ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK...

85
ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK MENUNTUT PIDANA KARENA DALUWARSA DALAM PASAL 78 KUHP SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Dalam Ilmu Syari’ah Oleh: AGUS MUHAMMAD ALI MAQFUR NIM: 042211038 JURUSAN SIYASAH JINAYAH FAKULTAS SYARI’AH IAIN WALISONGO SEMARANG 2011

Transcript of ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK...

Page 1: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK

MENUNTUT PIDANA KARENA DALUWARSA DALAM

PASAL 78 KUHP

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)

Dalam Ilmu Syari’ah

Oleh: AGUS MUHAMMAD ALI MAQFUR

NIM: 042211038

JURUSAN SIYASAH JINAYAH

FAKULTAS SYARI’AH

IAIN WALISONGO SEMARANG

2011

Page 2: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Lamp : 5 (lima) eksemplar Kepada Yth Hal : Naskah Skripsi Dekan Fakultas Syari'ah

a.n. Sdr. Agus Muhammad Ali Maqfur IAIN Walisongo Di Semarang

Assalamua’alaikum Wr.Wb.

Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini

saya kirimkan naskah skripsi saudara:

Nama : Agus Muhammad Ali Maqfur

Nomor Induk : 042211038

Jurusan : SJ

Judul Skripsi : ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG

HAPUSNYA HAK MENUNTUT PIDANA

KARENA DALUWARSA DALAM PASAL

78 KUHP

Selanjutnya saya mohon agar skripsi saudara tersebut dapat segera

dimunaqasyahkan

Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Semarang, Mei 2010

Page 3: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

iii

Page 4: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

iv

M O T T O

)151: األنعام...(وال تقتلوا النفس التي حرم الله إال بالحق...

Artinya: ... Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar .... (QS. Al-An'aam: 151).∗

∗ Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya:

DEPAG RI, 1978, hlm. 214. .

Page 5: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

v

PERSEMBAHAN

Dalam perjuangan mengarungi samudra Ilahi tanpa batas, dengan keringat

dan air mata kupersembahkan karya tulis skripsi ini teruntuk orang-orang yang

selalu hadir dan berharap keindahan-Nya. Kupersembahkan bagi mereka yang

tetap setia berada di ruang dan waktu kehidupan ku khususnya buat:

o Orang tuaku tercinta yang selalu memberi semangat dan motivasi dalam

menjalani hidup ini.

o Kakak dan Adikku Tercinta yang kusayangi yang selalu memberi motivasi

dalam menyelesaikan studi.

o Teman-Temanku jurusan SJ, angkatan 2004 Fak Syariah yang selalu bersama-

sama dalam meraih cita dan asa.

Penulis

Page 6: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

vi

DEKLARASI

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,

penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak

berisi materi yang telah pernah ditulis oleh

orang lain atau diterbitkan. Demikian juga

skripsi ini tidak berisi satupun pemikiran-

pemikiran orang lain, kecuali informasi yang

terdapat dalam daftar kepustakaan yang

dijadikan bahan rujukan.

Jika di kemudian hari terbukti sebaliknya maka

penulis bersedia menerima sanksi berupa

pencabutan gelar menurut peraturan yang

berlaku

Semarang, 17 Mei 2010

AGUS MUHAMMAD ALI MAQFUR NIM: 042211038

Page 7: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

vii

ABSTRAK

Dalam hukum pidana Islam, di kalangan fuqaha masih diperselisihkan, apakah daluwarsa dapat menghapuskan hukuman atau tidak. Menurut kebanyakan fuqaha, tidak menghapuskan. Bagi fuqaha yang memakai prinsip daluwarsa tersebut tidak menganggapnya sebagai faktor pembatalan hukuman bagi seluruh jarimah. Yang menjadi rumusan masalah adalah bagaimana daluwarsa penuntutan dalam KUHP? Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap Pasal 78 KUHP?

Dalam menyusun skripsi ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Data Primer, yaitu buku KUHP. Sebagai data sekunder, yaitu literatur lainnya yang relevan dengan judul skripsi ini. Adapun metode analisisnya adalah metode deskriptif analitis dan metode eksplanatory.

Hasil pembahasan menunjukkan bahwa penerapan daluwarsa penuntutan dalam KUHP, bahwa pada dasarnya semua pelaku (dalam arti luas) dari suatu tindak pidana harus dituntut di muka sidang pengadilan pidana, akan tetapi baik secara umum atau secara khusus undang-undang menentukan peniadaan dan atau penghapusan penuntutan dalam hal-hal tertentu, misalnya karena daluwarsa. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 78 KUHP bahwa hak menuntut pidana hapus karena daluwarsa. Selain alasan untuk kepastian hukum, prinsip lewatnya waktu ini, juga didasarkan pada faktor kesulitan dalam hal untuk mengungkap kasus perkara. Mengajukan tuntutan pidana pada dasarnya adalah berupa pekerjaan mengungkap suatu peristiwa sebagaimana kejadian senyatanya (materiele waarheid) pada waktu kejadian yang sudah berlalu. .Pengungkapan peristiwa itu memerlukan bukti-bukti yang ditentukan dan diatur menurut ketentuan Undang-undang, baik mengenai macam-macamnya maupun cara dan sistem penggunaannya. Semakin lama lewatnya waktu akan semakin sulit untuk memperoleh alat-alat bukti tersebut. Semakin lama ingatan seorang saksi akan semakin berkurang bahkan lenyap atau lupa tentang suatu kejadian yang dilihatnya atau dialaminya. Demikian juga benda-benda bukti, dengan waktu yang lama akan menyebabkan benda itu menjadi musnah atau hilang dan tidak ada lagi. Dengan berlalunya waktu yang lama memperkecil keberhasilan, bahkan dapat. menyebabkan kegagalan dari suatu pekerjaan penuntutan. Ditinjau dari hukum Islam terhadap penerapan daluwarsa penuntutan dalam KUHP tidak sejalan dengan prinsip hukum Islam. Dalam hukum Islam, daluwarsa hanya masuk dalam bagian yang menghapuskan hak untuk melaksanakan hukuman. Dengan demikian dalam perspektif hukum pidana Islam, setiap orang yang telah melakukan tindak pidana dan terhadap perbuatan pidana itu belum sampai dijatuhi hukuman, maka meskipun sudah daluwarsa, pidana tidak menjadi hapus. Ini berarti orang yang melakukan tindak pidana kapan waktu saja dapat dituntut atau perkaranya dapat diadili. Sedangkan daluwarsa hanya berlaku manakala tindak pidana yang telah dilakukan seseorang itu telah mendapat putusan hakim sehingga orang tersebut harus menjalani hukuman sebagai maha yang telah dijatuhkan hakim.

Page 8: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

viii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang maha pengasih dan penyayang, bahwa atas

taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi

ini. Skripsi yang berjudul: “ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG

HAPUSNYA HAK MENUNTUT PIDANA KARENA DALUWARSA DALAM

PASAL 78 KUHP” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna

memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas Syari’ah Institut Agama

Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan

saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat

terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Imam Yahya M.A selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN

Walisongo Semarang.

2. Ibu Hj. Rr. Sugiharti, SH, MH selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak

H.A. Furqon, Lc, MA selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia

meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan

pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Pimpinan Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin dan

layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Para Dosen Pengajar di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo,

beserta staf yang telah membekali berbagai pengetahuan

5. Orang tuaku yang senantiasa berdoa serta memberikan restunya, sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya hanya kepada Allah penulis berserah diri, dan semoga apa yang

tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para

pembaca pada umumnya. Amin.

Penulis

Page 9: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii

HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... iii

HALAMAN MOTTO ................................................................................... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. v

HALAMAN DEKLARASI........................................................................... vi

ABSTRAK ................................................................................................... vii

KATA PENGANTAR................................................................................... viii

DAFTAR ISI ................................................................................................. ix

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1

B. Perumusan Masalah .................................................... 6

C. Tujuan Penelitian .................................................... 6

D. Telaah Pustaka .................................................... 6

E. Metode Penelitian .................................................... 9

F. Sistematika Penulisan .................................................... 10

BAB II : HAPUSNYA HAK MENUNTUT PIDANA KARENA

DALUWARSA DALAM HUKUM ISLAM

A. Pengertian Daluwarsa dalam Hukum Islam........................... 12

B. Macam-Macam Tindak Pidana .............................................. 13

C. Hapusnya Hak Penuntutan Pidana Karena Daluwarsa........... 15

D. Akibat-Akibat Hukum dari Daluwarsa Penuntutan ............... 35

BAB III : HAPUSNYA HAK MENUNTUT PIDANA KARENA

DALUWARSA DALAM KUHP

A. Daluwarsa dan Dasar Hukum ..................................... 39

B. Macam-Macam Tindak Pidana ..................................... 41

C. Hapusnya Hak Penuntutan Pidana ..................................... 47

Page 10: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

x

D. Hapusnya Hak Penuntutan Pidana karena Daluwarsa ........... 49

E. Dampak dari Daluwarsa Penuntutan ..................................... 57

BAB IV : ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENERAPAN

PENENTUAN HAPUSNYA PENUNTUTAN PIDANA KARENA

DALUWARSA DALAM KUHP

A. Konsep Penentuan Daluwarsa Penuntutan dalam KUHP ...... 59

B. Analisis Hukum Islam terhadap Penerapan Penentuan

Daluwarsa Penuntutan dalam KUHP ..................................... 62

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................... 69

B. Saran-saran .................................................... 71

C. Penutup .................................................... 71

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Page 11: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap orang bisa saja melakukan kesalahan. apalagi jika ia kepepet

atau terjepit maka sangat dimungkinkan niat dan kesempatan yang ada

membuka peluang melakukan tindak pidana. Untuk menghindari kejaran

polisi. ia melarikan diri untuk bersembunyi dalam sekian tahun. Kasus faktual

telah terjadi pada orang yang bernama Heri Iskandar, yang menggelapkan

sebuah kendaraan roda empat milik pamannya yang bernama Bukhori.

Berdasarkan laporan korban pemilik mobil kijang pada suatu malam

kedatangan ponakannya yang bernama Heri Iskandar. la meminjam mobil

pamannya yang berdomisili di Jakarta Timur dengan alasan mobil pribadinya

mogok di jalan tol Cikampek Jawa Barat.1

Ia meminjam mobil pamannya tersebut untuk melihat apakah mobil

pribadinya sudah bisa jalan kembali atau tidak. Pamannya dengan percaya

memberi STNK dan kunci kontak. Dengan mulus Heri Iskandar membawa

mobil tersebut. Namun ditunggu beberapa hari Heri Iskandar belum

mengembalikan mobil pamannya itu dan pamannya sudah berupaya

menghubungi HP Heri Iskandar namun tidak diangkat. Seminggu kemudian

pamannya melaporkan pada polisi Jakarta Timur. Polisi dengan sejumlah alat

bukti melacak ke semua tempat yang diperkirakan. Telah dikejar dan dicari

1http:www.klik/bloc.com.Pid/2009/Daluwarsa diakses pada tanggal 4 Januari 2010

Page 12: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

2

keberadaan Heri Iskandar tidak ditemukan. Pencarian mulai dari keluarga Heri

Iskandar sampai kerabat terdekat namun hasilnya berdasarkan laporan dari

sanak saudaranya ternyata tidak jelas kemana larinya Heri Iskandar.

Sembilan belas tahun kemudian Heri Iskandar pulang ke rumah orang

tuanya dan polisi dengan mudah menangkap Heri Iskandar. Dua hari

kemudian Heri Iskandar telah dibebaskan polisi Jakarta Timur dengan alasan

kasus Heri Iskandar telah daluwarsa berdasarkan Pasal 78 ayat 1 butir 3

KUHP yang menyatakan bahwa kewenangan menuntut pidana hapus karena

lewat waktu: mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih

dari tiga tahun, maka daluwarsanya sesudah dua belas tahun. Dalam kasus ini

polisi Jakarta Timur menjerat Heri Iskandar dengan Pasal 372 KUHP tentang

penggelapan yang ancaman pidananya maksimal empat tahun2

Daluwarsa adalah lewatnya waktu yang menjadi sebab gugurnya atau

hapusnya hak untuk menuntut atau melaksanakan hukuman terhadap

seseorang yang melakukan tindak pidana. Dalam perspektif KUHP bahwa

pada dasarnya semua pelaku (dalam arti luas) dari suatu tindak pidana harus

dituntut di muka sidang pengadilan pidana, akan tetapi baik secara umum atau

secara khusus undang-undang menentukan peniadaan dan atau penghapusan

penuntutan dalam hal-hal tertentu, misalnya karena daluwarsa.3 Hal ini

sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 78 KUHP bahwa hak menuntut pidana

hapus karena daluwarsa…4

2Ibid.,

3E.Y. Kanter dan Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,

Jakarta: Alumni, 1982, hlm. 426. 4Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 2003, hlm. 33.

Page 13: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

3

Hak menuntut pidana menjadi hapus karena lewatnya waktu (78 ayat

1). Dasar dari ketentuan ini sama dengan dasar dari ketentuan pasal 76 ayat (1)

tentang asas ne bis in idem ialah untuk kepastian hukum bagi setiap kasus

pidana, agar si pembuatnya tidak selama-lamanya ketenteraman hidupnya

diganggu tanpa batas waktu oleh ancaman penuntutan oleh negara, pada suatu

waktu gangguan seperti itu harus diakhiri. Orang yang berdosa karena

melakukan tindak pidana, untuk menghindari penuntutan oleh negara,

mengharuskan dia untuk selalu bersikap waspada kepada setiap orang,

bersembunyi, menghindari pergaulan umum yang terbuka, semua itu membuat

ketidaktenangan hidupnya. Ketidaktenangan hidup yang sekian lama sebelum

masa daluwarsa berakhir pada dasarnya adalah suatu penderitaan jiwa, yang

tidak berbeda dengan penderitaan akibat menjalani suatu pidana yang

dijatuhkan oleh pengadilan.5

Pertama, selain alasan untuk kepastian hukum, maka yang kedua,

prinsip lewatnya waktu, juga didasarkan pada faktor kesulitan dalam hal untuk

mengungkap kasus perkara. Mengajukan tuntutan pidana pada dasarnya

adalah berupa pekerjaan mengungkap suatu peristiwa sebagaimana kejadian

senyatanya (materiele waarheid) pada waktu kejadian yang sudah berlalu.

.Pengungkapan peristiwa itu memerlukan bukti-bukti yang ditentukan

Undang-undang, baik mengenai macam-macamnya maupun cara dan sistem

penggunaannya. Semakin lama lewatnya waktu akan semakin sulit untuk

memperoleh alat-alat bukti tersebut. Semakin lama ingatan seorang saksi akan

5Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta: PT raja Grafindo Persada,

2002, hlm. 173.

Page 14: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

4

semakin berkurang bahkan lenyap atau lupa tentang suatu kejadian yang

dilihatnya atau dialaminya. Demikian juga benda-benda bukti, dengan waktu

yang lama akan menyebabkan benda itu menjadi musnah atau hilang dan tidak

ada lagi. Dengan berlalunya waktu yang lama memperkecil keberhasilan

bahkan dapat. menyebabkan kegagalan dari suatu pekerjaan penuntutan.6

Satu hal lagi yang penting, ialah dengan lewatnya waktu, penderitaan

batin, baik bagi korban dan keluarganya maupun masyarakat sebagai akibat

dari suatu tindak pidana akan semakin berkurang yang pada akhirnya akan

lenyap atau lupa dari ingatan. Jika dilihat dari teori pembalasan, menjadi tidak

penting lagi untuk mengungkap suatu kasus yang sudah dilupakan oleh

masyarakat. Walaupun zaman modern sekarang teori pembalasan dinilai oleh

banyak kalangan sudah kuno, namun pada kenyataannya kepuasan korban dan

masyarakat atas pidana yang-dijatuhkan pengadilan tidak dapat terlepas dari

berat ringannya (setimpal) dari kesalahan dan berat ringannya tindak pidana

yang dilakukannya.7

Berapa lamakah tenggang lewatnya waktu seseorang pembuat tindak

pidana untuk menjadi tidak dapat dituntut karena daluwarsa? Dalam hal ini

bergantung dari berat ringannya pidana yang diancamkan pada tindak pidana

yang diperbuat. Hal ini tampak pada ketentuan pasal 78 ayat (1), yang

menetapkan, bahwa hak menuntut pidana menjadi gugur dalam tenggang

waktu, yakni:

6Ibid., hlm. 174. 7Ibid

Page 15: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

5

a. untuk semua tindak pidana pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan

dengan percetakan, sesudah satu tahun;

b. untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana

kurungan atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;

c. untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih

dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun; dan

d. untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau

pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara setinggi-

tingginya dua puluh tahun, sesudah delapan belas tahun.

Dalam hukum pidana Islam, di kalangan fuqaha masih diperselisihkan,

apakah daluwarsa dapat menghapuskan hukuman atau tidak. Menurut

kebanyakan fuqaha, tidak menghapuskan. Bagi fuqaha yang memakai prinsip

daluwarsa tersebut tidak menganggapnya sebagai faktor pembatalan hukuman

bagi seluruh jarimah. Dalam hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama, dari

Imam Malik, Syafi'i dan Ahmad. Menurut ketiga imam tersebut sesuatu

hukuman atau jarimah tidak gugur, bagaimanapun juga lamanya hukuman

atau jarimah tersebut tanpa dilaksanakan atau diadili, selama bukan berupa

hukuman atau jarimah ta'zir. Pendapat kedua, berasal dari Imam Abu Hanifah

beserta murid-muridnya. Pada dasarnya pendapat mereka sama dengan

pendapat pertama, yaitu mengakui adanya prinsip daluwarsa untuk jarimah-

jarimah ta'zir, jarimah-jarimah qisas-diyat dan satu jarimah hudud, yaitu

memfitnah (qadzaf).8

Berdasarkan keterangan tersebut menarik untuk dianalisis lebih lanjut

terhadap kedua sistem hukum tersebut dalam menyikapi adanya daluwarsa

dalam penuntutan pidana. Menyikapi masalah atas, peneliti terdorong

8Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986, hlm. 349.

Page 16: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

6

mengangkat tema ini dengan judul: Analisis Hukum Islam terhadap Pasal 78

KUHP tentang Hapusnya Hak Menuntut Pidana karena Daluwarsa

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan upaya untuk menyatakan secara

tersurat pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin dicarikan jawabannya,9

maka yang menjadi rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana ketentuan daluwarsa penuntutan dalam KUHP?

2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap Pasal 78 KUHP?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam kajian ini adalah

1. Untuk mengetahui ketentuan daluwarsa penuntutan dalam KUHP

2. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap Pasal 78 KUHP

D. Telaah Pustaka

Berdasarkan penelitian di perpustakaan, belum ditemukan skripsi yang

membahas hapusnya hak menuntut pidana karena daluwarsa. Meskipun

demikian ada beberapa yang membicarakan masalah tersebut di antaranya:

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam menjelaskan bahwa

yang dimaksud dengan daluwarsa ialah berlakunya sesuatu waktu tertentu atas

keputusan adanya hukuman tanpa dilaksanakannya hukuman tersebut. Dengan

berlakunya masa tersebut maka pelaksanaan hukuman menjadi terhalang. Di

9Jujun S. Suria Sumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. VII, Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan, Anggota IKAPI, 1993, hlm. 112

Page 17: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

7

kalangan fuqaha masih diperselisihkan, apakah daluwarsa dapat

menghapuskan hukuman atau tidak. Menurut kebanyakan fuqaha, tidak

menghapuskan. Bagi fuqaha yang memakai prinsip daluwarsa tersebut tidak

menganggapnya sebagai faktor pembatalan hukuman bagi seluruh jarimah.10

Dalam hal ini ada dua teori.

Teori pertama, dari Imam Malik, Syafi'i dan Ahmad. Menurut teori

tersebut sesuatu hukuman atau jarimah tidak gugur. bagaimanapun juga

lamanya hukuman atau jarimah tersebut tanpa dilaksanakan atau diadili,

selama bukan berupa hukuman atau jarimah ta'zir. sebab terhadap hukuman

dan jarimah tersebut berlaku prinsip dalu\varsa apabila dipandang perlu oleh

penguasa negara untuk mewujudkan kemaslahatan umum. Teori kedua,

berasal dari Imam Abu Hanifah beserta murid-muridnya. Pada dasarnya

pendapat mereka sama dengan pendapat teori pertama. yaitu mengakui adanya

prinsip daluwarsa untuk jarimah-jarimah ta'zir, jarimah-jarimah qisas-diyat

dan satu jarimah hudud, yaitu memfitnah (qadzaf). Menurut Zufar, murid

Imam Abu Hanifah, untuk semua hukuman hudud juga tidak berlaku prinsip

tersebut, yang berarti sama dengan teori pertama.11

Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah). dalam buku

tersebut dijelaskan bahwa terhapusnya hukuman berbeda dengan pembatalan

hukuman. Pembatalan hukuman adalah tidak dapat dilakukannya suatu

putusan pengadilan yang telah dijatuhkan berkenaan berbagai sebab. Baik

sebab itu pada diri terhukum maupun usaha-usaha terhukum. atau berkaitan

10Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, hlm.

349. 11 Ibid.,

Page 18: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

8

dengan masalah waktu hukuman. Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara

terhapusnya hukuman dengan pembatalan hukuman. Pada terhapusnya

hukuman, tidak terdapat pertanggung jawaban pidana, karena perkaranya tidak

diproses sehingga tidak ada keputusan hakim. Adapun pada pembatalan

hukuman, pertanggungjawaban pidana itu ada dan telah diproses di pengadilan

sehingga terdapat keputusan hakim. Namun karena sebab-sebab seperti

tersebut di atas, keputusan tersebut tidak dapat dilaksanakan kepada

terhukum.12

Dari beberapa penelitian di atas menunjukkan bahwa penelitian

terdahulu berbeda dengan saat ini karena penelitian terdahulu belum

mengungkapkan persoalan tentang hapusnya hak menuntut pidana karena

daluwarsa dalam Pasal 78 KUHP.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Data

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (Library

Research), yaitu dengan jalan melakukan penelitian terhadap sumber-

sumber tertulis, maka penelitian ini bersifat kualitatif. Sedangkan Library

Research menurut Sutrisno Hadi, adalah suatu riset kepustakaan atau

penelitian murni.13

Dalam penelitan ini dilakukan dengan mengkaji

dokumen atau sumber tertulis seperti buku, majalah, dan lain-lain.

12Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Bandung: Pustaka Setia. 2000,

hlm. 192. 13Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas

Psikologi, UGM, 1981, hlm. 9.

Page 19: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

9

2. Sumber Data

Data primer yaitu KUHP Pasal 78. Adapun data sekunder, yaitu

data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh

peneliti dari subjek penelitiannya. Data-data ini diperoleh dari buku-buku

bacaan dan literature-literatur lain yang membahas tentang hapusnya

kewenangan menuntut pidana karena daluwarsa di antaranya E. Utrecht,

Hukum Pidana I; R. Tresna, Azas-azas Hukum Pidana; Satochid

Kartanegara, Hukum Pidana: Kumpulan Kuliah; Kanter dan Sianturi,

Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya; Lamintang,

Dasar-Dasar hukum Pidana Indonesia.

3. Metode Analisis Data

Untuk menganalisis data yang telah terkumpul, maka penulis akan

menggunakan beberapa metode deskriptif analitis yaitu cara penulisan

dengan mengutamakan pengamatan terhadap gejala, peristiwa dan kondisi

aktual di masa sekarang.14

Skripsi ini merupakan kajian konsep hapusnya

kewenangan menuntut pidana karena daluwarsa. Berdasarkan hal itu,

aplikasi metode ini adalah dengan mendeskripsikan fakta-fakta itu, pada

tahap permulaan tertuju pada usaha mengemukakan gejala-gejala secara

lengkap di dalam aspek yang diselidiki, agar jelas keadaan atau

kondisinya yaitu kondisi pelaku tindak pidana dengan persoalan hapusnya

kewenangan negara menuntut pidana karena daluwarsa.

14Tim Penulis Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, Pedoman Penulisan Skripsi, Semarang:

Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2000, hlm. 17.

Page 20: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

10

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi penulis membaginya dalam lima bab dan

diuraikan dalam sub-sub bab, sebagai berikut:

Bab pertama berisi pendahuluan. Dalam bab ini akan dipaparkan

tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah

pustaka, metode penelitian, sistematika penelitian.

Bab kedua berisi hapusnya hak menuntut pidana karena daluwarsa

dalam hukum Islam yang meliputi: pengertian daluwarsa dalam hukum Islam,

macam-macam tindak pidana, hapusnya hak penuntutan pidana, akibat-akibat

hukum dari daluwarsa

Bab ketiga berisi daluwarsa penuntutan dalam KUHP yang meliputi:

pengertian daluwarsa dan dasar hukum, macam-macam tindak pidana,

hapusnya hak penuntutan pidana, hapusnya hak penuntutan pidana karena

daluwarsa, dampak dari daluwarsa penuntutan

Bab keempat berisi analisis hukum Islam terhadap penerapan

penentuan hapusnya penuntutan pidana karena daluwarsa dalam KUHP yang

meliputi: penerapan penentuan daluwarsa penuntutan dalam KUHP, analisis

Hukum Islam terhadap penerapan penentuan daluwarsa penuntutan dalam

KUHP

Bab kelima merupakan bab penutup dari keseluruhan rangkaian

pembahasan skripsi ini yang terdiri atas kesimpulan dan saran-saran.

Page 21: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

12

BAB II

HAPUSNYA HAK MENUNTUT PIDANA KARENA DALUWARSA

DALAM HUKUM ISLAM

A. Pengertian Daluwarsa dalam Hukum Islam

Daluwarsa ialah berlakunya sesuatu waktu tertentu atas keputusan

adanya hukuman tanpa dilaksanakannya hukuman tersebut.1 Dalam pengertian

ini, daluwarsa mempunyai akibat hukum yaitu tidak dapat dilaksanakannya

suatu hukuman karena lewatnya waktu. Sebagaimana diketahui bahwa tidak

semua perbuatan dapat dikenakan hukuman pada seseorang, demikian pula

tidak semua perbuatan dianggap berdosa:

����� ������ �� �� � ����� ��� ������� ��� �������� ����� !"� #�$ �� � ��% ��&� �� ��' �������� �(�)*��' ��' +�� ,�-.&� ��' ������ �� ��' /+��%� ��' �(�%�0�, �� � �+��%� 12���&� ��'

340&� 540�6�7� �*���&� ��' /8��0�� ��' ���0��.&� �9:�; ����� ��40�,�< 3 ��0�' �=� ��7 >�� 5 �?�@�� <�� �A� ��� 5�7� B��� C�%.&� ��'�< ����.D�� 5�7� EF�G&� ��'�<) I�<;� ��

3J�$(2

Artinya: "Telah mengabarkan kepada kami dari Ya'qub bin Ibrahim

dari Abdurrahman bin Mahdiy dari Hammad bin Salamah

dari Hammad dari Ibrahim dari al-Aswad dari Aisyah dari

Nabi Saw bersabda: yang terlepas dari hukum ada tiga

macam: (1). orang tidur hingga ia bangun, (2). Kanak-kanak

hingga ia dewasa, (3). orang gila hingga ia berakal dan

sembuh". (HR. Ibnu Majah).

1Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, hlm. 349. 2Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Yazid ibnu Majah al-Qazwini, hadis No. 2817

dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software

Company).

Page 22: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

13

Hadis di atas menjadi indikator pula bahwa tidak ditulis berdosa suatu

perbuatan karena keliru, lupa dan terpaksa. Masalahnya bagaimana dengan

suatu perbuatan pidana yang sudah daluwarsa.

B. Macam-Macam Tindak Pidana

Kata "tindak pidana", dalam hukum pidana Islam sama dengan kata

"jarimah". Yang dimaksud dengan kata-kata "jarimah" ialah, larangan-

larangan syara' yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta'zir.

Larangan-larangan tersebut adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang

dilarang, atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Dengan kata-kata

"syara'" pada pengertian tersebut di atas, yang dimaksud ialah bahwa sesuatu

perbuatan baru dianggap jarimah apabila dilarang oleh syara'. Juga berbuat

atau tidak berbuat tidak dianggap sebagai jarimah, kecuali apabila

diancamkan hukuman terhadapnya. Di kalangan fuqaha, hukuman biasa

disebut dengan kata-kata "ajziyah" dan mufradnya, "jaza". Pengertian jarimah

tersebut tidak berbeda dengan pengertian tindak-pidana, (peristiwa pidana,

delik) pada hukum-pidana positif.3

Dalam hukum pidana Islam (fiqh jinayah), tindak pidana

(jarimah/delik) jika dilihat dari berat ringannya hukuman dibagi menjadi tiga

macam : 1) tindak pidana yang sanksinya dominan ditentukan oleh Allah,

disebut jarimah hudud, 2) tindak pidana yang sanksinya dominan ditentukan

oleh Allah, tetapi haknya lebih ditekankan kepada manusia, disebut jarimah

3Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, hlm. 1

Page 23: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

14

qishas-diyat, dan 3) tindak pidana yang sanksinya merupakan kompetensi

pemerintah untuk menentukannya, disebut jarimah ta'zir.4

Jarimah hudud adalah suatu jarimah (tindak pidana) yang diancam

padanya hukuman hadd, yaitu hukuman yang telah ditentukan macam dan

jumlahnya yang menjadi hak Allah. jarimah hudud ada 7 (tujuh) macam,

yaitu: zina, qadzaf (menuduh berzina), sukr (minum-minuman keras), sariqah

(pencurian), hirabah (perampokan), riddah (keluar dari Islam) dan bughah

(pemberontakan).5

Jarimah qishash dan diat adalah jarimah yang diancam dengan

hukuman qishash atau diat. Baik qishash maupun diat keduanya adalah

hukuman yang sudah ditentukan oleh syara'. Perbedaannya dengan hukuman

had adalah bahwa had merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan

qishash dan diat adalah hak manusia (individu).6 Adapun yang dimaksud

dengan hak manusia sebagaimana dikemukakan oleh Mahmud Syaltut adalah

yang ada hubungannya dengan kepentingan pribadi seseorang dan dinamakan

begitu karena kepentingannya khusus untuk mereka.7

Dalam hubungannya dengan hukuman qishash dan diat maka

pengertian hak manusia di sini adalah bahwa hukuman tersebut bisa

dihapuskan atau dimaafkan oleh korban atau keluarganya. Dengan demikian

maka ciri khas dari jarimah qishash dan diat itu adalah

4Rokhmadi, Jurnal al-Ahkam, Volume XVIII/Edisi 1/April 2006, Semarang: Fakultas

Syariah IAIN Walisongo, hlm. 70 5Ibid. 6Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayat, Jakarta:

Sinar Grafika, 2004, hlm. 18. 7Syeikh Mahmud Syaltut, al-Islam Aqidah wa Syariah, Alihbahasa, Fachruddin HS,

Akidah dan Syariah Islam, 2, Jakarta: Bina Aksara, 1985, hlm. 14.

Page 24: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

15

1) Hukumannya sudah tertentu dan terbatas, dalam arti sudah ditentukan oleh

syara' dan tidak ada batas minimal atau maksimal;

2) hukuman tersebut merupakan hak perseorangan (individu), dalam arti

bahwa korban atau keluarganya berhak memberikan pengampunan

terhadap pelaku. Jarimah qishash dan diat ini hanya ada dua macam, yaitu

pembunuhan dan penganiayaan. Namun apabila diperluas maka ada lima

macam, yaitu

a. pembunuhan sengaja (� %��&.� �A 7��&.�L ),

b. pembunuhan menyerupai sengaja (�� %��&.� �3 �M �A 7��&.�L), c. pembunuhan karena kesalahan ( �N�O.&� �A 7��&.�L أ ),

d. penganiayaan sengaja ( ��.&� �P ��C.&���� % ), dan

e. penganiayaan tidak sengaja ( �N�O.&�أ �P ��C.&�� ).8

C. Hapusnya Hak Penuntutan Pidana Karena Daluwarsa

Hal-hal yang menyebabkan hapusnya hukuman itu ada empat,9 yaitu

1) paksaan,

2) mabuk,

3) gila, dan

4) di bawah umur.

Di bawah akan dijelaskan keempat sebab tersebut satu per satu.

1) Paksaan

8Ibid., hlm. 18.

9Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah,

Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm. 117.

Page 25: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

16

Hukum paksaan dapat berbeda-beda menurut perbedaan perbuatan

yang terjadi. Dalam konteks ini perbuatan-perbuatan tersebut dapat

dikelompokkan menjadi tiga kelompok.

a) Perbuatan yang tidak dapat dipengaruhi oleh paksaan sama sekali,

artinya perbuatan tersebut tetap dianggap sebagai jarimah.

b) Perbuatan yang diperbolehkan sama sekali karena adanya paksaan,

artinya perbuatan tidak dianggap sebagai jarimah.

c) Perbuatan yang diperbolehkan sebagai pengecualian, artinya

perbuatannya tetap dianggap sebagai jarimah, tetapi pelakunya tidak

dikenakan hukuman.

a) Perbuatan yang tidak dipengaruhi oleh paksaan

Perbuatan yang tidak bisa dipengaruhi oleh paksaan sama sekali,

meskipun paksaan absolut adalah pembunuhan dan penganiayaan berat

(pemotongan anggota badan, pukulan yang berat, dan sebagainya).

Alasannya adalah sebagai berikut.

1) Firman Allah dalam Surah Al-An'aam ayat 151:

...1?�R.&�� 4S� �3T0&� �U��� 274&� �V.@��&� .���0�7.��W �S�< )...U���X� :Z[Z(

Artinya: ... Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah

(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang

benar .... (QS. Al-An'aam: 151).

2) Surah Al-Ahzab ayat 58:

����: �����>�7.\� ��$ � ��F� ]���$ �%.&��< �_�$ �%.&� �B<� �� ���a4&��< �����7 #�� ���0�%�7 b����c$ b�%.���<)��d X� :[e(

Page 26: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

17

Artinya: Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan

mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat maka

sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa

yang nyata. (QS. Al-Ahzab: 58).

b) Perbuatan yang diperbolehkan karena adanya paksaan

Perbuatan-perbuatan yang termasuk kelompok ini hanya

berhubungan dengan masalah makanan dan minuman yang diharamkan,

seperti makan bangkai, makan daging babi, minum darah, dan barang-

barang yang najis, sedangkan paksaannya bersifat absolut. Makanan-

makanan yang telah disebutkan semuanya diharamkan, tetapi kalau

keadaannya terpaksa atau dipaksa maka hukumnya dibolehkan. Alasannya

adalah firman Allah SWT sebagai berikut.

1) Surah Al-An'aam ayat 119

3 ��&� ��W ;��f g� ��$ 4S� ��D ��0�' �U��� ��$ ��D�& �A�G�: ����<)U���X� :ZZh(

Artinya: ... Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada

kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang

terpaksa kamu memakannya .... (QS. Al-An'aam: 119).

2). Surah Al-Baqarah ayat 173

3T0&� � ��F& 3� 4A�� ��$�< ��iO.&� �� R�&�< �U��&��< �(�7 ��%.&� ���D ��0�' �U��� ��%�����%�: j;��@�k �3T0&� 4B� 3 ��0�' ��.�� l�: /+��' �S�< /m��� �� ��k ���f g� j�� �; )n���&� :Zop(

Artinya: Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai,

darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih)

disebut (nama) selain Allah. Tapi barangsiapa dalam keadaan

terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan

tidak (pula) melampaui batas maka tidak ada dosa baginya.

Page 27: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

18

Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

(QS. Al-Baqarah: 173).

Dari ayat-ayat tersebut jelaslah bahwa makanan yang semula

diharamkan dalam keadaan terpaksa hukumnya dibolehkan. Demikian

pula halnya orang yang dipaksa. Dengan demikian, baik orang yang

terpaksa maupun orang yang dipaksa memakan makanan yang

diharamkan, ia tidak dibebani pertanggung-jawaban pidana dan perdata.

Untuk mengetahui secara rinci tentang perbuatan-perbuatan yang

termasuk dalam kelompok ini, perlu dilakukan penelitian terhadap nas-nas

yang melarang perbuatan-perbuatan tersebut. Kalau perbuatan-perbuatan

tersebut dibolehkan dalam keadaan terpaksa (darurat) atau dipaksa,

perbuatan tersebut termasuk dalam kelompok ini. Akan tetapi, apabila

tidak dibolehkan maka tidak termasuk dalam kelompok ini.

c) Perbuatan yang diperbolehkan sebagai pengecualian

Selain perbuatan-perbuatan yang disebutkan pada bagian

pertama dan kedua, paksaan absolut dapat menghapuskan hukuman, baik

paksaan materiil maupun paksaan moril {ma'na\vi\ walaupun perbuatan

yang dilakukan oleh orang yang dipaksa tetap dilarang. Alasan

pembebasan hukuman dalam perbuatan-perbuatan tersebut adalah bahwa

pelaku ketika melakukan perbuatannya tidak mempunyai kehendak

(iradah) dan pilihan (ikhtiar) yang sebenarnya, sedangkan dasar

pertanggung jawaban itu adalah adanya kehendak (iradah) dan pilihan

(ikhtiar). Dengan demikian, sebab dari pembebasan hukuman tersebut

Page 28: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

19

berkaitan dengan pribadi orang yang melakukannya, bukan dengan

perbuatannya itu sendiri. Itulah sebabnya maka pelaku dibebaskan dari

hukuman sedangkan perbuatannya tetap dilarang.

Mengenai pertanggungjawaban perdata yang timbul akibat

perbuatan tersebut tetap dikenakan kepada pelaku perbuatan tersebut,

meskipun ia dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana, karena menurut

aturan dan kaidah pokok dalam syariat Islam, jiwa dan harta itu dilindungi

(ma'shum) oleh negara. Oleh karena itu, penyerangan terhadapnya

dilarang dan alasan-alasan dari syara' tidak dapat menghapuskan hak

perlindungan tersebut. Jarimah-jarimah yang termasuk dalam kelompok

ketiga ini, antara lain seperti qazdaf (penuduhan zina), penghinaan,

pencurian, merusak harta milik orang lain, zina, dan sebagainya.

Muhammad Al-Khudhari Byk memberikan definisi paksaan

sebagai berikut.

��Sbl �: <� bS ��� �I��g ��� �S��$ 5�0�' �I�� ��k B��> �q� �A %� �I��.\10

Artinya: Paksaan adalah mendorong orang lain atas sesuatu yang tidak

diridainya, baik berupa ucapan atau perbuatan.

Sebagian fuqaha sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah,

memberikan definisi sebagai berikut.

"Paksaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang

karena orang lain, dan oleh karena itu hilanglah kerelaannya atau tidak

sempurna pilihannya. Atau paksaan adalah suatu perbuatan yang timbul

10Muhammad Khudhari Byk, Ushul Al-Fiqh, Dar Al-Fikri, cetakan VII, 1981, hlm. 105.

Page 29: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

20

dari orang yang memaksa dan menimbulkan pada diri orang yang dipaksa

suatu keadaan yang mendorong dirinya untuk mengerjakan perbuatan

yang dimintakan kepadanya. Atau paksaan adalah ancaman oleh

seseorang atas orang lain dengan sesuatu yang tidak disenangi untuk

mengerjakan sesuatu sehingga karenanya hilang kerelaannya.11

Sebagian fuqaha yang lain mengemukakan definisi sebagai

berikut: paksaan adalah sesuatu yang ditimpakan kepada orang lain yang

membahayakannya atau menyakitinya". Sebagian lagi berpendapat bahwa

definisi paksaan, adalah paksaan adalah ancaman berupa hukuman segera

dari orang yang memaksa yang mampu untuk melaksanakan paksaannya

dan karenanya mempengaruhi orang berakal sehat untuk mengerjakan apa

yang dipaksakan padanya serta timbul dugaan kuat pada dirinya bahwa

ancaman tersebut akan benar-benar dikenakan padanya, apabila ia

menolak apa yang dipaksakan kepadanya.12

Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas dapat diambil

intisari bahwa paksaan adalah suatu upaya yang dilakukan oleh seseorang

untuk mempengaruhi orang lain agar ia melakukan apa yang diinginkan

olehnya (pemaksa) dengan menggunakan ancaman. Sebagai akibat dari

adanya ancaman tersebut, pihak yang dipaksa tidak mempunyai pilihan

lain, kecuali mengerjakan apa yang diinginkan oleh pihak yang memaksa.

Itulah sebabnya orang yang dipaksa kehilangan kerelaan (rida) dan pilihan

(ikhtiar).

11Abd al-Qadir Audah, al-Tasyri' al-Jina'i al-Islamy, Juz I, Mesir: Dar al-Fikr al-Araby,

tth, hlm. 563. 12

Ibid., hlm. 563.

Page 30: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

21

Tampaknya para fuqaha sama pandangannya bahwa semua

jarimah dapat dipengaruhi oleh paksaan, kecuali jarimah pembunuhan dan

penganiayaan berat. Kedua jarimah tersebut sangat berbahaya dan

menyangkut keselamatan manusia, sedangkan memperlunak hukuman

akan menimbulkan bahaya yang sangat besar bagi masyarakat. Para

fuqaha berbeda pendapat mengenai jenis hukuman yang harus dijatuhkan

kepada pelaku (orang yang dipaksa). Menurut Imam Malik dan Imam

Ahmad hukumannya adalah sama dengan pembunuhan sengaja, yaitu

qishash, karena sudah cukup jelas dan tidak ada syubhat. Sedangkan

menurut ulama Syafi'iyah dan Hanafiah, sebagian menyatakan

hukumannya adalah qishash dan sebagian lagi menyatakan hukumannya

adalah diat. Alasan golongan kedua ini adalah karena adanya paksaan itu

dianggap sebagai syubhat yang dapat menghapuskan hukuman qishash.

Imam Abu Hanifah sendiri dan muridnya Imam Muhammad ibn Hasan,

hanya menetapkan hukuman ta'zir.13

2). Mabuk

Syariat Islam melarang minuman keras, baik sampai

mengakibatkan mabuk maupun tidak. Dalam kelompok jarimah, minuman

keras (syurbul khamar) termasuk jarimah hudud yang ancamannya adalah

delapan puluh kali cambukan. Kecuali Imam Abu Hanifah dan murid-

muridnya, para ulama telah sepakat semua jenis minuman yang

memabukkan, baik disebut khamar atau bukan, sedikit atau banyak,

13Abd. Al-Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh 'ala Al-Mazahib Al-Arba'ah, Juz V, Beirut: Dar Al-

Fikr, hlm. 288-292.

Page 31: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

22

hukumnya tetap dilarang dan peminumnya dikenakan hukuman. Akan

tetapi, menurut Imam Abu Hanifah dalam hal ini harus dibedakan antara

khamar dengan minuman keras yang lain. Untuk minuman khamar, sedikit

atau banyak, baik mabuk atau tidak, tetap dihukum, sedangkan untuk

minuman keras selain khamar, baru dihukum apabila sampai

memabukkan. Bahan minuman khamar itu adalah perasan anggur yang

direbus sampai kemudian hilang kurang dua pertiganya.

Secara umum yang dimaksud dengan mabuk adalah hilangnya akal

sebagai akibat minum minuman keras atau khamar atau yang sejenisnya.

Menurut Imam Abu Hanifah, seorang dikatakan mabuk, apabila ia telah

kehilangan akal pikirannya, baik banyak atau sedikit, ia tidak dapat

membedakan antara langit dengan bumi, dan antara laki-laki dengan

perempuan. Sedangkan Muhammad ibn Hasan dan Imam Abu Yusuf

berpendapat bahwa orang mabuk itu adalah orang yang banyak mengigau

pada pembicaraannya. Pendapat ini juga merupakan pendapat imam-imam

yang lain. Alasan mereka ini adalah firman Allah dalam Surah An-Nisaa'

ayat 43.

��$ .���%�0 ��W �5�7� r�;��D�, ��7����< �n�l�G&� .������.��W �S .�����$s ���a4&� ��#c��� ��� �B��&����W )&�t�>� :up(

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat,

sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu

mengerti apa yang kamu ucapkan…(QS.An-Nisaa': 43).

Dari ayat tersebut jelaslah bahwa orang yang tidak mengetahui apa

yang dikatakannya berarti ia sedang mabuk. Adapun pertanggung jawaban

Page 32: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

23

pidana bagi orang yang mabuk, menurut pendapat yang kuat (rajih) dari

ulama mazhab yang empat, ia tidak dijatuhi hukuman atas jarimah-jarimah

yang dilakukannya, apabila ia dipaksa atau terpaksa untuk minum atau ia

meminumnya atas kehendak sendiri, tetapi ia tidak mengetahui bahwa

yang diminumnya itu adalah khamar atau ia meminum-minuman keras

untuk berobat, lalu ia mabuk. Orang yang sedang mabuk tersebut ketika ia

melakukan perbuatannya, sedang hilang akal pikiran dan kesadarannya,

sehingga dengan demikian maka hukumnya sama dengan orang gila. Akan

tetapi, jika seseorang minum minuman keras karena kemauan sendiri

dengan sengaja tanpa alasan, atau ia meminumnya sebagai obat yang

sebenarnya tidak diperlukan kemudian ia mabuk, dalam hal ini ia harus

bertanggung jawab atas setiap jarimah yang dilakukannya ketika ia

mabuk. Hukuman tersebut diberikan kepadanya sebagai pengajaran,

karena ia telah menghilangkan akalnya sendiri secara sengaja.14

Di samping pendapat yang kuat (rajih) tersebut, di kalangan ulama

mazhab yang empat ada pendapat yang tidak kuat (marjuh) yaitu bahwa

orang yang mabuk tidak dibebani pertanggungjawaban atas semua

perbuatan jarimah yang dilakukannya, bagaimanapun terjadinya dan apa

pun sebab mabuknya itu, karena pada saat itu akal pikirannya sedang

hilang. Ini berarti orang yang mabuk tersebut tidak menyadari

14 A., Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, hlm. 373

Page 33: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

24

perbuatannya, sedang kesadaran merupakan dasar adanya

pertanggungjawaban pidana.15

Mengenai pertanggungjawaban perdata orang yang mabuk tetap

dikenakan, sebab jiwa dan harta orang lain tetap harus dijamin

keselamatannya dan pembebasan dari hukuman pidana tidak

mempengaruhi hukuman perdata.

3). Gila

Syariat Islam memandang seseorang sebagai orang mukallaf yang

dapat dibebani pertanggungjawaban pidana, apabila ia memiliki

kemampuan berpikir dan memilih (idrak dan ikhtiar). Apabila salah satu

dari kedua perkara ini tidak ada maka pertanggungjawaban menjadi

terhapus. Kemampuan berpikir seseorang itu dapat hilang karena faktor

bawaan sejak lahir atau karena adanya gangguan seperti sakit atau cacat

fisik. Hilangnya kemampuan berpikir tersebut dalam bahasa sehari-hari

disebut gila. Abdul Qadir Audah memberikan definisi gila sebagai berikut.

"Gila adalah hilangnya akal, rusak, atau lemah".16

Definisi tersebut merupakan definisi yang umum dan luas,

sehingga mencakup gila (junun), dungu (al-'ithu), dan semua jenis

penyakit kejiwaan yang sifatnya menghilangkan idrak (kemampuan

berpikir). Di bawah ini akan dijelaskan jenis-jenis penyakit, baik yang

menghilangkan seluruh kekuatan berpikir maupun sebagiannya.

15 Ibid.,

16 Abd al-Qadir Audah, op.cit, hlm. 564

Page 34: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

25

1) Gila dan Keadaan-Keadaan Lain yang Sejenis

a) Gila terus-menerus

Gila terus-menerus adalah suatu keadaan di mana seseorang

tidak dapat berpikir sama sekali, baik hal itu diderita sejak lahir

maupun yang datang kemudian. Di kalangan fuqaha gila semacam

ini disebut dengan al-junun al-muthbaq.

b) Gila berselang

Orang yang terkena penyakit gila berselang tidak dapat

berpikir, tetapi tidak terus-menerus. Apabila keadaan tersebut

menimpanya maka ia kehilangan pikirannya sama sekali, dan

apabila keadaan tersebut telah berlalu (hilang) maka ia dapat

berpikir kembali seperti biasa. Pertanggungjawaban pidana pada gila

terus-menerus hilang sama sekali, sedangkan pada gila berselang ia

tetap dibebani pertanggungjawaban ketika ia dalam kondisi sehat.

c) Gila sebagian

Gila sebagian menyebabkan seseorang tidak dapat berpikir

dalam perkara-perkara tertentu, sedangkan pada perkara-perkara

yang lain ia masih tetap dapat berpikir. Dalam kondisi di mana ia

masih dapat berpikir, ia tetap dibebani pertanggungjawaban pidana,

tetapi ketika ia tidak dapat berpikir, ia bebas dari

pertanggungjawaban pidana.

d) Dungu (Al-'Ithu)

Page 35: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

26

Para fuqaha sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah

memberikan definisi orang dungu (ma'tuh') sebagai berikut.

"Orang dungu adalah orang yang minim pemahamannya,

pembicaraannya bercampur baur, tidak beres pemikirannya, baik hal

itu bawaan sejak lahir atau timbul kemudian karena suatu

penyakit".17

Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa dungu merupakan

tingkatan gila yang paling rendah. Dengan demikian, dungu berbeda

dengan gila, karena dungu hanya mengakibatkan lemahnya berpikir

bukan menghilangkannya, sedangkan gila mengakibatkan hilangnya

atau kacaunya kekuatan berpikir, sesuai dengan tingkatan-tingkatan

kedunguannya, namun orang yang dungu bagaimanapun tidak sama

kemampuan berpikirnya dengan orang biasa (normal). Menurut

sebagian fuqaha kekuatan berpikir orang dungu sama dengan orang

yang sudah mumayyiz. (lebih kurang berumur antara tujuh sampai

lima belas tahun), sedang menurut sebagian yang lain sama dengan

anak yang belum mumayyiz. Karena pemikirannya yang tidak stabil

itu, secara umum orang yang dungu tidak dibebani

pertanggungjawaban pidana.

2) Hukum Gila

Pengaruh gila terhadap pertanggungjawaban pidana tidak sama,

tergantung apakah gilanya itu menyertai jarimah atau sesudahnya.

a) Hukum gila yang menyertai jarimah

17 Ibid.,

Page 36: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

27

Apabila gila menyertai perbuatan jarimah (yaitu ketika

melakukan jarimah pelaku sudah gila), maka pelakunya dibebaskan

dari pertanggungjawaban pidana, karena pada saat melakukan

jarimah ia tidak mempunyai kekuatan berpikir. Keadaan gila ini

tidak menjadikan suatu jarimah dibolehkan, melainkan hanya

menghapuskan hukuman dari pelakunya. Ketentuan ini sudah

merupakan kesepakatan para fuqaha dan juga para sarjana hukum

positif. Dalam Pasal 44 KUHP dinyatakan:

(1) Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan

yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab

kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.

(2) Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan

padanya sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah

akal, maka dapatlah hakim memerintahkan memasukkan dia

ke rumah sakit jiwa selama-lamanya satu tahun untuk

diperiksa.18

Akan tetapi pembebasan orang gila dari hukuman, tidak

berarti ia dibebaskan juga dari pertanggungjawaban perdata, sebab

harta benda dan jiwa orang lain dijamin keselamatannya oleh syara'

dan alasan-alasan yang sah tidak dapat menghilangkan jaminan

tersebut. Sebagaimana orang gila masih tetap memiliki harta

benda, ia juga dapat dibebani pertanggungjawaban perdata, yaitu

pertanggungjawaban yang berkaitan dengan harta. Meskipun para

fuqaha sepakat mengenai adanya pertanggungjawaban perdata

yang penuh atas orang gila sebagai akibat perbuatannya, namun

mereka berbeda pendapat mengenai sejauh mana besarnya

pertanggungjawaban tersebut dalam jarimah pembunuhan dan

penganiayaan. Perbedaan tersebut berpangkal pada perbedaan

pendapat mereka tentang kesengajaan orang gila, apakah dianggap

sengaja dalam arti yang sesungguhnya atau dianggap sebagai

kekeliruan semata-mata. Menurut Imam Malik, Imam Abu

Hanifah, dan Imam Ahmad perbuatan sengaja dari orang gila itu

termasuk tidak sengaja (khatha'), karena ia tidak mungkin

melakukan perbuatan itu dengan niat yang sesungguhnya.

Sedangkan menurut Imam Syafi'i, perbuatan sengaja dari orang

18 M. Boediarto-K. Wantjik Saleh, op. cit., hlm. 23.

Page 37: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

28

gila termasuk kesengajaan dan bukan kesalahan, karena gila itu

hanya membebaskan hukuman, tetapi tidak mengubah sifat

perbuatannya.19

Perbedaan pendapat tentang status perbuatan orang gila

tersebut berpengaruh terhadap penggantian kerugian yang harus

dipikulnya. Hal ini oleh karena diat pada jarimah sengaja adalah

diat mughallazah (yang diperberat) dan harus ditanggung sendiri

oleh pelaku, sedangkan diat pada jarimah tidak sengaja (khatha')

adalah diat mukhaffafah (yang diperingan) dan ditanggung oleh

keluarga ('aqilah) dan pelaku bersama-sama.

b) Hukum gila yang datang kemudian

Gila yang timbul setelah dilakukannya jarimah, adakalanya

sebelum ada keputusan hakim dan adakalanya sesudahnya.

(1) Gila sebelum keputusan hakim

Menurut ulama Syafi'iyah dan Hanabilah, gila yang

timbul sebelum ada keputusan hakim tidak dapat menghalangi

dan menghentikan pelaksanaan pemeriksaan pengadilan.

Alasannya adalah karena adanya taklif (kecakapan bertindak)

hanya disyaratkan pada waktu melakukan jarimah. Pandangan

tersebut tidak berarti menghina atau meremehkan kedudukan

orang gila, karena pemeriksaan pengadilan terhadap mereka

yang melakukan jarimah disertai dengan jaminan-jaminan

keadilan yang kuat. Alasan-alasan yang dikemukakan oleh

mereka barangkali lebih kuat jika dilihat dari segi logika dan

kenyataan, karena seseorang yang telah melakukan suatu

jarimah sudah sepantasnya dijatuhi hukuman. Kalau ia

kemudian menjadi gila, hal itu tidak usah mencegah

pemeriksaannya di pengadilan, selama masih ada jalan untuk

mengadilinya. Hal ini oleh karena pengaruh gila hanya

terbatas kepada ketidak-mampuannya sebagai tertuduh untuk

membela dirinya, sedangkan menurut aturan hukum,

ketidakmampuan tertuduh untuk membela diri tidak

mengurangi atau mencegah pemeriksaan hakim. Orang bisu

dan orang yang kehilangan suaranya setelah melakukan

jarimah adalah juga orang-orang yang tidak mampu membela

diri, akan tetapi mereka tetap dihadapkan ke muka pengadilan.

Oleh karena itu, tidak perlu untuk membedakan orang-orang

gila dengan orang-orang yang bisu.

Akan tetapi ulama-ulama Malikiyah dan Hanafiyah

berpendapat, bahwa kondisi gila yang terjadi sebelum ada

keputusan hakim dapat menghentikan proses pemeriksaan

pengadilan dan menundanya sampai keadaan gilanya itu

hilang. Alasan mereka adalah bahwa untuk dijatuhkannya

hukuman disyaratkan adanya taklif. Syarat ini harus terdapat

19 A., Hanafi, op.cit., hlm. 383.

Page 38: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

29

pada waktu dilakukannya pemeriksaan. Dengan perkataan lain

pada waktu diadili pelaku harus tetap menjadi orang mukallaf.

Pendirian hukum pidana Mesir dan Perancis sama dengan

pendirian fuqaha Malikiyah dan Hanafiyah, hanya saja

alasannya yang berbeda. Menurut kedua hukum positif

tersebut alasan dihentikannya peradilan orang gila adalah

karena ketidakmampuannya untuk membela diri. Sedangkan

alasan Malikiyah dan Hanafiyah adalah karena tidak adanya

syarat untuk penjatuhan hukuman, yaitu taklif. Dalam Pasal

247 Undang-Undang Hukum Acara Pidana Mesir disebutkan:

"Apabila tersangka tidak sanggup membela diri karena ada

cacat pada akalnya maka ia tidak boleh diadili sampai

kecerdasannya kembali kepada kondisi yang cukup untuk

membela diri. Apabila ternyata dengan jelas

ketidakmampuannya untuk membela diri di depan pengadilan

maka pemeriksaan terhadap dirinya harus dihentikan, sesuai

dengan alasan tersebut di atas.

(2) Gila sesudah adanya keputusan hakim

Apabila sesudah ada keputusan hakim orang yang

terhukum menjadi gila maka menurut Imam Syafi'i dan Imam

Ahmad, pelaksanaan hukuman tidak dapat dihentikan, kecuali

apabila jarimah adalah jarimah hudud, sedang pembuktiannya

hanya dengan pengakuan terhukum semata-mata. Hal ini oleh

karena dalam jarimah hudud terhukum (terdakwa) bisa

menarik kembali pengakuannya, baik sebelum

dilaksanakannya hukuman maupun sesudahnya. Apabila ia

menarik kembali pengakuannya, pelaksanaan hukuman harus

dihentikan, karena ada kemungkinan penarikan kembali

pengakuannya itu benar-benar keluar dari hatinya dengan

tulus. Bagi orang gila, karena ia telah terhalang oleh

penyakitnya, sedang ia berhak untuk menarik kembali

pengakuannya maka pelaksanaan hukuman harus dihentikan

atau ditunda sampai sembuh. Apabila keputusan hakim

didasarkan kepada bukti-bukti lain selain pengakuan seperti

saksi maka pelaksanaan hukuman tetap harus dijalankan.

Dasar pendapat ini adalah bahwa pertanggungjawaban pidana

dan hukuman dikaitkan dengan waktu dilakukannya jarimah,

bukan dengan keadaan sesudahnya atau sebelumnya.

Imam Malik berpendapat bahwa keadaan gila dapat

menunda pelaksanaan hukuman sampai terhukum sembuh dari

gilanya, kecuali apabila hukumannya berupa qishash. Menurut

sebagian Malikiyah, hukuman qishash menjadi gugur dan

diganti dengan diat. Akan tetapi menurut sebagian yang lain,

dalam keadaan harapan sembuh sangat kecil, keputusan

terakhir diserahkan kepada keluarga korban. Apabila mereka

Page 39: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

30

mengambil (melaksanakan) qishash, dan kalau tidak maka

mereka boleh mengambil diat.

Imam Abu Hanifah berpendapat apabila keadaan gila

timbul setelah terhukum diserahkan untuk dilaksanakan

hukumannya maka hukuman tersebut tidak boleh ditunda.

Apabila hukumannya berupa qishash dan terhukum menjadi

gila setelah diserahkan untuk dieksekusi, hukuman qishash

diganti dengan diat dengan menggunakan istihsan. Pendirian

tentang ditundanya hukuman untuk orang gila, didasarkan atas

dua alasan.

1) Penjatuhan hukuman harus didasarkan atas adanya taklif

pada diri terhukum dan hukuman tidak akan terjadi kecuali

dengan proses pemeriksaan. Dengan demikian, syarat

taklif (kecakapan) harus ada pada waktu pemeriksaan dan

keputusan hukuman.

2) Pelaksanaan hukuman atau eksekusi termasuk kelanjutan

dari proses peradilan. Apabila syarat taklif harus terdapat

pada waktu dilakukannya pemeriksaan oleh hakim, syarat

ini juga harus terdapat pada saat dilaksanakannya

keputusan hakim, sedang dengan adanya gila maka taklif

tersebut menjadi hapus.20

4). Di bawah umur

Konsep yang dikemukakan oleh syari'at Islam tentang

pertanggungjawaban anak di bawah umur merupakan konsep yang sangat

baik. Meskipun konsep tersebut telah lama usianya, namun konsep

tersebut menyamai teori terbaru di kalangan hukum positif. Hukum

Romawi sebagai bentuk hukum positif yang paling maju pada masa

turunnya syariat Islam dan yang menjadi dasar hukum-hukum Eropa

modern, mengadakan pemisahan antara pertanggungjawaban anak di

bawah umur dengan pertanggungjawaban orang dewasa dalam batas yang

sangat sempit, yaitu usia tujuh tahun. Dengan demikian menurut hukum

Romawi, apabila anak-anak telah mencapai umur tujuh tahun ke atas

20 Ibid., hlm. 387.

Page 40: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

31

maka ia dibebani pertanggungjawaban pidana. Akan tetapi apabila

seorang anak belum mencapai usia tersebut (tujuh tahun), ia tidak

dikenakan pertanggungjawaban pidana, kecuali kalau ketika melakukan

jarimah ia mempunyai niatan untuk merugikan orang lain. Dalam hal yang

terakhir ini, meskipun ia belum mencapai usia tujuh tahun, tetap

dikenakan pertanggungjawaban pidana. Pandangan hukum Romawi mi

tentu saja sangat jauh berbeda dengan konsep yang dibawa oleh syariat

Islam.

Menurut syariat Islam, pertanggungjawaban pidana didasarkan

atas dua perkara, yaitu kekuatan berpikir (idrak) dan pilihan (ikhtiar).

Sehubungan dengan kedua dasar tersebut, maka kedudukan anak di bawah

umur berbeda-beda sesuai dengan perbedaan masa yang dilaluinya dalam

kehidupannya, semenjak ia dilahirkan sampai ia memiliki kedua perkara

tersebut.

Secara alamiah terdapat tiga masa yang dialami oleh setiap orang

sejak ia dilahirkan sampai ia dewasa.

1) Masa Tidak Adanya Kemampuan Berpikir (Idrak)

Masa ini dimulai sejak seseorang dilahirkan dan berakhir pada

usia tujuh tahun. Pada masa tersebut seorang anak dianggap tidak

mempunyai kemampuan berpikir, dan ia disebut anak yang belum

tamyiz. Sebenarnya tamyiz atau masa seseorang mulai bisa

membedakan antara benar dan salah, tidak dibatasi dengan usia

tertentu, karena tamyiz tersebut kadang-kadang bisa timbul sebelum

Page 41: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

32

usia tujuh tahun dan kadang-kadang terlambat sesuai dengan

perbedaan orang, lingkungan, kondisi kesehatan akal, dan mentalnya.

Akan tetapi, para fuqaha berpedoman kepada usia dalam menentukan

batas-batas tamyiz dan kemampuan berpikir, agar ketentuan tersebut

bisa berlaku untuk semua orang, dengan berpegang kepada keadaan

yang umum dan biasa terjadi pada anak. Pembatasan tersebut

diperlukan untuk menghindari kekacauan hukum.

Di samping itu pembatasan tamyiz dengan umur

memungkinkan kepada seorang hakim untuk mengetahui dengan

mudah apakah syarat tersebut (kemampuan berpikir) sudah terdapat

atau belum, sebab dengan usia anak lebih mudah untuk

mengetahuinya. Meskipun anak yang belum berusia tujuh tahun sudah

menunjukkan kemampuan berpikir, bahkan mungkin melebihi anak

yang sudah berumur tujuh tahun, namun ia tetap dianggap belum

tamyiz, karena yang menjadi ukuran adalah kebanyakan orang dan

bukan perorangan.

Dengan demikian, seorang anak yang belum tamyiz, karena

belum mencapai usia tujuh tahun, apabila ia melakukan suatu jarimah

tidak dijatuhi hukuman, baik yang bersifat pidana maupun pendidikan.

la tidak dikenakan hukuman had apabila ia melakukan" jarimah hudud

dan tidak diqishash apabila ia melakukan jarimah qishash. Akan

tetapi, pembebasan anak tersebut dari pertanggungjawaban pidana

tidak menyebabkan ia dibebaskan dari pertanggungjawaban perdata

Page 42: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

33

dari setiap jarimah yang dilakukannya. la tetap diwajibkan membayar

ganti rugi yang dibebankan kepada harta miliknya, apabila

tindakannya menimbulkan kerugian kepada orang lain, baik pada

hartanya maupun jiwanya.

2) Masa Kemampuan Berpikir yang Lemah

Masa ini dimulai sejak seorang anak memasuki usia tujuh

tahun dan berakhir pada usia dewasa (balig). Kebanyakan fuqaha

membatasi usia balig ini dengan lima belas tahun. Apabila seorang

anak telah mencapai usia lima belas tahun maka ia sudah dianggap

dewasa menurut ukuran hukum, meskipun mungkin saja ia belum

dewasa dalam arti yang sebenarnya. Imam Abu Hanifah menetapkan

usia dewasa dengan delapan belas tahun. Menurut satu riwayat

sembilan belas tahun untuk laki-laki dan tujuh belas tahun untuk

perempuan. Pendapat yang masyhur di kalangan ulama Malikiyah

sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah.21

Pada periode yang kedua ini, seorang anak tidak dikenakan

pertanggung-jawaban pidana atas jarimah-jarimah yang dilakukan

baik jarimah hudud, qishash, maupun ta'zir. Akan tetapi, ia dapat

dikenakan hukuman pengajaran (ta'dibiyah). Pengajaran ini meskipun

sebenarnya berupa hukuman juga, akan tetapi tetap dianggap sebagai

hukuman pengajaran dan bukan hukuman pidana. Oleh karena itu,

apabila anak tersebut berkali-kali melakukan jarimah dan berkali-kali

21 Ibid., hlm. 370.

Page 43: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

34

pula dijatuhi pengajaran, namun ia tidak dianggap sebagai recidivis

atau pengulang kejahatan. Untuk pertanggungjawaban perdata ia tetap

dikenakan, meskipun ia dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana,

apabila perbuatannya merugikan orang lain, baik hartanya maupun

jiwanya. Karena harta dan jiwa dijamin keselamatannya oleh syara'

dan alasan-alasan yang sah tidak dapat menghapuskan jaminan

tersebut.

3) Masa Kemampuan Berpikir Penuh

Masa ini dimulai sejak seorang anak mencapai usia dewasa,

yaitu usia lima belas tahun menurut kebanyakan fuqaha atau delapan

belas tahun menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan pendapat yang

masyhur dari mazhab Maliki. Pada periode ini seorang anak dikenakan

pertanggungjawaban pidana atas semua jarimah yang dilakukannya,

apapun jenis dan macamnya. Pada umumnya hukum positif sama

pendiriannya dengan syariat Islam, yaitu mengadakan perbedaan

pertanggungjawaban pidana menurut perbedaan umur anak-anak di

bawah umur. Di samping itu dalam hukum positif, juga anak-anak di

bawah umur dikenakan pertanggungjawaban perdata, baik dijatuhi

hukuman pidana atau tidak. Hal itu disebabkan karena tidak ada

pertentangan antara dibebaskannya dari hukuman karena belum

mencapai usia tertentu dengan keharusan mengganti kerugian yang

timbul sebagai akibat perbuatannya.

Page 44: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

35

D. Akibat-Akibat Hukum dari Daluwarsa Penuntutan

Yang dimaksud dengan daluwarsa ialah berlakunya sesuatu waktu

tertentu atas keputusan adanya hukuman tanpa dilaksanakannya hukuman

tersebut. Dengan berlakunya masa tersebut maka pelaksanaan hukuman

menjadi terhalang. Di kalangan fuqaha masih diperselisihkan, apakah

daluwarsa dapat menghapuskan hukuman atau tidak. Menurut kebanyakan

fuqaha, tidak menghapuskan. Bagi fuqaha yang memakai prinsip daluwarsa

tersebut tidak menganggapnya sebagai faktor pembatalan hukuman bagi

seluruh jarimah. 22

Dalam hal ini ada dua teori.

Teori pertama, dari Imam Malik, Syafi'i dan Ahmad. Menurut teori

tersebut sesuatu hukuman atau jarimah tidak gugur, bagaimanapun juga

lamanya hukuman atau jarimah tersebut tanpa dilaksanakan atau diadili,

selama bukan berupa hukuman atau jarimah ta'zir, sebab terhadap hukuman

dan jarimah tersebut berlaku prinsip daluwarsa apabila dipandang perlu oleh

penguasa negara untuk mewujudkan kemaslahatan umum.

Dasar teori tersebut ialah bahwa pada aturan-aturan dan nas-nas

syari'at Islam tidak ada hal-hal yang menunjukkan hapusnya hukuman

jarimah-jarimah hudud dan qisas-diyat dengan berlakunya masa tertentu.

Penguasa negara juga tidak bisa mengampuni atau menggugatkan hukuman

tersebut. Kalau tidak ada nas yang menghapuskan, maka artinya tidak bisa

hapus dengan adanya daluwarsa.

22Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, hlm.

349.

Page 45: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

36

Mengenai jarimah-jarimah ta'zir, maka penerapan aturan-aturannya

yang umum mengharuskan berlakunya prinsip daluwarsa, karena penguasa

negara bisa memaafkan jarimah ta'zir dan hukumannya, artinya

memaafkannya dengan segera. Kalau ia bisa memaafkan dengan segera, maka

ia juga bisa menggantungkan gugurnya hukuman kepada berlakunya masa

tertentu, kalau dengan tindakannya itu bisa diwujudkan kepentingan umum.

Teori kedua, berasal dari Imam Abu Hanifah beserta murid-muridnya.

Pada dasarnya pendapat mereka sama dengan pendapat teori pertama, yaitu

mengakui adanya prinsip daluwarsa untuk jarimah-jarimah ta'zir, jarimah-

jarimah qisas-diyat dan satu jarimah hudud, yaitu memfitnah (qadzaf).

Menurut Zufar, murid Imam Abu Hanifah, untuk semua hukuman hudud juga

tidak berlaku prinsip tersebut, yang berarti sama dengan teori pertama.23

Akan tetapi imam Abu Hanifah sendiri mengakui adanya prinsip

daluwarsa untuk jarimah-jarimah hudud selain jarimah memfitnah. Meskipun

demikian, ia mengadakan pemisahan, apakah bukti-bukti penetapan jarimah-

jarimah hudud tersebut berupa saksi-saksi ataukah berupa pengakuan

pembuat. Kalau alat-alat bukti berupa saksi-saksi, maka hukuman bisa hapus

dengan daluwarsa. Tetapi kalau alat-alat bukti berupa pengakuan pembuat,

maka daluwarsa tidak berlaku, kecuali untuk jarimah minum-minuman keras.

Pemisahan tersebut didasarkan atas pendapatnya tentang persaksian

dalam hudud dan pengaduan korban dalam jarimah qadzaf. Jarimah hudud

yang ditetapkan berdasarkan persaksian mengalami daluwarsa, karena

23

Ibid.

Page 46: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

37

persaksian itu bisa mengalami daluwarsa, artinya kalau persaksian itu

diberikan sesudah lewat masa tertentu, maka persaksian tersebut, tidak dapat

diterima.

Pada dasarnya setiap orang bisa memberikan persaksiannya seketika

mengenai terjadinya jarimah hudud. Akan tetapi kalau ia tidak memberikan

persaksiannya pada saat itu, maka ada kalanya karena ia tidak ingin

mengorek-ngorek keburukan orang lain, kecuali kalau ada halangan benar-

benar. Kalau sesudah itu ia memberikan persaksian, maka hal ini

menimbulkan dugaan bahwa ia mempunyai kebencian terhadap orang lain

tersebut. Oleh karena kebencian itu adalah sesuatu yang tidak nampak dan

sukar dibuktikan dalam semua keadaan, maka daluwarsa ditempatkan sebagai

gantinya. Berdasarkan ini maka semua persaksian tidak dapat diterima dengan

adanya daluwarsa, meskipun boleh jadi tidak ada perasaan terhadap diri saksi

itu.

Mengenai jarimah memfitnah (qadzaf) maka tidak ada daluwarsa,

karena dalam jarimah ini pengaduan korban menjadi syarat adanya tuntutan

fihak penguasa. Jadi saksi tidak dapat memberikan keterangannya sebelum

ada pengaduan tersebut, sedang untuk jarimah lain tidak diperlukan.

Kalau imam Abu Hanifah sudah mengakui adanya daluwarsa untuk

jarimah (dituntutnya jarimah), maka ia menerapkan pula prinsip tersebut

untuk hukumannya, karena menurut mereka pelaksanaan hukuman termasuk

dalam pemeriksaan pengadilan, artinya pelaksanaan hukuman menjadi

Page 47: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

38

penyempurna pengadilan. Jadi pada jarimah disyaratkan tidak boleh

daluwarsa, maka syarat ini juga berlaku pada pelaksanaan hukumannya.

Imam Abu Hanifah sendiri tidak menentukan batas masa daluwarsa

dan hal ini diserahkan kepada hakim dengan menimbang pada keadaan yang

berbeda-beda. Menurut Muhammad, murid imam Abu Hanifah, masa tersebut

adalah enam bulan. Menurut pendapat lain, adalah sebulan. Dengan demikian

maka penguasa negara bisa membuat batas masa daluwarsa dan menolak

setiap keterangan (persaksian) yang diberikan sesudah lewat masa tersebut,

jika alat-alat buktinya berupa persaksian.

Ringkasnya, menurut imam Abu Hanifah hukuman jarimah ta'zir bisa

hapus dengan daluwarsa, bagaimanapun juga alat buktinya. Hukuman jarimah

hudud selain jarimah memfitnah bisa hapus dengan daluwarsa apabila alat

buktinya berupa persaksian. Jika alat buktinya berupa pengakuan maka

hukuman tersebut tidak hapus, kecuali minum-minuman keras maka bisa

hapus.

Page 48: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

39

BAB III

HAPUSNYA HAK MENUNTUT PIDANA KARENA DALUWARSA

DALAM KUHP

A. Pengertian Daluwarsa dan Dasar Hukum

Daluwarsa adalah lewatnya waktu yang menjadi sebab gugurnya atau

hapusnya hak untuk menuntut atau melaksanakan hukuman terhadap

seseorang yang melakukan tindak pidana. Dalam perspektif KUHP bahwa

pada dasarnya semua pelaku (dalam arti luas) dari suatu tindak pidana harus

dituntut di muka sidang pengadilan pidana, akan tetapi baik secara umum atau

secara khusus undang-undang menentukan peniadaan dan atau penghapusan

penuntutan dalam hal-hal tertentu, misalnya karena daluwarsa.1 Hal ini

sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 78 KUHP bahwa hak menuntut pidana

hapus karena daluwarsa…2

Dasar dari ketentuan tersebut sama dengan dasar dari ketentuan pasal

76 ayat (1) tentang asas ne bis in idem ialah untuk kepastian hukum bagi

setiap kasus pidana, agar si pembuatnya tidak selama-lamanya ketenteraman

hidupnya diganggu tanpa batas waktu oleh ancaman penuntutan oleh negara,

pada suatu waktu gangguan seperti itu harus diakhiri. Orang yang berdosa

karena melakukan tindak pidana, untuk menghindari penuntutan oleh negara,

mengharuskan dia untuk selalu bersikap waspada kepada setiap orang,

1E.Y. Kanter dan Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,

Jakarta: Alumni, 1982, hlm. 426. 2Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 2003, hlm. 33.

Page 49: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

40

bersembunyi, menghindari pergaulan umum yang terbuka, semua itu membuat

ketidaktenangan hidupnya. Ketidaktenangan hidup yang sekian lama sebelum

masa daluwarsa berakhir pada dasarnya adalah suatu penderitaan jiwa, yang

tidak berbeda dengan penderitaan akibat menjalani suatu pidana yang

dijatuhkan oleh pengadilan.3

Selain alasan untuk kepastian hukum, prinsip lewatnya waktu ini, juga

didasarkan pada faktor kesulitan dalam hal untuk mengungkap kasus perkara.

Mengajukan tuntutan pidana pada dasarnya adalah berupa pekerjaan

mengungkap suatu peristiwa sebagaimana kejadian senyatanya (materiele

waarheid) pada waktu kejadian yang sudah berlalu. .Pengungkapan peristiwa

itu memerlukan bukti-bukti yang ditentukan dan diatur menurut ketentuan

Undang-undang, baik mengenai macam-macamnya maupun cara dan sistem

penggunaannya. Semakin lama lewatnya waktu akan semakin sulit untuk

memperoleh alat-alat bukti tersebut. Semakin lama ingatan seorang saksi akan

semakin berkurang bahkan lenyap atau lupa tentang suatu kejadian yang

dilihatnya atau dialaminya. Demikian juga benda-benda bukti, dengan waktu

yang lama akan menyebabkan benda itu menjadi musnah atau hilang dan tidak

ada lagi. Dengan berlalunya waktu yang lama memperkecil keberhasilan

bahkan dapat. menyebabkan kegagalan dari suatu pekerjaan penuntutan.4

Satu hal lagi yang penting, ialah dengan lewatnya waktu penderitaan

batin, baik bagi korban dan keluarganya maupun masyarakat sebagai akibat

dari suatu tindak pidana akan semakin berkurang yang pada akhirnya akan

3Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta: PT raja Grafindo Persada,

2002, hlm. 173. 4Ibid., hlm. 174.

Page 50: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

41

lenyap atau lupa dari ingatan. Jika dilihat dari teori pembalasan, menjadi tidak

penting lagi untuk mengungkap suatu kasus yang sudah dilupakan oleh

masyarakat. Walaupun zaman modern sekarang teori pembalasan dinilai oleh

banyak kalangan sudah kuno, namun masih menjadi bahan pertimbangan

hukum.5

Dasar hukum hapusnya hak menuntut pidana karena daluwarsa diatur

dalam Pasal 78 sampai dengan Pasal 81 KUHP.

B. Macam-Macam Tindak Pidana

Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu

sebagai berikut.

1. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dimuat

dalam buku II dan pelanggaran (overtredingen) dimuat dalam buku III.

Penggolongan jenis-jenis delik di dalam KUHP, terdiri atas

kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Penggolongan

untuk kejahatan disusun di dalam Buku II KUHP dan pelanggaran disusun

di dalam Buku III KUHP. Undang-undang hanya memberikan

penggolongan kejahatan dan pelanggaran, akan tetapi tidak memberikan

arti yang jelas. Risalah penjelasan undang-undang (Mvt) yang terdapat di

negeri Belanda membuat ukuran kejahatan dan pelanggaran itu atas dasar

teoritis bahwa kejahatan adalah "rechtdelicten", sedangkan pelanggaran

adalah "wetsdelicten." Ilmu pengetahuan kemudian menjelaskan bahwa

5E.Y. Kanter dan Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,

Jakarta: Alumni, 1982, hlm. 427.

Page 51: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

42

rechtsdelicten merupakan perbuatan dalam keinsyafan batin manusia yang

dirasakan sebagai perbuatan tidak adil dan di samping itu juga sebagai

perbuatan tidak adil menurut undang-undang, sedangkan wetsdelicten

merupakan perbuatan yang menurut keinsyafan batin manusia tidak

dirasakan sebagai perbuatan tidak adil, tetapi baru dirasakan sebagai

perbuatan terlarang karena undang-undang mengancam dengan pidana.6

Andaikata belum dilarang oleh Undang-undang, akan tetapi oleh

masyarakat telah dirasakan sebagai suatu perbuatan yang "onrecht" maka

di situ terdapat rechtdelicten sebagai kejahatan, misalnya pembunuhan,

pencurian, dan lain sebagainya. Sebaliknya bagi perbuatan yang oleh

karena dilarang dan diancam dengan pidana menurut ketentuan undang-

undang itu, barulah perbuatan itu bertentangan dengan "wet", karena

masyarakat sebelumnya tidak menganggap demikian, misalnya larangan

dengan rambu-rambu lalu lintas, peraturan lalu lintas untuk memakai jalan

di jalur sebelah kiri bagi pengendara dan lain sebagainya.7

2. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil

(formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieel delicten);

3. Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana sengaja

(doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpose

delicten);

4. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana

aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta

6Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1983,

hlm. 95 7Ibid., hlm. 96.

Page 52: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

43

commissionis) dan tindak pidana pasif/negatif, disebut juga tindak pidana

omisi (delicta omissionis);

5. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan

antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam

waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus;

6. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan

tindak pidana khusus;

7. Dilihat dari sudut subjek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak pidana

communia (delicta communia, yang dapat dilakukan oleh siapa saja), dan

tindak pidana propria (dapat dilakukan hanya oleh orang memiliki kualitas

pribadi tertentu);

8. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka

dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana

aduan (klacht delicten);

9. Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat

dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten),

tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak pidana

yang diperingan (gepriviligieerde delicten);

10. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana

tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang

dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta

benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik,

terhadap kesusilaan dan lain sebagainya;

Page 53: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

44

11. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan

antara tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) dan tindak pidana

berangkai (samengestelde delicten);8

Delik formil itu adalah delik yang perumusannya dititik beratkan

kepada perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan

dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik. Misal :

penghasutan (Pasal 160 KUHP), dimuka umum menyatakan perasaan

kebencian, permusuhan atau penghinaan terhadap kepada satu atau lebih

golongan rakyat di Indonesia (Pasal 156 KUHP); penyuapan (Pasal 209, 210

KUHP); sumpah palsu (Pasal 242 KUHP); pemalsuan surat (Pasal 263

KUHP); pencurian (Pasal 362 KUHP). Delik materiil itu adalah delik yang

perumusannya dititik beratkan kepada akibat yang tidak dikehendaki

(dilarang). Delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu

telah terjadi. Kalau belum, maka paling banyak hanya ada percobaan. Misal :

pembakaran (Pasal 187 KUHP), penipuan (Pasal 378 KUHP), pembunuhan

(Pasal 338 KUHP). Batas antara delik formil dan delik materiil tidak tajam

misalnya Pasal 362.

Delik Commissioms, delik omissionis dan delik comnussionis

peromissionem commissa. Delik commissionis: delik yang berupa pelanggaran

terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian,

penggelapan. penipuan. Delik omissionis: delik yang berupa pelanggaran

terhadap perintah, ialah tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan yang

8Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, op.cit., hlm. 121

Page 54: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

45

diharuskan, misal: tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan (Pasal

22 KUHP), tidak menolong orang yang memerlukan pertolongan (Pasal 531).

Delik commissionis per omissionen commissa: delik yang berupa pelanggaran

larangan (dus delik commissionisl, akan tetapi dapat dilakukan dengan cara

tidak berbuat. Misal : seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak

memberi air susu (Pasal 338, 340 KUHP), seorang penjaga wissel yang

menyebabkan kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak memindahkan

wissel (Pasal 194 KUHP).

Delik dolus dan delik culpa (doleuse en culpose delicten). Delik dolus

; delik yang memuat unsur kesengajaan. misal: Pasal-Pasal 187, 197, 245,

263,310,338 KUHP. Delik culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah

satu unsur misal : Pasal-Pasal 195, 197, 201, 203, 231 ayat 4 dan Pasal 359,

360 KUHP. Delik tunggal dan delik berganda (enkelvoudige en samengestelde

delicten). Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu

kali. Delik berganda : delik yang bani merupakan delik, apabila dilakukan

beberapa kali perbuatan, misal : Pasal 481 (penadahan sebagai kebiasaan).9

Delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak berlangsung terus

(voordurende en niet voortdurende/ aflopende delicten). Delik yang

berlangsung terus : delik yang mempunyai ciri, bahwa keadaan terlarang itu

berlangsung terus, misal; merampas kemerdekaan seseorang (Pasal 333

KUHP). Delik aduan dan, bukan delik aduan : (klachtdelicten en niet klacht

delicten). Delik aduan : delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila

9Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990, hlm. 57

Page 55: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

46

ada pengaduan dari pihak yang terkena (gelaedeerde partij). Misal

penghinaan (Pasal 310 dst. yo. 319 KUHP), perzinahan (Pasal 284 KUHP),

chantage (pemerasan dengan ancaman pencemaran, Pasal 335 ayat 1 sub 2

KUHP yo. ayat 2). Delik aduan dibedakan menurut sifatnya sebagai: delik

aduan yang absolut, ialah mis: Pasal 284, 310, 332. Delik.-delik ini menurut

sifatnya hanya dapat dituntut berdasar kan pengaduan. Delik aduan yang

relatif ialah mis. : Pasal 367. Disebut relatif, karena dalam delik-delik ini ada

hubungan istimewa antara si pembuat dan orang yang terkena.

Catatan : perlu dibedakan antara aduan dan gugatan dan laporan.

Gugatan dipakai dalam acara perdata, misal. : A menggugat B di muka

Pengadilan, karena B tidak membayar hutangnya kepada A Laporan hanya

pemberitahuan belaka tentang adanya sesuatu tindak pidana kepada polisi atau

Jaksa.

Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya (eenvoudige dan

gequalificeerde delicten). Delik yang ada pemberatannya, misal. :

penganiayaan yang menyebabkan luka berat atau matinya orang (Pasal 351

ayat 2, 3 KUHP), pencurian pada waktu malam hari dsb. (Pasal 363). Ada

delik yang ancaman pidananya diperingan karena dilakukan dalam keadaan

tertentu, misal. : pembunuhan kanak-kanak (Pasal 341 KUHP) Delik ini

disebut "geprivilegeerd delict". Delik sederhana; misal. : penganiayaan (Pasal

351 KUHP), pencurian (Pasal 362 KUHP).10

10

Ibid., hlm. 58.

Page 56: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

47

C. Hapusnya Hak Penuntutan Pidana

Kata "tindak pidana" merupakan terjemahan dari istilah bahasa

Belanda "straafbaarfeit", namun pembentuk undang-undang di Indonesia

tidak menjelaskan secara rinci mengenai "straafbaarfeit".11

Perkataan “feit”

itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan”

atau “een gedeelte van de werkelijkheid”, sedang “strafbaar” berarti “dapat

dihukum”, hingga secara harafiah perkataan “strafbaar feit” itu dapat

diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”,

yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan diketahui bahwa

yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan

kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.12

Seperti yang telah dikatakan di atas, bahwa pembentuk undang-undang

tidak memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang ia

maksud dengan perkataan “strafbaar feit”, maka timbullah di dalam doktrin

berbagai pendapat tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan “strafbaar

feit” tersebut., misalnya perbuatan pidana, peristiwa pidana, perbuatan-

perbuatan yang dapat dihukum, hal-hal yang diancam dengan hukum dan

perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan hukuman serta tindak pidana.13

11Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 5. 12P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1984,

hlm. 172. 13K. Wancik Saleh, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007,

hlm. 15.

Page 57: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

48

Dalam hubungan ini, Satochid Kartanegara lebih condong

menggunakan istilah “delict” yang telah lazim dipakai.14

R. Tresna

menggunakan istilah "peristiwa pidana".15

Sudarto menggunakan istilah

"tindak pidana",16

demikian pula Wirjono Projodikoro menggunakan istilah

"tindak pidana" yaitu suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan

hukuman pidana.17

Akan tetapi Moeljatno menggunakan istilah “perbuatan

pidana” yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan

mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa

melanggar larangan tersebut.18

Dalam hubungannya dengan hapusnya hak penuntutan pidana, bahwa

KUHP memuat 4 (empat) hal yang menyebabkan negara kehilangan hak

untuk menuntut pidana terhadap si pembuat tindak pidana, yaitu:

1. Sebab perbuatan yang telah diputus oleh pengadilan dengan putusan yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 76);

2. Sebab meninggalnya si pembuat (pasal 77);

3. Sebab telah lampau waktu atau kadaluwarsa (pasal 78-80);

4. Penyelesaian di luar pengadilan, yaitu dengan dibayarnya denda

maksimum dan biaya-biaya bila penuntutan telah dimulai (pasal 82: bagi

pelanggaran yang hanya diancam pidana denda).

14Satochid Kartanegara, tth, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian I, tk, Balai Lektur

Mahasiswa, hlm. 74. 15R. Tresna, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: PT Tiara Limit, t.th, hlm. 27. 16Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Fakultas Hukum UNDIP, 1990, hlm. 38. 17Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung PT Eresco, 1986,

hlm. 55. 18Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, hlm. 54.

Page 58: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

49

D. Hapusnya Hak Penuntutan Pidana karena Daluwarsa

Berapa lamakah tenggang lewatnya waktu pelaku tindak pidana untuk

menjadi tidak dapat dituntut karena daluwarsa? Dalam hal ini bergantung dari

berat ringannya pidana yang diancamkan pada tindak pidana yang diperbuat.

Hal ini tampak pada ketentuan pasal 78 ayat (1), yang menetapkan, bahwa hak

menuntut pidana menjadi hapus karena lewat waktu, yakni:

a. untuk semua tindak pidana pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan

dengan percetakan, sesudah satu tahun;

b. untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana

kurungan atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;

c. untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih

dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun; dan

d. untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau

pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara setinggi-

tingginya dua puluh tahun, sesudah delapan belas tahun.

Sedangkan untuk pelaku anak-anak yang pada saat melakukan tindak

pidana umurnya belum delapan belas tahun, menurut ayat (2) maka tenggang

daluwarsa hapusnya penuntutan pidana adalah dikurangi sepertiga dari

ketentuan pada ayat pertamanya.

Menetapkan lamanya tenggang daluwarsa untuk peniadaan penuntutan

pidana yang didasarkan pada berat ringannya ancaman pidana atau berat

ringannya tindak pidana yang diperbuat, adalah bertitik tolak dari pandangan

bahwa semakin berat atau besar tindak pidana yang diperbuat akan semakin

lama ingatan orang atau masyarakat terhadap kejadian itu, yang juga artinya

ialah lamanya penderitaan yang dirasakan orang dan atau masyarakat sebagai

akibat dari diperbuatnya tindak pidana bergantung dari berat ringannya

macam dan jenis tindak pidana yang diperbuat orang. Semakin berat tindak

Page 59: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

50

pidana diperbuat akan semakin lama rasa penderitaan yang dibawa oleh orang

atau masyarakat sebagai akibat dari diperbuatnya tindak pidana.19

Apabila tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan menuntut pidana

diperbandingkan dengan tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan

menjalankan pidana (pasal 84), maka jelas lamanya tenggang daluwarsa

hapusnya kewenangan menuntut pidana ini lebih pendek. Perbedaan itu adalah

wajar dan logis, sebab pada lamanya tenggang daluwarsa hapusnya

kewenangan menjalankan pidana si pembuat telah secara pasti (kepastian

hukum) bersalah dan telah dijatuhinya pidana oleh pengadilan. Sedangkan

pada tenggang daluwarsa hapusnya hak penuntutan pidana, si pembuat belum

dinyatakan bersalah dengan jatuhnya suatu putusan pemidanaan oleh

pengadilan.

Berhubung adanya pemberatan pidana (misalnya pengulangan)

maupun pengurangan pidana (misalnya pembuat belum berumur 18 tahun),

maka timbul kesulitan untuk menentukan apakah suatu kejahatan itu diancam

dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau lebih dari 3 tahun. Dengan

kata lain dalam hal untuk menentukan ancaman pidana penjara paling lama 3

tahun atau lebih dari 3 tahun, apakah pemberatan pidana maupun pengurangan

pidana ikut diperhitungkan ataukah tidak perlu diperhitungkan? Misalnya

kejahatan pasal 380 KUHP yang diancam pidana penjara 2 tahun 8 bulan,

yang apabila terjadi pengulangan maka ancaman pidananya ditambah dengan

sepertiganya atau menjadi 3 tahun 6 bulan dan 19 hari. Kesulitannya ialah

19Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta: PT raja Grafindo Persada,

2002, hlm. 173, hlm. 176.

Page 60: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

51

untuk menentukan tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan penuntutan

pidana pada pengulangan pasal 380 ini, apakah berpedoman pada ancaman

pidana tanpa memperhatikan pemberatan karena pengulangan (2 tahun 8

bulan) ataukah memperhitungkan juga pemberatan pada pengulangannya

(ditambah sepertiganya) sehingga ancaman pidananya menjadi 3 tahun 6

bulan dan 19 hari? Dengan demikian tenggang daluwarsanya tidak sesudah 6

tahun, tetapi sesudah 12 tahun. Undang-undang tidak memberikan petunjuk

mengenai persoalan ini. Mengenai persoalan ini ada 2 pendapat yang saling

bertentangan, yaitu:

a. Pendapat pertama, Noyon, Van Hattum dan Hazewinkel Suringa

menyatakan bahwa dalam hal menentukan suatu kejahatan diancam

dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau lebih dari tiga tahun,

tidaklah perlu memperhatikan pemberatan pidana ataupun pengurangan

pidana, yang harus diperhatikan hanyalah sanksi pidana yang diancamkan

pada masing-masing rumusan tindak pidana yang bersangkutan

b. Pendapat kedua, sebaliknya seperti Jonkers menyatakan bahwa tenggang

daluwarsa itu adalah didasarkan pada ancaman pidana maksimum tindak

pidana yang pada kenyataannya diperbuat, oleh karena itu keadaan

obyektif maupun subyektif yang memberatkan pidana atau meringankan

pidana juga harus diperhitungkan dalam hal menentukan tenggang

daluwarsa hapusnya kewenangan penuntutan pidana.20

20Jonkers, Hukum Pidana Hindia Belanda, Terj. Tim Penerjemah Bina Aksara, Jakarta:

PT Bina Aksara, 1987, hlm. 238

Page 61: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

52

Adami Chazawi lebih condong pada pendapat kedua, dengan alasan

berikut. Berdasarkan kenyataan bahwa tidak ada penjelasan ataupun

keterangan dalam Undang-undang dalam hal memperhitungkan tenggang

daluwarsa hapusnya kewenangan penuntutan pidana terhadap pemberatan

ataupun peringanan pidana pada kejahatan. Sedangkan menurut pasal 86

KUHP di mana menyatakan bahwa apabila disebut kejahatan maka disitu

termasuk percobaannya dan pembantuan, kecuali ditentukan lain, yang artinya

Undang-undang hanya memberi penjelasan tentang memperhitungkan

tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan penuntutan pidana bagi

pembantuan kejahatan dan percobaan kejahatan adalah disamakan dengan si

pembuat dan si pembuat kejahatan selesai. Oleh karena itu di luar apa yang

diterangkan oleh pasal 86 KUHP (in casu pemberat pidana dan peringan

pidana pada kejahatan) tetap diperhitungkan dalam hal menentukan tenggang

daluwarsa hapusnya kewenangan menuntut pidana. Sebab apabila maksud

pembentuk Undang-undang agar tidak diperhitungkan terhadap pemberatan

dan atau peringanan pidana, tentulah diberikan keterangan sebagaimana

halnya bagi pembantuan kejahatan dan percobaan kejahatan seperti pada pasal

86 KUHP tersebut.21

Sedangkan sejak kapan berlakunya tenggang daluwarsa hapusnya

kewenangan penuntutan pidana itu, ditetapkan secara umum (pasal 79

KUHP), yaitu pada hari sesudah dilakukannya perbuatan, kecuali dalam tiga

hal, yaitu:

21Adami Chazawi, op.cit., hlm. 176

Page 62: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

53

a. mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, adalah pada hari sesudah

barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak itu digunakan;

b. mengenai kejahatan dalam pasal-pasal: 328, 329, 330 dan 333 KUHP,

dimulainya adalah pada hari sesudah orang yang langsung terkena

kejahatan (korban) dibebaskan atau meninggal dunia;

c. mengenai pelanggaran dalam pasal 556 KUHP sampai dengan pasal 558a

KUHP, adalah dimulai pada hari sesudah daftar-daftar yang memuat

pelanggaran-pelanggaran itu telah disampaikan/diserahkan pada Panitera

Pengadilan yang bersangkutan.22

Berjalannya waktu penghitungan lamanya tenggang daluwarsa, dapat

dihentikan oleh adanya tindakan penuntutan, asalkan penuntutan ini diketahui

oleh orang yang dituntut atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara

yang ditentukan Undang-undang. Setelah jalannya tenggang daluwarsa

dihentikan oleh adanya penuntutan ini, maka dimulainya lagi tenggang

daluwarsa yang baru (pasal 80 KUHP). Yang dimaksud dengan tindakan

penuntutan adalah tindakan Pejabat Penuntut Umum yang menyerahkan

berkas perkara Pidana ke Pengadilan yang disertai dengan permintaan agar

perkara itu diperiksa dan diputus (pasal 1 ayat 7 KUHAP). Jadi terbitnya

hitungan hari penuntutan ialah pada hari di mana Jaksa Penuntut Umum (JPU)

menyerahkan (berkas) perkara yang bersangkutan ke Pengadilan yang

berkompetensi. Tindakan Penyidik melakukan penyidikan tidak termasuk

pengertian penuntutan, dan oleh karenanya tindakan penyidikan tidak

menghentikan berjalannya proses tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan

menuntut pidana.

Disamping proses berjalannya tenggang daluwarsa dapat dihentikan

(dengan tindakan penuntutan), berjalannya tenggang daluwarsa dapat pula

22Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000, hlm.35

Page 63: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

54

tertunda berhubung dengan adanya penundaan (schorsing) penuntutan, yakni

apabila terjadi "perselisihan yang harus diputuskan lebih dahulu"/pra-yudisial

(pasal 81 KUHP). Tertundanya proses berjalannya tenggang daluwarsa karena

adanya penundaan penuntutan berhubung adanya perselisihan pra-yudisial

(perselisihan yang harus diputuskan lebih dahulu) berbeda dengan

penghentian berjalannya tenggang daluwarsa karena penuntutan pidana.23

Perbedaan itu ialah, pada penghentian tenggang daluwarsa karena

adanya penuntutan, maka setelah tenggang waktu itu dihentikan akan dimulai

penghitungan yang baru lagi, tanpa memperhitungkan lamanya waktu

sebelum tenggang daluwarsa dihentikan, artinya waktu yang berjalan sebelum

penuntutan dihentikan tidak diperhitungkan lagi. Misalnya A melakukan

pencurian tanggal 1 Januari 2001, pada tanggal 2 Januari mulai berjalan hari

pertama penghitungan tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan penuntutan

pidana. Pada tanggal 30 Juni 2001 (berkas) perkara yang bersangkutan oleh

Jaksa P.U dilimpahkan ke Pengadilan yang berwenang, maka terhentilah

penghitungan tenggang daluwarsa pada tanggal 30 Juni 2001. Penghitungan

tenggang daluwarsanya mulai hari pertama lagi pada keesokan harinya tanggal

1 Juli 2001.

Tetapi pada tertundanya jalan tenggang daluwarsa karena schorsing

penuntutan pidana karena adanya perselisihan pra-yudisial, jalan proses

tenggang daluwarsa tersebut dihentikan sementara yang setelah perselisihan

pra-yudisial itu diselesaikan, maka penghitungan tenggang daluwarsa

23Adami Chazawi, op.cit., hlm. 177.

Page 64: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

55

dilanjutkan lagi, yang artinya lamanya tenggang daluwarsa sebelum terhenti

juga turut dihitung. Misalnya pada contoh diatas tadi, berhubung adanya

perselisihan pra-yudisial di mana terdakwa mendalilkan barang yang

diambilnya itu adalah miliknya sendiri karena telah dibelinya dari si pelapor,

maka Majelis Hakim melakukan tindakan schorsing penuntutan pada tanggal

1 Qktober 2001 (sebelumnya tenggang daluwarsa telah berjalan sejak tanggal

1 Juli = 3 bulan). Kemudian, berhubung telah adanya putusan perdata yang

mempunyai kekuatan hukum tetap tentang kepemilikan obyek barang yang

dalam dakwaan telah dicuri oleh A, maka schorsing penuntutan dicabut

dengan dibukanya persidangan kembali pada tanggal 30 Desember 2001.

Dengan demikian penghitungan pada tanggal 30 Desember 2001 jalannya

tenggang daluwarsa dilanjutkan lagi dengan tetap menghitung masa 3 bulan

tenggang daluwarsa yang tertunda dahulu.24

Penundaan penuntutan pidana karena adanya perselisihan pra-yudisial,

maksudnya adalah tindakan penghentian sementara pemeriksaan suatu perkara

pidana oleh Majelis Hakim yang memeriksa berhubung diperlukan adanya

putusan Majelis perkara yang lain yang sangat penting dan menentukan dalam

hal memutus perkara yang dischorsing tersebut. Jonkers memberi contoh

seorang dituntut (diajukan ke sidang pengadilan) dengan didakwa melakukan

pencurian suatu barang milik orang lain. Tetapi di persidangan dia

memberikan keterangan bahwa barang itu adalah miliknya sendiri.25

24Ibid., hlm. 177. 25Jonkers, op.cit., hlm. 243.

Page 65: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

56

Apabila tentang kepemilikan ini terdapat kesukaran dalam hal

pembuktiannya, karena Majelis Hakim pidana tidak dibenarkan menetapkan

tentang kepemilikan dari barang ini, maka Majelis melakukan tindakan

penghentian sementara penuntutan, dan meminta pada orang itu mengajukan

gugatan perdata untuk menentukan milik siapa barang yang menurut dakwaan

diambil oleh Terdakwa tersebut. Disini telah terjadi keadaan yang disebut

perselisihan pra-yudisial sebagaimana contoh tersebut diatas.

Penghitungan tenggang daluwarsa schorsing oleh sebab adanya

perselisihan pra-yudisial, tidak saja disebabkan oleh pentingnya suatu putusan

perkara perdata yang menentukan terhadap putusan perkara pidana yang

dischorsing, tetapi juga dapat terjadi dalam hal diperlukannya putusan lain

dari hakim perkara pidana. Misalnya Jaksa P.U telah membawa seseorang ke

Pengadilan dengan mendakwanya "telah menggunakan surat palsu atau

dipalsu" (263 ayat 2), sementara ternyata bahwa terhadap orang yang diduga

membuat surat palsu atau memalsu surat itu diperiksa oleh Majelis Hakim

yang lain, dengan maksud menghindari adanya dua putusan yang saling

bertentangan dalam hal pokok perkaranya ada hubungan yang sangat erat,

maka Majelis Hakim yang memeriksa dakwaan menggunakan surat palsu atau

dipalsu tadi, perlu mengambil tindakan schorsing penuntutan pidana, dengan

menghentikan pemeriksaan perkara itu sampai adanya putusan perkara dengan

dakwaan membuat surat palsu atau memalsu surat tadi mempunyai kekuatan

hukum tetap.

Page 66: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

57

Contoh lainnya ialah pasal 314 ayat (3), yang menyatakan bahwa:

"Jika terhadap yang dihina telah dimulai penuntutan pidana karena hal yang

dituduhkan padanya, maka penuntutan karena fitnah dihentikan sampai

mendapat putusan yang menjadi tetap tentang hal yang dituduhkan".

Konkritnya pada contoh demikian, A menuduh B telah melakukan perzinaan

(284) dengan istrinya, dan untuk itu A telah mengajukan pengaduan atas kasus

itu pada Polisi. Dengan pengaduan yang dilakukan oleh A itu, B merasa

terhina dan juga melakukan laporan pada Polisi bahwa dia difitnah (311 jo

310) oleh A. Ketika A dituntut dengan didakwa memfitnah (311 jo 310) ke

pengadilan, yang ternyata B telah dituntut pula dengan didakwa melakukan

zina (284), maka Majelis Hakim perkara A melakukan schorsing penuntutan

pidana, menunggu perkara B diputus dengan putusan yang mempunyai

kekuatan hukum tetap. Dengan telah mendapatkan putusan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap, Majelis Hakim perkara A mencabut

schorsing penuntutan dengan membuka sidang kembali. Apabila isi putusan

perkara B dia dipidana karena salahnya melakukan tindak pidana zina (284),

maka putusan itu dijadikan dasar oleh Majelis Hakim perkara A untuk

membebaskan A, dan sebaliknya apabila B dibebaskan - artinya apa yang

dituduhkan oleh A tidak terbukti, maka dengan putusan pembebasan itu akan

digunakan sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana terhadap A.

E. Dampak dari Daluwarsa Penuntutan

Dampak dari lewatnya suatu waktu, maka suatu tindak pidana yang

dilakukan seseorang tidak bisa dituntut. Dengan demikian pelaku tindak

Page 67: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

58

pidana tidak bisa seret ke meja hijau sehingga pelaku sudah dapat bergerak

bebas. Tindak pidana yang telah dilakukan tidak lagi diusut atau diproses.

Dampak hapusnya penuntutan ini didasari atas pertimbangan bahwa pelaku

selama hidupnya yang ada dalam persembunyian dengan keterbatasan ruang

gerak dan kemerdekaan, sudah menjadi indikasi hukuman atas perbuatannya.

Pertimbangan lain bahwa jika tindak pidana itu dituntut maka para penegak

hukuman akan mengalami kesulitan dalam mencari dan merekam keseluruhan

alat bukti. Pelaku pun sudah sulit dimintai keterangan secara jelas dan benar

karena boleh jadi sudah banyak lupa dengan peristiwa itu.26

Tindak pidana yang telah dilakukan seseorang menjadi tidak dapat

dituntut karena daluwarsa sudah tentu ada ukuran waktunya. Dalam ketentuan

pasal 78 ayat (1), yang menetapkan, bahwa hak menuntut pidana menjadi

hapus karena lewat waktu, yakni: untuk semua tindak pidana pelanggaran dan

kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, sesudah satu tahun. Sedangkan

untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana

kurungan atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun.

Untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari

tiga tahun, sesudah dua belas tahun; dan untuk tindak pidana kejahatan yang

diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana

penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun, sesudah delapan belas

tahun.

26Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta: PT raja Grafindo Persada,

2002, hlm. 173, hlm. 176.

Page 68: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

59

BAB IV

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENERAPAN PENENTUAN

HAPUSNYA PENUNTUTAN PIDANA KARENA DALUWARSA DALAM

KUHP

A. Konsep Penentuan Daluwarsa Penuntutan dalam KUHP

Meskipun setiap orang yang melakukan tindak pidana harus dituntut,

namun jika orang yang melakukan tindak pidana misalnya melarikan diri dan

polisi belum mampu melacak keberadaan orang itu sehingga dalam sekian

tahun orang itu tidak dapat ditangkap, selama itu jika sudah daluwarsa

menuntut pidana, maka hapusnya hak penuntutan pidana terhadap orang itu.

Dengan kata lain menurut E.Y. Kanter dan Sianturi bahwa pada dasarnya

semua pelaku (dalam arti luas) dari suatu tindak pidana harus dituntut di muka

sidang pengadilan pidana, akan tetapi baik secara umum atau secara khusus

undang-undang menentukan peniadaan dan atau penghapusan penuntutan

dalam hal-hal tertentu, misalnya karena daluwarsa.1 Hal ini sebagaimana

ditegaskan dalam Pasal 78 KUHP bahwa hak menuntut pidana hapus karena

daluwarsa…2

Hak menuntut pidana menjadi hapus karena lewatnya waktu (78 ayat

1). Dasar dari ketentuan ini sama dengan dasar dari ketentuan pasal 76 ayat

(1) tentang asas ne bis in idem ialah untuk kepastian hukum bagi setiap kasus

pidana, agar si pembuatnya tidak selama-lamanya ketenteraman hidupnya

1E.Y. Kanter dan Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,

Jakarta: Alumni, 1982, hlm. 426. 2Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 2003, hlm. 33.

Page 69: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

60

diganggu tanpa batas waktu oleh ancaman penuntutan oleh negara, pada suatu

waktu gangguan seperti itu harus diakhiri. Orang yang berdosa karena

melakukan tindak pidana, untuk menghindari penuntutan oleh negara,

mengharuskan dia untuk selalu bersikap waspada kepada setiap orang,

bersembunyi, menghindari pergaulan umum yang terbuka, semua itu membuat

ketidaktenangan hidupnya. Ketidaktenangan hidup yang sekian lama sebelum

masa daluwarsa berakhir pada dasarnya adalah suatu penderitaan jiwa, yang

tidak berbeda dengan pënderitaan akibat menjalani suatu pidana yang

dijatuhkan oleh pengadilan.3

Selain alasan untuk kepastian hukum, prinsip lewatnya waktu ini, juga

didasarkan pada faktor kesulitan dalam hal untuk mengungkap kasus perkara.

Mengajukan tuntutan pidana pada dasarnya adalah berupa pekerjaan

mengungkap suatu peristiwa sebagaimana kejadian senyatanya (materiele

waarheid) pada waktu kejadian yang sudah berlalu. Pengungkapan peristiwa

itu memerlukan bukti-bukti yang ditentukan dan diatur menurut ketentuan

Undang-undang, baik mengenai macam-macamnya maupun cara dan sistem

penggunaannya. Semakin lama lewatnya waktu akan semakin sulit untuk

memperoleh alat-alat bukti tersebut. Semakin lama ingatan seorang saksi akan

semakin berkurang bahkan lenyap atau lupa tentang suatu kejadian yang

dilihatnya atau dialaminya. Demikian juga benda-benda bukti, dengan waktu

yang lama akan menyebabkan benda itu menjadi musnah atau hilang dan tidak

3Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta: PT raja Grafindo Persada,

2002, hlm. 173.

Page 70: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

61

ada lagi. Dengan berlalunya waktu yang lama memperkecil keberhasilan

bahkan dapat. menyebabkan kegagalan dari suatu pekerjaan penuntutan.4

Satu hal lagi yang penting, ialah dengan lewatnya waktu penderitaan

batin, baik bagi korban dan keluarganya maupun masyarakat sebagai akibat

dari suatu tindak pidana akan semakin berkurang yang pada akhirnya akan

lenyap atau lupa dari ingatan. Jika dilihat dari teori pembalasan, menjadi tidak

penting lagi untuk mengungkap suatu kasus yang sudah dilupa oleh

masyarakat. Walaupun zaman modern sekarang teori pembalasan dinilai oleh

banyak kalangan sudah kuno, namun pada kenyataannya kepuasan korban dan

masyarakat atas pidana yang-dijatuhkan pengadilan tidak dapat terlepas dari

berat ringannya (setimpal) dari kesalahan dan berat ringannya tindak pidana

yang dilakukannya.5

Berapa lamakah tenggang lewatnya waktu seseorang pembuat tindak

pidana untuk menjadi tidak dapat dituntut karena daluwarsa? Dalam hal ini

bergantung dari berat ringannya pidana yang diancamkan pada tindak pidana

yang diperbuat. Hal ini tampak pada ketentuan pasal 78 ayat (1), yang

menetapkan, bahwa hak menuntut pidana menjadi gugur dalam tenggang

waktu, yakni:

a. untuk semua tindak pidana pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan

dengan percetakan, sesudah satu tahun;

b. untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana

kurungan atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;

c. untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih

dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun; dan

4Ibid., hlm. 174.

5E.Y. Kanter dan Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,

Jakarta: Alumni, 1982, hlm. 427.

Page 71: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

62

d. untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau

pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara setinggi-

tingginya dua puluh tahun, sesudah delapan belas tahun.

B. Analisis Hukum Islam terhadap Penerapan Penentuan Daluwarsa

Penuntutan dalam KUHP

Dilihat dari hukuman yang telah ditetapkan atau tidak oleh syara',

jarimah dapat dibedakan menjadi tiga. Pertama, jarimah hudud yaitu jarimah

yang hukumannya telah ditetapkan baik bentuk maupun jumlahnya oleh

syara'. la menjadi hak Tuhan; hakim tidak mempunyai kewenangan untuk

mempertinggi atau memperendah hukuman bila si pelaku telah terbukti

melakukan jarimah tersebut. Jarimah yang termasuk jarimah hudud adalah

jarimah zina, menuduh zina, minum-minuman keras, mencuri, merampok,

keluar dari Islam dan memberontak.

Kedua, jarimah qisas yaitu jarimah yang hukumannya telah ditetapkan

oleh syara', namun ada perbedaan dengan jarimah hudud dalam hal

pengampunan. Pada jarimah qisas, hukuman bisa berpindah kepada al-diyat

(denda) atau bahkan bebas dari hukuman, apabila korban atau wali korban

memaafkan pelaku. Perbuatan yang termasuk dalam jarimah qisas adalah

pembunuhan dan pelukaan. Pembunuhan terbagi kepada tiga, yaitu:

pembunuhan sengaja, semi sengaja, dan kekeliruan. Sedangkan pelukaan

terbagi menjadi dua, yaitu: pelukaan sengaja dan kekeliruan. Ketiga, jarimah

ta'zir yaitu jarimah yang hukuman-nya tidak ditetapkan baik bentuk maupun

Page 72: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

63

jumlahnya oleh syara', melainkan diberikan kepada negara kewenangannya

untuk menetapkannya sesuai dengan tuntutan kemaslahatan.6

Pembagian jarimah seperti tersebut di atas tentunya mempunyai

tujuan. Para ahli hukum Islam mengklasifikasi tujuan-tujuan yang luas dari

syariat sebagai berikut.7

1. Menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup merupakan tujuan

pertama dan utama dari syariat. Dalam kehidupan manusia, ini merupakan

hal penting, sehingga tidak bisa dipisahkan. Apabila kebutuhan-kebutuhan

ini tidak terjamin, akan terjadi kekacauan dan ketidaktertiban di mana-

mana. Kelima kebutuhan hidup yang primer ini (dharuriyat), dalam

kepustakaan hukum Islam disebut dengan istilah al-maqasid al-khamsah,

yaitu: agama, jiwa, akal pikiran, keturunan, dan hak milik. Syariat telah

menetapkan pemenuhan, kemajuan, dan perlindungan tiap kebutuhan itu,

serta menegaskan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengannya sebagai

ketentuan yang esensial.

2. Tujuan berikutnya adalah menjamin keperluan hidup (keperluan sekunder)

atau disebut hajiyat. Ini mencakup hal-hal penting bagi ketentuan itu dari

berbagai fasilitas untuk penduduk dan memudahkan kerja keras dan beban

tanggung jawab mereka. Ketiadaan berbagai fasilitas tersebut mungkin

tidak menyebabkan kekacauan dan ketidaktertiban, akan tetapi dapat

menambah kesulitan bagi masyarakat. Dengan kata lain, keperluan-

6Ibid., hlm. vii. 7Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema Insani, 2003, hlm. 19

Page 73: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

64

keperluan ini terdiri dari berbagai hal yang menyingkirkan kesulitan dari

masyarakat dan membuat hidup menjadi mudah bagi mereka.

3. Tujuan ketiga dari perundang-undangan Islam adalah membuat berbagai

perbaikan, yaitu menjadikan hal-hal yang dapat menghiasi kehidupan

sosial dan menjadikan manusia mampu berbuat dan mengatur urusan

hidup lebih baik (keperluan tersier) atau tahsinat. Ketiadaan perbaikan-

perbaikan ini tidak membawa kekacauan sebagaimana ketiadaan

kebutuhan-kebutuhan hidup; juga tidak mencakup apa-apa yang perlu

untuk menghilangkan berbagai kesulitan dan membuat hidup menjadi

mudah. Perbaikan adalah hal-hal yang apabila tidak dimiliki akan

membuat hidup tidak menyenangkan bagi para intelektual. Dalam hal ini,

perbaikan mencakup arti kebajikan (virtues), cara-cara yang baik (good

manner), dan setiap hal yang melengkapi peningkatan cara hidup.8

Menurut Abd al-Wahhâb Khalâf, tujuan pemberian hukuman dalam

Islam sesuai dengan konsep tujuan umum disyariatkannya hukum, yaitu untuk

merealisasi kemaslahatan umat dan sekaligus menegakkan keadilan.9

Hukum pidana Islam secara implisit menetapkan adanya tujuan

pemidanaan seperti diungkapkan dalam ayat berikut ini:

���� ��������� � ������� � ���� ���� ������ ������ ���� ������ ��� �!�"#!�$ %�&�'�(%)�* +,�)��� -./���0 -�!���1)3"45� :78(

Artinya: "Laki-laki dan perempuan yang mencuri potonglah tangan

keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka

8Ibid., hlm. 20.

9Abd al-Wahhâb Khalâf, ‘Ilm usûl al-Fiqh, Kuwait: Dâr al-Qalam, 1978, hlm. 198.

Muhammad Abu Zahrah, Usûl al-Fiqh, Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1958, hlm. 351.

Page 74: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

65

kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah swt. Dan Allah

maha perkasa lagi maha bijaksana". (QS. al-Maidah: 38).10

��� #:�� ;"�0��� <=+� ���"��#��* >��������� +,�/������� ?,�*%$� ��� �� .+�%@�A%B�C ���� ;3�"%��� �,�D�� ?,��E�4�F ��� ����@�1 #"� #G�/%��� �H�AI%�� �J#&�/%���� � <���� �K&�:��#L�C #.�M:+� K�N � <��� ��!�O >�*

�P�:��#L��%�� ����)&:�� :Q( Artinya: "Pezina perempuan dan laki hendaklah dicambuk seratus kali

dan janganlah merasa belas kasihan kepada keduanya

sehingga mencegah kamu dalam menjalankan hukum Allah,

hal ini jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan

hendaklah dalam menjatuhkan sanksi (mencambuk) mereka

disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman".

(QS. an-Nur: 2).11

Ayat di atas secara substansial menunjukkan adanya unsur pembalasan

yang dikehendaki oleh syara bagi pelanggar undang-undang. Di satu sisi

ketika menerapkan sanksi (balasan) harus diumumkan atau dilakukan di muka

umum. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan

pemidanaan dalam Islam sebagai berikut:

1. Pemidanaan dimaksudkan sebagai pembalasan (retribution)

2. Pemidanaan dimaksudkan sebagai pencegahan kolektif atau general

prevention

3. Pemidanaan dimaksudkan sebagai special prevention (pencegahan

khusus).12

Atas dasar apakah KUHP mencantumkan tentang hapusnya hak

menuntut pidana karena daluawarsa? Vos mengemukakan 3 alasan, yaitu (1)

10Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya:

DEPAG RI, 1978, hlm. 158. 11 Ibid., hlm. 543.

12Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Yogyakarta: TERAS, 2009, hlm.

288

Page 75: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

66

Semakin lama waktu berlalu semakin terlupakan suatu peristiwa, sehingga tak

ada gunanya lagi melakukan penuntutan atas dasar apapun, baik menurut

prevensi umum/khusus maupun menurut teori pembalasan sekalipun, (2)

Individu yang bersangkutan harus bisa menikmati kepastian hukum maupun

keamanan menurut hukum, dan (3) Sukarlah bagi penuntut umum untuk

mengumpulkan bukti-bukti yang telah larut dalam waktu.13

Suatu kasus yang belum bisa dibuktikan secara faktual sebagai suatu

tindak pelanggaran, tersangka tidak bisa dijatuhi hukuman. Karena untuk

memvonis pelaku tindak kriminalitas (jarimah) seorang hakim memerlukan

bukti-bukti obyektif yang meyakinkan. Pada dasarnya setiap manusia terbebas

dari tanggungan yang berupa kewajiban melakukan atau tidak melakukan

sesuatu. Sebaliknya bila seseorang memiliki tanggungan, maka ia telah berada

dalam posisi yang tidak sesuai kondisi asal.14

Dalam hukum pidana Islam, daluwarsa hanya masuk dalam bagian

yang menghapuskan hak untuk melaksanakan hukuman. Dengan demikian

dalam perspektif hukum pidana Islam, setiap orang yang telah melakukan

tindak pidana dan terhadap perbuatan pidana itu belum sampai dijatuhi

hukuman, maka meskipun sudah daluwarsa, pidana tidak menjadi hapus. Ini

berarti orang yang melakukan tindak pidana kapan waktu saja dapat dituntut

atau perkaranya dapat diadili. Sedangkan daluwarsa hanya berlaku manakala

tindak pidana yang telah dilakukan seseorang itu telah mendapat putusan

hakim sehingga orang tersebut harus menjalani hukuman sebagai mana yang

13Nico Ngani, Sinerama Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1984, hlm. 37 14Abdul Haq, et al, Formulasi Nalar Fiqh, Buku Satu, Surabaya: Khalista, 2006, hlm.

161.

Page 76: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

67

telah dijatuhkan hakim. Namun berhubung daluwarsa maka pelaksanaan

hukuman menjadi hapus. Dengan demikian orang yang telah dijatuhi

hukuman itu bebas dari menjalankan hukuman yang telah dijatuhkan.

Dasarnya adalah karena daluwarsa dalam hukum pidana Islam yaitu

berlakunya sesuatu waktu tertentu atas keputusan adanya hukuman tanpa

dilaksanakannya hukuman tersebut. Dengan berlakunya masa tersebut maka

pelaksanaan hukuman menjadi terhalang.15

Pada aturan-aturan dan nas-nas syari'at Islam tidak ada hal-hal yang

menunjukkan hapusnya hukuman jarimah-jarimah hudud dan qisas-diyat

dengan berlakunya masa tertentu. Penguasa negara juga tidak bisa

mengampuni atau menggugurkan hukuman tersebut. Kalau tidak ada nas yang

menghapuskan, maka artinya tidak bisa hapus dengan adanya daluwarsa.16

Pengertian daluwarsa tersebut tidak menunjuk pada hapusnya hak

penuntutan negara terhadap orang yang telah melakukan tindak pidana.

Namun menunjuk pada hapusnya pelaksanaan hukuman yang berarti sudah

lebih dahulu adanya putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana terhadap

orang tersebut.

Berbeda halnya dengan KUHP, jika seseorang melakukan tindak

pidana dan tindak pidana itu belum dituntut dan dalam waktu tertentu

dinyatakan sudah daluwarsa, maka hak penuntutan menjadi hapus. Demikian

pula apabila orang yang melakukan tindak pidana itu diadili dan sempat

dijatuhi hukuman, namun kemudian waktunya sudah lewat atau daluwarsa

15Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, hlm.

349 16

Ibid., hlm. 350.

Page 77: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

68

maka orang yang telah dijatuhi vonis, hukuman itu harus dijalani. Hal itu

karena daluwarsa maka hapuslah hak negara untuk mengeksekusi orang yang

melakukan tindak pidana itu.

Dengan demikian, dalam hukum pidana Islam, daluwarsa hanya

bermata satu karena daluwarsa hanya berfungsi menghapuskan pelaksanaan

hukuman namun tidak menghapuskan penuntutan pidana. Sedangkan dalam

KUHP, daluwarsa bermata dua yaitu dapat menghapuskan hak untuk

menuntut pidana juga dapat menghapuskan hak negara mengeksekusi orang

yang telah dijatuhi hukuman tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut, menurut penulis bahwa setiap orang

harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Jika perbuatannya itu

mengandung dan memenuhi unsur tindak pidana dan sudah cukup atau ada

bukti permulaan yang menguatkan perbuatan tindak pidana itu maka pelaku

harus bertanggung jawab. Tanggung jawab tersebut tidak boleh gugur hanya

karena daluwarsa. Hal ini menyangkut rasa keadilan masyarakat dan kepastian

hukum.

Akan tetapi jika perbuatan itu tidak ada bukti yang menguatkan, maka

pelaku harus dibebaskan. Karena tuduhan yang terus berlangsung dan

penuntutan yang selalu menghantui pelaku berarti perampasan kemerdekaan

orang yang tidak bersalah. Pepatah menyatakan: "masih lebih baik

membebaskan orang yang bersalah daripada menghukum orang yang tidak

bersalah".

Page 78: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

69

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya, dapat diambil kesimpulan

sebagai berikut:

1. Penerapan daluwarsa penuntutan dalam KUHP, bahwa pada dasarnya

semua pelaku (dalam arti luas) dari suatu tindak pidana harus dituntut di

muka sidang pengadilan pidana, akan tetapi baik secara umum atau secara

khusus undang-undang menentukan peniadaan dan atau penghapusan

penuntutan dalam hal-hal tertentu, misalnya karena daluwarsa. Hal ini

sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 78 KUHP bahwa hak menuntut

pidana hapus karena daluwarsa. Selain alasan untuk kepastian hukum,

prinsip lewatnya waktu ini, juga didasarkan pada faktor kesulitan dalam

hal untuk mengungkap kasus perkara. Mengajukan tuntutan pidana pada

dasarnya adalah berupa pekerjaan mengungkap suatu peristiwa

sebagaimana kejadian senyatanya (materiele waarheid) pada waktu

kejadian yang sudah berlalu. .Pengungkapan peristiwa itu memerlukan

bukti-bukti yang ditentukan dan diatur menurut ketentuan Undang-

undang, baik mengenai macam-macamnya maupun cara dan sistem

penggunaannya. Semakin lama lewatnya waktu akan semakin sulit untuk

memperoleh alat-alat bukti tersebut. Semakin lama ingatan seorang saksi

akan semakin berkurang bahkan lenyap atau lupa tentang suatu kejadian

yang dilihatnya atau dialaminya. Demikian juga benda-benda bukti,

Page 79: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

70

dengan waktu yang lama akan menyebabkan benda itu menjadi musnah

atau hilang dan tidak ada lagi. Dengan berlalunya waktu yang lama

memperkecil keberhasilan, bahkan dapat. menyebabkan kegagalan dari

suatu pekerjaan penuntutan.

2. Ditinjau dari hukum Islam terhadap penerapan daluwarsa penuntutan

dalam KUHP tidak sejalan dengan prinsip hukum Islam. Dalam hukum

Islam, daluwarsa hanya masuk dalam bagian yang menghapuskan hak

untuk melaksanakan hukuman. Dengan demikian dalam perspektif hukum

pidana Islam, setiap orang yang telah melakukan tindak pidana dan

terhadap perbuatan pidana itu belum sampai dijatuhi hukuman, maka

meskipun sudah daluwarsa, pidana tidak menjadi hapus. Ini berarti orang

yang melakukan tindak pidana kapan waktu saja dapat dituntut atau

perkaranya dapat diadili. Sedangkan daluwarsa hanya berlaku manakala

tindak pidana yang telah dilakukan seseorang itu telah mendapat putusan

hakim sehingga orang tersebut harus menjalani hukuman sebagai maha

yang telah dijatuhkan hakim. Namun berhubung daluwarsa maka

pelaksanaan hukuman menjadi hapus. Dengan demikian orang yang telah

dijatuhi hukuman itu bebas dari menjalankan hukuman yang telah

dijatuhkan. Dalam hukum pidana Islam, daluwarsa hanya bermata satu

karena daluwarsa hanya berfungsi menghapuskan pelaksanaan hukuman

namun tidak menghapuskan penuntutan pidana. Sedangkan dalam KUHP,

daluwarsa bermata dua yaitu dapat menghapuskan hak untuk menuntut

Page 80: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

71

pidana juga dapat menghapuskan hak negara mengeksekusi orang yang

telah dijatuhi hukuman tersebut.

B. Saran-Saran

Dalam pembentukan hukum nasional yang akan datang, ada baiknya

pembentuk undang-undang meninjau kembali penerapan tentang daluwarsa

dengan membanding pada konsep daluwarsa dalam hukum pidana Islam.

C. Penutup

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, atas rahmat

dan ridha-Nya pula tulisan ini dapat diangkat dalam bentuk skripsi. Penulis

menyadari bahwa di sana-sini terdapat kesalahan dan kekurangan baik dalam

paparan maupun metodologinya. Karenanya dengan sangat menyadari, tiada

gading yang tak retak, maka kritik dan saran membangun dari pembaca

menjadi harapan penulis. Semoga Allah SWT meridhai.

Page 81: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT

Rineka Cipta, 2002.

Audah, Abd al-Qadir, al-Tasyri' al-Jina'i al-Islamy, Juz I, Mesir: Dar al-Fikr al-

Araby, tth.

Byk, Muhammad Khudhari, Ushul Al-Fiqh, Dar Al-Fikri, cetakan VII, 1981.

Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta: PT raja Grafindo

Persada, 2002.

Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta: Yayasan Penerbitan

Fakultas Psikologi, UGM, 1981.

Hamzah, Andi, KUHP dan KUHAP, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000.

Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986.

Hartanti, Evi, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

http:www.klik/bloc.com.Pid/2009/Daluwarsa

Jaziri, Abd. Al-Rahman, Al-Fiqh 'ala Al-Mazahib Al-Arba'ah, Juz V, Beirut: Dar

Al-Fikr.

Jonkers, Hukum Pidana Hindia Belanda, Terj. Tim Penerjemah Bina Aksara,

Jakarta: PT Bina Aksara, 1987.

Kanter, E.Y., dan Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya, Jakarta: Alumni, 1982.

Kartanegara, Satochid, tth, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian I, tk, Balai

Lektur Mahasiswa.

Khalâf, Abd al-Wahhâb, ‘Ilm usûl al-Fiqh, Kuwait: Dâr al-Qalam, 1978.

Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru,

1984.

Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta: PT Melton

Putra, 1990.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002.

--------, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 2003.

Page 82: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

Mubarok, Jaih dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah, Jakarta: Anggota

IKAPI, 2004.

Mudjib, Abdul, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh ( al-Qowaidul Fiqhiyyah), cet 4,

Jakarta: Kalam Mulia, 2001.

Munajat, Makhrus, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Yogyakarta: TERAS,

2009.

Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayat,

Jakarta: sinar Grafika, 2004.

Ngani, Nico, Sinerama Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1984.

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai

Pustaka, 1976.

Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung PT Eresco,

1986.

Qazwini, Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Yazid ibnu Majah hadis No.

2817 dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II,

Global Islamic Software Company).

Rokhmadi, Jurnal al-Ahkam, Volume XVIII/Edisi 1/April 2006, Semarang:

Fakultas Syariah IAIN Walisongo.

Saleh, K. Wancik, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Jakarta: Ghalia Indonesia,

2007.

Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema Insani, 2003.

Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Fakultas Hukum UNDIP, 1990.

Sumantri, Jujun S. Suria, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. VII,

Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Anggota IKAPI, 1993.

Syaltut, Syeikh Mahmud, al-Islam Aqidah wa Syariah, Alihbahasa, Fachruddin

HS, Akidah dan Syariah Islam, 2, Jakarta: Bina Aksara, 1985

Tim Penulis Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, Pedoman Penulisan Skripsi,

Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2000.

Tirmizi, Abu Isa Muhammad ibn Isa bin Surah hadis No. 1140 dalam CD

program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic

Software Company)

Tresna, R., Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: PT Tiara Limit, t.th.

Page 83: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

Usman, Hasan, Metode Penelitian Sejarah, Terj. Muin Umar, et. al, Departemen

Agama, 1986.

Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,

Surabaya: DEPAG RI, 1978.

Zahrah, Muhammad Abu, Usûl al-Fiqh, Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1958.

Page 84: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Agus Muhammad Ali Maqfur

Tempat/Tanggal Lahir : Demak, 14 Januari 1984

Alamat Asal : Sodong RT 03 RW 03 Sidogemah Sayung Demak

Pendidikan : - SDN 03 Sidogemah Sayung Demak lulus th 1998

- SLTP Ibrohimy Sukorejo Asembagus Situbondo

lulus tahun 2001

- MA Nahdhotusy Syubban Demak lulus th 2004

- Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang

Angkatan 2004

Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk

dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Agus Muhammad Ali Maqfur

Page 85: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl... · iv M O T T O (151 :مﺎﻌﻧﻷا )...ﱢﻖﺑﺤﺎﻟَِْ ﱠﻻإِ

BIODATA DIRI DAN ORANG TUA

Nama : Agus Muhammad Ali Maqfur

NIM : 042211038

Alamat : Sodong RT 03 RW 03 Sidogemah Sayung Demak.

Nama orang tua : Bapak Masruri Muhsin dan Ibu Masrifah

Alamat : Sodong RT 03 RW 03 Sidogemah Sayung Demak