Analisis Jurnal Keluarga (Klp d2)

download Analisis Jurnal Keluarga (Klp d2)

of 34

Transcript of Analisis Jurnal Keluarga (Klp d2)

BAB I

Program Studi Ilmu Keperawatan A Tahun 2012

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANGPada masa remaja terjadi perkembangan yang dinamis dalam kehidupan individu yang di tandai dengan percepatan pertumbuhan fisik, emosional, dan sosial, Perubahan fisik yang terjadi di antaranya timbul proses pematangan organ reproduksi selain itu juga sudah terjadi perubahan psikologis. Hal ini mengakibatkan perubahan sikap dan tingkah laku seperti mulai memperhatikan penampilan diri, mulai tertarik dengan lawan jenis, berusaha menarik perhatian dan muncul perasaan cinta yang kemudian akan timbul dorongan seksual. Masa remaja cenderung memiliki tingkat seksual yang tinggi sehubungan dengan mulai matangnya hormon seksual dan organ-organ reproduksi. Saat usia remaja organ reproduksi rentan terhadap infeksi pada saluran reproduksi, kehamilan, dan penggunaan obat-obatan (Wirawan, 2008).Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja putra dan putri yang berusia 15-19 masih beranggapan perempuan tidak akan hamil jika melakukan hubungan seksual hanya satu kali. Kesalahan persepsi ini sebagian besar terjadi pada remaja putra 49,7% sedangkan remaja putri 42,3%. Dan ditemukan hanya 19,2% remaja yang sadar akan adanya peningkatan risiko tertular IMS jika memiliki pasangan seksual lebih dari satu dan 51% dari mereka mengetahui akan berisiko tertular HIV jika melakukan hubungan seksual dengan pekerja seksual komersial.(17)Insiden kasus HIV/AIDS tiap tahun mengalami peningkatan terutama di Negara berkembang seperti Indonesia. Hasil laporan statistik Ditjen PPM & PL Depkes RI (2011) tercatat sampai akhir tahun 2011 jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia mencapai 20.564 kasus dan angka kematian sebesar 3.936 orang, dengan proporsi kejadian AIDS berdasarkan jenis kelamin sebesar 73,76% lakilaki, 25,80% perempuan dan 0,43% tidak diketahui, serta sebagian besar dialami oleh kalangan remaja dewasa (20-29 tahun) yang mencapai angka 10.015 kasus. Berdasarkan data yang diperoleh dari KPAN Daerah Bali (2011), kasus baru HIV/AIDS di Bali rata-rata dialami oleh remaja dewasa yaitu 53,97% dan 71,28% melalui hubungan seksual.Menurut Kothai (2003) dalam Adnani & Widowati (2009), meningkatnya minat seksual remaja mendorong remaja itu sendiri untuk selalu berusaha mencari informasi dalam berbagai bentuk. Sumber informasi itu dapat diperoleh dengan bebas mulai dari teman sebaya, buku, film, bahkan sekarang dengan mudahnya dapat dibuka lewat situs-situs internet. Namun ironisnya, tidak semua informasi yang didapatkan memberikan dampak yang positif. Diperlukan adanya informasi yang tepat dalam hal ini orang yang paling dekat adalah keluarga atau orang tua untuk dapat berkomunikasi dengan anak-anaknya terkait kesehatan reproduksi dan seksual. Komunikasi penting untuk membina kepribadian masing-masing anak baik berupa peringatan, ancaman, maupun disiplin secara fisik. Melalui komunikasi tentang kesehatan reproduksi dan seksual, orangtua bisa menjadi jalan yang alami untuk menyalurkan dan memperkuat pesan pencegahan mengenai penyakit menular seksual kepada anak-anak mereka sehingga dapat menurunkan angka kejadian HIV/AIDS ataupun gangguan pada kesehatan reproduksi lainnya.Oleh karena itu kami tertarik untuk menganalisis jurnal tentang komunikasi orang tua dengan anak-anaknya mengenai kesehatan reproduksi dan seksual.BAB II

TINJAUAN PUSTAKA2.1 Konsep Dasar Komunikasi

2.1.1 Pengertian Komunikasi

Banyak faktor yang membuat definisi komunikasi yang didasarkan pada bidang ilmunya masing-masing. Istilah komunikasi sering digunakan oleh banyak disiplin yang berlain-lainan, sehingga dapat ditemukan berbagai istilah, misalnya dalam ilmu pengetahuan teknik elektronika komunikasi diartikan sebagai hubungan antara dua titik melalui penggunaan alat-alat listrik (Achmad, 1990: 42).

Keberagaman pengertian komunikasi ini, disebabkan karena banyaknya disiplin ilmu yang telah memberi masukan terhadap perkembangan ilmu komunikasi (Cangara, 1998: 16).Secara etimologis, kata komunikasi berasal dari kata latin Communis, yang merupakan dasar kata bahasa Inggris Common yang berarti sama. Sama yang dimaksud di sini adalah sama makna, Efendi (1990: 9). Dan pendapat lain yang lebih jelas tentang pengertian sama, yakni membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih. Cangara (1998: 17). Dari kata tersebut berkembang menjadi Communicatus (bahasa latin), dalam bahasa Inggris Communication yang berarti perkabaran atau perhubungan.Dipandang dari istilah oleh Bernard Berekson dan Steiner dalam Sandjaja (1993: 8), Communication is the transmission of the information, yang dimaksud dengan komunikasi adalah suatu proses pembentukan, penyampaian, penerimaan dan pengelolaan pesan yang terjadi dalam diri seseorang atau dua orang atau lebih dengan tujuan tertentu. Everett M. Rogers, komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka, (Cangara, 2000: 19).Andersch E.G. (1969: 15), communication will be defined as a purposeful process, which involves sources, messages, channels, and receivers. Dari definisi ini terlihat bahwa komunikasi adalah merupakan suatu proses sadar, yang melibatkan sumber, pesan-pesan, saluran dan penerima. Dari kata proses sadar, dapat dipahami bahwa mengandung pengertian tujuan, karena setiap kegiatan jika dilakukan secara sadar tentu mempunyai maksud atau tujuan tertentu yang akan dicapainya. Proses mengandung pengertian dinamis, senantiasa bergerak, berubah dan berkelanjutan, unsur-unsur di dalamnya saling berinteraksi satu sama lain, saling pengaruh mempengaruhi.Untuk memahami pengertian komunikasi secara efektif, maka paradigma yang dikemukakan oleh Harold D. Lasswell dalam Efendi (1990: 10), bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi adalah menjawab beberapa pertanyaan who says what in which channel to whom which what effect? Paradigma tersebut mengindikasikan bahwa komunikasi melibatkan lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu, yakni; (1) komunikator (who); (2) pesan dan massage (says what); (3) saluran atau channel (in which channel); (4) Komunikan (to Whom), dan (5) pengaruh atau effect (Whit What effect).Seperti yang dikemukakan sebelumnya, bahwa banyak pakar yang membuat pengertian komunikasi, namun demikian untuk memperoleh gambaran tentang komunikasi, maka pendapat Shannon dan Weaver yang dianggap dapat memberi pengertian secara representatif dari sekian banyak pengertian komunikasi. Komunikasi adalah bentuk interaksi antara manusia yang saling pengaruh mempengaruhi satu sama lainnya, sengaja atau tidak sengaja. Tidak terbatas pada bentuk komunikasi menggunakan bahasa verbal, tapi juga dalam hal ekspresi muka, lukisan, seni dan teknologi, dalam (Cangara, 1998: 19).Untuk lebih menjelaskan pengertian komunikasi dapat dilihat dari ciri pokok terjadinya proses komunikasi yakni adanya maksud untuk memberikan sesuatu, dan oleh sebab itu proses ini menciptakan pesan untuk dapat mengirim pemberitahuan yang dimaksud yang dari pihak penerima dipandang sebagai (salah satu) sumber informasi (pesan) dan adanya sesuatu yang datang pada pengetahuan, (Achmad, 1990: 44)

Setelah menyimak beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa secara esensial komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang (Komunikator) yang dapat memberi pengaruh terhadap orang yang terlibat di dalamnya atau penerima pesan (Komunikan), baik menggunakan bahasa verbal maupun non-verbal. Kesuksesan komunikasi terletak pada saling pengertian antara pihak pengirim (komunikator) dan penerima informasi (komunikan) dapat saling memahami. Untuk berlangsungnya proses komunikasi, maka pengirim pesan (komunikator) baru dapat mengubah sikap, pendapat atau perilaku orang lain jika komunikasi berlangsung komunikatif antara komunikator sebagai sumber pesan dengan komunikan sebagai penerima pesan.2.1.2 Komponen dalam Proses Komunikasi

Berbicara tentang komunikasi sebagai suatu system, berarti membicarakan unsur-unsur yang terkait dalam proses dimana komukiasi berlangsung. Achmad (1992: 1), menyatakan bahwa unsur-unsur pokok komunikasi meliputi pengirim, penerima, bidang pengalaman, pesan-pesan, saluran, gangguan, tanggapan balik, efek dan konteks.Jika dicermati proses berlangsungnya komunikasi seperti yang dikemukakan di atas, maka tersirat beberapa komponen. Oleh Cangara (2000: 21), dikatakan komunikasi antar manusia hanya bisa terjadi, jika ada seseorang yang menyampaikan pesan kepada orang lain dengan tujuan tertentu. Artinya, komunikasi hanya bisa terjadi kalau didukung oleh adanya sumber, pesan, media, penerima dan efek. Komponen-komponen tersebut secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut:a. Sumber (Komunikator)

Sumber (komunikator), juga disebut sebagai pengirim pesan. Menurut Anderson (1972: 8) sumber adalah: The Source is the person who places the message in the channel. Sumber (komunikator), dapat berupa individu yang sedang bicara atau menulis, kelompok orang, organisasi komunikasi: Surat kabar, radio, televisi dan sebagainya. Ketika sumber (komunikator) menyampaikan pesan, sering sumber tersebut bertindak menjadi penerima (komunikan) sebaliknya penerima menjadi sumber. Sesuatu yang berkaitan atau melekat pada seorang sumber (komunikator) adalah: (1) Pengetahuan, ide dan pengalaman-pengalaman; (2) Sikap, kepercayaan dan nilai-nilai; (3) Kebutuhan, keinginan dan tujuan-tujuan; (4) Kepentingan; (5) Kelompok dan pesan kelompok; (6) kemampuan berkomunikasi serta persepsi dari elemenelemen lainnya.Widjaya (1986: 12) mengemukakan bahwa syarat-syarat yang perlu dimiliki oleh seorang sumber (komunikator) adalah: (1) memiliki kredibilitas yang tinggi terhadap pesan yang disampaikan; (2) keterampilan berkomunikasi; (3) mempunyai pengetahuan yang luas; (4) Sikap; (5) memiliki daya tarik, dalam arti ia memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan sikap, penambahan pengetahuan bagi diri penerima pesan (komunikan).Selanjutnya oleh Achmad (1992: 2) dikatakan bahwa bila orang berkomunikasi sudah mempunyai pengalaman hidup yang sama, mereka memiliki kesempatan akan dapat berhubungan satu sama lain dalam cara yang efektif. Akan tetapi, bila dalam keadaan pengalaman hidup para peserta komunikasi itu berbeda, maka mereka mempunyai peluang besar akan mungkin menemukan kesulitan dalam melakukan interaksi atau dalam memahami satu sama lain. Jadi proses komunikasi akan berlangsung baik jika antar sumber (komunikator) dan penerima pesan (komunikan) terdapat pertautan kesamaan minat dan kepentingan. Pertautan minat dan kepentingan ini akan terjadi jika terdapat persamaan persepsi terhadap pesan antara sumber (komunikator) dan penerima pesan (komunikan).

b. Pesan (message)

Pesan adalah seuatu yang disampaikan kepada seseorang. Pesan merupakan susunan rangsangan-rangsangan yang ditempatkan oleh sumber (komunikator) pada saluran (channel). Oleh Achmad (1992: 2) dikatakan, pesan adalah isi dari suatu tindakan komunikatif. Selanjutnya dikatakan pula, pemberitahuan tercakup didalam pesan, ia adalah isi pesan.Pesan dapat berupa tanda atau lambang, antara lain seperti kata-kata tertulis atau lisan, gambar, angka. Di samping itu dapat juga dalam wujud mimik atau gerakan anggota tubuh seperti anggukan kepala (isyarat setuju), menggeleng kepala (isyarat menolak), melambaikan tangan (isyarat selamat jalan) dan sebagainya. Dalam mengemas pesan persyaratan yang selayaknya diperhatikan adalah: (1) pesan hendaknya dipersiapkan secara baik serta sesuai dengan kebutuhan; (2) pesan harus menggunakan bahasa yang dapat dipahami oleh komunikan; (3) pesan menarik minat dan kebutuhan pribadi penerima pesan serta dapat menimbulkan kepuasan. Pengertian yang diberikan oleh seseorang terhadap isi pesan adalah bersifat individual dan situasional. Suatu pesan tertentu yang dikirimkan oleh seorang komunikator yang diterima oleh dua komunikan dapat diinterpresikan secara berbeda. Hal ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, antara lain: Pengetahuan, pengalaman, kepentingan, kemampuan berkomunikasi dan lain sebagainya.

c. Saluran (Channel)

Saluran adalah sesuatu yang menjadi medium atau alat dalam pengiriman atau penyampaian pesan dari sumber pesan kepenerima pesan. Oleh Andersen (1972: 11) dikatakan; The Channel is the medium in which the message exist. Saluran dapat berbentuk fisik atau hal-hal yang dapat mempengaruhi mekanisme penginderaan penerima pesan (komunikan). Segala sesuatu yang dapat mempengaruhi indera penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan serta perasaan dapat berfungsi sebagai medium komunikasi.d. Penerima pesan (Komunikan)

Penerima pesan (komunikan) adalah seseorang atau kelompok orang, disamping itu dapat juga organisasi atau institusi yang menjadi objek penerima pesan. Sekalipun penerima merupakan individu yang menerima sesuatu pesan melalui saluran, tidaklah berarti sebagai penerima yang pasif. Sumber hanya dapat mengemas suatu pesan dan menempatkan dalam suatu saluran. Penerima pesan (komunikan) harus aktif menarik pesan yang terdapat dalam saluran dan memberikan pengertian serta memberi interpretasi. Dalam berlangsungnya proses komunikasi penerima membawa pengalamannya, prasangka, kebutuhan, kemauan serta keinginan-keinginannya. Variabelvariabel ini turut berpengaruh serta membantu penerima pesan dalam menentukan pengertian pesan yang ada atau digunakan, serta respon-respon yang dilakukannya terhadap pesan yang diterimanya. Dalam berbagai situasi, penerima memberikan rangsangan yang mendasar terhadap sumber pesan (komunikator) melalui proses tanggapan balik.e. Efek atau hasil

Efek atau hasil adalah hal yang terjadi pada pihak penerima pesan (komunikan). Hal ini merupakan perubahan yang dialami oleh para komunikan. Tiap-tiap komunikasi mempunyai akibat atau hasil yang ia mempunyai efek tertentu pada orang-orang yang menjadi peserta dalam proses komunikasi, walaupun akibat tersebut tidak selalu bisa kelihatan dengan segera, Achmad (1992: 5). Efek atau pengaruh yang terjadi dapat terlihat atau terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tingkah laku seseorang yang terlibat dalam interaksi komunikasi tersebut.Jika hal ini dikaitkan dengan komunikasi antar pribadi, maka berhasilnya komunikasi terlihat apabila komunikasi antar pribadi dapat memberikan konstribusi positif terhadap tujuan yang ingin dicapai. Ketika seseorang sumber pesan (komunikator) dalam hal ini orang tua menyampaikan pesan kepada anaknya selaku penerima pesan, maka harapan yang muncul adalah anak selaku menerima pesan mengalami perubahan pada pengetahuan atau pengalaman yang dimilikinya.2.1.3 Komunikasi orang tua dan anakKomunikasi orang tua dengan anaknya sangat penting bagi perkembangan kepribadian seorang anak. Jika komunikasi orang tua memberikan pengaruh yang baik kepada anak, maka hal itu dapat menyebabkan anak berkembang dengan baik pula. Suasana komunikasi orang tua di rumah mempunyai peranan penting dalam menentukan kehidupan anak di sekolah. Cara orang tua mendidik anaknya akan memberi pengaruh terhadap kegiatan belajar anaknya. Orang tua yang kurang memperhatikan kemajuan pendidikan anaknya dapat menyebabkan anaknya kurang berhasil dalam belajarnya. Perhatian yang diberikan harus disesuaikan dengan kebutuhan anak sesuai perkembangan mentalnya. Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang primer, sebab pada lingkungan keluarga inilah anak pertama-tama memperoleh pengalaman hidupnya. Pengalaman akan menjadi dasar bagi perkembangan hidup selanjutnya (Jaudah, 1995: 21).Lingkungan keluarga banyak dihubungkan dengan prestasi belajar anak. Karena itu, yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pendidikan seorang anak adalah orang tua, di samping lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Orang tua menjadi salah satu kunci keberhasilan anak dalam belajar, sehingga orang tua perlu menciptakan komunikasi yang intens dengan anaknya terhadap proses belajar anaknya. Orang tua harus menjadikan rumah sebagai wadah untuk berkomunikasi secara intens dengan anaknya yang berhubungan dengan kegiatan belajar anak di rumah dan di luar rumah serta pemenuhan kebutuhan belajar anak (Suryo Subroto, 1990:11).Orang tua dituntut selalu mengkomunikasikan kebutuhan pendidikan anaknya, karena anak membutuhkan komunikasi dalam bentuk perhatian dan penghargaan sebab komunikasi seperti itu dapat memberi motivasi dan memperlancar proses belajar anak. Apabila dihubungkan antara kehidupan anak di rumah dengan orang tua, maka orang tua harus menciptakan rumah itu sebagai learning environment, mengajarkan nilai-nilai kebaikan moral, etis, dan sebagainya. Orang tua dituntut untuk dapat bersikap seperti guru. Tahu masalah, dan tugas anaknya di sekolah. Ia juga harus pandai mengevaluasi perkembangan anaknya, lebih berpengaruh dari guru dan sebagainya. Ia juga harus mengadakan kerja sama dengan guru dan pimpinan sekolah (parent teacher principle) dan selalu menciptakan iklim yang sehat dan hubungan yang harmonis dalam membimbing dan mendorong anak, (Ihsan, 1996: 57).Pendapat lain dikemukakan oleh Gunarsa (1995), bahwa orang tua mempunyai fungsi tidak hanya terbatas selaku penerus keturunan saja, tetapi dalam bidang pendidikan, orang tua merupakan sumber pendidikan utama, karena segala pengetahuan dan kecerdasan intelektual anak diperoleh pertamatama dari orang tua sendiri. Dari pendapat di atas, jelaslah bahwa komunikasi orang tua dengan anaknya dalam kegiatan belajar sangat diperlukan, sebab komunikasi seperti itu dapat meningkatkan kualitas belajar anak.Lebih lanjut ia menjelaskan, bahwa rumah sebagai tempat tinggal dapat dilihat dari beberapa dimensi. Salah satu dimensi rumah sebagai tempat tinggal adalah tempat menkomunikasikan dimensi sikap yang meliputi sikap orang tua terhadap pendidikan saat ini, perhatian orang tua bagi pendidikan dan pekerjaan anak di masa yang akan datang, dan harapan atau aspirasi orang tua tentang diri mereka sendiri. Dimensi yang lain adalah tempat terciptanya proses komunikasi orang tua dengan anak yang meliputi pandangan orang tua terhadap sekolah anak, fasilitas buku yang ada di rumah serta dorongan dari orang tua dalam menumbuhkan kebiasaan membaca, memberi bantuan bila anak mengerjakan tugas sekolah di rumah sekaligus mengawasinya. Komunikasi antara anggota keluarga yang terpenting adalah komunikasi orang tua dengan anaknya. Komunikasi yang harmonis antara orang tua dengan anaknya adalah komunikasi yang penuh pengertian dan kasih sayang, disertai bimbingan dan bila perlu hukuman-hukuman untuk menyukseskan belajar anak sendiri. Orang tua harus dapat menciptakan suasana rumah menjadi tenang dan tentram sehingga anaknya betah dan bergairah untuk belajar. Di samping itu, yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana orang tua mengkomunikasikan kebutuhan fasilitas belajar anaknya.Dari uraian di atas jelaslah bahwa komunikasi orang tua sangat diperlukan untuk lebih menyadari akan tugas dan tanggung jawabnya, baik ia sebagai orang tua, maupun sebagai pendidik. Karena itu, komunikasi orang tua sebagai pendidik meliputi: (1) kesadaran akan kemajuan pendidikan anak, (2) keterlibatan dalam kegiatan belajar anak di sekolah maupun di rumah, (3) keterlibatan dalam menciptakan kondisi belajar yang baik, (4) penyediaan fasilitas belajar, dan (5) bimbingan serta dorongan untuk lebih menggiatkan anak belajar.2.1.4 Komunikasi yang diharapkan terjadi antara orang tua dan anak

Komunikasi orang tua dengan anaknya dapat digolongkan ke dalam komunikasi antarpribadi yang ditandai dengan adanya proses hubungan yang bersifat psikologis dan proses ini selalu mengakibatkan adanya keterpengaruhan. Salah satu ciri komunikasi antarpribadi adalah adanya efek dan umpan balik yang langsung. Hal ini sesuai dengan pendapat Devito (1997), bahwa komunikasi antarpribadi merupakan pengiriman pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain yang efek dan umpan balik yang langsung. Lebih lanjut Efendi dalam Liliweri (1997) mengemukakan, bahwa pada hakekatnya komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antara seseorang komunikator dengan seorang komunikan. Jenis komunikasi tersebut dianggap paling efektif untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku manusia karena prosesnya yang dialogis.Jadi secara umum, komunikasi antarpribadi dapat diartikan sebagai suatu proses pertukaran makna antar orang-orang yang saling berkomunikasi. Pengertian proses mengacu pada perubahan dan tindakan (action) yang berlangsung terus-menerus. Komunikasi antarpribadi juga merupakan suatu pertukaran, yaitu tindakan menyampaikan dan menerima pesan secara timbal balik. Sedangkan makna yaitu, sesuatu yang dipertukarkan dalam proses tersebut, adalah kesamaan pemahaman di antara orang-orang yang berkomunikasi terhadap pesan-pesan yang digunakan dalam proses komunikasi. (Sendjaja, 1994).Dilihat dari fungsinya komunikasi antarpribadi menurut Cangara (2000) adalah berusaha meningkatkan hubungan insani (human relationsi), menghindari dan mengatasi konflik-konflik pribadi, mengurangi ketidakpastian sesuatu, serta berbagai pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain.Untuk mewujudkan fungsi tersebut di atas, maka diperlukan komunikasi yang efektif. Menurut Verdeber dalam Mulyana (1999), komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang memungkinkan makna yang disampaikan mirip atau sama dengan yang dimaksudkan komunikan, atau dengan kata lain komunikasi efektif adalah makna bersama. Komunikasi antarpribadi, dalam hal ini komunikasi antar orang tua dengan anak dapat efektif jika merujuk pada karakteristik komunikasi antarpribadi.Pearson dalam Sendjaja (1994), mengemukakan enam karakteristik komunikasi antarpribadi; Pertama, komunikasi antarpribadi dimulai dengan diri pridabi (self); Kedua, komunikasi antarpribadi bersifat transaksional. Anggapan ini mengacu pada tindakan pihak-pihak yang berkomunikasi secara serempak menyampaikan dan menerima pesan; Ketiga, komunikasi antarpribadi mencakup aspek-aspek isi pesan dan hubungan antarpribadi. Maksudnya komunikasi antarpribadi tidak hanya berkenaan dengan isi pesan yang dipertukarkan, tetapi juga melibatkan siapa partner komunikasi kita dan bagaimana hubungan kita dengan partner tersebut; Keempat, komunikasi antarpribadi mensyaratkan adanya kedekatan fisik antara pihak-pihak yang berkomunikasi; Kelima, komunikasi antarpribadi melibatkan pihak-pihak yang saling tergantung satu dengan yang lainnya dalam proses komunikasi;

Menurut Devito (1997), karakteristik komunikasi antarpribadi yang efektif dilihat dari tiga sudut pandang; Yang pertama adalah sudut pandang humanistik, yang menekankan pada keterbukaan (opennessi), empati (empathy), sikap mendukung (supportiveness), sikap positif (positiveness), dan kesetaraan (equality); kedua, sudut pandang pragmatis atau keperilakuan yang menawarkan lima kualitas efektivitas yaitu; kepercayaan diri (confidence), kedekatan (immediacy), manajemen interaksi (interaction management), daya pengungkapan (expressiveness), dan orientasi ke pihak lain (other orientation); Ketiga, sudut pandang pergaulan sosial dan kesetaraan dipusatkan pada pertukaran manfaat dan biaya, serta implikasi dari pola pertukaran ini terhadap hubungan. Model ini menekankan pada pertukaran manfaat dan pemikulan beban biaya.Komunikasi antarpribadi dari sudut pandang humanistik yang dikemukakan oleh Devito (1997) mempunyai ciri-ciri:a. Keterbukaan (openness), yang mengacu pada tiga aspek komunikasi antarpribadi; Pertama, komunikator antarpribadi yang efektif harus terbuka kepada orang yang diajaknya berinteraksi; Kedua, mengacu pada kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang dating; Ketiga, aspek yang menyangkut kepemilikan perasaan dan pikiran. Dalam membicarakan masalah belajar kepada anaknya, orang tua harus terbuka dan siap untuk bereaksi secara wajar terhadap umpan balik yang datang, serta jujur memberi ganjaran kepada anaknya, bila prestasinya baik diberi hadia, dan bila prestasinya buruk diberi hukuman, sehingga pada akhirnya anak memiliki tanggung jawab.

b. Empati (empathy), yaitu kemampuan orang tua memposisikan dirinya dalam komunikasi dengan anaknya artinya orang tuan mampu memahami anaknya sehingga dalam memberi bimbingan, motivasi, dan menilai kemajuan belajar anaknya tetap pada sudut perkembangan anak.c. Sikap mendukung (supportiveness), Artinya keterbukaan dan empati dapat terlaksana jika terjadi dalam suasana yang mendukung (kondusif), yang ditandai dengan bersikap (1) deskriptif, bukan evaluatif, (2) spontan, bukan strategik, dan (3) provosional, bukan sangat yakin. Dalam membicarakan masalah belajar anak maka orang tua harus memahami kondisi anak pada saat itu. Orang tua harus bersikap deskriptif, artinya memberikan penjelasan atau uraian mengenai topik pembicaraan tersebut dengan harapan anak tidak merasa adanya suatu ancaman. Spontanitas dalam keterbukaan dan keterusterangan orang tua diperlukan agar anak juga bersikap demikian, yaitu terbuka dan terus terang mengenai masalah belajar yang dihadapinya. Sikap profesional orang tua sangat diperlukan dalam mengefektifkan komunikasi yang terjadi dengan anak mereka. Orang tua harus bersedia mendengarkan pandangan yang mungkin berlawanan dengan pandangannya dari anak mereka. Bahkan dalam kondisi tertentu orang tua bersedia mengubah posisinya jika keadaan mengharuskan.d. Sikap positif (positiveness), artinya dalam berkomunikasi orang tua harus memiliki sikap positif terhadap anaknya. Sikap positif berupa pujian dan penghargaan yang ditunjukkan orang tua dapat merupakan pendorong bagi anak dalam belajar. Dorongan positif ini mendukung citra pribadi anak dan membuatnya merasa lebih percaya diri dalam belajar.

e. Kesetaraan (equality) artinya komunikasi akan lebih efektif apabila suasananya setara. Orang tua dan anak dalam membicarakan masalah belajar harus mengakui bahwa masing-masing penting dan berharga dalam berperan, dan bahwa masing-masing pihak mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Dalam hal ini keefektifan komunikasi akan tercapai jika orang tua dan anak saling menghargai dan mengakui kekurangan dan kelebihan masing-masing (sharing Information).Lin (1973: 168) menjelaskan, pengaruh adalah setiap konsekuensi yang terjadi dari setiap pengoperasian media massa. Namun batasan tersebut dapat pula diaplikasikan kedalam aktivitas dan penggunaan objek yang lain. Seperti setiap konsekuensi yang dihasilkan oleh komunikasi orang tua terhadap anaknya adalah merupakan wujud pengaruh dari kapasitas komunikasi orang tua dengan anak tentang kegiatan belajarnya.

Selain itu Kelman dalam Lin (1973: 88) menyatakan, suatu tipologi yang memfokuskan pada tiga proses yang berbeda, dimana pengaruh dapat dipaksakan pada penerima, masing-masing dikarakteristikkan melalui seperangkat kondisi konsekuen yang jelas. Ia menyebutkan kompliansi, identifikasi dan internalisasi. Kompliansi (kerelaan/pemenuhan) dapat dikatakan terjadi bila seorang penerima pengaruh dari sumber (individu atau kelompok), karena dia akan menerima reaksi yang menguntungkan dari sumber. Identifikasi terjadi bila penerima mengadopsi perilaku dari seseorang atau kelompok lain, karena perilaku ini diassosiasikan dengan kepuasan, menemukan sendiri hubungannya dengan orang atau kelompok tersebut. Internalisasi bisa mengambil tempat pada penerima, dan menekankan pada kesesuaian nilai dari perilakunya, kekuatan sumber berdasarkan kredililitasnya, dan konsep penerima responden melalui internalisasi, maka Ia cenderung untuk mengekspresikan atau membentuknya dalam kondisi nilai-nilai yang relevan, yang awalnya terdapat dalam situasi pengaruh.Sejalan dengan pengertian di atas, Achmad (1986:136) membatasi pengaruh sebagai diskripsi antara sikap atau pola-pola behaviaral individu terhadap suatu objek atau situasi sebelum partisipasinya dalam suatu peristiwa komunikasi dengan sikap atau pola-pola bihavioral sesudah partisipasi dalam peristiwa tersebut.Cangara (1996: 112) mendefinisikan kata pengaruh sebagai keadaan yang berbeda sebelum dan sesudah informasi diterima oleh penerima. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa pengaruh atau efek adalah perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan. Pengaruh dapat terjadi pada pengetahuan, sikap dan tingkah laku seseorang penerima pesan. Karena itu pengaruh bisa juga diartikan sebagai perubahan atau penguatan keyakinan pada pengetahuan, sikap dan tindakan seseorang sebagai akibat dari penerimaan pesan.

Pengaruh adalah salah satu elemen dalam komunikasi yang sangat penting untuk pengetahuan berhasil tidaknya komunikasi yang diinginkan. Pengaruh dapat dikatakan berhasil jika terjadi perubahan (P), yang terjadi pada penerima sama dengan tujuan (T), yang diinginkan oleh sumber (komunikator) P=T atau pengaruh dapat ditentukan oleh sumber, media dan penerima P=S/P/M/P (Cangar, 1998: 163).Bila dicermati rumus tersebut, maka dapat dipahami bahwa, besar atau kecilnya pengaruh, tinggi rendahnya pengaruh suatu objek (konsep, fakta, prinsip) sangat ditentukan oleh besar kecilnya atau tinggi rendahnya kapasitas objek (konsep, fakta, atau prinsip, prosedur). Dengan kata lain, jika sumber memiliki kapasitas yang memadai maka pengaruhnya juga memadai. Jika sumber dalam hal ini pengirim pesan memiliki kredibilitas, daya tarik, skill yang tinggi, maka konsekuensi yang ditimbulkan juga tinggi. Jika kapasitas pesan terorganisasi dengan baik, kode pesan baik, isi pesan sesuai dengan tujuan, maka konsekuensi yang ditimbulkan juga baik dan sesuai dengan kondisi, kapasitas penerimaan pesan, maka konsekuensi yang ditimbulkan juga mengena. Jika kapasitas penerima (trampil menerima pesan, pengelolahannya relevan dengan isi pesan, motivasi dan perhatian, lingkungan belajarnya) memadai, maka konsekuensi yang ditimbulkan oleh penerima pesan juga memadai. Demikian pula sebaliknya, jika kapasitas S/P/M/P tidak, memadai maka konsekuensi yang ditimbulkan juga tidak memadai.Pada sisi lain konsep/rumus P=S/P/M/P juga dapat dipahami bahwa pengaruh (P) sangat ditentukan oleh relevan dan kerjasama yang serasi dan seimbang antara S/P/M/P (elemen sumber, pesan, media dan penerima). Jika antara S/P/M/P terorganisasi dengan baik, maka konsekuensi yang ditimbulkan akan sesuai dengan tujuan atau pengaruh yang diinginkan oleh komunikator dan komunikan.

Jika konsep/rumus P=S/P/M/P diaplikasikan dalam konteks sumber pesan, maka dipahami bahwa jika kapasitas sumber pesan, materi pesan, strategi yang digunakan, kapasitas dan karakteristik penerima terjalin dengan baik, maka konsekuensi yang ditimbulkan oleh jalinan antara sumber pesan, strategi, materi, media, dan penerima pesan menjadi baik. Demikian pula sebaliknya jika antara sumber pesan, strategi, materi dan penerima pesan kurang mengena, maka konsekuensi yang ditimbulkan oleh jalur antara penerima pesan, strategi juga tidak mengena.Dalam konteks yang lain, Cangara (1998: 62) menyatakan, bahwa pengaruh bisa juga diartikan sebagai perubahan atau penguatan keyakinan pada pengetahuan, sikap, dan tindakan seseorang sebagai akibat penerimaan pesan. Jadi pengaruh yang ditimbulkan oleh suatu fonemena, dapat memperkuat pandangan seseorang terhadap realitas dunianya. Informasi yang diterima memperluas pandangan terhadap lingkungan, sehingga penerimaan informasi atau pengetahuan dapat memiliki arah pandangan dalam menata kehidupannya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain atau masyarakat.2.2 Konsep Dasar Kesehatan Reproduksi2.2.1 Pengertian Kesehatan ReproduksiReproduksi adalah proses kehidupan manusia dalam menghasilkan keturunan demi kelestarian hidup. Kesehatan reproduksi meruapakan keadaan sejahtera fisik, mental sosial yang utuh dalam segala hal yang berkaitan dengan fungsi, peran dan system reproduksi (Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan, 1994)

Kesehatan reproduksi adalah kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan, dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya (WHO, 2009)2.2.2 Kesehatan Reproduksi Pada Remajaa. Tujuan Pemberian Kesehatan Reproduksi Pada Remaja (Anderson & McFarlane, 1988) Agar remaja memiliki informasi yang benar mengenai proses reproduksi serta berbagai faktor yang ada di sekitarnya sehingga remaja memiliki sikap dan tingkah laku yang bertanggungjawab tentang proses reproduksi Meningkatkan kesadaran kemandirian wanita remaja dalam mengatur fungsi dan proses reproduksinya, termasuk kehidupan seksualitasnya, sehingga hak-hak reproduksinya dapat terpenuhi untuk peningkatan kualitas hidup Meningkatnya kemandirian remaja dalam memutuskan peran dan fungsi reproduksinya Meningkatnya hak dan tanggungjawab sosial remaja (wanita) dalam menentukan kapan hamil, jumlah dan jarak kehamilan

Meningkatnya peran dan tanggungjawab sosial remaja (pria) terhadap akibat dari perilaku seksual dan fertilitasnya kepada kesehatan dan kesejahteraan pasangan dean anak-anaknya

Dukungan yang menunjang remaja untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan proses reproduksinya

b. Pengetahuan Mengenai Kesehatan Reproduksi Remaja yang perlu diberikan (Stanhope & Lancaster, 1992) Pengenalan masalah sistem reproduksi, proses dan fungsi alat reproduksi

Mengapa remaja perlu mendewasakan usia perkawinan dan merencanakan kehamilan agar sesuai dengan keinginan

Penyakit menular seksual dan HIV / AIDS dan dampaknyan terhadap kespro

Bahaya narkoba dan miras pada kesehatan reproduksi

Pengaruh sosial dan media terhadap perilaku seksual

Kekerasan seksual dan bagaimana cara menghindarinya Mengembangkan kemampuan berkomunikasi termasuk memperkuat kepercayaan diri agar mampu menangkal hal-hal negatif Hak-hak reproduksi

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi(1) Informasi

Dalam penelitian Putriani (2010) di ketahui bahwa semua remaja yang digunakan sebagai subejek dalam penelitiannya pernah mendengar informasi tentang kesehatan reproduksi. Hal tersebut di karenakan mudahnya mereka mendapatkan informasi kesehatan reproduksi baik dari media massa, orang tua, guru atapun teman. Hal tersebut terlihat dari data penelitian sumber remaja dalam mendapatkan informasi kesehatan reproduksi. Banyak remaja yang mendapatkan informasi kesehatan reproduksi dari media massa yaitu internet dan dari hasil penelitian di dapatkan data (31,51%), teman (30,14%), majalah (21,92%), pacar (16,44%).(2) Media massa

Internet merupakan media yang menyediakan informasi secara bebas tanpa batas walaupun informasi ada yang positif dan negatif. Banyak situs-situs yang mengungkap secara fulgar (bebas) kehidupan seks atau gambar - gambar yang belum sesuai untuk remaja yang dapat memberikan dampak kurang baik bagi mereka karena pada saat usia remaja terjadi perubahan psikologis yang mengakibatkan perubahan sikap dan tingkah laku seperti mulai memperhatikan penampilan diri, mulai tertarik dengan lawan jenis, berusaha menarik perhatian dan muncul perasaan cinta yang kemudian akan timbul dorongan seksual. Pada masa remaja cenderung memiliki tingkat seksual yang tinggi sehubungan dengan mulai matangnya hormon seksual dan organ-organ reproduksi (Ninda, 2009).(3) Pengaruh orang terdekat

Seseorang yang kita anggap penting atau dekat dengan kita, yang diharapkan persetujuannya bagi setiap gerak dan pendapat kita, seseorang yang tidak ingin kita kecewakan, ataupun seseorang yang berarti khusus bagi kita akan banyak mempengaruhi pengetahuan kita terhadap sesuatu. Disinilah suatu masalah sering kali muncul dalam kehidupan remaja karena mereka ingin mencoba-coba segala hal, termasuk yang berhubungan dengan fungsi ketubuhannya yang juga melibatkan pasangannya (Masland, 2006). (4) Orang tua

Dalam penelitian Putriani (2010) di ketahui bahwa sebagian besar remaja mnganggap orang tua adalah orang yang penting bagi mereka (35,5%) karena nilai-nilai yang di tanamkan oleh orang tua mereka dapat mempengaruhi pengetahuan remaja karena pengetahuan yang tidak sesuai dengan tugas perkembangan remaja pada umumnya dapat dipengaruhi orang tua. Bilamana orang tua mampu memberikan pemahaman mengenai pengetahuan kesehatan reproduksi kepada anak-anaknya, maka anak-anaknya cenderung mengontrol perilaku seksnya yang dapat berpengaruh pada organ reproduksi itu sesuai dengan pemahaman yang diberikan orang tuanya hal ini terjadi karena pada dasarnya pendidikan seks yang terbaik adalah yang diberikan oleh orang tua sendiri, dan dapat pula diwujudkan melalui cara hidup orang tua dalam keluarga sebagai suami-istri yang bersatu dalam perkawinan (Masland, 2006).Kesulitan yang timbul kemudian adalah apabila pengetahuan orang tua kurang memadai menyebabkan sikap kurang terbuka dan cenderung tidak memberikan pemahaman tentang masalah-masalah reproduksi anak. Akibatnya anak mendapatkan informasi seks yang tidak sehat. Seorang peneliti menyimpulkan hasil penelitiannya sebagai berikut: informasi seks yang tidak sehat atau tidak sesuai dengan perkembangan usia remaja ini mengakibatkan remaja terlibat dalam kasus-kasus berupa konflik-konflik dan gangguan mental, ide-ide yang salah dan ketakutan-ketakutan yang berhubungan dengan seks. Dalam hal ini, terciptanya konflik dan gangguan mental serta ide-ide yang salah dapat memungkinkan seorang remaja untuk melakukan hubungan seks pranikah.

(5) Teman

Dalam penelitian Putriani (2010) ada juga sebagian yang menggap teman orang yang penting (32,3%) karena pada saat menginjak usia remaja biasanya cenderung ingin membuktikan diri dan tidak bergantung lagi pada orang tua dan biasanya pada usia remaja lebih merasa nyaman jika berada bersama teman-temannya maka tak heran bila remaja mempunyai kecenderungan untuk mengadopsi informasi yang diterima oleh temantemannya, tanpa memiliki dasar informasi yang signifikan dari sumber yang lebih dapat dipercaya. Informasi dari teman-temannya tersebut, dalam hal ini tak jarang menimbulkan rasa penasaran yang membentuk serangkaian pertanyaan dalam diri remaja. Untuk menjawab pertanyaan itu sekaligus membuktikan kebenaran informasi yang diterima, mereka cenderung melakukan dan mengalami hubungn seks pranikah itu sendiri yang dapat berdampak negatif untuk kesehatan reproduksinya(6) Diskusi

Pada kehidupan psikis remaja, perkembangan organ seksual mempunyai pengaruh kuat dalam minat remaja terhadap lawan jenis kelamin. Ketertarikkan antar lawan jenis ini kemudian berkembang ke pola yang lebih serius serta memilih pasangan yang akan ditetapkan sebagai teman hidup dan pada kehidupan moral, seiringan dengan bekerjanya gonads, tak jarang timbul konflik dalam diri remaja. Masalah yang timbul yaitu akibat adanya dorongan seks dan pertimbangan moral sering kali bertentangandan hal inilah yang menyebabkan remaja sangat perlu untuk berdiskusi karena apa yang sedang atau dialami seseorang akan mempengaruhi pengahayatan terhadap stimulus social. Dalam hal ini mungkin remaja memiliki pengalaman pribadi yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi sehingga berpengaruh terhadap seksualitas. pengalaman masa anak-anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja yang pada masa anak-anak mengalami pengalaman buruk akan mudah terjebak ke dalam aktivitas seks pada usia yang amat muda dan memiliki kencenderungan untuk memiliki pasangan seksual yang berganti-ganti (Ridwan, 2010)BAB IIIRINGKASAN JURNAL3.1 TUJUAN PENELITIAN

3.1.1 Tujuan Umum :

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis komunikasi antara orang tua-anak tentang kesehatan seksual dan reproduksi (SRH) dalam keluarga, dilihat dari komponen konten, waktu dan frekuensi komunikasi mereka dengan anak mereka yang berusia 14-24 tahun di daerah Tanzania

3.1.2 Tujuan Khusus :

1.2.1 Untuk mengetahui konten komunikasi antara orang tua-anak mereka yang berusia 14-24 tahun tentang kesehatan seksual dan reproduksi (SRH) dalam keluarga di daerah Tanzania1.2.2 Untuk mengetahui waktu komunikasi antara orang tua-anak mereka yang berusia 14-24 tahun tentang kesehatan seksual dan reproduksi (SRH) dalam keluarga di daerah Tanzania1.2.3 Untuk mengetahui frekuensi komunikasi antara orang tua-anak mereka yang berusia 14-24 tahun tentang kesehatan seksual dan reproduksi (SRH) dalam keluarga di daerah Tanzania3.2 METODE PENELITIAN

3.2.1 Subjek

Subjek pada penelitian ini terdiri dari 46 orang yang berasal dari suku etnis Sukuma yang berada di Tanzania. Subjek pada penelitian ini terdiri dari remaja yang berumur 14-24 tahun serta orang tua ataupun wali dari remaja tersebut. Subjek yang akan digunakan pada penelitian ini sebelumnya akan diobservasi terlebih dahulu, dan dengan menggunakan teknik bola salju ditentukanlah 17 orang dari 46 orang subjek yang akan diberikan Focus Group Discussion (FGD), dan nantinya 46 orang tersebut juga akan dilakukan wawancara secara mendalam. Adapun penelitian ini dilakukan selama 8 minggu yaitu pada tahun 2007. 3.2.2 Prosedur dan Instrumentasi

Sebelum penelitian ini dilaksanakan terlebih dahulu dilakukan perijinan baik ditingkat kabupaten, lingkungan, maupun desa (masyarakat dan individu). Kemudian peneliti memperkenalkan diri di dua pertemuan masyarakat yang diselenggarakan di desa. Selama penelitian mereka akan tinggal di rumah warga dan ikut terlibat dalam kegiatan sehari-hari dari warga setempat, sembari mencari persetujuan dari peserta untuk mereka yang berusia di bawah 18 tahun (usia mayoritas di Tanzania) dan persetujuan juga dicari dari orang tua atau wali.Penelitian ini menggunakan desain penelitian etnografi. Data dikumpulkan menggunakan observasi partisipan/subjek (PO), wawancara yang mendalam (IDIs), dan Focus Group Discussion (FGD). Kombinasi dari pengumpulan data ini diharapkan mampu meningkatkan pemahaman tentang isu-isu kompleks terkait dengan interaksi keluarga, perilaku seksual remaja, dan pemahaman yang rinci tentang komunikasi antara orang tua dan anak.

PO sengaja dilakukan sebelum IDIs dan FGD, hal ini dilakukan untuk membantu menentukan topik panduan dalam menyusun pertanyaan yang akan diberikan pada saat IDIs dan FGD. Data selama observasi hanya menyediakan informasi mengenai aktivitas dan interaksi hubungan di dalam keluarga serta hubungan orang tua dengan anak. Selama PO, peneliti didorong untuk menjalin kontak dengan berbaur diberbagai kelompok maupun jaringan sosial lainnya.

Subjek yang digunakan untuk FGD diambil dengan menggunakan tehnik pendekatan bola salju. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa semua peserta saling kenal baik dan bebas untuk mendiskusikan masalah sensitif di hadapan masing-masing. Sedangkan untuk subjek yang akan digunakan dalam IDIs dpilih juga dari peserta yang mengikuti FGD dengan menggunakan purposive sampling. IDIs menggunakan peserta dari FGD agar masalah yang diperoleh selama diskusi dapat digali lebih dalam secara personal. Ini juga memastikan bahwa orang-orang yang terlibat dalam penelita ini juga akan dilakukan wawancara lebih dalam. Dengan menggunakan theoretical sampling melalui tujuh tahapan wawancara terpilihlah peserta sejumlah 39 orang. 3.3 HASIL PENELITIAN

a. Analisis ini memeriksa apakah ada komunikasi antara orang tua dengan anak tentang SRH, konten, waktu dan frekuensi serta kepuasan remaja dengan komunikasi. Orang tua ditanyakan tentang perilaku seksual yang mereka harapkan dari anak-anak mereka, kekhawatiran orang tua dan bagaimana mereka berkomunikasi dengan anaknya tentang kesehatan seksual.b. Telah diamati bahwa sebagian besar komunikasi adalah mendukung pernikahan sebagai hadiah akhir untuk perilaku baik dan dalam kasus dimana orang tua terlibat tentang seks anak, orang tua mendorong mereka untuk memiliki satu pasangan. Komunikasi selalu dimulai oleh orang tua dan cenderung untuk lebih fokus pada anak perempuan terutama yang masih sekolah.

c. Hasil Penelitian ini menunjukkan adanya komunikasi orang tua-anak tentang seks dan minat mereka dalam kesehatan seksual anak-anak mereka. Hasil penelitian telah menunjukkan bahwa komunikasi orang tua-anak tentang SRH terutama disampaikan oleh ibu dan jarang oleh ayah. Ibu dianggap dekat dengan anak-anak mereka dan lebih lama menghabiskan waktu dengan mereka daripada ayah. Perasaan dekat remaja yang dirawat oleh ibu adalah penting untuk komunikasi ibu-anak tentang SRH. Namun, meskipun ibu memiliki kelebihan yang dipercaya oleh anak-anak mereka, mereka tidak sepenuhnya memanfaatkan ini untuk diskusi lebih dekat tentang SRH dengan anak mereka. Oleh karena itu, hal ini hampir sama dengan ayah yang tidak dianggap terlalu dekat dengan anak mereka, mereka juga diberikan informasi tentang SRH melalui ancaman dan peringatan. Ibu dari anak perempuan dalam penelitian ini diamati mengalami kesulitan berkomunikasi tentang seks. Bagaimanapun apa yang orang tua komunikasikan tentang SRH dengan anak-anak mereka sangat penting, sama pentingnya dengan waktu untuk berkomunikasi. Kebanyakan orang tua menunggu tanda bahwa anak mereka telah aktif secara seksual sebelum mereka memperingatkan dan mengancam mereka tentang konsekuensi dari melakukan hubungan seks.d. Temuan ini menunjukkan pentingnya bentuk-bentuk lain informasi SRH yang mempengaruhi komunikasi orang tua-anak tentang seksualitas. Hal ini dapat dilihat dari program radio dan sumber lainnya yang telah jelas muncul sebagai permulaan yang baik untuk komunikasi seperti dalam keluarga. Apa ini artinya bahwa program media massa harus didorong lebih banyak dan seperti program lain yang mungkin harus memiliki tips khusus tentang bagaimana orang tua harus berdiskusi tentang seksualitas dengan anak mereka. Orangtua perlu pelatihan keterampilan dalam bidang komunikasi orangtua-anak tentang SRH sehingga mereka dapat memberikan yang tepat, tepat waktu dan informasi yang non-kontradiktif. Komunikasi orang tua-anak anak terhambat oleh rasa malu dan takut seputar seks seperti yang terlihat dalam pertanyaan paling sering diajukan, Bagaimana cara memulai diskusi?. Hal ini terutama untuk anak-anak dari lawan jenis. Oleh karena itu jadi terlihat tabu membicarakan tentang lawan jenis dan komunikasi pada generasi yang berbeda harus dipertimbangkan lebih hati-hati.e. Implikasi dari temuan ini adalah bahwa keluarga dan orang tua khususnya, merupakan faktor penting yang tidak boleh diabaikan dalam program ini untuk ingin mengurangi risiko anak-anak muda berperilaku seksual bebas.

f. Hasil penelitian ini memperkuat kebutuhan untuk mengembangkan program untuk dukungan orangtua agar tetap terlibat dalam kehidupan anak anak mereka (yaitu baik di dalam sekolah atau luar sekolah kelompok) dan untuk mengubah perspektif mereka tentang seksualitas anak-anak mereka. Program harus mengajarkan kedua orang tua dan kaum muda untuk berkomunikasi secara eksplisit dan jelas. Jadi dalam hal ini keterbukaan antara orang tua-anak sangat dipenting dalam hal komunikasi mengenai SRH.g. Hasil penelitian ini penting untuk meningkatkan pertanyaan tentang bagaimana orang tua dapat melihat keterbukaan ide-ide baru untuk membahas SRH dan keterbukaan anak-anak mereka untuk mengekspresikan perasaan seksual mereka (melalui hubungan terbuka). Banyak orang tua mengira mereka melindungi anak-anak mereka dengan tidak mengakui mereka beraktivitas seksual dan memihak budaya kerahasiaan hubungan seksual, mereka sebenarnya mungkin meningkatkan risiko anak anak mereka untuk terkena HIV / AIDS dan kehamilan yang tidak diinginkan.h. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kurangnya komunikasi langsung orang tua- anak tentang seks telah dikaitkan kekurangan dari kedekatan orangtua-anak, malu, takut dan budaya atau norma-norma. Namun, apa yang dicatat di sini adalah bahwa kebanyakan orang tua dipaksa untuk berkomunikasi melalui peringatan. Metode komunikasi ini dapat dikaitkan dengan keparahan dari pandemi HIV di mana orang tua yang merasa wajib melakukan sesuatu untuk menyelamatkan anak-anak mereka. Beberapa menulis mengaitkan kesulitan komunikasi orang tua-anak tentang seksualitas ke seks tabu. Mereka berpendapat bahwa seks tabu melarang diskusi tentang masalah seksual diantara orang-orang dari generasi yang berbeda. Hal ini bisa memberikan penjelasan bahwa komunikasi yang dialami oleh orang tua-anak dalam penelitian ini tentang SRH sangat terbatas. Namun, penemuan dalam studi ini menunjukkan perubahan positif yang terjadi secara perlahan. Aspek yang paling menggembirakan dari temuan ini adalah kemajuan yang sedang dibuat seperti terlihat pada orang tua mengatasi beberapa kepercayaan tradisional sekitar komunikasi tentang SRH dan harapan mereka terhadap seksualitas anak - anak mereka.

i. Meskipun memiliki keterbatasan karena bersifat kualititaf yang mana tidak dapat untuk mengukur komunikasi orang tua-anak, penelitian ini menunjukkan bahwa komunikasi orang tua-anak terjadi dalam keluarga dan mungkin terfokus untuk intervensi SRH pada remaja melalui orang tua dan keluarga yang lebih luas. Hal ini akan memberikan suatu upaya pendekatan untuk membendung HIV / AIDS dan masalah SRH lainnya di antara remaja. Selain itu, keterlibatan anggota keluarga, khususnya orang tua, akan mendorong persetujuan orang tua dan dukungan upaya promosi kesehatan seksual dari sumber eksternal dan disalurkan melalui cara lain seperti sekolah, fasilitas kesehatan dan media.

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 ANALISIS JURNALDalam jurnal ini sampel yang digunakan sebanyak 46 orang yang berasal dari suku etnis Sukuma yang berada di Tanzania. Subjek pada penelitian ini terdiri dari remaja yang berumur 14-24 tahun serta orang tua ataupun wali dari remaja tersebut. Subjek yang akan digunakan pada penelitian ini sebelumnya akan diobservasi terlebih dahulu, dan dengan menggunakan teknik bola salju ditentukanlah 17 orang dari 46 orang subjek yang akan diberikan focus group discussion (FGD), dan nantinya 46 orang tersebut juga akan dilakukan wawancara secara mendalam. Adapun penelitian ini dilakukan selama 8 minggu yaitu pada tahun 2007. Hasil penelitian diatas ingin menganalisis apakah ada komunikasi antara orang tua dengan anak tentang SRH, konten, waktu dan frekuensi serta kepuasan remaja dengan komunikasi. Orang tua ditanyakan tentang perilaku seksual yang mereka harapkan dari anak-anak mereka, kekhawatiran orang tua dan bagaimana mereka berkomunikasi dengan anaknya tentang kesehatan seksual.

Dari hasil penelitian didapatkan beberapa hal :

a. Hasil Penelitian ini menunjukkan adanya komunikasi orang tua-anak tentang seks dan minat mereka dalam kesehatan seksual anak-anak mereka. Hasil penelitian telah menunjukkan bahwa komunikasi orang tua-anak tentang SRH terutama disampaikan oleh ibu dan jarang oleh ayah. Ibu dianggap dekat dengan anak-anak mereka dan lebih lama menghabiskan waktu dengan mereka daripada ayah. Perasaan dekat remaja yang dirawat oleh ibu adalah penting untuk komunikasi ibu-anak tentang SRH. Namun, meskipun ibu memiliki kelebihan yang dipercaya oleh anak-anak mereka, mereka tidak sepenuhnya memanfaatkan ini untuk diskusi lebih dekat tentang SRH dengan anak mereka. Oleh karena itu, hal ini hampir sama dengan ayah yang tidak dianggap terlalu dekat dengan anak mereka, mereka juga diberikan informasi tentang SRH melalui ancaman dan peringatan. Ibu dari anak perempuan dalam penelitian ini diamati mengalami kesulitan berkomunikasi tentang seks.b. Komunikasi terbuka dan jelas sangat penting untuk mendapatkan pesan tentang SRH. Bagaimanapun apa yang orang tua komunikasikan tentang SRH dengan anak-anak mereka sangat penting, sama pentingnya dengan waktu untuk berkomunikasi. Kebanyakan orang tua menunggu tanda bahwa anak mereka telah aktif secara seksual sebelum mereka memperingatkan dan mengancam mereka tentang konsekuensi dari melakukan hubungan seks. Orang tua berkomunikasi hanya setelah mereka menyadari bahwa mereka anak aktif secara seksual, kemungkinan akan memiliki sedikit dampak pada perlindungan mereka.Beberapa teori yang dapat menunjang hasil penelitian dalam jurnal ini mengenai pentingnya komunikasi antara orang tua-anak tentang SRH dalam keluarga, diantaranya :a. Penelitian yang dilakukan oleh Gunarsa (1993) yang mengangkat judul persepsi orangtua terhadap pendidikan seks bagi remaja yang menggunakan populasi penelitian orangtua dan anak remaja dengan 145 KK yang direkrut menjadi sampel penelitian, mendapatkan bahwa ada responden yang menikah pada usia muda (21 tahun) sehingga mereka kurang mempunyai pengalaman dalam memberikan pendidikan seks bagi anak mereka sehingga mempengaruhi persepsi mereka terhadap pendidikan seks. Jadi, dalam hal ini persepsi orang tua terhadap pendidikan seks bagi remaja sangat berpengaruh terhadap perkembangan seksual anak, dimana orang tua atau lingkungan keluarga merupakan landasan dasar dalam membentuk kepribadian anak (Gunarsa,1993).

b. Pendidikan seks merupakan upaya memberikan pengetahuan tentang perubahan biologis dan psikososial sebagai akibat dari pertumbuhan dan perkembangan manusia dengan menanamkan nilai moral, etika dan komitmen agama (Thera, 2000). Persepsi orang tua dinilai dalam 4 aspek yaitu persepsi orang tua terhadap definisi tujuan pendidikan seks, isi, dan bimbingan dalam pendidikan seks serta pengaruh nilai, agama pengalaman, terhadap pendidikan seks. Diketahui persepsi orangtua terhadap definisi dan tujuan pendidikan seks positif (96,7%) dan persepsi orangtua terhadap isi pendidikan seks (90%). Persepsi orang tua terhadap bimbingan dalam memberikan pendidikan seks juga positif (76,7%), namun masih ada orang tua yang berpersepsi negatif (23,3%). Persepsi ini timbul karena karena masih ada orang tua yang tidak tahu kapan sebaiknya memberikan pendidikan seks bagi anaknya. Pendidikan seks sebaiknya diberikan sejak dini dengan terencana sesuai pertumbuhan dan perkembangan anak, terutama saat anak menjelang usia remaja, dimana proses kematangan fisik dan mental mulai berkembang dewasa (Djiwandono, 2001). Sebagian orang tua beranggapan bahwa ibu lebih berperan dalam memberikan pendidikan seks pada anak, padahal sebenarnya ayah dan ibu mempunyai peranan yang sama, karena orang tua merupakan sumber informasi utama bagi anak (Gunarsa, 1993).

c. Sedangkan persepsi orang tua terhadap pendidikan seks berdasarkan nilai, pengalaman dan agama orang tua menunjukkan bahwa (60%) memiliki persepsi positif. Adanya responden yang memiliki persepsi negatif (40%) dimungkinkan karena nilai-nilai yang diyakini sebagian orang tua adalah membicarakan tentang seks secara terbuka pada anak masih merupakan hal yang tabu dan dapat mendorong anak untuk berprilaku seksual yang buruk (PKBI, 2003). Selanjutnya ada orang tua yang tidak tahu bagaimana cara memberikan pendidikan seks yang tepat pada anak, karena mereka tidak memiliki pengalaman tentang hal tesebut pada masa remaja mereka. Namun demikian, sebagian responden mempersepsikan bahwa agama tidak melarang memberikan pendidikan seks pada anak selama tidak disalahgunakan (Widjanarko,1999).d. Persepsi orang tua terhadap pendidikan seks dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya tingkat pendidikan, pengetahuan dan pengalaman orang tua (Darwisyah, 2003; Habsyah, 1996). Banyak pandangan masyarakat awam tentang seks adalah sesuatu yang cenderung negatif dan tabu untuk dibicarakan kepada putra-putri mereka. Hal ini dimungkinkan karena mereka tidak mempunyai pengetahuan dan pengalaman tentang pendidikan seks remaja. Pendapat ini dibenarkan oleh Rahmat (1992) dan Habsyah (1996) yang mengemukakan bahwa pengalaman masa lalu dapat mempengaruhi persepsi seseorang.e. Dalam penelitian Putriani (2010) di ketahui bahwa sebagian besar remaja mnganggap orang tua adalah orang yang penting bagi mereka (35,5%) karena nilai-nilai yang di tanamkan oleh orang tua mereka dapat mempengaruhi pengetahuan remaja karena pengetahuan yang tidak sesuai dengan tugas perkembangan remaja pada umumnya dapat dipengaruhi orang tua. Bilamana orang tua mampu memberikan pemahaman mengenai pengetahuan kesehatan reproduksi kepada anak-anaknya, maka anak-anaknya cenderung mengontrol perilaku seksnya yang dapat berpengaruh pada organ reproduksi itu sesuai dengan pemahaman yang diberikan orang tuanya hal ini terjadi karena pada dasarnya pendidikan seks yang terbaik adalah yang diberikan oleh orang tua sendiri, dan dapat pula diwujudkan melalui cara hidup orang tua dalam keluarga sebagai suami-istri yang bersatu dalam perkawinan (Masland, 2006).f. Kesulitan yang timbul kemudian adalah apabila pengetahuan orang tua kurang memadai menyebabkan sikap kurang terbuka dan cenderung tidak memberikan pemahaman tentang masalah-masalah reproduksi anak. Akibatnya anak mendapatkan informasi seks yang tidak sehat. Seorang peneliti menyimpulkan hasil penelitiannya sebagai berikut: informasi seks yang tidak sehat atau tidak sesuai dengan perkembangan usia remaja ini mengakibatkan remaja terlibat dalam kasus-kasus berupa konflik-konflik dan gangguan mental, ide-ide yang salah dan ketakutan-ketakutan yang berhubungan dengan seks. Dalam hal ini, terciptanya konflik dan gangguan mental serta ide-ide yang salah dapat memungkinkan seorang remaja untuk melakukan hubungan seks pranikah.g. Disamping itu faktor nilai dan budaya dapat mempengaruhi persepsi responden terhadap pendidikan seks seperti yang dikemukakan oleh PKBI (2003). Pandangan orang tua yang sempit dalam memahami agama terhadap pendidikan seks juga dapat mempengaruhi persepsi negatif pada orang tua tersebut (Widjanarko, 1999).4.2 IMPLIKASI KEPERAWATANa. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa komunikasi antara orang tua dengan anak-anaknya mengenai masalah kesehatan reproduksi seperti seks masih kurang optimal. Para orang tua masih nampak malu, takut, dan menganggap bahwa membicarakan masalah seksual masih merupakan suatu hal yang tabu, selain itu membicarakanya juga tidak sesuai dengan budaya dan norma-norma yang ada. Sehingga perlu dilakukan pendekatan untuk membantu masyarakat dalam memahami masalah tersebut. Dari hasil analisis jurnal di atas dapat dijabarkan beberapa implikasi yang dapat dilakukan untuk menjaga kesehatan reproduksi dari remaja sehingga dapat menekan terjadinya HIV/AIDS. Salah satunya adalah dengan pendidikan. Suatu program pendidikan yang tepat dan komprehensif mengenai kesehatan seksual dan reproduksi dapat diperkenalkan di sekolah-sekolah, disini petugas kesehatan, misalnya perawat dapat terjun langsung dalam memberikan materi sehingga pengertian dari para siswa yang notabene adalah remaja dapat lebih optimal.

b. Selain itu penting pula disediakan suatu lingkungan terbuka untuk layanan konseling remaja. Keterlibatan berbagai bentuk layanan dan program kesehatan seksual dan reproduksi remaja yang disediakan oleh LSM (lembaga swadaya masyarakat) akan menjadi strategi intervensi yang tepat. Program dan layanan semacam ini hendaknya difokuskan pada penguatan rasa percaya diri remaja melalui pengembangan ketrampilan hidup (lifeskill) mereka dan sebaiknya dikembangkan di universitas, pabrik atau tempat-tempat kerja lain. Hasil yang diharapkan adalah adanya peningkatan kemampuan remaja untuk menghindari dan/atau mengurangi perilaku seks bebas (Suryoputro dkk, 2006)

c. Support Sistem juga diperlukan, terutama dari keluarga yang mempunyai hubungan yang dekat dengan remaja. Orang tua juga perlu diberikan pengertian berupa informasi-informasi mengenai materi terkait kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS sehingga nantinya dapat memaksimalkan fungsi support sistem yang ada serta memberikan dukungan dalam keberhasilan pencegahannya.d. Perawat khususnya perawat kesehatan komunitas dalam hal ini dapat memfasilitasi proses perkembangan keluarga. Keluarga dengan tahap perkembangan anak remaja perlu diberikan lebih banyak bekal bagaimana menghadapi remaja dan permasalahan mereka. Perawat yang memberikan asuhan pada keluarga dengan tahap perkembangan anak remaja harus menjelaskan tugas-tugas yang wajib dilaksanakan keluarga yang menjadi asuhannya. Adapun tugas perkembangan keluarga yaitu menyeimbangkan kebebasan dengan tanggung jawab ketika remaja menjadi dewasa dan mandiri, memfokuskan kembali hubungan perkawinan, berkomunikasi secara terbuka antara orang tua dan anak-anak, memberikan perhatian, memberikan kebebasan dalam batasan tanggung jawab, mempertahankan komunikasi terbuka dua arah (Achjar, 2010)e. Perawat juga diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan, hubungan saling mendukung sehingga klien dapat menemukan dan menerima bantuan yang diperlukan ketika ia membutuhkannya.Sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh ANA (the American Nurses Association, 1986) terdapat theory-guided practice yang dapat digunakan oleh perawat dalam menerjemahkan konsep teori ke dalam tindakan nyata. Dimana terdapat konsep pokok dalam epidemiologi yaitu : host, agent, dan lingkungan) dan penggunaan konsep tingkatan prevensi yang ada yaitu : primer, sekunder dan tersier dalam pelaksanaan praktek kesehatan masyarakat. .(Clemen-stone, 2002:253-255) BAB VPENUTUP

5.1 KESIMPULAN

Tingginya angka kejadian HIV/AIDS, penyakit menular seksual ataupun gangguan kesehatan reproduksi lainnya akibat maraknya aktivitas seksual di kalangan remaja mendorong orang tua untuk melakukan pencegahan. Salah satu cara yang dipilih adalah melakukan komunikasi tentang kesehatan reproduksi dan seksual kepada anak-anak mereka. Komunikasi yang diharapkan terjadi antara orang tua dan anak adalah komunikasi yang terdapat unsur keterbukaan, empati, mendukung, positif, dan kesetaraan. Ini merupakan cara untuk memproteksi anak-anak remaja untuk tidak terjerumus ke dalam aktivitas seksual sehingga dapat mencegah terjadinya HIV/AIDS, kehamilan tidak inginkan, dan perkawinan usia muda. Namun terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan yakni cara penyampaian informasi kesehatan reproduksi dan seksual, apa saja informasi, waktu dan frekuensi agar hal yang disampaikan kepada para generasi muda dapat diterima dengan tepat.

5.2 SARAN

a. Kepada Orang tuaDiharapkan untuk lebih memperhatikan perilaku anak remajanya terkait aktivitas seksualnya. Saat melakukan komunikasi tentang kesehatan reproduksi dan seksual kepada anak-anaknya agar lebih memperhatikan cara, waktu serta frekuensi komunikasi sehingga dapat diterima dengan tepat. Selain itu, diharapkan antara orang tua dan anak dalam berkomunikasi khususnya komunikasi mengenai SRH agar dapat menerapkan unsur keterbukaan, empati, mendukung, positif, dan kesetaraan.b. Kepada Petugas KesehatanDiharapkan dapat lebih meningkatkan pemberian informasi mengenai kesehataran reproduksi dan seksual remaja di berbagai kalangan baik kepada remaja secara langsung maupun kepada orang tua yang merupakan faktor terpenting dalam pendidikan anak anak di rumah dengan cara yang lebih efektif seperti pemberian pendidikan atau penyuluhan di banjar banjar dengan media video atau film ataupun dengan simulasi mengenai cara komunikasi yang baik mengenai kesehatan seksual dan reproduksi remaja sehingga seorang petugas kesehatan dapat menjalankan perannya sebagai educator atau pendidik dan informasi yang diberikan dapat diterima dengan lebih baik dan efektif.DAFTAR PUSTAKA

Achjar, AH. 2010. Aplikasi Praktis Asuhan Keperawatan Keluarga. Jakarta : Sagung Seto.Adnani, H&Widowati, C. 2009. Motivasi Belajar Dan Sumber-Sumber Informasi Tentang Kesehatan Reproduksi Dengan Perilaku Seksual Remaja. Jurnal Kesehatan Surya Medika Yogyakarta, (Online), (http://www.skripsistikes.wordpress.com/, diakses 20 Februari 2011).

Anderson, E.T., & McFarlane, J.M. (1988). Community as client: Application of the nursing process. Philadelphia: J.B. Lippincott Company.Arikunto, S. (1998). Prosedur penelitian: Suatu pendekatan praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Clemen-Stone, Susan. McGuire, Sandra. Eigsti, Diane Gerber.2002. Comphrehensive Community Health Nursing Family, Aggregatte, & Community Practice 6th Ed. USA:Mosby Inc.

Djiwandono,W.E.S. (2001). Menjawab pertanyaan-pertanyaan anak anda tentang seks. Jakarta: Gramedia.

Habsyah. (1996). Peran ayah vis--vis ibu dan pranata social lainnya dalam pendidikan seks remaja. Jakarta: Atmajaya Research.

Masland, Robert. 2006 Tentang Apa Yang Ingin Di Ketahui Remaja Seks. Cetakan 4. Jakarta

Murni, Suzana dkk. 2007. Hidup Dengan HIV/AIDS. Jakarta: Yayasan Spirita

Ninda, Karisa. 2009. Pendidikan Seks Untuk Remaja Atau Ancaman Perilaku Seksual (Online), (http://islamicers.multiply.com/journal/item/3 di akses pada tanggal 27 Februari 2012).

Price, S.A. & Wilson, L.M. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume Satu. Edisi Keenam. Jakarta: EGC

Ridwan. 2010. Seks pranikah remaja trend kah ? (Online), (www.isekolah.org/file/h_1090920840.doc di akses pada tanggal 27 Februari 2012)Soetjiningsih. 2004. Tumbuh Kembang Remaja Dan Permasalahannya. Jakarta: CV.Sagung SetoStanhope, M., & Lancaster, J. (1992). Community health nursing: Process and practice for promoting health. St. Louis: Mosby Year Book.Wirawan, Sarwono S. 2008. Psikologi Remaja. Jakarta :PT Raja Grafindo Persada.20