosciences Conference, Banda Aceh, 22-

24 November 2012, Banda Aceh.

37. Nurdin Saidi, 2011, Aphorpines and benzylisoquinoline

alkaloids from bark of Cryptocarya crassinervia, Science and

Engineering, Annual International Conference, Banda Aceh,

29-30 Nov, 2011, Banda Aceh, Syiah Kuala Univ.Press 2011,

0, ISSN 2089-208X

Page 92: ANALISIS METABOLIT SEKUNDER

83