ANALISIS KETIMPANGAN WILAYAH ANTAR KABUPATEN/KOTA …

14
ANALISIS KETIMPANGAN WILAYAH ANTAR KABUPATEN/KOTA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2010-2014 JURNAL ILMIAH Disusun Oleh: GANTARA HADI NOTO 125020107111016 JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2016

Transcript of ANALISIS KETIMPANGAN WILAYAH ANTAR KABUPATEN/KOTA …

Page 1: ANALISIS KETIMPANGAN WILAYAH ANTAR KABUPATEN/KOTA …

ANALISIS KETIMPANGAN WILAYAH

ANTAR KABUPATEN/KOTA DAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

DI PROVINSI JAWA TIMUR

TAHUN 2010-2014

JURNAL ILMIAH

Disusun Oleh:

GANTARA HADI NOTO

125020107111016

JURUSAN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2016

Page 2: ANALISIS KETIMPANGAN WILAYAH ANTAR KABUPATEN/KOTA …

1

Analisis Ketimpangan Wilayah Antar Kabupaten/Kota dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi di

Provinsi Jawa Timur Tahun 2010-2014

Gantara Hadi Noto, Prof. Dr. Agus Suman, SE., DEA.

Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

[email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar ketimpangan pembangunan wilayah dan faktor-

faktor yang mempengaruhi ketimpangan pembangunan wilayah antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur pada

tahun 2010-2014. Variabel-variabel yang digunakan ialah Upah Minimum Regional (UMR), angkatan kerja yang

bekerja, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pengeluaran pemerintah. Teknik analisis statistik deskriptif dan

analisis regresi panel dengan studi kasus yang di lakukan di 38 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dan pada periode 2010-2014. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ketimpangan pembangunan wilayah di Provinsi Jawa

Timur sangat tinggi hal tersebut dikarenakan oleh adanya beberapa wilayah di Provinsi Jawa Timur yang memiliki

PDRB perkapita yang tinggi jauh diatas PDRB perkapita Provinsi Jawa Timur, seperti Kota Kediri dan Kota

Surabaya dan variabel-variabel seperti Upah Minimum Regional (UMR), angkatan kerja yang bekerja, Indeks

Pembangunan Manusia (IPM), dan Pengeluaran Pemerintah berpengaruh secara signifikan terhadap ketimpangan

pembangunan wilayah.

Kata Kunci : Ketimpangan Pembangunan, PDRB, UMR, Tenaga Kerja, IPM, Pengeluaran Pemerintah

A. PENDAHULUAN

Strategi pembangunan nasional pada awalnya diterapkan hampir seluruh negara di dunia untuk memulai

aktivitas perekonomian. Pembangunan merupakan proses multidimensi yang melibatkan berbagai perubahan

mendasar dalam stuktur sosial, sikap masyarakat, dan lembaga nasional serta percepatan pertumbuhan,

pengurangan ketimpangan dan penanggulangan kemiskinan (Smith dan Todaro, 2011). Tujuan pembangunan

tidak hanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan per kapita namun harus

memerhatikan proses pemerataan dan distribusi nilai tambah tertentu dalam kegiatan ekonomi di suatu wilayah

(Kuncoro, 2015). Smith dan Todaro, (2011) menjelaskan bahwa pembangunan mengharuskan adanya peningkatan

pendapatan yang tinggi dan pertumbuhan yang berkelanjutan. Namun yang menjadi masalah adalah bukan hanya

mengenai bagaimana meningkatkan pendapatan, akan tetapi siapa yang akan meningkatkannya, sebagian kecil

orang atau orang banyak. Ketimpangan pembangunan antarwilayah selalu muncul dan cenderung akan semakin melebar. Myrdal (dalam Jhingan, 2014), berpendapat bahwa pembangunan ekonomi dapat menghasilkan suatu

proses sebab-menyebab sirkuler yang membuat si kaya mendapatkan keuntungan semakin banyak, dan mereka

yang tertinggal di belakang menjadi semakin tertinggal. Dampak balik (backwash effects) cenderung membesar

dan dampak sebar (spread effects) akan cenderung mengecil sehingga akan memperburuk ketimpangan yang ada.

Di Indonesia, Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi yang memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang

tinggi. Data dari BPS menunjukan laju perekonomian Provinsi Jawa Timur mampu tumbuh di atas pertumbuhan

perekonomian nasional dari tahun 2011 sampai 2014. Pada 2011 laju perekonomian di Provinsi Jawa Timur

sebesar 6.44% dan pada 2012 naik 0.20% menjadi 6.64%, namun pada 2013 dan 2014 laju pertumbuhan Provinsi

Jawa Timur terus mengalami penurunan yaitu menjadi 6.08% dan 5.86%. Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa

Timur saat ini memiliki prospek, namun di sisi lain distribusi pendapatan di Provinsi Jawa Timur masih terlihat

timpang. Dapat dilihat pada gambar 1, Kota Surabaya dan Kota Kediri memiliki distribusi pendapatan yang tinggi,

bahkan lebih tinggi dari Provinsi Jawa Timur. Berbeda dengan kondisi daerah seperti Kota Blitar, Kota Pasuruan

dan Kota Mojokerto yang memiliki distribusi pendapatan yang rendah.

Page 3: ANALISIS KETIMPANGAN WILAYAH ANTAR KABUPATEN/KOTA …

2

Gambar 1: PDRB Per Kapita Atas Dasar Harga Berlaku di Provinsi Jawa Timur Menurut

Kabupaten/kota, Tahun 2010 dan 2014 (Ribu Rupiah)

Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur tahun 2010 dan 2014 (data diolah penulis)

Menurut Sjafrizal (2008), ketimpangan pembngunan wilayah disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :

1. Perbedaan sumber daya alam, 2. Kondisi demografis, 3. Kurang lancanya mobilitas barang dan jasa, 4.

Konsentrasi kegiatan ekonomi, 5. Alokasi dana pembangunan antar wilayah. Adanya ketimpangan pembangunan

antar wilayah menjelaskan bahwa terjadi ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan pada suatu wilayah,

terlebih wilayah perkotaan yang menjadi pusat pembangunan, pemukiman, industri dan lain-lain. Jika dilihat

perkembangan struktur ruang Provinsi Jawa Timur mengarah kepada dominasi kawasan perkotaan yang mampu mempengaruhi perekonomian pedesan. Selain perbedaan distribusi pendapatan, terjadi perbedaan seperti Upah

Minimum Regional (UMR), Jumlah angkatan kerja, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan pengeluaran

pemerintah yang berbeda disetiap wilayah. Daerah dengan PDRB yang tinggi, rata-rata memiliki Upah Minimum

Regional (UMR), Jumlah angkatan kerja, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan pengeluaran pemerintah yang

tinggi pula. Menurut Kuncoro (2013) ketimpangan sering memicu kecemburuan sosial dan kekerasan yang sering

terjadi diberbagai daerah, yang pada ujungnya masyarakat akan rentan terhadap konflik. Konflik dapat

mengganggu distribusi barang dan jasa hingga penurunan dan penundaan investasi saat ini. Ketidaksesuaian antara

data dan teori yang relevan menggambarkan bahwa masih terdapat beberapa permasalahan terutama peran

pemerintah dalam mengambil kebijakan di Provinsi Jawa Timur.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar ketimpangan pembangunan yang terjadi di Provinsi

Jawa Timur pada 2010, 2011, 2012, 2013 dan 2014. Selain itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-

faktor apa saja yang mempengaruhi ketimpangan di Provinsi Jawa Timur itu sendiri dengan 38 kabupaten/kota

sebagai satuan unitnya.

B. KAJIAN PUSTAKA

Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi merupakan dua aspek yang tidak dapat dipisahkan antara satu

dengan yang lainnya. Pembangunan didefinisikan sebagai suatu proses menuju perubahan-perubahan guna

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Suatu wilayah dapat dikatakan sejahtera apabila pertumbuhan

ekonominya mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan wilayah lain. Tingginya pertumbuhan

ekonomi suatu wilayah biasanya diikuti dengan pemerataan pendapatan pada masyarakat. Menurut Boediono

dalam Tarigan (2014), pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikna output per kapita dalam jangka panjang.

Presentase kenaikan kenaikan output yang lebih tinggi dari presentase pertambahan jumlah penduduk dan

pertumbuhan akan berlanjut dalam jangka panjang. Ketentuan bahwa pertumbuhan harus bersumber dari proses

intern perekonomian sangat penting dalam ekonomi wilayah, suatu wilayah bias saja mengalami pertumbuhan akan tetapi pertumbuhan tersebut terjadi karena adanya suntikan dana dari pemerintah pusat dan pertumbuhan

tersebut bias saja berhenti ketika tidak mendapatkan suntikan dana dari pemerintah pusat (Tarigan, 2014).

Hubungan Antara Upah Minimum Kabupaten/kota dengan Ketimpangan Pembangunan Wilayah

Upah minimum adalah suatu stanndar minimum yang dipakai oleh parapengusaha atau pelaku industri

untuk memberikan upah kepada pegawai, karyawan atau buruh di dalam lingkungan usaha atau kerjanya. Menurut

Prastyo (2010), pada awalnya upah minimum ditentukan secara terpusat oleh Departemen Tenaga Kerja untuk

region atau wilayah-wilayah di seluruh Indonesia. Dalam perkembangan otonomi daerah, pada tahun 2001 upah

Kab

. P

acit

an

Kab

. P

onoro

go

Kab

.…

Kab

.…

Kab

. B

lita

r

Kab

. K

edir

i

Kab

. M

alan

g

Kab

. L

um

ajan

g

Kab

. Je

mb

er

Kab

.…

Kab

.…

Kab

.…

Kab

.…

Kab

. P

asuru

an

Kab

. S

idoar

jo

Kab

.…

Kab

. Jo

mban

g

Kab

. N

gan

juk

Kab

. M

adiu

n

Kab

. M

aget

an

Kab

. N

gaw

i

Kab

.…

Kab

. T

uban

Kab

.…

Kab

. G

resi

k

Kab

.…

Kab

. S

ampan

g

Kab

.…

Kab

. S

um

enep

Ked

iri

Bli

tar

Mal

ang

Pro

boli

nggo

Pas

uru

an

Mojo

ker

to

Mad

iun

Sura

bay

a

Bat

u

2010 2014

Page 4: ANALISIS KETIMPANGAN WILAYAH ANTAR KABUPATEN/KOTA …

3

minimum ditetapkan oleh masing-masing provinsi. Upah minimum ini dapat dibedakan menjadi upah minimum

regional dan upah minimum sektoral.

Peraturan Menteri Tenaga Krja Nomor: Per-01/MEN/1999. Tujuan dari penetapan upah minimum adalah

untuk mewujudkan penghasilan yang layak bagi pekerja. Beberapa hal yang menjadi bahan pertimbangan

termasuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja tanpa menaikkan produktifitas perusahaan dan kemajuannya

termasuk juga pertimbangan mengenai kondisi ekonomi secara umum.

Kaufman (2000), menyatakan bahwa tujuan ditetapkannya upah minimum adalah untuk memeihi standar

hidup minimum seperti kesehatan, efisiensi dan kesejahteraan pekerja. Upah minimum merupakan usaha guna

mengangkat derajat penduduk berpendapatan rendah, terutama pekerja miskin. Semakin meningkat tingkat upah

minimum akan meningkatkan pendapatan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga

ketimpangan dapat berkurang.

Hubungan Angkatan Kerja yang Bekerja dengan Ketimpangan

Angkatan kerja yang bekerja adalah seluruh jumlah penduduk yang tergolong usia kerja (15 tahun sampai

dengan 64 tahun) yang telah mendapatkan pekerjaan. Menurut Arsyad (2010), Jumlah angkatan kerja yang bekerja merupakan faktor positif dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi. Semakin banyak angkatan kerja yang bekerja, semakin besar tingkat produksi yang dihasilkan dan akan meningkatkan perumbuhan ekonomi.

Penyebab ketimpangan suatu wilayah salah satunya adalah kondisi demografis antar wilayah yang berbeda.

Kondisi tersebut meliputi perbedaan tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, perbedaan tingkat

kesehatan dan pendidikan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan etos kerja yang dimiliki oleh masyarakat.

Kondisi demografis tersebut berpengaruh terhadap besarnya produktivitas dari suatu daerah. Daerah dengan

kemampuan demografis yang baik akan berdampak pada produktivitas yang tinggi. Tingkat orang yang bekerja

berpengaruh terhadap produktivitas suatu daerah, semakin tinggi tingkat orang yang bekerja di suatu daerah akan

berdampak kepada tingginya produktivitas daerah tersebut lebih tinggi dibandingkan daerah dengan tingkat jumlah orang yang bekerja lebih sedikit. Perbedaan tingkat jumlah angkatan kerja yang bekerja antar daerah akan

menyebabkan angka ketimpangan pembangunan semakin tinggi.

Hubungan IPM Terhadap Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Jawa Timur

Becker 1964, dalam teori human capital bahwa manusia bukan sekedar sumber daya namun modal

(capital) yang menghasilkan pengembalian (return) dan setiap setiap pengeluaran yang dilakukan dalam rangka

mengembangkan kualitas dan kuantitas modal tersebut merupakan kegiatan investasi. Sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Gaiha 1993 yang mengatakan bahwa pendidikan pada diri seseorang dapat meningkatkan

kemampuan dalam memperoleh dan menggunakan informasi dan memperoleh pemahaman akan perekonomian.

Pendidikan secara tidak langsung berpengaruh dalam pemenuhan kebutuhan pribadi seseorang dengan cara

menigkatkan produktiivitas sehingga tercapainya standar hidup yang lebih baik. Jika setiap orang memiliki

pendapatan yang tinggi karena pendidikan yang tinggi, maka pertumbuhan ekonomi penduduk dapat ditunjang,

sehingga adanya pertumbuhan ekonomi baik secara langsung maupun tidak akan berpengaruh negatif terhadap

ketimpangan itu sendiri.

Hubungan Pengeluaran Pemerintah dengan Ketimpangan Pembangunan

Menurut Sukirno, (2002), pengeluaran pemerintah adalah konsumsi barang dan jasa yang dilakukan

pemerintah serta pembiayaan yang dilakukan pemerintah untuk keperluan administrasi pemerintahan dan

kegiatan-kegiatan pembangunan. Peran pemerintah melalui pengeluaran pemerintah merupakan faktor penting

dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui permintaan agregat. Semakin besar pengeluaran

pemerintah akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang baik pada daerah tersebut. Pengeluaran pemerintah

melalui program-program untuk mendorong produktivitas sumber daya akan menjadi suntikan perekonomian,

namun ketika besaran pengeluaran pemerintah tidak merata maka akan menyebabkan peningkatan ketimpangan

pembangunan.

C. METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis metode penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif digunakan karena

dalam penelitian ini bermaksud untuk mengetahui besaran nilai dari variabel-variabel yang ada dalam model

matematis yang digunakan. Penelitian kuantitatif digunakan untuk mengukur seberapa besar ketimpangan

Page 5: ANALISIS KETIMPANGAN WILAYAH ANTAR KABUPATEN/KOTA …

4

pendapatan wilayah antar Kabupaten/kota dan faktor yang mempengaruhi di Provinsi Jawa Timur tahun 2010-

2014.

Tempat dan Waktu Penelitian

Objek dala penelitian ini adalah Provinsi Jawa Timur dengan lokasi penelitian kabupaten/kota yang

terdapat di Provinsi Jawa Timur sebagai unit analisis. Kabupaten/kota merupakan penunjang perekonomian

daerah dalam hal ini Provinsi Jawa Timur, yang pada akhirnya sebagai penopang perekonomian nasional. Provinsi Jawa Timur dipilih karena pertumbuhan ekonomi yang ada di Provinsi Jawa Timur memiliki tingkat pertumbuhan

ekonomi yang tinggi, namun terdapat masalah ketimpangan pembangunan antar wilayah.

Ruang lingkup pada penelitian ini terdapat berbagai batasan-batasan dalam penelitian, guna menghindari

permasalahan yang dibahas dan tercapainya tujuan penelitian. Adapun batasan-batasan tersebut antara lain:

1. Data yang digunakan dan dianalisis dalam penelitian ini merupakan data tahun 2010 sampai dengan 2014.

2. Wilayah yang dianalisis merupakan Provinsi Jawa Timur yang terdiri dari 38 Kabupaten/kota diantaranta

terdiri dari 29 Kabupaten dan 9 Kota.

3. Penelitian ini dibatasi pada perhitungan serta analisis tingkat kesenjangan pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa Timur antar Kabupaten/kota.

Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Penelitian

Definisi operasional adalah definisi yang didasarkan pada sifat-sifat atau sesuatu hal yang dapat diamati atas

variabel penelitian tersebut. Untuk lebih memperjelas dan mempermudah pemahaman terhadap variabel-variabel

yang akan dianalisis dalam penelitian ini , maka perlu dirumuskan defenisi operasional sebagai berikut:

1. Ketimpangan Pembangunan Wilayah (Y), merupakan ketimpangan dalam distribusi pendapatan kepada

kelompok masyarakat di suatu daerah yang didasarkan pada perhitungan Indeks Williamson di

Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2010-2014.

2. Upah Minimum Kabupaten/kota (UMR) (X1), merupakan suatu standar minimum yang digunakan oleh

para pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada pegawai, karyawan atau buruh di dalam lingkungan usaha atau kerjanya pada tahun 2010-2014.

3. Angkatan Kerja yang Bekerja (X2), merupakan jumlah penduduk yang tergolong usia kerja (15 tahun

sampai dengan 64 tahun) yang telah mendapatkan pekerjaan dan berperan aktif didalam proses

perekonomian wilayah pada tahun 2010-2014.

4. Indeks Pembangunan Manusia (X3), merupakan ukuran pencapaian pembangunan yang berbasis

sejumlah komponen dasar kualitas hidup di Kabupaten/kota Provinsi Jawa Timur tahun 2010-2014.

5. Pengeluaran Pemerintah (X4), merupakan data total belanja langsung dan tidak langsung pada pos

belanja pemerintah yang terdapat dalam APBD masing-masing Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur

pada tahun 2010-2014.

Metode Analisis Data

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistik deskriptif dan analisis

regresi panel. Statistik deskriptif digunakan untuk menjawab rumusan masalah penelitian pertama yaitu

perhitungan tingkat ketimpangan pembangunan wilayah. Sedangkan analisis regresi untuk menjawab pertanyaan

penelitian kedua yaitu pengruh faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan itu sendiri.

Studi ini menggunakan analisis data panel (pooled data) sebagai pengolahan data menggunakan program

Eviews 7. Analisis dengan menggunakan data panel adalah kombinasi antara deret wakktu (data time series) dan

deret lintang (data cross section).Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik statistik linier

berganda (multiple regression) untuk data panel. Teknik ini digunakan dengan tujuan untuk menguji hipotesis

penelitian yang telah disebutkan dalam bab sebelumnya. Adapun persamaan dari regresi linier berganda untuk

penelitian ini adalah sebagai berikut:

𝑌𝑖𝑡 = 𝛼0 + 𝛼1𝑋1𝑖𝑡 + 𝛼2𝑋2𝑖𝑡 + 𝛼3𝑋3𝑖𝑡 + 𝛼4𝑋4𝑖𝑡 + 𝜀𝑖𝑡

Dimana:

𝑌 = Ketimpangan Wilayah

𝑋1 = Upah Minimum Kabupaten/kota

Page 6: ANALISIS KETIMPANGAN WILAYAH ANTAR KABUPATEN/KOTA …

5

𝑋2 = Angkatan Kerja yang Bekerja

𝑋3 = Indeks Pembangunan Manusia

𝑋4 = Pengeluaran Pemerintah

𝛼0 = intersep

𝛼1 − 𝛼5 = koefisien bebas

𝜀𝑖𝑡 = komponen error di waktu t untuk unit cross section i

𝑖 = cross section (38 Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur)

𝑡 = waktu (time series, tahun 2010-2014)

Dasar pengujian hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah probabilitas sebesar 0,05 atau 5% dan untuk pengambilan keputusan, didasarkan pada hipotesis H0 = Koefisien regresi tidak signifikan, dan H1 =

Koefisien regresi signifikan. Berdasarkan hipotesis tersebut, maka pengambilan keputusan, jika P < 0,05, maka

H1 diterima dan jika P > 0.05, maka H1 ditolak.

D. PEMBAHASAN

Ketimpangan Pembangunan Wilayah di Provinsi Jawa Timur

Provinsi Jawa Timur dikenal sebagai pusat dari Kawasan Timur Indonesia, dan memiliki perekonomian

yang tinggi, yakni memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDRB) Nasional sebesar 14,85%.

Jumlah penduduk di Provinsi Jawa Timur merupakan jumlah penduduk terbanyak kedua di Indonesia setelah

Provinsi Jawa Barat yaitu pada 2014 sebesar 38 610 202 jiwa. (Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur). Laju pertumbuhan yang tinggi, bahkan lebih tinggi dari laju pertumbuhan Indonesia ternyata tidak menjamin tingkat

kesejahteraan masyarakatnya.

Ketimpangan pembangunan di Provinsi Jawa Timur sangat tinggi, walaupun pada tahun 2010-2014

ketimpangan yang terjadi pada Provinsi Jawa Timur terus mengalami penurunan. Ketimpangan pembangunan

yang terjadi dapat dilihat dari nilai indeks Williamson yang terus menunjukan penurunan nillai. Pada 2012 sampai

dengan 2014 menunjukkan tren yang cenderung menurun jika dibandingkan pada dua tahun sebelumnya. Pada

tahun 2010 indeks Williamson di Provinsi Jawa Timur sebesar 1.081326394 dan pada 2014 mengalami penurunan

menjadi 1.049201893. Kondisi tersebut disebabkan oleh adanya beberapa wilayah di Provinsi Jawa Timur yang

memiliki PDRB perkapita yang tinggi jauh diatas PDRB perkapita Provinsi Jawa Timur, seperti Kota Kediri dan

Kota Surabaya. Adanya ketimpangan pembangunan antar wilayah menjelaskan bahwa terjadi ketidakmerataan

dalam distribusi pendapatan pada suatu wilayah, terlebih wilayah perkotaan yang menjadi pusat pembangunan,

pemukiman, industri dan lain-lain. Terdapat 9 wilayah yang memiliki PDRB perkapita di atas PDRB perkapita Provinsi Jawa Timur. Kota Kediri dan Kota Surabaya mendominasi PDRB perkapita jika dibandingkan wilayah

lain, hal tersebut merupakan salah satu yang menyebabkan ketimpangan antar wilayah di Provinsi Jawa Timur.

Kota Surabaya merupakan kota dengan sektor industri pengolahan yang menyumbang PDRB per kapita yang

tinggi dan Kota Kediri yang berada di yang berada di jalur transportasi regional antara wilayah Surabaya dengan

Tulungagung, Nganjuk, Blitar dan malang telah ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) yang

berfungsi mendorong sistem perkotaan sebagai pusat pelayanan sekunder. Banyaknya industri besar seperti

industri rokok Gudang Garam, Balowerti dan Dandangan serta pabrik gula menjadikan PDRB di Kota Kediri

menjadi tinggi dibandingkan dengan wilayah lain.

Ketimpangan pembangunan berdasarkan indeks gini menurut kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur

dibagi menjadi dua bagian yaitu wilayah kabupaten/kota dengan tingkat ketimpangan tinggi dan wilayah

kabupaten/kota dengan ketimpangan rendah. Terdapat 4 wilayah kabupaten/kota dengan kondisi ketimpangan tinggi, yaitu Kota Malang, Kota Surabaya, Kota Madiun dan Kota Blitar sedangkan 34 wilayah kabupaten/kota

lainnya dengan kondisi ketimpangan rendah. Ketimpangan pembangunan sering memicu kecemburuan sosial dan

kekerasan yang sering terjadi diberbagai daerah, yang pada ujungnya masyarakat akan rentan terhadap konflik.

Konflik dapat mengganggu distribusi barang dan jasa hingga penurunan dan penundaan investasi saat ini. Selain

itu ketimpangan yang tidak segera diatasi dapat menimbulkan kelompok miskin kronis sehingga memperlebar

ketimpangan dan melemahkan pertumbuhan ekonomi. Wilayah dengan tingkat ketimpangan yang tinggi memiliki

jumlah penduduk miskin yang rendah, sedangkan wilayah dengan ketimpangan rendah memiliki jumlah penduduk

miskin yang tinggi.

Page 7: ANALISIS KETIMPANGAN WILAYAH ANTAR KABUPATEN/KOTA …

6

Gambar 2: Tingkat Ketimpangan (Gini Ratio) dan Kemiskinan (%) Kabupaten/kota di Provinsi Jawa

Timur Tahun 2010-2014

Sumber : BPS Jawa Timur tahun 2010-2014, data diolah (2016)

*Keterangan: Warna Merah: Prioritas 1

Warna Kuning: Prioritas 2 Warna Hijau: Prioritas 3

Warna biru: Prioritas 4

Tingkat ketimpangan dan presentase kemiskinan di Provinsi Jawa Timur dapat di kelompokkan menjadi

3 kategori, antara lain:

1. 4 wilayah dengan Ketimpangan tinggi (diatas Provinsi Jawa Timur) dan presentase kemiskinan rendah

(dibawah Provinsi Jawa Timur), antara lain: Kota Malang, Kota Surabaya, Kota Blitar, Kota Madiun

2. 16 wilayah dengan Ketimpangan rendah (dibawah Provinsi Jawa Timur) dan presentase kemiskinan

rendah (dibawah Provinsi Jawa Timur), antara lain: Kota Kediri, Kota Pasuruan, Kota Batu, Kota

Mojokerto, Kab. Sidoarjo, Kab. Tulungagung, Kab. Banyuwangi, Kab. Blitar, Kab. Malang, Kab.

Mojokerto, Kab. Magetan, Kab. Jombang, Kab. Pasuruan, Kab. Jember, Kab. Ponorogo, Kab. Lumajang.

3. 18 wilayah dengan Ketimpangan rendah (dibawah Provinsi Jawa Timur) dan presentase kemiskinan tinggi (diatas Provinsi Jawa Timur), antara lain: Kab. Gresik, Kab. Pacitan, Kab. Bangkalan, Kota

Probolinggo, Kab. Ngawi, Kab. Sumenep, Kab. Probolinggo, Kab. Pamekasan, Kab. Tuban, Kab.

Bondowoso, Kab. Bojonegoro, Kab. Trenggalek, Kab. Lamongan, Kab. Kediri, Kab. Nganjuk, Kab.

Situbondo, Kab. Madiun, Kab. Sampang.

Ketimpangan yang terjadi di Kota Malang dan Kota Surabaya terbilang tinggi, bahkan tertinggi di Provinsi

Jawa Timur, namun pertumbuhan ekonomi di Kota Malang dan Kota Surabaya juga tinggi dan persentase jumlah

penduduk miskin di Kota Malang dan Kota Surabaya sangat rendah, hal tersebut mengidentifikasikan bahwa di

Kota Surabaya PDRB per kapita mayoritas disumbang oleh orang kaya dibandingkan orang miskin. Tingkat

ketimpangan dan PDRB per kapita kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dapat di kelompokkan menjadi 4

kategori, antara lain:

1. 3 wilayah dengan kondisi ketimpangan tinggi (diatas Provinsi Jawa Timur) dan PDRB Per Kapita di atas

PDRB Per Kapita Provinsi Jawa Timur, antara lain: Kota Malang, Kota Surabaya, Kota Madiun.

2. 1 wilayah dengan kondisi ketimpangan tinggi (diatas Provinsi Jawa Timur) dan PDRB Per Kapita di

bawah PDRB Per Kapita Provinsi Jawa Timur, antara lain: Kota Blitar

3. 7 wilayah dengan kondisi ketimpangan rendah (dibawah Provinsi Jawa Timur) dan PDRB Per Kapita di atas PDRB Per Kapita Provinsi Jawa Timur, antara lain: Kota Kediri, Kab.Gresik, Kab. Sidoarjo,

Kab.Pasuruan, Kota Batu, Kab. Mojokerto, Kab.Bojonegoro.

4. 27 wilayah dengan kondisi ketimpangan rendah (dibawah Provinsi Jawa Timur) dan PDRB Per Kapita

di bawah PDRB Per Kapita Provinsi Jawa Timur, antara lain: Kab. Tuban, Kab. Banyuwangi, Kota

Mojokerto, Kota Probolinggo, Kota Pasuruan, Kab. Tulungagung, Kab. Malang, Kab. Bangkalan, Kab.

Sumenep, Kab. Jombang, Kab. Blitar, Kab. Lumajang, Kab. Jember, Kab. Lamongan, Kab. Probolinggo,

Kab. Magetan, Kab. Situbondo, Kab. Pacitan, Kab. Madiun, Kab. Kediri, Kab. Trenggalek, Kab.

Bondowoso, Kab. Nganjuk, Kab. Sampan, Kab. Ngawi, Kab. Ponorogo, Kab. Pamekasan.

Kab. Pacitan

Kab. Ponorogo

Kab. TrenggalekKab. Tulungagung

Kab. Blitar

Kab. KediriKab. Malang

Kab. Lumajang

Kab. Jember

Kab. BanyuwangiKab. Bondowoso

Kab. Situbondo

Kab. Probolinggo

Kab. Pasuruan

Kab. Sidoarjo

Kab. MojokertoKab. Jombang Kab. Nganjuk

Kab. Madiun

Kab. Magetan

Kab. Ngawi

Kab. Bojonegoro

Kab. Tuban

Kab. Lamongan

Kab. Gresik Kab. Bangkalan

Kab. Pamekasan

Kab. Sumenep

Kota Kediri

Kota Blitar

Kota Malang

Kota Probolinggo

Kota Pasuruan

Kota Mojokerto

Kota Madiun

Kota Surabaya

Kota Batu

0.00

0.05

0.10

0.15

0.20

0.25

0.30

0.35

0.40

0.45

0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00 18.00 20.00 22.00 24.00

Keti

mp

an

gan

(G

ini

Rati

o)

Tingkat Kemiskinan (%)

Tingkat Ketimpangan (Gini Ratio) dan Kemiskinan (%) Kabupaten/kota di

Provinsi Jawa Timur Tahun 2010-2014

Page 8: ANALISIS KETIMPANGAN WILAYAH ANTAR KABUPATEN/KOTA …

7

Gambar 3: Tingkat Ketimpangan (Indeks Gini) Terhadap PDRB Per Kapita ADHK kabupaten/kota di Provinsi Jawa

Timur Tahun 2010-2014

Sumber : BPS Jawa Timur tahun 2010-2014, data diolah (2016) *Keterangan: Warna Merah: Prioritas 1

Warna Kuning: Prioritas 2

Warna Hijau: Prioritas 3 Warna biru: Prioritas 4

Wilayah yang ditandai dengan warna merah menunjukkan bahwa, wilayah tersebut menjadi prioritas

utama oleh pemerintah, dilanjutkan dengan wilayah dengan warna kuning, hijau dan biru. Pertumbuhan ekonomi

di Provinsi Jawa Timur selama ini hanya bertumpu pada wilayah-wilayah besar seperti: Kota Surabaya, Kota

Kediri, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik dan Kabupaten Malang yang merupakan pusat-pusat pertumbuhan.

Perbedaan seperti sumber daya alam, ketersediaan infrastruktur seperti jalan, jembatan, pelabuhan dan bandara

yang berperan terhadap kemajuan suatu daerah, birokrasi, alokasi dana, tenaga kerja yang baik, peluang ekonomi

dan arus investasi mengalir ke wilayah tersebut. Kondisi demikian akan memperlebar kondisi ketimpangan.

Meningkatnya ketimpangan pembangunan harus diwaspadai karena dapat memberikan efek yang kurang baik

terhadap keberlangsungan pembangunan. Tugas pemerintah dalam hal ini akan semakin berat dalam pelayanan

dan penyediaan barang publik karena salah satu dampak ketimpangan yang dirasakan adalah kenaikan urbanisasi penduduk ke pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Ketika jumlah urbanisasi melebihi kapisitas pada suatu wilayah

tentunya akan berdampak kepada masalah ekonomi dan sosial, seperti: angka kemiskinan, kriminalitas dan

masalah sosial lainnya.

Secara Keseluruhan berikut adalah perbandingan kondisi ketimpangan pembangunan, PDRB per kapita,

dan presentase kemiskinan yang terjadi di 38 wilayah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur yang terbagi menjadi

6 kelompok kategori:

1. Kategori (I). PDRB per kapita diatas Provinsi Jawa Timur, Kemiskinan kabupaten/kota dibawah

Kemiskinan Provinsi Jawa Timur, Ketimpangan Tinggi (Indeks Gini kabupaten/kota diatas Indeks Gini

Provinsi): Kota Malang, Kota Surabaya, dan Kota Madiun.

2. Kategori (II). PDRB per kapita dibawah Provinsi Jawa Timur, Kemiskinan kabupaten/kota dibawah

Kemiskinan Provinsi Jawa Timur, Ketimpangan Tinggi (Indeks Gini kabupaten/kota > Indeks Gini

Provinsi): Kota Blitar

3. Kategori (III). PDRB per kapita diatas Provinsi Jawa Timur, Kemiskinan kabupaten/kota dibawah

Kemiskinan Provinsi Jawa Timur, Ketimpangan Rendah (Indeks Gini kabupaten/kota dibawah Indeks

Gini Provinsi): Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Pasuruan, Kabupatn Mojokerto, Kota Kediri dan Kota Batu.

4. Kategori (IV). PDRB per kapita diatas Provinsi Jawa Timur, Kemiskinan kabupaten/kota diatas

Kemiskinan Provinsi Jawa Timur, Ketimpangan Rendah (Indeks Gini kabupaten/kota dibawah Indeks

Gini Provinsi): Kabupaten Gresik, dan Kabupaten Bojonegoro.

5. Kategori (V). PDRB per kapita dibawah Provinsi Jawa Timur, Kemiskinan kabupaten/kota dibawah

Kemiskinan Provinsi Jawa Timur, Ketimpangan Rendah (Indeks Gini kabupaten/kota dibawah Indeks

Gini Provinsi): Kota Pasuruan, Kota Mojokerto, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Banyuwanngi,

Kab. Pasuruan

Kab. Sidoarjo

Kab. Mojokerto

Kab. BojonegoroKab. Gresik

Kota Kediri

Kota Blitar

Kota Malang

Kota Madiun

Kota Surabaya

Kota Batu

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

140.00

160.00

180.00

200.00

220.00

0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 0.40 0.45

PD

RB

Per K

ap

ita A

DH

K

Ketimpangan (Gini Ratio)

Tingkat Ketimpangan (Gini Ratio) Terhadap PDRB Per Kapita ADHK

(Ribu Rupiah) di Provinsi Jawa Timur Tahun 2010-2014

Page 9: ANALISIS KETIMPANGAN WILAYAH ANTAR KABUPATEN/KOTA …

8

Kabupaten Blitar, Kabupaten Malang, Kabupaten Magetan, Kabupaten Jombang, Kabupaten Jember,

Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Lumajang.

6. Kategori (VI). PDRB per kapita dibawah Provinsi Jawa Timur, Kemiskinan kabupaten/kota diatas

Kemiskinan Provinsi Jawa Timur, Ketimpangan Rendah (Indeks Gini kabupaten/kota dibawah Indeks

Gini Provinsi): Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Pacitan, Kota Ponorogo, Kabupaten Ngawi,

Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tuban, Kabupaten Bondowoso, Kaabupaten Probolinggo, Kabupaten Sumenep, Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Kediri,

Kabupaten Situbondo, Kabupaten Madiun dan Kabupaten Sampang.

Ketimpangan pembangunan antar wilayah di Provinsi Jawa Timur bisa disebabkan oleh beberapa faktor

seperti Upah Minimum Regional (UMR), Jumlah angkatan kerja yang bekerja, Indeks Pembangunan Manusia

(IPM), dan pengeluaran pemerintah.

Analisis dan Pembahasan Uji Statistik

1. Uji Chow

Uji Chow digunakan untuk mengetahui model Common Effect (CEM) atau Fixed Effect (FEM) yang akan

dipilih untuk estimasi regresi panel data. Adapun uji Chow adalah sebagai berikut :

Tabel 1: Hasil Uji Chow

Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 3514.665292 (37,148) 0.0000

Cross-section Chi-square 1288.113105 37 0.0000

Sumber: Eviews 7, data diolah (2016)

Uji Chow memperlihatkan bahwa nilai probabilitas Cross-section F = 0.0000 dengan tingkat signifikansi

α = 5%, maka menolak H0 dan menerima Ha (H0 = Common Effect Method (CEM), Ha = Fixed Effect Method

(FEM) ). Sehingga model panel data yang tepat untuk estimasi data panel adalah Fixd Effect Method (FEM)

daripada Common Effect Method (CEM).

2. Uji Hausman

Uji Hausmman digunakan untuk mennentukan metode apa yang paling efisien antara Fixed Effect Method

(FEM) dan Random Effect Method (REM) dalam mengestimasi model persamaan regresi.

Tabel 2: Hasil Uji Hausman

Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 3514.665292 (37,148) 0.0000

Cross-section Chi-square 1288.113105 37 0.0000

Sumber: Eviews 7, data diolah (2016)

Uji Hausman memperlihatkan bahwa nilai probabilitas Cross-sectioon Random sebesar = 0.0000 dengan

tingkat signifikansi α = 5%, maka menolak H0 dan menerima Ha (Ho = Random Effect Method (REM), Ha = Fixed

Effect Method (FEM) ). Sehingga model panel data yang tepat untuk estimasi data panel adalah Fixed Effect

Method (FEM) daripada Random Effect Method (REM).

3. Pengujian Asumsi Klasik

Uji Heterokedastisitas

Model ini menggunakan data panel yang berarti juga menggunakan data kerat-lintang (cross sectional

data) sehingga bisa diasumsikan bahwa model dalam penelitian ini melakukan pelanggaran homoskedastisitas.

Pengujian homoskedastisitas dapat dilihat dari Sum Square Resid (SSR) sesudah diberi perlakuan cross sectional

weights. Apabila nilai Sum Square Resid (SSR) sebelum diberi perlakuan cross sectional weights (Unweighted)

lebih besar dari nilai Sum Square Resid (SSR) sesudah diberi perlakuan cross sectional weights (Weighted) maka model yang digunakan terbebas dari Heterokedastisitas.

Page 10: ANALISIS KETIMPANGAN WILAYAH ANTAR KABUPATEN/KOTA …

9

Tabel 3: Hasil Uji Heterokedastisitas

Weighted Statistics

R-squared 0.999462 Mean dependent var 0.185373

Adjusted R-squared 0.999313 S.D. dependent var 0.139297

S.E. of regression 0.002811 Sum squared resid 0.001170

F-statistic 6707.410 Durbin-Watson stat 0.822329

Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.999032 Mean dependent var 0.095257

Sum squared resid 0.002661 Durbin-Watson stat 0.604096

Sumber: Eviews 7, data diolah (2016)

Berdasarkan hasil estimasi data diperoleh nilai SSR sebelum diberi perlakuan cross sectional weights

(0.002) lebih besar daripada SSE sesudah diberi perlakuan cross sectional weights (0.001), maka model ini dapat

diasumsikan model terbebas dari Heterokedastisitas.

Uji Autokorelasi

Uji yang paling dikenal untuk mendeteksi uji autokolerasi adalah uji Durbin-Watson (Gujarati, 2006).

Adapun untuk melihat ada tidaknya autokolerasi dalam hasil regresi dapat dilihat melalui nilai Durbin-Watson

(DW) statistiknya. Apabila nilai DW lebih kecil dari nilai dL, maka mengindikasikan model mengandung autokorelasi.

Tabel 4: Hasil Uji Autokorelasi

Durbin-Watson stat 2.017625

Sumber: Eviews 7, data diolah (2016)

Sebelum dilakukan perbaikan, model memiliki nilai DW (0,79) lebih kecil dari nilai dL (1,7198) sehingga terdeteksi mengandung autokolerasi. Salah satu cara menyembuhkan autokorelasi adalah dengan

mengestimasi model menggunakan cross-section SUR. Setelah model diestimasi dengan menggunakan cross-

section SUR, diperoleh nilai DW menjadi (2.017625) lebih besar dari nilai dL (1,4083) dan telah terbebas dari

autokolerasi.

4. Analisis Hasil Regresi Data Panel

Berdasarkan dari hasil uji Chow dan Uji Hausman, dapat dilihat bahwa Fixed Effect Method (FEM)

merupakan metode yang paling efisien dalam estimmasi persamaan regresi panel data dalam penelitian ini. Berikut

adalah hasil pengujian kriteria statistik:

Uji Koefisien Determinasi (R2)

Hasil estimasi pada regresi Fixed Effect Method (FEM) diperoleh nilai R2 sebesar 0.999153 atau sebesar

99,9153 %. Nilai tersebut menunjukkan bahwa variabel independen (X) mampu menjelaskan variabel dependen

(Y) sebesar 99% dan sisanya 1% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak termasuk dalam model.

Tabel 5: Pengujian Parsial (Uji t)

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

UMR 0.037488 0.008559 4.379813 0.0000

Angkatan kerja yang bekerja 0.025931 0.008362 3.100868 0.0023

IPM -0.002476 0.001048 -2.362215 0.0195

Pengeluaran Pemerintah -0.012429 0.005592 -2.222543 0.0278

C 0.053137 0.043887 1.210769 0.2279

Sumber: Eviews 7, data diolah (2016)

Berdasarkan tabel 5 menjelaskan bahwa variabel independen (X) yaitu UMR, jumlah tenaga kerja, IPM

dan pengeluaran pemerintah secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen (Y), yaitu

ketimpangan pembangunan antar wilayah di Provinsi Jawa Timur.

Page 11: ANALISIS KETIMPANGAN WILAYAH ANTAR KABUPATEN/KOTA …

10

Uji Signifikansi Simultan (Uji F)

Tabel 6 : Hasil Uji Signifikansi Simultan (Uji F)

F-statistic 4256.937

Prob(F-statistic) 0.000000

Sumber: Eviews 7, data diolah (2016)

Hasil uji signifikansi simultan (Uji F) pada tabel 6 menunjukan bahwa nilai probabilitas F-statistik pada

penelitian ini adalah 0,000000, yang mana 0,000000 < (α = 5% = 0,05). Berdasarkan hasil tersebut maka H0 ditolak

atau variabel independen berpengaruh signifikan secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Sehingga

dapat dinyatakan bahwa UMR, angkatan kerja yang bekerja, IPM dan pengeluaran pemerintah berpengaruh

signifikan secara bersama-sama terhadap ketimpangan wilayah di Provinsi Jawa Timur.

Hasil Pengujian Hipotesis

1. Pengaruh UMR Terhadap Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Jawa Timur

UMR memiliki hubungan positif terhadap ketimpangan pembangunan antar wilayah di Provinsi Jawa

Timur. Nilai koefisien regresi pada variabel UMR adalah 0.037488 yang artinya apabila UMR naik sebesar

1% maka tingkat ketimpangan pembangunan antar wilayah di Provinsi Jawa Timur akan meningkat sebesar

0.037488%, dengan asumsi variebel lain adalah konstan.

Hal ini tidak sesuai dengan tujuan yang ditetapkan oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Tenaga

Kerja Nomor: Per-01/MEN/1999. Tujuan dari penetapan upah minimum adalah untuk mewujudkan

penghasilan yang layak bagi pekerja. Beberapa hal yang menjadi bahan pertimbangan termasuk

meningkatkan kesejahteraan para pekerja tanpa menaikkan produktifitas perusahaan dan kemajuannya

termasuk juga pertimbangan mengenai kondisi ekonomi secara umum. Rata-rata upah minimum di Provinsi

Jawa Timur yang ditetapkan oleh pemerintah pada tiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Hal ini merupakan perlindungan yang dilakukan oleh pemerintah agar pekerja tidak terjerat dalam kemiskinan.

Namun penetapan upah minimum oleh pemerintah beresiko meningkatkan ketimpangan pembangunan

wilayah semakin besar. Hal ini disebabkan oleh peningkatan upah minimum hanya dirasakan oleh sebagian

kelompok buruh yang bekerja di perusaahaan besar.

Diketahui bahwa mayoritas pekerja di Provinsi Jawa Timur adalah pekerja di sektor informal yang

merupakan usaha kecil dan tidak terikat kontrak. Pada 2013 dan 2014 lapangan pekerjaan di sektor Pertanian,

Kehutanan, Perburuan dan Perikanan merupakan jenis pekerjaan yang menyerap tenaga kerja paling banyak.

Hal ini menjelaskan bahwa upah minimum yang ditetapkan pemerintah hanya menyentuh mereka yang berada

disektor formal.

Pekerja dengan keahlian yang tinggi akan mendapatkan upah yang lebih tinggi dibandingkan dengan

pekerja biasa. Upah minimum di Provinsi Jawa Timur semakin tinggi, namun ketimpangan semakin melebar

karena sebagian buruh tidak sejahtera karena hanya sedikit yang menerima manfaat dari penetapan upah minimum tersebut.

2. Pengaruh Angkatan Kerja Yang Bekerja Terhadap Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi

Jawa Timur

Angkatan kerja yang bekerja memiliki hubungan positif terhadap ketimpangan pembangunan antar

wilayah di Provinsi Jawa Timur. Nilai koefisien regresi pada variabel angkatan kerja yang bekerja adalah

0.025931 yang artinya apabila angkatan kerja yang bekerja naik sebesar 1% maka tingkat ketimpangan

pembangunan antar wilayah di Provinsi Jawa Timur akan meningkat sebesar 0.025931%, dengan asumsi

variebel lain adalah konstan. Hal ini sesuai dengan hipotesis penulis Tanda negatif pada koefisien

menunjukkan adanya hubungan berlawanan antara variabel angkatan kerja yang bekerja dengan ketimpangan

pembangunan antar wilayah. Hal tersebut sesuai dengan teori Neoklasik yang menyatakan bahwa, tenaga kerja berpengaruh positif

terhadap pertumbuhan suatu wilayah, dengan adanya peningkatan dalam jumlah tenaga kerja maka akan

berakibat kepada meningkatnya pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut, dan aliran teori ini mempercayai

adanya mobilitas faktor yang sempurna. Tenaga kerja akan berpindah dari daerah yang kurang maju ke daerah

yang maju, dimana daerah maju memiliki upah yang relatif lebih tinggi dan memiliki lapngan pekerjaan yang

lebih banyak dibandingkan dengan daerah yang kurang maju. Kondisi demikian akan mengakibatkan

ketimpangan pembangunan antar wilayah antara daerah yang kurang maju dan daerah maju menjadi

meningkat karena para tenaga kerja yang produktif memilih bekerja di daerah maju daripada bekerja di daerah

kurang maju.

Selain faktor upah yang relatif lebih tinggi, pada wilayah tersebut terdapat jumlah lapangan pekerjaan

yang lebih banyak dibandingkan dengan wilayah lain sehingga ketimpangan antar wilayah semakin melebar.

Page 12: ANALISIS KETIMPANGAN WILAYAH ANTAR KABUPATEN/KOTA …

11

Kota Surabaya memiliki jumlah perusahaan terbanyak yaitu pada 2014 memiliki jumlah perusahaan sebanyak

12534 yang terdiri dari 1793 perusahaan besar, 1528 perusahaan sedang dan 9213 perusahaan kecil.

Kemudian diikuti dengan Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Gresik, Kabupaten

Banyuwangi dan Kota Malang yang memiliki jumlah lapangan pekerjaan yang tinggi. Berbeda dengan

kondisi yang terjadi pada Kabupaten Trenggalek yang memiliki jumlah perusahaan terkecil pada 2014 yaitu

sebanyak 108 perusahaan yang terdiri dari 2 perusahaan besar, 20 perusahaan sedang dan 86 perusahaan kecil. Selain Kabupaten Trenggalek, wilayah seperti Kota Batu, Kota Mojokerto, Kabupaten Probolinggo,

Kabupaten Bangkalan, dan Kabupaten Pacitan juga memiliki jumlah perusahaan yang sedikit sehingga

mempengaruhi lapangan pekerjaan pada wilayah tersebut.

Kondisi inilah yang menimbulkan ketimpangan pembangunan yang terjadi antar wilayah akan semakin

melebar, karena para pekerja akan memilih untuk mencari pekerjaan di wilayah yang memiliki jumlah

lapangan kerja yang banyak dan upah yang tinggi dibandingkan dengan daerah dengan lapangan pekerjaan

dan upah yang sedikit.

3. Pengaruh IPM Terhadap Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Jawa Timur

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) memiliki hubungan negatif terhadap ketimpangan pembangunan

antar wilayah di Provinsi Jawa Timur. Nilai koefisien regresi pada variabel Indeks Pembangunan Manusia

(IPM) adalah -0.002476, yang artinya apabila Indeks Pembangunan Manusia (IPM) naik sebesar 1% maka

ketimpangan pembangunan antar wilayah di Provinsi Jawa Timur akan turun sebesar 0.002476%. Hasil

penelitian ini sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Arzu (2007) yang menyatakan bahwa

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) memiliki hubungan negatif terhadap ketimpangan pembangunan antar

wilayah.

UNDP (2004) berpendapat, pembangunan manusia berpusat pada manusia yang menempatkan manusia

sebagai tujuan akhir dari pembangunan. Hal tersebut berbeda dengan konsep dari pembangunan yang berpusat

pada pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya akan menguntungkan manusia.Tujuan dari pembangunan

manusia adalah guna memperbanyak pilihan-pilihan yang dimiliki oleh manusia yang tidak mungkin tercapai

tanpa adanya kebebasan memilih dan bagaimana cara mereka akan menjalani hidup.

Menurut Arzu (2007) untuk meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) dan pendapatan perkapita,

serta menurunkan tingkat ketimpangan pembangunan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebaiknya

menjadi prioritas dalam program pembangunan suatu negara maupun daerah. Nilai Indeks Pembangunan

Manusia (IPM) yang tinggi akan berdampak positif terhadap distribusi pendapatan, sehingga berdampak

kepada tinggkat ketimpangan pembangunan yang semakin rendah.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terbagi menjadi 3 dimensi yaitu angka harapan hidup, tingkat

pendidikan dan angka melek huruf. Semakin baik nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) maka tingkat

ketimpangan pembangunan akan semakin rendah. Begitu sebaliknya, ketika nilai Indeks Pembangunan

Manusia (IPM) rendah, maka akan dapat mengakibatkan tingkat ketimpangan pembangunan semakin tinggi.

4. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Terhadap Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Jawa

Timur

Pengeluaran pemerintah daerah memiliki hubungan negatif terhadap ketimpangan pembangunan antar wilayah di Provinsi Jawa Timur. Nilai koefisien regresi pada variabel pengeluaran pemerintah adalah -

0.012429 yang artinya apabila pengeluaran pemerintah naik sebesar 1% maka ketimpangan pembangunan

antar wilayah di Provinsi Jawa Timur akan turun sebesar 0.012429%.

Pengeluaran pemerintah digunakan untuk membiayai segala kebutuhan daerah dan sebagai stimulus bagi

pertumbuhan suatu daerah. Teori kebijakan fiskal berpendapat, peningkatan pengeluaran pemerintah atau

penurunan pajak dibuat untuk meningkatkan permintaan agregat dalam perekonomian. Tujuannya adalah

untuk meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan menurunkan angka pengangguran.

Program pengeluaran pemerintah digunakan untuk mengatasi masalah ketimpangan pembangunan antar

wilayah. Menurut Smith dan Todaro, (2011) untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi

ketimpangan pembangunan, pemerintah dapat mengalokasikan dana untuk kepentingan publik. Hasil dari

penelitian menunjukkan bahwa pengeleluaran pemerintah dapat mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hal ini disebabkan sebagian dana belanja daerah dialokasikan untuk pengeluaran belanja modal

yang digunakan untuk pembangunan dan perbaikan infrastruktur khususnya di daerah kurang maju.

Peran pemerintah melalui pengeluaran pemerintah merupakan faktor penting dalam meningkatkan

kesejahteraan masyarakat melalui permintaan agregat. Semakin besar pengeluaran pemerintah akan

berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang baik pada daerah tersebut. Penurunan ketimpangan

pembangunan wilayah di Provinsi Jawa Timur dapat terjadi karena pengalokasian dana pengeluaran

Page 13: ANALISIS KETIMPANGAN WILAYAH ANTAR KABUPATEN/KOTA …

12

pemerintah dilakukan secara tepat. Pengeluaran pemerintah harus dilakukan secara efisien agar dapat

meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Ketika dana pengeluaran pemerintah dialokasikan lebih

banyak untuk belanja modal, maka terjadi percepatan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Namun ketika

pengeluaran pemerintah lebih banyak dialokasikan untuk membiayai belanja pegawai seperti, pembeyaran

gaji dan pembayaran honor kegiatan yang dibayarkan kepada pegawai sipil maka akan memperlambat

pertumbuhan ekonomi pada suatu wilayah tersebut.

E. PENUTUPAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan, terdapat beberapa kesimpulan dalam penelitian ini,

diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Ketimpangan pembangunan di Provinsi Jawa Timur sangat tinggi bahkan ekstrim, walaupun dari tahun

ke tahun mengalami penurunan ketimpangan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan PDRB per kapita yang

tinggi antar wilayah. Wilayah dengan ketimpangan tertinggi di Provinsi Jawa Timur adalah Kota

Maalang, Kota Surabaya, Kota Madiun dan Kota Blitar.

2. Hasil uji F menjelaskan bahwa keempat variabel independen yaitu Upah Minimum Kabupaten/kota

(UMR), angkatan kerja yang bekerja, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan pengeluaran pemerintah

secara bersama-sama (simultan) berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen ketimpangan

pembangunan wilayah di Provinsi Jawa Timur.

3. Hasil uji t menjelaskan bahwa keempat variabel independen yaitu Upah Minimum Kabupaten/kota

(UMR), angkatan kerja yang bekerja, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan pengeluaran pemerintah

secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen ketimpangan pembangunan wilayah di Provinsi Jawa Timur. Dari hasil regresi tersebut diketahui bahwa dua variabel yang berpengaruh

signifikan yaitu Upah Minimum Kabupaten/kota (UMR) dan angkatan kerja yang bekerja memiliki nilai

berslope positif, hal ini mengindikkasikan bahwa selama lima tahun penelitian yaitu pada 2010 sampai

dengan 2014, kedua variabel tersebut telah membuat angka ketimpangan pembangunan antar wilayah di

Provinsi Jawa Timur meningkat. Sedangkan dua variabel lain yang berpengaruh signifikan yaitu Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) dan pengeluaran pemerintah memiliki slope negatif, hal ini

mengindikasikan bahwa selama lima tahun penelitian yaitu pada 2010 sampai dengan 2014, kedua

variabel tersebut telah membuat angka ketimpangan pembangunan antar wilayah di Provinsi Jawa Timur

menurun dan menuju kearah pemerataan.

Saran

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dijelaskan sebelumnya agar menjadi lebih baik penulis merasa

perlu memberikan beberapa saran diantaranya:

1. Dalam melaksanakan pembangunan ekonomi sebaiknya pemerintah Provinsi Jawa Timur tidak hanya

fokus kepada aspek peningkatan nilai saja akan tetapi juga memperhatikan aspek pemerataan

pembangunan wilayah itu sendiri.

2. Bagi pemerintah Provinsi Jawa Timur, sebaiknya program-program pembangunan lebih banyak

diarahkan kepada Kabupaten/kota yang kurang maju atau tertinggal, sehingga diharapkan dapat

memperbesar investasi pada wilayah tersebut. Meningkatnya investasi pada wilayah tersebut akan

merangsang lapangan pekerjaan baru, baik perusahaan atau lapangan pekerjaan lain untuk berkembang,

sehingga diharapkan penyerapan tenaga kerja semakin meningkat. 3. Menciptakan pertumbuhan inklusif untuk mengatasi ketimpangan pembangunan. Penerapan pola

pertumbuhan inklusif akan memaksimalkan potensi ekonomi dan mendorong pertumbuhan di berbagai

sektor pembangunan seperti pertanian, industri dan jasa. Pertumbuhan inklusif harus berfokus kepada

proses dan dampak. Berfokus kepada proses pertumbuhan yang memungkinkan adanya partisipasi dari

masyarakat atau dengan kata lain mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih luas. Sedangkan

berfokus kepada dampak berarti masyarakat luas, baik masyarakat berpendapatan tinggi, menengah, di

atas garis kemiskinan maupun di bawah garis kemiskinan. Penerapan kebijakan inklusif oleh pemerintah

Provinsi Jawa Timur perlu dilakukan agar dapat memberikan peluang ekonomi yang sama bagi setuiap

individu dalam masyarakat.

4. Melakukan pengembangan lokal berkaitan dengan pembangunan yang berkelanjutan dalam jangka

panjang. Peran pemerintah lokal dalam pengembangan ekonomi lokal adalah meningkatkan kualitas pelayanan publik sehingga menciptakan kondisi bisnis yang baik bagi berkembangnya wirausahawan

untuk bertahan dan memperluas aktivitas mereka serta dapat menarik investor dari luar wilayah.

Kebijakan pembangunan tradisional yang selama ini dilakukan harus diperbaharui menjadi kebijakan

Page 14: ANALISIS KETIMPANGAN WILAYAH ANTAR KABUPATEN/KOTA …

13

pengembangan lokal seperti, Pembangunan dengan pendekatan sektoral harus diperbaharui menjadi

pembangunan dengan menggunakan pendekatan wilayah, pembangunan proyek industri besar guna

merangsang aktivitas ekonomi harus diperbaharui menjadi memaksimalkan potensi wilayah untuk

merangsang sistem ekonomi lokal yang progresif untuk memperbaiki lingkungan ekonomi pada wilayah

tersbut.

F. DAFTAR PUSTAKA

Alvan, Arzu. Forging a Link Between Human Development and Income Inequality: Cross-Country Evidence.

Review of Social, Economic and Business Studies, Vol.7/8, 31-43

Arsyad, Lincolin. 2010. Ekonomi Pembangunan edisi 5. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan STIM YKPN

Badan Pusat Statistik (BPS). 2011. Jawa Timur Dalam Angka Tahun 2011. Surabaya: Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik (BPS). 2012. Jawa Timur Dalam Angka Tahun 2012. Surabaya: Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik (BPS). 2013. Jawa Timur Dalam Angka Tahun 2013. Surabaya: Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik (BPS). 2014. Jawa Timur Dalam Angka Tahun 2014. Surabaya: Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik (BPS). 2015. Jawa Timur Dalam Angka Tahun 2015. Surabaya: Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik (BPS). 2015. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota Menurut Lapangan Usaha

Provinsi Jawa Timur. Surabaya: Badan Pusat Statistik

Gujarati, Damodar. 2012. Dasar-Dasar Ekonometrika: Basic Econometrics edisi 5. Jakarta: Salemba Empat

Jhingan. M.L, 2002. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Cetakan kesembilan, Jakarta: PT Raja Garafindo

Persada

Kaufman & Hotchkiss. 1999. The Economics Of Labour Markets, Fifth Edition. The Dryden Press.

Kuncoro, Mudrajad. 2015. Mudah Memahami dan Menganalisis Indikator Ekonomi. Yogyakarta: UPP STIM

YKPN Yogyakarta

Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional : Teori dan Aplikasi. Padang : Baduose Media.

Sukirno, Sadono. 2002. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan. Jakarta: Universitas

Indonesia dengan Bima Grafika.

Tarigan. Robinson. 2014. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara

Todaro, Michael.P. dan Stephen C. Smith. 2011. Pembangunan Ekonomi Edisi Ke Sebelas. Jakarta : Erlangga