ANALISIS FAKTOR YANG MEMENGARUHI …...kebijakan luar negeri dan geopolitik. Berdasarkan temuan yang...
Transcript of ANALISIS FAKTOR YANG MEMENGARUHI …...kebijakan luar negeri dan geopolitik. Berdasarkan temuan yang...
ANALISIS FAKTOR YANG MEMENGARUHI
PENYERAHAN PULAU TIRAN DAN SANAFIR DARI
MESIR KEPADA ARAB SAUDI PADA TAHUN 2016
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Ahmad Gifari Juniatama
1113113000104
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/ 2018 M
i
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
ANALISIS FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENYERAHAN PULAU
TIRAN DAN SANAFIR DARI MESIR KEPADA ARAB SAUDI PADA
TAHUN 2016
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 16 April 2018
Ahmad Gifari Juniatama
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Ahmad Gifari Juniatama
NIM : 1113113000104
Program Studi : Hubungan Internasional
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
ANALISIS FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENYERAHAN PULAU
TIRAN DAN SANAFIR DARI MESIR KEPADA ARAB SAUDI PADA
TAHUN 2016
Telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Ciputat, 16 April 2018
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi Pembimbing,
Ahmad Alfajri, MA Eva Mushoffa, MA
NIP. NIP.
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
ANALISIS FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENYERAHAN PULAU
TIRAN DAN SANAFIR DARI MESIR KEPADA ARAB SAUDI PADA
TAHUN 2016
oleh
Ahmad Gifari Juniatama
1113113000104
telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal
25 Mei 2018. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Hubungan Internasional.
Ketua, Sekretaris,
Ahmad Alfajri, M.A.
NIP.
Eva Mushoffa, MHSPS
NIP.
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 25 Mei 2018.
Ketua Progam Studi
Hubungan Internasional
Ahmad Alfajri, M.A.
NIP.
Penguji I, Penguji II,
Ahmad Alfajri, M.A
NIP.
Adian Firnas, M.Si
NIP.
iv
ABSTRAK
Kesepakatan antara Mesir dan Saudi pada April 2016 tentang transfer
pulau Tiran dan Sanafir adalah hal yang sangat langka terjadi dalam sejarah
hubungan internasional modern. Keputusan yang diambil oleh Mesir merupakan
anomali bagi sebuah negara. Jika membandingkan dengan berbagai kasus
pengakuan teritorial, khususnya kepemilikan pulau, banyak negara di dunia yang
harus terlibat konflik untuk mengklaim suatu wilayah tertentu. Berdasar pada
anomali ini, penelitian dilakukan untuk menganalisis faktor-faktor yang
memengaruhi Mesir memustuskan bersepakat dengan Saudi menyerahkan kedua
pulaunya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan melakukan studi
pustaka. Terdapat beberapa perangkat analisis yang digunakan untuk membedah
kasus ini. Teori neo-realisme digunakan untuk menelaah faktor sistemik yang
berpengaruh. Selain itu, digunakan juga beberapa konsep seperti analisis
kebijakan luar negeri dan geopolitik.
Berdasarkan temuan yang diperoleh dalam penelitian ini, terdapat tiga
faktor yang memengaruhi Mesir untuk menyerahkan dua pulau miliknya, yakni
faktor ekonomi, keamanan, dan geopolitik. Faktor ekonomi berkaitan dengan
keadaan ekonomi negara yang lemah pada rezim Abdul Fatah As Sisi dan
berusaha melakukan perbaikan. Kemudian faktor keamanan berkaitan dengan
keamanan Sinai serta aspek strategis yang akan didapat Mesir dari Saudi dalam
kesepakatan ini. Adapun faktor geopolitik yang dapat dilihat adalah keinginan
Mesir untuk kembali membangun kekuatan politik serta pengaruhnya di kawasan.
Ketiga faktor ini saling terhubung satu sama lain, untuk bisa menjelaskan
keputusan Mesir. Tetapi, faktor geopolitik Mesir yang pada akhirnya dilihat
sebagai penentu dari keputusan. Dua faktor lain menjadi elemen pendukung dari
usaha tercapainya tujuan utama Mesir.
Kata kunci: Penyerahan pulau, geopolitik Mesir, kepentingan ekonomi,
keamanan
v
KATA PENGANTAR
Selesainya proses pengerjaan naskah skripsi ini menandakan bahwa telah
sampai titik akhir dari perjalanan massa studi strata satu di bumi Ciputat.
Sepanjang periode belajar yang terbilang tidak sebentar ini, saya masuk ke dalam
berbagai komunitas epistemik yang telah berpengaruh dalam membangun posisi
intelektual saya saat ini. Jurusan hubungan internasional UIN Jakarta sendiri
memiliki makna tersendiri bagi arah pembentukan distingsi kajian yang saya
tekuni. Sebagai sebuah institusi, tempat ini telah berhasil memantik semangat
intelektual saya sebagai lulusan program IPA yang mulanya cenderung menjadi
insinyur untuk menjadi akademisi ilmu hubungan internasional.
Skripsi yang akhirnya diselesaikan ini adalah hasil kompromi pemikran
pribadi penulis yang sebelumnya berniat menulis tema faktor Islam dalam
kebijakan luar negeri Indonesia pada era Presiden Joko Widodo. Minat besar saya
pada kajian keislaman dan keindonesiaan adalah faktor pendorong terkuat yang
memengaruhi sempat lahirnya niat tersebut. Namun, akhirnya hal tersebut urung
terlaksana karena beberapa hal.
Kasus yang diangkat ini sendiri masih memiliki keterkaitan dengan
kecenderungan saya untuk mempelajari dunia Islam. Mesir dan Arab Saudi yang
menjadi objek penelitian adalah dua negara dengan posisi menarik dalam sejarah
Islam modern. Ketika dunia Islam mengalami kekosongan kepemimpinan pasca
runtuhnya khilafah Turki Utsmani, dua negara tersebut tampil sebagai kandidat
yang ingin mengisi ruang tersebut. Mesir pada tahun 1920an di bawah
vi
kepemimpinan Raja Fuad yang didukung kelompok reformis berusaha
mengonsolidasikan umat Islam sedunia dalam sebuah konferensi. Hal serupa juga
dilakukan oleh Saudi yang pertama kali dicoba oleh Syarif Husain dan kemudian
usaha serupa dijalankan oleh Ibnu Sa‟ud dalam bentuk sebuah konferensi di
Mekah.
Hingga saat ini, Mesir dan Saudi tetap menjadi negara yang berpengaruh
di dunia Islam, khususnya di kawasan Timur Tengah. Pembahasan mengenai
penyerahan pulau Tiran dan Sanafir pada tahun 2016, yang menjadi tema spesifik
sendiri bisa membuka perspektif dinamika hubungan antara negara di Timur
Tengah. Tidak hanya tentang dua negara yang terlibat dalam kesepakatan, tapi
bahasan kasus ini juga akhirnya membawa penelusuran terhadap realitas politik
yang lebih luas.
Penulisan skripsi ini dalam tujuan paling esensialnya adalah untuk
memenuhi kewajiban saya sebagai mahasiswa serta sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar sarjana dari Program Studi Hubungan Internasional,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah. Tetapi tentu saya
tidak berharap untuk menjadikan karya ini hanya sebatas demikian. Besar harapan
saya agar kiranya hasil penelitian ini bisa bermakna bagi hal lain di luar kewajiban
formalistik tersebut.
Akhirnya, rasa syukur dan puja puji saya sepenuhnya bagi Allah SWT yang
telah memberi saya yang maha lemah ini segala karunianya. Dengan kasih
sayangnyalah saya dapat menikmati hidup, termasuk berhasil menyelesaikan
vii
skripsi ini. Shalawat bagi Rasulullah Muhammad SAW, rasul yang telah
mengajarkan kemanusiaan universal bagi ummatnya, juga mengilhami saya
dengan teladan hidupnya yang tidak akan mampu sepenuhnya saya tiru. Tidak
lupa saya juga ingin berterima kasih pada sosok-sosok yang berjasa besar dalam
proses studi dan penulisan skripsi ini:
1. Kedua orang tua saya, Ayahanda Madyamin dan Ibunda Tarnaningsih
yang telah memberi kebebasan pada saya dalam segala pilihan studi. Tidak
pernah ada ultimatum dalam panjang massa studi atau pengerjaan skripsi
yang keduanya tujukan pada saya. Berkat do‟a, keridhoan, dan kasih
sayang dua sosok penting inilah saya dapat sampai pada saat ini. Maka
karya sederhana ini saya dedikasikan untuk keduanya.
2. Ibu Eva Mushoffa, yang sangat baik sebagai dosen pembimbing.
Memberikan banyak masukkan terhadap kekurangan dan meluruskan
kekeliruan selama proses penulisan skripsi. Beliau juga sangat asyik dalam
berdiskusi, baik dalam bahasan tema penelitian ini maupun di luar tema.
Serta kesabarannya menghadapi saya yang tidak jarang menghilang selama
pengerjaan skripsi.
3. Bapak Nazaruddin Nasution, yang tidak hanya menjadi dosen pembimbing
akademik, tapi juga mentor yang mengajarkan banyak hal bagi saya.
4. Dosen-dosen di Jurusan Hubungan Internasional yang dalam kapasitasnya
masing-masing telah memberi ilmu yang bemanfaat.
5. Kepada dua adik saya, Muhamad Nabil Bigofik dan Salsa Nurfathi yang
telah menjadi salah satu alasan saya bersungguh-sungguh.
viii
6. Bimo yang sejak awal kuliah menjadi teman setia berdiskusi saya tentang
banyak hal, Cahyo yang pada masa akhir studi saya banyak membantu
dalam berbagai hal, juga Aly, Afriliani, Alfira, Don Arip, Fauzi, dan
Shabrina yang menemani waktu lebih studi yang setiap harinya semakin
menakutkan.
7. Sahabat CBB yang selalu membersamai dalam suka maupun duka, Vanny,
Rosalina, Sakiinah, Fenindya, Indaha, Zhafira, Riri, Hendri, juga Abyan,
Aden, dan Zahra.
8. Dara yang menjadi rekan berdiskusi dan sesekali membagi bahan yang
disarankan oleh pembimbing.
9. Keluarga besar HMI Komisariat FISIP, INSISTS, serta berbagai institusi
lainnya yang telah menjadi kawah candradimuka bagi saya selama belajar
di Ciputat.
10. Keluarga Kostan 54B, Mas Nasikh, Bang Fadhil, Bang Zainul, Bang
Tarmidzi, Kyai Aziz, Pak Efendi, Pak Amril, dan Pak Fattah yang telah
menemani diskusi-diskusi hangat di waktu senggang.
11. Adik-adik Kocrat-Kecret, Acay, Oka, Sabil, Bela, Dilla, Citra, Nabila,
Hani, Nailu, Asry, Astri, dan Cesa, yang sesekali membuat saya kembali
mengingat kuliah-kuliah yang sudah lalu.
Selain nama-nama yang disebutkan, tentu banyak pihak lainnya yang memberi
bantuan pada penulis selama masa studi dan pengerjaan skripsi ini. Segala
kebaikannya semoga diberi imbalan berkali lipat oleh Allah, hutang emas bisa
dibayar, hutang budi dibawa mati. Akhirnya, skripsi ini tentu memiliki banyak
ix
kekurangan dan segala kekurangan tersebut adalah tanggung jawab saya
sepenuhnya.
Ciputat, 16 April 2018
Ahmad Gifari Juniatama
x
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ........................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI........................................................ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .................................................... iii
ABSTRAK ............................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................ v
DAFTAR ISI ........................................................................................................... x
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH ......................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Pernyataan Masalah ........................................................................ 1
B. Pertanyaan Penelitian ..................................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................... 7
D. Tinjauan Pustaka ............................................................................ 8
E. Kerangka Teori ............................................................................. 11
1. Neo-Realisme............................................................................ 11
2. Analisis Kebijakan Luar Negeri ............................................... 13
3. Geopolitik ................................................................................. 15
F. Metode Penelitian ......................................................................... 17
G. Sistematika Penulisan ................................................................... 19
BAB II ORIENTASI KEBIJAKAN MESIR DAN DINAMIKA
HUBUNGAN MESIR-ARAB SAUDI ................................................ 21
A. Orientasi Kebijakan Luar Negeri Mesir ....................................... 21
B. Dinamika Hubungan Mesir dan Arab Saudi ................................ 30
BAB III PENYERAHAN PULAU TIRAN-SANAFIR DARI PEMERINTAH
MESIR KEPADA PEMERINTAH ARAB SAUDI PADA TAHUN
2016 ....................................................................................................... 41
A. Penyerahan Pulau Tiran dan Sanafir ............................................ 41
1. Sejarah Pulau Tiran dan Sanafir ............................................... 42
2. Nilai Strategis Pulau Tiran dan Sanafir .................................... 44
xi
B. Dinamika Ekonomi, Politik dan Sosial Mesir Menjelang
Penyerahan Pulau .................................................................................. 48
1. Perubahan Ekonomi Mesir........................................................ 51
2. Perubahan Sosial dan Politik di Mesir ...................................... 56
BAB IV ANALISIS FAKTOR YANG MEMENGARUHI KESEPAKATAN
PENYERAHAN PULAU MESIR KEPADA ARAB SAUDI .......... 61
A. Kedaulatan Pulau dan Persoalan Ekonomi ................................... 61
B. Keamanan Mesir: Dinamika dan Proyeksi ................................... 73
1. Dilema Sinai ............................................................................. 73
2. Ancaman Israel ......................................................................... 78
C. Motif Politik Mesir ....................................................................... 87
BAB V PENUTUP ............................................................................................ 96
A. Kesimpulan ................................................................................... 96
B. Saran ........................................................................................... 100
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... xv
LAMPIRAN ..................................................................................................... xxxii
xii
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH
ABM : Ansar Bait al Maqdis
AMIO : Arab Military Armmament Organization
GCC : Gulf Cooperation Council
Hamas : Harakat al-Muqawama al-Islamiyya
IDF : Israel Defence Forces
IM : Ikhwanul Muslimin
IMF : International Monetary Funds
ISIS : Islamic State In Iraq and Syria
NATO : North Atlantic Treaty Organization
NDPS : National Project for the Development of Sinai
OPEC : Organization of Petroleum Exporting Countries
PBB : Persatuan Bangsa Bangsa
SCAF : Supreme Council of The Armed Forces
TEAM : Taba-Eilat-Aqaba Macro Area
UAS : United Arab States
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Rencana Pembangunan Jembatan Mesir-Saudi.........................xxxii
Lampiran 2 Jalur Penyelundupan Senjata Oleh Baduy Sinai.......................xxxiii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Penelitian ini menjelaskan tentang penyerahan dua pulau milik Mesir,
yaitu Tiran dan Sanafir yang dilakukan oleh pemerintah Mesir kepada Arab Saudi
pada tahun 2016. Tiran dan Sanafir adalah dua pulau yang terletak di laut merah,
diapit oleh dua negara yaitu Mesir dan Arab Saudi. Tiran terletak di dekat dua
pantai Mesir, berjarak sekitar enam kilometer atau empat mil dari salah satu
Resort milik Mesir di Laut Merah1. Letak kedua pulau ini memang saling
berdekatan dengan kedua negara, bahkan berada dekat dengan beberapa negara
lainnya.
Keputusan pemerintah Mesir untuk memberi pulau tersebut pada akhirnya
diliputi oleh berbagai respon dari dalam negeri Mesir sendiri. Kebanyakan dari
penduduk Mesir meresponnya dengan tanggapan yang cenderung negatif2.
Gelombang protes yang dilancarkan melalui sosial media yakni melalui twitter,
1 Anthony S. Reyner, The Strait of Tiran and The Sovereignity of The Sea, dalam Jurnal
Middle East JournalVol. 21 No. 3 (Summer 1967), h. 403-404 2“Demonstrasi di Mesir Menentang “Penyerahan” Pulau ke Saudi”, BBC, 15 April
2016http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2016/04/160415_dunia_mesir_demo, diakses pada 16
September 2016.
2
terdapat ribuan protes terhadap keputusan Mesir yang mendominasi isu sosial
media saat keluarnya keputusan tersebut.3
Sumber gambar: The New York Times4
Selain protes melalui sosial media, protes juga ditunjukan masyarakat
Mesir dengan melakukan demonstrasi di Kairo. Selain dilakukan di Kairo,
demonstrasi juga dilakukan di Aleksandria. Gelombang protes tersebut
diperkirakan berisikan sekitar 2000 orang demonstran yang turun ke jalan dan
memprotes kebijakan Presiden As-Sisi terkait kebijakan penyerahan pulau.5
3Ian Black, “Egypt's president under fire over Red Sea islands transfer to Saudi Arabia”,
The Guardian, 11 April 2016http://www.theguardian.com/world/2016/apr/11/egypt-saudi-arabia-
tiran-sanafir-red-sea-islands-transfer, diakses pada 16 Sepetember 2016. 4Declan Walsh, “Egypt Gives Saudi Arabia 2 Islands in a Show of Gratitude”, New York
Times 10 April 2016http://www.nytimes.com/2016/04/11/world/middleeast/egypt-gives-saudi-
arabia-2-islands-in-a-show-of-gratitude.html?_r=0, diakses pada 16 September 2016. 5Jared Malsin, “The Fate of Two Deserted Islands Has Egyptians Taking to the Streets
Again”, TIME, 15 April 2016http://time.com/4296334/egypt-protests-tiran-sanafir-islands/
,diakses pada 28 Maret 2017.
3
Meskipun telah mendapat banyak tentangan, penyerahan kedua pulau itu
tetap dilaksanakan. Apa yang dilakukan oleh Mesir sangatlah kontras dengan apa
yang terjadi di beberapa wilayah lain. Isu perebutan kedaulatan atau pulau,
seringkali menjadi pemicu lahirnya persengketaan antar negara.
Sebagai contoh, di kawasan Amerika Selatan terjadi sengketa selama tiga
puluh tahun antara pemerintah Inggris dengan pemerintah Argentina mengenai
kepemilikan Kepulauan Falkland6, sampai akhirnya menjadi bagian dari Inggris
pada tahun 2013.7 Pada kawasan Asia-Pasifik, sengketa kepulauan juga terjadi
antara Cina dengan beberapa negara Asia Tenggara8. Kepulauan yang
dipersengketakan adalah Parecel dan Spartly, kedua kepulauan ini terletak di
perairan Laut Cina Selatan yang memang pada beberapa waktu belakangan
memanas.9
Selain dua sengketa kepulauan diatas, Rusia dengan Jepang juga berselisih
paham tentang kepemilikan empat pulau di wilayah utara Jepang, yaitu Iturup,
Kunashir, Shikotan, dan Habomai. Rusia memaksakan agar Jepang mengakui
kepemilikan Rusia atas empat pulau tersebut, namun Jepang tidak ingin
melakukan hal tersebut, yang pada akhirnya menjadi salah satu faktor penghambat
6Jorge O. Laucirica, Lessons from Failure: The Falklands Conflict, dalam Jurnal Seton
Hall Journal of Diplomacy and International Relations Summer/Fall 2000, h. 79 7Falkland Islands Government, “Falkland Islands: Fact and Fictions” (pdf) diunduh dari
https://www.falklands.gov.fk/assets/Falklands-Facts-and-Fictions-ENGLISH-.pdf pada 28 Maret
2017. 8Andy Yee, Maritime Territorial Disputes in East Asia: A Comparative Analysis of the
South China Sea and the East China Sea, dalam Jurnal Journal of Current Chinese Affairs Vol. 60
No.2, 2011, h. 166-167 9“Sengketa kepemilikan Laut Cina Selatan”, BBC, 21 Juli
2011http://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2011/07/110719_spratlyconflict, diakses pada
16 September 2016.
4
hubungan kedua negara tersebut.10
Dari beberapa contoh kasus persengketaan
yang terjadi antarnegara yang disebabkan oleh masalah kepemilikan atas pulau.
Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya kedaulatan teritorial adalah hal yang
sangat penting bagi suatu negara.
Kedaulatan teritorial sendiri merupakan salah satu aspek terpenting dalam
kedaulatan sebuah negara, selain itu juga teritori menjadi elemen penting dalam
menjalankan otoritas politik di era modern. Kedaulatan teritori merupakan
kedaulatan yang tersusun atas wilayah dan letak geografis suatu negara itu berdiri
di bawah naungan satu kekuasaan, maka kedaulatan teritori ini sangat penting
karena juga merupakan cerminan wibawa sebuah negara.11
Maka, keputusan
Presiden As-Sisi sangatlah mengherankan, mengingat betapa pentingnya
kedaulatan teritori bagi sebuah negara.
Mesir sendiri sebenarnya adalah negara yang tegas dalam hal menjaga
kedaulatan wilayahnya, ini terbukti dari adanya sengketa antara Mesir dengan
negara lain yang disebabkan oleh masalah perbatasan. Mesir pernah bersengketa
dengan Israel terkait dengan penguasaan atas wilayah Semenanjung Sinai,
perebutan atas wilayah Sinai ini sempat menimbulkan peperangan antara Mesir
dengan Israel pada 1973.12
10
Yukiko Kuroiwa, Russo-Japanese Territorial Dispute From The Border Region
Perspective, dalam UNISCI Discussion Papers No. 32, Mei 2013, h. 203-204 11
Stanford Encyplopedia of Philosophy, “Sovereignity”,
2016http://plato.stanford.edu/entries/sovereignty/, diakses pada 17 September 2016. 12
Departement of State United States of America, “The 1973 Arab-Israeli War”,
https://history.state.gov/milestones/1969-1976/arab-israeli-war-1973, diakses pada 27 Maret 2017.
5
Selain bersengketa dengan Israel mengenai masalah kedaulatan wilayah,
Mesir juga bersengketa dengan Sudan dalam hal yang sama. Dengan Sudan, Mesir
mempersengketakan wilayah Segitiga Halayeb Shalateen yang telah
dipermasalahkan sejak era Presiden Gamal Abdul Naser.13
Wilayah Halayeb ini
merupakan daratan dengan luas 20. 850 km2 yang berada di perbatasan antara
Mesir dan Sudan, penyebab dari sengketa ini adalah klaim Sudan terhadap
segitiga Halayeb ini yang tidak disetujui Mesir.14
Kemudian jika melihat hubungan antara Mesir dan Arab Saudi, sebenarnya
hubungan diantara kedua negara ini bukanlah hubungan yang bisa dikatakan
harmonis. Persaingan awal dari Mesir dan Arab Saudi berlangsung di masa
pemerintahan Gamal Abdul Naser. Pada era pemerintahan Naser, pada awalnya
hubungan antara Mesir dengan Saudi berjalan dengan baik. Hal ini dapat dilihat
dari adanya aliansi yang dibangun antara negara Arab Saudi dengan Mesir.15
Tetapi hubungan baik itu berakhir setelah Naser mendeklarasikan
semangat nasionalisme Arab atau Pan-Arabisme yang bertujuan untuk
mengangkat posisi negara-negara Arab.16
Hal yang dilakukan Naser dianggap
berbahaya oleh Kerajaan Saudi karena berpotensi menyebarkan doktrin anti-
13
Yehya Serag, “Border settlements in Egypt: Between trans-border cooperation &
defending the sovereignty of the country”, Paper pada Regional Studies Association Annual
International Conference, 2010,
https://www.researchgate.net/publication/322077401_Border_settlements_in_Egypt_Between_tran
s-border_cooperation_defending_the_sovereignty_of_the_country, diunduh pada 27 Maret 2017. 14
“Halayeb Triangle”, Sudan Tribune,http://www.sudantribune.com/spip.php?mot382,
diakses pada 17 September 2016. 15
Elie Podeh, Ending an Age-Old Rivalry: The Rapprochement between The Hashemites
and The Saudis, 1956-1958 dalam Asher Susser dan Aryeh Shmuelevitz,The Hashemites in The
Modern Arab World, London: Frank Cass, 2005, h. 89 16
Adeed Dawisha, Arab Nationalism in the Twentieth Century: From Triumph to Despair,
diakses online dari http://press.princeton.edu/chapters/s7549.html, diakses 17 September 2016
6
monarki. Selain itu faktor perbedaan aliansi dalam konteks perang dingin juga
memperlebar jurang antara Mesir dengan Arab Saudi. Pada satu sisi, Mesir
dibawah kepemimpinan Nasser adalah aliansi dari Soviet17
disisi lainnya Arab
Saudi merupakan aliansi dari Amerika Serikat.
Pada masa pemerintahan Mesir selanjutnya, yaitu era Presiden Anwar
Sadat Mesir mengubah haluan Aliansi, dari yang sebelumnya dengan Soviet
berubah menjadi aliansi dari Amerika Serikat.18
Meskipun pada saat itu aliansi
dari kedua negara telah sama, tetapi bukan berarti hubungan kedua negara
membaik. Keputusan Sadat untuk berdamai dengan Israel menimbulkan tentangan
keras dari Arab Saudi.19
Hubungan kurang baik kedua negara ini terus berlanjut pada masa
pemerintahan selanjutnya, yaitu era Presiden Husni Mubarok. Persaingan antara
Mesir dan Arab Saudi terjadi disebabkan oleh faktor perebutan pengaruh di Timur
Tengah.20
Bahkan, pada tahun 2012 Arab Saudi pernah menarik diplomatnya dari
17
Central Intelligence Agency, “Soviet-Egyptian Relation: An Uneasy Alliance” (pdf),
CIA Historical Review Program Release as Sanitized, 1998,diunduh dari
http://www.foia.cia.gov/sites/default/files/document_conversions/89801/DOC_0000309640.pdf,
diunduh pada 17 September 2016. 18
Lisa Reynold Wolfe, “Egypt Transfers Loyality from the USSR to US in the Middle of
Cold War”, Cold War Magazine, 10 Juni 2010. http://www.coldwarstudies.com/2010/06/10/egypt-
transfers-loyalty-from-the-ussr-to-the-us-in-the-middle-of-the-cold-war/, diakses pada 17
September 2016. 19
Eric Pace, “Anwar El-Sadat, Arab The Daring of Pioneer of Peace with Israel”, The
New York Times, 7 Oktober 1981, diakses online dari
http://www.nytimes.com/learning/general/onthisday/bday/1225.html, diakses pada 17 September
2016. 20
“Paradoxes of Egyptian-Saudi Relation” (pdf),Islamic Affairs Analyst, Desember 2009.
diunduh dari https://www.washingtoninstitute.org/uploads/Documents/opeds/4b1e9a6395bc6.pdf,
diunduh pada 17 September 2016.
7
kedutaan Saudi di Kairo serta menutup konsulat di Aleksandria dan Suez.21
Dari
beberapa argumen yang telah dikemukakan, dapat dilihat bahwa penyerahan dua
pulau milik Mesir kepada Arab Saudi adalah sebuah anomali.
B. Pertanyaan Penelitian
Dari penjelasan pada pernyataan masalah, berdasar pada sangat pentingnya
kedaulatan wilayah suatu negara serta hubungan yang tidak begitu baik antara
Mesir dan Arab Saudi, maka hal yang dilakukan Mesir telah menimbulkan satu
pertanyaan besar. Oleh sebab itu, pertanyaan penelitian yang diajukan yaitu
“Mengapa Mesir Menyerahkan Pulau Tiran dan Sanafir Kepada Arab
Saudi?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Pada dasarnya tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-
faktor yang mendorong Mesir yang untuk menyerahkan kedua pulau miliknya,
yaitu Tiran dan Sanafir kepada Arab Saudi. Kebermanfaatn penelitian ini juga
menjadi salah satu tujuan dari dilakukannya penelitian ini, sebagai satu kontribusi
untuk memperkaya khazanah intelektual yang ada serta diharapkan dapat
bermanfaat bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang membahas hubungan
antara Mesir dan Arab Saudi, tentang penyerahan wilayah kedaulatan, ataupun
penelitian yang membahas dinamika politik Timur Tengah secara lebih umum.
Besar harapan agar kiranya penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh banyak pihak,
21
“Egyptyan Protests over detained lawyer shut Saudi Embassy”, BBC, 28 April
2012,http://www.bbc.com/news/world-middle-east-17881733, diakses pada 17 September 2016.
8
terkhusus bagi Program Studi Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
D. Tinjauan Pustaka
Tulisan pertama yang menjadi tinjauan pustaka dalam penelitian ini adalah
tulisan Mohammad Jafar Ajorloo yang berjudul The Strategic Importance of The
Strait of Tiran in the conflict in South West Asia, dalam Jurnal Geopolitics
Quarterly Volume 10 No. 4 Winter 2015. Ajorloo dalam tulisannya lebih banyak
secara khusus membahas keadaan geopolitik yang terjadi di Selat Tiran dalam
konteks potensi konflik yang dapat terjadi di Asia Barat Daya. Dalam penelitian
ini, aspek yang lebih ditekankan dalam kasus Tiran dan Sanafir, lebih pada faktor-
faktor yang memengaruhi Mesir untuk mengeluarkan kebijakan untuk
menyerahkan kedua pulaunya pada Arab Saudi.
Tulisan kedua yang menjadi tinjauan pustaka dalam penelitian ini adalah
disertasi Mansour K. Al-Damouk Al-Zahrani yang berjudul The Kingdom of Saudi
Arabia and the Law of the Sea: An Analysis of Saudi Arabian Practice within the
Emerging International Oceans Regime. Al-Zahrani dalam tulisannya, terkhusus
pada bab yang membahas mengenai Pulau Tiran dan Sanafir, lebih berfokus
membahas kedua pulau ini dalam kaitannya dengan hukum internasional.
Hal itu berbeda dengan penelitian skripsi ini, yang lebih melihat Pulau
Tiran dan Sanafir sebagai suatu wilayah teritori yang dimungkinkan terhadapnya
berbagai kepentingan baik itu kepentingan ekonomi, politik, maupun
pertahanan.Faktor-faktor tersebut kemudian dilihat sebagai pendorong bagi Mesir
9
untuk mengeluarkan kebijakan menyerahkan kedua pulau tersebut kepada Arab
Saudi.
Tulisan ketiga yang menjadi tinjauan pustaka dalam penelitian ini adalah
laporan berjudul The Egypt-Saudi Arabia Agreement on Tiran and Sanafir yang
ditulis oleh Pierre-Emmanuel Dupont dan Brian McGarry. Dalam laporan ini
dijelaskan tentang bagaimana status hukum Mesir atas Pulau Tiran dan Sanafir.
Selanjutnya, dibahas keterkaitan status hukum Mesir tersebut dengan kebijakan
Mesir yang menyerahkan Pulau Tiran dan Sanafir kepada Arab Saudi.
Dalam penelitian ini, pembahasan mengenai Mesir dan kedua pulau
tersebut lebih ditekankan pada faktor-faktor pendorong yang berasal dari aspek
kepentingan (ekonomi, politik, keamanan) Mesir serta keadaan sistem politik di
kawasan yang pada akhirnya menyebabkan Mesir mengeluarkan kebijakan untuk
menyerahkan kedua pulau tersebut pada Arab Saudi. Hal inilah yang menjadi
pembeda antara penelitian ini dengan laporan yang ditulis oleh Duppont dan
McGarry.
Tulisan keempat yang menjadi tinjauan pustaka dalam penelitian ini adalah
tulisan Dr. Ashraf Saleh Mohamed Sayed yang berjudul Freindship And
Cooperation Treaty Between The Kingdom of Saudi Arabia And The Kingdom of
Egypt May-November 1936. Sayed dalam tulisannya lebih banyak menyoroti
pembahasan tentang dinamika kerjasama antara Mesir dan Arab Saudi yang sudah
sejak dahulu mengalami pasang surut. Salah satu faktor yang memengaruhi
hubungan antar kedua negara adalah sengketa Pulau Tiran dan Sanafir.
10
Perbedaan tulisan milik Saleh dengan penelitian ini terletak pada
pendekatan serta fokus penelitian. Dalam tulisan Sayed, pendekatan yang
digunakan dalam melihat hubungan Mesir dengan Saudi adalah pendekatan
historis, berbeda dengan penelitian ini yang membahasnya dalam perspektif
hubungan internasional. Selain itu fokus penelitian antara karya Saleh dengan
penelitian ini juga berbeda. Jika dalam tulisan Saleh hubungan antara Mesir
dengan Saudi dalam kaitannya dengan Pulau Tiran dan Sanafir berfokus pada
faktor-faktor yang hanya berasal dari kedua negara tersebut, dalam penelitian ini
pembahasan lebih luas dengan akan menjabarkan pengaruh sistem internasional
yang juga turut berpengaruh.
Tulisan kelima yang menjadi tinjauan pustaka dalam penelitian ini adalah
tulisan Anthony S. Reyner yang berjudul The Strait of Tiran And The Sovereignity
of The Sea, dalam Jurnal The Middle East Journal, Volume 21 No. 3, Summer
1967. Reyner membahas Pulau Tiran dan Sanafir dalam kaitannya dengan
kedaulatan laut yang ada di Selat Tiran,ia menggunakan pendekatan hukum,
historis, serta geopolitik yang ada pada kawasan tersebut.Dalam penelitian ini titik
tekan penelitian ada pada faktor pendorong bagi Mesir yang menyerahkan Tiran
dan Sanafir kepada Saudi, yang dibahas melalui perspektif hubungan
internasional.
11
E. Kerangka Teori
1. Neo-Realisme
Dalam konteks menjelaskan kebijakan Mesir yang menyerahkan kedua
pulau yang berada di bawah kedaulatannya yaitu pulau Tiran dan Sanafir kepada
Arab Saudi,teori yang digunakan adalah Neo-realisme dalam hubungan
internasional. Neo-realisme menitik beratkan perhatian pada negara sebagai aktor
utama dan keterkaitannya dengan keamanan dan keberlangsungan negara tersebut
untuk bertahan (survival) dalam sistem anarki internasional. Dasar aspek
keamanan dan kemampuan bertahan negara merupakan dua fokus perhatian yang
sama antara neo-realis dengan realis klasik. Meskipun demikian, antara kedua
teori ini tetaplah berbeda.22
Dalam Neo-realisme Waltz, hubungan internasional lebih baik dipandang
dalam sudut pandang struktur sistem intenasional. Karena pada hakikatnya sistem
internasional yang akan memengaruhi perilaku dari negara. Dalam sistem
internasional tersebut, negara sebagai unit berinterkasi dengan unit lainnya, yang
membedakan antar unit tersebut adalah besar-kecilnya kapabilitas mereka.
Semakin besar kapabilitas suatu negara sebagai unit, maka akan semakin besar
pula pengaruh negara tersebut dalam sistem internasional.23
Negara yang memiliki kapabilitas lebih kuat, bisa dapat memengaruhi
negara lainnya untuk mendapat keuntungan karena negara merupakan pencari
22
Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. h. 112 23
Jackson dan Sorensen, Pengantar Studi, h. 110-111
12
keuntungan (profit seeker).24
Untuk mendapatkan kepentingan nasional dan
menjaga keamanan mereka, unit dalam kondisi anarki bergantung pada sarana
yang mereka miliki. Self-help adalah prinsip tindakan yang lazim dalam sistem
anarki. Negara sebagai unit akan memaksimalkan kapabilitas yang mereka miliki
(ekonomi, politik, militer) untuk dapat menjaga keamanan dan menjaga ketahanan
negara (survival).25
Meskipun demikian, perlu dipertimbangkan bahwa dalam kondisi anarki,
bagaimanapun, keuntungan relatif lebih penting dari keuntungan mutlak. Maka
dari itu negara dalam sistem anarki internasional perlu bersifat kompromistis
dalam kebijakan luar negeri.26
Penggunaan Teori Neo-realisme dalam
menjelaskan penyerahan Pulau Tiran dan Sanafir oleh Mesir kepada Arab Saudi,
didasari atas permasalahan yang dilihat, bahwa asumsi dari teori neo-realis dapat
diterapkan dalam kasus ini. Dalam teori neo-realisme negara bertindak atas
pengaruh sistem anarki internasional yang terjadi di kawasan, dalam sistem yang
anarki tersebut kapabilitas negara yang dapat menentukan pengaruh negara
tersebut dalam sistem.
Dalam kasus ini, jika dilihat dari sisi geopolitik, Mesir sebagai pemilik
dari Pulau Tiran dan Sanafir memiliki posisi yang saling bersinggungan dengan
beberapa negara, salah satunya adalah Israel.Israel adalah negara yang dapat
menjadi ancaman potensial bagi keaamanan Mesir. Dengan menyerahkan
24
Kenneth N. Waltz, Theory Of International Politics, Addison-Wesley Publishing
Company, 1979, h. 129 25
Kenneth N. Waltz, Theory of International Politics, h. 111 26
Kenneth N. Waltz, Man, the State and War: A Theoritical Analysis, New York :
Columbia University Press, 2001. h. 198.
13
kedaulatan atas Tiran dan Sanafir kepada Arab Saudi, Mesir dapat menjadikan
Saudi sebagai buffer zone untuk tidak berhadapan langsung dengan Israel.
Kapabilitas militer antara Mesir dan Israel tidak jauh berbeda27
. Hal tersebut tentu
menimbulkan kerawanan bagi status keamanan Mesir.
2. Analisis Kebijakan Luar Negeri dan Faktor yang Memengaruhinya
Kebijakan luar negeri dalam definisi yang dimiliki oleh Alex Mintz dan
Karl DeRouen adalah sekumpulan pilihan yang diputuskan oleh individu,
kelompok, atau koalisi yang dapat memengaruhi tindakan negara dalam interaksi
di lingkungan internasional. Dalam kebijakan luar negeri tersebut, terdapat
karakter yang berkaitan erat dengan proses pembuatan keputusan, karakter
tersebut adalah resiko dan ketidakpastian.28
Kebijakan luar negeri adalah aspek yang penting dalam setiap interaksi
internasional. Karena sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh suatu negara tentu
akan membangun adanya interaksi antar negara. Kebijakan luar negeri dalam
proses penentuannya akan diperhitungkan secara matang, meskipun demikian ada
juga kebijakan luar negeri yang terpengaruh oleh intuisi.29
Mengenai analisa kebijakan luar negeri, yang menjadi keputusan suatu
negara. Keputusan tersebut juga berdasar pada pertimbangan konsekuensi di
27
http://www.globalfirepower.com/countries-comparison-
detail.asp?form=form&country1=egypt&country2=israel&Submit=COMPARE, diakses pada 6
Oktober 2016. 28
Alex Mintz dan Karl DeRouen, Understanding Foreign Policy Decision Making, New
York, Cambridge University Press, 2010, h. 3 29
Alex Mintz dan Karl DeRouen, Understanding Foreign Policy..., h. 3
14
lingkungan internasional.30
Dalam kebijakan luar negeri, terdapat pengaruh
eksternal maupun internal yang dapat memengaruhi keputusan negara. Faktor
internal dapat dilihat dari pengaruh institusi atau lembaga-lembaga negara serta
kondisi internal suatu negara seperti ekonomi, sejarah, dan kebudayaan.31
Adapun
faktor eksternal dapat dilihat dari sistem internasional yang ada. Sistem
internasional yang dipengaruhi oleh kapabilitas negara yang meliputi kekuasaan
dan kekayaan akan menentukan tindakan negara di level sistem internasional.32
Kebijakan luar negeri lahir dari adanya kompleksitas kondisi domestik
sebuah negara dan situasi internasional yang memengaruhinya, aliansi antar aktor
pada level domestik juga di level internasional, pengaruh kekuatan internasional
tertentu , serta isu yang berkembang di level internal maupun sistemik. Dalam
menganalisis faktor yang memengaruhi suatu negara mengeluarkan sebuah
kebijakan tertentu, Laura Neack membagi tiga level analisis, yakni level individu,
negara atau domestik, dan sistemik.33
Pada level individu, analisis berfokus pada pembuat kebijakan. Cara yang
digunakan oleh penentu kebijakan, ideologinya, serta interaksi individu pembuat
kebijakan dengan aktor lain adalah beberapa hal yang dilihat dalam level analisis
ini. Kemudian pada level negara, analisis akan melihat dinamika sosial serta
kecenderungan pemerintahan sebuah negara dalam mengeluarkan sebuah
30
Valerie M. Hudson, Foreign Policy Analysis: Actor Specific Theory and The Ground of
International Relations, International Studies Association, Blackwell Publishing, 2005, h. 2 31
Marijke Breuning, Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction, New York,
Palgrave Macmillan, 2007, h. 12-13 32
Marijke Breuning, Foreign Policy Analysis..., h. 13 33
Laura Neack, The New Foreign Policy: Power Seeking in a Globalized Era, Maryland:
Rowman & Littlefield Publishers, 2008, h. 6-11
15
kebijakan. Adapun pada level sistemik, faktor yang dilihat meliputi hubungan
bilateral dan multilateral sebuah negara, dinamika regional, serta kondisi
internasional.34
Dalam penelitian ini, kebijakan luar negeri lebih akan lebih dilihat dari
faktor sistemik internasional yang memengaruhinya. Adapun variabel yang turut
memengaruhi keputusan suatu negara seperti ekonomi, politik, dan keamanan.
Akan lebih dilihat dari sudut pandang sistem internasional, bukan dari keadaan
internal yang ada pada negara tersebut.
3. Geopolitik
Geopolitik menurut Rudolf Kjellén adalah suatu teori yang menempatkan
negara sebagai suatu organisme geografis atau fenomena dalam satu ruang
tertentu. Adapun menurut Karl Haushofer geopolitik adalah suatu ilmu tentang
negara yang mengkaji segala faktor determinan dalam proses politik yang dilihat
berdasarkan luas geografis. Berbeda dengan Kjellén dan Haushofer, Robert
Kaplan memilih menjelaskan geopolitik sebagai suatu persaingan yang terus
menerus antar negara yang didasari atas wilayah. Menyimpulkan banyak definisi
mengenai geopolitik, Bernard Cohen mendefinisikan geopolitik sebagai suatu
analisis tentang interaksi antar negara yang dilihat dari perspektif geografis dalam
suatu proses politik.35
34
Neack, The New Foreign Policy, h. 10-11 35
Saul Bernard Cohen, Geopolitics: The Geography of International Relations,
Maryland: Rowman & Littlefield, 2015, h. 15-16
16
Berbeda dengan definisi geopolitik yang telah disebutkan, Tuathail
mendefinisikan geopolitik sebagai varian dari realisme politik yang didasarkan
atas faktor geografis dan merupakan produk dari adanya politik internasional.
Tuathail menambahkan bahwa geopolitik merupakan satu istilah yang dibuat oleh
geat powers untuk menjelaskan kondisi global dari ruang (geografis), kekuatan
(power), dan teknologi.36
Geopolitik juga dapat dipahami sebagai elemen-elemen
geografis dari suatu wilayah yang dapat memengaruhi perilaku politik suatu
negara, biasanya didasari atas dua faktor, yaitu keberadaan sumber daya alam dan
posisi strategis ekonomi. Situasi geopolitik juga berkaitan erat dengan
kepentingan ekonomi, politik, dan strategis suatu negara terhadap wilayahnya.37
Dalam penelitian ini konsep geopolitik digunakan sebagai salah satu
perangkat analisa karena bahasan yang dikaji adalah mengenai politik antara
Mesir dan Arab Saudi yang secara letak geografis kedua negara ini saling
berdekatan. Selain itu, topik spesifik yang dibahas dalam penelitian ini pun terkait
pulau Tiran dan Sanafir yang erat kaitannya dengan geopolitik kedua negara.
Geopolitik sendiri dalam konteks politik internasional di Timur Tengah menjadi
aspek yang sangat penting untuk dapat melihat interaksi antar negara dalam
kawasan tersebut secara lebih jelas.38
Dengan kompleksitas dan keadaan yang
36
Gearóid Ó Tuathail, Critical Geopolitics: The Politics of Writing Global Space,
London: Routledge, 1996, h. 12-42 37
Jakub J. Grygiel, Great Powers and Geopolitical Change, Maryland: The Johns
Hopkins University Press, 2006, h. 22-24 38
Anoushiravan Ehteshami, Globalization and Geopolitics In The Middle East : Old
Games, New Rules, New York: Routledge, 2007, h. 1
17
sangat dinamis dari politik di kawasan tersebut, maka analisa geopolitik memang
menjadi hal yang dibutuhkan.39
F. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah suatu proses yang dilakukan untuk menjelaskan
suatu kejadian atau fenomena agar dapa bersifat ilmiah.40
Dalam penelitian ini,
digunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakansarana
untuk memahami masalah sosial manusia. Analisis yang digunakan dalam metode
ini biasanya bersifat induktif, peneliti akan menjelaskan interpretasinya terhadap
data yang dikumpulkan. Dalam metode ini, struktur penulisan hasil penelitian
umumnya bersifat fleksibel untuk dapat menjelaskan kompleksitas suatu
fenomena tertentu.41
Dalam definisi lainnya, penelitian kualitatif dapat dipahami sebagai
penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun
tertulis dan tingkah laku yang dapat diamati oleh orang-orang yang diteliti.
Penelitian kualitatif berfokus pada ketepatan dan kecukupan data dengan
penekanan pada kesesuaian antara data dengan fakta.42
Dalam proses pengumpulan data penelitian terdapat tiga langkah yang
diperlukan. Pertama, mengatur pembatasan dalam pembahasan suatu masalah
39
Saul Bernard Cohen, Geopolitics..., h. 375 40
W. Laurence Neuman, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative
Approach, Massachusets: Allyn and Bacon, 2000 h. 63 41
John W. Creswell , Research Design: Qualitative, Quantitative, and MixedMethods
Approaches, California: Sage Publication, 2009, h. 4 42
Bagong Suyanto, Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan, Jakarta:
Kencana, 2008, h. 166 dan 175
18
penelitian. Kedua, mengumpulkan informasi dengan melakukan pengamatan,
wawancara, pengumpulan dokumen-dokumen, dan bahan visual. Ketiga membuat
suatu aturan standar untuk mencatat dan merekam setiap informasi yang
didapatkan.43
Dalam mengatur pembatasan bahasan masalah penelitian, penelitian ini
dibatasi pada faktor-faktor yang melatar belakangi Mesir menyerahkan kedua
pulaunya, yaitu Tiran dan Sanafir kepada Arab Saudi. Faktor-faktor politik
ataupun kemungkinan faktor lainnya yang melatar belakangi keputusan Mesir
menyerahkan kedua pulaunya kepada Arab Saudi menjadi fokus bahasan
penelitian.
Dalam pengumpulan data informasi untuk penelitian ini, data yang
digunakan adalah data sekunder maupun data primer. Data primer didapatkan dari
dokumen-dokumen dan publikasi resmi yang diakses maupun diunduh dari situs
resmi negara yang dibahas dalam penelitian ini. Adapun data sekunderdidapatkan
dari jurnal, karya tulis ilmiah (disertasi dan tesis), majalah, surat kabar, dokumen,
makalah penelitian, buku teks, serta berbagi bahan lain yangdiakses melalui studi
pustaka di Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan
FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Perpustakaan Sekolah Pasca Sarjana
UIN Syarif Hidayatullah. Selain sumber-sumber fisik penelitian ini juga
menggunakan referensi yang diakses dan diunduh melalui internet.
43
John W. Creswell , Research Design,. h. 135
19
Dalam penelitian ini terdapat beberapa kendala yang ditemui, salah satu
diantaranya adalah keterbarasan dana penelitian. Kendala lainnya adalah sulitnya
beberapa narasumber untuk di jumpai karena posisi birokrasi yang mengharuskan
persyaratan ketat untuk dapat bertemu dengan narasumber secara langsung.
G. Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan
Dalam bab I akan dibahas latar belakang yang menjadi dasar signifikansi
dari penelitian. Kemudian pertanyaan penelitian yang menjadi inti dari penelitian
ini. Dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka
pemikiran sebagai dasar pemikiran dalam membedah pembahasan mengenai
penelitian ini, metode penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II: Orientasi Kebijakan Mesir dan Dinamika Hubungan Mesir-Arab
Saudi
Pada bab II akan dibahas mengenai dinamika hubungan antara Mesir
dengan Arab Saudi sebelum terjadinya penyerahan Pulau Tiran dan Sanafir.
Penjelasan mengenai hubungan kedua negara penting untuk lebih mengetahui
bagaimana interaksi kedua negara hingga pada akhirnya terdapat kesepakatan
tersebut. Selain itu pada bab ini juga akan dijelaskan orientasi kebijakan luar
negeri Mesir untuk mengetahui karakteristik negara ini dalam mengambil
keputusan.
20
BAB III: Penyerahan Pulau Tiran dan Sanafir dari Pemerintah Mesir
Kepada Pemerintah Arab Saudi Pada Tahun 2016
Bab ini akan menjelaskan proses penyerahan pulau Tiran dan Sanafir
beserta beberapa elemen dari pulau tersebut, seperti sejarahnya dan nilai strategis
yang dimilikinya. Hal itu dimaksudkan untuk memberi gambaran tentang
bagaimana nilai signifikansi dua pulau tersebut. Bab ini juga menjelaskan
dinamika ekonomi, sosial, dan politik Mesir sebelum keluarnya kebijakan
penyerahan kedaulatan pulau.
BAB IV: Analisis Faktor yang Memengaruhi Kesepakatan Penyerahan Pulau
Mesir Kepada Arab Saudi
Bab IV akan lebih fokus untuk menjabarkan faktor-faktor yang
memengaruhi Mesir untuk menyerahkan Pulau Tiran dan Sanafir kepada Arab
Saudi. Faktor internal dan eksternal seperti aspek ekonomi, politik, dan keamanan
ataupun faktor lainnya yang turut berimplikasi pada keputusan Mesir akan
dianalisa secara komperhensif dalam bab ini. dengan menggunakan perangkat
teori dan konsep yang telah disebutkan sebelumnya, data diolah untuk
memberikan analisis terhadap kasus ini.
BAB V: Penutup
Dalam bab terakhir, akan ditampilkan kesimpulan dari hasil penelitian ini,
sekaligus jawaban atas pertanyaan penelitian yang ada. Kesimpulan diambil dari
seluruh pembahasan yang diulas dalam penelitian secara komperhensif. Selain
kesimpulan, akan ditambahkan juga saran sebagai hasil pengamatan terkait topik
bahasan penelitian.
21
BAB II
ORIENTASI KEBIJAKAN MESIR DAN DINAMIKA
HUBUNGAN MESIR-ARAB SAUDI
Bab ini menjelaskan orientasi kebijakan luar negeri Mesir sejak awal
berdirinya negara ini sebagai republik sampai sebelum penyerahan pulau Tiran
dan Sanafir. Hal ini bertujuan untuk melihat karakter yang dimiliki oleh negara ini
dalam mengambil sebuah keputusan. Bab ini juga akan membahas dinamika
hubunan Mesir dan Arab Saudi dengan periode yang sama.
A. Orientasi Kebijakan Luar Negeri Mesir
Mesir merupakan negara yang mengedepankan pragmatisme politik dalam
mengeluarkan setiap kebijakan luar negerinya. Hal ini adalah suatu kewajaran
karena pada hakikatnya tujuan dari negara adalah survival. Orientasi kebijakan
luar negeri dalam bab ini akan dilihat sejak Mesir menjadi republik. Setelah
revolusi tahun 1952, kekuasaan Raja Farouk yang kala itu dirundung berbagai
permasalahan seperti pelanggaran terhadap konstitusi dan kehendak rakyat serta
ketimpangan kesejahteraan serta kerusuhan yang terus menerus semakin meluas,
akhirnya harus menyebabkannya kekuasaannya tumbang44
dan digantikan oleh
Jendral Muhammad Naguib sebagai Presiden pertama Republik Mesir.45
44
Laurie A Brand, Official Stories Politics and National Naratives In Egypt and Algeria,
Stanford: Stanford University Press, 2014, h. 32 45
Qalbi Abid dan Massarrat Abid, July Revolution and The Reorientation of Egypt
Foreign Policy, dalam Jurnal J. R. S. P. Vol. 46 No. 2, 2009, h. 15
22
Dalam masa pemerintahan Naguib, orientasi kebijakan Mesir tidaklah
begitu nampak terlihat. Mesir lebih banyak disibukkan oleh polemik politik dalam
negeri. Naguib sebagai Presiden waktu itu ingin mengambil komando jabatan
tertinggi di angkatanbersenjata Mesir. Namun hal itu ditolak oleh Gamal Abdul
Nasser yang memiliki kekuatan de facto dalam masa transisi kekuasaan Mesir
tersebut. Momentum itulah yang menjadi salah satu awal keretakan antara Naguib
dan Naser.46
Hal ini diperparaholeh dekatnya Naguib dengan Ikhwanul Muslimin
yang saat itu dianggap ancaman bagi pemerintah. Persaingan dua kubu kekuasaan
inilah yang mendominasi narasi politik Mesir pada masa tersebut.47
Meskipun demikian, dalam masa kepresidenan Naguib ini, Mesir sempat
membuat sebuah kesepakatan penting. Pada 19 Oktober 1954, Mesir dan Inggris
menyepakati sebuah perjanjian yang mengharuskan pasukan Inggris keluar dari
Mesir pada tahun 1956. Implikasi dari kesepakatan tersebut adalah batalnya Mesir
bergabung denganNorth Atlantic Treaty Organization (NATO). Mesir kala itu
berusaha mempertahankan prinsip “positive neutrality”48
dalam posisi politik
internasional mereka. Namun, beberapa minggu berselang setelah perjanjian
Oktober 1954, Mesir menyepakati sebuah perjanjian dengan Amerika Serikat
yang dalam perjanjian tersebut Mesir menerima dana hibah sebanyak 40 juta dolar
AS untuk modernisasi perekonomian mereka.49
46
Abid dan Abid, July Revolution..., h. 15-16 47
Abid dan Abid, July Revolution..., h. 16-18 48
Positive neutrality adalah sikap Mesir yang memilih tidak memihak pada salah satu blok
dalam perang dingin. 49
Abid dan Abid, July Revolution..., h. 18-19
23
Setelah kejatuhan kekuasaan Presiden Naguib, Gamal Abdul Nasser naik
sebagai pimpinan negara. Dalam kepemimpinan Nasser, ideologi Mesir saat itu
sangat kental dengan prinsip Falsafat al-thawra atau Philosophy of the Revolution
yang digagas oleh Nasser.50
Selanjutnya, haluan kebijakan luar negeri pada masa
kepemimpinan Nasser ini akan selalu berkait dengan falsafah revolusi. Dalam
falsafah revolusi tersebut, Nasser memiliki pandangan bahwa lingkaran afiliasi
Mesir akan berkait pada 3 hal, yaitu identitas Arab, Afrika, dan Islam. Dengan
demikian, Mesir mendasarkan identitas nasionalnya pada ketiga wilayah regional
dan internasional tersebut. Hal ini bertujuan untuk mendorong Mesir menjadi
negara yang berpengaruh dan memimpin politik regional.51
Selain menjalankan falsafah revolusi dalam menjalankan peranannya
dalam politik internasional, Mesir era Nasser tetap memegang prinsip “positive
neutrality”. Hal ini bisa dilihat ketika mereka menolak untuk terlibat dalam Pakta
Baghdad yang diinisiasi Inggris pada awal tahun 1955 dan bertujuan untuk
membentuk aliansi pro-Barat di Timur Tengah.52
Selain mempertahankan sikap
netralitasnya, penolakan Mesir ini juga untuk menjaga posisi Mesir di kawasan
sebagai penjaga persatuan diantara negara-negara Arab.53
Setelah Gamal Abdul Nasser wafat, Anwar Sadat menempati posisinya.54
Dalam masa pemerintahan Sadat, hubungan Mesir-Israel dan adanya krisis
50
Brand, Official Stories..., h. 34-35 51
Brand, Official Stories..., h. 36-37 52
Brand, Official Stories..., h. 41 53
Adeed Dawisha, Egypt in the Arab World: The Elements of Foreign Policy, New York:
Halsted Press, 1976, h. 11 54
Brand, Official Stories..., h. 69
24
ekonomi Mesir adalah isu sentral yang memengaruhi kebijakan luar negeri negara
piramida ini pada masa pemerintahan Anwar Sadat.55
Sadat pada tahun-tahun awal masa kepemimpinannya berada di bawah
bayang-bayang Nasser. Baru sekitar tahun 1973, ketika terjadi perang, Sadat
cukup mampu keluar dari bayang-bayang kepemimpinan Naser.56
Pada 6 Oktober
1973, pasukan Mesir menyerang garis Bar Lev yang berada di Tepi Timur. Perang
tahun 1973 memberikan sebuah hasil yang cukup positif bagi Mesir dan
mengangkat nama Sadat. Perang tersebut penting karena merupakan suatu usaha
Mesir untuk dapat melakukan perbaikan ekonomi. Karena sejak Israel menduduki
Sinai, perekonomian Mesir terganggu.57
Mesir memang mengalami kemerosotan ekonomi di awal kepemimpinan
Sadat. Dengan kondisi yang demikian, Sadat terpaksa harus mencari bantuan dari
International Monetary Funds (IMF) dengan konsekuensi Mesir harus melakukan
beberapa pengurangan subsidi serta membatalkan beberapa kebijakan yang telah
dibuat pada awal 1977. Hal tersebut menyebabkan kekacauan di Mesir, arus protes
dan penentangan menyebabkan berbagai aksi kekerasan terjadi. Dalam fase ini,
popularitas Sadat mulai mengalami penurunan.58
Setelah kerusuhan Mesir mereda, pada akhir Januari 1977 Sadat mencoba
mengonsolidasikan kembali masyarakat Mesir dengan menggunakan semangat
identitas persatuan kebangsaan. Sadat kemudian mulai mencari cara untuk
55
Brand, Official Stories..., h. 69-70 56
Brand, Official Stories..., h. 70 57
Brand, Official Stories..., h. 75-76 58
Brand, Official Stories..., h. 82
25
mengakhiri konflik dengan Israel, karena konflik dengan Israel telah
menyebabkan kerugian ekonomi bagi Mesir. Maka pada November 1977 Sadat
melakukan kunjungan yang bersejarah ke Israel. Hal tersebut memunculkan
banyak reaksi negatif dari negara-negara Islam di kawasan.59
Upaya untuk berdamai dengan Israel di masa pemerintahan Sadat
menemukan momentum puncak pada saat tercapainya perjanjian Camp David
antara Mesir dan Israel yang difasilitasi oleh Amerika Serikat.60
Dalam
menanggapi perjanjian Camp David, Saudi memiliki sikap negatif terhadap
perjanjian tersebut. Serupa dengan Saudi, Jordania pun menampilkan sikap yang
tidak jaug berbeda, meskipun menyatakan menolak, tapi Jordan menyatakan tidak
membatasi perjanjian tersebut. Hal yang lebih penting bagi Jordan adalah Israel
menarik pasukannya dari Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur serta mengakui
rakyat Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri.61
Dari uraian di atas, dapat dilihat orientasi kebijakan luar negeri Mesir pada
masa pemerintahan Presiden Anwar Sadat sangat mengedepankan pragmatisme
politik untuk mendapatkan kepentingan nasional Mesir. Krisis ekonomi memaksa
Sadat mengambil langkah kontroversial untuk menjejaki perdamaian dengan
Israel. Kharisma kepemimpinan yang dibangun oleh Sadat sejak perang 1973
diantara negara-negara Arab harus runtuh oleh keputusan menyepakati perjanjian
Camp David.
59
Brand, Official Stories..., h. 82-83 60
Brand, Official Stories..., h. 85-86 61
Central Intelligence Agency, CIA Historical Collections Division AR 70-14, 13
November 2013, diunduh dari https://www.cia.gov/library/readingroom/docs/1978-09-22b.pdf,
pada 9 Juni 2017.
26
Pasca disepakatinya perjanjian damai tersebut, Mesir mulai menjalin
hubungan dalam sektor perdagangan maupun sektor jasa dengan Israel. Kerjasama
tersebut dapat memeberikan keuntungan baik bagi Mesir maupun Israel.
Meskipun demikian, Mesir masih seolah membatasi kerjasama ekonominya
dengan Israel.62
Sebuah titik penting tentang kerjasama ekonomi antara Mesir dan
Israel adalah disepakatinya kerjasama industri pertanian pada tahun 1980.
Selanjutnya kerjasama dalam sektor industri pertanian ini terus dikembangkan
oleh beberapa universitas dengan di danai oleh bebagai sponsor yang mendukung
Mesir maupun Israel. Kerjasama dalam bidang ini dapat membawa dampak positif
bagi perekonomian Mesir.63
Namun pada masa kepemimpinan Mesir selanjutnya, yaitu pada era
Presiden Husni Mubarok, hubungan antara Mesir dan Israel sempat mengalami
penurunan. Perdamaian yang dijalankan oleh kedua negara ini terkesan menjadi
sebuah perdamaian yang dingin. Dalam pandangan Amnon Aran dan Amni Ginat
perdamaian antara Mesir dan Israel dalam periode tahun 1990an sampai dengan
Januari 2011 adalah sebuah “strategic peace”. Strategic peace sendiri merupakan
suatu keadaan ketika sebuah perdamaian ada pada kondisi antara perdamaian yang
dingin (cold peace) dan suatu kondisi perdamaian yang stabil (stable peace).64
62
Paul Rivlin, The Economic Impact of The Egypt-Israel Treaty, dalam The Legacy of
Camp David: 1979-2009, Washington: The Middle East Institute, 2009, h. 53 63
Samuel Pohoryles, Agricultural Cooperation: A Prototype of Post-conflict Resolution,
dalam The Legacy of Camp David: 1979-2009, Washington: The Middle East Institute, 2009, h.
60-61 64
Amnon Aran dan Rami Ginat, Revisiting Egyptian Foreign Policy towards Israel under
Mubarak: From Cold Peace to Strategic Peace, dalam Jurnal Journal of Strategic Studies, Vol. 37
No. 4, 2014, h. 556-583
27
Setelah Mesir mengalami revolusi kedua dalam sejarah Republik mereka
pada tahun 2011, kepemimpinan Mesir jatuh kepada seorang tokoh Ikhwanul
Muslimin, Muhammad Mursi. Dalam awal masa kepemimpinan Mursi, arah dari
kebijakan luar negeri Mesir menjadi teka-teki dengan adanya kekhawatiran bahwa
negara tersebut akan mengalami perubahan yang radikal. Perubahan orientasi
kebijakan luar negeri Mesir ini terutama dikhawatirkan oleh Barat.65
Orientasi kebijakan luar negeri Mesir era kepemimpinan Mursi
menekankan identitas negara Mereka. Identitas Arab dan Identitas Afrika menjadi
hal yang memengaruhi pertimbangan Mesir dalam setiap kebijakan luar
negerinya. Hal ini dapat terlihat dari beberapa manuver luar negeri Mesir yang
berusaha mendamaikan dua kelompok besar di Palestina, Hamas dan Fatah. Mesir
juga berusaha untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Iran serta mendekati
negara-negara teluk, terutama Arab Saudi. Adapun orientasi kebijakan luar negeri
mereka ke Afrika dapat dilihat dari keseriusan Mesir dalam urusan pembagian
sungai Nil dengan Ethiopia.66
Selain identitas Arab dan Afrika yang memengaruhi kebijakan luar negeri
Mesir, pada era pemerintahan Mursi perlu dilihat juga pengaruh identitas
keislaman dari Ikhwanul Muslimin. Dengan demikian, Islamisme menjadi salah
satu hal yang juga turut memengaruhi kebijakan luar negeri Mesir. Tetapi
meskipun Islamisme menjadi salah satu landasan politik luar negeri Mesir, namun
pragmatisme politik lebih kuat terasa dalam orientasi luar negeri Mesir. Hal ini
65
Mehmet Ozkan, Egypt’s Foreign Policy under Mohamed Morsi, dalam Ortadogu
Analiz, Maret 2013, h. 11 66
Ozkan, Egypt’s Foreign..., h. 12-14
28
dapat dilihat dari hubugan baik Mesir-Israel yang terus dipertahankan Mursi,
meskipun pada umumnya umat Islam dunia menentang Israel. Mursi beralasan
bahwa stabilitas perdamaian Mesir-Israel sangat penting terjaga untuk dapat
mempermudah usaha Mesir memperbaiki kondisi perekonomian yang sedang
terpuruk.67
Dalam periode Mursi, Mesir juga menjalin hubungan baik dengan Turki.
Pada era ini hubungan kedua negara sangat harmonis. Perdana Menteri Turki kala
itu, Racep Tayyip Erdoğan dan Menteri Luar Negeri, Ahmad Davutoğlu sering
melakukan pertemuan dengan berbagai kementrian dan pengusaha Mesir. Presiden
Mursi juga melakukan kunjungan kenegaraan ke Turki. Kedua negara bahkan
membangun aliansi poros demokrasi.68
Ketika kekuasaan Mesir beralih dari Muhammad Mursi ke Abdul Fatah
As-Sisi, pola orientasi kebijakan kebijakan luar negeri Mesir nampaknya tidak
jauh berbeda dengan kebiasaan negara ini yang mengutamakan pragmatisme
politik dalam hal menjalin hubungan internasional. Hubungan baik Mesir dengan
negara penopang utama finansialnya seperti Arab Saudi dan Amerika Serikat tetap
dipertahankan demi menjaga stabilitas negara. Pada saat bersamaan Mesir juga
terus menjaga hubungan dengan negara-negara teluk lainnya yang juga
berkontribusi memberikan sumbangan bagi Mesir.69
67
Hassan Ahmadian, Egyptian Foreign Policy Identities, dalam jurnal Iranian Review of
Foreign Affairs, Vol. 5, No. 3, Fall 2014, h. 20-21 68
Eva Mushoffa, Turkey‟s Foreign Policy Towards Egypt Since the Arab Spring, MA
Dissertation di Durham University, 2014 ch. 3, h. 2 69
Azzurra Meringolo, From Morsi to Al-Sisi: Foreign Policy at the Service of Domestic
Policy, dalam Insight Egypt No. 8, Maret 2015, diterbitkan oleh Istituto Affari Internazionali, h. 4
29
Namun terdapat hal menarik dalam orientasi Mesir era As-Sisi ini, pada
September 2014, Mesir membangun kerjasama militer dengan Rusia dan membeli
senjata dari negara bekas Uni Soviet tersebut sebanyak 3,5 miliyar dolar AS.
Selain itu, presiden Mesir dan Rusia saling bertukar kunjungan kenegaraan dan
berjanji akan meningkatkan kerjasama militer antara keduanya.70
Meskipun terlihat kontradiktif, rupanya Mesir masih menjaga
hubungannya dengan Amerika Serikat yang pada saat bersamaan membangun
hubungan yang kuat dengan Rusia.71
Hal ini disebabkan oleh sangat
bergantungnya Mesir pada Amerika, karena jika dilihat sejak tahun 1948 sampai
tahun 2015 Amerika telah memberikan dana bantuan luar negeri sebanyak 76
miliyar dolar AS. Hal itu ditambah dengan bantuan militer tahunan sebanyak 1,3
miliyar dolar AS yang diberikan Amerika sejak tahun 1987.72
Dari gambaran yang telah dipaparkan di atas, mengenai orientasi kebijakan
Mesir dari sejak berdirinya negara tersebut menjadi Republik pasca revolusi tahun
1952 sampai dengan Mesir pada zaman pemerintahan Presiden Abdul Fatah As-
Sisi. Hal yang cukup dilihat adalah pragmatisme politik Mesir yang kental
melandasi arah kebijakan luar negerinya. Meskipun pada awal Republik Mesir
berdiri, negara tersebut sempat memegang prinsip “positive neutrality” dalam
memposisikan diri di dunia internasional. Namun pada masa-masa selanjutnya,
orientasi kebijakan Mesir senantiasa berpijak pada pragmatisme politik.
70
Jeremy M. Sharp, Egypt: Background and U. S. Relations, Congressional Research
Service Report, Maret 2015, h. 11 71
Meringolo, From Morsi to Al-Sisi..., h. 11 72
Sharp, Egypt: Background..., h. 11
30
B. Dinamika Hubungan Mesir dan Arab Saudi
Pada masa kepemimpinan Gamal Abdul Nasser, yang kala itu populer
dengan semangat Pan-Arabisme. Hubungan Mesir-Saudi menjadi surut karena
Saudi merasa dominasinya di dunia Arab tertandingi oleh kepemimpinan Naser.
Namun pada masa yang lain, pada era kepemimpinan Presiden Husni Mubarok
misalnya, hubungan antara Mesir dan Saudi beberapa kali tampil dalam gambaran
hubungan dua negara yang akrab.73
Maka, untuk menjelaskan bagaimana
hubungan antara Mesir dengan Saudi secara jelas dalam konteks modern, pada
bagian ini ditampilkan dinamika hubungan kedua negara sejak berdirinya Mesir
sebagai republik.
Babak awal dinamika hubungan antara Mesir dengan Arab Saudi ditandai
dengan mencuatnya doktrin Pan-Arabisme di dunia Arab oleh Presiden kedua
Mesir, Gamal Abdul Nasser. Adanya nasionalisme Arab tersebut dianggap oleh
Saudi sebagai suatu ancaman terhadap kekuatan politik mereka yang berbentuk
monarki, sekaligus ancaman bagi legitimasi keagamaan yang selama ini dipegang
oleh Saudi. Kemunculan nasionalisme Arab ini mengakibatkan terjadinya
polarisasi politik di kawasan Timur Tengah yang terbagi menjadi kubu
revolusioner dan kubu monarki.74
Kubu revolusioner diwakili oleh Mesir, sedangkan kubu monarki dipimpin
oleh Arab Saudi. Kubu revolusioner menganggap bahwa negara-negara monarki
73
Paradoxes of Egyptian-Saudi Relations 74
Elana N. De Lozier, Threats to Religious Legitimacy and State Security: The Kingdom
of Saudi Arabia‟s Quest for Stable Continuity, tesis di Virginia Polytechnic Institute and State
University, 2005, h. 5
31
memiliki nilai sosial-budaya yang terbelakang, terjebak dalam stagnansi
keagamaan, serta tunduk pada imperialisme asing. Anggapan para nasionalis Arab
tersebut mengancam legitimasi agama serta hubungan dengan Amerika Serikat
dan negara-negara kerajaan. Bahkan Pan-Arabisme ini menjadi ancaman serius
ketika warga Saudi juga turut mendukung gagasan tersebut, hal ini menyebabkan
terjadinya krisis legitimasi keagamaan serta kekuasaan kerajaan.75
Hubungan yang tidak harmonis antara Mesir dan Arab Saudi bahkan
menjalar hingga ke tengah perang sipil yang terjadi di Yaman, dalam perang
tersebut terjadi sebuah proxy war antara Mesir dan Arab Saudi. Mesir terlibat
dalam perang Yaman berhubungan dengan kepentingan mereka untuk
menegaskan status sebagai pimpinan revolusi di Timur Tengah. Mesir melihat
kudeta kaum republik Yaman yang menggulingkan kerajaan pada tahun 1962
sebagai sebuah peluang yang bisa dimanfaatkan untuk menggalang kekuatan
dengan menarik Yaman ke dalam kubu mereka, Yaman sendiri sebenarnya pernah
menjadi aliansi Mesir dalam kerangka United Arab States (UAS), namun kala itu
Yaman menyatakan keluar pada 1961.76
Setelah terjadinya kudeta, Mesir mengirimkan pasukannya untuk
membantu kaum revolusioner Yaman menyelesaikan penggulingan kerajaan. Arab
Saudi melihat usaha yang dilakukan Mesir sebagai sebuah ancaman bagi mereka.
Menurut Saudi, jika Republik Yaman sampai memenangi peperangan maka hal
tersebut akan berimbas terhadap negara mereka yang juga berbentuk monarki.
75
De Lozier, Threats to Religious..., h. 5 76
Mehran Kamrava, The Modern Middle East: A Political History Since The First World
War, Berkeley dan Los Angeles: University of California Press, 2011, h. 115-116
32
Kemudian Arab Saudi pun masuk dalam barisan pasukan kerajaan Yaman dengan
mengajak para sekutunya untuk melawan Mesir dan kaum revolusioner Yaman.77
Pada tahun yang sama dengan terjadinya proxy war antara Mesir dengan
Arab Saudi di perang Yaman tahun 1962, terdapat suatu hal yang menarik dalam
hubungan Mesir-Arab Saudi. Pada pertemuan Liga Arab Agustus 1962, ketika
Mesir mengancam akan mundur dari liga Arab, Pimpinan Saudi kala itu yakni
Raja Faisal menyatakan bahwa mundurnya Mesir adalah suatu kerugian bagi
persatuan Arab.78
Suatu kejadian yang meberikan gambaran baiknya hubungan
kedua negara. Namun sangat disayangkan bahwa harmoni dalam pertemuan
tersebut pada tahun yang sama berubah menjadi pertempuran. Bahkan perang
antara Mesir dan Arab Saudi ini baru berakhir pada tahun 1967, seiring
disepakatinya perjanjian penarikan pasukan antara Mesir dan Arab Saudi.79
Pada masa kepemimpinan Anwar Sadat, Saudi melihat hubungan mereka
dengan Mesir dengan optimis. Hal ini disebabkan oleh anggapan Saudi bahwa
Sadat adalah pemimpin yang tidak memiliki kecenderungan aliansi terhadap
Soviet, sesuatu yang berbeda dari Naser dahulu. Maka dari itu, Sadat pun muncul
sebagai sosok yang disukai oleh Saudi, meskipun Raja Faisal sempat
77
Kamrava, The Modern..., h. 116 78
Adeed Dawisha, Arab Nationalism In The Twentieth Century : From Triumph to
Despair, Princeton: Princeton University Press, 2003, h. 145 79
Kamrava, The Modern..., h. 117
33
menganggapnya bertanggungjawab dalam konflik Mesir-Saudi pada perang sipil
Yaman.80
Bagi Mesir era Sadat, menjalin hubungan baik dengan Saudi merupakan
suatu hal yang dibutuhkan oleh pemerintahan yang masih dalam masa transisi.
Kurangnya kekuatan Mesir yang disebabkan oleh kekurangan sumber daya
ekonomi, membuat Mesir harus mencari mitra yang dapat diandalkan untuk
mendukung mereka, terutama yang memiliki kekuatan ekonomi kuat seperti Arab
Saudi. Dalam kondisi yang demikian, hubungan Mesir dan Saudi bisa dikatakan
baik pada awal masa kekuasaan Sadat. Bagi Saudi sendiri, pergantian kekuasaan
dari Nasser ke Sadat merupakan sebuah kesempatan untuk dapat melemahkan
pengaruh Soviet di Timur Tengah.81
Saudi memiliki kepentingan untuk menghalau pengaruh Soviet disebabkan
oleh faktor aliansi dari pada negara tersebut yang merupakan salah satu mitra
utama Amerika Serikat di Timur Tengah. Bahkan faktor Amerika ini juga turut
berpengaruh terhadap hubungan antara Mesir dan Saudi. Sebagai contoh, pada
Juni 1972, Presiden Amerika kala itu, Richard Nixon, meminta pada Raja Faisal
untuk melobi Sadat agar mengusir militer Soviet dari Mesir. Permintaan tersebut
kemudian disampaikan oleh Saudi, dan pada Juli 1972 Sadat memerintahkan para
80
Mosaed Abdullah Nasser, Principles and Policies In Saudi Arabian Foreign Relations
with Special Reference to The Superpowers and Major Arab Neighbours, disertasi di University of
Glasgow, h. 483 81
Nasser, Principles and Policies..., h. 483-484
34
penasehat militer beserta sekitar 21 ribu pasukan Soviet agar meninggalkan
Mesir.82
Pada tahun berikutnya hubungan baik antara Mesir dan Saudi tetap terjaga.
Bahkan pada tahun 1973, sebelum Mesir melakukan perang melawan Israel, Sadat
mengunjungi Saudi untuk memberitahukan rencana perang sekaligus meminta
bantuan pada Saudi. Dalam pertemuan tersebut, Raja Faisal setuju untuk
membantu Mesir dengan menyumbangkan dana 500 juta dolar AS untuk
keperluan perang Mesir. Selain itu Saudi juga mempertimbangkan untuk
membantu Mesir dengan menggunakan strategi “oil weapon”83
sebagai salah satu
instrumen perang.84
Setelah serangan Mesir terhadap Israel, 6 Oktober 1973, publik Arab
merayakan ini sebagai sebuah kemenangan bagi dunia Arab. Saudi sendiri
mendapat suatu penghargaan tersendiri dalam perang tersebut. Karena selain
memberikan bantuan dana perang bagi Mesir, Saudi juga turut membantu dengan
melakukan embargo minyak terhadap Amerika Serikat dan Belanda pada 20
Oktober 1973. Perang oktober tersebut semakin menguatkan Riyadh-Cairo axis,
bahkan pada tahun 1975 kedua negara ini mendirikan Arab Military Armmament
Organization (AMIO) yang didalamnya turut juga bergabung Uni Emirat Arab
serta Qatar.85
82
Nasser, Principles and Policies..., h. 485 83
Oil weapon yang dimaksud disini adalah embargo minyak 84
Nasser, Principles and Policies..., h. 485-486 85
Nasser, Principles and Policies..., h. 486
35
Kerekatan hubungan antara Mesir dan Saudi yang telah berjalan beberapa
tahun tersebut menemui sebuah tantangan ketika Mesir memustuskan untuk
mengubah orientasi luar negeri mereka, saat Sadat memutuskan untuk melakukan
perdamaian dengan Israel. Tindakan Sadat tersebut dilihat sebagai perubahan arah
kebijakan Mesir yang mulai meninggalkan negara-negara Arab.86
Rencana berdamai dengan Israel nampak secara nyata saat Sadat
melakukan kunjungan bersejarah ke Yarusalem pada 19 November 1977. Saudi
melihat kunjungan tersebut akan membawa efek negatif,yakni dipertanyakannya
posisi tradisional Saudi yang selama ini menentang Israel, anggapan ini muncul
sebagai konsekuensi dari rekatnya hubungan antara Mesir dan Saudi. Meskipun
Saudi merespon negatif kunjungan Mesir ke Israel, hubungan antara kedua ini
tetap terjalin dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari sikap Saudi yang memilih
sikap netral dibanding mengutuk kunjungan tersebut pada suatu pertemuan
negara-negara Arab di Tripoli pada Desember 1977.87
Hubungan antara Mesir dan Saudi pada masa pemerintahan Sadat mulai
terlihat memburuk sejak pasca konferensi Baghdad 1 pada November 1978.
Dalam konferensi tersebut Mesir tidak diundang untuk hadir. Selain itu Sadat
menolak dana hibah dari negara-negara Arab sebesar lima miliyar dolar AS pada
tahun yang sama. Bahkan media-media Mesir menuduh Saudi terlibat ke dalam
86
Nasser, Principles and Policies..., h. 487 87
Nasser, Principles and Policies..., h. 488
36
kelompok Rezim Partai Baath, Uni Soviet, dan Pakta Warsawa yang berusaha
menggagalkan perjanjian Camp David.88
Puncak dari ketegangan hubungan kedua negara pada masa itu adalah
keputusan kedua negara untuk memutus hubungan diplomatik dengan saling
menarik Duta Besarnya masing masing pada tahun 1979. Setelah pemutusan
hubungan diplomatik, hubungan Mesir-Saudi makin diperburuk dengan
dibubarkannya organisasi yang terdiri dari negara-negara teluk yang bertujuan
untuk membantu Mesir pada April 1979. Beberapa bulan kemudian Mesir
menuduh Saudi telah melakukan provokasi dan membayar negara-negara arab lain
untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Mesir.89
Namun pada awal tahun 1980, Mesir kembali mendekati negara-negara
teluk, Mesir ingin memperbaiki hubungan dengan Saudi karena negara tersebut
merupakan negara kunci di kawasan teluk Arab serta memiliki hubungan yang
kuat dengan Amerika. Mesir menyatakan kesediaan untuk membantu kekuatan
militer semua negara teluk. Selain itu, Mesir juga mendukung pendirian Gulf
Cooperation Council (GCC). Saudi saat itu menunjukan sikap penuh curiga
terhadap apa rencana sebenarnya dari upaya Mesir mendekat kepada negara-
negara teluk.90
Pada fase sejarah yang selanjutnya dalam hubungan antara Mesir dan
Saudi, hubungan yang sempat tidak harmonis pada akhir masa pemerintahan
88
Nasser, Principles and Policies..., h. 491-492 89
Nasser, Principles and Policies..., h. 493-494 90
Nasser, Principles and Policies..., h. 494-495
37
Sadat bisa diperbaiki kembali oleh penerusnya, yaitu Presiden Husni Mubarok.
Dalam masa kepemimpinan Mubarok, hubungan Mesir-Saudi sejak tahun 1980an
sampai dengan diturunkannya Presiden keempat Republik Mesir tersebut terbilang
relatif harmonis. Sepanjang masa pemerintahan Mubarok, kedekatan pribadinya
dengan Raja Fahd dan Raja Abdullah turut membantu terbangunnya hubungan
yang erat antar kedua negara.91
Awal mula rekatnya kembali hubungan antara Mesir dengan Saudi pasca
pemerintahan Sadat adalah ketika Mesir berperan aktif untuk membantu negara-
negara Arab dalam membendung pengaruh revolusi Iran. Sikap Saudi yang
menunjukan adanya perbaikan antara kedua negara ini terlihat pada adanya seruan
dari negara minyak terbesar ini pada negara-negara Arab agar menghentikan kritik
terhadap pemerintah Mesir. Selain itu, hal yang paling terlihat dari pulihnya
kembali hubungan kedua negara ini adalah ditempatkannya kembali kedutaan
Arab Saudi di Mesir.92
Momentum penting selanjutnya untuk melihat dinamika hubungan Mesir
dan Saudi adalah ketika terjadi perang teluk tahun 1990. Saat perang terjadi, Mesir
terlibat dalam sebuah Konferensi pada yang mengeluarkan sebuah resolusi yang
mengutuk tindakan Irak ke Kuwait. Selanjutnya Mesir mengirim pasukan
militernya ke Arab Saudi untuk turut bergabung ke dalam pasukan aliansi Saudi
yang di dalamnya juga terdapat Amerika Serikat. Atas sikap Mesir dalam perang
91
Fahad Nazer, Saudi-Egyptian Relations at The Crossroads, Washington: The Arab Gulf
States Institute In Washington, 2015, h. 1 dan 6 92
Yasser M. Elwy, A Political Economy of Egyptian Foreign Policy: State, Ideology, and
Modernisation Since 1970, disertasi di London School of Economy, 2009, h. 253
38
teluk ini, selain mempererat hubungan dengan Saudi, Mesir juga mendapatkan
paket bantuan luar negeri yang besar.93
Selain kesadaran Mesir dalam melihat peluang dalam perang teluk,
terdapat juga beberapa faktor lain yang mengakibatkan Mesir turut bergabung
dalam perang tersebut dan masuk ke dalam aliansi pasukan Arab Saudi. Pertama,
Mesir melihat tindakan yang dilakukan oleh Irak bisa mengakibatkan dampak
yang lebih luas dan mengarah pada konfrontasi melawan Israel. Hal ini
berdampak buruk bagi kawasan terkhusus bagi Mesir yang terikat dalam
perjanjian Camp David dengan Israel.94
Kedua, jika sampai Irak mendapat kemenangan dalam perang teluk, hal
tersebut akan melambungkan posisi Irak di kawasan. Hal ini menjadi suatu
ancaman bagi Mesir yang masih menginginkan kepemimpinan di dunia Arab.
Ketiga, sikap Mesir yang masuk dalam koalisi Arab Saudi dipengaruhi oleh
kehadiran Amerika Serikat dalam koalisi tersebut. Mesir tentu rasional untuk tidak
menjadi lawan dari Amerika Serikat. Pertentangan dengan negara adi daya
tersebut tentu akan menyebabkan kerugian bagi Mesir.95
Hubungan baik antara Mesir dan Arab Saudi menemui sebuah ujian ketika
pasca kejadian 911 Amerika Serikat menekan Mesir untuk menggulirkan isu
reformasi di Timur Tengah serta bergabung dengan koalisi perang melawan
terorisme yang secara tidak langsung mengancam Arab Saudi. Mesir kala itu
93
Elwy, A Political Economy..., h. 278-279 94
Robert Mabro, Political Dimensions of The Gulf Crisis, Oxford Institute of Energy
Studies, 1990, h. 14 95
Mabro, Political Dimensions..., h. 14
39
justru mengkritik gerakan perang terhadap terorisme dan memilih untuk tidak
berkonfrontasi dengan Saudi menggunakan isu reformasi di Timur Tengah.96
Sikap Mesir yang berani menentang kehendak Amerika, menandakan
adanya sebuah usaha untuk tetap menjaga hubungan baik dengan Saudi.
Permintaan Amerika yang berpotensi menyebabkan ketegangan baru dalam
hubungan Mesir-Saudi harus ditolak meskipun resiko besar akan menjadi
konsekuensi bagi Mesir. Maka tidaklah mengherankan, sampai akhir masa
kekuasaan Mubarok, hubungan Mesir-Saudi sangatlah dekat.97
Setelah revolusi tahun 2011 di Mesir yang menumbangkan Husni
Mubarok, hubungan antara Mesir-Saudi pada era Presiden Mursi pada awalnya
sempat menimbulkan kekhawatiran bagi Saudi.98
Namun kekhawatiran itu
tidaklah terbukti dan hubungan Mesir-Saudi masih terbilang stabil. Hal ini
ditunjukan dari adanya pembicaraan dari Mesir mengenai hubungan antara kedua
negara. Bagi Mesir, menjaga hubungan baik dengan Saudi merupakan hal penting
untuk menjaga identitas mereka sebagai penjaga stabilitas kawasan.99
Menjaga hubungan baik dengan Arab Saudi juga merupakan salah satu
efek dari adanya tekanan publik Mesir yang menganggap Mesir megalami
penurunan peran serta pengaruhnya di kawasan. Maka dari itu, kerekatan
hubungan dengan Saudi adalah hal yang mesti dibangun Mursi, sambil terus
96
Elwy, A Political Economy..., h. 335 97
Nazer, Saudi-Egyptian Relations..., h. 1 98
Nazer, Saudi-Egyptian Relations..., h. 1 99
Ozkan, Egypt’s Foreign..., h. 14
40
berpartisipasi aktif dalam setiap urusan negara-negara Arab lainnya.100
Selain
adanya tekanan publik, faktor lain yang memengaruhi stabilitas hubungan Mesir-
Saudi pada era Mursi adalah adanya kepentingan Mesir terhadap Saudi untuk
dapat memberikan bantuan dan membantu mengeluarkan mereka dari krisis
ekonomi. Kondisi ekonomi yang buruk tentu akan berakibat buruk bagi negara
tersebut.101
Kemudian pada era pemerintahan Presiden Abdul Fatah As-Sisi, Riyadh
menganggap Mesir sebagai sekutu pentingnya yang mendukung status quo Arab
Saudi di kawasan Timur Tengah. Arab Saudi yang merasakan adanya ancaman
dari Islamic State In Iraq and Syria (ISIS) bekerjasama dengan Mesir untuk dapat
mengatasi ancaman tersebut.102
Dalam sektor ekonomi, hubungan Mesir dan
Saudi pada masa pemerintahan As-Sisi berjalan sangat baik. Bahkan Raja
Abdullah memberikan bantuan dana yang hampir tak bersyarat pada Mesir sampai
dengan wafatnya pada Januari 2015.103
Dari gambaran ini dapat dilihat bahwa
hubungan antara Mesir dan Saudi pada masa pemerintahan As-Sisi sangatlah baik.
Meskipun kedua negara memiliki perbedaan pandangan dalam melihat kasus
Suriah dan Yaman.104
100
Ahmadian, Egyptian Foreign..., h. 22 101
Jeremy M. Sharp, Egypt In Transition, Congressional Research Service Report for
Congress, Februari 2012, h. 4 102
Nazer, Saudi-Egyptian Relations..., h. 1-2 103
Nazer, Saudi-Egyptian Relations..., h. 6-7 104
Nazer, Saudi-Egyptian Relations..., h. 10-12
41
BAB III
PENYERAHAN PULAU TIRAN-SANAFIR DARI
PEMERINTAH MESIR KEPADA PEMERINTAH ARAB
SAUDI PADA TAHUN 2016
Bab ini menjelaskan proses penyerahan pulau Tiran dan Sanafir beserta
beberapa elemen dari pulau tersebut, seperti sejarahnya dan nilai strategis yang
dimilikinya. Hal itu dimaksudkan untuk memberi gambaran tentang bagaimana
nilai signifikansi dua pulau tersebut. Bab ini juga menjelaskan dinamika ekonomi,
sosial, dan politik Mesir sebelum keluarnya kebijakan penyerahan kedaulatan
pulau.
A. Penyerahan Pulau Tiran dan Sanafir
Pada tanggal 8 April tahun 2016, Mesir dan Arab Saudi menyepakati sebuah
perjanjian tentang penyerahan dua pulau yang dimiliki oleh Mesir, yakni Pulau
Tiran dan Sanafir. Kesepakatan tentang penyerahan pulau itu juga bersamaan
dengan disepakatinya beberapa perjanjian lain yang dilakukan ketika pimpinan
Saudi, Raja Salman bin Abdul Aziz melakukan kunjungan kenegaraan.105
Tindakan Mesir yang nampak sebagai sebuah anomali ini justru mendapat
klaim atau dukungan dari pemerintahnya sendiri.106
Suara yang cenderung
mendukung juga dikeluarkan oleh media Mesir, salah satunya adalah Egypt Today
yang menerangkan bahwa penyerahan pulau itu memiliki pembenaran jika
105
Pierre Emmanuel Duppont dan Brian McGarry, The Egypt-Saudi Arabia Agreement on
Tiran and Sanafir, London Center of International Law Practice, April 2016. 106
Duppont dan McGarry, The Egypt-Saudi..., h. 2
42
merujuk pada sebuah artikel yang diterbitkan oleh NewYork Times pada tahun
1982 lalu.107
Dalam artikel yang ditulis oleh David Shipler itu, pulau Tiran dan
Sanafir merupakan dua pulau yang diserahkan oleh Saudi kepada Mesir pada
tahun 1950.108
Sikap pemerintah Mesir yang dengan mudahnya menyerahkan wilayahnya
pada Saudi sebenarnya bisa dikaitkan dengan sesuatu yang terjadi sebelum
lahirnya kesepakatan ini. Sejak tahun 2013, Saudi telah menunjukkan
komitmennya memberikan dukungan politik maupun finansial kepada
pemerintahan Presiden Abdul Fatah As Sisi. Sebagai timbal baliknya, Mesir
mendukung tindakan Saudi yang melakukan operasi militer di Yaman.109
Tetapi untuk dapat mengetahui bagaimana kesepakatan ini bisa terjalin, selain
penjelasan yang kontekstual dengan dinamika yang terjadi pada sekitar kejadian
itu, tentu diperlukan penjelasan historis dari Pulau Tiran dan Sanafir serta
kaitannya dengan Mesir maupun Arab Saudi.
1. Sejarah Pulau Tiran dan Sanafir
Untuk melihat sejarah pulau Tiran dan Sanafir, maka perlu juga untuk
melihat sejarah pendirian negara Mesir maupun Arab Saudi, karena pada
perjalanan historis kedua negara ini, dua pulau yang terletak di pintu masuk Teluk
107
“1982 NY Times article proves Tiran and Sanafir Saudi Arabian”, Egypt Today 15 Juni
2017, https://www.egypttoday.com/Article/2/7728/1982-NY-Times-article-proves-Tiran-and-
Sanafir-Saudi-Arabian, diakses pada 29 oktober 2017. 108
David K. Shipler, “Israelis Ask Egyptian to Redraw Border a Bit”, New York Times
19 Januari 1982, diunduh dari http://www.nytimes.com/1982/01/19/world/israelis-ask-egyptians-
to-redraw-border-a-bit.html, diakses pada 29 Oktober 2017. 109
Christopher M. Blanchard, Saudi Arabia: Background and U.S. Relations,
Congressional Research Service Report, 2016, h. 27
43
Aqaba itu tidak jarang menjadi elemen penting dalam sikap kedua negara pada
awal masa penentuan garis teritori wilayah masing-masing. Maka, garis sejarah
yang cukup relevan untuk ditarik sebagai titik awal melihat dinamika dua negara
terkait dua pulau ini bisa dimulai sejak tahun 1906, ketika garis administratif
Turco-Egyptiandiusulkan oleh Inggris.110
Relevansi antara garis batas 1906 dengan Pulau Tiran dan Sanafir terletak
pada fakta, bahwa garis tersebut dipakai oleh Mesir sebagai alat untuk melakukan
klaim atas dua pulau tersebut. Pada sisi lain, Arab Saudi juga memiliki klaim atas
dua pulau itu dengan alasan bahwa kedua pulau itu sebenarnya merupakan bagian
dari Kerajaan Hijaz, yang merupakan embrio dari negara Arab Saudi.111
Kemudian dalam setiap babakan sejarah selanjutnya, kedua pulau ini
sering kali masuk dalam dinamika hubungan antara Mesir dan Arab Saudi. Namun
periode paling menentukan dari sejarah kedua pulau itu terjadi pada tahun 1950an.
Pengakuan klaim Mesir atas Tiran dan Sanafir bermula saat terjadi perang Arab-
Israel pada tahun 1948.
Pada bulan Maret tahun 1949, Israel berhasil menduduki pelabuhan Ummu
Rashrah dan terus berlanjut hingga menduduki daerah Eilat di Teluk Aqaba.
Mesir berencana membendung Israel, dan untuk melakukan hal tersebut Mesir
perlu untuk menduduki Pulau Tiran sebagai tempat paling strategis dari pintu
110
Askar H. Enazy, The Legal Status of Tiran and Sanafir Islands, Riyadh: King Faisal Center for
Research and Islamic Studies, 2017, h. 11 111
Askar H. Enazy, The Legal Status..., h. 13
44
masuk menuju Teluk Aqaba. Untuk menjalankan strategi tersebut, Mesir meminta
izin kepada Saudi menempatkan pasukan militer di Pulau Tiran.112
Respon yang ditunjukan Saudi kala itu membolehkan tindakan Mesir.
Melalui sebuah telegram dari Raja Ibnu Saud pada 17 Januari 1950, Saudi secara
terbuka memberikan izin penempatan pasukan pada Mesir.113
Atas perizinan
tersebut, pemerintah Mesir melalui Kementrian Pertahanan mereka
menginstruksikan pendudukan dua pulau itu dan menempatkan persenjataan serta
mengibarkan bendera Mesir di pulau Tiran dan Sanafir.114
Kemudian pada tahun 1954, Mesir mengukuhkan klaimnya atas pulau
Tiran dan Sanafir di mata internasional. Klaim tersebut didasarkan atas data
historis bahwa dua pulau itu pernah masuk dalam wilayah admistrasi Mesir pada
1906. Klaim ini juga didasarkan atas kesepakatan Saudi yang membebaskan Mesir
menduduki kedua pulau pada tahun 1950.115
Setelah tahun 1954, secara resmi
Tiran dan Sanafir berada di bawah kekuasaan Mesir.
2. Nilai Strategis Pulau Tiran dan Sanafir
Nilai strategis dari aspek ekonomi Tiran dan Sanafir salah satunya bisa
dilihat dari karya Paul A. Porter yang berjudul The Gulf of Aqaba: An
International Airway, Its Significance to International Trade. Porter menjelaskan
112
Askar H. Enazy, The Legal Status..., h. 17-18 113
Isi dari telegram tersebut adalah: “Pada gerbang teluk Aqaba terdapat dua pulau yang
pada masa lalu telah dinegosiasikan oleh dua pihak dari kita. Saat ini tidak begitu penting lagi
status kepemilikan dua pulau tersebut, apakah milik kita (Saudi) atau Mesir. Hal terpenting saat ini
adalah melakukan pencegahan masuknya kekuatan Yahudi (Israel) terhadap dua pulau tersebut”. 114
Askar H. Enazy, The Legal Status..., h. 19-20 115
Askar H. Enazy, The Legal Status..., h. 24-26
45
letak pulau yang berada di pintu masuk dari Teluk Aqaba menjadikan kedua pulau
itu penting bagi jalur perdagangan dunia. Terdapat empat negara yang berada di
sekitar pulau dan teluk itu yang saling memiliki kepentingan, mereka adalah
Mesir, Israel, Yordania, dan Arab Saudi.116
Senada dengan Porter, Mordechai Abir juga menyebutkan bahwa daerah
perairan itu telah menjadi jalur bagi Israel untuk membangun hubungan
perdagangan dengan Afrika Timur dan negara-negara Asia. Israel juga sempat
membangun pipa minyak dari Eilat menuju Haifa untuk menyuplai kebutuhan
energi negara tersebut. Namun aktifitas ekonomi tersebut terhenti ketika
terjadinya perang enam hari pada tahun 1967.117
Apa yang dikemukakan Porter terkait nilai strategis Teluk Aqaba itu
memang relevan jika dihubungkan dengan konteks saat ini. Sekarang, Israel
memang memiliki kepentingan di Teluk itu, bahkan dalam situs Kementrian Luar
Negeri negara itu didapati penjelasan tentang bagaimana daerah itu menjadi
penting bagi mereka. Pada salah satu halaman situs itu diterangkan bahwa Teluk
Aqaba merupakan jalur perkapalan yang strategis bagi beberapa negara yang ada
disekitarnya.118
Bahkan Israel memiliki beberapa perencanaan strategis dalam sektor
ekonomi di wilayah tersebut. Salah satunya adalah perjanjian kerjasama antara
116
Paul A. Porter, The Gulf of Aqaba: An International Airway, Its Significance to
International Trade, Washington D. C. : Public Affair Press, 1957, h. 1-2 117
Mordechai Abir, Oil, Powers, and Politics: Conflict in Arabia, Red Sea, and the Gulf,
London: Frank Cass, 2005, h. 77 118
Israel Ministry of Foreign Affairs, “Gulf of Aqaba”,
http://www.mfa.gov.il/MFA/ForeignPolicy/Peace/Regional/Pages/Chapter%202%20-
%20Gulf%20of%20Aqaba.aspx, diakses pada 27 Oktober 2017.
46
Israel dengan Yordania,dalam perjanjian itu kedua negara berkomitmen untuk
bekerjasama dalam aspek ekonomi dan budaya dalam wilayah Eilat (Israel) dan
Aqaba (Yordania).Israel juga memiliki program Taba-Eilat-Aqaba Macro Area
(TEAM) Working Group yang beranggotakan Mesir, Israel, dan Yordania.
Program ini bertujuan untuk meningkatkan pembangunan di wilayah sekitar Teluk
Aqaba.119
Gambaran di atas menunjukkan bahwa Teluk Aqaba merupakan tempat
persinggungan kepentingan strategis dari beberapa negara, maka Pulau Tiran dan
Sanafir pun menjadi sangat penting posisinya karena berada di gerbang teluk
tersebut. Maka tidaklah mengherankan bahwa Menteri Pertahanan Israel, Moshe
Yaloon, mengeluarkan pernyataan tentang Saudi terkait penyerahan kedaulatan
Tiran dan Sanafir.120
Nilai strategis dari aspek politik sebenarnya dari kedua pulau itu ada pada
posisi keduanya dalam peta geopolitik negara-negara di sekitarnya. Posisi
geografis ini memang sangat penting, karena letak geografis suatu wilayah dari
sebuah negara akan dapat memengaruhi perilaku suatu negara serta menjadi bahan
119
Israel Ministry of Foreign Affairs, “Gulf of Aqaba”,
http://www.mfa.gov.il/MFA/ForeignPolicy/Peace/Regional/Pages/Chapter%202%20-
%20Gulf%20of%20Aqaba.aspx, diakses pada 27 Oktober 2017. 120
Rob L. Wagner, The Rationale Behind Tiran and Sanafir Islands Deal, The Arab
Weekly, 1 Mei 2016. Pernyataan yang keluar dari Menteri Pertahanan Israel adalah bahwa Saudi
akan menghormati perjanjian yang membebaskan kapal Israel melewati rute perairan yang melelui
Pulau Tiran dan Sanafir. Meskipun terlihat sebagai respon yang biasa, namun setidaknya hal
tersebut menjadi sebuah gambaran bahwa Israel menyadari adanya peran politik dari Saudi
terhadap kedua pulau itu.
47
pertimbangan dari pemerintahannya dalam menentukan suatu kebijakan atau
keputusan politik.121
Faktor geografis seperti ini dapat menjadi keuntungan karena kawasan
perairan itu merupakan tempat strategis jika ada suatu konflik gepolitik yang
terjadi di antara negara-negara sekitar perairan seperti Mesir, Israel, Yordania,
serta Arab Saudi Sendiri. Dua pulau itu dapat menjadi salah satu benteng
pertahanan Saudi di lautan.122
Kepentingan strategis dalam aspek keamanan seperti ini memang sangat
dibutuhkan oleh Saudi. Terdapat beberapa faktor yang mengharuskan Saudi
selalu meningkatkan keamanannya. Pertama, peran mereka yang meneguhkan diri
sebagai pimpinan negara-negara Arab dalam segala aspek, dari mulai menjadi
jembatan penghubung dengan dunia Barat, sampai urusan perdagangan minyak.
Kedua, negara tersebut adalah negara yang memiliki cadangan minyak terbesar di
dunia.123
Ketiga, Saudi adalah produsen terbesar minyak dunia. Keempat, negara
ini merupakan anggota Organization of Petroleum Exporting Countries(OPEC)
yang sangat berpengaruh. Terakhir, faktor yang menjadikan Saudi selalu
meningkatkan kekuatan strategis keamanannya adalah posisi negara tersebut
sebagai poros keamanan negara-negara teluk.124
121
Mohammad Jafar Ajorloo dan Rabiae Turk, The Strategic Importance of the Straits of
Tiran in the Conflict in South West Asia, Geopolitics Quarterly, Volume 10 No. 4, 2015, h. 73-74 122
Ajorloo dan Turk, The Strategic Importance..., h. 79-81 123
Anthony H. Cordesman dan Khalid R. Al Rodhan, Gulf Military Forces in an Era of
Asymmetric Wars (Volume 1), London: Praeger Security International, 2007, h. 164 124
Cordesman dan Al Rodhan, Gulf Military Forces..., h. 165
48
Mesir sebenarnya memiliki kepentingan tersendiri terhadap dua pulau itu.
Selain karena letak posisi strategis pulau yang telah disebutkan sebelumnya, juga
karena modal strategis (wilayah) yang negara Mesir miliki sendiri. Selain kontrol
atas terusan Suez yang merupakan salah satu jalur perairan paling strategis di
dunia, kepemilikan dua pulau ini akan memperkuat posisi Mesir dalam
mengontrol jalur perdagangan internasional.125
Kekuasaan atas Terusan Suez ditambah dengan penguasaan atas Selat
Tiran akan menjadikan Mesir sebagai negara paling dominan menguasai jalur
perairan di daerah tersebut. Namun, hal itu tidak terjadi karena dalam perjanjian
Camp David pasal 13 antara Mesir dengan Israel yang menyatakan bahwa
perairan Selat Tiran harus terbuka bagi seluruh kapal dari berbagai negara.126
B. Dinamika Ekonomi, Politik dan Sosial Mesir Menjelang Penyerahan
Pulau
Bertahun tahun setelah kesepakatan Camp David, hubungan Mesir dengan
Amerika Serikat mulai memasuki fase hubungan yang dekat dan erat. Hal ini
setidaknya dapat terlihat dari posisi Mesir sebagai negara penerima bantuan
terbesar dari Amerika Serikat setelah Israel. Mesir juga menjadikan Amerika
sebagai mitra utama untuk penyedia persenjataan militer mereka. Konteks politik
yang seperti ini mampu mendorong massa di Mesir untuk melakukan penentangan
yang berakibat pada penggulingan Husni Mubarok. Hal ini disebakan oleh
pandangan umum masyarakat yang melihat bahwa pemerintah tidaklah
125
Ajorloo dan Turk, The Strategic Importance..., h. 81 126
Ajorloo dan Turk, The Strategic Importance..., h. 83
49
demokratis serta terlalu didominasi oleh Barat yang seolah tampil dengan wajah
Islam.127
Secara umum, perubahan sosial yang terjadi di Mesir muncul sebagai
respon dari adanya krisis yang terjadi di regional maupun internasional. Dua aspek
dari krisis, yang sangat memengaruhi keadaan sosial adalah aspek politik dan
ekonomi.128
Menguatnya gerakan sosial di Mesir ini tidak bisa dilepaskan dari adanya
proses demokratisasi di negara tersebut. Meskipun banyak kalangan yang
menganggap bahwa negara ini telah gagal dalam menjalankan demokrasi129
.
Proses demokratisasi di Mesir sendiri sebenarnya mulai terjadi sejak tahun
1970an, hal tersebut ditandai oleh dapat masuknya kalangan sipil dalam
lingkungan elite pemerintahan. Hal lain yang lebih menunjukkan terjadinya
demokratisasi di Mesir adalah terjadinya perubahan sistem politik pada 1976-1977
yang menjadikan negara tersebut mendukung sistem multipartai.130
Perubahan ini merupakan transformasi besar, karena sebelumnya karakter
politik Mesir sangat sentralistik, alpa dari iklim politik yang kompetititf, dan
adanya supremasi kekuatan eksekutif. Meskipun sampai 1980 kekuatan oposisi
127
Tara Povey, Social Movements In Egypt and Iran, Hampshire: Palvrage Macmillan,
2015, h. 157 128
Tara Povey, Social Movements In Egypt and Iran, h. 157 129
Sampai tahun 2016, freedomhouse masih mengkategorikan Mesir sebagai negara “not
free” dalam demokrasi, lihat https://freedomhouse.org/report/freedom-world/2016/egypt, diakses
pada 1 November 2017. Hal ini juga terlihat dari nilai indeks demokrasi yang diberikan The
Economist untuk Mesir pada 2016 yang hanya sebesar 3,31. Lihat
https://infographics.economist.com/2017/DemocracyIndex/, diakses pada 1 November 2017. 130
Ali E. Hillal Dessouki, Regional Leadership: Balancing off Costs and Dividends in the
Foreign Policy of Egypt, dalam Baghat Korany dan Ali E. Hillal Dessouki (Ed.), The Foreign
Policy of Arab States: The Challange of Globalization, Kairo: The American University in Cairo
Press, 2008, h. 177
50
masih lemah, tapi pengaruh media semakin menguat dalam mengkritisi keputusan
pemerintah.131
Akar demokratisasi di Mesir berhubungan dengan kepentingan
ekonomi mereka. Mesir didorong oleh kepentingannya menjalin kerjasama dengan
Amerika Serikat sebagai negara yang akan memeberi bantuan luar negeri terbesar
bagi negara itu.132
Maka setelah penerapan sistem multipartai yang dilakukan pada
1976-1977, Mesir mulai menerima aliran dana bantuan luar negeri dari negara
Barat pada 1979.133
Masalah ekonomi selalu menjadi fokus perhatian Mesir yang sangat
memengaruhi kebijakan luar negeri mereka. Bahkan posisinya mengalahkan
pertimbangan ideologi atau politik. Perubahan arah kebijakan luar negeri Mesir
pada setiap babakan sejarah selalu bergantung pada masalah ekonomi ini. Pada
masa Nasser, Mesir menjadikan Soviet sebagai penyumbang utama mereka.
Perubahan drastis kemudian terjadi pada era Sadat, ia membawa Mesir kembali
dekat dengan Barat, khususnya Amerika. Pola ini yang selanjutnya bertahan
hingga saat ini, meskipun ada beberapa dinamika tertentu dalam hubungan Mesir-
AS ini.134
Pentingnya aspek ekonomi bagi setiap kebijakan Mesir memiliki kaitan
dengan keadaan sosial di negara tersebut. Adanya ketimpangan sosial yang
disebabkan oleh tingginya populasi dan sedikitnya lapangan kerja menyebabkan
131
Dessouki, Regional Leadership..., h. 177 132
Dessouki, Regional Leadership..., h. 177 133
Dessouki, Regional Leadership..., h. 173, tapi selain dipengaruhi oleh demokratisasi
yang mulai diterapkan di Mesir, negara Barat, khususnya Amerika, mulai memberi dana dan
meminta dilakukan demokratisasi sebagai konsesi pemberian dana bantuan 134
Dessouki, Regional Leadership..., h. 167-168, 172-173
51
terjadinya kesulitan ekonomi bagi negara tersebut. Maka dari itu, Mesir akan
membutuhkan bantuan dari luar untuk mengatasi ketimpangannya itu.135
Uraian singkat di atas menjelaskan bahwa setiap kebijakan luar negeri
Mesir saling dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial, dan politik yang saling
berhubungan dan memengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Maka untuk
melihat apa yang terjadi pada Mesir, perlu melihat dinamika ketiga aspek tersebut,
terutama dalam konteks penelitian ini, adalah perubahan menjelang adanya
keputsan penyerahan pulau.
1. Perubahan Ekonomi Mesir
Setelah terjadinya revolusi pada awal tahun 2011, ekonomi Mesir terus
mengalami penurunan. Sampai tahun 2015, pertumbuhan ekonomi negara tersebut
hanya sebesar 2,5 persen pertahun. Bahkan pada tahun 2015 itu, tingkat
pengangguran di Mesir mencapai 12,9 persen, dengan 35 persennya merupakan
kelas pekerja berusia muda.136
Selama masa transisi dari pemerintah Mubarok, pengaturan negara Mesir
diambil alih oleh Supreme Council of The Armed Forces (SCAF). Pada masa-
masa itu tidak ada upaya perbaikan ekonomi yang dilakukan oleh SCAF. Mereka
lebih cenderung melakukan manuver politik yang cenderung populis dibanding
melakukan suatu usaha untuk mereformasi kondisi ekonomi. Salah satu contohnya
adalah ketika Mesir menolak bantuan dana dengan bunga ringan dari IMF sebesar
135
Dessouki, Regional Leadership..., h. 171-172 136
Mohsin Khan dan Elissa Miller, The Economic Decline of Egypt After 2011 Uprising,
Atlantic Council Report, Juni 2016, h. 2
52
3 milyar dolar AS. SCAF menganggap penerimaan pinjaman dari IMF akan
mengakibatkan ketidakpercayaan publik.137
Pada masa pemerintahan Muhammad Mursi, yang terpilih sebagai
Presiden pada tahun 2012, pemerintah baru kala itu harus menemui kondisi
ekonomi yang kacau. Menghadapi masalah ekonomi besar seperti itu, pemerintah
justru lebih disibukkan oleh urusan politik yang belum stabil, sehingga
mengakibatkan masalah ekonomi ini tidak bisa terselesaikan dengan baik.138
Pertumbuhan ekonomi pada periode Mursi hanya sedikit di atas dua
persen. Angka pengangguran pun tinggi, ada di angka 12,5 persen. Cadangan
devisa pun sangat rendah. Bahkan kondisinya bisa lebih parah jika tanpa adanya
bantuan dari negara-negara Arab produsen minyak. Potret kedaan ekonomi seperti
itu memberi kesimpulan bahwa Mursi telah gagal dalam mengatasi masalah
ekonomi Mesir.139
Pada masa Presiden Abdul Fattah As Sisi yang mulai menjabat sejak Juni
2014, Mesir bersiap untuk memperbaiki kondisi ekonomi mereka yang tidak
mengalami perbaikan dari sejak revolusi. As-Sisi pun memulai masa
pemerintahannya dengan membawa mandat untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan mengatasi tingginya angka pengangguran di negara itu.140
137
Mohammed El Dahslan, The Egyptian Economy, dalam Egypt After The Spring: Revolt
and Reaction, London: Routledge, 2016, h. 203-204 138
Khan dan Miller, The Economic Decline..., h. 3 139
Khan dan Miller, The Economic Decline..., h. 3 140
Khan dan Miller, The Economic Decline..., h. 3
53
Untuk dapat merealisasikan target perbaikan ekonomi, Presiden As-Sisi
dan Perdana Menteri Sharif Ismail memprioritaskan beberapa rencana seperti
meningkatkan pasokan energi, meningkatkan keuangan publik, menarik bantuan
luar negeri, memberlakukan nilai tukar yang fleksibel, dan memperluas
keleluasaan sektor swasta dalam ekonomi.141
Peningkatan pasokan energi
dilakukan karena hal tersebut akan sangat berpengaruh pada aktivitas produksi
dan penyerapan tenaga kerja.142
Keempat rencana lainnya juga memiliki fokus utama untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi Mesir dan mengurangi jumlah penganguran. Namun pada
kenyataannya, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2014 itu hanya sebesar 2,2
persen saja, dan pada tahun selanjutnya hanya meningkat menjadi 4,4 persen.143
Data yang tidak jauh berbeda juga dirilis oleh World Bank. Menurut lembaga
tersebut, pertumbuhan ekonomi Mesir pada 2014 hanya sebesar 2 persen dan
meningkat menjadi 4,3 persen pada tahun 2015.144
Angka tersebut tentu belum memenuhi target minimal pertumbuhan
ekonomi Mesir era pemeintahan As Sisi yang berada di angka 6-7 persen.145
Jumlah pengangguran juga belum mengalami penurunan yang berarti, pada tahun
2014 dan 2015 jumlah pengangguran di negara itu masih tergolong tinggi dengan
141
Khan dan Miller, The Economic Decline..., h. 3 142
Khan dan Miller, The Economic Decline..., h. 3 143
“Egypt Economic Outlook”, Focus Economics diunduh dari https://www.focus-
economics.com/countries/egypt, diakses pada 18 Oktober 2017 144
The World Bank, “Egypt Overview”, diunduh dari
http://www.worldbank.org/en/country/egypt/overview, diakses pada 18 Oktober 2017. 145
Khan dan Miller, The Economic Decline..., h. 4
54
berada pada angka 13,4 dan 12,9 persen. Bahkan jumlah pada tahun 2014 itu
merupakan yang tertinggi sejak tahun 2005.146
Dengan demikian, target As-Sisi untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi Mesir serta mengurangi jumlah pengangguran belum dapat dikatakan
berhasil pada dua tahun pertama masa pemerintahannya. Pada sisi lain, faktor
eksternal juga memengaruhi kondisi perekonomian Mesir. Seperti yang dijelaskan
oleh Dessouki, adanya ketimpangan antara jumlah populasi dengan kapabilitas
materi yang dimiliki negara, menyebabkan negara tersebut mengalami
ketergantungan terhadap sistem internasional. Maka dari itu, dalam hal ini faktor
intenasional menjadi variabel yang penting untuk dilihat dan dalam hal ini adalah
bantuan luar negeri, terutama dari Amerika dan negara-negara teluk.
Pada kurun waktu sejak bergulirnya revolusi 2011 sampai dengan tahun
2015, Amerika tetap konsisten mengalirkan bantuan luar negerinya pada Mesir.
Amerika di bawah Presiden Barrack Obama mengalirkan bantuan ekonomi
sebesar 250 juta dolar AS pada 2011 samapai 2013 dan 200 juta serta 150 juta
dolar AS pada 2014 dan 2015. Dana bantuan ekonomi tersebut ditujukan
pemerintah Amerika untuk beberapa sektor kunci di Mesir seperti kesehatan,
pendidikan, pertumbuhan ekonomi serta demokratisasi.147
Selain dari Amerika, Mesir juga menerima bantuan ekonomi dalam jumlah
besar dari negara-negara teluk. Sejak 2011, terdapat empat negara teluk yang
146
Khan dan Miller, The Economic Decline..., h. 3 147
Jeremy M. Sharp, Egypt: Background and US Relations, Congressional Research
Report, Juli 2013 dan lihat juga Jeremy M. Sharp, Egypt: Background and US Relations,
Congressional Research Report, Oktober 2016
55
mengirimkan bantuan ekonomi kepada Mesir. Keempat negara tersebut adalah
Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab (UEA) dan Qatar. Masing-masing negara
tersebut memberikan jumlah bantuan yang bervariatif. Pada tahun 2011, Arab
Saudi memeberikan bantuan sebesar 1,75 milyar dolar AS , UEA sebesar 3 milyar
dolar AS, dan Qatar sebesar 500 juta dolar AS148
.
Kemudian pada tahun 2012, Saudi mengirimkan bantuan sebanyak 500
juta dolar AS149
, UEA sebanyak 22, 19 juta dolar AS, dan Qatar sebesar 1 milyar
dolar AS150
. Pada tahun 2013, Saudi mengirimkan bantuan sebesar 5 milyar dolar
AS, UEA sebesar 3, 225 milyar dolar AS, Kuwait sebanyak 3 milyar dolar AS151
,
dan Qatar sebanyak 2,5 milyar dolar AS. Terakhir pada tahun 2014 dan 2015,
Saudi mengirimkan bantuan sebanyak 4 milyar152
dan 6 milyar dolar AS153
, UEA
sebanyak 3, 21 dan 4 milyar dolar AS, dan Kuwait sebesar 4 miliyar dolar AS154
(tahun 2015 saja).
Meskipun aliran dana bantuan luar negeri terus mengalir semenjak revolusi
2011, nyatanya ekonomi Mesir belum bisa menunjukan adanya suatu
perkembangan yang berarti. Hal ini membuat negara tersebut perlu untuk
membuat kesepakatan yang lebih strategis dalam upaya perbaikan ekonomi,
148
Sally Khalifa Isaac, Explaining The Patterns of the Gulf Monarchies‟s Assistance
After the Arab Uprising, Jurnal Mediterranian Politics, Vol. 19 No. 3, 2014, h. 417 149
Sally Khalifa Isaac, Explaining The Patterns..., h, 417 150
Karen E. Young, A New Politics of GCC Economic Statecraft: The Case of UAE Aid
and Financial Intervention in Egypt, dalam Journal of Arabian Studies, April 2017, h. 117 151
Abdel Monem Said Aly dan Hussein Ibish, Egypt-GCC Partnership: Bedrock of
Regional Security Despite Fissures, The Arab Gulf States Institute in Washington, 2016, h. 3 152
Said Aly dan Hussein Ibish, Egypt-GCC Partnership..., h.3 153
Karen E. Young, A New Politics of GCC Economic..., h. 117 154
Said Aly dan Hussein Ibish, Egypt-GCC Partnership..., h.3
56
apalagi hal tersebut adalah prioritas Presiden Sisi. Dalam konteks yang demikian,
maka kondisi ekonomi Mesir berada dalam keadaan yang tidak baik.
2. Perubahan Sosial dan Politik di Mesir
Jika ditinjau secara sosiologis, komposisi demografi masyarakat Mesir
lebih didominasi oleh generasi muda. Menurut laporan dari UNDP pada tahun
2010, terdapat 23,5 persen populasi Mesir yang berusia 18 sampai 29 tahun.
Menurut data yang dimiliki oleh pemerintah Mesir pada tahun 2007, terdapat 28
persen dari penduduknya berusia antara 15 sampai 29 tahun.155
Dalam konteks sosiologis yang demikian, pembangunan dalam berbagai
sektor terus dilakukan oleh Mesir sebagaimana negara lain pada umumnya. Dalam
sektor kesehatan misalnya, usaha serius yang dilakukan oleh pemerintah telah
dapat menurunkan angka kematian bayi serta meningkatkan taraf harapan hidup
masyarakat menjadi 73 tahun. Dari sektor pendidikan, angka buta huruf di Mesir
telah menurun tajam dalam 20 tahun terakhir hingga tahun 2011.156
Dari gambaran ini, nampak terlihat bahwa keadaan sosial di Mesir
cenderung bersifat stabil sebelum terjadinya revolusi pada tahun 2011. Namun, di
balik beberapa kemajuan yang nampak terlihat, ternyata juga terjadi beberapa
masalah di tengah masyarakat yang mampu menjadi faktor pendorong terjadinya
revolusi.
155
Noha Bakr, The Egyptian Revolution, dalam Stephen Calleya dan Monika Wohlfeld,
Change and Opportunity in The Emerging Mediterranean, Malta: Mediterranean Academy of
Diplomatic Studies, 2012, h. 59 156
Bakr, The Egyptian Revolution, h. 59
57
Adanya ketimpangan antara jumlah populasi dengan kemampuan materi
yang dimiliki oleh Mesir adalah salah satu masalah yang dihadapi negara ini. Data
dari tingginya angka pengangguran adalah gambaran masalah yang dialami Mesir
menjelang terjadinya revolusi. Kesulitan ekonomi telah mendorong terjadinya
revolusi sosial.
Maka perlu kiranya di sini ditampilkan beberapa data tentang sulitnya
lapangan kerja di negara tersebut dengan menampilan angka pengangguran
sebagai berikut: sejak tahun 2005 sampai dengan 2010 secara berurutan angka
pengangguran di Mesir berada di angka 11,5 (2005); 10,9 (2006); 9,2 (2007); 8,7
(2008); 9,4 (2009); dan 9,2 (2010).157
Dalam keadaan yang demikian, menyimpan
potensi ketegangan sosial di Mesir yang mendorong terjadinya revolusi, selain
juga terdorong oleh informasi revolusi serta semakin melebarnya jarak antara
kepemimpinan “tua” era Mubarok dengan semangat kaum muda yang memang
secara jumlah populasi mendominasi Mesir saat itu.158
Pengaruh dari perkembangan teknologi yang dimanfaatkan sebagai media
penyalur ide dan propaganda cukup signifikan dalam konteks revolusi Mesir tahun
2011. Pada saat itu jaringan sosial media seperti Facebook, blog, dan semacamnya
dimanfaatkan oleh para aktivis Mesir menyebarkan kritik terhadap pemerintah
157
Khan dan Miller, The Economic Decline..., h. 3 158
Baghat Korany, The Middle East Since the Coldwar: Initiating the Fifth Wave of
Democratization?, dalam Louise Fawcet (Ed), International Relations of The Middle East (Third
Edition), Oxford: Oxford University Press, 2013, h. 94
58
danmenyeru perubahan bagi negara yang akhirnya mendorong masyarakat Mesir
pada umumnya untuk melancarkan aksi serupa.159
Dua penjelasan di atas, tentang pemanfaatan teknologi sebagai media
revolusi serta aktivisme kaum muda menunjukkan bahwa gelombang
demokratisasi di Mesir memanglah terjadi. Menurut Baghat Korany hal ini
menunjukkan bahwa dinamika politik di Timur Tengah tidak lagi berpatokan pada
isu tradisional seperti isu konflik Arab-Israel atau nuklir Iran. Tapi isu yang
berkembang berubah menjadi masalah demokratisasi.160
Meskipun demikian,
Korany juga mengakui bahwa politik Timur Tengah, khususnya kebijakan-
kebijakan pemerintah Mesir dipengaruhi oleh pola trilateral antara Mesir, Amerika
dan Israel yang dimulai sejak perjanjian Campd David pada 1978.161
Presiden As-Sisi, menemui realitas bahwa kondisi pengangguran di
negaranya tengah berada yang tidak semakin membaik pasca revolusi. Tidak ingin
terjebak dalam kesalahan yang pernah terjadi, maka ia pun membuka banyak jalan
bagi negara luar untuk memberi solusi bagi kondisi ekonominya
Di sisi lain, ia juga mempertimbangkan faktor demokrasi di negaranya
dalam menganalisis kekuatan oposisi yang berasal dari gerakan Islamis, kelas
pekerja, serta aktivis perempuan.162
Perlu dipahami, bahwa setiap gerakan sosial
159
Bruce K.Rutherford, Egypt: The Origins and The Consesequences of 25 Uprising,
dalam Mark L. Haas dan David W. Lesch, The Arab Spring: Change and Resistance in the Middle
East, Colorado: Westview Press, 2013, h. 40-41 160
Korany, The Middle East Since the Coldwar..., h. 77 161
Korany, The Middle East Since the Coldwar..., h. 95 162
Povey, Social Movements In Egypt and Iran, h. 158
59
yang berkembang memiliki karakteristik yang unik dan berbeda dalam setiap
konteks historis masing-masing.163
Dalam konteks revolusi Mesir pada 2011 lalu, Ikhwanul Muslimin dapat
memanfaatkan momentum tersebut dengan masuk menjadi kelompok elite
pemerintah. Hal ini dapat terjadi karena keberhasilan mereka menawarkan
konsepsi populer “pemenuhan hak, kebebasan, dan keadilan sosial” yang
menjadikan mereka sebagai kekuatan politik yang mendulang simpati masa dan
membuat mereka memenangkan pemilihan presiden dan menduduki banyak kursi
legislatif.164
Manuver kelompok islamis ini juga terjadi di negara lain yang mengalami
penggulingan kekuasaan, hingga Baghat Korany menyebut fenomena Arab Spring
sebagai “Islamist Spring”165
. Dengan potensi oposisi semacam ini, Sisi perlu
menciptakan stabilitas sosial yang dapat membuat masyrakat relatif tenang.
As-Sisi juga memiliki kepentingan untuk meletakkan kembali Mesir dalam
status kepemimpinan regional, hal ini ditunjukkan misalnya dengan adanya
komitmen antara Mesir dan Rusia pada tahun 2015 untuk perencanaan
membangun fasilitas nuklir. Selain itu, pada Februari 2015, Mesir juga mencoba
menyatukan beberapa negara Arab untuk melakukan intervensi ke Libya. Dalam
163
Povey, Social Movements In Egypt and Iran, h. 159 164
Abdullah al Arian, Islamists Movement and the Arab Spring, dalam Mehran Kamrava
(Ed.), Beyond the Arab Spring: The Evolving Ruling Bargain in the Middle East, New York:
Oxford University Press, 2014, h. 100-101 165
Baghat Korany, The Middle East Since the Coldwar..., h. 93
60
upaya ini Mesir mengonsolidasikan Saudi dan Jordan untuk turut dalam
perencanaan tersebut.166
Usaha Mesir untuk mendapatkan kembali peran penting di regional juga
terlihat dalam usahanya menjadi penengah antara Israel dengan Palestina pada
tahun 2014, ketika Israel menolak delegasi Palestina untuk membahas
perundingan perdamaian Gaza167
. Selain itu, Mesir juga mencoba untuk turut
masuk dalam pusaran konflik Suriah168
.
Berdasar penjelasan di atas, dapatlah dilihat garis besar dari perubahan
sosial politik yang pada dasarnya dipengaruhi oleh keadaan ekonomi dan juga tren
demokratisasi. Dalam upaya membangun kondisi sosial-politik dan bahkan
mengembalikan peranan mereka di kawasan, Mesir memerlukan opsi baru dari
usaha mereka yang telah dilakukan sebelumnya. Dalam konteks ini, penyerahan
pulau bisa dinilai sebagai salah satu usaha untuk merealisasikan tujuan Mesir.
166
Yezid Sayigh, The Mirage of Egypt’s Regional Role and the Libyan Temptation,
Carnegie Middle East Center, diunduh dari http://carnegie-mec.org/2015/03/05/mirage-of-egypt-s-
regional-role-and-libyan-temptation-pub-59250, diakses pada 21 Oktober 2017. 167
“Egypt sees Gaza Conflict as Chance to Reclaim Regional Role”, Ynet Magazine 27
Agustus 2014 diunduh dari https://www.ynetnews.com/articles/0,7340,L-4564820,00.html, pada
21 Oktober 2017. 168
Geoffrey Aronson, Sisi warns Kerry of jihadist threat in Syria, diunduh dari
https://www.al-monitor.com/pulse/originals/2014/06/egypt-abdel-fattah-al-sisi-foreign-policy-
reset-syria-saudi.html, pada 21 Oktober 2017.
61
BAB IV
ANALISIS FAKTOR YANG MEMENGARUHI
KESEPAKATAN PENYERAHAN PULAU MESIR KEPADA
ARAB SAUDI
Keputusan Mesir untuk menyerahkan dua pulaunya–Tiran dan Sanafir–
merupakan suatu bentuk anomali dalam hubungan internasional. Tidak seperti
kasus peralihan kepemilikan pulau lainnya yang harus melalui konflik, Mesir
dengan damai menyerahkan kepemilikan wilayah teritorinya itu. Dalam bab ini
akan dijelaskan tiga faktor besar yang mendorong keputusan Mesir, yakni
ekonomi, keamanan dan politik. Ketiga faktor ini memiliki keterkaitan antara satu
dengan lainnya. Maka pada beberapa poin tertentu akan terlihat ada titik temu
antar faktor yang menjelaskan tentang motif keputusan Mesir ini.
A. Kedaulatan Pulau dan Persoalan Ekonomi
Kesepakatan penyerahan Pulau Tiran dan Sanafir oleh Mesir kepada Arab
Saudi yang disepakati pada 8 April 2016169
terjadi dalam rangkaian kunjungan
kenegaraan yang dimulai sehari sebelumnya, dalam kunjungan tersebut delegasi
Saudi dipimpin langsung oleh Raja Salman bin Abdul Aziz.170
Dalam rangkaian
kunjungan ini juga disepakati beberapa perjanjian lain dalam berbagai bidang
seperti pembangunan Universitas King Salman bin Abdul Aziz Al Saud di Sinai
169
Pierre Emmanuel Duppont dan Brian McGarry, The Egypt-Saudi Arabia Agreement on
Tiran and Sanafir, London Center of InternationalLaw Practices, 2016, h. 1 170
Egypt State Information Service, Egypt Political Activities 2016, diunduh dari
http://www.us.sis.gov.eg/Story/107293?lang=en-us, pada 20 Desember 2017.
62
Selatan, dan pembagunan kompleks perumahan di kawasan Sinai sebagai bagian
dari rencana Raja Salman dalam pengembangan wilayah tersebut.171
Selain itu, beberapa kesepakatan juga dicapai oleh kedua negara,
diantaranya adalah pembangunan Stasiun Energi di Kairo, pembangunan rumah
sakit, kerjasama perpajakan, penggunaan energi nuklir untuk tujuan damai,
kerjasama transportasi laut dan pelabuhan, sektor agrikultur, perumahan, dan
perindustrian.172
Dalam rangkaian kunjungan kenegaraan Saudi ke Mesir
setidaknya ada lima belas kesepakatan yang disepakati oleh kedua negara173
, dan
sekitar 24 miliar dolar AS dana yang disepakati akan dialirkan pada Mesir dari
Saudi.174
Berdasarkan paparan di atas, terlihat bahwa faktor kepentingan ekonomi
Mesir memiliki kaitan dengan adanya kesepakatan penyerahan pulau Tiran dan
Sanafir. Besarnya dana yang disepakati oleh Saudi untuk dialirkan kepada Mesir
menggambarkan bahwa ada suatu “harga” tertentu yang dibayar pada Mesir.
Kepentingan nasional sendiri merupakan salah satu aspek yang harus dilihat untuk
menjelaskan kebijakan suatu negara.175
Terutama jika merujuk pada pendapat Paul
171
Sisi,King Salman attend the Ceremony of Signing Cooperation Agreement, Ministry
of State for Administrative Development, diunduh dari
www.cairo.gov.eg/CairoPortal/investment/text news top stories.aspx?ID=109, pada 14 Desember
2017. 172
Sisi,King Salman attend the Ceremony..., diunduh dari
www.cairo.gov.eg/CairoPortal/investment/text news top stories.aspx?ID=109, pada 14 Desember
2017. 173
Declan Walsh, Egypt Gives Saudi Arabia 2 Islands in a Show of Gratitude, diunduh
dari https://www.nytimes.com/2016/04/11/world/middleeast/egypt-gives-saudi-arabia-2-islands-in-
a-show-of-gratitude.html, pada 18 Desember 2017 174
Breakdown of Egypt-Saudi financial deals, future investments, ahram online, diakses
dari http://english.ahram.org.eg/News/199238.aspx, pada 18 Desember 2017. 175
Scott Burchill, The National Interest in International Relations Theory, New York:
Palgrave Macmillan, 2005, h. 23
63
Noble yang menyatakan bahwa kepentingan nasional di negara-negara Arab
sangat berpengaruh terhadap pembentukan sebuah kebijakan.176
Kepentingan nasional berkaitan dengan kapabilitas ekonomi yang dimiliki
oleh suatu negara. Hal ini penting karena dalam politik internasional negara
membutuhkan hal tersebut untuk bersaing memperolah kekuatan di tengah
persaingan dengan negara lain.177
Kekuatan politik (power) inilah yang
merupakan unsur utama dalam hubungan internasional. Hal tersebut dibangun atas
unsur keamanan, politik, serta ekonomi.178
Bantuan ekonomi Saudi pada Mesir juga perlu dilihat pada tahun-tahun
sebelumnya. Sejak terjadinya arab spring, Saudi telah memberikan bantuan secara
berkala setiap tahunnya pada Mesir. Jika dikalkulasikan sejak tahun 2011 sampai
dengan tahun 2015, Saudi telah memerikan bantuan ekonomi sebesar 17,25 miliar
dolar AS. Jumlah tersebut bahkan lebih banyak dari bantuan yang diberikan
Amerika dalam kurun waktu yang sama dengan hanya memberikan bantuan
sebesar 1,25 miliar dolar AS saja.179
Secara rinci bantuan yang diberikan Saudi adalah sebagai berikut: Tahun
2011 Saudi mengalirkan dana sebanyak 1,75 miliar dolar AS dalam bentuk kredit
perdagangan dan deposit di bank sentral Mesir. Pada tahun 2012 dan 2013, dana
176
Paul Noble, “From Arab System to Middle Eastern System?: Regional Pressures and
Constrains”, dalam Baghat Korany dan Ali Dessouki (Ed), The Foreign Policies of Arab States:
The Challenge of Globalization, Kairo: The American University in Cairo Press, 2008, h. 67 177
Burchill, The National Interest in International Relations Theory, New York: Palgrave
Macmillan, h. 36 178
Robert Gilpin, Global Political Economy: understanding the international economic
order, Princeton: Princeton University Press, 2001, h. 17 179
Untuk penjelasan mengenai besar bantuan luar negeri Arab Saudi dan Amerika Serikat
pada Mesir bisa dilihat di Bab 3
64
yang dikirim sebanyak 500 juta dolar AS dalam bentuk bantuan bujeter dan 5
miliar dolar AS dalam bentuk deposit di bank sentral Mesir, suplai energi, dan
bantuan dana.180
Kemudian pada tahun 2014 dan 2015 secara berurutan Saudi
menyediakan dana 4 miliar181
dan 6 miliar dolar AS dalam bentuk deposit di bank
sentral Mesir dan investasi.182
Adapun bantuan dana yang dikucurkan oleh Amerika bagi Mesir pada
tahun 2011 sampai 2013 berada pada angka 250 juta dolar AS per-tahun. Dana
tersebut terbagi dalam sektor kesehatan, pendidikan, pertumbuhan ekonomi,
demokrasi dan pemerintahan.183
Pada tahun 2014 dan 2015 Amerika melakukan
pengurangan jumlah bantuan ekonomi pada Mesir. Pada dua tahun tersebut
Amerika mengirimkan dana masing-masing sebesar 200 juta dolar AS dan 150
juta dolar AS. Pembagian sektor dana masih sama dengan tahun 2011 sampai
tahun 2013, tetapi terdapat tuntutan tertentu seperti ketentuan bahwa dana yang
dialokasikan untuk sektor pendidikan minimal sebesar 35 juta dolar AS.184
Besarnya jumlah yang diberikan Saudi memengaruhi hubungan antara
kedua negara. Terlebih pada tahun 2016, ketika penyerahan pulau disepakati,
besaran bantuan Saudi meningkat berkali lipat dari yang diberikan pada tahun-
tahun sebelumnya. Pola Bantuan Saudi kepada Mesir ini bisa dijelaskan
180
Sally Khalifa Isaac, “Explaining the Patterns of the Gulf Monarchies‟ Assistance after
the Arab Uprisings”, Jurnal Mediterranean Politics, Vol. 19, No. 3, 2014, h. 417-418 181
Abdel Monem Said Aly dan Hussein Ibish, Egypt-GCC Partnership: Bedrock of
Regional Security Despite Fissures, Washington: Arab Gulf States Institute in Washington, 2016,
h. 3 182
Karen E. Young, “A New Politics of GCC Economic Statecraft: The Case of UAE Aid
and Financial Intervention in Egypt”, Journal of Arabian Studies, Vol. 7 No. 1, 2017, h. 117 183
Jeremy M. Sharp, Egypt: Background and U.S. Relations, Congressional Research
Service Report, Juli 2013, h. 15 184
Jeremy M. Sharp, Egypt: Background and U.S. Relations, Congressional Research
Service Report, Oktober 2016, h. 21
65
menggunakan pandangan Baghat Korany dan Ali Dessouki yang mengungkap
bahwa karakter interaksi negara di Timur Tengah pada era globalisasi adalah
cepatnya pergerakan kapital ekonomi dan pertumbuhan bantuan luar negeri bagi
suatu negara. Hal ini terjadi karena adanya labilitas geopolitik di kawasan yang
rawan konflik ini. Dalam kondisi yang demikian negara-negara petrodolar ambil
bagian sebagai donor bagi negara-negara berkembang.185
Hal ini dapat dipahami jika melihat pada kondisi perekonomian Mesir
yang tidak stabil–terutama setelah terjadinya revolusi pada tahun 2011186
, dan
membutuhkan sokongan dana yang besar untuk dapat memperbaiki kondisi
tersebut. Keputusan Mesir dengan memberikan dua pulaunya untuk kemudian
mendapat konsesi ekonomi setidaknya dapat menggambarkan karakteristik suatu
negara untuk dapat bertahan (survival).
Dalam karakteristik sistem internasional yang anarki, negara selalu
dituntut untuk dapat bertahan dengan melindungi kepentingan-kepentingan
nasionalnya. Dalam hal ini kapabilitas ekonomi yang kuat dibutuhkan oleh sebuah
negara untuk dapat mencapai tujuan nasionalnya. Bersamaan dengan faktor lain
seperti pertahanan (militer) dan politik, kekuatan ekonomi tidak terpisahkan dari
kedua faktor tersebut.187
Hal tersebut juga berpengaruh penting dalam persaingan
185
Baghat Korany dan Ali Dessouki, “Foreign Policy Approaches and Arab Countries: A
Critical Evaluation and an Alternative Framework”, dalam Baghat Korany dan Ali Dessouki (Ed),
The Foreign Policies of Arab States: The Challenge of Globalization, Kairo: The American
University in Cairo Press, 2008, h. 35 186
Untuk penjelasan mengenai kondisi ekonomi Mesir, dapat dilihat pada Bab 3 187
Kenneth N. Waltz, Theory of International Politics, California: Addison-Wesley
Publishing Company, 1979, h. 94 dan 131
66
politik internasional untuk sebuah negara agar dapat tetap bertahan (survive).188
Dalam konteks inilah faktor ekonomi berpengaruh terhadap keputusan Mesir.
Keputusan Mesir ini juga dapat dijelaskan dalam sudut pandang analisa
Alex Mintz dan Karl DeRouen yang memandang bahwa faktor ekonomi menjadi
salah satu faktor yang sangat menentukan perilaku suatu negara dalam
menentukan kebijakannya189
. Terlebih, karakteristik atau kecenderungan
kebijakan Mesir yang sering kali lebih dipengaruhi oleh keadaan kondisi ekonomi.
Bahkan, stabilitas dalam sektor lain seperti politik, dibangun atas tujuan untuk
menjaga kepentingan ekonomi negara piramida ini.190
Tidak hanya dari beberapa kesepakatan serta besaran dana yang diberikan
Saudi pada Mesir yang disepakati bersamaan dengan kesepakatan penyerahan
pulau. Untuk dapat melihat sepenuhnya kepentingan ekonomi Mesir pada Saudi,
terdapat beberap fenomena lain yang bisa menunjukkan motif ekonomi Mesir
yang nampak menjadi pendorong keputusannya.
Salah satunya adalah adanya kesepakatan pembangunan jalur lintas
penghubung antara Mesir dan Saudi yang disepakati oleh kedua negara dalam
rangkaian kunjungan Saudi pada April 2016. Presiden Mesir, Abdul Fattah As-
Sisi menyatakan bahwa jalur tersebut akan menghubungkan antara benua Afrika
dengan Asia dan meningkatkan perdagangan antara keduanya. Kesepakatan
188
Kenneth N. Waltz, Man, the State, and War: A Theoretical Analysis, New York:
Columbia University Press, 2001, h. 206 189
Alex Mintz dan Karl DeRouen Jr, Understanding Foreign Policy Decision Making,
Cambridge: Cambridge University Press, 2010, h. 130 190
Ali Dessouki, “Regional Leadership: Balancing off Costs and Dividens in the Foreign
Policy of Egypt”, dalam Baghat Korany dan Ali Dessouki (Ed), The Foreign Policies of Arab
States: The Challenge of Globalization, Kairo: The American University in Cairo Press, 2008
67
pembangunan jalur lintas semacam ini sebetulnya bukan pertama kali bagi Mesir
dan Saudi. Sebelumnya pada tahun 2004, rencana jalur penghubung antara kedua
negara sudah pernah ada. Namun rencana tersebut urung terjadi tanpa sebab yang
begitu jelas.191
Adapun untuk pembangunan jalur lintas yang disepakati pada tahun 2016,
panjang jalur lebih pendek, hanya sejauh 16 KM. Jalur tersebut dimulai dari Nabq
(Mesir) menuju Pulau Tiran, dilanjutkan ke Pulau Sanafir dan berujung di Tabuk
Ras Hamid (Saudi). Selain rute tersebut, terdapat rute lain dari Nabq (Mesir)
menuju Pulau Tiran, kemudian langsung menuju Tabuk Ras Hamid tanpa melalui
Pulau Sanafir.192
Proyek pembangunan jalur lintas tersebut diperkirakan
membutuhkan dana sekitar empat miliar dolar AS.193
Proyek ini disiapkan untuk meningkatkan perdagangan antara dua negara
yang saling bertetangga ini. Bahkan ditargetkan meningkatkan perdagangan kedua
negara sampai dengan 300 persen. Berbagai lapangan pekerjaan baru yang akan
menyerap tenaga kerja dari Mesir maupun Saudi juga akan terbuka jika proyek ini
berjalan. Bagi Mesir, jalur lintas ini dijadikan salah satu instrumen untuk
memperbaiki kondisi ekonomi mereka.194
191
Hatem Ezz Eldin, “Causeway Controvercy”, Al Ahram Weekly Issue 1291 (14-20 April
2016), diunduh dari http://weekly.ahram.org.eg/News/16091.aspx, pada 18 Desember 2017. 192
Hatem Ezz Eldin, Causeway Controvercy, diunduh dari
http://weekly.ahram.org.eg/News/16091.aspx, pada 18 Desember 2017. 193
Abdel Monem Said Aly dan Hussein Ibish, Egypt-GCC Partnership: Bedrock of
Regional Security Despite Fissures, Washington: Arab Gulf States Institute, 2016, h. 7 lihat juga
“Saudi Arabia, Egypt agree to build bridge over Red Sea”, Aljazeera, 9 April 2016, diakses dari
http://www.aljazeera.com/news/2016/04/saudi-arabia-egypt-announce-bridge-red-sea-
160409032158790.html, pada 19 Desember 2017. 194
Hatem Ezz Eldin, Causeway Controvercy, diunduh dari
http://weekly.ahram.org.eg/News/16091.aspx, pada 18 Desember 2017.
68
Jalur lintas Mesir-Saudi ini juga akan memberi akses bagi Saudi untuk
ekspor minyak mentah menuju Eropa. Minyak akan dialirkan menuju Sinai dan
kemudian menuju ke Kanal Suez. Dari Suez, dengan menggunakan pipa milik
Mesir minyak akan dikirim menuju pelabuhan Sidi Kareer di Alexandria untuk
kemudian menuju pasar Eropa.195
Selain pembangunan jalur lintas Mesir-Saudi, kepentingan ekonomi Mesir
juga terlihat dengan adanya beberapa kesepakatan pengembangan ekonomi di
kawasan Sinai. Usaha pemerintah Mesir untuk memajukan daerah Sinai
sebenarnya pernah dilakukan sebelumnya pada tahun 1995, tetapi kurang berhasil.
Program pengembangan Sinai itu bernama National Project for the Development
of Sinai (NDPS).196
Dalam program tersebut pemerintah Mesir merencanakan penganggaran
sebesar 20,5 miliar dolar AS yang diturunkan secara berkala dari tahun 1995
sampai 2017. Faktor penting dalam rencana tersebut adalah meningkatkan jumlah
populasi Sinai dari yang hanya berjumlah beberapa ratus ribu menjadi sekitar tiga
juta penduduk. Rencana tersebut kemudian mendapat penolakan dari penduduk
asli Sinai karena pemerintah seolah menganggap daerah mereka tanah tanpa
penduduk.197
Penolakan warga asli Sinai juga disebabkan oleh perilaku para migran dari
Lembah Nil sebagai penerima subsidi pemerintah–yang ditujukan untuk
195
Hatem Ezz Eldin, Causeway Controvercy..., diunduh dari
http://weekly.ahram.org.eg/News/16091.aspx, pada 18 Desember 2017. 196
Sahar F. Aziz, De-Securitizing Counterterrorism in The Sinai Peninsula, Brookings
Doha Center Policy Briefing, April 2017, h. 5 197
Aziz, De-Securitizing Counterterrorism in The Sinai, h. 5
69
mengembangkan daerah, tidak menyerap tenaga dari penduduk asli melainkan
membawa keluarga juga kerabat dari kampung halamannya untuk turut bekerja di
Sinai. Kondisi ini hanya mebuat penduduk asli Sinai menjadi semakin miskin dan
perlahan terpinggirkan.198
Kekecewaan penduduk Sinai pada pemerintah semakin bertambah ketika
berbagai usaha pengembangan daerah tersebut berjalan asal atau bahkan batal
sama sekali. Seperti proyek pembangunan Kanal As-Salam yang ditujukan untuk
mengairi perkebunan juga peternakan serta dapat mempekerjakan penduduk lokal
yang dihentikan pada 2006. Hal tersebut menimbulkan kekecewaan bagi para
petani Sinai, pihak pemerintah dinilai tidak menepati janji. Proyek lain yang
berjalan buruk adalah pembangunan jalur kereta api Ismailiyah-Rafah yang
menghubungkan antara Ismailiyah dengan Sinai Utara. Namun, pemerintah
kembali mengakhiri proyek tersebut tanpa menyelesaikannya.199
Pendekatan berbeda untuk mengatasi dilema Sinai pernah dicoba oleh
Presiden Mursi. Pola pendekatan pemerintah pusat yang selama ini terkesan
buruk, diubah oleh Mursi dengan pendekatan yang lebih dialogis dengan
mengundang para pimpinan suku daerah Sinai untuk turut mendiskusikan rencana
198
Sahar F. Aziz, De-Securitizing Counterterrorism in The Sinai, h. 5-6, terpinggirkannya
masyarakat Baduy Sinai oleh dampak pembangunan dapat juga dilihat pada Hilary Gilbert,
Nature=Life: Enviromental Identity as Resistance in South Sinai, jurnal Nomadic Peoples Vol. 17,
no. 2 ,2013, h. 46 199
“Sinai Ignored in Egypt Development Plans”, Al-Monitor, 1 Mei 2014, diunduh dari
http://www.al-monitor.com/pulse/originals/2014/04/sinai-egypt-residents-anger-empty-
government-promises.html., pada 20 Desember 2017.
70
pembangunan.200
Dana sebesar 270 juta dolar AS dialokasikan untuk rencana
tersebut. Namun rencana tersebut tidak berhasil karena adanya nada protes dari
kalangan militer yang menganggap Mursi terlalu lunak pada teroris Sinai dengan
mengesampingkan pendekatan militeristik dan mengubahnya menjadi lebih
halus.201
Pasca jatuhnya Presiden Mursi pada tahun 2013, Sinai kembali memanas.
Pasukan militan Sinai kembali membuat ancaman keamanan dan menyerang
institusi pemerintahan.202
Kelompok Ansar Bait al Maqdis (ABM) mengaku
bertanggungjawab atas beberapa kasus pengeboman di Sinai Utara dan Selatan.
Mereka juga menargetkan serangan pada jalur pipa gas alam yang melintasi
semenanjung Sinai. Jalur pipa tersebut merupakan penyedia gas bagi kawasan
Industri Mesir, Yordania, dan Israel. Bahkan kelompok ini mendeklarasikan turut
bergabung dengan Islamic State Iraq and Syria (ISIS) pada November 2014.
Bergabungnya ABM dengan ISIS semakin memperburuk kondisi keamanan
Sinai.203
Dalam masa pemerintahan Presiden As Sisi, wacana untuk
mengembangkan Sinai ada dengan rencana membangun terowongan yang
menghubungkan Sinai dengan Pelabuhan Said dan Ismailiyah sebagai sarana
200
Heidi Breen, Egypt: Freedom and Justice to the Bedouins in Sinai? A Study of the
Freedom and Justice Party’s Policy Towards the Bedouin Minority in Sinai, tesis di University of
Oslo, 2013, h. 77-78 201
. Aziz, De-Securitizing Counterterrorism in The Sinai..., h. 6 202
Mara Revkin, Egypt‟s Power Vacuum is Radicalizing the Sinai Peninsula, Washington
Post, 29 Agustus 2013 diunduh dari https://www.washingtonpost.com/opinions/egypts-power-
vacuum-is-radicalizing-the-sinai-peninsula/2013/08/29/77c427d2-10bb-11e3-bdf6-
e4fc677d94a1_story.html?utm_term=.1b8ea127bc81, pada 20 Desember 2017. 203
Aziz, De-Securitizing Counterterrorism in The Sinai..., h. 6-7
71
untuk meningkatkan perekonomian. Bahkan pemerintah era Sisi juga menyiapkan
rencana menciptakan zona perdagangan bebas di Al Arish, Rafah, dan Nuweiba.
Program-program itu disiapkan untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi
penduduk asli Sinai, dan agar dapat terealisasi pemerintah perlu memastikan
bahwa pembangunan tersebut dapat memeliki efek langsung yang dapat dirasakan
oleh penduduk lokal.204
Dalam konteks inilah bantuan Saudi untuk pengembangan Sinai serta
rencananya untuk membuka zona perdagangan bebas yang menyertakan kawasan
Sinai bisa relevan dengan kondisi Mesir. Pemerintah Sisi membutuhkan bantuan
sokongan dana untuk dapat merealisasikan dan mempercepat proses
pengembangan Sinai.
Selain pembangunan Sinai, visi ekonomi Saudi Vision 2030 adalah faktor
ekonomis lainnya yang nampak berkaitan dengan kesepakatan penyerahan pulau.
Dalam rancangan pembangunan ekonomi ini Saudi memasukkan Mesir sebagai
negara yang masuk dalam rencana pembangunan ekonomi mereka. Negara yang
dipimpin As-Sisi ini didapuk menjadi penghubung dari Saudi menunju Afrika
dengan membangun infrastruktur penghubung antara kedua negara.205
Pada sisi lain, Mesir juga memiliki target jangka panjang dengan
rentangan waktu yang sama. Negara ini menamakan program tersebut dengan
Egypt Vision 2030. Dalam program tersebut pembangunan ekonomi ditempatkan
204
Aziz, De-Securitizing Counterterrorism in The Sinai..., h. 9 205
Vision 2030 Kingdom of Saudi Arabia, h. 57-58, diunduh dari
vision2030.gov.sa/download/file/fid/417, pada 22 Desember 2017.
72
sebagai prioritas utama. Selain aspek ekonomi, program tersebut juga memuat
target lain seperti sosial, dan lingkuangan. Dalam visi tersebut, Mesir juga
menargetkan capaian politik dengan menargetkan menjadi negara yang aktif dan
berpengaruh di tingkat global.206
Kuatnya faktor ekonomi dalam konteks kebijakan Mesir berkaitan dengan
karakter hubungan antar negara di Timur Tengah saat ini. Fred Halliday
beargumen, formasi atau kondisi hubungan internasional di kawasan tersebut saat
ini besar dipengaruhi oleh faktor politik dan ekonomi. Kedua faktor ini saling
berpautan dan menjadi penentu dari perilaku negara di kawasan.207
Pola seperti ini
setidaknya bermula pada era globalisasi menguat di sekitar tahun 1990an.208
Motif ekonomi di balik kebijakan pemerintah As-Sisi juga dapat dipahami
dalam sudut pandang bahwa kekuatan ekonomi akan membentuk kebijakan serta
kepentingan negara dan posisinya dalam interaksi dengan negara lain.209
Hal ini
berhubungan dengan motif politik Mesir yang ingin membangun kembali posisi
politiknya di kawasan sebagai negara yang berpengaruh. Karena dalam konteks
dunia Arab, kapabilitas ekonomi ini penting dalam menentukan posisi regional.210
206
Egypt Vision 2030, h. 3-14, diunduh dari
http://www.cabinet.gov.eg/Style%20Library/Cabinet/pdf/sds2030_summary_arabic.pdf, pada 22
Desember 2017. 207
Fred Halliday, The Middle East in International Relations: Power, Politics, and
Ideology, Cambridge: Cambridge University Press, 2005, h. 261 208
Halliday,The Middle East in International Relations h. 264 209
Gilpin, Global Political Economy.., 24 210
Noble, From Arab System..., h. 74
73
Selain itu, faktor ini juga memiliki dampak jangka panjang untuk membangun
kekuatan sebuah negara.211
Dalam rangkaian kesepakatan ini, Mesir tampak mendapat lebih banyak
keuntungan ketimbang Saudi. Aliran dana yang sangat besar serta beberapa
bantuan pembangunan adalah elemen ekonomi yang dapat dirasakan langsung
oleh Mesir. Bahkan jika Mesir kemudian berhasil membangun kembali posisi
dominan mereka di kawasan dengan landasan ekonomi yang kuat, hal tersebut
justru berpotensi merugikan posisi Saudi yang juga selalu berusaha menjaga posisi
penting di peta politik regional.
B. Keamanan Mesir: Dinamika dan Proyeksi
Salah satu faktor yang nampak mendorong keputusan Mesir menyerahkan
pulau Tiran dan Sanafir adalah faktor kemanan. Keamanan menjadi sesuatu yang
penting bagi negara, karena hal tersebut merupakan bagian fundamental dari
upaya negara untuk bertahan (survival). Faktor keamanan ini juga dapat membawa
negara untuk memperoleh kekuatan (power).212
Aspek keamanan merupakan
bagian penting dalam kekuatan (power).213
1. Dilema Sinai
Titik awal peningkatan ancaman keamanan di Sinai bertepatan dengan
bergejolaknya revolusi Mesir pada tahun 2011214
. Meskipun pada tahun-tahun
211
Noble, From Arab System.., h. 104 212
Raymond Aron, “Peace and War: A Theory of International Relations”, h. 591-600,
diunduh dari https://www.mtholyoke.edu/acad/intrel/aron.htm, pada 12 Januari 2018. 213
Barry Buzan, People States and Fear, Sussex: Wheatsheaf Books LTD, h. 173 214
Zack Gold, Security In Sinai: Present and Future, The Hauge: International Center for
Counter Terrorism (ICCT) Research Paper, 2014. h. 1
74
sebelumnya sempat ada gangguan keamanan215
, namun instabilitas meningkat
signifikan pasca arab spring. Rentannya keamanan Sinai diakibatkan oleh adanya
vacum of power di daerah tersebut. Pemerintah Mesir lengah dengan hanya
menyediakan sedikit tenaga keamanan untuk daerah yang sejak 2004 sudah mulai
terjadi gangguan keamanan. Ini juga dipengaruhi cara pandang pemerintah
Mubarak yang terkesan menomorduakan daerah serta masyarakat Sinai.
Hal ini disebabkan adanya persepsi dari pemerintah Mesir di bawah
Mubarok yang menganggap bahwa masyarakat Baduy Sinai memiliki hubungan
yang baik dengan Israel.216
Perilaku yang tampak diskriminatif juga disebabkan
oleh adanya perbedaan historis dan kultural antara masyarakat Baduy Sinai
dengan kebanyakan masyarakat Mesir217
.
Akumulasi dari kebijakan-kebijakan diskriminatif serta marginalisasi
dalam sektor ekonomi pada akhirnya mendorong munculnya radikalisasi
masyarakat Baduy Sinai. Dimulai dari tahun 2004, serangkaian peristiwa
pengeboman terjadi di Sinai dengan menargetkan para turis yang datang ke daerah
ini. peristiwa ini terjadi sampai dengan tahun 2006.218
Guncangan keamanan Sinai kemudian menemukan momentum pada tahun
2011, kondisi keamanan yang kala itu tengah rentan dimanfaatkan kelompok
masyarakat Baduy Sinai radikal untuk melakukan serangan-serangan ke kantor-
215
Nicolas Pelham, Sinai: The Buffer Erodes, London: Chantam House, 2012, h. 3-5 216
Gabi Siboni dan Ram Ben-Barak, The Sinai Peninsula Threat Development and
Response Concept, The Saban Center for Middle East Policy dan The Institute for National
Security Studies Analysis Report, No. 31 Januari 2014, h. 3-4 217
Dan Bradley Swale, Discord in the Desert: Egypt’s Sinai Peninsula In The Aftermath
of The Arab Spring, Tesis di Massey University, Selandia Baru, 2015, h. 17 218
Siboni dan Ben-Barak, The Sinai Peninsula Threat..., h. 4-5
75
kantor polisi di Rafah dan Syeikh Zuwayed. Tidak hanya kepolisian yang menjadi
sasaran, tentara Mesir juga turut menjadi incaran teror dari militan Sinai ini.
bahkan kebrutalan juga terjadi pada setiap kantor lembaga pemerintahan pusat di
Sinai Utara, bangunan-bangunan itu dirusak juga dijarah.219
Pada April 2011,
mereka juga menyerang pipa jalur trans-Sinai.220
Serangan atau sabotase pada
jalur pipa gas di Sinai selanjutnya terus terjadi sampai tahun 2012.221
Maraknya ancaman keamanan di Sinai kemudian coba disikapi oleh
Presiden Mursi dengan pendekatan yang lebih dialogis terhadap penduduk Baduy
Sinai. Ia menjanjikan pemerintah akan melakukan peningkatan kualitas hidup
komunitas Baduy di Sinai dengan merancang proyek pembangunan baru
menggantikan proyek pembangunan sebelumnya yang gagal. Untuk sementara
waktu usaha ini dapat berpengaruh dalam menghambat laju pertumbuhan teror di
Sinai.222
Namun setelah kejatuhan Mursi yang kemudian digantikan oleh As Sisi,
ancaman keamanan Sinai kembali meningkat. Pasca kudeta militer yang
menjatuhkan kekuasaan Mursi, sebulan setelahnya serangkaian serangan terjadi di
Sinai dan mengakibatkan 30 korban meninggal dan 150 korban luka. Serangan-
serangan ini terjadi di wilayah Sinai Utara, Syekh Zuweid, dan Rafah. Gerakan
219
Nicolas Pelham, Sinai: The Buffer.., h. 6 220
Nicolas Pelham, Sinai: The Buffer.., h. 6 221
Juha P. Makela, “The Arab Springs Impact on Egypt‟s Securitocracy”, International
Journal of Intelligence and Counter Intelligence Vol. 27 No. 2, 2014, h. 228 222
Siboni dan Ben-Barak, The Sinai Peninsula Threat..., h. 13
76
militan ini menargetkan institusi pemerintahan negara Mesir, militer, dan juga
polisi.223
Selain melakukan serangkaian aksi yang mengancam keamanan, sebagaian
penduduk Baduy Sinai juga menjalankan perdangangan senjata ilegal demi
memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Mereka bekerjasama dengan penyelundup
Rashaid untuk mengirimkan senjata dari Iran menuju Mesir. Dalam menjalankan
aksinya, para penyelundup–dari Baduy Sinai maupun Rasyaid–menutupi senjata
yang dibawa oleh kapal dengan barang-barang lain atau bahkan menyuap pasukan
keamanan Mesir untuk dapat memasuki semenanjung Sinai.224
Penyelundupan senjata ini berkontribusi pada instabilitas yang lebih luas
dari hanya sekadar di wilayah Sinai saja. Terdapat beberapa kawasan lain yang
dapat terimbas oleh adanya alur penyelundupan senjata ini seperti Gaza, Sudan,
serta Yaman. Senjata yang diselundupkan pada umumnya memiliki tujuan Sinai
dan Gaza. Rute penyelundupan yang perlu ditempuh dimulai dari Yaman,
melewati laut merah untuk berlabuh di Sudan. Dari Sudan, senjata kemudian
dibawa melewati jalur darat sampai ke perbatasan Mesir.225
Dari alur
penyelundupan tersebut dapat dilihat bahwa aktivitas penyelundupan ini juga
membawa ancaman keamanan bagi kawasan.
Hal yang lebih dalam dipandang oleh Mesir dalam konteks ancaman
keamanan Sinai adalah persilangan aktor yang saling memiliki garis singgung.
223
Swale, Discord in the Desert..., h. 98-99 224
Eran Zohar, “The Arming of Non-State Actors in The Gaza Strip and Sinai Peninsula”,
Australian Journal of International Affairs Vol. 69 No. 4, 2015, h. 446 225
Eran Zohar, The Arming of Non-State..., h. 445-446
77
Harakat al-Muqawama al-Islamiyya (Hamas) misalnya, yang memiliki hubungan
dengan kelompok radikal Baduy Sinai. Kelompok tersebut berkontribusi terhadap
terjadinya radikalisasi dengan memengaruhi pemuda suku Baduy Sinai untuk
masuk dalam aktivitas ekstrimisme. Militer Mesir sendiri menganggap Hamas
terlibat dalam gangguan kemanan di negara tersebut.226
Dalam keterkaitan antara Hamas dengan suku Baduy Sinai radikal ini,
aktor lain yang turut dilihat sebagai ancaman oleh pemerintah Mesir adalah
Ikhwanul Muslimin (IM). Organisasi ini sejak terlempar dari kekuasaan otomatis
menjadi oposisi, dan secara besamaan seperti telah disebutkan di atas, sejak
tumbangnya Mursi yang beasal dari kalangan ikhwan perlawanan di Sinai oleh
kelompok Baduy meningkat. IM sendiri memiliki ikatan historis dengan Hamas.
Karena dalam proses pembentukan Hamas, IM turut membidaninya dan tokoh-
tokoh awal Hamas juga merupakan anggota dari ikhwan.227
Pada sisi lain IM juga menampakkan indikasi memiliki hubungan dengan
kelompok radikal lain yang berbasis salafi-jihadi di Sinai. Hal ini ditunjukkan oleh
sikap IM yang pada beberapa kesempatan menyampaikan sikap simpati mereka
terhadap kelompok salafi militan melalui saluran media yang berafiliasi dengan
mereka seperti Misr al-An atau Rabiah TV. Meskipun demikian tidak berarti
226
Yehudit Ronen, “The Effects of the „Arab Spring‟ on Israel‟s Geostrategic and Security
Environment: The Escalating Jihadist Terror in the Sinai Peninsula”, Israel Affairs, Vol. 20, No. 3,
2014, h. 305 dan 312 227
Hillel Frisch, “Hamas: The Palestinian Muslim Brotherhood", dalam Barry Rubin (Ed),
The Muslim Brotherhood : The Organization and Policies of a Global Islamist Movement, New
York: Palgrave Macmillan, 2010, h. 89-91
78
bahwa secara resmi sikap organisasi mengakui tindak kekerasan sebagai salah satu
wacana mereka.228
Beberapa partai salafi bahkan nampak mengadopsi wacana politik IM.
Hubungan antara organisasi ini dengan beberapa partai salafi telah mulai terlihat
sejak menumbangkan kekuasaan Mubarok pada revolusi Mesir yang telah lalu.
Meskipun demikian, banyak gerakan salafi yang masih memelihara doktrin
tradisional mereka dan memilih sikap bertentangan dengan kelompok ikhwan.229
2. Ancaman Israel
Ancaman keamanan lain yang bisa mengancam Mesir di Sinai adalah
Israel. Meskipun di antara kedua negara ini terdapat perjanjian damai, tapi bukan
berarti tidak ada ancaman sama sekali. Pada tahun 2012, Israel membangun pagar
pertahanan sepanjang 240 KM dari perbatasan Rafa sampai Eilat dengan melewati
Sinai. Bersamaan dengan itu, Israel Defence Forces (IDF) juga meningkatkan
jumlah pasukannya yang disiagakan di sepanjang perbatasan.230
Peningkatan
jumlah pasukan militer secara alamiah tentu akan menimbulkan sinyal
keterancaman bagi suatu negara.
Gerakan Israel tersebut merupakan sinyal tertentu bagi Mesir. Peningkatan
aktivitas keamanan Israel bisa ditafsirkan sebagai salah satu bentuk ancaman bagi
Mesir. Hal ini menimbulkan dilema keamanan (security dilemma), karena adanya
228
Annette Ranko dan Justyna Nedza, “Crossing the Ideological Divide? Egypt's Salafists
and the Muslim Brotherhood after the Arab Spring”, Studies in Conflict and Terrorism, Vol 0 No
0, 2015, h. 14 229
Ranko dan Nedza, Crossing the Idological... h. 14 230
Makela, The Arab Springs Impact..., h. 228
79
ketidakpastian dari intensi negara lain akan mengakibatkan suatu negara
melakukan tindakan keamanan dengan tujuan melindungi diri dari ancaman
negara lain. Peningkatan kapabilitas keamanan oleh suatu negara akan dianggap
sebagai suatu ancaman bagi negara lainnya. Apalagi dalam kondisi anarki
internasional, semakin memperkecil adanya saling paham terkait intensi dari suatu
negara.231
Tidak hanya itu, Mesir juga tentu masih waspada terhadap daerah Sinai,
yang pernah diduduki oleh Israel selama lima belas tahun yang dimulai sejak
perang tahun 1967. Hal tersebut mengejutkan Mesir yang pada masa tersebut
tengah memiliki posisi kuat di kawasan.232
Pendudukan Sinai berlangsung sampai
dengan tahun 1982, berakhirnya hal tersebut juga dibayar oleh Mesir dengan
pengakuan mereka terhadap Israel sebagai sebuah negara pada tahun 1979.
Kesepakatan itu dicapai setelah kedua negara menyetujui perjanjian damai.233
Okupasi Sinai oleh Israel menyebabkan timbulnya trauma historis bagi
Mesir. Trauma historis itu pada akhirnya menyebabkan terjadinya “cold peace”
antara Mesir dan Israel. Mesir menerima perdamaian karena terpengaruh oleh AS
yang memberikan imbalan bantuan sebagai syarat agar menghentikan perseteruan
231
Jack Donnelly, Realism and International Relations, Cambridge: Cambridge
University Press, 2004, h. 22 232
Laura M. James, “Egypt: Dangerous Illusions”, dalam Wm. Roger Louis dan Avi
Shlaim (Ed),The 1967 Arab-Israeli War: Origins and Consequences, New York: Cambridge
University Press, 2012, h. 74-75 233
Michael Brecher, Dynamics of the Arab–Israel Conflict, Palgrave Macmillan, 2017, h.
37, pasukan Israel mundur sejak 1979 dan selesai pada 1982
80
dengan Israel. Sejak perjanjian Sinai 1 tahun 1974 sampai dengan kesepakatan
Camp David tahun 1979, keputusan Mesir terdorong oleh faktor AS.234
Resistensi terhadap Israel tetap terjadi di dalam konteks sosial. Hal
tersebut ditunjukkan misalnya dengan adanya pelarangan anggota parlemen Mesir
untuk mengunjungi Israel di masa pemerintahan Mubarok, dipersulitnya
pengusaha untuk menjalin kerjasama ekonomi dengan pihak-pihak yang berasal
dari Israel, serta kritisnya media-media dalam negeri terhadap apapun yang
dilakukan oleh Israel. Kairo juga sebenarnya tidak ingin Israel menjadi kekuatan
sentral di Timur Tengah dan meminggirkan posisi mereka di kawasan.235
Sikap Mesir sebagai suatu negara yang menunjukkan kecurigaan karena
terpengaruh oleh kejadian yang telah lalu merupakan suatu hal yang dapat
dipahami. Karena sejarah, baik secara eksplisit maupun implisit dapat
memengaruhi kebijakan suatu negara.236
Khusus dalam aspek keamanan, Eliot
Cohen berpendapat bahwa sejarah merupakan suatu pelajaran bagi pertimbangan
strategis dalam masalah keamanan.237
Cohen juga menambahkan, bahwa sejarah
dapat berpengaruh dalam pemebentukan suatu keputusan militer atau
keamanan.238
234
Amnon Aran dan Rami Ginat, “Revisiting Egyptian Foreign Policy towards Israel
under Mubarak: From Cold Peace to Strategic Peace”, The Journal of Strategic Studies Vol. 37,
No. 4, 2014, h. 562 235
Aran dan Ginat, Revisiting Egyptian Foreign Policy..., h. 563-564 236
Hal Brands dan Jeremi Suri, “Introduction: Th inking about History and Foreign
Policy”, h. 2 237
Eliot P. Cohen, “The Historical Mind and Military Strategy”, dalam Jurnal Orbis Vol.
49, no. 4, 2005, h. 575 238
Eliot P. Cohen, The Historical Mind..., h. 577
81
Berdasar faktor sejarah di masa lalu ditambah dengan realitas di masa kini
terkait keadaan keamanan di Sinai serta potensi ancaman dari Israel. Keputusan
Mesir untuk menyerahkan pulau, yang juga disertai dengan kesepakatan
pembangunan Sinai dengan menggunakan bantuan dari Saudi cukup bisa
dipahami. Mesir perlu untuk memulihkan stabilitas keamanan di Sinai dengan
jalan membangun sarana ekonomi yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah
radikalisasi masyarakat Baduy Sinai. Karena selama ini, marginalisasi ekonomi
telah menjadi bibit pemberontakan warga Mesir di Sinai.
Sinai sendiri merupakan wilayah yang berpotensi akan menjadi tempat
pertempuran antara Mesir dan Israel jika di antara kedua negara berkonflik.239
Makna mempertahankan Sinai bagi Mesir, selain untuk kemanan nasional, juga
tentang mempertahankan kebanggaan atau harga diri negara. Selain itu, ada pula
keinginan dari Mesir untuk menghapuskan demiliterisasi wilayah tersebut yang
telah berjalan puluhan tahun sebagai salah satu poin dari perjanjian antara kedua
negara.240
Meskipun berada dalam satu ikatan perjanjian perdamaian, Mesir dan
Israel tidak mengendurkan kekuatan dari militer masing-masing negara dan
bersiaga untuk mengantisipasi kemungkinan ancaman keamanan dari salah
satunya. Salah satu bentuk kesiagaan tersebut ditunjukkan oleh Mesir, ketika
tahun 2012 meraka menggelar latihan militer di Sinai. Menurut Jendral
Mohammed Hegazy (Mesir), latihan tersebut disiapkan jika Israel menyerang
239
Ehud Eilam, The Next War between Israel and Egypt, London dan Portland: Vallentine
Mitchell, 2014, h. x 240
Ehud Eilam, The Next War..., h. 203 dan 236-237
82
terusan Suez. Pada bulan oktober di tahun yang sama, pimpinan militer Mesir kala
itu, Jendral Abdul Fattah As-Sisi menyatakan bahwa aktivitas militer di Sinai
bertujuan untuk menampakkan kesiapan militer Mesir terhadap berbagai bentuk
ancaman, termasuk yang berasal dari Israel.241
Nada kesiagaan juga disampaikan oleh pihak Israel. Salah seorang mantan
petinggi militer negara tersebut, Oded Tira, menyatakan pada April 2013 bahwa
Mesir merupakan “possible enemy” atau pihak yang berpotensi mengancam
Israel.242
Negara ini bahkan mendirikan pangkalan militer di Negev yang letaknya
berdekatan dengan Sinai. Pangkalan militer tersebut merupakan yang terbesar di
Israel.243
Berdirinya pangkalan militer tersebut dapat memberikan ancaman bagi
Mesir. Bahkan jika melihat latar belakang berdirinya pangkalan militer tersebut,
pembangunannya sudah disiapkan sejak penarikan pasukan Israel dari Sinai
menyusul disepakatinya perjanjian damai antara kedua negara.244
Ancaman lain
yang dirasakan Mesir adalah kepemilikan senjata nuklir Israel. Berbagai laporan
media, analis, penulis, dan lembaga think tank menyebutkan bahwa Israel
241
Eilam, The Next War..., h. 199 242
Eilam, The Next War..., h. 199 243
“IDF Begins Moving Major Bases to Israel's Negev”, Haaretz 16 September 2012,
diakses dari https://www.haaretz.com/idf-begins-transferring-bases-to-negev-1.5163552, pada 5
Januari 2018. 244
William Claiborne, “Israel Set to Move Sinai Bases to Negev”, The Washington Post 3
November 1981, diunduh dari
https://www.washingtonpost.com/archive/politics/1981/11/03/israel-set-to-move-sinai-bases-to-
negev/efd95fb3-b27b-4191-a332-50a813e73e4b/?utm_term=.2c413620b54e, pada 5 Januari 2018.
83
memiliki senjata nuklir. Dari berbagai hitungan jumlah tersebut, jumlah hulu
ledak yang paling mungkin dimiliki oleh Israel berkisar pada jumlah 80.245
Beberapa hal tersebut bisa dilihat sebagai ancaman tambahan dari Israel
bagi Mesir. Untuk mempertahankan negara dalam kondisi yang demikian negara
harus memperkuat keamanan mereka. Hal ini merupakan pilihan rasional suatu
negara untuk menghindar dari potensi ancaman negara lain. Perilaku negara ini
diistilahkan oleh Alex Mintz sebagai deterrence. Dalam konteks ini, negara
membendung atau mencegah kemungkinan bahaya keamanan dari negara lain
yang mengancam kemanan nasional.246
Pada kasus ini, Mesir berusaha
memperkecil potensi ancaman dengan melakukan pembangunan di Sinai, tempat
yang menjadi titik lemah mereka. Karena rasa tidak aman suatu negara merupakan
kombinasi dari berbagai ancaman dan kerentanan sebuah negara.247
Dalam sebuah sistem yang anarki, akan selalu muncul sebuah dilema
keamanan. Setiap aktor harus menyadari adanya potensi ancaman. Negara
kemudian akan berjuang memperoleh kekuatan sebanyak mungkin untuk
mencapai keamanan dan menghindar dari ancaman pihak lain. Tidak adanya
jaminan untuk merasa aman, pada akhirnya membuat negara masuk dalam
persaingan kekuasaan dan peningkatan keamanan secara terus menerus.248
Kondisi
seperti inilah yang nampaknya terjadi pada Mesir dalam konteks keamanan
mereka.
245
Hans M. Kristensen dan Robert S. Norris, “Israeli nuclear weapons”, Bulletin of the
Atomic Scientists Vol. 70 No. 6, 2014, h. 102 246
Mintz dan DeRouen, Understanding Foreign, h. 121-122 247
Buzan, People States and Fear, h. 73 248
John H. Herz, “Idealist Internationalism and Security Dilemma”, World Politics Vol. 2
No. 2 1950, h. 157
84
Terlebih, Israel dipandang menjadi negara yang memberikan ancaman
secara terus-menerus bagi keamanan kawasan Timur Tengah. Baghat Korany
menyebut bahwa hal tersebut bermula sejak terjadinya perang Arab-Israel untuk
pertama kali. Bahkan konflik tersebut menjadi pendorong munculnya militerisasi
kawasan serta munculnya “national security state” di kawasan.249
Hal ini
menjadikan tindakan Mesir yang menghindar dari ancaman Israel sebagai suatu
tindakan yang rasional.
Dalam konteks pembangunan Sinai, dijadikannya Saudi sebagai mitra
aliansi juga bisa bermakna positif bagi Mesir. Saudi merupakan negara yang
cenderung dapat diterima oleh Israel. Meskipun dalam sejarahnya sering
berkonflik dengan Israel dan keduanya tidak memiliki riwayat hubungan
diplomatik, namun dalam beberapa tahun belakangan Saudi nampak melakukan
hubungan klandestin dengan Israel. Hal ini terlihat misalnya dalam pertemuan dua
tokoh penting kedua negara di Washington pada Juni 2015. Anwar Eskhi dari
Saudi merupakan mantan Jendral Militer, dan Dore Gold dari Israel adalah mantan
Duta Besar untuk PBB yang diproyeksikan menempati posisi direktur jendral di
Kementrian Luar Negeri Israel.250
Saudi dan Israel sebelum tahun 2015 telah menjalin hubungan sejak 2014,
dalam rentang waktu tersebut kedua negara telah melakukan lima kali pertemuan.
Isu yang dibahas adalah program nuklir Iran yang dilihat oleh keduanya sebagai
249
Baghat Korany, “The Middle East Since the Cold War: Initiating the Fifth Wave of
Democratization?”, dalam Louise Fawcett, International Relations of the Middle East, Oxford:
Oxford Unoversity Press, 2012, h. 84-85 250
David E. Sanger, “Saudi Arabia and Israel Share a Common Opposition”, The New
York Times, https://www.nytimes.com/2015/06/05/world/middleeast/saudi-arabia-eshki-and-israel-
dore-gold-netanyahu-share-allies-iran.html, diakses pada 9 Maret 2018.
85
ancaman, selain itu mereka berkepentingan untuk membendung penguatan
pengaruh Iran di kawasan. Kesamaan kepentingan inilah yang menjadikan
hubungan Saudi dan Israel seperti melunak, meskipun demikian Gold menegaskan
bahwa sikap negaranya tidaklah berubah dan segala perbedaan yang telah terjadi
selama bertahun-tahun sebelumnya belumlah selesai.251
Adapun faktor keamanan yang berkaitan dengan dua pulau yang
diserahkan–Tiran dan Sanafir–bisa dilihat dari faktor strategis dan historis kedua
pulau ini. Jika dilihat dari kedudukan pulau, keduanya berada pada simpul
wilayah empat negara yaitu Mesir, Saudi, Israel dan Yordania. Kawasan perairan
itu merupakan titik strategis jika terjadi konflik geopolitik di kawasan terutama
yang melibatkan salah satu dari empat negara tersebut. Tiran dan Sanafir dapat
dijadikan benteng pertahanan di lautan.252
Dalam sejarahnya, kedua pulau ini pernah menjadi medan pertempuran
penting pada masa perang enam hari (six day war) pada tahun 1967. Pada masa
tersebut, Mesir yang telah lebih dahulu mendapatkan kewenangan atas
pendudukan pulau, tergusur oleh pasukan militer Israel yang mengokupasi untuk
memukul mundur kekuatan militer Mesir di selat Tiran. Dengan nilai strategis
serta fakta historis yang dimilikinya kedua pulau ini merupakan elemen penting
dalam keamanan nasional Mesir. Meskipun demikian, aspek strategis tersebut
tidak bisa dimanfaatkan oleh Mesir karena tersandra oleh perjanjian Camp David
251
David A. Graham, “Israel and Saudi Arabia: Togetherish at Last?”, The Atlantic,
https://www.theatlantic.com/international/archive/2015/06/israeli-saudi-relations/395015/, diakses
pada 9 Maret 2018. 252
Mohammad Jafar Ajorloo dan Rabiae Turk, The Strategic Importance of the Straits of
Tiran in the Conflict in South West Asia, Geopolitics Quarterly, Volume 10 No. 4, 2015, h. 79-81
86
dengan Israel yang salah satu isi di dalamnya melarang menempatkan kekuatan
militer di wilayah tersebut.253
Dengan kondisi seperti itu, maka potensi keamanan
Mesir akan tak terpakai.
Maka pilihan Mesir adalah menjadikan Saudi sebagai aliansinya sebagai
buffer zone jika terjadi ketegangan dengan Israel di perairan Tiran. Dengan
beralihnya kepemilikan pulau maka kewenangan atasnya akan berada di bawah
Saudi dan mereka akan mempertahankannya. Meskipun kekuatan militer Saudi
tidak sekuat Israel, tapi aliansinya yang kuat dengan Amerika dapat menjadi
faktor yang dapat memperkecil ancaman dari Israel yang merupakan aliansi utama
AS di Timur Tengah. Hal ini dibutuhkan karena Mesir, meskipun merupakan
aliansi dari AS tapi ikatan antara kedua tersebut mengendur dalam beberapa tahun
terakhir. Jadi sikap Mesir di sini dapat dipahami sebagai sebuah langkah taktis
yang rasional.
Kapabilitas militer dan pola aliansi merupakan faktor yang mendasar
dalam keamanan. Keduanya bisa menjadi pemicu sekaligus pencegah dari
terjadinya konflik.254
Dalam kebijakan penyerahan pulau, Mesir terlihat
menunjukkan intensi untuk membangun aliansi kuat dengan Saudi, untuk
mengembalikan stabilitas kemanan juga menghindari lahirnya potensi ancaman
tambahan yang bisa berasal dari Israel.
253
Camp David Accords, Israel Ministry of Foreign Affairs, diunduh dari
https://web.archive.org/web/20110903011255/http://www.mfa.gov.il/MFA/Peace%20Process/Gui
de%20to%20the%20Peace%20Process/Camp%20David%20Accords, pada 4 Januari 2018. 254
Richard Ned Lebow, The tragic vision of politics: Ethics, interests and orders,
Cambridge: Cambridge University Press, 2003, h. 264-265
87
Negara memiliki kecenderungan untuk meningkatkan kemanan
nasionalnya atau kekuatan politiknya. Negara juga bertindak rasional dalam setiap
kebijakannya untuk menjaga keamanan dan mengejar kekuatan.255
Maka
keputusan Mesir, meskipun melalui jalan yang memutar, tapi tetap bisa dikatakan
rasional dengan berbagai pertimbangan sebagaimana disebutkan di atas.
C. Motif Politik Mesir
Sebagai negara yang tengah berada dalam transisi, Mesir tentu
membutuhkan dukungan dalam berbagai aspek. Salah satu aspek yang begitu
penting bagi Mesir adalah politik. Pasca terjadinya revolusi, negara ini
membangun aliansi politik dengan negara-negara yang berpengaruh di kawasan.
Turki adalah negara yang sempat menjalin ikatan politik dengan Mesir pada masa-
masa transisi ini, yakni pada masa pemerintahan Presdiden Muhammad Mursi.256
Pada saat membangun aliansi dengan Turki, Mesir mengharapkan agar hal
tersebut dapat memberikan dampak peningkatan keamanan dan stabilitas
politik.257
Namun ikatan aliansi antara Mesir dengan negara yang kini dipimpin
Erdogan ini berakhir seiring dengan dilengserkannya posisi Mursi dari kursi
kepresidenannya pada tahun 2013. Putusnya ikatan aliansi ini terjadi sebagai
respon dari Turki atas diturunkannya kepemimpinan Mursi.258
255
Donnelly, Realism and International Relations, h. 8 256
Eva Mushoffa, Turkey‟s Foreign Policy Towards Egypt Since the Arab Spring, MA
Dissertation di Durham University, 2014, ch.3,h. 1 257
Mushoffa, Turkey‟s Foreign Policy ch. 3, h. 2 258
Mushoffa, Turkey‟s Foreign Policy ch. 4, h. 1
88
Pasca berpisah dengan Turki, Mesir tentu perlu membangun aliansi baru
demi menjaga visi mereka membangun stabilitas internal serta memperkuat posisi
regional mereka di kawasan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka Mesir perlu
menjalin kerjasama dengan salah satu dari empat negara yang memiliki pengaruh
kuat saat ini seperti Arab Saudi, Turki, Iran, atau Israel.259
Maka dari itu, tindakan
Mesir dalam konteks penyerahan pulau ini bisa dilihat sebagai upaya menjalin
aliansi lain dengan negara yang pengaruh di kawasan.
Kecenderungan Mesir untuk menjadi negara yang berpengaruh di kawasan
sudah terbentuk sejak era kepemimpinan Gamal Abdul Nasser. Dalam falsafah
revolusinya Naser memiliki pandangan untuk menjadikan negaranya sebagai aktor
yang memainkan “peran pahlawan” di kawasan. Bahkan menurut Avraham Sela,
tema kepemimpinan di kawasan Arab sudah menjadi pokok bahasan kebijakan
luar negeri negara ini sejak akhir tahun 1930an saat masih dipimpin Raja Faruq.260
Setelah kematian Nasser, kepemimpinan Mesir beralih ke wakil
presidennya Anwar Sadat. Pada masa awal kepemimpinannya, Sadat menyatakan
bahwa ia akan berkomitmen terhadap prinsip kebijakan yang telah dipegang oleh
Nasser. Sadat berjanji akan membebaskan dunia Arab dari pendudukan Israel serta
mempersatukan negara-negara Arab.261
Pada titik ini, dapat dilihat terdapat
259
Mustafa El-Labbad, “Egypt: A “Regional Reference” in the Middle East”, dalam
Henner Fürtig, Regional Powers in the Middle East: New Constellations after the Arab Revolts,
New York: Palgrave Macmillan, 2014, h. 81-82 260
Avraham Sela, “Abd al-Nasser‟s Regional Politics: A Reassessment”, dalam Elie
Podeh dan Onn Winckler (Ed), Rethinking Nasserism : Revolution and Historical Memory in
Modern Egypt, Florida: University Press of Florida, 2004, h. 181-184 261
Steven A. Cook, The Struggle for Egypt : from Nasser to Tahrir Square, Oxford:
Oxford University Press, 2012, h. 117-118
89
kecenderungan Mesir untuk tetap mempertahankan status regionalnya di kawasan
pada masa kepresidenan Anwar Sadat.
Namun, kondisi Mesir pada saat masa peralihan dari Nasser kepada Sadat
tidak begitu baik dengan keadaan dilanda ketidakseimbangan ekonomi.
Instabilitas ekonomi tersebut berpengaruh terhadap kebijakan luar negeri. Hal ini
diperparah oleh adanya perang yang berkecamuk dengan Israel. Dalam kondisi
yang demikian, Amerika memberikan bantuan luar negeri senilai hampir 1 miliar
dolar AS. Pada periode inilah Mesir mulai merubah haluan politik dengan lebih
mendekat pada AS. Adanya hubungan ini akhirnya melunakkan sikap Mesir
terhadap Israel dan menandatangani perjanjian damai Camp David pada 26 Maret
1979.262
Pasca perjanjian damai Camp David, posisi Mesir di Timur Tengah
mengalami penurunan. Banyak negara di kawasan yang menentang keputusan
tersebut. Memasuki priode kepemimpinan Husni Mubarok, usaha Mesir untuk
membangun kembali pengaruh politik di kawasan perlahan kembali terlihat. Sejak
awal tahun 1990an, Mesir mencoba untuk kembali memperkuat posisi regionalnya
setelah sebelumnya terisolasi dari dunia Arab disebabkan oleh kuatnya ikatan
aliansi negara ini dengan Amerika Serikat.263
Menurut Galal Amin, faktor ekonomi menjadi faktor yang menentukan
posisi politik Mesir di kawasan. Pada pertengahan abad kedua puluh, negara ini
262
Steven A. Cook, The Struggle for Egypt..., h. 118, 141-149 263
Rosemary Hollis, “Capitalizing on Diplomacy”, dalam Phebe Marr (Ed.) Egypt at the
Crossroads: Domestic Stability and Regional Role, Washington: National Defence Universuty
Press, 1999, h. 148
90
memiliki kapabilitas ekonomi yang kuat sehingga berpengaruh pada peran
politiknya yang menonjol di kawasan pada masa itu. Namun pada masa
pemerintahan Mubarok, kondisi ekonomi Mesir tidak berada dalam keadaan yang
ideal. Pasca kekalahan pada perang 1967, negara ini mulai memiliki
ketergantungan ekonomi terhadap negara lain, inilah yang menyebabkan turunnya
pengaruh politik Mesir di Timur Tengah.264
Meskipun pengaruh Mesir terus menurun di bawah masa pemerintahan
Husni Mubarok, negara ini tetap menjadi salah satu kekuatan besar di kawasan
Timur Tengah. Bahkan sekalipun pada penghujung masa kekuasaannya negara ini
mengalami penurunan status regional di kawasan hingga terjadinya revolusi
sosial. Peran mereka sebagai penjaga keamanan dunia Arab masih relevan dan
menjadi klaim yang diangkat oleh pemerintah Mubarok untuk menyebarkan
pengaruh regionalnya.265
Pada masa pemerintahan pos-revolusi yang dipimpin oleh Muhammad
Mursi, peran Mesir di Kawasan coba dibangkitkan kembali. Pada masa ini, Mesir
menampilkan kepemimpinannya dengan berperan sebagai mediator pada konflik
Gaza. Namun, manuver politik Mursi selama setahun masa kepresidenannya
terlihat mengancam bagi status quo kekuasaan di beberapa negara Arab monarki,
dan seolah membenturkan antara kekuatan demokratik rakyat dengan penguasa
otokrasi di negara-negara monarki.
264
Galal Amin, Egypt in the Era of Hosni Mubarak: 1981-2010, Kairo: The American
University in Cairo Press, 2011, h. 161 265
Elizabeth Monier dan Annette Ranko, The Failure of the Muslim Brotherhood:
Implications for Egypt’s Regional Status, dalam Henner Fürtig, Regional Powers in the Middle
East: New Constellations after the Arab Revolts, New York: Palgrave Macmillan, 2014, h. 61
91
Selain itu, Mesir era Mursi yang sangat kental dengan nuansa Ikhwanul
Muslimin (IM) membawa wacana pendirian khilafah yang sangat sensitif
mengancam legitimasi negara-negara monarki di Teluk Arab. Negara-negara
seperti Kuwait, Uni Emirat Arab (UEA), dan Arab Saudi menunjukkan responnya
dengan mendukung wacana penurunan Mursi dari tampuk kekuasaan Mesir.
Dengan adanya arus perlawanan dari negara-negara monarki ini, usaha
Mesir untuk dapat membangun kembali pengaruhnya di kawasan tidak menemui
keberhasilan. Resistensi dari aktor-aktor regional berpengaruh dalam menghalangi
penguatan kembali status Mesir di kawasan. Hal ini tidak lepas dari visi
transnasional IM yang menggulirkan wacana pendirian khilafah sebagai tujuan
mereka saat mendominasi kekuasaan. Negara berdaulat di Timur Tengah tentu
merasa terancam dengan hadirnya wacana tersebut. Selain itu, Mursi juga gagal
dalam memenuhi ekspektasi politik domestik karena dianggap terlalu
mementingkan IM. Maka gagalnya membangun stabilitas internal serta adanya
wacana transnasional IM mempengaruhi gagalnya penguatan kembali pengaruh
Mesir di kawasan pada masa pemerintahan Mursi.266
Berdasar beberapa pemaparan di atas, terlihat bagaimana Mesir selalu
berusaha membangun posisi kuat mereka di kawasan. Hal ini sesuai dengan apa
yang disampaikan oleh Anoushiravan Ehteshami dan Raymond Hinnebusch
bahwa posisi geopolitik memiliki pengaruh besar dalam setiap kebijakan luar
negeri negara di Timur Tengah. Mesir merupakan salah satu negara yang memiliki
karakter yang demikian. Negara ini selalu menimbang kebijakan yang
266
Monier dan Ranko, The Failure of the Muslim..., h. 74-75
92
dikeluarkannya dengan pertimbangan untuk memperoleh pengaruh di kawasan.
Namun gerak politik Mesir dalam mendapatkan pengaruh telah berevolusi, jika
pada tahun 1960an negara ini menggunakan “Revolusi Arab” sebagai instrumen,
maka saat ini peranan negara ini ditunjukkan dengan keterlibatannya sebagai
mediator dalam konflik Israel serta benteng dalam melawan gerakan ektrimis
Islam.267
Ehteshami dan Hinnebusch kemudian menambahkan bahwa sekali peranan
dalam kawasan itu terbangun, hal tersebut akan menjadi standar dari legitimasi
serta prinsip politik yang perlu dipenuhi oleh setiap generasi dari para pembuat
kebijakan selanjutnya.268
Untuk mendapat pengaruh politik kuat di kawasan
beberapa rezim bahkan mengorbankan otonomi mereka, menjadi klien,
bergantung pada keterkaitan ekonomi atau menginduk pada negara patron untuk
mendapatkan dukungan politik yang timbal balik antara patron dan kliennya.269
Tidak jarang juga suatu pemerintahan menerapkan standar ganda, dalam hal ini
antara politik internal dan eksternal, agar mendapatkan posisi politik yang
diinginkan.270
Paparan ini menunjukkan bahwa sikap Mesir dalam menjalin ikatan aliansi
dengan Saudi melalui penyerahan pulau sebagai suatu bentuk pencarian kekuasaan
dalam skala regional. Karakter strugle of power ini sendiri merupakan ciri dari
neorealisme dalam tradisi hubungan internasional. Hal ini juga dinyatakan oleh
267
Anoushiravan Ehteshami dan Raymond Hinnebusch, “Foreign Policy Making in the
Middle East”,dalam Louise Fawcett (Ed) , International Relations of The MiddleEast, Oxford:
Oxford University Press, 2013 , h. 228 268
Ehteshami dan Hinnebusch, Foreign Policy Making in the Middle East, h. 228 269
Ehteshami dan Hinnebusch, Foreign Policy Making in the Middle East..., h. 226 270
Ehteshami dan Hinnebusch, Foreign Policy Making in the Middle East..., h. 227
93
Louise Fawcett yang berpendapat bahwa aliansi dalam hubungan internasional di
kawasan Timur Tengah terpengaruh oleh politics of power.271
Dalam masa pemerintahan As-Sisi sendiri, usaha untuk membangun
kekuatan politik di kawasan sudah mulai ditunjukkan sejak sebelum terjadinya
keputusan penyerahan pulau. Pada Februari 2015, Mesir juga mencoba
menyatukan beberapa negara Arab untuk melakukan intervensi ke Libya. Dalam
upaya ini Mesir mengonsolidasikan Saudi dan Jordan untuk turut dalam
perencanaan tersebut.272
Usahanya menjadi penengah antara Israel dengan
Palestina pada tahun 2014, ketika Israel menolak delegasi Palestina untuk
membahas perundingan perdamaian Gaza273
. Selain itu, Mesir juga mencoba
untuk turut masuk dalam pusaran konflik Suriah274
.
Pergerakan As Sisi untuk memperkuat pengaruh Mesir di kawasan selain
karena faktor yang telah disebutkan sebelumnya, juga karena hal ini merupakan
salah satu tujuan politik utama Mesir di era Sisi yang terdiri dari, menjaga
stabilitas negara serta perlahan turut memperbesar pengaruhnya di kawasan
271
Louise Fawcett, “Alliances and Regionalism in The Middle East”, dalam Louise
Fawcett (Ed) , International Relations of The MiddleEast, Oxford: Oxford University Press, 2013,
h. 185 272
Yezid Sayigh, The Mirage of Egypt’s Regional Role and the Libyan Temptation,
Carnegie Middle East Center, diunduh dari http://carnegie-mec.org/2015/03/05/mirage-of-egypt-s-
regional-role-and-libyan-temptation-pub-59250, diakses pada 21 Oktober 2017. 273
Egypt sees Gaza Conflict as Chance to Reclaim Regional Role, diunduh dari
https://www.ynetnews.com/articles/0,7340,L-4564820,00.html, pada 21 Oktober 2017. 274
Geoffrey Aronson, Sisi warns Kerry of jihadist threat in Syria, diunduh dari
https://www.al-monitor.com/pulse/originals/2014/06/egypt-abdel-fattah-al-sisi-foreign-policy-
reset-syria-saudi.html, pada 21 Oktober 2017.
94
dengan meningkatkan stabilitas domestik dan membangun aliansi dengan negara-
negara teluk, terutama Saudi.275
Bergesernya pola aliansi Mesir dari yang sebelumnya terbangun dengan
Turki, kemudian beralih kepada Saudi jika merujuk pada pendapat Saul Cohen,
hal ini dipengaruhi oleh konteks geopolitik kawasan ini yang memungkinkan
untuk dapat terjadinya perubahan pola aliansi (shifting alliances), perubahan
disebabkan oleh dinamisnya keadaan kawasan yang dipengaruhi oleh persilangan
kepentingan ekonomi, politik, dan bahkan kepentingan kekuatan besar (great
power) yang berasal dari luar.276
Konteks geopolitik sendiri menurut Ehteshami merupakan elemen yang
perlu dilihat dalam menganalisa setiap perubahan yang ada di Timur Tengah.
Faktor geopolitik inilah yang memengaruhi suatu negara untuk menjaga
kepentingannya berdasar pada pertimbangan geografis serta konteks sejarahnya
yang pada akhirnya berpengaruh dalam setiap kebijakan atau keputusan yang
dikeluarkan oleh negara-negara dalam kawasan ini.277
Struktur geografis negara-negara Timur Tengah serta kompleksitas simpul
kekuatan politik di kawasan ini memberikan pengaruh pada terhambatnya
pembentukan suatu iklim geopolitik pada level kawasan maupun sub-regional
yang stabil. Hal ini menjadikan keadaan politik di kawasan ini cenderung
275
Kristina Kausch, “Egypt: Inside-Out”,dalam Kristina Kausch (ed), Geopolitics and
Democracy in the Middle East, Madrid: FRIDE, 2015 h. 30-32 276
Saul Bernard Cohen, Geopolitics: The Geography of International Relations,
Maryland: Rowman & Littlefield, 2015, h. 415-416 277
Anoushiravan Ehteshami, Globalization and Geopolitics in the Middle East: Old
Games, New Rules, London dan New York: Routledge, 2007, h. 1
95
konfliktual.278
Kepentingan untuk memperkuat kekuatan politik di kawasan pada
akhirnya mendorong Mesir untuk mengeksplolarsi segala kapabilitasnya untuk
mencapai tujuan tersebut. Posisi geografis adalah salah satu hal yang
dimanfaatkan. Letak negaranya yang berada di tengah kawasan inilah yang
menjadi modal geopolitik Mesir untuk menjadi pihak penengah dalam simpul-
simpul konflik yang ada di wilayah ini.279
278
Saul Bernard Cohen, Geopolitics: The Geograpy..., h. 411-416 279
Kristina Kausch, Egypt: Inside-Out, h. 19-20
96
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keputusan Mesir untuk menyerahkan pulau Tiran dan Sanafir kepada Arab
Saudi pada April 2016 adalah sebuah kasus yang tidak biasa terjadi. Anomali
yang dilakukan oleh Mesir menimbulkan pertanyaan besar, tentang apa yang
terjadi di balik kesepakatan tersebut. Faktor-faktor yang melatarbelakangi
kebijakan negeri piramida ditelusuri dan dibedah dalam penelitian ini, dan
kemudian memunculkan beberapa kesimpulan.
Dalam penelusuran terhadap faktor pendorong yang memengaruhi
penyerahan pulau Tiran dan Sanafir, penelitian ini menemukan bahwa terdapat
tiga faktor yang memengaruhi negeri Piramida ini, yakni ekonomi, keamanan, dan
politik (terutama dalam aspek geoplitik di kawasan). Ketiga faktor ini saling
terhubung satu sama lain dan tidak bisa dilihat secara parsial.
Bersamaan dengan disepakatinya penyerahan pulau Tiran dan Sanafir,
Mesir dan Saudi menyetujui beberapa kesepakatan pembangunan di Mesir dalam
beberapa sektor. Tidak hanya itu, Saudi juga menyertakan bantuan sebesar 24
miliyar dolar AS kepada Mesir. Hal ini memberi kesan yang kuat bahwa kebijakan
Mesir terhadap kedua pulaunya memiliki motif ekonomi di dalamnya.
Mesir dengan kondisi ekonomi yang buruk, terutama setelah revolusi 2011
hanya mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 2,5 persen sampai tahun 2015.
97
Hal ini diperparah dengan tingkat penganggurannya yang tinggi, mencapai 19,5
persen pada tahun 2015 dengan 35 persen di antaranya merupakan pemuda yang
tengah berada dalam usia produktif.280
Hal ini menandakan bahwa Mesir
membutuhkan solusi untuk mengatasi krisis ekonomi. Terlebih, hal tersebut
merupakan mandat yang dibebankan pada pemerintahan As Sisi.
Jika melihat pada tahun-tahun sebelumnya, Saudi bukanlah negara yang
baru hadir dalam upaya penyelamatan ekonomi Mesir. Sejak tahun 2011 sampai
dengan 2015, negara teluk ini total telah memberikan bantuan sebesar 17,25
milyar dolar AS yang dibagi dalam berbagai sektor.281
Hal ini menunjukkan
bahwa motif ekonomi yang memengaruhi Mesir dalam kebijakannya tidak hanya
sebatas konsesi yang didapatkannya pada saat menyepakati kesepakatan
penyerahan pulau, tapi dorongan telah muncul pada tahun-tahun sebelumnya.
Mesir menunjukkan bahwa kepentingan nasionalnya berada dalam posisi
yang sangat penting. Mereka menempatkan keputusan pelepasan pulau sebagai
usaha untuk mendapatkan kepentingan ekonomi. Kepentingan ekonomi yang
berfungsi sebagai salah satu pembentuk kekuatan (power) negara menjadi penting
dan pada sisi ini motif ekonomi menjadi faktor yang berpengaruh.
Kemudian dimensi keamanan Mesir dalam konteks kebijakan penyerahan
pulau dapat dilihat dari beberapa sisi. Pada beberapa tahun setelah terjadinya
revolusi 2011, Sinai menjadi wilayah yang selalu bergolak. Radikalisasi
masyarakat Baduy Sinai menjadi faktor kuat terhadap hal tersebut. Pemerintah
280
Lihat bab 3 h. 51 281
Lihat bab 4 h. 63-64
98
Mesir berusaha mengatasinya dengan memperbaiki keadaan ekonomi penduduk
Sinai, karena kondisi buruk ekonomi menjadi pendorong aksi teror serta gangguan
keamanan lainnya.
Saudi dalam hal ini hadir menjadi negara yang bersedia membantu Mesir
meredakan ancaman keamanan Sinai dengan memberi bantuan ekonomi dalam
rangka rencana pemerintah As Sisi memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat
Sinai. Saudi sebagai negara mitra Mesir memberi keuntungan strategis tersendiri
bagi Mesir. Kedekatannya dengan Tel Aviv akan memperkecil potensi ancaman
Israel yang juga menjadi rival tradisional Mesir di kawasan.
Dalam sudut pandang ini, Saudi menjadi negara yang mampu memberi
bantuan Mesir mengatasi masalah keamanan mereka. Argumen keamanan ini turut
menambah rasionalitas Mesir menyerahkan kedua pulaunya sebagai suatu langkah
taktis menghindari potensi ancaman yang lebih besar. Keamanan sendiri bagi
suatu negara adalah hal yang sangat penting, karena hal tersebut merupakan upaya
untuk bertahan dalam persaingan dengan negara lain. Serta menjadi sarana untuk
meningkatkan kekuatan negara.
Adapun faktor politik Mesir dapat dilihat ketika meletakkan faktor lain
dalam suatu perspektif yang saling terhubung. Usaha Mesir untuk memperbaiki
ekonomi dan mengendalikan keamanan pada akhirnya berujung pada
pembangunan sebuah kekuatan yang akan menjadikan Mesir sebagai negara yang
berpengaruh di Timur Tengah. Hal ini menjadi sesuatu yang diusahakan oleh
pemerintahan As-Sisi.
99
Kecenderungan untuk menjadi negara dominan di kawasan bagi Mesir
sudah terbentuk sejak era Gamal Abdul Nasser. Kemudian selanjutnya hal itu
selalu berusaha dipertahankan oleh para presiden setelahnya dari waktu ke waktu
hingga saat ini. Menurut Esteshami dan Hinnebusch hal ini adalah sifat negara di
Timur Tengah. Sekali sebuah negara menancapkan pengaruhnya di kawasan,
maka hal itu akan selalu diikuti oleh para penerusnya.282
Dari ketiga faktor pendorong yang memengaruhi keputusan Mesir untuk
menyerahkan pulau Tiran dan Sanafir, Mesir menampakkan tujuan-tujuan negara
yang bersifat jangka pendek dan jangka panjang. Kepentingan ekonomi dan
menjaga stabilitas keamanan adalah usaha jangka pendek yang bertujuan untuk
memenuhi tuntutan yang perlu segera diselesaikan. Adapun faktor politik–yang
lebih kuat pada elemen geopolitik–Mesir merupakan tujuan jangka panjang yang
akan didapat setelah target dalam dua aspek lainnya terpenuhi. Pada titik inilah
muara dari kepentingan Mesir dapat terlihat, bahwa pemerintah As Sisi berusaha
menegaskan dan memperkuat posisi politiknya di kawasan.
Faktor geopolitik menjadi elemen paling sentral bagi Mesir dalam kasus
penyerahan dua pulaunya pada Saudi. Dua faktor lain memiliki andil dalam proses
pembangunan kekuatan geopolitik di level regional. Stabilitas ekonomi dan
keamanan yang hendak dicapai oleh Mesir melalui berbagai konsesi yang diterima
dari hasil kesepakatan adalah fondasi yang dibutuhkan untuk menopang
terbangunnya pengaruh politik yang kuat bagi Mesir di Timur Tengah.
282
Ehteshami dan Hinnebusch, Foreign Policy Making in the Middle East, h. 228
100
B. Saran
Kasus yang dibahas dalam penelitian ini telah membuka tabir baru dalam
kajian hubungan internasional, bahwa suatu negara mungkin dan dapat
melepaskan wilayah teritorinya tanpa melalui konflik serius antar negara.
Meskipun demikian, masih banyak sudut yang membutuhkan kajian lebih lanjut
untuk dapat lebih mengembangkan hasil temuan dalam naskah ini.
Ketiadaan sumber langsung dari pemerintah Mesir maupun Arab Saudi
dalam bentuk wawancara langsung adalah salah satu kekurangan dalam naskah
penelitan ini. Hanya pernyataan yang dapat diakses melalui situs resmi yang
dimasukkan sebagai rujukan. Kemudian, penelusuran terhadap peiode selanjutnya
dari keberlanjutan kasus ini perlu dilakukan untuk lebih memahami implikasi
selanjutnya dari kesepakatan ini, baik itu bagi Mesir, Saudi, juga bahkan kawasan
Timur Tengah. Karena dalam penelitian ini hanya terbatas pada keputusan Mesir
pada tahun 2016.
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membantu pada kajian yang
membahas tema kawasan Timur Tengah, politik luar negeri Mesir, dan perilaku
sebuah negara dalam memperlakukan wilayah teritorinya, khususnya wilayah
pulau di luar daratan utama. Mungkin juga temuan yang disajikan dapat
memberikan sumbangan bagi pertimbangan pemangku kebijakan serta pihak-
pihak lainnya.
xv
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Bagian Buku
Abir, Mordechai. 2005. Oil, Powers, and Politics: Conflict in Arabia, Red Sea,
and the Gulf, London: Frank Cass.
Al Arian, Abdullah. 2014. “Islamists Movement and the Arab Spring” dalam
Mehran Kamrava (Ed.), Beyond the Arab Spring: The Evolving
Ruling Bargain in the Middle East, New York: Oxford University
Press.
Amin, Galal. 2011. Egypt in the Era of Hosni Mubarak: 1981-2010, Kairo: The
American University in Cairo Press.
Bakr, Noha. 2012. The Egyptian Revolution, dalam Stephen Calleya dan Monika
Wohlfeld, Change and Opportunity in The Emerging
Mediterranean, Malta: Mediterranean Academy of Diplomatic
Studies,
Brand, Laurie A. 2014. Official Stories Politics and National Naratives In Egypt
and Algeria, Stanford: Stanford University Press.
Brands, Hal dan Jeremi Suri. Introduction: Thinking about History and Foreign
Policy
Brecher, Michael. 2017. Dynamics of the Arab–Israel Conflict, Palgrave
Macmillan.
Breuning, Marijke. 2007. Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction,
New York, Palgrave Macmillan.
Burchill, Scott. 2005. The National Interest in International Relations Theory,
New York: Palgrave Macmillan.
xvi
Buzan, Barry. 1983. People States and Fear: The National Security Problem in
International Relations, Sussex: Wheatsheaf Books.
Cohen, Saul Bernard. 2015. Geopolitics: The Geography of International
Relations, Maryland: Rowman & Littlefield.
Cook, Steven A. 2012. The Struggle for Egypt : from Nasser to Tahrir Square,
Oxford: Oxford University Press.
Cordesman, Anthony H. dan Khalid R. Al Rodhan. 2007. Gulf Military Forces in
an Era of Asymmetric Wars (Volume 1), London: Praeger
Security International.
Creswell, John W. 2009. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed
Methods Approaches, California: Sage Publication.
Dawisha, Adeed. 1976. Egypt in the Arab World: The Elements of Foreign Policy,
New York: Halsted Press.
Dawisha, Adeed. 2003. Arab Nationalism In The Twentieth Century : From
Triumph to Despair, Princeton: Princeton University Press.
Dessouki, Ali E. Hillal. 2008. “Regional Leadership: Balancing off Costs and
Dividends in the Foreign Policy of Egypt” dalam Baghat Korany
dan Ali E. Hillal Dessouki (Ed.), The Foreign Policy of Arab
States: The Challange of Globalization, Kairo: The American
University in Cairo Press.
Dessouki, Ali. 2008. “Regional Leadership: Balancing off Costs and Dividens in
the Foreign Policy of Egypt” dalam Baghat Korany dan Ali
Dessouki (Ed), The Foreign Policies of Arab States: The
Challenge of Globalization, Kairo: The American University in
Cairo Press.
Donnelly, Jack. 2004. Realism and International Relations, Cambridge:
Cambridge University Press.
xvii
Ehteshami, Anoushiravan dan Raymond Hinnebusch. 2013. “Foreign Policy
Making in the Middle East: Complex Realism” dalam Louise
Fawcett (Ed) , International Relations of The MiddleEast, Oxford:
Oxford University Press.
Ehteshami, Anoushiravan. 2007. Globalization and Geopolitics In The Middle
East : Old Games, New Rules, New York: Routledge, 2007
Eilam, Ehud. 2014. The Next War between Israel and Egypt, London dan
Portland: Vallentine Mitchell.
El Dahslan, Mohammed. 2016. The Egyptian Economy, dalam Egypt After The
Spring: Revolt and Reaction, London: Routledge.
El-Labbad, Mustafa. 2014. “Egypt: A “Regional Reference” in the Middle East”
dalam Henner Fürtig, Regional Powers in the Middle East: New
Constellations after the Arab Revolts, New York: Palgrave
Macmillan.
Enazy, Askar H. 2017. The Legal Status of Tiran and Sanafir Islands, Riyadh:
King Faisal Center for Research and Islamic Studies.
Fawcett, Louise. 2013. “Alliances and Regionalism in The Middle East”, dalam
Louise Fawcett (Ed) , International Relations of The MiddleEast,
Oxford: Oxford University Press.
Frisch, Hillel. 2010. “Hamas: The Palestinian Muslim Brotherhood", dalam Barry
Rubin (Ed), The Muslim Brotherhood : The Organization and
Policies of a Global Islamist Movement, New York: Palgrave
Macmillan.
Gilpin, Robert. 2001. Global Political Economy: understanding the international
economic order, Princeton: Princeton University Press.
Grygiel, Jakub J. 2006. Great Powers and Geopolitical Change, Maryland: The
Johns Hopkins University Press.
xviii
Halliday, Fred. 2005. The Middle East in International Relations: Power, Politics,
and Ideology, Cambridge: Cambridge University Press.
Hollis, Rosemary. 1999. “Capitalizing on Diplomacy” dalam Phebe Marr (Ed.)
Egypt at the Crossroads: Domestic Stability and Regional Role,
Washington: National Defence Universuty Press.
Hudson, Valerie M. 2005. Foreign Policy Analysis: Actor Specific Theory and
The Ground of International Relations, International Studies
Association, Blackwell Publishing.
Jackson, Robert dan Georg Sorensen. 2009. Pengantar Studi Hubungan
Internasional, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
James, Laura M. 2012. “Egypt: Dangerous Illusions” dalam Wm. Roger Louis dan
Avi Shlaim (Ed), The 1967 Arab-Israeli War: Origins and
Consequences, New York: Cambridge University Press.
Kausch, Kristina. 2015. “Egypt: Inside-Out” dalam Kristina Kausch (ed),
Geopolitics and Democracy in the Middle East, Madrid: FRIDE.
Korany, Baghat dan Ali Dessouki. 2008. “Foreign Policy Approaches and Arab
Countries: A Critical Evaluation and an Alternative Framework”
dalam Baghat Korany dan Ali Dessouki (Ed), The Foreign
Policies of Arab States: The Challenge of Globalization, Kairo:
The American University in Cairo Press.
Korany, Baghat. 2013. “The Middle East Since the Coldwar: Initiating the Fifth
Wave of Democratization?” dalam Louise Fawcet (Ed),
International Relations of The Middle East (Third Edition),
Oxford: Oxford University Press.
Lebow, Richard Ned. 2003. TheTtragic Vision of Politics: Ethics, interests and
orders, Cambridge: Cambridge University Press.
xix
Mearsheimer, John J. 2013. “Structural Realism” dalam Tim Dunne, Milja Kurki,
dan Steve Smith (Ed), International Relations Theories:
Discipline and Diversity (Third Edition), Oxford: Oxford
University Press.
Mintz, Alex dan Karl DeRouen. 2010. Understanding Foreign Policy Decision
Making, New York, Cambridge University Press.
Monier, Elizabeth dan Annette Ranko. 2014. “The Failure of the Muslim
Brotherhood: Implications for Egypt‟s Regional Status” dalam
Henner Fürtig, Regional Powers in the Middle East: New
Constellations after the Arab Revolts, New York: Palgrave
Macmillan.
Neack, Laura. 2008. The New Foreign Policy: Power Seeking in a Globalized Era,
Maryland: Rowman & Littlefield Publishers.
Neuman, W. Laurence. 2000. Social Research Methods: Qualitative and
Quantitative Approach, Massachusets: Allyn and Bacon.
Noble, Paul. 2008. “From Arab System to Middle Eastern System?: Regional
Pressures and Constrains” dalam Baghat Korany dan Ali
Dessouki (Ed), The Foreign Policies of Arab States: The
Challenge of Globalization Kairo: The American University in
Cairo Press.
Podeh, Elie. 2005. Ending an Age-Old Rivalry: The Rapprochement between The
Hashemites and The Saudis, 1956-1958 h. 85-110 dalam Asher
Susser dan Aryeh Shmuelevitz, The Hashemites in The Modern
Arab World, London: Frank Cass.
Porter, Paul A. 1957. The Gulf of Aqaba: An International Airway, Its
Significance to International Trade, Washington D. C. : Public
Affair Press.
xx
Povey, Tara. 2015. Social Movements In Egypt and Iran, Hampshire: Palvrage
Macmillan.
Rutherford, Bruce K. 2013. “Egypt: The Origins and The Consesequences of 25
Uprising”. dalam Mark L. Haas dan David W. Lesch, The Arab
Spring: Change and Resistance in the Middle East, Colorado:
Westview Press.
Sela, Avraham. 2004. “Abd al-Nasser‟s Regional Politics: A Reassessment”
dalam Elie Podeh dan Onn Winckler (Ed), Rethinking Nasserism :
Revolution and Historical Memory in Modern Egypt, Florida:
University Press of Florida.
Suyanto, Bagong. 2008. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif
Pendekatan, Jakarta: Kencana.
Tuathail, Gearóid Ó. 1996. Critical Geopolitics: The Politics of Writing Global
Space, London: Routledge.
Waltz, Kenneth N. 1979. Theory of International Politics, California: Addison-
Wesley Publishing Company.
Waltz, Kenneth N. 2001. Man, the State, and War: A Theoretical Analysis, New
York: Columbia University Press.
Jurnal dan Research Paper
Abid, Qalbi dan Massarrat Abid. 2009. “July Revolution and The Reorientation of
Egypt Foreign Policy”. J. R. S. P. Vol. 46 No. 2.
Ahmadian, Hassan. Fall 2014. “Egyptian Foreign Policy Identities”. Iranian
Review of Foreign Affairs. Vol. 5, No. 3.
Ajorloo, Mohammad Jafar dan Rabiae Turk. 2015. “The Strategic Importance of
the Straits of Tiran in the Conflict in South West Asia”,
Geopolitics Quarterly, Volume 10 No. 4.
xxi
Aran, Amnon dan Rami Ginat. 2014. “Revisiting Egyptian Foreign Policy towards
Israel under Mubarak: From Cold Peace to Strategic Peace”.
Journal of Strategic Studies, Vol. 37 No. 4.
Aziz, Sahar F. April 2017. “De-Securitizing Counterterrorism in The Sinai
Peninsula”, Brookings Doha Center Policy Briefing.
Cohen, Eliot P. 2005. “The Historical Mind and Military Strategy”. Orbis Vol. 49,
no. 4.
Gilbert, Hilary. 2013. “Nature=Life: Enviromental Identity as Resistance in South
Sinai”. Nomadic Peoples Vol. 17, no. 2.
Gold, Zack. 2014. “Security In Sinai: Present and Future”, The Hauge:
International Center for Counter Terrorism (ICCT) Research
Paper.
Herz, John H. 1950. “Idealist Internationalism and the Secrity Dilemma”. World
Politics Vol. 2 No. 2
Isaac, Sally Khalifa. 2014. “Explaining The Patterns of the Gulf Monarchies‟s
Assistance After the Arab Uprising” Mediterranian Politics, Vol.
19 No. 3.
Kristensen, Hans M. dan Robert S. Norris. 2014. “Israeli nuclear weapons”,
Bulletin of the Atomic Scientists Vol. 70 No. 6.
Kuroiwa, Yukiko. Mei 2013. “Russo-Japanese Territorial Dispute From The
Border Region Perspective”. UNISCI Discussion Papers No. 32.
Laucirica, Jorge O. Summer/Fall 2000 “Lessons from Failure: The Falklands
Conflict”. Seton Hall Journal of Diplomacy and International
Relations.
Mabro, Robert. 1990. “Political Dimensions of The Gulf Crisis”. Oxford Institute
of Energy Studies.
xxii
Makela, Juha P. 2014. “The Arab Springs Impact on Egypt‟s Securitocracy”,
International Journal of Intelligence and Counter Intelligence
Vol. 27 No. 2.
Meringolo, Azzurra. Maret 2015. “From Morsi to Al-Sisi: Foreign Policy at the
Service of Domestic Policy”. Istituto Affari Internazionali Insight
Egypt No. 8.
Nazer, Fahad. 2015. “Saudi-Egyptian Relations at The Crossroads”. Washington:
The Arab Gulf States Institute In Washington.
Ozkan, Mehmet. Maret 2013. “Egypt‟s Foreign Policy under Mohamed Morsi”.
Ortadogu Analiz.
Pelham, Nicolas. 2012. “Sinai: The Buffer Erodes”, London: Chantam House,
Pohoryles, Samuel. 2009. Agricultural Cooperation: A Prototype of Post-conflict
Resolution, dalam The Legacy of Camp David: 1979-2009.
Washington: The Middle East Institute.
Ranko, Annette dan Justyna Nedza. 2015. “Crossing the Ideological Divide?
Egypt's Salafists and the Muslim Brotherhood after the Arab
Spring”, Studies in Conflict and Terrorism, Vol 0 No 0.
Reyner, Anthony S. Summer 1967. “The Strait of Tiran and The Sovereignity of
The Sea”. Middle East Journal Vol. 21 No. 3
Rivlin, Paul. 2009. The Economic Impact of The Egypt-Israel Treaty, dalam The
Legacy of Camp David: 1979-2009, Washington: The Middle
East Institute.
Ronen, Yehudit. 2014. “The Effects of the „Arab Spring‟ on Israel‟s Geostrategic
and Security Environment: The Escalating Jihadist Terror in the
Sinai Peninsula”, Israel Affairs, Vol. 20, No. 3.
xxiii
Said Aly, Abdel Monem dan Hussein Ibish. 2016. “Egypt-GCC Partnership:
Bedrock of Regional Security Despite Fissures”. The Arab Gulf
States Institute in Washington.
Yee, Andy. 2011. “Maritime Territorial Disputes in East Asia: A Comparative
Analysis of the South China Sea and the East China Sea”. Journal
of Current Chinese Affairs Vol. 60 No.2.
Young, Karen E. April 2017. “A New Politics of GCC Economic Statecraft: The
Case of UAE Aid and Financial Intervention in Egypt”. Journal
of Arabian Studies.
Zohar, Eran. 2015. “The Arming of Non-State Actors in The Gaza Strip and Sinai
Peninsula”, Australian Journal of International Affairs Vol. 69
No. 4.
Tesis dan Disertasi
Breen, Heidi. 2013. Egypt: Freedom and Justice to the Bedouins in Sinai? A Study
of the Freedom and Justice Party’s Policy Towards the Bedouin
Minority in Sinai, tesis di University of Oslo.
De Lozier, Elana N. 2005. Threats to Religious Legitimacy and State Security:
The Kingdom of Saudi Arabia’s Quest for Stable Continuity. tesis
di Virginia Polytechnic Institute and State University.
Elwy, Yasser M. 2009. A Political Economy of Egyptian Foreign Policy: State,
Ideology, and Modernisation Since 1970, disertasi di London
School of Economy.
Mushoffa, Eva. 2014. Turkey’s Foreign Policy Towards Egypt Since the Arab
Spring. MA Dissertation di Durham University.
xxiv
Nasser, Mosaed Abdullah. Principles and Policies In Saudi Arabian Foreign
Relations with Special Reference to The Superpowers and Major
Arab Neighbours. disertasi di University of Glasgow
Swale, Dan Bradley. 2015. Discord in the Desert: Egypt’s Sinai Peninsula In The
Aftermath of The Arab Spring, Tesis di Massey University,
Selandia Baru.
Laporan
Blanchard, Christopher M. 2016. “Saudi Arabia: Background and U.S. Relations”,
Congressional Research Service Report.
Duppont, Pierre Emmanuel dan Brian McGarry. April 2016. “The Egypt-Saudi
Arabia Agreement on Tiran and Sanafir”. London Center of
International Law Practice.
Human Right Watch. September 2015. “Look for Another Homeland: Forced
Evictions in Egypt‟s Rafah” laporan Human Right Watch.
Khan, Mohsin dan Elissa Miller. Juni 2016. “The Economic Decline of Egypt
After 2011 Uprising”, Atlantic Council Report.
Rob L. Wagner, The Rationale Behind Tiran and Sanafir Islands Deal, The Arab
Weekly, 1 Mei 2016
Sharp, Jeremy M. Februari 2012. “Egypt In Transition”. Congressional Research
Service Report for Congress.
Sharp, Jeremy M. Juli 2013. “Egypt: Background and US Relations”,
Congressional Research Report.
Sharp, Jeremy M. Maret 2015. “Egypt: Background and U. S. Relations”.
Congressional Research Service Report.
Sharp, Jeremy M. Oktober 2016. “Egypt: Background and US Relations”,
Congressional Research Report.
xxv
Siboni, Gabi dan Ram Ben-Barak. Januari 2014. “The Sinai Peninsula Threat
Development and Response Concept”, The Saban Center for
Middle East Policy dan The Institute for National Security Studies
Analysis Report, No. 31.
Internet
“1982 NY Times article proves Tiran and Sanafir Saudi Arabian”, Egypt Today
15 Juni 2017, https://www.egypttoday.com/Article/2/7728/1982-
NY-Times-article-proves-Tiran-and-Sanafir-Saudi-Arabian,
diakses pada 29 oktober 2017.
“Breakdown of Egypt-Saudi financial deals, future investments”, ahram online,
diakses dari http://english.ahram.org.eg/News/199238.aspx, pada
18 Desember 2017.
“Egypt sees Gaza Conflict as Chance to Reclaim Regional Role”, Ynet Magazine
27 Agustus 2014 diunduh dari
https://www.ynetnews.com/articles/0,7340,L-4564820,00.html,
pada 21 Oktober 2017.
“IDF Begins Moving Major Bases to Israel's Negev”, Haaretz 16 September 2012,
diakses dari https://www.haaretz.com/idf-begins-transferring-
bases-to-negev-1.5163552, pada 5 Januari 2018.
“Saudi Arabia, Egypt agree to build bridge over Red Sea”, Aljazeera, 9 April
2016, diakses dari http://www.aljazeera.com/news/2016/04/saudi-
arabia-egypt-announce-bridge-red-sea-160409032158790.html,
pada 19 Desember 2017.
“Sinai Ignored in Egypt Development Plans”, Al-Monitor, 1 Mei 2014, diunduh
dari http://www.al-monitor.com/pulse/originals/2014/04/sinai-
egypt-residents-anger-empty-government-promises.html., pada 20
Desember 2017.
xxvi
“Sisi,King Salman attend the Ceremony of Signing Cooperation Agreement”,
Ministry of State for Administrative Development, diunduh dari
www.cairo.gov.eg/CairoPortal/investment/text news top
stories.aspx?ID=109, pada 14 Desember 2017.
Aron, Raymond, “Peace and War: A Theory of International Relations”, h. 591-
600, diunduh dari
https://www.mtholyoke.edu/acad/intrel/aron.htm, pada 12 Januari
2018.
Aronson, Geoffrey, “Sisi warns Kerry of jihadist threat in Syria”, diunduh dari
https://www.al-monitor.com/pulse/originals/2014/06/egypt-abdel-
fattah-al-sisi-foreign-policy-reset-syria-saudi.html, pada 21
Oktober 2017.
BBC. 2011. “Sengketa kepemilikan Laut Cina Selatan”. Diunduh 16 September
2016.(http://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2011/07/11
0719_spratlyconflict).
BBC. 2012. “
Egyptyan Protests over detained lawyer shut Saudi Embassy”.
Diunduh 17 September 2016. (http://www.bbc.com/news/world-
middle-east-17881733).
BBC. 2016. “Demonstrasi di Mesir Menentang “Penyerahan” Pulau ke Saudi”.
Diunduh 16 September 2016.
(http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2016/04/160415_dunia_me
sir_demo).
Black, Ian. 2016. “Egypt's president under fire over Red Sea islands transfer to
Saudi Arabia”, The Guardian. Diunduh 16 September 2016.
(http://www.theguardian.com/world/2016/apr/11/egypt-saudi-
arabia-tiran-sanafir-red-sea-islands-transfer).
Camp David Accords, Israel Ministry of Foreign Affairs, diunduh dari
https://web.archive.org/web/20110903011255/http://www.mfa.go
xxvii
v.il/MFA/Peace%20Process/Guide%20to%20the%20Peace%20Pr
ocess/Camp%20David%20Accords, pada 4 Januari 2018.
Central Intelligence Agency. 1998. “Soviet-Egyptian Relation: An Uneasy
Alliance” (pdf), CIA Historical Review Program Release as
Sanitized. Diunduh 17 September 2016.
(http://www.foia.cia.gov/sites/default/files/document_conversions
/89801/DOC_0000309640.pdf).
Central Intelligence Agency. 2013. “CIA Historical Collections Division AR 70-
14”. Diunduh 9 Juni 2017.
(https://www.cia.gov/library/readingroom/docs/1978-09-22b.pdf).
Claiborne, William, “Israel Set to Move Sinai Bases to Negev”, The Washington
Post 3 November 1981, diunduh dari
https://www.washingtonpost.com/archive/politics/1981/11/03/isra
el-set-to-move-sinai-bases-to-negev/efd95fb3-b27b-4191-a332-
50a813e73e4b/?utm_term=.2c413620b54e, pada 5 Januari 2018.
David K. Shipler, “Israelis Ask Egyptian to Redraw Border a Bit”, New York
Times 19 Januari 1982, diunduh dari
http://www.nytimes.com/1982/01/19/world/israelis-ask-egyptians-
to-redraw-border-a-bit.html, diakses pada 29 Oktober 2017.
Declan Walsh, “Egypt Gives Saudi Arabia 2 Islands in a Show of Gratitude”, New
York Times 10 April
2016http://www.nytimes.com/2016/04/11/world/middleeast/egypt
-gives-saudi-arabia-2-islands-in-a-show-of-gratitude.html?_r=0,
diakses pada 16 September 2016.
Departement of State United States of America. “The 1973 Arab-Israeli War”.
Diunduh 27 Maret 2017.
(https://history.state.gov/milestones/1969-1976/arab-israeli-war-
1973).
xxviii
Economist Intelligence Unit. 2016. “The Economist Intelligence Unit's
Democracy Index”. Diunduh 1 November 2017.
(https://infographics.economist.com/2017/DemocracyIndex/).
Egypt sees Gaza Conflict as Chance to Reclaim Regional Role, diunduh dari
https://www.ynetnews.com/articles/0,7340,L-4564820,00.html,
pada 21 Oktober 2017.
Egypt State Information Service, Egypt Political Activities 2016, diunduh dari
http://www.us.sis.gov.eg/Story/107293?lang=en-us, pada 20
Desember 2017.
Egypt Vision 2030, h. 3-14, diunduh dari
http://www.cabinet.gov.eg/Style%20Library/Cabinet/pdf/sds2030
_summary_arabic.pdf, pada 22 Desember 2017.
Eldin, Hatem Ezz, “Causeway Controvercy”, Al Ahram Weekly Issue 1291 (14-20
April 2016), diunduh dari
http://weekly.ahram.org.eg/News/16091.aspx, pada 18 Desember
2017.
Falkland Islands Government. Tanpa tahun. “Falkland Islands: Fact and
Fictions” (pdf). Diunduh 28 Maret 2017.
(https://www.falklands.gov.fk/assets/Falklands-Facts-and-
Fictions-ENGLISH-.pdf).
Focus Economics “Egypt Economic Outlook”, diunduh dari https://www.focus-
economics.com/countries/egypt, diakses pada 18 Oktober 2017
Freedom House, “Egypt”, Freedom in the World 2016. Diunduh 1 November
2017. (https://freedomhouse.org/report/freedom-
world/2016/egypt).
xxix
Graham, David A., “Israel and Saudi Arabia: Togetherish at Last?”, The Atlantic,
https://www.theatlantic.com/international/archive/2015/06/israeli-
saudi-relations/395015/, diakses pada 9 Maret 2018.
Islamic Affairs Analyst. 2009. “Paradoxes of Egyptian-Saudi Relation” (pdf).
Diunduh 17 September 2016.
(https://www.washingtoninstitute.org/uploads/Documents/opeds/4
b1e9a6395bc6.pdf).
Israel Ministry of Foreign Affairs, “Gulf of Aqaba”,
http://www.mfa.gov.il/MFA/ForeignPolicy/Peace/Regional/Pages
/Chapter%202%20-%20Gulf%20of%20Aqaba.aspx, diakses pada
27 Oktober 2017.
Malsin, Jared. 2016. “The Fate of Two Deserted Islands Has Egyptians Taking to
the Streets Again”, TIME. Diunduh 28 Maret 2017
(http://time.com/4296334/egypt-protests-tiran-sanafir-islands/).
Pace, Eric. 1981. “Anwar El-Sadat, Arab The Daring of Pioneer of Peace with
Israel”, The New York Times. Diunduh 17 September
2016.(http://www.nytimes.com/learning/general/onthisday/bday/1
225.html).
Revkin, Mara, Egypt‟s Power Vacuum is Radicalizing the Sinai Peninsula,
Washington Post, 29 Agustus 2013 diunduh dari
https://www.washingtonpost.com/opinions/egypts-power-
vacuum-is-radicalizing-the-sinai-peninsula/2013/08/29/77c427d2-
10bb-11e3-bdf6-
e4fc677d94a1_story.html?utm_term=.1b8ea127bc81, pada 20
Desember 2017.
Sanger, David E. , “Saudi Arabia and Israel Share a Common Opposition”, The
New York Times,
https://www.nytimes.com/2015/06/05/world/middleeast/saudi-
xxx
arabia-eshki-and-israel-dore-gold-netanyahu-share-allies-
iran.html, diakses pada 9 Maret 2018.
Sayigh, Yezid. 2015. The Mirage of Egypt’s Regional Role and the Libyan
Temptation, Carnegie Middle East Center, diunduh dari
http://carnegie-mec.org/2015/03/05/mirage-of-egypt-s-regional-
role-and-libyan-temptation-pub-59250, diakses pada 21 Oktober
2017.
Serag, Yehya. 2010. “Border settlements in Egypt: Between trans-border
cooperation & defending the sovereignty of the country”, Paper
pada Regional Studies Association Annual International
Conference. Diunduh 27 Maret 2017.
(https://www.researchgate.net/publication/322077401_Border_set
tlements_in_Egypt_Between_trans-
border_cooperation_defending_the_sovereignty_of_the_country).
Stanford Encyplopedia of Philosophy. (Edisi Revisi) 2016. “Sovereignity”.
Diunduh September 2016.
(http://plato.stanford.edu/entries/sovereignty/).
Sudan Tribune. “Halayeb Triangle”. Diunduh 17 September 2016.
(http://www.sudantribune.com/spip.php?mot382).
The World Bank. 2017. “Egypt Overview”, diunduh dari
http://www.worldbank.org/en/country/egypt/overview, diakses
pada 18 Oktober 2017.
Vision 2030 Kingdom of Saudi Arabia, h. 57-58, diunduh dari
vision2030.gov.sa/download/file/fid/417, pada 22 Desember
2017.
Walsh, Declan. 2016. “Egypt Gives Saudi Arabia 2 Islands in a Show of
Gratitude”, New York Times. Diunduh 16 September 2016.
xxxi
(http://www.nytimes.com/2016/04/11/world/middleeast/egypt-
gives-saudi-arabia-2-islands-in-a-show-of-gratitude.html?_r=0).
Wolfe, Lisa Reynold. 2010. “Egypt Transfers Loyality from the USSR to US in
the Middle of Cold War”, Cold War Magazine. Diunduh pada 17
September 2016.
(http://www.coldwarstudies.com/2010/06/10/egypt-transfers-
loyalty-from-the-ussr-to-the-us-in-the-middle-of-the-cold-war/).
xxxii
LAMPIRAN
Lampiran 1: Rencana Pembangunan Jembatan Mesir-Saudi
Sumber: http://www.aljazeera.com/news/2016/04/saudi-arabia-egypt-announce-
bridge-red-sea-160409032158790.html, pada 19 Desember 2017.
xxxiii
Lampiran 2: Jalur Penyelundupan Senjata Oleh Baduy Sinai
Sumber: Eran Zohar, “The Arming of Non-State Actors in The Gaza Strip and
Sinai Peninsula”, Australian Journal of International Affairs Vol. 69 No. 4, 2015