ANALISIS KONTEN PENAMAAN DUA SURAH

99
ANALISIS KONTEN PENAMAAN DUA SURAH AL-NISA AL-SHUGHRA DAN AL-NISA AL-KUBRA Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh : MHD. NAUVAL KURNIAWAN NIM: 11140340000019 PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2021 M/1442 H

Transcript of ANALISIS KONTEN PENAMAAN DUA SURAH

ANALISIS KONTEN PENAMAAN DUA SURAH

AL-NISA AL-SHUGHRA DAN AL-NISA AL-KUBRA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh :

MHD. NAUVAL KURNIAWAN

NIM: 11140340000019

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021 M/1442 H

ii

LEMBAR PERSETUJUAN BIMBINGAN

ANALISIS KONTEN PENAMAAN DUA SURAH

AL-NISA AL-SHUGHRA DAN AL-NISA AL-KUBRA Skripsi

Diajukan ke Fakultas Ushuluddin

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama Islam (S.Ag)

Oleh:

Mhd. Nauval Kurniawan

NIM: 11140340000019

Dosen Pembimbing:

Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, MA

NIP: 196908221997031002

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021 M/1442 H

iii

PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH

Skripsi yang berjudul ANALISIS KONTEN PENAMAAN DUA

SURAH AL-NISA AL-SHUGHRA DAN AL-NISA AL-KUBRA telah

diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 13 Juli

2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu Al-

Qur‟an dan Tafsir.

Jakarta, 13 Juli 2021

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA Basyir Arif, MA

NIP. 197110031999032001 NIP. 199103032020121009

Anggota,

Penguji I Penguji II

Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, MA

NIP. 196908221997031002

iv

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Mhd. Nauval Kurniawan

NIM : 11140340000019

TTL : Medan, 30 November 1996

Jurusan/Prodi : Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir

Fakultas : Ushuluddin

Dengan ini menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya diajukan untuk

memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka, saya

bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 13 Juli 2021

Mhd. Nauval Kurniawan

11140340000019

v

ABSTRAK

Mhd. Nauval Kurniawan, 11140340000019. “Analisis Konten

Penamaan Dua Surah al-Nisa al-Shughra dan al-Nisa al-Kubra.”

Skripsi Program Studi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir, Fakultas

Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,

2021 M/1442 H.

Skripsi ini membahas tentang analisis konten penamaan dua surah al-

Nisa al-Shughra dan al-Nisa al-Kubra. Sejauh ini belum banyak

penelitian yang dilakukan dalam tema ini. Melalui analisis kategorisasi

kata al-Nisa di dalam surah al-Nisa dan al-Thalaq, juga sejarah kedua

surah tersebut, maka, dapat diketahui dasar penamaan kedua surah ini

dan keterkaitan kedua surah tersebut.

Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan atau library research

dengan menelaah kata al-Nisa, juga sejarah kedua surah tersebut dari

berbagai argumentasi ulama untuk kemudian mendeskripsikan

penamaan kedua surah tersebut dengan menggunakan metode

deskriptif analitis. Sumber primernya adalah kitab al-Itqān Fī „Ulūm

al-Qur‟ān karya Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī dan buku Rekonstruksi Sejarah

al-Qur‟ān karya Taufik Adnan Amal serta data sekundernya meliputi

buku, jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa analisis konten penamaan dua

surah al-Nisa al-Shughra dan al-Nisa al-Kubra yaitu, Pertama,

mengetahui sejarah penamaan kedua surah tersebut. Kedua,

mengetahui isi kandungan yang berhubungan dengan perempuan

dalam kedua surah tersebut. Ketiga, keterkaitan konten melalui

berbagai tafsir para ulama.

Kata Kunci: Penamaan, Surah, al-Nisa al-Shughra, al-Nisa al-Kubra

vi

KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta‟ala

Tuhan Yang Maha Esa atas semua rahmat dan karunia yang

diberikanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan sebuah skripsi

yang berjudul “Analisis Konten Penamaan Dua Surah al-Nisa al-

Shughra dan al-Nisa al-Kubra.” Shalawat dan salam senantiasa

terkirim kepada baginda Rasulullah Muhammad Shallallahu „alaihi wa

Sallam yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman

yang penuh dengan ilmu pengetahuan sebagaimana zaman sekarang.

Dalam kesempatan kali ini penulis mengucapkan rasa terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, MA., selaku

Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membina dan

memimpin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang menjadi tempat

bagi penulis untuk memperoleh ilmu baik dari segi akademik

maupun non-akademik.

2. Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membina penulis

selama kuliah.

3. Dr. Eva Nugraha, M. Ag dan Fahrizal Mahdi, Lc, MIRKH

selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Al-Qur‟an dan

Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan

petunjuk dan arahannya serta menjadi wadah konsultasi selama

kuliah.

vii

4. Kusmana M.A., Ph.D., selaku dosen pembimbing akademik yang

telah memberikan banyak arahan dan motivasi serta semangat

kepada penulis selama masa-masa kuliah.

5. Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, MA., selaku dosen pembimbing

skripsi yang telah memberikan banyak masukan, arahan, koreksi,

dan pengetahuan yang baru dalam penyusunan skripsi ini serta

membimbing penulis sampai pada tahap penyelesaian skripsi.

6. Para dosen, karyawan dan karyawati serta staff Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

memberikan ilmu dan segala bantuannya baik secara langsung

maupun tidak langsung kepada penulis selama kuliah.

7. Kepala Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan

Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menyiapkan

berbagai literatur dan memberikan kemudahan untuk

memanfaatkan perpustakaan secara maksimal demi penyelesaian

skripsi ini.

8. Kedua orangtua saya, Ayahanda Khaidir dan Ibunda Leni

Noviyanti tercinta yang dengan penuh cinta dan kasih sayang

serta kesabaran dalam membesarkan, mendidik dan selalu

mendoakan keberhasilan dan kebahagian anaknya yaitu saya.

9. Kakak, adik-adik, dan abang ipar tercinta, Windi Yantika,

Cantika Maharani, Syakila Anjani, dan Amri Irwansyah

Sitanggang yang telah memberikan semangat, motivasi dan doa

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

10. Syah Ghina Rahmi Lubis, S.H., yang telah banyak memotivasi,

mendukung, menyemangati dan membantu dalam proses

pengerjaan hingga penyelesaian skripsi ini.

viii

11. Sahabat-sahabat seperjuangan, Afifuddin Nur Yusuf, S.Pd.,

Faisal Tanjung, S.H., Zaitul Rahman, S.Ag., Iman Teguh

Santoso, S.H., yang selama ini telah bersama menjalani

kehidupan di kost, selalu ada saat senang dan susah dan telah

memberikan semangat, motivasi dan doa sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

12. Seluruh teman-teman seperjuangan Program Studi Ilmu Al-Qur‟an

dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2014 yang

telah bersama dalam suka dan duka selama kuliah dan telah

memberikan semangat, motivasi dan doa sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

13. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu

yang telah banyak memberikan semangat, motivasi dan doa

kepada penulis selama masa perkuliahan sampai penulis

menyelesaikan skripsi ini.

Pada akhirnya, hanya kepada Allah SWT penulis pasrahkan

segalanya, semoga semua pihak yang turut membantu penulis selama

ini hingga skripsi ini telah selesai, semuanya diberikan rezeki

kesehatan dan kemudahan rezeki harta serta semoga skripsi ini

bermanfaat bagi seluruh kalangan khususnya bagi penulis sendiri.

Jakarta, 13 Juli 2021

Penulis

ix

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi

ini berpedoman pada hasil keputusan bersama (SKB) Menteri Agama

dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor: 158 Tahun 1987

dan Nomor: 0543b/U/1987.

1. Konsonan

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara

latin:

Huruf

Arab

Nama Huruf Latin Nama

Alif Tidak dilambangkan Tidak ا

dilambangkan

Ba b Be ب

Ta t Te ت

Ṡa ṡ Es (dengan titik di ث

atas)

Jim j Je ج

Ḥa ḥ Ha (dengan titik di ح

bawah)

Kha kh ka dan ha خ

Dal d De د

Żal ż Zet (dengan titik ذ

di atas)

Ra r Er ر

Zai z Zet ز

Sin s Es س

Syin sy es dan ye ش

Ṣad ṣ es (dengan titik di ص

x

bawah)

Ḍad ḍ de (dengan titik di ض

bawah)

Ṭa ṭ te (dengan titik di ط

bawah)

Ẓa ẓ zet dengan titik di ظ

bawah)

ain „ koma terbalik (di„ ع

atas)

Gain g Ge غ

Fa f Ef ؼ

Qaf q Ki ؽ

Kaf k Ka ؾ

Lam l El ؿ

Mim m Em ـ

Nun n En ف

Wau w We و

Ha h Ha هػ

Hamzah ' Apostrof ء

Ya y Ye ي

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri

dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau

diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah

sebagai berikut:

Tanda Nama Huruf Latin Nama

Fathah a A

Kasrah i I

xi

Dhammah u U

Adapun untuk vocal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah

sebagai berikut:

Tanda Nama Huruf Latin Nama

Fathah dan ي

ya

ai a dan i

Fathah dan و

wau

au a dan u

Contoh:

kaifa- ك ي ك

haula - ك ي ك

3. Vokal Panjang/ Maddah

Ketentuan alih aksara vocal panjang (maddah), yang dalam bahasa

Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Harakat

dan huruf

Nama Huruf dan

tanda

Nama

ا... ي Fathah dan

alif atau ya

ā a dan garis di

atas

Kasrah dan

ya

ī I dan garis di

atas

Dhammah ػ

dan wau

ū u dan garis di

atas

Contoh:

qāla - ك ك

مكى ramā – رك

xii

4. Ta‟ Marbūṭah, Transliterasi untuk Ta‟ Marbūṭah ada dua:

a. Ta‟ Marbūṭah hidup

Ta‟ Marbūṭah yang hidup atau mendapat harakat fathah,

kasrah, dan ḍommah, transliterasinya adalah “t”.

b. Ta‟ Marbūṭah mati

Ta‟ Marbūṭah yang mati atau mendapat harakat sukun,

transliterasinya adalah “h”.

c. Kalau pada kata terkahir dengan Ta‟ Marbūṭah diikuti oleh

kata yang menggunakan kata sandang al serta bacaan kedua

kata itu terpisah maka Ta‟ Marbūṭah itu ditransliterasikan

dengan ha (h).

No Kata Arab Alih Aksara

rauḍah al-aṭfāl رو اا ؿ 1

ي اا 2 al-madīnah al-fāḍilah اا

al-ḥikmah اا 3

5. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau tasydîd yang dalam system tulisan Arab

dilambangkan dengan sebuah tanda ( ) dalam alih aksara ini

dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf

yang diberi tanda syaddah itu.

Contoh:

بنك rabbanā - رك

nazzala - ك ك

al-birr - الب ر

al-ḥajj – الك ج

xiii

Jika huruf ى ber-tasydid di akhir sebuah kata dan didahului

oleh huruf kasrah ( ـػػػػػػػػػػػػػػػ ػ ), maka ia ditransliterasi seperti huruf

maddah (ī). Contoh:

ىـ : „Alī (bukan „Aliyy atau „Aly)

Arabī (bukan „Arabiyy atau „Araby)„ : ى

6. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan

dengan huruf, yaitu اؿ. Dalam pedoman transliterasi ini, kata

sandang ditransliterasi seperti biasa, al-, baik ketika dia diikuti oleh

huruf syamsiyah maupun huruf qamariah. Kata sandang tidak

mengikuti bunyi huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang

ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan dihubungkan

dengan garis mendatar (-), Contohnya:

al-rajulu - اا ر

al-sayyidu - االر

al-syamsu - االر

al-qalamu - اال

al-badĭ‟u - أا

al-jalālu- اا ؿ

7. Hamzah

Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (') hanya

berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata.

Namun, bila hamzah terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan,

karena dalam tulisan Arab ia berupa alif. Contohnya:

ta'murūna : وف

'al-nau : اايػر ء

: syai'un

xiv

umirtu : أ ت

8. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa

Indonesia

Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata,

istilah atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa

Indonesia. Kata, istilah atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi

bagian dari pembendaharaan bahasa Indonesia, atau sudah sering

ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia, tidak lagi ditulis menurut

cara transliterasi di atas. Misalnya kata Al-Qur‟ān (dari al-

Qur'ān), sunnah, khusus, dan umum. Namun bila kata-kata

tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka

mereka harus ditransliterasi secara utuh.

Contoh:

Kata Arab Alih Aksara

Fī Ẓilāl al-Qur'ān ف ظ ؿ اال آف

Al-Sunnah qabl al-tadwīn االير قػ اات و ن

ااع رة بع ـ اا ظ لا بص ص االر ب

Al-„ibārāt bi „umūm al-lafẓ lā

bi khuṣūṣ al-sabab

9. Lafẓ al-jalālah (الله) Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf

lainnya atau berkedudukan sebagai mudāf ilaih (frasa nominal),

transliterasi tanpa huruf hamzah. Contoh:

dīnullāh : د ن الله

billāh : الله

Adapun tamarbūṭah di akhir kata yang disandarkan kepada lafẓ al-

jalālah, ditransliterasi dengan huruf (t). Contoh :

hum fī rahmatillāh :ه ف رح الله

xv

10. Huruf Kapital

Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf capital (All

Caps), dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai

ketentuan tentang penggunaan huruf kapital berdasarkan pedoman

ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku (EYD). Huruf kapital,

misalnya, digunakan untuk menulis huruf awal nama dari (orang,

tempat, bulan) dan huruf pertama pada permulaan kalimat. Bila

nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka yang ditulis

dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan

huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal kalimat, maka

huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital

(Al-). Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari

judul referensi yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia

ditulis dalam teks maupun dalam catatan rujukan (CK,DP,CDK,

dan DR). Contoh:

Kata Arab Alih aksara

Wa mā Muḥammadun illā- و ر إلار ر ؿ

rasūl

إفر أورؿ بػ ت و ا ير س ا رذي ب ر ر

-Inna awwala baitin wuḍi‟a

linnāsi bi Bakkata mubārakan

Syahru Ramaḍān al-lażī unzila- ر ف ااذري أ ؿ اال آف

fīh al-Qur‟ān

اا ن االط Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī- ص ػ

Abū Naṣr al-Farābī- أبػ ص اا اا

Al-Gazālī- اال اا

يلذ ن اا لاؿ Al-Munqiż min al-Ḍalāl- اا

xvi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL (COVER)............................................................i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................ii

PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH....................................iii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA..........................iv

ABSTRAK............................................................................................v

KATA PENGANTAR.........................................................................vi

PEDOMAN TRANSLITERASI........................................................ix

DAFTAR ISI......................................................................................xvi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah........................................................1

B. Identifikasi Masalah..............................................................3

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah....................................4

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian.............................................4

E. Tinjauan Kepustakaan..........................................................5

F. Metodologi Penelitian..........................................................10

G. Sistematika Penulisan..........................................................12

BAB II KAJIAN TEORITIS PENAMAAN SURAH

A. Makna dan Fungsi Penamaan..............................................14

B. Definisi Surah......................................................................16

C. Ketentuan dalam Pemberian Nama Surah...........................24

D. Pendapat Ulama tentang Nama Surah antara Ijtihadi

dan Tauqifi...........................................................................25

E. Fungsi Penamaan Surah.......................................................28

xvii

BAB III TELAAH AYAT-AYAT PADA SURAH AL-NISA

DAN AL-THALAQ

A. Arti Kata al-Nisa dan Kategorisasinya di Surah al-Nisa

dan al-Thalaq.......................................................................30

B. Arti Kata al-Thalaq dan Kategorisasinya

di Surah al-Thalaq...............................................................45

C. Arti Kata al-Kubra dan al-Shughra.....................................49

BAB IV ANALISIS KONTEN TERHADAP SURAH

AL-THALAQ DAN AL-NISA

A. Perbandingan Posisi Surah al-Nisa dan al-Thalaq

dalam Mushaf dan Tanzil.....................................................51

B. Perbandingan Pembukaan Surah al-Nisa dan al-Thalaq.....53

C. Perbandingan Akhir Surah al-Nisa dan al-Thalaq..............60

D. Pemetaan Kandungan Surah al-Nisa dan al-Thalaq............64

E. Analisa Penulis....................................................................74

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan..........................................................................77

B. Saran....................................................................................77

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................78

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur‟ān adalah mukjizat dari Allah yang diberikan kepada

Nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk bagi seluruh umat

manusia. Al-Qur‟ān yang diyakini kebenarannya memiliki bagian-

bagian yang disebut dengan surah. Terkait dengan penamaan surah

di dalam al-Qur‟ān, beberapa ulama berbeda pendapat. Sebagian

mengatakan penamaan surah diberikan oleh Rasulullah, seperti

yang dikatakan Imam Ibn Jarir al-Tabari (w. 310 H). “Semua

surah-surah dalam al-Qur‟ān mempunyai nama yang diberikan

oleh Rasulullah.” Karena menurut beliau, nama-nama surah

beserta urutan-urutan surah dan ayat di dalam al-Qur‟ān telah

ditentukan oleh Rasulullah SAW atas bimbingan malaikat jibril.1

Sebagian ulama lain seperti ulama Saudi Arabia yang terhimpun

dalam Fatwa Lajnah Daimah (Lembaga Fatwa Ulama) berbeda

pandangan. Mereka berpendapat bahwa ada sebagian nama-nama

surah yang itu adalah hasil dari ijtihad para sahabat. Berikut

fatwanya, “Kami tidak mengetahui adanya dalil dari Rasulullah

yang menunjukkan bahwa beliau memberi nama beberapa surah

dari Rasulullah, seperti al-Baqarah atau Ali Imran, sementara

nama-nama surah lainnya itu lebih dekat dari para sahabat.”2

Dalam hal ini, penulis menemukan di dalam buku al-Itqān

Fī „Ulūm al-Qur‟ān, surah al-Thalaq dinamai dengan al-Nisa al-

1Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Jami al-bayan fi al-Ta‟wil al-Qur‟an,

Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir (Beirut: Muassah al-Risalah, 2000), cet. 1,

jilid 1, h. 100. 2Lihat Fatwa al-Lajnah al-Daimah lilbuhus al-Ilmiah, jilid 4, h. 16.

2

Quṣra. Menurut Ibnu Mas‟ud surah al-Thalaq dinamakan dengan

surah al-Quṣra dan ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Namun,

ad-Dawudi mengingkari hal tersebut dan ia berkata saya tidak

melihat bahwa kata al-Quṣra itu terpelihara (dalam

periwayatannya), dan dikatakan di dalam surah dari al-Qur‟ān itu:

Quṣra dan tidak pula Shughra. Ibnu Hajar mengatakan ini adalah

penolakan terhadap hadis-hadis yang tsabitah, tanpa ada

sandarannya, karena pendek dan panjang itu perkara yang relatif.

Imam Suyuti berpendapat: anda boleh bertanya dan berkata,

“Ada surah-surah yang di dalamnya terdapat kisah-kisah para

Nabi, kemudian surah-surah itu dinamai dengan nama mereka,

seperti surah Nuh, surah Hud, surah Ibrahim, surah Yunus, surah

Ali Imran, surah Yaasiin, surah Sulaiman, surah Yusuf, surah

Muhammad, surah Maryam, surah Luqman, dan surah al-Mukmin.

Demikian juga kisah beberapa kaum, seperti surah Bani Israil,

surah Ashabul Kahfi, surah al-Hijr, surah Saba‟, surah Fatir, surah

al-Jin, surah al-Munafiqun dan surah al-Muthaffifin. Akan tetapi,

bersamaan dengan ini semua, mengapa tidak ada satu surah pun

surah yang diberi nama dengan surah Musa, padahal banyak

disebutkan di dalam al-Qur‟ān, sampai ada sebagian ulama

mengatakan bahwa hampir saja al-Qur‟ān seluruhnya

menyebutkan nama Musa, dan surah yang paling utama untuk

diberi nama dengan surah Musa adalah surah Thaha atau surah al-

3

Qasas atau surah al-A‟raf, karna uraian kisahnya yang panjang

dalam tiga surah tersebut yang tidak ada pada surah lainnya.3

Dengan demikian, permasalahannya adalah jika surah al-

Thalaq dinamai dengan surah al-Nisa al-Shughra karena bercerita

tentang wanita lebih sedikit ketimbang surah al-Nisa, dan surah

al-Nisa disebut dengan surah al-Nisa al-Kubra karena lebih

banyak menyebut tentang hukum-hukum wanita, tapi mengapa

alasan itu dapat diterima, jika penamaan suatu surah melihat pada

faktor-faktor yang langka atau dianggap unik baik itu perilaku atau

sifat atau berbicara lebih banyak atau lebih dahulu, mengapa tidak

ada satu surah penamaan pun surah Musa sebagaimana yang

disampaikan oleh Suyuti padahal di dalam al-Qur‟ān banyak

berbicara tentang Musa. Lantas bagaimana telaah dan dasar

penamaan surah al-Nisa al-Shughra dan al-Nisa al-Kubra.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis merasa

penting untuk meneliti dan mengkaji serta membahas lebih dalam

tentang hal ini yang akan penulis paparkan dalam sebuah

penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Konten Penamaan

Dua Surah al-Nisa al-Shughra dan al-Nisa al-Kubra.”

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang di atas, penulis menemukan pembahasan

penamaan surah yaitu nama lain dari surah al-Thalaq yang disebut

dengan surah al-Nisa al-Shughra dan nama lain dari surah al-Nisa

yaitu surah al-Nisa al-Kubra. Untuk lebih memperjelas alur

3Al-Suyuti, al-Itqān Fī „Ulūm al-Qur‟ān, (Surakarta: Indiva Pustaka,

2008), jilid 1, h. 237.

4

penelitian ini, maka penulis mengidentifikasi beberapa masalah

yaitu mengenai penamaan al-Nisa al-Kubra dan al-Nisa al-

Shughra termasuk tauqifi atau ijtihadi, alasan penamaan dua surah

al-Nisa al-Kubra dan al-Nisa al-Shughra, korelasi antara dua

surah tersebut, jumlah ayat tentang wanita disurah al-Nisa, jumlah

ayat tentang wanita disurah al-Thalaq, dan keadaan sosial saat

turun ayat-ayat tentang wanita dalam surah al-Nisa dan al-Thalaq.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Setelah penulis mengidentifikasi masalah yang telah

dipaparkan sebelumnya, maka, dalam penelitian ini, penulis

membatasi hanya pada penamaan al-Nisa al-Shughra dan al-Nisa

al-Kubra dan kandungannya serta mengungkap keterhubungan isi

dari kedua surah tersebut, dengan alasan supaya pembahasannya

lebih terarah dan tidak lari dari permasalahan. Maka, pembahasan

ini penulis batasi hanya pada analisis penamaan dua surah al-Nisa

al-Shughra dan al-Nisa al-Kubra dengan meninjau ayat-ayat yang

berkaitan dengan wanita di dalam kedua surah tersebut.

Berdasarkan dari pembatasan di atas, maka penulis

merumuskan masalah yaitu bagaimana dasar penamaan kedua

surah dengan al-Nisa al-Shughra dan al-Nisa al-Kubra?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk

mengetahui dasar penamaan surah al-Nisa al-Shughra dan al-Nisa

al-Kubra dan keterkaitan penamaan kedua surah tersebut, serta

tujuan penelitian dan tujuan akademis yaitu memenuhi salah satu

5

syarat untuk menyelesaikan studi Ilmu al-Qur‟ān dan Tafsir di

Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Adapun manfaat penulisan ini adalah:

1. Hasil penelitian ini diharapkan memberi kontribusi

pemahaman mengenai dasar penamaan surah al-Nisa al-

Shughra dan al-Nisa al-Kubra dan keterkaitan penamaan

kedua surah tersebut, dengan harapan dapat dikembangkan

dan dijadikan acuan untuk lebih mengetahui kemulian wanita

di dalam al-Qur‟ān.

2. Diharapkan menjadi kepentingan akademis sebagai penambah

informasi dan khazanah kajian Qur‟ani.

E. Tinjauan Kepustakaan

Tinjauan pustaka ini ditujukan untuk memberikan kejelasan

dan batasan pemahaman juga sebagai kebutuhan ilmiah dengan

memberikan informasi melalui khazanah pustaka, terutama yang

berkaitan dengan tema yang dibahas.

Pembahasan ini penulis anggap menarik karena kajian

tentang surah dalam Ulum al-Qur‟ān lebih banyak

memperdebatkan urutan juga pengelompokan surah makkiyah

madaniyah. Padahal menurut penulis, penamaan surah juga hal

penting yang harus diperhatikan dalam pembahasan surah. Untuk

menghindari terjadinya kesamaan dalam pembahasan pada skripsi

ini, maka berikut penulis paparkan beberapa penelitian terdahulu

yang penulis anggap berkaitan dengan penulisan ini, diantaranya

adalah:

6

1. Taufik Adnan Amal dalam bukunya yang berjudul

“Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an.”4 Dalam buku ini terdapat

sedikit pembahasan mengenai informasi penamaan surah dalam

al-Qur‟ān, meskipun tidak terdapat kepastian pendapat yang

jelas diambil oleh beliau, namun, secara implisit menjelaskan

bahwa penamaan surah dalam al-Qur‟ān bukanlah tauqifi,

namun disebabkan adanya kebutuhan saat al-Qur‟ān tersebut

dikumpulkan. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa tidak terdapat

sejarah yang jelas dan pasti yang berhubungan dengan

penamaan surah dalam al-Qur‟ān.

2. Siti Hazrotun Halaliyatul Muharromah mahasiswa Magister

Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Pascasarjana Institut Ilmu Al-Qur‟an

(IIQ) Jakarta dalam tesisnya yang berjudul “Perdebatan dalam

Penamaan Sûrah al-Qur‟an (Studi Analisis Pemikiran Imam

Jalȃluddîn „Abdurrahmȃn as-Suyûthi)”5 ia menulis bahwa

penamaan surah menurut Imȃm as-Suyûthî adalah sebagian

tauqifi dan sebagian ijtihadi. Sebab tidak semua nama surah

memiliki riwayat yang jelas. Kebijakan Imȃm as-Suyûthi untuk

tidak mengungkapkan semua hadis dan atsar terkait penamaan

surah al-Qur‟ān bukanlah untuk menghindari panjang lebar

dalam pembahasan, melainkan karena memang tidak semua

nama surah memiliki dasar riwayat. Terlihat Imȃm as-Suyûthi

inkonsisten baik dari segi konsep dan pengaplikasiannya.

4Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an, (Jakarta:

Yayasan Abad Demokrasi, 2011). 5Siti Hazrotun Halaliyatul Muharromah, Perdebatan dalam Penamaan

Sûrah al-Qur‟an (Studi Analisis Pemikiran Imam Jalȃluddîn „Abdurrahmȃn as-

Suyûthi), Tesis Magister Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Pascasarjana Institut Ilmu

Al-Qur‟an (IIQ), Jakarta, 2020.

7

3. Sahroni mahasiswa Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam skripsinya

yang berjudul “Analisis al-Suyūṭī terhadap Nama Surah-surah

dalam al-Qur‟ān”6 ini mencoba mengungkapkan argumentasi

Suyuti terhadap pengklasifikasian penamaan surah. Disini

dijelaskan ada dua bagian, yang pertama sebagian penamaan

surah di dalam al-Qur‟ān adalah berdasarkan riwayah hadis dan

yang kedua, sebagian penamaan surah di dalam al-Qur‟ān tidak

berdasarkan riwayah hadis. Oleh karena itu, argumen Suyuti

mengenai penamaan surah di dalam al-Qur‟ān adalah tauqifi

perlu adanya peninjauan ulang. Adapun analisis penulis

terhadap pengklasifikasian penamaan surah di dalam al-Qur‟ān

dibagi menjadi tiga bagian, diantaranya pertama, berdasarkan

beberapa riwayah, kedua, penamaan surah berdasarkan alasan

dan ketiga, tanpa alasan.

4. Neng Ayu Qonitatul Hamro mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis

Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam

skripsinya yang berjudul “Argumentasi Penamaan Surat al-

Qur‟ān (Analisis Penamaan Surat ke 112 dengan Kata “al-

IkhlāṢ”)”7, skripsi ini dimulai dengan melacak nama-nama

surat dalam al-Qur‟ān yang penamaannya tidak diambil

berdasarkan kata dalam ayat-ayatnya. Lalu, kemudian dalam

penelitian ini penulis memilih lebih memfokuskan analisis pada

6Sahroni, Analisis al-Suyuti terhadap Nama Surah-surah dalam al-

Qur‟ān, Skripsi Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN

Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2019. 7Neng Ayu Qonitatul Hamro, Argumentasi Penamaan Surat al-Qur‟ān

(Analisis Penamaan Surat ke 112 dengan Kata “al-IkhlāṢ”), Skripsi Jurusan

Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2016.

8

penamaan surat al-Ikhlas sesuai dengan asumsi awal bahwa

dalam surat ini tidak ada kata Ikhlāṣ itu sendiri. Kemudian,

terdapat argumentasi para ulama‟ mengenai alasan mengapa

surat ke-112 dalam al-Qur‟ān dinamai dengan al-Ikhlāṣ

meskipun dalam ayat-ayatnya tidak ada kata Ikhlāṣ adalah

karena isi kandungan dari surat tersebut yang menjelaskan

tentang Dzat Yang Maha Suci dan keharusan-Nya menyandang

puncak semua sifat sempurna, serta menghindarkan dari-Nya

semua sifat kekurangan.

5. Subaeda mahasiswa Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas

Ushuluddin UIN Alauddin Makassar dalam skripsinya yang

berjudul “Kedudukan Perempuan dalam al-Qur‟an”8 salah satu

bahasan yaitu analisis tekstual terhadap Q.S al-Nisa/4:124

dijelaskan bagaimana sejarah turunnya surah al-Nisa dan yang

menarik juga terdapat kalimat yang mengatakan bahwa surah

al-Nisa dikenal juga dengan nama al-Nisa al-Kubra atau al-

Nisa Thula karena surah al-Thalaq dikenal sebagai surah al-

Nisa al-Shughra. Di skripsi ini juga memaparkan kandungan

surah al-Nisa, dan bagaimana konsep dzakar dan unsa dalam

surah al-Nisa.

6. Ansharuddin M dalam jurnalnya yang berjudul “Sistematika

Susunan Surah di dalam al-Qur‟an: Telaah Historis”9 ia

menulis bahwa setiap surah dalam al-Qur‟ān memiliki nama

tersendiri yang ditetapkan oleh Rasulullah Saw. secara tauqifi.

8Subaeda, Kedudukan Perempuan dalam al-Qur‟an, Skripsi Jurusan

Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Alauddin, Makassar, 2019. 9Ansharuddin M, “Sistematika Susunan Surah di dalam al-Qur‟an:

Telaah Historis”, Cendikia: Jurnal Studi Keislaman, II, 2, (Desember, 2016).

9

Ini diketahui berdasarkan keterangan yang terdapat dalam

beberapa buah hadis dan riwayat. Pada umumnya surah-surah

al-Qur‟ān ini mempunyai satu nama saja, akan tetapi ada pula

beberapa surah yang mempunyai dua buah nama atau lebih.

Kata-kata yang dipakai untuk menjadi nama surah-surah

tersebut antara lain diambil dari luar surah, nama surah diambil

dari tema yang sedang dibicarakan dalam surah tersebut dan

diambil dari salah satu kata yang terdapat pada ayat di dalam

surat yang bersangkutan.

7. Farhat Aziz dalam jurnalnya yang berjudul “Structure of Holy

Qur‟an”10

ia membahas secara detail mengenai kata, ayat,

surah, golongan surah dimulai dari surah al-Fatihah sampai

dengan surah al-Nas.

8. Isti‟anah Abubakar dalam jurnalnya yang berjudul “Filosofi

Wanita: Sebuah Inspirasi dari Surah al-Nisa”11

dalam jurnalnya

ia menulis bahwa setidaknya ada 5 surah yang menjadikan

wanita sebagai tema pokoknya, yaitu Q.S. al-Nisa, Maryam, al-

Mujadilah, al-Mumtahanah dan al-Thalaq. Kelimanya

memberikan panduan terhadap wanita. Surah al-Nisa dengan

176 ayat menjelaskan posisi wanita di semua aspeknya, baik

sebagai pribadi, keluarga dan masyarakat serta hubungannya

dengan Rabbnya. Adapun surah Maryam memberikan pedoman

terkait perilaku idealnya wanita yang terinspirasi dari wanita

10Farhat Aziz, “Structure of Holy Qur‟an”, Journal of Islamic Studies

and Culture, I, 1, (Juni, 2013). 11Isti‟anah Abubakar, “Filosofi Wanita: Sebuah Inspirasi dari Surah al-

Nisa”, Egalita: Jurnal Kesetaraan dan Keadilan Gender, XIII, 1, (2018).

10

sebelum datangnya Islam. Adapun ketiga surah lainnya lebih

menekankan pada posisi wanita dalam keluarga.

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini fokusnya menjelaskan riwayah penamaan

dan hubungan surah al-Nisa al-Kubra dan al-Nisa al-

Shughra. Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan atau

library research dengan pendekatan kualitatif dan deskriptif

analitis, karena data yang diambil atau yang diteliti adalah

naskah tulisan dan buku yang diambil dari khasanah

kepustakaan. Untuk itu data yang akan diambil sepenuhnya

berasal dari kepustakaan atau buku-buku.

2. Sumber data

a. Sumber data primer

Sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian

ini adalah kitab al-Itqān Fī „Ulūm al-Qur‟ān karya Jalāl

al-Dīn al-Suyūṭī dan buku Rekonstruksi Sejarah al-

Qur‟ān karya Taufik Adnan Amal.

b. Sumber data sekunder

Sumber datanya adalah buku-buku atau artikel-artikel

yang dapat menunjang dalam pembahasan serta lebih

mempertajam penganalisaannya. Adapun yang menjadi

sumber data sekundernya adalah buku-buku yang

berkaitan dengan pokok bahasan yang ada.

11

3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini

adalah dengan menggunakan teknis analisis isi buku (content

analysis). Tentunya cara ini dengan mencari dan mengkaji

buku-buku serta literatur yang berkaitan dengan permasalahan

yang dibahas. Dan studi perpustakaan lainnya yang berkaitan

dengan skripsi ini.

4. Teknik Analisa Data

Berikut ini adalah langkah-langkah dan teknik yang

digunakan penulis dalam menganalisis data:

a. Data dari sumber tertulis baik sumber primer maupun

sekunder yang terkait topik penelitian dikumpulkan untuk

kemudian diseleksi sesuai kerangka berfikir atau fokus

penelitian.

b. Data yang telah diseleksi kemudian disusun sesuai

dengan alur pikir penulis sehingga terurut dan terhubung

dengan baik.

c. Data yang telah terkumpul kemudian ditafsir dan

dianalisis sesuai tujuan penelitian.

5. Teknik Penulisan

Penulisan skripsi ini menggunakan pedoman skripsi UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2016 dan seluruh

terjemahan ayat al-Qur‟ān, penulis berpedoman berdasarkan

Al-Qur‟an dan Terjemahannya yang disusun oleh Departemen

12

Agama RI.12

Sementara itu untuk memudahkan, beberapa

nama dan istilah tidak ditulis berdasarkan pedoman bahasa

Arab seperti al-Syafi‟i menjadi as-Syafi‟i.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan hasil penelitian yang maksimal, maka

pembahasan dipetakan secara urut dan sistematis. Penulis

membagi pokok pembahasan skripsi ini kedalam 5 (lima) bab

dengan masing-masing sub bab sebagai penjelasannya. Adapun

perinciannya adalah sebagai berikut:

Bab pertama, berisi pendahuluan yang bertujuan untuk

menjelaskan tulisan ini secara umum. Dalam bab ini terdapat latar

belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan

kepustakaan, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua, berisi kajian teoritis penamaan surah. Setelah

penjelasan tulisan secara umum pada bab pertama, maka dalam

bab ini dilanjutkan tentang penjelasan penamaan surah secara

umum dan argumentasi ulama tentang riwayat penamaan surah

antara ijtihadi dan tauqifi yang bertujuan untuk mengetahui

gambaran penamaan surah, yaitu makna dan fungsi penamaan,

definisi surah, ketentuan dalam pemberian nama surah, pendapat

ulama tentang nama surah antara ijtihadi dan tauqifi, dan fungsi

penamaan surah.

12Kementerian Agama, Al-Qur‟ān dan Terjemahannya, (Bandung:

Syaamil Qur‟an, 2010).

13

Bab ketiga, menjelaskan tentang telaah ayat-ayat pada surah

al-Nisa dan al-Thalaq. Setelah ada penjelasan penamaan surah

secara umum pada bab kedua, maka dalam bab ini dilanjutkan

pembahasan yang lebih khusus yaitu menelaah ayat-ayat pada

surah al-Nisa dan al-Thalaq, juga menjelaskan riwayat penamaan

kedua surah tersebut yang bertujuan untuk menguraikan segala

sesuatu yang berhubungan dengan ayat-ayat pada kedua surah

tersebut, yaitu arti kata al-Nisa dan kategorisasinya di surah al-

Nisa dan al-Thalaq, arti kata al-Thalaq dan kategorisasinya di

surah al-Thalaq, dan arti kata al-Kubra dan al-Shughra.

Bab keempat, menjelaskan tentang analisis konten terhadap

surah al-Thalaq dan al-Nisa. Setelah menelaah kedua surah

tersebut pada bab ketiga, maka dalam bab ini penulis mengupas

dan menganalisis tentang kedua surah tersebut yang bertujuan

untuk mengetahui inti pembahasan skripsi ini, seperti

perbandingan posisi surah al-Nisa dan al-Thalaq dalam mushaf

dan tanzil, perbandingan pembukaan surah al-Nisa dan al-Thalaq,

perbandingan akhir surah al-Nisa dan al-Thalaq, pemetaan

kandungan surah al-Nisa dan al-Thalaq, dan analisa penulis.

Bab kelima, berisi kesimpulan dan saran yang bertujuan

untuk memberikan kesimpulan yang merupakan jawaban dari

batasan dan rumusan masalah pada bab pertama dan untuk

menjadi rekomendasi bagi para peneliti selanjutnya.

14

BAB II

KAJIAN TEORITIS PENAMAAN SURAH

A. Makna dan Fungsi Penamaan

Penamaan adalah proses perlambangan suatu konsep untuk

mengacu kepada suatu referen yang berada di luar bahasa.

Referen adalah benda atau orang tertentu yang diacu oleh kata

atau untaian kata dalam kalimat atau konteks tertentu. Penamaan

atau pemberian nama adalah soal konvensi atau perjanjian belaka

di antara sesama anggota suatu masyarakat bahasa (Aristoteles).

Dalam pembicaraan mengenai hakikat bahasa ada dikatakan

bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang bersifat arbiter.

Maksudnya, antara suatu satuan bahasa, sebagai lambang,

misalnya kata, dengan sesuatu benda atau hal yang

dilambangkannya bersifat sewenang-wenang tidak ada hubungan

“wajib” di antara keduanya.1

Berdasarkan teori yang ada, terdapat beberapa penamaan

yang dilatarbelakangi oleh sebab-sebab atau peristiwa-peristiwa

tertentu, yakni sebagai berikut:2

1. Peniruan Bunyi

2. Penyebutan Bagian

3. Penyebutan Sifat Khas

4. Penemu dan Pembuat

5. Tempat Asal

6. Bahan

1Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka

Cipta, 2002) 2Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003)

15

7. Keserupaan

8. Pemendekan

9. Penamaan Bar

Nama atau ism diambil dari kata ,samā) س س ا س ء

sumuwwan, samā‟un) yang memiliki arti tinggi, terhormat dan

masyhur sebagaimana terdapat dalam kamus bahasa Arab,3

يى

(samiyyun) artinya tinggi, atau .artinya tanda (as-samāhun) االر ا

Keberadaan nama menjadikan sesuatu dapat dikenal serta harus di

junjung tinggi. Dalam penafsiran Quraisy Shihab mengenai surah

al-Fatihah ayat pertama, bahwa adanya kata ismi dalam kalimat

bismillah tidak langsung dengan kalimat billah (bi Allah) atau

Dengan nama Allah tidak langsung dengan Allah itu mempunyai

kegunaan dan tujuannya tersendiri. Sedangkan secara filosofis,

para ulama berpendapat bahwa nama menggambarkan substansi

sesuatu, sehingga kalimat bismillah (dengan nama Allah)

maksudnya adalah billah (dengan Allah). Mereka memiliki

pemahaman bahwa kata ismi berfungsi sebagai penguat,

sebagaimana telah dikenal pada syair-syair lama penyisipan kata

ismi untuk tujuan tersebut.4

Banyak ulama tafsir termasuk al-Zamakhsyari berpendapat

bahwa orang-orang Arab jahiliyyah menyebut nama Tuhan

mereka setiap mereka mulai bekerja. Contohnya seperti bismi al-

3Syauqi Dhaif, Mu‟jam al-Wasiṭ, (Mesir: Maktabah Shurouq al-

Dauliyyah, 2011) 4M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian

Al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Juz. 1.

16

Lata atau bismi al-Uzza, ada juga bangsa yang lain menyebut

nama raja atau penguasa mereka dalam memulainya. Dengan

begitu, maka setiap menyebut nama Allah dalam memulai

pekerjaan, hal ini memiliki arti bahwa pekerjaan tersebut

dilakukan bukan karena hasrat hawa nafsu, namun karena perintah

dan semata-mata hanya demi Allah Swt. Selalu disisipkan kata

ismi dalam segala hal yang diharapkan keberkahan Allah.

Sedangkan pengucapan dengan kata Billah (tanpa menyisipkan

kata ismi) dilakukan untuk permohonan dalam kemudahan dan

bantuan Allah Swt.5

Adapun fungsi sebuah nama adalah sebagai tanda, ciri atau

pembeda antara satu hal dengan hal lainnya, begitu juga sebagai

tanda untuk sesuatu yang harus dihormati dan dijunjung tinggi.

Selain itu sebagai adaptasi khusus atau kecocokan pada sebuah

tujuan spesifik dan juga sebagai penguat tujuan kebaikan yang

diharapkan. Banyaknya nama julukan terhadap sesuatu tersebut

menunjukkan keistimewaan dan keutamaan akan suatu hal

tersebut. Fungsi-fungsi tersebut turut berlaku untuk penamaan

surah-surah al-Qur‟ān. Dengan demikian, maka penamaan

terhadap surah-surah al-Qur‟ān muncul dengan bermacam ragam

nama. Ini merupakan pendapat dari Fakhruddin al-Razi.

B. Definisi Surah

Pengertian surah menurut bahasa, surah atau sering disebut

surah artinya mulia atau derajat atau tingkat dari sebuah bangunan.

Surah disebutnya dari bagian al-Qur‟ān ini menunjukkan karna

5M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian

Al-Qur‟an, Juz. 1.

17

kemuliaannya. Maka jika diibaratkan al-Qur‟ān ini adalah sebuah

bangunan, maka surah itu adalah tingkat-tingkatnya.6 Surah juga

diartikan sesuatu yang sempurna atau lengkap.7 Dalam KBBI

surah juga diartiakan sebagai bagian atau bab dalam al-Qur‟ān.

Sedangkan secara istilah para ahli ilmu al-Qur‟ān berbeda

dalam mendefinisikan surah diantaranya:

ف ذات و لل آ ء لتل ن ا ت اال

Artinya: sekelompok atau sekumpulan ayat-ayat al-Qur‟ān

yang berdiri sendiri yang mempunyai permulaan dan penghabisan.

Manna Khalil mendefinisikan surah sebagai berikut

ف ذات اا ل واا لل آه اا ن ا ت اال : االط رة

Artinya: Surah adalah kumpulan atau jumlah ayat-ayat al-

Qur‟ān yang berdiri sendiri yang memiliki permulaan dan akhiran.

Al-Utabi berkata kata al-Surah kadang dengan hamzah

tetapi kadang tidak dengan hamzah. Jika membacanya dengan

hamzah maka ia menjadi kata as‟arat artinya dia menyisakan. Ini

berasal dari kata as-su‟ru yang berarti apa yang tersisa dari

minuman di gelas seakan-akan itu sebagian dari al-Qur‟ān.8

Apabila tidak dibaca dengan hamzah maka makna nya

berubah menjadi yang akan datang. Atau disebut dengan kata

(suurah). Sebagian ulama ada yang menyerupakan kata al-suurah

dengan suuri al-bina yang artinya bagian dari bangunan atau satu

bagian dari bagian yang lainnya. Ada juga yang mengatakan

6Liliek Channa dan Syaiful Hidayat, Ulumul Qur‟an dan

Pembelajarannya, (Surabaya: Kopertais IV Press, 2010), h. 234. 7Ahmad Izzan, Ulumul Qur‟an: Telaah Tekstualitas al-Qur‟ān,

(Bandung: Tafakkur, 2009), h. 33. 8Al-Suyuti, al-Itqān Fī „Ulūm al-Qur‟ān, h. 222

18

bahwa ia berasal dari kata suur al-madidah yang artinya pagar

yang mengelilingi kota, karena surah di dalam al-Qur‟ān itu

meliput dan menghimpun ayat-ayatnya, seperti dihimpunnya

rumah-rumah di dalam pagar. Diantara yang mirip dengan hal

tersebut adalah al-siwar yang artinya gelang, karena ia

mengelilingi tangan seseorang. Ada juga pendapat yang

mengatakan ia dinamakan suurat karena kedudukannya yang

mulia, dan karena ia adalah kalam Allah. Dengan demikian, maka,

al-suurah berarti al-manzilah al-rafi‟ah.9

Terdapat sembilan kali kata surah yang disebutkan di dalam

al-Qur‟ān, baik itu pada bentuk tunggal mau pun pada bentuk

jamak (suwar), namun pada bentuk jamak, hanya disebutkan 1

kali. Di dalam al-Qur‟ān, penggunaannya merujuk terhadap suatu

unit wahyu yang “diturunkan” oleh Allah Swt. (QS. 9:64, 86, 124,

127; QS. 24:1; QS. 47:20), bukan dalam pengertian “surah”

sebagaimana yang dipahami dewasa ini. Penggunaan kata surah,

secara konteks merupakan suatu unit wahyu yang mempunyai

kemiripan dengan beberapa penggunaan kata ayah, qur‟an dan

kitab di dalam al-Qur‟ān. Dahulu, musuh-musuh Nabi ditantang

untuk menciptakan “suatu surah yang semisalnya” (QS. 2:23;

10:38) atau “sepuluh suwar yang semisalnya” (QS. 11:13, QS.

28:49), adapun tantangannya yaitu mendatangkan suatu kitab dari

Tuhan). Maka, dapat disimpulkan bahwa makna umum dari kata

surah yaitu unit wahyu terpisah yang diturunkan kepada Nabi dari

9Al-Suyuti, al-Itqān Fī „Ulūm al-Qur‟ān, h. 222

19

waktu ke waktu. Namun, tidak terdapat indikasi apapun dalam al-

Qur‟ān mengenai panjang dan pendeknya unit wahyu tersebut.10

Istilah selanjutnya adalah آ (ayah) terdapat empat ratus kali

dalam al-Qur‟ān, ada yang berbentuk tunggal, ada pula yang

jamak. Di dalam al-Qur‟ān, penggunaan kata tersebut bisa

dikelompokkan dalam empat konteks (siyaq). Konteks pertama,

kata ayah merujuk kepada fenomena kealaman, termasuk manusia,

yang disebut sebagai “tanda-tanda” (ayat) kemahakuasaan dan

karunia Tuhan. (QS. 45:3-4; QS. 41:37, 39; QS. 42:29, 32; QS.

2:28; QS. 10:4; QS. 22:66; QS. 30:40, 46; QS. 16:14; QS. 36:73;

dll.).11

Pada konteks kedua, kata ayah diterapkan kepada peristiwa-

peristiwa atau obyek-obyek luar biasa yang dihubungkan dengan

tugas seorang utusan Tuhan dan cenderung mengkonfirmasi pesan

ketuhanan yang dibawanya. (QS. 43:46-48; QS. 40:78; QS. 17:59;

QS. 20:17-24; QS. 27:12-14; QS. 7:130-136; QS. 7:73; QS. 3:49;

QS. 15:73-75; QS. 29:24; QS. 54:15; dll.). Senada dengan hal ini,

oposan-oposan Nabi Muhammad turut menuntutnya

mempertunjukkan suatu “tanda” (QS. 2:118; QS. 6:37; QS. 10:20;

QS. 13:7; QS. 20:133; QS. 21:5; QS. 29:50), yang tentu saja tidak

merujuk kepada “ayat-ayat” al-Qur‟ān, namun kepada mukjizat.

Sebagaimana disebutkan dalam QS. 40:78, penciptaan “tanda-

tanda” merupakan hak istimewa eksklusif Tuhan. Bahkan Rasul

sendiri pun tidak diberi kekuasaan untuk menciptakannya atas

kemauan sendiri. Sekiranya suatu “tanda” dari jenis mukjizat

10Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an, h. 57. 11Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an, h. 57.

20

tersebut dibawa oleh Nabi Muhammad kepada mereka, maka

mereka tetap tidak akan beriman, sebagaimana telah ditegaskan

dalam QS. 30:58. Jadi, sehubungan dengan Nabi Muhammad,

pada faktanya, al-Qur‟ān menolak bahwa ia mempunyai mukjizat

dalam pengertian supranatural (ma fawqa al-fithrah). Namun,

beberapa keberhasilan eksternal Nabi dirujuk sebagai “tanda,”

seperti janji perolehan pampasan perang yang berlimpah (QS.

48:20) dan kemenangan dalam Perang Badr (QS. 3:13)

sebagaimana terjadi dalam tahun-tahun terakhir kehidupannya.

Bahkan, mayoritas sarjana Muslim memandang bahwa al-Qur‟ān

itu sendiri adalah mukjizat terbesar pada Nabi (QS. 11:12-13; QS.

6:33-35; dll.).12

Kata ayah dalam konteks ketiga, merujuk kepada “tanda-

tanda” yang dibacakan oleh Rasul-Rasul yang diutus oleh Tuhan

(QS. 39: 71; QS. 6:130; QS. 67:8; QS. 40:50), atau pada

banyaknya kasus yang dibacakan oleh Nabi Muhammad sendiri

(QS. 31:7; QS. 45:25; QS. 46:7; QS. 62:2; QS. 65:11; dll.).

Pembacaan “tanda-tanda” tersebut mampu menambah keyakinan

orang-orang yang beriman, namun para penentang Nabi

mengkritiknya sebagai “dongeng-dongeng masa silam” (asathir

al-awwalin, QS. 6:25; QS. 8:31; QS. 16:24; QS. 23:83; QS. 25:5;

QS. 27:68; QS. 46:17; QS. 68:15; QS. 83:13) terma asathir al-

awwalin pada al-Qur‟ān merujuk kepada kisah pengazaban umat-

umat terdahulu (seperti dalam QS. 8:31 dan QS. 68:15) dan

12Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an, h. 57-58.

21

kebangkitan kembali pada Hari Pengadilan (seperti dalam QS.

23:83; QS. 27:68; QS. 46:17).13

Kata ayah pada konteks keempat disebut sebagai bagian al-

Qur‟ān atau kitab atau surah (QS. 10:1; QS. 11:1; QS. 13:1; QS.

15:1; QS. 24:1; QS. 26:2; QS. 27:1; QS. 28:2; QS. 31:2; dll), yang

diturunkan oleh Tuhan (QS. 2:99, 202; QS. 3:108; QS. 22:16; QS.

24:34; dll). Maka, dalam konteks ini, kata ayah mempunyai

makna unit dasar wahyu terkecil, selaras dengan pemahaman kita

saat ini mengenai hal tersebut. Namun, al-Qur‟ān, seperti halnya

dengan surah, tidak juga memberikan indikasi mengenai panjang

dan pendeknya unit-unit wahyu tersebut.

Apabila hadis dimasukkan ke dalam pertimbangan untuk

melihat panjang dan pendeknya unit-unit wahyu yang diterima

oleh Nabi, maka jawaban yang diterima sangat lah bermacam

ragam. Ada sebuah berita yang mengabarkan bahwa Nabi

Muhammad menerima wahyu al-Qur‟ān secara ayat per ayat atau

huruf per huruf, terkecuali surah 19 dan 12 yang turunnya

sekaligus.14

Nabi, sebagaimana perspektif lain, menerima satu atau dua

ayat,15

satu hingga lima ayat atau lebih, lima hingga sepuluh ayat,

dan lain-lain.16

Walaupun tidak terdapat kejelasan dari al-Qur‟ān

dan hadits tentang panjang dan pendeknya unit wahyu yang

diterima oleh Nabi, gagasan mengenai unit wahyu mungkin dapat

dibangun dengan mencermati konteks literatur al-Qur‟ān sendiri

13Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an, h. 58. 14Shahih Bukhari, Kitab al-Tafsir, (Maktabah Dahlan: tt.), surah 9. 15Shahih Bukhari, Kitab al-Tafsir, surah 2:18. 16Al-Suyuti, al-Itqān Fī „Ulūm al-Qur‟ān, h. 44.

22

baik itu pada bentuk peralihan akhiran rima serta peralihan

gagasan dalam suatu surah dan mengeksploitasi perbendaharaan

klasik Islam, seperti riwayat-riwayat asbabun nuzul dan

sebagainya. Langkah seperti hal ini tentu akan sangat membantu

dalam upaya menyusun aransemen kronologis unit-unit wahyu

yang diterima oleh Nabi.

Seorang penyair bernama al-Nabighah mengatakan:

تػ ى ر ػتذبذب ة فر الله ا ل ؾ ر ا ال تػ ى

Tidakkah kamu mengetahui bahwa Allah telah memberimu

surah (kedudukan yang mulia), sehingga kamu mengetahui bahwa

setiap malaikat di sekelilingnya mondar-mandir.17

Pendapat lain juga mengatakan, ia disebut dengan surah,

karena terangkainya bagian surah itu dengan bagian yang lain,

diambil dari kata at-tasawwur yang berarti at-tashaa‟ud wa at-

tarakub, ini diambil dari makna firman Allah SWT. “Idz

tasawwaruul-mihraab” (QS. Shaad: 2). Definisi surah adalah

Qur‟an yang memuat beberapa ayat yang dibuka dan diakhiri dan

jumlah paling sedikit 3 ayat. Demikian merupakan pendapat Imam

al-Jabari. Pendapat lain juga mengatakan bahwa surah adalah

kumpulan ayat yang tersusun secara tauqifi, yaitu yang diberi

nama dengan nama secara khusus dengan ketetapan dari Nabi

SAW.18

Ada sebagian ulama yang tidak senang apabila dikatakan,

“Ini surah ini dan ini surah itu”, karena ada hadis yang

diriwayatkan oleh Imam Thabrani dan Imam Baihaqi dari Anas

17Al-Suyuti, al-Itqān Fī „Ulūm al-Qur‟ān, h. 222. 18Al-Suyuti, al-Itqān Fī „Ulūm al-Qur‟ān, h. 222.

23

(hadis marfu‟), “Janganlah kamu mengatakan ini surah al-

Baqarah, ini surah Āli „Imrān, dan ini surah al-Nisa. Demikian

juga al-Qur‟ān secara keseluruhan. Tetapi katakanlah, “Inilah

surah yang disebutkan di dalamnya al-Baqarah, dan surah yang

disebutkan di dalamnya Āli „Imrān, demikian juga al-Qur‟ān

secara keseluruhan.” Tetapi hadis ini sanadnya dho‟if, bahkan

Ibnu al-Zaujiy menganggap hadis ini maudhu‟.19

Jadi, jika diperhatikan dan ditelaah secara mendalam, nama-

nama surah dalam al-Qur‟ān dengan berbagai pengertian seperti

yang disebutkan di atas memiliki beberapa kepentingan

diantaranya:20

1. Siapa yang membacanya dengan sungguh-sungguh dan

memperhatikan segala isi muatannya, niscaya ia akan

memperoleh berbagai tingkat dalam ilmu pengetahuan.

2. Surah-surah dalam al-Qur‟ān itu menjadi tanda permulaan dan

penghabisan untuk setiap bagian tertentu dari al-Qur‟ān.

3. Surah-surah dalam al-Qur‟ān laksana gedung-gedung yang

sangat indah yang di dalamnya memuat berbagai ilmu

pengetahuan dan hikmah.

4. Setiap surah mengandung beberapa hal yang lengkap dan

sempurna.

Setiap surah al-Qur‟ān satu sama lain berhubungan erat,

tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya

seakan-akan merupakan tangga yang bertingkat-tingkat.

19Al-Suyuti, al-Itqān Fī „Ulūm al-Qur‟ān, h. 223. 20Ahmad Izzan, Ulumul Qur‟an, h. 33.

24

C. Ketentuan dalam Pemberian Nama Surah

Setiap surah dalam al-Qur‟ān memiliki nama tersendiri yang

ditetapkan oleh Rasulullah Saw. secara tauqifi. Hal ini

berdasarkan penjelasan beberapa hadis dan riwayat. Secara umum,

surah-surah dalam al-Qur‟ān memiliki satu nama saja. Tetapi, ada

juga beberapa surah mempunyai dua buah nama atau lebih seperti

at-Taubah, al-Bara‟ah, al-Fadilah, dan al-Hafidzah.

Kata-kata yang digunakan untuk menjadi nama surah-surah

tersebut antara lain:21

1. Diambil dari luar surah. Artinya, kata yang dipakai untuk

menjadi nama surah, tidak terdapat di dalam ayat-ayat dari

surah bersangkutan. Surah yang pertama dinamai al-Fatihah

tidak ditemukan di dalam ayat-ayatnya, namun nama tersebut

telah memberikan petunjuk kepada kita tentang fungsinya

sebagai Fatihah (pembukaan atau pendahuluan) bagi al-

Qur‟ān.

2. Nama surah diambil dari tema yang sedang dibicarakan dalam

surah tersebut. Misalnya surah al-Nisa, dinamakan surah al-

Nisa karena banyak membahas tentang wanita.

3. Diambil dari salah satu kata yang terdapat pada ayat di dalam

surah yang bersangkutan. Baik itu terletak dipermulaan,

ditengah, atau dibagian akhir surah. Misalnya surah ke 20

dinamai dengan Thaha. Kata Thaha tersebut sudah dijumpai

pada ayat pertama dari surah ke dua dinamai dengan al-

21Ansharuddin M, “Sistematika Susunan Surah di dalam al-Qur‟an:

Telaah Historis”, Cendikia: Jurnal Studi Keislaman, h. 216.

25

Baqarah. Kata al-Baqarah baru dijumpai pada ayat ke 67 dari

surah yang bersangkutan.

D. Pendapat Ulama tentang Nama Surah antara Ijtihadi dan

Tauqifi

Para ulama mempunyai perbedaan pendapat mengenai

penamaan surah termasuk tauqifi atau ijtihadi. Penamaan surah al-

Qur‟ān, sebagaimana dari segi sejarah, mulanya menjadi olok-

olokan kaum musyrikin. Mereka berkata bahwa surah al-Baqarah

dan surah al-„Ankabut merupakan ejekan terhadap nama surah.

Dengan demikian, lalu turunlah ayat dalam QS. Al-Hijr (15): 95:

تػ ل ء ن لل ي ال ٩٥ إ ر ػل

“Sesungguhnya Kami memelihara engkau (Muhammad) daripada

(kejahatan) orang yang memperolok-olokkan (engkau)”

Penamaan surah al-Qur‟ān, menurut sebagian pendapat

merupakan tauqifi, sebagai halnya tertib ayat-ayat dan tanda

waqafnya yang telah dijelaskan dalam hadis dan atsar yang telah

pasti, sama seperti penamaan terhadap al-Qur‟ān, yang segala

halnya pasti tepat dan akurat, penamaan tiap-tiap surah dalam al-

Qur‟ān juga sudah sangat tepat dengan isi kandungan yang

tercantum di dalam surah-surah tersebut. Mereka berpendapat

bahwa semua surah dalam al-Qur‟ān diberi nama oleh Rasulullah

Saw. Misal, surah al-Fatihah (pembukaan/pendahuluan), surah ini

adalah surah pembukaan, fungsinya adalah pengantar ke dalam isi

kandungan al-Qur‟ān yang lebih luas. Begitu juga surah al-

26

Baqarah yang artinya sapi, isinya banyak dikemukakan hal-ihwal

pemotongan sapi bagi kaum Bani Israil.22

Imam Ibn Jarir al-Tabari (w. 310 H)23

, Syaikh Sulaiman al-

Bajirami (w. 121 H)24

, dan Imam Jalaluddin al-Suyuṭi merupakan

beberapa ulama yang berpendapat demikian.25

Sebagian ulama

lainnya berpendapat bahwa penamaan surah adalah ijtihadi, hal ini

dikarenakan sebagian penamaan ada yang disematkan oleh para

sahabat. Seperti surah al-Taubah (9) dijuluki dengan surah al-

Qital (peperangan) disamping surah Bara‟ah (Pembebasan), dapat

disimpulkan bahwa bagi satu surah terdapat dua atau bahkan

banyak nama lainnya.26

Dalam kitab al-Burhan, al-Zarkasyi berpendapat bahwa

terdapat keperluan dalam membahas lebih lanjut lagi tentang

penamaan surah al-Qur‟ān, termasuk tauqifi atau ijtihadi. Apabila

penamaan surah tersebut ijtihadi, hal ini tidak menutup

kemungkinan bahwa tiap-tiap surah memiliki nama yang banyak,

sebab sangat dibutuhkan sebuah nalar untuk mengkhususkan nama

terhadap satu surah. Seperti halnya masyarakat Arab yang

mengambil sebagian nama atau judul suatu syair atau puisi dari

nama yang asing, langka dan tidak familiar. Dengan demikian, hal

itu bisa menjadi sifat dan karakter yang akhirnya akan menjadi ciri

22Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an, (Depok: PT Rajagrafindo

Persada, 2013), cet I, h. 62. 23Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Jami al-bayan fi al-Ta‟wil al-Qur‟an,

cet. 1, jilid 1, h. 100. 24Sulaiman bin Umar Al-Bujairami, Tuhfah al-Habib „ala Syarh al-

Khathib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), Juz 4, h. 222. 25Al-Suyuti, al-Itqān Fī „Ulūm al-Qur‟ān, h. 186. 26Ibrahim al-Ibyary, Pengenalan Sejarah Al-Qur‟an, (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 1995), cet. III, h. 54.

27

khas bagi syair atau puisi itu sendiri, atau bisa pula dari pendapat

orang yang memberikan nama tersebut. Sebagaimana mereka

memberi nama sebuah kalimat dari kata yang terkenal didalamnya,

kiranya seperti itu juga lah penamaan surah dalam al-Qur‟ān.27

Terdapat pernyataan dalam Fatwa Lajnah Daimah yakni:

“Kami tidak mengetahui adanya dalil dari Rasulullah Saw. yang

menunjukkan bahwa beliau memberi nama seluruh surah dalam

al-Qur‟ān. Hanya saja memang terdapat beberapa hadis shahih

yang menyebutkan nama beberapa surah dari Nabi saw seperti al-

Fatihah, al-Baqarah, Āli „Imrān, dan al-Kahfi. Sementara nama-

nama surah lainnya, yang lebih dekat, itu berasal dari para sahabat

ra.”28

Menurut Dr. Munirah al-Dausiri dalam risalahnya yang

berjudul Asma‟ al-Suwar al-Qur‟ān al-Karim wa Fadhailuha, ini

merupakan pendapat yang nilainya kuat.

Berdasarkan pernyataan para ulama yang memiliki berbagai

pendapat penamaan terhadap surah-surah dalam al-Qur‟ān sifatnya

adalah ijtihadi, bahwasanya tidak semua nama dalam surah al-

Qur‟ān diberi oleh Nabi Saw., namun para sahabat juga memiliki

wewenang dalam memberikan nama terhadap surah-surah dalam

al-Qur‟ān. Maka, penulis menyimpulkan bahwa penamaan surah-

surah dalam al-Qur‟ān lebih tepatnya adalah ijtihadi, sebagaimana

telah dipaparkan sebelumnya.

Mengenai penamaan surah al-Nisa al-Shughra dan al-Nisa

al-Kubra juga salah satu penamaan surah secara ijtihadi. Menurut

27Muhammad Abu Syahbah, al-Madkhal li Dirasat al-Qur`an al-Karim,

(KSA: Dar al-Liwa, 1987), h. 289. 28Fatwa Lajnah Daimah, jilid 4, h. 416.

28

Quraisy Shihab, surah al-Nisa dikenal pada masa Nabi Saw.

dengan sebutan al-Nisa al-Thula dan surah al-Thalaq dikenal juga

dengan nama al-Nisa al-Quṣra (surah al-Nisa yang pendek),

karena sudah terdapat surah al-Nisa yang panjang yaitu surah

keempat pada perurutan penulisan mushaf al-Qur‟ān. Namun,

namanya sebagai surah al-Thalaq jauh lebih terkenal.29

Mengenai

pembahasan ini, akan penulis bahas secara tuntas di bab

selanjutnya.

E. Fungsi Penamaan Surah

Terdapat kegunaan dalam mempelajari penamaan surah Al-

Qur‟ān, yaitu:30

1. Membantu para mufasir dalam menafsirkan ayat-ayat al-

Qur‟ān dengan penafsiran yang baik dan benar. Dengan

demikian, para mufasir akan mampu dalam memahami secara

mudah dan lebih jelas mengenai isi kandungan ayat-ayat al-

Qur‟ān.

2. Merasakan gaya bahasa dan susunan kalimat al-Qur‟ān yang

begitu indah, serta dijadikan oleh para ustadz dan da‟i sebagai

media untuk mengajak umat Islam dan seluruh umat manusia

agar bisa kembali kepada Allah Swt.

3. Membantu para mufasir dalam mengistinbatkan hukum-

hukum Islam.

4. Mengetahui petunjuk-petunjuk Nabi Muhammad Saw. dalam

membina dan membangun masyarakat Islam.

29M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian

al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 14, h. 127. 30Muhammad Abu Syahbah, al-Madkhal li Dirasat al-Qur`an al-Karim,

h.199-200.

29

5. Mengetahui sejarah perjalanan keNabian Muhammad Saw.

Dalam menerima wahyu-wahyu al-Qur‟ān dari Allah Swt.

30

BAB III

TELAAH AYAT-AYAT PADA SURAH

AL-NISA DAN AL-THALAQ

A. Arti Kata al-Nisa dan Kategorisasinya di Surah al-Nisa dan al-

Thalaq

Pengertian kata al-Nisa Secara bahasa berasal dari kata al-

Niswah berarti seorang wanita. Kata al-Nisa ini juga sudah

menjadi pengetahuan umum yang menunjukkan bahwa yang

dimaksud adalah seorang perempuan, ketika disebut al-Nisa maka

sudah dapat diketahui maksud dan arah pembicaraannya yakni

seorang perempuan. Mengenai kata al-Nisa ini Nasaruddin Umar

mendefinisikan lebih mendetail sebagaimana yang dikutipnya

dalam kitab al-Mawrid bahwa al-Nisa ini ada kalanya berarti

sebagai jender perempuan dan juga yang berarti istri-istri.1

Kata Nisa‟ dalam Kamus Lisan al-Arab, sebagai pijakan

awal untuk memahami kata Nisa‟ dalam al-Qur‟ān, untuk itu

bagaimana tradisi Arab menggunakan kata Nisa‟ ini dalam

penggunaan sehari-hari sangat penting untuk diperhatikan. Hal ini

karena kamus merupakan tempat dimana kita dapat melihat tradisi

yang pernah berlaku di dalam masyarakat. Kata Nisa‟ di dalam

Kamus Lisan al-Arab memiliki dua pengertian yaitu terlambat dan

bertambah, seperti perkataan nas‟an al-mar‟atu (perempuan yang

terlambat datang bulan), dan ungkapan nasa‟tu al-laban yang

berarti menambahkan air ke dalam susu.2 Pengertian ini juga dapat

1Nasiruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur‟an,

(Jakarta: Paramadina, 2001), h. 160. 2Habib, “Semantik Kata Nisa‟ dalam al-Qur‟an: Analisis Semantik

Kontekstual”, Hermeunetik, VIII, 1, (Juni, 2014), h. 155.

31

dipahami dari ayat al-Qur‟ān surah al-Taubah (9): 37 sebagai

berikut:

ايرل ء ز دة ل إنر ٣٧ ... ف ال

“Sesungguhnya pengunduran (bulan haram) itu hanya menambah

kekafiran...”

Tampak bahwa kamus Lisan al-Arab menggunakan kata

Nisa‟ sebagai bentuk jamak dari kata „nasi‟ imra‟atun nasi‟ wa

nusu‟ wa niswatun nisa‟ dengan maksud untuk menyebut arti

perempuan yang telah terlambat datang bulan dan diharapkan

telah mulai mengandung, di satu sisi, dan di sisi lain kata Nisa‟

sebagai bentuk jamak dari kata imro‟ah (perempuan).3

Berdasarkan pencarian yang dilakukan oleh penulis pada

surah al-Nisa, maka, tema-tema dalam surah tersebut yang

berkaitan dengan perempuan adalah sebagai berikut:

1. Penciptaan manusia termasuk perempuan.

2. Aturan pernikahan.

3. Mahar.

4. Waris.

5. Hubungan suami dan istri.

6. Persamaan balasan dalam beramal untuk laki-laki dan

perempuan.

Dalam al-Qur‟ān, Kata al-Nisa dapat ditemukan di beberapa

ayat dan surah dengan segala bentuk perubahannya. Sebagaimana

hasil penelusurannya yaitu:

3Habib, “Semantik Kata Nisa‟ dalam al-Qur‟an: Analisis Semantik

Kontekstual”, Hermeunetik, h. 155.

32

No. Kata Jumlah Surah

,kali a. al-Baqarah (2): 222, 231, 232, 235 35 النساء .1

236.

b. Āli „Imrān (3): 14, 42.

c. al-Nisa (4): 1, 3, 4, 7, 11, 19, 22,

24, 32, 34, 43, 75, 98, 127, 129,

176.

d. al-Maidah (5): 6.

e. al-A‟raf (7): 81.

f. al-Nur (24): 60.

g. al-Naml (27): 55.

h. al-Ahzab (33): 30, 32, 52, 59.

i. al-Fath (48): 25.

j. al-Hujurat (49): 11 (terdapat 2 kata

di dalam ayat ini)

k. al-Thalaq (65): 1.

.kali a. al-Baqarah (2): 49 4 نساءكم .2

b. Āli „Imrān (3): 61.

c. al-A‟raf (7): 141.

d. Ibrahim (14): 6.

.kali a. al-Baqarah (2): 187 4 نسائكم .3

b. al-Nisa (4): 15, 23.

c. al-Thalaq (65): 4.

ھمنساء .4 3 kali a. al-A‟raf (7): 127.

b. al-Qasas (28): 4.

c. Ghafir (40): 25.

ھمنساا .5 3 kali a. al-Baqarah (2): 226.

b. al-Mujadilah (58): 2, 3.

.kali a. al-Nur (24): 31 2 نسائھن .6

b. al-Ahzab (33): 55.

.kali Āli „Imrān (3): 61 1 نساءنا .7

.kali al-Baqarah (2): 223 1 نساؤكم .8

Berdasarkan tabel diatas, maka berikut ini adalah beberapa

kata al-Nisa di dalam QS. al-Nisa dan al-Thalaq:

33

1. Surah al-Nisa (4) : 1

س ػط اير س تػرل ا ربر ارذي خ ل ن ػر ل و ةي زول وخ ق يػل ر ؿ ـ ا و ل ءا ثيروبثر يػل رل

و تػرل ا للر ارذي تل ءا ف ب ۦ و ال

ل رق ب ١ اإفر للر ف ل“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah

menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah)

menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari

keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan

perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang

dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah)

hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga

dan mengawasimu.”

Ayat ini, menurut jumhur mufassir, Adam adalah manusia

pertama yang dijadikan oleh Allah. Kemudian dari dirinya

yang satu itu, Allah menciptakan pula pasangannya yang

biasa disebut dengan nama Hawa. Dari Adam dan Hawa

berkembang biaklah manusia.

2. Surah al-Nisa (4) : 3:

و ػ ث ورب ن ايل ء ثػل ٣ ... ا ب ا ...

“...Maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi:

dua, tiga atau empat...”

Ayat ini menjelaskan mengenai kebolehan untuk menikahi

wanita sampai 4 orang namun dengan syarat adil dan syarat-

syarat tertentu lainnya. Tetapi pada dasarnya satu istri saja

lebih baik.

3. Surah al-Nisa (4) :4:

ءوءات ا ايل ء ص ق ت نر نل ا ل ن ل س إف بل ػ ل يل ا ا ا هي ‍ ٤ ا ر ‍

34

“Dan berikanlah mas kawin (mahar) kepada perempuan

(yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan.

Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian

dari (mas kawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan

nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.”

Ayat ini menunjukkan bahwa mas kawin adalah

disyari‟atkan oleh agama.

4. Surah al-Nisa (4) : 7:

ب ف وا يل ء ص با ؿ ص ب قػل ا اف و ال ر تػ ؾ ال ا اف م ر تػ ؾ ال م

أول ثػ ص ب ب ف مر ق ر يلقػل وضو ال ٧ اا ر ل

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua

orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak

bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan

kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang

telah ditetapkan.”

Ayat ini menjelaskan bahwa baik laki-laki maupun

perempuan sama-sama mendapatkan hak dan bagian dalam

harta waris.

5. Surah al-Nisa (4) : 11:

إف نر ل ء ثػ ػيل ظ ال ا ل ا ذر ثل ف أول ص للر يػتػيل ؽ ػل ػ ل

١١ ... ػ نر ػ ث تػ ؾ

“Allah mensyari´atkan (mewajibkan) kepadamu tentang

(pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian

seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak

perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang

jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga

dari harta yang ditinggalkan...”

35

Ayat ini menjelaskan tentang bagian waris untuk anak

perempuan.

6. Surah al-Nisa (4) : 15:

بػع نر أرل وا ل تلل ل ن ل ئ ل ل تي ال لي ل إف وا و ار ت ي

نر ع للر ت أول يل ل نر ال ل هنر ف ال ػ ت تر ػتػ رىػ ١٥ ا أ ل“Dan para perempuan yang melakukan perbuatan keji

diantara perempuan-perempuan kamu, hendaklah terhadap

mereka ada empat saksi di antara kamu (yang

menyaksikannya). Apabila mereka telah memberi kesaksian,

maka kurunglah mereka (perempuan itu) dalam rumah

sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi

jalan (yang lain) kepadanya.”

Ayat ini menjelaskan tentang menghadirkan 4 orang saksi

apabila seorang istri melakukan perbuatan keji serta

membahas mengenai hukuman mereka.

7. Surah al-Nisa (4) : 19:

ا ػط ارذ ن ءا ي ا لا ي ط ا ل أف ت ا ايل ء ل ه ا ي هنر اتذل ا ولا تػعل ل تي ب

لت هنر إلار أف ي ض ءاتػ ػل وؼ ط ػ ي ب ػعل عل و وهنر ب ال

ه ا ل ‍ ـ أف ت ل ت هنر ػعل خيرل إف هل ع للر ١٩ اا ثيرا ويل“Wahai orang-orang yang beriman! Tidak halal bagi kamu

mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu

menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali

sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya,

kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.

Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut.

Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah)

karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal

Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.”

Ayat ini menjelaskan larangan untuk mewarisi dan

menguasai kaum perempuan dengan paksa juga tidak boleh

36

melakukan tindakan-tindakan yang menyusahkan dan

memudharatkan perempuan seperti mengharuskan mereka

mengembalikan mahar.

8. Surah al-Nisa (4) : 22:

ن ايل ء إلار ق ل ف إ ر ۥ ف ل ولا تي ا ح ءا ؤ

ت ٢٢ ا و ء و لل“Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang

telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa)

yang telah lampau. Sungguh, perbuatan itu sangat keji dan

dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang

ditempuh).”

Ayat ini menjelaskan mengenai keharaman dalam

menikahi perempuan yang telah dinikahi oleh ayah

kandungmu.

9. Surah al-Nisa (4) : 23:

خ ت ل وبػي ت ال ت ل وخ ت ل و ر ت ل وبػي ت ل وأخ ل أ ر تل لت ع وأ ر ن ا ر ت ي ل وأخ عل ت أرل

ت ار ت وأ ر خل وبػي ت الت بنر إف لرل

ل ئ ل ورب ئ ار ت ف ج ر ن ل ئ ار ت دخ ل ل وأف ي ئ ارذ ن نل أصل ئ أبػل ل و ت بنر ي ح ل

ت ا دخ ل إفر للر ف غ ر

إلار ق ل ف تػيل خل ال ع ا بػيل ٢٣ اا رر تل“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu

yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan,

saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara

ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-

saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari

saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang

menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan,

ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu

(anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah

37

kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu

itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu

(menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak

kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan

(dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali

yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha

Pengampun, Maha Penyayang.”

Ayat ini menjelaskan tentang perempuan-perempuan yang

haram untuk dinikahi.

10. Surah al-Nisa (4) : 24:

وأ ر ا ل ي ل ت ب للر ل صي ت ن ايل ء إلار تل أيل ل ۞و ال

ت ب ۦ تػعل ت ل ي ل ل صيي غ ػل ل ا ط تػل ا ب ل ا ل أف تػ ػل ر وراء ذ نر ‍ ت هنر أ رهنر يػل ت ب ۦ ن بػعل ل تػ ػل ولا ي ح ل

إفر للر ف ٢٤ ا ال

“Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang

bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan

perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu.

Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang

demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk

menikahinya bukan untuk berzina. Maka, karena kenikmatan

yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah mas

kawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban. Tetapi

tidak mengapa jika ternyata di antara kamu telah saling

merelakannya, setelah ditetapkan. Sungguh, Allah Maha

Mengetahui, Maha Bijaksana.”

Ayat ini menjelaskan tentang ketidak bolehan untuk

menikahi perempuan yang telah bersuami.

38

11. Surah al-Nisa (4) : 32:

ض ـ بػعل ل ب ۦ بػعل ا ر للر ر ا ؿ ص بولا تػت يػر ل م وا يل ء ص ب

تل ا إفر للر ف ب ل

ۦ ‍ ا للر ن ل و ل تلبل ر ل م

ء ٣٢ ا ل“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah

dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang

lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang

mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari

apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian

dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala

sesuatu.”

Ayat ini menjelaskan tentang laki-laki mempunyai bagian

dari apa yang mereka peroleh. Demikian juga perempuan,

sesuai dengan usaha dan kemampuan mereka masing-masing.

Oleh karena itu orang dilarang iri hati terhadap orang yang

lebih banyak memperoleh karunia dari Allah.

12. Surah al-Nisa (4) : 34:

ض ـ بػعل ل بػعل ف ـ ايل ء ب ر للر وب أ ل ا نل ا ؿ قػ ر ظ ت ت ق يت ت و ار ت ت ف ل زهنر أ ل ل اصر

ب ب ظ للر

ل ل ا ل نر ل ا ل ي ل تػ ػل إفل أ عل

و ل ب هنر ج وهنر ف ال عظ هنر و هل

إفر للر ف ٣٤ اا ير

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri),

karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki)

atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka

(laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka

perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat

(kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada,

karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan

yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri

39

nasehat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur

(pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi

jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari

alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi,

Maha Besar.”

Ayat ini menjelaskan bahwa kaum laki-laki adalah

pemimpin, pemelihara, pembela, dan pemberi nafkah,

bertanggungjawab penuh terhadap kaum perempuan yang

menjadi istri dan yang menjadi keluarga. Oleh karena itu,

wajib bagi setiap istri untuk menaati suaminya selama suami

tidak durhaka kepada Allah Swt.

13. Surah al-Nisa (4) : 43:

ا تػل ا ف ولا ى تر تػعل ة وأ ت ل ب ا اصر ػط ارذ ن ءا ي ا لا تػلل ي ـ أول ء ـ أول وإف يت ر ل

تل ا يػ إلار ب ي تر تػلل

ت ايل ء ػ ل ت وا ءأ ل ئط أول ا لل ن ال ي ا ػتػ ر ا صع إفر للر ف ا غ را ب

ل ل ا ب ه ل وأ ل ٤٣ ا ل“Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati

shalat, ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu

sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu

hampiri mesjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali

sekedar melewati untuk jalan saja, sebelum kamu mandi

(mandi junub). Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam

perjalanan atau sehabis buang air atau kamu telah

menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapat air,

maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci);

sapulah wajahmu dan tanganmu dengan (debu). Sungguh,

Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun.”

Ayat ini menjelaskan tentang kewajiban bertayamum jika

tidak mendapat air, salah satunya jika sudah menyentuh

perempuan. Diantara ulama ada yang berpendapat bahwa

yang dimaksud dengan menyentuh perempuan dalam ayat ini

40

ialah bersetubuh, sedang bersetubuh mengakibatkan hadas

besar yang dapat dihilangkan dengan mandi janabah.

14. Surah al-Nisa (4) : 75:

ف ال ع ي ن ا ؿ و ايل ء و ال ت ل لل ت ف ف للر و ال و ا ل لا تػل

ع اري ن ار و ل ل ل اظر ل أهل ذا ال ي نل ه ارذ ن ػل ا ف ربػري أخل ل

ع اري ن ار صيراوا ٧٥ ا و ل“Dan mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan

(membela) orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan,

maupun anak-anak yang berdoa, “Ya Tuhan kami,

keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang penduduknya

zalim. Berilah kami pelindung dari sisi-Mu dan berilah kami

penolong dari sisi-Mu.””

Ayat ini menjelaskan tentang sebuah dorongan yang kuat

agar kaum muslimin berperang di jalan Allah untuk membela

saudara-saudara mereka yang tertindas dan berada dalam

cengkraman musuh, karena mereka lemah dan tidak berdaya

baik laki-laki maupun perempuan dan juga anak-anak.

15. Surah al-Nisa (4) : 98:

تل ع ف ف لا لل ال ع ي ن ا ؿ و ايل ء و ال ت ل لل ولا إلار ال

ت وف ٩٨ ا ػ ل“kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau perempuan

dan anak-anak yang tidak berdaya dan tidak mengetahui

jalan (untuk berhijrah).”

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah Swt. mengecualikan

golongan orang yang tertindas baik laki-laki atau perempuan

41

dalam meninggalkan kewajiban hijrah, karena mereka tidak

mempunyai kemampuan untuk keluar dari Makkah.

16. Surah al-Nisa (4) : 127:

ت ب ف ل ف ال ـ ل ت ل نر و ػتػل ػ ل ت ف ايل ء ق للر تػ ل و لل

غ ف أف تي هنر ت ػ نر تب نر وتػ ل ػت ـ ايل ء ار ت لا تػؤلع ا نل خيرل ط و تػ ل للل ـ ب ال ػت

ف وأف تػل ا ا ل ال ع ي ن ال ت ل لل و ال

١٢٧ا إفر للر ف ب ۦ “Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang perempuan.

Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang

mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam al-Qur‟ān

(juga memfatwakan) tentang para perempuan yatim yang

tidak kamu berikan sesuatu (mas kawin) yang ditetapkan

untuk mereka, sedang kamu ingin menikahi mereka dan

(tentang) anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan

(Allah menyuruh kamu) agar mengurus anak-anak yatim

secara adil. Dan kebajikan apa pun yang kamu kerjakan,

sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.””

Ayat ini menjelaskan bahwa pada masa turunnya ayat ini,

orang-orang arab jahiliyah memandang rendah kedudukan

perempuan, orang yang lemah dan anak yatim seakan-akan

mereka adalah makhluk yang tidak ada artinya, tidak dapat

memiliki sesuatu pun, bahkan mereka sendiri boleh dimiliki

dan diperjualbelikan sebagaimana memiliki dan

memperjualbelikan barang.

17. Surah al-Nisa (4) : 129:

ل ت ا ر الت ل ايل ء وا ل صل ا ا بػيل تل ع ا أف تػعل وان تلل

ا وتػتػرل ا إفر للر ف غ ر ع رل وإف تصل ١٢٩ اا رر ػتذروه ال

42

“Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-

istri(mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian,

karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang

kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-

katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan

memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah

Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Ayat ini menjelaskan bahwa manusia tidak dapat berlaku

adil dan menguasai hatinya sendiri, hanya Allah Swt. yang

menguasainya. Oleh karena itu, sekalipun manusia telah

bertekad akan berlaku adil terhadap istri-istrinya, namun ia

tidak dapat membagi waktu dan cintanya antara istri-istrinya

secara adil.

18. Surah al-Nisa (4) : 176:

ة... ا ل ا و ل ء ر ؿوإف ػ ا إخل للر ػ ػي ثػ ػيل ظ ال ذر ثل

ء ب ل و للر ١٧٦ أف ت ط ا

“...Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-

saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang

saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara

perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu agar

kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Ayat ini menjelaskan tentang pembagian harta warisan

termasuk untuk saudara perempuan.

19. Surah al-Thalaq (65): 1:

و تػرل ا للر ة ع ر ص ا ال ت ايل ء ل ل هنر اع رتنر وأ ل ػط ايربط إذا رلل ي ل تي ب

لن إلار أف ي ل ط ػ ي ربر ل لا تل هنر ن بػ تنر ولا يل وت ل

43

ث ري اع ر للر يلل ۥ لا ت ل و ن ػتػع ر ود للر ػل ل ظ ػ ل ود للر

ا أ ل ذ ١ ابػعل“Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka

hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat

(menghadapi) iddahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu

iddah itu, serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.

Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya dan

janganlah (diizinkan) ke luar kecuali jika mereka

mengerjakan perbuatan keji yang jelas. Itulah hukum-hukum

Allah, dan barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah,

maka sungguh, dia telah berbuat zalim terhadap dirinya

sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali setelah itu Allah

mengadakan suatu ketentuan yang baru.”

Ayat ini menjelaskan tentang masa iddah perempuan yang

dicerai.

20. Surah al-Thalaq (65): 4:

ث أ ل تػ نر ػ ت ل ع ر تػ ػل ض ن ل ئ ل إف رل ن ن ال و ار ػ‍ و ار ػ‍ ئللع ار ۥ و ن ػترق للر يل

نر ن حل ؿ أ نر أف عل حل

ن وأوا ت ال لل ي ل ٤ ا نل أ ل اۦ لل

“Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di

antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa

iddahnya), maka iddahnya adalah tiga bulan; dan begitu

(pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Sedangkan

perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu

sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa

bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan

baginya dalam urusannya.”

Ayat ini menjelaskan tentang waktu masa iddah para

perempuan.

Di dalam surah al-Nisa terdapat pula 8 ayat yang membahas

tentang perempuan tanpa terdapat kata al-Nisa di dalamnya.

44

Begitu juga dalam surah al-Thalaq terdapat 2 ayat yang membahas

tentang perempuan tanpa terdapat kata al-Nisa di dalamnya.

Berikut adalah tabelnya:

No. Surah Ayat Pembahasan

1. al-Nisa 12 Pembagian waris.

2. al-Nisa 20-21 Ketidak bolehan mengambil

kembali harta (mahar) yang telah

suami berikan kepada istri apabila

suami ingin menceraikan istrinya

dan menggantinya dengan

perempuan lain.

3. al-Nisa 25 Kebolehan menikahi hamba

sahaya perempuan atas izin

tuannya dan tetap harus

memberikan mas kawin.

4. al-Nisa 33 Penetapan ahli waris dan telah

terdapat bagiannya masing-

masing.

5. al-Nisa 35 Mengutus juru damai dari pihak

suami dan juga istri apabila terjadi

perselisihan diantara mereka.

6. al-Nisa 124 Balasan surga untuk laki-laki dan

perempuan yang mengerjakan

amal kebajikan.

7. al-Nisa 128 Anjuran mengadakan perdamaian

antara suami dan istri, meskipun

sang suami akan nusyuz. Dan

45

anjuran bagi suami untuk

memelihara diri dari nusyuz.

8. al-Thalaq 2 Perintah untuk mempersaksikan 2

orang saksi jika ingin rujuk mau

pun cerai.

9. al-Thalaq 6 Kewajiban mantan suami untuk

memberikan tempat tinggal yang

layak dan memberikan nafkah

iddah pada mantan istri yang telah

ditalak.

B. Arti Kata al-Thalaq dan Kategorisasinya di Surah al-Thalaq

Surah al-Thalaq ini terdiri dari 12 ayat, diturunkan di

Madinah setelah surah al-Insan sebelum surah al-Bayyinah. Surah

al-Thalaq merupakan surah ke 96 yang diturunkan kepada Nabi

Saw. Namun, di dalam mushaf, urutan surah ini adalah surah ke

65. Dalam surah ini dijelaskan mengenai berbagai hukum talak

dan juga terdapat penjelasan mengenai berbagai perincian

mengenai talak yang tidak ada dijelaskan dalam surah lain kecuali

surah al-Baqarah. Surah ini adalah salah satu surah Madaniyyah

yang ayat-ayatnya disepakati turun setelah Nabi Muhammad Saw.

berhijrah kemadinah. Sebab turunnya adalah pertanyaan yang

diajukan oleh Umar bin Khattab kepada Rasulullah Saw.

menyangkut anak beliau Abdullah yang mentalak istrinya yang

sedang haid. Nabi menjawab, “Hendaklah dia rujuk kepadanya”

dan bersabda pula “apabila istrinya itu telah suci, maka dia boleh

menceraikan boleh juga melanjutkan ikatan perkawinan.” Ketika

46

itu Nabi Saw. membaca: ya ayyuha an-Nabiyyu iza thallaqtum al-

Nisa (HR. Muslim, melalui Abu al-Zubair yang mendengarnya

dari Abdurrahman Ibn Aiman).4

Pertanyaan dalam hadis ini dipahami oleh ulama sebagai

sebab turunnya surah saat itu, ada juga yang memahaminya turun

sesudahnya. Ada juga riwayat yang menyatakan bahwa ia turun

berkaitan dengan perceraian Nabi dengan Hafsah, namun pendapat

tersebut tidak diterima oleh banyak ulama atau dasar Nabi Saw.

tidak mentalak Hafsah. Adapun yang diperbincangkan dalam

surah ini, yang pertama yaitu mengenai talak, dengan demikian

maka dikenal dengan nama surah al-Thalaq. Namun, nama

tersebut pada masa Rasul Saw. tidak dikenal. Begitu pula riwayat-

riwayat yang menyebut demikian tidak dinilai sebagai riwayat

yang shahih. Saat itu, nama yang dikenal yaitu surah al-Nisa al-

Quṣra (surah al-Nisa yang pendek), hal ini disebabkan adanya

surah al-Nisa yang panjang yakni surah keempat pada perurutan

penulisan mushaf al-Qur‟ān. Namanya sebagai surah al-Thalaq

jauh lebih terkenal. Oleh sebab itu, itulah nama yang dicantumkan

dalam mushaf, dan yang selalu tertulis dalam kitab-kitab tafsir.

Adapun tema utamanya yaitu uraian tentang talak dan hal-hal yang

berhubungan dengannya, seperti iddah, nafkah, penyusuan anak

dan tempat tinggal yang diceraikan.5

Sesungguhnya, dalam surah ini terdapat pembahasan

mengenai pentingnya urusan keluarga dalam sistem kehidupan

4M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian

al-Qur‟an, Vol. 14, h. 127. 5M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian

al-Qur‟an, Vol. 14, h. 127.

47

yang islami. Rumah, dalam pandangan Islam adalah tempat

tinggal dan istirahat. Tiap-tiap jiwa di dalamnya harus

mendapatkan kasih sayang, rahmat, cinta, perhiasan, penjagaan,

dan kesucian. Anak-anak tumbuh dan generasi baru berangsur-

angsur mencapai kesempurnaan dalam naungan rumah tersebut.

Selain itu, ikatan-ikatan kasih dan hubungan-hubungan

ketergantungan dan pengasuhan turut berkembang dari rumah

tersebut. Maka dari itu, Islam menggambarkan hubungan rumah

tangga dengan gambaran yang halus dan lembut, yang dari

hubungan rumah tangga tersebut akan tersebar sifat kasih sayang

yang di dalamnya akan terbentang naungan, dan di dalamnya

terbentang wangi keharuman yang semerbak di dalamnya. Jadi

hubungan rumah tangga merupakan hubungan dan ikatan antara

jiwa dengan jiwa. Ini merupakan hubungan dan ikatan antara

tempat tinggal dengan kestabilan dan juga merupakan hubungan

dan ikatan antara cinta dengan kasih sayang.6

Berdasarkan pencarian yang dilakukan oleh penulis pada

surah al-Thalaq, maka, tema-tema dalam surah tersebut yang

berkaitan dengan perempuan adalah sebagai berikut:

1. Aturan menalak (menceraikan) istri).

2. Perintah mempersaksikan rujuk.

3. Masa iddah.

4. Kewajiban mantan suami terhadap mantan istri yang telah

ditalak.

5. Nafkah iddah.

6Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur‟an, (Jakarta: Gema Insani, 2004),

cet .I, h. 310-312.

48

Dalam al-Qur‟ān, kata al-Thalaq dapat ditemukan di

beberapa ayat dan surah dengan segala bentuk perubahannya.

Sebagaimana hasil penelusurannya yaitu:

No. Kata Jumlah Surah

.kali al-Baqarah (2): 227, 229 2 اال ق .1

.kali a. al-Baqarah (2): 231, 232, 236 4 لت .2

b. al-Thalaq (65): 1.

,kali al-Baqarah (2): 228, 241 2 اال ل ت .3

و لت .4 2 kali a. al-Baqarah (2): 237.

b. al-Ahzab (33): 49.

.kali al-Tahrim (66): 5 1 ن ق .5

ه ق .6 1 kali al-Baqarah (2): 230.

Berdasarkan tabel diatas, maka berikut ini adalah kata al-

Thalaq di dalam QS. al-Thalaq:

Surah al-Thalaq (65): 1:

و تػرل ا للر ربر ل لا ة ع ر ص ا ال ت ايل ء ل ل هنر اع رتنر وأ ل ػط ايربط إذا رلل ي

ل تي ب لن إلار أف ي ل ط ػ ي تل هنر ن بػ تنر ولا يل ود للر وت ل

ا أ ل ذ ث بػعل ري اع ر للر يلل ۥ لا ت ل او ن ػتػع ر ود للر ػل ل ظ ػ ل

١ “Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka

hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat

(menghadapi) iddahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu iddah

itu, serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu

keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah (diizinkan) ke

luar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas.

Itulah hukum-hukum Allah, dan barangsiapa melanggar hukum-

hukum Allah, maka sungguh, dia telah berbuat zalim terhadap

dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali setelah itu

Allah mengadakan suatu ketentuan yang baru.”

49

Ayat ini menjelaskan tentang masa iddah perempuan yang

dicerai.

C. Arti Kata al-Kubra dan al-Shughra

1. Al-Kubra

( ػ )ف ص رة د ؤ ث و ذره ( ػ ى) أص الا : ػ ى

( ػ ى)و ذ

Kubra: Kalimat asalnya adalah isim, (kubra) berbentuk

mufrad (sendiri) muannnas (perempuan). Akar katanya adalah

- ػ (besar) dan batangnya adalah kubra.7

Terjemahan dari ػ ى dalam bahasa Indonesia adalah mayor.

Sebagaimana beberapa contoh kalimatnya yaitu:8

: ائ ػ ىHadiah yang paling besar.

:أخت ػ ىSeorang kakak perempuan.

:هذا ل ػ ىItu masalah terbesar.

7Terjemahan dan Arti ل ى di Kamus Istilah Indonesia Arab,

https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/ل ى / 8Terjemahan dari ل ى , https://www.kamusind.com/terjemahan/arab-

indonesia/ل ى

50

2. Al-Shughra

ف ص رة د ؤ ث و ذره ( صل ى ) أص الا : صل ى

(صل ى )و ذ ( صل )

Shughra: Kalimat asalnya adalah isim, (shughra) berbentuk

mufrad (sendiri) muannnas (perempuan). Akar katanya adalah

صل – صل (kecil, sedikit, berkurang) dan batangnya adalah

shughra.9

Terjemahan dari صل ى dalam bahasa Indonesia adalah junior.

Sebagaimana beberapa contoh kalimatnya yaitu:10

: ع ػ ، أخت صل ى اي Guru Seo sudah seperti adikku.

: ف واا ي ػل ؿ دائ أف ا ير أخت صل ى Ayah pernah berkata bahwa aku memiliki satu adik.

: Rا أ ر ااعل ػ ف ؿ اأتػع يذ صل ى اط Oh, kau tahu, sejak masih kecil, orang militer membuatku

tertarik.

9Terjemahan dan Arti ,di Kamus Istilah Indonesia Arab صغ ى

https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/صغ ى/ 10Terjemahan dari صغ ى, https://www.kamusind.com/terjemahan/arab-

indonesia/صغ ى

51

BAB IV

ANALISIS KONTEN TERHADAP

SURAH AL-THALAQ DAN AL-NISA

A. Perbandingan Posisi Surah al-Nisa dan al-Thalaq dalam

Mushaf dan Tanzil

Surah al-Nisa‟ adalah surah yang telah dikenal sejak masa

Nabi Saw. Istri Nabi Saw. yakni A‟isyah ra. menjelaskan bahwa

surah al-Baqarah dan surah al-Nisa‟ turun setelah beliau menikah

dengan Nabi Saw. Ia juga dikenal dengan nama al-Nisa al-Kubra

atau al-Nisa ath-Thula karena surah al-Thalaq dikenal sebagai

surah al-Nisa ash-Shughra. Secara bahasa, dinamakan al-Nisa

karena maknanya adalah perempuan. Hal ini disebabkan

pembahasannya dimulai dengan uraian tentang hubungan Silah al-

Rahim dan begitu banyak ketetapan hukum mengenai perempuan,

seperti membahas pernikahan, anak-anak perempuan, dan ditutupi

dengan ketentuan hukum tentang mereka.1

Surah al-Nisa merupakan surah yang diturunkan kepada

Nabi Muhammad setelah hijrah ke Madinah (8 bulan sesudah

hijrah) atau disebut dengan surah Madaniyah. Dalam riwayat,

Aisyah ra. menegaskan bahwa surah al-Baqarah dan surah al-Nisa

turun setelah beliau menikah dengan Nabi Saw. Para ulama

sepakat bahwa surah al-Nisa turun setelah surah al-Baqarah. Akan

tetapi, mayoritas ulama berpendapat bahwa surah al-Nisa turun

sesudah surah Āli „Imrān. Dalam urutan mushaf, surah al-Nisa

adalah surah yang ke 4 setelah surah Āli „Imrān. Al-Nisa disebut

1M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian

al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 2, h. 393.

52

juga al-Nisa al-Kubra atau al-Nisa al-Thula telah dikenal sejak

masa Nabi Saw dan disebut demikian dikarenakan pembahasan

tentang wanita sangat komprehensif. Surah al-Nisa juga surah

terpanjang sesudah surah al-Baqarah. Ada 5 surah yang

menjadikan wanita sebagai tema pokonya, yaitu Q.S. al-Nisa

surah keempat, Maryam surah ke sembilan belas, al-Mujadilah

surah kelima puluh delapan, Q.S. al-Mumtahanah surah keenam

puluh dan al-Thalaq surah keenam puluh lima. Ada 176 ayat

dalam surah al-Nisa yang memperbincangkan banyak hal, salah

satunya tentu saja wanita.

Sedangkan surah al-Thalaq, surah ini merupakan salah satu

surah madaniyah yang ayat-ayatnya secara keseluruhan turun

setelah Nabi Muhammad SAW berhijrah ke Madinah.2 Ada 12

ayat dalam surah al-Thalaq yang memperbincangkan beberapa

hal, salah satunya tentu saja wanita yang menjadikan surah ini

disebut sebagai al-Nisa al-Quṣra. Dalam Tafsir al-Shabuni pada

ayat pertama bahwa al-Kalabi berkata sebab turunnya ayat ini

ialah, bahwa Rasulullah Saw. marah kepada Hafsah karena Nabi

merahasiakan suatu perkara kepadanya tetapi kemudian ia

bocorkan kepada Aisyah lalu ia ditalak kemudian turun ayat ini.3

Dalam riwayat lain, surah al-Thalaq turun atas pertanyaan

dari Umar bin Khattab ra. tentang anak beliau, Abdullah yang

menalak istrinya yang sedang haid. Nabi Saw. menjawab,

“Hendaklah ia rujuk kepadanya dan apabila istrinya itu telah suci,

2M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian

al-Qur‟an, Vol. 14, h. 127. 3Imam Al-Shabuni, Tafsir As-Shabuni, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), h.

237.

53

maka ia boleh menceraikan, boleh juga melanjutkan ikatan

perkawinan.”4 Ketika itu Nabi Saw. membaca:

ت ايل ء ػط ايربط إذا رلل ي

Menurut al-Qurthubi dalam kitab Sunan Abu Daud terdapat

hadis yang diriwayatkan dari Asma binti Yazid bahwa dia cerai

pada masa Rasulullah dan saat itu belum ada iddah bagi wanita

yang dicerai. Allah kemudian menurunkan iddah cerai ketika

Asma diceraikan. Oleh karena itulah, Asma menjadi wanita

pertama yang tentangnya iddah cerai diturunkan.5 Ayat 1 ini turun

berkenaan peristiwa itu yang menegaskan bahwa kewajiban

seorang suami terhadap istrinya yang ditalak tetap harus ditunai

sampai habis masa iddah, tapi dilarang tidur bersama. (HR. Hakim

dari Ibnu Abas). Menurut al-Dzahabi isnad hadis ini lemah dan isi

beritanya salah, karena peristiwa Abu Yazid terjadi sebelum Islam

sampai kepadanya.6

B. Perbandingan Pembukaan Surah al-Nisa dan al-Thalaq

1. Surah al-Nisa ayat 1

س ػط اير س تػرل ا ربر ارذي خ ل ن ػر ل و ةي زول وخ ق يػل ر ؿ ـ ا و ل ءا ثيروبثر يػل رل

و تػرل ا للر ارذي تل ءا ف ب ۦ و ال

ل رق ب ١ اإفر للر ف ل

4M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian

al-Qur‟an, Vol. 14, h. 127. 5Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, t.t),

jilid 18, h. 621. 6A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al-Qur‟an Surah

Al-Baqarah - An Nas, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 823-824.

54

“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang

telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan

(Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan

dari keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan

perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang

dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah)

hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga

dan mengawasimu.”

Quraisy Shihab dalam tafsir al-Mishbah menjelaskan ayat

pertama surah al-Nisa ini merupakan pengantar untuk lahirnya

persatuan dan kesatuan sesama manusia, serta tolong menolong

dan saling mengasihi. Hal ini disebabkan tiap manusia asalnya

adalah sama yaitu dari satu keturunan, antara perempuan dan

laki-laki tidak memiliki perbedaan, besar atau kecil,

mempunyai agama atau tidak. Semuanya diminta untuk

berdamai dan saling menghormati dalam bermasyarakat,

memberikan rasa aman untuk menghormati hak-hak asasi

manusia. Selanjutnya, menurut beliau, walaupun surah al-Nisa

ini menjelaskan kesatuan dan kesamaan orang per orang dari

segi hakikat kemanusiaan, konteksnya untuk memaparkan

banyak dan berkembang biaknya mereka dari seorang ayah,

yakni Adam, dan seorang ibu, yakni Hawa.7

Pembahasan utama pada kalimat wa khalaqa minha

zaujaha yaitu mengenai proses penciptaan pasangan dari nafs

wahidah. Para mufassir, secara umum mengartikannya sebagai

Hawa yang proses penciptaannya adalah tercipta dari tulang

7M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian

al-Qur‟an, Vol. 2, h. 397-398.

55

rusuk sebelah kiri Adam yang keras dan bengkok.8 Akan tetapi,

sebagian mufassir membantah dengan memiliki pendapatnya

sendiri yakni Hawa diciptakan dari jenis yang sama tanpa

mempunyai perbedaan dengan adam, cukup banyak ulama

kontemporer yang memahaminya secara metaforis. Tak hanya

itu saja, namun terdapat juga ulama yang menolak keshahihan

hadis yang mereka argumentasikan.9

Melihat perbandingan pendapat tersebut, bisa dipahami

dengan mempertentangkan keduanya, yakni memahami bahwa

dengan perkawinan Adam dan Hawa yang diciptakan Allah

swt, maka, bisa tercipta dan lahir lah manusia-manusia lain

dengan banyak, baik itu perempuan maupun laki-laki, begitu

juga para manusia selanjutnya dapat berkembang sampai akhir

kehidupannya. Adapun makna perempuan yang dijelaskan

sebagai pasangan suaminya, hal ini diwujudkan hanya dengan

melaksanakan perkawinan yang sah.10

Manusia mampu

berkembang dari kedua suami dan istri, hanya melalui

perkawinan tersebut, sehingga manusia dapat berkembang

dengan jumlah yang banyak, baik itu pada suatu suku dan

bangsa, atau pada kelompok-kelompok tertentu, baik itu

perempuan (Nisa‟) atau laki-laki (Rijal) yang mereka semua

tidak memiliki hak dan tanggung jawab yang berbeda dalam

8Imam Ibn Katsir al-Qursyi al-Damasyqiy, Tafsir al-Qur‟an al-„Azim,

(Beirut al-Fikr, 1992), juz. I, h. 553-554. 9M. Quraisy Shihab, Wawasan al-Qur‟an; Tafsir Maudhu‟i atas

Pelbagai Persoalan Umat, (Jakarta: Mizan, 1996), cet. III, h. 300. 10Marwati, “Pemberdayaan Perempuan; Kajian Tafsir al-Qur‟an Surah

al-Nisa Ayat 1”, Jurnal Adabiyah, XV, 2, (2015), h. 106.

56

melaksanakan pesan dan amanat dari Allah Swt., mereka hanya

berbeda pada masing-masing kualitas ketakwaannya.11

Kata “al-Nisa‟”, adalah bentuk jamak dari “mar‟ah” atau

“imra‟ah”, hal ini disebabkan bentuk jamaknya bukan berasal

dari lafal aslinya. Begitu juga kata “al-Kaum” adalah jamak

dari “al-Mar‟u” sedangkan “al-Mar‟ah” adalah untuk jamak

“al-Nisa‟ al-Niswan dan al-Niswah”.12

Secara filologi bahasa

Arab, ia serumpun dengan kata “al-Nisa” yang artinya lembut

dan menentramkan.13

Definisi tersebut identik dengan bentukan

kata dari al-Nisa ya‟nisu, anusa-ya‟nisu, anasa–ya‟nisu, yang

berarti “rumah, suka”. Kata anusa–ya‟nisu menjadi jinak,

merasa sesuatu, melihat, mendengar, dan mengetahui”, akan

tetapi, kata terakhir ini digunakan dalam al-Qur‟ān dengan arti

melihat.14

Maka, terdapat hubungan dengan bentukan kata yang

berakar dari hamzah, nun dan sin yang identik dengan sifat-

sifat umumnya seorang manusia. Jika hak, tugas, dan peranan

wanita sebagaimana disebutkan di atas (keluarga) dilaksanakan

penuh tanggung jawab, maka akan memberikan peranan yang

lebih besar pada kehidupannya, terkhusus dalam kebahagiaan

11Marwati, “Pemberdayaan Perempuan; Kajian Tafsir al-Qur‟an Surah

al-Nisa Ayat 1”, Jurnal Adabiyah, h. 106. 12Marwati, “Pemberdayaan Perempuan; Kajian Tafsir al-Qur‟an Surah

al-Nisa Ayat 1”, Jurnal Adabiyah, h. 106. 13Marwati, “Pemberdayaan Perempuan; Kajian Tafsir al-Qur‟an Surah

al-Nisa Ayat 1”, Jurnal Adabiyah, h. 106. 14Abdul Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam

al-Qur‟an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), cet. I, h. 84.

57

dan kesejahteraan yang dihiasi cinta dan kasih sayang,15

anak-

anak, serta keluarga yang lain. Dengan demikian maka akan

terhindar dan turut selamat dari jilatan api neraka.16

2. Surah al-Thalaq ayat 1

و تػرل ا للر ة ع ر ص ا ال ت ايل ء ل ل هنر اع رتنر وأ ل ػط ايربط إذا رلل ي ل تي ب

لن إلار أف ي ل ط ػ ي ربر ل لا تل هنر ن بػ تنر ولا يل وت ل

ث ري اع ر للر يلل ۥ لا ت ل و ن ػتػع ر ود للر ػل ل ظ ػ ل ود للر

ا أ ل ذ ١ ابػعل“Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka

hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat

(menghadapi) iddahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu

iddah itu, serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.

Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya dan

janganlah (diizinkan) ke luar kecuali jika mereka

mengerjakan perbuatan keji yang jelas. Itulah hukum-hukum

Allah, dan barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah,

maka sungguh, dia telah berbuat zalim terhadap dirinya

sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali setelah itu Allah

mengadakan suatu ketentuan yang baru.”

Quraisy Shihab dalam tafsir al-Mishbah menjelaskan ayat

pertama surah al-Thalaq ini yakni kata ت berasal dari akar رلل

kata yang artinya adalah melepas. Allah mengukuhkan

hubungan suami dan istri yang terbentuk melalui akad nikah

sebagai mitsaqan galizhan/ikatan yang sangat kukuh. Dengan

demikian, maka ketika seorang suami menceraikan istrinya,

15Marwati, “Pemberdayaan Perempuan; Kajian Tafsir al-Qur‟an Surah

al-Nisa Ayat 1”, Jurnal Adabiyah, h. 107. 16Marwati, “Pemberdayaan Perempuan; Kajian Tafsir al-Qur‟an Surah

al-Nisa Ayat 1”, Jurnal Adabiyah, h. 107.

58

ini berarti bahwa ia melepaskan ikatan tersebut. Dari sini lah,

perceraian diberi nama dengan thalaq atau pelepasan ikatan.17

„Iddah yaitu masa tunggu yang wajib bagi istri yang

berpisah dengan suaminya, baik itu karena kematian suami

atau perceraian semasa hidup. Adapun tujuan menceraikan

istri saat ia suci alias bukan pada waktu haidnya yakni untuk

memberi batasan waktu perceraian supaya tidak sembarangan

dalam menjatuhkannya kapan saja.18

Sedangkan tujuan dari

„iddah adalah untuk memelihara kehormatan wanita tersebut

dan kehormatan suaminya juga jika tiba-tiba tergerak hati

mereka untuk rujuk kembali.19

Menurut al-Qurthubi dalam tafsirnya ia menjelaskan

tentang ayat pertama surah al-Thalaq ini terdapat beberapa

pembahasan yaitu pertama, ت ايل ء ػط ايربط إذا رلل Wahai“ ي

Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu, pesan ini

ditujukan untuk Nabi Saw. beliau diarahkan dengan lafadz

jamak, hal ini disebabkan untuk mengagungkan dan

memuliakan beliau.20

Qatadah meriwayatkan dari Anas, ia berkata bahwa

Rasulullah Saw. menceraikan Hafsah, lalu Hafsah datang

pada keluarganya. Allah kemudian menurunkan kepada beliau

17M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian

al-Qur‟an, Vol. 14, h. 133. 18M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian

al-Qur‟an, Vol. 14, h. 133. 19M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian

al-Qur‟an, Vol. 14, h. 135. 20Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 619.

59

ت ايل ء ل ل هنر اع رتنر ػط ايربط إذا رلل dikatakan kepada , ي

beliau “rujuklah ia, sebab ia adalah wanita yang banyak

beribadah lagi banyak berpuasa dan ia termasuk dari istri-

istrimu di surga.”21

Menurut al-Kalbi, asbabun nuzul ayat ini yaitu marahnya

Nabi Saw. kepada Hafsah, saat beliau bercerita mengenai

sebuah rahasia kepadanya, kemudian dia menceritakan rahasia

tersebut kepada Aisyah. Setelah itu, beliau menceraikan

Hafsah dengan talak satu kemudian turunlah ayat ini.22

Berdasarkan ayat pertama ini dapat disimpulkan bahwa

al-Qur‟ān menghalalkan talak, namun memiliki syarat-syarat

dan ketentuan tertentu. Meskipun suami yang memiliki hak

untuk menalak, namun tetap tidak boleh sembarangan dalam

menggunakannya. Apabila seorang suami memiliki inisiatif

untuk menalak istrinya, maka suami harus melihat pada

keadaan istrinya, supaya masa iddahnya tidak semakin lama

dan panjang. Selain itu, ayat ini juga menjelaskan bahwa saat

terjadi perceraian harus ada saksinya. Dengan demikian, hak

suami maupun istri akan tetap terlindungi sebaik mungkin.23

Selanjutnya, ayat ini juga menjelaskan bahwa Allah

memberikan penghargaan yang sangat besar kepada para

perempuan dalam penjatuhan talak. Allah tidak membenarkan

21Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 619. 22Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 620. 23Hemnel Fitriawati dan Zainuddin, “Talak dalam Perspektif Fikih,

Gender, dan Perlindungan Perempuan”, Yinyang: Jurnal Studi Islam, Gender

dan Anak, XV,1 (Januari-Juni, 2020), h. 65-66.

60

para suami untuk sembarangan menjatuhkan talak kepada

istri. Tujuannya adalah membatasi hak para suami. Dengan

demikian, derajat perempuan akan terangkat dan terlindungi

dengan sangat baik24

.

Hal ini memberikan indikasi bahwa antara perempuan

dan laki-laki mempunyai kesamaan kedudukan dan

kesetaraan. Dengan demikian, salah satu pihak tidak

dibenarkan untuk menzalimi pihak yang lain. Maka, al-Qur‟ān

telah mengusahakan untuk mengangkat derajat para

perempuan setinggi-tingginya. Tak hanya sampai situ, bahkan

disetarakan dengan laki-laki kecuali dalam hal-hal tertentu.

Oleh sebab itu, kesimpulannya adalah hak perempuan dan

laki-laki relatif seimbang dengan pengecualian tertentu.25

C. Perbandingan Akhir Surah al-Nisa dan al-Thalaq

1. Surah al-Nisa ayat 176

س ا ۥ وا ؤا ه ا ل إف ل ت ل ف ال ػ ل ت ق للر تػ ل ت لل وا ۥ أخل

وا وه ػ إف لرل ن رف تػ ؾ ػ ػ صل يػتػيل إف ػت ػل

24Hemnel Fitriawati dan Zainuddin, “Talak dalam Perspektif Fikih,

Gender, dan Perlindungan Perempuan”, Yinyang: Jurnal Studi Islam, Gender

dan Anak, h. 66-67. 25Hemnel Fitriawati dan Zainuddin, “Talak dalam Perspektif Fikih,

Gender, dan Perlindungan Perempuan”, Yinyang: Jurnal Studi Islam, Gender

dan Anak, h. 67.

61

ة وإف ػ ا إخل ا و ل ء ر ؿ اثػط ث ف مر تػ ؾ ػ ػي ثػ ػيل ظ ال ذر ثل

ء ب ل و للر ا ل أف ت ط ا ١٧٦ للر

“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).

Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah,

(yaitu) jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak

tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya

(saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang

ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi

(seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai

anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi

keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika

mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki

dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama

dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan

(hukum ini) kepadamu agar kamu tidak sesat. Allah Maha

Mengetahui segala sesuatu.”

Quraisy Shihab dalam tafsir al-Mishbah menjelaskan surah

al-Nisa ini ditutup dengan suatu pernyataan mengenai

pengetahuan Allah Swt. yang menyeluruh dan begitu pula

berakhir dengan pembahasan hukum waris meski redaksinya

cukup terbatas. Namun, kandungan makna dalam ayat ini amat

lah dalam dan cukup banyak. Pada ayat penutup ini dijelaskan

mengenai hak-hak para perempuan dan laki-laki tanpa adanya

perbedaan, kecuali didasarkan pada pemerataan dan keadilan.26

Dalam tafsir al-Munir dijelaskan bahwa dalam ayat

terakhir surah al-Nisa ini, Allah Swt. membagi ahli waris

kepada tiga kelompok. Pertama, ahli waris yang terhubung

26M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian

al-Qur‟an, Vol. 2, h. 843-844.

62

secara langsung dengan si mayat tanpa perantara, yaitu anak

dan kedua orangtua. Kedua, ahli waris yang mempunyai

hubungan dengan mayat yang disebabkan ikatan perkawinan

yaitu suami atau istri. Ketiga, ahli waris yang tersambung

dengan si mayat dengan adanya perantara atau tidak secara

langsung, yaitu ahli waris yang disebut al-kalalah yakni ahli

waris selain anak dan kedua orangtua. Namun, pendapat yang

kuat tentang al-kalalah yaitu ahli waris selain orangtua dan

anak. Ini merupakan penafsiran Abu Bakar al-Shiddiq.27

Ibnu Jarir al-Thabari meriwayatkan dari al-Sya‟bi, ia

berkata Abu Bakar al-Shiddiq ra. berkata “Saya memiliki

penafsiran tentang maksud al-kalalah, jika penafsiran saya

tersebut benar, maka itu tidak lain berasal dari Allah Swt.

Namun jika keliru, maka itu berasal dari saya dan setan. Allah

Swt. terlepas dari kekeliruan itu, yaitu al-kalalah adalah ahli

waris selain orangtua dan anak.”28

Ayat ini ditutup dengan pernyataan bahwa Allah Swt.

memberlakukan syari‟at dan menuliskan aturan-aturan

mengenai permasalahan waris. Allah Swt. Maha Mengetahui

bahwa aturan-aturan tersebut terdapat banyak kebaikan dan

kemaslahatan untuk hamba-hambaNya.29

27Wahbah al-Zuhaili, Tafsir Al-Munir; Aqidah, Syariah, Manhaj,

(Jakarta: Gema Insani, 2013), Jilid 2, h. 617. 28Wahbah al-Zuhaili, Tafsir Al-Munir; Aqidah, Syariah, Manhaj, Jilid 2,

h. 617. 29Wahbah al-Zuhaili, Tafsir Al-Munir; Aqidah, Syariah, Manhaj, Jilid 2,

h. 619.

63

2. Surah al-Thalaq ayat 12

س ت ارذي خ ق ل ا للر يػ نر اتػعل بػ ػل ل نر ػتػيػ رؿ ال ض ثػل رل و ن ال

ء ـ ل ق أفر للر ء ل ١٢ وأفر للر ق ل أ ط ب ل

“Allah menciptakan tujuh langit dan dari (penciptaan) bumi

juga serupa. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu

mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan

ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.”

Sayyid Quthub dalam tafsir Quraisy Shihab yakni al-

Mishbah menjelaskan ayat terakhir surah al-Thalaq ini terdapat

sebuah sentuhan yang memiliki nilai dari dua sisi. Sisi pertama

yaitu Allah yang mempunyai ilmu segalanya memberi perintah

mengenai segala ketetapan hukum. Allah menurunkannya dan

juga mengetahui segala kondisi, kemaslahatan, dan potensi

seluruh manusia. Maka, segala ketetapan tersebut harusnya

dilaksanakan dan tidak membuat berpaling kepada selainnya.

Sisi kedua yaitu segala ketetapan hukum tersebut dititipkan

dalam hati nurani.30

Dalam tafsir al-Qurthubi dijelaskan bahwa ayat penutup ini

menjelaskan tentang kesempurnaan kekuasaan Allah Swt.

Maksudnya adalah Allah mempunyai kekuasaan dalam

membangkitkan dan melaksanakan hisab. Mengenai langit

yang berjumlah tujuh lapis, tidak ada perbedaan pendapat

30M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian

al-Qur‟an, Vol. 14, h. 155.

64

tentangnya. Para ulama bersepakat bahwa langit memang

berjumlah tujuh lapis.31

Namun, terdapat perbedaan pendapat mengenai bumi.

Pendapat pertama yaitu pendapat mayoritas ulama yang

mengatakan bahwa bumi memiliki tujuh tingkatan yang

sebagiannya berada diatas sebagian lain. Adapun mengenai

jarak antara tingkatan bumi yang satu dengan lainnya seperti

jarak antara langit dan bumi. Pada tiap tingkatan tersebut

terdapat penduduknya yakni makhluk Allah Swt. Pendapat

kedua yaitu pendapat Adh-Dhahhak mengatakan Allah

berfirman نر ض ثػل رل dan dari (penciptaan) bumi juga“ و ن ال

serupa” yaitu tujuh lapis. Namun, tidak terdapat jarak antara

lapisan yang satu dengan lainnya. Pendapat yang shahih adalah

pendapat pertama.32

D. Pemetaan Kandungan Surah al-Nisa dan al-Thalaq

Al-Maraghi menjelaskan bahwa topik-topik dalam surah al-

Nisa adalah sebagai berikut:33

1. Perintah agar bertakwa kepada Allah secara sembunyi-

sembunyi atau terang-terangan.

Terdapat seruan kepada manusia untuk bertaqwa kepada

Allah yang telah menciptakan manusia dari diri yang satu,

lalu bersambung lagi kepada seruan untuk bertaqwa, dan

31Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 693. 32Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 693-694. 33Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Beirut: Dar Al-

Fikr, 2001), jilid 4, h. 312.

65

diingatkan pula mengenai pengawasan dan penjagaan Allah

Swt.

2. Mengingatkan orang yang diajak bicara, bahwa mereka

berasal dari satu jiwa.

Sebagaimana diketahui bersama bahwa manusia berasal

dari satu tempat yang berhubungan dalam satu rahim, bertemu

dalam satu ikatan, dan bersumber dari asal-usul yang satu

serta bernasab pada satu nasab, maka perbedaan antara satu

manusia dengan manusia yang lain adalah tidak ada. Manusia

seharusnya wajib menyadari hakikat tersebut, dengan

demikian, maka segala perasaan mereka akan seimbang.

Tidak akan terjadi pelanggaran dalam hubungan cinta dan

kasih sayang (kekeluargaan) dan hak-haknya untuk dipelihara,

begitu pula mengenai pelanggaran nafs dan hak-haknya dalam

berkasih sayang serta hubungan rububiyyah dan hak-haknya

dalam urusan takwa pada Allah Swt.

3. Hukum-hukum pertalian kerabat dan bersimenda.

4. Hukum-hukum yang menyangkut masalah pernikahan dan

pembagian waris.

5. Hukum-hukum mengenai peperangan.

6. Perdebatan dengan orang-orang Ahli Kitab.

7. Sebagian berita yang menelanjangi perilaku orang-orang

munafik.

8. Pembicaraan dengan kaum Ahli Kitab sampai batas 3 ayat

sebelum akhir surah.

Surah Al-Nisa juga banyak membahas segala peraturan

hidup dan undang-undang, seperti membahas persoalan

66

pembagian waris (faraidh), pembahasan mengenai hukum nikah

dan siapa-siapa saja perempuan yang disebutkan mahram, yang

tidak boleh untuk dinikahi, bagaimana kewajiban laki-laki

terhadap perempuan dan bagaimana kewajiban perempuan

terhadap laki-laki. Selain itu juga membahas tentang anak yatim,

terutama kebolehan beristri sampai empat dijelaskan dalam surah

ini. Dua surah sebelumnya yaitu Ali Imran dan al-Baqarah, dibuka

dengan taqwa dan ditutup dengan taqwa. Begitu juga terdapat

pembahasan mengenai kejahatan kaum munafikun tidak

ketinggalan dibuka rahasianya. Hal ini dikarenakan masyarakat

yang baru di bangun di Madinah itu selalu diganggu oleh

kecurangan kaum munafik. Kemudian, terdapat pembahasan

dasar-dasar pendirian suatu pemerintahan yang adil, sebagai dasar

cita-cita Islam di dalam surah ini. Sebagaimana setelah di surah

Ali Imran banyak dibicarakan mengenai perang Uhud, maka

dalam surah Al-Nisa dibahas pula kelanjutan perang Uhud yaitu

perjalanan Rasulullah dan kaum muslimin mengejar musyirikin

setelah perang Uhud tersebut sampai ke suatu tempat bernama

Hamraul Asad. Selain itu, terdapat juga penjelasan mengenai tata

cara menunaikan shalat ketika sedang berada dalam peperangan.34

34Abdulmalik Abdulkarim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, (Singapura:

Pustaka Nasional Pte Ltd, Th), juz IV, cet. I, h. 1050-1051.

67

Tabel kandungan Q.S Al-Nisa: 35

No Ayat Keterangan

1 1-6 dengan

keluarga

a. Perintah bertakwa

b. Pelurusan terkait penciptaan

manusia (baca wanita)

c. Jaga silaturahmi

d. Sikap terhadap anak yatim

e. Aturan nikah – poligami

f. Pemberian mas kawin (harus

penuh kerelaan)

g. Aturan tentang harta anak yatim

2 7-14 waris h. Hukum waris dimana 2 ayat

terakhir menjadi pengingat untuk

tidak melanggar ketentuan Allah

3 15-18 i. Aturan bagi perbuatan keji yang

melakukan

j. Perintah untuk segera bertaubat

4 19-21 k. Hubungan suami istri

5 22-28 l. Hukum perkawinan, siapa yang

boleh untuk dinikahi

6 29-33 m. Melindungi harta milik

7 34-35 n. Relasi suami istri

8 36-42 o. Membangun relasi baik dengan

orang tua dan karib kerabat

p. Siksaan bagi orang yang kikir

35Isti‟anah Abubakar, “Filosofi Wanita: Sebuah Inspirasi dari Surah al-

Nisa”, Egalita: Jurnal Kesetaraan dan Keadilan Gender, h. 44-45.

68

q. Tidak menafkahkan harta dengan

riya‟

r. Anjuran untuk bersedekah

s. Peringatan bagi orang kafir

9 43-57 t. Menjaga shalat

u. Deskripsi orang-orang yang

mengingkari ayat-ayat Allah

10 58-70

dasar-dasar

pemerintahan

v. Adil dan amanah

w. Mentaati

11 71-96

Perang dan

adab-

adabnya

x. Jihad, meluruskan niat semuanya

karena Allah

12 97-104 y. Keutamaan hijrah

z. Konsekuensi hijrah

13 105-122 aa. Adil dan berani menegakkan

kebenaran

14 123-126 bb. Persamaan balasan untuk laki-

laki dan perempuan

15 127-130 cc. Hukum berumah tangga

relasi terhadap wanita nusyuz

menggauli wanita

konsekwensi dalam berpoligami

16 131-134 dd. Menjadikan Allah sebagai

sandaran solusi atas segala

permasalahan yang muncul

69

17 135-136 ee. Berlaku adil jika menjadi saksi

bagi siapapun

18 137-147 ff. Deskripsi orang munafik dan

peringatan Allah tentangnya

19 148-149 gg. Membangun relasi dan

membangun komunikasi dengan

perkataan yang baik

20 150-162 hh. Siksaan bagi orang munafik dan

balasan bagi orang yahudi

21 163-175 ii. Penguatan bahwa ajaran yang

dibawa Nabi-Nabi Allah adalah

sama dan saling

menyempurnakan

Sedangkan surah al-Thalaq, sebagaimana penamaannya

yakni surah al-Thalaq, surah ini tentu terdapat pembahasan

mengenai talak. Dalam perspektif fikih, talak adalah

menghilangkan ikatan sebuah hubungan perkawinan sehingga

sang istri tidak lagi halal bagi sang suami, kecuali jika suami

melakukan rujuk atau kembali lagi kepada mantan istrinya.

Terdapat dua macam konsepsi talak dalam fikih, diantaranya:36

1. Thalaq Raj‟i, yakni seorang suami mempunyai hak untuk

rujuk dengan istrinya.

2. Thalaq Ba‟in, yakni meniadakan hak rujuk.

Diharuskan adanya akad nikah yang baru sebagai akibat

hukum dari Thalaq Ba‟in Sugra, jika mantan suami mempunyai

36Hemnel Fitriawati dan Zainuddin, “Talak dalam Perspektif Fikih,

Gender, dan Perlindungan Perempuan”, Yinyang: Jurnal Studi Islam, Gender

dan Anak, h. 62.

70

niat untuk kembali rujuk kepada mantan istrinya. Definisi Thalaq

Raj‟i adalah talak satu atau dua yang dijatuhkan oleh seorang

suami kepada istrinya. Seorang suami masih dapat rujuk dan

kembali ke mantan istrinya tanpa harus adanya akad baru, selama

istrinya tersebut masih dalam masa iddah. Ini adalah pendapat

Wahbah Al-Zuhayli.37

Dalam fikih, hukum asal talak ialah makruh, akan tetapi ia

bisa berubah menjadi wajib, haram, dan mubah dengan alasan-

alasan tertentu. Apabila talak adalah pilihan terbaik untuk

mengakhiri pertikaian dan kecekcokan antara suami dan istri,

maka hukumnya menjadi wajib. Apabila dilaksanakan bukan

karena tuntutan yang dibenarkan dan akan menciptakan kerusakan

terhadap suami dan istri, maka hukumnya menjadi haram. Apabila

menunjukkan beberapa hal yang sudah tidak lagi dapat ditolerir,

misalnya, istri terbukti selingkuh, maka hukumnya menjadi

mubah. Talak sah dilakukan kapan dan dimana saja, sebagaimana

merujuk pada hukum asal talak tersebut yang merupakan hak

suami. Namun, para fuqaha memiliki pendapat yakni, melakukan

talak harus lah disertai dengan niat yang benar.38

Seorang suami yang mengucapkan talak memerlukan niat

atau petunjuk dari keadaan. Ini merupakan pendapat dari Imam

Hanafi, Syafi‟i, dan Imam Ahmad bin Hambali. Sedangkan Imam

Maliki berpendapat bahwa seorang suami cukup dengan ucapan,

37Hemnel Fitriawati dan Zainuddin, “Talak dalam Perspektif Fikih,

Gender, dan Perlindungan Perempuan”, Yinyang: Jurnal Studi Islam, Gender

dan Anak, h. 62. 38Hemnel Fitriawati dan Zainuddin, “Talak dalam Perspektif Fikih,

Gender, dan Perlindungan Perempuan”, Yinyang: Jurnal Studi Islam, Gender

dan Anak, h. 63.

71

tanpa dengan niat dalam menjatuhkan talak. Pernyataaan talak

oleh suami dianggap sah, sebagaimana telah diatur dalam hukum

Islam yang sudah terformulasi dalam berbagai pemikiran fuqaha,

telah terputus lah ikatan perkawinan antara suami dan istri. Talak

yang diucapkan suami dalam keadaan sadar atau tidak sadar

kepada istrinya dianggap sah dalam perspektif fikih. Ini

dimaksudkan agar selama terjalinnya ikatan perkawinan, seorang

suami diharuskan untuk menahan dirinya dalam mengeluarkan

kata-kata yang mengarah kepada talak. Para Imam Mazhab yakni

Imam Hanafi, Imam Ahmad bin Hambali dan Imam Syafi‟i

memiliki pendapat bahwa cerai talak dapat dikatakan sah apabila

disertai dengan niat dan jika tidak dibarengi dengan niat, maka

talak tersebut tidak sah.39

Saat rukun dan syarat telah dipenuhi oleh seorang suami,

maka talak dalam fikih dipandang sah. Saat seorang suami

mengucapkan pada istrinya baik itu dengan sengaja ataupun tidak

disengaja, maka sebuah talak telah dianggap jatuh dan sah kepada

istrinya. Thalaq Raj‟i memiliki akibat hukum yakni seorang suami

masih dibebani kewajiban dalam menafkahi istrinya selama masa

iddah istrinya belum habis, hal ini dikarenakan wanita tersebut

masih tetap berstatus istrinya. Tak hanya itu, bahkan mantan istri

yang sudah ditalak pun masih dibolehkan untuk berhias dan

tinggal dalam satu atap dengan mantan suaminya serta suami

masih mempunya hak untuk rujuk. Suami dikatakan sudah

39Hemnel Fitriawati dan Zainuddin, “Talak dalam Perspektif Fikih,

Gender, dan Perlindungan Perempuan”, Yinyang: Jurnal Studi Islam, Gender

dan Anak, h. 64.

72

merujuki mantan istrinya, apabila suami bercampur dengan

mantan istrinya tersebut.40

Tabel kandungan surah al-Thalaq: 41

No. Ayat Keterangan

1 1 Menjelaskan prosedur yang harus di

tempuh apabila seseorang berniat

menceraikan istrinya dan perlakuan yang

harus dijalankan terhadap istrinya sesudah

perceraian di ikrarkan dan wanita itu

habis masa iddahnya

2. 2-3 a. Perintah mempersaksikan 2 orang

saksi apabila ingin rujuk mau pun

cerai.

b. Menjelaskan jika seseorang

bertakwa, dan menghindari

kemaksiatan, Allah akan memberikan

jalan keluar. Jalan keluar dari

berbagai syubhat didunia (jalan

keluar) dari berbagai kesusahan

kematian dan jalan keluar dari

berbagai kesulitan pada hari kiamat

3. 4-5 Waktu masa iddah para perempuan:

a. Perempuan yang monopause masa

iddahnya adalah 3 bulan

40Hemnel Fitriawati dan Zainuddin, “Talak dalam Perspektif Fikih,

Gender, dan Perlindungan Perempuan”, Yinyang: Jurnal Studi Islam, Gender

dan Anak, h. 64. 41Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 618-699.

73

b. Perempuan yang hamil masa

iddahnya sampai melahirkan

4. 6 Kewajiban mantan suami terhadap istri

yang telah ditalak:

a. Memberikan tempat tinggal yang

layak kepada mantan istri sesuai

dengan kesanggupan mantan suami

b. Jika mantan istri sedang hamil, maka

harus memberikan nafkah hingga

bersalin

c. Jika mantan istri masih menyusui,

maka harus memberikan upah

d. Bermusyawarah dengan baik

mengenai hak anak-anak mereka

5. 7 a. Kewajiban memberi nafkah kepada

istri yang telah di talak, dan kepada

istri yang sedang menyusui

b. Kewajiban seorang ayah untuk tetap

memberikan nafkah kepada anak-

anaknya

6 8-11 a. Allah memberikan peringatan kepada

orang yang melanggar perintahNya

dan RasulNya

b. Allah menghisab (membalas) mereka

dengan siksaan di dunia

c. Allah mengazab mereka dengan azab

74

yang mengerikan di akhirat

d. Allah memasukkan orang-orang yang

beriman dan beramal shaleh ke dalam

surge

7 12 Penciptaan langit dan bumi yang masing-

masing bejumlah tujuh lapis

E. Analisa Penulis

Penulis menganalisis bahwa dasar penamaan kedua surah

ini, yakni surah al-Nisa dan al-Thalaq memiliki tema yang

berhubungan dengan perempuan. Pada surah al-Nisa banyak

membahas mengenai hukum keluarga dan permasalahan

perempuan. Sedangkan pembahasan dalam surah al-Thalaq

mengenai perempuan hanya terbatas tentang talak, selain itu

terdapat juga hal-hal yang berhubungan dengannya seperti iddah

dan nafkah, hanya saja surah ini tidak jauh lebih kompleks

pembahasannya terkait perempuan dibanding dengan surah al-

Nisa.

Surah Al-Nisa disebut juga al-Nisa al-Kubra atau al-Nisa al-

Thula sudah dikenal sejak masa Nabi Saw. Disebut demikian

karena pembahasan mengenai wanita sangat komprehensif dalam

surah ini. Adapun surah al-Thalaq, yang dibahas adalah mengenai

talak, oleh karena itulah maka dikenal dengan nama surah al-

Thalaq. Akan tetapi, nama tersebut pada masa Rasul Saw. tidak

dikenal. Begitu pula riwayat-riwayat yang menyebut demikian

tidak dinilai sebagai riwayat yang shahih. Di masa itu, nama yang

dikenal yaitu surah al-Nisa al-Quṣra (surah al-Nisa yang pendek),

75

dinamai demikian karena sudah terdapat surah al-Nisa yang

panjang yakni surah keempat dalam al-Qur‟ān. Namun, namanya

sebagai surah al-Thalaq jauh lebih terkenal.

Adapun tema dalam surah al-Thalaq yang berkaitan dengan

perempuan didapati juga dalam surah al-Nisa, yaitu mengenai

talak. Namun, hanya terdapat 1 ayat saja mengenai talak dalam

surah al-Nisa walaupun tidak terdapat kata al-Nisa dan al-Thalaq

di dalamnya, yaitu terdapat dalam QS. al-Nisa (4): 20. Akan

tetapi, perbedaannya adalah pada surah al-Nisa membahas tentang

ketidak bolehan suami untuk mengambil kembali harta (mahar)

yang telah diberikan kepada istri jika suami ingin menceraikan

istrinya dan menggantinya dengan perempuan lain. Sedangkan

dalam surah al-Thalaq membahas tentang prosedur dan waktu

yang dianjurkan saat ingin menceraikan istri. Selain itu, dalam

surah al-Nisa mau pun al-Thalaq sama-sama terdapat pembahasan

mengenai nafkah. Akan tetapi, perbedaannya adalah pada surah

al-Nisa membahas pemberian nafkah pada istri selama berumah

tangga. Sedangkan dalam surah al-Thalaq membahas nafkah istri

yang telah ditalak sampai masa iddahnya selesai.

Penulis memaparkan hanya 18 ayat surah al-Nisa karena

kata al-Nisa dengan segala bentuk perubahannya yang membahas

tentang perempuan hanya terdapat pada ayat-ayat tersebut.

Namun, terdapat pula 8 ayat yang membahas tentang perempuan

meskipun tidak terdapat kata al-Nisa di dalamnya, yaitu QS. al-

Nisa ayat 12, 20, 21, 25, 33, 35, 124, dan 128 sebagaimana telah

penulis uraikan pada bab sebelumnya.

76

Sedangkan dalam surah al-Thalaq yang terdiri dari 12 ayat,

hanya terdapat 2 ayat tentang perempuan yang memiliki kata al-

Nisa dan terdapat pula 2 ayat lainnya tanpa kata al-Nisa di

dalamnya namun membahas tentang perempuan, yaitu QS. al-

Thalaq ayat 2 dan 6 yang juga telah penulis uraikan pada bab

sebelumnya.

Selain itu, dalam keseluruhan al-Qur‟ān, penulis

menemukan 53 kata al-Nisa dengan segala bentuk perubahannya,

dimana terdapat 18 kata dalam surah al-Nisa dan 2 kata dalam

surah al-Thalaq sebagaimana telah penulis jelaskan sebelumnya.

Dan dari keseluruhan pembukaan surah dalam al-Qur‟ān, peneliti

menemukan kata al-Nisa hanya pada pembukaan surah al-Nisa

dan al-Thalaq saja.

77

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini, diperoleh kesimpulan bahwa dasar

penamaan surah al-Nisa, surah ini sudah dikenal sejak masa Nabi

Saw. dengan nama al-Nisa al-Kubra atau al-Nisa al-Thula,

dinamai demikian karena dalam surah ini lebih banyak membahas

mengenai permasalahan perempuan secara kompleks dibanding

surah al-Thalaq. Sedangkan surah al-Thalaq dikenal juga sejak

masa Nabi Saw. dengan nama al-Nisa al-Quṣra atau al-Nisa al-

Shughra, dinamai demikian karena dalam surah ini pembahasan

mengenai perempuan hanya terbatas tentang talak, iddah dan

nafkah, selain itu juga karena telah terdapat surah al-Nisa yang

panjang.

B. Saran

Saran yang penting untuk penulis sampaikan pada skripsi ini

yaitu skripsi ini bukanlah hasil akhir. Karena penulis merasa

pembahasan ini masih sangat diperlukan untuk dikaji ulang oleh

orang-orang yang ahli, misalnya seperti mahasiswa/i program

studi Ilmu al-Qur‟ān dan Tafsir. Hal ini disebabkan, menurut

penulis penelitian ini masih terbatas pada analisis kata al-Nisa

yang terdapat dalam al-Qur‟ān, terkhusus di dalam surah al-Nisa

dan al-Thalaq saja dan juga dasar penamaan kedua surah tersebut.

Maka, masih sangat memungkinkan untuk diteliti ulang agar

pembahasannya bisa lebih lengkap dan lebih dalam lagi.

78

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Amal, Taufik Adnan. Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an. Jakarta:

Yayasan Abad Demokrasi, 2011.

Amrullah, Abdulmalik Abdulkarim. Tafsir Al-Azhar. Juz IV. Cet. I.

Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, Th.

al-Bujairami, Sulaiman bin Umar. Tuhfah al-Habib „ala Syarh al-

Khathib. Juz 4. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996.

Bukhari, Shahih. Kitab al-Tafsir. Maktabah Dahlan: tt.

Chaer, Abdul. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta, 2003.

----------------. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka

Cipta, 2002.

Channa, Liliek dan Syaiful Hidayat. Ulumul Qur‟an dan

Pembelajarannya. Surabaya: Kopertais IV Press, 2010.

al-Damasyqiy, Imam Ibn Katsir al-Qursyi. Tafsir al-Qur‟an al-„Azim.

Juz I. Beirut al-Fikr, 1992.

Dhaif, Syauqi. Mu‟jam al-Wasiṭ. Mesir: Maktabah Shurouq al-

Dauliyyah, 2011.

Fatwa al-Lajnah al-Daimah lilbuhus al-Ilmiah. Jilid 4.

79

al-Ibyary, Ibrahim. Pengenalan Sejarah al-Qur‟an. Cet. III Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 1995.

Izzan, Ahmad. Ulumul Qur‟an: Telaah Tekstualitas al-Qur‟an.

Bandung: Tafakkur, 2009.

Kementerian Agama. Al-Qur‟an dan Terjemahannya. Bandung:

Syaamil Qur‟an, 2010).

Mahali, A. Mudjab. Asbabun Nuzul Studi Pendalaman al-Qur‟an

Surah Al-Baqarah - An Nas. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,

2002.

al-Maraghi, Ahmad Mushthafa. Tafsir Al-Maraghi. Jilid 4. Beirut: Dar

Al-Fikr, 2001.

al-Qurthubi, Imam. Tafsir Al-Qurthubi. Jilid 18. Jakarta: Pustaka

Azzam, t.t.

Quthb, Sayyid. Tafsir fi Zhilalil Qur‟an. Cet. I. Jakarta: Gema Insani,

2004.

Salim, Abdul Muin. Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam

al-Qur‟an. Cet. I. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.

al-Shabuni, Imam. Tafsir As-Shabuni. Surabaya: Bina Ilmu, 1987.

Shihab, M. Quraisy. Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian

Al-Qur‟an. Juz 1. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

80

------------------------. Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian

al-Qur‟an. Vol. 2. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

------------------------. Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian

al-Qur‟an. Vol. 14. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

---------------------. Wawasan al-Qur‟an; Tafsir Maudhu‟i atas

Pelbagai Persoalan Umat. Cet. III. Jakarta: Mizan, 1996.

Suma, Muhammad Amin. Ulumul Qur‟an. Cet. I. Depok: PT

Rajagrafindo Persada, 2013.

al-Suyuti. al-Itqān Fī „Ulūm al-Qur‟ān. Jilid 1. Surakarta: Indiva

Pustaka, 2008.

Syahbah, Muhammad Abu. al-Madkhal li Dirasat al-Qur`an al-Karim.

KSA: Dar al-Liwa, 1987.

al-Tabari, Muhammad ibn Jarir. Jami al-bayan fi al-Ta‟wil al-Qur‟an.

Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir. Beirut: Muassah al-

Risalah, 2000.

Umar, Nasiruddin. Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur‟an.

Jakarta: Paramadina, 2001.

al-Zuhaili, Wahbah. Tafsir Al-Munir; Aqidah, Syariah, Manhaj. Jilid 2.

Jakarta: Gema Insani, 2013.

81

Jurnal

Abubakar, Isti‟anah. “Filosofi Wanita: Sebuah Inspirasi dari Surah al-

Nisa.” Egalita: Jurnal Kesetaraan dan Keadilan Gender. Vol.

XIII, No. 1, 2018.

Aziz, Farhat. “Structure of Holy Qur‟an.” Journal of Islamic Studies

and Culture. Vol. I, No. 1, Juni, 2013.

Fitriawati, Hemnel dan Zainuddin. “Talak dalam Perspektif Fikih,

Gender, dan Perlindungan Perempuan.” Yinyang: Jurnal Studi

Islam, Gender dan Anak. Vol. XV, No. 1, Januari-Juni, 2020.

Habib. “Semantik Kata Nisa‟ dalam al-Qur‟an: Analisis Semantik

Kontekstual.” Hermeunetik. Vol. VIII, No. 1, Juni, 2014.

M, Ansharuddin. “Sistematika Susunan Surah di dalam al-Qur‟an:

Telaah Historis.” Cendikia: Jurnal Studi Keislaman. Vol. II,

No. 2, Desember, 2016.

Marwati. “Pemberdayaan Perempuan; Kajian Tafsir al-Qur‟an Surah

al-Nisa Ayat 1.” Jurnal Adabiyah. Vol. XV, No. 2, 2015.

Skripsi dan Tesis

Hamro, Neng Ayu Qonitatul. Argumentasi Penamaan Surat al-Qur‟an

(Analisis Penamaan Surat ke 112 dengan Kata “al-IkhlāṢ”).

Skripsi Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah, Jakarta, 2016.

Muharromah, Siti Hazrotun Halaliyatul. Perdebatan dalam Penamaan

Sûrah al-Qur`an (Studi Analisis Pemikiran Imam Jalȃluddîn

„Abdurrahmȃn as-Suyûthi). Tesis Magister Ilmu al-Qur‟an dan

82

Tafsir Pascasarjana Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ), Jakarta,

2020.

Sahroni. Analisis al-Suyuti terhadap Nama Surah-surah dalam al-

Qur‟an. Skripsi Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2019.

Subaeda. Kedudukan Perempuan dalam al-Qur‟an. Skripsi Jurusan

Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Alauddin,

Makassar, 2019.

Website

Terjemahan dan Arti ل ى di Kamus Istilah Indonesia Arab,

https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/ل ى /

Terjemahan dan Arti ,di Kamus Istilah Indonesia Arab صغ ى

https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/صغ ى/

Terjemahan dari ل ى , https://www.kamusind.com/terjemahan/arab-

indonesia/ل ى

Terjemahan dari صغ ى, https://www.kamusind.com/terjemahan/arab-

indonesia/صغ ى