ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang...
-
Upload
vuongkhanh -
Category
Documents
-
view
235 -
download
5
Transcript of ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang...
ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA PENYADAPAN
OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
(TELAAH UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG
KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI)
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna
Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
Titin Puspita Sari
NIM.E0006038
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2010
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyadapan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Anggodo
Widjojo telah menimbulkan banyak pro dan kontra di berbagai kalangan, salah satunya
berkaitan dengan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan
penyadapan. Penyadapan ini berkaitan dengan posisi Anggodo sebagai adik kandung
Anggoro Widjojo, tersangka kasus dugaan suap dalam proyek pengadaan Sistem
Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Departemen Kehutanan. Anggoro saat ini menjadi
buron Komisi Pemberantasan Korupsi karena melarikan diri ke luar negeri. Penyadapan
yang dilakukan terhadap telepon Anggodo pada awalnya bertujuan untuk menelisik
keberadaan Anggoro. Namun penyadapan yang dilakukan ini, menurut sebagian pihak
dianggap sebagai tindakan yang berlebihan, salah satunya muncul dari kalangan LSM
dan para aktifis HAM. Kalangan ini berargumentasi bahwa penyadapan bertentangan
dengan Hak Asasi Manusia, bahkan muncul inisiatif untuk melakukan amandemen
terhadap pasal yang berkaitan dengan penyadapan, untuk mengkaji kembali mengenai
penyadapan, baik dari prosedur maupun kewenangan yang diberikan terhadap lembaga
yang bersangkutan, dalam hal ini adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (Alasan KPK
sadap Anggodo,vivanews.com>[20 Maret 2010, pukul 10.00 WIB].
Kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai penyadapan
telah diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a disebutkan
bahwa “Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang
melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan”. Secara legalitas, Komisi
Pemberantasan Korupsi sangat berwenang untuk melakukan tindakan ini guna
melakukan pengawasan, menemukan bukti dan membuktikan adanya dugaan korupsi
serta menuntutnya ke pengadilan. Pertimbangan lain dilakukannya penyadapan adalah
sudah adanya dugaan kuat yang diperoleh dari laporan hasil pengawasan (indikasi) dan
bukti permulaan yang cukup. Walaupun Komisi Pemberantasan Korupsi secara legalitas
mempunyai wewenang untuk melakukan penyadapan, tidak berarti Komisi
Pemberantasan Korupsi dapat sewenang-wenang dalam penggunaannya. Harus
terdapat prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan sebelum melakukan penyadapan.
Penyadapan, sebagaimana diatur dalam pasal tersebut merupakan salah satu
wewenang khusus diantara beberapa wewenang khusus lainnya yang dimiliki oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi. Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai
suatu lembaga khusus dimaksudkan untuk mengefektifkan dan mempercepat
penyelesaian kasus-kasus korupsi yang terlanjur mewabah di Indonesia. Seperti yang
dikatakan oleh Todung Mulya Lubis selaku Ketua Dewan Pengurus Transparency
Internasional Indonesia dalam Jurnal Komisi Hukum Nasional Vol. 9 No.5, Agustus 2009
hal. 9, bahwa indeks persepsi korupsi di Indonesia saat ini adalah 2,6 sangat berbeda
jauh dari angka minimal yang harus dicapai yaitu 5 untuk dikatakan sebagai negara yang
bersih dari korupsi, sehingga dengan kondisi demikian keberadaan Komisi
Pemberantasan Korupsi mutlak diperlukan (Todung Mulya Lubis, 2000 : 9).
Secara historis, Komisi Pemberantasan Korupsi muncul akibat tidak adanya
kepercayaan masyarakat (public trust) terhadap lembaga-lembaga hukum yang ada.
Kepolisian, kejaksaan, bahkan hingga pengadilan, dianggap tidak mampu menuntuskan
problematika yang selama ini mengerogoti sistem Pemerintahan di Indonesia. Hal ini
dipertegas di dalam konsideran Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyebutkan bahwa, “lembaga
pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara
efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi”. Lembaga ini memang
sengaja didesain untuk menutup lubang dan kelambanan Kejaksaan dan Kepolisian
dalam memberantas korupsi. Hal tersebut juga diperparah munculnya mafia peradilan
yang menumpulkan pedang peradilan di dua lembaga tersebut. Untuk itulah, sebagai
lembaga khusus tentunya juga dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan khusus
salah satunya kewenangan untuk melakukan penyadapan.
Keberhasilan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam mengungkap kasus korupsi
sebagian besar didukung dari hasil penyadapan. Penyadapan pada dasarnya adalah
merupakan salah satu teknik audit untuk mendapatkan informasi dalam upaya
mengungkap kasus ataupun sebagai dasar menetapkan langkah audit/penyelidikan
berikutnya. Komisi Pemberantasan Korupsi telah menggunakan teknologi canggih untuk
memperlancar pekerjaan mereka sebagai pemberantas korupsi di Indonesia, terbukti
dengan adanya alat penyadap yang digunakan untuk menyadap percakapan Artalyta
Suryani dengan para pejabat Jaksa Agung Muda (JAM) dan terakhir menyadap
percakapan Anggodo. Teknologi tersebut untuk mendukung kinerja lembaga ini guna
mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani.
Salah satu alat penyadap yang digunakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
adalah ATIS Gueher Gmbh buatan Jerman. ATIS (Audio Telecommunication
International Systems) merupakan sebuah generasi baru dari Instant Recall
Recorders (IRC) dalam teknologi solid-state, yang dapat dikoneksikan ke dalam
audio source berupa telepon atau handphone GSM/AMPS/CDMA dan akan
merekam atau menyadap seluruh komunikasi suara dengan kapasitas aktif lebih
dari 680 menit dan 1.000 panggilan yang berbeda. Selain alat tersebut, Komisi
Pemberantasan Korupsi juga memiliki alat penyadap lain yaitu Firing buatan
Amerika Serikat dan Macro System buatan Polandia seharga Rp 28,07 miliar.
Disamping itu, Komisi Pemberantasan Korupsi juga memiliki satu unit LID
Monitoring Centre (LID MC) seharga Rp 17,31 miliar. Menurut Roy Suryo, harga
alat penyadap tersebut bervariasi antara Rp 4 miliar hingga Rp 30 miliar,
tergantung fasilitas dan penggunaannya. Diantaranya model base unit, yang harus
diletakkan di dalam ruangan khusus karena berukuran besar yang dapat menyadap
ratusan nomor, dan dapat memasukkan identitas HP (IMEI dan nomor mesin HP).
Ada yang model portable semacam laptop. Penyadap tipe base unit dapat
menyadap lintas provinsi se-Indonesia. Yang portable hanya bisa menyadap
dalam radius empat kilometer dan diarahkan ke BTS (Base Transceiver Station)
tempat si target berada (Haniviva.Teknologi Penyadapan KPK dan cirinya
disadap.http://beflasher.co.cc>[1 Juni 2010 pukul 11.00 WIB].
sumber : http://www.beritanet.com/Technology/Berita-IT
Gambar 1. Alat Sadap Jenis Portable (Laptop Dan Receiver)
Dalam upaya penegakan hukum, masalah yang sering muncul adalah mengenai
persoalan Hak Asasi Manusia. Menurut A. Masyhur Effendi, negara yang
mengedepankan kelangsungan hidup rakyat dengan baik, salah satu diantaranya harus
menjamin terpenuhinya Hak Asasi Manusia, maka dalam praktik kehidupan
berdemokrasi, konstitusi sebagai perangkat hukum dasar (fundamental law) dalam
sebuah negara, menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan upaya-upaya penegakan
hukum (A. Masyhur Effendi dalam Majda El-Muhtaj, 2005 : 7). Terkait dalam upaya
penegakan hukum dalam perkara korupsi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi salah satunya melalui penyadapan, isu yang muncul adalah adanya pelanggaran
terhadap Hak Asasi Manusia.
Disatu sisi menyadap dapat menggangu privasi seseorang sehingga oleh sebagian
orang hal ini sangat ditentang. Namun disisi lain, penyadapan dapat menjadi cara yang
efektif untuk mengetahui sebuah informasi yang sangat rahasia. Sehingga proses
penyadapan diperlukan khususnya untuk mengungkap kasus yang sangat
berbahaya/besar, khususnya perkara tindak pidana korupsi. Penyadapan merupakan
upaya paksa ekstra yang dilakukan guna kepentingan dalam hal penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Berbeda
dengan upaya paksa biasa yang dilakukan penyidik yang terdiri dari penangkapan,
penahanan, penyitaan dan penggeledahan, hal ini dikarenakan korupsi merupakan extra
ordinary crime sehingga diperlukan penanganan yang khusus salah satunya melalui
upaya paksa ekstra yaitu penyadapan.
Terkait penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang dilakukan
terhadap Anggodo Widjoyo,
telah menimbulkan banyak polemik, disamping mengenai kewenangan Komisi
Pemberantasan Korupsi untuk melakukan penyadapan juga mengenai posisi
Anggodo yang dalam hal ini dijadikan sebagai subyek yang disadap padahal
status dirinya bukan sebagai tersangka, perlu untuk dikaji kembali. Dengan
demikian pertanyaan yang membutuhkan penelitian lebih jauh adalah mengenai
konstruksi hukum yang digunakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
melakukan penyadapan berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002
dalam kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM) serta urgensinya dalam
penanganan tindak pidana korupsi. Berdasarkan berbagai pertanyaan dan kondisi
yang telah di uraikan di atas, menjadi topik yang menarik untuk dikaji lebih
mendalam melalui penulisan hukum seperti yang penulis laksanakan ini.
Menilik dari uraian di atas, penulis mencoba mengangkat wacana tersebut sebagai
penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM
UPAYA PAKSA PENYADAPAN OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI (TELAAH UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN
2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI)“.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, penulis merumuskan
permasalahan untuk dikaji lebih rinci. Beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian ini yaitu :
1. Bagaimana konstruksi hukum legalitas upaya paksa penyadapan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?
2. Bagaimana konstruksi hukum upaya paksa berwujud penyadapan ditinjau dari
Hak Asasi Manusi (HAM) serta urgensinya dalam penanganan tindak pidana
korupsi?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian diperlukan karena terkait erat dengan perumusan masalah dan
judul. Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis berupa tujuan secara obyektif maupun
secara subyektif. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui konstruksi hukum tentang legalitas penyadapan yang
dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai salah satu upaya
paksa dalam penyidikan tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantsan Tindak Pidana Korupsi.
b. Untuk mengetahui konstruksi hukum upaya paksa berwujud penyadapan ditinjau
dari Hak Asasi Manusi (HAM) serta urgensinya dalam penanganan tindak pidana
korupsi
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah pengetahuan penulis tentang Hukum Acara Pidana khususnya
mengenai penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
b. Untuk melengkapi syarat-syarat guna memperoleh derajat Sarjana dalam Ilmu
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
D. Manfaat Penelitian
Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini akan
bermanfaat bagi penulis maupun pihak lain. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari
penulisan hukum ini antara lain :
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu
pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Acara Pidana
pada khususnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam
dunia kepustakaan tentang konstruksi Hukum penyadapan yang dilakukan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan kewenangannya yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penulisan maupun
penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi semua pihak yang
berkepentingan dan menjawab permasalahan yang sedang diteliti.
b. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran, membentuk pola
pikir ilmiah sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan
ilmu yang telah diperoleh.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian hukum secara umum dapat dikategorikan menjadi penelitian doktrinal
dan penelitian non doktrinal. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis
penelitian doktrinal atau disebut juga penelitian hukum normatif. Penelitian doktrinal
adalah suatu penelitian hukum yang bersifat peskriptif bukan deskriptif sebagaimana
ilmu sosial dan ilmu alam (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 33).
2. Sifat Penelitian
Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat peskriptif dan
terapan. Dalam penelitian hukum ini karakteristik yang digunakan yaitu ilmu hukum
yang bersifat peskriptif. Sebagai ilmu yang bersifat peskriptif, ilmu hukum
mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-
konsep hukum dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 22). Sifat
preskriptif tidak mungkin dapat dipelajari oleh disiplin lain yang obyeknya juga
hukum.
3. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Pendekatan-
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan undang-undang (statute approach),
pendekatan kasus (statute approach), pendekatan historis (historical approach),
pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual
(conseptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 93).
Dari kelima pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan penelitian
hukum yang penulis angkat adalah pendekatan undang-undang (statute approach).
Pendekatan undang-undang (statute approach) adalah pendekatan dengan
menggunakan regulasi dan legislasi, dimana dalam penelitian ini regulasi yang
digunakan sebagai acuan adalah Undang-undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum
Acara Pidana, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
MAnusia dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Penelitian
Jenis sumber penelitian yang penulis pergunakan dalam penelitian ini
berupa jenis sumber penelitian sekunder, yaitu informasi hasil penelaahan
dokumen penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan
kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun arsip-
arsip yang berkesesuaian dengan penelitian yang dibahas. Bahan hukum yang
digunakan Penulis dalam penelitian ini adalah:
a. Bahan hukum primer, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum
Acara Pidana, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah
menjadi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang berisi penjelasan mengenai bahan
hukum primer yang terdiri dari buku, artikel, majalah, koran, makalah dan lain
sebagainya khususnya yang berkaitan dengan penelitian hukum ini.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum sekunder terdiri dari kamus, dan bahan -
bahan dari internet.
Uraian tentang bahan hukum yang dikaji meliputi beberapa hal berikut:
a. Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-
undangan yang diurutkan berdasarkan hierarki UUD 1945, Undang-undang/Perpu,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks
(text books) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum,
pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil
simposium mutahir yang berkaitan dengan topik penelitian.
c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti
kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain (Jhonny Ibrahim, 2008:295).
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Karena penelitian yang penulis angkat merupakan penelitian normatif, maka
dalam pengumpulan datanya dilakukan dengan studi kepustakaan/studi dokumen.
Teknik ini merupakan cara pengumpulan data dengan membaca, mempelajari,
mengkaji, dan menganalisis serta membuat catatan dari buku literatur, peraturan
perundang-undangan, dokumen dan hal-hal lain yang berhubungan dengan masalah
yang diteliti.
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan logika deduktif. Menurut
Johnny Ibrahim yang mengutip pendapat Bernard Arief Shidarta, logika deduktif
merupakan suatu teknik untuk menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum
menjadi kasus yang bersifat individual. Penalaran deduktif adalah penalaran yang
bertolak dari aturan hukum yang berlaku umum pada kasus individual dan konkret
yang dihadapi (Johnny Ibrahim, 2006 : 249-250). Sedangkan Peter Mahmud Marzuki
yang mengutip pendapat Philipus M. Hadjon menjelaskan metode deduksi
sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles, penggunaan metode deduksi
berpangkal dari pengajuan premis major (pernyataan bersifat umum), kemudian
diajukan premis minor (bersifat khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu
kesimpulan atau conclusion. Akan tetapi di dalam argumentasi hukum, silogisme
hukum tidak sesederhana silogisme tradisional (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 47).
Jadi dapat disimpulkan bahwa logika deduktif atau pengolahan bahan hukum dengan
cara deduktif yaitu menjelaskan suatu hal yang bersifat umum kemudian menariknya
menjadi kesimpulan yang lebih khusus.
Dalam penelitian ini, bahan hukum yang diperoleh dengan cara menginventarisasi
sekaligus mengkaji penelitian dari studi kepustakaan, aturan perundang-undangan
serta dokumen-dokumen yang dapat membantu untuk menjawab permasalahan
yang diteliti. Tahap terakhir yaitu dengan menarik kesimpulan dari data yang diolah
sehingga pada akhirnya dapat menjawab mengenai konstruksi hukum penayadapan
yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penyidikan tindak pidana
korupsi.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Dalam penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab yang masing-masing terdiri
atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Sistematika
penulisan yang dimaksud sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini penulis akan menguraikan kerangka teori yang meliputi tinjauan
tentang konstruksi hukum, tinjauan tentang penyadapan, tinjauan tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi dan diakhiri dengan kerangka pemikiran.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini berisi hasil penelitian dan pembahasan tentang konstruksi hukum
legalitas upaya paksa penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 dan konstruksi hukum
upaya paksa berwujud penyadapan ditinjau dari Hak Asasi Manusi (HAM) serta
urgensinya dalam penanganan tindak pidana korupsi.
BAB IV PENUTUP
Pada bab ini berisi simpulan serta saran-saran yang dapat penulis kemukakan
kepada para pihak yang terkait dengan bahasan penulisan hukum ini.
DAFTAR PUSTAKA
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Konstruksi Hukum (Rechtsconstructie)
Pada dasarnya, konstruksi hukum dinamakan analogi, tetapi di dalam ilmu hukum
dikembangkan beberapa bentuk konstruksi hukum yang sebenarnya merupakan
variasi dari analogi itu, yaitu konstruksi Penghalusan Hukum dan konstruksi
Argumentum a Contrario.
1. Konstruksi Analogi (argumentum per analogiam)
Analogi adalah proses konstruksi yang dilakukan dengan cara mencari rasio
legis (genus) dari suatu undang-undang dan kemudian menerapkannya kepada
hal-hal lain yang sebenarnya tidak diatur oleh undang-undang itu. Dalam analogi,
hakim memasukkan suatu perkara ke dalam lingkup pengaturan suatu peraturan
perundang-undangan yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menyelesaikan
perkara yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan adanya kesamaan unsur dengan
perkara atau fakta-fakta yang dapat diselesaikan langsung oleh peraturan
perundang-undangan yang sudah ada. Berdasarkan anggapan itulah hakim
kemudian memberlakukan peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada
perkara yang sedang dihadapinya. Dengan kata lain, penerapan suatu ketentuan
hukum bagi keadaan yang pada dasarnya sama dengan keadaan yang secara
eksplisit diatur dengan ketentuan hukum tadi, tapi penampilan atau bentuk
perwujudannya lain.
Penerapan hukum dengan analogi hanya dapat dilakukan dalam kasus-kasus
hukum perdata. Hukum pidana tidak mengenal analogi karena hal demikian
bertentangan dengan asas pokok hukum pidana yaitu “tiada pidana tanpa
ketentuan perundang-undangan yang menetapkannya terlebih dahulu” (nullum
crimen sine lege). Karena di dalam pidana jika digunakan konstruksi analogi akan
menciptakan delik baru. Maka dengan konstruksi analogi, seorang ahli hukum
memasukkan suatu perkara kedalam lingkup pengaturan suatu peraturan
perundang-undangan yang sebenarnya tidak dibuat untuk menyelesaian perkara
yang bersangkutan.
2. Konstruksi Penghalusan Hukum (rechtsverfijning)
Seorang ahli hukum beranggapan bahwa dalam menyelesaikan suatu perkara,
peraturan perundang-undangan yang ada dan yang seharusnya digunakan untuk
menyelesaikan perkara, ternyata tidak dapat digunakan. Penghalusan hukum
dilakukan apabila penerapan hukum tertulis sebagaimana adanya akan
mengakibatkan ketidak adilan yang sangat sehingga ketentuan hukum tertulis itu
sebaiknya tidak diterapkan atau diterapkan secara lain apabila hendak dicapai
keadilan. Jenis konstruksi ini sebenarnya merupakan bentuk kebalikan dari
konstruksi analogi, sebab bila di satu pihak analogi memperluas lingkup berlaku
suatu peraturan perundang-undangan, maka di lain pihak Penghalusan Hukum
justru mempersempit lingkup berlaku suatu peraturan perundang-undangan
(bersifat restriktif).
3. Argumentum a Contrario
Dalam keadaan ini, hakim akan memberlakukan peraturan perundang-
undangan yang ada seperti pada kegiatan analogi, yaitu menerapkan suatu
peraturan pada perkara yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk diselesaikan
oleh peraturan itu. Perbedaannya adalah dalam analogi hakim akan menghasilkan
suatu kesimpulan yang positif, dalam arti bahwa ia menerapkan suatu aturan
pada masalah yang sedang dihadapinya. Sedangkan pada konstruksi Argumentum
a Contrario hakim sampai pada kesimpulan yang negatif, artinya ia justru tidak
mungkin menerapkan aturan tertentu dalam perkara yang sedang dihadapinya
(John. Z Loudoe, 1985 : 112-113).
Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum
yang memberi penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang-undang agar
ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.
Dalam melakukan penafsiran hukum terhadap suatu peraturan perundang-
undangan yang dianggap tidak lengkap atau tidak jelas, seorang ahli hukum tidak
dapat bertindak sewenang-wenang.
Menurut J.H.A. Logemann, dalam melakukan penafsiran hukum, seorang ahli
hukum diwajibkan untuk mencari maksud dan kehendak pembuat undang-undang
sedemikian rupa sehingga tidak menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh
pembuat undang-undang itu. Dalam usaha mencari dan menentukan kehendak
pembuat undang-undang itulah maka dalam ilmu hukum dikembangkan beberapa
metoda atau cara menafsirkan peraturan perundang-undangan yang dapat
digunakan seorang ahli hukum yaitu :
a. Penafsiran Gramatikal (taatkundige interpretatie), yaitu penafsiran yang
dilakukan terhadap peristilahan atau kata-kata, tata kalimat didalam suatu
konteks bahasa yang digunakan pembuat undang-undang dalam merumuskan
peraturan perundang-undangan tertentu.
b. Penafsiran Sejarah (historische interpretatie), yaitu penafsiran yang dilakukan
terhadap isi suatu peraturan perundang-undangan dengan meninjau latar
belakang sejarah dari pembentukan atau terjadinya peraturan undang-undang
yang bersangkutan.
c. Penafsiran Sistematis (systematische interpretatie), yaitu penafsiran terhadap
satu atau lebih peraturan perundang-undangan, dengan cara menyelidiki suatu
sistem tertentu yang terdapat didalam suatu tata hukum, dalam rangka
penemuan asas-asas hukum umum yang dapat diterapkan dalam suatu
masalah hukum tertentu.
d. Penafsiran sosiologis (teleologis), sejalan dengan pandangan L.J.van
Apeldoorn, maka salah satu tugas utama seorang ahli hukum adalah
menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan hal-hal konkrit yang
ada di dalam masyarakat.
e. Penafsiran otentik, yaitu penafsiran terhadap kata, istilah atau pengertian
didalam peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan sebelumnya
oleh pembuat undang-undang sendiri (Ishaq, 2009 : 255-256).
Menurut Pasal 16 ayat (1) Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman mengharuskan hakim untuk memeriksa dan memberi
keputusan atas perkara yang diserahkan kepadanya dan tidak diperbolehkan
menolak dengan alasan tidak lengkap atau tidak jelas pengaturannya. Dalam hal
demikian dalam Pasal 28 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman menyebutkan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Hal ini berarti seorang hakim harus memiliki kemampuan dan
keaktifan untuk menemukan hukum (rechtsvinding). Rechtsvinding merupakan
proses pembentukan hukum oleh hakim/aparat penegak hukum lainnya dalam
penerapan peraturan umum terhadap peristiwa hukum yang konkrit dan hasil
penemuan hukum menjadi dasar baginya untuk mengambil keputusan. Oleh
karena itu, maka hakim dapat melakukan konstruksi dan penghalusan hukum.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam konstruksi hukum antara lain:
a. Hakim meninjau kembali sistem material yang mendasari lembaga hukum
yang dihadapinya sebagai pokok perkara;
b. Berdasarkan sistem itu, hakim kemudian berusaha membentuk suatu
pengertian hukum (rechtsbegrip) baru dengan cara membandingkan beberapa
ketentuan di dalam lembaga hukum yang bersangkutan, yang dianggap
memiliki kesamaan-kesamaan tertentu;
c. Setelah pengertian hukum itu dibentuk, maka pengertian hukum itulah yang
digunakan sebagai dasar untuk mengkonstruksi suatu kesimpulan dalam
penyelesaian perkara (macam-macam-penemuan-
hukum.www.masyarakathukum.blogspot.com<20 Maret 2010 pukul 11.00
WIB).
2. Tinjauan Tentang Penyadapan
a. Pengertian Penyadapan
Penyadapan berasal dari kata “sadap” yang menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah mendengarkan (merekam) informasi (rahasia, pembicaraan)
orang lain dengan sengaja tanpa sepengetahuan orangnya. Sedangkan dalam
Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik disebutkan “Intersepsi atau penyadapan adalah kegiatan
mendengarkan, mengetahui, merekam, membelokkan, menghambat, dan/atau
mencatat transmisi suatu Komunikasi Elektronik terhadap Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dan bukan merupakan
informasi publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan
nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi, termasuk
kegiatan permintaan dan pemberian Rekaman Informasi“.
Mantan Menteri Komunikasi dan Informasi, Sofyan Djalil, menjelaskan istilah
yang tepat digunakan terkait dengan penyadapan yang dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi adalah lawful interception (penyadapan yang sah secara
hukum). Tindakan penyadapan yang dilakukan mengacu pada dua standar, yaitu :
1. European Telecommunications Standards Institute (ETSI), berbasis di prancis.
2. Communications Assistance for Law Enforcement Act (Calea), berbasis di USA.
Definisi interception menurut ETSI, Interception merupakan kegiatan penyadapan
yang sah menurut hukum yang dilakukan oleh network operator/acces
provider/service provider (NWP/AP/SvP) agar informasi yang ada selalu siap sedia
digunakan untuk kepentingan fasilitas kontrol pelaksanaan hukum.
Objek yang disadap adalah layanan komunikasi yang menggunakan/melintasi
network operator, access operator, dan atau layanan internet melalui service
provider. Dalam lawful interception, layanan internet didefiniskan sebagai :
1. akses ke internet itu sendiri
2. layanan-layanan yang menggunakan internet, seperti : browsing
ke World Wide Web, email, groups, chat dan icq, Voice over IP, File
transfer Protocol (FTP), Telnet, dan segala hal yang melintasi internet
protocol (Lawful-interception.http://panca.wordpress.com<20 Maret
2010, pukul 11.00 WIB>.
Di Eropa maupun Amerika, persyaratan terperinci dalam pelaksanaan
penyadapan berbeda antar satu yuridiksi dengan yuridiksi lainnya, tetapi dalam
pelaksanaan penyadapan itu terdapat satu persyaratan umum yang sama, yaitu
sistem penyadapan yang disediakan harus melaksanakan
“penahanan/pemotongan ditengah jalan” dan pokok materi harus tidak sadar
atau tidak terpengaruh selama aksi pemotongan ini. Bahkan untuk mendukung
lawful interception, kelompok industri dan agen pemerintah masih terus mencoba
menstandarisasikan pengolahan secara teknis dibelakang pemotongan tersebut.
Hal ini berlaku tidak hanya di eropa tetapi diseluruh negara. Teknik implementasi
penyadapan ini adalah:
- Penyadapan aktif , yaitu penyadapan yang dilakukan secara langsung
- Penyadapan semi aktif, dan
- Penyadapan pasif
Tetapi secara teknis kebanyakan penyadapan yang dilakukan adalah dengan
mengimplementasikan penggabungan teknis aktif dan pasif. Penerapan di
Indonesia dilakukan mengingat pemerintah telah mengeluarkan aturan hukum
melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor :
11/PERM.KOMINFO/02/2006. Tanggal 22 Februari 2006 Tentang Teknis
Penyadapan Terhadap Informasi. Tetapi Implementasi Lawful Interception di
Indonesia tentu tidak mudah dan tidak murah dilakukan, mengingat sarana dan
prasarana telekomunikasi yang ada di Indonesia tidak semuanya mendukung
(uncomply) untuk diimplementasikan ke Lawful Interception. Kemungkinan yang
lebih visible untuk dilakukan penyadapan terhadap informasi ialah informasi yang
lalu lintasnya menggunakan layanan internet sebab sarana dan prasarana yang
ada telah lebih mungkin untuk dipersiapkan mendukung lawful interception
(Lawful-interception.http://panca.wordpress.com<20 Maret 2010, pukul 11.00
WIB>.
Di Indonesia ada 4 (empat) lembaga yang berhak melakukan penyadapan yakni
Komisi Pemberantasan Korupsi, Polri, Kejaksaan, dan Badan Intelijen Negara (BIN),
namun Komisi Pemberantasan Korupsi secara kelembagaan merupakan institusi
yang berbeda dari ketiga institusi pemerintah tersebut. Dalam melakukan
penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak membutuhkan izin dari
pengadilan, berbeda dengan lembaga yang lain yang harus mendapat izin dari
pengadilan untuk melakukan penyadapan. Hal ini sesuai dengan salah satu
standar umum yang digunakan di luar negeri, penyadapan hanya bisa dilakukan
jika mendapat izin dari pengadilan. Alasan diaturnya penyadapan secara ketat,
selain untuk menghindari penyalahgunaan alat penyadap, juga untuk kepentingan
perlindungan privasi bagi warga negara.
Untuk mendapat izin dari pengadilan, di negara lain, suatu penyadapan hanya
bisa dilakukan terhadap seorang tersangka yang telah terdapat bukti awal
sebelumnya. Misalnya, terdapat dokumen yang belum ditemukan dokumen
aslinya. Adanya pengakuan dari seorang saksi juga bisa menjadi awal untuk
meminta izin penyadapan. Dengan demikian, penyadapan sebenarnya adalah alat
untuk memperkuat suatu bukti, bukan bukti utama.
b. Kekuatan Pembuktian Hasil penyadapan
Menelaah kekuatan pembuktian hasil penyadapan, penulis akan
mengaitkan dengan Pasal 184 KUHAP untuk mengetahui kedudukan hasil
penyadapan masuk dalam kategori mana dari jenis-jenis alat bukti yang sah
yang disebutkan secara limitatif dalam pasal tersebut. Khusus dalam
kegiatan pembuktian perkara tindak pidana korupsi, disamping tetap
menggunakan hukum pembuktian umum dalam KUHAP, juga
dimungkinkan pula berlaku hukum pembuktian khusus sebagai
perkecualiannya. Hukum penyimpangan pembuktian yang ada dalam
hukum pembuktian perkara tindak pidana korupsi ada dua hal pokok :
1. Mengenai bahan-bahan yang dapat digunakan untuk membentuk alat-alat
bukti petunjuk, dan
2. Mengenai sistem pembebanan pembuktian.
Penulis akan mempertajam pada point pertama mengenai bahan-bahan yang
dapat digunakan untuk membentuk alat-alat bukti petunjuk, guna menganalisa
hasil penyadapan sebagai alat bukti.
Menurut Pasal 188 ayat (2) KUHAP, alat bukti petunjuk hanya dapat dibentuk
melalui 3 (tiga) macam alat bukti yaitu alat bukti keterangan saksi, alat bukti surat
dan alat bukti keterangan terdakwa. Dalam hukum pembuktian tindak pidana
korupsi, bahan tersebut diperluas lagi. Menurut Adami Chazawi, perluasan alat
bukti untuk membentuk alat bukti petunjuk yang diatur dalam Pasal 26A Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi didasarkan
pada 2 (dua) pertimbangan, yaitu :
1. Bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia digolongkan pada tindak
pidana yang luar biasa (extra ordinary crimes). Kriteria kejahatan luar
biasa adalah meluas dan sukar pemberantasannya. Oleh karena itu harus
dihadapi dengan upaya yang luar biasa pula. Perluasan bahan untuk
membentuk alat bukti petunjuk ini adalah salah satu upaya yang luar
biasa tersebut.
2. Pembuktian kasus tindak pidana korupsi tergolong sukar, berhubung
dilakukan secara sistematis, terencana oleh oknum yang berpendidikan
terutama para birokrat dan pengusaha yang amat kuat secara politis dan
ekonomi, yang dapat mempengaruhi jalannya proses peradilan. Untuk
mengatasi kesulitan tersebut, selain dengan sistem pembuktian terbalik.
Juga dengan upaya memperluas bahan untuk membentuk alat bukti
petunjuk (Adami Chazawi, 2008: 108-109).
Pasal 26A Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, menentukan bahwa alat bukti petunjuk juga dapat dibentuk
dari 2 (dua) alat bukti lain selain dari Pasal 188 ayat (2) KUHAP yakni :
a) Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima,
atau disimpan, secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan
itu; dan
b) Dokumen yakni setiap rekaman data, atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa
bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun
selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi
yang memiliki makna.
Dengan adanya ketentuan perluasan bahan untuk membentuk alat bukti
petunjuk dalam Pasal 26A mengandung makna bahwa informasi dan dokumen
yang dimaksud dalam Pasal 26A adalah sebagai alat bukti yang kedudukannya
sejajar atau sama dengan 3 (tiga) alat bukti: keterangan saksi, surat dan
keterangan terdakwa yang disebut dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP. Dalam
rumusan Pasal 26A huruf a disebutkan secara tegas “alat bukti lain”. Artinya,
kedudukan informasi dan dokumen adalah sebagai alat bukti yang sah sama
dengan alat bukti keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Dengan
alasan tersebut, maka alat bukti petunjuk dalam perkara korupsi sudah dapat
dibentuk berdasarkan informasi dan dokumen saja tanpa menggunakan alat
bukti lain seperti keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Sehingga
hasil penyadapan merupakan alat bukti yang sah yamg merupakan alat bukti
petunjuk.
3. Tinjauan Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
a. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berdasarkan Pasal 2 dan 3
Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi untuk selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah
“lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”. Dalam ketentuan ini
yang dimaksud “kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang dapat
mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau
anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-
pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan
situasi apapun dengan alasan apapun (Ermansjah Djaja, 2008 : 185).
Kewenangan yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 7,8,9,10,11,12,13 dan 14 Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002, sebagai pendukung pelaksanaan tugas-tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, yaitu :
1. Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang ;
a. mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi ;
b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak
pidana korupsi kepada instansi yang terkait ;
c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi
kepada instansi yang terkait;
d. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
e. meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana
korupsi;
f. wewenang lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 12, 13 dan 14 Undang-
undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
2. Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang melakukan
pengawasan, penelitian atau penelaaahan terhadap instansi yang menjalankan
tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana
korupsi dan instansi yang dalam melaksankan pelayanan publik.
3. Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang juga mengambil alih penyidikan atau
penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh
kepolisian atau kejaksaan.
4. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil alih penyidikan
atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan
seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal
diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dijelaskan dalam penjelasan Pasal 8 ayat (3) bahwa :
“ketentuan ini bukan diartikan penyerahan fisik melainkan penyerahan wewenang, sehingga jika tersangka telah ditahan oleh kepolisian atau kejaksaan maka tersangka tersebut tetap dapat ditempatkan dalam
tahanan kepolisian atau tahanan kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi meminta bantuan kepada Kepala Rumah Tahanan Negara untuk
menempatkan tersangka di Rumah Tahanan tersebut. Lihat pula penjelasan Pasal 12 ayat (1) huruf i “.
5. Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan membuat
dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan
kewenangan kepolisian dan kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
6. Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan alasan :
a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak dilanjuti;
b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau
tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku
tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;
d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari
eksekutif, yudikatif atau legislatif;
f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan,
penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat
dipertanggungjawabkan.
7. Dalam hal terdapat alasan sebagaiamana dimaksud dalam Pasal 9, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) memberitahukan kepada penyidik atau
penuntut umun untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang
ditangani.
8. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang melakukan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang :
a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara dan orang lain
yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. Dijelaskan dalam
penjelasan Pasal 11 huruf a bahwa :
“yang dimaksud dengan penyelenggara negara adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme termasuk Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
b. mendapatkan perhatian yang meresahkan masyarakat
c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
9. Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) berwenang :
a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan ;
b. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang
bepergian ke luar negeri;
c. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang
keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sadang diperiksa;
d. memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk
memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka,
terdakwa atau pihak lain yang terkait;
e. memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk
memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;
f. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa
kepada instansi yang terkait, dalam penjelasan Pasal 12 huruf f dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan “tersangka atau terdakwa” adalah orang
perorangan atau korporasi.
g. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan
dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisesnsi serta
konsensi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang
diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak
pidana korupsi yang sedang diperiksa;
Dalam penjelasan Pasal 12 huruf g :
“ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari penghilangan atau penghancuran alat bukti yang diperlukan oleh penyelidik, penyidik, atau
penuntut atau untuk menghindari kerugian negara yang lebih besar”. h. meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara
lain untuk melakukan pencarian, penangkapan dan penyitaan barang bukti
di luar negeri;
i. meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk
melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan
dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani;
Dalam penjelasan Pasal 12 huruf i :
“permintaan bantuan dalam ketentuan ini, misalnya dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan penahanan seseorang yang diduga
melakukan tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi meminta bantuan kepada Rumah Tahanan Negara untuk menerima
penempatan tahanan tersebut dalam Rumaha Tahanan”. 10. Dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan langkah
atau upaya pencegahan sebagai berikut :
a. melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta
kekayaan penyelenggara negara;
b. menerima laporan dan menentukan status gratifikasi;
c. menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang
pendidikan;
d. merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi
pemberantasan tindak pidana korupsi
e. melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum;
f. melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi.
11. Dalam melaksanakan tugas monitor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :
a. melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua
lembaga negara dan pemerintah;
b. memberi saran kepada pimpinan lembaga negra dan pemerintah untuk
melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem
pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi;
c. melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran
Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai usulan perubahan tersebut
tidak diindahkan.
b. Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi Oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Ketentuan umum dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan pada Komisi
Pemberantasan Korupsi diatur dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 42 Undang-
undang Nomor 30 tahun 2002, sebagai berikut :
1. Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik,
penyidik dan penuntut umum pada Komisi Pemberantsan Korupsi.
Dalam penjelasan Pasal 38 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 tahun 2002
dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “yang berkaitan dengan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan” dalam ketentuan ini antara lain,
kewenangan melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan
dan pemeriksaan surat.
2. Ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku
bago penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
3. Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi
dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan
berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi
dilakukan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama
Komisi Pemberantasan Korupsi.
5. Penyelidik, penyidik dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada
Komisi Pemberantasan Korupsi, diberhentikan sementara dari instansi
Kepolisian dan Kejaksaan selama menjadi pegawai pada Komisi
Pemberantasan Korupsi.
6. Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat
perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak
pidana korupsi.
7. Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melaksanakan kerja sama dalam
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi denagn
lembaga penegak hukum negara lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku atau berdasarkan perjanjian internasional yang
telah diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Dalam penjelasan Pasal 41 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 dijelaskan
bahwa, yang dimaksud dengan “lembaga penegak hukum negara lain”,
termasuk kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan badan-badan khusus lain dari
negara asing yang menangani perkara tindak pidana korupsi.
8. Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan
mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana
korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada
peradilan militer dan peradilan umum.
1) Penyelidikan Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK)
Tentang tata cara penyelidikan perkara tindak pidana korupsi pada
Komisi Pemberantasan Korupsi ditentukan sebagaimana diatur dalam Pasal
43 dan Pasal 44 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, sebagai berikut :
1. Penyelidik adalah Penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi
yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi.
2. Penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan
fungsi penyelidikan tindak pidana korupsi.
3. Jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti
permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi,
dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak
tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut,
penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
4. Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah
ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan
tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim,
diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau
optik.
5. Dalam hal penyelidik melakukan tugasnya tidak menemukan bukti
permulaan yang cukup yaitu sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti,
penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan
Komisi Pemberantasan Korupsi menghentikan penyelidikan.
6. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa
perkara tersebut diteruskan, Komisi Pemberantasan Korupsi
melaksanakan penyidikan sendiri atau dapat dilimpahkan perkara
tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan.
7. Dalam hal penyidikan dilimpahkan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi kepada Kepolisian atau Kejaksaan, maka Kepolisian atau
kejaksaan wajib melaksanakan koordinasi dan melaporkan
perkembangan penyidikan kepada Komisi Pemberantsan Korupsi.
2) Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK)
Mengenai tata cara penyidikan perkara tindak pidana korupsi oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi ditentukan sebagaimana diatur dalam Pasal
45 sampai dengan Pasal 50 sebagai berikut :
1. penyidik adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang
diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
2. Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan fungsi
penyidikan tindak pidana korupsi.
3. Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut
prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka
diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku
berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 ini.
Dalam penjelasan Pasal 46 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun
2002 dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “prosedur khusus”
adalah kewajiban memperoleh izin bagi tersangka pejabat negara
tertentu untuk dapat dilakukan pemeriksaan.
4. Pemeriksaan tersangka dengan berdasarkan Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002, dilakukan dengan tidak mengurangi hak-hak tersangka.
5. Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti pemulaan yang cukup,
penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri
berkaitan dengan tugas penyidikannya.
6. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur
mengenai tindak penyitaan, tidak berlaku berdasarkan Undang- undang
Nomor 30 Tahun 2002.
7. Penyidik yang melakukan penyitaan wajib membuat berita acara
penyitaan pada hari penyitaan sekurang-kurangnya memuat :
a. Nama, jenis dan jumlah barang atau benda berharga;
b. Keterangan tempat, waktu, hari, tanggal, bulan dan tahun dilakukan
penyitaan;
c. Keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang atau
benda berharga lain tersebut;
d. Tanda tangan dan identitas penyidik yang melakukan penyitaan; dan
e. Tanda tangan dan identitas dari pemilik atau orang yang menguasai
barang tersebut.
8. Salinan berita acara penyitaan barang atau benda berharga lain
disampaikan kepada tersangka atau keluarganya.
9. Untuk kepentingan penyidikan, tersangka tindak pidan korupsi wajib
memberikan keterangan kepada penyidik tentang seluruh harta
bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap
orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai
hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka.
10. Setelah penyidikan dinyatakan cukup, penyidik membuat berita acara
dan disampaikan kepada kepada pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi untuk segera ditindaklanjuti.
11. Dalam hal tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan
Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah
dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut
wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling
lambat empat belas hari hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya
penyidikan.
12. Penyidikan suatu tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepolisian
atau kejaksaan wajib dilakukan koordinasi secara terus-menerus dengan
Komisi Pemberantasan Korupsi.
13. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan
penyidikan suatu tindak pidana korupsi, kepolisian atau kejaksaan tidak
berwenang lagi melakukan penyidikan.
14. Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian
dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang
dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan.
Dalam penjelasan Pasal 50 ayat (4) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002
dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “dilakukan secara bersamaan”
adalah dihitung berdasarkan hari dan tanggal yang sama dimulainya
penyidikan.
3) Penuntutan Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK)
Mengenai tata cara penuntutan perkara tindak pidana korupsi oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi ditentukan sebagaimana diatur dalam Pasal
51 dan Pasal 52 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, sebagai berikut :
1. Penuntut adalah Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan
Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi.
2. Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi
melaksanakan fungsi penuntutan tindak pidana korupsi.
3. Penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi adalah Jaksa
Penuntut Umum.
4. Penuntut Umum, setelah menerima berkas perkara dari penyidik,
paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal
diterimanya berkas tersebut, wajib melimpahkan berkas perkara
tersebut kepada Pengadilan Negeri.
5. Dalam hal pelimpahan berkas perkara tindak pidana korupsi oleh
Penuntut Umum kepada Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan
Negeri wajib menerima pelimpahan berkas perkara dari Komisi
Pemberantasan Korupsi untuk diperiksa dan diputuskan.
B. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan pada apa yang telah disusun dalam kerangka teoritik tinjauan
pustaka dan paparan latar belakang di atas, penulis akan menyajikan bagan
kerangka pemikiran yang akan membantu dan memberikan gambaran yang lebih
riil mengenai alur berpikir dalam penyusunan penelitian ini.
Gambar 2. Bagan Kerangka Pemikiran
KETERANGAN :
Upaya Paksa
Ekstra
Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK)
Upaya Paksa Penyadapan (Pasal 12 ayat (1) huruf a
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Perluasan
Alat Bukti Petunjuk Pasal 26A Undang-undang No. 31
Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)
Konstruksi Hukum
Penanganan Tindak
Pidana Korupsi
(extra ordinary crime)
Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum pidana khusus, tepat karena korupsi
dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Karena bersifat luar biasa,
maka diperlukan pula penanganan yang luar biasa untuk mengatasinya. Penanganan
yang luar biasa tersebut berarti upaya yang bersifat khusus dibandingkan upaya
penegakan hukum pada umumnya.
Salah satu bentuk penanganan luar biasa tersebut adalah dengan dibentuknya komisi
khusus untuk menangani perkara korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Salah satu hal yang mendasari terbentuknya KPK adalah kurang efektifnya lembaga
negara yang sudah ada dalam hal ini adalah kepolisian dan kejaksaan dalam menangani
tindak pidana korupsi.
Dalam pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilengkapi dengan
sejumlah wewenang yang bersifat khusus dan luar biasa. Diantara beberapa wewenang
tersebut antara lain adalah kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk
melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam rangka melaksanakan tugas
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 ayat
(1) huruf a Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Penyadapan merupakan salah satu bentuk upaya paksa ekstra
dalam penanganan tindak pidana korupsi, dalam hal ini penyadapan akan dikaitkan pada
perluasan alat bukti petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 26A Undang-undang No.
31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Karena penyadapan merupakan salah satu bentuk upaya paksa ekstra
maka dibutuhkan suatu konstruksi hukum agar dalam pelaksanaannya tidak melanggar
hak-hak tersangka maupun terdakwa.
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Konstruksi Hukum Penyadapan Berdasarkan Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah suatu lembaga independen yang khusus
dibentuk untuk menangani perkara korupsi yang dibekali dengan seperangkat
kewenangan dari hilir sampai hulu artinya kewenangan dari mulai penyelidikan,
penyidikan sampai pada ke penuntutan, dicakup sekaligus tanpa mengenal adanya
penghentian penyidikan. Kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada
lembaga ini merupakan hal yang luar biasa dan semakin menjadi kuat dengan
tidak perlunya pemberian izin dari pejabat yang berwenang bagi Komisi
Pemberantasan Korupsi untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu dalam hal
penyidikan, diantaranya kewenangan untuk melakukan penyadapan. Sebagaimana
lembaga lain seperti kepolisian dan kejaksaan yang harus mendapatkan izin dari
pengadilan untuk melakukan penyadapan.
Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki dasar hukum Undang-undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk
melakukan penyadapan. Dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a disebutkan bahwa
“Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c Komisi Pemberantasan Korupsi
berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan”, dari ketentuan
tersebut penyadapan dapat dilakukan mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan
sampai penuntutan. Dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi tidak dibatasi
dalam melakukan penyadapan, tergantung konteks perkara yang ditangani. Bisa
saja penyadapan dilakukan untuk mencari bukti awal pada proses penyelidikan.
Konstruksi hukum yang digunakan dalam melakukan penyadapan didasarkan
pada tujuan yang ingin dicapai pada masing-masing tahap tersebut. Dasar hukum
yang lain yaitu dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, dalam Pasal 32 menyatakan “kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan
surat menyurat termasuk hubungan komunikasi melalui sarana elektronik tidak
boleh diganggu kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Disamping menjamin dalam
kebebasan dalam berkomunikasi, ketentuan hukum ini ternyata memberikan
batasan yang harus diperhatikan, yaitu jika perintah hakim menentukan
“gangguan” itu adalah kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku maka diperbolehkan. Pasal 32 ini justru
menjadi dasar hukum bagi lembaga ini untuk melakukan penyadapan yaitu
melalui kalimat “kekuasaan yang sah menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku”. Memang belum jelas kekuasaan dalam hal apa saja. Sebab,
penjelasan Pasal 32 tertulis “cukup jelas”. Namun, jika melihat kewenangan
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah bersumber dari Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002, maka kewenangan ini dapat disebut sebagai kewenangan yang sah
menurut perundang-undangan yang berlaku.
Yang perlu diperhatikan oleh aparat penegak hukum adalah pada tahap apa
penyadapan dilakukan. Karena dari masing-masing tahapan tersebut juga akan
berpengaruh pada siapa saja yang bisa dikenai atau menjadi subyek penyadapan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam mengungkap kasus-kasus korupsi serta konstruksi
hukum yang digunakan.
1. Penyelidikan
Dalam Pasal 1 butir 5 KUHAP, penyelidikan adalah “serangkaian tindakan
penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini“. Tindakan penyelidikan
menekankan pada tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa
yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana dan untuk selanjutnya apakah
peristiwa yang ditemukan tersebut dapat dilakukan penyidikan atau tidak
sesuai dengan cara yang diatur oleh KUHAP.
Yahya Harahap mengemukakan bahwa tujuan dilakukannya penyelidikan
adalah untuk mengumpulkan atau mempersiapkan semaksimal mungkin fakta,
keterangan dan bahan bukti sebagai landasan hukum untuk memulai
penyidikan. Apabila penyidikan dilakukan tanpa persiapan yang memadai, bisa
terjadi tindakan penyidikan yang bertentangan dengan hukum atau terjadi
kekeliruan terhadap orang yang disidik. Akibatnya, pihak yang dirugikan bisa
menuntut ganti rugi dan rehabilitasi dalam praperadilan, maka dalam
penyelidikan harus dilakukan dengan menggunakan metode scientific criminal
detection, yaitu metode teknik dan taktik penyelidikan secara ilmiah (Yahya
Harahap, 2000 : 105).
Untuk dapat dilakukan penyidikan harus ada bukti permulaan yang cukup, jika
setelah penyelidikan tidak ditemukan bukti permulaan yang cukup maka tidak dapat
dilakukan penyidikan. Demikian pula tentang dugaan adanya tindak pidana korupsi
maka sebelum dilakukan penyidikan diperlukan adanya penyelidikan terlebih dahulu
terhadap kebenaran laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana korupsi. Jika dari hasil penyelidikan terdapat cukup bukti terjadi tindak pidana
korupsi, maka penyelidik membuat berita acara penyelidikan sehingga nantinya
dapat dijadikan dasar penyidik melakukan penyidikan guna menentukan tersangka
yang akan bertanggung jawab terhadap tindak pidana tersebut (criminal
responsibility) dan tindak pidana tersebut menjadi terang karenanya (criminal act)
(Lilik Mulyadi, 2000:50).
Dalam KUHAP dan penjelasannya tidak diatur lebih lanjut mengenai apa yang
dimaksud dengan bukti permulaan, hanya dalam Pasal 17 KUHAP disebutkan
“perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan
tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup”, dan dalam penjelasan Pasal
17 KUHAP menyebutkan bahwa bukti permulaan yang cukup adalah ”Bukti
permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi pasal 1 butir
14”. Sedangkan menurut Lamintang, bukti permulaan yang cukup dalam rumusan
Pasal 17 KUHAP itu harus diartikan sebagai ”bukti minimal” berupa alat bukti seperti
dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Dalam Rapat Kerja MAHKEJAPOL tanggal
21 Maret 1984, bukti permulaan yang cukup seyogyanya minimal laporan polisi
ditambah satu alat bukti lainnya. Sedangkan pengertian bukti permulaan menurut
Keputusan Kapolri No. Pol.SKEEP/04/I/1982, 18-2-1982, adalah bukti yang
merupakan keterangan dan data yang terkandung di dalam dua diantara:
a. laporan polisi
b. BAP di TKP
c. laporan Hasil Penyelidikan
d. keterangan saksi atau ahli; dan
e. barang bukti
Dari beberapa pengertian diatas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa bukti
permulaan adalah bukti awal sebagai dasar untuk menduga adanya tindak pidana
yang minimal terdiri dari 2 (dua) alat bukti.
Menurut Pasal 44 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur bahwa “bukti permulaan yang cukup
dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti
termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim,
diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik”. Sementara
terkait pembuktian dalam perkara tindak pidana korupsi tentang adanya tindak
pidana dan atau kesalahan terdakwa adalah dengan menggunakan alat bukti yang
sah yang ditentukan secara limitatif dalam undang-undang hukum acara pidana.
Menurut KUHAP ataupun dalam ketentuan pidana pada perundang-undangan yang
lebih khusus, alat bukti yang sah adalah sebagaimana yang tercantum dalam Pasal
184 ayat (1) KUHAP.
Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa alat bukti yang sah ialah :
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
penulis akan mempertajam pembahasan tentang alat bukti petunjuk, mengingat
ketentuan tentang alat bukti yang sah dalam pembuktian perkara korupsi diperluas
pengertiannya dalam ketentuan Undang-undang Pemberantasan Perkara Tindak
Pidana Korupsi. Namun, perluasan ini hanya pada alat bukti yang sah dalam bentuk
petunjuk. Perluasan alat bukti untuk tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26A Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, dikarenakan tidak pidana korupsi merupakan bagian dari white collar
crime, yang merupakan salah satu bentuk kejahatan yang umumnya dilakukan oleh
orang-orang yang memiliki kewenangan ataupun sarana yang dimungkinkan oleh
jabatan yang diperolehnya yang dilakukan secara terorganisir. Disisi lain juga adanya
kesulitan dalam segi pembuktian karena pelakunya adalah mereka yang memiliki
posisi yang kuat secara politis dan ekonomi yang dikhawatirkan dapat mempengaruhi
jalannya proses peradilan. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, selain dengan sistem
pembuktian terbalik. Juga dengan upaya memperluas bahan untuk membentuk alat
bukti petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26A tersebut.
Untuk mengetahui lebih jelas mengenai perluasan alat bukti petunjuk, lebih
dahulu penulis akan membahas mengenai alat bukti petunjuk. Alat bukti petunjuk
merupakan salah satu alat bukti yang sah menurut hukum sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 184 KUHAP. Dalam Pasal 188 KUHAP disebutkan :
(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari : a. keterangan saksi; b. surat; c. keterangan terdakwa.
(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Bertitik tolak dari bunyi Pasal 188 ayat (1), rumusan tersebut sulit untuk dipahami
secara jelas. Menurut Yahya Harahap, rumusan tersebut perlu penambahan kata-
kata agar lebih jelas yang dapat disusun dalam kalimat berikut : Petunjuk ialah suatu
“isyarat” yang dapat ditarik dari suatu perbuatan, kejadian atau keadaan dimana
isyarat itu mempunyai “persesuaian” antara yang satu dengan yang lain maupun
isyarat itu mempunyai persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri dan dari isyarat
yang bersesuaian tersebut “melahirkan” atau “mewujudkan” suatu petunjuk yang
“membentuk kenyataan” terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya
(Yahya Harahap, 2002 : 313). Baik dari rumusan yang disusun tersebut maupun dalam
rumusan yang diatur dalam Pasal 188 ayat (1), penekanannya terletak pada kata
“persesuaian”, yaitu adanya persesuaian kejadian, keadaan atau perbuatan maupun
persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri.
Pasal 188 ayat (2) membatasi kewenangan hakim dalam cara memperoleh alat
bukti petunjuk. Hakim tidak boleh gegabah untuk mencari petunjuk dari segala
sumber. Sumber yang dapat dipergunakan mengkonstruksi alat bukti petunjuk,
terbatas dari alat-alat bukti yang secara limitatif ditentukan dalam Pasal 188 ayat (2).
Menurut Pasal 188 ayat (2) petunjuk hanya dapat diperoleh dari :
a. keterangan saksi,
b. surat,
c. keterangan terdakwa.
Hanya dari ketiga alat bukti tersebut bukti petunjuk dapat diolah, dari ketiga sumber
inilah persesuaian perbuatan, kejadian atau keadaan dapat dicari dan diwujudkan.
Lalu mengenai kedudukan keterangan ahli dalam hal ini, undang-undang tidak
memberikan kesempatan untuk mencari sumber petunjuk selain yang telah
ditetapkan dalam rumusan Pasal 188 ayat (2). Hal tersebut dipertegas dengan kata-
kata “hanya dapat diperoleh”, sehingga undang-undang tidak memberikan alternatif
lain bagi hakim untuk mencari sumber dalam membentuk alat bukti petunjuk selain
dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Mengenai kedudukan
keterangan ahli, Yahya Harahap berpendapat, keterangan ahli sebagai sumber alat
bukti petunjuk, didasarkan pada pemikiran perlunya membatasi kewenangan hakim
mancari alat bukti petunjuk dari sumber yang terlampau luas. Dianggap terlalu
berbahaya memperoleh atau mencari petunjuk dari keterangan ahli, sebab
keterangan ahli sebagai alat bukti, dianggap kurang obyektif. Karena sifat alat bukti
keterangan ahli, sedikit banyak berwarna pendapat subyektif dari ahli, ahli
menerangkan suatu keadaan atau suatu hal semata-mata dari kaca mata
subyektifnya sesuai dengan keahlian yang dimiliki (Yahya Harahap, 2002 : 315-316).
Mencermati rumusan tentang pengertian alat bukti petunjuk dalam Pasal 188 ayat
(1) dan ayat (2), maka unsur atau syarat alat bukti petunjuk adalah :
a. unsur pertama: adanya perbuatan, kejadian, keadaan yang bersesuaian;
b. unsur kedua: ada 2 (dua) persesuaian yaitu :
1. bersesuaian antara masing-masing perbuatan, kejadian dan keadaan satu
dengan yang lain
2. bersesuaian antara perbuatan, kejadian dan atau keadaan dengan tindak
pidana yang didakwakan;
c. unsur ketiga, dengan adanya persesuaian yang demikian itu menandakan
atau menunjukkan adanya 2 (dua) hal kejadian, yaitu:
1. menunjukkan bahwa benar telah terjadi suatu tindak pidana
2. menunjukkan siapa pembuatnya.
d. Alat bukti petunjuk hanya dapat dibentuk melalui 3 (tiga) alat bukti, yaitu
keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.
Karena keberadaan dan bekerjanya alat bukti petunjuk cenderung merupakan
penilaian terhadap hubungan atau persesuaian antara isi dari beberapa alat bukti
lainnya, dan bukan merupakan alat bukti yang berdiri sendiri, beberapa ahli
keberatan apabila alat bukti petunjuk menjadi bagian dalam hukum pembuktian
perkara pidana. Van Bemmelen dalam Andi Hamzah mengatakan bahwa kesalahan
utama ialah petunjuk-petunjuk dipandang sebagai suatu alat bukti, padahal pada
hakikatnya tidak ada (Andi Hamzah, 2001 : 272). Wirjono Projodikoro menyarankan
agar alat bukti penunjukan dilenyapkan dari penyebutannya sebagai alat bukti dan
penggantinya adalah pengalaman hakim dalam sidang dan keterangan terdakwa
dimuka hakim yang tidak mengandung pengakuan salah seluruhnya dari terdakwa
(Wirjono Projodikoro,1985:129). Terlepas dari penolakan para ahli tersebut,
penggunaan alat bukti petunjuk harus sangat diperhatikan, karena alat bukti
petunjuk adalah berupa pemikiran atau pendapat hakim yang dibentuk dari
hubungan persesuaian alat bukti yang ada dan dipergunakan dalam sidang, maka
sifat subyektifitas hakim lebih dominan. Oleh karena itu, Pasal 188 ayat (3)
mengingatkan hakim agar dalam menilai kekuatan alat bukti petunjuk dalam setiap
keadaan tertentu harus dilakukan secara arif dan bijaksana, setelah hakim memeriksa
dengan cermat dan seksama yang didasarkan hati nuraninya.
Alat bukti petunjuk baru diperlukan apabila alat bukti yang lain belum mencukupi
batas minimum pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP, “Hakim
tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Alat bukti petunjuk baru bisa dipergunakan jika telah ada alat bukti yang lain, karena
petunjuk baru mungkin ditemukan jika telah ada alat bukti yang lain. Sifat petunjuk
sebagai alat bukti adalah tergantung pada alat bukti keterangan saksi, surat dan
keterangan terdakwa sebagai pembentuknya. Namun, menurut Wirjono Projodikoro
dalam Adami Chazawi, alat bukti petunjuk tidak perlu dipergunakan apabila dari alat-
alat bukti yang ada sudah memenuhi syarat minimal pembuktian dan dari syarat
minimal itu sudah dapat menyakinkan hakim tentang terjadinya tindak pidana dan
terdakwa bersalah melakukannya, karena alat bukti petunjuk sesungguhnya bukan
merupakan alat bukti yang sebenarnya, melainkan sebagai kesimpulan hakim belaka
yang diambil dengan mempergunakan alat-alat bukti yang sebenarnya (Adami
Chazawi, 2008 : 83).
Nilai kekuatan alat bukti petunjuk adalah bebas, artinya hakim tidak terikat atas
kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, sehingga hakim bebas
menilainya dan mempergunakannya dalam upaya pembuktian, serta petunjuk
sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri untuk membuktikan kesalahan terdakwa
karena terikat pada prinsip batas minimum pembuktian sebagaimana diatur dalam
Pasal 183 KUHAP. Oleh karena itu agar petunjuk memiliki nilai pembuktian yang
cukup harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain.
Mengenai perluasan alat bukti petunjuk dalam tindak pidana korupsi, diatur dalam
Pasal 26A Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, yakni:
”alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal
188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana,
khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:
c) Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan, secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
d) Dokumen yakni setiap rekaman data, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Dalam penjelasan Pasal 26A huruf a diperjelas mengenai definisi pentingnya,
bahwa “yang dimaksud dengan “disimpan secara elektronik” misalnya data yang
disimpan dalam microfilm, Compact Disk Read Only Memory (CD Room) atau Write
Once Read Many (WORM)”. Kemudian dijelaskan pula bahwa yang dimaksud dengan
“alat Optik atau yang serupa dengan itu” dalam ayat ini tidak terbatas pada data
penghubung elektronik (elektronic data interchange), surat elektronik (e-mail),
telegram, teleks, dan faksimile”.
Dengan adanya ketentuan perluasan bahan untuk membentuk alat bukti petunjuk
dalam Pasal 26A, secara formal jelas bahwa informasi dan dokumen yang dimaksud
dalam Pasal 26A merupakan alat bukti yang yang kedudukannya sejajar atau sama
dengan 3 (tiga) alat bukti lainnya: keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa
sebagaimana disebut dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP. Hal tersebut dipertegas dalam
rumusan Pasal 26A huruf a yang menyebutkan “alat bukti lain”, artinya kedudukan
informasi dan dokumen adalah sebagai alat bukti yang sah sama dengan alat bukti
keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.
Sementara dalam penjelasan Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dimaksud dengan “intersepsi
atau penyadapan adalah kegiatan mendengarkan, mengetahui, merekam,
membelokkan, menghambat, dan/atau mencatat transmisi suatu Komunikasi
Elektronik terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak
bersifat publik dan bukan merupakan informasi publik, baik menggunakan jaringan
kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau
radio frekuensi, termasuk kegiatan permintaan dan pemberian Rekaman Informasi”.
Merujuk dari pengertian diatas mengenai bahan yang dipergunakan untuk
membentuk alat bukti petunjuk, selain dari alat bukti keterangan saksi, surat dan
keterangan terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP, alat bukti
petunjuk juga dapat dibentuk dengan menggunakan informasi dan dokumen yang
disebutkan dalam Pasal 26A tersebut. Sehingga apabila dikaitkan dengan
penggunaan alat bukti elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 26 A Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001, dapat dilihat bahwa sebenarnya hasil penyadapan
dikategorikan sebagai alat bukti petunjuk.
Demikian pula sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 11 tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, menyebutkan bahwa Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat
bukti hukum yang sah, yang secara jelas disebutkan dalam Pasal 5 :
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari
alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Menurut penulis, dari ketentuan tersebut semakin memperjelas bahwa hasil
penyadapan merupakan alat bukti hukum yang sah yaitu alat bukti petunjuk yang
diatur secara limitatif dalam Pasal 184 KUHAP yang merupakan perluasan alat bukti
petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 26 A Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara dalam Pasal 44 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur bahwa “bukti permulaan yang
cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti
termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim,
diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik”.
Sebagaimana analisis penulis mengenai hasil penyadapan yang dikategorikan sebagai
alat bukti petunjuk, maka kedudukan penyadapan dalam hal ini apabila dihubungkan
dengan Pasal 44 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, merupakan salah satu bukti permulaan
disamping alat bukti lain sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Tanpa
terpenuhinya minimal dua alat bukti tersebut dugaan adanya tindak pidana korupsi
belum dapat ditingkatkan ketahap penyidikan karena belum adanya bukti permulaan
yang cukup.
Dari uraian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa penyadapan yang dilakukan
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam tingkat penyelidikan, dilakukan untuk
mendapatkan bukti permulaan yang cukup agar dapat dilanjutkan pada tingkat
penyidikan. Kedudukan hasil penyadapan dalam hal ini adalah sebagai alat bukti
petunjuk yang dapat dijadikan sebagai bukti permulaan yang cukup disamping alat
bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP
Banyak muncul perdebatan mengenai siapa saja yang bisa menjadi subyek
penyadapan. Komisi Pemberantasan Korupsi dituding telah menggunakan hak dan
wewenangnya secara sewenang-wenang. Karena dalam prakteknya ternyata banyak
pihak yang telah menjadi “korban” penyadapan oleh lembaga ini. Perlu untuk dikaji
kembali, bahwa dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a disebutkan bahwa “Dalam
melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf c Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang
melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan”, dari ketentuan tersebut Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang untuk melakukan penyadapan mulai dari tahap
penyelidikan sampai ke penuntutan. Yang perlu untuk digarisbawahi adalah dalam
tingkat apa Komisi Pemberantasan Korupsi malaksanakan penyadapan, hal ini
penting guna menentukan langkah-langkah selanjutnya.
Mengenai siapa saja yang bisa disadap dalam tingkat penyelidikan, perlu untuk
dipahami bahwa penyelidikan dimaksudkan untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya
dilakukan penyidikan. Pencarian dan usaha menemukan peristiwa yang diduga
sebagai tindak pidana bermaksud untuk menentukan sikap pejabat penyelidik
selanjutnya, apakah peristiwa yang ditemukan dapat dilakukan penyidikan atau tidak.
Sehingga dalam penyelidikan tidak terfokus untuk mencari siapa tersangka atau
pelakunya namun untuk menentukan apakah suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana dapat atau tidak untuk dilanjutkan ke tingkat penyidikan yang
didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.
Oleh karena itu dalam penyelidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi, penyadapan dapat dilakukan terhadap setiap orang
untuk kepentingan penyelidikan guna menemukan bukti permulaan yang cukup
untuk diteruskan ke tingkat penyidikan, yang perlu diperhatikan adalah meskipun
penyadapan dapat dilakukan kepada setiap orang namun tidak ke sembarang orang,
melainkan hanya kepada mereka yang sedang diselidiki terkait dugaan
keterlibatannya dalam kasus tindak pidana korupsi, seperti yang dilakukan terhadap
Anggodo Widjojo. Status Anggodo bukan sebagai tersangka terkait dengan kasus
yang sedang diselidiki namun penyadapan ini berkaitan dengan posisi Anggodo
sebagai adik kandung Anggoro Widjojo, tersangka kasus dugaan suap dalam proyek
pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Departemen Kehutanan.
Anggoro saat ini menjadi buron Komisi Pemberantasan Korupsi karena melarikan diri
ke luar negeri. Penyadapan yang dilakukan terhadap telepon Anggodo bertujuan
untuk menelisik keberadaan Anggoro.
Sehingga penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
penyelidikan tindak pidana korupsi dapat dilakukan terhadap setiap orang, dimana
orang tersebut patut diduga atau dianggap memiliki keterkaitan atau keterlibatan
dalam perkara korupsi yang sedang diselidiki.
2. Penyidikan
Dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP disebutkan bahwa penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya. Berdasarkan rumusan tersebut maka tugas utama
penyidik adalah mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi untuk kemudian
menemukan tersangkanya. Pada penyidikan, titik beratnya ditekankan pada
tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti” agar tindak pidana yang
ditemukan dapat menjadi terang, serta dapat menemukan dan menentukan
siapa pelakunya.
Tugas utama penyidik dalam hal ini adalah untuk mencari serta
mengumpulkan bukti. Mencari bukti yang dimaksud adalah sesungguhnya
mencari alat bukti, karena bukti tersebut hanya terdapat atau dapat diperoleh
dari alat bukti, dan alat bukti yang dimaksud adalah alat bukti yang sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP (Adami Chazawi, 2008 : 14).
Bagi penyidik bukti yang terdapat dari alat bukti itu dinilai untuk menarik
kesimpulan apakah dari bukti yang ada itu sudah cukup untuk membuat terang
tindak pidana yang terjadi dan sudah cukup dapat digunakan untuk menemukan
tersangkanya. Yang menjadi fokus dalam penyidikan adalah kegiatan untuk
mengumpulkan bukti dari alat-alat bukti, yang pada dasarnya adalah kegiatan
mencari atau mengumpulkan bukti kemudian mengurai, menganalisa, menilai
dan menyimpulkannya dalam suatu surat yang disebut Resume. Semua alat
bukti dan penilaian penyidik ini akan dibawa oleh Jaksa Penuntut Umum ke
dalam sidang dan diperiksa ulang di hadapan 3 (tiga) pihak yaitu, hakim, jaksa
penuntut umum dan terdakwa atau penasihat hukumnya.
Penyidik harus berusaha semaksimal mungkin dalam mencari dan
mengumpulkan bukti-bukti yang ada di lapangan terkait dengan kasus yang
sedang ditangani. Hal ini dikarenakan yang menilai sah atau tidaknya bukti
tersebut adalah hakim. Bukti yang sah, dalam arti bukti yang dapat dinilai dan
dipertimbangkan hakim dalam rangka membentuk keyakinannya untuk
membuat putusan adalah bukti yang diajukan dan diperiksa dalam persidangan,
bukan bukti yang didapat dari hasil penyidikan. Sehingga ada kemungkinan
bukti-bukti yang dikumpulkan oleh penyidik tidak semuanya dapat digunakan
di persidangan.
Terkait penanganan perkara korupsi, hal tersebut bukanlah hal yang mudah,
sangat berbeda jauh dengan penanganan perkara biasa. Korupsi merupakan
extra ordinary crime, dimana pelakunya adalah mereka yang memiliki
kedudukan dan jabatan yang tinggi, terlebih tidak hanya dilakukan oleh orang-
perorangan tapi juga termasuk di dalamnya badan hukum baik privat maupun
publik. Selain itu cara-cara yang digunakan pun tergolong rapi agar tidak
mudah tercium oleh aparat penegak hukum, hal ini tentu saja sangat
menyulitkan dalam mengungkap kasus korupsi.
Terlebih lagi kasus korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi adalah kasus-kasus yang cukup besar, menyangkut kerugian negara
paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Hal ini menuntut
usaha yang lebih dari Komisi Pemberantasan Korupsi diantaranya penyidik
yang harus lebih bekerja keras dalam mencari dan menemukan bukti-bukti.
Dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, penyidik diberikan beberapa kewenangan lebih hal ini
tentu saja terkait dengan tujuan dibentuknya lembaga ini yaitu untuk
mempercepat penanganan korupsi di Indonesia. Salah satu kewenangan ekstra
tersebut adalah dapat melakukan penyitaan tanpa perlu mendapatkan izin dari
Ketua Pengadilan Negeri.
Pada penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi, berdasarkan kewenangan yang dimilikinya
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, salah satunya adalah berhak
untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Penyadapan dalam
tingkat penyidikan dilakukan untuk memperoleh tambahan alat bukti
disamping alat bukti yang lain, dan dengan alat bukti tersebut penyidik dapat
mencari dan menemukan siapa pelaku tindak pidana tersebut. Yang wajib
menjadi pertimbangan bagi penyidik dalam melakukan penyadapan adalah
telah diperolehnya bukti permulaan yang cukup telah terjadi suatu indikasi
tindak pidana (korupsi), sehingga penyadapan yang dilakukan tidak merugikan
orang lain dan tidak memunculkan opini yang mengarah pada arogansi aparat.
Yang perlu diperhatikan adalah hasil penyadapan yang diperoleh oleh penyidik
hanya sekedar untuk menyempurnakan alat bukti, bukan alat bukti utama.
Penyadapan yang dilakukan oleh pejabat penyidik dalam tingkat penyidikan adalah
untuk mencari alat bukti guna menemukan siapa tersangkanya. Mengenai kedudukan
hasil penyadapan, apabila dikaitkan dengan Pasal 184 KUHAP mengenai macam-
macam alat bukti yang sah adalah sebagai alat bukti petunjuk, hal ini merujuk pada
Pasal 26A Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Dalam Pasal 26A yang mengatur tentang perluasan alat bukti petunjuk dalam
perkara korupsi, menjelaskan bahwa selain dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, alat bukti yang sah dalam bentuk
petunjuk khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari alat bukti lain
yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan, secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu dan dokumen yakni setiap
rekaman data, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang
dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang
diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara
elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda,
angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Walaupun secara formal daya pengaruh alat bukti petunjuk yang dibentuk dari
informasi dan dokumen, seperti halnya penyadapan, sama dengan daya pengaruh
alat-alat bukti yang lain, tetapi secara subyektif ketika masing-masing alat bukti telah
dipergunakan, bisa saja menjadi tidak sama. Sehingga bisa terjadi 2 (dua) alat bukti
atau lebih telah diperiksa dan dipergunakan dalam pembuktian, tetapi tidak mampu
membentuk keyakinan hakim. Syarat minimal bukti bukan merupakan syarat untuk
mengharuskan hakim untuk membentuk keyakinannya, tetapi syarat agar hakim
dapat membentuk keyakinannya. Bukti yang didapat dari hasil penyidikan dapat
digunakan oleh jaksa penuntut umum sebagai dasar menyusun surat dakwaan. Di
dalam persidangan, bukti atau alat bukti yang didapat dari proses penyidikan
berfungsi membantu menemukan bukti dan memberi arahan bagi hakim, jaksa
penuntut umum dan penasihat hukum.
Dari penjelasan diatas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa penyadapan
yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam tingkat penyidikan,
bertujuan untuk mencari dan mengumpulkan bukti agar tindak pidana yang
ditemukan menjadi terang dan selanjutnya dapat menentukan siapa tersangka atau
pelaku tindak pidana. Kedudukan penyadapan dalam hal ini adalah sebagai alat bukti
petunjuk berdasarkan Pasal 26A Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut mengatur mengenai perluasan alat bukti
petunjuk dalam perkara korupsi. Sehingga hasil penyadapan merupakan alat bukti
yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP.
Mengenai siapa yang menjadi subyek penyadapan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi dalam tingkat penyidikan, perlu mencermati pengertian dari penyidikan itu
sendiri. Dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP disebutkan bahwa penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya. Sedangkan pengertian tersangka dalam Pasal 1 butir 14, adalah
seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan
patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Dari 2 (dua) pengertian tersebut, dapat
ditarik kesimpulan bahwa yang dijadikan obyek penyadapan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam tingkat penyidikan adalah mereka yang berstatus
tersangka.
3. Penuntutan
Pengertian mengenai penuntutan dijelaskan dalam Pasal 1 butir 7 KUHAP
yaitu tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke
pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus
oleh hakim di sidang pengadilan. Sedangkan pengertian penuntut dalam
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 adalah penuntut umum pada Komisi
Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi. Penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi
adalah Jaksa Penuntut Umum.
Dalam penuntutan sangat berkaitan erat dengan proses pembuktian, namun
pada dasarnya seluruh kegiatan dalam proses hukum penyelesaian perkara
pidana, sejak penyelidikan sampai putusan akhir diucapkan di muka
persidangan oleh majelis hakim adalah berupa kegiatan yang berhubungan
dengan pembuktian atau kegiatan untuk membuktikan. Walaupun hukum
pembuktian perkara pidana terfokus pada proses kegiatan pembuktian di sidang
pengadilan, tetapi sesungguhnya proses pembuktian sudah ada dan dimulai
pada saat penyelidikan, suatu pekerjaan awal dalam menjalankan proses
perkara pidana oleh negara (Adami Chazawi, 2008 : 13).
Pembuktian sebagai suatu kegiatan adalah usaha untuk membuktikan
sesuatu (obyek yang dibuktikan) melalui alat-alat bukti yang boleh
dipergunakan dengan cara tertentu pula untuk memperoleh kekuatan hukum
bahwa apa yang dibuktikan itu dikatakan terbukti atau tidak terbukti
berdasarkan undang-undang. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
pembuktian hukum acara pidana adalah :
1. Putusan hakim minimal didasarkan pada 2 (dua) alat bukti yang saling
mendukung satu dengan yang lain.
2. Dari alat bukti tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa
bersalah melakukan tindak pidana.
3. Disamping alat bukti yang telah ditetapkan oleh KUHAP, alat bukti lain
adalah hal yang secara umum sudah diketahui dan tidak perlu dibuktikan.
Segi-segi umum hukum pembuktian umum dalam KUHAP terutama :
1. Mengenai alat bukti yang dapat digunakan untuk membuktikan (Pasal 184).
Obyek yang harus dibuktikan bersumber pada tindak pidana yang
didakwakan.
2. Mengenai kedudukan, fungsi pihak yaitu hakim, JPU, dan terdakwa atau
penasihat hukumnya yang terlibat dalam kegiatan pembuktian. Dari sudut
pihak mana yang berkewajiban membuktikan, maka disini terdapat sistem
pembebanan pembuktian.
3. Mengenai nilai atau kekuatan alat bukti dalam pembuktian dan cara-cara
menilainya (Pasal 184-189).
4. Mengenai cara bagaimana membuktikan dengan menggunakan alat bukti
tersebut. Dengan kata lain bagaimana alat bukti tersebut dipergunakan
dalam kegiatan pembuktian (Pasal 159-181).
5. Mengenai standar minimal pembuktian sebagai kriteria yang harus dipenuhi
untuk menarik kesimpulan pembuktian tentang terbukti ataukah tidak hal
apa (obyek) yang dibuktikan (Pasal 183).
6. Mengenai syarat subyektif (keyakinan) hakim dalam hubungannya dengan
standar minimal pembuktian dalam hal hakim menarik amar putusan akhir
(Pasal 183) (Adami Chazawi, 2008 : 102-103).
Kegiatan pembuktian dalam sidang pengadilan, tidak terfokus lagi pada
pencarian alat-alat bukti dan mengurangi bukti-bukti, akan tetapi memeriksa
alat-alat bukti yang sudah terlebih dahulu disiapkan oleh penyidik dan diajukan
oleh jaksa penuntut umum dalam sidang untuk diperiksa bersama hakim dan
terdakwa atau penasihat hukumnya. Pada dasarnya kegiatan dalam sidang
pengadilan perkara pidana adalah kegiatan pengungkapan fakta-fakta suatu
peristiwa melalui berbagai alat bukti. Kegiatan ini sering disebut dengan
pemeriksaan alat-alat bukti. Fakta-fakta yang diperoleh tersebut akan dirangkai
menjadi suatu peristiwa, peristiwa mana seperti yang sebenarnya (kebenaran
materiil), mendekati yang sebenarnya ataukah jauh dari kebenaran yang
sesungguhnya. Begitu juga apakah peristiwa tersebut mengandung muatan
tindak pidana sebagaimana yang didakwakan jaksa penuntut umum atau tidak
aka bergantung sepenuhnya kepada akurat atau tidaknya dan lengkap atau
tidaknya fakta-fakta yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut (Adami
Chazawi, 2008 : 16).
Dalam ilmu hukum, terdapat empat teori atau sistem pembuktian, yakni ;
a. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim semata (conviction intime)
Menurut sistem ini, bersalah tidaknya terdakwa sepenuhnya berdasarkan pada
penilaian dan keyakinan hakim. Keyakinan hakim tidak harus didasarkan pada alat
bukti yang ada, sehingga pemeriksaan di pengadilan bukan untuk mencari alat
bukti, tetapi untuk membentuk keyakinan hakim. Kelemahan sistem ini yaitu
memberikan kepercayaan terlalu besar kepada hakim.
b. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan atas alasan yang logis (conviction
raisonee)
Meskipun sistem ini juga mengutamakan penilaian dan keyakinan hakim sebagai
dasar dalam menjatuhkan putusan seperti halnya sistem conviction intime, namun
dalam sistem ini ada keharusan menggunakan pertimbangan hakim yang nyata
dan logis dan dapat diterima akal pikiran yang sehat.
c. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (positif wettelijk)
Bersalah tidaknya terdakwa menurut sistem ini didasarkan pada ada tidaknya alat
bukti sah menurut undang-undang, sehingga mengabaikan atau tidak
mempertimbangkan keyakinan hakim. Sistem ini hanya dapat dipergunakan
dalam hukum acara perdata yang mencari kebenaran formil.
d. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatif wettelijk)
Menurut sistem ini hakim hanya dapat menjatuhkan pidana, apabila ia yakin dan
keyakinan hakim tersebut didasarkan alat bukti sah menurut undang-undang.
Walaupun alat-alat bukti cukup dan lengkap, jika hakim tidak yakin atas kesalahan
terdakwa, maka perkara diputus bebas (Yahya Harahap, 2000: 255-259).
Sistem pembuktian yang dianut di Indonesia secara eksplisit terdapat dalam Pasal
183 KUHAP “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukannya”. Dari ketentuan Pasal 183 tersebut, maka dapat kita
ketahui, bahwa hukum acara pidana di negara kita menggunakan sistem “menurut
undang-undang yang negatif” (R.Soesilo,1997 : 15). Hal ini berarti walaupun alat-alat
bukti cukup dan lengkap, jika hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa, maka tidak
cukup untuk menetapkan kesalahan terdakwa. Demikian juga sebaliknya jika
keyakinan hakim tidak didukung dengan keberadaan alat-alat bukti yang sah menurut
hukum, maka tidak cukup untuk menetapkan kesalahan terdakwa.
Pembuktian merupakan inti dari proses peradilan, sehingga keabsahan alat bukti
sangat menentukan putusan yang akan dijatuhkan. Agar alat bukti terjamin
keabsahannya, maka penegak hukum harus sangat berhati-hati dalam menggunakan
alat bukti terutama dalam penentuan mengenai bukti permulaan, karena bukti
permulaan merupakan dasar dapat tidaknya dilakukan penyidikan yang kemudian
akan dilanjutkan dengan penuntutan hingga proses persidangan. Penentuan
mengenai bukti permulaan merupakan diskresi penyidik.
Dalam kaitannya dengan penuntutan, berdasarkan Pasal 12 ayat (1) huruf a,
Komisi Pemberantasan Korupsi berhak untuk melakukan penyadapan. Penyadapan
yang dilakukan dimaksudkan untuk melengkapi Berkas Acara Pemeriksaan (BAP)
sebelum diajukan ke persidangan. Dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan “Segala
kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang
diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi
Pemberantasan Korupsi” dari bunyi pasal tersebut maka kewenangan penuntut
umum yang diatur dalam KUHAP juga berlaku bagi penuntut umum dalam Komisi
Pemberantasan korupsi. Dalam Pasal 14 butir a KUHAP menyebutkan, “penuntut
umum mempunyai wewenang menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan
dari penyidik atau penyidik pembantu”. Dalam hal berkas perkara yang diterima oleh
penuntut umum belum lengkap, penuntut umum dapat melakukan pemberitahuan
kepada penyidik (P18) dengan memberikan petunjuk (P19) agar berkas perkara
tersebut lengkap (P21).
Dalam penyusunan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) oleh penyidik harus dibuat
selengkap mungkin, karena BAP tersebut akan digunakan dalam pemeriksaan di
persidangan. Oleh karena itu demi melengkapinya, penyadapan dapat dilakukan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi guna mendapatkan informasi-informasi yang bersifat
rahasia yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Dalam kaitannya dengan pemeriksaan di persidangan, perlu diperhatikan bahwa
dalam hukum pembuktian pidana, ada 6 (enam) hal yang dapat dijadikan tolok ukur
pembuktian, yaitu dasar-dasar pembuktian (bewijsgronden), alat-alat bukti
(bewijsmiddelen), cara memperoleh dan menyampaikan bukti (bewijsvoering), beban
pembuktian (bewijslast), kekuatan pembuktian (bewijskracht), dan minimum bukti
yang diperlukan untuk memproses perkara pidana (bewijs minimum).
Dari sisi bewijsmiddelen, berdasarkan Pasal 184 KUHAP, alat bukti yang
sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan
terdakwa. Berdasarkan analisa penulis sebelumnya yang menyatakan bahwa
hasil penyadapan merupakan alat bukti petunjuk berdasarkan ketentuan
mengenai perluasan alat bukti petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 26A
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, maka hasil penyadapan merupakan alat bukti yang sah sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP.
Mengenai bewijskracht, terkait dengan bewijsmiddelen bahwa hasil
penyadapan merupakan alat bukti petunjuk maka mengenai kekuatan
pembuktiannya adalah bebas, artinya hakim tidak terikat atas kebenaran
persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, sehingga hakim bebas menilainya
dan mempergunakannya dalam upaya pembuktian, serta petunjuk sebagai alat
bukti tidak bisa berdiri sendiri untuk membuktikan kesalahan terdakwa karena
terikat pada prinsip batas minimum pembuktian sebagaimana diatur dalam
Pasal 183 KUHAP.
Terkait bewijsvoering, penyadapan yang dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang benar,
seperti yang dikatakan oleh mantan Menteri Komunikasi dan Informasi, Sofyan
Djalil, istilah yang tepat digunakan terkait dengan penyadapan yang dilakukan
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lawful interception (penyadapan
yang sah secara hukum). Hal tersebut untuk menghindari perolehan bukti
dengan cara tidak sah atau unlawful legal evidence. Mengenai bewijs minimum,
atas dasar ketiga tolok ukur pembuktian yang telah dijelaskan sebelumnya
bahwa hasil penyadapan adalah alat bukti yang sah yang merupakan alat bukti
petunjuk yang diperoleh dengan cara-cara yang sah maka hasil penyadapan
merupakan minimum bukti yang diperlukan untuk memproses perkara pidana
disamping satu alat bukti yang lain.
Dari uraian diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa penyadapan yang
dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam tingkat penuntutan,
bertujuan untuk mendapatkan informasi-informasi tambahan yang bersifat
rahasia yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Informasi-informasi tersebut digunakan untuk melengkapi Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) yang telah dibuat oleh penyidik sebelumnya guna
kepentingan penuntutan di persidangan.
Siapa saja yang dapat disadap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
tingkat penuntutan, perlu untuk dicermati kembali tentang pengertian
penuntutan. Dalam Pasal 1 butir 7 KUHAP penuntutan adalah tindakan
penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang
berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang
pengadilan. Dari pengertian tersebut menjelaskan tentang pelimpahan perkara
pidana ke pengadilan negeri agar diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang
pengadilan. Bila dikaitkan dengan pengertian terdakwa dalam Pasal 1 butir 15,
terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di
sidang pengadilan. Maka yang menjadi subyek penyadapan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam tingkat penuntutan adalah terdakwa yaitu
seseorang yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.
Mencermati konstruksi hukum mengenai legalitas upaya paksa penyadapan,
dapat diringkas dalam rincian tabel sebagai berikut :
Tabel 1. Tabulasi Legalitas Upaya Paksa Penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
No. Tahap
Penegakan
Hukum
Dasar Hukum/Landasan Hukum dan
Konstruksi Hukum
Subyek Hukum
yang Dapat Dikenai
Penyadapan
1.
Penyelidikan 1. Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002
2. Pasal 32 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
3. Pasal 1 butir 5 KUHAP
4. Pasal 26 A Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
5. Pasal 44 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002
Setiap orang yang
diduga terlibat
dalam tindak
pidana korupsi
2. Penyidikan 1. Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002
2. Pasal 32 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
3. Pasal 1 butir 2 KUHAP
4. Pasal 184 KUHAP
5. Pasal 26 A Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
6. Pasal 188 KUHAP
Tersangka dalam
tindak pidana
korupsi
3. Penuntutan 1. Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002
2. Pasal 32 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
3. Pasal 1 butir 7 KUHAP
4. Pasal 183 KUHAP
5. Pasal 26 A Undang-undang Nomor
Terdakwa dalam
tindak pidana
korupsi
31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
B. Konstruksi Hukum Penyadapan Ditinjau dari Aspek Upaya Paksa Dalam
Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM) serta Urgensinya Dalam Penanganan
Tindak Pidana Korupsi
Kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum (law adjudicating) sebagai bagian dari sistem
hukum negara Indonesia, sejauh ini memang menjadi benteng terakhir bagi masyarakat untuk
mencari keadilan atas pelanggaran hak-hak asasinya. Namun sebagai suatu sistem, lembaga
peradilan khususnya sistem peradilan pidana seringkali malah menjadi “aktor pelanggar” hak-
hak tersebut. Dalam penyelesaian perkara pidana yang dimulai dari proses penyidikan, sering
melahirkan praktik-praktik seperti penyiksaan dan upaya paksa lainnya. Hal itu terjadi karena
rendahnya kesadaran hukum (law awarnnes) yang terkait dengan sumber daya manusia di
lembaga-lembaga yang tergabung dalam sistem peradilan pidana, yang pada akhirnya
menimbulkan kesenjangan dengan tingkah laku hukum (law behavior) lembaga-lembaga sistem
peradilan pidana.
Secara umum sistem peradilan pidana bertujuan untuk menghukum mereka yang bersalah
melakukan kejahatan. Namun sebaliknya, jika seseorang yang bersalah itu tidak dihukum karena
sistem peradilan pidana tidak berjalan sebagaimana mestinya, atau malah justru seseorang yang
tidak bersalah yang dihukum, inilah yang disebut dengan kegagalan dalam menegakan hukum
atau keadilan. Untuk menekan kemungkinan terjadinya kegagalan tersebut, maka sistem
peradilan pidana Indonesia yang dilaksanakan berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menetapkan prosedur upaya paksa (dwang
middelen).
Upaya paksa (dwang middelen) adalah suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum dalam ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan suatu
peraturan yang berlaku. Tindakan hukum ini dapat mengurangi dan membatasi hak asasi
seeorang, seperti diantaranya penyidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan
dan pemeriksaan surat. Upaya paksa (dwang middelen) ini disatu sisi merupakan kekuasaan dan
kewenangan yang sah dari penyidik terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan. Akan
tetapi di sisi lain, wewenang menjalankan upaya paksa (dwang middelen) tersebut menunjukan
praktik- praktik yang telah menjurus kepada pelanggaran hak-hak konstitusional (HAM)
tersangka itu sendiri.
Dalam penegakan hukum dalam perkara korupsi, dimana korupsi sebagai kejahatan luar biasa
harus dihadapi dengan upaya-upaya yang luar biasa juga. Salah satu upaya luar biasa itu adalah
dengan memberikan otoritas kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan
penyadapan terhadap perbincangan pihak-pihak yang terindikasikan terlibat korupsi, tanpa
terkecuali para pejabat publik. Sebuah aktivitas yang dalam kondisi biasa memang hanya layak
dilakukan atas izin lembaga peradilan. Penyadapan merupakan salah satu upaya paksa luar biasa
yang dilakukan oleh lembaga ini untuk menangani perkara korupsi.
Sekitar tahun 1960-an, kepolisian di Amerika Serikat telah melakukan penyadapan.
Masyarakat ketika itu sangat mendukung operasi kepolisian dengan teknik-teknik tersebut.
Walau demikian, setelah deklarasi Hak Asasi Manusia Universal PBB (1946), disusul berbagai
konvenan mengenai hak-hak sipil dan hak politik pada 1966 (Indonesia meratifikasinya dengan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005), maka teknik tersebut dipersoalkan karena rentan
terhadap penyalahgunaan wewenang. Teknik itu juga sangat bersentuhan dengan hak-hak asasi
seorang tersangka yang seharusnya diperlakukan layaknya seorang yang tidak bersalah sebelum
diputus oleh pengadilan yang independen. Termasuk ke dalam perkara hak asasi yang
bersentuhan dengan teknik tersebut adalah hak-hak pribadi seperti hak memiliki kerahasiaan
baik mengenai pekerjaan, keluarga, atau harta kekayaan. Teknik tersebut dihadapkan kepada
prinsip due process of law. Proses beracara pidana, termasuk dalam menemukan bukti-bukti
yang cukup dan baik, harus menjunjung tinggi dan sesuai dengan standar hak asasi manusia
(RomliAtmasasmita,Legalitaspenyadapan.www.news.okezone.com<[8 Juni 2010, pukul 10.00
WIB].
Konsep due process dikaitkan dengan landasan menjunjung tinggi supremasi hukum dalam
menangani tindak pidana. Tidak seorangpun berada dan menempatkan diri diatas hukum (no
one is above the law) dan hukum harus diterapkan kepada siapa pun berdasar prinsip perlakuan
dan dengan cara yang jujur (fair manner). Esensi due process adalah srtiap penegakan dan
penerapan hukum pidana harus sesuai dengan persyaratan konstitusional serta harus menaati
hukum. Oleh karena itu due process tidak membolehkan pelanggaran terhadap suatu bagian
ketentuan hukum dengan dalih guna menegakkan bagian hukum yang lain (Yahya Harahap,
2002 : 95).
Pasal 28 F Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan “Setiap
orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi
dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang
tersedia” dan dalam Pasal 14 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
menyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang
diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Setiap orang berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia “. Kedua Undang-undang ini mempertegas
bahwa pada dasarnya setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi
yang dijamin dalam konstitusi di Indonesia.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga telah memberikan
jaminan pada kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan komunikasi melalui sarana apapun.
Dalam Pasal 32 menyatakan “kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat menyurat
termasuk hubungan komunikasi melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu kecuali atas
perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan”. Disamping menjamin dalam kebebasan dalam berkomunikasi, ketentuan hukum ini
ternyata memberikan batasan yang harus diperhatikan, yaitu jika perintah hakim menentukan
“gangguan” itu adalah kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku maka diperbolehkan.
Sehubungan dengan penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi,
sebenarnya Pasal 32 ini justru menjadi dasar hukum bagi lembaga ini untuk melakukan
penyadapan yaitu melalui kalimat “kekuasaan yang sah menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku”. Memang belum jelas kekuasaan dalam hal apa saja. Sebab, penjelasan
Pasal 32 tertulis “cukup jelas”. Namun, jika melihat kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi
adalah bersumber dari Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, maka kewenangan ini dapat
disebut sebagai kewenangan yang sah menurut perundang-undangan yang berlaku.
Meskipun demikian, apabila dari tindakan penyadapan itu ternyata menimbulkan kerugian
maka telah disediakan mekanisme rehabilitasi atau kompensasi. Hal itu diatur dalam Pasal 63
ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002. Mekanisme ini diberikan sebagai
wujud diberlakukannya asas kepastian hukum dan keadilan yang memperhatikan perlindungan
terhadap Hak Asasi Manusia.
Selain dari peraturan nasional, Universal Declaration Of Human Rights (UDHR) adopted and
proclaimed by General Assembly resolution 217 A (III) of 10 December 1948 Article 19 juga
menyebutkan bahwa “ everyone has the right to freedom of opinion and expressions; this right
includes freedom to hold opinions whitout interfence and to seek, receive and impart
information and ideas through any media and regardless of frontiers”. Dari peraturan
internasional tersebut dapat diperoleh suatu dasar hukum bahwa setiap orang berhak untuk
menyampaikan dan memperoleh informasi apapun dari media apapun dan berhak terbebas dari
interfensi pihak manapun dalam menyampaikan informasi tersebut. Dari ketentuan tersebut
dapat dikatakan bahwa pada dasarnya penyadapan pada prinsipnya melanggar hak orang
sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Deklarasi Internasional tentang HAM.
Pelanggaran-pelanggaran hak asasi tersangka atau terdakwa oleh aparat penegak hukum ini
pada akhirnya akan menimbulkan miscarriage of justice (kegagalan dalam menegakan keadilan).
Dimana penegak hukum yang mempunyai kuasa dan wewenang untuk mengupayakan
tercapainya keadilan, ternyata menggunakan kuasa dan wewenang yang ada padanya justru
untuk memberikan ketidak adilan . Hal ini tentu akan sangat berpengaruh bagi integritas moral
proses pidana (moral integrity of the criminal proses) sendiri. Masyarakat tidak akan percaya lagi
dengan proses pidana yang dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan pidana.
Ada beberapa pendapat dari ahli hukum tentang penyadapan dikaitkan dengan Hak Asasi
Manusia, seperti yang penulis kutip dari pernyataan pakar hukum pidana Universitas Indonesia
Rudy Satrio pada suatu forum diskusi di Jakarta yang menyatakan bahwa kewenangan
penyadapan yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi bukanlah kewenangan khusus,
melainkan kewenangan yang juga dimiliki penyidik Kepolisian dan Kejaksaan. Ditegaskan pula
bahwa dikaitkan dengan proses penyidikan, penyidik harus mencari alat bukti. Kalau penyidik
diharuskan mengambil informasi yang berkaitan dengan tindak pidana, maka penyidik harus
menyadap. Ini tidak melanggar Hak Asasi Manusia, demikian menurut Rudy Satrio
(Pemberantasan Korupsi, KPK Jangan Dibubarkan, harian KOMPAS, Senin, tanggal 20 November
2006 Halaman 3).
Di Indonesia penyadapan hanya dapat dilakukan oleh lembaga penegak hukum yaitu
kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Undang-undang Nomor 36 Tahun
1999 tentang Telekomunikasi (UU Telekomunikasi), dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah memuat ketentuan tentang
penyadapan. Di dalam UU Telekomunikasi kegiatan penyadapan dalam rangka pengamanan
telekomunikasi diatur Pasal 40, secara eksplisit ketentuan Pasal 40 menyatakan bahwa setiap
orang dilarang melakukan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan
telekomunikasi dalam bentuk apa pun. Pasal 56 menegaskan, barang siapa melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud Pasal 40, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun. Sedangkan UU ITE mencantumkan hal serupa dengan istilah “Perbuatan yang Dilarang”
dalam Pasal 31 Bab VII. Bedanya, UU Telekomunikasi secara terbatas menjelaskan lembaga
penegak hukum yang berwenang melakukan penyadapan, sedangkan UU ITE belum
mengaturnya sama sekali.
Sejumlah undang-undang di Indonesia, memberikan kewenangan khusus pada penyidik untuk
melakukan penyadapan telepon dan merekam pembicaraan, termasuk penyidikan dengan cara
under cover. Paling tidak ada 4 (empat) undang-undang yang memberi kewenangan khusus itu,
yaitu Undang-Undang Psikotropika, Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, dan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Bila dicermati,
ketentuan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan terdapat perbedaan prinsip antara
satu dengan undang-undang lainnya.
Undang-undang Psikotropika dan Undang-undang Narkotika mengharuskan penyadapan
telepon dan perekaman pembicaraan dengan izin Kepala Polri dan hanya dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari. Artinya, ada pengawasan vertikal terhadap penyidik dalam melakukan
penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan. Berbeda dengan kedua undang-undang itu,
Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme membolehkan penyidik menyadap
telepon dan perekaman pembicaraan hanya atas izin ketua pengadilan negeri dan dibatasi
dalam jangka waktu satu tahun. Di sini ada pengawasan horizontal terhadap penyidik dalam
melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan. Namun dalam Undang-undang
Komisi Pemberantasan Korupsi boleh melakukan penyadapan telepon dan perekaman
pembicaraan dalam mengungkap dugaan suatu kasus korupsi tanpa pengawasan dari siapa pun
dan tanpa dibatasi jangka waktu. Hal ini bersifat dilematis karena kewenangan penyadapan
telepon dan perekaman pembicaraan oleh KPK bersifat absolut dan cenderung melanggar hak
asasi manusia. Hal ini, di satu sisi dapat disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu di lembaga
ini, sedangkan di sisi lain, instrumen yang bersifat khusus ini diperlukan dalam mengungkap
kasus-kasus korupsi yang sudah amat akut di Indonesia.
Dari berbagai ketentuan diatas yang menilai penyadapan dari berbagai sudut pandang,
penulis dapat menarik benang merah bahwa pada dasarnya menyadap pembicaraan orang
adalah suatu tindakan ilegal yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan merupakan tindak
pidana. Namun berbeda dengan kegiatan penyadapan untuk proses penegakan hukum, hal
tersebut diperbolehkan namun hendaknya dilakukan secara prosedural dan tidak dilakukan
secara sembarangan. Yang tetap mengedepankan due process of law dan menjunjung tinggi Hak
Asasi Manusia.
Terlepas dari perdebatan terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia, hal yang juga masih
menjadi pembahasan adalah mengenai prosedur penyadapan. Belum ada aturan yang
jelas mengenai penyadapan, baik dalam Undang undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maupun dalam peraturan-perturan yang
lain, hanya saja dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik dalam Pasal 31 ayat (4) menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah”. Namun, sampai sekarang Peraturan Pemerintah tersebut belum
ada bahkan Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) tentang penyadapan malah
memunculkan banyak pro dan kontra terkait adanya indikasi untuk mengaputansi
kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi khususnya soal penyadapan. Setidaknya
ada 3 (tiga) patokan dasar yang diterapkan yaitu : need (kebutuhan), tools (instrumen)
dan goal (tujuan).
Dari segi need (kebutuhan), penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi untuk mencari alat bukti. Kebutuhan ini disesuaikan berdasarkan pada tingkat
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Sedangkan terkait tools (instrumen), alat sadap
yang digunakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menyadap adalah
berdasarkan standar yang telah ditetapkan oleh Pemerintah, dengan teknologi yang sangat
canggih diharapkan dapat menyadap informasi yang rahasia secara akurat. Mengenai
goal (tujuan) yang diharapakan dalam melakukan penyadapan ini adalah untuk
mengungkap kasus-kasus korupsi untuk kepentingan upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi yang saat ini menjadi target prioritas pemerintah.
Mengenai prosedur penyadapan yang selama ini dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Chandra M.
Hamzah mengatakan hal tersebut digunakan untuk melengkapi bukti di pengadilan
sedangkan yang meminta untuk melakukan penyadapan adalah penyelidik pada Komisi
Pemberantasan Korupsi. Dalam hal ini penyelidik mengisi formulir yang berisi lamanya
waktu penyadapan dan hasil yang diharapkan dari penyadapan itu. Penyadapan tidak
dilakukan sepanjang waktu, namun sesuai permintaan penyelidik dan hasil yang
diharapkan (anggota-komisi-iii-pertanyakan-prosedur-penyadapan.www.dpr.go.id/.../
.<[10 Juni 2010, pukul 13.00 WIB].
Penyadapan pun hendaknya dilakukan terhadap pembicaraan yang hanya ada
kaitannya dengan perkara yang sedang ditangani, jika nanti dalam hal perekaman atau
penyadapan ada pembicaraan yang tidak berkaitan dengan perkara yang sedang
ditangani, maka hasil rekaman atau penyadapan harus dilenyapkan karena hal ini
menyangkut privasi dan Hak Asasi Manusia. Batasan yang lain yaitu penyadapan hanya
dapat dilakukan terhadap suatu perkara dengan kategori tertentu, yaitu perkara-perkara
yang sifatnya sangat khusus atau perkara pidana yang extra ordinary seperti perkara
terorisme, perkara pelanggaran HAM berat, perkara korupsi dan perkara pidana lain yang
sifatnya sangat luar biasa.
Prosedur penyadapan seharusnya menganut prinsip velox et exastus (informasi terkini
dan akurat). Mungkin atas dasar inilah KPK selama ini berhasil membongkar beberapa
tindak pidana korupsi seperti kasus dua anggota DPR yang telah terjerat hukum
pemenjaraan: Abdul Hadi Jamal dan Al Amin Nasution. Keduanya berhasil ditangkap
melalui proses penyadapan dan laporan terkini dan akurat (Muslimin B.Putra,
Menimbang Rencana Regulasi Penyadapan Depkominfo.www.suaramerdeka.com<[8
Maret 2010, pukul 10.00 WIB).
Hasil penyadapan, baru mempunyai nilai atau manfaat jika memenuhi dua syarat.
Pertama, informasi yang diperoleh harus alami (natural evidence). Kedua, substansi dari
informasi tersebut relevan dengan kasus yang sedang atau akan ditangani. Informasi
bersifat alami adalah pada saat dilakukan penyadapan, pihak yang disadap benar-benar
tidak tahu kalau pembicaraannya disadap. Syarat untuk dapat memperoleh informasi
yang alami adalah bahwa penyadapan harus independen, terjamin kerahasiaannya.
Independensi yang dimaksud adalah auditor atau penyelidik KPK harus bebas dari
intervensi pihak lain. Dalam audit investigafif, auditor dengan intuisi atau nalurinya,
seharusnya diberikan kebebasan menetapkan siapa yang harus disadap dan kapan
penyadapan dilakukan. Hal inilah yang mungkin bagi pihak-pihak tertentu dianggap
sebagai pelanggaran HAM. Sebagai contoh, dalam rekaman hasil penyadapan Komisi
Pemberantasan Korupsi yang diungkap di Mahkamah Konstitusi (MK), antara lain ada
pembicaraan antara Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) I
Ketut Sudiarsa dengan Anggodo Widjojo. Waktu itu Ketut antara lain berkata, ”Wah
jangan-jangan pembicaraan kita ini disadap”, dan Anggodo menjawab bahwa nomor HP
nya telah diganti dengan nomor baru. Andaikata mereka tahu pembicaraannya disadap,
kemungkinannya tidak akan ada rekaman tersebut. Kemungkinan lain mereka mungkin
sengaja membuat skenario pembicaraan yang arahnya menyesatkan (Mentis Harjanto,
Mengaputansi Kewenangan KPK.www.suara merdeka.com<[1 Juni 2010, pukul 09.00
WIB].
Penulis dapat menarik kesimpulan, bahwa pada dasarnya belum ada aturan baku
mengenai tata cara dan prosedur tentang penyadapan yang dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi yang diwujudkan dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Namun ada patokan dasar yang dapat diterapkan oleh lembaga ini agar dalam
pelaksanaannya tidak bersinggungan dengan Hak Asasi Manusia tersangka atau
terdakwa. Selain itu untuk menghindari perolehan bukti dengan cara tidak sah atau
unlawful legal evidence agar nantinya hasil penyadapan dapat digunakan untuk
mengungkap tindak pidana korupsi.
Mengenai seberapa efektifkah penyadapan terhadap upaya pemberantasan tindak
pidana korupsi, perlu untuk dipelajari bagaimana karakteristik dari tindak pidana korupsi.
Menurut Erry, korupsi merupakan penyakit yang mulai berjangkit dan harus segera
ditangkal. Istilah yuridis ini muncul dalam bentuk Peraturan Penguasa Militer-Angkatan
Darat dan Laut RI-Nomor PRT/PM/06/1957 sebagai upaya awal karena KUHP dianggap
tidak mampu menanggulangi meluasnya korupsi pada masa itu yang juga telah dianggap
sebagai penyakit masyarakat yang menggerogoti kesejahteraan rakyat, menghambat
pelaksanaan pembangunan, merugikan perekonomian dan mengabaikan moral (Erry
Riyana Hardjapamekas dalam Jeremy Pope, 2007 : xxii).
Korupsi bukan merupakan sebuah bentuk kejahatan lokal, hampir di seluruh negara di
dunia korupsi telah menjadi suatu wabah. Baik itu pada negara berkembang maupun
negara maju. Termasuk negara-negara bekas jajahan, namun menurut John S.T. Quah
meskipun Thailand adalah satu-satunya negara ASEAN yang tidak pernah dijajah, tapi
kebebasan dari kekuasaan kolonial tersebut tidak menjamin bahwa negara itu akan kebal
penyakit korupsi. Dalam kenyataannya, di Thailand korupsi sudah menjadi tingkat
endemik dan ini dapat ditelusuri dari perilaku korup pejabat dalam birokrasi
pemerintahan dari abad ke-17 (John S.T. Quah, Bureaucratic Corruption in The ASEAN
Countries : A Comparative Analysis of Their Anti-Coruption Strategies. Journal of
Southeast Asean Studies, Vol. 13 No. 1).
Pemberantasan korupsi memang mutlak diperlukan dan harus menjadi prioritas utama
pemerintah. Konsep dan kegiatan pemberantasan korupsi juga harus berkesinambungan.
Korupsi di Indonesia sudah mendarah daging, cakupannya sangat luas dan menyeluruh,
baik horizontal maupun vertikal. Sangat sulit mencari birokrat dan pengusaha kakap yang
masih belum terjangkit korupsi di dalam sejarah hidupnya (Kwik Kian Gie, 2006 : 10).
Menurut Gerald E. Caiden bentuk-bentuk korupsi yang umum dikenal antara lain :
1. Berkhianat, subversi, transaksi luar negeri ilegal, penyelundupan.
2. Menggelapkan barang milik lembaga, swastanisasi anggaran pemerintah, menipu dan
mencuri.
3. Menggunakan uang yang tidak tepat, memalsu dokumen dan menggelapkan uang,
mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak,
menyalahgunakan dana.
4. Menyalahgunakan wewenang, intimidasi, menyiksa, penganiayaan, memberi
ampubn dan grasi tidak pada tempatnya.
5. Menipu dan mengecoh, memberi kesan yang salah, mencurangi dan memperdaya,
memeras.
6. Mengabaikan keadilan, melanggar hukum, memberikan kesaksian palsu, menahan
secara tidak sah, menjebak.
7. Tidak menjalankan tugas, desersi, hidup menempel pada orang lain.
8. Penuapan dan penyogokan, memeras, mengutip pungutan, meminta komisi.
9. Menjegal pemilihan umum, memalsu kertas suara, membagi-bagi wilayah pemilihan
umum agar bisa unggul.
10. Menggunakan informasi internal dan informasi rahasia untuk kepentingan pribadi,
membuat laporan palsu.
11. Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik pemerintah dan surat izin
pemerintah.
12. Manipulasi peraturan, pembelian barang persediaan, kontrak dan pinjaman uang.
13. Menghindari pajak, meraih laba berlebih-lebihan.
14. Menjual pengaruh, menawarkan jasa perantara, konflik kepentingan.
15. Menerima hadiah, uang jasa, uang pelicin dan hiburan, perjalanan yang tidak pada
tempatnya.
16. Berhubungan dengan organisasi kejahatan, operasi pasar gelap.
17. Perkoncoan, menutupi kejahatan.
18. Memata-matai secara tidak sah, menyalahgunakan telekomunukasi dan pos.
19. Menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan, dan hak istimewa
jabatan (Gerald E. Caiden, Toward a General Theory of Official Coruption, Asian
Journal of Public Administration, Vol. 10 No. 1, 1988).
Sampai saat ini koupsi merupakan salah satu dari tindak pidana yang dikategorikan
extra ordinary crime seperti halnya tindak pidana terorisme dan tindak pidan pelanggaran
HAM berat. Korupsi disebut sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)
disebabkan beberapa alasan, antara lain :
1. Dari sisi pelaku, korupsi dilakukan bukan oleh orang biasa, tetapi oleh mereka yang
memiliki kedudukan dan status terhormat dalam masyarakat. Korupsi juga dilakukan
oleh badan hukum khususnya badan hukum privat dan tidak tertutup kemungkinan
juga dilakukan oleh badan hukum publik, contohnya korupsi berjamaah yang
dilakukan oleh anggota DPRD di sejumlah daerah dilakukan dengan proses
administrasi yang terencana, terstruktur dan sitematis secara institusional. Dari
jabatan, pelaku korupsi mulai dari pegawai biasa, pengusaha sampai tingkat menteri
atau bahkan mungkin dapat dilakukan paa tingkat jabatan presiden.
2. Dari sisi modus operandi, korupsi dilakukan dengan berbagai cara mulao dari yang
remeh sampai manipulasi besar-besaran. Sebagai contoh memberi tips kepada petugas,
membuat perjalanan dinas fiktif, sampai pada pengadaan proyek fiktif (ada dalam
anggaran tapi wujudnya tidak pernah ada). Korupsi dilakukan dengan cara sistematis
yang sulit disentuh hukum dan secara bersama-sama.
3. Dari sisi niat (motivasi) para pelaku, korupsi tidak dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan hidup mendasar tetapi dengan niat memperkaya diri. Sampai berapa ukuran
menambah kekayaan tidak pernah ada batasnya.
4. Dari sisi penyebaran kasus, kasus korupsi terjadi hampir di semua instansi tanpa ada
terkecuali. Walaupun tidak semua pegawai pada satu instansi melakukan korupsi,
kasus-kasus korupsi yang mencuat hampir merata di semua instansi mulai dari tingkat
pusat sampai ke pemerintahan terendah.
5. Dari sisi penindakan atau penegqakan hukumnya, terdapat kesulitan seriusuntuk
mengungkapnya, diperlukan sejumlah prosedur yang dibatasi oleh peraturan
perundang-undangan, bukti yang sulit ditemukan dan dukungan masyarakat yang
lemah.
6. Dari sisi masyarakat dan budaya, korupsi telah dianggap sebagai sesuatu yang lumrah
bahkan luhur jika hasil korupsi ikut dinikmati oleh masyarakat. Cenderung tidak ada
penolakan serius atas praktek korup yang dilakukan oleh para pejabat publik dan
tokoh masyarakat terlebih jika hasil korupsi disalurkan kepada lembaga-lembaga
sosial dan keagamaan. Praktek-praktek tindakan korup telah lama berlangsung sejak
zaman dahulu sebagai kebiasaan yang lumrah.
7. Dari sisi penegak hukum, disinyalir para petugas penegak hukum yang semestinya
memberantas korupsi justru melakukan korupsi, contoh kasus Jaksa Urip Tri
Gunawan, kasus Komisi Judisial dan sebagainya.
8. Dari sisi perkembangan kasus, terus terjadi peningkatan kasus korupsi. Walaupun
secara umum Komisi Pemberantasan Korupsi telah melakukan tindakan-tindakan yang
luar biasa, dan disaat yang sama kepolisian dan kejaksaan juga terus memburu
koruptor, yang tidak tertangkap dan tidak terungkap jauh lebih banyak lagi. Jika
dibandingkan dengan masa Orde Baru, maka sesungguhnya di era reformasi ini telah
terjadi pemerataan korupsi (Erdianto Effendi, Korupsi, Kejahatan Luar Biasa Yang
Merobohkan Bangsa. Jurnal Komisi Hukum Nasional, Vol. 9, No. 5).
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus
meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian
keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis
serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak
pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan
perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya.
Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-
hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi
tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan
luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa,
tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.
Cara-cara yang luar biasa tersebut antara lain, membentuk suatu lembaga yang khusus untuk
menangani tindak pidana korupsi yang tentunya juga dilengkapi dengan sejumlah kewenangan-
kewenangan yang istimewa. Saat ini Indonesia telah mempunyai suatu lembaga independen
yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi yang selama ini telah menunjukkan kiprahnya dengan
menangkap dan menjerat para koruptor kelas kakap. Diantara beberapa wewenang khusus yang
dimiliki oleh lembaga ini, salah satunya adalah kewenangan untuk melakukan penyadapan.
Penyadapan dilakukan untuk mendapatkan informasi-informasi yang bersifat rahasia guna
kepentingan mengungkap perkara-perkara korupsi.
Ada 3 (tiga) hal yang sudah dijalankan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam proses
penyadapan. Lembaga antikorupsi tersebut telah memiliki dasar hukum untuk menyadap, yakni
Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain itu,
lembaga ini juga tidak sembarangan dalam menentukan orang yang akan disadap. Hanya pihak-
pihak yang diduga melakukan perkara korupsi saja yang direkam pembicarannya. Terakhir, ada
keperluan proses hukum untuk menyadap itu. Yaitu mengusut tindak pidana korupsi
(Rachmadin Ismail, Penyadapan KPK Tak Langgar HAM, Jangan Diganggu!.Error! Hyperlink
reference not valid. Juni 2010, pukul 12.00 WIB].
Meskipun bertentangan dengan Hak Asasi Manusia, penyadapan harus tetap dilaksanakan
karena korupsi merupakan kejahatan non konvensional, yang dilakukan dengan cara-cara yang
rapi, korbannya tidak kasat mata, namun akibat yang ditimbulkan memberikan dampak yang
meluas dalam berbagai aspek kehidupan. Untuk itu perlu ditangani dengan cara yang ekstra,
melalui penyadapan diharapkan dapat memberikan hasil yang maksimal dalam pemberantasan
korupsi di Indonesia. Dengan kata lain penyadapan tetap dilakukan meskipun melanggar Hak
Asasi Manusia. Untuk lebih jelasnya akan digambarkan dalam skema berikut ini :
Dalam status :
- Penyelidikan : setiap orang
- Penyidikan : tersangka
- Penuntutan : terdakwa
Upaya Paksa
Penyadapan Extra ordinary
Law
Dasar Hukum :
- Pasal 12 ayat (1) huruf a
Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002
- Pasal 32 Undang-undang
HAM pelaku
Pelaku korupsi
(koruptor)
HAM pelaku dapat dieliminir/direduksi karena sifat hukum pidana seperti pedang bermata dua, satu sisi tajam dalam penegakan hukum, namun di sisi lain tajam mengiris HAM pelaku à penegakan hukum yang memiliki payung hukum
Skema 1. Konstruksi Hukum Penyadapan ditinjau dari Hak Asasi Manusia
BAB IV. PENUTUP
A. Simpulan
1. Penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki dasar
hukum Pasal 12 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 32 Undang-undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia. Penyadapan dilakukan mulai dari tingkat
penyelidikan sampai penuntutan. Dalam tingkat penyelidikan, penyadapan dilakukan
untuk mencari bukti permulaan dan setiap orang yang diduga terlibat dalam tindak
pidana korupsi dapat menjadi subyek penyadapan. Setelah adanya bukti permulaan
yang cukup, penyelidikan dapat ditingkatkan ke penyidikan guna mencari dan
menemukan alat bukti, hasil penyadapan merupakan alat bukti petunjuk berdasarkan
perluasan alat bukti petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 26A Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, orang yang berstatus
tersangka dalam tindak pidana korupsi dapat disadap oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi. Sedangkan dalam penuntutan, hasil penyadapan dapat digunakan untuk
melengkapi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) untuk kepentingan di persidangan, dan
yang dijadikan subyek penyadapan adalah terdakwa dalam tindak pidana korupsi.
2. Penyadapan merupakan bentuk upaya paksa ekstra yang pada dasarnya merupakan
pelanggaran terhadap HAM tersangka atau terdakwa. Namun, dalam upaya penegakan
hukum yang memilki landasan/dasar hukum yang jelas hal tersebut dapat dilakukan
artinya HAM tersangka atau terdakwa dapat dikurangi/dieliminir. Oleh karena itu
dalam pelaksanaannya di lapangan harus tetap memperhatikan hak-hak tersangka atau
terdakwa dengan memperhatikan prosedur-prosedur yang ada, mengenai tata cara
penyadapan memang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Tapi ada
patokan dasar yang dapat menjadi acuan yaitu penyadapan dilakukan berdasarkan
kebutuhan (need) yaitu untuk mencari dan menemukan bukti dalam perkara tindak
pidana korupsi, penyadapan dilakukan dengan menggunakan instrumen (tools) yang
memenuhi standar, agar hasil penyadapan yang didapat akurat dan penyadapan
dilakukan dengan tujuan (goal) untuk mengungkap tindak pidana korupsi.
B. Saran
1. Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi harus mengacu pada Standart
Operating Procedure (SOP) dalam melaksanakan penyadapan sebagai upaya paksa
dalam penanganan tindak pidana korupsi, agar para aparat penegak hukum tetap
mengedepankan due process of law dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dalam
upaya penegakan hukum di Indonesia.
2. Apabila pengaturan tentang prosedur dan tata cara mengenai penyadapan belum diatur
secara jelas maka, Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu
membentuk suatu peraturan tentang tata cara dan prosedur penyadapan atau Undang-
undang yang ada harus diamandemen demi penguatan kewenangan penyadapan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi, agar penyadapan tetap memilki payung hukum yang
jelas dan memilki legalitas yuridis.
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi. 2005. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia. Malang: Bayumedia.
____. 2008. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung : Alumni.
Alasan KPK sadap /Joggotfo.vivanews.com>[20 Maret 2010. pukul 10.00 WIB],
Andi Hamzah. 2001. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta ; Sinar Grafika.
AnKROta-komisi-iii-pertanvakan-prosedur-penyadapan .www.dpr.go.id/.../ ,<[10 Juni 2010, pukul 13.00 WIB].
Anton M Moeliono. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Dwi Antoro (Kepala Seksi Ekonomi dan Moneter As Intel Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah). 2010. "Legalitas Penyadapan (Wiretapping) Oleh Jaksa Penyidik Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi (2)". Majalah Swara Adhyaksa. Tahun ke I No. 04. Semarang :
Yayasan Tridaya Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah.
Erdianto Effendi (Dosen Fakultas Hukum Universitas Riau). 2009. "Korupsi, Kejahatan Luar Biasa yang Merobohkan Bangsa". Jurnal Komisi Hukum Nasional. Vol. 9, No. 5.
Ermansjah Djaja. 2008. Memberantas Korupsi Bersama KPK Komisi Pemberantasan Korupsi Kajian Yuridis NormatifUUNomor 3ITahun 1999 juncto UUNomor 20 Tahun 2001
Versi UUNomorSO Tahun 2002. Jakarta : Sinar Grafika.
Gerald E. Caiden, Toward a General Theory of Official Coruption, Asian Journal of Public Administration, Vol. 10 No. 1, 1988.
Haniviva. Teknologi Penyadapan KPK dan cirinya disadap. http://benasher.co.con Juni 2010pukul 11.00 WIB.
Ishaq. 2008. Dasar-dasar Emu Hukum. Jakarta : Sinar Grafika.
Jeremy Pope. 2007. Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif Edisi Revisi. Malang: Bayumedia.
John S.T. Quah, Bureaucratic Corruption in The ASEAN Countries : A Comparative Analysis of Their Anti-Corruption Strategies. Journal of Southeast Asean Studies, Vol. 13 No. 1).
John Z. Loudou. 1985. Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Kata. Jakarta : Bina Aksara.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Kwik Kian Gie. 2006. Pikiran Yang Terkorupsi. Jakarta : Kompas Media Nusantara.
Lilik Mulyadi. 2000. Tindak Pidana Korupsi. Bandung : Citra Aditya Bakti.
Majda El-Muhtaj. 2005. Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002. Jakarta : Prenada Media.
Masyhur Effendi. 2005. Perkembangan Dimensi Hak Asasi Mamisia (HAM). Bogor Selatan : Ghalia Indonesia.
Mentis Harjanto, Mengaputansi Kewenangan KPK.www.suara merdeka,com<(' 1 Juni 2010, pukul 09.00 WIB.
Muslimin B.Putra, Menimbang Rencana Regulasi Penyadapan Depkotninfo. www.suaramerdeka.com<[8 Maret 2010, pukul 10.00 WIB).
Panca, Lawful interception penyadapan secara sah menurut /i»£»m. http://panca.wordpress.com2 006/07/17/lawfull-interception>[20 Maret 2010 pukul
21.00]
Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Rachmadin Ismail, Penyadapan KPK Tak Langgar HAM, Jangan Diganggu/.www.detiknews.com>[4 Juni 2010, pukul 12.00 WIB].
Rudy Satrio (Pemberantasan Korupsi, KPK Jangan Dibubarkan, harian KOMPAS, Senin, tanggal 20 November 2006 Halaman 3).
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Yahya Harahap. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta : Sinar Grafika.
____ 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta : Sinar Grafika.