analisis kemampuan keuangan daerah kabupaten madiun tahun ...
ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH TERHADAP …
Transcript of ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH TERHADAP …
ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH TERHADAP PEMBANGUNAN DAERAH PADA PEMERINTAHAN
PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Disusun dan diusulkan oleh
KAMARUDDIN ORON TEWA
Nomor Stambuk: 10564 340 08
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2015
HALAMAN PENGAJUAN SKRIPSI
ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH TERHADAP PEMBANGUNAN DAERAH PADA PEMERINTAHAN
PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Ilmu Pemerintahan
Disusun dan diajukan oleh
KAMARUDDIN ORON TEWA
Nomor Stambuk: 10564 340 08
Kepada
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2015
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama Mahasiswa : Kamaruddin Oron Tewa
Nomor Stambuk : 10564 340 08
Program Studi : Ilmu Pemerintahan
Menyatakan bahwa benar karya ilmiah ini adalah penelitian saya sendiri tanpa
bantuan dari pihak lain atau telah ditulis/dipublikasikan orang lain atau melakukan
plagiat. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian
hari pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima saksi akademik
sesuai aturan yang berlaku, sekalipun itu pencabutan gelar akademik.
Makassar, 27 Desember 2015
Yang menyatakan
Kamaruddin Oron Tewa
iv
ABSTRAK
KAMARUDDIN ORON TEWA. Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Terhadap Pembangunan Daerah (Studi Pada Pemerintahan Provinsi Nusa Tenggara Timur). Dibimbing oleh Rosdianti Razak dan Rudi hardi.
Kemampuan keuangan daerah adalah salah satu variabel yang mempengaruhi pelaksanaan otonomi daerah yang baik. Berdasarkan hal tersebut, peneliti terdorong untuk meneliti tentang jumlah transfer pusat (dana perimbangan), jumlah kendaraan roda 2 dan roda 4 dan jumlah investasi sebagai faktor-faktor yang mendukung kemampuan keuangan daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Penelitian ini untuk mengetahui tingkat perkembangan kemampuan keuangan Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan kontribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun Anggaran 2008-2013.
Jenis penelitian adalah kuantitatif-kualitatif (mixed method). Dimana penelitian kuantitatif menggunakan beberapa rasio keuangan, yaitu: rasio kemandirian keuangan daerah, rasio derajat desentralisasi fiscal, rasio indeks kemampuan rutin, rasio keserasian dan rasio pertumbuhan, sedangkan penelitian kualitatif membantu interpretasi hubungan antara variabel yang mengungkapkan alas an bagi hubungan-hubungan itu serta menjelaskan faktor-faktor yang mendasari hubungan yang terbangun.
Tipe penelitian adalah deskriptif komparatif di mana akan diuraikan dan dianalisis permasalahan penelitian. Peneliti berusaha memaparkan peristiwa dan kejadian yang menjadi pusat perhatiannya, kemudian peristiwa tersebut dideskripsikan menggunakan indeks kemampuan keuangan sebagai alat analisis.
Hasil penelitian, rasio kemandirian keuangan daerah yang memperoleh hasil rata-rata sebesar 0,25% atau berada pada skala interval 0,00%-0,25%. Rasio derajat desentralisasi fiscal dan rasio indeks kemampuan rutin yang menunjukan kemampuan keuangan daerah yang masih kurang, yaitu sebesar 21,62% dan 38,52%. Pada rasio keserasian, pengeluaran belanja rutin lebih besar dibandingkan dengan belanja pembangunan dengan gap sebesar 0,68%. Rasio pertumbuhan secara keseluruhan mengalami pertumbuhan yang negatif karena peningkatan Pendapatan Asli daerah dan total pendapatan daerah tidak dikuti oleh pertumbuhan belanja pembangunan, tetapi diikuti oleh belanja rutin. Kontribusi PAD terhadap APBD, masih kurang yaitu sebesar 25,30%. Dengan melihat hasil analisi tersebut, perkembangan kemampuan keuangan daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dianggap masih kurang.
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
Skripsi yang berjudul “Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Terhadap
Pembangunan Daerah Pada Pemerintaahan Provinsi Nusa Tenggara Timur
Skripsi ini merupakan tugas akhir yang diajukan untuk memenuhi syarat
dalam memperoleh gelar sarjana Ilmu Pemerintahan Pada Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar.
Pada kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada semua
pihak yang telah memberikan bantuan, baik dukungan data, pemikiran dan
pemahaman serta bimbingan sehingga tulisan ini dapat tersusun, terutama kepada:
1. Ibu Dr. Andi Rosdianti Razak selaku Pembimbing I dan Bapak Rudi Hardi,
S.Sos, M.Si selaku Pembimbing II yang senantiasa meluangkan waktunya
membimbing dan mengarahkan penulis, sehingga skripsi ini dapat di
selesaikan
2. Bapak Dr. H. Muhlis Madani, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Muhammdiyah Makassar
3. Bapak A. Luhur Prianto, S.IP. M.si selaku Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar
4. Bapak dan Ibu Dosen Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah memberikan
pengetahuan kepada penulis selama menuntut ilmu di Universitas
Muhammadiyah Makassar
vi
5. Bapak Kepala Biro Keuangan Sekretariat Daerah Provinsi Nusa Tenggara
Timur
6. Bapak Kepala Bagian Akuntansi pada Biro Keungan Sekretariat Daerah
Provinsi Nusa Tenggara Timur
7. Bapak Kepada Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur
8. Bapak Kepala Bidang Pajak dan Retribusi pada Dinas Pendapatan Daerah
Provinsi Nusa Tenggara Timur
9. Bapak Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur
10. Ayahanda Mahmud Laga Oron dan Ibunda Kamria Borot Hali yang telah
memberikan doa dan Restu sehingga Skripsi ini dapat diselesaikan
11. Yang istimewah Yoanista Trifonia Tokan, buah diranting nan permai dapat
kutuai karena engkau telah melerai gulma dan menyirami pestisida beraroma
sugesti
12. Rekan-rekan FKPPM-BTT Flotim Makassar, Bedake, Om Bob, Boy Ama,
Juan Muda, Dhan, Ambeda, Indar, Israel, Arab,Cimeng, Ovan, Pipit, Ama
Ade, Ama Meang, Rolin Muda, , Ola, Lolon Pehan,Ama Lado, Jawa Rebon,
Putra, Yam Manuk, Hafiat Anu, Ida Laila,Fendi dan Spesial buat Idiotku serta
semua teman-teman yang tidak bias disebutkan satu persatu, ungkapan moral
kalian adalah semangat ekstra untuk menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat
kekurangan-kekurangan, meskipun sudah diupayakan semaksimal mungkin
mengingat keterbatasan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Sehubungan
vii
dengan hal tersebut, segala kritik dan saran terhadap tulisan ini dengan senang hati
diterima demi penyempurnaan penulisan dikemudian hari.
Makassar, 29 Desember 2015
Kamaruddin Oron Tewa
viii
DAFTAR ISI
Halaman Pengajuan Skripsi ......................................................................... i
Halaman Persetujuan .................................................................................... ii
Halaman Pernyataan Keaslian Karya Ilmiah ............................................. iii
Abstrak ........................................................................................................... iv
Kata Pengantar .............................................................................................. v
Daftar Isi ......................................................................................................... viii
Daftar Tabel ................................................................................................... x
Daftar Lampiran ............................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................... 1B. Rumusan Masalah .................................................................... 6C. Tujuan Penelitian...................................................................... 7 D. Manfaat Penelitian.................................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Otonomi Daerah ........................................................................ 8B. Pengelolaan Keuangan Daerah yang Berorientasi Pada
Kepentingan Publik ................................................................... 12 C. Otonomi Daerah dan Sistem Desentralisasi .............................. 22D. Desentralisasi Fiskal Daerah ..................................................... 25E. Sumber Penerimaan Daerah ...................................................... 29F. Pajak .......................................................................................... 30G. Retribusi .................................................................................... 36H. Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah ................................................................... 37I. Kerangka Pikir........................................................................... 39J. Defenisi Operasional ................................................................. 41
BAB III METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian ................................................... 45a. Waktu penelitian................................................................. 45b. Lokasi penelitian ................................................................ 45
B. Jenis dan Tipe Penelitian .......................................................... 45a. Jenis penelitian ................................................................... 45b. Tipe penelitian .................................................................... 45
C. Informan Penelitian .................................................................. 46D. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 47
ix
E. Teknik Analisis Data ................................................................ 47
BAB IV PEMBAHASAN
A. Deskripsi APBD Provinsi Nusa Tenggara Timur....................... 55a. Perkembangan APBD Nusa Tenggara Timur....................... 56b. Kontribusi PAD Terhadap APBD Nusa Tenggara Timur .... 57c. Kontribusi Transfer Terhadap APBD Provinsi Nusa
Tenggara Timur .................................................................... 58B. Kemampuan Keuangan Daerah Dalam Mendukung Pembangunan
Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur ...................................... 60a. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah.................................. 62b. Analisis Derajat Desentralisasi Fiskal Provinsi Nusa
Tenggara Timur .................................................................... 67c. Analisis Indeks Kemampuan Rutin Provinsi Nusa
Tenggara Timur .................................................................... 73d. Analisis Rasio Keserasian Provinsi Nusa Tenggara Timur .. 77e. Analisis Rasio Pertumbuhan Provinsi
Nusa Tenggara Timur ........................................................... 82C. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Dalam Penerimaan PAD Provinsi
Nusa Tenggara Timur ................................................................. 79a. Jumlah Transfer Pemerintah Pusat (Dana Perimbangan) ..... 79b. Jumlah Kendaraan Roda 2 dan Roda 4 atau Lebih............... 81c. Pengaruh Variabel Investasi Daerah..................................... 84
BAB V PENUTUPA. Kesimpulan .......................................................................................... 86B. Saran .................................................................................................... 88
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 91
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal .................................... 51
Tabel 1.2 Skala Interval Indeks Kemampuan Rutin ........................................ 52
Tabel 1.3 Pertumbuhan APBD Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun Anggaran
2008-2013........................................................................................ 57
Tabel 1.4 Kontribusi PAD Terhadap APBD Provinsi Nusa Tenggara Timur
Tahun Anggaran 2008-2013............................................................ 58
Tabel 1.5 Kontribusi Transfer Pusat Terhadap APBD Provinsi Nusa Tenggara
Timur Tahun Anggaran 2008-2013................................................. 59
Tabel 1.6 Data Pendapatan dan Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Provinsi
Nusa Tenggara Timur Tahun Anggaran 2008-2013 ....................... 65
Tabel 1.7 Derajat Desentralisasi Fiskal Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun
Anggaran 2008-2013 ....................................................................... 68
Tabel 1.8 Perhitungan Rasio Indeks Kemampuan Rutin ................................. 72
Tabel 1.9 Rasio Keserasian Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun Anggaran
2008-2013........................................................................................ 75
Tabel 1.10 Perhitungan Rasio Pertumbuhan Provinsi Nusa Tenggara Timur
Tahun Anggaran 2008-2013............................................................ 78
Tabel 1.11 Kontribusi Transfer Pusat Terhadap APBD Provinsi Nusa
Tenggara Timur Tahun Anggaran 2008-2013................................ 79
Tabel 1.12 Daftar Jumlah Kendaraan Bermotor di Nusa Tenggara Timur
Tahun 2008-2013 ......................................................................... 81
xi
Tabel 1.13 Daftar Pertumbuhan Kendaraan Bermotor di Nusa Tenggara Timur
Tahun 2008-2013............................................................................. 82
Tabel 1.14 Kontrubis PKB Terhadap PAD Provinsi Nusa Tenggara Timur
Tahun 2008-2013 .......................................................................... 83
Tabel 1.15 Kontribusi Penyertaan Modal (Deviden) Terhadap PAD Provinsi Nusa
Tenggara Timur Tahun 2008-2013................................................ 84
1
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hakekat pembangunan nasional menurut Propenas adalah rencana
pembangunan yang berskala nasional serta merupakan konsekuensi dan
kornitmen bersama masyarakat Indonesia mengenai pencapaian visi dan misi
bangsa. Dengan demikian, fungsi Propenas adalah untuk menyatukan pandangan
dan derap langkah seluruh lapisan masyarakat dalam melaksanakan prioritas
pembangunan selarna lima tahun ke depan. (Propenas 2000-2004)
Pembangunan Ekonomi adalah merupakan salah satu upaya dalam rangka
mendukung pelaksanaan salah satu prioritas yang tercantum dalam Prioritas
Pembangunan Nasional, yaitu mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat
landasan pembangunan ekonomi berkelanjutan dan berkeadilan berdasarkan
sistem kerakyatan. Penetapan prioritas tersebut mendasarkan pada masalah dan
tantangan yang dihadapi serta arah kebijakan dalam pembangunan ekonomi, baik
pembangunan jangka pendek maupun jangka menengah (Propenas 2002-2004).
Sejak timbulnya krisis ekonomi yang dipicu oleh krisis moneter
pertengahan 1997, pembangunan di Indonesia terhenti karena ketidakmampuan
pemerintah dalam membiayai proyek-proyek pembangunan yang disebabkan
pendapatan pernerintah berkurang, khususnya dari sektor pajak dan retribusi.
Krisis ekonomi telah berhasil memunculkan kepermukaan beberapa kelemahan
perekonomian nasional. Berbagai distorsi yang terjadi pada masa lalu telah
2
melemahkan ketahanan ekonomi nasional dalam menghadapi krisis,
menimbulkan berbagai bentuk kesenjangan sosial dan menghambat kemampuan
untuk mengatasi krisis dengan cepat. Kurang meratanya penyebaran pelaksanaan
pembangunan membuat kesenjangan pertumbuhan antar daerah, antara perkotaan
dan pedesaan, antar kawasan seperti kawasan barat dan kawasan timur Indonesia,
maupun antar golongan masyarakat sehingga gejolak sosial menjadi sangat
mudah terjadi.
Salah satu alasan penyelenggaraan otonomi daerah adalah agar
pembangunan di daerah berjalan seiring dengan pembangunan pusat. Ini
merupakan bentuk koreksi atas pelaksanaan pembangunan ekonomi yang selama
ini menitik beratkan pembangunan di pusat dan kurang memperhatikan
perkembangan pembangunan daerah. Dengan kebijakan yang sentralistik ini
menyebabkan terjadinya disparitas dan ketidakseimbangan pelaksanaan
pembangunan di pusat dan daerah. Akibatnya hampir seluruh potensi ekonomi di
daerah tersedot ke pusat sehingga daerah tidak mampu berkembang secara
memadai. Jadi dengan otonomi daerah terkandung maksud untuk memeperbaiki
kekeliruan selama ini dengan cara memberikan peluang kepada daerah untuk
mendapatkan dana lebih besar dan kebebasan untuk mengelolanya sendiri.
Dalam sistem otonomi bertingkat berdasarkan UU No. 5 tahun 1974,
rendahnya pendapatan asli daerah (PAD) sebagai sumber pembiayaan
pembangunan atau realisasi APBD bukan merupakan masalah besar, karena
pemerintah pusat mengalokasikan dana untuk belanja pegawai, pengeluaran rutin
3
dan pembangunan daerah. Istilah "bukan masalah besar" tersebut merujuk pada
kenyataan bahwa otonomi yang dikembangkan, diimplementasikan dengan
penyerahan urusan pusat pada daerah
Munculnya Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan.
Daerah dan Undang-undang nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangann
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, adalah jawaban atas
permasalahan tersebut, Dengan demikian ideologi politik dan struktur
pemerintahan negara akan lebih bersifat desentralisasi dibanding dengan struktur
pemerintahan sebelumnya yang bersifat sentralisasi. Maka sudah saatnya bagi
pemerintah Indonesia untuk melaksanakan sistem pemerintahan yang meletakkan
peranan pemerintah daerah pada posisi yang sangat krusial dalam meningkatkan
kesejahteraan warganya. Pemberian kewenangan yang luas, nyata dan
bertanggungjawab yang tersirat dalam perundangan tersebut, adalah pencerminan
proses demokratisasi dalam pelaksanaan otonomi daerah untuk membantu
pernerintah pusat dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah dengan titik
berat kepada pemerintah kabupaten/kota. Secara yuridis, pelaksanaan otonomi
yang luas dan nyata tersebut bukan merupakan kelanjutan. Tetapi secara faktual
empiris, merupakan kesinambungan dari pelaksanaan otonomi daerah
berdasarkan UU nomor 5 tahun 1974 dan bahkan peraturan sebelumnya. Jadi
tujuan kebijakan desentralisasi adalah mewujudkan keadilan antara kemampuan
dan hak daerah; peningkatan pendapatan asli daerah dan pengurangan subsidi dari
4
pusat; mendorong pembangunan daerah sesuai dengan aspirasi masing-masing
daerah.
Menghadapi implementasi undang-undang tersebut, salah satu hal yang
perlu dipersiapkan adalah penentuan kekhasan daerah yang merupakan unggulan
dengan potensi sumber daya manusia, kelembagaan dan sumber daya fisik lokal
sebagai modal untuk peningkatan kegiatan ekonomi. Pemerintah daerah dituntut
untuk siap menerima beban dan tangungjawab yang berkaitan dengan potensi
yang dimilikinya dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Artinya bahwa daerah provinsi perlu didorong dan harus mampu meningkatkan
kemampuan dalam memanfaatkan peluang yang ada, serta menggali sumber-
sumber baru yang potensial untuk meningkatkan penerimaan daerah.
Sebaliknya dengan sistem otonomi baru yang nyata dan luas (UU Nomor
22 tahun 1999), dengan rendahnya PAD maka daerah dihadapkan pada
permasalahan yang rumit. Di samping harus meningkatkan penerimaan, daerah
juga harus memacu produktivitas pemerintah daerah dengan membangun sarana
dan prasarana penunjang bagi tumbuh dan berkembangnya investasi yang
merupakan penggerak dalam proses pembangunan ekonomi di suatu daerah.
Otonomi fiskal daerah merupakan salah satu aspek penting dari otonomi
daerah secara keseluruhan, karena pengertian otonomi fiskal daerah
menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan PAD
seperti pajak, retribusi dan lain-lain. Namun harus diakui bahwa derajat otonomi
fiskal daerah di Indonesia masih rendah, artinya daerah belum mampu membiayai
5
pengeluaran rutinnya. Karena itu otonomi daerah bisa diwujudkan hanya apabila
disertai keuangan yang efektif. Pemerintah daerah secara finansial harus bersifat
independen terhadap pemerintah pusat dengan jalan sebanyak mungkin menggali
sumber-sumber PAD (Radianto, 1997,42 ; A Halim , 2001,348).
Realitas hubungan fiskal antara daerah dan pusat, ditandai dengan
tingginya kontrol pusat terhadap proses pembangunan daerah. Ini terlihat jelas
dari rendahnya PAD terhadap total pendapatan dibandingkan dengan total subsidi
yang didrop dari pusat. Selama ini sumber dana PAD di Provinsi Nusa Tenggara
Timur mencerminkan ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat masih
sangat dominan.
Keleluasaan dalam usaha menggali sumber-sumber penerimaan tersebut,
banyak daerah yang memikirkan bagaimana meningkatkan tarif pajak dan
retribusi daerah serta obyek-obyek pajak dan retribusi yang baru. Hal ini
menimbulkan keresahan di daerah, karena rakyat khawatir akan membayar pajak
lebih banyak dibanding sebelum adanya otonomi daerah.
Dalam UU No. 34 tahun 2000 pasal 2 ayat (4) disebutkan bahwa dengan
Peraturan daerah dapat ditetapkan jenis pajak kabupaten/kota selain yang
ditetapkan dalam ayat (2). Sedangkan dalam ayat (2) dinyatakan jenis-jenis pajak
yaitu pajak hotel, restoran, hiburan, reklame, penerangan jalan, pengambilan
bahan galian golongan C, dan pajak parkir. Kenyataan ini berpotensi untuk
mendorong pemerintah daerah saling berlomba dalam menerbitkan Peraturan
Daerah (Perda) dengan mengesampingkan kriteria maupun prinsip perpajakan.
6
Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang nomor 25
tahun 1999 yang sebenarnya dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan
daerah terhadap pemerintah pusat, justru berimplikasi menciptakan horizontal
imbalance, disamping mengurangi vertical imbalance (FX. Sugiyanto, 2000: 4).
B. Rumusan Masalah
Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi terletak pada kesiapan dan
kemampuan daerah untuk menerima beban dan tanggungjawab yang dimilikinya
dalam mengatur serta mengurus rumah tangganya sendiri. Artinya, pemerintah
daerah provinsi Nusa tenggara Timur harus mampu meningkatkan PADnya
melalui berbagai potensi yang dimiliki. Penerimaan yang berasal dari PAD
Provinsi Nusa Tenggara Timur jumlahnya masih lebih rendah dibandingkan
dengan provinsi lain di Indonesia, sehingga untuk membiayai kebutuhan
daerahnya ,Provinsi Nusa Tenggara Timur masih sangat tergantung pada
penerimaan dari pernerintah pusat. Dengan kata lain, PAD Provinsi Nusa
Tenggara Timur masih rendah dan selama daerah masih memiliki ketergantungan
yang tinggi terhadap pusat, maka selain akan meningkatkan beban anggaran
pemerintah pusat, otonomi yang diharapkan dapat menciptakan kemandirian
tersebut akan sulit untuk dilaksanakan.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pertanyaan penelitian yang
diajukan adalah sebagai berikut :
a. Sejauh mana kemampuan fiskal daerah dalam mendukung pembangunan
daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur?
7
b. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh dalam penerimaan PAD Provinsi
Nusa Tenggara Timur?
C. Tujuan Penelitian
1. Menganalisis kemampuan keuangan daerah dalam mendukung Pembangunan
daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah
(PAD) Provinsi Nusa Tenggara Timur
D. Kegunaan Penelitian
Sedangkan manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :
a. Sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang memerlukan, terutama
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur terkait dengan pemanfaatan dan
peningkatan potensi peneriman PAD.
b. Sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan guna peningkatan
PAD.
c. Sebagai bahan masukan bagi penelitian lebih lanjut.
8
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
A. Otonomi Daerah
Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan
efisiensi,efektivitas, dan akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Dengan
otonomi, Daerah dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan
pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dan bagian
(sharing) dari Pemerintah Pusat dan menggunakan dana publik sesuai dengan
prioritas dan aspirasi masyarakat (Mardiasmo, 1999).
Dengan kondisi seperti ini, peranan investasi swasta dan perusahaan milik
daerah sangat diharapkan sebagai pemacu utama pertumbuhan dan pembangunan
ekonomi daerah (enginee of growth). Daerah juga diharapkan mampu menarik
investor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah serta menimbulkan efek
multiplier yang besar (Bastin dan Smoke, 1992 dalam Shah, et.al., 1994).
Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan
kepada daerah dalam pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh
mungkin mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, karena pada
dasarnya terkandung tiga misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi
daerah tersebut, yaitu (Shah, 1997) adalah (1)Menciptakan efisiensi dan
efektivitas pengelolaan sumber daya daerah (2) Meningkatkan kualitas pelayanan
umum dan kesejahteraan masyarakat (4) Memberdayakan dan menciptakan ruang
bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam proses pembangunan.
9
Untuk mencapai tujuan agar dapat mewujudkan masyarakat yang sejahtera
baik secara regional maupun nasional, sebagai langkah awal perlu meningkatkan
efisiensi dan produktivitas, dan melakukan perubahan yang struktural untuk
memperkuat kedudukan dan peran ekonomi rakyat dalam perekonomian nasional
(Shah, 1997).
Perubahan struktural adalah perubahan dari ekonomi tradisional yang
subsistem menuju ekonomi modern yang berorientasi pada pasar. Untuk
mendukung perubahan struktural dari ekonomi tradisional yang subsistem menuju
ekonomi modern diperlukan pengalokasian sumberdaya, penguatan
kelembagaan, penguatan teknologi dan pembangunan sumber daya manusia.
Langkah-langkah yang perlu diambil dalam mewujudkan kebijakan tersebut
adalah sebagai berikut (Sumodiningrat, 1999) :
1. Pemberian peluang atau akses yang lebih besar kepada aset produksi, yang
paling mendasar adalah akses pada dana.
2. Memperkuat posisi transaksi dan kemitraan usaha ekonomi rakyat.
3. Meningkatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan dalam rangka kualitas
sumber daya manusia, disertai dengan upaya peningkatan gizi.
4. Kebijakan pengembangan industri harus mengarah pada penguatan industri
rakyat yang terkait dengan industri besar. Industri rakyat yang berkembang
menjadi industri-industri kecil dan menengah yang kuat harus menjadi tulang
punggung industri nasional.
5. Kebijakan ketenagakerjaan yang mendorong tumbuhnya tenaga kerja mandiri
10
sebagai cikal bakal wirausaha baru yang nantinya berkembang menjadi
wirausaha kecil dan menengah yang kuat dan saling menunjang.
6. Pemerataan pembangunan antar daerah. Ekonomi rakyat tersebut tersebar di
seluruh penjuru tanah air, oleh karena itu pemerataan pembangunan daerah
diharapkan mempengaruhi peningkatan pembangunan ekonomi rakyat.
Sejalan dengan upaya untuk memantapkan kemandirian Pemerintah
Daerah yang dinamis dan bertanggung jawab, serta mewujudkan pemberdayaan
dan otonomi daerah dalam lingkup yang lebih nyata, maka diperlukan upaya-
upaya untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan profesionalisme sumber
daya manusia dan lembaga-lembaga publik di daerah dalam mengelola sumber
daya daerah. Upaya-upaya untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya daerah
harus dilaksanakan secara komprehensif dan terintegrasi mulai dari aspek
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi sehingga otonomi yang diberikan kepada
daerah akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Anggito dan
Kuncoro, 1995).
Dari aspek perencanaan, Daerah sangat membutuhkan aparat daerah (baik
eksekutif maupun legislatif) yang berkualitas tinggi, bervisi strategik dan mampu
berpikir strategik, serta memiliki moral yang baik sehingga dapat mengelola
pembangunan daerah dengan baik. Partisipasi aktif dari semua elemen yang ada
di daerah sangat dibutuhkan agar perencanaan pembangunan daerah benar-benar
mencerminkan kebutuhan daerah dan berkaitan langsung dengan permasalahan
yang dihadapi daerah (Prasetyantono, 1996).
11
Dari aspek pelaksanaan, Pemerintah Daerah dituntut mampu menciptakan
sistem manajemen yang mampu mendukung operasionalisasi pembangunan
daerah. Salah satu aspek dari pemerintahan daerah yang harus diatur secara hati-
hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah.
Anggaran Daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
merupakan instrument kebijakan yang utama bagi Pemerintah Daerah. Sebagai
instrumen kebijakan, APBD menduduki posisi sentral dalam upaya
pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah. APBD digunakan
sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran, membantu
pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di
masa-masa yang akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar
untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi para pegawai dan alat koordinasi
bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja (Sudarsono, 1990 dalam Mardiasmo,
2002).
Dalam kaitan dengan ini proses penyusunan dan pelaksanaan APBD
hendaknya difokuskan pada upaya pelaksanaan program dan aktivitas yang
menjadi preferensi daerah yang bersangkutan. Untuk memperlancar pelaksanaan
program dan aktivitas yang telah direncanakan dan mempermudah pengendalian,
pemerintah daerah dapat membentuk pusat-pusat pertanggungjawaban
(responsibility center) sebagai unit pelaksana (Abimanyu dan Koncoro, 1990).
Untuk memastikan bahwa pengelolaan dana publik (public money) telah
dilakukan sebagaimana mestinya (sesuai konsep value for money), perlu
12
dilakukan evaluasi terhadap hasil kerja pemerintah daerah. Evaluasidapat
dilakukan oleh pihak internal yang dapat dilakukan oleh internal auditor maupun
oleh eksternal auditor, misalnya auditor independen. Untuk menciptakan
transparansi dan akuntabilitas publik, pemerintah daerah perlu membuat Laporan
Keuangan yang disampaikan kepada publik. Pengawasan dari semua lapisan
masyarakat dan khususnya dari DPRD mutlak diperlukan agar otonomi yang
diberikan kepada daerah tidak “kebablasan” dan dapat mencapai tujuannya
(Juoro, 1990 dalam Mardiasmo, 2002).
B. Pengelolaan Keuangan Daerah yang Berorientasi Pada Kepentingan Publik
Secara garis besar, pengelolaan (manajemen) keuangan daerah dapat
dibagi menjadi dua bagian yaitu manajemen penerimaan daerah dan manajemen
pengeluaran daerah. Kedua komponen tersebut akan sangat menentukan
kedudukan suatu pemerintah daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah.
Konsekuensi logis pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun
1999 dan UU No. 25 tahun 1999 menyebabkan perubahan dalam manajemen
keuangan daerah. Perubahan tersebut antara lain adalah perlunya dilakukan
budgeting reform atau reformasi anggaran.
Aspek utama budgeting reform adalah perubahan dari traditional budget
ke performance budget. Secara garis besar terdapat dua pendekatan utama yang
memiliki perbedaan mendasar. Kedua pendekatan tersebut adalah: (a) Anggaran
tradisional atau anggaran konvensional; dan (b) Pendekatan baru yang
13
seringdikenal dengan pendekatan New Public Management (Osborne dan
Gaebler, 1992 dalam Mardiasmo, 2002).
1. Anggaran Tradisional
Anggaran tradisional merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan di
negara berkembang dewasa ini. Terdapat dua ciri utama dalam pendekatan ini,
yaitu: (a) cara penyusunan anggaran yang didasarkan atas pendekatan
incrementalism dan (b) struktur dan susunan anggaran yang bersifat line-item.
Ciri lain yang melekat pada pendekatan anggaran tradisional tersebut adalah:
(c) cenderung sentralistis; (d) bersifat spesifikasi; (e) tahunan; dan (f)
menggunakan prinsip anggaran bruto. Struktur anggaran tradisional dengan
ciri-ciri tersebut tidak mampu mengungkapkan besarnya dana yang
dikeluarkan untuk setiap kegiatan, dan bahkan anggaran tradisional tersebut
gagal dalam memberikan informasi tentang besarnya rencana kegiatan. Oleh
karena tidak tersedianya berbagai informasi tersebut, maka satu-satunya tolok
ukur yang dapat digunakan untuk tujuan pengawasan hanyalah tingkat
kepatuhan penggunaan anggaran.
Masalah utama anggaran tradisional adalah terkait dengan tidak adanya
perhatian terhadap konsep value for money. Konsep ekonomi, efisiensi dan
efektivitas seringkali tidak dijadikan pertimbangan dalam penyusunan
anggaran tradisional. Dengan tidak adanya perhatian terhadap konsep value
for money ini, seringkali pada akhir tahun anggaran terjadi kelebihan anggaran
14
yang pengalokasiannya kemudian dipaksakan pada aktivitas-aktivitas yang
sebenarnya kurang penting untuk dilaksanakan.
Dilihat dari berbagai sudut pandang, metode penganggaran tradisional
memiliki beberapa kelemahan, antara lain (Mardiasmo, 2002):
a. Hubungan yang tidak memadai (terputus) antara anggaran tahunan dengan
rencana pembangunan jangka panjang.
b. Pendekatan incremental menyebabkan sejumlah besar pengeluaran tidak
pernah diteliti secara menyeluruh efektivitasnya.
c. Lebih berorientasi pada input daripada output. Hal tersebut menyebabkan
anggaran tradisional tidak dapat dijadikan sebagai alat untuk membuat
kebijakan dan pilihan sumber daya, atau memonitor kinerja. Kinerja
dievaluasi dalam bentuk apakah dana telah habis dibelanjakan, bukan
apakah tujuan tercapai.
d. Sekat-sekat antar departemen yang kaku membuat tujuan nasional secara
keseluruhan sulit dicapai. Keadaan tersebut berpeluang menimbulkan
konflik, overlapping, kesenjangan, dan persaingan antar departemen.
e. Proses anggaran terpisah untuk pengeluaran rutin dan pengeluaran
modal/investasi.
f. Anggaran tradisional bersifat tahunan. Anggaran tahunan tersebut
sebenarnya terlalu pendek, terutama untuk proyek modal dan hal tersebut
dapat mendorong praktik-praktik yang tidak diinginkan (korupsi dan
kolusi).
15
g. Sentralisasi penyiapan anggaran, ditambah dengan informasi yang tidak
memadai menyebabkan lemahnya perencanaan anggaran. Sebagai
akibatnya adalah munculnya budget padding atau budgetary slack.
h. Persetujuan anggaran yang terlambat, sehingga gagal memberikan
mekanisme pengendalian untuk pengeluaran yang sesuai, seperti
seringnya dilakukan revisi anggaran dan ’manipulasi anggaran.’
i. Aliran informasi (sistem informasi finansial) yang tidak memadai yang
menjadi dasar mekanisme pengendalian rutin, mengidentifikasi masalah
dan tindakan.
Beberapa kelemahan anggaran tradisional di atas sebenarnya lebih banyak
merupakan kelemahan pelaksanaan anggaran, bukan bentuk anggaran
tradisional.
2. Era New Publik Manajemen (NPM)
Reformasi sektor publik yang salah satunya ditandai dengan munculnya era
New Public Management telah mendorong usaha untuk mengembangkan
pendekatan yang lebih sistematis dalam perencanaan anggaran sektor publik.
Seiring dengan perkembangan tersebut, muncul beberapa teknik
penganggaran sektor publik, misalnya adalah teknik anggaran kinerja
(performance budgeting), Zero Based Budgeting (ZBB), dan Planning,
Programming, and Budgeting System (PPBS). Pendekatan baru dalam sistem
anggaran publik tersebut cenderung memiliki karakteristik umum antara lain
komprehensif/komparatif, terintegrasi dan lintas departemen, proses
16
pengambilan keputusan yang rasional, berjangka panjang, spesifikasi tujuan
dan perangkingan prioritas, analisis total cost dan benefit (termasuk
opportunity cost), berorientasi input, output, dan outcome (value for money),
bukan sekedar input, adanya pengawasan kinerja.
Traditional budget didominasi oleh penyusunan anggaran yang bersifat line-
item dan incrementalism, yaitu proses penyusunan anggaran yang hanya
mendasarkan pada besarnya realisasi anggaran tahun sebelumnya,
konsekuensinya tidak ada perubahan mendasar atas anggaran baru. Hal ini
seringkali bertentangan dengan kebutuhan riil dan kepentingan masyarakat.
Dengan basis seperti ini, APBD masih terlalu berat menahan arahan, batasan,
serta orientasi subordinasi kepentingan pemerintah atasan. Hal tersebut terlalu
dominannya peranan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Besarnya
dominasi ini sering kali mematikan inisiatif prakarsa pemerintah daerah
sehingga memunculkan fenomena pemenuhan petunjuk pelaksanaan dan
petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dari pemerintah pusat.
Performance budget pada dasarnya adalah sistem penyusunan dan
pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau
kinerja. Kinerja tersebut harus mencerminkan efisiensi dan efektivitas
pelayanan publik, yang berarti harus berorientsi pada kepentingan publik.
Merupakan kebutuhan masyarakat daerah untuk menyelenggarakan otonomi
secara luas, nyata dan bertanggung jawab dan otonomi daerah harus dipahami
sebagai hak atau kewenangan masyarakat daerah untuk mengelola dan
17
mengatur urusannya sendiri. Aspek atau peran pemerintah daerah tidak lagi
merupakan alat kepentinganpemerintah pusat belaka melainkan alat untuk
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah.
Perubahan dalam pengelolaan keuangan daerah harus tetap berpegang pada
prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah (anggaran) yang baik. Prinsip
manajemen keuangan daerah yang diperlukan untuk mengontrol kebijakan
keuangan daerah tersebut meliputi:
a. Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah prinsip pertanggungjawaban publik yang berarti
bahwa proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan dan
pelaksanaan harus benar-benar dapat dilaporkan dan
dipertanggungjawabkan kepada DPRD dan masyarakat. Akuntabilitas
mensyaratkan bahwa pengambil keputusan berperilaku sesuai dengan
mandat yang diterimanya. Untuk ini, perumusan kebijakan, bersama-sama
dengan cara dan hasil kebijakan tersebutharus dapat diakses dan
dikomunikasikan secara vertikal maupun horizontaldengan baik.
b. Value for money
Value for money berarti diterapkannya tiga prinsip dalam proses
penganggaran yaitu ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Ekonomi berkaitan
dengan pemilihan dan penggunaan sumber daya dalam jumlah dan
kualitas tertentu pada harga yang paling murah. Efisiensi berarti bahwa
penggunaan dana masyarakat (public money) tersebut dapat menghasilkan
18
output yang maksimal (berdaya guna). Efektivitas berarti bahwa
penggunaan anggaran tersebut harus mencapai target-target atau tujuan
kepentingan publik. Dalam konteks otonomi daerah, value for money
merupakan jembatan untuk menghantarkan pemerintah daerah mencapai
good governance. Value for money tersebut harus dioperasionalkan dalam
pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Untuk mendukung
dilakukannya pengelolaan dana publik (public money) yang mendasarkan
konsep value for money, maka diperlukan pengelolaan keuangan dan
anggaran yang baik. Hal tersebut dapat tercapai apabila pemerintah daerah
memiliki sitstem akutansi yang baik
c. Kejujuran dalam pengelolaan keuangan publik (Probity)
Pengelolaan keuangan daerah harus dipercayaakan kepada staf yang
memiliki integritas dan kejujuran yang tinggi, sehingga kesempatan untuk
korupsi dapat diminimalkan.
d. Transparansi
Transparansi adalah keterbukan pemerintah dalam membuat kebijakan-
kebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh
DPRD dan masyarakat. Transparansi pengelolaan keuangan daerah pada
akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara pemrintah
daerah dengan masyarakatnya sehingga tercipta pemerintahan daerah yang
bersih, efektif dan efisien, akuntabel dan responsif terhadap aspirasi dan
kepentingan masyarakat.
19
e. Pengendalian
Penerimaan dan pengeluaran daerah (APBD) harus selalu dimonitor, yaitu
dibanding antara yang dianggarkan dengan yang dicapai. Untuk itu perlu
dilakukan analisis varians (selisih) terhadap penerimaan dan pengeluaran
daerah agar dapat sesegera mungkin dicari penyebab timbulnya varians
dan tindakan antisipasi ke depan.
Prinsip-prinsip yang mendasari pengelolaan keuangan daerah tersebut harus
senantiasa dipegang teguh dan dilaksanakan oleh penyelenggara
pemerintahan, karena pada dasarnya masyarakat (publik) memiliki hak dasar
terhadap pemerintah yaitu:
1. Hak untuk mengetahui (right to know) yaitu mengetahui kebijakan
pemerintah, mengetahui keputusan yang diambil pemerintah, mengetahui
alas an dilakukan suatu kebijakan dan keputusan tertentu
2. Hak untuk diberi informasi (right to be informated) yaitu meliputi hak
untuk diberi penjelasan secara terbuka atas permasalahan-permasalahan
tertentu yang menjadi perdebatan publik.
3. Hak untuk didengar aspirasinya (right to br heard and listened to).
Dalam upaya pemberdayaan pemerintah daerah, maka perspektif
perubahan yang di inginkan dalam pengelolaan keuangan dan anggaran
daerah adalah sebagai berikut:
1) Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik
(publik orinted). Hal ini tidak saja terlihat pada besarnya porsi
20
pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik, tetapi terlihat pada
besarnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan
pengawasan/ pengendalian keuangan daerah.
2) Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya
dan anggaran daerah pada khususnya.
3) Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran para
partisipan yang terkait pada pengelolaan anggaran, seperti DPRD,
KDH, Sekda dan perangkat daerah lainnnya.
4) Kerangka hokum bagi administrasi bagi pembiayaan, investasi dan
pengelolaan keuangan daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar
(value for money).
5) Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, KDH dan PNS-
Daerah, baik ratio maupun dasar pertimbangan.
6) Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja, dan
anggaran multi-tahunan.
7) Prinsip pengelolaan barang daerah yang lebih professional
8) Standar dan sistem akuntansi keuangan daerah, laporan keuangan,
peran akuntan independen dalam pemeriksaan, pemberian opini dan
rating kinerja anggaran, dan transparansi informasi anggaran kepada
publik.
21
9) Aspek pembinaan dan pengaawasan yang meliputi batasan pembinaan,
peran asosiasi dan peran anggota masyarakat guna pengembangan
profesionalisme aparat pemerintah daerah.
10) Pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk menyediakan
informasi anggaran yang akurat dan pengembangan komitmen
pemerintah daerah terhadap penyebarluasan informasi sehingga
memudahkan pelaporan dan pengedalian serta mempermudahkan
mendapatkan informasi.
Secara lebih spesifik, paradigma anggaran daerah yang diperlukan di era
otonomi daerah adalah sebagai beikut:
1) Anggaran daerah harus bertumpu pada kepentingan publik.
2) Anggaran daerah harus dikelola dengan hasil yang baik dan biaya rendah
(work better and cost less).
3) Anggaran daerah harus mampu memberikan transparansi dan akuntabilitas
secara rasional untuk keseluruhan siklus anggaran.
4) Anggaran daerah harus dikelolah dengan pendekatan kinerja (performance
oriented)
5) Anggaran daerah harus mampu menumbuhkan profesionalisme kerja di
setiap organisasi yang terkait.
22
C. Otonomi Daerah dan Sistem Desentralisasi
Otonomi daerah menurut UU Nomor 22 Tahun 1999, adalah hak
masyarakat daerah untuk mengelolah dan mengatur rumah tangganya sendiri serta
mengembangkan potensi dan sumber daya daerah. Penyelenggaraan otonomi
dimaksudkan agar dapat mendorong pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan
prakarsa dan kreativitas, meniingkatkan peran masyarakat serta mengembangkan
peran dan fungsi DPRD. Dengan pemberian otonomi kepada daerah, maka sistem
yang dianut daerah adalah sistem desentralisasi.
Tujuan otonomi daerah menurut Smith dalam analisa CSIS yang
dikemukan oleh Syarif Hidayat (Yuliati;2000) dibedakan dari dua sisi
kepentingan yaitu kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dari
kepentingan pemerintah pusat tujuan utamanya adalah pendidikan politik,
pelatihan kepemimpinan, menciptakan stabilitas politik dan mewujudkan
demokratisasi sistem pemerintahan di daerah. Sementara bila dilihat dari sisi
kepentinga pemerintah daerah ada tiga yaitu:
a) Untuk mewujudkan apa yang disebut sebagai political equality artinya melalui
otonomi daerah diharapkan akan lebih membukan kesempatan bagi
masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat
lokal atau daerah
b) Untuk menciptakan local accountability artinya dengan otonomi daerah akan
meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan hak-
hak masyarakat.
23
c) Untuk mewujudkan local responsiveness artinya dengan otonomi daerah
diharapkan akan mempermudah antisipasi berbagai masalah yang muncul dan
sekaligus meningkatkan akselerasi pembanguan sosial dan ekonomi daerah.
Selanjutnya tujuan otonomi daerah daerah menurut UU Nomor 22 Tahun
1999 pada dasarnya adalah sama yaitu otonomi diarahkan untuk memacuh
pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, meningkatkan kesejahteraan rakyat,
menggalakan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat serta peningkatan potensi
pembangunan daerah secara optimal dan terpadu secara nyata, dinamis dan
bertanggung jawab sehingga memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa,
mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan di daerah yang akan
memberikan peluang untuk koordinasi tingkat lokal.
Nyata berarti pemberian otonomi pada daerah didasarkan pada faktor-
faktor perhitungan tindakan dan kebijaksanaan yang benar-benar menjamin
daerah yang bersangkutan dapat mengurus rumah tangganya sendiri. Sedangkan
dinamis didasarkan pada kondisi dan perkembangan pembangunan. Kemudian
bertanggung jawab adalah pemberian otonomi yang diupayakan memperlancar
pembanguan di pelosok tanah air.
Uraian di atas merupakan tujuan ideal dari otonomi daerah. Pencapaian
tujuan tersebut tentunya tergantung dari kesiapan masing-masing daerah yang
akan menyangkut ketersedian sumber daya atau potensi daerah terutama adalah
sumber daya manusia yang tentunya akan berperan dan berfungsi sebagai motor
penggerak jalannya pemerintah daerah.
24
Sedangkan desentralisasi menurut UU Nomor 22 Tahun 1999 adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Agar daerah otonom
tersebut mampu mengurus dan mengatur rumah tangga yang telah diserahkan,
maka daerah harus memiliki bermacam-macam kemampuan antara lain keuangan,
aparatur, ekonomi, dan lain sebagainya.
Menurut Dennis Rodinelli dkk. (Didit Pontjowonoto,1991) keberhasilan
kebijakan desentralisasi pada Negara sedang berkembang sangat dipengaruh oleh
faktor-faktor politik, ekonomi dan budaya seperti:
1. Sampai berapa jauh pimpinan politik pusat dan birokrasi mendukung
desentralisasi dan organisasi yang mendapat pelimpahan tanggung jawab.
2. Sampai berapa jauh perilaku, sikap dan budaya yang ada mendorong
terciptanya desentralisasi dan pengambilan keputusan dan pemerintahan.
3. Kebijakan dan program yang memadai untuk mendorong desentralisasi
pengambilan keputusan dan manajemen pembangunan.
4. Sampai seberapa jauh tersedianya sumber daya keuangan, manusia dan
prasarana fisik yang memadai bagi organisasi yang mendapat pelimpahan
tanggung jawab.
Keempat faktor tersebut mempunyai derajat kepentingan yang sama dan
dalam banyak hal sangat relevan dalam kebijakan desentralisasi di Indonesia.
Atas desakan yang cukup kuat dan semakin beratnya beban pusat untuk
mengatasi sendiri beban pembangunan yang semakin komleks, timbul kesadaran
25
baru bahwa penyelenggaraan pemerintahan harus lebih demokratis,mendorong
partisipasi, kemajuan dan kemandirian daerah. Secara konseptual hal ini tercermin
dari kemauan pusat untuk menempatkan daerah kabupaten/kota dengan
wewenang yang luas (Turtiantoro, 2000).
D. Desentralisasi Fiskal Daerah
Desentralisasai fiskal menunjuk seberapa besar ketergantungan
pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dalam membiayai pembangunan.
Untuk mengetahui seberapa besar tingkat ketergantungan tersebut maka
dilakukan dengan menggunakan ukuran apa yang disebut Derajat Desentralisasi
Fiskal dengan berbagai proxy (Sukanto Reksohadiprojo, 1999) sebagaimana
berikut:
a) Pendapatan Asli Daerah (PAD) X 100 %
Total Penerimaan Daerah (TPD)
b) Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak untuk Daerah (BHPBP)X 100%
Total Penerimaan Daerah (TPD)
c) Sumbangan Daerah (SB)X 100%
Total Penerimaan Daerah (TPD)
Berdasarkan kriteria yang dibuat oleh badan Litbang Depdagri dan Fisipol
UGM (1991), maka kriteria derajat fiskal tersebut adalah sebagai beikut:
a) 0,00% s/d 10% : sangat kurang
b) 10,1% s/d 20% : kurang
c) 20,1% s/d 30% : cukup
26
d) 30,1 s/d 40% : baik
e) 40,1% s/d 50% : sangat baik
f) > 50% : memuaskan
Menurut Abdul Halim (2004) desentralisasi fiskal memiliki berbagai
keuntungan, yakni (1) meningkatkan demokrasi akar rumput, (2) perlindungan
atas kebebasan dan hak asasi manusia, (3) meningkatkan efisiensi melalui
pendelegasian wewenang, (4) meningkatkan kualitas pelayanan dan (5)
meningkatkan pembangunan ekonomi dan sosial.
Kemandirian fiskal daerah merupakan salah satu aspek yang sangat
penting dari otonomi daerah secara keseluruhan. Menurut Mardiasmo (1999)
disebutkan bahwa manfaat adanya kemandirian fiskal adalah:
a) Mendorong peningkatan partisipasi prakarsa dan kreativitas masyarakat dalam
pembangunan serta mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan
(keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya serta potensi
yang tersedia di daerah.
b) Memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran pengambilan
keputusan publik ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah yang memiliki
informasi lebih lengkap.
Dari hal tersebut di atas kemandirian fiskal daerah menggambarkan
kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah
(PAD) seperti pajak daerah, retribusi dan lain-lain. Karena itu otonomi daerah dan
pembangunan daerah bisa diwujudkan hanya apabila disertai kemandirian fiskal
27
yang efektif. Ini berarti bahwa pemerintah daerah secara finansial harus bersifat
independen terhadap pemerintah pusat dengan jalan sebanyak mungkin menggali
sumber-sumber PAD seperti pajak, retribusi dan sebagainya (Elia Radianto,
1997).
Kemudian untuk mengukur seberapa besar kemampuan fiskal suatu
daerah digunakan ukuran Derajat Kemandirian Fiskal Daerah / Derajat Otonomi
Fiskal Daerah (DKFD/DOFD) yaitu rasio antara PAD dengan total penerimaan
APBD pada tahun yang sama, tidak termasuk tranfer dari pemerintah pusat (Elia
Radianto, 1997).
Sementara itu Machfud Sidik (2004) menyatakan bahwa desentralisasi
memiliki peran yang strategis sebagai salah satu piranti kebijakan fiskal
pemerintah, yang ditujukan untuk (1) menyelaraskan dengan kebijakan ketahanan
fiskal yang berkesimbangungan dalam konteks kebijakan ekonomi makro, (2)
memperkecil ketimpangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, (3)
mengoreksi ketimpangan antar daerah dalam kemampuan keuangan, (4)
meningkatkan akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi dalam rangka peningkatan
kinerja pemerintah daerah, (5) meningkatkan kualitas pelayanan kepada
masyarakat serta, (6) meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan
keputusan di sektor publik.
Salah satu aspek penting dari otonomi daerah secara keseluruhan adalah
desentralisasi fiskal daerah (otonomi fiskal). Pengertian otonomi fiskal daerah
menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan pendapatan
28
asli daerah seperti pajak, retribusi dan lain-lain. Karena itu pemerintah daerah
secara finansial harus bersifat independen terhadap pemerintah pusat dengan jalan
sebanyak mungkin menggali sumber-sumber PAD (Radianto, 1997:42).
Menurut Radianto kemampuan daerah dalam membiayai pembangunan
masih sering mengalami kendala berupa rendahnya kemampuan daerah dalam
meningkatkan PADnya. Indikator rendahnya kemampuan daerah ini dapat dilihat
dari indeks kemampuan rutin (IKR) daerah, yang diperoleh dari besarnya
perubahan PAD terhadap pengeluaran rutin daerah dalam persentase tahun yang
sama.
Realitas hubungan fiskal antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah ditandai dengan tingginya kontrol pusat terhadap pembangunan daerah.
Hal ini terlihat jelas dari rendanya PAD terhadap total pendapatan daerah
dibandingkan dengan total subsidi yang didrop dari pusat. Indikator
desentrasilisasi fiskal adalah rasio antara PAD dengan total pendapatan daerah
(Kuncoro,1997,408).
Menurut Sugiyanto (2000, 2), ukuran yang digunakan adalah
perbandingan antara PAD terhadap pengeluaran kota/kabupaten. Rumusan
perhitunngan adalah R/E (R = PAD dan E = anggaran pengeluaran). Apabila
rasio tersebut makin tinggi, berarti kecendrungan tingkat kemandirian tersebut
akan semakin besar.
29
E. Sumber Penerimaan Daerah
Dalam konteks ekonomi daerah di Indonesia, proses pengelolaan anggaran
miliki implikasi yang luas terhadap pelaksanaan berbagai kebijakan pemerintah
daerah, baik secara ekonomis maupun politis. Setiap daerah memiliki masalah
proporsi kebijakan keuangan yang berbeda, dengan mempertimbangkan berbagai
kemampuan keuangan daerah, struktur sosial dan ekonomi penduduk, budaya,
politis dan aturan yang berlaku dari pemerintah pusat (Abdul Halim, 2004).
Faktor keuangan merupakan hal penting dalam setiap kegiatan
pemerintahan, karena hamper tidak ada kegiatan pemerintahan yang tidak
membutuhkan biaya (Kaho, 1997, 61; Suparmoko, 2002, 16). Sehubungan dengan
posisi keuangan ini, ditegaskan bahwa pemerintah daerah tidak akan dapat
melaksanakan tugasnya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk
memberikan pelayanan terhadap masyarakat dan melaksanakan pembangunan.
Sumber-sumber penerimaan di dalam APBD terdiri dari lima komponen
besar yaitu: PAD, bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan/bantuan
pemerintah pusat, pinjaman daerah, dan sisa lebih tahun sebelumnya. PAD terdiri
dari penerimaan pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba dari perusahaan atau
BUMD, dan pendapatan lain-lain. Penerimaan lain-lain mencakup penerimaan
dari hasil penjualan barang bekas dan sisa, bunga simpanan di bank dan
sebagainya (Nazara, 1997, 20). Menurut pasal 79 UU nomor 22 tahun 1999
tentang pemerintahan daerah sumber pendapatan terdiri atas (1) Pendapatan asli
daerah yaitu hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik
30
daerah, dan hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah (2) Dana perimbangan (3) Pinjaman daerah dan
(4) Lain-lain pendapatan daerah yang sah
Sedangkang menurut Davey (1998), sumber pendapatan pemerintah regional
adalah (1)Alokasi dari pemerintah pusat terdiri atas anggaran pusat (votes),
bantuan Pusat (grants), bagi-bagi pajak, pinjaman, Penyertaan modal
(2)Perpajakan (3) Retribusi (charging) (4) Pinjaman (5)Perusahaan (badan usaha)
F. Pajak
Pajak merupakan hak prerogative pemerintah berupa pungutan yang
didasarkan pada undang-undang dan dapat dipaksakan subyeknya tanpa batas
yang langsung ditunjukan (Guritno, 2001, 181). Hal terpenting menurut Guritno,
belum tentu si pembayar pajak adalah pihak yang akhirnya menderita beban pajak
tersebut. Karena kemungkinan pajak tersebut dapat dilimpahkan kepada pihak
lain. Sedangkan pihak yang menderita karena membayar pajak disebut tax impact.
Hal-hal semacam ini disebut teori insidens pajak (tax incidence theory) yang
umum dibagi dalam tiga konsep beban pajak yaitu:
a. Absolute, analisisnya hanya manfaat pengaruh suatu jenis pajak terhadap
distribusi pendapatan masyarakat tanpa melihat efek distribusi jenis pajak
lainnnya atau akibat suatu program pemerintah.
b. Anggaran berimbang, menganalisis pengaruh distribusi pajak terhadap
pengeluaran pemerintah yang berasal dari pajak dalam jumlah yang sama.
31
c. Diferensial, menganalisis berbagai alternatif pembiayaan dengan pajak
terhadap suatu program pemerintah dalam jumlah yang sama.
Dari sudut pandang ekonomi publik, defenisi ekonomi (direct tax maupun
indirect tax) tersebut kurang tepat karena terjadinya pergeseran suatu pajak
tergantung pada empat faktor ekonomi yaitu; elastisitas penawaran, elastisitas
permintaan, bentuk pembayaran dan motivasi pengusaha.
Hukum pajak, sebagai bagian dari hukum publik, diatur secara khusus
dengan menganut paham imperatif yang artinya bahwa pelaksanaannya tidak
dapat ditunda. Sebagaimana fungsi pajak dalam mengatur hubungan antara
pemerintah dengan wajib pajak, maka hukum pajak dibagi menjadi dua macam:
a. Materiil, bermuatan norma-norma antara lain keadaan, perbuatan, obyek,
subyek, tarif, segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya pajak dan hubungan
hukum antara pemerintah dan wajib pajak.
b. Formil, memuat tata cara dalam norma materiil yang mencakup prosedur,
hak-hak dan kewajiban wajib pajak.
Dalam kapasitasnya sebagai sumber dana dalam negeri, pajak memiliki
dua fungsi:
a. Budgetair yaitu untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran Negara
b. Mengatur yaitu untuk melaksanakan kebijakan sosial dan ekonomi. Misalnya
untuk barang-barang konsumsi yang menggangu kesehatan, gaya hidup
konsumtif, bea masuk untuk proteksi produk-produk lokal dan lain-lain.
32
Beberapa teori yang memberikan hak kepada Negara untuk pemungutan pajak
antara lain:
a) Teori asuransi, yaitu melindungi kesalamatan jiwa, harta benda, dan hak-
hak rakyat, sehingga pajak diibaratkan sebagao premi asuransi.
b) Teori kepentingan, pembebanan didasarkan pada kepetingan masing-
masing individu yang hubungan searah.
c) Teori daya pikul, yang disesuaikan dengan kemampuan tiap individu baik
secara obyektif (penghasilan/kekayaan) maupun subyektif (kebutuhan
yang harus dipenuhi)
d) Teori bakti, mendasarkan pada kesadaran rakyat akan kewajiban
membayar pajak.
e) Teori asas daya beli, yaitu dampak terhadap pemungutan. Pajak dari
rakyat ke Negara dan dikembalikan lagi dalam bentuk pemeliharaan
kesejahteraan masyarakat.
Menurut A. Smith (Guritno, 2001) dan para ahli keuangan lainnya, sistem
pajak yang baik harus memenuhi kriteria: (1) Distribusi beban pajak yang adil,
sesuai dengan bagian yang wajar (2) Sedikit mungkin mencampuri mekanisme
pasar (3)Mampu memperbaiki inefisiensi sector swasta (4) Struktur pajak harus
mampu digunakan dalam kebijakan fiskal (5) Sistemnya harus dimengerti oleh
wajib pajak (6) Administrasi dan biaya pelaksanaan harus minimal (7) Bersifat
pasti, dapat dilaksanakan dan dapat diterima
33
Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau
badan daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk
membiayai penyelenggaran pemerintahan dan pembangunan daerah (simanjuntak,
2001, 98).
Menurut Davey (1988, 39) perpajakan dapat diartikan sebagai
a. Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dengan peraturan dari daerah
sendiri, pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional tetapi penetapan
tarif dilakukan oleh pemerintah daerah
b. Pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh pemerintah daerah.
c. Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah pusat tetapi hasil
pungutan diberikan, dibagikan dengan, atau dibebani pungutan tambahan
(opsen) oleh pemerintah daerah.
Penilaian potensi pajak sebagai penerimaan daerah, ada lima kriteria yaitu:
a. Kecukupan dan elastisitas, ini menyangkut apakah hasil yang diperoleh
sebanding dengan biaya pelayanan yang dikeluarkan.
b. Keadilan, prinsipnya adalah beban pengeluaran pemerintah haruslah dipikul
oleh semua golongan dalam masyarakat sesuai dengan kekayaan dan
kesanggupan masing-masng golongan. Keadilan ini mempunyai tiga dimensi
yaitu pemerataan secara vertical, horizontal dan keadilan secara geografis.
c. Kemampuan administrasi yang berkaitan dengan perbedaan jumlah
pendapatan, integritasnya dan keputusan yang diperlukan
34
d. Kesepakatan politis, menyangkut sensivitas dalam pengenaan pajak, struktur
tarif siapa yang akan membayar dan bagaimana pajak tersebut ditetapkan,
memungut pajak secara fisik dan memaksakan sanksi.
e. Kecocokan, apakah sebagai pajak pusat atau daerah
Sedangkan menurut Davey (1989, 61-62) tolak ukur untuk menilai
berbagai pajak daerah yang ada menggunakan serangkaian ukuran:
a. Hasil (yield), memadai tidaknya hasil suatu pajak dalam kaitannya dengan
berbagai layanan yang dibiayainya, stabilitas dan mudah tidaknya
memperkirakan besar hasil itu dan elastisitas hasil pajak terhadap inflasi,
pertumbuhan penduduk dan sebagainya, juga perbandingan hasil pajak dengan
biaya pungut.
b. Keadilan (equity), dasar pajak dan kewajiban membayar harus jelas dan tidak
sewenang-wenang, pajak bersangkutan harus adil secara horizontal, artinya
beban pajak haruslah sama besar antara berbagai kelompok yang berbeda
tetapi dengan kedudukan ekonomi yang sama., harus adil secara vertikal,
artinya kelompok yang memiliki sumber daya ekonomi yang lebih besar
memberikan sumbangan yang lebih besar, dan pajak itu harus adil dari tempat
ke tempat, artinya hendaknya tidak ada perbedaaan yang besar dan sewenang-
wenang dalam beban pajak satu daerah ke daerah lain, kecuali jika perbedaan
ini mencerminkan perbedaan dalam cara menyediakan layanan masyarakat.
c. Daya guna ekonomi (economic efficiency), pajak hendaknya mendorong (atau
setikdak-tidaknya menghambat) penggunaan sumber daya secara berdaya
35
guna dalam kehidupan ekonomi, mencegah jangan sampai pilihan konsumen
dan produsen menjadi salah arah atau orang menjadi segan bekerja atau
menabung dan memperkecil “beban lebih” pajak.
d. Kemapuan melaksanakan (ability to implement), suatu pajak dapat
dilaksanakan, dari sudut kemauan politik dan kemauan tata usaha. Kecocokan
sebagai sumber penerimaan daerah (suitability as a local revenue source),
artinya harus jelas kepada daerah mana suatu pajak harus dibayarkan dan
tempat memungut pajak sedapat mungkin sama dengan tempat akhir beban
pajak dari suatu daerah ke daerah lain, pajak daerah hendaknya jangan
mempertajam perbedaan-perbedaan antara daerah dari segi potensi masing-
masing, dan pajak hendaknya tidak menimbulkan beban yang lebih besar dari
kemampuan tata usaha pajak daerah.
Seiring dengan perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin
besar dari tahun ke tahun, maka dibutuhkan toleransi masyarakat dalam
membayar pajak untuk membiayai pengeluaran pemerintah tersebut. Tingkat
toleransi tersebut merupakan kendala bagi pemerintah untuk menarik pungutan
pajak. Dalam teori Peacock dan Wiseman (Guritno, 2001, 173) mengatakan
bahwa “perkembangan ekonomi menyebabkan pungutan pajak yang semakin
meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah dan meningkatnya penerimaan
pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga meningkat. Oleh karena itu
dalam keadaan normal, meningkatnya GNP menyebabkan penerimaan pemerintah
juga semakin besar, begitu juga pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar”.
36
Sesuai Undang-Undang nomor 34 tahun 2000 tentang perubahan atas
Undang-Undang nomor 18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah ,
jenis pajak provinsi terdiri dari pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas
air, bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, pajak bahan
bakar kendaraan bermotor, pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah
dan air permukaan
G. Retribusi
Retribusi adalah pemungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau
pemberian ijin tertentu khusus yang disediakan dan atau diberikan oleh
pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan (UU nomor 34
tahun 2000 jo. UU nomor 18 tahun 1997). Retribusi daerah dibagi atas tiga
golongan yaitu: (a) Retribusi jasa umum, (b) Retribusi jasa usaha dan (c)
Retribusi perijinan tertentu.
Menurut Davey (1988, 30), retribusi adalah suatu pembayaran langsung
oleh mereka yang menikmati suatu pelayanan dari pemerintah. Pembayaran
tersebut biasanya dimaksudkan untuk menutup seluruh atau sebagian dari biaya
pelayanan. Sedangkan menurut Davey (1989, 95), kebijakan memungut bayaran
untuk barang dan layanan yang disediakan pemerintah berpangkal pada
pnegertian efisiensi ekonomi. Menurutnya seseorang bebas untuk menentukan
besar layanan tertentu yang hendak dinikmatinya.
Lebih lanjut dikatakan, bahwa dalam teori ekonomi, harga barang atau
layanan yang disediakan pemerintah hendaknya didasarkan pada biaya tambahan
37
(marginal cost) yaitu biaya untuk melayani konsumen terakhir. Karena sebagian
besar layanan pemerintah merupakan hak monopoli, maka manfaat ekonomi
tertinggi untuk masyarakat adalah jika penetapan harga layanan tersebut
diumpamakan adanya suatu persaingan pasar. Dengan demikian pemerintah akan
memproduksi jasa tersebut pada titik tempat biaya tambahan sama dengan
penerimaan tambahan (marginal revenue).
H. Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Perubahan dalam bentuk pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan
implikasinya terhadap pengelolaan keuangan daerah telah melahirkan berbagai
persepsi. Sementara pihak meragukan kemampuan daerah, baik dari segi kesiapan
sumber daya manusia maupun perangkat pendukungnya, sementara yang lain
berpandangan bahwa saat pemerintah daerah bias menunjukan kemampuannya
sebagai pelayan masyarakat dengan lebih baik disbanding sebelumnya. Ekses lain
adalaj keterbukaan atas informasi yang semakin luas sehingga kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah daerah dapat diamati oleh masyarakat, terutama
melalui peran media masa dan LSM (Abdul Halim,2004).
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu tugas pemerintah adalah
menyediakan barang publik yang pembiayaannya melalui berbagai sumber,
khususnya pajak. Dengan kondisi kemampuan keuangan antar daerah berbeda,
maka adanya sistem keuangan Negara menjamin kelancaran pemerintahan dan
pembangunan secara menyeluruh.
38
Alokasi tugas tersebut membawa konsekuensi pada perimbangan
keuangan pemerintah pusat dan daerah, terkait dengan kenyataan pada derajat
otonomi yang tinggi (Suparmoko, 2002, 37-38).
Berhubung dengan pembiayaan pemerintahan daerah, maka perlu
diketahui pendapatan yang pasti agar ada kepastian mengenai pelaksanaan dan
keinginan kegiatan pemerintahan daerah. Perimbangan keuangan ini merupakan
suatu sistem pembiayaan dalam kerangka Negara kesatuan yang mencakup
pembagian keuangan pemerintah pusat dan daerah. Selain itu juga merupakan
pemerataan antar daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan
dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah sejalan dengan
kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan
kewenangan tersebut, termasuk golongan dan pengawasan keuangannya.
Melalui dana perimbangan, pemerintah daerah akan memperoleh alokasi
dana besar sebagai konsekeunsi otonomi daerah. Tuags-tugas yang selama ini
secara sentralistik menjadi tugas pemerintah pusat kini menjadi tugas pemerintah
daerah. Oleh karena itu pembiayaan untuk pelaksanaan tugas-tugas tersebut harus
juga dialokasikan ke daerah melalui mekanisme perimbangan keuangan tersebut.
Artinya pemerintah daerah harus meningkatkan mutu pengelolaan keuanggan.
Menurut UU No. 25 tahun 1999 pasal 6 dinyatakan bahwa dana
perimbangan terdiri dari: (a) Bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB),
39
penerimaan dari Sumber Daya Alam, (b) Dana Alokasi Umun (DAU), dan (c)
Dana Alokasi Khusus (DAK).
I. Kerangka Pikir
Kerangka pemikiran teoritis dalam penelitian ini adalah pada era otonomi
daerah yang dimulai pada awal tahun 2001 dapat memberdayakan daerah untuk
mengembangkan sumberdaya yang dimiliki, sehingga dapat berkembang dan
mandiri dalam menentukan arah kebijakan yang diambil oleh daerah tetapi masih
dalam koridor Neraga Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Untuk mewujudkan kemandirian daerah, pemerintah daerah harus mampu
menggali potensi daerah guna menunjang PAD, dan mencari faktor–faktor yang
berpengaruh secara signifikan terhadap PAD. Sebagai upaya peningkatan PAD
perlu diambil langkah kebijakan efisiensi di dalam pelaksanaan anggaran yang
tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sehinga ada
saving yang dapat dimanfaatkan untuk investasi daerah yang dialokasikan pada
badan usaha baik milik daerah sendiri maupun swasta yang mau diajak
bekerjasama agar mendapatkan hasil yang lebih bermanfaat untuk menambah
penerimaan daerah selain dari sektor pajak dan retribusi daerah serta dari transfer
pemerintah pusat melalui pengalokasian DAU atau dana perimbangan.
untuk memastikan apakah DAU yang selama ini diterima oleh daerah
memang signifikan/dipengaruhi oleh variabel-variabel dalam penelitian, maka
perlu dilakukan analisis realokasi anggaran. Adapun variabel-variabel yang
digunakan yaitu :
40
1. Kebutuhan daerah, yang diwakill oleh jumlah penduduk daerah yang
bersangkutan (Lains, 1985, 53), Semakin banyak penduduk suatu daerah,
makin besar pula jumlah dana yang diterima untuk pembiayaan terhadap jasa-
jasa lokal dan jasa teknis yang diperlukan penduduk setempat. Hal ini dapat
digambarkan pada alokasi transfer dari pemerintah pusat yang diterima
dengan total belanja daerah dalam APBD.
2. Berapa besar penerimaan dari sektor pajak, khususnya pajak kendaraan
bermotor yang merupakan sumber penerimaan yang sangat dominan.
3. Seberapa besar pengaruh di investasi Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara
Timur dapat menunjang peningkatan PAD, serta sektor lain yang mungkin
berpengaruh terhadap PAD Provinsi Nusa Tenggara Timur
Adapun kerangka pikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar beikut ini:
41
Gambar 1: Bagan Kerangka Pikir
J. Definisi Operasional
Variabel Dependen dalam penelitian ini yang masuk dalam variable
dependen adalah pendapatan asli daerah ( PAD ). PAD adalah merupakan suatu
pendapatan yang menunjukkan kemampuan suatu daerah untuk menghimpun
sumber– sumber dana untuk membiayai kegiatan daerah. Jadi pengertian PAD
dapat dikatakan sebagai pendapatan rutin dari usaha – usaha pemerintah daerah
Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Terhadap Pembangunan Daerah Pada Pemerintahan Provinsi Nusa
Tenggara Timur
Kemampuan Keuangan Daerah
1. Kemampuan terhadap pembangunan infrastrutur
2. Kemampuan pembangunan suprastruktur
3. Kemampuan membiayai kebutuhan Rutin
Faktor-faktor
1. Transfer Pusat
2. Jumlah Kendaraan Roda 2
3. Jumlah Kendaraan Roda 4/lebih
4. Investasi Daerah
Keuangan Daerah
42
dalam memanfaatkan potensi-potensi sumber-sumber keuangan untuk
membiayai tugas– tugas dan tanggung jawabnya ( Sutrisno PH, 1982 ).
Pendapatan Asli Daerah merupakan salah satu komponen penting dalam
pembangunan ekonomi daerah, karena pendapatan asli daerah digunakan untuk
membiayai kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pembangunan ekonomi
di suatu daerah, oleh karena itu pendapatan asli daerah sangat diperlukan dalam
pembangunan ekonomi daerah, jika pendapatan asli daerah meningkat maka
dapat pula mempengaruhi produksi nasional, pendapatan asli daerah diperoleh
dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Bagian Laba dari BUMD (Hasil Investasi)
Variabel pendapatan asli daerah dinotasikan dengan simbol ( Y ).
Variabel-variabel independen yang dipakai dalam penelitian ini dapat dijelaskan
sebagai berikut :
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan suluruh penerimaan daerah yang
masuk ke Kas Daerah baik yang bersumber dari pajak daerah maupun
retribusi daerah, sumbangan pihak ketiga dan hasil usaha daerah serta
penerimaan lainnya yang menjadi hak daerah dan merupakan potensi daerah.
2. Transfer dari pemerintah pusat yaitu penerimaan yang bersumber dari
pemerintah pusat guna pelaksanaan pemerintahan di daerah sebagai
perpanjangan tangan dalam melaksanakan sebagian urusan pemerintah pusat
yang diserahkan kepada daerah. Transfer dari pemerintah pusat terdiri dari :
Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Bagi Hasil Pajak
dan Bukan Pajak serta penerimaan lainnya yang sah (Dana Penyeimbang).
43
Transfer dari pemerintah pusat atau disebut juga dengan perimbangan
keuangan ini merupakan suatu sistem pembiayaan dalam kerangka negara
kesatuan yang mencakup pembagian keuangan pemerintah pusat dan daerah.
Selain itu juga merupakan pemerataan antar daerah secara proporsional,
demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi dan
kebutuhan daerah sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan
serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut.
3. Yang dimaksud dengan Jumlah kendaraan roda 4 atau lebih yaitu jumlah
kendaraan roda 4 atau lebih yang domisili pemiliknya berada di wilayah
otonomi Pemerintah Provins Nusa Tenggara Timur. Hal ini terkait dengan
pajak atas kepemilikan kendaraan roda 4 atau lebih yang dipungut oleh
pemerintah daerah dan masuk ke Kas Daerah baik yang bersumber dari pajak
kendaraan bermotor, pajak bea balik nama kendaraan bermotor atau pajak
bahan bakar kendaraan bermotor dan sumbangan pihak ketiga dealer atas
kendaraan roda 4 atau lebih yang baru.
4. Yang dimaksud dengan jumlah kendaraan roda 2 yaitu jumlah kendaraan roda
2 yang domisili pemiliknya berada di wilayah otonomi Pemerintah Provinsi
Nusa Tenggara Timur. Hal ini terkait dengan pajak atas kepemilikan
kendaraan roda 2 yang dipungut oleh pemerintah daerah dan masuk ke Kas
Daerah baik yang bersumber dari pajak kendaraan bermotor, pajak bea balik
nama kendaraan bermotor atau pajak bahan bakar kendaraan bermotor dan
sumbangan pihak ketiga dealer atas kendaraan roda 2 yang baru.
44
5. Penyertaan Modal Pemerintah Daerah yaitu dana pemerintah daerah yang
dialokasikan kepada badan usaha baik milik pemerintah maupun swasta yang
diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pemerintah daerah melalui
bagian labanya
45
BAB IIIMETODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
a. Waktu penelitian
Penelitian dilakukan kurang lebih selama satu bulan, yaitu bulan
Maret-April 2015
b. Lokasi penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Pemerintahan Provinsi Nusa Tenggara
Timur
B. Jenis dan Tipe Penelitian
a. Jenis penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif komparatif. Deskriptif komparatif adalah suatu jenis metode
penelitian yang ingin mencari jawab secara mendasar tentang sebab akibat
dengan menganalisis faktor-faktor terjadinya atau munculnya fenomena
tertentu (Mohammad Nazir, 2003:58).
b. Tipe penelitian
Untuk mengumpulkan data dalam pembahasan penulisan karya ilmiah
(skripsi) ini, maka ada dua jenis data yang dipakai oleh penulis yaitu :
1. Data kuantitatif: yakni data yang diperoleh penulis dalam bentuk angka
misalnya data penerimaan pendapatan daerah maupun laporan keuangan.
46
2. Data kualitatif: yakni data yang diperoleh penulis berupa referensi baik
lisan maupun literature yang menunjang penelitian.
Sumber data yang dipakai oleh penulis dalam penelitian ini adalah :
1) Primary Data (Data Primer)
Data primer adalah data yang diproleh langsung dari lapangan (objek)
penelitian pengelolaan keuangan daerah terhadap pembangunan daerah.
Data primer merupakan hasil dari berbagai wawancara yang dilakukan oleh
penulis dengan pejabat di bagian pendapatan dan pengelola asset daerah
yang tentunya berhubungan pengelolaan keuangan daerah.
2) Secondary Data (Data sekunder)
Data sekunder adalah data yang merupakan hasil penelitian pustaka
berupa buku-buku yang berkaitan dengan judul ini.
C. Informan Penelitian
Dalam penelitian ini terlebih dahulu dijelaskan mengenai informan penelitian
yang akan diteliti di Pemerintahan Provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu:
a. Pegawai Biro Keuangan Sekretariat daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur
sebanyak 3 orang
b. Pegawai Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur sebanyak
4 orang
c. Pegawai Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur sebanyak 2
orang
47
D. Teknik Pengumpulan Data
1. Metode wawancara (interview) adalah suatu proses interaksi dan komunikasi.
Penelitian ini menggunakan interview bebas terpimpin, di mana peneliti
membawa kerangka pertanyaan untuk disajikan dan bersifat longgar tanpa
keluar dari pedomaan yang dipakai. Wawancara tidak terstruktur yaitu hanya
memuat garis-garis besar yang ingin dipertanyakan.
2. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi
kepustakaan. Studi pustaka adalah metode pengumpulan data yang dapat
dilakukan dengan cara melakukan pengamatan data dari literatur – literatur
dan buku – buku yang mendukung. Dalam penelitian ini pengumpulan data
dilakukan dengan cara :
a. Data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS)
b. Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2008
– 2013.
c. Data atau infomasi yang diperoleh dari buku referensi, jurnal, majalah,
surat kabar yang berkaitan dengan penelitian ini.
E. Teknik Analisis Data
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif kuantitatif
(mixed). Metode kualitatif dan kuantitaf dapat digabungkan bahkan mempunyai
kelebihan-kelebihan jika dibandingkan dengan menggunaka satu metode saja.
Peneliti dapat menggunakan kekuatan-kekuatan metode tambahan untuk
mengatasi kelemahan metode lainnya. Selain itu menggunakan metode lebih dari
48
satu dimaksudkan sebagai sarana konfirmasi , jika hanya dengan satu metode
peneliti menganggap temuan riset kurrang valid, maka perlu ada metode lain
untuk konformasi lebih lanjut sehingga menghasilakan temuan-temuan riset yang
lebih valid.
Bryman dan Brannen (1996), menjelaskan sejumlah cara penggabungan
penelitian kualitatif dan kuantitatif yang telah dilakukan diperolah kesimpulan
tentang pendekatan-pendekatan yang terindentifikasi, yaitu:
a. Logika ‘triangulasi’. Temuan-temuan dari suatu jenis studi dapat dicek pada
temuan-temuan yang diperoleh dari jenis studi yang lain, misalnya hasil-hasil
penelitian kuanlitatif dapat dicek pada studi kuantitatif. Tujuannya secara
umum adalah untuk memperkuat kesahian temuan-temuan.
b. Penelitian kualitatif membantu penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif
dapat membantu memberikan informasi dasar tentang konteks dan subyek dan
membantu konstruksi skala.
c. Penelitian kuantitatif membantu penelitian kualitatif. Biasa ini berarti
penelitian kuantitaif membantu dalam hal pemilihan subyek bagi penelitian
kualitatif.
d. Penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif digabungkan untuk memberikan
gambaran umum. Penelitian kuantitatif dapat digunakan untuk mengisi
kesenjangan-kesenjangan yang muncul dalam studi kualitatif.
e. Struktur dan proses. Penelitian kuantitatif terutama efisien pada penelusuran
ciri-ciri ‘struktural’ kehidupan sosial, sementara studi kualitatif biasanya lebih
49
kuat dalam aspek-aspek operasional. Kekuatan ini dapat dihadirkan bersama-
sama dalam satu studi.
f. Masalah kegeneralisasian. Kelebihan beberapa fakta kuantitatif dalam
membantu menyederhanakan fakta ketika seringkali tidak ada kemungkinan
untuk menggeneralisasi (dalam arti statistik) temuan-temuan yang diperoleh
dari penelitian kualitatif.
g. Penelitian kualitatif dapat membantu interpretasi hubungan antara variabel.
Penelitian kuantitatif dengan mudah memberi jalan bagi peneliti untuk
menentukakn hubungan antara variabel, tetapi sering kali lemah ketika ia
hadir untuk mengungkapkan alasan-alasan bagi hubungan-hubungan itu. Studi
kuantitatif dapat digunakan untuk membantu menjelaskan faktor-fakor yang
mendasari hubungan terbangun.
Data-data yang diperoleh dilapangan kemudian dianalisis dengan menggunakan
rasio keuangan daerah yang diukur dengan menggunakan rumus perhitungan
sebagai berikut :
1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Rasio Kemandirian Keuangan Daerah menunjukkan tingkat
kemampuan suatu daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah,
pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak
dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Rasio
kemandirian ditunjukkan oleh besarnya pendapatan asli daerah dibandingkan
dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain (pihak
50
ekstern) antara lain : Bagi hasil pajak, Bagi hasil Bukan Pajak Sumber Daya
Alam, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus, Dana Darurat
(Widodo, 2001 : 262).
Rumus yang digunakan untuk menghitung Rasio Kemandirian adalah:
Rasio kemandirian : Pendapatan Asli Daerah
Sumber Pendapatan Pihak Ekstern
Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber
dana ekstern. Semakin tinggi resiko kemandirian mengandung arti bahwa
tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern semakin rendah
dan demikian pula sebaliknya. Rasio kemandirian juga menggambarkan
tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi
rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar
pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama pendapatan asli
daerah. Semakin tinggi masyarakat membayar pajak dan retribusi daerah
menggambarkan bahwa timgkat kesejahteraan masyarakat semakin tinggi.
2. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal
Derajat Desentralisasi Fiskal atau otonomi Fiskal Daerah adalah
kemampuan pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah guna membiayai pembangunan. Derajat Desentralisasi Fiskal,
khususnya komponen PAD dibandingkan dengan TPD, menurut hasil
51
penelitian Tim Fisipol UGM menggunakan skala interval sebagaimana terlihat
dalam tabel adalah sebagai berikut (Adhidian Fajar Sakti, 2007:23):
Tabel 1.1
Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal
Persentase (%) Kemampuan KeuanganDaerah
0,00-10,00 Sangat Kurang
10,01-20,00 Kurang
20,01-30,00 Cukup
30,01-40,00 Sedang
40,01-50,00 Baik
>50,00 SangatBaik
Sumber : Adhidian fajar sakti (2007: 22)
Derajat Desentralisasi Fiskal dapat dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :
DDF : t
t
TPD
PAD
x 100 %
Keterangan :
DDF : Derajat Desentralisasi Fiskal
PADt : Total PAD Tahun t
TPDt : Total Pendapatan Daerah Tahun t
3. Rasio Indeks Kemampuan Rutin
Indeks Kemampuan Rutin yaitu : Proporsi antara PAD dengan
pengeluaran rutin tanpa transfer dari pemerintah pusat (kuncoro, 1997 : 9).
Sedangkan dalam menilai menilai Indeks Kemampuan Rutin (IKR) dengan
52
menggunakan skala menurut Tumilar (1997 : 15) sebagaimana yang terlihat
dalam table sebagai berikut (Anita W, 2001 : 22)
Tabel 1.2
Skala Interval Indeks Kemampuan Rutin
Persentase % Kemampuan Keuangan Daerah
0,00-20,00 Sangat Kurang
20,01-40,00 Kurang
40,01-60,00 Cukup
60,01-80,00 Baik
80,01-100 Sangat Baik
Sumber : Anita Wulandari (2001: 22)
Indeks Kemampuan Rutin dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut :
IKR : %100xRutinnPengeluaraTotal
PAD
Keterangan :
IKR : Indeks Kemampuan Rutin
PAD : Pendapatan Asli Daerah
4. Rasio Keserasian
Keserasian ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah
memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja
pembangunan secara optimal. Semakin tinggi presentase dana yang
dialokasikan untuk belanja rutin berarti presentase belanja pembangunan yang
53
digunakan untuk menyediakan sarana prasarana ekonomi masyarakat
cenderung semakin kecil. Secara`sederhana rasio keserasian ini dapat
diformulasikan sebagai berikut (Widodo, 2001 : 262) :
Rasio Belanja Rutin : BDBelanja APTotal
RutinBelanjaTotal
Rasio Belanja Pembangunan : APBDBelanjaTotal
nPembangunaBelanjaTotal
5. Rasio Pertumbuhan
Rasio pertumbuhan menggambarkan seberapa besar kemampuan
pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan
yang dicapai dari periode ke periode lainnya. Pertumbuhan APBD dilihat dari
berbagai komponen penyusun APBD yang terdiri dari Pendapatan Asli
Daerah, total pendapatan, belanja rutin dan belanja pembangunan (Widodo,
2001 : 270) :
Rumus yang digunakan adalah :
r : %100x
Po
PoPn
Keterangan :
Pn : Data yang dihitung pada tahun ke-n
Po : Data yang dihitung pada tahun ke-0
r : Pertumbuhan
Apabila semakin tinggi nilai PAD , TPD dan Belanja Pembangunan yang
diikuti oleh semakin rendahnya Belanja Rutin, maka pertumbuhannya adalah
54
positif. Artinya bahwa daerah yang bersangkutan telah mampu
mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhannya dari periode satu ke
periode yang berikutnya. Selanjutnya jika semakin tinggi nilai PAD, TPD, dan
Belanja Rutin yang diikuti oleh semakin rendahnya Belanja Pembangunan,
maka pertumbuhannya adalah negatif. Artinya bahwa daerah yang
bersangkutan belum mampu mempertahankan dan meningkatkan
pertumbuhannya dari periode yang satu ke periode yang berikutnya.
55
BAB IVPEMBAHASAN
A. Deskripsi APBD Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2008 -2013
Anggaran Pendapatan dan Belanja dan Daerah (APBD) merupakan
instrument kebijakan fiskal yang utama bagi pemerintah daerah. Dalam APBD
termuat prioritas-prioritas pembangunan, terutama prioritas kebijakan dan target
yang akan dicapai melalui pelaksanaan belanja daerah sesuai sumber daya yang
tersedia baik yang didapatkan melalui skema transfer maupun perpajakan daerah
dan retribusi daerah.
Penetapan prioritas-prioritas tersebut beserta upaya pencapaiannya
merupakan konsekuensi dari meningkatnya peran dan tanggung jawab pemerintah
daerah dalam mengelola pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya. Dengan demikian, daerah bertanggungjawab sepenuhnya agar
pengelolaan sumber daya dapat dilaksanakan sebaik-baiknya sehingga dapat
mendorong penigkatan kualitas belanja daerah (quality spending), dengan
memastikan dana tersebut benar-benar dimanfaatkan untuk program dan kegiatan
yang memiliki nilai tambah besar bagi masyarakat.
Salah satu faktor yang mempengaruhi pelaksanaan otonomi daerah adalah
faktor keuangan yang baik. Istilah keuangan disini mengandung arti setiap hak
yang berhubungan dengan masalah uang, yang antara lain berupa sumber
pendapatan, jumlah uang yang cukup, dan pengelolaan keuangan yang sesuai
dengan tujuan dan peraturan yang berlaku.
56
Faktor keuangan penting dalam setiap kegiatan pemerintahan, karena
hampir tidak ada kegiatan pemerintahan yang tidak membutuhkan biaya. Makin
besar jumlah uang yang tersedia, makin banyak pula kemungkinan kegiatan atau
pekerjaan yang dapat dilakasanakan. Demikian juga semakin baik pengelolaannya
semakin berdaya guna pemakaian uang tersebut.
Perwujudan pelayanan publik di daerah tentunya berkorelasi erat dengan
kebijakan belanja daerah. Belanja daerah merupakan seluruh pengeluaran yang
dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mendanai seluruh program/kegiatan yang
berdampak langsung atau tidak langsung terhadap pelayanan publik di daerah.
a. Perkembangan APBD Provinsi Nusa Tenggara Timur
Pertumbuhan APBD Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun anggaran
2008 sampai dengan tahun 2013 mengalami peningkatan setiap tahun rata-rata
sebesar 15,52% yaitu dari Rp.946.026,75 juta pada tahun 2008 meningkat
menjadi Rp.2.393.070,44 juta pada tahun 2013. Dilihat dari pertumbuhannya
APBD Provinsi Nusa Tenggara Timur selalu mengalami kenaikan setiap
tahunnya. Pada tahun 2009 sebesar Rp.62.044,7 juta; tahun 2010 sebesar
Rp.15.434,23 juta; tahun 2011 sebesar Rp.301.255,45 juta, tahun 2012 sebesar
Rp.916.780,92 juta dan tahun 2013 sebesar Rp.151.528,33 juta.
Meskipun pertumbuhan masing-masing tahun tidak sama, namun
kecenderungannya selalu meningkat. Gambaran tentang perkembangan rata-
rata pertumbuhan APBD Provinsi Nusa Tenggara Timur dari tahun 2008
sampai dengan tahun 2013 dapat dilihat pada tabel 1.3:
57
Tabel 1.3Pertumbuhan APBD Provinsi Nusa Tenggara Timur
2008-2013 (dalam jutaan Rupiah)
No. TA Jumlah APBD (Jutaan Rupiah) Pertumbuhan Persentase
1. 2008 946. 026,75 -
2. 2009 1 .008. 071,45 62.044,7 6,15
3. 2010 1 .023. 505,68 15.434,23 1,51
4. 2011 1.324.761,13 301.255,45 22,75
5. 2012 2.241.542,05 916.780,92 40,90
6. 2013 2.393.070,44 151.528,33 6,33
Rata-rata pertumbuhan 289.408,72 15,52
Sumber: Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, Data diolah 2015
b. Kontribusi PAD Terhadap APBD Provinsi Nusa TenggaraTimur
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu sumber utama
keuangan daerah untuk membiayai pembanngunan daerah, dan diharapkan
selalu meningkat tiap tahunnnya. Hal ini penting artinya apalagi setelah
otonomi daerah diberlakukan, maka daerah harus mampu membiayai
pelaksanaan pembangunan daerahnya sendiri dan tidak mengharapkan
bantuan dari pemerintah pusat, sehingga daerah membangun daerahnya
sendiri dengan mengutamakan potensi unggulan daerah.
Adapun besarnya kontribusi PAD terhadap APBD Provinsi Nusa
Tenggara Timur dapat dilihat pada tabel 1.4 berikut:
58
Tabel 1.4Kontribusi PAD terhadap APBD Provinsi Nusa Tenggara Timur
No Tahun Jumlah APBD (Jutaan Rp) Jumlah PAD (Jutaan Rp) Kontribusi PAD(%)
1. 2008 946. 026,75 237. 286,16 25,08%
2. 2009 1.008.071.45 298.154,33 29,57%
3. 2010 1.023,505,58 255.674,61 24,98%
4. 2011 1.324.761,13 392.119,69 29,59%
5. 2012 2.241.542,05 459.657,18 20,50%
6. 2013 2.393.070,44 528.832,13 22,09%
Sumber: Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, data diolah,
2015
Dari tabel 1.4 di atas dapat diketahui bahwa selama kurun waktu 6
tahun terakhir sejak tahun 2008 sampai tahun 2013 kontribusi PAD terhadap
APBD rata-rata 25,30 atau sumber PAD mampu membiayai sebesar 25,30
dari pelaksanaan APBD.
HLE (Kepala Biro Keuangan Sekretaris Daerah Provinsi Nusa
Tenggara Timur) mengatakan bahwa:
“Kontribusi sudah cukup baik tetapi apabila dibandingkan dengan Provinsi lain, kontribusi PAD Provinsi Nusa Tenggara Timur masih kalah atau masih lebih rendah, sehingga untuk menjaga supaya disparatis pembangunan antar provinsi di Indonesia tidak terlalu besar maka pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur harus lebih mampu meningkatkan PADnya untuk mengejar ketertinggalan tersebut” (Wawancara HLE, 22 April 2015).
c. Kontribusi Transfer Terhadap APBD Provinsi Nusa Tenggara Timur
Transfer dalam penerimaan daerah yang bersumber dari pemerintah pusat
antara lain dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Bagi
Hasil Pajak dan Bukan Pajak. Adapun kontribusi transfer dari pemerintah pusat
59
yang dialokasikan ke Provinsi Nusa Tenggara Timur dapat dilihat pada tabel 1.5
berikut ini:
Tabel 1.5Kontribusi Transfer Pemerintah Pusat Terhadap APBD Provinsi Nusa
Tenggara Timur 2008-2013(dalam jutaan rupiah)
No Tahun Jumlah APBD JumlahTransfer Kontribusi Transfer (%)
1. 2008 946. 026,75 708.740,58 74,91
2. 2009 1 .008. 071,45 773.795,61 76,75
3. 2010 1.023.505.68 767.566,61 74,99
4. 2011 1.324.761,13 887.291,43 66,97
5. 2012 2.241.542,05 1.098.619,86 49,01
6. 2013 2.393.070,44 1.165.848,62 48,71
Sumber: Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur
Dari tabel 1.5 di atas bahwa selama kurun waktu 6 tahun terakhir
sejak tahun 2008 sampai dengan 2013 kontribusi Transfer terhadap APBD
rata-rata sebesar 65,22%. Dilihat dari prosentase kontribusi tersebut
menggambarkan bahwa dalam menjalankan pemerintahan dan melaksanakan
pembangunan daerah, provinsi Nusa Tenggara Timur masih membutuhkan
bantuan dari pemerintah pusat sebesar 65,22%. Transfer dari pemerintah pusat
harus ada dan selalu ada, karena hal ini dimaksudkan untuk menjaga adanya
ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat guna menghindari
perpecahan daerah (disintegrasi) dalam rangka menjaga persatuan dan
kesatuan NKRI.
60
JAM (Kepala Sub Bagian Akuntansi pada Biro Keuangan Sekretaris
Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur) mengungkapkan bahwa:
“Apabila daerah diberi kebebasan untuk memanfaatkan potensi daerah secara keseluruhan dan tidak ada ketentuan mengenai perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, hal ini dimungkinkan bagi daerah yang sumber daya alamnya besar dan mampu membiayai kebutuhan di dalam penyelenggaraan pembangunan daerahnya, dapat diprediksi daerah tersebut akan memisahkan diri dan menjadi Negara sendiri (disintegrasi). Oleh karena itu walaupun otonomi daerah yang mana daerah diberi kewenangan besar untuk mengurus rumah tangganya sendiri, tetapi tetap ada keterkaitan dengan pemerintah pusat melalui perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah” (Wawancara JAM, 23 April 2015).
B. Kemampuan Fiskal Daerah Dalam Mendukung Pembangunan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur
Analisis rasio keuangan terhadap realisasi APBD dilakukan untuk
meningkatkan kemampuan keuangan daerah. Disamping meningkatkan kualitas
pengelolaan keuangan daerah, analisis rasio terhadap realisasi APBD juga dapat
digunakan sebagai alat untuk menilai efektifitas pelaksanaan otonomi daerah.
Sebab kebijkan ini yang memberikan keleluasan bagi pemerintah daerah untuk
mengelolah daerahnya yang seharusnya dapat meningkatakn kemampuan dan
kinerja keuangan daerah yang bersangkutan.
Rasio yang digunakan dalam pembahasan ini adalah rasio-rasio yang
merupakan penjabaran dari indeks kemampuan keuangan (Bappenas:2003), yang
terdiri atas , rasio kemandirian keuangan daerah, rasio derajat desentralisasi fiskal,
rasio indeks kemampuan rutin, rasio keserasian dan rasio pertumbuhan keuangan
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun anggaran 2008-2013, sehingga
61
dapat diketahui bagaiman kecendrungan yang terjadi tiap tahunnya dalam kurun
waktu enam tahun terakhir.
Data yang digunakan adalah data yang berasal dari arsip dokumen pada
bagian verifikasi dan pembukuan kantor Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara
Timur yang berupa Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD), Laporan
Realisasi Anggaran (LRA), untuk tahun anggaran 2008-2013. Dari hasil APBD
dan LRA tersebut nantinya akan diketahui bagaimana kinerja dan kemampuan
keuangan daerah Provinsi Nusa Tenggara Timurrselama enam tahun terkahir.
APBD merupakan rencana pelaksanaan semua pendapatan dan semua
belanja daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal dalam tahun
anggaran tertentu. Dengan demikian pemungutan semua penerimaan daerah
dalam rangka desentralisasi bertujuan untuk memenuhi target yang ditetapkan
dalam APBD.
Laporan Realisasi Anggaran Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan
laporan yang mengungkapkan kegiatan keuagan pemerintah provinsi yang
menunjukan ketaatan terhadap APBD. Laporan realisasi anggaran menyajikan
ikstisar sumber, aplikasi dan penggunaan sumber daya ekonomi yang dikelola
oleh pemerintah provinsi dalam satu periode pelaporan. Dalam Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang pedomaan Pengelolaan Keuanga
Daerah, disebut unsur yang dicakup dalam Laporan Realisasi Anggaran terdiri
dari:
62
a. Pendapatan adalah semua penerimaan kas daerah yang menambah ekuitas
dana dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan yang mejadi tanggung
jawab pemerintah daerah dan tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah
daerah.
b. Belanja adalah semua pengeluaran kas daerah yang mengurangi ekuitas dana
dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan dan tidak akan diperoleh
kembali pembayaran oleh pemerintah daerah
c. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau
pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang
bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya yang dalam
penganggaran pemerintah daerah terutama dimaksudkan untuk menutupi
defisit atau memanfaatkan surplus anggaran.
Hasil perhitungan dan analisis beberapa rasio keuangan terhadap APBD
Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun anggaran 2008-2013:
1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Konsekuensi pembebanan tugas dan tanggung ke daerah yang semakin
besar, kepada daerah telah diserahkan sumber pendanaan yang terus
meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun, melalui skema transfer. Hal
ini dapat dilihat berdasarkan hasil perhitungan sumber pendapatan dari pihak
ekstern yaitu berupa bantuan dari pemerintah pusat ditambah dengan
pinjaman.
63
Kemandirian keuangan daerah merupakan kemampuan pemerintah
daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) seperti pajak
daerah, retribusi dan lain-lain. Oleh karena itu, otonomi daerah dan
pembangunan daerah bisa diwujudkan hanya apabila disertai kemandirian
keuangan yang efektif. Ini berarti bahwa pemerintah daerah secara finansial
harus bersifat independen terhadap pemerintah pusat dengan jalan sebanyak
mungkin menggali sumber-sumber PAD seperti pajak, retribusi dan
sebagainya serta mengoptimalkan sumber-sumber PAD yang telah ada.
Rumus yang digunakan untuk menghitung rasio ini adalah:
Rasio kemandirian : Pendapatan Asli Daerah
Sumber Pendapatan Pihak Ekstern
Nordiawan (2008:48) mengemukan bahwa dana perimbangan dana
yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah
untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Latar belakang lain adanya transfer dana pusat ke daerah ini mengatasi
ketimpangan fiskal vertikal (antara pusat dan daerah), mengatasi ketimpangan
fiskal horizontal, serta guna mencapai standar pelayanan untuk masyarakat.
Ketimpangan fiskal horizontal muncul akibat tidak seimbangnya
kapasitas fiskal daerah dengan kebutuhan fiskalnya. Dengan kata lain,
kemampuan daerah untuk menghasilkan pendapatan asli daerah tidak mampu
menutupi kebutuhan belanja daerah. Sesuai dengan PP No 55 tahun 2005
pasal 2, “Dana perimbangan mencakup Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi
64
Umum, dan Dana Alokasi Khusus”. Jumlah dana perimbangan ditetapkan
setiap tahun dalam APBN.
Pembagian dana bagi hasil berdasarkan daerah penghasil cendrung
menimbulkan ketimpangan antar daerah dengan mempertimbangkan
kebutuhan daerah dan potensi daerah. Alokasi DAU bagi daerah yang potensi
fiskalnya besar namun kebutuhan fiskalnya kecil akan memperoleh potensi
fiskalnya relatif kecil. Sebaliknya daerah yang memiliki potensi fiskalnya
kecil namun kebutuhan fiskalnya besar akan memperoleh alokasi DAU yang
relatif besar. Dengan maksud melihat kemampuan APBD dalam membiayai
kebutuhan-kebutuhan daerah dalam rangka pembangunan daerah yang
dicerminkan dari penerimaan umum APBD dikurangi dengan belanja
pegawai.
Ketimpangan ekonomi antara satu provinsi dengan provinsi lain tidak
dapat dihindari dengan adanya desentralisasi fiskal. Disebabkan oleh
minimnya sumber pajak dan Sumber Daya Alam yang kurang dapat digali
oleh pemerintah daerah. Untuk menanggulangi ketimpangan tersebut,
pemerintah pusat berinisiatif untuk memberikan subsidi berupa DAU kepada
daerah. Bagi daerah yang tingkat kemiskinannya lebih tinggi, akan diberi
DAU lebih besar dibanding daerah yang kaya begitu juga sebaliknya.
Hasil perhitungan Rasio Kemandirian Keuangan Daerah dapat dilihat
pada tabel 1.6
65
Tabel 1.6Data Pendapatan Dan Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Provinsi Nusa
Tenggara Timur
No Tahun PAD Perimbangan Lain-lain Pendapatan Rasio kemandirian
1. 2008 237. 286,16 708.740,58 690.000,00 0,16
2. 2009 298.154,33 773.795,61 264.450,00 0,28
3 2010 255.674,61 767.566,61 161.215,42 0,27
4. 2011 392.119,69 887.291,43 423.000,00 0,29
5. 2012 459.657,18 1.098.619,86 683.264,99 0,25
6 2013 528.832,13 1.165.848,62 698.389,68 0,28
Sumber: Data dari Dinas Pendapatan Daerah, data diolah 2015
Dengan melihat hasil analisis rasio kemandirian keuangan daerah di
atas maka dapat disimpulkan bahwa rasio kemandirian keuangan daerah
masih sangat rendah, hal ini dapat di lihat dari rasio kemandirian yagn
dihasilkan masih berkisar antara 0,00%-25,00%. Rasio keuangan yang masih
rendah mengakibatkan kemampuan keuangan daerah Provinnsi Nusa
Tenggara Timur dalam membiayai pemerintahan dan pembangunan masih
sangat tergantung terhadap pemerintah pusat.
Kemandirian keuangan daerah menjadi sangat penting, baik dari sisi
pendapatan (reneveu) maupun dari sisi pengeluaran (expenditure) agar
pemerintah memiliki kemampuan yang lebih kuat untuk mendesain dan
melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bersifat stimulan bagi peningkatan
kesejahteraan rakyat sesuai dengan aspirasi dan karakterristik masyarakatnya
masing-masing.
66
Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah Provinsi Nusa Tenggara
Timur harus terus menerus menggiatkan upaya mengoptimalkan
peningkatkan pendapatan daerah, khususnya Pendapatan Asli Daerah (PAD),
karena manajemen pemungutan PAD berada di dalam ranah kebijakan
pemerintah daerah sendiri, berbeda dengan Dana Perimbangan yang
kebijakannya merupakan domaian Pemerintah Pusat.
OT (Kepala Dinas Pendapatan dan Aset Daerah Provinsi Nusa
Tenggara Timur) menjelaskan bahwa:
“Rasio kemandirian yang masih sangat rendah dapat disebabkan pada sumber penerimaan daerah dan dasar pengenaan biaya, tampaknya pendapatan asli daerah masih belum dapat diandalkan bagi daerah untuk otonomi daerah, karena relatif rendahnya basis pajak/retribusi yang ada di daerah dan kurangnya potensi Pendapatan Asli Daerah yang dapat digali oleh pemerintah daerah. Hal ini dikarenakan sumber-sumber potensial untuk menambah Pendapatan Asli Daerah masih dikuasai oleh pemerintah pusat, yang di dalam pemungutan/pengenaannya berdasarkan undang-undang/peraturan pemerintah, dan daerah hanya menjalankan serta akan menerima bagian dalam bentuk dana perimbangan. Dana perimbangan itu sendiri terdiri dari; bagi hasil pajak, bagi hasil bukan pajak/Sumber Daya Alam, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan penerimaan lainnnya”.(Wawancara OT, 27April 2015).
EK (Kepala Sub Bagian Keuangan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi
Nusa Tenggara Timur) mengatakan bahwa:
”Meningkatnya sumber pendapatan dari bantuan pusat berupa dana transfer atau dana perimbangan didasarkan pada indikator penentuan besarnya penerimaan yang diterima oleh suatu daerah. Indikatornya, salah satunya yaitu jumlah penduduk. Penduduknya Provinsi Nusa Tenggara Timur tiap tahun terus bertambah, ruas wilayah walaupun tidak bertambah tetap dimasukan dalam komponen perhitungan pemberian dana perimbangan, ada juga yang memasukan pulau-pulau yang dimiliki daerah, berapa jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) karena sebagian besar dana perimbangan atau dana transfer yang diterima dari pemerintah pusat yang dibelanjakan daerah untuk membayar gaji PNS”. Jadi kalau gaji PNS bertambah, otomatis biasanya ada juga penambahan terkait dengan dana transfer dari pemerintah pusat. Jadi kalau trendnya bertambah, iya pasti. Trendnya bertambah bisa juga
67
mengindikasihkan bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap pusat tidak lepas. Tetapi sedapat mungkin, kedepannya pemerintah provinsi berharap ketergantungan tersebut dapat berkurang dan juga pasti menjadi harapan pemerintah pusat. Besarnya dana transfer ke daerah, artinya daerah itu masih membutuhkan pemerintah pusat dalam pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan rutinnnya”. (Wawancara EK, 28 April 2015).
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah daerah harus mampu
mengoptimalkan penerimaan dari potensi pendapatannya yang telah ada.
Inisiatif dan kemauan pemerintah daerah sangat diperlukan dalam upaya
meningkatkan PAD. Pemerintah daerah harus mencari alternatif-alternatif
yang memungkinkan untuk dapat mengatasi kekurangan pembiayaannya, dan
hal ini memerlukan kreatifitas dari aparat pelaksanan keuangan daerah untuk
mencari sumber-sumber pembiayaan baru, baik melalui program kerjasama
pembiayaan dengan pihak swasta dan juga program peningkatan PAD
misalnya pendirian BUMD sektor potensial maupun penyertaan modal ke
perusahaan daerah dengan mendapatkan imbalan berupa deviden.
2. Analisis rasio derajat desentralisasi fiskal Provinsi Nusa Tenggara Timur
Desentralisasi fiskal daerah menunjukan seberapa besar
ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dalam
membiayai pembangunan. Untuk mengetahui seberapa besar tingkat
ketergantungan tersebut maka di lakukan dengan menggunakan ukuran apa
yang disebut Derajat Desentralisasi Fiskal.
Derajat Desentralisasi Fiskal dapat dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut :
68
DDF : t
t
TPD
PAD
x 100 %Keterangan :DDF : Derajat Desentralisasi Fiskal
PADt : Total PAD Tahun t
TPDt : Total Pendapatan Daerah Tahun t
Hasil perhitungan rasio derajat desentralisasi fiskal dapat dilihat pada tabel
1.7 berikut ini:
Tabel 1.7Derajat Desentralisasi Fiskal Provinsi Nusa Tenggara Timur
No Tahun PAD TPP DDF Prov NTT KKD Prov NTT1. 2008 237. 286,16 946. 026,75 25,08% Cukup
2. 2009 298.154,33 1.023,505,58 24,98% Cukup
3. 2010 255.674,61 1.088.071.45 29,57% Cukup
4. 2011 392.119,69 1.324.761,13 29,59% Cukup
5. 2012 459.657,18 2.241.542,05 20,50% Cukup
6. 2013 528.832,13 2.393.070,44 22,09% Cukup
Sumber: Biro Keuangan Prov Nusa Tenggara Timur, Data diolah 2015
Kemampuan keuangan daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur
berdasarkan hasil perhitungan derajat desentralisasi fiskal menunjukan masih
kurangnya penerimaan yang diperoleh berdasarkan pendapatan asli daerah
apabila dibandingkan dengan total pendapatan daerah (TPD). Hal ini dilihat
pada tabel 1.7, kemampuan keuangan berdasarkan derajat desentralisasi fiskal
pada tahun 2008-2013 dianggap cukup karena berada pada skala interval
20,01%- 30,00% . Berdasarkan jumlah rata-rata rasio derajat desentalisasi
69
fiskal, kemampuan keuangan Provinsi Nusa Tenggara Timur berada pada
tingkat kemampuan yang cukup yaitu 21,62% dan berada dikisaran 20,01%-
30,00%.
OT (Kepala Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Aset Daerah Provinsi
Nusa Tenggara Timur), mengatakan bahwa:
“Rendahnya perolehan persentase yang dimiliki oleh Provinsi Nusa Tenggara Timur menunjukan bahwa pemerintah Provinsi belum mampu membiayai pengeluaran sendiri, dengan kata lain masih sangat tergantung pada pemerintah pusat apabila hasil dari derajat desentralisasi fiskal ini dipadukan dengan hasil rasio kemandirian, maka akan terlihat jelas bahwa kontribusi PAD terhadap total pendapatan daerah secara keseluruhan masih relatif kecil, maka kinerja keuangan dinilai masih sangat rendah” (Wawancara OT, 29 April 2015).
Kemandirian fiskal daerah merupakan salah satu aspek yang sangat
penting dari otonomi daerah secara keseluruhan. Manfaat dari kemandirian
adalah mendorong partisipasi prakarsa dan kreatifitas masyarakat dalam
pembangunan serta akan mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan
(keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya serta potensi
yang tersedia di daerah.
Dari hal tersebut di atas kemandirian fiskal daerah menggambarkan
kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) seperti pajak daerah, retribusi dan lain-lain. Karena itu otonomi daerah
dan pembangunan daerah bisa diwujudkan hanya apabila disertai
kemandirian fiskal yang efektif. Ini berarti pemerintah daerah secara finansial
haru bersifat independen terhadap pemerintah pusat dengan jalan sebanyak
70
mungkin menggali sumber-sumber PAD seperti pajak, retribusi dan
sebagainya.
3. Analisis Rasio Indeks Kemampuan Rutin Provinsi Nusa Tenggara Timur
Indeks Kemampuan Rutin dapat dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :
IKR : %100x
RutinnPengeluaraTotal
PAD
Keterangan : IKR : Indeks Kemampuan Rutin
PAD : Pendapatan Asli Daerah
Dalam penelitian ini, pengeluaran ruti atau belanja rutin diperoleh dari
bagian belanja operasi. Hal ini dikarenakan adanya perubahan peraturan
mengenai kelompok belanja dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13
Tahun 2006 yang kemudian diubah kedalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 59 Tahun 2007 Tentang Pedomaan Pengelolaan Keuangan Daerah.
Dalam Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedomaan Pengelolaan Keuangan
Daerah, diungkapkan pengertian belanja daerah, yaitu “belanja daerah adalah
kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurangan nilai kekayaan
bersih”. Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa belanja daerah
adalah semua pengeluaran pemerintah daerah pada satu periode anggaran berupa
arus kas aktiva keluar.
71
Dengan telah diberi kewenangan untuk mengelolah keuangan daerah,
maka belanja rutin diprioritaskan pada optimalisasi fungsi dan tugas rutin
perangkat daerah, termasuk perangkat dinas-dinas yang telah dan akan
dilimpahkan kepada pemerintah daerah.
Merujuk pada hasil wawancara dengan ZM selaku Kepala Sub Bagian
Verifikasi dan Pembukuan pada Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Nusa
Tenggara Timur yang berpendapat:
“Dampak dari masih tingginya belanja rutin dikarenakan untuk pemerintahan provinsi belum ada remunerasi atau tambahan gaji lainnya. Remunerasi adalah imbalan atau gaji. Dalam konteks Reformasi Birokrasi Pengertian Remunerasi adalah penataan sistem penggajian yang dikaitkan dengan sistem penilaian kinerja. Selain itu, terjadi kecendrungan disetiap SKPD atau satuan kerja lebih memperbanyak kegiatan. Dari kegiatan tersebut terdapat honor sehingga menyebabkan pemerintah Provinsi menghabiskan anggaran lebih banyak untuk belanja pegawai daripada belanja pembangunan atau belanja modal dikarenakan hal itu. Sebenarnya untuk lebih teknisnya BAPPEDA lebih mengetahuinya. Karena kami dikeuangan dapat menyimpulkan seperti itu karena melihat Daftar Pelaksanaan Anggaran yang dianggarkan , terdapat banyak kegiatan yang diprogramkan oleh SKPD dalam upaya mendapat honor atau tambahan gaji”(Wawancara ZM, 30 April 2015).
Senada dengan Pendapat ZM, HLE (Kepala Biro Keuangan Pada Biro
Umum Setda Prov NTT):
“Kalau kita berpikir jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 14.000 orang, yang kemudian perhitungan gaji yang diberikan sebanyak 13 (tiga belas) bulan, karena adanya gaji 13 (tiga belas). Kalau tidak salah belanja pegawai mencapai 773.000.000.000-1.590.000.000.000”(Wawancara HLE, 1 Mei 2015)
Berikut adalah hasil perhitungan Rasio Indeks Kemampuan Rutin (IKR) Provinsi
Nusa Tenggara Timur Tahun Anggaran 2008-2013:
72
Tabel 1.8Perhitungan Rasio Indeks Kemampuan Rutin
No Tahun PAD TPR IKR KKD Prov NTT
1. 2008 237. 286,16 773.353,79 30,68 Kurang
2. 2009 298.154,33 739.731,30 40,30 Cukup
3. 2010 255.674,61 963.426,63 26,53 Kurang
4. 2011 392.119,69 572.612,93 68,47 Baik
5. 2012 459.657,18 1.439.363,82 31,93 Kurang
6. 2013 528.832,13 1.590.293.,92 33,25 Kurang
Sumber: Biro Keuangan Prov Nusa Tenggara Timur, Data diolah 2015
Kemampuan daerah dalam membiayai pembangunan masih sering
mengalami kendala berupa rendahnya kemampuan daerah dalam meningkatkan
PADnya. Indikator rendahnya kemapuan daerah ini dapat dilihat dari Indeks
Kemampuan Rutin (IKR) daerah, yang diperoleh dari besarnya perubahan PAD
terhadap pengeluarn rutin daerah dalam persentase tahun yang sama.
Dari tabel 1.8 dapat disimpulkan bahwa Indeks Kemampuan Rutin selama
enam tahun terakhir pada pemerintahan Provinsi Nusa Tenggara Timur masih
dalam skala yang kurang, karena masih berada dalam skala interval antara
20,01%-40,00% yaitu sebesar 38,52% (rata-rata IKR) dan ini berarti bahwa
pendapatan asli daerah (PAD) mempunyai kemampuan yang kurang untuk
membiayai pengeluaran rutin, hal ini terjadi karena PAD Provinsi Nusa Tenggara
73
Timur sangat kecil jika dibandingkan dengan nilai belanja rutin, dan selama ini
lebih banyak tergantung pada sumber keuangan pemerintah pusat.
Menurut HLE (Kepala Biro Keuangan Sekretaris Daerah Provinsi Nusa
Tenggara Timur):
“Trend PAD terus meningkat, meskipun pemerintah provinsi belum mampu secara penuh dari PAD untuk menutup seluruh belanja daerah. Karena kalau tidak salah untuk belanja pegawai sudah mencapai 773.000.000.000-1.590.000.000.000, sedangkan PAD Provinsi Nusa Tenggara Timur masih berkisar di angka 528.000.000.000. Untuk menutup gaji pegawai saja belum mampu, apalagi untuk membangun jalan, belanja kantor. Jadi kita masih mengharapkan ada sumber-sumber pendapatan lain di luar PAD, seperti dana dari alokasi umum yang diberikan oleh pemerintah pusat untuk menutup belanja pegawai, sehingga PAD digunakan untuk belanja modal, pembangunan jalan” (Wawancara HLE, 1 Mei 2015).
Dari kedua hasil wawancara di atas, maka pemerintah Provinsi Nusa
Tenggara Timur perlu mengupayahkan penghematan untuk Belanja Rutin non
Pegawai, dengan cara memprioritaskan pembiayaan terhadap belanja yang benar-
benar urgen disertai dengan peningkatan disiplin anggaran untuk menekan
tingginya belanja rutin.
4. Analisis rasio keserasian Provinsi Nusa Tenggara Timur
Secara sederhana rasio keserasian ini dapat diformulasikan sebagai
berikut (Widodo, 2001 : 262) :
Rasio Belanja Rutin :DBelanjaAPBTotal
RutinBelanjaTotal
Rasio Belanja Pembangunan : APBDBelanjaTotal
nPembangunaBelanjaTotal
Belanja operasional yang kemudian dalam Permendagri Nomor 59
Tahun 2007 disebut sebagai belanja rutin, yang telah dibahas pada rasio
74
Indeks Kemampuan Rutin (IKR), dan belanja modal yang kemudian diubah
menjadi belanja pembangunan.
Belanja pembangunan disusun atas dasar kebutuhan nyata masyarakat
sesuai tuntutan dan dinamika yang berkembang untuk meningkatkan
pelayanan dan kesejateraan masyarakat yabg lebih baik. Dalam pembangunan
daerah, masyarakat perlu dilibatkan dalam proses perencanaan, sehingga
kebutuhan mereka dapat dijabarkan dalam kebijakan-kebijakan yang akan
ditetapkan berdasarkan prioritas dan kemampuan daerah..
Belanja pembangunan terdiri dari komponen, yaitu:
1. Belanja barang dan dan jasa. Belanja ini merupakan semua pengeluaran
Pemerintah Daerah, yang tidak berhubungan langsung dengan aktivitas
atau pelayanan publik. Kelompok belanja barang dan jasa terdiri atas,
belanja barang dan belanja pemeliharaan yang merupakan pengeluaran
pemerintah daerah untuk penyedian barang dan jasa dan pemeliharaan
barang daerah yang tidak berhubungan langsung dengan pelayanan publik.
2. Belanja Modal merupaakn pengeluaran Pemerintah daerah yang
manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah asset atau
kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja seperti biaya
operasi dan pemeliharaan
Berikut adalah hasil perhitungan Rasio Keserasian Provinsi Nusa
Tenggara Timur Tahun Anggaran 2008-2013:
75
Tabel 1.9Rasio Keserasian Provinsi Nusa Tenggara Timur
Tahun Anggaran 2008-2013
No Tahun Ttl B Rutin Tot Be Pembangunan Ttl B APBD RBR RBP
1. 2008 773.353.796.253 202.721.741.546 984.233.460.799 0,78 0,20
2. 2009 739.731.308.682 205.249.529.399 1.025.445.818.359 0,72 0,20
3. 2010 963.426.638.742 176.558.921.397 1.148.082.398.719 0,83 0,15
4. 2011 572.612.934.351 659.269.778.759 1.231.882.713.110 0,46 0,53
5. 2012 1.439.363.824.682 724. 991.767.124 2.164.355.591.806 0,66 0,33
6. 2013 1.590.293.920.199 791.017.155.965 2.381.311.076.164 0,67 0,33
Sumber: Biro Keuangan Prov Nusa Tenggara Timur, Data diolah 2015
Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004, implikasi
dari pemberian kewenangan otonomi daerah untuk melaksanakan
pembangunan disegala bidang, terutaman untuk pembanguan sarana dan
prasarana publik (publik services). Pembangunan tersebut diharapak
dilakukan secara mandiri oleh daerah baik dari sisi perencanaan,
pembangunan, serta pembiayaannya. Pembangunan yang dilaksanakan akan
banyak memberikan manfaat bagi daerah, di antaranya:
1. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan masyarakat
2. Mendorong perkembangan ekonomi daerah
3. Mendorong peningkatan pembangunan daerah di segala bidang
4. Meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat
5. Meningkatkan pendapatan asli daerah
76
6. Mendorong kegiatan investasi
Banyaknya manfaat yang diperoleh apabila pelaksanaan belanja
pembangunan dapat dilaksanakan secara mandiri ternyata belum mampu
dirasakan oleh pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hal ini terbukti
dengan perhitungan rasio keserasian provinsi Nusa Tenggara Timur tahun
anggaran 2008-2013 yang meunjukan masih rendahnya rasio belanja
pembangunan apabila dibandingkan dengan rasio belanja rutin. Di mana hasil
rata-rata dari rasio belanja pembangunan sebesar 0,29% dan rata-rata rasio
belanja rutin sebesar 0,68%, terdapat gap sebesar 0,39%.
Pendapat BK (Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara
Timur) setelah melihat ketimpangan yang terlihat:
“Ketimpangan yang terjadi antara belanja rutin dan belanja pembangunan disebabkan tingginya belanja pegawai terutama dikarenakan banyaknya kegiatan dari dinas-dinas dan belanja pegawai untuk gaji PNS. Untuk belanja modal atau pembangunan memang terbatas, hanya difokuskan pada bidang pendidikan, pekerjaan umum, dan kesehatan yang dibiayai dari Dana Alokasi Umum (DAK)” (Wawancara BK, 4 Mey 2015).
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 pasal 10
disebutkan bahwa yang menjadi sumber-sumber pembiayaan untuk
pembangunan daerah (capital investment) antara lain berasal dari PAD dan
Dana Perimbangan yangditerima oleh daerah-daerah dari Pemerintah Pusat.
Dana Perimbangan itu sendiri terdiri dari Dana bagi Hasil, Dana Alokasi
Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), selain itu ada juga sumber lain
yang berasal dari pembiayaan berupa pinjaman daerah.
77
Meskipun terdapat banyak sumber-sumber pembiayaan untuk
pembangunan daerah berdasarkan UU No 33 Tahun 2004 pasal 10, namun
faktanya pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur yang lebih condong pada
ekonomi kerakyatan belum memperhatikan pembangunan daerah, walaupun
belanja pembangunan naik meskipun relatif kecil. Hal ini dikarenakan
pemerintah kota lebih berkosentrasi pada pemenuhan belanja rutin yang
mengakibatkan belanja pembangunan untuk pemerintah provinsi Nusa
Tenggara Timur kecil atau belum terpenuhi.
5. Analisis rasio pertumbuhan Provinsi Nusa Tenggara Timur
Rasio pertumbuhan (growth ratio) mengukur seberapa
kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan
meningkatkan keberhasilan yang telah dicapai dari periode ke periode
berikutnya.
Rumus yang digunakan adalah dalam menghitung rasio pertumbuhan
adalah sebagai berikut:
r : %100xPo
PoPn
Keterangan :Pn : Data yang dihitung pada tahun ke-n
Po : Data yang dihitung pada tahun ke-0
r : Pertumbuhan
78
Tabel 1.10Perhitungan Rasio Pertumbuhan
Provinsi Nusa Tenggara Timur TahunAnggaran 2008-2013
No. Tahun Pendapatan Rasio Pertumbuhan
1. 2007 875.624.703.684 -
2. 2008 946. 026.751.848 7,44
3. 2009 1.023.505.680.974 7,56
4. 2010 1.088.071.458.777 5,93
5. 2011 1.324.761.137.198 17,86
6. 2012 2.241.542.051.286 40,89
7. 2013 2.393.070.440.431 6,33
Sumber:DISPENDA, Data diolah 2015
Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel 10 kondisi pertumbuhan APBD
Provinsi Nusa Tenggara Timur dapat disimpulkan bahwa APBD pada tahun
anggaran 2008-2013 pertumbuhan rata-rata yang negative. Hal ini diakibatkan
pertumbuhan nilai PAD dan total pendapatan daerah tidak diikuti oleh
pertumbuhan belanja pembangunan. Artinya pemerintah Provinsi Nusa Tenggara
Timur belum mampu mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhan dari
periode yang satu ke periode berikutnya yang disebabkan masih fluktuatifnya
pertumbuhan belanja pembangunan, dan belanja rutin yang terus bertambah.
AS (Kepala Sub Bagian Tata Usaha BPS Provinsi Nusa Tenggara Timur)
mengungkapkan:
79
“Dengan mengetahui pertumbuhan masing-masing komponen sumber pendapatan dan pengeluaran, maka dapat dievaluasi terdapat potensi-potensi daerah yang perlu mendapatkan perhatian. Semakin tinggi persentase pertumbuhan setiap komponen pendapatan dan pengeluaran, maka semakin besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang dicapai dari setiap periode”(Wawancara AS, 5 Mey 2015).
C. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Dalam Penerimaan PAD Provinsi Nusa Tenggara Timur
a. Jumlah Transfer Pemerintah Pusat (Dana Perimbangan)
Transfer dalam penerimaan daerah yang bersumber dari pemerintah pusat
antara lain dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK),
Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak. Adapun kontribusi transfer dari
pemerintah pusat yang dialokasikan ke Provinsi Nusa Tenggara Timur dapat
dilihat pada tabel 1.11 berikut ini:
Tabel 1.11Kontribusi Transfer Pemerintah Pusat Terhadap PAD Provinsi Nusa
Tenggara Timur (dalam jutaan rupiah)
No Tahun Total Pendapatan JumlahTransfer Kontribusi Transfer (%)
1. 2008 946. 026,75 708.740,58 74,91
2. 2009 1 .008. 071,45 773.795,61 76,75
3. 2010 1.023.505.68 767.566,61 74,99
4. 2011 1.324.761,13 887.291,43 66,97
5. 2012 2.241.542,05 1.098.619,86 49,01
6. 2013 2.393.070,44 1.165.848,62 48,71
Sumber: Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, Data diolah 2015
Dari tabel 1.11 di atas bahwa selama kurun waktu 6 tahun terakhir
sejak tahun 2008 sampai dengan 2013 kontribusi Transfer terhadap APBD
80
rata-rata sebesar 65,22%. Dilihat dari prosentase kontribusi tersebut
menggambarkan bahwa dalam menjalankan pemerintahan dan melaksanakan
pembangunan daerah, provinsi Nusa Tenggara Timur masih membutuhkan
bantuan dari pemerintah pusat sebesar 65,22%. Transfer dari pemerintah pusat
harus ada dan selalu ada, karena hal ini dimaksudkan untuk menjaga adanya
ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat guna menghindari
perpecahan daerah (disintegrasi) dalam rangka menjaga persatuan dan
kesatuan NKRI.
Apabila daerah diberi kebebasan untuk memanfaatkan potensi daerah
secara keseluruhan dan tidak ada ketentuan mengenai perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, hal ini dimungkinkan bagi
daerah yang sumber daya alamnya besar dan mampu membiayai kebutuhan di
dalam penyelenggaraan pembangunan daerahnya, dapat diprediksi daerah
tersebut akan memisahkan diri dan menjadi Negara sendiri (disintegrasi).
Oleh karena itu walaupun otonomi daerah yang mana daerah diberi
kewenangan besar untuk mengurus rumah tangganya sendiri, tetapi tetap ada
keterkaitan dengan pemerintah pusat melalui perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang diatur di dalam Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
EK (Kepala Sub Bagian Keuangan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi
Nusa Tenggara Timur) mengungkapkan bahwa:
81
“Pengaruh yang paling dominan antara jumlah transfer pemerintah pusat terhadap pendapatan asli daerah menunjukan hasil signifikan secara tidak langsung, khususnya transfer yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan aktivitas ekonomi sehingga mendorong kegiatan perekonomian di Nusa Tenggara Timur sehingga dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini dibuktikan dengan masih besarnya jumlah transfer pusat terhadap pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur”(Wawancara EK, 6 Mey 2015) .
Hal ini menjelaskan bahwa semakin tinggi jumlah pendapatan asli
daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur menyebabkan tingkat kemandirian
daerah dalam pembangunan semakin baik, karena semakin tinggi PAD,
transfer yang dialokasikan dalan APBD semakin kecil dibanding dengan
PAD.
b. Jumlah Kendaran Roda 2 dan Roda 4 atau Lebih
Berikut ini digambarkan tabel 1.12 menunjukan jumlah kendaraan bermotor
baik roda dua maupun roda empat yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
dimana pajak kendaraan bermotor memberikan kontribusi terbesar terhadap
PAD Provinsi Nusa Tenggara Timur
Tabel 1.12Daftar Jumlah Kendaraan Bermotor di Nusa Tenggara Timur
Tahun 2008 Sampai Dengan Tahun 2013No Tahun Roda 2 Roda 4/lebih Jumlah Kendaraan
1. 2008 117.119 17.923 135.051
2. 2009 173.535 27.733 201.268
3. 2010 194.056 30.431 224.487
4. 2011 233.891 37.015 270.906
5. 2012 335.081 43.053 378.134
6. 2013 392.345 47.487 439.832
Sumber data: Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur
82
Dari di atas dapat diketahui bahwa jumlah kendaraan bermotor di
Provinsi Nusa Tenggara Timur baik roda dua maupun roda empat setiap tahun
cukup besar, sehingga peningkatan PAD dari Pajak Kendaraan Bermotor juga
meningkat tiap tahunnya. Pertumbuhan kendaraan roda dua dan roda empat
dapat dilihat pada tabel 1.13 berikut ini:
Tabel 1.13Daftar Pertumbuhan Kendaraan Bermotor Roda 2 dan Roda 4
di Nusa Tenggara Timur Tahun 2008 Sampai Dengan Tahun 2013
No Tahun Roda 2 Roda 4/lebih Jumlah Kendaraan1. 2008 35.895 5.376 41.271
2. 2009 56.416 9.810 66.226
3. 2010 20.521 2.698 23.219
4. 2011 39.835 6.584 46.419
5. 2012 101.190 6.038 208.418
6. 2013 57.264 4434 61.698
Sumber data: Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur,Data diolah 2015
Dilihat dari daftar di atas, pada tahun 2012 jumlah kendaraan roda 2
mengalami pertumbuhan yaitu sebesar 254,02% dari tahun sebelumnya. Hal
ini disebabkan masuknya kendaraan roda 2 buatan China yang harganya
relatif lebih murah dibandingkan dengan kendaraan roda 2 buatan Jepang.
Sedangkan pada tahun 2013 pertumbuhan kendaraan di Nusa Tenggara Timur
sedikit menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu kendaraan roda
2 hanya mencapai 56,59% dan roda 4 sebesar 73,43%.
83
Pajak kendaraan bermotor adalah penerimaan pajak yang dikenakan pada
pemilik kendaraan bermotor, baik roda 2 maupun roda 4 yang berdomisili di
Nusa Tenggara Timur dan masuk ke kas daerah.
Penerimaan pajak kendaraan bermotor merupakan penyumbang terbesar bagi
PAD Provinsi Nusa Tenggara Timur. Adapun besarnya kontribusi pajak
kendaraan bermotor terhadap PAD dan dapat dilihat pada tabel 6 berikut ini:
Tabel 1.14Kontribusi PKB terhadap PAD
(dalam jutaan rupiah)
No Tahun Jumlah PAD Jumlah PKB Kontribusi PKB Terhadap PAD (%)
1. 2008 237. 286,16 44.338,21 18,68
2. 2009 298.154,33 47.697,92 15,99
3. 2010 255.674,61 57.599,89 22,52
4. 2011 392.119,69 70.898,10 18,08
5. 2012 459.657,18 82.441,17 17,93
6. 2013 528.832,13 97.337,48 18,40
Sumber data: Laporan Keuangan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Data diolah 2015
BL (Kepala Sub Bagian Pajak dan Retribusi pada Dinas Pendapatan
Daerah) mengatakaan bahwa:
“Jumlah kendaraan roda 2 dan roda 4 atau lebih menjadi faktor yang paling dominan terhadap Pendapatan Asli Daerah. Hal ini ditunjukan dengan semakin bertambahnya jumlah kendaraan baik roda 2 dan 4 atau lebih setiap tahunnya. Dengan bertambahnya jumlah kendaraan akan berdampak terdapat bertambahnya Pendapatan Asli Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur, karena pajak kendaraan roda 2 dan 4 atau lebih disetor ke daerah semakin besar” (Wawancara BL, 7 Mei 2015).
84
OT menambahkan bahwa:
“Ada dua faktor yang sangat berpengaruh terhadap bertambahnya jumlah kendaraan bermotor roda 2 dan 4 atau lebih antara lain, pertama, adanya kebijakan pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2002 tentang Pembebasan tarif BBNKB sehingga masyarakat di Nusa Tenggara Timur bergairah membeli kendaraan bermotor dari luar Nusa Tenggara Timur yang harga pasarannya lebih rendah untuk dimutasikan ke Nusa Tenggara Timur, Kedua, masuknya kendaraan roda 2 buatan China yang harga relatif lebih murah dibandingkan kendaraan roda 2 buatan jepang” (Wawancara OT, 7 Mei 2015).
c. Pengaruh Investasi Daerah
Penyertaan modal Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan investasi
pemerintah daerah pada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) ataupun swasta.
Penyertaan modal ini diharapkan dapat membantu penerimaan pemerintah
daerah dalam rangka meningkatkan PAD. Adapun kontribusi penyertaan
modal (deviden) Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dapat dilihat pada
stabel 1.15 berikut ini:
Tabel 1.15Kontribusi Hasil Penyertaan Modal (Deviden) terhadap PAD
(dalam jutaan rupiah)No Tahun Jumlah PAD Penyertaan Modal (Deviden) Kontribusi PenyertaanModal
1. 2008 237. 286,16 12.707,32 5,35
2. 2009 298.154,33 11.452,76 3,84
3. 2010 255.674,61 19.826,43 7.75
4. 2011 392.119,69 33.862,76 8,63
5. 2012 459.657,18 42.740,30 9,29
6. 2013 528.832,13 53.317,24 10,08
Sumber Data:Laporan Keuangan Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2008-2012.Data diolah 2015
85
TB (Kepala Sub Bagian BUMD, Penyertaan Modal dan Pinjaman Daerah
pada Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur) mengatakan
bahwa:
“Terdapat pengaruh positif antara investasi daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur, Hal ini menjelaskan bahwa semakin tinggi investasi daerah akan berdampak terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah di Nusa Tenggara Timur atau dapat dikatakan jika semakin banyak investasi daerah yang dialokasikan ke APBD, maka Pendapatan Asli Daerah yang diperoleh Provinsi Nusa Tenggara Timur akan semakin besar, karena deviden dari hasil investasi daerah yang disetor ke kas daerah akan semakin besar”(Wawancara TB,11 Mei 2015)
86
BAB VPENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan analisis data dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Tingkat kemampuan keuangan daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur
dalam pelaksanaan otonomi daerah tahun anggaran 2008-2013 dianggap
masih kurang. Hal ini dapat dilihat berrdasarkan hasil perhitungan rasio:
a. Rasio kemandirian keuangan daerah selama enam tahun terakhir yang
menghasilkan jumlah rata-rata sebesar 0,25% dengan skala interval
0,00%-25,00%. Dari hasil tersebut, tergambar dengan jelas masih besarnya
ketergantungan pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur terhadap
sumber-sumber dana bantuan dari pihak ekstern, dengan komponen
bantuan terbesar adalah Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana
Penyesuaian.
b. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal, selama enam tahun menunjukan angka
rata-rata sebesar 21,62% dengan kemampuan keuangan yang tergolong
kurang. Hasil ini menunjukan bahwa pemerintah Provinsi Nusa Tenggara
Timur belum mampu membiayai pengeluarannya sendiri. Pemerintah
Provinsi Nusa Tenggara Timur masih tergantung kepada pemerintah pusat
dalam hal pembiayaan pengeluaran.Berdasarkan kemampuan PAD untuk
membiayai pengeluaran rutin daerah, yang juga disebut dengan rasio
Indeks Kemampuan Rutin (IKR) rata-rata hanya sebesar 38,52% dengan
pola kemampuan keuangan masih dalam interval 20,01%-40,00% yang
87
dinilai kurang. Artinya PAD Provinsi Nusa Tenggara Timur belum mampu
membiayai belanja rutin yang dilakukan oleh pemerintah
provinsi.Berdasarkan hasil perhitungan rasio keserasian, pemerintah
Provinsi Nusa Tenggara Timur masih lebih memprioritaskan belanja rutin
daripada belanja pembangunan. Hasil rata-rata rasio pembangunan sebesar
0,29% dan rasio belanja rutin sebesar 0,68%. Angka ini menunjukan
bahwa pemerintah Provinsi belum memperhatikan pembangunan daerah.
Hal ini disebabkan keterbatasan dana yang dimiliki oleh pemerintah
Provinsi Nusa Tenggara Timur sehingga pemerintah lebih berkonsentrasi
pada pemenuhan belanja rutin dan penghematan pada belanja lainnya.
c. Berdasarkan rasio pertumbuhan (growth ratio), Provinsi Nusa Tenggara
Timur mengalami pertumbuhan ditiap periode tahun anggaran (2008-
2013). Total pendapatan juga mengalami pertumbuhan pada tiga tahun
terkahir 2011, 2012,2013, sama halnya dengan belanja rutin yang
mengalami pertumbuhan pada tahun 2012,2013 namun belanja
pembangunan mengalami penurunan pada tahun 2011 yang kemudian
mengamali kenaikan pada tahun 2012, 2013. Dari hasil perhitungan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa kondisi pertumbuhan APBD Provinsi
Nusa Tenggara Timur menunjukan rata-rata yang negatif, karena
pertumbuhan PAD dan TPD tidak diikuti oleh pertumbuhan belanja
pembangunan, melainkan diikuti oleh belanja rutin. Berdasarkan rasio
pertumbuhan, secara keseluruhan kontribusi Pendapatan Asli Daerah
Provinsi Nusa Tenggara Timur terhadap Anggaran Pendapatan Belanja
88
Daerah tahun anggaran 2008-2013. Dinilai masih sangat rendah, yaitu
25,30%
2. Faktor-faktor yang menunjang kemampuan keuangan daerah Provinsi
Nusa Tenggara Timur adalah:
a. Jumlah transfer pemerintah pusat terhadap daerah
b. Jumlah kendaraan roda 2 dan roda 4 atau lebih
c. Jumlah hasil penyertaan modal (Deviden)
B. Saran
Berdasarkan hasil analisis dan kesimpulan tentang kinerja keuangan
pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, penulis mencoba mengajukan
beberapa saran. Saran-saran tersebut antara lain:
a. Pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana dinyatakan dalam Undang-
undang Nomor 32 tahun 2004 sebagai revisi dari Unndang-undang Nomor
22 tahun 1999, sangat diperlukan kemandirian keuangan daerah agar
tingkat ketergantungan keuangan daerah kepada pemerintah pusat melalui
intensifikasi Pendapatan Asli Daerah yang dilakukan masing-masing
daerah
b. Pemerintah daerah agar berusaha untuk mendapatkan bagi hasil dari
pusat terkait sumber daya daerah yang penerimaannya disetor seluruhnya
ke pusat, sebagai contoh bagi hasil cukai yang semuanya merupakan
penerimaan pemerintah pusat.
c. Pemerintah daerah agar membuat kebijakan tentang pembebasan
BBNKB dari luar Provinsi Nusa Tenggara Timur yang berlaku
89
selamanya tidak temporer, sehingga kendaraan dari luar Nusa Tenggara
Timur yang mutasi ke Nusa Tenggara Timur semakin meningkat.
d. Membantu masyarakat dalam pengurusan dokumen kendaraan bermotor
khususnya kendaraan bekas, sehingga semua kendaraan terdaftar dengan
baik dan masyarakat bergairah untuk memiliki kendaraan bermotor yang
harganya terjangkau walaupun bekas, sehingga dengan meningkatnya
pemilik kendaraan bermotor akan berpengaruh pada penerimaan pajak
kendaraan bermotor juga meningkat dan dengan demikian PAD juga akan
meningkat.
e. Perlu ditingkatkannya sarana dan prasarana pembayaran pajak kendaraan
bermotor, atau menambah jumlah outlet pembayaran pajak kendaraan
bermotor dan memanfaatkan jasa perbankan dalam pembayaran
kendaraan bermotor.
f. Dengan banyaknya outlet pembayaran pajak kendaraan bermotor, akan
mempengaruhi wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya, sehingga
penerimaan dari sektor pajak kendaraan bermotor dapat secara efektif
dapat diterimah oleh kas daerah.
g. Melaksanaakn investasi pada usaha-usaha yang mempunyai nilai
ekonomis yang tinggi, dan berpartisipasi pada mega proyek yang ada di
daerahnya sehingga dapat menambah penerimaan daerah.
h. Mengingat terbatasnya jumlah dan jenis sumber-sumber ketergantungan
Pendapatan Asli Daerah, maka diperlukan penyerahan beberapa sumber
90
keuangan nasional yang potensial untuk dikelola dan dipungut sendiri
oleh daerah yang menjadi penerimaan PAD.
i. Penelitian ini hanya menganalisis beberapa komponen dalam
perkembangan APBD, diharapkan untuk penelitian selanjutnya dapat
menganalisis seluruh komponen yang terdapat dalam APBD sehingga
akan lebih lengkap.
j. Penelitian ini hanya menggunakan beberapa model analisis rasio
keuangan, untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggunakan
seluruh model analisis rasio keuanggan sehingga hasil analisisnya lebih
lengkap dan menyeluruh.
k. Penelitian ini hanya dilakukan pada tahun anggaran 2008-2013 di
Provinsi Nusa Tenggara Timur saja, diharapkan penelitian selanjutnya
obyek penelitian dilakukan di beberapa Provinsi sehingga perbandingan
antara provinsi yang satu dengan yang lainnya
91
DAFTAR PUSTAKA
Anggito dan Kuncoro.1995.Sektor-Sektor ekonomi Potensial dan Pembiayaan Pembangunan Dalam Rangka Otonomi Daerah.DIY.UGM Yogyakarta
Abimayu dan Koncoro.1995.Desentralisasi dan Otonomi Daerah Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah.Jakarta LIPI Press
Badan Pusat Statistik.2008.Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2008.NTT. Badan Pusat Statistik NTT
………………………2009.Nusa Tenggara Timur Dalam Angka.NTT 2009. Badan Pusat Statistik NTT
……………………..2010.Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2010.NTT. Badan Pusat Statistik NTT
……………………2011.Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 201.NTT. Badan Pusat Statistik NTT
……………………2012.Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2012.NTT. Badan Pusat Statistik NTT
……………………..2013.Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2013.NTT. Badan Pusat Statistik NTT
Bastian, Indra.2006. Akuntansi Sektor Publik, Suatu Pengantar. Jakarta. Erlangga
Djaenuri, Aries, dkk.2003.Sistem Pemerintahan Daerah. Jakarta. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka
Devas, Nick, dkk. 1989. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia.Jakarta: UI- Press
Engleni, Rita.2005. Pentingnya Penyusunan Rencana Penerimaan PAD Jangka Menengah Dalam Menunjang Akuntansi Manajemen Pada Dinas Pendapatan Daerah Kota Padang, Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah.Yogyakarta. UPP AMP YKPN
Guritno, Mangkoesoebroto, 2001. Ekonomi Publik. Yogyakarta. BPFE
Halim, Abdul. 2001. Anggaran Daerah dan Fiskal Stress. Sebuah Studi Kasus pada Anggaran Daerah Provinsi di Indonesia. Yogyakarta: JEBI
92
……………….2002. Akuntansi dan Pengendalian Keuangan Daerah, Seri Bunga Rampai Keuangan Daerah.Yogyakarta. UPP AMP YKPN
………………2004.Manajemen Keuangan Daerah.Yogyakarta.UPP AMP YKPN……………….2007. Akuntansi Sektor Publik, Akuntansi Keuangan
Daerah.Jakarta. Selemba Empat
………………2009.Problem Desentralisasi dan Keuangan Pemerintahan Pusat-Daerah Peluang dan Tantangan Dalam Pengelolan Sumber Daya Daerah. Yogyakarta. Sekolah Pascasarjana UGM
Hariadi, Pramono dkk. 2010. Pengelolaan Keuangan Daerah. Jakarta: Salemba Empat
Haris, Syamsudin.2007. Desentralisasi dan Otonomi Daerah; Desentralisasi, Demokratisasi, dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta. LIPPI Press
Kaho, Josef Riwu.1997. Prospek Otonomi Daerah di Republik Indonesia. Jakarta: Rajawali Press
…………………..2010.Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia (Indentifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraan Otonomi daerah).Jakarta.Raja Grafindo Persada
Kuncoro, Mudrajat.1997. Otonomi Daerah Dalam Transisi. Pada Seminar Nasional Manajemen Keuangan Daerah dalam Era Global, 12 April, Yogyakarta
Kuncoro, Mudrajat. 1995. Desentralisasi Fiskal di Indonesia: Dilema Otonomi dan Ketergantungan. Jakarta. PRISMA
Kuncoro, Mudrajat 1997. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah dan Kebijakan. Yogyakarta. UPP AMP YKPN Mardiasmo, 2004. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta: Andi
Mahmudi.2010. Buku Seri Membudayakan Akuntabilitas Publik; Analisis Laporan Keuangan Pemerintahan Daerah Panduan Bagi Eksekutif, DPRD, dan Masyarakat Dalam Pengambilan Keputusan Ekonomi, sosial, dan Politik.Yogyakarta.Unit Penerbit dan Pencetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN
Mardiasmo.2004.Otonomi Daerah Sebagai Upaya Memperkokoh Basis Perekonomian Daerah. Yogyakarta.Andi Offset.
93
Mardiasmo dan Kirana Jaya, Wihana.1999. Pengelolaan Keuangan Daerah yang Berorientasi pada Kepentingan Publik. Yogyakarta. KOMPAK STIE YO
Muluk, Khairul.2009.Peta Konsep Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah.Malang.ITS Press
Nordiawan, Deddi.2008.Akuntansi Sektor Publik.Jakarta.Salemba Empat.Nota Perhitungan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Nusa Tenggara Timur
Tahun Anggaran 2008s/d2013
Prasetyantono.1996.Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktek.Jakarta.Erlangga
Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004 (PROPERNAS)
Radianto, Elia. 1997. Otonomi Daerah, Keuangan Tingkat II Suatu Studi di Maluku. Jakarta. Prisma
Rosidin, Utang.2010.Otonomi Daerah dan Desentralisasi.Bandung.CV Pustaka Setia
Saragih, Juli Panglima.2003. Desentalisasi Fiskal dan Keungan Daerah dalam Otonomi. Jakarta. Ghalia Indonesia.
Shah.1994. Pendanaan Pemerintah Pusat Dalam Pengeluaran Pembangunan Pemerintah Daerah.Jakarta.Prisma
Shah.1997. Pembangunan Daerah dan Peluang Pemerataan Pembangunan Antar Daerah.Jakarta.Prisma
Sarwano, Jonathan.2011.Mixed Method; Cara Menggabung Riset Kuantitatif dan Riset Kualitatif Secara Benar.Jakarta. Alex Media Komputindo
Sidik, Machfud. 2004. Bunga Rampai Desentralisasi Fiskal. Jakarta. Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah
Sugiyanto FX.2000. Kemandirian dan Otonomi Daerah.Jakarta. Media dan Ekonomi Bisnis
Sumodiningrat.1999.Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan.Jakarta.IMPAC
Suparmoko, 2002. Ekonomi Publik: Untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah. Yogyakarta. Andi
Turtiantoro. 2000. Otonomi Daerah Dalam Perspektif Administrasi Pembangunan. Jakarta. Media Ekonomi dan Bisnis
94
Ulum, Ihyaul.2009. Audit Sektor Publik Suatu Pengantar.Malang.Bumi Aksara
Wijaya, H.A.W.,2001. Otonomi Daerah dan Daerah Otonomi.Jakarta: Rajawaji.
Yuliati.2001.Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dalam Menghadapi Otonomi Daerah, Manajemen Keuangan Daerah.Yogyakarta.UPPYKPN
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Daerah Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
.Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan Retribusi
Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun2001 Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 Tentang Dana Perimbangan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peratutan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedomaan Pengelolaan Keuangan Daerah
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2006 Tentang Pedomaan Penyusunan APBD Tahun 2007
Peraturan Daerah, Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Di atas air
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
Jalan Sultan Alauddin KM. 7 Telp. 0411-86697 90221
Bapak/Ibu yang sama hormati,
Saya atas nama Kamaruddin Oron Tewa, Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas
Ilmu sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Makassar. Dalam hal ini saya
sedang mengadakan penelitian tugas akhir yang berhubungan dengan Pengelolaan Keuangan
Daerah Terhadap Pembangunan Daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dimana Penelitian
ini hanya untuk kepentingan ilmiah yaitu untuk menyusun tugas akhir sebagai syarat untuk
memperoleh gelar sarjana.
Atas bantuan, kesedian waktu dan kerjasamanya saya ucapkan terima kasih
WAWANCARA DENGAN INFORMAN
Hari/Tanggal :…………………………………………...
Lokasi :…………………………………………...
A. Identitas Informan
1. Nama :
2. Alamat :
3. Jenis Kelamin :
4. Agama :
5. Jabatan :
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
Jalan Sultan Alauddin KM. 7 Telp. 0411-86697 90221
B. Deskripsi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur
Pertanyaan Wawancara
1. Bagaimana tingkat kontribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur?
Jawaban:
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
2. Menurut Bapak, Mengapa Pemerintah daerah dalam konteks otonomi daerah tidak
diberi kewenangan secara penuh untuk mengelolah sumber daya potensial yang
dimiliki daerah?
Jawaban:
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
C. Kemampuan Fiskal Daerah dalam Mendukung Pembangunan daerah Provinsi
Nusa Tenggara Timur
1. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab rendahnya rasio kemandirian keuangan
daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam mendukung pembangunan daerah?
Jabawan:
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
Jalan Sultan Alauddin KM. 7 Telp. 0411-86697 90221
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
2. Apa saja yang menjadi indikator untuk menentukan besarnya nominal dana
transfer/dana perimbangan yang diberikan pusat kepada suatu daerah?
Jawaban:
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
3. Bagaimana kemampuan keuangan daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur apabila hasil
derajat desentralisasi fiskal dipadukan dengan rasio kemandirian?
Jawaban:
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
4. Apa saja menjadi penyebab tingginya belanja rutin dibandingkan dengan belanja
pembangunan pada pemerintahan Provinsi Nusa Tenggara Timur?
Jawaban:
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
5. Bisakah bapak memberikan sedikit gambaran tentang besarnya belanja rutin bila
dibandingkan dengan jumlah pegawai?
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
Jalan Sultan Alauddin KM. 7 Telp. 0411-86697 90221
Jawaban:
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
6. Bagaimana Kemampuan Pendapatan Asli Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur
untuk mendukung seluruh belanja daerah?
Jawaban:
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
7. Apa kegunaan mengkaji tingkat pertumbuhan pendapatan dan pengeluaran suatu
daerah?
Jawaban:
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
D. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Dalam Penerimaan PAD Provinsi Nusa Tenggara
Timur
1. Bagaimana gambaran pengaruh jumlah transfer pemerintah pusat terhadap
Pendapatan Asli Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur?
Jawaban:
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
Jalan Sultan Alauddin KM. 7 Telp. 0411-86697 90221
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
2. Bagaimana hubungan jumlah kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat
atau lebih terhadap Pendapatan Asli Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur?
Jawaban:
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
3. Faktor apa saja yang berpengaruh terhadap bertambahnya jumlah kendaraan bermotor
baik roda dua maupun roda empat atau lebih di Provinsi Nusa Tenggara Timur?
Jawaban:
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
4. Bagaimana pengaruh investasi daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah Provinsi
Nusa Tenggara Timur?
Jawaban:
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
DAFTAR NAMA-NAMA INFORMAN
No Nama Inisial Umur Jabatan/Pekerjaan Ket
1. Drs. Hali Lanan Elias HLE 56 Kepala Biro Keuangan
Sekretarias Daerah
Provinsi Nusa Tenggara
Timur
22 April
2015, 1
Mey
2015
2. Dr. Drs. Jelamu A. Marianus, M.Si JAM 52 Kepala Subag Akuntansi
Pada Biro Keuangan
Sekretaris Daerah Provinsi
Nusa Tenggara Timur
23 April
2015
3. Drs. Zakaria Moruk, MM ZM 49 Kepala Subag Verifikasi
dan Pembukuan pada Biro
Keuangan Setda NTT
30 April
2015
4. Drs. Obaldus Toda, MM OT 54 Kepala Dinas Pendapatan
dan Aset Daerah Provinsi
Nusa Tenggara Timur
27 April
2015, 29
April
2015
5. Emanuel Kara, SH EK 47 Kepala Subag Keuangan
pada DISPENDA NTT
28 April,
6 Mey
2015
6. Drs Benyamin Lola, M.Pd BL 52 Kepala Subag Pajak dan
Retribusi DISPENDA
7Mei
2015
NTT
7. Thomas Bengke, SE, M.Si TB 46 Kepala Subag BUMD,
Penyertaan Modal dan
Pinjaman pada
DISPENDA NTT
11 Mey
2015
8. Drs. Bruno Kopuk BK 53 Kepala BPS Provinsi NTT 4 Mey
2015
9. Ir Alexander Sena AS 54 Kepala Subab Tata Usaha
BPS NTT
5 Mey