ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK...
Transcript of ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK...
ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK
MENUNTUT PIDANA KARENA DALUWARSA DALAM
PASAL 78 KUHP
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh: AGUS MUHAMMAD ALI MAQFUR
NIM: 042211038
JURUSAN SIYASAH JINAYAH
FAKULTAS SYARI’AH
IAIN WALISONGO SEMARANG
2011
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 5 (lima) eksemplar Kepada Yth Hal : Naskah Skripsi Dekan Fakultas Syari'ah
a.n. Sdr. Agus Muhammad Ali Maqfur IAIN Walisongo Di Semarang
Assalamua’alaikum Wr.Wb.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini
saya kirimkan naskah skripsi saudara:
Nama : Agus Muhammad Ali Maqfur
Nomor Induk : 042211038
Jurusan : SJ
Judul Skripsi : ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG
HAPUSNYA HAK MENUNTUT PIDANA
KARENA DALUWARSA DALAM PASAL
78 KUHP
Selanjutnya saya mohon agar skripsi saudara tersebut dapat segera
dimunaqasyahkan
Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Semarang, Mei 2010
iii
iv
M O T T O
)151: األنعام...(وال تقتلوا النفس التي حرم الله إال بالحق...
Artinya: ... Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar .... (QS. Al-An'aam: 151).∗
∗ Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya:
DEPAG RI, 1978, hlm. 214. .
v
PERSEMBAHAN
Dalam perjuangan mengarungi samudra Ilahi tanpa batas, dengan keringat
dan air mata kupersembahkan karya tulis skripsi ini teruntuk orang-orang yang
selalu hadir dan berharap keindahan-Nya. Kupersembahkan bagi mereka yang
tetap setia berada di ruang dan waktu kehidupan ku khususnya buat:
o Orang tuaku tercinta yang selalu memberi semangat dan motivasi dalam
menjalani hidup ini.
o Kakak dan Adikku Tercinta yang kusayangi yang selalu memberi motivasi
dalam menyelesaikan studi.
o Teman-Temanku jurusan SJ, angkatan 2004 Fak Syariah yang selalu bersama-
sama dalam meraih cita dan asa.
Penulis
vi
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,
penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak
berisi materi yang telah pernah ditulis oleh
orang lain atau diterbitkan. Demikian juga
skripsi ini tidak berisi satupun pemikiran-
pemikiran orang lain, kecuali informasi yang
terdapat dalam daftar kepustakaan yang
dijadikan bahan rujukan.
Jika di kemudian hari terbukti sebaliknya maka
penulis bersedia menerima sanksi berupa
pencabutan gelar menurut peraturan yang
berlaku
Semarang, 17 Mei 2010
AGUS MUHAMMAD ALI MAQFUR NIM: 042211038
vii
ABSTRAK
Dalam hukum pidana Islam, di kalangan fuqaha masih diperselisihkan, apakah daluwarsa dapat menghapuskan hukuman atau tidak. Menurut kebanyakan fuqaha, tidak menghapuskan. Bagi fuqaha yang memakai prinsip daluwarsa tersebut tidak menganggapnya sebagai faktor pembatalan hukuman bagi seluruh jarimah. Yang menjadi rumusan masalah adalah bagaimana daluwarsa penuntutan dalam KUHP? Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap Pasal 78 KUHP?
Dalam menyusun skripsi ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Data Primer, yaitu buku KUHP. Sebagai data sekunder, yaitu literatur lainnya yang relevan dengan judul skripsi ini. Adapun metode analisisnya adalah metode deskriptif analitis dan metode eksplanatory.
Hasil pembahasan menunjukkan bahwa penerapan daluwarsa penuntutan dalam KUHP, bahwa pada dasarnya semua pelaku (dalam arti luas) dari suatu tindak pidana harus dituntut di muka sidang pengadilan pidana, akan tetapi baik secara umum atau secara khusus undang-undang menentukan peniadaan dan atau penghapusan penuntutan dalam hal-hal tertentu, misalnya karena daluwarsa. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 78 KUHP bahwa hak menuntut pidana hapus karena daluwarsa. Selain alasan untuk kepastian hukum, prinsip lewatnya waktu ini, juga didasarkan pada faktor kesulitan dalam hal untuk mengungkap kasus perkara. Mengajukan tuntutan pidana pada dasarnya adalah berupa pekerjaan mengungkap suatu peristiwa sebagaimana kejadian senyatanya (materiele waarheid) pada waktu kejadian yang sudah berlalu. .Pengungkapan peristiwa itu memerlukan bukti-bukti yang ditentukan dan diatur menurut ketentuan Undang-undang, baik mengenai macam-macamnya maupun cara dan sistem penggunaannya. Semakin lama lewatnya waktu akan semakin sulit untuk memperoleh alat-alat bukti tersebut. Semakin lama ingatan seorang saksi akan semakin berkurang bahkan lenyap atau lupa tentang suatu kejadian yang dilihatnya atau dialaminya. Demikian juga benda-benda bukti, dengan waktu yang lama akan menyebabkan benda itu menjadi musnah atau hilang dan tidak ada lagi. Dengan berlalunya waktu yang lama memperkecil keberhasilan, bahkan dapat. menyebabkan kegagalan dari suatu pekerjaan penuntutan. Ditinjau dari hukum Islam terhadap penerapan daluwarsa penuntutan dalam KUHP tidak sejalan dengan prinsip hukum Islam. Dalam hukum Islam, daluwarsa hanya masuk dalam bagian yang menghapuskan hak untuk melaksanakan hukuman. Dengan demikian dalam perspektif hukum pidana Islam, setiap orang yang telah melakukan tindak pidana dan terhadap perbuatan pidana itu belum sampai dijatuhi hukuman, maka meskipun sudah daluwarsa, pidana tidak menjadi hapus. Ini berarti orang yang melakukan tindak pidana kapan waktu saja dapat dituntut atau perkaranya dapat diadili. Sedangkan daluwarsa hanya berlaku manakala tindak pidana yang telah dilakukan seseorang itu telah mendapat putusan hakim sehingga orang tersebut harus menjalani hukuman sebagai maha yang telah dijatuhkan hakim.
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang maha pengasih dan penyayang, bahwa atas
taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi
ini. Skripsi yang berjudul: “ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG
HAPUSNYA HAK MENUNTUT PIDANA KARENA DALUWARSA DALAM
PASAL 78 KUHP” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna
memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas Syari’ah Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan
saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat
terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Imam Yahya M.A selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang.
2. Ibu Hj. Rr. Sugiharti, SH, MH selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak
H.A. Furqon, Lc, MA selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan
pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Pimpinan Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin dan
layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.
4. Para Dosen Pengajar di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo,
beserta staf yang telah membekali berbagai pengetahuan
5. Orang tuaku yang senantiasa berdoa serta memberikan restunya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya hanya kepada Allah penulis berserah diri, dan semoga apa yang
tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para
pembaca pada umumnya. Amin.
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. v
HALAMAN DEKLARASI........................................................................... vi
ABSTRAK ................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................. ix
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Perumusan Masalah .................................................... 6
C. Tujuan Penelitian .................................................... 6
D. Telaah Pustaka .................................................... 6
E. Metode Penelitian .................................................... 9
F. Sistematika Penulisan .................................................... 10
BAB II : HAPUSNYA HAK MENUNTUT PIDANA KARENA
DALUWARSA DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Daluwarsa dalam Hukum Islam........................... 12
B. Macam-Macam Tindak Pidana .............................................. 13
C. Hapusnya Hak Penuntutan Pidana Karena Daluwarsa........... 15
D. Akibat-Akibat Hukum dari Daluwarsa Penuntutan ............... 35
BAB III : HAPUSNYA HAK MENUNTUT PIDANA KARENA
DALUWARSA DALAM KUHP
A. Daluwarsa dan Dasar Hukum ..................................... 39
B. Macam-Macam Tindak Pidana ..................................... 41
C. Hapusnya Hak Penuntutan Pidana ..................................... 47
x
D. Hapusnya Hak Penuntutan Pidana karena Daluwarsa ........... 49
E. Dampak dari Daluwarsa Penuntutan ..................................... 57
BAB IV : ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENERAPAN
PENENTUAN HAPUSNYA PENUNTUTAN PIDANA KARENA
DALUWARSA DALAM KUHP
A. Konsep Penentuan Daluwarsa Penuntutan dalam KUHP ...... 59
B. Analisis Hukum Islam terhadap Penerapan Penentuan
Daluwarsa Penuntutan dalam KUHP ..................................... 62
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................... 69
B. Saran-saran .................................................... 71
C. Penutup .................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap orang bisa saja melakukan kesalahan. apalagi jika ia kepepet
atau terjepit maka sangat dimungkinkan niat dan kesempatan yang ada
membuka peluang melakukan tindak pidana. Untuk menghindari kejaran
polisi. ia melarikan diri untuk bersembunyi dalam sekian tahun. Kasus faktual
telah terjadi pada orang yang bernama Heri Iskandar, yang menggelapkan
sebuah kendaraan roda empat milik pamannya yang bernama Bukhori.
Berdasarkan laporan korban pemilik mobil kijang pada suatu malam
kedatangan ponakannya yang bernama Heri Iskandar. la meminjam mobil
pamannya yang berdomisili di Jakarta Timur dengan alasan mobil pribadinya
mogok di jalan tol Cikampek Jawa Barat.1
Ia meminjam mobil pamannya tersebut untuk melihat apakah mobil
pribadinya sudah bisa jalan kembali atau tidak. Pamannya dengan percaya
memberi STNK dan kunci kontak. Dengan mulus Heri Iskandar membawa
mobil tersebut. Namun ditunggu beberapa hari Heri Iskandar belum
mengembalikan mobil pamannya itu dan pamannya sudah berupaya
menghubungi HP Heri Iskandar namun tidak diangkat. Seminggu kemudian
pamannya melaporkan pada polisi Jakarta Timur. Polisi dengan sejumlah alat
bukti melacak ke semua tempat yang diperkirakan. Telah dikejar dan dicari
1http:www.klik/bloc.com.Pid/2009/Daluwarsa diakses pada tanggal 4 Januari 2010
2
keberadaan Heri Iskandar tidak ditemukan. Pencarian mulai dari keluarga Heri
Iskandar sampai kerabat terdekat namun hasilnya berdasarkan laporan dari
sanak saudaranya ternyata tidak jelas kemana larinya Heri Iskandar.
Sembilan belas tahun kemudian Heri Iskandar pulang ke rumah orang
tuanya dan polisi dengan mudah menangkap Heri Iskandar. Dua hari
kemudian Heri Iskandar telah dibebaskan polisi Jakarta Timur dengan alasan
kasus Heri Iskandar telah daluwarsa berdasarkan Pasal 78 ayat 1 butir 3
KUHP yang menyatakan bahwa kewenangan menuntut pidana hapus karena
lewat waktu: mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih
dari tiga tahun, maka daluwarsanya sesudah dua belas tahun. Dalam kasus ini
polisi Jakarta Timur menjerat Heri Iskandar dengan Pasal 372 KUHP tentang
penggelapan yang ancaman pidananya maksimal empat tahun2
Daluwarsa adalah lewatnya waktu yang menjadi sebab gugurnya atau
hapusnya hak untuk menuntut atau melaksanakan hukuman terhadap
seseorang yang melakukan tindak pidana. Dalam perspektif KUHP bahwa
pada dasarnya semua pelaku (dalam arti luas) dari suatu tindak pidana harus
dituntut di muka sidang pengadilan pidana, akan tetapi baik secara umum atau
secara khusus undang-undang menentukan peniadaan dan atau penghapusan
penuntutan dalam hal-hal tertentu, misalnya karena daluwarsa.3 Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 78 KUHP bahwa hak menuntut pidana
hapus karena daluwarsa…4
2Ibid.,
3E.Y. Kanter dan Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
Jakarta: Alumni, 1982, hlm. 426. 4Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 2003, hlm. 33.
3
Hak menuntut pidana menjadi hapus karena lewatnya waktu (78 ayat
1). Dasar dari ketentuan ini sama dengan dasar dari ketentuan pasal 76 ayat (1)
tentang asas ne bis in idem ialah untuk kepastian hukum bagi setiap kasus
pidana, agar si pembuatnya tidak selama-lamanya ketenteraman hidupnya
diganggu tanpa batas waktu oleh ancaman penuntutan oleh negara, pada suatu
waktu gangguan seperti itu harus diakhiri. Orang yang berdosa karena
melakukan tindak pidana, untuk menghindari penuntutan oleh negara,
mengharuskan dia untuk selalu bersikap waspada kepada setiap orang,
bersembunyi, menghindari pergaulan umum yang terbuka, semua itu membuat
ketidaktenangan hidupnya. Ketidaktenangan hidup yang sekian lama sebelum
masa daluwarsa berakhir pada dasarnya adalah suatu penderitaan jiwa, yang
tidak berbeda dengan penderitaan akibat menjalani suatu pidana yang
dijatuhkan oleh pengadilan.5
Pertama, selain alasan untuk kepastian hukum, maka yang kedua,
prinsip lewatnya waktu, juga didasarkan pada faktor kesulitan dalam hal untuk
mengungkap kasus perkara. Mengajukan tuntutan pidana pada dasarnya
adalah berupa pekerjaan mengungkap suatu peristiwa sebagaimana kejadian
senyatanya (materiele waarheid) pada waktu kejadian yang sudah berlalu.
.Pengungkapan peristiwa itu memerlukan bukti-bukti yang ditentukan
Undang-undang, baik mengenai macam-macamnya maupun cara dan sistem
penggunaannya. Semakin lama lewatnya waktu akan semakin sulit untuk
memperoleh alat-alat bukti tersebut. Semakin lama ingatan seorang saksi akan
5Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta: PT raja Grafindo Persada,
2002, hlm. 173.
4
semakin berkurang bahkan lenyap atau lupa tentang suatu kejadian yang
dilihatnya atau dialaminya. Demikian juga benda-benda bukti, dengan waktu
yang lama akan menyebabkan benda itu menjadi musnah atau hilang dan tidak
ada lagi. Dengan berlalunya waktu yang lama memperkecil keberhasilan
bahkan dapat. menyebabkan kegagalan dari suatu pekerjaan penuntutan.6
Satu hal lagi yang penting, ialah dengan lewatnya waktu, penderitaan
batin, baik bagi korban dan keluarganya maupun masyarakat sebagai akibat
dari suatu tindak pidana akan semakin berkurang yang pada akhirnya akan
lenyap atau lupa dari ingatan. Jika dilihat dari teori pembalasan, menjadi tidak
penting lagi untuk mengungkap suatu kasus yang sudah dilupakan oleh
masyarakat. Walaupun zaman modern sekarang teori pembalasan dinilai oleh
banyak kalangan sudah kuno, namun pada kenyataannya kepuasan korban dan
masyarakat atas pidana yang-dijatuhkan pengadilan tidak dapat terlepas dari
berat ringannya (setimpal) dari kesalahan dan berat ringannya tindak pidana
yang dilakukannya.7
Berapa lamakah tenggang lewatnya waktu seseorang pembuat tindak
pidana untuk menjadi tidak dapat dituntut karena daluwarsa? Dalam hal ini
bergantung dari berat ringannya pidana yang diancamkan pada tindak pidana
yang diperbuat. Hal ini tampak pada ketentuan pasal 78 ayat (1), yang
menetapkan, bahwa hak menuntut pidana menjadi gugur dalam tenggang
waktu, yakni:
6Ibid., hlm. 174. 7Ibid
5
a. untuk semua tindak pidana pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan
dengan percetakan, sesudah satu tahun;
b. untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana
kurungan atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
c. untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih
dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun; dan
d. untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara setinggi-
tingginya dua puluh tahun, sesudah delapan belas tahun.
Dalam hukum pidana Islam, di kalangan fuqaha masih diperselisihkan,
apakah daluwarsa dapat menghapuskan hukuman atau tidak. Menurut
kebanyakan fuqaha, tidak menghapuskan. Bagi fuqaha yang memakai prinsip
daluwarsa tersebut tidak menganggapnya sebagai faktor pembatalan hukuman
bagi seluruh jarimah. Dalam hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama, dari
Imam Malik, Syafi'i dan Ahmad. Menurut ketiga imam tersebut sesuatu
hukuman atau jarimah tidak gugur, bagaimanapun juga lamanya hukuman
atau jarimah tersebut tanpa dilaksanakan atau diadili, selama bukan berupa
hukuman atau jarimah ta'zir. Pendapat kedua, berasal dari Imam Abu Hanifah
beserta murid-muridnya. Pada dasarnya pendapat mereka sama dengan
pendapat pertama, yaitu mengakui adanya prinsip daluwarsa untuk jarimah-
jarimah ta'zir, jarimah-jarimah qisas-diyat dan satu jarimah hudud, yaitu
memfitnah (qadzaf).8
Berdasarkan keterangan tersebut menarik untuk dianalisis lebih lanjut
terhadap kedua sistem hukum tersebut dalam menyikapi adanya daluwarsa
dalam penuntutan pidana. Menyikapi masalah atas, peneliti terdorong
8Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986, hlm. 349.
6
mengangkat tema ini dengan judul: Analisis Hukum Islam terhadap Pasal 78
KUHP tentang Hapusnya Hak Menuntut Pidana karena Daluwarsa
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan upaya untuk menyatakan secara
tersurat pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin dicarikan jawabannya,9
maka yang menjadi rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana ketentuan daluwarsa penuntutan dalam KUHP?
2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap Pasal 78 KUHP?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam kajian ini adalah
1. Untuk mengetahui ketentuan daluwarsa penuntutan dalam KUHP
2. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap Pasal 78 KUHP
D. Telaah Pustaka
Berdasarkan penelitian di perpustakaan, belum ditemukan skripsi yang
membahas hapusnya hak menuntut pidana karena daluwarsa. Meskipun
demikian ada beberapa yang membicarakan masalah tersebut di antaranya:
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan daluwarsa ialah berlakunya sesuatu waktu tertentu atas
keputusan adanya hukuman tanpa dilaksanakannya hukuman tersebut. Dengan
berlakunya masa tersebut maka pelaksanaan hukuman menjadi terhalang. Di
9Jujun S. Suria Sumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. VII, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, Anggota IKAPI, 1993, hlm. 112
7
kalangan fuqaha masih diperselisihkan, apakah daluwarsa dapat
menghapuskan hukuman atau tidak. Menurut kebanyakan fuqaha, tidak
menghapuskan. Bagi fuqaha yang memakai prinsip daluwarsa tersebut tidak
menganggapnya sebagai faktor pembatalan hukuman bagi seluruh jarimah.10
Dalam hal ini ada dua teori.
Teori pertama, dari Imam Malik, Syafi'i dan Ahmad. Menurut teori
tersebut sesuatu hukuman atau jarimah tidak gugur. bagaimanapun juga
lamanya hukuman atau jarimah tersebut tanpa dilaksanakan atau diadili,
selama bukan berupa hukuman atau jarimah ta'zir. sebab terhadap hukuman
dan jarimah tersebut berlaku prinsip dalu\varsa apabila dipandang perlu oleh
penguasa negara untuk mewujudkan kemaslahatan umum. Teori kedua,
berasal dari Imam Abu Hanifah beserta murid-muridnya. Pada dasarnya
pendapat mereka sama dengan pendapat teori pertama. yaitu mengakui adanya
prinsip daluwarsa untuk jarimah-jarimah ta'zir, jarimah-jarimah qisas-diyat
dan satu jarimah hudud, yaitu memfitnah (qadzaf). Menurut Zufar, murid
Imam Abu Hanifah, untuk semua hukuman hudud juga tidak berlaku prinsip
tersebut, yang berarti sama dengan teori pertama.11
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah). dalam buku
tersebut dijelaskan bahwa terhapusnya hukuman berbeda dengan pembatalan
hukuman. Pembatalan hukuman adalah tidak dapat dilakukannya suatu
putusan pengadilan yang telah dijatuhkan berkenaan berbagai sebab. Baik
sebab itu pada diri terhukum maupun usaha-usaha terhukum. atau berkaitan
10Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, hlm.
349. 11 Ibid.,
8
dengan masalah waktu hukuman. Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara
terhapusnya hukuman dengan pembatalan hukuman. Pada terhapusnya
hukuman, tidak terdapat pertanggung jawaban pidana, karena perkaranya tidak
diproses sehingga tidak ada keputusan hakim. Adapun pada pembatalan
hukuman, pertanggungjawaban pidana itu ada dan telah diproses di pengadilan
sehingga terdapat keputusan hakim. Namun karena sebab-sebab seperti
tersebut di atas, keputusan tersebut tidak dapat dilaksanakan kepada
terhukum.12
Dari beberapa penelitian di atas menunjukkan bahwa penelitian
terdahulu berbeda dengan saat ini karena penelitian terdahulu belum
mengungkapkan persoalan tentang hapusnya hak menuntut pidana karena
daluwarsa dalam Pasal 78 KUHP.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Data
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (Library
Research), yaitu dengan jalan melakukan penelitian terhadap sumber-
sumber tertulis, maka penelitian ini bersifat kualitatif. Sedangkan Library
Research menurut Sutrisno Hadi, adalah suatu riset kepustakaan atau
penelitian murni.13
Dalam penelitan ini dilakukan dengan mengkaji
dokumen atau sumber tertulis seperti buku, majalah, dan lain-lain.
12Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Bandung: Pustaka Setia. 2000,
hlm. 192. 13Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas
Psikologi, UGM, 1981, hlm. 9.
9
2. Sumber Data
Data primer yaitu KUHP Pasal 78. Adapun data sekunder, yaitu
data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh
peneliti dari subjek penelitiannya. Data-data ini diperoleh dari buku-buku
bacaan dan literature-literatur lain yang membahas tentang hapusnya
kewenangan menuntut pidana karena daluwarsa di antaranya E. Utrecht,
Hukum Pidana I; R. Tresna, Azas-azas Hukum Pidana; Satochid
Kartanegara, Hukum Pidana: Kumpulan Kuliah; Kanter dan Sianturi,
Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya; Lamintang,
Dasar-Dasar hukum Pidana Indonesia.
3. Metode Analisis Data
Untuk menganalisis data yang telah terkumpul, maka penulis akan
menggunakan beberapa metode deskriptif analitis yaitu cara penulisan
dengan mengutamakan pengamatan terhadap gejala, peristiwa dan kondisi
aktual di masa sekarang.14
Skripsi ini merupakan kajian konsep hapusnya
kewenangan menuntut pidana karena daluwarsa. Berdasarkan hal itu,
aplikasi metode ini adalah dengan mendeskripsikan fakta-fakta itu, pada
tahap permulaan tertuju pada usaha mengemukakan gejala-gejala secara
lengkap di dalam aspek yang diselidiki, agar jelas keadaan atau
kondisinya yaitu kondisi pelaku tindak pidana dengan persoalan hapusnya
kewenangan negara menuntut pidana karena daluwarsa.
14Tim Penulis Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, Pedoman Penulisan Skripsi, Semarang:
Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2000, hlm. 17.
10
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi penulis membaginya dalam lima bab dan
diuraikan dalam sub-sub bab, sebagai berikut:
Bab pertama berisi pendahuluan. Dalam bab ini akan dipaparkan
tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah
pustaka, metode penelitian, sistematika penelitian.
Bab kedua berisi hapusnya hak menuntut pidana karena daluwarsa
dalam hukum Islam yang meliputi: pengertian daluwarsa dalam hukum Islam,
macam-macam tindak pidana, hapusnya hak penuntutan pidana, akibat-akibat
hukum dari daluwarsa
Bab ketiga berisi daluwarsa penuntutan dalam KUHP yang meliputi:
pengertian daluwarsa dan dasar hukum, macam-macam tindak pidana,
hapusnya hak penuntutan pidana, hapusnya hak penuntutan pidana karena
daluwarsa, dampak dari daluwarsa penuntutan
Bab keempat berisi analisis hukum Islam terhadap penerapan
penentuan hapusnya penuntutan pidana karena daluwarsa dalam KUHP yang
meliputi: penerapan penentuan daluwarsa penuntutan dalam KUHP, analisis
Hukum Islam terhadap penerapan penentuan daluwarsa penuntutan dalam
KUHP
Bab kelima merupakan bab penutup dari keseluruhan rangkaian
pembahasan skripsi ini yang terdiri atas kesimpulan dan saran-saran.
12
BAB II
HAPUSNYA HAK MENUNTUT PIDANA KARENA DALUWARSA
DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Daluwarsa dalam Hukum Islam
Daluwarsa ialah berlakunya sesuatu waktu tertentu atas keputusan
adanya hukuman tanpa dilaksanakannya hukuman tersebut.1 Dalam pengertian
ini, daluwarsa mempunyai akibat hukum yaitu tidak dapat dilaksanakannya
suatu hukuman karena lewatnya waktu. Sebagaimana diketahui bahwa tidak
semua perbuatan dapat dikenakan hukuman pada seseorang, demikian pula
tidak semua perbuatan dianggap berdosa:
����� ������ �� �� � ����� ��� ������� ��� �������� ����� !"� #�$ �� � ��% ��&� �� ��' �������� �(�)*��' ��' +�� ,�-.&� ��' ������ �� ��' /+��%� ��' �(�%�0�, �� � �+��%� 12���&� ��'
340&� 540�6�7� �*���&� ��' /8��0�� ��' ���0��.&� �9:�; ����� ��40�,�< 3 ��0�' �=� ��7 >�� 5 �?�@�� <�� �A� ��� 5�7� B��� C�%.&� ��'�< ����.D�� 5�7� EF�G&� ��'�<) I�<;� ��
3J�$(2
Artinya: "Telah mengabarkan kepada kami dari Ya'qub bin Ibrahim
dari Abdurrahman bin Mahdiy dari Hammad bin Salamah
dari Hammad dari Ibrahim dari al-Aswad dari Aisyah dari
Nabi Saw bersabda: yang terlepas dari hukum ada tiga
macam: (1). orang tidur hingga ia bangun, (2). Kanak-kanak
hingga ia dewasa, (3). orang gila hingga ia berakal dan
sembuh". (HR. Ibnu Majah).
1Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, hlm. 349. 2Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Yazid ibnu Majah al-Qazwini, hadis No. 2817
dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software
Company).
13
Hadis di atas menjadi indikator pula bahwa tidak ditulis berdosa suatu
perbuatan karena keliru, lupa dan terpaksa. Masalahnya bagaimana dengan
suatu perbuatan pidana yang sudah daluwarsa.
B. Macam-Macam Tindak Pidana
Kata "tindak pidana", dalam hukum pidana Islam sama dengan kata
"jarimah". Yang dimaksud dengan kata-kata "jarimah" ialah, larangan-
larangan syara' yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta'zir.
Larangan-larangan tersebut adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang
dilarang, atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Dengan kata-kata
"syara'" pada pengertian tersebut di atas, yang dimaksud ialah bahwa sesuatu
perbuatan baru dianggap jarimah apabila dilarang oleh syara'. Juga berbuat
atau tidak berbuat tidak dianggap sebagai jarimah, kecuali apabila
diancamkan hukuman terhadapnya. Di kalangan fuqaha, hukuman biasa
disebut dengan kata-kata "ajziyah" dan mufradnya, "jaza". Pengertian jarimah
tersebut tidak berbeda dengan pengertian tindak-pidana, (peristiwa pidana,
delik) pada hukum-pidana positif.3
Dalam hukum pidana Islam (fiqh jinayah), tindak pidana
(jarimah/delik) jika dilihat dari berat ringannya hukuman dibagi menjadi tiga
macam : 1) tindak pidana yang sanksinya dominan ditentukan oleh Allah,
disebut jarimah hudud, 2) tindak pidana yang sanksinya dominan ditentukan
oleh Allah, tetapi haknya lebih ditekankan kepada manusia, disebut jarimah
3Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, hlm. 1
14
qishas-diyat, dan 3) tindak pidana yang sanksinya merupakan kompetensi
pemerintah untuk menentukannya, disebut jarimah ta'zir.4
Jarimah hudud adalah suatu jarimah (tindak pidana) yang diancam
padanya hukuman hadd, yaitu hukuman yang telah ditentukan macam dan
jumlahnya yang menjadi hak Allah. jarimah hudud ada 7 (tujuh) macam,
yaitu: zina, qadzaf (menuduh berzina), sukr (minum-minuman keras), sariqah
(pencurian), hirabah (perampokan), riddah (keluar dari Islam) dan bughah
(pemberontakan).5
Jarimah qishash dan diat adalah jarimah yang diancam dengan
hukuman qishash atau diat. Baik qishash maupun diat keduanya adalah
hukuman yang sudah ditentukan oleh syara'. Perbedaannya dengan hukuman
had adalah bahwa had merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan
qishash dan diat adalah hak manusia (individu).6 Adapun yang dimaksud
dengan hak manusia sebagaimana dikemukakan oleh Mahmud Syaltut adalah
yang ada hubungannya dengan kepentingan pribadi seseorang dan dinamakan
begitu karena kepentingannya khusus untuk mereka.7
Dalam hubungannya dengan hukuman qishash dan diat maka
pengertian hak manusia di sini adalah bahwa hukuman tersebut bisa
dihapuskan atau dimaafkan oleh korban atau keluarganya. Dengan demikian
maka ciri khas dari jarimah qishash dan diat itu adalah
4Rokhmadi, Jurnal al-Ahkam, Volume XVIII/Edisi 1/April 2006, Semarang: Fakultas
Syariah IAIN Walisongo, hlm. 70 5Ibid. 6Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayat, Jakarta:
Sinar Grafika, 2004, hlm. 18. 7Syeikh Mahmud Syaltut, al-Islam Aqidah wa Syariah, Alihbahasa, Fachruddin HS,
Akidah dan Syariah Islam, 2, Jakarta: Bina Aksara, 1985, hlm. 14.
15
1) Hukumannya sudah tertentu dan terbatas, dalam arti sudah ditentukan oleh
syara' dan tidak ada batas minimal atau maksimal;
2) hukuman tersebut merupakan hak perseorangan (individu), dalam arti
bahwa korban atau keluarganya berhak memberikan pengampunan
terhadap pelaku. Jarimah qishash dan diat ini hanya ada dua macam, yaitu
pembunuhan dan penganiayaan. Namun apabila diperluas maka ada lima
macam, yaitu
a. pembunuhan sengaja (� %��&.� �A 7��&.�L ),
b. pembunuhan menyerupai sengaja (�� %��&.� �3 �M �A 7��&.�L), c. pembunuhan karena kesalahan ( �N�O.&� �A 7��&.�L أ ),
d. penganiayaan sengaja ( ��.&� �P ��C.&���� % ), dan
e. penganiayaan tidak sengaja ( �N�O.&�أ �P ��C.&�� ).8
C. Hapusnya Hak Penuntutan Pidana Karena Daluwarsa
Hal-hal yang menyebabkan hapusnya hukuman itu ada empat,9 yaitu
1) paksaan,
2) mabuk,
3) gila, dan
4) di bawah umur.
Di bawah akan dijelaskan keempat sebab tersebut satu per satu.
1) Paksaan
8Ibid., hlm. 18.
9Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah,
Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm. 117.
16
Hukum paksaan dapat berbeda-beda menurut perbedaan perbuatan
yang terjadi. Dalam konteks ini perbuatan-perbuatan tersebut dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok.
a) Perbuatan yang tidak dapat dipengaruhi oleh paksaan sama sekali,
artinya perbuatan tersebut tetap dianggap sebagai jarimah.
b) Perbuatan yang diperbolehkan sama sekali karena adanya paksaan,
artinya perbuatan tidak dianggap sebagai jarimah.
c) Perbuatan yang diperbolehkan sebagai pengecualian, artinya
perbuatannya tetap dianggap sebagai jarimah, tetapi pelakunya tidak
dikenakan hukuman.
a) Perbuatan yang tidak dipengaruhi oleh paksaan
Perbuatan yang tidak bisa dipengaruhi oleh paksaan sama sekali,
meskipun paksaan absolut adalah pembunuhan dan penganiayaan berat
(pemotongan anggota badan, pukulan yang berat, dan sebagainya).
Alasannya adalah sebagai berikut.
1) Firman Allah dalam Surah Al-An'aam ayat 151:
...1?�R.&�� 4S� �3T0&� �U��� 274&� �V.@��&� .���0�7.��W �S�< )...U���X� :Z[Z(
Artinya: ... Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar .... (QS. Al-An'aam: 151).
2) Surah Al-Ahzab ayat 58:
����: �����>�7.\� ��$ � ��F� ]���$ �%.&��< �_�$ �%.&� �B<� �� ���a4&��< �����7 #�� ���0�%�7 b����c$ b�%.���<)��d X� :[e(
17
Artinya: Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan
mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat maka
sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa
yang nyata. (QS. Al-Ahzab: 58).
b) Perbuatan yang diperbolehkan karena adanya paksaan
Perbuatan-perbuatan yang termasuk kelompok ini hanya
berhubungan dengan masalah makanan dan minuman yang diharamkan,
seperti makan bangkai, makan daging babi, minum darah, dan barang-
barang yang najis, sedangkan paksaannya bersifat absolut. Makanan-
makanan yang telah disebutkan semuanya diharamkan, tetapi kalau
keadaannya terpaksa atau dipaksa maka hukumnya dibolehkan. Alasannya
adalah firman Allah SWT sebagai berikut.
1) Surah Al-An'aam ayat 119
3 ��&� ��W ;��f g� ��$ 4S� ��D ��0�' �U��� ��$ ��D�& �A�G�: ����<)U���X� :ZZh(
Artinya: ... Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada
kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang
terpaksa kamu memakannya .... (QS. Al-An'aam: 119).
2). Surah Al-Baqarah ayat 173
3T0&� � ��F& 3� 4A�� ��$�< ��iO.&� �� R�&�< �U��&��< �(�7 ��%.&� ���D ��0�' �U��� ��%�����%�: j;��@�k �3T0&� 4B� 3 ��0�' ��.�� l�: /+��' �S�< /m��� �� ��k ���f g� j�� �; )n���&� :Zop(
Artinya: Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai,
darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih)
disebut (nama) selain Allah. Tapi barangsiapa dalam keadaan
terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan
tidak (pula) melampaui batas maka tidak ada dosa baginya.
18
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS. Al-Baqarah: 173).
Dari ayat-ayat tersebut jelaslah bahwa makanan yang semula
diharamkan dalam keadaan terpaksa hukumnya dibolehkan. Demikian
pula halnya orang yang dipaksa. Dengan demikian, baik orang yang
terpaksa maupun orang yang dipaksa memakan makanan yang
diharamkan, ia tidak dibebani pertanggung-jawaban pidana dan perdata.
Untuk mengetahui secara rinci tentang perbuatan-perbuatan yang
termasuk dalam kelompok ini, perlu dilakukan penelitian terhadap nas-nas
yang melarang perbuatan-perbuatan tersebut. Kalau perbuatan-perbuatan
tersebut dibolehkan dalam keadaan terpaksa (darurat) atau dipaksa,
perbuatan tersebut termasuk dalam kelompok ini. Akan tetapi, apabila
tidak dibolehkan maka tidak termasuk dalam kelompok ini.
c) Perbuatan yang diperbolehkan sebagai pengecualian
Selain perbuatan-perbuatan yang disebutkan pada bagian
pertama dan kedua, paksaan absolut dapat menghapuskan hukuman, baik
paksaan materiil maupun paksaan moril {ma'na\vi\ walaupun perbuatan
yang dilakukan oleh orang yang dipaksa tetap dilarang. Alasan
pembebasan hukuman dalam perbuatan-perbuatan tersebut adalah bahwa
pelaku ketika melakukan perbuatannya tidak mempunyai kehendak
(iradah) dan pilihan (ikhtiar) yang sebenarnya, sedangkan dasar
pertanggung jawaban itu adalah adanya kehendak (iradah) dan pilihan
(ikhtiar). Dengan demikian, sebab dari pembebasan hukuman tersebut
19
berkaitan dengan pribadi orang yang melakukannya, bukan dengan
perbuatannya itu sendiri. Itulah sebabnya maka pelaku dibebaskan dari
hukuman sedangkan perbuatannya tetap dilarang.
Mengenai pertanggungjawaban perdata yang timbul akibat
perbuatan tersebut tetap dikenakan kepada pelaku perbuatan tersebut,
meskipun ia dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana, karena menurut
aturan dan kaidah pokok dalam syariat Islam, jiwa dan harta itu dilindungi
(ma'shum) oleh negara. Oleh karena itu, penyerangan terhadapnya
dilarang dan alasan-alasan dari syara' tidak dapat menghapuskan hak
perlindungan tersebut. Jarimah-jarimah yang termasuk dalam kelompok
ketiga ini, antara lain seperti qazdaf (penuduhan zina), penghinaan,
pencurian, merusak harta milik orang lain, zina, dan sebagainya.
Muhammad Al-Khudhari Byk memberikan definisi paksaan
sebagai berikut.
��Sbl �: <� bS ��� �I��g ��� �S��$ 5�0�' �I�� ��k B��> �q� �A %� �I��.\10
Artinya: Paksaan adalah mendorong orang lain atas sesuatu yang tidak
diridainya, baik berupa ucapan atau perbuatan.
Sebagian fuqaha sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah,
memberikan definisi sebagai berikut.
"Paksaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang
karena orang lain, dan oleh karena itu hilanglah kerelaannya atau tidak
sempurna pilihannya. Atau paksaan adalah suatu perbuatan yang timbul
10Muhammad Khudhari Byk, Ushul Al-Fiqh, Dar Al-Fikri, cetakan VII, 1981, hlm. 105.
20
dari orang yang memaksa dan menimbulkan pada diri orang yang dipaksa
suatu keadaan yang mendorong dirinya untuk mengerjakan perbuatan
yang dimintakan kepadanya. Atau paksaan adalah ancaman oleh
seseorang atas orang lain dengan sesuatu yang tidak disenangi untuk
mengerjakan sesuatu sehingga karenanya hilang kerelaannya.11
Sebagian fuqaha yang lain mengemukakan definisi sebagai
berikut: paksaan adalah sesuatu yang ditimpakan kepada orang lain yang
membahayakannya atau menyakitinya". Sebagian lagi berpendapat bahwa
definisi paksaan, adalah paksaan adalah ancaman berupa hukuman segera
dari orang yang memaksa yang mampu untuk melaksanakan paksaannya
dan karenanya mempengaruhi orang berakal sehat untuk mengerjakan apa
yang dipaksakan padanya serta timbul dugaan kuat pada dirinya bahwa
ancaman tersebut akan benar-benar dikenakan padanya, apabila ia
menolak apa yang dipaksakan kepadanya.12
Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas dapat diambil
intisari bahwa paksaan adalah suatu upaya yang dilakukan oleh seseorang
untuk mempengaruhi orang lain agar ia melakukan apa yang diinginkan
olehnya (pemaksa) dengan menggunakan ancaman. Sebagai akibat dari
adanya ancaman tersebut, pihak yang dipaksa tidak mempunyai pilihan
lain, kecuali mengerjakan apa yang diinginkan oleh pihak yang memaksa.
Itulah sebabnya orang yang dipaksa kehilangan kerelaan (rida) dan pilihan
(ikhtiar).
11Abd al-Qadir Audah, al-Tasyri' al-Jina'i al-Islamy, Juz I, Mesir: Dar al-Fikr al-Araby,
tth, hlm. 563. 12
Ibid., hlm. 563.
21
Tampaknya para fuqaha sama pandangannya bahwa semua
jarimah dapat dipengaruhi oleh paksaan, kecuali jarimah pembunuhan dan
penganiayaan berat. Kedua jarimah tersebut sangat berbahaya dan
menyangkut keselamatan manusia, sedangkan memperlunak hukuman
akan menimbulkan bahaya yang sangat besar bagi masyarakat. Para
fuqaha berbeda pendapat mengenai jenis hukuman yang harus dijatuhkan
kepada pelaku (orang yang dipaksa). Menurut Imam Malik dan Imam
Ahmad hukumannya adalah sama dengan pembunuhan sengaja, yaitu
qishash, karena sudah cukup jelas dan tidak ada syubhat. Sedangkan
menurut ulama Syafi'iyah dan Hanafiah, sebagian menyatakan
hukumannya adalah qishash dan sebagian lagi menyatakan hukumannya
adalah diat. Alasan golongan kedua ini adalah karena adanya paksaan itu
dianggap sebagai syubhat yang dapat menghapuskan hukuman qishash.
Imam Abu Hanifah sendiri dan muridnya Imam Muhammad ibn Hasan,
hanya menetapkan hukuman ta'zir.13
2). Mabuk
Syariat Islam melarang minuman keras, baik sampai
mengakibatkan mabuk maupun tidak. Dalam kelompok jarimah, minuman
keras (syurbul khamar) termasuk jarimah hudud yang ancamannya adalah
delapan puluh kali cambukan. Kecuali Imam Abu Hanifah dan murid-
muridnya, para ulama telah sepakat semua jenis minuman yang
memabukkan, baik disebut khamar atau bukan, sedikit atau banyak,
13Abd. Al-Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh 'ala Al-Mazahib Al-Arba'ah, Juz V, Beirut: Dar Al-
Fikr, hlm. 288-292.
22
hukumnya tetap dilarang dan peminumnya dikenakan hukuman. Akan
tetapi, menurut Imam Abu Hanifah dalam hal ini harus dibedakan antara
khamar dengan minuman keras yang lain. Untuk minuman khamar, sedikit
atau banyak, baik mabuk atau tidak, tetap dihukum, sedangkan untuk
minuman keras selain khamar, baru dihukum apabila sampai
memabukkan. Bahan minuman khamar itu adalah perasan anggur yang
direbus sampai kemudian hilang kurang dua pertiganya.
Secara umum yang dimaksud dengan mabuk adalah hilangnya akal
sebagai akibat minum minuman keras atau khamar atau yang sejenisnya.
Menurut Imam Abu Hanifah, seorang dikatakan mabuk, apabila ia telah
kehilangan akal pikirannya, baik banyak atau sedikit, ia tidak dapat
membedakan antara langit dengan bumi, dan antara laki-laki dengan
perempuan. Sedangkan Muhammad ibn Hasan dan Imam Abu Yusuf
berpendapat bahwa orang mabuk itu adalah orang yang banyak mengigau
pada pembicaraannya. Pendapat ini juga merupakan pendapat imam-imam
yang lain. Alasan mereka ini adalah firman Allah dalam Surah An-Nisaa'
ayat 43.
��$ .���%�0 ��W �5�7� r�;��D�, ��7����< �n�l�G&� .������.��W �S .�����$s ���a4&� ��#c��� ��� �B��&����W )&�t�>� :up(
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat,
sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu
mengerti apa yang kamu ucapkan…(QS.An-Nisaa': 43).
Dari ayat tersebut jelaslah bahwa orang yang tidak mengetahui apa
yang dikatakannya berarti ia sedang mabuk. Adapun pertanggung jawaban
23
pidana bagi orang yang mabuk, menurut pendapat yang kuat (rajih) dari
ulama mazhab yang empat, ia tidak dijatuhi hukuman atas jarimah-jarimah
yang dilakukannya, apabila ia dipaksa atau terpaksa untuk minum atau ia
meminumnya atas kehendak sendiri, tetapi ia tidak mengetahui bahwa
yang diminumnya itu adalah khamar atau ia meminum-minuman keras
untuk berobat, lalu ia mabuk. Orang yang sedang mabuk tersebut ketika ia
melakukan perbuatannya, sedang hilang akal pikiran dan kesadarannya,
sehingga dengan demikian maka hukumnya sama dengan orang gila. Akan
tetapi, jika seseorang minum minuman keras karena kemauan sendiri
dengan sengaja tanpa alasan, atau ia meminumnya sebagai obat yang
sebenarnya tidak diperlukan kemudian ia mabuk, dalam hal ini ia harus
bertanggung jawab atas setiap jarimah yang dilakukannya ketika ia
mabuk. Hukuman tersebut diberikan kepadanya sebagai pengajaran,
karena ia telah menghilangkan akalnya sendiri secara sengaja.14
Di samping pendapat yang kuat (rajih) tersebut, di kalangan ulama
mazhab yang empat ada pendapat yang tidak kuat (marjuh) yaitu bahwa
orang yang mabuk tidak dibebani pertanggungjawaban atas semua
perbuatan jarimah yang dilakukannya, bagaimanapun terjadinya dan apa
pun sebab mabuknya itu, karena pada saat itu akal pikirannya sedang
hilang. Ini berarti orang yang mabuk tersebut tidak menyadari
14 A., Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, hlm. 373
24
perbuatannya, sedang kesadaran merupakan dasar adanya
pertanggungjawaban pidana.15
Mengenai pertanggungjawaban perdata orang yang mabuk tetap
dikenakan, sebab jiwa dan harta orang lain tetap harus dijamin
keselamatannya dan pembebasan dari hukuman pidana tidak
mempengaruhi hukuman perdata.
3). Gila
Syariat Islam memandang seseorang sebagai orang mukallaf yang
dapat dibebani pertanggungjawaban pidana, apabila ia memiliki
kemampuan berpikir dan memilih (idrak dan ikhtiar). Apabila salah satu
dari kedua perkara ini tidak ada maka pertanggungjawaban menjadi
terhapus. Kemampuan berpikir seseorang itu dapat hilang karena faktor
bawaan sejak lahir atau karena adanya gangguan seperti sakit atau cacat
fisik. Hilangnya kemampuan berpikir tersebut dalam bahasa sehari-hari
disebut gila. Abdul Qadir Audah memberikan definisi gila sebagai berikut.
"Gila adalah hilangnya akal, rusak, atau lemah".16
Definisi tersebut merupakan definisi yang umum dan luas,
sehingga mencakup gila (junun), dungu (al-'ithu), dan semua jenis
penyakit kejiwaan yang sifatnya menghilangkan idrak (kemampuan
berpikir). Di bawah ini akan dijelaskan jenis-jenis penyakit, baik yang
menghilangkan seluruh kekuatan berpikir maupun sebagiannya.
15 Ibid.,
16 Abd al-Qadir Audah, op.cit, hlm. 564
25
1) Gila dan Keadaan-Keadaan Lain yang Sejenis
a) Gila terus-menerus
Gila terus-menerus adalah suatu keadaan di mana seseorang
tidak dapat berpikir sama sekali, baik hal itu diderita sejak lahir
maupun yang datang kemudian. Di kalangan fuqaha gila semacam
ini disebut dengan al-junun al-muthbaq.
b) Gila berselang
Orang yang terkena penyakit gila berselang tidak dapat
berpikir, tetapi tidak terus-menerus. Apabila keadaan tersebut
menimpanya maka ia kehilangan pikirannya sama sekali, dan
apabila keadaan tersebut telah berlalu (hilang) maka ia dapat
berpikir kembali seperti biasa. Pertanggungjawaban pidana pada gila
terus-menerus hilang sama sekali, sedangkan pada gila berselang ia
tetap dibebani pertanggungjawaban ketika ia dalam kondisi sehat.
c) Gila sebagian
Gila sebagian menyebabkan seseorang tidak dapat berpikir
dalam perkara-perkara tertentu, sedangkan pada perkara-perkara
yang lain ia masih tetap dapat berpikir. Dalam kondisi di mana ia
masih dapat berpikir, ia tetap dibebani pertanggungjawaban pidana,
tetapi ketika ia tidak dapat berpikir, ia bebas dari
pertanggungjawaban pidana.
d) Dungu (Al-'Ithu)
26
Para fuqaha sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah
memberikan definisi orang dungu (ma'tuh') sebagai berikut.
"Orang dungu adalah orang yang minim pemahamannya,
pembicaraannya bercampur baur, tidak beres pemikirannya, baik hal
itu bawaan sejak lahir atau timbul kemudian karena suatu
penyakit".17
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa dungu merupakan
tingkatan gila yang paling rendah. Dengan demikian, dungu berbeda
dengan gila, karena dungu hanya mengakibatkan lemahnya berpikir
bukan menghilangkannya, sedangkan gila mengakibatkan hilangnya
atau kacaunya kekuatan berpikir, sesuai dengan tingkatan-tingkatan
kedunguannya, namun orang yang dungu bagaimanapun tidak sama
kemampuan berpikirnya dengan orang biasa (normal). Menurut
sebagian fuqaha kekuatan berpikir orang dungu sama dengan orang
yang sudah mumayyiz. (lebih kurang berumur antara tujuh sampai
lima belas tahun), sedang menurut sebagian yang lain sama dengan
anak yang belum mumayyiz. Karena pemikirannya yang tidak stabil
itu, secara umum orang yang dungu tidak dibebani
pertanggungjawaban pidana.
2) Hukum Gila
Pengaruh gila terhadap pertanggungjawaban pidana tidak sama,
tergantung apakah gilanya itu menyertai jarimah atau sesudahnya.
a) Hukum gila yang menyertai jarimah
17 Ibid.,
27
Apabila gila menyertai perbuatan jarimah (yaitu ketika
melakukan jarimah pelaku sudah gila), maka pelakunya dibebaskan
dari pertanggungjawaban pidana, karena pada saat melakukan
jarimah ia tidak mempunyai kekuatan berpikir. Keadaan gila ini
tidak menjadikan suatu jarimah dibolehkan, melainkan hanya
menghapuskan hukuman dari pelakunya. Ketentuan ini sudah
merupakan kesepakatan para fuqaha dan juga para sarjana hukum
positif. Dalam Pasal 44 KUHP dinyatakan:
(1) Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab
kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.
(2) Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan
padanya sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah
akal, maka dapatlah hakim memerintahkan memasukkan dia
ke rumah sakit jiwa selama-lamanya satu tahun untuk
diperiksa.18
Akan tetapi pembebasan orang gila dari hukuman, tidak
berarti ia dibebaskan juga dari pertanggungjawaban perdata, sebab
harta benda dan jiwa orang lain dijamin keselamatannya oleh syara'
dan alasan-alasan yang sah tidak dapat menghilangkan jaminan
tersebut. Sebagaimana orang gila masih tetap memiliki harta
benda, ia juga dapat dibebani pertanggungjawaban perdata, yaitu
pertanggungjawaban yang berkaitan dengan harta. Meskipun para
fuqaha sepakat mengenai adanya pertanggungjawaban perdata
yang penuh atas orang gila sebagai akibat perbuatannya, namun
mereka berbeda pendapat mengenai sejauh mana besarnya
pertanggungjawaban tersebut dalam jarimah pembunuhan dan
penganiayaan. Perbedaan tersebut berpangkal pada perbedaan
pendapat mereka tentang kesengajaan orang gila, apakah dianggap
sengaja dalam arti yang sesungguhnya atau dianggap sebagai
kekeliruan semata-mata. Menurut Imam Malik, Imam Abu
Hanifah, dan Imam Ahmad perbuatan sengaja dari orang gila itu
termasuk tidak sengaja (khatha'), karena ia tidak mungkin
melakukan perbuatan itu dengan niat yang sesungguhnya.
Sedangkan menurut Imam Syafi'i, perbuatan sengaja dari orang
18 M. Boediarto-K. Wantjik Saleh, op. cit., hlm. 23.
28
gila termasuk kesengajaan dan bukan kesalahan, karena gila itu
hanya membebaskan hukuman, tetapi tidak mengubah sifat
perbuatannya.19
Perbedaan pendapat tentang status perbuatan orang gila
tersebut berpengaruh terhadap penggantian kerugian yang harus
dipikulnya. Hal ini oleh karena diat pada jarimah sengaja adalah
diat mughallazah (yang diperberat) dan harus ditanggung sendiri
oleh pelaku, sedangkan diat pada jarimah tidak sengaja (khatha')
adalah diat mukhaffafah (yang diperingan) dan ditanggung oleh
keluarga ('aqilah) dan pelaku bersama-sama.
b) Hukum gila yang datang kemudian
Gila yang timbul setelah dilakukannya jarimah, adakalanya
sebelum ada keputusan hakim dan adakalanya sesudahnya.
(1) Gila sebelum keputusan hakim
Menurut ulama Syafi'iyah dan Hanabilah, gila yang
timbul sebelum ada keputusan hakim tidak dapat menghalangi
dan menghentikan pelaksanaan pemeriksaan pengadilan.
Alasannya adalah karena adanya taklif (kecakapan bertindak)
hanya disyaratkan pada waktu melakukan jarimah. Pandangan
tersebut tidak berarti menghina atau meremehkan kedudukan
orang gila, karena pemeriksaan pengadilan terhadap mereka
yang melakukan jarimah disertai dengan jaminan-jaminan
keadilan yang kuat. Alasan-alasan yang dikemukakan oleh
mereka barangkali lebih kuat jika dilihat dari segi logika dan
kenyataan, karena seseorang yang telah melakukan suatu
jarimah sudah sepantasnya dijatuhi hukuman. Kalau ia
kemudian menjadi gila, hal itu tidak usah mencegah
pemeriksaannya di pengadilan, selama masih ada jalan untuk
mengadilinya. Hal ini oleh karena pengaruh gila hanya
terbatas kepada ketidak-mampuannya sebagai tertuduh untuk
membela dirinya, sedangkan menurut aturan hukum,
ketidakmampuan tertuduh untuk membela diri tidak
mengurangi atau mencegah pemeriksaan hakim. Orang bisu
dan orang yang kehilangan suaranya setelah melakukan
jarimah adalah juga orang-orang yang tidak mampu membela
diri, akan tetapi mereka tetap dihadapkan ke muka pengadilan.
Oleh karena itu, tidak perlu untuk membedakan orang-orang
gila dengan orang-orang yang bisu.
Akan tetapi ulama-ulama Malikiyah dan Hanafiyah
berpendapat, bahwa kondisi gila yang terjadi sebelum ada
keputusan hakim dapat menghentikan proses pemeriksaan
pengadilan dan menundanya sampai keadaan gilanya itu
hilang. Alasan mereka adalah bahwa untuk dijatuhkannya
hukuman disyaratkan adanya taklif. Syarat ini harus terdapat
19 A., Hanafi, op.cit., hlm. 383.
29
pada waktu dilakukannya pemeriksaan. Dengan perkataan lain
pada waktu diadili pelaku harus tetap menjadi orang mukallaf.
Pendirian hukum pidana Mesir dan Perancis sama dengan
pendirian fuqaha Malikiyah dan Hanafiyah, hanya saja
alasannya yang berbeda. Menurut kedua hukum positif
tersebut alasan dihentikannya peradilan orang gila adalah
karena ketidakmampuannya untuk membela diri. Sedangkan
alasan Malikiyah dan Hanafiyah adalah karena tidak adanya
syarat untuk penjatuhan hukuman, yaitu taklif. Dalam Pasal
247 Undang-Undang Hukum Acara Pidana Mesir disebutkan:
"Apabila tersangka tidak sanggup membela diri karena ada
cacat pada akalnya maka ia tidak boleh diadili sampai
kecerdasannya kembali kepada kondisi yang cukup untuk
membela diri. Apabila ternyata dengan jelas
ketidakmampuannya untuk membela diri di depan pengadilan
maka pemeriksaan terhadap dirinya harus dihentikan, sesuai
dengan alasan tersebut di atas.
(2) Gila sesudah adanya keputusan hakim
Apabila sesudah ada keputusan hakim orang yang
terhukum menjadi gila maka menurut Imam Syafi'i dan Imam
Ahmad, pelaksanaan hukuman tidak dapat dihentikan, kecuali
apabila jarimah adalah jarimah hudud, sedang pembuktiannya
hanya dengan pengakuan terhukum semata-mata. Hal ini oleh
karena dalam jarimah hudud terhukum (terdakwa) bisa
menarik kembali pengakuannya, baik sebelum
dilaksanakannya hukuman maupun sesudahnya. Apabila ia
menarik kembali pengakuannya, pelaksanaan hukuman harus
dihentikan, karena ada kemungkinan penarikan kembali
pengakuannya itu benar-benar keluar dari hatinya dengan
tulus. Bagi orang gila, karena ia telah terhalang oleh
penyakitnya, sedang ia berhak untuk menarik kembali
pengakuannya maka pelaksanaan hukuman harus dihentikan
atau ditunda sampai sembuh. Apabila keputusan hakim
didasarkan kepada bukti-bukti lain selain pengakuan seperti
saksi maka pelaksanaan hukuman tetap harus dijalankan.
Dasar pendapat ini adalah bahwa pertanggungjawaban pidana
dan hukuman dikaitkan dengan waktu dilakukannya jarimah,
bukan dengan keadaan sesudahnya atau sebelumnya.
Imam Malik berpendapat bahwa keadaan gila dapat
menunda pelaksanaan hukuman sampai terhukum sembuh dari
gilanya, kecuali apabila hukumannya berupa qishash. Menurut
sebagian Malikiyah, hukuman qishash menjadi gugur dan
diganti dengan diat. Akan tetapi menurut sebagian yang lain,
dalam keadaan harapan sembuh sangat kecil, keputusan
terakhir diserahkan kepada keluarga korban. Apabila mereka
30
mengambil (melaksanakan) qishash, dan kalau tidak maka
mereka boleh mengambil diat.
Imam Abu Hanifah berpendapat apabila keadaan gila
timbul setelah terhukum diserahkan untuk dilaksanakan
hukumannya maka hukuman tersebut tidak boleh ditunda.
Apabila hukumannya berupa qishash dan terhukum menjadi
gila setelah diserahkan untuk dieksekusi, hukuman qishash
diganti dengan diat dengan menggunakan istihsan. Pendirian
tentang ditundanya hukuman untuk orang gila, didasarkan atas
dua alasan.
1) Penjatuhan hukuman harus didasarkan atas adanya taklif
pada diri terhukum dan hukuman tidak akan terjadi kecuali
dengan proses pemeriksaan. Dengan demikian, syarat
taklif (kecakapan) harus ada pada waktu pemeriksaan dan
keputusan hukuman.
2) Pelaksanaan hukuman atau eksekusi termasuk kelanjutan
dari proses peradilan. Apabila syarat taklif harus terdapat
pada waktu dilakukannya pemeriksaan oleh hakim, syarat
ini juga harus terdapat pada saat dilaksanakannya
keputusan hakim, sedang dengan adanya gila maka taklif
tersebut menjadi hapus.20
4). Di bawah umur
Konsep yang dikemukakan oleh syari'at Islam tentang
pertanggungjawaban anak di bawah umur merupakan konsep yang sangat
baik. Meskipun konsep tersebut telah lama usianya, namun konsep
tersebut menyamai teori terbaru di kalangan hukum positif. Hukum
Romawi sebagai bentuk hukum positif yang paling maju pada masa
turunnya syariat Islam dan yang menjadi dasar hukum-hukum Eropa
modern, mengadakan pemisahan antara pertanggungjawaban anak di
bawah umur dengan pertanggungjawaban orang dewasa dalam batas yang
sangat sempit, yaitu usia tujuh tahun. Dengan demikian menurut hukum
Romawi, apabila anak-anak telah mencapai umur tujuh tahun ke atas
20 Ibid., hlm. 387.
31
maka ia dibebani pertanggungjawaban pidana. Akan tetapi apabila
seorang anak belum mencapai usia tersebut (tujuh tahun), ia tidak
dikenakan pertanggungjawaban pidana, kecuali kalau ketika melakukan
jarimah ia mempunyai niatan untuk merugikan orang lain. Dalam hal yang
terakhir ini, meskipun ia belum mencapai usia tujuh tahun, tetap
dikenakan pertanggungjawaban pidana. Pandangan hukum Romawi mi
tentu saja sangat jauh berbeda dengan konsep yang dibawa oleh syariat
Islam.
Menurut syariat Islam, pertanggungjawaban pidana didasarkan
atas dua perkara, yaitu kekuatan berpikir (idrak) dan pilihan (ikhtiar).
Sehubungan dengan kedua dasar tersebut, maka kedudukan anak di bawah
umur berbeda-beda sesuai dengan perbedaan masa yang dilaluinya dalam
kehidupannya, semenjak ia dilahirkan sampai ia memiliki kedua perkara
tersebut.
Secara alamiah terdapat tiga masa yang dialami oleh setiap orang
sejak ia dilahirkan sampai ia dewasa.
1) Masa Tidak Adanya Kemampuan Berpikir (Idrak)
Masa ini dimulai sejak seseorang dilahirkan dan berakhir pada
usia tujuh tahun. Pada masa tersebut seorang anak dianggap tidak
mempunyai kemampuan berpikir, dan ia disebut anak yang belum
tamyiz. Sebenarnya tamyiz atau masa seseorang mulai bisa
membedakan antara benar dan salah, tidak dibatasi dengan usia
tertentu, karena tamyiz tersebut kadang-kadang bisa timbul sebelum
32
usia tujuh tahun dan kadang-kadang terlambat sesuai dengan
perbedaan orang, lingkungan, kondisi kesehatan akal, dan mentalnya.
Akan tetapi, para fuqaha berpedoman kepada usia dalam menentukan
batas-batas tamyiz dan kemampuan berpikir, agar ketentuan tersebut
bisa berlaku untuk semua orang, dengan berpegang kepada keadaan
yang umum dan biasa terjadi pada anak. Pembatasan tersebut
diperlukan untuk menghindari kekacauan hukum.
Di samping itu pembatasan tamyiz dengan umur
memungkinkan kepada seorang hakim untuk mengetahui dengan
mudah apakah syarat tersebut (kemampuan berpikir) sudah terdapat
atau belum, sebab dengan usia anak lebih mudah untuk
mengetahuinya. Meskipun anak yang belum berusia tujuh tahun sudah
menunjukkan kemampuan berpikir, bahkan mungkin melebihi anak
yang sudah berumur tujuh tahun, namun ia tetap dianggap belum
tamyiz, karena yang menjadi ukuran adalah kebanyakan orang dan
bukan perorangan.
Dengan demikian, seorang anak yang belum tamyiz, karena
belum mencapai usia tujuh tahun, apabila ia melakukan suatu jarimah
tidak dijatuhi hukuman, baik yang bersifat pidana maupun pendidikan.
la tidak dikenakan hukuman had apabila ia melakukan" jarimah hudud
dan tidak diqishash apabila ia melakukan jarimah qishash. Akan
tetapi, pembebasan anak tersebut dari pertanggungjawaban pidana
tidak menyebabkan ia dibebaskan dari pertanggungjawaban perdata
33
dari setiap jarimah yang dilakukannya. la tetap diwajibkan membayar
ganti rugi yang dibebankan kepada harta miliknya, apabila
tindakannya menimbulkan kerugian kepada orang lain, baik pada
hartanya maupun jiwanya.
2) Masa Kemampuan Berpikir yang Lemah
Masa ini dimulai sejak seorang anak memasuki usia tujuh
tahun dan berakhir pada usia dewasa (balig). Kebanyakan fuqaha
membatasi usia balig ini dengan lima belas tahun. Apabila seorang
anak telah mencapai usia lima belas tahun maka ia sudah dianggap
dewasa menurut ukuran hukum, meskipun mungkin saja ia belum
dewasa dalam arti yang sebenarnya. Imam Abu Hanifah menetapkan
usia dewasa dengan delapan belas tahun. Menurut satu riwayat
sembilan belas tahun untuk laki-laki dan tujuh belas tahun untuk
perempuan. Pendapat yang masyhur di kalangan ulama Malikiyah
sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah.21
Pada periode yang kedua ini, seorang anak tidak dikenakan
pertanggung-jawaban pidana atas jarimah-jarimah yang dilakukan
baik jarimah hudud, qishash, maupun ta'zir. Akan tetapi, ia dapat
dikenakan hukuman pengajaran (ta'dibiyah). Pengajaran ini meskipun
sebenarnya berupa hukuman juga, akan tetapi tetap dianggap sebagai
hukuman pengajaran dan bukan hukuman pidana. Oleh karena itu,
apabila anak tersebut berkali-kali melakukan jarimah dan berkali-kali
21 Ibid., hlm. 370.
34
pula dijatuhi pengajaran, namun ia tidak dianggap sebagai recidivis
atau pengulang kejahatan. Untuk pertanggungjawaban perdata ia tetap
dikenakan, meskipun ia dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana,
apabila perbuatannya merugikan orang lain, baik hartanya maupun
jiwanya. Karena harta dan jiwa dijamin keselamatannya oleh syara'
dan alasan-alasan yang sah tidak dapat menghapuskan jaminan
tersebut.
3) Masa Kemampuan Berpikir Penuh
Masa ini dimulai sejak seorang anak mencapai usia dewasa,
yaitu usia lima belas tahun menurut kebanyakan fuqaha atau delapan
belas tahun menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan pendapat yang
masyhur dari mazhab Maliki. Pada periode ini seorang anak dikenakan
pertanggungjawaban pidana atas semua jarimah yang dilakukannya,
apapun jenis dan macamnya. Pada umumnya hukum positif sama
pendiriannya dengan syariat Islam, yaitu mengadakan perbedaan
pertanggungjawaban pidana menurut perbedaan umur anak-anak di
bawah umur. Di samping itu dalam hukum positif, juga anak-anak di
bawah umur dikenakan pertanggungjawaban perdata, baik dijatuhi
hukuman pidana atau tidak. Hal itu disebabkan karena tidak ada
pertentangan antara dibebaskannya dari hukuman karena belum
mencapai usia tertentu dengan keharusan mengganti kerugian yang
timbul sebagai akibat perbuatannya.
35
D. Akibat-Akibat Hukum dari Daluwarsa Penuntutan
Yang dimaksud dengan daluwarsa ialah berlakunya sesuatu waktu
tertentu atas keputusan adanya hukuman tanpa dilaksanakannya hukuman
tersebut. Dengan berlakunya masa tersebut maka pelaksanaan hukuman
menjadi terhalang. Di kalangan fuqaha masih diperselisihkan, apakah
daluwarsa dapat menghapuskan hukuman atau tidak. Menurut kebanyakan
fuqaha, tidak menghapuskan. Bagi fuqaha yang memakai prinsip daluwarsa
tersebut tidak menganggapnya sebagai faktor pembatalan hukuman bagi
seluruh jarimah. 22
Dalam hal ini ada dua teori.
Teori pertama, dari Imam Malik, Syafi'i dan Ahmad. Menurut teori
tersebut sesuatu hukuman atau jarimah tidak gugur, bagaimanapun juga
lamanya hukuman atau jarimah tersebut tanpa dilaksanakan atau diadili,
selama bukan berupa hukuman atau jarimah ta'zir, sebab terhadap hukuman
dan jarimah tersebut berlaku prinsip daluwarsa apabila dipandang perlu oleh
penguasa negara untuk mewujudkan kemaslahatan umum.
Dasar teori tersebut ialah bahwa pada aturan-aturan dan nas-nas
syari'at Islam tidak ada hal-hal yang menunjukkan hapusnya hukuman
jarimah-jarimah hudud dan qisas-diyat dengan berlakunya masa tertentu.
Penguasa negara juga tidak bisa mengampuni atau menggugatkan hukuman
tersebut. Kalau tidak ada nas yang menghapuskan, maka artinya tidak bisa
hapus dengan adanya daluwarsa.
22Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, hlm.
349.
36
Mengenai jarimah-jarimah ta'zir, maka penerapan aturan-aturannya
yang umum mengharuskan berlakunya prinsip daluwarsa, karena penguasa
negara bisa memaafkan jarimah ta'zir dan hukumannya, artinya
memaafkannya dengan segera. Kalau ia bisa memaafkan dengan segera, maka
ia juga bisa menggantungkan gugurnya hukuman kepada berlakunya masa
tertentu, kalau dengan tindakannya itu bisa diwujudkan kepentingan umum.
Teori kedua, berasal dari Imam Abu Hanifah beserta murid-muridnya.
Pada dasarnya pendapat mereka sama dengan pendapat teori pertama, yaitu
mengakui adanya prinsip daluwarsa untuk jarimah-jarimah ta'zir, jarimah-
jarimah qisas-diyat dan satu jarimah hudud, yaitu memfitnah (qadzaf).
Menurut Zufar, murid Imam Abu Hanifah, untuk semua hukuman hudud juga
tidak berlaku prinsip tersebut, yang berarti sama dengan teori pertama.23
Akan tetapi imam Abu Hanifah sendiri mengakui adanya prinsip
daluwarsa untuk jarimah-jarimah hudud selain jarimah memfitnah. Meskipun
demikian, ia mengadakan pemisahan, apakah bukti-bukti penetapan jarimah-
jarimah hudud tersebut berupa saksi-saksi ataukah berupa pengakuan
pembuat. Kalau alat-alat bukti berupa saksi-saksi, maka hukuman bisa hapus
dengan daluwarsa. Tetapi kalau alat-alat bukti berupa pengakuan pembuat,
maka daluwarsa tidak berlaku, kecuali untuk jarimah minum-minuman keras.
Pemisahan tersebut didasarkan atas pendapatnya tentang persaksian
dalam hudud dan pengaduan korban dalam jarimah qadzaf. Jarimah hudud
yang ditetapkan berdasarkan persaksian mengalami daluwarsa, karena
23
Ibid.
37
persaksian itu bisa mengalami daluwarsa, artinya kalau persaksian itu
diberikan sesudah lewat masa tertentu, maka persaksian tersebut, tidak dapat
diterima.
Pada dasarnya setiap orang bisa memberikan persaksiannya seketika
mengenai terjadinya jarimah hudud. Akan tetapi kalau ia tidak memberikan
persaksiannya pada saat itu, maka ada kalanya karena ia tidak ingin
mengorek-ngorek keburukan orang lain, kecuali kalau ada halangan benar-
benar. Kalau sesudah itu ia memberikan persaksian, maka hal ini
menimbulkan dugaan bahwa ia mempunyai kebencian terhadap orang lain
tersebut. Oleh karena kebencian itu adalah sesuatu yang tidak nampak dan
sukar dibuktikan dalam semua keadaan, maka daluwarsa ditempatkan sebagai
gantinya. Berdasarkan ini maka semua persaksian tidak dapat diterima dengan
adanya daluwarsa, meskipun boleh jadi tidak ada perasaan terhadap diri saksi
itu.
Mengenai jarimah memfitnah (qadzaf) maka tidak ada daluwarsa,
karena dalam jarimah ini pengaduan korban menjadi syarat adanya tuntutan
fihak penguasa. Jadi saksi tidak dapat memberikan keterangannya sebelum
ada pengaduan tersebut, sedang untuk jarimah lain tidak diperlukan.
Kalau imam Abu Hanifah sudah mengakui adanya daluwarsa untuk
jarimah (dituntutnya jarimah), maka ia menerapkan pula prinsip tersebut
untuk hukumannya, karena menurut mereka pelaksanaan hukuman termasuk
dalam pemeriksaan pengadilan, artinya pelaksanaan hukuman menjadi
38
penyempurna pengadilan. Jadi pada jarimah disyaratkan tidak boleh
daluwarsa, maka syarat ini juga berlaku pada pelaksanaan hukumannya.
Imam Abu Hanifah sendiri tidak menentukan batas masa daluwarsa
dan hal ini diserahkan kepada hakim dengan menimbang pada keadaan yang
berbeda-beda. Menurut Muhammad, murid imam Abu Hanifah, masa tersebut
adalah enam bulan. Menurut pendapat lain, adalah sebulan. Dengan demikian
maka penguasa negara bisa membuat batas masa daluwarsa dan menolak
setiap keterangan (persaksian) yang diberikan sesudah lewat masa tersebut,
jika alat-alat buktinya berupa persaksian.
Ringkasnya, menurut imam Abu Hanifah hukuman jarimah ta'zir bisa
hapus dengan daluwarsa, bagaimanapun juga alat buktinya. Hukuman jarimah
hudud selain jarimah memfitnah bisa hapus dengan daluwarsa apabila alat
buktinya berupa persaksian. Jika alat buktinya berupa pengakuan maka
hukuman tersebut tidak hapus, kecuali minum-minuman keras maka bisa
hapus.
39
BAB III
HAPUSNYA HAK MENUNTUT PIDANA KARENA DALUWARSA
DALAM KUHP
A. Pengertian Daluwarsa dan Dasar Hukum
Daluwarsa adalah lewatnya waktu yang menjadi sebab gugurnya atau
hapusnya hak untuk menuntut atau melaksanakan hukuman terhadap
seseorang yang melakukan tindak pidana. Dalam perspektif KUHP bahwa
pada dasarnya semua pelaku (dalam arti luas) dari suatu tindak pidana harus
dituntut di muka sidang pengadilan pidana, akan tetapi baik secara umum atau
secara khusus undang-undang menentukan peniadaan dan atau penghapusan
penuntutan dalam hal-hal tertentu, misalnya karena daluwarsa.1 Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 78 KUHP bahwa hak menuntut pidana
hapus karena daluwarsa…2
Dasar dari ketentuan tersebut sama dengan dasar dari ketentuan pasal
76 ayat (1) tentang asas ne bis in idem ialah untuk kepastian hukum bagi
setiap kasus pidana, agar si pembuatnya tidak selama-lamanya ketenteraman
hidupnya diganggu tanpa batas waktu oleh ancaman penuntutan oleh negara,
pada suatu waktu gangguan seperti itu harus diakhiri. Orang yang berdosa
karena melakukan tindak pidana, untuk menghindari penuntutan oleh negara,
mengharuskan dia untuk selalu bersikap waspada kepada setiap orang,
1E.Y. Kanter dan Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
Jakarta: Alumni, 1982, hlm. 426. 2Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 2003, hlm. 33.
40
bersembunyi, menghindari pergaulan umum yang terbuka, semua itu membuat
ketidaktenangan hidupnya. Ketidaktenangan hidup yang sekian lama sebelum
masa daluwarsa berakhir pada dasarnya adalah suatu penderitaan jiwa, yang
tidak berbeda dengan penderitaan akibat menjalani suatu pidana yang
dijatuhkan oleh pengadilan.3
Selain alasan untuk kepastian hukum, prinsip lewatnya waktu ini, juga
didasarkan pada faktor kesulitan dalam hal untuk mengungkap kasus perkara.
Mengajukan tuntutan pidana pada dasarnya adalah berupa pekerjaan
mengungkap suatu peristiwa sebagaimana kejadian senyatanya (materiele
waarheid) pada waktu kejadian yang sudah berlalu. .Pengungkapan peristiwa
itu memerlukan bukti-bukti yang ditentukan dan diatur menurut ketentuan
Undang-undang, baik mengenai macam-macamnya maupun cara dan sistem
penggunaannya. Semakin lama lewatnya waktu akan semakin sulit untuk
memperoleh alat-alat bukti tersebut. Semakin lama ingatan seorang saksi akan
semakin berkurang bahkan lenyap atau lupa tentang suatu kejadian yang
dilihatnya atau dialaminya. Demikian juga benda-benda bukti, dengan waktu
yang lama akan menyebabkan benda itu menjadi musnah atau hilang dan tidak
ada lagi. Dengan berlalunya waktu yang lama memperkecil keberhasilan
bahkan dapat. menyebabkan kegagalan dari suatu pekerjaan penuntutan.4
Satu hal lagi yang penting, ialah dengan lewatnya waktu penderitaan
batin, baik bagi korban dan keluarganya maupun masyarakat sebagai akibat
dari suatu tindak pidana akan semakin berkurang yang pada akhirnya akan
3Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta: PT raja Grafindo Persada,
2002, hlm. 173. 4Ibid., hlm. 174.
41
lenyap atau lupa dari ingatan. Jika dilihat dari teori pembalasan, menjadi tidak
penting lagi untuk mengungkap suatu kasus yang sudah dilupakan oleh
masyarakat. Walaupun zaman modern sekarang teori pembalasan dinilai oleh
banyak kalangan sudah kuno, namun masih menjadi bahan pertimbangan
hukum.5
Dasar hukum hapusnya hak menuntut pidana karena daluwarsa diatur
dalam Pasal 78 sampai dengan Pasal 81 KUHP.
B. Macam-Macam Tindak Pidana
Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu
sebagai berikut.
1. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dimuat
dalam buku II dan pelanggaran (overtredingen) dimuat dalam buku III.
Penggolongan jenis-jenis delik di dalam KUHP, terdiri atas
kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Penggolongan
untuk kejahatan disusun di dalam Buku II KUHP dan pelanggaran disusun
di dalam Buku III KUHP. Undang-undang hanya memberikan
penggolongan kejahatan dan pelanggaran, akan tetapi tidak memberikan
arti yang jelas. Risalah penjelasan undang-undang (Mvt) yang terdapat di
negeri Belanda membuat ukuran kejahatan dan pelanggaran itu atas dasar
teoritis bahwa kejahatan adalah "rechtdelicten", sedangkan pelanggaran
adalah "wetsdelicten." Ilmu pengetahuan kemudian menjelaskan bahwa
5E.Y. Kanter dan Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
Jakarta: Alumni, 1982, hlm. 427.
42
rechtsdelicten merupakan perbuatan dalam keinsyafan batin manusia yang
dirasakan sebagai perbuatan tidak adil dan di samping itu juga sebagai
perbuatan tidak adil menurut undang-undang, sedangkan wetsdelicten
merupakan perbuatan yang menurut keinsyafan batin manusia tidak
dirasakan sebagai perbuatan tidak adil, tetapi baru dirasakan sebagai
perbuatan terlarang karena undang-undang mengancam dengan pidana.6
Andaikata belum dilarang oleh Undang-undang, akan tetapi oleh
masyarakat telah dirasakan sebagai suatu perbuatan yang "onrecht" maka
di situ terdapat rechtdelicten sebagai kejahatan, misalnya pembunuhan,
pencurian, dan lain sebagainya. Sebaliknya bagi perbuatan yang oleh
karena dilarang dan diancam dengan pidana menurut ketentuan undang-
undang itu, barulah perbuatan itu bertentangan dengan "wet", karena
masyarakat sebelumnya tidak menganggap demikian, misalnya larangan
dengan rambu-rambu lalu lintas, peraturan lalu lintas untuk memakai jalan
di jalur sebelah kiri bagi pengendara dan lain sebagainya.7
2. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil
(formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieel delicten);
3. Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana sengaja
(doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpose
delicten);
4. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana
aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta
6Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1983,
hlm. 95 7Ibid., hlm. 96.
43
commissionis) dan tindak pidana pasif/negatif, disebut juga tindak pidana
omisi (delicta omissionis);
5. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan
antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam
waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus;
6. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan
tindak pidana khusus;
7. Dilihat dari sudut subjek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak pidana
communia (delicta communia, yang dapat dilakukan oleh siapa saja), dan
tindak pidana propria (dapat dilakukan hanya oleh orang memiliki kualitas
pribadi tertentu);
8. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka
dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana
aduan (klacht delicten);
9. Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat
dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten),
tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak pidana
yang diperingan (gepriviligieerde delicten);
10. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana
tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang
dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta
benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik,
terhadap kesusilaan dan lain sebagainya;
44
11. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan
antara tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) dan tindak pidana
berangkai (samengestelde delicten);8
Delik formil itu adalah delik yang perumusannya dititik beratkan
kepada perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan
dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik. Misal :
penghasutan (Pasal 160 KUHP), dimuka umum menyatakan perasaan
kebencian, permusuhan atau penghinaan terhadap kepada satu atau lebih
golongan rakyat di Indonesia (Pasal 156 KUHP); penyuapan (Pasal 209, 210
KUHP); sumpah palsu (Pasal 242 KUHP); pemalsuan surat (Pasal 263
KUHP); pencurian (Pasal 362 KUHP). Delik materiil itu adalah delik yang
perumusannya dititik beratkan kepada akibat yang tidak dikehendaki
(dilarang). Delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu
telah terjadi. Kalau belum, maka paling banyak hanya ada percobaan. Misal :
pembakaran (Pasal 187 KUHP), penipuan (Pasal 378 KUHP), pembunuhan
(Pasal 338 KUHP). Batas antara delik formil dan delik materiil tidak tajam
misalnya Pasal 362.
Delik Commissioms, delik omissionis dan delik comnussionis
peromissionem commissa. Delik commissionis: delik yang berupa pelanggaran
terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian,
penggelapan. penipuan. Delik omissionis: delik yang berupa pelanggaran
terhadap perintah, ialah tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan yang
8Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, op.cit., hlm. 121
45
diharuskan, misal: tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan (Pasal
22 KUHP), tidak menolong orang yang memerlukan pertolongan (Pasal 531).
Delik commissionis per omissionen commissa: delik yang berupa pelanggaran
larangan (dus delik commissionisl, akan tetapi dapat dilakukan dengan cara
tidak berbuat. Misal : seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak
memberi air susu (Pasal 338, 340 KUHP), seorang penjaga wissel yang
menyebabkan kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak memindahkan
wissel (Pasal 194 KUHP).
Delik dolus dan delik culpa (doleuse en culpose delicten). Delik dolus
; delik yang memuat unsur kesengajaan. misal: Pasal-Pasal 187, 197, 245,
263,310,338 KUHP. Delik culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah
satu unsur misal : Pasal-Pasal 195, 197, 201, 203, 231 ayat 4 dan Pasal 359,
360 KUHP. Delik tunggal dan delik berganda (enkelvoudige en samengestelde
delicten). Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu
kali. Delik berganda : delik yang bani merupakan delik, apabila dilakukan
beberapa kali perbuatan, misal : Pasal 481 (penadahan sebagai kebiasaan).9
Delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak berlangsung terus
(voordurende en niet voortdurende/ aflopende delicten). Delik yang
berlangsung terus : delik yang mempunyai ciri, bahwa keadaan terlarang itu
berlangsung terus, misal; merampas kemerdekaan seseorang (Pasal 333
KUHP). Delik aduan dan, bukan delik aduan : (klachtdelicten en niet klacht
delicten). Delik aduan : delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila
9Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990, hlm. 57
46
ada pengaduan dari pihak yang terkena (gelaedeerde partij). Misal
penghinaan (Pasal 310 dst. yo. 319 KUHP), perzinahan (Pasal 284 KUHP),
chantage (pemerasan dengan ancaman pencemaran, Pasal 335 ayat 1 sub 2
KUHP yo. ayat 2). Delik aduan dibedakan menurut sifatnya sebagai: delik
aduan yang absolut, ialah mis: Pasal 284, 310, 332. Delik.-delik ini menurut
sifatnya hanya dapat dituntut berdasar kan pengaduan. Delik aduan yang
relatif ialah mis. : Pasal 367. Disebut relatif, karena dalam delik-delik ini ada
hubungan istimewa antara si pembuat dan orang yang terkena.
Catatan : perlu dibedakan antara aduan dan gugatan dan laporan.
Gugatan dipakai dalam acara perdata, misal. : A menggugat B di muka
Pengadilan, karena B tidak membayar hutangnya kepada A Laporan hanya
pemberitahuan belaka tentang adanya sesuatu tindak pidana kepada polisi atau
Jaksa.
Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya (eenvoudige dan
gequalificeerde delicten). Delik yang ada pemberatannya, misal. :
penganiayaan yang menyebabkan luka berat atau matinya orang (Pasal 351
ayat 2, 3 KUHP), pencurian pada waktu malam hari dsb. (Pasal 363). Ada
delik yang ancaman pidananya diperingan karena dilakukan dalam keadaan
tertentu, misal. : pembunuhan kanak-kanak (Pasal 341 KUHP) Delik ini
disebut "geprivilegeerd delict". Delik sederhana; misal. : penganiayaan (Pasal
351 KUHP), pencurian (Pasal 362 KUHP).10
10
Ibid., hlm. 58.
47
C. Hapusnya Hak Penuntutan Pidana
Kata "tindak pidana" merupakan terjemahan dari istilah bahasa
Belanda "straafbaarfeit", namun pembentuk undang-undang di Indonesia
tidak menjelaskan secara rinci mengenai "straafbaarfeit".11
Perkataan “feit”
itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan”
atau “een gedeelte van de werkelijkheid”, sedang “strafbaar” berarti “dapat
dihukum”, hingga secara harafiah perkataan “strafbaar feit” itu dapat
diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”,
yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan diketahui bahwa
yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan
kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.12
Seperti yang telah dikatakan di atas, bahwa pembentuk undang-undang
tidak memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang ia
maksud dengan perkataan “strafbaar feit”, maka timbullah di dalam doktrin
berbagai pendapat tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan “strafbaar
feit” tersebut., misalnya perbuatan pidana, peristiwa pidana, perbuatan-
perbuatan yang dapat dihukum, hal-hal yang diancam dengan hukum dan
perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan hukuman serta tindak pidana.13
11Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 5. 12P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1984,
hlm. 172. 13K. Wancik Saleh, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007,
hlm. 15.
48
Dalam hubungan ini, Satochid Kartanegara lebih condong
menggunakan istilah “delict” yang telah lazim dipakai.14
R. Tresna
menggunakan istilah "peristiwa pidana".15
Sudarto menggunakan istilah
"tindak pidana",16
demikian pula Wirjono Projodikoro menggunakan istilah
"tindak pidana" yaitu suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan
hukuman pidana.17
Akan tetapi Moeljatno menggunakan istilah “perbuatan
pidana” yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan
mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut.18
Dalam hubungannya dengan hapusnya hak penuntutan pidana, bahwa
KUHP memuat 4 (empat) hal yang menyebabkan negara kehilangan hak
untuk menuntut pidana terhadap si pembuat tindak pidana, yaitu:
1. Sebab perbuatan yang telah diputus oleh pengadilan dengan putusan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 76);
2. Sebab meninggalnya si pembuat (pasal 77);
3. Sebab telah lampau waktu atau kadaluwarsa (pasal 78-80);
4. Penyelesaian di luar pengadilan, yaitu dengan dibayarnya denda
maksimum dan biaya-biaya bila penuntutan telah dimulai (pasal 82: bagi
pelanggaran yang hanya diancam pidana denda).
14Satochid Kartanegara, tth, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian I, tk, Balai Lektur
Mahasiswa, hlm. 74. 15R. Tresna, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: PT Tiara Limit, t.th, hlm. 27. 16Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Fakultas Hukum UNDIP, 1990, hlm. 38. 17Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung PT Eresco, 1986,
hlm. 55. 18Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, hlm. 54.
49
D. Hapusnya Hak Penuntutan Pidana karena Daluwarsa
Berapa lamakah tenggang lewatnya waktu pelaku tindak pidana untuk
menjadi tidak dapat dituntut karena daluwarsa? Dalam hal ini bergantung dari
berat ringannya pidana yang diancamkan pada tindak pidana yang diperbuat.
Hal ini tampak pada ketentuan pasal 78 ayat (1), yang menetapkan, bahwa hak
menuntut pidana menjadi hapus karena lewat waktu, yakni:
a. untuk semua tindak pidana pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan
dengan percetakan, sesudah satu tahun;
b. untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana
kurungan atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
c. untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih
dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun; dan
d. untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara setinggi-
tingginya dua puluh tahun, sesudah delapan belas tahun.
Sedangkan untuk pelaku anak-anak yang pada saat melakukan tindak
pidana umurnya belum delapan belas tahun, menurut ayat (2) maka tenggang
daluwarsa hapusnya penuntutan pidana adalah dikurangi sepertiga dari
ketentuan pada ayat pertamanya.
Menetapkan lamanya tenggang daluwarsa untuk peniadaan penuntutan
pidana yang didasarkan pada berat ringannya ancaman pidana atau berat
ringannya tindak pidana yang diperbuat, adalah bertitik tolak dari pandangan
bahwa semakin berat atau besar tindak pidana yang diperbuat akan semakin
lama ingatan orang atau masyarakat terhadap kejadian itu, yang juga artinya
ialah lamanya penderitaan yang dirasakan orang dan atau masyarakat sebagai
akibat dari diperbuatnya tindak pidana bergantung dari berat ringannya
macam dan jenis tindak pidana yang diperbuat orang. Semakin berat tindak
50
pidana diperbuat akan semakin lama rasa penderitaan yang dibawa oleh orang
atau masyarakat sebagai akibat dari diperbuatnya tindak pidana.19
Apabila tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan menuntut pidana
diperbandingkan dengan tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan
menjalankan pidana (pasal 84), maka jelas lamanya tenggang daluwarsa
hapusnya kewenangan menuntut pidana ini lebih pendek. Perbedaan itu adalah
wajar dan logis, sebab pada lamanya tenggang daluwarsa hapusnya
kewenangan menjalankan pidana si pembuat telah secara pasti (kepastian
hukum) bersalah dan telah dijatuhinya pidana oleh pengadilan. Sedangkan
pada tenggang daluwarsa hapusnya hak penuntutan pidana, si pembuat belum
dinyatakan bersalah dengan jatuhnya suatu putusan pemidanaan oleh
pengadilan.
Berhubung adanya pemberatan pidana (misalnya pengulangan)
maupun pengurangan pidana (misalnya pembuat belum berumur 18 tahun),
maka timbul kesulitan untuk menentukan apakah suatu kejahatan itu diancam
dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau lebih dari 3 tahun. Dengan
kata lain dalam hal untuk menentukan ancaman pidana penjara paling lama 3
tahun atau lebih dari 3 tahun, apakah pemberatan pidana maupun pengurangan
pidana ikut diperhitungkan ataukah tidak perlu diperhitungkan? Misalnya
kejahatan pasal 380 KUHP yang diancam pidana penjara 2 tahun 8 bulan,
yang apabila terjadi pengulangan maka ancaman pidananya ditambah dengan
sepertiganya atau menjadi 3 tahun 6 bulan dan 19 hari. Kesulitannya ialah
19Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta: PT raja Grafindo Persada,
2002, hlm. 173, hlm. 176.
51
untuk menentukan tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan penuntutan
pidana pada pengulangan pasal 380 ini, apakah berpedoman pada ancaman
pidana tanpa memperhatikan pemberatan karena pengulangan (2 tahun 8
bulan) ataukah memperhitungkan juga pemberatan pada pengulangannya
(ditambah sepertiganya) sehingga ancaman pidananya menjadi 3 tahun 6
bulan dan 19 hari? Dengan demikian tenggang daluwarsanya tidak sesudah 6
tahun, tetapi sesudah 12 tahun. Undang-undang tidak memberikan petunjuk
mengenai persoalan ini. Mengenai persoalan ini ada 2 pendapat yang saling
bertentangan, yaitu:
a. Pendapat pertama, Noyon, Van Hattum dan Hazewinkel Suringa
menyatakan bahwa dalam hal menentukan suatu kejahatan diancam
dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau lebih dari tiga tahun,
tidaklah perlu memperhatikan pemberatan pidana ataupun pengurangan
pidana, yang harus diperhatikan hanyalah sanksi pidana yang diancamkan
pada masing-masing rumusan tindak pidana yang bersangkutan
b. Pendapat kedua, sebaliknya seperti Jonkers menyatakan bahwa tenggang
daluwarsa itu adalah didasarkan pada ancaman pidana maksimum tindak
pidana yang pada kenyataannya diperbuat, oleh karena itu keadaan
obyektif maupun subyektif yang memberatkan pidana atau meringankan
pidana juga harus diperhitungkan dalam hal menentukan tenggang
daluwarsa hapusnya kewenangan penuntutan pidana.20
20Jonkers, Hukum Pidana Hindia Belanda, Terj. Tim Penerjemah Bina Aksara, Jakarta:
PT Bina Aksara, 1987, hlm. 238
52
Adami Chazawi lebih condong pada pendapat kedua, dengan alasan
berikut. Berdasarkan kenyataan bahwa tidak ada penjelasan ataupun
keterangan dalam Undang-undang dalam hal memperhitungkan tenggang
daluwarsa hapusnya kewenangan penuntutan pidana terhadap pemberatan
ataupun peringanan pidana pada kejahatan. Sedangkan menurut pasal 86
KUHP di mana menyatakan bahwa apabila disebut kejahatan maka disitu
termasuk percobaannya dan pembantuan, kecuali ditentukan lain, yang artinya
Undang-undang hanya memberi penjelasan tentang memperhitungkan
tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan penuntutan pidana bagi
pembantuan kejahatan dan percobaan kejahatan adalah disamakan dengan si
pembuat dan si pembuat kejahatan selesai. Oleh karena itu di luar apa yang
diterangkan oleh pasal 86 KUHP (in casu pemberat pidana dan peringan
pidana pada kejahatan) tetap diperhitungkan dalam hal menentukan tenggang
daluwarsa hapusnya kewenangan menuntut pidana. Sebab apabila maksud
pembentuk Undang-undang agar tidak diperhitungkan terhadap pemberatan
dan atau peringanan pidana, tentulah diberikan keterangan sebagaimana
halnya bagi pembantuan kejahatan dan percobaan kejahatan seperti pada pasal
86 KUHP tersebut.21
Sedangkan sejak kapan berlakunya tenggang daluwarsa hapusnya
kewenangan penuntutan pidana itu, ditetapkan secara umum (pasal 79
KUHP), yaitu pada hari sesudah dilakukannya perbuatan, kecuali dalam tiga
hal, yaitu:
21Adami Chazawi, op.cit., hlm. 176
53
a. mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, adalah pada hari sesudah
barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak itu digunakan;
b. mengenai kejahatan dalam pasal-pasal: 328, 329, 330 dan 333 KUHP,
dimulainya adalah pada hari sesudah orang yang langsung terkena
kejahatan (korban) dibebaskan atau meninggal dunia;
c. mengenai pelanggaran dalam pasal 556 KUHP sampai dengan pasal 558a
KUHP, adalah dimulai pada hari sesudah daftar-daftar yang memuat
pelanggaran-pelanggaran itu telah disampaikan/diserahkan pada Panitera
Pengadilan yang bersangkutan.22
Berjalannya waktu penghitungan lamanya tenggang daluwarsa, dapat
dihentikan oleh adanya tindakan penuntutan, asalkan penuntutan ini diketahui
oleh orang yang dituntut atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara
yang ditentukan Undang-undang. Setelah jalannya tenggang daluwarsa
dihentikan oleh adanya penuntutan ini, maka dimulainya lagi tenggang
daluwarsa yang baru (pasal 80 KUHP). Yang dimaksud dengan tindakan
penuntutan adalah tindakan Pejabat Penuntut Umum yang menyerahkan
berkas perkara Pidana ke Pengadilan yang disertai dengan permintaan agar
perkara itu diperiksa dan diputus (pasal 1 ayat 7 KUHAP). Jadi terbitnya
hitungan hari penuntutan ialah pada hari di mana Jaksa Penuntut Umum (JPU)
menyerahkan (berkas) perkara yang bersangkutan ke Pengadilan yang
berkompetensi. Tindakan Penyidik melakukan penyidikan tidak termasuk
pengertian penuntutan, dan oleh karenanya tindakan penyidikan tidak
menghentikan berjalannya proses tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan
menuntut pidana.
Disamping proses berjalannya tenggang daluwarsa dapat dihentikan
(dengan tindakan penuntutan), berjalannya tenggang daluwarsa dapat pula
22Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000, hlm.35
54
tertunda berhubung dengan adanya penundaan (schorsing) penuntutan, yakni
apabila terjadi "perselisihan yang harus diputuskan lebih dahulu"/pra-yudisial
(pasal 81 KUHP). Tertundanya proses berjalannya tenggang daluwarsa karena
adanya penundaan penuntutan berhubung adanya perselisihan pra-yudisial
(perselisihan yang harus diputuskan lebih dahulu) berbeda dengan
penghentian berjalannya tenggang daluwarsa karena penuntutan pidana.23
Perbedaan itu ialah, pada penghentian tenggang daluwarsa karena
adanya penuntutan, maka setelah tenggang waktu itu dihentikan akan dimulai
penghitungan yang baru lagi, tanpa memperhitungkan lamanya waktu
sebelum tenggang daluwarsa dihentikan, artinya waktu yang berjalan sebelum
penuntutan dihentikan tidak diperhitungkan lagi. Misalnya A melakukan
pencurian tanggal 1 Januari 2001, pada tanggal 2 Januari mulai berjalan hari
pertama penghitungan tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan penuntutan
pidana. Pada tanggal 30 Juni 2001 (berkas) perkara yang bersangkutan oleh
Jaksa P.U dilimpahkan ke Pengadilan yang berwenang, maka terhentilah
penghitungan tenggang daluwarsa pada tanggal 30 Juni 2001. Penghitungan
tenggang daluwarsanya mulai hari pertama lagi pada keesokan harinya tanggal
1 Juli 2001.
Tetapi pada tertundanya jalan tenggang daluwarsa karena schorsing
penuntutan pidana karena adanya perselisihan pra-yudisial, jalan proses
tenggang daluwarsa tersebut dihentikan sementara yang setelah perselisihan
pra-yudisial itu diselesaikan, maka penghitungan tenggang daluwarsa
23Adami Chazawi, op.cit., hlm. 177.
55
dilanjutkan lagi, yang artinya lamanya tenggang daluwarsa sebelum terhenti
juga turut dihitung. Misalnya pada contoh diatas tadi, berhubung adanya
perselisihan pra-yudisial di mana terdakwa mendalilkan barang yang
diambilnya itu adalah miliknya sendiri karena telah dibelinya dari si pelapor,
maka Majelis Hakim melakukan tindakan schorsing penuntutan pada tanggal
1 Qktober 2001 (sebelumnya tenggang daluwarsa telah berjalan sejak tanggal
1 Juli = 3 bulan). Kemudian, berhubung telah adanya putusan perdata yang
mempunyai kekuatan hukum tetap tentang kepemilikan obyek barang yang
dalam dakwaan telah dicuri oleh A, maka schorsing penuntutan dicabut
dengan dibukanya persidangan kembali pada tanggal 30 Desember 2001.
Dengan demikian penghitungan pada tanggal 30 Desember 2001 jalannya
tenggang daluwarsa dilanjutkan lagi dengan tetap menghitung masa 3 bulan
tenggang daluwarsa yang tertunda dahulu.24
Penundaan penuntutan pidana karena adanya perselisihan pra-yudisial,
maksudnya adalah tindakan penghentian sementara pemeriksaan suatu perkara
pidana oleh Majelis Hakim yang memeriksa berhubung diperlukan adanya
putusan Majelis perkara yang lain yang sangat penting dan menentukan dalam
hal memutus perkara yang dischorsing tersebut. Jonkers memberi contoh
seorang dituntut (diajukan ke sidang pengadilan) dengan didakwa melakukan
pencurian suatu barang milik orang lain. Tetapi di persidangan dia
memberikan keterangan bahwa barang itu adalah miliknya sendiri.25
24Ibid., hlm. 177. 25Jonkers, op.cit., hlm. 243.
56
Apabila tentang kepemilikan ini terdapat kesukaran dalam hal
pembuktiannya, karena Majelis Hakim pidana tidak dibenarkan menetapkan
tentang kepemilikan dari barang ini, maka Majelis melakukan tindakan
penghentian sementara penuntutan, dan meminta pada orang itu mengajukan
gugatan perdata untuk menentukan milik siapa barang yang menurut dakwaan
diambil oleh Terdakwa tersebut. Disini telah terjadi keadaan yang disebut
perselisihan pra-yudisial sebagaimana contoh tersebut diatas.
Penghitungan tenggang daluwarsa schorsing oleh sebab adanya
perselisihan pra-yudisial, tidak saja disebabkan oleh pentingnya suatu putusan
perkara perdata yang menentukan terhadap putusan perkara pidana yang
dischorsing, tetapi juga dapat terjadi dalam hal diperlukannya putusan lain
dari hakim perkara pidana. Misalnya Jaksa P.U telah membawa seseorang ke
Pengadilan dengan mendakwanya "telah menggunakan surat palsu atau
dipalsu" (263 ayat 2), sementara ternyata bahwa terhadap orang yang diduga
membuat surat palsu atau memalsu surat itu diperiksa oleh Majelis Hakim
yang lain, dengan maksud menghindari adanya dua putusan yang saling
bertentangan dalam hal pokok perkaranya ada hubungan yang sangat erat,
maka Majelis Hakim yang memeriksa dakwaan menggunakan surat palsu atau
dipalsu tadi, perlu mengambil tindakan schorsing penuntutan pidana, dengan
menghentikan pemeriksaan perkara itu sampai adanya putusan perkara dengan
dakwaan membuat surat palsu atau memalsu surat tadi mempunyai kekuatan
hukum tetap.
57
Contoh lainnya ialah pasal 314 ayat (3), yang menyatakan bahwa:
"Jika terhadap yang dihina telah dimulai penuntutan pidana karena hal yang
dituduhkan padanya, maka penuntutan karena fitnah dihentikan sampai
mendapat putusan yang menjadi tetap tentang hal yang dituduhkan".
Konkritnya pada contoh demikian, A menuduh B telah melakukan perzinaan
(284) dengan istrinya, dan untuk itu A telah mengajukan pengaduan atas kasus
itu pada Polisi. Dengan pengaduan yang dilakukan oleh A itu, B merasa
terhina dan juga melakukan laporan pada Polisi bahwa dia difitnah (311 jo
310) oleh A. Ketika A dituntut dengan didakwa memfitnah (311 jo 310) ke
pengadilan, yang ternyata B telah dituntut pula dengan didakwa melakukan
zina (284), maka Majelis Hakim perkara A melakukan schorsing penuntutan
pidana, menunggu perkara B diputus dengan putusan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap. Dengan telah mendapatkan putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, Majelis Hakim perkara A mencabut
schorsing penuntutan dengan membuka sidang kembali. Apabila isi putusan
perkara B dia dipidana karena salahnya melakukan tindak pidana zina (284),
maka putusan itu dijadikan dasar oleh Majelis Hakim perkara A untuk
membebaskan A, dan sebaliknya apabila B dibebaskan - artinya apa yang
dituduhkan oleh A tidak terbukti, maka dengan putusan pembebasan itu akan
digunakan sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana terhadap A.
E. Dampak dari Daluwarsa Penuntutan
Dampak dari lewatnya suatu waktu, maka suatu tindak pidana yang
dilakukan seseorang tidak bisa dituntut. Dengan demikian pelaku tindak
58
pidana tidak bisa seret ke meja hijau sehingga pelaku sudah dapat bergerak
bebas. Tindak pidana yang telah dilakukan tidak lagi diusut atau diproses.
Dampak hapusnya penuntutan ini didasari atas pertimbangan bahwa pelaku
selama hidupnya yang ada dalam persembunyian dengan keterbatasan ruang
gerak dan kemerdekaan, sudah menjadi indikasi hukuman atas perbuatannya.
Pertimbangan lain bahwa jika tindak pidana itu dituntut maka para penegak
hukuman akan mengalami kesulitan dalam mencari dan merekam keseluruhan
alat bukti. Pelaku pun sudah sulit dimintai keterangan secara jelas dan benar
karena boleh jadi sudah banyak lupa dengan peristiwa itu.26
Tindak pidana yang telah dilakukan seseorang menjadi tidak dapat
dituntut karena daluwarsa sudah tentu ada ukuran waktunya. Dalam ketentuan
pasal 78 ayat (1), yang menetapkan, bahwa hak menuntut pidana menjadi
hapus karena lewat waktu, yakni: untuk semua tindak pidana pelanggaran dan
kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, sesudah satu tahun. Sedangkan
untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana
kurungan atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun.
Untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari
tiga tahun, sesudah dua belas tahun; dan untuk tindak pidana kejahatan yang
diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun, sesudah delapan belas
tahun.
26Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta: PT raja Grafindo Persada,
2002, hlm. 173, hlm. 176.
59
BAB IV
ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENERAPAN PENENTUAN
HAPUSNYA PENUNTUTAN PIDANA KARENA DALUWARSA DALAM
KUHP
A. Konsep Penentuan Daluwarsa Penuntutan dalam KUHP
Meskipun setiap orang yang melakukan tindak pidana harus dituntut,
namun jika orang yang melakukan tindak pidana misalnya melarikan diri dan
polisi belum mampu melacak keberadaan orang itu sehingga dalam sekian
tahun orang itu tidak dapat ditangkap, selama itu jika sudah daluwarsa
menuntut pidana, maka hapusnya hak penuntutan pidana terhadap orang itu.
Dengan kata lain menurut E.Y. Kanter dan Sianturi bahwa pada dasarnya
semua pelaku (dalam arti luas) dari suatu tindak pidana harus dituntut di muka
sidang pengadilan pidana, akan tetapi baik secara umum atau secara khusus
undang-undang menentukan peniadaan dan atau penghapusan penuntutan
dalam hal-hal tertentu, misalnya karena daluwarsa.1 Hal ini sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 78 KUHP bahwa hak menuntut pidana hapus karena
daluwarsa…2
Hak menuntut pidana menjadi hapus karena lewatnya waktu (78 ayat
1). Dasar dari ketentuan ini sama dengan dasar dari ketentuan pasal 76 ayat
(1) tentang asas ne bis in idem ialah untuk kepastian hukum bagi setiap kasus
pidana, agar si pembuatnya tidak selama-lamanya ketenteraman hidupnya
1E.Y. Kanter dan Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
Jakarta: Alumni, 1982, hlm. 426. 2Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 2003, hlm. 33.
60
diganggu tanpa batas waktu oleh ancaman penuntutan oleh negara, pada suatu
waktu gangguan seperti itu harus diakhiri. Orang yang berdosa karena
melakukan tindak pidana, untuk menghindari penuntutan oleh negara,
mengharuskan dia untuk selalu bersikap waspada kepada setiap orang,
bersembunyi, menghindari pergaulan umum yang terbuka, semua itu membuat
ketidaktenangan hidupnya. Ketidaktenangan hidup yang sekian lama sebelum
masa daluwarsa berakhir pada dasarnya adalah suatu penderitaan jiwa, yang
tidak berbeda dengan pënderitaan akibat menjalani suatu pidana yang
dijatuhkan oleh pengadilan.3
Selain alasan untuk kepastian hukum, prinsip lewatnya waktu ini, juga
didasarkan pada faktor kesulitan dalam hal untuk mengungkap kasus perkara.
Mengajukan tuntutan pidana pada dasarnya adalah berupa pekerjaan
mengungkap suatu peristiwa sebagaimana kejadian senyatanya (materiele
waarheid) pada waktu kejadian yang sudah berlalu. Pengungkapan peristiwa
itu memerlukan bukti-bukti yang ditentukan dan diatur menurut ketentuan
Undang-undang, baik mengenai macam-macamnya maupun cara dan sistem
penggunaannya. Semakin lama lewatnya waktu akan semakin sulit untuk
memperoleh alat-alat bukti tersebut. Semakin lama ingatan seorang saksi akan
semakin berkurang bahkan lenyap atau lupa tentang suatu kejadian yang
dilihatnya atau dialaminya. Demikian juga benda-benda bukti, dengan waktu
yang lama akan menyebabkan benda itu menjadi musnah atau hilang dan tidak
3Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta: PT raja Grafindo Persada,
2002, hlm. 173.
61
ada lagi. Dengan berlalunya waktu yang lama memperkecil keberhasilan
bahkan dapat. menyebabkan kegagalan dari suatu pekerjaan penuntutan.4
Satu hal lagi yang penting, ialah dengan lewatnya waktu penderitaan
batin, baik bagi korban dan keluarganya maupun masyarakat sebagai akibat
dari suatu tindak pidana akan semakin berkurang yang pada akhirnya akan
lenyap atau lupa dari ingatan. Jika dilihat dari teori pembalasan, menjadi tidak
penting lagi untuk mengungkap suatu kasus yang sudah dilupa oleh
masyarakat. Walaupun zaman modern sekarang teori pembalasan dinilai oleh
banyak kalangan sudah kuno, namun pada kenyataannya kepuasan korban dan
masyarakat atas pidana yang-dijatuhkan pengadilan tidak dapat terlepas dari
berat ringannya (setimpal) dari kesalahan dan berat ringannya tindak pidana
yang dilakukannya.5
Berapa lamakah tenggang lewatnya waktu seseorang pembuat tindak
pidana untuk menjadi tidak dapat dituntut karena daluwarsa? Dalam hal ini
bergantung dari berat ringannya pidana yang diancamkan pada tindak pidana
yang diperbuat. Hal ini tampak pada ketentuan pasal 78 ayat (1), yang
menetapkan, bahwa hak menuntut pidana menjadi gugur dalam tenggang
waktu, yakni:
a. untuk semua tindak pidana pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan
dengan percetakan, sesudah satu tahun;
b. untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana
kurungan atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
c. untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih
dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun; dan
4Ibid., hlm. 174.
5E.Y. Kanter dan Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
Jakarta: Alumni, 1982, hlm. 427.
62
d. untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara setinggi-
tingginya dua puluh tahun, sesudah delapan belas tahun.
B. Analisis Hukum Islam terhadap Penerapan Penentuan Daluwarsa
Penuntutan dalam KUHP
Dilihat dari hukuman yang telah ditetapkan atau tidak oleh syara',
jarimah dapat dibedakan menjadi tiga. Pertama, jarimah hudud yaitu jarimah
yang hukumannya telah ditetapkan baik bentuk maupun jumlahnya oleh
syara'. la menjadi hak Tuhan; hakim tidak mempunyai kewenangan untuk
mempertinggi atau memperendah hukuman bila si pelaku telah terbukti
melakukan jarimah tersebut. Jarimah yang termasuk jarimah hudud adalah
jarimah zina, menuduh zina, minum-minuman keras, mencuri, merampok,
keluar dari Islam dan memberontak.
Kedua, jarimah qisas yaitu jarimah yang hukumannya telah ditetapkan
oleh syara', namun ada perbedaan dengan jarimah hudud dalam hal
pengampunan. Pada jarimah qisas, hukuman bisa berpindah kepada al-diyat
(denda) atau bahkan bebas dari hukuman, apabila korban atau wali korban
memaafkan pelaku. Perbuatan yang termasuk dalam jarimah qisas adalah
pembunuhan dan pelukaan. Pembunuhan terbagi kepada tiga, yaitu:
pembunuhan sengaja, semi sengaja, dan kekeliruan. Sedangkan pelukaan
terbagi menjadi dua, yaitu: pelukaan sengaja dan kekeliruan. Ketiga, jarimah
ta'zir yaitu jarimah yang hukuman-nya tidak ditetapkan baik bentuk maupun
63
jumlahnya oleh syara', melainkan diberikan kepada negara kewenangannya
untuk menetapkannya sesuai dengan tuntutan kemaslahatan.6
Pembagian jarimah seperti tersebut di atas tentunya mempunyai
tujuan. Para ahli hukum Islam mengklasifikasi tujuan-tujuan yang luas dari
syariat sebagai berikut.7
1. Menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup merupakan tujuan
pertama dan utama dari syariat. Dalam kehidupan manusia, ini merupakan
hal penting, sehingga tidak bisa dipisahkan. Apabila kebutuhan-kebutuhan
ini tidak terjamin, akan terjadi kekacauan dan ketidaktertiban di mana-
mana. Kelima kebutuhan hidup yang primer ini (dharuriyat), dalam
kepustakaan hukum Islam disebut dengan istilah al-maqasid al-khamsah,
yaitu: agama, jiwa, akal pikiran, keturunan, dan hak milik. Syariat telah
menetapkan pemenuhan, kemajuan, dan perlindungan tiap kebutuhan itu,
serta menegaskan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengannya sebagai
ketentuan yang esensial.
2. Tujuan berikutnya adalah menjamin keperluan hidup (keperluan sekunder)
atau disebut hajiyat. Ini mencakup hal-hal penting bagi ketentuan itu dari
berbagai fasilitas untuk penduduk dan memudahkan kerja keras dan beban
tanggung jawab mereka. Ketiadaan berbagai fasilitas tersebut mungkin
tidak menyebabkan kekacauan dan ketidaktertiban, akan tetapi dapat
menambah kesulitan bagi masyarakat. Dengan kata lain, keperluan-
6Ibid., hlm. vii. 7Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema Insani, 2003, hlm. 19
64
keperluan ini terdiri dari berbagai hal yang menyingkirkan kesulitan dari
masyarakat dan membuat hidup menjadi mudah bagi mereka.
3. Tujuan ketiga dari perundang-undangan Islam adalah membuat berbagai
perbaikan, yaitu menjadikan hal-hal yang dapat menghiasi kehidupan
sosial dan menjadikan manusia mampu berbuat dan mengatur urusan
hidup lebih baik (keperluan tersier) atau tahsinat. Ketiadaan perbaikan-
perbaikan ini tidak membawa kekacauan sebagaimana ketiadaan
kebutuhan-kebutuhan hidup; juga tidak mencakup apa-apa yang perlu
untuk menghilangkan berbagai kesulitan dan membuat hidup menjadi
mudah. Perbaikan adalah hal-hal yang apabila tidak dimiliki akan
membuat hidup tidak menyenangkan bagi para intelektual. Dalam hal ini,
perbaikan mencakup arti kebajikan (virtues), cara-cara yang baik (good
manner), dan setiap hal yang melengkapi peningkatan cara hidup.8
Menurut Abd al-Wahhâb Khalâf, tujuan pemberian hukuman dalam
Islam sesuai dengan konsep tujuan umum disyariatkannya hukum, yaitu untuk
merealisasi kemaslahatan umat dan sekaligus menegakkan keadilan.9
Hukum pidana Islam secara implisit menetapkan adanya tujuan
pemidanaan seperti diungkapkan dalam ayat berikut ini:
���� ��������� � ������� � ���� ���� ������ ������ ���� ������ ��� �!�"#!�$ %�&�'�(%)�* +,�)��� -./���0 -�!���1)3"45� :78(
Artinya: "Laki-laki dan perempuan yang mencuri potonglah tangan
keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka
8Ibid., hlm. 20.
9Abd al-Wahhâb Khalâf, ‘Ilm usûl al-Fiqh, Kuwait: Dâr al-Qalam, 1978, hlm. 198.
Muhammad Abu Zahrah, Usûl al-Fiqh, Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1958, hlm. 351.
65
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah swt. Dan Allah
maha perkasa lagi maha bijaksana". (QS. al-Maidah: 38).10
��� #:�� ;"�0��� <=+� ���"��#��* >��������� +,�/������� ?,�*%$� ��� �� .+�%@�A%B�C ���� ;3�"%��� �,�D�� ?,��E�4�F ��� ����@�1 #"� #G�/%��� �H�AI%�� �J#&�/%���� � <���� �K&�:��#L�C #.�M:+� K�N � <��� ��!�O >�*
�P�:��#L��%�� ����)&:�� :Q( Artinya: "Pezina perempuan dan laki hendaklah dicambuk seratus kali
dan janganlah merasa belas kasihan kepada keduanya
sehingga mencegah kamu dalam menjalankan hukum Allah,
hal ini jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan
hendaklah dalam menjatuhkan sanksi (mencambuk) mereka
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman".
(QS. an-Nur: 2).11
Ayat di atas secara substansial menunjukkan adanya unsur pembalasan
yang dikehendaki oleh syara bagi pelanggar undang-undang. Di satu sisi
ketika menerapkan sanksi (balasan) harus diumumkan atau dilakukan di muka
umum. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan
pemidanaan dalam Islam sebagai berikut:
1. Pemidanaan dimaksudkan sebagai pembalasan (retribution)
2. Pemidanaan dimaksudkan sebagai pencegahan kolektif atau general
prevention
3. Pemidanaan dimaksudkan sebagai special prevention (pencegahan
khusus).12
Atas dasar apakah KUHP mencantumkan tentang hapusnya hak
menuntut pidana karena daluawarsa? Vos mengemukakan 3 alasan, yaitu (1)
10Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya:
DEPAG RI, 1978, hlm. 158. 11 Ibid., hlm. 543.
12Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Yogyakarta: TERAS, 2009, hlm.
288
66
Semakin lama waktu berlalu semakin terlupakan suatu peristiwa, sehingga tak
ada gunanya lagi melakukan penuntutan atas dasar apapun, baik menurut
prevensi umum/khusus maupun menurut teori pembalasan sekalipun, (2)
Individu yang bersangkutan harus bisa menikmati kepastian hukum maupun
keamanan menurut hukum, dan (3) Sukarlah bagi penuntut umum untuk
mengumpulkan bukti-bukti yang telah larut dalam waktu.13
Suatu kasus yang belum bisa dibuktikan secara faktual sebagai suatu
tindak pelanggaran, tersangka tidak bisa dijatuhi hukuman. Karena untuk
memvonis pelaku tindak kriminalitas (jarimah) seorang hakim memerlukan
bukti-bukti obyektif yang meyakinkan. Pada dasarnya setiap manusia terbebas
dari tanggungan yang berupa kewajiban melakukan atau tidak melakukan
sesuatu. Sebaliknya bila seseorang memiliki tanggungan, maka ia telah berada
dalam posisi yang tidak sesuai kondisi asal.14
Dalam hukum pidana Islam, daluwarsa hanya masuk dalam bagian
yang menghapuskan hak untuk melaksanakan hukuman. Dengan demikian
dalam perspektif hukum pidana Islam, setiap orang yang telah melakukan
tindak pidana dan terhadap perbuatan pidana itu belum sampai dijatuhi
hukuman, maka meskipun sudah daluwarsa, pidana tidak menjadi hapus. Ini
berarti orang yang melakukan tindak pidana kapan waktu saja dapat dituntut
atau perkaranya dapat diadili. Sedangkan daluwarsa hanya berlaku manakala
tindak pidana yang telah dilakukan seseorang itu telah mendapat putusan
hakim sehingga orang tersebut harus menjalani hukuman sebagai mana yang
13Nico Ngani, Sinerama Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1984, hlm. 37 14Abdul Haq, et al, Formulasi Nalar Fiqh, Buku Satu, Surabaya: Khalista, 2006, hlm.
161.
67
telah dijatuhkan hakim. Namun berhubung daluwarsa maka pelaksanaan
hukuman menjadi hapus. Dengan demikian orang yang telah dijatuhi
hukuman itu bebas dari menjalankan hukuman yang telah dijatuhkan.
Dasarnya adalah karena daluwarsa dalam hukum pidana Islam yaitu
berlakunya sesuatu waktu tertentu atas keputusan adanya hukuman tanpa
dilaksanakannya hukuman tersebut. Dengan berlakunya masa tersebut maka
pelaksanaan hukuman menjadi terhalang.15
Pada aturan-aturan dan nas-nas syari'at Islam tidak ada hal-hal yang
menunjukkan hapusnya hukuman jarimah-jarimah hudud dan qisas-diyat
dengan berlakunya masa tertentu. Penguasa negara juga tidak bisa
mengampuni atau menggugurkan hukuman tersebut. Kalau tidak ada nas yang
menghapuskan, maka artinya tidak bisa hapus dengan adanya daluwarsa.16
Pengertian daluwarsa tersebut tidak menunjuk pada hapusnya hak
penuntutan negara terhadap orang yang telah melakukan tindak pidana.
Namun menunjuk pada hapusnya pelaksanaan hukuman yang berarti sudah
lebih dahulu adanya putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana terhadap
orang tersebut.
Berbeda halnya dengan KUHP, jika seseorang melakukan tindak
pidana dan tindak pidana itu belum dituntut dan dalam waktu tertentu
dinyatakan sudah daluwarsa, maka hak penuntutan menjadi hapus. Demikian
pula apabila orang yang melakukan tindak pidana itu diadili dan sempat
dijatuhi hukuman, namun kemudian waktunya sudah lewat atau daluwarsa
15Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, hlm.
349 16
Ibid., hlm. 350.
68
maka orang yang telah dijatuhi vonis, hukuman itu harus dijalani. Hal itu
karena daluwarsa maka hapuslah hak negara untuk mengeksekusi orang yang
melakukan tindak pidana itu.
Dengan demikian, dalam hukum pidana Islam, daluwarsa hanya
bermata satu karena daluwarsa hanya berfungsi menghapuskan pelaksanaan
hukuman namun tidak menghapuskan penuntutan pidana. Sedangkan dalam
KUHP, daluwarsa bermata dua yaitu dapat menghapuskan hak untuk
menuntut pidana juga dapat menghapuskan hak negara mengeksekusi orang
yang telah dijatuhi hukuman tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut, menurut penulis bahwa setiap orang
harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Jika perbuatannya itu
mengandung dan memenuhi unsur tindak pidana dan sudah cukup atau ada
bukti permulaan yang menguatkan perbuatan tindak pidana itu maka pelaku
harus bertanggung jawab. Tanggung jawab tersebut tidak boleh gugur hanya
karena daluwarsa. Hal ini menyangkut rasa keadilan masyarakat dan kepastian
hukum.
Akan tetapi jika perbuatan itu tidak ada bukti yang menguatkan, maka
pelaku harus dibebaskan. Karena tuduhan yang terus berlangsung dan
penuntutan yang selalu menghantui pelaku berarti perampasan kemerdekaan
orang yang tidak bersalah. Pepatah menyatakan: "masih lebih baik
membebaskan orang yang bersalah daripada menghukum orang yang tidak
bersalah".
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya, dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Penerapan daluwarsa penuntutan dalam KUHP, bahwa pada dasarnya
semua pelaku (dalam arti luas) dari suatu tindak pidana harus dituntut di
muka sidang pengadilan pidana, akan tetapi baik secara umum atau secara
khusus undang-undang menentukan peniadaan dan atau penghapusan
penuntutan dalam hal-hal tertentu, misalnya karena daluwarsa. Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 78 KUHP bahwa hak menuntut
pidana hapus karena daluwarsa. Selain alasan untuk kepastian hukum,
prinsip lewatnya waktu ini, juga didasarkan pada faktor kesulitan dalam
hal untuk mengungkap kasus perkara. Mengajukan tuntutan pidana pada
dasarnya adalah berupa pekerjaan mengungkap suatu peristiwa
sebagaimana kejadian senyatanya (materiele waarheid) pada waktu
kejadian yang sudah berlalu. .Pengungkapan peristiwa itu memerlukan
bukti-bukti yang ditentukan dan diatur menurut ketentuan Undang-
undang, baik mengenai macam-macamnya maupun cara dan sistem
penggunaannya. Semakin lama lewatnya waktu akan semakin sulit untuk
memperoleh alat-alat bukti tersebut. Semakin lama ingatan seorang saksi
akan semakin berkurang bahkan lenyap atau lupa tentang suatu kejadian
yang dilihatnya atau dialaminya. Demikian juga benda-benda bukti,
70
dengan waktu yang lama akan menyebabkan benda itu menjadi musnah
atau hilang dan tidak ada lagi. Dengan berlalunya waktu yang lama
memperkecil keberhasilan, bahkan dapat. menyebabkan kegagalan dari
suatu pekerjaan penuntutan.
2. Ditinjau dari hukum Islam terhadap penerapan daluwarsa penuntutan
dalam KUHP tidak sejalan dengan prinsip hukum Islam. Dalam hukum
Islam, daluwarsa hanya masuk dalam bagian yang menghapuskan hak
untuk melaksanakan hukuman. Dengan demikian dalam perspektif hukum
pidana Islam, setiap orang yang telah melakukan tindak pidana dan
terhadap perbuatan pidana itu belum sampai dijatuhi hukuman, maka
meskipun sudah daluwarsa, pidana tidak menjadi hapus. Ini berarti orang
yang melakukan tindak pidana kapan waktu saja dapat dituntut atau
perkaranya dapat diadili. Sedangkan daluwarsa hanya berlaku manakala
tindak pidana yang telah dilakukan seseorang itu telah mendapat putusan
hakim sehingga orang tersebut harus menjalani hukuman sebagai maha
yang telah dijatuhkan hakim. Namun berhubung daluwarsa maka
pelaksanaan hukuman menjadi hapus. Dengan demikian orang yang telah
dijatuhi hukuman itu bebas dari menjalankan hukuman yang telah
dijatuhkan. Dalam hukum pidana Islam, daluwarsa hanya bermata satu
karena daluwarsa hanya berfungsi menghapuskan pelaksanaan hukuman
namun tidak menghapuskan penuntutan pidana. Sedangkan dalam KUHP,
daluwarsa bermata dua yaitu dapat menghapuskan hak untuk menuntut
71
pidana juga dapat menghapuskan hak negara mengeksekusi orang yang
telah dijatuhi hukuman tersebut.
B. Saran-Saran
Dalam pembentukan hukum nasional yang akan datang, ada baiknya
pembentuk undang-undang meninjau kembali penerapan tentang daluwarsa
dengan membanding pada konsep daluwarsa dalam hukum pidana Islam.
C. Penutup
Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, atas rahmat
dan ridha-Nya pula tulisan ini dapat diangkat dalam bentuk skripsi. Penulis
menyadari bahwa di sana-sini terdapat kesalahan dan kekurangan baik dalam
paparan maupun metodologinya. Karenanya dengan sangat menyadari, tiada
gading yang tak retak, maka kritik dan saran membangun dari pembaca
menjadi harapan penulis. Semoga Allah SWT meridhai.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2002.
Audah, Abd al-Qadir, al-Tasyri' al-Jina'i al-Islamy, Juz I, Mesir: Dar al-Fikr al-
Araby, tth.
Byk, Muhammad Khudhari, Ushul Al-Fiqh, Dar Al-Fikri, cetakan VII, 1981.
Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta: PT raja Grafindo
Persada, 2002.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta: Yayasan Penerbitan
Fakultas Psikologi, UGM, 1981.
Hamzah, Andi, KUHP dan KUHAP, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000.
Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Hartanti, Evi, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
http:www.klik/bloc.com.Pid/2009/Daluwarsa
Jaziri, Abd. Al-Rahman, Al-Fiqh 'ala Al-Mazahib Al-Arba'ah, Juz V, Beirut: Dar
Al-Fikr.
Jonkers, Hukum Pidana Hindia Belanda, Terj. Tim Penerjemah Bina Aksara,
Jakarta: PT Bina Aksara, 1987.
Kanter, E.Y., dan Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Jakarta: Alumni, 1982.
Kartanegara, Satochid, tth, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian I, tk, Balai
Lektur Mahasiswa.
Khalâf, Abd al-Wahhâb, ‘Ilm usûl al-Fiqh, Kuwait: Dâr al-Qalam, 1978.
Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru,
1984.
Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta: PT Melton
Putra, 1990.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002.
--------, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 2003.
Mubarok, Jaih dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah, Jakarta: Anggota
IKAPI, 2004.
Mudjib, Abdul, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh ( al-Qowaidul Fiqhiyyah), cet 4,
Jakarta: Kalam Mulia, 2001.
Munajat, Makhrus, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Yogyakarta: TERAS,
2009.
Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayat,
Jakarta: sinar Grafika, 2004.
Ngani, Nico, Sinerama Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1984.
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai
Pustaka, 1976.
Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung PT Eresco,
1986.
Qazwini, Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Yazid ibnu Majah hadis No.
2817 dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II,
Global Islamic Software Company).
Rokhmadi, Jurnal al-Ahkam, Volume XVIII/Edisi 1/April 2006, Semarang:
Fakultas Syariah IAIN Walisongo.
Saleh, K. Wancik, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Jakarta: Ghalia Indonesia,
2007.
Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema Insani, 2003.
Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Fakultas Hukum UNDIP, 1990.
Sumantri, Jujun S. Suria, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. VII,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Anggota IKAPI, 1993.
Syaltut, Syeikh Mahmud, al-Islam Aqidah wa Syariah, Alihbahasa, Fachruddin
HS, Akidah dan Syariah Islam, 2, Jakarta: Bina Aksara, 1985
Tim Penulis Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, Pedoman Penulisan Skripsi,
Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2000.
Tirmizi, Abu Isa Muhammad ibn Isa bin Surah hadis No. 1140 dalam CD
program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic
Software Company)
Tresna, R., Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: PT Tiara Limit, t.th.
Usman, Hasan, Metode Penelitian Sejarah, Terj. Muin Umar, et. al, Departemen
Agama, 1986.
Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Surabaya: DEPAG RI, 1978.
Zahrah, Muhammad Abu, Usûl al-Fiqh, Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1958.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Agus Muhammad Ali Maqfur
Tempat/Tanggal Lahir : Demak, 14 Januari 1984
Alamat Asal : Sodong RT 03 RW 03 Sidogemah Sayung Demak
Pendidikan : - SDN 03 Sidogemah Sayung Demak lulus th 1998
- SLTP Ibrohimy Sukorejo Asembagus Situbondo
lulus tahun 2001
- MA Nahdhotusy Syubban Demak lulus th 2004
- Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang
Angkatan 2004
Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk
dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Agus Muhammad Ali Maqfur
BIODATA DIRI DAN ORANG TUA
Nama : Agus Muhammad Ali Maqfur
NIM : 042211038
Alamat : Sodong RT 03 RW 03 Sidogemah Sayung Demak.
Nama orang tua : Bapak Masruri Muhsin dan Ibu Masrifah
Alamat : Sodong RT 03 RW 03 Sidogemah Sayung Demak