Analisis Fungsi Pengasuhan dan Interaksi dalam Keluarga … · interaksi anak ayah dan interaksi...
Transcript of Analisis Fungsi Pengasuhan dan Interaksi dalam Keluarga … · interaksi anak ayah dan interaksi...
ANALISIS FUNGSI PENGASUHAN DAN INTERAKSI DALAM KELUARGA TERHADAP KUALITAS PERKAWINAN
DAN KONDISI ANAK PADA KELUARGA TENAGA KERJA WANITA (TKW)
(Kasus Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi)
SHELY SEPTIANA SETIONINGSIH
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
ABSTRACT
SHELY SEPTIANA SETIONINGSIH. Analysis of Parental Fungtion and Family’s Interaction to Marrital Quality and Child’s Conditions at Family of Migran Woman Workers.
Family of Migran Woman Workers are faced disorganitation with condition that family members, especially children are separated from their mother. The separateness has consequences in changing family structure dan function of parenting. Moter have an important role in children change as main bread winner. The aim of this study was to analyze the determinant factors of marriage quality and children conditions (social competence, stress, and achievement at school) at family of Migran Woman Worker. The study was conducted at Cikahuripan, Cisolok, and Cikelat Village, Sukabumi, West Java Province in Mei 2009. The study implemented cross sectional study and retrospective study as a study design. The sample of family were chosen purposively from the chosen location. The total sample was 47 family of migrant woman workers who have school age’s child. The study used descriptive and inferensia (Corelation Rank Spearman, Independent sample t-test, and Multivariate regression) analysis that obtain from primary data (questionnaire), in-depth interview, and secondary data. The results found out that average of family income when wife as migrant woman worker were three times as many as before wife became migrant woman worker. However, more than half of children have medium stress category and low achievement at school. Three-fourth of sampeles have high marriage quality The interactions between father and child and interaction between husband and wife have positive affects to marriage quality. The length of the wife as migrant has negative affects to child’s conditions (social competence, stress, and achievement at school). However, income has significant and positive effect on the conditions of child, especially achievement because income family could afford to give facilities for study. Key words: Parenting, Family’s Interaction, Marrital Quality, Child’s Condition, Migran Woman Workers
RINGKASAN
SHELY SEPTIANA SETIONINGSIH. Analisis Fungsi Pengasuhan dan Interaksi dalam Keluarga terhadap Kualitas Perkawinan dan Kondisi Anak pada Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW) (Dibawah bimbingan HERIEN PUSPITAWATI).
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh fungsi pengasuhan dan interaksi dalam keluarga terhadap kualitas perkawinan dan kondisi anak pada keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW). Adapun tujuan khususnya adalah: (1) Mengetahui karakteristik keluarga TKW; (2) Mengidentifikasi dukungan sosial, fungsi pengasuhan, interaksi dalam keluarga, kualitas perkawinan, dan kondisi anak; (3) Menganalisis perbedaan pengasuhan yang dilakukan ibu sebelum menjadi TKW, pengasuhan pengganti ibu saat ini, dan pengasuhan ayah saat ini; (4) Menganalisis perbedaan interaksi antara ibu dan anak dengan interaksi antara ayah dan anak; (5) Menganalisis hubungan antara karakterisik keluarga TKW, dukungan sosial, fungsi pengasuhan, interaksi dalam keluarga, kualitas perkawinan, dan kondisi anak; dan (6) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas perkawinan dan kondisi anak pada keluarga TKW. Disain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross-sectional study dan retrospective study dengan metode survei. Penelitian dilakukan di tiga desa yaitu Desa Cikahuripan, Cisolok, dan Cikelat, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purpossive) dengan pertimbangan Kecamatan Cisolok merupakan Kecamatan yang memiliki jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sepuluh terbanyak di Kabupaten Sukabumi. Penelitian secara keseluruhan dilakukan selama sembilan bulan, yaitu mulai bulan April 2009 sampai Januari 2010. Contoh penelitian ini adalah keluarga TKW yang istrinya sedang atau sudah pulang dari luar negeri (maksimal 3 bulan), istri pernah berangkat keluar negeri minimal 6 bulan, dan memiliki anak yang duduk di bangku sekolah dasar. Penarikan contoh menggunakan metode purposive sampling dengan teknik snowball. Jumlah contoh adalah 47 keluarga TKW. Responden penelitian adalah suami. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan bantuan kuesioner yang relevan dan melalui indepth interview untuk memperoleh informasi lebih mendalam. Data sekunder dikumpulkan dari Kantor Disnakertrans, BPS, Kantor Desa, Sekolah Dasar di Kecamatan Cisolok, dan instansi terkait di Kabupaten Sukabumi. Data yang terkumpul kemudian diolah secara deskriptif dan inferensia (uji korelasi Spearman, uji regresi linear berganda, uji beda Independent Sample T-test) dengan menggunakan program komputer Mocrosoft Excel dan SPSS 13.00 for Windows. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar (74.47%) suami dan hampir seluruh (97.87%) istri termasuk dalam usia dewasa awal, sedangkan sebagian besar (85.11%) anak termasuk dalam masa kanak-kanak akhir yang terdiri dari laki-laki (59.57%) dan perempuan (40.43%). Lebih dari separuh (51.06%) keluarga contoh merupakan keluarga kecil. Persentase terbesar suami (51.06%) dan istri (85.11%) memiliki pendidikan tamat sekolah dasar. Persentase terbesar (29.79%) suami bekerja sebagai nelayan, sedangkan persentase terbesar (85.11%) istri bekerja sebagai ibu rumah tangga sebelum menjadi TKW. Rata-rata pendapatan per bulan keluarga sebelum istri menjadi TKW sebesar Rp 1 138 723,00, sedangkan saat istri menjadi TKW rata-rata pendapatan perbulan
meningkat hampir tiga kali lipat menjadi Rp 3 247 670,00. Setelah menjadi TKW, aset keluarga contoh rata-rata mengalami kenaikan sebanyak 17.30 persen.
Negara tujuan terbesar (61.70%) TKW adalah Arab Saudi dengan rata-rata gaji per bulan sebesar Rp 1 800 000,00. Lama TKW bekerja di luar negeri berkisar antara 7 bulan sampai 10 Tahun dengan rata-rata 44.81 bulan. Hal yang memotivasi istri untuk menjadi TKW adalah agar anak dapat melanjutkan sekolah, memenuhi kebutuhan keluarga, merubah status sosial ekonomi keluarga, membangun rumah, dan menjadi perempuan mandiri.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh (55.32%) keluarga mendapat dukungan sosial yang tergolong kategori sedang. Sebelum ibu menjadi TKW, pengasuhan anak dilakukan oleh ibu. Setelah ibu menjadi TKW, sebanyak 25.53 persen ayah melakukan pengasuhan tanpa bantuan dari keluarga luas atau lainnya, 48.94 persen ayah melakukan pengasuhan dengan bantuan keluarga luas atau lainnya, dan 25.53 persen pengasuhan dilakukan keluarga luas.
Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar (78.72%) pengasuhan dimensi kehangatan yang dilakukan ibu sebelum menjadi TKW termasuk dalam kategori tinggi. Hasil yang sama dilakukan oleh pengganti ibu dan ayah, dengan kondisi bahwa sebagian besar (74.43%) pengganti ibu dan sebagian besar (80.85%) ayah menerapkan pengasuhan dimensi kehangatan dalam kategori tinggi. Berdasarkan uji beda Independent Sampel T-test diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pengasuhan dimensi penerimaan dan pengasuhan dimensi penolakan yang dilakukan ibu, pengganti ibu, dan ayah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh (59.57%) keluarga TKW memiliki interaksi antara ibu dan anak dengan kategori sedang. Lebih dari separuh (53.19%) keluarga TKW memiliki interaksi ayah dan anak yang tergolong kategori tinggi. Hampir tiga perempat (70.21%) keluarga TKW melakukan interaksi suami dan istri dalam kategori tinggi. Hasil uji beda Independent Sampel T-test menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara komunikasi ibu dan anak (rata-rata=1.817) dengan komunikasi ayah dan anak (rata-rata=2.347). Hal serupa juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara bonding ibu dan anak (rata-rata=1.934) dengan bonding ayah dan anak (rata-rata=2.328).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas perkawinan keluarga contoh termasuk dalam kategori tinggi (78.72%). Hal serupa juga ditunjukkan untuk kebahagiaan perkawinan (65.96%) dan kepuasan perkawinan (65.69%). Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif antara kualitas perkawinan dengan dukungan sosial, pengasuhan penerimaan pengasuh (ibu, pengganti ibu, ayah), dan interaksi dalam keluarga (bonding ibu anak, interaksi ayah dan anak, frekuensi komunikasi ayah dan anak, dan interaksi suami dan istri). Faktor yang berpengaruh positif terhadap kualitas perkawinan adalah interaksi anak ayah dan interaksi suami istri, sedangkan yang berpengaruh negatif adalah jenis kelamin anak.
Hampir dua pertiga (63.83%) anak memiliki keterampilan sosial kategori tinggi. Sebanyak 34.04 persen anak memiliki stres yang tinggi, 27.66 persen memiliki stres sedang, dan selebihnya memiliki stres rendah. Lebih dari separuh anak memiliki prestasi yang mengumpul pada satu kategori yaitu kategori hanya cukup baik. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan negatif antara interaksi ayah anak dan interaksi suami istri serta kualitas perkawinan dengan kondisi anak (keterampilan sosial, stres, prestasi akademik). Faktor yang berpengaruh positif terhadap kondisi anak (keterampilan sosial, stres, prestasi akademik) adalah pendapatan keluarga, sedangkan yang
berpengaruh negatif adalah lama ibu menjadi TKW dan interaksi ayah anak serta interaksi suami istri. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan informasi bahwa kepergian TKW selain memberi dampak positif terhadap penambahan pendapatan keluarga, juga memberi dampak negatif terhadap kualitas perkawinan dan kondisi anak. Dengan demikian, sebaiknya pemerintah melakukan konseling secara berkelanjutan untuk memastikan anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara optimal dan sebaiknya pemerintah bekerjasama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau Organisasi Wanita lainnya untuk merubah pola pikir bahwa menjadi TKW bukan merupakan jalan terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga, terutama berkaitan dengan pembentukan Sumberdaya Manusia (SDM) anak. Keterbatasan penelitian ini yaitu pemilihan contoh secara purposive dan semua variabel dijawab berdasarkan perceived (yang dirasakan) ayah, sehingga penelitian ini tidak bisa mengeneralisasi hasil pembahasan. Selain itu, perlu adanya penelitian lanjutan dengan responden anak untuk mengukur kondisi anak dan responden TKW untuk mengukur kualitas perkawinan.
ANALISIS FUNGSI PENGASUHAN DAN INTERAKSI DALAM KELUARGA TERHADAP KUALITAS PERKAWINAN
DAN KONDISI ANAK PADA KELUARGA TENAGA KERJA WANITA (TKW)
(Kasus di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi)
SHELY SEPTIANA SETIONINGSIH
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Keluarga dan Konsumen Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
DEPERTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
Judul : Analisis Fungsi Pengasuhan dan Interaksi dalam Keluarga terhadap Kualitas Perkawinan dan Kondisi Anak pada Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW) (Kasus di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi)
Nama : Shely Septiana Setioningsih NRP : I24050235
Disetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc., M.Sc NIP. 19621110 198603 2 001
Diketahui,
Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
Dr.Ir. Hartoyo, M.Sc. NIP. 19630714 198703 1 002
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banjarnegara pada Tanggal 27 September 1987.
Penulis merupakan anak ke 4 dari 4 bersaudara keluarga Bapak Ahwan
Setiawan dan Ibu Riyadiningsih. Pendidikan SD penulis ditempuh dari Tahun
1993 hingga 1999 di SDN 1 Kalibening. Penulis melanjutkan pendidikan tingkat
pertama di SLTP N 1 Kalibening dari Tahun 1999 hingga 2002, dan setelah itu
penulis melanjutkan di SMAN 1 Banjarnegara dan lulus pada Tahun 2005.
Pada Tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), dengan Mayor Ilmu Keluarga
dan Konsumen dan Minor Gizi Masyarakat. Selama menempuh pendidikan di
IPB, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan, yaitu Himpunan Mahasiswa
Ilmu Keluarga dan Konsumen (HIMAIKO) sebagai anggota Divisi Hubungan
Masyarakat dan Alumni (2007-2009) dan anggota Unit Kegiatan Manusia (UKM)
Lingkungan Seni Sunda (LISES) Gentra Kaheman IPB sebagai salah satu
anggota tim tari (2006-sekarang).
Selain itu, penulis juga aktif mengikuti beberapa kepanitiaan. Penulis
berkesempatan untuk mengikuti beberapa perlombaan karya tulis. Penulis lolos
dalam seleksi pendanaan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Bidang
Penelitian dan Artikel Ilmiah yang didanai oleh DIKTI pada Tahun 2007 dan
2009. Pada Tahun 2009, penulis terpilih sebagai salah satu tim pembawa Misi
Kebudayaan Indonesia 2009 ke Malaysia. Selama menjadi mahasiswa, penulis
juga berkesempatan untuk memperoleh beasiswa Supersemar (2007-2008) dan
BP- Migas (2008-2009).
PRAKATA Segala Puji dan Syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kekuatan, kesabaran, pengetahuan, dan kenikmatan kepada penulis
dalam penyelesaian penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Fungsi Pengasuhan
dan Interaksi dalam Keluarga terhadap Kualitas Perkawinan dan Kondisi Anak
pada Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW) (Kasus di Kecamatan Cisolok,
Kabupaten Sukabumi)”.
Satu hal yang penulis sadari bahwa penulisan dan penyelesaian skripsi
ini tidak terlepas dari bantuan moril dan materiil berbagai pihak. Dalam
kesempatan ini penulis hendak menyampaikan rasa hormat dan terima kasih
yang tulus kepada:
1. Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc, M.Sc, selaku pembimbing utama yang telah
mengarahkan dan memberi masukan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan
dengan baik.
2. Dr. Ir. Lilik Noor Yuliati, MSFA selaku dosen pemandu seminar hasil
penelitian, Ir Melly Latifah, M.Si dan Tin Herawati, SP, M.Si selaku penguji
utama yang telah memberikan koreksi, saran, dan masukan dalam rangka
perbaikan skripsi ini.
3. Ir. Istiqlaliyah Muflihati selaku pembimbing akademik selama peneliti menjadi
mahasiswa IKK dan Ir. Megawati Simanjuntak yang telah banyak membantu
peneliti dalam proses perbaikan skripsi.
4. Seluruh Aparat Pemerintah Kabupaten Sukabumi, Aparat Pemerintah
Kecamatan Cisolok, Aparat Pemerintah Desa Cisolok, Cikahurupan, dan
Cikelat, khususnya Pimpinan Disnakertrans Kabupaten Sukabumi, Bapak
Ade, serta Bapak Lurah Cikahuripan (Aji Troy) dan keluarga yang banyak
membantu dalam proses penelitian sehingga dapat berjalan dengan lancar.
5. Keluarga tercinta, Papi dan Mami yang telah memberikan kasih sayang,
dukungan dan doanya tiada henti. Semoga Allah membalas dengan surga-
Nya. Kakak-kakak tersayang (Ko Adven, Mas Denny, dan Mas Dedy)
terimakasih atas kasih sayang dan perhatiannya yang tiada terkira, Mbak Atin
dan Dek Tito terimakasih telah menjadi bagian baru keluarga kami dan
semakin memberi warna dalam keluarga.
6. M. Arya Wicaksono yang selalu ada dan mendukung serta memberikan
semangatnya. Keluarga Soedibyo (Om Soedibyo, Tante Hilda, Zia, dan Arqi)
atas semua kebaikan dan perhatiannya sehingga penulis merasa memiliki
keluarga kedua disaat jauh dengan Pami, Mami, dan saudara.
7. Mb yu-mb yu ku tercinta (Wulan dan Ary); Piranha’s Family (Shinta, Lani, Nia,
Cici, Mery, dan Anvina); kawan-kawan Asrama Pocut Baren atas segala
peristiwa-peristiwa yang telah kita lalui bersama, terimakasih telah
memberikan warna dalam hari-hari yang penuh canda, tawa, dan kasih
sayang serta kebersamaannya; dan Eka Wulida Latifah terimakasih atas
bantuannya dalam pengkoreksian skripsi.
8. IKK’ERS 42 atas segala perjuangan yang telah kita lewati bersama,
semangat dan perhatiannya. Semoga dengan rahmat-Nya, kita diberi
kemudahan dalam mencapai kesuksesan.
9. Tim dosen IKK IPB, terimakasih telah memberikan dukungan dan pengajaran
terbaik, juga untuk seluruh staff IKK yang telah membantu selama
perkuliahan. Serta seluruh pihak yang tidak dapat penulis ucapkan satu per
satu. Terimakasih, semoga Allah membalasnya dengan hal yang lebih baik.
Amin.
Bogor, Januari 2010
Shely Septiana S
iv
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ........................................................................................................... iv DAFTAR TABEL ................................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xi PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
Latar Belakang ................................................................................................... 1 Perumusan Masalah .......................................................................................... 3 Tujuan Penelitian ............................................................................................... 5 Manfaat Penelitian ............................................................................................. 5
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 7
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ............................................................................ 7 Keluarga ........................................................................................................... 10 Analisis Gender dan Peran Perempuan .......................................................... 20 Dukungan Sosial .............................................................................................. 22 Pengasuhan ..................................................................................................... 23 Interaksi dalam Keluarga ................................................................................. 29 Kualitas Perkawinan ........................................................................................ 32 Kondisi Anak .................................................................................................... 38
Keterampilan Sosial ..................................................................................... 38 Stres Anak .................................................................................................... 42 Prestasi Akademik ....................................................................................... 43
KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................................... 46 METODE PENELITIAN ....................................................................................... 48
Disain, Tempat, dan Waktu .............................................................................. 48
v
Contoh dan Teknik Penarikan Contoh ............................................................. 48 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data .............................................................. 49 Pengolahan dan Analisis Data ......................................................................... 50 Definisi Operasional ......................................................................................... 52
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 55
Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................................................ 55 Karakteristik Keluarga ...................................................................................... 57 Karakteristik Anak ............................................................................................ 68 Dukungan Sosial .............................................................................................. 68 Fungsi Pengasuhan Anak ................................................................................ 71 Interaksi dalam Keluarga ................................................................................. 76 Kualitas Perkawinan ........................................................................................ 84 Kondisi Anak .................................................................................................... 88
Keterampilan Sosial ..................................................................................... 88 Stres Anak .................................................................................................... 89 Prestasi Akademik ....................................................................................... 90
Hubungan Antara Variabel-Variabel Penelitian ............................................... 92
Hubungan Dukungan Sosial dengan Karakteristik Keluarga ....................... 92 Hubungan antara Pengasuhan Anak dengan Karakteristik Keluarga dan Dukungan Sosial .......................................................................................... 93 Hubungan antara Interaksi Keluarga dengan Karakteristik Keluarga, Dukungan Sosial, dan Pengasuhan ............................................................. 96 Hubungan Antara Kualitas Perkawinan dengan Karakteristik Keluarga, Dukungan Sosial, Pengasuhan, Interaksi Keluarga ................................... 101 Hubungan Antara Kondisi Anak dengan Karakteristik Keluarga, Dukungan Sosial, Pengasuhan, Interaksi Keluarga, dan Kualitas Perkawinan ........... 105
Garis Besar Hasil Uji Hubungan antar Variabel Penelitian ............................ 111 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Perkawinan dan Kondisi Anak .. 113
vi
Faktor –faktor yang Mempengaruhi Kualitas Perkawinan .......................... 113 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kondisi Anak ....................................... 115
Pembahasan Umum ...................................................................................... 117 Keterbatasan Penelitian ................................................................................. 119
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 120 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 123 LAMPIRAN ........................................................................................................ 129
vii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran
Terbuka (TPT) di Kabupaten Sukabumi Tahun 2005-2007 .................... 4 Tabel 2 Penempatan Tenaga Kerja Indonesia menurut kawasan dan negara
Tahun 2006 ............................................................................................. 9 Tabel 3 Fungsi keluarga dari berbagai sumber ................................................... 16 Tabel 4 Jenis data, peubah, contoh, alat dan cara pengukuran, skala data,
jumlah item pertanyaan, dan chronbah alpha (α) ................................. 50 Tabel 5 Sebaran contoh (%) berdasarkan umur orangtua (n=47) ....................... 57 Tabel 6 Sebaran contoh (%) berdasarkan besar keluarga (n=47) ...................... 58 Tabel 7 Sebaran contoh (%) berdasarkan tingkat pendidikan suami dan istri
(n=47) ................................................................................................... 58 Tabel 8 Sebaran contoh (%) berdasarkan pekerjaan suami dan istri sebelum
menjadi TKW (n=47) ............................................................................. 59 Tabel 9 Sebaran contoh (%) berdasarkan pendapaan keluarga per bulan (n=47)
.............................................................................................................. 60 Tabel 10 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori pendapatan perkapita per
bulan (n=47) ......................................................................................... 60 Tabel 11 Sebaran contoh (%) berdasarakan negara tujuan dan rata-rata gaji
TKW (n=47) .......................................................................................... 63 Tabel 12 Sebaran contoh (%) berdasarkan lama istri menjadi TKW (n=47) ....... 64 Tabel 13 Sebaran contoh (%) berdasarkan persepsi suami terhadap motivasi istri
menjadi TKW (n=47) ............................................................................. 66 Tabel 14 Sebaran contoh (%) berdasarkan umur anak (n=47) ........................... 68 Tabel 16 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategorti dukungan sosial (n=47) ... 71 Tabel 17 Sebaran contoh (%) berdasarkan pengasuh anak (n=47) ................... 72 Tabel 18 Hasil uji beda pengasuhan dimensi penerimaan (acceptance) oleh
pengasuh .............................................................................................. 73 Tabel 20 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori pengasuhan dimensi
kehangatan ........................................................................................... 75
viii
Tabel 21 Sebaran contoh (%) berdasarkan komunikasi antara ibu dan keluarga (n=47) ................................................................................................... 76
Tabel 22 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori interaksi ibu dan anak (n=47)
.............................................................................................................. 79 Tabel 23 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori interaksi ayah dan anak
(n=47) ................................................................................................... 81 Tabel 24 Sebaran contoh (%) berdasarkan frekuensi komunikasi ayah dan anak
(n=47) ................................................................................................... 81 Tabel 25 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori frekuensi komunikasi ayah
dan anak (n=47) ................................................................................... 82 Tabel 26 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori interaksi suami istri (n=47) 83 Tabel 27 Hasil uji beda interaksi anggota keluarga ............................................. 84 Tabel 28 Sebaran contoh (%) berdasarkan kualitas perkawinan (n=47) ............ 86 Tabel 29 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori kualitas perkawinan (n=47)
.............................................................................................................. 88 Tabel 30 Sebaran contoh (%) berdasarkan keterampilan sosial anak (n=47) .... 89 Tabel 31 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori keterampilan sosial anak
(n=47) ................................................................................................... 89 Tabel 32 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori stres anak ......................... 90 Tabel 33 Sebaran contoh berdasarkan prestasi akademik anak (n=45) ............. 91 Tabel 35 Hasil uji korelasi Spearman karakteristik keluarga dan dukungan sosial
.............................................................................................................. 93 Tabel 36 Hasil uji korelasi Spearman karakteristik keluarga dengan pengasuhan
.............................................................................................................. 94 Tabel 37 Hasil uji korelasi Spearman dukungan sosial dengan pengasuhan anak
.............................................................................................................. 95 Tabel 38 Hasil uji korelasi Spearman karakteristik keluarga dengan interaksi
keluarga ................................................................................................ 96 Tabel 39 Hasil uji korelasi Spearman dukungan sosial dengan interaksi keluarga
.............................................................................................................. 98 Tabel 40 Hasil uji korelasi Spearman pengasuhan anak terhadap interaksi
keluarga .............................................................................................. 100
ix
Tabel 41 Hasil uji korelasi Spearman karakteristik keluarga dengan kualitas perkawinan ......................................................................................... 101
Tabel 42 Hasil uji korelasi Spearman dukungan sosial dengan kualitas
perkawinan ......................................................................................... 102 Tabel 43 Hasil uji korelasi Spearman pengasuhan anak dengan kualitas
perkawinan ......................................................................................... 103 Tabel 44 Hasil uji korelasi Spearman interaksi keluarga dengan kualitas
perkawinan ......................................................................................... 105 Tabel 45 Hasil uji korelasi Spearman karakteristik keluarga dengan kondisi anak
............................................................................................................ 106 Tabel 46 Hasil uji korelasi Spearman dukungan sosial terhadap kondisi anak . 106 Tabel 47 Hasil uji korelasi Spearman pengasuhan anak dengan kondisi anak 108 Tabel 48 Hasil uji korelasi Spearman interkasi keluarga dengan kondisi anak . 109 Tabel 49 Hasil uji korelasi Spearman kualitas perkawinan dengan kondisi anak
............................................................................................................ 110 Tabel 50 Hasil uji korelasi Spearman antar variabel penelitian ......................... 113 Tabel 51 Hasil uji regresi linear berganda variabel yang berpengaruh terhadap
kualitas perkawinan dan kondisi anak ................................................ 114
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1 Kerangka konseptual prinsip pengasuhan pada teori parental
acceptance-rejection ............................................................................. 26 Gambar 2 Kerangka pemikiran............................................................................ 47 Gambar 3. Metode penarikan contoh .................................................................. 49
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1 Kepemilikan aset sebelum dan setelah istri menjadi TKW (n=47) . 130 Lampiran 2 Keadaan tempat tinggal sebelum dan setelah istri menjadi TKW
(n=47) ................................................................................................. 130 Lampiran 3 Frekuensi Makan pada Keluarga Saat ini ....................................... 131 Lampiran 4 Pengasuhan Penerimaan Ibu (Pra TKW), Pengganti Ibu (Saat TKW),
Ayah (Saat TKW) ................................................................................ 132 Lampiran 5 Pengasuhan Penolakan Ibu (Pra TKW), Pengganti Ibu (Saat TKW),
Ayah (Saat TKW) ................................................................................ 133 Lampiran 6 Komunikasi Ibu dan anak (n=47) .................................................... 134 Lampiran 7 Bonding Ibu dan anak (n=47) ......................................................... 135 Lampiran 8 Komunikasi ayah dan anak (n=47) ................................................. 136 Lampiran 9 Bonding ayah dan anak (n=47) ...................................................... 137 Lampiran 10 Komunikasi suami dan istri (n=47) ............................................... 138 Lampiran 11 Bonding suami dan istri (n=47) ..................................................... 138 Lampiran 12 Stres Anak (n=47) ........................................................................ 139 Lampiran 13 Hasil Uji Beda Independent Sample T-test Pengasuhan Penerimaan
(Acceptance) oleh Ibu (Pra TKW) dan Pengganti Ibu (Saat TKW) ..... 140 Lampiran 14 Hasil Uji Beda Independent Sample T-test Pengasuhan Penerimaan
(Acceptance) oleh Ibu (Pra TKW) dan Ayah (Saat TKW) ................... 142 Lampiran 15 Hasil Uji Beda Independent Sample T-test Pengasuhan Penerimaan
(Acceptance) oleh Pengganti Ibu (Saat TKW) dan Ayah (saat TKW) 144 Lampiran 16 Hasil Uji Beda Independent Sample T-test Pengasuhan Penolakan
(Rejection) oleh Ibu (Pra TKW) dan Pengganti Ibu (Saat TKW) ......... 146 Lampiran 17 Hasil Uji Beda Independent Sample T-test Pengasuhan Penolakan
(Rejection) oleh Ibu (Pra TKW) dan Ayah (Saat TKW) ....................... 148 Lampiran 18 Hasil Uji Beda Independent Sample T-test Pengasuhan Penolakan
(Rejection) oleh Pengganti Ibu (Saat TKW) dan Ayah (saat TKW) .... 150 Lampiran 19 Hasil Uji Beda Independent Sample T-test Interaksi Ibu-Anak dan
Ayah-Anak .......................................................................................... 152 Lampiran 20 Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Perkawinan ........................ 154
xii
Lampiran 21 Faktor yang Mempengaruhi Kondisi Anak (Keterampilan Sosial,
Stres, Prestasi Akademik) .................................................................. 156 Lampiran 22 Hasil Wawancara Mendalam (Data Kualitatif) .............................. 159
PENDAHULUAN
Latar Belakang Krisis moneter yang melanda Indonesia pada Tahun 1997 meningkatkan
angka kemiskinan dan angka pengangguran. Jumlah penduduk miskin selama
periode 1996-2006 berfluktuasi dari tahun ke tahun, yaitu 34.01 juta jiwa pada
Tahun 1996 menjadi 39.05 juta jiwa pada Tahun 2006 (BPS 2006). Begitu pula
angka pengangguran terbuka meningkat tajam dari 4.280 orang pada Tahun
1997 menjadi 10,93 juta orang pada Tahun 2006 (Antara 2007).
Salah satu penanggulangan yang dilakukan pemerintah dalam
menangani masalah kemiskinan dan pengangguran tersebut yaitu dengan
memfasilitasi permintaan tenaga kerja ke luar negeri. Program pemerintah
tersebut tercantum dalam Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 2004 mengenai
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, yang isinya bahwa
penempatan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri merupakan suatu upaya
untuk mewujudkan hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja untuk
memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, yang pelaksanaanya
dilakukan dengan tetap memperhatikan harkat, martabat, hak asasi manusia dan
perlindungan hukum serta pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga
kerja yang sesuai dengan hukum nasional.
Dalam program Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah
2004-2009, pemerintah menargetkan peningkatan ekspor TKI dari hampir
700.000 orang pada Tahun 2006 menjadi 1 juta orang per tahun hingga Tahun
2009. Demikian pula target negara tujuan akan diperluas dari 11 negara menjadi
25 negara (Subkhan 2007).
Kebijakan penempatan tenaga kerja ke luar negeri tersebut memberikan
dampak positif antara lain menambah devisa negara terutama daerah asal TKI
dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga. Berdasarkan data Pusat
Penelitian dan Informasi (Puslitfo) BNP2TKI (2008), pemasukan devisa dari TKI
(remitansi) sepanjang Tahun 2008 naik sebesar 37,3 persen bila dibanding
Tahun 2007 yaitu mencapai 8,24 milyar dolar AS (Rp 80,24 trilyun). Devisa dari
TKI ini merupakan devisa terbesar kedua setelah minyak dan gas.
Selain dampak positif, pekerjaan sebagai TKI juga memiliki berbagai
resiko. Saat ini terdapat 3,8 juta TKI yang bekerja di 27 negara penempatan.
Sekitar 70 persen dari jumlah TKI itu adalah perempuan yang rentan terhadap
2
masalah (Subkhan 2007). Menurut data Depnakertrans, sepanjang Tahun 2006
kumulatif kasus TKI-TKW mencapai 1.091 kasus dengan rincian kasus: gaji tak
dibayar 371 kasus, pelecehan seksual 29 kasus, penganiayaan 88 kasus,
kecelakaan kerja 29 kasus, PHK 140 kasus, sakit 124 kasus, putus komunikasi
253 kasus, kriminal 12 kasus, dan gagal berangkat 45 kasus (Fereshti 2007).
Dampak negatif lain akibat dari kepergian Tenaga Kerja Indonesia (TKI),
terutama Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang relatif lama menyebabkan adanya
perubahan struktur keluarga dan fungsi pengasuhan anak. Sistem keluarga
Indonesia menganut sistem patriarki yang menganggap laki-laki atau suami
sebagai pencari nafkah utama (main bread winner). Namun demikian dengan
adanya kepergian istri menyebabkan terjadinya pergeseran peran dalam
keluarga dengan kondisi peran istri sebagai pencari nafkah utama (main bread
winner). Blood (1972) diacu dalam Luthfiyasari (2004) menyebutkan beberapa
akibat yang mungkin terjadi dari keterpisahan anggota keluarga dan perubahan
keberfungsian keluarga antara lain berkurangnya intensitas komunikasi,
melemahnya ikatan kekerabatan, goyahnya stabilitas keluarga serta
melonggarnya keterikatan moral terhadap budaya setempat.
Pengamatan yang dilakukan oleh Pratama dkk Tahun 2003 di Desa
Paciran, Lamongan, Jawa Timur melaporkan bahwa berdasarkan data dari KUA
setempat antara Tahun 2000 sampai 2003 angka perceraian rata-rata bertambah
dua kali lipat dibanding kurun waktu sebelumnya. Data ini menunjukkan, hampir
60 persen kasus perceraian diakibatkan pengaruh TKI yang bekerja di luar
negeri. Faktor penyebab, antara lain persoalan ekonomi, perselingkuhan,
pengaruh dukungan sosial dari pihak luar, atau menikah diam-diam di bawah
tangan. Dari penelitian ini terungkap, hampir 75 persen penyebab perceraian
pada keluarga TKI/TKW adalah perselingkuhan, suami menikah lagi dengan
perempuan lain, dan hamil dari suami yang tidak jelas keberadaannya (Republika
2004).
Selain berdampak pada hubungan pasangan suami istri, perpisahan ibu
dan keluarga juga berdampak kepada kondisi anak. Perpisahan antara ibu dan
anak dalam jangka waktu yang relatif lama dapat merenggangkan bonding
antara anak dan ibu sehingga menyebabkan tidak terbangunnya basic trust dan
menimbulkan kesulitan-kesulitan tingkah laku dalam perkembangan kepribadian
anak selanjutnya (Gunarsa 2003). Basic trust dan kepribadian anak merupakan
3
landasan dalam perkembangan sosial anak untuk dapat menjalin hubungan
dengan orang lain.
Kasus jumlah anak terlantar di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang terdata
di Dinas Sosial Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) NTB hingga Tahun
2008 mencapai 227.633 jiwa. Dalam kurun yang sama tercatat sebanyak 24.705
anak berusia di bawah lima Tahun (Balita) dan anak usia 5-18 tahun terkategori
terlantar. Tingginya jumlah anak terlantar di NTB tidak lepas dari masalah
kemiskinan dan animo masyarakat NTB menjadi TKI di luar negeri yang sangat
tinggi, sebab biasanya para TKI menitipkan anak–anaknya ke kerabat atau
tetangga ketika kedua orangtuanya bekerja di luar negeri (BKKBN NTB 2009).
Kasus di SMPN 1 Panceng Gresik terdapat sekitar 20 persen siswanya
merupakan anak TKI yang menunjukkan adanya kegiatan belajar siswa di rumah
yang terabaikan dan peningkatan kenakalan siswa karena kurang kasih sayang
dari orangtuanya (Jawa Pos 2008).
Keuntungan ekonomi dari TKI berupa pendapatan yang tinggi tidak
sebanding dengan social cost yang harus dibayar selama kepergian dan setelah
kepulangan TKW. Keutuhan keluarga yang dipertaruhkan serta generasi penerus
bangsa yang harus dikorbankan merupakan hal yang harus ditanggung keluarga
serta negara. Dengan demikian, sangat menarik untuk diteliti mengenai siapa
pengganti pengasuhan anak selama ibu menjadi TKW dan bagaimana cara
mengasuhnya serta resiko apa yang ditanggung oleh keluarga TKW berkaitan
dengan kualitas perkawinan dan kondisi anak.
Perumusan Masalah Kabupaten Sukabumi sebagai kabupaten terluas se-Jawa dan Bali, yaitu
dengan luas 412.799,54 Ha (BPS 2008) memiliki jumlah penduduk yang relatif
banyak. Hal ini memberikan tantangan tersendiri bagi Pemerintah Daerah
Kabupaten Sukabumi untuk meminimalkan tingkat pengangguran yang kian
meningkat dengan makin bertambahnya penduduk. Tingkat Partisipasi Angkatan
Kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Kabupaten Sukabumi
Tahun 2005-2007 dapat dilihat pada Tabel 1.
4
Tabel 1 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Kabupaten Sukabumi Tahun 2005-2007
Tahun Indikator Ketenagakerjaan Total TPAK TPT
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan2005 76.59 9.55 31.9 11.04 54.31 10.3 2006 75.83 8.04 30.54 6.99 53.99 7.54 2007 85.45 10.94 42.34 10.66 64.77 10.85 Sumber: Susenas 2005-2007 dalam BPS Kabupaten Sukabumi 2007
Terbatasnya kesempatan kerja di bidang formal, mendorong banyaknya
penduduk Kabupaten Sukabumi untuk bekerja sebagai TKI. Peraturan Daerah
Kabupaten Sukabumi Nomor 13 Tahun 2005 tentang pengerahan calon Tenaga
Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri asal Kabupaten Sukabumi menyebutkan
bahwa penempatan dan perlindungan calon TKI (Tenaga Kerja Indonesia)
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan TKI dan keluarganya. Sepanjang Tahun 2007, terdapat 2.601 orang yang menjadi TKW di
Kabupaten Sukabumi (BPS 2008). Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten Sukabumi, dari 15.847 TKI asal Kabupaten Sukabumi,
yang tercatat di Kantor Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Sukabumi hanya 100
orang (Tempointeraktif 2004). Hal ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian
antara data dengan fakta di lapangan artinya bahwa TKI illegal jauh lebih banyak
bila dibanding dengan TKI legal. Acep Basnasah mengatakan bahwa jumlah TKI
asal Kabupaten Sukabumi yang bekerja di luar negeri hingga awal Tahun 2008
mencapai 26.000 orang lebih (Antara 2008).
Remitansi TKI Kabupaten Sukabumi Tahun 2007 mencapai 501 milyar
rupiah. Namun disisi lain akibat kepergian istri menjadi TKW banyak ditemukan
suami yang harus memegang peran ganda dalam keluarga dan banyak anak-
anak yang tumbuh dan berkembang dibawah pengawasan nenek atau keluarga
besar lainnya, sedangkan nenek atau keluarga besar lainnya mungkin
mempunyai gaya pengasuhan yang berbeda dengan ibu.
Berdasarkan identifikasi dan latar belakang di atas, maka pertanyaan
penelitian ini adalah: (1) Bagaimana karakteristik keluarga TKW; (2) Seberapa
besar dukungan sosial yang diterima keluarga TKW, fungsi pengasuhan
terhadap anak, interaksi yang terjadi dalam keluarga, kualitas perkawinan, dan
kondisi anak selama istri/ibu bekerja di luar negeri?; (3) Apakah terdapat
perbedaan pengasuhan yang dilakukan ibu sebelum menjadi TKW, pengganti ibu
5
saat ini, dan ayah saat ini; (4) Apakah terdapat perbedaan antara interaksi antara
ibu dan anak dengan interaksi ayah dan anak; (5) Apakah terdapat hubungan
antara karakterisik keluarga TKW, dukungan sosial, fungsi pengasuhan, interaksi
dalam keluarga, kualitas perkawinan, dan kondisi anak?; (6) Faktor apa saja
yang mempengaruhi kualitas perkawinan dan kondisi anak pada keluarga TKW?.
Tujuan Penelitian Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh fungsi pengasuhan
dan interaksi dalam keluarga terhadap kualitas perkawinan dan kondisi anak
pada keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW).
Tujuan Khusus
1. Mengetahui karakteristik keluarga TKW.
2. Mengidentifikasi dukungan sosial, fungsi pengasuhan, interaksi dalam
keluarga, kualitas perkawinan, dan kondisi anak.
3. Menganalisis perbedaan pengasuhan yang dilakukan ibu sebelum menjadi
TKW, pengasuhan pengganti ibu saat ini, dan pengasuhan ayah saat ini
4. Menganalisis perbedaan interaksi antara ibu dan anak dengan interaksi
antara ayah dan anak
5. Menganalisis hubungan antara karakterisik keluarga TKW, dukungan sosial,
fungsi pengasuhan, interaksi dalam keluarga, kualitas perkawinan, dan
kondisi anak.
6. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas perkawinan dan
kondisi anak pada keluarga TKW.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi bagi masyarakat
mengenai dampak positif dan negatif terhadap keluarga akibat kepergian istri/ibu
menjadi TKW sehingga dapat menentukan langkah yang tepat dalam mengambil
keputusan. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
pengembangan ilmu keluarga dan menjadi landasan bagi pengembangan
penelitian-penelitian sejenis dimasa yang akan datang.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi lembaga terkait seperti lembaga perencana dan pengembangan program
pembangunan keluarga. Selain itu juga menjadi sumber informasi dan referensi
6
dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan kehidupan keluarga
dengan mempertimbangkan keuntungan ekonomi dan social cost yang harus
dibayar sehingga dapat menetapkan kebijakan yang bersifat holistik dan solutif.
Keterbatasan penelitian ini adalah mengukur semua variabel penelitian
berdasarkan pengalaman yang dirasakan oleh suami (husband’s perceived).
Dalam melakukan penelitian, metode seperti ini memang diperbolehkan namun
ada kelemahan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan
responden TKW untuk mengukur variabel kualitas perkawinan dan responden
anak TKW untuk mengukur variabel interaksi anak dengan orangtua,
keterampilan sosial, dan stres yang dialami anak.
TINJAUAN PUSTAKA
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Menurut Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 2004 Pasal 1 mengenai
penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
adalah setiap Warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di
luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima
upah. Penempatan dan perlindungan calon TKI/TKI bertujuan untuk: (1)
Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan
manusiawi; (2) Menjamin dan melindungi calon TKI/TKI sejak di dalam negeri, di
negara tujuan, sampai kembali ke tempat asal; (3) Meningkatkan kesejahteraan
TKI dan keluarganya. Penempatan Tenaga Kerja Indonesia menurut kawasan
dan negara tujuan Tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 2.
Hampir 80 persen TKI yang dikirim adalah TKW yang tidak terdidik dan
bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Diketahui bahwa hampir 100 persen
TKI yang bekerja di Singapura, 93 persen di Arab Saudi, dan 94 persen di
Hongkong adalah Tenaga Kerja Wanita (TKW). Profil TKI menyajikan adanya
data berdasarkan tingkat pendidikan yaitu dari 106.28 juta angkatan kerja
berdasarkan Sakernas Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus 2006, sebanyak
53.13 persen (56.47 juta) hanya tamatan SD ke bawah, sebanyak 20.61 persen
(21.97 juta) lulusan SLTP, 20.64 persen (21.93 juta) lulusan SLTA, sedangkan
yang pernah belajar di perguruan tinggi hanya 5.62 persen (5.97 juta) dengan
kondisi 2.44 juta orang di antaranya mendapat pendidikan diploma dan sisanya
sarjana (S1) (Samhadi 2007). Hal tersebut tentunya juga berdampak pada
pekerjaan yang ditekuni TKI. Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nusa
Tenggara Barat mengatakan sekitar 97 persen dari jumlah Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) asal NTB yang bekerja di luar negeri merupakan tenaga tidak
trampil (BNP2TKI 2010).
Permasalahan-permasalahan selama masa penempatan yang banyak
dialamai TKI/TKW antara lain: 1) Dijebak menjadi pelacur di daerah transit, 2)
Diperjualbelikan antar agency di luar negeri, 3) Jenis pekerjaan tidak sesuai
dengan Perjanjian Kerja (PK), 4) Jam kerja melampaui batas, tanpa ada uang
lembur, 5) Tidak memegang dokumen apapun karena semua dokumen ditahan
majikan, 6) Dilarang berkomunikasi dengan orang lain termasuk dengan
keluarga, 7) Akomodasi dan makanan di rumah majikan tidak memadai, 8)
8
Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram
(daging babi), 9) Gaji dipotong oleh PPTKIS bekerjasama dengan agency yang
besarnya melampui ketentuan, 10) Gaji tidak dibayar, 11) Memperpanjang
kontrak kerja tidak ijin dari keluarga dan menggunakan kontrak kerja yang lama,
12) Punggutan yang tinggi oleh agency saat perpanjangan kontrak kerja, 13)
Disiksa, dianiaya, makan makanan basi dan bekas, diperkosa oleh majikan atau
oleh pegawai agency, 14) Dipenjara dengan berbagai rekayasa tuduhan, 15)
Bunuh diri atau membunuh atau melakukan tindakan pidana lainnya atau karena
putus asa akibat perlakuan buruk majikan/agency, 16) Disekap oleh majikan atau
agency, 17) Mengalami PHK sepihak dan dipulangkan majikan tanpa diberikan
hak-haknya, 18) Dipulangkan sepihak oleh agency setelah usai masa
pemotongan gaji oleh agency, sehingga tak pernah menerima gaji penuh, 19)
Penipuan dengan modus medikal yang direkayasa dan akhirnya dipulangkan
karena dianggap tidak fit, 20) Mengadu ke Polisi tetapi “dikembalikan” kepada
agency/tekong, yang kemudian oleh agency/tekong dipekerjakan secara illegal,
digaji murah atau tidak digaji, bahkan dilacurkan, 21) Dideportasi tetapi tidak
pernah sampai di rumah ditangkap oleh calo kemudian diberangkatkan kembali
ke luar negeri secara illegal, 22) Pihak aparat KBRI/Konjen RI yang tidak mau
membela dan menelantarkan, 23) Penyelesaian kasus tidak tuntas dan
dipulangkan karena lamanya proses penyelesaian kasus, 24) Dikenai punggutan
oleh aparat KBRI/Konjen RI di luar negeri dengan berbagai dalih, 25) Ketiadaan
dan lambannya informasi untuk keluarga jika mengalami sakit, di penjara atau
meninggal dunia, 26) Sebelum dipulangkan dipaksa menandatangi surat yang
kemudian diketahui isinya adalah pernyataan telah menerima gaji, padahal
gajinya belum dibayar/tidak diberikan dan surat pernyataan tersebut ditulis dalam
bahasa yang tidak dimengerti oleh TKI (BNP2TKI 2008). Permasalahan-permasalahan yang dialami TKI sering mendatangkan
gangguan psikis tersendiri. Untuk menangani gangguan psikis para TKI yang
pulang ke Tanah Air ini, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia (BNP2TKI) telah mendirikan Klinik Psikologi bagi TKI dengan
praktek kerja selama 24 jam di Gedung Pendataan Kepulangan (GPK) TKI,
Selapajang, Tangerang. Data menunjukkan bahwa selama kurun waktu Januari
sampai Oktober 2009, terdapat 554 TKI (14 laki-laki dan 540 perempuan) yang
menderita sakit baik fisik maupun psikologis. Diantara jumlah 554 TKI itu, 378
TKI sudah diterapi karena mengalami gangguan psikis (BNP2TKI 2010).
9
Tabel 2 Penempatan Tenaga Kerja Indonesia menurut kawasan dan negara Tahun 2006
NEGARA PENEMPATAN
FORMAL TF NON FORMAL TNF JENIS KELAMIN T L P L P L P Malaysia 101600 60336 161936 5992 102171 108163 107592 162507 270099 Singapura 6 530 536 - 8539 8539 6 9069 9075 Brunai D 1530 427 1957 1 822 823 1531 1249 2780 Hong Kong - 152 152 13 13448 13461 13 13600 13613 Taiwan 2216 1540 3756 340 23994 24334 2556 25534 28090 Korea Selatan 2613 487 3100 - - - 2613 487 3100 Jepang - - - 13 8 21 13 8 21 Lain-lain 26 - 26 5 2 7 31 2 33 SUBTOTAL 107991 63472 171463 6364 148984 155348 114355 212456 326811
Saudi Arabia 3127 983 4110 18615 284702 303317 21742 285685 307427 UEA/Ad Dhabi 162 19 181 73 15240 15313 235 15259 15494 Kuwait 47 2 49 28 14648 14676 75 14650 14725 Bahrain 57 2 59 4 422 426 61 424 485 Qatar 1659 26 1685 142 3217 3359 1801 3243 5044 Oman 4 - 4 4 3519 3523 8 3519 3527 Yordania - - - 12 6456 6468 12 6456 6468 Lain-lain 3 14 17 - 2 2 3 16 19 SUBTOTAL 5059 1046 6105 18876 328206 347084 23937 329252 353189 TOTAL 11305 64518 177568 25242 477190 502432 138292 541708 680000 Sumber: Direktorat Jendral PPTKLN-Depnakertrans Keterangan: L : Laki-laki P : Perempuan TF : Total Formal TNF : Total Non Formal T : Total
10
Keluarga
Definisi Keluarga UU Nomor 10 Tahun 1992, mendefinisikan keluarga sebagai unit terkecil
dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri, atau suami istri dan anaknya, atau
ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Menurut Melson (1980), keluarga
adalah kelompok dari individu-individu yang mencari pemaksimalan sumberdaya
materi dan fisik agar mencapai tujuan personal dan kelompok. Saxton (1990)
mengartikan keluarga sebagai hubungan antara dua atau lebih orang melalui
kelahiran, adopsi, atau perkawinan dan hidup dalam satu rumahtangga.
Keluarga dipandang sebagai: 1) Suatu sistem interaksi antar anggota
keluarga, 2) Suatu seri interaksi yang dilakukan dua pihak (dyadic), 3) Sejumlah
interaksi antara seluruh sub kelompok asosiasi lainnya, keluarga memiliki “daya
hidup” lebih lama, serta hubungan biologis dan intergenerasi yang berkaitan
dengan ikatan kekerabatan yang lebih luas (Klein & White 1996 dalam
Puspitawati 2006).
Keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas
perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan materiil yang
layak, bertaqwa kepada Tuhan YME, memiliki hubungan yang serasi, selaras
dan seimbang antar anggota dan antara keluarga dengan masyarakat dan
lingkungan. Membangun keluarga sejahtera pada hakekatnya tidak saja
mengentaskan keluarga dari kemiskinan harta atau kebutuhan fisik semata,
namun juga kebutuhan lainnya yang mencakup sosial psikologis dan
pengembangan diri untuk jangka waktu lebih lama (Anonim 1996).
Pendekatan Teori Struktural-Fungsional Para sosiolog ternama seperti William F. Ogburn dan Talcott Parsons
mengembangkan pendekatan struktural-fungsional dalam kehidupan keluarga
pada abad ke-20. Pendekatan ini mengakui adanya segala keragaman dalam
kehidupan sosial dan masing-masing akan memiliki fungsinya sendiri. Perbedaan
fungsi tidak untuk memenuhi kepentingan individu yang bersangkutan, tetapi
untuk mencapai tujuan bersama. Struktur dan fungsi yang terbentuk tidak akan
pernah lepas dari pengaruh budaya, norma, dan nilai sosial yang melandasi
sistem masyarakat (Megawangi 1999).
11
Menurut Megawangi (1999), ada tiga elemen utama dalam struktur
internal keluarga, yaitu mengacu pada:
1. Status sosial; keluarga inti terdiri dari tiga unsur utama yaitu bapak/suami
(pencari nafkah), ibu/istri (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita,
anak sekolah, remaja, dewasa) serta hubungan timbal balik antar individu
dengan status sosial berbeda.
2. Konsep peran sosial; menggambarkan peran dari masing-masing individu
atau kelompok menurut status sosialnya dalam sebuah sistem sosial.
Diferensiasi peran ini diharapkan dapat menuju suatu sistem keseimbangan
(equilibrium tendency).
3. Norma sosial; peraturan yang menggambarkan bagaimana sebaiknya
seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sosialnya. Norma sosial berasal
dari masyarakat itu sendiri yang merupakan bagian dari kebudayaan. Akan
tetapi setiap keluarga dapat mempunyai norma sosial yang spesifik untuk
keluarga tersebut, misalnya norma sosial dalam pembagian tugas rumah
tangga, yang merupakan bagian struktur keluarga untuk mengatur tingkah
laku setiap anggota keluarganya.
Levy (Megawangi 1999) mengatakan bahwa tanpa ada pembagian tugas
yang jelas pada masing-masing aktor dengan status sosialnya, maka fungsi
keluarga akan terganggu yang selanjutnya akan mempengaruhi sistem yang
lebih besar lagi. Hal ini bisa terjadi bila ada satu posisi yang peranannya tidak
dapat dipenuhi, atau konflik akan terjadi karena adanya kesempatan siapa yang
akan memerankan tugas apa. Apabila terjadi, maka keberadaan institusi
keluarga tidak akan berkesinambungan. Persyaratan struktural yang harus
dipenuhi agar struktur keluarga sebagai sistem dapat berfungsi antara lain:
(1) Diferensiasi peran dari serangkaian tugas dan aktivitas yang harus dilakukan
dalam keluarga, maka harus ada alokasi peran untuk setiap aktor dalam
keluarga. Terminologi diferensiasi peran bisa mengacu pada umur, gender,
generasi, juga posisi status ekonomi dan politik dari masing-masing aktor.
(2) Alokasi solidaritas yang berkaitan dengan distribusi relasi antar anggota
keluarga menurut cinta, kekuatan, dan intensitas hubungan. Cinta atau
kepuasan menggambarkan hubungan antar anggota, misalnya keterikatan
emosional antara seorang ibu dan anaknya. Kekuatan mengacu pada
keutamaan sebuah relasi relatif terhadap relasi lainnya. Misalnya hubungan
antara bapak dan anak lelaki mungkin lebih utama daripada hubungan suami
12
dan istri pada suatu budaya tertentu. Intensitas adalah kedalaman relasi
antar anggota menurut kadar cinta, kepedulian, ataupun ketakutan.
(3) Alokasi ekonomi yang berkaitan dengan distribusi barang-barang dan jasa
untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Diferensiasi tugas juga ada dalam
hal ini terutama dalam hal produksi, distribusi, dan konsumsi dari barang dan
jasa dalam keluarga.
(4) Alokasi politik yang berkaitan dengan distribusi kekuasaan dalam keluarga
dan siapa yang bertanggungjawab atas tindakan anggota keluarga. Agar
keluarga dapat berfungsi maka distribusi kekuasaan pada tingkat tertentu
diperlukan.
(5) Alokasi integrasi dan ekspresi yang berkaitan dengan distribusi teknik atau
cara untuk sosialisasi, internalisasi, dan pelestarian nilai-nilai dan perilaku
yang memenuhi tuntunan norma yang berlaku untuk setiap anggota keluarga.
Peran dan Fungsi Keluarga serta Perubahannya Keluarga sebagai sebuah sistem mempunyai tugas dan fungsi dalam hal
menjalankan tugas-tugas, pencapaian tujuan, integrasi dan solidaritas, serta pola
kesinambungan atau pemeliharaan keluarga. Menurut seorang profesor ilmu jiwa
bernama Lidz, diferensiasi peran adalah sesuatu yang alamiah, yang sesuai
dengan determinasi biologis dan psikologis manusia (Megawangi 1999).
Peran didefinisikan sebagai persepsi tingkahlaku interpersonal yang
dihubungkan dengan pengakuan masyarakat akan diri seseorang (Kammeyer
1987). Peran juga dapat diartikan sebagai aktivitas yang dilakukan seseorang
sesuai dengan kedudukannya.
Parson dan Bales (Megawangi 1999) menyatakan bahwa peran orangtua
dalam keluarga meliputi peran instrumental yang dilakukan oleh suami atau
bapak, dan peran emosional atau ekspresif yang biasanya dipegang oleh figur
istri atau ibu. Peran instrumental dikaitkan dengan peran mencari nafkah untuk
kelangsungan hidup seluruh keluarga. Peran ini lebih memfokuskan pada
bagaimana keluarga menghadapi situasi eksternal. Dalam keluarga inti, suami
sebagai pencari nafkah diharapkan memerankan peran ini agar tujuan keluarga
secara keseluruhan dapat tercapai. Peran emosional ekspresif adalah peran
pemberi cinta, kelembutan dan kasih sayang. Peran ini bertujuan untuk
mengintegrasikan atau menciptakan suasana harmonis dalam keluarga, serta
meredam tekanan-tekanan yang terjadi karena adanya interaksi sosial antar
13
anggota keluarga atau antar individu di luar keluarga. Istri diharapkan berperan
membawa kedamaian agar integrasi dan keharmonisan dalam keluarga dapat
tercapai.
Pembagian peran ekspresif dan instrumental menurut Kammeyer (1987)
dikaitkan dengan stereotip feminin dan maskulin seseorang. Wanita selalu
distereotipkan sebagai orang yang penuh emosional, perhatian dan pengasuhan,
lebih simpati, sensitif, mudah terharu, dan peduli terhadap orang lain dan mampu
memberikan dorongan sehingga cocok untuk melakukan peran ekspresif. Shaver
and Freedman (1976), Lunneborg and Rosenwood (1972), dan Bardwick (1971)
dalam Saxton (1990) berpendapat sama bahwa orang yang berperan sebagai
caretaker adalah orang yang memiliki karakter feminin dan bertindak sebagai
tenderness, compassion, dan penuh pengertian. Karakteristik feminin selalu
ditemukan pada perempuan dan karakter ini lebih banyak ditemukan pada
perempuan daripada laki-laki.
Menurut BKKBN (1996), delapan fungsi keluarga dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994 tentang penyelenggaraan pembangunan
keluarga sejahtera adalah sebagai berikut:
(1) Fungsi Keagamaan, dalam keluarga dan anggotanya didorong dan
dikembangkan agar kehidupan keluarga sebagai persemaian nilai-nilai
agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa untuk menjadi insan-insan agamis
yang penuh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
(2) Fungsi Sosial Budaya, memberikan kesempatan kepada keluarga dan
seluruh anggotanya untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang
beraneka ragam dalam satu kesatuan.
(3) Fungsi Cinta Kasih, dalam keluarga akan memberikan landasan yang kokoh
terhadap hubungan anak dengan anak, suami dengan istri, orangtua dengan
anaknya, serta hubungan kekerabatan antar generasi sehingga keluarga
sebagai wadah utama bersemainya kehidupan yang penuh kasih lahir dan
batin.
(4) Fungsi Melindungi, keluarga adalah wahana utama yang memberikan rasa
aman dan nyaman serta kehangatan bagi seluruh anggota, anak, istri
maupun suami
(5) Fungsi Reproduksi, merupakan mekanisme melanjutkan keturunan yang
direncanakan dapat menunjang terciptanya kesejahteraan manusia di dunia
yang penuh iman dan taqwa.
14
(6) Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan, memberikan peran kepada keluarga
untuk mendidik keturunan agar bisa melakukan penyesuaian dengan alam
kehidupannya di masa yang akan datang.
(7) Fungsi Ekonomi, mengembangkan kemampuan ekonomi keluarga agar
semua anggota mampu mengembangkan kemampuan ekonominya untuk
mandiri sehingga dapat mendukung ketahanan keluarga.
(8) Fungsi Pembinaan Lingkungan, memberikan kepada setiap keluarga
kemampuan menempatkan diri secara serasi, selaras, dan seimbang sesuai
daya dukung alam dan lingkungan yang berubah secara dinamis.
Keluarga inti, sebagai kelompok primer yang terikat oleh hubungan intim
mempunyai fungsi-fungsi utama yang meliputi (Munandar 1985):
(1) Pemberian afeksi, dukungan dan persahabatan
(2) Memproduksi dan membesarkan anak
(3) Meneruskan norma-norma kebudayaan, agama dan moral pada yang muda
(4) Mengembangkan kepribadian
(5) Membagi dan melaksanakan tugas-tugas di dalam keluarga maupun
diluarnya
Menurut Guhardja dkk (1992), keluarga bertanggung jawab dalam
menjaga, menumbuhkan dan mengembangkan anggota-anggotanya. Dengan
demikian pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan untuk mampu bertahan,
tumbuh dan berkembang perlu tersedia, yaitu:
(1) Pemenuhan akan kebutuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan untuk
perkembangan fisik dan sosial. (2) Kebutuhan akan pendidikan formal, informal dan nonformal untuk
pengembangan intelektual, sosial, mental, emosional dan spiritual. Menurut Maryam (2007) ada persamaan beberapa fungsi yang
dikemukakan oleh Rice dan Tucker dengan PP No. 21 Tahun 1994 yaitu: (1)
Sebagai mekanisme procreation yaitu mengadakan keturunan yang selanjutnya
menurunkan eksistensi masyarakat sebagai satu kesatuan, (2) Memiliki
kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi anggota keluarganya mulai
sandang, pangan, perlindungan, pendidikan, kesehatan, serta kebutuhan
emosional lainya, dan (3) Memberikan peran sosial dan keagamaan dalam
kehidupan bermasyarakat dan keikutsertaannya dalam mengabdikan norma-
norma sosial dan keagamaan melalui interaksi anak-anak dan orangtua dalam
15
keluarga dan interaksi keluarga dengan masyarakat serta interaksi dengan Yang
Maha Pencipta.
Perbedaan dari fungsi-fungsi yang telah disebutkan di atas terletak peran
orangtua (ayah dan ibu) untuk menjalankan fungsi keluarga. Parson dan Bales
membagi dengan jelas fungsi keluarga menjadi dua yaitu fungsi instrumental dan
fungsi ekspresif. Fungsi instrumental yang diperankan oleh ayah dan fungsi
ekspresif yang diperankan oleh ibu. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun
1994 tidak membagi dengan jelas masing-masing fungsi keluarga kedalam peran
ayah dan ibu, sehingga untuk menjalankan semua fungsi tersebut dilakukan
bersama-sama. Berikut ini disajikan Tabel 3 yang menjelaskan fungsi keluarga
dari berbagai sumber (Sunarti 2003).
16
Tabel 3 Fungsi keluarga dari berbagai sumber
BKKBN (1992) United Nation (1993) Mattesich & Hill dalam Zeitlin et al. (1995)
Rice & Tucker (1986) Roberta Berns (1997)
1. Keagamaan 2. Sosial budaya 3. Cinta kasih 4. Melindungi 5. Reproduksi 6. Sosial dan
pendidikan 7. Ekonomi 8. Pembinaan
lingkungan
1. Pengukuhan ikatan suami istri
2. Proteksi dan hubungan sosial
3. Sosialisasi dan pendidikan anak
4. Pemberian hak asasi manusia dan status
5. Perawatan dasar anak (dan lanjut usia)
6. Rekreasi dan perawatan emosi
7. Pertukaran barang dan jasa
1. Pemeliharaan fisik 2. Sosialisasi dan
pendidikan 3. Akuisisi anggota
keluarga baru melalui proteksi atau adopsi
4. Kontrol perilaku sosial dan seksual
5. Pemeliharaan moral keluarga dan motivasi untuk berperan di dalam dan di luar keluarga
6. Akuisisi anggota keluarga dewasa melalui pembentukan pasangan seksual
7. Melepaskan anggota keluarga dewasa
1. Fungsi ekspresif: memenuhi kebutuhan emosi dan perkembangan termasuk moral, loyalitas, dan sosialisasi anak
2. Fungsi instrumental: manajemen sumberdaya untuk mencapai berbagai tujuan keluarga melalui: a) proteksi dan sosialisasi anak, serta b) dukungan dan pengembangan anggota keluarga
1. Reproduksi 2. Sosialisasi atau
pendidikan 3. Penetapan peran
sosial 4. Dukungan ekonomi 5. Dukungan emosi
(Sumber: Sunarti 2001)
17
Menurut Megawangi (1993) beberapa kendala yang dihadapi keluarga
Indonesia di dalam menjalankan fungsinya antara lain:
(1) Menurunnya kualitas dan kuantitas waktu bersama untuk Family
Togetherness. Piotrowski (1978) dalam Megawangi (1993) meneliti pengaruh
keadaan lingkungan kerja terhadap kehidupan keluarga pada keluarga sosial
ekonomi rendah. Ada tiga bentuk pola yang ditemui; pertama adalah yang
disebut positive carry-over dimana suasana pekerjaan cukup menyenangkan
dan tidak terlalu melelahkan, sehingga suami atau istri yang pulang ke rumah
akan mempunyai suasana emosi yang menyenangkan didalam membina
hubungan dengan masing-masing anggota keluarga. Bentuk keluarga kedua
yang lebih banyak ditemui pada keluara working class adalah yang disebut
negatif cary over dimana suasana pekerjaan tidak menyenangkan dan
perasaan tidak berdaya untuk mengatasi keadaan sehingga waktu pulang ke
rumah dalam keadaan frustasi dan marah, yang membawa akibat negatif
pada hubungan antara suami-istri dan anak-anaknya. Kemudian bentuk yang
paling sering dijumpai adalah energy deficit. Pada bentuk ini pekerjaan
dianggap sangat membosankan dan melelahkan, sehingga sewaktu pulang
ke rumah keadaan fisik sangat capai dan tidak ada energi yang tertinggal lagi
untuk dapat berinteraksi dan berkomunikasi dengan anggota keluarga lain.
(2) Wanita yang bekerja di luar rumah. Hasil penelitian McGurk (1993) dalam
Megawangi (1993) dilaporkan bahwa ada pengaruh negatif antara lamanya
anak diasuh oleh bukan ibunya dan pembentukan bonding, bahkan akan
memberi resiko kepada anak untuk mempunyai sikap agresif dan
pembangkang. Tetapi McGurk (1993) berpendapat bahwa keadaan ini akan
sangat tergantung pada kualitas, konsistensi, dan reability dari pola
pengasuhannya. Wanita kelas sosial menengah ke atas mungkin dapat
memilih alternatif pengasuhan yang baik sehingga kemungkinan untuk dapat
menghindari pengaruh-pengaruh yang tidak diinginkan menjadi lebih besar
tetapi tidaklah demikian pada pekerja kelas bawah.
(3) Menurunnya otoritas orangtua. Sehubungan dengan menurunnya kuantitas
dan kualitas interaksi antara orangtua dan anak, dan berkurangnya bonding
antara orangtua dan anak, peran orangtua sebagai figur yang perlu dicontoh
menjadi berkurang. Pada zaman yang kompleks ini anak dihadapkan pada
bermacam-macam nilai dari lingkungannya seperti peer group, media cetak
atau elektronik, sekolah dll. Pada pihak orangtua sering terjadi sikap yang
18
ambivalen yaitu mereka merasa tidak mampu menjalankan fungsinya
sebagai orangtua di dalam mendidik anak-anaknya. Hal ini disebabkan
perubahan sosial yang cepat dan menuntut penyesuaian sikap orangtua
terhadap anak-anaknya. Akibatnya banyak orangtua yang berpaling pada
para ahli pendidik atau menyerahkan sepenuhnya kepada institusi sekolah,
termasuk juga dalam pembentukan moral anak. Karena institusi sekolah tidak
dapat secara efektif memberikan dukungan moril kepada siswa sepenuhnya
dan membentuk moral para siswa, anak-anak remaja sering mengalami
adolence crisis, sehingga banyak yang berpaling kepada peergroupnya
daripada orangtuanya. Salah satu faktor yang menyebabkan anak-anak kota
lebih agresif adalah hubungan yang tidak baik antara orangtua dan anak
kerena kurangnya waktu kebersamaan. Hasil penelitian Ancok (1993) dalam
Megawangi (1993) pada remaja Indonesia menunjukkan bahwa remaja kota
cenderung mempunyai hubungan yang kurang baik dengan ayahnya
dibandingkan dengan remaja desa.
Yusuf (2000) dalam Jatiningsih (2004) menyebutkan bahwa keluarga
yang fungsional merupakan keluarga yang telah mampu melaksanakan fungsi-
fungsinya yang ditandai oleh karakteristik: (1) Saling memperhatikan dan
mencintai, (2) Bersikap terbuka dan jujur, (3) Orangtua mau mendengarkan
anak, menerima perasaan dan menghargai pendapatnya, (4) Ada sharing
masalah atau pendapat diantara anggota keluarga, (5) Mampu berjuang
mengatasi masalah hidupnya, (6) Saling menyesuaikan diri dan mengakomodasi,
(7) Orangtua melindungi (mengayomi) anak, (8) Komunikasi antar anggota
keluarga berlangsung baik, (9) Keluarga memenuhi kehidupan psikososial anak
dan mewariskan nilai-nilai sosial budaya, dan (10) Mampu beradaptasi dengan
perubahan yang terjadi.
Rogers (1960) dalam Simamora (2005) menjelaskan perubahan fungsi
keluarga yang terjadi dewasa ini. Ada tujuh perubahan yang dimaksud:
(1) Pergeseran fungsi keluarga: Fungsi produksi, melindungi, mendidik, dan
fungsi keagamaan perlahan-lahan digantikan dengan institusi atau organisasi
di luar keluarga. Studi di Michigan, Amerika Serikat, ditemukan bahwa
keluarga berkumpul secara lengkap hanya sekitar sejam sehari dan
kebanyakan waktu tersebut dihabiskan untuk makan. Keluarga petani
kebanyakan berkumpul kurang dari waktu tersebut.
19
(2) Perubahan otoritas dalam rumah tangga: Otoritas ayah sebagai pengambil
keputusan yang dominan menurun mengiringi peningkatan persentase
jumlah wanita bekerja.
(3) Perubahan dalam pencarian pasangan: Dewasa ini romantisme menjadi inti
pencarian pasangan. Jaman dulu pencarian pasangan dapat dikatakan tidak
memiliki romantisme, pria dan wanita dijodohkan pihak keluarga dan diijinkan
bertemu sekali saja sebelum perkawinan.
(4) Perubahan sikap terhadap perceraian: Dulu perceraian dianggap kotor dan
dosa, namun perkembangan dewasa ini lebih kooperatif sehingga pasangan-
pasangan yang tidak cocok dapat dengan mudah mengajukan perceraian.
Akibatnya angka perceraian meningkat drastis. Tidak dapat dipungkiri pula
remarriage atau pernikahan kembali juga meningkat.
(5) Perlakuan terhadap kaum tua: Kaum tua atau yang sudah jompo kurang
dihoramati lagi. Kecenderungan keluarga saat ini memilih jauh dari tempat
tinggal orangtua atau mertuanya.
(6) Perubahan jumlah dan ukuran keluarga: Rata-rata ukuran keluarga sejak
Tahun 1800 menurun akibat peningkatan metode pengaturan kelahiran,
pendidikan seks dan persiapan pernikahan, dan perubahan nilai-nilai
keluarga mengenai jumlah anak yang diinginkan.
(7) Perubahan tujuan keluarga: Dulu tujuan keluarga lebih penting daripada
keinginan pribadi, sebagai praktek pengabdian terhadap keluarga dan
orangtua. Dewasa ini individualisme justru diprioritaskan ketimbang
familisme.
Menurut teori tantangan dan tanggapan Arnold Toynbee (Narwanto
2007), ketiadaan istri dalam keluarga menjadi tantangan budaya tersendiri bagi
keluarga Tenaga Kerja Wanita. Secara tradisional, pola keluarga patriarki
menempatkan istri sebagai pihak yang mengurusi pekerjaan domestik, terutama
mengasuh anak. Ketika istri menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW), keluarga yang
ditinggalkan melakukan proses dialektik alamiah untuk menjawab tantangan
budaya tersebut. Ketidakseimbangan dalam ekosistem keluarga itu
menghasilkan pergeseran peran gender sebagai tanggapan menuju
keseimbangan baru.
Penelitian oleh tim Pusat Studi Gender dan Keluarga STAIN Salatiga di
Gamol, Kecandran, Salatiga, Jawa Tengah, yang juga dipresentasikan di The
International Seminar of Gender Mainstreaming on Higher Education di UKSW
20
Salatiga pada Desember 2006, menunjukkan adanya kesadaran kolektif
menghadapi ketidakseimbangan tersebut. Artinya, ruang kosong yang ditinggal
istri menjadi tanggung jawab bersama antara suami, orangtua, atau kerabat yang
lain. Kesadaran kolektif tersebut menghasilkan tiga pola pergeseran peran:
(1) Suami mengambil alih peran yang ditinggal istri. Mereka mengurusi berbagai
pekerjaan domestik, termasuk mengasuh anak.
(2) Suami mengambil sebagian peran yang ditinggal istri. Mereka biasanya
dibantu ibu atau anggota keluarga lain.
(3) Suami tidak mengambil peran. Pola yang dapat dikatakan sebagai kegagalan
keluarga dalam melakukan transformasi nilai ini membuat ibu atau mertua
TKW mengambil alih peran domestik keluarga.
Analisis Gender dan Peran Perempuan Konsep Gender Gender adalah pandangan masyarakat tentang perbedaan peran, fungsi
dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang merupakan hasil
konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman serta
dukungan masyarakat itu sendiri (UNFPA et al. 2005 dalam Puspitawati 2007).
Dalam pembahasan mengenai gender dikenal adanya dua aliran atau
teori, yaitu teori nurture dan teori nature, namun berdasarkan kedua teori
tersebut dikembangkan konsep teori yang merupakan kompromistis atau
keseimbangan yaitu teori equilibrium. Teori nurture mengungkapkan bahwa
perbedaan perempuan dan laki-laki pada hakekatnya merupakan hasil konstruksi
sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas berbeda, sedangkan teori
nature berisi bahwa perbedaan perempuan dan laki-laki adalah kodrat, sehingga
harus diterima. Perbedaan biologis ini memberikan indikasi dan implikasi bahwa
diantara kedua jenis tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Ada peran
yang dapat dipertukarkan, tetapi ada pula yang tidak bisa karena memang
berbeda secara kodrat alamiahnya. Teori equilibrium merupakan pandangan
yang tidak mempertentangkan antara kaum lelaki dan perempuan, karena
keduanya bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan dikehidupan
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara (Puspitawati 2007).
Dalam memahami konsep gender ada dua hal yang harus dipahami, yaitu
(Puspitawati 2007):
21
(1) Ketidakadilan dan diskriminasi gender merupakan kondisi tidak adil akibat
sistem dan struktur sosial dimana baik perempuan maupun laki-laki menjadi
korban dari sistem tersebut. Bentuk ketidakadilan tersebut meliputi: (1)
Marjinalisasi (peminggiran/pemiskinan), (2) Subordinasi yaitu keyakinan
bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama
dibanding dengan jenis kelamin lainnya, (3) Pandangan stereotip yang sering
kali bersifat negatif secara umum dan dapat menyebabkan ketidakadilan
karena bersumber dari pandangan gender yang menyangkut pelabelan
terhadap salah satu jenis kelamin tertentu, (4) Kekerasan terhadap
perempuan sebagai akibat dari perbedaan peran yang terjadi dalam berbagai
bentuk, (5) Beban kerja yang merupakan bentuk diskriminasi dan
ketidakadilan gender karena beban kerja yang harus dijalankan oleh salah
satu jenis kelamin tertentu.
(2) Kesetaraan dan Keadilan gender yaitu suatu kondisi dimana porsi dan siklus
sosial perempuan dan laki-laki setara, serasi, seimbang dan harmonis,
adapun kondisi ini dapat terwujud apabila terdapat perlakuan adil antara
perempuan dan laki-laki.
Analisis Gender Ada beberapa model teknik analisis gender yang dikembangkan oleh
para ahli untuk menganalisis peran di dalam keluarga dan masyarakat, antara
lain:
(1) Teknis Analisis Model Harvard. Model ini terdiri atas sebuah matiks yang
mengumpulkan data pada tingkatan mikro (masyarakat dan rumah tangga),
meliputi pembagian tiga kegiatan (kegiatan produktif, reproduktif, dan sosial
masyarakat) berdasarkan jenis kelamin, rincian sumber-sumber apa yang
dikuasai oleh laki-laki dan perempuan untuk melaksanakan kegiatannya, dan
faktor-faktor yang mempengaruhi pembagian kerja berdasarkan gender.
(2) Teknik Analisis Model Moser. Model ini mencakup penyusunan pembagian
kerja berdasarkan gender dan mengembangkan kebutuhan gender dari sudut
perempuan. Kebutuhan tersebut adalah kebutuhan praktis gender
(kebutuhan yang harus dipenuhi) dan kebutuhan strategis gender (kebutuhan
yang disebabkan posisi subordinat mereka).
22
Dukungan Sosial Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan bantuan
atau pertolongan dari orang lain. Pertolongan dari orang lain ini biasanya disebut
sebagai dukungan sosial. Dukungan sosial bisa diperoleh dari keluarga besar,
masyarakat (tetangga), dan lembaga-lembaga masyarakat dimana orang itu
berada. Dukungan sosial sangat dibutuhkan dalam menjalani kehidupan,
termasuk dalam menjalani kehidupan perkawinan dan dalam pengasuhan anak.
Di dalam ensiklopedi sosiologi dukungan sosial diartikan sebagai pemberian
dukungan emosional dan informasi atau dukungan materi oleh orang lain atau
lingkungan sosial kepada seseorang individu yang mengalami beberapa
kesulitan atau masalah. Cutrona (1996) mengatakan bahwa dukungan sosial
adalah pemenuhan kebutuhan dasar oleh orang lain secara terus menerus untuk
kesejahteraan. Kaplan et al. (1977) dalam Cutrona (1996), mengartikan
dukungan sosial sebagai pemenuhan kebutuhan dasar seseorang (approval,
esteem, succor, dll) oleh orang lain. Safarino (1996) dalam Tati (2004)
mengatakan bahwa dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian,
penghargaan, atau bantuan yang diterima individu dari orang lain, baik sebagai
individu perorangan atau kelompok. Kualitas dukungan sosial yang tinggi akan
mempengaruhi kesehatan fisik dan mental yang semakin tinggi pula.
Bentuk dukungan sosial yang dibutuhkan menurut Kaplan (Cutrona 1996)
dan Safarino (Tati 2004) terdiri dari:
1) Dukungan Emosi (Emotional Support), seperti ekspresi cinta, empati dan
perhatian. Menurut Witty et al. (1992) dalam Conger et al. (1994), individu
dapat mencurahkan perasaan, kesedihan ataupun kekecewaannya pada
seseorang, yang membuat individu sebagai penerima dukungan sosial
merasa adanya keterikatan, kedekatan dengan pemberi dukungan, sehingga
menimbulkan rasa aman dan percaya.
2) Dukungan Instrumen (Instrument Support) atau Dukungan Nyata (Tangible
Assistance), seperti sumberdaya fisik (uang, tempat tinggal), termasuk juga
menyediakan waktu dan tenaga untuk mengasuh anak.
3) Dukungan Penghargaan (Esteem Support), seperti respek terhadap orang
lain, percaya kepada kemampuan orang, menghargai pikiran, perasaan, dan
tingkah laku orang lain.
4) Dukungan Informasi (Informational Support), seperti informasi tentang
kenyataan, nasihat, penilaian terhadap situasi. Dukungan informasi
23
memungkinkan individu sebagai penerima dukungan dapat memperoleh
pengetahuan dari orang lain. Pengetahuan yang diperoleh dapat berupa
bimbingan, arahan, diskusi masalah maupun pengajaran suatu keterampilan
(Felton & Berry 1992 dalam Conger et al. 1994).
Pengasuhan Keluarga sebagai tempat pertama dan utama bagi anak untuk dididik dan
dibesarkan dalam pembentukan dan perkembangan pribadi dan perilaku. Faktor
yang mempengaruhi perilaku anak salah satunya adalah pengasuhan.
Pengasuhan merupakan interaksi antara ibu dan pengasuh dengan anak sesuai
keinginan pengasuh. Pengasuhan adalah segala interaksi antara orangtua
dengan anaknya dan praktek pengasuhan yang diberikan kepada anak. Interaksi
ini meliputi segala perilaku seperti minat, nilai, sikap dan kepercayaan yang
diajarkan kepada anak-anak melalui proses pendidikan dan pengasuhan
sepanjang hidup anak (Karyadi 1988).
Menurut Sunarti (2004) pengasuhan dapat diartikan sebagai
implementasi serangkaian keputusan yang dilakukan orangtua atau orang
dewasa kepada anak, sehingga memungkinkan anak menjadi bertanggung
jawab, menjadi anggota masyarakat yang baik, memiliki karakter-karakter yang
baik. Rohner (1986) mengartikan pengasuhan sebagai salah satu bentuk pola
hubungan antara orangtua terutama ibu dengan anak, berupa kehadiran dan
perhatian ibu yang diekspresikan dalam bentuk perilaku, ucapan, ungkapan
emosi dan kasih sayang, arahan dan kegiatan perawatan ibu kepada anaknya.
Secara tradisional, beberapa faktor yang mempengaruhi kebiasaan
mengasuh dikelompokkan menjadi (Bigner 1979):
(1) Cultural influence. Beberapa studi melaporkan adanya perbedaan pada
kelompok sosial terhadap cara pengasuhannya. Ditemukan bahwa
pertumbuhan mental secara potensial mempengaruhi perbedaan gaya
bahasa (mengajar) yang digunakan oleh ibu.
(2) Personality patterns. Johnson & Medinnus (1974) dalam Bigner (1979)
melukiskan bahwa hubungan antara orangtua dan anak sebagai ikatan
emosional. Orangtua yang baik akan menghasilkan anak yang baik yang
tumbuh menjadi orang dewasa yang baik.
(3) Attitudes toward parenting. Menurut Diana Baumrind (1966) dalam Bigner
(1979), ada tiga tipe dasar pengasuhan, antara lain:
24
(a) Authoritarian attitudes, pola asuh ini merupakan bentuk interaksi antara
orangtua dan anak, dimana orangtua berusaha membentuk ,
mengendalikan dan mengevaluasi sikap juga tingkah laku anak sesuai
dengan patokan yang bersifat absolute dan baku yang diterapkan
orangtua dan ditunjukkan dengan peraturan ketat, tanpa memberi
kesempatan pada anak untuk mendapatkan penjelasan dan biasanya
disertai dengan hukuman fisik.
(b) Permissive attitudes, orangtua memberikan kebebasan kepada anak
dalam bertingkah laku. Orangtua tidak memberikan hukuman dan lebih
menerima serta menyetujui apa yang menjadi keinginan dan kemauan
anak sehingga anak dibiarkan mengatur dan menentukan sendiri apa
yang dianggapnya baik karena pengawasan dari orangtua longgar.
Aturan dan batasan yang pasti dalam hal ini tidak ada.
(c) Authoritative attitudes, orangtua memberikan peraturan dengan
menggunakan penjelasan dan penalaran pada anak untuk membantu
anak mengetahui mengapa peraturan dibuat dan mengapa anak
diharapkan untuk bertingkah laku tertentu. Dalam proses interaksi ini
terlihat adanya saling memberi dan menerima antara orangtua dan anak
sehingga anak memperoleh kesempatan untuk mengemukakan
pendapatnya pada orangtua.
(4) Role modeling. Sesuai dengan prinsip teori social learning, maka anak
sesungguhnya belajar dari mengamati tingkah laku, perbuatan, persepsi,
pemikiran, cara komunikasi dari orang dewasa yang ada di sekitarnya.
Melalui role modeling ini maka orangtua dapat mencontohkan perilaku yang
diharapkan tersebut (Hastuti 2007).
Ahli sosiologi mendeskripsikan peran istri-ibu dan suami-ayah
dihubungkan dengan peran jenis kelamin. Peran istri-ibu memiliki karakteristik
ekspresif dimana mampu mengekspresikan afeksi, kehangatan dan dukungan
emosianal kepada anggota keluarga yang lain. Disisi lain, peran suami-ayah
dikarakteristikkan oleh fungsi instrumental. Ayah dipandang sebagai pemberi
keputusan terakhir dan membuat hukuman, disiplin, dan pengontrol tingkah laku
anak. Robert Winch (Bigner 1979) mendiskusikan dua fungsi pengasuhan yang
mungkin dibagi antara ibu dan ayah. Fungsi nurturance diberikan kepada istri-ibu
(ekspresif) dimana istri-ibu melakukan pemeliharaan sehari-hari seperti memberi
makan, memandikan, dan memakaikan pakaian anak. Fungsi kedua yaitu control
25
yang dilakukan oleh suami-ayah (instrumental) dimana suami-ayah memiliki
ototitas dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan anak.
Dimensi Kehangatan (Warmth Dimension) Menururt Rohner (1986), pengasuhan dari dimensi kehangatan dapat
diekspresikan menjadi dua bentuk antara lain (Gambar 1):
1) Bentuk penerimaan orangtua (parental acceptance) yaitu berkaitan dengan
kehangatan, kasih sayang, cinta orangtua kepada anaknya, yang
diekspresikan melalui fisik dan verbal. Ekspresi fisik dari kehangatan dan
afeksi antara lain pelukan, kasih sayang, perhatian, ciuman, senyuman dan
lainnya yang mengindikasikan adanya dukungan. Ekspresi kehangatan dan
afeksi verbal antara lain pujian, mengatakan hal yang baik tentang anak,
mungkin menyanyikan lagu dan menceritakan cerita yang disukai anak.
2) Bentuk penolakan orangtua (parental rejaction) yaitu kebalikan dari dimensi
kehangatan, ada tiga bentuk antara lain: (1) hostility dan aggression, meliputi
perasaan marah, dendam, benci, iri atau dengki terhadap anak; (2)
indifference and neglect, diekspresikan ketika orangtua lalai untuk mengurus
fisik, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan lain anak. Orangtua
mengabaikkan kebutuhan, perhatian, harapan dan ketertarikan anak; dan (3)
Undifferentiated rejection, adalah perasaan tidak dicintai dan diinginkan.
Dagun (1990) dalam Briawan dan Herawati (2005) menyatakan bahwa
partisipasi ayah dalam membina pertumbuhan fisik dan psikologis anak tidak
kalah pentingnya dengan peran ibu dalam mengasuh anak. Oleh karena itu
untuk mendapatkan anak yang tumbuh dan berkembang secara optimal perlu
pengasuhan yang lengkap dari kedua orangtuanya.
Pengasuhan yang dilakukan oleh orangtua supaya berkualitas dan
berhasil maka perlu diperhatikan: (1) Hubungan kasih sayang, (2)
Kelekatan/keeratan hubungan, (3) Hubungan yang tidak terputus, (4) Interaksi
yang memberikan rangsangan, (5) Hubungan dengan satu orang, (6) Melakukan
pengasuhan di rumah sendiri (Rutter 1984 dalam Nurani 2004).
26
Gambar 1 Kerangka konseptual prinsip pengasuhan pada teori parental acceptance-rejection Sumber: Rohner (1986)
Parental Acceptance Parental Rejection
Fisik Verbal
Hostility/Aggression Indifference/Neglect Undifferentiated Rejection
Fisik Verbal
• Ciuman • Pelukan • Kasih
Sayang • Dll
• Pujian • Mengatakan hal
yang bagus tentang anak
• Dll
• Memukul • Menggigit • Menendang • Mencakar • Mencubit • Dll
• Mengutuk • Merendahkan • Mengatakan kata
yang kasar-kasar • Sindiran tajam • Meremehkan • Dll
• Tidak ada perhatian terhadap kebutuhan anak
• Tidak menyediakan kebutuhan fisik dan psikologi dalam pengasuhan
• Dll
• Anak merasa tidak dicintai, tidak dihargai atau tidak diperhatikan, dll
WARMTH DIMENTION OF PARENTING
27
Peranan Ibu dalam Pengasuhan Hubungan yang pertama dan terutama dalam kehidupan seseorang anak
adalah dengan ibunya dan dari hubungan ini anak akan membentuk pola
hubungan antara dirinya dengan orang lain sepanjang hidupnya. Hubungan yang
terjalin antara orangtua dengan anak bukan merupakan proses yang searah,
akan tetapi timbal balik karena perilaku anak dapat mempengaruhi perilaku
orangtua. Peranan orangtua khususnya ibu selaku pengasuh dan pendidik anak
dalam keluarga dapat mempengaruhi perkembangan anak secara positif maupun
negatif (Karyadi 1988). Penelitian yang dilakukan Jatiningsih (2004)
menunjukkan bahwa semakin banyak alokasi waktu yang dicurahkan ibu dalam
pengasuhan anak maka skor perkembangan sosial anak akan semakin baik.
Peranan Ayah dalam Pengasuhan Hadawi (2001) mengatakan bahwa tugas seorang ayah secara tradisional
adalah melindungi keluarga (protection) dan mencari nafkah (breadwinner)
namun kemudian diperluas dalam hal-hal yang menyangkut child management
dan pendidikan. Rudyanto (2007) mengatakan bahwa bila dibandingkan dengan
ibu, maka ayah pada permulaan kehidupan seseorang anak memang memiliki
kesempatan dan peranan yang lebih kecil dalam mengembangkan anak-
anaknya. Dengan meningkatnya usia anak, maka peranan ayah semakin banyak
dan kompleks. Ayah harus dapat mengerti keadaan anak, bertindak sebagai
teman atau rekan, membimbing perkembangan anak serta melakukan sesuatu
bersama anak. Peran ayah dalam pengasuhan mempunyai pengaruh nyata pada
tingkat perkembangan anak. Ayah berusaha mengembangkan kemampuan-
kemampuan, keahlian, mengarahkan minat dan mengembangkan kemampuan
intelektualnya. Pada umumnya peran ayah dalam pengasuhan adalah mengajak
anak bermain.
Tokoh Pengganti ibu Keterpisahan antara anak dan ibu yang relatif lama pada keluarga TKW
memerlukan pemikiran dan usaha yang tepat agar anak tidak terlalu menderita,
sehingga hal ini mungkin bisa menjadi dasar timbulnya kesulitan-kesulitan
tingkah laku dalam perkembangan kepribadian anak selanjutnya. Tokoh
pengganti ibu bisa berperan dengan baik, asalkan memiliki sifat kasih sayang
terhadap anak. Kasih sayang dengan sikap affeksional sebagai seorang dewasa
28
yang ingin mengasuh, merawat dan mendidik anak sebaik-baiknya, sesuai
dengan dasar-dasar perkembangan tingkah laku dan perkembangan kepribadian
yang ideal dan normatif (Gunarsa 2003). Hal serupa juga diungkapkan oleh
Seaman (1972) dan Wortis (1971) dalam Rice (1983), setiap anak membutuhkan
kehangatan, perhatian penuh cinta dari orang dewasa yang akan memenuhi
kebutuhan perkembangan anak. Perhatian ini dapat diberikan oleh seorang
pengganti ibu yang cakap untuk periode waktu yang cocok dengan usia anak,
penyediaan perhatian harus konsisten dan cukup.
Pada keluarga dengan latar belakang pendidikan yang tinggi, lebih
cenderung memahami dan lebih mengetahui cara pengasuhan yang baik pada
anaknya. Hal ini berhubungan dengan akses untuk mendapatkan informasi yang
lebih memungkinkan pada keluarga berpendidikan dan berpendapatan tinggi.
Dengan adanya informasi baik itu dari buku-buku bacaan, media cetak, audio,
audio visual ataupun dari rekan kerja menjadikan mereka tahu dan memahami
bagaimana cara mengasuh anak yang baik. Hal sebaliknya terjadi pada keluarga
miskin dan berpendidikan rendah yang biasanya menanggung beban hidup yang
sangat berat sehingga seringkali emosi kurang terkendali. Pada keluarga miskin
disiplin diterapkan dengan ketat. Hurlock (1980) mengatakan bahwa pendidikan
orangtua mempengaruhi pengasuhan yang diterapkan pada anak. Dengan
pendidikan tinggi yang dicapai orangtua akan lebih membantu orangtua
memahami kebutuhan anak, sehingga seringkali secara langsung akan
berpengaruh juga terhadap pemilihan pengasuhan yang diterapkan pada anak.
Orangtua yang status sosial ekonomi lebih tinggi lebih menunjukkan kehangatan
dan afeksi terhadap anaknya daripada orangtua yang berada dalam status sosial
ekonomi lebih rendah yang cenderung menekankan kepatuhan (Berns 1997).
Kedua orangtua dan anak dipengaruhi oleh jumlah anak dalam keluarga.
Lebih banyak anak maka lebih banyak interaksi dalam keluarga tetapi interaksi
antara orangtua dan anak akan semakin sedikit. Anak dalam keluarga besar
mungkin memiliki banyak sumberdaya untuk draw upon for company, teman
bermain dan keamanan emosional. Mereka mungkin juga tertarik untuk
bertanggungjawab atau perhatian kepada saudara yang lebih muda. Orangtua
pada keluarga yang lebih besar, khususnya dengan tempat tinggal yang sempit
dan sumber ekonomi yang rendah, memperlakukan anak lebih autoritarian dan
lebih senang menggunakan physical punishment dan sedikit menjelaskan
peraturan daripada keluarga yang lebih kecil (Berns 1997).
29
Interaksi dalam Keluarga Untuk melihat hubungan yang terjadi dalam keluarga digunakan konsep
interaksionalisme melalui suatu konsep interaksi dan dampak yang
ditimbulkannya. Hubungan yang terjadi dalam keluarga menurut Suleeman
(1999), dapat dilihat dari: (1) Hubungan suami-istri, (2) Hubungan orangtua-anak,
(3) Hubungan antarsaudara (siblings). Hubungan ini dapat pula ditambahkan
dengan (4) Hubungan antargenerasi.
Interaksi keluarga (orangtua dan anak) adalah hubungan antara anak dan
orangtua yang dilandasi oleh perasaan, perkataan, dan perlakuan orangtua
terhadap anak-anaknya serta strategi pendidikan budi pekerti yang dilakukan
setiap hari di rumah, mulai bayi hingga dewasa. Interaksi orangtua dan anak
diwujudkan dalam bentuk komunikasi dan bonding (Puspitasari 2006).
Ilmu sosiologi menggunakan pendekatan bahwa antar manusia harus
didahului oleh kontak dan komunikasi. Hubungan manusia ini kemudian saling
mempengaruhi antar satu dengan yang lainnya melalui pengertian yang
diungkapkan, informasi yang dibagi, semangat yang disumbangkan, yang semua
pesannya membentuk pengetahuan. Model interaksi dari proses komunikasi juga
menunjukkan perkembangan peran (role development), pengambilan peran (role-
taking) dan pengembangan diri sendiri (development of self) karena manusia
berkembang melalui interaksi sosialnya. Komunikasi manusia tersebut juga
terjadi dalam satu konteks budaya tertentu dan mempunyai batas-batas
(boundaries) tertentu (Ruben 1988 dan Liliweri 1997 dalam Puspitawati 2006).
Keluarga mempunyai interaksi kelompok yang memberikan ikatan
bonding (hubungan biologis dan hubungan intergenerasi serta ikatan
kekerabatan) yang jauh lebih lama dibandingkan dengan kelompok asosiasi
lainnya. Interaksi dalam keluarga ini lebih dipandang sebagai: (1) Suatu interaksi
umum antar anggota keluarga, (2) Suatu seri interaksi yang dilakukan oleh dua
pihak (dyadic), (3) Sejumlah interaksi antar sub kelompok keluarga: dyadic,
triadic, dan tetradic, dan (4) Sistem hubungan internal keluarga sebagai reaksi
terhadap kontrol sosial yang lebih luas (Klein dan White 1996 dalam Puspitawati
2006).
Kekompleksan dalam interaksi pasangan, dikonsepkan kedalam tiga
komponen dasar yaitu: (1) Kesesuaian dalam persepsi peran; (2) Timbal balik
peran; (3) Kesetaraan fungsi peran (Saxton 1990). Interaksi manusia pertama
kali terjadi dalam keluarga. Interaksi orangtua dan anak adalah suatu pola
30
perilaku yang mengikat orangtua dan anak secara timbal balik yang mencakup
berbagai upaya keluarga. Dalam keadaan yang normal, lingkungan pertama
yang berhubungan dengan anak adalah orangtua, saudara, dan kerabat dekat
yang tinggal serumah. Sikap orangtua mempengaruhi cara orangtua
memperlakukan anak dan perlakuan orangtua terhadap anak sebaliknya
mempengaruhi sikap dan perilaku anak terhadap orangtua. Pada dasarnya
hubungan orangtua-anak tergantung pada sikap orangtua. Sikap orangtua
sangat menentukan hubungan keluarga. Sekali hubungan terbentuk, maka
cenderung bertahan. Orangtua yang mempunyai kemampuan yang baik tentu
akan mempunyai cara, sikap, dan waktu yang tepat untuk berkomunikasi dengan
anak. Tingkah laku orangtua dapat mempengaruhi dalam pembinaan anak-anak.
Hubungan yang baik antara ayah, ibu, dan anak-anak disamping anggota
keluarga akan dapat terjalin dengan baik apabila komunikasi berjalan dengan
baik dalam lingkungan keluarga (Effendi et al. 1995 dalam Kunarti 2004).
Permasalahan keluarga yang semakin rentan akhir-akhir ini dikarenakan
semakin melemahnya kualitas komunikasi antara anggota keluarga sehingga
memudarnya fungsi keluarga dalam melindungi anggotanya dari pengaruh pihak
luar. Pengaruh luar terhadap pribadi keluarga semakin kuat akibat peningkatan
teknologi komunikasi di era informasi globalisasi (Susanto-Sunario dalam
Puspitawati 2006).
Kepergian Tenaga Kerja Wanita (TKW) dapat mengakibatkan
terganggunya fungsi-fungsi dalam keluarga. Hal ini dapat menimbulkan dampak
sosial dan psikologis tertentu bagi anggota keluarga yaitu suami dan anak. Blood
dalam Luthfiyasari (2004) menyebutkan beberapa akibat yang mungkin terjadi
antara lain berkurangnya intensitas komunikasi, melemahnya ikatan
kekerabatan, goyahnya stabilitas keluarga serta melonggarnya keterikatan moral
terhadap budaya setempat.
Keintiman diantara hubungan anggota keluarga akan sangat
mempengaruhi kehangatan terhadap keluarga (Dagun 1990 dalam Mutyahara
2005). Meluangkan waktu bersama merupakan syarat utama untuk menciptakan
komunikasi antara orangtua dan anak, sebab dengan adanya waktu bersama,
barulah keintiman dan keakraban dapat diciptakan diantara anggota.
31
Interaksi Suami dan Istri Komunikasi yang baik antara suami dan istri merupakan elemen penting
dari kualitas perkawinan (Kammeyer 1987). Kammeyer (1987) mengidentifikasi
tiga jenis komunikasi yang penting dalam hubungan suami-istri yaitu: (1) Open
and Honest Communication, pasangan mengekspresikan perasaan secara tepat
dan tidak mencampuradukkan pesan. Komunikasi tipe ini memberikan kontribusi
terhadap hubungan kualitas perkawinan; (2) Supportiveness, memperlakukan
orang yang sedang berbicara dengan penuh perhatian dan respect. Komunikasi
yang baik tergantung pada jenis dukungan dan konfirmasi (merespon secara
positif), dan studi menunjukkan bahwa ketika pasangan yang menikah
memperhatikan kualitas komunikasi mereka, kepuasan dan kualitas pernikahan
mereka lebih besar (Montgomery 1981 dalam Kammeyer 1987); (3) Self-
Disclosure, self-disclosure sama dengan open and honesty, tetapi ada beberapa
elemen perasaan dan emosi yang lebih kuat. Berbicara dengan orang lain
tentang ketakutan, harapan, dan keinginan merupakan inti dari self-disclosure.
Penelitian Hendrick (1981) dalam Kammeyer (1987) menemukan secara umum
berhubungan positif antara self-disclosure dengan kepuasan perkawinan.
Interaksi Ibu dan Anak Pada keluarga yang suami-istri bekerja (dual erner), terutama istri, karena
istri juga berperan sebagai ibu maka perpisahan anak dan ibu akan berpengaruh
pada perkembangan anak. Penelitian Bowlby beberapa puluh tahun berselang
sampai pada kesimpulan bahwa bila dalam perkembangannya anak tidak
mendapatkan porsi kasih sayang yang cukup dari ibunya, anak akan menderita
apa yang disebut oleh Bowlby sebagai maternal deprivation yang menyebabkan
anak mengalami kesulitan emosional serta hambatan-hambatan dalam
pengembangan daya pikirnya. Bahkan perpisahan sementara atau kondisi yang
disebut partial seperetion sudah cukup mengganggu perkembangan anak. Tidak
dapat disangkal bahwa seseorang ibu yang bekerja untuk jangka waktu tertentu
akan menciptakan perpisahan dengan anaknya. Perpisahan sementara tersebut
dapat menyebabkan keterikatan secara emosional (attachment) antara anak
dengan ibunya menjadi terganggu, padahal ikatan tersebut perlu ada untuk
menjamin hubungan yang sehat antara anak-ibu (Achir 1985).
32
Interaksi Ayah dan Anak Keterlibatan atau kontribusi ayah di seluruh belahan dunia rendah dalam
tugas pengasuhan anak (United Nations 1995, Engel et al 1992 dalam Hastuti
2007). Namun dukungan sosial emosi amat diperlukan dari ayah ketika kondisi
ibu harus meninggalkan anak untuk waktu yang cukup lama seperti yang terjadi
pada keluarga TKW. Interaksi antara ayah dan anak menjadi sangat penting agar
anak tidak terlalu menderita, sehingga hal ini tidak menimbulkan kesulitan-
kesulitan tingkah laku dalam perkembangan kepribadian anak selanjutnya.
Kualitas Perkawinan Definisi Perkawinan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1996) mengartikan
perkawinan sebagai hubungan permanen antara lelaki dan perempuan yang
diakui sah oleh masyarakat atas dasar peraturan perkawinan yang berlaku.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No 1 Tahun 1974 Pasal 1
tentang perkawinan, perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Perkawinan merupakan perwujudan formal antara pasangan laki-laki dan
perempuan yang akan membentuk suatu rumah tangga dan sudah merupakan
kodrat alami antara dua insan manusia yang berlainan jenis, adanya saling
ketertarikan satu sama lain untuk tujuan hidup bersama. Dengan adanya
perkawinan hendaknya setiap pasangan dapat membentuk suatu
keluarga/rumah tangga yang kekal dan bahagia (Tati 2004).
Rifai (1990) dalam Tati (2004) menegaskan bahwa perkawinan memiliki
tiga unsur penguat yakni unsur sosial, hukum, dan agama. Perkawinan yang
memiliki unsur sosial memberikan status sosial yang tinggi, lebih dihargai dari
pada mereka yang tidak menikah. Perkawinan dipandang sebagai kemaslahatan
masyarakat dalam arti menghindari perselisihan, permusuhan antara sesama
manusia. Dipandang dari sudut agama bahwa perkawinan merupakan
pembentukan manusia susila, dimana perkawinan sebagai suatu asas yang
utama dalam pergaulan atau masyarakat yang beradab, agar menjadi laki-laki
dan perempuan yang terhindar dari perbuatan yang dilarang agama. Dalam
33
agama perkawinan dianggap sebagai lembaga yang suci/sakral. Perkawinan
dipandang dari unsur hukum, bahwa perkawinan merupakan suatu perjanjian
yang sangat kuat, atau merupakan pertalian yang seteguh-teguhnya antara
suami istri dan turunannya, dan merupakan pertalian yang erat dalam hidup dan
kehidupan manusia.
Ada beberapa alasan seseorang melangsungkan perkawinan yaitu
menurut Turner dan Helms (1995) yaitu: (a) Adanya komitmen artinya ada
seseorang yang dapat dimilikinya secara sepenuhnya, (b) Hubungan satu lawan
satu artinya dengan pernikahan ada seseorang yang memberi dukungan secara
emosional yang diekspresikan dengan kasih sayang, kepercayaan, keintiman, (c)
Kebersamaan, (d) Cinta, (e) Kebahagiaan, dan (f) Legitimasi seksual dan anak-
anak. Ada alasan lain yaitu karena banyak manfaatnya dan keuntungan yang
diperoleh dari perkawinan.
Keunikan yang terjadi dalam hubungan perkawinan adalah meskipun
banyak perbedaan antara laki-laki dan perempuan seperti perbedaan emosional,
lingkungan, genetis dan kepribadian, selalu ada perkawinan yang berhasil.
Perkawinan tersebut dinikmati oleh laki-laki dan perempuan sebagai suami istri
yang bahagia. Mayoritas pasangan yang menikah memiliki tujuan hidup
bersama, berbagi dukungan fisik dan komunikasi tentang berbagai kesenangan
dan masalah (Osborne 1988 dalam Suryani 2004).
Kualitas perkawinan didefinisikan sebagai sejauh mana mutu perkawinan,
baik sebagai pandangan pasangan pada titik waktu tertentu, maupun sebagai
kombinasi perasaan yang dialami pasangan, dan ciri-ciri relasional antar
pasangan pada titik waktu tertentu (Suhardono 1998 dalam Ritonga 2007). Elder
et al. (1991) dalam Tati (2004) menilai kualitas perkawinan dalam batas-batas
kebahagian dan kepuasan serta ketidakstabilan perkawinan dalam batasan
pemikiran, aksi atau perceraian. Ada juga yang mendefinisikan kualitas
perkawinan dalam lima dimensi yaitu kecenderungan bercerai, masalah
perkawinan, kebahagiaan perkawinan, interaksi perkawinan dan
ketidaksepakatan dalam perkawinan. Menurut Conger et al. (1994), kualitas
perkawinan memiliki dua dimensi yakni kebahagiaan perkawinan dan kepuasan
perkawinan.
Studi menunjukkan apabila pasangan memiliki latar belakang (agama,
ras, sosial ekonomi) keluarga yang sama maka kualitas perkawinan akan lebih
besar. Kualitas perkawinan berhubungan positif dengan sumberdaya dan
34
kemampuan diri, seperti pendidikan, fisik dan mental yang baik, ekonomi yang
tinggi. Dukungan teman dan tetangga juga berhubungan dengan tingginya
kualitas perkawinan (Kammeyer 1987).
Banyak penelitian memperlihatkan penghormatan positif terhadap
pasangan memperbesar kualitas perkawinan. Penghormatan yang positif
ditunjukkan melalui evaluasi yang menyenangkan dari pasangan, persetujuan
tentang nilai, kepuasan seksual dan fisik yang menarik, persetujuan pada
pandangan diri, ekspresi afeksi dan cinta, hubungan yang setara,
companionship, dan penyelesaian masalah yang efektif (Kammeyer 1987).
Pasangan yang memiliki anak juga memperlihatkan peningkatan kualitas
perkawinan karena anak merupakan pelengkap dalam perkawinan.
Adanya saling pengertian antara suami istri merupakan faktor yang
penting supaya tercapai hubungan yang harmonis. Mengertikan motif-motif
tingkah lakunya, sebab-sebab mengapa pasangan berbuat demikian, mempunyai
pengertian untuk latar belakang hidup pasangannya. Jika ada saling pengertian
antara kedua belah pihak, ini menjadikan mereka lebih toleran. Dan toleransi
sangat penting untuk hubungan suami istri. Toleransi untuk kekurangan-
kekurangan, kelemahan-kelemahan, kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik dari
pihak yang lain. Penting pula untuk suatu perkawinan yang harmonis, dimana
kedua belah pihak merasakan kebahagiaan dan kepuasan, ialah jika ada saling
penghargaan antara keduanya. Penghargaan untuk kepribadian, prestasi, minat,
individualitas dari partnernya. Ini erat hubungannya dengan pengakuan diri
kedua belah pihak, bahwa masing-masing berhak atas kehidupan pribadi
(Munandar 1985).
Dari studi-studi yang telah dilakukan nyata bahwa banyak sekali faktor-
faktor yang perlu diperhatikan untuk menjamin perkawinan yang harmonis
(Munandar 1985), antara lain:
(1) Keadaan kesehatan dan warisan biologis untuk menjamin keturunan yang
sehat
(2) Latar belakang/lingkungan hidupnya, apakah berasal dari keluarga yang
bahagia atau dari brokenhome, adakah konflik-konflik dengan
orangtuanya/saudaranya, sikap/pandangan yang sehat mengenai seks dan
lain-lain
(3) Ketertarikan yang tidak banyak berbeda
(4) Norma-norma tingkah laku/falsafah hidup yang sama
35
(5) Faktor ekonomis (jika sangat berbeda dengan keadaannya sebelum
menikah, dapat menimbulkan kesukaran
(6) Apakah keduanya dari lingkungan/status sosial yang sangat berbeda
(7) Adakah perbedaan mencolok daam pendidikan, kecerdasan, umur dan lain-
lain
(8) Perbedaan dalam agama
(9) Perbedaan dalam kebudayaan, kebangsaan
Menurut Duvall (1955), perkawinan yang sukses memiliki aspek: (1)
Companionship; (2) Adaptability; dan (3) Determination to succed. Munandar
(1985) menyatakan bahwa perkawinan yang sukses ialah suatu hubungan yang
dinamis, dimana kepribadian dari kedua pasangan berkembang secara
berkelanjutan, sehingga dari hubungan tersebut tercapailah kepuasan pribadi
pada taraf yang tinggi. Karakteristik kualitas perkawinan yang sukses menurut
Sadarjoen (2009), adalah: (1) Komitmen yang terjaga; (2) Kejujuran, kesetiaan,
kepercayaan; (3) Rasa tanggungjawab; (4) Kesediaan untuk menyesuaikan diri;
(5) Fleksibilitas dan toleransi dalam setiap aspek perkawinan termasuk
kehidupan seksual; (6) Mempertimbangkan keinginan pasangan; (7) Komunikasi
yang terbuka, dengan penuh empati dan saling menghormati (respek) antar
pasangan; (8) Menjalin hubungan antar pasangan dengan cinta penuh afeksi; (9)
Pertemanan yang nyaman antar pasangan; (10) Kemampuan mengatasi krisis
dalam setiap situasi dalam kebersamaan; (11) Menjaga nilai-nilai spiritual antar
pasangan perkawinan dan keturunannya.
Kebahagiaan Perkawinan Apa yang disebut kebahagiaan adalah subjektif dan individual. Setiap
pasangan menemukan norma-normanya sendiri tentang apa yang diinginkan dari
perkawinannya. Perkawinan dikatakan berhasil jika sesuai dengan norma-norma
ini dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di dalam
masyarakat. Kebahagiaan perkawinan dari pasangan suami istri, tumbuh jika
dilandasi perasaan cinta dan kasih sayang, adanya kebersamaan, saling
percaya, saling menghargai dan menghormati serta adanya pengorbanan.
Kulitas perkawinan berdimensi kebahagiaan perkawinan memiliki ciri
adanya kemampuan berkomunikasi dengan baik antar pasangan, hubungan
yang setara antar pasangan, hubungan yang baik antara mertua dan ipar,
menginginkan hadirnya anak, memiliki minat di bidang yang sama, memiliki cinta,
36
saling menghormati, kesesuaian dalam kehidupan seksual, menikmati waktu
luang bersama, hubungan penuh afeksi dan kebersamaan, dan kemampuan
untuk memberi dan menerima (Zastrow & Kirsht 1987 dalam Nurani 2004).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kebahagiaan perkawinan adalah:
(1) Keuangan: Keuangan menduduki peringkat pertama sebagai sumber utama
konflik sekalipun dalam keluarga dengan perkawinan yang stabil dan
finansial yang memadai (Landis dan Landis 1955).
(2) Keluarga dari pasangan suami-istri: dengan melakukan perkawinan,
seseorang akan mendapatkan hubungan keluarga terikat perkawinan.
Kedekatan hubungan ini bervariasi, mulai dari mertua, ipar, sepupu dari
pasangan bahkan istri suami yang lain. Baik istri maupun suami harus
menyesuaikan dirinya pada keluarga terikat perkawinan ini agar terhindar
dari benturan-benturan dengan pasangannya. Landis dan Landis (1955)
menyatakan bahwa jika hubungan mertua ipar baik maka perkawinan akan
cenderung baik.
(3) Kehidupan beragama: Kehidupan beragama berhubungan erat dengan
kepuasan perkawinan (Landis dan Landis 1955). Orang yang agresif dan
curiga terhadap orang lain karena tidak adanya keamanan dari dalam
dirinya. Keamanan dalam diri dari kepercayaan agama mungkin membantu
seseorang memahami orang lain dan menerima kebutuhannya.
(4) Komunikasi: Pada sekelompok pasangan yang bahagia ditemukan adanya
komunikasi yang lebih banyak dan lebih baik dibandingkan dengan kelompok
yang kurang bahagia dalam perkawinannya. Dalam kelompok yang kurang
bahagia, seiring timbul masalah akibat komunikasi yang salah (Atwater 1985
dalam Sari 2004)
(5) Lain-lain: faktor lain yang mempengaruhi adalah penyesuaian seksual,
pengasuhan anak, sikap dan nilai terhadap perkawinan, dan pengelolaan
rumah tangga serta usia pasangan saat menikah. Karyadi (1988)
mengatakan bahwa seringkali pasangan yang menikah di bawah 20 tahun
mengalami perceraian. Persentasenya lebih tinggi dibanding dengan mereka
yang menikah di atas 20 tahun.
Menurut Olson dalam Nurani (2004), tipologi pasangan menikah
berhubungan dengan tingkat kebahagiaan pernikahan serta apakah perkawinan
tersebut bisa bertahan atau tidak. Tipologi pasangan menikah tersebut adalah:
(1) Pernikahan tanpa vitalitas, pasangan dalam tipe perkawinan ini merasa tidak
37
menemukan kepuasan dalam semua faktor yang berperan dan selalu berada
dalam keadaan labil. Pasangan tipe ini biasa menikah pada usia terlalu muda,
memiliki penghasilan rendah, dan biasanya berasal dari keluarga yang
berantakan; (2) Pasangan finansial, memiliki banyak konflik yang tidak
terselesaikan dan tidak puas dengan komunikasi dalam pernikahan dan dengan
keadaan atau kepribadian pasangan. Karir menjadi prioritas yang melebihi
keluarga, dan uang menjadi satu-satunya penghiburan; (3) Pasangan berkonflik,
pasangan merasa tidak puas dalam aspek seks, kepribadian pasangan,
komunikasi, dan pemecahan masalah yang mereka hadapi. Pasangan dari tipe
ini yang mencari kepuasan dari dimensi eksternal, seperti menekuni hobi secara
berlebihan atau mencari pelarian dalam ritual keagamaan; (4) Pasangan
tradisional, pasangan menemukan kepuasan dalam banyak aspek kehidupan
rumah tangga mereka tetapi memiliki masalah serius dalam aspek komunikasi
dan seksual. Kebahagiaan pasangan berasal dari aspek religius dan hubungan
yang baik serta kedekatan dengan kerabat dan teman-teman rumah tangga
relatif stabil dan bertahan lebih lama; (5) Pasangan seimbang, pasangan merasa
cukup pada kemampuan komunikasi dan resolusi konflik, memiliki kesamaan
aspek aktivitas waktu luang, pengasuhan anak dan seksualitas, serta lebih
mementingkan kepentingan keluarga batih; (6) Pasangan harmonis, pasangan
puas dengan pasangannya, ekspresi kasih sayang yang ditunjukkan serta
seksual, namun menganggap anak sebagai hambatan dalam hubungan; (7)
Keluarga penuh vitalitas, pasangan menunjukkan tingkat kepuasan yang tinggi,
menjalin hubungan dengan baik, kepribadian yang saling melengkapi, mampu
menjalin komunikasi dengan baik, mencari solusi dari konflik, puas secara
seksual maupan secara finansial dan juga berasal dari keluarga harmonis.
Kepuasan Perkawinan Duvall & Miller (1989) dalam Nurani (2004), kepuasan perkawinan
meliputi ekspresi afeksi yang terbuka satu sama lain, terjalinnya rasa saling
percaya, tidak ada dominasi satu terhadap lainnya, komunikasi yang bebas dan
terbuka antar pasangan, kesesuaian kehidupan seksual, melakukan kegiatan
bersama dalam hal aktivitas di luar rumah, tempat tinggal relatif stabil, dan
penghasilan yang memadai.
Keluarga bahagia adalah keluarga yang memiliki iklim hidup psikologis
yang memberikan nilai-nilai kepuasan yang mendalam kepada para anggotanya,
38
sehingga dirasakan bahwa kepuasan itu diperolehnya dalam situasi yang
nyaman, penuh kehangatan, kegembiraan dan penuh rasa aman serta merasa
terlindungi. Pandangan ini menunjukan bahwa jika kepuasan terpenuhi maka
kebahagiaan pun dapat tercapai (Rifai 1999 dalam Tati 2004).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan menurut
Rice (1983) antara lain: (1) Status pekerjaan, tingkat pendapatan dan pendidikan;
(2) Kepuasan terhadap pekerjaan; (3) Sehat mental dan fisik; (4) Menghabiskan
proporsi waktu luang dalam aktivitas kebersamaan terbesar; (5) Komunikasi
verbal dan nonverbal yang baik; (6) Mengekspresikan afeksi; (7) Saling
mempercayai satu sama lain; (8) Nyaman terhadap harapan akan peran
pasangan dalam pernikahan dan adanya peran yang fleksibel.
Menurut Blood dan Wolfe (1960) dalam Sari (2004), kepuasan dalam
perkawinan dapat dicapai dengan memuaskan kebutuhan-kebutuhan dasarnya
meliputi: (1) Kebutuhan akan self-esteem (penghargaan), (2) Kebutuhan akan
companionship (persahabatan), (3) Kebutuhan untuk dimengerti.
Penelitian yang dilakukan Fitasari (2004) menunjukkan bahwa tingkat
pendapatan akan mempengaruhi kepuasan perkawinan dimana semakin tinggi
pendapatan maka semakin tinggi pula kepuasan perkawinan. Semakin tinggi
konflik dalam keluarga maka akan semakin menurunkan tingkat kepuasan yang
dicapai keluarga.
Kondisi Anak Keterampilan Sosial Perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berperilaku yang
sesuai dengan tuntutan sosial (Hurlock 1980). Menurut Satoto (1990) proses
menuju kesesuaian tuntutan sosial mencakup tiga komponen yaitu belajar
berperilaku dengan cara yang disetujui secara sosial, bermain dalam peranan
yang disetujui secara sosial, dan pengembangan sikap sosial. Golemen (2006)
mengemukakan bahwa keterampilan sosial merupakan modal dalam membina
suatu interaksi sosial yang baik dengan individu dan lingkungan. Menurut Hurlock
(1980) anak yang memiliki perilaku sosial yang sukses memiliki ciri-ciri mampu
bekerjasama, persaingan sehat, kemampuan berbagi, minat untuk diterima,
simpati, empati, keterikatan (depedency), persahabatan, keinginan bermanfaat,
imitasi dan perilaku lekat (attachment behavior).
39
Megawangi (1999) berpendapat bahwa bekal paling penting bagi anak
adalah kematangan emosi-sosialnya, karena dengannya seseorang akan dapat
berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk
berhasil secara akademis sebagaimana juga dalam kehidupan sosialnya.
Kematangan emosi-sosial anak ditentukan sejak anak lahir dan sejauhmana
orangtua dapat membentuk kedekatan psikologis dengan anak-anaknya.
Menurut Berns (1997) perilaku prososial meliputi perilaku yang memberikan
manfaat bagi orang lain, seperti altruism, sharing, dan cooperation. Goleman (2007) membagi kecerdasan sosial menjadi dua yaitu:
1) Kesadaran sosial yaitu kesadaran sosial merujuk pada pemahaman keadaan
batiniah orang lain sampai memahami perasaan dan pikirannya, meliputi: (1)
empati dasar, merasakan yang dirasakan orang lain dan merasakan isyarat-
isyarat emosi nonverbal; (2) penyelarasan, mendengarkan dengan penuh
reseptivitas, menyelaraskan diri pada seseorang; (3) ketepatan empatik,
memahami pikiran, perasaan, dan maksud orang lain; (4) pengertian sosial,
mengetahui bagaimana dunia sosial bekerja. 2) Fasilitas sosial yaitu semata-mata hanya merasakan bagaimana orang lain
merasa atau mengetahui apa yang mereka pikirkan atau niatkan, yang
meliputi: (1) sinkroni, berinteraksi secara mulus pada tingkat nonverbal; (2)
presentasi diri, mempresentasikan diri sendiri secara efektif; (3) pengaruh,
membentuk hasil interaksi sosial; (4) kepedulian, peduli akan kebutuhan
orang lain dan melakukan tindakan yang sesuai dengan hal itu. Menurut Santrock dan Yussen (1989), isu-isu yang dapat dikaitkan
dengan perkembangan sosial anak adalah:
(1) Dependency yang didefinisikan sebagai ketergantungan antara satu orang
kepada yang lain yang meliputi kebutuhan untuk ditolong dan dibantu,
dipelihara dan dirawat, disayangi dan dilindungi. (2) Otonomi yang didefinisikan sebagai belajar untuk mengontrol dirinya agar
dapat mengerjakan sesuatu tanpa adanya bantuan dari orang lain. (3) Mastery yang diartikan sebagai penguasaan akan sesuatu yang merupakan
keunggulan individu. (4) Kompetensi yang diartikan sebagai kecakapan/kemahiran.
Anak-anak pada masa sekolah dasar ini masih membutuhkan
pertolongan dalam membentuk tingkah lakunya sesuai dengan situasi, kondisi
dan aturan-aturan yang semuanya baru baginya. Anak-anak membutuhkan rasa
40
aman dari kedua orangtuanya dan orang-orang dewasa di lingkungannya.
Melalui pengalaman-pengalaman di rumah inilah, anak diharapkan dapat
menyesuaikan diri dengan baik terhadap pengalaman-pengalamannya di
sekolah. Erikson mengatakan bahwa pengalaman yang terpenting pada masa
sekolah ini adalah dalam kerjasama antar teman, sikap-sikap terhadap kerja, dan
kelompok persahabatan. Bila pengalaman pada masa ini banyak membawa
perasaan cemas, maka akan menimbulkan perasaan inferiority terhadap
kemampuan dan kedudukannya diantara teman-temannya. Anak membutuhkan
perlindungan dan pengalaman yang kaya serta bervariasi dari seseorang, melalui
kecintaan dalam asuhannya (Rudyanto 2007).
Menurut Gunarsa (2003), beberapa faktor yang menentukan serta berapa
jauh akan menimbulkan masalah pada anak yang terpaksa terpisah dari ibunya
atau tokoh pengganti ibu tempat anak memperlihatkan keterikatannya adalah:
1) Lamanya dan seringnya perpisahan yang terjadi. Perpisahan yang lama
tanpa adanya tokoh pengganti pengganti akan menimbulkan akibat yang
menyulitkan dirinya maupun orang lain, secara khusus terlihat pada
kehidupan dan perwujudan emosinya. Demikian pula bilamana sering terjadi
perpisahan tanpa ada tokoh pengganti yang benar-benar bisa memenuhi
semua kebutuhan anak sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang sedang
dialami pada tahapan perkembangannya.
2) Kondisi perawatan atau pengasuhan ketika terjadi perpisahan. Pengganti ibu
bisa berperan sebagai tokoh pada siapa anak mengalihkan objek
keterikatannya dengan ibunya ke tokoh tersebut. Adakalanya pengganti ibu
bisa memperlihatkan sikap, memperlakukan anak, memberikan jawaban dan
rangsangan yang memuaskan anak, sehingga anak lambat laun menjadi
terikat dengan tokoh pengganti ibu.
3) Sikap ibu atau tokoh setelah terjadi pertemuan kembali. Sikap ibu atau tokoh
sangat penting agar anak bisa cepat memulihkan keterikatan terhadapnya.
Sikap menerima dan mengerti bahwa anak telah kesal atau kecewa dan
membiarkan anak untuk sementara waktu menampilkan kekecewaan atau
kejengkelan akan banyak menolong anak mempercepat pulihnya kekeadaan
semula sebelum terjadi perpisahan.
4) Masa perkembangan ketika terjadi perpisahan. Perpisahan yang terjadi pada
masa pertama terjadinya keterikatan dengan ibu atau tokoh akan berakibat
lebih buruk daripada kalau perpisahan terjadi pada masa-masa yang lain.
41
5) Keadaan atau corak hubungan antara anak dengan ibu atau tokoh sebelum
terjadi perpisahan. Keterikatan yang longgar menyebabkan anak tidak terlalu
merasa kehilangan bahkan mudah untuk mencari atau memperoleh tokoh
pengganti dengan siapa ia merasa lebih terikat. Masa-masa terjadinya
keterikatan dengan orangtua atau tokoh khusus merupakan masa-masa
penting, keterpisahan bisa mempengaruhi timbulnya gangguan dalam
kepribadian bayi atau anak.
Wibono (2007) melihat adanya suatu hubungan antara penyesuaian diri
pada masa kanak-kanak dengan keberhasilan bergaul, lebih hangat dan terbuka
menghadapi orang lain dimasa dewasa. Penyesuaian diri didefinisikan sebagai
reaksi seseorang terhadap rangsangan-rangsangan dari dalam diri sendiri
maupun reaksi seseorang terhadap situasi yang berasal dari lingkungannya.
Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan anak menyesuaikan diri antara
lain:
1) Kehidupan di dalam keluarga. Bila anak dididik secara otoriter dan
kekerasan, maka anak akan merasa dendam dengan tokoh otoriter yang
dijumpainya sehingga anak mengalami kesulitan bergaul dengan tokoh
otoriter tersebut. Lain halnya dengan anak yang dibesarkan secara acuh tak
acuh, seringkali memperlihatkan sikap dan perasaan kurang peduli terhadap
orang lain.
2) Anak tidak memperoleh model yang baik di rumahnya terutama dari
orangtuanya.
Pada usia sekolah ini disebut juga sebagai usia kelompok yang ditandai
dengan adanya minat terhadap aktivitas-aktivitas teman dan meningkatnya
keinginan kuat untuk diterima sebagai anggota suatu kelompok, dan tidak puas
bila tidak bersama teman-temannya. Menurut Hurlock (1980), beberapa cara
peningkatan sosialisasi melalui keanggotaan kelompok yaitu belajar kepada
kelompok, belajar menyesuaikan diri dengan standar kelompok, belajar bermain
dan olah raga, belajar turut berbagi rasa dengan orang yang dianiaya, belajar
bersikap sportif, belajar menerima dan melaksanakan tanggungjawab, belajar
bersaing dengan orang lain, belajar perilaku sosial yang baik, belajar
bekerjasama, belajar bebas dari orang-orang dewasa. Penelitian Jatiningsih
(2004) menunjukkan bahwa perkembangan sosial anak pada buruh nelayan
yang tergolong rendah lebih banyak bila dibanding dengan anak juragan nelayan
dikarenakan keadaan ekonomi buruh nelayan juga lebih rendah bila dibanding
42
dengan juragan nelayan. Keadaan ekonomi yang cukup menyebabkan orangtua
lebih punya banyak waktu untuk membimbing anaknya karena orangtua tidak lagi
memikirkan keadaan ekonomi yang kurang. Penelitian yang dilakukan kepada keluarga nelayan ditemukan bahwa
jenis kelamin anak memiliki pengaruh nyata terhadap perkembangan sosial anak.
Anak laki-laki memiliki perkembangan sosial yang lebih rendah bila dibandingkan
dengan perempuan (Jatiningsih 2004). Seorang ayah lebih terlihat berbeda
dalam pengasuhan terhadap anak laki-laki atau perempuan dibanding ibu
(Huston 1983; Fagot 1995 dan Lamb 1981 dalam Berns 1997). Orangtua lebih
menekankan anak perempuan untuk berperilaku prososial dan sopan, sementara
anak laki-laki ditekankan pada perilaku melindungi.
Urutan kelahiran atau posisi diantara saudara kandung menentukan
rencana kehidupan yang akan ditiru. Persaingan untuk memperoleh perhatian,
hubungan yang terjadi antara saudara kandung, harapan orangtua yang berbeda
mengenai perilaku antara saudara kandung dan kepribadian anak perlu
diperhitungkan dalam keluarga (Bigner 1979). Misalnya, anak yang lahir pertama
mungkin akan meniru pola perilaku yang mempunyai kekuatan yang
bertentangan pertama dengan interaksi antara saudara kandung dan orangtua,
yang kedua dengan anggota di luar kelompok keluarganya. Urutan posisi anak di
dalam keluarga mempengaruhi penampilan anak. Anak yang lahir kemudian
cenderung diterima oleh kelompok sebaya daripada anak sulung (Hurlock 1980).
Stres Anak Stres adalah proses yang terjadi saat individu harus menyesuaikan diri
dengan suatu keadaan yang biasanya dimanifestasikan oleh sindrom spesifik.
Stres merupakan tuntutan perasaan terhadap perubahan lingkungan yang terjadi
tiba-tiba (Melson 1980).
Badran (2006) dalam Aprilianti (2007), mengelompokkan sumber stres
menjadi: (1) Sumber stres yang bersifat internal (berasal dari dalam jiwa
seseorang itu sendiri), (2) Sumber stres yang bersifat eksternal (berasal dari luar
seperti pekerjaan, hubungan dengan teman dan perbedaan pendapat dengan
mereka, pertengkaran bersama pasangan, perceraian, kematian seseorang yang
dicintai, dan mengalami suatu peristiwa yang mengejutkan).
Teori stres yang digambarkan dengan model stres ABC-X. Model stres
McCubbin dan Paterson (1980) menjelaskan perbedaan dalam adaptasi keluarga
43
pada masa setelah krisis. Setiap variabel saling berinteraksi satu dengan
lainnya.Variabel dalam model ini digambarkan sebagai berikut:
a. Faktor AA: Sumber stres bertumpuk, artinya terdapat lebih dari satu sumber
stres utama dalam keluarga
b. Faktor BB: Sumber koping keluarga, yaitu kemampuan keluarga untuk
menghadapi tuntutan-tuntutan yang dihadapi.
c. Faktor CC: Penilaian atau persepsi terhadap sumber stres, yaitu interpretasi
subjek terhadap sumber stres
d. Faktor XX: Adaptasi keluarga yang merupakan konsep utama dalam usaha
mencapai keseimbangan setelah krisis.
Stres yang terjadi pada setiap orang berbeda-beda, hal ini dapat dilihat
dari gejala-gejala yang dialaminya. Gejala stres dapat dilihat dari segi fisik
maupun ciri-ciri segi mental. Berdasarkan segi fisik dapat dilihat bahwa dalam
keadaan stres terjadi berbagai perubahan pada fisik seseorang. Para ahli
mengatakan bahwa perubahan itu diakibatkan karena adanya aktivitas besar
pada alat terpenting yang berfungsi untuk menggerakkan tubuh ketika
menghadapi suatu bahaya/reaksi refleks. Akibat adanya aktifitas itu dapat
mempengaruhi anggota tubuh lainnya yang berhubungan. Misalnya tangan
berkeringat lebih banyak, perut terasa mual, pencernaan terasa sakit, denyut
jantung naik, suara serak, sering baung air kecil. Sedangkan berdasarkan segi
mental, stres dapat mengganggu mental dan perasaan seseorang serta
menyebabkan berbagai kelainan pada dirinya sendiri seperti gampang
tersinggung, tidak percaya diri, ragu-ragu mengambil keputusan, susah tidur,
merasa lemah dan gagal (Badran 2005 dalam Aprilianti 2007).
Prestasi Akademik Kognitif berasal dari bahasa latin “cognition” yang bermakna untuk
mengetahui. Kogitif merupakan suatu proses dari pengetahuan yang mencakup
kesadaran (awareness) dan penilaian (judgement). Kognitif berhubungan dengan
atau merupakan aktivitas intelektual yang disadari seperti berfikir (thinking),
menjelaskan (reasoning), membayangkan (imagining), mempelajari kata
(learning words) dan mengungkapkan bahasa (using language) (Webster 1993
dalam Hastuti 2006). Crain (2007) menjelaskan teori kognitif Piaget meliputi
empat periode, yaitu:
44
1) Periode I : Kepandaian Sensori-Motorik (dari lahir-2 tahun). Individu/bayi
mengorganisasikan skema tindakan fisik mereka seperti menghisap,
menggenggam, dan memukul untuk menghadapi dunia yang muncul di
hadapannya.
2) Periode II : Pikiran Pra-Operasional (2-7 tahun). Individu/anak-anak belajar
berfikir (menggunakan simbol-simbol dan pencitraan batiniah) namun pikiran
anak-anak belum sistematis dan tidak logis. Pikiran di titik ini sangat berbeda
dengan pikiran orang dewasa.
3) Periode III : Operasional kongkret (7-11 tahun). Individu/anak-anak
mengembangkan kemampuan berfikir sistematis, namun hanya ketika
mereka dapat kepada objek-objek dan aktivitas-aktivitas konkret.
4) Periode IV : Operasional Formal (11 tahun-dewasa). Individu
mengembangkan kemampuan untuk berfikir sistematis menurut rancangan
yang murni abstrak dan hipotesis.
Menurut Somantri (1978) dalam Nurani (2004) prestasi akademik anak
dapat diukur dengan melalui skor prestasi dari berbagai mata pelajaran yang
meliputi Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS), Bahasa Inggris, Pendidikan Agama. Skor prestasi
belajar adalah hasil yang dicapai siswa dalam waktu kurun tertentu yang
diwujudkan dalam bentuk angka yang dirumuskan dalam rapor.
Prestasi akademik yang dicapai seseorang individu merupakan hasil
interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhi baik dalam diri (faktor
internal) maupun dari luar diri individu (faktor eksternal). Pengenalan dan
pemahaman seseorang akan faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi
akademik merupakan langkah yang sangat penting untuk mencapai prestasi
sebaik-baiknya (Suryabrata 2001 dalam Nurani 2004).
Faktor yang mempengaruhi prestasi akademik yaitu faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal meliputi aspek fisiologis (keadaan jasmani dan
fungsi fisiologis) dan aspek psikologis (kecerdasan, prestasi yang telah dimiliki,
serta unsur kepribadian seperti sikap, kebiasaan, bakat, kebutuhan motivasi,
emosi, dan penyesuaian diri, sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi
prestasi belajar meliputi lingkungan sosial dan non sosial. Faktor sosial yaitu
lingkungan keluarga (hubungan individu dengan anggota keluarga, besar
keluarga, bentuk keluarga, pendidikan orangtua, keadaan ekonomi keluarga),
sekolah (fisik sekolah, fisik ruangan, kelengkapan alat pelajaran, disiplin sekolah,
45
metode belajar mengajar, hubungan siswa dengan guru), dan masyarakat
(kegiatan yang diikuti oleh individu seperti klub olah raga) (Hadawi 2001 dalam
Nurani 2004).
Adanya afeksi, penerimaan dan kehangatan yang diterima oleh anak dari
ayah serta ibunya terlihat dari adanya penyesuaian diri dan nilai prestasi
akademik yang baik dari anak sekolah (Hadawi 2001 dalam Nurani 2004).
Hurlock (1980) mengutarakan bahwa pekerjaan di sekolah dan sikap anak
terhadap sekolah sangat dipengaruhi oleh hubungan dengan anggota keluarga.
Hubungan keluarga yang sehat dan bahagia menimbulkan dorongan untuk
berprestasi, sedangkan hubungan yang tidak sehat dan bahagia menimbulkan
ketegangan emosional yang biasanya memberikan efek buruk pada kemampuan
berkonsentrasi dan kemampuan untuk belajar. Gunarsa dan Gunarsa (2008) juga
mengungkapkan bahwa hubungan yang terjalin antara anak dengan orangtuanya
ataupun dengan saudaranya, sikap, perhatian dan minat orangtua serta status
sosial ekonomi orangtua mempengaruhi prestasi anak di sekolah. Kajian Sarah
McLanahan dan Gary Sanderful (1994) dalam Crittenden (1999)
menginformasikan bahwa anak-anak yang tumbuh tanpa ayah dan ibu
kemungkinan mengalami dua kali lebih besar untuk putus sekolah dibandingkan
dengan anak-anak yang dibesarkan oleh kedua orangtuanya.
46
KERANGKA PEMIKIRAN
Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW) merupakan keluarga yang
mengalami perpisahan dengan istri dalam jangka waktu yang relatif lama.
Ketiadaan istri dalam keluarga menjadi tantangan tersendiri bagi keluarga TKW.
Secara tradisional, pola keluarga patriarki menempatkan istri sebagai pihak yang
mengurusi pekerjaan domestik, terutama mengasuh anak. Ketidakseimbangan
dalam ekosistem keluarga TKW dikarenakan adanya perubahan fungsi dan
peran sebagai tanggapan menuju keseimbangan baru.
Dalam keadaan ini keluarga TKW membutuhkan penyesuaian atas
perubahan fungsi dan peran anggota keluarga. Keabsenan fungsi yang ditinggal
istri secara otomatis akan berpindah tangan menjadi tanggung jawab suami.
Artinya suami memegang peran ganda untuk melaksanakan fungsi instrumental
dan ekspresif. Dukungan sosial yang diterima keluarga dapat memperkecil beban
peran ganda suami sebagai seorang ayah bagi anaknya dan sebagai pencari
nafkah bagi keluarganya.
Kegagalan tranformasi fungsi dan peran dapat menimbulkan dampak
negatif pada keluarga, khususnya terhadap kualitas perkawinan dan kondisi
anak. Komunikasi dan afeksi yang berkurang memiliki kemungkinan menurunkan
kebahagiaan perkawinan dan kepuasan perkawinan. Selain itu, menurut Gunarsa
(2003), perpisahan yang relatif lama antara ibu dan anak bisa menjadi dasar
timbulnya kesulitan-kesulitan tingkah laku dan kepribadian anak. Kemerosotan
dalam hubungan keluarga juga semakin mengganggu perkembangan anak, hal
ini menyebabkan perasaan tidak aman dan tidak bahagia sehingga anak akan
mengalami kesulitan penyesuaian sosial di luar rumah serta menurunkan
kemampuan berkonsentrasi dan belajar (Hurlock 1980).
47
Gambar 2 Kerangka pemikiran faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas perkawinan dan kondisi sosial anak pada keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW)
Karakteristik TKW • Umur • Pendidikan • Pekerjaan • Pendapatan • Lama menjadi TKW
Dukungan Sosial Lingkungan • Keluarga besar • Tetangga • PJTKI
Karakteristik Suami TKW dan Keluarga
Fungsi Pengasuhan Anak
Interaksi dalam Keluarga • Interaksi ibu (TKW)-anak • Interaksi ayah-anak • Interaksi suami-istri (TKW)
• Umur • Pendidikan • Pekerjaan • Pendapatan
• Jumlah anggota keluarga
• Tempat tinggal
• Aset dan Properti
• Peran pengasuhan pengganti ibu
• Peran pengasuhan ayah
• Peran pengasuhan ibu sebelum menjadi TKW
Kualitas Perkawinan • Kebahagiaan
perkawinan • Kepuasan Perkawinan
Kondisi Anak setelah ditinggal ibu menjadi TKW ‐ Keterampilan sosial ‐ Stres ‐ Prestasi
Karakteristik Anak • Umur • Jenis kelamin • Nomor urut anak
METODE PENELITIAN
Disain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung dengan topik
“Analisis Sosial Ekonomi dan Fungsi Keluarga Tenaga Kerja Wanita”. Disain
penelitian yang digunakan adalah cross-sectional study, yaitu penelitian yang
dilakukan dalam satu waktu tertentu (Prasetyo dan Jannah 2005) dan
retrospective study (masa lampau). Data cross-sectional study mencakup
karakteristik kelurga saat ibu menjadi TKW, fungsi pengasuhan anak (peran
pengganti ibu dan peran ayah dalam pengasuhan), interaksi dalam keluarga,
kualitas perkawinan dan kondisi anak, sedangkan data berdasarkan metode
retrospective yaitu merecall memori tentang karakteristik sebelum TKW
(pendapatan, kondisi tempat tinggal, aset) dan peran pengasuhan ibu (TKW)
sebelum menjadi TKW.
Penelitian dilakukan di tiga desa yaitu Desa Cikahuripan, Cisolok, dan
Cikelat, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat.
Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purpossive) dengan pertimbangan
Kecamatan Cisolok merupakan kecamatan yang memiliki jumlah Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) sepuluh terbanyak di Kabupaten Sukabumi. Penelitian
dilaksanakan dari bulan April 2009 sampai Januari 2010 mencakup penyusunan
proposal dan instrumen, pengambilan data, analisis data, dan penulisan laporan.
Contoh dan Teknik Penarikan Contoh Populasi penelitian ini adalah keluarga TKW yang berada di Kecamatan
Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Contoh penelitian ini adalah keluarga
dari TKW yang istrinya sedang atau sudah pulang dari luar negeri (maksimal 3
bulan terhitung mundur dari waktu penelitian), istri pernah berangkat ke luar
negeri minimal 6 bulan, dan memiliki anak yang masih duduk dibangku sekolah
dasar. Penarikan contoh menggunakan metode purposive sampling dengan
teknik snowball. Teknik snowball yang digunakan yaitu dengan mencari satu
individu responden dengan karakteristik yang dicari dalam wilayah tertentu,
kemudian ditanyai dengan pertanyaan dari kuesioner yang telah disiapkan.
Setelah selesai, enumerator menanyakan siapa calon responden yang memiliki
kriteria yang sama hingga mencapai target jumlah contoh yaitu 47 keluarga
dimana 19 keluarga berasal dari Desa Cikahuripan, 12 keluarga berasal dari
Desa Cisolok, dan 16 keluarga berasal dari Desa Cikelat. Responden dalam
49
penelitian ini adalah suami TKW. Metode penarikan contoh tersebut dapat dilihat
pada Gambar 3.
purposive
purposive
purposive
purposive
purposive dengan teknik snowball
Gambar 3. Metode penarikan contoh
Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan
data sekunder. Data primer yang dikumpulkan meliputi: (1) karakteristik orangtua
(umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jumlah anggota keluarga, tempat
tinggal, aset dan properti) dan karakteristik anak (umur, jenis kelamin, nomor urut
anak); (2) dukungan sosial (keluarga luas, tetangga, PJTKI); (3) pengasuhan
anak (pengasuhan ibu sebelum menjadi TKW, pengganti ibu dan ayah selama
ibu menjadi TKW); (4) interaksi dalam keluarga (komunikasi dan bonding ibu
anak, ayah anak, dan suami istri); (5) kualitas perkawinan (kebahagiaan
perkawinan dan kepuasan perkawinan); (6) kondisi anak (keterampilan sosial
dan stres). Data primer diperoleh melalui wawancara langsung menggunakan
alat bantu kuesioner yang relevan dengan variabel yang diteliti. Kuesioner
dikembangkan oleh peneliti berdasarkan berbagai penelitian serupa terdahulu
dan berdasarkan konsep teoritis. Selain itu, dilakukan indepth interview yaitu
pengumpulan data dengan melakukan wawacara mendalam dengan contoh yang
terpilih untuk memperoleh informasi lebih mendalam dan mengklarifikasi
informasi yang diperoleh sebelumnya. Data sekunder yaitu rapor untuk mengukur
Propinsi Jawa Barat
Kabupaten Sukabumi
Kecamatan Cisolok
Desa Cikahuripan
Desa Cikelat
n keseluruhan= 47 responden
Desa Cisolok
50
prestasi akademik anak dikumpulkan dari Sekolah Dasar di Kecamatan Cisolok
dan data lain yang dikumpulkan dari Kantor Disnakertrans, BPS, Kantor Desa,
dan instansi lain yang terkait di Kabupaten Sukabumi. Kontrol kualitas data
dilakukan dengan uji reliabilitas Cronbach Alpha (0.577-0.953). Secara lebih rinci
peubah, skala, responden, alat dan cara pengukuran penelitian, skala data,
jumlah item pertanyaan, dan Cronbach Alpha (α) disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Jenis data, peubah, contoh, alat dan cara pengukuran, skala data,
jumlah item pertanyaan, dan chronbah alpha (α)
Jenis Data Peubah Contoh Alat & Cara
Pengukuran Skala Data
Item pertanyaan
α
Primer Karakteristik Keluarga Primer Dukungan Sosial
suami kuesioner
dan wawancara
0.696 • keluarga besar ordinal 4 • tetangga ordinal 4 • PJTKI ordinal 4
Primer Pengasuhan dimensi kehangatan
suami, istri,
pengasuh pengganti
kuesioner dan
wawancara
• pengasuhan ibu (pra TKW) ordinal 10 0.577
• pengasuhan penggnti ibu (saat TKW)
ordinal 10 0.949
• pengasuhan ayah ordinal 10 0.603
Primer Interaksi dalam Keluarga
suami
kuesioner dan
wawancara
• interaksi ibu-anak ordinal 20 0.912 • interaksi ayah-anak ordinal 20 0.783 • interaksi suami-istri ordinal 20 0.910
Primer Kualitas Perkawinan
suami
kuesioner
dan wawancara
0.813 • kebahagiaan perkawinan ordinal 5
• kepuasan perkawinan ordinal 5
Primer Perkemangan Sosial Anak
kuesioner dan
wawancara, telaah
dokumen
• keterampilan sosial ordinal 7 0.688 • stres ordinal 16 0.953 • prestasi belajar rasio
Sekunder Data Demografi
Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data mencakup tahapan entry, cleaning, editing, scoring,
coding, dan analisis data dengan menggunakan program Microsoft Excel dan
SPSS 13.0 for Windows. Pemberian skor terhadap setiap pertanyaan dari
51
masing-masing variabel, kemudian nilai skor tersebut dijumlahkan. Selanjutnya
dikategorikan dengan menggunakan interval kelas.
Interval kelas dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :
Interval kelas (Ik)= Skor maksimum- Skor minimum
∑ kategori
Data karakteristik anak meliputi umur, nomor urut anak, dan jenis
kelamin, sedangkan data karakteristik keluarga meliputi umur orangtua, tingkat
pendidikan, pekerjaan, pendapatan per kapita, jumlah anggota keluarga, tempat
tinggal, frekuensi makan keluarga, dan kepemilikan aset. Umur anak dibagi
menjadi dua yaitu masa kanak-kanak akhir (9-12 tahun) dan preadolance (13-15
tahun). Umur orangtua dibagi menjadi tiga kategori yaitu dewasa awal (18-40
tahun), dewasa madya (41-60 tahun), usia lanjut (>60 tahun) (Hurlock 1980).
Tingkat pendidikan orangtua dikelompokkan menjadi tidak pernah sekolah, tidak
tamat SD, tamat SD, tidak tamat SMP, tamat SMP, tidak tamat SMA, tamat SMA,
dan tamat akademi/PT. Besar keluarga dikelompokkan berdasarkan BKKBN
(1996) menjadi tiga kategori yaitu kecil (≤4 orang), sedang (5-6 orang), dan besar
(≥7 orang).
Pendapatan per kapita per bulan diperoleh dari penjumlahan antara
pendapatan keluarga dan pendapatan hasil usaha lain selama satu bulan dibagi
jumlah anggota keluarga. Jumlah aset dilihat dari jumlah aset yang dimiliki
keluarga antara lain rumah, lahan, alat transportasi, elektronik, furnitur,
perhiasan, perlengkapan dapur, dan ternak yang diukur dari kepemilikan
sebelum TKW dan saat ini. Tempat tinggal dilihat dari kondisi tempat tinggal
keluarga sebelum TKW dan saat ini.
Data pengasuhan dimensi kehangatan mengacu pada dimensi arahan
Rohner. Gaya pengasuhan ini diberi skor 1 jika jawaban tidak pernah, skor 2 jika
jawaban kadang-kadang, dan skor 3 jika jawaban sering. Gaya pengasuhan
dikategorikan menjadi tiga ketegori yaitu rendah (10-16), sedang (17-23), dan
tinggi (24-30).
Interaksi dalam keluarga terdiri dari variabel interaksi anak dan ibu,
interaksi anak dan ayah, frekuensi komunikasi anak dan ayah, interaksi suami
dan istri. Interaksi terdiri dari komunikasi dan bonding. Interaksi ini diberi skor 1
jika jawaban tidak pernah, skor 2 jika jawaban kadang-kadang, dan skor 3 jika
jawaban sering. Masing-masing interaksi anak dan ibu, interaksi anak dan ayah,
52
interaksi suami dan istri dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu rendah (20-33),
sedang (34-47), dan tinggi (48-60).
Kualitas perkawinan terdiri dari variabel kebahagiaan perkawinan dan
kepuasan perkawinan. Kualitas perkawinan dikelompokkan menjadi tiga kategori
yaitu rendah (10-16), sedang (17-23), dan tinggi (24-30). Keterampilan sosial
anak juga dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu rendah (7-11), sedang (12-
16), dan tinggi (17-21). Stres anak dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu
rendah (16-26), sedang (27-37), dan tinggi (38-48). Baik kualitas perkawinan
maupun perkembangan sosial anak sebelum pengkategorian, terlebih dahulu
diberi skor 1 jika jawaban tidak pernah, skor 2 jika jawaban kadang-kadang, dan
skor 3 jika jawaban sering. Prestasi belajar anak dikategorikan menjadi sangat
baik (81-90), baik (71-80), cukup (61-70), dan kurang (50-60).
Analisi statistik yang digunakan untuk mengolah data adalah :
1. Uji Cronbach Alpha digunakan untuk uji kekonsistenan antar item
pertanyaan.
2. Analisis Deskriptif dilakukan untuk menyajikan gambaran berbagai variabel
yang diteliti dalam kuesioner dan penjelasan dari wawancara mendalam
(indepth interview).
3. Uji beda Independent T-test untuk menguji perbedaan pengasuhan ibu,
pengasuhan pengganti ibu, dan pengasuhan ayah; interaksi ibu dan anak
dengan interaksi ayah dan anak.
4. Uji Korelasi Spearman untuk mengetahui hubungan antar variabel
5. Uji Regresi Linear Berganda untuk menguji faktor-faktor yang berpengaruh
secara langsung terhadap kualitas perkawinan dan kondisi anak
(keterampilan sosial, stres, dan prestasi akademik).
Definisi Operasional
TKI adalah tenaga kerja Indonesia laki-laki dan perempuan yang bekerja di luar
negeri baik legal maupun illegal.
TKW adalah tenaga kerja wanita yang bekerja di luar negeri baik legal maupun
illegal
Pra TKW adalah waktu dimana TKW masih tinggal bersama keluarga dan belum
bekerja menjadi TKW untuk pertama kalinya.
Pasca TKW adalah TKW yang sedang bekerja di luar negeri atau telah pulang
dari luar negeri maksimal 3 bulan.
53
Karakteristik Keluarga adalah ciri-ciri dari aspek sosial ekonomi yang melekat
pada istri dan suami berupa umur, pendidikan, pekerjaan dan
pendapatan, jumlah anggota keluarga, tempat tinggal, serta aset dan
properti; umur anak, jenis kelamin anak, nomor urut anak.
Umur adalah usia suami, istri, dan anak saat penelitian berlangsung yang
dinyatakan dalam tahun.
Tingkat Pendidikan adalah pendidikan formal terakhir yang dicapai oleh
anggota keluarga.
Pekerjaan adalah jenis profesi yang digeluti oleh ayah/ibu dan anak yang
mencakup pekerjaan utama dan sampingan yang mendapat imbalan
berupa gaji/upah. Pendapatan adalah upah, gaji, atau hasil yang diperoleh dari semua anggota
keluarga, baik barang, jasa dan lain-lain yang dinilai dengan uang selama
satu bulan.
Jumlah Anggota Keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang masih
tinggal dalam satu rumah atau tidak yang masih menjadi tanggungan
keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidup. Dikelompokkan berdasarkan
kriteria BKKBN (keluarga kecil ≤ 4 orang, keluarga sedang 5-6 orang,
keluarga besar ≥ 7 orang,)
Tempat Tinggal adalah keadaan rumah mulai dari sanitasi dan pemenuhan
standar dari sebuah rumah.
Aset dan Properti adalah seluruh kekayaan keluarga berupa rumah, lahan, alat
transportasi, elektronik, furniture, perhiasan, perlengkapan dapur, dan
ternak.
Dukungan Sosial adalah bantuan yang diterima keluarga berupa dukungan
emosi, instrumental, dan informasi dari keluarga besar, tetangga, dan
PJTKI (Perusahaan pengiriman Jasa Tenaga Kerja Indonesia). Pengasuh Anak adalah orang yang melakukan pengasuhan dimensi
kehangatan, meliputi pengasuhan ibu sebelum menjadi TKW, pengganti
ibu dan ayah saat ibu menjadi TKW. Pengasuhan Dimensi Kehangatan adalah pengasuhan yang diukur
berdasarkan aspek pengasuhan penerimaan dan pengasuhan penolakan.
Pengasuhan Penerimaan adalah menerima keberadaan anak dengan kasih
sayang dan kehangatan. Secara verbal diungkapkan dengan pujian,
54
penghargaan, dan kata-kata yang indah dan secara fisik diungkapkan
dengan pelukan, ciuman, elusan dan lain-lain. Pengasuhan Penolakan adalah menolak keberadaan anak dengan cara
mengabaikan, kemarahan, dan menghukum, yang secara fisik
diekspresikan dengan memukul, mencubit, menendang, mencakar,
menampar. Secara verbal diekspresikan dengan mengutuk, mencaci,
mengucapkan kata-kata kasar dan kotor kepada anak. Interaksi dalam Keluarga adalah hubungan antar anggota keluarga (orangtua-
anak dan suami-istri) yang dilandasi oleh perasaan, perkataan, dan
perlakuan anggota keluarga yang dilakukan setiap hari. Interaksi orangtua
dan anak diwujudkan dalam bentuk komunikasi dan bonding.
Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan
perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kualitas Perkawinan diukur berdasarkan kebahagiaan dan kepuasan menurut
persepsi suami dalam menilai kehidupan perkawinannya.
Kebahagiaan Perkawinan diukur berdasarkan komunikasi dengan pasangan,
komunikasi dengan keluarga pasangan, perilaku pasangan,
penghargaan, dan komitmen perkawinan.
Kepuasan Perkawinan diukur berdasarkan frekuensi dan keterbukaan
komunikasi, keuangan keluarga, hubungan afeksi, hubungan yang setara
dengan pasangan, dan komitmen terhadap perkawinan.
Keterampilan Sosial adalah kemampuan bergaul dengan orang lain.
Stres adalah perasaan tidak nyaman akibat menghadapi kondisi yang berubah.
Prestasi adalah nilai akademik yang diperoleh anak selama duduk dibangku
sekolah dasar dan diukur dalam empat semester pertemuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat merupakan
daerah unik karena memiliki kontur wilayah yang bervariasi mulai dari laut,
pantai, dataran rendah serta perbukitan dan pegunungan. Luas wilayah
Kecamatan Cisolok mencapai 17.806,726 hektar. Secara geografis, sebelah
utara dibatasi oleh Kecamatan Kabandungan, sebelah selatan dibatasi oleh
Samudera Indonesia, sebelah timur dibatasi oleh Kecamatan Cikakak, dan
sebelah barat dibatasi Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak.
Kecamatan ini terdiri dari 11 desa, 52 dusun, 87 RW, 334 RT. Jumlah
penduduk secara keseluruhan yaitu sebanyak 60.578 orang. Selain memiliki
daerah pertanian yang luas, Kecamatan Cisolok juga memiliki daerah wisata
yang biasa dikunjungi turis lokal maupun Internasional. Adapun mata
pencaharian penduduk Kecamatan Cisolok mayoritas adalah petani, sedangkan
sebagian kecil adalah nelayan, pedagang, buruh, serta jasa.
Desa Cisolok Desa Cisolok merupakan salah satu desa yang berada di wilayah
Kecamatan Cisolok. Desa Cisolok memiliki luas wilayah 767 hektar dengan
ketinggiaan antara 0-300 meter di atas air laut, dengan bentang lahan sebanyak
40 persen berupa daratan dan 60 persen berupa wilayah perbukitan. Daerah ini
memiliki tempat wisata pantai dengan luas wilayah 15 hektar. Sebelah utara
Desa Cisolok dibatasi oleh Desa Cikelat, sebelah selatan dibatasi oleh Samudera
Indonesia, sebelah timur dibatasi oleh Desa Karang Papak, dan sebelah barat
dibatasi oleh Desa Cikahuripan.
Wilayah Desa Cisolok terdiri dari 4 dusun dengan 13 RW dan 46 RT.
Jumlah penduduk desa sebanyak 8.414 orang. Sebagian besar penduduk
bermata pencaharian sebagai petani (250 orang), nelayan (103 orang), Pegawai
Negeri Sipil (101 orang) dan buruh tani (99 orang), sedangkan yang lain bermata
pencaharian sebagai pedagang keliling, pensiunan PNS, pengusaha kecil atau
menengah, buruh migran dan lain-lain.
Partisipasi pendidikan di Desa Cisolok dapat digambarkan berdasarkan
jumlah penduduk yang menempuh pendidikan tertentu. Data potensi desa
56
menunjukan terdapat 1112 orang yang tidak pernah sekolah, 876 orang tidak
tamat sekolah dasar, 507 orang tamat sekolah dasar, 1679 orang tamat
SMP/Sederajat, 1042 orang tamat SMA/Sederajat, 562 orang tamat
D1/Sederajat, 303 orang tamat D2/Sederajat, 122 orang tamat D3/Sederajat, 338
orang tamat S1/Sederajat, 70 orang tamat S2/Sederajat, dan 47 orang tamat
S3/Sederajat.
Desa Cikahuripan
Desa Cikahuripan memiliki luas wilayah 702 hektar. Wilayah berada pada
ketinggiaan 0-300 dengan bentang lahan 30 persen merupakan daratan dan 70
persen adalah wilayah perbukitan. Desa Cikahuripan merupakan desa pantai
yang berbasis pada sumber daya bahari. Sumber pendapatan utama penduduk
berasal dari hasil tangkapan ikan di laut. Dilihat dari tipologi wilayahnya,
sebagian besar Desa Cikahuripan merupakan tanah yang terjal dan berbukit,
sehingga pemukiman penduduk mengikuti garis pantai (mendekati pantai) yang
banyak memiliki lahan yang relatif lebih datar. Sebagian besar wilayah Desa
Cikahuripan merupakan daerah hutan atau perkebunan dengan tipologi
pegunungan. Sebelah utara dibatasi oleh Desa Gunung Tanjung, sebelah
selatan dibatasi oleh Samudera Indonesia, sebelah timur dibatasi oleh Desa
Cisolok, sebelah barat dibatasi oleh Desa Pasir Baru.
Wilayah Desa Cikahuripan terdiri dari 3 dusun dengan 15 RW dan 36 RT.
Jumlah penduduk desa sebanyak 5.863 orang. Mata pencaharian penduduk
Desa Cikahuripan cukup beragam. Lebih dari separuh (1425) penduduk desa
Cikahuripan bermata pencaharian sebagai nelayan, hampir seperempat (600)
penduduk desa Cikahuripan bermata pencaharian sebagai buruh tani. Sisanya,
mata pencaharian penduduk desa Cikahuripan meliputi petani (126), pegawai
negeri (41), buruh migran (28), pedagang keliling (25), dan lain-lain.
Sebagian besar (3073) penduduk Desa Cikahuripan memiliki tingkat
pendidikan tamat SD/Sederajat, lebih dari sepersepuluh (456) penduduk desa
Cikahuripan menyelesaikan pendidikannya sampai tingkat SMP/Sederajat,
hampir sepersepuluh (408) penduduk desa Cikahuripan menyelesaikan
pendidikannya sampai tingkat SMA/Sederajat. Hanya seperduapuluh (224)
penduduk desa Cikahuripan memiliki tingkat pendidikan tamat perguruan tinggi,
walaupun demikian penduduk di Desa Cikahuripan masih ada yang belum tamat
SD dan juga masih buta aksara dan huruf/angka latin.
57
Desa Cikelat Desa Cikelat memiliki luas wilayah 1.627,726 hektar dengan persentase
lahan sebanyak 20 persen berupa daratan dan 80 persen adalah wilayah
perbukitan. Sebelah utara Desa Cikelat dibatasi oleh Desa Cicadas, sebelah
selatan dibatasi oleh Desa Cisolok, sebelah timur dibatasi oleh Desa Karang
Papak dan Cicadas, sebelah barat dibatasi oleh Desa Gunung Karamat dan
Gunung Tanjung.
Wilayah Desa Cikelat terdiri dari 6 dusun dengan 6 RW dan 38 RT.
Jumlah penduduk Desa Cikelat berdasarkan data Laporan Tahunan Desa Tahun
2008 adalah 7988 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki 4020 jiwa dan
perempuan 3968 jiwa. Mata pencaharian sebagian besar penduduk adalah
petani dan buruh tani.
Karakteristik Keluarga Umur Orangtua Umur suami berkisar antara 29 hingga 51 tahun dengan rata-rata umur
38.04 tahun. Umur istri berkisar antara 25 hingga 45 tahun dengan rata-rata
umur 32.57 tahun. Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa sebagian besar (74.47%)
suami dan hampir seluruh (97.87%) istri tergolong pada golongan dewasa awal.
Hal ini menunjukkan bahwa proporsi terbesar suami dan istri termasuk dalam
usia produktif.
Tabel 5 Sebaran contoh (%) berdasarkan umur orangtua (n=47)
No Umur (Tahun) Suami Istri % %
1 Dewasa Awal (18-40 tahun) 74.47 97.87 2 Dewasa Madya (41-60 tahun) 25.53 2.13
Total 100.00 100.00 Rata-rata±sd 38.04±5.469 32.57±4.680keterangan: Klasifikasi menurut Hurlock (1980) Besar Keluarga
Jumlah anggota keluarga contoh berkisar antara 3 sampai 11 orang
dengan rata-rata 4.70 orang. Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa lebih dari
separuh (51.06%) keluarga contoh memiliki jumlah anggota keluarga ≤ 4 orang.
Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh keluarga contoh termasuk dalam
keluarga kecil.
58
Tabel 6 Sebaran contoh (%) berdasarkan besar keluarga (n=47)
No Besar Keluarga % 1 Kecil (≤4 orang) 51.06 2 Sedang (5-6 orang) 40.43 3 Besar (≥7 orang) 8.51
Total 100.00 Rata-rata±sd 4.70±1.458 Keterangan: Klasifikasi menurut BKKBN (1996) Tingkat Pendidikan Orangtua Tingkat pendidikan suami bervariasi mulai dari tidak pernah sekolah
hingga tamat dari perguruan tinggi, sedangkan tingkat pendidikan formal istri
berkisar mulai dari tamat Sekolah Dasar (SD) sampai dengan tamat Sekolah
Menengah Atas (SMA). Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa persentase terbesar
tingkat pendidikan suami (51.06%) dan istri (85.11%) ialah tamat Sekolah Dasar
(SD). Persentase terkecil (2.13%) tingkat pendidikan suami adalah tamat
perguruan tinggi, sedangkan persentase terkecil (2.13%) tingkat pendidikan yang
ditempuh istri adalah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA).
Mengacu kepada batas tingkat pendidikan dasar sembilan tahun yang
dicanangkan oleh pemerintah, maka lama pendidikan yang ditempuh oleh
sebagian besar suami dan istri (masing-masing 74.42% dan 85.11%) adalah
kurang dari 9 tahun. Hal ini berarti bahwa rata-rata pendidikan yang ditempuh
suami dan istri termasuk dalam pendidikan rendah.
Tabel 7 Sebaran contoh (%) berdasarkan tingkat pendidikan suami dan istri (n=47)
No Tingkat pendidikan Suami Istri
% % 1 Tidak sekolah 4.26 0 2 Tidak tamat SD 19.15 0 3 Tamat SD 51.06 85.11 4 Tamat SMP 14.89 12.77 5 Tamat SMA 8.51 2.13 6 Akademi/PT 2.13 0
Total 100 100
Pekerjaan Orangtua Pekerjaan suami sangat bervariasi bila dibandingkan dengan pekerjaan
istri sebelum bekerja sebagai TKW. Tabel 8 menyajikan bahwa persentase
terbesar (29.79%) pekerjaan suami bekerja sebagai nelayan. Hanya sebagian
kecil (6.38%) saja suami yang tidak memiliki pekerjaan saat penelitian
berlangsung. Sebagian besar (70.21%) suami tidak mempunyai pekerjaan
59
sampingan yang dapat memberikan tambahan pendapatan keluarga. Hanya
29.79 persen suami yang mempunyai pekerjaan sampingan sebagai tukang ojek,
petani, dan buruh bangunan.
Sebelum istri bekerja sebagai TKW, hampir seluruh (85.11%) istri
merupakan ibu rumah tangga. Hanya sepertujuh (14.89%) istri yang bekerja baik
sebagai pedagang atau kredit, petani, karyawan, dan pembantu rumah tangga
(Tabel 8).
Tabel 8 Sebaran contoh (%) berdasarkan pekerjaan suami dan istri sebelum menjadi TKW (n=47)
No Pekerjaan Suami (Saat
TKW) Istri (Pra
TKW) % %
1 Petani 8.51 4.26 2 Nelayan 29.79 0 3 Pedagang/Kredit 4.26 6.38 4 Pengrajin 2.13 0 5 Buruh tani 8.51 0 6 Buruh angkutan 6.38 0 7 Buruh bangunan 10.64 0 8 Wiraswasta 19.15 0 9 PNS 2.13 0 10 Swasta 0 2.13 11 Tidak bekerja/IRT 6.38 85.11 12 Lain-lain 2.13 2.13
Total 100 100 Keadaan Ekonomi Keluarga Contoh
Total Pendapatan Keluarga. Total pendapatan keluarga contoh berkisar
antara kurang dari Rp 630 000,00 sampai dengan Rp 5 000 000,00 per bulan
sebelum istri menjadi TKW, sedangkan pendapatan keluarga contoh setelah istri
menjadi TKW berkisar antara Rp 900 000,00 sampai dengan lebih dari Rp 5 670
000,00 per bulan. Persentase terbesar (61.70%) pendapatan per bulan keluarga
contoh sebelum istri menjadi TKW adalah kurang dari Rp 1 000 000,00. Namun
setelah istri menjadi TKW, terdapat peningkatan pendapatan perbulan keluarga
contoh dengan persentase terbesar (40.43%) memiliki pendapatan antara Rp 2
000 001,00 sampai dengan Rp 3 000 000,00. Dengan demikian, secara garis
besar dapat dikatakan bahwa rata-rata pendapatan per bulan keluarga sebelum
istri menjadi TKW sebesar Rp 1 138 723,00, sedangkan saat istri menjadi TKW
rata-rata pendapatan per bulan meningkat hampir tiga kali lipat menjadi Rp 3 247
670,00. Hal ini menunjukkan bahwa istri memiliki kontribusi besar dalam
60
peningkatan pendapatan per bulan keluarga, sehingga keadaan ekonomi pada
keluarga contoh setelah istri menjadi TKW lebih baik bila dibandingkan dengan
sebelum istri menjadi TKW (Tabel 9).
Tabel 9 Sebaran contoh (%) berdasarkan pendapaan keluarga per bulan (n=47)
No Pendapatan Keluarga Pra TKW Saat TKW % %
1 <1000000 61.70 2.13 2 1000000-2000000 27.66 12.77 3 2000001-3000000 6.38 40.43 4 3000001-4000000 0 21.28 5 4000001-5000000 4.26 8.51 6 5000001-6000000 0 12.77 7 >6000000 0 2.13
Total 100 100 Rata-rata±sd 1138723±1060983.172 3247670±1199758.274
Pendapatan Per Kapita Per Bulan. Pendapatan per kapita merupakan
indikator yang baik bukan saja pada tingkat kesejahteraan jasmaniah yang dapat
dicapai seseorang, tetapi juga terhadap kedudukan sosial seseorang dalam
masyarakat (Ginting & Penny 1984 diacu dalam Nuryani 2007). Pendapatan per
kapita pada penelitian ini merupakan rata-rata pendapatan per bulan dibagi
banyaknya anggota keluarga. Tabel 10 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori pendapatan perkapita per
bulan (n=47)
No Pendapatan per kapita per bulan Pra TKW Saat TKW % %
1 ≤145733 (Garis Kemiskinan) 36.17 0 2 145734 - 291467 36.17 4.26 3 291468 - 437200 10.67 8.51 4 437201 - 582933 10.67 25.53 5 582934 - 728666 0 17.02 6 728667 - 874399 2.13 10.67 7 874400 - 1020132 2.13 14.89 8 1020133-1165865 0 8.51 9 1165866-1311598 0 4.26 10 1311599-1457331 0 4.26 11 >1457331 2.13 2.13
Keterangan: Garis Kemiskinan Kabupaten Sukabumi Tahun 2007 adalah Rp 145 733 (BPS 2007)
Menurut Susenas (2007), garis kemiskinan diukur berdasarkan minimum
pendapatan per kapita per bulan. Rumah tangga Kabupaten Sukabumi dikatakan
miskin apabila kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya hanya mencapai Rp
61
145 733,00 per kapita per bulan. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 10),
sebelum istri menjadi TKW terdapat 36.17 persen keluarga termasuk dalam
kategori miskin. Namun saat istri menjadi TKW mengalami peningkatan tajam
yaitu seluruh keluarga contoh (100%) menjadi tidak miskin. Aset. Aset merupakan jumlah kekayaan yang dimiliki keluarga berupa
kepemilikan rumah, lahan, alat transportasi (termasuk perahu atau kapal), barang
elektronik, furniture, perhiasan, perlengkapan dapur, dan ternak. Hasil penelitian
menunjukkan adanya perbedaan kepemilikan aset sebelum istri menjadi TKW
dan saat atau setelah istri menjadi TKW. Data menunjukkan bahwa kenaikan
aset terbesar berada pada kepemilikan rumah yaitu mencapai 25.54 persen saat
istri menjadi TKW. Adapun kenaikan aset terkecil ada pada penambahan
kepemilikan lahan yaitu sebesar 6.91 persen.
Hal ini secara tidak langsung menggambarkan penggunaan uang hasil
kerja TKW diprioritaskan untuk membeli aset seperti rumah, furniture, elektronik
perhiasan, transportasi, ternak, dan seterusnya hingga prioritas pembelian
terakhir yaitu lahan dan perlengkapan dapur. Meskipun perlengkapan dapur
mengalami peningkatan paling banyak namun dikatakan sebagai prioritas
pembelian terakhir dikarenakan penambahan aset peralatan dapur yang dimiliki
merupakan bantuan yang diberikan pemerintah saat program pembagian kompor
gas gratis kepada masyarakat (Lampiran 1).
Tempat Tinggal
Sebanyak 51.06 persen contoh telah memiliki rumah sendiri sebelum istri
menjadi TKW. Setelah istri menjadi TKW, terjadi peningkatan status kepemilikan
rumah sebesar 21.28 persen sehingga jumlah contoh yang memiliki rumah
sendiri menjadi 72.34 persen. Sebelum istri menjadi TKW, contoh yang memiliki
rumah lebih dari satu hanya sebesar 6.38 persen. Namun setelah istri menjadi
TKW, terjadi peningkatan kepemilikan rumah lebih dari satu menjadi 10.64
persen. Mutu lingkungan yang nyaman dan sehat dapat mencegah dari berbagai
ancaman bahaya sehingga tercapai derajat kesehatan individu dan keluarga.
Lingkungan tempat tinggal merupakan salah satu lingkungan yang penting untuk
diperhatikan karena selalu berinteraksi dengan manusia. Kepadatan rumah
contoh dengan kepadatan lebih dari sama dengan 9 meter persegi per orang
62
sebelum dan sesudah istri menjadi TKW juga mengalami peningkatan yaitu dari
80.85 persen menjadi 93.62 persen.
Kondisi rumah bila dilihat dari tipe dindingnya, sebelum istri menjadi TKW
sebanyak 63.83 persen contoh memiliki dinding rumah yang terbuat dari tembok,
sedangkan setelah istri menjadi TKW terjadi peningkatan sebesar 6.17 persen
contoh. Sebagian besar contoh baik sebelum maupun setelah TKW (masing-
masing 91.49% dan 89.36%) memiliki rumah dengan tipe atap yang digunakan
terbuat dari genting. Tipe lantai berupa keramik sebelum istri menjadi TKW
digunakan oleh 55.32 persen contoh, sedangkan setelah istri menjadi TKW
meningkat menjadi 68.09 persen contoh. Hampir seluruh rumah contoh memiliki
ventilasi yang cukup sebelum dan sesudah istri menjadi TKW (masing-masing
91.49% dan 91.49%). Sebagian besar contoh memiliki kamar mandi baik
sebelum (80.85%) maupun sesudah (82.98%) istri menjadi TKW.
Sebanyak 76.60 persen contoh mengkonsumsi air minum yang
bersumber dari sumur atau mata air dan sebanyak 17.02 persen contoh
mengkonsumsi air minum yang berasal dari PAM. Secara keseluruhan sebanyak
93.62 persen keluarga contoh mengkonsumsi air minum yang bersih dan higienis
(Lampiran 2).
Frekuensi Makan pada Keluarga Berdasarkan wawancara mendalam ditemukan bahwa terdapat beberapa
anak yang mengalami penurunan frekuensi makan. Semenjak anak ditinggal ibu,
anak lebih suka jajan dibanding dengan makan di rumah. Kalaupun makan, anak
biasanya lebih senang makan mie instan. Perubahan frekuensi makan tersebut
menyebabkan anak mengalami penurunan berat badan. Bahkan terdapat satu
anak yang menderita penyakit tipus kronis akibat jarang makan nasi namun
senang sekali makan mie instan. Namun secara umum, hasil penelitian
menggambarkan bahwa empat perenam (65.96%) keluarga contoh memiliki pola
kebiasaan makan nasi dengan frekuensi tiga kali per sehari dan selebihnya
memiliki frekuensi makan nasi dua kali per hari. Adapun jenis pangan sumber
karbohidrat lain yang sering dikonsumsi oleh keluarga contoh yaitu mie dan roti.
Rata-rata konsumsi mie pada keluarga contoh yaitu tiga kali dalam seminggu,
sedangkan rata-rata konsumsi roti adalah 2.5 kali dalam seminggu.
Jenis pangan sumber protein hewani seperti ikan dikonsumsi satu kali
sampai tiga kali per hari oleh 76.60 persen keluarga contoh. Jenis protein lain
63
seperti ikan asin dikonsumsi dengan frekuensi satu hingga tiga kali per hari oleh
55.32 persen keluarga contoh, sedangkan telor dikonsumsi dengan frekuensi
satu hingga tiga kali per hari oleh 14.89 persen keluarga contoh. Untuk jenis
protein hewani lainnya seperti daging ayam dan sapi jarang sekali dikonsumsi
keluarga contoh. Jenis pangan sumber protein nabati seperti tempe dan tahu
dikonsumsi dengan frekuensi satu kali sampai tiga kali per hari masing-masing
oleh 29.79 persen dan 23.40 persen keluarga contoh.
Jenis sayuran seperti kangkung, banyam, sup, kacang, asem, dan daun
singkong merupakan jenis sayuran yang dikonsumsi oleh keluarga contoh.
Namun hanya 10.65 persen contoh yang mengkonsumsi sayuran dengan
frekuensi satu kali per hari. Jenis buah yang dikonsumsi keluarga contoh adalah
pisang, pepaya, jeruk, apel. Buah dikonsumsi dengan frekuensi satu kali sampai
tiga kali per hari oleh 10.65 persen keluarga contoh (Lampiran 3).
Peran Perempuan Sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) Negara Tujuan TKW. Saat penelitian ini dilakukan, dari keseluruhan
keluarga contoh terdapat 72.34 persen TKW yang masih berada di luar negeri
dan selebihnya sudah berada di rumah selama 2 minggu sampai 3 bulan
terhitung dari kurun waktu kepulangan ke Indonesia sampai penelitian ini
dilakukan. Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 11, terlihat bahwa
persentase terbesar (61.70%) negara tujuan istri (TKW) adalah Arab Saudi.
Seluruh istri bekerja di sektor informal yaitu sebagai pembantu rumah tangga.
Rata-rata gaji terbesar (Rp 3 750 000,00) diterima istri (TKW) yang bekerja di
negara Hongkong, sedangkan rata-rata gaji terkecil (Rp 1 133 333,00) diterima
istri yang bekerja di negara Malaysia.
Tabel 11 Sebaran contoh (%) berdasarakan negara tujuan dan rata-rata gaji TKW (n=47)
No Negara Tujuan % Rata-rata Gaji/bulan* 1 Malaysia 6.38 1133333 2 Singapura 2.13 2000000 3 Hongkong 4.26 3750000 4 Taiwan 25.53 3358333 5 Arab Saudi 61.70 1800000
Rata-rata±sd 2242253±1036663.687*Gaji kotor
64
Lama Menjadi TKW. Lama istri (TKW) bekerja di luar negeri bervariasi
antara 7 bulan sampai dengan 10 tahun. Hampir sepertiga istri (31.91%) bekerja
sebagai TKW pada jangka waktu kurang dari sama dengan 24 bulan dan
persentase terbesar kedua (29.79%) yaitu 25 sampai 48 bulan. Rata-rata lama
kepergian istri adalah 44.81 bulan. Saat penelitian dilakukan, hampir tiga per
empat (72.34%) TKW masih berada di luar negeri dan selebihnya sudah berada
di rumah. Sebaran contoh berdasarkan lama istri menjadi TKW dapat dilihat pada
Tabel 12.
Tabel 12 Sebaran contoh (%) berdasarkan lama istri menjadi TKW (n=47)
No Lama Bekerja % 1 ≤ 24 bulan 31.91 2 25-48 bulan 29.79 3 49-60 bulan 8.51 4 61-84 bulan 21.28 5 85-108 bulan 6.38 6 109-132 bulan 2.13
Total 100 Rata-rata±sd 44.81±28.358
Motivasi Menjadi TKW. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan
informasi bahwa terdapat beberapa motivasi yang menyebabkan istri bekerja
sebagai TKW. Motivasi TKW dapat dibedakan menjadi motivasi ekonomi dan non
ekonomi. Motivasi ekonomi antara lain untuk membayar utang keluarga, suami
menganggur, merubah status sosial ekonomi keluarga, melanjutkan anak
sekolah, dan membangun rumah, sedangkan yang termasuk motivasi non
ekonomi yaitu agar menjadi perempuan mandiri dan naik haji.
Hampir dua pertiga (63.83%) suami tidak membenarkan bahwa
kepergiaan istri sebagai TKW adalah untuk membanyar hutang, hanya 27.66
persen suami yang membenarkan hal tersebut. Motivasi menjadi TKW karena
suami tidak bekerja dianggap sebagian benar oleh 42.55 persen suami.
Sebagian besar suami yang menyebutkan alasan motivasi ini merupakan suami
yang memiliki pencahariaan sebagai nelayan. Nelayan merupakan pekerjaan
yang bisa dibilang tidak pasti karena selama kurun satu tahun, nelayan
mengalami musim panen dan musim paceklik. Saat musim paceklik inilah
nelayan seringkali tidak mendapatkan ikan yang cukup untuk dijual sehingga
mereka menganggap bahwa dengan istri bekerja sebagai TKW, istri dapat
65
membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarga selama musim paceklik
berlangsung. Berdasarkan data yang diperoleh, sebagian besar (80.85%) suami
menyebutkan kebenaran bahwa istri berangkat bekerja ke luar negeri karena
ingin merubah status sosial ekonomi keluarga. Status sosial ekonomi merupakan
hal yang dianggap penting oleh hampir seluruh keluarga contoh karena dapat
meningkatkan kesejahteraan dan prestige (harga diri) keluarga dalam kehidupan
bermasyarakat.
Sebagian besar (82.98%) suami juga membenarkan motivasi yang
berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan keluarga. Pendapatan ekonomi
keluarga yang rendah mendorong istri untuk dapat membantu suami dalam
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Seluruh (100%) suami menyebutkan
bahwa motivasi menjadi TKW adalah agar anak melanjutkan ke jenjang sekolah
yang lebih tinggi. Keadaan ekonomi keluarga yang kurang, keluarga contoh
merasa tidak mampu membiayai anak sekolah. Biaya sekolah ini lebih dikaitkan
dengan biaya anak sekolah setiap harinya seperti uang transport dan uang jajan,
kecuali untuk anak dengan tingkat pendidikan tinggi seperti SMP dan SMA,
selain membutuhkan uang transport dan uang jajan juga membutuhkan biaya
besar untuk SPP dan uang pangkal. Letak geografis antara sekolah dan rumah
yang jauh menuntut contoh mengeluarkan biaya transportasi yang dianggap tidak
sedikit setiap harinya.
Sebagian besar (80.85%) suami membenarkan bahwa motivasi istri
menjadi TKW adalah untuk membangun rumah, baik membuat rumah baru
maupun memperbaiki kondisi rumah yang telah mereka miliki. Menurut Teori
Maslow bahwa kepemilikan perumahan merupakan kebutuhan primer bagi setiap
orang, sehingga wajar bila keluarga contoh memiliki motivasi yang kuat untuk
mewujudkan keinginan ini. Bagi suami yang menganggap motivasi ini tidak benar
karena keluarga contoh telah memilik rumah yang diagap layak untuk dihuni.
Hampir tiga perempat (72.34%) suami menganggap benar motivasi yang
berhubungan dengan istri ingin menjadi perempuan yang mandiri. Perempuan
mandiri merupakan perempuan yang tidak menggantungkan seluruh kebutuhan
hidupnya kepada suami, justru mereka mampu membantu suami dalam
memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Hanya 8.51 persen suami yang
mengganggap bahwa istri mereka tidak memiliki motivasi seperti ini. Hampir tiga
perempat (72.34%) suami tidak membenarkan motivasi istri menjadi TKW karena
66
ingin naik haji. Sebanyak 21.28 persen suami yang membenarkan dan
selebihnya mengangap sebagian benar istri bekerja sebagai TKW karena
dorongan naik haji.
Tabel 13 Sebaran contoh (%) berdasarkan persepsi suami terhadap motivasi istri
menjadi TKW (n=47)
No Motivasi menjadi TKW Tidak Benar
Sebagian Benar Benar
% % % 1 Membayar hutang keluarga 63.83 8.51 27.66 2 Suami tidak bekerja 38.3 42.55 19.15 3 Merubah status sosial ekonomi keluarga 10.64 8.51 80.85 4 Memenuhi kebutuhan keluarga 12.76 4.26 82.98 5 Menjadi perempuan mandiri 8.51 19.15 72.34 6 Anak dapat melanjutkan sekolah 0 0 100 7 Membangun rumah 17.02 2.13 80.85 8 Naik haji 72.34 6.38 21.28
Permasalahan Selama Menjadi TKW. Berdasarkan hasil wawancara
mendalam yang dilakukan kepada sepuluh contoh, didapatkan informasi bahwa
terdapat beberapa masalah yang menimpa TKW selama bekerja di luar negeri.
Permasalahan pertama menimpa istri bapak Ace Sumpena. Istri Bapak Ace
Sumpena sudah dua kali putaran menjadi TKW ke Arab Saudi. Pada putaran
pertama mengalami kegagalan dan hanya lima bulan bekerja dari dua tahun
masa kontrak. Hal ini dikarenakan istri Bapak Ace mengalami masalah dengan
majikan. Majikannya sangat menyukai istri bapak Ace dan karenanya istri Bapak
Ace memutuskan untuk pulang ke Indonesia agar dapat menghindari pelecehan
seksual dari majikan (Kotak 1).
Permasalahan kedua dialami oleh istri Bapak Yayan. Permasalahan
tersebut dapat dilihat pada Kotak 2.
KOTAK 1 “Permasalahan Istri Pak Ace”
Pak Ace Sumpena merupakan nelayan yang baru saja ditinggal istrinya berangkat menjadi TKW seminggu yan lalu terhitung dari Tanggal wawancara. Sebelumnya, Pak Ace pernah ditinggal istri menjadi TKW selama 2.5 tahun atau 2 kali pemberangkatan. Pemberangkatan yang pertama tidak sukses karena TKW mengalami masalah dengan majikan. Majikan tertarik dengan TKW sehingga TKW memutuskan untuk pulang ke Indonesia untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
67
Permasalahan-permasalahan lain yang kerap menimpa TKW Indonesia
adalah kekerasan verbal yang dilakukan majikan kepada TKW akibat adanya
saling tidak memahami bahasa yang digunakan majikan dan TKW. Permaslahan
ini tersedia pada Kotak 3.
Masalah-masalah banyak sekali dialami TKW, meskipun demikian baik
TKW yang belum mengalami atau sudah mengalami kekerasan/masalah masih
KOTAK 2 “Lika-Liku Perjalanan Seorang TKW”
Selama tiga kali pemberangkatan yang telah dilakukan, satu kali pemberangkatan tergolong tidak sukses dan penuh dengan rintangan. Satu kali pemberangkatan yang tidak sukses ini, istri hanya bertahan 1,5 tahun dari kontrak kerja 2 tahun di Arab Saudi. Masalah yang menimpa istri Bapak Yayan tergolong dalam masalah-masalah TKW yang kerap dilaporkan selama ini. Masalah pertama yaitu gaji yang tidak dibayarkan secara penuh. Selama 1,5 tahun masa kerjanya, istri bapak Yayan hanya menerima gaji 6 bulan saja.Masalah kedua yaitu menyangkut pada tidak adanya penghargaan majikan laki-laki yang telah melakukan percobaan pemerkosaan kepada istri Bapak Yayan. Demi menyelamatkan kehormatannya, istri Bapak Yayan melarikan diri dari rumah majikan dan berniat meminta perlindungan dan bantuan KBRI. Namun naasnya di tengah perjalanan menuju KBRI, istri Bapak Yayan bertemu dengan polisi. Pada awalnya istri Bapak Yayan mengira dengan adanya keberadaan polisi dapat mempermudah perjalanannya menuju KBRI. Namun kenyataan berkata lain, polisi justru mengira istri Bapak Yayan merupakan TKW illegal karena tidak membawa paspor atau tanda pengenal lainnya. Polisi akhirnya membawanya ke kantor polisi dan karena istri Bapak Yayan tidak memiliki bukti yang kuat akan keterangan yang diberikan maka selama 6 bulan istri Bapak Yayan harus mendekam dalam penjara. Meskipun istri Bapak Yayan telah keluar dari penjara, kasus percobaan perkosaan yang dilakukan mantan majikan tidak diusut lebih lanjut . Hal ini menggambarkan bahwa masih lemahnya perlindungan hukum pemerintah Indonesia akan keselamatan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri.
KOTAK 3 “TKW Pemberani”
Akibat kekerasan yang dilakukan majikan, istri Bapak Harun terpaksa melarikan diri dari rumah majikan. Istri Bapak Harun tidak tahan atas perkataan dan perlakuan kasar yang dilakukan kepadanya. Petuah yang diberikan Ibu Yuyun, salah satu TKW Arab Saudi, untuk menghadapi kekerasan verbal ataupun fisik yang dilakukan majikan adalah TKW harus pandai dan lancar berbahasa Arab, karena pada dasarnya kekerasan yang dilakukan majikan kepada TKW adalah akibat komunikasi yang tidak berjalan lancar antara majikan dan TKW. Sebelum Ibu Yuyun berangkat ke Arab Saudi, Ibu Yuyun telah banyak bertanya kepada TKW yang telah berpengalaman dan mencatat kata-kata yang sering digunakan dalam percakapan antara majikan dan TKW. Selain itu, Ibu Yuyun juga belajar dan menghafalkan sendiri kosakata dan percakapan melalui buku bahasa Arab yang dibelinya.
Selain masalah kekerasan tersebut, permasalahan lain yang sering dialami TKW yang bekerja di Arab Saudi adalah jam kerja yang terlalu diforsir dan sedikit sekali waktu istirahat yang diberikan majikan terutama saat hari libur sekolah, TKW biasanya hanya bisa tidur selama 2-3 jam saja.
68
tetap berniat untuk kembali menjadi TKW. Hal ini dikarenakan para TKW selalu
memiliki harapan akan nasib baik dan bekerja pada majikan yang baik pula
(Kotak 4).
Karakteristik Anak Umur, Jenis Kelamin, dan Nomor Urut Anak
Anak yang diteliti dalam penelitian ini berjumlah 47 anak. Sebagian besar
(85.11%) anak termasuk dalam masa akhir kanak-kanak (9 sampai 12 tahun)
yang terdiri dari laki-laki (59.57%) dan perempuan (40.43%). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa nomor urut anak berkisar dari anak pertama hingga
keempat. Sebanyak 51.06 persen anak merupakan anak urutan kesatu, 29.79
persen anak merupakan anak kedua, 17.02 persen anak merupakan anak urutan
ketiga, dan sisanya merupakan anak urutan keempat. Sebaran persentase
contoh berdasarkan umur anak dapat di lihat pada Tabel 14.
Tabel 14 Sebaran contoh (%) berdasarkan umur anak (n=47)
No Usia % 1 9 -12 Tahun 85.11 2 13-15 Tahun 14.89
Total 100 Rata-rata±sd 11.02±1.452 Keterangan: Klasifikasi menurut Papalia&Old (2008)
Dukungan Sosial Dukungan sosial adalah bantuan dalam pemenuhan kebutuhan untuk
kesejahteraan. Dukungan sosial dapat memberikan kekuatan dan dapat
mengurangi kesulitan seseorang dalam menjalani kehidupannya. Kualitas
dukungan sosial yang tinggi akan mempengaruhi kesehatan fisik dan mental
yang semakin tinggi pula (Tati 2004). Dukungan sosial yang diukur dalam
penelitian ini adalah dukungan sosial keluarga luas, tetangga, dan PJTKI.
Dukungan keluarga luas dan tetangga menggambarkan bantuan baik emosi,
KOTAK 4 “Pendapat TKW”
Walaupun banyak masalah yang menimpa TKW, TKW masih tetap memiliki keinginan untuk kembali bekerja di luar negeri. Menurut pendapat Ibu Yuyun mengapa banyak terjadi kejadian yang demikian, karena para TKW masih berberharap akan mendapatkan majikan yang baik hati.
69
instrumental maupun informasi yang diberikan kepada keluarga contoh disaat
keluarga mengalami perpisahan yang relatif lama dengan dengan TKW.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dukungan sosial yang sering
diberikan keluarga luas kepada keluarga contoh adalah bantuan dalam
mengasuh anak (63.83%) dan membantu pekerjaan rumah tangga (40.43%).
Bantuan lain berupa dukungan finansial relatif lebih kecil diterima keluarga
contoh bila dibandingkan dengan bantuan instrumental lain seperti mengasuh
anak dan membantu pekerjaan domestik (Tabel 15). Menurut Sarafino (1996)
dalam Tati (2004) bahwa dukungan instrumental yang dapat diberikan langsung
berupa bantuan finansial, bantuan dalam mengerjakan tugas-tugas rumah
tangga, pinjaman barang, dan tenaga. Berdasarkan pendapat tersebut maka
contoh dalam penelitian ini sudah memperoleh dukungan instrumental cukup
baik dari familinya meskipun bantuan finansial yang diterima keluarga contoh
relatif kecil. Sebanyak 38.30 persen contoh sering merasa mendapat bantuan
informasi berupa pemberian solusi atas permasalahan yang menimpa keluarga
contoh.
Terdapat dukungan tetangga yang dirasakan tinggi oleh semua contoh
yaitu, dukungan tersebut merupakan dukungan emosi berupa rasa aman hidup
bertetangga di lingkungan tempat tinggal. Lebih dari satu pertiga (36.17%)
keluarga contoh mendapat dukungan informasi dalam hal bertukar pikiran
dengan tetangga. Tetangga yang dijadikan tempat bertukar pikiran biasanya
adalah tetangga dengan status sama yaitu suami yang ditinggal istri untuk
bekerja sebagai TKW. Dukungan tetangga yang tergolong rendah adalah dalam
hal meminjamkan uang saat keluarga membutuhkan. Hal ini diduga karena
tetangga memiliki karakteritik ekonomi yang hampir sama dengan keluarga
contoh.
PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) merupakan
perusahaan yang bergerak di bidang penyaluran jasa ke luar negeri. Tugas dan
tanggung jawab yang diemban oleh PJTKI tidak hanya sekedar
memberangkatkan TKI. Dukungan sosial yang diberikan PJTKI kepada keluarga
contoh dalam penelitian ini tercermin dari pernyataan bahwa keluarga contoh
mendapat dukungan dalam bentuk sosialisasi penempatan, pembuatan paspor,
penjelasan isi kotrak kerja, serta perlindungan dan menjamin keselamatan TKW.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga contoh telah mendapat dukungan
sosial yang cukup baik dari PJTKI (Tabel 15).
70
Tabel 15 Sebaran contoh (%) berdasarkan penerimaan dukungan sosial (n=47)
No Dukungan Sosial Tidak
pernah Kadang-kadang Sering
% % % Keluarga luas
1 Membantu pekerjaan rumah tangga 42.55 17.02 40.43 2 Membantu keuangan 38.30 38.30 23.40 3 Membantu pengasuhan 19.15 17.02 63.83 4 Memberi solusi masalah 40.43 21.28 38.30
Tetangga 1 Perasaan aman 0 0 100 2 Membantu keuangan 55.32 36.17 8.51 3 Pertolongan saat kesulitan 36.17 34.04 29.79 4 Bertukar pikiran 25.53 38.30 36.17
PJTKI 1 Sosialisasi penempatan TKW 27.66 6.38 65.96 2 Membantu pembuatan paspor 4.26 0 95.74 3 Menjelaskan isi lembar kontrak 27.66 0 72.34 4 Perlindungan dan keselamatan TKW 2.13 8.51 89.36
Tabel 16 menunjukkan sebanyak 40.43 persen keluarga contoh
mendapat dukungan sosial keluarga luas dalam kategori sedang, 34.04 persen
contoh tergolong kategori tinggi, dan selebihnya tergolong dalam kategori
rendah. Hal ini menggambarkan bahwa keluarga luas cukup peduli untuk
memberikan dukungan sosial kepada keluarga contoh.
Lebih dari setengah (51.06%) keluarga contoh memperoleh dukungan
sosial tetangga termasuk kategori sedang, hampir sepertiga (31.91%) keluarga
contoh merasa bahwa dukungan sosial yang diberikan tetangga tergolong
kategori tinggi, dan selebihnya tergolong kategori rendah. Hal ini menunjukkan
bahwa sebagian besar keluarga contoh merasa telah cukup dalam menerima
dukungan sosial dari tetangga, sehingga keluarga contoh merasa nyaman hidup
berdampingan dengan masyarakat sekitar.
Dukungan sosial PJTKI yang diberikan kepada hampir empat perlima
(74.47%) keluarga contoh tergolong kategori tinggi, kurang dari seperempat
(23.40%) keluarga contoh tergolong kategori sedang, dan selebihnya tergolong
dalam kategori rendah. Dukungan sosial dianggap tinggi oleh sebagian besar
contoh karena selama proses pendaftaran, pemberangkatan, saat bekerja, dan
pemulangan keluarga contoh tidak mengalami kesulitan atau pelecehan yang
berarti.
Tabel 16 secara umum menunjukkan bahwa lebih dari separuh (55.32%)
keluarga contoh mendapat dukungan sosial yang diterima baik dari keluarga
71
luas, tetangga, maupun PJTKI tergolong kategori sedang. Hal ini terlihat dari
dukungan sosial yang diterima keluarga TKW berupa dukungan dalam
pengasuhan anak dan membantu pekerjaan rumah tangga (dukungan sosial
keluarga luas), adanya rasa aman hidup di masyarakat dan tetangga dapat
dijadikan teman dalam bertukar pikiran (dukungan sosial tetangga), serta
membantu dalam pembuatan paspor dan melindungi keselamatan TKW
(dukungan sosial PJTKI).
Tabel 16 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategorti dukungan sosial (n=47)
No Tingkat Dukungan Sosial
Dukungan Sosial Dukungan Sosial Keluarga
Luas Tetangga PJTKI
% % % % 1 Rendah (12-19) 25.53 17.02 2.13 2.13 2 Sedang (20-27) 40.43 51.06 23.40 55.32 3 Tinggi (28-36) 34.04 31.91 74.47 42.55
Total 100 100 100 100
Fungsi Pengasuhan Anak
Pengasuh Anak Pengasuh merupakan orang yang melakukan fungsi pengasuhan dimana
orang tersebut mampu mengasuh, melindungi, dan mengarahkan anak. Sebelum
ibu menjadi TKW, pengasuhan anak dilakukan oleh ibu seorang diri, namun
terdapat sebagian kecil (6.38%) ibu mendapatkan bantuan pengasuhan dari
nenek. Hal ini berarti dukungan sosial keluarga luas dalam hal pengasuhan
sudah diterima sebagian kecil keluarga contoh bahkan sebelum ibu menjadi
TKW.
Perpisahan antara ibu dan anak dalam jangka waktu yang relatif lama,
memaksa keluarga menemukan jalan keluar mengenai siapa yang akan
menggantikan tugas pengasuhan ibu. Indonesia merupakan negara yang
memiliki masyarakat dengan tali ikatan keluarga besar yang cukup erat, sehingga
hampir setengah (48.94%) ayah melaksanakan pengasuhan bersama-sama
dengan keluarga besar seperti nenek/kakek, kakak ayah/ibu (ua), dan bibi. Lebih
dari seperempat (25.53%) pengasuhan anak hanya dilakukan oleh keluarga luas,
meskipun demikian ayah secara rutin mengunjungi anak dengan frekuensi antara
satu minggu sekali sampai satu bulan sekali. Bagi keluarga contoh yang tinggal
berjauhan dengan keluarga besar, maka memaksa ayah untuk melakukan peran
72
pengasuhan sendiri tanpa bantuan dari keluarga lain. Lebih dari seperempat
(25.53%) contoh melakukan peran pengasuhan tanpa adanya dukungan atau
bantuan dari keluarga lain (Tabel 17).
Berdasarkan wawancara mendalam yang dilakukan kepada sepuluh
contoh, rata-rata suami mengeluh merasa berat melakukan pengasuhan anak
tanpa adanya istri. Pengasuhan akan lebih mudah dan ringan bila istri dan suami
melakukan bersama-sama. Meskipun suami mendapatkan bantuan pengasuhan
dari keluarga besar, namun suami mengaku bahwa tanggung jawab suami untuk
melakukan pengasuhan lebih berat dibanding bila istri yang mengasuh anak.
Selain itu suami mengaku bahwa istri lebih terampil dalam mengasuh anak
dibanding dengan suami.
Tabel 17 Sebaran contoh (%) berdasarkan pengasuh anak (n=47)
No Pengasuh Anak Pra TKW Pengasuh Anak Saat TKW% %
1 Ibu 91.49 Ayah 25.53 2 Ibu, bapak 2.13 Ayah,nenek/kakek 38.30
3 Ibu, nenek 6.38 Ayah, anak yang paling besar
8.51
4 Ayah, ua 2.13 5 Nenek, kakek 23.40 6 Ua, bibi 2.13
Total 100 Total 100
Pengasuhan Ibu, Pengganti Ibu dan Ayah berdasarkan yang Dirasakan Ayah (Perceived of Father) Ibu dalam keluarga mempunyai peranan penting dalam pengasuhan
anak. Namun, keterpisahan ibu dengan anak menyebabkan fungsi pengasuhan
ibu harus digantikan oleh pihak lain, dalam hal ini adalah ayah atau keluarga
besar. Akibat kepergian ibu ini, keadaan menuntut peran serta tokoh pengganti
ibu yang lebih baik secara kuantitas maupun kualitas sehingga tetap terjamin
pertumbuhan dan perkembangan anak. Pengasuhan dalam penelitian ini diukur
berdasarkan pengasuhan dimensi kehangatan, terdiri dari pengasuhan
penerimaan (acceptance) yang ditandai dengan kasih sayang, dekapan,
kepedulian, memuji, mengusap dan pengasuhan penolakan meliputi
permusuhan, pengabaian, dan penolakan anak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum ibu menjadi TKW, sebagian
besar ibu mencintai secara hangat dengan cara peduli terhadap pemenuhan
kebutuhan anak (87.23%), menciptakan suasana hangat dengan melakukan
73
humor kepada anak (72.34%), memeluk dan mengelus (65.96%), dan
mengatakan cinta kepada anak (61.70%). Pengasuhan dimensi penerimaan
yang dilakukan pengganti ibu ditunjukkan dengan cara menciptakan suasana
hangat dengan melakukan humor kepada anak (82.86%), peduli terhadap
pemenuhan kebutuhan anak (80.00%), memeluk dan mengelus (57.14%), dan
mengatakan cinta kepada anak (54.29%). Pengasuhan dimensi penerimaan
yang dilakukan ayah ditunjukkan dengan cara peduli terhadap pemenuhan
kebutuhan anak (85.11%), menciptakan suasana hangat dengan melakukan
humor kepada anak (65.96%), mengatakan cinta kepada anak (59.57%), serta
memeluk dan mengelus (57.45%) (Lampiran 4). Diantara kelima pernyataan
dalam pengasuhan penerimaan, pernyataan membantu anak mengerjakan
sesuatu yang penting seperti Pekerjaan Rumah (PR) memiliki persentase terkecil
dalam pengasuhan penerimaan yang dilakukan ibu ,pengganti ibu, dan ayah.
Tabel 18 Hasil uji beda pengasuhan dimensi penerimaan (acceptance) oleh
pengasuh
No Pengasuhan Penerimaan
Pengasuh (Rata-rata) Uji Beda (p-value)
Ibu (n=47)
Pengganti Ibu
(n=35)
Ayah (n=47)
Ibu-Pengganti
Ibu
Ibu-Ayah
Pengganti Ibu-Ayah
1 Mencintai dengan hangat pada anak (memeluk, mengelus kepala anak, dll)
2.62
2.46
2.51
.259 .390 .716
2 Membantu anak mengerjakan sesuatu yang penting (PR dari sekolah, belajar, dll)
2.26
1.74
1.87
.007** .020** .465
3 Mengatakan cinta pada anak
2.51
2.29
2.49
.192 .881 .237
4 Sangat peduli dengan anak
2.85
2.80
2.83
.580 .809 .753
5 Tertawa bersama apabila ada hal-hal yang lucu
2.68
2.46
2.62
.099 .585 .244
Total Pengasuhan Penerimaan
12.91
11.74
12.32
.273 .543 .638
*p≤0.05 **p≤0.01
Berdasarkan uji beda Independent Sampel T-test, diketahui bahwa tidak
terdapat perbedaan yang signifikan antara pengasuhan dimensi penerimaan
yang dilakukan ibu dan pengganti ibu (p=0.273), ibu dan ayah (p=0.543), serta
74
pengganti ibu dan ayah (p=0.638). Namun bila di lihat per item pertanyaan,
terdapat perbedaan signifikan pada pengasuhan dalam membantu anak
mengerjakan sesuatu yang penting (Pekerjaan Rumah/PR) antara ibu dan
pengganti ibu (p=0.07) serta antara ibu dan ayah (p=0.020) (Tabel 18 yang
disarikan dari Lampiran 13, 14, 15).
Meskipun tidak terdapat perbedaan signifikan antara pengasuhan ibu,
pengganti ibu, dan ayah, namun secara umum pengasuhan kehangatan yang
dilakukan ibu sebelum menjadi TKW lebih baik bila dibandingan pengasuhan
yang dilakukan pengganti ibu maupun ayah. Pengasuhan ayah masih lebih baik
bila dibandingkan dengan pengasuhan pengganti ibu (Tabel 18).
Bentuk pengasuhan lain dari dimensi kehangatan yaitu pengasuhan
dimensi penolakan (rejection). Merujuk pada Rohner (1986), pengasuhan
dimensi ini mengarah pada tindakan kekerasan dan pengabaikan terhadap anak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengasuhan penolakan yang sering
dilakukan ibu sebelum menjadi TKW yaitu membentak atau berteriak pada anak
saat marah dengan frekuensi kadang-kadang sampai sering (66.32%). Namun
demikian, lebih dari dua pertiga ibu memanggil anak dengan panggilan yang
baik, tidak pernah memukul anak, dan tidak pernah berbicara kasar pada anak
(Lampiran 5).
Berdasarkan hasil penelitian, lebih dari dua pertiga pengganti ibu tidak
pernah memanggil anak dengan panggilan jelek, memukul anak, dan
mengancam anak. Namun, hampir dua pertiga (63.16%) pengganti ibu tetap
membentak atau berteriak pada anak dengan frekuensi kadang-kadang sampai
sering. Berdasarkan pengakuan ayah, ayah jarang melakukan pengasuhan
penolakan. Hal ini digambarkan melalui ayah memanggil anak dengan panggilan
yang baik (91.49%), tidak memukul anak (76.70%), tidak berbicara kasar pada
anak (72.37%), dan tidak mengancam bila anak tidak mengikuti perintah
(61.80%) (Lampiran 5).
Hasil uji beda Independent T-test menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan yang signifikan pengasuhan dimensi penolakan yang dilakukan ibu
dan pengganti ibu, ibu dan ayah, serta pengganti ibu dan ayah. Hal ini berarti
bahwa tidak terlalu berbeda pengasuhan dimensi penolakan yang dilakukan ibu
sebelum menjadi TKW, pengganti ibu, dan ayah. Namun bila dilihat dari item
pertanyaan, terdapat perbedaan (p<0.1) pengasuhan dimensi penolakan dalam
hal membentak atau berteriak pada anak antara pengganti ibu (rata-rata=1.89)
75
dan ayah (rata-rata=1.62) (Tabel 19 disarikan dari Lampiran 16, 17, 18). Hal ini
menunjukkan bahwa pengganti ibu lebih sering membentak atau berteriak pada
anak disbanding dengan ayah.
Tabel 19 Hasil uji beda pengasuhan penolakan oleh pengasuh
No Pengasuhan Penolakan
Pengasuh (Rata-rata) Uji Beda (p-value)
Ibu (n=47)
Pengganti Ibu
(n=35)
Ayah (n=47)
Ibu-Pengganti
Ibu
Ibu-Ayah
Pengganti Ibu-Ayah
1 Membentak atau berteriak pada anak saat marah
1.85
1.89
1.62
.837 .101 .095+
2 Mengancam apabila tidak menuruti perintah
1.57
1.51
1.51
.735 .685 .983
3 Memukul anak 1.34 1.17 1.23 .167 .325 .524 4 Berbicara kasar
dengan anak 1.34
1.46
1.30
.405 .701 .236
5 Memanggil anak dengan panggilan yang jelek
1.15
1.09
1.11
.479 .604 .805
Total Pengasuhan Penolakan
7.26
7.11
6.77
.883 .538 .692
*p≤0.05 **p≤0.01 +p≤0.1
Pengasuhan anak dari dimensi kehangatan diukur dari aspek penerimaan
dan penolakan (Rohner 1986), yang dikelompokkan dalam tiga kategori rendah,
sedang, dan tinggi. Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar (78.72%)
pengasuhan dimensi kehangatan yang dilakukan ibu tergolong kategori tinggi.
Hasil yang sama dilakukan oleh pengganti ibu dan ayah, dimana sebagian besar
(74.43%) pengganti ibu dan sebagian besar (80.85%) ayah menerapkan
pengasuhan dimensi kehangatan dalam kategori tinggi (Tabel 20). Hal ini
menunjukkan bahwa kecenderungan pengasuhan ibu, pengganti ibu, dan ayah
adalah hangat.
Tabel 20 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori pengasuhan dimensi kehangatan
No Tingkat Dimensi Kehangatan
Pengasuhan Ibu
Pengasuhan Pengganti Ibu
Pengasuhan Ayah
% % % 1 Rendah (10-16) 0 0 0 2 Sedang (17-23) 21.28 25.53 19.15 3 Tinggi (24-30) 78.72 74.47 80.85
Total 100 100 100
76
Interaksi dalam Keluarga Komunikasi Antara Ibu dan Keluarga Komunikasi antara ibu dan keluarga yang dimaksud disini mencakup
media apa yang digunakan untuk komunikasi antara ibu dan keluarga, berapa
sering melakukan komunikasi (frekuensi komunikasi), dan berapa lama setiap
satu kali komunikasi (intensitas komunikasi). Media yang digunakan dalam
berkomunikasi penting untuk diketahui agar diketahui efisiensi dan efektifitas
penyampaian informasi.
Komunikasi merupakan hal penting atau vital yang harus dilakukan dalam
sebuah keluarga. Anggota keluarga yang mengalami keterpisahan fisik sering
mendapat hambatan dalam berkomunikasi. Perkembangan teknologi komunikasi
yang semakin canggih membantu meminimalisir kesulitan dalam berkomunikasi
jarak jauh. Salah satu media komunikasi yang mudah dan sering digunakan yaitu
telepon seluler. Sebagian besar contoh mengaku bahwa komunikasi yang terjalin
antara keluarga dan ibu (TKW) banyak dilakukan melalui pengiriman pesan
singkat (sms) dan telepon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi
keluarga TKW dilakukan dua arah yaitu ibu kepada keluarga maupun keluarga
kepada ibu. Sebagian besar contoh menerangkan bahwa ibu dan keluarga
melakukan komunikasi saat hari penting seperti hari raya. Namun saat hari
peringatan kelahiran anggota keluarga, sebagian besar contoh mengaku bahwa
baik ibu maupun keluarga tidak memberikan ucapan selamat kepada anggota
keluarga yang sedang berulang tahun. Hal ini dikarenakan, sebagian besar dari
keluarga contoh tidak mengenal akan perayaan yang dilakukan saat hari
kelahiran. Bahkan sebagian besar dari contoh tidak mengingat tanggal dan bulan
kelahiran anggota keluarga lainnya (Tabel 21).
Tabel 21 Sebaran contoh (%) berdasarkan komunikasi antara ibu dan keluarga (n=47)
No Pernyataan Komunikasi Tidak
PernahKadang-kadang Sering
% % % 1 Ibu sms/telepon kepada keluarga 8.51 42.55 48.94
2 Ibu telepon saat ulang Tahun anak/suami
68.09 8.51 23.40
3 Ibu telepon saat hari besar 23.40 14.89 61.70 4 Keluarga sms/telepon kepada ibu 17.02 44.68 38.30 5 Keluarga telepon saat ulang Tahun ibu 74.47 4.26 21.28 6 Keluarga telepon saat hari besar 31.91 19.15 48.94
77
Frekuensi komunikasi adalah penyampaian informasi yang diberikan
secara teratur dalam kejadian tertentu (Petra 2008). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa persentase terbesar (44.68%) frekuensi komunikasi antara
istri dan keluarga sebanyak tiga kali atau lebih dalam satu bulan. Persentase
terbesar kedua (34.04%), contoh melakukan komunikasi dengan frekuensi satu
sampai tiga kali dalam satu bulan. Adapun contoh yang lebih dari satu tahun atau
sama sekali tidak pernah melakukan komunikasi selama istri bekerja sebagai
TKW sebanyak 8.51 persen.
Komunikasi yang dibutuhkan tidak hanya penting dilakukan oleh suami
istri, namun juga penting dilakukan antara ibu dan anggota keluarga lain,
terutama anak. Hampir tiga perempat (74.47%) contoh mengungkapkan bahwa
ayah selalu melibatkan anak setiap kali ayah berkomunikasi dengan istri.
Komunikasi merupakan hal yang sangat penting untuk tetap menjaga kedekatan
antara ibu dan anak. Satu perempat (25.53%) ibu melakukan komunikasi
KOTAK 5 “Alasan tidak adanya Komunikasi antara TKW dan Keluarga”
Sebagian kecil contoh yang tidak dapat melakukan komunikasi dikarenakan adanya pembatasan komunikasi oleh majikan. Seperti yang dialami oleh salah satu TKW Malaysia yang telah pulang ke Indonesia, TKW Malaysia ini hanya satu kali bisa berkomunikasi selama dua Tahun bekerja di Malaysia. Majikan secara sengaja telah memblokir nomor telepon keluarga tanpa sepengetahuan TKW maupun keluarga, sehingga keluarga tidak dapat menghubungi TKW. Keadaan ini awalnya membuat TKW memiliki prasangka buruk terhadap keluarga, terutama suami, karena tidak pernah memberi kabar. Keluarga juga memiliki prasangka buruk terhadap TKW karena setiap keluarga menghubungi nomor yang dituju, tidak pernah tersambung.
Selain alasan tersebut, terdapat satu kasus yang menunjukkan bahwa istri tidak mau berkomunikasi lagi dengan suami. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan Bapak Pian diperoleh informasi bahwa komunikasi yang terjalin antara Bapak Pian dan istrinya dahulu berjalan mulus seperti biasa. Namun semenjak istrinya berkeinginan untuk menjadi TKW dan Bapak Pian tidak mengijinkan, pertengkaran demi pertengkaran mulai muncul. Namun akhirnya Bapak Pian mengijinkan istrinya untuk berangkat menjadi TKW karena sedih bila melihat anaknya yang melihat pertengkaran antara Bapak Pian dan istri. Semenjak kepergian istri menjadi TKW inilah semua masalah yang tidak dibayangkan sebelumnya mulai muncul. Istri tanpa ada alasan yang jelas melayangkan permintaan cerai dan istri tidak mau lagi berbicara melalui telepon dengan suami. Setiap istri menelepon hanya berbicara dengan anak. Keinginan istri untuk bercerai disinyalir adanya keterlibatan pihak ke tiga, yaitu keluarga dari pihak istri yang menginginkan mereka berpisah. Hal ini diduga karena istri dan keluarga istri menganggap bahwa power istri dalam perekonomian keluarga lebih kuat, apalagi bila dibandingkan dengan suaminya yang hanya bekerja sebagai tukang ojek. Selama 2,5 tahun istri bekerja sebagai TKW, istri juga tidak pernah mengirim uang bulanan bagi suami maupun anaknya. Keinginan istri untuk bercerai membuat Bapak Pian sangat menyesali keputusannya yang telah mengijinkan istri untuk bekerja sebagai TKW.
78
langsung dengan anak tanpa perantara ayah karena anak diasuh oleh keluarga
luas.
Kuantitas komunikasi selain dilihat dari seberapa sering berkomunikasi
namun juga dilihat dari berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam sekali
berkomunikasi (intensitas komunikasi). Sebanyak 46.81 persen contoh
melakukan intensitas komunikasi kurang dari 15 menit, 29.79 persen
berkomunikasi 15 sampai 30 menit, 17.02 persen berkomunikasi lebih dari 30
menit.
Jenis pembicaraan yang dikomunikasikan antara suami dan istri biasanya
menyangkut masalah keuangan, perasaan rindu, dan masalah anak. Lebih dari
setengah contoh (55.32%) secara terbuka mengungkapkan perasaan rindu
kepada istri. Keterbukaan komunikasi dan afeksi ini merupakan salah satu
indikator adanya hubungan yang terjalin baik antara suami dan istri. Sebagian
besar contoh (85.11%) membicarakan masalah anak ketika berkomunikasi
dengan istri. Masalah anak yang dikomunikasikan biasanya mengenai kesehatan
anak, pendidikan anak, teman-teman anak dan lain sebagainya.
Lebih dari setengah contoh (61.7%) membicarakan keuangan keluarga.
Keuangan keluarga yang dibicarakan biasanya menyangkut berapa besar uang
kiriman yang telah ditransfer, digunakan untuk apa saja uang kiriman tersebut,
serta berapa besar uang yang dibutuhkan untuk pendidikan anak dan kebutuhan
sehari-hari yang harus dipenuhi. Bagi contoh yang tidak membicarakan masalah
keuangan dalam komunikasi karena suami menganggap bahwa suami masih
mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarga, sehingga tidak perlu
mengandalkan uang kiriman istri. Bagi keluarga yang mengalami hal tersebut
biasanya uang hasil kerja keras istri tidak ditransfer rutin setiap bulannya, namun
dibawa sekaligus saat istri pulang ke Indonesia. Uang ini umumnya digunakan
untuk menambah aset keluarga, seperti untuk membeli lahan, alat transportasi
(motor), dan merenovasi atau membangun rumah.
Interaksi Ibu dan Anak Interaksi ibu dan anak dapat dilihat dari komunikasi dan bonding yang
dilandasi oleh kasih sayang dan kehangatan. Komunikasi yang terjalin antara ibu
dan anak menunjukkan bahwa lebih dari setengah contoh (63.83%) memiliki
komunikasi cukup terbuka yang dibuktikan dengan ibu yang selalu menasehati
anak (42.55%) dan anak selalu mendengarkannya (51.06%), ibu sering bertanya
79
mengenai teman-teman anak baik di sekolah maupun di rumah (63.83%), ibu
selalu bersungguh-sungguh dan bersikap positif membantu masalah anak
(23.80%), dan ibu meluangkan waktu untuk berbicara dengan anak kapanpun
anak memerlukan (12.77%). Persentase tertinggi komunikasi ibu dan anak yaitu
dalam hal ibu sering bertanya tentang teman-teman anak baik di rumah maupun
di sekolah, sedangkan persentase terendah dalam hal ibu menanyakan mengapa
anak pulang terlambat (Lampiran 6).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bonding yang telah dilakukan antara
ibu dan anak diwujudkan dengan anak merasa sedih jika ditinggal ibu terlalu
lama seperti perpisahannya saat ini (34.04%), ibu dapat merasakan kesulitan
yang sedang dirasakan anak meskipun anak tidak menceritakannya (46.81%),
ibu mengetahui hobi anak (48.94%), ibu mengenal teman-teman anak (42.55%),
ibu bersedia mendengarkan dan memperhatikan jika anak mendapatkan
masalah (21.28%), serta berusaha membantu menyelesaikan masalah yang
terjadi pada anak (17.02%). Persentase tertinggi bonding ibu dan anak yaitu
dalam hal ibu dapat merasakan kesulitan yang sedang dirasakan anak meskipun
anak tidak menceritakannya, sedangkan persentase terendah dalam hal ibu
keterbukaan anak untuk menceritakan masalah anak kepada ibu (Lampiran 7).
Apabila interaksi (komunikasi dan bonding) dikategorikan menjadi tiga
tingkatan yakni rendah, sedang, dan tinggi, lebih dari separuh (59.57%) keluarga
TKW memiliki interaksi antara ibu dan anak yang tergolong kategori sedang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh (63.83%) memiliki
pola komunikasi yang cukup baik, namun lebih dari seperempat contoh (27.66%)
berada dalam kategori komunikasi rendah. Sama halnya dengan bonding yang
terjalin antara ibu dengan anak yaitu sebanyak 59.57 persen memiliki bonding
yang cukup baik, sedangkan 29.79 persen mempunyai bonding yang rendah
(Tabel 22).
Tabel 22 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori interaksi ibu dan anak (n=47)
No Tingkat Interaksi Ibu Anak Interaksi Ibu Anak Interaksi Ibu
Anak Komunikasi Bonding % % %
1 Rendah (20-33) 27.66 27.66 29.79 2 Sedang (34-47) 63.83 59.57 59.57 3 Tinggi (48-60) 8.51 12.77 10.67
Total 100 100 100
80
Interaksi Ayah dan Anak Interaksi antara anak dan ayah menjadi hal yang sangat penting
mengingat keadaan keluarga TKW yang tidak stabil akibat kepergian ibu.
Keadaan keluarga seperti ini menuntut ayah untuk memberikan kontribusi lebih
dalam meluangkan waktu bersama anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
komunikasi yang dibangun ayah dan anak cukup terbuka. Hal ini dibuktikan
dengan ayah yang selalu menasehati anak (80.85%) dan anak yang selalu
mendengarkan nasehat ayah (80.85%), ayah selalu bersungguh-sungguh dan
bersikap positif membantu menyelesaikan masalah anak (59.57%), ayah
meluangkan waktu untuk berbicara dengan anak kapanpun anak memerlukan
(48.94%), ayah selalu memuji bila anak melakukan atau mendapatkan hal yang
baik (53.19%). Persentase tertinggi komunikasi ayah dan anak yaitu dalam hal
menasehati anak dan anak mendengarkan, sedangkan persentase terendah
dalam hal ayah menyediakan waktu untuk berbicara sesuatu yang pribadi
mengenai anak (Lampiran 8).
Bonding merupakan koneksi hubungan antara seseorang dengan orang
lain dan merupakan perekat untuk membentuk kelekatan (attachment) (Hastuti
2007). Bonding antara ayah dan anak tercermin dalam hubungan timbal balik
seperti ayah yang selalu mengetahui dan memantau kegiatan anak di luar
sekolah (59.57%), anak lebih suka meminta uang kepada ayah daripada anggota
keluarga lain (59.57%), ayah selalu membantu menyelesaikan masalah yang
terjadi pada anak (57.45%), ayah paling tahu kegemaran atau hobi anak
(55.32%), dan ayah mengenal teman-teman anak (46.81%). Persentase tertinggi
bonding ayah dan anak yaitu dalam hal anak lebih suka meminta uang tambahan
kepada ayah dibanding dengan anggota keluarga lain, sedangkan persentase
terendah dalam hal ibu keterbukaan anak untuk menceritakan masalah anak
kepada ayah (Lampiran 9).
Apabila interaksi dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu rendah,
sedang, dan tinggi, lebih dari separuh (53.19%) interaksi ayah dan anak berada
pada kategori tinggi, dengan komunikasi (59.57%) dan bonding (53.19%) berada
pada kategori tinggi. Hal ini menggambarkan bahwa ayah berusaha untuk
menggantikan proporsi komunikasi dan bonding ibu dan anak yang menurun
akibat kepergian ibu (Tabel 23).
81
Tabel 23 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori interaksi ayah dan anak (n=47)
No Tingkat Interaksi Ayah Anak Interaksi Ayah Anak Interaksi Ayah
Anak Komunikasi Bonding % % %
1 Rendah (20-33) 6.38 8.51 8.51 2 Sedang (34-47) 34.04 38.30 38.30 3 Tinggi (48-60) 59.57 53.19 53.19
Total 100 100 100 Frekuensi Komunikasi Ayah dan Anak
Frekuensi komunikasi antara ayah dan anak dapat dilihat pada Tabel 24.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari setengah (57.45%) ayah
berkomunikasi dengan anak setiap hari. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan
bahwa ayah selalu mempunyai kesempatan berkomunikasi dengan anak
menjelang tidur (25.53%), ayah sering mempunyai kesempatan berkomunikasi
dengan anak saat dalam perjalanan (23.40%), dan ayah sering melakukan
komunikasi dengan anak saat makan malam (19.15%). Ketidaksempatan ayah
dan anak berkomunikasi biasanya saat makan siang dan saat bekerja.
Tabel 24 Sebaran contoh (%) berdasarkan frekuensi komunikasi ayah dan anak
(n=47)
No Pernyataan Frekuensi Komunikasi Anak dan Ayah
Tidak pernah Kadang-kadang Sering
% % % 1 Setiap hari anak selalu berkomunikasi dengan
bapak 4.26 38.30 57.45
2 Saya mempunyai kesempatan berkomunikasi dengan anak saat makan pagi bersama
44.68 40.43 14.89
3 Saya mempunyai kesempatan berkomunikasi dengan anak saat makan siang bersama
48.94 36.17 14.89
4 Saya mempunyai kesempatan berkomunikasi dengan anak saat makan malam bersama
38.30 42.55 19.15
5 Saya mempunyai kesempatan berkomunikasi dengan anak saat menjelang tidur
27.66 46.81 25.53
6 Saya mempunyai kesempatan berkomunikasi dengan anak saat dalam perjalanan
31.91 44.68 23.40
7 Saya mempunyai kesempatan berkomunikasi dengan anak saat setelah selesai beribadah
51.06 34.04 14.89
8 Saya mempunyai kesempatan berkomunikasi dengan anak saat saya bekerja
76.60 14.89 8.51
Tabel 25 memperlihatkan bahwa proporsi terbanyak (44.68%) frekuensi
komunikasi antara ayah dan anak termasuk kategori sedang. Adapun proporsi
82
frekuensi komunikasi ayah dan anak kategori rendah adalah 40.43 persen, dan
selebihnya termasuk kategori tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa frekuensi
komunikasi yang dilakukan ayah dengan anak masih relatif kurang meskipun bila
dilihat dari isi dan cara komunikasi antara anak dan ayah tinggi.
Tabel 25 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori frekuensi komunikasi ayah dan anak (n=47)
No Frekuensi Komunikasi Anak dan Ayah % 1 Rendah (8-13) 40.43 2 Sedang (14-19) 44.68 3 Tinggi (20-24) 14.89
Total 100 Interaksi Suami dan Istri Interaksi suami dan istri ditinjua dari aspek komunikasi menunjukkan
bahwa hampir seluruh (95.74%) suami merasa saling menghargai diantara
pasangan. Menurut Munandar (1985), perkawinan yang harmonis akan
dirasakan jika ada saling pengertian diantara keduanya, sehingga tercipta
toleransi akan kekurangan-kekurangan, kelemahan-kelemahan, dan kebiasaan
pasangan.
Hampir tiga perempat (72.34%) suami mengaku sering membicarakan
masalah pendidikan anak, tiga perlima (63.83%) suami terbuka dalam
mengungkapkan rasa cinta diantara pasangan, tiga perlima (63.83%) suami lebih
suka berbicara kepada istri dibandingkan dengan orang lain, dan tiga perlima
(61.70%) suami saling meluangkan waktu untuk berbicara dengan pasangan
kapanpun suami dan istri memerlukan (Lampiran 10).
Dalam suatu rumah tangga, hambatan kadang memang mengganggu
ketentraman perkawinan. Akibatnya interaksi antara suami istri sedikit mengalami
goncangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiga perlima (34.04%) suami
kadang mengalami konflik dalam mendisiplinkan dan mengasuh anak, hampir
setengah (44.68%) suami mengaku sering marah atau memaki istri, dan juga
sebaliknya (Lampiran 10). Berdasarkan hasil wawancara mendalam, selain
konflik tersebut, terdapat konflik yang sering terjadi selama istri menjadi TKW
yaitu adanya kecemburuan dan kecurigaan istri bahwa suami memiliki teman
wanita lain saat istri tidak ada di rumah. Berbagai konflik tersebut dapat
mempengaruhi stabilitas keluarga terutama dalam kepuasan perkawinan seperti
83
hasil penelitian yang dilakukan Fitasari (2004) dimana semakin tinggi konflik
dalam keluarga maka akan semakin menurunkan tingkat kepuasan yang dicapai
keluarga.
Interaksi suami dan istri ditinjau dari aspek bonding menunjukkan bahwa
tiga perlima (65.96%) suami merasa istri adalah kawan paling dekat yang bisa
diajak ngobrol tentang apa saja serta istri bersedia memperhatikan dan
mendengarkan jika contoh mendapat masalah. Hal ini menyebabkan apabila
suami mempunyai masalah maka akan lebih senang menceritakannya kepada
istri dibanding dengan orang lain. Saat suami mendapat masalah, maka istri
mencoba membantu menyelesaikan. Hal ini menjadi salah satu penyebab ketika
istri pergi menjadi TKW, tiga perlima (61.30%) contoh sering merasa sedih.
Selain itu, sebagian besar beban keluarga harus ditanggung contoh sendiri tanpa
bantuan dari istri seperti mencari nafkah yang tetap harus dijalankan, namun
dilain sisi contoh juga harus mengasuh anak dan mengerjakan pekerjaan rumah
tangga (Lampiran 11).
Adapun bila interaksi (komunikasi dan bonding) digolongkan menjadi tiga
kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi, hasil penelitian menunjukkan bahwa
hampir tiga perempat contoh (70.21%) memiliki kategori interaksi suami istri yang
tinggi. Terdapat lebih dari tiga perlima (65.96%) suami dan istri memiliki tingkat
komunikasi yang tinggi dan selebihnya berada pada tingkat sedang. Hampir tiga
perempat (74.47%) suami dan istri memiliki kategori bonding yang tinggi,
sebanyak 17.02 persen berada pada kategori sedang, dan selebihnya berada
pada kategori rendah (Tabel 26).
Tabel 26 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori interaksi suami istri (n=47) No
Tingkat Interaksi Suami Istri
Interaksi Ibu Anak Interaksi Ibu Anak Komunikasi Bonding
% % % 1 Rendah (20-33) 0 8.51 2.13 2 Sedang (34-46) 34.04 17.02 27.66 3 Tinggi (47-70) 65.96 74.47 70.21
Total 100 100 100
Berdasarkan uji beda Independent Simple T-test menunjukkan adanya
perbedaan signifikan antara interaksi ibu dan anak (rata-rata=1.877) dengan
interaksi ayah dan anak (rata-rata=2.339). Begitu juga dengan komunikasi dan
bonding dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan antara komunikasi ibu dan anak (rata-rata=1.817) dengan komunikasi
84
ayah dan anak (rata-rata=2.347) (p<0.01) dan antara bonding ibu dan anak (rata-
rata=1.934) dengan bonding ayah dan anak (rata-rata=2.328) (p<0.01). Hal ini
menunjukkan bahwa interaksi, komunikasi, dan bonding antara ayah dan anak
lebih baik jika dibandingkan dengan interaksi, komunikasi, dan bonding antara
ibu dan anak saat ibu menjadi TKW.
Tabel 27 Hasil uji beda interaksi anggota keluarga
No Interaksi Orangtua dan Anak (pasca TKW)
Interaksi (rata-rata) Uji Beda (p-value)
Ibu-anak Ayah-anak
Ibu-anak dengan
Ayah-anak 1 Komunikasi 1.817 2.347 0.002** 2 Bonding 1.934 2.328 0.001** 3 Interaksi (komunikasi+bonding) 1.877 2.339 0.000**
Kualitas Perkawinan Kebahagiaan Perkawinan Kebahagiaan perkawinan dalam penelitian ini bersifat subjektif dan
individual. Kebahagiaan perkawinan yang diukur dalam penelitian ini meliputi
aspek komunikasi dengan pasangan, komunikasi dengan keluarga pasangan,
kepribadian pasangan, afeksi dengan pasangan, dan komitmen perkawinan.
Komunikasi merupakan aspek penting dalam menjalin hubungan dalam
keluarga. Komunikasi merupakan kontributor penting dalam terciptanya
kebahagiaan perkawinan. Sebanyak 74.47 persen suami mengaku merasa
bahagia dengan komunikasi yang terjalin antara suami dan pasangan. Hal ini
menunjukkan meskipun mereka berkomunikasi menggunakan media telepon
namun tidak menjadikan mereka kesulitan dalam mengartikan komunikasi
diantara pasangan.
Sebanyak 70.21 persen suami menganggap sering merasakan
kemudahan dalam berkomunikasi dengan keluarga pasangan. Hal ini berarti
bahwa hubungan antara suami dan keluarga pasangan terjalin dengan cukup
baik. Bahkan sebagian besar dari suami mendapatkan bantuan dari keluarga
pasangan dalam pengasuhan anak. Hal ini sesuai dengan pendapat Landis dan
Landis (1955) yang menyatakan bahwa jika hubungan mertua ipar baik maka
perkawinan juga cenderung akan baik.
85
Kebahagiaan ditinjau dari aspek kepribadian istri berupa perilaku istri,
hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh (59.57%) suami sering
merasa tidak ada perilaku istri yang tidak disukai. Hal ini berarti kepribadian istri
tidak berpotensi menggangu kebahagiaan perkawinan bagi separuh keluarga
TKW. Namun hal ini juga merupakan hal yang harus diwaspadai karena lebih
dari sepertiga contoh menganggap bahwa kepribadian istri contoh kadang
bahkan sering tidak dapat diterima contoh. Hal ini menggambarkan bahwa
pasangan kurang dapat mengalah dan menyesuaikan diri dengan pasangannya.
Landis dan Landis (1955) menyatakan bahwa perkawinan bisa dikatakan
bahagia dikarenakan pasangan dapat menerima tugas dalam menyesuaikan
cara pandang masing-masing pasangan.
Penghargaan akan kemampuan dan hasil karya juga dianggap penting
dalam mewujudkan kebahagiaan perkawinan. Lebih dari sepertiga (38.30%)
suami mengatakan istri selalu memuji atas kemampuannya sebagai suami dan
kurang dari setengah suami yang mengaku istrinya hanya kadang-kadang saja
memuji suami. Diantara semua item pertanyaan kebahagiaan perkawinan, item
pertanyaan ini yang memiliki persentase terendah. Hal ini menggambarkan
kebiasaan memuji yang tidak terlalu membudaya dikalangan contoh. Di sisi lain
Landis dan Landis (1955) berpendapat bahwa keluarga yang bahagia adalah
keluarga yang anggota keluarganya memperlihatkan afeksi dan empati untuk
anggota keluarga lain. Begitu pula yang diungkapkan Munandar (1985) bahwa
penting untuk suatu perkawinan yang harmonis, dimana kedua belah pihak
pasangan merasakan kebahagiaan dan kepuasan, ialah jika ada saling
penghargaan atas prestasi, minat, individualitas antara keduanya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh contoh (89.36%)
mengaku saling menjaga komitmen perkawinan. Menurut Olson (1986) dalam
Nurani (2004), keluarga bahagia adalah keluarga dengan pasangan yang
menikah dengan anggotanya yang melaksanakan komitmen bersama dan saling
mendukung.
Kepuasan Perkawinan Kepuasan perkawinan dalam penelitian ini diukur melalui aspek ekonomi,
komunikasi, afeksi, kepribadian/perilaku, dan komitmen perkawinan. Hanya
seperdelapan (12.77%) suami sering merasakan kepuasan dari keuangan yang
dimiliki keluarga, sisanya kadang-kadang puas (51.06%) dan tidak puas
86
(36.17%). Hasil ini menunjukkan bahwa meskipun pendapatan keluarga rata-rata
telah meningkat hampir tiga kali lipat setelah istri yang menjadi TKW, hal ini tidak
menjamin akan kepuasan dalam aspek ekonomi. Berdasarkan pengamatan, hal
tersebut disebabkan pendapatan yang diperoleh istri sebagian besar tidak
dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari namun digunakan
menambah aset keluarga seperti untuk membangun atau memperbaiki rumah,
membeli motor, membeli sawah atau lahan dan lain-lain.
Tabel 28 Sebaran contoh (%) berdasarkan kualitas perkawinan (n=47)
No Pernyataan Kualitas Perkawinan Tidak pernah
Kadang-kadang Sering
% % % Kebahagiaan Perkawinan 1 Saya bahagia jika sering/maksimal
komunikasi dengan istri saya 14.89 10.67 74.47
2 Saya mudah berkomunikasi dengan keluarga istri saya
10.67 19.15 70.21
3 Ada perilaku istri yang tidak disukai* 6.38 34.04 59.57 4 Istri saya selalu memuji atas
kemampuan saya sebagai suami 19.15 42.55 38.30
5 Saya dan istri selalu menjaga komitmen perkawinan
4.26 6.38 89.36
Kepuasan Perkawinan 1 Puas dengan keuangan keluarga yang
dimiliki sekarang 36.17 51.06 12.77
2 Puas dengan komunikasi yang terjalin diantara saya dan istri saat ini
14.89 17.02 68.09
3 Puas karena istri saya mencintai saya sampai saat ini
4.26 12.77 82.98
4 Puas karena istri saya selalu memperlakukan saya seperti yang diinginkan
12.77 21.28 65.96
5 Puas karena istri saya dan saya saling setia
4.26 12.77 82.98
Lebih dari setengah (68.09%) suami sering merasakan kepuasan akan
kemudahan dalam berkomunikasi dengan istri, hanya sepertujuh (14.89%) suami
yang tidak pernah merasakan kemudahan berkomunikasi dengan istri. Suami
yang tidak merasa puas berkomunikasi dengan istri banyak disebabkan adanya
kecurigaan diantara pasangan dan ikut campur keluarga besar terhadap masalah
rumah tangga keluarga.
Kepuasan perkawinan yang dilihat dari aspek cinta, hasil penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar (82.98%) suami merasa puas karena suami
merasa dicintai pasangannya sampai saat ini. Dua pertiga (65.96%) suami
87
merasa puas karena diperlakuan oleh istri sesuai dengan keinginan. Sebagian
besar (82.98%) suami merasa puas karena suami dan istri saling setia (Tabel
28). Hal ini sesuai yang diungkapkan oleh Sadarjoen (2009) bahwa salah satu
ciri perkawinan yang sukses yaitu perkawinan yang penuh dengan komitmen
yang terjaga, kejujuran, kesetiaan, dan kepercayaan.
Berdasarkan wawancara mendalam, diperoleh informasi bahwa seluruh
suami (10 orang) mengalami ketidakpuasan karena tidak mampu menyalurkan
hasrat seksualnya kepada istri selama istri bekerja menjadi TKW. Sebagian
suami biasanya menahan hasrat seksualnya dengan berpuasa dan
mendekatkan diri kepada Tuhan, misalnya dengan mendatangi guru spiritual
untuk mendapatkan kajian-kajian agama.
Meskipun sebagian besar (82.98%) suami menyatakan merasa puas
karena suami dan istri saling setia, namun berdasarkan wawancara mendalam
terdapat lima suami yang mengaku suami pernah memiliki teman wanita (PSK)
untuk melampiaskan hasrat seksualnya (Kotak 5). Bahkan terdapat satu suami
yang menyatakan bahwa hampir 90 persen suami-suami yang ditinggal istri
menjadi TKW sering melampiaskan stres kepada hal-hal seperti bermain
perempuan, berjudi, dan minum-minuman keras.
Kualitas perkawinan diukur dari aspek kebahagiaan perkawinan dan
kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh keluarga contoh. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sebanyak 65.96 persen suami merasakan kebahagiaan
perkawinan yang tergolong kategori tinggi, 27.66 persen tergolong kategori
sedang, dan selebihnya tergolong kategori rendah. Berdasarkan hasil penelitian
untuk variabel kepuasan perkawinan, 65.69 persen keluarga contoh memiliki
kepuasan perkawinan kategori tinggi, sebanyak 29.79 persen tergolong kategori
KOTAK 6 “Komitmen Perkawinan yang Terabaikan Akibat Kepergian Istri sebagai TKW”
Frekuensi komunikasi yang berkurang semenjak ibu pergi menjadi TKW
serta kebutuhan akan afeksi yang tidak terpenuhi, terutama kebutuhan biologisnya, menyebabkan suami mengaku mempunyai teman wanita lain untuk menyalurkan hasrat seksualnya. Teman wanitanya ini adalah seorang PSK yang sering ditemuinya di Pelabuhan Ratu. Hubungannya dengan PSK bisa dibilang tidak terikat, karena PSK tidak menuntut hubungan yang lebih asalkan sudah menerima bayaran yang dianggapnya pantas*. Pak Adang mengaku lebih merasakan kebahagiaan dan kepuasan perkawinan sebelum istri menjadi TKW dibandingkan saat istri menjadi TKW. Pak Adang merasa kesepian terutama saat hasrat seksualnya muncul*.
88
sedang, dan selebihnya tergolong kategori rendah. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sebanyak 78.72 persen keluarga contoh memiliki kualitas perkawinan
yang dikategorikan tinggi, 17.02 persen kategori sedang dan selebihnya kategori
rendah (Tabel 29). Sebaran persentase kualitas perkawinan, kebahagiaan
perkawinan, dan kepuasan perkawinan yang cenderung sama menunjukkan
bahwa kebahagiaan perkawinan dan kepuasan perkawinan merupakan
kontributor terhadap kualitas perkawinan.
Tabel 29 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori kualitas perkawinan (n=47)
No Tingkat Kualitas Perkawinan
Kualitas Perkawinan Kualitas Perkawinan Kebahagiaan Kepuasan
% % % 1 Rendah (10-16) 6.38 4.26 4.26 2 Sedang (17-23) 27.66 29.79 17.02 3 Tinggi (27-30) 65.96 65.96 78.72
Total 100 100 100
Namun hasil penelitian menunjukkan demikian, berdasarkan wawancara
mendalam didapatkan informasi bahwa sebagian besar contoh merasa lebih
bahagia dan puas dalam perkawinan sebelum istri menjadi TKW bila disbanding
saat istri menjadi TKW. Kebersamaan dan afeksi dalam keluarga yang hilang,
beban peran ganda, serta kebutuhan biologis yang tidak dapat terpenuhi
merupakan penyebab berkurangnya kebahagiaan dan kepuasan perkawinan
keluarga contoh.
Kondisi Anak Keterampilan Sosial
Sunarti (2004) menyatakan bahwa keterampilan sosial berkaitan dengan
kemampuan anak bergaul. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar
(85.11%) anak selalu mengucapkan salam atau permisi ketika lewat dihadapan
orang lain. Terdapat tiga perempat (74.47%) anak sering mudah bergaul dengan
teman. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar anak TKW memiliki
keterampilan sosial yang baik dalam bergaul dengan sesama teman sebaya
maupun dengan orang yang lebih dewasa.
Tabel 30 menunjukkan bahwa hampir tujuh puluh persen (68.09%) anak
selalu meminta maaf jika melakukan kesalahan. Hal ini menunjukkan bahwa
anak TKW telah memiliki emotional responsivenes yang cukup baik. Terdapat
89
tiga perlima (61.70%) anak yang suka meminjamkan alat tulis kepada temannya
yang tidak membawa, artinya bahwa anak telah memiliki rasa empati terhadap
orang lain.
Tabel 30 Sebaran contoh (%) berdasarkan keterampilan sosial anak (n=47)
No Pernyataan Keterampilan Sosial Anak Tidak
Pernah Kadang-kadang Sering
% % % 1 Saya takut bila berhadapan atau berbicara
dengan orang dewasa* 14.89 40.43 44.68
2 Saya senang berada di lingkungan baru 36.17 21.28 42.55 3 Saya mengucapkan salam/permisi ketika lewat
di hadapan orang lain 0 14.89 85.11
4 Saya suka meminjamkan alat tulis kepada teman yang tidak membawa/ tidak punya.
6.38 31.91 61.70
5 Saya mudah bergaul dengan teman 10.67 14.89 74.47 6 Saya adalah orang yang suka minta maaf 10.67 21.28 68.09 7 Bila teman saya sedang sedih, saya
menanyakannya 6.28 44.28 48.94
Tabel 31 menunjukkan bahwa terdapat 63.83 persen anak memiliki
keterampilan sosial tergolong kategori tinggi, dan selebihnya termasuk dalam
keterampilan sosial kategori sedang. Megawangi (1999); Brooks (2001)
menyatakan bahwa bekal paling penting bagi anak adalah kematangan emosi-
sosialnya, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi
segala macam tantangan termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis
sebagaimana juga dalam kehidupan sosialnya.
Tabel 31 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori keterampilan sosial anak (n=47)
No Keterampilan Sosial Anak % 1 Rendah (7-11) 0 2 Sedang (12-16) 36.17 3 Tinggi (17-21) 63.83
Total 100 Stres Anak
Stres merupakan tuntutan perasaan terhadap perubahan lingkungan yang
terjadi tiba-tiba (Melson 1980). Kepergian ibu sebagai pengasuh utama
merupakan perubahan di lingkungan keluarga TKW dan dapat menimbulkan
stres bagi anak. Hal ini dikarenakan anak pada usia sekolah masih
membutuhkan sosok ibu untuk memenuhi kebutuhan anak, baik fisik maupun
90
emosional. Anak yang berusia preadolance mungkin tidak membutuhkan banyak
sentuhan fisik seperti pelukan atau ciuman dari ibu, namun pada kenyataannya
keberadaan ibu menjadi sangat penting bagi anak. Keadaan ini digambarkan
melalui hasil penelitian yang menunjukkan bahwa terdapat sepertiga (34.04%)
anak memiliki tingkat stres tinggi, lebih dari seperempat (27.66%) anak memiliki
tingkat stres sedang, dan selebihnya memiliki tingkat stres rendah.
Stres yang terjadi pada anak lebih banyak terjadi pada kondisi perasaan
(emosi) dibanding pada kondisi perilaku, pikiran, dan fisik. Sebanyak 40.43
persen anak sering mengalami kekecewaan (frustasi), 38.30 persen anak sering
merasa cepat marah, dan 34.04 persen anak sering mengalami kecemasan.
Persentase terbesar stres pada kondisi perilaku yaitu anak sering mengalami
perubahan pola tidur (sulit tidur) (34.04%), stres pada kondisi pikiran yaitu anak
akhir-akhir ini sering merasa tidak kreatif dalam memecahkan masalah (36.17%),
stres pada kondisi fisik yaitu anak akhir-akhir ini sering merasa sakit-sakit badan
(Lampiran 12).
Tabel 32 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori stres anak Stres Anak % Rendah (16-26) 38.30 Sedang (27-37) 27.66 Tinggi (38-48) 34.04 Total 100
Prestasi Akademik Jumlah contoh yang diambil dalam penelitian prestasi ini adalah 45 dari
47 contoh keseluruhan, hal ini dikarenakan dua rapor anak hilang. Data diambil
dalam penelitian ini sebanyak empat semester. Prestasi akademik anak dapat
diukur melalui skor prestasi dari berbagai mata pelajaran. Penelitian ini
menggunakan skor prestasi dari enam mata pelajaran utama yaitu Pendidikan
Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu
Pengetahuan Alam, dan Ilmu Pengetahuan Sosial. Tabel 33 menyajikan bahwa
skor prestasi akademik contoh berkisar antara 43 hingga 92, dengan rata-rata
66.70. Hal ini menunjukkan bahwa nilai rata-rata prestasi akademik contoh
termasuk cukup baik, namun ada beberapa contoh yang tergolong rendah.
Bahkan terdapat empat anak yang pernah tinggal kelas.
91
Tabel 33 Sebaran contoh berdasarkan prestasi akademik anak (n=45) No Mata Pelajaran Nilai
Rata-rata±sd (min;maks) Semester 1
1 Pendidikan Agama 68.93 ± 7.874 (50;85) 2 Pendidikan Kewarganegaraan 66.78 ± 8.799 (50;90) 3 Bahasa Indonesia 67.65 ± 9.307 (50;90) 4 Matematika 64.65 ± 11.735 (50;90) 5 Ilmu Pengetahuan Alam 64.32 ± 9.593 (50;90) 6 Ilmu Pengetahuan Sosial 64.48 ± 7.801 (50;85) Semester 2
1 Pendidikan Agama 69.87 ± 7.196 (60;85) 2 Pendidikan Kewarganegaraan 67.76 ± 9.409 (43;90) 3 Bahasa Indonesia 68.29 ± 9.370 (49;90) 4 Matematika 66.35 ± 10.236 (50;90) 5 Ilmu Pengetahuan Alam 66.69 ± 8.350 (50;85) 6 Ilmu Pengetahuan Sosial 66.88 ± 8.594 (50;90) Semester 3
1 Pendidikan Agama 67.91 ± 8.506 (50;90) 2 Pendidikan Kewarganegaraan 67.20 ± 9.469 (50;90) 3 Bahasa Indonesia 66.73 ± 6.585 (60;85) 4 Matematika 63.38 ± 9.176 (50;90) 5 Ilmu Pengetahuan Alam 66.04 ± 7.365 (51;85) 6 Ilmu Pengetahuan Sosial 63.78 ± 8.133 (44;85) Semester 4
1 Pendidikan Agama 71.48 ± 7.241 (60;90) 2 Pendidikan Kewarganegaraan 69.05 ± 8.422 (60;92) 3 Bahasa Indonesia 68.16 ± 7.689 (50;85) 4 Matematika 65.19 ± 9.382 (50;92) 5 Ilmu Pengetahuan Alam 64.49 ± 9.317 (50;90) 6 Ilmu Pengetahuan Sosial 64.83 ± 7.670 (50;80)
Prestasi akademik anak dikategorikan kurang, cukup, baik, dan sangat
baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase terbesar anak termasuk
dalam kategori cukup dalam semua mata pelajaran yang diteliti, yakni mata
pelajaran Pendidikan Agama (68.9%), Pendidikan Kewarganegaraan (57.8%),
Bahasa Indonesia (55.6%), Matematika (42.2%), IPA (51.1%), dan IPS (51.1%)
(Tabel 34). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar anak contoh memiliki
prestasi akademik yang tidak terlalu memuaskan. Kurangnya bimbingan belajar
dan perhatian akan kegiatan belajar anak dari orangtua maupun keluarga besar
lainnya diduga sebagai penyebabnya. Berdasarkan data yang diperoleh dalam
variabel pengasuhan, dukungan orangtua dan pengganti ibu untuk membantu
pekerjaan rumah anak merupakan item pernyataan yang memiliki persentase
terkecil bila dibanding dengan lainnya, sehingga kurangnya bimbingan belajar
dari ibu, pengganti ibu, maupun ayah menyebabkan prestasi anak tidak terlalu
memuaskan.
92
Tabel 34 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori prestasi akademik anak (n=45)
No Mata Pelajaran
Tingkat Prestasi Akademik
Kurang (50-60)
Cukup (61-70)
Baik (71-80)
Sangat baik
(81-90) % % % %
1 Pendidikan Agama 2.2 68.9 20.0 8.9 2 Pendidikan Kewarganegaraan 13.3 57.8 20.0 8.9 3 Bahasa Indonesia 15.6 55.6 24.4 4.4 4 Matematika 35.6 42.2 13.3 8.9 5 IPA 26.7 51.1 17.8 4.4 6 IPS 26.7 51.1 20.0 2.2
Hubungan Antara Variabel-Variabel Penelitian
Hubungan Dukungan Sosial dengan Karakteristik Keluarga
Hubungan antara karakteristik keluarga dan anak dengan dukungan
sosial dapat dilihat pada Tabel 35. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan
bahwa terdapat hubungan nyata dan positif antara pendidikan ayah (r=0.326,
p<0.05) dan pendidikan ibu (r=0.522, p<0.01) dengan dukungan sosial keluarga
besar. Hal ini menunjukkan apabila semakin tinggi pendidikan ayah dan
pendidikan ibu, maka semakin tinggi dukungan sosial keluarga besar yang
diterima keluarga contoh. Hal sama menunjukkan bahwa terdapat hubungan
nyata dan positif antara pendidikan ayah (r=0.298, p<0.05) dan pendidikan ibu
(r=0.446, p<0.01) dengan dukungan sosial total. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Hurlock (1980) yang menyebutkan bahwa seseorang yang
mempunyai status sosial ekonomi yang baik akan lebih mampu berperan dalam
kegiatan sosial dan lebih banyak memiliki teman akrab. Dengan demikian,
seseorang yang memiliki status pendidikan yang baik akan mendapatkan
dukungan sosial dari lingkungan sekitar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif
(r=0.374, p<0.05) antara pendapatan keluarga saat istri menjadi TKW dengan
dukungan sosial PJTKI. Semakin besar pendapatan yang diperoleh keluarga
contoh maka semakin besar dukungan sosial yang diberikan PJTKI. Dukungan
sosial yang diberikan PJTKI kepada istri dan keluarga antara lain memberikan
sosialisasi/penyuluhan program penempatan TKW ke luar negeri, membantu
mengurus pembuatan paspor ke kantor imigrasi yang ditunjuk Dinas Kabupaten,
93
menerangkan isi kontrak pekerjaan, dan menjamin perlindungan dan
keselamatan TKW di luar negeri.
Hasi uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan nyata dan
negatif (r=-0.338, p<0.05) antara nomor urutan anak dengan dukungan sosial
keluarga besar. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi urutan anak
maka semakin rendah dukungan sosial keluarga besar. Hubungan nyata dan
positif (r=0.324, p<0.01) terdapat pada umur anak dengan dukungan sosial
keluarga besar. Hal ini berarti semakin tua umur anak maka dukungan sosial
keluarga besar kepada keluarga contoh semakin besar. Hal ini diduga karena
anak yang umurnya lebih tua dianggap lebih mudah dalam merawatnya karena
sudah bisa melakukan kegiatan sendiri, sehingga tidak perlu pengawasan lebih
besar. Dengan demikian keluarga besar merasa lebih menerima merawat anak
dengan usia lebih tua dibanding dengan anak yang masih kecil (Tabel 35).
Tabel 35 Hasil uji korelasi Spearman karakteristik keluarga dan dukungan sosial
No Variabel Dukungan keluarga besar
Dukungan tetangga
Dukungan PJTKI
Dukungan sosial (total)
1 Pendidikan ayah .326* .028 .176 .298* 2 Pendidikan ibu .522** .156 .083 .446** 3 Pendapatan saat
TKW .256 -.078 .374* .309*
4 Urutan anak -.338* -.159 .154 -.196 5 Umur anak .324* -.223 -.032 .091
*p<0.05 **p<0.01 Hubungan antara Pengasuhan Anak dengan Karakteristik Keluarga dan Dukungan Sosial
Hubungan antara Karakteristik Keluarga dengan Pengasuhan Anak Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata dan
negatif (r=-0.310, p<0.01) antara aset saat ibu menjadi TKW dengan pengasuhan
dimensi penerimaan ibu. Apabila dilihat dari data penelitian, semakin rendah
pengasuhan dimensi penerimaan ibu sebelum menjadi TKW maka semakin lama
ibu menjadi TKW, sehingga semakin besar aset yang dimiliki keluarga saat ibu
menjadi TKW. Fenomena ini menggambarkan bahwa ibu yang memiliki
pengasuhan dimensi penerimaan yang rendah akan lebih tega untuk
meninggalkan anak dalam jangka waktu yang lebih lama.
94
Terdapat hubungan nyata dan negatif (r=-0.310, p<0.01) antara urutan
anak dengan pengasuhan dimensi penerimaan ibu sebelum menjadi TKW. Hal
ini berarti semakin tinggi urutan kelahiran anak maka semakin rendah
pengasuhan dimensi penerimaan yang diterapkan ibu. Menurut Hurlock (1980)
penerimaan terhadap anak pertama lebih baik dibanding dengan urutan anak
selanjutnya, hal ini ditunjukkan dari lebih banyaknya kesempatan dan perolehan
perlakuan khusus anak pertama dibanding adik-adiknya sehingga menghasilkan
anak yang lebih sehat dan lebih berprestasi.
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan
nyata dan positif (r=0.471, p<0.01) antara pendidikan ibu dengan pengasuhan
dimensi penerimaan pengganti ibu. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama
ibu duduk di bangku pendidikan maka semakin besar pengasuhan dimensi
penerimaan pengganti ibu. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi memiliki
keterampilan dalam berinteraksi sosial (Brooks 2001), sehingga dapat
mempengaruhi pengasuh pengganti ibu untuk berbuat seperti yang ibu lakukan.
Tabel 36 Hasil uji korelasi Spearman karakteristik keluarga dengan pengasuhan No Variabel A1 R1 P1 A2 R2 P2 A3 R3 P3 1 Pendidikan
ayah -.116 .069 -.109 .004 -.049 .020 -.111 .116 -.148
2 Pendidikan ibu
.198 .052 .034 .471** -.072 .275 .100 -.111 .135
3 Pendapatan saat TKW
-.191 .009 -.129 .020 -.071 .026 -.166 -.101 -.006
4 Aset saat TKW
-.310* .142 -.265 -.167 -.090 -.051 -.263 .002 -.205
5 Urutan anak
-.310* .039 -.162 -.121 .217 -.183 -.102 .144 -.172
6 Umur anak -.063 -.033 -.059 .225 -.049 .191 -.116 -.170 .004 *p≤0.05 **p≤0.01 Keterangan: A1= Pengasuhan acceptace ibu (skor) R1= Pengasuhan rejection ibu (skor) P1= Pengasuhan ibu (total) (skor) A2= Pengasuhan acceptance pengganti ibu (skor) R2= Pengasuhan rejection pengganti ibu (skor) P2= Pengasuhan pengganti ibu (total) (skor) A3=Pengasuhan acceptace ayah (skor) R3= Pengasuhan rejection ayah (skor) P3= Pengasuhan ayah (total) (skor)
95
Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Pengasuhan Anak Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata dan
positif (r=0.304, p<0.05) antara dukungan sosial keluarga besar dengan
pengasuhan dimensi penerimaan ibu, sehingga apabila semakin tinggi
pengasuhan dimensi penerimaan ibu sebelum menjadi TKW maka semakin
tinggi dukungan sosial keluarga besar. Dukungan sosial keluarga besar
berhubungan nyata dan positif (r=0.397, p<0.05) dengan pengasuhan dimensi
kehangatan pengganti ibu, artinya bahwa apabila dukungan sosial keluarga
besar meningkat maka pengasuhan dimensi kehangatan pengganti ibu akan
meningkat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif
(r=0.345, p<0.05) antara dukungan sosial tetangga terhadap pengasuhan
dimensi penerimaan ayah, artinya bahwa semakin tinggi dukungan sosial
tetangga maka semakin tinggi pengasuhan penerimaan ayah. Dukungan sosial
tetangga ialah kehidupan bermasyarakat yang memberikan rasa aman,
kesediaan meminjamkan uang atau barang ketika keluarga dalam kesulitan,
pertolongan yang datang ketika keluarga dalam kesulitan, serta berbagi dan
bertukar pikiran ketika ada masalah. Dukungan-dukungan tersebut dirasa dapat
memberikan kenyamanan, menurunkan stres, dan mengurangi perasaan negatif
sehingga berdampak pada penerapan pengasuhan yang menerima anak dengan
hangat (Brooks 2001).
Tabel 37 Hasil uji korelasi Spearman dukungan sosial dengan pengasuhan anak Variabel A1 R1 P1 A2 R2 P2 A3 R3 P3 Dukungan keluarga besar
.304* -.118 .204 .535** -.169 .397* .144 -.274 .266
Dukungan tetangga
.345* .251 .022 .128 .206 .062 .346* .285 .077
Dukungan PJTKI
-.109 .295* -.313*
-.044 .039 .094 -.163 .093 -.227
Dukungan sosial (total)
.368* .212 .005 .441** .032 .211 .211 .000 .113
*p≤0.05 **p≤0.01 Keterangan: A1= Pengasuhan acceptace ibu R1= Pengasuhan rejection ibu P1= Pengasuhan ibu (total) A2= Pengasuhan acceptance pengganti ibu R2= Pengasuhan rejection pengganti ibu P2= Pengasuhan pengganti ibu (total)
96
A3=Pengasuhan acceptace ayah R3= Pengasuhan rejection ayah P3= Pengasuhan ayah (total)
Secara garis besar dapat diketahui bahwa semakin tinggi nomor urutan
anak maka semakin ibu tidak menerapkan pengasuhan penerimaan. Variabel
yang mampu mendukung pengasuhan penerimaan ayah adalah dukungan sosial
tetangga, sedangkan yang mendukung pengasuhan penerimaan pengganti ibu
adalah dukungan sosial keluarga besar. Hal ini berarti bahwa selain keluarga
dekat, komunitas/masyarakat dapat menentukan pengasuhan seorang
pengasuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Brooks (2001) yang menyatakan
bahwa komunitas/masyarakat mempengaruhi pengasuhan yang terdiri dari faktor
keamanan yang diberikan tetangga dan jumlah dukungan sosial yang diberikan.
Hubungan antara Interaksi Keluarga dengan Karakteristik Keluarga, Dukungan Sosial, dan Pengasuhan
Hubungan antara Karakteristik Keluarga dan Anak dengan Interaksi Keluarga
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan
nyata dan positif (r=0.298, p<0.05) antara aset pasca TKW dengan interaksi ibu
dan anak. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar aset yang dimiliki keluarga
saat TKW maka semakin tinggi interaksi ibu dan anak.
Tabel 38 Hasil uji korelasi Spearman karakteristik keluarga dengan interaksi keluarga
No Variabel K1 B1 I1 K2 B2 I2 FK K3 B3 I3 1 Pendapatan
pra TKW .288 .400** .331* .094 .037 .058 -.089 -.023 .065 -.007
2 Aset pasca TKW
.190 .335* .298* -.183 -.073 -.144 -.159 -.032 .113 .064
3 Lama TKW -.180 .007 -.126 -.187 .001 -.141 -.237 -.223 -.284 -.296*
4 Jenis kelamin
-.197 -.238 -.233 -.012 -.050 -.023 .127 .106 .095 .115
5 Urutan kelahiran
-.186 -.077 -.150 -.072 -.059 -.093 -.053 -.237 -.008 -.096
6 Umur anak -.048 .031 -.020 -.032 -.007 -.037 .020 .002 -.050 -.054 *p≤0.05 **p≤0.01
97
Keterangan: K1= Komunikasi ibu dan anak (skor) B1= Bonding ibu dan anakI1= Interaksi ibu dan anak (skor) K2= Komunikasi ayah dan anak (skor) B2= Bonding ayah dan anak (skor) I2= Interaksi ayah dan anak (skor) FK= Frekuensi komunikasi ayah dan anak (skor) K3= Komunikasi suami dan istri (skor) B3= Bonding suami dan istri (skor) I3= Interaksi suami dan istri (skor) Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan
negatif (r=-0.296, p<0.05) antara lama kepergian TKW dengan interaksi suami
dan istri (Tabel 38). Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin lama istri bekerja
sebagai TKW maka semakin rendah interaksi suami dan istri. Kuantitas waktu
bersama merupakan prasyarat dalam membentuk bonding diantara anggota
keluarga, terutama suami dan istri, sehingga perpisahan suami dan istri dalam
waktu yang lama akan menyebabkan berkurangnya interaksi (komunikasi dan
bonding) diantara pasangan.
Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Interaksi Keluarga Tabel 39 menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif antara
dukungan sosial tetangga dengan komunikasi ibu dan anak (r=0.303, p<0.05)
dan interaksi ibu dan anak (r=0.297, p<0.05), artinya semakin besar dukungan
sosial tetangga yang diterima keluarga contoh maka semakin tinggi komunikasi
dan interaksi ibu dan anak. Hal ini diduga dengan adanya dukungan sosial yang
diberikan tetangga maka anak akan memiliki kejiwaan yang lebih positif,
sehingga anak lebih nyaman untuk berhubungan dengan ibu.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan nyata dan positif antara
dukungan sosial tetangga dengan interaksi ayah dan anak (r=0.358, p<0.05) dan
frekuensi komunikasi ayah dan anak (r=0.305, p<0.05). Artinya bahwa semakin
besar dukungan sosial tetangga maka semakin baik interaksi ayah dan anak dan
semakin sering frekuensi komunikasi ayah dan anak. Dukungan sosial yang
tinggi akan memberikan ketenangan dan kenyamanan untuk ayah, sehingga
ayah akan memiliki kondisi kejiwaan yang positif. Dengan demikian, ayah akan
menjalin hubungan yang positif dengan anak.
Terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.301, p<0.05) antara dukungan
tetangga dengan interaksi antara suami dan istri (Tabel 39). Hal ini berarti
98
semakin besar dukungan sosial tetangga yang diterima keluarga contoh maka
semakin baik interaksi antara suami dan istri. Dukungan sosial tetangga berupa
kehidupan bermasyarakat yang memberikan rasa aman, kesediaan
meminjamkan uang atau barang ketika keluarga dalam kesulitan, pertolongan
yang datang ketika keluarga dalam kesulitan, serta berbagi dan bertukar pikiran
ketika ada masalah merupakan dukungan sosial yang dapat menurunkan stres
dan memberikan kenyamanan tersendiri bagi keluarga sehingga interaksi yang
terjalin diantara interaksi suami dan istri menjadi semakin baik.
Tabel 39 Hasil uji korelasi Spearman dukungan sosial dengan interaksi keluarga Variabel K1 B1 I1 K2 B2 I2 KF K3 B3 I3 Dukungan keluarga besar
.118 .066 .079 -.024 .091 .063 .229 .183 .049 .113
Dukungan tetangga
.303* .249 .297* .345* .329* .358* .305* .141 .324* .301*
Dukungan PJTKI
.243 .197 .233 -.020 -.052 -.045 -,280 -.050
-.131 -.163
Dukungan sosial (total)
.392** .323* .369* .156 .250 .226 .191 .161 .128 .145
*p≤0.05 **p≤0.01 Keterangan: K1= Komunikasi ibu dan anak (skor) B1= Bonding ibu dan anak (skor) I1= Interaksi ibu dan anak (skor) K2= Komunikasi ayah dan anak (skor) B2= Bonding ayah dan anak (skor) I2= Interaksi ayah dan anak (skor) FK= Frekuensi komunikasi ayah dan anak (skor) K3= Komunikasi suami dan istri (skor) B3= Bonding suami dan istri (skor) I3= Interaksi suami dan istri (skor)
Hubungan antara Pengasuhan Anak dengan Interaksi Keluarga Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan nyata dan positif antara
pengasuhan dimensi penerimaan ibu pra TKW dengan interaksi ayah dan anak
(r=0.365, p<0.05) dan frekuensi komunikasi ayah dan anak (r=0.355, p<0.05).
Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pengasuhan dimensi penerimaan ibu
sebelum menjadi TKW maka semakin tinggi interaksi antara ayah dan anak dan
semakin sering frekuensi komunikasi ayah dan anak. Hal ini diduga karena ayah
berusaha untuk menggantikan posisi ibu yang dahulu sebelum menjadi TKW
99
telah mengasuh anak-anak dengan penuh kehangatan, sehingga ayah berusaha
untuk menjalin interaksi yang baik dengan anak. Selain itu, keadaan ini
menggambarkan bahwa dalam suatu keluarga terjadi suatu proses saling
mempengaruhi (interaksi) antar anggota keluarga sehingga dapat menghasilkan
perilaku individu-individu yang memiliki kecenderungan tingkah laku yang hampir
sama.
Terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.377, p<0.05) antara
pengasuhan dimensi penolakan ibu dengan interaksi ibu dan anak, artinya
bahwa semakin ibu melakukan pengasuhan dimensi penolakan sebelum menjadi
TKW maka semakin tinggi interaksi (komunikasi dan bonding) antara ibu dan
anak saat ini. Hal ini diduga karena rasa kehilangan anak yang mengalami
perpisahan dengan ibu lebih besar bila dibandingkan dengan pengalaman
pengasuhan penolakan masa lalu yang dilakukan ibu, sehingga anak melupakan
kekerasan yang dilakukan ibu. Bagi anak yang berumur preadolence, anak telah
menyadari bahwa kepergian ibu menjadi TKW adalah untuk membantu
perekonomian keluarga sehingga rasa kecewa akan pengasuhan penolakan
yang ibu lakukan diabaikan oleh anak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif
(r=0.375, p<0.01) antar pengasuhan dimensi kehangatan ayah terhadap interaksi
antara ayah dan anak. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi pengasuhan dimensi
kehangatan yang dilakukan ayah maka semakin tinggi interaksi (komunikasi dan
bonding) antara ayah dan anak. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat
hubungan nyata dan positif (r=0.401, p<0.01) antara pengasuhan dimensi
kehangatan ayah dengan frekuensi komunikasi antara ayah dan anak. Hal ini
berarti bahwa semakin tinggi pengasuhan dimensi kehangatan yang dilakukan
ayah maka semakin tinggi frekuensi komunikasi antara ayah dan anak. Menurut
Brooks (2001), ketika orangtua bersikap hangat dan lebih mendukung maka akan
tercipta interaksi dan kelekatan yang kuat antara orangtua dan anak.
Terdapat hubungan nyata dan negatif (r=-0.384, p<0.05) antara
pengasuhan dimensi penolakan pengganti ibu terhadap frekuensi komunikasi
ayah dan anak. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi pengasuhan dimensi
penolakan pengganti ibu maka semakin rendah frekuensi komunikasi ayah dan
anak.
Hasil korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata
dan positif (r=0.339, p<0.05) antara pengasuhan dimensi kehangatan ibu dengan
100
komunikasi suami dan istri, hal ini berarti apabila semakin tinggi pengasuhan
dimensi kehangatan ibu sebelum menjadi TKW maka semakin tinggi komunikasi
yang terjalin antara suami dan istri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
hubungan nyata dan positif (r=0.491, p<0.01) antara pengasuhan dimensi
kehangatan pengganti ibu dengan interaksi suami dan istri, artinya semakin tinggi
pengasuhan dimensi kehangatan yang dilakukan pengganti ibu maka semakin
tinggi interaksi antara suami dan istri. Terdapat hubungan nyata dan positif
(r=0.294, p<0.05) antara pengasuhan dimensi kehangatan ayah dengan interaksi
suami dan istri, artinya bahwa semakin tinggi pengasuhan dimensi kehangatan
yang diterapkan ayah kepada anak maka semakin tinggi interaksi suami dan istri.
Hal ini menunjukkan bahwa cara pengasuh mengasuh anak, baik yang dilakukan
ibu, pengganti ibu, maupun ayah dapat meningkatkan atau menurunkan interaksi
suami dan istri.
Tabel 40 Hasil uji korelasi Spearman pengasuhan anak terhadap interaksi keluarga
No Variabel K1 B1 I1 K2 B2 I2 FK K3 B3 I3 1 A1 .236 .057 .173 .366* .287 .365* .355* .239 .161 .18 2 R1 .296* .324* .337* .094 .146 .097 -.250 -.241 .155 -.010 3 P1 -.084 -.179 -.129 .209 .145 .214 .435** .339* .051 .167 4 A2 -.165 -.015 -.087 .202 .292 .289 .427* .187 .415** .331 5 R2 .222 .049 .154 .067 -.122 -.065 -.384* .559** .278 -.425** 6 P2 -.283 -.088 -.198 .105 .257 .236 .515** .487** .448** .491** 7 A3 -.108 -.123 -.105 .428** .363* .441** .359* .167 .233 .239 8 R3 .132 .002 .083 .089 .008 .022 -.137 -.309* .006 -.131 9 P3 -.230 -.154 -.191 .342* .314* .375** .401** .370* .188 .294* *p≤0.05 **p≤0.01 Keterangan: A1= Pengasuhan acceptace ibu
(skor) R1= Pengasuhan rejection ibu (skor) P1= Pengasuhan dimensi
kehangatan ibu (total) (skor) A2= Pengasuhan acceptance
pengganti ibu (skor) R2= Pengasuhan rejection
pengganti ibu (skor) P2= Pengasuhan pengganti dimensi
kehangatan ibu (total) (skor) A3= Pengasuhan acceptace ayah
(total) (skor) R3= Pengasuhan rejection ayah
(skor)
P3= Pengasuhan dimensi kehangatan ayah (total) (skor)
K1= Komunikasi ibu dan anak (skor) B1= Bonding ibu dan anak (skor) I1= Interaksi ibu dan anak (skor) K2= Komunikasi ayah dan anak
(skor) B2= Bonding ayah dan anak (skor) I2= Interaksi ayah dan anak (skor) FK= Frekuensi komunikasi ayah dan
anak (skor) K3= Komunikasi suami dan istri
(skor) B3= Bonding suami dan istri (skor) I3= Interaksi suami dan istri (skor)
101
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa semakin lama istri menjadi
TKW, maka semakin rendah interaksi (komunikasi dan bonding) yang terjalin
antara suami dan istri. Namun demikian, dukungan sosial tetangga dan
pengasuhan penerimaan pengasuh berhubungan nyata dan positif dengan
interaksi suami istri, artinya semakin besar dukungan sosial tetangga dan
semakin tinggi pengasuhan penerimaan pengasuh, maka semakin tinggi interaksi
suami dan istri. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa semakin besar
pengasuhan dimensi kehangatan pengasuh maka semakin tinggi interaksi ayah
dan anak.
Hubungan Antara Kualitas Perkawinan dengan Karakteristik Keluarga, Dukungan Sosial, Pengasuhan, Interaksi Keluarga
Hubungan Antara Karakteristik Keluarga dengan Kualitas Perkawinan
Tabel 41 menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif
(r=0.289, p<0.05) antara umur ayah dengan kebahagiaan perkawinan, artinya
bahwa semakin tinggi umur ayah maka semakin tinggi kebahagiaan perkawinan.
Hal ini diduga karena dengan semakin bertambahnya umur maka ayah akan
semakin menerima keadaan dengan lebih baik dari pada ayah yang berumur
lebih muda, sehingga kebahagiaan perkawinan yang dirasakan juga semakin
tinggi.
Tabel 41 Hasil uji korelasi Spearman karakteristik keluarga dengan kualitas perkawinan
No Variabel Kebahagiaan
perkawinan Kepuasan perkawinan
Kualitas perkawinan
1 Jumlah anggota keluarga .101 .092 .113 2 Umur ayah .289* .097 .256 3 Umur ibu .218 .092 .202 4 Jenis kelamin -.212 -.281 -.302* 5 Urutan kelahiran .093 .150 .135 6 Umur anak .051 .032 .065 7 Pendidikan anak .032 .060 .067
*p≤0.05 **p≤0.01
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan
negatif (r=-0.302, p<0.05) antara jenis kelamin anak dengan kualitas perkawinan
keluarga. Hal ini berarti keluarga yang memiliki anak berjenis kelamin laki-laki
102
memiliki kebahagiaan perkawinan yang lebih besar bila dibandingkan dengan
keluarga yang memiliki anak dengan jenis kelamin perempuan. Kammeyer
(1987) menyatakan bahwa hampir diseluruh negara di dunia lebih menginginkan
anak laki-laki di banding anak perempuan (Tabel 41).
Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Kualitas perkawinan Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif
(r=0.291, p<0.05) antara dukungan sosial total dengan kepuasan perkawinan.
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan semakin tinggi dukungan sosial baik
yang diterima dari keluarga besar, tetangga, maupun PJTKI maka semakin tinggi
kepuasan perkawinan yang dirasakan keluarga contoh. Seseorang yang
mendapat dukungan sosial, secara psikologis akan merasakan situasi nyaman,
penuh kehangatan, kegembiraan, penuh rasa aman dan merasa terlindungi oleh
sanak famili dan masyarakat di lingkungan sekitar tempat tinggalnya (Rifai 1999
dalam Tati 2004), sehingga akan memperbesar kepuasan perkawinan yang
dirasakan pasangan. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Kammeyer (1987)
yang menyatakan bahwa persetujuan dan dukungan dari teman dan anggota
masyarakat menyebabkan kualitas perkawinan yang semakin tinggi.
Tabel 42 Hasil uji korelasi Spearman dukungan sosial dengan kualitas perkawinan
No Variabel Kebahagiaan
perkawinan Kepuasan perkawinan
Kualitas perkawinan
1 Dukungan keluarga besar
.188 .105 .160
2 Dukungan tetangga .189 .283 .242 3 Dukungan PJTKI -.127 .130 -.045
4 Dukungan sosial (total)
.119 .291* .190
*p≤0.05 **p≤0.01
Hubungan Antara Pengasuhan Anak dengan Kualitas Perkawinan Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif
(r=0.300, p<0.01) antara pengasuhan dimensi kehangatan ibu dengan
kebahagiaan perkawinan, artinya bahwa semakin baik pengasuhan dimensi
kehangatan yang dilakukan ibu sebelum menjadi TKW maka semakin tinggi
tingkat kebahagiaan perkawinan keluarga contoh. Hal ini menggambarkan bahwa
perilaku positif ibu dalam pengasuhan kehangatan yang dilakukan sebelum
103
menjadi TKW masih berbekas dihati ayah untuk waktu yang lama. Menurut
Hastuti (2002) dalam Hastuti (2007), hubungan suami istri yang mencapai
kebahagiaan dan kepuasan bagi kedua belah pihak membentuk sikap orangtua
yang lebih positif daripada tidak ada kebahagiaan dan kepuasan antar pasangan.
Bila perkawinan gagal, sikap orangtua cenderung negatif terhadap anak-anak
dan ketidakpuasan terhadap pasangan hidup seringkali disalurkan kepada anak-
anaknya.
Tabel 43 menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif
(r=0.477, p<0.01) antara pengasuhan penerimaan dimensi pengganti ibu
terhadap kebahagiaan perkawinan keluarga contoh. Sebaliknya, terdapat
hubungan nyata dan negatif (r=-0.362, p<0.05) pengasuhan dimensi penolakan
pengganti ibu dengan kebahagiaan perkawinan. Hal ini berarti bahwa semakin
tinggi pengasuhan dimensi penerimaan pengganti ibu maka semakin tinggi
kebahagiaan perkawinan keluarga contoh, dan sebaliknya apabila semakin tinggi
pengasuhan dimensi penolakan pengganti ibu maka semakin berkurang
kebahagiaan perkawinan yang dirasakan keluarga contoh. Kedua hasil tersebut
menggambarkan bahwa peran pengasuh anak memberikan kontribusi terhadap
kualitas perkawinan pada keluarga contoh.
Tabel 43 Hasil uji korelasi Spearman pengasuhan anak dengan kualitas perkawinan
No Variabel Kebahagiaan perkawinan
Kepuasan perkawinan
Kualitas perkawinan
1 Pengasuhan acceptance ibu .173 .227 .244 2 Pengasuhan rejection ibu -.196 .304* .021 3 Pengasuhan ibu (total) .300* -.068 .188 4 Pengasuhan acceptance pengganti ibu .477** .259 .454** 5 Pengasuhan rejection pengganti ibu -.362* -.013 -.273 6 Pengasuhan pengganti ibu (total) .545** .178 484** 7 Pengasuhan acceptance ayah .267 .204 .309* 8 Pengasuhan rejection ayah -.268 -.015 -.205 9 Pengasuhan ayah (total) 415** .133 .373**
*p≤0.05 **p≤0.01
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan
nyata dan positif (r=0.373, p=0.01) antara pengasuhan dimensi kehangatan ayah
terhadap kualitas perkawinan. Hal ini berarti apabila pengasuhan dimensi
kehangatan ayah semakin tinggi maka semakin tinggi kualitas perkawinan
keluarga contoh (Tabel 43). Kenyataan ini sesuai yang dikemukakan Gottman
104
(2001) dalam Nurani (2004), bahwa kondisi perkawinan yang bahagia akan
membuat orangtua memiliki kondisi emosi yang hangat sehingga pengasuhan
yang diterapkan kepada anak akan cenderung memberikan kehangatan.
Hubungan antara Interaksi Keluarga dengan Kualitas Perkawinan Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan nyata dan positif antara
bonding ibu dan anak (r=0.289, p<0.05) dan bonding ayah dan anak (r=0.311,
p<0.05) dengan kepuasan perkawinan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin
tinggi bonding ibu dan anak dan bonding ayah dan anak, maka semakin tinggi
kepuasan perkawinan keluarga contoh. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa
ada hubungan nyata dan positif (r=0.297, p<0.05) antara interaksi ayah dan anak
dengan kualitas perkawinan, artinya bahwa semakin tinggi interaksi ayah dan
anak maka semakin tinggi kualitas perkawinan keluarga contoh.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif
(r=0.399, p<0.01) antara frekuensi komunikasi ayah dan anak terhadap kualitas
perkawinan. Hal ini berarti semakin tinggi frekuensi komunikasi antara ayah dan
anak maka semakin tinggi kualitas perkawinan keluarga contoh.
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan
nyata dan positif (r=0.455, p<0.01) antara komunikasi suami istri terhadap
kualitas perkawinan, artinya semakin tinggi komunikasi antara suami dan istri
maka semakin tinggi kualitas perkawinan yang dirasakan keluarga contoh.
Beberapa peneliti memperlihatkan bahwa komunikasi yang efektif akan
mengarahkan kepada kualitas perkawinan yang lebih baik, sehingga komunikasi
yang baik antara suami dan istri merupakan elemen yang penting dalam kualitas
perkawinan (Lewis dan Spenier 1979 dalam Kammeyer 1987). Bonding suami
dan istri berhubungan nyata dan positif (r=0.554, p<0.01) terhadap kualitas
perkawinan. Penelitian ini memperkuat penelitian yang telah dilakukan oleh
Hendrick (1981) dalam Kammeyer (1987) yang menyebutkan bahwa terdapat
hubungan positif antara kedekatan suami istri dengan kepuasan perkawinan.
Hasil penelitian dalam Tabel 44 menunjukkan bahwa yang menjadi
pendukung terciptanya kebahagiaan perkawinan dan kepuasan perkawinan tidak
hanya hubungan antara suami dan istri, namun hubungan antar anggota
keluarga juga berkontribusi dalam menciptakan kebahagiaan dan kepuasan
105
perkawinan. Hal ini berarti bahwa suasana yang tercipta dalam keluarga penting
untuk menciptakan kebahagiaan perkawinan dan kepuasan perkawinan.
Tabel 44 Hasil uji korelasi Spearman interaksi keluarga dengan kualitas
perkawinan
No Variabel Kebahagiaan perkawinan
Kepuasan perkawinan
Kualitas perkawinan
1 Komunikasi ibu dan anak -.057 .165 .041 2 Bonding ibu dan anak .095 .289* .238 3 Interaksi ibu dan anak .019 .223 .146 4 Komunikasi ayah dan anak .275 .130 .252 5 Bonding ayah dan anak .173 .311* .262 6 Interaksi ayah dan anak .278 .231 .297* 7 Frekuensi komunikasi ayah dan anak .531** .066 .399** 8 Komunikasi suami dan istri .569** .202 .455** 9 Bonding suami dan istri .538** .365* .554** 10 Interaksi suami dan istri .594** .321* .555** *p≤0.05 **p≤0.01
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa terdapat beberapa variabel
yang berhubungan dengan kualitas perkawinan (kebahagiaan perkawinan dan
kepuasan perkawinan) antara lain dukungan sosial, pengasuhan pengasuh, dan
interaksi dalam keluarga. Hal ini berarti apabila semakin besar dukungan sosial
yang diterima keluarga contoh, semakin pengasuh menerapkan pengasuhan
dimensi kehangatan, dan semakin tinggi interaksi dalam keluarga maka semakin
tinggi kualitas perkawinan keluarga contoh. Namun, contoh yang memiliki anak
laki-laki lebih bahagia dan puas dalam perkawinannya dibanding dengan contoh
yang yang memiliki anak perempuan.
Hubungan Antara Kondisi Anak dengan Karakteristik Keluarga, Dukungan Sosial, Pengasuhan, Interaksi Keluarga, dan Kualitas Perkawinan
Hubungan Antara Karakteristik Keluarga dengan Kondisi Anak Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif
(r=0.329, p<0.01) antara umur ayah dengan stres anak. Hal ini berarti bahwa
semakin tinggi umur ayah maka semakin tinggi stres yang diderita anak.
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan
nyata dan positif (r=0.350, p<0.05) antara lama pendidikan ayah dengan prestasi
belajar anak (Tabel 45). Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin lama ayah
106
duduk di bangku pendidikan sekolah formal maka semakin baik prestasi belajar
anak. Hal ini dikarenakan ayah yang memiliki pendidikan lebh tinggi lebih mampu
menciptakan lingkungan yang kondusif dan mampu memberikan stimulasi
kognitif yang lebih baik bila dibanding dengan ayah dengan pendidikan lebih
rendah (Papalia et al. 2008).
Tabel 45 Hasil uji korelasi Spearman karakteristik keluarga dengan kondisi anak
No Variabel Keterampilan sosial anak Stres anak Prestasi
belajar 1 Jumlah anggota keluarga .042 .043 -.011 2 Umur ayah .192 .329* -.060 3 Umur ibu .138 .244 .004 4 Pendidikan ayah .089 -.102 .350* 5 Jenis kelamin .005 .022 .060 6 Urutan kelahiran .078 .147 .122 7 Umur anak -.076 .049 -.215 8 Pendidikan anak -.064 .073 -.128
*p≤0.05 **p≤0.01 Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Kondisi Anak Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif
(r=0.310, p<0.05) antara dukungan sosial tetangga dengan stres anak. Hal ini
berarti apabila semakin besar dukungan sosial tetangga yang diterima keluarga
contoh maka semakin besar stress anak. Secara tidak langsung, keadaan ini
menggambarkan bahwa dukungan sosial yang diberikan tetangga tidak mampu
menurunkan stres anak karena anak sangat merasa kehilangan sosok ibu.
Tabel 46 Hasil uji korelasi Spearman dukungan sosial terhadap kondisi anak No Variabel Keterampilan
sosial anak Stres anak Prestasi akademik
1 Dukungan keluarga besar .004 .055 .000 2 Dukungan tetangga .122 .310* -.209 3 Dukungan PJTKI .120 -.602** .062 4 Dukungan sosial (total) .130 -.062 -.113
*p≤0.05 **p≤0.01
Terdapat hubungan nyata dan negatif (r=-0.602, p<0.01) antara dukungan
sosial PJTKI dengan stres anak, artinya bahwa semakin tinggi dukungan sosial
PJTKI yang diterima keluarga contoh maka semakin rendah stres yang dialami
anak (Tabel 46). Hal ini diduga karena PJTKI merupakan penghubung antara
107
anak dan ibu, sehingga dukungan PJTKI yang baik seolah-olah memberikan rasa
pertalian dengan ibu yang aman dan nyaman. Dengan demikian, peran serta dan
dukungan PJTKI akan meminimalisir terjadinya stres pada anak.
Hubungan antara Pengasuhan Anak dengan Kondisi Anak Tabel 47 menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif
(r=0.342, p<0.05) antara pengasuhan dimensi kehangatan ibu (pra TKW) dengan
stres anak. Hal ini berarti apabila ibu menerapkan pengasuhan dimensi
kehangatan sebelum menjadi TKW, maka anak akan mengalami stres yang lebih
tinggi bila dibanding dengan anak yang tidak mendapatkan kehangatan dari
ibunya. Hal ini sesuai dengan pendapat Gunarsa (2003) yang menyatakan
bahwa ibu dan anak memiliki keterikatan yang longgar menyebabkan anak tidak
merasakan kehilangan, bahkan mudah untuk mencari atau memperoleh tokoh
pengganti ketika terjadi perpisahan dengan ibunya, dan sebaliknya.
Terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.426, p<0.01) antara
pengasuhan dimensi kehangatan ayah dengan stres anak. Hal ini berarti
semakin tinggi pengasuhan penerimaan ayah, maka semakin tinggi stres anak.
Hasil ini menunjukkan peran pengasuhan ibu memang sulit digantikan oleh pihak
lain, meskipun pihak lain tersebut adalah ayah yang telah melakukan
pengasuhan dimensi kehangatan. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan
pendapat yang diungkapkan Bowlby dalam Gunarsa (2003) yang menyebutkan
bahwa tokoh ibu dapat digantikan tokoh pengganti ibu asalkan bersifat kasih
sayang kepada anak. Namun demikian, hasil penelitian ini sejalan dengan
penuturan Perry dalam Hastuti (2007) yang menyatakan bahwa hubungan paling
penting bagi kehidupan anak adalah kelekatan dengan pengasuh utamanya,
yaitu ibu. Hal ini mengingat fakta bahwa hubungan yang pertama akan
menentukan cetak biologis dan emosi bagi seluruh hubungan di masa
selanjutnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan negatif
(r=-0.315, p<0.05) antara pengasuhan dimensi penolakan ibu dengan prestasi
akademik anak. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pengasuhan dimensi
penolakan yang diterapkan ibu maka semakin rendah prestasi akademik yang
diperoleh anak di sekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
hubungan nyata dan negatif (r=-0.349, p<0.05) antara pengasuhan penolakan
pengganti ibu dengan prestasi akademik anak, artinya semakin tinggi
108
pengasuhan penolakan yang diterapkan pengganti ibu maka semakin rendah
prestasi akademik anak. Kedua hal tersebut sesuai dengan pendapat Rohner
(1986) bahwa sering ditemukan anak yang mengalami penolakan mempunyai
lebih besar masalah akademik dan intelektual dibanding anak lain.
Tabel 47 Hasil uji korelasi Spearman pengasuhan anak dengan kondisi anak
No Variabel Keterampilan sosial anak
Stres anak
Prestasi akademik
1 Pengasuhan acceptance ibu .108 .272 -.262 2 Pengasuhan rejection ibu .044 -.175 -.315* 3 Pengasuhan ibu (total) .030 .342* .057 4 Pengasuhan acceptance pengganti ibu .155 .316 -.176 5 Pengasuhan rejection pengganti ibu .106 -.126 -.349* 6 Pengasuhan pengganti ibu (total) -.039 .285 .068 7 Pengasuhan acceptance ayah .074 .416** -.134 8 Pengasuhan rejection ayah -.034 -.119 -.120 9 Pengasuhan ayah (total) .128 .426** .020
*p≤0.05 **p≤0.01
Hubungan antara Interaksi Keluarga dengan Kondisi Anak Dalam mengukur interaksi ayah dan anak digunakan aspek komunikasi
dan bonding antara ayah dan anak. Hasil uji korelasi menunjukkan terdapat
hubungan nyata dan positif (r=0.493, p<0.01) antara interaksi ayah dan anak
terhadap keterampilan sosial anak. Hal ini berarti apabila semakin tinggi interaksi
ayah dan anak maka semakin baik keterampilan sosial yang dimiliki anak.
Menurut Megawangi, Latifah, Dina (2004), interaksi anak dalam keluarga
mempunyai hubungan positif dengan interaksi anak bersama teman-temannya di
sekolah. Proses sosial akan dikenalkan oleh keluarga melalui interaksi yang
terjadi antara anak dan orangtua. Peran keluarga dalam pendidikan, sosialisasi,
dan penanaman nilai sosial sangat besar.
Tabel 48 menyajikan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif
(r=0.467, p<0.01) antara komunikasi ayah dan anak dengan keterampilan sosial
anak, artinya semakin tinggi komunikasi antara ayah dan anak maka semakin
baik keterampilan sosial anak. Terdapat hubungan nyata positif (r=0.473, p<0.01)
antara bonding ayah dan anak terhadap keterampilan sosial anak. Hasil uji
korelasi Spearman menunjukkan bahwa semakin baik bonding ayah dan anak
maka semakin baik keterampilan sosial anak. Menurut Hastuti (2007) kelekatan
emosi antara anak dan orangtua merupakan hal penting dalam menumbuhkan
109
kompetensi anak, terutama berkaitan kepercayaan anak terhadap dirinya. Anak
yang diasuh dengan kasih dan kehangatan akan tumbuh menjadi anak yang juga
penuh dengan kasih kepada orang lain.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif
(r=0.406, p<0.01) antara interasi ayah anak dengan stres anak, artinya apabila
semakin tinggi interaksi (komunikasi dan bonding) ayah dan anak maka semakin
tinggi stres anak. Terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.604, p<0.01) antara
frekuensi komunikasi ayah dan anak dengan stres anak, artinya bahwa semakin
tinggi frekuensi komunikasi antara ayah dan anak maka semakin tinggi stres
yang diderita anak. Semakin baik interaksi antara ayah dan anak, tidak menjamin
semakin baiknya perkembangan anak (tingkat stres rendah). Kedua hal ini
dikarenakan kelekatan antara anak dan ibu kandungnya memang sulit digantikan
oleh orang lain . Menurut Hastuti (2004), jika anak tidak memiliki kedekatan yang
kongkrit dengan ibunya, mereka akan terus mencari sosok ibu. Pemisahan
antara anak dengan ibu biologisnya akan berpengaruh terhadap perkembangan
anak, perkembangan anak ini diduga juga termasuk stres anak ketika berpisah
dengan ibunya.
Tabel 48 menunjukkan bahwa interaksi suami dan istri berhubungan
nyata dan positif (r=387, p<0.01) dengan stres anak. Hal ini berarti bahwa
semakin tinggi interaksi suami dan istri maka semakin tinggi stres yang diderita
anak. Interaksi suami istri yang tinggi tidak dapat terlihat langsung oleh anak,
sehingga yang ada pada pandangan anak adalah ibu berpisah dengan anak dan
ayah. Keadaan ini dapat meningkatkan stres.
Tabel 48 Hasil uji korelasi Spearman interkasi keluarga dengan kondisi anak Variabel Keterampilan
sosial anak Stres anak Prestasi
akademik Komunikasi ibu dan anak .123 -.151 .007 Bonding ibu dan anak .221 .048 -.180 Interaksi ibu dan anak .179 -.051 -.087 Komunikasi ayah dan anak .467** .335* -.195 Bonding ayah dan anak .473** .406** -.100 Interaksi ayah dan anak .493** .406** -.149 Frekuensi komunikasi ayah dan anak .258 .604** -.041 Komunikasi suami dan istri -.083 .131 .137 Bonding suami dan istri .084 .423** .057 Interaksi suami dan istri .029 .387** .133 *p≤0.05 **p≤0.01
110
Hubungan Antara Kualitas Perkawinan dengan Kondisi Anak Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif
(r=0.355, p<0.05) antara kebahagiaan perkawinan dengan stres anak, artinya
semakin tinggi kebahagian perkawinan keluarga maka semakin tinggi stres anak.
Kualitas perkawinan juga berhubungan nyata dan positif (r=0.334, p<0.05)
dengan stres anak. Hal ini berarti apabila semakin tinggi kualitas perkawinan
keluarga maka semakin tinggi stres yang dialami anak. Hal ini diduga karena
kualitas perkawinan dan kebahagiaan perkawinan yang dirasakan ayah tidak
dapat dilihat secara kongkrit oleh anak, sehingga yang anak rasakan bahwa
keterpisahan antara ibu dan keluarga hanya akan menimbulkan kesedihan bagi
keluarga. Keadaan yang seperti dapat ini menimbulkan stres pada anak.
Tabel 49 Hasil uji korelasi Spearman kualitas perkawinan dengan kondisi anak No Variabel Keterampilan
sosial anak Stres anak
Prestasi akademik
1 Kebahagiaan perkawinan -.089 .355* -.018 2 Kepuasan perkawinan .105 .097 -.138 3 Kualitas perkawinan -.019 .334* -.112
*p<0.05 **p<0.01
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa semakin tinggi interaksi
(komunikasi dan bonding) ayah dan anak maka semakin tinggi keterampilan
sosial yang dimiliki anak. Hasil korelasi Spearman menunjukkan bahwa kondisi
lingkungan yang mendukung anak seperti dukungan sosial keluarga besar dan
tetangga, pengasuhan dimensi penerimaan ayah, dan interaksi dalam keluarga
tidak mampu menurunkan stres yang diderita anak akibat perpisahan dengan
ibu. Anak akan semakin stres dan menderita dengan ibu yang menerapkan
pengasuhan dimensi penerimaan sebelum menjadi TKW. Hal ini menunjukkan
bahwa keberadaan sosok ibu tidak dapat tergantikan oleh orang lain. Namun
demikian, stres dapat diturunkan dengan adanya dukungan PJTKI yang berperan
sebagai penghubung antara anak dan ibu.
Semakin tinggi pengasuhan dimensi penolakan yang dilakukan ibu dan
pengganti ibu maka semakin rendah prestasi akademik anak di sekolah.
Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa orangtua yang mengasuh
dengan penuh penerimaan memiliki anak dengan kemampuaan yang efektif dan
strategi dalam belajar di sekolah serta memiliki kesejahteraan mental yang baik.
111
Penelitian lain menunjukkan bahwa anak yang dikeluarkan dari sekolah memiliki
orangtua yang tidak mengeksperikan kasih sayang kepada anak (Dubin, Darling,
& Glendinning 1995; Reich 1991 dalam Boveja 1998). Selain itu, semakin tinggi
pendidikan ayah, maka semakin baik prestasi anak.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut terdapat hal yang menarik bahwa
semakin tinggi interaksi ayah dan anak maka semakin tinggi keterampilan sosial
anak, namun semakin tinggi pula stres yang diderita anak. Hal ini
menggambarkan bahwa meskipun anak dalam keadaan stres akibat
perpisahannya dengan ibu, anak tetap dapat menjalin hubungan baik, ramah,
dan bersikap empati dengan orang lain. Hasil ini dapat dijelaskan berdasarkan
kasus hasil wawancara mendalam dengan TKW bernama Ibu Erna. Selama
berpisah dengan Ibu Erna, anak mengalami penyakit tipus kronis akibat terlalu
sering makan mie instan. Bila anak terlalu lelah bermain dan terkena terik sinar
matahari, maka anak akan pingsan. Disaat pingsan ini biasanya anak sering
mengigau memanggil-manggil ibunya, bahkan anak mampu menyanyikan lagu-
lagu yang biasa dinyanyikan ibunya, meskipun dalam keadaan sehat anak
kurang mampu menyanyikan. Hal ini menggambarkan bahwa anak sangat
tertekan akibat perpisahannya dengan sosok ibu. Meskipun demikian, dalam
kehidupan sehari-hari anak dapat menjalin hubungan yang baik dengan teman-
temannya.
Garis Besar Hasil Uji Hubungan antar Variabel Penelitian Uji hubungan ini merupakan uji dari variabel-variabel yang telah
dikomposit menjadi variabel yang lebih umum. Dukungan sosial merupakan
komposit dari dukungan keluarga, tetangga, dan PJTKI. Pengasuhan selain ibu
merupakan komposit dari pengasuhan dimensi kehangatan ayah dan pengganti
ibu. Interaksi ibu anak adalah komposit dari frekuensi komunikasi ibu anak,
komunikasi ibu anak, dan bonding ibu anak. Interaksi ayah anak dan suami istri
merupakan komposit dari frekuensi komunikasi ayah anak, komunikasi ayah
anak, bonding ayah anak, dan komunikasi suami istri serta bonding suami istri.
Kualitas perkawinan merupakan komposit dari kebahagiaan perkawinan dan
kepuasan perkawinan. Kondisi anak merupakan komposit dari keterampilan
sosial anak, stres anak, dan prestasi akademik anak.
112
Berdasarkan hasil korelasi Spearman diketahui bahwa (Tabel 50):
1. Terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.318, p<0.05) antara dukungan
sosial dengan pengasuhan selain ibu.
2. Terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.367, p<0.05) antara dukungan
sosial dengan interaksi ibu dan anak.
3. Terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.516, p<0.01) antara interaksi ayah
anak dan suami istri dengan kualitas perkawinan.
4. Terdapat hubungan nyata dan negatif (r=-0.423, p<0.01) antara interaksi
ayah anak dan suami istri dengan kondisi anak.
5. Terdapat hubungan nyata dan negatif (r=-0.406, p<0.01) antara kualitas
perkawinan dengan kondisi anak.
Hasil uji korelasi Spearman di atas menunjukkan bahwa semakin tinggi
dukungan sosial yang diterima keluarga contoh maka semakin tinggi pengasuhan
dimensi kehangatan yang dilakukan pengganti ibu dan ayah. Brooks (2001) yang
menyatakan bahwa dukungan sosial menyediakan dukungan psikologi dan
materi, sehingga lebih banyak sumberdaya yang digunakan untuk melakukan
pengasuhan. Hal ini berarti bahwa dengan banyaknya sumberdaya yang
tersedia, maka kemungkinan pengasuh melakukan pengasuhan dimensi
kehangatan akan lebih besar.
Semakin tinggi dukungan sosial yang diterima keluarga contoh maka
semakin tinggi interaksi ibu dan anak. Hal ini diduga karena dukungan sosial
dapat mengurangi potensi stres. Dukungan sosial juga dapat mengubah
hubungan antara respon anak pada kejadian yang dapat menimbulkan stres
akibat perpisahan dengan ibu. Dengan demikian, interaksi antara ibu dan anak
dapat terjalin dengan baik.
Semakin tinggi interaksi ayah anak dan interaksi suami istri maka
semakin tinggi kualitas perkawinan yang dirasakan contoh. Tingginya tingkat
komunikasi antara anggota keluarga membuat anggota keluarga merasa dekat
dan suportif (Brooks 2001). Dengan kedekatan dan saling mendukung diantara
anggota keluarga, maka akan meningkatkan kualitas perkawinan yang dirasakan
contoh.
Semakin tinggi interaksi ayah anak dan interaksi suami istri tidak mampu
meningkatkan kualitas kondisi anak (meningkatkan keterampilan sosial anak,
menurunkan stres anak, dan meningkatkan prestasi anak). Keadaan ini
menunjukkan bahwa anak akan tetap mendambakan kehadiran sosok ibu.
113
Menurut Hastuti (2007), jika anak tidak memiliki kedekatan yang kongkrit dengan
ibunya, mereka akan terus mencari sosok ibu. Perpisahan antara anak dengan
ibu biologisnya akan berpengaruh terhadap perkembangan anak.
Semakin tinggi kualitas perkawinan yang dirasakan contoh maka semakin
rendah kondisi anak saat ibu menjadi TKW. Hal ini dikarenakan dalam kondisi
perpisahan ibu dengan keluarga, kualitas perkawinan hanya dapat dirasakan
oleh ibu dan bapak saja sehingga kualitas perkawinan ini hanya bermakna untuk
pasangan dan tidak untuk anak. Anak hanya memilik pandangan bahwa
perpisahan ibu dan keluarga memberikan penderitaan bagi dirinya dan ayahnya
sehingga perkembangan sosial anak dapat menurun akibat kondisi ini.
Tabel 50 Hasil uji korelasi Spearman antar variabel penelitian
No Variabel Dukungan Sosial
Pengasuhan
selain ibu
Interaksi ibu anak
Interaksi ayah anak dan
suami istri
Kualitas perkawi
nan
Kondisi anak
1 Dukungan Sosial 1.000
2 Pengasuhan selain ibu 0.318* 1.000
3 Interaksi ibu anak 0.367* -0.035 1.000
4 Interaksi ayah anak dan suami istri
0.240 0.244 0.139 1.000
5 Kualitas perkawinan 0.190 0.232 0.090 0.516** 1.000
6 Kondisi anak 0.004 -0.048 0.185 -0.423** -0.406** 1.000
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Perkawinan dan Kondisi Anak Faktor –faktor yang Mempengaruhi Kualitas Perkawinan
Dari model regresi linier berganda, variabel yang memiliki pengaruh
signifikan terhadap kualitas perkawinan adalah jenis kelamin anak (p=0.053) dan
interaksi dalam keluarga (interaksi ayah anak dan interaksi suami istri). Nilai
adjusted R Square (R2) dalam model regresi adalah sebesar 0.350. Hal ini berarti
bahwa variabel penelitian dapat menjelaskan 35 persen penyebab kualitas
perkawinan, selebihnya dipengaruhi oleh variabel lain di luar model tersebut
(Tabel 51).
114
Tabel 51 Hasil uji regresi linear berganda variabel yang berpengaruh terhadap kualitas perkawinan dan kondisi anak
Model Kualitas perkawinan Kondisi anak1)
Beta Tvalue Sign.T Beta Tvalue Sign.T Konstanta - 0.374 0.711 - 5.053 0.000 X1 Jumlah anggota
keluarga 0.129 0.841 0.406 -0.244 -1.553 0.130
X2 Jenis kelamin anak (1=laki-laki, 2=perempuan)
-0.259 -2.001 0.053* 0.072 0.521 0.606
X3 Nomor urut anak 0.255 1.622 0.114 0.138 0.814 0.422 X4 Pendidikan ayah -0.244 -1.565 0.127 0.043 0.259 0.797 X5 Pendidikan ibu 0.028 0.200 0.843 -0.194 -1.353 0.185 X6 Lama TKW -0.037 -0.251 0.803 -0.420 -2.753 0.010** X7 Pendapatan -0.004 -0.025 0.980 0.380 2.536 0.016** X8 Dukungan sosial 0.126 0.828 0.413 0.108 0.695 0.492 X9 Pengasuhan
selain ibu 0.170 1.188 0.243 0.281 1.812 0.079*
X10Interaksi ibu anak 0.120 0.791 0.434 0.121 0.777 0.443 X11Interaksi ayah
anak dan suami istri
0.562 4.354 0.000*** -0.511 -3.091 0.004***
X12 Kualitas perkawinan - - - -0.114 -0.663 0.512
R2 (R2 adj) 0.505 (0.350) 0.534 (0.359) F (Sig) 3.249 (0.004) 3.054 (0.006) *p≤0.1 **p≤0.05 ***p≤0.001 1) Komposit dari keterampilan sosial anak, stres anak, dan prestasi akademik anak
Jenis kelamin anak memiliki nilai β=-0.259, artinya bahwa orang tua
memiliki anak berjenis kelamin laki-laki mempunyai tingkat kualitas perkawinan
yang lebih tinggi dibanding dengan orangtua yang memiliki anak berjenis kelamin
perempuan. Hal ini berarti bahwa penerimaan keluarga contoh kepada anak laki-
laki lebih besar daripada anak perempuan. Penelitian yang dilakukan di India
menunjukkan bahwa anak laki-laki terlihat lebih diunggulkan daripada anak
perempuan, khususnya di desa India Utara (Unpublished data, CSPAR dalam
Rohner 1986). Hal ini dapat menunjukkan bahwa adanya kemungkinan bahwa
orang yang tinggal di desa memiliki sikap penerimaan yang lebih baik kepada
anak laki-laki dibandingkan kepada anak perempuan. Selain itu, Kameyer (1987)
menyimpulkan dari berbagai penelitian bahwa orang-orang hampir di seluruh
negara lebih menginginkan anak laki-laki daripada perempuan. Selanjutnya
Hurlock (1980) menyatakan bahwa orangtua akan memiliki sikap yang lebih
menyenangkan jika mempunyai anak dengan jenis kelamin yang dikehendaki.
115
Interaksi dalam keluarga (interaksi ayah anak dan interaksi suami istri)
memiliki nilai β=0.562, artinya setiap kenaikan satu satuan interaksi (komunikasi
dan bonding) ayah anak dan interaksi (komunikasi dan bonding) suami istri maka
kualitas perkawinan akan naik sebesar 0.562 satuan. Montgomery (1981) dalam
Kammeyer (1987) menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara kualitas
komunikasi dengan kualitas perkawinan. Hal ini diartikan bahwa pasangan yang
memiliki kemampuan baik dalam berkomunikasi, maka akan semakin baik
hubungan diantara suami istri. Selain itu, Davidson et al.(1983) dalam Kammeyer
(1987) yang menyatakan bahwa kedekatan suami dan istri dapat memberikan
efek terhadap hubungan perkawinan. Rendahnya kedekatan suami dan istri akan
menimbulkan masalah untuk pasangan diantaranya menipisnya perasaan lekat
terhadap pasangan dan pada akhirnya akan berdampak pada hubungan
perkawinan yang negatif.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kondisi Anak
Dari model regresi linier berganda, variabel yang memiliki pengaruh
signifikan terhadap kondisi anak yaitu lama ibu menjadi TKW (p=0.010),
pendapatan keluarga (p=0.016), serta interaksi dalam keluarga (interaksi ayah
anak dan interaksi suami istri) (p=0.004). Nilai adjusted R Square (R2) dalam
model regresi adalah sebesar 0.359. Hal ini berarti bahwa variabel penelitian
dapat menjelaskan 35.9 persen penyebab kondisi anak (keterampilan sosial,
stres, prestasi akademik anak), selebihnya dipengaruhi oleh variabel lain di luar
model tersebut (Tabel 51).
Lama ibu menjadi TKW berpengaruh negatif (β=-0.420) terhadap kondisi
anak, artinya bahwa setiap kenaikan satu satuan lama ibu menjadi TKW maka
akan menurunkan kondisi anak (menurunkan keterampilan sosial, meningkatkan
stress, dan menurunkan prestasi akademik) sebesar 0.420 satuan. Menurut
Gunarsa dan Gunarsa (2003), hal yang mempengaruhi perkembangan anak saat
mengalami perpisahan dengan ibunya yaitu lama ibu dan anak berpisah serta
bagaimana sikap ibu saat bertemu kembali dengan anak. Bowlby juga
mengamati gejala pada anak-anak yang tumbuh normal di rumah untuk
sementara waktu namun kemudian menderita perpisahan cukup lama. Hasil
menunjukkan bahwa anak-anak begitu terguncang. Jika hal ini dibiarkan dalam
waktu yang terlalu lama, dan jika anak juga kehilangan pengasuh pengganti ibu,
maka anak secara permanen akan menjauh dari ikatan erat dan tidak akan
116
peduli lagi dengan orang lain. Hasilnya adalah “karakter yang tidak memiliki
afeksi”, sebuah kepribadian yang tidak lagi peduli dengan orang lain dengan cara
yang mengerikan (Crain 2007).
Pendapatan keluarga berpengaruh positif (β=0.380) terhadap kondisi
anak, artinya setiap kenaikan satu satuan pendapatan maka akan meningkatkan
kondisi anak (meningkatkan keterampilan sosial, menurunkan stres,
meningkatkan prestasi anak) sebesar 0.380 satuan. Hal ini sejalan dengan
pendapat Brooks (2001) yang menyatakan bahwa salah satu hal yang dapat
menurunkan kompetensi sosial anak adalah orangtua yang tidak bekerja. Hal ini
secara tidak langsung menyatakan bahwa salah satu pemicu stres orangtua
yang dapat menurunkan kompetensi sosial anak adalah pendapatan keluarga.
Selain itu menurut National Research Council [NRC] (1993a) dalam Papalia et al.
(2008), status sosioekonomi dapat menjadi faktor yang sangat kuat dalam
prestasi edukasional, hal ini karena orangtua mampu membentuk atmosfer
keluarga dalam menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran,
mampu memilih kualitas sekolah, dan cara orangtua mengasuh anaknya. Hal ini
menunjukkan bahwa orangtua yang memiliki pendapatan tinggi dapat
menyediakan fasilitas-fasilitas untuk meninkatkan keterampilan anak dan prestasi
belajar anak, juga fasilitas yang ada dapat menurunkan stres yang diderita anak.
Faktor lain yang mempengaruhi kondisi anak adalah interaksi dalam
keluarga (interaski ayah anak dan interasi suami istri) (β=-0.511), artinya setiap
kenaikan satu satuan interaksi ayah dan anak serta interaksi maka semakin
menurun kondisi anak sebesar 0.511 satuan. Hal ini menunjukkan bahwa
keadaan hangat yang dibentuk lingkungan anak tidak mampu meningkatkan
kondisi anak. Anak membutuhkan kedekatan dan bonding yang nyata dengan
ibunya sehingga anak tetap mengalami stres meskipun orang disekitarnya telah
membentuk lingkungan yang hangat dan menyenangkan.
117
Pembahasan Umum
Fenomena munculnya keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW) di dunia
mungkin bukan menjadi hal baru, namun masih menjadi kejadian yang tidak
banyak terjadi kecuali untuk negara miskin dan berkembang seperti Indonesia,
Filipina, dan Srilangka. Kemiskinan yang melanda keluarga di Indonesia
menuntut anggota keluarga melakukan penyesuain agar keluarga dapat
melangsungkan hidup layak secara ekonomi. Tenaga Kerja Wanita (TKW)
merupakan salah satu strategi istri untuk menyelamatkan ekonomi keluarga.
Perpisahan istri dengan keluarga menyebabkan terjadinya perubahan
struktur keluarga dan fungsi pengasuhan anak. Berdasarkan teori struktural
fungsional, setiap anggota keluarga memiliki peranannya sendiri dalam keluarga
dimana ayah melakukan peran pencari nafkah (main breadwinner) sedangkan
ibu melakukan peran ekspresif (termasuk pengasuhan anak) dan secondary
breadwinner. Pola perubahan dalam keluarga TKW menyebabkan ibu berganti
peran menjadi main bread winner sedangkan ayah memerankan peran ekspresif
dan secondary breadwinner. Perubahan tersebut dapat menimbulkan resiko baik
terhadap pasangan maupun kondisi anak.
Hasil analisis menunjukkan bahwa semakin lama istri bekerja menjadi
TKW maka komunikasi dan bonding yang terjalin antara suami dan istri semakin
melemah, begitu pula bonding antara ibu dan anak menjadi semakin melemah
sehingga menurunkan kondisi anak menjadi semakin stres, keterampilan sosial
melemah, dan prestasi akademik menurun. Disisi lain, penelitian juga
menunjukkan bahwa semakin lemah komunikasi dan bonding suami istri maka
semakin menurun kualitas perkawinan yang dirasakan pasangan. Hal ini
menggambarkan bahwa lama menjadi TKW secara tidak langsung berpengaruh
terhadap kualitas perkawinan, akibat semakin lama istri menjadi TKW.
Menarik untuk dicermati bahwa lama ibu menjadi TKW juga berpengaruh
terhadap penurunan kondisi anak (menurunkan keterampilan sosial,
meningkatkan stres, dan menurunkan prestasi akademik anak). Hal ini tercermin
dari kebutuhan bonding dengan ibu yang tinggi. Bahkan pengasuhan dimensi
kehangatan dan komunikasi yang tinggi antara ayah dan anak, kebahagiaan
perkawinan yang dirasakan ayah, serta dukungan sosial keluarga luas dan
tetangga yang diterima keluarga tidak mampu menurunkan tingkat stres yang
dialami anak. Sepertinya ketika pengasuh utama pergi maka akan terjadi
118
perubahan fungsi psikologis anak seperti pola makan dan tidur, pola bemain, dan
mood anak, sehingga anak kehilangan pegangan hidup dan menjadi stres.
Prestasi akademik anak di sekolah juga menunjukkan adanya kecenderungan
perolehan nilai yang tidak cukup memuaskan akibat kepergian ibu. Begitu pula
dengan keterampilan sosial anak akan cenderung menurun akibat ketidakhadiran
ibu ditengah-tengah keluarga. Namun disisi lain, hasil analisis menunjukkan
bahwa semakin tinggi pendapatan keluarga maka keluarga dapat memberikan
fasilitas untuk dapat meningkatkan kondisi anak, khususnya fasilitas untuk
meningkatkan prestasi akademik anak.
Fenomena ini menggambarkan adanya dilema paradoks pada keluarga
TKW. Disatu sisi kepergian ibu menjadi TKW memberikan dampak positif karena
pendapatan yang diperoleh TKW dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga,
termasuk dalam investasi pendidikan anak, namun disisi lain ketidakseimbangan
ekosistem keluarga TKW beresiko menurunkan kualitas perkawinan,
menurunkan keterampilan sosial anak, meningkatkan stres anak, dan
menurunkan prestasi akademik anak akibat tidak adanya perhatian ibu terhadap
anak.
Bagaimanapun juga, benefit dan cost rasio akibat kepergian ibu menjadi
TKW tidaklah seimbang. Dampak negatif yang ditimbulkan lebih besar dari pada
dampak positif yang didapatkan. Hasil penelitian ini menguatkan teori struktural
fungsional dan perkembangan anak yang telah ada bahwa apabila keluarga tidak
berfungsi sebagaimana mestinya, maka keluarga menjadi disorganisasi dan
dibuktikan dengan berbagai kondisi yang tidak menguntungkan dalam kualitas
perkawinan dan kondisi anak TKW yang memburuk. Akibat ketidakseimbangan
keluarga tersebut maka dibutuhkan dukungan yang diberikan keluarga besar dan
tetangga yang dapat membantu meminimalisir dampak kepergian istri. Dengan
dukungan tersebut ayah dapat lebih baik dalam menerapkan pengasuhan
kehangatan kepada anak, interaksi yang terjalin diantara anggota keluarga akan
semakin baik, dan kualitas perkawinan juga semakin kokoh. Peran PJTKI juga
penting untuk menjadi penghubung antara anak dengan ibu sehingga dapat
meminimalisir stres anak.
Selain dukungan sosial keluarga, tetangga, dan PJTKI sebaiknya
pemerintah memberikan kebijakan lebih lanjut yang bersifat holostik dan solutif.
Solusi preventif dan kuratif yang dapat diberikan penulis kepada pemerintah
yaitu: (1) Anak merupakan generasi penerus bangsa, sehingga Pemda
119
sebaiknya melakukan konseling secara berkelanjutan untuk memastikan anak
mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara normal, misalnya diadakan
perkumpulan sesama anak TKW yang didalamnya dilakukan kegiatan-kegiatan
bermanfaat seperti out-bond atau bertukar pengalaman; (2) Pemerintah
sebaiknya bekerjasama dengan lembaga penting seperti Majelis Ulama
Indonesia (MUI) atau Organisasi Wanita untuk merubah pola pikir masyarakat
bahwa tanggung jawab terhadap keluarga dan anak merupakan tanggung jawab
terpenting bagi keluarga.
Keterbatasan Penelitian Penelitian ini diakui memikili beberapa keterbatasan yang dapat dijadikan
perbaikan untuk penelitian-penelitian selanjutnya. Keterbatasan-keterbatasan
tersebut yaitu:
1. Teknik pengambilan contoh dengan metode purposive dengan konsekuensi
bahwa kesimpulan dari penelitian ini tidak dapat mewakili populasi TKW di
Kabupaten Sukabumi
2. Jumlah contoh kurang dari 50 orang dan tidak dibedakan contoh TKW yang
belum pulang dan yang sudah pulang ke Indonesia
3. Tidak membedakan anak TKW laki-laki dan perempuan
4. Instrumen ada yang mengukur data retrospektif, sehingga ada kemungkinan
bias recall (ingatan)
5. Mengukur semua variabel berdasarkan perceived (yang dirasakan) ayah
saja, sehingga perlu penelitian lanjutan dengan responden anak untuk
mengukur kondisi anak sendiri (keterampilan sosial, stres, dan hal yang
terkait dengan anak) dan responden TKW untuk mengukur kualitas
perkawinan dan hal yang terkait dengan TKW.
120
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN 1. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar umur suami dan istri termasuk
dalam usia dewasa awal, sedangkan sebagian besar anak termasuk dalam
usia anak sekolah (kelas 2 sampai 6, umur 9 sampai 14 tahun). Lebih dari
separuh keluarga contoh termasuk dalam keluarga kecil. Persentase terbesar
tingkat pendidikan suami dan istri ialah tamat sekolah dasar. Rata-rata
pendapatan per bulan keluarga sebelum istri menjadi TKW sebesar Rp 1 138
723,00, sedangkan saat istri menjadi TKW rata-rata pendapatan perbulan
meningkat hampir tiga kali lipat menjadi Rp 3 247 670,00. Negara tujuan
terbesar TKW adalah Arab Saudi dengan rata-rata gaji sebesar Rp 1 800
000,00. Lama TKW bekerja di luar negeri berkisar antara 7 bulan sampai 10
Tahun dengan rata-rata 44.81 bulan. Hal yang memotivasi istri untuk menjadi
TKW adalah agar anak dapat melanjutkan sekolah, memenuhi kebutuhan
keluarga, merubah status sosial ekonomi keluarga, membangun rumah, dan
menjadi perempuan mandiri. 2. Dukungan sosial yang diterima keluarga contoh tergolong kategori sedang.
Setelah ibu menjadi TKW, persentase terbesar pengasuhan anak dilakukan
oleh ayah dengan bantuan keluarga luas. Sebagian besar pengasuhan
dimensi kehangatan yang dilakukan ibu sebelum menjadi TKW, pengganti
ibu, dan ayah tergolong kategori tinggi. Interaksi antara ibu dan anak
termasuk kategori sedang, interaksi antara ayah dan anak termasuk kategori
tinggi, dan interaksi suami dan istri termasuk kategori tinggi. Kualitas
perkawinan sebagian besar contoh termasuk dalam kategori tinggi. Lebih dari
tiga per lima anak mempunyai keterampilan sosial kategori tinggi, tiga per
lima anak mempunyai stres kategori sedang dan tinggi. Hampir tiga per
empat anak mempunyai prestasi kurang memuaskan. 3. Tidak terdapat perbedaan antara pengasuhan dimensi penerimaan dan
penolakan yang dilakukan ibu sebelum menjadi TKW, pengganti ibu, dan
ayah. Namun terdapat perbedaan nyata antara interaksi ibu dan anak dengan
interaksi ayah dan anak. 4. Semakin tinggi dukungan sosial, pengasuhan dimensi kehangatan pengasuh,
dan interaksi dalam keluarga, maka semakin tinggi kualitas perkawinan
keluarga contoh. Namun, semakin lama istri menjadi TKW maka semakin
121
berkurang komunikasi dan bonding suami dan istri sehingga semakin rendah
kualitas perkawinan contoh. 5. Anak-anak pada keluarga TKW merasa kehilangan sosok ibu. Hal ini
tercermin dari kebutuhan bonding dengan ibu yang tinggi, sehingga
menyebabkan stres pada anak. Bahkan dukungan sosial keluarga luas dan
tetangga, pengasuhan dimensi kehangatan pengasuh, interaksi dalam
keluarga, dan kebahagiaan perkawinan yang dirasakan ayah tidak mampu
menurunkan tingkat stres yang dialami anak. Namun demikian, dukungan
sosial PJTKI dapat menurunkan stres anak. Prestasi akademik anak di
sekolah kurang menunjukkan nilai yang baik terutama bagi anak yang
cenderung mendapatkan pengasuhan dimensi penolakan dari pengasuh,
namun demikian pendidikan ayah dapat meningkatkan prestasi anak di
sekolah. Keterampilan sosial anak dapat menurun karena anak tidak dapat
merasakan atmosfer kebahagiaan di dalam keluarga akibat perpisahan
dengan sosok ibu, namun interaksi ayah dan anak yang baik dapat
meningkatkan keterampilan sosial anak. 6. Semakin lama ibu menjadi TKW maka semakin memperburuk kondisi anak,
namun di lain pihak pendapatan kelarga yang semakin tinggi juga dapat
memperbaiki kondisi anak, terutama dalam memberikan fasilitas belajar. Hal
ini menunjukkan adanya dilema paradoks pada keluarga TKW. Namun
secara keseluruhan sosial cost yang harus ditanggung keluarga dan anak
lebih besar bila dibanding dengan benefit yang diperoleh keluarga contoh.
SARAN 1. Keterbatasan penelitian ini adalah mengukur semua variabel penelitian
berdasarkan percieved (apa yang dirasakan) ayah. Dengan demikian, perlu
diadakan penelitian lanjutan dengan responden TKW untuk mengukur
kualitas perkawinan dan responden anak TKW untuk mengukur keterampilan
sosial anak, stres anak, dan kondisi lain yang terkait dengan anak saat di
tinggal ibu menjadi TKW.
2. Sebaiknya diadakan penelitian lanjutan untuk melihat variabel-variabel lain
yang berpengaruh terhadap keterampilan sosial (seperti pengaruh teman
sebaya dan interaksi anak di sekolah); pengaruh terhadap stres (seperti
resilience anak menghadapi tekanan); pengaruh terhadap prestasi belajar
122
anak (seperti keyakinan kecakapan diri, motivasi akademik, dan sistem
pendidikan yang diterapkan di sekolah).
3. Anak merupakan generasi penerus bangsa sehingga Pemda sebaiknya
melakukan konseling secara berkelanjutan untuk memastikan anak
mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara optimal, misalnya
diadakan perkumpulan sesama anak TKW yang didalamnya dilakukan
kegiatan-kegiatan bermanfaat seperti out-bond atau bertukar pengalaman.
4. Sebaiknya ada peran serta Majelis Ulama Indonesia (MUI), organisasi
wanita, maupun organisasi lain agar dapat merubah pemikiran masyarakat
bahwa menjadi TKI/TKW bukan merupakan satu-satunya jalan untuk
meningkatkan kesejahteraan keluarga, selain itu menekankan bahwa
terdapat tanggung jawab yang juga besar dalam mendidik anak.
123
DAFTAR PUSTAKA
Achir, Y A. 1985. “Wanita dan Karya” Suatu Analisa dari Segi Psikologi. Dalam Emansipasi dan Peran Ganda Wanita Indonesia Suatu Tinjauan Psikologis. Editor: S.C. Utami Munandar. Jakarta: Universitas Indonesia
Anonim. 1998. http://www. geocities. com/ RainForest/ Canopy/ 8087/ miskin. htm. [diakses 25 Januari 2009]
Antara. 2007. Pemerintah Targetkan Tempatkan Satu Juta TKI pada Tahun 2007. http://www.antara.co.id/arc/2007/5/22/pemerintah-targetkan-tempatkan-satu-juta-tki-pada-2007/ [diakses 29 Februari 2009].
Antara. 2008. Kiriman UangTKI Kabupaten Sukabumi Capai Rp 501 Miliar. http: // www. antara. co. id/ arc/ 2008/1/28/ kiriman-uang-tki-kabupaten-sukabumi-capai-rp501-miliar/ [diakses 19 Februari 2009]
Aprilianti, E. 2007. Analisis Tingkat Stres dan Strategi Koping pada Suami yang Istrinya Bekerja sebagai TKW di Luar Negeri [skripsi]. Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor
Bern, RM. 1997. Child, Family, School, Community Socialization and Support, Fourth Edition. Rinehart & Winston, Inc.
Bigner, JJ. 1979. Parent-Child Relations: An Introduction to Parenting. New York: Macmillan Publishing Co, Inc
BKKBN NTB. 2009. Ratusan Ribu Anak Terlantar di NTB. http: // prov. bkkbn. go. id/ ntb/ news_detail. php?nid=316 [diakses Februari 2009]
BKKBN. 1996. Pemantapan Fungsi Keluarga menuju Terbentuknya Keluarga Sejahtera: Kajian Aplikasi dan Kriteria Implementasi Delapan Fungsi Keluarga. Jakarta.
BNP2TKI. 2008. Remitansi TKI Naik 37,3 Persen. http:// www. ham. go. id/ index. php? option=com_content&view= article&id= 384% 3Aremitansi-tki-2008-naik-373-persen&Itemid=151 [diakses 23 Febrari 2009]
BNP2TKI. 2009. http://www.nakertrans.go.id/pusdatin.html,13,312,pnaker [diakses 26 Juli 2009]
Boveja, ME. 1998. Parenting Styles and Adolencents’ Learning Strategies in the Urban Community. Journal of Multicultural Conseling ang Development, 26, 2;Proquest Psycology Jurnals pg 110.
BPS. 2006. Pengeluaran Rata-rata Perkapita Sebulan menurut Kabupaten/Kota dan Kelompok Barang di Jawa Barat. http: //jabar. bps.go. id/ Tabel/ konsumsi/ Pengeluaran%20Per%20Kapita.html. [diakses 18 November 2009]
124
BPS. 2006. www.bps.go.id/releases/files/kemiskinan-01sep06.pdf [diakses Februari 2009].
BPS. 2007. Indikator Sosial Ekonomi Kabupaten Sukabumi Tahun 2007.
Briawan, D dan Herawati, T. 2005. Peran Stimulasi Orangtua terhadap Perkembangan Anak Balita Keluarga Miskin [laporan penelitian]. IPB, Bogor.
Brooks, JB. 2001. Parenting, Thirth Edotion. California: Mayfield Pblishing Company
Conger et al. 1994. Families in Troubled Times: Adapting to Change in Rural America. New York: Aldine De Gruyter
Cotrona. 1996. Social Support in Couples. USA: Sage Publications, Inc.
Crain, W. 2007. Teori Perkembangan: Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Crittenden, D. 2002. Wanita Salah Langkah. Bandung: Qonita
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Fungsi Keluarga dalam Meningkatkan Kualitas Sumberdaya Manusia.
Depnaker. 2008. http: // www. jatimprov. go. id/ dbfile/ bidlahta01/ 2008 10 28 014327_data_penempatan_tki_daerah_asal_tki_dan_negara_tujuan_disnaker_2008.pdf [diakses 5 Desember 2008]
Depnakertrans. 2006. http: //www. ssffmp. or. id/ suplemen/ cetak_detail. asp? mid=1&id=178590&kat_id=105&kat_id1=151&kat_id2=192 [diakses 26 Juli 2009]
Dewanti. 2008. Analisis Persepsi dan Sikap terhadap Peran Gender pada Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor [skripsi]. Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Disnakertrans. 2005. Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor: 13 Tahun 2005 tentang Pengerahan Calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Luar Negeri Asal Kabupaten Sukabumi.
Duvall. 1955. Family Living. New York: The Macmillan Company.
Fereshti. 2007. Buruh Migran, Batas Tipis Devisa dan Derita. http:/ /202.146.5.33/ kompas-cetak/ 0707/ 26/j ogja/ 1040304.htm [diakses 18 Desember 2009]
Fitasari. 2004. Strategi Keluarga Miskin dalam Pemenuhan Kebutuhan Hidup, Gizi Balita dan Tingkat Kepuasan Keluarga [skripsi]. Program Studi Gizi
125
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Golemen, D. 2006. Emotional Intelegent. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Gunarsa dan Gunarsa. 2008. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: Gunung Mulia
Gunarsa. 2003. Dasar dan Teori Perkembangan Anak. Jakarta: Gunung Mulia
Hadawi, RA. 2001. Psikologi Perkembangan Anak: Mengenali Sifat, Bakat dan Kemampuan Anak. Jakarta: PT Grasindo.
Hastuti, D. 2007. Pengasuhan: Teori dan Prinsip serta Aplikasinya di Indonesia. Diktat Mata Kuliah Pengasuhan. Institut Pertanian Bogor
Hastuti, D. 2006. Analisis Pengaruh Model Pendidikan Prasekolah pada Pembentukan Anak Sehat, Cerdas, dan Berkarakter [disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Hurlock, EB. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga
Jatiningsih. 2004. Alokasi Waktu Ibu dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Sosial Anak pada Keluarga Nelayan di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat [skripsi]. Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Jawa pos. 2008. Suka Cita SMPN I Panceng yang Berada di Kantong TKI. http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=9932 [diakses 26 Juli 2009]
Karyadi. 1988. Ilmu Kehidupan Keluarga. Diktat Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.
Kammeyer, KCW. 1987. Marriage and Family: A Foundation for Personal Decisions. Allyn Bacon, Inc.
Landis and Landis. 1955. Personal Adustment Marriage and Family Living (2rd
ed). United States of America: Prentice-Hall, Inc.
Leeper SH, Witherspoon RL, Day B. 1984. Good Schools for Young Children. USA: Macmillan Publishing Company.
Liefeld JP, Edgecombe FHC, Wolfe L. 1972. Demoraphic Characteristics of Canadian Consumer Complainers. The Journal of Consumer Affairs
Luthfiyasari, A. 2004. Peran Instrumental dan Ekspresif Orangtua serta Hubungannya dengan Sikap dan Perilaku Remaja pada Keluarga dengan Ibu Bekerja di Luar Negeri (TKW) [skripsi]. Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
126
Mangkuprawira, S. 2009. http://ronawajah.wordpress.com/category/kebijakan-pemerintah/ [diakses 22 Februari 2009]
Mariana, D. 2008. Menyoal Kemiskinan di Jawa Barat. http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg08685.html [diakses 22 Mei 2009]
Megawangi, R. 1993. Keluarga dan Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia dalam Rangka Menyongsong Abad ke-21. Seminar Mengisi Hari Keluarga Nasional 1993 dan Menyongsong Tahun Keluarga Internasional 1994. Jurusan Gizi Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Bekerjasama dengan Kantor Menteri Negara Kependudukan BKKBN, Jakarta.
Megawangi, R. 1999. Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tenteng Relasi Gender. Bandung: Mizan
Melson. 1980. Family and Environment An Ecosystem Perspective. Minnesota: Burgess Publishing Company.
Mutyahara, A. 2005. Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Peran Ibu dalam Pengasuhan dan Kecerdasan Emosional Anak Usia Sekolah [skripsi]. Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Nurani. 2004. Pengaruh Kualitas Perkawinan, Pengasuhan Anak dan Kecerdasan Emosional terhadap Prestasi Belajar Anak [tesis]. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Papalia DE, Old SW, dan Feldman RD. 2008. Human Development (Psikologi Perkembangan). Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Petra. 2008. Teori Komunikasi. http: //digilib. petra. ac. id/ viewer. php? submit. x=19&submit.y=13&submit=prev&page=3&qual=high&submitval=prev&fname=%2Fjiunkpe%2Fs1%2Feman%2F2008%2Fjiunkpe-ns-s1-2008-31401495-9043-oriflame-chapter2.pdf [diakses 26 Oktober 2009]
Puspitawati, H. 2006. Pengaruh Faktor Keluarga, Lingkungan Teman dan Sekolah terhadap Kenakalan Pelajar di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) di Kota Bogor [disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Puspitawati, H. 2007. Konsep dan Teori Gender. Diktat Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, IPB, Bogor.
Republika. 2004. Pengaruh TKI terhadap Jumlah Perceraian di Paciran. http://www.republika.co.id [diakses Maret 2009]
Rice, FP. 1983. Contemporary Marriage. USA: Allyn and Bacon, Inc.
127
Rohner, R. 1986. The Warmth Dimention: Fondation of Parental Acceptance-Rejection Theory. California: Sage Publication, Inc.
Rudyanto. 2007. “Keadaan Khusus dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Kepribadian Anak dan Peranan Terapi Keluarga” dalam Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Gunarsa dan Gunarsa). Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Sadarjoen, SS. 2009. Membangun Keluarga Bahagia. http: // resources. unpad. ac. id/ unpad content/ uploads/ publikasi _ dosen/ MEMBANGUN % 20 KELUARGA % 20 BAHAGIA. pdf [diakses Februari 2009]
Sadli, S. 1993. Peranan Keluarga dalam Proses Modernisasi dan Pelestarian Nilai-Nilai Budaya. Disampaikan pada seminar: Keluarga Menyongsong Abad XXI dan Perananya Dalam Pengembangan Sumberdaya Manusia Indonesia. Bogor: IPB dan BKKBN
Samhadi, SH. 2007. Potret Suram TKI, Salah Siapa?. http: //www. migrantcare. net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=2&artid=2 [diakses 18 Desember 2009]
Santrock dan Yusen. 1982. Child Developmen: An Introduction. Iowa
Sari, K. 2004. Keragaan Kebahagiaan Istri dalam Perkawinan Poligami [skripsi]. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Satoto. 1990.Pertumbuhan dan Perkembangan Anak: Pengamatan Anak Umur 0-18 Bulan di Kecamatan Mlonggo, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah [disertasi]. Ilmu Kedokterran, Universitas Diponegoro, Semarang
Saxton. 1990. The Individual, Marriage, and Family (7th ed). California: A Division of Wadsworth, Inc.
Simamora, CMS. 2005.Hubungan Ketegangan Suami Istri dengan Konflik pada Keluarga Bercerai [skripsi]. Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Subkhan. 2007. Benang Kusut Persoalan TKI. http:// subkhan. wordpress. com/ 2007/ 11/ 19/ benang-kusut-persoalan-tki/ [diakses Februari 2009]
Sunarti, E. 2001. Ketahanan Keluarga dan Pengaruhnya terhadap Kualitas Kehamilan [disertasi]. Bogor. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Sunarti, E. 2004. Mengasuh dengan Hati. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Suryani. 2004. Ilmu Komunikasi. http:// users. monash. edu. au/ ~hwatt/ students/ A%20Suryani_Jurnal%20I%20Komunikasi_2004.pdf[diakses januari 2009]
128
Tati. 2004. Pengaruh Tekanan Ekonomi keluarga, Dukungan Sosial, dan Kualitas Perkawinan terhadap Pengasuhan Anak [tesis]. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Tempointeraktif.2004. Sebagian Besar TKI Kabupaten Sukabumi Illegal. http:// www. tempointeraktif. com/ hg/ nusa/ 2004/ 10/ 19/ brk, 2004 10 19-47, id. html [diakses Februari 2009]
Turner dan Helms. 1991. Lifespan Development (4th edition). USA: Holt Rinehart and Winston, Inc
Undang-Undang No. 39 Tahun 2004. 2005. Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Yogyakarta: Pustaka Sakti.
Wibono, I. 2007. “Sosialisasi pada Anak” dalam Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Gunarsa dan Gunarsa). Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Wisnubrono. 2007. http:// agungpw. blogspot. com/ 2007/ 09/ selamat-datang.
html [diakses 18 Februari 2009]
LAMPIRAN
130
Lampiran 1 Kepemilikan aset sebelum dan setelah istri menjadi TKW (n=47)
No Aset Pra TKW (%) Saat TKW (%) Kenaikan (%) 1 Rumah 51.06 76.60 25.54 2 Lahan 5.32 12.23 6.91 3 Transportasi 3.40 12.77 9.37 4 Elektronik 17.60 34.43 16.83 5 Furniture 68.09 91.49 23.40 6 Perhiasan 19.15 34.04 14.89 7 Perlengkapan dapur 38.30 71.28 32.98 8 Ternak 19.15 27.66 8.51
Rata-rata kenaikan 17.30 Lampiran 2 Keadaan tempat tinggal sebelum dan setelah istri menjadi TKW
(n=47)
No Keadaan Tempat Tinggal Pra TKW (%)
Pasca TKW (%)
1 Status Kepemilikan Rumah
Rumah sendiri 51.1 72.3 Kontrak 6.4 0 Orangtua 42.6 25.5 Lainnya 0 2.1
2 Kepemilikan Rumah Lebih dari Dua
Ya 6.4 10.6
Tidak 93.6 89.4
3 Kepadatan Rumah < 8m2 17 6.4 ≥ 8 m2 83 93.6
4 Tipe Dinding
Bambu 17.0 12.8 Kayu 4.3 2.1 Sebagian tembok 14.9 10.6
Tembok 63.8 74.5 Lainnya
5 Tipe Atap
Genting 91.5 89.4 Seng 0 0 Asbes 4.3 4.3 Nifah 4.3 6.4 Lainnya
6 Tipe Lantai
Keramik 59.6 68.1 Ubin 10.6 4.3 Semen 10.6 12.8 Tanah 8.5 6.4 Lainnya 10.6 8.5
7 Ventilasi Rumah
Cukup 97.9 97.9
Tidak cukup 2.1 2.1
8 Sumber Air minum
Air sungai/air hujan 6.4 6.4
Sumur/mata air 76.6 70.2 Ledeng/PAM 17.0 21.3 Lainnya (air galon) 0 2.1
9 Kepemilikan kamar mandi Ya 78.7 80.9 Tidak 21.3 19.1
131
Lampiran 3 Frekuensi makan pada keluarga saat ini
No Sumber Pangan 1 (%)
2 (%)
3 (%)
4 (%)
5 (%)
Rata-rata Frekuensi per bulan
Karbohidrat 1 Nasi 100 0 0 0 0 77.87 2 Kentang 0 0 6.38 10.64 82.98 0.81 3 Mie 21.28 2.13 68.08 0 8.5 13.15 4 Roti 19.15 0 36.17 17.02 27.66 10.04 5 Jagung 2.13 0 2.13 10.64 85.11 0.83 6 Umbi-umbian 6.38 2.13 19.15 38.30 34.04 3.62 7 Lainnya 0.64 Protein 1 Telor 14.89 2.13 61.70 14.89 6.38 10.26 2 Daging ayam 2.13 0 17.02 27.65 53.19 1.77
3 Daging (sapi, kambing, kerbau)
0 0 2.13 17.02 80.85 0.45
4 Ikan (tawar, laut) 76.60 4.26 12.76 4.26 2.13 45.06 5 Ikan asin 55.32 0 29.79 8.51 6.38 27 6 Tempe 29.79 0 51.06 12.76 6.38 17.53 7 Tahu 23.40 0 38.30 12.76 25.53 11.06 Buah 1 Pisang 4.26 0 36.17 14.89 44.68 3.94 2 Pepaya 2.13 0 31.91 14.89 51.06 2.57 3 Jeruk 2.13 0 38.30 31.91 27.70 3.45 4 Lainnya 2.13 0 14.89 10.64 72.34 1.68 Sayuran 1 Kangkung 2.13 0 53.19 6.38 38.30 3.62 2 Bayam 2.13 0 42.55 6.38 48.94 2.74 3 Sup 2.13 0 59.57 6.38 31.91 4.64 4 Kacang-kacangan 2.13 0 42.55 8.51 46.81 2.62 5 Lainnya 2.13 12.76 29.79 6.38 48.94 5.43
Keterangan: 1= setiap hari (1-3 kali) 2= 5-7 kali perminggu 3= 1-4 kali perminggu 4= 1-3 kali perbulan per bulan 5= lebih dari 1 bulan atau tidak sama sekali
132
Lampiran 4 Pengasuhan dimensi penerimaan ibu (ra TKW), pengganti ibu (saat TKW), ayah (saat TKW)
No Pengasuhan Penerimaan Tidak
pernahKadang-kadang Sering
% % % Ibu (n=47)
1 Mencintai dengan hangat pada anak (memeluk, mengelus kepala anak, dll)
4.26 29.79 65.96
2 Membantu anak mengerjakan sesuatu yang penting (PR dari sekolah, belajar, dll)
23.40 27.66 46.81
3 Mengatakan cinta pada anak 10.64 27.66 61.70 4 Sangat peduli dengan anak 2.13 10.64 87.23 5 Tertawa bersama apabila ada hal-hal
yang lucu 4.26 23.40 72.34
Pengganti ibu (n=35) 1 Mencintai dengan hangat pada anak
(memeluk, mengelus kepala anak, dll) 11.43 31.43 57.14
2 Membantu anak mengerjakan sesuatu yang penting (PR dari sekolah, belajar, dll)
51.43 22.86 25.71
3 Mengatakan cinta pada anak 25.71 20.00 54.29 4 Sangat peduli dengan anak 0 20.00 80.00 5 Tertawa bersama apabila ada hal-hal
yang lucu 8.57 37.14 82.86
Ayah (n=47) 1 Mencintai dengan hangat pada anak
(memeluk, mengelus kepala anak, dll) 6.38 36.17 57.45
2 Membantu anak mengerjakan sesuatu yang penting (PR dari sekolah, belajar, dll)
34.04 44.68 21.28
3 Mengatakan cinta pada anak 10.64 29.79 59.57 4 Sangat peduli dengan anak 2.13 12.77 85.11 5 Tertawa bersama apabila ada hal-hal
yang lucu 4.26 29.79 65.96
133
Lampiran 5 Pengasuhan dimensi penolakan ibu (Pra TKW), pengganti ibu (saat TKW), ayah (saat TKW)
No Pengasuhan Kehangatan Tidak
pernahKadang-kadang Sering
% % % Ibu (n=47)
1 Membentak atau berteriak pada anak saat marah
34.04 46.81 19.15
2 Mengancam apabila tidak menuruti perintah
61.70 19.15 19.15
3 Memukul anak 72.34 21.28 6.38 4 Berbicara kasar dengan anak 70.21 25.53 4.26 5 Memanggil anak dengan panggilan
yang jelek 87.23 10.67 2.13
Pengganti ibu (n=35)1 Membentak atau berteriak pada anak
saat marah 37.45 37.45 25.71
2 Mengancam apabila tidak menuruti perintah
65.71 17.14 17.14
3 Memukul anak 85.71 11.43 2.86 4 Berbicara kasar dengan anak 48.94 22.86 11.43 5 Memanggil anak dengan panggilan
yang jelek 94.29 2.86 2.86
Ayah (n=47) 1 Membentak atau berteriak pada anak
saat marah 46.81 44.68 8.51
2 Mengancam apabila tidak menuruti perintah
61.80 25.53 12.77
3 Memukul anak 76.60 23.40 0 4 Berbicara kasar dengan anak 72.34 25.53 2.13 5 Memanggil anak dengan panggilan
yang jelek 91.49 6.38 2.13
134
Lampiran 6 Komunikasi ibu dan anak (n=47)
No Komunikasi Ibu dan Anak Tidak
PernahKadang-kadang Sering
% % % 1 Ibu meluangkan waktu untuk berbicara
dengan anak kapanpun anak memerlukan
29.79 57.45 12.77
2 Anak lebih suka berbicara dengan ibu dibanding dengan anggota keluarga lain
40.43 46.81 12.77
3 Ibu menanyakan dan ingin tahu mengapa anak pulang terlambat
80.85 14.89 4.26
4 Ibu selalu bersungguh-sungguh dan bersikap positif membantu menyelesaikan masalah-masalah anak
25.53 51.06 23.40
5 Ibu selalu menasehati anak 12.77 44.68 42.55 6 Anak selalu mendengarkan nasehat
yang diberikan oleh ibu 12.77 38.30 51.06
7 Ibu menyediakan waktu untuk berbicara sesuatu yang pribadi menyangkut anak,misalnya hubungan anak dengan teman (persahabatan dan pertengkaran)
63.83 29.79 6.38
8 Ibu sering bertanya tentang teman-teman anak di sekolah maupun di rumah
23.40 12.77 63.83
9 Ibu sering memuji dan bangga ketika anak melakukan/mendapat hal yang baik misalnya nilai rapor yang baik
31.91 40.43 27.66
10 Ibu mendengarkan/menanyakan saran/pendapat anak mengenai sesuatu seperti dalam membuat peraturan di rumah sehingga anak merasa dihargai
34.04 48.94 17.02
135
Lampiran 7 Bonding ibu dan anak (n=47)
No Bonding Ibu dan Anak Tidak
PernahKadang-kadang Sering
% % % 1 Ibu adalah kawan anak yang paling
dekat yang bisa anak ajak ngobrol tentang apa saja
29.79 61.70 8.51
2 Meskipun anak tidak memberitahu, ibu dapat merasakan kalau anak ada kesulitan
29.79 23.40 46.81
3 Jika anak memang mempunyai masalah anak lebih suka menceritakannya kepada ibu daripada oranglain
42.55
48.94 8.51
4 Ibu bersedia memperhatikan dan mendengarkan jika anak mendapat masalah
19.15 59.57 21.28
5 Ibu selalu membantu menyelesaikan masalah yang terjadi pada anak
19.15 63.83 17.02
6 Kalau perlu uang tambahan, anak lebih suka meminta kepada ibu daripada bapak
59.57 31.91 8.51
7 Anak sedih dan merasa kesepian bila ditinggal ibu terlalu lama
12.77 53.19 34.04
8 Ibu paling tahu kegemaran (hobi) anak
31.91 19.15 48.94
9 Ibu mengetahui dan memantau aktivitas anak bila di luar jam sekolah
59.57 17.02 23.40
10 Ibu tahu dan mengenal teman-teman anak
21.28 36.17 42.55
136
Lampiran 8 Komunikasi ayah dan anak (n=47)
No Komunikasi Ayah dan Anak Tidak
PernahKadang-kadang Sering
% % % 1 Ayah meluangkan waktu untuk
berbicara dengan anak kapanpun anak memerlukan
6.38 44.68 48.94
2 Anak lebih suka berbicara dengan ayah dibanding dengan anggota keluarga lain
12.77 48.96 38.30
3 Ayah menanyakan dan ingin tahu mengapa anak pulang terlambat
25.53 31.91 42.55
4 Ayah selalu bersungguh-sungguh dan bersikap positif membantu menyelesaikan masalah-masalah anak
12.77 27.66 59.57
5 Ayah selalu menasehati anak 4.26 14.89 80.85 6 Anak selalu mendengarkan nasehat
yang diberikan oleh ayah 2.13 17.06 80.85
7 Ayah menyediakan waktu untuk berbicara sesuatu yang pribadi menyangkut anak,misalnya hubungan anak dengan teman (persahabatan dan pertengkaran)
31.91 46.81 21.28
8 Ayah sering bertanya tentang teman-teman anak di sekolah maupun di rumah
23.40 38.30 38.30
9 Ayah sering memuji dan bangga ketika anak melakukan/mendapat hal yang baik misalnya nilai rapor yang baik
14.89 31.91 53.19
10 Ayah mendengarkan/menanyakan saran/pendapat anak mengenai sesuatu seperti dalam membuat peraturan di rumah sehingga anak merasa dihargai
14.89 48.94 36.17
137
Lampiran 9 Bonding ayah dan anak (n=47)
No Bonding Ayah dan Anak Tidak
PernahKadang-kadang Sering
% % % 1 Ayah adalah kawan anak yang paling
dekat yang bisa anak ajak ngobrol tentang apa saja
10.64 53.19 36.17
2 Meskipun anak tidak memberitahu, ayah dapat merasakan kalau anak ada kesulitan
27.66 38.30 34.04
3 Jika anak memang mempunyai masalah anak lebih suka menceritakannya kepada ayah daripada oranglain
14.89 51.06 34.04
4 Ayah bersedia memperhatikan dan mendengarkan jika anak mendapat masalah
8.51 55.32 36.17
5 Ayah selalu membantu menyelesaikan masalah yang terjadi pada anak
10.64 31.91 57.45
6 Kalau perlu uang tambahan, anak lebih suka meminta kepada ayah daripada bapak
6.38 34.04 59.57
7 Anak sedih dan merasa kesepian bila ditinggal ayah terlalu lama
29.79 31.91 38.30
8 Ayah paling tahu kegemaran (hobi) anak
14.89 29.79 55.32
9 Ayah mengetahui dan memantau aktivitas anak bila di luar jam sekolah
12.77 27.66 59.57
10 Ayah tahu dan mengenal teman-teman anak
12.77 40.43 46.81
138
Lampiran 10 Komunikasi suami dan istri (n=47)
No Komunikasi Suami dan Istri Tidak
PernahKadang-kadang Sering
% % % 1 Saya dan istri saya selalu
meluangkan untuk berbicara kapanpun kami memerlukannya
4.26 34.04 61.70
2 Saya lebih senang berbicara dengan istri daripada orang lain (saudara, teman, dll)
12.77 23.40 63.83
3 Saya dan istri membicarakan masalah pendidikan anak
10.64 17.02 72.34
4 Saya dan istri membicarakan rasa cinta diantara kami
12.77 23.40 63.83
5 Saya dan istri sering konflik dalam mendisiplinkan anak*
2.13 63.83 34.04
6 Saya dan istri sering konflik dalam pengasuhan anak*
2.13 63.83 34.04
7 Saya dan istri membicarakan mengenai teman kami
42.55 38.30 19.15
8 Saya marah atau memaki istri* 4.26 48.94 46.81 9 Istri saya marah atau memaki saya* 14.89 40.43 44.68 10 Saya dan istri saling menghargai 0.00 4.26 95.74
Lampiran 11 Bonding suami dan istri (n=47)
No Bonding Suami dan Istri Tidak
PernahKadang-kadang Sering
% % % 1 Istri adalah kawan yang paling dekat
yang bisa saya ajak ngobrol tentang apa saja
6.38 27.66 65.96
2 Meskipun saya tidak memberitahu, istri dapat merasakan kalau anak ada kesulitan
25.53 25.53 48.94
3 Jika saya memang mempunyai masalah, saya lebih suka menceritakannya kepada istri daripada oranglain
10.64 25.53 63.83
4 Istri bersedia memperhatikan dan mendengarkan jika saya mendapat masalah
8.51 25.53 65.96
5 Istri selalu membantu menyelesaikan masalah yang terjadi pada saya
10.64 27.66 61.70
6 Saya menyerahkan dan mempercayakan pengelolaan uang gaji atau upah kerja pada istri
23.40 19.15 57.45
7 Saya sedih dan merasa kesepian bila ditinggal istri terlalu lama
6.38 31.91 61.70
8 Istri paling tahu kegemaran (hobi) saya
17.02 29.79 53.19
9 Istri mengetahui aktivitas saya di luar rumah
17.02 17.02 65.96
10 Istri saya tahu dan mengenal teman-teman saya
6.38 51.06 42.55
139
Lampiran 12 Stres Anak (n=47)
No Pernyataan Tidak
pernah (%)
Kadang-kadang
(%)
Sering (%)
Kondisi Perasaan (emosi) 1 Suka mengalami kecemasan 27.66 38.30 34.04 2 Merasa cepat marah 36.17 25.53 38.30 3 Suka mengalami kekecewaan (frustasi) 29.79 27.66 40.43 4 Suka merasa jenuh atau bosan 23.40 38.30 2.13 Perilaku 1 Suka melakukan kekeliruan 40.43 42.55 17.02 2 Suka mengalami kecelakaan 44.68 23.40 31.91
3 Mengalami perubahan pola makan (tidak nafsu makan) 42.55 36.17 21.28
4 Mengalami perubahan pola tidur (sulit tidur) 46.81 19.15 34.04
Kondisi Pikiran 1 Akhir-akhir ini sulit berkonsentrasi 38.30 34.04 27.66 2 Akhir-akhir ini sulit mengingat sesuatu 42.55 23.40 34.04 3 Akhir-akhir ini sulit mengambil keputusan 44.68 23.40 31.91
4 Akhir-akhir ini merasa tidak kreatif dalam memecahkan masalah 42.55 21.28 36.17
Kondisi Fisik 1 Akhir-akhir ini suka berkeringat banyak 38.30 34.04 27.66
2 Akhir-akhir ini suka merasa sakit kepala (pusing) 42.55 23.40 34.04
3 Akhir-akhir ini suka merasa mual 44.68 23.40 31.91
4 Akhir-akhir ini suka merasa sakit-sakit badan 42.55 21.28 36.17
140
Lampiran 13 Hasil uji beda Independent Sample T-test pengasuhan dimensi penerimaan (acceptance) oleh ibu (pra TKW) dan pengganti ibu (saat TKW)
Group Statistics
47 2.62 .573 .08435 2.46 .701 .11847 2.26 .820 .12035 1.74 .852 .14447 2.51 .688 .10035 2.29 .860 .14547 2.85 .416 .06135 2.80 .406 .06947 2.68 .556 .08135 2.46 .657 .111
kode1212121212
accep1
accep2
accep3
accep4
accep5
N Mean Std. DeviationStd. Error
Mean
Keterangan: Accep1 : Mencintai dengan hangat pada anak (memeluk, mengelus kepala anak, dll) Accep2 : Membantu anak mengerjakan sesuatu yang penting (PR dari sekolah, belajar, dll) Accep3 : Mengatakan cinta pada anak Accep4 : Sangat peduli dengan anak Accep5 : Tertawa bersama apabila ada hal-hal yang lucu
1 : Pengasuhan Ibu sebelum menjadi TKW 2 : Pengasuhan Pengganti ibu saat ibu menjadi TKW
141
Independent Samples Test
3.368 .070 1.136 80 .259 .160 .141 -.120 .440
1.103 64.492 .274 .160 .145 -.130 .449
.195 .660 2.753 80 .007 .512 .186 .142 .883
2.737 71.824 .008 .512 .187 .139 .886
5.434 .022 1.316 80 .192 .225 .171 -.115 .565
1.274 63.447 .207 .225 .177 -.128 .578
.854 .358 .556 80 .580 .051 .092 -.132 .234
.558 74.361 .579 .051 .092 -.131 .234
3.891 .052 1.667 80 .099 .224 .134 -.043 .491
1.627 66.023 .109 .224 .138 -.051 .498
Equal variancesassumedEqual variancesnot assumedEqual variancesassumedEqual variancesnot assumedEqual variancesassumedEqual variancesnot assumedEqual variancesassumedEqual variancesnot assumedEqual variancesassumedEqual variancesnot assumed
accep1
accep2
accep3
accep4
accep5
F Sig.
Levene's Test forEquality of Variances
t df Sig. (2-tailed)Mean
DifferenceStd. ErrorDifference Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
t-test for Equality of Means
142
Lampiran 14 Hasil uji beda Independent Sample T-test pengasuhan dimensi penerimaan (acceptance) oleh Ibu (pra TKW) dan ayah (saat TKW)
Group Statistics
47 2.62 .573 .08447 2.51 .621 .09147 2.26 .820 .12047 1.87 .741 .10847 2.51 .688 .10047 2.49 .688 .10047 2.85 .416 .06147 2.83 .433 .06347 2.68 .556 .08147 2.62 .573 .084
kode1313131313
accep1
accep2
accep3
accep4
accep5
N Mean Std. DeviationStd. Error
Mean
Accep1 : Mencintai dengan hangat pada anak (memeluk, mengelus kepala anak, dll) Accep2 : Membantu anak mengerjakan sesuatu yang penting (PR dari sekolah, belajar, dll) Accep3 : Mengatakan cinta pada anak Accep4 : Sangat peduli dengan anak Accep5 : Tertawa bersama apabila ada hal-hal yang lucu
1 : Pengasuhan Ibu sebelum menjadi TKW 3 : Pengasuhan Ayah saat ibu menjadi TKW
143
Independent Samples Test
1.173 .282 .863 92 .390 .106 .123 -.138 .351
.863 91.410 .390 .106 .123 -.138 .351
2.690 .104 2.376 92 .020 .383 .161 .063 .703
2.376 91.062 .020 .383 .161 .063 .703
.005 .944 .150 92 .881 .021 .142 -.260 .303
.150 92.000 .881 .021 .142 -.260 .303
.204 .653 .243 92 .809 .021 .088 -.153 .195
.243 91.845 .809 .021 .088 -.153 .195
.559 .457 .548 92 .585 .064 .116 -.167 .295
.548 91.915 .585 .064 .116 -.167 .295
Equal variancesassumedEqual variancesnot assumedEqual variancesassumedEqual variancesnot assumedEqual variancesassumedEqual variancesnot assumedEqual variancesassumedEqual variancesnot assumedEqual variancesassumedEqual variancesnot assumed
accep1
accep2
accep3
accep4
accep5
F Sig.
Levene's Test forEquality of Variances
t df Sig. (2-tailed)Mean
DifferenceStd. ErrorDifference Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
t-test for Equality of Means
144
Lampiran 15 Hasil uji beda Independent Sample T-test pengasuhan dimensi penerimaan (acceptance) oleh pengganti ibu (saat TKW) dan ayah (saat TKW)
Group Statistics
35 2.46 .701 .11847 2.51 .621 .09135 1.74 .852 .14447 1.87 .741 .10835 2.29 .860 .14547 2.49 .688 .10035 2.80 .406 .06947 2.83 .433 .06335 2.46 .657 .11147 2.62 .573 .084
kode2323232323
accep1
accep2
accep3
accep4
accep5
N Mean Std. DeviationStd. Error
Mean
Accep1 : Mencintai dengan hangat pada anak (memeluk, mengelus kepala anak, dll) Accep2 : Membantu anak mengerjakan sesuatu yang penting (PR dari sekolah, belajar, dll) Accep3 : Mengatakan cinta pada anak Accep4 : Sangat peduli dengan anak Accep5 : Tertawa bersama apabila ada hal-hal yang lucu
2 : Pengasuhan Pengganti ibu saat ibu menjadi TKW 3 : Pengasuhan ayah saat ibu menjadi TKW
145
Independent Samples Test
.890 .348 -.365 80 .716 -.053 .146 -.345 .238
-.359 68.185 .721 -.053 .149 -.351 .244
3.600 .061 -.734 80 .465 -.129 .176 -.480 .221
-.719 67.280 .475 -.129 .180 -.489 .230
5.309 .024 -1.191 80 .237 -.204 .171 -.544 .137
-1.153 63.447 .253 -.204 .177 -.556 .149
.219 .641 -.316 80 .753 -.030 .094 -.217 .158
-.319 75.837 .750 -.030 .093 -.216 .156
2.017 .159 -1.173 80 .244 -.160 .136 -.431 .111
-1.150 67.424 .254 -.160 .139 -.437 .118
Equal variancesassumedEqual variancesnot assumedEqual variancesassumedEqual variancesnot assumedEqual variancesassumedEqual variancesnot assumedEqual variancesassumedEqual variancesnot assumedEqual variancesassumedEqual variancesnot assumed
accep1
accep2
accep3
accep4
accep5
F Sig.
Levene's Test forEquality of Variances
t df Sig. (2-tailed)Mean
DifferenceStd. ErrorDifference Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
t-test for Equality of Means
146
Lampiran 16 Hasil uji beda Independent Sample T-test pengasuhan penolakan (rejection) oleh ibu (pra tkw) dan pengganti ibu (saat tkw)
Group Statistics
47 1.85 .722 .10535 1.89 .796 .13547 1.57 .801 .11735 1.51 .781 .13247 1.34 .600 .08835 1.17 .453 .07747 1.34 .562 .08235 1.46 .701 .11847 1.15 .416 .06135 1.09 .373 .063
kode1212121212
rejec1
rejec2
rejec3
rejec4
rejec5
N Mean Std. DeviationStd. Error
Mean
Keterangan: Rejec1 : Membentak atau berteriak pada anak saat marah Rejec2 : Mengancam apabila tidak menuruti perintah Rejec3 : Memukul anak Rejec4 : Berbicara kasar dengan anak Rejec5 : Memanggil anak dengan panggilan yang jelek
1 : Pengasuhan ibu sebelum menjadi TKW 2 : Pengasuhan pengganti ibu saat ibu menjadi TKW
147
Independent Samples Test
.679 .412 -.206 80 .837 -.035 .168 -.370 .300
-.203 69.199 .840 -.035 .171 -.375 .306
.165 .686 .340 80 .735 .060 .177 -.292 .412
.341 74.370 .734 .060 .176 -.291 .411
6.959 .010 1.396 80 .167 .169 .121 -.072 .410
1.454 79.976 .150 .169 .116 -.062 .400
3.076 .083 -.837 80 .405 -.117 .140 -.394 .161
-.810 63.640 .421 -.117 .144 -.405 .171
1.797 .184 .711 80 .479 .063 .089 -.114 .240
.722 77.157 .472 .063 .088 -.111 .238
Equal variancesassumedEqual variancesnot assumedEqual variancesassumedEqual variancesnot assumedEqual variancesassumedEqual variancesnot assumedEqual variancesassumedEqual variancesnot assumedEqual variancesassumedEqual variancesnot assumed
rejec1
rejec2
rejec3
rejec4
rejec5
F Sig.
Levene's Test forEquality of Variances
t df Sig. (2-tailed)Mean
DifferenceStd. ErrorDifference Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
t-test for Equality of Means
148
Lampiran 17 Hasil uji beda Independent Sample T-test pengasuhan dimensi penolakan (rejection) oleh ibu (pra tkw) dan ayah (saat tkw)
Group Statistics
47 1.85 .722 .10547 1.62 .644 .09447 1.57 .801 .11747 1.51 .718 .10547 1.34 .600 .08847 1.23 .428 .06247 1.34 .562 .08247 1.30 .507 .07447 1.15 .416 .06147 1.11 .375 .055
kode1313131313
rejec1
rejec2
rejec3
rejec4
rejec5
N Mean Std. DeviationStd. Error
Mean
Keterangan: Rejec1 : Membentak atau berteriak pada anak saat marah Rejec2 : Mengancam apabila tidak menuruti perintah Rejec3 : Memukul anak Rejec4 : Berbicara kasar dengan anak Rejec5 : Memanggil anak dengan panggilan yang jelek
1 : Pengasuhan ibu sebelum menjadi TKW 3 : Pengasuhan ayah saat ibu menjadi TKW
149
Independent Samples Test
.001 .980 1.658 92 .101 .234 .141 -.046 .514
1.658 90.847 .101 .234 .141 -.046 .514
1.225 .271 .407 92 .685 .064 .157 -.248 .375
.407 90.941 .685 .064 .157 -.248 .376
5.152 .026 .990 92 .325 .106 .107 -.107 .320
.990 83.192 .325 .106 .107 -.107 .320
.693 .407 .385 92 .701 .043 .110 -.177 .262
.385 91.030 .701 .043 .110 -.177 .262
.970 .327 .521 92 .604 .043 .082 -.120 .205
.521 91.030 .604 .043 .082 -.120 .205
Equal variancesassumedEqual variancesnot assumedEqual variancesassumedEqual variancesnot assumedEqual variancesassumedEqual variancesnot assumedEqual variancesassumedEqual variancesnot assumedEqual variancesassumedEqual variancesnot assumed
rejec1
rejec2
rejec3
rejec4
rejec5
F Sig.
Levene's Test forEquality of Variances
t df Sig. (2-tailed)Mean
DifferenceStd. ErrorDifference Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
t-test for Equality of Means
150
Lampiran 18 Hasil uji beda Independent Sample T-test pengasuhan penolakan (rejection) oleh pengganti ibu (saat tkw) dan ayah (saat tkw)
Group Statistics
35 1.89 .796 .13547 1.62 .644 .09435 1.51 .781 .13247 1.51 .718 .10535 1.17 .453 .07747 1.23 .428 .06235 1.46 .701 .11847 1.30 .507 .07435 1.09 .373 .06347 1.11 .375 .055
kode2323232323
rejec1
rejec2
rejec3
rejec4
rejec5
N Mean Std. DeviationStd. Error
Mean
Keterangan: Rejec1 : Membentak atau berteriak pada anak saat marah Rejec2 : Mengancam apabila tidak menuruti perintah Rejec3 : Memukul anak Rejec4 : Berbicara kasar dengan anak Rejec5 : Memanggil anak dengan panggilan yang jelek
2 : Pengasuhan pengganti ibu sebelum menjadi TKW 3 : Pengasuhan ayah saat ibu menjadi TKW
151
Independent Samples Test
1.055 .307 1.688 80 .095 .269 .159 -.048 .585
1.637 64.021 .107 .269 .164 -.059 .597
.342 .560 .022 80 .983 .004 .166 -.328 .335
.022 69.847 .983 .004 .169 -.333 .340
1.059 .306 -.639 80 .524 -.063 .098 -.258 .132
-.634 71.044 .528 -.063 .099 -.260 .134
6.474 .013 1.195 80 .236 .159 .133 -.106 .425
1.141 59.065 .259 .159 .140 -.120 .439
.206 .652 -.247 80 .805 -.021 .084 -.187 .146
-.247 73.564 .805 -.021 .084 -.187 .146
Equal variancesassumedEqual variancesnot assumedEqual variancesassumedEqual variancesnot assumedEqual variancesassumedEqual variancesnot assumedEqual variancesassumedEqual variancesnot assumedEqual variancesassumedEqual variancesnot assumed
rejec1
rejec2
rejec3
rejec4
rejec5
F Sig.
Levene's Test forEquality of Variances
t df Sig. (2-tailed)Mean
DifferenceStd. ErrorDifference Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
t-test for Equality of Means
152
Lampiran 19 Hasil uji beda Independent Sample T-test interaksi ibu-anak dan ayah-anak
Group Statistics
10 1.8170 .36991 .1169810 2.3468 .28102 .0888710 1.9340 .27052 .0855510 2.3277 .16968 .05366
kode1212
kom
bon
N Mean Std. DeviationStd. Error
Mean
Keterangan:
1 : ibu dan anak 2 : ayah dan anak
Independent Samples Test
.475 .500 -3.606 18 .002 -.52979 .14690 -.83842 -.22115
-3.606 16.793 .002 -.52979 .14690 -.84002 -.21955
4.142 .057 -3.898 18 .001 -.39362 .10098 -.60577 -.18146
-3.898 15.132 .001 -.39362 .10098 -.60869 -.17855
Equal variancesassumedEqual variancesnot assumedEqual variancesassumedEqual variancesnot assumed
kom
bon
F Sig.
Levene's Test forEquality of Variances
t df Sig. (2-tailed)Mean
DifferenceStd. ErrorDifference Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
t-test for Equality of Means
153
Lampiran 20 Hasil uji beda Independent Sample T-test Interaksi ibu-anak dan interaksi ayah-anak
Group Statistics
10 1.8770 .18667 .0590310 2.3390 .21089 .06669
kodeintr12
intrksiN Mean Std. Deviation
Std. ErrorMean
Independent Samples Test
.312 .583 -5.187 18 .000 -.46200 .08906 -.64911 -.27489
-5.187 17.738 .000 -.46200 .08906 -.64931 -.27469
Equal variancesassumedEqual variancesnot assumed
intrksiF Sig.
Levene's Test forEquality of Variances
t df Sig. (2-tailed)Mean
DifferenceStd. ErrorDifference Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
t-test for Equality of Means
154
Lampiran Hasil Uji Regresi Lampiran 21 Faktor yang mempengaruhi kualitas perkawinan
Variables Entered/Removed b
intaasi,pentots,jka, jak,asuhpia,pddk_ibu,lamatkw,intkomia,dsjumlah,pddk_ay,nourut
a
. Enter
Model1
VariablesEntered
VariablesRemoved Method
All requested variables entered.a.
Dependent Variable: kuaperb.
Model Summary
.711a .505 .350 3.107Model1
R R SquareAdjustedR Square
Std. Error ofthe Estimate
Predictors: (Constant), intaasi, pentots, jka, jak,asuhpia, pddk_ibu, lamatkw, intkomia, dsjumlah,pddk_ay, nourut
a.
155
ANOVA b
344.868 11 31.352 3.249 .004a
337.771 35 9.651682.638 46
RegressionResidualTotal
Model1
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Predictors: (Constant), intaasi, pentots, jka, jak, asuhpia, pddk_ibu, lamatkw,intkomia, dsjumlah, pddk_ay, nourut
a.
Dependent Variable: kuaperb.
Coefficients a
2.315 6.192 .374 .711.341 .405 .129 .841 .406
-2.012 1.005 -.259 -2.001 .0531.179 .727 .255 1.622 .114-.294 .188 -.244 -1.565 .127.083 .415 .028 .200 .843
-.005 .020 -.037 -.251 .803-1.2E-008 .000 -.004 -.025 .980
.137 .165 .126 .828 .413
.056 .047 .170 1.188 .243
.040 .050 .120 .791 .434
.142 .033 .562 4.354 .000
(Constant)jakjkanourutpddk_aypddk_ibulamatkwpentotsdsjumlahasuhpiaintkomiaintaasi
Model1
B Std. Error
UnstandardizedCoefficients
Beta
StandardizedCoefficients
t Sig.
Dependent Variable: kuapera.
156
Lampiran 22 Faktor yang mempengaruhi kondisi anak (keterampilan sosial, stres, prestasi akademik)
Variables Entered/Removed b
kuaper,pentots,jak,asuhpia,jka, pddk_ibu,lamatkw,dsjumlah,intkomia,pddk_ay,intaasi,nourut
a
. Enter
Model1
VariablesEntered
VariablesRemoved Method
All requested variables entered.a.
Dependent Variable: perkbsosb.
157
Model Summary
.731a .534 .359 8.739Model1
R R SquareAdjustedR Square
Std. Error ofthe Estimate
Predictors: (Constant), kuaper, pentots, jak, asuhpia,jka, pddk_ibu, lamatkw, dsjumlah, intkomia, pddk_ay,intaasi, nourut
a.
ANOVA b
2799.091 12 233.258 3.054 .006a
2444.021 32 76.3765243.111 44
RegressionResidualTotal
Model1
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Predictors: (Constant), kuaper, pentots, jak, asuhpia, jka, pddk_ibu, lamatkw,dsjumlah, intkomia, pddk_ay, intaasi, nourut
a.
Dependent Variable: perkbsosb.
158
Coefficients a
91.804 18.168 5.053 .000-1.817 1.170 -.244 -1.553 .1301.594 3.058 .072 .521 .6061.795 2.205 .138 .814 .422
.150 .577 .043 .259 .797-1.601 1.183 -.194 -1.353 .185
-.160 .058 -.420 -2.753 .0103.36E-006 .000 .380 2.536 .016
.328 .472 .108 .695 .492
.263 .145 .281 1.812 .079
.113 .146 .121 .777 .443-.360 .116 -.511 -3.091 .004-.321 .484 -.114 -.663 .512
(Constant)jakjkanourutpddk_aypddk_ibulamatkwpentotsdsjumlahasuhpiaintkomiaintaasikuaper
Model1
B Std. Error
UnstandardizedCoefficients
Beta
StandardizedCoefficients
t Sig.
Dependent Variable: perkbsosa.
159
Lampiran 23 Hasil Wawancara Mendalam (Data Kualitatif) KASUS 1 “Pak Ace Sumpena, Sang Pelaku Fungsi Instrument dan
Ekspresif Keluarga”
Pak Ace Sumpena merupakan nelayan yang baru saja ditinggal istrinya
berangkat menjadi TKW seminggu yang lalu terhitung dari Tanggal wawancara.
Sebelumnya, Pak Ace pernah ditinggal istri menjadi TKW selama 2,5 tahun atau
2 kali pemberangkatan. Pemberangkatan yang pertama tidak sukses karena
TKW mengalami masalah dengan majikan. Majikan tertarik dengan TKW
sehingga TKW memutuskan untuk pulang ke Indonesia untuk menghindari hal-
hal yang tidak diinginkan. Jam kerja TKW sama seperti TKW-TKW Arab Saudi
pada umumnya yaitu mulai pagi dan selesai malam hari sekitar jam 8 malam.
Gajinya juga standar yaitu Rp 2,5 juta rupiah.
Pak Ace merasa sangat sedih akibat kepergian istrinya, namun istrinya
sendiri yang memiliki keinginan untuk bekerja di luar negeri. Motivasi istri bekerja
sebagai TKW yaitu ingin membantu suami memenuhi kebutuhan keluarga
terutama ketika musim paceklik (musim jarang ikan). Kesedihan pak Ace
memang memiliki alasan, kurangnya afeksi antara suami dan istri, lelahnya
dalam mengurusi pekerjaan rumahtangga serta mengurus anak yang harus
dilakukan seorang diri kadang membuatnya stes sehingga beliau berpendapat
bahwa melakukan pengasuhan tanpa adanya istri merupakan perjuangan yang
berat. Anaknya yang masih berumur balita sering menangis bila teringat ibunya
dan bila sudah teringat maka anak akan susah dikendalikan.
Anaknya yang SD tidak bertambah nakal namun anak jadi lebih pendiam
karena anak suka merasa sedih bila teringat akan ibunya. Berat badannya juga
turun sehingga terlihat kurus. Hal ini dikarenakan anak mengalami susah makan
(banyak jajan) dan kemauannya hanya bermain sepanjang hari yang
menyebabkan anak tidak fokus dalam belajar. Hal ini diduga karena anak ingin
menghilangkan rasa kesepian dan kesedihannya dengan bermain dengan
teman-teman. Meskipun kadang anak mengalami hubungan yang tidak baik
dengan teman-temannya, namun secara umum anak dapat bergaul dengan baik.
Teman-temannya bahkan sering diajak ke rumah sehingga bapak kebanyakan
mengenal teman anak.
Perbedaan komunikasi antara suami istri sebelum dan setelah menjadi
TKW sebatas pada frekuensi sering atau tidaknya saja sedangkan kualitas
160
komunikasi dirasakan sama. Konflik yang terjadi antara suami dan istri hampir
dikatakan jarang karena beliau dan istri tidak mengalami konflik yang besar
selama pernikahannya, konflik yang ada merupakan konflik yang sepele dan
dapat segera diselesaikan. Beliau merasa tidak ada perubahan ekonomi antara
sebelum dan setelah istri TKW, karena semua uang yang dihasilkan istri hanya
dialokasikan untuk merenovasi rumah, sebagian kecil saja yang dikirim saat
musim paceklik. Secara psikologis, rasa cinta suami kepada istri justru lebih
meningkat karena sering merasa rindu. Meskipun demikian, Pak Ace mengakui
bahwa beliau pernah memiliki teman wanita untuk memenuhi kebutuhan
biologisnya. Secara keseluruhan beliau menganggap ketidakadaan istri
menyebabkan ketidak seimbangan dalam keluarga.
KASUS 2 “Komitmen Perkawinan yang Terabaikan Akibat Kepergian Istri sebagai TKW”
Ibu yang baru satu minggu pulang dari Arab Saudi ini menceritakan
kisahnya dari masa proses menjadi calon TKW hingga saat dia telah bekerja di
negeri seberang sana. Saat mengurusi persyaratan, dia merasa mendapatkan
kesusahan yang berhubungan dengan tinggi badan, tinggi badannya yang relatif
pendek sedikit menghambat dia saat menjalani proses menjadi TKW. Saat dia
telah menjadi TKW bukan berarti hambatan usai sampai disini. Rumah yang
besar dan kerja keras sangat memforsir tenaganya. Sedikit melakukan kesalahan
dalam pekerjaanya, maka majikan tidak segan-segan untuk membentak dan
mengumpat. Meskipun majikan galak namun majikan tidak pernah sekalipun
memukul beliau. Hambatan seperti ini juga sering dialami oleh TKW Indonesia
yang lain di Arab Saudi. Setiap hari beliau bekerja selama 16 jam yaitu dari jam 8
pagi sampai 12 malam. Beliau mendapat hari libur 1 hari dalam 1 minggu.
Suaminya, Bapak Adang, mengaku bahwa dia mengalami kesedihan
ditinggal istri hanya saat tiga bulan awal saja. Bulan selanjutnya suami mampu
melakukan adaptasi akan keadaan tersebut. Namun dia mengakui bahwa
pengasuhan lebih baik dilakukan saat istri berada di rumah, menurutnya
pengasuhan yang dilakukan bersama antara suami dan istri secara bersama-
sama akan lebih mudah bila dibanding dengan ia harus melakkan pengasuhan
sendiri. Beban dan ketelatenan seorang bapak dalam mengurus anak tidak
sepandai dan selihai istri yang menjalankannya. Selama anak di asuh oleh bapak
161
dengan bantuan nenek, anak tidak banyak mengalami perubahan kepribadian.
Anak tetap dapat melakukan hubungan sosial di dalam dan di luar keluarga
dengan baik. Hanya saja yang terlihat secara kasat mata, berat badan anak lebih
menyusut bila dibandingkan sebelum ibu menjadi TKW. Anak lebih banyak jajan
di warung dari pada makan nasi di rumah.
Keadaan ekonomi keluarga dirasakan ada perubahan sebelum dan
sesudah istri menjadi TKW yaitu hasil upah TKW digunakan untuk merenovasi
rumah. Rumah yang dianggapnya sudah tidak layak membuat mereka kurang
nyaman untuk menempatinya. Bila hanya mengandalkan suami yang bekerja
sebagai nelayan, cita-cita untuk merenovasi rumah mungkin akan terwujud
dalam jangka waktu yang lama. Masalah inilah yang menjadi salah satu motivasi
ibu Irma untuk pergi ke Luar Negeri.
Pak Adang mengaku ada perbedaan komunikasi sebelum dan sesudah
istri menjadi TKW. Meskipun sudah tersedia teknologi komunikasi yang
mempermudah seseorang berhubungan jarak jauh (HP), namun biaya pulsa
yang mahal menyebabkan frekuensi komunikasi harus dikurangi. Selama 1 bulan
mereka berkomunikasi 1-3 kali, intensitas komunikasi dalam satu kali
berkomunikasi kurang lebih 10 menit.
Frekuensi komunikasi yang berkurang semenjak ibu pergi menjadi TKW
serta kebutuhan akan afeksi yang tidak terpenuhi, terutama kebutuhan
biologisnya, menyebabkan suami mengaku mempunyai teman wanita lain untuk
menyalurkan hasrat seksualnya. Teman wanitanya ini adalah seorang PSK yang
sering ditemuinya di Pelabuhan Ratu. Hubungannya dengan PSK bisa dibilang
tidak terikat, karena PSK tidak menuntut hubungan yang lebih asalkan sudah
menerima bayaran yang dianggapnya pantas*.
Pak Adang mengaku lebih merasakan kebahagiaan dan kepuasan
perkawinan sebelum istri menjadi TKW dibandingkan saat istri menjadi TKW. Pak
Adang merasa kesepian terutama saat hasrat seksualnya muncul*. Ibu Irma
mengaku bahwa sebelum dan sesudah menjadi TKW, konflik yang kerap kali
muncul adalah masalah kecemburuan, curiga suami memiliki teman wanita lain,
dan kesalahpahaman dengan teman. Meskipun demikian, istri tetap ingin bekerja
kembali sebagai TKW agar memiliki sawah sendiri sehingga apabila masa
paceklik datang (ikan di laut jarang) keluarga bisa mengandalkan pendapatan
yang diperoleh dari hasil sawah.
*Suami mengungkapkan saat istri tidak bersama suami dan peneliti.
162
KASUS 3 “Meninggalkan Keluarga Demi Menyelesaikan Konflik Ekonomi”
TKW yang telah pulang dari Taiwan ini memiliki alasan mengapa ia dulu
memutuskan untuk pergi ke Taiwan. Alasannya tidak jauh berbeda dengan TKW
lain, alasan ekonomi menjadi sebab utama. Pekerjaan suaminya menjadi
nelayan dengan pendapatan tidak menentu, apalagi di musim paceklik, kerap kali
nelayan tidak mendapatkan ikan di laut. Hal ini menyebabkan tidak ada
pendapatan selama musim paceklik. Kondisi seperti ini yang memaksa beliau
meninggalkan anak dan keluarga selama 6 Tahun. Selama proses pendaftaran
menjadi calon TKW, istri pak Badru ini tidak mengalami hambatan yang berarti.
Semua persyaratan dapat dipenuhi. Di tempat kerjanya, istri pak Badru memiliki
hari libur seminggu satu kali, namun hari libur tersebut tidak digunakan sehingga
beliau mendapat uang tambahan untuk mengupah kerjanya selama hari libur
tersebut.
Bapak Badru mengaku bahwa selama ditinggal istri menjadi TKW, beliau
tidak mengalami kesedihan yang sangat. Bapak badru merasakan adanya
perasaan bahagia istri menjadi TKW. Perasaan bahagia yang ia rasakan karena
pertengkaran yang dahulu terjadi mengenai keuangan dapat teratasi karena
adanya kontribusi ekonomi dari istri yang membantu memenuhi kebutuhan
keluarga. Setelah menjadi TKW, bapak badru justru merasakan bahwa cintanya
kepada istri menjadi lebih besar. Perasaan rindu sering melanda disaat
menjelang tidur.
Selama ibu ilah menjadi TKW, anak kedua diasuh oleh nenek yang
rumahnya tidak terlalu jauh dengan rumahnya. Sedangkan anak ketiga diasuh
oleh suami dan anak paling besar yang telah beranjak dewasa. Anak ketiga ibu
ilah, dandi, merupakan anak yang ringkih, dia sudah sering mengalami sakit-
sakitan sejak masih kecil. Bila merasa capai maka Dandi akan mudah sekali
terserang penyakit. Keadaan ini yang membuatnya tidak banyak bermain
dengan teman-teman seusianya. Dandi merupakan anak yang pendiam dan
penurut. Dalam usia yang relatif muda sekarang ini, dia tidak pernah
meninggalkan solat lima waktu dan selalu berjamaah di masjid. Berat badan
Dandi selama ditinggal ibu menjadi TKW terlihat lebih menurun. Hal ini
dikarenakan kurang perhatian soal makanan oleh orangtuanya, apalagi Dandi
termasuk anak yang agak susah soal makan. Hal ini menyebabkan daya tahan
Dandi semakin menurun.
163
Meskipun keadaanya demikian, Pak Badru mengatakan bahwa
pengasuhan ada atau tanpa ibu tidak ada bedanya. Hal ini diduga karena peran
pengasuhan selama ibu tidak ada digantikan oleh kakak Dandi yang paling
besar. Keadaan keluarga TKW memang serba dilema, bila istri pergi menjadi
TKW perekonomian keluarga semakin baik namun disisi lain afeksi diantara
anggota keluarga semakin melemah, terutama antara anak dan ibu. Dandi dirasa
masih sangat memerlukan perhatian dari ibunya, sehingga apabila keluarga
harus memililih, sebaiknya istri tidak pergi lagi ke luar negeri. Hasil kerja keras
selama di luar negeri dirasakan cukup untuk berinvestasi saat musim paceklik
tiba. Namun bila perekonomian keluarga kembali memburuk, keluarga sepakat
agar anak pertamanya menggantikan ibu bekerja menjadi TKW.
KASUS 4 “Bapak Harun Berguru Spiritual (Agama) demi Menjaga Diri dari Hal-Hal yang Dilarang Agama”
Masalah yang pernah dihadapi istri pak Harun adalah saat awal bulan istri
bekerja sebagai TKW. Adanya kesusahan berkomunikasi dengan majikan
menyebabkan komunikasi yang tidak lancar antara pembantu dan majikan. Hal
ini menyebabkan emosi sering muncul dari majikannya. Karena TKW tidak tahan
akan kegalakan majikan, TKW melarikan diri dari rumah majikan.
Kehidupan keluarga pak Harun sebelum istri berangkat menjadi TKW
tidak jauh dengan masalah ekonomi. Kebutuhan sehari-hari yang kadang susah
untuk dipenuhi menjadi pengganggu keharmonisan keluarga. Namun setelah istri
menjadi TKW berangsur-angsur kehidupan ekonomi mereka membaik. Mereka
dapat membeli rumah yang awalnya mereka kontrak dan merenovasinya.
Kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah anak pun menjadi terjamin. Selain sisi
positif yang hasilkan, terdapat sisi negatif akibat keterpisahan pasangan. Hal ini
berkaitan dengan kepercayaan istri akan komitmen suami menjaga kesetiaan
kadang sering diombang-ambingkan oleh gosip yang beredar. Isu suami sering
pergi keluar rumah dan selingkuh juga kadang menjadi masalah di antara
mereka setelah suami dan istri ini berpisah.
Masalah lain yang tidak dapat dipungkiri adalah masalah dalam menahan
hasrat seksual yang tidak dapat tersalurkan selama istri bekerja menjadi TKW.
Jalan yang ditempuh suami yaitu dengan berpuasa serta secara rutin
mendatangi guru spiritualnya agar jiwa selalu mendapatkan siraman rohani.
164
Dengan demikian, hal-hal buruk yang biasa dilakukan oleh suami-suami TKW di
sekitar tempat tinggalnya seperti berjudi, minum-minuman serta bermain
perempuan dapat dihindari. Beliau berpendapat bahwa hampir 90% suami yang
ditinggal istri menjadi TKW akan melakukan pelampiasan kepada hal yang tidak
terpuji seperti disebutkan di atas.
Beliau mengakui bahwa keluarga lebih bahagia saat mereka sekeluarga
dapat berkumpul bersama. Suka duka di tanggung bersama. Disaat suami
merasa kesepian ataupun kesedihan disebabkan suatu masalah, ada istri yang
selalu menemani, memperhatikan, dan berbagi masalah dengan istri sehingga
masalah dapat terselesaikan dengan perpaduan solusi antara suami dan istri.
Meskipun demikian, secara keseluruhan bapak harun merasakan kepuasan
dalam perkawinannya.
Bapak Harun berpendapat bahwa perolehan materi dari istri bekerja tidak
seimbang dengan resiko yang ditanggung keluarga. Memiliki uang cukup, rumah
bagus, semua materi tercukupi namun merasa hampa tidak dapat berkumpul
dengan istri dan anaknya, tutur bapak harun. Apalagi ketakutan bapak harun atas
pengalaman tetangga-tetangganya bahwa istri yang menjadi TKW memiliki
banyak uang sehingga merasa memiliki kekuatan untuk menghidupi dirinya
sendiri. Apalagi seringkali orang ketiga (mertua) mengompor-ngompori untuk
bercerai. Biasanya layangan cerai mulai muncul dari istri, sehingga beliau
berpikir tidak akan mengijinkan istrinya bekerja menjadi TKW lagi setelah
kepulangannya nanti.
Selama istri mejadi TKW anak tinggal bersama nenek dan kakeknya yang
rumahnya juga tidak jauh dari rumah bapak Harun. Setiap hari bapak dan anak
dapat bertemu, namun demikian anak tidak begitu dekat dengan bapak. Anak
justru lebih lengket dengan neneknya. Anak tidak mengalami penurunan dalam
pertumbuhan. Tubuhnya tumbuh dengan normal. Begitu pula dengan
hubungannya dengan teman-temannya. Anak terlihat mampu bergaul dan
berhubungan baik dengan teman-temannya.
KASUS 5 “Penyesalan Seorang TKW”
Ibu Erna merupakan salah satu TKW Arab Saudi yang memiliki nasib
sangat baik. Beliau memiliki majikan yang sangat nice.Majikannya merupakan
pasangan muda yang baru menikah dan tinggal di rumah yang berbeda dengan
165
keluarga besarnya, berbeda dengan tradisi keluarga Arab pada umumnya yang
tinggal dalam satu rumah besar dengan orangtua dan saudara-saudara mereka.
Majikan yang berumur lebih muda ini lebih menganggap Ibu Erna sebagai
kakaknya, yaitu orang yang sering dipercaya sebagai tempat curhat, sehingga
pekerjaan rumah tangga yang dilakukan tidak menyita tenaga dan diberikan
waktu istirahat yang cukup. Ibu Erna bahkan diminta untuk memperpanjang
kontraknya, namun beliau menolak karena anak pertamanya mengalami penyakit
tipus kronis dimana penyakit tipus tersebut sudah menjalar ke otak.
Ibu Erna sebelum menjadi TKW merupakan penyayi yang sering
diundang untuk mengisi acara di cafe atau di acara pernikahan tetangga-
tetangganya. Selain itu ibu dua anak ini juga berjualan barang dagangan yang
beliau kreditkan ke tetangga-tetangganya. Pendapatan dari pengkreditan ini
terhitung lumayan karena mampu membantu mencukupi kehidupan keluarga.
Selama Ibu Erna menjadi TKW, suami dan anaknya pindah sementara dari
rumah kontrakan ke rumah orangtua Ibu Erna dengan tujuan agar anak ada yang
memperhatikan. Namun karena terlalu dekatnya anak dengan ibu serta ketidak
dekatan anak dengan bapak maka banyak dampak negatif yang dihasilkan akibat
keterpisahan anak dan ibu selama 2 Tahun 3 bulan lalu. Ditambah lagi kesibukan
kakek neneknya sebagai petani dan bapaknya yang tidak banyak waktu bersama
menyebabkan anak kurang perhatian sehingga makanan yang dimakan pun tidak
sehat yaitu mie instan. Kesukaan anak terhadap mie instan yang berlebih
semenjak ditinggal ibu menjadi TKW diduga menjadi salah satu penyebab
penyakit tipus kronis yang diderita anak. Penyakit tersebut akan kambuh bila
anak terlalu banyak bermain dan terlalu banyak terkena sinar matahari langsung.
Awalnya anak akan pingsan hingga tidak sadarkan diri mengigau dan mencracau
tentang mamanya. Bahkan anak suka menyanyikan lagu-lagu yang kerap kali
mamanya nyanyikan disaat tidak sadarkan diri. Hal ini secara tidak langsung
menggambarkan adanya tekanan batin anak karena keterpisahannya dengan
ibu. Selain fisik, akibat buruk juga terjadi pada psikis anak. Anak menjadi nakal,
cepat marah, suka melawan dan tidak takut dengan ibunya. Pergaulan sosial
anak dengan teman laki-lakinya tidak ada masalah namun anak tidak pernah
mau bermain dengan teman yang berjenis kelamin berbeda dengannya. Dia juga
tidak mudah menjalin hubungan baru dengan orang yang lebih dewasa, anak
sering malu-malu bila berhadapan dengan orang lain.
166
Suami Ibu Erna tergolong orang yang pendiam dan jarang berbincang.
Semenjak istri pergi ke Arab Saudi serta suami dan anak pindah ke rumah
mertua, suami jarang pulang ke rumah dan jarang memberi uang setoran hasil
nyopirnya kepada orangtua maupun kepada anak. Beberapa tetangga yang
melaporkan bahwa selama ditinggal istri, suami terseret dalam pergaulan yang
tidak benar, suami sering minum-minuman bahkan ibu Erna mengira-ngira
bahwa suaminya juga bermain dengan wanita lain di belakang selama
keterpisahannya dengan ibu Erna. Namun ibu Erna tidak banyak menuntut
banyak dan hanya bisa pasrah karena beliau menyadari semua kesalahan yang
dilakukan suami adalah akibat kelalaian Ibu Erna sendiri yang meninggalkan
suami dan keluarganya. Namun setelah kepulangan Ibu Erna, suami sedikit demi
sedikit pulih seperti sedia kala, suami jadi sering tinggal di rumah dan kadang
pergi ke masjid untuk solat berjamaah.
Konflik yang terjadi dalam rumah tangga ibu Erna kebanyakan hanya soal
keinginan mereka memiliki rumah sendiri. Ibu Erna mengaku bahwa dalam
perkawinannya yang membuat ia belum puas karena hal tersebut dan hal lain
yang berkaitan dengan ekonomi seperti memiliki angkot sendiri dan memiliki
warung. Sedangkan perubahan komunikasi sebelum dan saat ibu menjadi TKW
hanya berkaitan dengan frekuensi namun pada dasarnya suami ibu Erna
merupakan orang yang pendiam. Ibu juga merasakan bahwa selama beliau
mejadi TKW ada jarak yang memisahkan antara beliau dan suami sehingga
beliau merasa tidak dekat. Ibu Erna merasakan tidak ada perubahan keuangan
sebelum dan setelah ibu Erna menjadi TKW karena sebagian besar gaji beliau
digunakan untuk biaya berobat anak yang selama dua bulan dirawat di rumah
sakit serta berobat jalan yang hingga kini masih dilakukan.
Menurut beliau tidak sebanding antara pendapatan yang dihasilkan dari
TKW dan dampak negatif yang harus ditanggung beliau, suami, dan anak-
anaknya. Beliau memutuskan untuk tidak kembali bekerja menjadi TKW dan
berniat akan menata kembali hubungan beliau dengan suami dan anak. Beliau
kini akan memulai usaha barunya yaitu menernakan ayam agar dapat membantu
ekonomi keluarga.
167
KASUS 6 “Izin Suami yang Berujung pada Kehancuran Keluarga”
Bapak yang berprofesi sebagiai tukang ojek ini memiliki satu anak
perempuan yang berada di akhir kelas 4. Selama ayahnya bekerja, anak
perempuan yang biasa di panggil Nissa ini, lebih banyak menghabiskan waktu
bersama teman-teman dan kakeknya. Menurut analisis dari bapak Pian, semejak
ditinggal ibunya, Nissa tidak mengalami banyak perubahan baik dilihat dari segi
kenakalannya maupun menjadi pemdiamnya. Hal ini dikarenakan anak kurang
kasih sayang dan perhatian dari ibu sehingga semenjak ibunya memutuskan
untuk menjadi TKW , anak-anak lebih dekat dengan ayah.
Anak juga memiliki hubungan yang baik dengan teman-temannya,
terutama dengan kedua sahabatnya yang juga tinggal tidak jauh dari rumahnya.
Anak mengaku lebih banyak menceritakan segala sesuatu kepada kedua
sahabatnya daripada dengan orang lain termasuk orangtua dan keluarganya.
Komunikasi yang terjalin antara Bapak Pian dan istrinya dahulu berjalan
mulus seperti biasa. Namun semenjak istrinya berkeinginan untuk menjadi TKW
dan Bapak Pian tidak mengijinkan, pertengkaran demi pertengkaran mulai
muncul. Namun akhirnya Bapak Pian mengijinkan istrinya untuk berangkat
menjadi TKW karena sedih bila melihat anaknya yang melihat pertengkaran
mereka. Semenjak kepergian istrinya inilah semua masalah yang tidak
dibayangkan sebelumnya mulai muncul. Istri tanpa ada alasan yang jelas
melayangkan permintaan cerai. Bahkan istri tidak mau lagi berbicara melalui
telepon dengan suami. Setiap istri menelepon hanya berbicara dengan anak.
Keinginan istri untuk bercerai disinyalir adanya keterlibatan pihak ke tiga,
yaitu keluarga dari pihak istri yang menginginkan mereka berpisah. Hal ini diduga
karena istri dan keluarga istri menganggap bahwa power istri dalam
perekonomian keluarga lebih kuat, apalagi bila dibandingkan dengan suaminya
yang hanya bekerja sebagai tukang ojek. Selama 2,5 Tahun istri bekerja sebagai
TKW, istri juga tidak pernah mengirim uang bulanan bagi suami maupun
anaknya. Keinginan istri untuk bercerai membuat Bapak Pian sangat menyesali
keputusannya yang telah mengijinkan istri untuk bekerja sebagai TKW.
Beliau berpendapat bahwa apabila memang rumah tangganya tidak dapat
diselamatkan, namun perceraian antara beliau dan istrinya harus berjalan
dengan baik. Bapak Pian tidak ingin cerai lewat telepon. Beliau dan istrinya harus
tatap muka agar bisa dibicarakan masalah apa yang sebenarnya terjadi sehingga
168
membuat istrinya memiliki tekat yang kuat untuk mengakhiri pernikahannya.
Bapak Pian berpendapat bahwa bila ingin berpisah dengan cara baik2, dan bila
ingin bercerai juga dengan cara baik-baik.
Bapak Pian merasa berat mengasuh anak sendiri tanpa istri karena
semua pekerjaan termasuk mencari nafkah, membersihkan rumah, serta
mengasuh anak harus di tanggungnya sendiri sehingga bapak Pian merasa
rutinitasnya tidak seimbang dan tidak maksimal dalam menjalankan
pekerjaannya. Semua kejadian yang menimpanya membuat beliau
berpandangan bahwa mengijinkan suami menjadi TKW bukanlah keputusan
yang bijak. Kehidupan keluarga menjadi tidak seimbang. Keluarga serta anak
mendapatkan imbas yang menyengsarakan mereka.
KASUS 7 “Kelancaran Komunikasi menjadi Salah Satu Tips untuk Menjaga Kualitas Hubungan Keluarga TKW”
Bapak satu anak ini ditinggal istriya menjadi TKW di Singapura selama 2
Tahun. Istrinya pergi menjadi TKW karena suaminya yang bekerja sebagai
kontraktor mengalami kebangkrutan. Bahkan kehidupan keluarganya kini
berbeda jauh bila di banding dengan keadaan saat mereka berjaya. Kini bapak
Soleh mulai merintis usahanya kembali dengan menyewakan motor untuk
diojekkan.
Ibu Yati sudah pulang ke Indonesia sejak dua bulan yang lalu.
Sebenarnya, tinggi badannya yang hanya 155 cm tidak memenuhi syarat
sebagai TKW Singapura. Namun akibat kegigihannya untuk belajar bahasa
Inggris telah membawa dirinya ke Singapura. Selain syarat tinggi badan dan lulus
SMA, syarat lain umumnya sama dengan syarat TKW Negara lain yaitu adanya
surat ijin dari keluarga dan sehat.
TKW Singapura digaji lebih tinggi bila dibanding dengan TKW di negara-
negara lain seperti Malaysia dan Arab Saudi. Pekerjaanya juga tidak terlampau
berat bila di banding dengan TKW Arab Saudi. TKW Singapura memiliki waktu
istirahat cukup yaitu satu jam untuk tidur siang, malam harinya Ibu Yati
beristirahat mulai jam 10 malam hingga jam 7 pagi. Bahkan majikan sangat
memperhatikan kesehatan TKW, setiap enam bulan satu kali TKW Singapura
melakukan medical ceck up dengan biaya yang ditangung majikan.
169
Kehidupan di Singapura sangat memperhatikan kehematan dalam
pemakaian air dan listrik karena sumber air yang digunakakan di Singapura
merupakan air yang di beli dari Malaysia sedangkan listik di Singapura sangatlah
mahal.
Suami mengakui bahwa tidak merasakan stres yang berkepanjangan
selama ditinggal istrinya. Dia menungkapkan bahwa kesedian dan stresnya
hanya tiga bulan awal semenjak keberangkatan istri ke Singapura. Responden
merasakan bahwa keluarganya selalu dalam keadaan yang harmonis. Hanya
saja saat awal kepergiaan istri kadang terjadi masalah akibat masih dalam
proses adaptasi mengatasi kerinduan dan kesepian yang melanda mereka.
Komunikasi yang terjalin antara istri dan suami serta anak tergolong lancar.
Paling tidak selama seminggu sekali mereka selalu melakukan komunikasi
melalui telepon seluler, komunikasi ini tergolong sering bila dibandingkan dengan
keluarga TKW lainnya. Cinta dan afeksi serta kehidupan seksual pun tidak
menjadi masalah selama istri bekerja di Singapura. Mereka mengakui bahwa
keluarganya merupakan keluarga bahagia dan mereka merasa telah memiliki
kepuasan akan kehidupan perkawinan mereka. Hubungan antara istri dan suami
yang tidak mengalami perubahan setelah istri menjadi TKW diduga karena
pasanga tersebut mampu memaintance komunikasi diantara keduanya. Saat
penelitian berlangsung, pasangan ini memang terlihat tidak memiliki kesulitan
yang berarti dalam berkomunikasi dengan pasangan, keluarga, maupun orang
lain. Kemudahan suami dan istri bergaul juga diduga menjadi penyebab
keduanya tidak mengalami stress yang berarti.
Selama istri menjadi TKW, anak dititipkan di rumah neneknya. Tiga
minggu satu kali ayah secara rutin mengunjungi anak. Setiap minggu ayah dan
ibu juga selalu menelepon anak. Meskipun pertumbuhan anak tidak mengalami
penurunan atau penyusutan berat badan namun orangtua merasakan adanya
perubahan pribadi anak setelah dua Tahun ditinggal ibu dan bapaknya. Mereka
merasakan bahwa anak menjadi tidak menuruti perintah orangtua. Nasihat
orangtua kadang tidak di dengarkan oleh anak. Sehingga orangtua berpendapat
bahwa pengasuhan anak lebih baik dilakukan oleh orangtua sekalipun selama ini
pengasuan digantikan oleh nenek. Anak merupakan anak yang tergolong mudah
bergaul dengan teman-temannya. Bahkan dengan orang baru pun anak mudah
menjalin hubungan pertemanan.
170
KASUS 8 “Lika-Liku Perjalanan Seorang TKW”
Istri Pak Yayan merupakan orang yang ketat dan taat dalam menganut
agamanya. Sebelum menjadi TKW, istri pak Yayan merupakan guru Madrasah
Ibtidaiyah (MI). Beliau memilih Arab Saudi sebagai tujuan negara tempat beliau
bekerja karena beliau memperoleh informasi bahwa TKW Arab Saudi lain tidak
mengalami kesulitan dalam beribadah, sedangkan di negara lain seperti
Hongkong atau Taiwan ibadah bagi TKW muslim sangatlah sulit.
Pak Yayan menceritakan kisah istrinya sebagai TKW dari pengalaman
yang lalu. Istri bapak Yayan mengalami manis pahitnya menjadi TKW. Selama
tiga kali pemberangkatan yang telah dilakukan, satu kali pemberangkatan yang
tergolong tidak sukses dan penuh dengan rintangan. Satu kali pemberangkatan
yang tidak sukses ini, istri hanya bertahan 1,5 Tahun dari kontrak kerja 2 Tahun.
Masalah yang menimpa istri bapak Yayan tergolong dalam masalah-masalah
TKW yang kerap dilaporkan selama ini. Masalah pertama yaitu gaji yang tidak
dibayarkan secara penuh. Selama 1,5 Tahun masa kerjanya, TKW hanya
menerima gaji 6 bulan saja. Masalah kedua yaitu menyangkut pada tidak adanya
penghargaan majikan laki-laki terhadap TKW yaitu majikan telah melakukan
percobaan pemerkosaan sehingga memaksa TKW untuk menyelamatkan
kehormatannya dengan cara melarikan diri dan berniat meminta perlindungan
dan bantuan KBRI. Di tengah perjalanan, TKW bertemu dengan polisi namun
karena beliau tidak membawa Pasport maka polisi menyangka bahwa TKW ini
merupakan TKW illegal. Polisi akhirnya membawa TKW ke kantor polisi, karena
TKW tidak memiliki bukti yang kuat maka selama 6 bulan TKW harus mendekam
dalam penjara dan harus menerima ganjaran yang seharusnya tidak dideritanya
tersebut.
Bapak Yayan mengaku sedih ditinggal istri terutama pada moment-
moment seperti anak sakit, ramadhan, dan lebaran. Apalagi bila melihat anak
yang sedang menangis atau menatap foto ibunya jika sedang kangen. Anak pun
terlihat lebih pendiam bila dibandingkan saat ada ibunya. Anak lebih banyak
tinggal di rumah dan berkumpul dengan bapak dan adeknya bila dibanding
dengan bermain dengan teman-temannya.
Sebelum istri menjadi TKW, suami lebih senang mencurahan segala
masalah yang terjadi kepada istri namun semenjak istrinya menjadi TKW, suami
171
menjadi jarang menceritakan masalah yang menimpa suami maupun keluarga
karena takut akan mengganggu pikiran istri di tempatnya beliau bekerja.
Anak yang terkecil selalu ingin ikut kemana saja bapaknya pergi, hal ini
mengindikasikan bahwa anak akan selalu mencari orang yang dapat
memberikan dia keamanan yang selama ini hilang karena keterpisahannya
dengan ibu. Konflik yang terjadi sebelum ibu menjadi TKW yaitu munculnya
pertengkaran yang dipicu karena suami kerap kali pulang ke rumah tengah
malam. Namun hal ini hanya dilakukannya hanya karena menyangkut soal
pekerjaannya sebagai tukang ojek yang kadang memaksanya untuk mencari
uang hingga malam hari. Lain halnya dengan konflik yang terjadi saat istri
menjadi TKW yaitu kekhawatiran istri bahwa suaminya memiliki wanita idaman
lain.
Pada kenyataannya, suami mengaku tidak pernah memiliki teman
wanita. Beliau berkata “bagaimana bisa saya memiliki wanita lain kalau anak juga
selalu mengikuti kemana saja pergi”. Bapak Yayan memang tidak berniat untuk
mencari wanita idaman lain. Beliau akan menjaga sekuat tenaga komitmen
perkawinan agar keluarga mereka jauh dari kehancuran.
KASUS 9 “Dampak Keterpisahan Ibu dan Keluarga terhadap Kepribadian Anak dan Suami”
Responden yang satu ini bernama Bapak Yendi, beliau berprofesi
sebagai nelayan. Bapak Yendi menceritakan bahwa selama proses pendaftaran
sebagai TKW istri bapak Yendi mengalami sedikit kendala dalam persyaratan
pendaftaran yaitu yang berhubungan tinggi badan yang tidak mencapai taget
minimal, namun akhirnya lolos juga dalam proses penyeleksian. Menurutnya
selama sang istri bekerja menjadi TKW, istri tidak pernah mengeluhkan adanya
masalah sehingga keluarga hanya tahu bahwa istri selalu dalam keadaan baik-
baik saja. TKW Hongkong selalu mendapatkan hari libur satu kali dalam satu
minggu serta jam kerjanya mulai dari jam 7 pagi hingga 10 malam, hal ini juga
berlaku bagi istri Pak Yendi.
Bapak Yendi sering merasakan kesepian dan stres semenjak ditinggal
sang istri. Dia merasa tidak memiliki teman untuk berbagi cerita, sehingga
masalah yang terjadi harus dia hadapi sendiri. Menurutnya mengasuh anak
tanpa bantuan istri juga merupakan hal yang cukup berat. Pekerjaannya sebagai
nelayan memaksanya untuk sering meninggalkan anak dari pagi sampai malam.
172
Namun beliau merasa banyak terbantu dengan bantuan nenek yang bersedia
untuk mengasuh anak selama Pak Yendi bekerja di laut. Beliau merasakan
karena kurang dekatnya ia dengan anak serta kurangnya perhatian dari ibu
menyebabkan anak menjadi sedikit lebih nakal dan kadang suka membangkang
bila diberi perintah atau nasihat. Anak juga kadang mengalami hubungan yang
kurang baik dengan temannya, namun hubungan itu dapat dibenahinya kembali.
Bapak Yendi merasakan sedikit berkurangnya kebahagiaan dalam
perkawinannya setelah istri berangkat menjadi TKW. Hubungan seksual yang
tidak dapat dilakukan bersama istri sering kali mengganggu ketenangan dan
ketentraman dirinya. Namun demikian dia terus berusaha untuk selalu menahan
hawa nafsunya sehingga hingga kini ia tidak pernah bermain wanita di luar
rumah. Selain masalah itu, Bapak Yendi tidak pernah mengalami konflik.
Konfliknya sebelum istri berangkat menjadi TKW yang berkaitan dengan
keuangan keluarga dapat di atasi namun kini konflik itu tidak pernah terjadi lagi
karena pendapatan istri sebagai TKW membantu dalam pemenuhan kebutuhan
keluarga. Bapak Yendi mengakui bahwa kepuasan perkawinan dia rasakan
sebelum istri berangkat menjadi TKW di bandingkan sekarang ini. Sehingga
dalam lubuk hatinya, dia tidak menginginkan istrinya untuk menjadi TKW. Pak
Yendi terpaksa mengijinkan istri bejerja sebagai TKW karena adanya keinginan
mereka berdua untuk merenovasi rumah yang saat ini masih terbuat dari bilik
bambu.
KASUS 10 “TKW Pemberani”
TKW yang bernama Ibu Yuyun ini merupakan mantan TKW yang baru
dua bulan pulang dari Arab Saudi. Beliau merupakan tipe orang yang gemar
berbagi pengalaman, sehingga beliau menceritakan dengan detail kisah
hidupnya selama dua Tahun sebagai TKW. Awal keinginannya menjadi TKW
adalah mewujudkan cita-citanya untuk merenovasi rumah, membantu suami
yang usahanya sedang sepi dan membuka usaha baru yang akan dibangun
bersama suaminya di Jakarta. Sebelum beliau memutuskan untuk mendaftarkan
diri kepada sponsor, beliau tidak segan-segan untuk bertanya kepada mantan-
mantan TKW lain yang sebelumnya memiliki pengalaman mencari uang di luar
negeri. Mantan TKW dari Taiwan, Hongkong, dan Arab Saudi didatanginya demi
memperoleh cerita pengalaman kehidupan mereka selama bekerja di luar negeri.
173
Menurut pengalaman TKW asal Hongkong dan Taiwan, mereka tidak
diperbolehkan untuk beribadah, terutama bagi yang beragama Islam, mereka
dilarang untuk melakukan ibadah solat. Bahkan selama mereka masih
dikarantina di Indonesia, mereka juga tidak diperbolehkan membawa mukena.
Pihak PJTKI yang mengirimkan TKW ke Hongkong atau Taiwan beralasan
karena calon majikan mereka takut apabila melihat orang yang menggunakan
mukena, selain itu menurut tutur Ibu Yuyun, orang Taiwan atau Hongkong
percaya bahwa rumah mereka selalu dijaga oleh Tuhan, sehingga tidak
diperbolehkan untuk melakukan ibadah lain di luar agama mereka. Hal ini
bertujuan agar berkah dan rejeki selalu terlimpah kepada keluarga Hongkong
dan Taiwan. Pada akhirnya beliau memutuskan untuk memilih Arab Saudi
sebagai negara tujuan yang akan dia datangi dengan berbagai pertimbangan
seperti kemudahan dalam beribadah dan mewujudkan keinginannya untuk
menginjakkkan kaki di kota suci Makkah.
Ibu Yuyun tidak ingin mengalami nasib buruk seperti TKW-TKW lain yang
tidak beruntung. Menurutnya nasib-nasib TKW yang mengalami hal tersebut
karena adanya keterbatasan kemampuan komunikasi dengan majikannya. Hal ini
menyebabkan sebelum berangkat ke Arab Saudi, beliau banyak menghafal dan
berlatih menggunakan bahasa arab dengan cara mempelajari dari buku-buku
maupun mencatat kalimat yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari
dari mantan TKW Arab Saudi. Selama tiga bulan sebelum keberangkatannya
beliau melakukan pembelajaran bahasa Arab secara intensif sehingga beliau
cepet diterbangkan ke Arab Saudi.
Namun hal yang menarik dari cerita wanita ini adalah sebelum
keberangkatannya, beliau dan suaminya bercerai karena suami tidak
mengijinkan istrinya pergi ke Arab Saudi. Konflik inilah yang terjadi di
keluarganya sebelum bu Yuyun berangkat sebagai TKW. Suami tidak
mengijinkan istri berangkat ke Arab Saudi karena takut Ibu Yuyun mengalami
nasib jelek. Namun setelah Ibu Yuyun kembali ke Indonesia, Ibu Yuyun dan
suamiruju kembali.
Meskipun Bu Yuyun dan suaminya telah bercerai selama Ibu Yuyun
menjadi TKW, bukan berarti hubungan mereka menjadi tidak baik. Mereka tetap
selalu berkomunikasi melalui telepon seluler dan menjalin komunikasi yang
lancar. Uniknya lagi, karena kepercayaan beliau kepada mantan suaminya, yang
174
kini telah menjadi suaminya kembali, uang hasil kerja beliau tetap dikirim kepada
mantan suaminya itu.
Kehidupan keluarga antara ibu Yuyun dan suaminya berlangsung lancar.
Meskipun beliau dan suaminya telah bercerai, mereka tetap menjaga kesetiaan
satu sama lain meskipun keadaan saat itu mereka telah bercerai. Suaminya tidak
pernah bermain dengan wanita lain selama di tinggal. karena suami sangat
menginginkan keselamatan istrinya di Arab Saudi. Prinsipnya adalah bila suami
melakukan hal “nakal” di Indonesia, maka istri juga akan “dinakalin” orang lain di
luar negeri.
Anak diasuh oleh nenek selama Ibu Yuyun menjadi TKW karena suami
bekerja di Jakarta. Namun beberapa bulan sebelum istrinya pulang, suami
memutuskan untuk membuka usaha di rumah dan mengurus renovasi rumah
serta mengurusi anak. Setelah istrinya pulang, mereka memutuskan untuk rujuk
kembali.
Namun sepeninggal ibunya, anak menjadi lebih bandel atau susah diatur.
Hal ini diduga karena anak kurang perhatian orangtua dan pengasuhan yang
dilakukan nenek mungkin tidak sebaik yang dilakukan kedua orangtuanya.
Namun anak mapu mempertahankan prestasinya yang semenjak dari kelas 1 SD
selalu mendapatkan rangking pertama.
Semenjak kepulangan ibu ke Indonesia, anak agak menjaga jarak kepada
ibunya. Kebiasaan istri bernada tinggi selama di Arab, maka nada tinggi tersebut
juga terbawa hingga kini sehingga anak-anak agak merasa takut kepada ibunya.
Untuk sementara waktu, saat ini anak masih perlu beradaptasi untuk menjalin
kedekatan dan kelekatan kembali dengan ibu. Yang menjadi penjembatan antara
ibu dan anak adalah suami ibu Yuyun yang tidak pernah lelah memberi
pengertian kepada anak agar memaklumi kebiasan ibu selama di Arab. Ibu juga
kian lama kian mengurangi kebiasaan buruk untuk tidak berkata dengan nada
tinggi kepada anak-anaknya.
Beliau menceritakan bahwa selama bekerja menjadi TKW, waktu tidur
beliau hanya 2-3 jam, terutama pada hari libur, beliau harus siap untuk memiliki
sedikit waktu tidur dan terkuras tenaganya lebih banyak bila di banding hari
biasa. Pekerjaan disana juga sangat berat, majikan sepertinya tidak senang bila
pembantunya beristirahat sejenak. Selain pekerjaan yang berat, majikan
perempuan juga biasanya sangat cerewet, sehingga menurut Ibu Yuyun
175
sebaiknya omelan majikan tidak perlu didengarkan dan jangan dimasukkan
kedalam hati, istilahnya “masuk kuping kanan dan keluar kuping kiri”.
Karena beliau telah lancar berbahasa arab maka apabila beliau
dipersalahkan majikan maka beliau bisa membela diri. Menurut beliau TKW
harus pintar dan cerdas, agar memiliki akal agar tidak selalu dipersalahkan
majikan. Menurut TKW yang memiliki keberanian yang luar biasa ini, majikan
yang galak memang harus dilawan. Bila kita hanya menurut dan tidak melawan
maka selamanya kita akan ditindas.
Selama bekerja, paspor ditahan oleh majikan, gaji juga tidak di berikan
tiap bulan. Namun beliau selalu meminta gaji untuk dikirimkan kepada
keluarganya di Indonesia setiap 4 bulan satu kali. Bila gajinya tetap ditahan maka
beliau mengancam kepada majikan tidak akan melakukan pekerjaan rumah
tangga selama gajinya belum dikirimkan kepada keluarganya.
Biasanya di Arab, majikan laki-laki takut kepada majikan perempuan.
Namun berbeda dengan keluarga majikanya. Sehingga bila majikan perempuan
galak atau menyakitinya maka dia mengancam akan mengadukan kepada
majikan laki-laki yang baik hati. Kegalakan majikan perempuan biasanya selain
soal pekerjaan, juga soal kecemburuan majikan kepada pembantunya yang
berbadan bagus sehingga ada ketakutan suaminya akan tertaerik dengan
pembantunya. Kebanyakan wanita arab gemuk-gemuk dan tidak begitu pandai
merawat badan.