Analisis Kasus Cineplex 21 Dan Omega Film

11
analisis kasus cineplex 21 dan omega film Latar Belakang Masalah Grup cineplex 21 merupakan salah satu perusahaan penyediaan jasa hiburan dalam bidang film di Indonesia. Bioskop 21 (Cineplex 21 Group) adalah sebuah jaringan bioskop di Indonesia, dan merupakan pelopor jaringan cineplex di Indonesia (wikipedia:2013). Saat ini jaringan bioskop grup ini sudah tersebar dibeberapa kota besar di seluruh Indonesia, dimana sebagian besar di antaranya terletak di dalam pusat perbelanjaan, dengan film-film holywood dan Indonesia sebagai menu utama. Seiring dengan tuntutan perkembangan zaman. Pada saat ini Cineplex 21 Group telah melakukan sejumlah pembaharuan dengan membentuk jaringan bioskop terpisah, yakni Cinema 21, Cinema XXI, The Premiere, dan IMAX untuk target pasar berbeda. Ditengah kesuksesannya, grup cineplex 21 dihadapkan oleh permasalahan tidak masuknya impor film hollywood ke Indonesia. hal ini terjadi dikarenakan adanya kebijakan dari direktorat jenderal bea cukai untuk menerapkan bea masuk atas hak distribusi film impor yang ditentang oleh Motion Picture Association of America (MPAA) dan Ikatan Perusahaan Film Impor Indonesia (Ikapifi) (tempo.co:2013). Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik mengatakan, pajak impor film di Indonesia akan naik hampir seratus persen. Menurutnya, kebijakan kenaikan pajak impor film itu diambil

Transcript of Analisis Kasus Cineplex 21 Dan Omega Film

Page 1: Analisis Kasus Cineplex 21 Dan Omega Film

analisis kasus cineplex 21 dan omega film

Latar Belakang Masalah

Grup cineplex 21 merupakan salah satu perusahaan penyediaan jasa

hiburan dalam bidang film di Indonesia. Bioskop 21 (Cineplex 21 Group) adalah

sebuah jaringan bioskop di Indonesia, dan merupakan pelopor jaringan cineplex

di Indonesia (wikipedia:2013). Saat ini jaringan bioskop grup ini sudah tersebar

dibeberapa kota besar di seluruh Indonesia, dimana sebagian besar di

antaranya terletak di dalam pusat perbelanjaan, dengan film-film holywood dan

Indonesia sebagai menu utama. Seiring dengan tuntutan perkembangan zaman.

Pada saat ini Cineplex 21 Group telah melakukan sejumlah pembaharuan

dengan membentuk jaringan bioskop terpisah, yakni Cinema 21, Cinema

XXI, The Premiere, dan IMAX untuk target pasar berbeda. Ditengah

kesuksesannya, grup cineplex 21 dihadapkan oleh permasalahan tidak

masuknya impor film hollywood ke Indonesia. hal ini terjadi dikarenakan adanya

kebijakan dari direktorat jenderal bea cukai untuk menerapkan bea masuk atas

hak distribusi film impor yang ditentang oleh Motion Picture Association of

America (MPAA) dan Ikatan Perusahaan Film Impor Indonesia (Ikapifi)

(tempo.co:2013).  Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik mengatakan,

pajak impor film di Indonesia akan naik hampir seratus persen. Menurutnya,

kebijakan kenaikan pajak impor film itu diambil pemerintah agar film di

Indonesia semakin banyak, baik, dan variatif (bisnis.news.viva.co.id:2013).

Disisi lain,  dua perusahaan impor film terbesar, PT Camila Internusa Film

dan PT Satrya Perkasa Estetik memiliki tunggakan pajak yang belum

Page 2: Analisis Kasus Cineplex 21 Dan Omega Film

dibayarkan. Hal ini tentu mengakibatkan adanya kesulitan bagi perusahaan

impor untuk mengimpor film hollywood. Sementara bagi importir yang sudah

membayar tunggakan pajak maka dapat kembali impor film

Hollywood. Ketidakhadiran film hollywood menyebabkan terjadinya penurunan

benefit yang disebabkan oleh sepinya pengunjung bioskop, yang tentu saja

berdampak negatif pada grup cineplex 21. Sampai suatu ketika, film hollywood

kembali dimunculkan oleh distribusi dari perusahaan impor film baru, bernama

omega film. Kemunculan film ini menimbulkan banyak tudingan terhadap grup

cineplex 21. Masyarakat berasumsi bahwa untuk terbebas dari jerat

kebangkrutan, grup cineplex 21 akhirnya membuat perusahaan impor, yaitu

omega film. PT Omega Film adalah perusahaan baru yang didirikan 17 Januari

2011 di depan notaris Ilmiawan Dekrit S.H. dengan lingkup usaha perfilman dan

perekaman video. Perusahaan ini marak disebut-sebut oleh sejumlah pengusaha

perbioskopan sebagai perusahaan topeng di balik terjeratnya importir film milik

kelompok usaha 21 Cineplex, Camila Internusa Film dan PT Satrya Perkasa

Esthetika Film  (bisnis.kepri.com:2013).

Sementara itu Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N)

mengingatkan pelaku usaha perfilman secara tegas dilarang memiliki usaha

perfilman yang dapat mengakibatkan hubungan langsung maupun tidak

langsung untuk menghindari praktik monopoli. Ketentuan larangan tersebut

secara jelas diatur dalam UU No.33 Tahun 2009 tentang Perfilman yang salah

satu pasalnya menyebutkan pelaku usaha perfilman, diantaranya mencakup

pelaku usaha pertunjukan film (bioskop) maupun pelaku usaha impor film.

Meskipun diduga kuat melanggar UU tersebut, grup cineplex 21 tidak terjerat

hukum sama sekali, meski pada akhirnya omega film, perusahaan yang

disangkal oleh cineplex 21 sebagai miliknya itu diblokir oleh pemerintah.

BAB I Analisa

Berhentinya film hollywood tayang di bioskop  Indonesia tampaknya

berpengaruh besar terhadap perusahaan penyedia jasa bioskop serta publik

yang senang menonton film hollywood. Omega film seolah-olah menjadi

pahlawan publik serta bioskop 21. Namun keberadaannya mengundang

tudingan negatif terhadap grup cineplex 21. Jika dilihat dari PR’s pillars maka,

analisisnya adalah sebagai berikut:

-          Non-maleficence(to do no harm)

Page 3: Analisis Kasus Cineplex 21 Dan Omega Film

Berdasarkan analisis penulis, terlepas dari benar atau tidaknya terdapat

monopoli pasca terhambatnya film hollywood masuk ke Indonesia oleh cineplex

21, maka, sebenarnya hadirnya film bioskop 21 justru membuat publik puas,

apalagi kembali hadirnya film hollywood diawali oleh film seri terakhir Harry

Potter, Harry Potter and the Deathly Hallows: Part 2 - disusul Trasformers: Dark

of the Moon yang ditunggu kehadirannya oleh penggemar film hollywood.

Kasus dugaan monopoli grup cineplex 21 sebenarnya menyakiti sejumlah

pengusaha perbioskopan lain di Indonesia. meskipun memang grup cineplex

mendominasi film hollywood tetap saja, pengusaha perbioskopan lain merasa

dirugikan jika memang omega film adalah kepunyaan grup cineplex. Hal ini

disebabkan oleh adanya persaingan yang tidak sehat diantara mereka. David

Hilman, Presiden Direktur PT Graha Layar Prima (Blitzmegaplex) mengatakan,

terafiliasinya Omega dengan Grup 21 Cineplex membuat bisnis film tidak sehat.

“Pemainnya itu-itu saja. Harusnya lebih fair dan tidak memonopoli,” keluhnya.

(industri.kontan.co.id:2013).

-          Beneficence (to do good)

Grup cineplex 21 melakukan sesuatu yang baik, karena akhirnya mereka

menemukan jalan untuk menayangkan film hollywood kembali. Kita memang

tidak bisa menampik kenyataan bahwa film hollywood memegang peranan

sangat penting dalam mengundang pengunjung bioskop. Namun, disisi lain, jika

omega film merupakan perusahaan buatan grup cineplex 21 untuk

menyelamatkan mereka dari kebangkrutan, maka ini berarti grup cineplex 21

telah melakukan hal buruk, yaitu memonopoli, yang tentu saja merugikan

perusahaan perbioskopan lain.

-          Confidentiality (to respect privacy)

 Berdasarkan pengamatan penulis, kasus grup cineplex 21, tidak mengganggu

privasi siapapun, mulai dari pesaingnya, pemerintah, perusahaan pengimpor

film serta masyarakat penikmat film.

-          Fairness(to be fair and socially responsible)

Kasus dugaan adanya monopoli oleh cineplex 21 jelas menimbulkan

ketidakadilan, terutama untuk pengusaha pebioskop lain di Indonesia.

sebenarnya kesenjangan dan monopoli sudah mulai terlihat dari betapa kuatnya

hegemoni cineplex 21 di Indonesia. hal ini dilihat dari jumlahnya sendiri, cinema

21 memang mendominasi, dari 172 unit bioskop di Indonesia, perusahaan

cineplex 21 menguasai 130 diantaranya (finance.detik.com:2013). belum

adanya perusahaan yang sebanding dengannya membuat grup cineplex 21

Page 4: Analisis Kasus Cineplex 21 Dan Omega Film

dianggap memonopoli, apalagi ditambah dengan adanya kasus ini, tentu saja,

hal ini menambah ketidakadilan pada pihak pebioskop Indonesia lain. mereka

semakin kesulitan dalam mengembangkan usahanya. Bisnis persaingan film

yang tidak sehat tentu saja sangat tidak adil

a)      Veracity (to tell the truth)

Didalam salah satu artikel di tempo.co, penulis menemukan bahwa Omega

didirikan tak lama setelah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melayangkan

tagihan pada 12 Januari lalu kepada tiga perusahaan importir Grup 21, yakni PT

Camila Internusa Film, PT Satrya Perkasa Esthetika Film, dan PT Amero Mitra

Film. Hasil audit Bea dan Cukai menemukan bahwa ketiganya kurang membayar

bea masuk dan pajak dalam rangka impor periode 2008-2010. Nilai piutang plus

dendanya mencapai lebih dari Rp 310 miliar. terkait dengan kemunculan omega

yang tiba-tiba itu, perusahaan cineplex dituduh membuat perusahaan tersebut.

Namun ketika media meminta konfirmasi, pihak cineplex 21 justru diam. Setelah

beberapa saat barulah akhirnya pihak 21 Cineplex memberikan penjelasan

hubungan antara 21 dengan Omega Film. "Kami dalam kepemilikan saham

berbeda, tapi kami erat dalam operasionalnya dalam menjalankan edar film,

pihak Omega mensuplai film, dan kami pihak 21 memainkan filmnya,"

(m.viva.news.co.id:2013). Dan kemudian direktur Grup 21 mengungkapkan

bahwa mereka memang tidak punya saham di Omega. Namun, memang pemilik

Omega ada hubungan saudara dengan pemegang saham 21. Menurutnya, hal

itu tidak melanggar aturan di Indonesia sebab Grup 21 tak akan melakukan

monopoli (industri.kontan.co.id). Berdasarkan artikel tersebut penulis

menganalisis bahwa perusahaan cineplex mendapat serangan yang dahsyat

dari media, namun karena tidak ditanggapi dengan cepat, PT cineplex 21

akhirnya publik menganggap tuduhan itu memang benar adanya, sehingga

dapat dikatakan grup cineplex 21 tidak mengatakan yang sebenarnya.

Analysis of values:

a.      Stakeholder value

Stakeholder dari cineplex 21 diantaranya, pemerintah, perusahaan

pengimpor film, masyarakat, perusahaan saingan, karyawan. Didalam kasus ini,

penulis akan membahas stakeholder value yang berhubungan langsung dengan

perusahaan cineplex 21, diantaranya: memaksimalkan interest dari stakeholder

-          Pemerintah

Pemerintah merupakan stakeholder yang mengatur perizinan akan film yang

akan ditayangkan, pada kasus ini pemerintah memiliki andil yang besar didalam

Page 5: Analisis Kasus Cineplex 21 Dan Omega Film

terhambatnya film hollywood masuk ke Indonesia. seperti yang sudah dibahas

sebelumnya, pemerintah sendiri menganggap bahwa telah terjadi persaingan

tidak sehat pada perusahaan perbioskopan di Indonesia. Oleh

karenanya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) akhirnya mencoba

menyelidiki keterkaitan perusahaan cineplex 21 dengan perusahaan omega

film. Berdasarkan berita, Dirjen Bea Cukai Agung Kuswandono mengungkapkan

“Bisa, secara prosedural dia sudah memenuhi, tapi di belakang kita masih

periksa mengenai keberadaannya, auditibility-nya, eksitensinya. Makanya kita

cek apakah dia harus membuat suatu pernyataan bahwa dia tidak terkait

dengan yang 3 itu kalau iya kita belum berikan kesempatan untuk

mengimpor,"(ctjemas.beacukai.go.id:2013)

Dari komentar tersebut, penulis menilai ternyata dari sisi pemerintahpun

menganggap grup cineplex 21 telah melanggar etika dan hukum yang berlaku,

sehingga akhirnya mereka melakukan penyelidikan terhadap kedua

perusahaan.

-          Perusahaan pengimpor film

Camila Internusa Film dan PT Satrya Perkasa Esthetika Filmmerupakan

pengimpor utama film hollywood untuk grup cineplex 21. Film hollywood sempat

terhambat masuk ke bioskop 21 disebabkan oleh adanya masalah yang dibuat

oleh kedua perusahaan ini dengan pihak bea cukai. Secara tidak langsung,

permasalahan kedua perusahaan berimbas kepada grup cineplex 21. Adapun

pandangan dan komentar dari kedua perusahaan ini tidak penulis temukan di

website berita online. Penulis berasumsi bahwa bahwa kepekaan tanggung

jawab kedua perusahaan kepada stakeholdernya kurang, sehingga pada

akhirnya didalam kasus cineplex 21 pun kedua perusahaan lebih memilih

bungkam.

-          Perusahaan pesaing

Perusahaan  pesaing grup cineplex 21 adalah perusahaan,Blitzmegaplex. Dari

sisi perusahaan ini, perusahaan menilai bahwa telah terjadi pelanggaran etika,

yaitu deontological ethics. Mereka menganggap bahwa perusahaan tidak

melakukan kewajiban  untuk melakukan hal yang benar, perusahaan cineplex

dipandang sebagai perusahaan yang bersaing secara tidak sehat dan

memonopoli.

-          Masyarakat

Dari sisi masyarakat, tampaknya sebagian besar masyarakat tidak begitu peduli

dengan adanya monopoli atau tidak, mereka menganggap hal tersebut etis saja

Page 6: Analisis Kasus Cineplex 21 Dan Omega Film

karena sudah memenuhi utilitarianism ethics, dimana cineplex 21  telah

memaksimalkan kebaikannya sebagai penyedia jasa film hollywood sehingga

masyarakat banyak dapat menonton film hollywood lagi.

b.      Professional value

Selain dari sisi stakeholder, penulis menganalisa bahwa ternyata juga terdapat

profesional value yang dilanggar oleh public relation dari cineplex 21.

Berdasarkan komentar dari direktur cineplex sendiri,Grup 21 tidak punya saham

di Omega, dia menegaskan, Omega bukanlah importir bermasalah. Namun,

memang pemilik Omega ada hubungan saudara dengan pemegang saham 21.

Menurutnya, hal itu tidak melanggar aturan di Indonesia sebab Grup 21 tak

akan melakukan monopoli (industri.kontan.co.id). Berdasarkan pengamatan

penulis, peran public relation terwakili oleh pernyataan dari direktur omega

cineplex 21.

Adapun public relation perusahaan cineplex 21, menurut penulis telah

melanggar kode etik public relation, pasal tiga ayat satu, dimana public relation

menjalankan kegiatan profesi kehumasan dengan memperhatikan kepentingan

masyarakat serta harga diri anggota masyarakat. Penulis menilai public relation

perusahaan cineplex 21 dalam menjalankan tugasnya kurang memperhatikan

aspek kepentingan masyarakat. Dimana dengan monopoli  yang dilakukan oleh

cineplex 21, berdampak negatif terhadap bisnis bioskop masyarakat Indonesia

yang lain. Akibat hegemoni grup cineplex 21, masyarakat yang ingin berbisnis

dibidang itu menjadi kehilangan kesempatan untuk berkarya.

Selain itu, public relation perusahaan cineplex juga melanggar kode etik PR

pasal tiga ayat dua, dimana public relation tidak menyebarluaskan informasi

yang tidak benar atau yang menyesatkan sehingga dapat menodai profesi

kehumasan.Menurut analisa penulis, public relation telah menyebarluaskan

informasi yang tidak benar, dimana saat itu direktur menyatakan bahwa omega

film dan perusahaan cineplex 21 tidak memiliki hubungan. Namun setelah itu

mereka mengklarifikasi bahwa ternyata mereka memang tidak memiliki

hubungan bisnis namun diantara pemilik omega dan kedua perusahaan

terdapat hubungan saudara.

c.       Personal value

Dari sisi  personal value public relation, penulis menilai public relation dari

perusahaan cineplex 21 tidak memiliki personal value yang baik. Hal ini

dikarenakan public relation lebih mengutamakan kepentingan perusahaan dan

mengabaikan kepentingan stakeholder dari perusahaan disertai dengan

Page 7: Analisis Kasus Cineplex 21 Dan Omega Film

kebohongan publik. penulis melihat hal ini dari berbagai pernyataan direktur

cineplex 21 sendiri, seperti yang tertera sebelumnya. Penulis menilai, public

relation dari cineplex 21 kurang mengambil peran yang sesuai kode etik dalam

menanggapi kasus yang menimpa cineplex 21.

d.      Corporate value

Dari sisi corporate value, penulis melihat bahwa kasus yang menimpa mereka

dan tindakan mereka didalam menyelesaikan kasus itu merupakan tindakan

yang etis. Disini penulis melihat bahwa perusahaan cineplex sendiri tidak

merasa bersalah terhadap pihak manapun. Hal ini dituturkan langsung oleh

direkturnya sendiri,dia sendirimempersilahkan Komisi Pengawas Persaingan

Usaha (KPPU) untuk melakukan pemeriksaan. Baik untuk memonitor dan

memeriksa kegiatan usaha 21 Cineplex, jika memang ada kecurangan.

(live.viva.co.id:2013).

Disini, permasalahan monopoli sendiri, setelah mulanya bungkam, akhirnya

direktur cineplex 21 angkat bicara, mereka masih menyangkal adanya

hubungan antara perusahaan cineplex 21 secara bisnis, meskipun pada

kenyataannya diantara kedua perusahaan memiliki hubungan saudara. Disisi

lain, kerja sama antara cineplex 21 dan omega film justru sangat diapresiasi

oleh masyarakat Indonesia yang sudah lama menanti kehadiran film hollywood.

Disini penulis menilai bahwa perusahaan cineplex 21 memandang perusahaan

mereka sebagai perusahaan beretika melalui virtue etics, dimana perusahaan

cineplex 21 menilai karakter perusahaannya terkait  dengan nilai yang mereka

anut, yaitu mengutamakan profit dan kepuasan masyarakat. Menurut mereka,

mereka tidak melakukan monopoli, untuk menyangkal tuduhan monopoli itu,

direktur cineplex 21 mengungkapkan bahwa mereka sendiri juga tidak hanya

memasok film melalui omega film saja, tapi mereka memilih pemasok yang

pantas.

Bab II Ethical Problem Definition

Pada kasus cineplex 21, penulis melihat adanya permasalahan etika. Dari

sisi utilitarianism, perusahaan memenuhi etikanya dimana, perusahaan cineplex

21 memaksimalkan semampunya untuk berbuat kebaikan terhadap semua

orang. Pada saat terjadinya pemblokiran film hollywood, masyarakat tampak

banyak yang kecewa, apalagi pemblokiran itu bertepatan dengan akan hadirnya

film terakhir Harry Potter. Tentu saja, kerjasama yang dilakukan oleh cineplex

21 telah menguntungkan masyarakat, penonton setia film hollywood.

Page 8: Analisis Kasus Cineplex 21 Dan Omega Film

Namun, jika dilihat dari deontological ethics, penulis melihat bahwa

perusahaan tidak melakukan hal yang benar serta  melakukan hal yang tidak

benar. berdasarkan analisis penulis dari berbagai sumber, usai kasus itu

mencuat di media, pihak cineplex 21 justru bungkam, sehingga menimbulkan

tanda tanya pada publik (tempo.co:2013). Disisi lain, usai naiknya berita bahwa

omega film merupakan buatan perusahaan cineplex sendiri, barulah perusahaan

angkat bicara dan menyangkal semua itu. menurutnya, perusahaan sama sekali

tidak bersalah dan mereka tidak punya hubungan dengan perusahaan omega

film. Namun belakangan direktur cineplex mengungkapkan bahwa direktur

memiliki hubungan saudara dengan pemilik omega film. Berdasarkan

pengamatan penulis, langkah-langkah yang diambil oleh perusahaan cineplex

21 menunjukkan bahwa mereka telah melakukan hal yang tidak benar, yaitu

membohongi publik.

Jika dilihat dari virtue ethics, penulis melihat bahwa perusahaan menganggap

diri mereka benar dan mereka telah melakukan tindakan yang etis saja dan

tidak melanggar hukum. Hal ini, menurut penulis karena perusahaan cineplex

21 memiliki nilai-nilai perusahaan yang lebih mengarahkan diri pada profit.

Sementara berdasarkan ethics relativism, penulis melihat bahwa perusahaan

beretika, jika dipandang dari nilai-nilai yang mereka anut, yaitu profit dan

kepuasan penonton, namun perusahaan menjadi tidak beretika jika dilihat dari

monopoli film yang terjadi di dunia industri film di Indonesia.

BAB III Antisipasi

Permasalahan monopoli yang disertai tudingan akan pemalsuan perusahaan

pengimpor film oleh cineplex, pada akhirnya berakhir begitu saja. Adapun kabar

terakhir dari permasalahan ini adalah KPPU yang akan mengadakan

penyelidikan terkait kedua perusaahaan. Namun mengenai hasil penyelidikan

sama sekali tidak penulis temukan di media berita online resmi. Hal ini

menunjukkan bahwa usai tudingan keras dari berbagai pihak, perusahaan

cineplex 21 berhasil lolos tanpa sorotan kuat dari media. adapun, disini penulis

ingin memberikan langkah-langkah antisipasi masalah untuk Public Relation

cineplex 21, diantaranya:

a.       Public relation harus aktif dan reaktif terhadap keputusan managemen

perusahaan. contoh: jika perusahaan memutuskan untuk mengadakan

perusahaan buatan untuk mengatasi masalahnya, maka PR harus aktif dengan

Page 9: Analisis Kasus Cineplex 21 Dan Omega Film

berbagi pemikiran dengan pihak managemen akan dampak kedepannya dari

keputusan untuk membohongi publik. PR harus mengingatkan managemen

untuk melihat sisi lain dari keputusan yang akan diambil, sehingga managemen

tidak hanya tertuju pada pemikiran mereka untuk mencari keuntungan.

b.      Apabila perusahaan tetap menjalankan keputusan yang PR nilai tidak sesuai

kode etik, maka PR harus membuat perencanaan mengenai kemungkinan

dampak dari pengambilan keputusan, dan merancang solusi yang tepat. Jangan

sampai, kejadian lalu, yaitu bungkamnya pihak cineplex 21 untuk beberapa saat

membuat media menyebarkan hal negatif semakin cepat. dengan adanya

perencanaan, maka jika konflik antar kepentingan terjadi maka, PR dapat

menyarankan pada direktur untuk segera menjawab tudingan di media.

c.       PR harus mulai memikirkan untuk menjalin media relation. Penulis

menganalisa bahwa hampir sebagian besar media berita online memojokkan

perusahaan cineplex 21 didalam pemberitaannya. Untuk itu, PR dapat

menyusun program CSR unik dan bernilai sehingga wartawan dapat meliput

acara tersebut.

d.      PR mulai membangun government relation, dimana perusahaan mencoba

untuk membantu pemerintah untuk menyelesaikan masalah bisnis perbioskopan

indonesia yang semakin meredup. Disini PR harus menunjukkan bahwa

perusahaan cineplex 21 menerima dengan terbuka adanya pengusaha bioskop

lain di Indonesia. Sebelumnya PR harus mendiskusikan dulu pada pihak

managemen dan meyakinkan managemen bahwa brand cineplex 21 sudah

sangat terkenal dan mendominasi, sehingga jikalau ada bioskop baru, tidak

akan berpengaruh besar terhadap profit dari cineplex 21.

e.      Sementara dengan perusahaan pesaing yang menilai bahwa mereka telah

dirugikan oleh persaingan tidak sehat, maka PR harus meyakinkan

perusahaannya bahwa perusahaan pesaing yang hanya memiliki bioskop yang

jumlahnya jauh lebih sedikit itu tidak akan mengganggu perusahaan dalam

memperoleh profit, disini, PR harus melengkapi pernyataannya dengan hasil

riset dan data-data yang lengkap dan meyakinkan sehingga pihak managemen

menyetujuinya. Barulah setelah itu, PR mengadakan sebuah acara yang

mengundang perusahaan pesaing dengan tak lupa mengundang media.

Didalam acara itu, PR harus menekankan secara halus bahwa perusahaan

cineplex 21 menghargai persaingan sehat dan terbuka.

Daftar Pustaka

Page 10: Analisis Kasus Cineplex 21 Dan Omega Film

Anonim, (2011) bioskop 21, retrivied januari 20, 2013 fromhttp://id.wikipedia.org/wiki/Bioskop_21Fahillah, arif (2011) produser sesalkan hengkangnya film hollywood, retrivied januari 20, 2013 fromhttp://www.tempo.co/read/news/2011/02/21/111314892/Produser-Sesalkan-Hengkangnya-Film-HollywoodKusumadewi, anggi (2011) pajak impor film naik 100 persen retrivied januari 20, 2013 fromhttp://bisnis.news.viva.co.id/news/read/226132-pajak-impor-film-naik-100-persenAnonim, (2011) cineplex bantah lakukan monopoli, retrivied januari 20, 2013 from http://www.bisnis-kepri.com/index.php/2011/08/21-cineplex-bantah-lakukan-monopoli/Rosita, maria (2011) omega film jamin terpisah dari grup 21 cineplex, retrivied januari 20, 2013 fromhttp://industri.kontan.co.id/news/omega-jamin-terpisah-dari-grup-21-cineplex Nia, (2011) omega film tetap kantongi izin impor film, retrivied januari 20, 2013 fromhttp://bctjemas.beacukai.go.id/index.php/media-center/customs-on-media/27-omega-film-tetap-kantongi-izin-impor-filmJunianto, benu (2011) 21 cineplex tanggapi isu keterlibatan ibas, retrivied  januari 20, 2013 fromhttp://m.news.viva.co.id/news/read/239656-21-cineplex-tanggapi-isu-keterlibatan-ibas