ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP FATWA...
-
Upload
hoangquynh -
Category
Documents
-
view
251 -
download
0
Transcript of ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP FATWA...
ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA
NO. 17/DSN-MUI/IX/2000 TENTANG SANKSI ATAS NASABAH MAMPU
YANG MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1
Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh: SYAMSURI DWI FITRIANTO
2102132
JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG 2008
DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARI’AH Jl. Prof. Dr. Hamka Km. 02 Telp. (024) 7601291 Semarang 50185
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eks Hal : Naskah Skripsi An. Sdr. Syamsuri Dwi Fitrianto
Kepada : Yth. Dekan Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang Di tempat.
Assalamu’alaikum Warahmatullah.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini saya kirimkan naskah skripsi saudara :
Nama : Syamsuri Dwi Fitrianto
NIM : 2102132
Judul : ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA NO. 17/DSN-MUI/IX/2000 TENTANG SANKSI ATAS NASABAH MAMPU YANG MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN
Dengan ini saya mohon kiranya naskah skipsi tersebut dapat segera dimunaqasahkan.
Demikian harap menjadikan maklum.
Wassalamu’alaikum Warahmatullah
Pembimbing I, Pembimbing II,
Drs. Ghufron Ajib, M.Ag. Drs. Rustam Dahar KAH, M.Ag. NIP. 150 254 235 NIP. 150 289 260
DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARI’AH Jl. Jl. Prof. Dr. Hamka Km. 02 Telp. (024) 7601291 Semarang 50185
PENGESAHAN
Skripsi Saudara : Syamsuri Dwi Fitrianto
NIM : 2102132
Judul : ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA NO. 17/DSN-MUI/IX/2000 TENTANG SANKSI ATAS NASABAH MAMPU YANG MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN
Telah dimunaqasahkan pada dewan Penguji fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude / baik / cukup, pada tanggal :
31 Januari 2008
Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata Satu (SI) tahun akademik 2007/2008.
Semarang, 31 Januari 2008
Ketua Sidang, Sekretaris Sidang,
Drs. H. Musahadi, M.Ag. Drs. Ghufron Ajib, M.Ag. NIP. 150 267 754 NIP. 150 254 235
Penguji I, Penguji II,
Drs. H. Nur Khoirin Yd, M.Ag. Muhammad Saifullah, M.Ag. NIP. 150 254 254 NIP. 150 276 621
Pembimbing I, Pembimbing II,
Drs. Ghufron Ajib, M.Ag. Drs. Rustam Dahar KAH, M.Ag. NIP. 150 254 235 NIP. 150 289 260
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa
skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau
diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran
orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan
bahan rujukan.
Semarang, 13 Januari 2008
Deklarator,
SYAMSURI DWI FITRIANTO NIM. 2102132
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Analisis Hukum Islam Terhadap Fatwa DSN-MUI No.17/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran.” Islam mengutuk riba, tetapi sekaligus membina keadaan (dalam masyarakat) yang memungkinkan tersedianya pinjaman bebas bunga bagi orang yang memerlukannya. Baik peminjam itu kaya atau miskin harus diberi tempo sesuai dengan kesulitan ekonominya. Terutama dalam bidang hukum syari’ah mengatur dalam berbagai hukum yang diantaranya adalah hukum muamalah, untuk memenuhi kebutuhan yang mendadak, Islam dengan hukum muamalahnya memperbolehkan hutang dengan konsekuensi wajib mengembalikan dan tidak menunda pembayaran hutang.. Dan hutang merupakan salah satu bentuk saling menolong dan amal kebaikan antara sesama manusia dengan cara pemilik harta dalam hal ini lembaga atau perseorangan menghutangkan sebagian hartanya kepada orang yang sangat membutuhkan dengan tujuan membantunya. Untuk mewujudkan kemaslahatan tersebut Allah telah mensyari’atkan cara bermuamalah, salah satunya dengan hutang-piutang. Karena hutang-piutang (Qardh) berarti berlemah lembut kepada manusia, memberi kemudahan dalam memenuhi kebutuhan dan memberikan jalan keluar dari kesulitan.
Dari latar belakang tersebut timbul permasalahan bagaimanakah fatwa DSN-MUI tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan bagaimana metode istinbath DSN-MUI dalam mengeluarkan fatwa tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran ditinjau menurut hukum Islam
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fatwa DSN-MUI tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan untuk mengetahui metode istinbath DSN-MUI dalam mengeluarkan fatwa tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran. Jenis penelitian ini adalah dokumentasi, yaitu mengumpulkan dan menelusuri buku-buku yang relevan dengan tema kajian. Sedangkan metode analisis datanya penulis menggunakan deskriptif analisis.
Hasil dari pembahasan menunjukkan bahwa sanksi tentu saja berbeda dibandingkan dengan bunga riba yang diwajibkan bila terjadi keterlambatan pembayaran hutang yang dilakukan secara suka rela oleh kedua belah pihak tanpa membedakan orang yang berhutang tersebut kaya atau miskin. Karena kebanyakan ulama dalam memberikan pendapatnya tidak memperbolehkan akad yang ditandatangani sejak awal dengan adanya sanksi berupa denda sejumlah uang saat terjadinya kesepakatan antara pihak yang memberi hutang dan yang diberi hutang, dikarenakan untuk membedakan adanya unsur riba. Dan dalam menetapkan istinbath hukum menggunakan Al-Qur'an, hadits dan kaidah fiqih, disamping itu menggunakan maslahah mursalah sebagai pertimbangan sebagai dasar hukum.
MOTTO
Artinya : “Hendaklah kamu tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan”
(QS. Al-Maidah : 2)1
1 Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah Dan Penafsir Al Qur’an, 1993 hlm. 156.
PERSEMBAHAN
Dengan segala kebahagiaan serta kerendahan hati, penulis persembahkan
karya skripsi ini untuk :
u Bapak dan Ibuku (R. Achmadi, BA. Dan Titin Suwarti) yang tiada henti-hentinya
mendukungku, mendo’akanku dan membantu kesuksesanku, semoga penulis bisa
mempersembahkan sesuatu yang terbaik di kemudian hari
u Seluruh Keluarga besar penulis, terutama kakaku Wahid Rokhmadi dan adikku Reni
Akhmida U. tercinta terima kasih atas semuanya, semoga amal tersebut menjadikan
tambahnya iman dan taqwa kepada Allah SWT.
u Para Ustadz dan ustadzahku dari kecil sampai sekarang ini yang telah memberikan
ilmunya kepada penulis hingga sekarang
u Special My great affection “ Siti Isro’ah “ yang selalu membantu
dan memotivasi penulis sampai selesai dan menemaniku
dalam langkah suka maupun duka. Thank’s for Anything
u Keluarga besar Bringin, Sahabat-sahabatku Ex-Niaga D2 n Ex-BPI R14, Teman-
teman KKN ’06, RISMA-PK dan semua pihak yang telah membantuku.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis berhasil menyelesaikan skripsi ini dengan lancar
dan kesehatan yang sangat tak terhingga nilainya.
Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah ke zaman zakiyah dengan
ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu keIslaman yang menjadi bekal bagi kita baik
kehidupan di dunia maupun di akhirat.
Tiada kata yang pantas penulis ungkapkan kepada pihak–pihak yang
membantu proses pembuatan skripsi ini, kecuali ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada :
1. Prof. Dr. H. Abdul Jamil, MA., selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang.
2. Drs. H. Muhyidin, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang sekaligus Wali Studi..
3. H. Abdul Ghofur, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Muamalah Fakultas Syari’ah
IAIN Walisongo Semarang yang telah memberikan persetujuan awal terhadap
proposal skripsi ini.
4. Bapak Drs. Ghufron Ajib, M.Ag., selaku Dosen Pembimbing I yang telah
tulus meluangkan waktu dan pikirannya dengan tanpa pamrih yang semata-
mata untuk membimbing serta mengarahkan penulis dalam penyusunan
hingga terselesainya skripsi ini.
5. Bapak Drs. Rustam Dahar KAH, M.Ag., selaku Dosen Pembimbing II yang
juga telah tulus meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing serta
mengarahkan penulis dalam penyusunan hingga terselesainya skripsi ini
6. Para Dosen di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang
telah membekali berbagai ilmu pengetahuan sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini.
7. Bapak dan Ibunda tercinta (R. Achmadi BA. dan Titin Suwarti), yang telah
mendidikku dari kecil sampai sekarang ini dengan penuh kasih sayang, dan
memberiku dorongan baik moril maupun materiil serta mendo’akanku hingga
dapat menyelesaikan studi ini. Semoga ilmu yang ananda raih dapat
membahagiakan Bapak dan Ibunda, berguna bagi agama nusa dan bangsa.
8. Kakaku (Wahid Rokhmadi sekeluarga) dan adikku (Reni Akhmida Usfuria)
yang selalu memberi motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini dan
menghiburku disaat penulis dalam kejenuhan.
9. My Soulmate “ Siti Isro’ah “ yang selalu menemaniku dalam suasana suka
maupun duka dan yang telah mensupport dan membantu penulis dalam proses
terselesaikannya skripsi ini, Thanks For Anything.
10. Semua sahabat-sahabatku (Arief, Yogi, Aufa, Amar, Mahsus, Obed, Khuluk,
Kedul, Sotek, Taqin, Bowox, Anwar, Istin, Rio, dkk), seluruh teman-teman
angkatan 2002 khususnya MUB, temen-temen UKM Musik (Gembus, Nizar,
Ulin, Abror, Wildan (Alm), Kek Dul, Iwhan, Kabel, Gandor, Rini, Titik, Ririn,
Ulfana, dkk), temen-temen di kos An-Nisa, temen-temen RISMA-PK (Ma’ruf,
Gendut, Megan, Budi, Om Nidlom, Lilik, dkk) terima kasih atas motivasi,
goe-yoen serta bantuannya
11. Teman-teman KKN “Posko 34” di Desa Selopajang Barat Kec.Blado
Kab.Batang (Dimas, Hamdan, Joker, Murtadho, Mustofa, Nurul, Iin, Saefuroh,
Chotim, Ulin, Nina) terimakasih atas kebersamaan, waktu dan semangatnya.
12. Para Ustadz dan ustadzahku dari kecil hingga sekarang terima kasih karena
telah membekali ilmu kepada penulis untuk menjalani kehidupan ini.
13. Seluruh teman-teman Ex-BEM 2006, terima kasih atas pengalaman dan
kebersamaannya.
14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah
memberikan dukungan dan bantuannya hingga penulisan skripsi ini selesai.
Karena mereka semua, tiada yang dapat penulis perbuat untuk membalas
kebaikan mereka, kecuali penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terima
kasih yang sebanyak-banyaknya serta doa penulis semoga amal kebaikan mereka
semua kepada penulis akan dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat
ganda. Amiin ya Rabbal ‘Alamiin….
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis mohon maaf jika ada
kata-kata yang kurang berkenan dan semoga tulisan ini bisa memberi manfaat
bagi semua. Amien.
Semarang, 13 Januari 2008
Penulis
Syamsuri Dwi Fitrianto 2102132
DAFTAR ISI
Halaman Judul ........................................................................................................... i
Persetujuan Pembimbing ........................................................................................... ii
Pengesahan.................................................................................................................. iii
Deklarasi .................................................................................................................... iv
Abstrak ....................................................................................................................... v
Motto ................... ...................................................................................................... vi
Persembahan....... ........................................................................................................ vii
Kata Pengantar ........................................................................................................... viii
Daftar Isi ..................................................................................................................... xi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 10
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 11
D. Telaah Pustaka ................................................................................ 11
E. Metode Penelitian ........................................................................... 14
F. Sistematika Penulisan ..................................................................... 16
BAB II : GAMBARAN UMUM TENTANG FATWA DAN SANKSI
DALAM ISLAM
A. Pengertian Fatwa ............................................................................. 18
B. Syarat-Syarat Fatwa......................................................................... 21
C. Dasar Umum dan Sifat Fatwa.......................................................... 26
D. Metode dan Prosedur Penetapan Fatwa ........................................... 27
E. Konsep Sanksi Dalam Hutang Piutang ............................................ 31
BAB III : FATWA DSN-MUI NO.17/DSN-MUI/IX/2000 TENTANG
SANKSI ATAS NASABAH MAMPU YANG MENUNDA-
NUNDA PEMBAYARAN
A. Profil Majelis Ulama Indonesia ....................................................... 40
B. Struktur Kepengurusan MUI .......................................................... 51
C. Kedudukan Fatwa MUI .................................................................. 54
D. Fatwa DSN-MUI No.17/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Sanksi
Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-nunda Pembayaran ............ 58
BAB IV : ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP FATWA DSN-MUI
NO.17/DSN-MUI/IX/2000 TENTANG SANKSI ATAS NASABAH
MAMPU YANG MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN
A. Analisis Hukum Islam Terhadap Fatwa DSN-MUI No.17/DSN-
MUI/IX/2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang
Menunda-nunda Pembayaran . ........................................................ 65
B. Analisis Terhadap Metode Istinbath Hukum Fatwa DSN-MUI
No.17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu
Yang Menunda-nunda Pembayaran. ................................................ 79
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................... 88
B. Saran-saran ..................................................................................... 89
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam Islam, manusia diwajibkan untuk berusaha agar ia
mendapatkan rezeki guna memenuhi kebutuhan kehidupannya. Islam juga
mengajarkan kepada manusia bahwa Allah Maha Pemurah sehingga rezeki-
Nya sangat luas. Bahkan, Allah tidak memberikan rezeki itu kepada kaum
muslimin saja, tetapi kepada siapa saja yang bekerja keras.
Banyak ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi saw, yang memerintahkan
manusia agar bekerja. Manusia dapat bekerja apa saja, yang penting tidak
melanggar garis-garis yang telah ditentukan-Nya. Ia bisa melakukan aktivitas
produksi, seperti pertanian, perkebunan, peternakan, pengolahan makanan dan
minuman, dan sebagainya. Ia juga dapat melakukan aktivitas distribusi seperti
perdagangan, atau dalam bidang jasa seperti transportasi, kesehatan dan
sebagainya.
Untuk memulai usaha seperti ini diperlukan modal, seberapa pun
kecilnya. Adakalanya orang mendapatkan modal dari simpanannya atau dari
keluarganya. Adapula yang meminjam kepada rekan-rekannya. Jika tidak
tersedia, peran institusi keuangan menjadi sangat penting karena dapat
menyediakan modal bagi orang yang ingin berusaha.
Dalam Islam, hubungan pinjam meminjam tidak dilarang, bahkan
dianjurkan agar terjadi hubungan saling menguntungkan, yang pada gilirannya
berakibat kepada hubungan persaudaraan. Hal yang perlu diperhatikan adalah
2
apabila hubungan itu tidak mengikuti aturan yang diajarkan oleh Islam.
Karena itu pihak-pihak yang berhubungan harus mengikuti etika yang
digariskan oleh Islam.1
Dalam perbankan syari’ah, sebenarnya penggunaan kata pinjam
meminjam kurang tepat digunakan disebabkan dua hal. Pertama, pinjaman
merupakan salah satu metode hubungan finansial dalam Islam. Masih banyak
metode yang diajarkan oleh syariah selain pinjaman, seperti jual beli, bagi
hasil, sewa dan sebagainya. Kedua, dalam Islam, pinjam meminjam adalah
akad sosial, bukan akad komersial. Artinya, bila seseorang meminjam sesuatu,
ia tidak boleh disyaratkan untuk memberikan tambahan atas pokok
pinjamannya. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi saw, yang mengatakan
bahwa setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat adalah riba, sedangkan
para ulama sepakat bahwa riba itu haram. Karena itu, dalam perbankan
syariah, pinjaman tidak disebut kredit, tapi pembiayaan (financing).2
Adapun illat diharamkannya riba adalah sebagaimana kaidah ushul
fikih yang berbunyi:
صل فى العقد رضى المتعاقدين ونتيجته ماإلتزماه بالتعاقداال
Artinya : “Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan.”
Keridhaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu,
transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak.
1 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani
Press, Cet. ke-1, 2001, hlm. 169-170. 2 Ibid.
3
Artinya, tidak sah suatu akad apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa
atau dipaksa atau juga merasa tertipu.3
Islam mengutuk riba (bunga), tetapi sekaligus membina keadaan
(dalam masyarakat) yang memungkinkan tersedianya pinjaman bebas bunga
bagi orang yang memerlukannya. Bahkan peminjam yang miskin diberi tempo
sesuai dengan kesulitan ekonominya.4 Sesuai dengan firman Allah SWT
dalam Surat Al-Baqarah ayat 280 yang berbunyi :
وإن آان ذو عسرة فنظرة إلى ميسرة وأن تصدقوا خير لكم إن نتم تعلمونآ
Artinya : “Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 280)5
Seiring dengan peredaran waktu agama Islam berkembang dan
tersebar ke seluruh penjuru, dan kebanyakan persoalan yang dihadapi kaum
muslimin yang hidup di masa Rasullulah SAW berbeda dengan persoalan
yang dihadapi oleh generasi berikutnya. Dengan terjadinya kontak dan saling
mempengaruhi antara Islam dengan budaya lainnya.
Salah satu prinsip dari tasyri’ al-hukmi adalah rafa’ al-kharaj
(menghilangkan kesulitan) hal ini sesuai dengan firman Allah :
يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر
3 Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002, hlm. 184. 4 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid I, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf,
1995, hlm. 67. 5 Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah Dan Penafsir Al Qur’an, 1993, hlm. 70.
4
Artinya : “Allah menghedaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” (QS. Al-Baqarah : 185)6
Prinsip diatas berlaku dalam semua bidang, baik ibadah, muamalah,
munakahat dan jinayat.
Ajaran syariat Islam secara implisit telah menggariskan penyelesaian
terhadap semua masalah kehidupan, baik manusia secara vertikal maupun
horizontal. Terutama dalam bidang hukum syari’ah mengatur dalam berbagai
hukum yang diantaranya adalah hukum muamalah, untuk memenuhi
kebutuhan yang mendadak, Islam dengan hukum muamalahnya
memperbolehkan hutang dengan konsekuensi wajib mengembalikan. Dan
hutang merupakan salah satu bentuk saling menolong dan amal kebaikan
antara sesama manusia dengan cara pemilik harta dalam hal ini lembaga atau
perseorangan menghutangkan sebagian hartanya kepada orang yang sangat
membutuhkan dengan tujuan membantunya.
Dimana dalam hukum darurat menempati posisi yang amat penting di
dalam syari’ah karena mengandung berbagai keuntungan. Hukum darurat
memperhatikan kebutuhan nyata masyarakat dan memberikan kemudahan
bagi orang yang ditimpa kesulitan. Di dalam muamalah tidak boleh terjadi
penipuan, penghianatan, pemalsuan maupun gharar akan tetapi wajib
diselenggarakan dengan jelas. Sehingga dalam bermuamalah tersebut tidak
ada pihak yang merasa dirugikan.
6 Ibid., hlm. 45.
5
Manusia dalam memenuhi hajat hidupnya tidak mungkin akan
memenuhi sendiri, tetapi ia memerlukan bantuan orang lain oleh karena
kebutuhan manusia sifatnya tidak terbatas. Manusia dijadikan oleh Allah
saling membutuhkan antara satu dengan lainnya, supaya mereka saling
menolong, tukar menukar keperluan dalam segala urusan kepentingan hidup
masing-masing baik dengan jalan jual-beli, sewa menyewa, hutang-piutang
dan dengan jalan lain dalam urusan sendiri maupun kemaslahatan umum.
Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang mana dalam
kehidupannya tidak bisa lepas dari pertolongan orang lain, seperti contoh
ketika seseorang membutuhkan uang untuk keperluan usaha maka akan
meminjam orang lain yang mempunyai harta lebih, kerena manusia pada satu
waktu tertentu pasti akan mengalami kondisi pasang surut perekonomian.
Untuk menjembatani hal ini, maka syari’at Islam memberi aturan yang amat
simpatik bagi keduanya dalam soal hutang-piutang, hal ini dapat dilihat dalam
surat Al Baqarah ayat 282 :
يا أيها الذين آمنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاآتبوه ليكتب بينكم آاتب بالعدلو
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar……” (QS. Al Baqarah : 282)7
Allah SWT telah menjadikan harta sebagai salah satu sebab tegaknya
kemaslahatan manusia di dunia. Untuk mewujudkan kemaslahatan tersebut
7 Ibid., hlm. 70.
6
Allah telah mensyari’atkan cara bermuamalah, salah satunya dengan hutang-
piutang. Karena hutang-piutang (Qardh) berarti berlemah lembut kepada
manusia, memberi kemudahan dalam memenuhi kebutuhan dan memberikan
jalan keluar dari kesulitan.
Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari memang harus
terpenuhi segala kebutuhan dengan harta benda yang telah dimilikinya, jika
kebutuhan telah mendesak padahal harta benda yang telah dimilikinya tidak
dapat memenuhi atau kurang dapat memenuhinya, maka seorang akan
berhutang kepada orang lain baik hutang berupa uang atau barang yang akan
dibayarkan gantinya pada waktu yang lain, sesuai dengan ketentuan yang
menjadi persetujuan kedua belah pihak yang bersangkutan.
Oleh karena itu hutang-piutang merupakan hal yang terkadang
diperlukan dalam hidup sehari-hari, maka Islam memberikan peraturan-
peraturan untuk hutang-piutang ini, Islam menganjurkan orang yang mampu
agar memberi pertolongan kepada saudaranya yang memerlukan, memberi
pertolongan dengan meminjamkam uang atau barang mempunyai nilai
kebaikan yang berpahala di sisi Allah SWT, memberi hutang kepada orang
lain yang memang bernilai ibadah kepada Allah SWT dalam waktu yang sama
bernilai kemanusiaan yang tinggi.
Dalam dunia perekonomian dan tujuan kemaslahatan, hutang-piutang
itu telah menjadi suatu kebiasaan, ini kiranya telah umum diketahui tidak
jarang diantara pedagang sesamanya banyak yang mendasarkan modal
7
usahanya pada uang pinjaman, baik dalam kebutuhan konsumtif maupun
dalam kebutuhan produktif dan dengan cara seperti itu mereka mengharapkan
keuntungan kedua belah pihak tanpa berfikir akibat yang ditimbulkannya.
Kalau pinjam uang, orang yang pikirannya sehat pada umumnya akan
meminjam untuk tujuan tertentu yang bernilai produktif. Atau usaha-usaha
yang membawa keuntungan, oleh karena itu yang meminjam uang itu bersedia
untuk membayar bunga asal tingkat bunga itu lebih rendah dari tingkat laba
yang dicapai dalam usaha yang direncanakan lebih dahulu.8
Dalam transaksi keuangan, eksploitasi maupun ketidakadilan juga
mungkin terjadi. Dalam hal simpan-pinjam misalnya, Islam melarang untuk
mengenakan denda jika hutang telat dibayar karena prinsip hutang dalam hal
ini adalah menolong orang lain (tabarru’) dan tidak dibolehkan mengambil
keuntungan dalam tabarru’. Disamping itu, pengambilan keuntungan sepihak
dalam transaksi keuangan juga dilarang dalam Islam, di mana ada kesepakatan
untuk membayar bunga dalam transaksi hutang piutang atau pembiayaan.
Dalam hal ini, satu pihak akan mendapatkan keuntungan yang sudah pasti,
sedangkan pihak lainnya hanya menikmati sisa keuntungannya. Jelas hal ini
tidaklah adil.9
Sejalan dengan berkembangnya lembaga keuangan syariah di tanah
air, maka MUI sebagai payung dari lembaga dan organisasi keIslaman di
tanah air, menganggap perlu dibentuknya satu dewan syariah yang bersifat
8 Syafruddin Prawiranegara, Ekonomi dan Keuangan Makna Ekonomi Islam, Jakarta: CV.
Haji Masagung, 1988, hlm. 314. 9 Heri Sudarsono, Bank Dan Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi dan Ilustrasi,
Yogyakarta: Ekonosia Kampus Fakultas Ekonomi UII, 2004, hlm. 1-2.
8
nasional dan membawahi seluruh lembaga keuangan, termasuk di dalamnya
bank-bank syariah. Lembaga ini kelak kemudian dikenal dengan Dewan
Syariah Nasional atau DSN. Dewan Syariah Nasional dibentuk pada tahun
1997 dan merupakan hasil rekomendasi Lokakarya Reksadana Syariah pada
bulan Juli tahun yang sama.10
Fungsi utama Dewan Syariah Nasional adalah mengawasi produk-
produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah Islam. Untuk
keperluan pengawasan tersebut, Dewan Syariah Nasional membuat garis
panduan produk syariah yang diambil dari sumber-sumber hukum Islam.
Fungsi lain dari Dewan Syariah Nasional adalah meneliti dan memberi fatwa
bagi produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah.
Bukti dari kewenangan tersebut adalah keluarnya fatwa Dewan Nasional
Syari’ah Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) pada tahun 2000 yang
berhubungan dengan pembiayaan aktifitas perekonomian lembaga keuangan
syari’ah (produk).11
Adapun putusan fatwa DSN-MUI No.17/DSN-MUI/IX/2000 tentang
Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran antara lain
yaitu :
1. Sanksi yang disebut dalam fatwa ini adalah sanksi yang dikenakan
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) kepada nasabah yang mampu
membayar tetapi menunda-nunda pembayaran dengan disengaja.
10 Muhammad Syafi’i Antonio, op. cit., hlm. 235. 11 Ibid., hlm. 236.
9
2. Nasabah yang tidak atau belum mampu membayar disebabkan force
majeur tidak boleh dikenakan sanksi.
3. Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan atau tidak
mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar utangnya boleh
dikenakan sanksi.
4. Sanksi didasarkan pada prinsip ta’zir yaitu bertujuan agar nasabah lebih
disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.
5. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas
dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani.
6. Dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial.
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.12
Maka dari itu keragu-raguan dalam menetapkan sanksi berupa denda
atas keterlambatan orang mampu yang mengulur-ulur atau menunda
pembayaran kredit (hutang) cukup beralasan benar. Dalam hal ini karena
denda tersebut sama dengan bunga yang diambil dari orang yang terlambat
membayar hutang. Adapun perbedaannya adalah bahwa bunga terikat dengan
jumlah uang yang diambil dan waktu keterlambatan, sedangkan jumlah denda
ditetapkan tanpa terikat dengan kredit dan waktu keterlambatan.
12 Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional, (Lihat Keputusan Fatwa Dewan Syari’ah
Nasional Majelis Ulama Indonesia No.17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran), hlm. 99-100.
10
Terlepas dari permasalahan yang terjadi dalam tata hukum perbankan
syari’ah, konsekuensi logis dari pemberlakuan fatwa DSN-MUI adalah
keterikatan lembaga-lembaga keuangan syari’ah yang berada di wilayah
Indonesia untuk menyandarkan aktifitasnya pada fatwa tersebut.
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan di atas, maka
penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut dalam bentuk skripsi mengenai
fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) No.17/DSN-
MUI/IX/2000 tentang Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda
Pembayaran, terutama dari sudut pandang Islam, dengan harapan agar
masyarakat mengetahui sanksi apakah yang patut dipungut atau diterima oleh
nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran hutang tersebut, yang pada
hal ini denda yang ditetapkan oleh DSN-MUI termasuk riba atau bukan.
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam skripsi ini penulis berusaha mengkaji permasalahan-
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah fatwa DSN-MUI tentang Sanksi atas Nasabah Mampu
yang Menunda-nunda Pembayaran?
2. Bagaimana metode istinbath hukum DSN-MUI tentang sanksi atas
Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran ditinjau menurut
hukum Islam?
C. TUJUAN PENELITIAN
11
Tujuan dari penulisan skripsi ini sebenarnya untuk membahas dan
menjawab apa yang telah penulis rumuskan sebagai bagian dari permasalahan
dan untuk memberikan pengetahuan baru di bidang ilmu syari’ah khususnya.
Selain itu, penelitian ini juga diharapkan mampu mengkaji dan memberi
jawaban secara jelas dari kedua permasalahan di atas, yaitu :
1. Untuk mengetahui fatwa DSN-MUI tentang Sanksi atas Nasabah Mampu
yang Menunda-nunda Pembayaran.
2. Untuk mengetahui metode istinbath hukum DSN-MUI tentang sanksi atas
Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran.
D. TELAAH PUSTAKA
Sejauh informasi yang penulis ketahui, sampai saat ini belum ada
penelitian yang secara khusus, mengkaji tentang hasil keputusan Dewan
Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) No.17/DSN-MUI/IX/2000
tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran.
Dan untuk menjaga validitas skripsi ini dari upaya plagiat, maka
penulis perlu mengadakan kajian pustaka. Kajian pustaka yang penulis
maksud adalah meneliti buku-buku yang berkaitan erat dengan pembahasan
penulis. Buku-buku yang penulis jadikan pijakan atau acuan dalam pembuatan
skripsi ini diantaranya adalah :
1. H. Sulaiman Rasjid dalam bukunya yang berjudul “Fiqih Islam”,
diterbitkan oleh PT. Sinar Baru Algensindo, Bandung, 1994. Dalam buku
12
ini menyatakan bahwa memberikan hutang kepada orang lain tidak boleh
membebankan tambahan saat dikembalikannya, akan tetapi apabila orang
yang berhutang itu melebihkan bayarannya atas kemauan sendiri dan tidak
atas perjanjian sebelumnya, maka kelebihan itu boleh bagi yang
mengutangkannya dan menjadi kebaikan untuk orang yang membayar
hutang tersebut.13
2. Drs. Ghufron A. Mas’adi, M.Ag., dalam bukunya yang berjudul “Fiqh
Muamalah Kontekstual”, penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
Cetakan I, 2002. Di dalam buku ini menjelaskan bahwa sesungguhnya
utang piutang merupakan bentuk muamalah yang bercorak ta’awun
(pertolongan) kepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya. Sumber
ajaran Islam (al-Qur’an dan al-Hadits) sangat kuat menyerukan prinsip
hidup gotong-royong seperti ini. Bahkan al-Qur’an menyebut piutang
untuk menolong atau meringankan orang lain yang membutuhkan dengan
istilah “menghutang kepada Allah dengan hutang baik”.14
3. Menurut Hamzah Ya’kub dalam bukunya yang berjudul “Kode Etik
Dagang Menurut Islam (pola pembinaan hidup dalam berekonomi),
menjelaskan bagaimana Nabi Muhammad SAW mengajarkan agar jangan
sampai membiasakan hutang jika tidak dalam keadaan terpaksa karena
akan menimbulkan akibat-akibat yang tidak baik, dia juga menjelaskan
13 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung: PT Sinar Baru Algensindo, Cet. ke-27, 1994,
hlm. 307. 14 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
Cet. ke-1, 2002, hlm. 171
13
faktor-faktor yang mendorong dilakukannya hutang dan sikap dalam
melakukan penyelesaian hutang dengan sikap toleransi.15
4. Yusuf Qardlawi dalam bukunya yang berjudul “Peran Nilai dan Moral
Dalam Perekonomian Islam”, menyatakan bahwa diantara keadilan yang
diwajibkan dalam Islam adalah melunasi hutang pada waktunya selama
yang bersangkutan mampu melakukannya demi melaksanakan beban
tanggungan, menunaikan hak, komitmen dengan akad dan menepati janji.
Jika ia mengulur pembayaran hutang padahal ia mampu, maka ia dzalim
dan berhak mendapatkan siksaan sebagai orang yang dzalim di dunia dan
di akhirat.
5. Skripsi yang berjudul "Studi Analisis Terhadap Fatwa Majelis Ulama
Indonesia tentang wakaf uang", yang disusun oleh Muhammad Shodli
(2199008). Dalam skripsi ini dibahas mengenai fatwa majelis Ulama
Indonesia mengenai hukum kebolehan melaksanakan wakaf uang. Di
mana fatwa ini didasarkan pada maslahah al-ammah bagi kemaslahatan
umat, karena lebih banyak kemaslahatannya ketimbang madlaratnya.
6. Skripsi yang berjudul "Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sistem Hutang-
Piutang di Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Lumintu Kelurahan
Bangunharjo Kecamatan Semarang", yang disusun oleh M. Lutfi Aziz
(2100097). Dalam skripsi ini dibahas mengenai sistem-sistem hutang–
piutang yang telah diaplikasikan di dalam Badan Keswadayaan
15 Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Hidup Dalam
Berekonomi), Bandung: CV Diponegoro, Cet. ke-1, 1984.
14
Masyarakat (BKM) tersebut, sehingga akan diperoleh gambaran yang
jelas mengenai sistem-sistem yang terdapat di dalamnya.
Berdasarkan literatur yang dijelaskan diatas, maka menurut penulis
pelaksanaan hutang-piutang dalam kegiatan muamalah yang lebih luas lagi
perlu mendapatkan kajian yang mendalam. Oleh karena itu, penulis
termotivasi untuk membahas masalah tersebut dalam bentuk skripsi dengan
harapan hasilnya dapat memperkaya khasanah fiqih Islam pada umumnya dan
menambah wawasan bagi penulis pada khususnya.
E. METODE PENELITIAN
Untuk memperoleh data yang akurat mengenai permasalahan di atas,
maka dalam proposal ini penulis menggunakan beberapa metode penelitian
yang relevan dengan judul di atas :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah dokumentasi. Dokumentasi yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah Fatwa DSN-MUI No.17/DSN-
MUI/IX/2000 tentang Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda
Pembayaran.
2. Sumber Data
Dalam memperoleh sumber data dalam penelitian skripsi ini,
penulis menggunakan sumber data primer dan sekunder yang faktual dan
dapat dipertanggungjawabkan dalam memecahkan permasalahan yang ada
dalam skripsi ini.
15
Sumber data primer adalah data yang diperoleh langsung dari
subyek penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat
pengambilan data langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang
dicari, atau secara sederhana biasa disebut sumber asli.16 Data primer
dalam penelitian ini berupa dokumen fatwa DSN-MUI No.17/DSN-
MUI/IX/2000 tentang Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda
Pembayaran.
Sedangkan data sekunder adalah data yang disebut dengan data
tangan kedua yang merupakan data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak
langsung diperoleh peneliti dari subyek penelitiannya.17 Data sekunder
diperoleh dari artikel, buku-buku, tulisan-tulisan serta data lain yang ada
relevansinya dengan kajian penelitian ini.
3. Metode Analisis Data
Dalam metodologi analisis data untuk pengolahan dan penelitian,
maka penulis menggunakan Metode Deskriptif Analisis yaitu suatu metode
yang digunakan terhadap suatu data yang dikumpulkan kemudian disusun,
dijelaskan dan sekaligus dianalisa.18 Pemaparan data yang telah diperoleh
dari lapangan maupun dari pustaka kemudian dilakukan analisis sampai
kesimpulan.
Metode ini sangat berguna untuk menggambarkan fatwa DSN
MUI No.17 tahun 2000 tentang sanksi atas nasabah mampu yang
16 Saifudin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 36. 17 Ibid., hlm. 91. 18 Winarno Surahmad (ed), Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Tehnik, Bandung:
Tarsito, 1994, hlm. 139
16
menunda-nunda pembayaran, sehingga dapat diketahui alasan-alasan yang
digunakan MUI dalam mengeluarkan fatwa tersebut.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk mempermudah dalam memahami skripsi yang akan penulis
buat, maka sebagai gambaran garis besar dari keseluruhan bab yang perlu
dikemukakan sistematika pembahasan sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan yang meliputi Latar Belakang Masalah, Rumusan
Masalah, Tujuan Penelitian, Telaah Pustaka, Metode Penelitian,
dan Sistematika Penulisan.
Bab II : Berbagai landasan teori mengenai Gambaran Umum Tentang
Fatwa dan Sanksi Dalam Islam yang terdiri dari Pengertian Fatwa,
Syarat-syarat Fatwa, Dasar Umum dan Sifat Fatwa, Metode dan
Prosedur Penetapan Fatwa serta Konsep Sanksi Dalam Hutang
Piutang
Bab III : Merupakan pembahasan mengenai Fatwa DSN-MUI No.17/DSN-
MUI/IX/2000 tentang Sanksi atas Nasabah Mampu yang
Menunda-nunda Pembayaran meliputi Profil Majelis Ulama
Indonesia (MUI), Struktur Kepengurusan MUI, Kedudukan Fatwa
MUI serta Fatwa DSN-MUI No.17/DSN-MUI/IX/2000 tentang
Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran.
17
Bab IV : Berisi tentang Analisis Hukum Islam Terhadap Fatwa DSN-MUI
No.17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi atas Nasabah Mampu
yang Menunda-nunda Pembayaran yang meliputi Analisis Hukum
Islam Terhadap Fatwa MUI No.17/DSN-MUI/IX/2000 tentang
Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran
dan Analisis Terhadap Metode Istinbath Hukum Fatwa DSN-MUI
No.17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi atas Nasabah Mampu
yang Menunda-nunda Pembayaran.
Bab V : Penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran-saran.
18
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG FATWA
DAN SANKSI DALAM ISLAM
A. Pengertian Fatwa
1. Pengertian Fatwa Menurut Bahasa
Fatwa berasal dari bahasa Arab, yang fi’ilnya yaitu afta, yufti,
jama’ fatwa adalah fatawa atau fatawu yang mengandung arti nama dari
sesuatu yang difatwakan orang yang berilmu pengetahuan apabila ia
menjelaskan tentang hukum). Fatwa dapat diterjemahkan petuah, nasehat,
jawaban, atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum.
Fatawa (menurut istilah ahli ushul fiqh) adalah pendapat yang
dikemukakan seorang mujtahid atau faqih sebagai jawaban yang diajukan
peminta fatwa (mufti) dalam suatu hukum yang sifatnya tidak mengikat.1
Ada pula yang mengartikan kata fatwa dalam 2 versi yaitu :
a. Fatwa adalah (keputusan, pendapat) yang diberikan oleh mufti tentang
suatu masalah.
b. Fatwa adalah Nasehat orang alim, pelajaran baik, petuah. 2
Mahmud Syaltut, membedakan antara kata fatwa dan soal,
sebagaimana Allah telah menerangkan dalam kitabnya yang mulia kepada
hambanya segala hukum yang menjamin kebahagiaan mereka di dunia dan
akhirat, serta keselamatan mereka baik perorangan maupun secara
1 Zainal Abidin Alwy, Ijtihad Kontemporer dan Reformasi Hukum Islam dalam Perspektif Muhammad Syaltut, Jakarta: Yayasan Haji Abdullah Amin, Cet. I, 2003, hlm. 149.
2 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997, hlm. 275
19
berkelompok. Dalam menerangkan hukum-hukum tersebut Al-Qur’an
menempuh dua sistem dengan didahului oleh pertanyaan maupun tidak
didahului dengan pertanyaan.
Sebagaimana dalam pertanyaan tentang hukum, digunakan kata
tanya, juga digunakan minta fatwa (al-istifta),3 misalnya terdapat dalam
Surat An-Nisa’ ayat 176 yang berbunyi :
يستفتونك قل الله يفتيكم في الكلالة إن امرؤ هلك ليس له أخت فلها نصف ما تركولد وله
Artinya : “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)
katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah yaitu Jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya …“ ( QS. An-Nisa’ : 176)4
Ayat tersebut di atas menerangkan bahwa orang yang meminta
fatwa tentang pembagian pusaka dari orang yang mati yang tidak
meninggalkan anak atau orang tua.
Namun ada sebagian fuqaha yang menyatakan bahwa “fatwa”
adalah bahasa Arab yang berarti “jawaban pertanyaan“ atau “hasil ijtihad“
atau “ketetapan hukum“, maksudnya ialah ketetapan atau keputusan
hukum tentang suatu masalah atau peristiwa yang dinyatakan oleh
seseorang mujtahid sebagai hasil ijtihadnya.
2. Pengertian Fatwa Menurut Syara’
3 Pengertian ini diambil dari perbedaan arti antara dua kalimat, dimana kalimat istifta
menghendaki ketelitian dalam mengeluarkan pendapat, sebagai kata soal tidak mengandung pengertian yang demikian. Mahmud Syaltout, Al-Fatwa, Kairo: Darul Qalam Cet. VI, hlm. 10.
4 Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah atau Pentafsir Al Qur’an, 1971, hlm. 153.
20
Arti fatwa menurut syara’ ialah menerangkan hukum syara’ dalam
suatu persoalan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan baik si penanya itu
jelas identitasnya maupun tidak, baik perseorangan maupun kolektif. Ada
juga yang mengartikan fatwa dalam arti syariat yaitu suatu penjelasan
hukum syari’ah dalam menjawab suatu perkara yang diajukan oleh
seseorang yang bertanya, baik penjelasan itu jelas (terang) atau tidak jelas
(ragu-ragu) dan penjelasan itu mengarah pada dua kepentingan yakni
kepentingan masyarakat banyak.
Sedangkan secara istilah syara’, makna fatwa dapat diketahui dari
pendapat para ahli fiqih berikut ini :
a. Imam Zamakhsyari memberikan arti fatwa sebagai suatu yang
lempang lurus.
b. Ibnu Taimiyah memaknai fatwa sebagai penjelasan hukum syari’at
yang tidak terkait pada suatu apapun kecuali hanya mendasar pada
nash-nash syari’ah (al-Qur’an dan al-Hadits) serta aqidah-aqidah yang
umum (ushul fiqih dan qawaidul fiqih).
c. Sayyid Rasyid Ridla menjelaskan makna fatwa sebagai suatu
pemutusan perkara yang aktual yang sesuai dengan prinsip-prinsip
syari’at Islam yang di dalamnya terkandung unsur
kebebasan/kemerdekaan dari keterikatan salah satu mazhab
(fanatisme) dan mengandung nilai-nilai perdamaian atau kebaikan
atau kemashlahatan umat manusia.
21
Seseorang yang memiliki hak dan tugas mengeluarkan fatwa
disebut dengan istilah mufti. Sosok mufti tidak dapat dilabelkan kepada
sembarang orang. 5
B. Syarat-Syarat Fatwa
1. Syarat-syarat Mutfi
Menurut Ibnu Qayyim, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
seorang mufti adalah sebagai berikut :
a. Mempunyai niat dalam memberi fatwa, yakni mencari keridloan Allah
semata-mata. Karenanya janganlah memberi fatwa untuk mencari
kekayaan atau kemegahan atau karena takut kepada penguasa. Telah
berlaku sumpah Allah memberikan kehebatan di mata manusia kepada
orang yang ikhlas, kepadanya diberikan nur (cahaya) dan memberikan
kehinaan kepada orang yang memberikan fatwa atas dasar untuk
memperkaya dirinya.
b. Hendaklah dia mempunyai ilmu, ketenangan, kewibawaan, dan dapat
menahan kemarahan. Ilmulah yang sangat diperlukan dalam memberi
fatwa. Orang yang memberi fatwa dalam tanpa ilmu berarti mencari
siksaan Allah.6
5 Pengertian fatwa secara istilah ini dapat dilihat dalam Rohadi Abdul Fatah, Analisa
Fatwa Keagamaan Dalam Fiqh Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1991, hlm. 6-17. 6 Hasbi as-Siddiqie, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Jilid I, 1994, hlm.
180-181. Menambahkan mufti sangat memerlukan sifat dapat menahan amaraH. Karena sifat itulah yang menjadi hiasan bagi ilmunya, sebagaimana mufti sangat memerlukan sifat terhormat dan ketenangan jiwa.
22
c. Hendaklah mutfi itu seorang yang benar-benar menguasai ilmunya,
karena apabila dia kurang pengetahuan mungkinlah dia tidak berani
mengemukakan kebenaran di tempat dia harus mengemukakannya dan
mungkin pula dia nekat mengemukakan pendapat di tempat yang
seharusnya dia diam.
d. Hendaklah mutfi itu seorang yang mempunyai kecukupan dalam
bidang material, bukan seorang yang memerlukan bantuan orang
untuk penegak hidupnya, karena dengan mempunyai kecukupan itu,
dia dapat menolong ilmunya, sedang apabila dia memerlukan bantuan-
bantuan orang lain, niscaya akan rendahlah pandangan orang
kepadanya.
e. Hendaklah mutfi itu mengetahui ilmu kemasyarakatan. Apabila sang
mutfi tidak mengetahui keadaan masyarakat mungkinlah dia
menimbulkan kerusakan dengan fatwa-fatwanya itu.
Melalui konsep ijtihad, setiap peristiwa baru akan didapatkan
ketentuan hukumnya yakni dengan mengaplikasikan nash-nash hukum
tersebut agar ditemukan kesesuaiannya dengan kemaslahatan umat
manusia sebagaimana dikehendaki oleh Tuhan.7
Namun demikian, tidak berarti setiap orang dapat melakukan
ijtihad (mencurahkan segala kemampuan berfikir untuk dapat
mengeluarkan hukum syar'i, dari dalil-dalil syara'), karena untuk
melakukan ijtihad seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang
7 Musahadi Ham, Evolusi Konsepsunnah, Semarang: Aneka Ilmu, 2002, hlm. 72
23
dapat membawa derajat mujtahid. Adapun syarat-syarat yang harus
dipenuhi antara lain : mengetahui ketentuan-ketentuan hukum dalam Al-
Qur'an dan sunnah, mengetahui masalah-masalah ijma' dan tidak boleh
menetapkan hukum yang bertentangan dengan apa yang telah diputuskan
secara ijma', mengetahui bahasa Arab, mengetahui ilmu ushul fiqh,
mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yag dihapuskan).8
2. Kewajiban-kewajiban Para Mufti
Sedangkan mengenai kewajiban-kewajiban seorang mufti
diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Tidak memberikan fatwa dalam keadaan sangat marah atau sangat
ketakutan, dalam keadaan gundah atau dalam keadaan pikiran sedang
bimbang dengan sesuatu. Karena semua yang demikian itu
menghilangkan ketelitian dan kebimbangan.
b. Hendaklah dia merasakan amat berhajat kepada pertolongan Allah
agar menunjukkannya ke jalan yang harus ditempuh. Sesudah itu
barulah dia meneliti nash-nash Al-Qur’an, nash-nash Hadits, atsar-
atsar para sahabat dan pendapat-pendapat para ulama. Dan hendaklah
dia memberikan segala kesungguhannya untuk menemukan hukum
dari pokoknya sendiri dengan bercermin kepada sikap-sikap yang
telah dilakukan para ulama terdahulu.
8 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani, Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 1999, hlm. 87-94.
24
c. Berdaya upaya menetapkan hukum dengan yang diridloi Allah. Dan
selalulah ia ingat bahwa dia diharuskan memutuskan hukum dengan
apa yang diturunkan, serta dilarang dia mengikuti hawa nafsunya.
Tidak boleh seorang mufti dalam memberi fatwa berpegang kepada
sesuatu pendapat yang pernah dikatakan oleh seorang fuqaha tanpa
melihat kuat lemahnya perkataan itu.9 Dia wajib berfatwa dengan yang
lebih kuat dalilnya.
Bagi orang yang tidak mampu melakukan ijtihad karena tidak
memiliki syarat-syarat tersebut (awam), maka mereka diharuskan
mengambil pendapat para mujtahidin dengan jalan menanyakan
permasalahan yang dihadapinya kepada orang yang diyakini mampu
melakukan ijtihad atas mereka yang dikalangan masyarakat telah
disepakati sebagai seorang yang diterima fatwa-fatwanya (mufti), dalam
arti telah terkenal keahliannya, perintah ini sebagaimana telah ditegaskan
oleh ketentuan Al-Qur'an Surat Al-Nahl ayat 43 yang menyatakan:
وصدها ما آانت تعبد من دون الله إنها آانت من قوم آافرين
Artinya : "Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui". (QS. An-Nal : 43)10
9 Mufti yang bertaqlid sebenarnya bukan mifti tetapi menukil fatwa imam yang
ditaqlidinya. Karena itu sebagian ahli ushul fiqh mufti ini tidak dipandang sebagai mujtahid. Wajib atasnya apabila dia memberi fatwa dengan pendapat seorang imam, mengetahui benar bawa itu pendapat imamnya, karena para ulama telah mengakui yang demikian. Depag R.I., Ushul Fiqh, hlm. 183..
10 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 408
25
Ayat tersebut menegaskan wajibnya bertanya langsung masalah-
masalah hukum yang dihadapi orang awam kepada para mufti atau
mujtahidin yang telah diyakini mampu melakukan ijtihad. Atas pertanyaan
tersebut, yang ada, tidak boleh menolak atau menghindarinya,
sebagaimana telah diultimatum oleh Rasulullah melalui sabdanya bahwa:
"Barang siapa ditanya suatu ilmu lalu ia menyembunyikannya, maka ia
bakal kembali pada hari kiamat dengan kembali ke api neraka".
(H.R. Imam Ahmad).
3. Persamaan dan Perbedaan Antara Putusan Hakim dan Putusan
Fatwa Mufti
Diantara persamaan-persamaan itu adalah :
a. Mengetahui kejadian atau peristiwa yan hendak diberikan fatwa atau
diberikan putusan.
b. Mengetahui hukum syara’
Sedangkan perbedaan-perbedaan itu adalah :
a. Memberi fatwa lebih luas lapangannya dari pada memberi putusan,
karena memberi fatwa menurut pendapat sebagian ulama, boleh
dilakukan oleh seorang merdeka, budak belian, lelaki, wanita, famili
dekat, famili jauh, orang asing bahkan teman sejawat. Sedang putusan
hanya diberikan oleh orang merdeka yang lelaki dan tidak ada sangkut
paut kekeluargaan dengan yang bersangkutan.
b. Putusan hakim berlaku untuk penggugat dan tergugat berbeda dengan
fatwa. Fatwa boleh diterima boleh tidak.
26
c. Putusan hakim yang berbeda dengan pendapat mufti dipandang
berlaku dan fatwa mufti tidak dapat membatalkan putusan hakim,
sedang putusan hakim dapat membatalkan fatwa mufti.
d. Mufti tidak dapat memberikan putusan terkecuali apabila dia telah
menjadi hakim. Berbeda dengan hakim, dia wajib memberi fatwa
apabila belum merupakan suatu keharusan dan boleh memberi fatwa
apabila belum merupakan suatu keharusan. Namun demikian
segolongan ulama Syafi’iyyah dan Hanabillah berpendapat bawa
hakim tidak boleh memberi fatwa pada masalah-masalah yang
mungkin akan dimajukan kepada pengadilan, karena mungkin
putusannya nanti berbeda dengan fatwanya akan timbullah kesulitan
baginya. Dalam masalah ini Syuraih berkata: “saya memutuskan
perkara di antara kamu, bukan memberi fatwa.“11
C. Dasar Umum dan Sifat Fatwa
Mengenai masalah-masalah hukum syari'at yang dihadapi oleh
masyarakat Indonesia, maka para ulama Indonesia yang mampu melakukan
ijtihad, wajib menetapkan hukum atasnya. Karena kemampuan ilmu orang
perorang tidak memungkinkan dirinya untuk menjadi mujtahid mutlak, maka,
pemerintah membentuk satu lembaga khusus yang bertugas atau berwenang
untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Dalam hal ini, lembaga yang
dimaksud adalah MUI. MUI sebagai satu-satunya lembaga pemerintah untuk
11 Hasbi As-Shiddiqie, op. cit., hlm. 184.
27
memberikan fatwa hukum syar'i dan telah diyakini masyarakat tentang
keahliannya dan keadilannya, karena mereka merupakan orang-orang pilihan
yang dianggap telah mampu melakukan ijtihad.
Dalam melakukan ijtihad untuk menetapkan sebuah fatwa hukum,
maka MUI berpedoman pada Pedoman Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang
ditetapkan dalam Surat Keputusan MUI Nomor U-596/MUI/X/1997. Dalam
surat keputusan tersebut, terdapat tiga bagian proses utama dalam menentukan
fatwa, yaitu dasar-dasar umum penetapan fatwa, teknik dan kewenangan
organisasi dalam penetapan fatwa.
Dasar-dasar umum penetapan fatwa MUI ditetapkan dalam 2 (ayat 1
dan 2). Pada ayat 1 dikatakan bahwa setiap fatwa didasarkan pada adillat al-
ahkam yang paling kuat dan membawa kemaslahatan bagi umat. Dalam ayat
berikutnya (ayat 2) dijelaskan bahwa dasar-dasar fatwa adalah Al-Qur'an,
Hadits, ijma, qiyas dan dalil-dalil hukum lainnya. Penetapan fatwa bersifat
responsif, proaktif, dan antisipasif. Aktivitas penetapan fatwa dilakukan
secara kolektif oleh suatu lembaga yang dinamakan “Komisi Fatwa“.
D. Metode dan Prosedur Penetapan Fatwa
1. Metode Penetapan Fatwa
Adapun Metode penetapan fatwa adalah :
a. Sebelum fatwa ditetapkan hendaklah ditinjau lebih dahulu pendapat
para imam mazhab tentang masalah yang akan difatwakan tersebut,
secara seksama berikut dalil-dalilnya.
28
b. Masalah yang telah jelas hukumnya (al-ahkam al-qoth’iyyat)
hendaklah disampaikan sebagaimana adanya.
c. Dalam masalah yang terjadi khilafiyyah di kalangan mazhab, maka:
a) Penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu
di antara pendapat-pendapat mazhab melalui metode al-jam’u wa
al-taufiq; dan jika usaha penemuan titik temu tidak berhasil
dilakukan, penetapan fatwa didasarkan pada hasil tarjih melalui
metode muqaranah al-mazaib dengan menggunakan kaidah-
kaidah Ushul Fiqh Muqaran.
b) Dalam masalah yang tidak ditemukan pendapat hukumnya di
kalangan mazhab, penetapan fatwa didasarkan pada hasil ijtihad
jama’i (kolektif melalui metode bayani, ta’lili, qiyasi, istihsani
ilhaqi), istislahi dan sadd al-zari’ah.
d. Penetapan fatwa harus senantiasa memperhatikan kemaslahatan
umum (maslahih ’ammah) dan maqashid al-syari’ah.
2. Prosedur Penetapan Fatwa
Prosedur penetapan fatwa dilakukan dengan langkah-langkah
berikut : Pertama; setiap masalah yang diajukan (dihadapi) Majelis Ulama
Indonesia dibahas dalam rapat komisi untuk mengetahui substansi dan
duduk masalahnya. Kedua; dalam rapat komisi, dihadirkan ahli yang
berkaitan dengan masalah yang akan difatwakan untuk didengarkan
pendapatnya untuk dipertimbangkan. Ketiga; setelah pendapat ahli
didengar dan dipertimbangkan, ulama melakukan kajian terhadap
29
pendapat para imam madzhab dan fuqaha dengan memperhatikan dalil-
dalil yang digunakan dengan berbagai cara istidlal-nya dan
kemaslahatannya bagi umat.
Apabila pendapat-pendapat ulama seragam atau hanya satu ulama
yang memiliki pendapat, komisi dapat menjadikan pendapat tersebut
sebagai fatwa. Keempat; jika fuqaha memiliki ragam pendapat, komisi
melakukan pemilihan pendapat melalui tarjih dan memilih salah satu
pendapat untuk difatwakan. Kelima; jika tarjih tidak menghasilkan produk
hukum yang diharapkan, komisi dapat melakukan il haaqu al masaaili
binaadza irihaa dengan memperhatikan mutahaq bih, mutahaq ilaih, dan
wajb al-izhaq. Keenam; apabila cara ilhaq tidak menghasilkan produk
hukum yang memuaskan, komisi dapat melakukan ijtihad jama'i dengan
menggunakan al-qawaid al-ushuliyyat dan al-qawaid al-fiqhiyyat.
Kewenangan Majelis Ulama Indonesia adalah berfatwa tentang :
a. Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut
umat Islam Indonesia secara nasional dan
b. Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum di suatu daerah
yang diduga dapat meluas ke daerah lain.
Sebagaimana tercantum dalam buku fatwa MUI prosedur
penetapan fatwa pasal 3 adalah sebagai berikut :
a. Setiap masalah yang disampaikan kepada komisi hendaklah terlebih
dahulu dipelajari dengan seksama oleh para anggota komisi atau tim
khusus sekurang-kurangnya seminggu sebelum disidangkan.
30
b. Mengenai masalah yang telah jelas hukumnya (qoth’iy), hendaklah
komisi menyampaikan sebagaimana adanya dan fatwa menjadi gugur
setelah diketahui ada nashnya dari Al-Qur’an, Sunnah.
c. Dalam masalah yang terjadi khilafiyya di kalangan mazhab maka yang
difatwakan adalah hasil tarjih12 setelah memperhatikan fiqh
muqaranah (perbandingan) dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul
fiqh muqaran yang berhubungan dengan pentarjihan.
Dalam pasal 4 menyatakan, setelah melakukan pembahasan secara
mendalam dan komprehensif serta memperhatikan pendapat dan
pandangan yang berkembang dalam sidang komisi menetapkan keputusan
fatwa.
1. Setiap keputusan fatwa harus ditanfizkan setelah ditandatangani oleh
daerah pimpinan dalam bentuk surat keputusan fatwa (SKF)
2. SKF harus dirumuskan dengan bahasa yang dapat dipahami dengan
mudah.
3. Dalam SKF harus dicantumkan dasar-dasarnya disertai uraian dalam
analisis secara ringkas, serta sumber-sumber pengambilannya.
12 Tarjih adalah menuatkan salah satu dalil yan tampaknya (secara lahir) bertentanan
denan yan lalu sehina dapat diketahui mana yan lebih kuat dan kemudian diamalkan, dan ditinalkan yan lalu (yan lemah), sebaaimana diketahui tidak semua hukum syariat berdasarkan pada dalil yan qathiy, bahkan sebaian besar berdasarkan pada dalil yan dzanniy. Kadan-kadan dalil dzanniy itu tampak salin bertentanan. Apabila usaha itu untuk memadukannya tidak berhasil maka harus ditarjih, diambil mana yan kuat. M. Abdul Mujieb, Masruru Tolhah, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994, lm. 372)
31
4. Setiap SKF sedapat mungkin disertai dengan rumusan tindak lanjut
dan rekomendasi dan atau jalan keluar yang diperlukan sebagai
konsekuensi dari SKF tersebut.13
E. Konsep Sanksi Kaitannya Dengan Hutang Piutang.
Pengertian sanksi adalah metode untuk mencapai tujuan yaitu
memberikan efek jera bagi si pelaku pelanggaran. Adanya sanksi berfungsi
mencegah manusia dari tindakan kriminal dan sebagai penebus dosa seorang
muslim dari azab Allah di hari kiamat. Yang dimaksud tindakan kriminal
adalah suatu perbuatan yang tercela. Oleh karena itu, suatu perbuatan tidak
dapat dikatakan sebagai tindak kriminal kecuali jika syara’ telah
menentukannya dengan nash sebagai perbuatan tercela, maka barulah
dianggap sebagai tindakan kriminal.14 Sebagaimana telah ditetapkan dalam
nash Al-Qur’an tentang sanksi dalam Islam yang berfungsi sebagai pencegah
yang berbunyi :
بالنفس والعين بالعين والأنف وآتبنا عليهم فيها أن النفسبالأنف والأذن بالأذن والسن بالسن والجروح قصاص فمن تصدق به فهو آفارة له ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم
الظالمونArtinya : “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At
Taurat) bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishasnya, Barang siapa yang
13 MUI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hlm. 6-7. (lihat website
www.mui.or.id) 14 Muhammad Ismail, Bunga Rampai Pemikiran Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1993,
hlm. 127.
32
melepaskan (hak qishas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah : 45) 15
Adapun pengertian hutang-piutang yang kemukakan di sini ada dua
pengertian, yaitu :
1. Pengertian Hutang-Piutang menurut Etimologi (bahasa)
Secara bahasa hutang piutang (al-qordh) berarti al-qoth’ (terputus).
Harta yang dihutangkan kepada pemilik lain dinamakan qordh karena ia
terputus dari pemiliknya.16
Sedangkan menurut Al- Jurjani, beliau mengatakan: Addainu, yaitu :
االبراء او االدائ ابا اال يسقوا ال الذي هو الدينArtinya : “Ad-Dainu yaitu sesuatu yang tidak dapat gugur kecuali
dengan pelunasan atau pembebasan.” 17
2. Pengertian Hutang-Piutang Menurut Istilah
Definisi hutang piutang menurut istilah yang berkembang di
kalangan fuqaha adalah sebagai berikut :
Menurut fuqaha Hanafiyah yaitu :
القرض هو ما تعطيه من مال مثلى لتتقاضاه اوبعبارة ل مثلي ألخر اخرى هو عقد مخصوص يرد على دفع ما
ليردمثله
15 Departemen Agama RI, op., cit, hlm. 167. 16 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Konstektual, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
Cet ke-1, 2002, hlm. 170 17 Al-Jurjani, At-Ta’rifat, Jeddah: Al-Haramain, t.th, hlm. 160.
33
Artinya : “Al-Qardh adalah “penyerahan (pemilikan) harta al-misliyat kepada orang lain untuk ditagih pengembaliannya”, atau dengan pengertian lain, “suatu akad yang bertujuan untuk menyerahkan harta misliyat kepada pihak lain untuk dikembalikan yang sejenis dengannya”.
Menurut fuqaha Malikiyah mendefinisikan al-qordh adalah
“penyerahan suatu harta kepada orang lain yang tidak disertai iwadh
(imbalan) atau tambahan dalam pengembaliannya”. Sedang menurut
fuqaha Syafi’iyah term al-qordh mempunyai pengertian yang sama dengan
term al-salaf, yakni “akad pemilikan sesuatu untuk dikembalikan dengan
yang sejenis dan sepadan”.18
Sedangkan menurut Ahli Fiqih: hutang-piutang adalah transaksi
antara dua pihak, yang satu menyerahkan uangnya kepada yang lain secara
sukarela untuk dikembalikan lagi kepadanya oleh pihak kedua dengan hal
yang serupa. Atau seseorang menyerahkan uang kepada pihak lain untuk
dimanfaatkan dan kemudian orang ini mengembalikan penggantinya.19
Dari beberapa definisi tersebut di atas tampaklah bahwa
sesungguhnya utang piutang merupakan bentuk mu’amalah yang bercorak
ta’awun (pertolongan) kepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya.
Sumber ajaran Islam (Al-Qur’an dan Al-Hadits) sangat kuat menyerukan
prinsip hidup gotong royong seperti ini. Bahkan Al-Qur’an menyebut
piutang untuk menolong atau meringankan orang lain yang membutuhkan
dengan istilah “menghutangkan kepada Allah dengan hutang baik”.
18 Ghufron A. Mas’adi, op. cit., hlm. 171 19 Abu Sura’i Abdul Hadi, Bunga Bank Dalam Persoalan dan Bahayanya Terhadap
Masyarakat, Yogjakarta: Yayasan Masjid Manarul Islam - Bangil dan Pustaka LSI, Cet ke-1, 1991, hlm. 125.
34
يضاعفه له وله أجر من ذا الذي يقرض الله قرضا حسنا ف آريم
Artinya : “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak”. (QS. Al-Hadid : 11)20
Dalam Fiqih Islam, H.M. Anwar mengatakan Qaradh yaitu:
memberikan sesuatu kepada orang lain dengan syarat harus dikembalikan
lagi semisalnya, tetapi bukan barang tersebut dan kalau yang dikembalikan
barang tersebut, bukan qaradh melainkan ariyah atau pinjam meminjam.21
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa dalam hal hutang-
piutang, harus ada satu pihak untuk memberikan haknya kepada orang
lain, dan adanya pihak tersebut untuk menerima haknya, untuk
ditasyarufkan yang pengembaliannya ditanggungkan pada waktu yang
akan datang.
Oleh karena itu Islam dalam hutang piutang mewajibkan sikap adil
dengan melunasi hutang jika sudah sanggup membayarnya, agar terlepas
tanggung jawabnya. Jika seseorang mampu membayar hutang tetapi ia tidak
melakukannya maka ia bertindak zalim dan berhak menerima sanksi di dunia
maupun di akhirat. Demikian juga orang yang menunda membayar hutang ini
ternyata orang yang sebenarnya mampu membayar hutang itu tepat pada
waktunya, maka penundaan yang dilakukannya adalah satu kezaliman, yaitu
kezaliman kepada orang yang memberi hutang kepadanya.
20 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 902. 21 M. Anwar, Fiqh Islam, Bandung: PT. AL-Ma’arif, 1998, hlm. 52.
35
Adapun sanksi yang diterimanya di dunia ini Nabi Muhammad saw
bersabda : Orang kaya yang menangguhkan pembayaran hutangnya patut
diumumkan (dicemarkan nama baiknya) dan dihukum.
Orang kaya yang enggan membayar hutang terhitung berbuat dzalim
dan pantas mendapatkan ancaman siksa, berdasarkan sabda Nabi SAW, yang
berbunyi :
الغني ظلم مطلArtinya : “Orang kaya yang mangkir membayar hutang adalah orang yang
dzalim.”
Dalam hadits lain disebutkan :
رضه وعقوبتهع الواجد يحل ليArtinya : “Penundaan orang kaya dari hutangnya, menyebabkan ia pantas
disebutkan aibnya dan layak diberi sanksi hukuman.”
Para ulama menganggap tindakan menunda-nunda orang kaya dari
hutangnya itu sebagai dosa besar sehingga pelakunya disebut fasik. Namun
masih ada perbedaan pendapat, apakah ia bisa disebut fasik dan tidak diterima
persaksiaannya bila melakukan perbuatan itu sekali saja, atau hanya bila
melakukan berulang-ulang kali.
Yang dimaksudkan dengan boleh disebutkan aibnya, yakni boleh
dicela dan dikecam dengan dikatakan misalnya : “Si Fulan itu tidak mau
membayar hutangnya, ia merampas hak orang lain, dan sejenisnya, asal tidak
berupa fitnah atau kata-kata keji. Karena orang yang dizhalimi hanya boleh
menyebutkan kejahatan yang dialamatkan orang yang menzhaliminya
kepadanya dan tidak boleh menyebutkan kesalahan-kesalahan lainnya. Hal itu
bisa dilakukan dengan mengumumkannya di surat-surat kabar atau dengan
36
mencantumkan nama pelakunya dalam daftar hitam, sehingga ia tidak lagi
mendapatkan fasilitas kemudahan biokratif di masa-masa mendatang.
Yang dimaksud sanksi dalam hadits di atas adalah hukuman penjara.
Al-Jashshash menyatakan, “Seluruh ulama bersepakat bahwa pihak orang
kaya yang mangkir membayar hutang itu tidak harus dihukum dengan
pukulan, namun hanya dipenjara, karena para ulama juga bersepakat bahwa
segala bentuk hukuman selain itu tidak bisa diberlakukan kepadanya di dunia
ini.”
Kemudian beliau juga menandaskan, “Orang yang berbuat zhalim,
tidak syak lagi, berhak mendapatkan sanksi, yakni hukuman kurungan, karena
para ulama bersepakat bahwa tidak ada dalil yang menunjukkan adanya
hukuman baginya selain itu.” Ali dan Syuraih serta Sya’bi pernah menerapkan
hukuman kurungan terhadap kasus hutang tersebut.22
Adapun sanksi di akhirat sungguh sangat pedih karena hutang-piutang
adalah urusan yang bersangkutan dengan manusia dan berdiri di atas hal yang
tidak bisa ditolerir. Bertambah payah lagi jika seseorang mati dalam keadaan
berhutang dan segala peninggalannya tidak bisa menutupi hutangnya.
Di antara ulama ada yang membolehkan sanksi tersebut, berdasarkan
alasan berikut ini :
Karena kemangkiran orang kaya membayar hutang itu adalah
kezhaliman yang harus diberi sanksi, dan tidak ada ijma’ ulama yang
melarang memberikan sanksi hukuman berupa denda finansial sebagaimana
22 Abdullah al-Muslih, Shalah ash-Shawi, Bunga Bank Haram? Menyikapi Fatwa MUI
Menuntaskan Kegamangan Umat, Jakarta: Darul Haq, 2003, hlm. 135-137.
37
yang diyakini oleh para ulama yang melarangnya. Persoalan ini adalah
masalah yang diperdebatkan di kalangan ulama, ada yang melarang dan ada
juga yang membolehkannya. Kemungkinan yang paling besar adalah yang
diungkapkan oleh Ibnul Qayyim bahwa hukumnya bisa berbeda-beda
tergantung perbedaan kemaslahatan dan itu dikembalikan kepada ijtihad para
imam.
Imam Ibnul Qayyim menyatakan, “Para ulama ahli fiqh berbeda
pendapat tentang hukumnya, apakah hukumnya sudah terhapus atau masih
tetap berlaku. Yang benar adalah bahwa hukumnya berbeda-beda tergantung
kemaslahatan dan itu dikembalikan kepada ijtihad para imam ijtihad di segala
zaman dan tempat. Karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa
hukumnya telah dihapus. Hal itu telah dilakukan oleh para Khalifah Ar-
Rasyidin dan para imam sesudah mereka.”
Di antara contoh yang disebutkan dalam sunnah berkaitan dengan
sanksi finansial misalnya : Melipatgandakan denda kepada pencuri buah-
buahan yang masih tergantung dipohonnya, disamping hukuman lain yang
sesuai dengan perbuatan mencuri yang tidak sampai pada tingkat harus
dipotong tangannya, atau melipatgandakan denda bagi orang yang
menyembunyikan barang hilang, mengambil sebagian harta orang-orang yang
menolak membayar zakat dan sejenisnya. Dengan demikian sanksi denda
sesuai dengan semangat Al-Qur’an, Allah berfirman :
ولكم في القصاص حياة يا أولي الألباب لعلكم تتقون
38
Artinya : “Dan dalam Qishas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Qs. Al-Baqarah.179)23
Syaikul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan juga perbedaan pendapat
ulama tersebut tentang sanksi finansial dan bantahan terhadap orang yang
menyatakan bahwa hukuman tersebut telah dihapus. Beliau menandaskan
bahwa hukuman itu sama saja dengan hukuman fisik yang terbagi menjadi
menjadi hukuman terhadap perusakan, terhadap pengubahan atau terhadap
pemindahan kepemilikan. Berkaitan dengan yang terakhir (pemindahan
kepemilikan) beliau menambahkan sebagai berikut :
“Adapun pemindahan kepemilikan, maka contohnya adalah
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ashabus Sunan lainnya
dari Nabi Muhammad SAW bahwa barang siapa yang mencuri buah-buahan
yang masih tergantung di pohonnya sebelum dibawa ke tempat penjemuran,
maka ia dikenai hukuman beberapa kali cambukan dan terkena denda dua kali
lipat harga buah yang diambil.
Demikian juga keputusan yang diambil oleh Umar bin Al-Khaththab
dalam kasus penyembunyian barang hilang bahwa si pelaku dikenai denda dua
kali lipat harga barang yang disembunyikan. Demikian juga pendapat
segolongan ulama seperti Imam Ahmad dan yang lainnya. Umar pernah
memutuskan denda dalam kasus seekor unta hilang orang Badui yang diambil
oleh para budak yang kelaparan. Beliau memerintahkan tuan budak-budak itu
untuk membayar dua kali lipat harga unta tersebut dan tidak memberlakukan
23 Departemen Agama RI, op., cit, hlm. 44
39
hukum potong tangan kepada semua budak itu. Utsman bin Affan juga pernah
memberikan keputusan dalam kasus seorang muslim yang dengan sengaja
membunuh orang kafir dzimmi bahwa denda yang dikenakan kepadanya
dilipatgandakan. Karena pada asalnya denda membunuh kafir dzimmi adalah
setengah dari denda biasa. Pendapat itu diambil juga oleh Ahmad bin
Hambal.”24
24 Abdullah al-Muslih, Shalah ash-Shawi, op. cit., hlm. 138-139
40
BAB III
FATWA DSN-MUI NO.17/DSN-MUI/IX/2000 TENTANG SANKSI ATAS
NASABAH MAMPU YANG MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN
A. Profil Majelis Ulama Indonesia
1. Sekilas tentang Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah organisasi ‘keulamaan”
yang bersifat independen, tidak berafiliasi kepada salah satu aliran politik,
madzab atau aliran keagamaan Islam yang ada di Indonesia. MUI dibentuk
pada tanggal 26 Juli 1975 M atau 7 Rajab 1395 H, dalam pertemuan ulama
nasional (kemudian disebut Musyawarah Masional I Majelis Ulama
Indonesia) di Jakarta yang menyertakan 4 orang dari daerah tingkat I, 14
orang dari Ormas Islam dan Dinas Rawatan Rohani Islam dan 12 orang
tokoh ulama pusat dan daerah. Munas I MUI itu diselenggarakan oleh
sebuah panitia musyawarah yang dibentuk berdasarkan surat keputusan
Menteri Agama RI No. 28 tanggal 1 Juli 1975 dengan diketuai Letjen
(purnawirawan) H. Sudirman dibantu Tim Penasehat ; Prof. Dr. Hamka,
KH Abdullah Syafi’i dan KH Syukri Ghazali. Acara Munas I ini
berlangsung pada 21-27 Juli 1975.
Pembentukan MUI membuka sejarah baru dalam usaha
mewujudkan kesatuan umat Islam Indonesia dalam suatu forum tingkat
nasional yang dapat menampung, menghimpun dan mempersatukan
pendapat dan pikiran ulama atau umat Islam secara keseluruhan. Usaha
41
pembentukan MUI dilakukan melalui proses yang cukup panjang. Mulai
dari pendekatan kepada tokoh-tokoh ulama, ormas-ormas Islam, pejabat
pemerintah, cendekiawan dan majelis ulama daerah yang sudah ada
(seperti di Jawa Barat, Sumatra Barat dan Aceh). Usaha ini semakin kuat
setelah tercapainya konsensus para ulama dan pemimpin umat Islam dalam
Lokakarya Muballigh se-Indonesia pada 20-29 Nopember 1979. Atas
dasar konsensus inilah, Menteri Agama, Mukti Ali, mengeluarkan SK
pembentukan panitia Munas MUI II, yang segera pula mengadakan
persiapan-persiapan penyelenggaraannya.
Momentum pembangunan nasional yang dilaksanakan pemerintah
Orde Baru juga ikut mendorong kepada pembentukan MUI. Presiden
Soeharto dalam sambutannya pada acara penutupan Lokakarya Muballigh
se-Indonesia, menyatakan pentingnya suatu Majelis Ulama tingkat pusat
guna menjawab tantangan dan kebutuhan pembangunan. Menurut Presiden
Soeharto, membangun masyarakat tidaklah mungkin tanpa kerukunan dan
persatuan. Masyarakat yang bercerai-berai tidsak akan dapat membangun,
lebih-lebih bila umat beragamanya tidak bersatu.
Secara ringkas, berdasarkan pikiran bahwa ulama berkewajiban
membina umat Islam untuk lebih bertaqwa kepada Allah, turut serta
memperoleh ketahanan nasional dan melawan ateisme, ikut menyukseskan
pembangunan nasional dan perlunya wadah persatuan bagi para ulama
seluruh Indonesia, maka dalam Munas Ulama Nasional I diputuskanlah
pembentukan MUI. MUI hanya mempunyai pengurus saja, tidak membuka
42
keanggotaan yang terbuka luas bagi masyarakat. Dengan begitu MUI tidak
menjadi ormas baru di samping ormas-ormas Islam yang telah ada.1
Ulama Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa mereka adalah
pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya). Maka mereka
terpanggil untuk berperan aktif dalam membangun masyarakat melalui
wadah MUI, seperti yang pernah dilakukan oleh para ulama pada zaman
penjajahan dan perjuangan kemerdekaan. Di sisi lain umat Islam Indonesia
menghadapi tantangan global yang sangat berat. Kemajuan sains dan
teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya
global yang didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan pendewaan
hawa nafsu yang dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta
meremehkan peran agama dalam kehidupan umat manusia.
Selain itu kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam
alam pikiran keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan
aspirasi politik, sering mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat
menjadi sumber pertentangan di kalangan umat Islam sendiri.
Akibatnya umat Islam dapat terjebak dalam egoisme kelompok
yang berlebihan. Oleh karena itu kehadiran MUI, makin dirasakan
kebutuhannya sebagai sebuah organisasi kepemimpinan umat Islam yang
bersifat kolektif dalam rangka mewujudkan silaturrahmi, demi terciptanya
persatuan dan kesatuan serta kebersamaan umat Islam.
1 Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004,
hlm. 65-66.
43
Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun Majelis Ulama
Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan
cendekiawan muslim berusaha untuk memberikan bimbingan dan tuntunan
kepada umat Islam dalam mewujudkan kehidupan beragama dan
bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala; memberikan
nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan
kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi
terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama
dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta menjadi
penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal
balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan
nasional; meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi,
lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan
dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan
mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.
Dalam khitah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah
dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu :
1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti)
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri’ayat wa khadim al ummah)
4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid
5. Sebagai penegak amar ma’ruf dan nahi munkar
44
Sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa
kongres atau musyawarah nasional, dan mengalami beberapa pergantian
Ketua Umum, dimulai dengan Prof. KH. Alie Yafie dan kini KH. M. Sahal
Maffudh. Ketua Umum MUI yang pertama, kedua dan ketiga telah
meninggal dunia dan mengakhiri tugas-tugasnya. Sedangkan dua yang
terakhir masih terus berhidmah untuk memimpin majelis para ulama ini.2
2. Visi dan Misi MUI
MUI sebagai organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, dan
cendekiawan muslim adalah gerakan masyarakat. Dalam hal ini, MUI
tidak berbeda dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lain di
kalangan umat Islam, yang memiliki keberadaan otonom dan menjunjung
tinggi semangat kemandirian, oleh karena itu, MUI juga mempunyai visi,
misi dan peran penting, penjelasan lebih lanjut adalah sebagai berikut :
a. Visi
Terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan
dan kenegaraan yang baik sebagai hasil penggalangan potensi dan
partisipasi umat Islam melalui aktualisasi potensi ulama, ahniya dan
cendekiawan muslim untuk kejayaan Islam dan umat Islam (izzul
Islam wa al-muslimin), guna perwujudannya. Dengan demikian Islam
yang penuh rahmat (rahmatan lil 'alamin) ditengah kehidupan umat
manusia dan masyarakat Indonesia khususnya.
2 www.mui.or.id.
45
b. Misi
Menggerakkan kepemimpinan dan kelembagaan secara efektif,
sehingga mampu mengarahkan dan membina umat Islam dalam
menanamkan dan memupuk akidah islamiyah, serta menjalankan
syari'ah islamiyah dan menjadikan ulama sebagai panutan dalam
mengembangkan akhlak karimah agar terwujud masyarakat khairal
ummah.
c. Orientasi dan Peran MUI
Majelis Ulama Indonesia mempunyai sembilan orientasi
pengkhidmatan, yaitu :
1) Diniyah
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah pengkhidmatan yang
didasari semua langkah dan kegiatannya pada nilai dan ajaran
Islam, karena Islam adalah agama yang berdasarkan pada prinsip
tauhid dan mempunyai ajaran yang meliputi seluruh aspek
kehidupan manusia.
2) Irsyadiyah
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah pengkhidmatan dakwah
wal irsyad, yaitu upaya untuk mengajak umat manusia kepada
kebaikan serta melaksanakan amat ma'ruf dan nahi munkar dalam
arti yang seluas-luasnya, setiap kegiatan Majelis Ulama Indonesia
dimaksudkan untuk dakwah dan dirancang untuk selalu berdimensi
dakwah.
46
3) Ijabiyah
Majelis Ulama Indonesia adalah pengkhidmatan ijabiyah yang
senantiasa memberikan jawaban positif terhadap setiap
permasalahan yang dihadapi masyarakat melalui prakarsa
kebajikan (amal saleh) dalam semangat berlomba dalam kebaikan
(fastabiq' al-khairat).
4) Hurriyah
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah pengkhidmatan
independent yang bebas dan merdeka serta tidak tergantung
maupun terpengaruh oleh pihak-pihak lain dalam mengambil
keputusan, mengeluarkan pikiran, pandangan dan pendapat.
5) Ta'awuniyah
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah pengkhidmatan yang
mendasari diri pada semangat tolong-menolong untuk kebaikan
dan ketakwaan dalam membela kaum dhu'afa untuk meningkatkan
harkat dan martabat, serta derajat kehidupan masyarakat. Semangat
ini dilaksanakan atas dasar persaudaraan di kalangan seluruh
lapisan golongan umat Islam. Ukhuwah islamiyah ini merupakan
landasan bagi Majelis Ulama Indonesia untuk mengembangkan
persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathoniyah) sebagai bagian
integral bangsa Indonesia dan memperkukuh persaudaraan
kemanusiaan (ukhuwah basyariyah) sebagai anggota masyarakat
dunia.
47
6) Syuriah
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah pengkhidmatan yang
menekankan prinsip musyawarah dalam mencapai permufakatan
melalui pengembangan sikap demokratis, akomodatif, dan
aspiratif, terhadap berbagai aspirasi yang tumbuh dan berkembang
di dalam masyarakat.
7) Tasamuh
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah pengkhidmatan yang
mengembangkan sikap toleransi dan moderat dalam melaksanakan
kegiatannya dengan senantiasa menciptakan keseimbangan
diantara berbagai arus pemikiran di kalangan masyarakat sesuai
dengan syariat Islam.
8) Qudwah
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah pengkhidmatan yang
mengedepankan kepeloporan dan keteladanan melalui prakarsa
kebajikan yang bersifat perintisan untuk kebutuhan kemaslahatan
umat. Majelis Ulama Indonesia dapat berkegiatan secara
operasional sepanjang tidak terjadi tumpang tindih dengan kegiatan
ormas Islam lain.
9) Addualiyah
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah pengkhidmatan yang
menyadari dirinya sebagai anggota masyarakat dunia yang ikut
aktif memperjuangkan perdamaian dan tatanan dunia yang sesuai
48
dengan ajaran Islam. Sesuai dengan hal itu, Majelis Ulama
Indonesia menjalin hubungan dan kerjasama dengan lembaga atau
organisasi Islam internasional di berbagai negara.3
Majelis Ulama Indonesia mempunyai lima peran penting, yaitu :
1) Sebagai pewaris tugas para Nabi (warasat al-ambiya)
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pewaris tugas-
tugas para Nabi, yaitu menyebarkan ajaran Islam serta
memperjuangkan terwujudnya suatu kehidupan sehari-hari secara
arif dan bijaksana yang berdasarkan Islam. Sebagai pewaris tugas-
tugas para Nabi, Majelis Ulama Indonesia menjalankan fungsi
profetik yakni memperjuangkan perubahan kehidupan agar berjalan
sesuai ajaran Islam, walaupun dengan konsekuensi akan menerima
kritik, tekanan, dan ancaman karena perjuangannya bertentangan
dengan sebagian tradisi, budaya dan peradaban manusia.
2) Sebagai pemberi fatwa
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pemberi fatwa
bagi umat Islam baik diminta maupun tidak diminta. Sebagai
lembaga pemberi fatwa Majelis Ulama Indonesia mengakomodasi
dan menyalurkan aspirasi umat Islam Indonesia yang sangat
beragam aliran paham dan pemikiran serta organisasi
keagamaannya.
3 Ichwan Sam, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia, Jakarta:
MUI Pusat, 2002, hlm. 6-9
49
3) Sebagai pembimbing dan pelayan umat (ri'ayat wa khadim al-
ummah)
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pelayan ummat
(khadim al-ummah), yaitu melayani ummat Islam dan masyarakat
luas dalam memenuhi harapan, aspirasi dan tuntutan mereka.
Dalam kaitan ini, Majelis Ulama Indonesia senantiasa berikhtiar
memenuhi permintaan umat Islam, baik langsung maupun tidak
langsung, akan bimbingan dan fatwa keagamaan. Begitu pula,
Majelis Ulama Indonesia berusaha selalu tampil di depan dalam
membela dan memperjuangkan aspirasi umat dan masyarakat luas
dalam hubungannya dengan pemerintah.
4) Sebagai gerakan Islam wal-tajdid
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pelopor Islam
yaitu gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Apabila terjadi
perbedaan pendapat di kalangan umat Islam, maka Majelis Ulama
Indonesia dapat menempuh jalan tajdid yaitu gerakan pembaharuan
pemikiran Islam. Apabila terjadi perbedaan pendapat di kalangan
umat Islam maka Majelis Ulama Indonesia dapat menempuh jalan
taufiq (kompromi) dan tarjih (mencari hukum yang lebih kuat).
Dengan demikian diharapkan tetap terpeliharanya semangat
persaudaraan di kalangan umat Islam.
50
5) Sebagai penegak amar ma'ruf dan nahi munkar
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai wahana
penegakan amar ma'ruf nahi munkar, yaitu dengan menegaskan
kebenaran sebagai kebenaran dan kebatilan sebagai kebatilan
dengan penuh hikmah dan istiqomah. Dalam menjalankan fungsi
ini Majelis Ulama Indonesia tampil dibarisan terdepan sebagai
kekuatan moral (moral force) bersama berbagai potensi bangsa
lainnya untuk melakukan rehabilitasi sosial.4
3. Hubungan Majelis Ulama Indonesia Dengan Pihak Luar
Sebagai organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, zuama dan
cendekiawan muslim serta tumbuh berkembang di kalangan umat Islam,
Majelis Ulama Indonesia adalah gerakan masyarakat. Dalam hal ini,
Majelis Ulama Indonesia tidak berbeda dengan organisasi kemasyarakatan
lain di kalangan umat Islam, yang memiliki keberadaan otonom dan
menjunjung tinggi semangat kemandirian. Semangat ini ditampilkan
dalam kemandirian dalam arti tidak tergantung dan terpengaruh kepada
pihak lain di luar dirinya dalam mengeluarkan pandangan, pikiran, sikap
dan mengambil keputusan atas nama organisasi.
Dalam kaitan dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan di
kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia tidak bermaksud untuk
menjadi organisasi supra-struktur yang membawahi organisasi-organisasi
kemasyarakatan tersebut, apalagi memposisikan dirinya sebagai wadah
4 Ibid., hlm. 12
51
tunggal yang mewakili kemajemukan dan keragaman umat Islam. Majelis
Ulama Indonesia, sesuai niat kelahirannya, adalah sebagai wadah
silaturahmi ulama, zuama dan cendekiawan muslim dari berbagai
kelompok di kalangan umat Islam.
Namun, perlu ditegaskan bahwa kemandirian tidak berarti
menghalangi Majelis Ulama Indonesia untuk menjalin hubungan dan
kerjasama dengan pihak lain baik dalam negeri maupun luar negeri,
selama dijalankan atas dasar saling menghormati posisi masing-masing
serta tidak menyimpang dari visi, misi, dan kerjasama itu menunjukkan
kesadaran Majelis Ulama Indonesia bahwa dirinya hidup dalam tatanan
kehidupan bangsa yang sangat beragam dimana dirinya menjadi bagian
utuh dari tatanan tersebut yang harus hidup berdampingan dan
bekerjasama antar komponen bangsa untuk kebaikan dan kemajuan
bangsa. Sikap Majelis Ulama Indonesia ini menjadi salah satu ikhtiar
mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil'alamin.5
B. Struktur Kepengurusan MUI
Struktur organisasi dan pengurus Dewan Syariah Nasional (DSN)
Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode tahun 2000-2005 dengan susunan
sebagai berikut :
Ketua : K.H. M.A. Sahal Mahfudh
Wakil Ketua : Prof. Dr. H. Umar Shihab
Wakil Ketua : Prof. Drs. H. Asmuni Abdurrahman
5 Ibid., hlm. 13.
52
Wakil Ketua : K.H. Ma’ruf Amin
Sekretaris : Prof.Dr.H.M. Din Syamsuddin
Wakil Sekretaris : Drs.H.M. Ichwan Sam
Wakil Sekretaris : Dra.Hj. Nilmayetti Yusri
Anggota :
1. Prof. K.H. Ali Yafie
2. KH. Drs. H. Tolchah Hasan
3. Prof. Dr. H. Said Agil Al Munawar, MA.
4. K.H. Moh. Ilyas Ruhiyat
5. Prof. Dr. H. Qodri Azizi, MA
6. Prof. Dr. H. Atho Mudzhar, MA
7. Drs. H. A. Nazri Adlani
8. Drs. H. Amidhan
9. Prof. Dr. Hj. Huzaemah T. Yanggo
10. K.H. Fahruddin Masturo
11. K.H. Cholid Fadlullah, SH
12. Drs. KH. Maftuh Ikhsan
13. Drs. H. Basyah Abdullah
14. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA
15. K.H. Tb. Hasan Basri
16. Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja, SH, MA
17. H. Karnaen A. Perwataatmadja, MPA
18. Dr. K.H. Didin Hafidhuddin, M.Sc
19. H. M. Syafi’i Antonio, M.Sc
53
20. Dra. Hj. Mursyidah Thahir, MA
21. Prof. Dr. H. Hasanuddin AF., MA
22. Drs. H. Aminuddin Ya’qub, MA
23. Drs. H. A. Fattah Wibisono, MA
24. Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA
25. K.H. Irfan Zidni, MA
26. Dr. Utang Ranuwijaya
27. Dr. Salim Segaf Al Jufri
28. Dr. Surahman Hidayat
29. Dr. Hidayat Amin, MBA
30. Dr. Sayuti Anshari Nasution
31. Dr. Uswatun Hasanah
32. Dra. Umi Husnul Khatimah, MA
33. M. Rizal Ismail, SE, MBA
34. Drs. KH. Saifuddin Amsyir
Badan Pelaksana Harian DSN:
Ketua : K.H. Ma’ruf Amin
Wk Ketua : Dr. H. M. Anwar Ibrahim
Sekretaris : Drs. H. M. Ichwan Sam
Wakil Sekretaris : Drs. Hasanudin, M.Ag
Bendahara : H. M. Syureich
Anggota (Kelompok Kerja / Pokja):
1. H. Cecep Maskanul Hakim, MEc. (Koord Pokja Perbankan & Pegadaian)
54
2. Dr.H. Setiawan Budi Utomo, Lc. (Pokja Perbankan dan Pegadaian)
3. Ikhwan Abidin, MA, MSc (Pokja Perbankan dan Pegadaian)
4. H. Rahmat Hidayat, SE, MT. (Pokja Perbankan dan Pegadaian)
5. Prof.K.H. Ali Mustafa Yaqub, MA
(Koord Pokja Asuransi & Bisnis Syariah)
6. Drs.H.Moh. Hidayat, MBA. (Pokja Asuransi & Bisnis Syariah)
7. H. Endy M. Astiwara, MS, AAAIJ. (Pokja Asuransi & Bisnis Syariah)
8. Drs. H. M. Nahar Nahrawi, SH. (Pokja Asuransi & Bisnis Syariah)
9. Ir. H. Adiwarman A. Karim, MBA.
(Koord Pokja Pasar Modal & Program)
10. Ir. Iwan P. Pontjowinoto, MM. (Pokja Pasar Modal & Program)
11. Kanny Hidaya, SE. (Pokja Pasar Modal & Program)
12. M. Gunawan Yasni, SE, MM (Pokja Pasar Modal & Program)
13. H. Abdullah Syarwani, SH (Pokja Pasar Modal & Program)
C. Kedudukan Fatwa MUI
1. Pengertian Fatwa
Kata “fatwa” merupakan bentuk masdar dari kata fatawa (bahasa
Arab) yang memiliki makna putusan, nasehat.6 Makna fatwa secara bahasa
kemudian berkembang menjadi putusan yang diambil dan dapat dijadikan
pedoman dalam menentukan suatu hukum tertentu. Sedangkan secara
6 Asad M. Al-Kalali, Kamus Indonesia-Arab, Jakarta: Bulan Bintang, 1995, hlm. 136.
55
istilah, makna fatwa dapat diketahui dari pendapat para ahli fiqih berikut
ini7:
a. Imam Zamakhsyari memberikan arti fatwa sebagai suatu yang
lempang lurus.
b. Ibnu Taimiyah memaknai fatwa sebagai penjelasan hukum syari’at
yang tidak terkait pada suatu apapun kecuali hanya mendasar pada
nash-nash syari’ah (Al-Qur’an dan Al-Hadits) serta aqidah-aqidah
yang umum (ushul fiqih dan qawaidul fiqih).
c. Sayyid Rasyid Ridla menjelaskan makna fatwa sebagai suatu
pemutusan perkara yang aktual yang sesuai dengan prinsip-prinsip
syari’at Islam yang di dalamnya terkandung unsur kebebasan atau
kemerdekaan dari keterikatan salah satu mazhab (fanatisme) dan
mengandung nilai-nilai perdamaian atau kebaikan atau kemashlahatan
umat manusia.
Seseorang yang memiliki hak dan tugas mengeluarkan fatwa
disebut dengan istilah mufti. Sosok mufti tidak dapat dilabelkan kepada
sembarang orang. Seorang dapat dikatakan sebagai mufti apabila
memenuhi syarat-syarat8 :
a. Memiliki kemampuan dalam memahami, menafsirkan, dan
menganalisa ayat-ayat Al-Qur’an secara tajam dan mendetail beserta
aspek-aspeknya.
7 Pengertian fatwa secara istilah ini dapat dilihat dalam Rohadi Abdul Fatah, Analisa
Fatwa Keagamaan Dalam Fiqh Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991, hlm. 6-17. 8 Ibid., hlm. 37-38.
56
b. Memiliki ilmu Qur’an dan Hadits yang berhubungan dengan asbabun
nuzul dan asbabul wurud.
c. Memiliki kemampuan dan penguasaan ilmu agama secara menyeluruh
seperti ilmu fiqih, ilmu kalam, nahwu, dan lain sebagainya.
d. Harus memiliki mengutamakan kepentingan masyarakat banyak
(maslahatul mursalah).
Berdasarkan syarat yang harus dimiliki seseorang yang (ingin)
menjadi mufti di atas, maka secara tidak langsung juga dapat diketahui
bahwasannya sebuah proses pengambilan fatwa memiliki dua esensi ruang
lingkup yakni :
a. Berpedoman pada sumber hukum Islam yang utama (Al-Qur’an dan
Al-Hadits).
b. Memiliki nilai manfaat bagi masyarakat banyak.
Dalam pengambilan dan penetapan fatwa dapat dilakukan secara
perorangan maupun kelompok yang mana tetap saja harus berpedoman
pada ketentuan dan syarat di atas.9
2. Kedudukan Fatwa MUI
Ketentuan aturan yang berkaitan dengan kehidupan dan pola
hubungan manusia dalam konteks duniawi dan ukhrawi dalam ajaran
Islam pada pokoknya bersumber dari firman Allah (Al-Qur’an) dan
ketetapan Nabi (Al-Hadits). Akan tetapi tidak seluruh aturan hidup yang
9 Untuk masalah penjelasan tentang fatwa perorangan maupun kelompok dan jenis fatwa
lainnya dapat dilihat dalam, Ibid, hlm. 115-122.
57
selalu berkembang dan berbeda dimensi zaman terdapat secara detail di
dalam kedua sumber utama tersebut.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka Islam
memperbolehkan umatnya untuk melakukan sebuah kajian pemikiran yang
berhubungan dengan permasalahan sesuatu hal yang berkaitan dengan
kehidupan umat manusia yang belum jelas atau tidak ada ketentuan
hukumnya. Bahkan Nabi sendiri membolehkan proses berfikir yang lebih
dikenal dengan istilah ijtihad tersebut.10 Berdasar pada ketetapan Nabi
itulah kemudian ijtihad memiliki kedudukan penting dalam hukum Islam
setelah dan sebagai penjelas dari Al-Qur’an dan Al-Hadits.11
Esensi fatwa sendiri sebenarnya terlahir dari sebuah proses berfikir
tentang sebuah permasalahan yang belum jelas kedudukan dan aturan
hukumnya. Oleh karenanya, dapat dimengerti bahwa hakekat fatwa tidak
lain adalah hasil sebuah ijtihad. Sebagai hasil sebuah ijtihad, maka fatwa
merupakan penguat posisi dan memiliki kedudukan yang sama dengan
ijtihad.12
10 Kebolehan tersebut dapat terlihat dalam sebuah hadits yang menjelaskan tentang
hukum dan pahala orang yang melaksanakan ijtihad. 11 Rohadi Abdul Fatah, op. cit., hlm. 45. 12 Ibid., hlm. 43.
58
D. Fatwa DSN-MUI No.17/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Sanksi Atas Nasabah
Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran
1. Latar Belakang Kemunculan dan Isi Fatwa DSN-MUI
Sejalan dengan berkembangnya lembaga keuangan syariah di tanah
air, maka MUI sebagai payung dari lembaga dan organisasi keIslaman di
tanah air, menganggap perlu dibentuknya satu dewan syariah yang bersifat
nasional dan membawahi seluruh lembaga keuangan, termasuk di
dalamnya bank-bank syariah. Lembaga ini kelak kemudian dikenal dengan
Dewan Syariah Nasional atau DSN. Dewan Syariah Nasional dibentuk
pada tahun 1997 dan merupakan hasil rekomendasi Lokakarya Reksadana
Syariah pada bulan Juli tahun yang sama.13
Sedangkan fungsi utama Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah
mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan
syariah Islam. Untuk keperluan pengawasan tersebut, Dewan Syariah
Nasional membuat garis panduan produk syariah yang diambil dari
sumber-sumber hukum Islam. Fungsi lain dari Dewan Syariah Nasional
adalah meneliti dan memberi fatwa bagi produk-produk yang
dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah. Selain itu, Dewan Syari’ah
Nasional bertugas memberikan rekomendasi para ulama yang akan
ditugaskan sebagai Dewan Syari’ah Nasional pada suatu lembaga
keuangan syari’ah. Bukti dari kewenangan tersebut adalah keluarnya fatwa
Dewan Nasional Syari’ah Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) pada
13 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani
Press, 2001, hlm. 235.
59
tahun 2000 yang berhubungan dengan pembiayaan aktifitas perekonomian
lembaga keuangan syari’ah (produk).14
Setahun setelah peresmiannya pada tahun 1999, tepatnya tahun
2000, Dewan Syari’ah Nasional (DSN) sebagai institusi yang dipercaya
oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk melaksanakan pengawasan
terhadap kinerja lembaga keuangan syari’ah di Indonesia langsung
menjawab kepercayaan tersebut dengan mengeluarkan aturan-aturan atau
ketentuan dalam transaksi keuangan pada lembaga keuangan syari’ah.
Aturan tersebut terangkum dalam kumpulan fatwa DSN-MUI yang berisi
dua puluh (20) ketentuan transaksi lembaga keuangan syari’ah Indonesia.
Ke-20 bentuk transaksi yang diatur dalam fatwa tersebut adalah:
1 Giro 11 Kafalah
2 Tabungan 12 Hawalah
3 Deposito 13 Uang Muka dalam Murabahah
4 Murabahah 14 Sistem Distribusi Hasil Usaha dalam LKS
5 Jual Beli Salam 15 Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam LKS
6 Istishna’ 16 Diskon dalam Murabahah
7 Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) 17
Sanksi Atas Nasabah Mampu yang Menuda-nunda
Pembayaran
8 Musyarakah 18 Pencadangan Penghapusan Produktif dalam LKS
9 Ijarah 19 Al-Qardh
14 Ibid., hlm. 236.
60
2. Fatwa DSN-MUI No.17/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Sanksi Atas
Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran
Berkaitan dengan permasalahan tentang sanksi atas penundaan
pembayaran hutang maka Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama
Indonesia setelah menimbang dan memperhatikan dari berbagai sudut
pandang, bahwasanya sanksi dikenakan bagi orang yang mampu tetapi
menunda-nunda dalam pembayaran hutang. Adapun fatwa Dewan
Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No.17/DSN-MUI/IX/2000
tentang sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran,
yaitu :
Dewan Syari’ah Nasional setelah
Menimbang :
a. Bahwa masyarakat banyak memerlukan pembiayaan dari Lembaga
Keuangan Syari’ah (LKS) berdasarkan pada prinsip jual beli maupun
akad lain yang pembayarannya kepada LKS dilakukan secara
angsuran;
b. Bahwa nasabah mampu terkadang menunda-nunda kewajiban
pembayaran, baik dalam akad jual beli maupun akad yang lain, pada
waktu yang telah ditentukan berdasarkan kesepakatan di antara kedua
belah pihak;
c. Bahwa masyarakat, dalam hal ini pihak LKS, meminta fatwa kepada
DSN tentang tindakan atau sanksi apakah yang dapat dilakukan
61
terhadap nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran tersebut
menurut syari’at Islam;
d. Bahwa oleh karena itu, DSN perlu menetapkan fatwa tentang sanksi
atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran menurut
prinsip syari’at Islam, untuk dijadikan pedoman oleh LKS.
Mengingat :
1. Firman Allah QS. Al-Maidah (5) ayat 1 :
…ياأيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود “Hai orang-orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu…”
2. Hadits Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf :
احل حرم حالال او المسلمين اال صلحا الصلح جاءز بين وا حرم حالال اال شرطا على شروطهم والمسلمون حراما حراما احل
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
3. Hadits Nabi riwayat jama’ah (Bukhari dari Abu Hurairah, Muslim dari
Abu Hurairah, Tirmidzi dari Abu Hurairah dan Ibn Umar, Nasa’I dari
Abu Hurairah, Ibn Majah dari Abu Hurairah dan Ibn Umar, Ahmad
dari Abu Hurairah dan Ibn Umar, Malik dari Abu Hurairah dan Darami
dari Abu Hurairah) :
ظلم الغني مطل
62
“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman…”
4. Hadits Nabi riwayat Nasa’i dari Syuraid bin Suwaid, Abu Dawud dari
Syuraid bin Suwaid, Ibnu Majah dari Syuraid bin Suwaid Ahmad dari
Syuraid bin Suwaid ;
وعقوبته عرضه الواجد يحل لي“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.”
5. Hadits Nabi riwayat Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin Shamit, riwayat
Ahmad dari Ibnu ‘Abbas, dan Malik dari Yahya ;
والضرار الضرر“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.”
6. Kaidah fiqh ;
تحريمها يدل دليل على ان ت االباحة االالمعامال في الصلا“Pada dasarnya, segala bentuk mu’amalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
الضرر يزال“Bahaya (beban berat) harus dihilangkan.”
63
Memperhatikan :
a. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari’ah Nasional bersama
dengan Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia
pada hari Sabtu, tanggal 7 Rabi’ul Awwal 1421 H./ 10 Juni 2000.
b. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari’ah Nasional pada hari
Sabtu, 17 Jumadil Akhir 1421 H./ 16 September 2000.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : Fatwa Tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang
Menunda-nunda Pembayaran
Pertama : Ketentuan Umum
1. Sanksi yang disebut dalam fatwa ini adalah sanksi yang dikenakan
LKS kepada nasabah yang mampu membayar, tetapi menunda-nunda
pembayaran dengan disengaja.
2. Nasabah yang tidak / belum mampu membayar disebabkan force
majeur tidak boleh dikenakan sanksi.
3. Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan / atau tidak
mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar hutangnya
boleh dikenakan sanksi.
4. Sanksi didasarkan pada prinsip ta'zir, yaitu bertujuan agar nasabah
lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.
5. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan
atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani.
6. Dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial.
64
Kedua : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Ketiga : Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan
jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah
dan disempurnakan sebagaimana mestinya.15
15 Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional, DSN-MUI, Cet. ke-3, 2006, hlm. 96-100.
65
BAB IV
ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP FATWA DSN-MUI
NO.17/DSN-MUI/IX/2000 TENTANG SANKSI ATAS NASABAH MAMPU
YANG MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN
A. Analisis Hukum Islam Terhadap Fatwa DSN-MUI No.17/DSN-MUI/IX/
2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-nunda
Pembayaran.
Islam merupakan agama yang mengatur berbagai aspek kehidupan
umat manusia, aspek-aspek ajaran Islam tersebut tidak dapat dipisahkan antara
satu dengan yang lainnya, karena merupakan suatu hubungan yang terjalin
erat sekali. Karena eratnya jalinan tersebut, maka bagian yang satu merupakan
bagian dari yang lainnya, sehingga tanpa adanya salah satu bagian tersebut
bagian yang lainnya tidak sempurna. Meskipun demikian, aspek-aspek ajaran
Islam tersebut masih dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya. setiap
aspek kehidupan yang dihadapi manusia ada hukumnya (wajib, sunnah,
haram, mubah), di samping itu juga ada hikmahnya. Namun hanya sebagian
kecil saja yang telah ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan
ketentuan yang jelas dan pasti. Sedangkan sebagian yang tidak disinggung
secara eksplisit atau disinggung tetapi tidak dengan keterangan yang jelas dan
pasti.
Seorang mukmin adalah seorang yang mempercayai Allah sebagai
pencipta, dan taat kepada Allah sebagai gaya hidupnya dan berusaha keras
66
untuk mendapatkan ridha-Nya dalam segala aspek kehidupan di dunia.
Seorang mukmin juga percaya bahwa akan ada kehidupan lain setelah
kehidupan dunia. Seorang mukmin juga percaya akan adanya hari akhir.
Orang yang taat kepada perintah Allah dan Rasul-Nya sungguh akan
mendapatkan kehidupan yang baik di akhirat. Orang yang melanggar perintah-
Nya akan mendapatkan azab yang kekal abadi di akhirat kelak.
Dalam Islam, seorang mukmin tidak akan hidup tanpa petunjuk, Al-
Qur'an menjelaskan nilai-nilai dan norma-norma bagi semua tindakan moral
termasuk hutang-piutang. Pokok permasalahan yang timbul adalah sanksi
apakah yang patut dipungut atau diterima oleh nasabah mampu yang
menunda-nunda pembayaran hutang, yang pada hal ini denda yang ditetapkan
oleh DSN-MUI termasuk ada kaitannya dengan riba atau tidak. Secara harfiah
seperti yang telah dijelaskan diatas riba adalah tambahan atau pertumbuhan,
sedang menurut terminologi ilmu fiqh, riba adalah tambahan khusus yang
dimiliki salah satu dari dua pihak yang bertransaksi tanpa ada imbalan
tertentu.
Dengan demikian yang dimaksud tambahan secara definitif yang
mengandung tiga unsur ini dinamakan riba, diantaranya yakni :
1. Tambahan kuantitas dalam penjualan asset yang tidak boleh dilakukan
dengan perbedaan kuantitas (tafadhul) yakni penjualan barang-barang riba
fadhal seperti emas, perak, gandum, kurma, jewawut dan garam, serta
segala komoditi yang disetarakan dengan ke enam komoditi tersebut.
67
Kalau emas dijual atau ditukar dengan emas, kurma dengan kurma
misalnya, harus sama kuantitasnya dan harus diserahterimakan secara
langsung. Setiap tambahan atau kelebihan kuantitas pada salah satu
komoditi yang ditukar atau keterlambatan penyerahannya, termasuk riba
yang diharamkan.
2. Tambahan dalam hutang yang harus dibayar karena tertunda
pembayarannya, seperti bunga hutang.
3. Tambahan yang ditentukan dalam waktu penyerahan barang berkaitan
dengan penjualan asset yang diharuskan adanya serah terima langsung.
Kalau emas dijual dengan perak, atau junaih dengan dolar misalnya, harus
ada serah terima secara langsung. Setiap penangguhan penyerahan salah
satu dari dua barang yang dibarter, maka itu adalah riba yang
diharamkan.1
Orang yang berhutang dianggap kaya apabila ia mampu memenuhi
kebutuhan primernya dan memiliki sisa harta untuk membayar hutangnya
secara kontan atau dalam bentuk barang. Seseorang tidak dianggap orang
yang kesulitan orang yang mampu membayar hutang meski uangnya tidak
cukup untuk membayar hutangnya.tetapi ia masih memiliki harta benda
lain yang kalau dijual dapat menutupi hutangnya.
Orang kaya yang enggan membayar hutang terhitung berbuat
dzalim dan pantas mendapatkan ancaman siksa, berdasarkan sabda Nabi
SAW, yang berbunyi :
1 Abdullah al-Muslih, Shalah ash-Shawi, Bunga Bank Haram? Menyikapi Fatwa MUI
Menuntaskan Kegamangan Umat, Jakarta: Darul Haq, 2003, hlm. 1-2.
68
الغني ظلم مطلArtinya ; “Orang kaya yang mangkir membayar hutang adalah orang
yang dzalim.” Dalam hadits lain disebutkan :
عرضه وعقوبته الواجد يحل ليArtinya ; “Penundaan orang kaya dari hutangnya, menyebabkan ia
pantas disebutkan aibnya dan layak diberi sanksi hukuman.”
Para ulama menganggap tindakan menunda-nunda orang kaya dari
hutangnya itu sebagai dosa besar sehingga pelakunya disebut fasik.
Namun masih ada perbedaan pendapat, apakah ia bisa disebut fasik dan
tidak diterima persaksiaannya bila melakukan perbuatan itu sekali saja,
atau hanya bila melakukan berulang-ulang kali?.
Yang dimaksudkan dengan boleh disebutkan aibnya, yakni boleh
dicela dan dikecam dengan dikatakan misalnya : “Si Fulan itu tidak mau
membayar hutangnya, ia merampas hak orang lain, dan sejenisnya, asal
tidak berupa fitnah atau kata-kata keji. Karena orang yang dizhalimi hanya
boleh menyebutkan kejahatan yang dialamatkan orang yang
menzhaliminya kepadanya dan tidak boleh menyebutkan kesalahan-
kesalahan lainnya. Hal itu bisa dilakukan dengan mengumumkannya di
surat-surat kabar atau dengan mencantumkan nama pelakunya dalam
daftar hitam, sehingga ia tidak lagi mendapatkan fasilitas kemudahan
biokratif di masa-masa mendatang.
Yang dimaksud sanksi dalam hadits di atas adalah hukuman
69
penjara. Al-Jashshash menyatakan, “Seluruh ulama bersepakat bahwa
pihak orang kaya yang mangkir membayar hutang itu tidak harus dihukum
dengan pukulan, namun hanya dipenjara, karena para ulama juga
bersepakat bahwa segala bentuk hukuman selain itu tidak bisa
diberlakukan kepadanya di dunia ini.”
Kemudian beliau juga menandaskan, “Orang yang berbuat zhalim,
tidak syak lagi, berhak mendapatkan sanksi, yakni hukuman kurungan,
karena para ulama bersepakat bahwa tidak ada dalil yang menunjukkan
adanya hukuman hukuman baginya selain itu.” Ali dan Syuraih serta
Sya’bi pernah menerapkan hukuman kurungan terhadap kasus hutang
tersebut.2
Akan tetapi pertanyaan yang muncul dalam konteks ini adalah :
Bolehkah sanksi itu diperluas aplikasinya sehingga mencakup berbagai
bentuk sanksi lain seperti denda finansial yang diberikan kepada si
pemberi hutang karena kerugian yang dideritanya atau karena ia
kehilangan kesempatan mendapatkan satu manfaat karena
kemangkirannya membayar hutang?
Ada di antara ulama yang membolehkan sanksi tersebut,
berdasarkan alasan berikut ini :
Karena kemangkiran orang kaya membayar hutang itu adalah
kezhaliman yang harus diberi sanksi, dan tidak ada ijma’ ulama yang
melarang memberikan sanksi hukuman berupa denda finansial
2 Ibid, hlm. 135-137.
70
sebagaimana yang diyakini oleh para ulama yang melarangnya. Persoalan
ini adalah masalah yang diperdebatkan di kalangan ulama, ada yang
melarang dan ada juga yang membolehkannya. Kemungkinan yang paling
besar adalah yang diungkapkan oleh Ibnul Qayyim bahwa hukumnya bisa
berbeda-beda tergantung perbedaan kemaslahatan dan itu dikembalikan
kepada ijtihad para imam.
Imam Ibnul Qayyim menyatakan, “Para ulama ahli fiqh berbeda
pendapat tentang hukumnya, apakah hukumnya sudah terhapus atau masih
tetap berlaku. Yang benar adalah bahwa hukumnya berbeda-beda
tergantung kemaslahatan dan itu dikembalikan kepada ijtihad para imam
ijtihad di segala zaman dan tempat. Karena tidak ada dalil yang
menunjukkan bahwa hukumnya telah dihapus. Hal itu telah dilakukan oleh
para Khalifah Ar-Rasyidin dan para imam sesudah mereka.”
Di antara contoh yang disebutkan dalam sunnah berkaitan dengan
sanksi finansial misalnya : Melipatgandakan denda kepada pencuri buah-
buahan yang tidak sampai pada tingkat harus dipotong tangannya, atau
melipatgandakan denda bagi orang yang menyembunyikan barang hilang,
mengambil sebagian harta orang-orang yang menolak membayar zakat
dan sejenisnya.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan juga perbedaan
pendapat ulama tersebut tentang sanksi finansial dan bantahan terhadap
orang yang menyatakan bahwa hukuman tersebut telah dihapus. Beliau
menandaskan bahwa hukuman itu sama saja dengan hukuman fisik yang
71
terbagi menjadi menjadi hukuman terhadap perusakan, terhadap
pengubahan atau terhadap pemindahan kepemilikan. Berkaitan dengan
yang terakhir (pemindahan kepemilikan) beliau menambahkan sebagai
berikut :
“Adapun pemindahan kepemilikan, maka contohnya adalah
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ashabus Sunan
lainnya dari Nabi Muhammad SAW bahwa barang siapa yang mencuri
buah-buahan yang masih tergantung di pohonnya sebelum dibawa ke
tempat penjemuran, maka ia dikenai hukuman beberapa kali cambukan
dan terkena denda dua kali lipat harga buah yang diambil.
Demikian juga keputusan yang diambil oleh Umar bin Al-
Khaththab dalam kasus penyembunyian barang hilang bahwa si pelaku
dikenai denda dua kali lipat harga barang yang disembunyikan. Demikian
juga pendapat segolongan ulama seperti Imam Ahmad dan yang lainnya.
Umar pernah memutuskan denda dalam kasus seekor unta hilang orang
Badui yang diambil oleh para budak yang kelaparan. Beliau
memerintahkan tuan budak-budak itu untuk membayar dua kali lipat harga
unta tersebut dan tidak memberlakukan hukum potong tangan kepada
semua budak itu. Utsman bin Affan juga pernah memberikan keputusan
dalam kasus seorang muslim yang dengan sengaja membunuh orang kafir
dzimmi bahwa denda yang dikenakan kepadanya dilipatgandakan. Karena
pada asalnya denda membunuh kafir dzimmi adalah setengah dari denda
biasa. Pendapat itu diambil juga oleh Ahmad bin Hambal.”
72
Penunda-nundaan orang kaya dari hutangnya merupakan salah
satu bentuk perampasan yang menyebabkan pihak yang memberi hutang
tidak dapat memanfaatkan hartanya yang tertahan akibat kezhaliman
orang yang berhutang, baik dalam posisi sebagai konsumen atau
pengembang modal, persis seperti yang dialami oleh orang yang terampas
uangnya. Orang yang merampas harus bertanggungjawab terhadap uang
yang dirampasnya. Demikian juga dengan orang kaya yang mangkir dari
hutangnya karena ia telah menghilangkan kesempatan si pemberi hutang
untuk memanfaatkan hartanya akibat kemangkirannya.
Sanksi itu adalah balasan dari penunda-nundaan mereka tanpa
alasan yang jelas, dan sebagai kompensasi dari manfaat barang pinjaman
yang pasti atau berkemungkinan diperoleh orang yang memberi hutang
akibat kemangkiran mereka. Sanksi itu tentu saja berbeda dibandingkan
dengan bunga riba yang diwajibkan bila terjadi keterlambatan pembayaran
hutang yang dilakukan secara suka rela oleh kedua belah pihak tanpa
membedakan orang yang berhutang antara yang kaya dengan yang miskin.
Kebanyakan ulama yang membolehkan bentuk sanksi semacam itu
memberikan persyaratan sebagai berikut : tidak boleh ditetapkan semenjak
dini dengan kesepakan anatara pihak yang memberi hutang dan yang
diberi hutang, untuk membedakannya dari riba jahiliyyah.
Hanya dikhususkan kepada mereka yang terbagi sebagai orang
73
kaya. Adapun bila mereka orang yang kesulitan, tidak ada hak bagi
mereka untuk memaksakan sanksi tersebut.
Sebagaimana dalam Surat Al-Baqarah ayat 280 yang berbunyi :
⌧
☺
Artinya : “Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 280)3
Namun mereka yang membolehkan kompensasi finansial untuk
orang yang memberi hutang, juga masih berbeda pendapat tentang metode
penentuan jumlahnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa kompensasi itu
harus ditentukan berdasarkan kemungkinan keuntungan yang hilang dari
pihak yang memberi hutang selama orang yang berhutang mangkir untuk
membayar hutangnya dalam batas minimal dan keputusannya diserahkan
kepada pengadilan.
Sebagian di antara ulama berpendapat bahwa kompensasi itu
ditentukan berdasarkan kerugian yang dialami oleh orang yang memberi
hutang selama hutang belum dibayar (setelah jatuh tempo) atau atas dasar
kerugian yang di luar kewajaran. Namun semua itu akhirnya juga
diputuskan oleh pengadilan. Di antara mereka yang mengambil cara
sanksi finansial terhadap orang kaya yang mangkir dari hutangnya adalah
3 Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah Dan Penafsir Al Qur’an, 1993, hlm. 70.
74
Lemabaga Penelitian dan Fatwa di Darul Maal Al-Islami.4
Ada juga ulama yang melarang sanksi tersebut berdasarkan hal-hal
berikut :
Karena mirip dengan riba jahiliyyah yang diharamkan menurut
ayat Al-Qur’an. Dan telah dijelaskan sebelumnya bahwa bentuknya adalah
orang yang berhutang kepada orang lain, bila telah jatuh tempo
pembayarannya, orang yang menghutangi berkata, “Kamu bisa
membayarnya sekarang atau ditangguhkan tetapi ditambahkan
jumlahnya.” Bunga atau tambahan itu adalah imbalan dari penangguhan
itu termasuk bentuk riba jahiliyah meskipun namanya berbeda-beda. Tak
ada bedanya antara keberadaan orang yang berhutang, kaya atau miskin.
Pembolehan denda finansial itu seringkali mengakibatkan
dibolehkannya bunga pinjaman. Dimulai dari mengenakan denda bagi
peminjam yang luput. Kalau dibolehkan denda finansial akibat penunda-
nundaan orang kaya membayar hutangnya maka boleh juga mengambil
denda dari orang kaya yang terlambat membayar hutang. Karena orang
yang memberi memberi pinjaman -tanpa bunga- juga bisa kehilangan
keuntungan dan bisa mendapatkan kerugian akibat pinjaman cuma-
cumanya. Namun bolehkah ia menuntut ganti rugi karena kehilangan
keuntungan dan kerugian yang dia alami? Itu tidak bedanya dengan alasan
yang dilontarkan oleh orang-orang barat untuk melegalisasi riba.
Pendapat itu tidak ada pendahulunya dari kalangan ulama salaf.
4 Abdullah al-Muslih, Shalah ash-Shawi, op. cit., hlm. 138-140.
75
Tidak pernah diputuskan oleh seorang hakimpun dan tidak pernah
difatwakan oleh seorang ulamapun meskipun kasus penolakan
pembayaran hutang itu sering terjadi di berbagai masa dan tempat.
Karena alasan itulah berbagai Lembaga Pengkajian Fiqih modern
berkesimpulan melarang bentuk denda finansial semacam itu.
Dalam keputusan Lembaga Pengkajian Fiqih yang berikut dalam
Organisasi Muktamar Islam disebutkan haramnya orang kaya yang
mampu untuk memperlambat pembayaran hutang yang sudah harus
dibayar. Meskipun demikian, secara syariat tidak boleh menentukan
kompensasi bila terjadi keterlambatan.
Sementara Lembaga Pengkajian Islam yang mengikuti Rabithah
Al-Alam Al-Islami menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan kasus
yang sama, “Apabila terjadi keterlambatan pembayaran hutang dari pihak
penghutang pada waktu yang ditentukan, apakah pihak bank yang
memberi hutang misalnya, berhak menentukan denda finansial dengan
jumlah tertentu karena keterlambatan pembayaran hutang.
Lemabaga Pengkajian Fiqih menjawab secara mufakat bahwa
syarat atau peminjaman itu batal, tidak wajib ditunaikan bahkan tidak
halal. Baik pemberi syarat itu bank atau yang lainnya. karena itu artinya
riba jahiliyah yang sudah diharamkan melalui turunnya Al-Qur’an yang
mengharamkannya.
Kesimpulan akhir dari analisis penulis tentang sanksi atas
76
penundaan pembayaran hutang bagi nasabah mampu yaitu bahwa
sesungguhnya dengan pendapat yang melarang denda keterlambatan bagi
orang kaya yang menolak membayar hutang, tidak berarti pemikiran Islam
terhenti dan berpangku tangan di hadapan orang-orang kaya yang berbuat
dzalim, yang menyebabkan kerugian dan kesulitan bagi orang lain.
Namun masih ada beberapa solusi yang mungkin dijadikan rujukan atau
paling tidak sebagiannya bisa dijadikan rujukan agar mereka mau
membayar hutang mereka dan mengikuti apa yang disyariatkan oleh Allah
dan Rasulnya untuk menunaikan hutang. Adapun solusi-solusi itu yaitu :
1. Pelunasan hutang setelah terjadinya penolakan
Tidak ada masalah bila dilakukan kesepakatan antara pemberi
dan penerima hutang untuk menyelesaikan seluruh hutang-piutang
kalau sebelumnya ia menolak membayar sebagiannya.
Sementara dalam keputisan Lembaga Pengkajian Islam di
Jeddah disebutkan : “Boleh saja pihak yang memberi hutang dan yang
berhutang mengadakan kesepakatan untuk pelunasan seluruh cicilan
hutang kalau suatu saat pihak yang berhutang enggan melunasi satu
kali cicilannya, selama orang ini bukan orang kesulitan membayar
hutang.
2. Membebani pihak yang menolak membayar hutang untuk
menanggung inflasi mata uang yang dipinjam
As-Suyuthi menyatakan bahwa kalau ia merampas uang, perak
77
atau emas kemudian harganya berubah dan kalau perubahan itu
dengan berkurang maka ia harus mengembalikan yang senilai dengan
yang dia rampas.
3. Denda finansial tetapi tidak diberikan kepada pemberi hutang tetapi
untuk kemaslahatan umum
Adapun apabila orang yang memberi hutang memberi
komitmen kepada si penghutang apabila ia tidak mengembalikannya
pada waktu yang ditentukan maka ia harus membayar sekian dan
sekian, maka tidak ada perdebatan di kalangan ulama bahwa itu
dilarang. Karena itu jelas-jelas riba. Baik itu komitmen yang berlaku
pada semacam hutang dan sejenisnya. Tetapi kalau ia memberikan
komitmen, apabila orang yang berhutang itu tidak mau membayar
pada waktu yang telah ditentukan maka ia harus memberikan sekian
dan sekian untuk si Fulan, sebagai sedekah fakir miskin dan
sejenisnya, maka itu masalah yang masih diperselisihkan dalam hal
ini. Yang popular bahwa kompensasi itu tidak perlu dibayar. Namun
Ibnu Dinar berpendapat : “Harus dibayar.”
Selanjutnya beliau menyatakan : “Harus diketahui bahwa hal
itu selama komitmen tersebut tidak disahkan oleh hakim, namun kalau
ada hakim yang mensahkannya maka komitmen tersebut harus
dilakukan. Hukumnya harus diberlakukan. Karena kalau pihak hakim
sudah mensahkan satu keputusan, harus diamalkan dan perbedaan
78
pendapatpun dianggap susah selesai.”5
Dari fakta-fakta di atas, dan setelah mengamati dalil-dalil tentang
persoalan ini, penulis sepakat dengan keputusan DSN-MUI tentang sanksi
dapat berupa denda (fiansial) dan denda diperuntukkan sebagai dana
sosial. Penulis juga berpandangan bahwa boleh saja mengambil denda
finansial dari orang kaya yang menunda atau menolak pembayaran
hutangnya, namun dengan beberapa kode etik berikut :
1. Jangan menjadi persyaratan dalam perjanjian, dalam kondisi yang
bagaimanapun
2. Harus diputuskan oleh hakim. Karena denda itu sejenis sanksi yang
bisa dikeluarkan oleh pihak hakim.
3. Denda itu hanya diberikan untuk tujuan-tujuan sosial, bukan untuk
kepentingan orang yang memberi hutang.
Tidak diragukan lagi bahwa segala biaya konflik dikeluarkan
untuk mengangkat persoalan ini ke pengadilan dibebankan kepada orang
kaya yang menunda pembayaran hutang pada jatuh tempo atau orang kaya
yang menolak membayar hutang tersebut. Dan hal ini sudah sudah
disepakati oleh para ulama.
79
B. Analisis Terhadap Metode Istinbath Hukum Fatwa DSN-MUI No.17/
DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang
Menunda-nunda Pembayaran.
Fatwa MUI sebagai fatwa keagamaan yang merupakan hasil
pemikiran para ahli agama (Islam) tentu memberikan warna dan corak yang
elegan tentang ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadits, sehingga umat Islam
akan mengetahui secara persis seluk beluk ajaran-ajaran Islam dengan segala
keistimewaan.
Kita tidak dapat membayangkan seandainya dalam kehidupan
masyarakat tidak ada fatwa keagamaan niscaya masyarakat akan terombang
ambing oleh gelombang yang dahsyat dalam kehidupan sehari-hari dalam
masyarakat modern sekarang ini, tetapi sebaliknya jika ada fatwa keagamaan,
maka manusia akan tentram dan mengetahui mana yang harus dikerjakan
dalam proses perbedaan maupun pergaulan hidup sesama antara umat manusia
terutama dalam pergaulan antara sesama Islam.
Pada dasarnya fatwa tidak dapat berdiri sendiri tanpa didasari oleh
ijtihad ulama ushul dalam dalam menggali ajaran-ajaran Islam yang
sesungguhnya. Menurut jumhur ulama ushul melihat bahwa, ayat-ayat Al-
Qur’an dan Al-Hadits terbatas jumlahnya, sementara permasalahan yang
dihadapi oleh masyarakat senantiasa muncul dan jawabannya tidak senantiasa
ditemukan dalam dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dalam menghadapi kasus
yang baru yang tidak ditemukan dalam nash, kemudian para mujtahidin
berijtihad guna menetapkan suatu hukum yang baru tersebut,
80
Ulama ahli fiqh dalam menggali hukum atau memecahkan persoalan,
langkah pertama yang ditempuh dalam penetapan hukum tersebut adalah:
pertama-tama hendaklah dicari dalam Al-Qur’an kalau ketetapan hukumnya
sudah ada dalam Al-Qur’an, maka ditetapkanlah hukum tersebut sesuai
dengan ayat-ayatnya. Apabila tidak ada nashnya, tindakan selanjutnya adalah:
meneliti Al-Sunnah dan apabila Al-Sunnah tidak ada nashnya, maka para
ulama ahli ushul fiqh menempuh jalan pemeriksaan putusan para mujtahidin
yang menjadi ijma’ (kesepakatan bersama) dari satu masa ke masa tentang
masalah yang di cari ketetapan hukumnya. Apabila terdapat dalam ijma’ maka
hendaknya berusaha dengan sungguh-sungguh dan mengeluarkan semua
kemampuan daya fakir untuk melakukan ijtihad guna menetapkan hukum.6
Bagi orang-orang yang tidak mampu melakukan ijtihad maka mereka
diharapkan mengambil keputusan atau pendapat para mujtahidin dengan jalan
menanyakan permasalahan yang dihadapinya kepada orang yang diyakini
mampu melakukan ijtihad atas mereka, yang dikalangan masyarakat telah
disepakati orang-orang yang diterima fatwa-fatwanya dan (mufti) dalam arti
yang telah terkenal keahliannya, perintah ini sebagaimana telah ditegaskan
dalam Al-Qur’an :
ذآ ر وما أرسلنا من قبلك إلا رجالا نوحي إليهم فاسألوا أهل ال إن آنتم لا تعلمون
Artinya : “Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang
6 Muin, Umar, Ushul Fiqh I, Ja//karta: Depag RI, 1985, hlm. 63.
81
lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl : 43).7
Ayat tersebut telah menjelaskan wajibnya orang bertanya langsung
terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat (orang awam),
kepada para mufti yang telah mampu diyakini mampu melakukan ijtihad
terhadap persoalan tersebut guna untuk menetapkan hukum. Seorang mufti
wajib memberikan fatwa mengenai hukum terhadap persoalan yang tidak ada
nashnya, baik dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Akan tetapi tidak setiap orang atau kelompok masyarakat mampu
untuk mengembangkan nalarnya untuk melakukan ijtihad. Kelompok
masyarakat semacam ini memang tidak bisa. Kemudian mereka merasa semua
orang meninggalkan atau merasa tidak memiliki agama. Tetapi justru terhadap
kelompok masyarakat ini, ulama dan masyarakat yang memiliki pemahaman
yang lebih terhadap agama, harus mampu membimbing dan mengarahkan
umatnya ke jalan kebenaran.
Dalam konteks inilah kita memahami bahwa sesungguhnya fatwa
memiliki peran yang cukup signifikan sebagai media atau instrumen untuk
menjadi arahan bagaimana sikap dan perilaku harus ditunjukkan oleh umat
Islam. Dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia adalah sebuah lembaga yang
berperan untuk memberikan fatwa terhadap setiap permasalahan yang terjadi
baik diminta maupun tidak.
7 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 408.
82
Pedoman atau cara MUI dalam penetapan fatwa menurut urutan atau
tingkatan, yang dijadikan dasar adalah Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’, Qiyas8
serta dalil-dalil lainnya.
Dalam menetapkan fatwa tentang sanksi atas penundaan pembayaran
hutang, MUI berdasarkan pada nash Al-Qur'an, hadits dan kaidah fiqh.
Adapun ayat Al-Qur’an yang digunakan sebagai penguat dasar pengambilan
hukum diantaranya yaitu (QS. Al-Baqarah : 282), (QS. Al-Isro’ : 34), (QS. Al-
Maidah : 2) :
1. Surat Al-Baqarah ayat 282 :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermua’malah, tidak secara tunai untuk waktu yang telah ditentukan hendaklah kamu menuliskannya dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar…” (QS. AL- Baqarah : 282) 9
Dalam ayat di atas menjelaskan bahwasannya menunjukkan pada
anjuran adanya saksi dalam berhutang. Dan sebagian dari ahli fiqih
memandang bahwa saksi dalam hal tersebut hukumnya wajib. Tetapi yang
lebih benar bahwa hal itu hukumnya sunnah untuk menjaga hak-hak
8 Qiyas adalah dalil yang ketiga dalam agama. Qiyas dipergunakan untuk menetapkan hokum suatu masalah, jika tidak terdapat ketetapan dalam dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Qiyas artinya perbandingan, yaitu membandingkan sesuatu kepada yang lain dengan persamaan illatnya.menurut istilah agama yaitu mengeluarkan (mengambil) sesuatu hukum yang serupa dari hokum yang disebutkan (belum mempunyai ketetapan hukum) yang telah ada atau telah ditetapkan oleh Kitab dan Sunnah disebabkan sama illatnya antara keduanya (asal dan furu’). Nazar Bakry, Fikih dan Ushul Fikih, Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. Ke-III, 1996, hlm. 45.
9 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. h. 70.
83
pribadi dan menghindarkan diri dari sengketa. Dan wajiblah bagi seorang
saksi jika bersedia menerima tugasnya sebagai saksi untuk hadir guna
membantu persaksiannya serta keharusan bagi yang berhutang itu untuk
hadir dan diakui kebenarannya oleh saksi tersebut.
2. Surat Al-Isro’ ayat 34 :
⌧
Artinya : “Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isro’: 34) 10
Dalam surat Al-Isro’ ini menjelaskan bahwa apabila telah diikat
perjanjian hutang-piutang untuk jangka waktu yang tertentu, maka
wajiblah itu ditepati dan pihak yang berhutang perlu membereskan
hutangnya menurut perjanjian itu. Dan menepati janji adalah wajib dan
setiap orang bertanggung jawab akan janji-janjinya. Mengingkari janji dan
menunda-nunda pembayaran hutang akan menimbulkan kesulitan-
kesulitan serius dikemudian hari, baik di dunia maupun di akhirat, karena
itu barang siapa berhutang hendaklah bersegera membereskannya, supaya
dapat hidup lebih tenang.
3. Surat Al-Maidah ayat 2 :
Artinya : “…………Hendaklah kamu tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong dalam dosa
10 Ibid, hlm. 429.
84
dan permusuhan…” (Al-Maidah ayat 2) 11 Dalam ayat ini yang terpenting adalah adanya unsur “tolong-
menolong”, dimaksudkan supaya tidak menimbulkan beban dan kerugian
bagi orang lain, dalam tolong menolong seseorang (karena kesulitan)
hendaknya diperhatikan bahwa memberi bantuan itu tidak untuk mencari
keuntungan dan hanya sekedar mengurangi atau menghilangkannya,
karena bertentangan dengan kehendak Allah.
Selain menggunakan Al-Qur'an untuk menetapkan fatwa tentang
sanksi atas penundaan pembayaran hutang, MUI juga menggunakan Hadits
Nabi. Diantara hadits yang digunakan adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Ibnu Majjah sebagai berikut :
مسلم مامن قال وسلم عليه اهللا صلى النبي ان مسعود ابن عن ةمر آصدقتها آان اال مرتين فرضا مسلما يقرض
)ماجه ابن رواه(
Artinya : “Dari Ibnu Mas’ud : “Sesungguhnya Nabi Besar SAW bersabda: Seorang muslim yang mempiutangi seorang muslim dua kali, seolah-olah ia telah bersedekah kepadanya satu kali.” (HR. Ibnu Majah)
اليه فيهدى المال اخاه يقرض نام الرجل سئل انس عن احدآم اقرض اذا وسلم عليه اهللا صلى اهللا رسول قال :فقال
يقبله وال يرآبها فال الدابة على اوحمله اليه فاهدى قرضا )ماجة ابن رواه (ذالك قبل وبينه بينه ىجر يكون ان اال
Artinya : “Diceritakan oleh Anas : “Seorang laki-laki telah menghutangkan sesuatu barang kepada temannya kemudian ia diberi hadiah oleh temannya itu lalu ia ditanya soal ini, maka ia berkata : Sabda Rasullulah SAW apabila salah seorang diantara kamu
11 Ibid, hlm. 156.
85
menghutangkan sesuatu kemudian diberi hadiah atau dinaikkan diatas kendarannya maka hendalkah jangan diterimanya hadiah itu kecuali memang diantara keduanya berlaku demikian sebelum terjadi hutang-piutang.” (HR. Ibnu Majah).
Dalam hadits hadits tersebut di atas diterangkan bahwa kita sebagai
umat Islam harus berhati-hati dalam menjalankan segala praktek muamalah
khususnya dalam praktek hutang-piutang di masyarakat, karena Allah SWT
dengan keras mengecam dan melarang praktek-praktek riba di segala
kehidupan sosial masyarakat.
Selanjutnya MUI mempertimbangkan kaidah fiqhiyyah diantaranya
dalam kaidah fiqih yang menyatakan :
درء المفاسد مقدم على جلب المصا لحArtinya : "Mencegah mafsadah (kerusakan) lebih didahulukan daripada
menarik kemaslahatan".
Bahwasannya sanksi berupa denda finansial patut diberikan kepada
orang kaya (mampu) yang menunda-nunda pembayaran hutangnya, karena
sudah merupakan salah satu bentuk perampasan yang menyebabkan pihak
yang memberi hutang tidak dapat memanfaatkan hartanya yang tertahan
akibat kezhaliman orang yang berhutang, Orang yang merampas harus
bertanggungjawab terhadap uang yang dirampasnya. Demikian juga dengan
orang kaya yang mangkir dari hutangnya karena ia telah menghilangkan
kesempatan si pemberi hutang untuk memanfaatkan hartanya akibat
kemangkirannya.
Menurut penulis keputusan DSN-MUI untuk memberikan sanksi
berupa denda (finansial) kepada nasabah mampu yang menunda-nunda
86
pembayaran dan denda diperuntukkan sebagai dana sosial itu sudah tepat.
Penulis juga berpandangan bahwa boleh saja mengambil denda finansial dari
orang kaya yang menunda atau menolak pembayaran hutangnya, namun
dengan beberapa kode etik berikut :
1. Jangan menjadi persyaratan dalam perjanjian, dalam kondisi yang
bagaimanapun
2. Harus diputuskan oleh hakim. Karena denda itu sejenis sanksi yang bisa
dikeluarkan oleh pihak hakim.
3. Denda itu hanya diberikan untuk tujuan-tujuan sosial, bukan untuk
kepentingan orang yang memberi hutang.
Dan tidak diragukan lagi bahwa segala biaya konflik dikeluarkan
untuk mengangkat persoalan ini ke pengadilan dibebankan kepada orang kaya
yang menunda pembayaran hutang pada jatuh tempo atau orang kaya yang
menolak membayar hutang tersebut. Hal ini sudah sudah disepakati oleh para
ulama, tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan al-Hadits. Dan juga telah
sesuai dengan tujuan hukum Islam.
Untuk melaksanakan ijtihad dapat dilakukan dengan menggunakan
berbagai metode, diantaranya adalah menggunakan metode maslahah
mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak disyari’atkan oleh Syari’ dalam
wujud hukum, dalam rangka menciptakan kemaslahatan, di samping tidak
terdapat dalil yang membenarkan atau menyalahkan. Karenanya, maslahah
mursalah itu disebut mutlak lantaran tidak terdapat dalil yang menyatakan
benar atau salah.
87
Berdasarkan pengertian di atas bahwa pembentukan hukum
berdasarkan kemaslahatan ini semata-mata dimaksudkan untuk mencari
kemaslahatan manusia. Maksudnya, di dalam rangka mencari yang
menguntungkan dan menghindari kemadharatan manusia yang bersifat sangat
luas.12
Adapun syarat-syarat maslahah mursalah yaitu sebagai berikut :
1. Harus benar-benar membuahkan maslahah atau tidak didasarkan dengan
mengada-ada. Maksudnya ialah agar bisa diwujudkan pembentukan
hukum tentang masalah atau peristiwa yang melahirkan kemanfaatan dan
menolak kemadharatan.
2. Masalah itu sifatnya umum, bukan bersifat perseorangan,
3. Pembentukan hukum dengan mengambil kemaslahatan ini tidak
berlawanan dengan tata hukum atau dasar ketetapan nash dan ijma’.13
Secara umum sering dirumuskan bahwa tujuan hukum Islam adalah
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil
segala yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudlarat, yaitu
yang tidak berguna bagi kehidupan dan juga membahayakan kehidupan.
Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia,
baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial. Abu Ishaq Al Shatibi,
merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni memelihara (1) agama, (2) jiwa,
(3) akal, (4) keturunan, dan (5) harta.14 Kelima tujuan hukum ini biasanya
disebut al-maqasid al-khomsah atau al-maqasid al-syari'ah.
12 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Gema Risalah Press, 1997, hlm. 142. 13 Ibid, hlm. 146. 14 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 61
88
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan skripsi ini, maka penulis dapat mengambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Dalam fatwa DSN-MUI No.17/DSN-MUI/IX/2000 tentang sanksi atas
Nasabah Mampu Yang Menunda-nunda Pembayaran, bahwasannya sanksi
yang tetapkan oleh DSN-MUI yaitu berupa denda sejumlah uang yang
besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad
ditandatangani tersebut tidak sesuai dengan dengan hukum Islam. Oleh
karena itu sanksi adalah balasan dari penunda-nundaan mereka tanpa
alasan yang jelas dan sebagai kompensasi dari manfaat barang pinjaman
yang pasti atau berkemungkinan diperoleh orang yang memberi hutang
akibat kemangkiran orang yang berhutang. Sanksi tentu saja berbeda
dibandingkan dengan bunga riba yang diwajibkan bila terjadi
keterlambatan pembayaran hutang yang dilakukan secara suka rela oleh
kedua belah pihak tanpa membedakan orang yang berhutang tersebut kaya
atau miskin. Karena kebanyakan ulama dalam memberikan pendapatnyz
tidak memperbolehkan akad yang ditandatangani sejak awal dengan
adanya sanksi berupa denda sejumlah uang saat terjadinya kesepakatan
antara pihak yang memberi hutang dan yang diberi hutang, dikarenakan
untuk membedakan adanya unsur riba.
89
2. Dalam menetapkan fatwa tentang sanksi atas nasabah mampu yang
menunda-nunda pembayaran, DSN-MUI menggunakan metode istinbath
hukum berdasarkan pada Al-Qur'an, hadits dan kaidah fiqih. Disamping
itu DSN-MUI menggunakan maslahah mursalah sebagai pertimbangan.
Dimana kemaslahatan menjadi tujuan akhir di syari’atkannya hukum
Islam. Dengan demikian maslahat harus dijadikan pedoman di dalam
penegakan hukum Islam. Apalagi dalam permasalahan hutang-piutang
tersebut mengandung dua nilai sekaligus yaitu kemaslahatan dan
kemadlaratan, nilai madlarat dalam hutang-piutang harus segera
dihilangkan dengan mendahulukan maslahat sebagai landasan berpikir.
B. Saran-Saran
1. Hendaknya bagi seseorang yang melakukan hutang piutang adanya akad
harus tetap dilakukan namun jangan menetapkan sanksi berupa denda
sejumlah uang yang besarnya ditentukan pada awal kesepakatan hutang
piutang karena hal tersebut mengandung unsur riba.
2. Bagi Muqtaridh yang pada hal ini adalah orang (nasabah) yang mampu
tetapi menunda-nunda pembayaran hutang pada waktu jatuh tempo
pembayaran hutang tidak melunasinya, hal ini termasuk perbuatan dzalim
dan mengakibatkan dosa besar. Untuk itu bagaimana sebisa mungkin harus
diusahakan membayar atau melunasinya tepat waktu saat perjanjian agar
tidak terkena sanksi.
90
3. Bagi masyarakat apabila benar-benar tidak merasa sangat membutuhkan
dan tidak mampu untuk melunasi hutang-hutangnya, maka jangan pernah
melakukan hutang kepada orang lain karena tidak akan menambah baik
kehidupan seseorang akan tetapi malah akan semakin menyusahkan
kehidupan seseorang yang terbebani oleh hutang tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
A. Hanafi, Ushul Fiqh, Jakarta: Wijaya, 1980
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Gema Risalah Press, 1997
Abdullah al-Muslih, Shalah ash-Shawi, Bunga Bank Haram? Menyikapi
FatwaMUI Menuntaskan Kegamangan Umat, Jakarta: Darul Haq, 2003
Abu Sura’i Abdul Hadi, Bunga Bank Dalam Persoalan dan Bahayanya Terhadap
Masyarakat, Yogjakarta: Yayasan Masjid Manarul Islam - Bangil dan
Pustaka LSI, Cet ke-1, 1991
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid I, Yogyakarta: PT Dana Bhakti
Wakaf, 1995
Al-Jurjani, At-Ta’rifat, Jeddah: Al-Haramain, t.th
Asad M. Al-Kalali, Al-Munawir: Kamus Indonesia-Arab, Jakarta: Bulan Bintang,
1995
Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2004
Depag RI, Ushul Fiqh,
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Dan Penafsir Al Qur’an, 1993
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Konstektual, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, Cet ke-1, 2002
Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Hidup
Dalam Berekonomi), Bandung: CV Diponegoro, Cet. ke-1, 1984.
Hasbi As-Siddiqie, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Jilid I, 1994
Heri Sudarsono, Bank Dan Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi dan Ilustrasi,
Yogyakarta: Ekonosia Kampus Fakultas Ekonomi UII, 2004
Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional, (Lihat Keputusan Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No.17/DSN-MUI/IX/2000
tentang Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran),
DSN-MUI, Cet. ke-3, 2006.
Ibrahim Lubis, Ekonomi Islam Suatu Pengantar II, Jakarta: Radar Jaya Offset,
Cet. ke-1, 1995
Ichwan Sam, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia,
Jakarta: MUI Pusat, 2002
M. Abdul Mujieb, Masruru Tolhah, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: PT Pustaka
Firdaus, 1994,
M. Anwar, Fiqh Islam, Bandung: PT. AL-Ma’arif, 1998
Mahmud Syaltout, Al-Fatwa, Kairo: Darul Qalam Cet. VI
Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004,
Muhammad Ismail, Bunga Rampai Pemikiran Islam, Jakarta: Gema Insani Press,
1993.
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema
Insani Press, Cet. ke-1, 2001
Muin, Umar, Ushul Fiqh I, Jakarta: Depag RI, 1985
Musahadi Ham, Evolusi Konsepsunnah, Semarang: Aneka Ilmu, 2002
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani, Relevansinya Bagi Pembaharuan
Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 1999
Nazar Bakry, Fikih dan Ushul Fikih, Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. Ke-III,
1996
Rohadi Abdul Fatah, Analisa Fatwa Keagamaan Dalam Fiqh Islam, Jakarta,
Bumi Aksara, 1991
Saifudin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung: PT Sinar Baru Algensindo, Cet. ke-27,
1994
Syafruddin Prawiranegara, Ekonomi dan Keuangan Makna Ekonomi Islam,
Jakarta: CV. Haji Masagung, 1988
Winarno Surahmad (ed), Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Tehnik,
Bandung: Tarsito, 1994
www.mui.or.id. (MUI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia)
Zainal Abidin Alwy, Ijtihad Kontemporer dan Reformasi Hukum Islam dalam
Perspektif Muhammad Syaltut, Jakarta: Yayasan Haji Abdullah Amin,
Cet. I, 2003
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Syamsuri Dwi Fitrianto
T T L : Semarang, 28 Juni 1984
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Jl Parang Kusuma XII No.36 Tlogosari Kulon
Semarang 50196
No Telp/HP : 08157621179
PENDIDIKAN :
1. TK Tri Bhakti Jatingaleh Semarang Th. 1990-1991
2. SD Badan Wakaf Sultan Agung Semarang Th. 1991-1996
3. MTs Al-Muayyad Surakarta Th. 1996-1999
4. MA Al-Muayyad Surakarta Th. 1999-2002
5. IAIN Walisongo Semarang Fakultas Syari’ah Th. 2002-2008
PENGALAMAN ORGANISASI :
1. PMII IAIN Walisongo Rayon Syari’ah Th. 2002-2003
2. Pengurus HMJ Muamalah Th. 2004-2005
3. Pengurus UKM Musik IAIN Walisongo Th. 2004-2006
4. Pengurus FoSSEI Jawa Tengah Th. 2004-2005
5. Ketua RISMA Parang Kusuma Tlogosari Th. 2003-2007