Analisis Framing Kasus TKI Sumiati di Kompas dan Media Indonesia

download Analisis Framing Kasus TKI Sumiati di Kompas dan Media Indonesia

of 14

description

Analisis Framing tentang Konstruksi Realitas Media Massa mengenai kasus Tenaga Kerja Indonesia. Mengambil studi kasus tentang kasus Sumiati di Harian Kompas dan Media Indonesia

Transcript of Analisis Framing Kasus TKI Sumiati di Kompas dan Media Indonesia

REPRESENTASI SIKAP MEDIA DALAM KONSTRUKSI REALITAS KASUS TENAGA KERJA INDONESIAAnalisis Framing Pemberitaan Kasus Sumiati dalam Editorial Harian Kompas dan Media Indonesia

Aulia Dwi Nastiti - 0906561452

Program Studi Komunikasi Media Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia Desember 2010

PendahuluanPada tahun 1978, Gaye Tuchman, seorang pakar sosiologi media dari University of Connecticut, pernah memberikan ilutrasi yang sangat baik dalam menggambarkan media. Dalam bukunya Making News : A Study in the Construction of Reality (1978), ia menulis bahwa news is the window of the world, dan melalui jendelanya kita dapat melihat realitas apa yang sedang terjadi di dunia. Namun, apa yang kita lihat dan amati tergantung pada jendela yang kita pakai, apakah jendela itu luas sehingga cukup memberikan ruang bagi kita untuk melihat realita secara holistik, atau kita hanya mampu melihat realita secara parsial dari satu sisi karena terbatasi oleh jendela kita yang sempit. Dalam sebuah pemberitaan di media, jendela itu dikenal dengan terminologi frame atau bagaimana cara suatu media membingkai sebuah realita 1. Suatu peristiwa yang sama, dapat memberikan penafsiran yang berbeda, bahkan perbedaannya dapat menjadi sangat siginifikan. Begitu pula dengan penafsiran media terhadap suatu realita. Media mendefinisikan realitas sosial sedemikian rupa melalui pengaturan pemberitaan di dalamnya dengan cara menyeleksi peristiwa yang akan diberitakan (selection) dan menekankan pada suatu bagian tertentu dalam sebuah peristiwa (salience) (Entman, 1993)2. Akibatnya, hanya suatu bagian tertentu saja yang lebih bermakna, lebih mudah diingat, dan lebih tertanam ke dalam mind khalayak. Implikasi lebih jauh yang dapat terjadi ialah khalayak media dapat melupakan sisi lain dari sebuah peristiwa yang tidak dipotret oleh media, padahal bisa saja sisi lain tersebut jauh lebih bermakna dan lebih penting dalam merefleksikan inti dari sebuah peristiwa. Pembingkaian dan konstruksi realita media tersebut ditemui pula di media-media Indonesia. Berbagai studi mengenai pemberitaan media banyak dilakukan dengan tujuan mengetahui bagaimana media mengkonstruksi realita dalam artikel berita. Dari hasil berbagai studi yang telah dilakukan sebelumnya, dapat diketahui bahwa media-media di Indonesia cenderung bias dalam mengkonstruksi realita. Hal ini dibuktikan dari berbagai studi yang menemukan fakta bahwa satu isu yang sama seringkali dikonstruksi secara berbeda oleh dua media yang berlainan, baik media cetak (Hamad, 2004; Eriyanto 2002) maupun televisi (Herdono, 2009; Wicaksono, 2010). Perbedaan konstruksi realita antara media yang satu dengan media yang lain dilatarbelakangi oleh perbedaan sikap media dalam memandang suatu realitas sosial. Sikap media secara umum terbentuk melalui interaksi antara faktor personal jurnalis yaitu bagaimana cara jurnalis memahami suatu realita dan menuliskannya dalam berita dengan faktor organisasional media itu sendiri yaitu nilai-nilai dan kepentingan organisasi media. Selain itu, dari sisi eksternal, pandangan media tersebut juga dipengaruhi oleh konteks sosial politik yang terjadi.1 2

Tuchman mengutip Goffman (1974) yang pertama kali menjelaskan konsep frame sebagai organisasi informasi Dikutip dari McQuail, D. (2005). McQuails Mass Communication Theory. London : SAGE Publication

1

Salah satu isu sosial yang menarik untuk dikaji dalam rangkan mengetahui konstruksi realita yang dilakukan oleh media ialah isu penyiksaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri. Kasus TKI menjadi salah satu masalah yang kompleks di Indonesia karena merupakan kasus yang multidimensional. Kasus TKI dapat dipandang sebagai masalah hukum, masalah politik, masalah budaya, masalah ekonomi, masalah sosial-kemanusiaan, yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah, birokrasi, diplomasi hubungan luar negeri, pendidikan tenaga kerja, toleransi sesama manusia, dan lainnya. Menghadapai mutidimensionalitas permaslahan tersebut, berbagai pihak yang terkait tersebut cenderung tidak berupaya melakukan koordinasi antarinstansi untuk merumuskan solusi permasalahan yang integratif dan komprehensif, tetapi justru saling melempar tanggung jawab dengan mengatakan bahwa akar permasalahan terletak di pihak yang lain. Tumpang tindih tanggung jawab secara institusional ini menyebabkan penyelesaian kasus TKI menjadi berlarut-larut dan terkatung-katung. Dari sisi pemberitaan media, Berita mengenai penyiksaan TKI yang bekerja di luar negeri hampir selalu hadir menghiasi media massa Indonesia, baik media cetak maupun media elektronik. Sejak dahulu sampai sekarang (tahun 2010), selalu saja terdapat pemberitaan mengenai tenaga kerja Indonesia yang diperlakukan secara tak manusiawi oleh majikannya di luar negeri, disiksa, dilecehkan, ditelantarkan, bahkan sampai dibunuh. Namun, hingga kini masalah TKI tetap saja hadir, dan terus berlangsung, tanpa ada perkembangan dan perbaikan yang berarti terhadap nasib tenaga kerja Indonesia yang seringkali disebut media sebagai pahlawan devisa itu. Seperti baru-baru ini, di akhir November 2010, masyarakat Indonesia kembali dihebohkan oleh berita mengenai TKI Indonesia bernama Sumiati, yang diperlakukan secara kejam oleh majikannya di Arab Saudi. Bibir Sumiati dipotong, Tubuhnya dipenuhi luka bakar, dan gajinya selama tiga bulan tak pernah diberikan oleh majikannya (Kompas, 15 November 2010). Kasus Sumiati selanjutnya mendapatkan perhatian yang sangat luas dari masyarakat karena menjadi agenda utama di berbagai media massa selama kurang lebih dua minggu. Luasnya pemberitaan media mengenai kasus Sumiati ini menjadi menarik untuk dikaji jika dihadapkan pada multidimensionalitas permasalahan TKI karena memunculkan ruang bagi berbagai pertanyaan mengenai sikap media terhadap kasus penyiksaan TKI, khususnya kasus Sumiati. Bagaimana media memandang kasus Sumiati? Bagaimana media mengkonstruksi realitas kasus TKI? Apakah media juga memandang kasus tersebut secara multidimensional atau menonjolkan kasus TKI sebagai permasalahan dimensi tertentu? Untuk menjawab pertanyaan mengenai sikap media dalam konstruksi realitas kasus Sumiati itulah, kajian ini menggunakan analisis framing terhadap pemberitaan kasus Sumiati di editorial dua harian nasional, yaitu Kompas dan Media Indonesia. Bagian editorial dipilih secara purposif sebagai unit analisis karena editorial merupakan elemen berita yang paling merepresentasikan sikap media secara resmi dalam pemberitaan (Walbert, 2010).3

3

Walbert, Kathryn. Reading Newspaper Editorial and Opinion Pieces. School of Education University of North Carolina.

2

Kerangka KonseptualRepresentasi Istilah representasi dalam media menunjuk pada penggambaran seseorang, kelompok, gagasan, atau gagasan tertentu dalam pemberitaan (Eriyanto, 2001). Representasi melalui media merupakan sesuatu hal yang lebih berarti karena teks media menyebabkan persepsi khalayak mengenai realita di dunia menjadi lebih luas. Teks media, dalam konteks ini berupa teks berita, merupakan wujud sense of reality yang dihadirkan media kepada khalayak. Melalui berita yang dituliskan media, khalayak dapat mengetahui peristiwa apa yang terjadi di dunia dan mendapatkan gambaran mengenai realita perisitiwa tersebut. Oleh karena itulah, secara teoritis, seluruh teks media pada dasarnya merupakan representasi dari realitas4. Namun realitas tersebut bukan realitas yang sesungguhnya, akan tetapi realitas dalam versi si pembuat teks, yakni realitas yang dibentuk oleh pihak-pihak yang terlibat dalam proses mediasi teks (Imran, 2007)5. Realitas yang ditampilkan media ialah realitas yang diolah dan dibangun (constructed) berdasarkan pandangan subjektif media terhadap realitas tersebut. Dengan demikian, konstruksi realita yang ditampilkan media bukan representasi dari realitas yang sebenarnya, tetapi lebih sebagai representasi sikap media. Dalam media cetak atau surat kabar, sikap media dalam konstruksi realitas direpresentasikan melalui wacana teks. Di antara berbagai bentuk wacana teks dalam surat kabar, teks yang paling menggambarkan sikap media adalah editorial atau tajuk rencana esuai dengan definisi Walbert (2007), editorial adalah pernyataan sikap resmi surat kabar terhadap suatu isu spesifik tertentu6. Menurut Josept Pulitzer, editorial dibuat untuk mempengaruhi opini publik secara keseluruhan, (power to influence public opinion)7. Sedangkan tujuan editorial menurut Assegaf (1983) ialah mempengaruhi pendapat para pembuat kebijakan dalam pengambilan keputusan8. Berita sebagai Hasil Konstruksi Realita Media Konsep konstrusi realitas awalnya dikemukakan oleh Peter Berger & Thomas Luckman yang mengajukan gagasan bahwa realitas sosial bukanlah sesuatu yang terjadi semata-mata, melainkan hasil interpretasi atau pemaknaan manusia. Karena merupakan hasil pemaknaan yang subjektif berdasarkan nilai-nilai individu, Berger4 5

http://www.mediaknowall.com/representation.htm, Learning Center for Media Studies Students Imran (2007) merumuskan pendapatnya ini berdasarkan hasil kajian tentang representasi opini media dalam kasus dugaan korupsi Soeharto 6 Walbert, Kathryn. Reading Newspaper Editorial and Opinion Pieces. School of Education University of North Carolina. 7 Josept Pulitzer, sebagaimana dikutip Imran (2007). 8 Djafar Assegaf (1983), sebagaimana dikutip Imran (2007).

3

berpendapat bahwa manusialah yang mengkonstruksi realitasnya sendiri. Dalam pemahaman konstruktivisme, realitas berwajah plural karena setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas berdasarkan nilai-nilai, pengalaman, preferensi, pendidikan, dan kondisi sosial tertentu yang mempengaruhi pemahaman sesorang dalam menafsirkan realitas sosial tersebut (Eriyanto,2002). Dalam pandangan konstruksionis, media dipandang sebagai agen konstruksi sosial karena media mengkonstruksi realitas dengan cara mendefinisikan realita tersebut pada khalayak berdasarkan konsepsi dan pandangan media tersebut. Media mengkonstruksi realita melalui proses seleksi realitas yang dianggap penting untuk diberitakan dan mengatur bagaimana realita tersebut ditampilkan dalam berita, yaitu dengan cara memilih narasumber, memilih bahasa yang dipakai, dan membingkai dalam sudut pandang tertentu (Eriyanto, 2002). Merujuk pada Eriyanto (2001), terdapat ada tiga tahapan yang dilakukan media dalam mengkonstruksi realitas dalam berita, yaitu: (1) media menuliskan berita dalam bingkai tertentu, (2) media memberikan simbol-simbol tertentu pada peristiwa dan aktor yang terlibat dalam berita, (3) media juga menentukan apakah peristiwa ditempatkan sebagai hal yang penting atau tidak. Oleh karena itulah, berita dipandang sebagai hasil konstruksi realita yang dilakukan oleh media. Metode Analisis Framing Secara umum, metode analisis framing dapat diartikan sebagai suatu metode untuk memahami bagaimana realitas dibingkai oleh media (Eriyanto, 2002). Todd Gitlin berpandangan bahwa framing adalah strategi konstruksi dan simplifikasi realitas sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada pembaca9. Peristiwa-peristiwa diatur sedemikian rupa dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Sedangkan menurut Gamson dan Modigliani (1989), analisis framing adalah analisis yang melihat wacana sebagai konstruksi realitas sosial dalam memaknai realitas. Anggapan dasar analisis framing ialah bahwa realitas sosial bukanlah sesuatu yang terjadi secara taken for granted, melainkan sesuatu yang dimaknai dan dikontruksi dengan makna tertentu (McQuail, 2005). Dengan demikian, framing merupakan upaya konstruksi realita yang dilakukan media dalam teks berita. Fokus pembahasan analisis framing terletak pada bagaimana cara media untuk memahami realitas dan mengkonstruksi makna-makna realitas, serta bagaimana cara media menyajikan realita tersebut sebagai sebuah pemberitaan di media. Dalam pandangan Entman (1993) pembingkaian (framing) adalah seleksi realitas dan penonjolan satu dimensi realita dari dimensi yang lain melalui teknis penulisan beritanya 10. Sedangkan menurut Eriyanto (2002), esensi dari framing ialah menjelaskan (1) bagaimana suatu peristiwa dimaknai oleh media; (2) bagaimana cara media menuliskan peritiwa tersebut dalam berita..9

10

Sebagaimana dikutip dari Eriyanto (2002) Entman (1993) sebagaimana dikutip dari McQuail (2005)

4

Model Analisis Framing Robert M. Entman Dalam konsepsi Entman, framing atau pembingkaian yang dilakukan media pada dasarmya merujuk pada empat elemen, yaitu proses pendefinisian realita atau permasalahan, penjelasan sebab permasalahan, penilaian dan evaluasi terhadap masalah, serta perumusan rekomendasi solusi atas permasalahan tersebut 11. Oleh karena itu, model framing yang dirumuskan oleh Entman (1993) mengabstraksikan empat komponen utama untuk menganalisis pembingkaian yang digunakan media dalam memberitakan suatu peristiwa, yaitu: (1) definisi masalah (define problem atau problem identification), (2) sebab masalah (diagnose cause), (3) penilaian moral (moral judgement), dan (4) rekomendasi solusi masalah (treatment recommendation)12 Identifikasi masalah atau define problem merupakan elemen yang menjadi master frame atau bingkai yang paling utama. Dalam elemen ini, analisis dilakukan untuk mengetahui definisi masalah oleh media. Media menggambarkan realita tersebut sebagai masalah apa, merupakan pertanyaan utama yang harus dijawab dalam elemen ini. Elemen kedua, diagnose causes, bertujuan untuk mengetahui bagaimana sebuah media menggambarkan penyebab masalah, baik itu aktor penyebab atau peristiwa penyebab. Elemen ketiga yaitu moral judgement merupakan elemen framing yang dipakai untuk membenarkan atau memberikan argumen atas pendefenisian masalah dan perumusan sebab yang telah dibuat. Elemen terakhir, treatment recommendation, menekankan pada rekomendasi penyelesaian masalah yang diberikan media. Elemen ini berusaha mengetahui solusi apa dan bagaimana masalah seharusnya diselesaikan. Tabel Perangkat Analisis Framing Model Entman UNIT ANALISIS Define Problems Diagnose Causes Moral Judgement Treatment Recommendation PERANGKAT ANALISIS Peristiwa dilihat sebagai apa? Peristiwa sebagai masalah apa? Siapa penyebab masalah? Peristiwa itu disebabkan oleh apa? Nilai moral apa yang disajikan dalam menyelesaikan masalah? Nilai apa yang dipakai untuk mendelegitimasi suatu tindakan? Penyelesaian yang ditawarkan untuk mengatasi masalah? Jalan yang ditawarkan dan harus ditempuh untuk mengatasinya?Sumber : Eriyanto. (2002). Analisis Framing. Yogyarakrta : LKiS.

11 12

Entman (1993), sebagaimana dikutip dari Eriyanto (2002) Entman (1993), sebagaimana dikutip dari McQuail (2005)

5

Analisis KasusKonstruksi Realitas Harian Kompas Harian Kompas memuat editorial mengenai isu penyiksaan TKI pada tanggal 22 November 2010 sebagai respon terhadap kasus penyiksaan Sumiati yang heboh dan menarik perhatian media massa serta pemerintah Indonesia. Kompas menurunkan editorial dengan judul Heboh Kasus TKI. Dari analisis framing yang telah dilakukan terhadap editorial tersebut, diketahui hasil analisis sebagai berikut : a. Problem Identification : Melalui editorialnya, Kompas mengidentifikasi kasus Sumiati, dan kasus TKI secara umum, sebagai permasalahan sosial-ekonomi. Pada lead artikel, Kompas menekankan pada aspek sosial kasus dengan mengungkapkan kekhawatiran bahwa kepedulian terhadap TKI hanya berlangsung sesaat. Kompas tak membahas kasus Sumiati sebagai fokus, tapi menyikapi kasus Sumiati dan Kikim Komalasari, seorang TKI yang dibunuh, sebagai contoh bahwa kasus penyiksaan TKI selalu berulang dan hanya mampu menarik perhatian tanpa menghasilkan tindakan penyelesaian. Selain dimensi sosial, Kompas juga menempatkan kasus ini sebagai permasalahan ekonomi. Kompas mengajukan argumen bahwa penyiksaan TKI tak akan terjadi jika TKI tak mengadu nasib ke luar negeri karena tak adanya jaminan atas lapangan pekerjaan di dalam negeri. b. Causal Interpretation : Kompas menonjolkan kegagalan pemerintah dalam aspek ekonomi sebagai penyebab terjadinya penyiksaan TKI. Kompas berpandangan bahwa penyebab jumlah TKI yang bekerja di luar negeri tetap tinggi meskipun keselamatannya diragukan ialah karena pemeritah gagal menciptakan lapangan pekerjaan yang memadai di dalam negeri. Dari aspek sosial, Kompas menyebutkan bahwa kasus penyiksaan Kompas menggambarkan bahwa penyiksaan TKI terus terjadi karena kehebohan atas nasib naas yang ditimpa para TKI tak disertai dengan tindakan nyata untuk menjamin perlindungan keselamatan bagi para TKI yang bekerja di luar negeri. Kompas juga menyebutkan bahwa perlindungan pemerintah terhadap TKI juga masih minim meskipun tetap lebih menekankan pada penyebab ekonomi. c. Moral Evaluation : Sesuai dengan main frame yang digunakan Kompas yaitu frame sosial dan ekonomi, Kompas pun mengevaluasi kasus ini dalam dimensi sosial dan ekonomi. Dalam dimensi sosial, Kompas menilai bahwa perhatian yang begitu besar terhadap kasus ini cenderung hanya menjadi kepedulian sesaat. Kompas menilai hal tersebut sebagai sesuatu yang negatif dengan menyatakannya sebagai kehebohan dan kegaduhan yang tidak sampai menggerakkan pikiran dan perasaan untuk melakukan terobosan membela kepentingan TKI. Kompas juga mengevaluasi bahwa ekspresi keprihatinan yang ditunjukkan pemerintah tidak cukup jika tidak ada tindakan konkret untuk melindungi TKI. Di sini Kompas mengalamatkan evaluasinya pada khalayak umum6

karena Kompas tidak menuliskan subjek spesifik sebagai pihak atau nama yang digambarkan heboh sesaat tersebut. Selanjutnya dalam dimensi ekonomi, Kompas mengavaluasi pemerintah secara negatif dengan menggambarkan bahwa pemerintah gagal menjamin tercukupinya kebutuhan lapangan kerja di dalam negeri. Kompas menilai pemerintah telah mengecewakan banyak pihak karena belum menunjukkan komitmen serius untuk melindungi nasib TKI dan membiarkan TKI bersusah-susah mengadu nasib di negeri orang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. d. Solution Recommendation : Untuk menyelesaikan kasus penyiksaan TKI, Kompas merekomendasikan solusi dalam dua dimensi. Yang pertama dari segi sosial, Kompas menyatakan bahwa diperlukan langkah konkret bagi perlindungan keselamatan TKI di mancanegara. Selain itu, Kompas menyebutkan bahwa yang paling penting adalah menjamin ketersediaan lapangan kerja yang lebih luas di negeri sendiri. Dari sini terlihat bahwa Kompas menempatkan kebutuhan ekonomi sebagai akar masalah TKI ini sehingga solusi yang dibutuhkan untuk memangkas akar masalah ini adalah dengan menyediakan lapangan kerja di dalam negeri bagi para TKI ini. Tabel Analisis Editorial Kompas UNIT ANALISIS Define Problems Diagnose Causes Moral Judgment Treatment Recommendation PERANGKAT ANALISIS Masalah Sosial Ekonomi Kepedulian sesaat dan Tidak ada lapangan kerja Kepedulian terhadap penyiksaan TKI adalah kehebohan sesaat; Pemerintah gagal menjamin kebutuhan lapangan kerja TKI Langkah konkret melindungi TKI dan Menciptakan lapangan kerja yang memadai bagi seluruh rakyat

Konstruksi Realitas Harian Media Indonesia Harian Media Indonesia memuat editorial mengenai kasus Sumiati pada tanggal 22 November dengan judul Kegagalan Mengurus TKI. Berdasarkan analisis framing yang telah dilakukan terhadap editorial tersebut, dapat dirumuskan hasil analisis sebagai berikut: a. Problem Identification : Dalam editorialnya, Media Indonesia mendefinisikan kasus Sumiati, dan TKI pada umumnya, sebagai masalah politik. Terlihat bahwa sejak awal Media Indonesia berupaya menarik masalah ini dalam koridor masalah politik dengan menuliskan lead yang cukup provokatif dan sarat istilahistilah politis yang memojokkan pemerintah. Lead tersebut berupaya untuk menggiring interpretasi khalayak untuk langsung menempatkan masalah penyiksaan TKI sebagai implikasi kinerja buruk pemerintah. Nuansa politik juga semakin terasa karena Media Indonesia menonjolkan buruknya birokrasi manajemen pengiriman TKI serta memperbandingkan kinerja pemerintah Indonesia dengan pemerintah Filipina yang lebih baik dalam mengelola tenaga kerja di luar negeri, juga mengaitkan permasalahan7

dengan pergantian menteri tenaga kerja yang sudah beberapa kali berganti tanpa disertai perbaikan yang signifikan terhadap nasib TKI di luar negeri. Media Indonesia juga tak membahas kasus Sumiati, dan juga Kikim Komalasari, sebagai kasus spesifik, tetapi menempatkan cerita keduanya dalam frame besar pelanggaran HAM terhadap TKI yang terus saja terjadi akibat ketidakmampuan pemerintah untuk melindungi warganya sendiri. b. Causal Interpretation : Dari keseluruhan editorial, Media Indonesia menekankan dan cenderung memojokkan pemerintah sebagai penyebab berulangnya kasus penyiksaan TKI. Media Indonesia menggambarkan bahwa pemerintah tak menunjukkan kesungguhan dalam memutus mata rantai permasalahan TKI yang kompleks. Media Indonesia mengambarkan penyiksaan TKI ini sebagai masalah kompleks yang berakar pada kualitas TKI yang memang kurang dalam hal kemampuan bekerja dan kecakapan bahasa. Media Indonesia menempatkan pemerintah sebagai satu-satunya pihak yang paling bertanggung jawab atas minimnya kualitas TKI yang diberangkatkan ke dalam negeri karena pemerintah berkewajiban untuk memberikan pembekalan yang memadai agar mereka mampu bekerja di lingkungan asing serta menjamin keselamatan warga negara yang berada di luar negeri, terutama para TKI. Selain itu media juga menekankan buruknya birokrasi pengiriman TKI yang terkesan liar dan buruknya posisi tawar pemerintah ketika kasus penyiksaan seperti ini terjadi. Media Indonesia memandang bahwa masalah seperti ini terjadi karena pemerintah telah mengetahui akar masalahnya, hanya saja tak punya cukup kemauan dan kreativitas untuk membenahi kualitas TKI dan proses pengirimannya. c. Moral Evaluation : Evaluasi moral yang ditonjolkan secara dominan dalam editorial Harian Media Indonesia ialah evaluasi negatif terhadap kinerja pemerintah. Media Indonesia menggambarkan kesalahan pemerintah pada tiga hal besar. Yang pertama pemerintah seakan menutup mata pada buruknya kualitas TKI dengan membiarkan TKI diberangkatkan tanpa diberi pembekalan yang memadai. Kedua, pemerintah tidak memiliki sistem yang tertata dalam manajemen TKI, baik dari prosedur pemberangkatan maupun jaminan perlindungan ketika bekerja di negeri orang. Dalam hal kedua ini, Media Indonesia mengevalusi pemerintah dengan cara membandingkan dengan manajemen pemerintah Filipina. Ketiga, kesalahan pemerintah ialah mengetahui bahwa permasalahan berakar pada buruknya kualitas TKI dan manajemen pengurusan TKI tetapi tetap diam dan tak menunjukkan upaya perbaikan sehingga timbul kasus penyiksaan TKI yang berulang-ulang. d. Solution Recommendation : Karena menyikapi kasus ini sebagai masalah politik, maka Media Indonesia pun merekomendasikan solusi dalam koridor politik, yaitu moratorium. Hal ini direkomendasikan Media Indonesia dengan argumen bahwa upaya pemerintah baru terlihat ketika insiden perlakuan kejam terhadap TKI mengemuka dan upaya pemerintah itu pun tak berdampak siginifikan dalam menjamin keselamatan TKI. Setelah berita insiden tersebut tak lagi jadi berita, pemerintah kembali seperti tak ada masalah apa-apa. Media Indonesia berpandangan bahwa moratorium sepatutnya dilakukan untuk mencegah TKI dari perlakuan kejam majikannya karena pemerintah belum sanggup memberikan perlindungan dan membenahi pengurusannya.8

Tabel Analisis Editorial Media Indonesia UNIT ANALISIS Define Problems Diagnose Causes Moral Judgment Treatment Recommendation PERANGKAT ANALISIS Masalah Politik dan Birokrasi Kemalasan pemerintah dalam mencari solusi permasalahan TKI Pemerintah bersalah karena telah mengetahui akar masalah tapi tak menunjukkan kesungguhan untuk menyelesaikannya Moratorium

Perbandingan Kontruksi Realitas Kompas dan Media Indonesia Hasil analisis framing yang telah dilakukan menunjukkan bahwa dalam memberitakan kasus Sumiati, Kompas dan Media Indonesia sama-sama tidak menempatkan kasus Sumiati sebagai kasus yang dibahas secara khusus dalam editorialnya. Dalam editorialnya, kedua media sama-sama membahas kasus penyiksaan TKI secara general dengan menggunakan kasus Sumiati sebagai sampel permasalahan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam editorial, media cenderung memandang suatu isu secara general dan menarik isu tersebut ke dalam permasalahan tertentu. Meskipun sama-sama mengangkat isu secara general, Kompas dan Media Indonesia mengkonstruksi realitas kasus penyiksaan TKI secara berbeda. Kompas mendefinisikan kasus penyiksaan TKI sebagai masalah ekonomi yang berakar dari keterbatasan lapangan kerja di dalam negeri, sedangkan Media Indonesia membingkai masalah ini sebagai masalah politik dengan menempatkan kasus ini sebagai kasus yang terjadi berulang kali karena pemerintah tak dapat memutus mata rantainya. Berbeda dengan Kompas yang cenderung bersikap netral dengan mengevaluasi masalah sebagai cerminan kurangnya kepedulian sosial di samping keterbatasan lapangan pekerjaan, Media Indonesia cenderung bersikap memojokkan pemerintah. Media Indonesia menuliskan berbagai penilaian bernada negatif pada pemerintah dengan menyebut beberapa kesalahan pemerintah. Perbedaan konstruksi realitas dalam editorial ini pada dasarnya menunjukkan bahwa Kompas dan Media Indonesia merepresentasikan sikap yang berbeda terkait kasus penyiksaan TKI. Dalam mengkonstruksi realitas kasus ini, Kompas menunjukkan tendensi sikap yang terorientasi ke arah ekonomi, sedangkan orientasi sikap Media Indonesia cenderung ke arah politis.

9

KesimpulanBerdasarkan uraian konseptual dan temuan data analisis teks berita editorial di tiga surat kabar nasional, serta hasil interpretasi yang dilakukan, penulis merumuskan beberapa kesimpulan terkait dengan representasi sikap media dalam konstruksi realitas kasus Sumiati. Beberapa kesimpulan yang diperoleh antara lain, 1. Dalam teks berita editorial, media cenderung memandang suatu isu secara general. Hal ini diinterpretasikan penulis berdasarkan hasil analisis framing yang menunjukkan bahwa Kompas dan Media Indonesia membahas kasus penyiksaan TKI di luat negeri dan hanya menempatkan kasus Sumiati sebagai sampel dari sebuah isu besar yang general, yaitu penyiksaan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. 2. Media yang berbeda mengkonstruksi realitas sosial yang sama secara berbeda. Konstruksi realitas ini dilakukan dengan cara melakukan simplifikasi realitas sosial yang kompleks dan multidimensional menjadi masalah yang dipandang dari suatu dimensi tertentu saja. Penulis menginterpretasikan hal ini setelah mengetahui fakta bahwa Kompas dan Media Indonesia mengkonstruksi realitas kasus TKI yang multidimensional secara berbeda. Kompas menempatkan kasus penyiksaan TKI dalam dimensi permasalahan ekonomi sementara Media Indonesia memandang dari dimensi politik.3. Konstruksi realitas yang dilakukan media dalam teks berita editorial merepresentasikan sikap media

tersebut terhadap suatu isu. Berdasarkan hasil analisis

framing yang dilakukan, penulis

menginterpretasikan hal ini setelah mendapati bahwa Kompas cenderung bersikap netral dalam isu penyiksaan TKI, sedangkan Media Indonesia memiliki kecenderungan sikap kontra terhadap pemerintah. Sedangkan jika dipandang dari segi orientasi sikap, penulis menginterpretasikan bahwa dalam kasus penyiksaan TKI ini, sikap Kompas cenderung memiliki orientasi ekonomis sementara orientasi sikap Media Indonesia adalah cenderung ke arah politis.

10

Daftar PustakaEriyanto. (2001). Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta : LKiS ------------ (2002). Analisis Framing : Konstruksi, ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta :LKiS Hamad, Ibnu. (2004). Konstruksi Realitas Politik di Media (Studi Pesan Politik Dalam Media Cetak Pada Masa Pemilu 1999). Jurnal Makara, Sosial Humaniora Vol. 8 (1) April 2004. Depok : Univesitas Indonesia. Herdono, Ignatius. (2010). Analisis Framing Pemberitaan Musyawarah Nasional Partai Golkar VIII 4-8 Oktober 2009 di Pekanbaru, Riau, dalam Perspektif Tayangan TV One dan Metro TV. Surabaya : Pascasarjana Komunikasi Universitas Airlangga Imran, Hasyim Ali. (2007). Representasi Opini Media dalam Konstruksi Realitas Isu Korupsi Soeharto (Analisis Semiotika Sosial Terhadap Isu Penyelesaian Hukum Kasus Korupsi Soeharto Dalam Editorial SKh. Republika). Badan Litbang Departemen Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia Mahfud Anshori. (2010). Kerangka Media dalam Praktek Jurnalistik Online : Analisis Framing Empat Portal Berita Online di Indonesia. Solo : Tesis Program Pascasarjana Universitas Negeri Sebelas Maret Muslich, Masnur. (2008). Kekuasaan Media Massa Mengkonstruksi Realita. Jurnal Bahasa dan Seni Vol 36(2) Agustus 2008. Malang : Universitas Negeri Malang McQuail, Dennis. (2005). McQuails Mass Communication Theory (5th edition). London: Sage Publication. Shoemaker, Pamela & Stephen D. Reese. (1996) Mediating the Message: Theories of influence on Mass Media Content. New York: Longman Publishing Group. Tuchman, Gaye. (1978). Making News: A Study in the Construction of Reality. New York: Free Press. Kompas, 15 November 2010. Sekujur Tubuh Sumiati Penuh Luka http://nasional.kompas.com/read/2010/11/15/ Kompas, 22 November 2010. Tajuk Rencana. http://cetak.kompas.com/read/2010/11/22/04382281/tajuk.rencana Koran Tempo, 30 November 2010. Editorial. http://korantempo.com/korantempo/koran/2010/11/30/Editorial/ index.html Matanews, 23 November 2010. Reaksi Sesaat Kasus Sumiati http://matanews.com/2010/11/23/reaksi-sesaatkasus-sumiati/ Media Indonesia, 22 November 2010. Editorial. http://www.mediaindonesia.com/read/2010/11/22/183141/70/13/ Kegagalan-Mengurus-TKI Walbert, Kathryn. (2007). Reading Newspaper : Editorial and Opinion Pieces. School of Education, University of North Carolina at Chapel Hill. http://www.learnnc.org/lp/pages/418411

LampiranTAJUK RENCANA Senin, 22 November 2010 | 04:38 WIB

Heboh atas Nasib TKI Heboh atas kasus kematian tenaga kerja Indonesia, Kikim, ataupun kasus penyiksaan terhadap Sumiati, dikhawatirkan akan cepat berlalu. Kekhawatiran itu mempunyai dasarnya, karena setiap kali terungkap kasus kematian atau penyiksaan TKI muncul kehebohan di dalam negeri. Terdengar berbagai suara lantang dengan nada kemarahan dan keprihatinan. Namun, kegaduhan macam itu lazimnya tak bertahan lama. Lebih memprihatinkan lagi, kegaduhan dan kehebohan tidak sampai menggerakkan pikiran dan perasaan untuk melakukan terobosan membela kepentingan TKI dan citra bangsa di panggung dunia. TKI seakan dibiarkan diperlakukan sebagai budak di negeri orang. Hak asasi mereka sebagai manusia dilanggar secara kejam. Tidak tanggung-tanggung misalnya mulut Sumiati, TKI asal Nusa Tenggara Barat, digunting oleh majikannya di Arab Saudi. Derita Sumiati luar biasa. Sebelum kehebohan kasus Sumiati berakhir, muncul berita kematian Kikim Komalasari, TKI asal Jawa Barat, yang ditemukan tewas dengan luka parah di tepi jalan, juga di Arab Saudi. Kasus kematian Kikim dan penganiayaan Sumiati merupakan bentuk pelanggaran HAM dan tindak kejahatan yang perlu mendapatkan perhatian serius pemerintah dan bangsa Indonesia. Ribuan TKI yang mengadu nasib di Timur Tengah dan Asia terancam mengalami nasib buruk, seperti penganiayaan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Pemerintah Indonesia sudah berkali-kali didesak lebih serius melindungi nasib warga negaranya, termasuk TKI, di luar negeri seperti amanat konstitusi. Namun, tidak sedikit yang kecewa karena tindakan perlindungan terkesan masih kedodoran. Perhatian pemerintah terhadap TKI mesti ditingkatkan karena jumlahnya luar biasa. TKI dengan dokumen sah disebutkan berjumlah 4,3 juta orang. Belum termasuk TKI tanpa dokumen sah. Jumlah orang yang mau mengadu nasib ke mancanegara tidak juga surut, tetap saja tinggi. Sering menjadi pertanyaan, mengapa TKI tetap saja mencari pekerjaan di luar negeri meski sudah tahu bahwa keamanan dan keselamatan di tempat tujuan tidak terlalu terjamin. Jawabannya sangat jelas, mereka pergi karena terpaksa untuk mengadu nasib. Tidak tersedianya pekerjaan di dalam negeri membuat jutaan perempuan Indonesia terpaksa meninggalkan kampung halaman, sanak saudara, suami dan anak-anak, mengadu nasib ke mancanegara. Kasus kematian Kikim dan penganiayaan Sumiati sekali lagi memperlihatkan kegagalan negara menciptakan lapangan kerja. Mereka tak mungkin bersusah-susah ke mancanegara jika lapangan kerja tersedia di dalam negeri. Ekspresi keprihatinan terhadap nasib mereka sangat diperlukan, tetapi tidaklah cukup jika tidak diikuti oleh langkah konkret untuk perlindungan TKI di luar negeri. Jauh lebih penting lagi melipatgandakan upaya menciptakan lapangan kerja sesuai amanat konstitusi dan tujuan pendirian Negara Republik Indonesia. 2008 - 2010 KOMPAS.com All rights reserved

12

Kegagalan Mengurus TKI

Senin, 22 November 2010 00:01 WIB

PARA pemangku kepentingan di negeri ini seperti tidak pernah mau belajar dari tragedi kemanusiaan. Kasus pembunuhan dan penganiayaan dua tenaga kerja Indonesia (TKI) oleh majikan mereka di Arab Saudi, pekan lalu, menunjukkan malasnya para pejabat di negeri ini mencari solusi menghentikan mata rantai kekerasan terhadap TKI yang terjadi berulang-ulang. Padahal, perlakuan para majikan itu terhadap TKI kita amat sadis, jauh dari perilaku manusia yang beradab. Kikim Komalasari, TKI asal Cianjur, Jawa Barat, disiksa lalu dibunuh majikannya. Setelah itu, jenazahnya dibuang di tempat sampah tiga hari sebelum Idul Adha di Kota Abha, sekitar 600 kilometer dari Jeddah, Arab Saudi. Sumiati, TKI asal Dompu, Nusa Tenggara Barat, dianiaya dengan cara dipukuli, ditendang, dan bahkan mulutnya digunting. Padahal, asal muasal penganiayaan TKI kita, baik yang di Arab Saudi maupun di Malaysia, hampir serupa. Mereka ratarata ditindas karena dianggap tidak cakap bekerja dan tidak mampu memahami bahasa. Menurut data pemerintah, jumlah resmi TKI kita di luar negeri sekitar 3,27 juta orang. Menurut lembaga independen pemerhati TKI, Migrant Care, jumlah TKI kita diperkirakan mencapai 4,5 juta orang. Sebagian besar di antara mereka (sekitar 70%) adalah perempuan dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Jenis pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga mendominasi karena tingkat pendidikan TKI kita yang dikirim ke luar negeri sebagian besar sekolah dasar. Sudah begitu, pembekalan terhadap mereka sebelum berangkat amat minim, malah ala kadarnya. Itu berarti sebenarnya pemerintah sudah mengetahui akar masalah, tapi tidak cukup punya kreativitas untuk memecahkannya. Akibatnya, kejadian serupa dengan sebab yang sama selalu berulang bak lagu lama yang terus diputar. Kita layak malu dengan Filipina, yang juga memiliki jumlah tenaga kerja di luar negeri sangat besar, sekitar 2 juta orang. Tapi, kualitas dan nasib mereka jauh lebih baik ketimbang TKI. Itu disebabkan pemerintah Filipina sangat serius mempersiapkan dan melayani tenaga kerja mereka. Pembekalan kecakapan teknis, kemampuan berbahasa negara tujuan, dan pendampingan tenaga kerja dilakukan secara sistematis dan tidak asal-asalan. Mental melayani dan mengadvokasi betulbetul dipraktikkan pemerintah Filipina, bahkan hingga ke pucuk pimpinan negara. Itulah yang pernah dilakukan mantan Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo yang langsung menemui Mahathir Mohammad yang saat itu perdana menteri Malaysia, ketika muncul insiden penyiksaan tenaga kerja Filipina oleh majikannya di Malaysia. Tapi, di sini, menteri tenaga kerja sudah berganti berkali-kali, proses rekrutmen dan pengiriman TKI tetap saja amburadul. Kualitas tenaga kerja yang dikirim juga belum beranjak dari posisi pembantu rumah tangga, dengan kemampuan teknis pas-pasan dan pemahaman bahasa yang juga memprihatinkan. Pemerintah amat senang menyebut para TKI sebagai pahlawan devisa karena memang uang yang mereka kirim ke Tanah Air mencapai sekitar Rp60 triliun per tahun. Tapi, jasa mereka dibalas dengan memperlakukan para TKI itu sebagai sapi perah. Gaduh soal pembelaan terhadap TKI baru muncul ketika ada insiden, itu pun dengan tingkat keberhasilan yang minim. Setelah itu, semuanya berjalan seperti biasa. Karena itu, sebelum pemerintah sanggup membenahi pengiriman TKI dan memberikan jaminan rasa aman, moratorium layak dipertimbangkan. Dengan demikian, para TKI tidak terus menjadi yatim piatu karena tidak ada yang mengurus. 2004 - 2010 MediaIndonesia.com All rights reserved. Comments & suggestions please email [email protected]

13