Analisis Kelemahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999

18
ANALISIS KELEMAHAN UNDANG- UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

description

ini adaladh amalisisisisi yan e ntetnmat eatejsfnasfanfsanfsanfsalfsalfnsaflnsafncxz c capeoireqwjafnasmnfmsafsanfsnafnakjfnjanfjnasjcnsjancm mxcamnmcnancjansjcnsancjsanjnajs

Transcript of Analisis Kelemahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999

ANALISIS UNDANG-UNDANG

ANALISIS KELEMAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian SengketaDyah Pratita E0011111Yosephin Pramudita E0011339Astrid S. VirginiaE0012063Nadia Noor S.R E0012274Penna RahmawatiE0012298Priskila AskahliaE0012306

Menurut ketentuan pasal 1 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 dinyatakan bahwa: Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersangkutan.

Sedangkan pasal 1 ayat (10) UU No. 30 Tahun 1999 dinyatakan : Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau pendapat ahli.

Dari kedua hal tersebut di atas nampak bahwa arbitrase merupakan bagian dari Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar pengadilan. Sehingga seharusnya arbitrase bukan berdiri sendiri, melainkan rumusan penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini dinyatakan dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dilakukan melalui : a) konsultasi, b) negosiasi, c) mediasi, d) konsiliasi, e) pemberian pendapat hukum, dan f) arbitrase, sebagai bagian yang sama.

Kelemahan yang masih menjadi kendala dari APS adalah masih kakunya prosedur/mekanisme APS yang ada dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Kekakuan mekanisme tersebut dapat dilihat dari limitasi waktu yang ketat dan langkah-langkah/tahapan yang baku sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6

Dalam kaitannya dengan prinsip accesible dan affordable (ada di setiap tempat dan biaya murah) nampak bahwa Badan Arbitrase tidak terdapat di semua Kabupaten/kota. Ini berarti merupakan seperti Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) jilid 2, karena hampir tidak semua memiliki PTUN tersebut dan yang ada hanya di ibukota provinsi. Sedangkan Badan Arbitrase ini justru tidak semua ibukota provinsi mempunyai sehingga tidak tercapai proses peradilan yang cepat dan biaya ringan.Didalam Undang-undang nomor 30 tahun 1999 terdapat pertentangan antara pasal 11 dan pasal 56 ayat 2 dimana didalam Pasal 11 ayat (1) dinyatakan bahwa adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri dan dalam ayat (2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan ikut campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.

Sedangkan didalam pasal 56 ayat (2) dinyatakan Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para pihak.Dari kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pengaturan yang terdapat didalam Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 masih terdapat beberapa kelemahan yaitu adanya pasal-pasal yang saling bertentangan dan kabur. Belom adanya keterngan secara jelas mengenai kompetensi arbitrase itu sendiri didalam menyelesaikan suatu sengketa.

Syarat pengangkatan arbiter pasal 12-21tidak adanya kriteria untuk mencari arbiter yang jujur dan adil sebagaimana yang diamanatkan dalam bagian Penjelasan Umum paragrap ke-4 UU No. 30 Tahun 1999, hendaknya harus diatur bagaimana ukuran seorang arbiter dapat dikatakan memenuhi syarat jujur dan adil.

Hak Ingkar ps. 22-26Permasalahan berkaitan dengan hak ingkar pada dasarnya tidak saja dialami oleh Indonesia melainkan juga oleh berbagai negara di dunia. Hak ingkar bisa dijadikan sebagai sarana bagi pihak yang beritikad buruk untuk menunda putusan. Dengan demikian, seyogyanya peluang hak ingkar ini dipersempit dengan menegaskan bahwa hak ingkar dapat dilakukan jika memang sudah terbukti bahwa arbiriter berada dalam posisi yang tidak netral.Pasal 27 : semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutupPemeriksaan sengketa oleh majelis arbitrase selalu dilakukan dalam persidangan tertutup, dalam arti tidak terbuka untuk umum, dan putusan yang dijatuhkan dalam sidang tertutup tersebut hampir tidak pernah dipublikasikan. putusan tersebut bersifat mandiri dan terpisah dengan lainnya, sehingga tidak ada legal precedence atau keterikatan terhadap putusan-putusan arbitrase sebelumnya. Artinya, putusan-putusan arbitrase atas suatu sengketa terbuang tanpa manfaat, meskipun di dalamnya mengandung argumentasi-argumentasi berbobot dari para arbiter terkenal di bidangnya.Maka secara teori hilangnya precedence tersebut juga dapat berakibat timbulnya putusan-putusan yang saling berlawanan atas penyelesaian sengketa serupa di masa yang akan datang. Bertentangan dengan asas similia similibus.Pasal 32Menurut UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka bila terjadi perkara koneksitas antara hukum privat dan hukum publik maka hukum publik harus diselesaikan dahulu ( Nugroho, 1998: 12). Dalam Pasal 32 ayat (1) memberi wewenang kepada arbitrase melakukan tindakan bersifat sementara berupa penetapan sita jaminan, memerintahkan penitipan barang kepada pihak ketiga dan penjualan terhadap barang yang mudah rusak melalui putusan sela yang diajukan salah satu pihak ataupun majelis arbitrase. Namun Pasal ini tidak ada pengaturan yang jelas mengenai sita jaminan. Sementara yang kita tau sita jaminan dilakukan oleh Pengadilan Negeri sesuai ketentuan HIR yang tunduk pada ketentuan hukum publik. Sehingga tidak ada penjelasan yang lebih lanjut mengenai pembeda antara sita jaminan oleh Pengadilan Negeri dengan arbitrase ini.

Pasal 51Terhadap kegiatan dalam pemeriksaan dan sidang arbitrase dibuat berita acara pemeriksaan oleh sekretaris.

Tidak dijelaskan di awal pasal mengenai tugas dari sekretaris itu sendiri dan tidak dicantumkan mengenai pasal yang mengatur tentang sekretaris. Hanya pada pasal 9 ayat (3) yang menjelaskan bahwa perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak harus memuat pada point e yaitu mengenai nama lengkap sekretaris.

Pasal 60Pasal 60 yang mengatur bahwa Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Hal ini berarti tidak dapat diajukan perlawanan hukum, banding kasasi atau peninjauan kembali

Pasal 59 ayat (4) yang mengatur bahwa apabila ketentuan sebagaimana diatur Pasal 59 ayat (1), yaitu pendaftaran putusan paling lambat 30 hari setelah diucapkan tidak dilaksanakan, maka Putusan Arbitrase tidak dapat dilaksanakan. Selanjutnya, Dalam hal para pihak tidak melaksanakan Putusan Arbitrase secara sukarela, maka putusan dapat dilaksanakan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak, Pasal 62 ayat (3) mengatur bahwa apabila didapati Putusan yang tidak sesuai dengan Pasal 4, Pasal 5 dan bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, maka ketua Pengadilan Negeri menolak permohonan eksekusi, dan tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun.Permasalahan yang muncul hampir sama, yaitu bagaimana solusi atas akibat hukum penolakan permohonan eksekusi tersebut. Sementara, Permohonan Pembatalan Putusan diatur Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 bahwa pengajuan pembatalan putusan dapat diajukan apabila memenuhi unsur-unsur yang ditentukan. Pembatalan Putusan tidak dapat dilakukan dengan alasan Putusan Arbitrase yang tidak dilaksanakanSehingga terjadi ketidaksinkronan antara Pasal 62 ayat (3) dengan pasal 70 UU No 30 tahun 1999 mengenai Permohonan Pembatalan Putusan dengan alasan Putusan Arbitrase yang tidak dilaksanakan

Pasal 70Hakim dalam memeriksa perkara Permohonan Pembatalan Arbitrase dibatasi oleh Pasal 70 UU Arbitrase sehingga tidak berwenang untuk memeriksa ulang pokok perkara yang telah dipertimbangkan dan diputus oleh Arbitrase. Tapi, mencermati Pasal 72 Ayat (2) UU Arbitrase, tampaknya akan timbul kesulitan bagi hakim untuk menghindari pemeriksaan kembali pokok perkara.